Volume 4, Nomor 1, April 2020 P–ISSN - Portal Publikasi ...

118

Transcript of Volume 4, Nomor 1, April 2020 P–ISSN - Portal Publikasi ...

ii

Volume 4, Nomor 1, April 2020

P–ISSN: 2579-5511

E–ISSN: 2579-6097

JURNAL PENELITIAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (JPPDAS) merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Balai

Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPPTPDAS) kerjasama dengan

Masyakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI). Terbitan ini telah mendapatkan P-ISSN: 2579-6097 dan

E-ISSN: 2579-5511. Terbitan pertama jurnal ini adalah Volume 1 Nomor 1 yang diluncurkan pada tanggal 28

April 2017. Jurnal ini diterbitkan dua kali dalam setahun yaitu setiap Bulan April dan Oktober. Setiap terbitan

berisi 6 Karya Tulis Ilmiah (KTI).

SASARAN DAN RUANG LINGKUP

Karya Tulis Ilmiah yang diterbitkan dalam JPPDAS merupakan hasil-hasil penelitian yang memberikan

kontribusi secara ilmiah dalam pengelolaan DAS. Ruang lingkup jurnal meliputi bidang pengelolaan lahan dan

vegetasi, konservasi tanah dan air, rehabilitasi lahan, hidrologi, sosial, ekonomi, kelembagaan, penginderaan

jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang mendukung teknologi pengelolaan DAS.

TERBITAN

JPPDAS diterbitkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPPTPDAS), Badan Litbang dan Inovasi

(BLI), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kerjasama

dengan Masyarakat Konservasi Air dan Tanah Indonesia (MKTI).

ISSN print/ P-ISSN : 2579-6097

ISSN electronic/ E-ISSN : 2579-5511

Edisi elektronik tersedia di

http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPPDAS

Seluruh KTI yang diterbitkan diberi nomor DOI yang digabungkan dengan awalan DOI

Crossreff http://dx.doi.org/10.20886/jppdas

FREKUENSI PENERBITAN

Jurnal diterbitkan dua kali dalam setahun yaitu April dan Oktober.

KEBIJAKAN PEER REVIEW

Setiap KTI yang diterbitkan di JPPDAS akan ditelaah awal meliputi kesesuaian ruang lingkup jurnal dan tata cara

penulisan menurut petunjuk penulisan. Selanjutnya telaah dilakukan minimal oleh dua reviewer dengan

mempertimbangkan kebaruan, orisinalitas, metode, dan dampak keilmuan.

AKREDITASI

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (JPPDAS) telah terakreditasi Peringkat 2 berdasarkan Kutipan dari Keputusan Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 14/E/KPT/2019 tentang Hasil Akreditasi Jurnal Ilmiah Periode 3 Tahun 2019 tanggal 10 Mei 2019. Akreditasi berlaku selama 5 (lima) tahun yaitu mulai Volume 2 Nomor 1 Tahun 2018 sampai Volume 6 Nomor 1 Tahun 2022.

iii

Volume 4, Nomor 1, April 2020

P–ISSN: 2579-5511

E–ISSN: 2579-6097

ALAMAT KORESPONDENSI

Sekretariat Redaksi JPPDAS:

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS

Alamat: Jl. Jend. A. Yani – Pabelan, Kartasura PO BOX 295 Surakarta 57102, Jawa Tengah-Indonesia

Telepon: +62-271-716709

Fax:+62-271-716959

Jam Kerja: Senin - Jumat, 07.30 -16.00 WIB

Email:[email protected]

Website:http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPPDAS

PENYERAHAN ONLINE

Penulis yang akan menyerahkan KTI ke JPPDAS perlu melakukan registrasi untuk mendapatkan username dan

password.

Registrasi pada:

http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPPDAS/user/register

Login pada:

http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPPDAS/login

Karya tulis ilmiah harus dikirim secara daring. Penulis dapat memantau status dan proses telaah KTI dengan

login dalam jurnal tersebut.

CHECKLIST PERSIAPAN PENYERAHAN

Sebelum mengunggah KTI, penulis diminta untuk mengecek kelengkapan penyerahannya dengan seluruh item

di bawah ini. Apabila KTI tidak sesuai dengan petunjuk jurnal, maka akan dikembalikan ke penulis

1. Karya tulis ilmiah harus ditulis berdasarkan template JPPDAS dan sesuai dengan pedoman bagi penulis.

2. Format referensi berdasarkan gaya American Psychological Association (APA) edisi ke 6 dan dikelola

dengan perangkat lunak Mendeley.

3. Delapan puluh persen dari referensi yang digunakan merupakan referensi primer terbitan 10 tahun

terakhir.

4. Formulir pernyataan etis (Formulir JPPDAS 01_paper) dan formulir transfer hak cipta (Formulir JPPDAS

06_copyright Kesepakatan transfer) harus dilampirkan saat penyerahan KTI.

PROSES PENGEDITAN (COPY EDITING) DAN KOREKSI CETAKAN (PROOFREADING)

Setiap KTI yang diterima oleh JPPDAS akan dilakukan pengeditan untuk peningkatan kualitas tata bahasa oleh

tim editorial.

iv

Volume 4, Nomor 1, April 2020

P–ISSN: 2579-5511

E–ISSN: 2579-6097

PEMERIKSAAN PLAGIARISME Pemeriksaan plagiarisme dilakukan oleh tim editorial JPPDAS. Apabila terindikasi plagiarisme, maka KTI akan ditolak. PENGELOLAAN REFERENSI Untuk ketepatan pengambilan sumber informasi,

silakan menggunakan perangkat lunak pengelola

referensi Mendeley dalam membuat bibliografi,

referensi dan kutipan dalam teks. Format referensi

berdasarkan gaya APA ke 6. Mendeley adalah

manajer referensi gratis yang dapat diunduh pada:

https://www.mendeley.com/Download-mendeley-

desktop.

KEBIJAKAN AKSES TERBUKA

Karya tulis ilmiah dalam JPPDAS dapat

diakses secara terbuka dengan tujuan

mendukung pertukaran informasi dan pengetahuan

secara global.

IZIN CC

Jurnal Penelitian Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai dikelola

oleh BPPTPDAS, BLI, Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan di bawah CC BY-NC-SA Creative

Commons Attribution Non Komersial Berbagi

seperti attribution 4.0 internasional.

PENGELOLAAN BIAYA

Jurnal ini tidak membebankan pembiayaan dalam pemrosesan. Karya tulis ilmiah yang diterbitkan secara elektronik tersedia secara bebas pada website. Penulis dapat menggunakan file dengan ekstensi .pdf yang telah diterbitkan untuk keperluan non-komersial pada website institusi atau pribadi.

PROSES INDEX DAN ABSTRAK

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

telah terindeks dari layanan berikut: Cross Ref, Google

Scholar, Mendeley, Indonesian Scientific Journal

Database (ISJD), PKP Publishing Services, Cite Factor,

Bielefeld Academic Search Engine (BASE), dan

Scientific and Literature (SCILIT).

HAK CIPTA

Jurnal ini dan kontribusi individu yang terkandung di

dalamnya dilindungi oleh hak cipta BPPTPDAS, BLI,

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hak

cipta tersebut mengikuti ketentuan dan kondisi yang

berlaku dalam penggunaannya.

PERNYATAAN PRIVASI

Nama dan alamat email yang masuk dalam jurnal ini

akan digunakan secara eksklusif untuk kebutuhan

jurnal dan tidak akan digunakan untuk kebutuhan

pihak lain.

v

Volume 4, Nomor 1, April 2020

P–ISSN: 2579-5511

E–ISSN: 2579-6097

EDITORIAL TEAM

Editor in-Chief

Dr. Ir. Tyas Mutiara Basuki, M.Sc. (Scopus ID=26030255700)

Hidrologi dan Konservasi Tanah Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPPTPDAS)

Editor

Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc. (Scopus ID=6603222376)

Rehabilitasi Lahan Institut Pertanian Bogor (IPB)

Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. (Scopus ID=57073753500)

Hidrologi dan Konservasi Tanah IPB, Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI)

Muhammad Kamal, S.Si., M.GIS., P.hD. (Scopus ID=55266523600)

Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

Universitas Gadjah Mada (UGM)

Dr. Ishak Yassir, S.Hut., M.Si. (Scopus ID=25930199200)

Rehabilitasi Lahan Hidroklimatologi

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi KSDA

Dr. Muhammad Anggri Setiawan, M.Sc. (Scopus ID=23487125500)

Geografi UGM

Dr. Agung Budi Supangat, S.Hut., M.T. Hidrologi BPPTPDAS

Dr. rer. Agr. Evi Irawan, SP., M.Sc. Ekonomi Lingkungan BPPTPDAS

Dr. Ir. Dewi Retna Indrawati, M.P. Sosial Ekonomi BPPTPDAS

Dr. Irfan Budi Pramono, M.Sc. (Scopus ID=57194592259)

Hidrologi BPPTPDAS

Saut A. Sagala, ST., M.Sc., Ph.D. (Scopus ID=35323035100)

Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (ITB)

Nunung Puji Nugroho, S.Hut., M.Sc., Ph.D. (Scopus ID=56991068300)

Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografi

BPPTPDAS

Dr. S. Andy Cahyono, SP., M.Si. Ekonomi Kehutanan BPPTPDAS

Yongky Indrajaya, S. Hut., M.T., M.Sc. (Scopus ID=57189633934)

Perencanaan Hutan Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestri

Dr. Ir. Hunggul Yudono S.H. Nugroho, M.Si. (Scopus ID=57194607752)

Hidrologi dan Konservasi Tanah Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar

vi

Volume 4, Nomor 1, April 2020

P–ISSN: 2579-5511

E–ISSN: 2579-6097

Copy Editor

Dr. Ir. Endang Savitri, M.Sc. Hidrologi dan Konservasi Tanah BPPTPDAS

Dr. Ir. Nining Wahyuningrum, M.Sc. Hidrologi dan Konservasi Tanah BPPTPDAS

Advisory

Slamet Edi Sumanto, S.Sos, M.Si. BPPTPDAS

Journal Manager

Ir. Salamah Retnowati, M.Si. BPPTPDAS

Tri Hastuti Swandayani, S.Kom., M.Si. BPPTPDAS

Section Editor Web Admin

Esa Bagus Nugrahanto, S.Hut. BPPTPDAS R.M. Tommy Kusuma BPPTPDAS Alvian Febry Anggana, S.Hut. BPPTPDAS Agung Budi Kuwadto BPPTPDAS Arina Miardini, S.Hut., M.Sc. BPPTPDAS

Baharinawati W. Hastanti, S.Sos., M.Sc. BPPTPDAS Secretariat

Diah Auliyani, S.Hut., M.Si. BPPTPDAS Ir. Salamah Retnowati, M.Si. BPPTPDAS Upik Pramuningdiyani, S.Kom. BPPTPDAS Upik Pramuningdiyani, S.Kom. BPPTPDAS Tri Hastuti Swandayani, S.Kom., M.Si. BPPTPDAS Proofreaders Haryani Ambarwati, S.Kom. BPPTPDAS

Esa Bagus Nugrahanto, S.Hut. BPPTPDAS

Alvian Febry Anggana, S.Hut. BPPTPDAS Layout Editor

Arina Miardini, S.Hut., M.Sc. BPPTPDAS Wahyu Wisnu Wijaya, S.Hut. BPPTPDAS Baharinawati W. Hastanti, S.Sos., M.Sc. BPPTPDAS Uchu Waluya Heri Pahlana, S.Hut. BPPTPDAS Diah Auliyani, S.Hut., M.Si. BPPTPDAS Eko Priyanto, S.P., M.GIS BPPTPDAS

Dr. Ir. Tyas Mutiara Basuki, M.Sc. BPPTPDAS

Sekretariat Redaksi JPPDAS: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Alamat: Jl. Jend. A. Yani – Pabelan, Kartasura PO BOX 295 Surakarta / 57102 Telepon/Fax: (0271) 716709 dan 716959 E-mail: [email protected]; Website:http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPPDAS

Diterbitkan di Surakarta, Indonesia ©2020 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS

vii

Volume 4, Nomor 1, April 2020

P–ISSN: 2579-5511

E–ISSN: 2579-6097

REVIEWER

Prof. Dr. Hidayat Pawitan, M.Sc. (Scopus ID=55177185300)

Hidrologi Sumberdaya Air IPB

Prof. Dr. Ir. Putu Sudira, M.Sc. Hidroklimatologi UGM

Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, M.S. (Scopus ID = 57195307987)

Sosial Ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS)

Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.Si. (Scopus ID=56469817600)

Konservasi Tanah dan Air IPB, MKTI

Prof. Dr. Ahmad Maryudi, S.Hut., M.For. (Scopus ID=48461414700)

Kebijakan Kehutanan UGM

Prof. Dr. rer. nat. Junun Sartohadi, M.Sc. (Scopus ID=24766831900)

Geografi Tanah dan Lingkungan UGM, MKTI

Prof. Dr. rer.nat Muh Aris Marfa’i, M.Sc. (Scopus ID=22951320200)

Penginderaan Jauh dan Kebencanaan UGM

Prof. Dr. I.G.A. K.R. Handayani, S.H., M.H. (Scopus ID = 56460408200)

Aspek Hukum Pengelolaan DAS UNS

Dr. Ir. Ai Dariah, M.Si. (Scopus ID=55366276400)

Konservasi Tanah dan Air Balai Penelitian Tanah (Balittanah), Badan Litbang Pertanian, MKTI

Projodanoedoro, M.Sc., Ph.D. (Scopus ID= 54083041300)

Penginderaan Jauh UGM

Dr. Ir. Maswar, M.Agric.Sc. (Scopus ID = 56527177600)

Konservasi Tanah dan Air Balittanah, Badan Litbang Pertanian

Dr. Prabang Setyono, S.Si., M.Si. (Scopus ID=56179823100)

Ekologi Pemodelan dan Rekayasa Lingkungan

UNS

Dr. Sapja Anantanyu, S.P., M.Si. (Scopus ID = 57188728132)

Sosial dan Kelembagaan UNS

Sekretariat Redaksi JPPDAS: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Alamat: Jl. Jend. A. Yani – Pabelan, Kartasura PO BOX 295 Surakarta / 57102 Telepon/ Fax: (0271) 716709 dan 716959 E-mail : [email protected]; Website: http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPPDAS

Diterbitkan di Surakarta, Indonesia ©2020 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS

viii

Volume 4, Nomor 1, April 2020

P–ISSN: 2579-5511

E–ISSN: 2579-6097

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Editor dan Mitra Bestari yang

telah menyunting dan memberi saran yang konstruktif terhadap Karya Tulis Ilmiah dalam Jurnal

Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Volume 4 Nomor 1, April 2020.

1. Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, M.S.

2. Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.Si.

3. Dr. Agung Budi Supangat, S.Hut., M.T.

4. Dr. Ir. Ai Dariah, M.Si.

5. Dr. Ir. Dewi Retna Indrawati, M.Si.

6. Dr. Ir. Hunggul Yudono S.H. Nugroho, M.Si.

7. Dr. S. Andy Cahyono, S.P., M.Si.

8. Dr. Ir. Tyas Mutiara Basuki, M.Sc.

9. Nunung Puji Nugroho, S.Hut., M.Sc., Ph.D.

10. Yongky Indrajaya, S. Hut., M.T., M.Sc.

ix

Volume 4, Nomor 1, April 2020

P–ISSN: 2579-5511

E–ISSN: 2579-6097

DAFTAR ISI (CONTENTS)

Judul Halaman

IMPLIKASI BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2017 TENTANG INSTRUMEN EKONOMI LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP KONSERVASI TANAH DAN AIR (Implication of Goverment Regulation Number 46 of 2017 Concerning Environmental Economical Aspect Towards Water and Soil Conservation)

AL. Sentot Sudarwanto ________________________________________________ 1-16

MEMBANGUN PROSES PERENCANAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI MIKRO SECARA PARTISIPATIF: SEBUAH PEMBELAJARAN (Developing a participatory planning process of micro-watershed management: a lesson learned)

Agung Budi Supangat, Dewi Retna Indrawati, Nining Wahyuningrum, Purwanto, dan Syahrul Donie_____________________________________________________ 17-36

STUDI KARAKTERISTIK HIDROLOGI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JIRAK MENGGUNAKAN TIME SERIES ANALYSIS (Hydrological Characteristics Study of Jirak Sub Watershed Using Time Series Analysis)

Bayu Argadyanto Prabawa ______________________________________________ 37-52

POLA HUJAN DI BAGIAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI BENGAWAN SOLO DALAM PERENCANAAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA AIR (Rainfall pattern for water resources utilization planning in the upperstream of Bengawan Solo Watershed)

Diah Auliyani dan Nining Wahyuningrum __________________________________ 53-62

FUZZY ANALYTIC HIERARCHY PROCESS BERBASIS MORFOMETRI UNTUK PRIORITAS PENANGANAN EROSI DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO (Fuzzy analytic hierarchy process based on watershed morphometry for erosion priority mapping in Oyo Sub Watershed)

Alfiatun Nur Khasanah dan Arina Miardini _________________________________ 63-78

APLIKASI METODE SIDIK CEPAT JASA LINGKUNGAN PADA DAS MIKRO (Rapid assessment method of environmental services in the micro catchment)

Anang Widicahyono, San Afri Awang, Ahmad Maryudi, dan M. Anggri Setiawan___ 79-102

x

JURNAL PENELITIAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (JPPDAS)

ABSTRAK

P-ISSN : 2579-5511 Vol.4 No.1, April 2020

E-ISSN : 2579-6097

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh disalin tanpa izin dan biaya

UDC/ ODC: 631.4+630*116 AL. Sentot Sudarwanto 1 1Fakultas Hukum, dan Peer group PPLH LPPM Universitas Sebelas Maret IMPLIKASI BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2017 TENTANG INSTRUMEN EKONOMI

LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP KONSERVASI TANAH DAN AIR

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Vol.4 No.1, April 2020, p. 1 - 16 Apabila masyarakat wilayah hulu melakukan Konservasi Tanah dan Air (KTA), masyarakat bagian hilir ikut merasakan manfaatnya, oleh sebab itu masyarakat hulu perlu diberi Imbal Jasa Lingkungan (IJL). Penulisan ini bertujuan menganalisis konsekuensi logis pengaturan tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup terhadap KTA khususnya terkait dengan jasa lingkungan. Metode penelitian dengan pendekatan yuridis normatif, menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan teknik analisis secara kualitatif. Hasil kajian menunjukkan IJL telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 Tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup tetapi belum ada pengaturan secara rinci terkait penghitungan jasa lingkungan KTA yang dilakukan oleh masyarakat hilir kepada masyarakat hulu. Forum Koordinasi Pengelolaan DAS bersama pemerintah membentuk tim Ad Hoc yang memiliki tugas mengelola dana jasa lingkungan. Masyarakat hilir membayar jasa lingkungan kepada masyarakat hulu sebagai penyedia jasa melalui lembaga pengelola jasa lingkungan. Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI perlu segera menyusun peraturan teknis tentang mekanisme dan penghitungan IJL KTA dari masyarakat dan pemerintah di wilayah hilir kepada pemerintah dan masyarakat di wilayah hulu. Kata kunci: Implikasi; Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup; KTA; DAS

UDC/ ODC: 556.51 Agung Budi Supangat1, Dewi Retna Indrawati1, Nining Wahyuningrum1, Purwanto1, dan Syahrul Donie 1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPPTPDAS) MEMBANGUN PROSES PERENCANAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI MIKRO SECARA PARTISIPATIF: SEBUAH PEMBELAJARAN Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Vol.4 No.1, April 2020, p. 17 - 36 Tahapan perencanaan merupakan bagian yang sangat penting dalam rangkaian kegiatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) skala operasional (DAS mikro). Kesulitan dan kegagalan pengelolaan DAS mikro seringkali bermula dari kegagalan dalam membangun proses perencanaan partisipatif bersama masyarakat dan kolaboratif dengan para pihak terkait. Kegiatan penelitian tindakan (action research) ini bertujuan untuk menemukan proses/tahapan perencanaan partisipatif yang lebih aplikatif berdasarkan pengalaman dan evaluasi proses yang sudah ada. Penelitian dilaksanakan di DAS Mikro Naruan, Sub DAS Keduang, DAS Bengawan Solo Hulu. Pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan adalah sebagai berikut: 1) Basis data dasar (baseline data) detil terkait karakteristik potensi dan kerentanan wilayah DAS mikro sangat penting diketahui sebelum proses perencanaan; 2) Proses perencanaan pengelolaan DAS mikro tidak dapat sepenuhnya mengandalkan partisipasi masyarakat, tetapi perlu kombinasi antara sistem top down dan partisipatif; 3) Perencanaan yang sifatnya top down menyangkut pemberian rambu-rambu pengelolaan lahan yang benar di wilayah hulu DAS; 4) Perencanaan partisipatif dilakukan pada saat penyusunan rencana penggunaan/ pemanfaatan lahan, jenis kegiatan konservasi yang sesuai serta andil sumber daya dari masyarakat sebagai bentuk partisipasi; 5) Rencana kolaboratif perlu dibangun dengan para pihak terkait dalam rangka keterpaduan dan keberlanjutan kegiatan pengelolaan DAS mikro. Kata kunci: Kolaborasi, DAS mikro, partisipasi, perencanaan

xi

JURNAL PENELITIAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (JPPDAS)

ABSTRAK

P-ISSN : 2579-5511 Vol.4 No.1, April 2020

E-ISSN : 2579-6097

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh disalin tanpa izin dan biaya

UDC/ ODC: 556(594.59) Bayu Argadyanto Prabawa1 1 Program Studi Perencanaan Wilayah Kota, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Teknologi Yogyakarta STUDI KARAKTERISTIK HIDROLOGI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JIRAK MENGGUNAKAN TIME SERIES ANALYSIS Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Vol.4 No.1, April 2020, p. 37 - 52

Sub Daerah ALiran Sungai (DAS) Jirak adalah salah satu aliran sungai yang muncul kembali di Gunungkidul. Aliran sungai mengalir ke dalam. Gua Kalisuci, dan menjadi sungai bawah tanah. Sungai bawah tanah ini digunakan untuk kegiatan pariwisata yang dikenal sebagai Cave Tubing. Masalah utama dari kegiatan pariwisata ini adalah terjadinya banjir. Banjir ini berasal dari debit yang berasal dari Sungai Jirak sebagai hulu dari Gua Kalisuci. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik hidrologis Sub DAS Jirak di lokasi Wisata Gua Kalisuci dengan harapan akan menambah pemahaman pengelola wisata Gua Kalisuci terkait pengaturan sistem peringatan dini dan sistem evakuasi ketika terjadi banjir. Karakteristik hidrologi ditentukan dari rating curve, jeda waktu (Tlag) dan perhitungan curah hujan efektif (Pe). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jeda waktu antara kejadian hujan dan kejadian banjir awal di Sub DAS Jirak berkisar antara 2,5 hingga 3 jam. Respon debit puncak yang cepat mengindikasikan bahwa Sub DAS Jirak memiliki sistem drainase yang cepat merespon hujan di musim hujan. Persentase curah hujan efektif ditentukan dari 17 hidrograf banjir terpilih yang nilainya meningkat dari fase awal hingga akhir musim hujan. Karakteristik hidrologi Sub DAS Jirak ini dapat digunakan oleh tim manajemen pariwisata Gua Kalisuci sebagai peringatan dini dan untuk evakuasi ketika banjir terjadi. Kata Kunci: banjir, karakteristik hidrologi, jeda waktu, hujan efektif

UDC/ ODC: 556.12(594.55) Diah Auliyani1 dan Nining Wahyuningrum1 1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS (BPPTPDAS) POLA HUJAN DI BAGIAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI BENGAWAN SOLO DALAM PERENCANAAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA AIR Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Vol.4 No.1, April 2020, p. 53 - 62 Informasi mengenai fluktuasi hujan sangat penting terutama bagi masyarakat lokal yang masih bergantung pada sumberdaya alam. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pola hujan di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo. Informasi ini dapat digunakan sebagai dasar dalam perencanaan pemanfaatan sumberdaya air. Data curah hujan tahun 1990-2016 dari 14 stasiun penakar hujan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui fluktuasi hujan dan pergeseran musim. Curah hujan tahunan di hulu DAS Bengawan Solo bervariasi antara 1.433,5 mm hingga 3.231,2 mm dengan rerata mencapai 2.224,6 mm. Tidak terjadi perubahan awal musim hujan maupun musim kemarau, namun demikian durasi musim hujan mengalami peningkatan dari 7 bulan (Oktober-April) pada periode 1990-1998 dan 1999-2007, bertambah menjadi 8 bulan (Oktober-Mei) pada periode 2008-2016. Sebesar 90% curah hujan terkonsentrasi pada musim hujan. Pemanenan air hujan dapat dilakukan untuk mengurangi runoff di musim hujan sekaligus sebagai upaya penyediaan sumberdaya air di musim kemarau. Kata kunci: curah hujan; pergeseran musim; sumberdaya air; Bengawan Solo

xii

JURNAL PENELITIAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (JPPDAS)

ABSTRAK

P-ISSN : 2579-5511 Vol.4 No.1, April 2020

E-ISSN : 2579-6097

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh disalin tanpa izin dan biaya

UDC/ ODC: 631.459(594.59) Alfiatun Nur Khasanah1 dan Arina Miardini2

1 Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada 2Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS (BPPTPDAS) FUZZY ANALYTIC HIERARCHY PROCESS BERBASIS MORFOMETRI UNTUK PRIORITAS PENANGANAN EROSI DI

SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Vol.4 No.1, April 2020, p. 63 - 78

Erosi merupakan salah satu indikasi kerusakan DAS. Dalam pengelolaan DAS perlu dilakukan urutan prioritas penanganan dengan memperhatikan karakteristik DAS, salah satunya yaitu karakter morfometri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lokasi prioritas penanganan erosi di Sub DAS Oyo berdasarkan data morfometri dengan menggunakan pemodelan Fuzzy AHP. Parameter morfometrik yang mempengaruhi erosi adalah Rbm (bifurcation ratio), Rc (circulatory ratio), Dd (drainage density), T (texture), Su (gradient), dan Rn (rugness number). Nilai tertinggi dari hasil analisis menunjukkan lokasi prioritas yang harus didahulukan penanganan erosinya. Tingkat prioritas tinggi terdapat pada 21 sub-sub DAS dengan luas 3.82 ha, tingkat sedang pada 35 sub-sub DAS dengan luas 17.780,21 ha, tingkat rendah pada 106 sub-sub DAS dengan luas 48.974,46 ha. Urutan prioritas penanganan erosi pada tingkat sub DAS sangat penting untuk menyusun rencana pengelolaan DAS dalam rangka pengendalian erosi tanah yang sesuai sebagai upaya perlindungan tanah dari erosi lebih lanjut.

Kata kunci: fuzzy-AHP; morfometri; prioritas; erosi; Sub DAS Oyo

UDC/ ODC : 556.51 Anang Widicahyono1, San Afri Awang2, Ahmad Maryudi2, dan M. Anggri Setiawan3 1Program Doktor Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada 2Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada 3Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada APLIKASI METODE SIDIK CEPAT JASA LINGKUNGAN PADA DAS MIKRO Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Vol.4 No.1, April 2020, p. 79 - 102

Wilayah DAS terbagi habis oleh ekosistem dengan keragaman jasa lingkungan yang dapat dijadikan sebagai kerangka dasar kegiatan pengelolaan DAS. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan serta mengaplikasikan metode sidik cepat identifikasi dan penilaian jasa lingkungan pada level DAS mikro di Sub DAS Cebong, Kabupaten Wonosobo. Penelitian ini menggunakan tiga prinsip dasar: (i) spasial dan hubungan antar wilayah, (ii) mekanisme hubungan sebab akibat, serta (iii) nilai potensi dan dampak. Metode sidik cepat jasa lingkungan merupakan kombinasi analisis spasial dengan pemanfaatan Sistem Informasi Geografis, analisis hubungan sebab akibat dengan metode system thinking, serta valuasi ekonomi. Hasil identifikasi sidik cepat menunjukkan keragaman jasa lingkungan di Sub DAS Cebong berupa: 1) jasa penyediaan dengan jasa utama sumber makanan dan air domestik, 2) jasa regulasi dengan jasa utama cadangan karbon dan pengendalian erosi sedimentasi, 3) jasa habitat dengan jasa utama biodiversitas, dan 4) jasa budaya dengan jasa utama pariwisata. Jasa penyediaan makanan dalam bentuk pertanian kentang memberikan nilai manfaat paling tinggi, namun memunculkan penurunan potensi jasa lingkungan lainnya. Jasa budaya berupa pariwisata, meskipun nilai manfaat langsungnya lebih rendah, namun dapat mendukung keberlanjutan pemanfaatan jasa lingkungan di dalam DAS. Penelitian ini menjadi sebuah inisiasi petunjuk teknis rencana pengelolaan DAS mikro berbasis jasa lingkungan.

Kata kunci: metode sidik cepat; jasa lingkungan; DAS Mikro

E-ISSN:2579-5511/P-ISSN:2579-6097 doi https://doi.org/10.20886/jppdas.2020.4.1.1-16

©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 1

IMPLIKASI BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2017 TENTANG

INSTRUMEN EKONOMI LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP KONSERVASI TANAH DAN AIR

(Implication of Goverment Regulation Number 46 of 2017 Concerning Environmental

Economical Aspect Towards Water and Soil Conservation)

AL. Sentot Sudarwanto1 1Fakultas Hukum, dan Peer group PPLH LPPM Universitas Sebelas Maret

Jl. Ir. Sutami No.36 A, Pucangsawit, Kec. Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57126, Email: [email protected]

Diterima: 1 November 2019; Direvisi: 26 Maret 2020; Disetujui: 30 Maret 2020

ABSTRACT

If the upstream community carries out the Soil and Water Conservation (SWC), whereas the downstream community participates in the benefits, therefore the upstream community needs to be rewarded with Payment Environmental Services (PES). This writing aims to analyze the logical consequences of the regulation of environmental economic instruments toward the SWC, especially related to environmental services. The research method is a normative juridical approach, using secondary data consisting of primary and secondary legal materials using qualitative analysis techniques. The results of the study show that the PES has been regulated in Government Regulation Number 46 of 2017 on Environmental Economic Instruments but there is no detailed regulation related to the calculation of SWC environmental services performed by downstream communities toward upstream communities. The Watershed Management Coordination Forum together with the government formed an Ad Hoc team whose task was to manage environmental service funds. Downstream communities pay for environmental services to the upstream communities as service providers through the environmental service management agencies. Therefore, the Ministry of Environment and Forestry of the Republic of Indonesia needs to immediately compile technical regulations on the mechanism and calculation of SWC from communities and governments in the downstream region to the government and communities in the upstream region. Keywords: Implication; instruments of living environmental economic; soil and water

conservation

ABSTRAK

Apabila masyarakat wilayah hulu melakukan Konservasi Tanah dan Air (KTA), masyarakat bagian hilir ikut merasakan manfaatnya, oleh sebab itu masyarakat hulu perlu diberi Imbal Jasa Lingkungan (IJL). Penulisan ini bertujuan menganalisis konsekuensi logis pengaturan tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup terhadap KTA khususnya terkait dengan jasa lingkungan. Metode penelitian dengan pendekatan yuridis normatif, menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan teknik analisis secara kualitatif. Hasil kajian menunjukkan IJL telah diatur dalam Peraturan

Implikasi Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017...................................................( AL. Sentot Sudarwanto)

2 ©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 Tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup tetapi belum ada pengaturan secara rinci terkait penghitungan jasa lingkungan KTA yang dilakukan oleh masyarakat hilir kepada masyarakat hulu. Forum Koordinasi Pengelolaan DAS bersama pemerintah membentuk tim Ad Hoc yang memiliki tugas mengelola dana jasa lingkungan. Masyarakat hilir membayar jasa lingkungan kepada masyarakat hulu sebagai penyedia jasa melalui lembaga pengelola jasa lingkungan. Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI perlu segera menyusun peraturan teknis tentang mekanisme dan penghitungan IJL KTA dari masyarakat dan pemerintah di wilayah hilir kepada pemerintah dan masyarakat di wilayah hulu. Kata kunci: Implikasi; Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup; KTA; DAS

I. PENDAHULUAN

Sumber daya alam bisa diartikan

sebagai segala sesuatu yang berada di

lingkungan alam, dan manusia bisa

memanfaatkannya untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Meningkatnya

jumlah manusia berdampak pada semakin

besarnya pemanfaatan sumber daya alam

untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Hal ini akan diikuti dengan munculnya

berbagai permasalahan lingkungan yaitu

menurunnya daerah resapan, penurunan

kualitas lingkungan, dan berubahnya pola

cuaca sehingga menyebabkan

ketidakseimbangan antara pemanfaatan

dan ketersediaan sumber daya dalam

kuantitas dan kualitas yang memadahi.

Hal ini merupakan ciri bahwa daya dukung

Daerah Aliran Sungai (DAS) menurun,

yang dapat mengakibatkan terganggunya

perekonomian dan tata kehidupan

masyarakat. Oleh karena itu, daya dukung

DAS harus ditingkatkan dengan

pengelolaan yang melibatkan masyarakat

dan berbagai institusi yang punya tugas

pokok fungsi terkait pengelolaan DAS.

Pengelolaan DAS merupakan upaya

manusia dalam mengatur hubungan

timbal balik antara sumber daya alam dan

manusia di dalam DAS serta segala

aktivitasnya agar terwujud kelestarian dan

keserasian ekosistem serta meningkatnya

kemanfaatan sumber daya alam bagi

manusia secara berkelanjutan.

Kebijakan dalam pengelolaan

lingkungan hidup telah diatur, namun

permasalahan lingkungan masih terus

terjadi. Kebijakan yang mengatur tidak

cukup untuk mengendalikan dan

menyelesaikan permasalahan lingkungan,

jika pelaksanaan dan pengawasannya

cenderung normatif, sementara

eksploitasi sumber daya terus dilakukan,

maka terjadi degradasi lingkungan. Tanah

dan air merupakan sumber daya vital

sebagai penyangga kehidupan manusia

dan makhluk hidup lainnya. Solusi

permasalahan degradasi lingkungan

khususnya tanah dan air adalah peraturan

perundang-undangan terhadap

perlindungan konservasi lingkungan, dan

kebijakan publik lembaga pengelola KTA

yang berkualitas, responsif dan aplikatif.

(Samedi, 2015) menyebutkan faktor sosial

dan ekonomi merupakan faktor dominan

yang menjadi tantangan besar dalam

upaya konservasi. Efektivitas pelaksanaan

konservasi dapat dicapai dengan

kelengkapan hukum yang memadai untuk

©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 3

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No. 1, April 2020 : 1-16

E-ISSN:2579-5511/P-ISSN:2579-6097

membuat sumber daya alam bermanfaat

secara berkelanjutan.

Menurut Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup,

pembayaran jasa lingkungan merupakan

salah satu instrumen ekonomi sebagai

bagian dari instrumen pengelolaan

lingkungan hidup. Lingkungan beserta

segenap komponen didalamnya memiliki

peran dalam mendukung kehidupan,

tetapi belum dipertimbangkan dalam

sistem ekonomi. Hal ini menjadi dasar

bagi konsep pembayaran jasa lingkungan.

Perwujudan pembayaran jasa lingkungan

berupa penghargaan atau reward yang

diberikan oleh para pemanfaat air karena

keberadaan air di dataran rendah dalam

hal ini hilir sangat bergantung pada

ketersediaan air yang ada di kawasan hulu

(Sutopo, Sanim, Saukat, & Mawardi,

2011). Selama ini masyarakat daerah hulu

diminta untuk melakukan KTA, sedangkan

masyarakat bagian hilir ikut merasakan

manfaatnya. Masyarakat hilir sebagai

penerima manfaat perlu membayar dana

kompensasi sebagai imbal jasa kepada

masyarakat hulu sebagai pengasil jasa

lingkungan.

Pembayaran jasa lingkungan atau

Payment for Environment Service (PES)

merupakan pemberian penghargaan

kepada pengelola atau penghasil jasa

lingkungan dari suatu lahan atau

ekosistem berupa pembayaran dana

kompensasi/insentif atau dana konservasi

untuk kepentingan pengelolaan. Salah

satu program PES yang sudah

dilaksanakan di Indonesia adalah Program

Pengembangan Kebijakan dan

Percontohan PES atau IJL di DAS Krueng

Montala, Jantho, Kabupaten Aceh Besar

oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) Komisi Ekonomi dan Sosial untuk

Asia dan Pasifik (UN-ESCAP) bersama

World Wide Fund for Nature (WWF)

Indonesia Kantor Program Aceh dan

Badan Pengelola Dampak Lingkungan

Daerah (Bapedalda) Aceh sejak Desember

2011 (Wardah & Farsia, 2013). Menurut

Wardah dan Farsia (2013), pelaksanaan

Program PES di Krueng Montala ini,

terdapat beberapa hal yang perlu

dievaluasi antara lain, pertama perangkat

hukum di tingkat nasional dan lokal belum

mendukung pelaksanaan program PES

khususnya untuk jasa lingkungan air,

karena belum adanya mekanisme standar

yang disepakati untuk pelaksanaan PES.

Kedua, mekanisme dan standar

pembayaran PES di Krueng Montala masih

pada tahap awal, sehingga masyarakat

belum mendapatkan manfaat ekonomi

secara langsung.

Program IJL saat ini telah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014

Tentang Konservasi Tanah dan Air dan

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun

2017 Tentang Instrumen Ekonomi

Lingkungan Hidup. Dalam pengelolaan

DAS selama ini masyarakat daerah hulu

melakukan KTA dan masyarakat bagian

hilir ikut merasakan manfaatnya.

Masyarakat hilir sebagai penerima

manfaat perlu membayar dana

kompensasi sebagai imbal jasa kepada

masyarakat hulu, maka perlu dipikirkan

mekanisme pemberian kompensasinya.

Sampai saat ini, pengaturan mengenai

mekanisme pemberian dan penghitungan

IJL KTA dari masyarakat dan pemerintah di

Implikasi Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017...................................................( AL. Sentot Sudarwanto)

4 ©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

wilayah hilir kepada pemerintah dan

masyarakat di wilayah hulu belum ada.

Berdasarkan masalah tersebut di atas,

tujuan dari penelitian ini adalah

menganalisis konsekuensi logis

pengaturan tentang instrumen ekonomi

lingkungan hidup terhadap KTA khususnya

terkait dengan IJL.

II. BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan

pendekatan yuridis normatif yaitu dengan

mencermati pijakan yuridis yang

mengatur tentang topik persoalan

penelitian.

Jenis data dalam penelitian ini adalah

data sekunder yaitu data yang diperoleh

dari kajian literatur, sedangkan sumber

data terdiri dari bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder. Bahan hukum

primer terdiri dari Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014

tentang Konservasi Tanah dan Air, serta

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun

2017 Tentang Instrumen Ekonomi

Lingkungan Hidup. Bahan hukum

sekunder terdiri dari literatur dan jurnal

nasional maupun internasional yang

mengkaji tentang IJL.

Setelah data sekunder yang

diperlukan di dalam penelitian ini

terkumpul, maka selanjutnya dilakukan

analisis data menggunakan analisis

kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konservasi Tanah dan Air

Tanah dan air merupakan sumberdaya

alam utama sebagai penyokong

kehidupan makhluk hidup di bumi. Kedua

sumber daya tersebut mudah mengalami

kerusakan dan terdegradasi terutama

karena berbagai aktivitas pembangunan

seperti kegiatan pertanian, industri,

infrastuktur, serta perumahan. Degradasi

lahan juga dapat disebabkan oleh

pembukaan atau pemanfaatan hutan yang

hanya berorientasi ekonomi tanpa

memperhatikan kaidah lingkungan baik

melalui kegiatan pengusahaan hutan,

konversi kawasan hutan menjadi areal

pertambangan, perkebunan, dan

pemukiman yang kurang terencana

dengan baik. Kerusakan tanah bisa terjadi

karena hilangnya unsur hara, erosi tanah,

serta pencemaran tanah. Adapun

kerusakan air dapat berupa mengeringnya

mata air atau berkurangnya debit air,

penurunan kualitas air akibat sedimentasi,

dan pencemaran air. Jika tanah dan air

mengalami kerusakan maka fungsi utama

tanah sebagai penopang kehidupan akan

terganggu. Oleh karena itu, diperlukan

upaya KTA untuk menjaga kualitasnya

agar dapat dimanfaatkan secara

berkelanjutan. Hal ini merupakan

tanggung jawab dan kewajiban

pemerintah bersama masyarakat.

Konservasi sumber air penting untuk

dilakukan salah satunya dengan cara

vegetatif melalui penanaman lahan kritis

©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 5

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No. 1, April 2020 : 1-16

E-ISSN:2579-5511/P-ISSN:2579-6097

di daerah tangkapan air. Salah satu contoh

upaya konservasi air yang berpotensi

untuk pengembangan IJL (payment for

enviromental services) sekaligus upaya

dalam menekan deforestasi adalah

kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan air

di Kawasan Suaka Alam Marapi Provinsi

Sumatera Barat (Riska, Bambang, &

Budiyono, 2013). Penerapan pembayaran

jasa lingkungan untuk kegiatan rehabilitasi

hutan dan lahan merupakan salah satu

solusi untuk mengatasi kerusakan fungsi

hidrologi Sub DAS Way Betung Kabupaten

Pesawaran Provinsi Lampung dengan

bentuk pembayaran berupa uang tunai,

pembangunan pedesaan, bantuan bibit

dan pupuk dan hewan ternak (Arafat,

Wulandari, & Qurniati, 2015).

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014

Tentang Konservasi Tanah dan Air,

menyebutkan bahwa KTA merupakan

upaya pelindungan, pemulihan,

peningkatan, dan pemeliharaan fungsi

tanah pada lahan sesuai dengan

kemampuan dan peruntukan lahan untuk

mendukung pembangunan yang

berkelanjutan dan kehidupan yang lestari.

Berbagai tindakan konservasi tanah juga

merupakan tindakan konservasi air

dimana setiap perlakuan yang diberikan

pada suatu wilayah DAS, akan

mempengaruhi tata air pada wilayah

tersebut dan tempat-tempat di hilirnya.

Kegiatan KTA antara lain meliputi

pengendalian erosi dan banjir, pengaturan

pemanfaatan air, peningkatan daya guna

lahan, peningkatan produksi dan

pendapatan petani termasuk peningkatan

peran serta masyarakat (Wahyudi, 2014).

Salah satu upaya untuk meningkatkan

produksi pangan, meningkatkan

produktivitas lahan secara berkelanjutan

dan menjaga kelestarian lingkungan dapat

dilakukan dengan pemanfaatan lahan

kering berlereng dengan menerapkan

teknologi KTA yang tepat (Heryani &

Sutrisno, 2013). Penelitian yang dilakukan

Katharina (2007) pada usaha tani kentang

menunjukkan bahwa usaha pertanian

yang menerapkan teknik konservasi

memperoleh pendapatan yang lebih

rendah daripada yang tidak menerapkan

teknik konservasi. Namun demikian

analisis jangka panjang (20 tahun ke

depan), usaha tani yang menerapkan

teknik konservasi memberikan

keuntungan yang lebih tinggi daripada

tidak mengadopsi teknik konservasi. Hal

ini menunjukkan bahwa konservasi yang

dilakukan petani sekarang atau saat ini

merupakan investasi jangka panjang dan

berkelanjutan. Oleh karena itu, petani

yang menerapkan teknik konservasi

terhadap lahan usahataninya harus

diberikan insentif dan kepada masyarakat

yang melakukan kegiatan konservasi

diberikan imbal jasa terhadap konservasi

yang dilakukannya.

Koordinasi di antara para stakeholder,

instansi terkait dan peningkatan peran

serta masyarakat dalam penerapan KTA

diperlukan untuk pengembangan

teknologi KTA dalam sistem usaha tani

yang berkelanjutan. Peran serta

masyarakat di dalam KTA melalui berbagai

upaya pemberdayaan yang diarahkan dan

digerakkan oleh pemerintah melalui

penyuluhan dan pelatihan. Untuk

mengikutsertakan masyarakat dalam

penyelenggaraan KTA maka dilaksanakan

Implikasi Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017...................................................( AL. Sentot Sudarwanto)

6 ©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

pendekatan pengelolaan DAS terpadu

berbasis masyarakat.

Pengelolaaan DAS berbasis masyarakat

dilaksanakan secara terencana dan

terpadu bersifat parsitipatif dengan

melibatkan peran serta berbagai unsur

masyarakat bersama–sama pemerintah

baik provinsi maupun kabupaten/kota

serta unsur swasta yang berpengaruh

terhadap keberhasilan pengelolaan DAS.

Para pihak terkait pengelolaan DAS yaitu

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota,

LSM Pemerhati Lingkungan Hidup, sektor

swasta/pelaku usaha, Kelompok tani dan

masyarakat, akademisi, Lembaga

Masyarakat Desa dan Hutan (LMDH) dan

Forum Koordinasi pengelolaan DAS. Hal

tersebut dimaksudkan agar semua

institusi yang berkepentingan bersama-

sama dengan masyarakat untuk

melakukan pengelolaan DAS secara

terintegerasi. Oleh karena sistem

pemerintahan di Indonesia berbasis

administrasi maka perlu pijakan yuridis

berupa Peraturan Daerah (Perda) tentang

pengelolaan DAS, dimana salah satu

klausul pasalnya menyebutkan kerjasama

lintas daerah dalam pengelolaan DAS

antar wilayah. Oleh karena itu, kegiatan

KTA melalui pengelolaan DAS berbasis

masyarakat yang dilaksanakan secara

terencana dan terpadu perlu dilakukan

dengan sistem partisipatif agar

masyarakat sadar terhadap pentingnya

lingkungan, terutama tanah dan air,

sehingga masyarakat tergerak untuk

melaksanakan konservasi di lingkungan

sekitarnya melalui kerjasama antar

pemilik kepentingan, yakni masyarakat,

swasta dan pemerintah.

B. Imbal Jasa Lingkungan Sebagai

Kewajiban Kompensasi Pemerima

Kemanfaatan Hasil Konservasi Tanah

Dan Air

1. Pijakan yuridis pengaturan imbal jasa

lingkungan

a) Undang-undang Nomor 37 Tahun

2014 Tentang Konservasi Tanah dan

Air

Penyelenggaraan KTA diatur dalam

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014

Tentang Konservasi Tanah dan Air

(UUKTA). Konservasi tanah dan air

dilaksanakan berdasarkan asas:

partisipatif, keterpaduan, keseimbangan,

keadilan, kemanfaatan, kearifan lokal,,

dan kelestarian.

Pasal 3 UUKTA, disebutkan bahwa

tujuan penyelenggaraan konservasi tanah

dan air adalah melindungi permukaan

tanah dari pukulan air hujan yang jatuh,

meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah,

dan mencegah terjadinya konsentrasi

aliran permukaan; menjamin dan

mengoptimalkan fungsi tanah pada lahan

agar mendukung kehidupan masyarakat

untuk mewujudkan manfaat ekonomi,

sosial, dan lingkungan hidup secara

seimbang dan lestari; meningkatkan daya

dukung DAS; meningkatkan kemampuan

untuk mengembangkan kapasitas dan

memberdayakan keikutsertaan masya-

rakat secara partisipatif; dan menjamin

kemanfaatan KTA secara adil dan merata

untuk kepentingan masyarakat.

Pasal 5 dan 6 UUKTA memberi

kewenangan kepada Pemerintah untuk

mengatur dan menyelenggarakan KTA

atau dapat melimpahkan sebagian

kewenangannya kepada perangkat

©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 7

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No. 1, April 2020 : 1-16

E-ISSN:2579-5511/P-ISSN:2579-6097

Pemerintah atau wakil Pemerintah di

daerah atau dapat menugaskannya

kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-

undangan. Selanjutnya di dalam Pasal 7,

disebutkan bahwa yang bertanggung-

jawab terhadap penyelenggaraan KTA

adalah Pemerintah, Pemerintah Daerah,

pemegang hak atas tanah, pemegang

kuasa atas tanah, pemegang izin,

dan/atau pengguna lahan yang wajib

mengikuti prinsip konservasi dan

menghormati hak yang dimiliki setiap

orang. Pelaksanaan penyelenggaraan KTA

dilaksanakan berdasarkan unit DAS,

ekosistem, dan satuan lahan yang

dilakukan dengan menggunakan

pendekatan pengelolaan DAS secara

terpadu dan berbasis masyarakat.

Dalam hal pendanaan sebagaimana

diatur pada Pasal 31 UUKTA, Pendanaan

penyelenggaraan KTA menjadi tanggung

jawab Pemerintah dan/atau Pemerintah

Daerah, pemegang hak atas tanah,

pemegang kuasa atas tanah, pemegang

izin, dan/atau pengguna lahan, baik

sendiri-sendiri maupun bekerja sama.

Sumber pendanaan dapat berasal dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN), badan hukum, badan usaha,

perseorangan, dan/atau sumber lain yang

sah dan tidak mengikat berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Sumber

lain yang sah dan tidak mengikat,

termasuk yang berasal dari pembayaran

IJL terhadap penyelenggaraan konservasi

tanah dan Air. Pengelolaan sumber

pendanaan, harus dilakukan secara

transparan dan akuntabel.

Pembayaran IJL dalam penyeleng-

garaan KTA dikenakan kepada Pemerintah

dan/atau Pemerintah Daerah dan

penerima manfaat atas sumber daya

Tanah dan Air sebagaimana diatur dalam

Pasal 32 UUKTA. Selanjutnya dalam Pasal

33 UUKTA, kewajiban/tanggung jawab

membayar pemanfaat jasa lingkungan

yaitu Pemerintah dan/atau Pemerintah

Daerah untuk penyelenggaraan KTA

terkait kewajiban pelayanan publik yang

menyangkut hajat hidup orang banyak

dan penerima manfaat atas sumber daya

tanah dan air bertanggung jawab

membayar untuk kepentingan penyeleng-

garaan KTA.

Berdasarkan hal tersebut penyeleng-

garaan KTA dalam pengelolaan DAS

menjadi tanggungjawab semua pihak yang

berkepentingan dan yang mendapat

manfaat dari kelestarian lingkungan DAS,

maka pemerintah kabupaten/kota dan

masyarakat yang mendapat manfaat atau

memanfaatkan tanah dan air

berkewajiban untuk turut serta dalam

upaya KTA melalui pembayaran IJL kepada

pemerintah atau masyarakat penghasil

jasa lingkungan. Peran aktif masyarakat

dalam pengelolaan DAS dapat berupa

pengelolaan jasa lingkungan dan

partisipasi aktif masyarakat dalam

penyelenggaraan KTA.

b) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun

2017 Tentang Instrumen Ekonomi

Lingkungan Hidup

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun

2017 Tentang Instrumen Ekonomi

Lingkungan Hidup di dalam Pasal 4,

menyebutkan bahwa IJL merupakan salah

satu instrumen perencanaan

Implikasi Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017...................................................( AL. Sentot Sudarwanto)

8 ©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

pembangunan dan kegiatan ekonomi

yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat

dan daerah. Perencanaan dan

penyelenggaraan pembangunan dan

kegiatan ekonomi antara lain pengelolaan

Sumber Daya Alam (SDA), penataan

ruang, konservasi SDA dan pelestarian

fungsi lingkungan hidup.

Pasal 10, kompensasi/IJL antar daerah

diberikan oleh Pemanfaat Jasa Lingkungan

Hidup atas manfaat dan/atau akses

terhadap Jasa Lingkungan Hidup yang

dikelola dan/atau dipulihkan oleh

Penyedia Jasa Lingkungan Hidup. Salah

satu jasa lingkungan hidup yang diberikan

imbal jasa adalah perlindungan tata air.

Selanjutnya di Pasal 11, bentuk

kompensasi/IJL antar daerah meliputi

uang; atau sesuatu lainnya yang dapat

dinilai dengan uang yang nilainya

ditentukan dengan mempertimbangkan

biaya ekonomi upaya pelestarian fungsi

lingkungan hidup; biaya pemberdayaan

masyarakat; dan biaya pelaksanaan

kerjasama.

Pasal 14, kompensasi/IJL antar daerah

antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintah Daerah serta antar

Pemerintah Daerah dilaksanakan melalui

mekanisme: hibah daerah dari Pemerintah

Pusat selaku Pemanfaat Jasa Lingkungan

Hidup kepada Pemerintah Daerah selaku

Penyedia Jasa Lingkungan Hidup atau

sebaliknya; atau hibah daerah atau

belanja bantuan keuangan urusan

lingkungan hidup dari Pemerintah Daerah

selaku Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup

kepada Pemerintah Daerah selaku

Penyedia Jasa Lingkungan Hidup

dituangkan dalam perjanjian kerjasama.

Perjanjian kerjasama paling sedikit

memuat: para pihak; tujuan; jumlah;

sumber pendanaan; persyaratan; tata cara

penyaluran; tata cara pelaporan dan

pemantauan; dan hak dan kewajiban

pemberi dan penerima sebagaimana

diatur dalam Pasal 15. Selanjutnya pada

Pasal 16, disebutkan bahwa dalam

melaksanakan kerjasama kompensasi/ IJL

antar daerah antara Penyedia Jasa

Lingkungan Hidup dan Pemanfaat Jasa

Lingkungan Hidup dapat membentuk

wadah atau forum kerjasama

Kompensasi/lmbal Jasa Lingkungan Hidup

Antar Daerah; dan/atau meminta

bantuan fasilitator. Sebagai fasilitator

yaitu Pemerintah Pusat atau Pemerintah

Daerah Provinsi sesuai kewenangannya;

dan/atau fasilitator yang berasal dari

orang perseorangan, organisasi

lingkungan hidup, perguruan tinggi, atau

organisasi lain yang disepakati.

Pasal 47, diatur mengenai pembayaran

jasa lingkungan hidup yaitu berupa

fasilitasi mekanisme pengalihan sejumlah

uang dari Pemanfaat Jasa Lingkungan

Hidup kepada Penyedia Jasa Lingkungan

Hidup dalam perjanjian terikat berbasis

kinerja guna mendorong masyarakat

untuk melaksanakan upaya Konservasi

Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi

Lingkungan Hidup dan mendukung kinerja

pelaksanaan Kompensasi/lmbal Jasa

Lingkungan Hidup Antar Daerah.

2. Pelaksanaan Imbal Jasa Lingkungan di

beberapa daerah

Pemanfaatan sumber daya alam yang

melampaui batas akan mempengaruhi

ketersediaan jasa lingkungan di masa yang

akan datang. Pemanfaatan kawasan

©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 9

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No. 1, April 2020 : 1-16

E-ISSN:2579-5511/P-ISSN:2579-6097

hutan, sumber daya air dan sumber daya

alami lainnya memungkinkan adanya IJL

untuk diterapkan sehingga berkelanjutan.

IJL diartikan sebagai sistem pemberian

imbalan kepada penghasil jasa lingkungan

untuk meningkatkan kualitas dan

kuantitas jasa lingkungan. Instrumen IJL

sebagai instrumen pengelolaan

lingkungan yang strategis dalam

perlindungan sumberdaya alam dan

lingkungan yang sekaligus akan

memberdayakan dan memperbaiki

kehidupan sosial ekonomi masyarakat

sekitarnya (Sudarma, 2014). Dalam

pelaksanaan sistem pembayaran jasa

lingkungan perlu diidentifikasi agen

ekonomi yang bertanggungjawab sebagai

penyedia jasa dan agen lain sebagai

penerima manfaat dengan membangun

hubungan sebab-akibat yang diperlukan

yaitu hubungan antara wilayah hulu

(upstream) kepada keadaan sumberdaya

air di wilayah hilir (down-stream) dalam

DAS yang bersangkutan (Dasrizal,

Ansofino, Juita, & Jolianis, 2012).

Pada dasarnya tujuan dari IJL adalah

untuk merestorasi dan melindungi

ketersediaan barang dan jasa lingkungan

yang berkelanjutan. Misalnya,

pembayaran jasa lingkungan di

Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera

Barat sebagai perlindungan ekosistem

mangrove yang memberikan manfaat

sebagai sumber air, tambak, wisata,

maupun sebagai perlindungan daerah

pesisir (Idrus, Ismail, & Ekayani, 2016).

Peraturan perundangan yang mengatur

mengenai IJL sudah ada yaitu Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang

Konservasi Tanah dan Air dan Peraturan

Pemerintah Nomor 47 Tahun 2017

Tentang Instrumen Ekonomi Ligkungan

Hidup. Konsep IJL sudah dilakukan di

beberapa wilayah di Indonesia. Namun,

dalam pelaksanaan IJL, masing-masing

daerah memiliki mekanismenya sendiri

didasarkan pada kebutuhan serta kearifan

lokalnya.

Di Kabupaten Lombok Barat sudah

membentuk suatu wadah organisasi

pengelolaan jasa lingkungan sumberdaya

air untuk melestarikan kawasan

konservasi melalui kesediaan untuk

membiayai kegiatan konservasi dan

perbaikan ekonomi bagi kelompok

masyarakat miskin di daerah hulu melalui

penarikan uang pembayaran jasa

lingkungan sebesar antara Rp 500,- - Rp

5.000,- bagi pelanggan Perusahaan

Daerah Air Minum (PDAM), dari dana

yang terkumpul sebesar 75% akan

digunakan untuk upaya konservasi dan

pengentasan kemiskinan, dan 25% akan

disetorkan ke Kas Pemerintah Daerah

(Sudiyono, 2012). Sebagai dasar

hukumnya adalah Peraturan Daerah

Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Jasa Lingkungan, Peraturan Bupati

Lombok Barat Nomer 7 Tahun 2009

tentang Susunan Organisasi, Tata Kerja,

Tugas dan Wewenang Institusi Multi Pihak

(IMP) sebagai petunjuk pelaksanaannya.

Serta Keputusan Bupati Lombok Barat

Nomer 1072/207/Dishut/2009 tentang Pembentukan Institusi Multi Pihak

Pengelolaan Jasa Lingkungan Kabupaten

Lombok Barat, serta Peraturan Bupati

Lombok Barat Nomer 42 tahun 2008

Tentang Obyek, Tarif, Tata Cara

Pembayaran dan Sanksi Administratif.

Program IJL di Krueng Montala Aceh

dalam pelaksanaannya terdapat beberapa

Implikasi Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017...................................................( AL. Sentot Sudarwanto)

10 ©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

hal yang perlu dievaluasi, pertama

perangkat hukum di tingkat nasional dan

lokal karena belum adanya mekanisme

standar yang disepakati. Kedua,

mekanisme dan standar pembayaran PES

di Krueng Montala masih pada tahap

awal, sehingga masyarakat belum

mendapatkan manfaat ekonomi secara

langsung (Wardah & Farsia, 2013). Contoh

lain adalah kesepakatan program IJL di

Sub-DAS Cikapundung, Jawa Barat antara

Kelompok Tani Giri Putri Desa Cikole

dengan Pustanling, serta Kelompok Tani

Syurga Air Desa Suntenjaya sebagai

penyedia jasa dengan PT. Aetra Air Jakarta

sebagai pemanfaat jasa dan Badan

Pengelola Lingkungan Hidup Daerah

(BPLHD) Kabupaten Bandung berperan

sebagai mediator dalam kesepakatan ini.

Pada pelaksanaannya, mekanisme IJL di

Sub-DAS Cikapundung dikategorikan

sebagai mekanisme IJL yang belum

sepenuhnya mencerminkan mekanisme

IJL yang berkelanjutan, karena masalah

kelembagaan dalam pengelolaan dan

monitoring perkembangannya di

lapangan. Selain itu dana yang diberikan

kepada kelompok tani juga masih

tergolong belum mencukupi untuk

aktivitas konservasi lahan (Napitupulu,

Asdak, & Budiono, 2013). Penerapan

pembayaran jasa lingkungan juga

dilakukan di Kecamatan Jailolo Kabupaten

Halmahera Barat. Pembayaran jasa

dilakukan terhadap dua jenis jasa yang

menjadi potensi untuk diinisiasi

pembayaran jasa lingkungan yaitu jasa

pengatur dari intrusi air laut dan jasa

budaya dari wisata mangrove. Penerapan

pembayaran jasa sangat ditentukan dari

bagaimana mengidentifikasi jasa

potensial, yaitu dengan menentukan nilai

ekonomi, pemanfaat, dan penyedia jasa

lingkungan mangrove serta mekanisme

pembayaran (Idrus et al., 2016).

Berdasarkan beberapa permasalahan

yang terjadi dalam implementasi IJL, maka

partisipasi berbagai pihak perlu dilakukan

secara terpadu dan terintegerasi,

diperlukan peningkatan kapasitas

kelembagaan, dan yang paling penting

adalah pemerintah harus memberikan

payung hukum baik ditingkat nasional

maupun daerah sebagai dasar pijakan bagi

pelaksanaan IJL agar berkelanjutan.

C. Norma Hukum/ Peraturan

Pelaksanaan yang Diharapkan.

Pasal 34 Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2014 Tentang Konservasi Tanah

dan Air mengamanatkan pengaturan lebih

lanjut mengenai IJL dan pendanaan

penyelenggaraan KTA dalam bentuk

Peraturan Pemerintah dan perlu diatur

lebih lanjut secara teknis dalam bentuk

peraturan menteri. Sampai saat ini

Peraturan Pemerintah yang dimaksud

belum terwujud sebagaimana amanat

UUKTA

Pengaturan mengenai imbal jasa

lingkungan telah diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017

Tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan

Hidup sebagai pelaksanaan ketentuan

Pasal 43 Ayat (4) dan Pasal 55 Ayat (4)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Sebagaimana

disebutkan pada Pasal 47, bahwa IJL hidup

merupakan salah satu instrumen ekonomi

lingkungan hidup sebagai insentif dengan

pengembangan sistem pembayaran jasa

©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 11

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No. 1, April 2020 : 1-16

E-ISSN:2579-5511/P-ISSN:2579-6097

lingkungan hidup. Selanjutnya pada Pasal

48 Peraturan Pemerintah Nomor 46

Tahun 2017 mengamanatkan pengaturan

lebih lanjut mengenai pengembangan

sistem Pembayaran Jasa Lingkungan

Hidup dalam bentuk Peraturan Menteri

dalam hal ini Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan berkewajiban untuk

menterjemahkan amanat Peraturan

Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017

tersebut untuk dibuat sebuah petunjuk

pelaksanaan tentang pengaturan

mekanisme atau penghitungan IJL yang

sampai saat ini belum ada. Hal tersebut

karena Kementerian Lingkungan Hidup

sedang disibukkan dengan pembuatan

berbagai peraturan teknis sebagai amanat

dari peraturan pemerintah tentang

Perizinan Berusaha Terintegerasi Secara

Elektronik atau Online Single Submission

(OSS). Akibatnya persoalan pemberian IJL

ini belum bisa dilaksanakan dengan baik

dan benar oleh masyarakat dan

pemerintah wilayah hilir.

Peraturan Menteri lingkungan hidup

dan kehutanan mengenai pengembangan

sistem Pembayaran Jasa Lingkungan

Hidup, sebagai pelaksanaan dari amanat

yang ada pada Peraturan Pemerintah

Nomor 46 Tahun 2017 Tentang Instrumen

Ekonomi Lingkungan Hidup, belum ada.

Apabila kepentingan daerah mendesak

terkait dengan pembayaran IJL hidup,

maka daerah bisa membuat peraturan

daerah yang mengatur mengenai para

pihak, tujuan, jumlah, sumber pendanaan,

persyaratan, tata cara penyaluran, tata

cara pelaporan dan pemantauan, serta

hak dan kewajiban pemberi dan penerima

IJL. Peraturan Daerah tersebut dibuat

sesuai dengan kebutuhan pengaturan IJL

yang spesifik untuk masing-masing

daerah.

D. Model Mekanisme Pembayaran Imbal

Jasa Lingkungan Konservasi Tanah Dan

Air

Kerjasama antara hulu dan hilir juga

menjadi salah satu indikator keterpaduan

dalam pengorganisasian pengelolaan DAS.

Selama ini kerjasama pembayaran jasa

lingkungan belum dapat berjalan karena

partisipasi para pihak masih rendah dan

belum berjalan secara kontinyu dan

terkoordinasi. Skema kerjasama melalui

pembayaran jasa lingkungan adalah

dengan membangun kerjasama para pihak

yang mendapatkan manfaat yaitu

masyarakat bagian tengah dan hilir

berkontribusi dalam perbaikan kerusakan

DAS bagian hulu sehingga ketersediaan air

dapat terjaga (Fatahilah, 2013). Untuk

menginisiasi dan menjembatani

kerjasama antara pihak yang

membutuhkan jasa lingkungan yang

berada di hilir DAS dengan pengelola

lingkungan yang berada di ekosistem DAS

hulu dan tengah, diperlukan pihak ketiga

baik dari pihak pemerintah maupun pihak

lain, sehingga kerjasama yang disepakati

dapat saling menguntungkan kedua belah

pihak, mampu beroperasi dan berjalan

berkelanjutan (Komarawidjaja, 2017).

Pengelolaaan DAS berbasis masyarakat

dilaksanakan secara terencana dan

terpadu dengan melibatkan peran serta

berbagai unsur masyarakat bersama–

sama Pemerintah Kabupaten/Kota serta

unsur swasta yang didukung oleh Forum

Implikasi Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017...................................................( AL. Sentot Sudarwanto)

12 ©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Koordinasi Pengelolaan DAS

Kabupaten/Kota melalui kerjasama lintas

daerah dengan mengembangkan sistem

kompensasi/IJL (Sudarwanto, 2018).

Wadah kerjasama kompensasi/IJL

dalam kegiatan KTA melalui pengelolaan

DAS dikoordinasi oleh Forum Koordinasi

Pengelolaan DAS. Forum ini memiliki

tujuan untuk memberikan arahan yang

efektif sebagai bagian dari pengembangan

kelembagaan dalam pengelolaan DAS dari

hulu ke hilir secara utuh sebagaimana

diatur dalam Peraturan Menteri

Kehutanan Republik Indonesia Nomor

P.61/Menhut-II/2013 Tentang Forum

Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai. Pasal 10 Peraturan Menteri

Kehutanan Republik Indonesia Nomor

P.61/Menhut-II/2013 menyebutkan

bahwa salah satu fungsi Forum Koordinasi

Pengelolaan DAS adalah melaksanakan

koordinasi dan konsultasi untuk

menyelaraskan kepentingan antar sektor,

antar wilayah dan antar pemangku

kepentingan dalam Pengelolaan DAS

Terpadu baik Tingkat Provinsi maupun

Tingkat Kabupaten/Kota. Selain diatur

dalam Peraturan Menteri Kehutanan

Republik Indonesia Nomor P.61/Menhut-

II/2013 Tentang Forum Koordinasi

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, fungsi

forum sebagai koordinator ditegaskan

pula dalam Surat Edaran Kementerian

Dalam Negeri tentang Pedoman Umum

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis

Masyarakat Nomor 413.2/8162/PMD.

IJL kegiatan KTA dari masyarakat hilir

sebagai penerima manfaat kepada

masyarakat hulu sebagai penyedia jasa

dilakukan melalui pengelolaan DAS

Terpadu berbasis masyarakat dan

berkelanjutan, sebagai koordinator yaitu

Forum Koordinasi Pengelolaan DAS.

Bersama pemerintah provinsi dan/atau

pemerintah kabupaten/kota, Forum

Koordinasi Pengelolaan DAS membentuk

tim Ad Hoc yang memiliki tugas mengelola

dana Jasa Lingkungan. Mekanisme sistem

pembayaran jasa lingkungan dapat dilihat

dalam skema berikut ini:

©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 13

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No. 1, April 2020 : 1-16

E-ISSN:2579-5511/P-ISSN:2579-6097

Gambar (Figure) 1. Mekanisme tarif jasa konservasi air dan lingkungan (Mechanism of the service fee

of water and environment conservation)

Sumber (Source) : Analisis data (Data analysis), 2019

Konsep pembayaran dana IJL dilakukan

oleh masyarakat hilir sebagai penerima

manfaat kepada masyarakat hulu sebagai

penyedia jasa. Sistem pembayaran jasa

lingkungan dilakukan melalui lembaga

pengelola jasa lingkungan (Tim Ad Hoc)

yang dikoordinasikan oleh Forum

koordinasi Pengelolaan DAS, kemudian

diberikan kepada masyarakat hulu

(penyedia jasa) untuk dimanfaatkan dalam

kegiatan konservasi di wilayah hulu.

Adapun realisasi pembayaran jasa

lingkungan didasarkan pada peraturan

perundang-undangan, dalam bentuk

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan tentang pengembangan sistem

Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup

sebagai amanat Peraturan Pemerintah

Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen

Ekonomi Lingkungan Hidup.

IV. KESIMPULAN

Pijakan yuridis mengenai IJL kegiatan

KTA sudah diatur dalam Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi

Tanah dan Air serta Peraturan Pemerintah

Nomor 46 Tahun 2017 Tentang Instrumen

Ekonomi Lingkungan Hidup, namun belum

ada pengaturan mekanisme

standar/teknis dalam pelaksanaan

penghitungan dan pembayaran IJL. Oleh

karena itu pembayaran jasa lingkungan

dilakukan melalui lembaga pengelola jasa

lingkungan (Tim Ad Hoc) yang

dikoordinasikan oleh Forum Koordinasi

Pengelolaan DAS bersama pemerintah

provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/

Implikasi Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017...................................................( AL. Sentot Sudarwanto)

14 ©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

kota. Pembayaran IJL dari masyarakat hilir

sebagai penerima manfaat kepada

masyarakat hulu sebagai penyedia jasa

perlu diatur dalam suatu Peraturan

Daerah (Perda) tentang pengelolaan DAS,

dimana salah satu klausul pasalnya

menyebutkan kerjasama lintas daerah

dalam pengelolaan DAS antar wilayah.

Sebagai saran, Pemerintah perlu segera

mewujudkan Peraturan Pemerintah

sebagai aturan pelaksanaan IJL dan

pendanaan penyelenggaraan KTA dan

perlu diatur lebih lanjut secara teknis

dalam bentuk peraturan menteri.

Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan perlu segera menindaklanjuti

amanat Peraturan Pemerintah Nomor 46

Tahun 2017 Tentang Instrumen Ekonomi

Lingkungan Hidup dengan Peraturan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

tentang Sistem Pembayaran Jasa

Lingkungan Hidup sebagai pengaturan

dalam pelaksanaan mekanisme IJL

kegiatan KTA, dari penerima manfaat KTA,

kepada masyarakat yang melakukan jasa

KTA. Selain itu, Forum Koordinasi

Pengelolaan DAS dengan tugas dan fungsi

memberikan masukan dalam pengelolaan

DAS bersama pemerintah perlu segera

mewujudkan tim Ad Hoc pengelola dana

jasa lingkungan dalam upaya pengelolaan

dan pemanfaatan DAS berkelanjutan.

UCAPAN TERIMAKASIH :

Penulis sampaikan ucapan terimakasih

kepada Pengurus Pusat Masyarakat

Konservasi Tanah dan Air Indonesia

(MKTI) serta Ketua Panitia Penyelenggara

Seminar Nasional ke IX dan Kongres

Nasional X MKTI 2019.

DAFTAR PUSTAKA

Arafat, F., Wulandari, C., & Qurniati, R. (2015). Kesediaan menerima pembayaran jasa lingkungan air sub das way betung hulu oleh masyarakat kawasan hutan register 19 (studi kasus di Desa Talang Mulya Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran). Jurnal Sylva Lestari, 3(1), 21-30.

Dasrizal, Ansofino, Juita, E., & Jolianis. (2012). Model Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan dalam Kaitannya dengan Konservasi Sumberdaya Air dan Lahan: Studi Kasus pada Batang Anai Sumatera Barat. Economica: Jurnal Program Studi Pendidikan Ekonomi STKIP PGRI Sumatera Barat, 1(1), 14-31.

Fatahilah, M. (2013). Kajian Keterpaduan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Geografi: Media Informasi Pengembangan dan Profesi Kegeografian, 10(2), 136-153.

Heryani, N., & Sutrisno, N. (2013). Teknologi Konservasi Tanah dan Air untuk Mencegah Degradasi Lahan Pertanian Berlereng. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 32(3), 122-130.

Idrus, S., Ismail, A., & Ekayani, M. (2016). Potensi Pembayaran Jasa Lingkungan Hutan Mangrove di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 21(3), 195-202.

©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 15

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No. 1, April 2020 : 1-16

E-ISSN:2579-5511/P-ISSN:2579-6097

Katharina, R. (2007). Adopsi Konservasi Sebagai Bentuk Investasi Usaha Jangka Panjang (Studi Kasus Usahatani Kentang Lahan Kering Dataran Tinggi Pangalengan). Jurnal Manajemen & Agribisnis, 4(1), 32-45.

Komarawidjaja, W. (2017). Prospek Pemanfaatan Penyaring Sampah Sungai dalam Implementasi Imbal Jasa Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Ciliwung Segmen 2 Kota Bogor. Jurnal Teknologi Lingkungan, 18(1), 37-44.

Napitupulu, D. F., Asdak, C., & Budiono, B. (2013). Mekanisme Imbal Jasa Lingkungan di Sub-DAS Cikapundung (Studi Kasus pada Desa Cikole dan Desa Suntenjaya Kabupaten Bandung Barat). Jurnal Ilmu Lingkungan, 11(2), 73-83.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.61 Tahun 2013. Forum Koordinasi Pengelolaan DAS. 1 November 2013. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1345. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017. Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. 10 November 2017. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 228. Jakarta.

Riska, Y., Bambang, A. N., & Budiyono. (2013). Identifikasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di KSA/KPA Merapi Propinsi Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Semarang.

Samedi, S. (2015). Konservasi Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Rekomendasi Perbaikan Undang-Undang Konservasi. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 2(2), 1-28.

Sudarma, I. M. (2014). Pembayaran Jasa Lingkungan Sebagai Instrumen Ekonomi Menuju Pembangunan Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Integrasi Keanekaragaman Hayati Dan Kebudayaan Dalam Pembangunan Berkelanjutan, Denpasar, Bali.

Sudarwanto, A. S. (2018). Pijakan Yuridis dan Rekonstruksi Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat. Prosiding Seminar Nasional “Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu Menuju Kelestarian Fungsi Lingkungan dan Kesejahteraan Masyarakat”, Surakarta.

Sudiyono, S. (2012). Pengelolaan Sumberdaya Air di Kabupaten Lombok Barat: Sebuah Potret Implementasi Kebijakan Ekonomi Hijau (Water Resources Management In West Lombok District: A Portrait Of Green Economy Policy Implementation). Jurnal Masyarakat dan Budaya, 14(3), 571-598.

Sutopo, M. F., Sanim, B., Saukat, Y., & Mawardi, M. I. (2011). Analisis kesediaan membayar jasa lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya air minum terpadu di indonesia (studi kasus DAS cisadane hulu). Jurnal Teknologi Lingkungan, 12(1), 17-23.

Implikasi Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017...................................................( AL. Sentot Sudarwanto)

16 ©2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3 Oktober 2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014. Konservasi Tanah dan Air. 17 Oktober 2014. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 299. Jakarta.

Wahyudi, W. (2014). Teknik Konservasi Tanah serta Implementasinya pada Lahan Terdegradasi dalam Kawasan Hutan. Jurnal Sains & Teknologi Lingkungan, 6(2), 71-85.

Wardah, W., & Farsia, L. (2013). Penerapan Imbal Jasa Lingkungan dalam Pelestarian Daerah Aliran Sungai di Aceh. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, 15(1), 115-129.

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097 doi https://doi.org/10.20886/jppdas.2020.4.1.17-36

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 17

MEMBANGUN PROSES PERENCANAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

MIKRO SECARA PARTISIPATIF: SEBUAH PEMBELAJARAN

(Developing a participatory planning process of micro-watershed management:

a lesson learned)

Agung Budi Supangat1, Dewi Retna Indrawati1, Nining Wahyuningrum1, Purwanto1, dan Syahrul Donie

1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Jl. A. Yani – Pabelan, PO BOX 295, Surakarta

Alamat email: [email protected]

Diterima: 08 Januari 2020; Direvisi: 04 Maret 2020; Disetujui: 23 Maret 2020

ABSTRACT

Planning is one of the very important stages in the micro watershed management. Difficulties and failures in the management of micro watershed are often caused by failures in the building of participatory planning processes with the community as well as a collaborative mechanism with relevant parties. This action research aims to find the applicable processes or stages of participatory planning based on the experience and evaluation of existing processes. The research was carried out in the Naruan micro watershed, Keduang sub-watershed, Bengawan Solo upper watershed. Some lessons learned that can be found from this research are as follows: 1) detailed baseline data related to the potential and vulnerability characteristics of micro watershed is very important to be understood before planning process; 2) micro watershed planning process cannot fully rely on community participation, but it should be a combination of top-down and participatory mechanism; 3) top-down planning is related to the provision of proper land management guidelines in the upstream area; 4) participatory planning is carried out when preparing of land use plans, determining the appropriate types of soil and water conservation activities, as well as identifying the resources contribution from the community as a form of participation; 5) collaborative action plans are needed to be built with relevant parties to support integrative and sustainable micro watershed management.

Keywords: Collaboration; micro watershed; participation; planning

ABSTRAK

Tahapan perencanaan merupakan bagian yang sangat penting dalam rangkaian kegiatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) skala operasional (DAS mikro). Kesulitan dan kegagalan pengelolaan DAS mikro seringkali bermula dari kegagalan dalam membangun proses perencanaan partisipatif bersama masyarakat dan kolaboratif dengan para pihak terkait. Kegiatan penelitian tindakan (action research) ini bertujuan untuk menemukan proses/tahapan perencanaan partisipatif yang lebih aplikatif berdasarkan pengalaman dan evaluasi proses yang sudah ada. Penelitian dilaksanakan di DAS Mikro Naruan, Sub DAS

Membangun Proses Perencanaan ............................(Agung B. S, Dewi R.I, Nining W, Purwanto, dan Syahrul Donie)

18 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Keduang, DAS Bengawan Solo Hulu. Pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan adalah sebagai berikut: 1) Basis data dasar (baseline data) detil terkait karakteristik potensi dan kerentanan wilayah DAS mikro sangat penting diketahui sebelum proses perencanaan; 2) Proses perencanaan pengelolaan DAS mikro tidak dapat sepenuhnya mengandalkan partisipasi masyarakat, tetapi perlu kombinasi antara sistem top down dan partisipatif; 3) Perencanaan yang sifatnya top down menyangkut pemberian rambu-rambu pengelolaan lahan yang benar di wilayah hulu DAS; 4) Perencanaan partisipatif dilakukan pada saat penyusunan rencana penggunaan/ pemanfaatan lahan, jenis kegiatan konservasi yang sesuai serta andil sumber daya dari masyarakat sebagai bentuk partisipasi; 5) Rencana kolaboratif perlu dibangun dengan para pihak terkait dalam rangka keterpaduan dan keberlanjutan kegiatan pengelolaan DAS mikro.

Kata kunci: Kolaborasi; DAS mikro; partisipasi; perencanaan

I. PENDAHULUAN

Masih maraknya berbagai bencana

alam khususnya bencana hidrometeo-

rologi, menjadi indikasi bahwa

pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) di

Indonesia masih perlu pembenahan.

Dalam infografis tren bencana di

Indonesia periode tahun 2003 sampai

2017, kecenderungan jumlah kejadian

bencana alam menunjukkan grafik yang

meningkat. Di antara bencana alam

tersebut, dominasi bencana

hidrometeorologi tetap yang terbesar,

seperti banjir, tanah longsor dan angin

puting beliung (Adi, 2013; Badan Nasional

Penanggulangan Bencana, 2017;

Jayawardena, 2015; Purwanto &

Supangat, 2017). Selain banjir dan tanah

longsor, bencana hidrometeorologi yang

lain terkait pengelolaan DAS adalah

kekeringan dan sedimentasi. Fenomena

sedimentasi, meskipun banyak yang

belum mengkategorikan sebagai sebuah

bencana alam, tetapi bahaya yang

ditimbulkan sangat signifikan, seperti

terganggunya pasokan listrik akibat

terganggunya turbin penggerak PLTA di

bendungan karena menumpuknya

sedimen. Permasalahan sedimentasi

sering menjadi isu utama pengelolaan DAS

(Alemu, 2016; Junaidi, 2013; Nourani &

Kalantari, 2010; Rodríguez-Blanco,

Taboada-Castro, & Taboada-Castro, 2013;

Shi et al., 2013; Vigiak et al., 2016),

terutama di kawasan hulu sebagai daerah

penyumbang/asal sedimen, yaitu dari

proses erosi tanah di lahan-lahan

budidaya dan pemukiman.

Dalam Peraturan Direktur Jenderal

Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial

(Perdirjen RLPS) No. P.15/V-SET/2009

dinyatakan bahwa DAS mikro merupakan

bagian wilayah dalam DAS yang berada di

hulu sungai, yang dalam klasifikasi

(Strahler, 1983) meliputi orde 1 sampai 3.

Dalam suatu DAS, wilayah hulu memiliki

fungsi strategis, yaitu sebagai daerah

resapan, area konservasi dan penyangga

bagi daerah di bawahnya (tengah dan

hilir) (Asdak, 2014), dan daerah yang

paling rentan mengalami degradasi

(Achouri, 2005). Lokasi DAS mikro yang

berada di hulu DAS sering menjadi ujung

tombak pengelolaan sumber daya alam

dalam DAS, dan sangat strategis menjadi

penentu penyelesaian masalah DAS

melalui kegiatan-kegiatan pengelolaan

yang menyasar pada sumber-sumber

masalah, seperti erosi dan kemiskinan.

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 17-36

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 19

Hasil dari pengelolaan DAS mikro dapat

menjadi bahan pengambilan kebijakan

sampai ke tingkat nasional (Anwar, 2005).

Kegagalan dalam mengidentifikasi akar

masalah di hulu DAS, serta lemahnya

proses perencanaan partisipatif dapat

berujung pada kegagalan penyelesaian

masalah (Dodds, 2019; Wolfgramm,

2015), seperti pengendalian erosi-

sedimentasi dan rendahnya produktivitas

lahan. Proses partisipatif menjadi elemen

yang sangat penting dalam pengelolaan

sumber daya air dan DAS (Stålnacke et al.,

2014; Warren, 1998).

Menurut Peraturan Pemerintah (PP)

No. 37 Tahun 2012, kegiatan pengelolaan

DAS meliputi unsur-unsur mulai dari

perencanaan, pelaksanaan, monitoring

dan evaluasi (monev) serta pembinaan

dan pengawasan. Perencanaan menjadi

salah satu kunci dari keberhasilan

kegiatan pengelolaan DAS. Dengan

perencanaan yang baik, maka kegiatan

implementasi akan mudah dilaksanakan.

Namun demikian, perencanaan sering

menjadi kelemahan utama dalam kegiatan

pengelolaan DAS karena kurangnya

inovasi (Mika, Dymond, Aguilar, & Hodges,

2019). Demikian juga, kondisi

perencanaan pengelolaan DAS di

Indonesia masih perlu dievaluasi. Prinsip

partisipatif masih lemah dan belum sesuai

dengan prinsip pemberdayaan secara

benar (Indrawati, Awang, Faida, &

Maryudi, 2016), sehingga berdampak

pada rencana yang kurang sesuai

kebutuhan sehingga tidak menyelesaikan

akar masalah pengelolaan DAS.

Dalam kegiatan pengembangan ini

dipelajari kelemahan proses perencanaan

pengelolaan DAS di tingkat operasional

yang ada, serta dilakukan evaluasi untuk

mencarikan solusi perbaikannnya. Tujuan

kegiatan adalah untuk menemukan

proses/tahapan perencanaan partisipatif

yang lebih aplikatif berdasarkan

pengalaman dan evaluasi proses yang

sudah ada. Diharapkan hasil kegiatan ini

dapat menjadi masukan kebijakan untuk

memperbaiki sistem perencaaan yang

ada.

II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi

Kegiatan dilaksanakan pada tahun

2015-2016. Lokasi penelitian berada di

DAS Mikro Naruan, yang merupakan

wilayah hulu Sub DAS Keduang, DAS Solo

bagian hulu. Secara geografis, lokasi

berada antara 7°74’30” – 7°70’40” LS dan

111°10’50 - 111°10’60” BT, sedangkan

secara administrasi, DAS Mikro Naruan

terletak pada Wilayah Kabupaten

Wonogiri (Desa Bubakan, Kecamatan

Girimarto, dan Kabupaten Karanganyar

(Desa Wonokeling dan Wonorejo,

Kecamatan Jatiyoso) (Gambar 1).

Membangun Proses Perencanaan ............................(Agung B. S, Dewi R.I, Nining W, Purwanto, dan Syahrul Donie)

20 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Gambar (Figure) 1. Lokasi kegiatan DAS Mikro Naruan (Research site in Naruan Micro Catchment)

Sumber (Source): Modifikasi dari (Modified from) Wahyuningrum & Supangat (2016a)

C. Metode Penelitian

Kegiatan perencanaan pengelolaan

DAS mikro secara umum dimulai dari

orientasi dan pemilihan lokasi DAS mikro

yang akan dikelola, kemudian dilanjutkan

pada kegiatan penyusunan rencana secara

partisipatif. Dalam tulisan ini, lokasi DAS

mikro sudah ditentukan dari hasil kajian

sebelumnya (Supangat et al., 2015), yaitu

DAS Mikro Naruan, yang diperoleh melalui

serangkaian analisis pemilihan lokasi

dengan kriteria didasarkan pada pedoman

pembangunan area DAS mikro sesuai

Perdirjen RLPS No. P.15/V-SET/2009.

Salah satu yang telah dihasilkan dalam

kajian Supangat et al. (2015) adalah

karakteristik DAS Mikro Naruan, yang

merupakan basis data dasar terpenting

sebelum dilakukan proses perencanaan

partisipatif. Karakterisasi DAS dilakukan

dengan menggunakan alat analisis “Sidik

Cepat Degradasi Sub DAS” (Paimin,

Purwanto, & Sukresno, 2010), untuk

kemudian dapat dirumuskan potensi dan

kerentanan masing-masing aspek dalam

pengelolaan DAS, yaitu lahan, tata air dan

sosek-kelembagaan.

Secara ringkas telah disimpulkan

berdasarkan Wahyuningrum & Supangat

(2016a) bahwa kondisi DAS Mikro Naruan

yang berada di hulu DAS memerlukan

pengelolaan secara tepat. Terdapat lebih

dari 50% lahan memerlukan perbaikan

tutupan lahan, yang terdiri dari 38% dan

23% (kebun campur). Sebesar 56,24% dari

penggunaan lahan yang tidak sesuai

dengan klas kemampuan lahannya, di

mana 33,14% di antaranya mengalami

erosi pada taraf sangat berat (>480

ton/ha). Sebagai akibat penggunaan lahan

yang tidak sesuai tersebut, di beberapa

area telah terjadi erosi tahap lanjut

berupa jurang, terutama di batas-batas

pemilikan lahan. Selanjutnya, Nining

Wahyuningrum & Supangat (2016b),

menambahkan meskipun wilayah DAS

Mikro Naruan tidak terlalu rentan longsor

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 17-36

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 21

(kategori agak rentan sebanyak 64,2% dan

sisanya 35,8% sedikit rentan), namun

terdapat titik-titik yang telah terjadi

longsoran baik di lahan sawah maupun

tegal yang perlu direkonstruksi.

Kondisi tata air permukaan (aliran

sungai) secara umum menunjukkan

kuantitas yang cukup berlimpah

sepanjang tahun untuk memenuhi air

baku pertanian dan pemukiman. Namun

secara kualitas di musim hujan

menunjukkan kandungan sedimen yang

cukup besar (keruh) yang melebihi

ambang batas yang diperkenankan.

Adapun karakteristik sosek-kelembagaan

menunjukkan aspek kelembagaan yang

agak buruk disebabkan oleh tidak

berperannya lembaga informal dalam

kegiatan KTA. Lembaga informal yang

khusus bergerak dalam kegiatan

konservasi tanah dan air belum ada

(Supangat et al., 2015).

Karakter DAS Mikro Naruan seperti di

atas tidak terlepas dengan pola

pengelolaan yang dilakukan masyarakat

yang memberikan dampak negatif

terhadap tingkat erosi dan sedimentasi.

Lahan yang tidak sesuai kelas

kemampuannya sebagian besar adalah

tegalan, dan sebagian besar adalah lahan

milik masyarakat. Oleh karena itu, perlu

dilakukan kompromi pemanfaatan lahan

untuk mengurangi dampak negatif berupa

erosi yang tinggi, dengan pengembangan

pola hutan rakyat (agroforestri) untuk

memperbaiki tutupan lahan sekaligus

menurunkan tingkat erosi tanah. Hal ini

menjadi salah satu modal dalam proses

perencanaan partisipatif yang dilakukan.

Tulisan ini fokus mengulas proses

tahapan perencanaan partisipatif.

Berbekal basis data dasar yang telah

dikumpulkan, kemudian dilanjutkan

dengan rangkaian diskusi (FGD) baik

dengan masyarakat maupun dengan para

pihak terkait. Secara lengkap tahapan

kegiatan disajikan pada diagram alir pada

Gambar 2.

Berdasarkan data dasar karakteristik

DAS mikro, kemudian dilakukan

perumusan isu dan masalah utama

sebagai dasar penentuan tujuan

pengelolaan DAS mikro ke depan. Isu dan

masalah utama tersebut juga

dikonfirmasikan dengan rencana makro

yang ada, baik rencana pengelolaan DAS

maupun rencana tata ruang, dilengkapi

dengan informasi dari lapangan

(masyarakat). Kegiatan selanjutnya

meliputi pertemuan-pertemuan kelompok

dalam rangka proses diskusi perencanaan

partisipatif. Pertemuan dalam bentuk FGD

dilakukan baik dengan masyarakat petani

untuk menyusun rencana pengelolaan

lahan, maupun dengan para pihak terkait

dalam rangka sosialisasi rencana dan

mendiskusikan peran para pihak. Para

pihak terkait tersebut meliputi perwakilan

institusi pusat (Balai Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai dan Hutan

Lindung/BPDASHL, Balai Besar Wilayah

Sungai/BBWS, Perum Jasa Tirta, serta

Perum Perhutani), perwakilan pemerintah

daerah propinsi (Balai Pusdataru dan

Dinas Kehutanan/CDK), perwakilan

pemerintah daerah kabupaten

(Bappeda/Baperlit- bangda serta

OPD/dinas tenik terkait), serta

pemerintah desa. Kegiatan diakhiri

dengan formulasi rencana kegiatan

pengelolaan DAS mikro yang disepakati

bersama para pihak.

Membangun Proses Perencanaan ............................(Agung B. S, Dewi R.I, Nining W, Purwanto, dan Syahrul Donie)

22 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Gambar (Figure) 2. Diagram alir kegiatan perencanaan partisipatif DAS mikro (Flow chart of micro watershed

participatory planning)

Sumber (Source): Supangat et al. (2018)

Isu/Masalah Pengelolaan DAS Mikro

Formulasi Rencana Partisipatif (Matriks kegiatan)

- Perangkat desa - PKL

FGD Masyarakat - Pembangunan komitmen - Perencanaan Partisipatif

Persiapan

DAS Mikro terpilih (Naruan)

Data KarDAS Mikro

Input pengetahuan: - Pengelolaan DAS - KTA di hulu DAS - Pengembangan ekonomi - Model partisipatif - Peran kelembagaan

FGD Instansi - Sosialisasi rencana - Pembangunan komitmen - Penggalangan dukungan

Reformulasi Rencana Pengelolaan - Rencana kegiatan - Rencana kolaboratif/ partisipatif - Rencana pembinaan

- Rencana monev

- RPDAS - RTR

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 17-36

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 23

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perumusan Isu/Masalah dan Tujuan

Pengelolaan

Perumusan isu dan masalah utama

dalam pengelolaan penting untuk

dilakukan, sebagai dasar untuk

menentukan fokus tujuan pengelolaan

(Warren, 1998). Isu dan masalah dapat

diidentifikasi melalui fenomena yang

berkembang di khalayak ramai, dan sering

diangkat menjadi bahan penelitian serta

pemberitaan. Penentuan isu/masalah juga

harus mengacu pada rencana yang lebih

makro yang telah disusun, seperti

Rencana Pengelolaan DAS Terpadu

(RPDAS-T), serta Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) kabupaten setempat.

Selanjutnya isu yang teridentifikasi dapat

diverifikasi dan diklarifikasi melalui

penelusuran karakteristik DAS untuk

mengetahui akar masalah yang akan

dijadikan titik tuju pengelolaan DAS.

Isu/masalah yang ingin diselesaikan dalam

pengelolaan DAS mikro bisa lebih dari

satu. Berdasarkan Perdirjen RLPS No. P.15

tahun 2009, terdapat 10 isu/masalah yang

sebagian besar terkait dengan fenomena

bencana hidrometeorologi, serta

penyebab dan dampaknya. Namun, harus

ditentukan satu masalah yang menjadi isu

utama untuk dipecahkan melalui kegiatan

pengelolaan DAS.

Berdasarkan basis data dasar yang

terkumpul beserta fenomena

pemberitaan dan didukung banyak data

dan informasi hasil penelitian terdahulu,

isu utama DAS Mikro Naruan adalah

fenomena “erosi-sedimentasi”. Berkaitan

dengan tingginya tingkat sedimentasi di

hilir Sub DAS Keduang, yaitu di Waduk

Gajah Mungkur, disinyalir disebabkan oleh

tingginya tingkat erosi tanah dari wilayah

hulunya, seperti di DAS Mikro Naruan. Hal

tersebut diperkuat dengan hasil

identifikasi potensi erosi tanah yang

sangat tinggi di DAS Mikro Naruan

(Wahyuningrum & Supangat, 2016a). Isu

ini dapat berdampak pada masalah ikutan

seperti produktivitas lahan yang rendah

serta kemiskinan. Pemilihan isu utama ini

disetujui oleh petani dan para pihak

melalui forum FGD dan sosialisasi.

Berdasarkan masalah utama tersebut,

kemudian dirumuskan tujuan pengelolaan

DAS Mikro Naruan bersama para pihak,

yaitu “memperbaiki tutupan lahan di hulu

DAS dalam rangka mengendalikan laju

erosi-sedimentasi serta meningkatkan

produktivitas lahan secara partisipatif”.

B. Perencanaan Partisipatif dengan

Masyarakat

Masyarakat petani (pemilik atau

penggarap) lahan adalah pihak yang

paling mengetahui kondisi lahan budidaya

mereka, dan yang paling berhak

menentukan pola pengelolaan yang akan

dilakukan. Namun demikian, pengetahuan

tentang rambu-rambu tata pengelolaan

secara ideal dan konservatif perlu

diberikan kepada mereka. Kegiatan FGD

perencanaan partisipatif dengan

masyarakat (petani) dilakukan dalam 3

tahapan, yaitu: 1) penyamaan persepsi

dan pembekalan; 2) evaluasi pemahaman,

identifikasi permasalahan teknis serta

penggalian preferensi petani; dan 3)

perumusan rencana pengelolaan lahan

secara partisipatif. Dalam diskusi, dibuat

Membangun Proses Perencanaan ............................(Agung B. S, Dewi R.I, Nining W, Purwanto, dan Syahrul Donie)

24 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

kelompok-kelompok petani berdasarkan

hamparan (kedekatan lahan olah), kurang

lebih beranggotakan 10-15 orang/

kelompok. Tim peneliti, penyuluh

kehutanan lapangan (PKL) dan perangkat

desa bertindak sebagai fasilitator.

Kegiatan penyamaan persepsi dan

pembekalan petani sangat penting

dilakukan karena kondisi status

pengetahuan dan motivasi tiap-tiap petani

berbeda-beda, atau bahkan masih banyak

kesalahan pemahaman tentang prinsip-

prinsip konservasi tanah dan air (KTA)

serta cara pengelolaan lahan yang benar.

Beberapa materi pembekalan yang

disampaikan antara lain:

1. Pengelolaan DAS, serta hubungan

hulu dan hilir dalam pengelolaan DAS

2. Karakteristik lahan di hulu DAS dan

upaya KTA yang dapat diterapkan

3. Partisipasi masyarakat dalam upaya

pengelolaan lahan dan KTA

4. Peran kelembagaan masyarakat

dalam pengelolaan DAS di wilayah

hulu DAS

5. Peluang ekonomi dalam pengelolaan

lahan di hulu DAS

Pada pertemuan selanjutnya, dilakukan

evaluasi pemahaman petani terhadap

pengelolaan DAS dan KTA, serta pola

pengelolaan lahan di hulu DAS, terutama

di lahan-lahan berlereng terjal. Pada

diskusi ini juga dilakukan identifikasi

kondisi lahan dan permasalahan yang ada

di masing-masing anggota kelompok,

seperti erosi, keberadaan jurang, longsor,

rendahnya produktivitas, kurangnya

modal usahatani, dan lain-lain. Selain itu

juga digali informasi tentang keinginan

dan harapan masyarakat terhadap lahan

mereka serta jenis andil petani sebagai

bentuk partisipasi jika lahannya

mendapatkan bantuan dari kegiatan RHL,

seperti tenaga kerja, pupuk dasar (pupuk

kandang) maupun obat-obatan.

Proses perencanaan diakhiri dengan

diskusi perumusan rencana pengelolaan

lahan. Berbekal kondisi ideal hasil analisis,

pemahaman petani serta peluang pasar,

para petani diajak menyusun rencana

untuk pengelolaan DAS mikro Naruan

yang meliputi pemilihan jenis tanaman

kayu, model/pola pertanaman, andil

petani dan dukungan pemerintah yang

diharapkan. Rencana tersebut disajikan

dalam bentuk matriks rencana (Lampiran

1.). Rencana partisipatif ini yang akan

dibawa pada sosialisasi ke para pihak di

tingkat kabupaten.

Pemilihan model pengelolaan lahan

secara vegetatif dilakukan secara

partisipatif. Berdasarkan diskusi

partisipatif, disepakati dua macam pola

yang diinginkan masyarakat, yaitu pola

campuran atau tumpangsari (agroforestri)

tanaman kayu dengan tanaman semusim,

serta pola hutan rakyat monokultur

(murni tanaman kayu-kayuan). Pola

campuran juga dibagi menjadi dua

macam, yaitu pola tumpangsari biasa dan

pola surjan (selang-seling antara blok

tanaman kayu dan blok tanaman

semusim). Pola agroforestri ini merupakan

salah satu bentuk kompromi antara

kepentingan ekonomi pemenuhan

kebutuhan rumah tangga petani dengan

kepentingan lingkungan dalam

pencegahan erosi sedimentasi, yang

diejawantahkan dalam tanaman kayu-

kayuan (Junaidi, 2013; Mayrowani &

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 17-36

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 25

Ashari, 2011; Suryanto & Putra, 2012).

Kepentingan ekonomi mengarah pada

kepentingan jangka pendek dan panjang.

Pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka

pendek dapat dipenuhi dari tanaman

semusim, sedangkan untung jangka

panjang dari tanaman kayu-kayuan. Selain

itu, juga dilakukan penanaman rumput

agar meningkatkan upaya pengendalian

erosi.

Model kedua, monokultur tanaman

kayu (murni tanaman kayu-kayuan),

banyak diaplikasikan terutama pada lahan

yang sangat miring yang tidak

memungkinkan untuk melakukan

penanaman tanaman semusim pada

bidang olahnya. Pertimbangan lainnya

adalah petani sebagai pengambil

keputusan di lapangan tidak memiliki

cukup ketersediaan tenaga kerja dan

modal untuk melakukan pertanian

semusim. Pertimbangan ini didukung

dengan fakta bahwa banyak anggota

rumah tangga petani yang merantau ke

daerah lain yang memiliki prospek

ekonomi lebih baik. Lahan yang dimiliki

ditanami dengan tanaman kayu-kayuan,

karena pada kondisi ini setelah menanam

kemudian tidak membutuhkan perhatian

dan curahan tenaga kerja yang intensif.

Selain pertimbangan model

pengelolaan lahan, petani berkepentingan

pula dengan tanaman yang diusahakan.

Petani berusaha meningkatkan potensi

ekonomi dari pengelolaan lahan yang

dilakukan melalui pemilihan tanaman

yang memiliki prospek ekonomi tinggi

baik secara nilai jual produk,

kelangsungan produk, dan resiko tanaman

yang rendah. Tanaman yang memenuhi

kriteria tersebut antara lain tanaman

sengon, alpukat, durian, empon-empon.

Tanaman sengon dipilih karena nilai jual

kayunya yang relatif tinggi dengan masa

panen cukup pendek. Durian dan alpukat

dipilih karena terus berproduksi/berbuah

dan memiliki nilai jual tinggi serta relatif

sedikit berisiko terserang hama penyakit.

Tanaman empon-empon diinginkan petani

karena relatif cepat panen (2 tahunan),

nilai jual produk yang tinggi dan mudah

perawatan selain risiko terserang hama

penyakit yang rendah. Pemilihan

komoditi yang dipilih untuk dikembangkan

tersebut dipengaruhi oleh informasi pasar

yang diperoleh petani, pengalaman

pribadi atau pengalaman petani lain.

Berdasarkan kesimpulan diskusi

partisipatif yang dilakukan, kemudian

disepakati untuk mengelompokkan lahan

calon kegiatan agroforestri ke dalam dua

kriteria berdasarkan kemiringan lahan,

yaitu < 45 % dan > 45%, masing-masing

pada dua jenis tutupan lahan aktual yaitu

tanaman semusim dan kebun campur.

Alokasi lahan tersebut sebagai masukan

bagi para pihak yang berkepentingan

untuk merencanakan kegiatan

pengelolaan ke depan, seperti disajikan

pada Gambar 3.

Membangun Proses Perencanaan ............................(Agung B. S, Dewi R.I, Nining W, Purwanto, dan Syahrul Donie)

26 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

(a) Lokasi Desa Bubakan (Bubakan Village)

(b) Lokasi Desa Wonokeling (Wonokeling Village)

(c) Lokasi Desa Wonorejo (Wonorejo Village)

Gambar (Figure) 3. Alokasi kegiatan agroforestri di masing-masing desa di DAS Mikro Naruan (Allocation of agroforestry activities in each village in the Naruan Micro Catchment)

Sumber (Source): Analisis data (Data analysis), 2018

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 17-36

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 27

C. Sosialisasi dan Diskusi dengan Para

Pihak yang Berkepentingan

Peran pihak yang berkepentingan

(Stakeholders) sangat penting dalam

pengelolaan DAS terutama di wilayah hulu

(Alviya, Suryandari, Maryani, & M.Z.

Muttaqin, 2016). Pelibatan para pihak

yang berkepentingan sangat mutlak

diperlukan dalam pengelolaan DAS mikro

sebagai konsekuensi beragamnya

pemanfaatan lahan di hulu DAS.

Pravongviengkham, Khamhung,

Sysanhouth, & Qwist-Hoffmann (2005)

menjelaskan bahwa konsep DAS mikro

adalah yang paling tepat dan dapat

dikelola untuk mengembangkan rencana

pengelolaan DAS integratif, melalui

dukungan kegiatan dari para pihak secara

kolaboratif di wilayah desa.

Sosialisasi rencana partisipatif

dilakukan di tingkat kabupaten, dengan

fasilitator Bappeda/Bapperlitbang

kabupaten sebagai coordinating agency

dalam kegiatan pengelolaan DAS mikro.

Para pihak yang diundang meliputi

perwakilan instansi pusat (BPDASHL, dan

BBWS), perwakilan instansi daerah

(propinsi) yaitu Dinas kehutanan propinsi

yang diwakili oleh cabang dinas kehutanan

(CDK) setempat, Balai Pusdataru, instansi

daerah (kabupaten) yaitu Bappeda dan

Organisasi Perangkat Daerah (OPD)

terkait, serta swasta (Perum Jasa Tirta,

Perum Perhutani) dan LSM.

Sosialisasi rencana partisipatif ini juga

sekaligus sebagai bentuk proses

pelembagaan rencana yang telah disusun

masyarakat, ke tingkat para pihak yang

diharapkan akan mendukung kegiatan

sesuai dengan tugas dan fungsi (tusi)

masing-masing lembaga. Selain itu,

sosialisasi dan diskusi juga sebagai sarana

penggalangan dukungan para pihak

berkepentingan melalui pembangunan

komitmen bersama para pihak untuk

mengelola hulu secara bersama-sama,

dengan pola pengelolaan kolaboratif.

Upaya diskusi ini diharapkan dapat

menjadi jaminan keberlanjutan dalam

pengelolaan DAS ke depan, khususnya di

wilayah hulu pada skala mikro.

D. Formulasi Rencana Pengelolaan DAS

Mikro

Tahap terakhir dari proses

perencanaan pengelolaan DAS mikro

adalah melakukan reformulasi rencana

(partisipatif) ke dalam bentuk rencana

indikatif pengelolaan DAS mikro. Rencana

indikatif tersebut berisi rencana kegiatan

(vegetatif/agroforestri dan kegiatan KTA

sipil teknis), rencana kolaboratif para

pihak yang terkait dengan masing-masing

kegiatan, rencana pembinaan/pember-

dayaan masyarakat, serta rencana monev.

Matriks rencana indikatif disajikan pada

Lampiran 2.

Rencana indikatif ini diharapkan

dapat ditindaklanjuti oleh para pihak,

melalui fasilitasi BPDASHL atau CDK

bekerja sama dengan

Bappeda/Baperlitbang Kabupaten, dalam

penyusunan Rencana Induk Pengelolaan

DAS Mikro (RIP-DAS Mikro). Untuk

kemudian RIP-DAS Mikro secara idealnya

akan disahkan oleh kepala daerah

kabupaten (Bupati), agar dapat diacu oleh

para pihak terutama Organisasi Perangkat

Daerah (OPD) dalam penyusunan rencana

kegiatan sektoral. Sebagai lembaga

implementator, OPD dan institusi terkait

Membangun Proses Perencanaan ............................(Agung B. S, Dewi R.I, Nining W, Purwanto, dan Syahrul Donie)

28 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

lainnya dapat menyusun rencana detail

dan rencana teknis kegiatan bersama

masyarakat di mana lokasi DAS mikro

berada.

E. Pembelajaran dari Kegiatan

Penelitian Aksi

Pelajaran yang dapat diambil dari dari

kegiatan adalah sebagai berikut: 1) Basis

data dasar (baseline data) detil terkait

karakteristik potensi dan kerentanan

wilayah DAS mikro sangat penting

diketahui; 2) Proses perencanaan

pengelolaan DAS mikro tidak dapat

sepenuhnya mengandalkan partisipasi

masyarakat, tetapi perlu kombinasi antara

sistem top down dan partisipatif; 3)

Perencanaan yang sifatnya top down

menyangkut pemberian rambu-rambu

pengelolaan lahan yang benar di wilayah

hulu DAS; 4) Perencanaan partisipatif

dilakukan dalam penyusunan rencana

penggunaan/pemanfaatan lahan, jenis

kegiatan konservasi yang sesuai serta

andil sumber daya dari masyarakat

sebagai bentuk partisipasi; 5) Rencana

kolaboratif perlu dibangun dengan para

pihak terkait dalam rangka keterpaduan

dan keberlanjutan kegiatan pengelolaan

DAS mikro.

IV. KESIMPULAN

Sebagai kesimpulan, telah diperoleh

tahapan proses serta pembelajarannya

dalam kegiatan perencanaan pengelolaan

DAS mikro, yang menjadi rekomendasi

penelitian agar terwujud pola

perencanaan yang partisipatif-kolaboratif

yaitu: (i) penyediaan basis data dasar

secara detil-spasial, (ii) perumusan isu-

masalah-tujuan-strategi pengelolaan, (iii)

perencanaan partisipatif dengan

masyarakat dan para pihak, (iv)

pelembagaan rencana di tingkat tapak dan

para pihak terkait, serta tindaklanjut oleh

lembaga terkait sampai diperoleh

legalisasi rencana di tingkat administrasi

kabupaten.

Hasil temuan penelitian ini dapat

diimplementasikan oleh para pelaksana

lapangan khususnya BPDASHL di lokasi

DAS mikro yang lain. Selain bertujuan

mendapatkan rencana yang lebih

partisipatif-kolaboratif, implementasi di

banyak lokasi akan memvalidasi temuan

tersebut agar mendapatkan koreksi guna

penyempurnaan rekomendasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Balai

Litbang Teknologi Pengelolaan DAS

(BPPTPDAS) dan lembaga donor APFNet

yang telah memberikan dana untuk

kegiatan ini. Ucapan terima kasih juga

disampaikan pada seluruh peneliti dan

teknisi, lembaga terkait baik pusat,

propinsi dan kabupaten (Wonogiri dan

Karanganyar), serta masyarakat yang

terlibat pada kegiatan ini di 3 desa

(Bubakan, Wonokeling dan Wonorejo).

DAFTAR PUSTAKA

Achouri, M. (2005). Preparing the Next Generation of Watershed Management Programmes. In M. Achouri, L. Tennyson, K. Upadhyay, & R. White (Eds.), Proceedings of The Asian Regional Workshop “Preparing For the Next Generation of Watershed Management Programmes and Projects (ASIA)”

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 17-36

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 29

(pp. 11–18). Kathmandu, Nepat: Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Adi, S. (2013). Karakteristik Bencana Banjir Bandang di Indonesia. Jurnal Sains Dan Teknologi Indonesia, 15(1 A), 32–45.

Alemu, M. M. (2016). Integrated Watershed Management and Sedimentation. Journal of Environmental Protection, 07(04), 490–494. https://doi.org/10.4236/jep.2016.74043

Alviya, I., Suryandari, E. Y., Maryani, R., & M.Z. Muttaqin, M. Z. (2016). Meningkatkan Peran Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan Wilayah Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 13, 121–134.

Anwar, S. (2005). Watershed Management in Indonesia. In M. Achouri, L. Tennyson, K. Upadhyay, & R. White (Eds.), Proceedings of The Asian Regional Workshop “Preparing For the Next Generation of Watershed Management Programmes and Projects (ASIA)” (pp. 93–103). Kathmandu, Nepat: Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Asdak, C. (2014). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2017). Data Bencana Indonesia 2017. Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, BNPB. Jakarta.

Dodds, R. (2019). Using a participatory integrated watershed management

approach for Tourism. Tourism Planning & Development. https://doi.org/10.1080/21568316.2018.1556327

Indrawati, D. R., Awang, S. A., Faida, L. R. W., & Maryudi, A. (2016). Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan DAS Mikro: Konsep dan Implementasi. Jurnal Kawistara, 6(2), 113–224.

Jayawardena, A. W. (2015). Hydro-meteorological Disasters: Causes, Effects and Mitigation Measures with Special Reference to Early Warning with Data Driven Approaches of Forecasting. Procedia IUTAM, 17, 3–12. https://doi.org/10.1016/j.piutam.2015.06.003

Junaidi, E. (2013). Peranan Penerapan Agroforestry terhadap Hasil Air Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane. Jurnal Penelitian Agroforestry, 1(1), 41–53.

Mayrowani, H., & Ashari. (2011). Pengembangan Agroforestry untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Pemberdayaan Petani Sekitar Hutan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 29(2), 83–98.

Mika, M. L., Dymond, R. L., Aguilar, M. F., & Hodges, C. C. (2019). Evolution and application of urban watershed management planning. Journal of the American Water Resources Association, July 2019, 1–19. https://doi.org/10.1111/1752-1688.12765

Nourani, V., & Kalantari, O. (2010). Integrated Artificial Neural Network for Spatiotemporal Modeling of Rainfall–Runoff–Sediment Processes. Environtmental Engineering Science, 27(6), 411–422.

Membangun Proses Perencanaan ............................(Agung B. S, Dewi R.I, Nining W, Purwanto, dan Syahrul Donie)

30 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Paimin, Purwanto, & Sukresno. (2010). 2010. Sidik Cepat Degrasi Sub Daerah Aliran Sungai (Edisi Revisi). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Pravongviengkham, P., Khamhung, A., Sysanhouth, K., & Qwist-Hoffmann, P. (2005). Integrated Watershed Management for Sustainable Upland Development and Poverty Alleviation in LAO People’s Democratic Republic. In M. Achouri, L. Tennyson, K. Upadhyay, & R. White (Eds.), Proceedings of The Asian Regional Workshop “Preparing For the Next Generation of Watershed Management Programmes and Projects (ASIA)” (pp. 105–118). Kathmandu, Nepat: Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Purwanto, & Supangat, A. B. (2017). Perilaku Konsumsi Air Pada Musim Kemarau Di Dusun Pamor, Kabupaten Grobogan. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 14(3), 157–169. https://doi.org/10.20886/jpsek.2017.14.3.157-169

Rodríguez-Blanco, M. L., Taboada-Castro, M. M., & Taboada-Castro, M. T. (2013). Linking the Field to the Stream: Soil Erosion and Sediment Yield in a Rural Catchment, NW Spain. Catena, 102, 74–81.

Shi, Z. H., Ai, L., Li, X., Huang, X. D., Wu, G. L., & Liao, W. (2013). Partial Least-squares Regression for Linking Land-cover Patterns to Soil Erosion and Sediment Yield in Watersheds. Journal of Hydrology, 498, 165–176.

Stålnacke, P., Nagothu, U. S., Deelstra, J., Thaulow, H., Barkved, L. J., Berge, D., … Portugués. (2014). Integrated Water Resources Management:

STRIVER Efforts to Assess the Current Status and Future Possibilities in Four River Basins. European Research on Sustainable Development. https://doi.org/10.1007/978-3-642-19202-9_11

Strahler, A. N. (1983). Element of Physical Geography. New York: John Willey and Sons.

Supangat, A. B., Donie, S., Purwanto, Wahyuningrum, N., Cahyono, S. A., Sulasmiko, E., … Putro. (2015). Pengelolaan DAS Mikro di Daerah Tangkapan Air Waduk Gajah Mungkur, DAS Bengawan Solo. Surakarta.

Supangat, A. B., Donie, S., Purwanto, Wahyuningrum, N., Indrawati, D. R., Sulasmiko, E., … Ardianto, W. (2018). Development participatory management of micro catchment at the Bengawan Solo Upper Watershed. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS. Surakarta (tidak dipublikasikan).

Suryanto, P., & Putra, E. T. S. (2012). Traditional Enrichment Planting in Agroforestry Marginal Land Gunung Kidul, Java, Indonesia. Joumal of Sustainable Development, 5(2).

Vigiak, O., Malagó, A., Bouraoui, F., Grizzetti, B., Weissteiner, C. J., & Pastori, M. (2016). Impact of Current Riparian Land on Sediment Retention in the Danube River Basin. Sustainability of Water Quality and Ecology. https://doi.org/10.1016/j.swaqe.2016.08.001

Wahyuningrum, N., & Supangat, A. B. (2016). Analisis Spasial Kemampuan Lahan dalam Perencanaan Pengelolaan DAS Mikro: Kasus di DAS Mikro Naruwan, Sub DAS Keduang,

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 17-36

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 31

DAS Solo. Majalah Ilmiah Globe, 18(1), 43–52.

Wahyuningrum, N., & Supangat, A. B. (2016). Identifikasi tingkat bahaya longsor dengan skala data berbeda untuk perencanaan DAS Mikro Naruan, Sub DAS Keduang. Majalah Ilmiah Globe, 18(1), Oktober 2016, 53–60.

Warren, P. (1998). Developing Participatory and Integrated Watershed Management, A case

study of the FAO/Italy inter-regional. Project for Participatory Upland Conservation and Development (PUCD). Community Forestry Case Study Series. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.

Wolfgramm, B. (2015). Pathways to Effective Integrated Watershed Management (IWSM policy brief No2). Bern, Switzerland.

Membangun Proses Perencanaan ............................................................................................................ ..(Agung B. S, Dewi R.I, Nining W, Purwanto, dan Syahrul Donie)

32 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Lampiran 1. Rencana partisipatif hasil FGD dengan masyarakat (A participatory plan as the result of community FGD)

Desa (Villages)

Penggunaan lahan

(Land use)

Kele-rengan (Slope)

Kegiatan (Activities)

Luas (Area) (ha)

Jenis tanaman (Plant types)

Keterangan (Remarks)

Identifikasi instansi pendukung

(Identification of supporting agencies)

Kayu/buah (Trees) Semusim (Seasonal crops)

Bubakan

Tegal

>45%

HR (full kayu) 12,4 Sengon - BPTKPDAS BPDAS Dishutbun Distan BBWS Jasa tirta Swasta

HR (tumpangsari) 30,5 Sengon Palawija, kolonjono, PB

HR (surjan) 22,8 Sengon, suren, alpokat Palawija, kolonjono Rumput utk tampingan

<45%

HR (full kayu) 4,4 Sengon -

HR (tumpangsari) 25,5 Sengon Palawija, kolonjono, PB

Penanaman kayu di batas pemilikan

75,5 Sengon, suren, alpokat

Kebun

>45%

HR (full kayu) 13,1 Sengon, suren Sulaman, pengkayaan BPTKPDAS BPDAS Dishutbun Distan BBWS Jasa tirta Swasta

HR (tumpangsari) 10,0 Sengon Jahe Sulaman, pengkayaan

<45%

HR (full kayu) 18,1 Sengon, suren Sulaman, pengkayaan

HR (tumpangsari) 45,5 Sengon, alpokat Jahe Sulaman, pengkayaan

Wonokeling

Tegal

>45%

HR (full kayu) 2,1 Sengon Rumput BPTKPDAS BPDAS Dishutbun Distan BBWS Jasa tirta Swasta

HR (tumpangsari) 13,5 Sengon Empon-2 (jahe & Kunyit) Strip rumput (galengan & tampingan)

HR (surjan) 6,4 Sengon Empon-2 (jahe & Kunyit)

<45%

HR (full kayu) 4,8

HR (tumpangsari) 35,7 Sengon, durian, alpokat Empon-2 (jahe & Kunyit) Strip rumput (galengan & tampingan)

Penanaman kayu di batas pemilikan

65,9 Sengon, suren, durian alpokat

Rumput

Kebun >45%

HR (full kayu) 6,7 Sengon Sulaman, pengkayaan BPTKPDAS BPDAS Dishutbun

HR (tumpangsari) 10,7 Sengon, durian kapulaga, sambiloto Sulaman, pengkayaan

<45% HR (full kayu) 13,7 Sengon Sulaman, pengkayaan

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 17-36

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 33

HR (tumpangsari) 73,5 Sengon, durian kapulaga, sambiloto

Sulaman, pengkayaan Distan BBWS Jasa tirta Swasta

Wonorejo

Tegal

>45%

HR (full kayu) 1,5 Sengon, jabon, alpokat BPTKPDAS BPDAS Dishutbun Distan BBWS Jasa tirta Swasta

HR (tumpangsari) 11,3 Sengon, kopi Jahe, kapulaga, palawija Strip rumput (galengan & tampingan)

<45%

HR (surjan) 10,1 Sengon, jabon, alpokat Jahe, kapulaga, palawija

HR (full kayu) 2,8 Sengon -

HR (tumpangsari) 14,5 Sengon, kopi Jahe, kapulaga, bambu Strip rumput (galengan & tampingan)

Penanaman kayu di batas pemilikan

30,5 Sengon, jabon, alpokat

Kebun

>45%

HR (full kayu) 2,5 Sengon, kopi - Sulaman, pengkayaan BPTKPDAS BPDAS Dishutbun Distan BBWS Jasa tirta Swasta

HR (tumpangsari) 5,8 Sengon, kopi Jahe, kapulaga Sulaman, pengkayaan

<45%

HR (full kayu) 3,5 Sengon, kopi - Sulaman, pengkayaan

HR (tumpangsari) 21,1 Sengon, kopi Jahe, kapulaga Sulaman, pengkayaan

Membangun Proses Perencanaan ............................................................................................................ ..(Agung B. S, Dewi R.I, Nining W, Purwanto, dan Syahrul Donie)

34 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Lampiran 2. Matriks rencana indikatif pengelolaan lahan (Matrix of indicative plan of land management)

Desa (Villages)

Kel. (Group)

Kelerengan (Slope)

Vegetasi (Vegetation) Sipil Teknis (Civil engineering)

(Teras, SPA, DPn, gullyplug)

Partsipasi masyarakat

(Farmer participation)

Harapan (Expectation)

Pihak terkait (Stakeholders)

Pola (Model)

Jenis Tanaman (Plant types)

Kayu (Wood)

Buah (Fruits) Semusim

(Seasonal) Bawah

(Understorey)

Bubakan

I

> 45% Campuran, Full Kayu

Sengon, Suren

Durian, Alpokat Jagung, Singkong

Jahe, Lengkuas Teras, Gullyplug Tenaga & Pupuk Kandang

Bantuan Ternak BPDASHL Bapperlitbang Dishut prop CDK DLH kab. Distan-bun Pusdataru BBWS-BS Jasa Tirta I Swasta

< 45% Campuran, Full Kayu

Sengon, Suren

s.d.a Jagung, Singkong

s.d.a Teras s.d.a s.d.a

II

> 45% Full Kayu, Campuran

Sengon Durian, Mangga, Jeruk, Cengkeh

Jagung, Singkong

Jahe, Rumput SPA Tenaga & Pupuk Kandang

Bantuan Ternak, Pupuk

< 45% Full Kayu, Campuran

Sengon s.d.a Jagung, Singkong

s.d.a s.d.a s.d.a s.d.a

III > 45%

Full Kayu Sengon Alpokat, Durian - Jahe, Lengkuas, Talas, Rumput

Gullyplug - Bantuan Ternak (Sapi)

< 45% Full Kayu Sengon s.d.a - s.d.a s.d.a - s.d.a

Wonokeling

I

> 45% Campuran, Full Kayu

Sengon Alpokat, Petai, Durian, Coklat, Mangga

Jagung Jahe, Rumput Spa, Bronjong Kawat

Tenaga Kerja & Lahan

Bantuan Ternak BPDASHL Bapperlitbang Dishut prop CDK DLH kab. Distan-bun Pusdataru BBWS-BS Jasa Tirta I Swasta

< 45% Campuran Sengon,

Suren S.D.A Jagung, Padi

Gogo Jahe, Rumput, Kunyit

s.d.a s.d.a s.d.a

II

> 45%

Campuran Sengon, Suren

Alpokat, Petai, Durian, Coklat, Klengkeng, Sukun, Cempedak

Jagung Jahe, Rumput, Kunyit

SPA Tenaga, Pupuk Kandang, Rumput, Obat-Obatan

Bantuan Ternak, Pupuk

< 45% Campuran Sengon,

Jati s.d.a Jagung, Padi

Gogo s.d.a s.d.a s.d.a s.d.a

III

> 45% Campuran Sengon,

Jati Alpokat, Petai, Durian, Coklat, Kopi

Jagung Jahe, Kunyit Bronjong Kawat Tenaga Kerja Bantuan Ternak, Bibit Ikan, Pupuk, Bibit Rumput

< 45% Campuran Sengon,

Jabon s.d.a Jagung, Padi

Gogo s.d.a s.d.a s.d.a s.d.a

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 17-36

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 35

IV

> 45% Campuran, Full Kayu

Sengon Petai, Durian Jagung, Singkong

Jahe, Kunyit, Rumput

Bronjong Kawat Tenaga, Pupuk Kandang, Singkong

Bantuan Ternak, Bibit Ikan, Pupuk, Bibit Rumput

< 45% Campuran Sengon s.d.a Jagung,

Singkong s.d.a s.d.a s.d.a s.d.a

Wonorejo

I > 45%

Campuran, Full Kayu

Sengon, Suren

Alpokat, Durian Jagung Jahe Spa/Paciran + Rumput, Bronjong Kawat

Tenaga Kerja, Pupuk Kandang, Perawatan

Bantuan Ternak Sapi

BPDASHL Bapperlitbang Dishut prop CDK DLH kab. Distan-bun Pusdataru BBWS-BS Jasa Tirta I Swasta

< 45% Campuran Sengon s.d.a s.d.a s.d.a s.d.a

II

> 45%

Campuran Sengon, Jabon, Suren

Alpokat, Durian Jagung, Sayuran, Tembakau

Jahe, Rumput, Kunyit, Kapulaga

Spa, Sgp, Teras Bangku

Tenaga, Pupuk Kandang, Rumput, Obat-Obatan

Bantuan Ternak Sapi, Kambing, Bibit

< 45% Campuran s.d.a Jagung, Padi

Gogo s.d.a s.d.a s.d.a s.d.a

III

> 45% Full Kayu, Surjan

Sengon, Jabon, Suren

Alpokat, Durian Jagung, Cabai

Jahe, Kapulaga

Teras Gulud Tenaga Bantuan Ternak Sapi, Bibit, Jalan Angkut

< 45% Full Kayu, Surjan

s.d.a s.d.a s.d.a s.d.a s.d.a

IV > 45%

Campuran Sengon, Suren, Jabon

Alpokat, Durian, Petai

Jagung Jahe Emprit Spa dan Rumput Tenaga, Pupuk Kandang

'Bibit Tanaman Yang Bagus

< 45% Campuran s.d.a Jagung s.d.a s.d.a s.d.a s.d.a

Membangun Proses Perencanaan.............................(Agung B. S, Dewi R.I, Nining W, Purwanto, dan Syahrul Donie)

36 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Halaman ini sengaja dibiarkan kosong

E-ISSN:2579-5511/P-ISSN:2579-6097 doi https://doi.org/10.20886/jppdas.2020.4.1.37-52

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 37

STUDI KARAKTERISTIK HIDROLOGI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JIRAK

MENGGUNAKAN TIME SERIES ANALYSIS

(Hydrological Characteristics Study of Jirak Sub Watershed

Using Time Series Analysis)

Bayu Argadyanto Prabawa1 1 Program Studi Perencanaan Wilayah Kota, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

Teknologi Yogyakarta, Indonesia Jl. Ring Road Utara, Jombor Lor, Sendangadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah

Istimewa Yogyakarta 55285 Email: [email protected]

Diterima: 1 November 2019; Direvisi: 26 Maret 2020; Disetujui: 30 Maret 2020

ABSTRACT

Jirak Sub Watershed is one of the resurgence river in Gunungkidul. This river flow into Kalisuci Cave, and becomes an underground river. This underground river is used for tourism activities known as CaveTubing. The main problem of this tourism activities is frequent flood events. This flood comes from input discharge originating from Jirak River as the upstream of Kalisuci Cave. This research aim is to determine the hydrological characteristics of Jirak Sub Watershed in Kalisuci Cave Tourism area with the hope in increasing the understanding of the tourism operators regarding regulation of the flood early warning and evacuation systems. Hydrological characteristics were determined from the discharge rating curve, time lag (Tlag) and effective rainfall (Pe) calculation. The result of this research shows that the time lag between the rain occurrence and early flood occurrence at Jirak Sub Watershed ranged from 2,5 to 3 hours. Fast response of peak discharge indicates that Jirak Sub Watershed has a fast response drainage system to rainfall in rainy season. The effective rainfall percentage was determined from the 17 selected flood hydrograph which the value increased from the early phase until the end of rainy season. This hydrological characteristic of Jirak Sub Watershed can be used by Kalisuci Cave tourism management team as flood early warning and evacuation system.

Keywords: flood; hydrological characteristic; time lag; effective rainfall

ABSTRAK

Sub Daerah ALiran Sungai (DAS) Jirak adalah salah satu aliran sungai yang muncul kembali di Gunungkidul. Aliran sungai mengalir ke dalam. Gua Kalisuci, dan menjadi sungai bawah tanah. Sungai bawah tanah ini digunakan untuk kegiatan pariwisata yang dikenal sebagai Cave Tubing. Masalah utama dari kegiatan pariwisata ini adalah terjadinya banjir. Banjir ini berasal dari debit yang berasal dari Sungai Jirak sebagai hulu dari Gua Kalisuci. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik hidrologis Sub DAS Jirak di lokasi Wisata Gua Kalisuci dengan harapan akan menambah pemahaman pengelola wisata Gua Kalisuci terkait pengaturan sistem peringatan dini dan sistem evakuasi ketika terjadi banjir. Karakteristik

Studi Karakteristik Hidrologi Sub DAS Jirak…………………………………..…….………………….(Bayu Argadyanto Prabawa)

38 @2019 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

hidrologi ditentukan dari rating curve, jeda waktu (Tlag) dan perhitungan curah hujan efektif (Pe). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jeda waktu antara kejadian hujan dan kejadian banjir awal di Sub DAS Jirak berkisar antara 2,5 hingga 3 jam. Respon debit puncak yang cepat mengindikasikan bahwa Sub DAS Jirak memiliki sistem drainase yang cepat merespon hujan di musim hujan. Persentase curah hujan efektif ditentukan dari 17 hidrograf banjir terpilih yang nilainya meningkat dari fase awal hingga akhir musim hujan. Karakteristik hidrologi Sub DAS Jirak ini dapat digunakan oleh tim manajemen pariwisata Gua Kalisuci sebagai peringatan dini dan untuk evakuasi ketika banjir terjadi.

Kata kunci: banjir; karakteristik hidrologi; jeda waktu; hujan efektif

I. PENDAHULUAN

Kawasan karst Gunungsewu

membentang dari Kabupaten

Gunungkidul, Provinsi DIY (Daerah

Istimewa Yogyakata) hingga Kabupaten

Pacitan, Provinsi Jawa Timur. Kawasan

karst Gunungsewu telah diusulkan kepada

UNESCO sebagai salah satu kawasan

geopark yang tergabung dalam Global

Geopark Network. Hal ini menjadikan

kawasan karst Gunungsewu merupakan

kawasan yang harus dilindungi kelestarian

alamnya. Salah satu kekayaan kawasan

karst Gunungsewu adalah kekayaan gua-

gua karstnya yang sangat melimpah. Salah

satu potensi yang dapat dikembangkan

dari gua-gua karst adalah potensi wisata,

baik itu ekowisata maupun wisata minat

khusus (Goldscheider, 2012). Eksplorasi

gua-gua karst Gunungsewu yang

dilakukan oleh Macdonald & Patners

(1984) telah menemukan kurang lebih 58

gua dan luweng di kawasan karst

Gunungsewu pada Kabupaten

Gunungkidul, dan masih banyak lagi gua-

gua yang belum terpetakan.

Topografi karst hampir tidak memiliki

aliran sungai permukaan. Topografi karst

salah satunya dicirikan oleh pola aliran

multi basinal yang ditunjukkan oleh

cekungan-cekungan tertutup (doline)

diantara bukit-bukit karst serta adanya

sinking stream (Bailly-Comte , Martin,

Jourde, Screaton, Pistre, Langston, 2010;

Ford & Williams, 2013). Sistem drainase

karst dimulai dari pengisian zona-zona

rekahan pada batuan karbonat yang akan

diteruskan ke zona jenuh air dalam sungai

bawah tanah (White, 1988). Drainase

karst berdasarkan sumber daerah

tangkapannya dibagi menjadi dua tipe,

yaitu karst allogenik dan autogenik. Karst

allogenik merupakan karst yang memiliki

daerah tangkapan yang berasal dari

kawasan non-karst, sedangkan karst

autogenik memiliki daerah tangkapan

yang berasal dari kawasan karst itu sendiri

(Ford & Williams, 2013).

Gillieson (2009) menyebutkan sistem

drainase pada akuifer karst terbagi

menjadi 3 sifat aliran, yaitu aliran diffuse,

aliran fissure, dan aliran konduit. Aliran

diffuse memiliki respon yang lambat

terhadap aliran masukan dan merupakan

karakterisktik dari rembesan dan tetesan

air dari atap gua (Putro, 2012). Sistem

aliran fissure yaitu aliran yang berupa

retakan dengan lebar kurang dari 10 mm,

yang dikontrol oleh perlapisan batuan

(Gillieson, 2009). Aliran utama dalam

sistem hidrologi karst adalah aliran

konduit yang memiliki sifat aliran turbulen

yang memiliki respon cepat terhadap

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 37-52

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 39

masukan (Dewaide, Banniver, Rochez, &

Hallet, 2016; Reh, Liche, Geyer, Nödler, &

Sauter, 2013). Aliran konduit terbentuk

pada gabungan antara rekahan atau

bidang perlapisan batuan yang melebar

karena proses pelarutan yang membentuk

lorong-lorong yang memiliki lebar hingga

beberapa meter (Hartmann, Goldscheider,

Wagmer, Lange, & Weiler, 2015; White,

1988).

Keberadaan tipe aliran konduit

menunjukkan tingkat perkembangan karst

yang telah berkembang lanjut akibat

proses solusional yang berkembang,

sedangkan tipe aliran diffuse

menunjukkan bahwa kawasan karst

tersebut kurang mengalami

perkembangan (Panagopoulos &

Lambrakis, 2006). Sistem hidrologi karst

pada umumnya tidak hanya terbentuk

dari salah satu tipe aliran saja, baik diffuse

maupun konduit, namun kebanyakan

merupakan campuran dari tipe-tipe aliran

tersebut (White, 1988).

Wisata Cave Tubing di Gua Kalisuci

merupakan salah satu wisata andalan di

Kabupaten Gunungkidul. Wisata Cave

Tubing ini memanfaatkan aliran sungai

bawah tanah yang merupakan tipe aliran

konduit yang berasal dari aliran sungai

permukaan dari Sub DAS Jirak yang masuk

ke dalam sistem sungai bawah tanah Gua

Kalisuci. Kawasan wisata karst ini berada

di Kecamatan Semanu, Kabupaten

Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Kegiatan wisata yang dilakukan dalam

gua dapat berdampak terhadap

perubahan kondisi hidrologi gua tersebut.

Oleh karena itu, wisata minat khusus

untuk gua memiliki beberapa persyaratan

dalam pengelolaannya, antara lain adanya

kajian tingkat kesulitan dan bahaya gua,

kemampuan operator wisata gua dan

peralatan penelusuran, peta gua,

peringatan kepada operator untuk selalu

menaati kode etik penelusuran gua,

kejelasan sistem perijinan oleh SAR dan

instansi terkait, dan pengecekan berkala

tingkat kerusakan dan pencemaran gua

(Samodra, 2001). Permasalahan dalam

pengelolaan wisata Gua Kalisuci adalah

kurangnya pemahaman pengelola wisata

terhadap sistem hidrologi sungai bawah

tanahnya. Permasalahan sistem hidrologi

pada aliran Gua Kalisuci adalah kejadian

banjir yang sering terjadi pada Sub DAS

Jirak yang merupakan hulu sungai bawah

tanah Kalisuci. Kejadian banjir di sungai

Jirak ini tentu akan mengganggu kegiatan

wisata di Gua Kalisuci, karena sungai

bawah tanah yang meluap tidak dapat

digunakan untuk penelusuran wisata gua.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

karakteristik hidrologis Sub DAS Jirak di

Wisata Gua Kalisuci, dengan harapan akan

menambah pemahaman pengelola wisata

Gua Kalisuci terkait pengaturan sistem

peringatan dini dan sistem evakuasi ketika

terjadi banjir.

II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi

Sub DAS Jirak merupakan sistem DAS

yang aliran hulunya berasal dari

perbukitan karst Gunungsewu serta

dataran fluvio-karst Ponjong yang berada

di sisi timur laut outlet sungai. Selain itu,

batas Sub DAS Jirak di sisi utara dibatasi

oleh sistem aliran irigasi persawahan di

Kecamatan Ponjong. Sungai Jirak yang

Studi Karakteristik Hidrologi Sub DAS Jirak…………………………………..…….………………….(Bayu Argadyanto Prabawa)

40 @2019 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

merupakan hulu sungai bawah tanah

Kalisuci memiliki aliran air yang cukup

turbulen, sehingga memerlukan

kecermatan pemilihan lokasi stasiun

pencatat tinggi muka air (water level data

logger). Lokasi yang dipilih tepat pada

utara bendungan terakhir di Sungai Jirak

yang berjarak ± 100 meter dari tempat

masuk Gua Kalisuci. Selain stasiun

pencatat tinggi muka air (TMA), dipasang

penakar hujan merekam data hujan yang

jatuh di hulu dan hilir dari Sub DAS Jirak.

Penakar hujan di hulu diletakkan di Desa

Sidorejo, Kecamatan Ponjong. Pencatatan

data hujan dan TMA sungai dilakukan

mulai bulan Juni 2015 sampai dengan Juni

2016. Peta lokasi pemasangan alat

pemantauan hujan dan muka air sungai

ditunjukkan dalam Gambar 1.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Peta RBI digital skala 1:25.000 Lembar Karangmojo dan Semanu sheet 1408-312 dan 1408-321) tahun 1998 dan 1999 (BAKOSURTANAL), untuk data dasar pada peta tentatif.

b. Peta Gua Kalisuci Gunungsewu Cave Survey 1982 (MacDonalds & Patners, 1984), sebagai acuan lokasi pemasangan alat pengamatan.

b. Pustaka penelitian sebelumnya, sebagai referensi pendukung penelitian.

Gambar (Figure) 1. Peta lokasi pemasangan alat penakar hujan di hulu dan alat pencatat tinggi

muka air Sub DAS Jirak (Map of the location of rainfall gauge in the upstream

and water level data logger installed in Jirak Sub Watershed).

Sumber (Source): Google Earth yang dianalisis (Analyzed of Google Earth), 2019

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 37-52

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 41

Alat yang digunakan dalam penelitian

ini antara lain:

a. GPS (Global Positioning System), untuk

plotting lokasi penelitian.

b. Penakar hujan otomatis (data logging

rain gauge) tipe RG3, sebagai pencatat

data hujan.

c. HOBO Water Level Data Logger,sebagai

pencatat TMA sungai bawah tanah gua.

d. Seperangkat peralatan fotografi,

sebagai alat dokumentasi lapangan.

e. Perangkat lunak (Microsoft Office

Word, Microsoft Office Excel, dan

ArcGIS 10.2, SPSS 17, Compass, Corel

Draw X5, dan HOBOware PRO), sebagai

alat pendukung pengolahan data

lapangan dan penulisan laporan.

C. Metode Penelitian

Pengukuran debit air sungai bawah

tanah dilakukan secara systematic

sampling pada outlet sungai yaitu pada

entrance Gua Kalisuci bagian hilir Sub DAS

Jirak yang digunakan sebagai lokasi awal

jalur penelusuran wisata. Data TMA

direkam dengan interval waktu ± 30

menit. Pengukuran debit langsung di

lapangan juga dilakukan sebagai acuan

untuk melakukan konversi data TMA dari

logger menjadi data debit air. Pengukuran

di lapangan menggunakan metode

velocity area method dengan media

pelampung. Ilustrasi pengukuran metode

velocity area method ditunjukkan oleh

Gambar 2.

Data curah hujan didapatkan melalui

pemasangan stasiun penakar hujan

otomatis tipe RG3 yang berada di hulu

Sub DAS Jirak. Data curah hujan diambil

secara temporal selama 1 tahun dengan

interval waktu ± 30 menit.

Analisis karakteristik banjir dilakukan

untuk mengetahui waktu jeda kenaikan

TMA sungai (Tlag) mencapai bagian hilir

DAS dan jumlah kejadian banjir selama

penelitian. Perhitungan Tlag dilakukan de-

Gambar (Figure) 2. Ilustrasi (A) penampang melintang pelampung untuk perhitungan koefisien pelampung, (B) lintasan penampang, dan (C) luas penampang basah (Illustration of (A) cross section of floating object for floating method coefficient calculation, (B) transverse trajectory, and (C) wet perimeter area)

Sumber (Source): Analisis data (Data Analysis), 2019

Studi Karakteristik Hidrologi Sub DAS Jirak…………………………………..…….………………….(Bayu Argadyanto Prabawa)

42 @2019 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

ngan metode statistik analisis deret waktu

(time series analysis) (Zhang, Chen, Shi, &

Chen, 2013; Nurkholis, Adji, & Haryono,

2019). Analisis deret waktu ini dipilih

karena dapat digunakan untuk

mengetahui lama respon debit sungai

terhadap kejadian hujan di hulu DAS.

Metode yang digunakan dalam analisis

deret waktu ini adalah metode cross-

correlation.

1. Lengkung Aliran Debit Sungai

Data TMA yang didapatkan dari logger

pencatat yang terpasang di sungai

dikonversi menjadi data debit aliran

setelah dilakukan perhitungan lengkung

debit aliran (stage-discharge rating curve).

Persamaan rating curve menggunakan

persamaan regresi adalah sebagai berikut:

Q = f x TMA……………………………………………………..(1)

Keterangan:

Q = debit aliran (m3/s)

f = fungsi regresi linier TMA dengan debit

aliran

TMA = tinggi muka air sungai

Perhitungan regresi ini perlu

memperhatikan nilai koefisien

determinasi (R2) untuk mengetahui

perbedaan varian dari data pengukuran

variabel Y pada garis regresi nilai

persamaan variabel X (Soewarno, 1991).

2. Korelasi Dua Variabel (Hujan dan Debit

Aliran)

Analisis ini digunakan untuk

mengetahui hubungan antara hujan di

hulu sungai Kalisuci pada Sub DAS Jirak

dan debit aliran rata-rata Sungai Kalisuci,

sehingga dapat diketahui gambaran awal

arah korelasi kedua variabel tersebut.

Korelasi antara dua variabel terjadi

apabila nilai probabilitas dari hasil

perhitungan kurang dari 0,05 dan nilai

korelasi harus lebih besar dibanding taraf

signifikansi 5%.

3. Analisis Deret Waktu dengan Cross-

Correlation

Analisis deret waktu biasa digunakan

untuk mengetahui hubungan linier antara

input dan output dalam kajian hidrologi.

Kajian hidrologi karst biasanya

menggunakan metode ini untuk

mengetahui respon debit mata air

terhadap hujan (Zhang et al. 2013).

Metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah korelasi silang (cross-

correlation). Persyaratan data dalam

melakukan analisis korelasi silang ini

adalah seri data harus memiliki interval

waktu yang sama dan diasumsikan

stasioner dalam nilai mean dan varians

(Cowpertwait dan Metcalfe, 2009 dalam

Thomas, 2010).

Hubungan antara dua variabel dapat

didefinisikan dengan rumus:

…………..……………………….(2)

Cxy adalah cross correlogram,

sedangkan puncak dari cross correlogram

(nilai rxy (k) tertinggi) merupakan estimasi

waktu tunda (time lag (Tlag)) yang

menunjukkan korelasi silang antara

variabel input dan output pada suatu

sistem.

Apabila:

……………………………(3)

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 37-52

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 43

Cx (0) dan Cy (0) adalah rumus standar

deviasi untuk masing-masing seri data

variabel x dan variabel y.

Korelasi silang diturunkan dengan

menggunakan bahasa R. Nilai R memiliki

besaran nilai mulai dari -1 hingga 1. Nilai R

yang mendekati 1 dan -1 menandakan

adanya hubungan yang kuat antar

variabel, baik positif (1) maupun negatif (-

1). Nilai R yang mendekati atau sama

dengan 0 menunjukkan hubungan yang

lemah atau tidak ada hubungan antara

kedua variabel (Fiorillo & Doglioni, 2010).

Nilai korelasi positif menunjukkan

hubungan linier antara dua variabel,

sedangkan nilai korelasi negatif

menunjukkan hubungan terbalik antara

dua variabel.

4. Analisis Hidrograf Satuan Kejadian

Banjir

Curah hujan yang jatuh tersebut

menjadi beberapa komponen limpasan,

yaitu aliran permukaan langsung, aliran

antara, dan aliran air tanah. Komponen-

komponen aliran ini merupakan

komponen penyusun hidrograf (Cheng,

Cheng, Wen, & Lee, 2013; Sofyan, Saidi,

Istijono, & Herdianto, 2017). Analisis

hujan efektif dilakukan dengan

memisahkan direct runoff dengan aliran

dasar.

Hidrograf satuan terpilih dianalisis

volume direct runoff (DRO), baseflow

(BF), hujan efektif (Pe), dan phi indeksnya.

Nilai direct runoff, baseflow, dan phi

indeks selanjutnya digambarkan dalam

hidrograf satuan (Unit Hydrograph /UH).

Hidrograf satuan ini dapat

menggambarkan besarnya waktu tunda

(Tlag) yang dilihat dari waktu hujan

tertinggi hingga waktu menuju puncak

banjir. Selain hujan efektif, juga digunakan

analisis statistik korelasi dan regresi untuk

menentukan hubungan antara debit

puncak dengan beberapa komponen

hujan. Ilustrasi hidrograf banjir

ditunjukkan oleh Gambar 3.

Gambar (Figure) 3. Ilustrasi hidrograf satuan banjir (Illustration of flood unit hydrograph)

Sumber (Source): Modifikasi dari Harto, 1993 (Modified from Harto, 1993)

Studi Karakteristik Hidrologi Sub DAS Jirak…………………………………..…….………………….(Bayu Argadyanto Prabawa)

44 @2019 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

DRO = Q x BF..........................................(4)

Keterangan :

DRO = direct runoff (m3)

Q = debit sungai (m3/s)

BF = baseflow (m3/s)

VDRO = Σ (DRO x ΔT)...............................(5)

Keterangan: VDRO = volume direct runoff (m3)

DRO = direct runoff (m3/s)

ΔT = interval perekaman debit (menit)

Pe = VDRO .............................................(6)

A

Keterangan :

Pe = hujan efektif (mm)

VDRO = volume direct runoff (m3)

A = luas DAS (m2)..........................(7)

Keterangan:

Ø = nilai phi indeks (mm/jam)

Ptot = hujan total (mm)

Pe = hujan efektif (mm)

ΔT = interval waktu perekaman (jam)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai tinggi muka air (TMA) berdasarkan

pencatatan alat dengan interval

perekaman 30 menit selama 1 tahun

mulai tanggal 20 Juni 2015 sampai dengan

20 Juni 2016. Gambar 4 menunjukkan

grafik lengkung aliran dengan persamaan

regresi linier antara TMA dan debit Sungai

Jirak. Persamaan regresi dari lengkung

aliran yang menunjukkan hubungan TMA

dan debit sungai Jirak adalah:

Q = 1.2355e3.1771(h) ............................................(8)

Keterangan :

Q = debit aliran (m3/s) h = tinggi muka air sungai (m) e = nilai eksponensial

Nilai lengkung aliran ini digunakan

untuk menentukan debit sub DAS Jirak

selama masa pengukuran. Hidrograf aliran

Sub DAS Jirak ditunjukkan oleh Gambar 5.

Gambar (Figure) 4. Grafik dan persamaan lengkung aliran sungai Jirak (Jirak river’s rating curve

equation and graph)

Sumber (Source): Analisis data (Data analysis), 2019

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 37-52

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 45

Gambar (Figure) 5. Hidrograf aliran Sub DAS Jirak perekaman 1 tahun (Hydrograph of one-year

recorded discharge data in Jirak Sub Watershed)

Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis), 2019

Perhitungan korelasi silang ini

menggunakan nilai time lag hingga 15 jam

(nilai waktu tunda 30). Hasil pengolahan

data ini menghasilkan grafik yang

menghubungkan nilai ksorelasi dengan

waktu tunda antara kenaikan debit dan

kejadian hujan. Fungsi korelasi silang

antara hujan dan debit aliran

menunjukkan nilai k (waktu tunda) positif

yang menandakan bahwa hujan di daerah

hulu mempengaruhi kenaikan debit di hilir

sub DAS Jirak. Nilai korelasi (rxy(k))

tertinggi sebesar 0,245 berada pada angka

waktu tunda ke-6. Data dengan interval

30 menitan menunjukkan bahwa nilai

waktu tunda adalah selama 3 jam. Grafik

analisis korelasi silang debit Sub DAS Jirak

terhadap kejadian hujan ditunjukkan oleh

Gambar 6.

Gambar (Figure) 6. Grafik cross correlation debit sub DAS Jirak terhadap kejadian hujan (Cross-correlation

graph between Jirak Sub Watershed discharge and rainfall occurrence)

Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis), 2019

0,245

Studi Karakteristik Hidrologi Sub DAS Jirak…………………………………..…….………………….(Bayu Argadyanto Prabawa)

46 @2019 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Analisis deret waktu (time series

analysis) di kawasan karst umumnya

digunakan untuk membagi tipe akuifer

karst berdasarkan karakteris- tik

hidrologinya, terutama dilakukan pada

sistem mata air dan sungai bawah tanah

(Nurkholis, Adji, & Haryono, 2019).

Penelitian ini menggunakan analisis deret

waktu untuk mengetahui karakteristik

sungai permukaan yang masuk ke sistem

sungai bawah tanah karst. Perhitungan

korelasi silang dalam analisis deret waktu

juga dilakukan dengan membagi musim

penghujan menjadi tiga fase, yaitu fase

awal musim hujan, fase pertengahan

musim hujan, dan fase akhir musim hujan.

Pembagian fase hujan ditunjukkan oleh

Gambar 7. Perhitungan analisis silang

pada fase awal hujan menunjukkan nilai

korelasi (rxy(k)) tertinggi pada nilai positif.

Nilai korelasi (rxy(k)) tertinggi sebesar

0,109 berada pada angka waktu tunda ke-

166, atau nilai waktu tunda adalah selama

83 jam atau 3 hari lebih 11 jam. Hal ini

dimungkinkan saat fase awal hujan, curah

hujan yang jatuh ke permukaan tanah

tidak langsung menjadi aliran permukaan,

namun mengisi rongga-rongga tanah

hingga jenuh atau masuk ke dalam sistem

epikarst terlebih dahulu. Perhitungan

waktu tunda pada fase tengah hujan

menunjukkan nilai korelasi (rxy(k)) (rxy(k))

tertinggi sebesar 0,263 berada pada

angka time lag ke-5, atau nilai waktu

tunda adalah selama 2,5 jam. Perhitungan

waktu tunda pada fase akhir hujan

menunjukkan nilai korelasi (rxy(k))

tertinggi sebesar 0,401 berada pada

angka time lag ke-6, atau nilai waktu

tunda adalah selama 3 jam. Respon debit

yang bertambah cepat di tiap fase hujan

ini disebabkan karena kondisi permukaan

tanah yang telah jenuh air, sehingga curah

hujan yang turun langsung menjadi aliran

permukaan. Grafik analisis korelasi silang

debit pada tengah dan akhir musim hujan

ditunjukkan oleh Gambar 8.

Pemilihan kejadian banjir dengan satu

puncak tunggal (single peak discharge)

pada data perekaman debit aliran Sub

DAS Jirak selama 1 tahun menemukan

sebanyak 17 hidrograf kejadian banjir.

Fase awal musim hujan memiliki

persentase hujan efektif dari tebal hujan

yang terjadi pada satu kejadian hujan

yang lebih kecil dibandingkan curah hujan

yang hilang (tidak menjadi limpasan).

Pemilihan kejadian banjir pada fase ini

mendapatkan persentase hujan efektif

sebesar 30-36% saja. Persentase hujan

efektif pada fase tengah musim hujan

sebesar 18-96,9% dengan rata-rata

sebesar 55% yang menjadi hujan efektif.

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 37-52

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 47

Gambar (Figure) 7. Pembagian fase musim hujan pada data hujan (The division of the rainy season phase on

the rain data)

Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis), 2019

Gambar (Figure) 8. Grafik cross correlation debit Sub DAS Jirak pada fase tengah dan akhir hujan(Cross-correlarion graph of Jirak Ssub Watershed discharge in the mid-phase and the end-phase of rainy season)

Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis), 2019

Beberapa variabel hujan yang diuji

statistik adalah variabel durasi hujan,

tebal hujan, puncak hujan, dan hujan

efektif. Hasil perhitungan statistik antara

debit puncak aliran dengan komponen-

komponen hujan di hulu Sub DAS Jirak

menunjukkan hubungan yang positif

antara variabel-variabel bebas (durasi

hujan, tebal hujan, hujan efektif, dan

puncak hujan) dengan variabel terikat

(debit puncak Sub DAS Jirak). Variabel

tebal hujan dan curah hujan efektif

memiliki nilai korelasi dan regresi yang

cukup kuat terhadap kejadian debit

puncak banjir di hilir Sub DAS Jirak. Kedua

variabel tersebut dapat dijadikan

patokan/referensi bagi pengelola wisata

Cave Tubing Kalisuci untuk memprediksi

kejadian banjir di Sungai Kalisuci

berdasarkan tebal hujan dan hujan efektif

yang terjadi. Nilai hujan efektif minimal

sebesar 5 mm dengan tebal hujan sebesar

minimal sebesar 14,5 mm bahkan sudah

menyebabkan banjir di hilir Sub DAS Jirak.

Hasil analisis korelasi dan regresi variabel

komponen hujan terhadap debit puncak

di Sub DAS Jirak ditunjukkan oleh Tabel 2.

Studi Karakteristik Hidrologi Sub DAS Jirak………………………………………………………………………………………………………………………………..…….………………….(Bayu Argadyanto Prabawa)

48 @2019 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Tabel (Table) 1. Penentuan komponen hujan pada seluruh kejadian banjir terpilih selama periode penelitian (Determination of rain componenst in all selected flood events during the research period)

Fase Musim Hujan

Waktu Awal Hujan

Waktu Banjir (Debit Puncak)

Tebal Hujan (mm)

Puncak Hujan (mm)

Durasi Hujan (jam)

Debit Puncak

(Lt/detik)

Time lag (jam)

Hujan Efektif (mm)

Hujan Efektif

(%)

Ploss (mm)

Ø indeks

Awal Musim Hujan

12/16/2015 16:30 12/16/2015 18:30 42,5 6,5 5,5 1503,2192 1,0 15,5 36,5 27,0 2,5

12/21/2015 14:00 12/21/2015 16:30 14,5 9,5 2,0 1015,1888 2,0 5,5 37,7 9,0 2,3

1/11/2016 13:00 1/11/2016 14:30 48 26 4,0 1464,0944 1,0 14,7 30,6 33,3 4,9

Tengah Musim Hujan

1/22/2016 16:30 1/22/2016 20:00 23,5 7 3,5 2485,4576 2,5 22,8 96,9 0,7 0,1

2/1/2016 19:00 2/1/2016 20:00 16,5 12,5 3,5 1826,5136 1,0 9,7 58,8 6,8 1,0

2/5/2016 14:00 2/5/2016 22:30 35 7,5 8,0 1958,3024 5,0 19,0 54,4 16,0 1,0

3/26/2016 18:00 3/26/2016 21:30 106,5 47 2,0 3261,776 3,5 49,9 46,9 56,6 14,8

3/30/2016 16:30 3/30/2016 20:30 66 44,5 5,5 3103,22 2,5 31,5 47,7 34,5 3,1

4/1/2016 13:30 4/1/2016 17:00 27,5 17 1,5 1114,03 3,0 5,0 18,1 22,5 5,5

4/6/2016 12:00 4/6/2016 16:00 16 17,5 2,5 1239,6416 3,0 8,6 53,6 7,4 3,5

4/8/2016 16:00 4/8/2016 19:00 37,5 19,5 2,5 2201,29 2,5 23,9 63,6 13,6 2,7

Akhir Musim Hujan

4/11/2016 16:00 4/11/2016 18:30 83 44,5 3,5 2833,46 2,5 64,7 78,0 18,3 2,6

4/12/2016 14:30 4/12/2016 17:30 83,5 26,5 3,5 2870,53 3,0 59,2 70,9 24,3 3,5

4/13/2016 17:00 4/13/2016 22:00 91,5 29 6,0 3482,11 4,5 77,1 84,3 14,4 1,2

4/16/2016 17:00 4/16/2016 18:30 33,5 28 3,5 2586,3584 1,5 31,0 92,5 2,5 0,4

4/26/2016 15:00 4/26/2016 18:00 44 24 2,0 1494,9824 3,0 30,4 69,1 13,6 6,3

4/30/2016 0:00 4/30/2016 3:30 47,5 5,5 2,5 1647,3632 4,0 16,1 33,9 31,4 1,5

Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis), 2019

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 37-52

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 49

Tabel (Table) 2 Nilai korelasi dan regresi komponen hujan terhadap debit puncak Sub DAS Jirak (Correlation and regression value between rainfall components and peak discharge of Jirak Sub Watershed)

Data 30 menitan Tebal Hujan

Puncak Hujan

Durasi Hujan

Hujan Efektif

Debit Puncak r 0,784 0,678 0,328 0,855

R² 0,6806 0,5207 0,1564 0,7803

Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis), 2019

Hasil perhitungan dengan analisis deret

waktu tidak menyimpang jauh dari hasil

perhitungan menggunakan hidrograf

satuan banjir terpilih. Hasil perhitungan

dengan analisa deret waktu, korelasi

silang menghasilkan waktu tunda selama

2,5 hingga 3 jam, sedangkan hasil

hidrograf banjir menunjukkan waktu

tunda rata-rata selama 2,7 jam. Respon

cepat ini menandakan sistem drainase

dari Sub DAS Jirak yang cepat. Selain

dipengaruhi oleh faktor hujan, sistem

pengatusan ini terkait oleh penggunaan

lahan, material permukaan, kemiringan

lereng, topografi DAS, bentuk dan ukuran

DAS (Dharmananta, Suyarto, & Trigunasih,

2019). Nilai waktu tunda ini dapat

dijadikan sebagai referensi waktu bagi

pengelola wisata di Kalisuci dalam

melakukan kegiatan evakuasi bilamana

terjadi banjir, sehingga pengelola dapat

mengantisipasi kejadian banjir akan

terjadi pada 2,5 – 3 jam setelah kejadian

hujan di hulu sungai.

Hasil korelasi dan regresi yang

menunjukkan hubungan dan pengaruh

kuat dari komponen tebal hujan dan

curah hujan efektif ini perlu diperhatikan

pengelola, di mana hujan dengan nilai

tersebut sudah menyebabkan banjir. Hal

ini dapat dijadikan referensi bagi

pengelola apabila akan memasang sistem

peringatan dini (Early Warning System)

banjir dengan menggunakan patokan nilai

hujan tersebut sebagai upaya untuk

kesiapsiagaan terhadap kejadian bencana

banjir di Sub DAS Jirak.

IV. KESIMPULAN

Banjir Sub DAS Jirak menunjukkan

bahwa waktu tunda antara kejadian hujan

dan awal kejadian banjir di sub DAS Jirak

berkisar 2,5 hingga 3 jam dengan nilai

korelasi yang meningkat hingga fase akhir

hujan. Persentase hujan efektif yang jatuh

di Sub DAS Jirak menjadi total run off yang

semakin meningkat pada fase akhir hujan.

Seluruh parameter hujan di Sub DAS Jirak

memiliki korelasi positif dengan kejadian

debit puncak. Parameter yang paling

mempengaruhi kejadian banjir di Sub DAS

Jirak adalah tebal hujan dan curah hujan

efektif. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa Sub DAS Jirak cepat merespon

terjadinya hujan di hulu sungai menjadi

debit aliran. Pengelola wisata di Gua

Kalisuci yang memanfaatkan aliran Sub

DAS Jirak dapat menggunakan patokan

waktu tunda untuk memperkirakan

kejadian banjir yaitu 2,5 - 3 jam setelah

Studi Karakteristik Hidrologi Sub DAS Jirak……………….…………………..…….………………….(Bayu Argadyanto Prabawa)

50 @2019 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

kejadian hujan di hulu. Tebal hujan dan

hujan efektif dapat digunakan sebagai

variabel acuan dalam pembangunan

sistem peringatan dini banjir di Sub DAS

Jirak. Untuk yang akan datang masih

diperlukan penelitian yang berkaitan

pengembangan sistem peringatan dini

yang mudah diterapkan untuk masyarakat

setempat berdasarkan hasil temuan

ilmiah penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bailly-Comte, V., Martin, J.B., Jourde, H., Screaton, E.J., Pistre, S., & Langston, A. (2010). Water exchange and pressure transfer between conduits and matrix and their influence on hydrodynamics of two karst aquifers with sinking streams. Journal of Hydrology 386, 55–66. https://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2010.03.005

Dewaide, L., Bonniver, I., Rochez, G., & Hallet, V. (2016). Solute transport in heterogeneous karst system: Dimensioning and of the transport parameters vi multi-sampling tracer-test modelling using OTIS (One-dimensional Transport with Inflow and Storage) Program. Journal of Hydrology 534, 567-578. https://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2016.01.049

Dharmananta, I. D. P. G. A., Suyarto, R., & Trigunasih, N. M. (2019). Pengaruh morfometri DAS terhadap debit dan sedimentasi DAS Yeh Ho. Agroekoteknologi Tropika 8(1), 32–42

Fiorillo, F., & Doglioni, A. (2010). The relation between karst spring discharge and rainfall by cross-correlation analysis (Campania, Southern Italy). Hydrogeology Journal. https://doi.org/10.1007/s10040-010-

0666-1

Ford, D., & Williams, P. (2013). Karst Hydrogeology and Geomorphology. In Karst Hydrogeology and Geomorpho- logy. https://doi.org/10.1002/9781118684986

Gillieson, D. (2009). Caves: Processes, Development and Management. In Caves: Processes, Development and Management. https://doi.org/10.1002/9781444313680

Gill, L.W., Babechuck, M.G., Kamber, B.S., McCormeck, T., & Murphy, C. (2018). Use of trace and rare earth elements to quantify autogenic allogenic inputs within a lowland karst network. Applied Geochemistry 90, 101-114. http://doi.org/10.1016/j.apgeochem.2018.01.001

Goldscheider, N. (2012). A holistic approach to groundwater protection and ecosystem services in karst terrains. AQUA mundi-am06046, 117-124. https://doi.org/10.1007/s13146-019-00492-5

Harmann, A., Goldscheider, N., Wagener, T., Lange, J., Weiler, M. (2014). Karst water resources in a changing world: Review of hydrological modeling approaches. Reviews of Geophysics 52, 218-242, https://doi.org/10.1002/2013RG000443

Harto, S.B. (1993). Analisis hidrologi. Jakarta: Gramedia

Kusumayudha, S. B. (2005). Hidrogeologi Karst dan Geometri Fraktal di Daerah Gunungsewu. Yogyakarta: Adicita.

Macdonald, S.M.& Patners. (1984). Greater Yogyakarta Groundwater Resources Study (Volume 3C: Cave

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 37-52

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 51

Survey). In Greater Yogyakarta Groundwater Resources Study. Yogyakarta: P2AT, Ministry of Public Works

Nurkholis, A., Adji, T. N., & Haryono, E. (2019). Time series analysis application for karst aquifer characterisation in Pindul Cave Karst System, Indonesia. Acta Carsologica 48 (1), 69-84. https://doi.org/10.3986/ac.v48i1.6745

Panagopoulos, G., & Lambrakis, N. (2006). The contribution of time series analysis to the study of the hydrodynamic characteristics of the karst systems: Application on two typical karst aquifers of Greece (Trifilia,Almyros Crete). Journal of Hydrology. https://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2006.02.023

Putro, S. T. (2012). Analysis of Organic Carbon Flux in the Gilap Cave, Ponjong Sub-District, Gunungkidul District, Yogyakarta, Indonesia. Tesis S2, Fak. Geografi. Universitas Gadjah Mada

Reh, R., Liche, T., Geyer, T., Nödler, K., & Sauter, M. (2013). Occurrence and spatial distribution of organic micro-pollutants in a complex hydrogeological karst system during low flow and high flow periods, results of a two-year study. Science of the Total Environment 443, 438–445. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2012.11.005

Samodra, H. (2001). Nilai Strategis Kawasan Karst di Indonesia :

Pengelolaan dan Perlindungan. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Soewarno. (1991). Hidrologi : Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri). Bandung: Penerbit Nova

Sofyan, E.R., Saidi, A., Istiyono, B., & Herdianto, R. 2017. Model hidrograf akibat perubahan tataguna lahan DAS Batang Kuranji (Studi kasus Sub DAS Danau Limau Manis). Poli Rekayasa 13 (1), 1-10

Thomas, B. C. (2010). Comparison of two physically-based spatially distributed hydrology models in contrasting geo-climatic settings. Thesis S2, ITC The Netherlands

White, W. B. (1988). Geomorphology and hydrology of karst terrains. Geomorphology and Hydrology of Karst Terrains. https://doi.org/10.1002/jqs.3390040211

You, Z., Chen, W., & Song, L. (2011). Evaluating ecological tourism under sustainable development in karst area. Journal of Sustainable Development. https://doi.org/10.5539/jsd.v4n2p234

Zhang, Z., Chen, X., Shi, P., & Chen, X.

(2013). Quantifying time lag of

epikarst-spring hydrograph response

to rainfall using correlation and

spectral analyses. Hydrogeology

Journal.

https://doi.org/10.1007/s10040-013-

1041-9

Studi Karakteristik Hidrologi Sub DAS Jirak……………….…………………..…….………………….(Bayu Argadyanto Prabawa)

52 @2019 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Halaman ini sengaja dibiarkan kosong

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097 doi https://doi.org/10.20886/jppdas.2020.4.1.53-62

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 53

POLA HUJAN DI BAGIAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI BENGAWAN SOLO DALAM PERENCANAAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA AIR

(Rainfall pattern for water resources utilization planning in the upperstream of Bengawan Solo Watershed)

Diah Auliyani1 dan Nining Wahyuningrum1

1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Jl A Yani. Pabelan, Kartasura. PO.BOX 295 Surakarta/ 57102.Telp (0271)716709, 716959

Email: [email protected]

Diterima: 27 November 2019; Direvisi : 12 Februari 2020; Disetujui : 17 Maret 2020

ABSTRACT

Information about rainfall fluctuations is essential especially for local people who are still depend on natural resources. This study aims to analyze rainfall pattern in the upper stream of Bengawan Solo Watershed. This information can be used as a basis for water resources utilization planning. We analyze the rainfall data from 14 rain gauge stations descriptively to determine rainfall fluctuations and seasonal shifts. Annual rainfall in the upper stream of Bengawan Solo Watershed varies between 1,433.5 mm to 3,231.2 mm with an average of 2,224.6 mm. The beginning of the rainy or dry seasons did not change, however, the duration of the rainy season increased from 7 months (October-April) in 1990-1998 and 1999-2007 to 8 months (October-May) in 2008-2016. About 90% of rainfall was concentrated in the rainy season. Rainwater harvesting should be done to reduce runoff in the rainy season as well as efforts to provide water resources in the dry season. Keywords: Rainfall; Seasonal shift; Water resources; Bengawan Solo

ABSTRAK

Informasi mengenai fluktuasi hujan sangat penting terutama bagi masyarakat lokal yang masih bergantung pada sumberdaya alam. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pola hujan di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo. Informasi ini dapat digunakan sebagai dasar dalam perencanaan pemanfaatan sumberdaya air. Data curah hujan tahun 1990-2016 dari 14 stasiun penakar hujan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui fluktuasi hujan dan pergeseran musim. Curah hujan tahunan di hulu DAS Bengawan Solo bervariasi antara 1.433,5 mm hingga 3.231,2 mm dengan rerata mencapai 2.224,6 mm. Tidak terjadi perubahan awal musim hujan maupun musim kemarau, namun demikian durasi musim hujan mengalami peningkatan dari 7 bulan (Oktober-April) pada periode 1990-1998 dan 1999-2007, bertambah menjadi 8 bulan (Oktober-Mei) pada periode 2008-2016. Sebesar 90% curah hujan terkonsentrasi pada musim hujan. Pemanenan air hujan dapat dilakukan untuk mengurangi runoff di musim hujan sekaligus sebagai upaya penyediaan sumberdaya air di musim kemarau. Kata kunci: Curah hujan; Pergeseran musim; Sumberdaya air; Bengawan Solo

Pola Hujan di bagian Hulu Daerah Aliran Sungai………………………………………….…… (Diah Auliyani dan Nining Wahyuningrum)

54 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

I. PENDAHULUAN

Hujan memiliki dua sisi yang saling

bertolak belakang dalam hal bencana

hidrometeorologis. Dalam jumlah

berlimpah, hujan mampu menjadi agen

bagi bencana banjir, erosi, serta longsor,

sebaliknya, pengurangan jumlahnya secara

terus menerus akan mengakibatkan

bencana kekeringan. Penelitian

sebelumnya menyebutkan pengaruh

perubahan iklim terhadap variabilitas

hujan yang pada akhirnya menjadi pemicu

terjadinya berbagai bencana alam (Arnaud

et al., 2002; Narulita et al., 2010;

Olanrewaju et al., 2017). Masyarakat yang

kehidupan sehari-harinya masih

bergantung pada sumberdaya alam

menjadi sangat rentan terhadap

perubahan curah hujan tersebut (Adger et

al., 2003; Boissière et al., 2013; Lintner et

al., 2012). Oleh sebab itu, hujan menjadi

salah satu variabel iklim yang penting

untuk dipelajari.

Indonesia rentan terhadap perubahan

pola curah hujan (Nuryanto, 2013). Sebagai

pulau terpadat di Indonesia, Pulau Jawa

memiliki kerentanan yang tinggi terhadap

perubahan curah hujan. Pada 2015, Badan

Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

mencatat bahwa Jawa menjadi pulau yang

paling sering terpapar banjir dengan

kerugian fisik mencapai Rp. 65,4 Trilyun

dan kekeringan dengan kerugian mencapai

Rp. 56,5 Trilyun (Amri et al., 2016).

Mengingat tingginya kepadatan penduduk

di Pulau Jawa, kerugian yang dapat muncul

karena bencana alam akibat fluktuasi

hujan akan menjadi semakin besar. Oleh

karena itu, fluktuasi dan tren perubahan

curah hujan menjadi semakin penting

untuk dipelajari lebih lanjut.

Dalam pengelolaan Daerah Aliran

Sungai (DAS), hujan berperan penting

sebagai input bagi sistem hidrologi. Setiap

DAS memiliki respon yang berbeda

terhadap hujan dengan jumlah dan

intensitas tertentu. Bengawan Solo

merupakan DAS terbesar di Pulau Jawa.

Wilayahnya membentang dari Provinsi

Jawa Tengah hingga Jawa Timur, dengan

luas wilayah 20.125 km2 atau sekitar 12%

dari luas keseluruhan Pulau Jawa

(Kementerian PUPR, 2010). Pada musim

kemarau, wilayah DAS ini sering

mengalami kekeringan, sedangkan pada

musim hujan terjadi bencana banjir.

Penelitian sebelumnya menyebutkan

bahwa Kabupaten Wonogiri menjadi salah

satu area yang paling sering mengalami

kekeringan (Pramono & Savitri, 2019).

Sebagian besar Kota Solo pernah dilanda

banjir besar pada tahun 1966

(Kementerian PUPR, 2010). Berdasarkan

hal tersebut, tren fluktuasi hujan di DAS ini

perlu dipelajari lebih lanjut untuk rencana

mitigasi dan adaptasi terhadap bencana

yang berpotensi terjadi, maupun

perencanaan pemanfaatan air hujan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk

menganalisis pola hujan di bagian hulu DAS

Bengawan Solo. Informasi ini dapat

digunakan sebagai dasar dalam

perencanaan pemanfaatan sumberdaya

air. Seperti disampaikan oleh Adi (2009),

bagian hulu suatu DAS memiliki fungsi

utama sebagai daerah resapan. Diharapkan

dengan perencanaan pemanfaatan

sumberdaya air yang tepat akan

membantu mengontrol dampak buruk dari

fluktuasi hujan.

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 53-62

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 55

II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di bagian

hulu DAS Bengawan Solo. Secara geografis,

bagian hulu DAS Bengawan Solo

membentang antara 110026’27” –

111027’21” BT dan 7014’17” – 806’41” LS

(Gambar 1). Secara administratif, lokasi

penelitian terletak di beberapa

Kabupaten/kotamadya, yaitu: Klaten,

Sukoharjo, Boyolali, Surakarta, Wonogiri,

Karanganyar, Sragen, dan Ngawi. Sebagian

besar lokasi penelitian dimanfaatkan

sebagai kawasan pertanian, berupa tegalan

(38%) dan sawah (33%) (Wahyuningrum &

Basuki, 2019). Lebih lanjut disebutkan juga

penutupan lahan lainnya, yaitu

permukiman (13%), hutan produksi (10%),

permukiman perkotaan (2%), perkebunan

(1%), dan tubuh air (1%) (Wahyuningrum &

Basuki, 2019).

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah data

curah hujan harian tahun 1990-2016 yang

diperoleh dari 14 stasiun penakar hujan.

Lokasi penakar hujan ditunjukkan pada

Gambar 1. Curah hujan diukur secara

manual menggunakan ombrometer.

Penakaran jumlah curah hujan harian

dilakukan setiap pagi pukul 07.00 WIB.

Data tersebut selanjutnya dikalkulasi

menjadi data hujan bulanan. Untuk

Gambar (Figure) 1. Letak penakar hujan di bagian hulu DAS Bengawan Solo (Rainfall station position in the upperstream of Bengawan Solo Watershed)

Sumber (Source) : Analisis data (Data analysis), 2019

Pola Hujan di bagian Hulu Daerah Aliran Sungai………………………………………….…… (Diah Auliyani dan Nining Wahyuningrum)

56 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

mendapatkan besarnya hujan wilayah hulu

DAS Bengawan Solo dilakukan dengan

menggunakan metode Polygon Thiessen.

Curah hujan di hulu DAS Bengawan Solo

dihitung menggunakan Persamaan 1,

dimana R adalah curah hujan (mm),

sedangkan Rn adalah curah hujan dari

stasiun penakar (mm), dan An adalah luas

daerah yang diwakili oleh stasiun penakar

(km2).

……….(1)

C. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini disajikan analisis

deskriptif terhadap fluktuasi curah hujan

bulanan maupun tahunan. Pergeseran

musim dianalisis secara statistik maupun

deskriptif. Untuk mengetahui pergeseran

musimnya, data curah hujan bulanan

terlebih dahulu dibagi menjadi 3 periode,

yaitu 1990-1998, 1999-2007, dan 2008-

2016.

Dalam analisis statistik pergeseran

musim, data hujan dibagi menjadi 2 (dua),

yaitu musim hujan (Oktober-Maret) dan

musim kemarau (April-September).

Pergeseran musim diketahui menggunakan

Paired Sample T Test. Uji ini digunakan

untuk mengukur perubahan curah hujan

dalam dua periode yang berbeda.

Dikatakan telah terjadi pergeseran musim

jika nilai signifikansinya kurang dari 0,05.

Secara deskriptif, pergeseran musim

diketahui dengan mengelompokkan curah

hujan bulanan berdasarkan klasifikasi

Schmidt dan Fergusson. Menurut klasifikasi

Schmidt dan Ferguson, bulan basah

memiliki curah hujan lebih dari 100 mm,

sedangkan curah hujan kurang dari 60 mm

dikategorikan sebagai bulan kering. Curah

hujan diantara keduanya merupakan bulan

lembab atau pancaroba (Hermawan,

2010).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan

Solo bagian hulu memiliki tipe curah hujan

monsoonal. Tipe hujan ini memiliki satu

puncak musim kemarau dan satu puncak

musim hujan dengan perbedaan yang jelas

antara kedua musim tersebut (Mamenun

et al., 2014). Gambar 2 menunjukkan

distribusi curah hujan bulanan di hulu DAS

Bengawan Solo selama 1990-2016. Rerata

curah hujan pada musim hujan mampu

mencapai lebih dari 300 mm. Vernimmen

et al. (2012) menjelaskan bahwa bulan

paling kering di Indonesia terjadi antara

Juni-Oktober. Mengacu pada Gambar 2,

Gambar (Figure) 2. Fluktuasi curah hujan bulanan di

DAS Bengawan Solo bagian hulu

(Monthly rainfall fluctuation in

the upperstream of Bengawan

Solo)

Sumber (Source): Analisis data (Data analysis),

2019

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 53-62

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 57

terlihat tidak terjadi hujan (nilai = 0)

terutama antara Juni- September,

sedangkan curah hujan tertinggi (lebih dari

600 mm) terjadi pada Januari 2014. Hal ini

senada dengan penelitian sebelumnya

bahwa puncak musim hujan pada tipe

curah hujan monsoonal berlangsung

antara Desember hingga Februari (Aldrian

& Djamil, 2008; Aldrian & Susanto, 2003).

A. Fluktuasi curah hujan

Curah hujan tahunan di hulu DAS

Bengawan Solo bervariasi antara 1.433,5

mm hingga 3.231,2 mm dengan rerata

tahunan mencapai 2.224,6 mm. Dalam

rentang waktu pengamatan, curah hujan

tahunan terlihat mengalami kenaikan

(Gambar 3), begitu juga curah hujan

bulanannya (Gambar 4). Peningkatan

seperti ini telah terjadi secara global

Gambar (Figure) 3. Curah hujan tahunan di DAS Bengawan Solo bagian hulu (Annual rainfall

in the upperstream of Bengawan Solo Watershed)

Sumber (Source): Analisis data (Data analysis), 2019

Gambar (Figure) 4. Curah hujan bulanan di DAS Bengawan Solo bagian hulu (Monthly rainfall (in blue) and average monthly rainfall (in red) in the upperstream of Bengawan Solo Watershed)

Sumber (Source): Analisis data (Data analysis), 2019

Pola Hujan di bagian Hulu Daerah Aliran Sungai………………………………………….…… (Diah Auliyani dan Nining Wahyuningrum)

58 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

seiring terjadinya perubahan iklim (Alam et

al., 2011). Meningkatnya curah hujan ini

akan diikuti dengan peningkatan jumlah

tanah yang tererosi. Tanpa teknik

konservasi tanah dan air secara terpadu

pada lahan pertanian, erosi tersebut dapat

mengakibatkan penurunan produktivitas

lahan pertanian yang berdampak pada

kesejahteraan masyarakat lokal terutama

petani (Nugroho, 2000).

B. Pergeseran Musim

Distribusi temporal curah hujan pada

tiga periode menunjukkan bahwa lebih

dari 90% curah hujan tahunannya terjadi

pada musim hujan (Gambar 5). Hal ini

berarti bahwa terdapat perbedaan yang

sangat mencolok antara musim hujan dan

kemarau di hulu DAS Bengawan Solo.

Melimpahnya ketersediaan sumberdaya air

pada musim hujan ini dapat dikelola untuk

memenuhi kebutuhan sumberdaya air

pada musim kemarau. Salah satu langkah

yang bisa dilakukan adalah memperbanyak

jumlah air hujan yang meresap ke dalam

tanah dari pada yang mengalir menjadi

runoff. Wahyuningrum (2016) menyatakan

bahwa pengendalian runoff dapat

dilakukan dengan memperbanyak luas

hutan. Bagi hulu DAS Bengawan Solo yang

sebagian besar merupakan kawasan

pertanian, upaya pengurangan runoff

dapat dilakukan dengan penerapan teknik

konservasi tanah dan air secara terpadu.

Curah hujan berfluktuasi secara terus

menerus yang dapat menyebabkan

terjadinya pergeseran musim. Setiawan

(2012) menjelaskan bahwa pergeseran

awal musim hujan maupun kemarau dapat

diakibatkan oleh adanya perubahan

fluktuasi curah hujan bulanan. Hasil uji

statistik menunjukkan tidak terjadi

pergeseran musim hujan maupun kemarau

antara periode 1 (1990-1998) dan 2 (1999-

2007) di bagian hulu DAS Bengawan Solo.

Tabel 1 menjelaskan bahwa pergeseran

musim hanya terjadi antara periode 2

(1999-2007) dan 3 (2008-2016), yang

ditunjukkan dengan nilai signifikansi (2-

tailed) sebesar 0,011 (< 0,05).

Gambar (Figure) 5. Distribusi temporal curah hujan dalam tiga periode yang berbeda (Rainfall temporal distribution in three different periods)

Sumber (Source): Analisis data (Data analysis), 2019

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 53-62

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 59

Secara deskriptif, tidak terlihat adanya

pergeseran awal musim hujan maupun

kemarau. Bulan Mei yang pada dua

periode pertama merupakan masa

peralihan (pancaroba, curah hujan antara

60 – 100 mm), namun pada 2008-2016,

curah hujannya meningkat menjadi 164,5

mm sehingga dapat dikategorikan sebagai

bulan basah. Gambar 6 memperlihatkan

adanya penambahan durasi musim hujan

tersebut. Musim hujan yang semula

berlangsung selama 7 bulan (Oktober -

April) pada dua periode pertama

bertambah menjadi 8 bulan (Oktober-Mei)

pada periode terakhir.

Musim kemarau yang ditandai dengan

curah hujan kurang dari 60 mm

berlangsung selama 4 bulan, yaitu Juni -

September. Berdasarkan data curah hujan

harian, pada bulan tersebut beberapa kali

tidak terjadi hujan. Disebutkan bahwa

rendahnya curah hujan yang terjadi selama

3 bulan berturut-turut mengakibatkan

berkurangnya kelembaban tanah, sehingga

mempengaruhi pertumbuhan tanaman

(Okpara et al., 2017; Spinoni et al., 2014).

Teknik konservasi air dapat menjadi

alternatif penyediaan sumberdaya air pada

musim kemarau. Distribusi temporal curah

hujan yang terkonsentrasi pada musim

hujan akan mempertinggi runoff yang

berpotensi menyebabkan banjir baik di

hulu maupun hilir DAS Bengawan Solo.

Pemanenan Air Hujan (PAH) merupakan

salah satu teknik dalam konservasi air.

Selain mampu mengurangi runoff pada

musim hujan, kegiatan PAH juga mampu

mendukung pengelolaan lahan pertanian

secara berkelanjutan (Fachruddin et al.,

2015; Maarif, 2011; Yulistyorini, 2011).

Tabel (Table) 1. Hasil Paired Sample T Test (Result of the Paired Sample T Test)

Paired Differences

t df Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Pair 1 Musim_Hujan_1 - Musim_Hujan_2

-24,41216 128,42327 17,47619 -59,46496 10,64065 -1,397 53 0,168

Pair 2 Musim_Hujan_2 - Musim_Hujan_3

-49,28347 137,38146 18,69525 -86,78139 -11,78555 -2,636 53 0,011

Pair 3 Musim_Kemarau_1 - Musim_Kemarau_2

-7,14879 47,17939 6,42030 -20,02629 5,72870 -1,113 53 0,271

Pair 4 Musim_Kemarau_2 - Musim_Kemarau_3

-27,71278 76,96264 10,47329 -48,71954 -6,70602 -2,646 53 0,011

Sumber (Source): Analisis data (Data analysis), 2019

2008-2016

1999-2007

1990-1998

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan Ke -

Bulan basah Bulan lembab Bulan kering

Gambar (Figure) 6. Pergeseran musim di DAS Bengawan Solo bagian hulu (Seasonal shift in

the upperstream of Bengawan Solo Watershed)

Sumber (Source): Analisis data (Data analysis), 2019

Pola Hujan di bagian Hulu Daerah Aliran Sungai………………………………………….…… (Diah Auliyani dan Nining Wahyuningrum)

60 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

IV. KESIMPULAN

Tren curah hujan di hulu DAS Bengawan

Solo mengalami peningkatan dalam kurun

1990-2016. Dalam periode tersebut tidak

terjadi pergeseran awal musim hujan

maupun kemarau. Peningkatan curah

hujan yang terjadi menyebabkan musim

hujan berlangsung lebih lama, yaitu 7

bulan (Oktober-April) pada 1990-1998 dan

1999-2007, bertambah menjadi 8 bulan

(Oktober-Mei) pada 2008-2016. Sebesar

90% curah hujan terkonsentrasi pada

musim hujan. Teknik konservasi air, seperti

Pemanenan Air Hujan (PAH) dapat

dilakukan untuk mengurangi runoff pada

musim hujan, sekaligus sebagai penyedia

sumberdaya air pada musim kemarau.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai oleh DIPA Balai

Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

(BPPTPDAS) Surakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Adger, W. N., Huq, S., Brown, K., Conwaya, D., & Hulmea, M. (2003). Adaptation to climate change in the developing world. Progress in Development Studies, 3(3), 179–195. https://doi.org/10.1191/1464993403ps060oa

Adi, R. N. (2009). Pembuatan peta tingkat kerawanan banjir sebagai salah satu upaya mengurangi tingkat kerugian akibat bencana banjir. Ekspose Hasil Litbang Teknologi Pengelolaan DAS Dalam Upaya Pengendalian Banjir Dan Erosi-Sedimentasi, 283–291.

Alam, M. M., Toriman, M. E., Siwar, C., & Talib, B. (2011). Rainfall variation and

changing pattern of agricultural cycle. American Journal of Environmental Sciences, 7(1), 82–89. https://doi.org/10.3844/ajessp.2011.82.89

Aldrian, E., & Djamil, Y. S. (2008). Spatio-temporal climatic change of rainfall in East Java. International Journal of Climatology, 28, 435–448. https://doi.org/10.1002/joc.1543

Aldrian, E., & Susanto, R. D. (2003). Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. International Journal of Climatology, 23(12), 1435–1452. https://doi.org/10.1002/joc.950

Amri, M. R., Yulianti, G., Yunus, R., Wiguna, S., Adi, A. ., Ichwana, A. ., Randongkir, R. ., & Septian, R. . (2016). Risiko bencana Indonesia (R. Jati & M. . Amri (eds.)). Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Arnaud, P., Bouvier, C., Cisneros, L., & Dominguez, R. (2002). Influence of rainfall spatial variability on flood prediction. Journal of Hydrology, 260, 216–230. https://doi.org/10.1016/S0022-1694(01)00611-4

Auliyani, D., & Wijaya, W. W. (2017). Perbandingan prediksi hasil sedimen menggunakan pendekatan model universal soil loss equation dengan pengukuran langsung. Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research), 1(1), 61–71. https://doi.org/10.20886/jppdas.2017.1.1.61-71

Boissière, M., Locatelli, B., Sheil, D., Padmanaba, M., & Sadjudin, E. (2013). Local perceptions of climate variability and change in tropical forests of Papua, Indonesia. Ecology

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 53-62

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 61

and Society, 18(4). https://doi.org/10.5751/ES-05822-180413

Chang, J., Guo, A., Wang, Y., Ha, Y., Zhang, R., Xue, L., & Tu, Z. (2019). Reservoir operations to mitigate drought effects with a hedging policy triggered by the drought prevention limiting water level. Water Resources Research. https://doi.org/10.1029/2017WR022090

Fachruddin, Setiawan, B. I., Prastowo, & Mustafril. (2015). Pemanenan air hujan mengunakan konsep Zero Runoff System (ZROS) dalam pengelolaan lahan pala berkelanjutan. Jurnal Teknik Sipil, 22(2), 127–136. https://doi.org/10.5614%2Fjts.2015.22.2.6

Febrianti, N., & Sulma, S. (2013). Analisis kejadian banjir di DAS Bengawan Solo. INDERAJA, IV(6), 38–45. https://www.researchgate.net/publication/323800043_Analisis_kejadian_banjir_di_DAS_Bengawan_Solo

Hermawan, E. (2010). Pengelompokan pola curah hujan yang terjadi di beberapa kawasan Pulau Sumatera berbasis hasil analisis teknik spektral. Jurnal Meteorologi Dan Geofisika, 11(2), 75–85. https://doi.org/10.31172/jmg.v11i2.67

Kementerian PUPR. (2010). Pola pengelolaan sumber daya air di wilayah Sungai Bengawan Solo. Kementerian Pekerjaan Umum dan Permukiman Rakyat. http://sda.pu.go.id/

Lintner, B. R., Biasutti, M., Diffenbaugh, N. S., Lee, J. E., Niznik, M. J., & Findell, K. L. (2012). Amplification of wet and dry month occurrence over tropical land regions in response to global

warming. Journal of Geophysical Research Atmospheres, 117(11). https://doi.org/10.1029/2012JD017499

Maarif, S. (2011). Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengatasi resiko bencana kekeringan. Jurnal Sains Dan Teknologi Indonesia, 13(2), 65–73. https://doi.org/10.29122/jsti.v13i2.886

Mamenun, Pawitan, H., & Sophaheluwakan, A. (2014). Validasi dan koreksi data satelit TRMM pada tiga pola hujan di Indonesia (Validation and correction of TRMM satellite data on three rainfall patterns in Indonesia). Jurnal Meteorologi Dan Geofisika, 15(1), 13–23. https://doi.org/10.31172/jmg.v15i1.169

Mawardi, I. (2010). Kerusakan daerah aliran sungai dan penurunan daya dukung sumberdaya air di Pulau Jawa serta upaya penanganannya. Jurnal Hidrosfir Indonesia, 5(2), 1–11.

Narulita, I., Maria, R., & Djuwansah, R. (2010). Karakteristik curah hujan di Wilayah Pengaliran Sungai (WPS) Ciliwung Cisadane. Riset Geologi Dan Pertambangan, 20(2), 95–110. https://doi.org/10.14203/risetgeotam2010.v20.37

Nugroho, S. P. (2000). Minimalisasi lahan kritis melalui pengelolaan sumberdaya lahan dan konservasi tanah dan air secara terpadu. Jurnal Teknologi Lingkungan, 1(1), 73–82. https://doi.org/10.29122/jtl.v1i1.165

Nuryanto, D. E. (2013). Karakteristik curah hujan abad 20 di Jakarta berdasarkan kejadian iklim global (20th century rainfall characteristic in Jakarta based on global climate events). Jurnal

Pola Hujan di bagian Hulu Daerah Aliran Sungai………………………………………….…… (Diah Auliyani dan Nining Wahyuningrum)

62 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Meteorologi Dan Geofisika, 14(3), 139–147. https://doi.org/10.31172/jmg.v14i3.165

Okpara, J. N., Afiesimama, E. A., Anuforom, A. C., Owino, A., & Ogunjobi, K. O. (2017). The applicability of standardized precipitation index: Drought characterization for early warning system and weather index insurance in West Africa. Natural Hazards, 89(2), 555–583. https://doi.org/10.1007/s11069-017-2980-6

Olanrewaju, R., Ekiotuasinghan, B., & Akpan, G. (2017). Analysis of rainfall pattern and flood incidences in Warri Metropolis, Nigeria. Geography, Environment, Sustainability, 10(4), 83–97. https://doi.org/10.24057/2071-9388-2017-10-4-83-97

Pramono, I. B., & Savitri, E. (2019). Modification method of drought vulnerability at Wonogiri District, Central Java, Indonesia. International Journal of Innovative Technology and Exploring Engineering (IJITEE), 8(6S3), 551–555. https://www.ijitee.org/wp-content/uploads/papers/v8i6s3/F11080486S319.pdf

Setiawan, O. (2012). Analisis variabilitas curah hujan dan suhu di Bali. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 9(1), 66–79.

Spinoni, J., Naumann, G., Carrao, H., Barbosa, P., & Vogt, J. (2014). World drought frequency, duration, and severity for 1951-2010. International Journal of Climatology, 34, 2792–2804. https://doi.org/10.1002/joc.3875

Vernimmen, R. R. E., Hooijer, A., Mamenun, Aldrian, E., & Van Dijk, A. I. J. M. (2012). Evaluation and bias correction of satellite rainfall data for drought monitoring in Indonesia. Hydrology and Earth System Sciences, 16(1), 133–146. https://doi.org/10.5194/hess-16-133-2012

Wahyuningrum, N. (2016). Pengembangan model pendugaan aliran permukaan dan sedimen pada beberapa skenario penggunaan lahan pada Sub DAS Wuryantoro. http://etd.repository.ugm.ac.id/

Wahyuningrum, N., & Basuki, T. M. (2019). Analisis kekritisan lahan untuk perencanaan rehabilitasi lahan DAS Solo bagian hulu. Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 3(1), 27–44. https://doi.org/10.20886/jppdas.2019.3.1.27-44

Yulistyorini, A. (2011). Pemanfaatan air hujan sebagai alternatif pengelolaan sumberdaya air di perkotaan. Teknologi Dan Kejuruan, 34(1), 105–114. http://journal.um.ac.id/index.php/teknologi-kejuruan/article/view/3024

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097 doi https://doi.org/10.20886/jppdas.2020.4.1.63-78

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 63

FUZZY ANALYTIC HIERARCHY PROCESS BERBASIS MORFOMETRI UNTUK PRIORITAS PENANGANAN EROSI DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO

(Fuzzy analytic hierarchy process based on watershed morphometry for erosion priority mapping in Oyo Sub Watershed)

Alfiatun Nur Khasanah 1 dan Arina Miardini 2 1Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada

Gedung SV UGM Sekip Unit 1 Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta 2Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Jl. A. Yani, Pabelan, P.O.BOX 295 Surakarta57102 Email: [email protected]

Diterima: 05 Februari 2020; Direvisi: 19 Mei 2020; Disetujui: 26 Juni 2020

ABSTRACT

Erosion is an indication of watershed degradation. In a watershed management, it is necessary to prioritize the handling that takes into account the characteristics of the watershed, one of which is morphometric character. This study aims to determine the priority location of erosion management in Oyo Watershed based on morphometric data using Fuzzy AHP modeling. Morphometric parameters that affect erosion are Rbm (bifurcation ratio), Rc (circulatory ratio), Dd (drainage density), T (texture), Su (Gradient) and Rn (Rugness Number). The highest value of the output shows the priority location that should be controlled. The high priority levels are found in 21 sub-watersheds with an area of 3,82 ha, medium levels are in 35 sub-watersheds with an area of 17,780.21 ha, low levels are in 106 sub-sub Watersheds with an area of 48,974.46 ha. The priority order for erosion management at the sub-watershed level is very important to prepare a watershed management plan in order to control soil erosion that is appropriate to protect the soil from further erosion.

Keywords: fuzzy-AHP; morphometry; priority; erosion; Oyo Sub-watershed

ABSTRAK

Erosi merupakan salah satu indikasi kerusakan DAS. Dalam pengelolaan DAS perlu dilakukan urutan prioritas penanganan dengan memperhatikan karakteristik DAS, salah satunya yaitu karakter morfometri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lokasi prioritas penanganan erosi di Sub DAS Oyo berdasarkan data morfometri dengan menggunakan pemodelan Fuzzy AHP. Parameter morfometrik yang mempengaruhi erosi adalah Rbm (bifurcation ratio), Rc (circulatory ratio), Dd (drainage density), T (texture), Su (gradient), dan Rn (rugness number). Nilai tertinggi dari hasil analisis menunjukkan lokasi prioritas yang harus didahulukan penanganan erosinya. Tingkat prioritas tinggi terdapat pada 21 sub-sub DAS dengan luas 3.82 ha, tingkat sedang pada 35 sub-sub DAS dengan luas 17.780,21 ha, tingkat rendah pada 106 sub-sub DAS dengan luas 48.974,46 ha. Urutan prioritas penanganan erosi pada tingkat sub DAS sangat penting untuk menyusun rencana pengelolaan DAS dalam

Fuzzy Analytic Hierarchy Process Berbasis Morfometri…………………………………… (Alfiatun Nur Khasanah dan Arina Miardini)

64 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

rangka pengendalian erosi tanah yang sesuai sebagai upaya perlindungan tanah dari erosi lebih lanjut.

Kata kunci: fuzzy-AHP; morfometri; prioritas; erosi; Sub DAS Oyo

I. PENDAHULUAN

Alih fungsi lahan dan pengelolaan

sumberdaya lahan yang tidak sesuai

dengan kaidah konservasi merupakan

salah satu penyebab terjadinya kerusakan

Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini

berdampak pada tingginya laju erosi

terutama di daerah hulu dan sedimentasi

pada bagian hilir (Miardini & Khasanah,

2017). Kerusakan DAS ditandai dengan

adanya penurunan fungsi hidrologi,

berkurangnya sumber daya air, tingginya

laju erosi tanah, rendahnya tutupan

vegetasi, dan terjadinya kerusakan

infrastruktur (Aglanu, 2014). Erosi memiliki

beragam faktor pemicu, salah satunya

adalah air hujan. Erosi lahan akibat air

merupakan proses rusaknya agregat tanah

menjadi fraksi yang lebih halus akibat

tekanan air hujan yang dipindahkan oleh

air aliran permukaan pada lereng bagian

atas menuju lereng bagian bawah

(Kasmawati, Hasanah, & Rahman, 2016).

Erosi membawa partikel sedimen yang

terbawa oleh aliran dan mengendap pada

bagian tertentu di sungai. Hal ini

berpengaruh pada penurunan daya

tampung sungai (Miardini, 2019).

Erosi merupakan masalah serius di

negara-negara berkembang yang memiliki

sumber daya teknis dan keuangan yang

terbatas (Hammad, 2009), termasuk di

Indonesia. Adanya keterbatasan tersebut

dapat disiasati melalui pemanfaatan

teknologi Penginderaan Jauh (PJ) dan

Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam

mengekstraksi parameter yang

berhubungan dengan erosi. Salah satunya

adalah melalui pendekatan geomorfologi

dengan analisis morfometri DAS.

Morfometri merupakan analisis kuantitatif

(matematis) dari suatu bentuk lahan

(Asfaw & Workineh, 2019). Morfometri

dapat menggambarkan perilaku hidrologi

dalam DAS, sehingga dapat digunakan

sebagai dasar pengelolaan saat data yang

tersedia tidak memadai (Gajbhiye, Mishra,

& Pandey, 2013).

Analisis morfometri mampu

memberikan gambaran mengenai kondisi

topografi DAS salah satunya adalah indeks

kemiringan. Indeks ini dapat membantu

dalam identifikasi risiko erosi dan

konservasi tanah dalam kaitannya dengan

pengelolaan sumber daya air (Mohammed,

Adugna, & Takala, 2018). Analisis ini juga

dapat membantu mengungkapkan fitur

penting DAS yang berhubungan dengan

proses hidrologi dan degradasi lahan,

sehingga sangat sesuai untuk menentukan

daerah yang mengalami kehilangan tanah

berat akibat erosi (Kadam et al., 2019).

Parameter morfometri yang dapat

menjelaskan tentang erosi antara lain:

nisbah percabangan (bifurcation ratio/Rb),

frekuensi sungai (stream frequency/Fs),

faktor bentuk DAS (form factor/Rf), nisbah

kebulatan (circularity ratio/Rc), rasio

elongasi (elongation ratio/Re), rasio

tekstur (texture ratio/T), koefisien

kekompakan (compactness coefficient/T),

rasio relief (relief ratio/Rh), panjang aliran

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 63-78

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 65

permukaan (length of overland flow/Lof),

dan kerapatan aliran (drainage density/

Dd) (Prabhakar, Singh, Lohani, &

Chandniha, 2019).

Penentuan prioritas sering dilakukan

dengan metode skoring dan pembobotan.

Pada kenyataannya, metode skor memiliki

kelemahan, di antaranya adalah kurang

memiliki landasan ilmiah yang kuat dalam

pembobotan atau bersifat subjektif dan

pemberian skor serta hasil akurasi peta

tergantung cara pemberian skor

(Malczewski, 2004). Metode ini juga sangat

sensitif terhadap perbedaan kelas

(Morgan, 2005). Pemodelan tidak akan

realistis apabila menggunakan metode

tersebut karena keterbatasan dari data

yang tersedia (baik dari segi temporal

maupun spasial), dan karena adanya

ketidakpastian dalam asosiasi di setiap

parameter.

Pengembangan metode kecerdasan

buatan (artificial intelegence) dapat

membantu dalam membuat simulasi

kondisi permukaan bumi yang bersifat

kompleks. Salah satu pemodelan dengan

sistem cerdas adalah dengan

menggunakan pendekatan Logika Fuzzy.

Logika tersebut diperkenalkan oleh Zadeh

(1965) dan merupakan perluasan dari teori

himpunan tegas (crisp) (Kusumawati &

Hartati, 2010). Ide dari Logika Fuzzy

(Zadeh, 1965) adalah dengan

mempertimbangkan objek spasial dalam

suatu peta menjadi suatu anggota dari satu

set data (Tangestani, 2009). Ambiguitas

dalam penilaian secara kualitiatif yang

bersifat subjektif dapat ditangani dengan

nilai probabilitas dan statistik berdasarkan

derajat keanggotaan Fuzzy (Govindan,

Khodaverdi, & Jafarian, 2013). Logika fuzzy

dapat dikombinasikan dengan Analytical

Hierarchy Proses (AHP) dan dikenal dengan

Fuzzy AHP (FAHP). FAHP telah digunakan

dalam penentuan potensi lokasi

penggurunan (Kacem et al., 2019),

pemodelan erosi (Haidara, Tahri, Maanan,

& Hakdaoui, 2019; Saha, Gayen,

Pourghasemi & Tiefenbacher, 2019) dan

potensi air tanah (Chaudhry, Kumar, &

Alam, 2019).

Berdasarkan latar belakang di atas,

tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui lokasi prioritas penanganan

erosi di Sub DAS Oyo berdasarkan data

morfometri dengan penilaian skor kriteria

menggunakan metode FAHP tersebut.

Urutan sub DAS prioritas penanganan erosi

berguna dalam penyusunan langkah-

langkah konservasi tanah dalam konsep

DAS berkelanjutan.

Fuzzy Analytic Hierarchy Process Berbasis Morfometri…………………………………… (Alfiatun Nur Khasanah dan Arina Miardini)

66 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan pada tahun

2019 di Sub DAS Oyo yang merupakan

bagian dari DAS Opak-Oyo. Peta lokasi

penelitian ditunjukkan pada Gambar 1. Sub

DAS Oyo memiliki luas 77.047,19 ha

dengan lokasi dominan terdapat di

Kabupaten Gunungkidul (77,06%) dan

Kabupaten Bantul (13,85%). Berdasarkan

hasil pengolahan data oleh Khasanah &

Wicaksana (2019), Sub DAS Oyo memiliki

pola aliran dendritik dengan sebaran orde

sungai 1 hingga 8 dengan total panjang

aliran 3.099 km dan jumlah cabang sungai

sebanyak 8.575 cabang. Sub DAS Oyo

terdiri dari 157 sub DAS dengan luasan

antara 14,64 ha hingga 3.638,16 ha.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah data morfometri Sub DAS Oyo

yang berasal dari ekstraksi DEM Nasional

(DEMNAS)1, tides.big.go.id. Data

morfometri merupakan hasil dari

penelitian sebelumnya (Khasanah &

Wicaksana, 2019). Selain itu, dibutuhkan

pula data peta jaringan sungai, jalan,

toponimi, dan batas administrasi dari Peta

Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000.

Peta RBI tersebut diperoleh melalui

halaman resmi Badan Informasi Geospasial

(BIG), tanahair.indonesia.go.id. Peta batas

DAS dan peta erosi untuk proses pemetaan

dan validasi model diperoleh dari Balai

Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung

(BPDASHL) Serayu Opak Progo. Alat yang

digunakan adalah Software ArcGIS 10.2

Gambar (Figure) 1. Lokasi penelitian di Sub DAS Oyo (Research location in Oyo Sub-Watershed) Sumber (Source): Analisis data (Data analysis), 2019

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 63-78

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 67

untuk membuat peta, Software Microsoft

Excel untuk perhitungan FAHP, serta

Microsoft Word untuk penulisan jurnal.

C. Metode Penelitian

Metode FAHP yang diusulkan oleh Lu et

al. (2007) merupakan pengembangan dari

metode AHP oleh Saaty (2012).

Pengembangan dilakukan pada unsur

matriks penilaian antar parameter yang

diwakili oleh bilangan fuzzy (0-1)

sedangkan pada AHP menggunakan nilai

tegas (crisp value). Metode ini

menggunakan persamaan Triangular Fuzzy

Number (TFN) dengan mempertimbangkan

nilai terendah, nilai tengah, dan nilai

tertinggi dari matriks Saaty dalam satu

parameter. Pada umumnya terdapat tiga

komponen penting dalam penilaian AHP,

yaitu: (1) tujuan, (2) kriteria dan sub

kriteria, serta (3) pilihan. Pada penelitian

ini komponen tujuan, kriteria dan pilihan

secara berturut-turut adalah prioritas

penanganan erosi, parameter morfometri

terpilih dan sub-sub DAS Penelitian ini

merupakan modifikasi dari FAHP dengan

hanya mempertimbangkan pairwaise

comparison pada level kriteria. Prosedur

penggunaan FAHP berbeda dengan

prosedur pemetaan menggunakan metode

AHP, hal ini dikarenakan transformasi dari

nilai tegas menuju nilai fuzzy memiliki

beragam metode. Contohnya penelitian

yang dilakukan oleh Faisol et al. (2014) dan

Govindan et al. (2013) menggunakan

metode TFN pada data non spasial. Oleh

karenanya, uji coba perlu dilakukan untuk

menilai apakah prosedur TFN tersebut

dapat diterapkan pada data spasial.

Limitasi metode yang diterapkan pada

penelitian ini adalah penerapan FAHP

hanya pada level bobot kriteria oleh

karenanya pengembangan metode masih

perlu dilakukan.

Parameter morfometri yang digunakan

dalam penelitian ini mengacu pada

publikasi Khasanah & Wicaksana (2019).

Aspek morfometri dibagi menjadi: 1)

morfometri linier, 2) morfometri relief dan

3) morfometri area. Parameter morfometri

linier terdiri dari: orde sungai, panjang

sungai (Lu), rata-rata panjang sungai (Lsm),

Rasio Panjang Sungai (RL), dan bifurcation

ratio (Rb). Parameter morfometri relief

meliputi: basin relief (Bh), relief ratio (Rh)

dan ruggedness number (Rn). Parameter

morfometri area terdiri dari: drainage

density (Dd), stream frequency (Fs), texture

ratio (T), form factor (Rf), circularity ratio

(Rc), elongation ratio (Re), length of over

landflow (Lof), constant channel

maintenance (C), dan basin shape (BS).

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa

tahapan, yaitu:

1. Pemilihan Parameter (Kriteria)

Pemilihan parameter morfometri yang

berpengaruh terhadap proses erosi

dilakukan dengan melakukan studi literatur

serta pengujian korelasi. Jika dua

parameter memiliki korelasi tinggi (nilai

koefisien korelasi (r) > 0,5), maka hanya

akan dipilih salah satu sebagai input dalam

model. Korelasi dikatakan tinggi apabila

memiliki nilai koefisien korelasi lebih dari

0,5 dan signifikansi lebih dari 0,05 (Hadi,

2015). Metode korelasi yang digunakan

adalah Pearson Correlation, dengan syarat

kriteria yang akan diuji terdistribusi secara

normal. Data morfometri terpilih yang

belum memenuhi syarat tersebut di

Fuzzy Analytic Hierarchy Process Berbasis Morfometri…………………………………… (Alfiatun Nur Khasanah dan Arina Miardini)

68 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

transformasikan ulang sehingga dapat

memenuhi asumsi distribusi normal, dan

hal ini tergantung pada jenis kurva

persebaran data. Transformasi dilakukan

dengan menggunakan metode Square Root

hingga memperoleh nilai signifikansi lebih

dari 0,05.

2. Penilaian Antar Parameter

Setiap parameter morfometri terpilih

akan dibandingkan dengan parameter

terpilih lainnya. Hasil pembandingan

tersebut digunakan sebagai acuan dalam

penilaian bobot. Penilaian dilakukan

menggunakan acuan dari tabel skoring

yang dikembangkan oleh Saaty (2012)

(Tabel 1) dengan modifikasi transformasi

dalam kurva triangular fuzzy (Gambar 2).

Gambar (Figure) 2. Kurva Nilai Keanggotaan Triangular

Fuzzy A (Triangular Fuzzy Membership Value Curve A)

Sumber (Source): Govindan et al., 2013

Penelitian ini tidak menguji Indeks

Konsistensi (CI) dan Rasio Konsistensi (CR)

dengan menguji konsistensi terhadap nilai

pembanding. Hal ini dikarenakan uji coba

yang dilakukan pada penelitian hanya

menggunakan satu masukan nilai.

Perhitungan CI dan CR dilakukan bila

terdapat sejumlah responden (lebih dari 1)

yang melakukan penilaian terhadap model.

Tabel (Table) 1. Deskripsi parameter morfometri terpilih (Description of morphometric parameter)

Parameter (Parameter) Rumus

(Formula) Sumber Data (Data source)

Referensi (Reference)

Linier Bifurcation Ratio (Rb) Rb = Nu/ (Nu-1)

Perhitungan Nu (jumlah segmen sungai) dan Nu+1 (Jumlah segmen sungai dengan orde yang lebih tinggi)

Schumn (1956)

Relief Ruggedness Number (Rn) Rn = Bh x Dd

Nilai Bh (basin relief) dan Dd (Kerapatan aliran)

Schumn (1956)

Texture Ratio (T) T = N1/P Perhitungan N1 (Jumlah sungai orde 1) dan P (keliling DAS)

Horton (1932)

Kemiringan Aliran (Su)

(Su) = (H85-H10)/ (0,75)Lb

Perhitungan gradien sungai rata – rata adalah dengan slope faktor

Benson (1962)

Area Kerapatan Aliran (Drainage Density/Dd)

Dd = Ln/A Perhitungan jumlah panjang semua sungai dibagi dengan luas DAS (km2)

Horton (1932)

Circularity Ratio (Rc) Rc = A/Adp

Perhitungan A (Luas DAS) dan Adp (Luas Lingkaran dengan Pb (km))

Cooke dan Dornkamp (1974)

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 63-78

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 69

…………………………(1)

3. Pengubahan Skor Antar Parameter

menjadi Nilai Keanggotaan Fuzzy

Setiap skor parameter yang digunakan

untuk pemodelan diubah ke dalam rentang

nilai fuzzy. Fuzzy set merupakan data

kontinum dengan nilai rentang 0 hingga 1.

Rentang keanggotaan yang bernilai 1

berarti parameter tersebut memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap erosi.

Fungsi keanggotaan fuzzy (Gambar 2)

ditentukan berdasarkan Persamaan 1

(Govindan et al., 2013). Nilai a, b dan c

merupakan skala penilaian antar

parameter pada Tabel 2. Apabila nilai

antara 2 kriteria adalah sangat penting,

maka nilai a,b, dan c berturut turut adalah

6,7,8.

Apabila terdapat dua fungsi triangular

atau dua nilai intensitas kepentingan pada

satu kriteria, misal fungsi A (a,b,c) dan B

(a1,b1,c1), maka fungsi matematika

(penjumlahan, perkalian, pembagian, dll)

yang berlaku dalam dua fungsi tersebut

dijelaskan dengan Persamaan 2, 3, 4, 5, 6,

dan 7 (Govindan et al., 2013). A dan B

dapat diasumsikan sebagai dua matriks

penilaian untuk 1 kriteria yang sama,

sehingga apabila terdapat 6 kriteria, maka

terdapat 6 (enam) matriks yang harus

diselesaikan.

A+B=(a,b,c)+(a1,b1,c1)(a+a1,b+b1,c+c).……………..(2)

A-B=(a,b,c)-(A1,b1,c1)(a-a1,b-b1,c-c1)………………..(3)

A*B=(a,b,c)*(A1,b1,c1)(a*a1,b*b1,c*c1)…………….(4)

A/B=(a,b,c) / (A1,b1,c1)(a/a1,b/b1,c/c1)…………….(5) K*B=(k*a,k*b,k*c) …………………………….……………….(6) (A)-1 =(1/c, 1/b, 1/a) …………………………….…………….(7)

Jarak dari fungsi keanggotaan A dan B dinilai

dengan Persamaan 8 (Govindan et al., 2013).

….(8)

Tabel (Table) 2. Skala penilaian antar parameter (Pair parameter assestment scale) Skala

(Scale) Intensitas kepentingan (Intensity of interest)

Keterangan (Information)

1,1,1 Sama Kedua elemen sama pentingnya dan mempunyai pengaruh yang sama

2,3,4 Sedikit Lebih Penting Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya, penilainya sedikit menyokong satu elemen dibandingkan elemen lain.

4,5,6 Lebih Penting Elemen yang satu lebih penting daripada elemen lainnya, penilainya sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya.

6,7,8 Sangat Penting Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya, elemen yang kuat disokong dan dominan.

9,9,9 Mutlak Penting Satu elemen mutlak lebih penting dibandingkan elemen lainnya,bukti pendukung elemen yang satunya terhadap yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi

1,2,3 3,4,5 5,6,7 7,8,9

Nilai Penengah Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan, nilai ini diberikan bila ada dua komponen di antara dua pilihan.

1/n Kebalikan Jika untuk aktivitas 1 mendapatkan satu angka dibanding dengan aktivitas J, maka J mempunyai kebalikan dibandingkan i

Sumber (Source): Analis data (Data analysis), 2019

Fuzzy Analytic Hierarchy Process Berbasis Morfometri…………………………………… (Alfiatun Nur Khasanah dan Arina Miardini)

70 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

..(9)

4. Perhitungan Nilai Keanggotaan fuzzy

dengan Metode Geometric Means

Nilai keanggotaan fuzzy Geometric

Means untuk satu kriteria (A) terhadap

kriteria lainnya (B) dihitung berdasarkan

nilai perkalian menggunakan Persamaan 4

(Govindan et al., 2013). Proses ini

dilakukan untuk seluruh hasil penilaian di

setiap kriteria morfometri.

5. Normalisasi Nilai Bobot pada 1 (Satu)

Kriteria

Normalisasi nilai bobot untuk satu

kriteria dilakukan agar memiliki kombinasi

nilai kenggotan fuzzy antara 0-1. Caranya

dengan menjumlahkan nilai lower (a),

middle (b), dan upper (c) menggunakan

Persamaan 2. Hasil penjumlahan dari

seluruh nilai bobot pada enam kriteria

akan didapat nilai fuzzy total yang

digunakan untuk menormalisasi nilai bobot

fuzzy di tiap kriteria. Normalisasi (G) antara

bentuk keanggotaan fuzzy dari satu kriteria

(A) dengan jumlah keseluruhan nilai

keanggotaan fuzzy (p,q,r) dihitung dengan

Persamaan 9 (Govindan et al., 2013).

6. Defuzzyfikasi

Proses ini merupakan proses

mentransformasikan ulang nilai

keanggotaan fuzzy setiap elemen kriteria

ke dalam bobot tegas (W) menggunakan

rumus rata-rata Center of Area (COA) pada

Persamaan 10. Jumlah dari keseluruhan

bobot dinormalisasikan kembali untuk

mendapat total bobot sebesar 1.

Normalisasi dilakukan dengan membagi

nilai bobot (W) dengan jumlah bobot

keseluruhan elemen kriteria. Govindan et

al. (2013) melakukan pembobotan pada

level alternatif kriteria namun pada

penelitian ini hanya terbatas pada level

kriteria disebabkan keterbatasan telaah

pustaka terkait hubungan secara langsung

antara kelas pada masing masing kriteria

morfometri dengan laju erosi.

…………………………………………(10)

7. Reklasifikasi: Penilaian Prioritas

Penanganan

Penentuan prioritas penanganan

erosi pada masing-masing sub-sub DAS

didasarkan pada hasil perkalian antara

bobot dengan nilai kriteria. Hasil penilaian

bobot pada tahap 6 (Persamaan 10)

diaplikasikan ke dalam data kriteria

morfometri, sehingga diperoleh hasil

berupa skor prioritas pada setiap sub-sub

DAS. Klasifikasi prioritas penanganan

dilakukan dengan membagi area menjadi 3

kelas dengan metode equal interval. Selisih

nilai maksimum dan nilai minimum dibagi

dengan jumlah kelas yang diinginkan (3

kelas) untuk mendapatkan interval kelas.

Prioritas tinggi merupakan sub-sub DAS

dengan nilai skor mendekati maksimum.

Diagram alir dari penelitian ini dapat

dilihat pada Gambar 3

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 63-78

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 71

Gambar (Figure) 3. Diagram alir penelitian (Research flow chart)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Pemilihan Kriteria

Rangkuman hasil penilaian morfometri

untuk 6 kriteria yang terpilih (Rbm, Rc, Dd,

T, Rn, dan Su) dapat dilihat pada Tabel 3.

Nilai tersebut didapat dari penelitian

Khasanah & Wicaksana (2019). Uji korelasi

antar parameter morfometri dilakukan

untuk mendapatkan nilai hubungan antara

masing masing parameter. Syarat uji ini

adalah data terdistribusi secara normal.

Proses transformasi data dilakukan agar

data dapat memenuhi persyaratan

tersebut. Berdasarkan hasil uji korelasi

(Tabel 4) dapat diketahui bahwa variabel

morfometri terpilih memiliki korelasi yang

rendah (r < 0,05) dengan berbeda nyata

pada taraf uji 5%. Hal ini menunjukkan

bahwa masing masing kriteria tidak saling

mempengaruhi satu sama lainnya sehingga

kriteria terpilih tersebut dapat dijadikan

sebagai acuan dalam input pemetaan.

Nilai rata-rata nisbah percabangan sungai (RBm) berhubungan dengan pelolosan air sebagai agen erosi.Nilai ini menunjukkan integrasi antara segmen sungai pada orde yang berbeda (Guatemala et al, 2017)dan berhubungan dengan struktur geologi serta kondisi iklim dalam DAS. Hasil nilai RBm di Sub DAS Oyo bervariasi dari nilai 1 hingga 6,7. Nilai tersebut mengindikasikan bervariasinya pengaruh faktor geologi pada masing masing sub-sub DAS. Nilai RBm tinggi ( >5) menunjukkan bahwa limpasan air permukaan tinggi sejalan dengan

Fuzzy Analytic Hierarchy Process Berbasis Morfometri…………………………………… (Alfiatun Nur Khasanah dan Arina Miardini)

72 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Tabel (Table) 3. Nilai koefisien korelasi antar parameter terpilih (Coefficient correlation value of selected parameter)

RBm RC DD T Su Rn

RBm Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

1

150

-.169’ .038 150

-.007 .934 150

.135

.101 150

-.096 .243 150

.001

.987 150

RC Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

-.169’ .038 150

1

150

-.134 .102 150

-.055 -502 150

.185’ .024 150

-.049 .555 150

DD Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

-.007 .934 150

-.134 .102 150

1

150

.314” .000 150

.005

.952 150

.227” .005 150

T Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

.135

.101 150

-.055 .502 105

.314” .000 150

1

150

-.187’ .022 150

.556” .000 150

Su Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

-.096 .243 150

-.185’ .024 150

.005

.952 150

-.187’ .022 150

1

150

.487” .000 150

Rn Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

.001

.987 150

-.049 .555 150

.227” .005 150

.556” .000 150

.487” .000 150

1

150

Sumber (Source): Khasanah & Wicaksana (2019).

banyaknya anak sungai yang terbentuk

(Gajbhiye & Ashish, 2014), kenaikan muka

air dapat terjadi secara cepat dengan

penurunan muka air yang cepat pula.

Bentuk DAS, diwakili oleh kriteria nisbah

kebulatan (Rc) yang dipengaruhi oleh

panjang dan frekuensi aliran, struktur

geologi, penggunaan lahan/tutupan lahan,

iklim, dan kemiringan DAS (Gajbhiye &

Ashish, 2014). Nilai Rc berkisar antara 0-1.

Semakin besar nilai tersebut maka DAS

akan memiliki bentuk mendekati bulat

sempurna. Perhitungan ini menghasilkan

nilai bentuk DAS yang bervariasi. Sebagian

besar DAS memiliki bentuk irregular

dengan nilai nisbah sebesar 0,4-0,8.

DAS dengan nilai Dd rendah dan

didominasi sungai Ordo 1 cenderung

memiliki limpasan permukaan yang tinggi,

sehingga meningkatkan risiko banjir, erosi,

dan tanah longsor (Chandramohan &

Vijaya, 2016). Dd menggambarkan jarak

antar percabangan sungai. Hasil

perhitungan didapat bahwa nilai Dd

berkisar antara 2-5,8 km/km2. Nilai

tersebut termasuk ke dalam kategori

sedang dan secara keseluruhan sub DAS

memiliki nilai Dd pada rentang ini. Artinya,

pada kondisi ini alur sungai melewati

batuan dengan resistensi yang lebih lunak

sehingga sedimen yang terangkut menjadi

lebih besar.

Rasio tekstur (T) berhubungan dengan kapasitas infiltrasi dan frekuensi aliran yang menyiratkan besarnya risiko erosi tanah (Albaroot, Al-areeq, Aldharab, Alshayef, & Ghareb, 2018). Kemiringan DAS merupakan salah satu faktor terpenting untuk identifikasi zona erosi yang berafiliasi dengan karakteristik morfometri seperti rasio panjang aliran, rasio elongasi, jumlah aliran permukaan, dan rasio relief (Saranaathan & Manickaraj, 2017). Ruggedness number (Rn) merupakan derivasi dari Dd dan H yang berguna untuk menilai kecuraman dan kemiringan jaringan drainase. Nilai Rn yang tinggi menunjukkan kerentanan erosi tanah yang lebih tinggi (Albaroot et al., 2018).

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 63-78

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 73

b. Perhitungan Bobot FAHP

Percobaan perhitungan bobot FAHP

menggunakan metode triangular fuzzy

hanya dilakukan pemberian bobot pada

level kriteria. Perhitungan bobot

parameter morfometri menggunakan

teknik ini dimulai dengan memberikan

asumsi skor 1 hingga 9 bergantung pada

kekuatan hubungan antar dua kriteria.

Hasil penilaian didasarkan pada

pengetahuan pakar, namun pada

penelitian ini didasarkan pada telaah

pustaka. Hasil penilaian menggunakan

metode Saaty (2012) dapat dilihat

padaTabel 4. Semakin tinggi skor, maka

aspek morfometri terkait lebih

berpengaruh terhadap laju erosi

dibandingkan kriteria lain.

Nilai pada Tabel 4 diubah menjadi nilai

fuzzy dengan mempertimbangkan grafik

linier dari pengaruh morfometri terhadap

erosi. Proses ini masuk dalam penilaian

antar parameter morfometri dengan

mempertimbangkan modifikasi

transformasi dalam kurva triangular fuzzy

(Tabel 2). Hasil dari proses fuzzyfikasi dan

hasil perhitungan bobot akhir dapat dilihat

berturut-turut pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel (Table) 4. Analisis perbandingan antar kriteria menggunakan Skor Saaty (Comparative analysis between variables using Saaty Score)

Aspek morfometri (Morphometric aspects)

Rbm (Mean bifurcation

ratio)

Rc (Circularity

ratio)

Dd (Drainage density)

T (Drainage texture)

Su (Gradient)

Rn (Ruggedness

number)

Rbm (Mean bifurcation ratio)

1 5 3 6 1/4 1/5

Rc (Circularity ratio)

1/5 1 1/6 1/4 1/6 1/7

Dd (Drainage density)

1/3 6 1 2 1/4 1/6

T (Drainage texture)

1/6 4 1/2 1 1/6 1/8

Su (Gradient)

4 6 4 6 1 1/3

Rn (Ruggedness number)

5 7 6 8 3 1

Sumber (Source): Analis data (Data analysis), 2019

Tabel (Table) 5. Hasil fuzzyfikasi nilai Skor Saaty (Fuzzyfication results Score Saaty)

Aspek morfometri (Morphometric aspects)

Rbm (Mean bifurcation

ratio)

Rc (Circularity

ratio)

Dd (Drainage density)

T (Drainage texture)

Su (Gradient)

Rn (Ruggedness

number)

Rbm (Mean bifurcation ratio)

1 4,5,6 2,3,4 5,6,7 1/3,1/4,1/5

1/4,1/5,1/6

Rc (Circularity ratio)

1/4,1/5,1/6 1 1/5,1/6,1/

7 1/3,1/4,1/5

1/5,1/6,1/7

1/6,1/7,1/8

Dd (Drainage density)

1/2,1/3,1/4 5,6,7 1 1,2,3 1/3,1/4,1/5

1/5,1/6,1/7

T (Drainage texture)

1/5,1/6,1/7 3,4,5 1/1,1/2,1/

3 1

1/5,1/6,1/7

1/7,1/8,1/9

Su (Gradient)

3,4,5 5,6,7 3,4,5 5,6,7 1 1/2,1/3,1/4

Rn (Ruggedness number)

4,5,6 6,7,8 5,6,7 7,8,9 2,3,4 1

Sumber (Source): Analis data (Data analysis), 2019

Fuzzy Analytic Hierarchy Process Berbasis Morfometri…………………………………… (Alfiatun Nur Khasanah dan Arina Miardini)

74 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Tabel (Table) 6. Perhitungan bobot pada parameter terpilih (Calculation of weight on

selected parameters)

Aspek Morfometri (Morphometric aspects)

NIlai rata-rata Fuzzy Geometrik (Fuzzy geometric mean value)

Bobot Fuzzy (Fuzzy

Weight)

Bobot rata-rata

(Mean weight)

1 2 3 1 2 3

Rbm (Mean bifurcation ratio)

1.222 1.285 1.333 0.145 0.139 0.118 0.13

Rc (Circularity ratio)

0.286 0.242 0.209 0.034 0.026 0.018 0.03

Dd (Drainage density)

0.742 0.742 0.729 0.088 0.080 0.064 0.08

T (Drainage texture)

0.508 0.437 0.395 0.060 0.047 0.035 0.05

Su (Gradient)

2.197 2.402 2.596 0.261 0.259 0.229 0.25

Rn (Ruggedness number)

3.448 4.141 6.036 0.410 0.448 0.534 0.46

8.404 9.247 11.298 1

Sumber (Source): Analis data (Data analysis), 2019

c. Penentuan Prioritas Penanganan Erosi

Nilai tertinggi dari output menunjukkan

prioritas yang harus didahulukan

penanganan erosinya. Hasil dari

pembobotan tersebut diklasifikasikan

menjadi 3 tiga zona prioritas, yaitu: 1)

prioritas tinggi (> 32), 2) prioritas sedang

(32-16.2), dan 3) prioritas rendah (< 16.2).

Prioritas tinggi menunjukkan adanya

tingkat erosi tanah yang tinggi dan

merupakan sub-sub DAS area potensial

untuk menerapkan tindakan konservasi

tanah, sehingga perlu penanganan terlebih

dahulu. Pada Sub DAS Oyo terdapat 21

sub-sub DAS dengan luas total 3.823,47 ha

yang merupakan prioritas tinggi. Pada

kelas prioritas sedang terdapat sekitar 35

sub-sub DAS dengan luas 17.780,21 ha,

sedangkan prioritas rendah terdapat pada

94 sub-sub DAS dengan luas 48.974,46 ha.

Daftar sub-sub DAS prioritas penanganan

erosi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar (figure) 4. Sub sub DAS prioritas penanganan erosi di Sub DAS Oyo (Priority management of erosion

sub-watersheds in Oyo Sub-watershed)

Sumber (Source): Analis data (Data analysis), 2019

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 63-78

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 75

Sub-sub DAS yang memiliki nilai total

penilaian prioritas penanganan erosi

tertinggi antara lain: 1) Sub-sub DAS Oyo

turunan 3 meliputi Desa Banyusuko

(214,94 ha) dan Girisuko (29,29 ha)

Kecamatan Paliyan Kabupaten

Gunungkidul, 2) Sub-sub DAS Oyo Turunan

2 meliputi Desa Banyusuko (46,23 ha) dan

Girisuko (39,56 ha) Kecamatan Paliyan

Gunung Kidul, dan 3) Sub-sub DAS Oyo

Dayaan meliputi Desa Mangunan

Kecamatan Dlingo Bantul (0,10 ha),

Selopamioro Kecamatan Purwosari Bantul

(52,69 ha), dan Desa Girisuko Kecamatan

Paliyan Gunung Kidul (98,07 ha).

IV. KESIMPULAN

Parameter penentu prioritas

penanganan erosi pada 150 sub-sub DAS di

Sub DAS Oyo secara berurutan dari yang

paling besar pengaruhnya adalah aspek

kekasaran permukaan, kemiringan sungai,

rerata rasio bifurkasi, kerapatan aliran,

tekstur aliran, dan rasio kebulatan.

Penentuan prioritas penanganan

diperlukan dari sisi manajemen

untukuntuk mengalokasikan sumber daya

yang bersifat terbatas sehingga dapat lebih

efektif dalam mengatasi masalah erosi.

Sub-sub DAS prioritas tinggi teridentifikasi

sebanyak 21 sub-sub DAS dengan

karakteristik morfometri memiliki bentuk

iregular dan nilai kerapatan drainase yang

cenderung sedang, relief beragam dari

landai hingga curam, sehingga memiliki

potensi aliran permukaan dan erosi yang

besar. Kombinasi parameter morfometri

dapat digunakan dalam menentukan lokasi

prioritas penanganan erosi pada tingkat

sub-sub DAS, namun kajian ini masih perlu

penelitian lanjutan mengenai perhitungan

bobot pada setiap sub kriteria dan uji

akurasi untuk meningkatkan hasil

permodelan sebagai data masukan dalam

pemodelan menggunakan FAHP.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Sekolah

Vokasi Universitas Gadjah Mada tahun

2019 dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai dan Hutan Lindung Serayu Opak

Progo Solo atas dukungan data.

DAFTAR PUSTAKA

Aglanu, L. M. (2014). Watersheds and Rehabilitations Measures - A Review, Resources and Environment.4(2), 104–114. https://doi.org/10.5923/j.re.20140402.04

Asfaw, D., & Workineh, G. (2019). Quantitative analysis of morphometry on Ribb and Gumara watersheds: Implications for soil and water conservation. International Soil and Water Conservation Research, 7(2), 150–157. https://doi.org/10.1016/j.iswcr.2019.02.003

Albaroot, M., Al-areeq, N. M., Aldharab, H. S., Alshayef, M., & Ghareb, S. A. (2018). Quantification of Morphometric Analysis using Remote Sensing and GIS Techniques in the Qa ’ Jahran Basin , Thamar Province Yemen. International Journal of New Technology and Research (8), 12–22.

Chandramohan, K., & Vijaya, R. (2016). An analysis of geomorphic quantitative study of bifurcation ratio and drainage pattern by using remote sensing and GIS techniquae: a case study in Sirumalai Hill Environs, Tamil

Fuzzy Analytic Hierarchy Process Berbasis Morfometri…………………………………… (Alfiatun Nur Khasanah dan Arina Miardini)

76 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Nadu, India. African Journal of Geo-Science Research, 4(1), 12–15.

Chaudhry, A. K., Kumar, K., & Alam, M. A. (2019). Mapping of groundwater potential zones using the fuzzy analytic hierarchy process and geospatial technique. Geocarto International, 1–22. https://doi.org/10.1080/10106049.2019.1695959

Faisol,A.,Muslim,M.A.,Suyono,H. (2014).Komparasi Fuzzy AHP dan AHP pada sistem pendukung keputusan investasi properti. Jurnal EECCIS 8 (2)

Gajbhiye, S., Mishra, S., & Pandey, A. (2013). Effects of Seasonal/Monthly Variation on Runoff Curve Number for Selected Watersheds of Narmada Basin. International Journal of Environmental Sciences Vol 3, No 6: 2019-2020.

Gajbhiye, S., & Ashish, S. K. M. (2014). Prioritizing erosion-prone area through morphometric analysis : an RS and GIS perspective. Applied Water Science 4: 51–61. https://doi.org/10.1007/s13201-013-0129-7

Cooke, R.U. dan Doorkamp, J.C. 1974. Geomorpology in Environment Management, An Introduction. Oxford.Clarendon Press.

Govindan, K., Khodaverdi, R., & Jafarian, A. (2013). A fuzzy multi criteria approach for measuring sustainability performance of a supplier based on triple bottom line approach. Journal of Cleaner Production, 47, 345–354. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2012.04.014

Hadi, Sutrisno. (2015). Statistik (Edisi

Revisi). Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Haidara, I., Tahri, M., Maanan, M., &

Hakdaoui, M. (2019). Efficiency of

Fuzzy Analytic Hierarchy Process to

detect soil erosion vulnerability.

Geoderma, Vol. 354.

https://doi.org/10.1016/j.geoderma.

2019.07.011

Hammad, A. A. (2009). Watershed erosion risk assessment and management utilizing revised universal soil loss equation-geographic information systems in the Mediterranean environments, Water and Environment Journal 1–14. https://doi.org/10.1111/j.1747-6593.2009.00202.x

Horton, R.E. 1932. Drainage Basin Characteristics. Tansactions of American Geophysical Association, 13,pp. 350-36.1

Kacem, H. A., Fal, S., Karim, M., Alaoui, H. M., Rhinane, H., & Maanan, M. (2019). Application of fuzzy analytical hierarchy process for assessment of desertification sensitive areas in North West of Morocco. Geocarto Internationa, 1–18. https://doi.org/10.1080/10106049.2019.1611949

Kadam, A. K., Jaweed, T. H., Kale, S. S., Bhavana, N., Sankhua, R. N., Kadam, A. K., … Kale, S. S. (2019). Identification of erosion-prone areas using modified morphometric prioritization method and sediment production rate : a remote sensing and GIS approach. Geomatics, Natural Hazards and Risk, 10(1), 986–1006. https://doi.org/10.1080/19475705.2018.1555189

Kasmawati, Hasanah, U., & Rahman, A. (2016). Prediksi erosi pada beberapa penggunaan lahan di desa Labuan Toposo kecamatan Labuan Kabupaten Donggala. Agrotekbis, 4(6), 659–666.

Kusumadewi, S. dan Hartanti, S., 2010, Neuro-Fuzzy Integrasi Sistem Fuzzy

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 63-78

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 77

dan Jaringan Syaraf Tiruan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Lu,Je dan Zang,G.,2006 Multi-Objective Group Decision Making Methods, Software and Applications With Fuzzy Set Technique. London : Imperial Colledge Press

Malczewski, J., 2004, “GIS-Based Land-Use Suitability Analysis: A Critical Overview”. Journal Progress in Planning, Vol. 62, hal: 3-64.

Miardini, A., & Khasanah, alfiatun nur. (2017). Penentuan prioritas penanganan serta upaya rehabilitasi hutan dan lahan dalam pengendalian erosi dan sedimentasi di Sub DAS Slahung. Prtosiding Seminar Nasional Ke-3 Pengelolaan Pesisir Dan DAS.

Miardini, A. (2019). Dinamika bentukan lahan fluvial akibat sedimentasi di sungai Grindulu, segmen Arjosari-Pacitan.Jurnal Penelitian Pengelolaan DAS, Vol. 3 No. 1, 13-25. doi https://doi.org/10.20886/jppdas.2019.3.1.13-26

Mohammed, A., Adugna, T., & Takala, W. (2018). Morphometric analysis and prioritization of watersheds for soil erosion management in Upper Gibe catchment. Journal of Degraded and Mining Lands Management, 6(1), 1419–1426. https://doi.org/10.15243/jdmlm.2018.061.1419

Prabhakar, A. ., Singh, K. ., Lohani, A. K., & Chandniha, S. K. (2019). Study of Champua watershed for management of resources by using morphometric analysis and satellite imagery. Applied Water Science, 9(5), 1–16. https://doi.org/10.1007/s13201-019-1003-z

Morgan, R.C.P., 2005,Soil Erosion and Conservation Third Edition, Amerika : Blackwell Publishing.

Saaty, T., & Vargas, L. (2012). Models, methods, concepts & applications of the analytic hierarchy process. In … -Driven Demand and Operations Management Models (Vol. 175). https://doi.org/10.1007/978-1-4614-3597-6

Saha, S., Gayen, A., Pourghasemi, H. R., & Tiefenbacher, J. P. (2019). Identification of soil erosion-susceptible areas using fuzzy logic and analytical hierarchy process modeling in an agricultural watershed of Burdwan district, India. Environmental Earth Sciences, 78(23), 1–18. https://doi.org/10.1007/s12665-019-8658-5

Saranaathan, S. ., & Manickaraj, S. (2017). Morphometric Analysis approach for Recharge and Soil Erosion potential in Morphometric Analysis approach for Recharge and Soil Erosion Potential in Agaram Watershed , Javadi Hill Range , Vellore District , Tamil Nadu , India. International Journal of Earth Sciences and Engineering, 10(2), 298–303. https://doi.org/10.21276/ijee.2017.10.0222

Schumm, S.A. 1956. Evolution of Drainage Systems and Slopes in Badlands at Perth Amboy. Geological Society of America, New Jersey. Vol .67

Tangestani, M. H. (2009). A comparative study of Dempster-Shafer and fuzzy models for landslide susceptibility mapping using a GIS: An experience from Zagros Mountains, SW Iran. Journal of Asian Earth Sciences, 35(1), 66–73. https://doi.org/10.1016/j.jseaes.2009.01.002

Zadeh, L.A., 1965, Fuzzy Set, Journal

Information and Control, Vol. 8, hal:

338-353.

Fuzzy Analytic Hierarchy Process Berbasis Morfometri…………………………………… (Alfiatun Nur Khasanah dan Arina Miardini)

78 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Halaman ini sengaja dibiarkan kosong

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097 doi https://doi.org/10.20886/jppdas.2020.4.1.79-102

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 79

APLIKASI METODE SIDIK CEPAT JASA LINGKUNGAN PADA DAS MIKRO

(Rapid assessment method of environmental services in the micro catchment)

Anang Widicahyono1, San Afri Awang2, Ahmad Maryudi2, dan M. Anggri Setiawan3 1Program Doktor Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

2Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Jl. Agro No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta, 55281 3Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada

Sekip Utara Jalan Kaliurang, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281 4Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS, Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan

Gedung Manggala Wanabakti Blok 1 Lt.13 Jl. Gatot Subroto-Jakarta 10270 Email:[email protected]

Diterima: 11 September 2018; Direvisi: 15 Juni 2020; Disetujui: 22 Juni 2020

ABSTRACT

Watershed areas are used for a variety of environmental services that become a basic framework for

watershed management activities. This study aims to develop and apply the rapid identification and

assessment of environmental services at micro catchment level at Cebong Sub-watershed, Wonosobo

Regency. This study uses three basic principles: (i) spatial and inter-regional relationships, (ii) causal

relationship mechanism, and (iii) potential and impact values. This method is a combination of

spatial analysis using Geographic Information Systems, causal relationship analysis using systems

thinking, and economic valuations. The results indicated that the diversity of environmental services

in the Cebong Sub-watershed are in the forms of: 1) provision services for food and water sources; 2)

regulatory services for carbon stocks, and erosion and sedimentation control, 3) habitat services for

biodiversity, and 4) cultural services for tourism. As food supply services, potato farming provides the

highest benefit value although generate other potential environmental services. As cultural services,

tourism share lower value of direct benefits, but support the sustainable use of environmental

services in the watershed. This is an initiative research to develop a technical guide in managing the

micro catchment based on environmental services.

Keywords: rapid assesment method; environmental services; micro-catchment

ABSTRAK

Wilayah DAS terbagi habis oleh ekosistem dengan keragaman jasa lingkungan yang dapat

dijadikan sebagai kerangka dasar kegiatan pengelolaan DAS. Penelitian ini bertujuan untuk

mengembangkan serta mengaplikasikan metode sidik cepat identifikasi dan penilaian jasa

lingkungan pada level DAS mikro di Sub DAS Cebong, Kabupaten Wonosobo. Penelitian ini

menggunakan tiga prinsip dasar: (i) spasial dan hubungan antar wilayah, (ii) mekanisme

hubungan sebab akibat, serta (iii) nilai potensi dan dampak. Metode sidik cepat jasa

Aplikasi Metode Sidik Cepat Jasa ……......…(Anang Widicahyono, San Afri Awang,, Ahmad Maryudi, dan M. Anggri Setiawan)

80 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

lingkungan merupakan kombinasi analisis spasial dengan pemanfaatan Sistem Informasi

Geografis, analisis hubungan sebab akibat dengan metode system thinking, serta valuasi

ekonomi. Hasil identifikasi sidik cepat menunjukkan keragaman jasa lingkungan di Sub DAS

Cebong berupa: 1) jasa penyediaan dengan jasa utama sumber makanan dan air domestik,

2) jasa regulasi dengan jasa utama cadangan karbon dan pengendalian erosi sedimentasi, 3)

jasa habitat dengan jasa utama biodiversitas, dan 4) jasa budaya dengan jasa utama

pariwisata. Jasa penyediaan makanan dalam bentuk pertanian kentang memberikan nilai

manfaat paling tinggi, namun memunculkan penurunan potensi jasa lingkungan lainnya.Jasa

budaya berupa pariwisata, meskipun nilai manfaat langsungnya lebih rendah, namun dapat

mendukung keberlanjutan pemanfaatan jasa lingkungan di dalam DAS. Penelitian ini

menjadi sebuah inisiasi petunjuk teknis rencana pengelolaan DAS mikro berbasis jasa

lingkungan.

Kata kunci: metode sidik cepat; jasa lingkungan; DAS Mikro

I. PENDAHULUAN

Konsep Daerah Aliran Sungai (DAS)

telah menjadi salah satu instrumen dalam

pembangunan nasional yang

berkelanjutan (Paimin et al., 2012; Ratna

Reddy et al., 2017). Penerapan

pengelolaan DAS di Indonesia memiliki

beberapa tantangan dan kesulitan dalam

penerapannya. Permasalahan tersebut

mencakup kompleksitas permasalahan

kondisi DAS seperti peningkatan erosi,

sedimen, banjir, longsor, dan pencemaran

air (Karuniasa & Prambudi, 2019). Potensi

DAS yang belum dimanfaatkan secara

berkelanjutan. Millennium Ecosystem

Assessment (MEA) menyimpulkan dua

pertiga (2/3) jasa lingkungan yang terkait

dengan kesejahteraan manusia sedang

mengalami degradasi atau dimanfaatakan

secara tidak berkelanjutan (MEA, 2005)

Pengelolaan DAS membutuhkan suatu

pendekatan spatial-temporal yang

interaktif dengan analisis pengelolaan

dimulai dari skala regional menuju skala

detail. Untuk mengatasi masalah tersebut

diperlukan pendekatan kolaboratif kondisi

fisik DAS dengan kondisi sosial, ekologi

DAS. Sudah saatnya kebijakan

pengelolaan DAS betul-betul dipahami

dan diterapkan pada level yang lebih kecil

yaitu DAS Mikro (<5000 Ha) (Marshall&

Bayliss, 1994).

Pengelolaan DAS bukan semata

mengelola sumberdaya, namun lebih

kepada mengelola aktivitas manusia

karena akan berdampak pada kelestarian

sumberdaya yang tersedia (Salampessy &

Lidiawati, 2017). Pada level desa,

masyarakat telah mendapatkan dan

terlibat langsung pada kegiatan-kegiatan

kolaboratif pengelolaan DAS, namun pada

kenyataannya mereka hanya melihat

bentuk sosialisasi hingga bantuan

infrastruktur yang didapat tanpa

memahami peranannya secara langsung

pada proses pengelolaan DAS (Jariyah,

2014; Napitupulu et al., 2014).

Pendekatan yang digunakan dalam

pengelolaan DAS masih terlalu

berorientasi pada keberadaan dan

intensitas masalah. Penentuan sebuah

DAS masuk kategori “dipertahankan”

ataupun “dipulihkan” didasarkan pada

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 79-102

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 81

berbagai indikasi degradasi ataupun

kebencanaan. Konsekuensi logisnya

adalah kebijakan pengelolaan DAS selalu

diarahkan untuk mengatasi berbagai

dampak yang ditimbulkan oleh masalah

lingkungan erosi (Setiawan, 2012; Paimin

et al., 2012, Sihite, 2001), banjir

(Sudaryono, 2012), tanah longsor

(Halengkara et al., 2012), kekeringan

(Legowo, 2005; Falah & Purwanto, 2018),

hingga lemahnya fungsi kelembagaan

(Ulya et al., 2017). Implementasi

pengendalian permasalahan tersebut

seringkali banyak mengalami kendala

karena harus berbenturan dengan

kebutuhan pemenuhan ekonomi dan

sosial budaya masyarakat (Ulya et al.,

2017). Sebagai contoh, program

rehabilitasi hutan lahan pada area

pertanian intensif sebagai sumber erosi

dan limpasan, tidak berjalan optimal

karena harus berhadapan dengan pola

tanam masyarakat lokal (Hafizi et al.,

2016).

Pada kenyataannya, komponen dari

DAS tidak hanya berisi “masalah”, namun

juga memiliki sisi “potensi” (Ulya et al.,

2017). Potensi DAS berupa ekosistem

yang menyimpan berbagai sumberdaya

yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat

lokal. Ekosisitem dalam DAS bervariasi

dalam hal kompleksitas, ukuran, dan

fungsinya yang digunakan manusia

melalui pemanfaatan jasa lingkungan

(TEBB, 2010). Ekosistem menyediakan

berbagai layanan jasa lingkungan yang

dapat dikategorikan sebagai penyediaan,

pengaturan, dan layanan budaya (CICES,

2013; Haines-Young & Potschin, 2013;

Mustajoki et al., 2020). Paradigma

pengelolaan DAS seharusnya berlaku

secara proposional dari sisi pengendalian

masalah dan optimalisasi potensi jasa

lingkungan DAS (Dasrizal et al., 2012;

Indrawati, 2016).

Perkembangan penelitian terkait jasa

lingkungan sudah banyak dilakukan (Groot

et al., 2017). Pada umumnya penilaian

jasa lingkungan selalu dikaitkan dengan

kerangka imbal jasa lingkungan sebagai

mekanisme untuk mempromosikan

praktik penggunaan lahan, sarana

konservasi yang ramah lingkungan dan

efisien (Garcia-Amando et al., 2011;

Kaplowitz et al., 2012; Wegner, 2016). Di

Indonesia,belum banyak penelitian yang

mengkaitkannya secara langsung untuk

dasar pengelolaan DAS mikro. Penelitian

ini memiliki tujuan utama untuk

mengembangkan serta mengaplikasikan

sebuah metode sidik cepat untuk

identifikasi dan penilaian jasa lingkungan

pada level DAS mikro.

Metode yang dikembangkan dalam

penelitian diterapkan pada sebuah DAS

mikro yang terletak pada salah satu DAS

yang memiliki variasi jenis ekosistem dan

pemanfaatan lahan. Di dalam penelitian

ini, beberapa prinsip dasar digunakan

untuk merumuskan tahapan metode dan

kerangka analisis yang sistematis.

Keberadaan metode sidik cepat ini

merupakan sebuah inisiasi penting untuk

sinkronisasi konsep pengelolaan DAS

dalam proses pembangunan desa yang

berkelanjutan.

Aplikasi Metode Sidik Cepat Jasa ……......…(Anang Widicahyono, San Afri Awang,, Ahmad Maryudi, dan M. Anggri Setiawan)

82 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan

Januari sampai dengan September tahun

2017. Lokasi penelitian dilakukan di Sub

DAS Cebong (104,49 ha) yang terletak di

Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar

Kabupaten Wonosobo (Gambar 1). Secara

astronomis, Sub DAS Cebong terletak

antara 7o14’29,85” LS - 7o14’33,78” LS dan

109o55’30,31”BT-109o54’51,99” BT.

Wilayah ini merupakan bagian hulu dari

DAS Serayu yang telah ditentukan sebagai

DAS Prioritas Nasional (RPJMN Tahun

2015-2019 & SK Menhut No

SK.328/MenhutII/2009).

Dibandingkan dengan daerah lainnya

di dalam DAS Serayu, Sub DAS Cebong

memiliki keragaman ekosistem yang lebih

lengkap terdiri dari hutan lindung, lahan

pertanian, danau, dan permukiman.Di

samping itu, kawasan hutan lindung yang

dikelola Perum Perhutani saat ini telah

dikelola bersama masyarakat menjadi

salah satu ikon obyek wisata yang cukup

terkenal di Dieng, yaitu Golden Sunrise di

Gunung Sikunir.

Gambar (figure) 1. Lokasi DAS Mikro Cebong, Desa

Sembungan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.

Sumber (Source): BPDASHL Serayu Opak Progo, 2017.

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kuisioner, alat tulis,

kamera, recorder, laptop, perangkat lunak

Arc Gis, peta rupa bumi Indonesia tahun

2017, citra google earth/ citra Sas Planet

dan data DEM SRTM.

Kuisioner digunakan sebagai pedoman

wawancara selama pengambilan data di

lapangan. Kamera dan recorder digunakan

untuk dokumentasi dan perekaman data

melalui wawancara mendalam. Peta rupa

bumi Indoensia, citra google earth, dan

DEM SRTM digunakan untuk membuat

peta lokasi penelitian dan untuk

menganalisis tutupan lahan di lokasi

kajian. Laptop dan software arcGIS

digunakan untuk mengolah data yang

telah dikumpulkan.

C. Metode

Kajian jasa lingkungan yang bertujuan

untuk menyediakan data yang

komprehensif pada level DAS mikro tidak

cukup hanya dibatasi pada upaya

penyediaan data terkait besaran nilai

manfaat ekonomi. Prinsip utama yang

perlu diperhatikan di dalam kajian jasa

lingkungan pada suatu DAS mikro antara

lain: i) spasial dan hubungan antar

wilayah, ii) hubungan sebab akibat antara

proses dan hasil proses pemanfaatan jasa

lingkungan, dan iii) nilai manfaat dan

dampak. Keberadaan ketiga prinsip

tersebut dapat menjadi data dasar dalam

pembangunan yang berkelanjutan di

dalam cakupan DAS yang dikaji.

Prinsip spasial dan hubungan antar

wilayah akan memberikan gambaran

secara utuh mengenai keberadaan dan

karakteristik DAS mikro yang dilihat pada

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 79-102

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 83

skala regional (misalnya: posisi terhadap

DAS utama, iklim, genesis bentukahan,

material batuan ataupun tanah,

administrasi, hingga sosial budaya)

ataupun skala detail di dalam DAS mikro

(jenis, batas, luas, jumlah, hingga

distribusi dari jasa lingkungan).

Penggunaan prinsip yang kedua dan

ketiga didasarkan pada bahwa setiap

proses dan hasil proses pemanfaatan jasa

lingkungan selalu muncul sebagai

mekanisme hubungan sebab akibat.

Hubungan sebab akibat antara manusia

dan lingkungan di setiap cakupan wilayah

cenderung kompleks dan mempunyai ciri

yang khas tergantung dari ketersediaan

jasa lingkungan. Informasi terkait

hubungan sebab akibat pemanfaatan jasa

lingkungan pada DAS mikro akan dapat

digunakan sebagai dasar penilaian

berbagai manfaat dan dampak yang

muncul baik yang bersifat langsung

ataupun tidak langsung.

Berdasarkan ketiga prinsip tersebut

maka penelitian ini merumuskan tahapan

metode sidik cepat jasa lingkungan pada

DAS mikro yang tersusun dan dikaji secara

urut yaitu:

1. Pemahaman wilayah DAS kajian

terhadap sistem lanskap regional

(Analisis data sekunder dan spasial

terkait posisi terhadap DAS utama dan

kondisi geomorfologis, iklim, tanah,

administrasi, hingga sosial budaya);

2. Identifikasi tipologi jasa lingkungan

pada wilayah DAS mikro (dilakukan

dengan analisis peta tutupan lahan

meliputi jenis, batas, luas, aransemen/

distribusi);

3. Analisis mekanisme pemanfaatan jasa

lingkungan (dilakukan dengan survei

lapangan dan wawancara mendalam

terhadap para pemangku kebijakan);

4. Penilaian jasa lingkungan dan

dampaknya (dilakukan dengan analisis

nilai manfaat ekonomi dengan

pendekatan market price);

5. Analisis keberlanjutan pemanfaatan

jasa lingkungan (dilakukan dengan

analisis secara deskriptif menggunakan

perbandingan/matriks nilai manfaat

dan dampak yang dapat ditimbulkan

dari pemanfaatan jasa lingkungan).

Metode sidik cepat ini secara teknis

memanfaatkan teknologi Sistem Informasi

Geografis dan analisis manfaat ekonomi

secara komprehensif untuk mendukung

proses analisis. Tabel 1 menguraikan

secara lebih spesifik berbagai metode

sidik cepat nilai manfaat langsung ataupun

tidak langsung. Secara umum metode

pengambilan data yang dipakai di

lapangan yaitu menggunakan sidik cepat

sehingga mendapatkan hasil langsung

dilapangan. Perhitungan yang digunakan

yaitu berbatas pada jasa lingkungan saja;

belum menghitung shadow price dan

valuasi ekonomi imbal jasa lingkungan.

Aplikasi Metode Sidik Cepat Jasa ……..................................................................................................................…(Anang Widicahyono, San Afri Awang,, Ahmad Maryudi, dan M. Anggri Setiawan)

84 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Tabel (Table)1: Fungsi jasa lingkungan di Sub DAS Cebong (The function of environmental services in The Cebong Micro-Catchment).

Fungsi jasa lingkungan

(Environmental services function)

Jasa utama (Main

services)

Deskripsi (Description)

Metode survei dan analisis (Survey method and analysis)

Keterangan (Explanation)

Penyediaan (Provision)

Sumber Makanan

Kentang Purposive sampling (wawancara dengan pengepul kentang di Desa Sembungan)

Pengepul kentang adalah orang yang membeli kentang langsung dari para petani dan menjualnya kepada calo.

Carica Purposive sampling (wawancara dengan pengepul carica di Desa Sembungan)

Pengepul carica adalah orang yang membeli carica dari petani untuk dijual kepada home industy carica

Sumber Air Air Minum Domestik

Purposive sampling (wawancara dengan masyarakat tiap KK yang menggunakan air bersih dari sumur)

Wawancara 24 KK (yang memiliki 99 angota keluarga) warga Desa Sembungan yang memiliki Sumur

Air Irigasi Purposive sampling (wawancara dengan petani yang menggunakan air Telaga untuk pertanian)

Pendekatan dilakukan dengan biaya swadaya yang dikeluarkan petani untuk pengerukan Telaga Cebong

Pengaturan (Control)

Pengikat dan Cadangan karbon

Kandungan karbon pada tanaman semusim dan semua tipe tanaman yang terdapat di hutan

Biomassa 0,11 x x D2,62 Ketterings, et al., 2001 Pengukuran cadangan karbon dilakukan dengan melakukan sampling berdasarkan kerapatan tanaman yang ada di Sub DAS Cebong. Sampling vegetasi dibagi untuk mendapatkan data biomassa jenis pohon, tiang, pancang, semai. Jumlah sampel Jenis Pohon 173, pancang 7, tiang 27 dan semai sama dengan luas tegalan yang ditanami kentang

Biomassa (Jenis yang tidak diketahui spesiesnya)

0,118 x D2,53 Hairiyah dan Rahayu, 2007

Serapan CO2 C x 3,67 Morikawa, 2003., Usmadi, et al., 2011

Karbon Tersimpan Biomassa x 0,46 Yuliasmara and Wibawa, 2007

Harga Karbon 5 US$/ton Kemeterian Lingkungan Hidup, 2012 (Nilai 1 US$ = Rp14.537,-)

Keterangan:

ρ Kerapatan Pohon (g/cm3)

D diameter tanaman (cm)

Jenis Tanaman Semai Y=(0,11ρ D2.62)/4

Winastuti, 2017

Jenis Tanaman Pancang Y=(0,11ρ D2.62)/2.5

Jenis Tanaman Tiang Y=(0,11ρ D2.62)/10

Jenis Tanaman Pohon Y=(0,11ρ D2.62)/40

Habitat (Habitat) Biodiversitas Berbagai satwa di hutan Sikunir dan sekitarnya

Data Sekuder dari Perum Perhutani Kedu Utara

Budaya (Culture) Wisata Data dari Perum Perhutani Kedu Utara

Data Sekunder hasil penjualan tiket kujungan ke Gunung Sikunir

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 79-102

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 85

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pemahaman Wilayah Sub DAS Cebong

Terhadap Sistem Lanskap Regional

Pemahaman jasa lingkungan DAS mikro

dari sisi skala regional akan dapat

memberikan informasi awal terkait

potensi jasa lingkungan serta sekaligus

menunjukkan arti penting posisi dan

pengaruh jasa lingkungan yang terdapat di

dalamnya terhadap keberlanjutan DAS

utama (Mustajoki et al., 2020). Artinya

kajian jasa lingkungan pada DAS mikro

seharusnya dimulai dari pemahaman skala

regional ke skala yang lebih detail.

Sub DAS Cebong merupakan DAS mikro

yang merupakan bagian dari sistem DAS

Serayu. Posisi Sub DAS Cebong yang

terletak di bagian hulu DAS Serayu

tentunya akan memberikan pengaruh

terhadap dinamika lingkungan DAS Serayu

di bagian tengah hingga hilir (Jariyah &

Pramono, 2013). Sub DAS Cebong terletak

di pegunungan Dieng Jawa Tengah yang

secara fisiografis termasuk pada sistem

Pegunungan Serayu Utara (Jariyah &

Pramono, 2013). Secara genesis regional

wilayah Sub DAS Cebong terbentuk dari

serangkaian proses vulkanik Gunung Api

Dieng periode kaldera dan paska kaldera

yang dibuktikan dengan keberadaan

Gunung Api Sikunang, Gunung Api

Pakuwaja, Gunung Api Prambanan,

Gunung ApiSikunir dan Gunung Api Seroja

(Gambar 2). Proses vulkanisme yang

intensif membentuk material dasar Sub

DAS Cebong berupa material vulkanik

hasil letusan gunungapi yang berumur

kwarter (Sartohadi, 2004).

Kondisi tanah di Sub DAS Cebong

berasal dari proses pelapukan intensif

pada material piroklastik dari aktivitas

vulkanik. Menurut Sartohadi (2004)

Gambar (Figure) 2. Posisi Sub DAS Cebong pada bentuklahan DAS Serayu(Cebong Sub-Watershed position in the Serayu Watershed landsystem).

Sumber (Source): Analisis (Analysis result), 2020 dimodifikasi dari Sartohadi (Modified from Sartohadi), 2004.

Aplikasi Metode Sidik Cepat Jasa …..........(Anang Widicahyono, San Afri Awang,, Ahmad Maryudi, dan M. Anggri Setiawan)

86 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

satuan tanah tingkat ordo yang terdapat

pada satuan bentuklahan asal vulkanik

adalah andisols pada kawasan dengan

ketinggian diatas 900 mdpl. Selain andisol

alfisol umumnya terdapat pada bagian

yang umur batuannya relatif tua seperti di

kompleks Gunungapi Sindoro dan

Sumbing. Kondisi elevasi Sub DAS Cebong

yang berada sekitar 2.260 mdpl memiliki

suhu antara 7oC -10o C dengan curah

hujan mencapai lebih dari 3000

mm/tahun.

Pola sistem aliran air tanah Desa

Sembungan Sub DAS Cebong mengalir

dari daerah utara yang merupakan daerah

imbuhan menuju ke arah barat daya yang

merupakan daerah lepasan dengan mata

air (Putri et al., 2018). Kondisi akuifer di

Desa Sembungan Sub DAS Cebong

merupakan akuifer bebas dengan

ketebalan akuifer jenuh 3-7,8 m.

Akuifer yang mendominasi tersebut

terdiri atas lapisan lempung, air tanah,

andesit basalt, dan endapa tuffan alterasi

(Risanti et al., 2018). Sub DAS Cebong

memiliki mata air yang digunakan dan

dimanfaatkan masyarakat untuk

kebutuhan domestik, pertanian, dan

pariwisata. Sub DAS Cebong menyimpan

berbagai potensi pariwisata. Berbagai

wilayah yang sudah dikembangkan yaitu

wisata alam Sikunir yang dikelola bersama

LSM dengan Kelompok Sadar Wisata

(Pokdarwis) di Desa Sembungan atas

seizin Perum Perhutani KPH Kedu Utara.

Secara garis besar pariwisata di Desa

Sembungan Sub DAS Cebong dapat

dikelompokkan menjadi wisata alam,

wisata buatan, wisata budaya, dan wisata

edukasi (Budiani et al., 2018). Masing-

masing wisata tersebut

memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri

sebagai destinasi wisata. Kawasan wisata

budaya yaitu sebuah atraksi wisata yang

mengangkat kebudayaan masyarakat

Desa Sembungan Sub DAS Cebong.

Kebudayaan Desa Sembungan Sub DAS

Cebong yang mampu menjadi atraksi

seperti Tarian Ludrak, Tarian Imo-Imo, dan

Ruwatan Gimbal serta wisata religi makam

Joko Sembung (Budiani et al., 2018).

Kekayaan wisata budaya tersebut diikuti

dengan keramahan, sopan santun dan

budaya masyarakat yang masih baik.

Berdasarkan analisis regional lanskap,

Sub DAS Cebong memberikan jasa

lingkungan yang cukup beragam terhadap

keberadaan dan keberlanjutan DAS Serayu

dan pemerintah daerah Kabupaten

Wonosobo. Jasa lingkungan penyediaan

yang utama adalah: i) penyediaan bahan

pangan yang berkualitas (didukung oleh

material tanah vulkan andisol dengan

kesuburan tanah yang baik dan kondisi

iklim yang khas) dan ii) penyediaan air

bersih untuk kebutuhan domestik

masyarakat hilir (posisi sub das cebong di

hulu menjadi area imbuhan air tanah).

Keberadaan fungsi hutan lindung yang

masih terdapat di sekitar Sub DAS Cebong

menentukan jasa lingkungan berupa

pengendalian i) perlindungan dari

kejadian bencana tanah longsor dan

banjir, ii) cadangan karbon, dan iii)

pengendalian terhadap erosi serta jasa

lingkungan penyangga sistem/habitat bagi

berbagai biodiversitas endemik. Sub DAS

Cebong juga memiliki beberapa aset

potensi wisata yang muncul sebagai jasa

lingkungan budaya untuk pembangunan

ekonomi.

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 79-102

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 87

B. Identifikasi Tipologi Jasa Lingkungan di

Dalam Sub DAS Cebong

Jasa lingkungan secara sederhana

dapat dijelaskan sebagai manfaat yang

diambil oleh manusia dari ekosistem

(Kasim et al., 2015; Nyongesa et al., 2016;

Subramanian & Jana, 2019). Konsep jasa

lingkungan mencakup pemanfaatan

penyampaian, penetapan, produksi,

perlindungan, atau pemeliharaan dari

kumpulan barang dan jasa penting bagi

manusia yang berasal dari

lingkungan(Martin-Ortega et al., 2019).

Sifat jasa lingkungan secara terbuka

digunakan untuk umum; mengakibatkan

jasa lingkungan cenderung tidak memiliki

hak kepemilikan namun dikenakan biaya

transaksi yang mahal dan cenderung

mangalami perubahan (Khairiah et al.,

2016). Data hasil valuasi jasa lingkungan

berupa nilai ekologi, sosial, dan ekonomi

dapat digunakan sebagai dasar dalam

menyusun kebijakan, keputusan dan

membantu proses perencanaan hingga

monitoring evaluasi untuk mengatur

strategi pembangunan wilayah daerah

aliaran sungai dan menjaga keberlanjutan

ekosistem (Chintantya& Maryono, 2017;

Khairiah et al., 2016).

Gambar 3 menunjukkan peta hasil

interpretasi tutupan dan pemanfaatan

lahan di Sub DAS Cebong yang terdiri dari

area permukiman, telaga, tempat wisata,

hutan lindung, dan tegalan (tanaman

holtikultura). Keempat tutupan lahan ini

menggambarkan secara cepat variasi

ketersediaan jasa lingkungan Sub DAS

Cebong. Telaga dan hutan lindung dapat

memiliki potensi jasa lingkungan yang

lengkap dari jasa penyediaan, pengaturan,

habitat sekaligus jasa budaya.

Gambar (Figure) 3. Peta sebaran jasa lingkungan di Sub-DAS Cebong. (Environmental services distribution map in the Cebong Sub-Watershed).

Sumber (Sources): Hasil analisis (Analysis result), 2020.

Aplikasi Metode Sidik Cepat Jasa …..........(Anang Widicahyono, San Afri Awang,, Ahmad Maryudi, dan M. Anggri Setiawan)

88 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Tabel (Table) 2. Luasan fungsi jasa lingkungan di Sub-DAS Cebong (The area of environmental services function

in Cebong Sub Watershed)

Sumber (Sources): Hasil analisis (Analysis result), 2020.

Di sisi lain, lahan tegalan menunjukkan

dominasi pemanfaatan jasa penyediaan

pangan (Tabel 2). Aktivitas pertanian yang

intensif di Sub DAS Cebong dapat

berlangsung karena dukungan kesuburan

tanah dan kondisi iklim yang telah

dijelaskan pada sub bab sebelumnya.

Adanya luasan lahan pertanian yang

dominan di sekitar ekosistem alami telaga

dan kawasan hutan yang posisinya

menempati bagian hulu DAS Serayu telah

mengindikasikan ketidakseimbangan dari

pemanfaatan jasa lingkungan di Sub DAS

Cebong. Keberadaan lahan terbangun

berupa permukiman yang mengelompok

dan lahan pertanian yang luas

menunjukkan adanya akses air (untuk

kebutuhan domestik ataupun pertanian)

yang mencukupi di Sub DAS Cebong (jasa

penyediaan air bersih).

Hasil analisis spasial detail di dalam Sub

DAS Cebong dapat memberikan gambaran

secara utuh terkait variasi jenis, luasan,

dan susunan keruangan dari setiap jasa

lingkungan. Hasil ini penting sebagai data

kuantitatif pendukung analisis manfaat

dan dampak (Mustajoki et al., 2020;

CICES, 2013). Meski demikian, hasil

analisis tipologi jasa lingkungan ini masih

tentatif dan belum dapat secara rinci

menjelaskan intensitas pemanfaatan,

sehingga membutuhkan analisis yang

lebih detail terkait proses dan hasil proses

pemanfaatan jasa lingkungan di Sub DAS

Cebong pada sub bab selanjutnya.

C. Analisis Mekanisme Pemanfaatan Jasa

Lingkungan

Kondisi keberagaman jasa lingkungan

yang ditemukan di Sub DAS Cebong dapat

dipengaruhi oleh kondisi komponen

ekosistem. Semakin lengkap komponen

suatu ekosistem, maka akan semakin baik

kualitas jasa lingkungannya dan

begitupula sebaliknya (Ulya et al., 2017).

Jasa lingkungan di Sub DAS Cebong

sebagian besar dimanfaatkan oleh

manusia untuk kelangsungan hidup.

Manusia dalam hal ini bersifat sebagai

pengguna jasa lingkungan. Jasa lingkungan

yang tersedia di Sub DAS Cebong

berdasarkan fungsi dan jasa utamanya

dapat dilihat pada Tabel 3.

No Informasi tutupan lahan (Land cover information)

Jasa lingkungan (Environmental Services)

Luas area (area) (Ha)

1 Lahan Tegalan (dry land) Penyediaan (sumber pangan, air bersih) 69,26 (65,11%)

2 Lahan hutan (Forest)

Penyediaan(air bersih) Regulasi (pengendalian erosi sedimentasi, cadangan karbon) Habitat Wisata

23,38 (24,10%)

3 Lahan terbangun untuk permukiman dan wisata (settlement and tourism)

Budaya (wisata) 9,79

(10,77%)

Total 104,49

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 79-102

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 89

Tabel (Table) 3. Jasa lingkungan di Sub DAS Cebong (Environmental services in Cebong Sub Watershed)

Fungsi jasa lingkungan (Environmental services function)

Jasa utama

(Main services)

Keterangan

(Explanation)

Penyediaan (Provision service) Sumbermakanan Kentang

Carica

Air domestik Air bersih

Regulasi(Regulatingservice) Cadangankarbon Kandungan karbon pada tanamansemusim dan semua tipe tanaman yang terdapat di hutan

Air telaga Sarana irigasi

Habitat(Habitatorsupportingsystem)

Biodiversitas/ keragaman jenis

Berbagai satwa di Hutan Sikunir dan sekitarnya

Religi/Sosial budaya (Cultural service)

Wisata Pendapatan tiketwisatawan

Sumber (Sources): Hasil Analisis (Analysis result), 2020

Berdasarkan Tabel 3, jasa lingkungan

utama yang dimanfaatkan oleh

masyarakat adalah sumber makanan,

berupa tanaman kentang dan carica, air

domestik, caadangan karbon, air telaga,

biodiversitas dan wisata. Mekanisme

pemanfaatan jasa lingkungan dianalisis

dan diuraikan dengan menggunakan

system thingking yang dihasilkan pada

Gambar 4.

Berdasarkan Gambar 4 diketahui

bahwa mekanisme pemanfaatan jasa

lingkungan di Sub DAS Cebong diawali dari

pemanfaatan lahan sebagai pertanian

untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Jasa lingkungan berupa penyedia

makanan menjadi sumberdaya utama

masyarakat Desa Sembungan Sub DAS

Cebong.

Pemanfaatan lahan kemudian

berkembang dengan keterlibatan

parapemangku kepentingan dalam

pengelolaan kawasan hutan. Pemanfaatan

jasa lingkungan hutan sebagai penyedia

karbon dihutan kemudian mengalami

perkembangan sebagai penyedia jasa

wisata. Pemanfaatan jasa wisata

berkembang seiring berjalannya waktu

karena menyediakan keindahan alam

Bukit Sikunir. Aktifitas pemanfaatan jasa

lingkungan di Sub DAS Cebong diikuti oleh

berbagai kalangan masyarakat lokal

dengan menyediakan jasa penyedia

penginapan dan tempat makan.

Perkembangan mekanisme pemanfaatan

lahan ini akibat adanya potensi lain dari

lahan selain untuk kegiatan pertanian.

Aktifitas ekonomi pertanian dan non

pertanian seperti pariwisata muncul

sebagai bentuk tumbuh dan

meningkatnya kesejahteraan masyarakat

(Sharma et al., 2012; Pramanik &

Ingkadijaya, 2017).

Aplikasi Metode Sidik Cepat Jasa …..........(Anang Widicahyono, San Afri Awang,, Ahmad Maryudi, dan M. Anggri Setiawan)

90 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Gambar (Figure) 4. Mekanisme pemanfaatan jasa lingkungan di Sub DAS Cebong (Environmental services

utilization mechanism in Cebong Sub Watershed).

Sumber (Source): Widicahyono et al., 2018.

1. Fungsi Penyediaan

Fungsi jasa lingkungan penyediaan

merupakan jasa utama yang menyediakan

sumber makanan dan air domestik yang

ada di Sub DAS Cebong. Sumber makanan

utama di Sub DAS Cebong yaitu kentang

dan carica. Tanaman kentang merupakan

tanaman budidaya yang menjadi tanaman

unggulan masyarakat di Desa Sembungan

Sub DAS Cebong dan intensif dilakukan

sejak 1985 (Arbangiyah, 2012).

Berdasarkan Gambar 3, jasa lingkungan

berupa sumber makanan kentang dan

carica tersebar di berbagai wilayah yang

merupakan area dengan penggunaan

lahan berupa tegalan. Area tegalan

merupakan lahan pertanian kering yang

digunakan masyarakat untuk menanam

kentang dan carica. Penanaman kentang

dilakukan pada teras dengan pemanenan

dua kali dalam satu tahun, sedangkan

carica dapat dipanen sebanyak satukali

dalam satu tahun.

Kontrol harga pasar digunakan untuk

menilai harga jasa lingkungan dari fungsi

penyediaan makanan. Harga pasar ini

dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari

jumlah permintaan masyarakat, musim

atau iklim serta panjangnya proses

pendistribusian dari petani hingga ke

tangan masyarakat (Gambar 5).

2. Fungsi Regulasi

Cadangan karbon dan air telaga

merupakan jasa utama dari fungsi jasa

lingkungan Regulasi. Cadangan karbon

diidentifikasi dari tersedianya hutan

dengan berbagai vegetasi sebagai

penyedia karbon utama. Hutan di Sub Das

Cebong tersebar di wilayah utara hingga

timur pada Bukit Sikunir. Air telaga

menyediakan sumberdaya air yang

berlimpah untuk sarana irigasi bagi

masyarakat Desa Sembungan. Keberadaan

Telaga Cebong berada di tengah Sub DAS

Cebong dan merupakan outlet DAS.

Persentase fungsi jasa lingkungan regulasi

memiliki luasan wilayah sebesar 24,1%

dari seluruh wilayah Sub DAS Cebong

(Tabel 4).

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 79-102

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 91

Gambar (Figure) 5. Proses distribusi kentang dari petani hingga masyarakat (Potatoes distribution process).

Sumber (Sources): Analisis lapangan (field analysis), 2019.

Tabel (Table) 4: Persentase nilai jasa lingkungan di Sub DAS Cebong (Environment services percentage value in Cebong Sub Watershed)

Fungsi jasa lingkungan

(Environmentalservicesfunction)

Nilai

(Value)

Persentase (Percentage)

Penyedia- makanan (Provision-food) Rp.2.220.000.000,00 53,80

Penyedia-air bersih (Provision-clean water) Rp.175.989.860,00 4,26

Regulasi-cadangan karbon (Regulation-carbon stock) Rp.280.137.810,00 6,78

Regulasi-air telaga (Regulation-lake water) Rp.500.000.000,00 13,21

Sosial budaya-wisata (Social culture-tourism) Rp.905.000.000,00 21,93

Sumber (Sources): Hasil analisis (Analysis result),2020.

3. Fungsi Habitat

Fungsi habitat menyediakan jasa utama

yaitu keragaman jenis satwa di hutan

Sikunir. Adanya hutan lindung di Sub DAS

Cebong menyediakan jasa lingkungan

utama yang mendukung kehidupan baik

dari segi ekologis maupun ekonomis.

Dalam mendeliniasi fungsi habitat pada

peta jasa lingkungan, fungsi habitat tidak

dapat berdiri sendiri melainkan termasuk

dalam sistem hutan di Sub DAS Cebong

dantidak dapat dipisahkan. Hutan

memiliki peranan penting bagi

keberagaman jenis satwa di Sub DAS

Cebong. Dari segi ekologis, keberadaan

tutupan lahan hutan memberikan fungsi

pengendali limpasan permukaan dan

bahaya bencana erosi, pengikat karbon

dan habitat bagi satwa-satwa liar.

4. Fungsi Religi/ Sosial Budaya

Fungsi jasa budaya meliputi

pemanfaatan lahan Perum Perhutani

untuk kegiatan ekowisata. Selain itu Desa

Sembungan merupakan lokasi wisata desa

tertinggi di Pulau Jawa yang menyediakan

berbagai tempat penginapan, sarana dan

prasarana wisata. Hutan lindung bukit

Sikunir juga merupakan area yang

dimanfaatkan masyarakat untuk tujuan

Aplikasi Metode Sidik Cepat Jasa …..........(Anang Widicahyono, San Afri Awang,, Ahmad Maryudi, dan M. Anggri Setiawan)

92 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

ekowisata. Kondisi sosial masyarakat desa

Sembungan memiliki berbagai budaya

yang dapat dimanfaatkan sebagai fungsi

sosial budaya.

Pengelola wisata dikelola oleh

Pokdarwis Desa Sembungan. Pemanfaatan

wisata Bukit Sikunir masuk dalam fungsi

jasa lingkungan wisata. Pendekatan untuk

melihat pemanfaatan dari jasa lingkungan

ini pembayaran pajak retribusi (pajak dari

tiket wisata).

Berbagai kelompok sosial di Desa

Sembungan Sub DAS Cebong yaitu seperti

adanya kelompok tani, gabungan

kelompok tani dan kelompok wanita tani.

Jumlah kelompok Tani di Desa Sembungan

Sub DAS Cebong sebanyak 3 kelompok

dengan jumlah anggota sebanyak 161

orang. Sedangkan jumlah kelompok tani

wanita sebanyak 1 kelompok dengan

jumlah anggota sebanyak 21 orang. Usaha

sektor industri rumah tangga di desa

Sembungan Sub DAS Cebong sebanyak 6

lokasi.

Selain wisata alam Sikunir yang

terkenal, terdapat berbagai potensi wisata

di Desa Sembungan Sub DAS Cebong yang

masih dapat dikembangkan lagi Secara

garis besar pariwisata di Desa Sembungan

Sub DAS Cebong dapat dikelompokkan

menjadi wisata alam, wisata buatan,

wisata budaya, dan wisata edukasi

(Budiani et al., 2018). Masing-masing

wisata tersebut memiliki keunikan dan ciri

khas tersendiri sebagai destinasi wisata.

Kawasan wisata budaya merupakan

atraksi wisata yang mengangkat

kebudayaan masyarakat Desa Sembungan

Sub DAS Cebong. Kebudayaan Desa

Sembungan Sub DAS Cebong yang mampu

menjadi atraksi seperti Tarian Ludrak,

Tarian Imo-Imo, dan Ruwatan Gimbal

serta wisata religi makam Joko Sembung

(Budiani et al., 2018).

Budaya di Desa Sembungan Sub DAS

Cebong tergolong masih cukup kental. Hal

ini dapat dilihat dari adat yang masih

dilakukan di Desa Sembungan. Adat yang

masih dilestarikan hingga saat ini yaitu

berupa upacara ruwat rambut gimbal.

Upacara ini merupakan acara tahunan

yang berisikan upacara ruwatan untuk

anak-anak yang berambut gimbal.

Upacara ruwat rambut gimbal ini sudah

diangkat menjadi salah satu ciri khas di

Kawasan Dataran Tinggi Dieng, bahkan

juga turut ditampilkan pada saat event

Dieng Culture festival yang merupakan

event terbesar tahunan di Kawasan

Dataran Tinggi Dieng.

D. Nilai Jasa Lingkungan di Sub DAS

Cebong

Nilai jasa lingkungan di Sub DAS

Cebong merupakan estimasi nilai jasa

lingkungan dengan pendekatan sidik cepat

untuk mendukung analisis dalam peran

jasa lingkungan. Nilai jasa lingkungan juga

menjelaskan sebesar apa jasa lingkungan

apabila dihitung dengan nilai rupiah

sehingga dapat diketahui seberapa besar

persentase jasa lingkungan yang

dimanfaatkan oleh masyarakat lokal.

Penilaian jasa ekosistem dan

keanekaragaman hayati dapat menjadi

sarana dalam membuat kebijakan yang

menyebabkan keluarnya biaya bagi

masyarakat (TEBB, 2010). Berdasarkan

Tabel 4 dapat diketahui bahwa nilai jasa

lingkungan yang memiliki nilai paling

tinggi yaitu penyedia makanan (kentang

dan carica) dengan persentase 53,8%.

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 79-102

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 93

Nilai fungsi jasa lingkungan dengan

persentase terbanyak kedua yaitu sosial

budaya dengan pariwisatanya yang

mencapai 21,93%. Nilai tersebut

menunjukkan bahwa jasa lingkungan

berupa penyediaan makanan dan jasa

sosial budaya berupa wisata menyediakan

nilai jasa lingkungan dan keuntungan yang

tinggi kepada masyarakat.

1. Penyediaan Sumber Makanan dan Air

Bersih

Jasa penyediaan bahan pangan di Sub

DAS Cebong dihitung berdasarkan hasil

pertanian kentang dan tanaman carica.

Jumlah produksi kentang yang berada di

Desa Sembungan tahun 2017 sebesar 10

ton/ha dalam sekali panen. Jumlah

produksi tersebut didistribusikan untuk

dijual ke berbagai wilayah di kota Solo,

Tasikmalaya, Bandung dan Jakarta.

Berdasarkan data yang telah dihimpun

dari wawancara masyarakat di Desa

Sembungan (Gambar 6), bahwa mereka

sekali panen mendapatkan keuntungan

bersih 20 juta rupiah. Nilai tersebut

dikurangi dengan biaya produksi baik

untuk biaya bibit, pupuk (kandang, TSP,

Urea), obat-obatan (pestisida, fungisida),

plastik, mulsa, tenaga (cangkul,

pemanenan, pengobatan, dan penyiraman

maupun panen) yang mencapai Rp 40

juta.

Nilai jasa lingkungan yang diperoleh

masyarakat dari hasil jumlah produksi

penjualan per panen sebesar 10 ton/ha

dengan luas lahan pertanian kentang 68

ha dan dengan harga jual mencapai Rp.

5.000,00/kg. Dari harga tersebut

diperolehnilai jasa lingkungan sebesar

Rp.6.800.000.000,00/tahun. Nilai ini

merupakan pendapatan bersih (Tabel 5).

Selain untuk kentang, petani lokal juga

memanfaatkan lahannya untuk menanam

tanaman carica di sela-sela lahan

pertanian kentang. Tanaman carica

merupakan tanaman yang telah

beradaptasi di kawasan Gunung Api Dieng

yang memiliki daya tahan yang lebih baik

terhadap cuaca ekstrem. Tanaman carica

ditanam sebagai tanaman sela pada

tanaman hortikultura. Carica hampir tidak

memerlukan biaya perawatan seperti

untuk perawatan tanaman kentang.

Tanaman carica juga memiliki nilai

ekonomi yang tinggi sebagai makanan

khas Dataran Tinggi Dieng. Hasil

perhitungan imbal jasa lingkungan untuk

produksi carica mentah (bukan olahan)

mencapai Rp.1.440.000.000,00/tahun

(Tabel 5).

Nilai jasa lingkungan air bersih dihitung

berdasarkan kebutuhan yang diperoleh

masyarakat dari penggunaan air domestik.

Penyediaan air domestik dihitung dari

penggunaan sebanyak 241 rumah x Rp.

2000,00 (harga per m3) = Rp.

482.164,00/hari. Apabila dikalkulasikan

selama satu tahun maka penggunaan air

bersih memiliki jasa lingkungan senilai Rp.

175.989.860,00

Aplikasi Metode Sidik Cepat Jasa …......................................................................................................................…(Anang Widicahyono, San Afri Awang,, Ahmad Maryudi, dan M. Anggri Setiawan)

94 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Tabel (Table) 5. Perhitungan nilai imbal jasa lingkungan di Sub DAS Cebong, Kec Kejajar Kab. Wonosobo (Environmental services calculation value in the Cebong Sub-

watershed, Wonosobo District).

Sumber (Source): Hasil analisis (Analysis result), 2020.

Keterangan:

***: Kerugian erosi akibat pendangkalan Telaga Cebong diambil dari jumlah biaya swadaya masyarakat Desa Sembungan untuk mengeruk Telaga Cebong dan dibandingkan dengan terakhir kali waktu pengerukan telaga sebelumnya

a : Biaya swadaya masyarakat Tahun 2015 untuk pengerukan Telaga Cebong : Rp. 500.000.000,00 b : Tahun 2009 dilakukan pengerukan Telaga Cebong yang dibantu oleh PT. Geodipa Energy

Pelayanan (Services)

Nilai (Value)

Satuan produksi/ penggunaan

(Production unit/ usage)

Harga/nilai (Cost)

Harga jasa lingkungan

(Environmental services

value)(Rp)

Keterangan (Explanation)

Keuntungan ekonomi

(Economic benefits)

Satuan Luas Harga Satuan Total Satuan

Makanan

a. Kentang

Keuntungan kotor 10 Ton/ha 68 7.000 Per kg 4.760.000.000 Per 5 bulan 9.520.000.000 Ada risiko gagal panen (harga kotor)

Keuntungan bersih

10 Ton/ha 68 5.000 Per kg 3.400.000.000 Per 5 bulan 6.800.000.000 Keuntungan bersih dg pertimbangan (BEP Rp 5000)

a. Carica 30 Ton/bulan 4.000 Per kg 456.320.000 Per bulan 1.440.000.000 Tidak ada risiko gagal panen

Air

a. Air domestik 241 m3/hari 2.000 Per m3 482.164 Rp/hari 175.989.860 Kebtuhan air 167,771 l/hr darijumlah penduduk 1437 jiwa

b. Air pertanian 500.000.000 Biaya pengerukan Telaga Cebong

Karbon total $ 5 Per Ton 3.854,14 Ton/ha 280.137.810 Harga Carbon 5 US$/ton dan kurs dollar-rupiah (Tahun 2018 bulan Desember) Rp 14.537

a. Hutan 18,22 62.869.116

b. Tegalan 67,53 6.210.983

Regulasi (Regulation)

Kerugian erosi akibat pendangkalan telaga

500.000.000 ***

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 79-102

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 95

Gambar (Figure) 6. a).Wawancara Petani Kentang(Interview with Potatoes Farmer), b). Wawancara dengan pemilik rumah produksi carica(interview with carrica production house owner),c). Cemara Hutan di Sikunir(Forest Pine in Sikunir),d).Pertanian/ hortikultura di sekitar Danau Cebong(Farming/horticultural around Lake Cebong).

Sumber (Source): Dokumentasi (Documentation), 2017.

2. Fungsi Regulasi

Fungsi regulasi yang menghasilkan

cadangan karbon dihitung pada dua

tutupan lahan yang berbeda, yakni pada

hutan memiliki cadangan karbon senilai

141,83 ton/ha dan serapan karbon yang

mencapai 400,57 ton/ha. Cadangan

karbon pada tegalan memiliki nilai37,96

ton/ha dan serapan karbon mencapai

139,31 ton/ha. Nilai harga cadangan

karbon apabila dijumlahkan dan

dirupiahkan akan menunjukkan nilai jasa

lingkungan mencapai angka Rp.

280.137.810,49 (Perhitungan dapat dilihat

pada Tabel 5). Fungsi regulasi yang lain

yaitu nilai dari air Telaga Cebong yang

digunakan untuk sarana irigasi masyarakat

di Desa Sembungan. Apabila dirupiahkan

yaitu dengan mengestimasi biaya yang

dikeluarkan apabila terjadi pendangkalan

telaga Cebong. Data yang diperoleh dari

hasil wawancara dengan pihak Desa

Sembungan diketahui biaya pengerukan

sebesar Rp. 500.000.000,00/tahun.

3. Sosial Budaya

Dari segi sosial budaya, hutan lindung

di Sub DAS Cebong yang termasuk dalam

lingkungan area Bukit Sikunir

dimanfaatkan dan difungsikan oleh

masyarakat lokal sebagai daerah tujuan

ekowisata. Pendapatan yang dihasilkan

dari pengelolaan kawasan ekowisata ini

berasal dari tiket masuk dan pemanfaatan

toilet. Dengan jumlah pengunjung

mencapai 90.500 orang pertahun di tahun

2016.Pembukaan kawasan wisata Sikunir

telah menghasilkan nilai jasa lingkungan

sebesar Rp. 905.000.000,00 dari penjualan

tiket masuk dan Rp. 4.445.300,00 dari

pemanfaatan toilet.

E. Peran dan Manfaat Nilai Jasa

Lingkungan dalam Perencanaan di Sub

DAS Cebong

Jasa lingkungan di Sub DAS Cebong

merupakan komponen yang tidak dapat

dipisahkan dari masyarakat di Desa

Sembungan. Variasi nilai jasa lingkungan

Aplikasi Metode Sidik Cepat Jasa ….........…(Anang Widicahyono, San Afri Awang,, Ahmad Maryudi, dan M. Anggri Setiawan)

96 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Tabel (Table) 6. Analisis manfaat, potensi dan dampak dalam penggunaan jasa lingkungan (Analysis of benefits,

potential and impacts in the use of environmental services)

Jasa lingkungan utama (Main

environmental services)

Manfaat

(Benefits)

Potensi

(Potency)

Dampak

(Impact)

Sumber makanan

(Foodsources)

Sebagai pendapatan perekonomian masyarakat

Peningkatan kualitas produk olahan sehingga meningkatkan harga jual

Ketergantungan masyarakat tinggi dapat menyebabkan kerusakan lingkungan seperti erosi dan degradasi lahan

Air domestik

(Water domestics)

Sebagai Sarana pemenuhan kehidupan sehari-hari

Sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal maupun wisatawan

Penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan kelangkaan air bersih

Cadangan karbon

(Carbonstock)

Sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbon

Sebagai hutan lindung yang mampu mengatur lingkungan

Pembukaan lahan dan ekspansi lahan dapat menyebabkan berkurangnya luasan lahan hutan sehingga penyerapan karbon rendah

Air telaga (Lake water)

Sebagai sarana irigasi Sebagai sarana pariwisata baru

Permasalahan pendangkalan telaga muncul sebagai dampak dari sedimentasi. Pencemaran air telaga juga dapat terjadi apabila kegiatan pariwisata tidak disediakan fasilitas kebersihan

Biodiversitas (Biodiversity)

Sebagai estetika Sebagai sarana edukasi Ancaman perburuan dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah keanekaragaman hayati

Wisata (Tourism)

Sebagai pendapatan perekonomian masyarakat

Dapat dikembangkan dengan berbagai paket perjalanan dan jasa wisata lain

Degradasi lingkungan seperti erosi antropogenik dapat terjadi, ekspansi lahan baru dapat memicu menyempitnya lahan hutan.

Sumber (Source): Hasil analisis (Analysis result), 2020

di Sub DAS Cebong menggambarkan

keragaman lingkungan biofisik DAS Mikro

yang memiliki karakteristik geomorfologi

yang kompleks. Jasa lingkungan secara

langsung maupun tidak langsung memiliki

peran dan manfaat bagi kehidupan

masyarakat desa Sembungan.

Berdasarkan hasil analisis Tabel 5 bahwa

nilai jasa lingkungan untuk penyedia

makanan berupa kentang dan carica

ketika panen masing-masing sebesar

Rp.6.800.000.000,00 dan

Rp.1.440.000.000,00 dengan persentase

paling tinggi yaitu 53,8% (Tabel 4).

Tingginya persentase dan nilai jasa

lingkungan penyedia makanan

menunjukkan bahwa kondisi

perekonomian masyarakat bergantung

pada lingkungan yang menyediakan bahan

makanan. Perkembangan wisata ini

berada di tengah pemanfaatan lahan

pertanian holtikultura intensif yang sudah

berjalan selama beberapa generasi. Sub

DAS Cebong memiliki luasan yang tidak

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 79-102

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 97

besar namun memiliki potensi dan

permasalahan lingkungan yang beragam.

Analisis peran dan manfaat nilai jasa

lingkungan dalam perencanaan di Sub DAS

Cebong dianalisis secara tabulasi

kualitatifdan dijelaskan secara kualitatif.

Tabel 6 menunjukkan bahwa jasa

lingkungan harus dimanfaatkan secara

bijak dan berkelanjutan untuk

meminimalisir dampak yang ditimbulkan.

Kerugian dan akibat dampak yang

ditimbulkan akan membuat nilai jasa

lingkungan tersebut turun baik dari segi

kualitas maupun kuantitasnya. Penilaian

jasa lingkungan dapat digunakan sebagai

pembayaran untuk mengganti kerugian

yang ditimbulkan akibat kerusakan

lingkungan. Pembayaran dapat berupa

upaya konservasi. Tindakan pencegahan

pendangkalan telaga dilakukan dengan

melakukan pengerukan sedimen telaga

Cebong. Upaya konservasi merupakan

cara untuk mempertahankan jasa

lingkungan.

Perlindungan dan pengelolaan seperti

perlindungan telaga, perlindungan mata

air, peningkatan kapasitas masyarakat

dapat dilakukan untuk melindungi jasa

penyediaan sumber air (Rismunandar et

al., 2016). Pembayaran kerugian akan

mengalami penurunan apabila

penggunaan jasa lingkungan mengarah

kepada keberlanjutan lingkungan. Hal ini

dapat dilakukan dengan adanya program

jasa lingkungan seperti rehabilitasi hutan

dan lahan yang ditekankan pada penyedia

jasa ekosistem, habitat dan spesies yang

terancam mengalami degradasi (Aguilar et

al., 2018). Dari hasil penelitian (Duong &

De Groot, 2020) diketahui bahwa

keberlanjutan melalui program jasa

lingkungan melalui konservasi dapat

menciptakan karakter masyarakat untuk

melindungi hutan.

IV. KESIMPULAN

Sidik cepat inventarisasi jasa

lingkungan terbukti dapat digunakan

sebagai informasi dasar dalam rencana

pengelolaan DAS mikro. Inventarisasi jasa

lingkungan harus dimulai dari pemahaman

spasial secara regional (untuk mengetahui

secara umum kaitan jasa lingkungan DAS

mikro terhadap DAS utama) dan secara

detail (untuk melihat jenis, luas, serta pola

susunan setiap jasa lingkungan di dalam

DAS mikro). Analisis spasial terhadap

keragaman jasa lingkungan harus

dilengkapi dengan analisis hubungan

sebab akibat dalam proses dan hasil

proses pemanfaatan jasa lingkungan

untuk mendapatkan berbagai nilai

manfaat dan dampak setiap jasa

lingkungan. Penilaian ekonomi dari

manfaat langsung berdasar harga pasar

bisa digunakan dalam proses sidik cepat

asalkan dilengkapi dengan informasi

berbagai dampak pemanfaatan jasa

lingkungan.

Sub DAS Cebong merupakan contoh DAS

mikro yang mengalami

ketidakseimbangan pemanfaatan jasa

lingkungan. Fungsi jasa penyediaan

makanan jauh lebih intensif dibandingkan

dengan keberadaan jasa lingkungan

lainnya. Tanaman kentang memberikan

nilai manfaat langsung yang sangat tinggi

bagi masyarakat, namun mengganggu

keberlangsungan jasa lingkungan regulasi

dan habitat secara signifikan. Optimalisasi

Aplikasi Metode Sidik Cepat Jasa ….........…(Anang Widicahyono, San Afri Awang,, Ahmad Maryudi, dan M. Anggri Setiawan)

98 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

jasa budaya berupa aktivitas ekowisata di

Sub DAS Cebong dapat memberikan

manfaat langsung yang cukup tinggi tanpa

harus merusak jasa lingkungan yang lain.

Kajian ambang batas pemanfaatan jasa

lingkungan budaya di Sub DAS Cebong

perlu dilakukan untuk antisipasi

pembangunan fasilitas wisata yang

berlebihan dan menjadi masalah baru.

Metode sidik cepat jasa lingkungan perlu

diuji pada variasi kondisi lanskap DAS

mikro yang berbeda sebagai contoh di

karst, gambut, pesisir.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Rizal Faozi Malik,

Riha Ali Muhammad, Bayu Bima Yusufa,

Alzanea Ulya Rusmidi yang telah

membantu selama pengambilan data di

lapangan dan masyarakat desa

Sembungan Kecamatan Kejajar Kabupaten

Wonosobo yang bersedia diwawancarai

dan berdiskusi tentang produksi kentang,

carica, dan penggunaan air bersih di

lingkungan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aguilar, F. X., Obeng, E. A., & Cai, Z. (2018). Water quality improvements elicit consistent willingness-to-pay for the enhancement of forested watershed ecosystem services. Ecosystem Services, 30, 158–171. https://doi.org/10.1016/j.ecoser.2018.02.012

Ainun Jariyah, N. & Pramono, B. (2013). Kerentanan sosial dan biofisik di DAS Serayu: Collaborative management. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.10 No. 3 September 2013, Hal. 141-156.

Ainun Jariyah, N. (2014). Karakteristik masyarakat Sub DAS Pengkol dalam

kaitannya dengan pengelolaan DAS (Studi kasus di Sub DAS Pengkol, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah). Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 11(1), 59–69. https://doi.org/10.20886/jsek.2014.11.1.59-69

Arbangiyah, R. (2012). Perubahan pola pertanian rakyat di Desa Sembungan Dataran Tinggi Dieng (1985-1995). Skripsi. Universitas Indonesia.

Brown, S. (1990). Guideline for inventorying and monitoring carbon offsets in forest-based projects. World Bank, (September).

Budiani, S.R., Wahdaningrum, W., Yosky, D., Kensari, E., Pratama, H.S., Malandari, H., Iskandar, H.T., Alphabettika, M., Maharani, N., Febriani, R.F., Kusminati, Y. (2018). Analisis potensi dan strategi pengembangan pariwisata berkelanjutan berbasis komunitas di Desa Sembungan Wonosobo Jawa Tengah. Majalah Geografi Indonesia Vol. 32, No.2, September 2018 (170-176).

CICES, (2013). The CommonInternational Classification of Ecosystem Services (CICES) V4.3. January 2013. http://cices.eu/.

Chintantya, D. & Maryono, M. (2017). Peranan jasa ekosistem dalam perencanaan kebijakan publik di perkotaan. Proceeding Biology Education Conference Volume 14 (1), 144- 147

Dasrizal., Ansofino., Juita, Erna., Jolianis. (2012). Model sistem pembayaran jasa lingkungan dalam kaitannya dengan konservasi sumberdaya air dan lahan: Studi kasus pada Batang Anai Sumatera Barat. Economica, Jurnal Program Studi Pendidikan Ekonomi STKIP PGRI Sumatera Barat Vol. 1 No. 1, Oktober 2012

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 79-102

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 99

Duong, N. T. B., & De Groot, W. T. (2020). The impact of payment for forest environmental services (PFES) on community-level forest management in Vietnam. Forest Policy and Economics, 113 (December 2019), 102135. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2020.102135

Falah. F., & Purwanto. (2018). Kelembagaan mitigasi kekeringan di Kabupaten Grobogan. Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. https://doi.org/10.20886/jppdas.2018.2.2.151-172

García-Amado, L. R., Pérez, M. R., Escutia, F. R., García, S. B., & Mejía, E. C. (2011). Efficiency of payments for environmental services: Equity and additionality in a case study from a biosphere reserve in Chiapas, Mexico. Ecological Economics, 70(12), 2361–2368. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2011.07.016

Hafizi, M.Z., Golar., & Sudhartono, A. (2016). Pola pemberdayaan masyarakat di Hulu Sub Daerah Aliran Sungai Miu (Kasus Penerapan Program SCBFWM di Desa Winatu Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi Provinsi Selawesi Tengah). Warta Rimba. Volume 4, Nomor 1 Juni 2016.

Hairiyah, K., & Rahayu, S., (2007). Measurement of carbon stored in use various land. Bogor: World Agroforestry Centre. ISBN 978-979-319853-8.

Halengkara, Listumbinang, Totok Gunawan, & Setyawan Purnama. (2012). Analisis kerusakan lahan untuk pengelolaan daerah aliran sungai melalui integritasi teknik penginderaan jauh dan sistem

informasi geografis.Majalah Geografi Indonesia Vol 26, No. 2 September 2012 (149-173).

Indrawati, D.R., Awang, S.A., Faida, L.R.W., & Maryudi, A. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS Mikro: Konsep dan implementasi. (2016). Kawistara, Vol. 6, No. 2, Agustus 2016: 175-187.

IPCC. (2000). IPCC Special report on emissions scenarios: A special report of Working Group III of the Intergovernmental Panel in Climate Change. Emissions Scenarios, 608.

Kaplowitz, M. D., Lupi, F., & Arreola, O. (2012). Local markets for payments for environmental services: Can small rural communities self-finance watershed protection? Water Resources Management, 26(13), 3689–3704. https://doi.org/10.1007/s11269-012-0097-y

Karuniasa, M., & Prambudi, P.A. (2019) Transition of primary forest to secondary forest and impact for water resources conservation. Journalof Environmental Science and Sustainable Development, 2(1) 15-25. https://doi.org/10.7454/jessd.v2i1.34

Ketterings, Q. M., Coe, R., Noordwijk, M. v., Ambagau,Y., & Palm, C. A. (2001). Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forest. Forest Ecology and Management, 146: 199-209.

Khairiyah, R.N., Prasetyo, L.B., Setiawan, Y. Kosmaryandi, N., (2016). Minitoring model of payment for Environmental Service (PES) implementation in Cidanau

Aplikasi Metode Sidik Cepat Jasa ….........…(Anang Widicahyono, San Afri Awang,, Ahmad Maryudi, dan M. Anggri Setiawan)

100 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Watershed with stands density approach. Procedia Environmental Sciences 33 (2016) 269-278.

Legowo., (2005). Konsep teknologi pengendalian banjir dan mengatasi kekeringan. Seminar Pengelolaan DAS Citarum dalam rangka pengendalian banjir dan mengatasi kekeringan. Aula Pusdiktek, 26 Mei 2005. Cicaheum Bandung.

Marshall, D.C.W., & A.C., Bayliss. (1994). Flood estimation for small catchments. Institute of Hydrology Oxford.

Mawahan, Annazili & Soedarjanto. (2019) Model pengelolaan terbaik untuk keberlanjutan Daerah Aliran Sungai (DAS) Pada Sub DAS Ciliwung Hulu. Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Doi https://doi.org/10.20886/jppdas.2019.3.1.79-88

MEA (Millenium Ecosystem Assessment). (2005). Ecosystem and human well-being. Island Press. Washington, DC.

Mustajoki, J., Saarikoski, H., Belton, V., Hjerppe, T., & Marttunnen, M. (2020). Utillizing ecosystem services classificacions in multi-criteria decision analysis-experiences of peat extraction case in Finland. Ecosystem Services. 41 (2020) 101049.

Napitupulu, D. F., Asdak, C., & Budiono, B. (2014). Mekanisme imbal jasa lingkungan di Sub DAS Cikapundung (Studi kasus pada Desa Cikole dan Desa Suntenjaya Kabupaten Bandung Barat). Jurnal Ilmu Lingkungan, 11(2), 73. https://doi.org/10.14710/jil.11.2.73-83

Nurfahmi, Putri, Rizal Faozi Malik, Ratih Paniti Sari, & Afid Nurkholis. (2015).

Influence of local wisdom to prevent disappearance of Cebong Lake in Sembungan Village Wonosobo District. Proceedings of International Confrence on Appropriate Technology Development, pp.165-168.

Nurviana, Vina. (2016). Analisis biaya

manfaat pengelolaan hutan di Sub

DAS Prambanan Kecamatan Kejajar,

Kabupaten Wonosobo, Provinsi awa

Tengah.Tesis.Sekolah Pasca Sarjjana

Fakultas Geografi: Universitas

Gadjah Mada.

Permen No P.61/Menhut-II/2014 tentang Monitoring dan evaluasi pengelolaan daerah aliran sungai

Permen No P.67/Menhut-II/2014 tentang Sistem informasi pengelolaan daerah aliran sungai

Putri, M.A., Risanti, A.A., Cahyono, K.A., Latifah, L., Rahmawati, N., Ariefin, R.F., Prameswari, S., Waskita, W.A., Adjie, T.N., & Cahyadi, A. (2018). Sistem aliran dan potensi air tanah di Sebagian Desa Sembungan Ditinjau dari Aspek Kuantitas dan Kualitas. Majalah Geografi-Indonesia Vol. 32, No.2, September 2018 (155-161).

Pramanik, P.D., & Ingkadijaya, R. (2017) The impact oftourism on village society and its environmental. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 145 (2018) 012060. https://doi.org/10.1088/1755-1315/145/1/012060

Risanti, A.A., Cahyono, K.A., Latifah., Putri, M.A., Rahmawati, N., Ariefin, R.F., Prameswari, S., Waskito, W.A., Adjie, & T.N., Cahyadi, A. (2018). Hidrostratigrafi akuifer dan estimasi potensi air tanah bebas guna

Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Journal of Watershed Management Research) Vol. 4 No.1, April 2020 : 79-102

E-ISSN: 2579-5511/ P-ISSN: 2579-6097

@2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. 101

mendukung kebutuhan air Desa Sembungan. Majalah Geografi Indonesia Vol. 32, No.1, Maret 2018 (108-114).

Ratna Reddy, V., Saharawat, Y.S., & George, B. (2017) Watershed management in South Asia: A Synoptic Review. Journal of Hydrology 551 (2017) 4-3

Rismunandar, Kusmana, C., & Syaufina, L. (2016). Strategi kebijakan jasa lingkungan secara berkelanjutan di Taman Nasional Gunung Ciremai Kuningan - Jawa Barat (Policy strategy for sustainable water environment services management at Mount Ciremai National Park Kuningan-West Java). Jurnal Penglolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan, 6(2), 187–199.

Sartohadi, J. (2004). Geomorfologi tanah DAS Serayu Jawa Tengah. Majalah Geografi Indonesia. Volume 18 Nomor 2 September 2004. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur. Yogyakarta.

Setiawan, M.A. (2012). Integrated soil rsk management. PhD Thesis. University of Innsbruck, Austria.

Sihite, Jamartin. (2001). Evaluasi dampak erosi tanah model pendekatan ekonomi lingkungan dalam perlindungan DAS: kasus Sub-DAS Besai DAS Tulang Bawang Lampung. Disertasi. Pasca Sarjana Intitut Pertanian Bogor.

Sharma, A., & Kukreja, S. (2012) Economic contribution of tourism industry towards society. International Journal of Scientific & Engineering Research, Volume 3, Issue 10, October-2012.

Sudaryono. (2012). Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu konsep

pembangunan berkelanjutan.Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.3, No. 2, Mei 2002: 153-158.

SK Menhut No SK.328/MenhutII/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014.

TEBB. (2010). The Economics of ecosystems and biodiversity. Ecological and Economic Foundations. United Nations Environmnetal Programme. New York.

Ulya, Nur Arifatul, Efendi Agus Waluyo, Adi Kunarso, & Tubagus Angga Anugrah Syabana. (2017) .Bagaimana imbal jasa lingkungan dalam pengelolaan DAS secara terpadu dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Fakta dan potensi DAS Musi. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu. LPPM Universitas Riau.

Widicahyono, A., Awang, S.A., Maryudi, A., Setiawan, M.A., Rusmidi, A.U., Handoko, D., & Muhammad, R.A. (2018). Achieving sustainable ese of environment: a Framework for payment for protected forest ecosystem service. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 148(2018) 012019. https://doi.org/10.1088/1755-1315/148/1/012019

Winastuti, R. (2017). Analisis cadangan carbon atas permukaan pada kebun campuran di DAS Bompon dengan pendekatan sistem dinamik. Skripsi. Fakultas Geografi: Universitas Gadjah Mada.

Aplikasi Metode Sidik Cepat Jasa ….........…(Anang Widicahyono, San Afri Awang,, Ahmad Maryudi, dan M. Anggri Setiawan)

102 @2020 JPPDAS All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.

Wegner, G. I. (2016). Payments for ecosystem services (PES): a flexible, participatory, and integrated approach for improved conservation and equity outcomes. Environment, Development and Sustainability, 18(3), 617–644. https://doi.org/10.1007/s10668-015-9673-7.

Yuliasmara, F., and Dignity, A. (2007). Measurement of carbon stored in cocoa pantation biomass plant approach. Warta The research center Indonesian Coffee and Cocoa, 3.pp. 149-158.

PEDOMAN BAGI PENULIS (AUTHOR GUIDELINES) JURNAL PENELITIAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

BAHASA: Karya Tulis Ilmiah (KTI) ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris

LANGUAGE: Scientific paper (KTI) is written in Indonesian or English

FORMAT: Naskah diketik pada kertas A4 (210 x 297 mm), huruf Calibri, ukuran font 12 dan dengan spasi 1,15. Pada semua tepi disisakan ruang kosong 2,5 cm. KTI diserahkan dalam format Microsoft Words.

FORMAT: The manuscript is typed on an A4 paper (210 x 297 mm), calibri size 12, and 1.15 space. Margin on all edges are 2.5 cm. The manuscript is submitted in MS words format.

JUDUL: Judul KTI harus singkat dan informatif, tidak lebih dari dua baris dan mencerminkan isi tulisan. Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan ukuran font 12 dan menggunakan huruf kapital semua (terjemahan dalam bahasa Inggris ditulis miring dengan huruf kapital hanya pada permulaan judul atau yang menyatakan suatu nama, diletakkan di antara tanda kurung), hindari pemakaian kata kerja, rumus, singkatan, dan bahasa tidak resmi.

TITLE: Title of the scientific paper should be short and informative, no more than two lines and reflects the contents. The title is in Indonesian and English. The title in Indonesian is written in Calibri, font size 12, bold, uppercase, center. The title in English is written in calibri, font size 12, italics, sentence case, placed between parentheses. Avoid the use of verbs, formulas, abbreviations, and unofficial language.

NAMA PENULIS: Dicantumkan di bawah judul, ditulis lengkap tanpa gelar akademik, urutan berdasarkan penulis pertama, kedua dan seterusnya, disertai alamat lengkap instansi (Italic font) dan email penulis (Italic font).

NAME OF AUTHOR(S): Listed below the title, complete name without the academic degrees, the sequence based on the first author, second etc., accompanied by complete institution addresses (Italic font) and email addresses (Italic font).

ABSTRAK: Penulisan abstrak Bahasa Inggris (Italic font) dan Bahasa Indonesia, tidak lebih dari 250 kata, ditulis dalam satu paragraf, secara ringkas, jelas, utuh, mandiri, dan terdiri dari permasalahan, tujuan, metoda, dan hasil penelitian.

ABSTRACT: Abstract is written in English (Italic font) and Indonesian, no more than 250 words, written in one paragraph, concise, clear, and complete, . It consists of research problems, methods, and research findings.

KATA KUNCI: Tiga sampai lima kata kunci yang mencerminkan substansi naskah ditulis terpisah dengan menggunakan titik koma.

KEY WORD: Three to five key words reflect the substantive of the research, separated by semicolon.

PENDAHULUAN: Pendahuluan berisi latar belakang permasalahan yang ada, hasil - hasil penelitian terkait sebelumnya (state of the art), pentingnya penelitian yang dilakukan dan tujuan penelitian.

INTRODUCTION: Introduction must contain background of the existing problems, state of the art, important of the research and the purpose of the research.

BAHAN DAN METODE: Lokasi penelitian diterangkan secara geografis disertai peta lokasi penelitian, bahan dan alat yang digunakan diterangkan dengan jelas. Metode penelitian dijelaskan secara detil (desain penelitian, perlakuan, rancangan percobaan, metode dan skala analisis, dan lain-lain yang terkait metode) sehingga dapat diulang oleh peneliti lain. Metode yang sudah dipublikasikan harus dicantumkan sumbernya.

MATERIALS AND METHODS: Location of the research is described geographically completed with a map of the study sites. Materials and instruments used should be clearly defined. Research methods are described in detail (research design, treatments, experimental design, methods and scale of analysis, and other related methods) so that it can be repeated by other researchers. Published methods must be included the source.

HASIL DAN PEMBAHASAN: Hasil penelitian disampaikan secara singkat dan jelas. Data yang ditampilkan sudah dianalisis dan relevan, disusun sesuai tujuan penelitian. Data dan informasi dalam Tabel, grafik, dan gambar dilengkapi tafsiran yang benar. Dalam pembahasan data hasil penelitian ditafsirkan dan dikaitkan dengan tujuan, hipotesis (jika ada), diberikan penjelasan mengapa hal tersebut terjadi, dikemukakan hubungan dengan hasil penelitian sebelumnya, dan dikemukakan sitasi dari literatur yang sesuai.

RESULT AND DISCUSSION: The research results must be clear and short. The presented data have been analyzed and relevant, prepared according to the purpose of the research. Data and information in the tables, graphs, and pictures need to be conveyed with the correct meaning or interpretation. In the discussion, data are interpreted according to the objectives, the hypothesis (if any), explained why it happened, put forward relationship with the results of previous research, and proposed citation of the appropriate literatures.

KESIMPULAN: Hasil terpenting dari penelitian disampaikan dalam kesimpulan yang digunakan untuk menjawab tujuan, hipotesis serta temuan lain selama penelitian. Kesimpulan bukan merupakan ulangan dari abstrak, tetapi mengelaborasi hasil-hasil penelitian yang signifikan. Kesimpulan memuat saran-saran yang merupakan implikasi penelitian yang harus dilakukan lebih lanjut.

CONCLUSIONS: The most important results of the research are presented in the conclusions used to answer the objectives, hypotheses and other findings during the study. Conclusion is not a repetition of the abstract, but elaborates of significant research results. The conclusions contain suggestions which are the implications on further research.

TABEL: Judul tabel, kolom, lajur, dan sumber data serta keterangan ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris (dicetak miring) dengan singkat tetapi jelas serta tidak tebal. Judul tabel ditulis dengan font ukuran 10, spasi 1 dan huruf capital pada awal kalimat. Tabel diberi nomor urut sesuai dengan keterangan di dalam teks. Penggunaan tanda koma (,) dan titik (.) pada angka di dalam tabel masing-masing menunjukkan nilai pecahan/ desimal dan kebulatan seribu. Keterangan tabel diletakkan di bawah tabel. Tabel harus dalam format Microsoft Words. Tabel tidak menggunakan garis vertikal. Garis horizontal terletak pada judul kolom atas, sub judul dan akhir tabel (garis penutup tabel). Apabila tabel terpotong karena pergantian halaman, header ditampilkan kembali pada halaman selanjutnya. Tabel dapat diunggah menggunakan file terpisah (supplementary materials) dengan memberi tanda posisi tabel pada naskah. Tabel harus mencantumkan sumber. Apabila tabel merupakan hasil analisis primer, maka dapat ditulis sebagai analis data beserta tahun.

TABLES: The title of table, column, row, data source and description are written in

Indonesian and English (Italic font), short but

clear and not bold. The font size of the table title is 10 with spaces 1 and capital letter at the beginning of the sentences. The table is given number according to the description in the text. The use of comma (,) and dot (.) in the table indicate the value of fraction/ decimal and roundness of a thousand. Table descriptions are placed under the table. The table should be in MS Word format. Tables can be uploaded using a separate file (supplementary materials) by giving mark table positions on the manuscript. Table does not use vertical lines. The horizontal line lies in the top column heading, subheadings and at the end of the table (the closing table). If the table is cut off due to page changes, the header is displayed again on the next page. The table should mention its source. If the table is the result of primary data analysis, then it can be written as a data analysis and accompanied with the year.

GRAFIK/GAMBAR/FOTO : Grafik, peta, dan ilustrasi lain yang berupa gambar garis harus kontras, diberi nomor urut. Judul beserta isinya ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris dicetak miring), diberi nomor urut. Judul gambar ditulis dengan ukuran 10 dengan huruf kapital pada awal kalimat. Grafik dapat diunggah secara terpisah (supplementary materials) dari file utama (naskah KTI) dalam format MS Words dengan memberi tanda posisi grafik pada naskah. Resolusi gambar minimal 300 dpi. Gambar dan judul diletakkan pada posisi tengah/center. Gambar harus mencantumkan sumber. Apabila gambar berasal dari foto koleksi pribadi maka dapat ditulis sebagai koleksi pribadi beserta tahun.

GRAPHS/FIGURES/PHOTOS: Graphs, maps and other illustrations in line drawings should be in contrasted, numbered sequentially. Title and contents are written in two languages, Indonesian and English (in italic), numbered sequentially with its explanatory. The title is in font size 10 with capital letter at the beginning of the sentences. Graphs can be uploaded separately (supplementary materials) from the main file (KTI manuscipt) in MS word format by giving mark the chart position in the script. Image resolution is at least 300 dpi. The titles and graphs are placed in the center. The image must specify the sources. If the image comes from a private collection, it can be written as a private collection with year.

Rumus :Rumus ditulis dengan ukuran font 10. Setiap rumus yang ditampilkan harus diberi nomor sesuai urutan dalam naskah. Nomor urut diberi tanda kurung dan berada sejajar dengan rumus yang dihubungkan tanda titik sampai batas kanan naskah.

FORMULA: Formula is typed in font size 10. Each presented formula should be numbered sequentially in the script. The sequential number is bracketed and parallel to the formula connected with dots to the right margin of the manuscript.

UCAPAN TERIMA KASIH : Disarankan menyampaikan ucapan terimakasih kepada organisasi atau person yang telah membantu penulis dalam bentuk apapun.

ACKNOWLEDGEMENT: It is recommended to convey gratitudes to the organization or person who has assisted the author in any form.

DAFTAR PUSTAKA : Memuat pustaka yang benar-benar dirujuk, dengan demikian pustaka yang dimasukkan pada bagian ini akan ditemukan tertulis pada bagian–bagian sebelumnya. Cara penyitiran dan penulisan daftar pustaka merujuk kepada The American Psychological Association (APA) style 6th. Untuk mempermudah dan menjaga konsistensi pengutipan serta penulisan daftar pustaka perlu menggunakan aplikasi yang dapat diunduh secara gratis seperti Mendeley https://www.mendeley.com/download-mendeley-desktop/). Daftar pustaka disusun menurut abjad nama pengarang, 80% dari pustaka merupakan terbitan 5 tahun terakhir dan 80% berasal dari sumber acuan primer, kecuali buku teks ilmu-ilmu tertentu.

REFERENCES: It contains all references that are actually referred to. Thus the references included in this section will be found written in the previous sections. The way to edit and write a bibliography refers to The American Psychological Association (APA) style 6th. To make it easier and keep consistency of citation and bibliography writing, it is necessary to use free downloadable applications such as Mendeley (https://www.mendeley.com/ download-mendeley-desktop/). The references are arranged according to author's name alphabet. Eighty % of the literature is published in the last 5 years and 80% comes from primary reference sources, except for textbooks of certain sciences.