UPAYA ICC MENGADILI AL BASHIR (PRESIDEN SUDAN

21
1 UPAYA ICC MENGADILI AL BASHIR (PRESIDEN SUDAN) : Investigasi, Pra Peradilan, serta Menggunakan Kerjasama Dengan Negara Anggota Regi Ade Pratama Dwi Putra 0911243070 Abstraksi ICC atau International Criminal Court merupakan lembaga peradilan pidana international yang dibentuk oleh negara-negara yang memliki tujuan yang sama, yaitu memberikan kemananan bagi seluruh masyarakat internasional atau global civil society, namun dalam kasus yang terjadi di Sudan, dimana warga negaranya tidak memiliki rasa keamanan karena adanya konflik berkepanjangan, ditambah adanya pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu, khususnya Omar Al Bashir, Presiden Sudan, maka ICC wajib untuk membawa atau memproses Omar Al Bashir Khususnya untuk diadili di pengadilan internasional atas apa yang telah Al Bashir lakukan. Namun hal tersebut tidak berjalan sesuai prosedur ICC, karena Sudan bukan merupakan negara anggota ICC. Sehingga ICC tidak memiliki yuridiksi terhadap Sudan. Kata Kunci :International Criminal Court, Sudan, Omar Al Bashir, Global Civil Society PENDAHULUAN Pada tahun 2003 dimana puncak dari konflik pada masa kepemimpinan Al Bashir terjadi antara kelompok Janjawed dengan People Liberations Army yang berasal dari selatan. Janjaweed

Transcript of UPAYA ICC MENGADILI AL BASHIR (PRESIDEN SUDAN

1    

UPAYA ICC MENGADILI AL BASHIR (PRESIDEN SUDAN) :

Investigasi, Pra Peradilan, serta Menggunakan Kerjasama Dengan Negara Anggota

Regi Ade Pratama Dwi Putra

0911243070

Abstraksi ICC atau International Criminal Court merupakan lembaga peradilan pidana

international yang dibentuk oleh negara-negara yang memliki tujuan yang sama, yaitu

memberikan kemananan bagi seluruh masyarakat internasional atau global civil society, namun

dalam kasus yang terjadi di Sudan, dimana warga negaranya tidak memiliki rasa keamanan

karena adanya konflik berkepanjangan, ditambah adanya pelanggaran kemanusiaan yang

dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu, khususnya Omar Al Bashir, Presiden Sudan, maka

ICC wajib untuk membawa atau memproses Omar Al Bashir Khususnya untuk diadili di

pengadilan internasional atas apa yang telah Al Bashir lakukan. Namun hal tersebut tidak

berjalan sesuai prosedur ICC, karena Sudan bukan merupakan negara anggota ICC. Sehingga

ICC tidak memiliki yuridiksi terhadap Sudan.

Kata Kunci :International Criminal Court, Sudan, Omar Al Bashir, Global Civil Society

PENDAHULUAN

Pada tahun 2003 dimana puncak dari konflik pada masa kepemimpinan Al Bashir terjadi

antara kelompok Janjawed dengan People Liberations Army yang berasal dari selatan. Janjaweed

2    

merupakan pasukan militer khusus yang dibuat oleh pemerintahan Al Bashir untuk melawan

gerakan pemberontak, namun bukan hanya pemberontak yang menjadi fokus penyerangan tetapi

juga penduduk sipil turut menjadi korban serangan. Warga sipil yang berada di Darfur menjadi

korban kekejaman dari pasukan Janjaweed seperti kekerasan fisik, pemerkosaan, pembunuhan,

hingga pembakaran rumah-rumah penduduk.1 Sehingga Al Bashir tidak perlu turun tangan secara

langsung untuk melakukan kejahatan.

ICC sendiri memiliki yuridiksi untuk melakukan pengadilan terhadap pelaku kejahatan

dengan catatan kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara anggota ICC atau di wilayah

negara non anggota yang telah menyetujui untuk menerima yuridiksi pengadilan atas kejahatan

tersebut. Adanya kejahatan serius dalam suatu negara yang dapat mengancam perdamaian

maupun keamanan internasional akan memberikan pertimbangan bagi DK PBB untuk

mengajukan atau mereferensikan situasi tersebut kepada ICC berdasarkan piagam PBB bab VII

dengan memberikan yuridiksi.2 Berdasarkan empat kategori tersebut, maka ICC mendapatkan

yuridiksi di Sudan, melalui DK PBB.

ICC tidak memiliki kewenangan dalam mengadili pelaku individu di Sudan, karena Sudan

bukan merupakan negara anggota ICC, namun upaya ICC untuk mewujudkan perannya di bantu

oleh DK PBB melalui Security Council dengan mengunakan resolusi 1593 pada tanggal 31

Maret 2005 untuk menugaskan ICC atau International Crminal Court dalam menangani kasus di

                                                                                                               1Data diolah dari jurnal online karya Arbab, el Fadel, 2010, yang berjudul “Opinion : I Blame Bashir”, http://www.globalpost.com/dispatch/worldview/100811/sudan-darfur-genocide-bashir diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 2Data diolah dari artikel situs online resmi United Nations yang berjudul “Security Council Refers Situation in Darfur, Sudan To Prosecutor of International Criminal Court:”, http://www.un.org/News/Press/docs/2005/sc8351.doc.htmdiakses pada tanggal 15 September 2013

3    

Sudan dengan dikeluarkannya surat penangkapan kepada Presiden Sudan yaitu Al Bashir pada

tanggal 4 Maret 2009.3

Setelah mendapatkan yuridiksi dari DK PBB, Jaksa penuntut ICC, Moreno Ocampo,

melakukan investigasi di Sudan dengan menemukan bukti-bukti kejahatan serius yang dilakukan

Al Bashir berupa data yang berisikan ide-ide dan strategi yang dibuat oleh Al Bashir untuk

melancarkan serangan secara sistematis kepada etnis Fur, Masalit dan Zaghawa.4 Meskipun

hingga saat ini ICC hanya dapat mengajukan surat berita penangkapan Al Bashir dalam pra

peradilan.

Sejarah ICC ( International Criminal Court )

  Pada awalnya pengadilan internasional yang digunakan oleh negara-negara di dunia

mempunyai sifat sementara dan hanya mempunyai otoritas kewenangan di salah satu negara atau

dibuat khusus untuk satu negara, namun seiring berjalannya waktu dan sifat dinamis dari

permasalahan internasional seperti perang, konflik dan lainnya memberikan masukan bagi

negara-negara untuk membentuk sebuah wadah hukum yang nantinya akan ditaati oleh seluruh

negara di dunia yakni hukum internasional atau International Law yang menjadi dasar

terbentuknya ICC.

Dimulai dari pembentukan Tokyo Tribunal dan Nuremberg Tribunal setelah berakhirnya

Perang Dunia pertama dan kedua, dimana kedua pengadilan yang bersifat sementara tersebut

dibentuk untuk mengadili dan memproses para pelaku kejahatan perang maupun kemanusiaan                                                                                                                3 Heyder, Corrina, 2006. The U.N Security Council Referral of the Crimes in Darfurto the International Criminal Court in Light of U.S Opposition to the Court: Implications for the International Criminal Court’s Functions and Status. Volume 24 4Data diolah dari artikel situs online resmi International Criminal Court yang berjudul “ICC Prosecutor presents case against Sudanese President, Hassan Ahmad Al Bashir, for genocide, crimes against Humanity dan War Crimes”, http://www.icc-cpi.int/en_menus/icc/situations%20and20cases/situations/situation%20icc%200205/press%20releases/pages/a.aspx yang diakses pada tanggal 22 Desember 2013

4    

dalam level individu, karena kedua pengadilan tersebut berada di negara yang menjadi salah satu

penyebab terjadinya perang dunia dengan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya.5

Pengadilan Nuremberg dibentuk dengan tujuan untuk mengadili aktor individu yang

bertangung jawab dalam terjadinya kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, genosida dan

kejahatan serius bagi aktor individu dari Jerman yang pada saat itu didominasi oleh pasukan

Nazi. Pada saat terjadinya pengadilan pertama terhadap aktor individu di Nuremberg yang

dinyatakan gagal Amerika bersedia menjadi penyelenggara pengadilan bagi aktor-aktor individu

yang berasal dari Jerman, dengan 12 tuduhuan kejahatan.6 Sementara itu pengadilan sementara

Tokyo sudah lebih dahulu memulai proses persidangan bagi para aktor individu yang dianggap

bertanggung jawab dalam kejahatan kemanusian, perang, maupun genosida.7

Faktanya pengadilan Nuremberg dan pengadilan Tokyo belum mampu menjalankan

tugasnya dengan baik menurut masyarakat internasional, dan juga sifat sementara beserta

jangkauan geografis kedua pengadilan tersebut menjadi permasalahan mendasar, karena bukan di

kedua negara tersebut terjadi pelanggaran kemanusian maupun perang, dan yang terakhir

menurut para tersangka, pegadilan tersebut bersifat tidak adil bagi mereka, karena dalam proses

persidangan, para terdakwa tidak diperbolehkan memiliki seorang pembela atau pengacara.8

Setelah masa perang dunia pertama dan kedua berakhir dengan terbentuknya peradilan

Nuremberg dan Tokyo, pada tahun 1989 hingga 1992 dibentuk kembali pengadilan yang hampir

sama dengan pengadian sementara Nuremberg dan Tokyo, yaitu ICTY (International Criminal

for Former Yugoslavia) dan ICTR (International Criminal for Former Rwanda) yang dibentuk

berdasarkan konvensi Jenewa 1949. Pengadilan yang bersifat khusus untuk negara Yugoslavia

                                                                                                               5Benjamin B. Ferencz,1997 “International Criminal Courts: The Legacy of Nuremberg,” Pace International Law Review, Vol. 10 6ibid 7ibid 8Evan J. Wallach, 1999. The Procedural and Evidentiary Rules of the Post-World War II War Crimes Trials. Vol 37

5    

dan Rwanda ini memiliki perbedaan dengan dua pengadilan sebelumnya, yaitu para tersangka

dapat memiliki pembela dalam proses persidangan.

Pembentukan ICTY ini diperuntukan bagi pelaku individu yang melakukan kejahatan

kemanusiaan, perang, agresi dan genosida, karena pada saat itu negara tersebut sedang

mengalami perang saudara antara etnis Bosnia yang mayoritas beragama muslim dengan etnis

Serbia yang mayoritas beragama nasrani. Slobodan Milosevic yang menjabat sebagai Presiden

Serbia saat itu telah melakukan pembasmian etnis Bosnia di Yugoslavia.9 Pembentukan

pengadilan khusus di Yugoslavia ini merujuk pada resolusi 780 yang dikeluarkan oleh Security

Council beserta bukti dan informasi yang diperoleh organisasi internasional bidang hukum

humaniter dan dengan penyelidikan yang dilakukan komite hukum kemanusiaan internasional.10

Bersamaan dengan pembentukan ICTY tersebut, kondisi konflik yang parah juga terjadi

di wilayah benua Afrika, tepatnya di negara Rwanda yang juga memiliki permasalahan domestik

yaitu perang saudara antara etnis mayoritas Hutu dengan etnis minoritas Tutsi. Pengadilan

sementara ini dibentuk berdasarkan resolusi DK PBB no 955 pada tahun 1994 dengan piagam

bab VII sebagai pedomannya. Kejahatan serius yang terjadi di Rwanda ini sama dengan

kejahatan-kejahatan yang terjadi di Yugoslavia, antara lain genosida dan kejahatan kemanusian

lainnya, yang mengakibatkan sekitar 800 ribu jiwa sebagai korban.11

Pembentukan dari kedua pengadilan khusus ini berdasarkan empat faktor utama yang

mempengaruhi terbentuknya pengadilan Ad Hoc. Keempat faktor tersebut adalah12 :

1. Perjanjian internasional

                                                                                                               9The International Criminal Tribunal for Rwanda was created pursuant to Security Council Resolution 955, U.N. SCOR, 49th Session, U.N. Doc. S/RES/995 (1994), the “ICTR Statute. 10Aksar, Yusuf. 2004. Implementing International Humanitarian Law from the Ad Hoc Tribunals to a Permanent International Criminal Court. London&Newyork, Routledge taylor&francis group, hlm 13 11 Dubois, Olivier, 1997. Rwanda’s National Criminal Courts and the International Tribunal. No 321. 12Aksar, Yusuf. 2004. Implementing International Humanitarian Law from the Ad Hoc Tribunals to a Permanent International Criminal Court. London&Newyork, Routledge taylor&francis group, hlm 18

6    

2. Pembentukan resolusi dari General Assembly

3. Resolusi yang dikeluarkan oleh Security Council

4. Pembuatan pengadilan khusus atas dasar perubahan pasal-pasal yang tercantum pada

piagam PBB

Dalam mengimplementasikan pengadilan Ad Hoc tersebut dibentuk majelis persidangan

dan majelis banding yang digunakan oleh jaksa penuntut terhadap aktor-aktor individu yang

bersalah berdasarkan bukti-bukti dengan menggunakan hukum-hukum internasional. Dalam

pembuatan pengadilan Ad Hoc terdapat tiga landasan berfikir mengenai legalitas dari

pembentukan pengadilan tersebut, yaitu legalitas mengenai terbentuknya pengadilan tersebut,

kelebihan dari pengadilan tersebut dibandingkan dengan pengadilan nasional, dan yang terakhir

mengenai alasan utama pembentukan pengadilan tersebut.13

Dari ketiga landasan utama pembuatan pengadilan di atas, penulis mencoba menjelaskan

mengenai masalah mengenai perlunya pembuatan pengadilan Ad Hoc berdasarkan perspektif

majelis persidangan, yaitu :

1. ICTY dibentuk berdasarkan kekuasaan dari Security Council dimana hal tersebut

menjadi permasalahan mengenai legalitas beserta kewenangannya. Dan Pengadilan

ini dibentuk karena adanya potensi ancaman dari konflik di Yugoslavia terhadap

keamanan maupun perdamaian internasional.14

2. Permasalahan mengenai pembuatan Ad Hoc sebagai ukuran pengadilan berdasarkan

pasal 41 piagam PBB yang berisipembahasan mengenai ide pembentukan pengadilan

                                                                                                               13Ibid. hlm 25 14Ibid

7    

Ad Hoc tersebut, dimana didalam pasal tersebut terdapat dua faktor yang tidak

berkaitan dengan pembuatan pengadilan yaitu faktor ekonomi dan politik.15

3. Konflik yang terjadi di Yugoslavia tersebut bukan dikatagorikan sebagai konflik

dalam lingkup internasional, melainkan konflik dalam tatanan nasional atau domestik,

hal ini dijelaskan melalui piagam PBB bab VII mengenai jenis-jenis konflik dalam

lingkup internasional yang dapat mengancam stabilitas perdamaian dan kemanan

dunia.16 Sehingga berdasarkan piagam PBB bab VII tersebut, maka seharusnya

pengadilan Ad Hoc di Yugoslavia tidak perlu dibentuk, karena bukan merupakan

salah satu konflik internasional.

4. Pengadilan Ad Hoc dibentuk oleh aktor-aktor non individu yang memiliki power atau

kekuasaan seperti PBB dan Security Council untuk dijadikan alasan sebagai

pengadilan tambahan dalam membantu proses pengadilan nasional. Adanya power

tersebut mengakibatkan sifat independen serta impartial atau tidak berat sebelah dari

sebuah pengadilan internasional sulit untuk dilakukan karena akan ada unsur-unsur

kepentingan yang dibawa oleh pendiri pengadilan tersebut. Hal tersebut dapat

dicontohkan oleh Security Council yang notabene merupakan salah satu dari

representasi badan politik dan bukan dari badan hukum, sehingga dikhawatirkan

negara-negara anggota Security Council akan membawa unsur-unsur kepentingan

tertentudalam proses pengadilan tersebut nantinya.17

5. Proteksi terhadap hak asasi manusia berkaitan dengan pembuatan pengadilan Ad Hoc,

namun karena Security Council merupakan salah satu lembaga internasional yang

membentuk pengadilan khusus beserta intervensi yang dilakukan Security Council                                                                                                                15Ibid, hlm 29 16Ibid 17Ibid, hlm 30

8    

terhadap hukum humaniter internasional, maka pengadilan Ad Hoc tidak dapat

bersifat netral.18

Setelah terdapat permasalahan pembuatan pengadilan Ad Hoc berdasarkan majelis

persidangan, selanjutnya penulis mecoba melihat dari perspektif majelis banding, yaitu :

1. Permasalahan mengenai pembuatan pengadilan Ad Hoc ini didasari oleh adanya

unsur-unsur politik, hal tersebut dikarenakan keterlibatan Security Council yang

melihat adanya potensi ancaman terhadap keamanan dan perdamaian

internasional dari konflik di Yugoslavia, ditambah dengan pemilihan para hakim

di pengadilan ini tidak memiliki dasar politik hukum internasional yang kuat dan

kurang berpengalaman dalam proses pengadilan.19

2. Dengan dibentuknya pengadilan khusus di Yugoslavia oleh Security Council ini

dikhawatirkan dapat membuat ancaman baru bagi keamanan maupun perdamaian

sistem internasional.20

3. Perdebatan terakhir mengenai perlunya pembuatan pengadilan Ad Hoc adalah

dengan melihat landasan hukum yang digunakan oleh pengadilan tersebut,

maksudnya pengadilan di Yugoslavia ini dibentuk tanpa adanya proses

demokrasi.21

Terlepas dari adanya perdebatan mengenai yuridiksi dari pengadilan Ad Hoc tersebut,

permasalahan mengenai legal atau tidaknya pengadilan Ad Hoc dalam menjalankan tugasnya di

suatu negara dapat dilihat dari tujuan pembentukan pengadilan Ad Hoc tersebut karena

                                                                                                               18Ibid, hlm 33 19Ibid, hlm 37 20Ibid, hlm 38 21Ibid

9    

pengadilan Ad Hoc dapat dikatakan legal apabila pengadilan tersebut mengadili pelaku individu

yang telah melakukan kejahatan serius dalam level internasional di suatu negara.22

Namun disisi lain pembentukan Ad Hoc juga harus dilakukan dalam upaya untuk

menegakan keadilan dan perdamaian di negara-negara yang mengalami konflik. Lebih lanjut lagi

terdapat beberapa hal dimana pengadilan Ad Hoc tersebut penting untuk dibentuk yaitu23 :

1. Untuk pertama kalinya komunitas internasional membentuk atau membuat pengadilan

internasional untuk mengadili pelaku individu yang melakukan kejahatan internasional

berdasarkan hukum internasional.

2. ICTY merupakan pengadilan khusus pertama yang dijadikan contoh terbentuknya

pengadilan ICTR.

3. Kedua pengadilan Ad Hoc tersebut merupakan alasan dasar terbentuknya pengadilan

permanen, yaitu ICC.

4. Alasan utama dari pembuatan kedua pengadilan khusus tersebut bertujuan untuk

mengadili pelaku individu yang melakukan kejahatan internasional dengan pembuatan

pengadilan yang permanen untuk menyempurnakan kedua pengadilan Ad Hoc tersebut.24

Selanjutnya alasan mengenai perlunya dibentuk pengadilan permanen setelah masa-masa

dari pengadilan Ad Hoc adalah terkait dengan pembentukan pengadilan Ad Hoc yang hanya

berdasarkan kasus-kasus tertentu seperti pembentukan pengadilan Ad Hoc hanya di Yugoslavia

dan Rwanda karena pada faktanya kasus kejahatan dalam level internasional saat itu juga terjadi

dinegara Kamboja, Haiti, dan Irak pada masa perang teluk, sehingga apabila pengadilan

internasional yang bersifat permanen dibentuk maka diharapkan pengadilan tersebut nantinya

dapat mengadili semua kasus yang berhubungan dengan kejahatan internasional. Alasan kedua                                                                                                                22Ibid, hlm 26 23Ibid, hlm 40 24Ibid, hlm 42

10    

mengapa perlunya pembentukan pengadilan permanen adalah keterbatasan dari pengadilan Ad

Hoc, karena pembuatan pengadilan Ad Hoc ini hanya dikhususkan oleh satu tempat atau negara,

pada waktu tertentu dan terbatas sehingga kasus-kasus serupa yang kemungkinan akan terjadi

akan sulit untuk ditangani. Pembuatan Ad Hoc yang membutuhkan dana yang besar dan waktu

yang lama karena proses pembuatan pengadilan tersebut tergolong rumit juga turut menjadikan

alasan mengapa perlunya dibentuk sebuah pengadilan permanen.25

Tiga alasan diatas merupakan pertimbangan bagi komunitas internasional, bukan hanya

negara saja, namun para ahli hukum internasional juga memiliki pemikiran bahwa pembentukan

dari pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen diperlukan karena keterbatasan

hukum internasional dari pengadilan Ad Hoc, namun dapat ditegaskan bahwa pembentukan

ICTY dan ICTR dianggap berhasil karena terdapat contoh keberhasilan ICTY sebagai

pengadilan Ad Hoc, yaitu penangkapan Slobodan Milosevic sebagai pelaku kejahatan

internasional agar dapat diadili oleh pengadilan internasional.

Setelah dianggap berhasil dalam pembentukan ICTY dan ICTR, dan memerlukan

kesempurnaan terhadap pengadilan internasional, maka pada tahun 1994 dibuat draft pertama

pembentukan mahkamah internasional, selanjutnya pada tahun 1996 komite pembentukan

rancangan mahkamah internasional dibentuk untuk direpresentasikan pada bulan April hingga

Juli 1998 di Roma dalam sebuah konferensi hukum internasional.26

Pada tanggal 17 Juli 1998 dengan dihadiri 160 perwakilan negara dan lebih dari 200

NGO (Non Governmental Organization) dalam konferensi Roma tersebut, tercapai kesepakatan

dari penandatanganan oleh 120 negara yang setuju dengan pembentukan ICC, 21 negara absen

dan 7 negara menyatakan ketidak setujuannya terhadap pembentukkan ICC, seperti Amerika dan                                                                                                                25Ibid, hlm 58 26Schimitt, Michael & Richard, J Peter, 2000.Into Uncharted Waters: The International Criminal Court,” Naval War College Review. Vol LIII,No.1 , hal. 139.

11    

China. Namun hanya 55 negara yang baru menandatangani Statuta Roma pada saat itu, dengan

pembentukan ICC yang memerlukan minimal 60 tanda tangan pada Statuta Roma, dan pada 1

Juli 2002 batas 60 negara peserta tercapai dengan menandatangani Statuta Roma, hingga pada

tanggal 1 Juli 2002 ditetapkan sebagai hari pembentukan sebuah mahkamah pidana internasional

atau yang disebut ICC hingga saat ini.27

Dalam konferensi di Roma tersebut terdapat 3 golongan pemikiran negara-negara yang

mengikuti proses konferensi Roma. Golongan pertama diwakili oleh negara maju seperti Kanada

dan Norwegia yang setuju dalam pembentukan ICC yang memiliki kewenangan atau yuridksi

melewati batas negara, golongan kedua adalah golongan negara-negara anggota dari Security

Council kecuali Inggris yang menginginkan kewenangan ICC juga harus berdasarkan pemikiran

anggota DK PBB, dan golongan terakhir diwakili negara-negara berkembang seperti India dan

Meksiko yang setuju atas sifat independen yang dilakukan oleh ICC.28

Sehingga, pada akhirnya ICC ditetapkan sebagai sebuah lembaga pengadilan

internasional independen yang bermarkas di Den Haag, Belanda dimana hal tersebut

mempertegas bahwa ICC tidak akan menerima adanya kepentingan dari para negara-negara

anggota. Disisi lain ICC bukan sebuah pengadilan utama dalam penanganan sebuah kasus di

suatu negara, melainkan pengadilan terakhir yang bergerak atas permintaan negara yang

bersangkutan atau negara yang bersangkutan tidak dapat atau tidak maumelakukan pengadilan

bagi aktor individu yang melakukan tindak kejahatan serius dalam level internasional.29

Selanjutnya DK PBB memiliki kewenangan untuk mereferensikan sebuah kasus yang terjadi di

                                                                                                               27Coalition for the International Criminal Court. History of The ICC Diakses darihttp://www.ICCnow.org/?mod=ICChistory , pada tanggal 28 Oktober 2013 28Kirsch, Philippe & Holmes, T John. 1999. The Rome Conference on an International Criminal Court: The Negotiating Process. Vol 93 29Totten D, Christopher & Tyler, Nicholas.Arguing for an integrated approach to resolving the crisis in Darfur:The challenges of complementarity, enforcement & related issues in the International Criminal Court. Volume 98

12    

negara yang bukan anggota ICC, seperti kasus konflik yang terjadi di Sudan yang notabene

bukan berasal dari negara anggota ICC, namun karena adanya referensi yang diberikan DK PBB

maka ICC memiliki kewenangan atau yuridiksi atas kasus yang terjadi di Sudan tersebut.

Hal tersebut merupakan langkah awal yang digunakan untuk merepresentasikan ICC

sebagai pengadilan internasional untuk mengadili Al Bashir yang notabene merupakan panglima

tertinggi di Sudan. Adapun Yuridiksi yang dimiliki oleh ICC yaitu yuridiksi materil atau

yuridkisi utama dalam pembentukan ICC, yang artinya ICC hanya akan bergerak apabila di

sebuah negara terjadi pelanggaran kemanusiaan, kejahatan perang, genosida dan kejahatan agresi

yang dilakukan seorang individu, yang kedua yuridiksi temporal yang artinya semenjak ICC

berdiri dan bertugas dari hari pertama pada tanggal 1 Juli 2002 semua kejahatan yang disebutkan

dalam yuridiksi materil dapat diproses, namun apabila keempat pelanggaran tersebut dilakukan

sebelum tanggal 1 Juli 2002, maka ICC tidak dapat melakukan tugasnya, lalu yuridkisi yang

bersifat teritorial yang maksudnya hanya negara-negara yang menandatangani Statuta Roma atau

negara-negara anggota yang dapat menerima keputusan dari ICC dan yang terakhir yuridiksi

personal yang maksudnya negara yang bukan negara anggota ICC dapat di adili oleh ICC dengan

syarat dapat memenuhi keempat pelanggaran utama ICC dan juga mendapatkan referensi kasus

yang diberikan oleh DK PBB dan Security Council.30

Sebagai pengadilan internasional yang ada saat ini, ICC juga dapat mengalami Deadlock

atau tidak dapat memproses atau mengadili pelaku kejahatan internasional, dimana hal tersebut

terjadi apabila :

1. Pelaku kejahatan serius disuatu negara sedang dilakukan proses pengadilan

olehpengadilan nasional

                                                                                                               30Sefriani. 2007. Yuridiksi ICC terhadap Negara non Anggota, jurnal hukum, Volume 4: diakses dari http://journal.uii.ac.id/index.php/jurnal-fakultas-hukum/article/viewFile/1070/1808 pada tanggal 8 November 2013

13    

2. Negara asal individu yang melakukan kejahatan serius tersebut tidak menuntut atau

mempermasalahkan individu yang bersangkutan menjadi tersangka

3. Tersangka utama dalam suatu kasus di sebuah negara telah diadili

4. Apabila tingkat keseriusan pelanggaran yang dilakukan individu dikatagorikan tidak

sebagai pelanggaran berat.31

Mekanisme terpenting dari ICC apabila berkeinginan untuk mengadili pelaku kejahatan

individu yang bukan berasal dari negara anggotanya adalah32 :

1. Kasus yang akan ditangani oleh ICC ini direferensikan oleh DK PBB atau sebaliknya.

2. Pelaku kejahatan individu melakukan tindak kejahatan di wilayah teritori salah satu

negara anggota ICC.

3. Dan yang terakhir kasus yang terjadi di negara non anggota ini telah menyutujui ICC

masuk ke wilayah teritori negara yang bersangkutan untuk dilakukan investigasi atau

bahkan pengadilan bagi aktor yang dinyatakan bersalah.

Selain empat peradilan sementara diatas dan juga ICC, saat ini juga terdapat mahkamah

internasional yang dibentuk oleh PBB melalui piagam PBB pasal 7, yaitu International Criminal

Justice (ICJ). Perbedaan antara ICC dan ICJ dapat dilihat dari hubungan antara kedua peradilan

internasional dengan PBB sebagai otoritas tertinggi organisasi internasional dimana hubungan

antara PBB dengan ICC hanya sebatas landasan pembuatan ICC yaitu Statuta Roma yang masih

berhubungan dengan sistem dari PBB dan juga karena seluruh anggota ICC merupakan negara

                                                                                                               31Ibid 32Dapo, Akande, 2003. Journal of International Criminal Justice:The Juridiction of International Criminal Court Over Nationals of Non-Parties: Legal Basis and Limits”. Volume618

14    

anggota di PBB, sedangkan hubungan antara ICJ merupakan instansi peradilan yang dibuat oleh

PBB.33

Perbedaan lain antara ICJ dan ICC berada pada ruang lingkup pengadilan, dimana ICC

merupakan pengadilan yang dibuat untuk mengadili aktor individu yang melakukan kejahatan

internasional dan ICJ merupakan pengadilan yang dibuat oleh PBB untuk menyelesaikan

permasalahan dalam lingkup negara, namun kedua peradilan tersebut sama-sama menggunakan

dasar-dasar hukum internasional.34

Sehingga dapat disimpulkan bahwa saat ini terdapat dua mahkamah internasional yang

berfungsi, yaitu ICC dan ICJ.Kedua mahkamah tersebut dapat dibedakan berdasarkan tujuan

pembetukan dan landasan dasar pembentukannya.

Tabel 2.3

Pembentukan ICC

Tahun Nama Pengadilan Tugas/Fungsi

1945 Pengadilan Nuremberg Mengadili pelaku kejahatan

perang dunia, contohnya

anggota Nazi

1945 Pengadilan Tokyo Mengadili pelaku kejahatan

perang dunia, contohnya

pasukan militer jepang

beserta para pemimpinnya

1989-1992 ICTY ( former Yugoslavia ) Mengadili pelaku kejahatan

kemanusian, genosida yang

dilakukan oleh Slobodan

                                                                                                               33Doria, Jose, Gasser, Peter Hans & Bassiouni, Cherfif. 2009. The Legal regime of The International Criminal Court. Leiden, Boston:Martinus Nijhoff .Volume 19. Hlm. 1003 34Ibid

15    

Milosevic

1989-1992 ICTR ( Former Rwanda ) Mengadili pelaku kejahatan

kemanusian, genosida yang

dilakukan oleh Felicien

Kabuga, Jean Bosco

Uwikindi, Dll.

1998-2002 ICC ( International Criminal

Court )

Mengadili pelaku kejahatan

kemanusian, genosida yang

dilakukan oleh Vincent Otti,

Laurent Gbagbo, Al Bashir,

Muammar Gaddafi, Jean

Pierre Bemba Gombo,

William Ruto, Dll.

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis menyimpulkan bahwa sejarah dibentuknya ICC

berawal dari terbentuknya pengadilan Ad Hoc. Selanjutnya pengadilan Ad Hoc disini memiliki

keterbatasan dalam mengadili pelaku kejahatan internasional.

Peran ICC  ICC sebagai mahkamah pidana internasional dapat juga disebut sebagai rencana kedua

dimana ICC dapat beroperasi apabila di suatu negara yang terdapat nilai-nilai hukum nasionalnya

tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai pengadilan nasional, ditambah dengan contoh kasus

yang dapat dikatagorikan sebagai kejahatan dalam skala besar dan menjadi fokus utama dari

ICC. Dengan merujuk dari konvensi Jenewa dan konvensi genosida, ICC berperan sebagai

pengadilan internasional yang dapat merepresentasikan tujuannya untuk memproses dan

mengadili aktor dalam level individu yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya masalah

16    

kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, genosida dan kejahatan agresi dan sudah tercantum

dalam landasan utama dalam pembentukan ICC, yaitu Statuta Roma.35

Sehingga, meskipun ICC dianggap sebagai satu-satunya mahkamah internasional di era

modern saat ini, power ICC berada dibawah peran dari sistem hukum nasional disuatu negara,

Karena bagaimanapun ICC harus menghormati proses sistematika atau prosedural hukum

pengadilan domestik berdasarkan norma atau nilai-nilai yang terdapat di negara yang akan

dilakukan penyelidikan oleh ICC, namun apabila prosedural hukum pengadilan di negara

tersebut tidak dapat dijalankan, maka ICC dapat menjalankan perannya untuk mengadili aktor

individu dinegara tersebut untuk bekerja sama dengan aktor-aktor yang terlibat didalam negara

bersangkutan untuk mempermudah tugasnya.

Fungsi ICC

Fungsi dari ICC adalah sebagai pengadilan pidana dalam lingkup internasional untuk

mengadili pelaku kejahatan serius, seperti kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, genosida

dan kejahatan agresi. Berdasarkan empat katagori kejahatan serius tersebut, maka ICC berhak

untuk mengadakan pengadilan secara resmi terhadap individu-individu yang melakukan

pelanggaran diatas.36 Fungsi kedua adalah menghindari terjadinya kekebalan hukum yang

diperoleh individu yang melakukan kejahatan internasional, yang dikarenakan aktor individu

tersebut memiliki jabatan atau peranan penting bagi pemerintahan di suatu negara.37

Contohnya aktor individu Al Bashir yang merupakan seorang kepala negara di

Sudan.Permasalahan impunitas atau impunity memang hingga saat ini masih sering terjadi di                                                                                                                35 Kirsch, Philippe. 2007. The Role of the International Criminal Court in Enforcing International Criminal Law. Volume 22, Issue 4 :diakses dari http://digitalcommons.wcl.american.edu/cgi/viewcontetnt.cgi?article=1129&context=auilr pada tanggal 25 Desember 2013 36Understanding the International Criminal Court : http://www.icc-cpi.int/iccdocs/PIDS/publications/UICCEng.pdf 37International Affairs Review, The Elliot School of International Affairs at George Washington University. Fostering Peace and Ending Impunity: The International Criminal Court, Human Rights and the LRA :diakses dari http://www.iar-gwu.org/node/18 pada tanggal 14 September 2013

17    

suatu negara, contohnya seperti di Sudan, dimana hingga saat ini pengadilan nasional dan ICC

sebagai pengadilan tambahan belum mampu untuk mengadili Al Bashir, karena posisinya

sebagai presiden Sudan yang dianggap memiliki kekebalan hukum.

Permasalahan impunitas ini merupakan salah satu fokus ICC untuk mengadili aktor

individu yang dianggap memiliki peranan penting di suatu negara.dimana hal tersebut tercantum

dalam Statuta Roma pasal 27, yang berisi :

1. Tidak ada satupun aktor individu yang dapat terbebas dari hukum nasional atau

internasional yang berlaku, meskipun aktor tersebut memiliki peranan penting di sebuah

negara, atau bahkan aktor yang dinyatakan bersalah tersebut merupakan seorang

Presiden di sebuah negara. Apabila aktor tersebut terbukti melakukan pelanggaran atau

kejahatan serius dalam level internasional, maka aktor individu tersebut dapat

mempertanggung jawabkan perbuatannya dan bersedia di adili oleh pengadilan nasional

apabila pengadilan nasional mampu dan mau untuk mengadili, namun apabila

pengadilan nasional atau domestik tidak dapat berfungsi maka pengadilan internasional

dapat menggantikan peran pengadilan nasional.

2. Jabatan penting yang dimiliki oleh seorang aktor individu, tidak dapat berfungsi apabila

terbukti melakukan pelanggaran dalam level internasional.

Dalam kasus yang terjadi di Sudan ini, Al Bashir yang notabene merupakan seorang

Presidendan memiliki peranan penting bagi pemerintahan di Sudan, dianggap tidak

memiliki kekebalan hukum atau perlakuan khusus terhadap perbuatannya, sehingga ICC

berhak untuk mengadili Al Bashir sesuai hukum internasional yang berlaku. Sehingga dapat

disimpulkan, berdasarkan penjelasan diatas fungsi dari ICC adalah untuk mengadili pelaku

individu yang telah melakukan kejahatan serius dalam level internasional dan melawan atau

18    

mencegah terjadinya imunitas bagi aktor individu yang melakukan kejahatan serius,

meskipun aktor individu tersebut memiliki jabatan khusus atau mempunyai power disuatu

negara, seperti contohnya presiden.

Upaya-upaya ICC dalam Mengadili Al Bashir

ICC memiliki tiga cara yang telah dilakukan untuk mengupayakan terjadinya pengadilan

terhadap aktor-aktor yang bertanggung jawab, khususnya Al Bashir. Ketiga cara atau upaya

tersebut adalah :

1. Pintu utama untuk mendapatkan yuridiksi di Sudan adalah pereferensian yang diberikan

oleh DK PBB terhadap ICC melalui resolusi 1593, sehingga nantinya ICC akan

menggunakan resolusi tersebut untuk melakukan proses investigasi. Hal tersebut

dikarenakan Sudan bukan negara anggota ICC.

2. Setelah ICC mendapatkan yuridiksi di Sudan dan melakukan investigasi dengan

mendapatkan bukti-bukti, maka ICC dapat menjalankan proses pra peradilan yang

sebagai mana telah dilakukan oleh ICC terhadap Al Bashir.

3. Karena ICC merupakan lembaga peradilan pidana internasional yang dibuat oleh negara-

negara, maka ICC memiliki anggota berupa negara-negara yang dapat melakukan

kerjasama, seperti contohnya apabila target utama ICC yaitu Al Bashir melakukan

perjalanan politik ke negara-negara yang merupakan negara anggota ICC maka, negara

tersebut wajib untuk menangkap Al Bashir dan menyerahkan individu tersebut kepada

ICC.

19    

Setelah mengetahui upaya-upaya atau jalan yang akan dilakukan oleh ICC untuk membawa

Al Bashir ke pengadilan Internasional, penulis akan menjelaskan satu persatu dari keempat

upaya ICC tersebut.

PENUTUP

Upaya-upaya ICC hingga saat ini hanya berupa percobaan pengadilan dan belum

melakukan tindakan langsung terhadap Al Bashir. Namun Upaya ICC juga tertolong oleh peran

Security Council dengan memberikan yuridiksi khusus terhadap ICC di negara non anggota

seperti Sudan. karena peran dari negara-negara anggota ICC yang belum maksimal untuk

membantu ICC, maka dari itu ICC seharusnya dapat lebih tegas terhadap negara-negara anggota

untuk membantu ICC melakukan penangkapan dan pengadilan terhadap Al Bashir.

20    

DAFTAR PUSTAKA

BUKU Aksar, Yusuf. 2004. Implementing International Humanitarian Law from the Ad Hoc Tribunals to a Permanent International Criminal Court. London&Newyork, Routledge taylor&francis group, hlm 13 Doria, Jose, Gasser, Peter Hans & Bassiouni, Cherfif. 2009. The Legal regime of The International Criminal Court. Leiden, Boston:Martinus Nijhoff .Volume 19. Hlm. 1003 Schimitt, Michael & Richard, J Peter, 2000.Into Uncharted Waters: The International Criminal Court,” Naval War College Review. Vol LIII,No.1 , hal. 139. JURNAL Anonymous, Understanding the International Criminal Court Arbab, el Fadel, 2010, “Opinion : I Blame Bashir” Benjamin B. Ferencz,1997 “International Criminal Courts: The Legacy of Nuremberg,” Pace International Law Review, Vol. 10 Dapo, Akande, 2003. Journal of International Criminal Justice:The Juridiction of International Criminal Court Over Nationals of Non-Parties: Legal Basis and Limits”. Volume 618 Dubois, Olivier, 1997. Rwanda’s National Criminal Courts and the International Tribunal. No 321. Evan J. Wallach, 1999. The Procedural and Evidentiary Rules of the Post-World War II War Crimes Trials. Vol 37 Heyder, Corrina, 2006. The U.N Security Council Referral of the Crimes in Darfurto the International Criminal Court in Light of U.S Opposition to the Court: Implications for the International Criminal Court’s Functions and Status. Volume 24 Kirsch, Philippe & Holmes, T John. 1999. The Rome Conference on an International Criminal Court: The Negotiating Process. Vol 93 Kirsch, Philippe. 2007. The Role of the International Criminal Court in Enforcing International Criminal Law. Volume 22, Issue 4 Sefriani. 2007. Yuridiksi ICC terhadap Negara non Anggota, jurnal hukum, Volume 4 The International Criminal Tribunal for Rwanda was created pursuant to Security Council Resolution 955, U.N. SCOR, 49th Session, U.N. Doc. S/RES/995 (1994), the “ICTR Statute. Totten D, Christopher & Tyler, Nicholas.Arguing for an integrated approach to resolving the crisis in Darfur:The challenges of complementarity, enforcement & related issues in the International Criminal Court. Volume 98

21    

INTERNET Coalition for the International Criminal Court. History of The ICC Diakses dari <http://www.ICCnow.org/?mod=ICChistory> International Criminal Court yang berjudul “ICC Prosecutor presents case against Sudanese President, Hassan Ahmad Al Bashir, for genocide, crimes against Humanity dan War Crimes”, <http://www.icc-cpi.int/en_menus/icc/situations%20and20cases/situations/situation%20icc%200205/press%20releases/pages/a.aspx> United Nations yang berjudul “Security Council Refers Situation in Darfur, Sudan To Prosecutor of International Criminal Court:”, <http://www.un.org/News/Press/docs/2005/sc8351.doc.htm>