Rescue II, The Last

114
BAB I PENDAHULUAN K omputer membuat kita bisa melakukan banyak hal menjadi lebih mudah, namun sebagian besar hal-hal yang dipermudah itu ialah hal yang tidak perlu untuk dilakukan .” A ndy R ooney 1.1 Latar belakang Berbicara mengenai teknologi dan peradaban umat manusia dari berbagai zaman merupakan materi monodualis yang teramat sulit untuk dipisahkan perspektifnya, baik secara antropologis, historis, maupun sosiologis. Jika kita sering meng-update informasi lewat media elektronik maupun media massa secara umum, maka dapat dipastikan bahwa kita akan disodorkan dengan berita-berita tentang perkembangan teknologi di berbagai belahan dunia yang seringkali berorientasi futuristik. Perkembangan ini erat kaitannya dengan kompleksitas kebutuhan manusia dari berbagai aspek hidupnya, karena teknologi memang sejatinya diciptakan untuk mempermudah manusia dalam menjalankan kehidupannya, mulai dari keinginan hingga kebutuhan manusia secara individual maupun secara komunal. Dewasa ini perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi tumbuh semakin canggih, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTek) dapat sedemikian 1

Transcript of Rescue II, The Last

BAB IPENDAHULUAN

“Komputer membuat kita bisa melakukan banyak hal menjadi lebihmudah, namun sebagian besar hal-hal yang dipermudah itu ialah hal

yang tidak perlu untuk dilakukan.”– Andy Rooney

1.1 Latar belakang

Berbicara mengenai teknologi dan peradaban umat

manusia dari berbagai zaman merupakan materi monodualis

yang teramat sulit untuk dipisahkan perspektifnya, baik

secara antropologis, historis, maupun sosiologis. Jika

kita sering meng-update informasi lewat media elektronik

maupun media massa secara umum, maka dapat dipastikan

bahwa kita akan disodorkan dengan berita-berita tentang

perkembangan teknologi di berbagai belahan dunia yang

seringkali berorientasi futuristik. Perkembangan ini erat

kaitannya dengan kompleksitas kebutuhan manusia dari

berbagai aspek hidupnya, karena teknologi memang

sejatinya diciptakan untuk mempermudah manusia dalam

menjalankan kehidupannya, mulai dari keinginan hingga

kebutuhan manusia secara individual maupun secara

komunal.

Dewasa ini perkembangan teknologi, informasi dan

komunikasi tumbuh semakin canggih, bahkan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTek) dapat sedemikian

1

cepatnya mengalahkan perkembangan peradaban masyarakat.

Pengaruhnya terhadap pola hidup masyarakat juga semakin

kuat, pola hidup yang dahulunya tradisional sekarang

berkembang menjadi semakin kompleks dan modern (Maryan,

2012:2).

Teknologi informasi ialah salah satu hal yang tidak

dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia, karena ia

sudah ada sejak berabad-abad lalu dan hingga kini masih

berkembang, tanpa adanya teknologi ini, manusia akan

sulit berkomunikasi dan menyampaikan informasi dalam

batasan tertentu. Teknologi ini banyak sekali memiliki

peranan hingga dampaknya dalam berbagai bidang, baik itu

pendidikan, kesehatan, politik, sosial-budaya, keamanan,

ekonomi bahkan hiburan. Berbagai peristiwa terkini yang

terjadi di berbagai belahan dunia kini dapat kita ketahui

bahkan hanya berselang beberapa menit setelah informasi

atau peristiwa tersebut berlangsung hingga di-upload pada

jejaring sosial, ini berkat kemajuan teknologi.

Menurut Fauziah (2013:2), perubahan ini juga

memberikan dampak yang begitu besar terhadap transformasi

nilai-nilai yang ada pada masyarakat, khususnya

masyarakat adat dan kebudayaan timur seperti Indonesia.

Saat ini, di Indonesia dapat kita saksikan begitu besar

pengaruh kemajuan teknologi terhadap nilai-nilai

kebudayaan yang dianut oleh masyarakat, baik di perkotaan

2

maupun di pedesaan, seperti pengaruh televisi, telepon,

radio, telepon genggam, gadget, i-pad, bahkan internet

bukan hanya melanda masyarakat di perkotaan namun juga

dapat dinikmati oleh masyarakat di pelosok-pelosok desa,

akibatnya segala informasi yang bersifat positif maupun

negatif dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat dan

diakui atau tidak, perlahan-lahan mulai mengubah pola

hidup dan pola pemikiran masyarakat bahkan hingga lifestyle.

Pada masyarakat kontemporer, internet menjadi salah satu

kebutuhan penting dalam kehidupan masyarakat modern untuk

menunjang segala sektor kebutuhan hidup mereka, baik itu

untuk keperluan promosi bisnis, pendidikan, komunikasi,

hingga hiburan, membuat internet menjadi semakin diminati

oleh semua kalangan, salah satu layanan yang disediakan

oleh internet ialah fasilitas game online.

Game online bukan seperti game biasa yakni manusia

hanya melawan “otak” komputer, namun game online ialah

manusia melawan manusia dengan perantara komputer yang

terhubung dengan jaringan komputer dunia (international

network). Hebatnya lagi, game online tidak hanya satu lawan

satu, namun ada bahkan ribuan orang bermain pada saat

yang sama dari berbagai belahan dunia dalam satu area

game (field), artinya pertarungan atau interaksi lain

berlangsung bisa berbentuk individu dengan individu,

individu dengan kelompok bahkan kelompok dengan kelompok,

hal ini persis seperti proses interaksi di dunia nyata.3

Terpenuhinya kebutuhan sosial di dalam game online

serta “dibumbuhi” petualangan seru yang berfantasi tinggi

mengkontruksi pemikiran gamer bahwa dunia game online

adalah dunia mereka yang sebenarnya, hingga seringkali

membuat sebagian gamer tidak mampu meninggalkan game yang

sedang mereka mainkan, sama halnya seperti manusia yang

ketergantungan terhadap zat adiktif.

Sumber : APJII, 2012.

Dari data terbaru yang dirilis oleh Asosiasi

Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna

aktif internet Indonesia saat ini diproyeksikan sudah

mencapai 107 juta orang, atau sekitar 24% dari total

populasi Indonesia. Dari data pengguna internet aktif

tersebut, diperkirakan pemain game online aktif Indonesia4

berkisar 10,7 juta orang, atau sekitar 10% dari total

jumlah pengguna internet. Pengertian aktif di sini adalah

mereka yang hampir setiap hari bermain game online. Untuk

pemain game online pasif, diperkirakan mencapai sekitar 15

jutaan. Perkiraan ini didapat dari data pengguna facebook

di indonesia yang telah tembus di atas 30 juta orang, di

mana 50% penggunanya pernah memainkan game online yang

terdapat di situs jejaring sosial tersebut.

Dilihat dari grafik pertumbuhan pengguna internet

dari tahun 1998 hingga proyeksi sampai tahun 2015

tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa perkembangan

pengguna internet dari tahun ke tahun perlu

dipertimbangkan dampaknya terhadap perubahan pola

interaksi dari realitas yang riil menjadi “realitas”

virtual yang tentu telah banyak berkontribusi dalam

rekonstruksi nilai dan norma nyata ke dalam kebebasan

nilai dan norma dalam interaksi virtual tersebut.

5

Sumber : APJII, 2012

Penetrasi pengguna internet di Sumatera tergambar

pada skema di atas, yakni rata-rata 20%-30% di setiap

Propinsi. Propinsi Bengkulu sendiri menempati posisi

keempat dalam persentase pengguna internet tertinggi di

pulau Sumatera yaitu persentase pengguna sebesar 26,1%

dengan jumlah pengguna yakni 88.000 jiwa dari total

penduduk yang berjumlah 338.000 jiwa pada tahun 2012.

Memperkuat data tersebut, berdasarkan mini-survei

yang dilakukan oleh peneliti pada akhir Desember 2014,

bahwa dari 20 orang mahasiswa universitas Bengkulu yang

dipilih secara acak, 70% di antaranya menyatakan pernah

bermain game online dan 30% dari keseluruhan sampel masih

bermain game tersebut hingga saat ini. Hal tersebut6

membuktikan bahwa fenomena bermain game online hingga

kemungkinan mengalami kecanduan game online sedang

berlangsung di sekitar kita, dengan atau tanpa kita

sadari (Survei, Desember 2014).

Pemain game online merupakan bagian dari pengguna

internet, setiap tahunnya pemain game Indonesia

diperkirakan meningkat sekitar 5-10% seiring dengan

semakin pesatnya infrastruktur internet

(http://www.ligagame.com) Game online merupakan salah satu

pasar yang paling banyak diminati di dunia maya, sebagian

besar dampak positif dari bermain game online terhadap

kehidupan sosial gamer bahwa game online ternyata dapat

mendorong terjadinya interaksi sosial di dunia virtual,

tentunya antar sesama gamer, namun dibalik itu juga

terdapat dampak negatif bagi pemain game online, yakni

terjadi kecanduan terhadap game online dan seluruh

aktivitas di dalam game tersebut mengganti kebutuhan

sosialnya di dunia nyata. Game online sudah tidak asing

lagi bagi kehidupan anak-anak, remaja, bahkan orang

dewasa, karena saat ini, game dapat dengan mudah dijumpai

di rumah dengan komputer pribadi yang berfasilitas wifi,

warung internet, atau melalui smartphone yang

berspesifikasi tinggi.

Gamer dan pecandu game online adalah konsep berbeda,

seorang pecandu game online adalah gamer sedangkan gamer

7

belum tentu pecandu game. Untuk membedakan kedua konsep

tersebut, maka penting untuk mengetahui beberapa

karakteristik pecandu game online. Menurut Suler (dalam

Soebastian, 2010:76) aspek-aspek yang nampak ketika

seseorang mengalami kecanduan game online yakni adanya

perubahan gaya hidup yang drastis untuk menghabiskan

lebih banyak waktu melakukan memainkan game online, artinya

ialah terjadi peningkatan secara signifikan intensitas

bermain game online mengalahkan intensitas kegiatan rutin

lainnya dalam kehidupan harian pecandu game online.

Selanjutnya ialah gamer pecandu mengalami penurunan

aktivitas fisik dan mengabaikan kesehatan, hal tersebut

dapat dilihat dari munculnya berbagai penyakit yang

mengancam pecandu game antara lain radiasi mata,

pembengkakan jari, obesitas, dan lain sebagainya akibat

bermain game online secara berlebihan, kemudian

permasalahan kurang tidur atau perubahan pola tidur untuk

menghabiskan waktu bermain game online, hal tersebut

merujuk pada lamanya waktu yang diperlukan untuk

menyelesaikan game online dan banyaknya target-target yang

perlu dicapai gamer untuk tantangan game pada periode

tertentu, yang demikian jelas menyita banyak waktu.

Akibatnya waktu tidur seringkali dikorbankan untuk

bermain game. Secara sosial, pecandu game online akan

mengalami penurunan proses sosialisasi, mengabaikan

keluarga dan teman serta lingkungan sekitar. Orang-orang

8

yang mengalami kecanduan game online yang akut tak ubah

dengan mereka yang kecanduan zat adiktif dilihat dari

perilaku psikologis. Depresi berat dan tidak dapat

mengendalikan emosi menjadi salah satu karakteristik

pecandu game online ketika ia tidak dapat memenuhi

kebutuhan bermain, mereka dapat melakukan tindak kriminal

hanya untuk memenuhi hasrat bermain. Kasus-kasus gamer

yang mencuri atau menjual barang-barang milik pribadinya

atau milik orang lain demi membeli chip game atau membayar

warnet sudah sering muncul di media massa.

Secara umum, terdapat dua dampak bermain game yang

dijabarkan oleh para ahli di atas, yakni dampak positif

dan dampak negatif. Terkait dengan itu, maka peneliti

perlu melakukan penelitian untuk menggali apa saja

gejala-gejala hingga dampak-dampak bermain game online yang

berlebihan di wilayah penelitian. Selain alasan tersebut,

alasan lain yang mendorong perlunya dilakukan penelitian

ini ialah: pertama, dengan membangun model teoritikal

yang dikembangkan dari penelitian ini, diharapkan dapat

membantu para akademisi (dalam konteks sosiologi) untuk

melakukan pengembangan pada penelitian yang akan datang.

Penelitian terhadap fenomena kecanduan game online masih

sangat menarik untuk dibahas dari perspektif sosial,

sebab selama ini, fenomena tersebut hanya gencar diteliti

dari perspektif medis dan psikologi saja, sedangkan

dimensi sosial masih belum banyak digali. Kelangkaan9

studi tentang fenomena kecanduan game online membuat

penelitian ini perlu untuk dilakukan, sehingga temuan

penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan

sumbangan kepada tidak hanya pembaca namun pemerintah

untuk membuat kebijakan strategis terkait pembatasan game

online dan game center di kota Bengkulu.

Penelitian sebelumnya mengenai “Kecanduan Mahasiswa

terhadap Game Online: Studi tentang kebiasaan mahasiswa

bermain game online di Seturan Sleman” telah dilakukan oleh

Widyastuti pada tahun 2012 silam. Pada penelitian

tersebut, Widyastuti menyarankan kepada peneliti

selanjutnya agar memberikan lebih banyak lagi penjelasan

mengenai kecanduan mahasiswa terhadap game online agar

dapat memberikan kontribusi yang lebih banyak dalam studi

sosiologi. Ini artinya, penelitian sebelumnya belum dapat

menjelaskan fenomena kecanduan game online secara

komprehensif, hal ini wajar mengingat belum banyak

penelitian-penelitian terdahulu yang dapat dijadikan

literatur. Untuk itu peneliti melakukan penelitian

tentang kecanduan game online agar dapat membantu peneliti

dan pembaca nantinya dalam memahami konteks kecanduan

game online secara sosiologis.

Penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif

deskriptif dengan teknik penentuan sampel yakni purposive

sampling. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui

10

faktor bermain game dan dampak perilaku sosial yang

ditimbulkan oleh penggunaan game online. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mendorong mahasiswa

menjadi kecanduan bermain game online yaitu tekanan teman

sebaya, dimana adanya solidaritas atau tanggung jawab

moral tertentu pada kelompok pergaulan gamers tersebut

serta keinginan-keinginan untuk mengaktualisasikan diri

dalam pergaulan teman sebaya, selanjutnya jenis game online

yang mendorong mahasiswa menjadi kecanduan bermain game

online, kemudian banyaknya waktu luang yang dimiliki

mahasiswa didukung dengan kurangnya variasi kegiatan

sehari-hari sehingga menempatkan kegiatan bermain game

sebagai alasan untuk mengisi banyaknya waktu luang

tersebut, lalu kurangnya pengawasan dari orangtua, baik

faktor melemahnya fungsi lembaga pengawas seperti

keluarga, masyarakat dan pemerintah serta kondisi ekonomi

gamer itu sendiri berpengaruh pada lamanya aktivitas para

gamer di dunia game, terakhir ialah kebijakan pengelola

game centre yang tidak membatasi gamer dalam melakukan

permainan.

Selain faktor-faktor pendorong di atas, hasil

penelitian tersebut juga menjabarkan tentang dampak-

dampak perilaku sosial para mahasiswa yang mengalami

kecanduan game online. Dampak-dampak tersebut ialah

kehidupan real gamer menjadi berantakan dan membuat gamer

11

terisolisir dengan lingkungan sekitar, mengganggu

kesehatan, dan mengakibatkan pola makan dan tidur yang

tidak teratur sehingga mudah terserang penyakit. Dampak

yang ditimbulkan dari sebuah jenis permainan online ini

makin lama akan makin terlihat jelas.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang

akan peneliti lakukan adalah sama-sama mengkaji tentang

kecanduan game online pada mahasiswa dari aspek sosiologis.

Metode yang digunakan dalam penelitian sama-sama

menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif berdasarkan

teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan

dokumentasi.

Sedangkan perbedaan dalam penelitian ini dengan

penelitian yang akan peneliti lakukan terletak pada fokus

kajiannya, jika penelitian yang lalu melihat faktor

bermain game online dan dampak penggunaan game online dari

aspek perilaku sosial, maka peneliti akan meneliti

tentang aspek sosiologis dari gejala kecanduan game online

dan ditujukan pada dampak akademis akibat kecanduan game

online pada mahasiswa.

Penelitian lain yang relevan dengan penelitian yang

akan dilakukan peneliti ialah penelitian Soebastian

(2010) dengan judul “Dampak Psikologis Negatif Kecanduan

12

Permainan Online Pada Mahasiswa”, penelitian tersebut

jelas berbeda dengan penelitian yang akan peneliti

lakukan, sebab disiplin ilmunya sudah berbeda. Ada

beberapa penelitian lagi yang meneliti tentang adiksi

game online namun objek penelitiannya adalah siswa SMA

dan remaja awal seperti penelitian Suvereniam (2011),

Pratiwi dkk. (n.d), Maryan (2012), Febrian (2011) dan

Fauziah (2013). Penelitian-penelitian ini juga memiliki

perbedaan disiplin ilmu dan fokus kajian serta informan

dengan penelitian yang akan dilakukan, sebab penelitian-

penelitian tersebut ialah riset psikologi, kedokteran dan

hukum.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka menjadi

permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini

adalah:

1. Mengapa mahasiswa dapat mengalami kecanduan game

online dan apa bentuk-bentuk (karakteristik)

kecanduan game online?

2. Bagaimana dampak akademis bagi mahasiswa yang

mengalami kecanduan game online?

1.3 Tujuan penelitian

Mendeskripsikan dan menganalisis kecanduan game online

dan bentuk-bentuk kecanduan game online serta dampak-

13

dampak secara akademis kecanduan game online bagi

gamer.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat praktis

Mamberikan gambaran serta penjelasan analitis

tentang kecanduan game online, bentuk-bentuk kecanduan

game online serta dampak-dampak akademis kecanduan

game online bagi mahasiswa pecandu game online.

1.4.2 Manfaat teoritis

Untuk memperkaya literatur dan informasi yang

bermanfaat bagi pengembangan teori dan konsep

sosiologi mengenai fenomena kecanduan game online.

1.5 Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Bengkulu, tepatnya

di Kelurahan Kandang Limun, mengingat wilayah ini

merupakan lingkungan mahasiswa dan pelajar karena

berdampingan langsung dengan Universitas Bengkulu.

Lokasi ini dipilih karena merupakan tempat strategis

karena terdapat banyak warnet game online dan mewakili

dari populasi gamer di Kota Bengkulu, menurut

pengamatan peneliti, di area Kandang Limun terdapat

beberapa warung internet (warnet) yang bukan hanya

untuk browsing biasa melainkan warnet yang juga

menyediakan fasilitas game online dan secara kasat

mata warnet ini dipadati pengunjung setiap harinya

untuk bermain game, dan mayoritas gamer disini

14

berstatus mahasiswa dan pelajar. Adapun jumlah

warnet game online berdasarkan lingkungan universitas

ialah:

Tabel 1.1Jumlah warnet game online berdasarkan lingkungan

universitas di Kota Bengkulu 2015

No Universitas Jumlah1 IAIN Bengkulu 32 STIKES TSM 23 UNIVED 34 UNIHAZ 16 UMB 27 UNIB 12

Sumber : Data pra-penelitian, 2015.

Fenomena game online di kota Bengkulu masih sedikit

diangkat sebagai tema penelitian oleh akademisi,

terutama akademisi sosial seperti mahasiswa dan

dosen sosiologi, sedangkan kita tahu bahwa hal ini

merupakan suatu permasalahan sosial kontemporer yang

serius karena menyangkut masa depan generasi muda.

15

BAB IITINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan pustaka

2.1.1 Mahasiswa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa

adalah mereka yang sedang belajar di perguruan tinggi.

Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang

tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan perencanaan dalam

bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan

tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri

setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling

melengkapi. Mahasiswa adalah manusia yang tercipta untuk

selalu berpikir yang saling melengkapi (Widyastuti,

2012:9). Tapi pengertian itu tidak hanya sebatas itu,

Mahasiswa itu mengandung pengertian yang lebih luas dari

sekedar terdaftar secara administrasi, akan tetapi

menjadi mahasiswa itu mengandung arti yang sangat luas,

mahasiswa adalah agen pembawa perubahan. Menjadi

mahasiswa itu merupakan kebanggaan dan juga sebagai

16

tanggung jawab besar sebagai agen pembawa perubahan.

Menjadi seseorang yang akan memberikan solusi terhadap

permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sebagai kaum

intelektual, mahasiswa memiliki peranan yang sangat

penting dalam kehidupan berbangsa. Pertama sebagai agent of

change, mahasiswa sebagai agen perubahan dituntut bersifat

kritis dan diperlukan implementasi yang nyata. Mahasiswa

adalah garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak

rakyat, mengembalikan nilai-nilai kebenaran yang

dilakukan oleh kelompok-kelompok elit yang hanya

mementingkan dirinya dan nasib kelompoknya. Harapan

bangsa terhadap mahasiswa adalah menjadi generasi penerus

yang memiliki loyalitas tinggi terhadap kemajuan bangsa.

Kedua adalah sebagai social control, mahasiswa sebagai

penengah antara pemerintah dan masyarakat, disinilah

peranan mahasiswa sebagai pengontrol. Mahasiswa

menyampaikan aspirasi masyarakat terhadap pemerintah dan

juga mahasiswa menunjukkan sikap yang baik terhadap

masyarakat sebagai kontrol sosial. Sebagai pengontrol

sosial mahasiswa juga memiliki tugas mengontrol peraturan

dan kebijakan yang dibuat untuk kepentingan pribadi dan

kelompok. Ketiga adalah iron stock, yaitu mahasiswa

diharapkan menjadi manusia tangguh yang memilik kemampuan

dan akhlak mulia yang nantinya dapat menggantikan

generasi sebelumnya.

17

Karakteristik mahasiswa secara umum yaitu stabilitas

dalam kepribadian yang mulai meningkat, karena

berkurangnya gejolak-gejolak yang ada didalam perasaan.

Mereka cenderung memantapkan dan berpikir dengan matang

terhadap sesuatu yang akan diraihnya, sehingga mereka

memiliki pandangan yang realistik tentang diri sendiri

dan lingkungannya. Selain itu, para mahasiswa akan

cenderung lebih dekat dengan teman sebaya untuk saling

bertukar pikiran dan saling memberikan dukungan, karena

dapat kita ketahui bahwa sebagian besar mahasiswa berada

jauh dari orang tua maupun keluarga. Karakteristik

mahasiswa yang paling menonjol adalah mereka mandiri, dan

memiliki prakiraan di masa depan, baik dalam hal karir

maupun hubungan percintaan. Mereka akan memperdalam

keahlian dibidangnya masing-masing untuk mempersiapkan

diri menghadapi dunia kerja yang membutuhkan mental

tinggi. Sedangkan karakteristik mahasiswa yang mengikuti

perkembangan teknologi adalah memiliki rasa ingin tahu

terhadap kemajuan teknologi. Mereka cenderung untuk

mencari bahkan membuat inovasi-inovasi terbaru di bidang

teknologi. Mahasiswa menjadi mudah terpengaruh dengan apa

yang sering marak pada saat itu, misalnya game online.

Mereka akan mengikuti atau setidaknya hanya mencoba untuk

mengetahuinya.

2.1.2 Game online

18

Game adalah aktivitas yang dilakukan untuk

kesenangan seseorang atau kelompok yang memiliki aturan

tersendiri sehingga ada yang menang dan ada yang kalah

(kamus macmillan dalam Suveraniam, 2011:4), sedangkan

menurut Putra (dalam Praditasari, 2009:9), game berarti

hiburan namun juga merujuk pada pengertian sebagai

“kelincahan intelektual” (intellectual playability). Sementara kata

game bisa diartikan sebagai arena keputusan dan aksi

pemainnya serta ada target-target yang ingin dicapai

pemainnya. Kelincahan intelektual, pada tingkat tertentu,

merupakan ukuran sejauh mana game itu menarik untuk

dimainkan secara maksimal, selain itu, game membawa arti

sebuah kompetisi, fisik atau mental, menurut aturan

tertentu, untuk hiburan, rekreasi, atau untuk menang

taruhan. Menurut Eddy Liem (dalam Febrian, 2011:6),

direktur Indonesia Gamer, sebuah organisasi pencinta

games di indonesia, game online adalah sebuah permainan

yang dimainkan secara online via internet, bisa

menggunakan PC (personal computer) atau konsul game biasa

seperti PS (playstation), X-Box dan sejenisnya, biasanya

internet game dimainkan oleh banyak pemain dalam waktu

yang bersamaan dimana satu sama lain bisa saja tidak

saling mengenal. Game online adalah bentuk teknologi yang

hanya bisa diakses melalui jaringan komputer, Andrew

Rollings dan Ernest Adams membenarkan itu dalam

pernyataanya (dalam Tampubolon, 2012), yakni game online

19

lebih tepat disebut sebagai sebuah teknologi dibandingkan

sebagai sebuah genre atau jenis permainan, yakni sebuah

mekanisme untuk menghubungkan banyak pemain bersamaan

dibandingkan pola tertentu dalam sebuah permainan.

2.1.3 Sejarah perkembangan game online

Perkembangan game online tidak lepas dari perkembangan

teknologi komputer dan jaringan komputer, karena kedua

hal ini sangat erat hubungannya apalagi terkait

pembahasan mengenai sejarah perkembangan game online.

Meledaknya game online merupakan cerminan dari pesatnya

perkembangan teknologi jaringan komputer yang dahulunya

berskala kecil hingga menjadi internet dan terus

berkembang hingga sekarang. Pada saat muncul pertama kali

pada tahun 1969, komputer hanya bisa dipakai oleh dua

orang saja untuk bermain game, lalu kemudian mulailah

dikembangkan komputer dengan kemampuan time-sharing

sehingga pemain memainkan game tersebut bisa lebih banyak

dan tidak harus berada di suatu ruangan yang sama

(multiplayer games) (Mulligan dalam Suveraniam, 2011:4).

Pada tahun 1970 ketika muncul jaringan komputer berbasis

paket (packet based computer networking), jaringan komputer

tidak hanya sebatas LAN (local area network) yang hanya

menghubungkan komputer lewat kabel saja tetapi sudah

mencakup WAN (wide area network) yang bersifat nirkabel

dengan jangkauan luas. Game online yang pertama kali muncul

20

kebanyakan adalah game-game jenis simulasi perang atau

pun pesawat yang dipakai untuk kepentingan militer saja

yang akhirnya dikomersialkan untuk umum. Game-game ini

kemudian menginspirasi game yang lain untuk muncul dan

berkembang.

“...online games really blossomed after the year 1995 when the restrictionsimparted by the NSFNET (national science foundation network) wereremoved. This resulted in the access to the complete domain of the internetand hence multi-player games became online 'literally' to the maximumpossible degree of realism. The monetary success of the parent companieswho first launched these games were ample source of encouragement forother companies to venture in this field. Hence competition continues togrow from that moment to even as this article is being written. The featureshence became more advanced in an effort to implement immaculateproduct differentiation and the resulting games became more and moreadvanced. Today most of the online games that are present are also freeand hence they are able to provide ample resources of enjoyment withoutthe need to spend a single penny.” (Aradhana Gupta, History ofonline game, 2008)1.

Dalam potongan artikel tersebut, Aradhana Gupta

(2008) menyebutkan bahwa pada tahun 1995, NSFNET (National

Science Foundation Network) telah membatalkan peraturan-

peraturan yang diperkenalkan sebelumnya dalam industri

game. Setelah pembatalan ini, ketercapaian para pemain

1 Game online benar-benar berkembang setelah tahun 1995 ketika pembatasan yangdiberikan oleh NSFNET (National Science Foundation Network) telah dihapus. Hal inimengakibatkan akses ke domain lengkap dari internet dan karenanya game multi-player secara online 'secara harfiah' menjadi maksimum. Keberhasilanperusahaan induk yang pertama kali meluncurkan game ini yang cukup untukmenjadi sumber dorongan bagi perusahaan lain untuk berusaha di bidang ini.Oleh karena itu kompetisi terus tumbuh dari saat itu bahkan hingga artikelini ditulis. Fitur game online menjadi lebih maju dalam upaya untuk menerapkandiferensiasi produk yang rapi dan permainan yang dihasilkan menjadi lebihmaju. Saat ini sebagian besar game online yang hadir juga bebas biaya dankarenanya mereka dapat menyediakan sumber daya yang cukup untuk kenikmatanbermain tanpa perlu mengeluarkan uang sepeser pun.”

21

dalam online gaming dan perkembangannya maju begitu pesat

hingga saat ini. Trismarindra (dalam Soebastian, 2010:19)

menyatakan bahwa perkembangan permainan online yang cukup

pesat ditunjang oleh penambahan pemain dan variasi

permainan yang diciptakan bagi para pemain. Bermain game

online saat ini diyakini bukan hanya sebagai hiburan

semata, namun secara tidak langsung sebagai ajang untuk

mengasah kemampuan kecepatan berpikir dan melakukan

latihan strategi saat bermain serta untuk membentuk

komunitas tertentu, baik komunitas in-game maupun out-game

(Aji, 2012:42).

Fenomena game online sebagai gaya hidup di berbagai

belahan dunia saat ini cukup mencengangkan, dimana game

online yang mulanya diperuntukkan bagi anak-anak dan

remaja, kini bahkan telah dimainkan dan sangat diminati

oleh orang-orang dewasa. Maraknya game online ini diikuti

juga dengan munculnya berbagai studi dan pendapat

mengenai efek dari game online itu. Ada sebagian masyarakat

yang menyatakan bahwa game online berdampak buruk bagi

anak-anak dan remaja, namun ada pula yang mengungkapkan

bahwa game online dapat memberi efek positif bagi para

penggemarnya. Salah satu efek dari maraknya perkembangan

permainan online adalah terciptanya komunitas-komunitas

game online yang memfasilitasi para pemain untuk menuangkan

segala pengalaman mereka seputar bermain game. Bukan

hanya itu, komunitas-komunitas tersebut akhirnya menjadi22

ajang komunikasi multikultural yang dapat menjelma

sebagai gaya hidup dan penyambung hubungan sosial antar

sesama pemain, hal ini tentu akan semakin menarik jika

diulas lebih mendalam oleh ilmuan-ilmuan sosial.

Menurut Ligagame Indonesia (ligagames.com), game

online muncul di Indonesia pada tahun 2001, dimulai dengan

masuknya Nexia Online. Game online yang beredar di Indonesia

sendiri cukup beragam, mulai dari yang bergenre action,

sport, maupun RPG (role-playing game). Tercatat lebih dari 20

judul game online yang beredar di Indonesia. Ini menandakan

betapa besarnya antuiasme para gamer di Indonesia dan

juga besarnya pangsa pasar game di Indonesia. Berikut

adalah game online yang pernah hadir di Indonesia2:

No Nama Game Tahun Rilis

Lisensi Tipe Game

TipeGrafis

Status

1 Nexia 2001 BolehGame RPG 2D Ditutup 2004

2 RedMoon 2002 - RPG 2,5D Ditutup 2005

3 Laghaim 2003 BolehGame RPG 3D Ditutup 2006

4 Ragnarok 2003 Lyto RPG 3D Masih5 GunBound 2004 BolehGame Action

RPG3D Masih

6 Xian 2004 BolehGame Strategy RPG

3D Masih

7 Risk Your Life

2004 DreamWebTech Action RPG

3D Masih

8 Tantra 2004 Playon RPG 3D Masih

2 Data ini bersifat fleksibel, karena cepat mengalami perubahan mengikutiperkembangan game online di Indonesia.

23

9 Survival Project

2004 Playon RPG 2D Ditutup 2006

10 GetAmped 2005 Lyto RPG 2,5D Masih11 Stargate 2005 Borneo X RPG 2D Ditutup

200612 TS 2005 Global World

TechnologyRPG 2D Ditutup

200613 O2jam 2005 Infomedia

NusantaraMusical 3D Masih

14 Pangya 2005 BolehGame Sport 3D Ditutup 2008

15 Knight 2005 Infomedia Nusantara

RPG 3D Ditutup 2007

16 Vital Sign 2005 - FPS 3D Ditutup 2007

17 SEAL 2006 Lyto RPG 3D Masih18 RAN 2006 Jaspace RPG 3D Masih19 Deco 2006 Playon RPG 3D Masih20 Ayo Dance 2006 Maxus Infotech Musical 3D Masih21 DOMO 2007 Datakom Wijaya

PratamaRPG 3D Masih

22 Angle Love 2007 WaveGame RPG 3D Masih23 Rising

Force2007 Lyto RPG 3D Masih

24 Ghost 2007 Kreon RPG 2D MasihSumber : Adiguna, 2010 (http://ryan-adi.blogspot.com/).

2.1.4 Jenis-jenis game online

Menurut Suveraniam (2011:2) secara umum, game online

terbagi menjadi dua jenis yaitu web based game (WBG) dan

text based game (TBG). WBG adalah aplikasi yang diletakkan

pada server di internet dimana pemain hanya perlu

menggunakan akses internet dan browser untuk mengakses

game tersebut. Jadi tidak perlu di install3 atau patch pada

perangkat lunak komputer untuk memainkan game-nya. Namun

3 Install adalah suatu istilah dalam dunia komputer dimana tujuannya ialahuntuk menanam aplikasi atau program tertentu pada sistem komputer agar bisadigunakan.

24

seiring dengan perkembangan game online, ada beberapa fitur

yang perlu di download untuk memainkan sebagian game,

seperti java player, flash player, maupun shockwave player, yang

biasanya diperlukan untuk tampilan grafis saja. Selain

itu, game seperti ini juga tidak menuntut spesifikasi

komputer yang canggih, dan tidak lagi membutuhkan bandwith

yang besar. Selain itu, sebagian besar WBG adalah

gratis. Pembayaran hanya diperlukan untuk fitur-fitur

tambahan dan mempercepat perkembangan akun pada game

tersebut. Sedangkan TBG bisa dibilang sebagai awal dari

WBG. TBG sudah ada sejak lama, dimana saat sebagian

komputer masih berspefikasi rendah dan sulit untuk

memainkan game-game dengan grafis beresolusi tinggi,

sehingga dibuatlah game-game dimana pemain hanya

berinteraksi dengan teks-teks yang ada dan sedikit atau

tanpa gambar (Bartle; Bruckman; Curtis; dalam Suveraniam,

2011). Memang setelah masa tersebut, TBG hampir tidak

pernah dilirik lagi oleh para gamer, namun ternyata saat

ini mulai marak TBG yang beredar yang sekarang kita kenal

sebagai WBG. Tentu saja dengan format yang lebih modern,

grafis diperbanyak dan dipercantik, menggunakan koneksi

internet dan developer game yang makin kreatif.

Berdasarkan genre, game online memiliki jenis yang

banyak, mulai dari permainan sederhana berbasis teks

sampai permainan yang menggunakan grafik kompleks dan

membentuk dunia virtual yang ditempati oleh banyak pemain25

sekaligus. massively multiplayer online games (MMOG) adalah game

online dengan jumlah pemain di atas seratus orang. pemain

bermain dalam dunia yang skalanya besar, di mana setiap

pemain dapat berinteraksi langsung seperti halnya dunia

nyata. MMOG muncul seiring dengan perkembangan akses

internet broadband di negara maju, sehingga memungkinkan

ratusan, bahkan ribuan pemain untuk bermain bersama-sama.

MMOG sendiri memiliki banyak jenis seperti:

1. Massively Multiplayer Online First-Person Shooter

(MMOFPS)

Game online jenis ini mengambil sudut pandang orang

pertama sehingga seolah-olah pemain berada dalam

permainan tersebut dalam sudut pandang tokoh karakter

yang dimainkan, di mana setiap tokoh memiliki kemampuan

yang berbeda dalam tingkat akurasi, refleks, dan lainnya.

Permainan ini dapat melibatkan banyak orang dan biasanya

permainan ini mengambil setting peperangan dengan

senjata-senjata militer. Contoh permainan jenis ini

antara lain Counter Strike, Call of Duty, Point Blank, Quake, Blood dan

Unreal.

2. Massively Multiplayer Online Real-Time Strategy

(MMORTS)

Game jenis ini menekankan kepada kehebatan strategi

pemainnya. Permainan ini memiliki ciri khas di mana

pemain harus mengatur strategi permainan. Dalam RTS, tema

permainan bisa berupa sejarah (misalnya seri Age of26

Empires), fantasi (misalnya Warcraft), dan fiksi ilmiah

(misalnya Star Wars).

3. Massively Multiplayer Online Role-Playing Games

(MMORPG)

Game jenis ini biasanya memainkan peran tokoh-tokoh

khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita

bersama. RPG biasanya lebih mengarah ke kolaborasi sosial

daripada kompetisi. Pada umumnya dalam RPG, para pemain

tergabung dalam satu kelompok. Contoh dari genre

permainan ini Ragnarok Online,The Lord of the Rings

Online: Shadows of Angmar, Final Fantasy, dan DotA.

4. Cross-platform online play

Jenis ini dapat dimainkan secara online dengan

perangkat yang berbeda. Saat ini mesin permainan konsol

(console games) mulai berkembang menjadi seperti komputer

yang dilengkapi dengan jaringan sumber terbuka (open source

networks), seperti Dreamcast, PlayStation 2, dan Xbox yang

memiliki fungsi online. misalnya Need for Speed

Underground, yang dapat dimainkan secara online dari PC

maupun Xbox 360.

5. Massively Multiplayer Online Browser Game

Game jenis ini dimainkan pada browser seperti

Mozilla Firefox, Opera, atau Internet Explorer. Game

sederhana dengan pemain tunggal dapat dimainkan dengan

browser melalui HTML dan teknologi scripting HTML27

(JavaScript, ASP, PHP, MySQL). Perkembangan teknologi

grafik berbasis web seperti Flash dan Java menghasilkan

permainan yang dikenal dengan “Flash games” atau “Java

games” yang menjadi sangat populer. Permainan sederhana

seperti Pac-Man bahkan dibuat ulang menggunakan pengaya

(plugin) pada sebuah halaman web. Browser games yang baru

menggunakan teknologi web seperti Ajax yang memungkinkan

adanya interaksi multiplayer.

6. Simulation games

Game jenis ini bertujuan untuk memberi pengalaman

melalui simulasi. Ada beberapa jenis permainan simulasi,

di antaranya life-simulation games, construction and management

simulation games, dan vehicle simulation. Pada life-simulation games,

pemain bertanggung jawab atas sebuah tokoh atau karakter

dan memenuhi kebutuhan tokoh selayaknya kehidupan nyata,

namun dalam ranah virtual. Karakter memiliki kebutuhan

dan kehidupan layaknya manusia, seperti kegiatan bekerja,

bersosialisasi, makan, belanja, dan sebagainya. Biasanya,

karakter ini hidup dalam sebuah dunia virtual yang

dipenuhi oleh karakter-karakter yang dimainkan pemain

lainnya. Contoh permainannya adalah Second Life.

2.1.5 Pendorong kecanduan game online

2.1.5.1 Interaksi sosial virtual dalam cyberspace

Menurut Piliang (2012:145), Perkembangan teknologi

informasi telah menciptakan sebuah “ruang baru” yang28

bersifat artifisial (buatan) dan maya, yaitu cyberspace.

Cyberspace telah mengalihkan berbagai aktivitas manusia

dalam bidang politik, sosial, ekonomi, kultural,

spiritual bahkan seksual yang ada di dunia nyata ke dalam

berbagai bentuk substitusi artifisialnya, sehingga apapun

yang dapat dilakukan di dunia nyata kini dapat dilakukan

dalam bentuk artifisialnya di dalam cyberspace. Sebuah

migrasi besar-besaran kehidupan manusia tampaknya tengah

berlangsung, yaitu migrasi dari “jagad nyata” ke “jagad

maya”.

Migrasi humanitas ini telah menimbulkan perubahan

besar tentang bagaimana setiap orang menjalani dan

memaknai “kehidupan”. Berbagai cara hidup dan bentuk

kehidupan yang sebelumnya dilakukan berdasarkan relasi-

relasi alamiah (natural), kini dilakukan dengan cara yang

baru, yaitu cara artifisial. Cyberspace menciptakan sebuah

kehidupan yang dibangun sebagian besar—mungkin nanti

seluruhnya—oleh model kehidupan yang dimediasi secara

mendasar oleh teknologi, sehingga berbagai fungsi alam

kini diambil alih oleh substitusi teknologis-nya, yang

disebut kehidupan artifisial (artificial life).

Tidak saja berbagai aktivitas manusia kini dilakukan

dengan cara yang baru, lebih dari itu, kini tengah

berlangsung semacam transformasi terminologis dan

epistemologis tentang apa yang disebut sebagai

29

“masyarakat”, “komunitas”, “komunikasi”, “ekonomi”,

“politik”, “budaya”, “spiritual” dan “seksual”. Ada

“migrasi terminologis” besar-besaran yang juga

berlangsung kini, yaitu pemberian awalan cyber untuk

hampir seluruh bidang kehidupan nyata, yang kini telah

bertransformasi menjadi kehidupan maya, antara lain:

cyber-society, cyber-community, cyber-economy, cyber-politics, cyber-culture,

cyber-spirituality, cyber-sexuality. Singkatnya, berilah awalan cyber

untuk setiap kata di dalam kamus, maka itulah migrasi

yang tengah berlangsung menuju dunia cyberspace (Piliang,

2012:145).

Menurut Muttaqin (n.d., Hal. 4), realitas-realitas

sosial-budaya yang ada di dunia nyata kini mendapatkan

tandingan-tandingannya, yang pada akhirnya mengaburkan

batas di antara keduanya. Cyberspace yang terbentuk oleh

jaringan komputer dan informasi yang terhubungkan secara

global telah menawarkan bentuk-bentuk “komunitas” sendiri

(virtual community), bentuk “realitas” nya sendiri (virtual

reality) dan bentuk “ruang” nya sendiri (cyberspace). Dalam

konteks ini, realitas maya di jagad cyber bisa kita lihat

sebagai refleksi dari realitas nyata dalam kehidupan

sehari-hari.

Berbagai persoalan di dunia nyata, mulai dari yang

besar seperti terorisme sampai yang kecil dan remeh

seperti bagaimana mengatasi sisa makanan yang nyangkut di

30

gigi, menjadi pembicaraan menarik di dunia maya. Jadi,

realitas maya ini adalah cermin yang paling komplit dari

realitas nyata. Karena itu para penghuni dunia maya tidak

merasa hidup di planet lain atau dunia lain. Mereka

merasa hidup di dunia dan planet yang sama dengan yang

mereka huni dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sifat

nyata dunia virtual ini bukan hanya karena ada korelasi

langsung dengan realitas nyata tapi dunia virtual memang

mampu menjadi realitas kedua yang bisa menggantikan

realitas nyata sehari-hari. Karenanya, bukan hal aneh

jika ada orang yang lebih banyak menjalani hidup di dunia

maya daripada dunia nyata seperti pada kasus yang sedang

penulis teliti, yakni mengenai kecanduan game online yang

mendeskripsikan bagaimana fenomena internet addiction pada

sektor game online dapat terjadi di kalangan mahasiswa. Ini

bisa terjadi karena cyberspace menawarkan keasyikan

tersendiri bagi para penggunanya. Cyberspace menawarkan

cara baru dalam menjalani dan mengalami hidup.

Hidup di dunia cyber, bagi banyak orang sangat

mengasyikkan, bahkan dirasakan lebih menjanjikan

keintiman. Ngobrol itu biasa, tapi ketika dilakukan di

jagad raya cyber dengan teman-teman maya kita, ada

keasyikan tersendiri. Diskusi itu fenomena yang biasa

kita saksikan di kalangan terpelajar tapi kalau

diskusinya melalui twitter, ada aspek lain yang ikut serta:

rekreatif, menyenangkan dan menggoda. Terlebih jika31

dilakukan dengan cara anonim seperti ketika orang ngobrol

via mIRC (Internet Relay Chat) atau Yahoo Messenger, orang akan

merasa lebih bisa terbuka dan tak jarang sangat

ekspressif. Karena anonimitasnya, orang dapat saja

tergoda dan merasa aman untuk mengungkapkan bagian-bagian

dari dirinya yang tidak terungkapkan di dunia nyata.

qq

Sumber : Muttaqin, n.d., Hal. 4.

Skema interaksi virtual tersebut memberikan gambaran

bahwa “para penduduk” dunia maya seakan memiliki dua

identitas dan kepribadian yang bisa jadi sangat berbeda.

Kita tidak bisa sekedar menilai mana diantara dua

indentitas dan kepribadian ini yang asli karena bisa jadi

dua-duanya memang mencerminkan dirinya yang sebenarnya,

32

hanya berbeda sisi. Semua orang mempunyai dua sisi yang

berbeda atau bahkan bertentangan, sisi gelap dan terang,

sisi hitam dan putih, sisi introvet dan ekstrovet, sisi

ilahi dan syaitoni. Di dunia nyata, karena kontrol nilai dan

norma-norma dalam masyarakat, ia mungkin hanya akan

menampilkan bagian dirinya yang direstui secara sosial

saja. Di dunia maya, kontrol semacam ini sangat longgar

atau bahkan tidak ada sama sekali. Karena itu ia merasa

bebas untuk mengekspresikan bagian dirinya yang

terpendam. Terlebih jika dia masuk dalam jagad raya cyber

dalam situasi anonim (tidak bernama/nama samaran), ia

tidak lagi merasa perlu mengindahkan nilai dan norma–

norma yang ada karena tidak ada seorang pun yang

mengenalnya. Situasi tidak dikenal atau anonim inilah

yang membuat banyak orang merasa aman jika melakukan

tindakan-tindakan yang secara sosial tidak direstui atau

tidak bertanggungjawab.

Inilah yang disebut virtual reality, sebuah realitas baru

era informasi. Tujuan utama virtual reality pada dasarnya

adalah untuk menciptakan ilusi keterlibatan dalam sebuah

lingkungan yang dapat dirasakan sebagai tempat yang

sebenarnya, dengan sejumlah interaktifitas yang cukup

untuk melakukan tugas-tugas tertentu dengan cara yang

efisien dan menyenangkan.

33

Menurut Michael Heim (dalam Muttaqin n.d., hlm. 5),

virtual reality memiliki beberapa sifat. Pertama, simulation.

Realitas virtual berbentuk simulasi dari kehidupan nyata.

Jika tampak sesosok manusia, ini hanyalah simulasi dari

manusia yang sebenarnya, dalam bentuk grafis. Jika

terdengar suara manusia, ini hanya simulasi suara manusia

yang diproduksi oleh teknologi simulasi. Kedua, Interaction.

Virtual reality menawarkan interaksi antara pengguna dengan

dunia virtual. Kita dapat menghadiri kuliah dalam sebuah

universitas secara online tanpa harus hadir di kelas yang

sesungguhnya. Manusia juga dapat bersosialisasi dengan

komunitas maya seperti situs-situs jejaring sosial

(facebook, twitter, dan lain-lain), mailing list atau chatting.

Ketiga, Artificiality. Kenyataan yang ditawarkan virtual reality

sesungguhnya hanyalah kenyataan buatan, semuanya hasil

konstruksi manusia. Keempat, Immersion. Masuk dalam virtual

reality berarti terlibat didalamnya, merasa seakan hidup

dalam alam virtual. Ini yang disebut dengan the illusion of

immersion. Kelima, Telepresence. Virtual reality memungkinkan kita

hadir dari jarak jauh tanpa harus berada di dalamnya

secara fisik. Hadir di sini berarti bahwa kita tahu dan

sadar dengan apa yang terjadi, dapat melakukan sesuatu

dengan cara mengamati, meraih, memegang dan memindahkan

sesuatu dengan tangan kita sendiri seakan kita berada di

dekatnya. Keenam, Networked communications. Dalam dunia

virtual, komunikasi selalu dijalankan dengan menggunakan

34

jaringan komputer. Artinya, orang tidak bertemu langsung

dalam sebuah komunikasi, tapi hanya melalui jaringan

komputer, persis seperti dua orang yang sedang berbicara

via telepon.

a. Ontologi cyberspace

Cyberspace adalah sebuah “ruang imajiner”, yang di

dalamnya setiap orang dapat melakukan apa saja yang bisa

dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara

yang baru, yaitu cara artifisial. Cara artifisial adalah

cara yang mengandalkan pada peran teknologi, khususnya

teknologi komputer dan informasi dalam mendefinisikan

realitas, sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan di

dalamnya: bersenda-gurau, berdebat, diskusi, bisnis,

brainstorming, gosip, pertengkaran, protes, kritik,

bermain, bermesraan, bercinta, menciptakan karya seni,

semuanya dapat dilakukan di dalam ruang cyberspace.

Disebabkan sifat artifisialnya, cyberspace telah

membentangkan sebuah persoalan fenomenologis dan

ontologis tentang “ada” dan “keberadaan” di dalamnya.

Keberadaan cyberspace telah membentangkan sebuah persoalan

mendasar tentang “dunia kehidupan” itu sendiri (lifeworld).

“Dunia kehidupan” adalah sebuah dunia yang kompleks, yang

melibatkan berbagai model kesadaran (consciousness),

pengalaman (experiences) dan persepsi. Sebagaimana

dikatakan Alfred Schutz & Thomas Luckmann di dalam The35

Structure of the Life World (dalam Piliang, 2012:146), di dalam

dunia kehidupan dibedakan antara dunia harian yang

melibatkan kesadaran dan “dunia lain” yang melibatkan

ketidaksadaran (unconsciousness) seperti mimpi, atau bawah

sadar (subcosciousness).

Kesadaran manusia adalah selalu “kesadaran akan

sesuatu”, yaitu kesadaran kognitif yang “menangkap obyek-

obyek” di sekitar. Bila kesadaran kognitif itu tidak

berlangsung, maka artinya manusia berada di dalam alam

bawah sadar atau ketaksadaran. Dunia fantasi adalah dunia

kesadaran yang diarahkan bukan pada obyek obyek di dunia

nyata, melainkan obyek-obyek fantasi yang bersifat

internal di dalam ruang pikiran. Dunia tidur adalah dunia

bawah sadar, yaitu dunia ambang antara sadar dan tak

sadar. Dunia mimpi adalah dunia ketaksadaran, yang di

dalamnya obyek-obyek ditangkap pikiran lewat mekanisme

ketaksadaran. Cyberspace adalah dunia yang dimasuki manusia

dengan kesadaran, akan tetapi ia berbeda dengan dunia

harian (everyday lifeworld), yang merupakan dunia yang

dibangun berdasarkan “kesadaran atas obyek-obyek nyata”.

Obyek-obyek di dalam cyberspace, sebaliknya, adalah obyek-

obyek “tak nyata”, yang ditangkap pengalaman hanya dalam

wujud halusinasi (hallusination).

Cyberspace bukan mimpi, tetapi ia bukan pula “yang

nyata” dalam pengertian dunia harian, disebabkan ia

36

dibangun oleh ruang-ruang artifisialitas teknologis. Bila

dikaitkan dengan arus kesadaran dalam durasi kehidupan

manusia, cyberspace bukanlah dunia ketaksadaran atau bawah

sadar, melainkan dunia kesadaran, yang di dalamnya

seseorang mengalami sebuah “obyek” di luar dirinya lewat

mekanisme penginderaan (Gestalt). Akan tetapi, “pengalaman”

yang dialami seseorang di dalam cyberspace berbeda dengan

pengalaman di dunia nyata, disebabkan perbedaan “obyek”

yang ditangkap oleh pengalaman. Di dalam cyberspace setiap

orang lewat kesadarannya menangkap “obyek-obyek”, akan

tetapi semuanya bukanlah obyek-obyek nyata, melainkan

“obyek-obyek maya” yang terbentuk lewat bit-bit komputer.

Di dalam cyberspace, arus kesadaran yang menangkap

obyek-obyek nyata (termasuk manusia lain sebagai obyek)

dialihkan ke dalam kesadaran yang menangkap dunia

“halusinasi”.Oleh sebab itu, perbedaan “pengalaman” di

dunia cyberspace dengan di dunia nyata terletak bukan pada

perbedaan tingkat kesadaran itu sendiri (tak sadar, bawah

sadar atau sadar) melainkan perbedaan “kualitas” obyek

yang ditangkap oleh kesadaran. Obyek yang ditangkap

kesadaran di dunia nyata adalah obyek-obyek yang

mengikuti hukum-hukum fisika: ia dibentuk oleh partikel-

partikel atom dan substansi-substansi yang membangun

struktur bentuknya; ia meruang, dalam pengertian,

menempati sebuah volume ruang tertentu sebagai “wadah

obyek-obyek” ia mengikuti hukum-hukum alam seperti hukum37

gravitasi, inersia dan percepatan. Sehingga, secara

fenomenologis, pengalaman di dunia nyata ini adalah

pengalaman “nyata”, dalam pengertian pengalaman yang

mengikuti hukum-hukum alam (melihat, menyentuh, bergerak

di dalam ruang). Sebaliknya, obyek-obyek di dalam

cyberspace, meskipun bukan mimpi, adalah obyek-obyek yang

dibentuk oleh satuan-satuan informasi di dalam sistem

pencitraan komputer yang disebut bit (byte), yang tidak

mengikuti hukum-hukum fisika di atas. Oleh karena ia

tidak mengikuti hukum fisika, maka pengalaman “hidup” di

dalam cyberspace sesungguhnya bukanlah pengalaman fisik

(meruang, mewaktu, mendunia) melainkan pengalaman yang

disebut oleh berbagai pemikir cyberspace sebagai pengalaman

“halusinasi”, yaitu mengalami sesuatu yang sesungguhnya

tidak ada wujud fisiknya.

Cyberspace dijelaskan oleh William Gibson (dalam

Piliang, 2012:147) sebagai sebuah “halusinasi” yang

dialami oleh jutaan orang setiap hari (berupa)

representasi grafis yang sangat kompleks dari data di

dalam sistem pikiran manusia yang diabstraksikan melalui

bank data setiap komputer. Akan tetapi, pengertian

“halusinasi” di dalam konteks cyberspace harus dibedakan

dengan pengertian halusinasi di dalam dunia harian.

Halusinasi di dalam dunia harian adalah semacam

“interupsi kesadaran”, yang di dalamnya kesadaran akan

obyek-obyek nyata (eksternal maupun internal) secara38

temporer “diganggu” oleh kesadaran akan obyek-obyek yang

tak berwujud materi, yang segera hilang ketika manusia

kembali ke dalam kesadaran hariannya. Sebaliknya,

halusinasi di dalam cyberspace adalah halusinasi yang

“diproduksi” secara teknologis berupa citra-citra di

dalam sistem komputer (mass produced hallusination), sehingga

ia dapat disimpan (save), diperbanyak, disalin, dikirim,

dan dialami kembali di masa mendatang.

b. Cyberspace dan perubahan sosial

Perkembangan cyberspace telah mempengaruhi kehidupan

sosial di dalam berbagai tingkatnya. Keberadaan cyberspace

tidak saja telah menciptakan perubahan sosial yang sangat

mendasar, malahan oleh berbagai pemikir dikatakan telah

menggiring pada kondisi ekstrim “kematian sosial” (death of

the social). Terlepas dari pemikiran ekstrim ini, pengaruh

cyberspace terhadap kehidupan sosial setidak-tidaknya

tampak pada tiga tingkat : tingkat individu, antar-

individu dan komunitas (Piliang, 2012:147).

Pertama, tingkat individu. Cyberspace menciptakan

perubahan mendasar terhadap pemahaman kita tentang diri

(self) dan identitas (identity). Struktur cyberspace membuka

ruang yang lebar bagi setiap orang untuk menciptakan

secara “artifisial” konsep tentang diri dan identitas.

39

Kondisi demikian menjadikan konsep diri dan identitas di

dalamnya menjadi sebuah konsep yang tanpa makna. Artinya,

bila setiap orang dapat menciptakan berbagai identitas

dirinya secara tak berbatas, maka hakikat identitas itu

sendiri tidak ada lagi. Sebagai sebuah konsep (maupun

realitas), identitas masih ada bila ada perbedaan

(difference), yaitu prinsip “perbedaan” atau “pembedaan”,

yang membedakan seseorang dengan orang-orang lainnya.

Bila setiap orang dapat menjadi setiap orang lainnya

adinfinitum, maka kita menghadapi sebuah kondisi matinya

perbedaan (death of difference), yang berarti mati pula

identitas.

Kekacauan identitas akan mempengaruhi persepsi,

pikiran, personalitas dan gaya hidup setiap orang. Bila

setiap orang bisa menjadi siapapun, ini sama artinya

semua orang bisa menjadi beberapa orang yang berbeda pada

suatu ketika. Artinya, tidak ada lagi identitas. Yang ada

di dalam cyberspace adalah permainan identitas : identitas

baru, identitas palsu, identitas ganda, identitas jamak.

Inilah yang di dalam psikoanalisis disebut R.D. Laing

(dalam Piliang, 2012:147) sebagai diri terbelah (divided

self), yang di dalamnya setiap orang dapat “membelah

pribadi”nya menjadi pribadi-pribadi yang tak berhingga.

Kedua, tingkat interaksi antar individu. Hakikat cyberspace

sebagai dunia yang terbentuk oleh jaringan (web) dan

hubungan (connection)—bukan oleh materi—menjadikan40

kesalingterhubungan (interconnectedness) dan

kesalingbergantungan (interdependency) secara virtual

merupakan ciri dari dunia cyberspace.

Cyberspace adalah “dunia antara”, yaitu dunia bit-bit

informasi yang mampu menciptakan berbagai hubungan dan

relasi sosial yang bersifat virtual. Oleh karena

hubungan, relasi dan interaksi sosial di dalam cyberspace

bukanlah antar fisik di dalam sebuah wilayah atau

teritorial tertentu, maka ia menciptakan semacam

deteritorialisasi sosial (social deterritorialisation) , yaitu

interaksi sosial yang tidak dilakukan di dalam sebuah

teritorial yang nyata (dalam pengertian konvensional)

akan tetapi di dalam sebuah halusinasi teritorial

(territorial hallucination). Di dalam halusinasi teritorial

tersebut, orang boleh jadi lebih dekat dan akrab secara

sosial dengan “sesorang” di dalam cyberspace yang secara

teritorial hidup dalam jarak ribuan kilometer, ketimbang

tetangga dekatnya sendiri.

Relasi sosial jarak jauh ini mempunyai implikasi

yang luas terhadap berbagai hubungan sosial, termasuk

hubungan komunikasi sosial. Bentuk komunikasi sosial di

dalam cyberspace telah menciptakan sebuah situasi

komunikasi yang sangat di bentuk oleh peran citra di

dalamnya. Dalam kaitannya dengan “situasi komunikasi”

ini, Jurgen Habermas (dalam Piliang, 2012:148), di dalam

41

The Theory of Communicative Action, menjelaskan sebuah situasi

komunikasi ideal” (ideal communicative situation), berdasarkan

sarana, relasi sosial dan aktor-aktor yang terlibat di

dalamnya, yang dapat menghasilkan sebuah tindak

komunikatif yang rasional. Dari segi sarana, sarana

komunikasi ideal harus memungkinkan terciptanya sebuah

ruang publik yang terbuka, yang dapat diakses secara luas

dan memungkinkan partisipasi publik yang luas di

dalamnya. Dari segi relasi sosial ideal, di dalam ruang

publik tersebut tidak dibenarkan adanya tekanan,

pemaksaan dan dominasi kelompok masyarakat atas kelompok-

kelompok lainnya. Dari segi aktor, seorang aktor di dalam

sebuah relasi komunikasi harus berbicara dengan betul

(right) mengikuti norma yang ada, harus mengemukakan

pernyataan yang benar (true), dan harus berbicara dengan

jujur dan penuh kebenaran (truthfull).

Berdasarkan karakter medianya, cyberspace memang dapat

menjadi ruang ideal untuk sebuah komunikasi yang terbuka

dan “demokratis”, yaitu ruang yang setiap orang dapat

berperan di dalamnya, selama ia mempunyai akses, sarana

dan kompetensi di dalam bahasanya. Dari segi relasi

sosial, cyberspace dapat mengurangi berbagai bentuk

pemaksaan, tekanan, dan represi, meskipun ia tidak lepas

dari berbagai bentuk hegemoni. Mungkin yang paling

problematik di dalam cyberspace adalah dari segi aktor-

aktor yang berperan di dalamnya. Disebabkan karakter42

media cyberspace sebagai ruang image yang direkayasa secara

artifisial, maka ia adalah sebuah ruang, yang paling

terbuka terhadap berbagai bentuk penipuan, pemalsuan dan

simulasi realitas. Ketimbang menjadi ruang di mana orang

dapat berbicara dengan betul, jujur dan benar, cyberspace

sebaliknya menjadi sebuah ruang yang di dalamnya

direkayasa berbagai bentuk kepalsuan, kesemuan, dan

simulasi. Ketiga, pada tingkat komunitas. Cyberspace dapat

menciptakan satu model komunitas demokratik dan terbuka

yang disebut Howard Rheingold sebagai komunitas imaginer

(imaginary community). Ada perbedaan mendasar antara

komunitas imajiner ini dengan komunitas yang

konvensional. Di dalam komunitas konvensional, masyarakat

memiliki rasa kebersamaan menyangkut tempat—rumah, desa

atau kota—yang di dalamnya terjadi interaksi sosial yang

bersifat langsung dan tatap muka (face to face) di sebuah

tempat (place) yang dibatasi ruang-waktu. Di dalam

komunitas imajiner ini diperlukan “imajinasi” tentang

“tempat” tersebut, oleh karena “tempat” tersebut bukanlah

tempat yang nyata dalam pengertian konvensionalnya,

melainkan tempat imajiner yang berada di dalam bit-bit

komputer. Meskipun sebuah “tempat nyata”, seperti sebuah

negara-bangsa (nation-state) masih memerlukan imajinasi

anggota masyarakatnya tentang “bangsa yang

diimajinasikan” (imagining nation), tetapi negara-bangsa

yang diimajinasikan itu ada wujud konkritnya (wilayah,

43

teritorial, batas geografis). “Tempat yang

diimajinasikan” (imagining places) di dalam cyberspace,

sebaliknya tidak ada wujud konkrit atau fisiknya,

melainkan wujud yang terbentuk berupa citraan grafis di

dalam sistem komputer.

Disebabkan komunitas virtual dibangun bukan di dalam

teritorial yang konkrit, maka persoalan utama di dalamnya

adalah persoalan normatif, pengaturan dan kontrol. Sebuah

masyarakat mengharuskan adanya pemimpin (ruler), konvensi

sosial (adat, tabu, hukum, aturan main) dan adanya

lembaga hukum (judikatif) sebagai lembaga pengaturan. Di

dalam komunitas virtual cyberspace, pemimpin, aturan main

dan kontrol sosial tersebut bukanlah berbentuk lembaga

(institution), sehingga keberadaannya sangat lemah. Di

dalam cyberspace, setiap orang seakan-akan menjadi

“pemimpin”, “pengontrol” dan “penilai” dirinya sendiri,

yang menciptakan semacam demokrasi radikal, yang di

dalamnya segala tindakan sosial (social action) tidak ada

yang mengatur, mengontrol dan memberi penilaian. Di

dalamnya seakan-akan “apapun boleh” (anything goes).

c. Cyberspace dan imagologi

Dunia cyberspace telah menimbulkan persoalan besar

pada apa yang selama ini disebut “dunia representasi”

(representation). Representasi adalah satu model “penampakan

ontologis”, yaitu menampilkan “ada” dalam wujud44

representasinya. Representasi adalah “pelukisan kembali

realitas” yang tidak dapat “dihadirkan” (to present),

sehingga diperlukan “model penghadiran kembali realitas”

(to represent) lewat berbagai model bahasanya (verbal,

visual, gambar, citra). Dalam representasi, relasi antara

yang merepresentasikan dan yang direpresentasikan adalah

relasi relatif-simetris, seperti refleksi cermin (mirror

image), yaitu berdasarkan prinsip kesamaan, keserupaan

dan ikonisitas (iconicity). Representasi menjadikan realitas

sebagai rujukannya dan tidak dapat melepaskan dirinya

dari rujukan itu. Bila wujud representasi telah lepas

dari rujukannya, maka sesungguhnya tidak ada lagi

representasi (Piliang, 2012:148).

Dunia cyberspace adalah dunia yang di dalamnya model

(representasi) itu tidak lagi mempunyai relasi dengan

realitas. Ia bahkan terputus sama sekali dengan dunia

realitas, yang menciptakan sebuah relasi yang

bertentangan dengan representasi, yang disebut

“simulasi”. Dunia “simulasi” dalam konteks cyberspace,

adalah sebuah dunia yang di dalamnya setiap “ada” (beings)

dirubah wujudnya menjadi “ada citra” (being images), setiap

ontologi dirubah menjadi “ontologi citraan” (ontology of

image); setiap realitas dibuatkan substitusi-

substitusinya berupa “citra realitas” (image of reality);

setiap wujud fisik ditransformasikan ke dalam wujud

halusinasi. Cyberspace adalah sebuah migrasi besar-besaran45

dari dunia tubuh (fisik) ke dalam dunia citraan, sehingga

di dalamnya segala yang ada dalam dunia realitas (bahkan

yang belum ada sama sekali) menemukan eksistensinya dalam

wujud realitas artifisial.

Dunia cyberspace adalah sebuah dunia yang di dalamnya

setiap orang dikondisikan untuk menampilkan eksistensi

dirinya lewat “ontologi citra”, yang diandaikan sebagai

lukisan dari citra “diri sejati” (true self), dalam rangka

mendapatkan “makna eksistensial” yang otentik, padahal

palsu. Dalam hal inilah, “ada” di dalam cyberspace menjadi

sebuah model keber”ada”an yang palsu (pseudoexsistence),

yaitu ada dalam kategori “ontologi citra”.

Cyberspace adalah upaya manusia melepaskan manusia

dari penjara tubuh, untuk kemudian memerangkap mereka di

dalam penjara yang lain, yaitu penjara citraan. Para

visioner cyberspace melihat begitu terpenjaranya manusia di

dalam penjara keterbatasan tubuh fisik, sehingga tidak

memungkinkannya untuk melakukan banyak hal : terbang,

hidup di dalam air, berubah wujud, hidup di dua tempat

sekaligus. Obsesi melawan penjara tubuh inilah yang

menjadi impian utama cyberspace, yaitu dengan mengembangkan

berbagai bentuk-bentuk kehidupan artifisial, sehingga di

dalamnya tubuh tidak lagi dibatasi oleh keterbatasan

arsitektural dan alam. Di dalam cyberspace orang bisa

“terbang”, “berubah wujud”, “hidup di dalam air”, “hidup

46

di dalam berbagai ruang yang berbeda dalam waktu yang

sama”, meskipun semuanya dalam wujud citraan.

Segala sesuatu yang tidak dapat dilakukan di dalam

dunia nyata (dunia fisik) kini dapat dilakukan di dalam

dunia simulasi cyberspace. Cyberspace menjadikan orang

terbebas (release) dari berbagai hambatan dunia nyata,

termasuk berbagai hambatan psiko-sosial yang dihadapi

manusia. Salah satu hambatan psiko-sosial itu adalah

hambatan yang diciptakan oleh masyarakat industri, yang

menggiring orang ke dalam cara-cara kehidupan industrial

dan rasional, akan tetapi menemukan di dalamnya kehampaan

psiko-sosial (psychosocial vacuum).

Sebagaimana dikatakan oleh Margaret Wertheim (dalam

Piliang, 2012:150), cyberspace seperti kegiatan bermain

game online atau membuka jejaring sosial merupakan tempat

pelepasan diri dari beban kerja, tekanan jiwa, tekanan

politik, tekanan keluarga masyarakat industri yang sangat

menekan. Cyberspace menjelma menjadi sebuah tempat

penjelajahan psikososial, yaitu penjelajahan untuk

menemukan diri (self), peran, identitas, dan eksistensi.

Akan tetapi, disebabkan karakter cyberspace itu sendiri

yang sangat menggantungkan dirinya pada ontologi citra—

yang di dalamnya terbentang luas berbagai kemungkinan

rekayasa dan manipulasi citra—maka yang ditemukan setiap

orang di dalamnya, bukanlah konsep “diri” yang utuh atau

47

esensial, melainkan diri yang jamak (multiple self) yang

dapat berubah-ubah secara cepat sesuai dengan tuntutan

komunitas virtual di dalamnya.

Cyberspace adalah sebuah ruang yang di dalamnya setiap

orang dapat bermain di dalam berbagai bentuk fantasi

kelompok (group fantasy) atau drama kolektif (collective drama)

yang bersifat virtual. Cyberspace secara cepat dapat

membentuk komunitas-komunitas global lewat berbagai

bentuk permainan, diskusi, tontonan, dan hiburan, yang di

dalamnya setiap orang dapat merealisasikan segala

fantasinya, termasuk fantasi-fantasi liar tentang

kekerasan, seks dan kebebasan.

Ragnarok Online (RO) adalah contoh game online

cyberspace yang sedang menjamur di Indonesia, yang di

dalamnya berbagai fantasi manusia dapat disalurkan,

sehingga dapat menghanyutkan ribuan orang ke dalam ruang-

ruang mayanya.

d. Cyberspace dan otentisitas

Dunia otentik adalah dunia yang menghasilkan

pengalaman otentik dan “diri otentik”, yaitu diri yang

tidak bergantung pada eksistensi lain, yang dibedakan

“diri umum”, yaitu model diri yang mengikuti

kecenderungan umum, yang dicirikan oleh keseragaman,

kesamaan, dan kepublikan, yang oleh Heidegger disebut

48

sebagai “dunia mereka” (the they). Otentisitas, dalam hal

ini dipertentangkan dengan “publisitas” (publicity). Akan

tetapi, konsep “otentisitas” itu dapat pula dengan konsep

“artifisialitas” (Piliang, 2012:150)

Diri otentik adalah diri yang “tidak umum‟, tetapi

bisa juga sekaligus yang “tidak artifisial”, karena

artifisialitas mengkonotasikan “ketidakaslian”.

“Artifisial” biasanya dipertentangkan dengan “alam”. Para

visioner cyberspace membayangkan cyberspace secara teoritis

sebagai sebuah ruang yang di dalamnya setiap orang dapat

menemukan “diri otentik”, oleh karena di dalamnya setiap

orang “dapat menavigasi diri mereka sendiri”, tanpa ada

seorangpun yang dapat mengontrol dan mengendalikan

mereka. Akan tetapi, dalam kenyataannya, cyberspace justeru

tidak menawarkan sebuah dunia otentik itu, oleh karena di

dalamnya ia mengundang setiap orang untuk menjadi diri

umum dan diri artifisial (artificial self) sekaligus—sebuah

konsep diri yang sangat dibentuk oleh manipulasi citra

(image) di dalamnya. Inilah semacam “kontradiksi budaya

cyberspace” (cultural contradiction of cyberspace). Di dalam

cyberspace, konsep diri kini diambilalih oleh konsep citra

diri (self image), yaitu diri yang ditampilkan dalam

wujud ontologi citra. Mediasi teknologis memungkinkan

setiap orang untuk menciptakan citra diri mereka sendiri.

Cyberspace menawarkan berbagai konsep diri (mutiple self),

49

yang menciptakan berbagai kemungkinan peran, identitas

dan keyakinan (multiple identity).

Dunia cyberspace yang dibangun oleh ontologi citra

adalah dunia yang “tak otentik”, oleh karena ia adalah

dunia “simulakrum”, yang di dalamnya setiap diri (self)

terserap ke dalam apa yang disebut Heidegger “dunia

mereka”, sebuah dunia umum yang kini dicetak dan

dikendalikan sepenuhnya oleh citra dan citra harian

(everyday image). Dunia simulakrum cyberspace yang dikuasai

oleh citra tidak menyisakan lagi ruang di dalamnya bagi

pencarian “diri otentik”, disebabkan membiak dan

menyebar-luasnya model-model simulakrum ke dalam setiap

ruang-ruang mikro cyberspace, sehingga ruang-ruangnya

seakan-akan dipenuhi oleh jutaan citra setiap harinya,

yang saling bersaing mendapatkan perhatian.

Citra-citra di dalam cyberspace saling berlomba

mendapatkan perhatian dalam kecepatan tinggi, sehingga

kesadaran dan pengalaman manusia di dalamnya hanyut di

dalam arus kecepatan ini, sehingga tidak menyisakan

tempat di dalamnya bagi perenungan eksistensial.

Keotentikan yang diimajinasikan oleh para visioner

cyberspace adalah keotentikan yang dikembangkan oleh para

penganjur keontentikan yang radikal, seperti Nietzsche,

Derrida, Deleuze dan Guattari (Piliang, 2012:151). Bagi

mereka, keontentikan adalah cara untuk menolak segala

50

bentuk otoritas dan kekuasaan, dalam rangka menciptakan

sebuah ruang, yang di dalamnya setiap orang dapat

“mengekspresikan dirinya secara bebas”, tanpa bergantung

pada otoritas kekuasaan tertentu di luar dirinya (negara,

agama, keluarga). melepaskan segala dorongan hasrat dan

mewujudkan segala kehendak manusia di dunia ini. Ketika

otoritas keluarga, agama dan sosial tidak lagi ada, maka

setiap orang dapat melepaskan segala dorongan hasratnya,

yang selama ini ditolak oleh keluarga, masyarakat dan

agama, karena dianggap bersifat abnormal, menyimpang, a-

moral dan a-sosial.

Tidak seperti yang dibayangkan oleh para visionaris

cyberspace, struktur dunia kehidupan di dalam cyberspace

(cyber-lifeworld) tidak berbeda dengan struktur dunia

kehidupan harian manusia, yang di dalamnya justeru

berkembang luas “dunia umum”, yang menciptakan berbagai

bentuk budaya publik (public cyber-culture) dan budaya populer

(popular cyber-culture). Di dalamnya—seperti di dunia

kehidupan harian—terbentuk relasi-relasi bintang dan

fans, produser dan konsumer, elit dan massa, penguasa dan

yang dikuasai, yang di dalamnya perilaku meniru,

mengimitasi, mengkopi menjadi perilaku yang biasa,

sebagaimana di dalam fenomena budaya populer pada

umumnya. Cyberspace sama sekali bukanlah ruang bagi

pembentukan keotentikan, oleh karena di dalamnya setiap

diri “dihisap” oleh lubang hitam dunia citra dan tontonan51

massa kapitalisme itu sendiri, yang sangat berjiwa

totalitarian.

e. Simulasi sosial dan cybersociety

Di dalam era artifisial dewasa ini, berbagai ruang

sosial yang ada di dunia nyata, kini dapat dicarikan

substitusinya di dalam dunia informasi digital, dalam

wujudnya yang artifisial, yaitu wujud simulasi sosial

(social simulation). Cyberspace adalah sebuah ruang utama yang

di dalamnya berbagai simulasi sosial menemukan tempat

hidupnya. Perkembangan ruang-ruang simulasi sosial di

dalam cyberspace telah mempengaruhi kehidupan sosial di

luar ruang tersebut pada hampir semua tingkatnya.

Setidak-tidaknya terdapat tiga tingkat pengaruh tersebut:

tingkat individual, tingkat antar-individual dan tingkat

masyarakat.

Pertama, pada tingkat individual, cyberspace telah

menciptakan perubahan mendasar terhadap pemahaman kita

tentang “identitas”. Sistem komunikasi sosial yang

dijembatani oleh komputer (computer mediated communication)

telah melenyapkan batas-batas identitas itu sendiri di

dalamnya. Di dalam ruang-ruang sosial cyberspace setiap

orang dapat memainkan berbagai peran sosial yang berbeda-

beda, artinya menjadi beberapa orang yang berbeda

identitasnya pada waktu yang bersamaan. Yang tercipta

adalah semacam kekacauan identitas, yang akan52

mempengaruhi persepsi, pikiran, personalitas dan gaya

hidup setiap orang. Bila setiap orang bisa memakai baju

identitas apapun, artinya, tidak ada lagi identitas.

Identitas hanya dimungkinkan, bila ada sesuatu (bentuk,

nilai, gaya, ideologi, makna) yang dipakai secara

konsisten, sebab konsistensi merupakan ciri utama dari

identitas.

Cyberspace—dan komunitas virtual yang terbentuk di

dalamnya—memungkinkan berlangsungnya “permainan

identitas” di dalamnya: identitas baru, identitas palsu,

identitas ganda, yang semuanya merupakan bagian dari

identitas budaya cyberspace. Di dalam psikoanalisis,

situasi pergantian identitas tanpa batas seperti ini pada

seorang individu, disebut oleh Lacan sebagai skizofrenia.

Bahkan, setiap individu tidak saja dapat “membelah

pribadi”nya menjadi pribadi ganda, akan tetapi juga

pribadi-pribadi yang terbelah menjadi keping-keping yang

jamak (multiple self).

Dunia komunikasi virtual di dalam cyberspace pada

tingkat individu dapat pula menciptakan semacam

ketergantungan, atau semacam “candu cyber” (cyber-

addiction), khususnya dalam bentuk “kecanduan komunikasi”

(communication addiction). Kecanduan ini telah menggiring

orang untuk duduk berjam-jam di depan komputer, bahkan

ada yang sampai tujuh puluh jam per minggu menghabiskan

waktunya di dunia maya.53

Kedua, pada tingkat antar-individual, perkembangan

komunitas virtual di dalam cyberspace telah menciptakan

relasi-relasi sosial yang bersifat virtual di ruang-ruang

virtual : virtual shopping, virtual game, virtual conference, virtual sex

dan virtual mosque. Relasi-relasi sosial-virtual tersebut

telah menggiring ke arah semacam “deteritorialisasi

social”, dalam pengertian, bahwa berbagai interaksi

sosial kini tidak memerlukan lagi ruang dan teritorial

yang nyata (dalam pengertian konvensional), melainkan

“halusinasi territorial”. Di dalam halusinasi teritorial

tersebut, orang boleh jadi lebih dekat secara sosial

dengan seseorang yang jauh secara teritorial, ketimbang

seseorang yang dekat secara teritorial, akan tetapi jauh

secara sosial.

Ketiga, pada tingkat komunitas, cyberspace diasumsikan

dapat menciptakan satu model komunitas demokratik dan

terbuka yang disebut Rheingold “komunitas imaginer”

(imaginary community). Di dalam komunitas konvensional,

anggota masyarakat memiliki kebersamaan sosial dan

solidaritas sosial menyangkut sebuah “tempat” (desa,

kampung, atau kota) yang di dalamnya berlangsung

interaksi sosial face to face. Di dalam komunitas virtual

diperlukan “imaginasi kolektif'” tentang “tempat”

tersebut, yang tidak ada di dalam sebuah ruang nyata,

melainkan sebuah tempat imajiner yang berada di dalam

“ruang” bit-bit komputer.54

Komunitas virtual yang terbentuk di dalam cyberspace,

bentuk, struktur dan sistemnya tidak sama dengan

komunitas konvensional di dunia nyata. Bila komunitas

konvensional pada umumnya memiliki struktur kepemimpinan

(rulling structure); struktur normatif (normative structure)

seperti adat, tabu, hukum, rule; lembaga normatif

(normative institution), seperti pengadilan, kehakiman, yang

semuanya merupakan mekanisme kontrol sosial; di dalam

komunitas virtual pemimpin, norma, dan institusi kontrol

tersebut nyaris tidak ada. Di dalamnya, setiap orang

seakan menjadi “pemimpin”, “pengontrol” dan “penilai”

dirinya sendiri. Bila cyberspace seringkali dikata kan

sebagai sebuah “ruang alternative” tempat berlangsungnya

demokratisasi, akan tetapi, pengertian “demokrasi” di

dalam cyberspace tidak sama dengan yang di dunia nyata. Di

dalam cyberspace dan komunitas virtual, demokrasi dan

masyarakat madani berkembang ke dalam wujudnya yang

paling ekstrim, yaitu “demokrasi radikal” atau

“masyarakat madani radikal”, yang di dalamnya ekspresi,

ekspresi, hasrat, keinginan, tuntutan, gagasan, ide,

protes yang datang dari masyarakat sipil tidak ada yang

mengatur, mengontrol dan memberi penilaian. Demokrasi di

dalam cyberspace berkembang ke arah hiper-demokrasi (hyper-

democracy), dalam pengertian, bahwa konsep-konsep kunci

demokrasi seperti kebebasan (liberation), hak azasi (right)

dan kekuasaan rakyat (demos), berkembang dalam bentuknya

55

yang ekstrim, yang tanpa batas dan kontrol. Singkatnya,

di dalam cyberspace “apapun boleh” (anything goes).

Dalam dunia kehidupan sosial dan politik pada

umumnya, terutama dalam konteks masyarakat demokratis,

“ruang publik” (public sphere) mempunyai peran yang sangat

sentral, yang melaluinya komunikasi sosial dan politik

dapat berlangsung. “Ruang publik” adalah ruang konkrit

sekaligus abstrak, yang di dalamnya “opini publik”

dibentuk. Ruang publik terbentuk ketika dalam satu

masyarakat berkembang minat bersama (common interest), dan

mengkomunikasikan serta mensosialisasikan minat bersama

tersebut, tanpa ada paksaan apapun. Cyberspace sering pula

dilihat sebagai sebuah “ruang publik alternatif”, yang di

dalamnya berbagai komunikasi sosial dan politik dapat

berlangsung. Ia dilihat sebagai sebuah jaringan

komunikasi yang bebas, informal dan personal, tanpa ada

paksaan dan kekerasan di dalamnya. Habermas melihat ada

hubungan antara “jaringan komunikasi tanpa hambatan”

dengan landasan masyarakat demokratis. tanpa ada paksaan

dan kekerasan. Pengaturan sosial hanya dimungkinkan bila

ada komunikasi di antara berbagai pihak di dalam ruang

publik. Untuk itu diperlukan jaminan akses yang terbuka

terhadapnya, partisipasi publik yang luas dalam berbagai

debat, penciptaan opini publik yang melibatkan masyarakat

luas di dalam debat rasional, kebebasan mengeluarkan

pendapat. Di dalam “ruang publik virtual”, opini publik56

dibentuk seakan-akan tanpa norma, realitas dapat

dikonstruksi atau dimanipulasi, kejahatan dapat dilakukan

secara tersembunyi, sehingga meskipun tampaknya tidak ada

pemaksaan (coersion) dan kekerasan (violence) di dalamnya,

sesungguhnya terdapat berbagai bentuk kekerasan

(pencurian, perusakan, pemalsuan, pembajakan situs,

hingga kecanduan game online) dan pemaksaan dalam bentuknya

yang virtual. Impian cyberspace sebagai ruang publik ideal

tampaknya masih jauh dari kenyataan.

2.1.5.2 Konformitas

Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial

ketika seseorang mengubah sikap dan tingkah laku mereka

agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Tekanan untuk

melakukan konformitas berasal dari kenyataan bahwa di

beberapa konteks terdapat aturan-aturan baik yang

eksplisit maupun tidak terucap. Aturan-aturan ini

mengindikasikan bagaimana individu seharusnya dan

sebaiknya bertingkah laku (Hurlock dalam Sukmawati).

Aturan-aturan yang mengatur bagaimana individu seharusnya

dan sebaiknya berperilaku disebut dengan norma sosial

(social norms). Aturan-aturan ini juga kerap kali memberikan

efek yang kuat pada tingkah laku individu. Pada dasarnya

ada beberapa norma sosial. Namun demikian, ada satu norma

sosial yang berkaitan erat dengan konformitas, yaitu

norma injungtif (Wikipedia, 2014).

57

Norma ini adalah suatu jenis norma yang memberi tahu

kita mengenai apa yang seharusnya kita lakukan pada

situasi-situasi tertentu. Beberapa contoh dari norma

sosial ini adalah seperti peraturan untuk tidak bersuara

berisik saat menonton bioskop, dan perilaku-perilaku

tertentu di jalan raya. Norma lain yang tidak tertulis

antara lain adalah “jangan berdiri terlalu dekat dengan

orang asing”, dan sebagainya. Tanpa memedulikan apakah

norma sosial itu eksplisit atau implisit namun satu

kenyataan tampak dengan jelas, yaitu sebagian besar orang

mematuhi norma-norma tersebut hampir setiap saat.

Awalnya, kecenderungan yang kuat terhadap konformitas ini

di mana kita mengikuti harapan masyarakat atau kelompok

mengenai bagaimana seharusnya kita bertindak di berbagai

situasi membuat kita dengan secara sengaja menghindari

kekacauan sosial.

a. Konformitas teman dan kelompok sosial gamer

Teman sebaya adalah sekelompok orang yang memiliki

usia yang sama dengan kita, dan memiliki kelompok sosial

yang sama pula, misalnya teman sekolah atau teman kuliah

(Mu’tadin dalam Hartati, 2013). Teman sebaya juga dapat

diartikan sebagai kelompok orang yang mempunyai latar

belakang, usia, pendidikan, dan status sosial yang sama,

dan mereka biasanya dapat mempengaruhi perilaku dan

keyakinan masing-masing anggotanya. Dalam kelompok teman

58

sebaya biasanya mereka saling bercerita tentang

kesenangan dan latar belakang anggotanya. Asmani (dalam

Hartati, 2013) menambahkan selain tingkat usia yang sama,

teman sebaya juga memiliki tingkat kedewasaan yang sama.

Memasuki masa remaja, individu akan mulai belajar tentang

hubungan timbal balik yang akan di dapatkan ketika mereka

melakukan interaksi dengan orang lain maupun dengan

temannya sendiri. Selain itu mereka juga belajar untuk

mengobservasi dengan teliti mengenai minat dan pandangan

temannya, ini dilakukan agar remaja mudah ketika ingin

menyatu atau beradaptasi dengan temannya (Piaget dan

Sullivan dalam Hartati, 2013).

Lingkungan pergaulan remaja tentu berperan dalam

pembentukan sikap kebiasan perilaku remaja. Lingkungan

tersebut seperti lingkungan rumah, sekolah, organisasi

dan kelompok-kelompok tertentu. Keikutsertaan remaja pada

lingkungan yang lebih luas ini tidak terlepas dari tugas

perkembangan remaja yang berada pada tahap membangun

relasi dengan orang lain. Hal ini menjadi salah satu

penyebab kedekatan remaja dengan temannya lebih akrab

dibandingkan dengan orang tua maupun anggota keluarga

lain. Tentu waktu yang dihabiskan bersama teman

memungkinkan remaja lebih terbuka antar sesamanya, teman

menjadi tempat kepercayaan untuk saling berbagi dan

kecenderungan untuk sama. Remaja juga cenderung untuk

mencoba sesuatu yang baru bersama dengan temannya, dimana59

dengan cara mencoba-coba bersama dengan teman akan terasa

ramai, mirip, tidak kesepian maupun berbeda. Bagi remaja,

waktu dengan teman merupakan bagian penting bagi remaja

dalam kesehariannya. Teman dan kelompok sosial gamer

merupakan tempat menghabiskan waktu, berbicara, berbagi

kesenangan dan kebebasan. Teman sebaya dapat menjadi

kelompok yang memberikan pengaruh negatif terhadap

remaja. Mereka mendorong ke arah kualitas yang kadangkala

tidak diharapkan seperti bermain game online secara

berlebihan atau kenakalan remaja lainnya, terutama pada

remaja yang kurang mendapat pengarahan dari orang tua

(Fadiki dalam Samri, 2013).

Banyaknya waktu yang dihabiskan remaja bersama

dengan teman dan kelompoknya serta kondisi yang sering

mencoba hal baru perlu mendapat perhatian. Ada

kemungkinan dalam komunitas remaja terdapat perilaku dan

kebiasaan yang menyimpang dari norma yang ada. Hasil

penelitian di Amerika (Fadiki dalam Samri, 2013) misalnya,

menyebutkan bahwa remaja dalam komunitasnya atau sesama

remaja yang lingkungannya sering menggunakan kokain

cenderung untuk melakukan hal serupa. Peran orang tua dan

lingkungan dalam hal ini akan memberikan kontribusi

terhadap perkembangan perilaku remaja dalam

bersosialisasi. Segala bentuk yang di lihat dan di alami

pada lingkungan terutama bila perilaku tersebut mendapat

respon yang positif atau pun tidak mendapat hukuman, maka60

perilaku tersebut cenderung menguat. Remaja yang berada

dalam lingkungan pergaulan bebas, setidaknya mendapat

pemahaman tentang kondisi sekitar, disinilah peran orang

tua dan masyarakat untuk memberikan masukan dalam

membangun sikap remaja.

Menurut Hurlock (dalam Samri, 2013:12), setidaknya

ada tiga derajat konformitas teman sebaya, yaitu : Konformitas yang tepat, yakni dapat menerima dan

mengikuti standar kelompok tanpa kehilangan identitaspribadinya. Kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkunganmenjadi penting pada tahap ini, sehingga memberikanperasaan aman dan diakui sebagai bagian dari kelompoktersebut.

Konformitas rendah, yakni remaja tidak mampu menyesuaikandiri dengan baik berdasarkan standar kelompok, tahapanini seringkali mengakibatkan penolakan sosial darikelompok.

Konformitas tinggi, yakni ketika remaja secara penuhmengikuti dan taat kepada standar kelompok sehinggamengakibatkan hilangnya identitas pribadi sebagaiindividu, biasanya menjadi ketakutan tersendiri ketikaanggota kelompok tersebut bertingkah laku salah dan tidaksesuai dengan harapan kelompok, hingga ia mengalamiketergantungan pada kelompoknya.

Myers (dalam Samri, 2013:13) mendefinisikan konformitas

pada lima aspek, yakni: Pengetahuan; yakni informasi yang dimiliki individu

mengenai kelompoknya, mencakup anggota, aktifitas, tujuan, serta pemahaman terhadap aturan kelompok.

Pendapat; adalah suatu kepercayaan individu terhadap kelompok secara menyeluruh meskipun masih bersifat tentatif.

Keyakinan; ialah anggapan individu terhadap kelompok, bahwa kelompoknya dianggap benar sehingga timbul keta’atan terhadap kelompoknya.

61

Ketertarikan; adalah perasaan senang seorang individu terhadap kelompoknya.

Konatif; ialah kecenderungan individu untuk berinteraksi,beradaptasi dan bekerjasama dengan anggota kelompok.

b. Konformitas media

Sumber : https://www.facebook.com/gan.lawliet

Seringkali ketika sedang online pada jejaring sosial,

muncul iklan terkait game online dari berbagai genre. Hal

ini kerap membuat web gamer biasa menjadi tertarik

memainkan game online dengan konten yang lebih variatif dan

lebih menarik. Rating game online juga merupakan faktor

penting dalam konformitas media, rating merupakan

prestise tersendiri bagi gamer.

2.1.5.3 Disfungsi keluarga

62

Keluarga merupakan agen sosialisasi primer bagi

setiap orang, disanalah tempat seseorang membangun dasar

gagasan untuk menjalankan kehidupannya. Situasi dan

kondisi yang dialami oleh seseorang sejak lahir, masa

kanak-kanak hingga masa dewasa baik dalam lingkungan

keluarga maupun lingkungan sekitarnya akan memberikan

pengaruh yang berbeda pada perkembangan masing-masing

orang (David. O. Sears dalam Yurita, 2014:10). Menurut

Engel, Blackwell dan Miniard (dalam Yurita, 2014:4)

keluarga merupakan tempat nilai-nilai kelas sosial serta

pola-pola tingkah laku yang diwariskan kepada generasi

selanjutnya. Dalam keluarga umumnya terjadi proses

sosialisasi yang memungkinkan seorang anak mendapatkan

kemampuan, pengetahuan dan sikap yang diperlukannya untuk

berfungsi sebagai anggota masyarakat.

Kurangnya komunikasi antara anggota keluarga dapat

menjadi penyebab utama dari timbulnya berbagai masalah

antara orangtua dan anaknya. Hasil survei menunjukkan

bahwa 94,5 persen gamer membenci orang tua mereka dan

52,3 persen merasa kehidupan keluarga kurang kehangatan

dan pengertian. Remaja pecandu game menemukan teman yang

dapat mengerti mereka hanya dari dunia maya, mereka

seakan menemukan “keluarga baru” di dunia maya dan hal

ini lah yang menjadi salah satu penyebab mereka mengalami

kecanduan game online (Praditasari, 2009:20). Perilaku

kecanduan game online merupakan salah satu manifestasi dari63

kurang efektifnya komunikasi dalam keluarga. Hal ini

dapat berakar pada kurangnya dialog dalam masa kanak-

kanak dan masa berikutnya, karena orangtua telah sibuk

dengan berbagai aktivitas, padahal keluarga merupakan

lingkungan yang paling utama bagi seorang anak (Afriani

dalam Yurita, 2014).

a. Pudarnya fungsi afeksi

Seperti halnya lembaga sosial lainnya, keluarga juga

memiliki fungsi-fungsi terkait pemenuhan kebutuhan

anggota-anggotanya, salah satu fungsi keluarga yang

paling vital ialah fungsi afeksi. Fungsi afeksi ialah

cara lembaga keluarga untuk memenuhi kebutuhan anggotanya

dalam aspek perasaan dan kasih sayang sehingga muncul

rasa nyaman pada diri anggota keluarga terutama untuk

sang anak. Keluarga berfungsi memberikan cinta kasih pada

anak. Anak yang kekurangan kasih sayang akan tumbuh

secara menyimpang, kurang normal, atau mengalami suatu

gangguan baik kesehatan fisik maupun psikis dalam

masyarakat (Rizky, 2014).

Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat modern

tidak dapat kita pungkiri juga turut berkontribusi pada

perubahan pola interaksi pada lembaga keluarga. Hal ini

tentu erat kaitannya dengan penyimpangan-penyimpangan

yang terjadi pada remaja awal (12-16 tahun) dan remaja

akhir (17-25 tahun) (Klasifikasi usia menurut Departemen64

Kesehatan). Mahasiswa rata-rata berada pada usia remaja

akhir, usia ini rentan terhadap delinkuensi, kecanduan

game termasuk didalamnya. Perubahan pola interaksi pada

lembaga keluarga turut bertanggungjawab terhadap pudarnya

fungsi afeksi yang semestinya dapat dipenuhi, hal ini

membuat para gamer yang notabene masih membutuhkan kasih

sayang atau perasaan yang sebanding, mereka berusaha

mencarinya pada kelompok lain, dan mereka menemukan

perasaan yang sebanding pada komunitas game dan kepuasan

memainkan game online.

b. Orang tua yang sibuk bekerja

Penyebab kasus di atas dominan disebabkan oleh

meningkatnya kebutuhan hidup pada masyarakat modern, hal

yang demikian seringkali memaksa orang tua untuk

meningkatkan jam kerja di luar rumah demi ketercapaian

target pemenuhan kebutuhan keluarga. Kondisi ini kerap

memunculkan masalah-masalah internal keluarga, seperti

kesalahpahaman, sikap individual, dan masalah-masalah

lain akibat kurangnya waktu untuk berkomunikasi.

Munculnya masalah tersebut tidak heran jika membuat anak

kehilangan kenyamanan di rumah mereka sendiri, hal inilah

yang membuat mereka berusaha mencari kenyamanan di tempat

lain dengan aktifitas yang membuat mereka bisa melupakan

permasalahan di rumah.

2.1.5.4 Perkembangan teknologi game online65

Tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena kecanduan game

online erat kaitannya dengan perkembangan teknologi game

online dari masa ke masa. Penilaian game online oleh gamer

senantiasa di ukur tidak hanya melalui jalan cerita game

namun juga kemudahan dalam bermain dan kualitas grafis

atau visual game serta kualitas suara yang bagus.

Berbicara game online tentu tak jauh dengan berbicara

tentang pembaharuan game yang terjadi setiap periode

tertentu, modifikasi-modifikasi kreatif semakin membuat

gamer online tidak mampu meninggalkan setiap sesi cerita

dalam game, developer game online sengaja melakukan

pembaharuan berkala agar game tidak membosankan dan

semakin seru untuk menyita waktu gamer agar duduk di

depan monitor dan bergelut dengan keyboard dan mouse. Game

online sangat sulit untuk tamat, dan gamer rata-rata

memainkan lebih dari satu game online, jika berfikir

deterministik, maka faktor kecanduan game online kebanyakan

berasal dari perkembangan teknologi game online tersebut.

2.1.6 Kecanduan game online

Ketika kondisi ketika tubuh atau pikiran manusia

dengan parahnya menginginkan atau memerlukan sesuatu,

itulah kecanduan. Seseorang bisa disebut pecandu bila ia

memiliki ketergantungan fisik hingga psikologis terhadap

zat psikoaktif dan atau aktifitas tertentu. Jika bicara

zat, maka zat ini akan melintasi saluran darah ke

66

otak setelah dicerna, sehingga mengubah kondisi kimia di

otak secara sementara hingga pikiran menstimulir tubuh

supaya dapat memenuhi kebutuhan akan zat serupa

(Wikipedia, 2014). Lalu jika bicara aktifitas, maka

keterlibatan terus-menerus dengan sebuah aktifitas

adiktif mesti dilakukan meskipun mengakibatkan

konsekuensi negatif. Ketika kecanduan sesuatu, seseorang

bisa sakit bahkan kehilangan nyawanya jika mereka tidak

mendapatkan atau melakukan hal yang adiktif itu. Dewasa

ini, para pakar psikologi memaksudkan kecanduan sebagai

ketergantungan psikologis yang abnormal pada beberapa hal

seperti judi, makanan, obat, komputer, spiritual, melukai

diri, berbelanja, dan sejenisnya. Dalam kamus kesehatan

(http://kamuskesehatan.com/), kecanduan dapat diartikan

sebagai kebutuhan yang kompulsif untuk menggunakan suatu

zat atau aktivitas pembentuk kebiasaan, atau dorongan tak

tertahankan untuk terlibat dalam perilaku tertentu.

Ada yang aneh ketika penulis searching literatur di

internet mengenai dampak negatif dari kecanduan game

online, karena kebanyakan yang muncul ialah penanganan

kesehatan psikologis atau konseling terhadap anak-anak,

hal tersebut jelas berbeda dengan kasus yang terjadi di

lapangan, fakta bicara lain, saat ini rata-rata gamer

berada pada usia remaja hingga usia dewasa. Arthur T.

Hovart (dalam Suveraniam, 2011:4) menyatakan bahwa

kecanduan adalah “an activity or substance we repeatedly crave to67

experience, and for which we are willing to pay a price (or negative

consequence)”, maksudnya ialah suatu aktivitas atau

substansi yang dilakukan berulang-ulang dan dapat

menimbulkan dampak negatif. Hovart juga menjelaskan bahwa

contoh kecanduan bisa bermacam-macam, bisa ditimbulkan

akibat zat atau aktivitas tertentu seperti yang

dijelaskan sebelumnya. Salah satu perilaku yang termasuk

di dalamnya ialah ketergantungan pada game (Keepers dalam

Suveraniam, 2011:4). Menurut Lance Dodes dalam bukunya

yang berjudul “the heart of addiction” (Yee dalam Suveraniam,

2011:4), ada dua jenis kecanduan, yaitu adiksi fisikal

seperti kecanduan terhadap alkohol atau kokaine, dan

adiksi non-fisikal seperti kecanduan terhadap game online.

Kecanduan bermain game secara berlebihan dikenal dengan

istilah game addiction (Grant, J.E. & Kim, S. W dalam

Suveraniam, 2011:5). Artinya seseorang seakan tidak ada

hal yang ingin dikerjakan selain bermain game, dan

seolah-olah game ini adalah hidupnya. Hal semacam ini

sangat riskan bagi perkembangan seseorang tersebut,

apalagi yang perjalanan hidupnya masih panjang seperti

mahasiswa.

Menurut Cromie (dalam Suveraniam, 2011:5)

karakteristik kecanduan cenderung progresif dan seperti

siklus. Menurut Suler (dalam Soebastian, 2010) aspek-

aspek yang nampak ketika seseorang mengalami kecanduan

permainan online adalah:68

Adanya perubahan gaya hidup yang drastis untukmenghabiskan lebih banyak waktu melakukan permainan online;

Mengalami penurunan aktivitas fisik dan mengabaikankesehatan;

Menghindari aktivitas kehidupan yang penting dalam rangkauntuk menghabiskan waktu melakukan permainan online;

Kurang tidur atau perubahan pola tidur untuk menghabiskanwaktu melakukan permainan online;

Penurunan proses sosialisasi, mengabaikan keluarga danteman;

Menolak menghabiskan waktu selain untuk melakukanpermainan online;

Adanya hasrat untuk lebih banyak waktu melakukanpermainan online;

Mengabaikan kewajiban pekerjaan dan pribadi.Sumber : Lihat Widyastuti, 2012. Hal-26

Lihat Soebastian, 2010. Hal-102Lihat Pratiwi. Hal-8

2.1.7 Dampak kecanduan game online

69

Menjadi seorang gamer pecandu bukanlah tanpa

konsekuensi yang berat, banyak hal yang dikorbankan

selagi gamer masih mengalami adiksi game online. Hasil

wawancara (September, 2014) peneliti pada salah seorang

gamer pecandu beberapa waktu lalu mengindikasikan bahwa

hampir semua aspek kehidupan gamer pecandu teralihkan

oleh permainan game online yang ia mainkan. Secara sosial.

Hubungan dengan teman, keluarga jadi renggang karena

waktu bersama mereka menjadi jauh berkurang. Pergaulan

hanya di game, sehingga membuat para pecandu game jadi

terisolir dari teman-teman dan lingkungan pergaulan

nyata. Keterampilan sosial berkurang, sehingga semakin

merasa sulit berhubungan dengan orang lain. Perilaku jadi

kasar dan agresif karena terpengaruh oleh apa yang mereka

lihat dan mainkan di game (Efendi, 2014:7).

Suler dan Yaoung (dalam Modul Kecanduan PDE, 1996)

menyatakan bahwa beberapa orang pecandu game online

mengalami kesulitan untuk mengetahui kapan harus berhenti

menggunakan internet, sebab di sana tidak berbeda jauh

dengan dunia nyata secara interaksi, adanya aspek sosial

bagi hubungan secara interpersonal dengan orang lain,

yang dirasa oleh pecandu sedemikian menstimulasi dan

menguntungkan (rewarding and reinformcement) membuat para

pecandu game online lupa bahwa mereka tidak dalam kondisi

yang sebenarnya.

70

Pada tataran individu, orang yang memainkan game

online akan mengalami realitas di luar apa yang

dijalaninya sehari-hari. Pada titik-titik tertentu,

orang-orang yang mengakses game online menjadi tidak peduli

dengan tatanan moral, sistem nilai dan norma yang telah

disepakati dalam masyarakat, intinya tidak lagi peduli

pada aturan sosial yang ada, belum lagi sikap

individualisme yang makin meninggi ditunjang dengan sifat

internet sebagai komunikasi interaktif yang tidak

mengharuskan komunikasi pertemuan fisik. Game online

menjadi salah satu penyebab utama timbulnya sikap dan

perilaku kompulsif, agresif, dan tidak acuh pada kegiatan

lain. Demikian pula munculnya gejala aneh, seperti rasa

tak tenang, gelisah ketika hasrat bermain tidak segera

terpenuhi.

Game online muncul karena semakin sedikitnya interaksi

sosial terhadap orang yang sama sekali belum dikenal dan

mereka bekerja hampir sama seperti chatting. Menurut fauzi

(2010) game online mempunyai aspek interaksi sosial sebagai

berikut: Adanya suatu hubungan timbal balik antar game; Adanya suatu individu atau kelompok/institusi; Tujuan dari proses interaksi itu sendiri; Ada hubungan dengan struktur dan fungsi komunitas.

Komunitas ini terjadi karena individu tidak dapat

terpisahkan dari suatu kelompok interaksi sosial, dan

71

juga karena individu tersebut memiliki fungsi dan

kedudukan dalam komunitas tersebut.

a. Disfungsi peran mahasiswa

Bicara masyarakat tidak pernah jauh dari struktur

sosial. Selagi individu hidup ditengah-tengah masyarakat,

ia mau tidak mau akan berada pada struktur masyarakat

itu, dimana ia memiliki status tertentu pada struktur

tersebut. Setiap individu dalam masyarakat memiliki

status sosialnya masing-masing. Status merupakan

perwujudan atau pencerminan dari hak dan kewajiban

individu dalam tingkah lakunya. Status sosial sering pula

disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat

seseorang dalam kelompok masyarakatnya (Heriyanto,

2013:8). Konsekuensi individu terhadap status sosial yang

diembannya disebut peran sosial. Peranan merupakan aspek

dinamis dari suatu status (kedudukan). Apabila seseorang

melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan

status yang dimilikinya, maka ia telah menjalankan

peranannya. Peranan adalah tingkah laku yang diharapkan

dari orang yang memiliki kedudukan atau status. Antara

kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan. Tidak ada

peranan tanpa kedudukan. Kedudukan tidak berfungsi tanpa

72

peranan (Heriyanto, 2013:10). Peran sosial individu pada

masyarakat dominan tidak hanya satu peran saja, hal ini

disebabkan oleh jumlah status sosial individu tersebut

yang lebih dari satu. Ketika tingkah laku seseorang tidak

sesuai atau bahkan bertolak belakang dengan status yang

dimilikinya, maka itu disebut disfungsi peran sosial.

Pada kasus kecanduan game online, gamer pecandu sebagian

besar melupakan peran sosial mereka dalam masyarakat, hal

ini disebabkan oleh tersitanya waktu bangun mereka untuk

bermain game dengan intensitas tinggi, akibatnya

kewajiban-kewajiban mereka terkait tanggungjawab

akademik, pekerjaan, keluarga, hubungan sosial dan lain

sebagainya dilalaikan akibat hanya memenuhi kepuasan

bermain.

b. Social Cyberbullying

Istilah tersebut mengacu pada tindakan seseorang

atau kelompok yang menggunakan media teknologi informasi

dan komunikasi untuk sengaja mendukung perilaku

bermusuhan oleh seorang individu atau kelompok, yang

dimaksudkan untuk menyakiti orang lain atau kelompok

sosial lain, dengan kata lain, penggunaan layanan

internet dan teknologi mobile seperti halaman web dan grup

diskusi serta pesan atau SMS pesan instan teks dengan

maksud merugikan orang lain (Kompas TV, 18 Oktober 2014

pukul 13.00 WIB “Berbagi Curhat : Bullying”).

73

Contoh apa yang merupakan cyberbullying termasuk

komunikasi yang berusaha untuk mengintimidasi,

mengontrol, memanipulasi, meletakkan, mendiskreditkan

palsu (memfitnah), atau mempermalukan penerima. Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE) BAB VII

Perbuatan Yang Dilarang Pasal 28 menyatakan bahwa

cyberbullying adalah :(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkanberita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugiankonsumen dalam Transaksi Elektronik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkaninformasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencianatau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakattertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, danantargolongan (SARA).

Dalam game online, pelecehan seksual, berkata kotor,

menghina atau merendahkan lawan main untuk menjatuhkan

mental pesaing pada seseorang atau kelompok sebagai

bentuk cyberbullying adalah umum atau “biasa” dalam budaya

game online (Journal of Experimental Social Psychology dalam

Wikipedia, 2014), sedangkan sebuah studi dari National

Sun Yat-sen University mengamati bahwa anak-anak yang

menikmati video game kekerasan jauh lebih mungkin untuk

mendapat pengalaman sebagai korban atau sebagai pelaku

cyberbullying.

c. Efek Hikikomori

74

Hikikomori ( ひ ひ ひ ひ ひ ) (arti harfiah : menarik diri,

mengurung diri) adalah istilah Jepang untuk fenomena di

kalangan remaja atau dewasa muda yang menarik diri dari

kehidupan sosial. Istilah hikikomori merujuk kepada

fenomena sosial secara umum sekaligus sebutan untuk

orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok sosial ini.

Menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan

Kesejahteraan Jepang (dalam Wikipedia, 2014), definisi

hikikomori adalah orang yang menolak untuk keluar dari

rumah, dan mengisolasi diri mereka dari masyarakat dengan

terus menerus berada di dalam rumah untuk satu periode

yang melebihi enam bulan. Menurut psikiater Tamaki Saitō,

hikikomori adalah sebuah keadaan yang menjadi masalah pada

usia 20-an akhir, berupa mengurung diri sendiri di dalam

rumah sendiri dan tidak ikut serta di dalam masyarakat

selama enam bulan atau lebih, tetapi perilaku tersebut

tampaknya tidak berasal dari masalah psikologis lainnya

sebagai sumber utama. Pada penelitian lebih mutakhir,

enam kriteria spesifik diperlukan untuk mendiagnosis

hikikomori :

Menghabiskan sebagian besar waktu dalam satu hari dan hampir setiap hari tanpa meninggalkan rumah,

Secara jelas dan keras hati menghindar dari situasi sosial,

Simtom-simtom yang mengganggu rutinitas normal orang tersebut, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau kegiatansosial, atau hubungan antarpribadi,

Merasa penarikan dirinya itu sebagai sintonik ego, Durasi sedikitnya enam bulan, dan

75

Tidak ada ganguan mental lain yang menyebabkan putus sosial dan penghindaran.

Meski tingkatan fenomena ini bervariasi, bergantung

kepada individunya, sejumlah orang bertahan mengisolasi

diri selama bertahun-tahun atau bahkan selama berpuluh-

puluh tahun. Hikikomori sering bermula dari enggan

sekolah (istilah Jepang futōkō ( ひ ひ ひ ) atau istilah

sebelumnya: tōkōkyohi ( ひ ひ ひ ひ ). Menurut penelitian yang

dilakukan NHK untuk acara Fukushi Network,

penduduk hikikomori  di Jepang pada tahun 2005 mencapai

lebih dari 1,6 juta orang. Bila penduduk semi-

hikikomori (orang jarang keluar rumah) ikut dihitung, maka

semuanya berjumlah lebih dari 3 juta orang. Total

perhitungan NHK hampir sama dengan perkiraan Zenkoku

Hikikomori KHJ Oya no Kai sebanyak 1.636.000 orang. Menurut

survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan

Kesejahteraan, 1,2% penduduk Jepang pernah

mengalami hikikomori; 2,4% di antara penduduk berusia 20

tahunan pernah sekali mengalami hikikomori (1 di antara

40). Dibandingkan perempuan, laki-laki hikikomori 

jumlahnya empat kali lipat. Satu di antara 20 anggota

keluarga yang orang tuanya berpendidikan perguruan tinggi

pernah mengalami hikikomori. Tidak ada hubungannya antara

keluarga berkecukupan atau tidak berkecukupan secara

ekonomi, fakta hikikomori menunjukkan bahwa :

76

Jumlah laki-laki hikikomori lebih banyak daripada perempuan;

Kebanyakan berasal dari golongan berusia 20-29 tahun (adapula kasus dari orang berusia 40 tahunan);

Kebanyakan berasal dari orang tua berpendidikan perguruantinggi.

Hal serupa mirip dengan kasus yang terjadi pada

pecandu game online, sebab enam kriteria spesifik hikikomori

pada penjelasan sebelumnya tergambar jelas pada pecandu

game online. Seperti :

1) Menghabiskan sebagian besar waktu dalam satu hari

dan hampir setiap hari tanpa meninggalkan rumah; gamer

pecandu menghabiskan sebagian besar waktu dalam satu hari

dan hampir setiap hari memainkan game di dalam ruangan

tanpa interaksi dengan dunia nyata atau masyarakat.

2) Secara jelas dan keras hati menghindar dari

situasi sosial; seperti pada poin satu, gamer pecandu

tidak dapat mengendalikan emosi untuk bermain game, dan

secara jelas menolak untuk terlibat pada hal-hal yang

tidak terkait dengan bermain game online.

3) Simtom-simtom yang mengganggu rutinitas normal

orang tersebut, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau

kegiatan sosial, atau hubungan antarpribadi; hal serupa

juga terjadi pada gamer pecandu, rutinitas sosial yang

dilakukan oleh orang normal pada umumnya rela dikorbankan

demi memenuhi kebutuhan bermain, seringkali hal inilah

yang menjadi sumber masalah pada kehidupan gamer.

77

Akademik yang kacau disertai rusaknya hubungan sosial

dengan orang-orang terdekat seperti keluarga, teman

bahkan kekasih membuat gamer menjadi depresi namun di

sisi lain tidak dapat meninggalkan game online yang menjadi

penyebab permasalahan hidupnya.

4) Merasa penarikan dirinya itu sebagai sintonik

ego4,

5) Durasi sedikitnya enam bulan; gamer pecandu

bahkan melampaui batas durasi tersebut. Rata-rata gamer

pecandu menarik diri dari kehidupan sosial lebih dari

satu tahun, hal ini erat kaitannya dengan pembaharuan

game online secara berkala oleh developer game online

tersebut. Game online sangat sulit untuk tamat, ini

dikarenakan pembaharuan tersebut untuk meraup untung

sebesar-besarnya dari gamer oleh developer. Sedangkan

gamer pecandu pada umumnya memainkan lebih dari satu game

4 Egosyntonic adalah istilah psikologis mengacu pada perilaku, nilai-nilai,perasaan yang selaras dengan atau diterima dengan kebutuhan dan tujuan dariego, atau konsisten dengan seseorang yang ideal berdasarkan citra diri;Egodystonic (atau ego alien ) adalah kebalikan dari egosyntonic dan mengacu padapikiran dan perilaku (misalnya, mimpi, impuls, dorongan, keinginan, danlain-lain) yang bertentangan, atau disonan, dengan kebutuhan dan tujuan dariego, atau, lebih lanjut, bertentangan dengan citra diri seseorang yangideal. Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untukmenangani dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id danmemastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapatditerima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar, prasadar, dantidak sadar. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha untukmemuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yangsesuai. Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu tindakansebelum memutuskan untuk bertindak atas atau meninggalkan impuls. Dalambanyak kasus, impuls id itu dapat dipenuhi melalui proses menunda kepuasan–ego pada akhirnya akan memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam waktu dantempat yang tepat.

78

online, ini jelas membutuhkan waktu yang cukup lama untuk

menyelesaikan game online tersebut.

6) Tidak ada gangguan mental lain yang menyebabkan

putus sosial dan penghindaran; memang benar, tidak ada

gangguan mental lain selain kecanduan game online dalam

kasus hikikomori game online ini, tidak ada riwayat penyakit

mental dalam diri gamer. Kecanduan game online adalah

konstruksi mental yang dilakukan berulang-ulang sehingga

mengalami adiksi.

d. Judi online

Judi online merupakan dampak sosial negatif yang

dianggap biasa dalam dunia game online oleh pelakunya.

Dalam materi game online sendiri, banyak terdapat event atau

acara tententu yang sangat memungkinkan gamer untuk

melakukan perjudian antar sesama gamer. Hampir sama

halnya dengan dunia nyata, fasilitas judi online tidak

kalah sering diakses dengan tujuan sama dengan berjudi

pada tataran umum dengan kesulitan pelacakan yang rumit

membuat berjudi online sulit diberantas meskipun

melanggar hukum. Menurut Kurniawan (dalam Yayuk, 2013:14)

Perkembangan teknologi informasi khususnya komunikasi

online melalui jaringan internet selain memberi kemudahan

bagi kehidupan manusia juga memiliki dampak negatif

seperti maraknya aktivitas judi online yang umumnya

diminati generasi muda termasuk mahasiswa. Sistem

79

komputerisasi yang menyangkut segala bidang kehidupan

global seperti sistem transfer uang, arus informasi, dan

ketersediaan berbagai infrastruktur yang hampir merata di

seluruh dunia mendorong maraknya perjudian online.

Perkembangan teknologi internet mendorong kemajuan judi

baik jangkauan maupun jumlahnya. Berbagai rumah judi

berdiri dan melebarkan sayapnya melalui dunia maya baik

yang berskala internasional, regional atau lokal. Di

Indonesia sendiri terdapat situs judi online yang pusatnya

berada di Jakarta dan menyebar hingga ke Asia, pemilik

judi online tersebut juga berasal dari Indonesia. Judi

online menjadi dampak sosial negatif yang merupakan

bagian dari game online dan sangat sulit diberantas akibat

terlalu banyak situs judi yang berkedok game online, dan

akan mengalami adiksi judi jika tidak ditanggulangi.

Selain dampak negatif di atas, game online juga

memiliki sisi lain jika tidak dimainkan secara

berlebihan. Griffiths (2007) seorang professor dari

Universitas Nottingham menulis jurnal medis yang

menyatakan bahwa dengan bermain game online (yang tidak

berlebihan) dapat membantu anak-anak penderita attention

deficit disorder (ADD) untuk mengembangkan keterampilan sosial

bagi mereka. MMO (massivelly multiplayer online) mengajarkan

pemainnya untuk melakukan problem solving, memotivasi, dan

mengembangkan kemampuan kognitif, kebanyakan game

menantang gamer (pemain game) untuk mengatasi tantangan80

yang semakin sulit pada setiap level. Game masa kini yang

mendukung banyak pemain berinteraksi di waktu yang sama

dapat membuat gamer mengasah kemampuan komunikasi dan

bersosialisasi, terutama dalam bekerjasama secara tim.

Florence dan Chee (2013) dari Loyala University,

Chicago telah mengadakan penelitian dan menurut mereka,

game MMO dapat menumbuhkan interaksi sosial, misalnya

hubungan pertemanan, persaudaraan, organisasi,

mengahadapi konflik bersama (guild wars), memanajemen anggota

(jika menjadi guild leader), kontrol emosi, politik, dan

sebagainya. Pada permainan-permainan ini gamer dituntut

untuk mampu bekerjasama, mampu menghadapi konflik,

mengontrol emosinya, dan berlatih menjadi seorang

pemimpin. Gamer belajar berorganisasi, berinterkasi dan

mencoba memecahkan konflik-konflik sosial. Ada juga

beberapa game yang kemudian diadaptasi dan dimainkan

dalam kegiatan-kegiatan outbond.

2.1 Landasan Teori: Interaksionisme Simbolik

Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai

perintis interaksionisme simbolik, diantaranya James Mark

Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey,

William I. Thomas, dan George Herbert Mead (Ritzer dan

Goodman, 2007:266). Akan tetapi Mead-lah yang paling

populer sebagai perintis dasar teori tersebut. Mead

mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun81

1920-an dan 1930-an ketika ia menjadi professor filsafat

di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya mengenai

interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para

mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya,

terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori

interaksi simbolik, yakni : Mind, Self , and Society (1934) yang

diterbitkan tak lama setelah Mead meninggal dunia.

Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga berlangsung

melalui interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang

dilakukan para mahasiswanya, terutama Herbert Blumer.

Justru Blumer-lah yang menciptakan istilah “interaksi

simbolik” pada tahun 1937 dan mempopulerkannya di

kalangan komunitas akademis (Ritzer dan Goodman,

2007:269). Interaksi simbolik merupakan suatu aktivitas

yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau

pertukaran simbol yang diberi makna.

Selama awal perkembangannya, teori interaksi

simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di belakang

dominasi teori fungsionalisme dari Talcott Parsons,

meskipun sumbangan Parsons sebagai pengikut utama Weber

terhadap pengembangan teori ini sangat besar, walaupun

tanpa pengakuan penganut teori ini (Ritzer, 2010:50).

Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950-an dan 1960-an

mengakibatkan interaksionisme simbolik muncul kembali ke

permukaan dan berkembang pesat hingga saat ini.

82

George Herbert Maead tidaklah secara harfiah

mengembangkan teori Weber atau bahwa teori Mead diilhami

oleh teori Weber. Hanya memang ada kemiripan dalam

pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai tindakan manusia.

Pemikiran Mead sendiri diilhami beberapa pandangan

filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme. Ada

kemiripan antara pandangan Mead dengan pandangan Schutz.

Sejumlah interaksionis memang menekankan dimensi

fenomenologis dengan mensintesiskan karya mereka dengan

gagasan Alfred Schutz dan para pengikutnya.

Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi

yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi

perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif, dan

kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan

sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa

individu adalah organisme yang pasif yang perilakunya

ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada

diluar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka

masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksi

lah yang dianggap sebagai variabel penting yang

menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat.

Interaksionisme simbolik Mazhab Iowa menggunakan

metode saintifik (positivistik) dalam kajian-kajiannya,

yakni untuk menemukan hukum-hukum universal mengenai

perilaku sosial yang dapat diuji secara empiris,

83

sementara Mazhab Chicago menggunakan pendekatan

humanistik. Dan Mazhab yang populer digunakan adalah

Mazhab Chicago.

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami

perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif

ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat

sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan

mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan

ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi

mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain,

situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang

menentukan perilaku mereka.

Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai

kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan

peran. Manusia bertindak hanyalah berdasarkan definisi

atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling

mereka. Tidak mengherankan bila frase-frase “definisi

situasi”, “realitas terletak pada mata yang melihat” dan

“bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil,

situasi tersebut riil dalam konsekuensinya” sering

dihubungkan dengan interaksionisme simbolik.

Karya Mead yang paling terkenal ini menggaris-bawahi

tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah

diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Tiga

konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term84

interaksionisme simbolik, yaitu pikiran manusia (mind)

dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain)

digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi

masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari

interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang

sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial

masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat,

pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi

penelahaan dalam tradisi interaksionisme simbolik (Ritzer

dan Goodman, 2007:279).

Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang

individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi

interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan

ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol

yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha

memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek.

Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus

dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia

membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan

mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra

interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada

orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri

yang menentukan perilaku manusia.

Mead adalah pemikir yang sangat penting dalam

sejarah interaksionisme simbolik. Interaksi simbolik

85

didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya

dengan masyarakat. Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes

mengatakan bahwa ada tiga tema besar yang mendasari

asumsi dalam teori interaksi simbolik:

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia

a) Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain terhadap mereka.

b) Makna yang diciptakan dalam interaksi antar manusia.c) Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

2. Pentingnya konsep mengenai diri

a) Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.

b) Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku.

3. Hubungan antara individu dan masyarakat

a) Orang dan kelompok-kelompk dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial.

b) Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

Karya tunggal Mead yang amat penting dalam hal ini

terdapat dalam bukunya yang berjudul Mind, Self dan Society.

Mead mengambil tiga konsep kritis yang diperlukan dan

saling mempengaruhi satu sama lain untuk menyusun sebuah

teori interaksionisme simbolik. Dengan demikian, pikiran

manusia (mind), dan interaksi sosial (diri/self) digunakan

untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat

(society).

86

1. Pikiran (Mind)

Pikiran, yang didefinisikan oleh Mead sebagai proses

percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak

ditemukan di dalam diri individu, pikiran adalah fenomena

sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses

sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial.

Proses sosial mendahului pikiran, proses sosial bukanlah

produk dari pikiran. Jadi pikiran juga didefinisikan

secara fungsional ketimbang secara substantif.

Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan

individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak

hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas

secara keseluruhan. Itulah yang kita namakan pikiran.

Melakukan sesuatu berarti memberi respon terorganisir

tertentu, dan bila seseorang mempunyai respon itu dalam

dirinya, ia mempunyai apa yang kita sebut pikiran. Dengan

demikian pikiran dapat dibedakan dari konsep logis lain

seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui

kemampuannya menanggapi komunitas secara menyeluruh dan

mengembangkan tanggapan terorganisir. Mead juga melihat

pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran melibatkan

proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah

(Ritzer dan Goodman, 2007:280).

2. Diri (Self)

87

Banyak pemikiran Mead pada umumnya, dan khususnya

tentang pikiran, melibatkan gagasannya mengenai konsep

diri. Pada dasarnya diri adalah kemampuan untuk menerima

diri sendirisebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan

khusus untuk menjadi subjek maupun objek. Diri

mensyaratkan proses sosial yakni komunikasi antar

manusia. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas dan

antara hubungan sosial. Menurut Mead adalah mustahil

membayangkan diri yang muncul dalam ketiadaan pengalaman

sosial. Tetapi, segera setelah diri berkembang, ada

kemungkinan baginya untuk terus ada tanpa kontak sosial.

Diri berhubungan secara dialektis dengan pikiran.

Artinya, di satu pihak Mead menyatakan bahwa tubuh

bukanlah diri dan baru akan menjadi diri bila pikiran

telah berkembang. Di lain pihak, diri dan refleksitas

adalah penting bagi perkembangan pikiran. Memang mustahil

untuk memisahkan pikiran dan diri karena diri adalah

proses mental. Tetapi, meskipun kita membayangkannya

sebagai proses mental, diri adalah sebuah proses sosial.

Dalam pembahasan mengenai diri, Mead menolak gagasan yang

meletakkannya dalam kesadaran dan sebaliknya

meletakkannya dalam pengalaman sosial dan proses sosial.

Dengan cara ini Mead mencoba memberikan arti

behavioristis tentang diri. Diri adalah di mana orang

memberikantanggapan terhadap apa yang ia tujukan kepada

orang lain dan dimana tanggapannya sendiri menjadi bagian88

dari tindakannya, di mana ia tidak hanya mendengarkan

dirinya sendiri, tetapi juga merespon dirinya sendiri,

berbicara dan menjawab dirinya sendiri sebagaimana orang

lain menjawab kepada dirinya, sehingga kita mempunyai

perilaku di mana individu menjadi objek untuk dirinya

sendiri. Karena itu diri adalah aspek lain dari proses

sosial menyeluruh dimana individu adalah bagiannya.

Mekanisme umum untuk mengembangkan diri adalah

refleksivitas atau kemampuan menempatkan diri secara tak

sadar ke dalam tempat orang lain dan bertindak seperti

mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu memeriksa diri

sendiri sebagaimana orang lain memeriksa diri mereka

sendiri. Seperti dikatakan Mead :

“Dengan cara merefleksikan−dengan mengembalikanpengalaman individu pada dirinya sendiri−keseluruhanproses sosial menghasilkan pengalaman individu yangterlibat di dalamnya; dengan cara demikian, individubisa menerima sikap orang lain terhadap dirinya,individu secara sadar mampu menyesuaikan dirinya sendiriterhadap proses sosial dan mampu mengubah proses yangdihasilkan dalam tindakan sosial tertentu dilihat darisudut penyesuaian dirinya terhadap tindakan sosial itu(Mead dalam Ritzer dan Goodman, 2007:281)”

Diri juga memungkinkan orang berperan dalam

percakapan dengan orang lain. Artinya, seseorang

menyadari apa yang dikatakannya dan akibatnya mampu

menyimak apa yang sedang dikatakan dan menentukan apa

yang akan dikatakan selanjutnya.

89

Untuk mempunyai diri, individu harus mampu mencapai

keadaan “di luar dirinya sendiri” sehingga mampu

mengevaluasi diri sendiri, mampu menjadi objek bagi

dirinya sendiri. Untuk berbuat demikian, individu pada

dasarnya harus menempatkan dirinya sendiri dalam bidang

pengalaman yang sama dengan orang lain. Tiap orang adalah

bagian penting dari situasi yang dialami bersama dan tiap

orang harus memperhatikan diri sendiri agar mampu

bertindak rasional dalam situasi tertentu. Dalam

bertindak rasional ini mereka mencoba memeriksa diri

sendiri secara impersonal, objektif, dan tanpa emosi.

Tetapi, orang tidak dapat mengalami diri sendiri

secara langsung. Mereka hanya dapat melakukannya secara

tak langsungmelalui penempatan diri mereka sendiri dari

sudut pandang orang lain itu. Dari sudut pandang demikian

orang memandang dirinya sendiri dapat menjadi individu

khusus atau menjadi kelompok sosial sebagai satu

kesatuan. Seperti dikatakan Mead, hanya dengan mengambil

peran orang lainlah kita mampu kembali kediri kita

sendiri (Mead dalam Ritzer dan Goodman, 2007:282).

3. Masyarakat (Society)

Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah

masyarakat (society) yang berarti proses sosial tanpa henti

yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat penting

perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di tingkat90

lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan

tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu

dalam bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual

ini masyarakat mempengaruhi mereka, memberi mereka

kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan diri

mereka sendiri. Sumbangan terpenting Mead tentang

masyarakat, terletak dalam pemikirannya mengenai pikiran

dan diri.

Pada tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus, Mead

mempunyai sejumlah pemikiran tentang pranata sosial (social

institutions). Secara luas, Mead mendefinisikan pranata

sebagai “tanggapan bersama dalam komunitas” atau

“kebiasaan hidup komunitas”. Secara lebih khusus, ia

mengatakan bahwa, keseluruhan tindakan komunitas tertuju

pada individu berdasarkan keadaan tertentu menurut cara

yang sama, berdasarkan keadaan itu pula, terdapat respon

yang sama dipihak komunitas. Proses ini disebut

“pembentukan pranata”. Pendidikan adalah

prosesinternalisasi kebiasaan bersama komunitas ke dalam

diri aktor. Pendidikan adalah proses yang esensial karena

menurut pandangan Mead, aktor tidak mempunyai diri dan

belum menjadi anggota komunitas sesungguhnya sehingga

mereka tidak mampu menanggapi diri mereka sendiri seperti

yang dilakukan komunitas yang lebih luas. Untuk berbuat

demikian, aktor harus menginternalisasikan sikap bersama

komunitas. Namun, Mead dengan hati-hati mengemukakan91

bahwa pranata tak selalu menghancurkan individualitas

atau melumpuhkan kreativitas. Mead mengakui adanya

pranata sosial yang “menindas, stereotip,

ultrakonservatif” yakni, yang dengan kekakuan,

ketidaklenturan, dan ketidakprogesifannya menghancurkan

atau melenyapkan individualitas. Menurut Mead, pranata

sosial seharusnya hanya menetapkan apa yang sebaiknya

dilakukan individu dalam pengertian yang sangat luas dan

umum saja, dan seharusnya menyediakan ruang yang cukup

bagi individualitas dan kreativitas. Di sini Mead

menunjukkan konsep pranata sosial yang sangat modern,

baik sebagai pemaksa individu maupun sebagai yang

memungkinkan mereka untuk menjadi individu yang kreatif

(Ritzer dan Goodman, 2007:288).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan penelitian

92

Pada penelitian yang dilakukan pada gamer di kandang

limun Kota Bengkulu yakni mengenai fenomena kecanduan

game online pada remaja, peneliti menggunakan penelitian

dengan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif.

Penelitian kualitatif pada dasarnya ialah mengamati

kegiatan manusia dalam lingkungannya, berinteraksi, serta

berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka terhadap

lingkungan sekitar, terutama lingkungan sosial mereka

(Nasution dalam Yuningsih, 2011: 25), jika bicara gamer

maka pengertian ini tentu disubstitusikan pada kelompok

sosial gamer, baik kelompok online maupun kelompok offline,

definisi tersebut linear dengan penyataan Bungin (dalam

Samri, 2013:24) yang membatasi kualitatif deskriptif

sebagai metode untuk menggambarkan serta mengangkat

situasi dan kondisi atau berbagai fenomena sosial yang

ada pada suatu masyarakat hingga menjadi objek penelitian

dan berusaha mentransformasikannya sebagai suatu karakter

atau ciri fenomena tertentu. Deskriptif artinya peneliti

diharuskan mampu untuk menggambarkan secara komprehensif

kondisi psikologis hingga kondisi sosial dalam lingkungan

gamer. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang

bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,

persepsi, motivasi dan tindakan secara holistik

(menyeluruh) dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah,

artinya, peneliti mesti menggambarkan secara menyeluruh

93

tentang subjek penelitian serta situasi atau peristiwa

yang menjadi basis perilaku subjek penelitian (Moleong

dalam Wasriani, 2009:22). Dalam bukunya “metode penelitian

kualitatif”, Sugiyono (2005:3) menyatakan bahwa metode

kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam

yakni suatu data yang mengandung makna, menurutnya makna-

lah data yang sebenarnya, data pasti yang merupakan suatu

nilai di balik data yang tampak oleh indera manusia,

dengan kata lain makna membutuhkan analisis kuat untuk

memperolehnya. Oleh karena itu dalam penelitian

kualitatif tidak menekankan pada generalisasi, tetapi

lebih menekankan pada makna objektif, detail, dan

representatif. Menurut mardalis (dalam Samri, 2013:24),

penelitian mestilah menerapkan empat prinsip sebagai

berikut :

a. Penelitian perlu dirancang dan diarahkan untukmemecahkan suatu permasalahan tertentu dimanapada akhir penelitian, hasilnya dapat menjawabsolusi dari permasalahan yang terjadi.

b. Penelitian ditekankan untuk mengembangkangeneralisasi prinsip-prinsip, serta teori, dengandemikian hasilnya memiliki nilai deskripsi danprediksi.

c. Berangkat dari objek penelitian, prosedurpenelitian tidak dapat digunakan untuk menjawabmasalah yang tidak realistis dan tidak memilikibukti empiris.

d. Penelitian memerlukan observasi dan deskripsiyang akurat, untuk itu kecermatan menjadi sangatutama dalam menjalankan penelitian.

94

3.2 Definisi konseptual dan definisi operasional

Untuk lebih memudahkan pendeskripsian data serta

penyeragaman pengertian konsep-konsep, maka dibawah ini

dijelaskan beberapa konsep yang digunakan yang terlihat

pada tabel di halaman selanjutnya.

95

No AspekPenelitian

Definisi Konsep Definisi Operasional TeknikPengumpulanData

Sumber Informasi

1 Mahasiswagamer online(MGO)

Mahasiswa pemaingame interaktifonline dengan atautanpa konsol gametertentu

Dapat dilihat dari :Klasifikasi usia yaknigamer yang berusia 18-25Tahun, jenjang semesteryakni mahasiswa semesterI s.d XIV danjenis/genre game yangdimainkan yaitu game MMO(Massivelly Multiplayer Online)

WawancaraObservasiDokumentasi

Pecandu game (Informankunci)Gamer (informan biasa)Penjaga warnet (informanbiasa)

3 Mahasiswagamerpecandu(MGP)

MGO denganintensitas bermainyang berlebihan dandi luar kewajaranbaik itu secaraperiode waktu,kuantitas game onlineyang dimainkan dandana untuk bermain.

Dapat dilihat dari :Periode dan lama periodewaktu bermain yaitu ≥ 6Jam/Hari/Minggu,kuantitas game yangdimainkan yakni ≥ 1genre game dan danauntuk bermain ≥ Rp.200.000/Bulan

WawancaraObservasiDokumentasi

Pecandu gameGamerTeman pecandu game(informan tambahan)

4 Pendorongkecanduangame online

Berbagai hal yangberkontribusi dalammempengaruhiseorang gamer untukmemainkan game onlinesecara berlebihan

Dapat dilihat dari :Interaksi virtual didalam cyberspace: meliputiperbandingan interaksicyberspace denganinteraksi dunia nyatadalam bentuk persentase

WawancaraObservasi

Pecandu gameTeman pecandu game

96

(CI>RI); Disfungsikeluarga yang meliputiorang tua yang sibukbekerja dan pudarnyafungsi afeksi;konformitas meliputiteman sebaya dan media;dan perkembanganteknologi game dapatdilihat dari peningkatankompleksitas alur game,item, kualitas audio-visual yang dirasakangamer sehingga gamersemakin tertarikmenyelesaikan misi dalamgame online.

5 Dampaksosio-akademiskecanduangame online

Berbagai dampaksosial-akademisyang diakibatkanoleh kecanduan gameterhadap MPGO.

Dapat dilihat dari :Disfungsi peran sosialterutama fungsimahasiswa: hal ini dapatdilihat dari keaktifankuliah, IPS dan IPK,kegiatan Organisasiinternal/eksternalkampus; Social Cyberbullyingdapat dilihat dari livechat di game online yang

WawancaraObservasi

Gamer Pecandu gameKeluarga pecandu game(informan tambahan)Teman pecandu game

97

gamer pecandu mainkan,serta efeknya padakehidupan nyata MGP;Efek hikikomori dapatdilihat dari kesehariangamer dengan ukuranpersentase menyendiridengan game online yaituwaktu bangun gamer tanpainteraksi sosial didunia nyata; dan judionline dapat dilihat daritransaksi-transaksiillegal dalam gameonline dalam bentuktaruhan, dan lainsebagainya.

98

3.3 Teknik pengumpulan data

Tahap ini merupakan langkah yang paling penting

dalam suatu penelitian karena tahap ini merupakan

tujuan utama dari penelitian, yakni untuk mendapatkan

data yang dibutuhkan (Sugiyono, 2007:22). Tanpa

mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak

akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang

ditetapkan.

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data

dilakukan pada setting alamiah atau kondisi yang tidak

dibuat-buat, sumber data primer, dan teknik pengumpulan

data lebih banyak pada pengamatan langsung, wawancara

mendalam hingga dokumentasi (Sugiyono, 2007: 63).

3.3.1 Observasi

Observasi adalah dasar seluruh ilmu pengetahuan

manusia (Nasution dalam Sugiyono, 2007:64). Para

ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu

fakta yang diperoleh melalui pengamatan. Observasi

adalah teknik pengumpulan data dengan cara melakukan

pengamatan secara langsung terhadap objek yang akan

diteliti.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

observasi semi partisipan, yakni peneliti ikut terlibat

dalam keseharian subjek yang sedang diamati namun tidak

secara utuh. Observasi semi partisipan adalah suatu

99

prosedur yang dengannya peneliti mengamati tingkah laku

orang lain dalam keadaan alamiah, dengan melakukan

partisipasi semu terhadap kegiatan pada lingkungan yang

diamati. Dalam observasi semi partisipan, peranan

tingkah laku peneliti dalam kegiatan-kegiatan yang

berkenaan dengan kelompok yang diamati menjadi penting.

Walaupun bersifat semi partisipan, peneliti tidak

dapat hanya mengandalkan wawancara saja. Intensitas

pertemuan untuk pengamatan mendalam juga mesti peneliti

lakukan guna memperoleh data yang valid dan peneliti

cukup mengamati secara alamiah aktifitas gamer yang

mengalami kecanduan game. Hal ini, untuk mendapatkan

data yang akurat mengenai gamer pecandu.

3.3.2 Wawancara

Wawancara merupakan suatu teknik untuk mendekati

informan dengan cara tanya jawab yang dikerjakan secara

sistimatis serta berdasarkan pada tujuan penelitian.

Teknik ini digunakan untuk mengungkapkan masalah yang

sedang diteliti secara lebih jelas untuk melengkapi

teknik observasi dan dilakukan beberapa kali sesuai

dengan keperluan peneliti yang berkaitan dengan

kejelasan masalah yang sedang diteliti, dalam hal ini,

peneliti hanya hanya mempersiapkan alat perekam suara,

kamera dan alat tulis. Menurut esterberg (dalam

Sugiyono, 2007:72), wawancara adalah pertemuan dua

100

orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya

jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu

topik tertentu, sedangkan menurut susan (dalam buku

yang sama), melalui wawancara, maka peneliti akan

mengetahui hal-hal yang tidak diketahui melalui

observasi serta kualitas data yang lebih mendalam

tentang subjek dalam menggambarkan melalui gagasan

mengenai situasi dan fenomena yang sedang terjadi.

Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini ialah

wawancara tak berstruktur. Dalam day in the field,

mallinowski (dalam Bungin, 2007:134) menunjukkan betapa

pentingnya wawancara tak berstruktur dalam melakukan

penelitian lapangan dibanding wawancara berstruktur

yang memiliki dua kelemahan yang diistilahkan capital

offense.5 langkah-langkah dalam melakukan wawancara tak

berstruktur adalah sebagai berikut (Bungin, 2007:134-

138) :

a. Sebelum wawancara dilakukan, jawablah pertanyaan

how do we get in?, artinya peneliti mesti

meninggalkan pakaiannya dan menyesuaikan dengan

pakaian yang dikenakan oleh informannya, dan

jadilah teman mereka, dengan begitu peneliti

akan dengan leluasa membongkar data penting yang

5 Dua hal yang dilanggar oleh pewawancara berstruktur ialah: (1)pewawancara sebenarnya menjawab pertanyaan-pertanyaan dari responden dan(2) pewawancara membiarkan perasaan pribadinya memengaruhi dirinya padasaat wawancara berstruktur bertujuan menangkap data yang tepat untukmenjelaskan perilaku di dalam kategori-kategori yang sudah ditetapkansebelumnya (Mallinowski dalam Bungin, 2007:134).

101

ada di dalam diri informan secara jujur tanpa

segan.

b. Peneliti harus belajar bahasa dan budaya

informan, hal ini tujuannya ialah agar informan

memahami maksud peneliti. Mengetahui kebiasaan

dan kegemaran informan juga tidak bisa

dikesampingkan, misalnya tempat favorit, waktu

senggang yang dimiliki, perilaku dan

kecenderungan topik pembicaraan, hal ini

dimaksudkan akar di antara peneliti dengan

informan terbangun trust sehingga proses wawancara

dapat berjalan dengan semestinya.

c. Perlu diperhatikan strategi-strategi nonverbal

yang kemungkinan mempengaruhi jalannya

wawancara, maksudnya ialah peneliti selain cakap

dalam berkomunikasi secara lisan ia juga

dianjurkan dapat memahami ekspresi informan

dalam aspek bahasa tubuh, mimik wajah dan

intonasi suara. Hal ini sangat penting untuk

diperhatikan, karena dalam komunikasi efektif,

bahasa nonverbal lebih besar pengaruhnya

dibanding bahasa verbal.

d. Pemilihan informan mestilah dengan kecermatan

yang tinggi. Informan merupakan unsur penting

dalam penelitian kualitatif, sebab ia menentukan

kualitas data yang akan kita dapatkan dan kita

olah terkait masalah penelitian. Kesalahan

102

memilih informan sangat berakibat fatal dengan

kualitas penelitian kita, sebab kualitatif

sangat bergantung pada kualitas data. Oleh sebab

itu, mesti ada kriteria yang jelas dan terukur

sebelum menentukan informan.

e. Ketika penelitian berlangsung, peneliti harus

menempatkan diri sesuai dengan derajat

informannya, hal ini dimaksudkan agar tidak ada

kecanggungan yang terjadi sehingga mempengaruhi

informasi yang didapatkan oleh peneliti. Kesan

yang baik sangat diutamakan, sebab kesan adalah

jembatan perasaan yang terbangun dengan sifat

membekas.

3.3.3 Dokumentasi

Dokumentasi adalah seluruh data yang berbentuk

tulisan, gambar, maupun video yang terkait dengan

penelitian yang sedang dilakukan (Moleong dalam

Wasriani, 2009:24), keseluruhan dari data dokumentasi

ialah data sekunder. Data sekunder ini diperoleh dari

tempat dilakukannya penelitian hingga institusi

tertentu yang memiliki kaitan dengan permasalahan

penelitian. Data-data dokumentasi dapat berupa arsip-

arsip, profil geografis, demografi serta gambaran

sosial-budaya pada masyarakat setempat. Dokumentasi

juga dapat diperoleh peneliti melalui pengambilan

gambar pada saat melakukan penelitian di lapangan, hal

103

ini dilakukan guna mendukung dan memperkuat data

peneliti, selain gambar, catatan lapangan juga sangat

diperlukan sebagai alat pelengkap pengumpulan data yang

tidak bisa direpresentasikan oleh kamera.

3.4 Informan penelitian

3.4.1 Kriteria informan

Subjek penelitian yakni informan yang akan

memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama

proses penelitian berlangsung. Pada penelitian ini,

penentuan informan penelitian peneliti tentukan dengan

kriteria-kriteria yang dijabarkan pada halaman 24

tentang kriteria kecanduan game online menurut suler dan

halaman 28 tentang efek hokikomori, oleh karena itu

peneliti membatasi informan dalam tiga tingkatan, yaitu

:

1) Informan kunci, yaitu mereka yang mengalami

secara langsung kecanduan game yang merupakan

informasi pokok dalam penelitian ini, informan

adalah mahasiswa yang sudah lama bermain game

online yaitu mahasiswa yang sudah melakukan

permainan minimal selama dua tahun ke atas, atau

sudah mulai bermain game pada tahun 2012 ke

bawah yaitu pada tahun 2011, 2010 dan

seterusnya. Informan yang dipilih juga merupakan

mahasiswa yang sudah banyak menghabiskan uang

mereka untuk kegiatan bermain game online dan

104

juga mahasiswa yang sudah sulit untuk melepaskan

diri dari permainan game online yang mereka

mainkan.

2) Informan biasa, yaitu mereka yang terlibat

secara langsung dalam interaksi sosial subjek

penelitian, dalam hal ini informannya ialah

mereka yang memainkan game online namun tidak

mengalami kecanduan game dan yang sesuai dengan

fokus penelitian ini adalah teman dekat

mahasiswa yang mengalami kecanduan game online.

Teman dekat mahasiswa yang mengalami kecanduan

tersebut dijadikan informan untuk memperoleh

informasi mengenai lingkungan sosial dan

kelompok bermain (peergroup) mahasiswa yang

mengalami kecanduan game online tersebut. Teman

dekat yang dimaksud juga merupakan teman yang

sudah cukup lama mengetahui bahwa teman mereka

mengalami kecanduan game online, kemudian

informan biasa selanjutnya ialah penjaga warnet

game online yang mengetahui persis kegiatan gamer

pecandu mulai dari biaya online, transaksi, serta

lama bermain game para pecandu game online pada

periode tertentu.

3) Informan tambahan, yaitu mereka yang dapat

memberikan informasi terkait subjek penelitian

walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi

sosial yang sedang diteliti, dalam hal ini

105

peneliti menetapkan teman pecandu game yang

tidak memainkan game online sebagai informan

tambahan, keluarga pecandu game online juga

merupakan informan tambahan untuk menelusuri

dampak sosial kecanduan game dilihat dari

perubahan perilaku sosial sebelum dan sesudah

mengalami kecanduan game online.

3.4.2 Teknik penentuan informan

Teknik penentuan informan pada penelitian ini

ialah menggunakan teknik snowball. Teknik snowball

merupakan salah satu metode dalam pengambilan informan

dari suatu populasi, dalam kasus ini, populasi yang

dimaksud ialah populasi mahasiswa pemain game online di

Kelurahan Kandang limun, Kota Bengkulu. Teknik snowball

termasuk dalam teknik non-probability sampling (teknik

pengambilan sampel dengan probabilitas yang tidak

sama). Untuk metode pengambilan sampel seperti ini

khusus digunakan untuk data-data yang bersifat

komunitas dari subjektif informan, dengan kata lain

objek sampel yang kita inginkan sangat langka dan

bersifat mengelompok pada suatu himpunan, artinya

snowball sampling metode pengambilan sampel dengan

secara berantai (multi level). Kelebihan dari metode

ini ialah mudah digunakan, sederhana, waktu yang

efisien, hanya membutuhkan sedikit rencana dan sedikit

tenaga kerja.

106

Sedangkan kekurangannya ialah peneliti memiliki

sedikit kontrol atas metode ini karena peneliti hanya

memilih sampel di awal, selanjutnya sampel dipilih

orang subyek-subyek yang telah dipilih sebelumnya,

kemudian keterwakilan sampel tidak terjamin karena

peneliti tidak mengetahui distribusi sampel yang akan

dipilih selanjutnya dan subyek awal cenderung untuk

mencalonkan orang-orang yang mereka kenal baik. Karena

itu, sangat mungkin bahwa subyek terdiri dari sifat dan

karakteristik yang sama, dengan demikian memungkinkan

bahwa sampel yang peneliti akan dapatkan hanya

subkelompok kecil dari seluruh populasi.

Gambar : Jenis-jenis metode snowball (Dian,

2012)

107

3.4.3 Proses penentuan informan

Pada penjabaran mengenai kriteria-kriteria

informan di atas, kita dapat mengetahui bahwa informan

pada penelitian ini memiliki standar psikologis dan

perilaku yang jelas. Adapun kriteria tersebut peneliti

sadur dari literatur-literatur yang dianggap

representatif dalam pembahasan mengenai kecanduan game

online baik dari perspektif psikologis, kesehatan

fisikal maupun sosial. Refleksi dari kriteria tersebut

sebagian besar sesuai dengan kondisi para gamer yang

bermain game online pada lokasi penelitian, ada beberapa

kriteria yang masih belum peneliti pastikan

keabsahannya pada pra-penelitian sebelumnya.

Untuk memudahkan interaksi dengan gamer pecandu,

peneliti melakukan pendekatan dengan observasi

partisipatoris semu, peneliti menyebutkan semu karena

tidak seluruh kegiatan gamer pecandu dapat peneliti

ikuti akibat terbatasnya manajemen waktu antara

peneliti dengan informan. Hal tersebut wajar mengingat

kegiatan gamer pecandu yang berkutat dengan game online

memiliki intensitas waktu yang sangat padat untuk

menyelesaikan game yang memiliki dinamika yang tinggi.

Namun kegiatan bermain game online oleh gamer pecandu

yang peneliti amati sudah sedikit menggambarkan

bagaimana perilaku gamer pecandu terhadap lingkungan

sosial gamer dan apa saja dampak sosial yang dialami

108

oleh gamer pecandu selama mengalami masa adiksi game

online tersebut, tentu hal ini perlu terus peneliti gali

hingga mendapatkan informasi yang maksimal tentang

fenomena kecanduan game online ini.

3.5 Teknik analisa data

Analisis data ialah proses pencarian dan penyusunan

data yang sistematis melalui transkip wawancara,

catatan lapangan, dan dokumentasi secara akumulasi

menambah pemahaman peneliti terhadap yang ditemukan.

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan analisis data kualitatif. Analisis data

merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah,

karena dengan analisis, data tersebut dapat diberi arti

dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah

penelitian (Bogdan & Biklen dalam Yuningsih, 2011:29),

sedangkan menurut spradley (dalam buku yang sama),

analisis data merujuk pada pengujian sistematis

terhadap sesuatu untuk menentukan bagian-bagiannya,

hubungan di antara bagian-bagian, dan hubungan bagian-

bagian itu dengan keseluruhan. Analisis data ialah

proses menyusun data agar dapat ditafsirkan (Nasution

dalam Yuningsih, 2011:30), menyusun data berarti

mengklasifikasikan dalam pola atau tema tertentu.

Tafsiran atau interpretasi artinya memberikan makna

terhadap analisis, menjelaskan pola atau kategori,

serta mencari hubungan antara berbagai konsep.

109

Dalam menganalisis data pada penelitian ini,

peneliti menggunakan model Miles dan Huberman (dalam

Sugiyono, 2005:92-99), yakni :

a. Reduksi data

Menurut Sugiyono (2007:92), mereduksi data berarti

merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada

hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan

demikian data yang telah direduksi akan memberikan

gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti

untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan

mencarinya bila diperlukan.

b. Penyajian data

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya

adalah mendisplaykan data. Sugiyono (2007:95)

mengemukakan bahwa dalam penelitian kualitatif,

penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian

singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan

sejenisnya. Dalam hal ini miles dan huberman (dalam

Sugiyono, 2005:95) menyatakan bahwa yang paling sering

digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian

kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

Dengan mendisplay data, maka akan memudahkan untuk

memahami apa yang tejadi, merencanakan kerja

selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami

tersebut.

110

c. Pengambilan kesimpulan

langkah terakhir ini disebut sebagai penarikan

kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang

dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah

bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang

mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.

Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap

awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan

konsisten saat peneliti kembali ke lapangan

mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan

merupakan kesimpulan yang kredibel (Miles & Huberman

dalam Sugiyono, 2005:99).

DAFTAR PUSTAKA

Aji, Chandra J, 2012, “Berburu rupiah lewat game online”,Bounabooks

Berbagi Curhat: Bullying 2014, Program Televisi, KompasTV, Jakarta, 18 Oktober pukul 13.00 WIB.

Black, A. James, dan Champion, J. Dean, 2001, Metode dan

Masalah Penelitian Sosial, PT Refika Aditama, Bandung.

111

Bungin, Burhan, 2007, “Metodologi Penelitian Kualitatif: aktualisasimetodologis ke arah ragam varian kontemporer, Rajawali Pers,Jakarta.

Cole, Helena dan Mark D. Griffiths, 2007, “SocialInteractions In Massively Multiplayer Online Role-Playing Gamers”,Jurnal Cyberpsychology And Behavior. Vol. 10(4),Halaman 575-583.

Efendi, Azwar dan T. Romi Marnelly, 2014, “DampakKecanduan Permainan Playstation (PS) Dikalangan MahasiswaUniversitas Riau”, JOM (Jurnal Online Mahasiswa) FISIPVolume 1 Nomor 2.

Fauziah, Eka R., 2013, “Pengaruh game online terhadapperubahan perilaku anak SMP Negeri 1 Samboja”, E-Journal ilmu komunikasi. Vol. 1 (3) halaman 1-16

ISSN 0000-0000, ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id

Febrian, Andri, 2011, “Perancangan Kampanye Dampak NegatifPenggunaan Game online Yang Berlebihan”, Laporan TugasAkhir Desain Komunikasi Visual Fakultas DesainUniversitas Komputer Indonesia, Bandung.

Florence, et al, 2012, “re-mediating research ethics: end-userlicense agreements (EULAs) in online games”, Jurnal Technologyand Society. Vol. 32(6), halaman 497-506.

Maryan, Euvianry, 2012, “Kemungkinan Penerapan HukumPidana Dalam Penanggulangan Dampak Negatif Game online BagiAnak”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya,Yogyakarta.

Muttaqin, Husnul n.d., Merangkai Keimanan Di DuniaCyber: Kajian Sosiologis Atas Konstruksi Model-ModelPemahaman Keagamaan Di Halaman Komunitas JaringanIslam Liberal Di Situs Jejaring Sosial Facebook,Executive Summary.

Modul, 1996, “Mengatasi Kecanduan Permainan Daring Elektronik(PDE Disorder)”. Layanan Bimbingan Sosial Bagi Siswa.

112

Piliang, Y. Amir, 2012, “Masyarakat informasi dan digital:Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial.” JurnalSosioteknologi Edisi 27 Tahun ke-11.

Poloma, Margareth, 1992, “Sosiologi kontemporer”, RajawaliPers, Jakarta.

Praditasari, Dian, 2009, “Profil Need Dan Press Pada PemainGame online.” Skripsi Fakultas psikologi UniversitasKatolik Soegijapranata, Semarang

Pratiwi, Andayani, Karyanta n.d., “Perilaku Adiksi Game-Online Ditinjau Dari Efikasi Diri Akademik Dan Keterampilan SosialPada Remaja Di Surakarta”, Fakultas KedokteranUniversitas Sebelas Maret, Surakarta.

Ritzer, George, 2010, “Sosiologi Ilmu Pengetahuan BerparadigmaGanda”, Rajawali Pers, Jakarta.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J., 2007, “TeoriSosiologi Modern”, Kencana, Jakarta.

Samri, K. Agus, 2013, “Cara Mabuk Baru Remaja dengan JamurLetong”, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Bengkulu, Bengkulu.

Soebastian, O. Cynthia, 2010, “Dampak Psikologis NegatifKecanduan Permainan Online Pada Mahasiswa”, SkripsiFakultas psikologi Universitas Katolik Soegijapranata,Semarang.

Sugiyono, 2005, “Metode Penelitian Kualitatif,Bandung, Alfabeta

Suveraniam, G. Naiken, 2011, “Pengaruh Game online TerhadapPrestasi Akademik Pada Siswa Sma Di Kota Medan, SkripsiFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,Medan.

113

UU Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 TentangInformasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Bab VIIPerbuatan yang dilarang Pasal 28.

Wasriani, 2009, “Perilaku Sosial Masyarakat Dusun III Talang PauhDalam Mengkonsumsi Air Terkait Diare Balita”, SkripsiJurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan PolitikUniversitas Bengkulu, Bengkulu.

Widyastuti, Febriana S., 2012, “Kecanduan Mahasiswa Terhadap Game online”, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Yuningsih, M. Neni, 2011, “Studi Ketahanan Keluarga PadaPasangan Suami Istri TKI”, Skripsi Jurusan SosiologiFakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UniversitasBengkulu, Bengkulu.

Yurita, Okti, 2014, “Perempuan Dan Kebiasaan Merokok”, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Sumber Internet:APJII, 2014, Pengguna Internet 2012. http://www.apjii.co.id(di akses tanggal 8 Oktober 2014 pukul 12.01 WIB)http://bkkbn.go.id/angka_perceraian_2010http://www.Ligagame.com (di akses tanggal 9 Februari 2014pukul 09:36 WIB). http://www.networkkedblogs.com diakses tanggal 29 Februari2014 pukul 19.23 WIB).http://www.Iuc.edu/soc/florencechee.shtmlhttps://www.academia.edu/4631795/Peran_dan_Fungsi_Mahasiswahttp://kamuskesehatan.com/Kecanduanhttp://en.wikipedia.org/wiki/Video_game_genres-----------------------------------/Konformitas-----------------------------------/Kecanduan_game_onlinehttp://www.lifeblog.comhttps://www.facebook.com/gan.lawliethttp://kentangtahu.blogspot.com/2012/06/snowball-sampling.html

114