pengaruh jenis pelarut dan lama waktu maserasi terhadap

91
PENGARUH JENIS PELARUT DAN LAMA WAKTU MASERASI TERHADAP AKTIVITAS ANTIBAKTERI MIKROALGA Porphyridium cruentum SKRIPSI Oleh: JESSICA IMMANUELA 145100101111057 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

Transcript of pengaruh jenis pelarut dan lama waktu maserasi terhadap

PENGARUH JENIS PELARUT DAN LAMA WAKTU MASERASI TERHADAP

AKTIVITAS ANTIBAKTERI MIKROALGA Porphyridium cruentum

SKRIPSI

Oleh:

JESSICA IMMANUELA

145100101111057

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

PENGARUH JENIS PELARUT DAN LAMA WAKTU MASERASI TERHADAP

AKTIVITAS ANTIBAKTERI MIKROALGA Porphyridium cruentum

SKRIPSI

Oleh:

JESSICA IMMANUELA

145100101111057

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Teknologi Pangan

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

i

ii

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serang, Banten pada tanggal

8 Februari 1996 dan merupakan putri pertama dari

pasangan Bincar Doloksaribu dan Emma

Trinawati. Penulis menyelesaikan pendidikan

Sekolah Dasar di SDS Mardi Yuana Cilegon pada

tahun 2008, Sekolah Menengah Pertama di SMPS

Mardi Yuana Cilegon pada tahun 2011 dan

menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Cilegon pada tahun

2014. Pada tahun 2014-2018, penulis berhasil menyelesaikan

pendidikannya di program studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas

Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang dengan judul skripsi

“Pengaruh Jenis Pelarut dan Lama Waktu Maserasi Terhadap Aktivitas

Antibakteri Mikroalga Porphyridium cruentum”.

Selama menempuh pendidikannya, penulis aktif menjadi asisten

praktikum Kimia Dasar 2015 dan 2016, Kimia Organik 2016, dan

Biokimia Pangan 2017. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti berbagai

kepanitiaan dan kegiatan kemahasiswaan pada LKM Seni FTP, yaitu

Flotus Event Organizer.

iv

v

JESSICA IMMANUELA. 145100101111057. Pengaruh Jenis Pelarut dan Lama

Waktu Maserasi Terhadap Aktivitas Antibakteri Mikroalga Porphyridium

cruentum. Tugas Akhir. Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Yunianta, DEA

RINGKASAN

Seiring dengan timbulnya berbagai penyakit infeksi, banyak orang mengonsumsi antibiotik untuk mencegah penyakit tersebut. Hal ini menimbulkan permasalahan baru di dunia kesehatan yaitu resistensi bakteri patogen Staphylococcus aureus dan Escherichia coli terhadap antibiotik. Oleh karena itu, diperlukan adanya eksplorasi zat antibakteri dari bahan alami, salah satunya adalah mikrolalga Porphyridium cruentum. Porphyridium cruentum merupakan mikroalga merah uniseluler yang masuk ke dalam kelas Rhodophyceae. Porphyridium cruentum berpotensi memiliki aktivitas antibakteri. Senyawa antibakteri dominan pada Porphyridium cruentum adalah metil palmitat (metil heksadekanoat), senyawa fenol, fikobiliprotein dan eksopolisakarida.

Salah satu metode ekstraksi untuk mendapatkan senyawa antibakteri dari Porphyridium cruentum adalah metode maserasi. Metode maserasi dapat meminimalisir kemungkinan kerusakan senyawa-senyawa termolabil dan memungkinkan senyawa bioaktif terekstrak lebih banyak dibandingkan metode lain, namun prosesnya memakan banyak waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak dan terdapat kemungkinan beberapa senyawa tidak terekstraksi pada suhu ruang. Pemilihan jenis pelarut dan lama waktu yang tepat akan menghasilkan proses yang efektif dengan hasil yang baik. Setelah proses maserasi, dilakukan pengujian aktivitas antibakteri esktrak Poprhyridium cruentum terhadap bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus) dan Gram negatif (Escherichia coli) menggunakan metode disc diffusion, uji KHM (Konsentrasi Hambat Minimum), dan uji KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum).

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor, yaitu jenis pelarut dan lama waktu maserasi. Jenis pelarut yang digunakan adalah metanol, etil asetat, n-heksana, etanol, dan aseton sedangkan lama waktu maserasi yang digunakan adalah 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Analisa data hasil pengamatan dilakukan dengan menggunakan analisa ragam (ANOVA) dengan selang kepercayaan 5%. Analisa dilanjutkan menggunakan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test). Penetapan perlakuan terbaik dilakukan menggunakan metode multiple attribute.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat interaksi nyata antara jenis pelarut dan waktu maserasi baik terhadap rendemen maupun aktivitas antibakteri ekstrak Poprhyridium cruentum. Rendemen tertinggi ekstrak didapatkan oleh pelarut metanol 72 jam dengan nilai 7,63%. Aktivitas antibakteri tertinggi baik terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli didapatkan dari ekstrak Poprhyridium cruentum dengan pelarut etil asetat dan waktu maserasi 48 jam. Diameter zona bening esktrak etil asetat 48 jam terhadap Staphyloccocus aureus adalah 6,04 mm sedangkan terhadap Escherichia coli sebesar 4,86 mm. Hasil pengukuran diameter zona bening menunjukan bahwa aktivitas antibakteri dari Porphyridium cruentum masuk ke dalam kategori kurang efektif. Hasil positif pengujian KHM didapatkan pada ekstrak metanol 48 jam dan etil asetat 48 jam terhadap Staphylococcus aureus. Hal tersebut menandakan bahwa kedua esktrak tersebut memiliki aktivitas bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Hasil negatif uji KHM didapatkan pada semua ekstrak terhadap Escherichia coli. Nilai KHM pada ekstrak metanol sebesar 5.000 ppm dan pada ekstrak etil asetat sebesar 10.000 ppm. Hasil pengujian KBM pada kedua ekstrak adalah negatif sehingga menandakan bahwa aktivitas antibakteri ekstrak Porphyridium cruentum tidak tergolong bakterisida (membunuh bakteri). Perlakuan terbaik didapatkan dari ekstrak metanol dengan waktu ekstraksi 48 jam.

Kata kunci: Aktivitas Antibakteri, Kertas Cakram, KHM, KBM, Maserasi, Porphyridium

cruentum

vi

JESSICA IMMANUELA. 145100101111057. Effect of Solvent Types and

Maceration Time on Antibacterial Activity of Microalgae Porphyridium

cruentum. Undergraduate Final Assignment. Supervisor: Prof. Dr. Ir.

Yunianta, DEA

SUMMARY

Along with the emergence of various infectious diseases, many people take antibiotics to prevent it. This condition raises a new problem of pathogenic resistance such as Staphylococcus aureus and Escherichia coli against synthetic antibiotics. Therefore, the exploration of antibacterial substances from natural ingredients is needed, one of which is microalgae Porphyridium cruentum. Porphyridium cruentum is a unicellular red microalgae categorized in Rhodophyceae class. Porphyridium cruentum has the potential to have antibacterial activity. The dominant antibacterial compounds in Porphyridium cruentum are methyl palmitate (methyl hexadecanoate), phenol compounds, phycobiliprotein and exopolysaccharides.

One of the extraction method for obtaining antibacterial compounds from Porphyridium cruentum is the maceration method. The maceration method can minimize the possibility of damage from thermolabic compounds and allow the bioactive compounds to be extracted more than any other methods. However, the maceration process can take a lot of time, large amount of solvent is needed, and there is the possibility of some un-extracted compounds at room temperature. Choosing the right type of solvent and time will produce an effective process with good results. After the maceration process, the antibacterial activity of the extract of Poprhyridium cruentum on Gram positive (Staphylococcus aureus) and Gram negative (Escherichia coli) bacteria were tested using disc diffusion method, MIC (Minimum Inhibitory Concentration) and MBC (Minimum Bactericidal Concentration).

This research was done by using Randomized Block Design Factorial with 2 factors, namely solvent types and maceration time. The type of solvent used are methanol, ethyl acetate, N-hexane, ethanol, and acetone while the durations of maceration time are 24 hours, 48 hours and 72 hours. The data was analyzed by using Analysis of Variance (ANOVA) with 5% confidence level. The analysis is continued using DMRT test (Duncan's Multiple Range Test). Determination of best treatment was done by using Multiple Attribute (Zeleny method).

Based on the result of this research, there was a real interaction between solvent type and maceration time on both the yield and the antibacterial activity of Poprhyridium cruentum extract. The highest yield of the extract were obtained by 72 hours methanol solvent extract with value of 7,63%. The highest antibacterial activity of both Staphylococcus aureus and Escherichia coli were obtained from Poprhyridium cruentum extract with ethyl acetate solvent and 48 hours maceration time. The clear zone diameter of 48 hours ethyl acetate extract to Staphyloccocus aureus was 6,04 mm while to Escherichia coli was 4,86 mm. The measurement of clear zone diameter shows that antibacterial activity of Porphyridium cruentum falls into less effective category. Positive results of MIC testing were obtained in 48 hours methanol extract and 48 hours ethyl acetate extract on Staphylococcus aureus. This indicates that both extracts have bacteriostatic activity (inhibits bacterial growth). The negative results of the MIC test were obtained on all extracts tested on Escherichia coli. MIC value on Staphylococcus aureus in methanol extract was 5.000 ppm and in ethyl acetate extract was 10.000 ppm. The results of MBC testing on both extracts were negative, indicating that the antibacterial activity of Porphyridium cruentum extract was not classified as bactericidal (killing bacteria). The best treatment based on multiple attribute method is 48 hours methanol extract.

Keywords: Antibacterial Activity, Disc Diffusion Test, Maceration, MIC, MBC,

Porphyridium cruentum

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-

Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan Tugas Akhir dengan judul

“Pengaruh Jenis Pelarut dan Lama Waktu Maserasi Terhadap Aktivitas Antibakteri

Mikroalga Porphyridium cruentum”. Penulis ingin mengucapkan terima kasih

sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua, Mama dan Papa yang telah memberikan dukungan,

motivasi, doa dan semangat tanpa henti kepada penulis sehingga penulis

mampu menyelesaikan tugas akhir dengan baik

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Yunianta, DEA selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan arahan, bimbingan, nasihat, dan ilmu yang bermanfaat kepada

penulis

3. Prof. Dr. Teti Estiasih, STP., MP selaku ketua Jurusan Teknologi Hasil

Pertanian Universitas Brawijaya Malang.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Harijono, M.App.Sc dan Ibu Dr. Widya Dwi Rukmi Putri, S.

TP., MP sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran pada

penulis sehingga tugas akhir yang ditulis menjadi lebih baik

5. Keluarga besar Doloksaribu dan Gaspersz yang telah memberikan dukungan

berupa doa dan semangat bagi penulis

6. Adik dari penulis, Jovana Avioleza yang telah memberikan semangat tanpa

henti dan membantu penulis melewati tugas akhir dengan baik

7. Teman-teman terdekat penulis (Marella Louisa A., Efriza Putri S., Kartika

Lamtiur P., dan Imas Nidia K.) yang selalu mendengar keluh kesah,

memberikan motivasi, dan membuat penulis menempuh 4 tahun perkuliahan

dengan keceriaan

8. Mikroalga squad (Nindya Satwika, Riza Silvy, Rezita Anggi, dan Zahwa Aisah)

atas kerja sama, kekompakan, dan pelajaran yang sangat berharga saat

bekerja di dalam tim selama 9 bulan terakhir

viii

9. Mbak Luluk, Mbak Vita, Mbak Citra, dan Pak Agus selaku laboran yang telah

membantu penulis menyelesaikan masa penelitian dengan baik

10. Teman-teman THP 2014 atas kebersamaan dan dukungan kepada penulis

Penulis berharap bahwa penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkan. Penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar tugas

akhir ini menjadi lebih baik lagi menyadari keterbatasan pengetahuan serta

referensi dari penulis.

Malang, Juli 2018

Penulis

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... ii

RIWAYAT HIDUP .................................................................................................. iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................................... iv

RINGKASAN........................................................................................................... v

SUMMARY ............................................................................................................. vi

KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xi

DAFTAR TABEL .................................................................................................. xii

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xiii

PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 3

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 3

1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 3

1.5 Hipotesis ................................................................................................. 4

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 5

2.1 Mikroalga ................................................................................................ 5

2.2 Porphyridium cruentum .......................................................................... 6

2.3 Ekstraksi ................................................................................................. 7

2.4 Maserasi ................................................................................................. 8

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi ........................................ 9

2.6 Pelarut ................................................................................................... 10

2.7 Antibakteri ............................................................................................. 14

2.8 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri ............................................... 15

2.9 Senyawa Antibakteri pada Porphyridium cruentum ............................. 16

2.10 Uji Aktivitas Antibakteri ......................................................................... 20

2.11 Uji Kertas Cakram ................................................................................ 21

2.12 Uji KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) ............................................ 23

2.13 Uji KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum) ............................................... 23

2.14 Bakteri ................................................................................................... 24

METODE PENELITIAN ........................................................................................ 26

x

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 26

3.2 Alat dan Bahan ..................................................................................... 26

3.3 Metode Penelitian ................................................................................. 27

3.4 Pelaksanaan Penelitian ........................................................................ 28

3.5 Parameter Penelitian ............................................................................ 28

3.6 Pengujian dan Analisa Data ................................................................. 29

3.7 Diagram Alir .......................................................................................... 30

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 31

4.1 Karakteristik Bahan Baku ..................................................................... 31

4.2 Rendemen Ekstrak Antibakteri dari Porphyridium cruentum ............... 33

4.3 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Porphyridium cruentum .......................... 37

4.4 Uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Ekstrak Porphyridium

cruentum ........................................................................................................ 52

4.5 Uji Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) ............................................... 56

4.6 Penentuan Perlakuan Terbaik .............................................................. 57

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 59

5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 59

5.2 Saran .................................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 61

LAMPIRAN ........................................................................................................... 77

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Strain mikroalga pada cawan petri .................................................. 5

Gambar 2.2 Sel Porphyridium cruentum.............................................................. 6

Gambar 2.3 Struktur metil palmitat .................................................................... 17

Gambar 2.4 Struktur fenol .................................................................................. 19

Gambar 2.5 Uji aktivitas antibakteri dengan kertas cakram .............................. 22

Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Ekstraksi Bubuk Bubuk Mikroalga Porphyridium

cruentum ............................................................................................................. 30

Gambar 4.1 Rendemen Ekstak Antibakteri dari P.cruentum............................. 33

Gambar 4.2 Kurva Pertumbuhan S.aureus ....................................................... 38

Gambar 4.3 Kurva Pertumbuhan E.coli ............................................................. 39

Gambar 4.4 Aktivitas Antibakteri Ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus........ 39

Gambar 4.5 Diameter Zona Bening Ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus ... 40

Gambar 4.6 Aktivitas Antibakteri Ekstrak P.cruentum terhadap E.coli ............. 46

Gambar 4.7 Diameter Zona Bening Ekstrak P.cruentum terhadap E.coli......... 47

Gambar 4.8 Perbedaan Diameter Zona Bening terhadap S.aureus & E.coli ... 50

Gambar 4.9 Uji KBM terhadap S.aureus ........................................................... 57

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Konstanta dielektrik beberapa pelarut ............................................... 11

Tabel 2.2 Penggolongan diameter zona hambat berdasarkan respon bakteri . 23

Tabel 3.1 Kombinasi perlakuan .......................................................................... 27

Tabel 4.1 Karakteristik Bahan Baku Serbuk Porphyridium cruentum ............... 31

Tabel 4.2 Rendemen Ekstrak Antibakteri dari P.cruentum dengan Berbagai Jenis

Perlakuan ............................................................................................................ 34

Tabel 4.3 Rerata Diameter Zona Bening S.aureus dari Perlakuan Berbeda .... 41

Tabel 4.4 Rerata Diameter Zona Bening E.coli dari Perlakuan Berbeda .......... 48

Tabel 4.5 Selisih Absorbansi pada Ekstrak P.cruentum Terhadap S.aureus dan

E.coli .................................................................................................................... 53

Tabel 4.6 Uji KBM pada Ekstrak P.cruentum ..................................................... 56

Tabel 4.7 Penentuan Perlakuan Terbaik Ekstrak Mikroalga P.cruentum.......... 58

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur Analisa ........................................................................... 78

Lampiran 2. Perhitungan Jumlah Bakteri Uji ..................................................... 82

Lampiran 3. Data Rendemen Ekstrak Porphyridium cruentum ........................ 84

Lampiran 3. Data Aktivitas Antibakteri Staphylococcus aureus ....................... 86

Lampiran 5. Data Aktivitas Antibakteri Escherichia coli .................................... 88

Lampiran 6. Data Konsentrasi Hambat Minimum ............................................. 90

Lampiran 7. Penentuan Perlakuan Terbaik dengan Multiple Atribute .............. 94

Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian ................................................................. 98

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan zaman saat ini membuat masyarakat Indonesia lebih sadar

akan pentingnya kesehatan. Salah satu permasalahan kesehatan yang sering

dijumpai di negara berkembang seperti Indonesia adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh bakteri patogen (Darmadi, 2008). Seiring dengan timbulnya

berbagai penyakit infeksi, maka banyak orang mengkonsumsi antibiotik untuk

mencegah penyakit tersebut. Antibiotik merupakan bentuk dari antibakteri yang

dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara sintetik yang dapat

membunuh atau menghambat perkembangan mikroorganisme. Tingginya

konsumsi antibiotik menimbulkan permasalahan baru di dunia kesehatan, yaitu

resistensi bakteri terhadap antibiotik.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pervez et al. (2004), ditemukan

bahwa terdapat resistensi mikroba patogen terhadap spesimen klinik. Penelitian

tersebut menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yang

diisolasi dari sampel darah pasien rumah sakit resisten terhadap berbagai

antibakteri seperti eritromisin, penisilin G dan tetrasiklin. Selain itu, sebagian besar

bahan antibakteri yang beredar di pasaran merupakan zat kimia yang dalam

penggunaan berlebihan berpotensi menjadi berbahaya dan tidak aman bagi

kesehatan (Rasyid, 2012). Oleh karena itu, perlu adanya pencarian bahan alami

sebagai alternatif antibakteri yang memiliki efek samping minimal bagi kesehatan

dan dapat mengatasi permasalahan resistensi antibakteri tersebut.

Salah satu bahan alami yang memiliki zat antibakteri adalah mikroalga.

Mikroalga merupakan alga mikroskopik uniseluler yang umumnya dikenal dengan

sebutan fitoplankton (DAF, 2008). Mikroalga dapat tumbuh dalam berbagai kondisi

ekosistem sekalipun pada kondisi ekstrim. Spektrum ekosistem tumbuh yang luas

tersebut membuat mikroalga mampu mensintesis banyak senyawa bioaktif

(Pradhan et al., 2014). Berdasarkan penelitian yang telah banyak dilakukan,

mikroalga terbukti memiliki aktivitas antibakteri. Menurut Amaro (2011), aktivitas

antibakteri tersebut berkaitan erat dengan senyawa kimia yang dikandungnya

seperti indoles, terpen, acetogenin, fenol, asam lemak, dan hidrokarbon volatil

yang terhalogenasi.

2

Salah satu jenis mikroalga yang memiliki aktivitas antibakteri adalah

Porphyridium cruentum. Porphyridium cruentum merupakan mikroalga merah

uniseluler yang masuk ke dalam kelas Rhodophyceae. Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Kusmiyati dan Agustini (2007), ekstrak dari biomassa Porphyridium

cruentum memiliki aktivitas untuk menghambat pertumbuhan Bacillus subtilis,

Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli. Senyawa antibakteri dominan pada

Porphyridium cruentum adalah metil palmitat. Selain kandungan metil palmitat,

aktivitas antibakteri Porphyridium cruentum juga disebabkan oleh kandungan

eksopolisakarida (Liu et al., 2016), pigmen fikobiliprotein (Najdenski et al., 2013),

dan senyawa fenol (Yilmaz, 2016).

Senyawa antibakteri dari Porphyridium cruentum dapat diperoleh melalui

proses ekstraksi. Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat

larut dari suatu serbuk simplisia, sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat

larut (DepKes RI, 2006). Salah satu metode ekstraksi yang paling sederhana

adalah maserasi. Kelebihan dari metode maserasi adalah kemungkinan kerusakan

senyawa-senyawa termolabil sedikit dan memungkinkan senyawa bioaktif

terekstrak lebih banyak dibandingkan metode lain (Grosso, 2015). Namun,

terdapat kekurangan yang dimiliki oleh metode maserasi yaitu memakan banyak

waktu dan pelarut yang digunakan cukup banyak (Mukhriani, 2014). Selain itu,

terdapat kemungkinan beberapa senyawa tidak terekstraksi pada suhu ruang

(Istiqomah, 2013). Kekurangan dari metode maserasi tersebut berhubungan

dengan jenis pelarut yang digunakan dan lama waktu ekstraksi.

Jenis pelarut yang digunakan akan mempengaruhi jumlah senyawa aktif

yang terkandung dalam ekstrak (Suryani, 2015). Oleh karena itu, jenis pelarut yang

sebaiknya dipilih adalah pelarut yang memiliki kepolaran sama dengan bahan

yang diekstrak (Prasetyo, 2012). Selain itu, semakin lama waktu ekstraksi maka

kontak bahan dengan pelarut akan semakin lama sehingga menghasilkan ekstrak

yang lebih besar dan begitupun sebaliknya (Prasetyo, 2012). Pemilihan jenis

pelarut dan lama waktu yang tepat akan menghasilkan proses yang efektif dengan

hasil yang baik sehingga dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari kekurangan

proses maserasi dapat diminimalisir.

Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan adanya eksplorasi kombinasi

jenis pelarut dan lama waktu maserasi yang tepat sehingga diperoleh ekstrak

dengan aktivitas antibakteri yang optimal. Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak

Porphyridium cruentum tersebut akan dilakukan menggunakan metode kertas

3

cakram (disc diffusion) serta dilengkapi dengan uji KHM (Konsentrasi Hambat

Minimum) dan KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka didapatkan rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Apakah perbedaan jenis pelarut berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri

ekstrak mikroalga Porphyridum cruentum?

2. Apakah perbedaan lama waktu maserasi berpengaruh terhadap aktivitas

antibakteri ekstrak mikroalga Porphyridum cruentum?

3. Interaksi jenis pelarut dan lama waktu ekstraksi manakah yang dapat

menghasilkan aktivitas antibakteri tertinggi?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1. Mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut terhadap aktivitas antibakteri

ekstrak mikroalga Porphyridium cruentum

2. Mengetahui pengaruh perbedaan lama waktu maserasi terhadap aktivitas

antibakteri ekstrak mikroalga Porphyridium cruentum

3. Mengetahui interaksi antara jenis pelarut dan lama waktu ekstraksi yang

dapat menghasilkan aktivitas antibakteri tertinggi

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini, yaitu:

1. Memberikan informasi mengenai aktivitas antibakteri ekstrak mikroalga

Porphyridium cruentum terhadap bakteri Gram positif dan bakteri Gram

negatif

2. Memberikan informasi mengenai kombinasi jenis pelarut dan lama waktu

ekstraksi yang menghasilkan aktivitas antibakteri tertinggi ekstrak mikroalga

Porphyridium cruentum

4

1.5 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini, yaitu:

1. Diduga perlakuan berbagai jenis pelarut akan berpengaruh nyata

terhadap aktivitas antibakteri ekstrak mikroalga Porphyridium cruentum

yang dihasilkan

2. Diduga perlakuan berbagai lama waktu maserasi akan berpengaruh

nyata terhadap aktivitas antibakteri ekstrak mikroalga Porphyridium

cruentum yang dihasilkan

3. Diduga interaksi antara jenis pelarut dan lama waktu maserasi akan

berpengaruh nyata terhadap aktivitas antibakteri ekstrak mikroalga

Porphyridium cruentum yang dihasilkan

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikroalga

Mikroalga merupakan alga mikroskopik uniseluler yang umumnya dikenal

dengan sebutan fitoplankton (DAF, 2008). Mikroalga memiliki keragaman genetik

yang luas dan dapat ditemukan dalam bentuk tunggal, koloni, maupun filamen

(Amaro, 2011). Mikroalga memiliki ukuran 1 µm sampai 2 mm, memiliki klorofil,

dan hidup di air tawar maupun laut. Mikroalga yang tumbuh di laut biasanya

mengambang sampai pada kedalaman 200 meter dimana sinar matahari masih

tersedia untuk fotosintesis (DAF, 2008). Jumlah spesies mikroalga di dunia

diperkirakan sebanyak 200.000 – 800.000 spesies dimana hanya 35.000 spesies

yang dapat dikenali dan dikultivasi (Hadiyanto dan Maulana, 2012).

Gambar 2.1 Strain mikroalga dalam cawan petri (Hadiyanto dan Maulana, 2012)

Mikroalga berperan sebagai produsen pertama dalam rantai makanan

karena kemampuannya berfotosintesis. Sebagian besar mikroalga dapat

menghasikan karotenoid, antioksidan, enzim, polimer, peptida, asam lemak,

hingga racun yang mematikan (Cardozo, 2007). Mikroalga memegang peranan

yang menjanjikan dalam bidang bioteknologi biru karena memiliki metabolisme

yang fleksibel, menyerap CO2 sebagai energi dasar, dan memenuhi kebutuhan

energinya dengan bergantung pada sinar matahari (Amaro, 2011).

Mikroalga biasanya digunakan pada proses budidaya yaitu sebagai bahan

pakan alami bagi zooplankton dan larva ikan. Namun, sudah banyak masyarakat

yang mengenal mikroalga sebagai pangan fungsional serta menjadikannya

sumber protein, pigmen alami, vitamin, dan mineral (Nur, 2014). Selain itu,

6

mikroalga dapat memberikan efek penyembuh dan detoksifikasi dalam tubuh

manusia (Amaro, 2011).

Mikroalga juga kaya akan senyawa bioaktif sehingga dapat diaplikasikan

pada industri farmasi. Beberapa senyawa bioaktif menunjukan sifat antimikroba

pada mikroorganisme yang tumbuh pada pemrosesan makanan ataupun

akuakultur. Selain itu, terdapat senyawa bioaktif yang bersifat antivirus, antijamur,

dan antialga. Ekstrak bebas sel dari mikroalga telah diuji sebagai zat additif untuk

formulasi makanan dan pakan dalam upaya mengurangi penggunaan senyawa

antibakteri sintetis atau penggunaan dosis subterapeutik pada antibiotik (Amaro,

2011).

2.2 Porphyridium cruentum

Porphyridium cruentum (P. cruentum) adalah mikroalga merah uniseluler

yang masuk ke dalam kelas Rhodophyceae dan dikenal juga dengan nama

Porphyridium purpureum. Sel dari P. cruentum memiliki bentuk bulat dan

berdiameter sebesar 4 – 9µm. Sel tersebut terdiri dari satu nukleus, kloroplas

dengan pirenoid di tengahnya, badan golgi, mitokondria, lendir, pati, dan vesikel

(Kusmiyati dan Agustini, 2007). Klasifikasi dari mikroalga Porphyridium cruentum

adalah sebagai berikut (UniProt, 2002):

Divisi : Rhodophyta

Sub kelas : Bangiophyceae

Ordo : Porphyridiales

Famili : Porphyriceae

Genus : Porphyridium

Spesies : Porphyridium cruentum

Gambar 2.2 Sel Porphyridium cruentum (CCALA, 2013)

7

P. cruentum dapat hidup bebas ataupun berkoloni yang terikat ke dalam

mucilago yang dieksresikan secara konstan oleh sel membentuk sebuah kapsul

yang mengelilingi sel tersebut. Habitat asli dari P. cruentum adalah laut, namun

dapat hidup di air tawar maupun permukaan tanah lembab dan membentuk lapisan

kemerah-merahan (Kusmiyati dan Agustini, 2007). Selain berwarna merah, P.

cruentum juga dapat tampak berwarna hijau. Hal tersebut disebabkan oleh

kedalaman habitat yang akan mempengaruhi pigmen fikoeritrin (sumber warna

merah pada sebagian besar alga merah). Fikoeritrin merupakan pigmen yang

menutupi warna hijau klorofil pada mikroalga. Kedalaman habitat yang dangkal

akan meningatkan penetrasi cahaya dan menyebabkan kadar fikoeritrin yang

diproduksi menjadi lebih sedikit sehingga mikroalga akan tampak berwarna hijau

(Madigan et al., 2009).

Menurut Fuentes et al. (2000), biomassa dari P. cruentum memiliki proporsi

karbohidrat sebesar 33,2 g/100 g (d.w) dan protein sebesar 34,4 g/100 g (d.w).

Selain itu,ditemukan kandungan mineral yang tinggi dalam 100 Gram biomassa P.

cruentum terutama pada Ca (1248 mg), K (1219 mg), Na (1170 mg), Mg (63 mg),

dan Zn (37,4 mg). Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Kusmiyati dan Agustini (2007), senyawa antibakteri dominan pada P. cruentum

adalah metil palmitat sebanyak 41,15% pada ekstrak hasil ekstraksi bertingkat

menggunakan diklorometan/akuades dan diklorometan/NaOH, dan mengandung

metil palmitat 60,36% pada ekstrak hasil ekstraksi bertingkat menggunakan

diklorometan/akuades, diklorometan/NaOH, metanol/air, dan N-Heksana.

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut dari

suatu serbuk simplisia, sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut

(DepKes RI, 2006). Proses ekstraksi dilakukan dengan bantuan pelarut cair

sebagai separating agent antara komponen yang akan dipisahkan dengan

campuran homogennya (Aditya, 2015). Pemilihan metode ekstraksi sangat

dipengaruhi oleh target ekstraksi. Menurut Sarker (2006), terdapat 3 kelompok

target ekstraksi yaitu senyawa bioaktif yang tidak diketahui, senyawa yang

diketahui pada suatu organisme, dan sekelompok senyawa dalam suatu

organisme yang berhubungan secara struktural.

8

Ekstraksi dilakukan dengan beberapa metode. Berdasarkan suhu yang

digunakan, terdapat 2 jenis ekstraksi yaitu ekstraksi dingin dan ekstraksi panas.

Ekstraksi dingin adalah ekstraksi tanpa penggunaan panas. Keuntungan dari

ekstraksi dingin adalah memperkecil kemungkinan terjadinya kerusakan senyawa

termolabil pada sampel (Istiqomah, 2013). Metode ekstraksi dingin terdiri dari

maserasi dan perkolasi. Ekstraksi panas adalah ekstraksi dengan melibatkan

panas. Metode ekstraksi panas terdiri dari refluks, sokletasi, digesti, infus, dekok,

dan destilasi uap (DepKes RI, 2000).

Hasil akhir dari proses ekstraksi dinamakan ekstrak. Sifat dari ekstrak dapat

disesuaikan dengan kebutuhan ataupun keinginan dari peneliti. Menurut

Departemen Kesehatan RI (2006), sifat ekstrak dibedakan menjadi 4 yaitu:

a. Ekstrak encer, sediaan masih dapat dituang

b. Ekstrak kental, sediaan tidak dapat dituang dan kadar airnya mencapai 30%

c. Ekstrak kering, sediaan berbentuk serbuk hasil dari penguapan pelarut

d. Ekstrak cair, sediaan mengandung sejumlah pelarut sebagai bahan

pengawet

2.4 Maserasi

Maserasi adalah metode ekstraksi menggunakan pelarut dengan disertai

pengadukan dalam suhu ruang. Maserasi merupakan proses yang paling

sederhana dan banyak digunakan. Metode ini dilakukan dengan merendam

sampel pada pelarut yang sesuai di dalam wadah inert. Pelarut akan menembus

dinding sel dan masuk ke dalam sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif tersebut

akan terlarut karena adanya perbedaan konsentrasi di luar dan di dalam sel

(Aditya, 2015). Proses tersebut akan dihentikan ketika telah terjadi kesetimbangan

konsentrasi senyawa antara pelarut dan sampel (Mukhriani, 2014). Proses

pengadukan biasanya ditambahkan pada maserasi untuk meningkatkan

kecepatan ekstraksi (Istiqomah, 2013). Menurut Maulida dan Zulkarnaen (2010),

terdapat tiga langkah dasar yang terdapat pada proses ekstraksi dengan metode

maserasi yaitu:

1. Proses penyampuran sejumlah massa bahan ke dalam larutan yang akan

dipisahkan komponen-komponennya

2. Proses pembentukan fase seimbang

3. Proses pemisahan kedua fase seimbang

9

Metode maserasi merupakan metode yang tergolong menguntungkan dalam

hal isolasi senyawa bahan alam. Kelebihan dari metode maserasi adalah tidak

perlu pemanasan sehingga kecil kemungkinan bahan alam menjadi rusak atau

terurai (Istiqomah, 2013). Selain itu, maserasi juga mudah dilakukan dan murah

(Koirewoa, 2012). Kekurangan dari maserasi adalah memakan banyak waktu dan

pelarut yang digunakan cukup banyak (Mukhriani, 2014). Selain itu, terdapat

kemungkinan beberapa senyawa tidak terekstraksi pada suhu ruang (Istiqomah,

2013). Pada metode maserasi, faktor krusial yang menentukan keefektifitasan

proses adalah pemilihan pelarut. Pemilihan pelarut berdasarkan kelarutan dan

polaritasnya memudahkan pemisahan bahan alam dalam sampel. Pengerjaan

metode maserasi yang lama dan keadaan diam selama maserasi memungkinkan

banyak senyawa yang akan terekstraksi (Istiqomah, 2013).

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi

2.5.1 Ukuran Partikel Padatan

Sampel padatan dengan luas permukan partikel yang lebih besar akan

meningkatkan hasil ekstrak dan mempersingkat waktu proses ekstraksi (Prasetyo,

2012). Pengecilan ukuran dapat dilakukan untuk memperluas permukaan bahan

sehingga mempercepat penetrasi pelarut ke dalam bahan yang akan diekstrak

(Tambun, 2016). Namun, proses pengecilan ukuran harus diperhatikan agar

keberadaan padatan tidak terlalu banyak dan tidak terlalu kecil. Jumlah padatan

yang terlampau banyak dapat menghalangi aliran pelarut untuk kontak dengan zat

aktif dalam padatan itu sendiri. Sementara itu, padatan yang terlalu kecil akan

memperkecil kemungkinan pelarut terserap ke dalam padatan (Prasetyo, 2012).

2.5.2 Suhu Ekstraksi

Ekstraksi akan memakan waktu yang lebih singkat pada penggunaan suhu

yang tinggi (Tambun, 2016). Suhu yang tinggi akan menyebabkan peningkatan

kecepatan difusi, peningkatan kelarutan dari larutan, dan penurunan viskositas

pelarut (Prasetyo, 2012). Namun, suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan

kerusakan komponen pada sampel sehingga harus diperhatikan. Suhu juga harus

disesuaikan dengan kelarutan pelarut, stabilitas pelarut, tekanan uap pelarut, dan

selektifitas pelarut (Prasetyo, 2012).

2.5.3 Waktu Ekstraksi

Semakin lama waktu ekstraksi, maka kontak bahan dengan pelarut akan

semakin lama sehingga menghasilkan ekstrak yang lebih besar (Prasetyo, 2012).

10

2.5.4 Jenis Pelarut

Jenis pelarut yang digunakan adalah pelarut pilihan terbaik. Menurut

Prasetyo (2012), pelarut yang baik adalah pelarut yang memiliki kepolaran yang

sama dengan bahan yang diekstrak, tingkat kelarutannya tinggi, tidak reaktif, tidak

korosif, tidak beracun, stabil secara termal, tidak mudah terbakar, mudah

diperoleh, dan memiliki titik didih yang rendah.

2.5.5 Rasio Zat Padat dengan Pelarut

Jumlah pelarut harus disesuaikan dengan kebutuhan. Apabila pelarut terlalu

banyak, maka akan terjadi pemborosan biaya (Prasetyo, 2012). Sebaliknya,

apabila pelarut sedikit, maka proses ekstraksi tidak berjalan maksimal.

2.5.6 Pengadukan

Pengadukan diperlukan untuk meningkatkan difusi sehingga perpindahan

massa dari padatan ke pelarut dapat meningkat pula. Pengadukan akan

mencegah terjadinya pembentukan suspensi ataupun endapan serta efektif

membentuk lapisan interfase (Prasetyo, 2012).

2.5.7 Porositas dan Difusivitas

Padatan yang berpori akan memungkinkan terjadinya difusi internal perlarut

dari permukaan padatan ke pori-pori padatan tersebut. Sementara itu, semakin

besar difusivitas bahan padatan maka semakin cepat pula difusi internal yang

terjadi dalam padatan tersebut (Prasetyo, 2012).

2.6 Pelarut

Pelarut (solvent) adalah medium tempat suatu zat lain melarut. Pelarut juga

disebut sebagai zat pendispersi, yaitu tempat menyebarnya partikel-partikel zat

terlarut (Sumardjo, 2009). Menurut Depkes RI (2000), faktor utama yang perlu

menjadi pertimbangan dalam pemilihan pelarut adalah selektifitas, ekonomis,

kemudahan bekerja, ramah lingkungan dan aman. Pada proses ekstraksi, pelarut

yang digunakan haruslah pelarut pilihan terbaik. Menurut Prasetyo (2012), pelarut

yang baik adalah pelarut yang memiliki kepolaran yang sama dengan bahan yang

diekstrak, tingkat kelarutannya tinggi, tidak reaktif, tidak korosif, tidak beracun,

stabil secara termal, tidak mudah terbakar, mudah diperoleh, dan memiliki titik

didih yang rendah.

Pelarut memegang peranan penting dalam menentukan kualitas dan jumlah

ekstrak pada proses ekstraksi. Menurut Suryani (2015), jenis pelarut yang

digunakan akan mempengaruhi jumlah senyawa aktif yang terkandung dalam

11

ekstrak sehingga pemilihannya harus diperhatikan. Jenis pelarut yang sering

digunakan adalah air dan pelarut organik. Namun, pelarut yang lebih lebih sering

dipakai dalam proses ekstraksi komponen kimia dalam sel adalah pelarut organik

(Prasetyo, 2012).

Sifat dari pelarut organik ditentukan oleh konstanta dielektriknya. Konstanta

dielektrik merupakan suatu besaran tanpa dimensi yang merupakan rasio antara

kapasitas elektrik medium terhadap vakum. Konstanta dielektrik dijadikan

pengukur kepolaran suatu pelarut. Konstanta dielektrikum dinyatakan sebagai

gaya tolak menolak antara dua pertikel yang bermuatan listrik dalam suatu

molekul. Semakin tinggi konstanta dielektrik, maka sifat pelarut akan semakin

polar (Moldoveanu and David, 2016). Konstanta dielektrik pada beberapa pelarut

dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Konstanta dielektrik beberapa pelarut

Pelarut Konstanta dielektrik (𝜺)

N – heksana 2,02

Eter 5,0

Etil asetat 6,02

Diklorometana 8,93

Aseton 20,7

Etanol 25,3

Metanol 33

DMSO 47,2

Air 80

Sumber: Saifudin, 2014

2.6.1 Metanol

Metanol atau metil alkohol (CH3OH) merupakan jenis alkohol dengan titik

didih sebesar 64,6°C dan berat jenis 32,04 g/mol (Adams, 2010). Pada keadaan

atmosfer, metanol berbentuk cairan tidak berwarna, mudah menguap, tidak berbau

menyengat, dan memiliki rasa sedikit manis. Metanol merupakan produk dari

fermentasi alami dan dapat diproduksi dari proses distilasi kayu (Adams, 2010).

Metanol memiliki sifat polar dan cenderung tidak korosif. Oleh karena

kepolarannya, metanol dapat larut dengan air dan pelarut organik lainnya, serta

mampu melarutkan berbagai garam anorganik (Cheng dan Kung, 1994).

Metanol merupakan pelarut yang banyak digunakan karena harganya yang

murah dan sangat mudah untuk diuapkan (Kerton dan Mariot, 2013). Meskipun

12

memiliki karakteristik yang hampir sama dengan etanol, metanol adalah pelarut

yang tergolong toksik bagi kesehatan manusia bila dicerna, dihirup, ataupun

terabsorbsi melalui kulit. Paparan metanol yang berlebihan dapat menyebabkan

kebutaan, kejang, koma, bahkan kematian (Edlund, 2011).

2.6.2 Etil Asetat

Etil asetat adalah pelarut sintetis yang terbentuk dari proses esterifikasi

asam asetat dengan etanol dari asetaldehida atau dari proses penambahan etilen

langsung pada asam asetat (Wittcoff, 2004). Etil asetat memiliki densitas sebesar

0,897 g/ml, titik didih pada suhu 77,1°C, dan titik leleh -83,6°C. Rumus molekul dari

etil asetat adalah CH3COOCH2CH3. Etil asetat berbentuk cairan transparan yang

mudah menguap, memiliki bau seperti buah-buahan dan memiliki rasa yang enak

ketika diencerkan (Patnaik, 2007). Etil asetat dapat ditemukan di minuman

beralkohol, tanaman sereal, lobak, jus buah, serta dapat diproduksi alami oleh

kamomil Roma dan spesies Rubus. Etil asetat memiliki berbagai manfaat, yaitu

sebagai bahan pelarut cat dan bahan baku pembuatan plastik, sebagai bahan

baku industri tinta cetak, pabrik parfum, flavor, kosmetik, dan minyak atsiri serta

proses ekstraksi pada industri farmasi (Nugroho, 2014).

Etil asetat merupakan pelarut semipolar sehingga dapat menarik senyawa

yang bersifat polar maupun non-polar (Putri, 2013). Namun, etil asetat lebih

cenderung bersifat non-polar sehingga ekstrak yang dihasilkan lebih banyak

mengandung lipid (Tadeo, 2008). Etil asetat memiliki toksisitas yang rendah,

namun paparan etil asetat dengan konsentrasi 400-500 ppm dapat menyebabkan

iritasi mata, hidung, dan tenggorokan ringan (Patnaik, 2007).

2.6.3 N – Heksana

N-Heksana adalah hidrokarbon alkana rantai lurus yang memiliki 6 atom

karbon dan memiliki rumus molekul C6H14. N-Heksana terbuat dari hasil

penyulingan minyak mentah dimana untuk produk industrinya ialah fraksi yang

mendidih pada suhu 65-70°C (Aziz et al., 2009). N-Heksana berbentuk cairan tidak

berwarna dengan bau yang menyengat, mudah terbakar dan sangat mudah

menguap. N-Heksana memiliki berat jenis 0,066 g/ml, titik didih sebesar 69°C, titik

leleh sebesar -95°C, dan bersifat sangat tidak polar sehingga tidak larut air namun

larut pada pelarut organik (Patnaik, 2007). N-Heksana dapat dimanfaatkan pada

industri printing, termometer suhu rendah, zat adhesif, ekstraksi, dan agen

pembersih (Hayes, 2007).

13

N-Heksana merupakan pelarut yang banyak digunakan secara komersil

karena efisiensi ektraksinya serta mudah didapat (Saxena et al., 2011). Menurut

Yilmaz et al. (2016), N-Heksana merupakan pelarut yang menghasilkan aktivitas

antimikroba tertinggi dari Porphyridium cruentum. Namun, N-Heksana adalah

salah satu golongan alkana paling toksik bagi manusia (Hayes, 2007). Selain itu,

N-Heksana juga telah dikelompokan sebagai zat kimia yang sangat berbahaya

bagi lingkungan (Saxena et al., 2011). Paparan N-Heksana dengan konsentrasi

5000 ppm terhadap manusia selama 10 menit dapat menimbulkan efek halusinasi,

kelainan penglihatan, sakit kepala, pusing, mual, dan dapat menyebabkan iritasi

pada mata serta tenggorokan. Selain itu, paparan yang berlebihan dapat

berpotensi menimbulkan penyakit polineuritis (Patnaik, 2007).

2.6.4 Etanol

Etanol atau etil alkohol (C2H5OH) adalah cairan tidak berwarna yang mudah

terbakar dengan titik didih sebesar 78,4°C, titik leleh sebesar 114,3°C dan berat

jenis sebesar 0,79 g/cm3 (Gupta and Demirbas, 2010). Etanol diproduksi melalui

proses fermentasi gula yang ada pada berbagai bahan biologis, seperti biji-bijian.

Selain itu, etanol juga dapat diproduksi dengan hidrasi dari produk samping etilen

pada industri minyak bumi (Gupta and Demirbas, 2010). Etanol bersifat non-toksik

dan merupakan pelarut dengan polaritas tinggi. Oleh karena kepolarannya yang

tinggi, etanol dapat mudah larut di dalam air dan hampir semua pelarut organik

(Burke, 2013).

Menurut Yunia (2014), etanol sebagai pelarut dapat memperbaiki atau

mempertahankan sifat dan karakteristik bahan terlarut dan mampu mengendapkan

zat-zat yang terkandung dalam bahan. Etanol banyak digunakan sebagai pelarut

karena etanol relatif aman digunakan untuk bahan-bahan kimia yang ditujukan

untuk konsumsi dan kegunaan manusia.

2.6.5 Aseton

Aseton dikenal juga sebagai dimetil keton, 2-propanon, atau propan-2-on.

Aseton merupakan bentuk paling sederhana dari keton dengan rumus molekul

CH3COCH3. Selain diproduksi di industri, aseton dapat diproduksi secara alami

pada proses metabolisme mamalia dan dapat ditemukan pada sebagian besar

jaringan seperti pada darah, urin, atau pernapasan (Johanson, 2000). Pada

kondisi normal, aseton berbentuk cairan tidak berwarna yang memiliki aroma

menyengat (manis seperti buah-buahan), mudah terbakar, dan sangat mudah

14

menguap (Bateman et al., 2014). Aseton memiliki titik didih sebesar 56°C, titik leleh

sebesar -95,4°C, dan berat jenis 0,79 g/ml (Johanson, 2000).

Aseton bersifat semipolar, artinya aseton terbentuk dari molekul dipolar yang

kuat namun tidak memiliki ikatan hidrogen (Sadek, 2004). Sifat semipolar

membuat aseton mampu larut dalam larutan polar maupun non-polar (sampai

tingkat tertentu) (Sutariya, 2017). Aseton sering digunakan sebagai pelarut dalam

proses ekstraksi minyak, lilin, dan resin dari produk alami, serta beberapa minyak

esensial. Selain itu, aseton juga dapat digunakan dalam ektraksi vitamin B

kompleks, alkaloid, antibiotik, dan juga enzim (Chereminisoff, 2003). Menurut

Patnaik (2007), aseton memiliki toksisitas yang rendah. Iritasi ringan dapat terjadi

pada paparan selama 5 menit dengan konsentrasi 300-500 ppm. Inhalasi aseton

dengan konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan mulut kering, pusing, otot

lemah, mual, kehilangan koordinasi berbicara, dan mengantuk.

2.7 Antibakteri

Antibakteri adalah suatu komponen atau substansi yang dapat membunuh

atau menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara mengganggu

metabolismenya (Kaye, 2017). Zat antibakteri merupakan sub-kelas dari antibiotik.

Zat antibakteri dapat berasal dari sumber alami (produksi mikroorganisme), semi-

sintetik (produk alami yang diubah secara kimiawi), dan sintetik. Contoh dari zat

antibakteri alami adalah sefalosporin, sefamisin, gentamisin dan penisilin G.

Contoh dari zat antibatekteri semi sintetik adalah ampisilin dan ampikasin.

Sedangkan contoh dari zat antibakteri sintetik adalah moksifloksasin dan

norfloksasin (Ullah and Ali, 2017).

Zat antibakteri yang ideal harus memiliki sifat toksisitas selektif dimana suatu

antibakteri memiliki efek membahayakan bagi parasit/patogen namun tidak

membahayakan bagi host. Berdasarkan tipe kerjanya, zat antibakteri dibedakan

menjadi bakteriostatik dan bakterisida. Bakteriostatik merupakan antibakteri yang

memperlambat atau mencegah pertumbuhan bakteri sedangkan bakteriosid

merupakan antibakteri yang membunuh bakteri dengan menghancurkan dinding

sel atau membran selnya (Ullah and Ali, 2017). Berdasarkan spektrum

aktivitasnya, zat antibakteri dibedakan menjadi spektrum sempit (narrow

spectrum) dan spektrum luas (broad spectrum). Antibakteri berspektrum sempit

hanya bisa bekerja terhadap bakteri tertentu saja, misalnya hanya terhadap bakteri

15

Gram positif atau Gram negatif saja. Sebaliknya, antibakteri berspektrum luas

dapat bekerja baik tehadap berbagai macam bakteri patogen termasuk bakteri

Gram positif dan Gram negatif (Talaro, 2008). Menurut Jawetz et al. (2013), faktor

yang mempengaruhi aktivitas zat antibakteri adalah pH lingkungan, stabilitas zat

antibakteri, besarnya inokulum bakteri, masa pengeraman, dan aktivitas metabolik

mikroorganisme. Setiap mikroorganisme akan memiliki respon yang berbeda

terhadap senyawa antibakteri karena adanya perbedaan sensitivitas. Pada

umumnya, bakteri Gram positif lebih rentan dibandingkan bakteri Gram negatif

(Madigan et al., 2009).

2.8 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri

Keberlangsungan hidup dan pertumbuhan suatu bakteri sangat bergantung

pada proses seperti sintesis dinding sel, sintesis protein, sintesis asam nukleat,

fungsi membran sel, dan sebagainya (Ullah and Ali, 2017). Proses-proses tersebut

merupakan target dari senyawa antibakteri. Berdasarkan cara suatu antibakteri

mengganggu berbagai proses tersebut, maka terdapat 4 macam mekanisme kerja

antibakteri, yaitu:

2.8.1 Menghambat sintesis dinding sel

Bakteri memiliki struktur dinding sel yang berbeda dengan organisme lain

dimana terdapat lapisan kaku mengelilingi secara lengkap sitoplasma membran

sel. Sifat kaku tersebut disebabkan oleh adanya rantai backbone polisakarida yang

disebut peptidoglikan. Peptidoglikan terdiri dari dua gula turunan yang

dihubungkan ikatan β-1,4 dengan jumlah yang sama, yaitu N-asetilglukosamin dan

asam N-asetilmuramat (Ullah and Ali, 2017). Dinding sel ini mempertahankan

bentuk mikroorganisme dan pelindung sel bakteri dari perbedaan tekanan osmotik

di dalam dan di luar sel yang tinggi (Talaro, 2008).

Oleh karena fungsinya yang vital bagi kelangsungan hidup bakteri, maka

proses yang penting untuk mencegah pertumbuhan bakteri adalah menghentikan

sintesis dinding sel dengan menghambat pembentukan lapisan peptidoglikan.

Antibakteri akan bereaksi dengan satu atau banyak enzim yang dibutuhkan pada

proses sintesis sehingga menyebabkan pembentukan dinding sel menjadi lemah

dan terjadi pemecahan osmotik (Talaro, 2008). Pada umumnya, bakteri Gram

negatif kurang rentan terhadap proses ini dikarenakan antibakteri gagal mencapai

dinding sel akibat terhalang oleh membran luar pada bakteri (Ullah and Ali, 2017).

16

2.8.2 Menghambat Fungsi Membran

Membran sitoplasma yang menutupi sitoplasma merupakan barrier

permeabilitas selektif, memiliki fungsi transport aktif, dan mampu mengontrol

komposisi internal sel (Jawetz, et al., 2013). Kerusakan sel akan terjadi bila peran

fungsional dari membran terganggu karena makromolekul dan ion dari sel akan

keluar sehingga membuat sel mati (Ullah and Ali, 2017). Salah satu contoh

antibakteri yang dapat menghambat fungsi membran adalah polimiksin. Antibakteri

tersebut akan mengubah struktur membran sehingga permeabilitasnya meningkat

yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan osmotik. Selain itu, terdapat

perubahan seperti pelepasan molekul dari dalam sel, penghambatan respirasi, dan

peningkatan penyerapan air sehingga menyebabkan sel mati (Ullah and Ali, 2017).

2.8.3 Menghambat Sintesis Protein

Sintesis protein memegang peranan penting bagi keberlangsungan hidup

bakteri maupun manusia. Pada umumnya, antibakteri menghambat sintesis

protein dengan mengganggu proses inisiasi dan elongasi. Antibakteri akan

menghalangi terikatnya RNA pada tempat spesifik ribosom selama pemanjangan

rantai peptida (Tristiyanto, 2009).

2.8.4 Menghambat Sintesis Asam Nukleat

Pembentukan DNA dan RNA sangat penting dan berefek dalam

metabolisme protein. Antibakteri menghambat sintesis asam nukleat dengan

mengganggu proses sintesis nukleitida, menghambat replikasi, atau

menghentikan transkripsi (Tristiyanto, 2009). Antibakteri yang menghambat

sintesis asam nukleat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu inhibitor RNA dan inhibitor

DNA. Inhibitor RNA akan mengganggu proses transkripsi dimana mRNA akan

dihasilkan untuk diubah menjadi protein. Selain itu, inhibitor RNA juga dapat

berikatan sangat kuat pada enzim DNA-Dependent RNA Polymerase sehingga

menghambat elongasi RNA pada bakteri. Sementara itu, inhibitor DNA bekerja

dengan mengganggu tiap tahap yang ada pada sintesis DNA seperti inisiasi,

elongasi, dan terminasi sehingga terjadi kerusakan sel bakteri (Ullah and Ali,

2017).

2.9 Senyawa Antibakteri pada Porphyridium cruentum

Menurut Durmaz et al. (2017), senyawa antibakteri pada mikroalga terdapat

pada metabolit-metabolit yang dihasilkan pada fase pertumbuhan stasioner yang

disebut dengan metabolit sekunder. Kelompok metabolit yang merupakan

17

antibakteri adalah fenol dan senyawa fenolat, alkohol, halogen, logam berat,

detergen, aldehid, dan gas kemosterilisator. Menurut penelitian yang dilakukan

oleh Kusmiyati dan Agustini (2007), senyawa dominan yang memiliki aktivitas

antibakteri pada Porphyridium cruentum adalah metil palmitat sedangkan pada

penelitian yang dilakukan oleh Najdenski et al. (2013), pigmen fikobiliprotein yang

diisolasi dari Porphyridium cruentum dapat menghasilkan aktivitas antibakteri.

Selain itu, senyawa antibakteri pada Porphyridium cruentum adalah senyawa fenol

(Yilmaz et al., 2016) dan polisakarida eksoseluler (Liu et al., 2016).

2.9.1 Metil Palmitat (Metil Heksadekanoat)

Metil palmitat adalah metil ester dari asam lemak jenuh palmitat (Cai et al.,

2005). Metil palmitat secara alami ditemukan pada minyak zaitun, minyak sawit

dan lipid tubuh. Selain itu, metil palmitat juga banyak ditemukan pada mentega,

keju, susu, dan daging. Menurut Goswarni and Fernandes (2001), metil palmitat

banyak digunakan pada bidang pangan, farmasetika, kosmetik, dan berbagai

industri. Metil palmitat mempunyai rantai panjang yang yang tersusun dari 17 atom

karbon. Metil palmitat memiliki rumus molekul C17H34O2 dan berat molekul 270,45

g/mol. Struktur dari metil palmitat dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Struktur metil palmitat (Cai et al., 2005)

Senyawa golongan metil ester asam lemak jenuh seperti metil palmitat

terbukti memiliki aktivitas antibakteri meskipun menghasilkan hambatan yang lebih

kecil (aktivitasnya lebih rendah) dibandingkan dengan metil ester asam lemak tak

jenuh (Choi et al., 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusmiyati

dan Agustini (2007), metil palmitat menjadi senyawa antibakteri dominan pada

ekstrak mikroalga Porphyridium cruentum terhadap bakteri Escherichia coli,

Bacillus subtilis, dan Staphylococcus aureus dengan proses ekstraksi bertingkat

menggunakan diklorometan/akuades, diklorometan/NaOH, metanol/air, dan N-

Heksana. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Yff et al. (2002) juga

menunjukan bahwa metil palmitat merupakan senyawa dominan pada ekstrak etil

asetat dari bunga Pentanisia prunelloides yang menunjukan aktivitas antibakteri

terhadap bakteri Gram positif (S.aureus dan B.subtilis) dan Gram negatif (E.coli

dan Klebsiella pneumoniae).

18

Mekanisme aksi metil ester asam lemak sebagai antibakteri masih kurang

dipahami. Namun, telah diketahui bahwa target utamanya adalah membran sel

dimana metil ester asam lemak mengganggu rantai transport elektron dan

fosforilasi oksidatif. Metil ester asam lemak juga dapat menghambat aktivitas

enzim, meurunkan serapan nutrisi, pembentukan produk peroksidasi atau

degradasi auto-oksidasi serta dapat menyebabkan lisis langsung pada sel bakteri

(Desbois and Smith, 2014).

2.9.2 Fikobiliprotein

Fikobiliprotein adalah salah satu jenis pigmen yang terbuat dari protein sel

yang mudah untuk diisolasi dan dimurnikan. Fikobiliprotein adalah protein yang

bersifat fluorescent dan berfungsi sebagai aparatus fotosintesis pada

sianobakteria dan alga (Hermanson, 2013). Fikobiliprotein umumnya dibagi

menjadi 3 kelompok, yaitu fikosianin (pigmen biru), fikoeritrin (pigmen merah), dan

alofikosianin (pigmen biru kehijauan). Ketiga pigmen tersebut merupakan hetero-

oligomer yang terdiri dari pengelompokan sub-unit dalam sel produksi

(Cyanobacteria) atau kloroplas (Rhodophyta) yang disusun pada suatu kompleks

bernama fikobilisom (Santhosh, et al., 2016). Mikroalga Porphyridium cruentum

menghasilkan fikobiliprotein dengan jumlah fikoeritrin yang besar. Fikobiliprotein

bersifat larut air dan biasanya terkandung sebanyak 2-8% berat kering sel (Gupta,

et al., 2017).

Fikobiliprotein merupakan metabolit dengan beragam aktivitas biologis

seperti antialga, antijamur, antiviral dan antibakteri (Santhosh, et al., 2016).

Namun, penelitian mengenai mekanisme aksi antibakteri dari fikobiliprotein masih

jarang ditemukan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sitohy et al. (2015)

terhadap fikosianin, kemungkinan besar target dari fikobiliprotein adalah dinding

dan membran sel dari bakteri. Perubahan yang tampak pada bakteri yang diujikan

adalah peningkatan ukuran sel bakteri, kerutan di dinding sel, pemisahan dinding

sel dari membran sel, terciptanya bentuk yang tidak beraturan, serta hilangnya inti

sel.

2.9.3 Fenol

Fenol (C6H5OH) atau asam karbonat merupakan senyawa yang mudah

terbakar, korosif, toksik, dan berbentuk kristalin putih (Cheremisinoff, 2003). Fenol

bersifat asam lemah dengan pH 5-6 dan pada umumnya larut air karena mampu

membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air. Titik didih fenol sebesar 181°C

dengan titik leleh sebesar 41°C (Toh, 2013). Fenol adalah senyawa aromatik yang

19

struktur kimianya diturunkan dari benzena dimana satu atau lebih atom hidrogen

yang terikat pada inti benzena diganti dengan satu atau lebih gugus hidroksil

(Sumardjo, 2009). Struktur fenol dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Struktur fenol (Sumardjo, 2009)

Fenol adalah senyawa yang disintesis oleh banyak varietas bakteri, fungi,

tanaman, dan hewan termasuk mikroalga. Fenol memiliki sifat toksik bagi bakteri

dan fungi sehingga fenol dipakai luas sebagai antiseptik (Chereminisoff, 2003).

Menurut Rachmawati (2011), mekanisme fenol sebagai antibakteri pada

konsentrasi rendah adalah dengan merusak membran sitoplasma dan

menyebabkan kebocoran inti sel, sedangkan pada konsentrasi tinggi senyawa

fenol berkoagulasi dengan protein seluler. Fenol dapat membunuh

mikroorganisme dengan mendenaturasi protein pada sel. Struktur protein akan

rusak ketika terbentuk ikatan hidrogen antara protein dan fenol. Permeabilitas

dinding sel dan membran sitoplasma akan terganggu karena keduanya tersusun

atas protein sehingga terjadi ketidakseimbangan makromolekul dan ion dalam sel

dan membuat sel lisis (Pelczar, 2009).

2.9.4 Eksopolisakarida

Eksopolisakarida merupakan kelompok biopolimer penting dengan berat

molekul tinggi yang disekresikan dari mikroorganisme termasuk mikroalga ke

lingkungan eksternalnya selama fase pertumbuhan ataupun propagasi.

Eksopolisakarida dapat berbentuk heteropolimer dan homopolimer.

Eksopolisakarida pada mikroalga dapat melekat longgar pada dinding sel atau

dieksreksikan ke lingkungan (Liu et al., 2016). Berbagai jenis mikroalga,

khususnya mikroalga merah dan sianobakteri memproduksi eksopolisakarida

dengan berbagai macam struktur. Pembentukan eksopolisakarida pada mikroalga

merah terutama genus Porphyridium sp. terjadi karena tidak ada selulosa

mikrofibrilar pada dinding selnya sehingga eksopolisakarida tersebut akan

20

mengenkapsulasi dinding sel tersebut dalam bentuk gel. Eksopolisakarida juga

berfungsi untuk melindungi sel dari stres lingkungan serta berperan dalam

interaksi satu sel ke sel lain, sebagai adesi, dan pembetukan biofilm (Liu et al.,

2016). Pada mikroalga Porphyridium cruentum, eksopolisakarida yang disintesis

adalah eksopolisakarida heteropolimer asam sulfat yang terutama terbentuk dari

xilosa, galaktosa, serta glukosa (Geresh et al., 2002).

Eksopolisakarida memiliki pemakaian yang luas dalam bidang pangan, yaitu

sebagai agen pengental dan agen pembentuk gel (Feldmane et al., 2013). Selain

itu, eksopolisakarida juga memiliki aktivitas antibakteri (Raposo, 2013). Aktivitas

antibakteri pada eksopolisakarida disebabkan oleh tingkat polimerisasi dan derajat

deasetilasi yang rendah (Poli et al., 2011). Mekanisme aktivitas antibakteri pada

eksopolisakarida adalah dengan menembus ke dalam membran sel bakteri dan

secara bergantian mengganggu proses replikasi bakteri dengan menekan

pertumbuhan bakteri (Nwodo et al., 2012). Eksopolisakarida yang dihasilkan oleh

Porphyridium cruentum yang ditumbuhkan pada media dalam kondisi stabil akan

memiliki jumlah yang tergolong besar. Hal tersebut terjadi karena sebagian

eksopolisakarida akan terlarut pada media sehingga menyebabkan

eksopolisakarida mudah untuk diekstraksi dan dipurifikasi (Liu et al., 2016).

2.10 Uji Aktivitas Antibakteri

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan untuk mengetahui keefektifan suatu

zat antibakteri serta mengetahui kerentanan suatu bakteri terhadap antibakteri

dalam konsentrasi tertentu (Nagoba, 2008). Uji aktivitas antibakteri dapat

dilakukan dengan berbagai metode yaitu metode kualitatif (difusi), metode

kuantitatif (dilusi), metode pengujian otomatis, serta metode molekuler (Tiwari,

2017). Pada umumnya, pengujian aktivitas antibakteri sering dijumpai adalah

metode difusi dan pengenceran/dilusi (Kusmiyati dan Agustini, 2007).

Metode difusi adalah metode kualitatif yang digunakan untuk mengetahui

respon bakteri (sensitif, intermediet, atau resisten) terhadap senyawa antibakteri

(Tiwari, 2017). Respon bakteri tersebut diketahui dengan melihat ada tidaknya

zona hambatan. Metode difusi merupakan metode yang paling sering digunakan

dan didasari pada pengukuran diameter daerah hambatan yang terbentuk. Metode

difusi dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu metode silinder, metode

lubang/sumuran, dan metode cakram kertas (Kusmiyati dan Agustini, 2007).

Kelebihan dari metode difusi adalah pengerjaannya yang mudah, cepat, tidak

21

membutuhkan peralatan yang mahal dan fleksibel terhadap antibiotik yang akan

diuji. Kekurangan dari metode difusi adalah tidak dapat menampilkan hasil secara

kuantitatif, lamanya waktu preparasi, dan pembacaan diameter secara manual

yang dapat meningkatkan kesalahan (Schwalbe et al., 2007).

Metode pengenceran atau dilusi adalah metode yang dapat mengukur

aktivitas antibakteri in vitro secara kuantitatif. Metode pengenceran biasanya

digunakan untuk mengetahui nilai KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) dan KBM

(Konsentrasi Bunuh Minimum) suatu senyawa antibakteri. Metode pengenceran

terbagi menjadi 2 teknik pengerjaan, yaitu dilusi agar dan dilusi cair (Tiwari, 2017).

Teknik dilusi agar dilakukan dengan menginokulasikan senyawa antibakteri

dengan berbagai konsentrasi pada suatu media agar. Berbagai bakteri dapat

diinokulasikan pada media tersebut. Hasil dapat dilihat dari ada tidaknya

pertumbuhan bakteri pada media tersebut (Nagoba, 2008). Teknik dilusi cair

dilakukan dengan mengencerkan zat antimikroba ke dalam berbagai konsentrasi

dan dimasukkan ke dalam tabung-tabung reaksi steril berisi media cair kemudian

ditambahkan mikroba uji yang telah diketahui jumlahnya (Nagoba, 2008).

Kelebihan dari metode dilusi adalah memungkinkan penentuan kualitatif dan

kuantitatif secara bersamaan dan mempermudah prosedur uji KHM (Wilkins and

Appleman, 2018). Kekurangan dari dilusi agar adalah tidak efisien karena

pengerjaan rumit, memerlukan banyak alat dan bahan, serta membutuhkan

ketelitian yang tinggi dalam mempersiapkan variasi konsentrasi larutan antibakteri

(Soleha, 2015).

2.11 Uji Kertas Cakram

Uji Kertas Cakram adalah pengujian metode difusi agar menggunakan

cakram kertas. Metode cakram kertas merupakan cara yang cukup mudah untuk

melihat kerentanan bakteri terhadap senyawa antibakteri (Harmita dan Radji,

2008). Metode kertas cakram dilakukan dengan menginokulasi plat agar dengan

bakteri dan membiarkan antibiotik berdifusi ke agar. Metode ini cocok digunakan

untuk mikroorganisme dengan pertumbuhan cepat, bersifat aerob maupun

fakultatif areob (Shahid et al., 2013). Prinsip metode kertas cakram adalah bahan

uji dibubuhkan ke dalam kertas cakram. Kertas cakram tersebut kemudian

ditanam pada media perbenihan agar padat yang telah berisikan suspensi bakteri,

kemudian diinkubasi selama 18-24 jam dengan suhu 37°C. Selanjutnya, diamati

22

zona hambatan disekitar cakram untuk mengetahui ada tidaknya pertumbuhan

mikroba.

Gambar 2.5 Uji aktivitas antibakteri dengan kertas cakram (Nagoba, 2008)

Zona hambatan merupakan area jernih atau bersih yang mengelilingi tempat

cakram yang telah terdifusi zat antibakteri (Harmita dan Radji, 2008). Zona hambat

menunjukan besarnya aktivitas penghambatan suatu antibakteri terhadap

pertumbuhan bakteri dimana semakin besar ukuran zona hambat, maka semakin

besar pula daya hambatnya (Saroinsong, 2014). Ukuran zona hambat dipengaruhi

beberapa faktor, yaitu kepadatan atau viskositas media biakan, kecepatan difusi

antimikroba, konsentrasi antibiotik pada cakram, sensitivitas mikroba terhadap

antimikroba, dan interaksi antimikroba dengan media (Harmita dan Radji, 2008).

Selain itu, ukuran zona hambat juga dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan

bakeri (Soleha, 2015).

Menurut Nagoba (2008), diameter zona hambat yang terbentuk harus diukur

untuk mengetahui respon bakteri terhadap zat antibakteri. Kategori bakteri

terhadap diameter zona hambat dibedakan menjadi sensitif (zona hambat lebih

besar atau setidaknya 4 mm lebih besar dibanding kontrol positif), intermediet

(diemeter zona hambat setidaknya 12 mm namun dikurangi lebih dari 4 mm

dibandingkan kontrol positif), dan resisten (tidak terbentuk zona hambat atau

diameternya tidak lebih dari 10 mm). Menurut Greenwood (1995) dalam Pratama

(2005), respon hambatan bakteri juga dapat digolongkan berdasarkan besar

diameter zona hambat yang berada pada Tabel 2.2.

23

Tabel 2.2 Penggolongan diameter zona hambat berdasarkan respon bakteri

Diameter Zona Hambat Respon Hambatan Pertumbuhan

>20 mm Kuat

16 – 20 mm Sedang

10 – 15 mm Lemah

<10 mm Kurang efektif

Sumber: Greenwood (1995), dalam Pratama (2005)

2.12 Uji KHM (Konsentrasi Hambat Minimum)

Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) atau Minimum Inhibitory Concentration

(MIC) merupakan nilai konsentrasi terendah suatu antibakteri untuk menghambat

pertumbuhan bakteri yang terlihat (berdasarkan kekeruhan) setelah diinkubasi

semalam. KHM dianggap sebagai “gold standard” untuk menentukan kerentanan

suatu bakteri terhadap antibakteri (Andrews, 2001). KHM dapat ditentukan

menggunakan media padat/agar ataupun dengan media cair setelah kultur

diinokulasi (Ngulube, 2016). Pengujian KHM merupakan pengujian in vitro yang

berfungsi untuk menyediakan informasi dasar mengenai spektrum dan potensi

aktivitas antibakteri serta membuat formulasi suatu antibakteri (Block, 2001).

Prinsip dari uji KHM adalah mengetahui konsentrasi terendah suatu antibakteri

untuk menghambat pertumbuhan bakteri dengan menggunakan larutan antibakteri

yang telah diencerkan ke dalam beberapa tahapan konsentrasi. Kelebihan dari uji

KHM adalah dapat dilakukan dalam skala yang kecil tanpa menggunakan terlalu

banyak antibakteri sedangkan kekurangannya adalah pengerjaannya

membutuhkan ketelitian dan prosesnya tergolong lama sehingga tidak cocok untuk

pengujian menggunakan jenis bakteri atau komponen dalam jumlah banyak.

2.13 Uji KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum)

Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) atau Minimum Bactericidal

Concentration (MBC) adalah nilai yang menyatakan konsentrasi terendah suatu

antibakteri yang dapat membunuh sebanyak 99,9% bakteri (Engelkirk and Janet,

2008). Uji KBM biasanya dilakukan untuk melanjutkan uji KHM. Uji KBM dilakukan

dengan menginokulasikan larutan media yang telah dipakai di uji KHM ke dalam

media padat (agar). Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya bakteri

yang masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi terendah atau pada larutan

24

yang tidak keruh (Tille, 2013). Kelebihan dari uji KBM adalah relatif murah dan

mudah dikendalikan di laboratorium sedangkan kekurangannya adalah

mikroorganisme yang berbeda tidak dapat diukur sekaligus dan rentan terhadap

hasil negatif bila menggunakan media yang lebih bernutrisi.

2.14 Bakteri

Bakteri adalah organisme prokariotik bersel tunggal yang mikroskopik

(Kaiser, 2017). Bakteri memiliki ukuran bervariasi dari 0,2 – 5 µm dan digolongkan

ke dalam 3 bentuk dasar, yaitu coccus (sel berbentuk bulat atau oval), bacillus (sel

berbentuk batang), dan spirochaeta (sel berbentuk spiral) (Samaranayake, 2012).

Berdasarkan sifat fisik dan kimia dinding sel, maka bakteri dapat dibedakan

menjadi 2 kelompok besar, yaitu bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif.

Bakteri Gram positif merupakan bakteri yang dapat mempertahankan zat warna

metil ungu pada saat pewarnaan Gram. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar

dinding sel bakteri Gram positif terdiri dari peptidoglikan yang mengikat warna metil

ungu (Tristiyanto, 2009). Bakteri Gram negatif adalah bakteri yang tidak dapat

mempertahankan zat warna metil ungu saat dibilas oleh alkohol, namun selnya

tetap menahan zat warna merah (Campbell et al., 2003). Hal tersebut terjadi

karena bakteri Gram negatif memiliki kandungan peptidoglikan yang lebih sedikit.

Pada penelitian ini, digunakan 2 bakteri patogen yaitu Staphyococcus aureus

sebagai bakteri Gram positif dan Escherichia coli sebagai bakteri Gram negatif.

2.14.1 Escherichia coli

Eschericia coli merupakan bakteri yang masuk ke dalam divisi Protophyta,

kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, famili Enterobacteriaceae dan genus

Escherichia. Bakteri ini tidak membentuk spora, dan merupakan bakteri Gram

negatif yang berbentuk batang lurus dan pendek. E.coli merupakan bakteri

anaerob fakultatif, yaitu bakteri yang dapat hidup dalam lingkungan tanpa maupun

dengan oksigen. E.coli dapat bergerak menggunakan flagel peritik ataupun tidak

dapat bergerak (Rivas et al., 2015). Pada umumnya, ukuran sel E.coli adalah 1-

2µm x 30µm (Wiwanitkit, 2011).

E.coli merupakan mikrofolora alami yang ada di dalam saluran pencernaan

manusia dan sifatnya non-patogen bagi tubuh. Namun, E.coli dapat keluar melalui

feses dan menjadi patogen (Wiwanitkit, 2011). Meskipun berada di luar saluran

pencernaan, E.coli dapat tumbuh baik di air sehingga kontaminasi E.coli banyak

ditemukan pada sanitasi yang buruk (Wiwanitkit, 2011). Infeksi oleh E.coli dapat

25

terjadi akibat mengkonsumsi makanan yang belum matang, kontaminasi pada air

dan daging, serta pada susu yang belum dipasteurisasi (Belk and Maier, 2010).

Infeksi yang sering ditimbulkan oleh E.coli adalah infeksi saluran kemih, saluran

empedu, dan hati, cystitis, meningitis serta penyakit infeksi lainnya (Tristiyanto,

2009). Penyakit saluran pencernaan (usus) juga dapat disebabkan oleh bakteri

E.coli yang terdiri dari beragam tipe yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC),

enteropathogenic E. coli (EPEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enterohemorrhagic

E. coli (EHEC), dan enteroaggregative E. coli (EAEC) (Todar, 2011).

2.14.2 Staphylococcus aureus

S.aureus merupakan bakteri Gram positif yang berbentuk kokus dengan

sel berdiameter 0,5 – 1,5µm dan membelah diri membentuk koloni mirip anggur.

Bakteri ini tidak dapat bergerak (non-motile), tidak membentuk spora, dan bersifat

fakultatif anaerob sehingga dapat tumbuh melalui respirasi anaerob maupun

fermentasi (Harris et al., 2002). S.aureus secara umum ditemukan di lingkungan

(tanah, air, dan udara) serta secara alami ada di kulit, rambut, dan nasofaring

manusia maupun hewan (FSANZ, 2013).

S.aureus merupakan bakteri patogen oportunistik, yaitu bakteri yang

menjadi patogen ketika sistem imun inang melemah. S.aureus terus mengalami

perkembangan dan membuatnya resisten terhadap beberapa antibiotik.

Kontaminasi S.aureus dapat mengakibatkan food poisoning akibat staphylococcal

enterotoxin (SE) yang dikeluarkan pada makanan (Montville and Matthews, 2008).

S.aureus juga merupakan penyebab utama terjadinya infeksi pada luka bedah.

S.aureus dapat masuk ke jaringan bawah kulit dan menginfeksi luka tersebut

sehingga menimbulkan abses piogenik (bernanah) (Harris et al., 2002). Genus

Staphyloccocus patogen dikenal mampu menghasilkan koagulase yang

menyebabkan penggumpalan darah (Harris et al., 2002). Selain itu, S.aureus

dapat infeksi kulit, infeksi pernapasan, mastitis, luka sepsis, dan toxic shock

syndrome (Todar, 2011).

26

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2018 hingga bulan Juni 2018 dan

dilakukan pada beberapa laboratorium, yaitu:

a. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

b. Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Jurusan Teknologi Hasil

Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

c. Laboratorium Bioteknologi Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam proses ekstraksi dan pengujian aktivitas

antibakteri mikroalga Poprhyridium cruentum adalah neraca analitik, spatula besi,

orbital shaker, Erlenmeyer 250 ml, gelas ukur, corong kaca, rotary evaporator,

botol kaca kecil, tabung reaksi dan rak tabung reaksi, pipet ukur, bola hisap, gelas

beaker 250 ml, mikrotip dan mikropipet, cawan petri, kompor listrik, inkubator,

kulkas, LAF (Laminar Air Flow), autoclave, vortex, cotton swab, kertas cakram,

jarum ose, bunsen, aluminium foil, kertas saring kasar, tisu, plastik, kapas, dan

karet gelang.

3.2.2 Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk mikroalga

Porphyridium cruentum yang didapatkan dari Balai Besar Pengembangan

Budidaya Air Payau Situbondo, Jawa Timur.

Bahan yang digunakan dalam proses ekstraksi bubuk mikroalga

Porphyridium cruentum adalah pelarut PA (Pro-Analysis) 99,9% yaitu metanol, etil

asetat, n-heksana, etanol, dan aseton yang didapatkan dari Laboratorium Kimia

dan Biokimia Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi

Pertanian Universitas Brawijaya.

27

Bahan yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri adalah media Natirum

Agar, Natrium Broth, DMSO, spiritus, dan alkohol 70% yang didapatkan dari

Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas

Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.

Bakteri indikator yang digunakan adalah bakteri Gram positif

(Staphylococcus aureus) yang diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Pangan,

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas

Brawijaya dan bakteri Gram negatif (Escherichia coli) yang didapatkan dari

Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok

(RAK) Faktorial dengan 2 faktor. Faktor I adalah jenis pelarut yang terdiri dari 5

jenis dan faktor II adalah lama waktu ekstraksi yang juga terdiri dari 3 level.

Masing-masing perlakuan diberi 3 kali pengulangan sehingga jumlah perlakuan

percobaan keseluruhan adalah 45 perlakuan.

Faktor I : jenis pelarut yang terdiri dari 3 jenis

P1 = Pelarut Metanol

P2 = Pelarut Etil Asetat

P3 = Pelarut N-Heksana

P4 = Pelarut Etanol

P5 = Pelarut Aseton

Faktor II : lama waktu ekstraksi yang terdiri dari 3 level:

T1 = lama waktu 24 jam

T2 = lama waktu 48 jam

T3 = lama waktu 72 jam

Kombinasi perlakuan akan diperoleh dari kedua faktor tersebut dan dapat

dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan

Jenis Pelarut Lama Waktu Ekstraksi

24 jam (T1) 48 jam (T2) 72 jam (T3)

Metanol (P1) P1T1 P1T2 P1T3

Aseton (P2) P2T1 P2T2 P2T3

N-Heksana (P3) P3T1 P3T2 P3T3

Etanol (P4) P4T1 P4T2 P4T3

Aseton (P5) P5T1 P5T2 P5T3

28

Keterangan kombinasi perlakuan sebagai berikut:

P1T1 = Pelarut metanol dengan lama waktu ekstraksi 24 jam

P2T1 = Pelarut etil asetat dengan lama waktu ekstraksi 24 jam

P3T1 = Pelarut N-Heksana dengan lama waktu ekstraksi 24 jam

P4T1 = Pelarut etanol dengan lama waktu ekstraksi 24 jam

P5T1 = Pelarut aseton dengan lama waktu ekstraksi 24 jam

P1T2 = Pelarut metanol dengan lama waktu ekstraksi 48 jam

P2T2 = Pelarut etil asetat dengan lama waktu ekstraksi 48 jam

P3T2 = Pelarut N-Heksana dengan lama waktu ekstraksi 48 jam

P4T2 = Pelarut etanol dengan lama waktu ekstraksi 48 jam

P5T2 = Pelarut aseton dengan lama waktu ekstraksi 48 jam

P1T3 = Pelarut metanol dengan lama waktu ekstraksi 72 jam

P2T3 = Pelarut etil asetat dengan lama waktu ekstraksi 72 jam

P3T3 = Pelarut N-Heksana dengan lama waktu ekstraksi 72 jam

P4T3 = Pelarut etanol dengan lama waktu ekstraksi 72 jam

P5T3 = Pelarut aseton dengan lama waktu ekstraksi 72 jam

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Ekstraksi Senyawa Antibakteri

Ekstraksi senyawa antibakteri diawali dengan penimbangan 5 gram bubuk

Porphyridium cruentum dan dimasukan ke dalam erlenmeyer 100 ml yang telah

ditutup dengan aluminium foil. Kemudian, pelarut metanol, etil asetat, N-Heksana,

etanol dan aseton diukur sebanyak 25 ml dan dimasukan ke dalam masing-masing

erlenmeyer sehingga perbandingan rasio bahan dengan pelarut adalah 1:5.

Selanjutnya, kelima larutan tersebut dimaserasi pada suhu ruang menggunakan

orbital shaker selama 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Setelah proses maserasi

berlangsung, dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring halus sehingga

didapatkan filtrat. Filtrat tersebut selanjutnya dievaporasi menggunakan rotary

vacuum evaporator dengan suhu 40°C dengan kecepatan 40 rpm kemudian

disemprot menggunakan gas nitrogen sehingga didapatkan ekstrak kasar.

3.5 Parameter Penelitian

Pengamatan yang dilakukan pada ekstrak Porphyridium cruentum yaitu

pengamatan terhadap senyawa bioaktif yang dapat dihasilkan dari bubuk

Porphyridium cruentum. Pengamatan yang dilakukan terhadap parameter yang

29

berkaitan dengan seberapa besar kandungan senyawa bioaktif yang berperan

sebagai antibakteri. Analisa yang dilakukan meliputi:

Rendemen (Sembiring dkk, 2018)

Aktivitas antibakteri metode kertas cakram (modifikasi metode Yilmaz et

al., 2016)

Uji KHM (modifikasi metode Yunika dkk, 2017)

Uji KBM (Sari, 2010)

3.6 Pengujian dan Analisa Data

Uji analisa yang dilakukan adalah analisa aktivitas antibakteri dengan

metode kertas cakram (difusi agar). Analisa data hasil pengamatan dilakukan

dengan menggunakan analisa ragam (ANOVA) dengan selang kepercayaan 5%.

Analisa lanjutan menggunakan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) digunakan apabila

hasil uji menunjukan tidak beda nyata. Apabila hasil uji menunjukan hasil berbeda

nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test).

Penetapan perlakuan terbaik dilakukan menggunakan metode Zeleny.

Diagram alir tahap ekstraksi senyawa antibakteri pada mikroalga

Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 3.1.

30

3.7 Diagram Alir

Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Ekstraksi Bubuk Bubuk Mikroalga Porphyridium

cruentum (Modifikasi metode Rao et. al., 2011)

Residu

(Bubuk Mikroalga

Porphyridium

cruentum)

Bubuk mikroalga Porphyridium cruentum

Penimbangan sebanyak 5 gram

Ekstraksi secara maserasi

selama 24, 48, dan 72 jam dengan

pelarut Metanol 1:5 (b/v), Etil asetat 1:5 (b/v), N-

Heksana 1:5 (b/v), Etanol 1:5 (b/v), Aseton 1:5 (b/v)

Penyaringan dengan kertas saring

halus

Filtrat

Penguapan pelarut dengan Rotary Evaporator suhu 40oC

(Kecepatan 40 rpm)

Penyemprotan dengan gas N2

Ekstrak kasar mikroalga

Porphyridium cruentum

Analisa akhir:

3. Rendemen

4. Aktivitas Antibakteri

Gram (+)

5. Aktivitas Antibakteri

Gram (-)

6. Uji KHM

7. Uji KBM

Analisa awal:

1. Kadar air

2. Total fenol

31

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Bahan baku dalam penelitian ini adalah mikroalga Porphyridium cruentum.

Porphyridium cruentum (P. cruentum) adalah mikroalga merah uniseluler yang

masuk ke dalam kelas Rhodophyceae dan banyak ditemukan di laut. P.cruentum

yang dipakai pada penelitian ini telah dikeringkan dan dijadikan bubuk berukuran

40 mesh untuk mempermudah proses ekstraksi. Menurut Anam (2010), ukuran

bubuk 40 mesh memiliki rendemen tertinggi dibandingkan dengan bubuk 20 mesh

dan 60 mesh. Ukuran bubuk yang semakin besar membuat waktu ekstraksi yang

diperlukan akan semakin lama sedangkan bila ukuran bubuk terlalu kecil, maka

terdapat kemungkinan adanya penggumpalan bahan saat proses ekstraksi dan

menyulitkan pelarut untuk menembus bahan sehingga proses ekstraksi akan

semakin lambat. Oleh karena itu, diperlukan ukuran yang tepat sehingga proses

ekstraksi berjalan dengan baik. Warna dari bubuk P.cruentum adalah merah

kecoklatan yang disebabkan oleh kandungan pigmen fikoeritrin (sumber warna

merah pada sebagian besar alga merah). Analisa bahan baku dilakukan dengan

dua parameter, yaitu kadar air dan total fenol. Data hasil analisa bubuk P.cruentum

dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik Bahan Baku Serbuk Porphyridium cruentum

Parameter Hasil Analisa Literatur

Kadar air (%) 1,2 5,28 ± 12,07a

Total Fenol (mg GAE/g) 11,20 34,22b

Keterangan: 1) Setiap data hasil analisa merupakan rerata dari 3 ulangan ± standar deviasi

2) Sumber : a Alwahidul dkk (2018) b Yilmaz et al., (2016)

Tabel 4.1 menunjukan bahwa kadar air dari serbuk mikroalga Porphyridium

cruentum memiliki perbedaan yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan

literatur. Hasil analisa kadar air bubuk P.cruentum adalah sebesar 1,21% dan

nilainya jauh lebih kecil dibandingkan literatur yang memiliki nilai sebesar 5,81%.

Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu perbedaan

metode analisa, suhu, dan lama pengeringan. Menurut Fitriani (2008),

32

kemampuan bahan untuk melepaskan air dari permukaannya akan semakin besar

dengan meningkatnya suhu udara pengering dan waktu pengeringan yang

digunakan, sehingga menghasilkan kadar air yang lebih rendah. Kadar air

merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan dan dinyatakan dalam

persen (Aventi, 2015). Kadar air merupakan salah satu karakteristik bahan baku

yang penting untuk diketahui. Menurut Sulistijowati dan Gunawan (2001), kadar

air maksimum bahan agar proses ekstraksi dapat berjalan dengan baik adalah

11%. Menurut Puspita (2009), apabila kadar air yang terkandung dari suatu bahan

kurang dari 11%, maka kestabilan optimum bahan dapat tercapai. Kadar air juga

menentukan daya awet bahan baku dimana kadar air yang tinggi mengakibatkan

mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan

terjadi perubahan pada bahan baku (Aventi, 2015). Berdasarkan pernyataan

tersebut, maka serbuk P.cruentum memiliki kadar air yang baik untuk proses

ekstraksi.

Menurut Naz et al., (2007), kandungan fenol suatu bahan sangat berkolerasi

dengan aktivitas antibakterinya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Baydar et al., (2004), komponen fenol merupakan komponen yang paling aktif dan

signifikan dalam melawan bakteri dan juga fungi. Menurut Preedy et al., (2013),

mekanisme kerja dari fenol sebagai komponen antibakteri adalah dengan

mendegradasi dinding sel, berinteraksi dengan komponen dalam sel dan

menghancurkan membran sitoplasma, serta merusak membran protein dan

mengganggu membran dengan enzim terintegrasi yang dapat menyebabkan sel

bakteri mati. Fenol merupakan senyawa yang berpotensi memiliki aktivitas

antibakteri sehingga kadar fenol pada bahan perlu diketahui. Total fenol pada hasil

analisa dan data literatur memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Total fenol

hasil analisa adalah sebesar 11,20 mg GAE/g sedangkan pada literatur adalah

34,22 mg GAE/g. Perbedaan total fenol antara kedua data dapat disebabkan oleh

beberapa faktor, yaitu perbedaan perlakuan pendahuluan seperti suhu

pengeringan, pengecilan ukuran dan pengayakan, serta terdapat perbedaan

tempat tumbuh dari P.cruentum. Menurut Barberan and Espin (2001), faktor yang

mempengaruhi kandungan fenol adalah genetik, lingkungan dan, teknologi dalam

pemanenan. Selain itu, terdapat kemungkinan kerusakan senyawa fenol pada data

analisa sehingga fenol yang terbaca menjadi lebih sedikit. Hal tersebut

dikarenakan senyawa fenolik merupakan senyawa yang sensitif, tidak stabil dan

33

rentan terhadap degradasi yang secara umum disebabkan oleh kadar oksigen dan

cahaya (Vatai et al., 2009).

4.2 Rendemen Ekstrak Antibakteri dari Porphyridium cruentum

Mikroalga Porphyridium cruentum berpotensi menghasilkan senyawa

antibakteri dengan rendemen ekstrak yang berbeda. Rendemen suatu ekstrak

dihitung berdasarkan perbandingan berat ekstrak yang dihasilkan dengan berat

biomassa sel yang digunakan dan dikalikan 100% (Sani dkk, 2014). Rendemen

menggambarkan efektifitas suatu pelarut terhadap bahan dalam suatu sistem

namun tidak menunjukan tingkat aktivitas dari bahan tersebut. Rendemen dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis pelarut, rasio pelarut, laju aliran

pelarut, waktu ekstraksi, kadar air bahan baku, ukuran partikel, distribusi partikel

serta suhu ekstraksi (Shi, 2006; Ghomi and Ghasemzadeh, 2012). Penelitian ini

menggunakan dua faktor yang dapat mempengaruhi rendemen, yaitu jenis pelarut

dan waktu ekstraksi. Perbandingan hasil rendemen dari masing-masing perlakuan

dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Rendeman Ekstrak Antibakteri dari P.cruentum

Gambar 4.1 menunjukan bahwa setiap pelarut memiliki perbedaan

perolehan rendemen yang cukup signifikan. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa

semakin lama waktu ekstraksi, rendemen yang dihasilkan akan lebih tinggi.

Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dengan taraf kepercayaan 95%, interaksi

5,22

6,76

7,63

1,18 1,422,10

2,67

3,65 3,703,734,16 4,40

0,65 0,71 0,73

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

8,00

9,00

24 48 72Ren

dem

en E

kstr

ak A

nti

bak

terr

i (%

)

Waktu Ekstraksi (jam)

Metanol Etil Asetat N-Heksana Etanol Aseton

34

jenis pelarut dan waktu maserasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata

terhadap diameter zona bening pada S.aureus. Perbedaan zona bening tersebut

diuji lebih lanjut menggunakan metode Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).

Hasil uji lanjut DMRT dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Rendemen Ekstrak Antibakteri dari P.cruentum dengan berbagai Jenis Pelarut

Perlakuan Rerata Rendemen (%) DMRT 5%

Jenis Pelarut Waktu Ekstraksi (jam)

Metanol

24 5,22 ± 0,11i 0,23591

48 6,76 ± 0,23j 0,23660

72 7,63 ± 0,20k 0

Etil Asetat

24 1,18 ± 0,06b 0,22009

48 1,42 ± 0,08c 0,22360

72 2,10 ± 0,11d 0,22635

N-heksana

24 2,67 ± 0,01e 0,22855

48 3,65 ± 0,17f 0,23041

72 3,70 ± 0,07f 0,23192

Etanol

24 3,73 ± 0,09f 0,23316

48 4,16 ± 0,19g 0,23426

72 4,40 ± 0,07h 0,23516

Aseton

24 0,65 ± 0,04a 0,19869

48 0,70 ± 0,03a 0,20881

72 0,73 ± 0,05a 0,21541

Keterangan: 1) Setiap data hasil analisa merupakan rerata dari 3 ulangan ± standar deviasi

2) Angka yang didampingi notasi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (α= 0,05)

Tabel 4.2 menunjukan bahwa jenis pelarut dan waktu ekstraksi memberikan

pengaruh nyata terhadap rendemen ekstrak. Berdasarkan data di atas, terdapat

perbedaan hasil rendemen yang dihasilkan dari masing-masing pelarut dan waktu

ekstraksi. Apabila dilihat dari jenis pelarut, maka urutan pelarut dengan nilai

rendemen tertinggi adalah metanol, etanol, n-heksana, etil asetat, dan aseton.

Perbedaan nilai rendemen pada kelima jenis pelarut dapat dihubungkan oleh

beberapa faktor, salah satunya adalah kesamaan polaritas pelarut dan senyawa

yang terkandung di P.cruentum. Berdasarkan konsep “like dissolves like”,

senyawa yang bersifat polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa yang

35

bersifat non polar akan larut dalam pelarut non polar (Arifianti dkk, 2014). Menurut

Rebey et al. (2012), perbedaan pelarut yang didasarkan pada perbedaan polaritas,

dispersibilitas, dan penetrabilitas akan secara selektif mengekstrak berbagai

komponen pada bahan. Kepolaran pada pelarut ditentukan berdasarkan konstanta

dielektriknya. Semakin besar konstanta dielektrik, maka pelarut semakin bersifat

polar.

Menurut Becker (1994), P.cruentum memiliki kadar protein sebesar 28-39%,

kadar karbohidrat sebesar 40-57%, dan total lipid sebesar 9-14% dari berat

keringnya. Biomassa dari P.cruentum juga mengandung tokoferol, vitamin K, dan

karotenoid dalam jumlah besar. Selain itu, ditemukan kandungan mineral yang

tinggi dalam 100 Gram biomassa P. cruentum terutama pada Ca (1248 mg), K

(1219 mg), Na (1170 mg), Mg (63 mg), dan Zn (37,4 mg) (Fuentes et al., 2000).

Pelarut yang memiliki nilai rendemen tertinggi adalah metanol. Apabila

dibandingkan nilai konstanta dielektrik dari masing-masing pelarut, maka metanol

merupakan pelarut paling polar. Komponen terbanyak pada P.cruentum adalah

karbohidrat dan protein yang tergolong polar. Jenis karbohidrat yang ditemukan

pada P.cruentum adalah polisakarida yang ditemukan pada dinding selnya.

Polisakarida tersebut terdiri dari glukosa, galaktosa, xylosa, asam glukoronat dan

asam metil-glukuronat sebagai monomernya (Razaghi et al., 2013). Selain itu,

biomassa P.cruentum juga memiliki kandungan pati (Arad et al., 1985). Jenis

protein yang umum ditemukan pada cyanobacteria dan rhodophyta seperti

P.cruentum adalah pigmen fikobiliprotein. Fikobiliprotein adalah protein yang

berikatan secara kovalen melalui kromofor asam amino sistein bernama fikobilin

dan juga bersifat polar (Christaki et al., 2015). Menurut Sari (2011), pelarut polar

juga memiliki kemampuan mengekstrak senyawa dari kisaran senyawa polar

hingga semi polar. Oleh karena banyaknya komponen polar pada P.cruentum dan

kemampuan senyawa polar yang juga dapat mengekstrak senyawa semi-polar,

maka nilai rendemen tertinggi juga didapatkan dari pelarut polar.

Rendemen pada pelarut etanol memiliki rerata cukup tinggi namun tidak

lebih tinggi dibandingkan metanol. Menurut penelitian terdahulu, baik metanol dan

etanol mampu melarutkan senyawa polar, seperti gula, asam amino, komponen

glikosida dan fenolik (Houghton and Raman, 1998), komponen fenolik dengan

berat molekul rendah sampai sedang (Yu et al., 2009), senyawa flavonoid aglikon

(Dehkarghanian et al., 2010), serta antosianin, terpenoid, tanin, serta saponin

(Cowan, 1999). Pelarut etanol menghasilkan rendemen lebih rendah karena

36

sifatnya yang tidak lebih polar dibandingkan metanol. Konstanta dielektrik dari

etanol adalah 25,3 sedangkan metanol sebesar 33 (Saifudin, 2014). Oleh karena

itu, metanol mampu mengekstrak lebih banyak senyawa polar dibandingkan

etanol.

Rendemen pada pelarut n-heksana memiliki rerata yang juga cukup tinggi

bila dibandingkan dengan etil asetat dan aseton. N-heksana merupakan pelarut

bersifat sangat tidak polar dengan konstanta dielektrik sebesar 2,02 (Saifudin,

2014). Menurut penelitian terdahulu, N-Heksana mampu melarutkan senyawa

lignin, lipid, dan aglikon (Houghton and Raman, 1998), serta sterol dan terpenoid

(Cowan, 1999). Menurut Becker (1994), P.cruentum memiliki kandungan lipid

sebesar 9-14% dari berat keringnya. Lipid merupakan senyawa bersifat non-polar.

Menurut Diraman and Koru (2009), lipid pada P.cruentum terdiri dari berbagai

asam lemak, yaitu 14,17-24,48% asam palmitat, 2,83-9,96% asam palmitoleat,

1,38-4,53% asam stearat, 5,53-14,02% asam oleat, 3,15-11,31% asam linoleat,

6,49-20,71% asam arakidonat, dan 8,17-18,46% EPA. Oleh karena persentase

senyawa non-polar pada P.cruentum cukup tinggi, maka komponen yang dapat

dilarutkan oleh n-heksana juga semakin tinggi sehingga akan berpengaruh

tehadap nilai rendemen dari pelarut n-heksana.

Rerata rendemen dari etil asetat dan aseton memiliki nilai yang cukup

rendah. Kedua pelarut tersebut digolongkan sebagai pelarut semi-polar. Etil asetat

memiliki konstanta dielektrik sebesar 6,02 dan aseton sebesar 20,7 (Saifudin,

2014). Berdasarkan konstanta dielektriknya, maka etil asetat cenderung bersifat

non-polar sedangkan aseton cenderung bersifat polar. Menurut Houghton and

Raman (1998), etil asetat secara optimal mampu mengekstrak alkaloid, aglikon,

dan glikosida sedangkan aseton optimal mengekstrak senyawa yang cenderung

polar (Mabry et al., 1970). Rendahnya rendemen pada kedua pelarut dapat

disebabkan karena adanya perbedaan tingkat kepolaran antara pelarut dan

komponen pada P.cruentum sehingga komponen tersebut tidak dapat terkestrak

secara maksimal (Yu and Goktepe, 2005).

Selain sifat kepolaran dari pelarut, hasil rendemen juga dipengaruhi oleh

komposisi dan kepermeabilitasan dinding sel P. cruentum. Permeabilitas membran

sel akan berubah bila terdapat kesamaan polaritas antara pelarut dan dinding sel

sehingga pelarut dapat lebih mudah mengekstrak senyawa dalam sel (Vratnica et

al., 2011). Komposisi dari dinding sel mempengaruhi ketahanan sel terhadap

tekanan hidrodinamis (Sobczuk et al., 2006). P.cruentum memiliki dinding sel

37

eksopolisakarida (Liu et al., 2016). Menurut Sharma (1986), dinding sel

P.cruentum terdiri dari 2 lapisan. Lapisan luar terdiri dari bahan pectic dan lapisan

bagian dalam terbuat dari cellulosic microfibrils. Komposisi dinding sel pada

P.cruentum tersebut dominan bersifat polar sehingga pelarut polar cenderung

menghasilkan rendemen yang lebih tinggi.

Selain jenis pelarut, waktu maserasi juga berpengaruh terhadap peningkatan

rendemen. Waktu maserasi yang digunakan pada penelitian ini adalah 24 jam, 48

jam, dan 72 jam. Berdasarkan Gambar 4.1, maka dapat terlihat bahwa semakin

lama waktu maserasi, nilai rendemen juga semakin tinggi. Menurut da Silva

(2006), waktu ekstraksi dan jumlah rendemen yang dihasilkan berbanding lurus

dimana dibutuhkan waktu ekstraksi yang lebih lama untuk menghasilkan

rendemen yang lebih tinggi. Semakin lama waktu ekstraksi, maka kontak bahan

dengan pelarut akan semakin lama sehingga menghasilkan ekstrak yang lebih

besar (Prasetyo, 2012).

4.3 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Porphyridium cruentum

Porphyridium cruentum merupakan mikroalga yang berpotensi memiliki

aktivitas antibakteri. Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak P.cruentum dilakukan

dengan metode disc diffusion menggunakan kertas cakram. Menurut Balouiri et al.

(2016), disc diffusion memiliki berbagai kelebihan, yaitu mudah, biaya yang

diperlukan rendah, dapat menguji berbagai ekstrak antibakteri atau jenis bakteri

dalam satu waktu, dan terdapat kemudahan dalam mengintepretasikan data.

Aktivitas antibakteri pada metode disc diffusion ditunjukan dengan terbentuknya

zona bening di sekitar kertas cakram berdiameter 6 mm. Zona bening menunjukan

besarnya aktivitas penghambatan suatu antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri

dimana semakin besar ukuran zona hambat, maka semakin besar pula daya

hambatnya (Saroinsong, 2014). Menurut Vratnica et al. (2011), setiap

mikroorganisme berbeda akan menunjukan tingkat sensitifitas berbeda terhadap

senyawa antibakteri. Setiap ekstrak dengan perlakuan berbeda menghasilkan

diameter zona bening yang berbeda pula.

Ekstrak P.cruentum yang dipakai pada penelitian ini adalah ekstrak

berkonsentrasi 10.000 ppm. Pemilihan konsentrasi tersebut didasari pada

penelitian yang dilakukan oleh Kusmiyati dan Agustini (2017) yang menguji

aktivitas antibakteri ekstrak P.cruentum hasil dari ekstraksi bertingkat dengan

konsentrasi 10.000 ppm, 8.000 ppm, 7.500 ppm, dan 6.000 ppm. Hasil terbaik

38

didapatkan pada ekstrak dengan konsentrasi 10.000 ppm. Ekstrak tersebut

dilarutkan dengan DMSO 20%. Menurut Sari dkk (2017), DMSO 20% tidak

memiliki aktivitas antibakteri, terbukti dengan tidak terbentuknya zona bening pada

uji menggunakan kertas cakram. Oleh karena itu, DMSO 20% dipakai sehingga

zona bening yang terbentuk adalah hasil murni dari aktivitas antibakteri ekstrak.

Bakteri yang dipakai adalah Staphylococcus aureus dan Escherichia coli karena

merupakan bakteri yang bersifat patogen bagi manusia.

Jumlah sel bakteri yang digunakan dalam uji ini telah disamakan sehingga

dapat diketahui kemampuan aktivitas antibakteri terhadap bakteri dalam kisaran

jumlah yang sama. Jumlah bakteri pada uji ini adalah 107 CFU/ml dan berada pada

fase log. Menurut Hermawan dkk (2017), syarat jumlah bakteri untuk uji

kepekaan/sensitifitas adalah 105 – 108 CFU/ml. Fase log adalah fase setelah sel

beradaptasi dimana sel mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara

bertahap yang pada akhirnya akan mencapai laju pertumbuhan maksimum

(Bachruddin, 2018). Menurut Hidayat dkk (2006), kecepatan sel membelah diri

pada fase log tinggi. Proses metabolisme sel pada fase log juga terjadi sangat

cepat dan konstan sampai nutrien habis atau terjadi penimbunan metabolit yang

bersifat racun. Penggunaan bakteri pada fase log diharapkan dapat

mengoptimalkan hasil kerja dari ekstrak mikroalga P.cruentum. Berdasarkan kurva

pertumbuhan yang telah dibuat, bakteri S.aureus akan mencapai kepadatan 107

CFU/ml pada waktu 10 jam 6 menit sedangkan bakteri E.coli pada waktu 7 jam 26

menit. Kurva pertumbuhan bakteri S.aureus dapat dilihat pada Gambar 4.2

sedangkan kurva pertumbuhan E.coli pada Gambar 4.3.

Gambar 4.2 Kurva Pertumbuhan S.aureus

0

2

4

6

8

10

12

0 500 1000 1500 2000

Log

of

Cel

l (C

FU/m

l)

Umur (menit)

39

Gambar 4.3 Kurva Pertumbuhan E.coli

4.3.1 Aktivitas Antibakteri Porphyridium cruentum Terhadap

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif dan dikenal sebagai

bakteri patogen oportunistik, yaitu bakteri yang menjadi patogen ketika sistem

imun inang melemah (Montville and Matthews, 2008). Diameter zona bening yang

dihasilkan ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus berkisar dari 2,03 mm sampai

6,04 mm. Diameter tersebut telah dikurangi oleh diameter dari kertas cakram, yaitu

6mm. Hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus

dapat dilihat pada Gambar 4.4.

Keterangan: perlakuan ekstraksi menggunakan pelarut P1 = Metanol, P2 = Etil asetat, P3 = N-

heksana, P4 = Etanol, P5 = Aseton dengan waktu ekstraksi T1 = 24 jam, T2 = 48 jam, dan T3 = 72 jam

Gambar 4.4 Aktivitas Antibakteri ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus

Perbandingan diameter zona bening yang dihasilkan oleh ekstrak

P.cruentum dengan berbagai jenis pelarut dan waktu maserasi dapat dilihat pada

Gambar 4.5.

P3T

1

P2T2

P3T

2

0

2

4

6

8

10

12

0 500 1000 1500 2000

Log

of

Cel

l (C

FU/m

l)

Waktu (menit)

40

Gambar 4.5 Diameter Zona Bening ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus

Gambar 4.5 menunjukan bahwa ekstrak setiap pelarut memiliki perbedaan

hasil zona bening. Selain itu, waktu ekstraksi 24 jam dan 48 jam menghasilkan

peningkatan diameter. Penurunan diameter zona bening terjadi pada semua

pelarut dalam waktu ekstraksi 72 jam. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam

dengan taraf kepercayaan 95%, interaksi jenis pelarut dan waktu maserasi

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap diameter zona bening pada

S.aureus. Perbedaan zona bening tersebut diuji lebih lanjut menggunakan metode

Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Hasil uji lanjut DMRT dapat dilihat pada

Tabel 4.3.

4,51 4,603,75

5,84 6,04

4,27

3,29 3,50

2,03

3,99 4,283,89

4,46

5,36

4,16

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

24 48 72

Dia

me

ter

Zon

a B

enin

g S.

aure

us

(mm

)

Waktu Maserasi (jam)

Metanol Etil Asetat N-Heksana Etanol Aseton

41

Tabel 4.3 Rerata Diameter Zona Bening Staphylococcus aureus dari Perlakuan Berbeda

Perlakuan Rerata Diameter Zona Bening S.aureus (mm)

DMRT 5% Jenis Pelarut Waktu Ekstraksi (jam)

Metanol

24 4,51 ± 0,09d 0,57443

48 4,60 ± 0,38d 0,57662

72 3,75 ± 0,32bc 0,53967

Etil Asetat

24 5,84 ± 0,36ef 0,58016

48 6,04 ± 0,23f 0

72 4,51 ± 0,29cd 0,56498

N-heksana

24 3,29± 0,23b 0,51201

48 3,50 ± 0,11b 0,52820

72 2,03 ± 0,27a 0,48721

Etanol

24 3,99 ± 0,29c 0,55503

48 4,28 ± 0,42cd 0,56869

72 3,89 ± 0,04c 0,54828

Aseton

24 4,46 ± 0,44d 0,57173

48 5,36 ± 0,26e 0,57848

72 4,16 ± 0,39cd 0,56042

Keterangan: 1) Setiap data hasil analisa merupakan rerata dari 3 ulangan ± standar deviasi

2) Setiap data zona bening telah dikurangi diameter kertas cakram sebesar 6 mm

2) Angka yang didampingi notasi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (α= 0,05)

Tabel 4.3 menunjukan bahwa jenis pelarut dan waktu ekstraksi memberikan

pengaruh nyata (p-value<0,05) terhadap diameter zona bening ekstrak

P.cruentum terhadap S.aureus. Menurut Mashhadinejad et al. (2018), pentingnya

penggunaan pelarut dengan berbagai tingkat kepolaran telah banyak disorot untuk

skrining komponen biologis mikroalga karena karakteristik bioaktivitas suatu bahan

sangat bergantung pada pelarut ekstraksi dan solubilitas dari senyawa spesifiknya.

Pemilihan berbagai jenis pelarut diharapkan mampu mengekstrak senyawa

bioaktif yang berbeda-beda pula sehingga perbedaan aktivitas antibakteri dapat

terlihat jelas. Pada penelitian ini, urutan diameter zona bening dari yang terbesar

secara berurutan adalah ekstrak etil asetat, aseton, metanol, etanol sedangkan n-

heksana menghasilkan diameter terkecil.

42

Ekstrak P.cruentum dengan pelarut etil asetat menghasilkan diameter zona

bening terbesar. Besarnya diameter zona bening berbanding lurus dengan

aktivitas antibakteri ekstrak sehingga etil asetat memiliki aktivitas antibakteri

tertinggi. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Mashhadinejad et al. (2018) dimana ekstrak pelarut etil asetat mikroalga C.

vulgaris menghasilkan aktivitas antibakteri tertinggi terhadap S.aureus. Penelitian

yang dilakukan Sivathanu et al. (2011) juga menunjukan bahwa ekstrak etil asetat

mikroalga C.humicola memiliki aktivitas antibakteri tertinggi terhadap bakteri Gram

positif dibandingkan pelarut lain. Menurut Mashhadinejad et al. (2018), hal tersebut

berkaitan erat dengan adanya persamaan kepolaran antara etil asetat dengan

senyawa pada mikroalga yang memiliki aktivitas antibakteri baik.

Etil asetat merupakan pelarut semi-polar. Sifat kepolarannya membuat etil

asetat mampu mengekstrak analit-analit bersifat polar maupun non-polar (Artini

dkk, 2013). Menurut Borquaye et al., (2016) dalam penelitiannya tentang aktivitas

antibakteri moluska laut L.littorea and G. paradoxa menyatakan bahwa ekstrak etil

asetat terbukti mengandung asam lemak dalam jumlah banyak. Hal tersebut juga

diungkapkan oleh Karthikeyan et al. (2014) dimana asam lemak terekstraksi oleh

etil asetat dan menjadikannya senyawa antimikroba berpotensi. Menurut

Kusumayati dan Agustini (2007), senyawa antibakteri dominan pada P. cruentum

adalah asam lemak metil palmitat sebanyak 41,15%. Etil asetat mampu

melarutkan asam lemak karena meskipun merupakan pelarut semi-polar, namun

sifatnya cenderung mengarah ke lipofilik, sehingga asam lemak dapat mudah

terekstrak pada etil asetat.

Selain asam lemak, etil asetat juga dapat mengekstrak senyawa bioaktif

lainnya seperti fenol, flavonoid, saponin dan triterpenoid (Dia dkk, 2015).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Galanakis et al. (2013) terhadap

solubilitas fenol alami pada berbagai jenis pelarut, etil asetat mampu melarutkan

komponen asam fenolik seperti caffeic, ferulic dan coumaric. Komponen fenol

paling aktif seperti tyrosol dan hydroxytyrosol juga lebih banyak ditemukan pada

etil asetat dibandingkan dengan pelarut lain. Selain itu, ekstrak etil asetat juga

mengandung komponen flavonoid aglikon. Flavonoid aglikon adalah flavonoid

yang memiliki gugus (OH) pada posisi C-7 dan (OH) tersubstitusi pada C-3

(Frindriyani dkk, 2016). Oleh karena kemampuan ekstraksinya yang luas terhadap

senyawa bioaktif, maka ekstrak pelarut etil asetat dapat menghasilkan beragam

senyawa antibakteri meski rendemennya rendah (Dia dkk, 2015).

43

Ekstrak dari pelarut aseton juga memiliki aktivitas antibakteri tinggi

dibandingkan pelarut lain namun lebih rendah bila dibandingkan dengan etil asetat.

Hal tersebut berkaitan dengan konsep “like dissolves like” dimana senyawa akan

larut pada pelarut dengan polaritas yang sama. Menurut penelitian Logeswari dkk

(2014) terhadap berbagai mikroalga, ekstrak aseton terbukti mengandung

komponen bioaktif yang memiliki aktivitas antibakteri seperti flavonoid, terpenoid,

alkaloid, dan saponin. Selain itu, fraksi aseton 90% dari ekstrak P.cruentum

terbukti mengandung fikobilisom yang menghasilkan pigmen fikobiliprotein

(Redlinger and Gantt, 1982). Meski diduga mengandung berbagai senyawa

bioaktif, aktivitas antibakteri pada pelarut aseton lebih rendah dibandingkan

dengan etil asetat. Kemungkinan besar senyawa yang berpotensi sebagai

antibakteri pada ekstrak P.cruentum memiliki polaritas yang lebih serupa dengan

etil asetat dibandingkan dengan aseton. Hal tersebut sesuai dengan penelitian

terdahulu Anam dkk (2014) terhadap mikroalga Spirulina plantesis, dimana pelarut

etil asetat mampu mengekstrak jenis senyawa bioaktif yang lebih banyak

dibandingkan aseton.

Sementara itu, metanol dan etanol sebagai pelarut bersifat polar memiliki

aktivitas antibakteri yang hampir serupa. Hasil yang lebih rendah didapatkan oleh

pelarut etanol. Berdasarkan penelitian terdahulu, baik metanol dan etanol mampu

melarutkan senyawa polar, seperti komponen glikosida dan fenolik, komponen

fenolik dengan berat molekul rendah sampai sedang, senyawa flavonoid aglikon,

serta antosianin, terpenoid, tanin, serta saponin (Houghton and Raman, 1998; Yu

et al., 2009; Dehkarghanian et al., 2010; Cowan, 1999). Menurut skrining senyawa

bioaktif yang dilakukan oleh Logeswari et al. (2014) terhadap beberapa mikroalga,

pelarut metanol dan etanol terbukti mampu mengekstrak flavonoid, alkaloid, dan

saponin. Menurut Najdenski et al. (2013), senyawa pada P.cruentum yang dapat

terekstrak oleh pelarut metanol dan etanol adalah komponen fikobiliprotein yang

bersifat polar, namun mekanisme aktivitas antibakterinya masih belum diketahui.

Selain itu, terdapat komponen eksopolisakarida yang juga bersifat polar sehingga

dapat terekstraksi oleh kedua pelarut (Liu et al., 2016). Mekanisme aktivitas

antibakteri eksopolisakarida adalah dengan menembus ke dalam membran sel

bakteri dan secara bergantian mengganggu proses replikasi bakteri dengan

menekan pertumbuhan bakteri (Nwodo et al., 2012).

Berbagai senyawa antibakteri dapat dilarutkan oleh kedua pelarut polar ini,

namun cakupan ekstraksi senyawa bioaktif bersifat antibakteri yang kurang luas

44

(hanya pada komponen polar) menyebabkan metanol dan etanol menghasilkan

diameter zona hambat yang lebih kecil bila dibandingkan dengan etil asetat dan

aseton.

Diameter zona bening terkecil didapatkan oleh n-heksana yang bersifat non-

polar. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Fadlila dkk (2015) terhadap aktivitas

antibakteri tangkai daun talas dimana n-heksana memiliki aktivitas antibakteri

terkecil. Sebagai pelarut non-polar, senyawa yang dilarutkan oleh n-heksana

merupakan senyawa yang bersifat non-polar seperti lignin, lipid, dan aglikon

(Houghton and Raman, 1998), serta sterol dan terpenoid (Cowan, 1999).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusmiyati dan Agustini (2007),

senyawa antibakteri dominan yang terdapat pada ekstrak n-heksana adalah metil

palmitat. Metil palmitat merupakan metil ester asam lemak yang aktivitas

antibakterinya tergolong lemah bila dibandingkan dengan senyawa lainnya

dengan kepolaran berbeda (Pinto et al., 2017). Oleh karena itu, diameter zona

bening yang terbentuk dari ekstrak pelarut n-heksana lebih kecil dibandingkan

pelarut lainnya.

Selain itu, terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi perolehan

diameter zona bening n-heksana, yaitu ketidaksempurnaan dalam pelarutan

menggunakan DMSO sehingga senyawa antibakteri pada ekstrak n-heksana tidak

larut sempurna dan mengakibatkan konsentrasi sampel lebih kecil serta kurangnya

absorpsi ekstrak pada media (Fadlila dkk, 2015). Selain itu, lipid yang menjadi

komponen utama pada ekstrak n-heksana memiliki molekul besar sehingga

mengganggu proses difusi dan membuatnya tidak mampu menghambat

pertumbuhan bakteri (Nurcahyanti dkk, 2011).

Kedua pelarut dengan aktivitas tertinggi memiliki sifat semi-polar. Apabila

dibandingkan dengan perolehan rendemennya, tingkat aktivitas antibakteri yang

diperoleh tidak berbanding lurus. Etil asetat dan aseton dengan nilai rendemen

terendah memiliki aktivitas antibakteri yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan

ketiga pelarut lainnya. Hal tersebut dapat terjadi karena tidak terdapat proses

purifikasi senyawa pada penelitian ini. Menurut Berg et al. (2002), nilai rendemen

yang tinggi tanpa adanya purifikasi senyawa target membuat ekstrak cenderung

mengandung lebih banyak “kontaminan”. Kontaminan diartikan sebagai senyawa

yang tidak memiliki aktivitas yang diinginkan sehingga keberadaannya akan

menyulitkan intepretasi hasil penelitian.

45

Selain tidak adanya proses purifikasi senyawa target, senyawa yang

diekstrak dengan pelarut yang memiliki polaritas optimum (semi-polar) akan

memiliki aktivitas antibakteri maksimal karena adanya keseimbangan hidrofilik dan

lipofilik (Hydrophilic Lypophilic Balance) yang menjadikan interaksi antar

antibakteri dan bakteri juga maksimal (Kanazawa et al.,1995). Sifat hidrofilik

penting untuk menjamin senyawa larut dalam fase air yang merupakan tempat

hidup mikroba. Sifat lipofilik diperlukan senyawa untuk dapat bekerja pada

membran sel hidrofobik (Nurcahyanti dkk, 2011). Oleh karena itu, ekstrak dari

pelarut semi-polar lebih mampu menghasilkan aktivitas antibakteri yang optimal.

Hal tersebut sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nurcahyanti

dkk (2011) dimana ekstrak biji selasih etil asetat dan aseton memiliki aktivitas

antibakteri tertinggi dibandingkan dengan metanol dan kloroform.

Greenswood (1995) dalam Pratama (2005) mengklasifikasikan aktivitas

antibakteri ke dalam 4 respon berdasarkan diameter zona beningnya. Apabila

zona bening yang terbentuk bernilai di bawah 10 mm maka aktivitas antibakteri

dinilai kurang efektif, diameter 10-15 mm dinilai lemah, 16-20 mm dinilai sedang,

dan aktivitas antibakteri tergolong kuat bila diameter zona beningnya lebih dari 20

mm. Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka aktivitas antibakteri ekstrak

P.cruentum dengan konsentrasi 10.000 ppm dinilai kurang efektif terhadap

S.aureus karena diameter zona bening hanya berkisar antara 2,03 mm sampai

6,04 mm.

Menurut Mishra (2007), diameter zona bening yang terbentuk dapat

disebabkan oleh mutu ekstrak yang dipengaruhi oleh faktor-faktor meliputi spesies

penghasil antibakteri, asal spesies, waktu pemanenan, penyimpanan bahan baku,

dan umur panen. Selain itu, konsentrasi ekstrak antibakteri juga sangat

berpengaruh terhadap ukuran zona bening (Harmita, 2008). Kusmiyati dan

Agustini (2007) melaporkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak P.cruentum

menunjukkan zona hambat yang semakin besar terhadap bakteri S. aureus, B.

subtilis, dan E. coli. Menurut Vandepitte et al. (2003), faktor lainnya adalah waktu

penempatan kertas cakram ke dalam agar. Apabila kertas cakram yang telah

ditempatkan pada agar ditinggalkan di suhu ruang dan melebihi waktu standar,

inokulum dapat berkembang biak sehingga terjadi penurunan zona bening yang

mengakibatkan ekstrak berisi antibakteri dianggap kurang/tidak efektif.

Berdasarkan waktu ekstraksinya, diameter zona bening pada kelima pelarut

mencapai nilai tertinggi pada waktu ekstraksi 48 jam dan menurun pada waktu 72

46

jam. Menurut Nagarajan et al. (2011), semakin lama waktu ekstraksi yang

digunakan maka konsentrasi senyawa bioaktif yang berperan dalam menghambat

pertumbuhan mikroorganisme juga akan meningkat. Namun, waktu ekstraksi yang

semakin lama juga akan mengacu pada perubahan kimiawi, salah satunya adalah

terjadi proses oksidasi komponen bioaktif seperti flavonoid (Trusheva et al.,

(2007). Pernyataan tersebut juga didukung oleh penelitian lainnya yang

menyatakan bahwa ekstraksi berkepanjangan akan membuat komponen bioaktif

akan semakin lama terpapar oleh faktor lingkungan seperti cahaya dan oksigen

sehingga komponen bioaktif lebih mudah rusak ((Juntachote et al., (2006);

Chirinos et al., (2007); Chan et al., (2009)). Berdasarkan pernyataan tersebut,

maka dapat dikatakan bahwa penurunan diameter zona bening pada seluruh

ekstrak 72 jam disebabkan oleh rusaknya senyawa bioaktif yang berperan dalam

aktivitas antibakteri akibat waktu maserasi yang terlalu lama.

4.3.2 Aktivitas Antibakteri Porphyridium cruentum Terhadap Escherichia

coli

Eschericia coli adalah bakteri Gram negatif dan juga merupakan bakteri

patogen oportunistik. Diameter zona bening yang dihasilkan ekstrak P.cruentum

terhadap E.coli berkisar dari 2,17 mm sampai 4,86 mm. Diameter tersebut telah

dikurangi oleh diameter dari kertas cakram, yaitu 6mm. Hasil pengujian aktivitas

antibakteri ekstrak P.cruentum terhadap E.coli dapat dilihat pada Gambar 4.6.

Keterangan: perlakuan ekstraksi menggunakan pelarut P1 = Metanol, P2 = Etil asetat, P3 = N-

heksana, P4 = Etanol, P5 = Aseton dengan waktu ekstraksi T1 = 24 jam, T2 = 48 jam, dan T3 = 72 jam

Gambar 4.6 Aktivitas Antibakteri ekstrak P.cruentum terhadap E.coli

P5T1

47

Gambar 4.6 menunjukan bahwa ekstrak setiap pelarut memiliki perbedaan

hasil zona bening. Selain itu, waktu ekstraksi 24 jam dan 48 jam menghasilkan

peningkatan diameter. Penurunan diameter zona bening terjadi pada semua

pelarut dalam waktu ekstraksi 72 jam. Perbandingan diameter zona bening yang

dihasilkan oleh ekstrak P.cruentum dengan berbagai jenis pelarut dan waktu

maserasi dapat dilihat pada Gambar 4.7.

Gambar 4.7 Diameter Zona Bening ekstrak P.cruentum terhadap E.coli

Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dengan taraf kepercayaan 95%, jenis

pelarut dan waktu maserasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap

diameter zona bening pada E.coli. Perbedaan zona bening tersebut diuji lebih

lanjut menggunakan metode Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Hasil uji

lanjut DMRT dapat dilihat pada Tabel 4.4.

3,354,00 3,993,98

4,86

3,342,87

3,80

2,17

3,283,72

3,03

4,123,52

2,99

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

24 48 72

Dia

met

er z

on

a B

enin

g E.

coli

(mm

)

Waktu Ekstraksi (jam)

Metanol Etil Asetat N-Heksana Etanol Aseton

48

Tabel 4.4 Rerata Diameter Zona Bening Eschericia coli dari Perlakuan Berbeda

Perlakuan Rerata Diameter Zona Bening E.coli (mm)

DMRT 5% Jenis Pelarut Waktu Ekstraksi (jam)

Metanol

24 3,35 ± 0,20bc 0,56042

48 4,00 ± 0,27d 0,57848

72 3,99 ± 0,09d 0,57662

Etil Asetat

24 3,98 ± 0,19d 0,57443

48 4,86 ± 0,21e 0

72 3,34 ± 0,18bc 0,55503

N-heksana

24 2,87 ± 0,19b 0,51201

48 3,80 ± 0,14cd 0,57173

72 2,17 ± 0,11a 0,48721

Etanol

24 3,28 ± 0,10bc 0,54828

48 3,72 ± 0,23cd 0,56869

72 3,03 ± 0,19b 0,53967

Aseton

24 4,12 ± 0,13d 0,58016

48 3,52 ± 0,20c 0,56498

72 2,99 ± 0,09b 0,52820

Keterangan: 1) Setiap data hasil analisa merupakan rerata dari 3 ulangan ± standar deviasi

2) Angka yang didampingi notasi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (α= 0,05)

Tabel 4.4 menunjukan bahwa bahwa jenis pelarut dan waktu ekstraksi

memberikan pengaruh nyata (p-value<0,05) pada diameter zona bening ekstrak

P.cruentum terhadap E.coli. Urutan diameter zona bening dari yang terbesar

secara berurutan adalah ekstrak etil asetat>aseton>metanol>etanol>n-heksana.

Diameter zona bening tertinggi didapatkan oleh pelarut etil asetat yang

menandakan bahwa ekstrak pelarut etil asetat memiliki aktivitas antibakteri

tertinggi. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sivathanu et al.

(2011) dimana ekstrak etil asetat mikroalga C.humicola memiliki aktivitas

antibakteri tertinggi dibandingkan pelarut lain. Menurut Guven et al. (2005), ekstrak

etil asetat dari spesies tamanan Centaurea juga menunjukan aktivitas antibakteri

yang lebih kuat dan berspektrum lebih luas bila dibandingkan dengan ekstrak

etanol, aseton, maupun kloroform. Menurut Mashhadinejad et al. (2018), hal

tersebut berkaitan erat dengan adanya persamaan kepolaran antara etil asetat

dengan senyawa pada mikroalga yang memiliki aktivitas antibakteri baik. Selain

49

itu, kemampuan ekstraksi dari etil asetat luas sehingga dapat menghasilkan

beragam senyawa antibakteri meski rendemennya rendah (Dia dkk, 2015).

Adapun senyawa bioaktif penghasil aktivitas antibakteri tertinggi yang diduga

berada pada ekstrak dengan pelarut etil asetat adalah asam lemak (Karthikeyan

et al., 2014). Selain asam lemak, etil asetat juga dapat mengekstrak senyawa

bioaktif lainnya seperti fenol, flavonoid aglikon, saponin dan triterpenoid (Dia dkk,

2015; Frindriyani dkk, 2016).

Sementara itu, diameter terkecil yang didapatkan oleh n-heksana dapat

disebabkan oleh beberapa faktor. Senyawa yang diduga terkandung di dalam

ekstrak dengan pelarut n-heksana adalah senyawa yang bersifat non-polar seperti

lignin, lipid, dan aglikon (Houghton and Raman, 1998), serta sterol dan terpenoid

(Cowan, 1999). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusmiyati dan

Agustini (2007), senyawa antibakteri dominan yang terdapat pada ekstrak n-

heksana adalah metil palmitat. Faktor-faktor penyebab rendahnya aktivitas

antibakteri pada n-heksana adalah konsentrasi sampel lebih kecil daripada

semestinya karena senyawa antibakteri ekstrak n-heksana tidak sempurna larut

pada DMSO, proses absorpsi senyawa pada media kurang optimal dan ukuran

molekul lipid terekstrak pada n-heksana cenderung besar sehingga dapat

menghambat proses difusi ke dalam sel (Fadlila dkk, 2015; Nurcahyanti dkk,

2011).

Sama halnya dengan aktivitas antibakteri terhadap S.aureus, aktivitas

antibakteri ekstrak P.cruentum dengan konsentrasi 10.000 ppm terhadap E.coli

dinilai kurang efektif karena diameter zona bening hanya berkisar antara 2,17 mm

sampai 4,86 mm. Selain diakibatkan oleh mutu ekstrak, konsentrasi ekstrak, dan

waktu penempatan kertas cakram ke dalam agar (Mishra, 2007; Harmita, 2008;

Vandepitte et al., 2003) kecilnya zona bening yang terbentuk diakibatkan oleh

komposisi dinding sel E.coli yang sulit ditembus oleh senyawa antibakteri. Menurut

Madigan et al. (2009), komposisi dinding sel bakteri Gram negatif terdiri dari 5-10%

peptidoglikan dan selebihnya merupakan protein, lipopolisakarida, dan lipoprotein.

Sktruktur dinding sel yang kompleks dan berlapis membuat senyawa aktif

antibakteri sulit terpenetrasi ke dalam sel sehingga menyebabkan E.coli tidak peka

terhadap senyawa antibakteri tersebut (Amaro et al., 2011).

Diameter zona bening apabila dilihat dari waktu ekstraksinya mencapai nilai

tertinggi pada ekstrak yang diekstraksi selama 48 jam dan menurun pada ekstrak

72 jam. Kekurangan dari maserasi adalah memakan banyak waktu dan pelarut

50

yang digunakan cukup banyak (Mukhriani, 2014). Waktu yang cukup lama

kemungkinan membuat komponen bioaktif yang berperan sebagai antibakteri

pada ekstrak P.cruentum rusak sehingga tidak dapat bekerja secara optimum

terhadap bakteri E.coli. Hal tersebut didukung oleh penelitian terdahulu yang

menyatakan bahwa ekstraksi berkepanjangan akan membuat komponen bioaktif

akan semakin lama terpapar oleh faktor lingkungan seperti cahaya dan oksigen

sehingga komponen bioaktif lebih mudah rusak ((Juntachote et al., (2006);

Chirinos et al., (2007); Chan et al., (2009)).

4.3.3 Perbandingan Aktivitas Antibakteri Terhadap Staphylococcus aureus

dan Escherichia coli

Gambar 4.8 Perbedaan Diameter Zona Bening terhadap S.aureus dan E.coli

Berdasarkan Gambar 4.8, maka dapat diketahui bahwa hampir semua

ekstrak antibakteri dari P.cruentum lebih optimal menghambat pertumbuhan

S.aureus dibandingkan dengan E.coli. Penyebab yang mendasari hal tersebut

adalah dinding sel dari masing-masing bakteri. Menurut Jawetz et al. (2013),

perbedaan struktur dinding sel bakteri menentukan ikatan, penetrasi, dan aktivitas

senyawa antibakteri. S.aureus merupakan bakteri Gram positif sedangkan E.coli

merupakan bakteri Gram negatif. Dinding sel dari E.coli terbentuk dari 5-10%

peptidoglikan dan selebihnya merupakan protein, lipopolisakarida, dan lipoprotein

4,51 4,60

3,75

5,84 6,04

4,27

3,29 3,50

2,03

3,994,28

3,894,46

5,36

4,16

3,354,00 3,99 3,98

4,86

3,342,87

3,80

2,17

3,283,72

3,03

4,123,52

2,99

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

Dia

me

ter

Zon

a B

en

ing

(mm

)

S.aureus E.coli

51

sedangkan dinding sel S.aureus terbentuk dari komponen utama peptidoglikan

(Madigan et al., 2009).

Salah satu mekanisme kerja senyawa antibakteri adalah menghambat

sintesis dinding sel dengan menghambat pembentukan lapisan peptidoglikan.

Antibakteri akan bereaksi dengan satu atau banyak enzim yang dibutuhkan pada

proses sintesis sehingga menyebabkan pembentukan dinding sel menjadi lemah

dan terjadi pemecahan osmotik (Talaro, 2008). Terganggunya sintesis

peptidoglikan menyebabkan dinding sel tidak terbentuk sempurna sehingga sel

hanya diliputi oleh membran. Hal tersebut membuat bakteri Gram positif lebih

mudah mengalami lisis. Pada umumnya, bakteri Gram negatif kurang rentan

terhadap proses ini dikarenakan antibakteri gagal mencapai dinding sel akibat

terhalang oleh membran luar pada bakteri (Ullah and Ali, 2017).

Meskipun begitu, senyawa antibakteri juga dapat bekerja pada bakteri Gram

negatif seperti E.coli. Pada bakteri Gram negatif terdapat 3 polimer yang

terkandung pada membran di luar peptidoglikan, yaitu lipoprotein, porin matriks,

dan lipopolisakarida. Senyawa antibakteri dapat masuk melalui protein porin

sehingga memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul

rendah (Parhusip, 2006). Namun, aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram

negatif akan lebih rendah dibandingkan Gram positif karena tidak semua senyawa

antibakteri memiliki berat molekul rendah dan berdifusi masuk ke dalam sel.

Semakin tinggi berat molekul maka semakin sulit untuk menembus membran luar

bakteri Gram negatif (Jawetz et al., 2013).

Pengecualian terjadi pada ekstrak n-heksana dengan waktu maserasi 48

jam dan 72 jam dimana diameter zona bening ekstrak terhadap E.coli lebih tinggi

dibandingkan S.aureus. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Yilmaz et al., (2016) yang menyatakan bahwa ekstrak n-heksana

dari P.cruentum lebih aktif terhadap bakteri Gram negatif. Menurut Sukandar dkk

(2015), dinding sel E.coli mengandung lipid dalam jumlah tinggi sekitar 11-22%

sedangkan dinding sel S.aureus memiliki kandungan lipid yang lebih rendah, yaitu

sekitar 1-4%. Oleh karena jumlah lipid yang tinggi, n-heksana sebagai pelarut

senyawa non-polar lebih mampu melarutkan dinding sel dan terpenetrasi masuk

ke dalam membran sel E.coli.

52

4.4 Uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Ekstrak Porphyridium

cruentum

Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) merupakan nilai konsentrasi terendah

suatu antibakteri untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang terlihat setelah

diinkubasi semalam. Prinsip dari uji KHM adalah mengetahui konsentrasi terendah

suatu antibakteri untuk menghambat pertumbuhan bakteri dengan menggunakan

larutan antibakteri yang telah diencerkan ke dalam beberapa tahapan konsentrasi.

Konsentrasi yang dipakai pada penelitian ini terdiri dari 6 tahapan yaitu 10.000

ppm, 5.000 ppm, 2.500 ppm, 1250 ppm, 625 ppm, dan 312,5 ppm. Penentuan

konsentrasi didasarkan pada two-fold dilution, yaitu pengenceran berkala

sebanyak setengah dari konsentrasi sebelumnya (Chakraborty et al, 2014).

Nilai KHM dapat ditentukan hanya melalui metode turbidimetri (pengamatan

secara visual) dimana adanya kekeruhan menandakan bahwa bakteri masih dapat

tumbuh, sedangkan media yang jernih menandakan ada aktivitas penghambatan

(Jagessar et al., 2008). Menurut Ajizah (2004), untuk mengurangi kesalahan

penilaian secara subjektif dari peneliti mengenai tingkat kekeruhan sampel, maka

diperlukan lanjutan pembacaan hasil yang lebih akurat yaitu dengan mengukur

nilai absorbansi sebelum dan sesudah inkubasi menggunakan spektrofotometer.

Penentuan KHM didapatkan dari nilai absorbansi akhir (sesudah diinkubasi)

sama atau lebih rendah dibandingkan absorbansi awal (sebelum inkubasi) dan

menghasilkan rata-rata OD nol (0) atau minus (-) (Yunika dkk, 2017). OD atau

Optical Density bukanlah pengukuran langsung jumlah mikroba namun

peningkatan nilai OD dapat mewakilkan pertumbuhan mikroba. Nilai OD

berbanding lurus dengan konsentrasi sel (Aneja, 2007). Data pembacaan OD pada

ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus dan E.coli dapat dilihat pada Tabel 4.5.

53

Tabel 4.5 Selisih Absorbansi pada Ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus dan E.coli

Perlakuan Konsentrasi

(ppm)

Nilai KHM (∆OD)

S. aureus E.coli Abs awal Abs akhir ∆OD Abs awal Abs akhir ∆OD

Kontrol (-) - 0,160 0,736 0,576 0,075 0,63 0,555

Kontrol (+) 0,254 0,145 -0,109 0,233 0,161 -0,072

P1T1

10.000 0,148 0,293 0,145 0,315 0,594 0,278

5.000 0,110 0,408 0,298 0,414 0,804 0,389

2.500 0,118 0,555 0,437 0,239 0,671 0,431

1.250 0,090 0,703 0,612 0,175 0,838 0,662

625 0,082 0,753 0,671 0,127 0,791 0,664

312,5 0,068 0,774 0,706 0,121 0,632 0,511

P1T2

10.000 0,210 0,206 -0,004 0,328 0,567 0,238

5.000 0,177 0,177 -0,001 0,413 0,745 0,332

2.500 0,163 0,336 0,173 0,249 0,589 0,340

1.250 0,122 0,444 0,322 0,157 0,747 0,589

625 0,091 0,566 0,475 0,151 0,780 0,629

312,5 0,077 0,676 0,599 0,129 0,761 0,632

P1T3

10.000 0,158 0,451 0,293 0,261 0,566 0,305

5.000 0,118 0,510 0,392 0,164 0,492 0,328

2.500 0,097 0,620 0,523 0,241 0,598 0,358

1.250 0,091 0,744 0,654 0,165 0,540 0,375

625 0,077 0,761 0,684 0,137 0,731 0,595

312,5 0,069 0,785 0,716 0,143 0,746 0,603

P2T1

10.000 0,247 0,507 0,260 0,713 0,984 0,270

5.000 0,155 0,455 0,300 0,153 0,423 0,269

2.500 0,118 0,483 0,365 0,295 0,834 0,539

1.250 0,095 0,587 0,492 0,167 0,730 0,562

625 0,086 0,666 0,580 0,134 0,706 0,571

312,5 0,072 0,710 0,638 0,129 0,761 0,631

P2T2

10.000 0,251 0,248 -0,004 0,884 1,081 0,197

5.000 0,231 0,339 0,108 0,208 0,501 0,294

2.500 0,336 0,550 0,213 0,226 0,601 0,375

1.250 0,154 0,482 0,329 0,163 0,579 0,416

625 0,131 0,507 0,376 0,132 0,563 0,431

312,5 0,126 0,661 0,535 0,138 0,739 0,601

P2T3

10.000 0,192 0,333 0,141 0,478 0,736 0,258

5.000 0,232 0,456 0,224 0,451 0,713 0,262

2.500 0,167 0,424 0,257 0,237 0,542 0,305

1.250 0,107 0,505 0,399 0,321 0,627 0,307

625 0,078 0,636 0,558 0,157 0,650 0,493

312,5 0,071 0,646 0,575 0,140 0,647 0,507

P3T1

10.000 0,088 0,680 0,593 0,169 0,462 0,293

5.000 0,085 0,727 0,642 0,128 0,529 0,402

2.500 0,077 0,765 0,688 0,121 0,538 0,416

1.250 0,072 0,783 0,711 0,154 0,585 0,431

625 0,074 0,731 0,657 0,127 0,585 0,458

312,5 0,062 0,807 0,746 0,230 0,698 0,468

P3T2

10.000 0,088 0,637 0,548 0,130 0,317 0,187

5.000 0,077 0,659 0,581 0,253 0,580 0,327

2.500 0,074 0,688 0,614 0,140 0,634 0,494

1.250 0,075 0,697 0,622 0,133 0,724 0,591

625 0,069 0,708 0,639 0,132 0,728 0,595

312,5 0,068 0,747 0,679 0,141 0,747 0,606

P3T3

10.000 0,068 0,636 0,568 0,252 0,631 0,379

5.000 0,071 0,654 0,583 0,140 0,657 0,517

2.500 0,065 0,473 0,408 0,138 0,666 0,528

1.250 0,073 0,683 0,610 0,147 0,710 0,564

625 0,069 0,708 0,639 0,138 0,715 0,577

312,5 0,071 0,741 0,670 0,146 0,752 0,606

P4T1

10.000 0,137 0,431 0,294 0,205 0,418 0,213

5.000 0,124 0,563 0,439 0,355 0,587 0,232

2.500 0,108 0,652 0,543 0,233 0,618 0,385

1.250 0,099 0,685 0,586 0,152 0,632 0,480

625 0,081 0,727 0,646 0,144 0,797 0,653

312,5 0,069 0,756 0,687 0,131 0,818 0,687

P4T2

10.000 0,119 0,563 0,444 0,267 0,367 0,100

5.000 0,114 0,601 0,486 0,215 0,545 0,330

2.500 0,115 0,713 0,598 0,256 0,589 0,333

1.250 0,091 0,752 0,661 0,148 0,641 0,493

625 0,081 0,790 0,709 0,135 0,734 0,599

312,5 0,071 0,829 0,758 0,129 0,759 0,630

P4T3

10.000 0,114 0,629 0,515 0,242 0,409 0,167

5.000 0,097 0,658 0,561 0,204 0,408 0,204

2.500 0,083 0,697 0,614 0,264 0,617 0,353

1.250 0,076 0,728 0,652 0,164 0,526 0,362

625 0,070 0,755 0,685 0,153 0,753 0,599

312,5 0,068 0,789 0,721 0,151 0,764 0,613

54

Tabel 4.5 (Lanjutan) Selisih Absorbansi pada Ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus

dan E.coli

P5T1

10.000 0,272 0,352 0,081 0,582 0,728 0,146

5.000 0,224 0,375 0,151 0,225 0,547 0,322

2.500 0,239 0,507 0,268 0,242 0,514 0,272

1.250 0,158 0,587 0,429 0,191 0,509 0,319

625 0,103 0,652 0,549 0,146 0,673 0,526

312,5 0,093 0,667 0,574 0,134 0,712 0,578

P5T2

10.000 0,378 0,496 0,118 0,462 0,699 0,237

5.000 0,336 0,547 0,211 0,544 0,790 0,246

2.500 0,256 0,443 0,186 0,284 0,544 0,260

1.250 0,174 0,475 0,301 0,207 0,577 0,370

625 0,128 0,624 0,496 0,175 0,591 0,416

312,5 0,091 0,689 0,597 0,132 0,729 0,597

P5T3

10.000 0,279 0,550 0,271 0,777 0,985 0,208

5.000 0,215 0,576 0,361 0,452 0,695 0,243

2.500 0,160 0,658 0,499 0,271 0,543 0,271

1.250 0,104 0,680 0,576 0,246 0,482 0,236

625 0,091 0,690 0,599 0,176 0,663 0,487

312,5 0,075 0,721 0,646 0,150 0,666 0,515

Keterangan: perlakuan ekstraksi menggunakan pelarut P1 = Metanol, P2 = Etil asetat, P3 = N-heksana, P4 = Etanol, P5 = Aseton dengan waktu ekstraksi T1 = 24 jam, T2 = 48 jam, dan T3 = 72 jam

Berdasarkan data pada Tabel 4.5, maka didapatkan nilai yang berbeda dari

masing-masing perlakuan. Data penelitian menunjukan bahwa semakin kecil

konsentrasi ekstrak, maka selisih absorbansinya semakin besar. Hal tersebut

dikarenakan semakin rendah konsentrasi, jumlah zat aktif pada ekstrak juga

semakin rendah sehingga kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri akan

berkurang (Ajizah, 2004).

Kontrol (-) yang digunakan adalah larutan DMSO 20% sedangkan kontrol (+)

untuk S.aureus adalah antibiotik streptomisin dan untuk E.coli adalah antibiotik

kloramfenikol. Penggunaan dua antibiotik berbeda pada kontrol (+) disebabkan

karena masing-masing bakteri mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap

antibiotik tertentu. Kontrol positif digunakan untuk membandingkan apakah ekstrak

P.cruentum yang digunakan sebagai larutan uji mempunyai efek antibakteri

sebanding atau lebih kecil dari efek antibiotik kloramfenikol dan streptomisin

terhadap bakteri uji. Selisih OD pada kontrol (-) terhadap S.aureus adalah sebesar

0,576 dan terhadap E.coli sebesar 0,555. Hasil dari kontrol (-) menandakan tingkat

pertumbuhan normal masing-masing bakteri uji karena tidak ada pengaruh dari

ekstrak P.cruentum. Hasil dari kontrol (+) terhadap S.aureus adalah sebesar -

0,109 dan terhadap E.coli sebesar -0,079. Hasil minus tersebut menandakan

bahwa terjadi penurunan jumlah bakteri uji setelah inkubasi karena adanya efek

penghambatan dari kedua antibiotik.

Hasil negatif terjadi pada seluruh ekstrak terhadap E.coli karena selisih

berjumlah negatif tidak dapat ditemukan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Najdenski et al., (2013) dimana ekstrak P.cruentum dengan

55

pelarut air tidak menghasilkan nilai KHM pada bakteri E.coli. Selain itu, hasil negatif

ekstrak P.cruentum juga didapatkan pada data pelarut n-heksana, etanol, dan

aseton terhadap bakteri S.aureus. Apabila dibandingkan dengan perolehan hasil

kontrol (-), seluruh ekstrak pada konsentrasi 10.000 ppm memiliki selisih OD yang

lebih kecil. Hal tersebut menandakan bahwa ekstrak tersebut sudah memiliki

aktivitas penghambatan nanum belum memenuhi nilai Konsentrasi Hambat

Minimum untuk kedua bakteri.

Hasil positif terdapat pada ekstrak pelarut metanol yang diekstraksi selama

48 jam (P1T2) dan pelarut etil asetat 48 jam (P2T2) terhadap bakteri S.aureus. Hal

tersebut menandakan bahwa ekstrak P.cruentum memiliki aktivitas bakteriostatik.

Konsentrasi ekstrak pelarut metanol 48 jam yang memiliki aktivitas penghambatan

adalah 10.000 ppm yang memiliki selisih OD sebesar -0,004 dan 5.000 ppm yang

memiliki selisih OD sebesar -0,001. KHM merupakan konsentrasi terendah dari

tabung positif (Jagessar et al., 2008). Oleh karena itu, KHM pada ekstrak pelarut

metanol 48 jam adalah 5000 ppm atau 5mg/ml. Konsentrasi ekstrak pelarut etil

asetat 48 jam yang dapat menghambat adalah 10.000 ppm. Hasil tersebut

menandakan bahwa KHM dari ekstrak etil asetat adalah 10.000 ppm atau 10

mg/ml. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Najdenski et al., (2013),

ekstrak P.cruentum dengan pelarut air memiliki KHM sebesar 7 mg/ml atau

sebesar 7000 ppm terhadap bakteri S.aureus. Tidak terdapat perbedaan yang

signifikan antara data penelitian dan literatur dimana nilai KHM keduanya masih

berada dalam rentang konsentrasi yang berdekatan.

Berdasarkan uji aktivitas antibakteri menggunakan kertas cakram yang telah

dilakukan, semua pelarut dalam seluruh waktu ekstraksi menghasilkan aktivitas

penghambatan pertumbuhan bakteri yang ditandai dengan munculnya zona

bening di sekitar kertas cakram. Apabila dilihat dari data analisa selisih OD, maka

nilai KHM hanya didapatkan dari 2 pelarut, yaitu pelarut etil asetat dan metanol

dengan waktu ekstraksi 48 jam terhadap bakteri S.aureus. Perbedaan respon

bakteri pada uji kertas cakram dan KHM dapat disebabkan oleh beberapa faktor,

salah satunya adalah mutu ekstrak turun karena penyimpanan terlalu lama.

Menurut Ruchmana (2017), semakin lama waktu penyimpanan, maka kemampuan

penghambatan pertumbuhan bakteri semakin berkurang. Hal ini disebabkan

karena terjadinya proses oksidasi karena oksigen dan enzim selama

penyimpanan, sehingga menyebabkan terurainya zat aktif. Faktor lainnya adalah

selang waktu saat inokulasi bakteri dan ekstrak pada tiap sampel ketika pengujian

56

sampai pada tahap inkubasi. Pengujian dilakukan pada banyak sampel secara

bersamaan sehingga sampel berada pada suhu ruang untuk waktu yang cukup

lama. Menurut Vandepitte et al. (2003), sampel yang ada pada suhu ruang dan

melebihi waktu standar dapat membuat inokulum berkembang biak di luar waktu

inkubasi sehingga aktivitas antibakteri ekstrak dianggap kurang/tidak efektif.

4.5 Uji Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM)

Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) adalah nilai yang menyatakan

konsentrasi terendah suatu antibakteri yang dapat membunuh sebanyak 99,9%

bakteri (Engelkirk and Janet, 2008). Uji KBM merupakan uji lanjutan dari uji KHM

dimana larutan media yang tetap jernih di uji KHM diinokulasikan ke dalam media

padat (agar). Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya bakteri yang

masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi terendah atau pada larutan yang

tidak keruh (Tille, 2013). Data uji KBM dinyatakan secara kualitatif dengan

pengamatan secara visual, yaitu dengan melihat ada tidaknya bakteri yang tumbuh

pada agar setelah diinkubasi. Apabila tidak terdapat bakteri yang tumbuh, maka

dapat dikatakan bahwa aktivitas antibakteri pada ekstrak P.cruentum bersifat

bakterisida. Bakterisida merupakan antibakteri yang membunuh bakteri dengan

menghancurkan dinding sel atau membran selnya (Ullah and Ali, 2017). Data uji

KBM dapat dilihat pada Tabel 4.6 sedangkan gambar pengujian dapat dilihat pada

Gambar 4.9.

Tabel 4.6 Uji KBM pada ekstrak P.cruentum

Perlakuan Konsentrasi Hasil Uji (Tumbuh/Tidak)

S.aureus

P1T2 10.000 Tumbuh

5.000 Tumbuh

P2T1 10.000 Tumbuh Keterangan: perlakuan ekstraksi menggunakan pelarut P1 = Metanol, P2 = Etil asetat, dengan waktu

ekstraksi T1 = 24 jam dan T2 = 48 jam

57

Keterangan: dari kiri ke kanan= Metanol 48 jam 10.000 ppm, Metanol 48 jam 5.000 ppm, Etil Asetat 48 jam 10.000 ppm

Gambar 4.9 Uji KBM terhadap S.aureus

Berdasarkan data pada Tabel 4.6, senyawa antibakteri yang ada pada

ekstrak positif uji KHM belum mampu membunuh bakteri uji. Senyawa yang

bersifat bakterisida biasanya bekerja dengan cara sistemik karena bakteri

melakukan perusakan dalam tubuh inang. Senyawa bakterisida memberikan efek

dengan cara membunuh sel tetapi tidak terjadi lisis sel. Aktivitasnya ditunjukkan

saat penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase

logaritmik, didapatkan jumlah sel total tetap sedangkan jumlah sel hidup menurun

(Madigan et al., 2009). Hasil uji KBM pada Gambar 4.9 menunjukan bahwa

pertumbuhan bakteri pada ketiga ekstrak mencapai jumlah TBUD (Terlalu Banyak

Untuk Dihitung). Berdasarkan uji KBM pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan

bahwa ekstrak Porphyridium cruentum tidak memiliki aktivitas antibakteri secara

bakterisidal melainkan hanya bersifat bakteriostatik.

4.6 Penentuan Perlakuan Terbaik

Perlakuan terbaik dari penelitian ini ditentukan menggunakan metode

multiple atribute. Parameter yang digunakan dalam penentuan ini adalah

rendemen, aktivitas antibakteri terhadap S.aureus dan aktivitas antibakteri

terhadap E.coli. Hasil analisa dari uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan

Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) tidak digunakan karena merupakan pengujian

kualitatif. Perlakuan terbaik didapatkan pada perlakuan yang memiliki jarak

kerapatan maksimal (LMAX) terkecil. Hasil penentuan perlakuan terbaik dapat

dilihat pada Tabel 4.7.

58

Tabel 4.7 Penentuan perlakuan terbaik ekstrak mikroalga Porphyridium cruentum

Perlakuan L1 L2 LMAX Hasil Ranking

P1T1 0,2932 0,0008 0,2932 0,5873 4

P1T2 0,1760 0,0001 0,1760 0,3522 1

P1T3 0,1864 0,0004 0,1864 0,3731 2

P2T1 0,3531 0,0069 0,3531 0,7131 6

P2T2 0,2715 0,0054 0,2715 0,5484 3

P2T3 0,4434 0,0062 0,4434 0,8930 11

P3T1 0,5048 0,0078 0,5048 1,0175 13

P3T2 0,3861 0,0030 0,3861 0,7753 8

P3T3 0,5777 0,0127 0,5777 1,1680 15

P4T1 0,3919 0,0029 0,3919 0,7867 9

P4T2 0,3267 0,0015 0,3267 0,6548 5

P4T3 0,3854 0,0025 0,3854 0,7734 7

P5T1 0,4429 0,0106 0,4429 0,8965 12

P5T2 0,4322 0,0103 0,4322 0,8746 10

P5T3 0,5332 0,0139 0,5332 1,0804 14

Keterangan: perlakuan ekstraksi menggunakan pelarut P1 = Metanol, P2 = Etil asetat, P3 = N-heksana, P4 = Etanol, P5 = Aseton dengan waktu ekstraksi T1 = 24 jam, T2 = 48 jam, dan T3 = 72 jam

Berdasarkan data pada Tabel 4.7, maka perlakuan terbaik jenis pelarut dan

lama waktu maserasi terhadap ekstrak Porphyridium cruentum didapatkan dari

ekstraksi menggunakan pelarut metanol (P1) dengan waktu maserasi selama 48

jam (T2). Adapun hal yang menyebabkan ekstrak Porphyridium cruentum dengan

pelarut metanol 48 jam menjadi perlakuan terbaik adalah nilai rendemen yang

tinggi dan munculnya aktivitas antibakteri pada uji kertas cakram. Nilai rendemen

yang diperoleh oleh ekstrak metanol 48 jam adalah 6,76%. Diameter zona bening

yang diperoleh terhadap bakteri S.aureus sebesar 4,60 mm dan terhadap E.coli

sebesar 4,00 mm. Ekstrak metanol 48 jam juga merupakan ekstrak yang memiliki

hasil positif pada uji KHM. Apabila dibandingkan dengan ekstrak lainnya, maka

nilai KHM pada ekstrak metanol 48 jam memiliki nilai konsentrasi terendah yaitu

5000 ppm.

59

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka didapatkan beebrapa

kesimpulan, yaitu:

1. Perlakuan perbedaan jenis pelarut dan lama waktu maserasi memberikan

interaksi yang berbeda nyata (α=0,05) terhadap rendemen dan aktivitas

antibakteri terhadap Staphylococcus aureus serta Escherichia coli.

2. Hasil rendemen tertinggi ekstrak mikroalga Porphyridum cruentum

didapatkan melalui ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan

pelarut etil asetat dan lama waktu 48 jam.

3. Aktivitas antibakteri pada ekstrak Porphyridium cruentum pada konsentrasi

10.000 ppm terhadap Staphylococcus aureus berkisar antara 2,03 – 6,04

mm dan terhadap Echerichia coli berkisar antara 2,17 mm - 4,86 mm.

Berdasarkan diameter zona beningnya, maka ekstrak Porphyridium

cruentum memiliki aktivitas yang lebih tinggi terhadap bakteri Gram positif

(Staphylococcus aureus). Namun, aktivitas antibakteri dari ekstrak

Porphyridium cruentum masih dinilai kurang efektif.

4. Ekstrak Porphyridium cruentum pelarut etil asetat dan aseton dengan nilai

rendemen terendah memiliki aktivitas antibakteri tertinggi. Pendugaan

penyebab didasari pada penggunaan ekstrak kasar dan tidak dilakukan

proses purifikasi senyawa target penghasil aktivitas antibakteri.

5. Berdasarkan uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi

Bunuh Minimum (KBM), ekstrak Porphyridium cruentum memiliki aktivitas

bakteriostatik yaitu bekerja menghambat pertumbuhan bakteri dan tidak

memiliki aktivitas bakterisida. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) pada

ekstrak metanol sebesar 5.000 ppm dan pada ekstrak etil asetat sebesar

10.000 ppm.

6. Berdasarkan data yang telah diperoleh, perlakuan terbaik dari penelitian ini

adalah ekstrak Porphyridium cruentum dengan pelarut metanol 48 jam.

60

5.2 Saran

Adapun beberapa hal yang disarankan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Diperlukan pengukuran kadar garam pada ekstrak Porphyridium cruentum

untuk mengetahui pengaruhnya terhadap aktivitas antibakteri ekstrak

2. Diperlukan adanya analisa residu pelarut yang diduga masih terkandung di

dalam ekstrak kering Porphyridium cruentum untuk mengetahui

pengaruhnya terhadap aktivitas antibakteri ekstrak

3. Diperlukan adanya pengujian lebih lanjut untuk mengidentifikasi senyawa-

senyawa bioaktif spesifik yang ada pada masing-masing pelarut

4. Diperlukan pemurnian komponen aktif pada masing-masing pelarut

sehingga aktivitas antibakteri yang diperoleh semakin besar

5. Penelitian ini hanya mencakup informasi mengenai ada tidaknya senyawa

antibakteri pada ekstrak Porphyridium cruentum sehingga diperlukan

adanya uji lanjutan untuk mengetahui efek dari antibakteri ekstrak secara in

vivo dan aplikasi pada bahan pangan seperti pengawet produk pangan.

61

DAFTAR PUSTAKA

Adams, J. 2010. Rosen's Emergency Medicine - Concepts and Clinical

Practice. Mosby Elsevier. Philadephia

Aditya, H. T. 2015. Ekstraksi Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) dan

Daun Mindi (Melia azedarach) untuk Uji Kandungan Azadirachtin

Menggunakan Spektrofotometer. Skripsi. Universitas Diponegoro.

Semarang

Ajizah, A., 2004. Sensitivitas Salmonella Typhimurium terhadap Ekstrak

Daun. Psidium Guajava L. Bioscientiae Vol.1 No.1. pp: 8-31

Artini, P. E. U. D., K. W. Astuti, N. K. Warditiani. 2013. Uji Fitokimia Ekstrak Etil

Asetat Rimpang Bangle (Zingiber purpureum Roxb.). Jurnal

Farmasi Udayana. Vol 2(4). Hal: 1-7

Alwahidul, M., Iriani S., dan Uju U. Karakteristik Eksopolisakarida Mikroalga

Porphyridium cruentum yang Berpotensi untuk Produksi

Bioetanol. Jurnal IPB, 21(1)

Amaro, H. M., A. C. Guedes, and F. X. Malcata. 2011. Antimicrobial Activities

of Microalgae: An Invited Review. FORMATEX . Portugal

Anam, C. 2010. Ekstraksi oleoresin jahe (Zingiber officinale) kajian dari

ukuran bahan, pelarut, waktu dan suhu. Jurnal Pertanian

FAPERTA, 12(2): 72-144

Anam, C., A. T. Agustini, dan Romadhon. 2014. The Influence of Different

Solvent for the Extraction of Spirulina platensis Powder as an

Antioxidant with Soxhletation Method. Jurnal Pengolahan dan

Bioteknologi Hasil Perikanan, 3(4): 106-112

Andrews, J. M. 2001. Determination of Minimum Inhibitory Concentration.

Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 48: 5 – 16

Aneja, K. R. 2007. Experiments in Microbiology, Plant Pathology and

Biotechnology, 4th Ed. New Age International (P) Limited Publishers.

New Delhi

AOAC (Association of Official Analytical Chemist). 2005. Official methods of

analysis. 18th edition. AOAC International. Gaithersburg

62

Arad, S., Adda M, and Cohen E. 1985. The potential of production of

sulfated polysaccharides from Porphyridium. Plant Soil, 89:117–

127

Arifianti, L., R. D. Oktarina, dan I. Kusumawati. 2014. Pengaruh Jenis Pelarut

Pengektraksi Terhadap Kadar Sinensetin Dalam Ekstrak Daun

Orthosiphon stamineus Benth. E-Journal Planta Husada, 2(1)

Aventi. 2015. Penelitian Pengukuran Kadar Air Buah. Seminar Nasional

Cendekiawan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman.

Halaman: 12-27

Aziz, T., R. Cindo, and A. Fresca. 2009. Pengaruh Pelarut Heksana dan Etanol,

Volume Pelarut, dan Waktu Ekstraksi Terhadap Hasil Ekstraksi

Minyak Kopi. Jurnal Teknik Kimia, 1(16): 1-8

Baoluiri, M., M. Sadiki and S. K. Ibnsouda. 2016. Methods for in vitro evaluating

antimicrobial activity: A review. Journal of Pharmacetical Analysis,

6(2): 71-79

Bateman, D. N., R. Jefferson, S. Thomas, J. Thompson, and A. Vale. 2014. Oxford

Desk Reference: Toxicology. Oxford University Press. Oxford

Baydar, N. G., G. Ozkan, O. Sagdic and H. Baydar. 2004. Note: Antioxidant and

Antibacterial Activities of Rosa Damascena Flower Extracts. Food

Science and Technology International, 10(4):277-281

Burke, R. A. 2013. Hazardous Materials Chemistry for Emergency

Responders, Third Edition. CRC Press. Boca Raton

Belk, C and V. Maier. 2010. Biology: Science for Life, 4th Edition. Pearson.

Brisbane

Berg, J. M., J. L. Tymoczko and L. Styrer. 2002. Biochemistry, 5th Edition. W.

H. Freeman. New York

Block, S. S. 2001. Disinfection, Sterilization, and Preservation. Lippincot

William & Wilkins. Philadelphia

Borquaye, L. S., G. Darko, N. Oklu, C. Anson-Yevu, A. Ababio and Guigen Li.

2016. Antimicrobial And Antioxidant Activities Of Ethyl Acetate

And Methanol Extracts Of Littorina littorea and Galatea paradoxa.

Cogent Chemistry, 2:1

63

Campbell, N. A., J. B. Reece, and M. R. Taylor. 2003. Biology: Concepts and

Connections, 4th Edition. Pearson Education, Inc. San Fransisco

Cardozo, K. H. M., Guaratini T, Barros M.P., Falcão V.R., Tonon A.P., Lopes N.P.,

Campos S., Torres M.A., Souza A.O., Colepicolo P., and Pinto E. 2007.

Metabolites From

CCALA (Culture Collection of Autotrophic Organism). 2013. 415 Porphyridium

cruentum (AG.)NAG. Diakses pada tanggal 1 Desember 2017.<

http://ccala.butbn.cas.cz/>

Chakraborty, S.B., Horn, P., and Hancz, C. 2014. Application of phytochemicals

as growth-promoters and endocrine modulators in fish culture.

Reviews in Aquaculture, 6: 1-19

Chan, S. W., Lee, C. Y., Yap, C. F., Wan Aida, W. M. and Ho, C. W. 2009.

Optimisation of extraction conditions for phenolic compounds

from limau purut (Citrus hystrix) peels. International Food Research

Journal, 16:203-216

Chatattikun, M and A. Choabchalard. 2013. Phytochemical screening and free

radical scavenging activities of orange baby carrot and carrot

(Daucus carota Linn) root crude extracts. Journal of Chemical and

Pharmaceutical Research, 5(4):97-102

Cheng, W. H and H. H. Kung. 1994. Methanol Production and Use. Marcel

Decker, Inc. New York

Cheremisinoff, N. P. 2003. Industrial Solvents Handbook, Revised And

Expanded. CRC Press. Florida

Chirinos, R., Rogez, H., Campos, D., Pedreschi, R. And Larondelle, Y. 2007.

Optimization of extraction conditions of antioxidant phenolic

compounds from mashua (Tropaeolum tuberosum Ruíz & Pavón)

tubers. Separation and Purification Technology, 55 (2): 217-225.

Choi, S. H., Gang G. O, Sawyer J. S, Johnson B. J., and Kim K. H. 2013. Fatty

Acid Biosynthesis And Lipogenic Enzyme Activities In

Subcutaneous Adipose Tissue Of Feedlot Steers Fed

Supplementary Palm Oil Or Soybean Oil. Journal of Animal Science,

91(5):2091-8

Christaki E., Florou-Paneri P, and Bonos E. 2015. Microalgae: a novel ingredient

in nutrition. Int. J. Food Sci. Nutr, 62(8):794-799

64

Croteau, R., T.M. Kutchan., and N.G. Lewis. 2000. Natural Products (Secondary

Metabolites). American Society of Plant Physiologists. Lancaster

Cowan, M. M. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clin Microbiol Rev.,

12(4):564-82

DAF (Department of Agricultural & Fisheries). 2008.Microalgae Information

Sheet V1. Diakses pada tanggal 23 November 2017.

<www.daf.qld.gov.au/>

Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya.

Salemba Medika. Jakarta

Da Silva, J. R. M. 2006. Analysis of the spatial and temporal variability of

irrigated maize yield. Biosyst. Eng., 94 (3): 337–349

Dehkharghanian M, Adenier H, and Vijayalakshmi M.A .2010. Study of flavonoids

in aqueous spinach extract using positive electrospray ionisation

tandem quadrupole mass spectroscopy. Food Chem, 121: 863–870

Departemen Kesehatan (Depkes) RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak

Tumbuhan Obat. Depkes RI. Jakarta

_____________________________. 2006. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat

Indonesia, Vol. 2, 124. Depkes RI. Jakarta

Desbois, A. P., and V. J. Smith. 2014. Antibacterial Free Fatty Acids: Activities,

Mechanisms Of Action and Biotechnological Potential. University

of St 13 Andrews. Fife

Dhanasekaran, D., N. Thajuddin., and A. Panneerselvam. 2015. Antimicrobials:

Synthetic and Natural Compounds. CRC Press. Florida

Dia, S. P. S., Nurjanah, and A. M. Jacoeb. 2015. Chemical Composition,

Bioactive Components and Antioxidant Activities from Root, Bark

and Leaf Lindur. JPHPI 2015, Volume 18 Nomor 2

Diraman, H. and Koru, E. 2009. Fatty acid profile of Spirulina platensis used

as a food supplement. Isr. J. Aquac. Bamigdeh, 61 (2): 134–142

Durmaz, Y., F. Tamturk, N. Konar, O. S. Toker., and I. Palabiyik. 2017. Effect of

Pigment Composition of Porphyridium cruentum as Continuously

Culture Method in Industrial Scale Tubular Photobioreactor.

International Journal of Life Sciences Biotechnology and Pharma

Research, 6(1): 18-21

65

Edlund, D, 2011. Methanol Fuel Cell Systems: Advancing Towards

Commercialization. Pan Standford Publishing. Singapore

Engelkirk, P. G and Janet D. 2008. Laboratory Diagnosis of Infectious Disease:

Essentials of diagnostic Microbiology. Lippincot William & Wilkins.

Philadephia

Fadlila, W .N., K. M. Yuliawati, dan Livia S. 2015. Identifikasi Senyawa Aktif

Antibakteri Dengan Metode Bioautografi Klt Terhadap Ekstrak

Etanol Tangkai Daun Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott).

Prosiding Penelitian SpeSIA UNISBA. Bandung

Feldmane, J., P. Semjonovs, and I. Ciprovica. Potential Of Exopolysaccharides

In Yoghurt Production. 2013. International Journal of Biology

Biomolecular Agricultural Food Biotechnology, 7: 456–459

Fitriani, S. 2008. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan Terhadap Beberapa

Mutu Manisan Belimbing Wuluh (Averrhoabellimbi L.). J. SAGU.

Edisi Maret. 7(1):32-37

FSANZ. 2013. Staphylococcus aureus. Diakses pada tanggal 23 November

2017. <www.foodstandards.gov.au>

Fuentes, M. M. R., G.G.A. Fernández, J.A.S. Pérez, and J.L.G. Guerrero. 2000.

Biomass Nutrient Profiles Of The Microalga Porphyridium. Food

Chemistry 70(3): 345-353

Galanakis, C. M., E. Markouli, and V. Gekas. 2013. Recovery and fractionation

of different phenolic classes from winery sludge using

ultrafiltration. Separation and Purification Technology, 107:245–251

Geresh S., Mamontov A., and Weinstein J. 2002. Sulfation of extracellular

polysaccharides of red Microalga: Preparation, characterization,

properties. J. Biochem. Biophys, 50:179–187

Ghomi, J. and Ghasemzadeh, M. A. 2012. Zinc oxide nanoparticles: A highly

efficient and readily recyclable catalyst for the synthesis of

xanthenes. Chinese Chemical Letters,23, 1225–122

Goswarni, U., and N. Fernandes. 2001. Bioactivity of methyl palmitate obtained

from a mangrove plant Salvadora persica L. Council of Scientific

and Industrial Research (CSIR)

Grosso, C. 2015. Alternative and Efficient Extraction Methods for Marine-

Derived Compounds. Marine Drugs, 13(5): 3182 – 3230

66

Gupta, R. B and A. Demirbas. 2010. Gasoline, Diesel, and Ethanol Biofuels

from Grasses and Plants. Cambridge University Press. New York

Gupta, A., D. Mohan., R. K. Saxhena, and S. Singh. 2017. Phototrophic

cultivation of NaCl‐tolerant mutant of Spirulina platensis for

enhanced C‐phycocyanin production under optimized culture

conditions and its dynamic modeling. Journal of Phycology, 54(1):

44-55

Guven, K., S. Ceylik, and I. Uysal. 2005. Antimicrobial Activity of Centaurea.

Species. Pharmaceutical Biology, 43(1): 67-71

Hadiyanto dan Maulana A. 2012. Mikroalga: Sumber Pangan dan Energi Masa

Depan. UNDIP Press. Semarang

Harris, E. D. 2008. Definition and Properties of Metabolites. A&M University.

Texas

Harris, L. G., Foster S. J., and Richards R. G. 2002. An Introduction To

Staphylococcus aureus, And Techniques For Identifying And

Quantifying S. Aureus Adhesins In Relation To Adhesion To

Biomaterials: Review. Euroean Cell and Materials, 31(4):39 – 60

Hayes, A.W. 2007. Principles and Methods of Toxicology 5th ed. Taylor and

Francis. Philadelphia

Harmita dan M. Radji. 2008. Kepekaan Terhadap Antibiotik. EGC. Jakarta

Hermanson, G. T. 2013. Bioconjugate Techniques (Third Edition). Elsevier.

Edinburg

Hermawan, A., H. Eliyani, dan W. Tyasningsih. 2007. Pengaruh Ekstrak Daun

Sirih (Piper betle L.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus

aureus dan Escherichia coli Dengan Metode Difusi Disk. Artikel.

Universitas Airlangga. Surabaya

Hidayat, N. 2014. Metabolit Primer. Universitas Brawijaya. Malang

Hidayat, N., Padaga M.C, dan Suhartini S. 2006. Mikrobiologi Industri. C.V Andi

Offset. Yogyakarta

Houghton, P.J. and Raman, A. 1998. Laboratory Handbook for Fractionation of

Natural Extracts. Chapman and Hall. London

67

Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Sokletasi

Terhadap Kadar Piperin Buah Cabe Jawa (Piperis retrofracti

fructus). Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta

Jagessar, R. C., A. Mars, and G. Gomez. 2008. Selective Antimicrobial

properties of Phyllanthus acidus leaf extract against Candida

albicans, Escherichia coli and Staphylococcus aureus using

Stokes Disc diffusion, Well diffusion, Streak plate and a dilution

method. Natural Science, 6(2)

Jawetz, E., J. L. Melnick and Adelberg E. A. 2013. Medical Microbiology 26th

Edition. McGraw-Hill. New York

Johanson, G. 2000. Patty's Toxicology. John Wiley&Sons. New Jersey

Juntachote, T., Berghofer, E., Bauer, F. and Siebenhandl, S. 2006. The

application of response surface methodology to the production of

phenolic extracts of lemon grass, galangal, holy basil and

rosemary. International Journal of Food Science and Technology 41

(2): 121-133

Kaiser, G. 2017. 2.1: Sizes, Shapes, and Arrangements of Bacteria. Diakses

pada tanggal 5 Januari 2018. <https://bio.libretexts.org/>

Kanazawa, S., D. Ilic, T. Noumura, T.Yamamoto, and S. Aizawa. 1995. Integrin

stimulation decreases tyrosine phosphorylation and activity of

focal adhesion kinase in thymocytes. Biochem. Biophys. Res.

Commun., 215: 438-445

Karthikeyan S. C., S. Velmurugan, M. B. S. Donio, M.Michaelbabu and T. Citarasu.

2014. Studies on the antimicrobial potential and structural

characterization of fatty acids extracted from Sydney rock oyster

Saccostrea glomerata. Annals of Clinical Microbiology and

Antimicrobials, 13:332

Kaye, S. 2017. Microbial Keratitis and the Selection of Topical Antimicrobials.

BMJ Open Ophthalmology. Liverpool

Kerton, F. M and R. Marriot. 2013. Alternative Solvents for Green Chemistry.

RSC Publishing. London

Koirewoa, Y. A., Fatimawali dan W. I. Wiyono. 2012. Isolasi dan Identifikasi

Senyawa Flavonoid dalam Daun Beluntas (Pluchea indica L.).

Laporan Penelitian. FMIPA UNSRAT. Manado

68

Kusmiyati dan N. W. S. Agustini. 2007. Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri dari

Mikroalga Porphyridium cruentum. Jurnal Biodiversitas 8(1): 48-53

Lengeler, J. W., G. Drews, and H.G. Schlegel. 1999. Biology of the Prokaryotes.

Blackwell Science. New York

Liu, L., G. Pohnert, and D. Wei. 2016. Extracellular Metabolites from Industrial

Microalgae and Their Biotechnological Potential. Marine Drugs, 14

(191): 1 – 19

Logeswari, V., E. Kathiresan, A. Tamilselvi, and J. Vennison. 2014.

Phytochemicals, Antimicrobial And Antioxidant Screening From

Five Different Marine Microalgae. Journal of Chemical and

Pharmaceutical Science, 2: 78 - 85

Mabry, T.J., Markham K. R and Thomas M. B. 1970. The Systematic

Identification of Flavonoids. Springer-Verlag Publication. New York

Mashhadinejad A., Zamani H., and Sarmad J. 2018. Effect of growth conditions

and extraction solvents on enhancement of antimicrobial activity

of the microalgae Chlorella vulgaris . mazums-pbr, 2(4):65-73

Madigan, M. T., J.M. Martinko, P.V. Dunlap, and D.P. Clark. 2009. Brock Biology

of Microorganism, 12th Edition. Pearson Benjamin Cummings. San

Francisco

Maulida, D dan N. Zulkarnaen. 2010. Ekstraksi Antioksidan (Likopen) Dari.

Buah Tomat Dengan Menggunakan Solven Campuran N-Heksana,

Aseton dan Etanol. Skripsi. Universitas Dipenogoro

Mishra, S.K., N. S. Sangwan, and R. S. Sangwan. 2007. Andrographis

paniculata (kalmegh): a review. Pharmacognosy Reviews, 1: 283-97

Moldoveanu, S. C and V. David. 2016. Selection of the HPLC Method in

CheMICal Analysis. Elsevier. Amsterdam

Montville, T. J and K. R. Matthews. 2008. Food Microbiology: An Introduction,

2nd ed. ASM Press. New York

Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, Dan Identifikasi Senyawa

Aktif. Jurnal Kesehatan, 7(2): 361-367

Nagarajan, M., S.Benjakul, T. Prodpran, P. Songtipya and H. Kishimura. 2012.

Characteristics and functional properties of gelatin from splendid

69

squid (Loligo formosana) skin as affected by extraction

temperatures. Food Hydrocolloids, 29: 389-397

Nagoba, S. 2008. MICrobiology for Physiotherapy Students. BI Publications Pvt

Ltd. New Delhi

Najdenski, H., L. G. Gigova, I. I. Iliev, and P. S. Pilarski. 2013. Antibacterial and

Antifungal Activities Of Selected Microalgae and Cyanobacteria.

Int. Journal of Food Science and Technology, 48(7): 1533 – 1540

Naz, S., R. Sidiqqi, S and S. Ahmad. 2007. Antibacterial Activity Directed

Isolation of Compounds from Punica granatum. Journal of Food

Science, 72(9):M341-5

Ngulube, P. 2016. Handbook of Research on Theoretical Perspectives on

Indigenous Knowledge Systems in Developing Countries. IGI

Global. Hershey

Nugroho, S. A. 2014. Prarancangan Pabrik Etil Asetat dari Asam Asetat dan

Etanol dengan Katalis Asam Sulfat Kapasitas 50.000 Ton per

Tahun. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta

Nur, M. M. A. 2014. Potensi Mikroalga sebagai Sumber Pangan Fungsional di

Indonesia (overview). Eksergi, 11(2): 1-6

Nurcahyanti, A.D.R., Dewi, L. dan Timotius, K.H. (2011). Aktivitas

antioksidan dan antibakteri ekstrak polar dan non polar biji

selasih (Ocimum sanctum Linn). Jurnal Teknologi dan Industri

Pangan1(XXII): 1-6

Nwodo, U. U., Green E., and Okoh AI. 2012. Bacterial Exopolysaccharides:

Functionality and Prospects. International Journal of Molecular

Science, 13:14002–14015

Owuama, C. I. 2017. Determination Of Minimum Inhibitory Concentration

(MIC) And Minimum Bactericidal Concentration (MBC) Using A

Novel Dilution Tube Method. African Journal of MICrobiology

Research, 11(23): 977-980

Patnaik, P. 2007. A Comprehensive Guide to the Hazardous Properties of

Chemical Substances. John Wiley & Sons. New Jersey

Parhusip A. 2006. Study of antibacterial mechanism of andaliman extract

(Zanthoxylum acanthopodium DC) towards food pathogen

bacteria. Dissertation. Institut Pertanian Bogor. Bogor

70

Pelczar, M. J. 2009. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. UI Press. Jakarta

Pervez, H., M. Ashraf and M. I. Makhdum. 2004. Influence of Potassium on Gas

Exchange Characteristics and Water Relations in Cotton

(Gossypium hirsutum L.). Photosynthetica, 42: 251 - 255

Perkasa, G. I. 2017. Resistensi Bakteri Vibrio harveyi Asal Perairan Tambak

Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di Jawa Timur Terhadap

Antibiotik Chloramphenicol. Skripsi. Universitas Airlangga.

Surabaya

Pinto, M. E. A., S. G. Araujo, M. I. Morais, and C. M. Lima. 2017. Antifungal and

antioxidant activity of fatty acid methyl esters from vegetable oils.

Anais da Academia Brasileira de Ciências, 89(3): 1671-1681

Poli, A., Donato P.D., Abbamondi G.R., and Nicolaus B. 2011. Synthesis,

Production And Biotechnological Applications Of

Exopolysaccharides and Polyhydroxyalkanoates By Archaea.

Archaea 2011, Article ID: 693253. pp 1–13

Pradhan, J., S. Das, and B.K. Das. 2014. Antibacterial Activity from Freshwater

Microalgae: a review. African Journal of Pharmacy & Pharmacology,

8(32): 809-818

Prasetyo, S., H. Sunjaya, dan Y. Yanuar. 2012. Pengaruh Rasio Massa Daun

Suji / Pelarut, Temperatur dan Jenis Pelarut Pada Ekstraksi

Klorofil Daun Suji Secara Batch dengan Pengontakan Dispersi.

Skripsi. Universitas Katolik Parahyangan. Bandung

Pratama, M. R. 2005. Pengaruh Ekstrak Serbuk Kayu Siwak (Salvadora

persica) Terhadap Perumbuhan Bakteri Streptococcus mutans

dan Staphylococcus aureus dengan Metode Difusi Agar. Skripsi.

Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya

Preedy, V. R., R. Srirajaskanthan and V.B. Patel. 2013. Handbook of Food

Fortification and Health: From Concepts to Public Health

Applications, Volume 2. Springer. New York

Puspita, A.A.D. 2009. Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan

Agribisnis Gandum Lokal di Indonesia. Skripsi. Fakultas Ekonomi

dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor

Putri, W.S. 2013. Skrining Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Kulit Buah Manggis

(Garcinia mangostana L.). Universitas Udayana. Bali

71

Rachmawati, F., M.C Nuria, dan Sumantri. 2011. Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi

Kloroform Ekstrak Etanol Pegagan (Centella Asiatica (L) Urb)

Serta Identifikasi Senyawa Aktifnya. Universitas Wahid Hasyim.

Semarang

Rao M. B., A. M. Tanksale, M. S. Ghatge, and Deshpande V.V. 2011. Molecular

and Biotechnological Aspects of Microbial Proteases. MICrobiol.

Mol. Biol, 62:597-635

Raposo, M. F. J., R. M. S. C. Morais, and A. M. M. B. Morais. 2013. Bioactivity

and Applications of Sulphated Polysaccharides from Marine

Microalgae. Marine Drugs, 11(1): 233–252

Rasyid, A. 2012. Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder Serta Uji Aktivitas

Antibakteri dan Antioksidan Ekstrak Metanol Teripang Stichopus

hermanii. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 4(2): 360 - 368

Rattaya, S., S. Benjakul, and T. Prodpran. 2015. Extraction, antioxidative, and

antimicrobial activities of brown seaweed extracts, Turbinaria

ornata and Sargassum polycystum, grown in Thailand.

International Aquatic Research, 7(1): 1-16

Razaghi, A., A. Godhe and E. Albers. 2013. Effects of nitrogen on growth and

carbohydrate formation in Porphyridium cruentum. Eur. J. Biol.,

9(2): 156-162

Rebey, I. B., I. J. Karoi, I. H. Sellami, dan B. Marzouk. 2012. Effect of drought on

the biochemical composition and antioxidant activities of cumin

(Cuminum cyminum L.) seeds. Industrial Crops and Products 36(1)

Redlinger T., and E. Gantt. 1982. A Mr 95,000 polypeptide in Porphyridium

cruentum phycobilisomes and thylakoids: Possible function in

linkage of phycobilisomes to thylakoids and in energy transfer.

Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States

of America, 79(18): 5542-5549

Renneberg, R., V. Berkling, and V. Loroch. 2016. Biotechnology for Beginners,

2nd Edition. AcadeMIC Press. London

Rivas, L., G.E. Mellor, K. Gobius, and N. Fegan 2015. Detection and Typing

Strategies for Pathogenic Escherichia coli. Springer. New York

Ruchmana, A. S. I. 2017. Pengaruh Waktu Penyimpanan Larutan Oral

Nutraceutical Ekstrak Bunga Delima Merah (Punica granatum L.)

72

Terhadap Perubahan Hambatan Pertumbuhan Bacillus subtilis (In

Vitro). Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta

Sadek, P. C. 2004. Illustrated Pocket Dictionary of Chromatography. John

Wiley & Sons. New Jersey

Saifudin, A. 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder: Teori, Konsep, dan

Teknik Pemurnian. Deepublish. Yogyakarta

Samaranayake, L. 2012. Essential Microbiology for Dentistry, 4th Edition.

Edinburg: Elsevier

Sani, R.N., F.C. Nisa., R. D. Andriani dan J. M. Maligan. 2014. Analisis

Rendemen Dan Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Mikroalga Laut

Tetraselmis chuii. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 2(2): 121-126

Sari, N. 2010. Daya Antibakteri Ekstrak Tumbuhan Majapahit (Crescentia

cujete L.) terhadap Bakteri Aeromonas hydrophila. Skripsi. Institut

Teknologi Sepuluh November. Surabaya

Sari, R. F. 2011. Kajian Potensi Senyawa Bioaktif Spirulina platensis sebagai

Antioksidan Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Universitas Diponegoro. Semarang

Sari, R., M. Muhani dan I. Fajriyanti. 2017. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak

Etanol Daun Gaharu (Aquilaria microcarpa Baill.) Terhadap

Bakteri Staphylococcus aureus dan Proteus mirabilis. Universitas

Tanjungpura. Pontianak

Sarker, S. D. 2006. Natural Products Isolation. Humana Press. Totowa

Saroinsong, M. S., F. E. F. Kandou, A. Papu, and M. F. O. Singkoh. 2014. Uji Daya

Hambat Ekstrak Metanol Beberapa Jenis Porifera Terhadap

Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Jurnal Mipa

Unsrat Online, 3(2): 129-133

Saxena, D. K., S. K. Sharma, and S. S. Sambi. 2011. Comparative Extraction Of

Cottonseed Oil By n-Hexane and Ethanol. Journal of Engineering

and Applied Sciences, 6 (1): 84-89

Schwalbe, R., L. Steele-Moore, and A. C. Goodwin. 2007. Antimicrobial

Susceptibility Testing Protocols. CRC Press. Boca Raton

Seigler, D. S. 2012. Plant Secondary Metabolism. New York: Springer

73

Sembiring, E. N., B. Elya, dan R. Sauriasari. 2018. PhytocheMICal Screening,

Total Flavonoid and Total Phenolic Content and Antioxidant

Activity of Different Parts of Caesalpinia bonduc (L.) Roxb.

Pharmacogn J. 10(1): 123-127

Shahid, M., A. Shahzad., A. Malik, and A.Sahai. 2013. Recent Trends in

Biotechnology and Therapeutic Applications of Medicinal Plants.

Springer. New York

Shantosh, S., R. Dhandapani, and N. Hemalatha. 2016. Bioactive Compounds

from MICroalgae and its Different Applications - a review. Applied

Science Research, 7(4):153-158

Shi, H. 2006. TLR4 links innate immunity and fatty acid-induced insulin

resistance. J Clin Invest., 116(11): 15-25

Siriwoharn, T., Wrolstad R.E., Finn, C.E., Pereira, C.B. 2004. Influence of

Cultivar, Maturity, and Sampling on Blackberry (Rubus L hybrids)

Anthocyanins, Poliphenolics, and Antioxidant Properties. J of

agric and food chem, 50(26) : 3495-3500

Sitohy, M., A. Osman, A.G.A Ghany, and A.S.A. Salama. 2015. Antibacterial

phycocyanin from Anabaena oryzae SOS13. Applied Research in

Natural Products, 8(4): 27-36

Sivathanu, B., P. Sumathi, and I. J. S. Bell. 2011. Green algae Chlorococcum

humicola—A new source of bioactive compounds with

antimicrobial activity. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine,

1(1):S1–S7

Sobczuk, T. M., F. G. Camacho, E. M. Grima and Y. Chisti. 2006. Effects of

agitation on the microalgae Phaeodactylum tricornutum and

Porphyridium cruentum. Bioprocess and Biosystems Engineering,

28(4):243-50

Soleha, T. U. 2015. Uji Kepekaan Terhadap Antibiotik. Jurnal Kesehatan Unila,

5(9): 119-123

Sukandar, D., S. Hermanto, E. R. Amelia dan M. Zaenudin. 2015. Aktivitas

Antibakteri Ekstrak Biji Kapulaga (Amomum compactum Sol. Ex

Maton). JKTI, 17(2): 119-129

74

Sulistijowati, A. & D. Gunawan. 2001. Efek Ekstrak Daun Kembang Bulan

(Tithonia diversifolia A. Gray) Terhadap Candida albicansserta

Profil Kromatografinya. Cermin Dunia Kedokteran, 130: 32-36

Sumardjo, D. 2009. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa

Kedokteran dan ProGram Strata I Fakultas Bioeksakta. EGC.

Jakarta

Suryani, N. C. 2015. Pengaruh Jenis Pelarut Terhadap Kandungan Total

Flavonoid Dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Matoa

(Pometia pinnata). Skripsi. Universitas Udayana

Sutariya, S. 2017. Antimicrobial Activity and PhytocheMICal Study Of Aloe

Vera Gel Cruid Extract. Lulu Publishing. New Delhi

Tadeo, J. L. 2008. Analysis of Pesticides in Food and Environmental Samples.

Boca Raton: CRC Press

Talaro, K. P. 2008, Foundation in MICrobiology: Basic Principles, Sixth

Edition. Mc Graw Hill. New York

Tambun, R. 2016. Pengaruh Ukuran Partikel, Waktu Dan Suhu Pada Ekstraksi

Fenol Dari Lengkuas Merah. Jurnal Teknik Kimia USU, 5(4): 1 – 4

Tille, P. M. 2013. Bailey & Scott's Diagnostic Microbiology. Elsevier. Missouri

Tiwari, A. 2017. Handbook of AntiMICrobial Coatings. Elsevier. Amsterdam

Todar, K. 2011. Todar’s Online Textbook of Bacteriology. Diakses pada tanggal

1 Desember 2017. < http://www.textbookofbacteriology.net/>

Toh, C. S. 2013. Advanced Study Guide Chemistry. Step-by-Step International

Pte. Ltd. Hongkong

Tristiyanto. 2009. Studi Aktivitas Antibakteri Dan Identifikasi Golongan

Senyawa Ekstrak Aktif Antibakteri Buah Gambas (Luffa

acutangula Roxb.). Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Trusheva, B., D. Trunkova and V. Bankova. 2007. Different extraction methods

of biologically active components from propolis: a preliminary

study. Chem Cent J., 1: 13

Ullah, H and S. Ali. 2017. Classification of Anti‐Bacterial Agents and Their

Functions. Balochistan University. Pakistan

75

UniProt. 2002. Taxonomy - Porphyridium purpureum (Red alga)

(Porphyridium cruentum). Diakses pada tanggal 1 Desember

2017.<http://www.uniprot.org/>

Vandepitte, J., E. Kraesten, P. P. Rohner, P. Heuck, and C. Claus. 2003. Basic

laboratory procedures in clinical bacteriology, 2nd ed. World

Health Organization. Geneva

Vatai, T., Skerget, M. and Knez Z. 2009. Extraction of phenolic compounds

from elder berry and different grape marc varieties using organic

solvents and/or supercritical carbon dioxide. J.Food Eng, 90:246–

254

Vratnica, B. D., T. Dakov, D. Sukovic, and A. Damjanovic. 2011. Antimicrobial

Effect of Essential Oil Isolated from Eucalyptus globulus Labill.

from Montenegro. Czech J. Food Sci. Vol. 29(3): 277–284

Wilkins, T. D and A. D. Appleman. 2018. Review of Methods for Antibiotic

Susceptibility Testing of Anaerobic Bacteria. Laboratory Medicine,

7(4): 12 - 19

Wiwanitkit, V. 2011. Escherichia coli Infections. MedPub. Maryland

Wittcoff, H. A., B. G. Reuben and J. S. Plotkin. 2004. Industrial Organic

Chemicals. John Wiley & Sons. New Jersey

Yff, B. T., Lindsey K. L, Taylor M. B, Erasmus D. G and Jager A. K. 2002. The

Pharmacological Screening Of Pentanisia prunelloides And The

Isolation Of The Antibacterial Compound Palmitic Acid. Journal

Ethnopharmacology, 79 (1): 101 - 7

Yilmaz, F. F., Z. Demirel, N. U. Karabay-Yavasoglu, G. Ozdemir and M. Conk-

Dalay. 2016. AntiMICrobial and Antioxidant Activities of

Porphyridium cruentum. Hacettepe University Journal of the Faculty

of Pharmacy, 37 (1): 1-8

Yu, J and I. Goktepe. 2005. Effects of processing methods and extraction

solvents on concentration and antioxidant activity of peanut skin

phenolics. Food Chemistry, 90(1):199-206

Yu, P., Chang, Z., Ma, Y., Wang, S., Cao, H., Hua, C., Liu, H., 2009. Separation

of p-Nitrophenol and o-Nitrophenol with three-liquid-phase

extraction system. Sep. Purif. Technology, 70, 199–206

76

Yunia, G. F. 2014. Pengaruh Pelarut Terhadap Karakteristik Ekstrak Daun

Senduduk (Melastoma malabathricum, L). Skripsi. Universitas

Andalas. Padang

Yunika, N., Irdawaty dan M. Fifendy. 2017. Konsentrasi Hambat Minimum

Ekstrak Daun Sawo (Achras Zapota L.) Terhadap Pertumbuhan

Staphylococcus Aureus Secara In Vitro. Universitas Negeri Padang.

Padang

Zeleny, M. 1982. Multiple Criteria Decision Making. McGraw Hill. New York