pengaruh jenis pelarut dan lama waktu maserasi terhadap
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of pengaruh jenis pelarut dan lama waktu maserasi terhadap
PENGARUH JENIS PELARUT DAN LAMA WAKTU MASERASI TERHADAP
AKTIVITAS ANTIBAKTERI MIKROALGA Porphyridium cruentum
SKRIPSI
Oleh:
JESSICA IMMANUELA
145100101111057
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
PENGARUH JENIS PELARUT DAN LAMA WAKTU MASERASI TERHADAP
AKTIVITAS ANTIBAKTERI MIKROALGA Porphyridium cruentum
SKRIPSI
Oleh:
JESSICA IMMANUELA
145100101111057
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Sarjana Teknologi Pangan
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang, Banten pada tanggal
8 Februari 1996 dan merupakan putri pertama dari
pasangan Bincar Doloksaribu dan Emma
Trinawati. Penulis menyelesaikan pendidikan
Sekolah Dasar di SDS Mardi Yuana Cilegon pada
tahun 2008, Sekolah Menengah Pertama di SMPS
Mardi Yuana Cilegon pada tahun 2011 dan
menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Cilegon pada tahun
2014. Pada tahun 2014-2018, penulis berhasil menyelesaikan
pendidikannya di program studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang dengan judul skripsi
“Pengaruh Jenis Pelarut dan Lama Waktu Maserasi Terhadap Aktivitas
Antibakteri Mikroalga Porphyridium cruentum”.
Selama menempuh pendidikannya, penulis aktif menjadi asisten
praktikum Kimia Dasar 2015 dan 2016, Kimia Organik 2016, dan
Biokimia Pangan 2017. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti berbagai
kepanitiaan dan kegiatan kemahasiswaan pada LKM Seni FTP, yaitu
Flotus Event Organizer.
v
JESSICA IMMANUELA. 145100101111057. Pengaruh Jenis Pelarut dan Lama
Waktu Maserasi Terhadap Aktivitas Antibakteri Mikroalga Porphyridium
cruentum. Tugas Akhir. Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Yunianta, DEA
RINGKASAN
Seiring dengan timbulnya berbagai penyakit infeksi, banyak orang mengonsumsi antibiotik untuk mencegah penyakit tersebut. Hal ini menimbulkan permasalahan baru di dunia kesehatan yaitu resistensi bakteri patogen Staphylococcus aureus dan Escherichia coli terhadap antibiotik. Oleh karena itu, diperlukan adanya eksplorasi zat antibakteri dari bahan alami, salah satunya adalah mikrolalga Porphyridium cruentum. Porphyridium cruentum merupakan mikroalga merah uniseluler yang masuk ke dalam kelas Rhodophyceae. Porphyridium cruentum berpotensi memiliki aktivitas antibakteri. Senyawa antibakteri dominan pada Porphyridium cruentum adalah metil palmitat (metil heksadekanoat), senyawa fenol, fikobiliprotein dan eksopolisakarida.
Salah satu metode ekstraksi untuk mendapatkan senyawa antibakteri dari Porphyridium cruentum adalah metode maserasi. Metode maserasi dapat meminimalisir kemungkinan kerusakan senyawa-senyawa termolabil dan memungkinkan senyawa bioaktif terekstrak lebih banyak dibandingkan metode lain, namun prosesnya memakan banyak waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak dan terdapat kemungkinan beberapa senyawa tidak terekstraksi pada suhu ruang. Pemilihan jenis pelarut dan lama waktu yang tepat akan menghasilkan proses yang efektif dengan hasil yang baik. Setelah proses maserasi, dilakukan pengujian aktivitas antibakteri esktrak Poprhyridium cruentum terhadap bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus) dan Gram negatif (Escherichia coli) menggunakan metode disc diffusion, uji KHM (Konsentrasi Hambat Minimum), dan uji KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum).
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor, yaitu jenis pelarut dan lama waktu maserasi. Jenis pelarut yang digunakan adalah metanol, etil asetat, n-heksana, etanol, dan aseton sedangkan lama waktu maserasi yang digunakan adalah 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Analisa data hasil pengamatan dilakukan dengan menggunakan analisa ragam (ANOVA) dengan selang kepercayaan 5%. Analisa dilanjutkan menggunakan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test). Penetapan perlakuan terbaik dilakukan menggunakan metode multiple attribute.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat interaksi nyata antara jenis pelarut dan waktu maserasi baik terhadap rendemen maupun aktivitas antibakteri ekstrak Poprhyridium cruentum. Rendemen tertinggi ekstrak didapatkan oleh pelarut metanol 72 jam dengan nilai 7,63%. Aktivitas antibakteri tertinggi baik terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli didapatkan dari ekstrak Poprhyridium cruentum dengan pelarut etil asetat dan waktu maserasi 48 jam. Diameter zona bening esktrak etil asetat 48 jam terhadap Staphyloccocus aureus adalah 6,04 mm sedangkan terhadap Escherichia coli sebesar 4,86 mm. Hasil pengukuran diameter zona bening menunjukan bahwa aktivitas antibakteri dari Porphyridium cruentum masuk ke dalam kategori kurang efektif. Hasil positif pengujian KHM didapatkan pada ekstrak metanol 48 jam dan etil asetat 48 jam terhadap Staphylococcus aureus. Hal tersebut menandakan bahwa kedua esktrak tersebut memiliki aktivitas bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Hasil negatif uji KHM didapatkan pada semua ekstrak terhadap Escherichia coli. Nilai KHM pada ekstrak metanol sebesar 5.000 ppm dan pada ekstrak etil asetat sebesar 10.000 ppm. Hasil pengujian KBM pada kedua ekstrak adalah negatif sehingga menandakan bahwa aktivitas antibakteri ekstrak Porphyridium cruentum tidak tergolong bakterisida (membunuh bakteri). Perlakuan terbaik didapatkan dari ekstrak metanol dengan waktu ekstraksi 48 jam.
Kata kunci: Aktivitas Antibakteri, Kertas Cakram, KHM, KBM, Maserasi, Porphyridium
cruentum
vi
JESSICA IMMANUELA. 145100101111057. Effect of Solvent Types and
Maceration Time on Antibacterial Activity of Microalgae Porphyridium
cruentum. Undergraduate Final Assignment. Supervisor: Prof. Dr. Ir.
Yunianta, DEA
SUMMARY
Along with the emergence of various infectious diseases, many people take antibiotics to prevent it. This condition raises a new problem of pathogenic resistance such as Staphylococcus aureus and Escherichia coli against synthetic antibiotics. Therefore, the exploration of antibacterial substances from natural ingredients is needed, one of which is microalgae Porphyridium cruentum. Porphyridium cruentum is a unicellular red microalgae categorized in Rhodophyceae class. Porphyridium cruentum has the potential to have antibacterial activity. The dominant antibacterial compounds in Porphyridium cruentum are methyl palmitate (methyl hexadecanoate), phenol compounds, phycobiliprotein and exopolysaccharides.
One of the extraction method for obtaining antibacterial compounds from Porphyridium cruentum is the maceration method. The maceration method can minimize the possibility of damage from thermolabic compounds and allow the bioactive compounds to be extracted more than any other methods. However, the maceration process can take a lot of time, large amount of solvent is needed, and there is the possibility of some un-extracted compounds at room temperature. Choosing the right type of solvent and time will produce an effective process with good results. After the maceration process, the antibacterial activity of the extract of Poprhyridium cruentum on Gram positive (Staphylococcus aureus) and Gram negative (Escherichia coli) bacteria were tested using disc diffusion method, MIC (Minimum Inhibitory Concentration) and MBC (Minimum Bactericidal Concentration).
This research was done by using Randomized Block Design Factorial with 2 factors, namely solvent types and maceration time. The type of solvent used are methanol, ethyl acetate, N-hexane, ethanol, and acetone while the durations of maceration time are 24 hours, 48 hours and 72 hours. The data was analyzed by using Analysis of Variance (ANOVA) with 5% confidence level. The analysis is continued using DMRT test (Duncan's Multiple Range Test). Determination of best treatment was done by using Multiple Attribute (Zeleny method).
Based on the result of this research, there was a real interaction between solvent type and maceration time on both the yield and the antibacterial activity of Poprhyridium cruentum extract. The highest yield of the extract were obtained by 72 hours methanol solvent extract with value of 7,63%. The highest antibacterial activity of both Staphylococcus aureus and Escherichia coli were obtained from Poprhyridium cruentum extract with ethyl acetate solvent and 48 hours maceration time. The clear zone diameter of 48 hours ethyl acetate extract to Staphyloccocus aureus was 6,04 mm while to Escherichia coli was 4,86 mm. The measurement of clear zone diameter shows that antibacterial activity of Porphyridium cruentum falls into less effective category. Positive results of MIC testing were obtained in 48 hours methanol extract and 48 hours ethyl acetate extract on Staphylococcus aureus. This indicates that both extracts have bacteriostatic activity (inhibits bacterial growth). The negative results of the MIC test were obtained on all extracts tested on Escherichia coli. MIC value on Staphylococcus aureus in methanol extract was 5.000 ppm and in ethyl acetate extract was 10.000 ppm. The results of MBC testing on both extracts were negative, indicating that the antibacterial activity of Porphyridium cruentum extract was not classified as bactericidal (killing bacteria). The best treatment based on multiple attribute method is 48 hours methanol extract.
Keywords: Antibacterial Activity, Disc Diffusion Test, Maceration, MIC, MBC,
Porphyridium cruentum
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-
Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan Tugas Akhir dengan judul
“Pengaruh Jenis Pelarut dan Lama Waktu Maserasi Terhadap Aktivitas Antibakteri
Mikroalga Porphyridium cruentum”. Penulis ingin mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua, Mama dan Papa yang telah memberikan dukungan,
motivasi, doa dan semangat tanpa henti kepada penulis sehingga penulis
mampu menyelesaikan tugas akhir dengan baik
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Yunianta, DEA selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan, bimbingan, nasihat, dan ilmu yang bermanfaat kepada
penulis
3. Prof. Dr. Teti Estiasih, STP., MP selaku ketua Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Universitas Brawijaya Malang.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Harijono, M.App.Sc dan Ibu Dr. Widya Dwi Rukmi Putri, S.
TP., MP sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran pada
penulis sehingga tugas akhir yang ditulis menjadi lebih baik
5. Keluarga besar Doloksaribu dan Gaspersz yang telah memberikan dukungan
berupa doa dan semangat bagi penulis
6. Adik dari penulis, Jovana Avioleza yang telah memberikan semangat tanpa
henti dan membantu penulis melewati tugas akhir dengan baik
7. Teman-teman terdekat penulis (Marella Louisa A., Efriza Putri S., Kartika
Lamtiur P., dan Imas Nidia K.) yang selalu mendengar keluh kesah,
memberikan motivasi, dan membuat penulis menempuh 4 tahun perkuliahan
dengan keceriaan
8. Mikroalga squad (Nindya Satwika, Riza Silvy, Rezita Anggi, dan Zahwa Aisah)
atas kerja sama, kekompakan, dan pelajaran yang sangat berharga saat
bekerja di dalam tim selama 9 bulan terakhir
viii
9. Mbak Luluk, Mbak Vita, Mbak Citra, dan Pak Agus selaku laboran yang telah
membantu penulis menyelesaikan masa penelitian dengan baik
10. Teman-teman THP 2014 atas kebersamaan dan dukungan kepada penulis
Penulis berharap bahwa penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan. Penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar tugas
akhir ini menjadi lebih baik lagi menyadari keterbatasan pengetahuan serta
referensi dari penulis.
Malang, Juli 2018
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP .................................................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................................... iv
RINGKASAN........................................................................................................... v
SUMMARY ............................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xiii
PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 3
1.5 Hipotesis ................................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 5
2.1 Mikroalga ................................................................................................ 5
2.2 Porphyridium cruentum .......................................................................... 6
2.3 Ekstraksi ................................................................................................. 7
2.4 Maserasi ................................................................................................. 8
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi ........................................ 9
2.6 Pelarut ................................................................................................... 10
2.7 Antibakteri ............................................................................................. 14
2.8 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri ............................................... 15
2.9 Senyawa Antibakteri pada Porphyridium cruentum ............................. 16
2.10 Uji Aktivitas Antibakteri ......................................................................... 20
2.11 Uji Kertas Cakram ................................................................................ 21
2.12 Uji KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) ............................................ 23
2.13 Uji KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum) ............................................... 23
2.14 Bakteri ................................................................................................... 24
METODE PENELITIAN ........................................................................................ 26
x
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 26
3.2 Alat dan Bahan ..................................................................................... 26
3.3 Metode Penelitian ................................................................................. 27
3.4 Pelaksanaan Penelitian ........................................................................ 28
3.5 Parameter Penelitian ............................................................................ 28
3.6 Pengujian dan Analisa Data ................................................................. 29
3.7 Diagram Alir .......................................................................................... 30
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 31
4.1 Karakteristik Bahan Baku ..................................................................... 31
4.2 Rendemen Ekstrak Antibakteri dari Porphyridium cruentum ............... 33
4.3 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Porphyridium cruentum .......................... 37
4.4 Uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Ekstrak Porphyridium
cruentum ........................................................................................................ 52
4.5 Uji Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) ............................................... 56
4.6 Penentuan Perlakuan Terbaik .............................................................. 57
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 59
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 59
5.2 Saran .................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 61
LAMPIRAN ........................................................................................................... 77
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Strain mikroalga pada cawan petri .................................................. 5
Gambar 2.2 Sel Porphyridium cruentum.............................................................. 6
Gambar 2.3 Struktur metil palmitat .................................................................... 17
Gambar 2.4 Struktur fenol .................................................................................. 19
Gambar 2.5 Uji aktivitas antibakteri dengan kertas cakram .............................. 22
Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Ekstraksi Bubuk Bubuk Mikroalga Porphyridium
cruentum ............................................................................................................. 30
Gambar 4.1 Rendemen Ekstak Antibakteri dari P.cruentum............................. 33
Gambar 4.2 Kurva Pertumbuhan S.aureus ....................................................... 38
Gambar 4.3 Kurva Pertumbuhan E.coli ............................................................. 39
Gambar 4.4 Aktivitas Antibakteri Ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus........ 39
Gambar 4.5 Diameter Zona Bening Ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus ... 40
Gambar 4.6 Aktivitas Antibakteri Ekstrak P.cruentum terhadap E.coli ............. 46
Gambar 4.7 Diameter Zona Bening Ekstrak P.cruentum terhadap E.coli......... 47
Gambar 4.8 Perbedaan Diameter Zona Bening terhadap S.aureus & E.coli ... 50
Gambar 4.9 Uji KBM terhadap S.aureus ........................................................... 57
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Konstanta dielektrik beberapa pelarut ............................................... 11
Tabel 2.2 Penggolongan diameter zona hambat berdasarkan respon bakteri . 23
Tabel 3.1 Kombinasi perlakuan .......................................................................... 27
Tabel 4.1 Karakteristik Bahan Baku Serbuk Porphyridium cruentum ............... 31
Tabel 4.2 Rendemen Ekstrak Antibakteri dari P.cruentum dengan Berbagai Jenis
Perlakuan ............................................................................................................ 34
Tabel 4.3 Rerata Diameter Zona Bening S.aureus dari Perlakuan Berbeda .... 41
Tabel 4.4 Rerata Diameter Zona Bening E.coli dari Perlakuan Berbeda .......... 48
Tabel 4.5 Selisih Absorbansi pada Ekstrak P.cruentum Terhadap S.aureus dan
E.coli .................................................................................................................... 53
Tabel 4.6 Uji KBM pada Ekstrak P.cruentum ..................................................... 56
Tabel 4.7 Penentuan Perlakuan Terbaik Ekstrak Mikroalga P.cruentum.......... 58
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa ........................................................................... 78
Lampiran 2. Perhitungan Jumlah Bakteri Uji ..................................................... 82
Lampiran 3. Data Rendemen Ekstrak Porphyridium cruentum ........................ 84
Lampiran 3. Data Aktivitas Antibakteri Staphylococcus aureus ....................... 86
Lampiran 5. Data Aktivitas Antibakteri Escherichia coli .................................... 88
Lampiran 6. Data Konsentrasi Hambat Minimum ............................................. 90
Lampiran 7. Penentuan Perlakuan Terbaik dengan Multiple Atribute .............. 94
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian ................................................................. 98
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan zaman saat ini membuat masyarakat Indonesia lebih sadar
akan pentingnya kesehatan. Salah satu permasalahan kesehatan yang sering
dijumpai di negara berkembang seperti Indonesia adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri patogen (Darmadi, 2008). Seiring dengan timbulnya
berbagai penyakit infeksi, maka banyak orang mengkonsumsi antibiotik untuk
mencegah penyakit tersebut. Antibiotik merupakan bentuk dari antibakteri yang
dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara sintetik yang dapat
membunuh atau menghambat perkembangan mikroorganisme. Tingginya
konsumsi antibiotik menimbulkan permasalahan baru di dunia kesehatan, yaitu
resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pervez et al. (2004), ditemukan
bahwa terdapat resistensi mikroba patogen terhadap spesimen klinik. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yang
diisolasi dari sampel darah pasien rumah sakit resisten terhadap berbagai
antibakteri seperti eritromisin, penisilin G dan tetrasiklin. Selain itu, sebagian besar
bahan antibakteri yang beredar di pasaran merupakan zat kimia yang dalam
penggunaan berlebihan berpotensi menjadi berbahaya dan tidak aman bagi
kesehatan (Rasyid, 2012). Oleh karena itu, perlu adanya pencarian bahan alami
sebagai alternatif antibakteri yang memiliki efek samping minimal bagi kesehatan
dan dapat mengatasi permasalahan resistensi antibakteri tersebut.
Salah satu bahan alami yang memiliki zat antibakteri adalah mikroalga.
Mikroalga merupakan alga mikroskopik uniseluler yang umumnya dikenal dengan
sebutan fitoplankton (DAF, 2008). Mikroalga dapat tumbuh dalam berbagai kondisi
ekosistem sekalipun pada kondisi ekstrim. Spektrum ekosistem tumbuh yang luas
tersebut membuat mikroalga mampu mensintesis banyak senyawa bioaktif
(Pradhan et al., 2014). Berdasarkan penelitian yang telah banyak dilakukan,
mikroalga terbukti memiliki aktivitas antibakteri. Menurut Amaro (2011), aktivitas
antibakteri tersebut berkaitan erat dengan senyawa kimia yang dikandungnya
seperti indoles, terpen, acetogenin, fenol, asam lemak, dan hidrokarbon volatil
yang terhalogenasi.
2
Salah satu jenis mikroalga yang memiliki aktivitas antibakteri adalah
Porphyridium cruentum. Porphyridium cruentum merupakan mikroalga merah
uniseluler yang masuk ke dalam kelas Rhodophyceae. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Kusmiyati dan Agustini (2007), ekstrak dari biomassa Porphyridium
cruentum memiliki aktivitas untuk menghambat pertumbuhan Bacillus subtilis,
Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli. Senyawa antibakteri dominan pada
Porphyridium cruentum adalah metil palmitat. Selain kandungan metil palmitat,
aktivitas antibakteri Porphyridium cruentum juga disebabkan oleh kandungan
eksopolisakarida (Liu et al., 2016), pigmen fikobiliprotein (Najdenski et al., 2013),
dan senyawa fenol (Yilmaz, 2016).
Senyawa antibakteri dari Porphyridium cruentum dapat diperoleh melalui
proses ekstraksi. Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat
larut dari suatu serbuk simplisia, sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat
larut (DepKes RI, 2006). Salah satu metode ekstraksi yang paling sederhana
adalah maserasi. Kelebihan dari metode maserasi adalah kemungkinan kerusakan
senyawa-senyawa termolabil sedikit dan memungkinkan senyawa bioaktif
terekstrak lebih banyak dibandingkan metode lain (Grosso, 2015). Namun,
terdapat kekurangan yang dimiliki oleh metode maserasi yaitu memakan banyak
waktu dan pelarut yang digunakan cukup banyak (Mukhriani, 2014). Selain itu,
terdapat kemungkinan beberapa senyawa tidak terekstraksi pada suhu ruang
(Istiqomah, 2013). Kekurangan dari metode maserasi tersebut berhubungan
dengan jenis pelarut yang digunakan dan lama waktu ekstraksi.
Jenis pelarut yang digunakan akan mempengaruhi jumlah senyawa aktif
yang terkandung dalam ekstrak (Suryani, 2015). Oleh karena itu, jenis pelarut yang
sebaiknya dipilih adalah pelarut yang memiliki kepolaran sama dengan bahan
yang diekstrak (Prasetyo, 2012). Selain itu, semakin lama waktu ekstraksi maka
kontak bahan dengan pelarut akan semakin lama sehingga menghasilkan ekstrak
yang lebih besar dan begitupun sebaliknya (Prasetyo, 2012). Pemilihan jenis
pelarut dan lama waktu yang tepat akan menghasilkan proses yang efektif dengan
hasil yang baik sehingga dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari kekurangan
proses maserasi dapat diminimalisir.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan adanya eksplorasi kombinasi
jenis pelarut dan lama waktu maserasi yang tepat sehingga diperoleh ekstrak
dengan aktivitas antibakteri yang optimal. Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak
Porphyridium cruentum tersebut akan dilakukan menggunakan metode kertas
3
cakram (disc diffusion) serta dilengkapi dengan uji KHM (Konsentrasi Hambat
Minimum) dan KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka didapatkan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apakah perbedaan jenis pelarut berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri
ekstrak mikroalga Porphyridum cruentum?
2. Apakah perbedaan lama waktu maserasi berpengaruh terhadap aktivitas
antibakteri ekstrak mikroalga Porphyridum cruentum?
3. Interaksi jenis pelarut dan lama waktu ekstraksi manakah yang dapat
menghasilkan aktivitas antibakteri tertinggi?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1. Mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut terhadap aktivitas antibakteri
ekstrak mikroalga Porphyridium cruentum
2. Mengetahui pengaruh perbedaan lama waktu maserasi terhadap aktivitas
antibakteri ekstrak mikroalga Porphyridium cruentum
3. Mengetahui interaksi antara jenis pelarut dan lama waktu ekstraksi yang
dapat menghasilkan aktivitas antibakteri tertinggi
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini, yaitu:
1. Memberikan informasi mengenai aktivitas antibakteri ekstrak mikroalga
Porphyridium cruentum terhadap bakteri Gram positif dan bakteri Gram
negatif
2. Memberikan informasi mengenai kombinasi jenis pelarut dan lama waktu
ekstraksi yang menghasilkan aktivitas antibakteri tertinggi ekstrak mikroalga
Porphyridium cruentum
4
1.5 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini, yaitu:
1. Diduga perlakuan berbagai jenis pelarut akan berpengaruh nyata
terhadap aktivitas antibakteri ekstrak mikroalga Porphyridium cruentum
yang dihasilkan
2. Diduga perlakuan berbagai lama waktu maserasi akan berpengaruh
nyata terhadap aktivitas antibakteri ekstrak mikroalga Porphyridium
cruentum yang dihasilkan
3. Diduga interaksi antara jenis pelarut dan lama waktu maserasi akan
berpengaruh nyata terhadap aktivitas antibakteri ekstrak mikroalga
Porphyridium cruentum yang dihasilkan
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroalga
Mikroalga merupakan alga mikroskopik uniseluler yang umumnya dikenal
dengan sebutan fitoplankton (DAF, 2008). Mikroalga memiliki keragaman genetik
yang luas dan dapat ditemukan dalam bentuk tunggal, koloni, maupun filamen
(Amaro, 2011). Mikroalga memiliki ukuran 1 µm sampai 2 mm, memiliki klorofil,
dan hidup di air tawar maupun laut. Mikroalga yang tumbuh di laut biasanya
mengambang sampai pada kedalaman 200 meter dimana sinar matahari masih
tersedia untuk fotosintesis (DAF, 2008). Jumlah spesies mikroalga di dunia
diperkirakan sebanyak 200.000 – 800.000 spesies dimana hanya 35.000 spesies
yang dapat dikenali dan dikultivasi (Hadiyanto dan Maulana, 2012).
Gambar 2.1 Strain mikroalga dalam cawan petri (Hadiyanto dan Maulana, 2012)
Mikroalga berperan sebagai produsen pertama dalam rantai makanan
karena kemampuannya berfotosintesis. Sebagian besar mikroalga dapat
menghasikan karotenoid, antioksidan, enzim, polimer, peptida, asam lemak,
hingga racun yang mematikan (Cardozo, 2007). Mikroalga memegang peranan
yang menjanjikan dalam bidang bioteknologi biru karena memiliki metabolisme
yang fleksibel, menyerap CO2 sebagai energi dasar, dan memenuhi kebutuhan
energinya dengan bergantung pada sinar matahari (Amaro, 2011).
Mikroalga biasanya digunakan pada proses budidaya yaitu sebagai bahan
pakan alami bagi zooplankton dan larva ikan. Namun, sudah banyak masyarakat
yang mengenal mikroalga sebagai pangan fungsional serta menjadikannya
sumber protein, pigmen alami, vitamin, dan mineral (Nur, 2014). Selain itu,
6
mikroalga dapat memberikan efek penyembuh dan detoksifikasi dalam tubuh
manusia (Amaro, 2011).
Mikroalga juga kaya akan senyawa bioaktif sehingga dapat diaplikasikan
pada industri farmasi. Beberapa senyawa bioaktif menunjukan sifat antimikroba
pada mikroorganisme yang tumbuh pada pemrosesan makanan ataupun
akuakultur. Selain itu, terdapat senyawa bioaktif yang bersifat antivirus, antijamur,
dan antialga. Ekstrak bebas sel dari mikroalga telah diuji sebagai zat additif untuk
formulasi makanan dan pakan dalam upaya mengurangi penggunaan senyawa
antibakteri sintetis atau penggunaan dosis subterapeutik pada antibiotik (Amaro,
2011).
2.2 Porphyridium cruentum
Porphyridium cruentum (P. cruentum) adalah mikroalga merah uniseluler
yang masuk ke dalam kelas Rhodophyceae dan dikenal juga dengan nama
Porphyridium purpureum. Sel dari P. cruentum memiliki bentuk bulat dan
berdiameter sebesar 4 – 9µm. Sel tersebut terdiri dari satu nukleus, kloroplas
dengan pirenoid di tengahnya, badan golgi, mitokondria, lendir, pati, dan vesikel
(Kusmiyati dan Agustini, 2007). Klasifikasi dari mikroalga Porphyridium cruentum
adalah sebagai berikut (UniProt, 2002):
Divisi : Rhodophyta
Sub kelas : Bangiophyceae
Ordo : Porphyridiales
Famili : Porphyriceae
Genus : Porphyridium
Spesies : Porphyridium cruentum
Gambar 2.2 Sel Porphyridium cruentum (CCALA, 2013)
7
P. cruentum dapat hidup bebas ataupun berkoloni yang terikat ke dalam
mucilago yang dieksresikan secara konstan oleh sel membentuk sebuah kapsul
yang mengelilingi sel tersebut. Habitat asli dari P. cruentum adalah laut, namun
dapat hidup di air tawar maupun permukaan tanah lembab dan membentuk lapisan
kemerah-merahan (Kusmiyati dan Agustini, 2007). Selain berwarna merah, P.
cruentum juga dapat tampak berwarna hijau. Hal tersebut disebabkan oleh
kedalaman habitat yang akan mempengaruhi pigmen fikoeritrin (sumber warna
merah pada sebagian besar alga merah). Fikoeritrin merupakan pigmen yang
menutupi warna hijau klorofil pada mikroalga. Kedalaman habitat yang dangkal
akan meningatkan penetrasi cahaya dan menyebabkan kadar fikoeritrin yang
diproduksi menjadi lebih sedikit sehingga mikroalga akan tampak berwarna hijau
(Madigan et al., 2009).
Menurut Fuentes et al. (2000), biomassa dari P. cruentum memiliki proporsi
karbohidrat sebesar 33,2 g/100 g (d.w) dan protein sebesar 34,4 g/100 g (d.w).
Selain itu,ditemukan kandungan mineral yang tinggi dalam 100 Gram biomassa P.
cruentum terutama pada Ca (1248 mg), K (1219 mg), Na (1170 mg), Mg (63 mg),
dan Zn (37,4 mg). Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Kusmiyati dan Agustini (2007), senyawa antibakteri dominan pada P. cruentum
adalah metil palmitat sebanyak 41,15% pada ekstrak hasil ekstraksi bertingkat
menggunakan diklorometan/akuades dan diklorometan/NaOH, dan mengandung
metil palmitat 60,36% pada ekstrak hasil ekstraksi bertingkat menggunakan
diklorometan/akuades, diklorometan/NaOH, metanol/air, dan N-Heksana.
2.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut dari
suatu serbuk simplisia, sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut
(DepKes RI, 2006). Proses ekstraksi dilakukan dengan bantuan pelarut cair
sebagai separating agent antara komponen yang akan dipisahkan dengan
campuran homogennya (Aditya, 2015). Pemilihan metode ekstraksi sangat
dipengaruhi oleh target ekstraksi. Menurut Sarker (2006), terdapat 3 kelompok
target ekstraksi yaitu senyawa bioaktif yang tidak diketahui, senyawa yang
diketahui pada suatu organisme, dan sekelompok senyawa dalam suatu
organisme yang berhubungan secara struktural.
8
Ekstraksi dilakukan dengan beberapa metode. Berdasarkan suhu yang
digunakan, terdapat 2 jenis ekstraksi yaitu ekstraksi dingin dan ekstraksi panas.
Ekstraksi dingin adalah ekstraksi tanpa penggunaan panas. Keuntungan dari
ekstraksi dingin adalah memperkecil kemungkinan terjadinya kerusakan senyawa
termolabil pada sampel (Istiqomah, 2013). Metode ekstraksi dingin terdiri dari
maserasi dan perkolasi. Ekstraksi panas adalah ekstraksi dengan melibatkan
panas. Metode ekstraksi panas terdiri dari refluks, sokletasi, digesti, infus, dekok,
dan destilasi uap (DepKes RI, 2000).
Hasil akhir dari proses ekstraksi dinamakan ekstrak. Sifat dari ekstrak dapat
disesuaikan dengan kebutuhan ataupun keinginan dari peneliti. Menurut
Departemen Kesehatan RI (2006), sifat ekstrak dibedakan menjadi 4 yaitu:
a. Ekstrak encer, sediaan masih dapat dituang
b. Ekstrak kental, sediaan tidak dapat dituang dan kadar airnya mencapai 30%
c. Ekstrak kering, sediaan berbentuk serbuk hasil dari penguapan pelarut
d. Ekstrak cair, sediaan mengandung sejumlah pelarut sebagai bahan
pengawet
2.4 Maserasi
Maserasi adalah metode ekstraksi menggunakan pelarut dengan disertai
pengadukan dalam suhu ruang. Maserasi merupakan proses yang paling
sederhana dan banyak digunakan. Metode ini dilakukan dengan merendam
sampel pada pelarut yang sesuai di dalam wadah inert. Pelarut akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif tersebut
akan terlarut karena adanya perbedaan konsentrasi di luar dan di dalam sel
(Aditya, 2015). Proses tersebut akan dihentikan ketika telah terjadi kesetimbangan
konsentrasi senyawa antara pelarut dan sampel (Mukhriani, 2014). Proses
pengadukan biasanya ditambahkan pada maserasi untuk meningkatkan
kecepatan ekstraksi (Istiqomah, 2013). Menurut Maulida dan Zulkarnaen (2010),
terdapat tiga langkah dasar yang terdapat pada proses ekstraksi dengan metode
maserasi yaitu:
1. Proses penyampuran sejumlah massa bahan ke dalam larutan yang akan
dipisahkan komponen-komponennya
2. Proses pembentukan fase seimbang
3. Proses pemisahan kedua fase seimbang
9
Metode maserasi merupakan metode yang tergolong menguntungkan dalam
hal isolasi senyawa bahan alam. Kelebihan dari metode maserasi adalah tidak
perlu pemanasan sehingga kecil kemungkinan bahan alam menjadi rusak atau
terurai (Istiqomah, 2013). Selain itu, maserasi juga mudah dilakukan dan murah
(Koirewoa, 2012). Kekurangan dari maserasi adalah memakan banyak waktu dan
pelarut yang digunakan cukup banyak (Mukhriani, 2014). Selain itu, terdapat
kemungkinan beberapa senyawa tidak terekstraksi pada suhu ruang (Istiqomah,
2013). Pada metode maserasi, faktor krusial yang menentukan keefektifitasan
proses adalah pemilihan pelarut. Pemilihan pelarut berdasarkan kelarutan dan
polaritasnya memudahkan pemisahan bahan alam dalam sampel. Pengerjaan
metode maserasi yang lama dan keadaan diam selama maserasi memungkinkan
banyak senyawa yang akan terekstraksi (Istiqomah, 2013).
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi
2.5.1 Ukuran Partikel Padatan
Sampel padatan dengan luas permukan partikel yang lebih besar akan
meningkatkan hasil ekstrak dan mempersingkat waktu proses ekstraksi (Prasetyo,
2012). Pengecilan ukuran dapat dilakukan untuk memperluas permukaan bahan
sehingga mempercepat penetrasi pelarut ke dalam bahan yang akan diekstrak
(Tambun, 2016). Namun, proses pengecilan ukuran harus diperhatikan agar
keberadaan padatan tidak terlalu banyak dan tidak terlalu kecil. Jumlah padatan
yang terlampau banyak dapat menghalangi aliran pelarut untuk kontak dengan zat
aktif dalam padatan itu sendiri. Sementara itu, padatan yang terlalu kecil akan
memperkecil kemungkinan pelarut terserap ke dalam padatan (Prasetyo, 2012).
2.5.2 Suhu Ekstraksi
Ekstraksi akan memakan waktu yang lebih singkat pada penggunaan suhu
yang tinggi (Tambun, 2016). Suhu yang tinggi akan menyebabkan peningkatan
kecepatan difusi, peningkatan kelarutan dari larutan, dan penurunan viskositas
pelarut (Prasetyo, 2012). Namun, suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan
kerusakan komponen pada sampel sehingga harus diperhatikan. Suhu juga harus
disesuaikan dengan kelarutan pelarut, stabilitas pelarut, tekanan uap pelarut, dan
selektifitas pelarut (Prasetyo, 2012).
2.5.3 Waktu Ekstraksi
Semakin lama waktu ekstraksi, maka kontak bahan dengan pelarut akan
semakin lama sehingga menghasilkan ekstrak yang lebih besar (Prasetyo, 2012).
10
2.5.4 Jenis Pelarut
Jenis pelarut yang digunakan adalah pelarut pilihan terbaik. Menurut
Prasetyo (2012), pelarut yang baik adalah pelarut yang memiliki kepolaran yang
sama dengan bahan yang diekstrak, tingkat kelarutannya tinggi, tidak reaktif, tidak
korosif, tidak beracun, stabil secara termal, tidak mudah terbakar, mudah
diperoleh, dan memiliki titik didih yang rendah.
2.5.5 Rasio Zat Padat dengan Pelarut
Jumlah pelarut harus disesuaikan dengan kebutuhan. Apabila pelarut terlalu
banyak, maka akan terjadi pemborosan biaya (Prasetyo, 2012). Sebaliknya,
apabila pelarut sedikit, maka proses ekstraksi tidak berjalan maksimal.
2.5.6 Pengadukan
Pengadukan diperlukan untuk meningkatkan difusi sehingga perpindahan
massa dari padatan ke pelarut dapat meningkat pula. Pengadukan akan
mencegah terjadinya pembentukan suspensi ataupun endapan serta efektif
membentuk lapisan interfase (Prasetyo, 2012).
2.5.7 Porositas dan Difusivitas
Padatan yang berpori akan memungkinkan terjadinya difusi internal perlarut
dari permukaan padatan ke pori-pori padatan tersebut. Sementara itu, semakin
besar difusivitas bahan padatan maka semakin cepat pula difusi internal yang
terjadi dalam padatan tersebut (Prasetyo, 2012).
2.6 Pelarut
Pelarut (solvent) adalah medium tempat suatu zat lain melarut. Pelarut juga
disebut sebagai zat pendispersi, yaitu tempat menyebarnya partikel-partikel zat
terlarut (Sumardjo, 2009). Menurut Depkes RI (2000), faktor utama yang perlu
menjadi pertimbangan dalam pemilihan pelarut adalah selektifitas, ekonomis,
kemudahan bekerja, ramah lingkungan dan aman. Pada proses ekstraksi, pelarut
yang digunakan haruslah pelarut pilihan terbaik. Menurut Prasetyo (2012), pelarut
yang baik adalah pelarut yang memiliki kepolaran yang sama dengan bahan yang
diekstrak, tingkat kelarutannya tinggi, tidak reaktif, tidak korosif, tidak beracun,
stabil secara termal, tidak mudah terbakar, mudah diperoleh, dan memiliki titik
didih yang rendah.
Pelarut memegang peranan penting dalam menentukan kualitas dan jumlah
ekstrak pada proses ekstraksi. Menurut Suryani (2015), jenis pelarut yang
digunakan akan mempengaruhi jumlah senyawa aktif yang terkandung dalam
11
ekstrak sehingga pemilihannya harus diperhatikan. Jenis pelarut yang sering
digunakan adalah air dan pelarut organik. Namun, pelarut yang lebih lebih sering
dipakai dalam proses ekstraksi komponen kimia dalam sel adalah pelarut organik
(Prasetyo, 2012).
Sifat dari pelarut organik ditentukan oleh konstanta dielektriknya. Konstanta
dielektrik merupakan suatu besaran tanpa dimensi yang merupakan rasio antara
kapasitas elektrik medium terhadap vakum. Konstanta dielektrik dijadikan
pengukur kepolaran suatu pelarut. Konstanta dielektrikum dinyatakan sebagai
gaya tolak menolak antara dua pertikel yang bermuatan listrik dalam suatu
molekul. Semakin tinggi konstanta dielektrik, maka sifat pelarut akan semakin
polar (Moldoveanu and David, 2016). Konstanta dielektrik pada beberapa pelarut
dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Konstanta dielektrik beberapa pelarut
Pelarut Konstanta dielektrik (𝜺)
N – heksana 2,02
Eter 5,0
Etil asetat 6,02
Diklorometana 8,93
Aseton 20,7
Etanol 25,3
Metanol 33
DMSO 47,2
Air 80
Sumber: Saifudin, 2014
2.6.1 Metanol
Metanol atau metil alkohol (CH3OH) merupakan jenis alkohol dengan titik
didih sebesar 64,6°C dan berat jenis 32,04 g/mol (Adams, 2010). Pada keadaan
atmosfer, metanol berbentuk cairan tidak berwarna, mudah menguap, tidak berbau
menyengat, dan memiliki rasa sedikit manis. Metanol merupakan produk dari
fermentasi alami dan dapat diproduksi dari proses distilasi kayu (Adams, 2010).
Metanol memiliki sifat polar dan cenderung tidak korosif. Oleh karena
kepolarannya, metanol dapat larut dengan air dan pelarut organik lainnya, serta
mampu melarutkan berbagai garam anorganik (Cheng dan Kung, 1994).
Metanol merupakan pelarut yang banyak digunakan karena harganya yang
murah dan sangat mudah untuk diuapkan (Kerton dan Mariot, 2013). Meskipun
12
memiliki karakteristik yang hampir sama dengan etanol, metanol adalah pelarut
yang tergolong toksik bagi kesehatan manusia bila dicerna, dihirup, ataupun
terabsorbsi melalui kulit. Paparan metanol yang berlebihan dapat menyebabkan
kebutaan, kejang, koma, bahkan kematian (Edlund, 2011).
2.6.2 Etil Asetat
Etil asetat adalah pelarut sintetis yang terbentuk dari proses esterifikasi
asam asetat dengan etanol dari asetaldehida atau dari proses penambahan etilen
langsung pada asam asetat (Wittcoff, 2004). Etil asetat memiliki densitas sebesar
0,897 g/ml, titik didih pada suhu 77,1°C, dan titik leleh -83,6°C. Rumus molekul dari
etil asetat adalah CH3COOCH2CH3. Etil asetat berbentuk cairan transparan yang
mudah menguap, memiliki bau seperti buah-buahan dan memiliki rasa yang enak
ketika diencerkan (Patnaik, 2007). Etil asetat dapat ditemukan di minuman
beralkohol, tanaman sereal, lobak, jus buah, serta dapat diproduksi alami oleh
kamomil Roma dan spesies Rubus. Etil asetat memiliki berbagai manfaat, yaitu
sebagai bahan pelarut cat dan bahan baku pembuatan plastik, sebagai bahan
baku industri tinta cetak, pabrik parfum, flavor, kosmetik, dan minyak atsiri serta
proses ekstraksi pada industri farmasi (Nugroho, 2014).
Etil asetat merupakan pelarut semipolar sehingga dapat menarik senyawa
yang bersifat polar maupun non-polar (Putri, 2013). Namun, etil asetat lebih
cenderung bersifat non-polar sehingga ekstrak yang dihasilkan lebih banyak
mengandung lipid (Tadeo, 2008). Etil asetat memiliki toksisitas yang rendah,
namun paparan etil asetat dengan konsentrasi 400-500 ppm dapat menyebabkan
iritasi mata, hidung, dan tenggorokan ringan (Patnaik, 2007).
2.6.3 N – Heksana
N-Heksana adalah hidrokarbon alkana rantai lurus yang memiliki 6 atom
karbon dan memiliki rumus molekul C6H14. N-Heksana terbuat dari hasil
penyulingan minyak mentah dimana untuk produk industrinya ialah fraksi yang
mendidih pada suhu 65-70°C (Aziz et al., 2009). N-Heksana berbentuk cairan tidak
berwarna dengan bau yang menyengat, mudah terbakar dan sangat mudah
menguap. N-Heksana memiliki berat jenis 0,066 g/ml, titik didih sebesar 69°C, titik
leleh sebesar -95°C, dan bersifat sangat tidak polar sehingga tidak larut air namun
larut pada pelarut organik (Patnaik, 2007). N-Heksana dapat dimanfaatkan pada
industri printing, termometer suhu rendah, zat adhesif, ekstraksi, dan agen
pembersih (Hayes, 2007).
13
N-Heksana merupakan pelarut yang banyak digunakan secara komersil
karena efisiensi ektraksinya serta mudah didapat (Saxena et al., 2011). Menurut
Yilmaz et al. (2016), N-Heksana merupakan pelarut yang menghasilkan aktivitas
antimikroba tertinggi dari Porphyridium cruentum. Namun, N-Heksana adalah
salah satu golongan alkana paling toksik bagi manusia (Hayes, 2007). Selain itu,
N-Heksana juga telah dikelompokan sebagai zat kimia yang sangat berbahaya
bagi lingkungan (Saxena et al., 2011). Paparan N-Heksana dengan konsentrasi
5000 ppm terhadap manusia selama 10 menit dapat menimbulkan efek halusinasi,
kelainan penglihatan, sakit kepala, pusing, mual, dan dapat menyebabkan iritasi
pada mata serta tenggorokan. Selain itu, paparan yang berlebihan dapat
berpotensi menimbulkan penyakit polineuritis (Patnaik, 2007).
2.6.4 Etanol
Etanol atau etil alkohol (C2H5OH) adalah cairan tidak berwarna yang mudah
terbakar dengan titik didih sebesar 78,4°C, titik leleh sebesar 114,3°C dan berat
jenis sebesar 0,79 g/cm3 (Gupta and Demirbas, 2010). Etanol diproduksi melalui
proses fermentasi gula yang ada pada berbagai bahan biologis, seperti biji-bijian.
Selain itu, etanol juga dapat diproduksi dengan hidrasi dari produk samping etilen
pada industri minyak bumi (Gupta and Demirbas, 2010). Etanol bersifat non-toksik
dan merupakan pelarut dengan polaritas tinggi. Oleh karena kepolarannya yang
tinggi, etanol dapat mudah larut di dalam air dan hampir semua pelarut organik
(Burke, 2013).
Menurut Yunia (2014), etanol sebagai pelarut dapat memperbaiki atau
mempertahankan sifat dan karakteristik bahan terlarut dan mampu mengendapkan
zat-zat yang terkandung dalam bahan. Etanol banyak digunakan sebagai pelarut
karena etanol relatif aman digunakan untuk bahan-bahan kimia yang ditujukan
untuk konsumsi dan kegunaan manusia.
2.6.5 Aseton
Aseton dikenal juga sebagai dimetil keton, 2-propanon, atau propan-2-on.
Aseton merupakan bentuk paling sederhana dari keton dengan rumus molekul
CH3COCH3. Selain diproduksi di industri, aseton dapat diproduksi secara alami
pada proses metabolisme mamalia dan dapat ditemukan pada sebagian besar
jaringan seperti pada darah, urin, atau pernapasan (Johanson, 2000). Pada
kondisi normal, aseton berbentuk cairan tidak berwarna yang memiliki aroma
menyengat (manis seperti buah-buahan), mudah terbakar, dan sangat mudah
14
menguap (Bateman et al., 2014). Aseton memiliki titik didih sebesar 56°C, titik leleh
sebesar -95,4°C, dan berat jenis 0,79 g/ml (Johanson, 2000).
Aseton bersifat semipolar, artinya aseton terbentuk dari molekul dipolar yang
kuat namun tidak memiliki ikatan hidrogen (Sadek, 2004). Sifat semipolar
membuat aseton mampu larut dalam larutan polar maupun non-polar (sampai
tingkat tertentu) (Sutariya, 2017). Aseton sering digunakan sebagai pelarut dalam
proses ekstraksi minyak, lilin, dan resin dari produk alami, serta beberapa minyak
esensial. Selain itu, aseton juga dapat digunakan dalam ektraksi vitamin B
kompleks, alkaloid, antibiotik, dan juga enzim (Chereminisoff, 2003). Menurut
Patnaik (2007), aseton memiliki toksisitas yang rendah. Iritasi ringan dapat terjadi
pada paparan selama 5 menit dengan konsentrasi 300-500 ppm. Inhalasi aseton
dengan konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan mulut kering, pusing, otot
lemah, mual, kehilangan koordinasi berbicara, dan mengantuk.
2.7 Antibakteri
Antibakteri adalah suatu komponen atau substansi yang dapat membunuh
atau menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara mengganggu
metabolismenya (Kaye, 2017). Zat antibakteri merupakan sub-kelas dari antibiotik.
Zat antibakteri dapat berasal dari sumber alami (produksi mikroorganisme), semi-
sintetik (produk alami yang diubah secara kimiawi), dan sintetik. Contoh dari zat
antibakteri alami adalah sefalosporin, sefamisin, gentamisin dan penisilin G.
Contoh dari zat antibatekteri semi sintetik adalah ampisilin dan ampikasin.
Sedangkan contoh dari zat antibakteri sintetik adalah moksifloksasin dan
norfloksasin (Ullah and Ali, 2017).
Zat antibakteri yang ideal harus memiliki sifat toksisitas selektif dimana suatu
antibakteri memiliki efek membahayakan bagi parasit/patogen namun tidak
membahayakan bagi host. Berdasarkan tipe kerjanya, zat antibakteri dibedakan
menjadi bakteriostatik dan bakterisida. Bakteriostatik merupakan antibakteri yang
memperlambat atau mencegah pertumbuhan bakteri sedangkan bakteriosid
merupakan antibakteri yang membunuh bakteri dengan menghancurkan dinding
sel atau membran selnya (Ullah and Ali, 2017). Berdasarkan spektrum
aktivitasnya, zat antibakteri dibedakan menjadi spektrum sempit (narrow
spectrum) dan spektrum luas (broad spectrum). Antibakteri berspektrum sempit
hanya bisa bekerja terhadap bakteri tertentu saja, misalnya hanya terhadap bakteri
15
Gram positif atau Gram negatif saja. Sebaliknya, antibakteri berspektrum luas
dapat bekerja baik tehadap berbagai macam bakteri patogen termasuk bakteri
Gram positif dan Gram negatif (Talaro, 2008). Menurut Jawetz et al. (2013), faktor
yang mempengaruhi aktivitas zat antibakteri adalah pH lingkungan, stabilitas zat
antibakteri, besarnya inokulum bakteri, masa pengeraman, dan aktivitas metabolik
mikroorganisme. Setiap mikroorganisme akan memiliki respon yang berbeda
terhadap senyawa antibakteri karena adanya perbedaan sensitivitas. Pada
umumnya, bakteri Gram positif lebih rentan dibandingkan bakteri Gram negatif
(Madigan et al., 2009).
2.8 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri
Keberlangsungan hidup dan pertumbuhan suatu bakteri sangat bergantung
pada proses seperti sintesis dinding sel, sintesis protein, sintesis asam nukleat,
fungsi membran sel, dan sebagainya (Ullah and Ali, 2017). Proses-proses tersebut
merupakan target dari senyawa antibakteri. Berdasarkan cara suatu antibakteri
mengganggu berbagai proses tersebut, maka terdapat 4 macam mekanisme kerja
antibakteri, yaitu:
2.8.1 Menghambat sintesis dinding sel
Bakteri memiliki struktur dinding sel yang berbeda dengan organisme lain
dimana terdapat lapisan kaku mengelilingi secara lengkap sitoplasma membran
sel. Sifat kaku tersebut disebabkan oleh adanya rantai backbone polisakarida yang
disebut peptidoglikan. Peptidoglikan terdiri dari dua gula turunan yang
dihubungkan ikatan β-1,4 dengan jumlah yang sama, yaitu N-asetilglukosamin dan
asam N-asetilmuramat (Ullah and Ali, 2017). Dinding sel ini mempertahankan
bentuk mikroorganisme dan pelindung sel bakteri dari perbedaan tekanan osmotik
di dalam dan di luar sel yang tinggi (Talaro, 2008).
Oleh karena fungsinya yang vital bagi kelangsungan hidup bakteri, maka
proses yang penting untuk mencegah pertumbuhan bakteri adalah menghentikan
sintesis dinding sel dengan menghambat pembentukan lapisan peptidoglikan.
Antibakteri akan bereaksi dengan satu atau banyak enzim yang dibutuhkan pada
proses sintesis sehingga menyebabkan pembentukan dinding sel menjadi lemah
dan terjadi pemecahan osmotik (Talaro, 2008). Pada umumnya, bakteri Gram
negatif kurang rentan terhadap proses ini dikarenakan antibakteri gagal mencapai
dinding sel akibat terhalang oleh membran luar pada bakteri (Ullah and Ali, 2017).
16
2.8.2 Menghambat Fungsi Membran
Membran sitoplasma yang menutupi sitoplasma merupakan barrier
permeabilitas selektif, memiliki fungsi transport aktif, dan mampu mengontrol
komposisi internal sel (Jawetz, et al., 2013). Kerusakan sel akan terjadi bila peran
fungsional dari membran terganggu karena makromolekul dan ion dari sel akan
keluar sehingga membuat sel mati (Ullah and Ali, 2017). Salah satu contoh
antibakteri yang dapat menghambat fungsi membran adalah polimiksin. Antibakteri
tersebut akan mengubah struktur membran sehingga permeabilitasnya meningkat
yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan osmotik. Selain itu, terdapat
perubahan seperti pelepasan molekul dari dalam sel, penghambatan respirasi, dan
peningkatan penyerapan air sehingga menyebabkan sel mati (Ullah and Ali, 2017).
2.8.3 Menghambat Sintesis Protein
Sintesis protein memegang peranan penting bagi keberlangsungan hidup
bakteri maupun manusia. Pada umumnya, antibakteri menghambat sintesis
protein dengan mengganggu proses inisiasi dan elongasi. Antibakteri akan
menghalangi terikatnya RNA pada tempat spesifik ribosom selama pemanjangan
rantai peptida (Tristiyanto, 2009).
2.8.4 Menghambat Sintesis Asam Nukleat
Pembentukan DNA dan RNA sangat penting dan berefek dalam
metabolisme protein. Antibakteri menghambat sintesis asam nukleat dengan
mengganggu proses sintesis nukleitida, menghambat replikasi, atau
menghentikan transkripsi (Tristiyanto, 2009). Antibakteri yang menghambat
sintesis asam nukleat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu inhibitor RNA dan inhibitor
DNA. Inhibitor RNA akan mengganggu proses transkripsi dimana mRNA akan
dihasilkan untuk diubah menjadi protein. Selain itu, inhibitor RNA juga dapat
berikatan sangat kuat pada enzim DNA-Dependent RNA Polymerase sehingga
menghambat elongasi RNA pada bakteri. Sementara itu, inhibitor DNA bekerja
dengan mengganggu tiap tahap yang ada pada sintesis DNA seperti inisiasi,
elongasi, dan terminasi sehingga terjadi kerusakan sel bakteri (Ullah and Ali,
2017).
2.9 Senyawa Antibakteri pada Porphyridium cruentum
Menurut Durmaz et al. (2017), senyawa antibakteri pada mikroalga terdapat
pada metabolit-metabolit yang dihasilkan pada fase pertumbuhan stasioner yang
disebut dengan metabolit sekunder. Kelompok metabolit yang merupakan
17
antibakteri adalah fenol dan senyawa fenolat, alkohol, halogen, logam berat,
detergen, aldehid, dan gas kemosterilisator. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Kusmiyati dan Agustini (2007), senyawa dominan yang memiliki aktivitas
antibakteri pada Porphyridium cruentum adalah metil palmitat sedangkan pada
penelitian yang dilakukan oleh Najdenski et al. (2013), pigmen fikobiliprotein yang
diisolasi dari Porphyridium cruentum dapat menghasilkan aktivitas antibakteri.
Selain itu, senyawa antibakteri pada Porphyridium cruentum adalah senyawa fenol
(Yilmaz et al., 2016) dan polisakarida eksoseluler (Liu et al., 2016).
2.9.1 Metil Palmitat (Metil Heksadekanoat)
Metil palmitat adalah metil ester dari asam lemak jenuh palmitat (Cai et al.,
2005). Metil palmitat secara alami ditemukan pada minyak zaitun, minyak sawit
dan lipid tubuh. Selain itu, metil palmitat juga banyak ditemukan pada mentega,
keju, susu, dan daging. Menurut Goswarni and Fernandes (2001), metil palmitat
banyak digunakan pada bidang pangan, farmasetika, kosmetik, dan berbagai
industri. Metil palmitat mempunyai rantai panjang yang yang tersusun dari 17 atom
karbon. Metil palmitat memiliki rumus molekul C17H34O2 dan berat molekul 270,45
g/mol. Struktur dari metil palmitat dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Struktur metil palmitat (Cai et al., 2005)
Senyawa golongan metil ester asam lemak jenuh seperti metil palmitat
terbukti memiliki aktivitas antibakteri meskipun menghasilkan hambatan yang lebih
kecil (aktivitasnya lebih rendah) dibandingkan dengan metil ester asam lemak tak
jenuh (Choi et al., 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusmiyati
dan Agustini (2007), metil palmitat menjadi senyawa antibakteri dominan pada
ekstrak mikroalga Porphyridium cruentum terhadap bakteri Escherichia coli,
Bacillus subtilis, dan Staphylococcus aureus dengan proses ekstraksi bertingkat
menggunakan diklorometan/akuades, diklorometan/NaOH, metanol/air, dan N-
Heksana. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Yff et al. (2002) juga
menunjukan bahwa metil palmitat merupakan senyawa dominan pada ekstrak etil
asetat dari bunga Pentanisia prunelloides yang menunjukan aktivitas antibakteri
terhadap bakteri Gram positif (S.aureus dan B.subtilis) dan Gram negatif (E.coli
dan Klebsiella pneumoniae).
18
Mekanisme aksi metil ester asam lemak sebagai antibakteri masih kurang
dipahami. Namun, telah diketahui bahwa target utamanya adalah membran sel
dimana metil ester asam lemak mengganggu rantai transport elektron dan
fosforilasi oksidatif. Metil ester asam lemak juga dapat menghambat aktivitas
enzim, meurunkan serapan nutrisi, pembentukan produk peroksidasi atau
degradasi auto-oksidasi serta dapat menyebabkan lisis langsung pada sel bakteri
(Desbois and Smith, 2014).
2.9.2 Fikobiliprotein
Fikobiliprotein adalah salah satu jenis pigmen yang terbuat dari protein sel
yang mudah untuk diisolasi dan dimurnikan. Fikobiliprotein adalah protein yang
bersifat fluorescent dan berfungsi sebagai aparatus fotosintesis pada
sianobakteria dan alga (Hermanson, 2013). Fikobiliprotein umumnya dibagi
menjadi 3 kelompok, yaitu fikosianin (pigmen biru), fikoeritrin (pigmen merah), dan
alofikosianin (pigmen biru kehijauan). Ketiga pigmen tersebut merupakan hetero-
oligomer yang terdiri dari pengelompokan sub-unit dalam sel produksi
(Cyanobacteria) atau kloroplas (Rhodophyta) yang disusun pada suatu kompleks
bernama fikobilisom (Santhosh, et al., 2016). Mikroalga Porphyridium cruentum
menghasilkan fikobiliprotein dengan jumlah fikoeritrin yang besar. Fikobiliprotein
bersifat larut air dan biasanya terkandung sebanyak 2-8% berat kering sel (Gupta,
et al., 2017).
Fikobiliprotein merupakan metabolit dengan beragam aktivitas biologis
seperti antialga, antijamur, antiviral dan antibakteri (Santhosh, et al., 2016).
Namun, penelitian mengenai mekanisme aksi antibakteri dari fikobiliprotein masih
jarang ditemukan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sitohy et al. (2015)
terhadap fikosianin, kemungkinan besar target dari fikobiliprotein adalah dinding
dan membran sel dari bakteri. Perubahan yang tampak pada bakteri yang diujikan
adalah peningkatan ukuran sel bakteri, kerutan di dinding sel, pemisahan dinding
sel dari membran sel, terciptanya bentuk yang tidak beraturan, serta hilangnya inti
sel.
2.9.3 Fenol
Fenol (C6H5OH) atau asam karbonat merupakan senyawa yang mudah
terbakar, korosif, toksik, dan berbentuk kristalin putih (Cheremisinoff, 2003). Fenol
bersifat asam lemah dengan pH 5-6 dan pada umumnya larut air karena mampu
membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air. Titik didih fenol sebesar 181°C
dengan titik leleh sebesar 41°C (Toh, 2013). Fenol adalah senyawa aromatik yang
19
struktur kimianya diturunkan dari benzena dimana satu atau lebih atom hidrogen
yang terikat pada inti benzena diganti dengan satu atau lebih gugus hidroksil
(Sumardjo, 2009). Struktur fenol dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Struktur fenol (Sumardjo, 2009)
Fenol adalah senyawa yang disintesis oleh banyak varietas bakteri, fungi,
tanaman, dan hewan termasuk mikroalga. Fenol memiliki sifat toksik bagi bakteri
dan fungi sehingga fenol dipakai luas sebagai antiseptik (Chereminisoff, 2003).
Menurut Rachmawati (2011), mekanisme fenol sebagai antibakteri pada
konsentrasi rendah adalah dengan merusak membran sitoplasma dan
menyebabkan kebocoran inti sel, sedangkan pada konsentrasi tinggi senyawa
fenol berkoagulasi dengan protein seluler. Fenol dapat membunuh
mikroorganisme dengan mendenaturasi protein pada sel. Struktur protein akan
rusak ketika terbentuk ikatan hidrogen antara protein dan fenol. Permeabilitas
dinding sel dan membran sitoplasma akan terganggu karena keduanya tersusun
atas protein sehingga terjadi ketidakseimbangan makromolekul dan ion dalam sel
dan membuat sel lisis (Pelczar, 2009).
2.9.4 Eksopolisakarida
Eksopolisakarida merupakan kelompok biopolimer penting dengan berat
molekul tinggi yang disekresikan dari mikroorganisme termasuk mikroalga ke
lingkungan eksternalnya selama fase pertumbuhan ataupun propagasi.
Eksopolisakarida dapat berbentuk heteropolimer dan homopolimer.
Eksopolisakarida pada mikroalga dapat melekat longgar pada dinding sel atau
dieksreksikan ke lingkungan (Liu et al., 2016). Berbagai jenis mikroalga,
khususnya mikroalga merah dan sianobakteri memproduksi eksopolisakarida
dengan berbagai macam struktur. Pembentukan eksopolisakarida pada mikroalga
merah terutama genus Porphyridium sp. terjadi karena tidak ada selulosa
mikrofibrilar pada dinding selnya sehingga eksopolisakarida tersebut akan
20
mengenkapsulasi dinding sel tersebut dalam bentuk gel. Eksopolisakarida juga
berfungsi untuk melindungi sel dari stres lingkungan serta berperan dalam
interaksi satu sel ke sel lain, sebagai adesi, dan pembetukan biofilm (Liu et al.,
2016). Pada mikroalga Porphyridium cruentum, eksopolisakarida yang disintesis
adalah eksopolisakarida heteropolimer asam sulfat yang terutama terbentuk dari
xilosa, galaktosa, serta glukosa (Geresh et al., 2002).
Eksopolisakarida memiliki pemakaian yang luas dalam bidang pangan, yaitu
sebagai agen pengental dan agen pembentuk gel (Feldmane et al., 2013). Selain
itu, eksopolisakarida juga memiliki aktivitas antibakteri (Raposo, 2013). Aktivitas
antibakteri pada eksopolisakarida disebabkan oleh tingkat polimerisasi dan derajat
deasetilasi yang rendah (Poli et al., 2011). Mekanisme aktivitas antibakteri pada
eksopolisakarida adalah dengan menembus ke dalam membran sel bakteri dan
secara bergantian mengganggu proses replikasi bakteri dengan menekan
pertumbuhan bakteri (Nwodo et al., 2012). Eksopolisakarida yang dihasilkan oleh
Porphyridium cruentum yang ditumbuhkan pada media dalam kondisi stabil akan
memiliki jumlah yang tergolong besar. Hal tersebut terjadi karena sebagian
eksopolisakarida akan terlarut pada media sehingga menyebabkan
eksopolisakarida mudah untuk diekstraksi dan dipurifikasi (Liu et al., 2016).
2.10 Uji Aktivitas Antibakteri
Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan untuk mengetahui keefektifan suatu
zat antibakteri serta mengetahui kerentanan suatu bakteri terhadap antibakteri
dalam konsentrasi tertentu (Nagoba, 2008). Uji aktivitas antibakteri dapat
dilakukan dengan berbagai metode yaitu metode kualitatif (difusi), metode
kuantitatif (dilusi), metode pengujian otomatis, serta metode molekuler (Tiwari,
2017). Pada umumnya, pengujian aktivitas antibakteri sering dijumpai adalah
metode difusi dan pengenceran/dilusi (Kusmiyati dan Agustini, 2007).
Metode difusi adalah metode kualitatif yang digunakan untuk mengetahui
respon bakteri (sensitif, intermediet, atau resisten) terhadap senyawa antibakteri
(Tiwari, 2017). Respon bakteri tersebut diketahui dengan melihat ada tidaknya
zona hambatan. Metode difusi merupakan metode yang paling sering digunakan
dan didasari pada pengukuran diameter daerah hambatan yang terbentuk. Metode
difusi dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu metode silinder, metode
lubang/sumuran, dan metode cakram kertas (Kusmiyati dan Agustini, 2007).
Kelebihan dari metode difusi adalah pengerjaannya yang mudah, cepat, tidak
21
membutuhkan peralatan yang mahal dan fleksibel terhadap antibiotik yang akan
diuji. Kekurangan dari metode difusi adalah tidak dapat menampilkan hasil secara
kuantitatif, lamanya waktu preparasi, dan pembacaan diameter secara manual
yang dapat meningkatkan kesalahan (Schwalbe et al., 2007).
Metode pengenceran atau dilusi adalah metode yang dapat mengukur
aktivitas antibakteri in vitro secara kuantitatif. Metode pengenceran biasanya
digunakan untuk mengetahui nilai KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) dan KBM
(Konsentrasi Bunuh Minimum) suatu senyawa antibakteri. Metode pengenceran
terbagi menjadi 2 teknik pengerjaan, yaitu dilusi agar dan dilusi cair (Tiwari, 2017).
Teknik dilusi agar dilakukan dengan menginokulasikan senyawa antibakteri
dengan berbagai konsentrasi pada suatu media agar. Berbagai bakteri dapat
diinokulasikan pada media tersebut. Hasil dapat dilihat dari ada tidaknya
pertumbuhan bakteri pada media tersebut (Nagoba, 2008). Teknik dilusi cair
dilakukan dengan mengencerkan zat antimikroba ke dalam berbagai konsentrasi
dan dimasukkan ke dalam tabung-tabung reaksi steril berisi media cair kemudian
ditambahkan mikroba uji yang telah diketahui jumlahnya (Nagoba, 2008).
Kelebihan dari metode dilusi adalah memungkinkan penentuan kualitatif dan
kuantitatif secara bersamaan dan mempermudah prosedur uji KHM (Wilkins and
Appleman, 2018). Kekurangan dari dilusi agar adalah tidak efisien karena
pengerjaan rumit, memerlukan banyak alat dan bahan, serta membutuhkan
ketelitian yang tinggi dalam mempersiapkan variasi konsentrasi larutan antibakteri
(Soleha, 2015).
2.11 Uji Kertas Cakram
Uji Kertas Cakram adalah pengujian metode difusi agar menggunakan
cakram kertas. Metode cakram kertas merupakan cara yang cukup mudah untuk
melihat kerentanan bakteri terhadap senyawa antibakteri (Harmita dan Radji,
2008). Metode kertas cakram dilakukan dengan menginokulasi plat agar dengan
bakteri dan membiarkan antibiotik berdifusi ke agar. Metode ini cocok digunakan
untuk mikroorganisme dengan pertumbuhan cepat, bersifat aerob maupun
fakultatif areob (Shahid et al., 2013). Prinsip metode kertas cakram adalah bahan
uji dibubuhkan ke dalam kertas cakram. Kertas cakram tersebut kemudian
ditanam pada media perbenihan agar padat yang telah berisikan suspensi bakteri,
kemudian diinkubasi selama 18-24 jam dengan suhu 37°C. Selanjutnya, diamati
22
zona hambatan disekitar cakram untuk mengetahui ada tidaknya pertumbuhan
mikroba.
Gambar 2.5 Uji aktivitas antibakteri dengan kertas cakram (Nagoba, 2008)
Zona hambatan merupakan area jernih atau bersih yang mengelilingi tempat
cakram yang telah terdifusi zat antibakteri (Harmita dan Radji, 2008). Zona hambat
menunjukan besarnya aktivitas penghambatan suatu antibakteri terhadap
pertumbuhan bakteri dimana semakin besar ukuran zona hambat, maka semakin
besar pula daya hambatnya (Saroinsong, 2014). Ukuran zona hambat dipengaruhi
beberapa faktor, yaitu kepadatan atau viskositas media biakan, kecepatan difusi
antimikroba, konsentrasi antibiotik pada cakram, sensitivitas mikroba terhadap
antimikroba, dan interaksi antimikroba dengan media (Harmita dan Radji, 2008).
Selain itu, ukuran zona hambat juga dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan
bakeri (Soleha, 2015).
Menurut Nagoba (2008), diameter zona hambat yang terbentuk harus diukur
untuk mengetahui respon bakteri terhadap zat antibakteri. Kategori bakteri
terhadap diameter zona hambat dibedakan menjadi sensitif (zona hambat lebih
besar atau setidaknya 4 mm lebih besar dibanding kontrol positif), intermediet
(diemeter zona hambat setidaknya 12 mm namun dikurangi lebih dari 4 mm
dibandingkan kontrol positif), dan resisten (tidak terbentuk zona hambat atau
diameternya tidak lebih dari 10 mm). Menurut Greenwood (1995) dalam Pratama
(2005), respon hambatan bakteri juga dapat digolongkan berdasarkan besar
diameter zona hambat yang berada pada Tabel 2.2.
23
Tabel 2.2 Penggolongan diameter zona hambat berdasarkan respon bakteri
Diameter Zona Hambat Respon Hambatan Pertumbuhan
>20 mm Kuat
16 – 20 mm Sedang
10 – 15 mm Lemah
<10 mm Kurang efektif
Sumber: Greenwood (1995), dalam Pratama (2005)
2.12 Uji KHM (Konsentrasi Hambat Minimum)
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) atau Minimum Inhibitory Concentration
(MIC) merupakan nilai konsentrasi terendah suatu antibakteri untuk menghambat
pertumbuhan bakteri yang terlihat (berdasarkan kekeruhan) setelah diinkubasi
semalam. KHM dianggap sebagai “gold standard” untuk menentukan kerentanan
suatu bakteri terhadap antibakteri (Andrews, 2001). KHM dapat ditentukan
menggunakan media padat/agar ataupun dengan media cair setelah kultur
diinokulasi (Ngulube, 2016). Pengujian KHM merupakan pengujian in vitro yang
berfungsi untuk menyediakan informasi dasar mengenai spektrum dan potensi
aktivitas antibakteri serta membuat formulasi suatu antibakteri (Block, 2001).
Prinsip dari uji KHM adalah mengetahui konsentrasi terendah suatu antibakteri
untuk menghambat pertumbuhan bakteri dengan menggunakan larutan antibakteri
yang telah diencerkan ke dalam beberapa tahapan konsentrasi. Kelebihan dari uji
KHM adalah dapat dilakukan dalam skala yang kecil tanpa menggunakan terlalu
banyak antibakteri sedangkan kekurangannya adalah pengerjaannya
membutuhkan ketelitian dan prosesnya tergolong lama sehingga tidak cocok untuk
pengujian menggunakan jenis bakteri atau komponen dalam jumlah banyak.
2.13 Uji KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum)
Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) atau Minimum Bactericidal
Concentration (MBC) adalah nilai yang menyatakan konsentrasi terendah suatu
antibakteri yang dapat membunuh sebanyak 99,9% bakteri (Engelkirk and Janet,
2008). Uji KBM biasanya dilakukan untuk melanjutkan uji KHM. Uji KBM dilakukan
dengan menginokulasikan larutan media yang telah dipakai di uji KHM ke dalam
media padat (agar). Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya bakteri
yang masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi terendah atau pada larutan
24
yang tidak keruh (Tille, 2013). Kelebihan dari uji KBM adalah relatif murah dan
mudah dikendalikan di laboratorium sedangkan kekurangannya adalah
mikroorganisme yang berbeda tidak dapat diukur sekaligus dan rentan terhadap
hasil negatif bila menggunakan media yang lebih bernutrisi.
2.14 Bakteri
Bakteri adalah organisme prokariotik bersel tunggal yang mikroskopik
(Kaiser, 2017). Bakteri memiliki ukuran bervariasi dari 0,2 – 5 µm dan digolongkan
ke dalam 3 bentuk dasar, yaitu coccus (sel berbentuk bulat atau oval), bacillus (sel
berbentuk batang), dan spirochaeta (sel berbentuk spiral) (Samaranayake, 2012).
Berdasarkan sifat fisik dan kimia dinding sel, maka bakteri dapat dibedakan
menjadi 2 kelompok besar, yaitu bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif.
Bakteri Gram positif merupakan bakteri yang dapat mempertahankan zat warna
metil ungu pada saat pewarnaan Gram. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar
dinding sel bakteri Gram positif terdiri dari peptidoglikan yang mengikat warna metil
ungu (Tristiyanto, 2009). Bakteri Gram negatif adalah bakteri yang tidak dapat
mempertahankan zat warna metil ungu saat dibilas oleh alkohol, namun selnya
tetap menahan zat warna merah (Campbell et al., 2003). Hal tersebut terjadi
karena bakteri Gram negatif memiliki kandungan peptidoglikan yang lebih sedikit.
Pada penelitian ini, digunakan 2 bakteri patogen yaitu Staphyococcus aureus
sebagai bakteri Gram positif dan Escherichia coli sebagai bakteri Gram negatif.
2.14.1 Escherichia coli
Eschericia coli merupakan bakteri yang masuk ke dalam divisi Protophyta,
kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, famili Enterobacteriaceae dan genus
Escherichia. Bakteri ini tidak membentuk spora, dan merupakan bakteri Gram
negatif yang berbentuk batang lurus dan pendek. E.coli merupakan bakteri
anaerob fakultatif, yaitu bakteri yang dapat hidup dalam lingkungan tanpa maupun
dengan oksigen. E.coli dapat bergerak menggunakan flagel peritik ataupun tidak
dapat bergerak (Rivas et al., 2015). Pada umumnya, ukuran sel E.coli adalah 1-
2µm x 30µm (Wiwanitkit, 2011).
E.coli merupakan mikrofolora alami yang ada di dalam saluran pencernaan
manusia dan sifatnya non-patogen bagi tubuh. Namun, E.coli dapat keluar melalui
feses dan menjadi patogen (Wiwanitkit, 2011). Meskipun berada di luar saluran
pencernaan, E.coli dapat tumbuh baik di air sehingga kontaminasi E.coli banyak
ditemukan pada sanitasi yang buruk (Wiwanitkit, 2011). Infeksi oleh E.coli dapat
25
terjadi akibat mengkonsumsi makanan yang belum matang, kontaminasi pada air
dan daging, serta pada susu yang belum dipasteurisasi (Belk and Maier, 2010).
Infeksi yang sering ditimbulkan oleh E.coli adalah infeksi saluran kemih, saluran
empedu, dan hati, cystitis, meningitis serta penyakit infeksi lainnya (Tristiyanto,
2009). Penyakit saluran pencernaan (usus) juga dapat disebabkan oleh bakteri
E.coli yang terdiri dari beragam tipe yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC),
enteropathogenic E. coli (EPEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enterohemorrhagic
E. coli (EHEC), dan enteroaggregative E. coli (EAEC) (Todar, 2011).
2.14.2 Staphylococcus aureus
S.aureus merupakan bakteri Gram positif yang berbentuk kokus dengan
sel berdiameter 0,5 – 1,5µm dan membelah diri membentuk koloni mirip anggur.
Bakteri ini tidak dapat bergerak (non-motile), tidak membentuk spora, dan bersifat
fakultatif anaerob sehingga dapat tumbuh melalui respirasi anaerob maupun
fermentasi (Harris et al., 2002). S.aureus secara umum ditemukan di lingkungan
(tanah, air, dan udara) serta secara alami ada di kulit, rambut, dan nasofaring
manusia maupun hewan (FSANZ, 2013).
S.aureus merupakan bakteri patogen oportunistik, yaitu bakteri yang
menjadi patogen ketika sistem imun inang melemah. S.aureus terus mengalami
perkembangan dan membuatnya resisten terhadap beberapa antibiotik.
Kontaminasi S.aureus dapat mengakibatkan food poisoning akibat staphylococcal
enterotoxin (SE) yang dikeluarkan pada makanan (Montville and Matthews, 2008).
S.aureus juga merupakan penyebab utama terjadinya infeksi pada luka bedah.
S.aureus dapat masuk ke jaringan bawah kulit dan menginfeksi luka tersebut
sehingga menimbulkan abses piogenik (bernanah) (Harris et al., 2002). Genus
Staphyloccocus patogen dikenal mampu menghasilkan koagulase yang
menyebabkan penggumpalan darah (Harris et al., 2002). Selain itu, S.aureus
dapat infeksi kulit, infeksi pernapasan, mastitis, luka sepsis, dan toxic shock
syndrome (Todar, 2011).
26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2018 hingga bulan Juni 2018 dan
dilakukan pada beberapa laboratorium, yaitu:
a. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
b. Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
c. Laboratorium Bioteknologi Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam proses ekstraksi dan pengujian aktivitas
antibakteri mikroalga Poprhyridium cruentum adalah neraca analitik, spatula besi,
orbital shaker, Erlenmeyer 250 ml, gelas ukur, corong kaca, rotary evaporator,
botol kaca kecil, tabung reaksi dan rak tabung reaksi, pipet ukur, bola hisap, gelas
beaker 250 ml, mikrotip dan mikropipet, cawan petri, kompor listrik, inkubator,
kulkas, LAF (Laminar Air Flow), autoclave, vortex, cotton swab, kertas cakram,
jarum ose, bunsen, aluminium foil, kertas saring kasar, tisu, plastik, kapas, dan
karet gelang.
3.2.2 Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk mikroalga
Porphyridium cruentum yang didapatkan dari Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau Situbondo, Jawa Timur.
Bahan yang digunakan dalam proses ekstraksi bubuk mikroalga
Porphyridium cruentum adalah pelarut PA (Pro-Analysis) 99,9% yaitu metanol, etil
asetat, n-heksana, etanol, dan aseton yang didapatkan dari Laboratorium Kimia
dan Biokimia Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Brawijaya.
27
Bahan yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri adalah media Natirum
Agar, Natrium Broth, DMSO, spiritus, dan alkohol 70% yang didapatkan dari
Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.
Bakteri indikator yang digunakan adalah bakteri Gram positif
(Staphylococcus aureus) yang diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Pangan,
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Brawijaya dan bakteri Gram negatif (Escherichia coli) yang didapatkan dari
Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) Faktorial dengan 2 faktor. Faktor I adalah jenis pelarut yang terdiri dari 5
jenis dan faktor II adalah lama waktu ekstraksi yang juga terdiri dari 3 level.
Masing-masing perlakuan diberi 3 kali pengulangan sehingga jumlah perlakuan
percobaan keseluruhan adalah 45 perlakuan.
Faktor I : jenis pelarut yang terdiri dari 3 jenis
P1 = Pelarut Metanol
P2 = Pelarut Etil Asetat
P3 = Pelarut N-Heksana
P4 = Pelarut Etanol
P5 = Pelarut Aseton
Faktor II : lama waktu ekstraksi yang terdiri dari 3 level:
T1 = lama waktu 24 jam
T2 = lama waktu 48 jam
T3 = lama waktu 72 jam
Kombinasi perlakuan akan diperoleh dari kedua faktor tersebut dan dapat
dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan
Jenis Pelarut Lama Waktu Ekstraksi
24 jam (T1) 48 jam (T2) 72 jam (T3)
Metanol (P1) P1T1 P1T2 P1T3
Aseton (P2) P2T1 P2T2 P2T3
N-Heksana (P3) P3T1 P3T2 P3T3
Etanol (P4) P4T1 P4T2 P4T3
Aseton (P5) P5T1 P5T2 P5T3
28
Keterangan kombinasi perlakuan sebagai berikut:
P1T1 = Pelarut metanol dengan lama waktu ekstraksi 24 jam
P2T1 = Pelarut etil asetat dengan lama waktu ekstraksi 24 jam
P3T1 = Pelarut N-Heksana dengan lama waktu ekstraksi 24 jam
P4T1 = Pelarut etanol dengan lama waktu ekstraksi 24 jam
P5T1 = Pelarut aseton dengan lama waktu ekstraksi 24 jam
P1T2 = Pelarut metanol dengan lama waktu ekstraksi 48 jam
P2T2 = Pelarut etil asetat dengan lama waktu ekstraksi 48 jam
P3T2 = Pelarut N-Heksana dengan lama waktu ekstraksi 48 jam
P4T2 = Pelarut etanol dengan lama waktu ekstraksi 48 jam
P5T2 = Pelarut aseton dengan lama waktu ekstraksi 48 jam
P1T3 = Pelarut metanol dengan lama waktu ekstraksi 72 jam
P2T3 = Pelarut etil asetat dengan lama waktu ekstraksi 72 jam
P3T3 = Pelarut N-Heksana dengan lama waktu ekstraksi 72 jam
P4T3 = Pelarut etanol dengan lama waktu ekstraksi 72 jam
P5T3 = Pelarut aseton dengan lama waktu ekstraksi 72 jam
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Ekstraksi Senyawa Antibakteri
Ekstraksi senyawa antibakteri diawali dengan penimbangan 5 gram bubuk
Porphyridium cruentum dan dimasukan ke dalam erlenmeyer 100 ml yang telah
ditutup dengan aluminium foil. Kemudian, pelarut metanol, etil asetat, N-Heksana,
etanol dan aseton diukur sebanyak 25 ml dan dimasukan ke dalam masing-masing
erlenmeyer sehingga perbandingan rasio bahan dengan pelarut adalah 1:5.
Selanjutnya, kelima larutan tersebut dimaserasi pada suhu ruang menggunakan
orbital shaker selama 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Setelah proses maserasi
berlangsung, dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring halus sehingga
didapatkan filtrat. Filtrat tersebut selanjutnya dievaporasi menggunakan rotary
vacuum evaporator dengan suhu 40°C dengan kecepatan 40 rpm kemudian
disemprot menggunakan gas nitrogen sehingga didapatkan ekstrak kasar.
3.5 Parameter Penelitian
Pengamatan yang dilakukan pada ekstrak Porphyridium cruentum yaitu
pengamatan terhadap senyawa bioaktif yang dapat dihasilkan dari bubuk
Porphyridium cruentum. Pengamatan yang dilakukan terhadap parameter yang
29
berkaitan dengan seberapa besar kandungan senyawa bioaktif yang berperan
sebagai antibakteri. Analisa yang dilakukan meliputi:
Rendemen (Sembiring dkk, 2018)
Aktivitas antibakteri metode kertas cakram (modifikasi metode Yilmaz et
al., 2016)
Uji KHM (modifikasi metode Yunika dkk, 2017)
Uji KBM (Sari, 2010)
3.6 Pengujian dan Analisa Data
Uji analisa yang dilakukan adalah analisa aktivitas antibakteri dengan
metode kertas cakram (difusi agar). Analisa data hasil pengamatan dilakukan
dengan menggunakan analisa ragam (ANOVA) dengan selang kepercayaan 5%.
Analisa lanjutan menggunakan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) digunakan apabila
hasil uji menunjukan tidak beda nyata. Apabila hasil uji menunjukan hasil berbeda
nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test).
Penetapan perlakuan terbaik dilakukan menggunakan metode Zeleny.
Diagram alir tahap ekstraksi senyawa antibakteri pada mikroalga
Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 3.1.
30
3.7 Diagram Alir
Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Ekstraksi Bubuk Bubuk Mikroalga Porphyridium
cruentum (Modifikasi metode Rao et. al., 2011)
Residu
(Bubuk Mikroalga
Porphyridium
cruentum)
Bubuk mikroalga Porphyridium cruentum
Penimbangan sebanyak 5 gram
Ekstraksi secara maserasi
selama 24, 48, dan 72 jam dengan
pelarut Metanol 1:5 (b/v), Etil asetat 1:5 (b/v), N-
Heksana 1:5 (b/v), Etanol 1:5 (b/v), Aseton 1:5 (b/v)
Penyaringan dengan kertas saring
halus
Filtrat
Penguapan pelarut dengan Rotary Evaporator suhu 40oC
(Kecepatan 40 rpm)
Penyemprotan dengan gas N2
Ekstrak kasar mikroalga
Porphyridium cruentum
Analisa akhir:
3. Rendemen
4. Aktivitas Antibakteri
Gram (+)
5. Aktivitas Antibakteri
Gram (-)
6. Uji KHM
7. Uji KBM
Analisa awal:
1. Kadar air
2. Total fenol
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku dalam penelitian ini adalah mikroalga Porphyridium cruentum.
Porphyridium cruentum (P. cruentum) adalah mikroalga merah uniseluler yang
masuk ke dalam kelas Rhodophyceae dan banyak ditemukan di laut. P.cruentum
yang dipakai pada penelitian ini telah dikeringkan dan dijadikan bubuk berukuran
40 mesh untuk mempermudah proses ekstraksi. Menurut Anam (2010), ukuran
bubuk 40 mesh memiliki rendemen tertinggi dibandingkan dengan bubuk 20 mesh
dan 60 mesh. Ukuran bubuk yang semakin besar membuat waktu ekstraksi yang
diperlukan akan semakin lama sedangkan bila ukuran bubuk terlalu kecil, maka
terdapat kemungkinan adanya penggumpalan bahan saat proses ekstraksi dan
menyulitkan pelarut untuk menembus bahan sehingga proses ekstraksi akan
semakin lambat. Oleh karena itu, diperlukan ukuran yang tepat sehingga proses
ekstraksi berjalan dengan baik. Warna dari bubuk P.cruentum adalah merah
kecoklatan yang disebabkan oleh kandungan pigmen fikoeritrin (sumber warna
merah pada sebagian besar alga merah). Analisa bahan baku dilakukan dengan
dua parameter, yaitu kadar air dan total fenol. Data hasil analisa bubuk P.cruentum
dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakteristik Bahan Baku Serbuk Porphyridium cruentum
Parameter Hasil Analisa Literatur
Kadar air (%) 1,2 5,28 ± 12,07a
Total Fenol (mg GAE/g) 11,20 34,22b
Keterangan: 1) Setiap data hasil analisa merupakan rerata dari 3 ulangan ± standar deviasi
2) Sumber : a Alwahidul dkk (2018) b Yilmaz et al., (2016)
Tabel 4.1 menunjukan bahwa kadar air dari serbuk mikroalga Porphyridium
cruentum memiliki perbedaan yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan
literatur. Hasil analisa kadar air bubuk P.cruentum adalah sebesar 1,21% dan
nilainya jauh lebih kecil dibandingkan literatur yang memiliki nilai sebesar 5,81%.
Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu perbedaan
metode analisa, suhu, dan lama pengeringan. Menurut Fitriani (2008),
32
kemampuan bahan untuk melepaskan air dari permukaannya akan semakin besar
dengan meningkatnya suhu udara pengering dan waktu pengeringan yang
digunakan, sehingga menghasilkan kadar air yang lebih rendah. Kadar air
merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan dan dinyatakan dalam
persen (Aventi, 2015). Kadar air merupakan salah satu karakteristik bahan baku
yang penting untuk diketahui. Menurut Sulistijowati dan Gunawan (2001), kadar
air maksimum bahan agar proses ekstraksi dapat berjalan dengan baik adalah
11%. Menurut Puspita (2009), apabila kadar air yang terkandung dari suatu bahan
kurang dari 11%, maka kestabilan optimum bahan dapat tercapai. Kadar air juga
menentukan daya awet bahan baku dimana kadar air yang tinggi mengakibatkan
mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan
terjadi perubahan pada bahan baku (Aventi, 2015). Berdasarkan pernyataan
tersebut, maka serbuk P.cruentum memiliki kadar air yang baik untuk proses
ekstraksi.
Menurut Naz et al., (2007), kandungan fenol suatu bahan sangat berkolerasi
dengan aktivitas antibakterinya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Baydar et al., (2004), komponen fenol merupakan komponen yang paling aktif dan
signifikan dalam melawan bakteri dan juga fungi. Menurut Preedy et al., (2013),
mekanisme kerja dari fenol sebagai komponen antibakteri adalah dengan
mendegradasi dinding sel, berinteraksi dengan komponen dalam sel dan
menghancurkan membran sitoplasma, serta merusak membran protein dan
mengganggu membran dengan enzim terintegrasi yang dapat menyebabkan sel
bakteri mati. Fenol merupakan senyawa yang berpotensi memiliki aktivitas
antibakteri sehingga kadar fenol pada bahan perlu diketahui. Total fenol pada hasil
analisa dan data literatur memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Total fenol
hasil analisa adalah sebesar 11,20 mg GAE/g sedangkan pada literatur adalah
34,22 mg GAE/g. Perbedaan total fenol antara kedua data dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu perbedaan perlakuan pendahuluan seperti suhu
pengeringan, pengecilan ukuran dan pengayakan, serta terdapat perbedaan
tempat tumbuh dari P.cruentum. Menurut Barberan and Espin (2001), faktor yang
mempengaruhi kandungan fenol adalah genetik, lingkungan dan, teknologi dalam
pemanenan. Selain itu, terdapat kemungkinan kerusakan senyawa fenol pada data
analisa sehingga fenol yang terbaca menjadi lebih sedikit. Hal tersebut
dikarenakan senyawa fenolik merupakan senyawa yang sensitif, tidak stabil dan
33
rentan terhadap degradasi yang secara umum disebabkan oleh kadar oksigen dan
cahaya (Vatai et al., 2009).
4.2 Rendemen Ekstrak Antibakteri dari Porphyridium cruentum
Mikroalga Porphyridium cruentum berpotensi menghasilkan senyawa
antibakteri dengan rendemen ekstrak yang berbeda. Rendemen suatu ekstrak
dihitung berdasarkan perbandingan berat ekstrak yang dihasilkan dengan berat
biomassa sel yang digunakan dan dikalikan 100% (Sani dkk, 2014). Rendemen
menggambarkan efektifitas suatu pelarut terhadap bahan dalam suatu sistem
namun tidak menunjukan tingkat aktivitas dari bahan tersebut. Rendemen dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis pelarut, rasio pelarut, laju aliran
pelarut, waktu ekstraksi, kadar air bahan baku, ukuran partikel, distribusi partikel
serta suhu ekstraksi (Shi, 2006; Ghomi and Ghasemzadeh, 2012). Penelitian ini
menggunakan dua faktor yang dapat mempengaruhi rendemen, yaitu jenis pelarut
dan waktu ekstraksi. Perbandingan hasil rendemen dari masing-masing perlakuan
dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Rendeman Ekstrak Antibakteri dari P.cruentum
Gambar 4.1 menunjukan bahwa setiap pelarut memiliki perbedaan
perolehan rendemen yang cukup signifikan. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa
semakin lama waktu ekstraksi, rendemen yang dihasilkan akan lebih tinggi.
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dengan taraf kepercayaan 95%, interaksi
5,22
6,76
7,63
1,18 1,422,10
2,67
3,65 3,703,734,16 4,40
0,65 0,71 0,73
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
24 48 72Ren
dem
en E
kstr
ak A
nti
bak
terr
i (%
)
Waktu Ekstraksi (jam)
Metanol Etil Asetat N-Heksana Etanol Aseton
34
jenis pelarut dan waktu maserasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap diameter zona bening pada S.aureus. Perbedaan zona bening tersebut
diuji lebih lanjut menggunakan metode Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).
Hasil uji lanjut DMRT dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rendemen Ekstrak Antibakteri dari P.cruentum dengan berbagai Jenis Pelarut
Perlakuan Rerata Rendemen (%) DMRT 5%
Jenis Pelarut Waktu Ekstraksi (jam)
Metanol
24 5,22 ± 0,11i 0,23591
48 6,76 ± 0,23j 0,23660
72 7,63 ± 0,20k 0
Etil Asetat
24 1,18 ± 0,06b 0,22009
48 1,42 ± 0,08c 0,22360
72 2,10 ± 0,11d 0,22635
N-heksana
24 2,67 ± 0,01e 0,22855
48 3,65 ± 0,17f 0,23041
72 3,70 ± 0,07f 0,23192
Etanol
24 3,73 ± 0,09f 0,23316
48 4,16 ± 0,19g 0,23426
72 4,40 ± 0,07h 0,23516
Aseton
24 0,65 ± 0,04a 0,19869
48 0,70 ± 0,03a 0,20881
72 0,73 ± 0,05a 0,21541
Keterangan: 1) Setiap data hasil analisa merupakan rerata dari 3 ulangan ± standar deviasi
2) Angka yang didampingi notasi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (α= 0,05)
Tabel 4.2 menunjukan bahwa jenis pelarut dan waktu ekstraksi memberikan
pengaruh nyata terhadap rendemen ekstrak. Berdasarkan data di atas, terdapat
perbedaan hasil rendemen yang dihasilkan dari masing-masing pelarut dan waktu
ekstraksi. Apabila dilihat dari jenis pelarut, maka urutan pelarut dengan nilai
rendemen tertinggi adalah metanol, etanol, n-heksana, etil asetat, dan aseton.
Perbedaan nilai rendemen pada kelima jenis pelarut dapat dihubungkan oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah kesamaan polaritas pelarut dan senyawa
yang terkandung di P.cruentum. Berdasarkan konsep “like dissolves like”,
senyawa yang bersifat polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa yang
35
bersifat non polar akan larut dalam pelarut non polar (Arifianti dkk, 2014). Menurut
Rebey et al. (2012), perbedaan pelarut yang didasarkan pada perbedaan polaritas,
dispersibilitas, dan penetrabilitas akan secara selektif mengekstrak berbagai
komponen pada bahan. Kepolaran pada pelarut ditentukan berdasarkan konstanta
dielektriknya. Semakin besar konstanta dielektrik, maka pelarut semakin bersifat
polar.
Menurut Becker (1994), P.cruentum memiliki kadar protein sebesar 28-39%,
kadar karbohidrat sebesar 40-57%, dan total lipid sebesar 9-14% dari berat
keringnya. Biomassa dari P.cruentum juga mengandung tokoferol, vitamin K, dan
karotenoid dalam jumlah besar. Selain itu, ditemukan kandungan mineral yang
tinggi dalam 100 Gram biomassa P. cruentum terutama pada Ca (1248 mg), K
(1219 mg), Na (1170 mg), Mg (63 mg), dan Zn (37,4 mg) (Fuentes et al., 2000).
Pelarut yang memiliki nilai rendemen tertinggi adalah metanol. Apabila
dibandingkan nilai konstanta dielektrik dari masing-masing pelarut, maka metanol
merupakan pelarut paling polar. Komponen terbanyak pada P.cruentum adalah
karbohidrat dan protein yang tergolong polar. Jenis karbohidrat yang ditemukan
pada P.cruentum adalah polisakarida yang ditemukan pada dinding selnya.
Polisakarida tersebut terdiri dari glukosa, galaktosa, xylosa, asam glukoronat dan
asam metil-glukuronat sebagai monomernya (Razaghi et al., 2013). Selain itu,
biomassa P.cruentum juga memiliki kandungan pati (Arad et al., 1985). Jenis
protein yang umum ditemukan pada cyanobacteria dan rhodophyta seperti
P.cruentum adalah pigmen fikobiliprotein. Fikobiliprotein adalah protein yang
berikatan secara kovalen melalui kromofor asam amino sistein bernama fikobilin
dan juga bersifat polar (Christaki et al., 2015). Menurut Sari (2011), pelarut polar
juga memiliki kemampuan mengekstrak senyawa dari kisaran senyawa polar
hingga semi polar. Oleh karena banyaknya komponen polar pada P.cruentum dan
kemampuan senyawa polar yang juga dapat mengekstrak senyawa semi-polar,
maka nilai rendemen tertinggi juga didapatkan dari pelarut polar.
Rendemen pada pelarut etanol memiliki rerata cukup tinggi namun tidak
lebih tinggi dibandingkan metanol. Menurut penelitian terdahulu, baik metanol dan
etanol mampu melarutkan senyawa polar, seperti gula, asam amino, komponen
glikosida dan fenolik (Houghton and Raman, 1998), komponen fenolik dengan
berat molekul rendah sampai sedang (Yu et al., 2009), senyawa flavonoid aglikon
(Dehkarghanian et al., 2010), serta antosianin, terpenoid, tanin, serta saponin
(Cowan, 1999). Pelarut etanol menghasilkan rendemen lebih rendah karena
36
sifatnya yang tidak lebih polar dibandingkan metanol. Konstanta dielektrik dari
etanol adalah 25,3 sedangkan metanol sebesar 33 (Saifudin, 2014). Oleh karena
itu, metanol mampu mengekstrak lebih banyak senyawa polar dibandingkan
etanol.
Rendemen pada pelarut n-heksana memiliki rerata yang juga cukup tinggi
bila dibandingkan dengan etil asetat dan aseton. N-heksana merupakan pelarut
bersifat sangat tidak polar dengan konstanta dielektrik sebesar 2,02 (Saifudin,
2014). Menurut penelitian terdahulu, N-Heksana mampu melarutkan senyawa
lignin, lipid, dan aglikon (Houghton and Raman, 1998), serta sterol dan terpenoid
(Cowan, 1999). Menurut Becker (1994), P.cruentum memiliki kandungan lipid
sebesar 9-14% dari berat keringnya. Lipid merupakan senyawa bersifat non-polar.
Menurut Diraman and Koru (2009), lipid pada P.cruentum terdiri dari berbagai
asam lemak, yaitu 14,17-24,48% asam palmitat, 2,83-9,96% asam palmitoleat,
1,38-4,53% asam stearat, 5,53-14,02% asam oleat, 3,15-11,31% asam linoleat,
6,49-20,71% asam arakidonat, dan 8,17-18,46% EPA. Oleh karena persentase
senyawa non-polar pada P.cruentum cukup tinggi, maka komponen yang dapat
dilarutkan oleh n-heksana juga semakin tinggi sehingga akan berpengaruh
tehadap nilai rendemen dari pelarut n-heksana.
Rerata rendemen dari etil asetat dan aseton memiliki nilai yang cukup
rendah. Kedua pelarut tersebut digolongkan sebagai pelarut semi-polar. Etil asetat
memiliki konstanta dielektrik sebesar 6,02 dan aseton sebesar 20,7 (Saifudin,
2014). Berdasarkan konstanta dielektriknya, maka etil asetat cenderung bersifat
non-polar sedangkan aseton cenderung bersifat polar. Menurut Houghton and
Raman (1998), etil asetat secara optimal mampu mengekstrak alkaloid, aglikon,
dan glikosida sedangkan aseton optimal mengekstrak senyawa yang cenderung
polar (Mabry et al., 1970). Rendahnya rendemen pada kedua pelarut dapat
disebabkan karena adanya perbedaan tingkat kepolaran antara pelarut dan
komponen pada P.cruentum sehingga komponen tersebut tidak dapat terkestrak
secara maksimal (Yu and Goktepe, 2005).
Selain sifat kepolaran dari pelarut, hasil rendemen juga dipengaruhi oleh
komposisi dan kepermeabilitasan dinding sel P. cruentum. Permeabilitas membran
sel akan berubah bila terdapat kesamaan polaritas antara pelarut dan dinding sel
sehingga pelarut dapat lebih mudah mengekstrak senyawa dalam sel (Vratnica et
al., 2011). Komposisi dari dinding sel mempengaruhi ketahanan sel terhadap
tekanan hidrodinamis (Sobczuk et al., 2006). P.cruentum memiliki dinding sel
37
eksopolisakarida (Liu et al., 2016). Menurut Sharma (1986), dinding sel
P.cruentum terdiri dari 2 lapisan. Lapisan luar terdiri dari bahan pectic dan lapisan
bagian dalam terbuat dari cellulosic microfibrils. Komposisi dinding sel pada
P.cruentum tersebut dominan bersifat polar sehingga pelarut polar cenderung
menghasilkan rendemen yang lebih tinggi.
Selain jenis pelarut, waktu maserasi juga berpengaruh terhadap peningkatan
rendemen. Waktu maserasi yang digunakan pada penelitian ini adalah 24 jam, 48
jam, dan 72 jam. Berdasarkan Gambar 4.1, maka dapat terlihat bahwa semakin
lama waktu maserasi, nilai rendemen juga semakin tinggi. Menurut da Silva
(2006), waktu ekstraksi dan jumlah rendemen yang dihasilkan berbanding lurus
dimana dibutuhkan waktu ekstraksi yang lebih lama untuk menghasilkan
rendemen yang lebih tinggi. Semakin lama waktu ekstraksi, maka kontak bahan
dengan pelarut akan semakin lama sehingga menghasilkan ekstrak yang lebih
besar (Prasetyo, 2012).
4.3 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Porphyridium cruentum
Porphyridium cruentum merupakan mikroalga yang berpotensi memiliki
aktivitas antibakteri. Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak P.cruentum dilakukan
dengan metode disc diffusion menggunakan kertas cakram. Menurut Balouiri et al.
(2016), disc diffusion memiliki berbagai kelebihan, yaitu mudah, biaya yang
diperlukan rendah, dapat menguji berbagai ekstrak antibakteri atau jenis bakteri
dalam satu waktu, dan terdapat kemudahan dalam mengintepretasikan data.
Aktivitas antibakteri pada metode disc diffusion ditunjukan dengan terbentuknya
zona bening di sekitar kertas cakram berdiameter 6 mm. Zona bening menunjukan
besarnya aktivitas penghambatan suatu antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri
dimana semakin besar ukuran zona hambat, maka semakin besar pula daya
hambatnya (Saroinsong, 2014). Menurut Vratnica et al. (2011), setiap
mikroorganisme berbeda akan menunjukan tingkat sensitifitas berbeda terhadap
senyawa antibakteri. Setiap ekstrak dengan perlakuan berbeda menghasilkan
diameter zona bening yang berbeda pula.
Ekstrak P.cruentum yang dipakai pada penelitian ini adalah ekstrak
berkonsentrasi 10.000 ppm. Pemilihan konsentrasi tersebut didasari pada
penelitian yang dilakukan oleh Kusmiyati dan Agustini (2017) yang menguji
aktivitas antibakteri ekstrak P.cruentum hasil dari ekstraksi bertingkat dengan
konsentrasi 10.000 ppm, 8.000 ppm, 7.500 ppm, dan 6.000 ppm. Hasil terbaik
38
didapatkan pada ekstrak dengan konsentrasi 10.000 ppm. Ekstrak tersebut
dilarutkan dengan DMSO 20%. Menurut Sari dkk (2017), DMSO 20% tidak
memiliki aktivitas antibakteri, terbukti dengan tidak terbentuknya zona bening pada
uji menggunakan kertas cakram. Oleh karena itu, DMSO 20% dipakai sehingga
zona bening yang terbentuk adalah hasil murni dari aktivitas antibakteri ekstrak.
Bakteri yang dipakai adalah Staphylococcus aureus dan Escherichia coli karena
merupakan bakteri yang bersifat patogen bagi manusia.
Jumlah sel bakteri yang digunakan dalam uji ini telah disamakan sehingga
dapat diketahui kemampuan aktivitas antibakteri terhadap bakteri dalam kisaran
jumlah yang sama. Jumlah bakteri pada uji ini adalah 107 CFU/ml dan berada pada
fase log. Menurut Hermawan dkk (2017), syarat jumlah bakteri untuk uji
kepekaan/sensitifitas adalah 105 – 108 CFU/ml. Fase log adalah fase setelah sel
beradaptasi dimana sel mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara
bertahap yang pada akhirnya akan mencapai laju pertumbuhan maksimum
(Bachruddin, 2018). Menurut Hidayat dkk (2006), kecepatan sel membelah diri
pada fase log tinggi. Proses metabolisme sel pada fase log juga terjadi sangat
cepat dan konstan sampai nutrien habis atau terjadi penimbunan metabolit yang
bersifat racun. Penggunaan bakteri pada fase log diharapkan dapat
mengoptimalkan hasil kerja dari ekstrak mikroalga P.cruentum. Berdasarkan kurva
pertumbuhan yang telah dibuat, bakteri S.aureus akan mencapai kepadatan 107
CFU/ml pada waktu 10 jam 6 menit sedangkan bakteri E.coli pada waktu 7 jam 26
menit. Kurva pertumbuhan bakteri S.aureus dapat dilihat pada Gambar 4.2
sedangkan kurva pertumbuhan E.coli pada Gambar 4.3.
Gambar 4.2 Kurva Pertumbuhan S.aureus
0
2
4
6
8
10
12
0 500 1000 1500 2000
Log
of
Cel
l (C
FU/m
l)
Umur (menit)
39
Gambar 4.3 Kurva Pertumbuhan E.coli
4.3.1 Aktivitas Antibakteri Porphyridium cruentum Terhadap
Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif dan dikenal sebagai
bakteri patogen oportunistik, yaitu bakteri yang menjadi patogen ketika sistem
imun inang melemah (Montville and Matthews, 2008). Diameter zona bening yang
dihasilkan ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus berkisar dari 2,03 mm sampai
6,04 mm. Diameter tersebut telah dikurangi oleh diameter dari kertas cakram, yaitu
6mm. Hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus
dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Keterangan: perlakuan ekstraksi menggunakan pelarut P1 = Metanol, P2 = Etil asetat, P3 = N-
heksana, P4 = Etanol, P5 = Aseton dengan waktu ekstraksi T1 = 24 jam, T2 = 48 jam, dan T3 = 72 jam
Gambar 4.4 Aktivitas Antibakteri ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus
Perbandingan diameter zona bening yang dihasilkan oleh ekstrak
P.cruentum dengan berbagai jenis pelarut dan waktu maserasi dapat dilihat pada
Gambar 4.5.
P3T
1
P2T2
P3T
2
0
2
4
6
8
10
12
0 500 1000 1500 2000
Log
of
Cel
l (C
FU/m
l)
Waktu (menit)
40
Gambar 4.5 Diameter Zona Bening ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus
Gambar 4.5 menunjukan bahwa ekstrak setiap pelarut memiliki perbedaan
hasil zona bening. Selain itu, waktu ekstraksi 24 jam dan 48 jam menghasilkan
peningkatan diameter. Penurunan diameter zona bening terjadi pada semua
pelarut dalam waktu ekstraksi 72 jam. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam
dengan taraf kepercayaan 95%, interaksi jenis pelarut dan waktu maserasi
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap diameter zona bening pada
S.aureus. Perbedaan zona bening tersebut diuji lebih lanjut menggunakan metode
Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Hasil uji lanjut DMRT dapat dilihat pada
Tabel 4.3.
4,51 4,603,75
5,84 6,04
4,27
3,29 3,50
2,03
3,99 4,283,89
4,46
5,36
4,16
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
24 48 72
Dia
me
ter
Zon
a B
enin
g S.
aure
us
(mm
)
Waktu Maserasi (jam)
Metanol Etil Asetat N-Heksana Etanol Aseton
41
Tabel 4.3 Rerata Diameter Zona Bening Staphylococcus aureus dari Perlakuan Berbeda
Perlakuan Rerata Diameter Zona Bening S.aureus (mm)
DMRT 5% Jenis Pelarut Waktu Ekstraksi (jam)
Metanol
24 4,51 ± 0,09d 0,57443
48 4,60 ± 0,38d 0,57662
72 3,75 ± 0,32bc 0,53967
Etil Asetat
24 5,84 ± 0,36ef 0,58016
48 6,04 ± 0,23f 0
72 4,51 ± 0,29cd 0,56498
N-heksana
24 3,29± 0,23b 0,51201
48 3,50 ± 0,11b 0,52820
72 2,03 ± 0,27a 0,48721
Etanol
24 3,99 ± 0,29c 0,55503
48 4,28 ± 0,42cd 0,56869
72 3,89 ± 0,04c 0,54828
Aseton
24 4,46 ± 0,44d 0,57173
48 5,36 ± 0,26e 0,57848
72 4,16 ± 0,39cd 0,56042
Keterangan: 1) Setiap data hasil analisa merupakan rerata dari 3 ulangan ± standar deviasi
2) Setiap data zona bening telah dikurangi diameter kertas cakram sebesar 6 mm
2) Angka yang didampingi notasi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (α= 0,05)
Tabel 4.3 menunjukan bahwa jenis pelarut dan waktu ekstraksi memberikan
pengaruh nyata (p-value<0,05) terhadap diameter zona bening ekstrak
P.cruentum terhadap S.aureus. Menurut Mashhadinejad et al. (2018), pentingnya
penggunaan pelarut dengan berbagai tingkat kepolaran telah banyak disorot untuk
skrining komponen biologis mikroalga karena karakteristik bioaktivitas suatu bahan
sangat bergantung pada pelarut ekstraksi dan solubilitas dari senyawa spesifiknya.
Pemilihan berbagai jenis pelarut diharapkan mampu mengekstrak senyawa
bioaktif yang berbeda-beda pula sehingga perbedaan aktivitas antibakteri dapat
terlihat jelas. Pada penelitian ini, urutan diameter zona bening dari yang terbesar
secara berurutan adalah ekstrak etil asetat, aseton, metanol, etanol sedangkan n-
heksana menghasilkan diameter terkecil.
42
Ekstrak P.cruentum dengan pelarut etil asetat menghasilkan diameter zona
bening terbesar. Besarnya diameter zona bening berbanding lurus dengan
aktivitas antibakteri ekstrak sehingga etil asetat memiliki aktivitas antibakteri
tertinggi. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mashhadinejad et al. (2018) dimana ekstrak pelarut etil asetat mikroalga C.
vulgaris menghasilkan aktivitas antibakteri tertinggi terhadap S.aureus. Penelitian
yang dilakukan Sivathanu et al. (2011) juga menunjukan bahwa ekstrak etil asetat
mikroalga C.humicola memiliki aktivitas antibakteri tertinggi terhadap bakteri Gram
positif dibandingkan pelarut lain. Menurut Mashhadinejad et al. (2018), hal tersebut
berkaitan erat dengan adanya persamaan kepolaran antara etil asetat dengan
senyawa pada mikroalga yang memiliki aktivitas antibakteri baik.
Etil asetat merupakan pelarut semi-polar. Sifat kepolarannya membuat etil
asetat mampu mengekstrak analit-analit bersifat polar maupun non-polar (Artini
dkk, 2013). Menurut Borquaye et al., (2016) dalam penelitiannya tentang aktivitas
antibakteri moluska laut L.littorea and G. paradoxa menyatakan bahwa ekstrak etil
asetat terbukti mengandung asam lemak dalam jumlah banyak. Hal tersebut juga
diungkapkan oleh Karthikeyan et al. (2014) dimana asam lemak terekstraksi oleh
etil asetat dan menjadikannya senyawa antimikroba berpotensi. Menurut
Kusumayati dan Agustini (2007), senyawa antibakteri dominan pada P. cruentum
adalah asam lemak metil palmitat sebanyak 41,15%. Etil asetat mampu
melarutkan asam lemak karena meskipun merupakan pelarut semi-polar, namun
sifatnya cenderung mengarah ke lipofilik, sehingga asam lemak dapat mudah
terekstrak pada etil asetat.
Selain asam lemak, etil asetat juga dapat mengekstrak senyawa bioaktif
lainnya seperti fenol, flavonoid, saponin dan triterpenoid (Dia dkk, 2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Galanakis et al. (2013) terhadap
solubilitas fenol alami pada berbagai jenis pelarut, etil asetat mampu melarutkan
komponen asam fenolik seperti caffeic, ferulic dan coumaric. Komponen fenol
paling aktif seperti tyrosol dan hydroxytyrosol juga lebih banyak ditemukan pada
etil asetat dibandingkan dengan pelarut lain. Selain itu, ekstrak etil asetat juga
mengandung komponen flavonoid aglikon. Flavonoid aglikon adalah flavonoid
yang memiliki gugus (OH) pada posisi C-7 dan (OH) tersubstitusi pada C-3
(Frindriyani dkk, 2016). Oleh karena kemampuan ekstraksinya yang luas terhadap
senyawa bioaktif, maka ekstrak pelarut etil asetat dapat menghasilkan beragam
senyawa antibakteri meski rendemennya rendah (Dia dkk, 2015).
43
Ekstrak dari pelarut aseton juga memiliki aktivitas antibakteri tinggi
dibandingkan pelarut lain namun lebih rendah bila dibandingkan dengan etil asetat.
Hal tersebut berkaitan dengan konsep “like dissolves like” dimana senyawa akan
larut pada pelarut dengan polaritas yang sama. Menurut penelitian Logeswari dkk
(2014) terhadap berbagai mikroalga, ekstrak aseton terbukti mengandung
komponen bioaktif yang memiliki aktivitas antibakteri seperti flavonoid, terpenoid,
alkaloid, dan saponin. Selain itu, fraksi aseton 90% dari ekstrak P.cruentum
terbukti mengandung fikobilisom yang menghasilkan pigmen fikobiliprotein
(Redlinger and Gantt, 1982). Meski diduga mengandung berbagai senyawa
bioaktif, aktivitas antibakteri pada pelarut aseton lebih rendah dibandingkan
dengan etil asetat. Kemungkinan besar senyawa yang berpotensi sebagai
antibakteri pada ekstrak P.cruentum memiliki polaritas yang lebih serupa dengan
etil asetat dibandingkan dengan aseton. Hal tersebut sesuai dengan penelitian
terdahulu Anam dkk (2014) terhadap mikroalga Spirulina plantesis, dimana pelarut
etil asetat mampu mengekstrak jenis senyawa bioaktif yang lebih banyak
dibandingkan aseton.
Sementara itu, metanol dan etanol sebagai pelarut bersifat polar memiliki
aktivitas antibakteri yang hampir serupa. Hasil yang lebih rendah didapatkan oleh
pelarut etanol. Berdasarkan penelitian terdahulu, baik metanol dan etanol mampu
melarutkan senyawa polar, seperti komponen glikosida dan fenolik, komponen
fenolik dengan berat molekul rendah sampai sedang, senyawa flavonoid aglikon,
serta antosianin, terpenoid, tanin, serta saponin (Houghton and Raman, 1998; Yu
et al., 2009; Dehkarghanian et al., 2010; Cowan, 1999). Menurut skrining senyawa
bioaktif yang dilakukan oleh Logeswari et al. (2014) terhadap beberapa mikroalga,
pelarut metanol dan etanol terbukti mampu mengekstrak flavonoid, alkaloid, dan
saponin. Menurut Najdenski et al. (2013), senyawa pada P.cruentum yang dapat
terekstrak oleh pelarut metanol dan etanol adalah komponen fikobiliprotein yang
bersifat polar, namun mekanisme aktivitas antibakterinya masih belum diketahui.
Selain itu, terdapat komponen eksopolisakarida yang juga bersifat polar sehingga
dapat terekstraksi oleh kedua pelarut (Liu et al., 2016). Mekanisme aktivitas
antibakteri eksopolisakarida adalah dengan menembus ke dalam membran sel
bakteri dan secara bergantian mengganggu proses replikasi bakteri dengan
menekan pertumbuhan bakteri (Nwodo et al., 2012).
Berbagai senyawa antibakteri dapat dilarutkan oleh kedua pelarut polar ini,
namun cakupan ekstraksi senyawa bioaktif bersifat antibakteri yang kurang luas
44
(hanya pada komponen polar) menyebabkan metanol dan etanol menghasilkan
diameter zona hambat yang lebih kecil bila dibandingkan dengan etil asetat dan
aseton.
Diameter zona bening terkecil didapatkan oleh n-heksana yang bersifat non-
polar. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Fadlila dkk (2015) terhadap aktivitas
antibakteri tangkai daun talas dimana n-heksana memiliki aktivitas antibakteri
terkecil. Sebagai pelarut non-polar, senyawa yang dilarutkan oleh n-heksana
merupakan senyawa yang bersifat non-polar seperti lignin, lipid, dan aglikon
(Houghton and Raman, 1998), serta sterol dan terpenoid (Cowan, 1999).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusmiyati dan Agustini (2007),
senyawa antibakteri dominan yang terdapat pada ekstrak n-heksana adalah metil
palmitat. Metil palmitat merupakan metil ester asam lemak yang aktivitas
antibakterinya tergolong lemah bila dibandingkan dengan senyawa lainnya
dengan kepolaran berbeda (Pinto et al., 2017). Oleh karena itu, diameter zona
bening yang terbentuk dari ekstrak pelarut n-heksana lebih kecil dibandingkan
pelarut lainnya.
Selain itu, terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi perolehan
diameter zona bening n-heksana, yaitu ketidaksempurnaan dalam pelarutan
menggunakan DMSO sehingga senyawa antibakteri pada ekstrak n-heksana tidak
larut sempurna dan mengakibatkan konsentrasi sampel lebih kecil serta kurangnya
absorpsi ekstrak pada media (Fadlila dkk, 2015). Selain itu, lipid yang menjadi
komponen utama pada ekstrak n-heksana memiliki molekul besar sehingga
mengganggu proses difusi dan membuatnya tidak mampu menghambat
pertumbuhan bakteri (Nurcahyanti dkk, 2011).
Kedua pelarut dengan aktivitas tertinggi memiliki sifat semi-polar. Apabila
dibandingkan dengan perolehan rendemennya, tingkat aktivitas antibakteri yang
diperoleh tidak berbanding lurus. Etil asetat dan aseton dengan nilai rendemen
terendah memiliki aktivitas antibakteri yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
ketiga pelarut lainnya. Hal tersebut dapat terjadi karena tidak terdapat proses
purifikasi senyawa pada penelitian ini. Menurut Berg et al. (2002), nilai rendemen
yang tinggi tanpa adanya purifikasi senyawa target membuat ekstrak cenderung
mengandung lebih banyak “kontaminan”. Kontaminan diartikan sebagai senyawa
yang tidak memiliki aktivitas yang diinginkan sehingga keberadaannya akan
menyulitkan intepretasi hasil penelitian.
45
Selain tidak adanya proses purifikasi senyawa target, senyawa yang
diekstrak dengan pelarut yang memiliki polaritas optimum (semi-polar) akan
memiliki aktivitas antibakteri maksimal karena adanya keseimbangan hidrofilik dan
lipofilik (Hydrophilic Lypophilic Balance) yang menjadikan interaksi antar
antibakteri dan bakteri juga maksimal (Kanazawa et al.,1995). Sifat hidrofilik
penting untuk menjamin senyawa larut dalam fase air yang merupakan tempat
hidup mikroba. Sifat lipofilik diperlukan senyawa untuk dapat bekerja pada
membran sel hidrofobik (Nurcahyanti dkk, 2011). Oleh karena itu, ekstrak dari
pelarut semi-polar lebih mampu menghasilkan aktivitas antibakteri yang optimal.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nurcahyanti
dkk (2011) dimana ekstrak biji selasih etil asetat dan aseton memiliki aktivitas
antibakteri tertinggi dibandingkan dengan metanol dan kloroform.
Greenswood (1995) dalam Pratama (2005) mengklasifikasikan aktivitas
antibakteri ke dalam 4 respon berdasarkan diameter zona beningnya. Apabila
zona bening yang terbentuk bernilai di bawah 10 mm maka aktivitas antibakteri
dinilai kurang efektif, diameter 10-15 mm dinilai lemah, 16-20 mm dinilai sedang,
dan aktivitas antibakteri tergolong kuat bila diameter zona beningnya lebih dari 20
mm. Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka aktivitas antibakteri ekstrak
P.cruentum dengan konsentrasi 10.000 ppm dinilai kurang efektif terhadap
S.aureus karena diameter zona bening hanya berkisar antara 2,03 mm sampai
6,04 mm.
Menurut Mishra (2007), diameter zona bening yang terbentuk dapat
disebabkan oleh mutu ekstrak yang dipengaruhi oleh faktor-faktor meliputi spesies
penghasil antibakteri, asal spesies, waktu pemanenan, penyimpanan bahan baku,
dan umur panen. Selain itu, konsentrasi ekstrak antibakteri juga sangat
berpengaruh terhadap ukuran zona bening (Harmita, 2008). Kusmiyati dan
Agustini (2007) melaporkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak P.cruentum
menunjukkan zona hambat yang semakin besar terhadap bakteri S. aureus, B.
subtilis, dan E. coli. Menurut Vandepitte et al. (2003), faktor lainnya adalah waktu
penempatan kertas cakram ke dalam agar. Apabila kertas cakram yang telah
ditempatkan pada agar ditinggalkan di suhu ruang dan melebihi waktu standar,
inokulum dapat berkembang biak sehingga terjadi penurunan zona bening yang
mengakibatkan ekstrak berisi antibakteri dianggap kurang/tidak efektif.
Berdasarkan waktu ekstraksinya, diameter zona bening pada kelima pelarut
mencapai nilai tertinggi pada waktu ekstraksi 48 jam dan menurun pada waktu 72
46
jam. Menurut Nagarajan et al. (2011), semakin lama waktu ekstraksi yang
digunakan maka konsentrasi senyawa bioaktif yang berperan dalam menghambat
pertumbuhan mikroorganisme juga akan meningkat. Namun, waktu ekstraksi yang
semakin lama juga akan mengacu pada perubahan kimiawi, salah satunya adalah
terjadi proses oksidasi komponen bioaktif seperti flavonoid (Trusheva et al.,
(2007). Pernyataan tersebut juga didukung oleh penelitian lainnya yang
menyatakan bahwa ekstraksi berkepanjangan akan membuat komponen bioaktif
akan semakin lama terpapar oleh faktor lingkungan seperti cahaya dan oksigen
sehingga komponen bioaktif lebih mudah rusak ((Juntachote et al., (2006);
Chirinos et al., (2007); Chan et al., (2009)). Berdasarkan pernyataan tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa penurunan diameter zona bening pada seluruh
ekstrak 72 jam disebabkan oleh rusaknya senyawa bioaktif yang berperan dalam
aktivitas antibakteri akibat waktu maserasi yang terlalu lama.
4.3.2 Aktivitas Antibakteri Porphyridium cruentum Terhadap Escherichia
coli
Eschericia coli adalah bakteri Gram negatif dan juga merupakan bakteri
patogen oportunistik. Diameter zona bening yang dihasilkan ekstrak P.cruentum
terhadap E.coli berkisar dari 2,17 mm sampai 4,86 mm. Diameter tersebut telah
dikurangi oleh diameter dari kertas cakram, yaitu 6mm. Hasil pengujian aktivitas
antibakteri ekstrak P.cruentum terhadap E.coli dapat dilihat pada Gambar 4.6.
Keterangan: perlakuan ekstraksi menggunakan pelarut P1 = Metanol, P2 = Etil asetat, P3 = N-
heksana, P4 = Etanol, P5 = Aseton dengan waktu ekstraksi T1 = 24 jam, T2 = 48 jam, dan T3 = 72 jam
Gambar 4.6 Aktivitas Antibakteri ekstrak P.cruentum terhadap E.coli
P5T1
47
Gambar 4.6 menunjukan bahwa ekstrak setiap pelarut memiliki perbedaan
hasil zona bening. Selain itu, waktu ekstraksi 24 jam dan 48 jam menghasilkan
peningkatan diameter. Penurunan diameter zona bening terjadi pada semua
pelarut dalam waktu ekstraksi 72 jam. Perbandingan diameter zona bening yang
dihasilkan oleh ekstrak P.cruentum dengan berbagai jenis pelarut dan waktu
maserasi dapat dilihat pada Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Diameter Zona Bening ekstrak P.cruentum terhadap E.coli
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dengan taraf kepercayaan 95%, jenis
pelarut dan waktu maserasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
diameter zona bening pada E.coli. Perbedaan zona bening tersebut diuji lebih
lanjut menggunakan metode Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Hasil uji
lanjut DMRT dapat dilihat pada Tabel 4.4.
3,354,00 3,993,98
4,86
3,342,87
3,80
2,17
3,283,72
3,03
4,123,52
2,99
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
24 48 72
Dia
met
er z
on
a B
enin
g E.
coli
(mm
)
Waktu Ekstraksi (jam)
Metanol Etil Asetat N-Heksana Etanol Aseton
48
Tabel 4.4 Rerata Diameter Zona Bening Eschericia coli dari Perlakuan Berbeda
Perlakuan Rerata Diameter Zona Bening E.coli (mm)
DMRT 5% Jenis Pelarut Waktu Ekstraksi (jam)
Metanol
24 3,35 ± 0,20bc 0,56042
48 4,00 ± 0,27d 0,57848
72 3,99 ± 0,09d 0,57662
Etil Asetat
24 3,98 ± 0,19d 0,57443
48 4,86 ± 0,21e 0
72 3,34 ± 0,18bc 0,55503
N-heksana
24 2,87 ± 0,19b 0,51201
48 3,80 ± 0,14cd 0,57173
72 2,17 ± 0,11a 0,48721
Etanol
24 3,28 ± 0,10bc 0,54828
48 3,72 ± 0,23cd 0,56869
72 3,03 ± 0,19b 0,53967
Aseton
24 4,12 ± 0,13d 0,58016
48 3,52 ± 0,20c 0,56498
72 2,99 ± 0,09b 0,52820
Keterangan: 1) Setiap data hasil analisa merupakan rerata dari 3 ulangan ± standar deviasi
2) Angka yang didampingi notasi berbeda menunjukkan perbedaan nyata (α= 0,05)
Tabel 4.4 menunjukan bahwa bahwa jenis pelarut dan waktu ekstraksi
memberikan pengaruh nyata (p-value<0,05) pada diameter zona bening ekstrak
P.cruentum terhadap E.coli. Urutan diameter zona bening dari yang terbesar
secara berurutan adalah ekstrak etil asetat>aseton>metanol>etanol>n-heksana.
Diameter zona bening tertinggi didapatkan oleh pelarut etil asetat yang
menandakan bahwa ekstrak pelarut etil asetat memiliki aktivitas antibakteri
tertinggi. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sivathanu et al.
(2011) dimana ekstrak etil asetat mikroalga C.humicola memiliki aktivitas
antibakteri tertinggi dibandingkan pelarut lain. Menurut Guven et al. (2005), ekstrak
etil asetat dari spesies tamanan Centaurea juga menunjukan aktivitas antibakteri
yang lebih kuat dan berspektrum lebih luas bila dibandingkan dengan ekstrak
etanol, aseton, maupun kloroform. Menurut Mashhadinejad et al. (2018), hal
tersebut berkaitan erat dengan adanya persamaan kepolaran antara etil asetat
dengan senyawa pada mikroalga yang memiliki aktivitas antibakteri baik. Selain
49
itu, kemampuan ekstraksi dari etil asetat luas sehingga dapat menghasilkan
beragam senyawa antibakteri meski rendemennya rendah (Dia dkk, 2015).
Adapun senyawa bioaktif penghasil aktivitas antibakteri tertinggi yang diduga
berada pada ekstrak dengan pelarut etil asetat adalah asam lemak (Karthikeyan
et al., 2014). Selain asam lemak, etil asetat juga dapat mengekstrak senyawa
bioaktif lainnya seperti fenol, flavonoid aglikon, saponin dan triterpenoid (Dia dkk,
2015; Frindriyani dkk, 2016).
Sementara itu, diameter terkecil yang didapatkan oleh n-heksana dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Senyawa yang diduga terkandung di dalam
ekstrak dengan pelarut n-heksana adalah senyawa yang bersifat non-polar seperti
lignin, lipid, dan aglikon (Houghton and Raman, 1998), serta sterol dan terpenoid
(Cowan, 1999). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusmiyati dan
Agustini (2007), senyawa antibakteri dominan yang terdapat pada ekstrak n-
heksana adalah metil palmitat. Faktor-faktor penyebab rendahnya aktivitas
antibakteri pada n-heksana adalah konsentrasi sampel lebih kecil daripada
semestinya karena senyawa antibakteri ekstrak n-heksana tidak sempurna larut
pada DMSO, proses absorpsi senyawa pada media kurang optimal dan ukuran
molekul lipid terekstrak pada n-heksana cenderung besar sehingga dapat
menghambat proses difusi ke dalam sel (Fadlila dkk, 2015; Nurcahyanti dkk,
2011).
Sama halnya dengan aktivitas antibakteri terhadap S.aureus, aktivitas
antibakteri ekstrak P.cruentum dengan konsentrasi 10.000 ppm terhadap E.coli
dinilai kurang efektif karena diameter zona bening hanya berkisar antara 2,17 mm
sampai 4,86 mm. Selain diakibatkan oleh mutu ekstrak, konsentrasi ekstrak, dan
waktu penempatan kertas cakram ke dalam agar (Mishra, 2007; Harmita, 2008;
Vandepitte et al., 2003) kecilnya zona bening yang terbentuk diakibatkan oleh
komposisi dinding sel E.coli yang sulit ditembus oleh senyawa antibakteri. Menurut
Madigan et al. (2009), komposisi dinding sel bakteri Gram negatif terdiri dari 5-10%
peptidoglikan dan selebihnya merupakan protein, lipopolisakarida, dan lipoprotein.
Sktruktur dinding sel yang kompleks dan berlapis membuat senyawa aktif
antibakteri sulit terpenetrasi ke dalam sel sehingga menyebabkan E.coli tidak peka
terhadap senyawa antibakteri tersebut (Amaro et al., 2011).
Diameter zona bening apabila dilihat dari waktu ekstraksinya mencapai nilai
tertinggi pada ekstrak yang diekstraksi selama 48 jam dan menurun pada ekstrak
72 jam. Kekurangan dari maserasi adalah memakan banyak waktu dan pelarut
50
yang digunakan cukup banyak (Mukhriani, 2014). Waktu yang cukup lama
kemungkinan membuat komponen bioaktif yang berperan sebagai antibakteri
pada ekstrak P.cruentum rusak sehingga tidak dapat bekerja secara optimum
terhadap bakteri E.coli. Hal tersebut didukung oleh penelitian terdahulu yang
menyatakan bahwa ekstraksi berkepanjangan akan membuat komponen bioaktif
akan semakin lama terpapar oleh faktor lingkungan seperti cahaya dan oksigen
sehingga komponen bioaktif lebih mudah rusak ((Juntachote et al., (2006);
Chirinos et al., (2007); Chan et al., (2009)).
4.3.3 Perbandingan Aktivitas Antibakteri Terhadap Staphylococcus aureus
dan Escherichia coli
Gambar 4.8 Perbedaan Diameter Zona Bening terhadap S.aureus dan E.coli
Berdasarkan Gambar 4.8, maka dapat diketahui bahwa hampir semua
ekstrak antibakteri dari P.cruentum lebih optimal menghambat pertumbuhan
S.aureus dibandingkan dengan E.coli. Penyebab yang mendasari hal tersebut
adalah dinding sel dari masing-masing bakteri. Menurut Jawetz et al. (2013),
perbedaan struktur dinding sel bakteri menentukan ikatan, penetrasi, dan aktivitas
senyawa antibakteri. S.aureus merupakan bakteri Gram positif sedangkan E.coli
merupakan bakteri Gram negatif. Dinding sel dari E.coli terbentuk dari 5-10%
peptidoglikan dan selebihnya merupakan protein, lipopolisakarida, dan lipoprotein
4,51 4,60
3,75
5,84 6,04
4,27
3,29 3,50
2,03
3,994,28
3,894,46
5,36
4,16
3,354,00 3,99 3,98
4,86
3,342,87
3,80
2,17
3,283,72
3,03
4,123,52
2,99
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
Dia
me
ter
Zon
a B
en
ing
(mm
)
S.aureus E.coli
51
sedangkan dinding sel S.aureus terbentuk dari komponen utama peptidoglikan
(Madigan et al., 2009).
Salah satu mekanisme kerja senyawa antibakteri adalah menghambat
sintesis dinding sel dengan menghambat pembentukan lapisan peptidoglikan.
Antibakteri akan bereaksi dengan satu atau banyak enzim yang dibutuhkan pada
proses sintesis sehingga menyebabkan pembentukan dinding sel menjadi lemah
dan terjadi pemecahan osmotik (Talaro, 2008). Terganggunya sintesis
peptidoglikan menyebabkan dinding sel tidak terbentuk sempurna sehingga sel
hanya diliputi oleh membran. Hal tersebut membuat bakteri Gram positif lebih
mudah mengalami lisis. Pada umumnya, bakteri Gram negatif kurang rentan
terhadap proses ini dikarenakan antibakteri gagal mencapai dinding sel akibat
terhalang oleh membran luar pada bakteri (Ullah and Ali, 2017).
Meskipun begitu, senyawa antibakteri juga dapat bekerja pada bakteri Gram
negatif seperti E.coli. Pada bakteri Gram negatif terdapat 3 polimer yang
terkandung pada membran di luar peptidoglikan, yaitu lipoprotein, porin matriks,
dan lipopolisakarida. Senyawa antibakteri dapat masuk melalui protein porin
sehingga memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul
rendah (Parhusip, 2006). Namun, aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram
negatif akan lebih rendah dibandingkan Gram positif karena tidak semua senyawa
antibakteri memiliki berat molekul rendah dan berdifusi masuk ke dalam sel.
Semakin tinggi berat molekul maka semakin sulit untuk menembus membran luar
bakteri Gram negatif (Jawetz et al., 2013).
Pengecualian terjadi pada ekstrak n-heksana dengan waktu maserasi 48
jam dan 72 jam dimana diameter zona bening ekstrak terhadap E.coli lebih tinggi
dibandingkan S.aureus. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Yilmaz et al., (2016) yang menyatakan bahwa ekstrak n-heksana
dari P.cruentum lebih aktif terhadap bakteri Gram negatif. Menurut Sukandar dkk
(2015), dinding sel E.coli mengandung lipid dalam jumlah tinggi sekitar 11-22%
sedangkan dinding sel S.aureus memiliki kandungan lipid yang lebih rendah, yaitu
sekitar 1-4%. Oleh karena jumlah lipid yang tinggi, n-heksana sebagai pelarut
senyawa non-polar lebih mampu melarutkan dinding sel dan terpenetrasi masuk
ke dalam membran sel E.coli.
52
4.4 Uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Ekstrak Porphyridium
cruentum
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) merupakan nilai konsentrasi terendah
suatu antibakteri untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang terlihat setelah
diinkubasi semalam. Prinsip dari uji KHM adalah mengetahui konsentrasi terendah
suatu antibakteri untuk menghambat pertumbuhan bakteri dengan menggunakan
larutan antibakteri yang telah diencerkan ke dalam beberapa tahapan konsentrasi.
Konsentrasi yang dipakai pada penelitian ini terdiri dari 6 tahapan yaitu 10.000
ppm, 5.000 ppm, 2.500 ppm, 1250 ppm, 625 ppm, dan 312,5 ppm. Penentuan
konsentrasi didasarkan pada two-fold dilution, yaitu pengenceran berkala
sebanyak setengah dari konsentrasi sebelumnya (Chakraborty et al, 2014).
Nilai KHM dapat ditentukan hanya melalui metode turbidimetri (pengamatan
secara visual) dimana adanya kekeruhan menandakan bahwa bakteri masih dapat
tumbuh, sedangkan media yang jernih menandakan ada aktivitas penghambatan
(Jagessar et al., 2008). Menurut Ajizah (2004), untuk mengurangi kesalahan
penilaian secara subjektif dari peneliti mengenai tingkat kekeruhan sampel, maka
diperlukan lanjutan pembacaan hasil yang lebih akurat yaitu dengan mengukur
nilai absorbansi sebelum dan sesudah inkubasi menggunakan spektrofotometer.
Penentuan KHM didapatkan dari nilai absorbansi akhir (sesudah diinkubasi)
sama atau lebih rendah dibandingkan absorbansi awal (sebelum inkubasi) dan
menghasilkan rata-rata OD nol (0) atau minus (-) (Yunika dkk, 2017). OD atau
Optical Density bukanlah pengukuran langsung jumlah mikroba namun
peningkatan nilai OD dapat mewakilkan pertumbuhan mikroba. Nilai OD
berbanding lurus dengan konsentrasi sel (Aneja, 2007). Data pembacaan OD pada
ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus dan E.coli dapat dilihat pada Tabel 4.5.
53
Tabel 4.5 Selisih Absorbansi pada Ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus dan E.coli
Perlakuan Konsentrasi
(ppm)
Nilai KHM (∆OD)
S. aureus E.coli Abs awal Abs akhir ∆OD Abs awal Abs akhir ∆OD
Kontrol (-) - 0,160 0,736 0,576 0,075 0,63 0,555
Kontrol (+) 0,254 0,145 -0,109 0,233 0,161 -0,072
P1T1
10.000 0,148 0,293 0,145 0,315 0,594 0,278
5.000 0,110 0,408 0,298 0,414 0,804 0,389
2.500 0,118 0,555 0,437 0,239 0,671 0,431
1.250 0,090 0,703 0,612 0,175 0,838 0,662
625 0,082 0,753 0,671 0,127 0,791 0,664
312,5 0,068 0,774 0,706 0,121 0,632 0,511
P1T2
10.000 0,210 0,206 -0,004 0,328 0,567 0,238
5.000 0,177 0,177 -0,001 0,413 0,745 0,332
2.500 0,163 0,336 0,173 0,249 0,589 0,340
1.250 0,122 0,444 0,322 0,157 0,747 0,589
625 0,091 0,566 0,475 0,151 0,780 0,629
312,5 0,077 0,676 0,599 0,129 0,761 0,632
P1T3
10.000 0,158 0,451 0,293 0,261 0,566 0,305
5.000 0,118 0,510 0,392 0,164 0,492 0,328
2.500 0,097 0,620 0,523 0,241 0,598 0,358
1.250 0,091 0,744 0,654 0,165 0,540 0,375
625 0,077 0,761 0,684 0,137 0,731 0,595
312,5 0,069 0,785 0,716 0,143 0,746 0,603
P2T1
10.000 0,247 0,507 0,260 0,713 0,984 0,270
5.000 0,155 0,455 0,300 0,153 0,423 0,269
2.500 0,118 0,483 0,365 0,295 0,834 0,539
1.250 0,095 0,587 0,492 0,167 0,730 0,562
625 0,086 0,666 0,580 0,134 0,706 0,571
312,5 0,072 0,710 0,638 0,129 0,761 0,631
P2T2
10.000 0,251 0,248 -0,004 0,884 1,081 0,197
5.000 0,231 0,339 0,108 0,208 0,501 0,294
2.500 0,336 0,550 0,213 0,226 0,601 0,375
1.250 0,154 0,482 0,329 0,163 0,579 0,416
625 0,131 0,507 0,376 0,132 0,563 0,431
312,5 0,126 0,661 0,535 0,138 0,739 0,601
P2T3
10.000 0,192 0,333 0,141 0,478 0,736 0,258
5.000 0,232 0,456 0,224 0,451 0,713 0,262
2.500 0,167 0,424 0,257 0,237 0,542 0,305
1.250 0,107 0,505 0,399 0,321 0,627 0,307
625 0,078 0,636 0,558 0,157 0,650 0,493
312,5 0,071 0,646 0,575 0,140 0,647 0,507
P3T1
10.000 0,088 0,680 0,593 0,169 0,462 0,293
5.000 0,085 0,727 0,642 0,128 0,529 0,402
2.500 0,077 0,765 0,688 0,121 0,538 0,416
1.250 0,072 0,783 0,711 0,154 0,585 0,431
625 0,074 0,731 0,657 0,127 0,585 0,458
312,5 0,062 0,807 0,746 0,230 0,698 0,468
P3T2
10.000 0,088 0,637 0,548 0,130 0,317 0,187
5.000 0,077 0,659 0,581 0,253 0,580 0,327
2.500 0,074 0,688 0,614 0,140 0,634 0,494
1.250 0,075 0,697 0,622 0,133 0,724 0,591
625 0,069 0,708 0,639 0,132 0,728 0,595
312,5 0,068 0,747 0,679 0,141 0,747 0,606
P3T3
10.000 0,068 0,636 0,568 0,252 0,631 0,379
5.000 0,071 0,654 0,583 0,140 0,657 0,517
2.500 0,065 0,473 0,408 0,138 0,666 0,528
1.250 0,073 0,683 0,610 0,147 0,710 0,564
625 0,069 0,708 0,639 0,138 0,715 0,577
312,5 0,071 0,741 0,670 0,146 0,752 0,606
P4T1
10.000 0,137 0,431 0,294 0,205 0,418 0,213
5.000 0,124 0,563 0,439 0,355 0,587 0,232
2.500 0,108 0,652 0,543 0,233 0,618 0,385
1.250 0,099 0,685 0,586 0,152 0,632 0,480
625 0,081 0,727 0,646 0,144 0,797 0,653
312,5 0,069 0,756 0,687 0,131 0,818 0,687
P4T2
10.000 0,119 0,563 0,444 0,267 0,367 0,100
5.000 0,114 0,601 0,486 0,215 0,545 0,330
2.500 0,115 0,713 0,598 0,256 0,589 0,333
1.250 0,091 0,752 0,661 0,148 0,641 0,493
625 0,081 0,790 0,709 0,135 0,734 0,599
312,5 0,071 0,829 0,758 0,129 0,759 0,630
P4T3
10.000 0,114 0,629 0,515 0,242 0,409 0,167
5.000 0,097 0,658 0,561 0,204 0,408 0,204
2.500 0,083 0,697 0,614 0,264 0,617 0,353
1.250 0,076 0,728 0,652 0,164 0,526 0,362
625 0,070 0,755 0,685 0,153 0,753 0,599
312,5 0,068 0,789 0,721 0,151 0,764 0,613
54
Tabel 4.5 (Lanjutan) Selisih Absorbansi pada Ekstrak P.cruentum terhadap S.aureus
dan E.coli
P5T1
10.000 0,272 0,352 0,081 0,582 0,728 0,146
5.000 0,224 0,375 0,151 0,225 0,547 0,322
2.500 0,239 0,507 0,268 0,242 0,514 0,272
1.250 0,158 0,587 0,429 0,191 0,509 0,319
625 0,103 0,652 0,549 0,146 0,673 0,526
312,5 0,093 0,667 0,574 0,134 0,712 0,578
P5T2
10.000 0,378 0,496 0,118 0,462 0,699 0,237
5.000 0,336 0,547 0,211 0,544 0,790 0,246
2.500 0,256 0,443 0,186 0,284 0,544 0,260
1.250 0,174 0,475 0,301 0,207 0,577 0,370
625 0,128 0,624 0,496 0,175 0,591 0,416
312,5 0,091 0,689 0,597 0,132 0,729 0,597
P5T3
10.000 0,279 0,550 0,271 0,777 0,985 0,208
5.000 0,215 0,576 0,361 0,452 0,695 0,243
2.500 0,160 0,658 0,499 0,271 0,543 0,271
1.250 0,104 0,680 0,576 0,246 0,482 0,236
625 0,091 0,690 0,599 0,176 0,663 0,487
312,5 0,075 0,721 0,646 0,150 0,666 0,515
Keterangan: perlakuan ekstraksi menggunakan pelarut P1 = Metanol, P2 = Etil asetat, P3 = N-heksana, P4 = Etanol, P5 = Aseton dengan waktu ekstraksi T1 = 24 jam, T2 = 48 jam, dan T3 = 72 jam
Berdasarkan data pada Tabel 4.5, maka didapatkan nilai yang berbeda dari
masing-masing perlakuan. Data penelitian menunjukan bahwa semakin kecil
konsentrasi ekstrak, maka selisih absorbansinya semakin besar. Hal tersebut
dikarenakan semakin rendah konsentrasi, jumlah zat aktif pada ekstrak juga
semakin rendah sehingga kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri akan
berkurang (Ajizah, 2004).
Kontrol (-) yang digunakan adalah larutan DMSO 20% sedangkan kontrol (+)
untuk S.aureus adalah antibiotik streptomisin dan untuk E.coli adalah antibiotik
kloramfenikol. Penggunaan dua antibiotik berbeda pada kontrol (+) disebabkan
karena masing-masing bakteri mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap
antibiotik tertentu. Kontrol positif digunakan untuk membandingkan apakah ekstrak
P.cruentum yang digunakan sebagai larutan uji mempunyai efek antibakteri
sebanding atau lebih kecil dari efek antibiotik kloramfenikol dan streptomisin
terhadap bakteri uji. Selisih OD pada kontrol (-) terhadap S.aureus adalah sebesar
0,576 dan terhadap E.coli sebesar 0,555. Hasil dari kontrol (-) menandakan tingkat
pertumbuhan normal masing-masing bakteri uji karena tidak ada pengaruh dari
ekstrak P.cruentum. Hasil dari kontrol (+) terhadap S.aureus adalah sebesar -
0,109 dan terhadap E.coli sebesar -0,079. Hasil minus tersebut menandakan
bahwa terjadi penurunan jumlah bakteri uji setelah inkubasi karena adanya efek
penghambatan dari kedua antibiotik.
Hasil negatif terjadi pada seluruh ekstrak terhadap E.coli karena selisih
berjumlah negatif tidak dapat ditemukan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Najdenski et al., (2013) dimana ekstrak P.cruentum dengan
55
pelarut air tidak menghasilkan nilai KHM pada bakteri E.coli. Selain itu, hasil negatif
ekstrak P.cruentum juga didapatkan pada data pelarut n-heksana, etanol, dan
aseton terhadap bakteri S.aureus. Apabila dibandingkan dengan perolehan hasil
kontrol (-), seluruh ekstrak pada konsentrasi 10.000 ppm memiliki selisih OD yang
lebih kecil. Hal tersebut menandakan bahwa ekstrak tersebut sudah memiliki
aktivitas penghambatan nanum belum memenuhi nilai Konsentrasi Hambat
Minimum untuk kedua bakteri.
Hasil positif terdapat pada ekstrak pelarut metanol yang diekstraksi selama
48 jam (P1T2) dan pelarut etil asetat 48 jam (P2T2) terhadap bakteri S.aureus. Hal
tersebut menandakan bahwa ekstrak P.cruentum memiliki aktivitas bakteriostatik.
Konsentrasi ekstrak pelarut metanol 48 jam yang memiliki aktivitas penghambatan
adalah 10.000 ppm yang memiliki selisih OD sebesar -0,004 dan 5.000 ppm yang
memiliki selisih OD sebesar -0,001. KHM merupakan konsentrasi terendah dari
tabung positif (Jagessar et al., 2008). Oleh karena itu, KHM pada ekstrak pelarut
metanol 48 jam adalah 5000 ppm atau 5mg/ml. Konsentrasi ekstrak pelarut etil
asetat 48 jam yang dapat menghambat adalah 10.000 ppm. Hasil tersebut
menandakan bahwa KHM dari ekstrak etil asetat adalah 10.000 ppm atau 10
mg/ml. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Najdenski et al., (2013),
ekstrak P.cruentum dengan pelarut air memiliki KHM sebesar 7 mg/ml atau
sebesar 7000 ppm terhadap bakteri S.aureus. Tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara data penelitian dan literatur dimana nilai KHM keduanya masih
berada dalam rentang konsentrasi yang berdekatan.
Berdasarkan uji aktivitas antibakteri menggunakan kertas cakram yang telah
dilakukan, semua pelarut dalam seluruh waktu ekstraksi menghasilkan aktivitas
penghambatan pertumbuhan bakteri yang ditandai dengan munculnya zona
bening di sekitar kertas cakram. Apabila dilihat dari data analisa selisih OD, maka
nilai KHM hanya didapatkan dari 2 pelarut, yaitu pelarut etil asetat dan metanol
dengan waktu ekstraksi 48 jam terhadap bakteri S.aureus. Perbedaan respon
bakteri pada uji kertas cakram dan KHM dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
salah satunya adalah mutu ekstrak turun karena penyimpanan terlalu lama.
Menurut Ruchmana (2017), semakin lama waktu penyimpanan, maka kemampuan
penghambatan pertumbuhan bakteri semakin berkurang. Hal ini disebabkan
karena terjadinya proses oksidasi karena oksigen dan enzim selama
penyimpanan, sehingga menyebabkan terurainya zat aktif. Faktor lainnya adalah
selang waktu saat inokulasi bakteri dan ekstrak pada tiap sampel ketika pengujian
56
sampai pada tahap inkubasi. Pengujian dilakukan pada banyak sampel secara
bersamaan sehingga sampel berada pada suhu ruang untuk waktu yang cukup
lama. Menurut Vandepitte et al. (2003), sampel yang ada pada suhu ruang dan
melebihi waktu standar dapat membuat inokulum berkembang biak di luar waktu
inkubasi sehingga aktivitas antibakteri ekstrak dianggap kurang/tidak efektif.
4.5 Uji Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM)
Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) adalah nilai yang menyatakan
konsentrasi terendah suatu antibakteri yang dapat membunuh sebanyak 99,9%
bakteri (Engelkirk and Janet, 2008). Uji KBM merupakan uji lanjutan dari uji KHM
dimana larutan media yang tetap jernih di uji KHM diinokulasikan ke dalam media
padat (agar). Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya bakteri yang
masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi terendah atau pada larutan yang
tidak keruh (Tille, 2013). Data uji KBM dinyatakan secara kualitatif dengan
pengamatan secara visual, yaitu dengan melihat ada tidaknya bakteri yang tumbuh
pada agar setelah diinkubasi. Apabila tidak terdapat bakteri yang tumbuh, maka
dapat dikatakan bahwa aktivitas antibakteri pada ekstrak P.cruentum bersifat
bakterisida. Bakterisida merupakan antibakteri yang membunuh bakteri dengan
menghancurkan dinding sel atau membran selnya (Ullah and Ali, 2017). Data uji
KBM dapat dilihat pada Tabel 4.6 sedangkan gambar pengujian dapat dilihat pada
Gambar 4.9.
Tabel 4.6 Uji KBM pada ekstrak P.cruentum
Perlakuan Konsentrasi Hasil Uji (Tumbuh/Tidak)
S.aureus
P1T2 10.000 Tumbuh
5.000 Tumbuh
P2T1 10.000 Tumbuh Keterangan: perlakuan ekstraksi menggunakan pelarut P1 = Metanol, P2 = Etil asetat, dengan waktu
ekstraksi T1 = 24 jam dan T2 = 48 jam
57
Keterangan: dari kiri ke kanan= Metanol 48 jam 10.000 ppm, Metanol 48 jam 5.000 ppm, Etil Asetat 48 jam 10.000 ppm
Gambar 4.9 Uji KBM terhadap S.aureus
Berdasarkan data pada Tabel 4.6, senyawa antibakteri yang ada pada
ekstrak positif uji KHM belum mampu membunuh bakteri uji. Senyawa yang
bersifat bakterisida biasanya bekerja dengan cara sistemik karena bakteri
melakukan perusakan dalam tubuh inang. Senyawa bakterisida memberikan efek
dengan cara membunuh sel tetapi tidak terjadi lisis sel. Aktivitasnya ditunjukkan
saat penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase
logaritmik, didapatkan jumlah sel total tetap sedangkan jumlah sel hidup menurun
(Madigan et al., 2009). Hasil uji KBM pada Gambar 4.9 menunjukan bahwa
pertumbuhan bakteri pada ketiga ekstrak mencapai jumlah TBUD (Terlalu Banyak
Untuk Dihitung). Berdasarkan uji KBM pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan
bahwa ekstrak Porphyridium cruentum tidak memiliki aktivitas antibakteri secara
bakterisidal melainkan hanya bersifat bakteriostatik.
4.6 Penentuan Perlakuan Terbaik
Perlakuan terbaik dari penelitian ini ditentukan menggunakan metode
multiple atribute. Parameter yang digunakan dalam penentuan ini adalah
rendemen, aktivitas antibakteri terhadap S.aureus dan aktivitas antibakteri
terhadap E.coli. Hasil analisa dari uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan
Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) tidak digunakan karena merupakan pengujian
kualitatif. Perlakuan terbaik didapatkan pada perlakuan yang memiliki jarak
kerapatan maksimal (LMAX) terkecil. Hasil penentuan perlakuan terbaik dapat
dilihat pada Tabel 4.7.
58
Tabel 4.7 Penentuan perlakuan terbaik ekstrak mikroalga Porphyridium cruentum
Perlakuan L1 L2 LMAX Hasil Ranking
P1T1 0,2932 0,0008 0,2932 0,5873 4
P1T2 0,1760 0,0001 0,1760 0,3522 1
P1T3 0,1864 0,0004 0,1864 0,3731 2
P2T1 0,3531 0,0069 0,3531 0,7131 6
P2T2 0,2715 0,0054 0,2715 0,5484 3
P2T3 0,4434 0,0062 0,4434 0,8930 11
P3T1 0,5048 0,0078 0,5048 1,0175 13
P3T2 0,3861 0,0030 0,3861 0,7753 8
P3T3 0,5777 0,0127 0,5777 1,1680 15
P4T1 0,3919 0,0029 0,3919 0,7867 9
P4T2 0,3267 0,0015 0,3267 0,6548 5
P4T3 0,3854 0,0025 0,3854 0,7734 7
P5T1 0,4429 0,0106 0,4429 0,8965 12
P5T2 0,4322 0,0103 0,4322 0,8746 10
P5T3 0,5332 0,0139 0,5332 1,0804 14
Keterangan: perlakuan ekstraksi menggunakan pelarut P1 = Metanol, P2 = Etil asetat, P3 = N-heksana, P4 = Etanol, P5 = Aseton dengan waktu ekstraksi T1 = 24 jam, T2 = 48 jam, dan T3 = 72 jam
Berdasarkan data pada Tabel 4.7, maka perlakuan terbaik jenis pelarut dan
lama waktu maserasi terhadap ekstrak Porphyridium cruentum didapatkan dari
ekstraksi menggunakan pelarut metanol (P1) dengan waktu maserasi selama 48
jam (T2). Adapun hal yang menyebabkan ekstrak Porphyridium cruentum dengan
pelarut metanol 48 jam menjadi perlakuan terbaik adalah nilai rendemen yang
tinggi dan munculnya aktivitas antibakteri pada uji kertas cakram. Nilai rendemen
yang diperoleh oleh ekstrak metanol 48 jam adalah 6,76%. Diameter zona bening
yang diperoleh terhadap bakteri S.aureus sebesar 4,60 mm dan terhadap E.coli
sebesar 4,00 mm. Ekstrak metanol 48 jam juga merupakan ekstrak yang memiliki
hasil positif pada uji KHM. Apabila dibandingkan dengan ekstrak lainnya, maka
nilai KHM pada ekstrak metanol 48 jam memiliki nilai konsentrasi terendah yaitu
5000 ppm.
59
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka didapatkan beebrapa
kesimpulan, yaitu:
1. Perlakuan perbedaan jenis pelarut dan lama waktu maserasi memberikan
interaksi yang berbeda nyata (α=0,05) terhadap rendemen dan aktivitas
antibakteri terhadap Staphylococcus aureus serta Escherichia coli.
2. Hasil rendemen tertinggi ekstrak mikroalga Porphyridum cruentum
didapatkan melalui ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan
pelarut etil asetat dan lama waktu 48 jam.
3. Aktivitas antibakteri pada ekstrak Porphyridium cruentum pada konsentrasi
10.000 ppm terhadap Staphylococcus aureus berkisar antara 2,03 – 6,04
mm dan terhadap Echerichia coli berkisar antara 2,17 mm - 4,86 mm.
Berdasarkan diameter zona beningnya, maka ekstrak Porphyridium
cruentum memiliki aktivitas yang lebih tinggi terhadap bakteri Gram positif
(Staphylococcus aureus). Namun, aktivitas antibakteri dari ekstrak
Porphyridium cruentum masih dinilai kurang efektif.
4. Ekstrak Porphyridium cruentum pelarut etil asetat dan aseton dengan nilai
rendemen terendah memiliki aktivitas antibakteri tertinggi. Pendugaan
penyebab didasari pada penggunaan ekstrak kasar dan tidak dilakukan
proses purifikasi senyawa target penghasil aktivitas antibakteri.
5. Berdasarkan uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi
Bunuh Minimum (KBM), ekstrak Porphyridium cruentum memiliki aktivitas
bakteriostatik yaitu bekerja menghambat pertumbuhan bakteri dan tidak
memiliki aktivitas bakterisida. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) pada
ekstrak metanol sebesar 5.000 ppm dan pada ekstrak etil asetat sebesar
10.000 ppm.
6. Berdasarkan data yang telah diperoleh, perlakuan terbaik dari penelitian ini
adalah ekstrak Porphyridium cruentum dengan pelarut metanol 48 jam.
60
5.2 Saran
Adapun beberapa hal yang disarankan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Diperlukan pengukuran kadar garam pada ekstrak Porphyridium cruentum
untuk mengetahui pengaruhnya terhadap aktivitas antibakteri ekstrak
2. Diperlukan adanya analisa residu pelarut yang diduga masih terkandung di
dalam ekstrak kering Porphyridium cruentum untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap aktivitas antibakteri ekstrak
3. Diperlukan adanya pengujian lebih lanjut untuk mengidentifikasi senyawa-
senyawa bioaktif spesifik yang ada pada masing-masing pelarut
4. Diperlukan pemurnian komponen aktif pada masing-masing pelarut
sehingga aktivitas antibakteri yang diperoleh semakin besar
5. Penelitian ini hanya mencakup informasi mengenai ada tidaknya senyawa
antibakteri pada ekstrak Porphyridium cruentum sehingga diperlukan
adanya uji lanjutan untuk mengetahui efek dari antibakteri ekstrak secara in
vivo dan aplikasi pada bahan pangan seperti pengawet produk pangan.
61
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J. 2010. Rosen's Emergency Medicine - Concepts and Clinical
Practice. Mosby Elsevier. Philadephia
Aditya, H. T. 2015. Ekstraksi Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) dan
Daun Mindi (Melia azedarach) untuk Uji Kandungan Azadirachtin
Menggunakan Spektrofotometer. Skripsi. Universitas Diponegoro.
Semarang
Ajizah, A., 2004. Sensitivitas Salmonella Typhimurium terhadap Ekstrak
Daun. Psidium Guajava L. Bioscientiae Vol.1 No.1. pp: 8-31
Artini, P. E. U. D., K. W. Astuti, N. K. Warditiani. 2013. Uji Fitokimia Ekstrak Etil
Asetat Rimpang Bangle (Zingiber purpureum Roxb.). Jurnal
Farmasi Udayana. Vol 2(4). Hal: 1-7
Alwahidul, M., Iriani S., dan Uju U. Karakteristik Eksopolisakarida Mikroalga
Porphyridium cruentum yang Berpotensi untuk Produksi
Bioetanol. Jurnal IPB, 21(1)
Amaro, H. M., A. C. Guedes, and F. X. Malcata. 2011. Antimicrobial Activities
of Microalgae: An Invited Review. FORMATEX . Portugal
Anam, C. 2010. Ekstraksi oleoresin jahe (Zingiber officinale) kajian dari
ukuran bahan, pelarut, waktu dan suhu. Jurnal Pertanian
FAPERTA, 12(2): 72-144
Anam, C., A. T. Agustini, dan Romadhon. 2014. The Influence of Different
Solvent for the Extraction of Spirulina platensis Powder as an
Antioxidant with Soxhletation Method. Jurnal Pengolahan dan
Bioteknologi Hasil Perikanan, 3(4): 106-112
Andrews, J. M. 2001. Determination of Minimum Inhibitory Concentration.
Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 48: 5 – 16
Aneja, K. R. 2007. Experiments in Microbiology, Plant Pathology and
Biotechnology, 4th Ed. New Age International (P) Limited Publishers.
New Delhi
AOAC (Association of Official Analytical Chemist). 2005. Official methods of
analysis. 18th edition. AOAC International. Gaithersburg
62
Arad, S., Adda M, and Cohen E. 1985. The potential of production of
sulfated polysaccharides from Porphyridium. Plant Soil, 89:117–
127
Arifianti, L., R. D. Oktarina, dan I. Kusumawati. 2014. Pengaruh Jenis Pelarut
Pengektraksi Terhadap Kadar Sinensetin Dalam Ekstrak Daun
Orthosiphon stamineus Benth. E-Journal Planta Husada, 2(1)
Aventi. 2015. Penelitian Pengukuran Kadar Air Buah. Seminar Nasional
Cendekiawan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman.
Halaman: 12-27
Aziz, T., R. Cindo, and A. Fresca. 2009. Pengaruh Pelarut Heksana dan Etanol,
Volume Pelarut, dan Waktu Ekstraksi Terhadap Hasil Ekstraksi
Minyak Kopi. Jurnal Teknik Kimia, 1(16): 1-8
Baoluiri, M., M. Sadiki and S. K. Ibnsouda. 2016. Methods for in vitro evaluating
antimicrobial activity: A review. Journal of Pharmacetical Analysis,
6(2): 71-79
Bateman, D. N., R. Jefferson, S. Thomas, J. Thompson, and A. Vale. 2014. Oxford
Desk Reference: Toxicology. Oxford University Press. Oxford
Baydar, N. G., G. Ozkan, O. Sagdic and H. Baydar. 2004. Note: Antioxidant and
Antibacterial Activities of Rosa Damascena Flower Extracts. Food
Science and Technology International, 10(4):277-281
Burke, R. A. 2013. Hazardous Materials Chemistry for Emergency
Responders, Third Edition. CRC Press. Boca Raton
Belk, C and V. Maier. 2010. Biology: Science for Life, 4th Edition. Pearson.
Brisbane
Berg, J. M., J. L. Tymoczko and L. Styrer. 2002. Biochemistry, 5th Edition. W.
H. Freeman. New York
Block, S. S. 2001. Disinfection, Sterilization, and Preservation. Lippincot
William & Wilkins. Philadelphia
Borquaye, L. S., G. Darko, N. Oklu, C. Anson-Yevu, A. Ababio and Guigen Li.
2016. Antimicrobial And Antioxidant Activities Of Ethyl Acetate
And Methanol Extracts Of Littorina littorea and Galatea paradoxa.
Cogent Chemistry, 2:1
63
Campbell, N. A., J. B. Reece, and M. R. Taylor. 2003. Biology: Concepts and
Connections, 4th Edition. Pearson Education, Inc. San Fransisco
Cardozo, K. H. M., Guaratini T, Barros M.P., Falcão V.R., Tonon A.P., Lopes N.P.,
Campos S., Torres M.A., Souza A.O., Colepicolo P., and Pinto E. 2007.
Metabolites From
CCALA (Culture Collection of Autotrophic Organism). 2013. 415 Porphyridium
cruentum (AG.)NAG. Diakses pada tanggal 1 Desember 2017.<
http://ccala.butbn.cas.cz/>
Chakraborty, S.B., Horn, P., and Hancz, C. 2014. Application of phytochemicals
as growth-promoters and endocrine modulators in fish culture.
Reviews in Aquaculture, 6: 1-19
Chan, S. W., Lee, C. Y., Yap, C. F., Wan Aida, W. M. and Ho, C. W. 2009.
Optimisation of extraction conditions for phenolic compounds
from limau purut (Citrus hystrix) peels. International Food Research
Journal, 16:203-216
Chatattikun, M and A. Choabchalard. 2013. Phytochemical screening and free
radical scavenging activities of orange baby carrot and carrot
(Daucus carota Linn) root crude extracts. Journal of Chemical and
Pharmaceutical Research, 5(4):97-102
Cheng, W. H and H. H. Kung. 1994. Methanol Production and Use. Marcel
Decker, Inc. New York
Cheremisinoff, N. P. 2003. Industrial Solvents Handbook, Revised And
Expanded. CRC Press. Florida
Chirinos, R., Rogez, H., Campos, D., Pedreschi, R. And Larondelle, Y. 2007.
Optimization of extraction conditions of antioxidant phenolic
compounds from mashua (Tropaeolum tuberosum Ruíz & Pavón)
tubers. Separation and Purification Technology, 55 (2): 217-225.
Choi, S. H., Gang G. O, Sawyer J. S, Johnson B. J., and Kim K. H. 2013. Fatty
Acid Biosynthesis And Lipogenic Enzyme Activities In
Subcutaneous Adipose Tissue Of Feedlot Steers Fed
Supplementary Palm Oil Or Soybean Oil. Journal of Animal Science,
91(5):2091-8
Christaki E., Florou-Paneri P, and Bonos E. 2015. Microalgae: a novel ingredient
in nutrition. Int. J. Food Sci. Nutr, 62(8):794-799
64
Croteau, R., T.M. Kutchan., and N.G. Lewis. 2000. Natural Products (Secondary
Metabolites). American Society of Plant Physiologists. Lancaster
Cowan, M. M. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clin Microbiol Rev.,
12(4):564-82
DAF (Department of Agricultural & Fisheries). 2008.Microalgae Information
Sheet V1. Diakses pada tanggal 23 November 2017.
<www.daf.qld.gov.au/>
Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya.
Salemba Medika. Jakarta
Da Silva, J. R. M. 2006. Analysis of the spatial and temporal variability of
irrigated maize yield. Biosyst. Eng., 94 (3): 337–349
Dehkharghanian M, Adenier H, and Vijayalakshmi M.A .2010. Study of flavonoids
in aqueous spinach extract using positive electrospray ionisation
tandem quadrupole mass spectroscopy. Food Chem, 121: 863–870
Departemen Kesehatan (Depkes) RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak
Tumbuhan Obat. Depkes RI. Jakarta
_____________________________. 2006. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat
Indonesia, Vol. 2, 124. Depkes RI. Jakarta
Desbois, A. P., and V. J. Smith. 2014. Antibacterial Free Fatty Acids: Activities,
Mechanisms Of Action and Biotechnological Potential. University
of St 13 Andrews. Fife
Dhanasekaran, D., N. Thajuddin., and A. Panneerselvam. 2015. Antimicrobials:
Synthetic and Natural Compounds. CRC Press. Florida
Dia, S. P. S., Nurjanah, and A. M. Jacoeb. 2015. Chemical Composition,
Bioactive Components and Antioxidant Activities from Root, Bark
and Leaf Lindur. JPHPI 2015, Volume 18 Nomor 2
Diraman, H. and Koru, E. 2009. Fatty acid profile of Spirulina platensis used
as a food supplement. Isr. J. Aquac. Bamigdeh, 61 (2): 134–142
Durmaz, Y., F. Tamturk, N. Konar, O. S. Toker., and I. Palabiyik. 2017. Effect of
Pigment Composition of Porphyridium cruentum as Continuously
Culture Method in Industrial Scale Tubular Photobioreactor.
International Journal of Life Sciences Biotechnology and Pharma
Research, 6(1): 18-21
65
Edlund, D, 2011. Methanol Fuel Cell Systems: Advancing Towards
Commercialization. Pan Standford Publishing. Singapore
Engelkirk, P. G and Janet D. 2008. Laboratory Diagnosis of Infectious Disease:
Essentials of diagnostic Microbiology. Lippincot William & Wilkins.
Philadephia
Fadlila, W .N., K. M. Yuliawati, dan Livia S. 2015. Identifikasi Senyawa Aktif
Antibakteri Dengan Metode Bioautografi Klt Terhadap Ekstrak
Etanol Tangkai Daun Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott).
Prosiding Penelitian SpeSIA UNISBA. Bandung
Feldmane, J., P. Semjonovs, and I. Ciprovica. Potential Of Exopolysaccharides
In Yoghurt Production. 2013. International Journal of Biology
Biomolecular Agricultural Food Biotechnology, 7: 456–459
Fitriani, S. 2008. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan Terhadap Beberapa
Mutu Manisan Belimbing Wuluh (Averrhoabellimbi L.). J. SAGU.
Edisi Maret. 7(1):32-37
FSANZ. 2013. Staphylococcus aureus. Diakses pada tanggal 23 November
2017. <www.foodstandards.gov.au>
Fuentes, M. M. R., G.G.A. Fernández, J.A.S. Pérez, and J.L.G. Guerrero. 2000.
Biomass Nutrient Profiles Of The Microalga Porphyridium. Food
Chemistry 70(3): 345-353
Galanakis, C. M., E. Markouli, and V. Gekas. 2013. Recovery and fractionation
of different phenolic classes from winery sludge using
ultrafiltration. Separation and Purification Technology, 107:245–251
Geresh S., Mamontov A., and Weinstein J. 2002. Sulfation of extracellular
polysaccharides of red Microalga: Preparation, characterization,
properties. J. Biochem. Biophys, 50:179–187
Ghomi, J. and Ghasemzadeh, M. A. 2012. Zinc oxide nanoparticles: A highly
efficient and readily recyclable catalyst for the synthesis of
xanthenes. Chinese Chemical Letters,23, 1225–122
Goswarni, U., and N. Fernandes. 2001. Bioactivity of methyl palmitate obtained
from a mangrove plant Salvadora persica L. Council of Scientific
and Industrial Research (CSIR)
Grosso, C. 2015. Alternative and Efficient Extraction Methods for Marine-
Derived Compounds. Marine Drugs, 13(5): 3182 – 3230
66
Gupta, R. B and A. Demirbas. 2010. Gasoline, Diesel, and Ethanol Biofuels
from Grasses and Plants. Cambridge University Press. New York
Gupta, A., D. Mohan., R. K. Saxhena, and S. Singh. 2017. Phototrophic
cultivation of NaCl‐tolerant mutant of Spirulina platensis for
enhanced C‐phycocyanin production under optimized culture
conditions and its dynamic modeling. Journal of Phycology, 54(1):
44-55
Guven, K., S. Ceylik, and I. Uysal. 2005. Antimicrobial Activity of Centaurea.
Species. Pharmaceutical Biology, 43(1): 67-71
Hadiyanto dan Maulana A. 2012. Mikroalga: Sumber Pangan dan Energi Masa
Depan. UNDIP Press. Semarang
Harris, E. D. 2008. Definition and Properties of Metabolites. A&M University.
Texas
Harris, L. G., Foster S. J., and Richards R. G. 2002. An Introduction To
Staphylococcus aureus, And Techniques For Identifying And
Quantifying S. Aureus Adhesins In Relation To Adhesion To
Biomaterials: Review. Euroean Cell and Materials, 31(4):39 – 60
Hayes, A.W. 2007. Principles and Methods of Toxicology 5th ed. Taylor and
Francis. Philadelphia
Harmita dan M. Radji. 2008. Kepekaan Terhadap Antibiotik. EGC. Jakarta
Hermanson, G. T. 2013. Bioconjugate Techniques (Third Edition). Elsevier.
Edinburg
Hermawan, A., H. Eliyani, dan W. Tyasningsih. 2007. Pengaruh Ekstrak Daun
Sirih (Piper betle L.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli Dengan Metode Difusi Disk. Artikel.
Universitas Airlangga. Surabaya
Hidayat, N. 2014. Metabolit Primer. Universitas Brawijaya. Malang
Hidayat, N., Padaga M.C, dan Suhartini S. 2006. Mikrobiologi Industri. C.V Andi
Offset. Yogyakarta
Houghton, P.J. and Raman, A. 1998. Laboratory Handbook for Fractionation of
Natural Extracts. Chapman and Hall. London
67
Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Sokletasi
Terhadap Kadar Piperin Buah Cabe Jawa (Piperis retrofracti
fructus). Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta
Jagessar, R. C., A. Mars, and G. Gomez. 2008. Selective Antimicrobial
properties of Phyllanthus acidus leaf extract against Candida
albicans, Escherichia coli and Staphylococcus aureus using
Stokes Disc diffusion, Well diffusion, Streak plate and a dilution
method. Natural Science, 6(2)
Jawetz, E., J. L. Melnick and Adelberg E. A. 2013. Medical Microbiology 26th
Edition. McGraw-Hill. New York
Johanson, G. 2000. Patty's Toxicology. John Wiley&Sons. New Jersey
Juntachote, T., Berghofer, E., Bauer, F. and Siebenhandl, S. 2006. The
application of response surface methodology to the production of
phenolic extracts of lemon grass, galangal, holy basil and
rosemary. International Journal of Food Science and Technology 41
(2): 121-133
Kaiser, G. 2017. 2.1: Sizes, Shapes, and Arrangements of Bacteria. Diakses
pada tanggal 5 Januari 2018. <https://bio.libretexts.org/>
Kanazawa, S., D. Ilic, T. Noumura, T.Yamamoto, and S. Aizawa. 1995. Integrin
stimulation decreases tyrosine phosphorylation and activity of
focal adhesion kinase in thymocytes. Biochem. Biophys. Res.
Commun., 215: 438-445
Karthikeyan S. C., S. Velmurugan, M. B. S. Donio, M.Michaelbabu and T. Citarasu.
2014. Studies on the antimicrobial potential and structural
characterization of fatty acids extracted from Sydney rock oyster
Saccostrea glomerata. Annals of Clinical Microbiology and
Antimicrobials, 13:332
Kaye, S. 2017. Microbial Keratitis and the Selection of Topical Antimicrobials.
BMJ Open Ophthalmology. Liverpool
Kerton, F. M and R. Marriot. 2013. Alternative Solvents for Green Chemistry.
RSC Publishing. London
Koirewoa, Y. A., Fatimawali dan W. I. Wiyono. 2012. Isolasi dan Identifikasi
Senyawa Flavonoid dalam Daun Beluntas (Pluchea indica L.).
Laporan Penelitian. FMIPA UNSRAT. Manado
68
Kusmiyati dan N. W. S. Agustini. 2007. Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri dari
Mikroalga Porphyridium cruentum. Jurnal Biodiversitas 8(1): 48-53
Lengeler, J. W., G. Drews, and H.G. Schlegel. 1999. Biology of the Prokaryotes.
Blackwell Science. New York
Liu, L., G. Pohnert, and D. Wei. 2016. Extracellular Metabolites from Industrial
Microalgae and Their Biotechnological Potential. Marine Drugs, 14
(191): 1 – 19
Logeswari, V., E. Kathiresan, A. Tamilselvi, and J. Vennison. 2014.
Phytochemicals, Antimicrobial And Antioxidant Screening From
Five Different Marine Microalgae. Journal of Chemical and
Pharmaceutical Science, 2: 78 - 85
Mabry, T.J., Markham K. R and Thomas M. B. 1970. The Systematic
Identification of Flavonoids. Springer-Verlag Publication. New York
Mashhadinejad A., Zamani H., and Sarmad J. 2018. Effect of growth conditions
and extraction solvents on enhancement of antimicrobial activity
of the microalgae Chlorella vulgaris . mazums-pbr, 2(4):65-73
Madigan, M. T., J.M. Martinko, P.V. Dunlap, and D.P. Clark. 2009. Brock Biology
of Microorganism, 12th Edition. Pearson Benjamin Cummings. San
Francisco
Maulida, D dan N. Zulkarnaen. 2010. Ekstraksi Antioksidan (Likopen) Dari.
Buah Tomat Dengan Menggunakan Solven Campuran N-Heksana,
Aseton dan Etanol. Skripsi. Universitas Dipenogoro
Mishra, S.K., N. S. Sangwan, and R. S. Sangwan. 2007. Andrographis
paniculata (kalmegh): a review. Pharmacognosy Reviews, 1: 283-97
Moldoveanu, S. C and V. David. 2016. Selection of the HPLC Method in
CheMICal Analysis. Elsevier. Amsterdam
Montville, T. J and K. R. Matthews. 2008. Food Microbiology: An Introduction,
2nd ed. ASM Press. New York
Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, Dan Identifikasi Senyawa
Aktif. Jurnal Kesehatan, 7(2): 361-367
Nagarajan, M., S.Benjakul, T. Prodpran, P. Songtipya and H. Kishimura. 2012.
Characteristics and functional properties of gelatin from splendid
69
squid (Loligo formosana) skin as affected by extraction
temperatures. Food Hydrocolloids, 29: 389-397
Nagoba, S. 2008. MICrobiology for Physiotherapy Students. BI Publications Pvt
Ltd. New Delhi
Najdenski, H., L. G. Gigova, I. I. Iliev, and P. S. Pilarski. 2013. Antibacterial and
Antifungal Activities Of Selected Microalgae and Cyanobacteria.
Int. Journal of Food Science and Technology, 48(7): 1533 – 1540
Naz, S., R. Sidiqqi, S and S. Ahmad. 2007. Antibacterial Activity Directed
Isolation of Compounds from Punica granatum. Journal of Food
Science, 72(9):M341-5
Ngulube, P. 2016. Handbook of Research on Theoretical Perspectives on
Indigenous Knowledge Systems in Developing Countries. IGI
Global. Hershey
Nugroho, S. A. 2014. Prarancangan Pabrik Etil Asetat dari Asam Asetat dan
Etanol dengan Katalis Asam Sulfat Kapasitas 50.000 Ton per
Tahun. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Nur, M. M. A. 2014. Potensi Mikroalga sebagai Sumber Pangan Fungsional di
Indonesia (overview). Eksergi, 11(2): 1-6
Nurcahyanti, A.D.R., Dewi, L. dan Timotius, K.H. (2011). Aktivitas
antioksidan dan antibakteri ekstrak polar dan non polar biji
selasih (Ocimum sanctum Linn). Jurnal Teknologi dan Industri
Pangan1(XXII): 1-6
Nwodo, U. U., Green E., and Okoh AI. 2012. Bacterial Exopolysaccharides:
Functionality and Prospects. International Journal of Molecular
Science, 13:14002–14015
Owuama, C. I. 2017. Determination Of Minimum Inhibitory Concentration
(MIC) And Minimum Bactericidal Concentration (MBC) Using A
Novel Dilution Tube Method. African Journal of MICrobiology
Research, 11(23): 977-980
Patnaik, P. 2007. A Comprehensive Guide to the Hazardous Properties of
Chemical Substances. John Wiley & Sons. New Jersey
Parhusip A. 2006. Study of antibacterial mechanism of andaliman extract
(Zanthoxylum acanthopodium DC) towards food pathogen
bacteria. Dissertation. Institut Pertanian Bogor. Bogor
70
Pelczar, M. J. 2009. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. UI Press. Jakarta
Pervez, H., M. Ashraf and M. I. Makhdum. 2004. Influence of Potassium on Gas
Exchange Characteristics and Water Relations in Cotton
(Gossypium hirsutum L.). Photosynthetica, 42: 251 - 255
Perkasa, G. I. 2017. Resistensi Bakteri Vibrio harveyi Asal Perairan Tambak
Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di Jawa Timur Terhadap
Antibiotik Chloramphenicol. Skripsi. Universitas Airlangga.
Surabaya
Pinto, M. E. A., S. G. Araujo, M. I. Morais, and C. M. Lima. 2017. Antifungal and
antioxidant activity of fatty acid methyl esters from vegetable oils.
Anais da Academia Brasileira de Ciências, 89(3): 1671-1681
Poli, A., Donato P.D., Abbamondi G.R., and Nicolaus B. 2011. Synthesis,
Production And Biotechnological Applications Of
Exopolysaccharides and Polyhydroxyalkanoates By Archaea.
Archaea 2011, Article ID: 693253. pp 1–13
Pradhan, J., S. Das, and B.K. Das. 2014. Antibacterial Activity from Freshwater
Microalgae: a review. African Journal of Pharmacy & Pharmacology,
8(32): 809-818
Prasetyo, S., H. Sunjaya, dan Y. Yanuar. 2012. Pengaruh Rasio Massa Daun
Suji / Pelarut, Temperatur dan Jenis Pelarut Pada Ekstraksi
Klorofil Daun Suji Secara Batch dengan Pengontakan Dispersi.
Skripsi. Universitas Katolik Parahyangan. Bandung
Pratama, M. R. 2005. Pengaruh Ekstrak Serbuk Kayu Siwak (Salvadora
persica) Terhadap Perumbuhan Bakteri Streptococcus mutans
dan Staphylococcus aureus dengan Metode Difusi Agar. Skripsi.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya
Preedy, V. R., R. Srirajaskanthan and V.B. Patel. 2013. Handbook of Food
Fortification and Health: From Concepts to Public Health
Applications, Volume 2. Springer. New York
Puspita, A.A.D. 2009. Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan
Agribisnis Gandum Lokal di Indonesia. Skripsi. Fakultas Ekonomi
dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor
Putri, W.S. 2013. Skrining Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Kulit Buah Manggis
(Garcinia mangostana L.). Universitas Udayana. Bali
71
Rachmawati, F., M.C Nuria, dan Sumantri. 2011. Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi
Kloroform Ekstrak Etanol Pegagan (Centella Asiatica (L) Urb)
Serta Identifikasi Senyawa Aktifnya. Universitas Wahid Hasyim.
Semarang
Rao M. B., A. M. Tanksale, M. S. Ghatge, and Deshpande V.V. 2011. Molecular
and Biotechnological Aspects of Microbial Proteases. MICrobiol.
Mol. Biol, 62:597-635
Raposo, M. F. J., R. M. S. C. Morais, and A. M. M. B. Morais. 2013. Bioactivity
and Applications of Sulphated Polysaccharides from Marine
Microalgae. Marine Drugs, 11(1): 233–252
Rasyid, A. 2012. Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder Serta Uji Aktivitas
Antibakteri dan Antioksidan Ekstrak Metanol Teripang Stichopus
hermanii. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 4(2): 360 - 368
Rattaya, S., S. Benjakul, and T. Prodpran. 2015. Extraction, antioxidative, and
antimicrobial activities of brown seaweed extracts, Turbinaria
ornata and Sargassum polycystum, grown in Thailand.
International Aquatic Research, 7(1): 1-16
Razaghi, A., A. Godhe and E. Albers. 2013. Effects of nitrogen on growth and
carbohydrate formation in Porphyridium cruentum. Eur. J. Biol.,
9(2): 156-162
Rebey, I. B., I. J. Karoi, I. H. Sellami, dan B. Marzouk. 2012. Effect of drought on
the biochemical composition and antioxidant activities of cumin
(Cuminum cyminum L.) seeds. Industrial Crops and Products 36(1)
Redlinger T., and E. Gantt. 1982. A Mr 95,000 polypeptide in Porphyridium
cruentum phycobilisomes and thylakoids: Possible function in
linkage of phycobilisomes to thylakoids and in energy transfer.
Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States
of America, 79(18): 5542-5549
Renneberg, R., V. Berkling, and V. Loroch. 2016. Biotechnology for Beginners,
2nd Edition. AcadeMIC Press. London
Rivas, L., G.E. Mellor, K. Gobius, and N. Fegan 2015. Detection and Typing
Strategies for Pathogenic Escherichia coli. Springer. New York
Ruchmana, A. S. I. 2017. Pengaruh Waktu Penyimpanan Larutan Oral
Nutraceutical Ekstrak Bunga Delima Merah (Punica granatum L.)
72
Terhadap Perubahan Hambatan Pertumbuhan Bacillus subtilis (In
Vitro). Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
Sadek, P. C. 2004. Illustrated Pocket Dictionary of Chromatography. John
Wiley & Sons. New Jersey
Saifudin, A. 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder: Teori, Konsep, dan
Teknik Pemurnian. Deepublish. Yogyakarta
Samaranayake, L. 2012. Essential Microbiology for Dentistry, 4th Edition.
Edinburg: Elsevier
Sani, R.N., F.C. Nisa., R. D. Andriani dan J. M. Maligan. 2014. Analisis
Rendemen Dan Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Mikroalga Laut
Tetraselmis chuii. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 2(2): 121-126
Sari, N. 2010. Daya Antibakteri Ekstrak Tumbuhan Majapahit (Crescentia
cujete L.) terhadap Bakteri Aeromonas hydrophila. Skripsi. Institut
Teknologi Sepuluh November. Surabaya
Sari, R. F. 2011. Kajian Potensi Senyawa Bioaktif Spirulina platensis sebagai
Antioksidan Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Diponegoro. Semarang
Sari, R., M. Muhani dan I. Fajriyanti. 2017. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Etanol Daun Gaharu (Aquilaria microcarpa Baill.) Terhadap
Bakteri Staphylococcus aureus dan Proteus mirabilis. Universitas
Tanjungpura. Pontianak
Sarker, S. D. 2006. Natural Products Isolation. Humana Press. Totowa
Saroinsong, M. S., F. E. F. Kandou, A. Papu, and M. F. O. Singkoh. 2014. Uji Daya
Hambat Ekstrak Metanol Beberapa Jenis Porifera Terhadap
Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Jurnal Mipa
Unsrat Online, 3(2): 129-133
Saxena, D. K., S. K. Sharma, and S. S. Sambi. 2011. Comparative Extraction Of
Cottonseed Oil By n-Hexane and Ethanol. Journal of Engineering
and Applied Sciences, 6 (1): 84-89
Schwalbe, R., L. Steele-Moore, and A. C. Goodwin. 2007. Antimicrobial
Susceptibility Testing Protocols. CRC Press. Boca Raton
Seigler, D. S. 2012. Plant Secondary Metabolism. New York: Springer
73
Sembiring, E. N., B. Elya, dan R. Sauriasari. 2018. PhytocheMICal Screening,
Total Flavonoid and Total Phenolic Content and Antioxidant
Activity of Different Parts of Caesalpinia bonduc (L.) Roxb.
Pharmacogn J. 10(1): 123-127
Shahid, M., A. Shahzad., A. Malik, and A.Sahai. 2013. Recent Trends in
Biotechnology and Therapeutic Applications of Medicinal Plants.
Springer. New York
Shantosh, S., R. Dhandapani, and N. Hemalatha. 2016. Bioactive Compounds
from MICroalgae and its Different Applications - a review. Applied
Science Research, 7(4):153-158
Shi, H. 2006. TLR4 links innate immunity and fatty acid-induced insulin
resistance. J Clin Invest., 116(11): 15-25
Siriwoharn, T., Wrolstad R.E., Finn, C.E., Pereira, C.B. 2004. Influence of
Cultivar, Maturity, and Sampling on Blackberry (Rubus L hybrids)
Anthocyanins, Poliphenolics, and Antioxidant Properties. J of
agric and food chem, 50(26) : 3495-3500
Sitohy, M., A. Osman, A.G.A Ghany, and A.S.A. Salama. 2015. Antibacterial
phycocyanin from Anabaena oryzae SOS13. Applied Research in
Natural Products, 8(4): 27-36
Sivathanu, B., P. Sumathi, and I. J. S. Bell. 2011. Green algae Chlorococcum
humicola—A new source of bioactive compounds with
antimicrobial activity. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine,
1(1):S1–S7
Sobczuk, T. M., F. G. Camacho, E. M. Grima and Y. Chisti. 2006. Effects of
agitation on the microalgae Phaeodactylum tricornutum and
Porphyridium cruentum. Bioprocess and Biosystems Engineering,
28(4):243-50
Soleha, T. U. 2015. Uji Kepekaan Terhadap Antibiotik. Jurnal Kesehatan Unila,
5(9): 119-123
Sukandar, D., S. Hermanto, E. R. Amelia dan M. Zaenudin. 2015. Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Biji Kapulaga (Amomum compactum Sol. Ex
Maton). JKTI, 17(2): 119-129
74
Sulistijowati, A. & D. Gunawan. 2001. Efek Ekstrak Daun Kembang Bulan
(Tithonia diversifolia A. Gray) Terhadap Candida albicansserta
Profil Kromatografinya. Cermin Dunia Kedokteran, 130: 32-36
Sumardjo, D. 2009. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran dan ProGram Strata I Fakultas Bioeksakta. EGC.
Jakarta
Suryani, N. C. 2015. Pengaruh Jenis Pelarut Terhadap Kandungan Total
Flavonoid Dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Matoa
(Pometia pinnata). Skripsi. Universitas Udayana
Sutariya, S. 2017. Antimicrobial Activity and PhytocheMICal Study Of Aloe
Vera Gel Cruid Extract. Lulu Publishing. New Delhi
Tadeo, J. L. 2008. Analysis of Pesticides in Food and Environmental Samples.
Boca Raton: CRC Press
Talaro, K. P. 2008, Foundation in MICrobiology: Basic Principles, Sixth
Edition. Mc Graw Hill. New York
Tambun, R. 2016. Pengaruh Ukuran Partikel, Waktu Dan Suhu Pada Ekstraksi
Fenol Dari Lengkuas Merah. Jurnal Teknik Kimia USU, 5(4): 1 – 4
Tille, P. M. 2013. Bailey & Scott's Diagnostic Microbiology. Elsevier. Missouri
Tiwari, A. 2017. Handbook of AntiMICrobial Coatings. Elsevier. Amsterdam
Todar, K. 2011. Todar’s Online Textbook of Bacteriology. Diakses pada tanggal
1 Desember 2017. < http://www.textbookofbacteriology.net/>
Toh, C. S. 2013. Advanced Study Guide Chemistry. Step-by-Step International
Pte. Ltd. Hongkong
Tristiyanto. 2009. Studi Aktivitas Antibakteri Dan Identifikasi Golongan
Senyawa Ekstrak Aktif Antibakteri Buah Gambas (Luffa
acutangula Roxb.). Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Trusheva, B., D. Trunkova and V. Bankova. 2007. Different extraction methods
of biologically active components from propolis: a preliminary
study. Chem Cent J., 1: 13
Ullah, H and S. Ali. 2017. Classification of Anti‐Bacterial Agents and Their
Functions. Balochistan University. Pakistan
75
UniProt. 2002. Taxonomy - Porphyridium purpureum (Red alga)
(Porphyridium cruentum). Diakses pada tanggal 1 Desember
2017.<http://www.uniprot.org/>
Vandepitte, J., E. Kraesten, P. P. Rohner, P. Heuck, and C. Claus. 2003. Basic
laboratory procedures in clinical bacteriology, 2nd ed. World
Health Organization. Geneva
Vatai, T., Skerget, M. and Knez Z. 2009. Extraction of phenolic compounds
from elder berry and different grape marc varieties using organic
solvents and/or supercritical carbon dioxide. J.Food Eng, 90:246–
254
Vratnica, B. D., T. Dakov, D. Sukovic, and A. Damjanovic. 2011. Antimicrobial
Effect of Essential Oil Isolated from Eucalyptus globulus Labill.
from Montenegro. Czech J. Food Sci. Vol. 29(3): 277–284
Wilkins, T. D and A. D. Appleman. 2018. Review of Methods for Antibiotic
Susceptibility Testing of Anaerobic Bacteria. Laboratory Medicine,
7(4): 12 - 19
Wiwanitkit, V. 2011. Escherichia coli Infections. MedPub. Maryland
Wittcoff, H. A., B. G. Reuben and J. S. Plotkin. 2004. Industrial Organic
Chemicals. John Wiley & Sons. New Jersey
Yff, B. T., Lindsey K. L, Taylor M. B, Erasmus D. G and Jager A. K. 2002. The
Pharmacological Screening Of Pentanisia prunelloides And The
Isolation Of The Antibacterial Compound Palmitic Acid. Journal
Ethnopharmacology, 79 (1): 101 - 7
Yilmaz, F. F., Z. Demirel, N. U. Karabay-Yavasoglu, G. Ozdemir and M. Conk-
Dalay. 2016. AntiMICrobial and Antioxidant Activities of
Porphyridium cruentum. Hacettepe University Journal of the Faculty
of Pharmacy, 37 (1): 1-8
Yu, J and I. Goktepe. 2005. Effects of processing methods and extraction
solvents on concentration and antioxidant activity of peanut skin
phenolics. Food Chemistry, 90(1):199-206
Yu, P., Chang, Z., Ma, Y., Wang, S., Cao, H., Hua, C., Liu, H., 2009. Separation
of p-Nitrophenol and o-Nitrophenol with three-liquid-phase
extraction system. Sep. Purif. Technology, 70, 199–206
76
Yunia, G. F. 2014. Pengaruh Pelarut Terhadap Karakteristik Ekstrak Daun
Senduduk (Melastoma malabathricum, L). Skripsi. Universitas
Andalas. Padang
Yunika, N., Irdawaty dan M. Fifendy. 2017. Konsentrasi Hambat Minimum
Ekstrak Daun Sawo (Achras Zapota L.) Terhadap Pertumbuhan
Staphylococcus Aureus Secara In Vitro. Universitas Negeri Padang.
Padang
Zeleny, M. 1982. Multiple Criteria Decision Making. McGraw Hill. New York