PAPER BIOMONITORING LICHENS SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA
Transcript of PAPER BIOMONITORING LICHENS SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA
PAPER BIOMONITORING
LICHENS SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA
Winda Maria Issani 3313201005
Nadia Amanah 3313201012
M. Arie Ikhwan Saputra 3313201009
Dosen Pengajar:
Prof. Dr. Ir. Sarwoko Mangkoedihardjo, MScES.
PROGRAM PASCASARJANA JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2014
LICHENS SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA
Winda Maria Issani, M. Arie Ikhwan Saputra, Nadia Amanah
FTSP Jurusan Teknik Lingkungan - ITS Surabaya 60111
Abstrak
Bioindikator merupakan organisme/kumpulan organisme yang keberadaannya dapat digunakan untuk mendeteksi,
mengidentifikasi dan mengkualifikasikan pencemaran lingkungan. Lichens memiliki kemampuan sebagai bioindikator
pencemaran udara. Lichen merupakan hasil asosiasi simbiotik dari fungi dan alga. Jenis alga yang bersimbiosis yaitu
Cyanobacteriae atau Chlorophyceae, sedangkan fungi yang bersimbiosis biasanya merupakan Ascomycetes,
Basidiomycetes atau Phycomycete. Metode monitoring menggunakan Lichens dilihat dari dua cara yaitu fast respon dan
slow respon dari Lichens. Perubahan secara fisik dan kimia berdasarkan sensitifitas dan akumulasi yang terjadi pada
berbagai species Lichens terhadap berbagai jenis zat polutan anatara lain ditunjukan pada unsur senyawa seperti Logam
berat, SO2 (sulfur compounds), Senyawa nitrogen dan fosfor, Ozon, Klorida, fluoride, dan polutan atmosfer lain serta
radionuklida.
Kata kunci : Bioindikator, Lichens, Monitoring, Zat Polutan Udara
1. Pendahuluan
Pesatnya pembangunan terutama dalam bidang industri di era modernisasi ini dapat menimbulkan dampak
yang buruk terutama bagi kota-kota besar di Indonesia. Tempat berkembangnya teknologi dan kota-kota ini
saling berlomba dalam memajukan daerahnya. Dampak buruk tersebut mengakibatkan perubahan kualitas
udara dan menimbulkan pencemaran udara. Keberadaan zat pencemar dalam udara dapat membahayakan
makhluk hidup termasuk manusia, yang hidup berada di areal pencemaran tersebut. Upaya pemantauan
kualitas udara terutama di lingkungan tempat tinggal sangat perlu dilakukan. Pemantauan kualitas udara
dapat dilakukan dengan menggunakan alat pemantau kualitas udara atau dengan melakukan biomonitoring
terhadap keberadaan suatu bioindikator yang ada di lingkungan.
Tumbuhan yang ada, terutama di sekitar pencemaran udara terjadi, dapat berguna sebagai biological
monitoring. Beberapa tumbuhan tersebut dapat memberikan respon khusus yang sensitif terhadap adanya
pencemaran di udara misalnya Lichens. Lichens dapat digunakan sebagai bioindikator adanya pencemaran
udara karena mudah menyerap zat-zat kimia yang ada di udara dan dari air hujan (Usuli dkk, 2013). Talus
Lichens tidak memiliki kutikula sehingga mendukung Lichens dalam menyerap semua unsur senyawa di
udara, dinyatakan dalam Hadiyati dkk, 2013. Unsur senyawa di udara, terutama keberadaan zat pencemar
udara yang melebihi ambang batas tersebut kemudian diakumulasikan dalam talusnya. Hardini (2010) juga
menyatakan bahwa Lichens adalah spesies indikator terbaik yang menyerap sejumlah besar kimia dari air
hujan dan polusi udara. Adanya kemampuan ini menjadikan Lichens sebagai bioindikator yang baik untuk
pemantauan pencemaran udara dalam melihat adanya suatu kondisi udara pada suatu daerah yang tercemar
atau sebaliknya.
2. Bioindikator
Prinsipnya, setiap organisme di suatu ekosistem mempunyai kemampuan dalam merepresentasikan kualitas
dan perubahan yang ada di lingkungan. Bioindikator merupakan organisme, seperti mikroba, tumbuhan dan
hewan, yang biasanya dipakai untuk memonitor kualitas daripada lingkungan. Organisme dan suatu
kumpulan organisme tersebut berfungsi memonitor perubahan yang bisa mengindikasi suatu masalah yang
ada di ekosistem. Perubahan tersebut bisa secara kimia, fisiologis atau perubahan perilaku. Bioindikator
digunakan untuk mendeteksi perubahan dalam lingkungan alamiahnya, memantau untuk melihat kehadiran
polutan dan efeknya pada ekosistem tempat organisme hidup, memantau progres pada pembersihan
lingkungan (environmental cleanup) dan tes substansinya, seperti pada air minum dalam melihat pada
kehadiran parameter atau kontaminan yang dimilikinya.
Biomonitoring menggunakan organisme sebagian besar dipakai sebagai penentuan kuantitas dari
keberadaan kontaminan, dapat diklasifikasi sebagai biomonitor yang bersifat sensitif atau yang bersifat
akumulatif. Biomonitor bersifat sensitif cenderung merupakan tipe optikal dan digunakan sebagai integrator
dari dampak yang disebabkan oleh keberadaan kontaminan, dan sebagai respon preventif dalam kata lain
sebagai suatu sistem alarm bagi perunahan lingkungan. Efek optikal yang terjadi seperti perubahan
morfologi dalam artian perubahan secara perilaku berhubungan dengan lingkungan dan atas adanya
perubahan aspek secara komposisi kimia dan fisik berdasarkan aktivitas dari perbedaan sistem enzim,
fotosintesis dan aktivitas respirasi. Biomonitor bersifat akumulatif mempunyai kemampuan untuk
memindahkan kontaminan ke dalam tubuh mereka (di dalam/lapisan tissue) dan dipakai sebagi intregasi
pengukuran konsentrasi kontaminan yang ada di lingkungan. Bioakumulasi adalah hasil dari proses
keseimbangan dari gabungan biota intake/discharge dan yang masuk ke dalam lingkungan.
Bioindikator berguna dalam tiga situasi: 1) disaat indikasi faktor lingkungan tidak bisa di ukur, seperti
dalam keadaan faktor lingkungan alamiah yang dulu beralih bentuk karena adanya perubahan iklim, 2)
dimana indikasi faktor lingkungan sulit untuk diukur, misalnya karena keberadaan pestisida dan residunya
menghasilkan suatu kandungan effluent toksik yang komples dan 3) dimana faktor lingkungan mudah untuk
diukur tetapi sulit untuk ditafsirkan contohnya apakah perubahan lingkungan yang terjadi berdasarkan
pengamatan yang dilakukan mempunyai faktor ecological yang signifikan.
Penggunaan metode biomonitoring dinyatakan lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan teknologi
pemantauan dengan mengandalkan kemampuan pemetaan memakai teknik sampling intensitas monitor aktif
yang terkenal mahal. Hal ini dikarenakan bioindikator secara langsung terikat dengan kondisi yang pada
lingkungannya. Respon mereka terhadap dampak/perubahan yang terjadi lebih representatif dari pengaruh
kumulatif secara fungsi dan mempunyai lingkup keragaman ekosistem yang lebih dibandingkan teknologi
monitor aktif.
Perbedaan tipe dari bioindikator dapat di jelaskan dalam prespektif yang berbeda seperti yang diperlihatkan
oleh Gambar 1.
Gambar 1. Tipe dari bioindikator dalam peranannya sebagai biomonitoring lingkungan
3. Lichens Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara
Lichen merupakan hasil asosiasi simbiotik dari fungi dan alga. Jenis alga yang bersimbiosis yaitu
Cyanobacteriae atau Chlorophyceae, sedangkan fungi yang bersimbiosis biasanya merupakan Ascomycetes,
dan terkadang juga berasal dari Basidiomycetes atau Phycomycetes. Alga merupakan bagian yang
mengandung nutrient, nutrient inilah yang memuat krolofil, sementara fungi berfungsi memberikan alga
supply air dan mineral (Conti, 2001).
Umumnya, Lichen hidup sebagai epifit pada pohon-pohonan tapi dapat juga hidup di atas tanah bahkan
dapat hidup di daerah yang ekstrim, sehingga Lichens sering disebut dengan organisme perintis Lichen
sebagai tumbuhan perintis yang hidup tumbuh dialam pada kondisi yang tidak menguntungkan. Lichen
tersebut memulai pembentukan tanah dengan melapukkan pohon dan batu-batuan serta dalam proses
terjadinya tanah. Lichen sangat tahan terhadap kekeringan. Jenis-jenis Lichens yang hidup pada bebatuan
pada musim kering berkerut sampai terlepas alasnya tetapi organisme tersebut tidak mati dan hanya berada
dalam hidup laten/dormancy. Jika segera mendapat air maka tubuh tumbuhan yang telah kering tersebut
mulai menunjukkan aktivitasnya kembali (Hasnunidah,2009) Jenis tumbuhan perintis berpengaruh
terhadap sebagian besar sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Prawito, 2009). Lichens sangat sensitif
terhadap pencemaran udara dan cepat menghilang pada daerah yang mempunyai kadar polusi udara yang
berat. Salah satu yang menyebabkan ini terjadi Lichen dapat menyerap dan mengendapkan mineral dari air
hujan dan udara dan tidak dapat mengeluarkannya sehingga konsentrasi senyawa yang mematikan seperti
SO2 sangat mudah masuk. Lichen melalui perannya sebagai tumbuhan perintis menjadikan dirinya
mempunyai kemampuan regenerasi yang tinggi. Dalam artian Lichen bisa tumbuh kembali apabila kondisi
udara di ekosistem tempatnya tumbuh sudah mulai pulih.
Lichen dapat digunakan sebagai bioindikator melalui dua cara yaitu:
a. Dengan menggunakan pemetaan (mapping) melalui kehadiran semua spesies pada area-area yang
spesifik.
b. Melalui individual sampling dari spesies Lichen dan mengukur polutan yang terakumulasi di dalam
thallus (bagian dari tubuh Lichens), atau mentranspalasi Lichen yang berasl dari area yang tidak
tercemar ke tempat yang tercemar, kemudian mengukur perubahan morfologi yang terjadi pada thallus
Lichen dan mengevaluasi parameter fisiologi serta bisa pula dengan mengevaluasi bioakumulasi polutan
yang terjadi.
Perubahan morfologi Lichens terhadap pencemar dapat dilakukan dengan dua metode alternative :
a. Fast resposn : adanya perubahan secara fisiologis pada clorofil lumut kerak dan fotosintesis Lichens
dalam berbagai kondisi kualitas. Pada lingkungan dengan kualitas udara yang baik, lumut kerak tumbuh
subur dan berwarna hijau muda hingga hijau tua. Namun, pada lingkungan yang kualitas udaranya telah
terjadi pencemaran, pertumbuhan Lichens hanya sedikit dan warnanyapun abu-abu hingga kehitaman.
b. Slow respons : perubahan komunitas Lichens, yaitu perubahan species pada setiap level-level polusi
yang berbeda. Lichenss yang terpapar polusi udara dalam waktu yang lama menunjukkan perubahan
jumlah komunitas menjadi lebih sedikit dengan mengukur kondisi awal Lichenes pada awal penelitian
kemudian mengamati perubahan bentuk morfologi dalam periode waktu tertentu. jika Disuatu tempat
masih terdapat Lichens maka dapat diketahui bahwa udara di tempat tersebut masih tergolong bersih,
dan Jika di suatu tempat tidak terdapat Lichens maka dapat diketahui udara ditempat tesebut sudah
tercemar. perubahan Lichens berbeda pada setiap tingkatan polusi (Boonpragob, 2003). Gambar 2.
Merupakan gambar respon Lichens terhadap perubahan lingkungan udara
Gambar 2. (kiri) Fast respon, (kanan) Slow respon
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh warna talus yang berbeda-beda. Perbedaan warna talus tidak hanya
terjadi pada jenis lumut kerak yang berbeda, akan tetapi dalam satu jenis lumut kerak yang dijumpai
memiliki warna yang berbeda pula. Warna talus dapat semakin gelap seiring dengan bertambahnya umur
serta khasnya akan mengikuti tempat kondisi dari tempat tumbuhnya. Warna talus yang ditemukan di lokasi
penelitian memiliki perbedaan dengan warna talus aslinya, sehingga pada lokasi penelitian sudah
mengindikasikan adanya pencemaran udara. lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya akan
kurang baik dengan warna menjadi pucat atau berubah. Warna lumut kerak misalnya yang berwarna hijau
cerah karena terpapar terus menerus oleh zat-zat pencemar lama kelamaan akan berubah warna menjadi
hijau pucat/kusam (Usuli, 2013). Gambar 2 menunjukkan klorofil yang rusak akibat adanya pencemaran.
Gambar 3. Kerusakan Klorofil
4. Lichenss Sebagai Kontrol Kontaminan Udara
Perubahan komposisi dalam komunitas Lichens berkorelasi dengan perubahan level dari polusi yang ada di
atmosfer. Lichen berdasarkan perbedaan pada setiap spesiesnya mempunyai reaksi yang berbeda-beda
terhadap berbagai polutan dalam berbagai cara (Nimis dan Tretiach, 1995). Reaksi yang dihasilkan
berbeda-beda sesuai dengan tingkat sensitifitas pada setiap spesies Lichen. Klasifikasi terhadap spesies
Lichen merupakan penelitian yang paling sering didiskusikan dalam setiap literatur yang berbeda.
Sensitifitas Lichen terhadap SO2 merupakan kontaminan dasar yang paling banyak diklasifikasikan karena
Lichens cenderung lebih memperlihatkan perubahan yang signifikan terhadap senyawa pencemar ini.
Perubahan secara fisik dan kimia berdasarkan sensitifitas dan akumulasi yang terjadi pada berbagai species
Lichens terhadap berbagai jenis zat pencemar anatara lain ditunjukan pada unsur senyawa seperti Logam
berat, SO2 (sulfur compounds), Senyawa nitrogen dan fosfor, Ozone, Klorida, fluoride, dan polutan atmosfer
lain serta radionuklida. Berbagai senyawa diatas merupakan yang telah pernah diteliti oleh berbagai peneliti
melihat dari berbagai spesies Lichen secara representatif di ekosistem tempatnya berada.
a. Logam berat
Suplai mineral sebagai nutrien dan logam berat dalam Lichen berasal dari hujan, debu yang bersumber
dari alam dan kegiatan manusia (antropogenik). Sumber logam secara alami meliputi penyemprotan
aerosol, logam yang menempel pada daun-daunan dan kulit kayu, dan pengendapan partikel pada tanah
dan batu karang. Lichen memperlihatkan bermacam-macam kepekaan terhadap logam sebagai
akumulator yang baik telah digunakan untuk menandai tingkatan endapan. Logam yang bersumber dari
kegiatan antropogenik adalah Pb, Ni, Hg, Cr, Zn, Ti dan V. Pb merupakan logam sebagai bahan
pencemar utama di udara (Jamhari, 2014).
Bačkor & Loppi (2009) menjelaskan bahwa penyerapan logam berat oleh Lichen terjadi ketika adanya
interaksi biologis antara logam berat dengan Lichen di permukaan membran plasma. Terjadinya
penyerapan logam berat melintasi membran plasma disebabkan oleh afinitas tinggi intraseluler untuk
mengikat logam berat dan adanya transportasi protein. Mekanisme penyerapan logam berat ini mirip
dengan yang terjadi pada Arabidopsis dan Thlaspi (keduanya dikenal sebagai tumbuhan hiperakumulator
logam berat). Logam berat yang melewati membran plasma tersebut kemudian diakumulasikan di pusat
sel hifa mycobiont dan di vakuola. Selain itu, logam berat juga diakumulasi di kloroplas dan
mitokondria, seperti yang terjadi pada alga Euglena gracilis. Selanjutnya Sanità di Toppi et al. (2008),
mengemukakan bahwa proses detoksifikasi logam berat oleh Lichen terjadi dalam dua mekanisme,
yaitu: 1) mekanisme untuk mengatasi langsung sifat racun dari logam berat dengan cara imobilisasi
logam berat oleh dinding sel, produksi phytochelatin yang akan mengikat logam berat dan membawanya
ke vakuola serta kompartementalisasi di vakuola; dan 2) mekanisme untuk mengatasi sifat racun dari
logam berat secara tidak langsung dengan induksi protein dan aktivasi antioksidan enzimatik. Tidak
seperti pada tumbuhan tingkat tinggi, proses detoksifikasi logam berat pada Lichen didominasi oleh
mekanisme pertama, sedangkan mekanisme kedua lebih berperan sebagai proses perbaikan sel yang
rusak akibat toksisitas logam berat (Sanità di Toppi et al., 2008). Gambar 1 mengilustrasikan proses
penyerapan, akumulasi dan detoksifikasi logam berat pada Lichen.
Gambar 4. Proses penyerapan, akumulasi dan detoksifikasi logam berat pada lumur kerak
(1) Interaksi biologis antara logam berat dengan Lichen di permukaan membran plasma
(pembentukan logam oksalat, asam-logam kompleks Lichen, pigmen melanin dan fosfat organik)
untuk penyerapan ekstraseluler
(2) Logam berat diakumulasikan di pusat sel hifa mycobiont dan di vakuola (fungi) serta di kloroplas
dan mitokondria (alga)
(3) Detosifikasi logam berat (mekanisme 1 dan 2)
Sumber : Mizwar, 2013.
Beberapa contoh spesies Lichens sebagai hiperakumulator logam berat disajikan pada Tabel 1
Tabel 1. Beberapa spesies Lichens sebagai hiperakumulator logam berat
Species Metal Reference
Acarospora smaragdula Cu Garty 1993; Pawlik-Skowron´ska et al. 2006;
Purvis et al. 1985; Purvis 1996; Purvis and Halls
1996; Wedin et al. 2009
Pb Purvis et al. 2000
Cladonia cariosa Pb, Zn Purvis 1996; Purvis and Halls 1996
C. chlorophaea Pb Garty 1993
C. cristatella Cd, Pb Garty 1993
C. furcata Pb, Zn Garty 1993; Pawlik-Skowron´ska et al. 2008
C. pyxidata Pb Garty 1993
C. rangiferina Cd, Pb Garty 1993
C. rei Pb, Zn Purvis and Halls 1996
Dibaeis baeomyces Pb, Zn Purvis and Halls 1996
Hypogymnia physodes Cd, Pb Conti et al. 2001; Garty 1993
Cu, Zn Garty 1993
Pb, Zn Pawlik-Skowron´ska et al. 2008
Lecanora dispersa Pb Garty 1993
L. polytropa Cu Alstrup & Hansen 1977; Garty 1993; Pawlik-
Skowron´ska et al. 2006; Purvis 1996; Purvis
and Halls 1996; Purvis et al.
2008
Parmelia sulcata Pb, Zn Garty 1993
Peltigera rufescens Cu Bae`kor et al. 2009
Pb, Zn Garty 1993
Physcia adscendens Pb, Zn Pawlik-Skowron´ska et al. 2008
Rhizocarpon cinereovirens Pb, Zn Purvis and Halls 1996
Stereocaulon dactylophyllum Pb, Zn Purvis 1996
S. pileatum Pb, Zn Purvis 1996; Purvis and Halls 1996
Xanthoria parietina Cd Rossbach and Lambrecht 2006
Pb Garty 1993; Rossbach and Lambrecht 2006;
Sarret et al. 1998
Sumber : Mizwar, 2013
b. Senyawa Sulfur.
Efek dari senyawa sulfur terhadap Lichens sudah banyak dipelajari secara luas. Studi yang banyak
dilakukan lebih terkait dengan efek dari hasil paparan langsung dari pencemaran asap yang sebagian
besar berasal dari industri akibat SO2 terhadap Lichens serta akibat dari polusi lalu lintas perkotaan. Efek
karena hujan asam pun banyak dijumpai sebagai akibat menghilangnya komunitas Lichens di berbagai
tempat habitat ekosistemnya. Dampak yang terjadi berpengaruh terhadap kecapatan respirasi, proses
fotosintesis, dan warna dari klorofil yang dihasilkan (chlorophyll fluorescence) pada Lichens. Evaluasi
efek senyawa sulfur terhadap fisiologis seperti kemungkinan terjadinya perubahan bentuk fisik (Lichens
thalli) dan pada integritas dari photobiont chlorophyll. Sensitifitas Lichen terhadap SO2 lebih banyak
ditunjukan oleh jenis lobaria pulmonaria berdasarkan akumulasi konsentrasi SO2 yang lebih banyak
terkandung pada jenis ini.
Membran protein pada Lichen rusak karena paparan dari SO2, yang bisa mengakibatkan berkurangnya
biosintesis protein di beberapa jenis Lichens. Kerusakan pada membran sel Lichen inilah yang dapat
digunkan sebagai indikator pencemaran lingkungan (environmental stress). Dampak ini juga menjadi
indikasi bagi senyawa lain seperti O3 dan NO2. Konsentrasi SO2 di udara yang terlalu tinggi dan sudah
melebihi batas kemampuan toksisitas yang bisa diakumulasi mengakibatkan tubuh Lichen akan semakin
mengecil dan kemudian mengakibatkan komunitas Lichen yang ada pada suatu daerah tersebut akan
hilang, apabila pencemaran udara di ekosistem tersebut akan terus berkelanjutan (Conti dan Cecchetti,
2001).
c. Senyawa nitrogen dan fosfor
Lichen sebelumnya sudah dikenal sebagai bioindikator untuk senyawa NH3 dan beberapa tahun terakhir
ini, baru ditemukan positif korelasi antara spesies nitrophytic Lichen dan konsentrasi NH3 yang ada di
atmosfer. Spesies nitrophytic Lichen tidak merespon secara langsung pada tingkatan konsentrasi nitrogen
yang ditemukan di lingkungan, tetapi dilihat dari tingginya pH yang terkandung di batang pohon tempat
Lichen tumbuh, yang mana juga berhubungan dengan tingginya konsentrasi NH3 di lingkungan.
Cladonia portentosa merupakan bioindikator yang paling bagus untuk mempelajari presipitasi kimia dari
konsentrasi nitrogen dan fosfor pada Lichen. Akumulasi nitrogen lebih banyak ditemukan di dalam thalli
atau pada talusnya dan nitrogen yang ditemukan pada talus Lichen berkorelasi dengan NO2 yang ada di
udara.
Tingginya konsentrasi SO2 dan NOx dapat menyebabkan reduksi pH pada talus Lichen. Perubahan pH
pada Lichen ini bisa menjadi sumber indikasi mengenai polutan yang ada di wilayah habitatnya.
Penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa pada pH 5 merupakan batas maksimum kontaminan
yang dapat diterima oleh Lichen, dimana pada keadaan ini Lichen cenderung tidak dapat bertahan hidup.
Beberapa contoh spesies Lichens sebagai bioindikator polutan nitrogen disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa spesies Lichens sebagai bioindikator nitrogen
Species Polutan Reference
Nitrophytes
Acidophytes
Neutrophytes
CyanoLichenss
N
N, NH4+, NO3
-
NH3
N
Jovan, Sarah. 2008
d. Ozon
O3 dan NO2 merupakan katalis yang kuat dari peroksida membran lipid, dimana efek utama O3 terhadap
Lichen adalah kerusakan pada membran selnya. Senyawa ini menghasilkan peroksida lipid dan menjadi
indikator kerusakan oksidatif untuk membran dan sistem enzim yang melindungi Lichens dari oksidasi.
Penelitian lain juga dilakukan dengan menggunakan spesies Lichen flavoparmelia caperata dengan
metode pengasapan dengan O3 pada periode waktu yang ditetapkan. Penelitian tersebut mengakibatkan
50% jaringan menurun/rusak dalam proses fotosintesis hal serupa juga dilakukan pada spesies Lichen
Usnea ceratina dengan waktu pengasapan selama 5 hari dan mengakibatkan reduksi dalam jaringan
fotosintesis (Zambrano dan Nash, 2000).
e. Fluorida, klorida dan polutan atmosfer lain
Penelitian mengenai bioakumulasi flourida juga menyatakan bahwa senyawa pencemar ini banyak
ditemukan pada talus yang konsentrasinya berkorelasi sama dengan yang ada di lingkungan
ekosistemnya. Spesies Lichen yang ada dalam penelitian yaitu H. physodes dan Bryoria capillaris
ditemukan di area pabrik pupuk dan tambang (Palomaki, 1992). Sedangkan untuk polutan klorida Lichen
yang ditemukan yaitu Parmelia sulcata Tayl dan sebagian lumut lain. Lichen ini ditemukan di area
sekitar tenpat pembuangan limbah/sampah hasil insenerasi dari insenerator plant. Polutan atmosfer lain
yang ditemukan dapat mengakibatkan dampak bagi Lichen juga berasal dari senyawa polychlorinated
dibenzodioxins dan polychlorinated dibenzofurans. Penelitian dilakukan di wilayah pembuangan limbah
hasil insenerasi sampah perkotaan (Schuhmacher, 1997).
f. Radionuklida Lichens juga merupakan bioakumulator yang baik untuk kontaminan radionuklida (Notter, 1988).
Penelitian ini dilakukan pada evaluasi paparan radionuklida pada kejadian Chernobyl. Fenomena ini
mengakibatkan kenaikan yang signifikan rata-rat konsentrasi radiocesium pada rusa yang hidup disana.
Diman rusa-rusa ini memakan Lichen yang tumbuh disekitar wilayah tersebut sebagai makanan utama
mereka. Parmelia sulcata telah dipakai sebagai bioindikator kehadiran radionuklida di area tersebut.
Jenis spesies Lichen lain yang dipakai seperti Xanthoria spp dan juga spesies Umbilicaria (Triulzi,
1996).
5. Kesimpulan
Lichens merupakan indikator yang efisien untuk polusi udara dan perubahan asam dengan biaya pengelolaan
yang murah daripada teknologi yang biasa digunakan. Teknologi tepat guna seharusnya dikembangkan
terutama pada negara berkembang yaitu digunakannya Lichens sebagai biomonitoring kualitas udara dan juga
tanah, selain itu Lichens juga berperan sebagai warning signal sebelum kerusakan berdampak pada ekosistem
dan kesehatan. Lichen merupakan tumbuhan perintis yang tahan hidup di kondisi ekstrim, sehingga
menjadikan dirinya mempunyai kemampuan regenerasi yang tinggi. Dalam artian Lichen bisa tumbuh
kembali apabila kondisi udara di ekosistem tempatnya tumbuh sudah mulai pulih.
Daftar Pustaka
Bačkor, M. and Loppi, S. (2009) Review: Interactions of lichens with heavy metals. Biologia Plantarum 53(2):
214-222.
Conti, M.E dan Cecchetti, G (2001). Biological monitoring: lichens as bioindicators of air pollutan assessment-a
review. Environmental Pollution, 114 Hal 471-492.
Jamhari, Mohammad (2014). Hubungan Kandungan Timbal (Pb) Di Udara Dengan Pb Dalam Talus Lichen
Xanthoparmelia Xanthofarinosa. Seminar Nasional VIII Pendidikan Biologi
Jovan, Sarah. (2008). Lichen Bioindication of Biodiversity, Air Quality, and Climate: Baseline Results From
Monitoring in Washington, Oregon, and California. United States Department of Agriculture, Portland
Gerhardt, A (2014). Bioindicator Species and Their Use in Biomonitoring. Environmental Monitoring, Vol 1
Hasnunidah, Neni.2009.Botani Tumbuhan Rendah. Bandarlampung:Unila
Mizwar, Andy (2013). Bioremediasi Bahan Pencemar Logam Berat di Udara. Institut Sepuluh Nopember,
Surabaya.
Nimis, P.L., dan Tretiach, M (1995). The Lichen of Italy – a phytoclimatical outline. Crypt. Bot. 5, 199-208.
Notter, M (1988). Radionuclides in the environment around Swedish nuclear power stations, 1983. Govt.
Reports announce,ents & Index Issue 11.
Nurjanah, Siti., Anitasari, Yousep., Mubaidullah, Shofa dan Bashri, Ahmad (2014). Keragaman Dan
Kemampuan Lichen Menyerap Air Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Di Kediri. Universitas
Nusantara PGRI, Kediri.
Panjaitan, Desi Maria., Fitmawati dan Martina, Atria (2014). Keanekaragaman Lichen Sebagai Bioindikator
Pencemaran Udara Di Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Keanekaragaman Lichen Sebagai Bioindikator
Pencemaran, Volume 01: Hal 01-17.
Prawito, P. 2009. Pemanfaatan Tumbuhan Perintis Dalam Proses Rehabilitasi Lahan Paskatambang Di
Bengkulu. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 1 p: 7-12. Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu
Sanità di Toppi, L., Pawlik-Skowrońska, B., Vurro, E., Vattuone, Z., Kalinowska, R., Restivo, F.M., Musetti, R.,
and Skowroński, T. (2008) First and second line mechanisms of cadmium detoxification in the lichen
photobiont Trebouxia impressa (Chlorophyta). Environmental Pollution 151: 280-286
Saulovic, Durdja., Blocanin, Rade dan Rodriguez, Bibiana (2014). Bioindicators In Human Environment.
Professional peper, University of Belgrede, Serbia.
Schumacher, M,. Domingo, J.L,. Liobet, J.M,. Muller, L dan Jager, J (1997). Levels of PCDD/Fingrasses and
weeds collectednear a manucipal waste incinerator (1996-1997). Science Total Enviro, 218 (2-13). 175-183.
Triulzi, C., Marzino, F.N dan Vaghi, M (1996). Important alpha, beta and gamma-emitting radionuclides in
lichens and mosses collected in different world areas. Annali di Chimics (86) 11-12. 699-704.
Usuli, Yuliani., Uno.D, Wirnangsi dan Baderan, Dewi W. K (2013). Lumut Kerak Sebagai Bioindikator
Pencemaran Udara. Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo.
Zambrano, A dan A, Nash III, T.H (2000). Lichen responses to short-term transplantation in Desierto de los
Leones, Mexico city. Environmental Pollution 107, 407-417.