Nanoenkapsulasi 2-Sitronelil Benzimidazol Dengan Penyalut ...

61
Nanoenkapsulasi 2-Sitronelil Benzimidazol Dengan Penyalut Liposom dan Uji Aktivitasnya sebagai Antibakteri SKRIPSI Oleh: NENI DUWI UMAROH 145090200111016 JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

Transcript of Nanoenkapsulasi 2-Sitronelil Benzimidazol Dengan Penyalut ...

Nanoenkapsulasi 2-Sitronelil Benzimidazol Dengan

Penyalut Liposom dan Uji Aktivitasnya sebagai

Antibakteri

SKRIPSI

Oleh:

NENI DUWI UMAROH

145090200111016

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

i

Nanoenkapsulasi 2-Sitronelil Benzimidazol Dengan

Penyalut Liposom dan Uji Aktivitasnya sebagai

Antibakteri

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains dalam bidang Kimia

Oleh:

NENI DUWI UMAROH

145090200111016

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

ii

iii

iv

Nanoenkapsulasi 2-Sitronelil Benzimidazol Dengan Penyalut

Liposom dan Uji Aktivitasnya sebagai Antibakteri

Abstrak

Nanoenkapsulasi merupakan proses memasukkan suatu zat aktif

dalam bahan inert berukuran nano yang dapat melindungi dan

mengontrol kinetika pelepasan zat aktif tersebut. Dalam penelitian

ini, nanoenkapsulasi dilakukan pada 2-sitronelil benzimidazol

dengan penyalut liposom. Liposom dibuat dari lesitin kedelai

menggunakan metode hidrasi film lipid. Proses nanoenkapsulasi

dilakukan menggunakan homogenizer dan variasi jumlah penyalut

untuk mengetahui efisiensi enkapsulasi yang paling tinggi. Efisiensi

enkapsulasi dan kinetika pelepasan orde Higuchi ditentukan dengan

spektrofotometer UV-Vis, sedangkan karakterisasi ukuran

nanokapsul menggunakan Zetasizer nano ZS. Produk nanokapsul

optimum ditentukan aktivitasnya sebagai antibakteri terhadap

bakteri Staphylococcus aureus dan EPEC (Enteropathogenic

Eschericia coli). Variasi penyalut 2,5 g memberikan nilai efisiensi

enkapsulasi paling tinggi yakni 79,894% dengan nilai kH kinetika

pelepasan orde Higuchi sebesar 0,8765 ppm/menit1/2. Nanokapsul

yang dihasilkan memiliki ukuran ±1000 nm serta memiliki daya

hambat yang lemah hingga kuat pada bakteri biakan.

Kata kunci: nanoenkapsulasi, 2-sitronelil benzimidazol, liposom,

homogenisasi, antibakteri

v

Nanoencapsulation 2-Citronellyl Benzimidazole with

Liposomes Coating and Its Activity Test as Antibacterial

Abstract

Nanoencapsulation is a process of mixing an active

substance into nano-sized inert material which can protect and

control the release kinetics of the active substance. This study

perfomed nanoencapsulation in 2-citronellyl benzimidazole with

a liposome coating. Liposomes was made from soy lechitin

using lipid film hydration method. The nanoencapsulation

process was carried out using a homogenizer and a variation of

the coating number to determine the highest encapsulation

efficiency. The encapsulation efficiency and the Higuchi order

release kinetics was determined by the UV-Vis

spectrophotometer, while the nanocapsule size characterization

using the Zetasizer nano ZS. The optimum nanocapsule product

was determined as antibacterial activity against Staphylococcus

aureus and EPEC (Enteropathogenic Escherchia coli) bacteria.

The 2.5 g coating variation provides the highest encapsulation

efficiency value of 79.894% with the kH value of Higuchi order

release kinetics of 0.8765 ppm/minutes1/2. The resulting

nanocapsule has a size of ±1000 nm and has a weak to strong

resistance in bacterial cultures.

Keywords: nanoencapsulation, 2-citronellyl benzimidazole,

liposome, homogenization, antibacterial

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas penuyertaan dan segala

karunia-Nya sehingga dapat terselesaikan penyusunan skripsi

dengan judul “Nanoenkapsulasi 2-Sitronelil Benzimidazol

Menggunakan Penyalut Liposom dan Uji Aktivitasnnya sebagai

Antibakteri”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat

kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) dalam

bidang Kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Brawijaya.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang

telah membantu baik secara langsung ataupun tidak langsung

sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Ucapat terimaksih tersebut penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Warsito, MS selaku Pembimbing I dan Dosen Penasehat

Akademik yang senantiasa membimbing dan memberikan

pengarahan serta telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk melakukan penelitian hingga penulisan tugas akhir ini

dapat terlaksana dengan baik.

2. Dr. Elvina Dhiaul Iftitah, S.Si., M.Si selaku Pembimbing II

yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis

dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Dosen penguji seminar proposal dan kemajuan (M. Farid

Rahman, S.Si, M.Si) serta dosen penguji ujian akhir skripsi

(Anna Safitri, S.Si., M.Sc., Ph.D) atas saran-saran yang

diberikan kepada penulis.

4. Masruri, S.Si, M.Si, Ph.D selaku Ketua jurusan Kimia Fakultas

MIPA Universitas Brawijaya dan segenap staff pengajar dan

karyawan/karyawati Jurusan Kimia Universitas Brawijaya atas

ilmu dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

5. Segenap staff dan karyawan/karyawati Institut Atsiri

Universitas Brawijaya atas bantuan yang telah diberikan kepada

penulis

6. Kedua orang tua, kakak, adik serta keluarga besar yang

senantiasa memberikan do’a serta dukungan baik moril maupun

materiil kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

vii

7. Rekan-rekan bidang minat Organik, Kimia angkatan 2014

khususya kelas A dan kakak tingkat Jurusan Kimia serta teman-

teman yang selalu membantu dan memberikan banyak informasi

serta dukungan kepada penulis.

8. Teman-teman SD, SMP dan SMA yang hingga saait ini senantiasa

menyediakan waktu, semangat dan berbagi ilmu dalam

penyelesaian skripsi ini.

9. Seluruh pihak laboratorium serta instansi terkait atas

terselesaikannya penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih

terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan

saran yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat dan memberikan tambahan wawasan baik bagi penulis

sendiri maupun pembaca.

Malang, 8 Juli 2018

Penulis,

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

HALAMAN PERNYATAAN iii

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI viii

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR TABEL. xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN xiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Batasan Masalah 2

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Bioaktivitas Senyawa Turunan Benzimidazol 5

1.2 Tipe-tipe nanoenkapsulasi 5

1.3 Liposom dari Lesitin Kedelai 7

1.4 Metode Pembuatan Liposom untuk Enkapsulasi 8

1.5 Nanoenkapsulasi dengan Penyalut Liposom 9

1.6 Nanoenkapsulasi Senyawa Turunan Benzimidazol 9

1.7 Kinetika Pelepasan Senyawa Aktif 10

1.8 Instrument Zetasizer Nano ZS 12

1.9 Metode Uji Aktivitas Antibakteri 12

1.10 Aktivitas Senyawa Turunan Benzimidazol sebagai Zat

Antibakteri 14

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 17

3.2 Alat Penelitian 17

3.3 Bahan Penelitian 17

3.4 Tahapan Penelitian 17

3.5 Prosedur Kerja 18

ix

3.5.1 Pemurnian Lesitin Kedelai 18

3.5.2 Nanoenkapsulasi 2-Sitronelil Benzimidazol 18

3.5.3 Penentuan Efisiensi Enkapsulasi 19

3.5.4 Penentuan Kinetika Pelepasan Senyawa 2-Sitronelil

Benzimidazol 19

3.5.5 Liofilisasi Nanokapsul 2-Sitronelil Benzimidazol 20

3.5.6 Karakterisasi Nanokapsul 2-Sitronelil Benzimidazol

dengan Zetasizer Nano ZS 20

3.5.7 Peremajaan dan Penginokulasian Bakteri 20

3.5.8 Pembuatan Suspensi Bakteri 21

3.5.9 Pembuatan Larutan Uji 2-Sitronelil Benzimidazol 21

3.5.10 Penentuan Zona Hambat dengan Metode Difusi

Sumuran 21

3.6 Analisis Data 22

3.6.1 Penentuan Efisiensi Enkapsulasi 22

3.6.2 Penentuan Kinetika Pelepasan Senyawa 2-Sitronelil

Benzimidazol 22

3.6.3 Uji Statistik pada Hasil Pengukuran Ukuran Nanoliposom

Tanpa Bahan Aktif dan Nanokapsul 2-Sitronelil

Benzimidazol 23

3.6.4 Analisis Data Aktivitas Antibakteri 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemurnian Lesitin Kedelai 25

4.2 Nanoenkapsulasi 2-Sitronelil Benzimidazol 26

4.3 Penentuan Efisiensi Enkapsulasi 29

4.4 Penentuan Kinetika Pelepasan Senyawa 2-Sitronelil

Benzimidazol 32

4.5 Pengukuran Ukuran Nanoliposom Tanpa Bahan Aktif dan

Nanokapsul 2-Sitronelil Benzimidazol 34

4.6 Uji Aktivitas Antibakteri 36

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan 39

5.2 Saran 39

DAFTAR PUSTAKA 40

LAMPIRAN 47

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Struktur senyawa benzimidazol [3,4] 5

Gambar 2.2: Gambaran skematik dari struktur liposom dan

kompartemennya [38] 7

Gambar 4.1: Struktur fosfatidilkolin dan gugus penyusunnya 25

Gambar 4.2: sifat hidrofobik dan hidrofilik dari liposom 25

Gambar 4.3: Struktur senyawa 2-sitronelil benzimidazol [3,4] 26

Gambar 4.4: Total Ionic Chromatogram (TIC) senyawa 2-sitronelil

benzimidazol 27

Gambar 4.5: Spektra massa senyawa 2-sitronelil benzimidazol 27

Gambar 4.6: (a) Posisi senyawa aktif dalam liposom (b) Posisi

senyawa aktif 2-sitronelil benzimidazol dalam liposom 29

Gambar 4.7: Spektra serapan 4 ppm 2-sitronelil benzimidazol dalam

pelarut campuran aseton dan metanol p.a 30

Gambar 4.8: Kurva kinetika pelepasan senyawa aktif 2-sitronelil

benzimidazol 33

Gambar 4.9: Grafik hubungan zona hambat pada bakteri S.aureus

dengan lama waktu pengadukan 37

Gambar 4.10: Grafik hubungan zona hambat pada bakteri EPEC

dengan lama waktu pengadukan 37

Gambar 4.11: (a) Zona hambat yang terbentuk pada sekitar sumuran

media biakan bakteri S. aureus (b) Zona hambat yang terbentuk

pada sekitar sumuran media biakan bakteri EPEC 38

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1: Persen rendemen pemurnian lesitin kedelai 26

Tabel 4.2: Tabulasi hasil identifikasi KG-MS senyawa 2-sitronelil

benzimidazol 28

Tabel 4.3: Data absorbasi dan konsentrasi supernatan yang

mengandung residu bahan aktif 2-sitronelil benzimidazol 31

Tabel 4.4: Data penentuan efisiensi enkapsulasi 2-sitronelil

benzimidazol 31

Tabel 4.5: Data absorbansi dan konsentrasi 2-sitronelil benzimidazol

yang terlepas dari nanokapsul B 33

Tabel 4.6: Data pengukuran nanoliposom tanpa bahan aktif 34

Tabel 4.7: Data pengukuran nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol

optimum 35

Tabel 4.8: Klasifikasi liposom berdasarkan struktur 36

Tabel 4.9: Data uji aktivitas antibakteri nanokapsul 2-sitronelil

benzimidazol pada bakteri biakan EPEC dan S.aureus 36

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Skema Kerja 47

A.1 Diagram Alir Penelitian 47

A.2 Pemurnian Lesitin Kedelai 48

A.3 Nanoenkapsulasi 2-Sitronelil Benzimidazol Menggunakan

Liposom 48

A.4 Penentuan Efisiensi Enkapsulasi 49

A.5 Kinetika Pelepasan Senyawa Aktif 2-Sitronelil

Benzimidazol 50

A.6 Liofilisasi Bahan yang Dienkapsulasi 50

A.7 Karakterisasi menggunakan Zetasizer Nano ZS 51

A.8 Peremajaan dan Penginokulasian Bakteri 51

A.9 Pembuatan Suspensi Bakteri 51

A.10 Pembuatan Larutan Uji 2-Sitronelil Benzimidazol 52

A.11 Penentuan Zona Hambat dengan Metode Difusi

Sumuran 52

Lampiran B. Perhitungan 53

B.1 Perhitungan Pembuatan Larutan Stok 100 ppm 2-Sitronelil

Benzimidazol 53

B.2 Pengenceran Larutan Stok 100 ppm 2-Sitronelil

Benzimidazol menjadi Larutan dengan Konsentrasi 20 ppm 53

B.3 Pengenceran Larutan Stok 20 ppm 2-Sitronelil

Benzimidazol menjadi Larutan dengan Konsentrasi 12, 10, 8, 6,

4 dan 2 ppm 53

B.4 Perhitungan Persen Rendemen Pemurnian

Fosfatidilkolin 54

B.5 Penentuan Efisiensi Enkapsulasi 54

B.5.1 Perhitungan Konsentrasi Awal 2-Sitronelil

Benzimidazol 54

B.5.2 Perhitungan Konsentrasi Supernatan yang Mengandung

Residu 2-Sitronelil Benzimidazol 54

B.5.3 Perhitungan Konsentrasi Rata-rata Dikalikan dengan

Faktor Pengenceran 55

B.5.4 Perhitungan Efisiensi Enkapsulasi 55

B.6 Penentuan Kinetika Pelepasan Senyawa Aktif 2-Sitronelil

Benzimidazol 56

xiii

B.6.1 Perhitungan Konsentrasi Awal 1 mL nanokapsul 2-Stronelil

Benzimidazol 56

B.6.2 Perhitungan Konsentrasi yang terukur 56

B.6.3 Perhitungan Konstanta Kinetika Pelepasan Orde Higuchi 57

B.7 Perhitungan Jumlah Bakteri 58

B.8 Perhitungan Diameter Zona Hambat 58

Lampiran C. Data Efisiensi Enkapsulasi 59

C.1 Kurva Baku 2-Sitronelil Benzimidazol 59

Lampiran D. Fragmentasi 59

D.1 Fragmentasi 2-Sitronelil Benzimidazol 60

Lampiran E. Data Hasil Pengukuran Ukuran Nanokapsul dengan

Menggunakan Zetasizer Nano ZS 60

E.1 Histogram Nanoliposom Tanpa Bahan Aktif 60

E.2 Histogram Nanokapsul n2-Sitronelil Benzimidazol Optimum

(B) 62

Lampiran F. Data Hasil Uji Statistik Tukey Test Dengan α=0,05 63

Lampiran G. Mikrograp Bakteri Biakan Menggunakan

Mikroskop 64

G.1 Mikrograp Bakteri Biakan EPEC 64

G.2 Mikrograp Bakteri Biakan S.aureus 64

Lampiran H. Dokumentasi Kegiatan 64

H.1 Pemurnian Lesitin Kedelai 64

H.2 Nanoenkapsulasi 2-Sitronelil Benzimidazol 65

H.3 Uji Aktivitas Antibakteri 66

xiv

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

Simbol/singkatan Keterangan

p.a Pro-analysis

mm milimeter

nm nanometer

rpm Revolution per minute

± Kurang lebih

- hingga

% persen

mL milliliter

pH Potensial hidrogen

g Gram

°C Derajat selsius

mg milligram

ppm Part per million

UV-Vis Ultraviolet-Visible

KG-SM Kromatografi gas-spektromtri

massa

λmax Panjang gelombang maksimum

pa paskal

KH Konstanta orde Higuchi

CFU Jumlah koloni bakteri

µL mikroliter

Ʃ jumlah

α alfa

EE Efisiensi enkapsulasi

L liter

V volume

M konsentrasi

Abs absorbansi

m/z Massa per rasio muatan

TIC

Total ionic chromatogram

Akar

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Resistensi bakteri pada obat mikroba merupakan salah satu

masalah yang cukup serius, terutama karena semakin meningkatnya

jumlah strain resisten terhadap beberapa agen antimikroba [1]. Selama

bertahun-tahun mikroorganisme telah berkembang dan

mengembangkan resistensisnya terhadap antibiotik yang ada [2]. Oleh

sebab itu, perlu dikembangkan obat baru yang memiliki mekanisme

kerja yang berbeda dari obat-obat yang ada sebelumnya. Akan tetapi,

untuk pengembangan hal semacam ini memiliki berbagai kendala,

seperti biaya yang tinggi, lama waktu yang dibutuhkan, peralatan yang

kurang memadahi dan sebagainya. Obat antimikroba telah

dikembangkan sejak akhir 1980 dan banyak penelitian yang hanya

berfokus pada modifikasi obat kimia yang ada untuk meningkatkan

potensi atau kemampuan mereka terhadap mekanisme resistensi

antibiotik [1].

Senyawa yang mengandung benzimidazol dalam motif struktural

telah banyak digunakan dalam kimia obat dan pengembangan obat.

Senyawa-senyawa tersebut pada umumnya memiliki berbagai

aktivitas medis dan biologi, seperti antitumor, antibakteri, antijamur,

antiviral, antikonvulsan, antidepresan, analgesik, antiinflamasi dan

sifat antidiabetes [1]. Minyak atsiri dari tanaman dapat menjadi

sumber senyawa bioaktif unik yang mampu mengatasi masalah

meningkatnya resistensi obat dari mikroorganisme patogen yang

mengancam eksistensi manusia [2]. Senyawa turunan benzimidazol

dapat disintesis dari minyak atsiri daun jeruk purut. Daun jeruk purut

mengandung senyawa minyak atsiri sitronellal dimana senyawa

tersebut apabila direaksikan dengan 1,2-fenilendiamin akan

menghasilkan senyawa 2-sitronelil benzimidazol [3]. Senyawa

turunan benzimidazol hasil sintesis tersebut memiliki aktivitas sebagai

antibakteri terhadap beberapa bakteri seperti Enteropathogenic

Escherichia coli (EPEC), Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi

[3,4]. Diameter zona hambat dari senyawa 2-sitronelil benzamidazol

pada ketiga mikroorganisme tersebut berkisar antara 10-20 mm,

dimana kisaran tersebut masih dalam kriteria kuat sebagai antibakteri

[4].

2

Aplikasi nanopartikel telah mulai dikembangkan beberapa tahun

terakhir. Dalam bidang kesehatan, nanopartikel dapat diaplikasikan

sebagai pembawa obat atau dapat disebut sebagai nanokarrier. Salah

satu contohnya adalah proses nanoenkapsulasi [5]. Nanoenkapsulasi

merupakan proses memasukkan suatu zat aktif dalam bahan inert

berukuran nano yang dapat melindungi dan mengontrol kinetika

pelepasan zat aktif tersebut [8,9]. Ada beberapa tipe dari

nanoenkapsulasi, salah satunya adalah nanoliposom [6]. Liposom

dapat diperoleh melalui sintesis. Sintesis liposom dapat dilakukan

dengan beberapa metode, diantaranya metode membran polikarbonat,

metode homogenisasi tekanan tinggi, motode penguapan fasa terbalik,

metode sonikasi, dan metode ekstrusi sonikasi hidrasi film lipid [7].

Berdasarkan uraian diatas, menarik untuk dikaji kinetika

pelepasan 2-sitronelil benzimidazol dari nanokapsul berbahan liposom

dan sejauh mana nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol tersebut dapat

menghambat pertumbuhan bakteri.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang

dapat diambil adalah:

1. Bagaimana karakteristik dari nanokapsul 2-sitronelil

benzimidazol menggunakan liposom sebagai penyalut?

2. Bagaimana efisiensi serta kinetika pelepasan senyawa 2-

sitronelil benzimidazol dari nanokapsul berbahan liposom?

3. Bagaimana aktivitas antibakteri dari nanokapsul 2-sitronelil

benzimidazol pada bakteri EPEC dan S. aureus?

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka batasan masalah yang

dapat diambil adalah:

1. Sampel 2-sitronelil benzimidazol yang digunakan

merupakan hasil sintesis sitronelal dengan 1,2-fenilendiamin

yang diperoleh dari Institut Atsiri Universitas Brawijaya

Malang.

2. Pelarut yang digunakan dalam pemurnian lesitin kedelai

adalah etil asetat pro-analysis dan aseton hasil redistilasi.

3. Pelarut yang digunakan dalam proses pembuatan liposom

adalah kloroform pro-analysis.

3

4. Pembuatan liposom menggunakan metode ekstruksi hidrasi

film lipid.

5. Proses homogenisasi menggunakan instrument Ultra-Turrax

T25 merk IKA dengan dispersing element type S 25 N - 25

G pada kecepatan 9500 rpm.

6. Penentuan kinetika pelepasan senyawa 2-sitronelil

benzimidazol menggunakan campuran larutan yang diambil

pada menit ke 15, 30, 45, dan 60 menit.

7. Uji aktivitas antibakteri yang dilakukan hanya menggunakan

metode difusi sumuran.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk:

1. Mengetahui karakteristik serta efisiensi dari nanokapsul 2-

sitronelil benzimidazol yang menggunakan liposom sebagai

penyalut

2. Menentukan kinetika pelepasan senyawa 2-sitronelil

benzimidazol dari nanokapsul berbahan liposom.

3. Mengetahui aktivitas nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol

dalam menghambat pertumbuhan bakteri EPEC dan S. aureus

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari dilakukannya penilitian ini, diantaranya:

1. Dapat meningkatkan nilai ekonomis senyawa hasil sintesis

dari sitronelal.

2. Dapat memperoleh teknik pengemasan senyawa hasil sintesis

sebagai model pengaplikasian untuk senyawa lain yang low

cost.

3. Dapat digunakan sebagai dasar meningkatkan bioavailibilitas

suatu senyawa yang berpotensi sebagai obat.

4

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioaktivitas Senyawa Turunan Benzimidazol

Senyawa turunan benzimidazol telah banyak digunakan sebagai

obat serta pengembangan obat. Selain itu, senyawa turunan

benzimidazol juga sering digunakan sebagai bahan penelitian untuk

mencari kegunaan serta penerapan dari gugus heterosiklik senyawa

tersebut [1,3]. Senyawa turunan benzimidazol memiliki banyak

aktivitas medis dan biologi, seperti antibakteri [1,20,21], antitumor,

anti-tuberkulosis [22], antijamur, antidrepesan, antiviral,

antikolvusan, anti-inflamasi [1,21], analgesik [1,21] serta sifat

antidiabetes [1].

Senyawa turunan benzimidazol seperti kambendanzol,

parbendazol, albendanzol dan flubendazol secara luas digunakan

sebagai obat anti-cacing. Dua senyawa turunan benzimidazol, turunan

5,6-dinitro dan 2-triflurometil dikenal sebagai obat antihelmint [1].

Senyawa 3-nitrobenzimidazol menunjukkan aktivitas sebagai

antijamur yang cukup baik [3]. Selain itu, senyawa 2-sitronelil

benzimidazol hasil sintesis sitronelal dengan 1,2-fenilendiamin telah

diketahui aktivitasnya sebagai antibakteri dengan zona hambat

berkisar antara 10-20 mm [3,4,19]. Berikut adalah struktur dari

senyawa benzimidazol [3,4]:

Gambar 2.1: Struktur senyawa benzimidazol [3,4]

2.2 Tipe-tipe Nanoenkapsulasi

Enkapsulasi merupakan proses memasukkan suatu zat dalam

bahan inert yang dapat melindungi dan mengontrol kinetika pelepasan

zat tersebut [12,26]. Nanoenkapsulasi merupakan teknologi baru

dimana ukuran dari produk yang dihasilkan adalah skala nano

[5,12,16,26]. Enkapsulasi suatu senyawa bioaktif dengan skala nano

6

telah banyak dikembangkan untuk mengatasi masalah, seperti lambat

dan rendahnya serapan, ketidakstabilan senyawa bioaktif dan

sebagainya [13,14]. Penerapan metode enkapsulasi dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor, seperti sifat fisik dan kimia dari senyawa inti dan

dinding kapsul, penerapan produk akhir yang diinginkan, mekanisme

pelepasan, skala produksi dan juga biaya produksi [8]. Berdasarkan

bahan dan cara pembuatannya, metode nanoenkapsulasi memiliki

beberapa tipe, diantaranya [6]:

1. Nanoemulsi

Nanoemulsi merupakan suatu system koloid yang stabil dalam

ukuran (≥ 100 nm) yang dibentuk dengan cara mendispersikan satu

cairan ke cairan yang lain. Pengemulsi ditambahkan untuk

mencampurkan cairan yang tidak saling campur. Nanoemulsi dapat

dipersiapkan dengan menggunakan dua metode, yaitu metode energi

tinggi, meliputi homogenisasi tekanan tinggi, mikrofluidisasi, dan

ultrasonikasi serta metode energy rendah atau difusi pelarut [6].

2. Nanopartikel

Terdapat tiga jenis nanopartikel, diantaranya [6]:

a. Nanosfer

Nanosfer merupakan suatu matriks polimer dimana suatu senyawa

aktif dapat diserap dalam permukaan sfer atau dienkapsulasi dalam

partikel [6].

b. Nanokapsul

Nanokapsul merupakan system veskular dimana bagian yang aktif

hanya terbatas pada cairan dalam inti [6].

c. Nanopartikel lemak padat

Nanopartikel lemak padat merupakan partikel yang terdiri dari

matriks kulit lemak padat. Nanopartikel lemak padat tidak

membutuhkan pelarut organik untuk persiapan dan pemaparannya.

Selain itu, nanopartikel lemak padat juga memiliki efisiensi

enkapsulasi yang lebih tinggi serta kinetika pelepasan yang lebih lama.

Metode yang digunakan dalam pembuatan nanopartikel lemak padat

adalah homogenisasi panas dan dingin [6].

3. Nanoliposom

Nanoliposom merupakan struktur inti dari nanometrik dimana

hidrokarbon dari fosfolipid dikaitkan menjadi suatu bilayer dan bagian

yang bersifat polar diarahkan ke fasa berair dari media dalam dan luar

[6].

7

4. Nanofiber

Nanofiber merupakan struktur ultrathin dengan diameter dibawah

100 nm. Sebagian besar nanofiber diproduksi dengan menggunakan

electrospinning, dimana proses tersebut menghasilkan serat polimer

kontinyu melalui aksi medan listrik eksternal yang dikenakan pada

larutan polimer atau lelehan.

2.3 Liposom dari Lesitin Kedelai

Liposom merupakan gelembung kecil (vesikel) yang terdiri dari

single ataupun banyak lapisan vesikel yang melibatkan fasa air untuk

menjadi membrane fosfolipid. Vesikel terbentuk secara spontan ketika

fosfolipid terdispersi dalam media berair [8,37,38].gambaran skematik

dari struktur liposom dan kompartemennya dapat dilihat pada

(Gambar 2.2)[38]. Liposom dapat dihasilkan dari sumber alami

seperti telur, beras, kedelai ataupun susu yang mengandung fosfolipid

dengan aktivitas biologis [6]. Obat-obatan seperti obat kanker dapat

dimasukkan didalam liposom untuk mempermudah obat tersebut

diteruskan pada sumber penyakit [37].

Gambar 2.2: Gambaran skematik dari struktur liposom [38]

Lesitin terdiri dari glikolipid, trigliserida dan fosfolipid. Contoh

dari campuran tersebut adalah fosfatidilkolin, fosfatidiletanoamin dan

kepala hidrofilik

ekor hidrofobik

Struktur fosfolipid secara umum Formasi bilayer dalam air

Struktur liposom

8

fosfatidilinositol [29]. Lesitin dapat diperoleh dari telur, biji kedelai

maupun beras dan pada umumnya digunakan sebagai pengemulsi atau

pelumas dalam berbagai industri makanan ataupun farmasi [24].

Bahan yang paling banyak digunakan dalam penelitian formulasi

liposom adalah fosfatidilkolin dari lesitin kedelai karena memiliki

tingkat stabilitas yang tinggi terhadap variasi pH ataupun konsentrasi

media garam [8].

2.4 Metode Pembuatan Liposom untuk Enkapsulasi

Sintesis liposom dapat dilakukan dengan beberapa metode,

diantaranya [7]:

1. Metode ekstrusi membran polikarbonat

Lipid dilarutkan dalam kloroform kemudian dikeringkan hingga

membentuk film tipis. Film lipid kering tersebut kemudian

ditambahkan larutan buffer yang mengandung senyawa aktif dan

disonikasi beberapa saat agar terbentuk liposom yang menyalut

senyawa aktif. Larutan kemudian difreeze dryer dan diekstrusi

sebanyak 10 kali hingga ukuran pori dari polikarbonat sebesar 100 nm

untuk membentuk liposom. Dengan menggunakan metode ini, maka

akan dihasilkan liposom yang berukuran seragam [7].

2. Homogenisasi tekanan tinggi

Lipid dilarutkan dalam pelarut organik untuk mendapatkan

campuran yang homogen. Untuk mengeringkan campuran maka dapat

dilakukan dengan cara memberikan shock freezing dalam nitrogen cair

dan difreeze dryer. Lipid hasil freeze dryer kemudian dilarutkan dalam

PBS (phosphate buffer saline) dan diberikan homogenisasi tekanan

tinggi untuk membentuk liposom [7].

3. Metode evaporasi fase terbalik

Lipid yang dilarutkan dalam campuran kloroform dan metanol

dikeringkan menjadi film tipis. Film lipid kering kemudian dilarutkan

dalam dietil eter fasa air dan disonikasi untuk membentuk emulsi

minyak yang homogen dalam air (o/w). Pelarut organik selanjutnya

diuapkan dibawah vakum [7].

4. Metode sonikasi

Lipid dilarutkan dalam kloroform kemudian dikeringkan menjadi

film tipis. Film lipid kering kemudian dilarutkan dalam buffer tris-

HCl. Vesikula multilammelar yang terbentuk kemudian disonikasi

untuk menghasilkan vesikula unilammelar [7].

9

5. Metode hidrasi ekstrusi film lipid

Lipid dilarutkan dalam pelarut organik kemudian dikeringkan

hingga membentuk film tipis. Film lipid kering kemudian dihidrasi

dengan ammonium sulfat, disonikasi dan diekstrusi secara berurutan

melalui membrane polikarbonat hingga didapatkan ukuran pori yang

diinginkan [7].

2.5 Nanoenkapsulasi dengan Penyalut Liposom

Liposom dapat digunakan sebagai bahan enkapsulasi karena

memiliki fasa lipid dan fasa berair [8]. Beberapa contoh penggunaan

liposom sebagai bahan nanoenkapsulasi adalah nanoenkapsulasi

cyanobacterium Spirulina platensis dimana ukuran nanokapsul yang

dihasilkan berkisar antara 280-300 nm dan efisiensi enkapsulasi

berkisar antara 80-90% [8]. Nanoenkapsulasi paclitaxel menggunakan

liposom menghasilkan ukuran nanopartikel sebesar 131 nm dan

efisiensi enkapsulasi berkisar 95% [23].

Nanoenkapsulasi gedunin dengan menggunakan liposom

menghasilkan nanokapsul yang berukuran 394,1±89,4 nm dengan

efisiensi enkapsulasinya sebesar 86,82% [39]. Sedangkan Singh [40]

melaporkan bahwa nanoenkapsulasi doxorubicin dan celexocib

menggunakan liposom menghasilkan ukuran liposom kosong sebesar

80,61 ± 2,9 nm, liposom yang berisi doxorubicin berukuran 87,66 ±3,4

nm, liposom yang berisi celexocib berukuran 86,34±4,5 nm dan

liposom yang berisi campuran doxorubicin dan celexocib berukuran

88,81±2,1 nm. Aisha, dkk [41] juga melaporkan bahwa

nanoenkapsulasi menggunakan penyalut liposom pada ekstrak

etanolik Orthosiphon stamineus menghasilkan efisiensi enkapsulasi

sebesar 66,2±0,9% dengan ukuran partikel sebesar 152,5±1,1 nm.

2.6 Nanoenkapsulasi Senyawa Turunan Benzimidazol

Nanoenkapsulasi senyawa turunan benzimidazol telah

dikembangkan beberapa tahun terakhir. Trembley, dkk [25]

melaporkan nanoenkapsulasi 2-dimetilamino-4,5,6,7-tetrabromo- 1H-

benzimidazol (DMAT) menggunakan cangkang protein yang terdiri

dari tenfibgen (TBG) menghasilkan nanokapsul berukuran kurang dari

50 nm [25]. Contoh lain dari nanoenkapsulasi senyawa turunan

benzimidazol adalah nanoenkapsulasi senyawa 4-(1H-

benzo[d]imidazol-2-il)-6-fenilpirimidin-2-amin dengan bahan kitosan

10

menghasilkan nanokapsul yang berukuran ± 220 nm, efisiensi

enkapsulasi sebesar 69.2% dan kinetika pelepasan obat sebesar 98.3%

pada 24 jam [9].

Nanokapsul TBG-DMAT maupun nanokapsul 4-(1H-

benzo[d]imidazol-2-il)-6-fenilpirimidin-2-amin memiliki aktivitas

sebagai anti-kanker [9,25]. Nanokapsul TBG-DMAG dapat

menghambat aktivitas sel proliferasi dan sel CK2 lebih dari 90%.

Selain itu, penggunaan nanokapsul TBG-DMAT sebagai obat kanker

spesifik menuju sel kanker dan tidak mengganggu atau merusak sel

jinak [25]. Rajendran, dkk [9] melaporkan bahwa berdasarkan studi

sitotoksisitas secara in vitro nanokapsul 4-(1H-benzo[d]imidazol-2-

il)-6-fenilpirimidin-2-amin dengan penyalut kitosan merupakan salah

satu obat hidrofilik yang potensial untuk mengobati kanker kolorektal.

2.7 Kinetika Pelepasan Senyawa Aktif

Laju pelepasan senyawa aktif dan model pelepasannya dapat

digambarkan dengan menentukan kinetika pelepasan senyawa aktif.

Laju pelepasan senyawa aktif dapat diamati menggunakan parameter

waktu paruh (t1/2), tetapan laju maupun dengan orde reaksi. Ada lima

orde dalam kinetika pelepasan obat, diantaranya [11,31]:

1. Kinetika pelepasan senyawa aktif orde nol

Pelepasan senyawa aktif pada sistem ordo nol kecepatan yang

terjadi adalah konstan. Selain itu, peningkatan konsentrasi senyawa

aktif berbanding lurus dengan waktu. Persamaan pada kinetika

pelepasan senyawa aktif orde nol adalah [11,32]:

C = Co + kot (2.1)

Dimana, C merupakan konsentrasi senyawa aktif pada waktu t

(ppm), Co merupakan konsentrasi senyawa aktif awal, ko merupakan

tetapan orde nol (ppm/jam) dan t adalah waktu (jam). Kinetika

pelepasan senyawa aktif orde nol dapat diperoleh dengan memplotkan

persen komulatif pelepasan obat terhadap waktu sehingga didapatkan

garis lurus [11,33].

2. Kinetika pelepasan senyawa aktif orde satu

Pelepasan senyawa aktif pada orde satu kecepatannya bergantung

pada konsentrasi senyawa aktif. Konsentrasi senyawa aktif yang

tersisa pada waktu tertentu sebanding dengan kecepatannya [11].

Persamaan dari kinetika pelepasan senyawa aktif orde satu adalah

[11,34]:

11

log 𝐶 = log 𝐶𝑜 + (𝑘

2.303) . 𝑡 (2.2)

Dimana, C adalah konsentrasi senyawa aktif pada waktu tertentu

(ppm), Co adalah konsentrasi awal senyawa aktif (ppm), k merupakan

tetapan orde satu dan t adalah waktu (menit). Untuk memperoleh

kinetika pelepasan senyawa aktif orde satu maka dapat dilakukan

dengan memplotkan logaritma persen komulatif dari senyawa aktif

yang tersisa terhadap waktu yang akan dihasilkan garis lurus terhadap

–k/2.303 [11].

3. Kinetika pelepasan senyawa aktif orde Higuchi

Sistem pelepasan senyawa aktif orde Higuchi pada umumnya

digunakan untuk matriks yang tidak larut. Persamaan dari sistem ini

adalah [11]:

Qt = kH√t (2.3)

Dimana, Qt merupakan jumlah senyawa aktif (ppm), kH

merupakan tetapan orde higuchi (ppm/jam1/2) dan t adalah waktu

(jam). Untuk mendapatkan kinetika pelepasan senyawa aktif orde

Higuchi dapat dilakukan dengaan memplotkan persen komulatif

pelepasan senyawa aktif terhadap akar waktu sehingga akan di peroleh

garis lurus [11].

4. Kinetika pelepasan senyawa aktif orde Hixson-Crowell

Kinetika pelepasan senyawa aktif orde Hixson-Crowell memiliki

luas permukaan partikel yang sebanding dengan akar kubik volume.

Persamaan dari kinetika pelepasan senyawa aktif orde Hixson-Crowell

adalah sebagai berikut [35]:

√𝑄𝑜 − 𝑄𝑡3 = 𝐾𝑠. 𝑡 (2.4)

Dimana, Qo merupakan jumlah awal senyawa aktif, Qt jumlah

sisa senyawa aktif pada waktu t, Ks merupakan konstanta yang

menggabungkan hubungan volume permukaan. Untuk mendapatkan

kinetika senyawa aktif orde Hixson-Crowell dapat dikakukan dengan

memplotkan akar pangkat tiga fraksi senyawa aktif yang tersisa

terhadap waktu sehingga akan didapatkan garis lurus [35].

5. Kinetika pelepasan senyawa aktif orde Korsemeyer-Peppas

Kinetika pelepasan senyawa aktif orde Korsemeyer-Peppas

merupakan hubungan yang menggambarkan senyawa aktif dari sistem

polimer. Persamaan dari orde ini adalah sebagai berikut [36]: 𝑄𝑡

𝑄𝑜= 𝑘 . tn (2.5)

12

Dimana, Qt/Qo merupakan fraksi senyawa aktif yang dilepaskan

pada waktu t, k merupakan konstanta kinetik yang dilengkapi

dengan sistem penyampaian karakteristik struktural dan

geometris, n merupakan eksponen difusi yang menunjukkan

transportasi senyawa aktif melalui polimer. Untuk mendapatkan

kinetika senyawa aktif orde Korsemeyen-Peppas dapat dilakukan

dengan memplotkan log presentase komulatif pelepasan senyawa

aktif terhadap log waktu [36].

2.8 Instrument Zetasizer Nano ZS

Zetasizer nano merupakan salah satu instrument yang dapat

digunakan untuk menentukan ukuran partikel, zeta potensial, berat

molekul, mobilitas protein dan juga pengukuran mikrorheologi.

Ukuran partikel dapat ditentukan dengan menggunakan hamburan

cahaya dinamis (Dynamic Light Scattering). Rentang ukuran yang

dapat dianalisis adalah 0,3 nm hingga 10 µm. sampel yang dapat

diukur merupakan sampel basah dimana sampel tersebut dapat

dilarutkan dengan beberapa pelarut seperti air ataupun alkohol [48].

Penggunaan Zetasizer nano dalam karakterisasi ukuran partikel

diantaranya adalah pengukuran nanopartikel emas menghasilkan

ukuran 61,98 nm hingga 607,5 nm [49]. Contoh lainnya adalah

karakterisasi ukuran partikel dan zeta potenzial nanokapsul ketorolac

tromethamine menghasilkan ukuran yang bervariasi yakni dari 20,5

nm hingga 221 nm. Sedangkan zeta potensial yang dihasilkan juga

bervariasi yakni dari -7,6 mV hingga 4 Mv [50].

2.9 Metode Uji Aktivitas Antibakteri

Pengujian kerentanan antimikroba dapat digunakan untuk

penemuan obat, epidemiologi dan juga prediksi hasuk terapi. Secara

in vitro metode pengujian antimikroba dari tanaman atau agen yang

berpotensi sebagai antimikroba adalah sebagai berikut [42]:

1. Metode difusi

a. Metode agar disk-diffusion, media agar diinokulasi dengan

inoculum standar dari mikroorganisme uji. Kemudian, kertas saring

cakram (diameter 6 mm), yang mengandung senyawa uji dengan

konssentrasi tertentu ditempatkan pada permukaan agar. Cawan petri

diinkubasi pada kondisi yang sesuai. Umumnya agen antimikroba

akan berdifusi ke dalam agar dan menghambat pertumbuhan

13

mikroorganisme uji dan diameter zona hambat kemudian diukur.

Metode ini kurang sesuai apabila digunakan untuk menentukan nilai

MIC karena jumlah agen antimikroba yang disebarkan pada media

agar sulit untuk ditentukan [42].

b. Metode gradient antimikroba (Etest), metode ini

menggabungkan prinsip metode pengenceran dengan metode difusi

untuk menentukan nilai MIC. Hal tersebut berdasarkan pada

kemungkinan diciptakannya sebuah gradient konsentrasi dari agen

antimikroba yang diuji dalam media agar. Dengan prosedur ini, strip

diisi dengan gradient konsentrasi yang semakin meningkat dari agen

antimikroba dari satu ujung ke ujung yang lain dan disimpan pada

permukaan agar yang sebelumnya sudah diinokulasi dengan

mikroorganisme yang diuji. MIC dari uji ini dapat ditentukan pada

persimpangan strip dan elipse penghambatan pertumbuhan bakteri

[42].

c. Metode agar well diffusion¸ secara luas digunakan untuk

mengevaluasi aktivitas antimikroba tanaman atau ekstrak mikroba.

Permukaan media agar diinokulasi dengan menyebarkan volume

inoculum mikroba ke seluruh permukaan agar. Kemudian dibuat

sumuran dengan diameter 6-8 mm dengan menggunakan cork bore

steril dan diisi dengan 20-100 µl agen antimikroba atau larutan ekstrak

dengan konsentrasi tertentu. Cawan petri kemudian diinkubasi pada

kondisi tertentu. Agen antimikroba akan berdifusi dan menghambat

pertumbuhan mikroba yang diuji [42].

2. Kromatografi lapis tipis (KLT)-bioautografi

a. Metode difusi agar, merupakan salah satu teknik yang paling

sedikit digunakan. Metode ini melibatkan transfer dengan agen

antimikroba yang terdifusi dari kromatogram ke media agar yang

sebelumnya telah diinokulasi dengan mikroorganisme yang diuji.

Setelah beberapa menit atau jam untuk memungkinkan terjadinya

difusi, kromatogram dipisahkan dan media agar diinkubasi. Zona

hambat muncul pada tempat-tempat dimana senyawa antimikroba

terjadi kontak dengan lapisan agar [42].

b. Metode bioautografi langsung, plat KLT dicelupkan atau

disemprot dengan suspense mikroba yang telah dikembangkan,

kemudian bioautogram diinkubasi pada 25°C selama 48 jam dalam

kondisi lembab. Reagen deteksi yang paling sesuai adalah p-

iodonitrotetrazolium violet. Setelah reagen disemprotkan pada

14

bioautogram, maka bioautogram kembali diinkubasi selama 24 jam

pada 25°C atau 3-4 jam pada 37°C [42].

c. Metode bioautografi perendaman, cawan KLT dilapisi

dengan media agar yang masih cair. Untuk mendapatkan hasil difusi

yang baik dari senyawa yang diuji dalam media cair, cawan dapat

ditempatkan pada posisi suhu rendah selama beberapa jam sebelum

diinkubasi. Setelah diinkubali, pewarnaan dapat dilakukan dengan

menggunakan pewarna tetrazolium. Metode ini tidak sensitive

terhadap kontaminasi [42].

3. Metode dilusi

a. Metode dilusi broth, metode ini melibatkan dua kali lipat

pengenceran dari agen antimikroba dalam media cair dengan volume

minimum 2 mL (dilusi makro) atau dengan volume yang lebih kecil

menggunakan cawan mikrotitrasi. Setiap tabung atau sumur

diinokulasi dengan mikroba. Inoculum disiapkan dalam media yang

sama setelah pengenceran suspense mikroba standar sesuai dengan 0,5

skama McFarland [42].

b. Metode dilusi agar, melibatkan penggabungan variasi

konsentrasi dari agen antimikroba dalam media agar cair, diikuti

dengan inokulasi dari inoculum mikroba yang diberikan pada

permukaan media agar. Titik akhir MIC dicatat sebagai konsentrasi

agen antimikroba terendah yang sepenuhnya menghambat

pertumbuhan mikroba dibawah kondisi inkubasi yang sesuai [42].

2.10 Aktivitas Senyawa Turunan Benzimidazol sebagai Zat

Antibakteri

Selama bertahun-tahun mikroorganisme terus berkembang

sehingga resistensinya terhadap obat antimikroba atau antibiotik yang

ada pun semakin meningkat [2]. Resistensi antibiotik merupakan suatu

tantangan yang besar bagi kesehatan manusia dan hewan. Resistensi

tersebut semakin sering ditemukan pada patogen yang diisolasi dari

makanan [27]. Penghambatan pertumbuhan suatu mikroba dapat

dilakukan dengan pengendalian lingkungan melalui penambahan

suatu senyawa kimia yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri

(bakterisida atau fungisida) [15].

Alasmary, dkk [1] melaporkan bahwa aktivatas senyawa turunan

benzimidazol sebagai antibakteri bergantung pada substituen yang

berikatan dengan bisiklik maupun heterosiklik dari senyawa turunan

15

tersebut. Senyawa turunan (S)-2-etanaminbenzimidazol, 2-

(klorometil)-1H-benzo[d]imidazole dan (1H-benzo[d]imidazole-2-il)

metanatiol diketahui memiliki aktivitas sebagai zat antibakteri pada

bakteri S. aureus dimana tingkat MICnya sebanding dengan obat

ciprofloxacin. Selain itu, ketiga senyawa turunan tersebut juga

memiliki aktivitas sebagai antijamur dengan tingkat MIC yang

sebanding dengan obat amfoterisin B. Aktivitas antimikroba dari

senyawa turunan benzimidazol juga dilaporkan oleh Dey, dkk [28].

Beberapa senyawa turunan 2-substitusi-5-nitrobenzimidazol yang

berhasil disintesis menunjukkan aktivitasnya baik pada bakteri gram

positif (S. aureus dan B. subtil) maupun gram negatif (E. coli dan S.

typhi) yang sebanding dengan obat amfisilin dan asam nalidiksat [28].

Senyawa turunan benzimidazol lainnya yang berhasil disintesis juga

memiliki aktivitas antibakteri yang cukup baik pada bakteri gram

positif dan gram negatif lainnya [18,21].

Senyawa 2-sitronelil benzimidazol merupakan senyawa turunan

benzimidazol yang disintesis dari sitronelal yang berasal dari minyak

jeruk purut dengan 1,2-difenilamina [3,4]. Kankeaw dan Rawanna [3]

melaporkan bahwa senyawa 2-sitronelil memiliki aktivitas sebagai

bahan aktif antibakteri terhadap bakteri S. aureus dengan zona hambat

sebesar 19.5 mm, sedangkan pada bakteri E.coli senyawa 2-sitronelil

benzimidazol memiliki zona hambat sebesar 15.3 mm. Azhar [4], juga

melaporkan bahwa senyawa 2-sitronelil benzimidazol memiliki

aktivitas sebagai bahan aktif antibakteri terhadap bakteri EPEC, S.

aureus dan S. typhi dengan zona hambat berkisar antara 10-16.7 mm.

16

17

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama bulan Februari hingga Juli 2018 di

Laboratorium Kimia Organik, Laboratorium Instrumen Jurusan

Kimia, Laboratorium Institut Atsiri dan Laboratorium Mikrobiologi

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Brawijaya.

3.2 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat

gelas, kertas saring, penyaring vakum, oven, desikator, pengaduk

magnetic, labu alas bulat, bola hisap, mikro pipet, pipet ukur 5 mL,

gelas arloji, motorotary, rotary evaporator, hot plat, homogenizer

ultra-turrax T25 IKA dengan dispersing element type S 25 N - 25 G,

freeze dryer, spatula besi, botol vial, botol sampel kaca, penggaris,

kertas label, aluminium foil, cawan petri, tabung reaksi, botol semprot,

botol jem, coke bore, mikrocup, inkubator, bluetip, jarum ose,

spreader, haentoli counter, haemacytometer, mikroskop

Olympus,kapas, tissue, neraca analitik Ohaus Precision Advanced,

Spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 1601 series dan Zetasizer nano

ZS.

3.3 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya, sampel

2-sitronelil benzimidazol hasil sintesis sitronelal dengan 1,2-

fenilendiamin Institut Atsiri Universitas Brawijaya, lesitin kedelai, etil

asetat pro-analysis, akuades, aseton, kloroform pro-analysis, etanol,

methanol, bakteri biakan S. aureus dan EPEC, nutrient agar, nutrient

broth, dan buffer fosfat pH 6.

3.4 Tahapan Penelitian

1. Pemurnian lesitin kedelai.

2. Pembuatan nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol.

3. Penentuan efisiensi enkapsulasi.

4. Penentuan kinetika pelepasan senyawa 2-sitronelil

benzimidazol dari nanokapsul.

18

5. Karakterisasi nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol.

6. Uji aktivitas antibakteri.

7. Analisis data.

3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Pemurnian lesitin kedelai

Pemurnian lesitin kedelai dilakukan menurut Macadho, dkk [8].

Sebanyak 10 g lesitin kedelai dilarutkan dalam 50 mL etil asetat p.a.

Sambil diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik

ditambahkan 2 mL akuades hingga terbentuk dua fasa. Supernatan

dipisahkan kemudian fasa bawah yang berbentuk gel didispersikan

dalam 30 mL aseton p.a hingga terbentuk aglomerat. Aglomerat yang

terbentuk dihaluskan dengan batang kaca kemudian aseton dipisahkan

dan diganti dengan aseton p.a yang baru sebanyak 50 mL. Aglomerat

kembali dihaluskan dengan batang kaca dan endapan (fosfatidilkolin)

yang terbentuk disaring dengan penyaringan vakum kemudian di oven

pada suhu 60°C dan didinginkan dalam desikator.

3.5.2 Nanoenkapsulasi 2-sitronelil benzimidazol

Proses nanoenkapsulasi dilakukan berdasarkan metode hidrasi

film lipid menurut Macadho, dkk [8]. Sumber lipid yang digunakan

untuk pembuatan liposom adalah fosfatidilkolin dari lesitin kedelai

yang dimurnikan. Fosfatidilkolin dengan variasi berat 1,5; 2,5 dan 3,5

g, masing-masing dilarutkan dalam 25 mL kloroform dalam labu alas

bulat yang berbeda, kemudian diberi label A pada labu alas bulat yang

berisi fosfatidilkolin 1,5 g, B pada labu alas bulat yang berisi

fosfatidilkolin 2,5 g dan C pada labu alas bulat yang berisi

fosfatidilkolin 3,5 g. Setelah terdispersi, pelarut oganik diuapkan

dengan menggunakan rotary ovaporator (50°C, 75 rpm) hingga

terbentuk film lipid yang terendapkan pada dinding labu alas bulat dan

didesikator selama 18 jam. Film lipid yang dihasilkan, masing-masing

didispersi dengan 50 mL buffer fosfat pH 6 yang mengandung 0.05 g

2-sitronelil benzimidazol. Setiap campuran dipanaskan pada suhu

melebihi fasa transisi (60°C), kemudian dihomogenkan menggunakan

homogenizer ultra-turrax T25 IKA dengan dispersing element type S

25 N - 25 G pada 9500 rpm selama 60 menit.

19

3.5.3 Penentuan efisiensi enkapsulasi

Dibuat larutan stok dengan konsentrasi 100 ppm (1 mg 2-sitronelil

benzimidazol dilarutkan dalam 1 mL aseton dan 9 mL metanol p.a).

Kemudian larutan stok 100 ppm tersebut diencerkan menjadi larutan

stok 20 ppm dengan menggunakan metanol p.a. Larutan stok 20 ppm

tersebut digunakan untuk membuat larutan baku dengan konsentrasi

12, 10, 8, 6, 4 dan 2 ppm. Setelah dilakukan pengenceran, larutan

tersebut kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi. Tabung reaksi

pertama diisi dengan 5 mL metanol p.a sebagai perwakilan larutan

blanko, tabung reaksi kedua hingga ke enam diisi dengan larutan baku

konsentrasi 12, 10, 8, 6, 4 dan 2 ppm. Salah satu larutan diambil untuk

diukur panjang gelombang maksimumnya. Seluruh larutan tersebut

kemudian dianalisis dengan menggunakan Spektrofotometri UV-Vis

Shimadzu 1601 pada panjang gelombang maksimum. Hasil dari

analisis dibuat kurva baku hubungan konsentrasi larutan baku dengan

absorbansi untuk pengujian efisiensi nanokapsul 2-sitronelil

benzimidazol.

Nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol A, B, dan C, masing-

masing diambil sebanyak 1 mL dan ditambah 9 mL aseton (lesitin

tidak larut dalam pelarut aseton), kemudian dimasukkan dalam gelas

kimia yang berbeda dan diaduk beberapa saat. Masing-masing

campuran diambil sebanyak 5 mL, kemudian dimasukkan dalam

sentrifuge tube dan disentrifugasi pada 10,000 rpm selama 5 menit

hingga terbentuk dua fasa [8]. Supernatan dan endapan dipisahkan,

kemudian supernatant diambil sebanyak 1 mL dan ditambah dengan 9

mL metanol p.a. Larutan tersebut dianalisis residu 2-sitronelil

benzimidazol menggunakan Spektrofotometri UV-Vis Shimadzu

1601 pada panjang gelombang maksimum [9]. Data absorbansi yang

dihasilkan dari masing-masing sampel kemudian diinterpolasikan

dengan persamaan yang dihasilkan dari kurva baku hubungan

konsentrasi larutan baku dengan absorbansi sehingga dihasilkan

konsentrasi residu 2-sitronelil benzimidazol.

3.5.4 Penentuan kinetika pelepasan senyawa 2-sitronelil

benzimidazol

Nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol optimum, diambil sebanyak

1 mL dan ditambah dengan 2 mL aseton hingga terbentuk dua lapisan

kemudian fasa organik dibuang. Fasa bawah yang berbentuk padatan

20

ditambah 4 mL aseton dan 35 mL metanol p.a kemudian diaduk

menggunakan pengaduk magnetik selama 60 menit. Larutan

campuran diambil sebanyak 3 mL pada menit ke 15, 30, 45 dan 60

kemudian diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-

Vis pada panjang gelombang maksimum. Setelah diukur

absorbansinya, larutan tersebut dimasukkan kembali dalam gelas

kimia (volume larutan dijaga tetap 40 mL). Data absorbansi yang

dihasilkan diinterpolasikan dengan persamaan yang hasilkan dari

kurva baku hubungan konsentrasi larutan baku dengan absorbansi,

Kemudian diolah dengan kinetika pelepasan orde Higuchi, hubungan

antara log konsentrasi sampel yang tersisa dengan lama waktu

pengadukan. Nilai k yang dihasilkan digunakan untuk menghitung

waktu paruh (t1/2).

3.5.5 Liofilisasi nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol

Nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol yang optimum disimpan

dalam freezer. Kemudian diliofilisasi menggunakan freeze dryer pada

tekanan 15 pa, temperature cumber -54°C dan temperature sampel

20°C selama 48 jam hingga volume air berkurang.

3.5.6 Karakterisasi nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol dengan

zetasizer nano zs

Sebanyak 5 mL larutan suspensi nanokapsul 2-sitronelil

benzimidazol optimum dan tanpa bahan aktif dianalisis dengan

menggunakan Zetasizer nano ZS pada rentang 0,1-10000 nm sehingga

dihasilkan histogram dari nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol

optimum dan tanpa bahan aktif.

3.5.7 Peremajaan dan penginokulasian bakteri

Sebanyak 5 mL media nutrient agar steril dimasukkan kedalam

tabung reaksi. Tabung reaksi diletakkan dengan posisi kemiringan 30-

45° dan ditunggu hingga memadat. Kultur bakteri S. aureus diambil

sebanyak 1 ose menggunakan jarum ose dan digoreskan secara zig-

zag pada permukaan media, kemudian diinkubasi pada suhu 37,3°C

selama 24 jam [4]. Pengulangan dilakukan pada kultur bakteri EPEC.

21

3.5.8 Pembauatan suspensi bakteri

Tabung reaksi diisi dengan nutrient broth yang sudah steril,

kemudian diambil sebanyak 1 ose bakteri dari media agar miring dan

dicelupkan ke dalam media nutrient broth hingga bakteri tidak ada

yang menempel pada jarum ose, kemudian diinkubasi selama 2-3 jam.

Suspensi bakteri S. aureus yang telah dihasilkan kemudian dihitung

dibawah mikroskop menggunakan haemacytometer hingga diperoleh

jumlah koloni sebanyak 105-108 CFU/mL [4]. Dilakukan pengulangan

pada suspensi bakteri gram negatif EPEC.

3.5.9 Pembuatan larutan uji 2-sitronelil benzimidazol

Nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol optimum diambil sebanyak

1 mL kemudian ditambah dengan 4 mL aseton dan 35 mL metanol p.a.

Larutan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik dengan

kecepatan 700 rpm selama tiga waktu yang berbeda sesuai dengan

waktu parut (t1/2) hasil perhitungan. Setiap waktu yang berbeda larutan

diambil sebanyak 1 mL dan disimpan dalam mikro cup untuk

digunakan dalam uji aktivitas antibakteri.

3.5.10 Penentuan zona hambat dengan metode difusi sumuran

Metode difusi sumuran merupakan metode yang digunakan

untuk uji aktivitas antibakteri. Uji aktivitas ini dilakukan

menggunakan produk nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol optimum

yang dilarutkan dalam campuran aseton dan metanol p.a, dimana

metanol digunakan sebagai kontrol positif dan akuades digunakan

sebagai kontrol negatif terhadap bakteri S. aureus. Konsentrasi

nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol optimum yang digunakan untuk

uji aktivitas dibuat berbeda-beda (sesuai waktu paruh), kemudian

pengamatan dilakukan setelah diinkubasi selama ± 18 jam. Disiapkan

cawan petri yang sudah steril, kemudian media yang sudah steril

dituangkan ke dalam cawan petri tersebut secara aseptis dan ditunggu

hingga memadat. Sebanyak 100 µL suspense bakteri dimasukkan pada

permukaan agar menggunakan mikro pipet, kemudian diratakan

menggunakan spreader. Pembuatan sumuran dilakukan menggunakan

coke bor sebanyak 5 lubang sumuran dan masing-masing lubang diisi

dengan 100 µL larutan 2-sitronelil benzimidazol optimum dengan

konsentrasi yang berbeda, control positif dan kontrol negatif,

kemudian ujung cawan petri diberi perekat dan diinkubasi pada suhu

22

37,3°C. Pengamatan dilakukan setelah inkubasi selama 24 jam. Zona

bening yang terbentuk diamati sebagai luas zona hambat dari

nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol. Dilakukan pengulangan pada

suspensi bakteri EPEC [4].

3.6 Analisis Data

3.6.1 Penentuen efisiensi enkapsulasi

Persamaan garis yang dihasilkan dari kurva baku hubungan antara

konsentrasi standar 2-sitronelil benzimidazol dengan absorbansi

adalah sebagai berikut:

y = ax + b (3.1)

Dimana, y merupakan absorbansi dan x merupakan konsentrasi

standar 2-sitronelil benzimidazol. Nilai absorbansi hasil pengukuran

supernatan A, B dan C yang diinterpolasikan dengan persamaan garis

digunakan untuk menentukan konsentrasi standar 2-sitronelil

benzimidazol dalam supernatan.

Penentuan efisiensi enkapsulasi dari 2-sitronelil benzimidazol

dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut [8,9]:

𝑬𝑬% =

[𝟐 − 𝒔𝒊𝒕𝒓𝒐𝒏𝒆𝒍𝒊𝒍 𝒃𝒆𝒏𝒛𝒊𝒎𝒊𝒅𝒂𝒛𝒐𝒍] 𝒂𝒘𝒂𝒍 − [𝟐 − 𝒔𝒊𝒕𝒓𝒐𝒏𝒆𝒍𝒊𝒍 𝒃𝒆𝒏𝒛𝒊𝒎𝒊𝒅𝒂𝒛𝒐𝒍] 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒔𝒖𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒕𝒂𝒏

[ 𝟐 − 𝒔𝒊𝒕𝒓𝒐𝒏𝒆𝒍𝒊𝒍 𝒃𝒆𝒏𝒛𝒊𝒎𝒊𝒅𝒂𝒛𝒐𝒍] 𝒂𝒘𝒂𝒍𝒙𝟏𝟎𝟎%

(3.2)

3.6.2 Penentuan kinetika pelepasan senyawa 2-sitronelil

benzimidazol

Persamaan garis yang dihasilkan dari kurva baku hubungan

konsentrasi standar 2-sitronelil benzimidazol dengan absorbansi

adalah sebagai berikut:

y = ax + b (3.1)

Dimana, y merupakan absorbansi dan x merupakan konsentrasi

standar 2-sitronelil benzimidazol. Nilai absorbansi hasil pengukuran

supernatan A, B dan C dengan variasi pengadukan 15, 30, 45, dan 60

menit yang diinterpolasikan dengan persamaan garis digunakan untuk

menentukan konsentrasi 2-sitronelil benzimidazol dalam supernatan.

Kinetika pelepasan orde Higuchi dapat diperoleh dengan cara

memplotkan persen komulatif 2-sitronelil benzimidazol yang terlarut

terhadap akar waktu yang menghasilkan garis lurus terhadap kH.

Kinetika pelepasan orde Higuchi dapat ditentukan dengan

menggunakan persamaan (2.3).

23

3.6.3 Uji statistik pada hasil pengukuran ukuran nanoliposom

tanpa bahan aktif dan nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol

Histogram dari tiga kali pengukuran masing-masing ditentukan

nilai Z-average dan indeks polidispersitanya kemudian dari ketiga

data tersebut dirata-rata dan ditentukan nilai T testnya untuk

menentukan perbedaan ukuran nanoliposm tanpa bahan aktif dan

nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol dengan menggunakan Microsoft

excel.

3.6.4 Analisis data aktivitas antibakteri

Jumlah bakteri pada media cair dapat dihitung dengan

menggunakan rumus:

Total yang dihitung pada kotak x jumlah kotak yang dihitung x

104 (3.4)

Penetuan zona hambat 2-sitronelil benzimidazol dapat dihitung

dengan menggunakan persamaan berikut [4]:

Zona hambat = Ʃ diameter zona hambat pada beberapa sisi sumur

– diameter sumuran (10 mm) (3.5)

24

25

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemurnian Lesitin Kedelai

Senyawa campuran antara fosfatida dengan senyawa lemak yang

terdapat dalam kedelai disebut dengan lesitin kedelai. Jenis lesitin

yang terdapat dalam kedelai adalah fosfatidilkolin, dimana

penyusunnya adalah palmitol, oleol, gliserol, fosfat dan kolin

(Gambar 4.1). Fosfatidilkolin memiliki sifat hidrofobik dan

hidrofilik. Sifat hidrofobik berasal dari ekor yakni rantai panjang

palmitol dan oleol sedangkan sifat hidrofilik berasal dari gugus fosfat

dan kolin (Gambar 4.2). Secara umum fosfatidilkolin dapat larut di

beberapa pelarut organik seperti etil asetat dan kloroform, tetapi tidak

larut dalam aseton. Lesitin akan mengendap membentuk aglomerat

apabila dilarutkan dalam aseton.

Gambar 4.1: Struktur fosfatidilkolin dan gugus penyusunnya [30]

Gambar 4.2: Sifat hidrofobik dan hidrofilik dari fosfatidilkolin

Umumnya, lesitin yang dijual dipasaran belum berbentuk murni,

sehingga untuk dapat digunakan dalam proses nanoenkapsulasi perlu

pemurnian lebih lanjut. Pemurnian lesitin dilakukan dengan

melarutkan lesitin dalam etil asetat sehingga lesitin yang semula

berbentuk cairan kental menjadi cairan yang encer dan berwarna

coklat. Agar terpisah dengan zat lain maka ditambahkan sedikit

akuades sehingga terbentuk gel dimana gel tersebut akan membentuk

aglomerat setelah ditambahkan aseton. Aglomerat tersebut dapat

26

dihaluskan sehingga setelah disaring dengan penyaringan vakum dan

dioven pada temperatur 60°C akan dihasilkan lesitin atau

fosfatidilkolin murni yang berbentuk padatan semi gel. Data hasil

pemurnian lesitin kedelai adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1: Persen rendemen pemurnian lesitin kedelai

No. Lesitin kedelai (g) Fosfatidilkolin (g) % rendemen

1. 10 5,8 58%

2. 10 5,06 50,6%

3. 10 5,56 55,6%

4. 7,5 4,3 57,3%

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa jumlah rendemen

yang dihasilkan dari pemurnian lesitin kedelai rata-rata sebesar ±55%.

Nilai tersebut menunjukan bahwa lesitin kedelai yang beredar

dipasaran tingkat kemurniannya cukup rendah sehingga untuk

digunakan dalam proses enkapsulasi lesitin harus dimurnikan terlebih

dahulu.

4.2 Nanoenkapsulasi 2-Sitronelil Benzimidazol

Senyawa aktif 2-sitronelil benzimidazol yang dienkapsulasi

merupakan senyawa hasil sintesis o-fenilendiamin dengan sitronelal

yang dilakukan oleh Institut Atsiri Universitas Brawijaya. Struktur

dari senyawa 2-sitronelil benzimidazol adalah sebagai berikut:

Gambar 4.3: Struktur senyawa 2-sitronelil benzimidazol [3,4]

Senyawa 2-sitronelil benzimidazol hasil sintesis tersebut

merupakan senyawa murni yang diidentifikasi dengan menggunakan

kromatografi gas-spektrometer massa (KG-SM). Identifikasi tersebut

menghasilkan satu puncak total ionic chromatogram (TIC) (Gambar

4.4) pada waktu retensi 15,339 dengan kelimpahan lebih dari 1,8x107

27

yang menunjukkan keberadaan senyawa 2-sitronelil benzimidazol dan

spektra massa (Gambar 4.5) dengan M/Z = 242,2 yang merupakan

puncak ion molekuler dari terbentuknya senyawa 2-sitronelil

benzimidazol dan m/z = 145,1 merupakan base peak.

Gambar 4.4: Total Ionic Chromatogram (TIC) senyawa 2-sitronelil

benzimidazol

Gambar 4.5: Spektra massa senyawa 2-sitronelil benzimidazol

Berdasarkan spektra massa tersebut, maka dapat dibuat tabulasi

hasil identifikasi KG-SM senyawa 2-sitronelil benzimidazol hasil

sintesis sitronelal dengan o-fenilendiamin yang digunakan sebagai

bahan aktif yang dienkapsulasi adalah sebagai berikut:

28

Tabel 4.2: Tabulasi hasil identifikasi KG-MS senyawa 2-sitronelil

benzimidazol

puncak Waktu retensi Pola fragmentasi m/z

1 15,339

242,2; 227,1; 199,1;

173.1, 159; 145,1 (base

peak); 130; 104,1; 77,1;

55,1

Mekanisme fragmentasi dari data diatas dapat dilihat dalam

Lampiran D.

Nanoenkapsulasi senyawa 2-sitronelil benzimidazol dilakukan

untuk melindungi dan mengontrol kinetika pelepasan dari senyawa

aktif tersebut. Pembuatan liposom menggunakan metode hidrasi film

lipid dimana fosfatidilkolin murni dilarutkan dalam kloroform

kemudian dievaporasi dengan menggunakan rotary evaporasi

sehingga dihasilkan lapisan tipis film lipid yang menempel pada

dinding labu. Jumlah fosfatidilkolin yang digunakan dibuat tiga

variasi yakni 1,5; 2,5 dan 3,5 g agar diketahui jumlah fosfatidilkolin

yang paling efisien untuk menyalut 0,05 g bahan aktif 2-sitronelil

benzimidazol. Kemudian film lipid yang menempel pada dinding labu

tersebut didesikator selama ±18 jam agar sisa kloroform benar-benar

sudah menguap. Hidrasi film lipid menggunakan buffer fosfat pH 6

pada temperatur 60°C karena pada pH 5,5 hingga 7,5 liposom yang

terbentuk akan lebih stabil [41]. Pada pH tersebut ketika dikonsumsi,

liposom yang berisi bahan aktif akan menggumpal membentuk

aglomerat ketika berada dibawah pH lambung dan setelah berada

dibawah pH usus, liposom akan kembali berbentuk cair sehingga

bahan aktif dapat dibawa menuju sumber penyakit. Liposom memiliki

dua sifat yakni sifat hidrofilik dan hidrofobik sehingga dapat

digunakan untuk menyalut senyawa aktif yang bersifat hidrofilik

maupun hidrofobik. Posisi senyawa aktif 2-sitronelil benzimidazol

dalam liposom adalah sebagai berikut:

29

Gambar 4.6: (a) Posisi senyawa aktif dalam liposom (b) Posisi

senyawa aktif 2-sitronelil benzimidazol dalam liposom

Posisi senyawa aktif 2-sitronelil benzimidazol dalam liposom

berada disela-sela ekor karena bersifat hidrofobik. Meskipun senyawa

2-sitronelil benzimidazol mudah larut dalam alkohol tetapi senyawa

tersebut tidak dapat larut dalam air. Kemudian proses pembuatan

ukuran nanometer dilakukan dengan cara homogenisasi karena

dengan homogenisasi akan menghasilkan ukuran nanokapsul yang

lebih seragam.

4.3 Penentuan Efisiensi Enkapsulasi

Efisiensi enkapsulasi dilakukan untuk mengetahui jumlah

fosfatidilkolin murni yang paling banyak menyalut bahan aktif 2-

sitronelil benzimidazol. Penentuan efisiensi enkapsulasi dilakukan

dengan menggunakan sprektrofotometer UV-Vis dengan

menggunakan pelarut campuran aseton dan metanol p.a. Profil

serapan pelarut 4 ppm campuran aseton dan metanol p.a adalah

sebagai berikut:

Senyawa aktif hidrofobik

Senyawa aktif hidrofilik

(a) (b)

30

Gambar 4.7: Spektra serapan 4 ppm 2-sitronelil benzimidazol dalam

pelarut campuran aseton dan metanol p.a

Berdasarkan profil diatas dapat diketahui bahwa panjang

gelombang maksimum yang dihasilkan pelarut 4 ppm campuran

aseton dan metanol p.a adalah sebesar 274,40 nm, dimana panjang

gelombang maksimum tersebut digunakan untuk mengukur

absorbansi larutan standar campuran aseton dan metanol p.a,

konsentrasi supernatant yang mengandung residu senyawa aktif 2-

sitronelil benzimidazol dan penentuan kinetika pelepasan senyawa

aktif 2-sitronelil benzimidazol. Larutan standar dibuat dari konsentrasi

1 hingga 12 ppm dan menggunakan methanol sebagai larutan blanko.

Setelah diukur absorbansi dari larutan baku tersebut maka dibuat

kurva baku hubungan konsentrasi larutan standar dengan absorbansi.

Kurva baku dari larutan standar campuran aseton dan metanol p.a

disajikan pada (Lampiran C). Dari kurva baku tersebut dihasilkan

persamaan y = 0,1459x + 0,1176 dengan nilai R² sebesar 0.9824.

Persaan tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan

konsentrasi supernatant yang mengandung residu senyawa aktif 2-

sitronelil benzimidazol dari tiga jumlah fosfatidilkolin yang berbeda.

Perhitungan konsentrasi supernatant yang mengandung residu

senyawa aktif 2-sitronelil benzimidazol disajikan pada (Lampiran

B.5.2) dan perhitungan konsentrasi hasil perkalian dengan faktor

Absorbansi 0,801

λmax 274,40 nm

31

pengencer yakni 20 mL disajikan dalam (Lampiran B.5.3) Berikut

data absorbansi dan konsentrasi supernatant yang mengandung residu

bahan aktif 2-sitronelil benzimidazol:

Tabel 4.3: Data absorbasi dan konsentrasi supernatan yang

mengandung residu bahan aktif 2-sitronelil benzimidazol

Sampel Abs Konsentrasi

(ppm)

Konsentrasi

rata-rata

(ppm)

Konsentrasi

rata-rata x

20 (ppm)

A

1,653 10,524

10,373 207,46 1,630 10,366

1,610 10,229

B

1,489 9,340

10,053 201,06 1,632 10,380

1,632 10,380

C

1,610 10,229

10,327 206,54 1,653 10,524

1,610 10,229

Berdasarkan data diatas maka dapat diketahui bahwa dari 1000

ppm senyawa aktif 2-sitronelil benzimidazol (perhitungan konsentrasi

awal senyawa aktif 2-sitronelil benzimidazol yang dienkapsulasi

disajikan pada Lampiran B.5.1), lebih dari 200 ppm dari senyawa

tersebut tidak tersalut dengan liposom. Efisiensi enkapsulasi dari

pembuatan nanokapsul ditentukan dengan menggunakan rumus (3.2).

Sehingga dari rumus tersebut (perhitungan nilai efisiensi enkapsulasi

terdapat pada Lampiran B.5.4) dihasilkan data sebagai berukut:

Tabel 4.4: Data penentuan efisiensi enkapsulasi 2-sitronelil

benzimidazol

Sampel Konsentrasi Awal

(ppm) %EE

A 1000 79,254

B 1000 79,894

C 1000 79,346

Berdasarkan data diatas maka dapat diketahui efisiensi

enkapsulasi paling besar yakni pada sampel B atau sampel yang

menggunakan 2,5 g fosfatidilkolin dengan nilai efisiensi sebesar

79,894% atau dari 1000 ppm senyawa aktif 2-sitronelil benzimidazol

sebanyak 798,94 ppm dapat tersalut didalam liposom. Dengan

menggunakan metode yang sama, Machado, dkk [8] melakukan

32

nanoenkapsulasi pada cyanobacterium Spirulina plantesis dengan

penyalut liposom menghasilkan efisiensi enkapsulasi sebesar

90±0,07%. Aisha, dkk [41] juga melakukan nanoenkapsulasi

menggunakan penyalut liposom pada ekstrak etanolik Orthosiphon

stamineus menghasilkan efisiensi enkapsulasi sebesar 66,2±0,9%.

4.4 Penentuan Kinetika Pelepasan Senyawa 2-Sitronelil

Benzimidazol

Penentuan kinetika pelepasan dilakukan untuk mengetahui berapa

lama senyawa aktif yang berada dalam liposom dapat keluar.

Nanokapsul yang digunakan dalam penentuan kinetika pelepasan ini

merupakan nanokapsul yang memiliki efisiensi enkapsulasi yang

paling besar yakni nanokapsul B. Sebanyak 1 mL nanokapsul B

dilarutkan dalam 40 mL pelarut campuran aseton dan metanol p.a.

Konsentrasi awal senyawa aktif 2-sitronelil benzimidazol yang

terdapat pada nanokapsul untuk penentuan kinetika pelepasan sebesar

19,974 ppm (perhitungan konsentrasi awal senyawa aktif 2-sitronelil

benzimidazol disajikan dalam Lampiran B.6.1). Nanokapsul yang

berada dalam larutan tersebut diaduk dengan menggunakan pengaduk

magnetik dengan variasi waktu 15, 30, 45 dan 60 menit. Variasi waktu

tersebut dilakukan untuk mengetahui berapa banyak senyawa aktif 2-

sitronelil benzimidazol yang keluar dari nanokapsul ketika diaduk.

Konsentrasi senyawa aktif yang dilepaskan dari nanokapsul diukur

dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis menggunakan kurva

baku dan panjang gelombang maksimum yang sama dengan

penentuan efisiensi enkapsulasi. Absorbansi yang terukur dari

spektrofotometer UV-Vis kemudian diplotkan dengan persamaan dari

kurva baku sehingga dihasilkan data sebagai berikut:

33

Tabel 4.5: Data absorbansi dan konsentrasi 2-sitronelil benzimidazol

yang terlepas dari nanokapsul B

Waktu

(menit) Absorbansi

Konsentrasi

(ppm)

Konsentrasi

rata-rata

(ppm)

15

1,959 12,621

12,429 1,917 12,333

1,917 12,333

30

2,000 12,902

12,797 1,954 12,587

2,000 12,902

45

2,051 13,252

12,914 2,000 12,902

1,945 12,587

60

2,051 13,252

13,135 2,051 13,252

2,000 12,902

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa semakin lama

waktu pengadukan maka konsentrasi 2-sitronelil benzimidazol yang

terlepas dari nanokapsul juga semakin besar. Data tersebut kemudian

dibuat kurva kinetika pelepasan senyawa aktif 2-sitronelil

benzimidazol orde Higuchi dimana sumbu y merupakan persen

kumulatif konsentrasi terlarut dan sumbu x adalah akar lama waktu

pengadukan. Berikut adalah kurva kinetika pelepasan senyawa aktif

2-sitronelil benzimidazol orde Higuchi:

y = 0.8765x + 58.961R² = 0.9778

62

62.5

63

63.5

64

64.5

65

65.5

66

3 4 5 6 7 8per

sen k

om

ula

tif

2-s

itro

nel

il

ben

zim

idaz

ol

terl

arut

√t (√menit)

34

Gambar 4.8: Kurva kinetika pelepasan orde Higuchi senyawa aktif

2-sitronelil benzimidazol

Berdasarkan kurva tersebut didapatkan persamaan y = 0,8765x +

58,961 dengan nilai R2 sebesar 0,9778. Nilai 0,8765 ppm/menit1/2

merupakan nilai dari kH (perhitungan nilai kH disajikan pada

Lampiran B.6.2). Kemudian, dari kurva tersebut dapat diketahui

bahwa terdapat ketergantungan linear dari senyawa aktif 2-sitronelil

benzimidazol terhadap akar waktu. Hal tersebut menunjukkan bahwa

senyawa aktif 2-sitronelil benzimidazol yang berada dalam liposom

tidak terikat secara permanen sehingga dapat terlepas seiring lama

waktu pengadukan.

4.5 Pengukuran Ukuran Nanoliposom Tanpa Bahan Aktif dan

Nanokapsul 2-Sitronelil Benzimidazol

Ukuran dari nanoliposom tanpa bahan aktif dan nanokapsul 2-

sitronelil benzimidazol optimum ditentukan dengan menggunakan

Zetasizer nano ZS. Pengukuran menggunakan Zetasizer nano ZS

menghasilkan histogram dimana histogram tersebut merupakan profil

distribusi partikel kecil yang berada dalam suspensi. Distribusi

partikel tersebut dapat ditentukan karena adanya pengukuran

intensitas cahaya yang tersebar di dampel. Pengukuran dilakukan tiga

kali pengulangan (Histogram dari pengukuran ukuran nanoliposom

dan nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol disajikan pada Lampiran

E). Data hasil pengukuran nanoliposom tanpa bahan aktif dan

nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol optimum adalah sebagai berikut:

Tabel 4.6: Data pengukuran nanoliposom tanpa bahan aktif

Ulangan Ukuran (nm) Standar deviasi % Intensitas

1 1228 721,1 85,3

2 1087 501,9 78,6

3 982,8 337,2 86,4

Rata-rata 1099,267 520,067 83,433

35

Tabel 4.7: Data pengukuran nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol

optimum

Ulangan Ukuran (nm) Standar deviasi % Intensitas

1 814,2 178,1 88

2 695,7 122,9 90,1

3 942 189,6 87,1

Rata-rata 817,3 163,533 88,4

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa ukuran nanoliposom dan

nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol cukup besar yakni 1099,267 ± 520,067 nm dan 817,3 ± 163,533 nm. Hal tersebut terjadi karena

ketika dilakukan liofilisasi terjadi koagulasi, gugus fosfat dan gugus

kolin antara vesikel satu dengan yang lain saling tarik-menarik. Selain

itu, besarnya ukuran dapat terjadi akibat ketidakstabilan fisik.

Ketidakstabilan fisik tersebut disebabkan adanya kebocoran senyawa

aktif dari vesikel atau agregasi dan fusi vesikel sehingga membentuk

partikel yang lebih besar [43]. Untuk mengetahui ada atau tidaknya

perbedaan ukuran partikel nanoliposom tanpa bahan aktif dengan

nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol maka dilakukan uji statistik

Tukey test (α = 0,05) dengan menggunakan Microsoft Excel. Data uji

statistik Tukey test (α = 0,05) dari ukuran nanoliposom tanpa bahan

aktif dan nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol disajikan dalam

Lampiran F.

Berdasarkan hasil uji statistik tersebut, ukuran nanoliposom tanpa

bahan aktif dan nankapsul 2-sitronelil benzimidazol tidak terdapat

perbedaan yang nyata atau Ho diterima. Hal tersebut dilihat dari nilai

t hitung (1,615721) yang lebih kecil dari pada nilai t tabel (2,919986)

dan nilai p-value (0,123764) yang lebih besar dari nilai α (0,005).

Suatu sampel dapat dikategorikan nanokapsul apabila memiliki

ukuran 10-1000 nm [45,46,47] sehingga dalam hal ini, sampel yang

dihasilkan masih dapat dikategorikan sebagai nanokapsul. Secara

umum, liposom diklasifikasikan berdasarkan struktur diantaranya

[8,44]:

36

Tabel 4.8: Klasifikasi liposom berdasarkan struktur

Klasifikasi Ukuran

Small unilamellar vesicles 20-40 nm

Medium unilamellar vesicles 40-80 nm

Large unilamellar vesicles 100-1000 nm

Giant unilamellar vesicles >1000 nm

Multilamellar vesicles >400 nm

Multivesicullar vesicles >1000 nm

4.6 Uji Aktivitas Antibakteri

Uji aktivitas antibakteri dari nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol

optimum (B) dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumuran.

Zona bening yang terdapat pada sekitar sumuran media biakan bakteri

menunjukkan adanya aktivitas antibakteri dari nanokapsul 2-sitronelil

benzimidazol. Zona bening tersebut kemudian diukur diameternya

dengan menggunakan penggaris. Sampel uji yang digunakan dalam

uji aktivitas antibakteri merupakan supernatant dari 1 mL nanokapsul

2-sitronenil benzimidazol optimum (B) kemudian dilarutkan dalam 40

mL pelarut campuran aseton dan metanol p.a. Konsentrasi bahan aktif

2-sitronelil benzimidazol dalam larutan tersebut sebesar 19,974 ppm,

kemudian larutan diaduk menggunakan pengaduk magnetik dengan

tiga waktu yang berbeda. Berikut adalah data hasil uji aktivitas

antibakteri dari nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol pada bakteri

biakan EPEC dan S.Aureus:

Tabel 4.9: Data uji aktivitas antibakteri nanokapsul 2-sitronelil

benzimidazol pada bakteri biakan EPEC dan S.aureus

Sampel Bakteri

Jumlah sel

bakteri

(CFU/mL)

Waktu

pengadukan

(menit)

Diameter

pada 18 jam

inkubasi

(mm)

B S.aureus 16, 88x106

193 6

385 8

578 5

B EPEC 7,84x106

193 3,7

385 11,3

578 3,2

37

Berdasarkan data penelitian tersebut, maka dapat dibuat grafik

hubungan antara zona hambat dengan lama waktu pengadukan sampel

uji sebagai berikut:

Gambar 4.9: Grafik hubungan zona hambat pada bakteri S.aureus

dengan lama waktu pengadukan

Gambar 4.10: Grafik hubungan zona hambat pada bakteri EPEC

dengan lama waktu pengadukan

Berdasarkan kedua grafik tersebut dapat dilihat bahwa setelah

inkubasi selama 18 jam zona hambat paling besar terjadi pada

pengadukan nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol selama 385 menit

jam dan zona hambat paling kecil terjadi setelah pengadukan selama

578 menit. Daya hambat nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol

optimum (B) pada bakteri S.aureus termasuk dalam daya hambat yang

sedang yakni dengan kisaran diameter 5-10 mm, sedangkan pada

bakteri EPEC dengan pengadukan selama 385 menit daya hambat

yang diberikan termasuk dalam daya hambat yang kuat karena

0

2

4

6

8

10

193 385 578

zon

a h

amb

at (

mm

)

waktu pengadukan (menit)

01.5

34.5

67.5

910.5

12

193 385 578

zon

a h

amb

at (

mm

)

waktu pengadukan (menit)

38

diameter yang dihasilkan >10 mm, kemudian pada pengadukan

selama 193 dan 578 menit daya hambat yang diberikan termasuk

lemah karena diameter yang dihasilkan <5 mm. Kecilnya daya hambat

yang diberikan nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol optimum (B)

dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya, konsentrasi senyawa

aktif 2-sitronelil benzimidazol yang digunakan dalam uji aktivitas

antibakteri terlalu kecil, ketidakstabilan kimia dari penyalut dimana

terjadi hidrolisis pada ikatan ester atau oksidasi pada rantai asil tak

jenuh dari lipid dan ketidakstabilan fisik yang disebabkan oleh

kebocoran obat dari vesikel atau agregasi dan fusi vesikula untuk

membentuk ukuran partikel yang lebih besar [43]. Berikut adalah zona

hambat yang terbentuk pada sekitar sumuran media biakan bakteri:

(a) (b)

Gambar 4.11: (a) Zona hambat yang terbentuk pada sekitar sumuran

media biakan bakteri S. aureus (b) Zona hambat yang terbentuk pada

sekitar sumuran media biakan bakteri EPEC

39

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat

disipukan bahwa:

1. Nanokapsul yang dihasilkan memiliki ukuran ±1000 nm

2. Efisiensi enkapsulasi dari nanokapsul 2-sitronelil

benzimidazol optimum (B) dengan penyalut liposom sebesar

79,894%, konstanta kinetika pelepasan orde Higuchi (kH)

sebesar 0.8765 ppm/menit1/2.

3. Nanokapsul 2-sitronelil benzimidazol memiliki daya hambat

yang lemah dan kuat pada bakteri EPEC dan daya hambat

yang sedang pada bakteri S.aureus tergantung dari lama

waktu pengadukan.

5.2 Saran

Penelitian selanjutnya dapat dilakukan nanoenkapsulasi 2-

sitronelil benzimidazol dengan penyalut liposom dan kolesterol untuk

mengatasi kebocoran vesikel, liofilisasi dilakukan setelah penentuan

karakteristik dari nanokapsul dimana liofilisasi berguna untuk

memperpanjang masa penyimpanan nanokapsul serta dalam uji

aktivitas antibakteri menggunakan metode dilusi.

40

DAFTAR PUSTAKA

1. Alasmary, F. A. S., Snelling, A. M., Zain, M. E., Alafeefy, A. M.,

Awaad, A. M., and Karodia, N., (2015), Synthesis and Evaluation

of Selected Benzimidazole Derivatives as Potential Antimicrobial

Agents, Journal Molecules, 20, 15206-15223.

2. Maryam, I., Huzaifa, U., Hindatu, H., and Zubaida, S., (2015),

Nanoencapsulation of Essential Oils with Enhaced Antimicrobial

Activity: A New Way of Combinating Antimicrobial Resistance,

Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry, 4(3), 165-170.

3. Kankeaw, U., and Rawanna, R., (2015), The Study of

Antibacterial Activity of Benzimidazole Derivative Synthesized

from Citronellal, International Journal of Bioscience,

Biochemistry and Bioinformatics, 5(5), 280-287.

4. Azhar, A. Z., (2018), Studi Perbandingan Metode Refluks dan

Menggunakan Bantuan Microwave dalam Derivatisasi Sitronelal

menjadi Benzimidazol dan Uji Aktivitasnya sebagai Antibakteri,

Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Brawijaya, Malang.

5. Fahmi, M. Z., Suwito, H., Nurain, S. Y., dan Hidayatullah, Y. P.,

(2016), Studi Pelepasan Terkontrol Terhadap Nanoenkapsulasi

Dimetoksi Amino Calkon sebagai Desain Kandidat Senyawa Anti

Kanker yang Efektif, Jurnal Kimia Riset, 1(2), 94-102.

6. Blanco-Padilla, A., Soto, K. M., Iturriaga, M. H., and Mendoza,

S., (2014), Review Article Food Antimicrobials Nanocarriers, The

Scientific World Journal, 2014, 1-11.

7. Kumari, A., Singla, R., Guliani, A., and Yadav, S. K., (2014),

Review Article: Nanoencapsulation for Drug Delivery, EXCLI

Journal, 2014(13), 265-286.

8. Machado, A. R., Assis, L. M., Costa, J. A. V., Badiale-Furlong,

E., Motta, A. S., Michelleto, Y. M. S., and Souza-Soares, L.A.,

41

(2014), Application of Sonication and Mixing for

Nanoencapsulation of the Cyanobacterium Spirulina plantensis in

Liposomes, International Food Research Journal, 21(6), 2201-

2206.

9. Rajendran, S. S., Geetha, G., Venkatanarayanan, R., and Santhi,

N., (2018), Formulation, Characterization and Anti-cancer

Activity of Novel Benzimidazole Derivative Nanoparticles,

International Journal of Research in Pharmacy and Chemistry,

8(1), 96-104.

10. Laili, A. N. I., (2017), Studi Perbandingan Aktivitas Antibakteri

Mikrokapsul Minyak Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C) Kulit Buah,

Daun, dan Fraksi terhadap Bakteri Staphylococcus aureus,

Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Brawijaya, Malang.

11. Purnama, H., dan Mita, S. R., (2014), Review Artikel: Studi In-

Vitro Ketoprofen Melalui Rute Transdermal, Farmaka, 14(1), 70-

81.

12. Suganya, V., and Anuradha, V., (2017), Microencapsulation and

Nanoencapsulation: A Review, International Journal of

Pharmaceutical and Clinical Research, 9(3), 233-239.

13. Bilia, A. R., Guccione, C., Isacchi, B., Righeschi, C., Firenzuoli,

F., and Bergonzi, M. C., (2014), Review Article: Essential Oils

Loaded in Nanosystems: A Developing Strategy for a Successful

Therapeutic Approach, Evidence-Based Complementary and

Alternative Medicine, 2014, 1-14.

14. Ali, D. Y., Darmadji, P., dan Pranoto, Y., (2014), Optimasi

Nanoenkapsulasi Asap Cair Tempurung Kelapa dengan Response

Surface Methodology dan Karakterisasi Nanokapsul, J.Teknol dan

Industri Pangan, 25(1), 23-30.

15. Donsi, F., Annunziata, M., Sessa, M., and Ferrari, G., (2011),

Nanaoencapsulation of Essentian Oils to Enhance Their

42

Antimicrobial Activity in Foods, LWT-Food Science and

Technology, 44, 1908-1914.

16. Mora-Huertas, C. E., Fessi, H., and Elaissari, A., (2010), Polymer-

Based Nanocapsules for Drug Delivery, International Journal of

Pharmaceutics, 385, 113-142.

17. Pendro, A. S., Santo, I. E., Silva, C. V., Detoni, C., and

Albuquerque, E., (2013), The Use of Nanotechnology as an

Approach for Essential Oil-Based Formulations with

Antimicrobial Activity, Mendez-Vilas, A., Microbial Pathogens

and Strategies for Combinating Them: Science, Technology and

Education, FORMATEX, Brazil.

18. Salahuddin, Shaharyan, M., and Mazumder, A., (2017), Review

Benzimidazoles: A Biologically active Compounds, Arabian

Journal of Chemistry, 10, S157-S173.

19. Alaqeel, S. I., (2017), Synthetic Approaches to Benzimidazoles

from o-Phenylenediamine: A Literature Review, Journal of

Saudia Chemical Society, 21, 229-237.

20. Amin, S., (2014), Hubungan Kuantitatif Struktur-Aktivitas

Antibakteri Bnezimidazol Menggunakan Metode PM3, Jurnal

Kesehatan Bakti Tunas Husada, 12(1), 254-261.

21. Faruk, A., Dey, B. K. and Arpita, C., (2014), Synthesis,

Characterization and Pharmacological Screening of Some Novel

Benzimidazol Derivatives, International Research Journal of

Pharmacy, 5(4), 325-331.

22. Hamzah, N., Dhuha, N. S., dan Ramadhan, R., (2015), Studi In

Silico Hubungan Kuantitatif Struktur-Aktivitas (HKSA) Senyawa

Turunan Benzimidazol Docking Molekul, Penelusuran

Farmakofor, Virtual Screening, Uji Toksisitas, Profil

Farmakokinetik Sebagai Anti-Tuberculosis, JF FIK UINAM, 3(3),

92-103.

43

23. Nguyen, T. L., Nguyen, T. H., and Nguyen D. H., (2017),

Development and In Vitro Evaluation of Liposomes Using Soy

Lechitin to Encapsulate Paclitaxel, International Journal of

Biomaterials, 2017, 1-7.

24. Machado, A. R., de Assis, L. M., Machado, M. I. R. and de Souza-

Soares, L. A., (2014), Review Importance of Lechitin for

Encapsulation Processes, African Journal of Food Science, 8(4),

176-183.

25. Trembley, J. H., Unger, G. M., Korman, V. L., Tobolt, D. K.,

Kazimierczuk, Z., Pinna, L. A., Kren, B. T., and Ahmed, K.,

(2012), Nanoencapsulated Anti-CK2 Small Molecule Drug or

siRNA Specifically Targerts Malignant Cancer but not Benign

Cells, Cancer Lett, 315(1), 48-58.

26. Ezhilarasi, P. N., Karthik, P., and Chhanwal, N., (2013),

Nanoencapsulation Techniques for Food Bioactive Components:

A Review, Food and Bioprocess Technology, 1-21.

27. Tanih, N. F., Sekwadi, E., Ndip, R. N., and Bessong P. O., (2015),

Detection of Pathogenic Escherichia coli and Staphylococcus

aureus from Cattle and Pigs Slaughtered in Abattoirs Vhembe

District, South Africa, The Scientific World Journal, 2015, 1-8.

28. Alam, F., Dey, B. K., Sharma, K., Chakraborty, A., and Kalita, P.,

(2014), Synthesis, Antimicrobial and Antihelmintic Activity of

Some Novel Benzimidazole Derivatives, Int. J. Drug Res. Tech,

4(3), 31-38.

29. Pichot, R., Waston, R. L., and Norton, I. A., (2013), Phospholipids

at the Interface: Current Trends and Challenges, Int. J. Mol. Sci,

14, 11767-11794.

30. Liu, D., and Ma, F, (2011), Soybean Phospholipids, Krezhova, D.,

Recent Trends for Enhancing the Diversity and Quality of

Soybean Products, 22, InTech, China.

44

31. Ainurofiq, A., dan Choiri, S., (2013), Perbandingan Model dan

Profil Pelepasan Obat Sukar Larut dari Matriks Berbasis Naturam-

Gum pada Sediaan Tablet Lepas Lambat. Pharmacy, 10(2), 170-

180.

32. Bhowmik, D., Gopinath, and Kumar, K. P. S., (2012), Controlled

Release Drug Delivery Systems, The Pharma Innovation Journal,

1(10), 24-32.

33. Lokhandwala, H., Deshpande, A., and Deshpande, S., (2013),

Kinetic Modeling and Dissolution Profil Comparison: An

Overview, Int. J. Pham. Bio. Sci, 4(1), 728-737.

34. Ramteke, K. H., Dighe, P. A., Kharat, A. R., and Patil, S. V..,

(2012), Mathematical Models of Drug Dissolution: A Review,

Sch. Acad. J. Pharm, 3(5), 388-396.

35. Shaikh, H. K., Kshirsagar, R. V., and Patil, S. G., (2015),

Mathematical Model for Drug Release Characterization: A

Review, World Journal of Pharmaceutical Research, 4(4), 324-

338.

36. Ramakrishna, S., Mihira, V., Vyshnavi, K. R., and Ranjith, V.,

(2012), Design and Evaluation of Drug Release Kinetics of

Meloxicam Sustained Release Matrix Table, Int. J. Curr. Pharm.

Res, 1, 90-99.

37. Dua, J. S., Rana, A. C., and Bhandari, A. K., (2012), Liposome:

Methods of Preparation and Aplication, International Journal of

Pharmaceutical Studies and Research, 2(4), 14-20.

38. Alavi, M., Karimi, N., and Safaei, M., (2017), Application of

Various Types of Liposomes in Drug Delivery Systems, Advances

Pharmaceutical Bulletin, 7(1), 3-9.

39. Nwokwu, C. D. U., Samarakoon, S. R., Karunaratne, D. N.,

Katuvawila, N. P., Pamunuwa, G. H., Ediriweera, M. K., and

Tennekoon, K. H., (2017), Induction of Apoptosis in Response to

45

Improved Gedunin by Liposomal Nano-encapsulation in Human

Non-small-cell Lung Cancer (NCl-H292) Cell Line, Tropical

Journal of Pharmaceutical Research, 16(9), 2079-2987.

40. Singh, S., (2018), Liposome Encapsulation of Doxorubicin and

Celecoxib in Combination Inhibits Progession of Human Skin

Cancer Cells, International Journal of Nanomedicine, 13, 11-13.

41. Aisha, A, FA., Majid, A. M. S. A., and Ismail, Z., (2014),

Preparation and Characterization of Nano Liposomes of

Orthosipon stamineus Ethanolic Extract in Soybean Phospolipids,

BMC Biotechnology, 14-23.

42. Balouiri, M., Sadiki, M., and Ibnsouda, S. K., (2016), Method for

In vitro Evaluating Antimicrobial Activity: A review, Journal of

Pharmaceutical Analysis, 6, 71-79.

43. Bhai.M, S. A., Yadav, V., and Prasanth V.V, Y., (2012),

Liposomes: An Overview, Journal of Pharmaceutical and

Scientific Innovation, 1(1), 13-21.

44. Shashi, K., Satinder, K., and Bharat, P., (2012), A Complete

Review On: Liposomes, International Research Journal of

Pharmacy, 3(7), 10-16.

45. Kothamasu, P., Kanumur, H., Ravur, N., Maddu, C.,

Parasuramrajam, R., and Thangavel, S., (2012), Nanocapsules:

The Weapons for Novel Drug Delivery Systems, Bio Impacts,

2(2), 71-81.

46. Kevin, A. H. and MacKenzie, C. R., (2018), Single-Domain

Antibodies: Biology, Engineering and Emerging Applications,

USA, Frontiers in Immunology.

47. Mishra, M., (2016), Handbook of Encapsulation snd Controlled

Release, USA, CRC Press (Taylor & France Group).

46

48. Rolanda, E., (2012), Pengaruh Enkapsulasi Liposom Terhadap

Aktivitas Antibakteri Gentamisin Sulfat, Skeipsi, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia,

Depok,

49. Tamam, N. dan Hidajati, N., (2014), Penentuan Ukuran Cluster

Nanopartikel Emas Menggunakan Matrik Gliserin dengan

Instrumen Zetasizer Nano, UNESA Journal of Chemistry, 3(2),

40-46.

50. Varshosaz, J., Hajhashemi, V., and Soltanzadeh, S., (2011), Lipid

Nanocapsule-Based Gels for Enhancement of Transdermal

Delivery of Ketorolac Tromethamine, Journal of Drug Delivery,

1-7.