Etnokonservasi Merapi

133
KONSERVASI KEANEKARAGAMAN VEGETASI DAN KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT DI KAWASAN LERENG GUNUNG MERAPI SKRIPSI Diajukan kepada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Biologi Disusun oleh: M. Nasirudin Habibi 05640034 PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2012

Transcript of Etnokonservasi Merapi

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN VEGETASI DAN KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT DI KAWASAN LERENG

GUNUNG MERAPI

SKRIPSI

Diajukan kepada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Strata Satu Biologi

Disusun oleh:

M. Nasirudin Habibi 05640034

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2012

ii

iii

iv

v

MOTTO

“...Sapantuk wahyuning Allah, Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, Bangkit mikat reh mangukut, Kukutaning jiwanggo,

Yen mangkono kena sinebut wong sepuh, Lire sepuh sepi hawa, Awas roroning atunggil...”

(Siapa mendapatkan wahyu dari Allah, Maka dapat mencerna dan menguasai ilmu, Mampu menguasai ilmu kesempurnaan, Kesempurnaan diri pribadi, Orang yang demikian pantas disebut orang tua, Orang yang tidak dikuasai nafsu, Memahami

dua yang menyatu – titah dan yang menitahkan, baik buruk, dan lainnya)

Mangkunegara IV, Serat Wedhatama – Pangkur 12

“...Ilmu iku kalakone kanthi laku, Lekase lawan kas, Tegese kas nyantosani, Setya budya pangekese dur angkara...”

(Ilmu itu terwujud jika dijalankan, Dimulai dari kemauan, Kemauan inilah yang

membuat sentausa, Budi yang setia itu penghancur nafsu angkara)

Mangkunegara IV, Serat Wedhatama – Pucung 1

vi

Skripsi ini didedikasikan untuk

Sang Ibu Asuh (αλµα−µατερ), Program Studi Biologi,

Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

Untuk apa dan nama.

Masyarakat lereng Gunung Merapi Baik yang ada ataupun yang telah tiada

Untuk mengapa dan bagaimana.

vii

KATA PENGANTAR

Berangkat dari kesadaran dan rasa syukur yang terdalam, hanya dengan

izin Allah-lah skripsi yang berjudul “Konservasi Keanekaragaman Vegetasi dan

Kearifan Ekologi Masyarakat di Kawasan Lereng Gunung Merapi” dapat

diselesaikan. Shalawat dan salam untuk konservasionis sumber daya alam pertama

dalam sejarah peradaban Islam, Nabi Muhammad SAW.

Naskah skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan

untuk dapat memperoleh gelar derajat kesarjanaan di Program Studi Biologi

Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Onak yang berupa

hambatan dan duri yang bernama kesulitan mewarnai perjalanan skripsi ini,

dengan Izin-Nya, melalui bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, onak dan

duri yang penulis hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu sangatlah tepat kiranya

penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada mereka yang sangat berjasa:

1. Kedua orang tua penulis, Bapak Sumedi, B.A., S.Pd.I. dan Ibu Jahrotul

Hamidah, B.A., S.Pd.I., kedua adik M. Nur Sani Habibi dan Muhtamah

Nur Habibah, dan seluruh keluarga besar yang telah mendukung,

memotivasi, bersabar, dan menguatkan sepanjang hayat.

2. Bapak Prof. Drs. Akh. Minhaji, M.A., Ph.D., selaku dekan Fakultas Sains

dan Teknologi

3. Ibu Anti Damayanti Hamdani, S.Si., M.Mol.Bio., selaku Kepala Program

Studi Biologi, yang memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi

dan memenuhi janji penulis di Lembang kala itu.

4. Ibu Arifah Khusnuryani, S.Si., M.Si., selaku Penasehat Akademik untuk

motivasi, dorongan, tekanan, dan nasehatnya yang tak pernah terhenti

5. Ibu Dra. Hj. Maizer Said Nahdi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang

telah berkenan memberikan bimbingan, masukan, kritik, koreksi, dan

motivasi kepada penulis yang seringkali menghilang tanpa kabar selama

lebih dari 4 (empat) tahun lamanya.

viii

6. Ibu Anti Damayanti Hamdani, Si.Si., M.Mol.Bio. dan Ibu Siti Aisah, M.Si.,

sebagai penguji, atas kritik dan sarannya yang lebih menghidupkan skripsi

ini.

7. Seluruh dosen di program studi Biologi, untuk ilmu yang telah dibagi, dan

staf Tata Usaha yang telah membantu sepenuh hati.

8. Seluruh masyarakat dusun Girpasang dengan kesederhanaan, keluguan,

dan kepatuhan Kaki Turnosono dan Kaki Pacul Kuwoso, masyarakat

dusun Plalangan dengan dinamika idealisme dan semangat perjuangan

Majapahit-nya yang telah memperkenankan diri menerima penulis untuk

ikut hidup dan belajar dari keseharian mereka.

9. Sahabat-sahabat di Program Studi Biologi angkatan 2005 untuk masukan

dan desakannya agar segera berkiprah di “dunia nyata”, dan angkatan 2006

untuk teknis pelaksanaan penelitian.

10. Saudara-saudara di Biolaska, untuk perjuangan, pengalaman, pandangan

hidup, semangat, senyum, tawa, dan bahagia.

11. Para pendaki dan pengabdi, di gunung-gemunung, dalam keterpencilan,

dalam kegelapan, dalam keheningan, dalam kedamaian, yang dengan

senang hati bercengkrama, berdiskusi, berdebat, dan bertengkar dengan

penulis tentang alam, manusia, budaya, dan sejarah dalam bingkai

Indonesia, serta untuk sepenggal nama yang mewarnai hari-hari dan

memotivasi untuk terus mengabdi, demi sejengkal tanah air yang bernama

Nusantara.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk seluruh pihak yang terkait dan

sedikit banyak mampu berkontribusi untuk Indonesia yang lestari.

Yogyakarta, Juli 2012

Penulis,

M. Nasirudin Habibi NIM. 05640034

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... ii HALAMAN SURAT PERSETUJUAN ...................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ............................................... iv MOTTO ..................................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. vi KATA PENGANTAR ............................................................................... vii DAFTAR ISI ............................................................................................. ix DAFTAR TABEL ...................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiii ABSTRAK ................................................................................................ xiv I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 5 D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 6

II. TELAAH PUSTAKA A. Hutan dan Konservasi Keanekaragaman Vegetasi ...................... 7

1. Hutan ................................................................................... 7 2. Keanekaragaman Vegetasi ................................................... 10

B. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi ....................................... 11 1. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi ................................ 11 2. Konservasi Berbasis Masyarakat ......................................... 13

C. Etnoekologi Masyarakat Lereng Gunung Merapi ....................... 18 D. Penelitian Terkait ....................................................................... 20

III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................... 22 B. Alat dan Bahan .......................................................................... 23

1. Alat ..................................................................................... 23 2. Bahan .................................................................................. 23

C. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 23 1. Aspek Ekologi Vegetasi ....................................................... 24 2. Aspek Sosial Kemasyarakatan .............................................. 25

D. Metode Analisis Data ................................................................. 26 1. Aspek Ekologi Vegetasi ....................................................... 26 2. Aspek Sosial Kemasyarakatan .............................................. 29

IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN A. Dusun Girpasang ......................................................................... 30

1. Sejarah Dusun Girpasang ...................................................... 30 2. Lokasi Geografis dan Administratif ....................................... 31 3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ..................................... 32 4. Infrastruktur dan Aksesibilitas ............................................... 34

x

B. Dusun Plalangan ......................................................................... 36 1. Sejarah Dusun Girpasang ...................................................... 36 2. Lokasi Geografis dan Administratif ....................................... 37 3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ..................................... 38 4. Infrastruktur dan Aksesibilitas ............................................... 42

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Komposisi dan Keanekaragaman di Girpasang dan Plalangan ...... 43

1. Tingkat Pohon ....................................................................... 43 2. Tingkat Anak Pohon .............................................................. 49 3. Tingkat Tumbuhan Bawah .................................................... 56 4. Indeks Keanekaragaman ........................................................ 64

B. Potensi Etnobotani dan Upaya Konservasi oleh Masyarakat Girpasang dan Plalangan .............................................................. 66 1. Pemanfaatan Vegetasi oleh Masyarakat ................................. 66 2. Interaksi Masyarakat dengan Lingkungannya ......................... 71 3. Konservasi Lahan .................................................................. 75 4. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi .................................. 78

C. Kearifan Ekologi Masyarakat Girpasang dan Plalangan................ 82 1. Kegiatan Budaya dan Pandangan Hidup Masyarakat terhadap

Lingkungan ........................................................................... 82 2. Kearifan Ekologi sebagai Dasar Konservasi Keanekaragaman

Vegetasi ................................................................................ 90 VI. PENUTUP

1. Kesimpulan ................................................................................. 95 2. Saran ........................................................................................... 97

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 98 LAMPIRAN .............................................................................................. 101

xi

DAFTAR GAMBAR Gambar Keterangan Hlm

1 Peta Lokasi Penelitian di dua dusun di Lereng Merapi (Sumber: Peta RBI lembar Kaliurang, 1996) ................................................. 23

2 Metode pengambilan sampel aspek ekologi vegetasi di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ..................................................... 25

3 Peta kawasan dusun Girpasang (Sumber: Peta RBI lembar Kaliurang, 1996) ........................................................................... 31

4 Peta kawasan dusun Plalangan (Sumber: Peta RBI lembar Kaliurang, 1996) ............................................................................ 38

5 Perbandingan kerapatan, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan penelitian ........................................................................ 49

6 Perbandingan kerapatan, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan penelitian ........................................................................ 56

7 Perbandingan kerapatan, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan penelitian ........................................................................ 64

8 Kerangka adaptasi perilaku masyarakat terhadap Merapi ............... 93 9 Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan

nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang ..................................................................................... 103

10 Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang ...................................................................... 104

11 Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang .................................................................................... 105

12 Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Plalangan ..................................................................................... 107

13 Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Plalangan ....................................................................... 107

14 Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Plalangan ..................................................................................... 108

xii

DAFTAR TABEL Tabel Keterangan Hlm

1 Kerapatan vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan .................................................................. 44

2 Frekuensi Relatif vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 45

3 Dominansi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 47

4 Nilai penting vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 48

5 Kerapatan vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 51

6 Frekuensi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ......................................... 52

7 Dominansi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ......................................... 54

8 Nilai penting vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ......................................... 55

9 Kerapatan vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan .................................................................. 57

10 Frekuensi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 59

11 Dominansi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 60

12 Nilai penting vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 62

13 Indeks keanekaragaman vegetasi tingkat pertumbuhan pohon, anak pohon, serta bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan 65

14 Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang .............................................................................. 101

15 Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang ................................................................ 101

16 Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang .............................................................................. 102

17 Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Plalangan ............................................................................... 106

18 Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Plalangan ................................................................. 106

19 Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Plalangan ............................................................................... 106

20 Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat dusun Girpasang ........................................................................................ 109

21 Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat dusun Plalangan ......................................................................................... 111

xiii

DAFTAR LAMPIRAN Lamp. Keterangan Hlm

1 Analisis keanekaragaman vegetasi di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan .............................................................................. 101

2 Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat dusun Girpasang dan Plalangan ................................................... 109

3 Pedoman wawancara mendalam .................................................. 113 4 Sekilas dusun Girpasang dan Plalangan ........................................ 115 5 Izin Penelitian ............................................................................. 116

xiv

KONSERVASI KEANEKAREAGAMAN VEGETASI DAN KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT DI KAWASAN LERENG GUNUNG MERAPI

Disusun oleh M. Nasirudin Habibi (05640034)

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2010, di dusun Girpasang dan Plalangan dengan tujuan untuk mengetahui keanekaragaman vegetasi, upaya konservasi keanekaragaman vegetasi oleh masyarakat, dan faktor yang mendasari pandangan masyarakat terhadap perlindungan keanekaragaman vegetasi. Penelitian ini menggunakan metode plot kuadrat untuk aspek ekologi vegetasi serta metode wawancara mendalam dan observasi partisipatif untuk aspek sosial kemasyarakatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan dusun Girpasang mendukung spesies yang tinggi yaitu 7 spesies pohon, 9 spesies anak pohon, dan 22 spesies tumbuhan bawah. Kawasan dusun Plalangan mendukung masing-masing 2 spesies pohon dan anak pohon dan 11 spesies tumbuhan bawah. Hal tersebut disebabkan oleh zona vegetasinya yang berbeda, Girpasang terletak di zona sub-pegunungan dan Plalangan terletak di zona pegunungan, serta pengelolaan dan pemanfaatan oleh masyarakat. Masyarakat Girpasang dan Plalangan memanfaatkan keanekaragaman vegetasi yang ada di dalam kawasan dusunnya antara lain sebagai bahan makanan, pakan ternak, bahan bakar, bahan bangunan, sumber penghasilan, dan material budaya. Masyarakat juga memanfaatkan lahan untuk pertanian palawija yang tidak membutuhkan pengolahan lahan yang intensif di Girpasang dan untuk pertanian sayuran yang membutuhkan pengolahan lahan yang intensif di Plalangan, untuk menjaga ke-sinambungan pola pertanian itu, masyarakat di kedua dusun mengembangkan pola perlindungan lahan dengan cara (1) tidak menggantungkan kebutuhan sehari-hari pada hutan Merapi, (2) penanaman pembatas tegalan dengan tanaman keras dan rumput, (3) penanaman perengan dengan tanaman keras, bambu, dan rumput, (4) pembuatan demplot (alur tanam) yang berbeda antara tanah yang datar dan miring, dan (5) pemanfaatan rabuk (pupuk kandang) sebagai pupuk utama. Pemanfaatan keanekaragaman vegetasi dan pengelolaan lahan seperti disebutkan diatas menyebabkan spesies-spesies yang dibutuhkan tetap terjaga keberadaannya.

Slametan merupakan ritual yang terpenting dalam kehidupan masyarakat Jawa tradisional yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara manusia dengan manusia dan juga manusia dengan lingkungannya. Ritual tersebut merupakan ekspresi yang lahir dari keyakinan bahwa manusia adalah bagian dari lingkungannya, yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain, serta saling memberi dan saling menerima. Konsep tersebut kemudian melahirkan pola hubungan yang saling melengkapi antara manusia dan lingkungan, yang dikenal dengan kearifan ekologi.

Kata Kunci: keanekaragaman vegetasi, pemanfaatan, perlindungan, keseimbangan, kearifan ekologi

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan titik simpul rangkaian pegunungan api di dunia

yang terbentuk dari pertemuan tiga lempeng besar yaitu Eurasia, Australasia, dan

Pasifik. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan rangkaian

pegunungan dan gunung api terbesar di dunia dan sekaligus merupakan kawasan

rawan bencana. Posisi di titik temu lempeng tersebut menjadikan Indonesia

memiliki bentuk geografis yang sempurna untuk mendukung berbagai habitat

kehidupan mulai dari terumbu karang, hutan bakau, savana, hutan dataran rendah,

dan juga hutan pegunungan sekaligus dengan manusia penghuni habitat tersebut.

Posisi Indonesia secara geologis dan geografis menjadikan alam Indonesia

memiliki keragaman keanekaragaman vegetasi terbesar kedua di dunia, baik flora

ataupun faunanya dan menempati urutan ketiga dalam luas hutan tropisnya. Alam

Indonesia dalam skala dunia menopang kehidupan 10% dari keseluruhan hutan

tropis yang ada, peringkat ketujuh dalam keanekaragaman tanaman berbunga,

12% binatang menyusui (36% diantaranya endemik), 16% binatang reptil dan

amfibi, 1.519 jenis burung (28% diantaranya endemik), 25% jenis ikan di dunia,

121 jenis kupu-kupu ekor walet (44% diantaranya endemik), tumbuhan palem

paling banyak, lebih dari 400 jenis dipterocarp, dan lebih dari 25.000 jenis flora

dan fauna. Luas hutan Indonesia saat ini adalah 109.961.713,28 ha yang terdiri

dari Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam seluas 23.214.626,57

ha, Hutan Lindung seluas 29.037.397,02 ha, Hutan Produksi Terbatas seluas

2

16.215.977,26 ha, Hutan Produksi Tetap seluas 27.823.177,43 ha, dan Hutan

Produksi IKonversi seluas 13.670.535,00 hektar (Forqan & Fadli, 2009).

Hutan pegunungan merupakan ekosistem yang menopang keragaman

flora yang eksotis dan berbeda dengan hutan dataran rendah. Ekosistem tersebut

sangat dipengaruhi oleh parameter abiotik yang sangat spesifik seperti ketinggian

dan suhu (Indriyanto, 2006). Hutan pegunungan tersebut sebagian besar dikelola

oleh pemerintah, baik dibawah Kementerian Kehutanan antara lain dalam bentuk

taman nasional, cagar alam, hutan lindung, dan ataupun perum perhutani dalam

bentuk hutan produksi.

Hutan di kawasan lereng Gunung Merapi dikelola oleh Taman Nasional

Gunung Merapi (TNGM) di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam

(BKSDA) D.I. Yogyakarta, dengan perincian daerah yang ke wilayah Daerah

Istimewa Yogykarta dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Pertanian (hutan wisata),

BKSDA D.I. Yogyakarta (cagar alam Plawangan-Turgo), dan Pemkab Sleman

(hutan lindung). Kawasan yang masuk dalam wilayah Jawa Tengah dikelola oleh

Perusahaan Umum (Perum) Perhutani dengan batasan wilayahnya masing-masing.

Banyaknya perpanjangan tangan pemerintah yang masuk menyebabkan

pengelolaan Merapi tidak optimal karena menggunakan pendekatan dan

kepentingan masing-masing (Hartono, 2004).

Potensi yang ada pada pegunungan, sepanjang sejarah, membuat manusia

tertarik menjadikannya sebagai tempat tinggal. Gunung-gunung api di pulau Jawa

selalu dipadati penduduk karena potensi alamiahnya untuk usaha pertanian yang

besar melalui air, material, dan abu vulkanik yang selalu menutupi permukaan

3

tanah, serta merupakan sumber malapetaka kematian yang disebabkan oleh awan

panas, lahar, dan letusanya (Geertz, 1976). Interaksi manusia dengan alam secara

tradisional memunculkan kepercayaan ataupun keyakinan yang mereka anut

dalam kehidupan mereka. Keyakinan yang bersumber dari pemaknaan manusia

terhadap alam inilah yang memunculkan suatu karakter khusus yang dipahami dan

diaplikasikan dalam kehidupannya dan terbatas di kawasan tertentu. Karakter

khusus inilah yang didefinisikan sebagai kearifan lokal (Minsarwati, 2005).

Gunung Merapi merupakan gunung paling aktif di Indonesia, dihuni oleh

masyarakat yang secara kultural sangat dekat dengan kebudayaan Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kerajaan

Mataram Islam berkembang pesat di kawasan Jawa bagian tengah-selatan, namun

perjanjian Gianti pada tahun 1755 M memisahkan kerajaan Mataram Islam

menjadi dua yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kesunanan

Surakarta Hadiningrat persis menjadi dua. Perpecahan ini juga membagi secara

langsung penguasaan gunung Merapi yaitu sebelah barat dan selatan dalam

kekuasaan Kesultanan Yogyakarta dan kawasan timur-utara dalam kekuasaan

kasunanan Surakarta, kondisi demikian menimbulkan adanya pergeseran budaya

yang terbangun di dua kawasan tersebut menjadi relatif berbeda (Kresna, 2011).

Berdasarkan penelitian sebelumnya pada masyarakat dusun Kinahrejo,

Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DIY, masyarakat setempat relatif memandang

Merapi sebagai bagian dari “jagat cilik” atau mikrokosmos yang tentunya akan

bereaksi dengan kelakuan manusia yang ada di dalam lingkup tersebut. Kesadaran

ini akan bermanifestasi dalam kehidupan keseharian masyarakat yang dapat hidup

4

berdampingan dengan alam, memanfaatkan sumber daya alam dengan arif, dan

tergerak untuk menjaga kelestariannya hingga generasi ke depan masih bisa

menikmati hasil dari alam tersebut. Kearifan tersebut juga berpengaruh dalam

komposisi vegetasi yang ada di kawasan tersebut, yaitu relatif homogen di dalam

pemukiman dan tetap heterogen di luar pemukiman. Hal ini menunjukkan bahwa

masyarakat menghargai dan menjaga keajegan keanekaragaman vegetasi di alam

sekitarnya (Habibi, 2008).

Girpasang adalah sebuah dusun dalam wilayah Desa Tegalmulyo, Kec.

Kemalang, Kab. Klaten, Jawa Tengah. Dusun ini merupakan salah satu dusun

yang paling terisolir di kawasan lereng Merapi dengan satu-satunya jalan yang

hanya dapat dilalui manusia dan ternak. Masyarakatnya relatif homogen, terdiri

dari 7 (tujuh) kepala keluarga yang keseluruhannya bekerja sebagai petani dan

peternak sapi. Dusun Plalangan merupakan bagian dari Desa Lencoh, Kec. Selo,

Kab. Boyolali, Jawa Tengah, merupakan dusun tertinggi di lereng gunung Merapi

dan merupakan salah satu dusun yang populer karena menjadi gerbang utama jalur

pendakian dari utara. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani sayuran dan

palawija, peternak sapi perah, dan penggiat ekowisata. Kondisi vegetasi yang ada

di kedua dusun tersebut sangat terpengaruh dengan sistem pertanian palawija dan

sayuran yang dilakukan masyarakat.

Kondisi yang menarik untuk diteliti adalah kedua dusun tersebut masih

melestarikan tradisi budayanya, pandangan hidupnya dengan lingkungan, dan

mempraktekkan cara pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya hayati yang

5

sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini kemungkinan dapat mempengaruhi kondisi

vegetasi yang ada serta berpengaruh pada upaya konservasi.

Oleh karena itu, fokus utama dalam penelitian ini untuk mengetahui

kondisi vegetasi yang ada, kearifan lokal yang masih dilakukan oleh masyarakat

lereng Merapi dan kecenderungan untuk memanfaatkan jenis-jenis tumbuhan

tertentu sebagai sarana atau obyek konservasi.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, permasalahan yang muncul

pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana keanekaragaman vegetasi yang ada Girpasang dan Plalangan?

2. Bagaimana upaya masyarakat dalam mengkonservasi keanekaragaman

vegetasi berdasarkan kearifan ekologi yang berlaku?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan penelitian ini adalah:

1. Mempelajari dan menganalisis keanekaragaman vegetasi di kawasan lereng

gunung Merapi

2. Mempelajari upaya masyarakat dalan mengkonservasi keanekaragaman

vegetasi serta kearifan ekologi yang mendukung upaya tersebut.

6

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk

1. Mengetahui jenis-jenis tumbuhan yang dapat digunakan dalam upaya

konservasi sumber daya alam dan dapat diaplikasikan secara terbatas di

lereng Merapi ataupun secara luas di pegunungan lain.

2. Mendokumentasikan kearifan lokal yang berkaitan dengan upaya pelestarian

keanekaragaman vegetasi dan sumber daya alam.

3. Memberikan masukan kepada para pemangku kepentingan dalam upaya

konservasi lereng Merapi.

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan dan Keanekaragaman Vegetasi

1. Hutan

Keanekaragaman hayati memiliki makna jutaan tumbuhan, hewan,

dan mikroorganisme, termasuk gen yang mereka miliki, serta ekosistem rumit

yang mereka bentuk menjadi lingkungan hidup (Anonim, 1989).

Keanekaragaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkat yaitu sebagai

berikut. Pertama, keanekaragaman spesies. Semua spesies di bumi, termasuk

bakteri dan protista serta spesies dari kingdom bersel banyak (multiseluler

seperti hewan dan tumbuhan). Kedua, keanekaragaman genetis. Variasi

genetik dalam satu spesies, baik diantara populasi-populasi yang terpisah

secara geografis, maupun diantara individu-individu dalam satu populasi.

Ketiga, keanekaragaman komunitas. Komunitas biologi yang berbeda serta

asosiasinya dengan lingkungan fisiknya (ekosistem) (Indrawan, 2007).

Komunitas biologi didefinisikan sebagai sejumlah spesies yang

menempati tempat tertentu dan saling berinteraksi (interspecific interaction)

bersama dengan lingkungan fisik dan kimia yang terkait, komunitas biologi

ini disebut dengan ekosistem. Karakteristik suatu ekosistem seringkali

ditentukan oleh proses yang berlangsung, termasuk siklus air, siklus nutrisi,

dan energi. Lingkungan fisik, khususnya siklus tahunan temperatur dan hujan

serta karakteristik permukaan tanah, mempengaruhi struktur dan karakteristik

komunitas biologi. Lingkungan fisik yang menentukan apakah suatu lokasi

8

akan menjadi hutan, padang rumput, padang pasir, atau lahan basah

(Indrawan, 2007).

Hutan merupakan salah satu tipe ekosistem yang mayoritas terdapat

di Indonesia. Hutan di Indonesia dikelompokkan dalam dua formasi yaitu

klimatis dan edafis. Formasi klimatis sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur

iklim seperti temperatur, kelembaban udara, intensitas cahaya dan angin.

Ekosistem hutan yang masuk dalam formasi klimatis adalah hutan hujan

tropis, hutan musim, dan hutan gambut. Formasi edafis adalah formasi hutan

yang dalam pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah baik

fisik, kimia, ataupun biologis. Tipe hutan dalam kelompok formasi edafis

adalah hutan rawa, hutan payau, dan hutan pantai (Santoso, 1995).

Hutan hujan tropis salah satu tipe vegetasi yang berada pada 10⁰ LU

dan 10⁰ LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks

pada daerah dengan curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun, rata-rata

temperatur 25⁰C dengan fluktuasi temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan

rata-rata kelembaban mencapai 80% (Indriyanto, 2006). Menurut Santoso,

berdasarkan ketinggiannya dari permukaan air laut, hutan hujan tropis dibagi

menjadi tiga zona yaitu sebagai berikut (Santoso, 1995).

a. Zona 1 dinamakan dengan hutan hujan bawah karena berada pada

ketinggian antara 0-1000 m dari permukaan laut (mdpl).

b. Zona 2 dinamakan dengan hutan hujan tengah karena berada pada

ketinggian antara 1000-3300 mdpl.

9

c. Zona 3 dinamakan dengan hutan hujan atas karena berada pada

ketinggian antara 3300-4100 mdpl.

Persebaran tipe hutan hujan tropis tengah meliputi Aceh, Sumatera

Utara, Sumatera bagian barat, Jawa Tengah (termasuk D.I. Yogyakarta), Jawa

Timur, Sulawesi, dan sebagian daerah Indonesia timur. Secara umum,

ekosistem hutan tengah didominasi oleh genus Quercus, Castanopsis,

Nothophagus, dan spesies dari famil Magnoliaceae. Tipe ekosistem hutan

hujan tengah di beberapa daerah agak spesifik seperti tegakan Pinus merkusii

di Sumatera Utara dan Jawa, tegakan Casuarina, spp., Albizia montana dan

Anaphalis javanica di pulau Jawa, kelompok pohon dari genus Aghatis dan

Podocarpus di Sulawesi, dan genus Trema, Vaccinum, dan spesies

Podocarpus imbricatus di daerah Indonesia timur. Anggota dari famili

Dipterocarpaceae hanya terdapat pada daerah dengan ketinggian 1.200 mdpl

(Indriyanto, 2006).

Steenis (2006) membagi hutan di pulau Jawa dengan menggunakan

data perbandingan komposisi floristik dan perubahan yang ada pada zona

transisinya walaupun pembatasan yang ada bukanlah batasan yang tegas.

Hutan tropik antara daerah rendah (pamah) dan pegunungan di pulau Jawa

dihuni oleh tumbuhan tropik sejati (megaterm) seperti Anacardiaceae,

Burseraceae, Capparaceae, Marantaceae, dan banyak yang lain yang

sebarannya hanya mencapai ketinggian 1000 mdpl saja. Sebaliknya,

tumbuhan pecinta dingin (mikroterm) hanya akan ada diatas ketinggian 1000

mdpl. Dalam hal ini, suhu menjadi faktor pembatas utama dari kedua zona

10

tersebut. Batas yang memisahkan zona pegunungan dengan zona subalpin

terlihat pada perubahan aspek floristik dan fisiogami hutan. Steenis juga

membagi vegetasi di pulau Jawa berdasarkan zonasi iklim utama yaitu

sebagai berikut.

a. Ketinggian 0-1..000 mdpl adalah zona tropik, dengan secara khusus

untuk ketinggian antara 500-1.000 mdpl disebut zona bukit (colline).

b. Ketinggian 1.000-2.400 mdpl adalah zona pegunungan dan juga secara

khusus ketinggian 1.000-1.500 mdpl adalah subzona subpegunungan

(submontane).

c. Ketinggian diatas 2.400 mdpl adalah zona elfin.

2. Keanekaragaman vegetasi

Vegetasi adalah istilah yang diberikan untuk semua tumbuh-

tumbuhan dari suatu daerah tertentu, bagaimana mereka tersebar, dan

bagaimana karakter yang melekat pada vegetasi tersebut (Odum, 1998 dan

Barbour, 1987). Barbour (1987) menjelaskan bahwa vegetasi ditandai dengan

bentuk tumbuhnya antara lain sebagai berikut.

a. Ukuran, umur, dan karakter perkayuannya, seperti herba, tahunan,

menahun, semak, pohon, atau pemanjat

b. Tingkat kemandirian suatu takson seperti epifitik, parasitik, dan tegakan

c. Morfologi suatu takson berdasarkan pada karakter spesifik seperti roset

d. Ukuran daun suatu takson seperti besar, kecil, evergreen, gugur, daun

lebar, dan daun jarum

e. Lokasi pertumbuhan berdasarkan lokasi pertumbuhan tunasnya

11

f. Fenologi berdasarkan pada lama daur hidupnya dalam suatu kondisi

lingkungan tertentu.

Newton (2007) menjelaskan bahwa vegetasi dapat dikaji dari

berbagai pendekatan yaitu sebagai berikut.

a. Pendekatan iklim, didasarkan pada konsep bahwa iklim adalah faktor

terbesar yang mempengaruhi distribusi vegetasi

b. Pendekatan bentuk lahan, didasarkan pada karakter tanah dan bentukan

lahan seperti topografi dan elevasi

c. Pendekatan biofisik atau ekosistem, didasarkan pada perpaduan iklim,

tanah, dan bentukan lahan dengan komposisi vegetasi

d. Pendekatan bentuk tumbuh, didasarkan pada bentuk luar tumbuhan yang

paling dominan pada vegetasi tersebut

e. Pendekatan floristik, didasarkan pada komposisi floristiknya untuk

menentukan tipe vegetasi tersebut.

B. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi

1. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi

Konservasi berasal dari kata “conservation” yang berinduk dari kata

con (selalu) dan servare (melindungi) yang memiliki pengertian memelihara

apa yang kita punya, namun digunakan secara bijaksana. Pemerintah

Indonesia menerjemahkan definisi konservasi, sebagaimana tercantum dalam

Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan

Ekosistemnya. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa konservasi

sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang

12

pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan

persediaannya denngan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas

keanekaragaman dan nilainya (Forqan & Fadli, 2009). Konservasi secara

umum diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap sesuatu. Dalam hal ini,

diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap alam dan lingkungan dan

merupakan ilmu lintas disiplin dengan cakupan lebih umum demi melindungi

seluruh aspek keanekaragaman hayati (Indrawan, 2007).

Konservasi alam diartikan sebagai upaya pengelolaan yang

dilakukan oleh manusia dalam pemanfaatan biosfer sehingga mendapatkan

keuntungan sebesar-besarnya dan berkelajutan bagi kehidupan manusia.

Upaya ini bertujuan untuk mempertahankan potensi alam agar dapat

memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang. Pengertian konservasi

tersebut mencakup aspek perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara

berkelanjutan, restorasi dan penguatan lingkungan alam. Konservasi alam

tidak bertentangan dengan pemanfaatan aneka ragam varietas, jenis, dan

ekosistem bagi kepentingan manusia selama dilakukan secara berkelanjutan

(Iskandar, 2001).

Konservasi sumber daya alam dapat dibagi menjadi tiga yaitu

konservasi kawasan, jenis, dan genetis. Undang-undang No.5 tahun 1990

lebih banyak membahas konservasi kawasan dan jenis, sedangkan konservasi

genetis belum terakomodir (Forqan & Fadli, 2009), Dengan demikian, kon-

servasi keanekaragaman hayati merupakan bagian dari definisi diatas.

13

Menurut strategi konservasi dunia, ada tiga tujuan konservasi alam

yaitu sebagai berikut. Pertama, memelihara proses ekologi yang esensial dan

sistem pendukung kehidupan. Kedua, mempertahankan keanekaragaman

genetis. Ketiga, memanfaatkan jenis (spesies) secara berkelanjutan. Terkait

dengan tujuan ini, maka tidak ada larangan bagi manusia untuk

memanfaatkan varietas, jenis , dan ekosistem yang ada disekitarnya.

Konservasi vegetasi, sesuai dengan pengertian diatas, adalah upaya

untuk melindungi, memelihara, memanfaatkan secara berkelanjutan,

merestorasi dan menguatkan kawasan vegetasi itu sendiri. Peran utama

vegetasi dalam lingkup ekosistem sebagai produsen energi (Odum, 1998 &

Barbour, 1987) menjadikan konservasi vegetasi penting dilakukan.

2. Konservasi berbasis Masyarakat

Seluruh agama di dunia mengajarkan manusia untuk hidup damai

dan berkelanjutan serta berharmonisasi dengan alam (Keraf, 2002 &

Mangunjaya, 2005). Konservasi dalam Islam menempati posisi tinggi,

sebagaimana dicontohkan dalam kearifan (wisdom) Rasulullah dalam

menghormati makhluk hidup. Manusia adalah pengemban amanah, ber-

kewajiban untuk memelihara keutuhan ciptaan-Nya, integritas bumi, serta

flora dan faunanya, baik hidupan liar ataupun keadaan alam asli

(Mangunjaya, 2007), dan kehidupan di muka bumi diberikan sebagai

anugerah yang harus disyukuri, maka manusia diwajibkan untuk

memeliharanya sebagai amanah (Mangunjaya, 2005). Hal serupa

diungkapkan oleh van Steenis (2006) manusia harus belajar dari alam, yang

14

memilikinya dan tempat bergantung secara menyeluruh demi kelangsungan

hidupnya.

Masyarakat lokal mengembangkan cara hidup yang diselaraskan

dengan lingkungan hidupnya. Orientasi masyarakat lokal dalam

memanfaatkan lingkungannya adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-

harinya, baru kemudian sebagai sumber penghasilan, yang seringkali masih

selaras dengan lingkungannya. Hubungan yang erat dengan suatu kawasan

lahan menyebabkan keterikatan yang kuat dengan kawasan lahan tersebut

yang diwujudkan dalam bentuk hukum adat, skema kepercayaan, simbolisme

yang kompleks, dan ilmu pengetahuan tentang sumber daya yang terinci.

Banyak penduduk asli yang melihat bahwa mereka akan bertahan dalam

jangka waktu yang lama dengan mempertahankan alam lingkungannya untuk

generasi mendatang (Colchester, 2009).

Masyarakat, terutama yang bertempat tinggal di kawasan konservasi,

secara ekologis merupakan bagian dari kawasan tersebut sendiri. Kombinasi

antara hubungan dengan lingkungan hidup yang telah berlangsung lama ini

dan komitmen untuk bertahan disana demi masa depan menjadi motivasi

masyarakat untuk mengelola secara berhati-hati, namun secara relatif kearifan

tersebut dapat bertahan di tengah perubahan zaman yang cepat ini.

Terkait dengan pengelolaan suatu kawasan konservasi dengan

campur tangan pemegang kekuasaan, baik oleh pemerintahan atau lembaga

yang lain, masyarakat perlu dilibatkan dalam pembuatan rencana pengelolaan

dan kebijakan penggunaan kawasan, karena masyarakat setempat telah

15

terbiasa memanfaatkan hasil dari kawasan tersebut. Baiknya, masyarakat

setempat mengalami hal berikut: 1) dilibatkan sejak tahap perencanaan dan

pengelolaannya, 2) dilibatkan secara resmi untuk melestarikan kawasan, dan

3) mendapatkan manfaat dari kawasan konservasi tersebut.

Keberhasilan atau kegagalan suatu upaya konservasi tidak lepas dari

peran masyarakat lokal. Pelaksanaan pembangunan berbasis komunitas

(community based development) merupakan alternatif pelaksanaan

pembangunan dengan keberpihakan pada masyarakat. Pada tahapan ini,

masyarakat tidak dianggap sebagai obyek melainkan salah satu penentu

kebijakan dan pelaku itu sendiri. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam

melakukan pengawasan, pemeliharaan, pengelolaan, dan pelaksanaan

program konservasi itu sendiri (Marfai, 2005). Hal serupa dinyatakan oleh

Indrawan et.al. (2007) bahwa campur tangan masyarakat merupakan salah

satu syarat keberadaan kawasan konservasi. Pemahaman dan tingkat

partisipasi masyarakat lokal terhadap proses konservasi dapat terlaksana

dengan optimal ketika masyarakat ditempatkan sebagai salah satu komponen

penentu kebijakan dan duduk bersama dengan penentu kebijakan yang lain

seperti pemerintah, LSM, dan swasta.

Menurut Wells dan McShane (2004) ada berapa hal yang harus

dipersiapkan untuk mengintegrasikan kawasan konservasi dengan kemauan

masyarakat (local need) sekitar. Metode ini secara umum menginduk ke

pendekatan top-down. Pertama, membangun aliansi dengan sebagian besar

komunitas lokal untuk membangun kepercayaan. Kedua, membangun koalisi

16

untuk konservasi dengan menyatukan semua pemangku kepentingan baik

lokal maupun politis. Ketiga, menyatukan pemerintahan lokal dan sektoral di

kawasan tersebut dalam kaitannya dengan batas-batas dan pemanfaatan lahan

di kawasan konservasi tersebut dan sekitarnya. Keempat, membantu

komunitas dalam wilayah nilai-nilai ekologis dalam pembangunan kawasan

dan penanaman tanaman mereka dengan memberi ruang untuk penanaman

tanaman secara mandiri oleh masyarakat. Kelima, ekspolorasi potensi sumber

daya alam lokal yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh kelompok

masyarakat untuk meningkatkan tanggungjawab terhadap kawasan

konservasi. Keenam, mendukung pendidikan lingkungan untuk memperdalam

dukungan masyarakat terhadap kawasan konservasi tersebut. Ketujuh,

membangkitkan kesadaran lokal mengenai tingginya nilai keanekaragaman

vegetasi yang ada dan pentingnya konservasi. Kedelapan, mendukung

pemanfaatan kawasan yang dapat menghasilkan pemasukan secara terus

menerus baik secara selektif, tentatif, dan skala kecil oleh dan dengan

dukungan masyarakat.

Metode yang ditawarkan Wells (2004) sejalan dengan proyek Man

and Biosphere dari UNESCO. UNESCO memelopori teknik zonasi ini

dengan program Man and Biosphere (MAB) dalam bentuk cagar biosfer.

Kawasan koservasi ini terdiri dari zona inti, zona penyangga, dan zona

transisi. Pada daerah inti, keanekaragaman hayati yang ada dilindungi penuh,

pada zona penyangga, berbagai kegiatan kultural dan penelitian dapat

berlaku, dan di zona transisi dilakukan kegiatan yang lebih intensif seperti

17

pertanian (Anonim, 2009). Indrawan (2007) menyatakan bahwa zonasi

merupakan salah satu solusi untuk menengahi berbagai konflik kepentingan

dalam kawasan konservasi. Sistem ini bertujuan untuk mengelola kawasan

secara keseluruhan, dengan merancang dan menentukan wilayah yang akan

diberikan prioritas bagi kegiatan tertentu.

Upaya-upaya penghubungan yang dapat dilakukan secara umum

dapat dibagi menjadi dua yaitu secara legal dan kultural. Pertama, secara

legal. Penerapan pola zonasi dalam kawasan konservasi dapat dikategorikan

dalam sudut pandang ini. Masyarakat memiliki akses pemanfaatan ke

kawasan konservasi dan masyarakat ditempatkan sebagai salah satu

komponen penentu kebijakan dan duduk bersama dengan penentu kebijakan

yang lain seperti pemerintah, LSM, dan swasta. Kedua, secara kultural.

Pengelola kawasan konservasi dan masyarakat duduk bersama untuk

mendapatkan kesepahaman dalam pengelolaan kawasan tersebut (Marfai,

2005; Indrawan, 2007; & Anonim, 2009).

Gabungan antara survey keanekaragaman vegetasi dan sudut

pandang masyarakat dalam memandang dan menilai alam lingkungannya

dapat membantu dalam memperbaiki rencana pengelolaan kawasan dan

sesuai dengan kepentingan masyarakat yang ada disana. Konservasi dapat

dilakukan menerima dan membangunnya atas dasar apa yang dipandang

masyarakat itu penting (Sheil et,al., 2004).

Danielsen et.al. (2007) menyarankan adanya monitoring lingkungan

yang partisipatif dan membuktikan adanya keterkaitan yang kuat antara

18

keterlibatan masyarakat lokal dengan kegiatan konservasi yang ada.

Masyarakat lokal berpartisipasi dalam menjaga kawasan yang dinyatakan

milik mereka dan juga berbagai sumber daya alam lainnya.

C. Kearifan Ekologi Masyarakat Lereng Gunung Merapi

Kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,

pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun

perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan

tradisional ini tidak hanya berbicara mengenai hubungan manusia dengan manusia

dalam sistem sosial, namun juga hubungan manusia dengan alam lingkungannya

(Keraf, 2002).

Kearifan tradisional memiliki lima karakter yang selalu melekat yaitu

sebagai berikut. Pertama, kearifan tradisional adalah milik komunitas. Kedua,

kearifan tradisional atau pengetahuan tradisional lebih bersifat praksis. Ketiga,

kearifan tradisional bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan dan

pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta.

Keempat, berdasarkan karakter diatas, masyarakat juga memahami bahwa semua

aktivitasnya sebagai aktivitas moral. Kelima, kearifan tradisional bersifat lokal,

karena terkait dengan tempat yang partikular dan konkret. Kearifan tradisional

selalu menyangkut manusia yang partikular (komunitas masyarakat itu sendiri),

alam (di sekitar tempat tinggalnya, bahkan tentang pohon, sumber air, gua, dan

sebagainya) dan relasinya dengan alam tersebut. Tetapi karena manusia dan alam

bersifat universal, maka dengan sendirinya kearifan dan pengetahuan tradisional

tersebut menjadi universal dengan sendirinya. Walaupun tidak memiliki rumusan

19

universal, ternyata kearifan tradisional ditemukan di semua masyarakat tradisional

di seluruh dunia dengan substansi yang sama (Keraf, 2002).

Kehidupan masyarakat jawa pada umumnya tidak dapat terlepaskan dari

lingkungan tempat tinggalnya. Baik secara langsung atau tidak, dan disadari atau

tidak selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya melalui

serangkaian pengamatan dan pengalamannya. Dari pengalaman hidup ini

kemudian diperoleh cita lingkungan hidupnya yang memberikan petunjuk

mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan untuk kebaikan

hidupnya (Minsarwati, 2002).

Kearifan ekologi atau etnoekologi dimaknai dengan pengetahuan

lingkungan tradisional yang terkait dengan lingkungan seperti klimatologi

tradisional seperti dalam masyarakat jawa yaitu pranoto mongso dan pengetahuan

tentang komponen biologis di lingkungannya serta pengaruh keberadaan manusia

(anthropogenic effect) di dalam lingkungan (Cotton, 1996). Minsarwati (2002)

menyatakan bahwa kearifan ekologi adalah segala tindakan penduduk setempat

dalam melangsungkan kehidupan mereka untuk bisa selaras dengan

lingkungannya, dan merupakan manifestasi dari kepercayaan yang mereka anut.

Terkait dengan Gunung Merapi, penduduk di sekitarnya merasakan diri mereka

merupakan bagian dari ekosistem Merapi, sehingga dari pandangan itu untuk

menjaga keselamatan hidup mereka harus bersikap dan bertindak yang serasi dan

selaras terhadap sesamanya, Gunung Merapi dan para roh leluhur atau makhluk

halus penghuni Merapi.

20

Masyarakat, sangatlah percaya pada hal-hal yang berbau mitos. Namun

karena mitos selalu berhubungan dengan Yang Sakral (alam Adikodrati), maka

perlu penjelasan yang masuk akal. Oleh karena itu, peristiwa empiris selalu

berkaitan dengan metaempiris, seperti ungkapan gugon tuhon dari juru kunci atau

para sesepuh untuk tidak mencari rumput di daerah-daerah yang angker,

memindahkan batu, menebang pohon, mendirikan rumah menghadap ke gunung

dan juga berburu binatang di hutan. Di balik itu semua, terdapat nilai-nilai yang

berkaitan dengan kearifan ekologi penduduk terhadap lingkungan alam Gunung

Merapi dan selalu berhubungan dengan pelestarian lingkungannya (ekosistem)

(Minsarwati, 2002). Masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan menganggap

hutan tersebut sebagai bagian dari hidupnya, walaupun telah beralih

pengelolaannya oleh pemerintah sekalipun, masyarakat tetap memandang hutan

tersebut sebagai miliknya, tempat mencari penghasilan, lapangan kerja, kayu, dan

tempat bermain anak-anak (Simon, 2007).

D. Penelitian Terkait

Terkait dengan tema ini, ada beberapa penelitian yang telah dilakukan di

kawasan lereng gunung Merapi antara lain sebagai berikut.

1. Penelitian Ir. Wisnu Minsarwati, M.Hum. pada tahun 2002 mengenai

hubungan antara mitos Merapi dengan kearifan ekologi masyarakat lereng

selatan gunung Merapi. Masyarakat lereng selatan Gunung Merapi

mengganggap dirinya sebagai bagian dari Merapi, sehingga selalu berusaha

selaras dengan lingkungannya tersebut. Masyarakat merealisasikan

pandangannya dengan tidak membangun rumah menghadap langsung ke

21

puncak Merapi, larangan memindahkan batu dan menebang pohon,

perlindungan terhadap binatang buas dan merumput di tempat tertentu, dan

upacara-upacara ritual dan selamatan.

2. Skripsi Fathur Rahman dari Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 2008

mengenai Interaksi Masyarakat dengan Kawasan Hutan Gunung Merapi

(Studi di Dusun I desa Lencoh, Kec. Selo, Kab. Boyolali, Jawa tengah). Inti

dari skripsi ini adalah terdapat dua dimensi interaksi yaitu pemanfaatan dan

pengelolaan. Hutan tersebut dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber bahan

konstruksi, pupuk organik, pakan ternak, sumber air bersih, dan faktor

pembentukan budaya. Pengelolaan dalam hal ini diartikan sebagai upaya

masyarakat untuk menjaga dan melestarikan hutan Merapi. Dalam skripsi ini

dimensi pelestarian mencakup upaya untuk mengintensifkan penggunaan

lahan pertanian untuk kesejahteraan masyarakat, penanaman pohon-pohon di

kawasan mata air, dan pemanfaatan nilai-nilai budaya untuk mempertahankan

kelestarian tresebut dengan dasar nilai-nilai tersebut mengandung makna

tentang interaksi manusia dengan hutan untuk tercapainya kelestarian.

3. Skripsi I Ketut Parwata dari Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 2008

mengenai Interaksi Masyarakat Desa Samiran dengan Hutan di Kawasan

Taman Nasional Gunung Merapi. I Ketut Parwata menyatakan bahwa

interaksi masyarakat dengan hutan tidak dapat dilepaskan dari cara

pandangnya terhadap hutan. Interaksi disini berarti pemanfaatan secara

kontinyu, digunakan untuk pemenuhan hidup (subsisten) dan dibatasi serta

diatur oleh peraturan lisan, adat istiadat, dan peraturan pemerintah.

22

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian pendahuluan telah dilaksanakan pada bulan November 2010.

Penelitian ini secara efektif dilaksanakan di sekeliling Gunung Merapi pada bulan

Maret-April 2011 untuk aspek ekologi dan bulan April-Mei 2011 untuk aspek

sosial kemasyarakatan. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan di dua

dusun di lereng gunung Merapi yaitu Dusun Girpasang dan Dusun Plalangan.

Dusun Girpasang secara administratif terletak di desa Tegalmulyo, Kec.

Kemalang, Kab. Klaten, Jawa Tengah. Secara geografis terletak di lereng tenggara

gunung Merapi, pada koordinat 7°34‘00’’- 7°34’15’’ LS dan 110°28‘30’’-

110°29’00’’ BT, ketinggian rata-rata 1186 mdpl, dengan luas hingga 4 (empat)

hektar. Dusun Plalangan secara administratif terletak di desa Lencoh, Kec. Selo,

Kab. Boyolali, Jawa Tengah. Secara geografis terletak di lereng utara gunung

Merapi pada koordinat 7°30’30’’-7°30’45’’ LS, dan 110°27’10’’-110°27’15’’ BT

dengan ketinggian antara 1592-1725 mdpl dan memiliki luas wilayah mencapai

(empat) hektar.

Dusun Girpasang dan Plalangan, ditinjau dari stratifikasi zona vegetasi van

Steenis untuk flora di kawasan Malesia, berada pada zona yang berbeda.

Ketinggian 1000-1500 mdpl merupakan zona subpegunungan dan ketinggian

1.500-2.400 masuk dalam zona pegunungan, maka Girpasang berada di zona

subpegunungan dan Plalangan berada di zona pegunungan (Steenis, 2006).

23

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di dua dusun di Lereng Merapi (Sumber: Peta

RBI lembar Kaliurang, 1996)

B. Alat dan Bahan

1. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah meteran, tali,

patok, peta, GPS (untuk koordinat lokasi dan elevasi), lembar lapangan, alat

perekam, dan alat tulis.

2. Bahan

Bahan yang digunakan untuk mendukung penelitian ini antara lain

pustaka yang terkait, hasil penelitian terdahulu, peta-peta kawasan, data

monografi area penelitian, dan data lain yang dianggap dapat mendukung.

C. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini meliputi aspek ekologi vegetasi dan aspek sosial

masyarakat. Metode yang digunakan untuk kajian aspek ekologi vegetasi adalah

24

plot kuadrat sedangkan kajian sosial kemasyarakatan dilakukan dengan metode

deskriptif kualitatif.

1. Aspek Ekologi Vegetasi

Pengumpulan data ekologis dilakukan dengan menggunakan metode

plot kuadrat yang dibagi menjadi tiga tingkatan berdasarkan tingkat

pertumbuhan vegetasi yaitu plot berukuran 10X10 meter untuk vegetasi

tingkat pertumbuhan pohon, 5X5 meter untuk tingkat anak pohon, dan 2X2

meter untuk vegetasi tingkat semak, herba, dan rumput. Vegetasi tingkat

pertumbuhan pohon memiliki diameter batang lebih dari 20 cm yang diukur

pada ketinggian 1 m dari permukaan tanah, tingkat pertumbuhan anak pohon

memiliki diameter batang dibawah 20 cm pada ketinggian 1 m, serta habitus

semak, herba, dan rumput dikelompokkan menjadi satu yaitu tingkat

pertumbuhan bawah.

Luasan plot sampel diambil 0.1% dari luasan kedua dusun yang

menjadi area penelitian. Dusun Girpasang memiliki luas 4 ha dan dusun

Plalangan memiliki luas hingga 4 ha. Keseluruhan luas dusun adalah 8 ha,

maka luas area sampel yang didapatkan adalah 800 m2, dan dijadikan 8 plot

dengan luas maksimum 10X10m. Plot ditempatkan secara acak teratur

(stratified random) di luar pemukiman penduduk tetapi masih dalam wilayah

dusun tersebut atau dalam wilayah jelajah masyarakat dari dusun tersebut dan

memotong garis kontur (contouring) dari elevasi rendah ke elevasi yang lebih

tinggi.

25

Gambar 2. Metode pengambilan sampel aspek ekologi vegetasi di kawasan

dusun Girpasang dan Plalangan; keterangan: (kiri) ukuran plot yang digunakan dalam penelitian ini, (kanan) pola pengambilan plot sampel dengan metode contouring.

2. Aspek Sosial Kemasyarakatan

Pengumpulan data sosial kemasyarakatan, secara purposif, sebagai

sampel lima orang yang mengetahui sejarah yang terjadi dalam dusun

tersebut sebagai informan dari tiap dusun yang berdasarkan rekomendasi

masyarakat setempat. Pengumpulan data sosial kemasyarakatan dilakukan

dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi

partisipatif.

a. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam didisain untuk mendapatkan gambaran

yang jelas dari perspektif subyek dalam jumlah yang sedikit terkait

dengan topik penelitian. Wawancara mendalam ini bersifat akhir terbuka

(open-ended), dilakukan secara bertahap dengan dalam pertemuan yang

berulang (Cotton, 1996).

Metode wawancara mendalam dapat digunakan untuk menggali

informasi sebanyak-banyaknya. Teknik wawancara mendalam dalam

26

penelitian ini digunakan dalam pengambilan data-data kearifan lokal

masyarakat di bidang konservasi sumber daya biologis dalam kehidupan

masyarakat itu sendiri. Informan yang diikutsertakan adalah kepala

dusun, tokoh masyarakat seperti juru kunci, sesepuh desa, orang-orang

tua, serta sumber lain yang potensial.

Wawancara dimaksudkan untuk mengetahui simbol dan makna

dari ungkapan-ungkapan dan kegiatan masyarakat dalam upaya

konservasi sumber daya biologis, dengan mempertanyakan makna dan

kegunaannya, selanjutnya dilihat hubungannya dengan upaya konservasi

yang ada

b. Observasi non-partisipan

Metode ini digunakan untuk mengetahui dan memahami

kehidupan masyarakat sehari-hari, mulai dari interaksi sosial, kegiatan-

kegiatan, sampai ke masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat

dusun-dusun tertinggi di lereng gunung Merapi.

D. Analisis Data

1. Aspek Ekologi Vegetasi

Data vegetasi yang diperoleh digunakan untuk mengetahui nilai

kerapatan (densitas), frekuensi, dominansi, nilai penting, dan kemudian

menentukan indeks keanekaragaman menurut Shannon-Wiener (Fachrul,

2007 & Indriyanto, 2005).

27

Kerapatan (densitas) dan kerapatan relatif, disimbolkan dengan K dan

KR%, adalah nilai yang menunjukkan jumlah suatu individu atau jenis dalam

suatu area pengamatan.

K = Jumlah Individu suatu jenis (1) Luas seluruh plot

KR% = Nilai kerapatan suatu jenis X 100% (2) Jumlah total nilai kerapatan seluruh jenis Frekuensi dan frekuensi relatif, disimbolkan dengan F dan FR%,

digunakan untuk melihat seberapa sering suatu jenis muncul dalam sebuah

pengamatan dan menunjukkan persebaran suatu spesies tertentu.

F = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis (3) Jumlah seluruh plot

F R%= Nilai frekuensi suatu jenis X 100% (4) Nilai total frekuensi seluruh jenis

Dominansi dan dominansi relatif, disimbolkan dengan D dan DR%,

digunakan untuk melihat seberapa besar penguasaan suatu spesies pada suatu

komunitas tumbuhan. Nilai dominansi dihitung berdasarkan penutupan

kanopinya, dan nilai dominansi dapat terpusat pada satu spesies atau tersebar

merata.

D = Luas bidang dasar suatu jenis (5) Luas seluruh area pengamatan

DR%= Nilai dominansi suatu jenis X 100% (6) Nilai total dominansi seluruh jenis

Nilai penting, disimbolkan dengan NP, digunakan untuk melihat

seberapa penting kehadiran suatu jenis dalam komunitas yang diamati dan

seberapa besar tingkat penguasaannya. Semakin besar nilai penting suatu

28

jenis maka semakin besar kemungkinannya untuk tetap melanjutkan hidup ke

generasi selanjutnya.

NP = KR% + FR% + DR% (7)

Indeks keanekaragaman yang disimbolkan dengan H’ dari Shannon-Wienner

dihitung dengan rumus adalah sebagai berikut.

∑=Nni

lnNni

-H' atau H'=-∑Pi Ln Pi (8)

Keterangan:

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener

Pi = Jumlah individu suatu jenis i dibagi jumlah total individu seluruh jenis

Ni = Jumlah individu dari suatu jenis i

N = Jumlah total individu seluruh jenis

Nilai indeks keanekaragaman diatas dikategorikan menjadi 3 (tiga)

yaitu sebagai berikut.

< 1 : keanekaragaman spesies pada suatu transek melimpah rendah.

1-3 : keanekaragaman spesies pada suatu transek melimpah sedang.

≥ 3 : keanekaragaman spesies pada suatu transek melimpah tinggi.

Hasil sampling diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan

lapangan yaitu buku panduan lapangan Flora Pegunungan Jawa karya

C.G.G.J. van Steenis (2006), Handbook for The Cultivation of Sugar-Cane

and Manufacturing of Cane-Sugar in Java karya C.A. Backer (1973) dan

pustaka-pustaka lain yang relevan. Identifikasi alternatif dengan teknik

perbandingan herbarium, diskusi dengan ahli sistematika tumbuhan, dan

mempertanyakan langsung dengan masyarakat. Manfaat tumbuhan sebagai

29

sarana dan obyek konservasi dihubungkan dan dilihat kesesuaiannya dengan

pustaka yang terkait serta dikaitkan kearifan masyarakat setempat ataupun

konsepsi kearifan masyarakat lereng gunung Merapi secara umum.

2. Aspek Sosial Kemasyarakatan

a. Wawancara Partisipatoris

Pengolahan data hasil wawancara sosial kemasyarakatan dilakukan

dengan menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan menggambarkan

kondisi apa adanya, menggali maksud yang ada, dan menjelaskannya

berdasarkan tema yang dimaksud dalam penelitian ini. Penelitian ini

termasuk dalam studi kemasyarakatan. (Sukmadinata, 2011).

b. Observasi non-partisipan

Semua yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat

lereng Gunung Merapi dikonfirmasikan kembali dengan masyarakat,

baik dalam wawancara ataupun interaksi lain dan kemudian dijadikan

data primer dalam penelitian ini. Hasil observasi digunakan untuk

memperkuat data-data hasil wawancara yang dilakukan diatas.

30

IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

A. Dusun Girpasang

1. Sejarah Keberadaan Dusun Girpasang

Sejarah Girpasang bermula dari pengutusan seorang abdi dalem

Kasunanan Surakarta dalam masa kepemimpinan Sunan Pakubuwono VII

yang bernama Kaki Turnosono dan Kaki Dareng untuk membuka lahan dan

menetap di ujung sebuah bukit yang sekarang dikenal dengan nama

Girpasang. Kaki Turnosono diberi nama kebesaran Pacul Kuwoso yang

berarti orang yang terhormat yang menguasai kawasan ini (Pacul dimaknai

dengan sing temungkul, dan kuwoso berarti kang nguwasani deso). Kaki

Dareng merupakan rekan Kaki Turnosono sekaligus seorang abdi dalem

kasunanan Surakarta yang berpangkat Bekel dari Tirtoyudan, Pucang untuk

menetap (thethenguk) di Girpasang.

Kaki Turnosono merupakan cikal bakal dari masyarakat Girpasang

dan sebagian dusun lain. Kaki Turnosono menurunkan 9 anak, dua

diantaranya menetap di Kalitengah, satu orang di Kedungijo, satu di

Girtengah, tiga di Girpasang sendiri, dan dua di dusun lain. Menurut

penuturan masyarakat, penduduk Girpasang sekarang yang sebanyak tujuh

kepala keluarga terhitung berkerabat semuanya dan merupakan generasi

keempat hingga kelima dari Kaki Turnosono. Keturunan Kaki Turnosono

yang terakhir diminta membuka kawasan timur Girpasang yang sekarang

dikenal dengan nama Kedungijo, sehingga padusunan Girpasang termasuk

generasi tua yang menetap di kawasan tersebut.

31

2. Lokasi Geografis dan Administratif

Dusun Girpasang terletak di lereng tenggara gunung Merapi, pada

koordinat 7°34‘00’’- 7°34’15’’ LS dan 110°28‘30’’-110°29’00’’ BT,

ketinggian rata-rata 1186 mdpl, dan luas hingga 4 (empat) hektar. Girpasang

merupakan salah satu dusun yang terisolir dengan jalan yang hanya dapat

dilalui manusia dan ternak, terletak di desa Tegalmulyo, Kecamatan

Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sebelah utara berbatasan dengan

dusun Kedungijo, selatan berbatasan dengan dusun Kringin, barat berbatasan

dengan jurang kali Jromah, dan timur juga berbatasan dengan bagian hilir

jurang kali Jromah. Dusun ini terdiri dari 1 (satu) RT dengan total penduduk

sebanyak 32 jiwa dan terbagi dalam 8 kepala keluarga (kk).

Gambar 3. Peta kawasan dusun Girpasang (Sumber: Peta RBI lembar

Kaliurang, 1996)

32

3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Masyarakat Girpasang terdiri dari 8 (delapan) kepala keluarga,

dengan 32 jiwa. 13 jiwa diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan 19 jiwa

berjenis kelamin perempuan. Pendidikan tertinggi masyarakat setempat

adalah sekolah menengah pertama (SMP), sebagian lain berpendidikan

sekolah dasar (SD) dan selebihnya tidak menempuh pendidikan formal.

Keseluruhan anggota masyarakat Girpasang beragama Islam yang secara

sadar mereka nenyatakan bahwa Islam mereka adalah Islam abangan, hanya

tercantum di kartu tanda penduduk saja. Masyarakat juga menjalankan Islam

sebagaimana mestinya antara lain ibadah puasa (poso atau siyam) dan juga

memperingati hari besar Islam (wawacara dengan Bpk. Yosorejo – Ka. RT).

Kesadaran masyarakat untuk mengabdi pada kekuasaan kultural

yang menaunginya – Kasunanan Surakarta Hadiningrat – sangatlah tinggi.

Hal tersebut terlihat dari upaya pendataan dan pendaftaran ke paguyuban abdi

dalem keraton Surakarta. Hal tersebut tidak menghalangi keaktifan masya-

rakat dalam mengikuti berbagai kegiatan dalam lingkup desa Tegalmulyo.

Sebagian warga ada yang telah berpangkat bekel anom dalam strata

kepangkatan Kasunanan Surakarta, dan di Girpasang juga bermukim Kaur

keamanan desa Tegalmulyo (Bpk. Patmo Sudarso) serta anaknya yang aktif di

kegiatan karang taruna.

Masyarakat dusun Girpasang memiliki kehidupan yang agraris,

hidup dengan mengandalkan hasil kebon (kebun) dan tegal (ladang) yang

dimiliki di sekitar dusun itu sendiri. Kegiatan sehari-hari masyarakat

33

Girpasang adalah mugut (mencari rumput) di pagi hari sekitar pukul 06.00

WIB dan jika memungkinkan atau dibutuhkan diulangi pada sore harinya.

Kegiatan selanjutnya adalah tilik kebon yang dapat diartikan dengan

menggarap kebon, menugal (membuat lubang) untuk tanaman baru,

menyiangi hama, dan menjaga kebon dari hama antara lain kera ekor panjang

(Macaca fascicularis). Sebagian besar kegiatan kemasyarakatan dilakukan di

malam hari. Kegiatan yang dilakukan di siang hari dihadiri secara bergiliran,

antara lain untuk menjaga kebon dari hama seperti dijelaskan diatas.

Masyarakat jawa pegunungan, dalam hal ini kawasan lereng gunung

Merapi, mengenal perilaku yang spesifik yaitu sambatan yang secara umum

masyarakat Girpasang menerjemahkannya dengan gotong-royong. Sambatan

dapat diartikan dengan saling menyampaikan atau saling membicarakan.

Sambatan sendiri dapat bermakna gerakan yang berarti gotong-royong dalam

pembangunan fisik atau sumbangan dalam bentuk materi. Pembangunan

rumah, pembuatan fasilitas umum, dan hajatan yang digelar dalam lingkup

kecil seperti masyarakat Girpasang sendiri tentunya harus menyertakan orang

lain dalam lingkup tersebut. Tidak ada batasan pasti mengenai waktu yang

digunakan untuk sambatan, biasanya setelah tanggungan pribadi seperti

mugut dan garapan kebon dan tegal selesai, dilakukan secara bergiliran, dan

tidak terbatas dalam dusun Girpasang saja. Sambatan juga bertujuan untuk

meringankan beban yang memiliki hajat dan membuat ikatan emosional dan

kultural antar sesama anggota masyarakat semakin kuat (wawancara dengan

masyarakat Girpasang).

34

Penghasilan masyarakat Girpasang mayoritas berasal dari pembuatan

arang kayu dan hasil tegalan. Arang kayu dibuat dari kayu Sogo atau Akasia

Gunung (Acacia decurrens Willd.) dan dijual seharga Rp 85.000-100.000 per

karung bren (karung berukuran 50 kg bekas kemasan bekatul gandum untuk

pakan ternak – wheat bran) dan dijual di hari pasarannya yaitu wage. Hasil

tegalan seperti jagung, jipang (labu air), bawang merah, loncang (daun

bawang), dan lainnya dijual ke pasar Surowono, 5 km dari Girpasang hanya

pada hari pasaran pon dan kliwon, sesuai harga yang berlaku di pasaran

sehingga hasilnya tidak menentu. Menuju ke pasar, masyarakat Girpasang

harus berangkat dari rumah saat adzan subuh berkumandang karena engkel

(mobil pengangkut yang berupa truk berbak rendah, memiliki pagar terali,

yang adakalanya juga untuk angkutan ternak) akan lewat sekitar pukul 05.00

WIB, pagi hari. Dengan engkel yang sama, masyarakat pulang dari pasar dan

sudah sampai di rumah sekitar pukul 10.00 WIB (wawancara dan observasi

partisipasif).

4. Infrastruktur dan aksesibilitas

Pemukiman masyarakat Girpasang relatif mengelompok dalam satu

area, kecuali dua rumah saja yang terpisah. Terdapat 7 (tujuh) rumah yang

dihuni oleh 8 (delapan) kepala keluarga, diantaranya hanya dua rumah yang

berdiri secara permanen dari batu kali dan selainnya masih berbahan dasar

bambu anyaman (gedhek).

Fasilitas umum yang terdapat di kawasan dusun ini adalah bunker

untuk perlindungan sementara dari abu letusan Merapi, listrik bervoltase 220,

35

dan dua unit jalan beton. Bunker dibangun pada tahun 2004 secara swadaya

dan bantuan dari Komunitas Lintas Merapi (KLM), listrik diusahakan dengan

menyalur dari rumah warga di dusun Kedungijo yang menginduk ke

Kecamatan Musuk, Boyolali, dan jalan beton yang berada di dalam dusun di

bangun pada tahun 1994 dengan bantuan dari Saluran Komunitas Siaga

Bencana (SKSB) dan diluar dusun untuk sarana akses ke dusun terdekat yaitu

dusun Kringin dibangun secara swadaya pata tahun 1994. Akibat gempa bumi

tahun 2006, jalan beton di luar dusun longsor sepanjang 20 m dan memutus

akses masyarakat lebih dari 3 (tiga) bulan. Perbaikan jalan tersebut dilakukan

dengan cara sambatan oleh seluruh warga Girpasang dan sebagian warga

Kringin dengan pendanaan swadaya serta bantuan pemerintah daerah Klaten

(wawancara dengan masyarakat Girpasang).

Dusun Girpasang dapat diakses dari beberapa dusun di sekitarnya

seperti Kedungijo, Kringin, dan Canguk, namun, jalur akses terdekat adalah

dari dusun Kringin dengan menyeberangi jurang sedalam lebih dari 150 meter

dan sebagian sudah dibuat tangga beton. Jarak lurus antara kedua dusun ini

hanya 230 meter saja, dengan adanya pembatas geografis tersebut, jaraknya

membentang hingga 580 meter dengan waktu tempuh rata-rata masyarakat

setempat adalah 30 menit. Jalan yang menghubungkan Kedungijo dan

Girpasang dapat dilalui oleh sepeda motor jenis trail dengan keahlian tinggi.

36

B. DUSUN PLALANGAN

1. Sejarah Keberadaan Dusun Plalangan

Plalangan didirikan oleh seorang priyayi pelarian dari Majapahit,

menjelang keruntuhan kerajaan itu, ketika Islam masuk ke Jawa. Bersama

pengikutnya, pelarian yang bernama Eyang Mentawiji membuka hutan dan

menggunakan teknik perladangan berpindah untuk menunjang kehidupan

mereka. Pada tahun 1912 pemerintah Belanda mengukuhkan hutan di seluruh

lereng Merapi menjadi hutan lindung sehingga mereka mengubah teknik

perladangan berpindah menjadi teknik tegalan (Triyoga, 2010). Plalangan

menurut sebagian masyarakat berasal dari kata bahasa jawa kalanglangan

atau ke-alang-alang-an yang dapat diartikan dengan terhalang-halangi. Tahun

1940-an, Plalangan sudah dihuni oleh masyarakat dengan jalan akses hanya

berupa jalan setapak dan terhalangi keberadaannya oleh hutan lebat gunung

Merapi dan Merbabu, karena itu, pada masa krisis perjuangan, daerah

Plalangan masih dianggap tidak berpenghuni. Plalangan termasuk dusun tua

dan kemudian diikuti dengan kemunculan dusun-dusun lain di sekitar

Plalangan itu sendiri.

Sejak berdirinya Kasunanan Surakarta pada tahun 1745 hingga masa

pemerintahan Pakubuwono X (1893-1939) Plalangan selalu dilewati

rombongan abdi dalem Keraton Surakarta yang membawa barang-barang

labuhan ke Gunung Merapi. Pada pemerintahan Pakubuwono X inilah

didirikan pesanggrahan Indramarta di lereng gunung Merbabu sebagai

penginapan abdi dalem selama prosesi Labuhan di lakukan. Sekalipun

37

Plalangan dilalui oleh rombongan labuhan, tidak ada satupun penduduk yang

diangkat oleh Sunan sebagai juru kunci Gunung Merapi seperti halnya yang

terjadi di Kinahrejo.

Dahulu kala, terdapat sumber air di kawasan Plalangan yang

dikuasai oleh makhluk halus. Makhluk halus tersebut menawarkan sumber air

ke masyarakat Plalangan saat itu sebesar payung, tetapi masyarakat tidak

bersedia dengan pertimbangan bahwa sumber sebesar itu tidak akan habis

terpakai oleh masyarakat Plalangan sendiri, dan kemudian masyarakat

menyumbatnya dengan kepala kambing. Sampai sekarang tempat tersebut

tidak ditemukan lagi, dan akhirnya kawasan utara gunung Merapi tidak

terdapat sumber air sama sekali.

2. Lokasi Geografis dan Administratif

Dusun Plalangan terletak di lereng utara gunung Merapi pada

koordinat 7°30’30’’-7°30’45’’ LS, dan 110°27’10’’-110°27’15’’ BT dengan

luas wilayah mencapai 4 (empat) hektar. Dusun ini merupakan dusun tertinggi

di lereng gunung Merapi dengan ketinggian antara 1592-1687 mdpl dan

kemiringan rata-rata mencapai 35 derajat. Dusun Plalangan adalah bagian

dari desa Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

Sebelah utara berbatasan dengan dusun Tegalsruni, sebelah selatan berbatasan

dengan hutan negara (TNGM), sebelah barat berbatasan dengan dusun

Temusari dan Congkol, dan sebelah timur berbatasan dengan desa Samiran.

Dusun Plalngan terdiri dari 3 (tiga) RT yaitu RT 01, sampai dengan RT 03

(wawancara dengan Bpk. Widodo, Kadus Plalangan).

38

Gambar 4. Peta kawasan dusun Plalangan (Sumber: Peta RBI lembar

Kaliurang, 1996)

3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Penduduk dusun Plalangan terdiri 125-150 kepala keluarga (kk) atau

sekitar 650-700 jiwa. Tingkat pendidikan rata-rata hanya mencapai jenjang

sekolah menengah pertama (SMP) dan hanya beberapa yang menyelesaikan

jenjang sekolah menengah atas (SMA) dan strata satu (S1). Keseluruhan

penduduk dusun Plalangan beragama Islam (Monografi Selo, 2006), jika

menggunakan klasifikasi islam jawa menurut Clifford Geertz, Islam di dusun

Plalangan adalah Islam abangan yang mengamalkan Islam hanya sebagian

saja dan tetap menggunakan nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur mereka,

dalam hal ini, kebudayaan Hindu dan Budha.

39

Kecenderungan warga untuk terkait dengan budaya kerajaan, yaitu

Kasunanan Surakarta tidak begitu terlihat dalam keseharian mereka. Namun,

nilai-nilai kebudayaan dan upaya pelestariannya (nguri-uri budhoyo) dalam

masyarakat dusun Plalangan menempati posisi yang sangat vital, selain

merupakan potensi lokal yang berangkat dari dalam diri masyarakat sendiri,

juga ditawarkan sebagai pelengkap berdirinya desa wisata Lencoh dan

kesenian tradisional merupakan ekspresi dari upaya tersebut. Kesenian yang

hidup di dusun Plalangan sendiri terdiri dari tarian Campur Sari, Budi Tani,

seperti Gambyong, Topeng Ireng, Hanoman, dan Buto.

Campur Sari merupakan seni musik yang memadukan alat musik

tradisional dan modern dalam satu pentas dan dimainkan secara campuran,

baik usia dan jenis kelamin. Campur Sari ini lazim diundang dalam acara

(hajatan) yang digelar oleh masyarakat sendiri. Kesenian budi tani bercorak

umum seperti wayang orang, dimainkan mayoritas oleh kelompok usia paruh

baya dan semuanya laki-laki. Gambyong, di dusun Plalangan, merupakan

tarian yang diperankan oleh perempuan dengan gerakan lembut. Topeng Ireng

merupakan tarian yang berasal dari kawasan Borobudur, Magelang dan

dipolulerkan dalam festival lima gunung (Merapi, Merbabu, Sindoro,

Sumbing, dan Andong) yang disebarkan ke dusun Plalangan oleh sdr. Gimar

(22 tahun) sekitar tahun 2006 dengan ciri khas topeng Indian Apache. Topeng

ireng bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam dan sangat jelas terdapat

dalam syair yang menyertai tarian tersebut. Hanoman merupakan seni tari

yang ralatif serupa, namun dengan pakaian kera putih (Hanoman dalam

40

mitologi Jawa kuno). Begitu juga dengan kesenian Buto, bercorak sama

dengan Topeng Ireng namun berpakaian yang seram laiknya Buto dalam kisah

pewayangan. Selain campur sari, seluruh tarian menggunakan sesaji yang

lengkap dan dilakukan sampai mencapai kondisi payah (trance, mabuk, atau

istilah lain) ketika raga sang penari dikuasai dan digerakkan oleh makhluk

halus yang sesuai dengan tujuan tarian tersebut.

Plalangan merupakan salah satu dusun yang populer di lereng

gunung Merapi karena menjadi gerbang utama jalur pendakian dari utara.

Masyarakat sangat akomodatif dengan pendatang, mayoritas bekerja sebagai

petani sayuran dan palawija, peternak sapi perah, dan penggiat ekowisata.

Kegiatan masyarakat harian dimulai dengan mugut (mencari rumput) di pagi

hari, kemudian mengolah tegalan baik tanam, perawatan ataupun panen dan

dilanjutkan dengan mengolah hasil panen tersebut. Sore hari, sebagian ada

yang kembali mugut, bersosialisasi, dan memandikan sapi dan membawanya

berjalan-jalan. Sambatan atau secara umum mereka artikan dengan gotong-

royong merupakan hal yang utama untuk dilakukan. Pembuatan rumah,

hajatan yang ada, dan hal lain yang membutuhkan banyak tenaga dilakukan

dengan bersama-sama. Sambatan dalam bentuk kerja fisik, dilakukan pada

rentang waktu setelah mugut sampai waktu duhur, dan dilakukan secara

bergiliran, dan dalam bentuk sosial kemasyarakatan relatif tidak mengenal

waktu yang pasti, terkadang kegiatan masyarakat sampai libur total selama 1-

2 hari sekalipun kegiatannya hanya jangongan (duduk dan memeriahkan) di

rumah yang punya hajat. Menjadi aib ketika tidak turut serta dalam kegiatan

41

sambatan tersebut dan dengan sendirinya menjadi sarana untuk

mengakrabkan dan menumbuhkan rasa ewuh-pekewuh dalam kehidupan

masyarakat (wawancara dengan Bpk Jimin, Ka RT).

Secara ekonomi, masyarakat Plalangan secara umum sangat

tergantung dengan hasil tegalan yang mereka olah sendiri dan sapi pedaging

secara periodik. Hasil tegalan sebagian besar dijual untuk memenuhi

permintaan sayuran di kawasan Jawa Tengah dan DIY. Hasil tegalan seperti

wortel, bakso (sawi pahit), slobor (sawi putih, manis), adas, loncang, dan

lainnya dijual dalam keadaan kotor ataupun bersih. Penjualan hasil pertanian

tersebut mayoritas ke pasar sayur Cepogo, di kecamatan Cepogo, atau

disalurkan langsung ke pasar-pasar besar di Jawa Tengah, DIY, dan sebagian

Jawa Timur sesuai dengan harga pasaran yang berlaku.

Sebagian masyarakat yang tidak memiliki lahan olahan ataupun

remaja, biasanya menjadi buruh (mburoh) di tegalan, pembersihan hasil

pertanian di dalam dusun Plalangan atau diluar desa, sesuai dengan kebutuhan

mereka. Pekerjaan mburoh rata-rata dihargai Rp 25.000,- perhari. Sebagian

masyarakat juga bekerja di sektor jasa dan kepegawaian. Sektor jasa yang

digeluti adalah penyewaan kamar untuk turis (homestay) dengan tarif rata-rata

Rp 80.000,- per hari dan jasa pemandu (guide) pendakian Merapi dengan tarif

antara Rp 125.000-250.000,- per orang. Pendapatan rata-rata masyarakat

sangat tergantung dengan kondisi pasar dan banyak atau tidaknya wisatawan

yang datang untuk sektor jasa, kecuali bagi yang bekerja di bidang

kepegawaian.

42

4. Infrastruktur dan Aksesibilitas

Infrastruktur umum yang ada di dusun Plalangan secara khusus

adalah sistem pengairan, balai pertemuan, sarana wisata, dan prasarana yang

diadakan oleh masyarakat secara swadaya. Sistem pengairan dibangun sejak

tahun 1992 dengan dana mencapai 350 juta rupiah, dan dikumpulkan secara

swadaya. Sampai sekarang, setiap jiwa dibebankan biaya perawatan sebesar

Rp 25.000 per tahun. Sarana wisata – dalam hal ini wisata New Selo –

didirikan oleh pemerintah, tetapi diatas tanah milik rakyat. Prasarana swadaya

yang telah ada di kawasan dusun Plalangan sendiri seperti perlengkapan

budaya dan alat-alat teknis pertukangan diadakan dengan cara iuran per

kelompok kesenian untuk perlengkapannya sendiri dan dana kelompok tani

untuk beberapa alat-alat pertukangan, seperti molen (pengaduk pasir-semen).

Perumahan di dusun Plalangan tersebar merata dan secara umum

dibangun secara permanen. Sesuai letaknya yang hanya 3 (tiga) kilometer dari

pusat kecamatan Selo, dusun Plalangan termasuk wilayah yang maju secara

fisik. Pembangunan jalan desa selebar 3 (tiga) meter dengan panjang 2 (dua)

km dari jalan provinsi yang menghubungkan Magelang dengan Boyolali telah

dilakukan pada tahun 1994 silam. Melihat kondisinya diatas, dusun Plalangan

adalah dusun tertinggi di lereng gunung Merapi yang paling mudah

terjangkau dengan angkutan, baik umum ataupun pribadi.

43

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi dan Keanekaragaman Vegetasi di Girpasang dan Plalangan

Keanekaragaman vegetasi dibedakan berdasarkan bentuk pertumbuhan-

nya menjadi tingkat pohon, tingkat anak pohon, dan tingkat tumbuhan bawah.

1. Tingkat Pohon

a. Cacah Spesies

Vegetasi tingkat pohon di kawasan dusun Girpasang terdiri atas

7 (tujuh) spesies, yaitu Dadap Cekli (Erythrina lithosperma Miq.), Puspo

(Schima wallichii (D.C.) Korth.), Gandek/Kantil (Michelia alba D.C.),

Manis Jangan (Cinnamomum burmanii, Bl.), Mindi (Melia azedarach),

Nongko (Artocarpus integra), Sengon (Albizia falcataria). Vegetasi

tingkat pohon yang ditemukan di kawasan Plalangan hanya 2 (dua)

spesies, yaitu Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) dan

Cemara Gunung (Casuarina junghuhniana Miq.).

Banyaknya jumlah spesies yang ditemukan di kawasan dusun

Girpasang disebabkan karena berada dalam zona vegetasi sub-

pegunungan, sehingga mampu mendukung kemelimpahan tumbuhan

yang tinggi. Plalangan yang berada dalam zona pegunungan lebih sedikit

mendukung kemelimpahan tumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan

zona sub-pegunungan, terlihat dari jumlah spesies yang ditemukan

(Steenis, 2006). Faktor lain yang berpengaruh adalah campur tangan

masyarakat dalam pengelolaan kawasan tersebut. Spesies-spesies tersebut

diusahakan untuk bahan bangunan, bahan makanan, dan berdaya guna

44

ekonomis di Girpasang serta diusahakan untuk penghijauan lereng utara

Merapi di Plalangan. Campur tangan manusia dalam suatu kawasan yang

memiliki keanekaragaman vegetasi akan menurunkan keanekaragaman

tersebut menjadi lebih rendah (Schulze et.al., 2002).

b. Kerapatan (K)

Tabel 1. Kerapatan vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan

No Nama Lokal Nama Spesies Kerapatan Girpasang Plalangan

1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 0,013 2 Kaspo/Puspo Schima wallichii (DC) Korth. 0,003 3 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 0,010 4 Manis Jangan Cinnamomum burmanii, Bl. 0,003 5 Mindi Melia azedarach 0,008 6 Nongko Artocarpus integra 0,010 7 Sengon Albizia falcataria 0,003 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 0,033 9 Cemara Gunung Casuarina junghuhniana Miq, 0,008

Jumlah 0,05 0,04

Vegetasi tingkat pohon di kawasan dusun Girpasang ditemukan

7 (tujuh) spesies dengan tanaman Dadap Cekli (Erythrina lithosperma

Miq.) memiliki nilai kerapatan tertinggi (0,013 pohon/m2). Vegetasi

tingkat pohon yang ditemukan di kawasan Plalangan hanya 2 (dua)

spesies yaitu Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) dan

Cemara Gunung (Casuarina junghuhniana Miq.), dengan Sogo/Akasia

Gunung (Acacia decurrens Willd.) memiliki nilai kerapatan tertinggi

(0,033 pohon/m2).

Tingginya jumlah spesies Dadap Cekli di kawasan Girpasang

lebih dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat dibandingkan faktor

biologisnya. Spesies ini digunakan sebagai bahan bangunan dan juga

45

difungsikan sebagai celengan urip untuk dijual. Alasan yang sama juga

berlaku untuk Gandek/Kantil (Schima wallichii (DC) Korth.) dan

Nongko (Artocarpus integra) dengan kerapatan 0,010 pohon/m2.

Kerapatan yang tinggi pada spesies Sogo/Akasia Gunung di-

sebabkan oleh perkembangbiakannya yang cepat dan memiliki toleransi

pertumbuhan yang tinggi terhadap berbagai jenis tanah. Spesies ini

bersifat invasif dengan mengalahkan dan menguasai pertumbuhan spe-

sies yang lain (Purwaningsih, 2010), sedangkan Cemara Gunung memi-

liki perkembangbiakan yang cepat tetapi memiliki syarat khusus yaitu

perkecambahan bijinya sangat tergantung dengan cahaya dan kontak

langsung dengan tanah atau abu. Tumbuh di lereng pegunungan dengan

elevasi diatas 1100 mdpl, tanah berpasir, beriklim kering, dan berperan

sebagai tumbuhan pionir di kawasan vulkanis aktif (Steenis, 2006).

c. Frekuensi Relatif (FR%)

Tabel 2. Frekuensi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan

No Nama Lokal Nama Spesies Frekuensi Relatif (%) Girpasang Plalangan

1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 14,29 2 Kaspo/Puspo Schima wallichii (DC) Korth. 7,14 3 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 21,43 4 Manis Jangan Cinnamomum burmanii, Bl. 7,14 5 Mindi Melia azedarach 14,29 6 Nongko Artocarpus integra 21,43 7 Sengon Albizia falcataria 14,29 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 80,00 9 Cemara Gunung Casuarina junghuhniana Miq, 20,00

Jumlah 100 100

Kantil (Michelia alba D.C.) dan Nongko (Artocarpus integra)

tersebar luas di kawasan dusun Girpasang dengan persentase frekuensi

46

relatif 21,43%, sedangkan Puspo (Schima wallichii (DC) Korth. dan

Manis Jangan (Cinnamomum burmanii, Bl.) memiliki nilai frekuensi

relatif terendah yaitu 7,14%. Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens

Willd.) memiliki nilai frekuensi relatif tertinggi di kawasan dusun

Plalangan yaitu 80%. Dan Cemara Gunung (Casuarina junghuhniana

Miq. memiliki nilai frekuensi relatif terendah yaitu 20%.

Persebaran tanaman Kantil dan Nongko yang tinggi di

Girpasang didukung oleh posisinya di zona vegetasi sub-pegunungan,

namun juga sangat terkait dengan kepentingan dan ketergantungan

masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai bahan bangunan, bunga

untuk upacara adat, dan buah sehingga banyak ditanam di tegalan-nya.

Sogo/Akasia Gunung tumbuh hingga elevasi 2400 mdpl di

kawasan dusun Plalangan dan tersebar merata disebabkan oleh toleransi

terhadap tanah, kecepatan perkembangbiakannya, dan penyebaran bijinya

yang relatif mudah, serta usaha reboisasi hutan di lereng utara Merapi

dengan cara menanamnya secara teratur. Cemara Gunung ditemukan

hanya sampai elevasi 2250 mdpl dan tidak tersebar merata kemungkinan

disebabkan karena persebaran bijinya yang tidak jauh dan pertumbuhan

kecambahnya terhambat oleh tumbuhan bawah (Steenis, 2006).

47

d. Dominansi Relatif (DR%)

Tabel 3. Dominansi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan

No Nama Lokal Nama Spesies Dominansi Relatif (%) Girpasang Plalangan

1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 21,92 2 Kaspo/Puspo Schima wallichii (DC) Korth. 2,99 3 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 14,68 4 Manis Jangan Cinnamomum burmanii, Bl. 2,53 5 Mindi Melia azedarach 19,82 6 Nongko Artocarpus integra 31,17 7 Sengon Albizia falcataria 6,90 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 91,15 9 Cemara Gunung Casuarina junghuhniana Miq, 8,85

Jumlah 100 100

Nongko (Artocarpus integra) mendominasi spesies tingkat

pohon di kawasan dusun Girpasang dengan nilai dominansi relatif

sebesar 31,17% sedangkan Manis Jangan (Cinnamomum burmanii, Bl.)

memiliki nilai dominansi terendah yaitu 2,53%. Sogo/Akasia Gunung

(Acacia decurrens Willd.) mendominasi spesies tingkat pohon di

kawasan dusun Plalangan sebesar 91,15% sedangkan Cemara Gunung

(Casuarina junghuhniana Miq.) memiliki nilai dominansi terendah di

Plalangan yaitu 8,85%.

Dominansi Nongko di Girpasang disebabkan oleh tutupan

kanopinya yang luas dibandingkan dengan Dadap Cekli dan Mindi, serta

memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi. Dominansi Nongko juga tak

lepas dari campur tangan masyarakat yang membutuhkan buah yang

bernilai ekonomi tinggi, daun untuk pakan ternak dan kayu sebagai bahan

bangunan. Tutupan kanopi yang besar serta didukung dengan kerapatan

dan frekuensi yang tinggi menjadikan Sogo/Akasia Gunung memiliki

48

dominansi yang tinggi dibandingkan dengan dibandingkan dengan

Cemara Gunung di Plalangan.

e. Nilai Penting (NP%)

Tabel 4. Nilai penting vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan

No Nama Lokal Nama Spesies Nilai Penting (%) Girpasang Plalangan

1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 62,52 2 Kaspo/Puspo Schima wallichii (DC) Korth. 15,39 3 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 57,16 4 Manis Jangan Cinnamomum burmanii, Bl. 14,93 5 Mindi Melia azedarach 49,89 6 Nongko Artocarpus integra 73,65 7 Sengon Albizia falcataria 26,45 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 252,40 9 Cemara Gunung Casuarina junghuhniana Miq, 47,60

Jumlah 300 300

Besarnya nilai penting suatu spesies menunjukkan besarnya

penguasaan spesies tersebut dalam komunitasnya, sehingga semakin

besar nilainya akan semakin besar juga penguasaannya. Nongko

(Artocarpus integra) memiliki nilai penting tertinggi di dusun Girpasang

yaitu 73,65% dan terendah oleh spesies Manis Jangan (Cinnamomum

burmanii, Bl., 14,93%). Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.)

memiliki nilai penting tertinggi di kawasan dusun Plalangan yaitu

252,40% sedangkan Cemara Gunung (Casuarina junghuhniana Miq.)

memiliki nilai penting terendah, 47,60%. Nongko memiliki peranan yang

penting terhadap vegetasi tingkat pohon dan mempengaruhi kestabilan

ekosistem yang ada di Girpasang, sekalipun memiliki nilai kerapatan

relatif 21,05%, frekuensi relatif yang sama dengan Gandek/Kantil,

namun memiliki dominansi relatif yang paling tinggi sehingga mampu

49

menjadi tumbuhan yang paling besar pengaruhnya di kawasan dusun

Girpasang melebihi spesies Dadap Cekli (Erythrina lithosperma Miq.)

yang memiliki kerapatan yang lebih tinggi (lihat Gambar 5 dan Lampiran

Gambar 12).

Spesies Sogo/Akasia Gunung di kawasan dusun Plalangan

menjadi sangat penting bagi vegetasi tingkat pertumbuhan pohon dan

ekosistem yang ada dibawahnya. Hal tersebut disebabkan oleh kemelim-

pahan (KR%), persebaran (FR%), dan dominansinya (DR%) yang tinggi,

jauh diatas Cemara Gunung (lihat gambar 5).

Gambar 5. Perbandingan kerapatan, frekuensi relatif, dan nilai penting

vegetasi pertumbuhan tingkat pohon di kawasan penelitian. Keterangan: (a) Dusun Girpasang serta (b) Dusun Plalangan

2. Tingkat Anak Pohon

a. Cacah Spesies

Sepuluh spesies vegetasi tingkat anak pohon ditemukan di

kawasan Girpasang dan Plalangan, dengan rincian 9 (sembilan) spesies

ditemukan di Girpasang dan 2 (dua) spesies ditemukan di Plalangan. Biji

dan tunas umumnya cenderung untuk mengumpul di sekitar batang

induknya, karena spesies tumbuhan cenderung untuk mengelompok di

50

area yang memiliki lingkungan mikro yang sesuai (Barbour, 1987).

Spesies-spesies tersebut adalah Dadap Cekli (Erythrina lithosperma

Miq.), Gandek/Kantil (Michelia alba D.C.), Mindi (Melia azedarach),

Nongko (Artocarpus integra), dan Sengon (Albizia falcataria) di kawasan

Girpasang dan Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) di

kawasan Plalangan.

Keberadaan spesies vegetasi tingkat anak pohon bisa terjadi

sekalipun tidak memiliki vegetasi tingkat pohon di kawasan tersebut, hal

tersebut kemungkinan disebabkan oleh persebaran biji oleh hewan antara

lain burung dan mamalia yaitu Klampok (Syzygium densiflora),

Klengkeng (Euphoria longana Lamk.), Kopi (Coffea, sp.), Sogo/Akasia

Gunung (Acacia decurrens Willd.), dan Waru (Hibiscus tiliaceus L.) di

kawasan Girpasang serta Manisrejo/Cantigi (Vaccinium varingiaefolium

(Bl.) Miq.) di kawasan Plalangan.

Perbedaan jumlah spesies yang ditemukan antara Girpasang dan

Plalangan disebabkan oleh perbedaan zona vegetasinya seperti telah

dijelaskan sebelumnya dan interaksinya dengan masyarakat. Manisrejo

(Vaccinium varingiaefolium (Bl.) Miq.) merupakan spesies pembeda

antara zona sub-pegunungan dan zona pegunungan dan ditemukan di

kawasan Plalangan dengan elevasi diatas 2200 mdpl. Spesies ini dapat

tumbuh hingga 15 m, memiliki batang yang kerdil dan bengkok,

menyukai kawasan yang terbuka dan adakalanya di dekat aktifitas

51

vulkanis, serta hanya tumbuh diatas elevasi 1600 mdpl (Backer, 1987 &

van Steenis, 2006).

b. Kerapatan (K)

Tabel 5. Kerapatan vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawa-san dusun Girpasang dan Plalangan

No Nama Lokal Nama Spesies Kerapatan Girpasang Plalangan

1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 0,020 2 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 0,010 1 Klampok (semai) Syzygium densiflora 0,070 3 Klengkeng Euphoria longana, Lamk. 0,010 4 Kopi Coffea arabica 0,020 5 Mindi Melia azedarach 0,010 6 Nongko Artocarpus integra 0,010 7 Sengon Albizia falcataria 0,030 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 0,350 0,240 9 Waru Hibiscus tiliaceus, L. 0,010

10 Manisrejo/Cantigi Vaccinium varingiaefolium (Bl,) Miq,

0,110

Jumlah 0,54 0,35

Acacia decurrens Willd. (Sogo/Akasia Gunung) memiliki nilai

kerapatan yang tertinggi di Girpasang (0,350 anak pohon/m2) dan Kantil

(Michelia alba D.C.), Klengkeng (Euphoria longana Lamk.), Mindi

(Melia azedarach), Nongko (Artocarpus, sp), dan Waru (Hibiscus

tiliaceus L.) mamiliki kerapatan terendah yaitu 0,010 anak pohon/m2.

Acacia decurrens Willd. (Sogo/Akasia Gunung) juga memiliki kerapatan

tertinggi di Plalangan yaitu 0,240 anak pohon/m2 sedangkan Manisrejo

(Vaccinium varingiaefolium (Bl.) Miq.) dengan nilai 0,110 anak

pohon/m2.

Keberadaan spesies Sogo/Akasia Gunung di kawasan dusun

Girpasang tidak terjadi secara alamiah, melainkan diusahakan oleh

52

masyarakat sebagai bahan dasar pembuatan arang kayu yang merupakan

sumber penghasilan utama. Spesies ini dipanen ketika diameter

batangnya kurang dari 15 cm dan hal ini juga yang menyebabkan spesies

ini tidak dapat berkembang hingga tingkat pohon. Kepentingan

masyarakat tersebut menyebabkan tingginya nilai kerapatan dan juga

didukung dengan perkembangbiakannya yang cepat dan invasif. Spesies

Sogo/Akasia Gunung yang banyak ditemukan di kawasan dusun

Plalangan adalah anakan dari pohon hasil penghijauan di lereng utara

Merapi, dalam kondisi yang ideal dan campur tangan masyarakat dusun

Plalangan yang minim, kemungkinan pertumbuhannya ke tingkat pohon

sangat besar.

Selain aspek persebaran benih secara alamiah dengan bantuan

angin ataupun beberapa jenis satwa, beberapa spesies seperti Klampok

(Syzygium densiflora), Klengkeng (Euphoria longana Lamk.), dan Kopi

(Coffea arabica) memiliki kemungkinan besar persebarannya terjadi

dengan bantuan masyarakat setempat, seperti di Girpasang.

c. Frekuensi Relatif (FR%)

Tabel 6. Frekuensi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan

No Nama Lokal Nama Spesies Frekuensi Relatif (%) Girpasang Plalangan

1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 8,33 2 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 8,33 1 Klampok (semai) Syzygium densiflora 8,33 3 Klengkeng Euphoria longana, Lamk. 8,33 4 Kopi Coffea arabica 8,33 5 Mindi Melia azedarach 8,33 6 Nongko Artocarpus integra 8,33 7 Sengon Albizia falcataria 8,33

53

Lanjutan Tabel 6. Frekuensi ... No Nama Lokal Nama Spesies Frekuensi Relatif (%)

Girpasang Plalangan 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 25,00 66,67 9 Waru Hibiscus tiliaceus, L. 8,33

10 Manisrejo/Cantigi Vaccinium varingiaefolium (Bl,) Miq, 33,33

Jumlah 100 100 Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) memiliki nilai

frekuensi relatif tertinggi di kawasan dusun Girpasang (25%) dan

kawasan dusun Plalangan (66,67%). Seluruh spesies selain Sogo/Akasia

Gunung di Girpasang memiliki nilai frekuensi relatif yang sama yaitu

8,33%, dan Manisrejo (Vaccinium varingiaefolium (Bl.) Miq.) memiliki

nilai frekuensi relatif terendah di Plalangan yaitu 33,33%.

Hal yang menyebabkan Sogo/Akasia Gunung tersebar luas di

Girpasang adalah ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap

tanaman ini sehingga ditanam di hampir seluruh tegalan mereka.

Keberadaan spesies lain sebagian berupa anakan dari spesies tingkat

pertumbuhan pohon atau tanaman yang diusahakan dan pertumbuhannya

belum mencapai tingkat pohon. Persebaran Sogo/Akasia Gunung di

Plalangan terjadi secara alamiah, kemungkinan besar adalah anakan, dan

tersebar di sekitar indukannya yang ditanam sebelumnya.

Keberadaan spesies lain di Girpasang juga tak lepas dari campur

tangan masyarakat walaupun tidak seluruhnya. Spesies seperti Nongko

kemungkinan persebarannya terjadi secara alamiah, baik langsung atau

dengan bantuan binatang ternak, lebih besar dibandingkan dengan peran

masyarakat. Persebaran Manisrejo sangat terbatas oleh elevasi, sehingga

54

hanya didapatkan pada plot yang terletak peda elevasi diatas 2200 mdpl

sehingga hanya muncul di kawasan Plalangan.

d. Dominansi Relatif (DR%)

Tabel 7. Dominansi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan

No Nama Lokal Nama Spesies Dominansi Relatif (%) Girpasang Plalangan

1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 1,03 2 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 0,51 1 Klampok (semai) Syzygium densiflora 0,14 3 Klengkeng Euphoria longana, Lamk. 0,08 4 Kopi Coffea arabica 0,27 5 Mindi Melia azedarach 2,06 6 Nongko Artocarpus integra 4,63 7 Sengon Albizia falcataria 3,73 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 87,30 92,83 9 Waru Hibiscus tiliaceus, L. 0,25

10 Manisrejo/Cantigi Vaccinium varingiaefolium (Bl,) Miq, 7,17

Jumlah 100 100

Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) mendominasi

vegetasi tingkat anak pohon di kawasan dusun Girpasang (87,30%) dan

kawasan dusun Plalangan (92,83%). Dominasi ini terkait luasan kanopi

yang besar serta didukung dengan tingginya nilai kerapatan dan

frekuensinya. Sogo/Aksia Gunung memiliki kanopi dengan luasan

menengah, namun, dengan kerapatan yang tinggi menjadikannya men-

dominasi vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon.

55

e. Nilai Penting (NP%)

Tabel 8. Nilai penting vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan

No Nama Lokal Nama Spesies Nilai Penting (%) Girpasang Plalangan

1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 13,07 2 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 10,70 1 Klampok (semai) Syzygium densiflora 21,43 3 Klengkeng Euphoria longana, Lamk. 10,27 4 Kopi Coffea arabica 12,30 5 Mindi Melia azedarach 12,24 6 Nongko Artocarpus integra 14,82 7 Sengon Albizia falcataria 17,62 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 177,11 228,07 9 Waru Hibiscus tiliaceus, L. 10,44

10 Manisrejo/Cantigi Vaccinium varingiaefolium (Bl,) Miq, 71,93

Jumlah 300 300

Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) memiliki nilai

penting yang paling tinggi yaitu kawasan dusun Girpasang (117,11%)

dan kawasan dusun Plalangan (228,07%). Vegetasi tingkat pohon yang

memiliki nilai penting terendah adalah Klengkeng (Euphoria longana

Lamk.) sebesar 10,27% yang ditemukan di Girpasang dan Manisrejo

(Vaccinium varingiaefolium (Bl.) Miq.) sebesar 71,93% yang ditemukan

di Plalangan. Besarnya nilai penting menunjukkan besarnya peranan

tumbuhan tersebut didalam lingkungannya. Sogo/Akasia Gunung

memiliki peranan yang besar terhadap vegetasi tingkat anak pohon dan

komunitas tumbuhan yang ada di Girpasang dan Plalangan. Nilai penting

tersebut didukung oleh kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi

relatif yang paling tinggi (lihat gambar 6, lampiran gambar 1 dan 14).

Besarnya nilai penting Sogo/Akasia Gunung terhadap vegetasi

yang ada di kawasan dusun Girpasang berbanding lurus dengan

56

kepentingan masyarakat untuk memanfaatkannya. Manisrejo sebagai

spesies yang memiliki karakter berbeda akan sangat berpengaruh pada

komunitas tumbuhan yang ada pada elevasi diatas 2200 mdpl.

Gambar 6. Perbandingan kerapatan, frekuensi relatif, dominansi relatif,

dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan penelitian. Keterangan: (a) Dusun Girpasang, (b) Dusun Plalangan

3. Tingkat Tumbuhan Bawah

a. Cacah Spesies

Vegetasi tingkat bawah ini terdiri dari habitus semak, herba, dan

rumput. Dua puluh dua spesies ditemukan di kawasan Girpasang antara

lain Alang-alang (Imperata cylindrica), Gerpak Kayu (Eupatorium

odoratum), Ireng-ireng (Eupatorium riparium), Teki Kepala Bulat

(Cyperus melanospermus), Sambung Nyowo (Centella asiatica Urb.),

dan Semanggi Gunung (Oxalis corniculata Linn.). Sebelas spesies

ditemukan di kawasan dusun Plalangan antara lain Berokan (Ethulia, sp.),

Gerpak Kayu (Eupatorium odoratum), Ireng-ireng (Eupatorium

57

riparium), Iser Jurang (Paspalum scrobiculatum L.), Teki (Gahnia, sp.),

Teki (Carex, sp.), dan Rumput (Isachne, sp.).

Kemelimpahan spesies tingkat pertumbuhan bawah sangat

dipengaruhi oleh elevasi, naungan, dan kondisi abiotik kawasan tersebut.

Batasan elevasi berlaku secara umum terkait dengan zonasi vegetasi sub-

pegunungan dan pegunungan menurut Steenis (2006). Naungan kanopi

dari vegetasi tingkat pohon dan anak pohon sangat mempengaruhi

pertumbuhan vegetasi tingkat bawah, yang terkait dengan ketersediaan

cahaya matahari dan membentuk iklim mikro (Barbour, 1987). Dua jenis

keteki (Carex, sp. dan Gahnia, sp.) banyak ditemukan pada elevasi diatas

2.100 mdpl disebabkan oleh karakter fisiologisnya yang

mengharuskannya hidup pada elevasi antara 1.500-3.250 mdpl., lain

halnya dengan Teki gerigi (Fymbristyilis consanguinea Kunth) yang

sangat membutuhkan kelembaban tinggi sehingga sebagian besar

ditemukan pada elevasi dibawah 1.600 mdpl. Kondisi abiotik seperti

kasus Teki gerigi tersebut mempengaruhi kemelimpahan speises secara

lokal pada kawasan tertentu.

b. Kerapatan (K)

Tabel 9. Kerapatan vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan

No Nama Lokal Nama Spesies Kerapatan

Girpasang Plalangan 1 Alang-alang Imperata cylindrica Beauv. 0,625 2 Babatan Eupatorium, spp. 0,063 0,94 3 Berokan Ethulia, sp. 4 0,44 4 Cerobo Eupatorium odoratum 0,688 5 Gerpak Kayu Eupatorium inulifolium

H.B.K. 1 2,00

58

Lanjutan Tabel 9. Kerapatan ...

No Nama Lokal Nama Spesies Kerapatan

Girpasang Plalangan 6 Ireng-ireng Eupatorium riparium 2,375 10,50 7 Iser Bumi Paspalum conjugatum Berg. 1,688 8 Iser Jurang Paspalum scrobiculatum L. 2,063 4,38 9 Katemas Bidens pilosa 0,063

10 Kembang Sorot Fam. Compositae 0,438 11 Keteki (tekigerigi) Carex, sp. 0,063 0,19 12 Keteki (teki gerigi) Fymbristylis consanguinea 0,188 13 Keteki (Teki Kepala

Bulat) Cyperus melanospermus 1,188 1,06

14 Keteki (A) (PL) Gahnia, sp. 0,94 15 Lamisan Oplismenus burmanii P.B. 6,563 0,38 16 Lampes Ageratum conyzoides L. 0,625 17 Pakis Hymenophyllum, sp. 0,813 18 Petungan Ischaemum muticum L. 0,563 0,75 19 Rumput A Isachne miliacea Roth. 1,69 20 Sambung

Nyowo/Tapak Kuda Centella asiatica Urb. 1,688

21 Semanggi Gunung Oxalis corniculata Linn. 2,75 22 Sengganen Impatiens platypetala 0,313 23 Suket Kolonjono Pennisetum purpureum 0,125 24 Talas Colocasia esculenta Schott. 0,188

Jumlah 28,063 23,25

Lamisan (Oplismenus burmanii P.B.) tercatat memiliki jumlah

tertinggi di kawsan dusun Girpasang (6,563 individu/m2) dan kemudian

diikuti oleh Berokan (Ethulia, sp.) yaitu 4 individu/m2. Ireng-ireng

(Eupatorium riparium) memiliki jumlah terbesar di kawasan dusun

Plalangan yaitu 10,50 individu/m2 dan diikuti oleh Iser Jurang (Paspalum

scrobiculatum L.) 4,38 individu/m2. Lamisan seringkali membentuk

kelompok besar, tinggi hingga 50 cm, berdaun panjang hingga 20 cm,

berkembang biak dengan tunas pada stolon, dan memiliki siklus

perkembangbiakan yang relatif cepat (Steenis, 2006).

Ireng-ireng adalah tumbuhan perdu, tinggi antara 0,5-1,5 m,

perakaran merayap, membentuk tunas, siklus perkembangbiakan cepat,

59

tumbuh pada elevasi 1.000-2.400 mdpl, suhu yang lembab, di lereng

curam, tidak membutuhkan tingkat kesuburan yang tinggi, dan invasif

(Anomin, 2006b), karakter tersebut cenderung mengganggu pertumbu-

han tumbuhan lain (Heyne, 1981). Spesies ini didatangkan dari Meksiko

ke Indonesia pada masa penjajahan dan kemudian segera menyebar luas

dan menjadi hama bagi pertanian. Kemelimpahan vegetasi tingkat bawah

juga dipengaruhi oleh aktifitas manusia, dan secara spesifik terjadi di

Girpasang untuk spesies Ireng-ireng. Populasi speises ini dikendalikan

dengan cara dibabat (ditebas) untuk memberikan kesempatan spesies

tingkat bawah yang lain untuk tumbuh, meskipun berguna untuk

melindungi struktur tanah (Heyne, 1981), hal tersebut tidak terjadi di

kawasan dusun Plalangan.

c. Frekuensi Relatif (FR%)

Tabel 10. Frekuensi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan

No Nama Lokal Nama Spesies Frekuensi Relatif (%) Girpasang Plalangan

1 Alang-alang Imperata cylindrica Beauv. 2,63 2 Babatan Eupatorium, spp. 2,63 8,70 3 Berokan Ethulia, sp. 7,89 8,70 4 Cerobo Eupatorium inulifolium

H.B.K. 5,26

5 Gerpak Kayu Eupatorium odoratum 2,63 13,04 6 Ireng-ireng Eupatoriun riparium 7,89 17,39 7 Iser Bumi Paspalum conjugatum Berg. 7,89 8 Iser Jurang Paspalum scrobiculatum L. 7,89 13,04 9 Katemas Bidens pilosa 2,63

10 Kembang Sorot Fam. Compositae 2,63 11 Keteki (tekigerigi) Carex, sp. 2,63 4,35 12 Keteki (teki gerigi) Fymbristylis consanguinea 2,63 13 Keteki (Teki Kepala

Bulat) Cyperus melanospermus 5,26 8,70

14 Keteki (A) (PL) Gahnia, sp. 13,04 15 Lamisan Oplismenus burmanii P.B. 10,53 4,35

60

Lanjutan Tabel 10. Frekuensi ...

No Nama Lokal Nama Spesies Frekuensi Relatif (%) Girpasang Plalangan

16 Lampes Ageratum conyzoides L. 5,26 17 Pakis Hymenophyllum, sp. 2,63 18 Petungan Ischaemum muticum L. 5,26 4,35 19 Rumput A Isachne miliacea Roth. 4,35 20 Sambung

Nyowo/Tapak Kuda Centella asiatica Urb. 2,63

21 Semanggi Gunung Oxalis corniculata Linn. 5,26 22 Sengganen Impatiens platypetala 2,63 23 Suket PB Pennisetum purpureum 2,63 24 Talas Colocasia esculenta Schott. 2,63

Jumlah 100 100

Lamisan (Oplismenus burmanii P.B.) tersebar luas di kawasan

dusun Girpasang (10,53%). Ireng-ireng (Eupatorium riparium) memiliki

nilai frekuensi relatif tertinggi di Plalangan (17,39%). Lamisan mudah

ditemukan di kawasan Girpasang kemungkinan disebabkan oleh

perkembangbiakannya yang cepat. Keberadaan Ireng-ireng sangat mudah

ditemukan di kawasan Plalangan, hal tersebut terjadi karena

perkembangbiakan Ireng-ireng yang cepat dan invasif (Anonim, 2006b).

Persebaran vegetasi tingkat tumbuhan bawah di Girpasang,

selain Lamisan, relatif jarang dan tidak merata, dengan persentase

kemunculan antara 2,63-7,89%. Spesies lain yang muncul di plalangan

relatif merata secara keseluruhan.

d. Dominansi Relatif (DR%)

Tabel 11. Dominansi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan

No Nama Lokal Nama Spesies Dominansi Relatif (%) Girpasang Plalangan

1 Alang-alang Imperata cylindrica Beauv. 7,37 2 Babatan Eupatorium, spp. 0,18 2,65 3 Berokan Ethulia, sp. 5,05 0,93

61

Lanjutan Tabel 11. Dominansi ...

No Nama Lokal Nama Spesies Dominansi Relatif (%) Girpasang Plalangan

4 Cerobo Eupatorium inulifolium H.B.K.

16,50

5 Gerpak Kayu Eupatorium odoratum 2,95 51,77 6 Ireng-ireng Eupatoriun riparium 10,00 25,18 7 Iser Bumi Paspalum conjugatum Berg. 11,37 8 Iser Jurang Paspalum scrobiculatum L. 2,78 6,18 9 Katemas Bidens pilosa 0,08 10 Kembang Sorot Fam. Compositae 14,37 11 Keteki (tekigerigi) Carex, sp. 0,18 0,35 12 Keteki (teki gerigi) Fymbristylis consanguinea 1,50 13 Keteki (Teki Kepala

Bulat) Cyperus melanospermus 1,00 6,00

14 Keteki (A) (PL) Gahnia, sp. 3,09 15 Lamisan Oplismenus burmanii P.B. 10,78 1,24 16 Lampes Ageratum conyzoides L. 1,66 17 Pakis Hymenophyllum, sp. 6,50 18 Petungan Ischaemum muticum L. 0,85 0,25 19 Rumput A Isachne miliacea Roth. 2,38 20 Sambung Nyowo/Tapak

Kuda Centella asiatica, Urb. 0,50

21 Semanggi Gunung Oxalis corniculata, Linn. 0,69 22 Sengganen Impatiens platypetala 2,50 23 Suket PB Pennisetum purpureum 2,63 24 Talas Colocasia esculenta Schott. 0,55

Jumlah 100 100

Nilai dominansi relatif tertinggi di kawasan dusun Girpasang

ditempati oleh Cerobo (Eupatorium inulifolium H.B.K.) sebanyak

16,50% dan dominansi relatif terendahnya adalah Sambung

Nyowo/Tapak Kuda (Centella asiatica Urb.) sebanyak 5,40%. Gerpak

Kayu (Eupatorium odoratum) menempati posisi nilai dominansi tertinggi

di kawasan dusun Plalangan sebanyak 51,77%. dan terendah oleh rumput

Petungan (Ischaemum muticum L.) senilai 0,25%.

Cerobo (Eupatorium inulifolium H.B.K.) merupakan habitus

semak yang dapat tumbuh setinggi 2 m, diameter batang mencapai 5 cm.

62

Speises ini memiliki naungan yang luas sehingga dapat mendominasi ve-

getasi tingkat bawah di Girpasang (Anonim, 2010). Dominansi relatif

Gerpak Kayu dan Ireng-ireng di Plalangan berbanding terbalik dengan

nilai kerapatan relatifnya, dimungkinkan terjadi karena perbedaan fisik,

Gerpak kayu dapat mencapai tinggi diatas 1 m dan Ireng-ireng hanya ber-

kisar 30-50 cm. Kedua spesies invasif tersebut bersaing mendapatkan

cahaya matahari, namun, tinggi batang Gerpak Kayu tersebut menye-

babkan kesempatan penangkapan cahaya matahari lebih optimal sehingga

tidak terdominasi oleh Ireng-ireng (Anonim, 2006a & Anonim, 2006b).

Lamisan memiliki nilai dominansi urutan tertinggi keempat di

Girpasang yaitu 10,78% dibawah Cerobo (16,50), Kembang Sorot

(14,37%), Iser Bumi (11,37). Kecilnya nilai tersebut disebabkan oleh luas

penutupan kanopinya yang relatif kecil dibandingkan ketiganya,

sekalipun memiliki kerapatan yang tertinggi.

e. Nilai Penting (NP%)

Tabel 12. Nilai penting vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan

No Nama Lokal Nama Spesies Nilai Penting (%) Girpasang Plalangan

1 Alang-alang Imperata cylindrica Beauv. 12,23 2 Babatan Eupatorium, spp. 3,04 15,38 3 Berokan Ethulia, sp. 27,20 11,50 4 Cerobo Eupatorium inulifolium

H.B.K. 24,21

5 Gerpak Kayu Eupatorium odoratum 9,14 73,41 6 Ireng-ireng Eupatoriun riparium 26,36 87,73 7 Iser Bumi Paspalum conjugatum Berg. 25,28 8 Iser Jurang Paspalum scrobiculatum L. 18,02 38,04 9 Katemas Bidens pilosa 2,93 10 Kembang Sorot Fam. Compositae 18,56 11 Keteki (tekigerigi) Carex, sp. 3,04 5,51

63

Lanjutan Tabel 12. Nilai penting ...

No Nama Lokal Nama Spesies Nilai Penting (%) Girpasang Plalangan

12 Keteki (teki gerigi) Fymbristylis consanguinea 4,80 13 Keteki (Teki Kepala

Bulat) Cyperus melanospermus 10,49 19,27

14 Keteki (A) (PL) Gahnia, sp. 20,16 15 Lamisan Oplismenus burmanii P.B. 44,69 7,20 16 Lampes Ageratum conyzoides L. 9,15 17 Pakis Hymenophyllum, sp. 12,03 18 Petungan Ischaemum muticum L. 8,12 7,82 19 Rumput A Isachne miliacea Roth. 13,99 20 Sambung Nyowo/Tapak

Kuda Centella asiatica Urb. 9,14

21 Semanggi Gunung Oxalis corniculata Linn. 15,76 22 Sengganen Impatiens platypetala 6,25 23 Suket PB Pennisetum purpureum 5,71 24 Talas Colocasia esculenta Schott. 3,85

Jumlah 300 300

Lamisan (Oplismenus burmanii P.B.) memiliki nilai penting

tertinggi di kawasan dusun Girpasang, 44,69%. Ireng-ireng (Eupatorium

riparium) memiliki nilai penting tertinggi di kawasan Plalangan, 87,73%.

Tingginya nilai penting Lamisan didukung oleh kerapatan relatif dan

frekuensi relatif yang tinggi, meskipun dengan nilai dominansi yang

rendah. Tingginya nilai penting Ireng-ireng disebabkan oleh kerapatan

dan frekuensinya yang tinggi di Plalangan, sekalipun sama dengan

Lamisan, memiliki nilai dominansi yang rendah (lihat gambar 7 serta

lampiran gambar 14 dan 17). Tingginya nilai penting menunjukkan

bahwa kedua spesies memiliki peranan yang besar pada vegetasi tingkat

bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan.

64

Gambar 7. Perbandingan kerapatan, frekuensi relatif, dominansi relatif,

dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan penelitian. Keterangan: (a) Dusun Girpasang serta (b) Dusun Plalangan

4. Indeks Keanekaragaman (H’)

Indeks keanekaragaman menunjukkan diversitas spesies tumbuhan

pada suatu komunitas, semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman maka

semakin besar juga keanekaragaman tumbuhan di wilayah tersebut. Berikut

ini nilai indeks keanekaragaman pada tiap-tiap tingkat pertumbuhan di

kawasan dusun Girpasang dan Plalangan.

65

Tabel 13. Indeks keanekaragaman vegetasi tingkat pertumbuhan pohon, anak pohon, serta bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan

Lokasi Indeks Keanekaragaman

Tingkat Pohon Tingkat Anak Pohon

Tingkat Bawah

Dusun Girpasang 1,7637 1,3200 2,52478 Dusun Plalangan 0,4826 0,6225 1,847845

Indeks keanekaragaman juga menunjukkan kestabilan komunitas

dalam mempertahankan dirinya dari ganngguan luar, apabila indeks

keanekaragaman suatu komunitas tinggi, maka komunitas tersebut memiliki

kompleksitas tinggi, karena interaksi antar spesies didalamnya juga tinggi

(Indriyanto, 2008). Kawasan dusun Girpasang memiliki keanekaragaman

speises yang sedang untuk tingkat pertumbuhan pohon dan anak pohon, hal

tersebut menunjukkan bahwa vegetasi tingkat pohon di Girpasang stabil

dengan tingkat anak pohon menjamin pertumbuhannya kedepan. Tingginya

indeks keanekaragaman untuk vegetasi tingkat bawah menunjukkan bahwa

naungan vegetasi tingkat pohon dan anak pohon tidak terlalu rapat dan

memungkinkan vegetasi bawah untuk tumbuh secara optimal.

Kawasan dusun Plalangan memiliki indeks keanekaragaman spesies

yang rendah untuk vegetasi tingkat pertumbuhan pohon dan anak pohon,

kondisi tersebut disebabkan oleh jumlah spesies yang ditemukan sangat

sedikit yaitu masing-masing 2 (dua) spesies untuk kedua tingkat pertumbuhan

tersebut, dan salah satu spesies yang mendominasi (Indriyanto, 2008).

Vegetasi tingkat bawah di Plalangan memiliki kemelimpahan sedang

kemungkinan disebabkan oleh minimnya naungan vegetasi tingkat pohon dan

anak pohon, namun terbatas oleh kondisi abiotik yang ada.

66

B. Potensi Etnobotani dan upaya Konservasi oleh Masyarakat Girpasang

dan Plalangan

1. Pemanfaatan Vegetasi oleh Masyarakat

Manusia sangat mengenal lingkungan hidupnya sebagai cara untuk

mempertahankan hidup. Pemanfaatan tumbuhan adalah cara paling dasar

yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seiring dengan

waktu, pemanfaatan tumbuhan oleh manusia tidak terbatas di lingkungannya,

namun meluas ke wilayah yang lebih besar.

Spesies yang dimanfaatkan oleh masyarakat Girpasang dan

Plalangan tidak seluruhnya ada di dalam dua kawasan itu. Hal tersebut terjadi

karena kebutuhan yang spesifik, beragam, dan daya dukung lahan yang tidak

sesuai untuk pertumbuhannya, untuk mengantisipasi hal tersebut, penelitian

ini hanya mengkaji pemanfaatan masyarakat terhadap tumbuhan yang benar-

benar ada di dalam kawasan Girpasang dan Plalangan sekalipun tidak

ditemukan di dalam plot vegetasi. Kondisi tersebut menyebabkan adanya

perbedaan pola dan peruntukan dalam memanfaatkan sumber daya vegetasi

yang ada (selengkapnya lihat lampiran, tabel 20-21).

a. Bahan Makanan

Bahan makanan merupakan bagian paling penting dalam aspek

pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia. Spesies tersebut sebagian

dimanfaatkan untuk makanan alternatif antara lain Jagung (Zea mays),

Pisang (Musa paradisiaca), Pohung (Manihot utilissima), Ubi Rambat

(Ipomea batatas), dan Talas (Colocasia, sp.), sedangkan bahan makanan

67

pokok, yaitu Padi (Oryza sativa Linn.) harus didatangkan dari luar.

Masyarakat dusun Girpasang juga menggunakan Jagung sebagai

makanan pokok. Adas (Foeniculum vulgare Mill.), Cabai (Capsicum, sp.),

Jipang (Sechium edule (Jacq.) Sw.), Kembang Kol (Brassica oleracea),

Loncang, Sawi Hijau (Brassica rapa), dan Wortel (Daucus carota Linn.)

dimanfaatkan untuk sayuran, Nongko (Artocarpus integra) dimanfaatkan

untuk sayuran dan buah.

Spesies yang disebutkan diatas hanya Nongko dan Talas yang

ditemukan di plot penelitian di Girpasang, dan tidak ada yang ditemukan

di plot penelitian di Plalangan. Hal tersebut disebabkan oleh

kecenderungan masyarakat menanamnya di area tegalan yang secara

intensif diolah untuk pertanian palawija dan sayuran, sedangkan plot

sampel dilokasikan di tegalan yang tidak secara intensif diolah dan

wilayah jelajah masyarakat.

b. Bahan Pakan Ternak

Spesies-spesies yang dimanfaatkn oleh masyarakat Girpasang

dan Plalangan sebagai pakan ternak antara lain Sogo/Akasia Gunung

(Acacia decurrens Willd.), Rumput Kolonjono (Pennisetum purpureum),

Rumput Gajah (Panicum distachyum Linn.), Nongko (Artocarpus

integra), dan Pisang (Musa paradisiaca Linn.). Rumput Kolonjono dan

Gajah ditanam oleh masyarakat untuk memenuhi pakan ternak tanpa

harus tergantung ke hutan Merapi. Penanaman Kolonjono dan Gajah

dapat dilakukan di tegalan, pembatas tegalan, dan perengan. Sekalipun

68

ketika musim kemarau tiba, masyarakat tetap masuk ke kawasan hutan

untuk mengambil rumput karena hasil dari rumput yang ditanam tidak

mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak. Bagian dari spesies Nongko

dan Pisang yang dimanfaatkan adalah bagian daunnya.

Sebagian besar spesies dalam vegetasi habitus semak dan herba

serta tumbuhan tingkat bawah juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak

yang diambil dari tegalan dan hutan dengan pengecualian antara lain

spesies Ireng-ireng (Eupatorium riparium) karena tidak disukai oleh

binatang ternak. Akses masyarakat ke dalam hutan untuk mendapatkan

pakan ternak hingga elevasi 1500 mdpl untuk kawasan Girpasang dan

2600 mdpl untuk kawasan Plalangan.

c. Bahan Bakar

Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.), Sengon

(Albizia falcataria), Bambu (Bambusa, sp.), dan vegetasi habitus semak

dimanfaatkan sebagai bahan bakar oleh masyarakat Girpasang dan

Plalangan. Sogo/Akasia Gunung adalah spesies yang dimanfaatkan

secara intensif dan primer untuk bahan bakar, didapatkan masyarakat

Girpasang dari tegalan-nya sendiri, baik berupa batang ataupun hanya

cabang-rantingnya, sedangkan masyarakat Plalangan mendapatkannya

dari hutan Merapi dengan cara memangkas cabang yang merintangi jalan,

cabang-ranting kering, dan pohon yang telah tumbang. Sengon

dimanfaatkan bagian cabang-rantingnya oleh masyarakat Girpasang.

69

Bambu dan berbagai spesies vegetasi habitus semak seperti

Gerpak Kayu (Eupatorium odoratum) yang dapat tumbuh hingga 2 (dua)

meter dengan diameter 5 cm dimanfaatkan oleh masyarakat Girpasang

dan Plalangan jika ketika spesies yang lazim dimanfaatkan sulit

didapatkan. Bambu relatif dihindari karena menghasilkan aroma yang

menyengat pada makanan dan seisi rumah.

Bahan bakar menjadi penting karena ketergantungan masyarakat

masih tinggi untuk memasak air, makanan, dan untuk menghangatkan

diri (gegeni). Masyarakat Plalangan mulai menggunakan gas elpiji

sehingga kebutuhan akan kayu bakar mengurang sebatas untuk memasak

air dan gegeni. Berbeda dengan masyarakat dusun Girpasang yang tidak

dapat mengakses gas elpiji sehingga kebutuhan memasak air, makanan,

dan gegeni diselesaikan dengan menggunakan kayu bakar.

d. Bahan Bangunan

Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.), Bambu Apus

(Gigantochloa apus), Bambu Cendani (Bambusa multiplex), Dadap Cekli,

Kina (Cinchona pubescens Vahl.), Nongko (Artocarpus integra) dan

Sengon (Albizia falcataria) dimanfaatkan sebagai bahan bangunan.

Dadap Cekli, Nongko, Kina, dan Bambu Apus dimanfaatkan

sebagai komponen bangunan yang penting seperti tiang, rangka utama,

dan rangka atap karena memiliki kekuatan dan kelenturan yang cukup

untuk menopang keseluruhan bangunan. Sengon dan Sogo/Akasia

Gunung dimanfaatkan untuk bagian yang relatif ringan seperti komponen

70

rangka atap seperti reng dan kasau, dan juga dinding. Bambu Apus dan

Cendani dimanfaatkan untuk membuat dinding (gedhek) dan furnitur

seperti bangku panjang (lincak) dan dipan panjang (amben).

e. Bahan Bernilai Ekonomi

Berbagai spesies yang ada di dalam kawasan penelitian

dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan oleh masyarakat setempat,

antara lain Adas (Foeniculum vulgare Mill.), Bawang Merah (Allium

cepa), Buncis, Cabai (Capsicum, sp.), Jagung (Zea mays), Jipang

(Sechium edule (Jacq.) Sw.), Kentang (Solanum tuberosum Linn.),

Kembang Kol (Brassica oleracea), Loncang, Talas (Colocasia, sp.),

Tembakau (Nicotiana tabacum Linn.), Sawi Hijau (Brassica rapa), dan

Wortel (Daucus carota Linn.) seluruhnya diusahakan sebagai penghasil

daun, buah, dan umbi sebagai sayuran, kecuali tembakau untuk bahan

dasar pembuatan rokok. Kina (Cinchona pubescens Vahl.), dan Manis

Jangan (Cinnamomum verum) diusahakan sebagai penghasil minyak

atsiri dan obat-obatan.

Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.), Nongko

(Artocarpus integra), Bambu Apus (Gigantochloa apus), dan Bambu

Bonggol, dan Sengon (Albizia falcataria) dimanfaatkan untuk bahan

bangunan, bahan bakar, dan penghasil buah. Sogo/Akasia Gunung harus

diolah dahulu menjadi arang kayu baru kemudian dijual sebagai bahan

bakar, Nongko sebagai bahan bangunan dan penghasil buah, bambu Apus

71

dan Bambu Bonggol untuk bahan bangunan, sedangkan sengon sebagai

bahan baku pulp (bubur kayu).

f. Material Budaya

Material budaya yang dimaksud disini adalah benda yang

digunakan sebagi sarana atau berfungsi sebagai bagian dalam suatu

kegiatan budaya, seperti upacara. Dua puluh spesies tumbuhan digunakan

masyarakat lereng Merapi untuk keperluan kegiatan budaya (Anggana,

2011).

Kantil (Michelia alba D.C.), Kelapa (Cocos nucifera Linn.),

Kenanga (Canangium odoratum Baill.), Mawar merah dan putih (Rosa,

sp.), Melati (Jasminum sambac Ait.), dan Pring Cendani (Bambusa

multiplex) merupakan spesies yang dimanfaatkan masyarakat dalam

berbagai kegiatan budaya. Tiga spesies diantaranya harus ada dalam

setiap kegiatan budaya yaitu daun Kelapa, Mawar, dan Melati, bagian

dari Kelapa yang digunakan adalah daun muda (janur). Kenanga dan

Kantil hanya digunakan pada acara tertentu saja, dan Pring Cendani

digunakan untuk syarat yang diletakkan di atas pintu depan rumah

bagian dalam.

2. Interaksi Masyarakat dengan Lingkungan

Dusun Girpasang menggunakan lahan untuk pertanian palawija dan

luas area yang sangat kecil, dan dusun Plalangan menggunakan lahan untuk

pertanian sayuran. Dua sistem perladangan ini memiliki perbedaan yang

72

mendasar, yaitu pengolahan tanahnya. Sistem perladangan untuk pertanian

palawija tidak membutuhkan pengolahan lahan yang intensif sedangkan

pengolahan lahan untuk pertanian sayuran dilakukan dengan intensif.

Pertanian palawija yang dilakukan oleh masyarakat dusun Girpasang,

baik dengan menggunakan sistem monokultur ataupun tidak, masih memberi

kesempatan tumbuhan yang tidak bernilai ekonomis untuk tetap tumbuh.

Selain hasil pertanian palawija, masyarakat Girpasang juga beternak sapi

sebagai celengan urip atau cadangan dana yang hidup untuk berbagai

kebutuhan yang mendesak dan penting. Sapi-sapi ini juga membutuhkan

pakan yang simultan yang hanya sebagian dapat dipenuhi dari tegalan, dan

mampu menghasilkan rabuk (pupuk kandang) yang baik untuk kualitas tanah.

Kekurangan pakan ini dipenuhi dari kawasan hutan lindung diatas dusun

dengan jangkauan jelajah hingga ketinggian 1.500 mdpl.

Pertanian palawija berpengaruh negatif terhadap kemelimpahan

vegetasi karena didominasi oleh tumbuhan yang bernilai ekonomis saja.

Jangkauan jelajah dalam upaya pemenuhan pakan ternak menyebabkan

homogenitas tumbuhan tingkat bawah, karena sangat mungkin terjadi upaya

pembatasan tumbuhan yang tidak dapat dikonsumsi oleh hewan ternak,

seperti tumbuhan ireng-ireng. Pemanfaatan lahan untuk pertanian palawija

dilakukan pada ketinggian 1.100-1.250 mdpl., dan jangkauan jelajah

masyarakat hingga ketinggian 1.500 mdpl.

Sebagian besar upaya pemenuhan kayu bakar (ngrencek) oleh

masyarakat Girpasang didapatkan dari hutan Merapi antara lain spesies

73

Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) dan hanya sedikit yang bisa

ditopang oleh potensi tegalan yang ada seperti bambu (Bambusa, sp.) dan

cabang mati dari vegetasi tingkat pohon serta sebagian anak pohon.

Pertanian sayur dalam kehidupan masyarakat dusun Plalangan

sebagian besar dilakukan dengan teknik tumpang sari dan pengelolaan

lahannya dilakukan sepanjang tahun. Hal tersebut juga terkait dengan sistem

perekonomian yang ada, telah terjadi ketergantungan yang sangat tinggi

dengan pertanian sayur sebagai mata pencaharian utama, selain peternakan

sapi. Peternakan sapi juga membutuhkan cadangan pakan yang simultan.

Cadangan pakan ini dipenuhi dari tegalan yang ada dan dalam kondisi

tertentu kebutuhan pakan ternak tidak dapat dipenuhi dari tegalan saja,

masyarakat berusaha memenuhinya dari kawasan hutan. Hal tersebut dapat

dipastikan mempengaruhi vegetasi yang ada.

Sistem pertanian sayur dengan pengelolaan tanah yang intensif

menyebabkan keanekaragaman hayati terutama tumbuhan sangat kecil dan

jelajah masyarakat ke kawasan hutan dalam upaya pemenuhan kebutuhan

pakan ternak berpengaruh terhadap keanekaragaman vegetasi tingkat bawah.

Lahan yang digunakan untuk pertanian sayuran secara intensif terletak pada

ketinggian 1.650-2.000 mdpl., jangkauan jelajah untuk pendapatkan kayu

bakar hingga ketinggian 2.300 mdpl., dan jangkauan jelajah untuk

pendapatkan pakan ternak hingga ketinggian 2.600 mdpl. Pemenuhan

kebutuhan kayu bakar seluruhnya ditopang oleh hutan di kawasan TNGM

antara lain oleh spesies Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) yang

74

didapatkan dalam kondisi tumbang atau ditebas sebagian cabangnya

(wawancara dan observasi).

Dilihat dari kondisi geografis, dusun Girpasang berada pada zona

sub-pegunungan sedangkan Plalangan berada dalam zona pegunungan. Zona

sub-pegunungan akan memiliki kemelimpahan spesies yang lebih tinggi

dibandingkan dengan zona pegunungan karena terbatas oleh elevasi,

temperatur, dan kandungan hara (van Steenis, 2006). Spesies-spesies

tumbuhan yang ditemukan di kawasan Girpasang yaitu 7 (tujuh) spesies

pohon, 9 (sembilan) spesies anak pohon, dan 22 (dua puluh dua) spesies

vegetasi tingkat bawah. Plalangan memiliki kemelimpahan yang lebih rendah

yaitu 2 (dua) spesies pohon, 2 (dua) spesies anak pohon, 11 (sebelas) spesies

tingkat bawah. Manisrejo (Vaccinium varingiaefolium (Bl.) Miq) yang

ditemukan di kawasan dusun Plalangan merupakan tumbuhan zona

pegunungan yang didapatkan dalam penelitian ini dan menjadi spesies

penting sebagai pembeda antara vegetasi zona sub-pegunungan dengan zona

pegunungan.

Manusia sebagai bagian dari ekosistem memiliki pengaruh positif

dan negatif sekaligus terhadap ekosistemnya. Populasi manusia yang semakin

meningkat tentu membutuhkan lahan hidup yang bertambah dan secara

langsung berpengaruh pada keanekaragaman hayati yang ada di lingkungan-

nya (Schulze et.al., 2002).

75

3. Konservasi Lahan

Dusun Girpasang telah ada dan mendiami wilayah yang sama lebih

dari 4 (empat) generasi dengan kondisi lingkungan yang hampir tidak terjadi

perubahan secara ekologis. Secara kutural masyarakat Girpasang mengenal

upaya perlindungan sumber daya alam, baik yang disadari dan diupayakan

ataupun yang berjalan sendirinya tanpa ada pemaknaan tertentu dan tidak

menyadari bahwa hal tersebut adalah upaya perlindungan. Berikut upaya

yang dilakukan masyarakat Girpasang untuk melindungi alamnya

(wawancara dengan Bpk. Mirmo, Bpk. Patmo Sudarso, Bpk. Priyono, Bpk.

Yosorejo, dan beberapa warga yang lain).

a. Tidak mengusik kawasan hutan Negara (alas negoro)

Sikap ini tidak serta merta menunjukkan ketidakterkaitan dan

ketidakbutuhan masyarakat Girpasang terhadap kawasan hutan, tetapi

sebagai bentuk kesadaran bahwa hutan adalah nyawa bagi kehidupan.

Terkait masalah hutan, masyarakat Girpasang masih mengambil rumput

didalam hutan tersebut dalam kondisi tertentu seperti kekeringan (dalam

sistem pranoto mongso, puncaknya terjadi pada mongso ketigo).

b. Penanaman perengan dengan bambu, rumput dan kayu Sogo.

Bertujuan untuk menjaga keberlangsungan pakan ternak dan

sumber penghasilan masyarakat Girpasang dan juga ditujukan untuk

menjaga struktur tanah agar tidak terjadi longsor (jugrug). Kemiringan

perengan di kawasan dusun Girpasang mencapai 90 derajat dan bahkan

lebih.

76

c. Pemanfaatan pupuk (rabuk) organik sebagai pupuk utama

Peternakan sapi yang dilakukan oleh seluruh warga dengan rata-

rata 4 (empat) ekor sapi per rumah menghasilkan banyak kotoran.

Kotoran yang bercampur dengan alas kandang dan sisa-sisa pakan

didiamkan beberapa hari hingga beberapa minggu, kemudian dipanggul

ke tegalan untuk dijadikan rabuk. Alasan utama pemanfaatan pupuk ini

adalah tidak mampunya masyarakat untuk membeli pupuk kimiawi.

Sebagian dari mereka juga menyadari bahwa penggunaan rabuk sapi ini

lebih aman bagi kondisi tanahnya dibandingkan dengan pupuk kimiawi.

Masyarakat Plalangan yang tinggal di atas tanah yang sesuai untuk

pertanian sayuran, tentu sejak lama mengenal cara-cara yang baik untuk

menjaga kelestarian alam yang mereka tempati. Hasil observasi partisipan

dan wawancara yang dilakukan menunjukkan beberapa upaya konservasi

lahan yang telah dikenalkan dan kemudian dilakukan secara mandiri oleh

masyarakat (wawancara dengan Bpk. Min, ka. RT dan Kadus).

a. Penanaman batas tegalan dengan tanaman keras

Spesies yang ditanam umumnya bermanfaat bagi masyarakat

sendiri di kemudian hari, seperti tanaman Akasia Gunung (Acacia

decurrens Willd.) dan Kina (Cinchona pubescens Vahl.). Masyarakat

sadar bahwa jugrug (longsor) merupakan ancaman bagi tanah-tanah yang

gundul serta curam, dan perakaran kedua tanaman tersebut dapat

menjaga struktur tanah yang ada, di samping mereka mendapatkan hasil

ketika tanaman keras tersebut laku dijual. Pemanfaatan tanaman

77

produktif untuk melindungi perengan adalah hal yang mereka pelajari

sendiri dari untaian pengalamannya.

b. Pola pembuatan alur tanam (demplot) di tegalan

Pembuatan demplot disesuaikan dengan profil kemiringan tanah,

untuk lahan yang datar, alur tanaman dibuat sejajar dengan kemiringan

tanah, untuk menyebarkan air yang mungkin ada. Untuk lahan miring,

alur tanam dibuat melintangi kemiringan, sehingga ketika ada air yang

mengalir, tidak langsung mengerosi lapisan tanah yang ada.

c. Penanaman rumput di perengan (lereng),

Hal ini bertujuan untuk menjaga kontinuitas pakan ternak yang

harus selalu ada, disisi lain untuk menjaga struktur tanah agar tidak

mudah tererosi oleh air.

d. Penggunaan pupuk kandang (rabuk) sebagai pupuk utama

Dimanfaatkan selain untuk menghemat biaya produksi,

masyarakat juga merasa pupuk ini tidak merusak struktur tanah di

tegalan mereka.

Konservasi lahan di dua dusun di lereng gunung Merapi telah

diupayakan oleh masyarakat sendiri. Seperti telah diuraikan diatas, konservasi

tanpa mereka sadari merupakan bagian dari hidup mereka. Konservasi lahan

yang dilakukan sebagian pada wilayah konseptual dan sebagian lain dalam

wilayah aksi. Pada wilayah konseptual, masyarakat mempelajari makna dari

kejadian, baik yang dialami langsung ataupun akumulasi dari pengalaman-

pengalaman generasi sebelumnya. Konsepsi tentang perlindungan ini

78

membangun pola pikir yang kemudian diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan

dalam wilayah praksis. Pada wilayah aksi, seperti dijabarkan diatas, adalah

bagian dari rutinitas dan keseharian masyarakat. Sebagian dari upaya

konservasi tersebut masih dilakukan tanpa adanya konsep dan dasar budaya

yang jelas, masih sekadar meneruskan kebiasaan para pendahulu (nguri-uri).

4. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi

Konservasi, seperti diuraikan dimuka, merupakan upaya

mempertahan-kan kondisi alam atau lingkungan sesuai dengan asalnya, dan

bertujuan untuk menjaga keberlangsungannya bagi generasi selanjutnya.

Konservasi dalam penelitian ini adalah upaya perlindungan alam secara

umum, dengan target akhir, biodiversitas di kawasan lereng Merapi tetap

terjaga. Konservasi yang dilakukan oleh masyarakat sebagian besar berkutat

pada upaya perlindungan lahan yang dilakukan dan jenis-jenis tumbuhan

yang digunakan, karena terkait dengan hidup dan penghasilan mereka. Hal ini

dikaji karena keajegan kondisi abiotis di suatu kawasan akan berakibat pada

ketersediaan sumber daya untuk kerberadaan biodiversitas.

Hasil studi ekologi vegetasi dan sosial kemasyarakatan yang telah

dilakukan di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan menunjukkan bahwa

jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan secara intensif dan/atau diusahakan

oleh masyarakat antara lain Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens (Lam.)

de Wit.), berbagai jenis Bambu (Bambusa, sp.), Rumput kolonjono, Cemara

Gunung (Casuarina junghuhniana, Miq.), dan Kina (Chinchona, sp.).

79

Spesies Sogo/Aksia Gunung merupakan tumbuhan berpolong dari

sub famili Mimosaceae yang mampu tumbuh hingga ketinggian 1500 mdpl.

Kawasan Girpasang yang berketinggian 1.100 mdpl sangat mampu

mendukung tanaman ini, namun spesies ini mampu tumbuh hingga ketinggian

2.300 mdpl seperti ditemukan di kawasan Plalangan (1.700 mdpl).

Akasia gunung ini memiliki sistem perakaran tunggang dengan satu

akar primer, dan akar sekunder di sekelilingnya. Hal tersebut menunjukkan

bahwa tanaman ini dapat berperan sebagai jangkar untuk struktur tanah

terutama di lereng (perengan). Secara langsung, pengaruh keberadaan

Sogo/Akasia Gunung terhadap kondisi lahan yang sangat terlihat di

Girpasang dibandingkan dengan Plalangan. Di wilayah dusun Girpasang,

Sogo/Akasia Gunung banyak ditemukan di perengan sedangkan di kawasan

Plalangan tanaman tersebut ditemukan di tegalan yang relatif datar dan hanya

sebagian kecil di perengan. Spesies Akasia Gunung ini memiliki nilai penting

tertinggi di kawasan dusun Girpasang untuk vegetasi tingkat pertumbuhan

anak pohon serta kawasan Plalangan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan

anak pohon.

Spesies Kina (Chinchona, sp.) merupakan tanaman obat yang berasal

dari kawasan Amerika Selatan di sepanjang Pegunungan Andes. Tumbuhan

ini dikenal memiliki kegunaan sebagai penghasil alkaloid spesifik yaitu kina,

yang digunakan dalam pengobatan penyakit malaria. Tumbuhan kina, dalam

penelitian ini, hanya ditemukan di kawasan dusun Plalangan dan digunakan

untuk pembatas kepemilikan tegalan. Secara khusus terdapat pernyataan

80

bahwa tanaman ini diusahakan untuk menjaga struktur tanah di tegalan yang

memiliki kemiringan rata-rata hingga 45 derajat. Spesies ini tidak ditemukan

dalam plot penelitian.

Tanaman Cemara gunung (Casuarina junghuhniana, Miq.)

merupakan anggota dari famili Casuarinaceae. Famili ini merupakan tumbu-

han yang mampu memfiksasi nitrogen dari udara bebas, sehingga dapat

membantu memperkaya kandungan nutrien dalam tanah dan dapat diman-

faatkan oleh tumbuhan lain. Fiksasi nitrogen terjadi di nodus oleh bakteri

Actinomycetes dari genus Frankia (Anonim, 2011). Terkait dengan

kemampuannya memfiksasi nitrogen, tumbuhan ini dapat berguna untuk

merehabilitasi tanah (Pinyopusarerk & Boland, 1005). Pemerintah Indonesia

menggunakan cemara gunung sebagai tumbuhan reboisasi dan meningkatkan

kualitas tanah. Sistem perakaran dari tumbuhan ini juga berguna untuk

menjaga struktur tanah yang memiliki kemiringan relatif curam (Anonim,

2011).

Bambu (Bambusa, sp.) merupakan anggota dari rumput (Gramineae)

dengan ciri khas batang berbuku, daun dengan pertulangan sejajar, tidak

bercabang, membentuk rumpun dengan anakan tumbuh dari stuktur seperti

batang horizontal (rizoma), dan sistem perakaran serabut. Bambu banyak

terdapat di kawasan dusun Girpasang, baik dibudidayakan ataupun tidak,

sedangkan di kawasan dusun Plalangan hanya sedikit. Hasil wawancara

menunjukkan bahwa penanaman bambu di kawasan Girpasang pada dasarnya

ditujukan untuk bahan bangunan dan penunjang perekonomian. Sekalipun

81

secara langsung tidak ditemukan hubungan tanaman bambu dengan

konservasi biodiversitas, kemungkinan maksud lain dari keberadaan bambu

yang banyak tumbuh di perengan dan tepian jurang dengan kecuraman lereng

mendekati 90 derajat ini adalah sebagai penopang struktur tanah, mengingat

kondisi geografis Girpasang yang dikelilingi jurang.

Tumbuhan bambu di kawasan dusun Plalangan hanya sedikit dan

tumbuh secara acak. Serupa dengan Girpasang, rumpun bambu banyak

didapatkan di perengan dan jurang. Tidak ditemukan juga alasan pemanfaatan

bambu dalam upaya konservasi, hanya saja lokasi penanamannya yang

menjadikan bambu juga bermanfaat dalam upaya konservasi, terutama

konservasi lahan. Masyarakat Plalangan memanfaatkan Bambu untuk bahan

bangunan dan sebagian untuk dijual. Sistem rumpun dan perakaran serabut

mampu menahan struktur tanah hingga kedalaman tertentu dari permukaan.

Hal tersebut ditemukan di Girpasang, karena posisi rumpun tersebut telah

menggantung setengah dari luasnya.

Pemanfaatan yang dilakukan di atas menjadikan keberadaan spesies

tersebut terjaga di Girpasang dan Plalangan. Keberadaan spesies tersebut juga

berpengaruh pada vegetasi yang ada dalam naungannya, antara lain dengan

ketersediaan nitogen yang tinggi di kawasan yang ditumbuhi oleh Cemara

Gunung (Casuarina junghuhniana). Berbagai jenis tumbuhan yang

diusahakan akan terjaga keberadaannya di kawasan tersebut selama aspek

manfaat tumbuhan tersebut masih ada.

C. Etnoekologi Masyarakat Girpasang dan Plalangan

82

1. Kegiatan Budaya dan Pandangan Hidup Masyarakat Terhadap

Lingkungan

Manusia bergerak, bersikap, dan berekspresi sesuai konstruksi

budaya yang terbangun dalam alam pikirannya. Budaya merupakan hasil dari

daya kreatif dan intuitif manusia dari pergumulannya dengan manusia yang

lain dan alam disekelilingnya, diantara elemen budaya adalah sistem

keyakinan yang kemudian sebagian darinya diekspresikan secara praktis dan

bentuk ritual atau upacara adat. Dimensi budaya yang dipelajari dalam

penelitian ini hanya sebatas mengenal dan memahami makna dari ekspresi

budaya, berikut ini adalah upacara-upacara adat yang masih dilaksanakan

oleh masyarakat dusun Girpasang dan Plalangan.

a. Kegiatan Budaya di Dusun Girpasang dan Plalangan

Masyarakat dusun Girpasang memegang teguh apa yang mereka

yakini sebagai kebudayaan mereka, diantara ekspresi kebudayaan mereka

yang masih dilakukan antara lain sebagai berikut (wawancara dengan

Bpk. Mirmo, Bpk. Patmo Sudarso, Bpk. Priyono, Bpk. Yosorejo, dan

beberapa warga yang lain).

1) Memetri bumi, memetri deso (merti dusun).

Dilaksanakan pada pada hari selasa kliwon atau tanggal ke-

8 padan bulan Suro dalam kalender jawa, dengan konsep acara

kenduri di kediaman sesepuh adat, dalam hal ini mbah Marto.

Dikenal istilah betuas yaitu ngesuhi atau kondangan kepada sesepuh

yang melaksanakan kenduri. Acara ini bertujuan untuk

83

membersihkan desa dari kala (ketidakbaikan, ketidakseimbangan

atau sesuatu yang negatif). Upacara memetri bumi memiliki tujuan

untuk meluruskan kembali pola hubungan antara manusia dengan

lingkungannya dalam lingkup lokal ataupun luas. Bumi atau dusun

yang telah bersih dari kala melalui ritual tersebut harus dijaga

keajegannya, minimal sampai upacara serupa di tahun yang akan

datang dengan pola kehidupan yang ramah dengan sumber daya

yang ada di lingkungannya, sehingga kehidupan tetap dapat

tercukupi tanpa ada perselisihan yang disebabkan oleh

ketidakmampuan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan

masyarakat.

2) Ruwahan.

Dilaksanakan pada tanggal 20 di bulan ruwah dalam

kalender jawa. Konsep upacara ini adalah “ngirim pepunden ing

ngeneng kasedan jati” atau “ngirim pepunden ing ngeneng swargo

langgeng” dengan melakukan ziarah ke makan leluhur, seperti

halnya upacara Sadranan, untuk meminta berkah dan restu untuk

baiknya kehidupan kedepan (nyuwun berkah pangestu kangge

leresing urip). Upacara ini dilakukan bersama-sama dengan

pelaksanaan di rumah sesepuh adat. Efek langsung dari upacara

sadranan adalah tumbuhnya kesadaran bahwa kehidupan di dunia

tidaklah sendiri, melainkan harus berbagi dengan makhluk yang lain.

84

3) Bodho atau Idul Fitri.

Dilaksanakan pada tanggal 1-7 pada bulan Syawal dalam

kalender jawa. Upacara ini dilakukan dengan cara saling mengirim

sego punar sebanyak dua kali selama 1 minggu tersebut. Sego punar

adalah nasi yang dibuat menggunung dalam piring dan ditumpangi

cawan dalam posisi terbuka serta diberi penutup diatas, dapat berupa

kain atau tutup yang lainnya. Filosofi dari sego punar adalah

keharusan untuk memberi terlebih dahulu sekalipun dalam kondisi

yang mengharuskannya untuk menerima, memaafkan lebih banyak

sebelum meminta maaf, atau jika diterjemahkan dalam bahasa

konservasi adalah kemampuan anggota masyarakat untuk menjaga

lingkungannya dalam proporsi yang lebih banyak sebelum dapat

menikmati hasil dari sumber daya di lingkungan tersebut.

Serupa dengan masyarakat Girpasang, berikut ini beberapa

kegiatan budaya yang masih berlaku dalam kehidupan masyarakat dusun

Plalangan (wawancara dengan Bpk. Min, ka. RT dan Kadus).

1) Memetri gunung (Merti gunung atau sedekah gunung).

Dilaksanakan pada tanggal 1 bulan Suro dalam kalender

jawa, atau bertepatan dengan tanggan 1 Muharram dalam kalender

hijriah. Diadakan di dusun Plalangan hingga ke puncak gunung

Merapi. Seekor kambing disembelih, kemudian kepalanya didoakan

dalam kenduri yang dilaksanakan malam hari, kemudian esoknya

85

diantarkan dan dilarung di puncak gunung Merapi. Dagingnya

kemudian dimasak dan disajikan kepada masyarakat dusun

Plalangan sendiri. Upacara ini dilakukan untuk memohon kesela-

matan dan ucapan terima kasih atas berkah yang telah dilimpahkan

Merapi kepada masyarakat. Sebagai gantinnya, masyarakat dengan

kesadaran yang tinggi mengambil berkah langsung dari lereng

Merapi, seperti pakan ternak dan kayu bakar, hanya sebatas yang di-

perlukan saja. Pemanfaatan vegetasi di lereng Merapi secara intensif

hanya dilakukan ketika puncak musim kemarau (ketigo), saat potensi

tegalan tidak mampu menyuplai kebutuhan tersebut.

2) Memetri tuk / umbul (merti sumber air).

Dilaksanakan pada bulan Sapar dalam kalender jawa,

diadakan di Gunung Merbabu. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya

masyarakat dusun Plalangan saja, namun juga masyarakat dari dusun

lain yang merasakan berkah air dari gunung Merbabu. Upacara ini

bertujuan untuk memanjatkan rasa syukur dan permohonan agar air

selalu lestari bagi masyarakat. Pemanfaatan langsung masyarakat

terhadap keanekaragaman vegetasi, baik kayu keras ataupun rumput,

yang dilakukan hanya pada musim-musim tertentu berimbas pada

keajegan kondisi vegetasi daerah tangkapan air di lereng bagian atas.

86

3) Sadranan atau nyekar.

Dikenal dengan ziarah ke makam leluhur yang telah men-

dahului. Dilaksanakan pada bulan Poso dalam kalender jawa.

Upacara ini dilakukan secara pribadi ke leluhur masing-masing atau

bersama-sama ke makam tokoh tertentu. Seperti dua upacara di atas,

sadranan dimaksudkan untuk memohon berkah dari leluhur supaya

kehidupan menjadi tentram dan damai dan para leluhur merestui apa

yang mereka lakukan. Untuk mencapai ketentraman yang diidamkan,

muncul tuntutan untuk memperlakukan lingkungan sekitarnya

dengan arif, sehingga tidak ada kala yang terjadi.

4) Kondangan atau sambatan atau kenduren.

Dilaksanakan secara pribadi sesuai dengan hajat yang

terjadi, seperti sripahan (meninggal), nikahan, dan lainnya. Upacara

ini dilakukan di rumah yang memiliki hajat, dimana keseluruhan

hidangan didoakan terlebih dahulu oleh sesepuh sebelum dibagikan

kepada mereka yang hadir. Corak lain adalah membantu yang

memiliki hajat dengan materi (kondangan) ataupun dengan tenaga

(sambatan). Konsep sambatan tidak terbatas hanya pada momen

sosial kemasyarakatan saja, tetapi melingkupi seluruh aspek yang

mendukung subsistensi masyarakat di kawasan tersebut. Sambatan

yang terkait dengan upaya konservasi antara lain reboisasi kawasan

hutan pasca erupsi besar tahun 2010 dengan spesies yang sama

(Sogo/Akasia Gunung) dan pembuatan jalur pendakian tetap untuk

87

mempermudah akses dan melokalisir potensi erosi tanah di kawasan

hutan dan tegalan.

b. Pandangan Hidup Masyarakat terhadap Lingkungan

Kearifan ekologi merupakan upaya masyarakat untuk selaras

dengan lingkungannya dan merupakan manifestasi dari kepercayaan yang

dianut oleh masyarakat tersebut (Minsarwati, 2002). Masyarakat

setempat merasakan bahwa diri mereka sendiri sebagai bagian dari

ekosistem Merapi. Berdasarkan pandangan itu, masyarakat harus

bersikap dan bertindak yang sesuai dengan selaras trehadap sesamanya,

Merapi, dan para roh leluhur atau makhluk halus penghuni Merapi

(Triyoga, 2010).

Masyarakat yang menjadi subyek penelitian ini memiliki corak

keislaman yang jawa atau sering dikenal dengan Agami Jawi atau

kejawen. Terdapat berbagai konsep, keyakinan, dan nilai, seperti yakin

akan adanya Allah, Muhammad sebagai nabi dan utusan-Nya, yakin akan

nabi-nabi lain, yakin akan kosmogoni tertentu dalam penciptaan alam,

yakin atas dewa-dewa tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam

semesta, memiliki konsep tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah

kematian, yakin akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek

moyang yang telah meninggal, yakin akan adanya roh-roh penjaga, yakin

akan adanya setan, hantu, dan raksasa, dan yakin akan adanya kekuatan

gaib dalam alam semesta ini (Koentjaraningrat, 1994). Makhluk halus

dan roh leluhur menjadi hal yang penting dalam penelitian ini, karena

88

terkait dengan system kepercayaan masyarakat dan kenal dengan

penguasa Gunung Merapi (Redi Merapi) (Minsarwati, 2002). Mengacu

pada pengertian diatas, roh leluhur disini, dapat diposisikan sebagai

pemilik kekuatan, namun kemungkinan hal tersebut lebih condong ke

pengertian bahwa roh leluhur adalah perantara antara manusia dan Tuhan.

Upacara budaya yang dilakukan oleh masyarakat Girpasang dan

Plalangan sebagian besar menunjukkan bentuk slametan secara umum

laiknya masyarakat Jawa di daerah lain, dan sebagian kecil besifat khas

dan sangat terkait dengan Gunung dan lingkungan hidup, yaitu upacara

memetri gunung, memetri tuk, dan memetri bumi.

Selamatan (slametan) merupakan ritual terpenting dalam sistem

religi orang Jawa secara umum. Slametan tidah hanya bertujuan untuk

memelihara rasa solidaritas, tetapi juga memiliki aspek-aspek keagamaan

(Koentjaraningrat, 1994). Slametan yang dilakukan akan selalu

mengingatkan eksistensi dan hubungan masyarakat dengan lingkungan

Merapi dan merupakan komunikasi antara segenap penduduk desa

dengan alam adikodrati yang merupakan sumber kesehatan, kesuburan,

dan kehidupan. Selamatan ini juga mengungkapkan nilai-nilai yang

dirasakan sangat mendalam dan mendasar yaitu kebersamaan, kerukunan,

dan rasa hormat terhadap lingkungan yang menjadi tempat hidup, dengan

demikian selamatan yang dilakukan mengacu pada nilai-nilai

keseimbangan, keharmonisan, dan kesejahteraan yang ditujukan pada

89

pencapaian keharmonisan dan kesejahteraan lahir dan batin (Triyoga,

2010).

Selamatan yang dilakukan, baik yang dilakukan secara rutin

ataupun insidental, juga merupakan manifestasi dari kearifan ekologi itu

sendiri. Tujuan utama dari selamatan adalah memberi sedekah kepada

roh leluhur dan sebagai gantinya, masyarakat memohon kepada roh

leluhur tesebut keselamatan dan kesejahteraan. Selamatan juga bertujuan

untuk menjaga keselarasan yang telah ada atau keseimbangan yang

terguncang, antara masyarakat, Gunung Merapi, dan alam adi kodrati

(Triyoga, 2010).

Upacara memetri gunung, memetri tuk, dan memetri bumi

dimaksudkan untuk memanjatkan ucapan terima kasih kepada Gusti

Allah atas berkah yang dilimpahkan kepada masyarakat melalui

perantara yang berkuasa (ingkang mbahurekso) di kawasan tersebut.

Ketiga upacara diatas tidak menyaratkan untuk melakukan tindakan yang

spesifik untuk upaya konservasi. Nilai yang ada di dalam upacara

tersebut diterjemahkan dalam upaya konservasi antara lain tidak

mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di kawasan hutan untuk

menjaga kualitas sumber air, perlindungan perengan dengan rumput dan

tanaman keras, serta membuat demplot yang disesuaikan dengan

kemiringan tanah.

Sebagai gambaran yang menunjukkan adanya hubungan erat

antara masyarakat dengan Merapi, berikut ini doa yang diucapkan modin

90

atau kaum dalam upacara slametan di kawasan lereng selatan Merapi

(Minsarwati, 2002 & Habibi, 2008).

“sepindhah, ingkang kulo perteni saklebetipun Redi Merapi. Rambah kaping kalih ingkang wonten sak njawinipun Redi Merapi. Pramilo sedaya dipun perteni, kulo sak ahli waris nyuwun wilujeng. Lan sedhaya ahli kubur leluhur kula jaler saking estri, tebih celak, ingkang mboten keruwetan sedaya dipun perteni. Kula nyuwun bakoh kukuh langkep, kiyat salmet sak ahli waris kula sedaya. Rambah kapng tigo, kangge merteni nyeng Nyai roro Kidul, mbokmenawi utusan sakwanci-wancisageda kandheg kanan-kirinipun dhusun mriki”.

(pertama-tama, kepada yang saya muliakan yang didalam Gunung Merapi. Yang kedua, yang ada di luar Gunung Merapi. Semua saya muliakan dengan ssaji, saya sekeluarga minta selamat. Dan kepada leluhur, yang sidah meninggal dari pihak lelaki maupun perempuan, jauh ataupun dekat, yang terawat ataupun tidak terawat, semua dimuliakan. Saya mohon kukuh, utuh, kuat, serta selamat bagi keluarga saya. Ketiga untuk memuliakan Nyai Roro Kidul, bila sewaktu-waktu mengirim utusan semoga berhenti di kanan-kiri desa ini.).

2. Kearifan Ekologi sebagai Dasar Konservasi Keanekaraaman Vegetasi

Pemikiran dan sikap konservasi merupakan wujud yang lahir dalam

diri manusia dalam persentuhannya dengan lingkungan hidupnya terkait

dengan kepentingan manusia itu sendiri dalam mempertahankan

kehidupannya. Gunung Merapi merupakan sumber kehidupan dan sangat

terpengaruh oleh sikap masyarakat yang tinggal di lerengnya. Dari

persentuhan itu manusia dapat membangun sistem kebudayaan dan dapat

merasakan rangsangan (stimulus) dari lingkungannya tersebut yang sesuai

dengan kepentingannya.

91

Stimulus alamiah seperti perubahan dan ketidaktersediaan, stimulus

ekonomi seperti bidang ekonomi dan pemenuhan penunjang kehidupan

(pangan dan papan), dan stimulus nilai religious dipandang mampu

melahirkan sikap menjaga dan melindungi kawasan yang mereka kuasai

untuk kepentingan saat itu dan masa depan, dalam hal ini, sikap konservasi

(Zuhud, 2009).

Stimulus alamiah yang terjadi seperti longsor dan erosi mendorong

masyarakat untuk mengembangkan pengetahuan untuk melindungi kawasan

tersebut dengan cara penanaman tanaman keras di perengan dan batas

tegalan antara lain dengan memanfaatkan Bambu (Bambusa, sp.), Akasia

gunung (Acacia decurrens (Lam.) de Wit.) dan Kina (Chinchona, sp.), serta

pemanfaatan rumput untuk melindungi permukaan tanah. Masyarakat

Plalangan sendiri telah mengembangkan sistem demplot (galur atau gundukan

tempat menanam) yang berbeda untuk tegal yang relatif datar miring. Untuk

tegal yang datar dibuat demplot dari atas ke bawah dan untuk tegal yang

miring dibuat sejajar dengan garis kontur.

Stimulus ekonomi yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan primer,

sekunder, atau bahkan tersier mendorong masyarakat untuk mengembangkan

hasil dari tegalannya dalam bentuk produk langsung dan produk olahan.

Produk langsung berupa sayuran dan palawija dijaga ketersediannya dengan

upaya teknik tumpangsari sehingga hasil yang didapatkan berlangsung

sepanjang tahun. Produk olahan seperti kayu dan arang dilestarikan dengan

92

sistem tambal sulam ataupun penanaman bibit di sekitar tanaman yang akan

diolah beberapa saat sebelum pengolahan dilakukan.

Tumbuhan yang dikembangkan untuk pemenuhan produk langsung

sebagian merupakan tumbuhan asli di kawasan tersebut, antara lain Tales

(Colocasia, sp.), Ubi Rambat (Ipomea batatas), dan Jipang (Sechium edule

(Jacq.) Sw.) dan sebagian besar lainnya merupakan tumbuhan introduksi.

Produk olahan didapatkan dengan memberdayakan tanaman yang sepenuhnya

introduksi di kawasan tersebut (selengkapnya lihat lampiran 2, tabel 20-21).

Stimulus religi dimaknai dengan peran kepercayaan dalam perilaku

manusia untuk melindungi dan menjaga apa yang menjadi miliknya. Secara

spesifik belum ditemukan nilai religious yang secara gamblang berbicara

tentang perlindungan alam. Namun, secara tersirat, dapat ditemukan merti

gunung, merti tuk, dan merti bumi dan mendong masyarakat untuk bertindak

secara taktis dalam menjaga kawasan tersebut. Selain itu, nilai-nilai dalam

sistem kepercayaan yang menganjurkan hidup selaras dengan Merapi,

sebagaimana dibicarakan diatas, menjadi stimulus dalam upaya perlindungan

sumber daya alam. Nilai tersebut menjadi tuntutan untuk dilaksanakan karena

terdapat konsekuensi jika tidak dilaksanakan.

Ketiga stimulus diatas sangat terkait dengan sisi humanitas yang

menuntut ketercukupan ekonomi, penguasaan pengetahuan, adaptasi, dan

kebutuhan akan ketenangan dalam hidup.

Terkait dengan bahasan stimulus di atas, Triyoga (2010)

menjelaskan ada hubungan yang terjalin antara masyarakat dengan Merapi.

93

Hubungan tersebut didasarkan pada sistem kepercayaan masyarakat terhadap

Merapi dan menjadi kerangka adaptasi perilaku masyarakat terhadap Merapi

itu sendiri. Berikut kerangka adaptasi masyarakat lereng Merapi.

Keterangan:

Gunung Merapi menghasilkan sumber daya alam (1) yang dibudidayakan penduduk (2). Di samping menghasilkan sumber daya alam, gunung ini mengalami proses salami seperti banjir lahar, mengeluarkan gas beracun, rupsi, dan proses-proses lainnya (3), yang dihadapi penduduk sebagai bencana alam (4), Bencana alam ini menimbulkan krisis-krisis kehidupan penduduk (5), sumber daya alam dan bencana alam tersebut melahirkan sistem kepercayaan (6). Bencana-bencana atau proses-proses alami yang ditimbulkan oleh Merapi ditanggapi dan dipercayai berasal dari alam adikodrati yang dipersonifikasikan sebagai roh leluhur atau makhluk halus yang menghuni Merapi (7 dan 8). Sistem keperayaan terhadap Merapi inilah yang kemudian dipakai penduduk untuk mengatasi krisis-krisis hidup dan sebagai kerangka adaptasi terhadap gunung Merapi (7, 8, dan 9).

Gambar 8. Kerangka adaptasi perilaku masyarakat terhadap Merapi.

Sistem pranatamangsa, terutama dalam masyarakat Girpasang, masih

digunakan sebagai pedoman pengolahan tanah, sekalipun kondisi iklim

mutakhir yang seringkali tidak sesuai lagi dengan pedoman itu sendiri.

Keanekaragaman vegetasi dan sumber daya alam yang menjamin masa depan

94

dipertahankan, sedangkan yang tidak terkait dengan kehidupan masyarakat

secara langsung belum dipertahankan, bahkan cenderung terabaikan.

95

VI. PENUTUP

A. Kesimpulan

Terkait dengan hasil temuan penelitian dan pembahasannya pada bab

sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa poin dibawah ini,

1. Keanekaragaman vegetasi yang ditemukan di lereng tenggara dan utara gunung

Merapi secara umum terdiri dari:

a. Kawasan dusun Girpasang memiliki indeks keanekaragaman (H’) yang

sedang untuk tingkat pertumbuhan pohon (1,76) dan anak pohon (1,32),

sedangkan tumbuhan bawah termasuk tinggi (2,52). Vegetasi di dusun ini

disusun oleh 7 spesies pohon dengan Nongko (Artocarpus integra) me-

miliki nilai penting tertinggi (73,65%), 9 spesies anak pohon dengan Sogo-

Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) bernilai penting tertinggi

(177,11%), dan 22 spesies tumbuhan bawah dengan Lamisan (Oplismenus

burmanii P.B.) bernilai penting tertinggi (44,69%).

b. Kawasan dusun Plalangan memiliki keanekaragaman vegetasi yang me-

limpah rendah untuk tingkat pertumbuhan pohon (0,48) dan anak pohon

(0,62), serta melimpah sedang untuk tumbuhan bawah (1,85). Vegetasi di

kawasan dusun ini disusun oleh 2 spesies tingkat pohon dengan Sogo-

Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) memiliki nilai penting tertinggi

(252,40%), 2 spesies anak pohon dengan Sogo/Akasia Gunung (Acacia

decurrens Willd.) bernilai penting tertinggi (228,07%), dan 11 spesies

tumbuhan bawah dengan Ireng-ireng (Eupatorium riparium) bernilai

penting tertinggi (87,73%).

96

2. Pola interaksi yang terjadi antara masyarakat dengan kawasan lereng Gunung

Merapi dapat dibagi menjadi:

a. Pemanfaatan keanekaragaman vegetasi, antara lain untuk bahan makanan,

pakan ternak, bahan bakar, bahan bangunan, bahan bernilai ekonomis, dan

material budaya.

b. Pemanfaatan lahan, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masya-

rakat sehar-hari. Pemanfaatan tersebut diikuti dengan upaya konservasi

lahan untuk menjaga keberlangsungan kehidupannya dengan cara tidak

menggantungkan kebutuhan sehari-hari pada hutan Merapi, menanami

batas tegalan dengan kayu keras, menanami perengan dengan Bambu,

Sogo/Akasia Gunung, dan rerumputan, membuat demplot yang

disesuaikan dengan kemiringan lahan, dan serta penggunaan kotoran sapi

sebagai rabuk utama.

3. Kearifan ekologi masyarakat lereng Gunung Merapi terbangun dari hal-hal

berikut ini.

a. Keyakinan bahwa manusia adalah bagian dari lingkungannya, yang saling

mempengaruhi, saling memberi, dan saling menerima.

b. Manifestasi keyakinan tersebut dalam upacara keagamaan, bertujuan untuk

saling mengisi, saling melengkapi, dan mengusahakan keseimbangan

antara manusia dengan manusia serta manusia dengan lingkungannya,

yaitu dalam ritual slametan yang diadakan oleh masyarakat Girpasang dan

Plalangan, baik slametan secara umum seperti bersih dusun dan memetri

gunung, atau slametan secara khusus yaitu memetri tuk.

97

c. Nilai dalam upacara slametan itu sendiri dilaksanakan dalam bentuk tidak

mengeksploitasi hutan untuk kelestarian sumber air, perlindungan lahan

dengan tanaman keras dan rumput, serta demplot yang adaptif dengan

kemiringan lahan sehingga maka akan berdampak pada kelestarian

keanekaragaman vegetasi yang ada.

B. Saran

Penulis merasa bahwa penelitian ini masih perlu dilanjutkan ke tahap yang

lebih mendalam, beberapa hal yang dapat penulis sarankan antara lain

1. Mempertahankan kemelimpahan vegetasi yang ada di lereng Merapi secara

umum untuk menjaga siklus hidrologi dan kemudian berujung pada penguatan

ketahanan pangan.

2. Pemanfaatan secara arif yang telah dilakukan oleh masyarakat Girpasang dan

Plalangan harus dipertahankan sebagai upaya konservasi lahan dan

keanekaragaman vegetasi.

3. Upaya reboisasi di kawasan lereng gunung Merapi harus dilakukan dengan

pertimbangan ekologis yang mendalam, sehingga kasus invasi tanaman

Sogo/Akasia Gunung di lereng utara dan kasus kematian ribuan tanaman akibat

ketidakmampuannya untuk beradaptasi dengan parameter abiotik di lereng

selatan pasca eruspi Merapi tahun 2010 tidak terjadi kembali.

98

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006a. “Chomolaena odorata”. Global Invasive Species Database – Invasive Species Specialist Group. http://www.issg.org.

______. 2006b. “Austroeupatorium riparium”. Global Invasive Species Database – Invasive Species Specialist Group. http://www.issg.org.

Anonim. 2010. ”Austroeupatorium inulifolium”. Global Invasive Species Database – Invasive Species Specialist Group. http://www.issg.org.

Anonim. 2009. “Cagar Biosfer”. Man and Biosphere Indonesia. http://www.mab-indonesia.org.

Anonim. 2011. Casuarina Junghuhniana, kerjasama World Agroforestry Centre dan Prosea Network, www.worldagroforestrycentre.org/

Anonim. 2011. “In-depth Interview”, Qualitative Research Method: A Data Collector’s Field Guide, 21 hlm.

Anshoriy, N dan Sudarsono. 2008. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Barbour, M.G., J.H. Burk, dan W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.

Becker, C.A. 1973. Handbook for The Cultivation of Sugar-Cane and Manifacturing of Cane-Sugar in Java. Pasuruan: BP3G.

Colcehster, M. 2009. Menyelamatkan Alam: Penduduk Asli, Kawasan Pelindungan, dan Konservasi Keanekaragaman Hayati. Denpasar: Kerjasama WGCoP dan Walhi.

Cotton, C.M. 1996. Ethnobotany: Principles and Application. New York: John Wiley & Sons.

Danielsen, F., M.M. Mendoza, A. Tagtag, P.A. Alviola, D.S. Balete, A.E. Jensen, M. Enghoff dan M.K. Poulsen. 2007. Increasing Conservation Management Action by Involving Local People in Natural Resource Monitoring. Ambio Vol.36, No.7, Nov. 2007. 566-570.

Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara

Forqan, B.N. dan A. Fadli. 2009. “Konservasi Berbasis Rakyat: Sebuah Pilihan bagi Keberlanjutan Layanan Alam dan Kesejahteraan Rakyat”. Lampiran dalam Colcehster, M. 2009. Menyelamatkan Alam: Penduduk Asli, Kawasan Pelindungan, dan Konservasi Keanekaragaman Hayati. Denpasar: WGCoP dan Walhi.

99

Geertz, C. 1976. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bathara Karya Aksara.

Habibi, M.N. 2009. “Konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati kawasan dusun kinahrejo, lereng selatan Gunung Merapi: Hubungannya dengan kearifan ekologi masyarakat”. Laporan penelitian. Program Studi Biologi, Fak. Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga.

Hartono, M.D. 2004. Pemuda Menentang Taman Nasional Gunung Merapi. Bulletin SALAM No.7, Juni 2004 hal. 10-12

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Terj. Balitbang Kehutanan. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.

Hudyana, B. tt. Orang Turgo: Etnoekologi Hutan dan Bencana Alam Merapi. Diakses dari http://www.damarnet.org/download/Orang%20Turgo.....pdf.

Indrawan, M., R.B. Primack dan J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Iskandar, J. 2001. Manusia, Budaya, dan Lingkungan: Ekologi Manusia. Bandung: Humaniora Utama Press.

Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Keoentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka

Kresna, A. 2011. Sejarah Panjang Mataram: Menengok Berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Diva Press.

Marfai, M.A. 2005. Moralitas Lingkungan. Yogyakarta: Kerja Sama antara Wahana Hijau (WeHa) dengan Kreasi Wacana

Minsarwati, W. 2002. Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi, Menguak Bahasa Mitos dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Pegunungan. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Mangunjaya, F.M. 2005. Konservasi Alam dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mangunjaya, F.M. tanpa tahun. “Pendekatan Etika dan Agama bagi Konservasi”. Lampiran dalam Indrawan, Mochamad, Richard B. Primack dan Jatna Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Newton, A.C. 2007. Forest Ecology and Conservation: A Handbook of Techniques. Oxford: Oxford University Press.

Odum, E.P. 1998. Dasar-dasar Ekologi, Edisi Ketiga. Terj. Tjahjono Samingan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

100

Pinyopusarerk, K.A. dan D.J. Boland. 2005. Casuarina junghuhniana - a Highly Adaptable Tropical casuarina, Forest, Farm, and Community Tree Network, Winrock International, www.winrock.org/fnrm/factnet/factnet.htm

Purwaningsih. 2010. “Acacia Decurrens Willd.: Jenis Eksotik dan Invasif di Taman Nasional Gunung Merbabu”. Berkala Penelitian Hayati. Edisi Khusus. 6 hlm.

Schulze, E.D., E. Beck, dan K.M. Hohenstein. 2002. Plant Ecology. Berlin: Springer-Verlag.

Simon, H. 2008. Pengelolaan Hutan bersama Rakyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sheil, D., R. Puri, M. Wan, I. Basuki, M. van Heist, N. Liswanti, Rukmiyati, I. Rachmatika, dan I. Samsoedin. 2006. “Rocognizing Local People’s Priorities for Tropical Forest Biodiversity”. Ambio Vol.35, No.1, Feb. 2006.17-24.

Spradley, J.P. 2006. Metode Etnografi. Alih bahasa: Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana

Steenis, C.G.G.J. 2006. Flora Pegunungan Jawa. Alih bahasa: Jenny A. Kartawinata. Jakarta: LIPI Press.

Triyoga, L.S. 2010. Merapi dan Orang Jawa, Persepsi dan Kepercayaannya. Jakarta: Grasindo.

Wells, M.P. dan T.O. McShane. 2004. “Integrating Protected Area with Local Need and Aspiration”. Ambio Vol.33, No.8 Des. 2004. 513-519.

Zuhud, E.A.M. 2009. “Tri Stimulus Amar (Alamiah Manfaat Religius) sebagai Pendorong Sikap Konservasi: Kasus konservasi Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) di Taman Nasional Meru Betiri”, dalam Herwasono Soedjito, dkk. 2009. Situs Keramat Alami: Peran Budaya dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

101

Lampiran 1. Hasil Analisis keanekaragaman vegetasi di kawasan girpasang dan plalangan Tabel 14. Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang

No Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah DB LBA (m2) K KR% F FR% D DR% INP H' sat jml 1 Cekli/Dadap Erythrina lithosperma 5 35,58 28,83 144,16 0,013 26,32 0,50 14,29 0,36 21,92 62,52 0,35 2 Kaspo/Puspo Schima wallichii (DC)

Korth. 1 24,19 19,63 19,63 0,003 5,26 0,25 7,14 0,05 2,99 15,39 0,15

3 Kembang Gandek/Kantil

Michelia alba D.C. 4 28,40 24,14 96,55 0,010 21,05 0,75 21,43 0,24 14,68 57,16 0,33

4 Manis Jangan Cinnamomum verum 1 20,69 16,61 16,61 0,003 5,26 0,25 7,14 0,04 2,53 14,93 0,15 5 Mindi Melia azedarach 3 41,48 43,43 130,30 0,008 15,79 0,50 14,29 0,33 19,82 49,89 0,29 6 Nongko Artocarpus intgra 4 30,95 51,24 204,96 0,010 21,05 0,75 21,43 0,51 31,17 73,65 0,33 7 Sengon Albizia falcataria 1 21,32 45,36 45,36 0,003 5,26 0,50 14,29 0,11 6,90 26,45 0,15

Jumlah 19 229,24 657,57 0,05 100 3,50 100 1,64 100 300 1,76 Tabel 15. Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang

No Nama Lokal Nama Ilmiah Jml DB LBA (m2) K KR% F FR% D DR% INP H' sat jml 1 Cekli/Dadap Erythrina lithosperma 2 5,57 3,14 6,28 0,020 3,70 0,25 8,33 0,06 1,03 13,07 0,12 2 Kembang Gandek/kantil Michelia alba D.C. 1 12,41 3,14 3,14 0,010 1,85 0,25 8,33 0,03 0,51 10,70 0,07 1 Klampok (semai) Syzygium densiflora 7 0,50 0,12 0,84 0,070 12,96 0,25 8,33 0,01 0,14 21,43 0,26 3 Klengkeng Euphoria longana Lamk. 1 4,77 0,50 0,50 0,010 1,85 0,25 8,33 0,01 0,08 10,27 0,07 4 Kopi Coffea, sp. 2 3,98 0,82 1,63 0,010 3,70 0,25 8,33 0,02 0,27 12,30 0,12 5 Mindi Melia azedarach 1 15,91 12,56 12,56 0,010 1,85 0,25 8,33 0,13 2,06 12,24 0,07 6 Nongko Artocarpus integra 1 16,23 28,27 28,27 0,010 1,85 0,25 8,33 0,28 4,63 14,82 0,07 7 Sengon Albizia falcataria 3 9,54 7,58 22,76 0,030 5,56 0,25 8,33 0,23 3,73 17,62 0,16 8 Sogo Acacia decurrens Willd. 35 0,10 15,22 532,77 0,350 64,81 0,75 25,00 5,33 87,30 177,11 0,28 9 Waru Hibiscus tilaceus, L. 1 12,41 1,53 1,53 0,010 1,85 0,25 8,33 0,02 0,25 10,44 0,07

Jumlah 54 72,88 610,28 0,54 100 3,00 100 6,10 100 300 1,32

102

Tabel 16. Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang

No Nama Lokal Nama Ilmiah Jml DB LBA (m2) K KR% F FR% D DR% INP H' sat Jml 1 Alang-alang Imperata cylindrica Beauv. 10 0,10 0,28 2,80 0,625 2,23 0,25 2,63 0,18 7,37 12,23 0,08 2 Babatan Eupatorium, spp. 1 0,50 0,07 0,07 0,063 0,22 0,25 2,63 0,00 0,18 3,04 0,01 3 Berokan Ethulia, sp. 64 0,24 0,03 1,92 4 14,25 0,75 7,89 0,12 5,05 27,20 0,28 4 Cerobo Eupatorium inulifolium

H.B.K. 11 1,20 0,57 6,27 0,688 2,45 0,50 5,26 0,39 16,50 24,21 0,09

5 Gerpak Kayu Eupatorium odoratum 16 0,80 0,07 1,12 1 3,56 0,25 2,63 0,07 2,95 9,14 0,12 6 Ireng-ireng Eupatoriun riparium 38 0,25 0,10 3,80 2,375 8,46 0,75 7,89 0,24 10,00 26,36 0,21 7 Iser Bumi Paspalum conjugatum Berg. 27 0,10 0,16 4,32 1,688 6,01 0,75 7,89 0,27 11,37 25,28 0,17 8 Iser Jurang Paspalum scrobiculatum L. 33 0,10 0,03 1,06 2,063 7,35 0,75 7,89 0,07 2,78 18,02 0,19 9 Katemas Bidens pilosa 1 0,20 0,03 0,03 0,063 0,22 0,25 2,63 0,00 0,08 2,93 0,01

10 Kembang Sorot Fam. Compositae 7 3,18 0,78 5,46 0,438 1,56 0,25 2,63 0,34 14,37 18,56 0,06 11 Keteki (tekigerigi) Carex, sp. 1 0,30 0,07 0,07 0,063 0,22 0,25 2,63 0,00 0,18 3,04 0,01 12 Keteki (teki gerigi) Fymbristylis consanguinea 3 0,15 0,19 0,57 0,188 0,67 0,25 2,63 0,04 1,50 4,80 0,03 13 Keteki (Teki Kepala

Bulat) Cyperus melanospermus 19 0,12 0,02 0,38 0,188 4,23 0,50 5,26 0,02 1,00 10,49 0,13

14 Lamisan Oplismenus burmanii P.B. 105 0,08 0,04 4,10 6,563 23,39 1,00 10,53 0,26 10,78 44,69 0,34 15 Lampes Ageratum conyzoides L. 10 0,20 0,06 0,63 0,625 2,23 0,50 5,26 0,04 1,66 9,15 0,08 16 Pakis Hymenophyllum, sp. 13 0,10 0,19 2,47 0,813 2,90 0,25 2,63 0,15 6,50 12,03 0,10 17 Petungan Ischaemum muticum L. 9 0,20 0,04 0,32 0,563 2,00 0,50 5,26 0,02 0,85 8,12 0,08 18 Sambung

Nyowo/Tapak Kuda Centella asiatica, Urb. 27 0,05 0,01 0,19 1,688 6,01 0,25 2,63 0,01 0,50 9,14 0,17

19 Semanggi Gunung Oxalis corniculata, Linn. 44 0,10 0,01 0,26 2,750 9,80 0,50 5,26 0,02 0,69 15,76 0,23 20 Sengganen Impatiens platypetala 5 0,30 0,19 0,95 0,313 1,11 0,25 2,63 0,06 2,50 6,25 0,05 21 Suket PB Pennisetum purpureum 2 0,20 0,50 1,00 0,125 0,45 0,25 2,63 0,06 2,63 5,71 0,02 22 Talas Colocasia esculenta Schott. 3 2,00 0,07 0,21 0,188 0,67 0,25 2,63 0,01 0,55 3,85 0,03

Jumlah 449 3,50 38,00 28,063 100 9,50 100 2,37 100 300 2,52

103

Gambar 9. Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di

kawasan dusun Girpasang

104

Gambar 10. Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon

di kawasan dusun Girpasang

105

Gambar 11. Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di

kawasan dusun Girpasang

106

Tabel 17. Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Plalangan

Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah DB LBA (m2) K KR% F FR% D DR% INP H' sat jml Akasia gunung/Sogo Acacia decurrens Willd. 13 38,94 33,30 432,88 0,033 81,25 1,00 80,00 1,08 91,15 252,40 0,17 Cemara Gunung Casuarina junghuhniana Miq, 3 34,16 14,02 42,05 0,008 18,75 0,25 20,00 0,11 8,85 47,60 0,31 16 47,31 474,93 0,04 100 1,25 100 1,19 100 300 0,48

Tabel 18. Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Plalangan

No Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah DB LBA (m2) K KR% F FR% D DR% INP H' sat jml 1 Akasia

gunung/Sogo Leucaena leucocephala (Lam,) de Wit,

24 9,33 11,31 271,47 0,240 68,57 1,00 66,67 67,87 92,83 228,07 0,26

2 Manis Rejo/Cantigi Vaccinum varingiaefolium (Bl,) Miq,

11 6,62 1,91 20,96 0,110 31,43 0,50 33,33 5,24 7,17 71,93 0,36

35 13,22 292,43 0,35 100 1,50 100 73,11 100 300 0,62 Tabel 19. Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Plalangan

No Nama Lokal Nama Ilmiah Jmlh DB LBA (m2) K KR% FR% D DR% INP H' sat jml 1 Babatan Eupatorium, spp 15 0,6 0,06 0,90 0,940 4,03 0,50 8,70 0,06 2,65 15,38 0,13 2 Berokan Ethulia, sp. 7 0,4 0,05 0,32 0,440 1,88 0,50 8,70 0,02 0,93 11,50 0,07 3 Gerpak Kayu Eupatorium odoratum 32 1,35 0,54 17,60 2 8,60 0,75 13,04 1,10 51,77 73,41 0,29 4 Ireng-ireng Eupatorium riparium 168 0,25 0,05 8,56 10,50 45,16 1,00 17,39 0,54 25,18 87,73 0,36 5 Iser Jurang Paspalum scrobiculatum L. 70 0,1 0,03 2,10 4,380 18,82 0,75 13,04 0,13 6,18 38,04 0,31 6 Rumput A Isachne miliacea Roth. 27 0,1 0,03 0,81 0,190 7,26 0,25 4,35 0,05 2,38 13,99 0,19 7 Keteki (A) Gahnia, sp. 15 0,3 0,07 1,05 1,060 4,03 0,75 13,04 0,07 3,09 20,16 0,13 8 Lamisan Oplismenus burmanii P.B. 6 0,1 0,07 0,42 0,940 1,61 0,25 4,35 0,03 1,24 7,20 0,07 9 Teki Gerigi Carex, sp. 3 0,1 0,04 0,12 0,380 0,81 0,25 4,35 0,01 0,35 5,51 0,04

10 Teki kepala bulat Cyperus melanospermus 17 0,75 0,12 2,04 0,750 4,57 0,50 8,70 0,13 6,00 19,27 0,14 11 Petungan Ischaemum muticum L. 12 0,1 0,01 0,08 1,690 3,23 0,25 4,35 0,01 0,25 7,82 0,11 372 1,06 34,00 23,25 100 5,75 100 2,12 100 300 1,85

107

Gambar 12. Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di

kawasan dusun Plalangan

Gambar 13. Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon

di kawasan dusun Plalangan

108

Gambar 14. Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di

kawasan dusun Plalangan

109

Lampiran 2. Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional Tabel 20. Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat dusun Girpasang

No Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Bagian yang Dimanfaatkan Penggunaan Ketersediaan

1 Bahan Makanan 1. Jagung (Zea mays) Buah Makanan pokok Ada, banyak 2. Pohung/ubi kayu (Manihot utilissima) Umbi dan Daun Makanan alternatif -sda- 3. Cabai (Capsicum annum) Buah Penyedap Ada, sedikit 4. Ubi Rambat (Ipomea batatas) Umbi Makanan alternatif Ada, banyak 5. Jipang (Sechium edule (Jacq.) Sw.) Daun Sayuran -sda- 6. Talas (Colocasia, sp.) Umbi dan Daun Makanan alternatif -sda- 7. Nongko (Artocarpus, sp.) 8. Pisang (Musa paradisiacal) Buah dan Bunga Maknana alternatif -sda- 2 Makanan Ternak 1. Nongko (Artocarpus, sp.) Daun Ada, banyak 2. Sogo/Akasia Gunung (Acacia

decurrens Willd.) Daun -sda-

3. Rumput Kolonjono (Pennisetum purpureum)

Batang dan Daun -sda-

4. Tumpun Gajah (Panicum distachyum Linn.)

Batang dan Daun -sda-

5. Pisang (Musa paradisiaca Linn.) Daun -sda- 6. Vegetasi tingkat bawah -sda- 3 Bahan Bakar 1. Sogo/Akasia Gunung (Acacia

decurrens Willd.) Batang Ada, banyak

2. Sengon (Albizia falcataria) Batang -sda- 3. Bambu (Bambusa, sp.) Batang -sda- 4. Rencek (berbagai jenis semak dan

semaian pohon) Batang – daun -sda-

4 Bahan bangunan 1. Mindi (Melia azeorach) Batang Rangka utama bangunan Ada, sedikit 2. Pring Apus (Gigantochloa apus) Batang Dinding, atap, dsb. -sda- 3. Dadap/Cekli Batang Usuk, blandar, dsb. Ada, banyak 4. Nangka (Artocarpus, sp.) Rangka bangunan -sda-

110

5. Pring cendani (Bambusa multiplex) Kursi, meja, dll. -ada- 6. Sengon (Albizia falcataria) Beberapa bagian rumah Ada, banyak 5 Bahan bernilai ekonomi 1. Sogo/Akasia Gunung (Acacia

decurrens Willd.) Batang dan Kulit Batang: Bahan arang kayu

kulit (kliko): bahan pelunak kulit, samak.

Ada, banyak

2. Tembakau (Nicotina tabacum) Daun Bahan baku rokok -sda- 3. Cabai (Capsicum, sp.) Buah Sayuran Ada, sedikit 4. Jagung putih (Zea mays) Buah Buah tua, makanan Ada, banyak 5. Jipang (Sechium edule (Jacq.) Sw.) Buah Sayuran Ada, banyak 6. Kentang (Solanum tuberosum Linn.) Umbi Sayuran Kemarau 7. Loncang Daun Sayuran Ada, banyak 8. Bawang Merah (Allium cepa) Umbi Kemarau 9. Buncis Buah -sda- 10. Talas (Colocasia, sp.) Umbi Umbi, makanan alternatif Ada, banyak 11. Pring Apus (Gigantochloa apus) Batang Bahan bangunan Ada, sedikit 12. Pring Bonggol Batang Bahan bangunan Ada, banyak 13. Sengon (Albizia falcataria) Batang Bahan kertas (pulp) -sda- 14. Manis Jangan (Cinnamomum verum) Kulit Bahan baku minyak atsiri Ada, sedikit 6 Material budaya 1. Pring cendani (Bambusa multiplex) Batang Syarat untuk ketentreman, menjaga

pintu (diatas pintu depan) Ada, banyak

2. Janur kuning/Kelapa (Cocos nucifera Linn.)

Daun -sda- Tidak ada

3. Mawar abang (Rosa, sp.) Bunga Kembang setaman Ada, banyak 4. Mawar puteh (Rosa, sp.) Bunga -sda- Ada, sedikit 5. Melati (Jasminum sambac Ait.) Bunga -sda- -sda- 6. Kantil (Michelia alba D.C.) Bunga -sda- -sda- 7. Kenanga (Canangium odoratum Baill.) Bunga -sda- -sda-

111

Tabel 21. Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat dusun Plalangan

No Pemanfaatan JenisTumbuhan Bagian yang Dimanfaatkan Penggunaan Ketersediaan

1 Bahan Makanan 1. Sawi hijau/bakso (Brassica rapa) Daun Sayuran -sda- 2. Adas (Foeniculum vulgare Mill.) Daun -sda- -sda- 3. Kembang Kol (Brassica oleracea) Daun -sda- -sda- 4. Loncang Daun -sda- -sda- 5. Wortel (Daucus carota Linn.) Umbi -sda- -sda- 6. Talas (Colocasia, sp.) Umbi Makanan alternatif -sda- 7. E.g. temulawak Umbi -sda- Ada, banyak 8. Pohung (Manihot utilissima) Umbi -sda- 9. Ubi Rambat (Ipomea batatas) Umbi -sda- 2 Makanan Ternak 1. Rumput Kolonjono (Pennisetum

purpureum) Batang – daun Batang dan Daun -sda-

2. Tumpun Gajah (Panicum distachyum Linn.)

Batang – Daun Batang dan Daun -sda-

3. Vegetasi tingkat bawah Batang – Daun -sda- 3 Bahan Bakar 1. Sogo/Akasia Gunung (Acacia

decurrens Willd.) Batang Batang Ada, banyak

2. Sengon (Albizia falcataria) Batang Batang -sda- 3. Bambu (Bambusa, sp.) Batang Batang -sda- 4. Rencek (berbagai jenis semak dan

semaian pohon) Batang – Daun Batang – daun -sda-

2 Bahan bangunan 1. Kina (Cinchona pubescens Vahl.) Batang Rangka rumah Ada, sedikit 2. Sogo/Akasia Gunung (Acacia

decurrens Willd.) Batang Blandar, kasau, dsb. -sda-

3. Pring Apus (Gigantochloa apus) Batang Dinding (Gedhek), Kursi, meja, dll.

-ada-

3 Bahan bernilai ekonomi 1. Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.)

Kulit Kulit (kliko) untuk pelunak kulit, samak

Ada, banyak

2. Kina (Cinchona, sp.) Kulit Kulit, bahan obat malaria Ada, sedikit

112

3. Tembakau (Nicotina tabacum) Daun Bahan baku rokok Ada, banyak 4. Wortel (Daucus carota Linn.) Umbi Sayuran -sda- 5. Sawi hijau/bakso (Brassica rapa) Daun Sayuran -sda- 6. Loncang Daun Sayuran -sda- 7. Adas (Foeniculum vulgare Mill.) Daun Sayuran -sda- 8. Cabai (Capsicum, sp.) Buah Penyedap 9. Kembang Kol (Brassica oleracea) Daun Sayuran Ada, sedikit 10. E.g. temulawak Umbi Makanan alternatif -sda- 11. Jagung (Zea mays) Buah Makanan alternatif 4 Material budaya Kelapa (Cocos nucifera Linn.) Daun Muda, Buah Daun Muda/Janur: Syarat untuk

ketentreman, menjaga pintu (diatas pintu depan) Buah Muda: sajen

Tidak ada

Mawar abang (merah) ( Bunga Kembang setaman Ada, banyak Mawar puteh (putih) Bunga -sda- Ada, sedikit Melati (Jasminum sambac Ait.) Bunga -sda- -sda- Kantil (Michelia alba D.C.) bunga -sda- -sda- Kenanga (Canangium odoratum Baill.) bunga -sda- -sda-

113

Lampiran 3. Pedoman wawancara mendalam

Daftar pertanyaan Konservasi Biodiversitas dan Kearifan Lokal Masyarakat di Kawasan Lereng Gunung Merapi

M. Nasirudin Habibi 1. Bagaimana kegiatan Gunung Merapi.

a. Sejarah letusan b. Bagaimana sikap masyarakat terhadap letusan c. Apa dampak dari letusan merapi d. Apa efek negatif-positif letusan merapi e. Apa makna letusan bagi masyarakat

2. Bagaimana kegiatan masyarakat di lereng Merapi. a. Apa sumber penghasilan masyarakat b. Apa kegiatan sehari-hari masyarakat c. Bagaimana masyarakat memanfaatkan SDA d. Bagaimana mekanisme dan system perladangan e. Kepemilikan cultural masyarakat terhadap lahan hutan f. Sejauh mana akses masyarakat terhadap hutan

3. Bagaimana sejarah, kepercayaan dan hubungan masyarakat dengan alamnya. a. Sejarah penduduk merapi b. Pandangan masyarakat terhadap merapi c. Tabu-tabu di kawasan merapi d. Upacara-upacara/kegiatan-kegiatan adat di lereng merapi dan maknanya e. Makna yang tersembunyi dalam upacara/kegiatan tersebut f. Pandangan masyarakat terhadap hutan g. Tabu/larangan dalam hutan h. Hasil hutan dan pemanfaatannya

4. Bagaimana cara melindungi dan mempertahankan sumber daya alam oleh masyarakat. a. Kearifan tentang menjaga hutan b. Pandangan masyarakat terhadap SDA c. Upaya perlindungan SDA oleh masyarakat d. Teknik2 yang digunakan dalam menjaga SDA

5. Apa saja jenis-jenis tumbuhan yang digunakan masyarakat dalam upaya konservasi SDA. a. Jenis2 tumbuha introduksi b. Jenis2 tumbuhan konsumsi, upacara, konstruksi, ekonomi dsb. c. Jenis2 tumbuhan untuk menjaga stabilitas tanah d. Jenis2 tumbuhan untuk menjaga kualitas air

6. Apa manfaat dari jenis-jenis tumbuhan tersebut selain untuk melindungi sumber daya alam di kawasan Merapi. a. Manfaat lain dari jenis2 tumbuhan penjaga stabilitas tanah, air, dll b. Bagaimana pemanfaatannya c. Target pemanfaatannya (pribadi, keluarga, kelompok, dsb.) d. Batasan-batasan permasalahan

7. Apa saja nilai-nilai yang mendasari upaya melindungi dan mempertahankan sumber daya alam tersebut? a. Tabu-tabu tentang tumbuhan tertentu b. Tabu-tabu tentang mata air

114

c. Tabu-tabu tentang pemanfaatan SDA d. Kearifan dalam menjaga dan melindungi SDA

8. Bagaimana pendekatan konservasi yang dilakukan oleh TNGM? a. Konservasi oleh TNGM b. Pandangan dan tanggapan masyarakat terhadap konservasi oleh TNGM c. Pandangan TNGM terhadap masyarakat

9. Bagaimana metode konservasi yang diterapkan oleh TNGM. a. Metode konservasi TNGM b. Teknis penerapannya di kawasan merapi c. Tanggapan masyarakat terhdap teknis penerapannya d. Efektifitas metode/teknis konservasi tersebut

10. Bagaimana hubungan masyarakat dengan TNGM. a. Konflik antara masyarakat dengan TNGM b. Penyelesaian masalah yang ada c. Pola-pola komunikasi antara masyarakat dengan TNGM

11. Bagaimana kompromi yang terjadi antara pola konservasi oleh masyarakkat dan pola konservasi yang diterapkan oleh TNGM. a. Peran masyarakat dalam konservasi oleh TNGM b. Manfaat yang didapat masyarakat c. Manfaat yang didapat TNGM d. Prospek perkembangan Merapi kedepan

Yogyakarta, 30 Agustus 2010 M. Nasirudin Habibi Peneliti

115

Lampiran 4. Sekilas dusun Girpasang dan Plalangan

Oxalis corniculata Linn. Bidens pilosa

Mugut Disela wawancara

“warung” yang datang menyambangi Rapat RT

Gerbang Plalangan Pemukiman dusun Plalangan

116

Lampiran 5. Izin Penelitian

117

118

RIWAYAT HIDUP Nama : M. Nasirudin Habibi TTL : Sidomukti, 24 Desember 1988 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Alamat Asal : Desa Sidomukti SP.I., Kec. Plakat Tinggi, Kab. Musi Banyuasin,

Sumatea Selatan, 30757. Korespondensi:

1. E-mail : [email protected], [email protected] 2. Kontak : +6281373232650, +6285292222953

Riwayat Pendidikan:

1. TK Mu’allimin Islamiyah, Sidomukti, 1990-1993 2. MI Mu’allimin Islamiyah, Sidomukti, 1993-1999 3. MTs KMI PP Assalam, Sungai Lilin, 1999-2003 4. MA KMI PP Assalam, Sungai Lilin, 2003-2005 5. Biologi, Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga, 2005-2012

Riwayat Organisasi:

1. IKPM Musi Banyuasin Yogyakarta, 2005-sekarang. 2. Forsilam Cabang Yogyakarta, 2005-sekarang. 3. Biologi Pecinta Alam Sunan Kalijaga (Biolaska), 2005-sekarang. 4. Kelompok Studi Hijau (KSH) , 2009-sekarang.

Riwayat Penelitian:

1. Kemelimpahan Jenis Anggota Famili Leguminosae di Bumi Perkemahan Bebeng, Kaliadem, Cangkringan, Sleman, DIY. Tim Biolaska, tahun 2006.

2. Kemelimpahan Edelweis Jawa (Anaphalis javanica (Schulz.) ex. Boerl.) di Jalur Pendakian Wekas, Gunung Merbabu. Tim Biolaska, tahun 2006, 2007, 2009.

3. Hama dan Penyakit pada Tumbuhan Cabai Merah (Capsicum annuum, L.) di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat. Mandiri, tahun 2008.

4. Konservasi Keanekaragaman Hayati di Kawasan Dusun Kinahrejo, Lereng Selatan Gunung Merapi: Hubungannya dengn Kearifan Ekologi Masyarakat. Mandiri, 2008-2009.

5. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi dan Kearifan Ekologi Masyarakat di Kawasan Lereng Gunung Merapi. Mandiri, 2010-2012.