PERUBAHAN MORFOLOGI SUNGAI PABELAN AKIBAT LAHAR PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI 2010
Etnokonservasi Merapi
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of Etnokonservasi Merapi
KONSERVASI KEANEKARAGAMAN VEGETASI DAN KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT DI KAWASAN LERENG
GUNUNG MERAPI
SKRIPSI
Diajukan kepada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Strata Satu Biologi
Disusun oleh:
M. Nasirudin Habibi 05640034
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2012
v
MOTTO
“...Sapantuk wahyuning Allah, Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, Bangkit mikat reh mangukut, Kukutaning jiwanggo,
Yen mangkono kena sinebut wong sepuh, Lire sepuh sepi hawa, Awas roroning atunggil...”
(Siapa mendapatkan wahyu dari Allah, Maka dapat mencerna dan menguasai ilmu, Mampu menguasai ilmu kesempurnaan, Kesempurnaan diri pribadi, Orang yang demikian pantas disebut orang tua, Orang yang tidak dikuasai nafsu, Memahami
dua yang menyatu – titah dan yang menitahkan, baik buruk, dan lainnya)
Mangkunegara IV, Serat Wedhatama – Pangkur 12
“...Ilmu iku kalakone kanthi laku, Lekase lawan kas, Tegese kas nyantosani, Setya budya pangekese dur angkara...”
(Ilmu itu terwujud jika dijalankan, Dimulai dari kemauan, Kemauan inilah yang
membuat sentausa, Budi yang setia itu penghancur nafsu angkara)
Mangkunegara IV, Serat Wedhatama – Pucung 1
vi
Skripsi ini didedikasikan untuk
Sang Ibu Asuh (αλµα−µατερ), Program Studi Biologi,
Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Untuk apa dan nama.
Masyarakat lereng Gunung Merapi Baik yang ada ataupun yang telah tiada
Untuk mengapa dan bagaimana.
vii
KATA PENGANTAR
Berangkat dari kesadaran dan rasa syukur yang terdalam, hanya dengan
izin Allah-lah skripsi yang berjudul “Konservasi Keanekaragaman Vegetasi dan
Kearifan Ekologi Masyarakat di Kawasan Lereng Gunung Merapi” dapat
diselesaikan. Shalawat dan salam untuk konservasionis sumber daya alam pertama
dalam sejarah peradaban Islam, Nabi Muhammad SAW.
Naskah skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan
untuk dapat memperoleh gelar derajat kesarjanaan di Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Onak yang berupa
hambatan dan duri yang bernama kesulitan mewarnai perjalanan skripsi ini,
dengan Izin-Nya, melalui bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, onak dan
duri yang penulis hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu sangatlah tepat kiranya
penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada mereka yang sangat berjasa:
1. Kedua orang tua penulis, Bapak Sumedi, B.A., S.Pd.I. dan Ibu Jahrotul
Hamidah, B.A., S.Pd.I., kedua adik M. Nur Sani Habibi dan Muhtamah
Nur Habibah, dan seluruh keluarga besar yang telah mendukung,
memotivasi, bersabar, dan menguatkan sepanjang hayat.
2. Bapak Prof. Drs. Akh. Minhaji, M.A., Ph.D., selaku dekan Fakultas Sains
dan Teknologi
3. Ibu Anti Damayanti Hamdani, S.Si., M.Mol.Bio., selaku Kepala Program
Studi Biologi, yang memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi
dan memenuhi janji penulis di Lembang kala itu.
4. Ibu Arifah Khusnuryani, S.Si., M.Si., selaku Penasehat Akademik untuk
motivasi, dorongan, tekanan, dan nasehatnya yang tak pernah terhenti
5. Ibu Dra. Hj. Maizer Said Nahdi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang
telah berkenan memberikan bimbingan, masukan, kritik, koreksi, dan
motivasi kepada penulis yang seringkali menghilang tanpa kabar selama
lebih dari 4 (empat) tahun lamanya.
viii
6. Ibu Anti Damayanti Hamdani, Si.Si., M.Mol.Bio. dan Ibu Siti Aisah, M.Si.,
sebagai penguji, atas kritik dan sarannya yang lebih menghidupkan skripsi
ini.
7. Seluruh dosen di program studi Biologi, untuk ilmu yang telah dibagi, dan
staf Tata Usaha yang telah membantu sepenuh hati.
8. Seluruh masyarakat dusun Girpasang dengan kesederhanaan, keluguan,
dan kepatuhan Kaki Turnosono dan Kaki Pacul Kuwoso, masyarakat
dusun Plalangan dengan dinamika idealisme dan semangat perjuangan
Majapahit-nya yang telah memperkenankan diri menerima penulis untuk
ikut hidup dan belajar dari keseharian mereka.
9. Sahabat-sahabat di Program Studi Biologi angkatan 2005 untuk masukan
dan desakannya agar segera berkiprah di “dunia nyata”, dan angkatan 2006
untuk teknis pelaksanaan penelitian.
10. Saudara-saudara di Biolaska, untuk perjuangan, pengalaman, pandangan
hidup, semangat, senyum, tawa, dan bahagia.
11. Para pendaki dan pengabdi, di gunung-gemunung, dalam keterpencilan,
dalam kegelapan, dalam keheningan, dalam kedamaian, yang dengan
senang hati bercengkrama, berdiskusi, berdebat, dan bertengkar dengan
penulis tentang alam, manusia, budaya, dan sejarah dalam bingkai
Indonesia, serta untuk sepenggal nama yang mewarnai hari-hari dan
memotivasi untuk terus mengabdi, demi sejengkal tanah air yang bernama
Nusantara.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk seluruh pihak yang terkait dan
sedikit banyak mampu berkontribusi untuk Indonesia yang lestari.
Yogyakarta, Juli 2012
Penulis,
M. Nasirudin Habibi NIM. 05640034
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... ii HALAMAN SURAT PERSETUJUAN ...................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ............................................... iv MOTTO ..................................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. vi KATA PENGANTAR ............................................................................... vii DAFTAR ISI ............................................................................................. ix DAFTAR TABEL ...................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiii ABSTRAK ................................................................................................ xiv I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 5 D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 6
II. TELAAH PUSTAKA A. Hutan dan Konservasi Keanekaragaman Vegetasi ...................... 7
1. Hutan ................................................................................... 7 2. Keanekaragaman Vegetasi ................................................... 10
B. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi ....................................... 11 1. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi ................................ 11 2. Konservasi Berbasis Masyarakat ......................................... 13
C. Etnoekologi Masyarakat Lereng Gunung Merapi ....................... 18 D. Penelitian Terkait ....................................................................... 20
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................... 22 B. Alat dan Bahan .......................................................................... 23
1. Alat ..................................................................................... 23 2. Bahan .................................................................................. 23
C. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 23 1. Aspek Ekologi Vegetasi ....................................................... 24 2. Aspek Sosial Kemasyarakatan .............................................. 25
D. Metode Analisis Data ................................................................. 26 1. Aspek Ekologi Vegetasi ....................................................... 26 2. Aspek Sosial Kemasyarakatan .............................................. 29
IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN A. Dusun Girpasang ......................................................................... 30
1. Sejarah Dusun Girpasang ...................................................... 30 2. Lokasi Geografis dan Administratif ....................................... 31 3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ..................................... 32 4. Infrastruktur dan Aksesibilitas ............................................... 34
x
B. Dusun Plalangan ......................................................................... 36 1. Sejarah Dusun Girpasang ...................................................... 36 2. Lokasi Geografis dan Administratif ....................................... 37 3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ..................................... 38 4. Infrastruktur dan Aksesibilitas ............................................... 42
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Komposisi dan Keanekaragaman di Girpasang dan Plalangan ...... 43
1. Tingkat Pohon ....................................................................... 43 2. Tingkat Anak Pohon .............................................................. 49 3. Tingkat Tumbuhan Bawah .................................................... 56 4. Indeks Keanekaragaman ........................................................ 64
B. Potensi Etnobotani dan Upaya Konservasi oleh Masyarakat Girpasang dan Plalangan .............................................................. 66 1. Pemanfaatan Vegetasi oleh Masyarakat ................................. 66 2. Interaksi Masyarakat dengan Lingkungannya ......................... 71 3. Konservasi Lahan .................................................................. 75 4. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi .................................. 78
C. Kearifan Ekologi Masyarakat Girpasang dan Plalangan................ 82 1. Kegiatan Budaya dan Pandangan Hidup Masyarakat terhadap
Lingkungan ........................................................................... 82 2. Kearifan Ekologi sebagai Dasar Konservasi Keanekaragaman
Vegetasi ................................................................................ 90 VI. PENUTUP
1. Kesimpulan ................................................................................. 95 2. Saran ........................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 98 LAMPIRAN .............................................................................................. 101
xi
DAFTAR GAMBAR Gambar Keterangan Hlm
1 Peta Lokasi Penelitian di dua dusun di Lereng Merapi (Sumber: Peta RBI lembar Kaliurang, 1996) ................................................. 23
2 Metode pengambilan sampel aspek ekologi vegetasi di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ..................................................... 25
3 Peta kawasan dusun Girpasang (Sumber: Peta RBI lembar Kaliurang, 1996) ........................................................................... 31
4 Peta kawasan dusun Plalangan (Sumber: Peta RBI lembar Kaliurang, 1996) ............................................................................ 38
5 Perbandingan kerapatan, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan penelitian ........................................................................ 49
6 Perbandingan kerapatan, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan penelitian ........................................................................ 56
7 Perbandingan kerapatan, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan penelitian ........................................................................ 64
8 Kerangka adaptasi perilaku masyarakat terhadap Merapi ............... 93 9 Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan
nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang ..................................................................................... 103
10 Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang ...................................................................... 104
11 Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang .................................................................................... 105
12 Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Plalangan ..................................................................................... 107
13 Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Plalangan ....................................................................... 107
14 Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Plalangan ..................................................................................... 108
xii
DAFTAR TABEL Tabel Keterangan Hlm
1 Kerapatan vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan .................................................................. 44
2 Frekuensi Relatif vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 45
3 Dominansi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 47
4 Nilai penting vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 48
5 Kerapatan vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 51
6 Frekuensi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ......................................... 52
7 Dominansi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ......................................... 54
8 Nilai penting vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ......................................... 55
9 Kerapatan vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan .................................................................. 57
10 Frekuensi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 59
11 Dominansi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 60
12 Nilai penting vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan ........................................................ 62
13 Indeks keanekaragaman vegetasi tingkat pertumbuhan pohon, anak pohon, serta bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan 65
14 Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang .............................................................................. 101
15 Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang ................................................................ 101
16 Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang .............................................................................. 102
17 Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Plalangan ............................................................................... 106
18 Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Plalangan ................................................................. 106
19 Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Plalangan ............................................................................... 106
20 Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat dusun Girpasang ........................................................................................ 109
21 Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat dusun Plalangan ......................................................................................... 111
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Lamp. Keterangan Hlm
1 Analisis keanekaragaman vegetasi di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan .............................................................................. 101
2 Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat dusun Girpasang dan Plalangan ................................................... 109
3 Pedoman wawancara mendalam .................................................. 113 4 Sekilas dusun Girpasang dan Plalangan ........................................ 115 5 Izin Penelitian ............................................................................. 116
xiv
KONSERVASI KEANEKAREAGAMAN VEGETASI DAN KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT DI KAWASAN LERENG GUNUNG MERAPI
Disusun oleh M. Nasirudin Habibi (05640034)
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2010, di dusun Girpasang dan Plalangan dengan tujuan untuk mengetahui keanekaragaman vegetasi, upaya konservasi keanekaragaman vegetasi oleh masyarakat, dan faktor yang mendasari pandangan masyarakat terhadap perlindungan keanekaragaman vegetasi. Penelitian ini menggunakan metode plot kuadrat untuk aspek ekologi vegetasi serta metode wawancara mendalam dan observasi partisipatif untuk aspek sosial kemasyarakatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan dusun Girpasang mendukung spesies yang tinggi yaitu 7 spesies pohon, 9 spesies anak pohon, dan 22 spesies tumbuhan bawah. Kawasan dusun Plalangan mendukung masing-masing 2 spesies pohon dan anak pohon dan 11 spesies tumbuhan bawah. Hal tersebut disebabkan oleh zona vegetasinya yang berbeda, Girpasang terletak di zona sub-pegunungan dan Plalangan terletak di zona pegunungan, serta pengelolaan dan pemanfaatan oleh masyarakat. Masyarakat Girpasang dan Plalangan memanfaatkan keanekaragaman vegetasi yang ada di dalam kawasan dusunnya antara lain sebagai bahan makanan, pakan ternak, bahan bakar, bahan bangunan, sumber penghasilan, dan material budaya. Masyarakat juga memanfaatkan lahan untuk pertanian palawija yang tidak membutuhkan pengolahan lahan yang intensif di Girpasang dan untuk pertanian sayuran yang membutuhkan pengolahan lahan yang intensif di Plalangan, untuk menjaga ke-sinambungan pola pertanian itu, masyarakat di kedua dusun mengembangkan pola perlindungan lahan dengan cara (1) tidak menggantungkan kebutuhan sehari-hari pada hutan Merapi, (2) penanaman pembatas tegalan dengan tanaman keras dan rumput, (3) penanaman perengan dengan tanaman keras, bambu, dan rumput, (4) pembuatan demplot (alur tanam) yang berbeda antara tanah yang datar dan miring, dan (5) pemanfaatan rabuk (pupuk kandang) sebagai pupuk utama. Pemanfaatan keanekaragaman vegetasi dan pengelolaan lahan seperti disebutkan diatas menyebabkan spesies-spesies yang dibutuhkan tetap terjaga keberadaannya.
Slametan merupakan ritual yang terpenting dalam kehidupan masyarakat Jawa tradisional yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara manusia dengan manusia dan juga manusia dengan lingkungannya. Ritual tersebut merupakan ekspresi yang lahir dari keyakinan bahwa manusia adalah bagian dari lingkungannya, yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain, serta saling memberi dan saling menerima. Konsep tersebut kemudian melahirkan pola hubungan yang saling melengkapi antara manusia dan lingkungan, yang dikenal dengan kearifan ekologi.
Kata Kunci: keanekaragaman vegetasi, pemanfaatan, perlindungan, keseimbangan, kearifan ekologi
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan titik simpul rangkaian pegunungan api di dunia
yang terbentuk dari pertemuan tiga lempeng besar yaitu Eurasia, Australasia, dan
Pasifik. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan rangkaian
pegunungan dan gunung api terbesar di dunia dan sekaligus merupakan kawasan
rawan bencana. Posisi di titik temu lempeng tersebut menjadikan Indonesia
memiliki bentuk geografis yang sempurna untuk mendukung berbagai habitat
kehidupan mulai dari terumbu karang, hutan bakau, savana, hutan dataran rendah,
dan juga hutan pegunungan sekaligus dengan manusia penghuni habitat tersebut.
Posisi Indonesia secara geologis dan geografis menjadikan alam Indonesia
memiliki keragaman keanekaragaman vegetasi terbesar kedua di dunia, baik flora
ataupun faunanya dan menempati urutan ketiga dalam luas hutan tropisnya. Alam
Indonesia dalam skala dunia menopang kehidupan 10% dari keseluruhan hutan
tropis yang ada, peringkat ketujuh dalam keanekaragaman tanaman berbunga,
12% binatang menyusui (36% diantaranya endemik), 16% binatang reptil dan
amfibi, 1.519 jenis burung (28% diantaranya endemik), 25% jenis ikan di dunia,
121 jenis kupu-kupu ekor walet (44% diantaranya endemik), tumbuhan palem
paling banyak, lebih dari 400 jenis dipterocarp, dan lebih dari 25.000 jenis flora
dan fauna. Luas hutan Indonesia saat ini adalah 109.961.713,28 ha yang terdiri
dari Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam seluas 23.214.626,57
ha, Hutan Lindung seluas 29.037.397,02 ha, Hutan Produksi Terbatas seluas
2
16.215.977,26 ha, Hutan Produksi Tetap seluas 27.823.177,43 ha, dan Hutan
Produksi IKonversi seluas 13.670.535,00 hektar (Forqan & Fadli, 2009).
Hutan pegunungan merupakan ekosistem yang menopang keragaman
flora yang eksotis dan berbeda dengan hutan dataran rendah. Ekosistem tersebut
sangat dipengaruhi oleh parameter abiotik yang sangat spesifik seperti ketinggian
dan suhu (Indriyanto, 2006). Hutan pegunungan tersebut sebagian besar dikelola
oleh pemerintah, baik dibawah Kementerian Kehutanan antara lain dalam bentuk
taman nasional, cagar alam, hutan lindung, dan ataupun perum perhutani dalam
bentuk hutan produksi.
Hutan di kawasan lereng Gunung Merapi dikelola oleh Taman Nasional
Gunung Merapi (TNGM) di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA) D.I. Yogyakarta, dengan perincian daerah yang ke wilayah Daerah
Istimewa Yogykarta dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Pertanian (hutan wisata),
BKSDA D.I. Yogyakarta (cagar alam Plawangan-Turgo), dan Pemkab Sleman
(hutan lindung). Kawasan yang masuk dalam wilayah Jawa Tengah dikelola oleh
Perusahaan Umum (Perum) Perhutani dengan batasan wilayahnya masing-masing.
Banyaknya perpanjangan tangan pemerintah yang masuk menyebabkan
pengelolaan Merapi tidak optimal karena menggunakan pendekatan dan
kepentingan masing-masing (Hartono, 2004).
Potensi yang ada pada pegunungan, sepanjang sejarah, membuat manusia
tertarik menjadikannya sebagai tempat tinggal. Gunung-gunung api di pulau Jawa
selalu dipadati penduduk karena potensi alamiahnya untuk usaha pertanian yang
besar melalui air, material, dan abu vulkanik yang selalu menutupi permukaan
3
tanah, serta merupakan sumber malapetaka kematian yang disebabkan oleh awan
panas, lahar, dan letusanya (Geertz, 1976). Interaksi manusia dengan alam secara
tradisional memunculkan kepercayaan ataupun keyakinan yang mereka anut
dalam kehidupan mereka. Keyakinan yang bersumber dari pemaknaan manusia
terhadap alam inilah yang memunculkan suatu karakter khusus yang dipahami dan
diaplikasikan dalam kehidupannya dan terbatas di kawasan tertentu. Karakter
khusus inilah yang didefinisikan sebagai kearifan lokal (Minsarwati, 2005).
Gunung Merapi merupakan gunung paling aktif di Indonesia, dihuni oleh
masyarakat yang secara kultural sangat dekat dengan kebudayaan Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kerajaan
Mataram Islam berkembang pesat di kawasan Jawa bagian tengah-selatan, namun
perjanjian Gianti pada tahun 1755 M memisahkan kerajaan Mataram Islam
menjadi dua yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kesunanan
Surakarta Hadiningrat persis menjadi dua. Perpecahan ini juga membagi secara
langsung penguasaan gunung Merapi yaitu sebelah barat dan selatan dalam
kekuasaan Kesultanan Yogyakarta dan kawasan timur-utara dalam kekuasaan
kasunanan Surakarta, kondisi demikian menimbulkan adanya pergeseran budaya
yang terbangun di dua kawasan tersebut menjadi relatif berbeda (Kresna, 2011).
Berdasarkan penelitian sebelumnya pada masyarakat dusun Kinahrejo,
Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DIY, masyarakat setempat relatif memandang
Merapi sebagai bagian dari “jagat cilik” atau mikrokosmos yang tentunya akan
bereaksi dengan kelakuan manusia yang ada di dalam lingkup tersebut. Kesadaran
ini akan bermanifestasi dalam kehidupan keseharian masyarakat yang dapat hidup
4
berdampingan dengan alam, memanfaatkan sumber daya alam dengan arif, dan
tergerak untuk menjaga kelestariannya hingga generasi ke depan masih bisa
menikmati hasil dari alam tersebut. Kearifan tersebut juga berpengaruh dalam
komposisi vegetasi yang ada di kawasan tersebut, yaitu relatif homogen di dalam
pemukiman dan tetap heterogen di luar pemukiman. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat menghargai dan menjaga keajegan keanekaragaman vegetasi di alam
sekitarnya (Habibi, 2008).
Girpasang adalah sebuah dusun dalam wilayah Desa Tegalmulyo, Kec.
Kemalang, Kab. Klaten, Jawa Tengah. Dusun ini merupakan salah satu dusun
yang paling terisolir di kawasan lereng Merapi dengan satu-satunya jalan yang
hanya dapat dilalui manusia dan ternak. Masyarakatnya relatif homogen, terdiri
dari 7 (tujuh) kepala keluarga yang keseluruhannya bekerja sebagai petani dan
peternak sapi. Dusun Plalangan merupakan bagian dari Desa Lencoh, Kec. Selo,
Kab. Boyolali, Jawa Tengah, merupakan dusun tertinggi di lereng gunung Merapi
dan merupakan salah satu dusun yang populer karena menjadi gerbang utama jalur
pendakian dari utara. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani sayuran dan
palawija, peternak sapi perah, dan penggiat ekowisata. Kondisi vegetasi yang ada
di kedua dusun tersebut sangat terpengaruh dengan sistem pertanian palawija dan
sayuran yang dilakukan masyarakat.
Kondisi yang menarik untuk diteliti adalah kedua dusun tersebut masih
melestarikan tradisi budayanya, pandangan hidupnya dengan lingkungan, dan
mempraktekkan cara pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya hayati yang
5
sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini kemungkinan dapat mempengaruhi kondisi
vegetasi yang ada serta berpengaruh pada upaya konservasi.
Oleh karena itu, fokus utama dalam penelitian ini untuk mengetahui
kondisi vegetasi yang ada, kearifan lokal yang masih dilakukan oleh masyarakat
lereng Merapi dan kecenderungan untuk memanfaatkan jenis-jenis tumbuhan
tertentu sebagai sarana atau obyek konservasi.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, permasalahan yang muncul
pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana keanekaragaman vegetasi yang ada Girpasang dan Plalangan?
2. Bagaimana upaya masyarakat dalam mengkonservasi keanekaragaman
vegetasi berdasarkan kearifan ekologi yang berlaku?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan penelitian ini adalah:
1. Mempelajari dan menganalisis keanekaragaman vegetasi di kawasan lereng
gunung Merapi
2. Mempelajari upaya masyarakat dalan mengkonservasi keanekaragaman
vegetasi serta kearifan ekologi yang mendukung upaya tersebut.
6
D. Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk
1. Mengetahui jenis-jenis tumbuhan yang dapat digunakan dalam upaya
konservasi sumber daya alam dan dapat diaplikasikan secara terbatas di
lereng Merapi ataupun secara luas di pegunungan lain.
2. Mendokumentasikan kearifan lokal yang berkaitan dengan upaya pelestarian
keanekaragaman vegetasi dan sumber daya alam.
3. Memberikan masukan kepada para pemangku kepentingan dalam upaya
konservasi lereng Merapi.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan dan Keanekaragaman Vegetasi
1. Hutan
Keanekaragaman hayati memiliki makna jutaan tumbuhan, hewan,
dan mikroorganisme, termasuk gen yang mereka miliki, serta ekosistem rumit
yang mereka bentuk menjadi lingkungan hidup (Anonim, 1989).
Keanekaragaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkat yaitu sebagai
berikut. Pertama, keanekaragaman spesies. Semua spesies di bumi, termasuk
bakteri dan protista serta spesies dari kingdom bersel banyak (multiseluler
seperti hewan dan tumbuhan). Kedua, keanekaragaman genetis. Variasi
genetik dalam satu spesies, baik diantara populasi-populasi yang terpisah
secara geografis, maupun diantara individu-individu dalam satu populasi.
Ketiga, keanekaragaman komunitas. Komunitas biologi yang berbeda serta
asosiasinya dengan lingkungan fisiknya (ekosistem) (Indrawan, 2007).
Komunitas biologi didefinisikan sebagai sejumlah spesies yang
menempati tempat tertentu dan saling berinteraksi (interspecific interaction)
bersama dengan lingkungan fisik dan kimia yang terkait, komunitas biologi
ini disebut dengan ekosistem. Karakteristik suatu ekosistem seringkali
ditentukan oleh proses yang berlangsung, termasuk siklus air, siklus nutrisi,
dan energi. Lingkungan fisik, khususnya siklus tahunan temperatur dan hujan
serta karakteristik permukaan tanah, mempengaruhi struktur dan karakteristik
komunitas biologi. Lingkungan fisik yang menentukan apakah suatu lokasi
8
akan menjadi hutan, padang rumput, padang pasir, atau lahan basah
(Indrawan, 2007).
Hutan merupakan salah satu tipe ekosistem yang mayoritas terdapat
di Indonesia. Hutan di Indonesia dikelompokkan dalam dua formasi yaitu
klimatis dan edafis. Formasi klimatis sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur
iklim seperti temperatur, kelembaban udara, intensitas cahaya dan angin.
Ekosistem hutan yang masuk dalam formasi klimatis adalah hutan hujan
tropis, hutan musim, dan hutan gambut. Formasi edafis adalah formasi hutan
yang dalam pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah baik
fisik, kimia, ataupun biologis. Tipe hutan dalam kelompok formasi edafis
adalah hutan rawa, hutan payau, dan hutan pantai (Santoso, 1995).
Hutan hujan tropis salah satu tipe vegetasi yang berada pada 10⁰ LU
dan 10⁰ LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks
pada daerah dengan curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun, rata-rata
temperatur 25⁰C dengan fluktuasi temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan
rata-rata kelembaban mencapai 80% (Indriyanto, 2006). Menurut Santoso,
berdasarkan ketinggiannya dari permukaan air laut, hutan hujan tropis dibagi
menjadi tiga zona yaitu sebagai berikut (Santoso, 1995).
a. Zona 1 dinamakan dengan hutan hujan bawah karena berada pada
ketinggian antara 0-1000 m dari permukaan laut (mdpl).
b. Zona 2 dinamakan dengan hutan hujan tengah karena berada pada
ketinggian antara 1000-3300 mdpl.
9
c. Zona 3 dinamakan dengan hutan hujan atas karena berada pada
ketinggian antara 3300-4100 mdpl.
Persebaran tipe hutan hujan tropis tengah meliputi Aceh, Sumatera
Utara, Sumatera bagian barat, Jawa Tengah (termasuk D.I. Yogyakarta), Jawa
Timur, Sulawesi, dan sebagian daerah Indonesia timur. Secara umum,
ekosistem hutan tengah didominasi oleh genus Quercus, Castanopsis,
Nothophagus, dan spesies dari famil Magnoliaceae. Tipe ekosistem hutan
hujan tengah di beberapa daerah agak spesifik seperti tegakan Pinus merkusii
di Sumatera Utara dan Jawa, tegakan Casuarina, spp., Albizia montana dan
Anaphalis javanica di pulau Jawa, kelompok pohon dari genus Aghatis dan
Podocarpus di Sulawesi, dan genus Trema, Vaccinum, dan spesies
Podocarpus imbricatus di daerah Indonesia timur. Anggota dari famili
Dipterocarpaceae hanya terdapat pada daerah dengan ketinggian 1.200 mdpl
(Indriyanto, 2006).
Steenis (2006) membagi hutan di pulau Jawa dengan menggunakan
data perbandingan komposisi floristik dan perubahan yang ada pada zona
transisinya walaupun pembatasan yang ada bukanlah batasan yang tegas.
Hutan tropik antara daerah rendah (pamah) dan pegunungan di pulau Jawa
dihuni oleh tumbuhan tropik sejati (megaterm) seperti Anacardiaceae,
Burseraceae, Capparaceae, Marantaceae, dan banyak yang lain yang
sebarannya hanya mencapai ketinggian 1000 mdpl saja. Sebaliknya,
tumbuhan pecinta dingin (mikroterm) hanya akan ada diatas ketinggian 1000
mdpl. Dalam hal ini, suhu menjadi faktor pembatas utama dari kedua zona
10
tersebut. Batas yang memisahkan zona pegunungan dengan zona subalpin
terlihat pada perubahan aspek floristik dan fisiogami hutan. Steenis juga
membagi vegetasi di pulau Jawa berdasarkan zonasi iklim utama yaitu
sebagai berikut.
a. Ketinggian 0-1..000 mdpl adalah zona tropik, dengan secara khusus
untuk ketinggian antara 500-1.000 mdpl disebut zona bukit (colline).
b. Ketinggian 1.000-2.400 mdpl adalah zona pegunungan dan juga secara
khusus ketinggian 1.000-1.500 mdpl adalah subzona subpegunungan
(submontane).
c. Ketinggian diatas 2.400 mdpl adalah zona elfin.
2. Keanekaragaman vegetasi
Vegetasi adalah istilah yang diberikan untuk semua tumbuh-
tumbuhan dari suatu daerah tertentu, bagaimana mereka tersebar, dan
bagaimana karakter yang melekat pada vegetasi tersebut (Odum, 1998 dan
Barbour, 1987). Barbour (1987) menjelaskan bahwa vegetasi ditandai dengan
bentuk tumbuhnya antara lain sebagai berikut.
a. Ukuran, umur, dan karakter perkayuannya, seperti herba, tahunan,
menahun, semak, pohon, atau pemanjat
b. Tingkat kemandirian suatu takson seperti epifitik, parasitik, dan tegakan
c. Morfologi suatu takson berdasarkan pada karakter spesifik seperti roset
d. Ukuran daun suatu takson seperti besar, kecil, evergreen, gugur, daun
lebar, dan daun jarum
e. Lokasi pertumbuhan berdasarkan lokasi pertumbuhan tunasnya
11
f. Fenologi berdasarkan pada lama daur hidupnya dalam suatu kondisi
lingkungan tertentu.
Newton (2007) menjelaskan bahwa vegetasi dapat dikaji dari
berbagai pendekatan yaitu sebagai berikut.
a. Pendekatan iklim, didasarkan pada konsep bahwa iklim adalah faktor
terbesar yang mempengaruhi distribusi vegetasi
b. Pendekatan bentuk lahan, didasarkan pada karakter tanah dan bentukan
lahan seperti topografi dan elevasi
c. Pendekatan biofisik atau ekosistem, didasarkan pada perpaduan iklim,
tanah, dan bentukan lahan dengan komposisi vegetasi
d. Pendekatan bentuk tumbuh, didasarkan pada bentuk luar tumbuhan yang
paling dominan pada vegetasi tersebut
e. Pendekatan floristik, didasarkan pada komposisi floristiknya untuk
menentukan tipe vegetasi tersebut.
B. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi
1. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi
Konservasi berasal dari kata “conservation” yang berinduk dari kata
con (selalu) dan servare (melindungi) yang memiliki pengertian memelihara
apa yang kita punya, namun digunakan secara bijaksana. Pemerintah
Indonesia menerjemahkan definisi konservasi, sebagaimana tercantum dalam
Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa konservasi
sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang
12
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya denngan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya (Forqan & Fadli, 2009). Konservasi secara
umum diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap sesuatu. Dalam hal ini,
diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap alam dan lingkungan dan
merupakan ilmu lintas disiplin dengan cakupan lebih umum demi melindungi
seluruh aspek keanekaragaman hayati (Indrawan, 2007).
Konservasi alam diartikan sebagai upaya pengelolaan yang
dilakukan oleh manusia dalam pemanfaatan biosfer sehingga mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya dan berkelajutan bagi kehidupan manusia.
Upaya ini bertujuan untuk mempertahankan potensi alam agar dapat
memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang. Pengertian konservasi
tersebut mencakup aspek perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara
berkelanjutan, restorasi dan penguatan lingkungan alam. Konservasi alam
tidak bertentangan dengan pemanfaatan aneka ragam varietas, jenis, dan
ekosistem bagi kepentingan manusia selama dilakukan secara berkelanjutan
(Iskandar, 2001).
Konservasi sumber daya alam dapat dibagi menjadi tiga yaitu
konservasi kawasan, jenis, dan genetis. Undang-undang No.5 tahun 1990
lebih banyak membahas konservasi kawasan dan jenis, sedangkan konservasi
genetis belum terakomodir (Forqan & Fadli, 2009), Dengan demikian, kon-
servasi keanekaragaman hayati merupakan bagian dari definisi diatas.
13
Menurut strategi konservasi dunia, ada tiga tujuan konservasi alam
yaitu sebagai berikut. Pertama, memelihara proses ekologi yang esensial dan
sistem pendukung kehidupan. Kedua, mempertahankan keanekaragaman
genetis. Ketiga, memanfaatkan jenis (spesies) secara berkelanjutan. Terkait
dengan tujuan ini, maka tidak ada larangan bagi manusia untuk
memanfaatkan varietas, jenis , dan ekosistem yang ada disekitarnya.
Konservasi vegetasi, sesuai dengan pengertian diatas, adalah upaya
untuk melindungi, memelihara, memanfaatkan secara berkelanjutan,
merestorasi dan menguatkan kawasan vegetasi itu sendiri. Peran utama
vegetasi dalam lingkup ekosistem sebagai produsen energi (Odum, 1998 &
Barbour, 1987) menjadikan konservasi vegetasi penting dilakukan.
2. Konservasi berbasis Masyarakat
Seluruh agama di dunia mengajarkan manusia untuk hidup damai
dan berkelanjutan serta berharmonisasi dengan alam (Keraf, 2002 &
Mangunjaya, 2005). Konservasi dalam Islam menempati posisi tinggi,
sebagaimana dicontohkan dalam kearifan (wisdom) Rasulullah dalam
menghormati makhluk hidup. Manusia adalah pengemban amanah, ber-
kewajiban untuk memelihara keutuhan ciptaan-Nya, integritas bumi, serta
flora dan faunanya, baik hidupan liar ataupun keadaan alam asli
(Mangunjaya, 2007), dan kehidupan di muka bumi diberikan sebagai
anugerah yang harus disyukuri, maka manusia diwajibkan untuk
memeliharanya sebagai amanah (Mangunjaya, 2005). Hal serupa
diungkapkan oleh van Steenis (2006) manusia harus belajar dari alam, yang
14
memilikinya dan tempat bergantung secara menyeluruh demi kelangsungan
hidupnya.
Masyarakat lokal mengembangkan cara hidup yang diselaraskan
dengan lingkungan hidupnya. Orientasi masyarakat lokal dalam
memanfaatkan lingkungannya adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-
harinya, baru kemudian sebagai sumber penghasilan, yang seringkali masih
selaras dengan lingkungannya. Hubungan yang erat dengan suatu kawasan
lahan menyebabkan keterikatan yang kuat dengan kawasan lahan tersebut
yang diwujudkan dalam bentuk hukum adat, skema kepercayaan, simbolisme
yang kompleks, dan ilmu pengetahuan tentang sumber daya yang terinci.
Banyak penduduk asli yang melihat bahwa mereka akan bertahan dalam
jangka waktu yang lama dengan mempertahankan alam lingkungannya untuk
generasi mendatang (Colchester, 2009).
Masyarakat, terutama yang bertempat tinggal di kawasan konservasi,
secara ekologis merupakan bagian dari kawasan tersebut sendiri. Kombinasi
antara hubungan dengan lingkungan hidup yang telah berlangsung lama ini
dan komitmen untuk bertahan disana demi masa depan menjadi motivasi
masyarakat untuk mengelola secara berhati-hati, namun secara relatif kearifan
tersebut dapat bertahan di tengah perubahan zaman yang cepat ini.
Terkait dengan pengelolaan suatu kawasan konservasi dengan
campur tangan pemegang kekuasaan, baik oleh pemerintahan atau lembaga
yang lain, masyarakat perlu dilibatkan dalam pembuatan rencana pengelolaan
dan kebijakan penggunaan kawasan, karena masyarakat setempat telah
15
terbiasa memanfaatkan hasil dari kawasan tersebut. Baiknya, masyarakat
setempat mengalami hal berikut: 1) dilibatkan sejak tahap perencanaan dan
pengelolaannya, 2) dilibatkan secara resmi untuk melestarikan kawasan, dan
3) mendapatkan manfaat dari kawasan konservasi tersebut.
Keberhasilan atau kegagalan suatu upaya konservasi tidak lepas dari
peran masyarakat lokal. Pelaksanaan pembangunan berbasis komunitas
(community based development) merupakan alternatif pelaksanaan
pembangunan dengan keberpihakan pada masyarakat. Pada tahapan ini,
masyarakat tidak dianggap sebagai obyek melainkan salah satu penentu
kebijakan dan pelaku itu sendiri. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam
melakukan pengawasan, pemeliharaan, pengelolaan, dan pelaksanaan
program konservasi itu sendiri (Marfai, 2005). Hal serupa dinyatakan oleh
Indrawan et.al. (2007) bahwa campur tangan masyarakat merupakan salah
satu syarat keberadaan kawasan konservasi. Pemahaman dan tingkat
partisipasi masyarakat lokal terhadap proses konservasi dapat terlaksana
dengan optimal ketika masyarakat ditempatkan sebagai salah satu komponen
penentu kebijakan dan duduk bersama dengan penentu kebijakan yang lain
seperti pemerintah, LSM, dan swasta.
Menurut Wells dan McShane (2004) ada berapa hal yang harus
dipersiapkan untuk mengintegrasikan kawasan konservasi dengan kemauan
masyarakat (local need) sekitar. Metode ini secara umum menginduk ke
pendekatan top-down. Pertama, membangun aliansi dengan sebagian besar
komunitas lokal untuk membangun kepercayaan. Kedua, membangun koalisi
16
untuk konservasi dengan menyatukan semua pemangku kepentingan baik
lokal maupun politis. Ketiga, menyatukan pemerintahan lokal dan sektoral di
kawasan tersebut dalam kaitannya dengan batas-batas dan pemanfaatan lahan
di kawasan konservasi tersebut dan sekitarnya. Keempat, membantu
komunitas dalam wilayah nilai-nilai ekologis dalam pembangunan kawasan
dan penanaman tanaman mereka dengan memberi ruang untuk penanaman
tanaman secara mandiri oleh masyarakat. Kelima, ekspolorasi potensi sumber
daya alam lokal yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh kelompok
masyarakat untuk meningkatkan tanggungjawab terhadap kawasan
konservasi. Keenam, mendukung pendidikan lingkungan untuk memperdalam
dukungan masyarakat terhadap kawasan konservasi tersebut. Ketujuh,
membangkitkan kesadaran lokal mengenai tingginya nilai keanekaragaman
vegetasi yang ada dan pentingnya konservasi. Kedelapan, mendukung
pemanfaatan kawasan yang dapat menghasilkan pemasukan secara terus
menerus baik secara selektif, tentatif, dan skala kecil oleh dan dengan
dukungan masyarakat.
Metode yang ditawarkan Wells (2004) sejalan dengan proyek Man
and Biosphere dari UNESCO. UNESCO memelopori teknik zonasi ini
dengan program Man and Biosphere (MAB) dalam bentuk cagar biosfer.
Kawasan koservasi ini terdiri dari zona inti, zona penyangga, dan zona
transisi. Pada daerah inti, keanekaragaman hayati yang ada dilindungi penuh,
pada zona penyangga, berbagai kegiatan kultural dan penelitian dapat
berlaku, dan di zona transisi dilakukan kegiatan yang lebih intensif seperti
17
pertanian (Anonim, 2009). Indrawan (2007) menyatakan bahwa zonasi
merupakan salah satu solusi untuk menengahi berbagai konflik kepentingan
dalam kawasan konservasi. Sistem ini bertujuan untuk mengelola kawasan
secara keseluruhan, dengan merancang dan menentukan wilayah yang akan
diberikan prioritas bagi kegiatan tertentu.
Upaya-upaya penghubungan yang dapat dilakukan secara umum
dapat dibagi menjadi dua yaitu secara legal dan kultural. Pertama, secara
legal. Penerapan pola zonasi dalam kawasan konservasi dapat dikategorikan
dalam sudut pandang ini. Masyarakat memiliki akses pemanfaatan ke
kawasan konservasi dan masyarakat ditempatkan sebagai salah satu
komponen penentu kebijakan dan duduk bersama dengan penentu kebijakan
yang lain seperti pemerintah, LSM, dan swasta. Kedua, secara kultural.
Pengelola kawasan konservasi dan masyarakat duduk bersama untuk
mendapatkan kesepahaman dalam pengelolaan kawasan tersebut (Marfai,
2005; Indrawan, 2007; & Anonim, 2009).
Gabungan antara survey keanekaragaman vegetasi dan sudut
pandang masyarakat dalam memandang dan menilai alam lingkungannya
dapat membantu dalam memperbaiki rencana pengelolaan kawasan dan
sesuai dengan kepentingan masyarakat yang ada disana. Konservasi dapat
dilakukan menerima dan membangunnya atas dasar apa yang dipandang
masyarakat itu penting (Sheil et,al., 2004).
Danielsen et.al. (2007) menyarankan adanya monitoring lingkungan
yang partisipatif dan membuktikan adanya keterkaitan yang kuat antara
18
keterlibatan masyarakat lokal dengan kegiatan konservasi yang ada.
Masyarakat lokal berpartisipasi dalam menjaga kawasan yang dinyatakan
milik mereka dan juga berbagai sumber daya alam lainnya.
C. Kearifan Ekologi Masyarakat Lereng Gunung Merapi
Kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun
perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan
tradisional ini tidak hanya berbicara mengenai hubungan manusia dengan manusia
dalam sistem sosial, namun juga hubungan manusia dengan alam lingkungannya
(Keraf, 2002).
Kearifan tradisional memiliki lima karakter yang selalu melekat yaitu
sebagai berikut. Pertama, kearifan tradisional adalah milik komunitas. Kedua,
kearifan tradisional atau pengetahuan tradisional lebih bersifat praksis. Ketiga,
kearifan tradisional bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan dan
pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta.
Keempat, berdasarkan karakter diatas, masyarakat juga memahami bahwa semua
aktivitasnya sebagai aktivitas moral. Kelima, kearifan tradisional bersifat lokal,
karena terkait dengan tempat yang partikular dan konkret. Kearifan tradisional
selalu menyangkut manusia yang partikular (komunitas masyarakat itu sendiri),
alam (di sekitar tempat tinggalnya, bahkan tentang pohon, sumber air, gua, dan
sebagainya) dan relasinya dengan alam tersebut. Tetapi karena manusia dan alam
bersifat universal, maka dengan sendirinya kearifan dan pengetahuan tradisional
tersebut menjadi universal dengan sendirinya. Walaupun tidak memiliki rumusan
19
universal, ternyata kearifan tradisional ditemukan di semua masyarakat tradisional
di seluruh dunia dengan substansi yang sama (Keraf, 2002).
Kehidupan masyarakat jawa pada umumnya tidak dapat terlepaskan dari
lingkungan tempat tinggalnya. Baik secara langsung atau tidak, dan disadari atau
tidak selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya melalui
serangkaian pengamatan dan pengalamannya. Dari pengalaman hidup ini
kemudian diperoleh cita lingkungan hidupnya yang memberikan petunjuk
mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan untuk kebaikan
hidupnya (Minsarwati, 2002).
Kearifan ekologi atau etnoekologi dimaknai dengan pengetahuan
lingkungan tradisional yang terkait dengan lingkungan seperti klimatologi
tradisional seperti dalam masyarakat jawa yaitu pranoto mongso dan pengetahuan
tentang komponen biologis di lingkungannya serta pengaruh keberadaan manusia
(anthropogenic effect) di dalam lingkungan (Cotton, 1996). Minsarwati (2002)
menyatakan bahwa kearifan ekologi adalah segala tindakan penduduk setempat
dalam melangsungkan kehidupan mereka untuk bisa selaras dengan
lingkungannya, dan merupakan manifestasi dari kepercayaan yang mereka anut.
Terkait dengan Gunung Merapi, penduduk di sekitarnya merasakan diri mereka
merupakan bagian dari ekosistem Merapi, sehingga dari pandangan itu untuk
menjaga keselamatan hidup mereka harus bersikap dan bertindak yang serasi dan
selaras terhadap sesamanya, Gunung Merapi dan para roh leluhur atau makhluk
halus penghuni Merapi.
20
Masyarakat, sangatlah percaya pada hal-hal yang berbau mitos. Namun
karena mitos selalu berhubungan dengan Yang Sakral (alam Adikodrati), maka
perlu penjelasan yang masuk akal. Oleh karena itu, peristiwa empiris selalu
berkaitan dengan metaempiris, seperti ungkapan gugon tuhon dari juru kunci atau
para sesepuh untuk tidak mencari rumput di daerah-daerah yang angker,
memindahkan batu, menebang pohon, mendirikan rumah menghadap ke gunung
dan juga berburu binatang di hutan. Di balik itu semua, terdapat nilai-nilai yang
berkaitan dengan kearifan ekologi penduduk terhadap lingkungan alam Gunung
Merapi dan selalu berhubungan dengan pelestarian lingkungannya (ekosistem)
(Minsarwati, 2002). Masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan menganggap
hutan tersebut sebagai bagian dari hidupnya, walaupun telah beralih
pengelolaannya oleh pemerintah sekalipun, masyarakat tetap memandang hutan
tersebut sebagai miliknya, tempat mencari penghasilan, lapangan kerja, kayu, dan
tempat bermain anak-anak (Simon, 2007).
D. Penelitian Terkait
Terkait dengan tema ini, ada beberapa penelitian yang telah dilakukan di
kawasan lereng gunung Merapi antara lain sebagai berikut.
1. Penelitian Ir. Wisnu Minsarwati, M.Hum. pada tahun 2002 mengenai
hubungan antara mitos Merapi dengan kearifan ekologi masyarakat lereng
selatan gunung Merapi. Masyarakat lereng selatan Gunung Merapi
mengganggap dirinya sebagai bagian dari Merapi, sehingga selalu berusaha
selaras dengan lingkungannya tersebut. Masyarakat merealisasikan
pandangannya dengan tidak membangun rumah menghadap langsung ke
21
puncak Merapi, larangan memindahkan batu dan menebang pohon,
perlindungan terhadap binatang buas dan merumput di tempat tertentu, dan
upacara-upacara ritual dan selamatan.
2. Skripsi Fathur Rahman dari Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 2008
mengenai Interaksi Masyarakat dengan Kawasan Hutan Gunung Merapi
(Studi di Dusun I desa Lencoh, Kec. Selo, Kab. Boyolali, Jawa tengah). Inti
dari skripsi ini adalah terdapat dua dimensi interaksi yaitu pemanfaatan dan
pengelolaan. Hutan tersebut dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber bahan
konstruksi, pupuk organik, pakan ternak, sumber air bersih, dan faktor
pembentukan budaya. Pengelolaan dalam hal ini diartikan sebagai upaya
masyarakat untuk menjaga dan melestarikan hutan Merapi. Dalam skripsi ini
dimensi pelestarian mencakup upaya untuk mengintensifkan penggunaan
lahan pertanian untuk kesejahteraan masyarakat, penanaman pohon-pohon di
kawasan mata air, dan pemanfaatan nilai-nilai budaya untuk mempertahankan
kelestarian tresebut dengan dasar nilai-nilai tersebut mengandung makna
tentang interaksi manusia dengan hutan untuk tercapainya kelestarian.
3. Skripsi I Ketut Parwata dari Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 2008
mengenai Interaksi Masyarakat Desa Samiran dengan Hutan di Kawasan
Taman Nasional Gunung Merapi. I Ketut Parwata menyatakan bahwa
interaksi masyarakat dengan hutan tidak dapat dilepaskan dari cara
pandangnya terhadap hutan. Interaksi disini berarti pemanfaatan secara
kontinyu, digunakan untuk pemenuhan hidup (subsisten) dan dibatasi serta
diatur oleh peraturan lisan, adat istiadat, dan peraturan pemerintah.
22
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian pendahuluan telah dilaksanakan pada bulan November 2010.
Penelitian ini secara efektif dilaksanakan di sekeliling Gunung Merapi pada bulan
Maret-April 2011 untuk aspek ekologi dan bulan April-Mei 2011 untuk aspek
sosial kemasyarakatan. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan di dua
dusun di lereng gunung Merapi yaitu Dusun Girpasang dan Dusun Plalangan.
Dusun Girpasang secara administratif terletak di desa Tegalmulyo, Kec.
Kemalang, Kab. Klaten, Jawa Tengah. Secara geografis terletak di lereng tenggara
gunung Merapi, pada koordinat 7°34‘00’’- 7°34’15’’ LS dan 110°28‘30’’-
110°29’00’’ BT, ketinggian rata-rata 1186 mdpl, dengan luas hingga 4 (empat)
hektar. Dusun Plalangan secara administratif terletak di desa Lencoh, Kec. Selo,
Kab. Boyolali, Jawa Tengah. Secara geografis terletak di lereng utara gunung
Merapi pada koordinat 7°30’30’’-7°30’45’’ LS, dan 110°27’10’’-110°27’15’’ BT
dengan ketinggian antara 1592-1725 mdpl dan memiliki luas wilayah mencapai
(empat) hektar.
Dusun Girpasang dan Plalangan, ditinjau dari stratifikasi zona vegetasi van
Steenis untuk flora di kawasan Malesia, berada pada zona yang berbeda.
Ketinggian 1000-1500 mdpl merupakan zona subpegunungan dan ketinggian
1.500-2.400 masuk dalam zona pegunungan, maka Girpasang berada di zona
subpegunungan dan Plalangan berada di zona pegunungan (Steenis, 2006).
23
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di dua dusun di Lereng Merapi (Sumber: Peta
RBI lembar Kaliurang, 1996)
B. Alat dan Bahan
1. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah meteran, tali,
patok, peta, GPS (untuk koordinat lokasi dan elevasi), lembar lapangan, alat
perekam, dan alat tulis.
2. Bahan
Bahan yang digunakan untuk mendukung penelitian ini antara lain
pustaka yang terkait, hasil penelitian terdahulu, peta-peta kawasan, data
monografi area penelitian, dan data lain yang dianggap dapat mendukung.
C. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini meliputi aspek ekologi vegetasi dan aspek sosial
masyarakat. Metode yang digunakan untuk kajian aspek ekologi vegetasi adalah
24
plot kuadrat sedangkan kajian sosial kemasyarakatan dilakukan dengan metode
deskriptif kualitatif.
1. Aspek Ekologi Vegetasi
Pengumpulan data ekologis dilakukan dengan menggunakan metode
plot kuadrat yang dibagi menjadi tiga tingkatan berdasarkan tingkat
pertumbuhan vegetasi yaitu plot berukuran 10X10 meter untuk vegetasi
tingkat pertumbuhan pohon, 5X5 meter untuk tingkat anak pohon, dan 2X2
meter untuk vegetasi tingkat semak, herba, dan rumput. Vegetasi tingkat
pertumbuhan pohon memiliki diameter batang lebih dari 20 cm yang diukur
pada ketinggian 1 m dari permukaan tanah, tingkat pertumbuhan anak pohon
memiliki diameter batang dibawah 20 cm pada ketinggian 1 m, serta habitus
semak, herba, dan rumput dikelompokkan menjadi satu yaitu tingkat
pertumbuhan bawah.
Luasan plot sampel diambil 0.1% dari luasan kedua dusun yang
menjadi area penelitian. Dusun Girpasang memiliki luas 4 ha dan dusun
Plalangan memiliki luas hingga 4 ha. Keseluruhan luas dusun adalah 8 ha,
maka luas area sampel yang didapatkan adalah 800 m2, dan dijadikan 8 plot
dengan luas maksimum 10X10m. Plot ditempatkan secara acak teratur
(stratified random) di luar pemukiman penduduk tetapi masih dalam wilayah
dusun tersebut atau dalam wilayah jelajah masyarakat dari dusun tersebut dan
memotong garis kontur (contouring) dari elevasi rendah ke elevasi yang lebih
tinggi.
25
Gambar 2. Metode pengambilan sampel aspek ekologi vegetasi di kawasan
dusun Girpasang dan Plalangan; keterangan: (kiri) ukuran plot yang digunakan dalam penelitian ini, (kanan) pola pengambilan plot sampel dengan metode contouring.
2. Aspek Sosial Kemasyarakatan
Pengumpulan data sosial kemasyarakatan, secara purposif, sebagai
sampel lima orang yang mengetahui sejarah yang terjadi dalam dusun
tersebut sebagai informan dari tiap dusun yang berdasarkan rekomendasi
masyarakat setempat. Pengumpulan data sosial kemasyarakatan dilakukan
dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi
partisipatif.
a. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam didisain untuk mendapatkan gambaran
yang jelas dari perspektif subyek dalam jumlah yang sedikit terkait
dengan topik penelitian. Wawancara mendalam ini bersifat akhir terbuka
(open-ended), dilakukan secara bertahap dengan dalam pertemuan yang
berulang (Cotton, 1996).
Metode wawancara mendalam dapat digunakan untuk menggali
informasi sebanyak-banyaknya. Teknik wawancara mendalam dalam
26
penelitian ini digunakan dalam pengambilan data-data kearifan lokal
masyarakat di bidang konservasi sumber daya biologis dalam kehidupan
masyarakat itu sendiri. Informan yang diikutsertakan adalah kepala
dusun, tokoh masyarakat seperti juru kunci, sesepuh desa, orang-orang
tua, serta sumber lain yang potensial.
Wawancara dimaksudkan untuk mengetahui simbol dan makna
dari ungkapan-ungkapan dan kegiatan masyarakat dalam upaya
konservasi sumber daya biologis, dengan mempertanyakan makna dan
kegunaannya, selanjutnya dilihat hubungannya dengan upaya konservasi
yang ada
b. Observasi non-partisipan
Metode ini digunakan untuk mengetahui dan memahami
kehidupan masyarakat sehari-hari, mulai dari interaksi sosial, kegiatan-
kegiatan, sampai ke masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat
dusun-dusun tertinggi di lereng gunung Merapi.
D. Analisis Data
1. Aspek Ekologi Vegetasi
Data vegetasi yang diperoleh digunakan untuk mengetahui nilai
kerapatan (densitas), frekuensi, dominansi, nilai penting, dan kemudian
menentukan indeks keanekaragaman menurut Shannon-Wiener (Fachrul,
2007 & Indriyanto, 2005).
27
Kerapatan (densitas) dan kerapatan relatif, disimbolkan dengan K dan
KR%, adalah nilai yang menunjukkan jumlah suatu individu atau jenis dalam
suatu area pengamatan.
K = Jumlah Individu suatu jenis (1) Luas seluruh plot
KR% = Nilai kerapatan suatu jenis X 100% (2) Jumlah total nilai kerapatan seluruh jenis Frekuensi dan frekuensi relatif, disimbolkan dengan F dan FR%,
digunakan untuk melihat seberapa sering suatu jenis muncul dalam sebuah
pengamatan dan menunjukkan persebaran suatu spesies tertentu.
F = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis (3) Jumlah seluruh plot
F R%= Nilai frekuensi suatu jenis X 100% (4) Nilai total frekuensi seluruh jenis
Dominansi dan dominansi relatif, disimbolkan dengan D dan DR%,
digunakan untuk melihat seberapa besar penguasaan suatu spesies pada suatu
komunitas tumbuhan. Nilai dominansi dihitung berdasarkan penutupan
kanopinya, dan nilai dominansi dapat terpusat pada satu spesies atau tersebar
merata.
D = Luas bidang dasar suatu jenis (5) Luas seluruh area pengamatan
DR%= Nilai dominansi suatu jenis X 100% (6) Nilai total dominansi seluruh jenis
Nilai penting, disimbolkan dengan NP, digunakan untuk melihat
seberapa penting kehadiran suatu jenis dalam komunitas yang diamati dan
seberapa besar tingkat penguasaannya. Semakin besar nilai penting suatu
28
jenis maka semakin besar kemungkinannya untuk tetap melanjutkan hidup ke
generasi selanjutnya.
NP = KR% + FR% + DR% (7)
Indeks keanekaragaman yang disimbolkan dengan H’ dari Shannon-Wienner
dihitung dengan rumus adalah sebagai berikut.
∑=Nni
lnNni
-H' atau H'=-∑Pi Ln Pi (8)
Keterangan:
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
Pi = Jumlah individu suatu jenis i dibagi jumlah total individu seluruh jenis
Ni = Jumlah individu dari suatu jenis i
N = Jumlah total individu seluruh jenis
Nilai indeks keanekaragaman diatas dikategorikan menjadi 3 (tiga)
yaitu sebagai berikut.
< 1 : keanekaragaman spesies pada suatu transek melimpah rendah.
1-3 : keanekaragaman spesies pada suatu transek melimpah sedang.
≥ 3 : keanekaragaman spesies pada suatu transek melimpah tinggi.
Hasil sampling diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan
lapangan yaitu buku panduan lapangan Flora Pegunungan Jawa karya
C.G.G.J. van Steenis (2006), Handbook for The Cultivation of Sugar-Cane
and Manufacturing of Cane-Sugar in Java karya C.A. Backer (1973) dan
pustaka-pustaka lain yang relevan. Identifikasi alternatif dengan teknik
perbandingan herbarium, diskusi dengan ahli sistematika tumbuhan, dan
mempertanyakan langsung dengan masyarakat. Manfaat tumbuhan sebagai
29
sarana dan obyek konservasi dihubungkan dan dilihat kesesuaiannya dengan
pustaka yang terkait serta dikaitkan kearifan masyarakat setempat ataupun
konsepsi kearifan masyarakat lereng gunung Merapi secara umum.
2. Aspek Sosial Kemasyarakatan
a. Wawancara Partisipatoris
Pengolahan data hasil wawancara sosial kemasyarakatan dilakukan
dengan menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan menggambarkan
kondisi apa adanya, menggali maksud yang ada, dan menjelaskannya
berdasarkan tema yang dimaksud dalam penelitian ini. Penelitian ini
termasuk dalam studi kemasyarakatan. (Sukmadinata, 2011).
b. Observasi non-partisipan
Semua yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
lereng Gunung Merapi dikonfirmasikan kembali dengan masyarakat,
baik dalam wawancara ataupun interaksi lain dan kemudian dijadikan
data primer dalam penelitian ini. Hasil observasi digunakan untuk
memperkuat data-data hasil wawancara yang dilakukan diatas.
30
IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
A. Dusun Girpasang
1. Sejarah Keberadaan Dusun Girpasang
Sejarah Girpasang bermula dari pengutusan seorang abdi dalem
Kasunanan Surakarta dalam masa kepemimpinan Sunan Pakubuwono VII
yang bernama Kaki Turnosono dan Kaki Dareng untuk membuka lahan dan
menetap di ujung sebuah bukit yang sekarang dikenal dengan nama
Girpasang. Kaki Turnosono diberi nama kebesaran Pacul Kuwoso yang
berarti orang yang terhormat yang menguasai kawasan ini (Pacul dimaknai
dengan sing temungkul, dan kuwoso berarti kang nguwasani deso). Kaki
Dareng merupakan rekan Kaki Turnosono sekaligus seorang abdi dalem
kasunanan Surakarta yang berpangkat Bekel dari Tirtoyudan, Pucang untuk
menetap (thethenguk) di Girpasang.
Kaki Turnosono merupakan cikal bakal dari masyarakat Girpasang
dan sebagian dusun lain. Kaki Turnosono menurunkan 9 anak, dua
diantaranya menetap di Kalitengah, satu orang di Kedungijo, satu di
Girtengah, tiga di Girpasang sendiri, dan dua di dusun lain. Menurut
penuturan masyarakat, penduduk Girpasang sekarang yang sebanyak tujuh
kepala keluarga terhitung berkerabat semuanya dan merupakan generasi
keempat hingga kelima dari Kaki Turnosono. Keturunan Kaki Turnosono
yang terakhir diminta membuka kawasan timur Girpasang yang sekarang
dikenal dengan nama Kedungijo, sehingga padusunan Girpasang termasuk
generasi tua yang menetap di kawasan tersebut.
31
2. Lokasi Geografis dan Administratif
Dusun Girpasang terletak di lereng tenggara gunung Merapi, pada
koordinat 7°34‘00’’- 7°34’15’’ LS dan 110°28‘30’’-110°29’00’’ BT,
ketinggian rata-rata 1186 mdpl, dan luas hingga 4 (empat) hektar. Girpasang
merupakan salah satu dusun yang terisolir dengan jalan yang hanya dapat
dilalui manusia dan ternak, terletak di desa Tegalmulyo, Kecamatan
Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sebelah utara berbatasan dengan
dusun Kedungijo, selatan berbatasan dengan dusun Kringin, barat berbatasan
dengan jurang kali Jromah, dan timur juga berbatasan dengan bagian hilir
jurang kali Jromah. Dusun ini terdiri dari 1 (satu) RT dengan total penduduk
sebanyak 32 jiwa dan terbagi dalam 8 kepala keluarga (kk).
Gambar 3. Peta kawasan dusun Girpasang (Sumber: Peta RBI lembar
Kaliurang, 1996)
32
3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Masyarakat Girpasang terdiri dari 8 (delapan) kepala keluarga,
dengan 32 jiwa. 13 jiwa diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan 19 jiwa
berjenis kelamin perempuan. Pendidikan tertinggi masyarakat setempat
adalah sekolah menengah pertama (SMP), sebagian lain berpendidikan
sekolah dasar (SD) dan selebihnya tidak menempuh pendidikan formal.
Keseluruhan anggota masyarakat Girpasang beragama Islam yang secara
sadar mereka nenyatakan bahwa Islam mereka adalah Islam abangan, hanya
tercantum di kartu tanda penduduk saja. Masyarakat juga menjalankan Islam
sebagaimana mestinya antara lain ibadah puasa (poso atau siyam) dan juga
memperingati hari besar Islam (wawacara dengan Bpk. Yosorejo – Ka. RT).
Kesadaran masyarakat untuk mengabdi pada kekuasaan kultural
yang menaunginya – Kasunanan Surakarta Hadiningrat – sangatlah tinggi.
Hal tersebut terlihat dari upaya pendataan dan pendaftaran ke paguyuban abdi
dalem keraton Surakarta. Hal tersebut tidak menghalangi keaktifan masya-
rakat dalam mengikuti berbagai kegiatan dalam lingkup desa Tegalmulyo.
Sebagian warga ada yang telah berpangkat bekel anom dalam strata
kepangkatan Kasunanan Surakarta, dan di Girpasang juga bermukim Kaur
keamanan desa Tegalmulyo (Bpk. Patmo Sudarso) serta anaknya yang aktif di
kegiatan karang taruna.
Masyarakat dusun Girpasang memiliki kehidupan yang agraris,
hidup dengan mengandalkan hasil kebon (kebun) dan tegal (ladang) yang
dimiliki di sekitar dusun itu sendiri. Kegiatan sehari-hari masyarakat
33
Girpasang adalah mugut (mencari rumput) di pagi hari sekitar pukul 06.00
WIB dan jika memungkinkan atau dibutuhkan diulangi pada sore harinya.
Kegiatan selanjutnya adalah tilik kebon yang dapat diartikan dengan
menggarap kebon, menugal (membuat lubang) untuk tanaman baru,
menyiangi hama, dan menjaga kebon dari hama antara lain kera ekor panjang
(Macaca fascicularis). Sebagian besar kegiatan kemasyarakatan dilakukan di
malam hari. Kegiatan yang dilakukan di siang hari dihadiri secara bergiliran,
antara lain untuk menjaga kebon dari hama seperti dijelaskan diatas.
Masyarakat jawa pegunungan, dalam hal ini kawasan lereng gunung
Merapi, mengenal perilaku yang spesifik yaitu sambatan yang secara umum
masyarakat Girpasang menerjemahkannya dengan gotong-royong. Sambatan
dapat diartikan dengan saling menyampaikan atau saling membicarakan.
Sambatan sendiri dapat bermakna gerakan yang berarti gotong-royong dalam
pembangunan fisik atau sumbangan dalam bentuk materi. Pembangunan
rumah, pembuatan fasilitas umum, dan hajatan yang digelar dalam lingkup
kecil seperti masyarakat Girpasang sendiri tentunya harus menyertakan orang
lain dalam lingkup tersebut. Tidak ada batasan pasti mengenai waktu yang
digunakan untuk sambatan, biasanya setelah tanggungan pribadi seperti
mugut dan garapan kebon dan tegal selesai, dilakukan secara bergiliran, dan
tidak terbatas dalam dusun Girpasang saja. Sambatan juga bertujuan untuk
meringankan beban yang memiliki hajat dan membuat ikatan emosional dan
kultural antar sesama anggota masyarakat semakin kuat (wawancara dengan
masyarakat Girpasang).
34
Penghasilan masyarakat Girpasang mayoritas berasal dari pembuatan
arang kayu dan hasil tegalan. Arang kayu dibuat dari kayu Sogo atau Akasia
Gunung (Acacia decurrens Willd.) dan dijual seharga Rp 85.000-100.000 per
karung bren (karung berukuran 50 kg bekas kemasan bekatul gandum untuk
pakan ternak – wheat bran) dan dijual di hari pasarannya yaitu wage. Hasil
tegalan seperti jagung, jipang (labu air), bawang merah, loncang (daun
bawang), dan lainnya dijual ke pasar Surowono, 5 km dari Girpasang hanya
pada hari pasaran pon dan kliwon, sesuai harga yang berlaku di pasaran
sehingga hasilnya tidak menentu. Menuju ke pasar, masyarakat Girpasang
harus berangkat dari rumah saat adzan subuh berkumandang karena engkel
(mobil pengangkut yang berupa truk berbak rendah, memiliki pagar terali,
yang adakalanya juga untuk angkutan ternak) akan lewat sekitar pukul 05.00
WIB, pagi hari. Dengan engkel yang sama, masyarakat pulang dari pasar dan
sudah sampai di rumah sekitar pukul 10.00 WIB (wawancara dan observasi
partisipasif).
4. Infrastruktur dan aksesibilitas
Pemukiman masyarakat Girpasang relatif mengelompok dalam satu
area, kecuali dua rumah saja yang terpisah. Terdapat 7 (tujuh) rumah yang
dihuni oleh 8 (delapan) kepala keluarga, diantaranya hanya dua rumah yang
berdiri secara permanen dari batu kali dan selainnya masih berbahan dasar
bambu anyaman (gedhek).
Fasilitas umum yang terdapat di kawasan dusun ini adalah bunker
untuk perlindungan sementara dari abu letusan Merapi, listrik bervoltase 220,
35
dan dua unit jalan beton. Bunker dibangun pada tahun 2004 secara swadaya
dan bantuan dari Komunitas Lintas Merapi (KLM), listrik diusahakan dengan
menyalur dari rumah warga di dusun Kedungijo yang menginduk ke
Kecamatan Musuk, Boyolali, dan jalan beton yang berada di dalam dusun di
bangun pada tahun 1994 dengan bantuan dari Saluran Komunitas Siaga
Bencana (SKSB) dan diluar dusun untuk sarana akses ke dusun terdekat yaitu
dusun Kringin dibangun secara swadaya pata tahun 1994. Akibat gempa bumi
tahun 2006, jalan beton di luar dusun longsor sepanjang 20 m dan memutus
akses masyarakat lebih dari 3 (tiga) bulan. Perbaikan jalan tersebut dilakukan
dengan cara sambatan oleh seluruh warga Girpasang dan sebagian warga
Kringin dengan pendanaan swadaya serta bantuan pemerintah daerah Klaten
(wawancara dengan masyarakat Girpasang).
Dusun Girpasang dapat diakses dari beberapa dusun di sekitarnya
seperti Kedungijo, Kringin, dan Canguk, namun, jalur akses terdekat adalah
dari dusun Kringin dengan menyeberangi jurang sedalam lebih dari 150 meter
dan sebagian sudah dibuat tangga beton. Jarak lurus antara kedua dusun ini
hanya 230 meter saja, dengan adanya pembatas geografis tersebut, jaraknya
membentang hingga 580 meter dengan waktu tempuh rata-rata masyarakat
setempat adalah 30 menit. Jalan yang menghubungkan Kedungijo dan
Girpasang dapat dilalui oleh sepeda motor jenis trail dengan keahlian tinggi.
36
B. DUSUN PLALANGAN
1. Sejarah Keberadaan Dusun Plalangan
Plalangan didirikan oleh seorang priyayi pelarian dari Majapahit,
menjelang keruntuhan kerajaan itu, ketika Islam masuk ke Jawa. Bersama
pengikutnya, pelarian yang bernama Eyang Mentawiji membuka hutan dan
menggunakan teknik perladangan berpindah untuk menunjang kehidupan
mereka. Pada tahun 1912 pemerintah Belanda mengukuhkan hutan di seluruh
lereng Merapi menjadi hutan lindung sehingga mereka mengubah teknik
perladangan berpindah menjadi teknik tegalan (Triyoga, 2010). Plalangan
menurut sebagian masyarakat berasal dari kata bahasa jawa kalanglangan
atau ke-alang-alang-an yang dapat diartikan dengan terhalang-halangi. Tahun
1940-an, Plalangan sudah dihuni oleh masyarakat dengan jalan akses hanya
berupa jalan setapak dan terhalangi keberadaannya oleh hutan lebat gunung
Merapi dan Merbabu, karena itu, pada masa krisis perjuangan, daerah
Plalangan masih dianggap tidak berpenghuni. Plalangan termasuk dusun tua
dan kemudian diikuti dengan kemunculan dusun-dusun lain di sekitar
Plalangan itu sendiri.
Sejak berdirinya Kasunanan Surakarta pada tahun 1745 hingga masa
pemerintahan Pakubuwono X (1893-1939) Plalangan selalu dilewati
rombongan abdi dalem Keraton Surakarta yang membawa barang-barang
labuhan ke Gunung Merapi. Pada pemerintahan Pakubuwono X inilah
didirikan pesanggrahan Indramarta di lereng gunung Merbabu sebagai
penginapan abdi dalem selama prosesi Labuhan di lakukan. Sekalipun
37
Plalangan dilalui oleh rombongan labuhan, tidak ada satupun penduduk yang
diangkat oleh Sunan sebagai juru kunci Gunung Merapi seperti halnya yang
terjadi di Kinahrejo.
Dahulu kala, terdapat sumber air di kawasan Plalangan yang
dikuasai oleh makhluk halus. Makhluk halus tersebut menawarkan sumber air
ke masyarakat Plalangan saat itu sebesar payung, tetapi masyarakat tidak
bersedia dengan pertimbangan bahwa sumber sebesar itu tidak akan habis
terpakai oleh masyarakat Plalangan sendiri, dan kemudian masyarakat
menyumbatnya dengan kepala kambing. Sampai sekarang tempat tersebut
tidak ditemukan lagi, dan akhirnya kawasan utara gunung Merapi tidak
terdapat sumber air sama sekali.
2. Lokasi Geografis dan Administratif
Dusun Plalangan terletak di lereng utara gunung Merapi pada
koordinat 7°30’30’’-7°30’45’’ LS, dan 110°27’10’’-110°27’15’’ BT dengan
luas wilayah mencapai 4 (empat) hektar. Dusun ini merupakan dusun tertinggi
di lereng gunung Merapi dengan ketinggian antara 1592-1687 mdpl dan
kemiringan rata-rata mencapai 35 derajat. Dusun Plalangan adalah bagian
dari desa Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Sebelah utara berbatasan dengan dusun Tegalsruni, sebelah selatan berbatasan
dengan hutan negara (TNGM), sebelah barat berbatasan dengan dusun
Temusari dan Congkol, dan sebelah timur berbatasan dengan desa Samiran.
Dusun Plalngan terdiri dari 3 (tiga) RT yaitu RT 01, sampai dengan RT 03
(wawancara dengan Bpk. Widodo, Kadus Plalangan).
38
Gambar 4. Peta kawasan dusun Plalangan (Sumber: Peta RBI lembar
Kaliurang, 1996)
3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Penduduk dusun Plalangan terdiri 125-150 kepala keluarga (kk) atau
sekitar 650-700 jiwa. Tingkat pendidikan rata-rata hanya mencapai jenjang
sekolah menengah pertama (SMP) dan hanya beberapa yang menyelesaikan
jenjang sekolah menengah atas (SMA) dan strata satu (S1). Keseluruhan
penduduk dusun Plalangan beragama Islam (Monografi Selo, 2006), jika
menggunakan klasifikasi islam jawa menurut Clifford Geertz, Islam di dusun
Plalangan adalah Islam abangan yang mengamalkan Islam hanya sebagian
saja dan tetap menggunakan nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur mereka,
dalam hal ini, kebudayaan Hindu dan Budha.
39
Kecenderungan warga untuk terkait dengan budaya kerajaan, yaitu
Kasunanan Surakarta tidak begitu terlihat dalam keseharian mereka. Namun,
nilai-nilai kebudayaan dan upaya pelestariannya (nguri-uri budhoyo) dalam
masyarakat dusun Plalangan menempati posisi yang sangat vital, selain
merupakan potensi lokal yang berangkat dari dalam diri masyarakat sendiri,
juga ditawarkan sebagai pelengkap berdirinya desa wisata Lencoh dan
kesenian tradisional merupakan ekspresi dari upaya tersebut. Kesenian yang
hidup di dusun Plalangan sendiri terdiri dari tarian Campur Sari, Budi Tani,
seperti Gambyong, Topeng Ireng, Hanoman, dan Buto.
Campur Sari merupakan seni musik yang memadukan alat musik
tradisional dan modern dalam satu pentas dan dimainkan secara campuran,
baik usia dan jenis kelamin. Campur Sari ini lazim diundang dalam acara
(hajatan) yang digelar oleh masyarakat sendiri. Kesenian budi tani bercorak
umum seperti wayang orang, dimainkan mayoritas oleh kelompok usia paruh
baya dan semuanya laki-laki. Gambyong, di dusun Plalangan, merupakan
tarian yang diperankan oleh perempuan dengan gerakan lembut. Topeng Ireng
merupakan tarian yang berasal dari kawasan Borobudur, Magelang dan
dipolulerkan dalam festival lima gunung (Merapi, Merbabu, Sindoro,
Sumbing, dan Andong) yang disebarkan ke dusun Plalangan oleh sdr. Gimar
(22 tahun) sekitar tahun 2006 dengan ciri khas topeng Indian Apache. Topeng
ireng bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam dan sangat jelas terdapat
dalam syair yang menyertai tarian tersebut. Hanoman merupakan seni tari
yang ralatif serupa, namun dengan pakaian kera putih (Hanoman dalam
40
mitologi Jawa kuno). Begitu juga dengan kesenian Buto, bercorak sama
dengan Topeng Ireng namun berpakaian yang seram laiknya Buto dalam kisah
pewayangan. Selain campur sari, seluruh tarian menggunakan sesaji yang
lengkap dan dilakukan sampai mencapai kondisi payah (trance, mabuk, atau
istilah lain) ketika raga sang penari dikuasai dan digerakkan oleh makhluk
halus yang sesuai dengan tujuan tarian tersebut.
Plalangan merupakan salah satu dusun yang populer di lereng
gunung Merapi karena menjadi gerbang utama jalur pendakian dari utara.
Masyarakat sangat akomodatif dengan pendatang, mayoritas bekerja sebagai
petani sayuran dan palawija, peternak sapi perah, dan penggiat ekowisata.
Kegiatan masyarakat harian dimulai dengan mugut (mencari rumput) di pagi
hari, kemudian mengolah tegalan baik tanam, perawatan ataupun panen dan
dilanjutkan dengan mengolah hasil panen tersebut. Sore hari, sebagian ada
yang kembali mugut, bersosialisasi, dan memandikan sapi dan membawanya
berjalan-jalan. Sambatan atau secara umum mereka artikan dengan gotong-
royong merupakan hal yang utama untuk dilakukan. Pembuatan rumah,
hajatan yang ada, dan hal lain yang membutuhkan banyak tenaga dilakukan
dengan bersama-sama. Sambatan dalam bentuk kerja fisik, dilakukan pada
rentang waktu setelah mugut sampai waktu duhur, dan dilakukan secara
bergiliran, dan dalam bentuk sosial kemasyarakatan relatif tidak mengenal
waktu yang pasti, terkadang kegiatan masyarakat sampai libur total selama 1-
2 hari sekalipun kegiatannya hanya jangongan (duduk dan memeriahkan) di
rumah yang punya hajat. Menjadi aib ketika tidak turut serta dalam kegiatan
41
sambatan tersebut dan dengan sendirinya menjadi sarana untuk
mengakrabkan dan menumbuhkan rasa ewuh-pekewuh dalam kehidupan
masyarakat (wawancara dengan Bpk Jimin, Ka RT).
Secara ekonomi, masyarakat Plalangan secara umum sangat
tergantung dengan hasil tegalan yang mereka olah sendiri dan sapi pedaging
secara periodik. Hasil tegalan sebagian besar dijual untuk memenuhi
permintaan sayuran di kawasan Jawa Tengah dan DIY. Hasil tegalan seperti
wortel, bakso (sawi pahit), slobor (sawi putih, manis), adas, loncang, dan
lainnya dijual dalam keadaan kotor ataupun bersih. Penjualan hasil pertanian
tersebut mayoritas ke pasar sayur Cepogo, di kecamatan Cepogo, atau
disalurkan langsung ke pasar-pasar besar di Jawa Tengah, DIY, dan sebagian
Jawa Timur sesuai dengan harga pasaran yang berlaku.
Sebagian masyarakat yang tidak memiliki lahan olahan ataupun
remaja, biasanya menjadi buruh (mburoh) di tegalan, pembersihan hasil
pertanian di dalam dusun Plalangan atau diluar desa, sesuai dengan kebutuhan
mereka. Pekerjaan mburoh rata-rata dihargai Rp 25.000,- perhari. Sebagian
masyarakat juga bekerja di sektor jasa dan kepegawaian. Sektor jasa yang
digeluti adalah penyewaan kamar untuk turis (homestay) dengan tarif rata-rata
Rp 80.000,- per hari dan jasa pemandu (guide) pendakian Merapi dengan tarif
antara Rp 125.000-250.000,- per orang. Pendapatan rata-rata masyarakat
sangat tergantung dengan kondisi pasar dan banyak atau tidaknya wisatawan
yang datang untuk sektor jasa, kecuali bagi yang bekerja di bidang
kepegawaian.
42
4. Infrastruktur dan Aksesibilitas
Infrastruktur umum yang ada di dusun Plalangan secara khusus
adalah sistem pengairan, balai pertemuan, sarana wisata, dan prasarana yang
diadakan oleh masyarakat secara swadaya. Sistem pengairan dibangun sejak
tahun 1992 dengan dana mencapai 350 juta rupiah, dan dikumpulkan secara
swadaya. Sampai sekarang, setiap jiwa dibebankan biaya perawatan sebesar
Rp 25.000 per tahun. Sarana wisata – dalam hal ini wisata New Selo –
didirikan oleh pemerintah, tetapi diatas tanah milik rakyat. Prasarana swadaya
yang telah ada di kawasan dusun Plalangan sendiri seperti perlengkapan
budaya dan alat-alat teknis pertukangan diadakan dengan cara iuran per
kelompok kesenian untuk perlengkapannya sendiri dan dana kelompok tani
untuk beberapa alat-alat pertukangan, seperti molen (pengaduk pasir-semen).
Perumahan di dusun Plalangan tersebar merata dan secara umum
dibangun secara permanen. Sesuai letaknya yang hanya 3 (tiga) kilometer dari
pusat kecamatan Selo, dusun Plalangan termasuk wilayah yang maju secara
fisik. Pembangunan jalan desa selebar 3 (tiga) meter dengan panjang 2 (dua)
km dari jalan provinsi yang menghubungkan Magelang dengan Boyolali telah
dilakukan pada tahun 1994 silam. Melihat kondisinya diatas, dusun Plalangan
adalah dusun tertinggi di lereng gunung Merapi yang paling mudah
terjangkau dengan angkutan, baik umum ataupun pribadi.
43
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Komposisi dan Keanekaragaman Vegetasi di Girpasang dan Plalangan
Keanekaragaman vegetasi dibedakan berdasarkan bentuk pertumbuhan-
nya menjadi tingkat pohon, tingkat anak pohon, dan tingkat tumbuhan bawah.
1. Tingkat Pohon
a. Cacah Spesies
Vegetasi tingkat pohon di kawasan dusun Girpasang terdiri atas
7 (tujuh) spesies, yaitu Dadap Cekli (Erythrina lithosperma Miq.), Puspo
(Schima wallichii (D.C.) Korth.), Gandek/Kantil (Michelia alba D.C.),
Manis Jangan (Cinnamomum burmanii, Bl.), Mindi (Melia azedarach),
Nongko (Artocarpus integra), Sengon (Albizia falcataria). Vegetasi
tingkat pohon yang ditemukan di kawasan Plalangan hanya 2 (dua)
spesies, yaitu Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) dan
Cemara Gunung (Casuarina junghuhniana Miq.).
Banyaknya jumlah spesies yang ditemukan di kawasan dusun
Girpasang disebabkan karena berada dalam zona vegetasi sub-
pegunungan, sehingga mampu mendukung kemelimpahan tumbuhan
yang tinggi. Plalangan yang berada dalam zona pegunungan lebih sedikit
mendukung kemelimpahan tumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan
zona sub-pegunungan, terlihat dari jumlah spesies yang ditemukan
(Steenis, 2006). Faktor lain yang berpengaruh adalah campur tangan
masyarakat dalam pengelolaan kawasan tersebut. Spesies-spesies tersebut
diusahakan untuk bahan bangunan, bahan makanan, dan berdaya guna
44
ekonomis di Girpasang serta diusahakan untuk penghijauan lereng utara
Merapi di Plalangan. Campur tangan manusia dalam suatu kawasan yang
memiliki keanekaragaman vegetasi akan menurunkan keanekaragaman
tersebut menjadi lebih rendah (Schulze et.al., 2002).
b. Kerapatan (K)
Tabel 1. Kerapatan vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan
No Nama Lokal Nama Spesies Kerapatan Girpasang Plalangan
1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 0,013 2 Kaspo/Puspo Schima wallichii (DC) Korth. 0,003 3 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 0,010 4 Manis Jangan Cinnamomum burmanii, Bl. 0,003 5 Mindi Melia azedarach 0,008 6 Nongko Artocarpus integra 0,010 7 Sengon Albizia falcataria 0,003 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 0,033 9 Cemara Gunung Casuarina junghuhniana Miq, 0,008
Jumlah 0,05 0,04
Vegetasi tingkat pohon di kawasan dusun Girpasang ditemukan
7 (tujuh) spesies dengan tanaman Dadap Cekli (Erythrina lithosperma
Miq.) memiliki nilai kerapatan tertinggi (0,013 pohon/m2). Vegetasi
tingkat pohon yang ditemukan di kawasan Plalangan hanya 2 (dua)
spesies yaitu Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) dan
Cemara Gunung (Casuarina junghuhniana Miq.), dengan Sogo/Akasia
Gunung (Acacia decurrens Willd.) memiliki nilai kerapatan tertinggi
(0,033 pohon/m2).
Tingginya jumlah spesies Dadap Cekli di kawasan Girpasang
lebih dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat dibandingkan faktor
biologisnya. Spesies ini digunakan sebagai bahan bangunan dan juga
45
difungsikan sebagai celengan urip untuk dijual. Alasan yang sama juga
berlaku untuk Gandek/Kantil (Schima wallichii (DC) Korth.) dan
Nongko (Artocarpus integra) dengan kerapatan 0,010 pohon/m2.
Kerapatan yang tinggi pada spesies Sogo/Akasia Gunung di-
sebabkan oleh perkembangbiakannya yang cepat dan memiliki toleransi
pertumbuhan yang tinggi terhadap berbagai jenis tanah. Spesies ini
bersifat invasif dengan mengalahkan dan menguasai pertumbuhan spe-
sies yang lain (Purwaningsih, 2010), sedangkan Cemara Gunung memi-
liki perkembangbiakan yang cepat tetapi memiliki syarat khusus yaitu
perkecambahan bijinya sangat tergantung dengan cahaya dan kontak
langsung dengan tanah atau abu. Tumbuh di lereng pegunungan dengan
elevasi diatas 1100 mdpl, tanah berpasir, beriklim kering, dan berperan
sebagai tumbuhan pionir di kawasan vulkanis aktif (Steenis, 2006).
c. Frekuensi Relatif (FR%)
Tabel 2. Frekuensi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan
No Nama Lokal Nama Spesies Frekuensi Relatif (%) Girpasang Plalangan
1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 14,29 2 Kaspo/Puspo Schima wallichii (DC) Korth. 7,14 3 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 21,43 4 Manis Jangan Cinnamomum burmanii, Bl. 7,14 5 Mindi Melia azedarach 14,29 6 Nongko Artocarpus integra 21,43 7 Sengon Albizia falcataria 14,29 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 80,00 9 Cemara Gunung Casuarina junghuhniana Miq, 20,00
Jumlah 100 100
Kantil (Michelia alba D.C.) dan Nongko (Artocarpus integra)
tersebar luas di kawasan dusun Girpasang dengan persentase frekuensi
46
relatif 21,43%, sedangkan Puspo (Schima wallichii (DC) Korth. dan
Manis Jangan (Cinnamomum burmanii, Bl.) memiliki nilai frekuensi
relatif terendah yaitu 7,14%. Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens
Willd.) memiliki nilai frekuensi relatif tertinggi di kawasan dusun
Plalangan yaitu 80%. Dan Cemara Gunung (Casuarina junghuhniana
Miq. memiliki nilai frekuensi relatif terendah yaitu 20%.
Persebaran tanaman Kantil dan Nongko yang tinggi di
Girpasang didukung oleh posisinya di zona vegetasi sub-pegunungan,
namun juga sangat terkait dengan kepentingan dan ketergantungan
masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai bahan bangunan, bunga
untuk upacara adat, dan buah sehingga banyak ditanam di tegalan-nya.
Sogo/Akasia Gunung tumbuh hingga elevasi 2400 mdpl di
kawasan dusun Plalangan dan tersebar merata disebabkan oleh toleransi
terhadap tanah, kecepatan perkembangbiakannya, dan penyebaran bijinya
yang relatif mudah, serta usaha reboisasi hutan di lereng utara Merapi
dengan cara menanamnya secara teratur. Cemara Gunung ditemukan
hanya sampai elevasi 2250 mdpl dan tidak tersebar merata kemungkinan
disebabkan karena persebaran bijinya yang tidak jauh dan pertumbuhan
kecambahnya terhambat oleh tumbuhan bawah (Steenis, 2006).
47
d. Dominansi Relatif (DR%)
Tabel 3. Dominansi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan
No Nama Lokal Nama Spesies Dominansi Relatif (%) Girpasang Plalangan
1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 21,92 2 Kaspo/Puspo Schima wallichii (DC) Korth. 2,99 3 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 14,68 4 Manis Jangan Cinnamomum burmanii, Bl. 2,53 5 Mindi Melia azedarach 19,82 6 Nongko Artocarpus integra 31,17 7 Sengon Albizia falcataria 6,90 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 91,15 9 Cemara Gunung Casuarina junghuhniana Miq, 8,85
Jumlah 100 100
Nongko (Artocarpus integra) mendominasi spesies tingkat
pohon di kawasan dusun Girpasang dengan nilai dominansi relatif
sebesar 31,17% sedangkan Manis Jangan (Cinnamomum burmanii, Bl.)
memiliki nilai dominansi terendah yaitu 2,53%. Sogo/Akasia Gunung
(Acacia decurrens Willd.) mendominasi spesies tingkat pohon di
kawasan dusun Plalangan sebesar 91,15% sedangkan Cemara Gunung
(Casuarina junghuhniana Miq.) memiliki nilai dominansi terendah di
Plalangan yaitu 8,85%.
Dominansi Nongko di Girpasang disebabkan oleh tutupan
kanopinya yang luas dibandingkan dengan Dadap Cekli dan Mindi, serta
memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi. Dominansi Nongko juga tak
lepas dari campur tangan masyarakat yang membutuhkan buah yang
bernilai ekonomi tinggi, daun untuk pakan ternak dan kayu sebagai bahan
bangunan. Tutupan kanopi yang besar serta didukung dengan kerapatan
dan frekuensi yang tinggi menjadikan Sogo/Akasia Gunung memiliki
48
dominansi yang tinggi dibandingkan dengan dibandingkan dengan
Cemara Gunung di Plalangan.
e. Nilai Penting (NP%)
Tabel 4. Nilai penting vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan
No Nama Lokal Nama Spesies Nilai Penting (%) Girpasang Plalangan
1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 62,52 2 Kaspo/Puspo Schima wallichii (DC) Korth. 15,39 3 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 57,16 4 Manis Jangan Cinnamomum burmanii, Bl. 14,93 5 Mindi Melia azedarach 49,89 6 Nongko Artocarpus integra 73,65 7 Sengon Albizia falcataria 26,45 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 252,40 9 Cemara Gunung Casuarina junghuhniana Miq, 47,60
Jumlah 300 300
Besarnya nilai penting suatu spesies menunjukkan besarnya
penguasaan spesies tersebut dalam komunitasnya, sehingga semakin
besar nilainya akan semakin besar juga penguasaannya. Nongko
(Artocarpus integra) memiliki nilai penting tertinggi di dusun Girpasang
yaitu 73,65% dan terendah oleh spesies Manis Jangan (Cinnamomum
burmanii, Bl., 14,93%). Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.)
memiliki nilai penting tertinggi di kawasan dusun Plalangan yaitu
252,40% sedangkan Cemara Gunung (Casuarina junghuhniana Miq.)
memiliki nilai penting terendah, 47,60%. Nongko memiliki peranan yang
penting terhadap vegetasi tingkat pohon dan mempengaruhi kestabilan
ekosistem yang ada di Girpasang, sekalipun memiliki nilai kerapatan
relatif 21,05%, frekuensi relatif yang sama dengan Gandek/Kantil,
namun memiliki dominansi relatif yang paling tinggi sehingga mampu
49
menjadi tumbuhan yang paling besar pengaruhnya di kawasan dusun
Girpasang melebihi spesies Dadap Cekli (Erythrina lithosperma Miq.)
yang memiliki kerapatan yang lebih tinggi (lihat Gambar 5 dan Lampiran
Gambar 12).
Spesies Sogo/Akasia Gunung di kawasan dusun Plalangan
menjadi sangat penting bagi vegetasi tingkat pertumbuhan pohon dan
ekosistem yang ada dibawahnya. Hal tersebut disebabkan oleh kemelim-
pahan (KR%), persebaran (FR%), dan dominansinya (DR%) yang tinggi,
jauh diatas Cemara Gunung (lihat gambar 5).
Gambar 5. Perbandingan kerapatan, frekuensi relatif, dan nilai penting
vegetasi pertumbuhan tingkat pohon di kawasan penelitian. Keterangan: (a) Dusun Girpasang serta (b) Dusun Plalangan
2. Tingkat Anak Pohon
a. Cacah Spesies
Sepuluh spesies vegetasi tingkat anak pohon ditemukan di
kawasan Girpasang dan Plalangan, dengan rincian 9 (sembilan) spesies
ditemukan di Girpasang dan 2 (dua) spesies ditemukan di Plalangan. Biji
dan tunas umumnya cenderung untuk mengumpul di sekitar batang
induknya, karena spesies tumbuhan cenderung untuk mengelompok di
50
area yang memiliki lingkungan mikro yang sesuai (Barbour, 1987).
Spesies-spesies tersebut adalah Dadap Cekli (Erythrina lithosperma
Miq.), Gandek/Kantil (Michelia alba D.C.), Mindi (Melia azedarach),
Nongko (Artocarpus integra), dan Sengon (Albizia falcataria) di kawasan
Girpasang dan Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) di
kawasan Plalangan.
Keberadaan spesies vegetasi tingkat anak pohon bisa terjadi
sekalipun tidak memiliki vegetasi tingkat pohon di kawasan tersebut, hal
tersebut kemungkinan disebabkan oleh persebaran biji oleh hewan antara
lain burung dan mamalia yaitu Klampok (Syzygium densiflora),
Klengkeng (Euphoria longana Lamk.), Kopi (Coffea, sp.), Sogo/Akasia
Gunung (Acacia decurrens Willd.), dan Waru (Hibiscus tiliaceus L.) di
kawasan Girpasang serta Manisrejo/Cantigi (Vaccinium varingiaefolium
(Bl.) Miq.) di kawasan Plalangan.
Perbedaan jumlah spesies yang ditemukan antara Girpasang dan
Plalangan disebabkan oleh perbedaan zona vegetasinya seperti telah
dijelaskan sebelumnya dan interaksinya dengan masyarakat. Manisrejo
(Vaccinium varingiaefolium (Bl.) Miq.) merupakan spesies pembeda
antara zona sub-pegunungan dan zona pegunungan dan ditemukan di
kawasan Plalangan dengan elevasi diatas 2200 mdpl. Spesies ini dapat
tumbuh hingga 15 m, memiliki batang yang kerdil dan bengkok,
menyukai kawasan yang terbuka dan adakalanya di dekat aktifitas
51
vulkanis, serta hanya tumbuh diatas elevasi 1600 mdpl (Backer, 1987 &
van Steenis, 2006).
b. Kerapatan (K)
Tabel 5. Kerapatan vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawa-san dusun Girpasang dan Plalangan
No Nama Lokal Nama Spesies Kerapatan Girpasang Plalangan
1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 0,020 2 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 0,010 1 Klampok (semai) Syzygium densiflora 0,070 3 Klengkeng Euphoria longana, Lamk. 0,010 4 Kopi Coffea arabica 0,020 5 Mindi Melia azedarach 0,010 6 Nongko Artocarpus integra 0,010 7 Sengon Albizia falcataria 0,030 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 0,350 0,240 9 Waru Hibiscus tiliaceus, L. 0,010
10 Manisrejo/Cantigi Vaccinium varingiaefolium (Bl,) Miq,
0,110
Jumlah 0,54 0,35
Acacia decurrens Willd. (Sogo/Akasia Gunung) memiliki nilai
kerapatan yang tertinggi di Girpasang (0,350 anak pohon/m2) dan Kantil
(Michelia alba D.C.), Klengkeng (Euphoria longana Lamk.), Mindi
(Melia azedarach), Nongko (Artocarpus, sp), dan Waru (Hibiscus
tiliaceus L.) mamiliki kerapatan terendah yaitu 0,010 anak pohon/m2.
Acacia decurrens Willd. (Sogo/Akasia Gunung) juga memiliki kerapatan
tertinggi di Plalangan yaitu 0,240 anak pohon/m2 sedangkan Manisrejo
(Vaccinium varingiaefolium (Bl.) Miq.) dengan nilai 0,110 anak
pohon/m2.
Keberadaan spesies Sogo/Akasia Gunung di kawasan dusun
Girpasang tidak terjadi secara alamiah, melainkan diusahakan oleh
52
masyarakat sebagai bahan dasar pembuatan arang kayu yang merupakan
sumber penghasilan utama. Spesies ini dipanen ketika diameter
batangnya kurang dari 15 cm dan hal ini juga yang menyebabkan spesies
ini tidak dapat berkembang hingga tingkat pohon. Kepentingan
masyarakat tersebut menyebabkan tingginya nilai kerapatan dan juga
didukung dengan perkembangbiakannya yang cepat dan invasif. Spesies
Sogo/Akasia Gunung yang banyak ditemukan di kawasan dusun
Plalangan adalah anakan dari pohon hasil penghijauan di lereng utara
Merapi, dalam kondisi yang ideal dan campur tangan masyarakat dusun
Plalangan yang minim, kemungkinan pertumbuhannya ke tingkat pohon
sangat besar.
Selain aspek persebaran benih secara alamiah dengan bantuan
angin ataupun beberapa jenis satwa, beberapa spesies seperti Klampok
(Syzygium densiflora), Klengkeng (Euphoria longana Lamk.), dan Kopi
(Coffea arabica) memiliki kemungkinan besar persebarannya terjadi
dengan bantuan masyarakat setempat, seperti di Girpasang.
c. Frekuensi Relatif (FR%)
Tabel 6. Frekuensi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan
No Nama Lokal Nama Spesies Frekuensi Relatif (%) Girpasang Plalangan
1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 8,33 2 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 8,33 1 Klampok (semai) Syzygium densiflora 8,33 3 Klengkeng Euphoria longana, Lamk. 8,33 4 Kopi Coffea arabica 8,33 5 Mindi Melia azedarach 8,33 6 Nongko Artocarpus integra 8,33 7 Sengon Albizia falcataria 8,33
53
Lanjutan Tabel 6. Frekuensi ... No Nama Lokal Nama Spesies Frekuensi Relatif (%)
Girpasang Plalangan 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 25,00 66,67 9 Waru Hibiscus tiliaceus, L. 8,33
10 Manisrejo/Cantigi Vaccinium varingiaefolium (Bl,) Miq, 33,33
Jumlah 100 100 Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) memiliki nilai
frekuensi relatif tertinggi di kawasan dusun Girpasang (25%) dan
kawasan dusun Plalangan (66,67%). Seluruh spesies selain Sogo/Akasia
Gunung di Girpasang memiliki nilai frekuensi relatif yang sama yaitu
8,33%, dan Manisrejo (Vaccinium varingiaefolium (Bl.) Miq.) memiliki
nilai frekuensi relatif terendah di Plalangan yaitu 33,33%.
Hal yang menyebabkan Sogo/Akasia Gunung tersebar luas di
Girpasang adalah ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap
tanaman ini sehingga ditanam di hampir seluruh tegalan mereka.
Keberadaan spesies lain sebagian berupa anakan dari spesies tingkat
pertumbuhan pohon atau tanaman yang diusahakan dan pertumbuhannya
belum mencapai tingkat pohon. Persebaran Sogo/Akasia Gunung di
Plalangan terjadi secara alamiah, kemungkinan besar adalah anakan, dan
tersebar di sekitar indukannya yang ditanam sebelumnya.
Keberadaan spesies lain di Girpasang juga tak lepas dari campur
tangan masyarakat walaupun tidak seluruhnya. Spesies seperti Nongko
kemungkinan persebarannya terjadi secara alamiah, baik langsung atau
dengan bantuan binatang ternak, lebih besar dibandingkan dengan peran
masyarakat. Persebaran Manisrejo sangat terbatas oleh elevasi, sehingga
54
hanya didapatkan pada plot yang terletak peda elevasi diatas 2200 mdpl
sehingga hanya muncul di kawasan Plalangan.
d. Dominansi Relatif (DR%)
Tabel 7. Dominansi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan
No Nama Lokal Nama Spesies Dominansi Relatif (%) Girpasang Plalangan
1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 1,03 2 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 0,51 1 Klampok (semai) Syzygium densiflora 0,14 3 Klengkeng Euphoria longana, Lamk. 0,08 4 Kopi Coffea arabica 0,27 5 Mindi Melia azedarach 2,06 6 Nongko Artocarpus integra 4,63 7 Sengon Albizia falcataria 3,73 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 87,30 92,83 9 Waru Hibiscus tiliaceus, L. 0,25
10 Manisrejo/Cantigi Vaccinium varingiaefolium (Bl,) Miq, 7,17
Jumlah 100 100
Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) mendominasi
vegetasi tingkat anak pohon di kawasan dusun Girpasang (87,30%) dan
kawasan dusun Plalangan (92,83%). Dominasi ini terkait luasan kanopi
yang besar serta didukung dengan tingginya nilai kerapatan dan
frekuensinya. Sogo/Aksia Gunung memiliki kanopi dengan luasan
menengah, namun, dengan kerapatan yang tinggi menjadikannya men-
dominasi vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon.
55
e. Nilai Penting (NP%)
Tabel 8. Nilai penting vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan
No Nama Lokal Nama Spesies Nilai Penting (%) Girpasang Plalangan
1 Dadap Cekli Erythrina lithosperma Miq. 13,07 2 Gandek/Kantil Michelia alba, D.C. 10,70 1 Klampok (semai) Syzygium densiflora 21,43 3 Klengkeng Euphoria longana, Lamk. 10,27 4 Kopi Coffea arabica 12,30 5 Mindi Melia azedarach 12,24 6 Nongko Artocarpus integra 14,82 7 Sengon Albizia falcataria 17,62 8 Sogo/Akasia Gunung Acacia decurrens Willd. 177,11 228,07 9 Waru Hibiscus tiliaceus, L. 10,44
10 Manisrejo/Cantigi Vaccinium varingiaefolium (Bl,) Miq, 71,93
Jumlah 300 300
Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) memiliki nilai
penting yang paling tinggi yaitu kawasan dusun Girpasang (117,11%)
dan kawasan dusun Plalangan (228,07%). Vegetasi tingkat pohon yang
memiliki nilai penting terendah adalah Klengkeng (Euphoria longana
Lamk.) sebesar 10,27% yang ditemukan di Girpasang dan Manisrejo
(Vaccinium varingiaefolium (Bl.) Miq.) sebesar 71,93% yang ditemukan
di Plalangan. Besarnya nilai penting menunjukkan besarnya peranan
tumbuhan tersebut didalam lingkungannya. Sogo/Akasia Gunung
memiliki peranan yang besar terhadap vegetasi tingkat anak pohon dan
komunitas tumbuhan yang ada di Girpasang dan Plalangan. Nilai penting
tersebut didukung oleh kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi
relatif yang paling tinggi (lihat gambar 6, lampiran gambar 1 dan 14).
Besarnya nilai penting Sogo/Akasia Gunung terhadap vegetasi
yang ada di kawasan dusun Girpasang berbanding lurus dengan
56
kepentingan masyarakat untuk memanfaatkannya. Manisrejo sebagai
spesies yang memiliki karakter berbeda akan sangat berpengaruh pada
komunitas tumbuhan yang ada pada elevasi diatas 2200 mdpl.
Gambar 6. Perbandingan kerapatan, frekuensi relatif, dominansi relatif,
dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan penelitian. Keterangan: (a) Dusun Girpasang, (b) Dusun Plalangan
3. Tingkat Tumbuhan Bawah
a. Cacah Spesies
Vegetasi tingkat bawah ini terdiri dari habitus semak, herba, dan
rumput. Dua puluh dua spesies ditemukan di kawasan Girpasang antara
lain Alang-alang (Imperata cylindrica), Gerpak Kayu (Eupatorium
odoratum), Ireng-ireng (Eupatorium riparium), Teki Kepala Bulat
(Cyperus melanospermus), Sambung Nyowo (Centella asiatica Urb.),
dan Semanggi Gunung (Oxalis corniculata Linn.). Sebelas spesies
ditemukan di kawasan dusun Plalangan antara lain Berokan (Ethulia, sp.),
Gerpak Kayu (Eupatorium odoratum), Ireng-ireng (Eupatorium
57
riparium), Iser Jurang (Paspalum scrobiculatum L.), Teki (Gahnia, sp.),
Teki (Carex, sp.), dan Rumput (Isachne, sp.).
Kemelimpahan spesies tingkat pertumbuhan bawah sangat
dipengaruhi oleh elevasi, naungan, dan kondisi abiotik kawasan tersebut.
Batasan elevasi berlaku secara umum terkait dengan zonasi vegetasi sub-
pegunungan dan pegunungan menurut Steenis (2006). Naungan kanopi
dari vegetasi tingkat pohon dan anak pohon sangat mempengaruhi
pertumbuhan vegetasi tingkat bawah, yang terkait dengan ketersediaan
cahaya matahari dan membentuk iklim mikro (Barbour, 1987). Dua jenis
keteki (Carex, sp. dan Gahnia, sp.) banyak ditemukan pada elevasi diatas
2.100 mdpl disebabkan oleh karakter fisiologisnya yang
mengharuskannya hidup pada elevasi antara 1.500-3.250 mdpl., lain
halnya dengan Teki gerigi (Fymbristyilis consanguinea Kunth) yang
sangat membutuhkan kelembaban tinggi sehingga sebagian besar
ditemukan pada elevasi dibawah 1.600 mdpl. Kondisi abiotik seperti
kasus Teki gerigi tersebut mempengaruhi kemelimpahan speises secara
lokal pada kawasan tertentu.
b. Kerapatan (K)
Tabel 9. Kerapatan vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan
No Nama Lokal Nama Spesies Kerapatan
Girpasang Plalangan 1 Alang-alang Imperata cylindrica Beauv. 0,625 2 Babatan Eupatorium, spp. 0,063 0,94 3 Berokan Ethulia, sp. 4 0,44 4 Cerobo Eupatorium odoratum 0,688 5 Gerpak Kayu Eupatorium inulifolium
H.B.K. 1 2,00
58
Lanjutan Tabel 9. Kerapatan ...
No Nama Lokal Nama Spesies Kerapatan
Girpasang Plalangan 6 Ireng-ireng Eupatorium riparium 2,375 10,50 7 Iser Bumi Paspalum conjugatum Berg. 1,688 8 Iser Jurang Paspalum scrobiculatum L. 2,063 4,38 9 Katemas Bidens pilosa 0,063
10 Kembang Sorot Fam. Compositae 0,438 11 Keteki (tekigerigi) Carex, sp. 0,063 0,19 12 Keteki (teki gerigi) Fymbristylis consanguinea 0,188 13 Keteki (Teki Kepala
Bulat) Cyperus melanospermus 1,188 1,06
14 Keteki (A) (PL) Gahnia, sp. 0,94 15 Lamisan Oplismenus burmanii P.B. 6,563 0,38 16 Lampes Ageratum conyzoides L. 0,625 17 Pakis Hymenophyllum, sp. 0,813 18 Petungan Ischaemum muticum L. 0,563 0,75 19 Rumput A Isachne miliacea Roth. 1,69 20 Sambung
Nyowo/Tapak Kuda Centella asiatica Urb. 1,688
21 Semanggi Gunung Oxalis corniculata Linn. 2,75 22 Sengganen Impatiens platypetala 0,313 23 Suket Kolonjono Pennisetum purpureum 0,125 24 Talas Colocasia esculenta Schott. 0,188
Jumlah 28,063 23,25
Lamisan (Oplismenus burmanii P.B.) tercatat memiliki jumlah
tertinggi di kawsan dusun Girpasang (6,563 individu/m2) dan kemudian
diikuti oleh Berokan (Ethulia, sp.) yaitu 4 individu/m2. Ireng-ireng
(Eupatorium riparium) memiliki jumlah terbesar di kawasan dusun
Plalangan yaitu 10,50 individu/m2 dan diikuti oleh Iser Jurang (Paspalum
scrobiculatum L.) 4,38 individu/m2. Lamisan seringkali membentuk
kelompok besar, tinggi hingga 50 cm, berdaun panjang hingga 20 cm,
berkembang biak dengan tunas pada stolon, dan memiliki siklus
perkembangbiakan yang relatif cepat (Steenis, 2006).
Ireng-ireng adalah tumbuhan perdu, tinggi antara 0,5-1,5 m,
perakaran merayap, membentuk tunas, siklus perkembangbiakan cepat,
59
tumbuh pada elevasi 1.000-2.400 mdpl, suhu yang lembab, di lereng
curam, tidak membutuhkan tingkat kesuburan yang tinggi, dan invasif
(Anomin, 2006b), karakter tersebut cenderung mengganggu pertumbu-
han tumbuhan lain (Heyne, 1981). Spesies ini didatangkan dari Meksiko
ke Indonesia pada masa penjajahan dan kemudian segera menyebar luas
dan menjadi hama bagi pertanian. Kemelimpahan vegetasi tingkat bawah
juga dipengaruhi oleh aktifitas manusia, dan secara spesifik terjadi di
Girpasang untuk spesies Ireng-ireng. Populasi speises ini dikendalikan
dengan cara dibabat (ditebas) untuk memberikan kesempatan spesies
tingkat bawah yang lain untuk tumbuh, meskipun berguna untuk
melindungi struktur tanah (Heyne, 1981), hal tersebut tidak terjadi di
kawasan dusun Plalangan.
c. Frekuensi Relatif (FR%)
Tabel 10. Frekuensi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan
No Nama Lokal Nama Spesies Frekuensi Relatif (%) Girpasang Plalangan
1 Alang-alang Imperata cylindrica Beauv. 2,63 2 Babatan Eupatorium, spp. 2,63 8,70 3 Berokan Ethulia, sp. 7,89 8,70 4 Cerobo Eupatorium inulifolium
H.B.K. 5,26
5 Gerpak Kayu Eupatorium odoratum 2,63 13,04 6 Ireng-ireng Eupatoriun riparium 7,89 17,39 7 Iser Bumi Paspalum conjugatum Berg. 7,89 8 Iser Jurang Paspalum scrobiculatum L. 7,89 13,04 9 Katemas Bidens pilosa 2,63
10 Kembang Sorot Fam. Compositae 2,63 11 Keteki (tekigerigi) Carex, sp. 2,63 4,35 12 Keteki (teki gerigi) Fymbristylis consanguinea 2,63 13 Keteki (Teki Kepala
Bulat) Cyperus melanospermus 5,26 8,70
14 Keteki (A) (PL) Gahnia, sp. 13,04 15 Lamisan Oplismenus burmanii P.B. 10,53 4,35
60
Lanjutan Tabel 10. Frekuensi ...
No Nama Lokal Nama Spesies Frekuensi Relatif (%) Girpasang Plalangan
16 Lampes Ageratum conyzoides L. 5,26 17 Pakis Hymenophyllum, sp. 2,63 18 Petungan Ischaemum muticum L. 5,26 4,35 19 Rumput A Isachne miliacea Roth. 4,35 20 Sambung
Nyowo/Tapak Kuda Centella asiatica Urb. 2,63
21 Semanggi Gunung Oxalis corniculata Linn. 5,26 22 Sengganen Impatiens platypetala 2,63 23 Suket PB Pennisetum purpureum 2,63 24 Talas Colocasia esculenta Schott. 2,63
Jumlah 100 100
Lamisan (Oplismenus burmanii P.B.) tersebar luas di kawasan
dusun Girpasang (10,53%). Ireng-ireng (Eupatorium riparium) memiliki
nilai frekuensi relatif tertinggi di Plalangan (17,39%). Lamisan mudah
ditemukan di kawasan Girpasang kemungkinan disebabkan oleh
perkembangbiakannya yang cepat. Keberadaan Ireng-ireng sangat mudah
ditemukan di kawasan Plalangan, hal tersebut terjadi karena
perkembangbiakan Ireng-ireng yang cepat dan invasif (Anonim, 2006b).
Persebaran vegetasi tingkat tumbuhan bawah di Girpasang,
selain Lamisan, relatif jarang dan tidak merata, dengan persentase
kemunculan antara 2,63-7,89%. Spesies lain yang muncul di plalangan
relatif merata secara keseluruhan.
d. Dominansi Relatif (DR%)
Tabel 11. Dominansi relatif vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan
No Nama Lokal Nama Spesies Dominansi Relatif (%) Girpasang Plalangan
1 Alang-alang Imperata cylindrica Beauv. 7,37 2 Babatan Eupatorium, spp. 0,18 2,65 3 Berokan Ethulia, sp. 5,05 0,93
61
Lanjutan Tabel 11. Dominansi ...
No Nama Lokal Nama Spesies Dominansi Relatif (%) Girpasang Plalangan
4 Cerobo Eupatorium inulifolium H.B.K.
16,50
5 Gerpak Kayu Eupatorium odoratum 2,95 51,77 6 Ireng-ireng Eupatoriun riparium 10,00 25,18 7 Iser Bumi Paspalum conjugatum Berg. 11,37 8 Iser Jurang Paspalum scrobiculatum L. 2,78 6,18 9 Katemas Bidens pilosa 0,08 10 Kembang Sorot Fam. Compositae 14,37 11 Keteki (tekigerigi) Carex, sp. 0,18 0,35 12 Keteki (teki gerigi) Fymbristylis consanguinea 1,50 13 Keteki (Teki Kepala
Bulat) Cyperus melanospermus 1,00 6,00
14 Keteki (A) (PL) Gahnia, sp. 3,09 15 Lamisan Oplismenus burmanii P.B. 10,78 1,24 16 Lampes Ageratum conyzoides L. 1,66 17 Pakis Hymenophyllum, sp. 6,50 18 Petungan Ischaemum muticum L. 0,85 0,25 19 Rumput A Isachne miliacea Roth. 2,38 20 Sambung Nyowo/Tapak
Kuda Centella asiatica, Urb. 0,50
21 Semanggi Gunung Oxalis corniculata, Linn. 0,69 22 Sengganen Impatiens platypetala 2,50 23 Suket PB Pennisetum purpureum 2,63 24 Talas Colocasia esculenta Schott. 0,55
Jumlah 100 100
Nilai dominansi relatif tertinggi di kawasan dusun Girpasang
ditempati oleh Cerobo (Eupatorium inulifolium H.B.K.) sebanyak
16,50% dan dominansi relatif terendahnya adalah Sambung
Nyowo/Tapak Kuda (Centella asiatica Urb.) sebanyak 5,40%. Gerpak
Kayu (Eupatorium odoratum) menempati posisi nilai dominansi tertinggi
di kawasan dusun Plalangan sebanyak 51,77%. dan terendah oleh rumput
Petungan (Ischaemum muticum L.) senilai 0,25%.
Cerobo (Eupatorium inulifolium H.B.K.) merupakan habitus
semak yang dapat tumbuh setinggi 2 m, diameter batang mencapai 5 cm.
62
Speises ini memiliki naungan yang luas sehingga dapat mendominasi ve-
getasi tingkat bawah di Girpasang (Anonim, 2010). Dominansi relatif
Gerpak Kayu dan Ireng-ireng di Plalangan berbanding terbalik dengan
nilai kerapatan relatifnya, dimungkinkan terjadi karena perbedaan fisik,
Gerpak kayu dapat mencapai tinggi diatas 1 m dan Ireng-ireng hanya ber-
kisar 30-50 cm. Kedua spesies invasif tersebut bersaing mendapatkan
cahaya matahari, namun, tinggi batang Gerpak Kayu tersebut menye-
babkan kesempatan penangkapan cahaya matahari lebih optimal sehingga
tidak terdominasi oleh Ireng-ireng (Anonim, 2006a & Anonim, 2006b).
Lamisan memiliki nilai dominansi urutan tertinggi keempat di
Girpasang yaitu 10,78% dibawah Cerobo (16,50), Kembang Sorot
(14,37%), Iser Bumi (11,37). Kecilnya nilai tersebut disebabkan oleh luas
penutupan kanopinya yang relatif kecil dibandingkan ketiganya,
sekalipun memiliki kerapatan yang tertinggi.
e. Nilai Penting (NP%)
Tabel 12. Nilai penting vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan
No Nama Lokal Nama Spesies Nilai Penting (%) Girpasang Plalangan
1 Alang-alang Imperata cylindrica Beauv. 12,23 2 Babatan Eupatorium, spp. 3,04 15,38 3 Berokan Ethulia, sp. 27,20 11,50 4 Cerobo Eupatorium inulifolium
H.B.K. 24,21
5 Gerpak Kayu Eupatorium odoratum 9,14 73,41 6 Ireng-ireng Eupatoriun riparium 26,36 87,73 7 Iser Bumi Paspalum conjugatum Berg. 25,28 8 Iser Jurang Paspalum scrobiculatum L. 18,02 38,04 9 Katemas Bidens pilosa 2,93 10 Kembang Sorot Fam. Compositae 18,56 11 Keteki (tekigerigi) Carex, sp. 3,04 5,51
63
Lanjutan Tabel 12. Nilai penting ...
No Nama Lokal Nama Spesies Nilai Penting (%) Girpasang Plalangan
12 Keteki (teki gerigi) Fymbristylis consanguinea 4,80 13 Keteki (Teki Kepala
Bulat) Cyperus melanospermus 10,49 19,27
14 Keteki (A) (PL) Gahnia, sp. 20,16 15 Lamisan Oplismenus burmanii P.B. 44,69 7,20 16 Lampes Ageratum conyzoides L. 9,15 17 Pakis Hymenophyllum, sp. 12,03 18 Petungan Ischaemum muticum L. 8,12 7,82 19 Rumput A Isachne miliacea Roth. 13,99 20 Sambung Nyowo/Tapak
Kuda Centella asiatica Urb. 9,14
21 Semanggi Gunung Oxalis corniculata Linn. 15,76 22 Sengganen Impatiens platypetala 6,25 23 Suket PB Pennisetum purpureum 5,71 24 Talas Colocasia esculenta Schott. 3,85
Jumlah 300 300
Lamisan (Oplismenus burmanii P.B.) memiliki nilai penting
tertinggi di kawasan dusun Girpasang, 44,69%. Ireng-ireng (Eupatorium
riparium) memiliki nilai penting tertinggi di kawasan Plalangan, 87,73%.
Tingginya nilai penting Lamisan didukung oleh kerapatan relatif dan
frekuensi relatif yang tinggi, meskipun dengan nilai dominansi yang
rendah. Tingginya nilai penting Ireng-ireng disebabkan oleh kerapatan
dan frekuensinya yang tinggi di Plalangan, sekalipun sama dengan
Lamisan, memiliki nilai dominansi yang rendah (lihat gambar 7 serta
lampiran gambar 14 dan 17). Tingginya nilai penting menunjukkan
bahwa kedua spesies memiliki peranan yang besar pada vegetasi tingkat
bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan.
64
Gambar 7. Perbandingan kerapatan, frekuensi relatif, dominansi relatif,
dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan penelitian. Keterangan: (a) Dusun Girpasang serta (b) Dusun Plalangan
4. Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks keanekaragaman menunjukkan diversitas spesies tumbuhan
pada suatu komunitas, semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman maka
semakin besar juga keanekaragaman tumbuhan di wilayah tersebut. Berikut
ini nilai indeks keanekaragaman pada tiap-tiap tingkat pertumbuhan di
kawasan dusun Girpasang dan Plalangan.
65
Tabel 13. Indeks keanekaragaman vegetasi tingkat pertumbuhan pohon, anak pohon, serta bawah di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan
Lokasi Indeks Keanekaragaman
Tingkat Pohon Tingkat Anak Pohon
Tingkat Bawah
Dusun Girpasang 1,7637 1,3200 2,52478 Dusun Plalangan 0,4826 0,6225 1,847845
Indeks keanekaragaman juga menunjukkan kestabilan komunitas
dalam mempertahankan dirinya dari ganngguan luar, apabila indeks
keanekaragaman suatu komunitas tinggi, maka komunitas tersebut memiliki
kompleksitas tinggi, karena interaksi antar spesies didalamnya juga tinggi
(Indriyanto, 2008). Kawasan dusun Girpasang memiliki keanekaragaman
speises yang sedang untuk tingkat pertumbuhan pohon dan anak pohon, hal
tersebut menunjukkan bahwa vegetasi tingkat pohon di Girpasang stabil
dengan tingkat anak pohon menjamin pertumbuhannya kedepan. Tingginya
indeks keanekaragaman untuk vegetasi tingkat bawah menunjukkan bahwa
naungan vegetasi tingkat pohon dan anak pohon tidak terlalu rapat dan
memungkinkan vegetasi bawah untuk tumbuh secara optimal.
Kawasan dusun Plalangan memiliki indeks keanekaragaman spesies
yang rendah untuk vegetasi tingkat pertumbuhan pohon dan anak pohon,
kondisi tersebut disebabkan oleh jumlah spesies yang ditemukan sangat
sedikit yaitu masing-masing 2 (dua) spesies untuk kedua tingkat pertumbuhan
tersebut, dan salah satu spesies yang mendominasi (Indriyanto, 2008).
Vegetasi tingkat bawah di Plalangan memiliki kemelimpahan sedang
kemungkinan disebabkan oleh minimnya naungan vegetasi tingkat pohon dan
anak pohon, namun terbatas oleh kondisi abiotik yang ada.
66
B. Potensi Etnobotani dan upaya Konservasi oleh Masyarakat Girpasang
dan Plalangan
1. Pemanfaatan Vegetasi oleh Masyarakat
Manusia sangat mengenal lingkungan hidupnya sebagai cara untuk
mempertahankan hidup. Pemanfaatan tumbuhan adalah cara paling dasar
yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seiring dengan
waktu, pemanfaatan tumbuhan oleh manusia tidak terbatas di lingkungannya,
namun meluas ke wilayah yang lebih besar.
Spesies yang dimanfaatkan oleh masyarakat Girpasang dan
Plalangan tidak seluruhnya ada di dalam dua kawasan itu. Hal tersebut terjadi
karena kebutuhan yang spesifik, beragam, dan daya dukung lahan yang tidak
sesuai untuk pertumbuhannya, untuk mengantisipasi hal tersebut, penelitian
ini hanya mengkaji pemanfaatan masyarakat terhadap tumbuhan yang benar-
benar ada di dalam kawasan Girpasang dan Plalangan sekalipun tidak
ditemukan di dalam plot vegetasi. Kondisi tersebut menyebabkan adanya
perbedaan pola dan peruntukan dalam memanfaatkan sumber daya vegetasi
yang ada (selengkapnya lihat lampiran, tabel 20-21).
a. Bahan Makanan
Bahan makanan merupakan bagian paling penting dalam aspek
pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia. Spesies tersebut sebagian
dimanfaatkan untuk makanan alternatif antara lain Jagung (Zea mays),
Pisang (Musa paradisiaca), Pohung (Manihot utilissima), Ubi Rambat
(Ipomea batatas), dan Talas (Colocasia, sp.), sedangkan bahan makanan
67
pokok, yaitu Padi (Oryza sativa Linn.) harus didatangkan dari luar.
Masyarakat dusun Girpasang juga menggunakan Jagung sebagai
makanan pokok. Adas (Foeniculum vulgare Mill.), Cabai (Capsicum, sp.),
Jipang (Sechium edule (Jacq.) Sw.), Kembang Kol (Brassica oleracea),
Loncang, Sawi Hijau (Brassica rapa), dan Wortel (Daucus carota Linn.)
dimanfaatkan untuk sayuran, Nongko (Artocarpus integra) dimanfaatkan
untuk sayuran dan buah.
Spesies yang disebutkan diatas hanya Nongko dan Talas yang
ditemukan di plot penelitian di Girpasang, dan tidak ada yang ditemukan
di plot penelitian di Plalangan. Hal tersebut disebabkan oleh
kecenderungan masyarakat menanamnya di area tegalan yang secara
intensif diolah untuk pertanian palawija dan sayuran, sedangkan plot
sampel dilokasikan di tegalan yang tidak secara intensif diolah dan
wilayah jelajah masyarakat.
b. Bahan Pakan Ternak
Spesies-spesies yang dimanfaatkn oleh masyarakat Girpasang
dan Plalangan sebagai pakan ternak antara lain Sogo/Akasia Gunung
(Acacia decurrens Willd.), Rumput Kolonjono (Pennisetum purpureum),
Rumput Gajah (Panicum distachyum Linn.), Nongko (Artocarpus
integra), dan Pisang (Musa paradisiaca Linn.). Rumput Kolonjono dan
Gajah ditanam oleh masyarakat untuk memenuhi pakan ternak tanpa
harus tergantung ke hutan Merapi. Penanaman Kolonjono dan Gajah
dapat dilakukan di tegalan, pembatas tegalan, dan perengan. Sekalipun
68
ketika musim kemarau tiba, masyarakat tetap masuk ke kawasan hutan
untuk mengambil rumput karena hasil dari rumput yang ditanam tidak
mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak. Bagian dari spesies Nongko
dan Pisang yang dimanfaatkan adalah bagian daunnya.
Sebagian besar spesies dalam vegetasi habitus semak dan herba
serta tumbuhan tingkat bawah juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak
yang diambil dari tegalan dan hutan dengan pengecualian antara lain
spesies Ireng-ireng (Eupatorium riparium) karena tidak disukai oleh
binatang ternak. Akses masyarakat ke dalam hutan untuk mendapatkan
pakan ternak hingga elevasi 1500 mdpl untuk kawasan Girpasang dan
2600 mdpl untuk kawasan Plalangan.
c. Bahan Bakar
Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.), Sengon
(Albizia falcataria), Bambu (Bambusa, sp.), dan vegetasi habitus semak
dimanfaatkan sebagai bahan bakar oleh masyarakat Girpasang dan
Plalangan. Sogo/Akasia Gunung adalah spesies yang dimanfaatkan
secara intensif dan primer untuk bahan bakar, didapatkan masyarakat
Girpasang dari tegalan-nya sendiri, baik berupa batang ataupun hanya
cabang-rantingnya, sedangkan masyarakat Plalangan mendapatkannya
dari hutan Merapi dengan cara memangkas cabang yang merintangi jalan,
cabang-ranting kering, dan pohon yang telah tumbang. Sengon
dimanfaatkan bagian cabang-rantingnya oleh masyarakat Girpasang.
69
Bambu dan berbagai spesies vegetasi habitus semak seperti
Gerpak Kayu (Eupatorium odoratum) yang dapat tumbuh hingga 2 (dua)
meter dengan diameter 5 cm dimanfaatkan oleh masyarakat Girpasang
dan Plalangan jika ketika spesies yang lazim dimanfaatkan sulit
didapatkan. Bambu relatif dihindari karena menghasilkan aroma yang
menyengat pada makanan dan seisi rumah.
Bahan bakar menjadi penting karena ketergantungan masyarakat
masih tinggi untuk memasak air, makanan, dan untuk menghangatkan
diri (gegeni). Masyarakat Plalangan mulai menggunakan gas elpiji
sehingga kebutuhan akan kayu bakar mengurang sebatas untuk memasak
air dan gegeni. Berbeda dengan masyarakat dusun Girpasang yang tidak
dapat mengakses gas elpiji sehingga kebutuhan memasak air, makanan,
dan gegeni diselesaikan dengan menggunakan kayu bakar.
d. Bahan Bangunan
Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.), Bambu Apus
(Gigantochloa apus), Bambu Cendani (Bambusa multiplex), Dadap Cekli,
Kina (Cinchona pubescens Vahl.), Nongko (Artocarpus integra) dan
Sengon (Albizia falcataria) dimanfaatkan sebagai bahan bangunan.
Dadap Cekli, Nongko, Kina, dan Bambu Apus dimanfaatkan
sebagai komponen bangunan yang penting seperti tiang, rangka utama,
dan rangka atap karena memiliki kekuatan dan kelenturan yang cukup
untuk menopang keseluruhan bangunan. Sengon dan Sogo/Akasia
Gunung dimanfaatkan untuk bagian yang relatif ringan seperti komponen
70
rangka atap seperti reng dan kasau, dan juga dinding. Bambu Apus dan
Cendani dimanfaatkan untuk membuat dinding (gedhek) dan furnitur
seperti bangku panjang (lincak) dan dipan panjang (amben).
e. Bahan Bernilai Ekonomi
Berbagai spesies yang ada di dalam kawasan penelitian
dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan oleh masyarakat setempat,
antara lain Adas (Foeniculum vulgare Mill.), Bawang Merah (Allium
cepa), Buncis, Cabai (Capsicum, sp.), Jagung (Zea mays), Jipang
(Sechium edule (Jacq.) Sw.), Kentang (Solanum tuberosum Linn.),
Kembang Kol (Brassica oleracea), Loncang, Talas (Colocasia, sp.),
Tembakau (Nicotiana tabacum Linn.), Sawi Hijau (Brassica rapa), dan
Wortel (Daucus carota Linn.) seluruhnya diusahakan sebagai penghasil
daun, buah, dan umbi sebagai sayuran, kecuali tembakau untuk bahan
dasar pembuatan rokok. Kina (Cinchona pubescens Vahl.), dan Manis
Jangan (Cinnamomum verum) diusahakan sebagai penghasil minyak
atsiri dan obat-obatan.
Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.), Nongko
(Artocarpus integra), Bambu Apus (Gigantochloa apus), dan Bambu
Bonggol, dan Sengon (Albizia falcataria) dimanfaatkan untuk bahan
bangunan, bahan bakar, dan penghasil buah. Sogo/Akasia Gunung harus
diolah dahulu menjadi arang kayu baru kemudian dijual sebagai bahan
bakar, Nongko sebagai bahan bangunan dan penghasil buah, bambu Apus
71
dan Bambu Bonggol untuk bahan bangunan, sedangkan sengon sebagai
bahan baku pulp (bubur kayu).
f. Material Budaya
Material budaya yang dimaksud disini adalah benda yang
digunakan sebagi sarana atau berfungsi sebagai bagian dalam suatu
kegiatan budaya, seperti upacara. Dua puluh spesies tumbuhan digunakan
masyarakat lereng Merapi untuk keperluan kegiatan budaya (Anggana,
2011).
Kantil (Michelia alba D.C.), Kelapa (Cocos nucifera Linn.),
Kenanga (Canangium odoratum Baill.), Mawar merah dan putih (Rosa,
sp.), Melati (Jasminum sambac Ait.), dan Pring Cendani (Bambusa
multiplex) merupakan spesies yang dimanfaatkan masyarakat dalam
berbagai kegiatan budaya. Tiga spesies diantaranya harus ada dalam
setiap kegiatan budaya yaitu daun Kelapa, Mawar, dan Melati, bagian
dari Kelapa yang digunakan adalah daun muda (janur). Kenanga dan
Kantil hanya digunakan pada acara tertentu saja, dan Pring Cendani
digunakan untuk syarat yang diletakkan di atas pintu depan rumah
bagian dalam.
2. Interaksi Masyarakat dengan Lingkungan
Dusun Girpasang menggunakan lahan untuk pertanian palawija dan
luas area yang sangat kecil, dan dusun Plalangan menggunakan lahan untuk
pertanian sayuran. Dua sistem perladangan ini memiliki perbedaan yang
72
mendasar, yaitu pengolahan tanahnya. Sistem perladangan untuk pertanian
palawija tidak membutuhkan pengolahan lahan yang intensif sedangkan
pengolahan lahan untuk pertanian sayuran dilakukan dengan intensif.
Pertanian palawija yang dilakukan oleh masyarakat dusun Girpasang,
baik dengan menggunakan sistem monokultur ataupun tidak, masih memberi
kesempatan tumbuhan yang tidak bernilai ekonomis untuk tetap tumbuh.
Selain hasil pertanian palawija, masyarakat Girpasang juga beternak sapi
sebagai celengan urip atau cadangan dana yang hidup untuk berbagai
kebutuhan yang mendesak dan penting. Sapi-sapi ini juga membutuhkan
pakan yang simultan yang hanya sebagian dapat dipenuhi dari tegalan, dan
mampu menghasilkan rabuk (pupuk kandang) yang baik untuk kualitas tanah.
Kekurangan pakan ini dipenuhi dari kawasan hutan lindung diatas dusun
dengan jangkauan jelajah hingga ketinggian 1.500 mdpl.
Pertanian palawija berpengaruh negatif terhadap kemelimpahan
vegetasi karena didominasi oleh tumbuhan yang bernilai ekonomis saja.
Jangkauan jelajah dalam upaya pemenuhan pakan ternak menyebabkan
homogenitas tumbuhan tingkat bawah, karena sangat mungkin terjadi upaya
pembatasan tumbuhan yang tidak dapat dikonsumsi oleh hewan ternak,
seperti tumbuhan ireng-ireng. Pemanfaatan lahan untuk pertanian palawija
dilakukan pada ketinggian 1.100-1.250 mdpl., dan jangkauan jelajah
masyarakat hingga ketinggian 1.500 mdpl.
Sebagian besar upaya pemenuhan kayu bakar (ngrencek) oleh
masyarakat Girpasang didapatkan dari hutan Merapi antara lain spesies
73
Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) dan hanya sedikit yang bisa
ditopang oleh potensi tegalan yang ada seperti bambu (Bambusa, sp.) dan
cabang mati dari vegetasi tingkat pohon serta sebagian anak pohon.
Pertanian sayur dalam kehidupan masyarakat dusun Plalangan
sebagian besar dilakukan dengan teknik tumpang sari dan pengelolaan
lahannya dilakukan sepanjang tahun. Hal tersebut juga terkait dengan sistem
perekonomian yang ada, telah terjadi ketergantungan yang sangat tinggi
dengan pertanian sayur sebagai mata pencaharian utama, selain peternakan
sapi. Peternakan sapi juga membutuhkan cadangan pakan yang simultan.
Cadangan pakan ini dipenuhi dari tegalan yang ada dan dalam kondisi
tertentu kebutuhan pakan ternak tidak dapat dipenuhi dari tegalan saja,
masyarakat berusaha memenuhinya dari kawasan hutan. Hal tersebut dapat
dipastikan mempengaruhi vegetasi yang ada.
Sistem pertanian sayur dengan pengelolaan tanah yang intensif
menyebabkan keanekaragaman hayati terutama tumbuhan sangat kecil dan
jelajah masyarakat ke kawasan hutan dalam upaya pemenuhan kebutuhan
pakan ternak berpengaruh terhadap keanekaragaman vegetasi tingkat bawah.
Lahan yang digunakan untuk pertanian sayuran secara intensif terletak pada
ketinggian 1.650-2.000 mdpl., jangkauan jelajah untuk pendapatkan kayu
bakar hingga ketinggian 2.300 mdpl., dan jangkauan jelajah untuk
pendapatkan pakan ternak hingga ketinggian 2.600 mdpl. Pemenuhan
kebutuhan kayu bakar seluruhnya ditopang oleh hutan di kawasan TNGM
antara lain oleh spesies Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) yang
74
didapatkan dalam kondisi tumbang atau ditebas sebagian cabangnya
(wawancara dan observasi).
Dilihat dari kondisi geografis, dusun Girpasang berada pada zona
sub-pegunungan sedangkan Plalangan berada dalam zona pegunungan. Zona
sub-pegunungan akan memiliki kemelimpahan spesies yang lebih tinggi
dibandingkan dengan zona pegunungan karena terbatas oleh elevasi,
temperatur, dan kandungan hara (van Steenis, 2006). Spesies-spesies
tumbuhan yang ditemukan di kawasan Girpasang yaitu 7 (tujuh) spesies
pohon, 9 (sembilan) spesies anak pohon, dan 22 (dua puluh dua) spesies
vegetasi tingkat bawah. Plalangan memiliki kemelimpahan yang lebih rendah
yaitu 2 (dua) spesies pohon, 2 (dua) spesies anak pohon, 11 (sebelas) spesies
tingkat bawah. Manisrejo (Vaccinium varingiaefolium (Bl.) Miq) yang
ditemukan di kawasan dusun Plalangan merupakan tumbuhan zona
pegunungan yang didapatkan dalam penelitian ini dan menjadi spesies
penting sebagai pembeda antara vegetasi zona sub-pegunungan dengan zona
pegunungan.
Manusia sebagai bagian dari ekosistem memiliki pengaruh positif
dan negatif sekaligus terhadap ekosistemnya. Populasi manusia yang semakin
meningkat tentu membutuhkan lahan hidup yang bertambah dan secara
langsung berpengaruh pada keanekaragaman hayati yang ada di lingkungan-
nya (Schulze et.al., 2002).
75
3. Konservasi Lahan
Dusun Girpasang telah ada dan mendiami wilayah yang sama lebih
dari 4 (empat) generasi dengan kondisi lingkungan yang hampir tidak terjadi
perubahan secara ekologis. Secara kutural masyarakat Girpasang mengenal
upaya perlindungan sumber daya alam, baik yang disadari dan diupayakan
ataupun yang berjalan sendirinya tanpa ada pemaknaan tertentu dan tidak
menyadari bahwa hal tersebut adalah upaya perlindungan. Berikut upaya
yang dilakukan masyarakat Girpasang untuk melindungi alamnya
(wawancara dengan Bpk. Mirmo, Bpk. Patmo Sudarso, Bpk. Priyono, Bpk.
Yosorejo, dan beberapa warga yang lain).
a. Tidak mengusik kawasan hutan Negara (alas negoro)
Sikap ini tidak serta merta menunjukkan ketidakterkaitan dan
ketidakbutuhan masyarakat Girpasang terhadap kawasan hutan, tetapi
sebagai bentuk kesadaran bahwa hutan adalah nyawa bagi kehidupan.
Terkait masalah hutan, masyarakat Girpasang masih mengambil rumput
didalam hutan tersebut dalam kondisi tertentu seperti kekeringan (dalam
sistem pranoto mongso, puncaknya terjadi pada mongso ketigo).
b. Penanaman perengan dengan bambu, rumput dan kayu Sogo.
Bertujuan untuk menjaga keberlangsungan pakan ternak dan
sumber penghasilan masyarakat Girpasang dan juga ditujukan untuk
menjaga struktur tanah agar tidak terjadi longsor (jugrug). Kemiringan
perengan di kawasan dusun Girpasang mencapai 90 derajat dan bahkan
lebih.
76
c. Pemanfaatan pupuk (rabuk) organik sebagai pupuk utama
Peternakan sapi yang dilakukan oleh seluruh warga dengan rata-
rata 4 (empat) ekor sapi per rumah menghasilkan banyak kotoran.
Kotoran yang bercampur dengan alas kandang dan sisa-sisa pakan
didiamkan beberapa hari hingga beberapa minggu, kemudian dipanggul
ke tegalan untuk dijadikan rabuk. Alasan utama pemanfaatan pupuk ini
adalah tidak mampunya masyarakat untuk membeli pupuk kimiawi.
Sebagian dari mereka juga menyadari bahwa penggunaan rabuk sapi ini
lebih aman bagi kondisi tanahnya dibandingkan dengan pupuk kimiawi.
Masyarakat Plalangan yang tinggal di atas tanah yang sesuai untuk
pertanian sayuran, tentu sejak lama mengenal cara-cara yang baik untuk
menjaga kelestarian alam yang mereka tempati. Hasil observasi partisipan
dan wawancara yang dilakukan menunjukkan beberapa upaya konservasi
lahan yang telah dikenalkan dan kemudian dilakukan secara mandiri oleh
masyarakat (wawancara dengan Bpk. Min, ka. RT dan Kadus).
a. Penanaman batas tegalan dengan tanaman keras
Spesies yang ditanam umumnya bermanfaat bagi masyarakat
sendiri di kemudian hari, seperti tanaman Akasia Gunung (Acacia
decurrens Willd.) dan Kina (Cinchona pubescens Vahl.). Masyarakat
sadar bahwa jugrug (longsor) merupakan ancaman bagi tanah-tanah yang
gundul serta curam, dan perakaran kedua tanaman tersebut dapat
menjaga struktur tanah yang ada, di samping mereka mendapatkan hasil
ketika tanaman keras tersebut laku dijual. Pemanfaatan tanaman
77
produktif untuk melindungi perengan adalah hal yang mereka pelajari
sendiri dari untaian pengalamannya.
b. Pola pembuatan alur tanam (demplot) di tegalan
Pembuatan demplot disesuaikan dengan profil kemiringan tanah,
untuk lahan yang datar, alur tanaman dibuat sejajar dengan kemiringan
tanah, untuk menyebarkan air yang mungkin ada. Untuk lahan miring,
alur tanam dibuat melintangi kemiringan, sehingga ketika ada air yang
mengalir, tidak langsung mengerosi lapisan tanah yang ada.
c. Penanaman rumput di perengan (lereng),
Hal ini bertujuan untuk menjaga kontinuitas pakan ternak yang
harus selalu ada, disisi lain untuk menjaga struktur tanah agar tidak
mudah tererosi oleh air.
d. Penggunaan pupuk kandang (rabuk) sebagai pupuk utama
Dimanfaatkan selain untuk menghemat biaya produksi,
masyarakat juga merasa pupuk ini tidak merusak struktur tanah di
tegalan mereka.
Konservasi lahan di dua dusun di lereng gunung Merapi telah
diupayakan oleh masyarakat sendiri. Seperti telah diuraikan diatas, konservasi
tanpa mereka sadari merupakan bagian dari hidup mereka. Konservasi lahan
yang dilakukan sebagian pada wilayah konseptual dan sebagian lain dalam
wilayah aksi. Pada wilayah konseptual, masyarakat mempelajari makna dari
kejadian, baik yang dialami langsung ataupun akumulasi dari pengalaman-
pengalaman generasi sebelumnya. Konsepsi tentang perlindungan ini
78
membangun pola pikir yang kemudian diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan
dalam wilayah praksis. Pada wilayah aksi, seperti dijabarkan diatas, adalah
bagian dari rutinitas dan keseharian masyarakat. Sebagian dari upaya
konservasi tersebut masih dilakukan tanpa adanya konsep dan dasar budaya
yang jelas, masih sekadar meneruskan kebiasaan para pendahulu (nguri-uri).
4. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi
Konservasi, seperti diuraikan dimuka, merupakan upaya
mempertahan-kan kondisi alam atau lingkungan sesuai dengan asalnya, dan
bertujuan untuk menjaga keberlangsungannya bagi generasi selanjutnya.
Konservasi dalam penelitian ini adalah upaya perlindungan alam secara
umum, dengan target akhir, biodiversitas di kawasan lereng Merapi tetap
terjaga. Konservasi yang dilakukan oleh masyarakat sebagian besar berkutat
pada upaya perlindungan lahan yang dilakukan dan jenis-jenis tumbuhan
yang digunakan, karena terkait dengan hidup dan penghasilan mereka. Hal ini
dikaji karena keajegan kondisi abiotis di suatu kawasan akan berakibat pada
ketersediaan sumber daya untuk kerberadaan biodiversitas.
Hasil studi ekologi vegetasi dan sosial kemasyarakatan yang telah
dilakukan di kawasan dusun Girpasang dan Plalangan menunjukkan bahwa
jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan secara intensif dan/atau diusahakan
oleh masyarakat antara lain Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens (Lam.)
de Wit.), berbagai jenis Bambu (Bambusa, sp.), Rumput kolonjono, Cemara
Gunung (Casuarina junghuhniana, Miq.), dan Kina (Chinchona, sp.).
79
Spesies Sogo/Aksia Gunung merupakan tumbuhan berpolong dari
sub famili Mimosaceae yang mampu tumbuh hingga ketinggian 1500 mdpl.
Kawasan Girpasang yang berketinggian 1.100 mdpl sangat mampu
mendukung tanaman ini, namun spesies ini mampu tumbuh hingga ketinggian
2.300 mdpl seperti ditemukan di kawasan Plalangan (1.700 mdpl).
Akasia gunung ini memiliki sistem perakaran tunggang dengan satu
akar primer, dan akar sekunder di sekelilingnya. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tanaman ini dapat berperan sebagai jangkar untuk struktur tanah
terutama di lereng (perengan). Secara langsung, pengaruh keberadaan
Sogo/Akasia Gunung terhadap kondisi lahan yang sangat terlihat di
Girpasang dibandingkan dengan Plalangan. Di wilayah dusun Girpasang,
Sogo/Akasia Gunung banyak ditemukan di perengan sedangkan di kawasan
Plalangan tanaman tersebut ditemukan di tegalan yang relatif datar dan hanya
sebagian kecil di perengan. Spesies Akasia Gunung ini memiliki nilai penting
tertinggi di kawasan dusun Girpasang untuk vegetasi tingkat pertumbuhan
anak pohon serta kawasan Plalangan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan
anak pohon.
Spesies Kina (Chinchona, sp.) merupakan tanaman obat yang berasal
dari kawasan Amerika Selatan di sepanjang Pegunungan Andes. Tumbuhan
ini dikenal memiliki kegunaan sebagai penghasil alkaloid spesifik yaitu kina,
yang digunakan dalam pengobatan penyakit malaria. Tumbuhan kina, dalam
penelitian ini, hanya ditemukan di kawasan dusun Plalangan dan digunakan
untuk pembatas kepemilikan tegalan. Secara khusus terdapat pernyataan
80
bahwa tanaman ini diusahakan untuk menjaga struktur tanah di tegalan yang
memiliki kemiringan rata-rata hingga 45 derajat. Spesies ini tidak ditemukan
dalam plot penelitian.
Tanaman Cemara gunung (Casuarina junghuhniana, Miq.)
merupakan anggota dari famili Casuarinaceae. Famili ini merupakan tumbu-
han yang mampu memfiksasi nitrogen dari udara bebas, sehingga dapat
membantu memperkaya kandungan nutrien dalam tanah dan dapat diman-
faatkan oleh tumbuhan lain. Fiksasi nitrogen terjadi di nodus oleh bakteri
Actinomycetes dari genus Frankia (Anonim, 2011). Terkait dengan
kemampuannya memfiksasi nitrogen, tumbuhan ini dapat berguna untuk
merehabilitasi tanah (Pinyopusarerk & Boland, 1005). Pemerintah Indonesia
menggunakan cemara gunung sebagai tumbuhan reboisasi dan meningkatkan
kualitas tanah. Sistem perakaran dari tumbuhan ini juga berguna untuk
menjaga struktur tanah yang memiliki kemiringan relatif curam (Anonim,
2011).
Bambu (Bambusa, sp.) merupakan anggota dari rumput (Gramineae)
dengan ciri khas batang berbuku, daun dengan pertulangan sejajar, tidak
bercabang, membentuk rumpun dengan anakan tumbuh dari stuktur seperti
batang horizontal (rizoma), dan sistem perakaran serabut. Bambu banyak
terdapat di kawasan dusun Girpasang, baik dibudidayakan ataupun tidak,
sedangkan di kawasan dusun Plalangan hanya sedikit. Hasil wawancara
menunjukkan bahwa penanaman bambu di kawasan Girpasang pada dasarnya
ditujukan untuk bahan bangunan dan penunjang perekonomian. Sekalipun
81
secara langsung tidak ditemukan hubungan tanaman bambu dengan
konservasi biodiversitas, kemungkinan maksud lain dari keberadaan bambu
yang banyak tumbuh di perengan dan tepian jurang dengan kecuraman lereng
mendekati 90 derajat ini adalah sebagai penopang struktur tanah, mengingat
kondisi geografis Girpasang yang dikelilingi jurang.
Tumbuhan bambu di kawasan dusun Plalangan hanya sedikit dan
tumbuh secara acak. Serupa dengan Girpasang, rumpun bambu banyak
didapatkan di perengan dan jurang. Tidak ditemukan juga alasan pemanfaatan
bambu dalam upaya konservasi, hanya saja lokasi penanamannya yang
menjadikan bambu juga bermanfaat dalam upaya konservasi, terutama
konservasi lahan. Masyarakat Plalangan memanfaatkan Bambu untuk bahan
bangunan dan sebagian untuk dijual. Sistem rumpun dan perakaran serabut
mampu menahan struktur tanah hingga kedalaman tertentu dari permukaan.
Hal tersebut ditemukan di Girpasang, karena posisi rumpun tersebut telah
menggantung setengah dari luasnya.
Pemanfaatan yang dilakukan di atas menjadikan keberadaan spesies
tersebut terjaga di Girpasang dan Plalangan. Keberadaan spesies tersebut juga
berpengaruh pada vegetasi yang ada dalam naungannya, antara lain dengan
ketersediaan nitogen yang tinggi di kawasan yang ditumbuhi oleh Cemara
Gunung (Casuarina junghuhniana). Berbagai jenis tumbuhan yang
diusahakan akan terjaga keberadaannya di kawasan tersebut selama aspek
manfaat tumbuhan tersebut masih ada.
C. Etnoekologi Masyarakat Girpasang dan Plalangan
82
1. Kegiatan Budaya dan Pandangan Hidup Masyarakat Terhadap
Lingkungan
Manusia bergerak, bersikap, dan berekspresi sesuai konstruksi
budaya yang terbangun dalam alam pikirannya. Budaya merupakan hasil dari
daya kreatif dan intuitif manusia dari pergumulannya dengan manusia yang
lain dan alam disekelilingnya, diantara elemen budaya adalah sistem
keyakinan yang kemudian sebagian darinya diekspresikan secara praktis dan
bentuk ritual atau upacara adat. Dimensi budaya yang dipelajari dalam
penelitian ini hanya sebatas mengenal dan memahami makna dari ekspresi
budaya, berikut ini adalah upacara-upacara adat yang masih dilaksanakan
oleh masyarakat dusun Girpasang dan Plalangan.
a. Kegiatan Budaya di Dusun Girpasang dan Plalangan
Masyarakat dusun Girpasang memegang teguh apa yang mereka
yakini sebagai kebudayaan mereka, diantara ekspresi kebudayaan mereka
yang masih dilakukan antara lain sebagai berikut (wawancara dengan
Bpk. Mirmo, Bpk. Patmo Sudarso, Bpk. Priyono, Bpk. Yosorejo, dan
beberapa warga yang lain).
1) Memetri bumi, memetri deso (merti dusun).
Dilaksanakan pada pada hari selasa kliwon atau tanggal ke-
8 padan bulan Suro dalam kalender jawa, dengan konsep acara
kenduri di kediaman sesepuh adat, dalam hal ini mbah Marto.
Dikenal istilah betuas yaitu ngesuhi atau kondangan kepada sesepuh
yang melaksanakan kenduri. Acara ini bertujuan untuk
83
membersihkan desa dari kala (ketidakbaikan, ketidakseimbangan
atau sesuatu yang negatif). Upacara memetri bumi memiliki tujuan
untuk meluruskan kembali pola hubungan antara manusia dengan
lingkungannya dalam lingkup lokal ataupun luas. Bumi atau dusun
yang telah bersih dari kala melalui ritual tersebut harus dijaga
keajegannya, minimal sampai upacara serupa di tahun yang akan
datang dengan pola kehidupan yang ramah dengan sumber daya
yang ada di lingkungannya, sehingga kehidupan tetap dapat
tercukupi tanpa ada perselisihan yang disebabkan oleh
ketidakmampuan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat.
2) Ruwahan.
Dilaksanakan pada tanggal 20 di bulan ruwah dalam
kalender jawa. Konsep upacara ini adalah “ngirim pepunden ing
ngeneng kasedan jati” atau “ngirim pepunden ing ngeneng swargo
langgeng” dengan melakukan ziarah ke makan leluhur, seperti
halnya upacara Sadranan, untuk meminta berkah dan restu untuk
baiknya kehidupan kedepan (nyuwun berkah pangestu kangge
leresing urip). Upacara ini dilakukan bersama-sama dengan
pelaksanaan di rumah sesepuh adat. Efek langsung dari upacara
sadranan adalah tumbuhnya kesadaran bahwa kehidupan di dunia
tidaklah sendiri, melainkan harus berbagi dengan makhluk yang lain.
84
3) Bodho atau Idul Fitri.
Dilaksanakan pada tanggal 1-7 pada bulan Syawal dalam
kalender jawa. Upacara ini dilakukan dengan cara saling mengirim
sego punar sebanyak dua kali selama 1 minggu tersebut. Sego punar
adalah nasi yang dibuat menggunung dalam piring dan ditumpangi
cawan dalam posisi terbuka serta diberi penutup diatas, dapat berupa
kain atau tutup yang lainnya. Filosofi dari sego punar adalah
keharusan untuk memberi terlebih dahulu sekalipun dalam kondisi
yang mengharuskannya untuk menerima, memaafkan lebih banyak
sebelum meminta maaf, atau jika diterjemahkan dalam bahasa
konservasi adalah kemampuan anggota masyarakat untuk menjaga
lingkungannya dalam proporsi yang lebih banyak sebelum dapat
menikmati hasil dari sumber daya di lingkungan tersebut.
Serupa dengan masyarakat Girpasang, berikut ini beberapa
kegiatan budaya yang masih berlaku dalam kehidupan masyarakat dusun
Plalangan (wawancara dengan Bpk. Min, ka. RT dan Kadus).
1) Memetri gunung (Merti gunung atau sedekah gunung).
Dilaksanakan pada tanggal 1 bulan Suro dalam kalender
jawa, atau bertepatan dengan tanggan 1 Muharram dalam kalender
hijriah. Diadakan di dusun Plalangan hingga ke puncak gunung
Merapi. Seekor kambing disembelih, kemudian kepalanya didoakan
dalam kenduri yang dilaksanakan malam hari, kemudian esoknya
85
diantarkan dan dilarung di puncak gunung Merapi. Dagingnya
kemudian dimasak dan disajikan kepada masyarakat dusun
Plalangan sendiri. Upacara ini dilakukan untuk memohon kesela-
matan dan ucapan terima kasih atas berkah yang telah dilimpahkan
Merapi kepada masyarakat. Sebagai gantinnya, masyarakat dengan
kesadaran yang tinggi mengambil berkah langsung dari lereng
Merapi, seperti pakan ternak dan kayu bakar, hanya sebatas yang di-
perlukan saja. Pemanfaatan vegetasi di lereng Merapi secara intensif
hanya dilakukan ketika puncak musim kemarau (ketigo), saat potensi
tegalan tidak mampu menyuplai kebutuhan tersebut.
2) Memetri tuk / umbul (merti sumber air).
Dilaksanakan pada bulan Sapar dalam kalender jawa,
diadakan di Gunung Merbabu. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya
masyarakat dusun Plalangan saja, namun juga masyarakat dari dusun
lain yang merasakan berkah air dari gunung Merbabu. Upacara ini
bertujuan untuk memanjatkan rasa syukur dan permohonan agar air
selalu lestari bagi masyarakat. Pemanfaatan langsung masyarakat
terhadap keanekaragaman vegetasi, baik kayu keras ataupun rumput,
yang dilakukan hanya pada musim-musim tertentu berimbas pada
keajegan kondisi vegetasi daerah tangkapan air di lereng bagian atas.
86
3) Sadranan atau nyekar.
Dikenal dengan ziarah ke makam leluhur yang telah men-
dahului. Dilaksanakan pada bulan Poso dalam kalender jawa.
Upacara ini dilakukan secara pribadi ke leluhur masing-masing atau
bersama-sama ke makam tokoh tertentu. Seperti dua upacara di atas,
sadranan dimaksudkan untuk memohon berkah dari leluhur supaya
kehidupan menjadi tentram dan damai dan para leluhur merestui apa
yang mereka lakukan. Untuk mencapai ketentraman yang diidamkan,
muncul tuntutan untuk memperlakukan lingkungan sekitarnya
dengan arif, sehingga tidak ada kala yang terjadi.
4) Kondangan atau sambatan atau kenduren.
Dilaksanakan secara pribadi sesuai dengan hajat yang
terjadi, seperti sripahan (meninggal), nikahan, dan lainnya. Upacara
ini dilakukan di rumah yang memiliki hajat, dimana keseluruhan
hidangan didoakan terlebih dahulu oleh sesepuh sebelum dibagikan
kepada mereka yang hadir. Corak lain adalah membantu yang
memiliki hajat dengan materi (kondangan) ataupun dengan tenaga
(sambatan). Konsep sambatan tidak terbatas hanya pada momen
sosial kemasyarakatan saja, tetapi melingkupi seluruh aspek yang
mendukung subsistensi masyarakat di kawasan tersebut. Sambatan
yang terkait dengan upaya konservasi antara lain reboisasi kawasan
hutan pasca erupsi besar tahun 2010 dengan spesies yang sama
(Sogo/Akasia Gunung) dan pembuatan jalur pendakian tetap untuk
87
mempermudah akses dan melokalisir potensi erosi tanah di kawasan
hutan dan tegalan.
b. Pandangan Hidup Masyarakat terhadap Lingkungan
Kearifan ekologi merupakan upaya masyarakat untuk selaras
dengan lingkungannya dan merupakan manifestasi dari kepercayaan yang
dianut oleh masyarakat tersebut (Minsarwati, 2002). Masyarakat
setempat merasakan bahwa diri mereka sendiri sebagai bagian dari
ekosistem Merapi. Berdasarkan pandangan itu, masyarakat harus
bersikap dan bertindak yang sesuai dengan selaras trehadap sesamanya,
Merapi, dan para roh leluhur atau makhluk halus penghuni Merapi
(Triyoga, 2010).
Masyarakat yang menjadi subyek penelitian ini memiliki corak
keislaman yang jawa atau sering dikenal dengan Agami Jawi atau
kejawen. Terdapat berbagai konsep, keyakinan, dan nilai, seperti yakin
akan adanya Allah, Muhammad sebagai nabi dan utusan-Nya, yakin akan
nabi-nabi lain, yakin akan kosmogoni tertentu dalam penciptaan alam,
yakin atas dewa-dewa tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam
semesta, memiliki konsep tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah
kematian, yakin akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek
moyang yang telah meninggal, yakin akan adanya roh-roh penjaga, yakin
akan adanya setan, hantu, dan raksasa, dan yakin akan adanya kekuatan
gaib dalam alam semesta ini (Koentjaraningrat, 1994). Makhluk halus
dan roh leluhur menjadi hal yang penting dalam penelitian ini, karena
88
terkait dengan system kepercayaan masyarakat dan kenal dengan
penguasa Gunung Merapi (Redi Merapi) (Minsarwati, 2002). Mengacu
pada pengertian diatas, roh leluhur disini, dapat diposisikan sebagai
pemilik kekuatan, namun kemungkinan hal tersebut lebih condong ke
pengertian bahwa roh leluhur adalah perantara antara manusia dan Tuhan.
Upacara budaya yang dilakukan oleh masyarakat Girpasang dan
Plalangan sebagian besar menunjukkan bentuk slametan secara umum
laiknya masyarakat Jawa di daerah lain, dan sebagian kecil besifat khas
dan sangat terkait dengan Gunung dan lingkungan hidup, yaitu upacara
memetri gunung, memetri tuk, dan memetri bumi.
Selamatan (slametan) merupakan ritual terpenting dalam sistem
religi orang Jawa secara umum. Slametan tidah hanya bertujuan untuk
memelihara rasa solidaritas, tetapi juga memiliki aspek-aspek keagamaan
(Koentjaraningrat, 1994). Slametan yang dilakukan akan selalu
mengingatkan eksistensi dan hubungan masyarakat dengan lingkungan
Merapi dan merupakan komunikasi antara segenap penduduk desa
dengan alam adikodrati yang merupakan sumber kesehatan, kesuburan,
dan kehidupan. Selamatan ini juga mengungkapkan nilai-nilai yang
dirasakan sangat mendalam dan mendasar yaitu kebersamaan, kerukunan,
dan rasa hormat terhadap lingkungan yang menjadi tempat hidup, dengan
demikian selamatan yang dilakukan mengacu pada nilai-nilai
keseimbangan, keharmonisan, dan kesejahteraan yang ditujukan pada
89
pencapaian keharmonisan dan kesejahteraan lahir dan batin (Triyoga,
2010).
Selamatan yang dilakukan, baik yang dilakukan secara rutin
ataupun insidental, juga merupakan manifestasi dari kearifan ekologi itu
sendiri. Tujuan utama dari selamatan adalah memberi sedekah kepada
roh leluhur dan sebagai gantinya, masyarakat memohon kepada roh
leluhur tesebut keselamatan dan kesejahteraan. Selamatan juga bertujuan
untuk menjaga keselarasan yang telah ada atau keseimbangan yang
terguncang, antara masyarakat, Gunung Merapi, dan alam adi kodrati
(Triyoga, 2010).
Upacara memetri gunung, memetri tuk, dan memetri bumi
dimaksudkan untuk memanjatkan ucapan terima kasih kepada Gusti
Allah atas berkah yang dilimpahkan kepada masyarakat melalui
perantara yang berkuasa (ingkang mbahurekso) di kawasan tersebut.
Ketiga upacara diatas tidak menyaratkan untuk melakukan tindakan yang
spesifik untuk upaya konservasi. Nilai yang ada di dalam upacara
tersebut diterjemahkan dalam upaya konservasi antara lain tidak
mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di kawasan hutan untuk
menjaga kualitas sumber air, perlindungan perengan dengan rumput dan
tanaman keras, serta membuat demplot yang disesuaikan dengan
kemiringan tanah.
Sebagai gambaran yang menunjukkan adanya hubungan erat
antara masyarakat dengan Merapi, berikut ini doa yang diucapkan modin
90
atau kaum dalam upacara slametan di kawasan lereng selatan Merapi
(Minsarwati, 2002 & Habibi, 2008).
“sepindhah, ingkang kulo perteni saklebetipun Redi Merapi. Rambah kaping kalih ingkang wonten sak njawinipun Redi Merapi. Pramilo sedaya dipun perteni, kulo sak ahli waris nyuwun wilujeng. Lan sedhaya ahli kubur leluhur kula jaler saking estri, tebih celak, ingkang mboten keruwetan sedaya dipun perteni. Kula nyuwun bakoh kukuh langkep, kiyat salmet sak ahli waris kula sedaya. Rambah kapng tigo, kangge merteni nyeng Nyai roro Kidul, mbokmenawi utusan sakwanci-wancisageda kandheg kanan-kirinipun dhusun mriki”.
(pertama-tama, kepada yang saya muliakan yang didalam Gunung Merapi. Yang kedua, yang ada di luar Gunung Merapi. Semua saya muliakan dengan ssaji, saya sekeluarga minta selamat. Dan kepada leluhur, yang sidah meninggal dari pihak lelaki maupun perempuan, jauh ataupun dekat, yang terawat ataupun tidak terawat, semua dimuliakan. Saya mohon kukuh, utuh, kuat, serta selamat bagi keluarga saya. Ketiga untuk memuliakan Nyai Roro Kidul, bila sewaktu-waktu mengirim utusan semoga berhenti di kanan-kiri desa ini.).
2. Kearifan Ekologi sebagai Dasar Konservasi Keanekaraaman Vegetasi
Pemikiran dan sikap konservasi merupakan wujud yang lahir dalam
diri manusia dalam persentuhannya dengan lingkungan hidupnya terkait
dengan kepentingan manusia itu sendiri dalam mempertahankan
kehidupannya. Gunung Merapi merupakan sumber kehidupan dan sangat
terpengaruh oleh sikap masyarakat yang tinggal di lerengnya. Dari
persentuhan itu manusia dapat membangun sistem kebudayaan dan dapat
merasakan rangsangan (stimulus) dari lingkungannya tersebut yang sesuai
dengan kepentingannya.
91
Stimulus alamiah seperti perubahan dan ketidaktersediaan, stimulus
ekonomi seperti bidang ekonomi dan pemenuhan penunjang kehidupan
(pangan dan papan), dan stimulus nilai religious dipandang mampu
melahirkan sikap menjaga dan melindungi kawasan yang mereka kuasai
untuk kepentingan saat itu dan masa depan, dalam hal ini, sikap konservasi
(Zuhud, 2009).
Stimulus alamiah yang terjadi seperti longsor dan erosi mendorong
masyarakat untuk mengembangkan pengetahuan untuk melindungi kawasan
tersebut dengan cara penanaman tanaman keras di perengan dan batas
tegalan antara lain dengan memanfaatkan Bambu (Bambusa, sp.), Akasia
gunung (Acacia decurrens (Lam.) de Wit.) dan Kina (Chinchona, sp.), serta
pemanfaatan rumput untuk melindungi permukaan tanah. Masyarakat
Plalangan sendiri telah mengembangkan sistem demplot (galur atau gundukan
tempat menanam) yang berbeda untuk tegal yang relatif datar miring. Untuk
tegal yang datar dibuat demplot dari atas ke bawah dan untuk tegal yang
miring dibuat sejajar dengan garis kontur.
Stimulus ekonomi yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan primer,
sekunder, atau bahkan tersier mendorong masyarakat untuk mengembangkan
hasil dari tegalannya dalam bentuk produk langsung dan produk olahan.
Produk langsung berupa sayuran dan palawija dijaga ketersediannya dengan
upaya teknik tumpangsari sehingga hasil yang didapatkan berlangsung
sepanjang tahun. Produk olahan seperti kayu dan arang dilestarikan dengan
92
sistem tambal sulam ataupun penanaman bibit di sekitar tanaman yang akan
diolah beberapa saat sebelum pengolahan dilakukan.
Tumbuhan yang dikembangkan untuk pemenuhan produk langsung
sebagian merupakan tumbuhan asli di kawasan tersebut, antara lain Tales
(Colocasia, sp.), Ubi Rambat (Ipomea batatas), dan Jipang (Sechium edule
(Jacq.) Sw.) dan sebagian besar lainnya merupakan tumbuhan introduksi.
Produk olahan didapatkan dengan memberdayakan tanaman yang sepenuhnya
introduksi di kawasan tersebut (selengkapnya lihat lampiran 2, tabel 20-21).
Stimulus religi dimaknai dengan peran kepercayaan dalam perilaku
manusia untuk melindungi dan menjaga apa yang menjadi miliknya. Secara
spesifik belum ditemukan nilai religious yang secara gamblang berbicara
tentang perlindungan alam. Namun, secara tersirat, dapat ditemukan merti
gunung, merti tuk, dan merti bumi dan mendong masyarakat untuk bertindak
secara taktis dalam menjaga kawasan tersebut. Selain itu, nilai-nilai dalam
sistem kepercayaan yang menganjurkan hidup selaras dengan Merapi,
sebagaimana dibicarakan diatas, menjadi stimulus dalam upaya perlindungan
sumber daya alam. Nilai tersebut menjadi tuntutan untuk dilaksanakan karena
terdapat konsekuensi jika tidak dilaksanakan.
Ketiga stimulus diatas sangat terkait dengan sisi humanitas yang
menuntut ketercukupan ekonomi, penguasaan pengetahuan, adaptasi, dan
kebutuhan akan ketenangan dalam hidup.
Terkait dengan bahasan stimulus di atas, Triyoga (2010)
menjelaskan ada hubungan yang terjalin antara masyarakat dengan Merapi.
93
Hubungan tersebut didasarkan pada sistem kepercayaan masyarakat terhadap
Merapi dan menjadi kerangka adaptasi perilaku masyarakat terhadap Merapi
itu sendiri. Berikut kerangka adaptasi masyarakat lereng Merapi.
Keterangan:
Gunung Merapi menghasilkan sumber daya alam (1) yang dibudidayakan penduduk (2). Di samping menghasilkan sumber daya alam, gunung ini mengalami proses salami seperti banjir lahar, mengeluarkan gas beracun, rupsi, dan proses-proses lainnya (3), yang dihadapi penduduk sebagai bencana alam (4), Bencana alam ini menimbulkan krisis-krisis kehidupan penduduk (5), sumber daya alam dan bencana alam tersebut melahirkan sistem kepercayaan (6). Bencana-bencana atau proses-proses alami yang ditimbulkan oleh Merapi ditanggapi dan dipercayai berasal dari alam adikodrati yang dipersonifikasikan sebagai roh leluhur atau makhluk halus yang menghuni Merapi (7 dan 8). Sistem keperayaan terhadap Merapi inilah yang kemudian dipakai penduduk untuk mengatasi krisis-krisis hidup dan sebagai kerangka adaptasi terhadap gunung Merapi (7, 8, dan 9).
Gambar 8. Kerangka adaptasi perilaku masyarakat terhadap Merapi.
Sistem pranatamangsa, terutama dalam masyarakat Girpasang, masih
digunakan sebagai pedoman pengolahan tanah, sekalipun kondisi iklim
mutakhir yang seringkali tidak sesuai lagi dengan pedoman itu sendiri.
Keanekaragaman vegetasi dan sumber daya alam yang menjamin masa depan
94
dipertahankan, sedangkan yang tidak terkait dengan kehidupan masyarakat
secara langsung belum dipertahankan, bahkan cenderung terabaikan.
95
VI. PENUTUP
A. Kesimpulan
Terkait dengan hasil temuan penelitian dan pembahasannya pada bab
sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa poin dibawah ini,
1. Keanekaragaman vegetasi yang ditemukan di lereng tenggara dan utara gunung
Merapi secara umum terdiri dari:
a. Kawasan dusun Girpasang memiliki indeks keanekaragaman (H’) yang
sedang untuk tingkat pertumbuhan pohon (1,76) dan anak pohon (1,32),
sedangkan tumbuhan bawah termasuk tinggi (2,52). Vegetasi di dusun ini
disusun oleh 7 spesies pohon dengan Nongko (Artocarpus integra) me-
miliki nilai penting tertinggi (73,65%), 9 spesies anak pohon dengan Sogo-
Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) bernilai penting tertinggi
(177,11%), dan 22 spesies tumbuhan bawah dengan Lamisan (Oplismenus
burmanii P.B.) bernilai penting tertinggi (44,69%).
b. Kawasan dusun Plalangan memiliki keanekaragaman vegetasi yang me-
limpah rendah untuk tingkat pertumbuhan pohon (0,48) dan anak pohon
(0,62), serta melimpah sedang untuk tumbuhan bawah (1,85). Vegetasi di
kawasan dusun ini disusun oleh 2 spesies tingkat pohon dengan Sogo-
Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.) memiliki nilai penting tertinggi
(252,40%), 2 spesies anak pohon dengan Sogo/Akasia Gunung (Acacia
decurrens Willd.) bernilai penting tertinggi (228,07%), dan 11 spesies
tumbuhan bawah dengan Ireng-ireng (Eupatorium riparium) bernilai
penting tertinggi (87,73%).
96
2. Pola interaksi yang terjadi antara masyarakat dengan kawasan lereng Gunung
Merapi dapat dibagi menjadi:
a. Pemanfaatan keanekaragaman vegetasi, antara lain untuk bahan makanan,
pakan ternak, bahan bakar, bahan bangunan, bahan bernilai ekonomis, dan
material budaya.
b. Pemanfaatan lahan, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masya-
rakat sehar-hari. Pemanfaatan tersebut diikuti dengan upaya konservasi
lahan untuk menjaga keberlangsungan kehidupannya dengan cara tidak
menggantungkan kebutuhan sehari-hari pada hutan Merapi, menanami
batas tegalan dengan kayu keras, menanami perengan dengan Bambu,
Sogo/Akasia Gunung, dan rerumputan, membuat demplot yang
disesuaikan dengan kemiringan lahan, dan serta penggunaan kotoran sapi
sebagai rabuk utama.
3. Kearifan ekologi masyarakat lereng Gunung Merapi terbangun dari hal-hal
berikut ini.
a. Keyakinan bahwa manusia adalah bagian dari lingkungannya, yang saling
mempengaruhi, saling memberi, dan saling menerima.
b. Manifestasi keyakinan tersebut dalam upacara keagamaan, bertujuan untuk
saling mengisi, saling melengkapi, dan mengusahakan keseimbangan
antara manusia dengan manusia serta manusia dengan lingkungannya,
yaitu dalam ritual slametan yang diadakan oleh masyarakat Girpasang dan
Plalangan, baik slametan secara umum seperti bersih dusun dan memetri
gunung, atau slametan secara khusus yaitu memetri tuk.
97
c. Nilai dalam upacara slametan itu sendiri dilaksanakan dalam bentuk tidak
mengeksploitasi hutan untuk kelestarian sumber air, perlindungan lahan
dengan tanaman keras dan rumput, serta demplot yang adaptif dengan
kemiringan lahan sehingga maka akan berdampak pada kelestarian
keanekaragaman vegetasi yang ada.
B. Saran
Penulis merasa bahwa penelitian ini masih perlu dilanjutkan ke tahap yang
lebih mendalam, beberapa hal yang dapat penulis sarankan antara lain
1. Mempertahankan kemelimpahan vegetasi yang ada di lereng Merapi secara
umum untuk menjaga siklus hidrologi dan kemudian berujung pada penguatan
ketahanan pangan.
2. Pemanfaatan secara arif yang telah dilakukan oleh masyarakat Girpasang dan
Plalangan harus dipertahankan sebagai upaya konservasi lahan dan
keanekaragaman vegetasi.
3. Upaya reboisasi di kawasan lereng gunung Merapi harus dilakukan dengan
pertimbangan ekologis yang mendalam, sehingga kasus invasi tanaman
Sogo/Akasia Gunung di lereng utara dan kasus kematian ribuan tanaman akibat
ketidakmampuannya untuk beradaptasi dengan parameter abiotik di lereng
selatan pasca eruspi Merapi tahun 2010 tidak terjadi kembali.
98
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006a. “Chomolaena odorata”. Global Invasive Species Database – Invasive Species Specialist Group. http://www.issg.org.
______. 2006b. “Austroeupatorium riparium”. Global Invasive Species Database – Invasive Species Specialist Group. http://www.issg.org.
Anonim. 2010. ”Austroeupatorium inulifolium”. Global Invasive Species Database – Invasive Species Specialist Group. http://www.issg.org.
Anonim. 2009. “Cagar Biosfer”. Man and Biosphere Indonesia. http://www.mab-indonesia.org.
Anonim. 2011. Casuarina Junghuhniana, kerjasama World Agroforestry Centre dan Prosea Network, www.worldagroforestrycentre.org/
Anonim. 2011. “In-depth Interview”, Qualitative Research Method: A Data Collector’s Field Guide, 21 hlm.
Anshoriy, N dan Sudarsono. 2008. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Barbour, M.G., J.H. Burk, dan W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Becker, C.A. 1973. Handbook for The Cultivation of Sugar-Cane and Manifacturing of Cane-Sugar in Java. Pasuruan: BP3G.
Colcehster, M. 2009. Menyelamatkan Alam: Penduduk Asli, Kawasan Pelindungan, dan Konservasi Keanekaragaman Hayati. Denpasar: Kerjasama WGCoP dan Walhi.
Cotton, C.M. 1996. Ethnobotany: Principles and Application. New York: John Wiley & Sons.
Danielsen, F., M.M. Mendoza, A. Tagtag, P.A. Alviola, D.S. Balete, A.E. Jensen, M. Enghoff dan M.K. Poulsen. 2007. Increasing Conservation Management Action by Involving Local People in Natural Resource Monitoring. Ambio Vol.36, No.7, Nov. 2007. 566-570.
Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara
Forqan, B.N. dan A. Fadli. 2009. “Konservasi Berbasis Rakyat: Sebuah Pilihan bagi Keberlanjutan Layanan Alam dan Kesejahteraan Rakyat”. Lampiran dalam Colcehster, M. 2009. Menyelamatkan Alam: Penduduk Asli, Kawasan Pelindungan, dan Konservasi Keanekaragaman Hayati. Denpasar: WGCoP dan Walhi.
99
Geertz, C. 1976. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bathara Karya Aksara.
Habibi, M.N. 2009. “Konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati kawasan dusun kinahrejo, lereng selatan Gunung Merapi: Hubungannya dengan kearifan ekologi masyarakat”. Laporan penelitian. Program Studi Biologi, Fak. Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga.
Hartono, M.D. 2004. Pemuda Menentang Taman Nasional Gunung Merapi. Bulletin SALAM No.7, Juni 2004 hal. 10-12
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Terj. Balitbang Kehutanan. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Hudyana, B. tt. Orang Turgo: Etnoekologi Hutan dan Bencana Alam Merapi. Diakses dari http://www.damarnet.org/download/Orang%20Turgo.....pdf.
Indrawan, M., R.B. Primack dan J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Iskandar, J. 2001. Manusia, Budaya, dan Lingkungan: Ekologi Manusia. Bandung: Humaniora Utama Press.
Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Keoentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Kresna, A. 2011. Sejarah Panjang Mataram: Menengok Berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Diva Press.
Marfai, M.A. 2005. Moralitas Lingkungan. Yogyakarta: Kerja Sama antara Wahana Hijau (WeHa) dengan Kreasi Wacana
Minsarwati, W. 2002. Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi, Menguak Bahasa Mitos dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Pegunungan. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Mangunjaya, F.M. 2005. Konservasi Alam dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mangunjaya, F.M. tanpa tahun. “Pendekatan Etika dan Agama bagi Konservasi”. Lampiran dalam Indrawan, Mochamad, Richard B. Primack dan Jatna Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Newton, A.C. 2007. Forest Ecology and Conservation: A Handbook of Techniques. Oxford: Oxford University Press.
Odum, E.P. 1998. Dasar-dasar Ekologi, Edisi Ketiga. Terj. Tjahjono Samingan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
100
Pinyopusarerk, K.A. dan D.J. Boland. 2005. Casuarina junghuhniana - a Highly Adaptable Tropical casuarina, Forest, Farm, and Community Tree Network, Winrock International, www.winrock.org/fnrm/factnet/factnet.htm
Purwaningsih. 2010. “Acacia Decurrens Willd.: Jenis Eksotik dan Invasif di Taman Nasional Gunung Merbabu”. Berkala Penelitian Hayati. Edisi Khusus. 6 hlm.
Schulze, E.D., E. Beck, dan K.M. Hohenstein. 2002. Plant Ecology. Berlin: Springer-Verlag.
Simon, H. 2008. Pengelolaan Hutan bersama Rakyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sheil, D., R. Puri, M. Wan, I. Basuki, M. van Heist, N. Liswanti, Rukmiyati, I. Rachmatika, dan I. Samsoedin. 2006. “Rocognizing Local People’s Priorities for Tropical Forest Biodiversity”. Ambio Vol.35, No.1, Feb. 2006.17-24.
Spradley, J.P. 2006. Metode Etnografi. Alih bahasa: Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana
Steenis, C.G.G.J. 2006. Flora Pegunungan Jawa. Alih bahasa: Jenny A. Kartawinata. Jakarta: LIPI Press.
Triyoga, L.S. 2010. Merapi dan Orang Jawa, Persepsi dan Kepercayaannya. Jakarta: Grasindo.
Wells, M.P. dan T.O. McShane. 2004. “Integrating Protected Area with Local Need and Aspiration”. Ambio Vol.33, No.8 Des. 2004. 513-519.
Zuhud, E.A.M. 2009. “Tri Stimulus Amar (Alamiah Manfaat Religius) sebagai Pendorong Sikap Konservasi: Kasus konservasi Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) di Taman Nasional Meru Betiri”, dalam Herwasono Soedjito, dkk. 2009. Situs Keramat Alami: Peran Budaya dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
101
Lampiran 1. Hasil Analisis keanekaragaman vegetasi di kawasan girpasang dan plalangan Tabel 14. Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Girpasang
No Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah DB LBA (m2) K KR% F FR% D DR% INP H' sat jml 1 Cekli/Dadap Erythrina lithosperma 5 35,58 28,83 144,16 0,013 26,32 0,50 14,29 0,36 21,92 62,52 0,35 2 Kaspo/Puspo Schima wallichii (DC)
Korth. 1 24,19 19,63 19,63 0,003 5,26 0,25 7,14 0,05 2,99 15,39 0,15
3 Kembang Gandek/Kantil
Michelia alba D.C. 4 28,40 24,14 96,55 0,010 21,05 0,75 21,43 0,24 14,68 57,16 0,33
4 Manis Jangan Cinnamomum verum 1 20,69 16,61 16,61 0,003 5,26 0,25 7,14 0,04 2,53 14,93 0,15 5 Mindi Melia azedarach 3 41,48 43,43 130,30 0,008 15,79 0,50 14,29 0,33 19,82 49,89 0,29 6 Nongko Artocarpus intgra 4 30,95 51,24 204,96 0,010 21,05 0,75 21,43 0,51 31,17 73,65 0,33 7 Sengon Albizia falcataria 1 21,32 45,36 45,36 0,003 5,26 0,50 14,29 0,11 6,90 26,45 0,15
Jumlah 19 229,24 657,57 0,05 100 3,50 100 1,64 100 300 1,76 Tabel 15. Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Girpasang
No Nama Lokal Nama Ilmiah Jml DB LBA (m2) K KR% F FR% D DR% INP H' sat jml 1 Cekli/Dadap Erythrina lithosperma 2 5,57 3,14 6,28 0,020 3,70 0,25 8,33 0,06 1,03 13,07 0,12 2 Kembang Gandek/kantil Michelia alba D.C. 1 12,41 3,14 3,14 0,010 1,85 0,25 8,33 0,03 0,51 10,70 0,07 1 Klampok (semai) Syzygium densiflora 7 0,50 0,12 0,84 0,070 12,96 0,25 8,33 0,01 0,14 21,43 0,26 3 Klengkeng Euphoria longana Lamk. 1 4,77 0,50 0,50 0,010 1,85 0,25 8,33 0,01 0,08 10,27 0,07 4 Kopi Coffea, sp. 2 3,98 0,82 1,63 0,010 3,70 0,25 8,33 0,02 0,27 12,30 0,12 5 Mindi Melia azedarach 1 15,91 12,56 12,56 0,010 1,85 0,25 8,33 0,13 2,06 12,24 0,07 6 Nongko Artocarpus integra 1 16,23 28,27 28,27 0,010 1,85 0,25 8,33 0,28 4,63 14,82 0,07 7 Sengon Albizia falcataria 3 9,54 7,58 22,76 0,030 5,56 0,25 8,33 0,23 3,73 17,62 0,16 8 Sogo Acacia decurrens Willd. 35 0,10 15,22 532,77 0,350 64,81 0,75 25,00 5,33 87,30 177,11 0,28 9 Waru Hibiscus tilaceus, L. 1 12,41 1,53 1,53 0,010 1,85 0,25 8,33 0,02 0,25 10,44 0,07
Jumlah 54 72,88 610,28 0,54 100 3,00 100 6,10 100 300 1,32
102
Tabel 16. Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Girpasang
No Nama Lokal Nama Ilmiah Jml DB LBA (m2) K KR% F FR% D DR% INP H' sat Jml 1 Alang-alang Imperata cylindrica Beauv. 10 0,10 0,28 2,80 0,625 2,23 0,25 2,63 0,18 7,37 12,23 0,08 2 Babatan Eupatorium, spp. 1 0,50 0,07 0,07 0,063 0,22 0,25 2,63 0,00 0,18 3,04 0,01 3 Berokan Ethulia, sp. 64 0,24 0,03 1,92 4 14,25 0,75 7,89 0,12 5,05 27,20 0,28 4 Cerobo Eupatorium inulifolium
H.B.K. 11 1,20 0,57 6,27 0,688 2,45 0,50 5,26 0,39 16,50 24,21 0,09
5 Gerpak Kayu Eupatorium odoratum 16 0,80 0,07 1,12 1 3,56 0,25 2,63 0,07 2,95 9,14 0,12 6 Ireng-ireng Eupatoriun riparium 38 0,25 0,10 3,80 2,375 8,46 0,75 7,89 0,24 10,00 26,36 0,21 7 Iser Bumi Paspalum conjugatum Berg. 27 0,10 0,16 4,32 1,688 6,01 0,75 7,89 0,27 11,37 25,28 0,17 8 Iser Jurang Paspalum scrobiculatum L. 33 0,10 0,03 1,06 2,063 7,35 0,75 7,89 0,07 2,78 18,02 0,19 9 Katemas Bidens pilosa 1 0,20 0,03 0,03 0,063 0,22 0,25 2,63 0,00 0,08 2,93 0,01
10 Kembang Sorot Fam. Compositae 7 3,18 0,78 5,46 0,438 1,56 0,25 2,63 0,34 14,37 18,56 0,06 11 Keteki (tekigerigi) Carex, sp. 1 0,30 0,07 0,07 0,063 0,22 0,25 2,63 0,00 0,18 3,04 0,01 12 Keteki (teki gerigi) Fymbristylis consanguinea 3 0,15 0,19 0,57 0,188 0,67 0,25 2,63 0,04 1,50 4,80 0,03 13 Keteki (Teki Kepala
Bulat) Cyperus melanospermus 19 0,12 0,02 0,38 0,188 4,23 0,50 5,26 0,02 1,00 10,49 0,13
14 Lamisan Oplismenus burmanii P.B. 105 0,08 0,04 4,10 6,563 23,39 1,00 10,53 0,26 10,78 44,69 0,34 15 Lampes Ageratum conyzoides L. 10 0,20 0,06 0,63 0,625 2,23 0,50 5,26 0,04 1,66 9,15 0,08 16 Pakis Hymenophyllum, sp. 13 0,10 0,19 2,47 0,813 2,90 0,25 2,63 0,15 6,50 12,03 0,10 17 Petungan Ischaemum muticum L. 9 0,20 0,04 0,32 0,563 2,00 0,50 5,26 0,02 0,85 8,12 0,08 18 Sambung
Nyowo/Tapak Kuda Centella asiatica, Urb. 27 0,05 0,01 0,19 1,688 6,01 0,25 2,63 0,01 0,50 9,14 0,17
19 Semanggi Gunung Oxalis corniculata, Linn. 44 0,10 0,01 0,26 2,750 9,80 0,50 5,26 0,02 0,69 15,76 0,23 20 Sengganen Impatiens platypetala 5 0,30 0,19 0,95 0,313 1,11 0,25 2,63 0,06 2,50 6,25 0,05 21 Suket PB Pennisetum purpureum 2 0,20 0,50 1,00 0,125 0,45 0,25 2,63 0,06 2,63 5,71 0,02 22 Talas Colocasia esculenta Schott. 3 2,00 0,07 0,21 0,188 0,67 0,25 2,63 0,01 0,55 3,85 0,03
Jumlah 449 3,50 38,00 28,063 100 9,50 100 2,37 100 300 2,52
103
Gambar 9. Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di
kawasan dusun Girpasang
104
Gambar 10. Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon
di kawasan dusun Girpasang
105
Gambar 11. Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di
kawasan dusun Girpasang
106
Tabel 17. Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di kawasan dusun Plalangan
Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah DB LBA (m2) K KR% F FR% D DR% INP H' sat jml Akasia gunung/Sogo Acacia decurrens Willd. 13 38,94 33,30 432,88 0,033 81,25 1,00 80,00 1,08 91,15 252,40 0,17 Cemara Gunung Casuarina junghuhniana Miq, 3 34,16 14,02 42,05 0,008 18,75 0,25 20,00 0,11 8,85 47,60 0,31 16 47,31 474,93 0,04 100 1,25 100 1,19 100 300 0,48
Tabel 18. Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon di kawasan dusun Plalangan
No Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah DB LBA (m2) K KR% F FR% D DR% INP H' sat jml 1 Akasia
gunung/Sogo Leucaena leucocephala (Lam,) de Wit,
24 9,33 11,31 271,47 0,240 68,57 1,00 66,67 67,87 92,83 228,07 0,26
2 Manis Rejo/Cantigi Vaccinum varingiaefolium (Bl,) Miq,
11 6,62 1,91 20,96 0,110 31,43 0,50 33,33 5,24 7,17 71,93 0,36
35 13,22 292,43 0,35 100 1,50 100 73,11 100 300 0,62 Tabel 19. Hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di kawasan dusun Plalangan
No Nama Lokal Nama Ilmiah Jmlh DB LBA (m2) K KR% FR% D DR% INP H' sat jml 1 Babatan Eupatorium, spp 15 0,6 0,06 0,90 0,940 4,03 0,50 8,70 0,06 2,65 15,38 0,13 2 Berokan Ethulia, sp. 7 0,4 0,05 0,32 0,440 1,88 0,50 8,70 0,02 0,93 11,50 0,07 3 Gerpak Kayu Eupatorium odoratum 32 1,35 0,54 17,60 2 8,60 0,75 13,04 1,10 51,77 73,41 0,29 4 Ireng-ireng Eupatorium riparium 168 0,25 0,05 8,56 10,50 45,16 1,00 17,39 0,54 25,18 87,73 0,36 5 Iser Jurang Paspalum scrobiculatum L. 70 0,1 0,03 2,10 4,380 18,82 0,75 13,04 0,13 6,18 38,04 0,31 6 Rumput A Isachne miliacea Roth. 27 0,1 0,03 0,81 0,190 7,26 0,25 4,35 0,05 2,38 13,99 0,19 7 Keteki (A) Gahnia, sp. 15 0,3 0,07 1,05 1,060 4,03 0,75 13,04 0,07 3,09 20,16 0,13 8 Lamisan Oplismenus burmanii P.B. 6 0,1 0,07 0,42 0,940 1,61 0,25 4,35 0,03 1,24 7,20 0,07 9 Teki Gerigi Carex, sp. 3 0,1 0,04 0,12 0,380 0,81 0,25 4,35 0,01 0,35 5,51 0,04
10 Teki kepala bulat Cyperus melanospermus 17 0,75 0,12 2,04 0,750 4,57 0,50 8,70 0,13 6,00 19,27 0,14 11 Petungan Ischaemum muticum L. 12 0,1 0,01 0,08 1,690 3,23 0,25 4,35 0,01 0,25 7,82 0,11 372 1,06 34,00 23,25 100 5,75 100 2,12 100 300 1,85
107
Gambar 12. Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan pohon di
kawasan dusun Plalangan
Gambar 13. Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan anak pohon
di kawasan dusun Plalangan
108
Gambar 14. Persentase kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan nilai penting pada vegetasi tingkat pertumbuhan bawah di
kawasan dusun Plalangan
109
Lampiran 2. Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional Tabel 20. Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat dusun Girpasang
No Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Bagian yang Dimanfaatkan Penggunaan Ketersediaan
1 Bahan Makanan 1. Jagung (Zea mays) Buah Makanan pokok Ada, banyak 2. Pohung/ubi kayu (Manihot utilissima) Umbi dan Daun Makanan alternatif -sda- 3. Cabai (Capsicum annum) Buah Penyedap Ada, sedikit 4. Ubi Rambat (Ipomea batatas) Umbi Makanan alternatif Ada, banyak 5. Jipang (Sechium edule (Jacq.) Sw.) Daun Sayuran -sda- 6. Talas (Colocasia, sp.) Umbi dan Daun Makanan alternatif -sda- 7. Nongko (Artocarpus, sp.) 8. Pisang (Musa paradisiacal) Buah dan Bunga Maknana alternatif -sda- 2 Makanan Ternak 1. Nongko (Artocarpus, sp.) Daun Ada, banyak 2. Sogo/Akasia Gunung (Acacia
decurrens Willd.) Daun -sda-
3. Rumput Kolonjono (Pennisetum purpureum)
Batang dan Daun -sda-
4. Tumpun Gajah (Panicum distachyum Linn.)
Batang dan Daun -sda-
5. Pisang (Musa paradisiaca Linn.) Daun -sda- 6. Vegetasi tingkat bawah -sda- 3 Bahan Bakar 1. Sogo/Akasia Gunung (Acacia
decurrens Willd.) Batang Ada, banyak
2. Sengon (Albizia falcataria) Batang -sda- 3. Bambu (Bambusa, sp.) Batang -sda- 4. Rencek (berbagai jenis semak dan
semaian pohon) Batang – daun -sda-
4 Bahan bangunan 1. Mindi (Melia azeorach) Batang Rangka utama bangunan Ada, sedikit 2. Pring Apus (Gigantochloa apus) Batang Dinding, atap, dsb. -sda- 3. Dadap/Cekli Batang Usuk, blandar, dsb. Ada, banyak 4. Nangka (Artocarpus, sp.) Rangka bangunan -sda-
110
5. Pring cendani (Bambusa multiplex) Kursi, meja, dll. -ada- 6. Sengon (Albizia falcataria) Beberapa bagian rumah Ada, banyak 5 Bahan bernilai ekonomi 1. Sogo/Akasia Gunung (Acacia
decurrens Willd.) Batang dan Kulit Batang: Bahan arang kayu
kulit (kliko): bahan pelunak kulit, samak.
Ada, banyak
2. Tembakau (Nicotina tabacum) Daun Bahan baku rokok -sda- 3. Cabai (Capsicum, sp.) Buah Sayuran Ada, sedikit 4. Jagung putih (Zea mays) Buah Buah tua, makanan Ada, banyak 5. Jipang (Sechium edule (Jacq.) Sw.) Buah Sayuran Ada, banyak 6. Kentang (Solanum tuberosum Linn.) Umbi Sayuran Kemarau 7. Loncang Daun Sayuran Ada, banyak 8. Bawang Merah (Allium cepa) Umbi Kemarau 9. Buncis Buah -sda- 10. Talas (Colocasia, sp.) Umbi Umbi, makanan alternatif Ada, banyak 11. Pring Apus (Gigantochloa apus) Batang Bahan bangunan Ada, sedikit 12. Pring Bonggol Batang Bahan bangunan Ada, banyak 13. Sengon (Albizia falcataria) Batang Bahan kertas (pulp) -sda- 14. Manis Jangan (Cinnamomum verum) Kulit Bahan baku minyak atsiri Ada, sedikit 6 Material budaya 1. Pring cendani (Bambusa multiplex) Batang Syarat untuk ketentreman, menjaga
pintu (diatas pintu depan) Ada, banyak
2. Janur kuning/Kelapa (Cocos nucifera Linn.)
Daun -sda- Tidak ada
3. Mawar abang (Rosa, sp.) Bunga Kembang setaman Ada, banyak 4. Mawar puteh (Rosa, sp.) Bunga -sda- Ada, sedikit 5. Melati (Jasminum sambac Ait.) Bunga -sda- -sda- 6. Kantil (Michelia alba D.C.) Bunga -sda- -sda- 7. Kenanga (Canangium odoratum Baill.) Bunga -sda- -sda-
111
Tabel 21. Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat dusun Plalangan
No Pemanfaatan JenisTumbuhan Bagian yang Dimanfaatkan Penggunaan Ketersediaan
1 Bahan Makanan 1. Sawi hijau/bakso (Brassica rapa) Daun Sayuran -sda- 2. Adas (Foeniculum vulgare Mill.) Daun -sda- -sda- 3. Kembang Kol (Brassica oleracea) Daun -sda- -sda- 4. Loncang Daun -sda- -sda- 5. Wortel (Daucus carota Linn.) Umbi -sda- -sda- 6. Talas (Colocasia, sp.) Umbi Makanan alternatif -sda- 7. E.g. temulawak Umbi -sda- Ada, banyak 8. Pohung (Manihot utilissima) Umbi -sda- 9. Ubi Rambat (Ipomea batatas) Umbi -sda- 2 Makanan Ternak 1. Rumput Kolonjono (Pennisetum
purpureum) Batang – daun Batang dan Daun -sda-
2. Tumpun Gajah (Panicum distachyum Linn.)
Batang – Daun Batang dan Daun -sda-
3. Vegetasi tingkat bawah Batang – Daun -sda- 3 Bahan Bakar 1. Sogo/Akasia Gunung (Acacia
decurrens Willd.) Batang Batang Ada, banyak
2. Sengon (Albizia falcataria) Batang Batang -sda- 3. Bambu (Bambusa, sp.) Batang Batang -sda- 4. Rencek (berbagai jenis semak dan
semaian pohon) Batang – Daun Batang – daun -sda-
2 Bahan bangunan 1. Kina (Cinchona pubescens Vahl.) Batang Rangka rumah Ada, sedikit 2. Sogo/Akasia Gunung (Acacia
decurrens Willd.) Batang Blandar, kasau, dsb. -sda-
3. Pring Apus (Gigantochloa apus) Batang Dinding (Gedhek), Kursi, meja, dll.
-ada-
3 Bahan bernilai ekonomi 1. Sogo/Akasia Gunung (Acacia decurrens Willd.)
Kulit Kulit (kliko) untuk pelunak kulit, samak
Ada, banyak
2. Kina (Cinchona, sp.) Kulit Kulit, bahan obat malaria Ada, sedikit
112
3. Tembakau (Nicotina tabacum) Daun Bahan baku rokok Ada, banyak 4. Wortel (Daucus carota Linn.) Umbi Sayuran -sda- 5. Sawi hijau/bakso (Brassica rapa) Daun Sayuran -sda- 6. Loncang Daun Sayuran -sda- 7. Adas (Foeniculum vulgare Mill.) Daun Sayuran -sda- 8. Cabai (Capsicum, sp.) Buah Penyedap 9. Kembang Kol (Brassica oleracea) Daun Sayuran Ada, sedikit 10. E.g. temulawak Umbi Makanan alternatif -sda- 11. Jagung (Zea mays) Buah Makanan alternatif 4 Material budaya Kelapa (Cocos nucifera Linn.) Daun Muda, Buah Daun Muda/Janur: Syarat untuk
ketentreman, menjaga pintu (diatas pintu depan) Buah Muda: sajen
Tidak ada
Mawar abang (merah) ( Bunga Kembang setaman Ada, banyak Mawar puteh (putih) Bunga -sda- Ada, sedikit Melati (Jasminum sambac Ait.) Bunga -sda- -sda- Kantil (Michelia alba D.C.) bunga -sda- -sda- Kenanga (Canangium odoratum Baill.) bunga -sda- -sda-
113
Lampiran 3. Pedoman wawancara mendalam
Daftar pertanyaan Konservasi Biodiversitas dan Kearifan Lokal Masyarakat di Kawasan Lereng Gunung Merapi
M. Nasirudin Habibi 1. Bagaimana kegiatan Gunung Merapi.
a. Sejarah letusan b. Bagaimana sikap masyarakat terhadap letusan c. Apa dampak dari letusan merapi d. Apa efek negatif-positif letusan merapi e. Apa makna letusan bagi masyarakat
2. Bagaimana kegiatan masyarakat di lereng Merapi. a. Apa sumber penghasilan masyarakat b. Apa kegiatan sehari-hari masyarakat c. Bagaimana masyarakat memanfaatkan SDA d. Bagaimana mekanisme dan system perladangan e. Kepemilikan cultural masyarakat terhadap lahan hutan f. Sejauh mana akses masyarakat terhadap hutan
3. Bagaimana sejarah, kepercayaan dan hubungan masyarakat dengan alamnya. a. Sejarah penduduk merapi b. Pandangan masyarakat terhadap merapi c. Tabu-tabu di kawasan merapi d. Upacara-upacara/kegiatan-kegiatan adat di lereng merapi dan maknanya e. Makna yang tersembunyi dalam upacara/kegiatan tersebut f. Pandangan masyarakat terhadap hutan g. Tabu/larangan dalam hutan h. Hasil hutan dan pemanfaatannya
4. Bagaimana cara melindungi dan mempertahankan sumber daya alam oleh masyarakat. a. Kearifan tentang menjaga hutan b. Pandangan masyarakat terhadap SDA c. Upaya perlindungan SDA oleh masyarakat d. Teknik2 yang digunakan dalam menjaga SDA
5. Apa saja jenis-jenis tumbuhan yang digunakan masyarakat dalam upaya konservasi SDA. a. Jenis2 tumbuha introduksi b. Jenis2 tumbuhan konsumsi, upacara, konstruksi, ekonomi dsb. c. Jenis2 tumbuhan untuk menjaga stabilitas tanah d. Jenis2 tumbuhan untuk menjaga kualitas air
6. Apa manfaat dari jenis-jenis tumbuhan tersebut selain untuk melindungi sumber daya alam di kawasan Merapi. a. Manfaat lain dari jenis2 tumbuhan penjaga stabilitas tanah, air, dll b. Bagaimana pemanfaatannya c. Target pemanfaatannya (pribadi, keluarga, kelompok, dsb.) d. Batasan-batasan permasalahan
7. Apa saja nilai-nilai yang mendasari upaya melindungi dan mempertahankan sumber daya alam tersebut? a. Tabu-tabu tentang tumbuhan tertentu b. Tabu-tabu tentang mata air
114
c. Tabu-tabu tentang pemanfaatan SDA d. Kearifan dalam menjaga dan melindungi SDA
8. Bagaimana pendekatan konservasi yang dilakukan oleh TNGM? a. Konservasi oleh TNGM b. Pandangan dan tanggapan masyarakat terhadap konservasi oleh TNGM c. Pandangan TNGM terhadap masyarakat
9. Bagaimana metode konservasi yang diterapkan oleh TNGM. a. Metode konservasi TNGM b. Teknis penerapannya di kawasan merapi c. Tanggapan masyarakat terhdap teknis penerapannya d. Efektifitas metode/teknis konservasi tersebut
10. Bagaimana hubungan masyarakat dengan TNGM. a. Konflik antara masyarakat dengan TNGM b. Penyelesaian masalah yang ada c. Pola-pola komunikasi antara masyarakat dengan TNGM
11. Bagaimana kompromi yang terjadi antara pola konservasi oleh masyarakkat dan pola konservasi yang diterapkan oleh TNGM. a. Peran masyarakat dalam konservasi oleh TNGM b. Manfaat yang didapat masyarakat c. Manfaat yang didapat TNGM d. Prospek perkembangan Merapi kedepan
Yogyakarta, 30 Agustus 2010 M. Nasirudin Habibi Peneliti
115
Lampiran 4. Sekilas dusun Girpasang dan Plalangan
Oxalis corniculata Linn. Bidens pilosa
Mugut Disela wawancara
“warung” yang datang menyambangi Rapat RT
Gerbang Plalangan Pemukiman dusun Plalangan
RIWAYAT HIDUP Nama : M. Nasirudin Habibi TTL : Sidomukti, 24 Desember 1988 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Alamat Asal : Desa Sidomukti SP.I., Kec. Plakat Tinggi, Kab. Musi Banyuasin,
Sumatea Selatan, 30757. Korespondensi:
1. E-mail : [email protected], [email protected] 2. Kontak : +6281373232650, +6285292222953
Riwayat Pendidikan:
1. TK Mu’allimin Islamiyah, Sidomukti, 1990-1993 2. MI Mu’allimin Islamiyah, Sidomukti, 1993-1999 3. MTs KMI PP Assalam, Sungai Lilin, 1999-2003 4. MA KMI PP Assalam, Sungai Lilin, 2003-2005 5. Biologi, Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga, 2005-2012
Riwayat Organisasi:
1. IKPM Musi Banyuasin Yogyakarta, 2005-sekarang. 2. Forsilam Cabang Yogyakarta, 2005-sekarang. 3. Biologi Pecinta Alam Sunan Kalijaga (Biolaska), 2005-sekarang. 4. Kelompok Studi Hijau (KSH) , 2009-sekarang.
Riwayat Penelitian:
1. Kemelimpahan Jenis Anggota Famili Leguminosae di Bumi Perkemahan Bebeng, Kaliadem, Cangkringan, Sleman, DIY. Tim Biolaska, tahun 2006.
2. Kemelimpahan Edelweis Jawa (Anaphalis javanica (Schulz.) ex. Boerl.) di Jalur Pendakian Wekas, Gunung Merbabu. Tim Biolaska, tahun 2006, 2007, 2009.
3. Hama dan Penyakit pada Tumbuhan Cabai Merah (Capsicum annuum, L.) di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat. Mandiri, tahun 2008.
4. Konservasi Keanekaragaman Hayati di Kawasan Dusun Kinahrejo, Lereng Selatan Gunung Merapi: Hubungannya dengn Kearifan Ekologi Masyarakat. Mandiri, 2008-2009.
5. Konservasi Keanekaragaman Vegetasi dan Kearifan Ekologi Masyarakat di Kawasan Lereng Gunung Merapi. Mandiri, 2010-2012.