Apa itu vaksin
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
Transcript of Apa itu vaksin
NINDI MEDIARTIKA
VAKSINASI
A. Apa itu vaksin?
Vaksin berasal dari kata vaccinia. Vaccinia merupakan
penyebab infeksi cacar sapi yang ketika diberikan kepada
manusia, akan menimbulkan pengaruh kekebalan terhadap cacar.
Vaksin itu sendiri merupakan bahan antigenik yang digunakan
untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit
yang disebabkan oleh bakteri atau virus, sehingga dapat
mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme
alami atau liar (wikipedia).
Vaksin dapat berupa galur virusatau bakteri yang telah
dilemahkan, sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat
juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya
berupa protein, peptida atau partikel serupa virus yang
dirancang untuk membantu melindungi manusia dari virus dan
bakteri yang mungkin masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan
penyakit. Ketika suatu bakteri atau virus memasuki tubuh,
maka sistem kekebalan tubuh mulai memproduksi suatu protein
yang disebut sebagai antibodi. Antibodi inilah yang dapat
menyerang dan membantu menghancurkan bakteri atau virus
tersebut.
B. Macam-macam vaksin dan kegunaannya
Berikut macam-macam vaksin dan juga kegunaannya:
1. Vaksin hepatitis A
Vaksin ini berguna untuk melindungi dari penyakit
hepatitis A.
Page 1 of 32
NINDI MEDIARTIKA
2. Vaksin hepatitis B
Vaksin ini berguna untuk mencegah penyakit hepatitis
B.
3. Vaksin polio
Vaksin ini berguna untuk melindungi dari penyakit
polio yang menyebabkan kelumpuhan.
4. Vaksin campak
Vaksin ini berguna untuk mencegah penyakit campak.
5. Vaksin PCV (Pneumococcal Conjugate Vaccine)
Vaksin ini berguna untuk melindungi dari penyakit
Invasive Pneumococcal Disease (IPD).
6. Hibvaksin
Vaksin ini berguna untuk melindungi dari serangan
meningitis, pneumonia, dan epiglotitis.
7. Vaksin MMR (Mumps, Measles, Rubella)
Vaksin ini berguna untuk melindungi dari campak,
gondongan, dan rubella (campak jerman).
8. Vaksin influenza
Vaksin ini berguna untuk melindungi dari kemungkinan
flu berat.
9. Vaksin varicella
Vaksin ini berguna untuk melindungi dari cacar air.
10. Vaksin HPV (Human Papilloma Virus)
Vaksin ini berguna untuk melindungi dari virus human
papilloma.
11. Vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin)
Vaksin ini berguna untuk mencegah penyakit TBC.
12. Vaksin DPT (Difetri, Pertusis, Tetanus)
Page 2 of 32
NINDI MEDIARTIKA
Vaksin ini berguna untuk melindungi dari difteri
(infeksi tenggorokan dan saluran pernafasan yang
fatal), pertusis (batuk rejan), dan tetanus.
13. Vaksin tifoid
Vaksin ini berguna untuk melindungi dari penyakit
tifus.
14. Vaksin yellow fever (demam kuning)
Vaksin ini berguna untuk melindungi dari penyakit
demam kuning yang disebabkan oleh virus yang dibawa
nyamuk Aedes dan Haemagogus.
15. Vaksin japanese B enchephalitis
Vaksin ini berguna untuk mencegah gangguan hati yang
disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB).
16. Vaksin rabies
Vaksin ini berguna untuk melindungi dari infeksi virus
rabies yang ditularkan melaui gigitan atau cakaran
hewan yang terinfeksi virus rabies. Hewan yang mungkin
menularkan virus ini adalah anjing, kucing, kelelawar,
monyet, dan lainnya.
C. Bahan-bahan vaksin
Sebagai tambahan aktif, vaksin juga mengandung komponen
lain yang disertakan untuk membantu meningkatkan efektivitas
mereka. Berikut komponen-komponen tambahan yang terkandung
dalam vaksin:
Page 3 of 32
NINDI MEDIARTIKA
1. Aluminium
Garam aluminium digunakan dalam beberapa vaksin untuk
membantu meningkatkan respon kekebalan pada orang yang
menerima vaksinasi.
2. Merkuri/thimerosal
Thimerosal adalah senyawa yang mengandung merkuri yang
telah digunakan sejak tahun 1930-an untuk membantu
mencegah bakteri mengkontaminasi vaksin. Thimerosal
telah dihilangkan atau dikurangi untuk melacak jumlah
disebagian besar vaksin yang direkomendasikan untuk
anak usia 6 tahun ke bawah.
3. Antibiotik
Antidiotik tertentu dapat digunakan selama pembuatan
vaksin untuk mencegah kontaminasi dari bakteri. Kadar
antibiotik sangat kecil yang terdapat dalam vaksin itu
sendiri.
4. Formaldehida
Formaldehida telah digunakan selama bertahun-tahun
untuk memproses virus tidak aktif dan bakteri selama
proes pembuatan vaksin. Kadar formaldehida sangat
kecil dapat ditemukan dalam beberapa vaksin.
D. Cara kerja vaksin
Vaksin berfungsi membantu tubuh mempersiapkan diri untuk
melawan penyakit. Pada dasarnya, vaksin memberi tubuh semacam
“bocoran” karakteristik bakteri, virus, atau racun tertentu
sehingga memungkinkan tubuh untuk belajar bagaimana cara
untuk mempertahankan diri. Jika tubuh pada akhirnya diserang
Page 4 of 32
NINDI MEDIARTIKA
oleh patogen tertentu setelah vaksin diberikan, maka sistem
kekebalan tubuh sudah siap untuk melawan serangan tersebut.
Kebanyakan vaksin diberikan dalam bentuk suntikan atau cairan
yang dikonsumsi melalui mulut. Namun, beberapa vaksin
diberikan dengan cara dihirup dalam bentuk aerosol atau
bubuk.
Mayoritas vaksin mengandung virus atau bakteri yang telah
dilemahkan atau dibunuh. Sedangkan, vaksin jenis lain
mengandung racun yang dilemahkan. Meskipun merupakan agen
penyebab penyakit, vaksin bersifat aman bagi tubuh dan tidak
menyebabkan penyakit. Ketika patogen lemah atau yang telah
mati diperkenalkan ke dalam aliran darah, sel B tubuh akan
langsung bekerja. Sel B adalah sel-sel yang bertanggungjawab
memerangi patogen penyebab penyakit. Setelah sel B dirangsang
untuk bertindak, antibodi kemudian terbentuk sehingga tubuh
mengembangkan kekebalan terhadap patogen tertentu.
Setelah seseorang menerima vaksin dan memiliki kekebalan,
dia biasanya akan terlindungi seumur hidup. Namu, terkadang
vaksin tidak memberikan kekebalan seumur hidup. Sebagai
contoh, beberapa vaksin, seperti tetanus dan pentusisi, hanya
efektif untuk waktu terbatas. Dalam kasus tersebut,
pengulangan pemberian vaksin diperlukan untuk mempertahankan
perlindungan. Dosis vaksin penguat diberikan pada interval
tertentu setelah vaksinasi awal. Dilain pihak, ada vaksin
yang harus diberikan secara teratur. Sebagai contoh, vaksin
flu harus diberikan tiap tahun akibat banyaknya strain flu.
Vaksin yang diberikan pada tahun tertentu umumnya hanya
memberikan perlindungan terhadap strain tertentu dari virus
Page 5 of 32
NINDI MEDIARTIKA
flu, tapi ketika terjadi lagi musim flu tahun berikutnya,
vaksinasi terhadap stain baru mungkin diperlukan. Selain itu,
vaksin flu tidak memberikan perlindungan seumur hidup setelah
satu tahun, efektivitas perlindungan mungkin telah jauh
berkurang.
E. Efek samping vaksin
Seperti banyak obat-obatan dan prosedur medis, efek
samping dapat saja terjadi setelah vaksinasi. Efek samping
dapat bervariasi pada beberapa vaksin. Efek samping yang
paling sering terjadi pada saat vaksin diberikan seperti
nyeri, kemerahan atau bengkak. Efek samping lainnya adalah
demam, sakit kepala, mual, nyeri otor, dan kelelahan.
Ada juga beberapa efek samping yang jarang terjadi namun
memberikan dampak yang lebih serius, seperti reaksi alergi
terhadap vaksin, dan tentunya hal ini memerlukan perhatian
medis segera.
F. Contoh vaksin
Vaksin BCG merupakan vaksin yang berisi mikroorganisme
Mycobacterium bovis yang telah dilemahkan dan diketahui sebagai
Bacillus Calmette Guerin (BCG) dimana menggunakan antigen untuk
menstimulasi imunitas terhadap Mycobacterium tuberculosis dan
Mycobacterium leprae.
Page 6 of 32
NINDI MEDIARTIKA
Mengenai kegunaannya sendiri, di dunia vaksin BCG
terbukti dari sekitar 80% studi menunjukkan bahwa vaksin ini
dapat menurunkan risiko dari penyakit Tubercoosis (TB).
Selain itu dapat mengurangi kejadian keparahan lain seperti
Tuberculosis meningitis.
Efek protektif dari vaksin ini sekitar 10 tahun, dan
efek yang panjang ini memberikan keuntungan tentunya dengan
pemberian minimal dan efek maksimal. Vaksin BCG, sangat
direkomendasikan untuk beberapa kondisi, seperti:
1. Infant dengan usia 0-12 bulan dengan lingkungan sekitar
insidensi Tuberkulosisnya tinggi dan keluarga pernah
menderita tuberkulosis.
2. Anak dengan usia 1-5 tahun, dimana sebelumnya belum pernah
divaksinasi, dengan latar belakang yang sama dengan
kondisi diatas.
3. Anak dengan usia 6-16 tahun, yang sebelumnya tidak
divaksinasi, dan uji tuberculin negatif. Uji tuberkulin
merupakan uji yang mengindikasikan adanya indurasi dari
suatu respon imun yang menunjukkan positif tuberkulin.
4. Pada seseorang imigran yang sebelumnya belum divaksinasi
BCG.
5. Pada seseorang yang sebelumnya divaksinasi, dengan uji
tuberkulin negatif namun ada riwayat kontak dengan
penderita TB, dan berisiko tinggi.
Untuk pemberiannya, dosis tunggal dari vaksin BCG
disuntikkan intradermal, pada sisi luar lengan atas kiri yang
terabduksi (posisi tangan sedikit diangkat). Setelah
disuntikkan intradermal, maka akan timbul swelling
Page 7 of 32
NINDI MEDIARTIKA
(pembengkakan kecil) dan dapat pulih sendiri sekitar 2
minggu. Kemudian pada lesi dari bekas suntikan, akan
menimbulkan benjolan yang disebut dengan papul dan ulkus
bengkak kecil yang berdiameter sekitar 10mm, dimana akan
sembuh sendiri sekitar 12 minggu menjadi scar yang datar.
Setelah disuntikkan, pasien tidak boleh memakai baju
tipis. Beberapa perhatian, diantaranya, vaksin BCG tidak
boleh diberikan 3 bulan pada area suntikan yang sama, karena
dapat menjadi risiko limfadenitis.
Vaksin BCG tidak boleh diberikan pada kondisi tertentu,
seperti: seseorang dengan riwayat TB, seseorang dengan uji
tuberkulin positif, terjadi reaksi penolakan anafilaksis
(alergi), seseorang dengan kulit terinfeksi, seseorang dengan
dalam pengobatan imunitas, sesorang HIV positif dan lain
sebagainya.
Menjawab kontriversi seputar vaksinasi
Kendati pemerintah sudah mendukung dan menggalakkan
imunisasi di Indonesia, tapi fakta berbicara lain. UNICEF
melaporkan bahwa rata-rata cakupan imunisasi di Indonesia
hanya sekitar 72 persen. Ini berarti ada beberapa daerah yang
angka imunisasinya sangat rendah. Yang lebih mengejutkan
lagi, data dari WHO dan UNICEF menyatakan bahwa Indonesia
berada di posisi ke-4 sebagai negara dengan jumlah anak yang
tidak imunisasi, atau sudah mendapatkan imunisasi, tetapi
tidak lengkap atau tidak sampai selesai.
Berangkat dari angka memprihatinkan ini, pemerintah lalu
meluncurkan program pemberian imunisasi pada tahun 1974
dengan Program Pengembangan Imunisasi (Expanded Program on
Page 8 of 32
NINDI MEDIARTIKA
Imunization). UNICEF juga mencatat, sejak tahun tersebut,
imunisasi telah menyelamatkan lebih dari 20 juta jiwa dalam
dua dasawarsa. Kendati demikian, sampai kini tidak semua
masyarakat bisa menerima imunisasi. Kontroversi tentang
vaksin dan imunisasi tetap menjadi perbincangan yang kadang
tidak berujung.
Menurut Dr. Piprim B. Yanuarso, SpA, Sekretaris I PP IDAI,
meskipun telah banyak manfaatnya dalam mencegah wabah dan
PD3I (penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi) di
berbagai belahan dunia, namun masih banyak miskonsepsi yang
beredar dalam masyarakat. “Efektivitas vaksin ini sebenarnya
telah terbukti dari berbagai data yang ada. Pada tahun 2003,
WHO memerkirakan 2 juta kematian anak dapat dicegah dengan
imunisasi,” ujar dokter yang juga mengajar di FKUI-RSCM ini.
Dalam seminar media mengenai kontroversi seputar imunisasi di
Teater Titian Center, Bintaro, yang diselenggarakan KAF
Management pada 19 Mei lalu, ia pun menuturkan berbagai
miskonsepsi yang kerap terjadi dalam masyarakat.
PD3I Sudah Mulai Menghilang Sebelum Ada Vaksin
Tiliklah kasus meningitis HiB di Kanada. Sanitasi dan
kebersihan lingkungan sudah sangat membaik sejak tahun 1990,
tapi kasus meningitis HiB masih mencapai 2.000 kasus per
tahun. Saat program imunisasi rutin dijalankan, kasus pun
menurun drastis di angka 52, dan ini terjadi sebagian besar
pada bayi dan anak yang tidak divaksinasi. Dr. Piprim
menuturkan contoh menarik saat program imunisasi dihentikan
karena isu adanya efek samping. “Inggris, Swedia, dan Jepang
Page 9 of 32
NINDI MEDIARTIKA
sempat menghentikan program imunisasi pertusis. Pada tahun
1979, cakupan imunisasi pertusis di Jepang sempat menurun
dari 70 persen menjadi 20-40 persen. Akibatnya terjadi
lonjakan kasus dari 393 kasus dengan tidak ada kematian
menjadi 13.000 kasus dengan 41 kematian,” paparnya.
Selain itu, pandangan bahwa PD31 sudah lenyap sehingga anak
tidak perlu diimunisasi lagi juga perlu diluruskan. “Kendati
angka kejadian beberapa penyakit termasuk PD31 sudah sangat
menurun drastis dan langka, tapi bisa saja kejadian penyakit
tersebut masih tinggi di negara lain. Wisatawan bisa membawa
penyakit tersebut dan menimbulkan wabah,” ujar Dr. Piprim.
Kasus anak yang tidak pernah diimunisasi dan terserang
penyakit virus polio liar terjadi pada anak berusia 18 bulan
di Bandung pada Maret 2005. Padahal sejak tahun 1995,
dinyatakan virus polio sudah tidak ada lagi di Indonesia.
Setelah diteliti, nyatanya virus berasal dari Afrika Barat.
“Ini membuktikan anak tetap harus mendapatkan imunisasi
karena anak yang tidak terproteksi tetap berpeluang
terinfeksi. Imunisasi anak juga penting untuk melindungi anak
lain di sekitarnya.”
Vaksin Menimbulkan Efek Samping Berbahaya
Dr. Henny Zainal, pendiri HZ Lactation Center, yang juga
menjadi pembicara menyampaikan temuannya seputar efek samping
vaksin. “Dr. Sherry Tenpeni, seorang dokter gawat darurat
menjelaskan hasil investigasinya selama 6.000 jam yang berisi
tentang kasus kelumpuhan akibat virus polio tinggi akibat
vaksin oral karena isinya adalah vaksin yang dilemahkan,”
Page 10 of 32
NINDI MEDIARTIKA
ujarnya. Ini berarti kandungan kimia yang menyertai vaksin
telah melemahkan sistem imunitas anak sehingga jika diberikan
kepada anak dengan daya tahan tubuh rendah, bukan manfaat
yang didapat, lanjut Dr. Henny.
Dr. Piprim membantah hal itu. “Kematian karena vaksin
sangatlah sedikit. Semua kematian yang dilaporkan di Amerika
Serikat sebagai KIPI (kejadian ikutan pasca imunisasi) pada
1990-1992, hanya 1 yang mungkin berhubungan dengan vaksin.”
Prevalensi dan jenis sakit yang tercantum dalam KIPI hampir
sama dengan prevalensi dan jenis sakit sehari-hari tanpa
adanya program imunisasi.
Dituding Sebagai Penyebab Autisme
Ini salah satu kontroversi tentang vaksin yang paling
populer. Vaksin MMR seringkali dikaitkan sebagai penyebab
autisme pada anak. Meskipun ada kejadian autisme yang terjadi
setelah anak divaksin MMR, tidak ada lonjakan signifikan
sejak dikenalkan vaksin MMR pada tahun 1988. American Academy
of Pediatrics pada tahun 2000 juga mengeluarkan pernyataan
bahwa berbagai bukti ilmiah yang ada tidak mendukung
hipotesis bahwa vaksin MMR menyebabkan autisme. Pernyataan
ini juga didukung CDC (Centers for Disease Control and
Prevention) dan NIH (National Institute of Health). Fakta
lain yang menguatkan bahwa MMR bukan penyebab autisme juga
datang dari analisis IOM di tahun 2004 yang melaporkan bahwa
tidak ada satupun penelitian yang menyatakan adanya hubungan
antara vaksin MMR dan autisme yang tidak cacat secara
metodologi. IOM (Institute of Medicine–http://www.iom.edu)
Page 11 of 32
NINDI MEDIARTIKA
adalah organisasi independen nonprofit yang bekerja di luar
pemerintah untuk memberikan saran berdasarkan keahlian dan
tidak bias untuk publik dan pengambil kebijakan.
IDAI dalam bukunya Pentingnya Imunisasi untuk Mencegah Wabah,
Sakit Berat, Cacat dan Kematian Bayi-Balita juga memaparkan bahwa
penelitian Wakefield yang menyebutkan MMR menyebabkan autisme
terbukti tidak benar. Dokter spesialis bedah ini melaporkan
hal tersebut atas penelitian yang dilakukan terhadap 18
sampel pada tahun 1998. Namun setelah diaudit oleh tim ahli
penelitian di Inggris, terbukti ada kesalahan data yang
dimasukkan Wakefield. Soal ini sudah dipublikasi dalam British
Medical Journal Februari 2011.
Halalkah?
Bicara halal dan haram memang sensitif. Pada Oktober
2011, Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap menggandeng
Kementerian Agama Kantor Wilayah Cilacap dan Majelis Ulama
Indonesia setempat untuk mensosialisasikan program imunisasi
campak dan polio. Hal ini terkait penolakan sebagian warga di
Kecamatan Wanareja, Cilacap, karena menganggap bahwa
imunisasi adalah perbuatan yang haram karena vaksin
mengandung unsur babi.
Dalam seminar yang sama, Dr. Drh. Hasim DEA, Tim Ahli
LPPOM MUI, Jakarta, memaparkan bahwa bakteri yang
dikembangkan menjadi isolat menggunakan teknologi yang ada
pada saat itu. Enzim yang berasal dari unsur babi memang
bersinggungan dengan media yang digunakan untuk
mengembangbiakkan bakteri. Namun proses ini telah mengalami
Page 12 of 32
NINDI MEDIARTIKA
pencucian dan pembersihan total dengan ultrafilterisasi
ratusan kali, sehingga vaksin yang diberikan kepada anak
tidak mengandung babi.
LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan
Kosmetika) MUI mencantumkan dalam situs resminya, bahwa pada
tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa No. 16 tahun 2005, tentang
kedaruratan penggunaan vaksin polio. Sebagaimana diakui
sendiri oleh pihak produsen, semua vaksin polio yang
diproduksi sampai dengan saat itu (tahun 2005), baik di dalam
maupun di luar negeri, masih menggunakan media dan proses
yang belum sepenuhnya sesuai dengan syariat Islam. Untuk itu,
fatwa MUI menyatakan bahwa pemberian vaksin diperbolehkan
untuk sementara, sepanjang situasinya darurat karena belum
ada vaksin yang produksinya menggunakan media dan proses yang
sesuai dengan syariat Islam.
Combo Lebih Berisiko
Pemberian vaksin kombinasi juga kerap dicurigai
meningkatkan risiko efek samping yang berbahaya karena
kandungannya yang lebih keras. “Penelitian yang dilakukan
menyatakan bahwa imunisasi simultan dengan vaksin multipel
tidak membebani sistem imun anak normal,” ujar Dr. Piprim.
Bahkan pada tahun 1999 Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP), AAP, dan American Academy of Family
Physicians (AAFP) justru merekomendasikan pemberian vaksin
kombinasi. “Vaksin kombinasi justru bisa mengurangi jumlah
suntikan, biaya penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi
Page 13 of 32
NINDI MEDIARTIKA
jumlah kunjungan ke dokter, serta memfasilitasi penambahan
vaksin baru ke dalam program imunisasi,” tambahnya.
ASI Saja Sudah Cukup
Siapapun setuju bahwa ASI adalah cairan terbaik yang
bisa diberikan seorang ibu kepada bayinya. “Kolostrum
mengandung antibodi yang memberikan bayi protein kompleks.
Namun antibodo sendiri kerjanya terbatas dan harus dibantu
dengan vaksin sebagai antigen terhadap penyakit tertentu,”
tutur Dr. Hasim. Beliau juga menuturkan bahwa antibodi
kolostrum efektif untuk anak pada minggu pertama kelahiran.
Setelah itu, selektivitas usus bayi meningkat dan protein
kompleks antibodi tidak dapat masuk lagi kecuali dicerna
menjadi asam amino. Inilah mengapa vaksin diperlukan. “Orang
tua tidak perlu khawatir, karena vaksin modern bukan lagi
virus atau bakteri yang dilemahkan, namun berupa bagian dari
dinding sel yang bersifat antigenik,” kata Dr. Hasim. Saran
terbaik yang dapat diberikan adalah memberikan ASI eksklusif
dan imunisasi sesuai jadwal yang diberikan IDAI.
Bencana akibat vaksin yang tidak pernah dipublikasikan
Di Amerika pada tahun 1991 – 1994 sebanyak 38.787
masalah kesehatan dilaporkan kepada Vaccine Adverse Event
Reporting System (VAERS) FDA. Dari jumlah ini 45% terjadi
pada hari vaksinasi, 20% pada hari berikutnya dan 93% dalam
waktu 2 mgg setelah vaksinasi. Kematian biasanya terjadi di
kalangan anak anak usia 1-3 bulan.
Page 14 of 32
NINDI MEDIARTIKA
Pada 1986 ada 1300 kasus pertusis di Kansas dan 90%
penderita adalah anak-anak yang telah mendapatkan vaksinasi
ini sebelumnya. Kegagalan sejenis juga terjadi di Nova Scotia
di mana pertusis telah muncul sekalipun telah dilakukan
vaksinasi universal.
Jerman mewajibkan vaksinasi tahun 1939. Jumlah kasus
dipteri naik menjadi 150.000 kasus, di mana pada tahun yang
sama, Norwegia yang tidak melakukan vaksinasi, kasus
dipterinya hanya sebanyak 50 kasus.
Penularan polio dalam skala besar, menyerang anak-anak
di Nigeria Utara berpenduduk muslim. Hal itu terjadi setelah
diberikan vaksinasi polio, sumbangan AS untuk penduduk
muslim. Beberapa pemimpin Islam lokal menuduh Pemerintah
Federal Nigeria menjadi bagian dari pelaksanaan rencana
Amerika untuk menghabiskan orang-orang Muslim dengan
menggunakan vaksin.
Tahun 1989-1991 vaksin campak ”high titre” buatan
Yugoslavia Edmonton-Zagreb diuji coba pada 1500 anak-anak
miskin keturunan orang hitam dan latin, di kota Los Angeles,
Meksiko, Haiti dan Afrika. Vaksin tersebut sangat
direkomendasikan oleh WHO. Program dihentikan setelah di
dapati banyak anak-anak meninggal dunia dalam jumlah yang
besar.
Vaksin campak merusak sistem kekebalan tubuh anak-anak
dalam waktu panjang selama 6 bulan sampai 3 tahun. Akibatnya
anak-anak yang diberi vaksin mengalami penurunan kekebalan
tubuh dan meninggal dunia dalam jumlah besar dari penyakit-
Page 15 of 32
NINDI MEDIARTIKA
penyakit lainnya WHO kemudian menarik vaksin-vaksin tersebut
dari pasar di tahun 1992.
Setiap program vaksin dari WHO di laksanakan di Afrika
dan Negara-negara dunia ketiga lainnya, hampir selalu
terdapat penjangkitan penyakit-penyakit berbahaya di lokasi
program vaksin dilakukan. Virus HIV penyebab Aids di
perkenalkan lewat program WHO melalui komunitas homoseksual
melalui vaksin hepatitis dan masuk ke Afrika tengah melalui
vaksin cacar.
Desember 2002, Menteri Kesehatan Amerika, Tommy G.
Thompson menyatakan, tidak merencanakan memberi suntikan
vaksin cacar. Dia juga merekomendasikan kepada anggota
kabinet lainnya untuk tidak meminta pelaksaanaan vaksin itu.
Sejak vaksinasi massal diterapkan pada jutaan bayi, banyak
dilaporkan berbagai gangguan serius pada otak, jantung,
sistem metabolisme, dan gangguan lain mulai mengisi halaman-
halaman jurnal kesehatan.
Kenyataannya vaksin untuk janin telah digunakan untuk
memasukan encephalomyelitis, dengan indikasi terjadi
pembengkakan otak dan pendarahan di dalam. Bart Classen,
seorang dokter dari Maryland, menerbitkan data yang
memperlihatkan bahwa tingkat penyakit diabetes berkembang
secara signifikan di Selandia Baru, setelah vaksin hepatitis
B diberikan secara massal di kalangan anak-anak.
Terbukti bahwa, vaksin meningococcal merupakan ”Bom
waktu bagi kesehatan penerima vaksin.”
Anak-anak di Amerika Serikat mendapatkan vaksin yang
berpotensi membahayakan dan dapat menyebabkan kerusakan
Page 16 of 32
NINDI MEDIARTIKA
permanen. Berbagai macam imunisasi misalnya, Vaksin seperti
Hepatitis B, DPT, Polio, MMR, Varicela (Cacar air) terbukti
telah banyak memakan korban anak-anak Amerika sendiri, mereka
menderita kelainan syaraf, anak-anak cacat, diabetes, autis,
autoimun dan lain-lain.
Vaksin cacar dipercayai bisa memberikan imunisasi kepada
masyarakat terhadap cacar. Pada saat vaksin ini diluncurkan,
sebenarnya kasus cacar sudah sedang menurun. Jepang
mewajibkan suntikan vaksin pada 1872. Pada 1892, ada 165.774
kasus cacar dengan 29.979 berakhir dengan kematian walaupun
adanya program vaksin.
Pemaksaan vaksin cacar, di mana orang yang menolak bisa
diperkarakan secara hukum, dilakukan di Inggris tahun 1867.
Dalam 4 tahun, 97.5& masyarakat usia 2 sampai 50 tahun telah
divaksinasi. Setahun kemudian Inggris merasakan epidemik
cacar terburuknya dalam sejarah dengan 44.840 kematian.
Antara 1871 – 1880 kasus cacar naik dari 28 menjadi 46 per
100.000 orang. Vaksin cacar tidak berhasil.
Dan masih banyak lagi.
Walene James, pengarang buku Immunization: the Reality
Behind The Myth, menjawab pertanyaan,Mengapa vaksin gagal
melindungi terhadap penyakit? on inflamatori penuh diperlukan
untuk menciptakan kekebalan nyata.
Sebelum introduksi vaksin cacar dan gondok, kasus cacar
dan gondok yang menimpa anak-anak adalah kasus tidak
berbahaya. Vaksin “mengecoh” tubuh sehingga tubuh kita tidak
menghasilkan respon inflamatory terhadap virus yang
diinjeksi.
Page 17 of 32
NINDI MEDIARTIKA
SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) naik dari 0.55 per
1000 orang di 1953 menjadi 12.8 per 1000 pada 1992 di
Olmstead County, Minnesota. Puncak kejadian SIDS adalah umur
2 – 4 bulan, waktu di mana vaksin mulai diberikan kepada
bayi. 85% kasus SIDS terjadi di 6 bulan pertama bayi.
Persentase kasus SIDS telah naik dari 2.5 per 1000 menjadi
17.9 per 1000 dari 1953 sampai 1992. Naikan kematian akibat
SIDS meningkat pada saat hampir semua penyakit anak-anak
menurun karena perbaikan sanitasi dan kemajuan medikal
kecuali SIDS. Kasus kematian SIDS meningkat pada saat jumlah
vaksin yang diberikan kepada balita naik secara meyakinkan
menjadi 36 per anak.
Dr. W. Torch berhasil mendokumentasikan 12 kasus kematian
pada anak-anak yang terjadi dalam 3,5 – 19 jam paska
imunisasi DPT. Dia kemudian juga melaporkan 11 kasus kematian
SIDS dan satu yang hampir mati 24 jam paska injeksi DPT. Saat
dia mempelajari 70 kasus kematian SIDS, 2/3 korban adalah
mereka yang baru divaksinasi mulai dari 1,5 hari sampai 3
minggu sebelumnya.
VAKSIN-LAH YANG MENYEBABKAN AUTISME DAN KANKER
“Kanker tidak dikenal sebelum adanya vaksinasi cacar. Saya telah
menghadapi 200 kasus kanker, dan tidak satupun penderita kanker yang
tidak di vaksinasi”.
- Dr. W.B. Clark, peneliti kanker New York
Page 18 of 32
NINDI MEDIARTIKA
“Sebelum program vaksinasi besar-besaran 50 tahun yang lalu, di Amerika tidak
terdapat wabah kanker, penyakit autoimun, dan kasus autisme.”
- Neil Z. Miller, peneliti vaksin internasional
Benarkah imunisasi lumpuhkan generasi?
Akhir-akhir ini kita sering mendengar atau melihat
seminar dengan judul “imunisasi lumpuhkan generasi” atau
wahai para orang tua bekali dirimu dengan pengetahuan tentang
bahaya imunisasi”. Pada permasalahan ini mari kita mencoba
meneliti kembali siapa sebenarnya yang dan sia yang benar?
Dalam ontroversi yang memuat perbedaan 180 derajat ini, tidak
mungkin keduanyasalah atau benar. Pasti salah satu benar dan
yang lain salah. Merupakan suatu pernyataan yang bertolak
belakang dengan yang kita ketahui selama ini bahwa imunisasi
itu suatu tindakan preventif yang amat bermanfaat untuk
kemanusiaan.
Apakah sebenarnya imunisasi itu?
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita bahas sekilas
apakah yang dimaksud dengan imunisasi. Imunisasi adalah suatu
cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang terhadap
suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada penyakit
tersebut ia tidak menjadi sakit. Kekebalan yang diperolah
dari imunisasi dapat berupa kekebalan pasif maupun aktif.
Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan pasif
disebut imunisasi pasif, dengan cara memberikan antibodi atau
faktor kekebalan kepada seseorang yang membutuhkan. Contohnya
adalah pemberian imunoglubulin spesifik untuk penyakit
Page 19 of 32
NINDI MEDIARTIKA
tertentu, misalnya imunoglubulin antitetanus untuk penyakit
tetanus. Contoh lain adalah kekebalan pasif alamiah antibodi
yang diperoleh janin dari ibu. Kekebalan jenis ini tidak
berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh.
Kekebalan aktif dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan
pada antigen secara alamiah atau melalui imunisasi.
Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan aktif
disebut imunisasi aktif dengan memberikan zat bioaktif yang
disebut vaksin, dan tindakan itu disebut vaksinasi. Kekebalan
yang diperoleh dari vaksinasi berlangsung lebih lama dari
kekebalan pasif karena adanya memori imunologis, walaupun
tidak sebaik kekebalan aktif yang terjadi karena infeksi
alamiah. Untuk memperoleh kekebalan aktif dan memori
imunologis yang efektif maka vaksinasi harus mengikuti cara
pemakaian dan jadwal yang telah ditentukan melalui bukti uji
klinis yang telah dilakukan. Tujuan imunisasi adalah untuk
mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan
menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat
(populasi), atau bahkan menghilangkannya dari dunia seperti
kita lihat pada keberhasilan imunisasi cacar variola. Keadaan
terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang
hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti penyakit
difteri dan poliomielitis. Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I) merupakan penyakit berbahaya yang dapat
menyebabkan kematian dan kecacatan seumur hidup dan akan
menjadi beban bagi masyarakat di kemudian hari. Sampai saat
ini terdapat 19 jenis vaksin untuk melindungi 23 PD3I di
Page 20 of 32
NINDI MEDIARTIKA
seluruh dunia dan masih banyak lagi vaksin yang sedang dalam
penelitian.
Adakah bukti bahwa imunisasi bermanfaat?
Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah adakah
manfaat imunisasi? Ataukah imunisasi hanya akan memberikan
dampak buruk untuk kehidupan manusia? Sebelum adanya
imunisasi campak, 503.282 kasus campak terjadi setiap tahun
dan 20% di antaranya dirawat dengan jumlah kematian mencapai
450 orang pertahun akibat pneumonia campak. Setelah ada
imunisasi campak kasus menurun hingga 55 kasus pertahun pada
tahun 2006. Angka penurunan 99.9%. Sebelum ditemukan
imunisasi difteri terjadi 175.885 kasus difteri per tahun
dengan angka kematian mencapai 15.520 kasus. Setelah
imunisasi ditemukan tahun 2001 jumlahnya menurun menjadi 2
kasus dan tahun 2006 tidak ada lagi laporan kasus difteri.
Angka penurunan mencapai 100%.
Sebelum tahun 1940an terdapat 150.000-260.000 kasus
pertussis setiap tahun dengan angka kematian mencapai 9000
kasus setahun. Setelah imunisasi pertussis ditemukan angka
kematian menurun menjadi 30 kasus setahun. Namun dengan
seruan antiimunisasi yang marak di AS terjadi lagi
peningkatan kasus secara signifikan di beberapa negara
bagian. Pada 8 negara bagian terjadi peningkatan kasus 10-100
kali lipat pada saat cakupan imunisasi pertussis menurun
drastis.
Sebelum vaksin HiB ditemukan, HiB nerupakan penyebab
tersering meningitis bakteri (radang selaput otak) di AS,
Page 21 of 32
NINDI MEDIARTIKA
dengan 20.000 kasus per tahun. Meningitis HiB menyebabkan
kematian 600 anak pertahun dan meninggalkan kecacatan berupa
tuli, kejang, dan retardasi mental pada anak yang selamat.
Pada tahun 2006 kasus meningitis HIB menurun menjadi 29
kasus. Angka penurunan 99.9%.
Hampir 90% bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi
Rubella saat hamil trimester pertama akan mengalami sindrom
Rubella kongenital, berupa penyakit jantung bawaan, katarak
kongenital, dan ketulian. Pada tahun 1964 sekitar 20.000 bayi
lahir dengan sindrom Rubella kongenital ini, mengakibatkan
2100 kematian neonatal dan 11.250 abortus. Setelah adanya
imunisasi hanya dilaporkan 6 kasus sindrom Rubella kongenital
pada tahun 2000. Kasus Rubella secara umum menurun dari
47.745 kasus menjadi hanya 11 kasus pertahun pada tahun 2006.
Angka penurunan 99.9%.
Hampir 2 milyar orang telah terinfeksi hepatitis B suatu
saat dalam hidupnya. Sejuta di antaranya meninggal setiap
tahun karena penyakit sirosis hati dan kanker hati. Sekitar
25% anak-anak yang terinfeksi hepatitis B dapat diperkirakan
akan meninggal karena penyakit hati pada saat dewasa. Terjadi
penurunan jumlah kasus baru dari 450.000 kasus pada tahun
1980 menjadi sekitar 80.000 kasus pada tahun 1999. Penurunan
terbanyak terjadi pada anak dan remaja yang mendapat
imunisasi rutin.
Di seluruh dunia penyakit tetanus menyebabkan kematian
pada 300.000 neonatus dan 30.000 ibu melahirkan setiap
tahunnya dan mereka tidak diimunisasi adekuat. Tetanus sangat
infeksius namun tidak menular, sehingga tidak seperti PD3I
Page 22 of 32
NINDI MEDIARTIKA
yang lain, imunisasi pada anggota suatu komunitas tidak dapat
melindungi orang lain yang tidak diimunisasi. Karena bakteri
tetanus terdapat banyak di lingkungan kita, maka tetanus
hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Bila program imunisasi
tetanus distop, maka semua orang dari berbagai usia akan
rentan menderita penyakit ini.
Sekitar 212.000 kasus mumps (gondongan) terjadi di AS
pada tahun 1964. Setelah ditemukannya vaksin mumps pada tahun
1967 insidens penyakit ini menurun menjadi hanya 266 kasus
pada tahun 2001. Namun pada tahun 2006 terjadi KLB di
kalangan mahasiswa, sebagian besar di antara mereka menerima
2 kali vaksinasi. Terjadi lebih dari 5500 kasus pada 15
negara bagian. Mumps merupakan penyakit yang sangat menular
dan hanya butuh beberapa orang saja yang tidak diimunisasi
untuk memulai transmisi penyakit sebelum menyebar luas.
Sebelum vaksin pneumokokus ditemukan, pneumokokus
menyebabkan 63.000 kasus invassive pneumococcal disease (IPD)
dengan 6100 kematian di AS setiap tahun. Banyak anak yang
menderita gejala sisa berupa ketulian dan kejang-kejang.
Dari data di atas para ahli menyimpulkan bahwa imunisasi
adalah salah satu di antara program kesehatan masyarakat yang
paling sukses dan cost-effective . Program imunisasi telah
menyebabkan eradikasi penyakit cacar (variola, smallpox),
eliminasi campak dan poliomielitis di berbagai belahan dunia.
dan penurunan signifikan pada morbiditas dan mortalitas
akibat penyakit difteri, tetanus, dan pertussis. Badan
kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2003 memperkirakan 2 juta
kematian anak dapat dicegah dengan imunisasi. Katz (1999)
Page 23 of 32
NINDI MEDIARTIKA
bahkan menyatakan bahwa imunisasi adalah sumbangan ilmu
pengetahuan yang terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan
di dunia ini.
Miskonsepsi tentang imunisasi
Meskipun imunisasi telah terbukti banyak manfaatnya
dalam mencegah wabah dan PD3I di berbagai belahan dunia,
namun masih terdapat sebagian orang yang memiliki miskonsepsi
terhadap imunisasi. Secara umum berikut ini adalah beberapa
miskonsepsi yang sering terjadi di masyarakat :
a. Penyakit-penyakit tersebut (PD3I) sebenarnya sudah mulai
menghilang sebelum vaksin ditemukan karena meningkatnya
higiene dan sanitasi. Pernyataan sejenis ini dan
variasinya sangat banyak dijumpai pada literatur
antivaksin. Namun bila melihat insidens aktual PD3I
sebelum dan sesudah ditemukannya vaksin kita tidak lagi
meragukan manfaat vaksinasi. Sebagai contoh kita lihat
kasus meningitis HiB di Canada. Higiene dan sanitasi sudah
dalam keadaan baik sejak tahun 1990, namun kejadian
meningitis HiB sebelum program imunisasi dilaksanakan
mencapai 2000 kasus per tahun dan setelah imunisasi rutin
dijalankan menurun menjadi 52 kasus saja dan mayoritas
terjadi pada bayi dan anak yang tidak diimunisasi. Contoh
lain adalah pada 3 negara maju (Inggris, Swedia, dan
Jepang) yang menghentikan program imunisasi pertussis
karena ketakutan terhadap efek samping vaksin pertussis.
Di Inggris tahun 1974 cakupan imunisasi menurun drastis
dan diikuti dengan terjadinya wabah pertussis pada tahun
Page 24 of 32
NINDI MEDIARTIKA
1978, ada 100.000 kasus pertussis dengan 36 kematian. Di
Jepang pada kurun waktu yang sama cakupan imunisasi
pertussis menurun dari 70% menjadi 20-40% hal ini
menyebabkan lonjakan kasus pertussis dari 393 kasus dengan
0 kematian menjadi 13.000 kasus dengan 41 kematian karena
pertussis pada tahun 1979. Di Swedia pun sama, dari 700
kasus pada tahun 1981 meningkat menjadi 3200 kasus pada
tahun 1985. Pengalaman tersebut jelas membuktikan bahwa
tanpa imunisasi bukan saja penyakit tidak akan menghilang
namun juga akan hadir kembali saat program imunisasi
dihentikan.
b. Mayoritas anak yang terkena penyakit justru yang sudah
diimunisasi.
Pernyataan ini juga sering dijumpai pada literatur
antivaksin. Memang dalam suatu kejadian luar biasa (KLB)
jumlah anak yang sakit dan pernah diimunisasi lebih banyak
daripada anak yang sakit dan belum diimunisasi. Penjelasan
masalah tersebut sebagai berikut: pertama tidak ada vaksin
yang 100% efektif. Efektivitas sebagian besar vaksin pada
anak adalah sebesar 85-95%, tergantung respons individu.
Kedua: proporsi anak yang diimunisasi lebih banyak
daripada anak yang tidak diimunisasi di negara yang
menjalankan program imunisasi. Bagaimana kedua faktor
tersebut berinteraksi diilustrasikan dalam contoh berikut.
Suatu sekolah mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah
diimunisasi campak 2 kali kecuali 25 yang tidak pernah
sama sekali. Ketika semua murid terpapar campak, 25 murid
yang belum diimunisasi semuanya menderita campak. Dari
Page 25 of 32
NINDI MEDIARTIKA
kelompok yang telah diimunisasi campak 2 kali, sakit 50
orang. Jumlah seluruh yang sakit 75 orang dan yang tidak
sakit 925 orang. Kelompok antiimunisasi akan mengatakan
bahwa persentase murid yang sakit adalah 67 % (50/75) dari
kelompok yang pernah imunisasi, dan 33% (25/75) dari
kelompok yang tidak diimunisasi. Padahal bila dihitung
dari efek proteksi, maka imunisasi memberikan efek
proteksi sebesar (975-25)/975 = 94.8%. Yang tidak
diimunisasi efek proteksi sebesar 0/25= 0%. Dengan kata
lain, 100% murid yang tidak mendapat imunisasi akan sakit
campak; dibanding hanya 5,2% dari kelompok yang
diimunisasi yang terkena campak. Jelas bahwa imunisasi
berguna untuk melindungi anak.
c. Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya, kesakitan,
dan bahkan kematian
Vaksin merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua
efek simpang vaksin bersifat ringan dan sementara, seperti
nyeri pada bekas suntikan atau demam ringan. Kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI) secara definitif mencakup
semua kejadian sakit pasca imunisasi. Prevalensi dan jenis
sakit yang tercantum dalam KIPI hampir sama dengan
prevalensi dan jenis sakit dalam keadaan sehari-hari tanpa
adanya program imunisasi. Hanya sebagian kecil yang memang
berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar
bersifat koinsidens. Kematian yang disebabkan oleh vaksin
sangat sedikit. Sebagai ilustrasi semua kematian yang
dilaporkan di Amerika sebagai KIPI pada tahun 1990-1992,
hanya 1 yang mungkin berhubungan dengan vaksin. Institut
Page 26 of 32
NINDI MEDIARTIKA
of Medicine (IOM) tahun 1994 menyatakan bahwa risiko
kematian akibat vaksin adalah amat rendah (extra-
ordinarily low). Besarnya risiko harus dibandingkan dengan
besarnya manfaat vaksin. Bila satu efek simpang berat
terjadi dalam sejuta dosis vaksin namun tidak ada manfaat
vaksin, maka vaksin tersebut tidak berguna. Manfaat
imunisasi akan lebih jelas bila risiko penyakit
dibandingkan dengan risiko vaksin.
Contoh vaksin MMR (melindungi campak, mumps (gondongan)
dan rubella (campak jerman)
pneumonia campak : risiko kematian 1:3000 risiko alergi
berat MMR 1:1000.000
Ensefalitis mumps : 1 : 300 pasien mumps risiko
ensefalitis MMR 1:1000.000
Sindrom rubella kongenital : 1 : 4 bayi dari ibu hamil
kena rubella
Contoh vaksin DPaT (melindungi difteri, pertussis, dan
tetanus)
Difteri : risiko kematian 1 : 20 risiko menangis lama
sementara 1 : 100
Tetanus : risiko kematian 1 : 30 risiko kejang sembuh
sempurna 1 : 1750
Pertussis : risiko ensefalitis pertussis 1 : 20 risiko
ensefalitis DPaT 1 : 1000.000
d. Penyakit penyakit tersebut (PD3I) telah tidak ada di
negara kita sehingga anak tidak perlu diimunisasi. Angka
kejadian beberapa penyakit yang termasuk PD3I memang telah
menurun drastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih
Page 27 of 32
NINDI MEDIARTIKA
cukup tinggi di negara lain. Siapa pun termasuk wisatawan
dapat membawa penyakit tersebut secara tidak sengaja dan
dapat menimbulkan wabah. Hal tersebut serupa dengan KLB
polio di Indonesia pada tahun 2005 lalu. Sejak tahun 1995
tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh virus polio
liar. Pada bulan April 2005, Laboratorium Bioofarma di
Bandung mengkonfirmasi adanya virus polio liar tipe 1 pada
anak berusia 18 bulan yang menderita lumpuh layuh akut
pada bulan Maret 2005. Anak tersebut tidak pernah
diimunisasi sebelumnya. Virus polio itu selanjutnya
menyebabkan wabah merebak ke 10 propinsi, 48 kabupaten.
Sampai bulan April 2006 tercatat 349 kasus polio, termasuk
46 kasus VDVP (vaccine derived polio virus) di Madura.
Dari analisis genetik virus diketahui bahwa virus berasal
dari Afrika barat. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa
virus sampai ke Indonesia melalui Nigeria dan Sudan sama
seperti virus yang diisolasi di Arab Saudi dan Yaman. Dari
pengalaman tersebut terbukti bahwa anak tetap harus
mendapat imunisasi karena dua alasan. Alasan pertama
adalah anak harus dilindungi. Meskipun risiko terkena
penyakit adalah kecil, bila penyakit masih ada, anak yang
tidak terproteksi tetap berpeluang terinfeksi. Alasan
kedua imunisasi anak penting untuk melindungi anak lain di
sekitarnya. Terdapat sejumlah anak yang tak dapat
diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap
komponen vaksin) dan sebagian kecil anak yang tidak
memberi respons terhadap imunisasi. Anak-anak tersebut
rentan terhadap penyakit dan perlindungan yang diharapkan
Page 28 of 32
NINDI MEDIARTIKA
adalah dari orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit dan
tidak menularkan penyakit kepadanya.
e. Pemberian vaksin kombinasi (multipel) meningkatkan risiko
efek simpang yang berbahaya dan dapat membebani sistem
imun Anak-anak terpapar pada banyak antigen setiap hari.
Makanan dapat membawa bakteri yang baru ke dalam tubuh.
Sistem imun juga akan terpapar oleh sejumlah bakteri hidup
di mulut dan hidung. Infeksi saluran pernapasan bagian
atas akan menambah paparan 4-10 antigen, sedangkan infeksi
streptokokus pada tenggorokan memberi paparan 25-50
antigen. Tahun 1994 IOM menyatakan bahwa dalam keadaan
normal penambahan jumlah antigen dalam vaksin tidak
mungkin akan memberikan beban tambahan pada sistem imun
dan tidak bersifat imunosupresif. Data penelitian
menunjukkan bahwa imunisasi simultan dengan vaksin
multipel tidak membebani sistem imun anak normal. Pada
tahun 1999 Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP), American Academy of Pediatrics (AAP), dan American
Academy of Family Physicians (AAFP) merekomendasi
pemberian vaksin kombinasi untuk imunisasi anak.
Keuntungan vaksin kombinasi adalah mengurangi jumlah
suntikan, mengurangi biaya penyimpanan dan pemberian
vaksin, mengurangi jumlah kunjungan ke dokter, dan
memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalam program
imunisasi.
Vaksin MMR menyebabkan autisme. Beberapa orangtua anak
dengan autisme percaya bahwa terdapat hubungan sebab akibat
antara vaksin MMR dengan autisme. Gejala khas autisme
Page 29 of 32
NINDI MEDIARTIKA
biasanya diamati oleh orangtua saat anak mulai tampak gejala
keterlambatan bicara setelah usia lewat satu tahun. Vaksin
MMR diberikan pada usia 15 bulan (di luar negeri 12 bulan).
Pada usia sekitar inilah biasanya gejala autisme menjadi
lebih nyata. Meski pun ada juga kejadian autisme mengikuti
imunisasi MMR pada beberapa kasus. Akan tetapi penjelasan
yang paling logis dari kasus ini adalah koinsidens. Kejadian
yang bersamaan waktu terjadinya namun tidak terdapat hubungan
sebab akibat. Kejadian autisme meningkat sejak 1979 yang
disebabkan karena meningkatnya kepedulian dan kemampuan kita
mendiagnosis penyakit ini, namun tidak ada lonjakan secara
tidak proporsional sejak dikenalkannya vaksin MMR pada tahun
1988. Pada tahun 2000 AAP membuat pernyataan : “Meski
kemungkinan hubungan antara vaksin MMR dengan autisme
mendapat perhatian luas dari masyarakat dan secara politis,
serta banyak yang meyakini adanya hubungan tersebut
berdasarkan pengalaman pribadinya, namun bukti-bukti ilmiah
yang ada tidak menyokong hipotesis bahwa vaksin MMR
menyebabkan autisme dan kelainan yang berhubungan dengannya.
Pemberian vaksin measles, mumps, dan rubella secara terpisah
pada anak terbukti tidak lebih baik daripada pemberian
gabungan menjadi vaksin MMR, bahkan akan menyebabkan
keterlambatan atau luput tidak terimunisasi. Dokter anak
mesti bekerjasama dengan para orangtua untuk memastikan bahwa
anak mereka terlindungi saat usianya mencapai 2 tahun dari
PD3I. Upaya ilmiah mesti terus dilakukan untuk mengetahui
penyebab pasti dari autisme. Lembaga lain yaitu CDC dan NIH
juga membuat pernyataan yang mendukung AAP. Pada tahun 2004
Page 30 of 32
NINDI MEDIARTIKA
IOM menganalisis semua penelitian yang melaporkan adanya
hubungan antara vaksin MMR dengan autisme. Hasilnya adalah
tidak satu pun penelitian itu yang tidak cacat secara
metodologis. Kesimpulan IOM saat itu adalah tidak terbukti
ada hubungan antara vaksin MMR dengan autisme.
REFERENSI
http://www.amazine.co/24826/bagaimana-cara-kerja-vaksin-
mencegah-penyakit/
http://rumahvaksinasi.net/benarkah-imunisasi-lumpuhkan-
generasi.html
http://bebasvaksin.blogspot.com/2012/01/teori-vaksinasi-
salah-satu-kebohongan.html
http://infoimunisasi.com/tentang-anakku/seperti-apakah-cara-
kerja-vaksin-di-dalam-tubuh-kita/
Page 31 of 32
NINDI MEDIARTIKA
http://www.jevuska.com/2013/04/23/apa-itu-vaksin-bahan-efek-
samping-vaksin/
http://www.imunisasi.net/Jenis-Jenis%20Vaksin%20untuk%20Orang
%20Dewasa.html
http://fitriinurraiini.blogspot.com/2013/08/macam-macam-
jenis-vaksin-dan-kegunaanya.html
http://www.parentsindonesia.com/article.php?
type=article&cat=feature&id=2479
Page 32 of 32