Apa itu vaksin

32
NINDI MEDIARTIKA VAKSINASI A. Apa itu vaksin? Vaksin berasal dari kata vaccinia. Vaccinia merupakan penyebab infeksi cacar sapi yang ketika diberikan kepada manusia, akan menimbulkan pengaruh kekebalan terhadap cacar. Vaksin itu sendiri merupakan bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus, sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau liar (wikipedia). Vaksin dapat berupa galur virusatau bakteri yang telah dilemahkan, sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya berupa protein, peptida atau partikel serupa virus yang dirancang untuk membantu melindungi manusia dari virus dan bakteri yang mungkin masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan penyakit. Ketika suatu bakteri atau virus memasuki tubuh, maka sistem kekebalan tubuh mulai memproduksi suatu protein yang disebut sebagai antibodi. Antibodi inilah yang dapat menyerang dan membantu menghancurkan bakteri atau virus tersebut. B. Macam-macam vaksin dan kegunaannya Berikut macam-macam vaksin dan juga kegunaannya: 1. Vaksin hepatitis A Vaksin ini berguna untuk melindungi dari penyakit hepatitis A. Page 1 of 32

Transcript of Apa itu vaksin

NINDI MEDIARTIKA

VAKSINASI

A. Apa itu vaksin?

Vaksin berasal dari kata vaccinia. Vaccinia merupakan

penyebab infeksi cacar sapi yang ketika diberikan kepada

manusia, akan menimbulkan pengaruh kekebalan terhadap cacar.

Vaksin itu sendiri merupakan bahan antigenik yang digunakan

untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit

yang disebabkan oleh bakteri atau virus, sehingga dapat

mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme

alami atau liar (wikipedia).

Vaksin dapat berupa galur virusatau bakteri yang telah

dilemahkan, sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat

juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya

berupa protein, peptida atau partikel serupa virus yang

dirancang untuk membantu melindungi manusia dari virus dan

bakteri yang mungkin masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan

penyakit. Ketika suatu bakteri atau virus memasuki tubuh,

maka sistem kekebalan tubuh mulai memproduksi suatu protein

yang disebut sebagai antibodi. Antibodi inilah yang dapat

menyerang dan membantu menghancurkan bakteri atau virus

tersebut.

B. Macam-macam vaksin dan kegunaannya

Berikut macam-macam vaksin dan juga kegunaannya:

1. Vaksin hepatitis A

Vaksin ini berguna untuk melindungi dari penyakit

hepatitis A.

Page 1 of 32

NINDI MEDIARTIKA

2. Vaksin hepatitis B

Vaksin ini berguna untuk mencegah penyakit hepatitis

B.

3. Vaksin polio

Vaksin ini berguna untuk melindungi dari penyakit

polio yang menyebabkan kelumpuhan.

4. Vaksin campak

Vaksin ini berguna untuk mencegah penyakit campak.

5. Vaksin PCV (Pneumococcal Conjugate Vaccine)

Vaksin ini berguna untuk melindungi dari penyakit

Invasive Pneumococcal Disease (IPD).

6. Hibvaksin

Vaksin ini berguna untuk melindungi dari serangan

meningitis, pneumonia, dan epiglotitis.

7. Vaksin MMR (Mumps, Measles, Rubella)

Vaksin ini berguna untuk melindungi dari campak,

gondongan, dan rubella (campak jerman).

8. Vaksin influenza

Vaksin ini berguna untuk melindungi dari kemungkinan

flu berat.

9. Vaksin varicella

Vaksin ini berguna untuk melindungi dari cacar air.

10. Vaksin HPV (Human Papilloma Virus)

Vaksin ini berguna untuk melindungi dari virus human

papilloma.

11. Vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin)

Vaksin ini berguna untuk mencegah penyakit TBC.

12. Vaksin DPT (Difetri, Pertusis, Tetanus)

Page 2 of 32

NINDI MEDIARTIKA

Vaksin ini berguna untuk melindungi dari difteri

(infeksi tenggorokan dan saluran pernafasan yang

fatal), pertusis (batuk rejan), dan tetanus.

13. Vaksin tifoid

Vaksin ini berguna untuk melindungi dari penyakit

tifus.

14. Vaksin yellow fever (demam kuning)

Vaksin ini berguna untuk melindungi dari penyakit

demam kuning yang disebabkan oleh virus yang dibawa

nyamuk Aedes dan Haemagogus.

15. Vaksin japanese B enchephalitis

Vaksin ini berguna untuk mencegah gangguan hati yang

disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB).

16. Vaksin rabies

Vaksin ini berguna untuk melindungi dari infeksi virus

rabies yang ditularkan melaui gigitan atau cakaran

hewan yang terinfeksi virus rabies. Hewan yang mungkin

menularkan virus ini adalah anjing, kucing, kelelawar,

monyet, dan lainnya.

C. Bahan-bahan vaksin

Sebagai tambahan aktif, vaksin juga mengandung komponen

lain yang disertakan untuk membantu meningkatkan efektivitas

mereka. Berikut komponen-komponen tambahan yang terkandung

dalam vaksin:

Page 3 of 32

NINDI MEDIARTIKA

1. Aluminium

Garam aluminium digunakan dalam beberapa vaksin untuk

membantu meningkatkan respon kekebalan pada orang yang

menerima vaksinasi.

2. Merkuri/thimerosal

Thimerosal adalah senyawa yang mengandung merkuri yang

telah digunakan sejak tahun 1930-an untuk membantu

mencegah bakteri mengkontaminasi vaksin. Thimerosal

telah dihilangkan atau dikurangi untuk melacak jumlah

disebagian besar vaksin yang direkomendasikan untuk

anak usia 6 tahun ke bawah.

3. Antibiotik

Antidiotik tertentu dapat digunakan selama pembuatan

vaksin untuk mencegah kontaminasi dari bakteri. Kadar

antibiotik sangat kecil yang terdapat dalam vaksin itu

sendiri.

4. Formaldehida

Formaldehida telah digunakan selama bertahun-tahun

untuk memproses virus tidak aktif dan bakteri selama

proes pembuatan vaksin. Kadar formaldehida sangat

kecil dapat ditemukan dalam beberapa vaksin.

D. Cara kerja vaksin

Vaksin berfungsi membantu tubuh mempersiapkan diri untuk

melawan penyakit. Pada dasarnya, vaksin memberi tubuh semacam

“bocoran” karakteristik bakteri, virus, atau racun tertentu

sehingga memungkinkan tubuh untuk belajar bagaimana cara

untuk mempertahankan diri. Jika tubuh pada akhirnya diserang

Page 4 of 32

NINDI MEDIARTIKA

oleh patogen tertentu setelah vaksin diberikan, maka sistem

kekebalan tubuh sudah siap untuk melawan serangan tersebut.

Kebanyakan vaksin diberikan dalam bentuk suntikan atau cairan

yang dikonsumsi melalui mulut. Namun, beberapa vaksin

diberikan dengan cara dihirup dalam bentuk aerosol atau

bubuk.

Mayoritas vaksin mengandung virus atau bakteri yang telah

dilemahkan atau dibunuh. Sedangkan, vaksin jenis lain

mengandung racun yang dilemahkan. Meskipun merupakan agen

penyebab penyakit, vaksin bersifat aman bagi tubuh dan tidak

menyebabkan penyakit. Ketika patogen lemah atau yang telah

mati diperkenalkan ke dalam aliran darah, sel B tubuh akan

langsung bekerja. Sel B adalah sel-sel yang bertanggungjawab

memerangi patogen penyebab penyakit. Setelah sel B dirangsang

untuk bertindak, antibodi kemudian terbentuk sehingga tubuh

mengembangkan kekebalan terhadap patogen tertentu.

Setelah seseorang menerima vaksin dan memiliki kekebalan,

dia biasanya akan terlindungi seumur hidup. Namu, terkadang

vaksin tidak memberikan kekebalan seumur hidup. Sebagai

contoh, beberapa vaksin, seperti tetanus dan pentusisi, hanya

efektif untuk waktu terbatas. Dalam kasus tersebut,

pengulangan pemberian vaksin diperlukan untuk mempertahankan

perlindungan. Dosis vaksin penguat diberikan pada interval

tertentu setelah vaksinasi awal. Dilain pihak, ada vaksin

yang harus diberikan secara teratur. Sebagai contoh, vaksin

flu harus diberikan tiap tahun akibat banyaknya strain flu.

Vaksin yang diberikan pada tahun tertentu umumnya hanya

memberikan perlindungan terhadap strain tertentu dari virus

Page 5 of 32

NINDI MEDIARTIKA

flu, tapi ketika terjadi lagi musim flu tahun berikutnya,

vaksinasi terhadap stain baru mungkin diperlukan. Selain itu,

vaksin flu tidak memberikan perlindungan seumur hidup setelah

satu tahun, efektivitas perlindungan mungkin telah jauh

berkurang.

E. Efek samping vaksin

Seperti banyak obat-obatan dan prosedur medis, efek

samping dapat saja terjadi setelah vaksinasi. Efek samping

dapat bervariasi pada beberapa vaksin. Efek samping yang

paling sering terjadi pada saat vaksin diberikan seperti

nyeri, kemerahan atau bengkak. Efek samping lainnya adalah

demam, sakit kepala, mual, nyeri otor, dan kelelahan.

Ada juga beberapa efek samping yang jarang terjadi namun

memberikan dampak yang lebih serius, seperti reaksi alergi

terhadap vaksin, dan tentunya hal ini memerlukan perhatian

medis segera.

F. Contoh vaksin

Vaksin BCG merupakan vaksin yang berisi mikroorganisme

Mycobacterium bovis yang telah dilemahkan dan diketahui sebagai

Bacillus Calmette Guerin (BCG) dimana menggunakan antigen untuk

menstimulasi imunitas terhadap Mycobacterium tuberculosis dan

Mycobacterium leprae.

Page 6 of 32

NINDI MEDIARTIKA

Mengenai kegunaannya sendiri, di dunia vaksin BCG

terbukti dari sekitar 80% studi menunjukkan bahwa vaksin ini

dapat menurunkan risiko dari penyakit Tubercoosis (TB).

Selain itu dapat mengurangi kejadian keparahan lain seperti

Tuberculosis meningitis.

Efek protektif dari vaksin ini sekitar 10 tahun, dan

efek yang panjang ini memberikan keuntungan tentunya dengan

pemberian minimal dan efek maksimal. Vaksin BCG, sangat

direkomendasikan untuk beberapa kondisi, seperti:

1. Infant dengan usia 0-12 bulan dengan lingkungan sekitar

insidensi Tuberkulosisnya tinggi dan  keluarga pernah

menderita tuberkulosis.

2. Anak dengan usia 1-5 tahun, dimana sebelumnya belum pernah

divaksinasi, dengan latar belakang yang sama dengan

kondisi diatas.

3. Anak dengan usia 6-16 tahun, yang sebelumnya tidak

divaksinasi, dan uji tuberculin negatif. Uji tuberkulin

merupakan uji yang mengindikasikan adanya indurasi dari

suatu respon imun yang menunjukkan positif tuberkulin.

4. Pada seseorang imigran yang sebelumnya belum divaksinasi

BCG.

5. Pada seseorang yang sebelumnya divaksinasi, dengan uji

tuberkulin negatif namun ada riwayat kontak dengan

penderita TB, dan berisiko tinggi.

Untuk pemberiannya, dosis tunggal dari vaksin BCG

disuntikkan intradermal, pada sisi luar lengan atas kiri yang

terabduksi (posisi tangan sedikit diangkat). Setelah

disuntikkan intradermal, maka akan timbul swelling

Page 7 of 32

NINDI MEDIARTIKA

(pembengkakan kecil) dan dapat pulih sendiri sekitar 2

minggu. Kemudian pada lesi dari bekas suntikan, akan

menimbulkan benjolan yang disebut dengan papul dan ulkus

bengkak kecil yang berdiameter sekitar 10mm, dimana akan

sembuh sendiri sekitar 12 minggu menjadi scar yang datar.

Setelah disuntikkan, pasien tidak boleh memakai baju

tipis. Beberapa perhatian, diantaranya, vaksin BCG tidak

boleh diberikan 3 bulan pada area suntikan yang sama, karena

dapat menjadi risiko limfadenitis.

Vaksin BCG tidak boleh diberikan pada kondisi tertentu,

seperti: seseorang dengan riwayat TB, seseorang dengan uji

tuberkulin positif, terjadi reaksi penolakan anafilaksis

(alergi), seseorang dengan kulit terinfeksi, seseorang dengan

dalam pengobatan imunitas, sesorang HIV positif dan lain

sebagainya.

Menjawab kontriversi seputar vaksinasi

Kendati pemerintah sudah mendukung dan menggalakkan

imunisasi di Indonesia, tapi fakta berbicara lain. UNICEF

melaporkan bahwa rata-rata cakupan imunisasi di Indonesia

hanya sekitar 72 persen. Ini berarti ada beberapa daerah yang

angka imunisasinya sangat rendah. Yang lebih mengejutkan

lagi, data dari WHO dan UNICEF menyatakan bahwa Indonesia

berada di posisi ke-4 sebagai negara dengan jumlah anak yang

tidak imunisasi, atau sudah mendapatkan imunisasi, tetapi

tidak lengkap atau tidak sampai selesai.

Berangkat dari angka memprihatinkan ini, pemerintah lalu

meluncurkan program pemberian imunisasi pada tahun 1974

dengan Program Pengembangan Imunisasi (Expanded Program on

Page 8 of 32

NINDI MEDIARTIKA

Imunization). UNICEF juga mencatat, sejak tahun tersebut,

imunisasi telah menyelamatkan lebih dari 20 juta jiwa dalam

dua dasawarsa. Kendati demikian, sampai kini tidak semua

masyarakat bisa menerima imunisasi. Kontroversi tentang

vaksin dan imunisasi tetap menjadi perbincangan yang kadang

tidak berujung.

Menurut Dr. Piprim B. Yanuarso, SpA, Sekretaris I PP IDAI,

meskipun telah banyak manfaatnya dalam mencegah wabah dan

PD3I (penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi) di

berbagai belahan dunia, namun masih banyak miskonsepsi yang

beredar dalam masyarakat. “Efektivitas vaksin ini sebenarnya

telah terbukti dari berbagai data yang ada. Pada tahun 2003,

WHO memerkirakan 2 juta kematian anak dapat dicegah dengan

imunisasi,” ujar dokter yang juga mengajar di FKUI-RSCM ini.

Dalam seminar media mengenai kontroversi seputar imunisasi di

Teater Titian Center, Bintaro, yang diselenggarakan KAF

Management pada 19 Mei lalu, ia pun menuturkan berbagai

miskonsepsi yang kerap terjadi dalam masyarakat.

PD3I Sudah Mulai Menghilang Sebelum Ada Vaksin

Tiliklah kasus meningitis HiB di Kanada. Sanitasi dan

kebersihan lingkungan sudah sangat membaik sejak tahun 1990,

tapi kasus meningitis HiB masih mencapai 2.000 kasus per

tahun. Saat program imunisasi rutin dijalankan, kasus pun

menurun drastis di angka 52, dan ini terjadi sebagian besar

pada bayi dan anak yang tidak divaksinasi. Dr. Piprim

menuturkan contoh menarik saat program imunisasi dihentikan

karena isu adanya efek samping. “Inggris, Swedia, dan Jepang

Page 9 of 32

NINDI MEDIARTIKA

sempat menghentikan program imunisasi pertusis. Pada tahun

1979, cakupan imunisasi pertusis di Jepang sempat menurun

dari 70 persen menjadi 20-40 persen. Akibatnya terjadi

lonjakan kasus dari 393 kasus dengan tidak ada kematian

menjadi 13.000 kasus dengan 41 kematian,” paparnya.

Selain itu, pandangan bahwa PD31 sudah lenyap sehingga anak

tidak perlu diimunisasi lagi juga perlu diluruskan. “Kendati

angka kejadian beberapa penyakit termasuk PD31 sudah sangat

menurun drastis dan langka, tapi bisa saja kejadian penyakit

tersebut masih tinggi di negara lain. Wisatawan bisa membawa

penyakit tersebut dan menimbulkan wabah,” ujar Dr. Piprim.

Kasus anak yang tidak pernah diimunisasi dan terserang

penyakit virus polio liar terjadi pada anak berusia 18 bulan

di Bandung pada Maret 2005. Padahal sejak tahun 1995,

dinyatakan virus polio sudah tidak ada lagi di Indonesia.

Setelah diteliti, nyatanya virus berasal dari Afrika Barat.

“Ini membuktikan anak tetap harus mendapatkan imunisasi

karena anak yang tidak terproteksi tetap berpeluang

terinfeksi. Imunisasi anak juga penting untuk melindungi anak

lain di sekitarnya.”

Vaksin Menimbulkan Efek Samping Berbahaya

Dr. Henny Zainal, pendiri HZ Lactation Center, yang juga

menjadi pembicara menyampaikan temuannya seputar efek samping

vaksin. “Dr. Sherry Tenpeni, seorang dokter gawat darurat

menjelaskan hasil investigasinya selama 6.000 jam yang berisi

tentang kasus kelumpuhan akibat virus polio tinggi akibat

vaksin oral karena isinya adalah vaksin yang dilemahkan,”

Page 10 of 32

NINDI MEDIARTIKA

ujarnya. Ini berarti kandungan kimia yang menyertai vaksin

telah melemahkan sistem imunitas anak sehingga jika diberikan

kepada anak dengan daya tahan tubuh rendah, bukan manfaat

yang didapat, lanjut Dr. Henny.

Dr. Piprim membantah hal itu. “Kematian karena vaksin

sangatlah sedikit. Semua kematian yang dilaporkan di Amerika

Serikat sebagai KIPI (kejadian ikutan pasca imunisasi) pada

1990-1992, hanya 1 yang mungkin berhubungan dengan vaksin.”

Prevalensi dan jenis sakit yang tercantum dalam KIPI hampir

sama dengan prevalensi dan jenis sakit sehari-hari tanpa

adanya program imunisasi.

Dituding Sebagai Penyebab Autisme

Ini salah satu kontroversi tentang vaksin yang paling

populer. Vaksin MMR seringkali dikaitkan sebagai penyebab

autisme pada anak. Meskipun ada kejadian autisme yang terjadi

setelah anak divaksin MMR, tidak ada lonjakan signifikan

sejak dikenalkan vaksin MMR pada tahun 1988. American Academy

of Pediatrics pada tahun 2000 juga mengeluarkan pernyataan

bahwa berbagai bukti ilmiah yang ada tidak mendukung

hipotesis bahwa vaksin MMR menyebabkan autisme. Pernyataan

ini juga didukung CDC (Centers for Disease Control and

Prevention) dan NIH (National Institute of Health). Fakta

lain yang menguatkan bahwa MMR bukan penyebab autisme juga

datang dari analisis IOM di tahun 2004 yang melaporkan bahwa

tidak ada satupun penelitian yang menyatakan adanya hubungan

antara vaksin MMR dan autisme yang tidak cacat secara

metodologi. IOM (Institute of Medicine–http://www.iom.edu)

Page 11 of 32

NINDI MEDIARTIKA

adalah organisasi independen nonprofit yang bekerja di luar

pemerintah untuk memberikan saran berdasarkan keahlian dan

tidak bias untuk publik dan pengambil kebijakan.

IDAI dalam bukunya Pentingnya Imunisasi untuk Mencegah Wabah,

Sakit Berat, Cacat dan Kematian Bayi-Balita juga memaparkan bahwa

penelitian Wakefield yang menyebutkan MMR menyebabkan autisme

terbukti tidak benar. Dokter spesialis bedah ini melaporkan

hal tersebut atas penelitian yang dilakukan terhadap 18

sampel pada tahun 1998. Namun setelah diaudit oleh tim ahli

penelitian di Inggris, terbukti ada kesalahan data yang

dimasukkan Wakefield. Soal ini sudah dipublikasi dalam British

Medical Journal Februari 2011.

Halalkah?

Bicara halal dan haram memang sensitif. Pada Oktober

2011, Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap menggandeng

Kementerian Agama Kantor Wilayah Cilacap dan Majelis Ulama

Indonesia setempat untuk mensosialisasikan program imunisasi

campak dan polio. Hal ini terkait penolakan sebagian warga di

Kecamatan Wanareja, Cilacap, karena menganggap bahwa

imunisasi adalah perbuatan yang haram karena vaksin

mengandung unsur babi.

Dalam seminar yang sama, Dr. Drh. Hasim DEA, Tim Ahli

LPPOM MUI, Jakarta,  memaparkan bahwa bakteri yang

dikembangkan menjadi isolat menggunakan teknologi yang ada

pada saat itu. Enzim yang berasal dari unsur babi memang

bersinggungan dengan media yang digunakan untuk

mengembangbiakkan bakteri. Namun proses ini telah mengalami

Page 12 of 32

NINDI MEDIARTIKA

pencucian dan pembersihan total dengan ultrafilterisasi

ratusan kali, sehingga vaksin yang diberikan kepada anak

tidak mengandung babi.

LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan

Kosmetika) MUI mencantumkan dalam situs resminya, bahwa pada

tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa No. 16 tahun 2005, tentang

kedaruratan penggunaan vaksin polio. Sebagaimana diakui

sendiri oleh pihak produsen, semua vaksin polio yang

diproduksi sampai dengan saat itu (tahun 2005), baik di dalam

maupun di luar negeri, masih menggunakan media dan proses

yang belum sepenuhnya sesuai dengan syariat Islam. Untuk itu,

fatwa MUI menyatakan bahwa pemberian vaksin diperbolehkan

untuk sementara, sepanjang situasinya darurat karena belum

ada vaksin yang produksinya menggunakan media dan proses yang

sesuai dengan syariat Islam.

Combo Lebih Berisiko

Pemberian vaksin kombinasi juga kerap dicurigai

meningkatkan risiko efek samping yang berbahaya karena

kandungannya yang lebih keras. “Penelitian yang dilakukan

menyatakan bahwa imunisasi simultan dengan vaksin multipel

tidak membebani sistem imun anak normal,” ujar Dr. Piprim.

Bahkan pada tahun 1999 Advisory Committee on Immunization

Practices (ACIP), AAP, dan American Academy of Family

Physicians (AAFP) justru merekomendasikan pemberian vaksin

kombinasi. “Vaksin kombinasi justru bisa mengurangi jumlah

suntikan, biaya penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi

Page 13 of 32

NINDI MEDIARTIKA

jumlah kunjungan ke dokter, serta memfasilitasi penambahan

vaksin baru ke dalam program imunisasi,” tambahnya.

ASI Saja Sudah Cukup

Siapapun setuju bahwa ASI adalah cairan terbaik yang

bisa diberikan seorang ibu kepada bayinya. “Kolostrum

mengandung antibodi yang memberikan bayi protein kompleks.

Namun antibodo sendiri kerjanya terbatas dan harus dibantu

dengan vaksin sebagai antigen terhadap penyakit tertentu,”

tutur Dr. Hasim. Beliau juga menuturkan bahwa antibodi

kolostrum efektif untuk anak pada minggu pertama kelahiran.

Setelah itu, selektivitas usus bayi meningkat dan protein

kompleks antibodi tidak dapat masuk lagi kecuali dicerna

menjadi asam amino. Inilah mengapa vaksin diperlukan. “Orang

tua tidak perlu khawatir, karena vaksin modern bukan lagi

virus atau bakteri yang dilemahkan, namun berupa bagian dari

dinding sel yang bersifat antigenik,” kata Dr. Hasim. Saran

terbaik yang dapat diberikan adalah memberikan ASI eksklusif

dan imunisasi sesuai jadwal yang diberikan IDAI.

Bencana akibat vaksin yang tidak pernah dipublikasikan

Di Amerika pada tahun 1991 – 1994 sebanyak 38.787

masalah kesehatan dilaporkan kepada Vaccine Adverse Event

Reporting System (VAERS) FDA. Dari jumlah ini 45% terjadi

pada hari vaksinasi, 20% pada hari berikutnya dan 93% dalam

waktu 2 mgg setelah vaksinasi. Kematian biasanya terjadi di

kalangan anak anak usia 1-3 bulan.

Page 14 of 32

NINDI MEDIARTIKA

Pada 1986 ada 1300 kasus pertusis di Kansas dan 90%

penderita adalah anak-anak yang telah mendapatkan vaksinasi

ini sebelumnya. Kegagalan sejenis juga terjadi di Nova Scotia

di mana pertusis telah muncul sekalipun telah dilakukan

vaksinasi universal.

Jerman mewajibkan vaksinasi tahun 1939. Jumlah kasus

dipteri naik menjadi 150.000 kasus, di mana pada tahun yang

sama, Norwegia yang tidak melakukan vaksinasi, kasus

dipterinya hanya sebanyak 50 kasus.

Penularan polio dalam skala besar, menyerang anak-anak

di Nigeria Utara berpenduduk muslim. Hal itu terjadi setelah

diberikan vaksinasi polio, sumbangan AS untuk penduduk

muslim. Beberapa pemimpin Islam lokal menuduh Pemerintah

Federal Nigeria menjadi bagian dari pelaksanaan rencana

Amerika untuk menghabiskan orang-orang Muslim dengan

menggunakan vaksin.

Tahun 1989-1991 vaksin campak ”high titre” buatan

Yugoslavia Edmonton-Zagreb diuji coba pada 1500 anak-anak

miskin keturunan orang hitam dan latin, di kota Los Angeles,

Meksiko, Haiti dan Afrika. Vaksin tersebut sangat

direkomendasikan oleh WHO. Program dihentikan setelah di

dapati banyak anak-anak meninggal dunia dalam jumlah yang

besar.

Vaksin campak merusak sistem kekebalan tubuh anak-anak

dalam waktu panjang selama 6 bulan sampai 3 tahun. Akibatnya

anak-anak yang diberi vaksin mengalami penurunan kekebalan

tubuh dan meninggal dunia dalam jumlah besar dari penyakit-

Page 15 of 32

NINDI MEDIARTIKA

penyakit lainnya WHO kemudian menarik vaksin-vaksin tersebut

dari pasar di tahun 1992.

Setiap program vaksin dari WHO di laksanakan di Afrika

dan Negara-negara dunia ketiga lainnya, hampir selalu

terdapat penjangkitan penyakit-penyakit berbahaya di lokasi

program vaksin dilakukan. Virus HIV penyebab Aids di

perkenalkan lewat program WHO melalui komunitas homoseksual

melalui vaksin hepatitis dan masuk ke Afrika tengah melalui

vaksin cacar.

Desember 2002, Menteri Kesehatan Amerika, Tommy G.

Thompson menyatakan, tidak merencanakan memberi suntikan

vaksin cacar. Dia juga merekomendasikan kepada anggota

kabinet lainnya untuk tidak meminta pelaksaanaan vaksin itu.

Sejak vaksinasi massal diterapkan pada jutaan bayi, banyak

dilaporkan berbagai gangguan serius pada otak, jantung,

sistem metabolisme, dan gangguan lain mulai mengisi halaman-

halaman jurnal kesehatan.

Kenyataannya vaksin untuk janin telah digunakan untuk

memasukan encephalomyelitis, dengan indikasi terjadi

pembengkakan otak dan pendarahan di dalam. Bart Classen,

seorang dokter dari Maryland, menerbitkan data yang

memperlihatkan bahwa tingkat penyakit diabetes berkembang

secara signifikan di Selandia Baru, setelah vaksin hepatitis

B diberikan secara massal di kalangan anak-anak.

Terbukti bahwa, vaksin meningococcal merupakan ”Bom

waktu bagi kesehatan penerima vaksin.”

Anak-anak di Amerika Serikat mendapatkan vaksin yang

berpotensi membahayakan dan dapat menyebabkan kerusakan

Page 16 of 32

NINDI MEDIARTIKA

permanen. Berbagai macam imunisasi misalnya, Vaksin seperti

Hepatitis B, DPT, Polio, MMR, Varicela (Cacar air) terbukti

telah banyak memakan korban anak-anak Amerika sendiri, mereka

menderita kelainan syaraf, anak-anak cacat, diabetes, autis,

autoimun dan lain-lain.

Vaksin cacar dipercayai bisa memberikan imunisasi kepada

masyarakat terhadap cacar. Pada saat vaksin ini diluncurkan,

sebenarnya kasus cacar sudah sedang menurun. Jepang

mewajibkan suntikan vaksin pada 1872. Pada 1892, ada 165.774

kasus cacar dengan 29.979 berakhir dengan kematian walaupun

adanya program vaksin.

Pemaksaan vaksin cacar, di mana orang yang menolak bisa

diperkarakan secara hukum, dilakukan di Inggris tahun 1867.

Dalam 4 tahun, 97.5& masyarakat usia 2 sampai 50 tahun telah

divaksinasi. Setahun kemudian Inggris merasakan epidemik

cacar terburuknya dalam sejarah dengan 44.840 kematian.

Antara 1871 – 1880 kasus cacar naik dari 28 menjadi 46 per

100.000 orang. Vaksin cacar tidak berhasil.

Dan masih banyak lagi.

Walene James, pengarang buku Immunization: the Reality

Behind The Myth, menjawab pertanyaan,Mengapa vaksin gagal

melindungi terhadap penyakit? on inflamatori penuh diperlukan

untuk menciptakan kekebalan nyata.

Sebelum introduksi vaksin cacar dan gondok, kasus cacar

dan gondok yang menimpa anak-anak adalah kasus tidak

berbahaya. Vaksin “mengecoh” tubuh sehingga tubuh kita tidak

menghasilkan respon inflamatory terhadap virus yang

diinjeksi.

Page 17 of 32

NINDI MEDIARTIKA

SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) naik dari 0.55 per

1000 orang di 1953 menjadi 12.8 per 1000 pada 1992 di

Olmstead County, Minnesota. Puncak kejadian SIDS adalah umur

2 – 4 bulan, waktu di mana vaksin mulai diberikan kepada

bayi. 85% kasus SIDS terjadi di 6 bulan pertama bayi.

Persentase kasus SIDS telah naik dari 2.5 per 1000 menjadi

17.9 per 1000 dari 1953 sampai 1992. Naikan kematian akibat

SIDS meningkat pada saat hampir semua penyakit anak-anak

menurun karena perbaikan sanitasi dan kemajuan medikal

kecuali SIDS. Kasus kematian SIDS meningkat pada saat jumlah

vaksin yang diberikan kepada balita naik secara meyakinkan

menjadi 36 per anak.

Dr. W. Torch berhasil mendokumentasikan 12 kasus kematian

pada anak-anak yang terjadi dalam 3,5 – 19 jam paska

imunisasi DPT. Dia kemudian juga melaporkan 11 kasus kematian

SIDS dan satu yang hampir mati 24 jam paska injeksi DPT. Saat

dia mempelajari 70 kasus kematian SIDS, 2/3 korban adalah

mereka yang baru divaksinasi mulai dari 1,5 hari sampai 3

minggu sebelumnya.

VAKSIN-LAH YANG MENYEBABKAN AUTISME DAN KANKER

“Kanker tidak dikenal sebelum adanya vaksinasi cacar. Saya telah

menghadapi 200 kasus kanker, dan tidak satupun penderita kanker yang

tidak di vaksinasi”.

- Dr. W.B. Clark, peneliti kanker New York

Page 18 of 32

NINDI MEDIARTIKA

“Sebelum program vaksinasi besar-besaran 50 tahun yang lalu, di Amerika tidak

terdapat wabah kanker, penyakit autoimun, dan kasus autisme.”

- Neil Z. Miller, peneliti vaksin internasional

Benarkah imunisasi lumpuhkan generasi?

Akhir-akhir ini kita sering mendengar atau melihat

seminar dengan judul “imunisasi lumpuhkan generasi” atau

wahai para orang tua bekali dirimu dengan pengetahuan tentang

bahaya imunisasi”. Pada permasalahan ini mari kita mencoba

meneliti kembali siapa sebenarnya yang dan sia yang benar?

Dalam ontroversi yang memuat perbedaan 180 derajat ini, tidak

mungkin keduanyasalah atau benar. Pasti salah satu benar dan

yang lain salah. Merupakan suatu pernyataan yang bertolak

belakang dengan yang kita ketahui selama ini bahwa imunisasi

itu suatu tindakan preventif yang amat bermanfaat untuk

kemanusiaan.

Apakah sebenarnya imunisasi itu?

Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita bahas sekilas

apakah yang dimaksud dengan imunisasi. Imunisasi adalah suatu

cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang terhadap

suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada penyakit

tersebut ia tidak menjadi sakit. Kekebalan yang diperolah

dari imunisasi dapat berupa kekebalan pasif maupun aktif.

Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan pasif

disebut imunisasi pasif, dengan cara memberikan antibodi atau

faktor kekebalan kepada seseorang yang membutuhkan. Contohnya

adalah pemberian imunoglubulin spesifik untuk penyakit

Page 19 of 32

NINDI MEDIARTIKA

tertentu, misalnya imunoglubulin antitetanus untuk penyakit

tetanus. Contoh lain adalah kekebalan pasif alamiah antibodi

yang diperoleh janin dari ibu. Kekebalan jenis ini tidak

berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh.

Kekebalan aktif dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan

pada antigen secara alamiah atau melalui imunisasi.

Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan aktif

disebut imunisasi aktif dengan memberikan zat bioaktif yang

disebut vaksin, dan tindakan itu disebut vaksinasi. Kekebalan

yang diperoleh dari vaksinasi berlangsung lebih lama dari

kekebalan pasif karena adanya memori imunologis, walaupun

tidak sebaik kekebalan aktif yang terjadi karena infeksi

alamiah. Untuk memperoleh kekebalan aktif dan memori

imunologis yang efektif maka vaksinasi harus mengikuti cara

pemakaian dan jadwal yang telah ditentukan melalui bukti uji

klinis yang telah dilakukan. Tujuan imunisasi adalah untuk

mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan

menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat

(populasi), atau bahkan menghilangkannya dari dunia seperti

kita lihat pada keberhasilan imunisasi cacar variola. Keadaan

terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang

hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti penyakit

difteri dan poliomielitis. Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan

Imunisasi (PD3I) merupakan penyakit berbahaya yang dapat

menyebabkan kematian dan kecacatan seumur hidup dan akan

menjadi beban bagi masyarakat di kemudian hari. Sampai saat

ini terdapat 19 jenis vaksin untuk melindungi 23 PD3I di

Page 20 of 32

NINDI MEDIARTIKA

seluruh dunia dan masih banyak lagi vaksin yang sedang dalam

penelitian.

Adakah bukti bahwa imunisasi bermanfaat?

Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah adakah

manfaat imunisasi? Ataukah imunisasi hanya akan memberikan

dampak buruk untuk kehidupan manusia? Sebelum adanya

imunisasi campak, 503.282 kasus campak terjadi setiap tahun

dan 20% di antaranya dirawat dengan jumlah kematian mencapai

450 orang pertahun akibat pneumonia campak. Setelah ada

imunisasi campak kasus menurun hingga 55 kasus pertahun pada

tahun 2006. Angka penurunan 99.9%. Sebelum ditemukan

imunisasi difteri terjadi 175.885 kasus difteri per tahun

dengan angka kematian mencapai 15.520 kasus. Setelah

imunisasi ditemukan tahun 2001 jumlahnya menurun menjadi 2

kasus dan tahun 2006 tidak ada lagi laporan kasus difteri.

Angka penurunan mencapai 100%.

Sebelum tahun 1940an terdapat 150.000-260.000 kasus

pertussis setiap tahun dengan angka kematian mencapai 9000

kasus setahun. Setelah imunisasi pertussis ditemukan angka

kematian menurun menjadi 30 kasus setahun. Namun dengan

seruan antiimunisasi yang marak di AS terjadi lagi

peningkatan kasus secara signifikan di beberapa negara

bagian. Pada 8 negara bagian terjadi peningkatan kasus 10-100

kali lipat pada saat cakupan imunisasi pertussis menurun

drastis.

Sebelum vaksin HiB ditemukan, HiB nerupakan penyebab

tersering meningitis bakteri (radang selaput otak) di AS,

Page 21 of 32

NINDI MEDIARTIKA

dengan 20.000 kasus per tahun. Meningitis HiB menyebabkan

kematian 600 anak pertahun dan meninggalkan kecacatan berupa

tuli, kejang, dan retardasi mental pada anak yang selamat.

Pada tahun 2006 kasus meningitis HIB menurun menjadi 29

kasus. Angka penurunan 99.9%.

Hampir 90% bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi

Rubella saat hamil trimester pertama akan mengalami sindrom

Rubella kongenital, berupa penyakit jantung bawaan, katarak

kongenital, dan ketulian. Pada tahun 1964 sekitar 20.000 bayi

lahir dengan sindrom Rubella kongenital ini, mengakibatkan

2100 kematian neonatal dan 11.250 abortus. Setelah adanya

imunisasi hanya dilaporkan 6 kasus sindrom Rubella kongenital

pada tahun 2000. Kasus Rubella secara umum menurun dari

47.745 kasus menjadi hanya 11 kasus pertahun pada tahun 2006.

Angka penurunan 99.9%.

Hampir 2 milyar orang telah terinfeksi hepatitis B suatu

saat dalam hidupnya. Sejuta di antaranya meninggal setiap

tahun karena penyakit sirosis hati dan kanker hati. Sekitar

25% anak-anak yang terinfeksi hepatitis B dapat diperkirakan

akan meninggal karena penyakit hati pada saat dewasa. Terjadi

penurunan jumlah kasus baru dari 450.000 kasus pada tahun

1980 menjadi sekitar 80.000 kasus pada tahun 1999. Penurunan

terbanyak terjadi pada anak dan remaja yang mendapat

imunisasi rutin.

Di seluruh dunia penyakit tetanus menyebabkan kematian

pada 300.000 neonatus dan 30.000 ibu melahirkan setiap

tahunnya dan mereka tidak diimunisasi adekuat. Tetanus sangat

infeksius namun tidak menular, sehingga tidak seperti PD3I

Page 22 of 32

NINDI MEDIARTIKA

yang lain, imunisasi pada anggota suatu komunitas tidak dapat

melindungi orang lain yang tidak diimunisasi. Karena bakteri

tetanus terdapat banyak di lingkungan kita, maka tetanus

hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Bila program imunisasi

tetanus distop, maka semua orang dari berbagai usia akan

rentan menderita penyakit ini.

Sekitar 212.000 kasus mumps (gondongan) terjadi di AS

pada tahun 1964. Setelah ditemukannya vaksin mumps pada tahun

1967 insidens penyakit ini menurun menjadi hanya 266 kasus

pada tahun 2001. Namun pada tahun 2006 terjadi KLB di

kalangan mahasiswa, sebagian besar di antara mereka menerima

2 kali vaksinasi. Terjadi lebih dari 5500 kasus pada 15

negara bagian. Mumps merupakan penyakit yang sangat menular

dan hanya butuh beberapa orang saja yang tidak diimunisasi

untuk memulai transmisi penyakit sebelum menyebar luas.

Sebelum vaksin pneumokokus ditemukan, pneumokokus

menyebabkan 63.000 kasus invassive pneumococcal disease (IPD)

dengan 6100 kematian di AS setiap tahun. Banyak anak yang

menderita gejala sisa berupa ketulian dan kejang-kejang.

Dari data di atas para ahli menyimpulkan bahwa imunisasi

adalah salah satu di antara program kesehatan masyarakat yang

paling sukses dan cost-effective . Program imunisasi telah

menyebabkan eradikasi penyakit cacar (variola, smallpox),

eliminasi campak dan poliomielitis di berbagai belahan dunia.

dan penurunan signifikan pada morbiditas dan mortalitas

akibat penyakit difteri, tetanus, dan pertussis. Badan

kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2003 memperkirakan 2 juta

kematian anak dapat dicegah dengan imunisasi. Katz (1999)

Page 23 of 32

NINDI MEDIARTIKA

bahkan menyatakan bahwa imunisasi adalah sumbangan ilmu

pengetahuan yang terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan

di dunia ini.

Miskonsepsi tentang imunisasi

Meskipun imunisasi telah terbukti banyak manfaatnya

dalam mencegah wabah dan PD3I di berbagai belahan dunia,

namun masih terdapat sebagian orang yang memiliki miskonsepsi

terhadap imunisasi. Secara umum berikut ini adalah beberapa

miskonsepsi yang sering terjadi di masyarakat :

a. Penyakit-penyakit tersebut (PD3I) sebenarnya sudah mulai

menghilang sebelum vaksin ditemukan karena meningkatnya

higiene dan sanitasi. Pernyataan sejenis ini dan

variasinya sangat banyak dijumpai pada literatur

antivaksin. Namun bila melihat insidens aktual PD3I

sebelum dan sesudah ditemukannya vaksin kita tidak lagi

meragukan manfaat vaksinasi. Sebagai contoh kita lihat

kasus meningitis HiB di Canada. Higiene dan sanitasi sudah

dalam keadaan baik sejak tahun 1990, namun kejadian

meningitis HiB sebelum program imunisasi dilaksanakan

mencapai 2000 kasus per tahun dan setelah imunisasi rutin

dijalankan menurun menjadi 52 kasus saja dan mayoritas

terjadi pada bayi dan anak yang tidak diimunisasi. Contoh

lain adalah pada 3 negara maju (Inggris, Swedia, dan

Jepang) yang menghentikan program imunisasi pertussis

karena ketakutan terhadap efek samping vaksin pertussis.

Di Inggris tahun 1974 cakupan imunisasi menurun drastis

dan diikuti dengan terjadinya wabah pertussis pada tahun

Page 24 of 32

NINDI MEDIARTIKA

1978, ada 100.000 kasus pertussis dengan 36 kematian. Di

Jepang pada kurun waktu yang sama cakupan imunisasi

pertussis menurun dari 70% menjadi 20-40% hal ini

menyebabkan lonjakan kasus pertussis dari 393 kasus dengan

0 kematian menjadi 13.000 kasus dengan 41 kematian karena

pertussis pada tahun 1979. Di Swedia pun sama, dari 700

kasus pada tahun 1981 meningkat menjadi 3200 kasus pada

tahun 1985. Pengalaman tersebut jelas membuktikan bahwa

tanpa imunisasi bukan saja penyakit tidak akan menghilang

namun juga akan hadir kembali saat program imunisasi

dihentikan.

b. Mayoritas anak yang terkena penyakit justru yang sudah

diimunisasi.

Pernyataan ini juga sering dijumpai pada literatur

antivaksin. Memang dalam suatu kejadian luar biasa (KLB)

jumlah anak yang sakit dan pernah diimunisasi lebih banyak

daripada anak yang sakit dan belum diimunisasi. Penjelasan

masalah tersebut sebagai berikut: pertama tidak ada vaksin

yang 100% efektif. Efektivitas sebagian besar vaksin pada

anak adalah sebesar 85-95%, tergantung respons individu.

Kedua: proporsi anak yang diimunisasi lebih banyak

daripada anak yang tidak diimunisasi di negara yang

menjalankan program imunisasi. Bagaimana kedua faktor

tersebut berinteraksi diilustrasikan dalam contoh berikut.

Suatu sekolah mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah

diimunisasi campak 2 kali kecuali 25 yang tidak pernah

sama sekali. Ketika semua murid terpapar campak, 25 murid

yang belum diimunisasi semuanya menderita campak. Dari

Page 25 of 32

NINDI MEDIARTIKA

kelompok yang telah diimunisasi campak 2 kali, sakit 50

orang. Jumlah seluruh yang sakit 75 orang dan yang tidak

sakit 925 orang. Kelompok antiimunisasi akan mengatakan

bahwa persentase murid yang sakit adalah 67 % (50/75) dari

kelompok yang pernah imunisasi, dan 33% (25/75) dari

kelompok yang tidak diimunisasi. Padahal bila dihitung

dari efek proteksi, maka imunisasi memberikan efek

proteksi sebesar (975-25)/975 = 94.8%. Yang tidak

diimunisasi efek proteksi sebesar 0/25= 0%. Dengan kata

lain, 100% murid yang tidak mendapat imunisasi akan sakit

campak; dibanding hanya 5,2% dari kelompok yang

diimunisasi yang terkena campak. Jelas bahwa imunisasi

berguna untuk melindungi anak.

c. Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya, kesakitan,

dan bahkan kematian

Vaksin merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua

efek simpang vaksin bersifat ringan dan sementara, seperti

nyeri pada bekas suntikan atau demam ringan. Kejadian

ikutan pasca imunisasi (KIPI) secara definitif mencakup

semua kejadian sakit pasca imunisasi. Prevalensi dan jenis

sakit yang tercantum dalam KIPI hampir sama dengan

prevalensi dan jenis sakit dalam keadaan sehari-hari tanpa

adanya program imunisasi. Hanya sebagian kecil yang memang

berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar

bersifat koinsidens. Kematian yang disebabkan oleh vaksin

sangat sedikit. Sebagai ilustrasi semua kematian yang

dilaporkan di Amerika sebagai KIPI pada tahun 1990-1992,

hanya 1 yang mungkin berhubungan dengan vaksin. Institut

Page 26 of 32

NINDI MEDIARTIKA

of Medicine (IOM) tahun 1994 menyatakan bahwa risiko

kematian akibat vaksin adalah amat rendah (extra-

ordinarily low). Besarnya risiko harus dibandingkan dengan

besarnya manfaat vaksin. Bila satu efek simpang berat

terjadi dalam sejuta dosis vaksin namun tidak ada manfaat

vaksin, maka vaksin tersebut tidak berguna. Manfaat

imunisasi akan lebih jelas bila risiko penyakit

dibandingkan dengan risiko vaksin.

Contoh vaksin MMR (melindungi campak, mumps (gondongan)

dan rubella (campak jerman)

pneumonia campak : risiko kematian 1:3000 risiko alergi

berat MMR 1:1000.000

Ensefalitis mumps : 1 : 300 pasien mumps risiko

ensefalitis MMR 1:1000.000

Sindrom rubella kongenital : 1 : 4 bayi dari ibu hamil

kena rubella

Contoh vaksin DPaT (melindungi difteri, pertussis, dan

tetanus)

Difteri : risiko kematian 1 : 20 risiko menangis lama

sementara 1 : 100

Tetanus : risiko kematian 1 : 30 risiko kejang sembuh

sempurna 1 : 1750

Pertussis : risiko ensefalitis pertussis 1 : 20 risiko

ensefalitis DPaT 1 : 1000.000

d. Penyakit penyakit tersebut (PD3I) telah tidak ada di

negara kita sehingga anak tidak perlu diimunisasi. Angka

kejadian beberapa penyakit yang termasuk PD3I memang telah

menurun drastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih

Page 27 of 32

NINDI MEDIARTIKA

cukup tinggi di negara lain. Siapa pun termasuk wisatawan

dapat membawa penyakit tersebut secara tidak sengaja dan

dapat menimbulkan wabah. Hal tersebut serupa dengan KLB

polio di Indonesia pada tahun 2005 lalu. Sejak tahun 1995

tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh virus polio

liar. Pada bulan April 2005, Laboratorium Bioofarma di

Bandung mengkonfirmasi adanya virus polio liar tipe 1 pada

anak berusia 18 bulan yang menderita lumpuh layuh akut

pada bulan Maret 2005. Anak tersebut tidak pernah

diimunisasi sebelumnya. Virus polio itu selanjutnya

menyebabkan wabah merebak ke 10 propinsi, 48 kabupaten.

Sampai bulan April 2006 tercatat 349 kasus polio, termasuk

46 kasus VDVP (vaccine derived polio virus) di Madura.

Dari analisis genetik virus diketahui bahwa virus berasal

dari Afrika barat. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa

virus sampai ke Indonesia melalui Nigeria dan Sudan sama

seperti virus yang diisolasi di Arab Saudi dan Yaman. Dari

pengalaman tersebut terbukti bahwa anak tetap harus

mendapat imunisasi karena dua alasan. Alasan pertama

adalah anak harus dilindungi. Meskipun risiko terkena

penyakit adalah kecil, bila penyakit masih ada, anak yang

tidak terproteksi tetap berpeluang terinfeksi. Alasan

kedua imunisasi anak penting untuk melindungi anak lain di

sekitarnya. Terdapat sejumlah anak yang tak dapat

diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap

komponen vaksin) dan sebagian kecil anak yang tidak

memberi respons terhadap imunisasi. Anak-anak tersebut

rentan terhadap penyakit dan perlindungan yang diharapkan

Page 28 of 32

NINDI MEDIARTIKA

adalah dari orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit dan

tidak menularkan penyakit kepadanya.

e. Pemberian vaksin kombinasi (multipel) meningkatkan risiko

efek simpang yang berbahaya dan dapat membebani sistem

imun Anak-anak terpapar pada banyak antigen setiap hari.

Makanan dapat membawa bakteri yang baru ke dalam tubuh.

Sistem imun juga akan terpapar oleh sejumlah bakteri hidup

di mulut dan hidung. Infeksi saluran pernapasan bagian

atas akan menambah paparan 4-10 antigen, sedangkan infeksi

streptokokus pada tenggorokan memberi paparan 25-50

antigen. Tahun 1994 IOM menyatakan bahwa dalam keadaan

normal penambahan jumlah antigen dalam vaksin tidak

mungkin akan memberikan beban tambahan pada sistem imun

dan tidak bersifat imunosupresif. Data penelitian

menunjukkan bahwa imunisasi simultan dengan vaksin

multipel tidak membebani sistem imun anak normal. Pada

tahun 1999 Advisory Committee on Immunization Practices

(ACIP), American Academy of Pediatrics (AAP), dan American

Academy of Family Physicians (AAFP) merekomendasi

pemberian vaksin kombinasi untuk imunisasi anak.

Keuntungan vaksin kombinasi adalah mengurangi jumlah

suntikan, mengurangi biaya penyimpanan dan pemberian

vaksin, mengurangi jumlah kunjungan ke dokter, dan

memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalam program

imunisasi.

Vaksin MMR menyebabkan autisme. Beberapa orangtua anak

dengan autisme percaya bahwa terdapat hubungan sebab akibat

antara vaksin MMR dengan autisme. Gejala khas autisme

Page 29 of 32

NINDI MEDIARTIKA

biasanya diamati oleh orangtua saat anak mulai tampak gejala

keterlambatan bicara setelah usia lewat satu tahun. Vaksin

MMR diberikan pada usia 15 bulan (di luar negeri 12 bulan).

Pada usia sekitar inilah biasanya gejala autisme menjadi

lebih nyata. Meski pun ada juga kejadian autisme mengikuti

imunisasi MMR pada beberapa kasus. Akan tetapi penjelasan

yang paling logis dari kasus ini adalah koinsidens. Kejadian

yang bersamaan waktu terjadinya namun tidak terdapat hubungan

sebab akibat. Kejadian autisme meningkat sejak 1979 yang

disebabkan karena meningkatnya kepedulian dan kemampuan kita

mendiagnosis penyakit ini, namun tidak ada lonjakan secara

tidak proporsional sejak dikenalkannya vaksin MMR pada tahun

1988. Pada tahun 2000 AAP membuat pernyataan : “Meski

kemungkinan hubungan antara vaksin MMR dengan autisme

mendapat perhatian luas dari masyarakat dan secara politis,

serta banyak yang meyakini adanya hubungan tersebut

berdasarkan pengalaman pribadinya, namun bukti-bukti ilmiah

yang ada tidak menyokong hipotesis bahwa vaksin MMR

menyebabkan autisme dan kelainan yang berhubungan dengannya.

Pemberian vaksin measles, mumps, dan rubella secara terpisah

pada anak terbukti tidak lebih baik daripada pemberian

gabungan menjadi vaksin MMR, bahkan akan menyebabkan

keterlambatan atau luput tidak terimunisasi. Dokter anak

mesti bekerjasama dengan para orangtua untuk memastikan bahwa

anak mereka terlindungi saat usianya mencapai 2 tahun dari

PD3I. Upaya ilmiah mesti terus dilakukan untuk mengetahui

penyebab pasti dari autisme. Lembaga lain yaitu CDC dan NIH

juga membuat pernyataan yang mendukung AAP. Pada tahun 2004

Page 30 of 32

NINDI MEDIARTIKA

IOM menganalisis semua penelitian yang melaporkan adanya

hubungan antara vaksin MMR dengan autisme. Hasilnya adalah

tidak satu pun penelitian itu yang tidak cacat secara

metodologis. Kesimpulan IOM saat itu adalah tidak terbukti

ada hubungan antara vaksin MMR dengan autisme.

REFERENSI

http://www.amazine.co/24826/bagaimana-cara-kerja-vaksin-

mencegah-penyakit/

http://rumahvaksinasi.net/benarkah-imunisasi-lumpuhkan-

generasi.html

http://bebasvaksin.blogspot.com/2012/01/teori-vaksinasi-

salah-satu-kebohongan.html

http://infoimunisasi.com/tentang-anakku/seperti-apakah-cara-

kerja-vaksin-di-dalam-tubuh-kita/

Page 31 of 32