ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TABUNGAN DI INDONESIA

22
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TABUNGAN DI INDONESIA PERIODE OKTOBER 2012 MARET 2015 DITA PUTRI ARISTIYANTI 1113084000041 (Mahasiswi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Email : [email protected] Pembimbing : Tony S. Chendrawan, ST., SE., M.Si ABSTRACT The research aims to know the influence of the factors (economic variables) to National Saving in Indonesia period 2002-2012, the factors are BI Rates and Inflation. Based on the research results, this study used secondary data and quantitative research using time series method, and the method used Ordinary Least Square (OLS) by SPSS 22.Data are analyzed using multiple linear regression and also use the test t and test F. The Methodology of this research is qualitative analysis, it is based on secondary sources, which is mean the data has taken from books, reports, documents, and other relevant online sources (official website of Bank Indonesia). This analysis also aimed to determine the effect of independent variables (BI Rate and Inflation) on the dependent variables (National Saving (Tabungan DPK Bank Umum)). The data used is from 2012.10 to 2015.3, the Hypothesis Test used t - test and F - test with significance level of 0.000 with a confidence level of 2,5%. The classical assumptions test used in this study include normality, multicollinearity, heteroscedasticity and autocorrelation test the results showed that the BI Rates had a positive and significant to National Saving. While, The Inflation had a negative and not significant to National Saving. Keywords : BI RATE, INFLATION, NATIONAL SAVING (TABUNGAN DPK BANK UMUM) I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yabg adil dan makmur berdasarkan UUD 1945, maka kesinambungan dan peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional yang berazaskan kekeluargaan perlu dipelihara dengan baik. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan pembangunan ekonomi harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan unsurunsur pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Seperti yang dikemukakan dalam teori dari Harrod dan Domar, bahwa tabungan sangat berpengaruh bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Bila suatu negara ingin tumbuh dengan cepat, maka jumlah tabungan harus ditingkatkan dan nilai dari ICOR (Increamental Capital Output Ratio) harus diperkecil. Tabungan yang merupakan sumber dana bagi pembangunan dapat berasal dari dalam negeri ataupun dari luar negeri. Namun pada umumnya di negara sedang berkembang tingkat tabungan dalam negeri adalah relatif kecil. Pengetahuan tentang perilaku tabungan sangat penting dalam mendesain kebijakan untuk mendorong tabungan dan investasi. Pada umumnya perbedaan lingkungan ekonomi di negara sedang berkembang dan negara maju merupakan perbedaan mendasar dalam perilaku tabungan. Sebagian besar literature empiris yang menganalisis perilaku tabungan antar negara memfokuskan pada kurangnya informasi yang konsisten dalam perilaku tabungan dan perbedaan perilaku tabungan negara berkembang versus negara maju yang seringkali diabaikan oleh pemerintah negara berkembang ketika mengadopsi kebijakan untuk meningkatkan tabungan dari negara industri maju. Literatur tabungan pada umumnya didasarkan pada dua pendapat yang berbeda. Kubu pertama adalah dari aliran Klasik dan kubu kedua adalah aliran Keynesian. Wicksell salah satu tokoh dari penganut klasik menyatakan bahwa tabungan merupakan fungsi dari tingkat bunga dengan hubungan positif. Sedangkan Keynes (1936) mendefinisikan tabungan sebagai fungsi dari tingkat pendapatan. Pengikut aliran Keynes (Keynesian) mengemukakan beberapa hipotesias dalam hubungan tentang konsumsi dan tabungan. Hipotesishipotesis tersebut mencakup tentang

Transcript of ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TABUNGAN DI INDONESIA

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TABUNGAN DI INDONESIA

PERIODE OKTOBER 2012 – MARET 2015

DITA PUTRI ARISTIYANTI

1113084000041

(Mahasiswi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Email : [email protected]

Pembimbing :

Tony S. Chendrawan, ST., SE., M.Si

ABSTRACT

The research aims to know the influence of the factors (economic variables) to National Saving in Indonesia

period 2002-2012, the factors are BI Rates and Inflation. Based on the research results, this study used secondary

data and quantitative research using time series method, and the method used Ordinary Least Square (OLS) by

SPSS 22.Data are analyzed using multiple linear regression and also use the test t and test F. The Methodology of

this research is qualitative analysis, it is based on secondary sources, which is mean the data has taken from books,

reports, documents, and other relevant online sources (official website of Bank Indonesia).

This analysis also aimed to determine the effect of independent variables (BI Rate and Inflation) on the dependent

variables (National Saving (Tabungan DPK Bank Umum)). The data used is from 2012.10 to 2015.3, the

Hypothesis Test used t - test and F - test with significance level of 0.000 with a confidence level of 2,5%. The

classical assumptions test used in this study include normality, multicollinearity, heteroscedasticity and

autocorrelation test the results showed that the BI Rates had a positive and significant to National Saving. While,

The Inflation had a negative and not significant to National Saving.

Keywords : BI RATE, INFLATION, NATIONAL SAVING (TABUNGAN DPK BANK UMUM)

I PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan masyarakat

Indonesia yabg adil dan makmur berdasarkan

UUD 1945, maka kesinambungan dan

peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional

yang berazaskan kekeluargaan perlu dipelihara

dengan baik. Untuk mencapai tujuan tersebut,

maka pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

lebih memperhatikan keserasian, keselarasan dan

keseimbangan unsur–unsur pemerataan

pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan

stabilitas nasional.

Seperti yang dikemukakan dalam teori dari

Harrod dan Domar, bahwa tabungan sangat

berpengaruh bagi pertumbuhan ekonomi suatu

negara. Bila suatu negara ingin tumbuh dengan

cepat, maka jumlah tabungan harus ditingkatkan

dan nilai dari ICOR (Increamental Capital

Output Ratio) harus diperkecil.

Tabungan yang merupakan sumber dana bagi

pembangunan dapat berasal dari dalam negeri

ataupun dari luar negeri. Namun pada umumnya

di negara sedang berkembang tingkat tabungan

dalam negeri adalah relatif kecil. Pengetahuan

tentang perilaku tabungan sangat penting

dalam mendesain

kebijakan untuk mendorong tabungan dan

investasi. Pada umumnya perbedaan lingkungan

ekonomi di negara sedang berkembang dan

negara maju merupakan perbedaan mendasar

dalam perilaku tabungan. Sebagian besar

literature empiris yang menganalisis perilaku

tabungan antar negara memfokuskan pada

kurangnya informasi yang konsisten dalam

perilaku tabungan dan perbedaan perilaku

tabungan negara berkembang versus negara maju

yang seringkali diabaikan oleh pemerintah negara

berkembang ketika mengadopsi kebijakan untuk

meningkatkan tabungan dari negara industri

maju. Literatur tabungan pada umumnya

didasarkan pada dua pendapat yang berbeda.

Kubu pertama adalah dari aliran Klasik dan

kubu kedua adalah aliran Keynesian.

Wicksell salah satu tokoh dari penganut klasik

menyatakan bahwa tabungan merupakan fungsi

dari tingkat bunga dengan hubungan positif.

Sedangkan Keynes (1936) mendefinisikan

tabungan sebagai fungsi dari tingkat pendapatan.

Pengikut aliran Keynes (Keynesian)

mengemukakan beberapa hipotesias dalam

hubungan tentang konsumsi dan tabungan.

Hipotesis–hipotesis tersebut mencakup tentang

hipotesis pendapatan permanen yang

dikemukakan oleh Friedman (1957) yang

membedakan pendapatan menjadi pendapatan

permanen dan pendapatan transitory sebagai

penentu tabungan.

Uji empiris hipotesis pendapatan permanen

terutama dikonsentrasikan pada efek

kesejahteraan inisial dari tabungan. Hasil

empiris tentang pendapatan permenen

menunjukkan perbedaan perilaku negara

berkembang dan negara maju. Sedangkan

hipotesis siklus hidup dari Ando dan

Modigliani (1963) yang didasarkan pada

asumsi bahwa individu mengalokasikan

konsumsinya secara ”merata” selama hidupnya

dengan cara mengumpulkan tabungan selama

masa produktif dan menjaga tingkat

konsumsinya selama masa non produktif.

Sekretaris Jenderal The Organisation for

Economic Co-operation and Development

(OECD) Angel Gurria mengatakan, bank-bank di

Indonesia memiliki margin yang lebih tinggi

yang didapatkan dari suku bunga tabungan dan

kredit bila dibanding bank di negara ASEAN

lainnya. Hal tersebut mencerminkan kebutuhan

bank untuk menutupi biaya operasional lebih

tinggi. Angkanya, antara 2,5% sampai 4% dari

aset bank, dibanding 2% di Malaysia dan 1% di

Singapura. "Ini akibat kondisi geografis

Indonesia yang unik dan ketidakefisienan.

Beberapa rasio biaya operasional terhadap total

aset bank-bank di Indonesia merupakan tertinggi

di antara bank-bank di negara anggota G-20,"

menurit Sekjen OECD (25/3/2015).

Menurut Gurria, bank-bank di Indonesia juga

merupakan bank paling profitable di antara bank-

bank di negara anggota G-20, dengan rata-rata

pengembalian atas modal (return on equity)

sebesar 23%, di atas rata-rata di China sebesar

21% dan lebih dari dua kali rata-rata di Amerika

Serikat sebesar 9% (data Bloomberg, 2013).

Tingkat pengembalian yang tinggi di Indonesia

disebabkan oleh margin bunga bersih, yang

dengan rata-rata sebesar 7 poin persentase,

merupakan yang tertinggi di antara negara

anggota G-20 (rata-rata suku bunga pinjaman

adalah sebesar 12%, sementara rata-rata suku

bunga yang dibayarkan kepada deposan sebesar

5%)

Salah satu sarana yang mempunyai peran

strategis untuk menyerasikan dan

menyeimbangkan dari masing-masing unsur

adalah perbankan.

Peran yang strategis tersebut terutama

disebabkan oleh fungsi utama bank sebagai suatu

wahana yang menghimpun dan menyalurkan

dana masyarakat secara efektif dan efisien

yang dengan berazaskan demokrasi ekonomi

mendukung pelaksanaan pembangunan nasional

dalam rangka meningkatkan pemerataan

pembangunan dan hasi–hasilnya, pertumbuhan

dan pembangunan ekonomi akan meningkat.

Pembangunan nasional Indonesia membutuhkan

dana dan salah satu sumber dananya adalah dari

tabungan nasional. Industri perbankan merupakan

salah satu komponen yang sangat penting dalam

perekonomian nasional demi menjaga

keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi

nasional, Indonesia mengalami krisis moneter

dan perbankan pada tahun 1998. Akibat krisis

moneter tersebut maka kepercayaan masyarakat

terhadap perbankan menurun, sehingga tabungan

nasional mengalami penurunan. Untuk menjaga

stabilitas keuangan ini, maka pemerintah perlu

melakukan kebijakan moneter yang tepat.

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa

pengaruh dan mengetahui elastisitas tingkat suku

bunga, inflasi terhadap tabungan nasional di

Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan

berguna bagi pemerintah untuk membuat suatu

kebijakan, juga sebagai kontribusi ilmiah pada

ilmu ekonomi.

1. 1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat

merumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimana pengaruh antara tingkat suku

bunga terhadap tabungan?

Bagaimana pengaruh antara tingkat

inflasi terhadap tabungan?

Bagaimana pengaruh antara tingkat suku

bunga dan tingkat inflasi terhadap

tabungan?

2. 1. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui seberapa besar

pengaruh antara tingkat suku bunga

terhadap tabungan.

Untuk mengetahui seberapa besar

pengaruh antara tingkat inflasi terhadap

tabungan.

Untuk mengetahui seberapa besar tingkat

suku bunga dan tingkat inflasi terhadap

tabunga

II. KERANGKA TEORITIS DAN

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tabungan

2.1.1. Pengertian Tabungan

Pengertian Tabungan Menurut Soemitro

Djojohadikusumo (1954) tabungan

didefinisikan sebagai kemampuan dan

kesediaan untuk menahan hasrat konsumsi

selama beberapa waktu agar di masa yang

depan terbuka kemungkinan konsumsi yang

memuaskan.

Pengertian Tabungan menurut Simorangkir

(1991:47) adalah tabungan diartikan sebagai

bagian derajat pendapatan nasional

pertahunnya yang tidak dikonsumsi.

Tabungan adalah simpanan dana pihak ketiga

kepada bank yang penarikannya hanya dapat

dilakukan menurut syarat-syarat yang

ditentukan antara bank dan nasabah

(Simurangkir 2004:11)

ccmenyatakan bahwa tabungan merupakan

dana pihak ketiga yang dapat ditarik sesuai

perjanjian antara bank dan nasabah pemegang

rekening tabungan. Tabungan meskipun

merupakan dana simpanan yang dapat ditarik

setiap saat, akan tetapi pengendapannya

relatif lebih stabil dibanding dana yang

berasal dari giro.

Tabungan adalah simpanan yang

penarikannya hanya dapat dilakukan dengan

syarat tertentu yang lebih disepakati, dan

tidak menggunakan cek atau bilyet giro atau

alat lainnya dapat dipersamakan oleh hal itu.

Cara penarikan rekening tabungan ini

biasannya menggunakan cashcard atau ATM,

dan debt card (Sri Susilo, 2004:64).

Sedangkan menurut statistik ekonomi

keuangan indonesia (2011) tabungan adalah

simpanan pada bank umum dan BPR dalam

rupiah milik pihak ketiga, yang penarikan

hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat

tertentu yang disepakati tetapi tidak dapat

ditarik dengan cek atau alat yang dapat

dipersamakan dengan itu.

Wikipedia Bahasa Indonesia menyatakan

bahwa tabungan adalah simpanan yang

penarikannya hanya dapat dilakukan menurut

syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak

dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau

alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Tabungan nasional (national saving) dapat

didefinisikan sebagai pendapatan total dalam

perekonomian yang tersisa setelah dipakai

untuk pengeluaran pemerintah dan konsumsi.

Dalam suatu negara, investasi domestik dapat

dibiayai oleh tabungan nasional dan pinjaman

dari luar negeri. Total dana yang tersedia

untuk membiayai investasi (I) sama dengan

tabungan nasional (S+(T-G)) ditambah

dengan pinjaman dari luar negeri (X-M).

Secara matematis dapat dirumuskan :

I = S+(T-G)+(X-M).................... (1)

Untuk mengurangi ketergantungan suatu

negara terhadap bantuan dari pihak lain,

tabungan nasional diutamakan sebagai

sumber pembiayaaan investasi domestik.

Secara garis besar, tabungan nasional

diciptakan oleh tiga pelaku, yaitu pemerintah,

perusahaan, dan rumah tangga.

Tabungan pemerintah merupakan selisih

antara realisasi penerimaan dengan

pengeluaran pemerintah. Tabungan

perusahaan merupakan kelebihan pendapatan

(laba) yang tidak dibagikan kepada pemegang

saham yang besarnya dapat diketahui dari

neraca perusahaan. Sedangkan tabungan

rumah tangga merupakan bagian dari

pendapatan yang diterima rumah tangga yang

tidak dibelanjakan untuk keperluan konsumsi.

Secara matematis persamaan tabungan dapat

dijabarkan sebagai berikut. Jika tabungan

swasta adalah S = (Y-T)-C dan Tabungan

Pemerintah adalah (T-G), maka Tabungan

Nasional :

= S+(T-G)=(Y-T)-C+(T-G)

= Y-C-G........................(2)

Dimana :

S = Tabungan Swasta

Y = Pendapatan Nasional/Agregat

T = Pajak Netto

C = Konsumsi

G = Pengeluaran Pemerintah

Jika T-G bernilai positif, maka pemerintah

akan mengalami budget surplus, dan sektor

ini akan ditambah pada sektor swasta untuk

menambah sumber pembiayaaan investasi.

Namun jika T-G bernilai negati berarti

pemerintah mengalami budget deficit, dan

peerintah harus meminjam dana dari pihak

lain.

2.1.2. Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhui Tabungan

Menurit ekonom klasik, Adam Smith,

tabungan merupakan fungsi dari tingkat

bunga. Tingkat bunga merupakan pembayaran

dari tidak dilakukannya konsumsi, imbalan

dari kesediaan untuk menunggu dan tidak

dilakukannya konsumsi dan pembayaran atas

penggunaan dana. Oleh karena itu, jika

tingkat bunga naik, jumlah tabungan juga

akan meningkat. Tingkat bunga ditentukan

dari titik keseimbangan antara tabungan dan

investasi.

Alfred Marshall dari kaum neoklasik

mengemukakan bahwa terdapat faktor

ekonomi dan non ekonomi yang

mempengaruhi tabungan. Diantara faktor-

faktor ekonomi tersebut, dia menekankan

pada tingkat bunga, walaupun mungkin ada

keadaan dimana tetap ada tabungan walaupun

tingkat bunga negatif.

Selain tingkat bunga, pendapatan juga

dikatakan sebagai salah satu faktor yang

mempengaruhi tabungan nasional. Pendapat

tersebut dikemukakan oleh J.M. Keynes

dalam teorinya mengenai kecenderungan

untuk mengkonsumsi (propensity to consume)

yang secara eksplisit menghubungkan antara

tabungan dan pendapatan. Keynes

menyatakan suatu fungsi konsumsi modern

yang didasari oleh perilaku psikologis

modern, yaitu apabila terjadi peningkatan

pada pendapatan riil, peningkatan tersebut

tidak digunakan seluruhnya untuk

meningkatlkan konsumsi, tetapi dari sisa

pendapatan tersebut juga digunakan untuk

menabung, hal ini dapat dijelaskan dalam

persamaan berikut :

S≡Y-C........................ (3)

C=Ĉ+cY,Ĉ>0;0<c< 1 …................. (4)

D :

S=saving

Y=income

Ĉ= intercept; tingkat konsumsi ketika

pendapatan nol c = marginal propensity to

consume

Jika kedua persamaan (3) dan (4) atau disebut

juga budget constraint tersebut digabungkan,

maka akan menjelaskan fungsi persamaan

tabungan. Fungsi persamaan tabungan sendiri

menjelaskan hubungan tingkat tabungan

dan tingkat pendapatan. Dengan

mensubstitusi persamaan konsumsi (3)

dengan persamaan budget constraint (4),

maka kita akan mendapatkan fungsi

persamaan tabungan :

S ≡ Y-C = Y-Ĉ – cY

= - Ĉ + (1-c)Y ………………..…. (5)

Dari persamaan (1.5) kita dapat melihat

bahwa tabungan memiliki hubungan positif

dengan pendapatan karena marginal

propensity to save, s =1 – c, adalah positif.

Dengan kata lain, tabungan meningkat ketika

pendapatan meningkat.

Penentu Faktor-Faktor Lainnya

Sadono Sukirno (2004:119-121) menjelaskan

ada faktor-faktor lain yang menentukan

tabungan selain dari pandangan Klasik dan

Keynes di atas diantaranya :

a) Kekayaan Yang Telah Terkumpul

Sebagai akibatnya dari mendapat harta

warisan atau tabungan yang banyak akibat

usaha dimasa lau, maka seseorang berhasil

mempunyai kekayaan yang mencukupi.

Dalam keadaan seperti itu ia sudah tidak

terdorong lagi untuk menabung lebih banyak.

Maka lebih besar bagian dari pendapatannya

yang digunakan untuk konsumsi dimasa

sekarang. Sebaliknya, untuk orang yang tidak

memperoleh warisan atau kekayaan, mereka

akan lebih bertekad untuk menabung. Untuk

memperoleh kekayaan yang lebih banyak

dimasayang akan datang atau untuk

memenuhi kebutuhan dimasa depan

keluarganya seperti membeli rumah,

membiayai pendidikan anak atau membuat

tabungan untuk persiapan dihari tua.

b) Sikap Berhemat

Berbagai masyarakat mempunyai sikap yang

berbeda dalam menabung dan belanja. Ada

masyarakat yang tidak suka belanja

berlebihan-lebihan dan lebih mementingkan

tabungan.

Dalam masyarakat seperti iti APC dan

MPCnya adalah lebih rendah. Tetapi ada pula

masyarkat yang mempunyai kecendrungan

menkonsumsi yang tinggi yang berati APC

dan MPCnya adalah tinggi.

c) Keadaan Perekonomian

Dalam perekonomian yang tumbuh dengan

teguh dan tidak banyak pengangguran,

masyarakat cenderung melakukan

pengeluaran yang lebih efektif. Mereka

memiliki kecenderungan belanja lebih banyak

pada masa kini dan kurang menabung. Tetapi

dalam keadaan kegiatan perekonomian yang

lambat perkembangannya, tingkat

pengangguran menunjukan tendensi

meningkat dan sikap masyarakat dalam

menggunakan uang dan pendapat menjadi

makin berhati-hati.

2.1.3. Teori Tabungan

a. Teori Klasik

Menurut Teori Klasik tabungan merupakan

fungsi dari suku bunga, bahwa semakin tinggi

tingkat bunga akan semakin tinggi pula

keinginan masyarakat untuk menabung.

Artinya pada tingkat bunga yang lebih tinggi

masyarakat akan lebih terdorong untuk

mengorbankan konsumsi guna menambah

tabungan. Investasi juga tergantung atau

merupakan fungsi dari tingkat bunga, semakin

tinggi bunga keinginan untuk melakukan

invetasi semakin kecil.

Alasannya, seseorang pengusahan akan

menambah pengeluaran investasinya apabila

keuntungan yang diharapkan dari investasi

lebih besar dari tingkat bunga yang harus dia

bayar. Semakin rendah tingkat bunga,

pengusaha akan lebih terdorong untuk

melakukan investasi, sebab biaya penggunaan

dan (cost of capital) juga semakin kecil (Sekti

Wibowo Listyoadi, 2005).

b. Teori Keynes

Dalam Teori Keynesian bahwa tingkan bunga

tidaklah ditentukan oleh interaksi tabungan

dan oleh investasi di pasar modal, akan tetapi

tingkat bunga merupakan fenomena moneter,

artinya tingkat bunga ditentukan oleh

permintaan dan penawaran uang di pasar

uang.

Uang akan mempengaruhi kegiatan ekonomi

(pendapatan domestik) sepanjang uang itu

mempengaruhi bunga. Perubahan tingkat

bunga selanjutnya akan mempengaruhi

keinginan berinvestasi sektor perusahaan

karena investsi sendiri sangat sensitif

terhadap tingkat bunga. Tabungan sendiri

menurut mereka tidaklah ditentukan oleh

tingakt bunga, namun lebih ditentukan oleh

tingkat pendapatan, semakin tinggi tingkat

pendapatan akan semakin tinggi pula

tabungan yang dilakukan oleh sektor rumah

tangga. (Vanirtis dalam Sekti Wibisini

Listyoadi, 2005).

The Life-Cycle Permanent Income Theory of

Consumption and Saving (Modigliani,1986)

menjelaskan tentang pilihan bagaimana

memelihara standar hidup yang stabil dalam

menghadapi perubahan pendapatan dalam

waktu hidup seseorang. Jadi, teori ini

menjelaskan hubungan antara pendapatan

sepanjang waktu, konsumsi, dan tabungan.

The life cycle hypothesis melibatkan individu,

untuk merencanakan perilaku konsumsi dan

perilaku tabungannya dalam jangka

panjang dengan tujuan mengalokasikan

konsumsinya dengan cara terbaik untuk

sepanjang hidupnya.

Pengertian tabungan menurut teori klasik

adalah fungsi dari tingkat bunga. Makin

tinggi tingkat bunga makin tinggi pula

keinginan masyarakat untuk menabung.

Artinya pada tingkat bunga yang lebih tinggi

masyarakat akan lebih terdorong untuk

mengorbankan atau mengurangi pengeluaran

untuk konsumsi guna menambah tabungan.

(Noprin : 1992 : 7)

2.2. Suku Bunga

2.2.1. Pengertian Suku Bunga

Bunga pada bank dapat diartikan sebagai

balas jasa yang diberikan oleh bank yang

berdasarkan prinsip konvensional kepada

nasabah yang membeli atau menjual

produknya. Bunga juga dapat diartikan

sebagai harga yang harus dibayar oleh

nasabah (yang memiliki simpanan) dengan

yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank

(nasabah yang memperoleh pinjaman)

(Kasmir.2009:131)

BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang

mencerminkan sikap atau stance kebijakan

moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia

dan diumumkan kepada publik.

Teori penentuan tingkat suku bunga Keynes

dikenal dengan Teori Liquidity Preference.

Keynes mengatakan bahwa tingkat bunga

semata-mata merupakan fenomena moneter

yang mana pembentukannya terjadi di pasar

uang. Artinya tingkat suku bunga ditentukan

oleh permintaan dan penawaran akan uang.

Dalam kegiatan perbankan sehari-hari ada 2

macam bunga yang diberikan kepada

nasabahnya. Yaitu :

a) Bunga Simpanan

Bunga yang diberikan sebagai balas jasa bagi

nasabah yang menyimpan uangnya di bank.

Bunga simpanan merupakan harga yang harus

dibayar bank kepada nasabahnya. Contoh :

Jasa giro, bunga tabungan dan bunga

deposito.

b) Bunga Pinjaman

Adalah bunga yang diberikan kepada para

peminjam atau harga yang harus dibayar oleh

nasabah peminjam kepada bank. Sebagai

cotoh bunga kredit. Kedua macam bunga ini

merupakan komponen utama faktor biaya dan

pendapatan bagi bank konvensional. Bunga

simpanan merupakan biaya dana yang harus

dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga

pinjaman merupakan pendapatan yang

diterima dari nasabah.

Baik bunga simpanan maupun bunga

pinjaman masing – masing saling

mempengaruhi satu sama lainnya. Sebagai

contoh seandainya bunga simpanan tinggi,

maka secara otomatis bunga pinjaman juga

terpengaruh ikut naik dan demikian pula

sebaliknya.

Edward dan Khan (1985), mengatakan bahwa

faktor penentu suku bunga terbagi atas 2 (dua)

faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor

internal meliputi pendapatan nasional, jumlah

uang beredar, dan ekspetasi inflasi.

Sedangkan faktor eksternalnya adalah

penjumlahan suku bunga luar negeri dan

tingkat ekspetasi perubahan nilai tukar valuta

asing.

Seperti halnya dalam setiap analisis

keseimbangan ekonomi, pembicaraan

mengenai keseimbanagn di pasar uang juga

akan melibatkan unsur utamanya, yaitu

permintaan dan penawaran uang. Bila

mekanisme pasar dapat berjalan tanpa

hambatan maka pada prinsipnya

keseimbangan di pasar uang dapat terjadi, dan

merupakan wujud kekuatan tarik menarik

antara permintaan dan penawaran uang.

2.2.2. Fungsi Suku Bunga

Fungsi suku bunga menurut Sunariyah

(2004:81) adalah :

a) Sebagai daya tarik bagi para penabung

yang mempunyai dana lebih untuk

diinvestasikan.

b) Suku bunga dapat digunakan sebagai alat

moneter dalam rangka mengendalikan

penawaran dan permintaan uang yang beredar

dalam satu perekonomian.

Misalnya :

Pemerintah mendukung pertumbuhan suatu

sektor industri tertentu apabila perusahaan-

perusahaan dari industri tersebut akan

meminjam dana. Maka pemerintah memberi

tingkat bunga yang lebih rendah

dibandingkan sektor lain.

c) Pemerintah dapat memanfaatkan suku

bunga untuk mengontrol jumlah uang beredar.

Berarti, pemerintah dapat mengatu sirkulasi

uang dalam suatu perekonomian.

Suku bunga itu sendiri ditentukan oleh dua

kekuatan, yaitu : penawaran tabungan dan

permintaan investasi modal (terutama dari

sektor bisnis). Tabungan adalah selisih

anatara pendapatan dan konsumsi. Bunga

pada dasarnya berperan sebagai pendorong

utama agar masyarakat bersedia menabung.

Jumlah tabungan akan ditentukan oleh tinggi

rendahnya tingkat bunga. Semakin tinggi

suku bunga, akan semakin tinggi pula minat

masyarakat untuk menabung dan sebaliknya.

Tinggi rendahnya penawaran dana investasi

ditentukan oleh tinggi rendahnya suku bunga

tabungan masyarakat.

2.2.3. Tipe-Tipe Suku Bunga

Ada 2 tipe suku bunga, yaitu :

1) Real Interest Rate

Koreksi atas tingkat inflsi dan didefinisikan

sebagai nominal interest rate dikurangidengan

tingkat inflasi.

2) Real Rate = Nominal Rate – Rate of

Inflation

3) Nominal Interest Rate

Tingkat suku bunga yang biasanya tertera di

rekening koran dimana mereka memberikan

tingkat pengembalian untuk setiap investasi

yang dilakukan.

Edmister mengemukakan tiga istilah yang

berkaitan dengan suku bunga yaitu :

a) State Rate

Tingkat bunga satu periode dikalikan jumlah

pokok pinjamanuntuk menghitung beban

bunga.

b) Annual Percentage Rate

Tingkat bunga disetahunkan dengan

menyesuaikan Stated Rate untuk jumlah

periode pertahun dan jumlah pokok yang

benar-benar dipinjam.

c) Yield

Tingkat bunga yang ekuivalen dengan satu

kontrak keuangan yangmemenuhi tiga syarat :

Jumlah seluruhnya yang benar-benar

dipinjam, pada awal tahun, kemudian dibayar

kembali pada akhir tahun beserta bunga.

Definisi pertama, stated rate, mendasarkan

tingkat bunga pada jangka waktu kontrak.

Definisi kedua, annual pecentage rate,

menyesuaikan jangka waktu kontrak

untukmenghitung ekuivalen tingkat bunga.

Definisi ketiga, yield, membuat penyesuaian

yang diperlukan untuk menghitung tingkat

bunga ekuivalen dengan satu standar yang

ditentukan secara jelas.

Suku bunga merupakan salah satu variable

dalam perekonomian yang senantiasa diamati

secara cermat karena dampaknya yang luas.

Bunga mempengaruhi secara langsung

hehidupan masyarakat keseharain dan

mempunyai dampak penting terhadap

kesehatan perekonomian mulai dari segi

konsumsi, kredit, obligasi, serta tabungan.

2.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Suku Bunga

Seperti dijelaskan di atas, bahwa untuk

menenetukan besar kecilnya suku bunga

simpanan dan pinjaman sangat dipengaruhi

oleh keduanya, artinya baik bunga simpanan

maupun pinjaman saling mempengaruhi

disamping faktor-faktor lainnya.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi

besar kecilnya penetapan suku bunga adalah :

a) Kebutuhan Dana

Apabila bank kekurangan dana sementara

permohonan pinjaman meningkat, maka yang

dilakukan oleh bank agar kebutuhan dana

tersebut cepat terpenuhi dengan

meningkatkan suku bunga simpanan.

b) Persaingan

Dalam memperebutkan dana simpanan, maka

disamping faktor promosi, yang paling utama

pihak perbankan harus memperhatikan

pesaing.

c) Kebijakan Pemerintah

Dalam arti baik untuk bunga simpanan

maupun bunga pinjaman kita, tidak boleh

melebihi bunga yang sudah ditetapkan oleh

pemerintah.

d) Jangka Waktu

semakin panjang jangka waktu pinjaman,

maka akan semakin tinggi tinggi bunganya,

hal ini disebabkan besarnya kemungkinan

resiko di masa mendatang. Serta faktor-faktor

yang lain :

e) Target Keuntungan yang Diharapkan.

f) Reputasi Perusahaan.

g) Kualitas Jaminan.

h) Daya Saing Produk.

2.2.5. Hubungan Tingkat Suku Bunga

Dengan Jumlah Tabungan

Bunga adalah penghasilan, seperti layaknya

orang bekerja maka penghasilan yang mereka

peroleh disebut dengan upah dan gaji, para

pemegang saham menerima penghasilan yang

disebut deviden, pemegang hak cipta

memperoleh penghasilan yang disebut

sebagai royalty, dan banyak jenis penghasilan

lainnya yang diperoleh dengan cara yang

berbeda- beda.

Demikian juga halnya dengan bunga, bunga

adalah penghasilan yang diperoleh oleh

orang-orang yang memberikan kelebihan

uangnya untuk digunakan sementara waktu

oleh orang-orang yang membutuhkan dan

menggunakan uang tesebut untuk menutupi

kekurangannya. Dan dari banyaknya orang

yang menabung membuat pihak bank pun

akan mendapatkan pendapatan dengan cara

memberikan pinjaman kepada nasabah dari

dana tabungan tersebut. Bank menggunakan

tingkat suku bunga yang tinggi untuk menarik

nasabah, dengan banyaknya nasabah maka

jumlah tabungan pun akan meningkat. Jadi,

besar atau kecilnya jumlah tabungan sangat

dipengaruhi oleh tingkat bunga yang

ditawarkan oleh bank kepada nasabah.

Analisis ekonomi terdapat dua pandangan

yang berbeda tentang faktor penting yang

menentukan jumlah tabungan dalam

masyarakat. Pandangan tradisional, yaitu

pandangan ahli-ahli ekonomi ekonomi yang

digolongkan sebagai ahli ekonomi klasik

(ahli-ahli ekonomi yang hidup di akhir abad

kedelapan belas sehingga permulaan abad

kedua puluh), berkeyakinan bahwa jumlah

tabungan yang dilakukan masyarakat

ditentukan oleh suku bunga. Semakin tinggi

suku bunga, semakin besar jumlah tabungan

yang akan dilakukan masyarakat. Menurut

pandangan modern, yaitu pandangan sebuah

masa klasik, tabungan tergantung kepada

pendapatan nasional (pendapatan seluruh

penduduk dalam perekonomian). Sesuai

dengan pernyataan Rimsky K. Judisseno

(2005:81) yang menyatakan bahwa, fluktuasi

bunga dapat mempengaruhi perilaku

penabung seperti penjelasan berikut :

“Pada waktu tingkat bunga cukup tinggi,

maka jumlah tabungan secara agregat

meningkat dalam jumlah yang sangat besar

dalam bentuk dana yang siap dipinjamkan”.

Dan dipertegas oleh Malayu Hasibuan

(2006:18) bahwa : “Bunga merupakan hal

penting bagi suatu bank dalam penarikan

tabungan dan penyaluran kreditnya. Penarikan

tabungan dan pemberian kredit selalu

dihubungkan dengan tingkat suku bunganya.

Bunga bagi bank bisa menjadi biaya yang

harus dibayarkan kepada penabung”.

2.2.6 Teori Suku Bunga

1. John Maynard Keyness

John Maynard Keyness, yang telah

mengkritik teori ekonomi klasik tentang

pengembangan teori tingkat suku bunga.

Menurut Keyness, teori klasik berlaku hanya

untuk bunga jangka panjang. Ia

mengembangkan teori preferensi likuiditas ini

untuk menjelaskan suku bunga untuk jangka

pendek.

Tingkat suku bunga menurut Keyness adalah

harga yang di keluarkan debitur untuk

mendorong seorang kreditur memindahkan

sumber daya langka (uang) mereka, akan

tetapi, uang yang dikeluarkan debitur

mempunyai kemungkinan adanya kerugian

berupa risiko tidak diterimanya tingkat bunga

tertentu.

Didalam teori ini terdapat dua macam

investasi yang dikembangkan, yaitu uang dan

obligasi. Uang merupakan kekayaan yang

paling likuid karena uang mempunyai

kemampuan untuk membeli setiap saat.

Sedangkan obligasi tidak dapat untuk

membeli sesuatu kecuali kalau diubah terlebih

dahulu ke dalam bentuk uang tunai. Keyness

mengatakan bahwa, permintaan terhadap uang

merupakan tindakan rasional, meningkatnya

permintaan uang akan menaikkan tingkat

suku bunga.

2. Karl dan Fair

Menurut Karl dan Fair (2001:635) suku bunga

adalah pembayaran bungatahunan dari suatu

pinjaman, dalam bentuk persentase dari

pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga

yang diterima tiap tahundibagi dengan jumlah

pinjaman.

2.3. Inflasi

2.3.1. Pengertian Inflasi

Inflasi adalah gejala kenaikan harga

barang-barang yang bersifat umum dan

terus-menerus. Harga suatu komoditas

dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi

daripada harga periode sebelumnya. Kenaikan

harga suatu komoditas belum dapat dikatakan

inflasi jika kenaikan tersebut tidak

menyebabkan harga-harga secara umum

naik. Kenaikan harga yang bersifat umum

juga belum akan memunculkan inflasi, jika

terjadinya hanya sesaat. Karena itu

perhitungan inflasi dilakukan dalam

rentang waktu minimal bulanan. Sebab

dalam sebulan akan terlihat apakah

kenaikan harga bersifat umum dan terus-

menerus. Rentang waktu yang lebih panjang

adalah triwulanan dan tahunan (Rahardja dan

Manurung 2004:155).

Menurut Adiwarman Karim (2008:135),

secara umum inflasi berarti kenaikan tingkat

harga secara umum dari barang/komoditas

dan jasa selama suatu periode waktu tertentu.

Inflasi dapat dianggap sebagai fenomena

moneter karena terjadinya kenaikan nilai unit

penghitungan moneter terhadap suatu

komoditas. Sebaliknya, jika yang terjadi

adalah penurunan nilai unit penghitungan

moneter terhadap barang – barang /

komoditas dan jasa didefinisikan sebagai

deflasi (deflation).

2.3.2. Jenis-jenis Inflasi

Menurut Boediono (1990:156-158), membagi

inflasi menjadi beberapa jenis penggolongan

inflasi. Penggolongan inflasi berdasarkan atas

dasar penyebabnya dibedakan menjadi :

1. Demand-pull Inflation merupakan inflasi

yang timbul karena permintaan masyarakat

akan berbagai barang terlalu kuat. Misalnya,

kenaikan permintaan luar negeri akan barang-

barang ekspor.

2. Cost-push Inflation merupakan inflasi yang

timbul karena kenaikan biaya produksi.

Misalnya, kenaikan harga barang sarana

produksi yang didatangkan dari luar negeri

atau kenaikan harga bahan bakar minyak.

Akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari

segi kenaikan harga output berbeda, tetapi

dari segi volume output berbeda. Dalam

demand inflation, kenaikan output diikuti

dengan kenaikan harga umum. Sebaliknya,

dalam cost inflation kenaikan harga akan

diikuti dengan penurunan penjualan barang.

Penggolongan inflasi berdasarkan asal dari

inflasi dibedakan menjadi :

1. Inflasi dalam negeri (domestic inflation)

merupakan inflasi yang berasal dari dalam

negeri, seperti karena defisit anggaran belanja

yang dibiayai dengan pencetakan uang.

2. Inflasi luar negeri (imported inflation)

merupakan inflasi yang timbul karena

kenaikan harga-harga di luar negeri atau di

negara-negara dimana biasanya menjadi

langganan berdagang.

Kenaikan-kenaikan harga barang yang

diimpor mengakibatkan : (i) secara langsung

kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian

dari barang-barang kebutuhan sehari-hari

termasuk dalam barang impor, (ii) secara

tidak langsung mengakibatkan kenaikkan

indeks harga melalui kenaikan harga biaya

produksi dan kemudian harga jual, karena

berbagai barang menggunakan bahan mentah

atau mesin-mesin yang diimpor (cost

inflation), (iii) secara tidak langsung

menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri

karena ada kemungkinan kenaikan harga

impor mengakibatkan kenaikan pengeluaran

pemerintah/swasta yang berusaha

mengimbangi kenaikan harga impor (demand

inflation).

2.3.3. Teori Inflasi

a. Teori Keynes

Menurut teori ini, inflasi terjadi disaat

permintaan masyarakat akan barang-barang

selalu melebihi jumlah barang-barang yang

tersedia.

Hal ini dapat menyebabkan timbulnya

inflationary gap. Dimana inflationary gap

timbul karena masyarakat berhasil

memperoleh dana untuk mengubah

keinginannya menjadi rencana pembelian

barang-barang yang didukung dengan dana.

Apabila permintaan barang dari masyarakat

melebihi jumlah barang yang tersedia, maka

harga-harga barang akan naik. Baik

pemerintah maupun masyarakat akan

berusaha mendapatkan uang yang lebih besar

misalnya dengan mencetak uang baru

(pemerintah) ataupun kredit di bank

(masyarakat). Inflasi ini akan berhenti apabila

jumlah permintaan barang tidak lagi melebih

barang yang disediakan. Menurut Keynes,

inflasi permintaan yang benar benar penting

adalah yang ditimbulkan oleh pengeluran

pemerintah, terutama yang berkaitan dengan

peperangan, program investasi yang besar-

besaran dalam kapital sosial. Dengan

demikian pemikiran Keynes tentang inflasi

dapat dirumuskan menjadi:

Inflasi = f(jumlah uang beredar, pengeluaran

pemerintah, suku bunga, investasi).

b. Teori Strukturalis

Merupakan teori inflasi jangka panjang

karena menyoroti sebab-sebab inflasi yang

berasal dari kekakuan struktur ekonomi,

seperti nilai ekspor yang tumbuh secara

lamban dibanding dengan pertumbuhan

sektor-sektor lain dan ketidakelastisan supply

atau produksi bahan makanan di dalam

negeri. Produksi bahan makanan dalam negeri

yang tidak bertumbuh secepat pertambahan

penduduk akan membuat kenaikan harga

bahan makanan yang melebihi hargaharga

barang lain. Selanjutnya timbulnya tuntutan

kenaikan upah para karayawan di sektor

industri yang dapat mendorong kenaikan

biaya produksi berarti diikuti kenaikan harga

barang-barang produksi pula. Berdasarkan

uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa

inflasi dapat terjadi karena banyaknya uang

yang beredar di masyarakat, permintaan

masyarakat akan barang-barang yang

melebihi barang yang tersedia dan kenaikan

harga-harga bahan produksi.

c. Teori Inflasi Klasik

Teori ini berpendapat bahwa tingkat harga

terutama ditentukan oleh jumlah uang

beredar, yang dapat dijelaskan melalui

hubungan antara nilai uang dengan jumlah

uang, serta nilai uang dan harga. Bila jumlah

uang bertambah lebih cepat dari pertambahan

barang maka nilai uang akan merosot dan ini

sama dengan kenaikan harga. Jadi menurut

Klasik, inflasi berarti terlalu banyak uang

beredar atau terlalu banyak kredit

dibandingkan dengan volume transaksi maka

obatnya adalah membatasi jumlah uang

beredar dan kredit. Pendapat Klasik tersebut

lebih jauh dapat dirumuskan sebagai berikut :

Inflasi = f(jumlah uang beredar, kredit)

d. Teori Inflasi Moneterisme

Teori ini berpendapat bahwa, inflasi

disebabkan oleh kebijaksanaan moneter dan

fiskal yang ekspansif, sehingga jumlah uang

beredar di masyarakat sangat berlebihan

Kelebihan uang beredar di masyarakat akan

menyebabkan terjadinya kelebihan

permintaan barang dan jasa di sektor riil.

Menurut golongan moneteris, inflasi dapat

diturunkan dengan cara menahan dan

menghilangkan kelebihan permintaan melalui

kebijakan moneter dan fiskal yang bersifat

kontraktif, atau melalui kontrol terhadap

peningkatan upah serta penghapusan terhadap

subsidi atas nilai tukar valuta asing. Sehingga

teori inflasi menurut Moneterisme dapat

dinotasikan sebagai berikut :

Inflasi = f(kebijakan moneter ekspansif,

kebijakan fiskal ekspansif)

e. Teori Ekspektasi

Menurut Dornbusch, bahwa pelaku ekonomi

membentuk ekspektasi laju inflasi

berdasarkan ekspektasi adaptif dan ekspektasi

rasional. Ekspektasi rasional adalah ramalan

optimal mengenai masa depan dengan

menggunakan semua informasi yang ada.

Pengertian rasional adalah suatu tindakan

yang logik untuk mencapai tujuan

berdasarkan informasi yang ada. Artinya

secara sederhana teori ekspektasi dapat

dinotasikan menjadi: Inflasi = f(ekspektasi

adaftif,ekspektasi rasional)

Menurut Boediono (1990: 160) secara garis

besar ada 3 kelompok teori mengenai inflasi,

masing-masing menyoroti aspek-aspek

tertentu dari proses inflasi dan masing-masing

bukan teori inflasi yang lengkap yang

mencakup semua aspek penting dari proses

kenaikan harga ini. Teori-teori tersebut yaitu:

1. Teori kuantitas

Teori ini merupakan yang paling tua

mengenai inflasi. Inti dari teori ini adalah

sebagai berikut :

a. Inflasi hanya bisa terjadi jika ada

penambahan volume uang yang beredar.

Penambahan jumlah uang ibarat “bahan

bakar” bagi api inflasi. Apabila jumlah uang

tidak bertambah, inflasi akan berhenti dengan

sendirinya.

b. Inflasi ditentukan oleh pertambahan jumlah

uang yang beredar dan oleh psikologi

masyarakat mengenai kenaikan harga-harga

di masa mendatang.

2.3.4. Dampak Inflasi dan Cara

Mengatasinya

Kenaikan harga-harga menimbulkan efek

buruk bagi kegiatan ekonomi, masyarakat

maupun individu. Kenaikan harga-harga dapat

menyebabkan kenaikan biaya produksi dan

meningkatnya harga jual barang.

Menurut Nanga (2005:248) inflasi

menyebabkan penurunan dalam efisiensi

ekonomi (ecomic efficiency). Hal ini dapat

terjadi karena pengalihan sumberdaya dari

investasi produktif ke tidak produktif, maka

dapat mengurangi kegiatan produktif.

Penurunan kegiatan produktif ini akan

berujung dengan bertambahnya

pengangguran. Kenaikan harga-harga dalam

negeri juga menyebabkan kalah dalam

bersaing dengan harga-harga barang impor.

Ekspor yang menurun dan diikuti oleh

kegiatan impor yang bertambah akan

menyebabkan ketidakseimbangan dalam

aliran mata uang asing.

Selain itu, inflasi akan menurunkan

pendapatan riil orang-orang yang

berpendapatan tetap. Hal ini dikatakan

sebagai efek redistribusi dari inflasi.

Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan

masyarakat, dimana redistribusi pendapatan

yang terjadi akan menyebabkan pendapatan

riil satu orang meningkat tetapi pendapatan

riil orang lainnya jatuh (Nanga, 2005:247).

Selanjutnya, inflasi dapat mengurangi nilai

kekayaan yang berbentuk uang. Simpanan

dalam bank, simpanan tunai maupun

simpanan dalam institusi keuangan lainnya

merupakan simpanan keuangan. Nilai

riilnya akan menurun apabila inflasi berlaku.

Cara mengatasi inflasi pada dasarnya harus

diarahkan pada faktor-faktor yang

menyebabkan perubahan harga-harga menjadi

naik atau dengan kata lain nilai uang menjadi

turun.

Dalam hal ini ada beberapa kebijakan (policy)

yang dapat ditempuh antara lain :

>> Kebijakan Moneter (Monetary Policy)

Kebijakan moneter adalah kebijakan yang

dilakukan pemerintah atau otoritas moneter

dengan menggunakan pengubah jumlah uang

beredar (money supply) dan tingkat bunga

(interest rates) untuk

mempengaruhi tingkat permintaan agregat

dan mengurangi ketidak-stabilan

perekonomian. Kebijakan moneter

dilaksanakan oleh bank sentral untuk

menggurangi jumlah uang yang beredar

dengan cara menaikkan cash reserve ratio/

cashratio / persentase likuiditas / giro wajib

minimum, menjual surat- surat berharga

(openmarket operation) dan menaikkan

tingkat bunga kredit. Untuk mencegah laju

inflasi maka pemerintah dan bank sentral

harus bekerjasama dengan menjamin bahwa

uang cadangan yang tersedia pada sistem

perbankan tidak berlebihan, namun cukup

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan

uang.

>> Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)

Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang

dilakukan pemerintah melalui manipulasi

instrumen fiskal. Kebijakan fiskal dapat

dibedakan kedalam kebijakan fiskal

aktif(discretonary fiscal policy), yaitu

pemerintah melakukan perubahan tingkat

pajak / program pengeluaran, sedangkan

kebijakan fiskal pasif (nondiscreationary

fiscal policy), yaitu kecenderungan

membelanjakan marginal dan pendapatan

nasional.

Kebijakan fiskal dapat dilakukan dengan

mengurangi pengeluaran pemerintah,

menaikkan pajak dan pemerintah melakukan

pinjaman kepada masyarakat. Apabila

pemerintah melaksanakan kebijakan tersebut

maka pemerintah telah campur tangan dalam

perekonomian. Apabila suatu perekonomian

mengalami inflationary gap atau deflationary

gap maka pemerintahakan menaikkan atau

menurunkan tingkat pendapatan nasional.

>> Kebijakan Non Moneter dan Non Fiskal

Kebijakan untuk mengatasi inflasi diluar dari

kebijakan moneter dan fiskal. Kebijakan

inidapat dilakukan dengan meningkatkan

hasil produksi (production approach),

kebijakan upah / gaji, pengawasan harga

barang dan distribusinya dan kombinasi dari

berbagai cara.

2.3.5. Hubungan Inflasi Dengan Tabungan

Menurut Milton Friedman inflasi akan terus

terjadi karena hal tersebut merupakan

fenomena moneter. Teori kuantitas uang

menyatakan bahwa pertumbuhan dalam

kuantitas uang adalah determinan dalam

tingkat inflasi, tetapi teori ini hanya bersifat

empiris bukan teoritis (uang dan harga). Teori

kuantitas dan persamaan fisher sama-sama

menyatakan bahwa pertumbuhan uang

mempengaruhi tingkat bunga nominal.

Kenaikan pertumbuhan uang sebesar satu

persen menyebabkan kenaikan satu persen

dalam tingkat inflasi. Sedangkan kenaikan

satu persen tingkat inflasi menyebabkan

kenaikan satu persen tingkat bunga nominal

yang disebut efek fisher (fisher effect).

Beberapa ahli ekonom menyebutkan bahwa

nilai uang mendatang lebih rendah dibanding

masa sekarang. Maka jika terjadi kenaikan

inflasi, nilai uang turun sangat tajam.

Perpekstif masyarakat untuk menabung akan

menurun, sehingga akan mempengaruhi

penghimpunan dana bank dari masyarakat

(tabungan).

2.4. Kerangka Pemikiran

Poppy Maneskhas (2009) meneliti tentang

“analisis pengaruh PDRB, suku bunga dan

tingkat inflasi terhadap simpanan masyarakat

pada bank-bank umum di sumatra utara”

dengan menggunakan analisis regersi dengan

OLS. Dari hasil penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa variabel PDRB, tingkat

suku bunga, dan tingkat inflasi berpengarug

positif terhadap jumlah simpanan masyarakat

pada bank-bank umum di sumatra utara.

Budi Mulyadi (2009) menunjukkan bahwa

bunga tabungan berpengaruh positif dan

signifikan terhadap jumlah tabungan.

Selanjutnya inflasi berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap tabungan nasional.

Suku Bunga

BI (BI Rate)

(X1)

Inflasi (X2)

Tabungan

DPK Bank

Umum (Y)

2.5. Hipotesis

Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang

bersifat sementara atau dugaan saja.

Penelitian ini bermaksud memperoleh

gambaran obyektif tentang analisis faktor-

faktor yang mempengaruhui tabungan di

Indonesia tahun 2002-2012

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah

dikemukakan, maka dibuatlah hipotesis

penelitian sebagai berikut :

H0 : Suku Bunga BI (BI Rate) dan Inflasi

berpengaruh negatif terhadap Tabungan.

H1 : Suku Bunga BI (BI Rate) dan Inflasi

berpengaruh positif terhadap Tabungan.

H0 : Suku Bunga BI (BI Rate) berpengaruh

negatif terhadap Tabungan.

H1 : Suku Bunga BI (BI Rate) berpengaruh

positif terhadap Tabungan.

H0 : Inflasi berpengaruh negatif terhadap

Tabungan.

H1 : Inflasi berpengaruh positif terhadap

Tabungan.

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

3.1 Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan tiga variabel

yaitu satu variabel dependen (terikat) dan dua

variabel independen (bebas). Variabel

dependen yang digunakan adalah Tabungan

(dalam Dana Pihak Ketiga pada Bank Umum)

(Y) dan variabel independen adalah Suku

Bunga BI (BI Rate) (X1) dan Inflasi (X2).

3.2 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan

kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah salah

satu jenis penelitian yang spesifikasinya

adalah sistematis, terencana, dan terstruktur

dengan jelas sejak awal pembuatan desain

penelitiannya. Definisi lain menyebutkan

bahwa penelitian kuantitatif adalah penelitian

yang banyak menggunakan angka, mulai dari

hasilnya hingga pada tahap kesimpulan,

penelitian akan lebih baik disertai dengan

gambar, tabel, grafik, atau tampilan lainnya.

Sumber data berasal dari penelitian sekunder,

yaitu merupakan data yang sudah ada yang

diambil dari Website Bank Indonesia ataupun

Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Bank

Indonesia. Jenis data yang digunakan adalah

Time Series yaitu data yang terdiri atas satu

objek tetapi meliputi beberapa periode waktu

misalnya harian, mingguan, bulanan, tahunan,

per triwulan per kuartal dll. Untuk penelitian

ini penulis mengambil data periode bulan

Oktober 2012 – Maret 2015 di Indonesia.

3.3 Metode yang Digunakan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah model regeresi berganda. Dengan

menggunakan metode Ordinary Least Square

(OLS). Penulis menggunakan alat bantu SPSS

22.0 pada windows7.

Regresi berganda adalah metode analisis yang

tepat ketika penelitian melibatkat satu

variabel terikat yang diperkirakan

berhubungan dengan satu atau lebih variabel

bebas. Tujuan analisis regresi berganda

adalah memperkirakan perubahan respon

pada variabel terikat terhadap beberapa

variabel bebas

(Hair,Anderson,Tatham,Black,1995).

Menurut (Gujarati, 1999), analisis regresi

berganda adalah studi ketergantungan dari

variabel dependen pada satu atau lebih

variabel lain, yaitu variabel independen.

Dengan analisis regresi akan diketahui

variabel dependen yang benar-benar

signifikan mempengaruhi variabel dependen

dan dengan variabel yang signifikan tadi

dapat digunakan untuk memprediksi nilai

variabel dependen.

Untuk dapat mengetahui seberapa jauh

pengaruh tingkat Suku Bunga BI (BI Rate)

dan Inflasi terhadap Tabungan (DPK Bank

Umum), model fungsi yang digunakan :

DPK Bank Umum (Tabungan) = f (BI Rate,

Inflasi)

DPK Bank Umum (Tabungan) = β0 + β1 BI

Rate + β2 Inflasi

B. Pengujian

3. 4 Uji Asumsi Klasik

Untuk menghasilkan suatu model yang baik,

analisis regresi memerlukan pengujian asumsi

klasik sebelum melakukan pengujian

hipotesis.

Pengujian asumsi klasis tersebut meliputi:

Uji Normalitas, Uji Multikolinearitas, Uji

Heteroskedastisitas, Uji Linearitas dan Uji

Autokorelasi.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dimaksudkan untuk menguji

apakah nilai residual yang telah

distandarisasi pada model regresi

berdistribusi normal atau tidak. Nilai residual

dikatakan berdistribusi normal jika nilai

residual terstandarisasi tersebut sebagian

besar mendekati nilai rata-ratanya. Untuk

mendeteksi apakah nilai residual

terstandarisasi berdistribusi normal atau

tidak, maka dapat digunakan metode analisis

grafik dan metode statistik.

Pengujian normalitas menggunakan analisis

grafik dilakukan dengan menggunakan

histogram dengan menggambarkan variabel

dependent sebagai sumbu vertikal sedangkan

nilai residual terstandarisasi digambarkan

sebagai sumbu horizontal.

Jika Histogram Standardized Regression

Residual membentuk kurva seperti lonceng

maka nilai residual tersebut dinyatakan

normal.

Cara lain untuk menguji normalitas dengan

pendekatan grafik adalah menggunakan

Normal Probability Plot, yaitu dengan

membandingkan distribusi kumulatif dari

data sesungguhnya dengan distribusi

kumulatif dari distribusi normal. Distribusi

normal digambarkan dengan sebuah garis

diagonal lurus dari kiri bawah ke kanan atas

(Suliyanto, 2011:69).

Menurut Imam Ghozali (2012:163),

pada prinsipnya uji normalitas dapat

dideteksi dengan melihat penyebaran data

(titik) pada sumbu diagonal dari grafik atau

dengan melihat histogram dari residualnya.

Dasar pengambilan keputusan :

- Jika data menyebar disekitar garis

diagonal dan mengikuti arah garis

diagonal atau grafik histogramnya

menunjukkan pola distribusi normal, maka

model regresi memenuhi asumsi

normalitas.

- Jika data menyebar jauh dari garis

diagonal dan / atau tidak mengikuti arah

garis diagonal atau grafik histogram tidak

menunjukkan pola distribusi normal, maka

model regresi tidak memenuhi asumsi

normalitas.

Disamping itu, uji normalitas dengan analisis

grafik dapat memberikan hasil yang

subyektif. Artinya, antara orang yang satu

dengan yang lain dapat berbeda dalam

menginterpretasikannya, maka penulis

menggunakan uji normalitas dengan

Kolmogorov-Smirnov. Nilai residual

terstandarisasi berdistribusi normal jika

nilai Sig. > alpha (α) atau K hitung < K

tabel (Suliyanto, 2011:75).

Jika residual tidak normal dapat dilakukan

beberapa langkah yaitu melakukan

transformasi data, mengurangi / menambah

data.

b. Uji Multikolinearitas

Model regresi yang baik seharusnya tidak

terjadi korelasi di antara variabel bebas.

Untuk mendeteksi ada atau tidaknya

multikolinieritas di dalam model regresi

dapat dilihat dari nilai Tolerance dan

Variance Inflation Factor (VIF). Kedua

ukuran ini menunjukkan setiap variabel

bebas manakah yang dijelaskan oleh variabel

bebas lainnya. Dalam pengertian sederhana

setiap variabel bebas menjadi variabel terikat

dan diregres terhadap variabel bebas lainnya.

Tolerance mengukur variabilitas variabel

bebas yang terpilih yang tidak dijelaskan

oleh variabel bebas lainnya. Jadi, nilai

Tolerance yang rendah sama dengan

nilai VIF tinggi (karena VIF =

1/Tolerance). Nilai cut off yang umum

dipakai untuk menunjukkan adanya

multikolinieritas adalah nilai Tolerance >

0,10 atau sama dengan VIF < 10, maka

model dinyatakan tidak terdapat gejala

multikolinieritas (Imam Ghozali, 2012:105).

Beberapa alternatif untuk mengatasi masalah

multikolinearitas adalah :

1. Mengganti / mengeluarkan variabel yang

mempunyai korelasi tinggi.

2. Menambah jumlah observasi.

3. Mentransformasikan data ke dalam

bentuk lain, misalnya logaritma natural,

akar kuadrat atau bentuk first differences

delta.

c. Uji Heteroskedastisitas

Uji Heteroskedastisitas bertujuan menguji

apakah dalam model regresi terjadi

ketidaksamaan varian dari residual satu

pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika

varian dari residual satu pengamatan ke

pengamatan lain tetap, maka disebut

Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut

Heteroskedastisitas.

Model regresi yang baik adalah yang

Homoskedastisitas atau tidak terjadi

Heteroskedastisitas. Ada beberapa cara

untuk mendeteksi ada atau tidaknya

heteroskedastisitas, yaitu melihat Grafik

Plot antara nilai prediksi variabel terikat

(dependen) yaitu ZPRED dengan

residualnya SRESID. Dasar analisis : (1) Jika

ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada

membentuk pola tertentu yang teratur

(bergelombang, melebar kemudian

menyempit), maka mengindikasikan telah

terjadi heteroskedastisitas; (2) Jika tidak ada

pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di

atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y,

maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Imam

Ghozali (2012:139).

Beberapa alternatif solusi jika model

menyalahi asumsi heteroskedastisitas adalah

dengan mentransformasikan ke dalam bentuk

logaritma, yang hanya dapat dilakukan jika

semua data bernilai positif. Atau dapat juga

dengan menambah variabel atau mengurangi

variabel yang sudah ada.

d. Uji Autokorelasi

Menurut Suliyanto (2011:125), uji

autokorelasi bertujuan untuk mengetahui

apakah ada korelasi antara anggota

serangkaian data observasi yang diuraikan

menurut waktu (times-series) atau ruang

(cross section). Beberapa penyebab

munculnya masalah autokorelasi dari

sebagian data times-series dalam analisis

regresi adalah adanya kelembaman (inertia)

artinya data observasi pada periode

sebelumnya dan periode sekarang,

kemungkinan besar akan mengandung saling

ketergantungan (interdependence).

Menurut Gujarati (1995), ada beberapa cara

untuk mendeteksi ada-tidaknya masalah

autokorelasi, yaitu menggunakan metode

Durbin-Watson dan metode Run Test sebagai

salah satu uji statistik non-parametrik. Uji

Durbin-Watson (Uji D-W) merupakan uji

yang sangat populer untuk menguji ada-

tidaknya masalah autokorelasi dari model

empiris yang diestimasi. (Suliyanto,

2011:126).

Menurut Imam Ghozali (2012:121), jika

pada model regresi terjadi autokorelasi,

maka ada beberapa opsi penyelesaiannya

antara lain:

a. Tentukan apakah autokorelasi yang

terjadi merupakan pure autocorrelation dan

bukan karena kesalahan spesifikasi model

regresi. Pola residual dapat terjadi karena

adanya kesalahan spesifikasi model yaitu ada

variabel penting yang tidak dimasukkan ke

dalam model atau dapat juga karena bentuk

fungsi persamaan regresi tidak benar.

b. Jika yang terjadi adalah pure

autocorrelation, maka solusi autokorelasi

adalah dengan mentranformasi model awal

menjadi model difference. Misalkan model

regresi dengan dua variabel sebagai berikut:

Yt = β1 + β2Xt + μt

Dan diasumsikan bahwa residual atau

error mengikuti

autoregressive AR(1) sebagai berikut:

μt = ρμt – 1 + εt -1 < ρ < 1

Asumsi ρ tidak diketahui nilainya

• Nilai ρ diestimasi berdasarkan Durbin-

Watson d statistik

Secara sederhana nilai ρ dapat diestimasi

dengan menggunakan d statistik dengan

rumus seperti di bawah ini:

ρ = 1 – d

2

d = durbin-watson

Pada kasus dengan jumlah sampel

kecil, Theil dan Nagar

mengajukan rumus untuk menghitung nilai ρ

sebagai berikut :

ρ = n2(1 – d / 2) + k2

n2 – k2

n = jumlah observasi

k = jumlah variabel bebas.

3. 5 Uji Hipotesis

a. Uji Linearitas

Uji linearitas dipergunakan untuk melihat

apakah model yang dibangun mempunyai

hubungan linear atau tidak. Uji ini jarang

digunakan pada berbagai penelitian, karena

biasanya model dibentuk berdasarkan telaah

teoritis bahwa hubungan antara variabel bebas

dengan variabel terikatnya adalah linear.

Uji linearitas digunakan untuk

mengkonfirmasikan apakah sifat linear antar

dua variabel yang diidentifikasikan secara

teori sesuai atau tidak dengan hasil observasi

yang ada.

Dalam penelitian ini untuk mengetahui

apakah model ini mempunyai hubungan

linear atau tidak maka dilakukan identifikasi

dengan menggunakan tabel anova dan melihat

nilai signifikan. Apabila nilai signifikan lebih

kecil dari α = 0.025 maka model ini

mempunyai hubungan linear.

b. Uji F (Uji Simultan)

Nilai F-hitung digunakan untuk menguji

ketepatan model (goodness of fit). Uji F ini

juga sering disebut sebagai uji simultan,

untuk menguji apakah variabel bebas yang

digunakan dalam model mampu menjelaskan

perubahan nilai variabel terikat atau tidak.

Uji F digunakan untuk mengetahui tingkat

signifikasi pengaruh variabel bebas secara

serentak terhadap variabel terikat. Adapun

pengujiannya dilakukan dengan rumus

sebagai berikut (Gujarati;1999) :

F = nilai F hitung

R2 = koefisien determinasi (R-Square)

k = banyaknya varabel independen

dalam penelitian

n = banyaknya sampel

atau dapat dengan menggunakan program

excel untuk menghasilkan F hitung dengan

rumus :

=FINV(α;k;n)

α = tingkat signifikansi

k = banyaknya variabel independen dalam

penelitian

n = banyaknya sampel

Dengan tingkat keyakinan 97,5% atau α =

0.025.

Secara simultan, pengujian hipotesis

dilakukan dengan uji F-test. Menurut Ghozali

(2005 : 84), “Uji statistik F pada dasarnya

menunjukkan apakah semua variabel

independen / bebas yang dimasukkan dalam

model mempunyai pengaruh secara bersama-

sama terhadap variabel dependen / terikat”.

Uji ini dilakukan dengan membandingkan

signifikansi F-hitung dengan ketentuan :

1) Jika F-hitung < F-tabel pada α 0.025,

maka H1 ditolak dan

2) Jika F-hitung > F-tabel pada α 0.025,

maka H1 diterima.

Atau :

Hipotesis untuk melakukan uji F adalah

sebagai berikut:

H0 : Variabel bebas (independen) yang

bekerja secara bersama-sama tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap

variabel terikat (dependen).

H1 : Variabel bebas (independen) yang

bekerja secara bersama-sama berpengaruh

secara signifikan terhadap variabel terikat

(dependen).

Keputusan pengujiannya adalah sebagai

berikut:

H0 ditolak jika F-hitung ≥ F-tabel.

H0 diterima jika F-hitung ≤ F-tabel.

c. Uji t

Uji t merupakan suatu pengujia yang

bertujuan untuk mengetahui apakah koefisien

regresi signifikan atau tidak (Nachrowi dan

Usman, 2008:24).

Nilai t hitung digunakan untuk menguji

pengaruh secara parsial (per variabel)

terhadap variabel terikatnya. Apakah variabel

tersebut memiliki pengaruh yang berarti

terhadap variabel terikatnya atau tidak

(Suliyanto, 2011:55).

Untuk menghasilkan t-hitung dapat digunakan

dengan bantuan program excel dengan rumus

sebagai berikut:

=TINV(α,n)

α = tingkat signifikansi

n = banyaknya sampel

Dengan tingkat keyakinan 97,5% atau α =

0.025.

Secara parsial, pengujian hipotesis dilakukan

dengan Uji t-test. Menurut Ghozali (2005 :

84) “Uji statistik t pada dasarnya

menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu

variabel penjelas / independen secara

individual dalam menerangkan variabel

dependen”.

Uji ini dilakukan dengan membandingkan

signifikansi thitung dengan ketentuan:

1) Jika thitung < t-tabel pada α 0.025, maka

H1 ditolak dan

2) Jika thitung > t-tabel pada α 0.025, maka

H1 diterima.

Hipotesis untuk melakukan uji t pada

penelitian ini adalah sebagai berikut:

H0 : Variabel independen tidak berpengaruh

terhadap variabel dependen.

H1 : Variabel independen berpengaruh

terhadap variabel dependen.

Keputusan pengujiannya adalah sebagai

berikut (Priyanto,2010:69) :

H0 ditolak jika t-hitung ≥ t-tabel.

H1 diterima jika t-hitung ≤ t-tabel.

Dalam tabel distribusi t terdapat istilah one

tail dan two tail. Penggunaan tabel one tail

atau two tail tergantung pada hipotesis yang

diajukan. Jika hipotesis yang diajukan sudah

menunjukkan arah, misalkan terdapat

pengaruh positif, maka menggunakan one tail

sebelah kanan. Akan tetapi jika belum

menunjukkan arah, misalnya terdapat

pengaruh (tidak menunjukkan pengaruh

positif atau negatif) maka menggunakan two

tail. Jika menggunakan one tail maka df: α, n-

k, tetapi jika menggunakan two tail maka

derajat bebasnya adalah df: α/2, n-k.

Keterangan: n = jumlah pengamatan (ukuran

sampel); dan k = jumlah variabel bebas dan

terikat (Suliyanto, 2011:45).

Menurut Suliyanto (2011:56), dalam

menentukan pengujian hipotesis uji t adalah

sebagai berikut :

1. Hipotesis

Hipotesis 1

Ho: Tidak terdapat pengaruh negatif variabel

independent terhadap variabel dependent

Ha: Terdapat pengaruh negatif variabel

independent terhadap variabel dependent

Hipotesis 2

Ho : Tidak terdapat pengaruh positif variabel

independent terhadap variabel dependent

Ha : Terdapat pengaruh positif variabel

independent terhadap variable dependent

2. Kriteria Pengujian

Hipotesis 1

Ho tidak dapat ditolak jika:

• t hitung ≥ -t tabel, atau

• Sig.> 0,05

Ha diterima jika:

• t hitung < -t tabel, atau

• Sig. ≤ 0,05, dan arah koefisien negatif.

Hipotesis 2

Ho tidak dapat ditolak jika:

• t hitung ≤ t tabel, atau

• Sig. > 0,05

Ha diterima jika:

• t hitung > t tabel, atau

Sig. ≤ 0,05, dan arah koefisien positif.

d. Uji Koefisien Determinasi (R square)

Uji koefisien determinasi (R square)

bertujuan untuk mengetahui seberapa besar

kemampuan variabel independen menjelaskan

variabel dependen. Nilai R square berada di

antara 0 – 1, semakin dekat niai R square

dengan 1 maka garis regresi yang

digambarkan menjelaskan 100% variasi

dalam Y. Sebaliknya, jika nilai R square sama

dengan 0 atau mendekatinya maka garis

regresi tidak menjelaskan variasi dalam Y.

Menurut Suliyanto (2011:55), koefisien

determinasi (R square) merupakan besarnya

kontribusi variabel bebas terhadap variabel

terikatnya. Semakin tinggi koefisien

determinasi, semakin tinggi kemampuan

variabel bebas dalam menjelaskan variasi

perubahan pada variabel terikatnya.

Koefisien determinasi memiliki kelemahan,

yaitu bias terhadap jumlah variabel bebas

yang dimasukkan dalam model regresi di

mana setiap penambahan satu variabel bebas

dan jumlah pengamatan dalam model akan

meningkatkan nilai R square meskipun

variabel yang dimasukkan tersebut tidak

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

variabel terikatnya.

Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka

digunakan koefisien determinasi yang telah

disesuaikan, Adjusted R Square. Koefisien

determinasi yang telah disesuaikan (Adjusted

R square) berarti bahwa koefisien tersebut

telah dikoreksi dengan memasukkan jumlah

variabel dan ukuran sampel yang digunakan.

Dengan menggunakan koefisien determinasi

yang disesuaikan maka nilai koefisien

determinasi yang disesuaikan itu dapat naik

atau turun oleh adanya penambahan variabel

baru dalam model.

(Suliyanto, 2011:43).

e. Analisis Regresi Berganda (Multiple

Regression )

Model yang digunakan dalam uji hipotesis ini

adalah model regresi berganda atau multiple

regression untuk menguji faktor-faktor yang

mempengaruhi tabungan. Model regresi

berganda yaitu regresi yang pada saat variabel

yang dicari untuk dijelaskan di hipotesis

bergantung pada lebih dari satu variabel bebas

atau variabel penjelas (Salvatore, 2001:164).

Dengan rumus sebagai berikut:

Y = β0 +β1 X1 +β2 X2 + µ

Dimana :

Y = Tabungan

β0 = Konstanta

X1 = Suku Bunga

X2 = Inflasi

β1, β2 = Koefisien Regresi

µ = Standar Error

Ketepatan fungsi regresi sampel dalam

menaksir nilai aktual dapat diukur dari

goodness of fit

-nya. Secara statistik dapat diukur dari nilai

statistik t (uji t), nilai statistik F (uji F), dan

koefisien determinasi (Kuncoro, 2001:97).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Uji Asumsi Klasik

a. Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 30 Normal Parameters

a,b Mean ,0000000

Std. Deviation

,02493340

Most Extreme Differences Absolute ,108 Positive ,080 Negative -,108

Test Statistic ,108 Asymp. Sig. (2-tailed) ,200

c,d

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. c. Lilliefors Significance Correction. d. This is a lower bound of the true significance.

Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis

Berdasarkan uji analisis data yang

menggunakan spss untuk melihat hasil Uji

Normalitas, kita dapat melihat pada tabel

One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test pada

baris “Asymp. Sig. (2-tailed)” yang berada

paling bawah. Bila nilai tiap variabel lebih

besar dari (> 0.025) maka Uji Normalitas

terpenuhi.

Hipotesis yang digunakan :

H0 : Data berdistribusi normal

H1 : Data tidak berdistribusi normal

Jika nilai signifikasi (> 0,025) maka H0

diterima. Jika nilai signifikasi (< 0,025) maka

H0 ditolak.

Berdasarkan output dari tabel di atas, dapat

dilihat “Asymp. Sig. (2-tailed)” bernilai 0,200

lebih besar dari 0,025 maka hasil tersebut

menyatakan H0 diterima yang berarti data

berdistribusi normal. (0,200 > 0,025)

Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis

Adapun Uji Normalitas dapat dilihat dari

gambar histogram di atas. Berdasarkan

gambar, jika grafik tersebut berbentuk

lonceng maka dapat disimpulkan bahwa data

dalam penelitian berdistribusi normal.

Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis

Gambar di atas menunjukkan tampilan dari

PP Plot. Berdasarkan gambar di atas, terlihat

bahwa penyebaran sampel data (titik)

menyebar di sekitar garis diagonal dan

mengikuti arah garis diagonal yang berarti

bahwa data berdistribusi normal.

b. Uji Multikolinearitas

Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis

Untuk melihat adanya multikolinearitas dapat

dilihat dari Value Inflation Factor (VIF).

Apabila nilai VIF > 10, terjadi

multikolinearitas. Sebaliknya jika VIF < 10,

tidak terjadi multikolinearitas (Wijaya,

2009:119). Dan juga nilai Tolerance dapat

dilihat jika nilai Tolerance > 0,10 maka tidak

ada multikolinearitas.

Berdasarkan output pada Tabel Coefficient di

atas terlihat bahwa nilai Tolerance variabel

Rate (Suku Bunga BI) dan Inflasi sebesar

0,774, > 0,10. Sedangkan nilai VIF variabel

Rate (Suku Bunga BI) dan Inflasi sebesar

1,292 < 10.

Hal tersebut menyimpulkan bahwa tidak

terdapat multikolinearitas.

c. Uji Heteroskedastisitas

Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis

Berdasarkan gambar Scatterplot di atas,

terlihat bahwa tidak ada pola yang jelas, plot

menyebar secara acak di atas maupun di

bawah angka nol pada sumbu Regression

Studentized Residual (Y). Oleh karena itu

berdasarkan Uji Heteroskedastisitas

menggunakan metode grafik, pada model

regresi yang terbentuk dinyatakan tidak

terjadi gejala heteroskedastisitas.

d. Uji Autokorelasi

Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis

Nilai Durbin Watson (DW) berada di antara -

2 sampai +2 jadi dapat disimpulkan bahwa

tidak terjadi gejaka autokorelasi antara

kesalahan pengguna pada periode t dengan t-1

pada model regresi dalam penelitian ini

(Singgih Santoso, 2001:216).

Sedangkan menurut sumber lain menyatakan

bahwa Nilai DW 1,086 dengan (n) = 30

jumlah variabel independen (k’ = 2) diperoleh

nilai dL = 1,2837 dan dU = 1,5666.

Sedangkan Nilai 4 – dU = 2,4334. Ini berarti

terdapat gejala autokorelasi karena nilai DW

berada dibawah dU sampai 4 – dU.

Pengobatan dilakukan dengan melakukan Lag

dari masing masing variabel dengan

mengestimasi nilai ρ masing masing variabel.

Diperoleh hasil output baru sebagai berikut :

Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis

Dapat dilihat pada Tabel Model Summary

setelah dilakukan pengobatan, nilai DW

adalah sebesar 2,257 yang berada diantara dU

sampai 4 – dU (1,5666-2,4334) hal tersebut

menunjukkan sudah tidak terdapat gejala

autokorelasi.

2. Uji Hipotesis

a. Uji Linearitas

Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis

Berdasarkan Tabel ANOVA di atas nilai

signifikasi sebesar 0,000 lebih kecil dari

0,025 maka dapat disimpulkan model ini

mempunyai hubungan yang linear.

b. Uji F (Uji Simultan)

Dalam Uji F dengan menggunakan tabel yang

disebut Tabel ANOVA (Analysis of Variance)

dengan melihat nilai signifikasi (Sig. < 0,025

atau 2,5%). Jika nilai signifikasi > 0,025

maka H1 ditolak, sebaliknya jika nilai

signifikasi < 0,025 maka H0 diterima. Berikut

adalah hasil Uji F :

Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis

Hipotesis :

H0: a = b1 = b2 = 0, yang berarti Suku bunga

BI (BI Rate) dan Inflasi tidak berpengaruh

signifikan terhadap Tabungan (DPK).

H1: a ≠ b1 ≠ b2 ≠ 0, yang berarti Suku bunga

BI (BI Rate) dan Inflasi berpengaruh

signifikan terhadap Tabungan (DPK).

Uji F dilakukan untuk meilai pengaruh

Inflasi, Suku bunga (BI Rate), secara simultan

terhadap Tabungan (DPK).

Uji ini dilakukan dengan membandingkan

signifkansi F-hitung dengan F-tabel dengan

ketentuan:

1) Jika F-hitung < F-tabel, maka H0 diterima

dan Ha ditolak untuk α = 2,5%, atau

signifikansi > 0,025

2) Jika F-hitung > F-tabel, maka H0 ditolak

dan Ha diterima untuk α = 2,5%. Atau

signifikansi < 0,025

Dari uji ANOVA (Analysis of Variance) pada

tabel di atas didapat F-hitung sebesar 77,178

dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000.

Sedangkan F-tabel diketahui sebesar

4,242094127. Berdasarkan hasil tersebut

dapat diketahui bahwa F-hitung > F-tabel

(77,178 > 4,242094127) maka H0 ditolak dan

Ha diterima.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Suku bunga

BI (BI Rate) dan Inflasi berpengaruh secara

simultan terhadap Tabungan (DPK).

c. Uji t (Uji Parsial)

Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis

Uji t dilakukan untuk mengetahui seberapa

jauh pengaruh suatu variabel independen

terhadap variabel dependen secara parsial.

Dalam Uji t digunakan hipotesis sebagai

berikut :

H0: a = b1 = b2 = 0, yang berarti Suku bunga

BI (BI Rate) dan Inflasi tidak berpengaruh

signifikan terhadap Tabungan (DPK).

H1: a ≠ b1 ≠ b2 ≠ 0, yang berarti Suku bunga

BI (BI Rate) dan Inflasi berpengaruh

signifikan terhadap Tabungan (DPK).

Uji ini dilakukan dengan membandingkan

signifikansi t-hitung dengan t-tabel dengan

ketentuan :

1) Jika t-hitung < t-tabel, maka H0 diterima

dan H1 ditolak untuk α = 2,5% atau

signifikansi > 0,025,

2) Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak

dan H1 diterima untuk α = 2,5% atau

signifikansi < 0,025.

1) Uji t terhadap variabel Rate (Suku bunga

BI). Nilai t-hitung untuk variabel Rate

adalah sebesar 11,663 dan t-tabel dengan α

= 2,5% diketahui sebesar 2,373417201.

Dengan demikian t-hitung > t-tabel dan

nilai signifikansi sebesar 0,000. Artinya,

H0 ditolak dan H1 diterima. Bahwa BI

Rate secara parsial 2,373417201

berpengaruh secara signifikan terhadap

Tabungan (DPK).

2) Uji t terhadap variabel Inflasi. Nilai t-

hitung untuk variabel Inflasi adalah

sebesar -1,776 dan t-tabel dengan α =

2,5% diketahui sebesar 2,373417201.

Dengan demikian t-hitung < t-tabel dan

nilai signifikansi sebesar 0,087. Artinya,

H0 diterima dan H1 ditolak. Bahwa Inflasi

secara parsial 2,373417201 tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap

Tabungan (DPK).

d. Uji Adjusted R Square

Berdasarkan Tabel Model Summary, koefisien

determinasi yang telah disesuaikan (Adjusted

R Square) berarti bahwa koefisien tersebut

telah dikoreksi dengan memasukkan jumlah

variabel dan ukuran sampel yang digunakan.

Dengan menggunakan koefisien determinasi

yang disesuaikan maka nilai koefisien

determinasi itu dapat naik atau turun oleh

adanya penambahan variabel baru dalam

model. Berikut adalah hasil uji Adjusted R

Square :

Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis

Besar angka Adjusted R Square adalah 0,840

atau sebesar 84%. Dapat disimpulkan bahwa

pengaruh BI Rate dan Inflasi terhadap

Tabungan (DPK) pada Bank Umum sebesar

84% sedangkan sisanya sebesar 16% yang

tidak diinput dalam penelitian ini, seperti

PDB, G, Ekspor, Impor, dll. Kemudian

tingkat angka korelasi (R) menunjukkan nillai

sebesar 0,923 yang menandakan hubungan

antara variabel bebas dan variabel terikat

adalah kuat karena memiliki nilai lebih dari

0,5 (R > 0,5) atau 0,923 > 0,5. Adapun

Standard Error of the Estimate adalah sebesar

0,2584 dimana semakin kecil angka ini akan

membuat model regresi semakin tepat dalam

memprediksi Tabungan (DPK) Bank Umum.

e. Analisis Regresi Berganda

Pengujian koefisien regresi

LnY = 13,007 + 0,521 LnX2 – 0,038 LnX3

Konstanta sebesar 13,007 yang menyatakan

bahwa jika variabel independen dianggap nol,

maka rata-rata tabungan adalah 13,007.

Dalam hal ini jika variabel independent

bernilai nol, maka dependent meningkat

13,007%

Koefisien regresi 0,521 menyatakan bahwa

setiap peningkatan 1 BI Rate, akan menaikkan

Tabungan sebesar 0,521 point, demikian pula

sebaliknya dengan asumsi variabel lain tetap.

Koefisien regresi -0,038 menyatakan bahwa

setiap peningkatan 1 point Inflasi, akan

menurunkan Tabungan sebesar 0,038 point,

demikian pula sebaliknya dengan asumsi

variabel lain tetap.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Adapun beberapa kesimpulan yang dapat

diambil dari penelitian “Analisis Faktor-

Faktor Yang Mempengaruhi Tabungan Di

Indonesia” antara lain ialah :

1. Pada hasil Uji Regresi Berganda dengan

Uji Simultan (Uji F) didapatkan variabel

BI Rate dan Inflasi secara bersamaan

berpengaruh signifikan terhadap Tabungan

(DPK Bank Umum).

2. Pada hasil Uji Regresi Berganda dengan

Uji Parsial (Uji t) didapatkan variabel BI

Rate memiliki hungungan yang positif dan

berpengaruh signifikan terhadap Tabungan

(DPK Bank Umum). Sedangkan variabel

Inflasi memiliki hubungan yang negatif

dan tidak berpengaruh signifikan terhadap

Tabungan (DPK Bank Umum).

Yang berarti bahwa setiap kenaikan BI

Rate akan menaikkan Tabungan

sedangkan setiap kenaikan inflasi akan

menurunkan Tabungan dengan asumsi

variabel lain tetap.

3. Hasil uji koefisien determinasi yang

disesuaikan menunjukkan 84% Tabungan

di Indonesia dipengaruhi oleh BI Rate dan

Inflasi. Dan 16% sisanya dipengaruhi oleh

faktor lain yang tidak diteliti dalam

penelitian ini.

B. SARAN

Masyarakat yang akan menabung di bank

hendaknya memperhatikan faktor-faktor

makro ekonomi seperti Tingkat Suku Bunga

BI Rate terhadap pergerakan Tabungan.

Pemerintah sebaiknya berusaha menjaga

stabilitas perekonomian untuk menghindari

fluktuasi faktor-faktor makro ekonomi seperti

Tingkat Suku Bunga (BI Rate) dan Inflasi

yang dapat mempengaruhi pergerakan

Tabungan yang juga berimbas pada

peningkatkan minat menabung di bank.

Sehingga pembangunan dan kesejahteraan

yang berkesinambungan akan tercapai.

VI. REFERENSI

http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/ind

onesia/Default.aspx

http://www.bi.go.id/id/moneter/bi-

rate/data/Default.aspx

http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/pengen

alan/Contents/Default.aspx

http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/data/D

efault.aspx

Irawan, Bayu Randi. 2012. Faktor-

Faktor Yang Mempengaruhi Tabungan Di

Indonesia Periode 2002-2012. Jurnal.

Program Ilmu Ekonomi dan Studi

Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa. Banten.

Samuelson, Paul A. dan William D.

Nordhaus. “Ilmu Makroekonomi Edisi 17”.

PT Media Global Edukasi, Jakarta, 2004.

Ghozali, Imam. “Analisis

Multivariate Dengan Program SPSS”. Badan

Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang, 2006.

Ghozali, Imam. “Aplikasi Analisis

Multivariate Dengan Program IBM SPSS 20

Edisi 6”. Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang, 2012.

Rahardja, Prathama dan Mandala

Manurung. “Teori Ekonomi Makro Suatu

Pengantar Edisi Kedua”. Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,

Jakarta, 2004.

Sukirno, Sadono. “Makroekonomi

Teori Pengantar Edisi Ketiga”. PT

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.

Suliyanto. “Ekonometrika Terapan:

Teori & Aplikasi dengan SPSS”. Andi,

Yogyakarta, 2011.

Sharaswati, Fitria. “Analisis Pengaruh

Sertifikat Bank Indonesia Syariah, Inflasi,

Nilai Tukar Rupiah, Dan Jumlah Uang

Beredar Terhadap Nilai Aktiva Bersih

Reksadana Syariah.” Skripsi Program S1,

Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi

dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2013.