ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TABUNGAN DI INDONESIA
Transcript of ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TABUNGAN DI INDONESIA
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TABUNGAN DI INDONESIA
PERIODE OKTOBER 2012 – MARET 2015
DITA PUTRI ARISTIYANTI
1113084000041
(Mahasiswi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Email : [email protected]
Pembimbing :
Tony S. Chendrawan, ST., SE., M.Si
ABSTRACT
The research aims to know the influence of the factors (economic variables) to National Saving in Indonesia
period 2002-2012, the factors are BI Rates and Inflation. Based on the research results, this study used secondary
data and quantitative research using time series method, and the method used Ordinary Least Square (OLS) by
SPSS 22.Data are analyzed using multiple linear regression and also use the test t and test F. The Methodology of
this research is qualitative analysis, it is based on secondary sources, which is mean the data has taken from books,
reports, documents, and other relevant online sources (official website of Bank Indonesia).
This analysis also aimed to determine the effect of independent variables (BI Rate and Inflation) on the dependent
variables (National Saving (Tabungan DPK Bank Umum)). The data used is from 2012.10 to 2015.3, the
Hypothesis Test used t - test and F - test with significance level of 0.000 with a confidence level of 2,5%. The
classical assumptions test used in this study include normality, multicollinearity, heteroscedasticity and
autocorrelation test the results showed that the BI Rates had a positive and significant to National Saving. While,
The Inflation had a negative and not significant to National Saving.
Keywords : BI RATE, INFLATION, NATIONAL SAVING (TABUNGAN DPK BANK UMUM)
I PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan masyarakat
Indonesia yabg adil dan makmur berdasarkan
UUD 1945, maka kesinambungan dan
peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional
yang berazaskan kekeluargaan perlu dipelihara
dengan baik. Untuk mencapai tujuan tersebut,
maka pelaksanaan pembangunan ekonomi harus
lebih memperhatikan keserasian, keselarasan dan
keseimbangan unsur–unsur pemerataan
pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas nasional.
Seperti yang dikemukakan dalam teori dari
Harrod dan Domar, bahwa tabungan sangat
berpengaruh bagi pertumbuhan ekonomi suatu
negara. Bila suatu negara ingin tumbuh dengan
cepat, maka jumlah tabungan harus ditingkatkan
dan nilai dari ICOR (Increamental Capital
Output Ratio) harus diperkecil.
Tabungan yang merupakan sumber dana bagi
pembangunan dapat berasal dari dalam negeri
ataupun dari luar negeri. Namun pada umumnya
di negara sedang berkembang tingkat tabungan
dalam negeri adalah relatif kecil. Pengetahuan
tentang perilaku tabungan sangat penting
dalam mendesain
kebijakan untuk mendorong tabungan dan
investasi. Pada umumnya perbedaan lingkungan
ekonomi di negara sedang berkembang dan
negara maju merupakan perbedaan mendasar
dalam perilaku tabungan. Sebagian besar
literature empiris yang menganalisis perilaku
tabungan antar negara memfokuskan pada
kurangnya informasi yang konsisten dalam
perilaku tabungan dan perbedaan perilaku
tabungan negara berkembang versus negara maju
yang seringkali diabaikan oleh pemerintah negara
berkembang ketika mengadopsi kebijakan untuk
meningkatkan tabungan dari negara industri
maju. Literatur tabungan pada umumnya
didasarkan pada dua pendapat yang berbeda.
Kubu pertama adalah dari aliran Klasik dan
kubu kedua adalah aliran Keynesian.
Wicksell salah satu tokoh dari penganut klasik
menyatakan bahwa tabungan merupakan fungsi
dari tingkat bunga dengan hubungan positif.
Sedangkan Keynes (1936) mendefinisikan
tabungan sebagai fungsi dari tingkat pendapatan.
Pengikut aliran Keynes (Keynesian)
mengemukakan beberapa hipotesias dalam
hubungan tentang konsumsi dan tabungan.
Hipotesis–hipotesis tersebut mencakup tentang
hipotesis pendapatan permanen yang
dikemukakan oleh Friedman (1957) yang
membedakan pendapatan menjadi pendapatan
permanen dan pendapatan transitory sebagai
penentu tabungan.
Uji empiris hipotesis pendapatan permanen
terutama dikonsentrasikan pada efek
kesejahteraan inisial dari tabungan. Hasil
empiris tentang pendapatan permenen
menunjukkan perbedaan perilaku negara
berkembang dan negara maju. Sedangkan
hipotesis siklus hidup dari Ando dan
Modigliani (1963) yang didasarkan pada
asumsi bahwa individu mengalokasikan
konsumsinya secara ”merata” selama hidupnya
dengan cara mengumpulkan tabungan selama
masa produktif dan menjaga tingkat
konsumsinya selama masa non produktif.
Sekretaris Jenderal The Organisation for
Economic Co-operation and Development
(OECD) Angel Gurria mengatakan, bank-bank di
Indonesia memiliki margin yang lebih tinggi
yang didapatkan dari suku bunga tabungan dan
kredit bila dibanding bank di negara ASEAN
lainnya. Hal tersebut mencerminkan kebutuhan
bank untuk menutupi biaya operasional lebih
tinggi. Angkanya, antara 2,5% sampai 4% dari
aset bank, dibanding 2% di Malaysia dan 1% di
Singapura. "Ini akibat kondisi geografis
Indonesia yang unik dan ketidakefisienan.
Beberapa rasio biaya operasional terhadap total
aset bank-bank di Indonesia merupakan tertinggi
di antara bank-bank di negara anggota G-20,"
menurit Sekjen OECD (25/3/2015).
Menurut Gurria, bank-bank di Indonesia juga
merupakan bank paling profitable di antara bank-
bank di negara anggota G-20, dengan rata-rata
pengembalian atas modal (return on equity)
sebesar 23%, di atas rata-rata di China sebesar
21% dan lebih dari dua kali rata-rata di Amerika
Serikat sebesar 9% (data Bloomberg, 2013).
Tingkat pengembalian yang tinggi di Indonesia
disebabkan oleh margin bunga bersih, yang
dengan rata-rata sebesar 7 poin persentase,
merupakan yang tertinggi di antara negara
anggota G-20 (rata-rata suku bunga pinjaman
adalah sebesar 12%, sementara rata-rata suku
bunga yang dibayarkan kepada deposan sebesar
5%)
Salah satu sarana yang mempunyai peran
strategis untuk menyerasikan dan
menyeimbangkan dari masing-masing unsur
adalah perbankan.
Peran yang strategis tersebut terutama
disebabkan oleh fungsi utama bank sebagai suatu
wahana yang menghimpun dan menyalurkan
dana masyarakat secara efektif dan efisien
yang dengan berazaskan demokrasi ekonomi
mendukung pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan
pembangunan dan hasi–hasilnya, pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi akan meningkat.
Pembangunan nasional Indonesia membutuhkan
dana dan salah satu sumber dananya adalah dari
tabungan nasional. Industri perbankan merupakan
salah satu komponen yang sangat penting dalam
perekonomian nasional demi menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional, Indonesia mengalami krisis moneter
dan perbankan pada tahun 1998. Akibat krisis
moneter tersebut maka kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan menurun, sehingga tabungan
nasional mengalami penurunan. Untuk menjaga
stabilitas keuangan ini, maka pemerintah perlu
melakukan kebijakan moneter yang tepat.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa
pengaruh dan mengetahui elastisitas tingkat suku
bunga, inflasi terhadap tabungan nasional di
Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan
berguna bagi pemerintah untuk membuat suatu
kebijakan, juga sebagai kontribusi ilmiah pada
ilmu ekonomi.
1. 1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat
merumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimana pengaruh antara tingkat suku
bunga terhadap tabungan?
Bagaimana pengaruh antara tingkat
inflasi terhadap tabungan?
Bagaimana pengaruh antara tingkat suku
bunga dan tingkat inflasi terhadap
tabungan?
2. 1. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh antara tingkat suku bunga
terhadap tabungan.
Untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh antara tingkat inflasi terhadap
tabungan.
Untuk mengetahui seberapa besar tingkat
suku bunga dan tingkat inflasi terhadap
tabunga
II. KERANGKA TEORITIS DAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tabungan
2.1.1. Pengertian Tabungan
Pengertian Tabungan Menurut Soemitro
Djojohadikusumo (1954) tabungan
didefinisikan sebagai kemampuan dan
kesediaan untuk menahan hasrat konsumsi
selama beberapa waktu agar di masa yang
depan terbuka kemungkinan konsumsi yang
memuaskan.
Pengertian Tabungan menurut Simorangkir
(1991:47) adalah tabungan diartikan sebagai
bagian derajat pendapatan nasional
pertahunnya yang tidak dikonsumsi.
Tabungan adalah simpanan dana pihak ketiga
kepada bank yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat-syarat yang
ditentukan antara bank dan nasabah
(Simurangkir 2004:11)
ccmenyatakan bahwa tabungan merupakan
dana pihak ketiga yang dapat ditarik sesuai
perjanjian antara bank dan nasabah pemegang
rekening tabungan. Tabungan meskipun
merupakan dana simpanan yang dapat ditarik
setiap saat, akan tetapi pengendapannya
relatif lebih stabil dibanding dana yang
berasal dari giro.
Tabungan adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan dengan
syarat tertentu yang lebih disepakati, dan
tidak menggunakan cek atau bilyet giro atau
alat lainnya dapat dipersamakan oleh hal itu.
Cara penarikan rekening tabungan ini
biasannya menggunakan cashcard atau ATM,
dan debt card (Sri Susilo, 2004:64).
Sedangkan menurut statistik ekonomi
keuangan indonesia (2011) tabungan adalah
simpanan pada bank umum dan BPR dalam
rupiah milik pihak ketiga, yang penarikan
hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat
tertentu yang disepakati tetapi tidak dapat
ditarik dengan cek atau alat yang dapat
dipersamakan dengan itu.
Wikipedia Bahasa Indonesia menyatakan
bahwa tabungan adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan menurut
syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak
dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau
alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Tabungan nasional (national saving) dapat
didefinisikan sebagai pendapatan total dalam
perekonomian yang tersisa setelah dipakai
untuk pengeluaran pemerintah dan konsumsi.
Dalam suatu negara, investasi domestik dapat
dibiayai oleh tabungan nasional dan pinjaman
dari luar negeri. Total dana yang tersedia
untuk membiayai investasi (I) sama dengan
tabungan nasional (S+(T-G)) ditambah
dengan pinjaman dari luar negeri (X-M).
Secara matematis dapat dirumuskan :
I = S+(T-G)+(X-M).................... (1)
Untuk mengurangi ketergantungan suatu
negara terhadap bantuan dari pihak lain,
tabungan nasional diutamakan sebagai
sumber pembiayaaan investasi domestik.
Secara garis besar, tabungan nasional
diciptakan oleh tiga pelaku, yaitu pemerintah,
perusahaan, dan rumah tangga.
Tabungan pemerintah merupakan selisih
antara realisasi penerimaan dengan
pengeluaran pemerintah. Tabungan
perusahaan merupakan kelebihan pendapatan
(laba) yang tidak dibagikan kepada pemegang
saham yang besarnya dapat diketahui dari
neraca perusahaan. Sedangkan tabungan
rumah tangga merupakan bagian dari
pendapatan yang diterima rumah tangga yang
tidak dibelanjakan untuk keperluan konsumsi.
Secara matematis persamaan tabungan dapat
dijabarkan sebagai berikut. Jika tabungan
swasta adalah S = (Y-T)-C dan Tabungan
Pemerintah adalah (T-G), maka Tabungan
Nasional :
= S+(T-G)=(Y-T)-C+(T-G)
= Y-C-G........................(2)
Dimana :
S = Tabungan Swasta
Y = Pendapatan Nasional/Agregat
T = Pajak Netto
C = Konsumsi
G = Pengeluaran Pemerintah
Jika T-G bernilai positif, maka pemerintah
akan mengalami budget surplus, dan sektor
ini akan ditambah pada sektor swasta untuk
menambah sumber pembiayaaan investasi.
Namun jika T-G bernilai negati berarti
pemerintah mengalami budget deficit, dan
peerintah harus meminjam dana dari pihak
lain.
2.1.2. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhui Tabungan
Menurit ekonom klasik, Adam Smith,
tabungan merupakan fungsi dari tingkat
bunga. Tingkat bunga merupakan pembayaran
dari tidak dilakukannya konsumsi, imbalan
dari kesediaan untuk menunggu dan tidak
dilakukannya konsumsi dan pembayaran atas
penggunaan dana. Oleh karena itu, jika
tingkat bunga naik, jumlah tabungan juga
akan meningkat. Tingkat bunga ditentukan
dari titik keseimbangan antara tabungan dan
investasi.
Alfred Marshall dari kaum neoklasik
mengemukakan bahwa terdapat faktor
ekonomi dan non ekonomi yang
mempengaruhi tabungan. Diantara faktor-
faktor ekonomi tersebut, dia menekankan
pada tingkat bunga, walaupun mungkin ada
keadaan dimana tetap ada tabungan walaupun
tingkat bunga negatif.
Selain tingkat bunga, pendapatan juga
dikatakan sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi tabungan nasional. Pendapat
tersebut dikemukakan oleh J.M. Keynes
dalam teorinya mengenai kecenderungan
untuk mengkonsumsi (propensity to consume)
yang secara eksplisit menghubungkan antara
tabungan dan pendapatan. Keynes
menyatakan suatu fungsi konsumsi modern
yang didasari oleh perilaku psikologis
modern, yaitu apabila terjadi peningkatan
pada pendapatan riil, peningkatan tersebut
tidak digunakan seluruhnya untuk
meningkatlkan konsumsi, tetapi dari sisa
pendapatan tersebut juga digunakan untuk
menabung, hal ini dapat dijelaskan dalam
persamaan berikut :
S≡Y-C........................ (3)
C=Ĉ+cY,Ĉ>0;0<c< 1 …................. (4)
D :
S=saving
Y=income
Ĉ= intercept; tingkat konsumsi ketika
pendapatan nol c = marginal propensity to
consume
Jika kedua persamaan (3) dan (4) atau disebut
juga budget constraint tersebut digabungkan,
maka akan menjelaskan fungsi persamaan
tabungan. Fungsi persamaan tabungan sendiri
menjelaskan hubungan tingkat tabungan
dan tingkat pendapatan. Dengan
mensubstitusi persamaan konsumsi (3)
dengan persamaan budget constraint (4),
maka kita akan mendapatkan fungsi
persamaan tabungan :
S ≡ Y-C = Y-Ĉ – cY
= - Ĉ + (1-c)Y ………………..…. (5)
Dari persamaan (1.5) kita dapat melihat
bahwa tabungan memiliki hubungan positif
dengan pendapatan karena marginal
propensity to save, s =1 – c, adalah positif.
Dengan kata lain, tabungan meningkat ketika
pendapatan meningkat.
Penentu Faktor-Faktor Lainnya
Sadono Sukirno (2004:119-121) menjelaskan
ada faktor-faktor lain yang menentukan
tabungan selain dari pandangan Klasik dan
Keynes di atas diantaranya :
a) Kekayaan Yang Telah Terkumpul
Sebagai akibatnya dari mendapat harta
warisan atau tabungan yang banyak akibat
usaha dimasa lau, maka seseorang berhasil
mempunyai kekayaan yang mencukupi.
Dalam keadaan seperti itu ia sudah tidak
terdorong lagi untuk menabung lebih banyak.
Maka lebih besar bagian dari pendapatannya
yang digunakan untuk konsumsi dimasa
sekarang. Sebaliknya, untuk orang yang tidak
memperoleh warisan atau kekayaan, mereka
akan lebih bertekad untuk menabung. Untuk
memperoleh kekayaan yang lebih banyak
dimasayang akan datang atau untuk
memenuhi kebutuhan dimasa depan
keluarganya seperti membeli rumah,
membiayai pendidikan anak atau membuat
tabungan untuk persiapan dihari tua.
b) Sikap Berhemat
Berbagai masyarakat mempunyai sikap yang
berbeda dalam menabung dan belanja. Ada
masyarakat yang tidak suka belanja
berlebihan-lebihan dan lebih mementingkan
tabungan.
Dalam masyarakat seperti iti APC dan
MPCnya adalah lebih rendah. Tetapi ada pula
masyarkat yang mempunyai kecendrungan
menkonsumsi yang tinggi yang berati APC
dan MPCnya adalah tinggi.
c) Keadaan Perekonomian
Dalam perekonomian yang tumbuh dengan
teguh dan tidak banyak pengangguran,
masyarakat cenderung melakukan
pengeluaran yang lebih efektif. Mereka
memiliki kecenderungan belanja lebih banyak
pada masa kini dan kurang menabung. Tetapi
dalam keadaan kegiatan perekonomian yang
lambat perkembangannya, tingkat
pengangguran menunjukan tendensi
meningkat dan sikap masyarakat dalam
menggunakan uang dan pendapat menjadi
makin berhati-hati.
2.1.3. Teori Tabungan
a. Teori Klasik
Menurut Teori Klasik tabungan merupakan
fungsi dari suku bunga, bahwa semakin tinggi
tingkat bunga akan semakin tinggi pula
keinginan masyarakat untuk menabung.
Artinya pada tingkat bunga yang lebih tinggi
masyarakat akan lebih terdorong untuk
mengorbankan konsumsi guna menambah
tabungan. Investasi juga tergantung atau
merupakan fungsi dari tingkat bunga, semakin
tinggi bunga keinginan untuk melakukan
invetasi semakin kecil.
Alasannya, seseorang pengusahan akan
menambah pengeluaran investasinya apabila
keuntungan yang diharapkan dari investasi
lebih besar dari tingkat bunga yang harus dia
bayar. Semakin rendah tingkat bunga,
pengusaha akan lebih terdorong untuk
melakukan investasi, sebab biaya penggunaan
dan (cost of capital) juga semakin kecil (Sekti
Wibowo Listyoadi, 2005).
b. Teori Keynes
Dalam Teori Keynesian bahwa tingkan bunga
tidaklah ditentukan oleh interaksi tabungan
dan oleh investasi di pasar modal, akan tetapi
tingkat bunga merupakan fenomena moneter,
artinya tingkat bunga ditentukan oleh
permintaan dan penawaran uang di pasar
uang.
Uang akan mempengaruhi kegiatan ekonomi
(pendapatan domestik) sepanjang uang itu
mempengaruhi bunga. Perubahan tingkat
bunga selanjutnya akan mempengaruhi
keinginan berinvestasi sektor perusahaan
karena investsi sendiri sangat sensitif
terhadap tingkat bunga. Tabungan sendiri
menurut mereka tidaklah ditentukan oleh
tingakt bunga, namun lebih ditentukan oleh
tingkat pendapatan, semakin tinggi tingkat
pendapatan akan semakin tinggi pula
tabungan yang dilakukan oleh sektor rumah
tangga. (Vanirtis dalam Sekti Wibisini
Listyoadi, 2005).
The Life-Cycle Permanent Income Theory of
Consumption and Saving (Modigliani,1986)
menjelaskan tentang pilihan bagaimana
memelihara standar hidup yang stabil dalam
menghadapi perubahan pendapatan dalam
waktu hidup seseorang. Jadi, teori ini
menjelaskan hubungan antara pendapatan
sepanjang waktu, konsumsi, dan tabungan.
The life cycle hypothesis melibatkan individu,
untuk merencanakan perilaku konsumsi dan
perilaku tabungannya dalam jangka
panjang dengan tujuan mengalokasikan
konsumsinya dengan cara terbaik untuk
sepanjang hidupnya.
Pengertian tabungan menurut teori klasik
adalah fungsi dari tingkat bunga. Makin
tinggi tingkat bunga makin tinggi pula
keinginan masyarakat untuk menabung.
Artinya pada tingkat bunga yang lebih tinggi
masyarakat akan lebih terdorong untuk
mengorbankan atau mengurangi pengeluaran
untuk konsumsi guna menambah tabungan.
(Noprin : 1992 : 7)
2.2. Suku Bunga
2.2.1. Pengertian Suku Bunga
Bunga pada bank dapat diartikan sebagai
balas jasa yang diberikan oleh bank yang
berdasarkan prinsip konvensional kepada
nasabah yang membeli atau menjual
produknya. Bunga juga dapat diartikan
sebagai harga yang harus dibayar oleh
nasabah (yang memiliki simpanan) dengan
yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank
(nasabah yang memperoleh pinjaman)
(Kasmir.2009:131)
BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang
mencerminkan sikap atau stance kebijakan
moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
dan diumumkan kepada publik.
Teori penentuan tingkat suku bunga Keynes
dikenal dengan Teori Liquidity Preference.
Keynes mengatakan bahwa tingkat bunga
semata-mata merupakan fenomena moneter
yang mana pembentukannya terjadi di pasar
uang. Artinya tingkat suku bunga ditentukan
oleh permintaan dan penawaran akan uang.
Dalam kegiatan perbankan sehari-hari ada 2
macam bunga yang diberikan kepada
nasabahnya. Yaitu :
a) Bunga Simpanan
Bunga yang diberikan sebagai balas jasa bagi
nasabah yang menyimpan uangnya di bank.
Bunga simpanan merupakan harga yang harus
dibayar bank kepada nasabahnya. Contoh :
Jasa giro, bunga tabungan dan bunga
deposito.
b) Bunga Pinjaman
Adalah bunga yang diberikan kepada para
peminjam atau harga yang harus dibayar oleh
nasabah peminjam kepada bank. Sebagai
cotoh bunga kredit. Kedua macam bunga ini
merupakan komponen utama faktor biaya dan
pendapatan bagi bank konvensional. Bunga
simpanan merupakan biaya dana yang harus
dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga
pinjaman merupakan pendapatan yang
diterima dari nasabah.
Baik bunga simpanan maupun bunga
pinjaman masing – masing saling
mempengaruhi satu sama lainnya. Sebagai
contoh seandainya bunga simpanan tinggi,
maka secara otomatis bunga pinjaman juga
terpengaruh ikut naik dan demikian pula
sebaliknya.
Edward dan Khan (1985), mengatakan bahwa
faktor penentu suku bunga terbagi atas 2 (dua)
faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor
internal meliputi pendapatan nasional, jumlah
uang beredar, dan ekspetasi inflasi.
Sedangkan faktor eksternalnya adalah
penjumlahan suku bunga luar negeri dan
tingkat ekspetasi perubahan nilai tukar valuta
asing.
Seperti halnya dalam setiap analisis
keseimbangan ekonomi, pembicaraan
mengenai keseimbanagn di pasar uang juga
akan melibatkan unsur utamanya, yaitu
permintaan dan penawaran uang. Bila
mekanisme pasar dapat berjalan tanpa
hambatan maka pada prinsipnya
keseimbangan di pasar uang dapat terjadi, dan
merupakan wujud kekuatan tarik menarik
antara permintaan dan penawaran uang.
2.2.2. Fungsi Suku Bunga
Fungsi suku bunga menurut Sunariyah
(2004:81) adalah :
a) Sebagai daya tarik bagi para penabung
yang mempunyai dana lebih untuk
diinvestasikan.
b) Suku bunga dapat digunakan sebagai alat
moneter dalam rangka mengendalikan
penawaran dan permintaan uang yang beredar
dalam satu perekonomian.
Misalnya :
Pemerintah mendukung pertumbuhan suatu
sektor industri tertentu apabila perusahaan-
perusahaan dari industri tersebut akan
meminjam dana. Maka pemerintah memberi
tingkat bunga yang lebih rendah
dibandingkan sektor lain.
c) Pemerintah dapat memanfaatkan suku
bunga untuk mengontrol jumlah uang beredar.
Berarti, pemerintah dapat mengatu sirkulasi
uang dalam suatu perekonomian.
Suku bunga itu sendiri ditentukan oleh dua
kekuatan, yaitu : penawaran tabungan dan
permintaan investasi modal (terutama dari
sektor bisnis). Tabungan adalah selisih
anatara pendapatan dan konsumsi. Bunga
pada dasarnya berperan sebagai pendorong
utama agar masyarakat bersedia menabung.
Jumlah tabungan akan ditentukan oleh tinggi
rendahnya tingkat bunga. Semakin tinggi
suku bunga, akan semakin tinggi pula minat
masyarakat untuk menabung dan sebaliknya.
Tinggi rendahnya penawaran dana investasi
ditentukan oleh tinggi rendahnya suku bunga
tabungan masyarakat.
2.2.3. Tipe-Tipe Suku Bunga
Ada 2 tipe suku bunga, yaitu :
1) Real Interest Rate
Koreksi atas tingkat inflsi dan didefinisikan
sebagai nominal interest rate dikurangidengan
tingkat inflasi.
2) Real Rate = Nominal Rate – Rate of
Inflation
3) Nominal Interest Rate
Tingkat suku bunga yang biasanya tertera di
rekening koran dimana mereka memberikan
tingkat pengembalian untuk setiap investasi
yang dilakukan.
Edmister mengemukakan tiga istilah yang
berkaitan dengan suku bunga yaitu :
a) State Rate
Tingkat bunga satu periode dikalikan jumlah
pokok pinjamanuntuk menghitung beban
bunga.
b) Annual Percentage Rate
Tingkat bunga disetahunkan dengan
menyesuaikan Stated Rate untuk jumlah
periode pertahun dan jumlah pokok yang
benar-benar dipinjam.
c) Yield
Tingkat bunga yang ekuivalen dengan satu
kontrak keuangan yangmemenuhi tiga syarat :
Jumlah seluruhnya yang benar-benar
dipinjam, pada awal tahun, kemudian dibayar
kembali pada akhir tahun beserta bunga.
Definisi pertama, stated rate, mendasarkan
tingkat bunga pada jangka waktu kontrak.
Definisi kedua, annual pecentage rate,
menyesuaikan jangka waktu kontrak
untukmenghitung ekuivalen tingkat bunga.
Definisi ketiga, yield, membuat penyesuaian
yang diperlukan untuk menghitung tingkat
bunga ekuivalen dengan satu standar yang
ditentukan secara jelas.
Suku bunga merupakan salah satu variable
dalam perekonomian yang senantiasa diamati
secara cermat karena dampaknya yang luas.
Bunga mempengaruhi secara langsung
hehidupan masyarakat keseharain dan
mempunyai dampak penting terhadap
kesehatan perekonomian mulai dari segi
konsumsi, kredit, obligasi, serta tabungan.
2.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Suku Bunga
Seperti dijelaskan di atas, bahwa untuk
menenetukan besar kecilnya suku bunga
simpanan dan pinjaman sangat dipengaruhi
oleh keduanya, artinya baik bunga simpanan
maupun pinjaman saling mempengaruhi
disamping faktor-faktor lainnya.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi
besar kecilnya penetapan suku bunga adalah :
a) Kebutuhan Dana
Apabila bank kekurangan dana sementara
permohonan pinjaman meningkat, maka yang
dilakukan oleh bank agar kebutuhan dana
tersebut cepat terpenuhi dengan
meningkatkan suku bunga simpanan.
b) Persaingan
Dalam memperebutkan dana simpanan, maka
disamping faktor promosi, yang paling utama
pihak perbankan harus memperhatikan
pesaing.
c) Kebijakan Pemerintah
Dalam arti baik untuk bunga simpanan
maupun bunga pinjaman kita, tidak boleh
melebihi bunga yang sudah ditetapkan oleh
pemerintah.
d) Jangka Waktu
semakin panjang jangka waktu pinjaman,
maka akan semakin tinggi tinggi bunganya,
hal ini disebabkan besarnya kemungkinan
resiko di masa mendatang. Serta faktor-faktor
yang lain :
e) Target Keuntungan yang Diharapkan.
f) Reputasi Perusahaan.
g) Kualitas Jaminan.
h) Daya Saing Produk.
2.2.5. Hubungan Tingkat Suku Bunga
Dengan Jumlah Tabungan
Bunga adalah penghasilan, seperti layaknya
orang bekerja maka penghasilan yang mereka
peroleh disebut dengan upah dan gaji, para
pemegang saham menerima penghasilan yang
disebut deviden, pemegang hak cipta
memperoleh penghasilan yang disebut
sebagai royalty, dan banyak jenis penghasilan
lainnya yang diperoleh dengan cara yang
berbeda- beda.
Demikian juga halnya dengan bunga, bunga
adalah penghasilan yang diperoleh oleh
orang-orang yang memberikan kelebihan
uangnya untuk digunakan sementara waktu
oleh orang-orang yang membutuhkan dan
menggunakan uang tesebut untuk menutupi
kekurangannya. Dan dari banyaknya orang
yang menabung membuat pihak bank pun
akan mendapatkan pendapatan dengan cara
memberikan pinjaman kepada nasabah dari
dana tabungan tersebut. Bank menggunakan
tingkat suku bunga yang tinggi untuk menarik
nasabah, dengan banyaknya nasabah maka
jumlah tabungan pun akan meningkat. Jadi,
besar atau kecilnya jumlah tabungan sangat
dipengaruhi oleh tingkat bunga yang
ditawarkan oleh bank kepada nasabah.
Analisis ekonomi terdapat dua pandangan
yang berbeda tentang faktor penting yang
menentukan jumlah tabungan dalam
masyarakat. Pandangan tradisional, yaitu
pandangan ahli-ahli ekonomi ekonomi yang
digolongkan sebagai ahli ekonomi klasik
(ahli-ahli ekonomi yang hidup di akhir abad
kedelapan belas sehingga permulaan abad
kedua puluh), berkeyakinan bahwa jumlah
tabungan yang dilakukan masyarakat
ditentukan oleh suku bunga. Semakin tinggi
suku bunga, semakin besar jumlah tabungan
yang akan dilakukan masyarakat. Menurut
pandangan modern, yaitu pandangan sebuah
masa klasik, tabungan tergantung kepada
pendapatan nasional (pendapatan seluruh
penduduk dalam perekonomian). Sesuai
dengan pernyataan Rimsky K. Judisseno
(2005:81) yang menyatakan bahwa, fluktuasi
bunga dapat mempengaruhi perilaku
penabung seperti penjelasan berikut :
“Pada waktu tingkat bunga cukup tinggi,
maka jumlah tabungan secara agregat
meningkat dalam jumlah yang sangat besar
dalam bentuk dana yang siap dipinjamkan”.
Dan dipertegas oleh Malayu Hasibuan
(2006:18) bahwa : “Bunga merupakan hal
penting bagi suatu bank dalam penarikan
tabungan dan penyaluran kreditnya. Penarikan
tabungan dan pemberian kredit selalu
dihubungkan dengan tingkat suku bunganya.
Bunga bagi bank bisa menjadi biaya yang
harus dibayarkan kepada penabung”.
2.2.6 Teori Suku Bunga
1. John Maynard Keyness
John Maynard Keyness, yang telah
mengkritik teori ekonomi klasik tentang
pengembangan teori tingkat suku bunga.
Menurut Keyness, teori klasik berlaku hanya
untuk bunga jangka panjang. Ia
mengembangkan teori preferensi likuiditas ini
untuk menjelaskan suku bunga untuk jangka
pendek.
Tingkat suku bunga menurut Keyness adalah
harga yang di keluarkan debitur untuk
mendorong seorang kreditur memindahkan
sumber daya langka (uang) mereka, akan
tetapi, uang yang dikeluarkan debitur
mempunyai kemungkinan adanya kerugian
berupa risiko tidak diterimanya tingkat bunga
tertentu.
Didalam teori ini terdapat dua macam
investasi yang dikembangkan, yaitu uang dan
obligasi. Uang merupakan kekayaan yang
paling likuid karena uang mempunyai
kemampuan untuk membeli setiap saat.
Sedangkan obligasi tidak dapat untuk
membeli sesuatu kecuali kalau diubah terlebih
dahulu ke dalam bentuk uang tunai. Keyness
mengatakan bahwa, permintaan terhadap uang
merupakan tindakan rasional, meningkatnya
permintaan uang akan menaikkan tingkat
suku bunga.
2. Karl dan Fair
Menurut Karl dan Fair (2001:635) suku bunga
adalah pembayaran bungatahunan dari suatu
pinjaman, dalam bentuk persentase dari
pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga
yang diterima tiap tahundibagi dengan jumlah
pinjaman.
2.3. Inflasi
2.3.1. Pengertian Inflasi
Inflasi adalah gejala kenaikan harga
barang-barang yang bersifat umum dan
terus-menerus. Harga suatu komoditas
dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi
daripada harga periode sebelumnya. Kenaikan
harga suatu komoditas belum dapat dikatakan
inflasi jika kenaikan tersebut tidak
menyebabkan harga-harga secara umum
naik. Kenaikan harga yang bersifat umum
juga belum akan memunculkan inflasi, jika
terjadinya hanya sesaat. Karena itu
perhitungan inflasi dilakukan dalam
rentang waktu minimal bulanan. Sebab
dalam sebulan akan terlihat apakah
kenaikan harga bersifat umum dan terus-
menerus. Rentang waktu yang lebih panjang
adalah triwulanan dan tahunan (Rahardja dan
Manurung 2004:155).
Menurut Adiwarman Karim (2008:135),
secara umum inflasi berarti kenaikan tingkat
harga secara umum dari barang/komoditas
dan jasa selama suatu periode waktu tertentu.
Inflasi dapat dianggap sebagai fenomena
moneter karena terjadinya kenaikan nilai unit
penghitungan moneter terhadap suatu
komoditas. Sebaliknya, jika yang terjadi
adalah penurunan nilai unit penghitungan
moneter terhadap barang – barang /
komoditas dan jasa didefinisikan sebagai
deflasi (deflation).
2.3.2. Jenis-jenis Inflasi
Menurut Boediono (1990:156-158), membagi
inflasi menjadi beberapa jenis penggolongan
inflasi. Penggolongan inflasi berdasarkan atas
dasar penyebabnya dibedakan menjadi :
1. Demand-pull Inflation merupakan inflasi
yang timbul karena permintaan masyarakat
akan berbagai barang terlalu kuat. Misalnya,
kenaikan permintaan luar negeri akan barang-
barang ekspor.
2. Cost-push Inflation merupakan inflasi yang
timbul karena kenaikan biaya produksi.
Misalnya, kenaikan harga barang sarana
produksi yang didatangkan dari luar negeri
atau kenaikan harga bahan bakar minyak.
Akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari
segi kenaikan harga output berbeda, tetapi
dari segi volume output berbeda. Dalam
demand inflation, kenaikan output diikuti
dengan kenaikan harga umum. Sebaliknya,
dalam cost inflation kenaikan harga akan
diikuti dengan penurunan penjualan barang.
Penggolongan inflasi berdasarkan asal dari
inflasi dibedakan menjadi :
1. Inflasi dalam negeri (domestic inflation)
merupakan inflasi yang berasal dari dalam
negeri, seperti karena defisit anggaran belanja
yang dibiayai dengan pencetakan uang.
2. Inflasi luar negeri (imported inflation)
merupakan inflasi yang timbul karena
kenaikan harga-harga di luar negeri atau di
negara-negara dimana biasanya menjadi
langganan berdagang.
Kenaikan-kenaikan harga barang yang
diimpor mengakibatkan : (i) secara langsung
kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian
dari barang-barang kebutuhan sehari-hari
termasuk dalam barang impor, (ii) secara
tidak langsung mengakibatkan kenaikkan
indeks harga melalui kenaikan harga biaya
produksi dan kemudian harga jual, karena
berbagai barang menggunakan bahan mentah
atau mesin-mesin yang diimpor (cost
inflation), (iii) secara tidak langsung
menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri
karena ada kemungkinan kenaikan harga
impor mengakibatkan kenaikan pengeluaran
pemerintah/swasta yang berusaha
mengimbangi kenaikan harga impor (demand
inflation).
2.3.3. Teori Inflasi
a. Teori Keynes
Menurut teori ini, inflasi terjadi disaat
permintaan masyarakat akan barang-barang
selalu melebihi jumlah barang-barang yang
tersedia.
Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
inflationary gap. Dimana inflationary gap
timbul karena masyarakat berhasil
memperoleh dana untuk mengubah
keinginannya menjadi rencana pembelian
barang-barang yang didukung dengan dana.
Apabila permintaan barang dari masyarakat
melebihi jumlah barang yang tersedia, maka
harga-harga barang akan naik. Baik
pemerintah maupun masyarakat akan
berusaha mendapatkan uang yang lebih besar
misalnya dengan mencetak uang baru
(pemerintah) ataupun kredit di bank
(masyarakat). Inflasi ini akan berhenti apabila
jumlah permintaan barang tidak lagi melebih
barang yang disediakan. Menurut Keynes,
inflasi permintaan yang benar benar penting
adalah yang ditimbulkan oleh pengeluran
pemerintah, terutama yang berkaitan dengan
peperangan, program investasi yang besar-
besaran dalam kapital sosial. Dengan
demikian pemikiran Keynes tentang inflasi
dapat dirumuskan menjadi:
Inflasi = f(jumlah uang beredar, pengeluaran
pemerintah, suku bunga, investasi).
b. Teori Strukturalis
Merupakan teori inflasi jangka panjang
karena menyoroti sebab-sebab inflasi yang
berasal dari kekakuan struktur ekonomi,
seperti nilai ekspor yang tumbuh secara
lamban dibanding dengan pertumbuhan
sektor-sektor lain dan ketidakelastisan supply
atau produksi bahan makanan di dalam
negeri. Produksi bahan makanan dalam negeri
yang tidak bertumbuh secepat pertambahan
penduduk akan membuat kenaikan harga
bahan makanan yang melebihi hargaharga
barang lain. Selanjutnya timbulnya tuntutan
kenaikan upah para karayawan di sektor
industri yang dapat mendorong kenaikan
biaya produksi berarti diikuti kenaikan harga
barang-barang produksi pula. Berdasarkan
uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
inflasi dapat terjadi karena banyaknya uang
yang beredar di masyarakat, permintaan
masyarakat akan barang-barang yang
melebihi barang yang tersedia dan kenaikan
harga-harga bahan produksi.
c. Teori Inflasi Klasik
Teori ini berpendapat bahwa tingkat harga
terutama ditentukan oleh jumlah uang
beredar, yang dapat dijelaskan melalui
hubungan antara nilai uang dengan jumlah
uang, serta nilai uang dan harga. Bila jumlah
uang bertambah lebih cepat dari pertambahan
barang maka nilai uang akan merosot dan ini
sama dengan kenaikan harga. Jadi menurut
Klasik, inflasi berarti terlalu banyak uang
beredar atau terlalu banyak kredit
dibandingkan dengan volume transaksi maka
obatnya adalah membatasi jumlah uang
beredar dan kredit. Pendapat Klasik tersebut
lebih jauh dapat dirumuskan sebagai berikut :
Inflasi = f(jumlah uang beredar, kredit)
d. Teori Inflasi Moneterisme
Teori ini berpendapat bahwa, inflasi
disebabkan oleh kebijaksanaan moneter dan
fiskal yang ekspansif, sehingga jumlah uang
beredar di masyarakat sangat berlebihan
Kelebihan uang beredar di masyarakat akan
menyebabkan terjadinya kelebihan
permintaan barang dan jasa di sektor riil.
Menurut golongan moneteris, inflasi dapat
diturunkan dengan cara menahan dan
menghilangkan kelebihan permintaan melalui
kebijakan moneter dan fiskal yang bersifat
kontraktif, atau melalui kontrol terhadap
peningkatan upah serta penghapusan terhadap
subsidi atas nilai tukar valuta asing. Sehingga
teori inflasi menurut Moneterisme dapat
dinotasikan sebagai berikut :
Inflasi = f(kebijakan moneter ekspansif,
kebijakan fiskal ekspansif)
e. Teori Ekspektasi
Menurut Dornbusch, bahwa pelaku ekonomi
membentuk ekspektasi laju inflasi
berdasarkan ekspektasi adaptif dan ekspektasi
rasional. Ekspektasi rasional adalah ramalan
optimal mengenai masa depan dengan
menggunakan semua informasi yang ada.
Pengertian rasional adalah suatu tindakan
yang logik untuk mencapai tujuan
berdasarkan informasi yang ada. Artinya
secara sederhana teori ekspektasi dapat
dinotasikan menjadi: Inflasi = f(ekspektasi
adaftif,ekspektasi rasional)
Menurut Boediono (1990: 160) secara garis
besar ada 3 kelompok teori mengenai inflasi,
masing-masing menyoroti aspek-aspek
tertentu dari proses inflasi dan masing-masing
bukan teori inflasi yang lengkap yang
mencakup semua aspek penting dari proses
kenaikan harga ini. Teori-teori tersebut yaitu:
1. Teori kuantitas
Teori ini merupakan yang paling tua
mengenai inflasi. Inti dari teori ini adalah
sebagai berikut :
a. Inflasi hanya bisa terjadi jika ada
penambahan volume uang yang beredar.
Penambahan jumlah uang ibarat “bahan
bakar” bagi api inflasi. Apabila jumlah uang
tidak bertambah, inflasi akan berhenti dengan
sendirinya.
b. Inflasi ditentukan oleh pertambahan jumlah
uang yang beredar dan oleh psikologi
masyarakat mengenai kenaikan harga-harga
di masa mendatang.
2.3.4. Dampak Inflasi dan Cara
Mengatasinya
Kenaikan harga-harga menimbulkan efek
buruk bagi kegiatan ekonomi, masyarakat
maupun individu. Kenaikan harga-harga dapat
menyebabkan kenaikan biaya produksi dan
meningkatnya harga jual barang.
Menurut Nanga (2005:248) inflasi
menyebabkan penurunan dalam efisiensi
ekonomi (ecomic efficiency). Hal ini dapat
terjadi karena pengalihan sumberdaya dari
investasi produktif ke tidak produktif, maka
dapat mengurangi kegiatan produktif.
Penurunan kegiatan produktif ini akan
berujung dengan bertambahnya
pengangguran. Kenaikan harga-harga dalam
negeri juga menyebabkan kalah dalam
bersaing dengan harga-harga barang impor.
Ekspor yang menurun dan diikuti oleh
kegiatan impor yang bertambah akan
menyebabkan ketidakseimbangan dalam
aliran mata uang asing.
Selain itu, inflasi akan menurunkan
pendapatan riil orang-orang yang
berpendapatan tetap. Hal ini dikatakan
sebagai efek redistribusi dari inflasi.
Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan
masyarakat, dimana redistribusi pendapatan
yang terjadi akan menyebabkan pendapatan
riil satu orang meningkat tetapi pendapatan
riil orang lainnya jatuh (Nanga, 2005:247).
Selanjutnya, inflasi dapat mengurangi nilai
kekayaan yang berbentuk uang. Simpanan
dalam bank, simpanan tunai maupun
simpanan dalam institusi keuangan lainnya
merupakan simpanan keuangan. Nilai
riilnya akan menurun apabila inflasi berlaku.
Cara mengatasi inflasi pada dasarnya harus
diarahkan pada faktor-faktor yang
menyebabkan perubahan harga-harga menjadi
naik atau dengan kata lain nilai uang menjadi
turun.
Dalam hal ini ada beberapa kebijakan (policy)
yang dapat ditempuh antara lain :
>> Kebijakan Moneter (Monetary Policy)
Kebijakan moneter adalah kebijakan yang
dilakukan pemerintah atau otoritas moneter
dengan menggunakan pengubah jumlah uang
beredar (money supply) dan tingkat bunga
(interest rates) untuk
mempengaruhi tingkat permintaan agregat
dan mengurangi ketidak-stabilan
perekonomian. Kebijakan moneter
dilaksanakan oleh bank sentral untuk
menggurangi jumlah uang yang beredar
dengan cara menaikkan cash reserve ratio/
cashratio / persentase likuiditas / giro wajib
minimum, menjual surat- surat berharga
(openmarket operation) dan menaikkan
tingkat bunga kredit. Untuk mencegah laju
inflasi maka pemerintah dan bank sentral
harus bekerjasama dengan menjamin bahwa
uang cadangan yang tersedia pada sistem
perbankan tidak berlebihan, namun cukup
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
uang.
>> Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang
dilakukan pemerintah melalui manipulasi
instrumen fiskal. Kebijakan fiskal dapat
dibedakan kedalam kebijakan fiskal
aktif(discretonary fiscal policy), yaitu
pemerintah melakukan perubahan tingkat
pajak / program pengeluaran, sedangkan
kebijakan fiskal pasif (nondiscreationary
fiscal policy), yaitu kecenderungan
membelanjakan marginal dan pendapatan
nasional.
Kebijakan fiskal dapat dilakukan dengan
mengurangi pengeluaran pemerintah,
menaikkan pajak dan pemerintah melakukan
pinjaman kepada masyarakat. Apabila
pemerintah melaksanakan kebijakan tersebut
maka pemerintah telah campur tangan dalam
perekonomian. Apabila suatu perekonomian
mengalami inflationary gap atau deflationary
gap maka pemerintahakan menaikkan atau
menurunkan tingkat pendapatan nasional.
>> Kebijakan Non Moneter dan Non Fiskal
Kebijakan untuk mengatasi inflasi diluar dari
kebijakan moneter dan fiskal. Kebijakan
inidapat dilakukan dengan meningkatkan
hasil produksi (production approach),
kebijakan upah / gaji, pengawasan harga
barang dan distribusinya dan kombinasi dari
berbagai cara.
2.3.5. Hubungan Inflasi Dengan Tabungan
Menurut Milton Friedman inflasi akan terus
terjadi karena hal tersebut merupakan
fenomena moneter. Teori kuantitas uang
menyatakan bahwa pertumbuhan dalam
kuantitas uang adalah determinan dalam
tingkat inflasi, tetapi teori ini hanya bersifat
empiris bukan teoritis (uang dan harga). Teori
kuantitas dan persamaan fisher sama-sama
menyatakan bahwa pertumbuhan uang
mempengaruhi tingkat bunga nominal.
Kenaikan pertumbuhan uang sebesar satu
persen menyebabkan kenaikan satu persen
dalam tingkat inflasi. Sedangkan kenaikan
satu persen tingkat inflasi menyebabkan
kenaikan satu persen tingkat bunga nominal
yang disebut efek fisher (fisher effect).
Beberapa ahli ekonom menyebutkan bahwa
nilai uang mendatang lebih rendah dibanding
masa sekarang. Maka jika terjadi kenaikan
inflasi, nilai uang turun sangat tajam.
Perpekstif masyarakat untuk menabung akan
menurun, sehingga akan mempengaruhi
penghimpunan dana bank dari masyarakat
(tabungan).
2.4. Kerangka Pemikiran
Poppy Maneskhas (2009) meneliti tentang
“analisis pengaruh PDRB, suku bunga dan
tingkat inflasi terhadap simpanan masyarakat
pada bank-bank umum di sumatra utara”
dengan menggunakan analisis regersi dengan
OLS. Dari hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa variabel PDRB, tingkat
suku bunga, dan tingkat inflasi berpengarug
positif terhadap jumlah simpanan masyarakat
pada bank-bank umum di sumatra utara.
Budi Mulyadi (2009) menunjukkan bahwa
bunga tabungan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap jumlah tabungan.
Selanjutnya inflasi berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap tabungan nasional.
Suku Bunga
BI (BI Rate)
(X1)
Inflasi (X2)
Tabungan
DPK Bank
Umum (Y)
2.5. Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang
bersifat sementara atau dugaan saja.
Penelitian ini bermaksud memperoleh
gambaran obyektif tentang analisis faktor-
faktor yang mempengaruhui tabungan di
Indonesia tahun 2002-2012
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah
dikemukakan, maka dibuatlah hipotesis
penelitian sebagai berikut :
H0 : Suku Bunga BI (BI Rate) dan Inflasi
berpengaruh negatif terhadap Tabungan.
H1 : Suku Bunga BI (BI Rate) dan Inflasi
berpengaruh positif terhadap Tabungan.
H0 : Suku Bunga BI (BI Rate) berpengaruh
negatif terhadap Tabungan.
H1 : Suku Bunga BI (BI Rate) berpengaruh
positif terhadap Tabungan.
H0 : Inflasi berpengaruh negatif terhadap
Tabungan.
H1 : Inflasi berpengaruh positif terhadap
Tabungan.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
3.1 Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan tiga variabel
yaitu satu variabel dependen (terikat) dan dua
variabel independen (bebas). Variabel
dependen yang digunakan adalah Tabungan
(dalam Dana Pihak Ketiga pada Bank Umum)
(Y) dan variabel independen adalah Suku
Bunga BI (BI Rate) (X1) dan Inflasi (X2).
3.2 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah salah
satu jenis penelitian yang spesifikasinya
adalah sistematis, terencana, dan terstruktur
dengan jelas sejak awal pembuatan desain
penelitiannya. Definisi lain menyebutkan
bahwa penelitian kuantitatif adalah penelitian
yang banyak menggunakan angka, mulai dari
hasilnya hingga pada tahap kesimpulan,
penelitian akan lebih baik disertai dengan
gambar, tabel, grafik, atau tampilan lainnya.
Sumber data berasal dari penelitian sekunder,
yaitu merupakan data yang sudah ada yang
diambil dari Website Bank Indonesia ataupun
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Bank
Indonesia. Jenis data yang digunakan adalah
Time Series yaitu data yang terdiri atas satu
objek tetapi meliputi beberapa periode waktu
misalnya harian, mingguan, bulanan, tahunan,
per triwulan per kuartal dll. Untuk penelitian
ini penulis mengambil data periode bulan
Oktober 2012 – Maret 2015 di Indonesia.
3.3 Metode yang Digunakan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah model regeresi berganda. Dengan
menggunakan metode Ordinary Least Square
(OLS). Penulis menggunakan alat bantu SPSS
22.0 pada windows7.
Regresi berganda adalah metode analisis yang
tepat ketika penelitian melibatkat satu
variabel terikat yang diperkirakan
berhubungan dengan satu atau lebih variabel
bebas. Tujuan analisis regresi berganda
adalah memperkirakan perubahan respon
pada variabel terikat terhadap beberapa
variabel bebas
(Hair,Anderson,Tatham,Black,1995).
Menurut (Gujarati, 1999), analisis regresi
berganda adalah studi ketergantungan dari
variabel dependen pada satu atau lebih
variabel lain, yaitu variabel independen.
Dengan analisis regresi akan diketahui
variabel dependen yang benar-benar
signifikan mempengaruhi variabel dependen
dan dengan variabel yang signifikan tadi
dapat digunakan untuk memprediksi nilai
variabel dependen.
Untuk dapat mengetahui seberapa jauh
pengaruh tingkat Suku Bunga BI (BI Rate)
dan Inflasi terhadap Tabungan (DPK Bank
Umum), model fungsi yang digunakan :
DPK Bank Umum (Tabungan) = f (BI Rate,
Inflasi)
DPK Bank Umum (Tabungan) = β0 + β1 BI
Rate + β2 Inflasi
B. Pengujian
3. 4 Uji Asumsi Klasik
Untuk menghasilkan suatu model yang baik,
analisis regresi memerlukan pengujian asumsi
klasik sebelum melakukan pengujian
hipotesis.
Pengujian asumsi klasis tersebut meliputi:
Uji Normalitas, Uji Multikolinearitas, Uji
Heteroskedastisitas, Uji Linearitas dan Uji
Autokorelasi.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dimaksudkan untuk menguji
apakah nilai residual yang telah
distandarisasi pada model regresi
berdistribusi normal atau tidak. Nilai residual
dikatakan berdistribusi normal jika nilai
residual terstandarisasi tersebut sebagian
besar mendekati nilai rata-ratanya. Untuk
mendeteksi apakah nilai residual
terstandarisasi berdistribusi normal atau
tidak, maka dapat digunakan metode analisis
grafik dan metode statistik.
Pengujian normalitas menggunakan analisis
grafik dilakukan dengan menggunakan
histogram dengan menggambarkan variabel
dependent sebagai sumbu vertikal sedangkan
nilai residual terstandarisasi digambarkan
sebagai sumbu horizontal.
Jika Histogram Standardized Regression
Residual membentuk kurva seperti lonceng
maka nilai residual tersebut dinyatakan
normal.
Cara lain untuk menguji normalitas dengan
pendekatan grafik adalah menggunakan
Normal Probability Plot, yaitu dengan
membandingkan distribusi kumulatif dari
data sesungguhnya dengan distribusi
kumulatif dari distribusi normal. Distribusi
normal digambarkan dengan sebuah garis
diagonal lurus dari kiri bawah ke kanan atas
(Suliyanto, 2011:69).
Menurut Imam Ghozali (2012:163),
pada prinsipnya uji normalitas dapat
dideteksi dengan melihat penyebaran data
(titik) pada sumbu diagonal dari grafik atau
dengan melihat histogram dari residualnya.
Dasar pengambilan keputusan :
- Jika data menyebar disekitar garis
diagonal dan mengikuti arah garis
diagonal atau grafik histogramnya
menunjukkan pola distribusi normal, maka
model regresi memenuhi asumsi
normalitas.
- Jika data menyebar jauh dari garis
diagonal dan / atau tidak mengikuti arah
garis diagonal atau grafik histogram tidak
menunjukkan pola distribusi normal, maka
model regresi tidak memenuhi asumsi
normalitas.
Disamping itu, uji normalitas dengan analisis
grafik dapat memberikan hasil yang
subyektif. Artinya, antara orang yang satu
dengan yang lain dapat berbeda dalam
menginterpretasikannya, maka penulis
menggunakan uji normalitas dengan
Kolmogorov-Smirnov. Nilai residual
terstandarisasi berdistribusi normal jika
nilai Sig. > alpha (α) atau K hitung < K
tabel (Suliyanto, 2011:75).
Jika residual tidak normal dapat dilakukan
beberapa langkah yaitu melakukan
transformasi data, mengurangi / menambah
data.
b. Uji Multikolinearitas
Model regresi yang baik seharusnya tidak
terjadi korelasi di antara variabel bebas.
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya
multikolinieritas di dalam model regresi
dapat dilihat dari nilai Tolerance dan
Variance Inflation Factor (VIF). Kedua
ukuran ini menunjukkan setiap variabel
bebas manakah yang dijelaskan oleh variabel
bebas lainnya. Dalam pengertian sederhana
setiap variabel bebas menjadi variabel terikat
dan diregres terhadap variabel bebas lainnya.
Tolerance mengukur variabilitas variabel
bebas yang terpilih yang tidak dijelaskan
oleh variabel bebas lainnya. Jadi, nilai
Tolerance yang rendah sama dengan
nilai VIF tinggi (karena VIF =
1/Tolerance). Nilai cut off yang umum
dipakai untuk menunjukkan adanya
multikolinieritas adalah nilai Tolerance >
0,10 atau sama dengan VIF < 10, maka
model dinyatakan tidak terdapat gejala
multikolinieritas (Imam Ghozali, 2012:105).
Beberapa alternatif untuk mengatasi masalah
multikolinearitas adalah :
1. Mengganti / mengeluarkan variabel yang
mempunyai korelasi tinggi.
2. Menambah jumlah observasi.
3. Mentransformasikan data ke dalam
bentuk lain, misalnya logaritma natural,
akar kuadrat atau bentuk first differences
delta.
c. Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas bertujuan menguji
apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan varian dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika
varian dari residual satu pengamatan ke
pengamatan lain tetap, maka disebut
Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut
Heteroskedastisitas.
Model regresi yang baik adalah yang
Homoskedastisitas atau tidak terjadi
Heteroskedastisitas. Ada beberapa cara
untuk mendeteksi ada atau tidaknya
heteroskedastisitas, yaitu melihat Grafik
Plot antara nilai prediksi variabel terikat
(dependen) yaitu ZPRED dengan
residualnya SRESID. Dasar analisis : (1) Jika
ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada
membentuk pola tertentu yang teratur
(bergelombang, melebar kemudian
menyempit), maka mengindikasikan telah
terjadi heteroskedastisitas; (2) Jika tidak ada
pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di
atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y,
maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Imam
Ghozali (2012:139).
Beberapa alternatif solusi jika model
menyalahi asumsi heteroskedastisitas adalah
dengan mentransformasikan ke dalam bentuk
logaritma, yang hanya dapat dilakukan jika
semua data bernilai positif. Atau dapat juga
dengan menambah variabel atau mengurangi
variabel yang sudah ada.
d. Uji Autokorelasi
Menurut Suliyanto (2011:125), uji
autokorelasi bertujuan untuk mengetahui
apakah ada korelasi antara anggota
serangkaian data observasi yang diuraikan
menurut waktu (times-series) atau ruang
(cross section). Beberapa penyebab
munculnya masalah autokorelasi dari
sebagian data times-series dalam analisis
regresi adalah adanya kelembaman (inertia)
artinya data observasi pada periode
sebelumnya dan periode sekarang,
kemungkinan besar akan mengandung saling
ketergantungan (interdependence).
Menurut Gujarati (1995), ada beberapa cara
untuk mendeteksi ada-tidaknya masalah
autokorelasi, yaitu menggunakan metode
Durbin-Watson dan metode Run Test sebagai
salah satu uji statistik non-parametrik. Uji
Durbin-Watson (Uji D-W) merupakan uji
yang sangat populer untuk menguji ada-
tidaknya masalah autokorelasi dari model
empiris yang diestimasi. (Suliyanto,
2011:126).
Menurut Imam Ghozali (2012:121), jika
pada model regresi terjadi autokorelasi,
maka ada beberapa opsi penyelesaiannya
antara lain:
a. Tentukan apakah autokorelasi yang
terjadi merupakan pure autocorrelation dan
bukan karena kesalahan spesifikasi model
regresi. Pola residual dapat terjadi karena
adanya kesalahan spesifikasi model yaitu ada
variabel penting yang tidak dimasukkan ke
dalam model atau dapat juga karena bentuk
fungsi persamaan regresi tidak benar.
b. Jika yang terjadi adalah pure
autocorrelation, maka solusi autokorelasi
adalah dengan mentranformasi model awal
menjadi model difference. Misalkan model
regresi dengan dua variabel sebagai berikut:
Yt = β1 + β2Xt + μt
Dan diasumsikan bahwa residual atau
error mengikuti
autoregressive AR(1) sebagai berikut:
μt = ρμt – 1 + εt -1 < ρ < 1
Asumsi ρ tidak diketahui nilainya
• Nilai ρ diestimasi berdasarkan Durbin-
Watson d statistik
Secara sederhana nilai ρ dapat diestimasi
dengan menggunakan d statistik dengan
rumus seperti di bawah ini:
ρ = 1 – d
2
d = durbin-watson
Pada kasus dengan jumlah sampel
kecil, Theil dan Nagar
mengajukan rumus untuk menghitung nilai ρ
sebagai berikut :
ρ = n2(1 – d / 2) + k2
n2 – k2
n = jumlah observasi
k = jumlah variabel bebas.
3. 5 Uji Hipotesis
a. Uji Linearitas
Uji linearitas dipergunakan untuk melihat
apakah model yang dibangun mempunyai
hubungan linear atau tidak. Uji ini jarang
digunakan pada berbagai penelitian, karena
biasanya model dibentuk berdasarkan telaah
teoritis bahwa hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikatnya adalah linear.
Uji linearitas digunakan untuk
mengkonfirmasikan apakah sifat linear antar
dua variabel yang diidentifikasikan secara
teori sesuai atau tidak dengan hasil observasi
yang ada.
Dalam penelitian ini untuk mengetahui
apakah model ini mempunyai hubungan
linear atau tidak maka dilakukan identifikasi
dengan menggunakan tabel anova dan melihat
nilai signifikan. Apabila nilai signifikan lebih
kecil dari α = 0.025 maka model ini
mempunyai hubungan linear.
b. Uji F (Uji Simultan)
Nilai F-hitung digunakan untuk menguji
ketepatan model (goodness of fit). Uji F ini
juga sering disebut sebagai uji simultan,
untuk menguji apakah variabel bebas yang
digunakan dalam model mampu menjelaskan
perubahan nilai variabel terikat atau tidak.
Uji F digunakan untuk mengetahui tingkat
signifikasi pengaruh variabel bebas secara
serentak terhadap variabel terikat. Adapun
pengujiannya dilakukan dengan rumus
sebagai berikut (Gujarati;1999) :
F = nilai F hitung
R2 = koefisien determinasi (R-Square)
k = banyaknya varabel independen
dalam penelitian
n = banyaknya sampel
atau dapat dengan menggunakan program
excel untuk menghasilkan F hitung dengan
rumus :
=FINV(α;k;n)
α = tingkat signifikansi
k = banyaknya variabel independen dalam
penelitian
n = banyaknya sampel
Dengan tingkat keyakinan 97,5% atau α =
0.025.
Secara simultan, pengujian hipotesis
dilakukan dengan uji F-test. Menurut Ghozali
(2005 : 84), “Uji statistik F pada dasarnya
menunjukkan apakah semua variabel
independen / bebas yang dimasukkan dalam
model mempunyai pengaruh secara bersama-
sama terhadap variabel dependen / terikat”.
Uji ini dilakukan dengan membandingkan
signifikansi F-hitung dengan ketentuan :
1) Jika F-hitung < F-tabel pada α 0.025,
maka H1 ditolak dan
2) Jika F-hitung > F-tabel pada α 0.025,
maka H1 diterima.
Atau :
Hipotesis untuk melakukan uji F adalah
sebagai berikut:
H0 : Variabel bebas (independen) yang
bekerja secara bersama-sama tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel terikat (dependen).
H1 : Variabel bebas (independen) yang
bekerja secara bersama-sama berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel terikat
(dependen).
Keputusan pengujiannya adalah sebagai
berikut:
H0 ditolak jika F-hitung ≥ F-tabel.
H0 diterima jika F-hitung ≤ F-tabel.
c. Uji t
Uji t merupakan suatu pengujia yang
bertujuan untuk mengetahui apakah koefisien
regresi signifikan atau tidak (Nachrowi dan
Usman, 2008:24).
Nilai t hitung digunakan untuk menguji
pengaruh secara parsial (per variabel)
terhadap variabel terikatnya. Apakah variabel
tersebut memiliki pengaruh yang berarti
terhadap variabel terikatnya atau tidak
(Suliyanto, 2011:55).
Untuk menghasilkan t-hitung dapat digunakan
dengan bantuan program excel dengan rumus
sebagai berikut:
=TINV(α,n)
α = tingkat signifikansi
n = banyaknya sampel
Dengan tingkat keyakinan 97,5% atau α =
0.025.
Secara parsial, pengujian hipotesis dilakukan
dengan Uji t-test. Menurut Ghozali (2005 :
84) “Uji statistik t pada dasarnya
menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu
variabel penjelas / independen secara
individual dalam menerangkan variabel
dependen”.
Uji ini dilakukan dengan membandingkan
signifikansi thitung dengan ketentuan:
1) Jika thitung < t-tabel pada α 0.025, maka
H1 ditolak dan
2) Jika thitung > t-tabel pada α 0.025, maka
H1 diterima.
Hipotesis untuk melakukan uji t pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
H0 : Variabel independen tidak berpengaruh
terhadap variabel dependen.
H1 : Variabel independen berpengaruh
terhadap variabel dependen.
Keputusan pengujiannya adalah sebagai
berikut (Priyanto,2010:69) :
H0 ditolak jika t-hitung ≥ t-tabel.
H1 diterima jika t-hitung ≤ t-tabel.
Dalam tabel distribusi t terdapat istilah one
tail dan two tail. Penggunaan tabel one tail
atau two tail tergantung pada hipotesis yang
diajukan. Jika hipotesis yang diajukan sudah
menunjukkan arah, misalkan terdapat
pengaruh positif, maka menggunakan one tail
sebelah kanan. Akan tetapi jika belum
menunjukkan arah, misalnya terdapat
pengaruh (tidak menunjukkan pengaruh
positif atau negatif) maka menggunakan two
tail. Jika menggunakan one tail maka df: α, n-
k, tetapi jika menggunakan two tail maka
derajat bebasnya adalah df: α/2, n-k.
Keterangan: n = jumlah pengamatan (ukuran
sampel); dan k = jumlah variabel bebas dan
terikat (Suliyanto, 2011:45).
Menurut Suliyanto (2011:56), dalam
menentukan pengujian hipotesis uji t adalah
sebagai berikut :
1. Hipotesis
Hipotesis 1
Ho: Tidak terdapat pengaruh negatif variabel
independent terhadap variabel dependent
Ha: Terdapat pengaruh negatif variabel
independent terhadap variabel dependent
Hipotesis 2
Ho : Tidak terdapat pengaruh positif variabel
independent terhadap variabel dependent
Ha : Terdapat pengaruh positif variabel
independent terhadap variable dependent
2. Kriteria Pengujian
Hipotesis 1
Ho tidak dapat ditolak jika:
• t hitung ≥ -t tabel, atau
• Sig.> 0,05
Ha diterima jika:
• t hitung < -t tabel, atau
• Sig. ≤ 0,05, dan arah koefisien negatif.
Hipotesis 2
Ho tidak dapat ditolak jika:
• t hitung ≤ t tabel, atau
• Sig. > 0,05
Ha diterima jika:
• t hitung > t tabel, atau
Sig. ≤ 0,05, dan arah koefisien positif.
d. Uji Koefisien Determinasi (R square)
Uji koefisien determinasi (R square)
bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan variabel independen menjelaskan
variabel dependen. Nilai R square berada di
antara 0 – 1, semakin dekat niai R square
dengan 1 maka garis regresi yang
digambarkan menjelaskan 100% variasi
dalam Y. Sebaliknya, jika nilai R square sama
dengan 0 atau mendekatinya maka garis
regresi tidak menjelaskan variasi dalam Y.
Menurut Suliyanto (2011:55), koefisien
determinasi (R square) merupakan besarnya
kontribusi variabel bebas terhadap variabel
terikatnya. Semakin tinggi koefisien
determinasi, semakin tinggi kemampuan
variabel bebas dalam menjelaskan variasi
perubahan pada variabel terikatnya.
Koefisien determinasi memiliki kelemahan,
yaitu bias terhadap jumlah variabel bebas
yang dimasukkan dalam model regresi di
mana setiap penambahan satu variabel bebas
dan jumlah pengamatan dalam model akan
meningkatkan nilai R square meskipun
variabel yang dimasukkan tersebut tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
variabel terikatnya.
Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka
digunakan koefisien determinasi yang telah
disesuaikan, Adjusted R Square. Koefisien
determinasi yang telah disesuaikan (Adjusted
R square) berarti bahwa koefisien tersebut
telah dikoreksi dengan memasukkan jumlah
variabel dan ukuran sampel yang digunakan.
Dengan menggunakan koefisien determinasi
yang disesuaikan maka nilai koefisien
determinasi yang disesuaikan itu dapat naik
atau turun oleh adanya penambahan variabel
baru dalam model.
(Suliyanto, 2011:43).
e. Analisis Regresi Berganda (Multiple
Regression )
Model yang digunakan dalam uji hipotesis ini
adalah model regresi berganda atau multiple
regression untuk menguji faktor-faktor yang
mempengaruhi tabungan. Model regresi
berganda yaitu regresi yang pada saat variabel
yang dicari untuk dijelaskan di hipotesis
bergantung pada lebih dari satu variabel bebas
atau variabel penjelas (Salvatore, 2001:164).
Dengan rumus sebagai berikut:
Y = β0 +β1 X1 +β2 X2 + µ
Dimana :
Y = Tabungan
β0 = Konstanta
X1 = Suku Bunga
X2 = Inflasi
β1, β2 = Koefisien Regresi
µ = Standar Error
Ketepatan fungsi regresi sampel dalam
menaksir nilai aktual dapat diukur dari
goodness of fit
-nya. Secara statistik dapat diukur dari nilai
statistik t (uji t), nilai statistik F (uji F), dan
koefisien determinasi (Kuncoro, 2001:97).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 30 Normal Parameters
a,b Mean ,0000000
Std. Deviation
,02493340
Most Extreme Differences Absolute ,108 Positive ,080 Negative -,108
Test Statistic ,108 Asymp. Sig. (2-tailed) ,200
c,d
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. c. Lilliefors Significance Correction. d. This is a lower bound of the true significance.
Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis
Berdasarkan uji analisis data yang
menggunakan spss untuk melihat hasil Uji
Normalitas, kita dapat melihat pada tabel
One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test pada
baris “Asymp. Sig. (2-tailed)” yang berada
paling bawah. Bila nilai tiap variabel lebih
besar dari (> 0.025) maka Uji Normalitas
terpenuhi.
Hipotesis yang digunakan :
H0 : Data berdistribusi normal
H1 : Data tidak berdistribusi normal
Jika nilai signifikasi (> 0,025) maka H0
diterima. Jika nilai signifikasi (< 0,025) maka
H0 ditolak.
Berdasarkan output dari tabel di atas, dapat
dilihat “Asymp. Sig. (2-tailed)” bernilai 0,200
lebih besar dari 0,025 maka hasil tersebut
menyatakan H0 diterima yang berarti data
berdistribusi normal. (0,200 > 0,025)
Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis
Adapun Uji Normalitas dapat dilihat dari
gambar histogram di atas. Berdasarkan
gambar, jika grafik tersebut berbentuk
lonceng maka dapat disimpulkan bahwa data
dalam penelitian berdistribusi normal.
Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis
Gambar di atas menunjukkan tampilan dari
PP Plot. Berdasarkan gambar di atas, terlihat
bahwa penyebaran sampel data (titik)
menyebar di sekitar garis diagonal dan
mengikuti arah garis diagonal yang berarti
bahwa data berdistribusi normal.
b. Uji Multikolinearitas
Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis
Untuk melihat adanya multikolinearitas dapat
dilihat dari Value Inflation Factor (VIF).
Apabila nilai VIF > 10, terjadi
multikolinearitas. Sebaliknya jika VIF < 10,
tidak terjadi multikolinearitas (Wijaya,
2009:119). Dan juga nilai Tolerance dapat
dilihat jika nilai Tolerance > 0,10 maka tidak
ada multikolinearitas.
Berdasarkan output pada Tabel Coefficient di
atas terlihat bahwa nilai Tolerance variabel
Rate (Suku Bunga BI) dan Inflasi sebesar
0,774, > 0,10. Sedangkan nilai VIF variabel
Rate (Suku Bunga BI) dan Inflasi sebesar
1,292 < 10.
Hal tersebut menyimpulkan bahwa tidak
terdapat multikolinearitas.
c. Uji Heteroskedastisitas
Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis
Berdasarkan gambar Scatterplot di atas,
terlihat bahwa tidak ada pola yang jelas, plot
menyebar secara acak di atas maupun di
bawah angka nol pada sumbu Regression
Studentized Residual (Y). Oleh karena itu
berdasarkan Uji Heteroskedastisitas
menggunakan metode grafik, pada model
regresi yang terbentuk dinyatakan tidak
terjadi gejala heteroskedastisitas.
d. Uji Autokorelasi
Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis
Nilai Durbin Watson (DW) berada di antara -
2 sampai +2 jadi dapat disimpulkan bahwa
tidak terjadi gejaka autokorelasi antara
kesalahan pengguna pada periode t dengan t-1
pada model regresi dalam penelitian ini
(Singgih Santoso, 2001:216).
Sedangkan menurut sumber lain menyatakan
bahwa Nilai DW 1,086 dengan (n) = 30
jumlah variabel independen (k’ = 2) diperoleh
nilai dL = 1,2837 dan dU = 1,5666.
Sedangkan Nilai 4 – dU = 2,4334. Ini berarti
terdapat gejala autokorelasi karena nilai DW
berada dibawah dU sampai 4 – dU.
Pengobatan dilakukan dengan melakukan Lag
dari masing masing variabel dengan
mengestimasi nilai ρ masing masing variabel.
Diperoleh hasil output baru sebagai berikut :
Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis
Dapat dilihat pada Tabel Model Summary
setelah dilakukan pengobatan, nilai DW
adalah sebesar 2,257 yang berada diantara dU
sampai 4 – dU (1,5666-2,4334) hal tersebut
menunjukkan sudah tidak terdapat gejala
autokorelasi.
2. Uji Hipotesis
a. Uji Linearitas
Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis
Berdasarkan Tabel ANOVA di atas nilai
signifikasi sebesar 0,000 lebih kecil dari
0,025 maka dapat disimpulkan model ini
mempunyai hubungan yang linear.
b. Uji F (Uji Simultan)
Dalam Uji F dengan menggunakan tabel yang
disebut Tabel ANOVA (Analysis of Variance)
dengan melihat nilai signifikasi (Sig. < 0,025
atau 2,5%). Jika nilai signifikasi > 0,025
maka H1 ditolak, sebaliknya jika nilai
signifikasi < 0,025 maka H0 diterima. Berikut
adalah hasil Uji F :
Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis
Hipotesis :
H0: a = b1 = b2 = 0, yang berarti Suku bunga
BI (BI Rate) dan Inflasi tidak berpengaruh
signifikan terhadap Tabungan (DPK).
H1: a ≠ b1 ≠ b2 ≠ 0, yang berarti Suku bunga
BI (BI Rate) dan Inflasi berpengaruh
signifikan terhadap Tabungan (DPK).
Uji F dilakukan untuk meilai pengaruh
Inflasi, Suku bunga (BI Rate), secara simultan
terhadap Tabungan (DPK).
Uji ini dilakukan dengan membandingkan
signifkansi F-hitung dengan F-tabel dengan
ketentuan:
1) Jika F-hitung < F-tabel, maka H0 diterima
dan Ha ditolak untuk α = 2,5%, atau
signifikansi > 0,025
2) Jika F-hitung > F-tabel, maka H0 ditolak
dan Ha diterima untuk α = 2,5%. Atau
signifikansi < 0,025
Dari uji ANOVA (Analysis of Variance) pada
tabel di atas didapat F-hitung sebesar 77,178
dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000.
Sedangkan F-tabel diketahui sebesar
4,242094127. Berdasarkan hasil tersebut
dapat diketahui bahwa F-hitung > F-tabel
(77,178 > 4,242094127) maka H0 ditolak dan
Ha diterima.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Suku bunga
BI (BI Rate) dan Inflasi berpengaruh secara
simultan terhadap Tabungan (DPK).
c. Uji t (Uji Parsial)
Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis
Uji t dilakukan untuk mengetahui seberapa
jauh pengaruh suatu variabel independen
terhadap variabel dependen secara parsial.
Dalam Uji t digunakan hipotesis sebagai
berikut :
H0: a = b1 = b2 = 0, yang berarti Suku bunga
BI (BI Rate) dan Inflasi tidak berpengaruh
signifikan terhadap Tabungan (DPK).
H1: a ≠ b1 ≠ b2 ≠ 0, yang berarti Suku bunga
BI (BI Rate) dan Inflasi berpengaruh
signifikan terhadap Tabungan (DPK).
Uji ini dilakukan dengan membandingkan
signifikansi t-hitung dengan t-tabel dengan
ketentuan :
1) Jika t-hitung < t-tabel, maka H0 diterima
dan H1 ditolak untuk α = 2,5% atau
signifikansi > 0,025,
2) Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak
dan H1 diterima untuk α = 2,5% atau
signifikansi < 0,025.
1) Uji t terhadap variabel Rate (Suku bunga
BI). Nilai t-hitung untuk variabel Rate
adalah sebesar 11,663 dan t-tabel dengan α
= 2,5% diketahui sebesar 2,373417201.
Dengan demikian t-hitung > t-tabel dan
nilai signifikansi sebesar 0,000. Artinya,
H0 ditolak dan H1 diterima. Bahwa BI
Rate secara parsial 2,373417201
berpengaruh secara signifikan terhadap
Tabungan (DPK).
2) Uji t terhadap variabel Inflasi. Nilai t-
hitung untuk variabel Inflasi adalah
sebesar -1,776 dan t-tabel dengan α =
2,5% diketahui sebesar 2,373417201.
Dengan demikian t-hitung < t-tabel dan
nilai signifikansi sebesar 0,087. Artinya,
H0 diterima dan H1 ditolak. Bahwa Inflasi
secara parsial 2,373417201 tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap
Tabungan (DPK).
d. Uji Adjusted R Square
Berdasarkan Tabel Model Summary, koefisien
determinasi yang telah disesuaikan (Adjusted
R Square) berarti bahwa koefisien tersebut
telah dikoreksi dengan memasukkan jumlah
variabel dan ukuran sampel yang digunakan.
Dengan menggunakan koefisien determinasi
yang disesuaikan maka nilai koefisien
determinasi itu dapat naik atau turun oleh
adanya penambahan variabel baru dalam
model. Berikut adalah hasil uji Adjusted R
Square :
Sumber : Output SPSS 2015, diolah penulis
Besar angka Adjusted R Square adalah 0,840
atau sebesar 84%. Dapat disimpulkan bahwa
pengaruh BI Rate dan Inflasi terhadap
Tabungan (DPK) pada Bank Umum sebesar
84% sedangkan sisanya sebesar 16% yang
tidak diinput dalam penelitian ini, seperti
PDB, G, Ekspor, Impor, dll. Kemudian
tingkat angka korelasi (R) menunjukkan nillai
sebesar 0,923 yang menandakan hubungan
antara variabel bebas dan variabel terikat
adalah kuat karena memiliki nilai lebih dari
0,5 (R > 0,5) atau 0,923 > 0,5. Adapun
Standard Error of the Estimate adalah sebesar
0,2584 dimana semakin kecil angka ini akan
membuat model regresi semakin tepat dalam
memprediksi Tabungan (DPK) Bank Umum.
e. Analisis Regresi Berganda
Pengujian koefisien regresi
LnY = 13,007 + 0,521 LnX2 – 0,038 LnX3
Konstanta sebesar 13,007 yang menyatakan
bahwa jika variabel independen dianggap nol,
maka rata-rata tabungan adalah 13,007.
Dalam hal ini jika variabel independent
bernilai nol, maka dependent meningkat
13,007%
Koefisien regresi 0,521 menyatakan bahwa
setiap peningkatan 1 BI Rate, akan menaikkan
Tabungan sebesar 0,521 point, demikian pula
sebaliknya dengan asumsi variabel lain tetap.
Koefisien regresi -0,038 menyatakan bahwa
setiap peningkatan 1 point Inflasi, akan
menurunkan Tabungan sebesar 0,038 point,
demikian pula sebaliknya dengan asumsi
variabel lain tetap.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Adapun beberapa kesimpulan yang dapat
diambil dari penelitian “Analisis Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Tabungan Di
Indonesia” antara lain ialah :
1. Pada hasil Uji Regresi Berganda dengan
Uji Simultan (Uji F) didapatkan variabel
BI Rate dan Inflasi secara bersamaan
berpengaruh signifikan terhadap Tabungan
(DPK Bank Umum).
2. Pada hasil Uji Regresi Berganda dengan
Uji Parsial (Uji t) didapatkan variabel BI
Rate memiliki hungungan yang positif dan
berpengaruh signifikan terhadap Tabungan
(DPK Bank Umum). Sedangkan variabel
Inflasi memiliki hubungan yang negatif
dan tidak berpengaruh signifikan terhadap
Tabungan (DPK Bank Umum).
Yang berarti bahwa setiap kenaikan BI
Rate akan menaikkan Tabungan
sedangkan setiap kenaikan inflasi akan
menurunkan Tabungan dengan asumsi
variabel lain tetap.
3. Hasil uji koefisien determinasi yang
disesuaikan menunjukkan 84% Tabungan
di Indonesia dipengaruhi oleh BI Rate dan
Inflasi. Dan 16% sisanya dipengaruhi oleh
faktor lain yang tidak diteliti dalam
penelitian ini.
B. SARAN
Masyarakat yang akan menabung di bank
hendaknya memperhatikan faktor-faktor
makro ekonomi seperti Tingkat Suku Bunga
BI Rate terhadap pergerakan Tabungan.
Pemerintah sebaiknya berusaha menjaga
stabilitas perekonomian untuk menghindari
fluktuasi faktor-faktor makro ekonomi seperti
Tingkat Suku Bunga (BI Rate) dan Inflasi
yang dapat mempengaruhi pergerakan
Tabungan yang juga berimbas pada
peningkatkan minat menabung di bank.
Sehingga pembangunan dan kesejahteraan
yang berkesinambungan akan tercapai.
VI. REFERENSI
http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/ind
onesia/Default.aspx
http://www.bi.go.id/id/moneter/bi-
rate/data/Default.aspx
http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/pengen
alan/Contents/Default.aspx
http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/data/D
efault.aspx
Irawan, Bayu Randi. 2012. Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Tabungan Di
Indonesia Periode 2002-2012. Jurnal.
Program Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa. Banten.
Samuelson, Paul A. dan William D.
Nordhaus. “Ilmu Makroekonomi Edisi 17”.
PT Media Global Edukasi, Jakarta, 2004.
Ghozali, Imam. “Analisis
Multivariate Dengan Program SPSS”. Badan
Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2006.
Ghozali, Imam. “Aplikasi Analisis
Multivariate Dengan Program IBM SPSS 20
Edisi 6”. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2012.
Rahardja, Prathama dan Mandala
Manurung. “Teori Ekonomi Makro Suatu
Pengantar Edisi Kedua”. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Jakarta, 2004.
Sukirno, Sadono. “Makroekonomi
Teori Pengantar Edisi Ketiga”. PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Suliyanto. “Ekonometrika Terapan:
Teori & Aplikasi dengan SPSS”. Andi,
Yogyakarta, 2011.
Sharaswati, Fitria. “Analisis Pengaruh
Sertifikat Bank Indonesia Syariah, Inflasi,
Nilai Tukar Rupiah, Dan Jumlah Uang
Beredar Terhadap Nilai Aktiva Bersih
Reksadana Syariah.” Skripsi Program S1,
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2013.