Yunita

32
Systemic Lupus Eritematosus Yunita 102010152 19 Maret 2012 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No 6, Jakarta Telp. (021) 5605140 E-mail : chocoff[email protected] Pendahuluan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. SLE melibatkan berbagai sistem organ dengan manifestasi klinik dan imunologik yang sangat bervariasi. Gejala umum seperti nyeri sendi, demam, lelah, malaise atau penurunan berat badan sering ditemukan. Keluhan utama yang terbanyak adalah gejala muskuloskeletal seperti artralgia, arthritis, mialgia dan kelemahan otot. Diperkirakan bahwa faktor genetik, non genetic, hormonal dan imunologik turut mendukung terjadinya SLE. 1 Anamnesis 1

Transcript of Yunita

Page 1: Yunita

Systemic Lupus Eritematosus

Yunita

102010152

19 Maret 2012

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No 6, Jakarta

Telp. (021) 5605140 E-mail : [email protected]

Pendahuluan

Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai

adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.

Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga

mengakibatkan kerusakan jaringan. SLE melibatkan berbagai sistem organ dengan manifestasi

klinik dan imunologik yang sangat bervariasi. Gejala umum seperti nyeri sendi, demam, lelah,

malaise atau penurunan berat badan sering ditemukan. Keluhan utama yang terbanyak adalah

gejala muskuloskeletal seperti artralgia, arthritis, mialgia dan kelemahan otot. Diperkirakan

bahwa faktor genetik, non genetic, hormonal dan imunologik turut mendukung terjadinya SLE.1

Anamnesis

Jenis anamnesis yang dapat dilakukan adalah autoanamnesis dan alloanamnesis.

Autoanamnesis dapat dilakukan jika pasien masih berada dalam keadaan sadar. Sedangkan bila

pasien tidak sadar, maka dapat dilakukan alloanamnesis yang menyertakan kerabat terdekatnya

yang mengikuti perjalanan penyakitnya.2

1. Identitas Pasien

Menanyakan kepada pasien/ orang tua dari anak : Nama lengkap pasien, umur

pasien ,tanggal lahir, jenis kelamin,agama, alamat, umur (orang tua), pendidikan dan

pekerjaan (orang tua) ,suku bangsa.2

2. Keluhan Utama : 2

1

Page 2: Yunita

Menanyakan keluhan utama pasien yaitu : badan terasa lemah, nyeri pada jari-jari kedua

tangan pada pagi hari, rambut banyak yang rontok, wajah mudah memerah bila terkena

sinar matahari, badan terasa hangat hilang timbul.

3. Riwayat Penyakit Sekarang3

Menanyakan kepada pasien/orang tua sebagai wali :

- Kapan pasien merasa tubuhnya lemah ?

- Nyeri sendi: lokasi nyeri

- Apakah ada komplikasi dan gejala klinis lain yang dirasakan ?

- Apakah pasien sudah melakukan tindakan pengobatan seperti berobat ke dokter lain,

atau sudah meminum obat ?

- Apakah setelah minum obat pasien bertambah baik atau semakin memburuk ?

4. Riwayat Penyakit Dahulu3

- Apakah pasien pernah terkena penyakit sendi sebelumnya ?

5. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga3

- Apakah ada riwayat penyakit persendian atau penyakit autoimun dalam keluarga pasien ?

Jika data-data dari pasien sudah lengkap untuk anamnesis, maka dapat dilakukan pemeriksaan

fisik untuk menunjang anamnesis tadi.

Pemeriksaan Fisik

Inspeksi :

- Keadaan umum pasien : tampak sakit ringan

- Kesadaran pasien : - Kompos mentis (sadar sepenuhnya), apatis (pasien tampak

segan, acuh tak acuh terhadap lingkunganya), delirium (penurunan kesadaran

disertai kekacauan motorik, dan siklus tidur bangun yang terganggu), somnolen

(keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang, tetapi bila

rangsang berhenti, pasien akan tertidur lagi), sopor/stupor (keadaan mengantuk yang

dalam, pasien masih dapat dibangunkan tetapi dengan rangsangan yang kuat,

rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan

jawaban verbal yang baik).3

- Pemeriksaan kulit: dilihat apakah ada perubahan warna dan lipatan kulit abnormal.

2

Page 3: Yunita

- Adanya bengkak atau benjolan.

Palpasi :

Mencari dan memperlihatkan nyeri tekan, pembengkakan yang disebabkan oleh cairan

atau peradangan jaringan lunak, perubahan warna dan suhu kulit. Perubahan anatomi tulang atau

jaringan lunak, deformitas, kelemahan. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi dan palpasi.

Pemeriksaan fisik harus lengkap, tetapi dengan pertimbangan khusus adanya :3

Ruam

Demam

Anemia

Alopesia/ kebotakan

Limfadenopati

Ulkus mulut

Bengkak sendi : efusi dan nyeri tekan.

Takipnea : pertimbangkan hipertensi pulmonal, emboli paru, gagal ginjal disertai

kelebihan cairan, efusi pleura dan fibrosis paru.

Tekanan darah : periksa adanya hipertensi.

Edema pergelangan kaki

Neuropati

Defisit neurologis, termasuk defisit fokal dan gangguan kognitif.

Gangguan psikiatrik, khususnya psikosis.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien adalah

pemeriksaan hitung darah lengkap dan pemeriksaan kelainan imunologis ditemukan

sel LE, antibodi antinuclear, komplemen serum menurun, faktor rheumatoid dan uji terhadap

VDRL yang positif palsu. Tes antibodi anti-Ro positif pada 25% penderita lupus.

Tes komplemen serum, bila rendah menunjukkan penyakit lupus sedang

aktif biasanya disertai penyakit ginjal. Hasil pemeriksaan darah dapat

menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopeni, limfopenia, atau

leukopenia; erythrocyte sedimentation rate (ESR) meningkat selama

3

Page 4: Yunita

penyakit aktif, test Coombs mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio

albumin-globulin terbalik, serum globulin meningkat, albumin dan sel darah

merah juga sering ditemukan pada urin.4

1. Adanya ANA

Hasil ini ditemukan pada 95% pasien SLE. Pola yang paling lazim adalah

homogen dan difus (pola yang menghasilkan sel LE). Antigen anti-DNA untai ganda dan

anti-Smith hanya ditemukan pada SLE, sedangkan antibodi lain seperti anti-DNA untai

tunggal bisa juga ditemukan pada penyakit lain. Antibodi lainnya misalnya anti-Ro dan

anti-La juga dapat ditemukan. Pada pasien dengan rematoid artritis serta para pasien

dengan penyakit autoimun yang relatif sehat dapat memiliki ANA positif. ANA positif

juga bisa karena faktor usia, infeksi virus tertentu.4

.

2. Tes faktor rheumatoid

Hasilnya positif pada 80% rheumatoid artritis dan 20-30% pasien SLE. Faktor

rheumatoid yang tinggi dan ANA yang rendah menunjukkan bahwa diagnosis rematoid

artritis. Antibodi anti cyclic citrullinated peptide (CCP), jika ada, cukup spesifik untuk

rematoid artritis dan hanya terlihat 5% pada SLE.4

3. Kelainan hematologik

Anemia normokromik normositik terdapat pada 40% pasien. Bisa ditemukan

tanda-tanda anemia hemolitik antara lain peningkatan haptoglobin serum.

Trombositopenia ditemukan pada 25% pasien. Kadar LED mungkin meningkat tetapi

tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit.4

4. Antikoagulan lupus

Ditandai dengan adanya antikoagulan dalam sirkulasi dengan peningkatan PTT

atau antifosfolipid dalam sirkulasi (50% pasien dengan lupus) / antibody kardiolipin

terkait dengan thrombosis vena atau arterial.4

4

Page 5: Yunita

5. Pasien SLE dapat memiliki uji VDRL positif palsu. Namun antibodi Treponemal

fluoresen (FTA) akan negatif.4

6. Hipokomplementia (CH50, C3, C4) bisa ditemukan dan berhubungan dengan aktivitas

penyakit.4

7. Uji laboratorium yang kadang masih dipakai sampai sekarang adalah uji faktor LE. Sel

LE dapat juga ditemukan pada gangguan sistemik lain dari penyakit golongan reumatik

yang juga diperantarai oleh imunitas. Urin diperiksa untuk mengetahui adanya protein,

leukosit, eritrosit, dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya kompliksi

ginjal dan untuk pemantauan perkembangan penyakit.4

Diagnosis

Dari data-data yang sudah didapat dari pasien. Maka ada beberapa kemungkinan bahwa

si pasien mengidap penyakit SLE (Sistemik Lupus Erithematosus), remathoid artritis,

osteoarthritis, dan artritis gout akut.

Working Diagnosis

Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan dengan sistem

imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus eritematosus didefinisikan sebagai

gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. LES dapat disebabkan

oleh 3 hal yaitu reaksi hipersensitivitas, imunodefisiensi dan autoimun. Reaksi hipersensitivitas

merupakan reaksi imun tubuh yang bersifat terlalu sensitif/aktif. Reaksi hipersensitivitas tipe 3

yang menjadi dalang penyebab LES. Reaksi hipersensitivitas tipe III adalah reaksi yang terjadi

akibat pembentukan kompleks imun (kumpulan kompleks Ag-Ab). Imunodefisiensi adalah

lemahnya sistem imun tubuh dalam kerjanya sebagai sistem pertahanan tubuh. Lemahnya sistem

imun memudahkan tubuh terkena penyakit karena benteng patologis runtuh. Autoimun adalah

respon imun terhadap self-antigen karena hilangnya toleransi imun terhadap self-antigen

tersebut. Ketiga hal di atas menyebakan terbentuknya kompleks imun. Kompleks imun yang

5

Page 6: Yunita

terbentuk  bisa mengendap. Kompleks imun dapat merangsang aktivasi komplemen dan

inflamasi untuk mengeliminasinya.5

Gejala-gejala

LES bersifat sistemik, artinya menyerang seluruh bagian tubuh. Gejala umunya berupa

kelelahan, pucat, anemia, demam dan berat badan menurun akibat nafsu makan menurun. Gejala

sistemik mulai dirasakan bila kompleks imun mengendap pada salah satu organ dan kemudian

organ lain. Organ yang paling utama diserang adalah dermatomuskuloskeletal (kulit dan

organ pergerakan). Pada penderita LES akan ditemukan ruam malar pada pipi yang berbentuk

kupu-kupu. Selain itu penderita sering mengalami rematik (nyeri otot, nyeri sendi). Alopecia

areata (kebotakan) juga akan telihat akibat pengecilan folikel rambut. Kompleks imun juga dapat

mengendap padaorgan vital seperti jantung, saraf, paru-paru, gastrointetinal, hati dan bahkan

organ lain.5

Diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium.

American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 mengajukan 11 kriteria untuk

klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria maka diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria

tersebut adalah :6

1. Ruam (rash) di daerah malar

Ruam berupa eritema terbatas, rata atau meninggi letaknya di daerah malar ,biasanya

tidak mengenai lipat nasolabialis.

2. Lesi diskoid

Lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi dengan sisisk keratin yang melekat

disertai penyumbatan folikel . Pada lesi yang lama mungkin terbentuk sikatriks.

3. Fotosensitivitas

Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal terhadap cahaya matahari. Hal ini

diketahui anamnesis atau melalui pengamatan dokter.

4. Alopecia atau kebotakan

Pada pasien SLE dapat timbul kerontokan rambut yang kadang-kadang dapat menjadi

berat hingga terjadi kebotakan (alopecia).

5. Ulserasi mulut

6

Page 7: Yunita

Ulserasi di mulut atau nasofaring biasanya tidak nyeri, diketahui melalui pemeriksaan

dokter .

6. Artritis

Artritis non-erosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi.

7. Serositis.

a. Pleuritis : Adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura oleh

dokter atau adanya efusi pleura.

b. Perikarditis : Diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan

perikard atau adanya efusi perikard

8. Kelainan ginjal

Proteinuria yang selalu >0,5 g/hari atau > 3+ atau

Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit, hemoglubulin granular, tubular atau

campuran.

9. Kelainan neurologis

a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkan atau

kelainan metabollik seperti uremia, ketosidosis dan gangguan keseimbangan

elektrolit.

b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkan atau

kelainan metabollik seperti uremia, ketosidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit

10. Kelainan hematologik

a. Anemia hemolotik dengan retikulositosis.

b. Leukopenia, kurang dari 4000/mm³ pada 2 kali pemeriksaan atau lebih .

c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm³ pada 2 kali pemeriksaan atau lebih.

d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm³ ,tanpa adanya obat yang mungkin

menyebabkannya.

11. Kelainan Imunologi

a. Adanya sel LE.

b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA (anti –dsDNA) dengan titer abnormal.6

7

Page 8: Yunita

Gambar 1. Ruam malar pada penderita SLE

Etiologi

Tiga faktor etiologi yang dianggap berperan dalam timbulnya penyakit ini adalah :1

Genetik : Faktor ini dibuktikan perannya melalui adanya fakta dimana kejadian penyakit

serupa pada kembar monozigotik sebanyak kira-kira 20% dibandingkan dengan pada

kembar dizigotik yang hanya 3%. Kemudian juga ditemukan fakta bahwa anggota keluarga

yang tidak manifest secara klinik, ternyata menunjukan adanya autoantibodi di serum.

Fenomena terakhir ini juga merupakan indikasi bahwa manifestasi klinik penyakit

autoimun ditentukan juga oleh factor pencetus lainnya misalnya factor lingkungan atau

non-genetik . Selanjutnya jenis HLA tertentu yang dulu dianggap merupakan predisposisi

terhadap penyakit autoimun ternyata berkaitan dengan pembentukan autoantibodi tertentu

seperti anti ds- DNA ,anti Sm dan antifosfolipid.1

Faktor genetic memegang peran penting dalam kerentanan serta ekspresi

penyakit. Sekitar 10%-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first-degree relative)

yang juga menderita SLE. Angka terdapatnya SLE pada saudara kembar identik pasien

SLE (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian-

penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang

mengkode unsur-unsur system imun. Kaitan dengan haplotip MHC tertentu, terutama

HLA-DR₂ dan HLA-DR₃ serta dengan komponen komplemen yang berperan pada pada

fase awal reaksi ikat komponen (yaitu C₁Q -C₁R- C₁S ,C₄ dan C₂) telah terbukti. Gen-

gen lain yang mulai terlihat ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,

imunoglobin dan sitokin.6

8

Page 9: Yunita

Non-Genetik : Ada sejumlah obat yang dapat menginduksi penyakit SLE pada orang-

orang yang peka, suatu sindrom yang menyerupai SLE. Sindrom ini memiliki hampir

semua gejala SLE termasuk uji ANA yang positif, tetapi jarang menyerang ginjal dan SSP.

Gejala-gejala SLE yang timbul akan menghilang dalam waktu beberapa minggu setelah

obat yang menyebabkannya dihentikan. Hasil pemeriksaan ANA akan kembali menjadi

negatif dalam waktu beberapa bulan kemudian. Hidralazin dan prokainamid adalah dua

dari kelompok obat-obatan yang paling sering menimbulkan gangguan ini. Selain itu ada

juga beberapa obat yang mampu menimbulkan ANA positif, misalnya penisilamin,

isoniazid dan obat anti konvulsan seperti barbiturat, fenitoin, etosuksimid, metsuksimid dan

primidon. Beberapa obat dapat menyebabkan elsasernaso SLE pada pasien yang

sebelumnya berada dalam keadaan remisi. Kelompok ini mencakup sulfonamid,

penisilamin dan kontraseptif oral.1

Imunologik : Kelainan fungsi system imun diduga mendasari proses terjadinya lupus .

Letak kelainan masih kontroversial, semula diduga akibat sel B yang hiperaktif pada

perangsangan poliklonal, namun belakangan ini ditemukan indikasi bahwa letak kelainan

adalah pada sel T-helper. Mekanisme imunologik yang mendasari kerusakan jaringan pada

umumnya adalah hipersensitifitas tipe 3.1

Faktor Hormonal : SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan.

Serangan pertama kali SLE jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopouse.

Metabolisme estrogen yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin, dimana

peningkatan hidroksilasi 16a dari estrone mengakibatkan peningkatan yang bermakna

konsentrasi 16a hidroksiestron. Metabolit 16a lebih kuat dan merupakan feminishing

estrogen. Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen plasma yang

rendah, ternasuk testoteron, dehidrotestoteron, dehidroepiandosteron (DHEA), dan DHEA

sulfat. Abnormalitas ini mungkin disebabkan oleh peningkatan oksidasi testoteron pada C-

17 atau peningkatan aktivitas aromatase jaringan.Konsentrasi testoteron plasma yang

rendah dan meningkaynya konsentrasi LH ditemukan pada beberapa penderita SLE laki-

laki maupun perempuan, jadi estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormon androgen

yang tidak adekuat pada laki-laki maupun perempuan mungkin bertanggung jawab

9

Page 10: Yunita

terhadap perubahan respon imun. konsentrasi progesteron didapatkan lebih rendah pada

penderita SLE perempuan dibandingkan dengan kontrol sehat.6

Hormon dari sel lemak diduga terlibat dalam patogenesis SLE adalah leptin.

Penelitian konsentrasi leptin serum pada penderita SLE perempuan yang dilakukan oleh

Garcia Gonzales dkk., mendapatkan kadar leptin pada penderita SLE tinggi dibanding

dengan kontrol sehat.6

Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia.

SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika, Asia,

Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian

epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-

0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-

Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan

ras Afrika-Amerika. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak

pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Insidens SLE 1 dari 2500 orang dalam beberapa

populasi yang umum, rasio perempuan dibanding laki-laki adalah 9 : 1. Pada lupus eritematosus

yang disebabkan obat (drug induced LE) rasionya lebih rendah yaitu 3:2. Beberapa data yang ada

di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat dari rumah sakit. Kejadiannya 90% pada wanita,

seringkali mengenai wanita pada usia produktif (15-40 tahun) akibat fluktuasinaik esterogen.6

Dari 3 peneliti dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI/ RS Dr. Cipto

Mangunkusumo Jakarta yang melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data

sebagai berikut : antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE, selama tahun 1972-1976

ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat (insidens sebesar 15 per 10.000

perawatan), antara tahun 1988-1990 insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan.6

Patogenesis

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai

predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD₄⁺,

mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya munculah sel

T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, yang memproduksi

10

Page 11: Yunita

autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian

dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam

infeksi.6

Pada SLE ,autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama

terhadap nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA ,protein histon dan non-histon.

Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau

kompleks protein –RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen

ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.6

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan

antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah

ditunjukan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan

klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan komplek imun dalam hati, dan

penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan

terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuclear. Kompleks imun ini

akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada

organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi

penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya

keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus

koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya

mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu

yang resisten.6

Manifestasi Klinis

Gejala Muskuloskeletal

Gejala yang sering pada SLE ialah gejala musculoskeletal berupa artritis atau artralgia

(93%) dan seringkali mendahului gejala-gejala lainnya, yang paling sering terkena ialah sendi

interfalangeal proksimal diikuti lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan

pergelangan kaki. Selain pembengkakan kaki dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi yang

biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi). Kaku pagi hari jarang ditemukan. Mungkin juga

terdapat nyeri otot dan miositis. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas,

11

Page 12: Yunita

kontraktur atau ankilosis. Adakalanya dapat terjadi pada berbagai tempat dan terutama

ditemukan pada pasien yang mendapat pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang

paling sering terkena ialah kaput femoris.6

Gejala Mukokutan.

Kelainan kulit,rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit

yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid dan livido

retikularis. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis

SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang agak edematus

pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa

bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi

karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity). Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit

subakut yang khasi berbentuk anular. Lesi diskoid yang berkembang melalui 3 tahap yaitu

eritema, hyperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang

meninggi, ,tertutup oleh sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah

berlangsung lama akan berbentuk sikatriks.6

Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan

antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara

klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Ulserasi

selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan

spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak

mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit ,Sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika

penyakit mereda.6

Ginjal.

Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah

proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi

hanya terdapat 25% kasus SLE yang urinnya menunjukan kelainan.6

Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus

membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak

12

Page 13: Yunita

sebagai sindrom nefrotik,hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis

lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi

ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi

progresif.6

Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis

kronik,tuberkolosis ginjal dan sebagainnya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab

kematian SLE kronik.6

Kardiovaskular

Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia

miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).6

Paru

Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Mungkin

ditemukan pada sel LE dalam cairan pleura.Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi

yang adekuat. Diagnosis pneumonitis lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti

infeksi virus, jamur, tuberkolosis dan sebagianya telah disingkirkan.6

Saluran Pencernaan

Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah jarang)

dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya terdapat pengobatan

adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh

darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Alteritis dapat juga

menimbulkan pankreatitis.6

Kelenjar getah bening & kelenjar parotis

Pembesaran pada kelenjar getah bening sering ditemukan (50%). Biasanya berupa

limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadang-kadang

disangka sebagai limfoma. Kelenjar parotis membesar pada 6% kasus SLE.6

Susunan saraf tepi

13

Page 14: Yunita

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat

sementara.6

Susunan saraf pusat

Gangguan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-

kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada

sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas

kelainan organik otak seperti disorientasi.6

Differential Diagnosis

Arthritis Rheumatoid (RA)

Artritis rematoid merupakan suatu penyakit peradangan kronis sistemik yang menyerang

berbagai jaringan. Pada artritis rematoid sering terjadi sinovitis poliferatif nonsupuratif yang

sering kali berkembang menjadi kehancuran tulang rawan sendi dan tulang di bawahnya.dan

menimbulkan kecacatan akibat arthritis. Patogenesis dari penyakit ini adalah hipersensifitas tipe

IV yang dimediasi sel T. Faktor pencetus dari penyakit ini belum diketahui secara pasti dimana

limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi poliferasi sel endotel, dan terjadilah reaksi

inflamasi yang ditimbulkan oleh limfosit. Terjadi juga pertumbuhan yang iregular pada jaringan

sinovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Gejala RA adalah

terjadi peradangan pada sendi, terasa hangat di bagian sendi, bengkak, kemerahan dan sangat

sakit. Biasanya pada banyak sendi, simetris, sendi terasa kaku di pagi hari. Selain itu, gejala

lainnya adalah demam, nafsu makan menurun, berat badan menurun, lemah, dan anemia.7

Gejala dari arthritis rematoid ini dapat dibedakan dengan gout dengan anamnesis ataupun

dengan pemeriksaan lainnya. Pada arthritis rematoid ini onset dari penyakit tersebut sebagian

besar secara perlahan, tetapi dalam jumlah yang sedikit onsetnya timbul dengan cepat. Pada

arthritis rematoid ditemukan artritis yang simetris berbeda dibandingkan dengan gout yang tidak

simetris. Pada stadium awal dari penyakit ini juga dapat diketemukan polyarthritis permanen.

Pada pemeriksaan lab terjadi peningkatan faktor reumatoid, inilah yang menjadi salah satu

pembeda dengan gout. Yang menjadi persamaan dengan gout adalah adanya kenaikan LED dan

14

Page 15: Yunita

CRP. Kenaikan ini juga mekanismenya hampir sama dengan gout karena disebabkan oleh reaksi

inflamasi.7

Pada arthritis rematoid stadium lanjut proses inflamasi tidak lagi menimbulkan bengkak

yang berwarna merah walaupun terjadi reaksi peradangan yang nyeri. Gejala arthritis rematoid

lain pada stadium lanjut ditemukan sebuah panus. Panus ini terbentuk oleh sel epitel sinovial

yang berpoliferasi dan bercampur dengan sel radang, jaringan granulasi, dan jaringan ikat

fibrosa. Panus ini juga lah yang akan menyebabkan keraguan apabila dibandingkan dengan topus

yang relatif sama. Pada pasien yang sudah kronis, biasanya akan diikuti deformitas sendi dan

sudah tidak dapat dikoreksi lagi. Ketidakdapatan dikoreksinya ini terutama disebabkan karena

sudah hilangnya lapaisan tulang rawan, bahkan dapat juga terjadi penyatuan tulang, sehingga

kemampuan sendi tersebut tidak dapat digerakan sama sekali. Deformitas yang sering terjadi

adalah membentuk leher angsa. Dimana telapak tangan akan bergerak ke arah ulna dan jari-jari

akan bergerak ke arah radius. 7

Pada gambaran radiologi konvensional baik pada fase akut ataupun pada fase kronis akan

ditemukan pembengkakan jaringan lunak osteopenia juxta articular, erosi tulang dan hilangnya

tulang rawan. Foto polos sendi yang juga penting yaitu pergelangan tangan dan pergelangan kali

untuk data dasar, sebagai pembanding dalam penelitian selanjutnya. Untuk foto MRI mampu

mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos, sehingga tampilan

sendinya akan lebih rinci. Pada foto rontgen polos yang paling dapat dibedakan dengan gout

adalah adanya pembengkakan jaringan lunak dan terdapat erosi tulang sekitar dari sendi yang

terkena tersebut. Gout sendiri jarang bersama-sama dengan Artritis reumatoid, bila dicurigai

adanya gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan. Apabila pemeriksaan cairan sendi

didapatkan kristal urat maka dapat dipasitkan terjadi gout.7

Artritis Pirai (Gout)

Gout ditandai oleh meningkatnya kadar asam urat plasma dengan serangan artritis

berulang. Kelainan ini disebabkan oleh kelainan metabolisme bawaan dan secara dominan

menyerang laki-laki.7

Secara umum, gejala penyakit gout adalah sendi yang membengkak dan nyeri biasanya

pada sendi metatarsofalang (MTP) pertama dan hiperurisemia asimptomatik. Perubahan

15

Page 16: Yunita

radiologi terjadi setelah bertahun-tahun timbulnya gejala. Terdapat predileksi pada sendi MTP

pertama, walaupun pergelangan kaki, lutut, suku, dan sendi lainnya juga terlibat. Film polos

dapat memperlihatkan efusi dan pembengkakan sendi; erosi yang cenderung menimbulkan

penampakan punched out yang berada terpisah dari permukaan artikular; densitas tulang tidak

mengalami perubahan; dan ditemukan tofi yang mengandung natrium urat dan terdeposit pada

tulang, jaringan lunak, dan sekitar sendi. Gout dapat merusak ginjal sehingga dapat ditemukan

batu ginjal pada pemeriksaan radiologi.7

Secara umum, gejala-gejala penyakit gout ialah : 7

Nyeri hebat yang dirasakan pada satu atau beberapa sendi, seringkali pada malam hari.

Sendi membengkak dan kulit di atas sendi yang terkena tampak memerah atau keunguan,

kencang dan licin, serta teraba hangat. Jika disentuh menimbulkan nyeri yang luar biasa.

Sering mengenai sendi di pangkal ibu jari kaki, tetapi juga menyerang sendi pergelangan

kaki, lutut, pergelangan tangan dan sikut.

Demam, menggigil, tidak enak badan, denyut jantung cepat.

Pemeriksaan LED meningkat.

Cairan sendi mengandung kristal monosodium urat.

Osteoartritis (OA)

Osteoarthritis merupakan penyakit arthritis yang paling sering terjadi. Sering disebut juga

degeneratif osteoarthritis atau hipertropic OA. OA merupakan radang sendi yang bersifat kronis

dan progresif disertai kerusakan tulang rawan sendi berupa integrasi (pecah) dan perlunakan

progresif permukaan sendi dengan pertumbuhan tulang rawan sendi ( osteofit) di tepi tulang.7

Pada umumnya penderita OA mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama

tetapi berkembang secara perlahan-lahan. Penderita OA biasanya mengeluh pada sendi yang

terkena yang bertambah dengan gerakan atau waktu melakukan aktivitas dan berkurang dengan

istirahat. Selain itu juga terdapat kaku sendi dan krepitus, bentuk sendi berubah dan gangguan

fungsi sendi. Pada derajat yang lebih berat, nyeri dapat dirasakan terus menerus sehingga sangat

mengganggu mobilitas penderita.7

OA sendi lutut ditandai oleh nyeri pada pergerakan yang hilang bila istirahat, kaku sendi

terutama setelah istirahat lama atau bangun tidur, krepitasi sewaktu pergerakan dan dapat disertai

16

Page 17: Yunita

sinovitis dengan atau tanpa efusi cairan sendi. Nyeri akan bertambah jika melakukan kegiatan

yang membebani lutut seperti berjalan, naik turun tangga, berdiri lama. Gangguan tersebut mulai

dari yang paling ringan sampai yang paling berat sehingga penderita tidak bisa berjalan.7

OA sendi lutut merupakan kelainan sendi yang mempunyai dampak terhadap kehidupan

sehari-hari penderitanya.  Walaupun belum ada pengobatan medis yang dapat menyembuhkan

dan menghentikan progresifitas OA, banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghilangkan nyeri,

menjaga mobilitas dan meminimalkan disabilitas.7

Penatalaksanaan

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam

penatalaksanaan penderita SLE terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Pasien diberi

penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis dan

sebagainya) sehingga dapat bersikap positif terhadap penanggulangan penyakit ini.6

Pada umumnya, penderita SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga penderita harus

selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. DNA yang terkena

sinar ultraviolet secara normal akan bersifat antigenik dan hal ini akan menimbulkan serangan

setelah terkena sinar. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar

matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja kantor

juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela.8

Karena infeksi sering terjadi pada penderita SLE, maka penderita harus selalu diingatkan

bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh

kortikosteroid dosis tinggi.8

Terapi dengan obat bagi pasien SLE mencakup pemberian obat-obat anti inflamasi non-

steroid (OAINS), kortikosteroid, antimalaria dan agen penekan imun. Pemilihan obat yang sesuai

bergantung pada organ-organ yang terserang oleh penyakit ini. OAINS dipakai untuk mengatasi

arthritis dan artralgia.9

Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan pada SLE :6

Monitoring yang teratur untuk menghindari adanya infeksi pada pasien.

17

Page 18: Yunita

Penghematan energi

Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol. Diperlukan waktu

istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya tidur yang cukup.

Fotoproteksi

Kontak dengan sinar matahari atau sinar ultraviolet harus dikurangi atau

dihindarkan .Dapat juga dipakai lotion tertentu (sunscreener lotion) untuk mengurangi

kontak dengan sinar matahari.

Mengatasi infeksi

Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya, pasien

harus segera memeriksakan diri. Diperlukan terapi pencegahan dengan antibiotik pada

operasi gigi, traktus urinarius atau prosedur bedah invasif lain.

Pengobatan simptomatik

Pengobatan yang diberikan bersifat simptomatik sesuai dengan gejala yang diderita.6

Artritis/artralgia, mialgia dan demam diberikan salisilat atau preparat lain seperti

indometasin (3 x 25mg/hari), asetaminofen (6 x 650mg/hari) dan ibuprofen (4 x 300-

400mg/hari) dan harus disertai istirahat yang cukup. Metotreksat dosis rendah (7,5-15

mg/minggu) juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita SLE.

Eritema. Terapi local dngan krim atau salep kortikosteroid.

Ulserasi mulut dan nasofaring diberikan terapi lokal.

Obat antimalaria

Sering memberikan hasil yang baik dalam mengatasi kelainan kulit. Kadang-kadang juga

terdapat adenopati hilus serta kelainan paru ringan dan artralgia ringan. Preparat yang sering

dipakai adalah klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis 200-500 mg/hari. Selama

pemakaian obat ini penderita harus control ke ahli mata setiap 3-6 bulan karena adanya efek

toksis berupa degenerasi macula. Klorokuin mengikat DNA sehingga tidak dapat bereaksi

dengan anti-DNA.6

Kortikosteroid

18

Page 19: Yunita

Kortikosteroid diberikan jika kelainan kulit memburuk dan tidak responsive terhadap

pengobatan konservatif. Dalam keadaan ini biasanya diperlukan dosis rendah sampai sedang.

Keadaan lain dimana diperlukan kortikosteroid adalah gejala adanya gangguan susunan saraf

pusat, perikarditis, miokarditis, pleuritis, miositis berat, anemia hemolitik, leucopenia, gangguan

pembekuan darah, nefritis lupus dan demam tinggi. Pada fase akut biasanya diberikan prednison

dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari. Pada keadaan yang berat, terutama pada SSP dengan kejang-

kejang dan psikosis, diberikan prednison atau prednisolon dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari. Setelah

keadaan klinis menjadi tenang, dosis kortikosteroid diturunkan (tapering off) dimulai dengan 5-

10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut.6

Jika terdapat kelainan ginjal, perlu dilakukan dulu biopsy ginjal untuk memastikan jenis

kerusakan ginjal. Glomerulonefritis lupus fokal memberikan respon yang baik terhadap

pengobatan. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg/hari selama beberapa minggu sampai

gejala klinis menghilang, sedimen urin membaik dan komplemen kembali normal.6

Obat imunosupresif

Biasanya obat imunosupresif diberikan bersamaan dengan kortikosteroid. Penggunaan

obat imunosupresif sebenarnya masih diperdebatkan. Umumnya hanya dianjurkan pada kasus

gawat atau lesi difus dan membranous di ginjal yang tidak memberikan respon baik terhadap

kortikosteroid. Yang paling sering dipakai adalah azatioprin dan siklofosfamid. Siklofosfamid

diberikan per oral 50-150 mg per hari. Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah

harus dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml maka dosis siklofosfamid berikutnya

diturunkan 25%. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap

3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara

bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya.6

Obat sitotoksik lain yang toksisita dan efektifitasnya lebih rendah dari siklofosfamid

adalah azatioprin. Azatioprin diberikan secara peroral dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari.

Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan SLE adalah siklosporin-A dosis

rendah (3-6 mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat.6

19

Page 20: Yunita

Komplikasi

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah infeksi sekunder. Pada sistem

kardiopulmoner mungkin timbul gagal jantung karena miokarditis, efusi pleura dan perikard

sampai tamponade jantung yang memerlukan perikardiektomi. Kelainan ginjal dapat berupa

kegagalan gagal ginjal ringan sampai berat. Dalam keadaan ini dipertimbangkan pemberian

diuretic, obat anti hipertensi dan mungkin juga dilakukan dialisis serta transplantasi ginjal.

Pemberian koagulan juga dianjurkan. Heparin diberikan dalam dosis antikoagulasi, kemudian

dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 250 mg/hari subkutan. Terhadap kejang-kejang yang

timbul akibat gangguan susunan saraf pusat diberikan obat antikonvulsi. 6

Prognosis

Angka harapan hidup 5 tahun secara keseluruhan adalah 85-88% dan 10 tahun 76-87%.

Penyebab utama kematian pada SLE adalah infeksi, nefritis lupus, konsekuensi gagal ginjal

(termasuk akibat terapi), penyakit kardiovaskuler dan lupus SSP. Penyakit ginjal merupakan

indikator prognosis yang paling buruk pada SLE dan oleh karenanya titer antibodi pengikat

DNA positif dan/ atau meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal , dikaitkan dengan

prognosis yang lebih buruk.1 Sebelum tahun 1950, SLE merupakan penyakit yang fatal.

Pemakaian preparat kortikosteroid merupakan pengobatan pertama yang memberikan hasil baik

pada penyakit ini. Pemakaian kortikosteroid yang lebih teratur dan terencana, pemakaian obat

imunosupresif dan penggunaan antibiotik, antihipertensi, dialisis serta transplantasi ginjal lebih

memperpanjang survival rate lagi. Survival rate sebesar 50% pada tahun 1954, menjadi 85%

pada tahun 1976. Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik.

Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%.6

Prognosis buruk dijumpai pada penderita lupus nefritis kronik dan penyakit saraf, yaitu

harapan hidup hanya berkisar 2 tahun. Prognosis yang baik yaitu harapan hidup bisa mencapai

20 tahun maupun lebih dengan penatalaksaan yang tepat yang ditunjang dengan ilmu kedokteran

yang semakin modern dan berkembang.6

20

Page 21: Yunita

Kesimpulan

Dengan memperhatikan gejala-gejala yang dialami pasien berusia 22 tahun ini, dapat

disimpulkan bahwa ia menderita SLE karena ia mempunyai beberapa gejala klinis yang tampak

seperti mudah lemah, nyeri pada jari-jari kedua tangan, kaku pada pagi hari, rambut rontok,

wajah memerah walau sebentar terkena matahari, badan hangat hilang timbul, demam dan

terdapat anemia.

Daftar Pustaka

1. Pringgoutomo S, Himawan S, Tjarta A. Buku ajar patologi 1 (umum). Edisi ke-1. Jakarta:

Sagung Seto;2006.h.262-4.

2. Willms JL, Schneiderman. Buku saku diagnosis fisik. Jakarta: EGC;2005.h.5-17.

3. Gleadle J. At a glance anamnesis. Jakarta: Erlangga;2005.h.115-6.

4. Graber MA, Toth PP, Herting RL. Buku saku dokter keluarga. Edisi ke-3. Jakarta:

EGC;2006.h.288-293.

5. Cotran RS, Kumar V, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. Jakarta :

EGC;2007.h.144-7.

6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5.

Jakarta: Interna Pubslishing;2009.h.2565-76.

7. Mitchell, Kumar, Abbas, Fausto. Buku saku dasar patologis penyakit. Jakarta:

EGC;2009.h.742-8.

8. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga;2006.h.395-6.

9. Price SA. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta:

EGC;2006.h.1392-5.

21