Yudha Friatna Rabies

14
RABIES A. Definisi Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit (Corey, 1999). Nama lain untuk rabies, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing Gila (Chin, 2000). B. Etiologi dan Epidemiologi Virus rabies merupakan virus RNA beruntai tunggal, beramplop, berbentuk seperti peluru dengan diameter 75 sampai 80 nm termasuk dalam anggota kelompok rhabdovirus. Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan merangsang imunitas sel T (Corey, 1999). Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56ºC waktu paruh kurang dari 1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37ºC dapat bertahan beberapa jam. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi iodium (Chin, 2000). Di Amerika Serikat, dalam rentang tahun 1980 dan 1997, hanya terdapat 34 kasus, sejak tahun 1960, kasus yang ditemukan dalam satu tahun tidak pernah 5 atau lebih. Di beberapa daerah (Australia, Hawaii, Inggris, dan Skandinavia) tidak pernah didapatkan laporan. Namun, di India, Insidensinya tinggi. Penyakit ini hampir selalu fatal setelah gambaran klinis muncul (Ropper, 2005) Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Data terakhir pada tahun 2004, di Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat rabies tercatat 21 orang. Sedangkan di Provinsi Bali, desa kedonganan dan Ungasan pada tanggal 29 November 2008 terdapat beberapa anjing mati dan dinyatakan positif Rabies. Hal ini membuat Provinsi Bali dengan status bebas rabies perlu ditinjau kembali.

description

tulisan

Transcript of Yudha Friatna Rabies

Page 1: Yudha Friatna Rabies

RABIES

A. Definisi

Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai

semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian

besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang

transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit (Corey, 1999).

Nama lain untuk rabies, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol),

die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing Gila (Chin,

2000).

B. Etiologi dan Epidemiologi

Virus rabies merupakan virus RNA beruntai tunggal, beramplop, berbentuk seperti

peluru dengan diameter 75 sampai 80 nm termasuk dalam anggota kelompok rhabdovirus.

Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies,

membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan

merangsang imunitas sel T (Corey, 1999).

Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56ºC waktu paruh kurang

dari 1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37ºC dapat bertahan beberapa jam.

Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi iodium (Chin, 2000).

Di Amerika Serikat, dalam rentang tahun 1980 dan 1997, hanya terdapat 34 kasus,

sejak tahun 1960, kasus yang ditemukan dalam satu tahun tidak pernah 5 atau lebih. Di

beberapa daerah (Australia, Hawaii, Inggris, dan Skandinavia) tidak pernah didapatkan

laporan. Namun, di India, Insidensinya tinggi. Penyakit ini hampir selalu fatal setelah

gambaran klinis muncul (Ropper, 2005)

Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi

dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan

Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa

tengah, Jawa timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Data terakhir

pada tahun 2004, di Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat rabies tercatat

21 orang. Sedangkan di Provinsi Bali, desa kedonganan dan Ungasan pada tanggal 29

November 2008 terdapat beberapa anjing mati dan dinyatakan positif Rabies. Hal ini

membuat Provinsi Bali dengan status bebas rabies perlu ditinjau kembali.

Page 2: Yudha Friatna Rabies

Gambar 1. Penyebaran Dan Distribusi Rabies Di Dunia

Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik : Urban, disebarluaskan terutama

oleh anjing, dan atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan Sylvatic, disebarluaskan

oleh sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongoos), serigala, dan kelelawar. Infeksi

pada manusia cenderung terjadi pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu

jika terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak diimunisasi, dan manusia kontak

dengan udara terbuka. Kematian karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh World

Health Organization (WHO) setiap tahun, sedangkan insidensi rabies di seluruh dunia

diperkirakan lebih dari 30.000 kasus pertahun. Asia Tenggara, Philipina, Afrika dan

Amerika Selatan adalah area tempat penyakit biasanya terjadi. Di Amerika, rabies

manusia sangat jarang, dan sebagian besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang

yang terpajan di negara – negara yang didalamnya terdapat endemik rabies anjing

(Harsono, 2000).

Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting virus rabies

untuk manusia. Akan tetapi, serigala (Eropa timur, daerah kutub utara), luwak (Afrika

Selatan, Karibia), rubah (Eropa Barat) dan kelelawar (Amerika Selatan) juga merupakan

vektor penyakit yang penting. Di Amerika, rabies kucing sekarang ini dilaporkan lebih

sering daripada rabies anjing; sehingga vaksinasi kucing rumah sangat penting. Di

Amerika, rabies pada binatang buas bertanggung jawab terhadap sekitar 85% rabies

binatang yang dilaporkan, dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-3% (Chin, 2000).

Beberapa kasus penularan rabies dari manusia ke manusia melalui transplantasi

kornea juga pernah ditemukan (Chin, 2000).

Page 3: Yudha Friatna Rabies

C. Patofisiologi dan Patogenesis

Patofisiologi

Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing,

kera, serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak

virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. Kulit

yang utuh merupakan barier pertahanan terhadap infeksi. Transmisi dari manusia ke

manusia belum pernah dilaporkan. Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya

virus lewat luka pada kulit (garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering terjadi

melalui gigitan anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya

yang terinfeksi (serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui

inhalasi dimana dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua

kelelawar tanpa adanya gigitan. Dapat pula kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di

laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya

infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang

mungkin terinfeksi rabies (Chin, 2000).

Patogenesis

Kejadian pertama perjalanan virus melalui epidermis atau ke dalam membran

mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik di daerah inokulasi.

Sistem saraf perifer terpajan pada neuromuskuler. Virus kemudian menyebar secara

sentripetal naik ke saraf sampai sistem saraf pusat, mungkin melalui aksoplasma saraf

perifer. Saat virus mencapai sistem saraf pusat, virus melakukan replikasi secara eksklusif

dalam substansia kelabu dan kemudian lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom

untuk mencapai jaringan – jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis, ginjal,

paru-paru, hepar, otot rangka, kulit dan jantung. Virus juga tersebar pada air susu dan

urine (Corey, 1999).

Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari 1 tahun

(rata – rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada jumlah virus yang

masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan penderita dan perjalanan

virus dari daerah inokulasi ke sistem saraf pusat. Kasus rabies manusia dengan periode

inkubasi yang panjang ( 2 sampai dengan 7 tahun) telah dilaporkan tapi jarang terjadi

(Chin, 2000).

Page 4: Yudha Friatna Rabies

Gambar 2. Perjalanan Virus Rabies Pada Hewan

D. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7

hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi

kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak

masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi

dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke

sistem saraf pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka

pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari (Chin, 2000).

Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non

spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat

batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan

(4) koma rabies yang mendalam (Corey, 1999).

Periode prodromal biasanya menetap selama 2 sampai 4 hari dan ditandai dengan

parastesi, hiperparestesi, nyeri pada bagian yg terkena gigitan, demam, sakit kepala,

malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue), anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri

tenggorokan dan batuk yang tidak produktif (Rohkamm, 2004).

Page 5: Yudha Friatna Rabies

Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau

fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus dan mungkin berhubungan dengan

multiplikasi virus dalam gaglion dorsalis saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan.

Gejala ini terdapat pada 50 sampai 80% pasien (Corey, 1999).

Stadium prodormal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit akan

berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik (Chin,

2000).

Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang

berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, combativeness,

penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus, posisi opistotonik,

kejang, dan paralisis fokal. Yang khas, periode penyimpangan mental yang diselingi

dengan periode lucid tapi bersama dengan berkembangnya penyakit, periode lucid

menjadi lebih pendek sampai pasien akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan

sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya terang, suara keras, sentuhan, bahkan

rangsangan oleh udara sering terjadi. Pada pemeriksaan fisis, suhu tubuh naik hingga

40,6ºC. abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil yang ireguler, lakrimasi

meningkat, salivasi, dan berkeringat berlebih. Juga terdapat tanda paralisis motor neuron

bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo profunda, dan respon

ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi (Corey, 1999).

Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis.

Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, dan kesulitan menelan yang khas.

Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan menimbulkan gambaran

tradisional “foaming at the mouth”. Hidrofobia, tampak pada sekitar 50% kasus. Pasien

menjadi koma dengan terkenanya pusat respirasi oleh virus, yang akan menimbulkan

kematian apneik. Menonjolnya disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari

ensefalitis virus lainnya. Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari,

dengan maksimum 20 hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial (Corey, 1999).

Page 6: Yudha Friatna Rabies

Tabel 1. Perjalanan Penyakit Penderita Rabies

Stadium Lamanya (% kasus) Manifestasi klinis

Inkubasi

Prodromal

Neurologik akut

Furious (80%)

Paralitik

Koma

< 30 hari (25%)

30-90 hari (50%)

90 hari – 1 tahun (20%)

>1 tahun (5%)

2-10 hari

2-7 hari

2-7 hari

0-14 hari

Tidak ada

Parestesi, nyeri pada luka gigitan,

demam, malaise, anoreksia, mual &

muntah, nyeri kepala, lethargi,

agitasi, anxietas, depresi

Halusinasi, bingung, delirium,

tingkah laku aneh, agitasi,

menggigit, hidropobia,

hipersalivasi, disfagia, afasia,

inkoordinasi, hiperaktif, spasme

faring, aerofobia, hiperventilasi,

disfungsi saraf otonom, sindroma

abnormalitas ADH

Paralisis flaksid

Autonomic instability,

hipoventilasi, apnea, henti nafas,

hipotermia/hipertermia, hipotensi,

disfungsi pituitari, rhabdomiolisis,

aritmia dan henti jantung

E. Pemeriksaan Penunjang

Pada awal penyakit hemoglobin dan kimia darah rutin normal, tapi abnormalitas

terjadi bersamaan dengan disfungsi hipotalamus, perdarahan gastrointestinal, dan

komplikasi lainnya. Jumlah leukosit agak meningkat tapi mungkin juga normal (Corey,

1999).

Seperti pada setiap infeksi virus, diagnosis spesifik rabies tergantung pada (1)

isolasi virus dari sekresi yang terinfeksi [saliva, cairan serebrospinalis (CSF), atau

Page 7: Yudha Friatna Rabies

jaringan (otak)], (2) uji serologik infeksi akut, atau (3) adanya antigen virus dalam

jaringan yang terinfeksi, misalnya, apusan impresi kornea, biopsi kulit, atau otak (Corey,

1999).

Fluororescent antibodi test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus

rabies di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinalis, urin. Sensitivitas tes ini bahkan 60-

100%. Pada awal penyakit (minggu I) FAT merupakan tes yang paling sensitif walaupun

dapat terjadi negatif palsu (Chin, 2000).

F. Diagnosis Banding

Rabies harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada semua penderita dengan

gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila

terjadi di daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah

endemis rabies (Chin, 2000)

Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi

psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies.

Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia)

sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus (Chin, 2000)

Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek,

adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal,

cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia. Ensefalitis dapat

dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia (Chin, 2000)

Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse

myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post

vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan

tidak ada gangguan sensorik (Harijanto, 2006).

Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1 :200 – 1:1600 pada vaksinasi nerve tissue

rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah

dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa

isolasi virus akan membantu diagnosis.5

Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak penyebab

dari ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpesvirus,

enterovirus, dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding

adalah herpes simpleks tipe 1, varicella-zooster. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi

Page 8: Yudha Friatna Rabies

geografi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit

binatang dapat membantu menolong penegakan diagnosa (Corey, 1999)

G. Tatalaksana

Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies;

penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal

nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak

menggembirakan. perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila

mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan

kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi penderita penting segera setelah diagnosa

ditegakkan untuk menghindari rangsangan-rangsangan yang dapat menimbulkan spasme

otot dan mencegah penularan. Staf rumah sakit perlu menghindarkan diri terhadap

penularan virus dari air liur, urin, air mata, cairan lain dan yang paling berbahaya adalah

kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya akibat gigitan dengan universal

precaution (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus tidak menular melalui darah

dan tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita rabies adalah terjadinya hipoksia,

aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi dan edema serebri (Chin, 2000)

Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat

untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti serum,

anti virus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya tidak terbukti efektif

(Chin, 2000)

Pencegahan

Pada setiap keadaan, keputusan harus dilakukan kapan memulai profilaksis rabies

pasca pemajanan. Ketika memutuskan kapan harus memberikan profilaksis rabies,

digunakan pertimbangan berikut: (1) apakah individu mengalami kontak fisis dengan

saliva atau bahan lain yang mungkin mengandung virus rabies, (2) apakah rabies diketahui

atau diduga pada spesies dan area yang dihubungkan dengan pemajanan (misalnya, semua

individu dalam kepulauan Amerika yang digigit kelelawar yang membawa virus,

sebaiknya menerima profilaksis pasca-pemajanan), (3) keadaan sekitar pemajanan, dan (4)

pengobatan alternatif dan komplikasi (Corey, 1999)

Jika rabies diketahui ada atau diduga ada pada spesies binatang yang terlibat

pemajanan pada manusia, binatang itu ditangkap jika mungkin. Binatang buas atau yang

sakit, binatang rumah yang tidak divaksinasi, atau yang berkeliaran yang dapat terlibat

dalam pemajanan rabies, menunjukkan tingkah laku abnormal, atau diduga gila, sebaiknya

Page 9: Yudha Friatna Rabies

dibunuh secara penuh perikemanusiaan, dan kepalanya segera dikirim ke laboratorium

yang sesuai untuk pemeriksaan fluororescent antibody rabies. Jika pemeriksaan otak

dengan teknik fluororescent antibody negatif untuk rabies, dapat disimpulkan bahwa

saliva tidak mengandung virus, dan orang yang terkena tidak perlu diobati (Corey, 1999)

Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu ditangkap,

diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah laku yang

abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang itu dibunuh untuk

pemeriksaan fluororescent antibody. Bukti percobaan dan epidemiologik menunjukkan

bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan tidak akan menularkan

virus rabies rabies pada waktu menggigit (Bleck, 2000).

Penanganan luka

Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies.

Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan

desinfektan seperti alkohol 40-70%, atau larutan ephiran 0.1%. Luka akibat gigitan

binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa

dapat dilakukan jahitan sementara (bila terjadi pendarahan hebat). Profilaksis tetanus

dapat diberikan dan infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu

diberikan antibiotik (Chin, 2000).

Profilaksis pasca – paparan

Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah dengan neutralizing

antibody terhadap virus rabies agar antibodi terhadap rabies dapat segera terbentuk dalam

serum setelah masuknya virus kedalam tubuh dan antibodi sebaiknya terdapat dalam titer

yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit.

neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum antirabies

atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif (Corey, 1999)

Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu a). Nerve Tissue

Vaccine (NTV); b). Non Nerve Tissue Vaccine (Duck Embryo Vaccine = DEV) dan

vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV)

dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV) (Chin, 2000).

Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada

semua kasus gigitan yang parah dan semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi

vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan

memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja (Chin, 2000).

Page 10: Yudha Friatna Rabies

Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa

pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan

dosis 0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau

pemberian VAR 0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI).

Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit

binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila

gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah,

gigitan leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram

berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada

daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan

SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR (Chin, 2000).

Profilaksis pra-pemajanan

Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi seperti dokter hewan,

penyelidik gua (arkeolog), pekerja laboratorium dan pelatih binatang, sebaiknya mendapat

profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke

daerah-daerah endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan

mendapatkan pencegahan pre-exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL

secara intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun

(Chin, 2000).

Efek samping vaksinasi

Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga

dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal,

berupa udem, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum

berupa panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan

pemberian kompres lokal pada tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik (Chin, 2000)

Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan

gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk,

ataksia dan kejang. Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang

berkaitan dengan protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas

terhadap jaringan saraf. Pada vaksin generasi baru (PRCV) tidak pernah dilaporkan lagi

komplikasi ensefalomielitis (Chin, 2000).

SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum

sickness. Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness

diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin (Chin, 2000).

Page 11: Yudha Friatna Rabies

Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada

sekitar 20% resipien. Reaksi-reaksi ini akan sembuh dengan sendirinya (Corey, 1999).

H. Komplikasi

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada

fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial;

kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon

antidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi,

hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata

dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal

sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi

dan depresi pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal

jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik (Chin, 2000).

I. Prognosis

Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah

mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan

dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang

belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali

gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai

akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata.

Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800

kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan

luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100% (Chin, 2000).

Page 12: Yudha Friatna Rabies

Gambar 4. Rabies Secara Umum

Page 13: Yudha Friatna Rabies

DAFTAR PUSTAKA

Bleck. TP. Rupprecht. CE. Rabies Virus. In: Mandell GL, Bennet JE, Dollin R (Eds). 2000.

Mandell, Douglas amd Bennet’s Principles and Practice of Infectious Diseases. 5th

ed. Churchill Livingstone, Philadelphia.

Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta, American

Public Health Association.

Corey, Lawrence. 1999. Rabies, Rhabdovirus, dan agen mirip-marburg. Harrison Prinsip-

prinsip ilmu penyakit dalam Edisi 13. Jakarta, EGC.

Harijanto, Paul N. Gunawan, Carta A. Rabies. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi

IV. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Harsono. 2000. Kapita Selekta Neurologi Edisi Kedua, Yogyakarta, Gajah Mada University

Press.

Rohkamm, Reinhard. 2004. Color Atlas of Neurology. Newyork, Thieme.

Ropper, Allan H; Brown, Robert H. 2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology.

Newyork, Mcgraw-Hill.

YUDHA FRIATNA

0907101010098

Page 14: Yudha Friatna Rabies