Yudha Friatna Rabies
-
Upload
fadhlan-ardhuha -
Category
Documents
-
view
12 -
download
0
description
Transcript of Yudha Friatna Rabies
RABIES
A. Definisi
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai
semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian
besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang
transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit (Corey, 1999).
Nama lain untuk rabies, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol),
die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing Gila (Chin,
2000).
B. Etiologi dan Epidemiologi
Virus rabies merupakan virus RNA beruntai tunggal, beramplop, berbentuk seperti
peluru dengan diameter 75 sampai 80 nm termasuk dalam anggota kelompok rhabdovirus.
Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies,
membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan
merangsang imunitas sel T (Corey, 1999).
Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56ºC waktu paruh kurang
dari 1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37ºC dapat bertahan beberapa jam.
Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi iodium (Chin, 2000).
Di Amerika Serikat, dalam rentang tahun 1980 dan 1997, hanya terdapat 34 kasus,
sejak tahun 1960, kasus yang ditemukan dalam satu tahun tidak pernah 5 atau lebih. Di
beberapa daerah (Australia, Hawaii, Inggris, dan Skandinavia) tidak pernah didapatkan
laporan. Namun, di India, Insidensinya tinggi. Penyakit ini hampir selalu fatal setelah
gambaran klinis muncul (Ropper, 2005)
Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi
dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan
Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa
tengah, Jawa timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Data terakhir
pada tahun 2004, di Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat rabies tercatat
21 orang. Sedangkan di Provinsi Bali, desa kedonganan dan Ungasan pada tanggal 29
November 2008 terdapat beberapa anjing mati dan dinyatakan positif Rabies. Hal ini
membuat Provinsi Bali dengan status bebas rabies perlu ditinjau kembali.
Gambar 1. Penyebaran Dan Distribusi Rabies Di Dunia
Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik : Urban, disebarluaskan terutama
oleh anjing, dan atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan Sylvatic, disebarluaskan
oleh sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongoos), serigala, dan kelelawar. Infeksi
pada manusia cenderung terjadi pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu
jika terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak diimunisasi, dan manusia kontak
dengan udara terbuka. Kematian karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh World
Health Organization (WHO) setiap tahun, sedangkan insidensi rabies di seluruh dunia
diperkirakan lebih dari 30.000 kasus pertahun. Asia Tenggara, Philipina, Afrika dan
Amerika Selatan adalah area tempat penyakit biasanya terjadi. Di Amerika, rabies
manusia sangat jarang, dan sebagian besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang
yang terpajan di negara – negara yang didalamnya terdapat endemik rabies anjing
(Harsono, 2000).
Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting virus rabies
untuk manusia. Akan tetapi, serigala (Eropa timur, daerah kutub utara), luwak (Afrika
Selatan, Karibia), rubah (Eropa Barat) dan kelelawar (Amerika Selatan) juga merupakan
vektor penyakit yang penting. Di Amerika, rabies kucing sekarang ini dilaporkan lebih
sering daripada rabies anjing; sehingga vaksinasi kucing rumah sangat penting. Di
Amerika, rabies pada binatang buas bertanggung jawab terhadap sekitar 85% rabies
binatang yang dilaporkan, dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-3% (Chin, 2000).
Beberapa kasus penularan rabies dari manusia ke manusia melalui transplantasi
kornea juga pernah ditemukan (Chin, 2000).
C. Patofisiologi dan Patogenesis
Patofisiologi
Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing,
kera, serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak
virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. Kulit
yang utuh merupakan barier pertahanan terhadap infeksi. Transmisi dari manusia ke
manusia belum pernah dilaporkan. Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya
virus lewat luka pada kulit (garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering terjadi
melalui gigitan anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya
yang terinfeksi (serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui
inhalasi dimana dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua
kelelawar tanpa adanya gigitan. Dapat pula kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di
laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya
infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang
mungkin terinfeksi rabies (Chin, 2000).
Patogenesis
Kejadian pertama perjalanan virus melalui epidermis atau ke dalam membran
mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik di daerah inokulasi.
Sistem saraf perifer terpajan pada neuromuskuler. Virus kemudian menyebar secara
sentripetal naik ke saraf sampai sistem saraf pusat, mungkin melalui aksoplasma saraf
perifer. Saat virus mencapai sistem saraf pusat, virus melakukan replikasi secara eksklusif
dalam substansia kelabu dan kemudian lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom
untuk mencapai jaringan – jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis, ginjal,
paru-paru, hepar, otot rangka, kulit dan jantung. Virus juga tersebar pada air susu dan
urine (Corey, 1999).
Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari 1 tahun
(rata – rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada jumlah virus yang
masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan penderita dan perjalanan
virus dari daerah inokulasi ke sistem saraf pusat. Kasus rabies manusia dengan periode
inkubasi yang panjang ( 2 sampai dengan 7 tahun) telah dilaporkan tapi jarang terjadi
(Chin, 2000).
Gambar 2. Perjalanan Virus Rabies Pada Hewan
D. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7
hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi
kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak
masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi
dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke
sistem saraf pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka
pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari (Chin, 2000).
Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non
spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat
batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan
(4) koma rabies yang mendalam (Corey, 1999).
Periode prodromal biasanya menetap selama 2 sampai 4 hari dan ditandai dengan
parastesi, hiperparestesi, nyeri pada bagian yg terkena gigitan, demam, sakit kepala,
malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue), anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri
tenggorokan dan batuk yang tidak produktif (Rohkamm, 2004).
Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau
fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus dan mungkin berhubungan dengan
multiplikasi virus dalam gaglion dorsalis saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan.
Gejala ini terdapat pada 50 sampai 80% pasien (Corey, 1999).
Stadium prodormal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit akan
berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik (Chin,
2000).
Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang
berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, combativeness,
penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus, posisi opistotonik,
kejang, dan paralisis fokal. Yang khas, periode penyimpangan mental yang diselingi
dengan periode lucid tapi bersama dengan berkembangnya penyakit, periode lucid
menjadi lebih pendek sampai pasien akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan
sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya terang, suara keras, sentuhan, bahkan
rangsangan oleh udara sering terjadi. Pada pemeriksaan fisis, suhu tubuh naik hingga
40,6ºC. abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil yang ireguler, lakrimasi
meningkat, salivasi, dan berkeringat berlebih. Juga terdapat tanda paralisis motor neuron
bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo profunda, dan respon
ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi (Corey, 1999).
Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis.
Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, dan kesulitan menelan yang khas.
Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan menimbulkan gambaran
tradisional “foaming at the mouth”. Hidrofobia, tampak pada sekitar 50% kasus. Pasien
menjadi koma dengan terkenanya pusat respirasi oleh virus, yang akan menimbulkan
kematian apneik. Menonjolnya disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari
ensefalitis virus lainnya. Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari,
dengan maksimum 20 hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial (Corey, 1999).
Tabel 1. Perjalanan Penyakit Penderita Rabies
Stadium Lamanya (% kasus) Manifestasi klinis
Inkubasi
Prodromal
Neurologik akut
Furious (80%)
Paralitik
Koma
< 30 hari (25%)
30-90 hari (50%)
90 hari – 1 tahun (20%)
>1 tahun (5%)
2-10 hari
2-7 hari
2-7 hari
0-14 hari
Tidak ada
Parestesi, nyeri pada luka gigitan,
demam, malaise, anoreksia, mual &
muntah, nyeri kepala, lethargi,
agitasi, anxietas, depresi
Halusinasi, bingung, delirium,
tingkah laku aneh, agitasi,
menggigit, hidropobia,
hipersalivasi, disfagia, afasia,
inkoordinasi, hiperaktif, spasme
faring, aerofobia, hiperventilasi,
disfungsi saraf otonom, sindroma
abnormalitas ADH
Paralisis flaksid
Autonomic instability,
hipoventilasi, apnea, henti nafas,
hipotermia/hipertermia, hipotensi,
disfungsi pituitari, rhabdomiolisis,
aritmia dan henti jantung
E. Pemeriksaan Penunjang
Pada awal penyakit hemoglobin dan kimia darah rutin normal, tapi abnormalitas
terjadi bersamaan dengan disfungsi hipotalamus, perdarahan gastrointestinal, dan
komplikasi lainnya. Jumlah leukosit agak meningkat tapi mungkin juga normal (Corey,
1999).
Seperti pada setiap infeksi virus, diagnosis spesifik rabies tergantung pada (1)
isolasi virus dari sekresi yang terinfeksi [saliva, cairan serebrospinalis (CSF), atau
jaringan (otak)], (2) uji serologik infeksi akut, atau (3) adanya antigen virus dalam
jaringan yang terinfeksi, misalnya, apusan impresi kornea, biopsi kulit, atau otak (Corey,
1999).
Fluororescent antibodi test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus
rabies di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinalis, urin. Sensitivitas tes ini bahkan 60-
100%. Pada awal penyakit (minggu I) FAT merupakan tes yang paling sensitif walaupun
dapat terjadi negatif palsu (Chin, 2000).
F. Diagnosis Banding
Rabies harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada semua penderita dengan
gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila
terjadi di daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah
endemis rabies (Chin, 2000)
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi
psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies.
Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia)
sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus (Chin, 2000)
Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek,
adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal,
cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia. Ensefalitis dapat
dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia (Chin, 2000)
Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse
myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post
vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan
tidak ada gangguan sensorik (Harijanto, 2006).
Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1 :200 – 1:1600 pada vaksinasi nerve tissue
rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah
dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa
isolasi virus akan membantu diagnosis.5
Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak penyebab
dari ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpesvirus,
enterovirus, dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding
adalah herpes simpleks tipe 1, varicella-zooster. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi
geografi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit
binatang dapat membantu menolong penegakan diagnosa (Corey, 1999)
G. Tatalaksana
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies;
penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal
nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak
menggembirakan. perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila
mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan
kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi penderita penting segera setelah diagnosa
ditegakkan untuk menghindari rangsangan-rangsangan yang dapat menimbulkan spasme
otot dan mencegah penularan. Staf rumah sakit perlu menghindarkan diri terhadap
penularan virus dari air liur, urin, air mata, cairan lain dan yang paling berbahaya adalah
kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya akibat gigitan dengan universal
precaution (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus tidak menular melalui darah
dan tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita rabies adalah terjadinya hipoksia,
aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi dan edema serebri (Chin, 2000)
Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat
untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti serum,
anti virus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya tidak terbukti efektif
(Chin, 2000)
Pencegahan
Pada setiap keadaan, keputusan harus dilakukan kapan memulai profilaksis rabies
pasca pemajanan. Ketika memutuskan kapan harus memberikan profilaksis rabies,
digunakan pertimbangan berikut: (1) apakah individu mengalami kontak fisis dengan
saliva atau bahan lain yang mungkin mengandung virus rabies, (2) apakah rabies diketahui
atau diduga pada spesies dan area yang dihubungkan dengan pemajanan (misalnya, semua
individu dalam kepulauan Amerika yang digigit kelelawar yang membawa virus,
sebaiknya menerima profilaksis pasca-pemajanan), (3) keadaan sekitar pemajanan, dan (4)
pengobatan alternatif dan komplikasi (Corey, 1999)
Jika rabies diketahui ada atau diduga ada pada spesies binatang yang terlibat
pemajanan pada manusia, binatang itu ditangkap jika mungkin. Binatang buas atau yang
sakit, binatang rumah yang tidak divaksinasi, atau yang berkeliaran yang dapat terlibat
dalam pemajanan rabies, menunjukkan tingkah laku abnormal, atau diduga gila, sebaiknya
dibunuh secara penuh perikemanusiaan, dan kepalanya segera dikirim ke laboratorium
yang sesuai untuk pemeriksaan fluororescent antibody rabies. Jika pemeriksaan otak
dengan teknik fluororescent antibody negatif untuk rabies, dapat disimpulkan bahwa
saliva tidak mengandung virus, dan orang yang terkena tidak perlu diobati (Corey, 1999)
Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu ditangkap,
diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah laku yang
abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang itu dibunuh untuk
pemeriksaan fluororescent antibody. Bukti percobaan dan epidemiologik menunjukkan
bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan tidak akan menularkan
virus rabies rabies pada waktu menggigit (Bleck, 2000).
Penanganan luka
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies.
Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan
desinfektan seperti alkohol 40-70%, atau larutan ephiran 0.1%. Luka akibat gigitan
binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa
dapat dilakukan jahitan sementara (bila terjadi pendarahan hebat). Profilaksis tetanus
dapat diberikan dan infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu
diberikan antibiotik (Chin, 2000).
Profilaksis pasca – paparan
Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah dengan neutralizing
antibody terhadap virus rabies agar antibodi terhadap rabies dapat segera terbentuk dalam
serum setelah masuknya virus kedalam tubuh dan antibodi sebaiknya terdapat dalam titer
yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit.
neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum antirabies
atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif (Corey, 1999)
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu a). Nerve Tissue
Vaccine (NTV); b). Non Nerve Tissue Vaccine (Duck Embryo Vaccine = DEV) dan
vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV)
dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV) (Chin, 2000).
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada
semua kasus gigitan yang parah dan semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi
vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan
memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja (Chin, 2000).
Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa
pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan
dosis 0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau
pemberian VAR 0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI).
Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit
binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila
gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah,
gigitan leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram
berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada
daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan
SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR (Chin, 2000).
Profilaksis pra-pemajanan
Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi seperti dokter hewan,
penyelidik gua (arkeolog), pekerja laboratorium dan pelatih binatang, sebaiknya mendapat
profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke
daerah-daerah endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan
mendapatkan pencegahan pre-exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL
secara intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun
(Chin, 2000).
Efek samping vaksinasi
Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga
dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal,
berupa udem, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum
berupa panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan
pemberian kompres lokal pada tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik (Chin, 2000)
Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan
gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk,
ataksia dan kejang. Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang
berkaitan dengan protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas
terhadap jaringan saraf. Pada vaksin generasi baru (PRCV) tidak pernah dilaporkan lagi
komplikasi ensefalomielitis (Chin, 2000).
SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum
sickness. Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness
diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin (Chin, 2000).
Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada
sekitar 20% resipien. Reaksi-reaksi ini akan sembuh dengan sendirinya (Corey, 1999).
H. Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada
fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial;
kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon
antidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi,
hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata
dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal
sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi
dan depresi pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal
jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik (Chin, 2000).
I. Prognosis
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah
mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan
dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang
belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali
gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai
akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata.
Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800
kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan
luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100% (Chin, 2000).
Gambar 4. Rabies Secara Umum
DAFTAR PUSTAKA
Bleck. TP. Rupprecht. CE. Rabies Virus. In: Mandell GL, Bennet JE, Dollin R (Eds). 2000.
Mandell, Douglas amd Bennet’s Principles and Practice of Infectious Diseases. 5th
ed. Churchill Livingstone, Philadelphia.
Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta, American
Public Health Association.
Corey, Lawrence. 1999. Rabies, Rhabdovirus, dan agen mirip-marburg. Harrison Prinsip-
prinsip ilmu penyakit dalam Edisi 13. Jakarta, EGC.
Harijanto, Paul N. Gunawan, Carta A. Rabies. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
IV. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Harsono. 2000. Kapita Selekta Neurologi Edisi Kedua, Yogyakarta, Gajah Mada University
Press.
Rohkamm, Reinhard. 2004. Color Atlas of Neurology. Newyork, Thieme.
Ropper, Allan H; Brown, Robert H. 2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology.
Newyork, Mcgraw-Hill.
YUDHA FRIATNA
0907101010098