W.S. RENDRA, TAUFIK ISMAIL, SUTARDJI CALZOUM BACHRI, CHAIRIL ANWAR

16
W.S. RENDRA W.S. Rendra (Willibrordus Surendra Bawana Rendra), lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 7 November 1935. Beliau meninggal di Depok, Jawa Barat, pada 6 Agustus 2009 dalam usia 73 tahun. Beliau sebagai penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Beliau mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, beliau mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok, pada bulan Oktober. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Beliau terkenal sebagai seorang seniman. Seniman ini mengucapkan dua kalimat syahadah pada hari perkawinannya dengan Sitoresmi pada 12 Agustus 1970, dengan disaksikan oleh dua tokoh sastra yakni Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi. Beliau mendapat julukan si Burung Merak. Julukan tersebut bermula ketika Rendra dan sahabatnya dari Australia berlibur di Kebun Binatang Gembiraloka, Yogyakarta. Di kandang merak, Rendra melihat seekor merak jantan berbuntut indah dikerubungi merak-merak betina. “Seperti itulah saya,” tutur Rendra spontan. Kala itu Rendra memiliki dua isteri, yaitu Ken Zuraida dan Sitoresmi. Rendra juga terkenal sebagai seorang sastrawan. Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku 1

Transcript of W.S. RENDRA, TAUFIK ISMAIL, SUTARDJI CALZOUM BACHRI, CHAIRIL ANWAR

Page 1: W.S. RENDRA, TAUFIK ISMAIL, SUTARDJI CALZOUM BACHRI, CHAIRIL ANWAR

W.S. RENDRA

W.S. Rendra (Willibrordus Surendra Bawana Rendra),

lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 7 November 1935.

Beliau meninggal di Depok, Jawa Barat, pada 6 Agustus 2009

dalam usia 73 tahun. Beliau sebagai penyair ternama yang kerap

dijuluki sebagai "Burung Merak". Beliau mendirikan Bengkel

Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok

teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, beliau mendirikan

Bengkel Teater Rendra di Depok, pada bulan Oktober.

Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai di

berbagai majalah.

Beliau terkenal sebagai seorang seniman. Seniman ini mengucapkan dua kalimat

syahadah pada hari perkawinannya dengan Sitoresmi pada 12 Agustus 1970, dengan

disaksikan oleh dua tokoh sastra yakni Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.

Beliau mendapat julukan si Burung Merak. Julukan tersebut bermula ketika Rendra

dan sahabatnya dari Australia berlibur di Kebun Binatang Gembiraloka, Yogyakarta. Di

kandang merak, Rendra melihat seekor merak jantan berbuntut indah dikerubungi merak-

merak betina. “Seperti itulah saya,” tutur Rendra spontan. Kala itu Rendra memiliki dua

isteri, yaitu Ken Zuraida dan Sitoresmi.

Rendra juga terkenal sebagai seorang sastrawan. Bakat sastra Rendra sudah mulai

terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya

dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan

hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa

dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.

Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui

majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah

pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut

seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-

an dan tahun 70-an.

"Kaki Palsu" merupakan drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-

Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah

pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada

saat itu, ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk

berkarya. Prof. A Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat

1

Page 2: W.S. RENDRA, TAUFIK ISMAIL, SUTARDJI CALZOUM BACHRI, CHAIRIL ANWAR

bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah

satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an

Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak

karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris,

Belanda, Jerman, Jepang dan India.

Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam

International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival,

New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival

Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal

(1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Beberapa hasil karya yang berupa drama seperti: Orang-orang di Tikungan Jalan

(1954), Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) tahun 1967, SEKDA (1977),

Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali), Mastodon dan Burung Kondor (1972),

Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan

dua kali, Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama),

Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex"),

Lysistrata (terjemahan), Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya

Sophokles, Antigone (terjemahan dari karya Sophokles, Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali),

Lingkaran Kapur Putih, Panembahan Reso (1986), Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan

2 kali).

Beberapa hasil karya yang berupa kumpulan sajak/ puisi seperti: Ballada Orang-

Orang Tercinta (Kumpulan sajak), Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Sajak-sajak

Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Pamphleten

van een Dichter, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Disebabkan Oleh Angin, Orang Orang

Rangkasbitung, Rendra: Ballads and Blues Poem, State of Emergency.

W.S. Rendra bukanlah penyair biasa. Sajak dan puisinya padat dengan nada protes.

Jadi tidak heranlah Pemerintah Indonesia pernah melarang karya beliau untuk dipertunjukkan

pada tahun 1978. Tidak hanya sajak dan puisi yang sering menyebabkan rasa terusik hati

pemerintah, bahkan dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan Burung

Kondor juga menjadi sasaran. Di samping karya berbau protes, sastrawan kelahiran Solo ini

juga sering menulis karya sastera yang menyuarakan kehidupan kelas bawah seperti puisinya

yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada

Pacarnya.

2

Page 3: W.S. RENDRA, TAUFIK ISMAIL, SUTARDJI CALZOUM BACHRI, CHAIRIL ANWAR

Beliau mengasah bakat di dalam bidang tersebut sejak menuntut di Fakultas Sastra

dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. Pada saat itu cerpennya disiarkan di majalah

seperti Mimbar Indonesia, Basis, Budaya Jaya dan Siasat. Dia juga menimba ilmu di

American Academy of Dramatical Art, New York, Amerika Syarikat Sekembalinya dari

Amerika pada tahun 1967, jejaka yang tinggi semampai dan berambut panjang itu mendirikan

bengkel teater di Yogyakarta.

Tidak lama kemudian bengkel teater tersebut dipindahkan ke Citayam, Cipayung,

Depok, Jawa Barat. Karya-karyanya Rendra yang begitu gemilang, beberapa kali pernah

tampil dalam acara bertaraf internasional. Sajaknya yang berjudul Mencari Bapak, pernah

dibacakannya dalam acara Peringatan Hari Ulang Tahun ke-118 Mahatma Gandhi pada 2

Oktober 1987, di depan para undangan. The Gandhi Memorial International School Jakarta

Beliau juga pernah ikut serta dalam acara penutupan Festival Ampel Internasional 2004 yang

berlangsung di halaman Masjid Al Akbar, Surabaya, Jawa Timur, 22 Juli 2004.

Meskipun sudah terkenal, ternyata masih banyak keinginan WS Rendra yang belum

dipenuhi dan semua direkamkan dalam sebuah puisi yang dibuatnya beberapa hari sebelum Si

Burung Merak tersebut menghembuskan nafasnya yang terakhir. “Dia meninggalkan satu

puisi, puisi itu menyebutkan bahwa masih banyak keinginannya tetapi dia tidak mampu. Jadi

semangat masih ada tapi dia tidak mampu mengatasi situasi dirinya yang semakin lemah,”

kata salah seorang sahabat Rendra, sastrawan Jose Rizal Manua. Puisi itu dibuat Rendra

ketika masih dirawat di rumah sakit dan puisi tersebut disampaikan oleh salah seorang anak

perempuan Rendra.

Puisi Terakhir WS Rendra

Aku lemasTapi berdayaAku tidak sambat rasa sakitatau gatalAku pengin makan tajinAku tidak pernah sesak nafasTapi tubuhku tidak memuaskanuntuk punya posisi yang ideal dan wajarAku pengin membersihkan tubuhkudari racun kimiawiAku ingin kembali pada jalan alamAku ingin meningkatkan pengabdiankepada AllahTuhan, aku cinta padamu

------------------------

3

Page 4: W.S. RENDRA, TAUFIK ISMAIL, SUTARDJI CALZOUM BACHRI, CHAIRIL ANWAR

TAUFIQ ISMAIL

Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-

kanak sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk

sekolah rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang,

Salatiga, dan menamatkan sekolah rakyat di Yogya. Ia masuk

SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke

Pekalongan. Pada tahun 1956–1957, ia memenangkan beasiswa

American Field Service Interntional School guna mengikuti

Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS,

angkatan pertama dari Indonesia.

Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan,

Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963. Pada tahun 1971–1972 dan

1991–1992 ia mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City,

Amerika Serikat. Ia juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American

University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke

Indonesia sebelum selesai studi bahasanya.

Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah

menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa

(1960–1962).

Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru

Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen

Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-

1964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh

Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida.

Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.

Taufiq menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq

bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan

Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang

ini ia memimpin majalah itu.

Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman

Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga

lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur

4

Page 5: W.S. RENDRA, TAUFIK ISMAIL, SUTARDJI CALZOUM BACHRI, CHAIRIL ANWAR

TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di

perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).

Pada tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan

Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di

berbagai tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang

bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti

jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali.

Hasil karyanya: Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966), Benteng, Litera ( 1966), Buku

Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972), Sajak

Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974), Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima

(1976), Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990), Tirani dan Benteng,

Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993), Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto),

Mizan (1995), Ketika Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid

Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair dan repoduksi lukisan

50 pelukis, dua bahasa, memperingati ulangtahun ke-50 RI), Yayasan Ananda (1995),

Seulawah — Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara dan Hasyim K.S.), Yayasan

Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (1995), Malu

(Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (1998), Dari Fansuri ke Handayani (editor

bersama Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman,

Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB

2001), Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001), Horison Sastra Indonesia, empat jilid

meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama

(4) (editor bersama Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Herry Dim, Jamal D.

Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam

program SBSB 2000-2001, Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2002).

Hasil karya terjemahan berupa: Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise

Sagan, 1960), Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962), Membangun

Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku The Reconstruction of Religious Thought in

Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964). Atas kerja

sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan Himpunan Musik Bimbo (Hardjakusumah

bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap, Taufiq telah menghasilkan sebanyak

75 lagu.

5

Page 6: W.S. RENDRA, TAUFIK ISMAIL, SUTARDJI CALZOUM BACHRI, CHAIRIL ANWAR

Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia,

Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam

bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.

Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus

perpustakaan PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap sekretaris PII

Cabang Pekalongan, Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan

Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini menjadi ketuanya, serta bekerja sama

dengan badan beasiswa American Field Service, AS menyelenggarakan pertukaran pelajar.

Pada tahun 1974–1976 ia terpilih sebagai anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS

International, New York.

Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam

kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu “Genderang Perang Melawan

Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” dan digubah Ian Antono).

Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan

dari Presiden Megawati (2002). Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa,

Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah

Horison.

Anugerah yang sudah diterima: Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970), Cultural

Visit Award dari Pemerintah Australia (1977), South East Asia (SEA) Write Award dari

Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994), Sastrawan

Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999), Doctor honoris causa dari Universitas Negeri

Yogyakarta (2003)

----------------------------

6

Page 7: W.S. RENDRA, TAUFIK ISMAIL, SUTARDJI CALZOUM BACHRI, CHAIRIL ANWAR

SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Sutardji Calzoum Bachri terkenal sebagai pelopor puisi

kontemporer. Beliau dilahirkan pada tanggal 24 Juni 1943 di

Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan

pendidikannya sampai tingkat doktoral, Jurusan Administrasi

Negara, Fakultas Sosial Universitas Padjadjaran, Bandung.

Sutardji adalah anak kelima dari sebelas saudara dari

pasangan Mohammad Bachri (dari Prembun, Kutoarjo, Jawa

Tengah) dan May Calzoum (dari Tanbelan, Riau). Dia menikah dengan Mariham Linda

(1982) dikaruniai seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi. Kariernya di bidang

kesastraan dirintis sejak mahasiswa yang diawali dengan menulis dalam surat kabar

mingguan di Bandung. Selanjutnya, ia mengirimkan sajak-sajak dan esainya ke media massa

di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, majalah bulanan Horison, dan

Budaya Jaya. Di samping itu, ia mengirimkan sajak-sajaknya ke surat kabar lokal, seperti

Pikiran Rakyat di Bandung dan Haluan di Padang. Sejak itu, Sutardji Calzoum Bachri

diperhitungkan sebagai seorang penyair.

Pada tahun 2000-2002 Sutardji Calzoum Bachri menjadi penjaga ruangan seni

“Bentara”, khususnya menangani puisi pada harian Kompas setelah berhenti menjadi

redaktur majalah Horison. Sutardji Calzoum Bachri selain menulis juga aktif dalam berbagai

kegiatan, misalnya mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda (1974),

mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, USA (Oktober

1974—April 1975), bersama Kiai Haji Mustofa Bisri dan taufiq Ismail.

Ia pernah diundang ke Pertemuan International Para Pelajar di Bagdad, Irak, pernah

diundang Menteri keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim, untuk membacakan puisinya di

Departemen Keuangan Malaysia, mengikuti berbagai pertemuan Sastrawan ASEAN,

Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam, serta pada

tahun 1997 Sutardji membaca puisi di Festival Puisi International Medellin, Columbia.

Sutardji dengan “Kredo Puisi”nya menarik perhatian dunia sastra di Indonesia.

Beberapa karyanya adalah O (Kumpulan Puisi, 1973), Amuk (Kumpulan Puisi, 1977), dan

Kapak (Kumpulan Puisi, 1979). Kumpulan puisnya, Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat

Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku

kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh

Sinar Harapan.

7

Page 8: W.S. RENDRA, TAUFIK ISMAIL, SUTARDJI CALZOUM BACHRI, CHAIRIL ANWAR

Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara lain Arjuna in

Meditation (Calcutta, India, 1976), Writing from The Word (USA), Westerly Review

(Australia), Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975), Ik Wil

Nogdulzendjaar Leven, Negh Moderne Indonesische Dichter (1979), Laut Biru, Langit Biru

(Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), Parade Puisi Indonesia (1990), majalah Tenggara, Journal of

Southeast Asean Lietrature 36 dan 37 (1997), dan Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi

(2002).

Sutardji selain menulis puisi juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya

yang sudah dipublikasikan adalah Hujan Menulis Ayam (Magelang, Indonesia Tera:2001).

Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon

dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi “Bentara”. Sutardji juga menulis kajian sastra

untuk keperluan seminar. Sekarang sedang dipersiapkan kumpulan esai lengkap dengan judul

“Memo Sutardji” Penghargaan yang pernah diraihnya adalah Hadiah Sastra Asean (SEA

Write Award) dari Kerajaan Thailand (1997), Anugrah Seni Pemerintah Republik Indonesia

(1993), Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan dianugrahi gelar Sastrawan Perdana

oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).

Dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul “O Amuk Kapak” beliau

menyatakan: “Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk

menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan

dilupakan kedudukannya yang merdeka.

------------------

8

Page 9: W.S. RENDRA, TAUFIK ISMAIL, SUTARDJI CALZOUM BACHRI, CHAIRIL ANWAR

CHAIRIL ANWAR

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia

dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu

bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian

itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta. Semasa

kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban

ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya

yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah

saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu

dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu

setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan

terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi

nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa

puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya

Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika

semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang

dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan

keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan

jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu

tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak

bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para

gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis

Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama

gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang,

Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup

Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun

9

Page 10: W.S. RENDRA, TAUFIK ISMAIL, SUTARDJI CALZOUM BACHRI, CHAIRIL ANWAR

menjadi duda. Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal

dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak

hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk

sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang

membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf,

saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup

di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”

Berikut ini adalah salah satu puisi karya chairil anwar yang terkenal berjudul "AKU"

Kalau sampai waktuku‘Ku mau tak seorang ‘kan merayuTidak juga kau

Tak perlu sedu-sedan ituAku ini binatang jalanDari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitkuAku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlariBerlariHingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduliAku mau hidup seribu tahun lagi

Pembangoenan, No. 1, Th. I 10 Desember 1945

--------------------

10