file · Web viewDari pada itu, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum...

Click here to load reader

Transcript of file · Web viewDari pada itu, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum...

MAKALAH

HUKUM TAKLIFI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Ushul Fiqh

Yang dibimbing oleh: Bpk. H. Sutrisno, R.S, M.Hi

Disusun Oleh: Kelompok V

Anwar Nuris NIM: 083091011

Ernawati Dewi NIM: 083091013

Faizatul Karimah NIM: 083091014

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JEMBER

JURUSAN SYARIAH

PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.

Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh.

Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang dimaksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu, kami katakan merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh

Dari pada itu, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Keduanya merupakan satu sub bab yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, oleh karena itu disini kami lebih memfokuskan pembahasan kepada Hukum taklifi yang menjadi tugas utama kami dalam perkuliahan ini.

Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh, khususnya terhadap Hukum taklifi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi hukum Taklifi?

2. Sebutkan dan jelaskan pembagian hukum taklifi !

1.3 Tujuan Pembahasan

1. Memahami pengertian hukum Takilifi.

2. Memahami pembagian dan macam-macam hukum taklifi.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Taklifi

Secara garis besar para ulama ushul fiqh membagi hukum syara pada dua macam, yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi. Hukum Taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah, ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk member kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat[footnoteRef:2]. [2: .H.Ssatria Efendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm41. ]

Hukum Taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan[footnoteRef:3]. Hal senada juga diungkapkan oleh Chaerul Uman dkk, bahwa hukum Taklifi adalah khitab/ firman Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan para mukallaf, baik atas dasar iqtidha atau atas dasar takhyir[footnoteRef:4]. [3: . Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 296.] [4: . Chaerul Uman, Ushul Fiqh 1, (bandung: CV Pustak Setia, 1998), hlm. 216]

Untuk memperjelas pembahasan, kami akan menyajikan definisi hukum wadhi secara sekilas. Hal ini perlu disampaikan karena antara hukum Taklifi dan Hukum Wadhi mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum Wadhi adalah hukum ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum Taklifi)[footnoteRef:5]. [5: .H. Satria Efendi, Ibid.,.]

Jadi, jika hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah, larangan atau pilihan antara perintah dan larangan. Sedangkan hukum Wadhi adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi. Maksudnya, jika hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat islam, hukum Wadhi menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya matahari pada waktu sore hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat maghrib.

Lebih lanjut, bisa dijelaskan bahwa hukum Taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf, sedangkan hukum wadhi sebagaian ada yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia[footnoteRef:6]. [6: .Lihat H. Satria Efendi, Ibid., ]

Contoh, seperti firman Allah SWT. Yang bersifat menuntut untuk melakukan sesuatu perbuatan:

Artinya: Dan dirikanlah Shalat, tunaikan zakat dan taatilah rasul supaya kamu diberi rahmat. (QS. An-Nur: 56)[footnoteRef:7]. Ayat ini menunjukkan kewajiban shalat, menunaikan zakat dan mentaati Rasul. Sedangkan Firman Allah yang bersifat memilih (fakultatif), yaitu: [7: Rachmat Syafei, Ibid,.]

Artinya: dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (QS. Al-Baqarah: 187)[footnoteRef:8]. [8: Ibid.]

2.2 Pembagian Hukum Taklifi Dan Macam-Macam Dari Masing-Masing Pembagiannya.

Memang di kalangan para penulis ushul fiqh terjadi perbedan penggunaan istilah dalam menjelaskan spesifikasi hukum taklifi. Seperti rachmat Syafei menggunakan istilah bentuk-bentuk hukum Taklifi, Chaerul Uman dkk menggunakan pembagian/ macam-macam hukum taklifi. Sedangkan Satria Efendi lebih menggunakan kata Pembagian untuk menunjuk spesifikasi hukum Taklifi[footnoteRef:9]. Akan tetapi apapun istilah yang digunakan oleh para penulis tersebut yang jelas bahwa hukum Taklifi memiliki spesifikasi-spesifikasi yang disebut dengan pembagian. Masing-masing pembagian tersebut memiliki jenis-jenis sesuai dengan klasifikasi masing-masing. [9: Lihat Rachmat Syafei, Op. Cit., hlm. 297. Lihat pula Satria Efendi, Op.Cit., hlm. 42 dan Chaerul Uman, Op. Cit., 219. ]

Sehingga bisa dijelaskan bahwa pembagian hukum Taklifi ada lima, yang juga disebut dengan maqashid As-Sariah al-Khamsah yaitu:

1. Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang mengharuskan untuk shalat. Atau dengan perkataan lain, Ijab adalah sesuatu yang berahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan. Seperti firman Allah:

Arinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikalah zakat. (QS. An-Nur: 56).

2. Nadb (Sunnah), yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya[footnoteRef:10]. Misalnya, surat Al-Baqarah: 282, Allah SWT berfirman: [10: Racmat Syafei, Op. Cit. Hlm. 298. Yang"]

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untik waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (Al-Baqarah: 282).

3. Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadits yang melarang secara pasti untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, Tahrim adalah antonim dari wajib. Dikerjakan mendapat siksa/ berdosa sedangkan ditinggalkan mendapat pahala. Seperti firman Allah:

Artinya: Diharamkan bagimu ( memakan) bangkai, darah, daging babi (daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah. (QS. Al-Maidah: 3).

4. Karahah, yaitu ayat atau hadits yang menganjurkan untuk meningalkan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, Karahah adalah antonim dari Nadb. Seperti hadits Nabi:

Artinya: Dari Ibnu Umar ra. Dia berkata bahwa Nabi SAW. Melarang untuk membeli suatu barang yang masih dalam tawaran orang lain daan melarang seseorang untuk meminang seorang wanita yang ada dalam pinangan orang lain sampai mendapat izin atau telah dirnggalkannya. (HR. al-Bukhari)

5. Ibahah, yaitu ayat atau hadits yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, dikerjakan tidak mendapat apa-apa sedangkan ditinggalkan juga tidak mendapat apa-apa --disisi Allah. Seperti firman Allah:

Artinya: Apabila kamu telah selelsai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu. (QS. Al-Maidah: 2).

Selanjutnya, dari masing-masing pembagian hukum Taklifi tersebut memiliki pembagian lagi. Pembagian-pembagian tersebut akan kami jelaskan secara rinci sebagai berikut:

A. Ijab

Sebagaimana yang telah kami singgung di muka, bahwa masing-masing pembagian hukum Taklifi memiliki pembagian lagi. Termasuk juga Ijab. Para ulama Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hokum wajib itu bias dibagi dari berbagai segi, yaitu dilihat dari segi waktunya, wajib dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Wajib Muthlaq, yaitu sesuatu yang dituntut syari untuk dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Mislanya, kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya.

2. Wajib Muwaqqat, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Shalat wajib dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Demikian halnya puasa Ramadhan, sehingga apabila belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada.

Kemudian wajib Muwaqqat dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu[footnoteRef:11]: [11: Rachmat Syafei, Op. Cit. Hlm. 303.]

1. Wajib Muwassa (kewajiban yang mempunyai batas waktu lapang), yaitu waktu yang tersedia untuk melaksanakan perbuatan yang diwajibkan itu lebih luas dari pada waktu mengerjakan kewajiban itu. Umpamanya, waktu shalat Dzuhur lebih luas dari pada waktu mengerjakan shalat Dzuhur.

2. Wajib Mud