sinluimusicalia2.files.wordpress.com · Web viewMelalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi,...

14
MUSIK LITURGI BERNUANSA ETNIS Musik Gereja Inkulturasi Adalah musik gereja yang bernuansa musik tradisi setempat atau lokal. Di Indonesia, musik gereja yang digunakan dalam peribadatan sudah berkembang bukan hanya menggunakan musik gereja barat, namun unsur - unsur musik tradisional sudah mulai di gunakan dalam peribadatan. Musik inilah yang bisa kita sebut musik gereja inkulturasi. Ada nilai-nilai etnis dan unsur-unsur musik tradisi yang digunakan dalam muik gereja yang bersifat inkulturatif ini. Setiap negara / daerah mempunyai musik inkulturasi yang berbeda beda menurut musik tradisi negara atau daerah tersebut. Sebagai contoh, buku nyanyian ibadah " Madah Bakti " yang diterbitkan oleh Pusat Musik Liturgi ( PML ) Yogyakarta. Dalam buku Madah Bakti yang digunakan oleh gereja Katholik ini, hampir semuanya adalah musik dan nyanyian inkulturasi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Warna musik dan nyanyiannya sangat kental dengan warna musik tradisi daerah-daerah di I|ndonesia. Musik gereja inkulturasi ini diharapkan dapat memperkaya musik gereja dalam peribadatan tanpa merubah esensi dan tujuan utama dari peribadatan tersebut, yaitu kekhidmatan dan kekusyukan kita dalam berkomunikasi dengan Tuhan dalam peribadatan kita. Oleh karena itu musik inkulturasi yang akan digunakan dalam ibadah harus bersifat liturgis, yang

Transcript of sinluimusicalia2.files.wordpress.com · Web viewMelalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi,...

Page 1: sinluimusicalia2.files.wordpress.com · Web viewMelalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal

MUSIK LITURGI BERNUANSA ETNIS

Musik Gereja Inkulturasi

Adalah musik gereja yang bernuansa musik tradisi setempat atau lokal. Di Indonesia,

musik gereja yang digunakan dalam peribadatan sudah berkembang bukan hanya

menggunakan musik gereja barat, namun unsur - unsur musik tradisional sudah mulai di

gunakan dalam peribadatan. Musik inilah yang bisa kita sebut musik gereja inkulturasi. Ada

nilai-nilai etnis dan unsur-unsur musik tradisi yang digunakan dalam muik gereja yang bersifat

inkulturatif ini. Setiap negara / daerah mempunyai musik inkulturasi yang berbeda beda

menurut musik tradisi negara atau daerah tersebut. Sebagai contoh, buku nyanyian ibadah "

Madah Bakti " yang diterbitkan oleh Pusat Musik Liturgi ( PML ) Yogyakarta. Dalam buku Madah

Bakti yang digunakan oleh gereja Katholik ini, hampir semuanya adalah musik dan nyanyian

inkulturasi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Warna musik dan nyanyiannya

sangat kental dengan warna musik tradisi daerah-daerah di I|ndonesia. Musik gereja inkulturasi

ini diharapkan dapat memperkaya musik gereja dalam peribadatan tanpa merubah esensi dan

tujuan utama dari peribadatan tersebut, yaitu kekhidmatan dan kekusyukan kita dalam

berkomunikasi dengan Tuhan dalam peribadatan kita. Oleh karena itu musik inkulturasi yang

akan digunakan dalam ibadah harus bersifat liturgis, yang orientasinya adalah untuk kemuliaan

Tuhan, bukan untuk kesenangan dan kepopuleran musisinya.

Musik Inkulturatif

Istilah inkulturasi pertama kali muncul dalam dokumen penutup sinode para uskup “Ad

Populum Dei nuntius” tahun 1979, dalam Himbauan Apostolik Paus Yohanes Paulus II

“Catechesae trandendae”. Secara etimologis inkulturasi berasal dari kata “in”, yang berarti

masuk ke dalam, dan “cultura” yang kata kerjanya “colore” berarti pengolahan (tanah);

pembinaan, budaya. Dari kedua arti kata tersebut, inkulturasi berarti “masuk ke dalam

budaya”. Kata ini kemudian dipakai secara populer dalam konteks liturgi Gereja Katolik. Anscar

Page 2: sinluimusicalia2.files.wordpress.com · Web viewMelalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal

J. Chupungco mengartikan ‘inkulturasi liturgi’ sebagai proses di mana upacara-upacara

keagamaan pra kristen diberi arti kristen. Istilah ini dipakai dalam Gereja Katolik Roma, yakni di

mana unsur-unsur dan bentuk asli dari adat-istiadat diberi arti baru, yaitu arti kristiani.

Dalam bukunya yang berjudul ‘Penyesuaian Liturgi dalam Budaya’ , Anscar Chupungco menulis

bahwa sebuah inkulturasi bila dilaksanakan dengan tepat, merupakan sarana yang ideal untuk

mengkristenkan segenap kebudayaan. Namun hal ini membutuhkan tahapan yang cukup

panjang. Oleh karena itu inkulturasi harus terjadi secara berkesinambungan, sebab dalam

upaya membaharui Gereja, Konsili Vatikan II pertama-tama memugar liturgi Gereja. Jadi Konsili

Vatikan II telah menjamin unsur-unsur hakiki dari ibadat Kristen dalam rangka memantapkan

pertumbuhannya yang homogen. Dalam Konsili Vatikan II, salah satu bentuk inkultursi dalam

bidang liturgi yang diangkat secara khusus adalah inkulturasi musik liturgi. Hal ini tertuang

dalan artikel 119 Konstitusi Liturgi yang berbunyi: Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di

daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan

peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat

penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya , baik dalam membentuk sikap religius

mereka, maupun dalam menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka, menurut maksud

art. 39 dan 40. Maka dari itu dalam pendidikan musik bagi para misionaris hendaknya sungguh

diusahakan, supaya mereka sedapat mungkin mampu mengembangkan musik tradisional

bangsa-bangsa itu di sekolah-sekolah maupun dalam ibadat.

Artikel di atas secara jelas telah memberikan sebuah rekomendasi bagi seni musik

tradisional untuk memberi warna yang khas bagi perayaan liturgi yang bercorak budaya. Hal

inipun didasarkan pada iman akan misteri inkarnasi, sehingga segala unsur kebudayaan

termasuk di dalamnya adalah musik-musik tradisi mendapat ‘bobot kudus’ dengan menyatu

dalam sebuah perayaan liturgi. Dengan demikian, musik inkulturatif dapat diartikan sebagai

kesenian musik dari berbagai tradisi kebudayaan tempat Gereja bermisi, yang dimasukkan ke

dalam liturgi sehingga memiliki ‘bobot kudus’ (nilai kesakralan) sebagai salah satu corak musik

liturgi. Namun tentang hal ini, Gereja tetap memberikan peringatan tertentu dalam berbagai

kreativitas bermusik dalam liturgi, sehingga tidak menjadi ‘sangat bebas dan tidak terkendali’.

Page 3: sinluimusicalia2.files.wordpress.com · Web viewMelalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal

Melalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja memberi catatan dalam pelaksanaan

inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal mendasar yang ditekankan adalah pada alinea ketiga

dokumen liturgi Romawi dan inkulturasi nomor 40, bahwa bentuk musik, lagu dan alat-alat

musik dapat digunakan dalam ibadat asal “cocok” atau dapat disesuaikan dengan penggunaan

dalam liturgi, dan asal sesuai dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh-sungguh

membantu memantapkan penghayatan umat beriman.

Setelah Konsili Vatikan II, banyak usaha untuk melaksanakan hasil konsili di berbagai

daerah. Salah satu hasil konsili yang disambut baik oleh umat dan para klerus adalah

keterbuakaan Gereja terhadap tradisi-tradisi dan budaya lokal, terutama dalam Sacrosanctum

Consilium. Gereja terdiri dari berbagai daerah, suku dan bangsa sehingga Gereja mesti

membuka diri terhadap kebudayaan dan tradisi yang berasal dari berbagai daerah, suku dan

bangsa tersebut.

Di Indonesia, usaha untuk menggali kekayaan tradisi dan kebudayaan daerah setempat

dan menyelaraskannya dengan liturgi Gereja sebenarnya sudah dimulai sejak sebelum Konsili

Vatikan II. Sebelum Konsili Vatikan II, sudah ada ide untuk pembaruan liturgi dan musik liturgi di

Indonesia. Usaha itu dimulai oleh Mgr. Van Bekkum SVD di Flores Barat (Manggarai) yang

mengumpulkan para pemusik untuk menciptakan lagu gereja berdasarkan lagu daerah. Selain

itu, P. Vincent Lechovic SVD di Timor, NTT, juga mengambil langkah serupa dan berhasil

menerbitkan buku lagu “Tsi Taneb Uis Neno” yang berisi lagu-lagu berbahasa Dawan pada

tahun 1957. Di Jawa, Mgr. A. Soegijapranata, SJ sebagai uskup pribumi pertama Semarang

mendirikan panitia untuk menciptakan lagu liturgi khas Jawa yang bermutu yang kemudian

dipakai dalam liturgi dan di luar liturgi.

Atas dorongan Konsili Vatikan II, usaha inkulturasi musik liturgi di Indonesia mendapat

bentuknya. Langkah-langkah konkret yang langsung dirasakan adalah digunakannya lagu-lagu

dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Namun untuk mendapatkan lagu-lagu seperti itu

tidaklah mudah mengingat bahwa tradisi musik Gereja di Indonesia sangat banyak dipengaruhi

dan didominasi oleh lagu-lagu yang berasal dari tradisi liturgi Barat, seperti lagu-lagu gregorian

dan lagu-lagu rohani abad XIX. Namun atas usaha dari berbagai pihak, seperti yang sudah

dituliskan di atas, muncullah lagu-lagu inkulturatif dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah

Page 4: sinluimusicalia2.files.wordpress.com · Web viewMelalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal

yang digunakan dalam liturgi. Usaha tersebut terus dikembangkan dan dikelolah agar

inkulturasi musik liturgi Indonesia bisa tercapai.

Pusat Musik Liturgi

Salah satu pihak yang terus menerus mengusahakan hal tersebut adalah Pusat Musik

Liturgi (PML) Yogyakarta. PML merupakan salah satu lembaga musik di Indonesia yang

mengabdi untuk musik Indonesia dan pengembangannya. Pada tahun 2011, PML telah berusia

40 tahun. Dalam waktu 40 tahun Pusat Musik Liturgi telah menghasilkan banyak lagu, buku dan

kaset/CD yang bertujuan untuk memajukan musik nusantara pada umumnya, dan khususnya

mengabdi pada musik liturgi, terutama dalam rangka inkulturasi. PML tidak hanya menangani

musik Gereja/Liturgi berupa buku umat, buku kor, buku iringan organ, buku imam, dan

kaset/CD, tetapi juga menerbitkan buku dan CD musik umum seperti lagu tradisional seri

Nusantara Bernyanyi dan buku-buku kor yang diarensemen oleh Bpk. Paul Widyawan, serta

buku-buku teori musik umum berupa: Kamus Musik, Sejarah Musik, Menjadi Dirigen, Menjadi

Organis, Ilmu Harmoni, Ilmu Bentuk, Ilmu Melodi, Musik Populer, Teori Musik Umum, Tuntunan

Karawitan, dan lain sebagainya.

Dalam pidato peresmian pendirian PML tahun 1971, Rm. Prier menyatakan bahwa “PML

didirikan untuk memajukan musik Gereja Indonesia sehingga makin khas Indonesia”.

Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Romo Prier dalam sambutannya pada perayaan

40 tahun PML di Aula Auditorium Puskat. Beliau menyatakan bahwa “Tujuan PML sejak

didirikan 40 tahun lalu adalah untuk memajukan musik liturgi yang khas Indonesia, untuk

menciptakan lagu yang belum ada 40 tahun lalu karena konsili baru menyarankan untuk

memakai bahasa pribumi dalam perayaan liturgi”.

Pernyataan tersebut kemudian dirumuskan secara lebih singkat dan padat dalam

rumusan visi – misi PML. Rumusan tersebut adalah sebagai berikut:

Visi - Misi PML adalah untuk mengabdi kepada perkembangan musik di Indonesia pada

umumnya, dan khususnya pada musik liturgi, terutama dalam rangka inkulturasi atau

Page 5: sinluimusicalia2.files.wordpress.com · Web viewMelalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal

“pengungkapan perayaan liturgi dalam tatacara dan suasana yang selaras dengan citarasa

budaya setempat umat yang beribadat”.

Visi – misi tersebut didasari oleh hasil Konsili Vatikan II yang menghendaki agar “Gereja

memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja

dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul atau ajaran

sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dalam

keadaan baik dan utuh. Bahkan ada kalanya Gereja menampungnya dalam liturgi sendiri, asal

saja selaras dengan hakekat semangat liturgi yang sejati dan asli” (SC 37). Konsili Vatikan II

menegaskan dan menganjurkan: “Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah misi,

terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting

dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat penghargaan

selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka maupun

dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka” (SC 119).

Indonesia merupakan salah satu daerah misi yang mempunyai banyak suku bangsa

dengan tradisi musiknya yang beragam. Maka didasari oleh semangat Konsili Vatikan II, Romo

Prier mempunyai cita-cita untuk mewujudkan semangat Konsili tersebut dengan mendirikan

sebuah lembaga yang memusatkan perhatiannya pada perkembangan musik liturgi, terutama

pada musik inkulturasi Indonesia. Atas dukungan dan kerjasama dengan berbagai pihak, PML

pun didirikan di Yogyakarta.

Memang pada waktu PML didirikan tahun 1971, bidang inkulturasi musik liturgi belum

jelas arahnya, bahkan istilah “inkulturasi” belum digunakan. Istilah yang digunakan pada saat

itu adalah “Indonesianisasi”. Namun sejak awal PML telah berkeinginan untuk merintis musik

Gereja yang khas Indonesia. Romo Prier mengungkapkan bahwa “Memang, inkulturasi musik

Gereja sejak semula merupakan suatu keharusan bagi Pusat Musik Liturgi. Kalau India, Kongo,

Argentina, Brasil telah menghasilkan lagu liturgi yang khas, mengapa Indonesia tidak?”.

Pernyataan inilah yang menjadi pendorong dan penyemangat bagi Romo Prier untuk

mengembangkan musik liturgi yang khas Indonesia. Demikianlah PML ingin mengabdi kepada

Page 6: sinluimusicalia2.files.wordpress.com · Web viewMelalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal

perkembangan musik di Indonesia pada umumnya, dan khususnya pada musik liturgi terutama

dalam rangka inkulturasi.

Dari rumusan visi - misi di atas, terkandung tiga bagian yang menjadi perhatian PML.

Ketiga bagian tersebut adalah sebagai berikut.

1. Musik liturgi secara umum, yakni tradisi musik Gereja Katolik yang sudah ada sebelumnya

dan tetap dipertahankan sampai sekarang. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah musik

Gregorian dan musik polifoni (SC 116) dan penggunaan organ dalam liturgi (SC 120).

2. Musik Indonesia secara umum, yakni tradisi musik daerah-daerah di Indonesia dan

nyanyian-nyanyian nasional Indonesia yang tidak ada kaitannya dengan musik Gereja. Hal ini

dibuktikan dengan diterbitkannya berbagai buku lagu dan CD yang memuat lagu-lagu dari

berbagai daerah di Indonesia, antara lain: Bolebo, Kambanglah Bungo, Domidow, Dami Piranta,

Ondel-ondel, Mutiara Samudera, Dolanan, dan Nusantara Bernyanyi.

3. Musik liturgi khas Indonesia, yakni musik yang diambil dari tradisi Indonesia kemudian

digubah/diciptakan khusus untuk kegiatan peribadatan. Musik inilah yang disebut sebagai

musik inkulturasi, yang menjadi fokus utama PML.

Untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan itu memanglah tidak semudah yang diduga,

butuh perjuangan yang berat dan waktu yang panjang. Berbagai kegiatan dan studi diarahkan

ke sana untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dan tujuan PML. Yang jelas dan pasti

hasrat untuk sekedar mewujudkan itu, untuk membuat musik Gereja yang khas Indonesia, telah

digambarkankan dalam lambang PML, yakni berupa penggabungan sebuah gitar dan alat musik

gamelan sebagai alat musik daerah Indonesia. Usaha mewujudkan cita-cita tersebut tidak

sekedar dinampakkan dalam lambang PML melainkan terutama diwujudkan melalui kegiatan-

kegiatan dan karya-karya PML.

Kegiatan dan Karya PML

Sejak didirikan 11 Juli 1971, PML telah menunjukkan perhatian dan misinya terhadap

inkulturasi musik liturgi di Indonesia. Karena makin lama makin disadari bahwa musik memiliki

peranan penting dalam liturgi, bahkan dapat dikatakan bahwa musik merupakan bagian integral

Page 7: sinluimusicalia2.files.wordpress.com · Web viewMelalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal

dari liturgi, usaha untuk mengadakan inkulturasi musik liturgi yang khas Indonesia dan sesuai

dengan cita-rasa bangsa Indonesia, semakin digalakkan.

Berbagai usaha inkulturasi telah dilakukan PML untuk mewujudkan tujuan

keberadaannya. PML telah berusaha melaksanakan berbagai macam kegiatan. PML memulai

usahanya dengan mengadakan eksperimen, yakni menciptakan lagu liturgi dengan

menggunakan pola lagu yang menjadi ciri khas musik suatu daerah dan menggunakan alat

musik tradisional daerah tersebut sebagai alat pengiringnya. Pertama-tama PML

mengumpulkan bahan dari daerah-daerah di Indonesia, mempelajarinya, merekam, serta

berkontak dengan para komponis maupun pemusik dari dalam maupun luar negeri. Langkah

kedua adalah mencoba lagu gereja kreasi baru yang telah diciptakan. Lagu-lagu tersebut

kemudian dikumpulkan dan disatukan dalam buku-buku lagu.

Sumber:

http://musik-gereja-inkulturasi.blogspot.com/2012/08/musik-gereja-inkulturasi.html

http://juntim-juntim.blogspot.com/2012/03/pusat-musik-liturgi-yogyakarta.html

http://brenmorin.blogspot.com/2009/07/musik-liturgi-dalam-terang-konsili.html

Foto:

Page 8: sinluimusicalia2.files.wordpress.com · Web viewMelalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal
Page 9: sinluimusicalia2.files.wordpress.com · Web viewMelalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal
Page 10: sinluimusicalia2.files.wordpress.com · Web viewMelalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal