WAWASAN NASIONAL

26
WAWASAN NASIONAL MENGENAI SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Disusun Oleh: Kelompok 3 Ira Maya Oktaviani 110210103014 Sufriantoro 120910201034 Nindita Fitria Primasari 121810401001 Nenny Aulia Rochman 121810501036 Dewi Lina Suryani 121810401042 Ina Puspitasari 121810401061 Yurinda Mariya Ulfa 121810401070 JURUSAN BIOLOGI

description

Sengketa Pulau Sipadan dan Lagitan

Transcript of WAWASAN NASIONAL

WAWASAN NASIONAL MENGENAI SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Disusun Oleh:Kelompok 3

Ira Maya Oktaviani 110210103014Sufriantoro 120910201034Nindita Fitria Primasari 121810401001Nenny Aulia Rochman 121810501036Dewi Lina Suryani 121810401042Ina Puspitasari 121810401061Yurinda Mariya Ulfa 121810401070

JURUSAN BIOLOGIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS JEMBER2014

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangIndonesia merupakan negara kepulauan yang tidak dapat terlepas dari konflik atau permasalah yang timbul dari dalam negeri maupun dari luar terkait dengan perbatasan wilayah. Masih banyak pulau-pulau yang dimiliki namun belum memiliki nama sebagai identitasnya bahkan pemerintah belum mampu memberdayakan ribuan pulau yang tersebar di seluruh perairan nusantara. Bahkan beberapa pulau kecil di wilayah perairan dalam atau perairan kepulauan misalnya digugusan kepulauan Nias, dan Karimun Jawa banyak dikelola dan dimiliki warga negara asing. Padahal sudah jelas dalam UU Agraria tidak diperkenankan warga Negaraasing memiliki wilayah di Negara Indonesia, sehingga kurangnya upaya dan wawasan dalam menghadapi permasalahan tersebut (Fuku, 2010).Wawasan Nasional Indonesia merupakan wawasan yang dikembangkan berdasarkan teori wawasan nasional secara universal. Wawasan tersebut dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan bangsa Indonesia dan geopolitik Indonesia, salah satu contoh dari wawasan nasional Indonesia yaitu tentang persengketaan pulau Sipadan dan Ligitan (Noerkasanah, 2013).Persengketaan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia terjadi atas kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 1967 dalam pertemuan teknis hukum laut yang mana kedua Negara baik Indonesia maupun Malaysia ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam daerah batas teritorial wilayahnya. Keduanya lalu sepakat agar kedua pulau tersebut dinyatakan dalam status quo, akan tetapi terjadi kesalahpahaman antara kedua Negara tersebut. Pihak Malaysia memahami status quo dalam artian kedua pulau tersebut tetap berada dibawah kekuasaan Malaysia, sehingga pihak Malaysia membangun resort pariwisata baru yang dikelola oleh pihak swasta, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa status quo yang berarti bahwa kedua pulau tersebut tidak boleh ditempati sampai persengketaan atas kepemilikan kedua pulau itu selesai, karena mengetahui pembangunan resort tersebut pihak Indonesia mengirimkan protes pada pihak Malaysia.Pada tahun 1969 Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya, hingga pada akhirnya tahun 1991 Malaysia mengusir warga Negara Indonesia dari pulau tersebut. Pada tahun 1996 tepatnya pada tanggal 7 Oktober Presiden Soeharto berkunjung ke Kuala Lumpur untuk menyetujui usulan perdana menteri Mahathir yang membuat kesepakatan Final and Binding yang sebelumnya juga pernah diusulkan oleh Mensesneg Moerdiono dan wakil perdana menteri Anwar Ibrahim. Sengketa pulau Sipadan dan pulau Ligitan akhirnya dibawa ke Mahkamah Internasional pada tahun 1998, di sana dibahaslah mengenai status quo pulau Sipadan dan pulau Ligitan, akan tetapi kedua Negara masih sama-sama mengakui bahwa pulau tersebut berada di wilayah territorial masing-masing Negara, sehingga pihak dari Mahkamah Internasional mengambil keputusan dengan cara melakukan voting suara untuk menentukan kepemilikan kedua pulau tersebut. Namun dari hasil voting yang telah dilakukan diputuskan bahwa kedua pulau tersebut merupakan wilayah kekuasaan dari Malaysia (Permaitika, 2014).Makalah ini disusun untuk mengetahui awal mula terjadinya sengketa perebutan kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan oleh Bangsa Indonesia dan Malaysia. Setelah diketahui keputusan dari penyelesaian yang telah dilakukan oleh Mahkamah Internasional perlu dilakukan analisa mengenai hasil tersebut untuk mengetahui faktor-faktor dan bukti yang menguatkan bahwa kepemilikan kedua Pulau tersebut layak disandang oleh Malaysia serta menjadikan pengalaman bagi Indonesia khususya generasi muda agar kelak dapat melindungi wilayahnya lebih baik lagi.

1.2 Permasalahana). Bagaimana awal mula terjadinya persengketaan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia?b). Bagaimana penyelesaian dari persengketaan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia?BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Awal Mula Terjadinya Persengketaan Pulau Sipadan Dan Ligitan Antara Indonesia Dan MalaysiaAwal mula kasus Pulau Sipadan dan Ligitan ini terjadi pada Tahun 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen IndonesiaMalaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan adanya temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan Pulau Sipadan dan Ligitan. Oleh karena itu dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta (Ririn, 2010)Laut merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia melalui negara untuk memenuhi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Akhirnya dibuatlah suatu Rezim hukum laut yang disebut UNCLOS 1982, rezim tersebut berisi berbagai peraturan dan pembatasan bagi setiap Negara untuk memanfaatkan sumber daya alam yang berada di laut. Adapun isi dari rezim hukum laut antara lain:1.Laut territorial (territorial sea) sejauh 12 mil laut dari garis pangkal (pasal 3 UNCLOS)2.Zona Tambahan (contigurous zone) sejauh 24 mil laut yang diukur dari garis pangkal (pasal 33 ayat (2) UNCLOS)3.Zone Ekonomi Eksklusif (Exclusive economic zone) sejauh maksimal 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal (pasal 57 UNCLOS)4.Landas Kontinen (Continental Shelf) sejauh 200-350 mil laut atau sampai dengan 100 mil laut dari kedalaman (isbobath) 2500m (pasal 76 ayat (4) sampai dengan ayat (6) UNCLOS)5.Laut Lepas (high seas): Wilayah yang tidak termasuk ZEE, laut territorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman (pasal 86 UNCLOS)6.Kawasan (area) yaitu dasar laut dan dasar samudera serta tanah dibawahnya diluar batas batas yurisdiksi nasional, sebagai, common heritage.7.Perairan kepulauan (archipelagic waters) khusus untuk Negara kepulauan pasal 49 ayat 1 UNCLOS8.Wilayah Pesisir yaitu sebagai wilayah peralihan atau pertemuan antara wilayah darat dan laut.Dengan adanya rezim hukum laut tersebut maka belum dapat diterapkan pada setiap Negara yang tidak memiliki wilayah dengan ketentuan di atas, hal ini disebabkan oleh:1.Faktor Historis yaitu suatu Negara yang menentukan batas wilayah lautnya berdasarkan sejarah wilayah kerajaan di masa lampau, atau berdasarkan penemuan wilayah baru oleh Negara tersebut.2.Faktor ekonomi yaitu menyangkut masalah devisa dari sumber daya yang terdapat di laut tersebut.3.Faktor geografis yaitu disebabkan oleh bentuk Negara tersebut terhimpit oleh Negara lain yang mengakibatkan batas wilayah lautnya kabur (Sarzkidsme, 2010).Berikut ini adalah Dasar hukum wilayah maritim yang dilakukan antara Indonesia dan Malaysia:a.Persetujuan tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen antara Kedua Negara ditandatangani 27 Oktober 1969 di Kuala Lumpur dan di ratifikasi dengan Keppres No.89/1969, LN 1979/54.b.Perjanjian tentang Penetapan Garis Batas Laut Teritorial kedua Negara di Selat Malaka yang ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 17 Maret 1970 dan diratifikasi dengan UU No. 211971, LN 1971/16.c.Persetujuan antara RI, Malaysia dan Thailand tentang Penetapan Garis-garis Batas Landas Kontinen di Bagian Utara Selat Malaka, yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 21 Desember 1971 dan diratifikasi dengan Keppres No. 20/1972, LN 1972115.Kedua belah pihak untuk sementara waktu sepakat mengatakan bahwa kedua pulau tersebut dalam status quo. Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah Pulau Sipadan dan Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad (Adi, 2002).

2.2 Penyelesaian Dari Persengketaan Pulau Sipadan Dan Ligitan Antara Indonesia Dan MalaysiaPada Tahun 1992 kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Dengan hasil pertemuan yaitu menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC &Joint Working Groups/JWG). Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over Sipadan and Ligitan.Special Agreementitu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI) pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi Pulau Sipadan dan Ligitan di MI mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI (Tussadiah, 2013).Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui Written pleading kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, Counter Memorial pada 2 Agustus 2000 dan reply pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses Oral hearing dari kedua negara bersengketa pada 312 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, DePulau Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.Indonesia mengangkat co agent RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara.ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation. Dalam amar keputusannya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Indonesias argument that it was successor to the Sultanate of Bulungan cannot be accepted. Sementara itu, Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa Malaysias argument that it was successor to the Sultan of Sulu cannot be upheld(Ririn, 2010).

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1 Awal Mula Terjadinya Persengketaan Pulau Sipadan Dan Ligitan Antara Indonesia Dan MalaysiaSengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan antara Indonsia dengan Malaysia atas kepemilikan terhadap kedua pulau yang berada di selat Makasar yaitu pulau Sipadan dan Ligitan. Kasus ini merupakan kasus panjang yang akhirnya membuat Indonesia harus kehilangan dua pulau tersebut. Mengingat kejadian ini sangatlah membuat sensitif bagi Indonesia karena menyangkut terenggutnya wilayah kedaulatan yang sangat kaya akan sumber daya alam dan memiliki daya tarik di bidang pariwisata.Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia ini mencuat pada tahun 1967 dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua Negara yang mana ternyata masing-masing negara memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo yang artinya yaitu keadaan tetap sebagaimana keadaan sekarang atau sebagaimana keadaan sebelumnya. Akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda pemahaman, sehingga pihak Malaysia membangun resort parawisata baru yang dikelola pihak swasta. Karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati atau diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai (Firda, 2014).Berdasarkan ketentuan hukum internasional apabila suatu Negara memiliki wilayah atau mengklaim suatu wilayah maka Negara tersebut harus memiliki bukti yang menunjukkan bahwa wilayah tersebut adalah bagian dari Negara yang mengklaim. Berikut ini adalah bukti yang diberikan Indonesia dan Malaysia dalam pengklaiman Pulau Sipadan dan Ligitan:a.Indonesia mengklaim bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan berada di bawah kekuasaannya berdasarkan peta kerajaannasional Majapahit.b.Malaysia mengklaim kedua pulau tersebut berdasarkan faktor kedekatan geografis. Antara lain sosial budaya di kedua pulau tersebut dan sistem administrasi kependudukan.Namun kenyataanya ternyata kehidupan di pulau Sipadan dan Ligitan lebih cenderung ke Malaysia, hal ini ditunjukkan oleh:1.Adanya tanda-tanda (patok) wilayah perbatasan oleh Malaysia.2.Transaksi atau jual beli setiap harinya menggunakan mata uang ringgit yang merupakan mata uang Malaysia.3.Penduduk yang mendiami wilayah Sipadan dan Ligitan tidak memiliki kartu tanda penduduk Indonesia.4.Bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu, bahkan ada yg sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia.5.Pembangunan di kedua pulau tersebut mayoritas dilakukan oleh Malaysia. Oleh karena sebab-sebab tersebut maka Malaysia mengklaim kedua pulau tersebut sebagai miliknya, yang mana membuat pemerintah Indonesia harus siap kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan.

3.2 Penyelesaian Dari Persengketaan Pulau Sipadan Dan Ligitan Antara Indonesia Dan MalaysiaPada awalnya Indonesia ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya Malaysia sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum oleh Mahkamah Internasional (MI).Pada Tahun 1997 Pemerintah Indonesia-Malaysia akhirnya sepakat membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional (MI). Namun dalam putusan Mahkamah Internasional yang jatuh pada tanggal 17 Desember 2002, Indonesia dinyatakan kalah yang disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI) pada 2 Nopember 1998. Mahkamah Internasional (International Court of Justice) telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan-Ligitan. Pemerintah Indonesia menerima keputusan akhir Mahkamah Internasional (MI). Kala itu, pada sidang yang dimulai pukul 10.00 waktu Den Haag, atau pukul 16.00 WIB, MI telah mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia (Hasjim, 2003).Kemenangan Malaysia, berdasarkan pertimbangan effectivitee, yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu). Di pihak yang lain, MI juga menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891, yang dinilai hanya mengatur perbatasan kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 14 derajat Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik, sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil.Sesuai dengan kesekapatan antara Indonesia-Malaysia tidak ada banding setelah keputusan ini. Sebab, keputusan mahkamah ini bersifat final dan mengikat. Tentang tindak lanjut pasca keputusan MI, menteri menyatakan, langkah pertama yang diambil adalah merumuskan batas-batas negara dengan negara-negara terdekat. Untuk Sipadan-Ligitan akan ditarik batas laut wilayah sejauh 12 mil dari lingkungan dua pulau tersebut.Mahkmah Internasional dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation. Mahkamah kemudian menyatakan bahwa ukuran yang obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan menerapkan doktrin effective occupation. Dua aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah keputusan adannya cut-off date atau sering disebut critical date dan bukti-bukti hukum yang ada pada tahun 1969. Effective occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupatio yang berarti tindakan administratif (ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status wilayah tersebut) dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation sebagai suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas. Karena temasuk doktrin internasional, effective occupation dikategorikan sebagai sumber hukum materiil yang merujuk pada bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan hukum.MI dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa. MI juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Sarzkidsme,2014).Berkaitan dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti : a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917. b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan pada tahun 1930-an; c. Penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung, dand. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di Pulau Sipadan dan pada tahun 1963 di PulauLigitan Bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan :a. Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an. b. Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia. Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim. Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name. Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga tidak memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan perundang-undangan.Perlu digarisbawahi bahwa bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan Belanda dan Indonesia melawan bukti hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata hukum internasional, Malaysia mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi atas kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum Federasi Malaysia dengan keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September 1963 (David, 2013).

BAB IVKESIMPULAN

4.1 Kesimpulan Awal Mula Terjadinya Persengketaan Pulau Sipadan Dan Ligitan Antara Indonesia Dan MalaysiaDapat ditarik kesimpulan bahwa awal mula terjadinya persengketaan ini adalah karena Negara Indonesia dan Malaysia memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan kedalam batas-batas wilayah kedua Negara tersebut, dan mereka sama-sama menginginkan kedua pulau tersebut menjadi hak milik mereka. Dengan adanya kesepakatan status quo atas Sipadan dan Ligitan menimbulkan kesalahpahaman pada kedua Negara tersebut sehingga menyebabkan perseteruan yang akhirnya diselesaikan oleh Mahkamah Internasional.

4.2 Kesimpulan Penyelesaian Dari Persengketaan Pulau Sipadan Dan Ligitan Antara Indonesia Dan MalaysiaDapat disimpulkan bahwa dalam menyelesaikan sengketa atas Pulau Sipadan dan Ligitan yang dilakukan oleh Negara Indonesia dengan Negara Malaysia melalui jalur hukum yang dinaungi Mahkamah Internasional menyebabkan Indonesia harus merelakan Pulau yang dianggap sebagai wilayah Indonesia menjadi milik Malaysia dikarenakan kurangnya bukti-bukti dari pihakIndonesia yang menunjukkan bahwa Pulau tersebut adalah bagian dari Indonesia, sehingga dalam keputusan akhir melalui voting kepemilikan Sipadan dan Ligitan dimenangkan oleh Malaysia.

DAFTAR PUSTAKA

Adi Sumardiman, Ir, SH,Sipadan dan Ligitan, SK Kompas, Jakarta, 18 Desember 2002.David.2013. Persengketaan Pulau Sipadan dan Ligitan. http://davidpuppeh.blogspot.com/2013/05/persengketaan-pulau-sipadan-dan-ligitan_2050.html. diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.Firda. 2014. Wawasan Nusantara Indonesia Dengan Kasus Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. http://zulfirdaadha.blogspot.com/2014/04/wawasan-nusantara-indonesia-dengan.html. diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.Fuku. 2010. Tugas-Tugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang 4 Contoh Kasus Wawasan Nasional.http://afukudanabira.wordpress.com/2010/03/28/tugas-tugas-pendidikan-kewarganegaran-tentang-4-contoh-kasus-wawasan-nasional/. diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.Hasjim Djalal, Prof. DR,Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan, Interpelasi?,SK Kompas, Jakarta, 13 Januari 2003.Noerkasanah. 2013. Pendidikan Kewarganegaraan: Wawasan Nasional.http://noerkasanahsecret.blogspot.com/2013/03/pendidikan-kewarganegaraan-wawasan.html. diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.Permaitika. 2014. Wawasan Nasional Indonesia dan Contoh Kasus Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. http://pdianaekadara.blogspot.com/2014/04/bab-ii-wawasan-nasional-indonesia dan.html. diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.Ririn . 2010. Tinjauan Hukum Internasional Kasus Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. http://littlegirlinbigdream.blogspot.com/2010/07/tinjauan-hukum-internasional-kasus.html. diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.Sarzkidsme. 2014. Penyelesaian Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan. http://sarzkidsme.blogspot.com/2010/08/penyelesaian-kasus-pulau-sipadan.html. diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.Tussadiah, 2013. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari NKRI. http://tussadiahhalima.wordpress.com/2013/01/10/lepasnya-pulau-sipadan-dan-lingitan-dari-nkri/. diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.