Warna Sungaiku Bak Pelangi

3
Warna Sungaiku Bak Pelangi Hampir semua sungai yang mengalir di Pekalongan berwarna-warni bak pelangi. Ada pula yang hitam pekat seperti oli. Jelas, itu akibat pencemaran limbah dari industri batik yang menjadi mata pencaharian utama warga Pekalongan.Limbah batik telah menjadi keseharian hidup masyarakat. Mereka seakan menganggap enteng bahaya limbah yang mengalir di sungai-sungai di sekitar perkampungan. Padahal air itu tak hanya mengancam kelestarian ekosistem sungai, namun juga mengancam kehidupan mereka. Ya, air sungai yang tercemar itu meresap ke sumur-sumur warga. Ada joke menarik terkait pengelolaan limbah ini. Konon, Wali Kota atau Bupati Pekalongan tidak terlalu risau dengan keadaan sungai yang berwarna-warni. Justru, mereka akan khawatir jika air sungai yang mengalir menjadi jernih. Jernih, berarti denyut industri batik yang menjadi tumpuan hidup masyarakat Pekalongan mandek. Banyak pekerja menganggur. Ekonomi rakyat pun terganggu.Kondisi pencemaran limbah dari industri tekstil di Pekalongan semakin memprihatinkan. Dari ratusan industri tekstil kecil dan besar yang ada, limbah yang dihasilkan mencapai 50 ribu meter kubik per hari. Bahaya Limbah Sebagian besar berasal dari industri rumah tangga. Bahkan, sebagian industri rumahan membuang limbah ke sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Perbuatan tersebut membuat air sungai menjadi kotor dan tercemar.Efek negatif pewarna kimiawi dalam proses pewarnaan oleh perajin batik adalah risiko terkena kanker kulit. Ini terjadi karena saat proses pewarnaan, umumnya para perajin tidak menggunakan sarung tangan sebagai pengaman, kalaupun memakai, tidak benar-benar terlindung secara maksimal. Akibatnya, kulit tangan terus-menerus bersinggungan dengan pewarna kimia berbahaya seperti Naptol yang lazim digunakan dalam industri batik. Bahan kimia yang termasuk dalam kategori B3 (bahan beracun berbahaya) ini dapat memacu kanker kulit. Selain itu, limbah pewarna yang dibuang sembarangan, juga bisa mencemari lingkungan. Ekosistem sungai rusak. Akibatnya, ikan-

description

Pencemaran Lingkingan (limbah cair)

Transcript of Warna Sungaiku Bak Pelangi

Warna Sungaiku Bak Pelangi

Hampir semua sungai yang mengalir di Pekalongan berwarna-warni bak pelangi. Ada pula yang hitam pekat seperti oli. Jelas, itu akibat pencemaran limbah dari industri batik yang menjadi mata pencaharian utama warga Pekalongan.Limbah batik telah menjadi keseharian hidup masyarakat. Mereka seakan menganggap enteng bahaya limbah yang mengalir di sungai-sungai di sekitar perkampungan. Padahal air itu tak hanya mengancam kelestarian ekosistem sungai, namun juga mengancam kehidupan mereka. Ya, air sungai yang tercemar itu meresap ke sumur-sumur warga.

Ada joke menarik terkait pengelolaan limbah ini. Konon, Wali Kota atau Bupati Pekalongan tidak terlalu risau dengan keadaan sungai yang berwarna-warni. Justru, mereka akan khawatir jika air sungai yang mengalir menjadi jernih. Jernih, berarti denyut industri batik yang menjadi tumpuan hidup masyarakat Pekalongan mandek. Banyak pekerja menganggur. Ekonomi rakyat pun terganggu.Kondisi pencemaran limbah dari industri tekstil di Pekalongan semakin memprihatinkan. Dari ratusan industri tekstil kecil dan besar yang ada, limbah yang dihasilkan mencapai 50 ribu meter kubik per hari.

Bahaya Limbah

Sebagian besar berasal dari industri rumah tangga. Bahkan, sebagian industri rumahan membuang limbah ke sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Perbuatan tersebut membuat air sungai menjadi kotor dan tercemar.Efek negatif pewarna kimiawi dalam proses pewarnaan oleh perajin batik adalah risiko terkena kanker kulit. Ini terjadi karena saat proses pewarnaan, umumnya para perajin tidak menggunakan sarung tangan sebagai pengaman, kalaupun memakai, tidak benar-benar terlindung secara maksimal.Akibatnya, kulit tangan terus-menerus bersinggungan dengan pewarna kimia berbahaya seperti Naptol yang lazim digunakan dalam industri batik. Bahan kimia yang termasuk dalam kategori B3 (bahan beracun berbahaya) ini dapat memacu kanker kulit.

Selain itu, limbah pewarna yang dibuang sembarangan, juga bisa mencemari lingkungan. Ekosistem sungai rusak. Akibatnya, ikan-ikan mati dan air sungai tidak dapat dimanfaatkan lagi. Lebih dari itu, air sungai yang telah tercemar meresap ke sumur dan mencemari sumur. Padahal air itulah yang digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari.Keadaan semacam ini telah dialami oleh banyak warga, terutama di sentra industri batik. Masyarakat di sekitar Kali Banger misalnya, telah lama mengeluhkan akibat pencemaran limbah batik ini. Kali Banger, sungai yang membelah Pekalongan bagian timur dari selatan ke utara ini, mengalirkan limbah batik dari pabrik-pabrik industri batik besar maupun kecil yang membuang limbahnya ke sungai.Saat kali pertama kali dibangun pabrik tekstil di sekitar Kali Banger pada awal 1980an, perekonomian warga meningkat. Namun hal itu ternyata membawa dampak buruk bagi lingkungan.

Tahun 1988, air sungai Kali Banger tidak dapat digunakan lagi. Sejak tahun itu, perubahan warna sungai akibat pencemaran limbah cair dari pabrik yang juga mengeluarkan bau bangkai yang menyengat diikuti oleh matinya ikan-ikan, banyak ternak yang mati, dan juga kesehatan yang terganggu seperti penyakit kulit.

Pengelolaan Limbah

Beberapa pabrik berskala besar memang telah membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk mengolah limbah cair industri batik. Namun, jumlah itu tak sepadan dengan limbah yang dihasilkan setiap hari. Pengusaha yang abai terhadap pengolahan limbah jauh lebih banyak.Mereka belum menganggarkan pengelolaan limbah ke dalam pos biaya produksi, sehingga masih enggan untuk mengolah limbah sebelum dialirkan ke sungai. Masih banyak pengusaha yang beranggapan, pengelolaan dan pengolahan limbah hanya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Pembangunan Unit Pengelolaan Limbah Terpadu yang diprakarsai pemerintah, seperti yang telah ada di Desa Jenggot, mungkin menjadi alternatif bagi perajin kecil yang tak mampu mengelola sendiri limbahnya karena besarnya investasi. Namun, jumlah unit pengolahan limbah terpadu jauh dari memadai, sehingga perlu ditambah jumlah maupun kapasitasnya.

Menurut data, kapasitas unit pengolah limbah di Jenggot ini baru mencapai 400 meter kubik perhari, sementara limbah yang dihasilkan mencapai 700 meter kubik perhari. Itu baru di kawasan Jenggot dan sekitarnya. Belum lagi limbah dari sentra-sentra industri batik lainnya seperti di Kecamatan Wiradesa, Pabean, Buaran, Kramatsari, Pasirsari, dan Setono.

Meski nilai investasi pembangunan unit pengolahan limbah terpadu.terbilang besar-di Desa Jenggot misalnya, menelan anggaran Rp 1,7 miliar-namun upaya ini tetap harus dilakukan. Jika tidak, kelangsungan hidup warga akan terancam karena kualitas air tanah dan sungai menurun akibat pencemaran.

Pewarna Alami

Pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan pewarna alami batik telah dipraktikkan oleh para perajin batik zaman dulu. Selain aman, juga tak kalah mutunya dibandingkan pewarna kimiawi. Karena alasan efisiensi, pewarna alami mulai ditinggalkan. Pewarna kimiawi, selain mudah digunakan, juga banyak dijual di pasaran.Sudah telanjur digunakan secara luas, penggunaan pewarna kimiawi tak dapat begitu saja dialihkan kepada pewarna alami. Perlu ada sosialisasi dan penyuluhan kepada para perajin.

Selain itu dibutuhkan pelatihan pembuatan pewarna alami dari daun, bunga, akar dari jambu biji, jati, nangka, dan bahan-bahan lainnya.Batik dengan pewarna alami lebih disukai konsumen karena warnanya tak mudah luntur, hasil akhirnya juga lebih bagus. Nilai ekonomisnya meningkat, karena batik ini merupakan karya seni, tidak sekadar hasil produksi industri.