Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

54
Penelitian: Nilai Rerata Jarak Tempuh Uji Jalan 6 Menit Pada Anak Sehat Usia 10-14 Tahun di Bandung dan Hubungannya dengan Panjang Tungkai Profil Probabilitas Stroke Iskemik Di Kota Malang Dan Batu: Aplikasi Skor Risiko Stroke Framingham Hubungan Antara Onset Kejadian Preeklamsia dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Provinsi NTB Gambaran Konsumsi Garam Iodium dan Kadar Iodium Urin pada Anak Sekolah Dasar di Pulau Lombok Tingkat Kepuasan Pasien Jamkesmas Terhadap Pelayanan Rawat Jalan Pusat Kesehatan Masyarakat Ampenan Tahun 2013 n: rata Jarak Tem i h Uji Sehat dung ngan Tempuh a Anak Se di Bandu ya deng h M M A A T A R R S E I V T I A N S U Fakultas Kedokteran UNRAM Penerbit : JURNAL KEDOKTERAN UNRAM Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 Profil Penanganan Luka pada Pasien Trauma di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat Laporan Kasus: Oftalmopati pada Penyakit Graves Tinjauan Pustaka: Meningkatkan Efektivitas Umpan Balik dalam Pendidikan Klinik Reaksi Hipersensitivitas Terhadap Vaksin Infeksi Hepatitis B Tersamar (Occult Hepatitis B Infection) dan Kanker Hati Primer

Transcript of Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Page 1: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Penelitian:Nilai Rerata Jarak Tempuh Uji Jalan 6 Menit Pada Anak Sehat Usia 10-14 Tahun di Bandung dan Hubungannya dengan Panjang Tungkai

Profi l Probabil i tas Stroke Iskemik Di Kota Malang Dan Batu: Aplikasi Skor Risiko Stroke Framingham

H u b u n g a n A n t a r a O n s e t Kejadian Preeklamsia dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Provinsi NTB

Gambaran Konsumsi Garam Iodium dan Kadar Iodium Urin pada Anak Sekolah Dasar di Pulau Lombok

Tingkat Kepuasan Pasien J a m k e s m a s T e r h a d a p Pelayanan Rawat Jalan Pusat K e s e h a t a n M a s y a r a k a t Ampenan Tahun 2013

Penelitian:Nilai Rerata Jarak Tempuh Uji Jalan 6 Menit Pada Anak Sehat Usia 10-14 Tahun di Bandung dan Hubungannya dengan Panjang Tungkai

Profi l Probabil i tas Stroke Iskemik Di Kota Malang Dan Batu: Aplikasi Skor Risiko Stroke Framingham

H u b u n g a n A n t a r a O n s e t Kejadian Preeklamsia dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Provinsi NTB

Gambaran Konsumsi Garam Iodium dan Kadar Iodium Urin pada Anak Sekolah Dasar di Pulau Lombok

Tingkat Kepuasan Pasien J a m k e s m a s T e r h a d a p Pelayanan Rawat Jalan Pusat K e s e h a t a n M a s y a r a k a t Ampenan Tahun 2013

Penelitian:Nilai Rerata Jarak Tempuh Uji Jalan 6 Menit Pada Anak Sehat Usia 10-14 Tahun di Bandung dan Hubungannya dengan Panjang Tungkai

Profi l Probabil i tas Stroke Iskemik Di Kota Malang Dan Batu: Aplikasi Skor Risiko Stroke Framingham

H u b u n g a n A n t a r a O n s e t Kejadian Preeklamsia dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Provinsi NTB

Gambaran Konsumsi Garam Iodium dan Kadar Iodium Urin pada Anak Sekolah Dasar di Pulau Lombok

Tingkat Kepuasan Pasien J a m k e s m a s T e r h a d a p Pelayanan Rawat Jalan Pusat K e s e h a t a n M a s y a r a k a t Ampenan Tahun 2013

Penelitian:Nilai Rerata Jarak Tempuh Uji Jalan 6 Menit Pada Anak Sehat Usia 10-14 Tahun di Bandung dan Hubungannya dengan Panjang Tungkai

Profi l Probabil i tas Stroke Iskemik Di Kota Malang Dan Batu: Aplikasi Skor Risiko Stroke Framingham

H u b u n g a n A n t a r a O n s e t Kejadian Preeklamsia dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Provinsi NTB

Gambaran Konsumsi Garam Iodium dan Kadar Iodium Urin pada Anak Sekolah Dasar di Pulau Lombok

Tingkat Kepuasan Pasien J a m k e s m a s T e r h a d a p Pelayanan Rawat Jalan Pusat K e s e h a t a n M a s y a r a k a t Ampenan Tahun 2013

Penelitian:Nilai Rerata Jarak Tempuh Uji Jalan 6 Menit Pada Anak Sehat Usia 10-14 Tahun di Bandung dan Hubungannya dengan Panjang Tungkai

Profi l Probabil i tas Stroke Iskemik Di Kota Malang Dan Batu: Aplikasi Skor Risiko Stroke Framingham

H u b u n g a n A n t a r a O n s e t Kejadian Preeklamsia dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Provinsi NTB

Gambaran Konsumsi Garam Iodium dan Kadar Iodium Urin pada Anak Sekolah Dasar di Pulau Lombok

Tingkat Kepuasan Pasien J a m k e s m a s T e r h a d a p Pelayanan Rawat Jalan Pusat K e s e h a t a n M a s y a r a k a t Ampenan Tahun 2013

Penelitian:Nilai Rerata Jarak Tempuh Uji Jalan 6 Menit Pada Anak Sehat Usia 10-14 Tahun di Bandung dan Hubungannya dengan Panjang Tungkai

Profi l Probabil i tas Stroke Iskemik Di Kota Malang Dan Batu: Aplikasi Skor Risiko Stroke Framingham

H u b u n g a n A n t a r a O n s e t Kejadian Preeklamsia dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Provinsi NTB

Gambaran Konsumsi Garam Iodium dan Kadar Iodium Urin pada Anak Sekolah Dasar di Pulau Lombok

Tingkat Kepuasan Pasien J a m k e s m a s T e r h a d a p Pelayanan Rawat Jalan Pusat K e s e h a t a n M a s y a r a k a t Ampenan Tahun 2013

Penelitian:Nilai Rerata Jarak Tempuh Uji Jalan 6 Menit Pada Anak Sehat Usia 10-14 Tahun di Bandung dan Hubungannya dengan Panjang Tungkai

Profi l Probabil i tas Stroke Iskemik Di Kota Malang Dan Batu: Aplikasi Skor Risiko Stroke Framingham

H u b u n g a n A n t a r a O n s e t Kejadian Preeklamsia dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Provinsi NTB

Gambaran Konsumsi Garam Iodium dan Kadar Iodium Urin pada Anak Sekolah Dasar di Pulau Lombok

Tingkat Kepuasan Pasien J a m k e s m a s T e r h a d a p Pelayanan Rawat Jalan Pusat K e s e h a t a n M a s y a r a k a t Ampenan Tahun 2013

M

MA AT A R

R SE IV TI A

N S

U

Fakultas Kedokteran UNRAM

Penerbit :

JURNALKEDOKTERAN

UNRAM

Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154

Profil Penanganan Luka pada Pasien Trauma di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat

Laporan Kasus:Oftalmopati pada Penyakit Graves

Tinjauan Pustaka: Meningkatkan Efekt iv i tas Umpan Balik dalam Pendidikan Klinik

R e a k s i H i p e r s e n s i t i v i t a s Terhadap Vaksin

Infeksi Hepatitis B Tersamar (Occult Hepatitis B Infection) dan Kanker Hati Primer

Page 2: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

SUSUNAN DEWAN REDAKSI

Jurnal Kedokteran Unram

Ketua Dewan Penyunting (Editor in Chief)

dr. Yunita Sabrina, M.Sc., Ph.D

Penyunting Pelaksana (Managing Editor)

dr. Mohammad Rizki, M.Pd.Ked., Sp.PK.

Penyunting (Editors)

dr. Dewi Suryani, M.Infect.Dis. (Med.Micro)

dr. Akhada Maulana, SpU.

dr. Seto Priyambodo, M.Sc.

dr. Herpan Syafii Harahap, SpS.

dr. Erwin Kresnoadi, Sp.An.

dr. Arfi Syamsun, Sp.KF., M.Si.Med.

dr. I Gede Yasa Asmara, Sp.PD., M.Med., DTM&H

dr. Ardiana Ekawanti, M.Kes

dr. Didit Yudhanto, Sp.THT&KL.

Tata Cetak (Typesetter)

Syarief Roesmayadi

Lalu Firmansyah

Page 3: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

ISSN: 2527-7154

Jurnal Kedokteran Universitas Mataram

Volume 5 Nomor 3, September 2016

DAFTAR ISI

Penelitian Nilai Rerata Jarak Tempuh Uji Jalan 6 Menit Pada Anak Sehat Usia 10-14 Tahun di

Bandung dan Hubungannya dengan Panjang Tungkai

Lindawati, Marietta Shanti, Tri Damiati ………………………................................................... 1

Profil Probabilitas Stroke Iskemik Di Kota Malang Dan Batu: Aplikasi Skor Risiko Stroke

Framingham

Herpan Syafii Harahap, Eko Arisetijono, Zamroni Afif ……………........................................... 3

Hubungan Antara Onset Kejadian Preeklamsia dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah

(BBLR) di RSUD Provinsi NTB

Ika Primayanti, WS Affarah, Ida Lestari H, Mayuarsih K, NK Wilmayani ………..................... 9

Gambaran Konsumsi Garam Iodium dan Kadar Iodium Urin pada Anak Sekolah Dasar di

Pulau Lombok Ardiana Ekawanti, Ima Arum Lestarini, Rifana Cholidah, Prima Belia Fathana,

Eka Arie Yuliyani ….……………………………........................................................................ 12

Tingkat Kepuasan Pasien Jamkesmas Terhadap Pelayanan Rawat Jalan Pusat Kesehatan

Masyarakat Ampenan Tahun 2013

Anies Dyaning Astuti, I Komang Gerudug, Arfi Syamsun …...................................................... 16

Profil Penanganan Luka pada Pasien Trauma di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit

Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat

Arif Zuhan, Hadian Rahman, Januarman ..................................................................................... 21

Laporan Kasus Oftalmopati pada Penyakit Graves

Siti Farida, Pandu Tridana Sakti ……………………………………………………………….. 27

Tinjauan Pustaka

Meningkatkan Efektivitas Umpan Balik dalam Pendidikan Klinik

Dian Puspita Sari. ………..………………..…………………………….................................... 31

Reaksi Hipersensitivitas Terhadap Vaksin

I Gede Yasa Asmara ……………………….………………………………………….. 39

Infeksi Hepatitis B Tersamar (Occult Hepatitis B Infection) dan Kanker Hati Primer

Eva Triani …………………………............................................................................................ 45

Panduan Penulisan Naskah ...................................................................................................... 48

Page 4: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Jurnal Kedokteran 2016, 5(3): 1-2ISSN 2527-7154

Nilai Rerata Jarak Tempuh Uji Jalan 6 MenitPada Anak Sehat Usia 10-14 Tahun Di Bandungdan Hubungannya dengan Panjang TungkaiLindawati, Marietta Shanti, Tri Damiati

AbstrakPendahuluan: Uji jalan 6 menit (6MWT) merupakan uji latih submaksimal, dengan variabel utamayang diukur adalah jarak tempuh dalam 6 menit. Jarak tempuh 6 MWT akan dipengaruhi olehkecepatan jalan yang akan meningkat seiring dengan pertumbuhan anak, terutama disebabkankarena peningkatan panjang langkah. Pertambahan panjang tungkai akan memengaruhi pertambahanpanjang langkah.Metode: deskriptif analitik dengan desain cross-sectional.Hasil: Jarak tempuh 6MWT di lintasan 15 meter pada anak laki-laki usia 10, 11, 12, 13 dan 14tahun adalah 485,5 (395-585) m, 521 (432-660) m, 524 (431-694,2) m, 560 (449-675) m, dan 540(439-664,5) m. Jarak tempuh 6MWT pada lintasan 15 meter untuk anak perempuan usia 10, 11, 12,13, dan 14 tahun adalah 497 (353-742) m, 553 (420-662) m, 559 (428,1-658) m, 551,3 (373-685)m, dan 545,6 (464-600) m. Panjang tungkai berkorelasi bermakna dengan jarak tempuh 6MWT(p<0,001). Berdasarkan uji regresi didapatkan rumus prediksi jarak tempuh 6MWT untuk anak sehatusia 10-14 tahun pada lintasan 15 m yaitu 6,872 x panjang tungkai (cm).Kesimpulan: Panjang tungkai memiliki korelasi dengan jarak tempuh 6MWT, dan dapat digunakanuntuk memprediksi jarak tempuh 6MWT pada anak sehat usia 10-14 tahun di lintasan 15 m.

Katakunci6MWT, anak, panjang tungkai.

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran*e-mail: [email protected]

1. Pendahuluan

Uji jalan 6 menit merupakan uji latih submaksimal, de-ngan variabel utama yang diukur adalah jarak yang dapatditempuh dalam 6 menit.1–3 Menurut penelitian yangdilakukan oleh Li dkk. pada anak sehat, 6MWT me-rupakan uji latih yang valid untuk menguji toleransilatihan pada anak.4;5

Jarak tempuh 6MWT akan dipengaruhi oleh kecepat-an jalan anak. Kecepatan jalan akan meningkat seiringpertambahan usia, terutama disebabkan karena pening-katan panjang langkah.6 Menurut Sil, pertambahan pan-jang tungkai akan mempengaruhi pertambahan panjanglangkah.7

Individu dengan tinggi badan yang sama dapat me-miliki panjang tungkai yang berbeda. Perkembanganproporsi tubuh manusia dipengaruhi oleh genetik danterutama oleh lingkungan (iklim, nutrisi dan aktivitasfisik), sementara kecepatan tumbuh dipengaruhi olehfaktor nutrisi, genetik dan hormonal.8 Anak usia 10-14tahun masih mengalami pertumbuhan dengan kecepatantumbuh tungkai dan tinggi duduk yang berbeda.

2. MetodePenelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif ana-litik non-eksperimental dengan desain cross-sectionalyang dilaksanakan pada bulan September-November2013 di beberapa SD dan SMP di Bandung.

3. Hasil dan Pembahasan3.1 Jarak Tempuh Uji Jalan 6 MenitPada Tabel 1 ditampilkan jarak tempuh 6MWT menurutjenis kelamin dan kelompok umur. Pada semua kelom-pok usia tidak didapatkan perbedaan bermakna antarajarak tempuh 6MWT anak laki-laki dan perempuan, na-mun nampak bahwa pada kelompok usia 10-12 tahunjarak tempuh anak perempuan cenderung lebih tinggi,dan sebaliknya untuk kelompok usia 13-14 tahun.

3.2 Hubungan Panjang Tungkai dengan JarakTempuh Uji Jalan 6 Menit

Berdasarkan Uji Korelasi Spearman, didapatkan bahwaseluruh variabel bebas memiliki korelasi (p¡0.05) de-ngan jarak tempuh 6MWT (Tabel 2). Panjang tungkaimemiliki korelasi terbesar (p = 1,06x10−16). Analisisdilanjutkan uji regresi dengan hasil pada Tabel 3.

Page 5: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

2 Lindawati, dkk

Tabel 1. Jarak Tempuh Uji Jalan 6 Menit MenurutKelompok Usia

MedianUsia Laki-laki Perempuan p

10 485.5 (395-585) 497 (353-742) 0.5211 521 (432-660) 553 (420-662) 0.2212 524 (431-694.2) 559 (428.1-658) 0.0513 560 (449-675) 551.3 (373-685) 0.36114 540 (439-664.5) 545.6 (464-600) 1

Tabel 2. Korelasi Spearman Antara Variabel Bebas DenganJarak Tempuh Uji Jalan 6 Menit

R Spearman Nilai pUsia 0.19 0.02Berat badan 0.37 4.76 x 10−6

Tinggi badan 0.55 4.18 x 10−1

IMT 0.19 0.02Panjang tungkai 0.61 1.06 x 10−16

Tabel 3. Hasil Uji Regresi antara Variabel Bebas dan JarakTempuh

KoefisienKorelasi (B) Nilai p

Intercept -21.96 0.77Usia -8.22 0.01*Berat badan -0.63 0.38Tinggi badan 1.92 0.10IMT 0.94 0.20Panjang tungkai 4.97 0.00*Jenis kelamin 0.62 0.92

Berdasarkan uji regresi tersebut, didapatkan bahwaintercept tidak bermakna, dan usia dan panjang tung-kai yang bermakna, maka analisis dilanjutkan denganmetode forward stepwise.

Tabel 4. Hasil Uji Regresi antara Variabel Bebas dan JarakTempuh

R BStandardError of B

P

Panjangtungkai

0.99 6.883 0.04 0.00*

Berdasarkan hasil uji regresi tersebut, maka dida-patkan persamaan regresi yang bermakna untuk menak-sir jarak tempuh 6MWT anak usia 10-14 tahun sebagaiberikut:

Jarak tempuh (lintasan 15 meter) = 6.883 x panjangtungkai (cm)

Analisis dilanjutkan dengan analisis residu, dan dida-patkan residu yang sangat besar pada subjek nomer 20,59 dan 182. Setelah data ini dieksklusi, data dianalisiskembali, dan didapatkan hasil sebagaimana tercantumpada Tabel 5.

Berdasarkan analisis residu didapatkan mean resi-du = 0.193, dan standar deviasi 47.192. Dilakukan uji

Tabel 5. Hasil Uji Regresi Antara Panjang Tungkai DanJarak Tempuh Setelah Uji Residu

R BStandardError of B

P

Panjangtungkai

0.99 6.872 0.04 0.00*

t, untuk hipotesa bahwa mean =0, diperoleh t hitung-0.0681 dan p = 0.00. Untuk uji normalitas residu dila-kukan dengan Saphiro Wilks, diperoleh nilai W 0.978dengan p = 0.149. Hal ini menunjukkan bahwa residumempunyai rerata = 0 dan menyebar normal. Dengandemikian maka persyaratan regresi untuk prediksi terpe-nuhi.Persamaan regresi menjadi:

Jarak tempuh (lintasan 15 meter) = 6.872 x panjangtungkai (cm)

Daftar Pustaka1. Lammers A and Hislop A and Flynn Y and Haworth

S . The six-minute walk test: Normal values forchildren of 4–11 years of age. Archives of Diseasein Childhood. 2007;.

2. ATS Committee on Proficiency Standards for Clini-cal Pulmonary Function Laboratories. ATS State-ment: guidelines for the six-minute walk test. Ame-rican Journal of Respiratory and Critical Care Medi-cine. 2002;166(1):111–117.

3. Enright P. The Six-Minute Walk Test. RespiratoryCare. 2003;48(8):783–785.

4. Li A et al. The six-minute walk test in healthy chi-ldren: reliability and validity. European RespiratoryJournal. 2005;25(6):1057–1060.

5. Moalla W, Gauthier R, Maingourd Y, Ahmaidi S.Six-Minute Walking Test to Assess Exercise Tole-rance and Cardiorespiratory Responses During Trai-ning Program in Children with Congenital HeartDisease. International Journal of Sports Medicine.2005;26(9):756–762.

6. Sutherland D, and Biden E. The Development ofMature Walking. Cambridge University Press; 1988.

7. Sil P. Development of Aerobic and Anaerobic MotorAbilities Among 10 to 14 Years Old Boys. Interna-tional Journal of Behavioral Social and MovementSciences. 2013;2(1):156–164.

8. Bogin B, and Varela-Silva M. Leg Length, Body Pro-portion, and Health: Abilities A Review with a Noteon Beauty. International Journal of EnvironmentalResearch and Public Health. 2010;7(3):1047–1075.

Jurnal Kedokteran

Page 6: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Jurnal Kedokteran 2016, 5(3): 3-8ISSN 2527-7154

Profil Probabilitas Stroke Iskemik Di KotaMalang Dan Batu: Aplikasi Skor Risiko StrokeFraminghamHerpan Syafii Harahap1, Eko Arisetijono2, Zamroni Afif2

AbstrakPendahuluan: Stroke saat ini merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama didunia, dimana 85% kasus merupakan stroke iskemik. Dengan mengetahui faktor-faktor risiko strokeiskemik, dapat dilakukan prediksi risiko untuk mengalami stroke iskemik dengan menggunakan skorrisiko stroke Framingham.Tujuan: Untuk mengetahui profil probabilitas stroke iskemik di Kota Malang dan Batu menurut skorrisiko stroke Framingham.Metode: Penelitian deskriptif cross-sectional ini menggunakan teknik consecutive random samplinguntuk pengambilan sampel penelitian. Dilakukan pengukuran persentase dan stratifikasi skor risikostroke Framingham terhadap 109 orang menurut jenis kelamin (n=109). Dalam penelitian ini jugadilakukan pengukuran parameter indeks massa tubuh (IMT), lingkar perut, rasio lingkar panggul-perut,dan kadar kolesterol total dan asam urat serum untuk dikorelasikan dengan persentase skor risikostroke Framingham.Hasil: Sebanyak 72 orang (66,06%) memiliki risiko stroke iskemik yang rendah, 20 orang (18,34%)memiliki risiko sedang, dan 17 orang (15,60%) memiliki risiko tinggi. Hasil uji korelasi menunjukkanpersentase risiko stroke memiliki korelasi negatif dengan IMT (p=0,030;r=-0,208) dan korelasi positifdengan kadar asam urat serum (p=0,018;r=0,244). Tidak didapatkan korelasi antara persentase skorrisiko stroke Framingham dengan lingkar perut (p=0,120), rasio lingkar perut-panggul (p=0,070), dankadar kolesterol total serum (p=0,208).Kesimpulan: Sepertiga sampel penelitian yang memiliki risiko stroke iskemik sedang-berat berdasark-an skor risiko stroke Framingham.

KatakunciSkor risiko stroke Framingham, stroke iskemik

1SMF/Laboratorium Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram2SMF/Laboratorium Neurologi Rumah Sakit dr. Saiful Anwar/Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya*e-mail: [email protected]

1. Pendahuluan

Stroke saat ini merupakan salah satu penyebab kematiandan kecacatan utama di dunia.1 Diperkirakan sebanya15 juta orang didunia mengalami stroke untuk setiaptahunnya, dimana 85% dari seluruh kasus stroke tersebutmerupakan stroke iskemik. Satu dari 6 penduduk akanmengalami stroke sepanjang hidupnya.2 Menurut surveyyang dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia adalah 7 per1000 penduduk. Jika dikelompokkan berdasarkan umur,prevalensi stroke menjadi lebih tinggi, yaitu 33 per 1000penduduk pada kelompok umur 55-64 tahun, 46,1 per1000 penduduk untuk kelompok umur 65-74 tahun, dan67 per 1000 penduduk untuk kelompok umur lebih atausama dengan 75 tahun. Jawa Timur sendiri memilikiprevalensi stroke sebesar 16 per 1000 penduduk.3

Faktor risiko stroke iskemik terdiri dari faktor risikoyang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodi-

fikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi me-liputi usia, jenis kelamin, suku bangsa, riwayat strokedalam keluarga, dan faktor genetik. Kelompok faktorrisiko yang tidak dapat dimodifikasi tersebut bergunauntuk identifikasi setiap individu yang memiliki risi-ko tinggi untuk mengalami stroke.4 Faktor risiko yangdapat dimodifikasi meliputi faktor risiko yang secarajelas berperan untuk terjadinya stroke dan faktor risikoyang berkaitan dengan stroke namun tidak menurunk-an risiko stroke meskipun ditatalaksana dengan baik.Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yang secara jelasberperan untuk terjadinya stroke meliputi hipertensi, me-rokok, fibrilasi atrium, dislipidemia, diabetes mellitus,dan stenosis arteri karotis yang asimptomatik, penya-kit jantung koroner, sickle cell disease, dan obesitas.5–7

Kadar asam urat dalam serum yang tinggi juga meru-pakan faktor risiko untuk terjadinya stroke iskemik.8

Dengan mengetahui berbagai faktor risiko stroke iske-mik diatas, maka dapat dilakukan berbagai upaya yangditujukan untuk mencegah terjadinya stroke iskemik.

Page 7: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

4 Herpan, dkk

Salah satu upaya penting dalam mencegah terjadinyastroke iskemik yang bisa dilakukan adalah dengan caramengidentifikasi faktor risiko stroke iskemik dari setiapindividu dan memprediksi risiko untuk mengalami stro-ke iskemik berdasarkan faktor risiko yang dimilikinya.Skor risiko stroke Framingham (Framingham stroke riskscore) merupakan salah satu metode yang sudah validuntuk memprediksi terjadinya stroke iskemik.5

Saat ini belum ada data mengenai profil skor risikostroke Framingham di Kota Malang dan Batu, bahkandi Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiprofil probabilitas stroke iskemik menurut skor risikostroke Framingham di Kota Malang dan Batu.

2. Metode2.1 Desain PenelitianPenelitian ini menggunakan rancangan penelitian desk-riptif cross-sectional. Dilakukan penghitungan skor risi-ko stroke Framingham sesuai dengan jenis kelamin danpengukuran parameter indeks massa tubuh (IMT), ling-kar perut, rasio lingkar panggul-perut, dan kadar koleste-rol total dan asam urat serum. Hasil yang diperoleh daripengukuran semua parameter diatas selanjutnya digu-nakan untuk menentukan proporsi risiko stroke, lingkarperut, rasio lingkar perut-panggul, dan kadar kolesteroltotal dan asam urat serum menurut jenis kelamin. Peneli-tian dikerjakan selama 1 bulan (Oktober 2014) di empatlokasi penelitian, yaitu di Poliklinik Neurologi RumahSakit Saiful Anwar Malang, Puskesmas Kendalkerep,Puskesmas Kedungkandang, dan Puskesmas Kota Batu.

2.2 Sampel PenelitianPenentuan subjek penelitian yang digunakan dalam pe-nelitian ini adalah consecutive random sampling, arti-nya setiap individu yang didata yang memenuhi kriteriainklusi dan tidak masuk dalam kriteria eksklusi, dima-sukkan sebagai subyek penelitian. Kriteria inklusi dalampenelitian ini antara lain pria dan wanita berusia 55-84tahun dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian inidengan menandatangani formulir persetujuan keikutser-taan dalam penelitian. Kriteria eksklusi dalam penelitianini yaitu partisipan yang pernah mengalami stroke sebe-lumnya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini109 orang (n=109). Penelitian ini telah mendapatkanpersetujuan dari Komisi Etik Rumah Sakit Saiful AnwarMalang.

2.3 Penentuan Skor Risiko Stroke IskemikBesarnya risiko stroke dari tiap sampel penelitian diten-tukan dengan menggunakan skor risiko stroke iskemikFramingham, yang disesuaikan dengan jenis kelaminsampel penelitian. Komponen penilaian yang masukdalam skor risiko stroke Framingham tersebut melipu-ti usia, tekanan darah sistolik, terapi untuk hipertensi,kencing manis, merokok, riwayat penyakit jantung ko-roner, fibrilasi atrium, dan hipertrofi ventrikel kiri. Skoryang diperoleh selanjutnya dikonversikan kedalam ben-tuk persentase risiko stroke iskemik dalam 5 tahun.5

Gambar 1. Distribusi sampel penelitian berdasarkan jeniskelamin

Nilai persentase risiko stroke yang diperoleh selanjut-nya dikelompokkan ke dalam 3 kelompok risiko stroke,yaitu risiko rendah, sedang, dan tinggi.9

2.4 Analisis DataData hasil penelitian dianalisis secara deskriptif. Ka-rakteristik sampel penelitian disajikan dalam tabel dis-tribusi frekuensi. Distribusi sampel penelitian berda-sarkan jenis kelamin, lokasi penelitian, dan stratifikasirisiko stroke disajikan dalam bentuk diagram pie. Pro-porsi IMT berdasarkan jenis kelamin dianalisis secarastatistik dengan uji beda non-parametrik Kolmogorov-Smirnov. Proporsi lingkar perut, rasio lingkar panggul-perut, kadar kolesterol total dan asam urat serum, danstratifikasi skor risiko stroke iskemik dianalisis secarastatistik dengan uji beda non-parametrik Kai-kuadrat.Korelasi IMT dan lingkar perut terhadap besarnya nilaipersentase risiko stroke iskemik dianalisis secara statis-tik dengan uji parametrik Pearson. Korelasi rasio lingkarpanggul-perut, kadar kolesterol total serum, dan kadarasam urat serum dianalisis secara statistik dengan ujinon-parametrik Spearman. Analisis statistik dikerjakandengan menggunakan SPSS 17. Hasil uji bermakna jikanilai p<0,05.

2.5 HasilPenelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang di-tujukan untuk mengetahui profil skor risiko stroke Fra-mingham di Kota Malang dan Batu. Jumlah partisipandalam penelitian ini sebanyak 109 partisipan. Karakte-ristik sampel penelitian disajikan dalam tabel 1.

Rata-rata umur sampel penelitian adalah 64,08 tahununtuk kelompok jenis kelamin laki-laki dan 61,68 tahununtuk kelompok jenis kelamin perempuan. Dari 109sampel penelitian, 74 orang (67,9 %) adalah perempuandan 35 orang (32,1%) adalah laki-laki. Distribusi sam-pel penelitian berdasarkan umur yang disajikan dalamdiagram pie pada gambar 1.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, peneli-tian ini dilaksanakan di empat lokasi penelitian, yai-tu di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Saiful AnwarMalang, Puskesmas Kendalkerep, Puskesmas Kedung-kandang, dan Puskesmas Kota Batu. Dari 109 sampel

Jurnal Kedokteran

Page 8: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Aplikasi Skor Risiko Stroke Framingham 5

Tabel 1. Karakteristik sampel penelitian penentuan skor risiko stroke menurut Framingham studyLaki-laki PerempuanKarakteristik (n=35) (n=74)

Rerata Umur (dalam tahun) 64,08 61,68p-value

Jumlah sampel penelitian di tiapPuskesmas Kendalkerep (n=27) 12 15Puskesmas Kedungkandang (n=26) 7 19Puskesmas Batu (41) 15 26 -Poli Saraf RSSA (15)lokasi 3 12Indeks Massa Tubuh ( IMT)11Underweight 2 2Normoweight 14 26Overweight 17 28 p=0,479Obese Class I 2 10Obese Class II 0 8Lingkar Perut (Waist Nircumference)11Normal 19 9 p=0,000*Meningkat 16 65Rasio Lingkar Perut-Panggul11Normal 10 5 p=0,003*Meningkat 25 29Kadar Kolesterol Total12< 200 mg/dL 16 35200-239 mg/dL 7 20 p=0,495> 240 mg/dL 7 9Tidak ada data 5 10Kadar Asam Urat13Normal 16 30Hiperurisemia 14 34 p=0,658Tidak ada data 5 10Stratifikasi risiko stroke10Rendah (3.7%–13.2%) 15 57Sedang (13.3%–22.2%) 10 10 p=0,008*Tinggi (22.3%–97.4%) 10 7Korelasi dengan risiko StrokeIMT r = - 0,208 ; p = 0,030*Lingkar Perut r = - 0,15 ; p = 0,120Rasio Lingkar Perut-Panggul r = 0,174 ; p = 0,070Kolesterol Total dalam Serum r = - 0,131; p = 0,208Asam Urat Serum r = 0,244 ; p = 0,018*

penelitian, jumlah sampel penelitian di Poliklinik Ne-urologi Rumah Sakit Saiful Anwar Malang sebanyak15 orang (13,76 %), di Puskesmas Kendalkerep seba-nyak 27 orang (24,78 %), di Puskesmas Kedungkandangsebanyak 26 orang (23,85 %), dan di Puskesmas KotaBatu sebanyak 41 orang (37,61 %). Distribusi sampelpenelitian berdasarkan lokasi penelitian disajikan dalamdiagram pie pada gambar 2. Dalam penelitian ini jugadilakukan analisis data dengan pendekatan statistik un-tuk mendeteksi adanya perbedaan yang bermakna padabeberapa parameter antara kelompok sampel peneliti-an laki-laki dan perempuan. Uji beda non-parametrikKolmogorov-Smirnov dikerjakan untuk menilai adanyaperbedaan proporsi IMT yang bermakna antara sampelpenelitian laki-laki dan perempuan. Hasil uji beda ter-sebut menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi IMTyang bermakna antara sampel laki-laki dan perempuan(p=0,479). Uji beda non-parametrik Kai-kuadrat diker-

Gambar 2. Distribusi sampel penelitian berdasarkan lokasipenelitian

Jurnal Kedokteran

Page 9: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

6 Herpan, dkk

Gambar 3. Distribusi sampel penelitian berdasarkanstatifikasi risiko stroke

jakan untuk menilai adanya perbedaan proporsi lingkarperut, rasio lingkar perut-panggul, kadar kolesterol totalserum, kadar asam urat serum, dan stratifikasi skor risikostroke iskemik yang bermakna antara sampel laki-lakidan perempuan. Hasil uji beda tersebut menunjukkanterdapat perbedaan yang bermakna dalam hal lingkarperut (p=0,000), rasio lingkar perut-panggul (p=0,003),dan stratifikasi risiko stroke (p=0,008) antara sampel pe-nelitian laki-laki dan perempuan, namun tidak terdapatperbedaan bermakna dalam hal kadar kolesterol total(p=0,495) dan asam urat serum (p=0,658).

Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis statis-tik untuk mendeteksi adanya hubungan antara beberapaparameter dengan besarnya nilai persentase risiko stro-ke iskemik. Uji parametrik Pearson dikerjakan untukmengetahui adanya korelasi IMT dan lingkar perut de-ngan persentase risiko stroke iskemik. Hasil uji tersebutmenunjukkan terdapat korelasi negatif antara IMT de-ngan persentase risiko stroke (p=0,030), namun dengankekuatan korelasi yang lemah (r=-0,208). Tidak terdapatkorelasi antara lingkar perut dan persentase risiko strokeiskemik (p=0,120). Uji non-parametrik Spearman diker-jakan untuk mengetahui adanya korelasi rasio lingkarpanggul-perut, kadar kolesterol total serum, dan kadarasam urat serum dengan persentase risiko stroke iskemik.Hasil uji tersebut menunjukkan terdapat korelasi positifantara kadar asam urat serum dengan persentase risikostroke (p=0,018), namun dengan kekuatan korelasi yanglemah (r=0,244). Tidak didapatkan korelasi antara rasiolingkar perut-panggul dan persentase risiko stroke iske-mik (p=0,070) dan antara kadar kolesterol total serumdan persentase risiko stroke iskemik (p=0,208).

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, risikostroke iskemik Framingham yang diperoleh dalam pe-nelitian ini dikonversikan kedalam bentuk persentaserisiko stroke iskemik dalam 5 tahun.5 Nilai persentaserisiko stroke iskemik tersebut selanjutnya dikelompokk-an kedalam 3 kelompok risiko stroke, yaitu risiko ri-ngan (3.7%–13.2%), sedang (13.3%–22.2%), dan berat(22.3%–97.4%).9 Dari 109 sampel penelitian, 72 orang(66,06%) memiliki risiko stroke iskemik yang rendah,20 orang (18,34 %) memiliki risiko sedang, dan 17 orang(15,60 %) memiliki risiko tinggi. Distribusi sampel pe-nelitian berdasarkan stratifikasi risiko stroke iskemikdisajikan dalam diagram pie pada gambar 3.

3. PembahasanSebanyak 85% dari seluruh kasus stroke tersebut me-rupakan stroke iskemik.2 Survei yang dilakukan olehRiset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menun-jukkan bahwa prevalensi stroke di Indonesia mencapaipuncaknya pada dekade ke-6.3 Dengan mengenali fak-tor risiko yang dimiliki oleh setiap individu, baik faktorrisiko yang dapat dimodifikasi maupun yang tidak dapatdimodifikasi, maka dapat dibuat prediksi seberapa besarkemungkinan individu tersebut untuk mengalami stroke.

Skor risiko stroke Framingham merupakan metodevalid untuk memprediksi terjadinya stroke iskemik.5

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 18,34%dan 15,60% sampel penelitian memiliki risiko sedangdan tinggi. Upaya pencegahan primer untuk terjadinyastroke iskemik perlu dilakukan secara agresif pada ke-dua kelompok sampel tersebut, terutama pada kelompokrisiko tinggi.

Skor risiko stroke Framingham dirancang menurutjenis kelamin dan usia individu. Rentang usia yang di-gunakan dalam sistem skoring ini yaitu 55-84 tahun.Berdasarkan jenis kelamin, penelitian ini menunjukkanadanya perbedaan yang bermakna dalam hal proporsirisiko stroke iskemik antara kelompok sampel peneli-tian laki-laki dan perempuan, dimana proporsi risikostroke iskemik sedang dan tinggi ditemukan lebih tinggipada kelompok laki-laki dan risiko rendah ditemukanlebih banyak pada kelompok perempuan. Padahal dalampenelitian ini juga ditunjukkan bahwa proporsi sampelperempuan yang memiliki lingkar perut dan rasio ling-kar perut-panggul diatas nilai normal secara bermaknalebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sampel laki-laki. Dalam penelitian ini diketahui bahwa rata-rata usiakelompok sampel laki-laki 64,08 tahun dan untuk ke-lompok sampel perempuan 61,68 tahun. Penelitian yangdilakukan oleh Reeves et al. menunjukkan bahwa faktorusia merupakan determinan penting untuk timbulnyaperbedaan risiko stroke pada kedua jenis kelamin.10

Data yang diperoleh dari Framingham Heart Study me-nunjukkan bahwa perempuan usia 45-85 tahun memilikirisiko stroke lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki,namun setelah usianya 85 tahun justru memiliki risikostroke lebih tinggi dibandingkan laki-laki.11 Peneliti-an di Swedia juga menunjukkan hasil yang tidak jauhberbeda, dimana perempuan usia 55-64 tahun memili-ki risiko stroke lebih rendah, namun setelah mencapaiusia 75-85 tahun memiliki risiko stroke lebih tinggi di-bandingkan dengan populasi laki-laki.12 Berdasarkankedua penelitian tersebut, rata-rata usia kelompok sam-pel perempuan dalam penelitian ini menjadi determinanbesarnya proporsi sampel yang memiliki risiko rendahuntuk terjadinya stroke. Perlu dilakukan penelitian ko-hort untuk membuktikan hal tersebut.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, faktor ri-siko stroke iskemik terdiri dari faktor risiko yang tidakdapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktorrisiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, jeniskelamin, suku bangsa, riwayat stroke dalam keluarga,

Jurnal Kedokteran

Page 10: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Aplikasi Skor Risiko Stroke Framingham 7

dan faktor genetik.4 Faktor risiko yang dapat dimodifi-kasi dan secara jelas berperan untuk terjadinya strokemeliputi hipertensi, merokok, fibrilasi atrium, dislipide-mia, diabetes mellitus, dan stenosis arteri karotis yangasimptomatik, penyakit jantung koroner, sickle cell di-sease, dan obesitas.5–7 Penelitian yang dilakukan olehStorhaug et al. juga menunjukkan bahwa asam urat jugamerupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke iske-mik.8 Dalam penelitian ini juga dilakukan pengaruh be-berapa faktor risiko stroke iskemik yang tidak termasukdalam komponen skor risiko stroke Framingham, sepertiobesitas, lingkar perut, rasio lingkar perut-panggul, dankadar kolesterol total dan asam urat serum. Hasil pene-litian ini menunjukkan terdapat korelasi positif antarakadar asam urat serum dan peningkatan risiko stroke.Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukanoleh Storhaug et al. Tidak terdapat korelasi antara ka-dar kolesterol total serum dan peningkatan risiko stroke.Berdasarkan beberapa penelitian, pengaruh kadar koles-terol total serum terhadap risiko stroke iskemik memangtidak konsisten, artinya ada penelitian yang menunjukk-an adanya korelasi dan ada yang tidak menunjukkanadanya korelasi.13

Dalam penelitian ini juga didapatkan adanya korela-si negatif antara IMT dan risiko stroke iskemik, namundengan kekuatan korelasi yang lemah. Selain itu ju-ga tidak didapatkan korelasi antara peningkatan lingkarperut dan rasio lingkar perut-panggul dengan peningkat-an risiko stroke. Ketiga hasil tersebut dapat dijelaskankarena adanya perbedaan proporsi sampel penelitian,dimana proporsi sampel perempuan jauh lebih tinggi(67,9%) dibandingkan dengan proporsi sampel laki-laki.Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, rata-rata usiasampel perempuan dalam penelitian ini menjadi faktordeterminan untuk rendahnya risiko stroke iskemik padakelompok sampel perempuan, meskipun kelompok sam-pel ini memiliki proporsi IMT, lingkar perut, dan rasiolingkar perut-panggul yang lebih besar dibandingkankelompok sampel laki-laki. Sehingga, dengan propor-si sampel perempuan yang jauh lebih besar, hubunganIMT, lingkar perut, dan rasio lingkar perut-panggul de-ngan risiko stroke dalam penelitian ini menjadi tidakkonsisten dan tidak bermakna. Perlu dilakukan peneliti-an lebih lanjut dengan menggunakan sampel yang lebihbesar dengan proporsi sampel yang seimbang antarakedua jenis kelamin.

4. KesimpulanSepertiga dari seluruh sampel penelitian yang dilakukandi Kota malang dan Batu ini memiliki risiko stroke is-kemik yang bermakna (sedang-berat) berdasarkan skorrisiko stroke Framingham. Kadar asam urat serum, mes-kipun tidak termasuk dalam komponen skor risiko strokeFramingham, dapat dijadikan prediktor tambahan untukterjadinya stroke iskemik. Perlu dilakukan penelitian le-bih lanjut dengan proporsi sampel yang seimbang antarakedua jenis kelamin untuk mendapatkan hasil korelasiyang lebih valid antara IMT, lingkar perut, dan rasio

lingkar perut dengan risiko stroke iskemik.

Daftar Pustaka1. Lindsay P, Furie KL, Davis SM, Donnan GA, Nor-

rving B. World Stroke Organization global strokeservices guidelines and action plan. InternationalJournal of Stroke. 2014;9(A100):4–13.

2. Intercollegiate Stroke Working Party. National Cli-nical Guideline for Stroke 4th Edition. 2012;.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta;2007.

4. Romero JR, Wolf PA. Epidemiology of Stroke:Legacy of the Framingham Heart Study. Globalheart. 2013;8(1):67–75.

5. Wolf PA, D’Agostino RB, Belanger AJ, KannelWB. Probability of stroke: A Risk Profile from theFramingham Study. Stroke. 1991;22(3):312–318.

6. D’Agostino RB, Wolf PA, Belanger AJ, Kannel WB.Stroke Risk Profile: Adjustment for Antihyperten-sive Medication. The Framingham Study. Stroke.1994;25(1):40–43.

7. Wang TJ, Massaro JM, Levy D, Vasan RS, Wolf PA,D’Agostino RB, et al. A Risk Score for PredictingStroke or Death in Individuals with New-Onset Atri-al Fibrillation in the Community: The FraminghamHeart Study. JAMA. 2003;290(8):1049–1056.

8. Storhaug HM, Norvik JV, Toft I, Eriksen BO,Løchen ML, Zykova S, et al. Uric Acid is A RiskFactor for Ischemic Stroke and All-Cause Mortalityin the General Population: A Gender Specific Ana-lysis from the Troms Study. BMC CardiovascularDisorders. 2013;13(1):115.

9. Sabayan B, Gussekloo J, de Ruijter W, WestendorpRG, de Craen AJ. Framingham Stroke Risk Scoreand Cognitive Impairment for Predicting First-TimeStroke in the Oldest Old. Stroke. 2013;44(7):1866–1871.

10. Reeves M, Bushnell C, Howard G, Gargano J, Dunc-an P, Lynch G, et al. Sex Differences in Stroke:Epidemiology, Clinical Presentation, Medical Care,and Outcomes. Lancet Neurol. 2008;7:915–926.

11. Petrea R, Beiser A, Seshadri S, Kelly-Hayes M, Ka-se C, Wolf P. Gender differences in stroke incidenceand poststroke disability in the Framingham heartstudy. Stroke. 2009;40:1032–1037.

12. Lofmark U, Hammarstrom A. Evidence for Age-Dependent Educationrelated Differences in Menand Women with First-Ever Stroke: Results fromA Community-Based Incidence Study in NorthernSweden. Neuroepidemiology. 2007;28:135–141.

Jurnal Kedokteran

Page 11: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

8 Herpan, dkk

13. Go A, Mozaffarian D, Roger V, Benjamin E, BerryJ, Blaha M. Heart Disease and Stroke Statistics–2014 Update: A Report From the American HeartAssociation. ;. Circulation. 2014;129:e28–e292.

Jurnal Kedokteran

Page 12: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Jurnal Kedokteran 2016, 5(3): 9-11ISSN 2527-7154

Hubungan Antara Onset Kejadian Preeklamsiadengan Kejadian Bayi Lahir Berat Lahir Rendah(BBLR) di RSUD Provinsi NTBIka Primayanti1, Wahyu Sulistya Affarah1, Ida Lestari Harahap2, Mayuarsih KartikaSyari1, Ni Ketut Wilmayani1

AbstrakPendahuluan: Preeklamsia merupakan salah satu komplikasi obstetrik yang dapat menyebabkan mor-biditas dan mortalitas baik maternal maupun perinatal. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) merupakansalah satu komplikasi perinatal yang dapat terjadi.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Analisisdata dilakukan dengan menggunakan uji statistik chi square.Hasil: terdapat hubungan yang signifikan antara onset kejadian preeklamsia dengan kejadian BBLR(p= 0,000).Kesimpulan: Penurunan perfusi uteroplasenta pada preeklamsia menyebabkan berkurangnya alirandarah plasenta sehingga pertumbuhan janin menurun dan meningkatnnya risiko bayi berat lahir rendah

Katakuncionset preeklamsia, BBLR

1Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Mataram2Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram*e-mail: [email protected]

1. PendahuluanBBLR masih merupakan salah satu penyebab kematianutama kematian neonatal disamping asfiksia dan daninfeksi. Penanganan yang tepat dan akurat terutamadengan diketahuinya onset preeklamsia dapat menjadisalah satu upaya untuk menurunkan angka morbiditasmaupun mortalitas ibu dan bayi.

Preeklamsia merupakan salah satu komplikasi obste-trik yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas mater-nal dan perinatal. Preeklamsia berat yang timbul padapertengahan trimester sangat berhubungan dengan ting-ginya angka komplikasi dan kematian pada janin.

Di negara berkembang dilaporkan bahwa berkisarantara 42,2% sampai dengan 50% sebab kematian peri-natal karena komplikasi preeklamsia dikarenakan terja-dinya hipoksia intra interin dan prematuritas.1

BBLR dapat disebabkan oleh gangguan pertumbuh-an janin di dalam uterus. Pertumbuhan intra uteri danberat lahir janin salah satunya bergantung pada dukung-an dari lingkungan uteroplasenta yang dipengaruhi olehkesehatan ibu. Gangguan pertumbuhan di dalam uterusterjadi ketika penyaluran oksigen dan nutrisi ke fetustidak adekuat.

Pada awalnya usia kehamilan belum terlalu diper-hitungkan sebagai salah satu masalah besar khususnyadalam klasifikasi preeklamsia. Namun penting untukdiketahui bahwa usia kehamilan atau dalam hal ini onsetkejadian preeklamsia merupakan variabel klinis yang

paling penting dalam memprediksi baik kondisi ibu ma-upun perinatal.2 Oleh karena itu beberapa peneliti meng-kategorikan preeklamsia berdasarkan onset kejadiannya(usia gestasional) menjadi dua, yaitu:

a. Preeklamsia onset dini (early-onset preeclampsia)apabila preeklamsia berkembang sebelum usiakehamilan 34 minggu

b. Preeklamsia onset lanjut (late-onset preeclam-psia), bila preeklamsia berkembang pada usia ke-hamilan 34 minggu atau lebih.3

Pada preeklamsia/eklamsia terjadi abnormalitas pla-senta yang berakhir pada vasospasme dan cedera en-dotelial.4 Kegagalan invasi trofoblas gelombang keduapada arteri spiralis menyebabkan kegagalan remodellingarteri spiralis yang mengakibatkan aliran darah uteropla-senta menurun. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadi-nya hipoksia dan iskemia plasenta dan sering berakhirpada pertumbuhan janin terhambat.5 Studi mengenaihubungan antara onset kejadian preeklamsia dengan ke-jadian BBLR merupakan salah satu langkah awal dalammerencanakan penanganan yang tepat karena kejadianpreeklamsia tidak hanya berdampak pada morbiditasdan mortilitas maternal namun juga perinatal.

2. MetodePenelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatanobservasional sehingga hanya dilakukan pengamatan

Page 13: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

10 Primayanti, dkk

Tabel 1. Karakteristik Responden

KarakteristikResponden

n %

Usia Ibu<20 tahun 8 9,620-35 tahun 52 62,7>35 tahun 23 27,7ParitasPrimigravida 35 42,2Multigravida 48 57,8Onset Preeklam-siaLate onset 67 80,7Early onset 16 19,3Berat Badan La-hir<2500 gram 37 44,6≥ 2500 gram 46 55,4

tanpa memberi perlakukan terhadap populasi. Rancangbangun penelitian ini bersifat analitik dengan desaincross sectional. Lokasi penelitian ini adalah RSUD pro-vinsi NTB, dilaksanakan dari bulan Juli 2015 sampaidengan September 2015. Populasi kasus dalam peneliti-an ini adalah semua neonatus yang lahir dari ibu yangmenderita preeklamsia di RSUD provinsi NTB padabulan Januari – September 2015. Besar sampel sebesar83 orang. Data primer, didapatkan dengan melakuk-an wawancara dengan pasien sedangkan data sekunder,didapatkan dari catatan medik persalinan, dan registerkohort ibu hamil. Variabel terikat adalah kejadian BBLRsedangkan variabel bebas adalah onset preeklamsia. Pe-ngolahan dan analisis data dengan program SPSS forwindows release 16.00. Analisis data kuantitatif dilakuk-an secara univariat, bivariat (uji Chi Square). Analisisdata secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabeldan narasi

3. Hasil dan PembahasanBerdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagianbesar responden berada pada rentang usia 20-35 tahun,yaitu sebanyak 52 orang (62,7%). Sedangkan jumlahibu yang berusia <20 tahun sebesar 8 orang (9,6%) danresponden dengan usia >35 tahun yaitu 23 orang (27,7

Pada variabel paritas, jumlah ibu yang termasuk da-lam kelompok primigravida (kehamilan pertama) seba-nyak 35 orang (42,2%), sedangkan multigravida (keha-milan lebih dari satu) sebanyak 48 orang (57,8%).

Pada variabel onset kejadian preeklamsia, didapatk-an bahwa jumlah ibu hamil yang mengalami preeklam-sia late onset lebih banyak yaitu sebesar 67 orang (80,7%),early onset sebesar 16 orang (19,3%). Sedangkan un-tuk variabel berat badan lahir, didapatkan bahwa jumlahbayi yang masuk dalam kelompok BBLR lebih sedikityaitu sebesar 37 orang (44,6%), dibandingkan denganbayi yang tidak BBLR yaitu sebesar 46 orang (55,4%).

Berasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pada va-

Tabel 2. Hubungan Onset Preeklamsia dengan KejadianBBLR

Onset Preeklamsia

Berat Bayi LahirNilaip

BBLR % TidakBBLR

%

Early onset 15 40,5 1 2,2 0,000Late onset 22 59,5 45 97,8Total 37 100 46 100

riabel onset preeklamsia, didapatkan jumlah bayi yangmengalami BBLR pada ibu hamil yang masuk dalamkelompok preeklamsia early onset lebih banyak diban-dingkan bayi yang tidak BBLR. Sedangkan pada ibuhamil yang masuk dalam kelompok preeklamsia lateonset, jumlah bayi yang mengalami BBLR lebih sedikitdibandingkan dengan bayi yang tidak BBLR. Hasil ujistatistik Chi Square diperoleh bahwa terdapat hubunganyang signifikan antara onset preeklamsia dengan BBLR(p= 0,000).

Hasil uji analisis menunjukkan bahwa terdapat hu-bungan antara onset preeklamsia dengan kejadian BBLR.5

Dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pada kasuspreeklamsia tipe early onset (≤ 37 minggu) cenderungmenjadi lebih berat, lebih memiliki dampak pada per-tumbuhan janin serta lebih berpeluang terjadinya kela-hiran prematur, sebaliknya dengan preeklamsia tipe lateonset (> 37 minggu), namun pada penelitian ini, cutpoint waktu penentuan jenis onset preeklamsia adalah34 minggu.4

Bayi Berat Lahir Rendah salah satunya dapat di-sebabkan oleh gangguan pertumbuhan janin di dalamuterus yang dipengaruhi oleh kesehatan ibu. Pada pre-eklamsia/eklamsia terjadi abnormalitas plasenta yangberakhir pada vasospasme dan cedera endotelial. Ke-gagalan invasi trofoblas gelombang kedua pada arterispiralis menyebabkan kegagalan remodelling arteri spi-ralis yang mengakibatkan aliran darah uteroplasentamenurun. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinyahipoksia dan iskemia plasenta dan sering berakhir padapertumbuhan janin terhambat.5

Gangguan aliran darah uteroplasenta menyebabkanpenurunan suplai nutrien berupa glukosa, oksigen, asamamino, dan faktor pertumbuhan untuk janin yang beraki-bat pada berkurangnya pertumbuhan janin yang meliputijaringan subkutan, rangka aksial, dan organ vital.3

4. KesimpulanSetelah dilakukan penelitian tentang hubungan antaraonset preeklamsia dengan BBLR di Rumah Sakit UmumDaerah provinsi NTB, dapat disimpulkan bahwa:

1. Distribusi onset preeklamsia di RSUD provinsiNTB selama bulan Januari-September 2015 ada-lah untuk late onset sebanyak 67 kasus dan earlyonset sebanyak 16 kasus.

Jurnal Kedokteran

Page 14: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Onset Preeklamsi dengan BBLR 11

2. Frekuensi BBLR pada bayi dengan ibu yang men-derita preeklamsia di RSUD provinsi NTB selamabulan Januari-September 2015 sebanyak 37 kasus.

3. Terdapat hubungan antara onset preeklamsia de-ngan BBLR

Daftar Pustaka1. Manuaba IB. Ilmu kebidanan. Penyakit Kandungan

dan Keluarga Berencana. Jakarta: EGC. 2008;.

2. Dadelszen, Von P. Subclassification of Preeclampsia.2003;22(2):143–148.

3. Wikstrom A. Dissertasion, Biochemical and Epide-miological Studies of Early-Onset and Late-OnsetPre-Eclampsia. Sweden: Faculty of Medicine UssalaUniversity; 2007.

4. Sibai B D , Kupfermine, M . Pre-eclampsia. Lancet.2005;p. 785–799.

5. Xiong X et al. Impact of Preeclampsia and Gesta-tional Hypertension on Birth Weight by GestationalAge. 2002;155(3):203–209.

Jurnal Kedokteran

Page 15: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Jurnal Kedokteran 2016, 5(3): 12-15ISSN 2527-7154

Gambaran Konsumsi Garam Iodium dan KadarIodium Urin pada Anak Sekolah Dasar di PulauLombokArdiana Ekawanti, Ima Arum Lestarini, Rifana Cholidah, Prima Belia Fathana, Eka ArieYuliyani

AbstrakPendahuluan: Defisiensi iodium masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia.Dari pemeriksaan iodium yang diekskresikan melalui urine, didapatkan defisiensi iodium pada 36,4%anak di seluruh dunia, dan daerah Asia Tenggara didapatkan 39,8% anak usia sekolah mengalamidefisiensi iodium. Nusa Tenggara Barat adalah provinsi dengan konsumsi garam iodium yangterendah di seluruh Indonesia dan belum ada penelitian tentang kadar iodium urin dan factor yangmempengaruhinya.Tujuan: Mencari data dasar tentang epidemiologi defisiensi iodium , selain itu penelitian ini juga bisamemberi manfaat tentang gambaran kadar iodine masyarakat secara umum..Metode: Rancangan penelitian ini adalah rancangan potong lintang dengan populasi terjangkau kelas5 dan 6 siswa SD di dataran rendah dan dataran tinggi Pulau Lombok. Faktor yang mempengaruhitingkat konsumsi garam didapatkan dengan menggunakan kuesioner. Kadar iodium urin dinyatakandengan median iodium urin yang didapatkan dengan menggunakan metode acid digestion.Hasil: Median iodium urin di dataran rendah didapatkan 218 µg/L dan di dataran tinggi 236 µg/L.Iodium Urine Excretion di dataran rendah dan tinggi juga menunjukkan kecukupan tingkat konsumsigaram iodium.Kesimpulan: Median iodium urin di dataran rendah didapatkan 218 µg/L dan di dataran tinggi 236 µg/L.Iodium Urine Excretion di dataran rendah dan tinggi juga menunjukkan kecukupan tingkat konsumsigaram iodium.

Katakuncikonsumsi garam iodium, anak SD, median iodium urine, iodium urine excretion

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram*e-mail: eka [email protected]

1. Pendahuluan

Defisiensi iodium masih merupakan masalah kesehatanmasyarakat di seluruh dunia. Dari pemeriksaan iodiumyang diekskresikan melalui urine dalam suatu komuni-tas tertentu, dalam hal ini adalah komunitas yang rentanmengalami defisiensi didapatkan defisiensi iodium pada36,4% anak di seluruh dunia. Daerah Asia Tenggaradidapatkan 39,8% anak usia sekolah mengalami defi-siensi iodium.1 Nusa Tenggara Barat adalah provinsidengan konsumsi garam iodium yang rendah di seluruhIndonesia. Pada tahun 2010 cakupan konsumsi garamiodium di NTB diharapkan sebesar 65%, sedangkanIndonesia mencapai 90%.2 Kondisi ini tentunya menim-bulkan dampak yang buruk bagi kesehatan masyarakatdi NTB. Penelitian Kartono, tahun 2009 didapatkan kon-sumsi masyarakat dalam kategori cukup iodium hanya27,9% dan 42,4% tidak mengkonsumsi garam iodium.3 Iodium adalah zat gizi yang diperlukan pada semuatahap kehidupan, sebagai zat gizi penting yang diperluk-an untuk seluruh metabolism tubuh. Kebutuhan iodium

meningkat pada keadaan pertumbuhan dan perkembang-an sebagaimana pada masa kehamilan dan anak-anak.Kekurangan iodium pada masa pertumbuhan tidak sajamenimbulkan gangguan pertumbuhan, akan tetapi jugamenimbulkan gangguan mental pada anak. Dampakkekurangan iodium terhadap ibu hamil jauh lebih ber-at lagi diantaranya adalah risiko keguguran, kematianbayi dan bayi yang dilahirkan oleh ibu yang hipotiroidakan mengalami gangguan fisik dan mental.4;5 Kelain-an yang dibawa akan diderita hingga dewasa, sehinggamenurunkan kualitas generasi yang akan datang. NTBmerupakan propinsi dengan Indeks pembangunan ma-nusia (IPM) yang rendah. IPM yang rendah merupakansuatu masalah multifaktorial diantaranya adalah faktorsosial ekonomi dan aspek kesehatan juga memberikankontribusi yang tidak sedikit. Kekurangan iodium padamasa kehamilan akan melahirkan generasi yang rendahkualitas intelektualnya seperti kretinisme dan kekurang-an Iodium pada masa pertumbuhan akan mengakibatkangangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Se-hingga kekurangan Iodium pada masa penting dan kritis

Page 16: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Gambaran Komsumsi dan kadar Iodium Urin pada Anak SD 13

tersebut memberi sumbangan bagi rendahnya indekspembangunan manusia di NTB. Evaluasi peningkatancakupan konsumsi garam iodium terhadap efektifitasmetabolism iodium belum dilakukan di NTB. Pengaruhkadar iodium yang rendah secara kronis di masyarakatterutama di komunitas yang rentan terhadap kurangnyakadar iodium belum dilakukan di NTB, sehingga peneli-tian tentang epidemiologi defisiensi kadar iodium danpengaruhnya di masyarakat menjadi perlu dilakukan.Kadar iodium urine pada anak usia sekolah bisa meng-gambarkan kadar iodium urine di masyarakat. Tujuandari penelitian ini adalah mencari data dasar tentangepidemiologi defisiensi iodium dan mencari pengaruh-nya terhadap pertumbuhan anak usia sekolah. Selain itupenelitian ini juga bisa memberi manfaat tentang gam-baran kadar iodine masyarakat secara umum, data inisangat penting untuk evaluasi keberhasilan program pe-merintah yaitu peningkatan konsumsi garam beryodiumdi masyarakat.

2. Metode2.1 Rancangan PenelitianRancangan penelitian ini adalah rancangan potong lin-tang, yaitu dalam satu saat pengambilan data pada sam-pel dilakukan dalam satu waktu untuk mendapatkan datakadar iodium urin dan mencari faktor risiko yang mem-pengaruhi kadar iodium anak melalui metode pengisiankuesioner.

2.2 Subyek PenelitianSubyek penelitian ini adalah anak usia sekolah kelas 5dan 6 SD yang berada di kota Mataram sebagai repre-sentasi daerah dengan konsumsi bahan makanan yangbanyak mengandung iodium dan representasi daerah da-taran rendah dengan kualitas iodium tanah yang baik.Untuk representasi daerah dengan kadar iodium yangrendah dipilih daerah dengan ketinggian >600 m di ataspermukaan laut, lokasi yang mendekati persyaratan iniadalah daerah Bayan di kabupaten Lombok Utara. Popu-lasi penelitian ini adalah anak SD kelas 5 dan 6 di kotaMataram dan Lombok Barat. Subjek penelitian ini meru-pakan populasi terjangkau yaitu seluruh siswa SD kelas5 dan 6 di sekolah yang dijadikan tempat penelitian.

Kriteria inklusi:

1. Siswa terdaftar di sekolah tempat dilakukan pene-litian dan berada di kelas 5 dan 6

2. Berusia 10-12 tahun

3. Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini

4. Hadir pada saat pengambilan sampel

Kriteria eksklusi:

1. Tidak bersedia menjadi responden dalam peneliti-an

2. Mengundurkan diri selama penelitian

2.3 Pemeriksaan Iodium UrinPemeriksaan iodium urin terlebih dahulu melalui lang-kah pengumpulan sampel urine sesaat sebanyak minimal5 ml, urin ditampung dalam wadah plastic yang bersih.Selama pengumpulan sampel, sampel yang terkumpuldisimpan pada suhu kamar. Pemeriksaan akan dilakukandengan menggunakan metode Acid Digestion Method-pada pusat kajian GAKY di Magelang.6 Hasil penelitianakan disajikan dalam bentuk median urin iodine.

2.4 Analisis dataData yang didapatkan akan disajikan secara deskriptifuntuk kuesioner, sedangkan data iodium urin akan dia-nalisis dengan menggunakan t-test untuk melihat perbe-daan antara kelompok kontrol dengan kelompok kasus.

3. Hasil dan Pembahasan3.1 Karakteristik Responden PenelitianSubyek pada penelitian ini adalah anak usia sekolahdasar kelas 4-6 yang bertempat tinggal dan bersekolahdi daerah pantai sebagai kelompok kontrol dan siswasekolah dasar yang bertempat tinggal dan bersekolahdi daerah dataran tinggi sebagai kelompok kasus. Darihasil penelitian didapatkan karakteristik umum sebagaiberikut.

Tabel 1. Lama Pemberian Antibiotik Profilaksis Pada PasienLuka Trauma

Karakteristik persentase (%), frekuensi (n)Umur Kontrol<10 tahun 2, (n=1)10 tahun 38, (n=19)11 tahun 52, (n=26)12 tahun 8, (n=4)>12 tahun 0, (n=0)

Kasus<10 tahun 4, (n=2)10 tahun 53, (n=27)11 tahun 29, (n=15)12 tahun 10, (n= 5)>12 tahun 4, (n=2)

Jenis kelamin KontrolLaki-laki 48, (n=24)

Perempuan 52, (n=26)

KasusLaki-laki 47, (n=24)

Perempuan 53, (n=27)

Dari table terlihat umur subyek penelitian di dae-rah pantai (kontrol) terbanyak adalah 11 tahun 95,2%)dan di daerah dataran tinggi (kasus) terbanyak adalah10 tahun (53%), sedangkan jenis kelamin terbanyak didaerah kontrol adalah perempuan (52%) dan di daerahkasus yang terbanyak juga siswa perempuan (53%)

Jurnal Kedokteran

Page 17: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

14 Ekawanti, dkk

3.2 Kadar Iodium Urin Siswa Sekolah DasarKadar iodium urine dari kedua daerah dan hasil uji per-bandingan kadar iodium antara kedua daerah denganmenggunakan uji t adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Kadar iodium urinAsal subyek Kadar iodium (µg/L)

KontrolRerata ± SD 215,74 ± 74.9

Median 218Kasus

Rerata ± SD 223,39 ± 91,8Median 236

Median urin kelompok kontrol didapatkan 218 µg/Ldan median urin kelompok kasus didapatkan 236 µg/L.Dari uji rerata antara kelompok kontrol dan kasus dida-patkan p=0,637 pada confident interval 95%, sehinggadidapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna.

Tabel 3. Sebaran kadar iodim urin siswa SDMedian kadar iodium (µg/L) Persentase (%)

Kelompok Kontrol<20 0

20-49 050-99 3,4 (n=2)

100-200 37,9 (n=22)201-299 48,3 (n=28)>300 10,3 (n=6)

Kelompok Kasus<20 0 (n=0)

20-49 0 (n=0)50-99 9,8 (n=5)

100-200 33,3 (n=17)201-299 41,2 (n=21)>300 15,7 (n=8)

Dari table 4.3 dapat terlihat bahwa tidak ada medianurin yang menunjukkan asupan iodium yang kurang. Didaerah pantai didapatkan UIE 50-99 µg/L sebesar 3,4%,100-200 µg/L sebesar 37,9%, 201-300 µg/L sebesar48,3% dan >300 µg/L sebesar 10,3%. Di daerah pegu-nungan juga tidak didapatkan defisiensi sedang sampaiberat, UIE 50-99 µg/L sebesar 9,8%, 100-200 µg/L se-besar 33,3%, 201-300 µg/L sebesar 41,2% dan >300µg/L sebesar 15,7%

3.3 Faktor yang Berkaitan dengan konsumsi Io-dium

Tabel berikut memperlihatkan tentang tingkat konsumsidan factor yang mempengaruhi tingkat konsumsi garamberyodium

Penelitian ini dilakukan di dua daerah, yang per-tama daerah dengan kemudahan mendapatkan bahanmakanan yang mengandung iodium yaitu daerah pantaidiwakili oleh sekolah dasar (SD) di kecamatan Ampen-an . Daerah yang merepresentasikan daerah dengankesulitan mendapatkan bahan makanan yang mengan-dung iodium adalah daerah pegunungan, dalam hal inidiwakili oleh SD di kecamatan Bayan yang terletak pada

Tabel 4

Karakteristik konsumsi iodiumPersentase

Tingkat pengetahuan tentang fungsigaram yodium- dataran rendah 19%- dataran tinggi 78%

Tingkat konsumsi garam yodium- dataran rendah 81%- dataran tinggi 33%

Sumber pengetahuan- Petugas kesehatan 38,5%- Media massa 11,1%- Orang tua 6,8%- Guru 14,9%- Teman 1,2%

ketinggian 600 m di atas permukaan laut. Daerah yangterletak di ketinggian merupakan daerah yang jauh darisumber iodium yaitu laut.

Dari data gambaran umum didapatkan umur terba-nyak yaitu usia 10 tahun dan 11 tahun, umur ini sudahmemenuhi syarat WHO untuk skrining kadar iodiumpada anak usia sekolah minimal dilakukan pada usia6 tahun, sehingga usia yang diambil dalam penelitia-an ini sudah memenuhi syarat minimal dari WHO, adabeberapa anak yang berusia lebih dari 12 tahun dalampenelitian ini tetap dimasukkan dalam data penelitianini.7

Penilaian status iodium suatu populasi salah satuindicator yang mementukan adalah median urin padaanak usia sekolah. Pada penelitian ini didapatkan nilaimedian urin untuk sekolah daerah pantai adalah 218µg/L dan sekolah di daerah dataran tinggi didapatkanmedian urin 236 µg/L, dari hasil uji beda rerata jugadidapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna padatingkat kepercayaan 95%. Dari hasil ini kedua daerahpenelitian tersebut berada pada kelompok yang berisikoterinduksi hipertiroidisme karena iodium. Status iodi-um urin dalam penelitian ini berada pada kondisi yangsama dengan median nasional, yaitu 229 µg/L. Jika di-bandingkan dengan Sartini (2012) median urin dalampenelitian ini masih lebih rendah dibandingkan dengananak SD di Brebes Jawa Tengah dengan median urinsebesar 346 µg/L, pada kelompok tersebut sudah masukpada kelompok dengan risiko penyakit autoimun.8

Distribusi median urin yang diperoleh dalam pene-litian ini di daerah pantai didapatkan UIE 50-99 µg/Lsebesar 3,4%, 100-200 µg/L sebesar 37,9%, 201-300µg/L sebesar 48,3% dan >300 µg/L sebesar 10,3%. Didaerah pegunungan juga tidak didapatkan defisiensi se-dang sampai berat, UIE 50-99 µg/L sebesar 9,8%, 100-200 µg/L sebesar 33,3%, 201-300 µg/L sebesar 41,2%dan >300 µg/L sebesar 15,7%. Dibandingkan dengandistribusi UIE Indonesia dengan distribusi 50-99 µg/Lsebesar 5,2%, 100-299 µg/L sebesar 28%,>300µg/L se-besar 26,2%, maka persentase kejadian defisiensi ringan

Jurnal Kedokteran

Page 18: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Gambaran Komsumsi dan kadar Iodium Urin pada Anak SD 15

di daerah pegunungan masih lebih tinggi dibandingkandengan status nasional dan di daerah pantai ditemukantingkat defisiensi yang lebih rendah dibandingkan na-sional. Kadar optimum iodium yang dibutuhkan di dae-rah pantai lebih tinggi dibandingkan dengan persentasenasional, demikian juga di daerah pegunungan.9 Padapenelitian ini tidak dikumpulkan data besarnya asupangaram iodium atau kecukupan asupan garam iodium se-hingga tidak bisa dikatakan bahwa dengan dominannyapersentase optimum sebanding dengan berhasilnya pro-gram konsumsi garam iodium. Defisiensi ringan masihdidapatkan pada daerah dengan sumber iodium yangcukup, yaitu daerah pantai. Walaupun kadar ini masih dibawah persentase nasional, namun memerlukan analisislebih jauh tentang faktor yang menjadi penyebab defi-siensi tersebut apakah faktor pengambilan sampel yangkurang mendapatkan pengawasan, ataukah karena faktorkonsumsi yang rendah sehingga memerlukan penelitianlebih lanjut.

Dari data pengetahuan dan perilaku siswa didapatk-an pengetahuan di daerah pegunungan lebih tinggi di-bandingkan dengan daerah pantai, sedangkan perilakupemakaian garam iodium di keluarga di daerah pegu-nungan lebih rendah dibandingkan dengan daerah pantai.Kondisi ini tidak mencerminkan kecukupan konsumsigaram iodium karena tingkat konsumsi garam iodiumNTB tahun 2010 sebesar 60%. Dari sumber informasitentang pentingnya iodium bagi kesehatan paling banyakdidapatkan dari tenaga kesehatan, sehingga sumber in-formasi penyuluhan dari tenaga kesehatan memegangperanan yang sangat penting dalam menambah pengeta-huan dan merubah perilaku masyarakat.

4. KesimpulanKesimpulan dalam penelitian ini adalah tidak terdapatperbedaan kadar iodium urin pada siswa SD di PulauLombok dan Kadar Iodium Urin tidak mempengaruhipertumbuhan siswa SD.

Daftar Pustaka1. Vitti P, Delange F, Vincera A, Zimmermann M, JT

D. Europe is Iodine Deficient. Lancet. 2003;p.361:1226.

2. Anonim. NTB Dalam Angka. NTB Post;.

3. Kartono D, Mulyantoro D. Asupan IodiumAnak Usia Sekolah di Indonesia. Gizi Indonesia.2010;33(1):8–19.

4. Zimmermann MB. Iodine Deficiency. End J.2009;30(4):376:408.

5. Gowachirapant S, Winichagoon P, Wyss L, Tong B,Baumgartner J, Bonstra A, et al. Urinary IodineConcentration Indicate Iodine Deficiency in PregnantThai Women but Iodine Sufficiency in their School-Aged Chidren. The Journal of Nutrition. 2009;.

6. Ristic-Medic D, Piscackova G, Hooper L, RuprichJ, Casgrain A, Ashton K, et al. Method of Assess-ment of Iodine Status in Human. Am J ClinNutr.2009;89suppl:2052S–69S.

7. Organization WH. Urinary Iodine Concentrationfor Determining Iodine Status in Population. WHOGeneva. 2013;.

8. Sartini DN. Hubungan Antara Ekskresi Iodium Urindan Ekskresi Tiosianat Urin dengan Total Goiter Rate.Semarang: Universitas Diponegoro. 2012;.

9. Organization WH. Global Prevalens of Iodine Defi-ciency Disorders. div Indonesia WHO Nutrition DivGeneva. 2006;.

Jurnal Kedokteran

Page 19: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Jurnal Kedokteran 2016, 5(3): 16-20ISSN 2527-7154

Tingkat Kepuasan Pasien Jamkesmas TerhadapPelayanan Rawat Jalan Pusat KesehatanMasyarakat Ampenan Tahun 2013Anies Dyaning Astuti, I Komang Gerudug, Arfi Syamsun

AbstrakPendahuluan: Puskesmas merupakan pelayanan kesehatan lini pertama yang menyelenggarakanupaya kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan, kemampuan hidup sehat setiappenduduk. Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan dengan menitik beratkan pada kualitaspelayanan. Salah satu indikator kualitas pelayanan kesehatan adalah tingkat kepuasan pasien.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tingkat kepuasan pasien Jamkesmasterhadap pelayanan rawat jalan di Puskesmas Ampenan.Metode: Desain penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional. Sam-pel diambil dengan consecutive sampling terhadap 70 pasien yang termasuk kriteria inklusi. Alatpengumpul data menggunakan kuesioner yang telah diuji validasi terlebih dahulu.Hasil: Hasil penelitian secara umum menunjukkan tingkat kepuasan pasien pada variabel tangibledidapatkan hasil tidak puas 4,3%, cukup puas 64,3%, puas 28,6%, sangat puas 2,9%. Berdasarkanvariabel empathy didapatkan hasil tidak puas 1,4%, cukup puas 35,7%, puas 38,6%, sangat puas24,3%. Berdasarkan variabel reliability didapatkan hasil tidak puas 1,4%, cukup puas 21,4%, puas62,9%, sangat puas 14,3%. Berdasarkan variabel responsiveness didapatkan hasil tidak puas 1,4%,cukup puas 22,9%, puas 70%, sangat puas 5,7%. Berdasarkan variabel assurance didapatkan hasiltidak puas 1,4%, cukup puas 21,4%, puas 68,6%, sangat puas 8,6%.Kesimpulan: Secara umum tingkat kepuasan pasien Jamkesmas adalah sudah merasa puas (53,74%)terhadap pelayanan rawat jalan di Puskesmas Ampenan.

KatakunciKepuasan pasien, Jamkesmas, Rawat jalan, Puskesmas

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram*e-mail: [email protected]

1. Pendahuluan

Kesehatan adalah hak dan investasi, dan semua warganegara berhak atas kesehatannya, termasuk masyarakatmiskin. Berdasarkan WHO tahun 1948 kesehatan ada-lah suatu keadaan sejahtera, sempurna fisik, mental dansosial, tidak terbatas pada bebas dari penyakit atau kele-mahan apa saja. Oleh karena itu diperlukan suatu sistemyang mengatur pelaksanaan, bagi upaya pemenuhan hakwarga negara untuk tetap hidup sehat, dengan meng-utamakan pada pelayanan kesehatan bagi masyarakatmiskin.1

Menurut Mote (2008), kualitas kesehatan masyara-kat Indonesia tergolong rendah, terutama masyarakatmiskin. Hal ini dikarenakan mahalnya biaya pelayanankesehatan yang harus dibayar. Mahalnya biaya pela-yanan kesehatan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitusifat pelayanan yang padat modal, padat teknologi danpadat karya sehingga menyebabkan modal yang ditanamsemakin besar dan dibebankan pada biaya perawatan.2

Departemen Kesehatan Repubik Indonesia melakuk-an beberapa upaya untuk memenuhi hak kesehatan ma-

syarakat miskin yang telah di amanatkan dalam undang-undang. Salah satu upaya yang dijlankan adalah pro-gram Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).1

Menurut Permenkes (2011), Jamkesmas merupakanpenjaminan pelayanan kesehatan terhadap masyarakatmiskin dan tidak mampu dengan menggunakan prin-sip asuransi kesehatan sosial. Pelaksanaan ProgramJamkesmas bertujuan untuk memberikan acuan bagibeberapa lembaga pemerintah dan pihak yang terkait,dalam rangka: Memberikan kemudahan dan akses pe-layanan kesehatan kepada peserta di seluruh jaringanfasilitas kesehatan Jamkesmas; mendorong peningkatanpelayanan kesehatan yang terstandar bagi peserta, tidakberlebihan sehingga terkendali mutu dan biayanya; danterselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparandan akuntabel.3

Salah satu sarana pelayanan primer yang mempu-nyai peran sangat penting dalam memberikan pelayanankesehatan kepada masyarakat adalah Puskesmas. Pus-kesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas KesehatanKabupaten/Kota yang bertanggung jawab terhadap pem-bangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Puskesmasberperan menyelenggarakan upaya kesehatan untuk me-

Page 20: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Tingkat Kepuasan Pasien Jamkesmas di PKM Ampenan 17

ningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidupsehat bagi setiap penduduk agar memperoleh derajatkesehatan yang optimal.4

Menurut Lerger dalam Tjahjawidada (2010) kepuas-an pasien dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :sikap staf terhadap pasien pada saat pertama kali datang;kualitas perawatan yang diterima oleh pasien; proseduradministrasi; fasilitas umum yang lain, seperti keber-sihan tempat pelayanan, makanan, dan minuman; sertahasil pengobatan yang diterima oleh pasien yaitu pera-watan yang berkaitan dengan penyembuhan penyakit.5

Namun menurut Sarwono dalam Tjahjawidada (2010)selain beberapa faktor yang berhubungan dengan mana-jemen pelayanan kesehatan, kepuasan pasien juga dipe-ngaruhi karakteristik pasien itu sendiri, seperti: umur,jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, si-kap mental, dan kepribadian seseorang.5

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik mengenaiprofil kesehatan Kota Mataram tahun 2008 Jumlah pen-duduk miskin terbanyakdi Kota Mataram adalah beradadi Kecamatan Ampenan yakni sebanyak 12.446 jiwa.Berdasarkan laporan tahunan Puskesmas Ampenan ta-hun 2011 Jumlah kunjungan Pelayanan Rawat JalanTingkat Pertama (RJTP) masyarakat miskin di Puskes-mas Ampenan adalah sebanyak 22.221 Kunjungan. Atasdasar latar belakang tersebut peneliti ingin membuktik-an bagaimana tingkat kepuasan pasien Jamkesmas rawatjalan dengan kuesioner yang dibagikan langsung padapasien di puskesmas.6

2. Metode2.1 Rancangan PenelitianJenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif ana-litik dengan rancangan penelitian cross-sectional. Pe-nelitian dilaksanakan di Puskesmas Ampenan Mataram.Pengambilan data dilaksanakan selama 1 bulan yaknibulan Desember 2013.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasienJamkesmas yang berobat dan berkunjung ke PuskesmasAmpenan Mataram. Sampel dalam penelitian ini adalahpasien rawat jalan yang terdaftar sebagai peserta Jamin-an Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) di PuskesmasAmpenan yang termasuk dalam kriteria inklusi. Sampeldiambil secara consecutive sampling. Peneliti mengam-bil semua subjek yang masuk kriteria inklusi sampaijumlah subjek minimal terpenuhi yakni 70 sampel.

Sampel pada penelitian ini meliputi: Pasien Jamkes-mas yang berkunjung ke Puskesmas Ampenan; Pasienyang bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan di-wawancarai; Pasien dalam keadaan sadar dan mampuberkomunikasi dengan lancer; Pasien anak-anak yangdiwakili orang tuanya atau keluarga terdekat. Pasienyang tidak digunakan dalam penelitian ini adalah pasienyang mengalami keterbatasan waktu dan atau komunika-si ketika proses penelitian berjalan sehingga pengisiankuesioner maupun informed consent tidak lengkap.

2.2 Uji Validitas dan ReliabilitasInstrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitumenggunakan kuesioner. Kuesioner yang digunakandalam penelitian ini sebelumnya telah dilakukan uji va-liditas dan reliabilitas, sehingga semua butir pertanyaandalam kuesioner telah valid dan reliabel serta dapat di-gunakan untuk mengukur variabel-variabel penelitian.Teknik pengumpulan data primer yang digunakan dalampenelitian adalah dengan metode wawancara.

2.3 Metode Analisis DataAnalisis data yang digunakan dalam penelitian ini ada-lah analisis univariat. Analisis univariat dilakukan un-tuk memperoleh gambaran dari masing-masing variabel,disajikan dengan cara deskriptif dalam bentuk tabel dis-tribusi frekuensi. Persentase variabel dalam penelitianini yakni tangible, emphaty, reliability, responsiveness,dan assurance akan ditampilkan dalam bentuk tabel dangrafik.

3. Hasil dan Pembahasan3.1 Karakteristik PasienSampel penelitian adalah 70 orang yang melakukan pe-ngobatan rawat jalan pada Puskesmas Ampenan. Sam-pel perempuan berjumlah 57 (81,4%) dan sampel laki-laki berjumlah 13 orang (18,6%). Pasien berusia 21-30 dan 30-40 tahun merupakan responden terbanyakmasing- masing sebanyak 20 orang (28,6%). Tingkatpendidikan terbanyak yakni pasien dengan pendidikanterakhir SD dan SMP masing-masing sebanyak 23 orang(32,9%). Mayoritas pasien yang menjadi sampel dalampenelitian ini adalah pasien yang tidak bekerja yakni 40orang (57,1%).

3.2 Tingkat Kepuasan Pasien Jamkesmas ter-hadap Pelayanan Rawat Jalan di Puskes-mas Ampenan Berdasarkan Variabel Tangi-bles (Bukti Langsung)

Berdasarkan kebersihan bangunan Puskesmas jumlahpasien yang cukup puas sebanyak 45,7% karena secarakeseluruhan bangunan sudah terlihat bersih. Salah seo-rang pasien juga mengaku bahwa Puskesmas Ampenanmerupakan Puskesmas yang terbersih dari semua Pus-kesmas di Kota Mataram yang pernah dikunjungi olehpasien tersebut. Sebesar 11,4% pasien menyatakan tidakpuas karena saat ramai pengunjung Puskesmas menjadikotor dan tenaga kebersihan juga sangat sedikit sekalijumlahnya.

Pasien yang menyatakan puas sebesar 38,6% padapertanyaan kenyamanan dan kebersihan ruang tungguhal ini disebabkan karena ruang tunggu memiliki kur-si yang cukup, namun beberapa pasien tidak mendapatkursi saat pasien sedang banyak berkunjung. Pada Pus-kesmas Ampenan hari ramai pengunjung biasaanya harisenin, selasa, dan rabu. Hal ini menyebabkan pasien ha-rus berdiri sehingga dari jumlah sampel sebanyak 24,3%merasa tidak puas dengan kenyamanan dan kebersihanruang tunggu.

Jurnal Kedokteran

Page 21: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

18 Astuti, dkk

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Asroridkk tahun 2013 dimana kondisi di dalam ruang peme-riksaan sangat nyaman, selain itu ruang tunggu untukpasien juga sangat nyaman, tidak berdesakan namunpada hari pasar yaitu senin, kamis, dan sabtu, pasienyang berkunjung lebih banyak dari hari biasanya yangmengakibatkan banyak pasien mengeluh karena terlalulama menunggu antrian dan terlalu berdesakannya ruangtunggu.7

Kebersihan dan kegunaan kamar mandi atau/wc men-dapatkan angka cukup puas 42,9% karena pasien meng-aku bahwa kamar mandi cukup bersih dan nyaman digu-nakan. Beberapa pasien mengaku kamar mandi dan wcdi Puskesmas Ampenan tidak selalu bersih, terkadangpasien sempat menemui kamar mandi dalam keadaankotor dan bau sehingga membuat pasien tidak puas. Pasi-en yang tidak puas dengan kebersihan dan kenyamanankamar mandi/wc di Puskesmas sebesar 30% dan yangsangat tidak puas sebesar 1,4%. Keberadaan tempatsampah di Puskesmas menurut 50% pasien sudah cu-kup namun dirasa kurang bagi 28,6% pasien karena dibagian halaman hanya terdapat 1 tempat sampah. Ru-ang pemeriksaan juga sudah cukup rapi karena sebesar45,7% pasien menyatakan cukup puas dengan kerapianruang pemeriksaan dan 45,7% pasien sudah puas dengankebersihan dan kerapian ruang pemeriksaan.

Secara keseluruhan pasien sudah puas terhadap pe-nampilan dan kerapian tenaga kesehatan sehingga seki-tar 55,7% pasien puas dan 11,4% pasien menyatakansangat puas. 42,9% pasien sudah puas dengan papan in-formasi yang sudah ada di Puskesmas Ampenan, semen-tara 21,4% pasien mengaku tidak puas karena tulisannyaterlalu kecil.

3.3 Tingkat Kepuasan Pasien Jamkesmas ter-hadap Pelayanan Rawat Jalan di Puskes-mas Ampenan Berdasarkan Variabel Em-pathy (Empati)

Berdasarkan data yang diperoleh mengenai empati te-naga kesehatan terhadap pasien baik dari waktu yangdiberikan untuk memeriksa pasien dan jalan keluar yangdiberikan tenaga kesehatan selama pasien konsultasi se-bagian besar pasien sudah merasa puas yakni sekitar44,3% pasien sudah merasa puas bahkan sekitar 12,9%merasa sangat puas terhadap waktu yang dan solusi yangdiberikan oleh tenaga kesehatan terhadap keluhan pasi-en.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Iqbaltahun 2009. Pasien yang bertindak sebagai respondensudah memiliki kepuasan yang cukup terhadap empatiyang diberikan oleh tenaga kesehatan.8

Pasien sudah merasa puas terhadap sikap tenagakesehatan yang ramah dan murah senyum hal ini di-buktikan dengan 45,7% pasien puas dan 20% pasiensangat puas terhadap keramahan dan sikap tenaga ke-sehatan yang murah senyum selama melayani pasien.Hasil tentang keramahan tenaga kesehatan ini sejalandengan hasil penelitian Mote tahun 2008 dimana pa-da penelitian tersebut 77,3% pasien mengakui bahwatenaga kesehatan di Puskesmas Ngresep ramah.2

Selain itu pasien juga sudah cukup puas dengan si-kap tenaga kesehatan yang melayani semua pasien tanpamembeda-bedakan status sosial. Pasien yang sudah me-rasa cukup puas adalah sebanyak 44,3% pasien.

3.4 Tingkat Kepuasan Pasien Jamkesmas ter-hadap Pelayanan Rawat Jalan di Puskes-mas Ampenan Berdasarkan Variabel Reli-ability (Keandalan)

Berdasarkan hasil penelitian mengenai prosedur pen-daftaran pada pasien sebanyak 44,3% pasien merasacukup puas dengan prosedur pendaftarannya karena se-karang untuk di loket pendaftaran sudah menggunakannomer urut sesuai kedatangan. Meskipun sebagian pa-sien merasa cukup puas dengan prosedur pendaftarandi Puskesmas Ampenan namun terdapat sekitar 18,6%pasien yang merasa tidak puas karena papan informa-si atau tulisan “loket” yang kurang besar. Kebanyakanpasien yang tidak puas dengan prosedur pendaftaran ada-lah pasien yang baru pertama kali datang ke PuskesmasAmpenan atau pasien yang sudah lama tidak berobat kePuskesmas Ampenan karena pasien tidak mengetahuibahwa posisi loket dan apotek sudah ditukar.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PuskesmasAmpenan Mataram sudah memiliki manajemen yangbagus dalam hal regristrasi pasien. Hal ini tidak sejalandengan penelitian sebelumnya oleh Iqbal tahun 2009dimana terdapat ketidak puasan pasien pada proses re-gristasi.8

Sebagian besar pasien sudah merasa puas terhadappelayanan tenaga kesehatan dalam memberikan infor-masi mengenai penyakit pasien dan dalam menjelaskancara minum obat yakni seitar 62,9% dan 21,4% pasienmerasa sangat puas terhadap tenaga kesehatan dalammenjelaskan mengenai cara minum obat. Sebagian besarpasien juga mengakui bahwa tenaga kesehatan mene-rangkan terlebih dahulu jika ada tindakan yang akandilakukan yakni sebesar 61,4%.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pang-gato dkk pada tahun 2011 dimana pasien yang bertindaksebagai responden sudah memiliki kepuasan yang cukupterhadap pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehat-an yakni sekitr 76% pasien mengaku puas.9

Keseluruhan sampel dari penelitian ini merupakanpasien Jamkesmas dan sebanyak 51,4% pasien sudahmerasa cukup puas dan sudah dijelaskan oleh pihakPuskesmas mengenai tindakan dan obat yang tidak di-tanggung oleh Jamkesmas di Puskesmas Ampenan.

3.5 Tingkat Kepuasan Pasien Jamkesmas ter-hadap Pelayanan Rawat Jalan di Puskes-mas Ampenan Berdasarkan Variabel Res-ponsiveness (Ketanggapan)

Pada variabel Responsiveness atau ketanggapan seba-nyak 67,1% sudah merasa puas dan dilayani sesuai urut-an kedatangan, hanya sedikit pasien sekitar 4,3% pasienyang mengeluh tidak puas karena tidak dilayani sesu-ai kedatangan. 65,7% pasien juga merasa puas karenapasien merasa pengobatan dan perawatan yang diberik-an tenaga kesehatan di Puskesmas sudah sesuai dengan

Jurnal Kedokteran

Page 22: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Tingkat Kepuasan Pasien Jamkesmas di PKM Ampenan 19

keluhan pasien.Tenaga Kesehatan di Puskesmas juga sudah cukup

tanggap dalam melayani pasien. Hal ini dibuktikan olehpengakuan sebagian besar pasien yang merasa puas de-ngan ketanggapan tenaga kesehatan dalam melayani pa-sien yakni sebanyak 61,4% pasien. Petugas pelayanantambahan atau penunjang seperti petugas laboratoriumdan petugas di apotek juga melayani dengan cukup baikkarena sebanyak 31,4% merasa cukup puas dan 58,6%merasa puas dengan pelayanan dari petugas laboratori-um dan apotek.

3.6 Tingkat Kepuasan Pasien Jamkesmas ter-hadap Pelayanan Rawat Jalan di Puskes-mas Ampenan Berdasarkan Variabel Assu-rance (Kepastian)

Secara keseluruhan Puskesmas Ampenan sudah cukupbaik dalam penyediaan alat-alat kesahatan dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh pasien. Hal ini dibuktikandengan 22,9% pasien sudah cukup puas 71,4% pasienmerasa puas terhadap ketersediaan alat dan obat di Pus-kesmas, meskipun demikian terdapat 27,1% pasien yangtidak puas karena ada obat yang tidak tersedia di Pus-kesmas sehingga pasien perlu membeli obat di apotekdi luar Puskesmas.

Sebanyak 70% pasien dari 70 Sampel pasien merasaaman berobat di Puskesmas Ampenan karena keramahantenaga kesehatannya. Sebagian besar pasien juga merasapuas dengan kerahasiaan dari rekam medis pasien yakni62,9% pasien dan sebanyak 64,3% pasien juga merasapuas dengan terjaminnya privasi pasien di PuskesmasAmpenan.

3.7 Tingkat Kepuasan Pasien pada Semua Va-riabel

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata pasienmerasa puas (53,74%) terhadap pelayanan rawat jalan diPuskesmas Ampenan. Hal ini sejalan dengan penelitianAsrori dkk pada tahun 2013 dimana rata-rata pasienmerasa cukup puas (97%) terhadap pelayanan rawatjalan di Puskesmas Tanrutedong Sidenreng Rappang.7

Variabel pada penelitian ini yang menjadi faktor pa-ling dominan terhadap kepuasan pasien adalah variabelResponsiveness dimana sebanyak 70% sudah merasapuas. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasilpenelitan Iqbal pada tahun 2009 dimana faktor palingdominan yang mempengaruhi kepuasan pasien rawat jal-an di Puskesmas Taliwang adalah bukti fisik Puskesmasyakni sebesar 64,8% 8.

4. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan da-lam bab sebelumnya, maka dapat diambil suatu kesim-pulan berikut ini:

1 Secara umum tingkat kepuasan pasien Jamkesmasterhadap pelayanan rawat jalan di Puskesmas Am-penan adalah pasien merasa puas 53,74% denganpelayanan rawat jalan di Puskesmas Ampenan.

2 Berdasarkan hasil penelitian ini pada variabel ta-ngible didapatkan tingkat kepuasan pasien masihtidak puas pada kenyamanan ruang tunggu padahari ramai (24,3%), kebersihan WC (30%), danPuskesmas memiliki papan petunjuk dan informa-si yang jelas (21,4%). Tingkat kepuasan pasienyang paling tinggi adalah mengenai kebersihanbangunan Puskesmas secara keseluruhan dan pe-nampilan tenaga kesehatan yang sudah bersera-gam, rapi, dan bersih (11,4%).

3 Berdasarkan hasil penelitian ini pada variabel em-pathy didapatkan tingkat kepuasan pasien masihtidak puas pada pernyataaan tenaga kesehatanmendengarkan keluhan tentang penyakit yang di-keluhkan oleh pasien (41,4%). Tingkat kepuasanpasien paling tinggi atau pasien merasa sangatpuas adalah mengenai pernyataan tenaga kesehat-an melayani dengan bersikap sopan, ramah, danselalu tersenyum (20%).

4 Berdasarkan hasil penelitian ini pada variabel re-liability didapatkan tingkat kepuasan pasien ma-sih tidak puas pada pernyataan tenaga kesehatanmemberikan pelayanan dengan teliti dan hati-hati(24,3%). Pasien merasa sangat puas dalam hal te-naga kesehatan member tahu cara perawatan dancara minum obat (21,4%).

5 Berdasarkan hasil penelitian ini pada variabel res-ponsiveness didapatkan beberapa pasien yang ma-sih tidak puas dalam hal tenaga kesehatan membe-rikan pelayanan sesuai dengan penyakit, masalah,atau keluhan pasien yakni 7,1%. Sebagian be-sar pasien merasa puas dalam hal pasien dilayanisesuai urutan kedatangan (67,1%).

6 Berdasarkan hasil penelitian ini pada variabel as-surance didapatkan beberapa pasien yang masihtidak puas dalam hal dokter mampu menjawab se-tiap pertanyaan pasien secara meyakinkan yakni27,1%. Sebagian besar pasien merasa puas da-lam hal Puskesmas menyediakan obat-obatan danalat-alat medis yang memadai (71,4%) serta Dok-ter dan paramedis melayani dengan sikap ramahsehingga pasien merasa aman (70%).

Daftar Pustaka1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedom-

an Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jam-kesmas). Kementerian Kesehatan RI, Jakarta. 2008;.

2. Mote F. Analisis Indeks Kepuasan Masyarakat terha-dap Pelayanan Publik di Puskesmas Ngesrep Sema-rang. Universitas Diponegoro, Semarang. 2008;.

3. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Ke-sehatan Republik Indonesia Nomor 1097/MEN-KES/PER/VI/2011 Tentang Petunjuk Teknis Pela-yanan Kesehatan Dasar Jamkesmas. KementerianKesehatan RI. 2011;.

Jurnal Kedokteran

Page 23: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

20 Astuti, dkk

4. Menteri Kesehatan RI. Keputusan Menteri KesehatanRepublik Indonesia Nomor: 279 tahun 2006 TentangPedoman Upaya Penyelenggaraan Perkesmas di Pus-kesmas. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta. 2006;.

5. Tjahjawidada H. Pengaruh Mutu Pelayanan PrimaTerhadap Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Jalan diPusat Kesehatan Masyarakat Sumobito KabupatenJombang. Universitas Airlangga, Surabaya. 2010;.

6. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat.Profil Kesehatan Kota. BPS NTB, Mataram. 2008;.

7. Asrori, Nurhayani, Indar. Studi Kualitas PelayananKesehatan Pasien Jamkesmas pada Unit Rawat Jal-an di Puskesmas Tanrutedong Kabupaten SidenrengRappang tahun 2013. Universitas Hasanuddin, Ma-kassar. 2013;.

8. Iqbal M. Analisis Kepuasan Pasien Rawat Jalan pa-da Puskesmas Taliwang Kabupaten Sumbawa BaratTahun 2009 (Evaluasi terhadap Program PelayananKesehatan Gratis). Dinas Kesehatan Kabupaten Sum-bawa Barat, Nusa Tenggara Barat. 2009;.

9. Panggato S, Lampus BS, Wulan PJ. Tingkat Kepu-asan Pasien Rawat Jalan Terhadap Ketepatan WaktuPelayanan oleh Tenaga Kesehatan di Puskesmas Ra-notana Weru Kecamatan Wanea Kota Manado. Uni-versitas Sam Ratulangi, Manado. 2013;.

Jurnal Kedokteran

Page 24: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Jurnal Kedokteran 2016, 5(3): 21-26ISSN 2527-7154

Profil Penanganan Luka pada Pasien Trauma diInstalasi Gawat Darurat Rumah Sakit UmumProvinsi Nusa Tenggara BaratArif Zuhan, Hadian Rahman, Januarman

AbstrakLatar belakang: Luka terbuka mempunyai resiko untuk terjadinya infeksi yang serius dan dapatmenyebabkan kematian. Penanganan luka yang sesuai sangat penting untuk mengurangi terjadinyainfeksi pada luka.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskritif prospektif dengan metode cross-sectional tentangprofil penangan luka pada pasien trauma di IGD RSUP NTB. Subjek penelitian ini adalah pasien yangmengalami luka akibat trauma dan ditangani di IGD RSUP NTB. Penelitian ini menggunakan totalsampling. Pengambilan data dilakukan dari bulan Juli sampai September 2015.Hasil: Didapatkan 90 pasien luka akibat trauma yang terdiri dari 73% laki-laki dan 27% perempuan.Tindakan disinfeksi luka dilakukan pada 100% pasien, anestesi luka pada 65,6% pasien dan irigasiluka pada 97% pasien. Debridement luka dilakukan pada 13% pasien, penjahitan luka pada 61%pasien dan dressing luka pada 77% pasien. Antibiotik profilaksis diberikan pada 26% pasien danantitetanus profilaksis diberikan pada 28% pasien.Kesimpulan: Tindakan disinfeksi luka terutama menggunakan povidon iodin. Tindakan anestesi lukamenggunakan Lidocain dan irigasi luka menggunakan NaCl 0,9%. Tindakan penjahitan luka terutamamenggunakan jahitan simple suture. Antibiotik profilaksis terutama menggunakan Amoxicilin danantitetanus profilaksis terutama menggunakan ATS.KatakunciPasien, Trauma, Luka, Penanganan

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram*e-mail: [email protected]

1. PendahuluanTrauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka ataucedera. Dewasa ini trauma melanda dunia bagaikanwabah karena kehidupan modern penggunaan kendara-an dan senjata api semakin luas. Namun sering terjadipenelantaran sehingga menyebabkan kematian pada ke-lompok usia produktif. Hal ini dapat dicegah denganpenanggulangan yang optimal dari tempat kejadian sam-pai di rumah sakit.1

Luka merupakan hilang atau rusaknya sebagian ja-ringan tubuh. Keadaan ini disebabkan oleh trauma ben-da tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledak-an, sengatan listrik, atau gigitan hewan.1 Sekitar 1,5%populasi akan mengalami berbagai tipe luka pada sua-tu waktu. Sebagian besar merupakan luka minor atauakut dan sembuh tanpa kendala.2 Luka akibat traumamerupakan alasan tersering kedua untuk pasien datangke unit gawat darurat.3

Berdasarkan penelitian sebelumnya (Zuhan A, dkk,2014) didapatkan luka tersering yang didapatkan padapasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUPNTB adalah vulnus laceratum dan sebagian besar lukatermasuk luka kotor. Luka terbuka mempunyai resikountuk terjadinya infeksi bakteri yang serius pada luka,

antara lain gangren dan tetanus, dan nantinya dapat men-jadi disabilitas jangka panjang, luka kronis atau infeksipada tulang dan kematian. Penanganan luka yang se-suai sangat penting untuk mengurangi kecenderunganterjadinya infeksi pada luka.4

Luka dapat memberikan efek yang bervariasi terha-dap kualitas kehidupan yang mengalami luka, keluargadan yang memberikan perawatan luka. Penanganan pa-da luka ini bervariasi tergantung tenaga kesehatan, unitgawat darurat, dan letak geografis namun memiliki tu-juan yang sama.5 Dua dekade terakhir, telah banyakterjadi perubahan dalam penanganan luka. Sudah terda-pat kemajuan teknologi, penelitian dan pengembangandalam standar perawatan luka berdasarkan penelitiandan data klinis dari penyembuhan luka yang baik.6

Tatalaksana luka dan kulit yang efektif tergantungbagaimana dokter mengerti proses dari penyembuhan lu-ka dan mampu mengkolaborasikan antara pengetahuan,teori ke dalam praktek nyata. Para klinisi juga harus me-miliki kemampuan dalam mengidentifikasi dan menilaikapan luka dikatakan gagal mengalami penyembuhan.6

Penyebab luka harus ditentukan agar mendapatkan pe-nanganan yang lebih optimal dari tim multidisiplin yangberkaitan apabla diperlukan intervensi.2

Penanganan luka meliputi tindakan antisepsis, pem-

Page 25: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

22 Zuhan, dkk

bersihan luka, penjahitan luka, penutupan luka, pemba-lutan luka dan pemberian antibiotik dan antitetanus.7

Pembersihan dan irigasi luka merupakan prosedur yangpaling sering dilakukan ntuk menghilangkan jaringanyang rusak, bakteri, dan benda asing. Perawatan dasaruntuk pembersihan dan irigasi luka pada luka akut un-tuk mengurangi infeksi dan menimbulkan penyembuhanyang optimal. Tatalaksana luka tergantung pada tipeluka, lokasi luka, usia, ukuran luka, dan faktor pada pa-sien sendiri seperti usia dan ada tidaknya faktor penyulit.Infeksi pada luka meningkat sesai dengan usia pasien,diabetes, dan luka yang tidak beraturan.5

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untukmengetahui profil penanganan luka akibat trauma diInstalasi Gawat Darurat RSUP NTB. Data ini nantinyadapat dijadikan evaluasi untuk meningkatkan kualitaspenanganan luka guna mencegah timbulnya komplikasipada luka.

2. MetodePenelitian ini merupakan penelitian deskritif prospektifdengan metode cross-sectional tentang profil penangan-an luka akibat trauma di Instalasi Gawat Darurat (IGD)Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) Nusa Tengga-ra Barat (NTB). Penelitian ini dilakukan dalam jangkawaktu 3 bulan, yaitu dari bulan Juli sampai bulan Sep-tember tahun 2015. Subjek penelitian ini adalah pasienyang mengalami luka akibat trauma dan ditangani diIGD RSUP NTB. Pengumpulan data dilakukan dengancara total sampling. Data didapatkan langsung denganmenggunakan ceklist penelitian yang meliputi: identitaspasien, karakteristik luka dan penanganan luka. Varia-bel penanganan luka yang dianalisis meliputi: tindakandisinfeksi luka, anestesi luka, irigasi luka, debridementluka, penjahitan luka, dressing luka, pemberian antibi-otik profilaksis, dan pemberian antitetanus. Data yangsudah didapatkan kemudian dilakukan pengolahan datadan dilihat bagaimana gambaran penanganan luka padapasien trauma di IGD RSUP NTB.

3. Hasil dan PembahasanPengambilan data dilakukan sepanjang bulan Juli sam-pai September tahun 2015. Selama periode tersebutdidapatkan pasien yang mengalami luka akibat traumayang datang ke IGD RSUP NTB sebanyak 90 orang.Data yang diperoleh dari pasien-pasien tersebut antaralain identitas pasien, karakteristik luka dan penangan-an luka. Data identitas pasien yang dicatat meliputi:jenis kelamin, usia dan alamat tempat tinggal. Datamengenai karakteristik luka yang diamati meliputi: je-nis luka, klasifikasi luka, regio luka dan kontaminasiluka. Sedangkan untuk data penanganan luka yang di-amati meliputi: tindakan disinfeksi luka, anestesi luka,irigasi luka, debridement luka, penjahitan luka, dressingluka, pemberian antibiotik profilaksis dan pemberian an-titetanus profilaksis. Berikut ini adalah data-data yangdiperoleh dalam penelitian tersebut.

Gambar 1. Diagram Distribusi Usia Pasien BerdasarkanKriteria Usia Produktif menurut Bank Dunia

3.1 Jenis KelaminSepanjang bulan Juli sampai September tahun 2015 di-dapatkan 90 pasien yang mengalami luka trauma yangdatang ke IGD RSUP NTB. Berdasarkan jenis kelamindidapatkan bahwa laki-laki lebih sering mengalami lukaakibat trauma yaitu sebanyak 66 (73%) pasien diban-dingkan dengan perempuan sebanyak 24 (27%).

Data ini sesuai dengan data dari U.S Departementof Transportation yang mencatat dari total 33.561 ke-matian akibat kecelakaan kendaraan bermotor pada ta-hun 2012 didapatkan 71% terjadi pada laki-laki. Halini dikarenakan laki-laki lebih sering berkendara danlebih sering melakukan tindakan mengemudi yang ber-esiko termasuk tidak menggunakan sabuk pengaman,mengkonsumsi alkohol saat mengemudi dan berkenda-ra dengan kecepatan tinggi.8 Begitu juga data kejadiankecelakaan lalu lintas di seluruh dunia menunjukkankejadian pada laki-laki hampir 3 kali lipat dibandingkanpada perempuan.4

3.2 UsiaPasien yang mengalami luka trauma yang datang ke IGDRSUP NTB sepanjang bulan Juli sampai September ta-hun 2015 mulai dari balita sampai usia lanjut. Usia ter-muda didapatkan berusia 2 tahun dan usia tertua berusia85 tahun, dengan median usia yaitu 22 tahun. Distribusiusia pasien luka trauma disajikan berdasarkan kriteriausia produktif menurut Bank Dunia (World Bank). Usiaproduktif menurut Bank Dunia adalah usia 15–64 ta-hun. Gambar 1 menunjukkan distribusi usia pasien lukatrauma pada penelitian ini.

Hal ini sesuai dengan data WHO 2011 bahwa tra-uma terutama akibat kecelakaan terjadi lebih banyakpada kelompok usia produktif yaitu usia 22 - 50 tahun.Syamsuhidajat dan jong 2005 dalam buku ajar bedahmemaparkan hal serupa bahwa trauma menyebabkankematian utama pada kelompok usia kurang dari 35tahun.

3.3 Jenis LukaJenis luka pada penelitian ini dibagi menjadi luka tung-gal (satu buah luka) dan luka multipel (lebih dari satubuah luka). Data penelitian ini menunjukkan bahwasebagian besar luka trauma berupa luka tunggal yangdidapatkan pada 79 (88%) pasien, sedangkan luka multi-pel didapatkan pada 11 (12%) pasien. Luka trauma pada

Jurnal Kedokteran

Page 26: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Profil Penanganan Luka pada Pasien Trauma di IGD RSU Provinsi NTB 23

penelitian ini paling sering berupa vulnus laceratum yai-tu sebanyak 49 (54,4%) pasien, diikuti dengan vulnusexcoriatum sebanyak 26 (28,9%) pasien dan vulnus scis-sum sebanyak 4 (4,4%) pasien. Didapatkan juga lukamultipel yang terdiri dari vulnus laceratum dan vulnusexcoriatum pada 3 (3,3%) pasien.

Vulnus laceratum sering terjadi oleh karena kece-lakaan kendaraan lalu lintas. Hal ini sesuai denganpenelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zuhan A,dkk (2014) ditemukan bahwa jenis luka vulnus lacera-tum menjadi jenis luka tersering ditemukan pada kasustrauma akibat kecelakaan lalu lintas. Karakteristik lukavulnus laceratum adalah Luka yang terjadi akibat ke-kerasan benda tumpul yang kuat sehingga melampauielastisitas kulit atau otot misalnya kecelakaan lalu lintasatau kecelakaan lainnya. Bentuk luka tidak beraturan,tepi tidak rata dan kadang-kadang tampak luka lecetatau hematoma di sekitar luka.

3.4 Regio LukaRegio luka pada penelitian ini dikelompokkan berda-sarkan lokasi luka pada tubuh pasien yang meliputi:Kepala (Cranium), Leher (Colli), Dada (Thorax), Per-ut (Abdomen), Punggung (Dorsum), Panggul (Pelvis),Lengan (extremitas Superior) dan Tungkai (ExtremitasInferior). Berikut ini distribusi lokasi luka pada pasienluka trauma tersebut.

Gambar 2 menunjukkan bahwa lokasi luka palingsering terdapat pada regio extremitas inferior yaitu se-banyak 31 (34,4%) pasien, diikuti pada regio craniumsebanyak 28 (31,1%) pasien dan pada regio extremitassuperior sebanyak 19 (21,1%) pasien. Didapatkan jugaluka multipel yang mengenai regio extremitas superiordan inferior pada 4 (4,4%) pasien; Dan luka yang meng-enai regio cranium, extremitas superior dan extremitasinferior pada 3 (3,3%) pasien.

Hal ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian se-belumnya yang dilakukan oleh Zuhan A, dkk ( 2014) ditemukan bahwa region tersering pada kasus trau-ma dalah pada region Cranium. Dalam Buku ATLS(2008) menyebutkan bahwa cedera kepala merupakanluka yang sering didapatkan masuk IGD di Amerika.9

3.5 Kontaminasi LukaKontaminasi luka pada penelitian ini diklasifikasikanmenjadi luka kotor (luka terkontaminasi) dan luka bersih(luka tidak terkontaminasi). Penelitian ini menunjukkanbahwa 44% pasien mengalami kontaminasi pada luka-nya. Jumlah pasien dengan luka kotor (terkontaminasi)memang lebih sedikit dibandingkan dengan luka yangtidak terkontaminasi, namun bukan berarti penangananluka mulai dari disinfeksi luka, irigasi luka, debridementluka, penjahitan luka, pemnerian antibiotik profilaksisdan pemberian antitetanus profilaksis tidak dilakukan.

Dari 90 pasien yang datang ke IGD RSUP NTB se-panjang bulan Juli sampai September 2015, pada semuapasien dilakukan tindakan disinfeksi luka. Tindakandisinfeksi luka pasien tersebut menggunakan beberapabahan antiseptik antara lain povidon iodin, Perhidrol danSabun Antiseptik. Penelitian ini menunjukkan bahwa

bahan antiseptik yang paling sering digunakan seba-gai bahan antiseptik untuk tindakan disinfeksi luka yaitupovidon iodin pada 46 (51,1%) pasien dan dengan meng-gunakan kombinasi antara povidon iodin dan perhidrolpada 36 (40%) pasien. Didapatkan juga penggunaankombinasi 3 bahan antiseptik yaitu povidon iodin, per-hidrol dan sabun antiseptik pada 2 (2,2%) pasien.

Penanganan luka yang lebih cepat dan tepat akanmemberikan kualitas penyembuhan yang baik. Dari se-mua pasien yang mengalami trauma semua mendapatk-an penanganan di IGD RSUP NTB dengan penangananberupa tindakan disinfeksi luka 100%. dari semua pasi-en yang dilakukan disinfeksi luka 51.1% menggunakanpovidon iodin, 40% menggunakan povidon iodin danperhidrol sisanya menggunakan povidon iodin,prehidroldan sabun antiseptik. Disinfeksi ini bertujuan untukmembunuh kuman di sekitar luka dan luka agar tidak ter-jadi penjalaran infeksi saat akan melakukan penjahitanluka.10 luka vulnus laceratum yang dilakukan disinfeksidengan povidon iodin akan memberikan penyembuhanlebih sempurna dibanding dengan rivanol.

Dengan mempertimbangkan bahwa vulnus lacera-tum merupakan jenis luka yang terbanyak dalam pene-litian ini, maka urutan tindakan yang harus dikerjakanagar penyembuhan primer dapat tercapai adalah tindak-an disinfeksi, anestesi luka sebelum penjahitan, irigasiluka, penjahitan luka, dressing luka dan pemberian anti-biotika profilaksis.

3.6 Anestesi LukaPada penelitian ini dilakukan pengumpulan data menge-nai tindakan anestesi luka pada pasien luka trauma. Sela-in itu juga dilakukan pengumpulan data mengenai obatanestesi yang digunakan dan juga dosis obat anestesiyang diberikan pada pasien tersebut. Tindakan anestesiluka dilakukan pada 59 (65,6%) pasien, sedangkan pada31 (34,4%) pasien tidak dilakukan tindakan anestesi lu-ka. Obat anestesi yang digunakan sebagai obat anestesilokal pada pasien yang mengalami trauma tersebut seba-nyak 59 pasien (100%) menggunakan Lidocain. Dosispemberian Lidocain pada pasien-pasien yang mengala-mi luka akibat trauma tersebut didapatkan paling sedikit2 mL dan paling banyak yaitu 10 mL dengan mediandosis Lidocain yaitu sebanyak 3 mL.

3.7 Irigasi dan Debridement LukaTindakan irigasi luka dilakukan pada 87 (97%) pasien,sedangkan 3 (3%) pasien tidak dilakukan tindakan iri-gasi luka. Tindakan irigasi pada semua pasien tersebutdilakukan dengan menggunakan cairan NaCl 0,9%. vo-lume minimal cairan yang digunakan dalam melakukantindakan irigasi luka yaitu sebanyak 5 mL dan volumeterbanyak yang digunakan sebanyak 300 mL, denganmedian volume cairan yang digunakan yaitu sebanyak35 mL. Tindakan irigasi luka dengan tekanan dilakuk-an pada 46 (53%) pasien, sedangkan pada 41 (47%)pasien tindakan irigasi luka dilakukan tanpa tekanan.Debridement luka dilakukan pada 12 (13%) pasien, se-dangkan pada 78 (87%) pasien tidak dilakukan tindakandebridement luka.

Jurnal Kedokteran

Page 27: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

24 Zuhan, dkk

Gambar 2. Diagram Distribusi Regio Luka pada Pasien Trauma

Tindakan irigasi luka dilakukan pada 97% pasien,100% pasien diantaranya diirigasi lukanya dengan meng-gunakan NaCl 0,9%. Cairan NaCl 0,9% paling sering di-gunakan dalam tindakan irigasi luka pada pasien-pasientersebut. Irigasi luka menggunakan normal salin ataucairan NaCl 0,9% tidak lebih meninggikan rasio infeksijika dibandingkan dengan tap water. Artinya pengguna-an normal salin pada tindakan irigasi luka diperbolehk-an.3 Dan penggunaan normal salin sudah sangat seringdijumpai di semua rumah sakit besar dalam penangananirigasi luka. Bermacam metode irigasi luka untuk debri-demen luka saat ini dilakukan dan dibandingkan antaraNormal Salin, Iodophor dan Hidrogen Peroxide. Na-mun yang paling efektif membersihkan bakteri adalahNormal Salin. Irigasi luka untuk tindakan debridemenluka rutin sangat direkomendasikan pada tahap awal daripatah tulang terbuka di klinik -klinik trauma atau UintGawat Darurat.11

Teknik irigasi juga akan menentukan tingkat pe-nyembuhan luka. Irigasi yang baik akan membersihkanluka dari kotoran-kotoran yang akan menghambat pe-nyembuhan luka. Irigasi yang baik saat ini lebih baikmenggunakan larutan NaCl 0,9%.11 Irigasi dengan te-kanan akan mampu membersihkan seluruh debris yangada pada luka. Pada penelitian ini didapatkan bahwa53% dilakukan irigasi luka dengan tekanan menggunak-an siringe atau penekanan botol NaCl. Irigasi luka akanlebih efektif jika menggunakan teknik irigasi dengan te-kanan karena mampu mengeluarkan lebih banyak debrisdan material organik (bakteri, virus) dari permukaan lu-ka tanpa menyebabkan kerusakan pada jaringan-jaringansekitar luka.12 Pada penelitian ini ditemukan luka kotordan Vulnus Laceratum menjadi yang terbanyak diban-

ding jenis luka yang lain. Tindakan disinfeksi dan irigasimenggunakan normal salin untuk membersihkan konta-minan dari luka adalah tindakan yang selalu dilakukansebelum tindakan penjahitan luka.

3.8 Penjahitan LukaPenjahitan luka dilakukan pada 55 (61%) pasien, se-dangkan pada 35 (39%) pasien tidak dilakukan penja-hitan luka. Dari 55 pasien yang dilakukan tindakanpenjahitan luka, sebanyak 52 (94%) pasien dilakukanpenjahitan luka dengan teknik jahitan simple interupted,2 (4%) pasien menggunakan teknik jahitan matras dan1 (2%) pasien menggunakan teknik jahitan kombinasiantara teknik jahitan simple interupted dan matras. Jenisbenang yang paling sering digunakan pada penjahitanluka trauma adalah benang Silk yaitu pada 50 (91%)pasien, diikuti dengan penggunaan benang Plain CatGut pada 4 (7%) pasien. Didapatan juga penggunaankombinasi benang silk dan Plain Cat Gut pada 1 (2%)pasien. Ukuran benang yang paling sering digunakanpada penjahitan luka pasien adalah benang ukuran 3.0yaitu pada 23 (42%) pasien, diikuti dengan penggunaanbenang ukuran 2.0 pada 22 (40%) pasien dan pengguna-an benang ukuran 4.0 pada 8 (14%) pasien.

3.9 Dressing LukaTindakan dressing luka dilakukan pada 69 (77%) pasi-en, sedangkan pada 21 (23%) pasien tidak dilakukandressing luka. Dari 69 pasien yang dilakukan tindakandressing luka, sebagian besar jenis dressing yang di-gunakan adalah Conventional Dressing yaitu pada 67(97%) pasien, sedangkan pada 2 (3%) pasien menggu-nakan jenis modern dressing. Tidak ada satu metode

Jurnal Kedokteran

Page 28: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Profil Penanganan Luka pada Pasien Trauma di IGD RSU Provinsi NTB 25

dressing luka yang paling cocok untuk semua jenis lukatrauma. Berhasilnya penanganan luka tergantung padapemahaman dari proses penyembuhan luka dan variasidressing luka yang ada saat ini . Dressing luka digu-nakan untuk mengurangi kontaminasi luka dan menjagakelembaban luka agar proses penyembuhan luka lebihoptimal.13

3.10 Pemberian Antibiotik ProfilaksisAntibiotik profilaksis diberikan pada 23 (26%) pasien,dengan jenis antibiotik yang paling sering digunakansebagai antibiotik profilaksis adalah Amoxicilin yaitupada 15 pasien, diikuti ceftriaxon pada 5 pasien dancefotaxim pada 2 pasien. Dari 23 pasien yang diberikanantibiotik profilaksis, 14 pasien merupakan pasien de-ngan luka terkontaminasi, sedangkan 9 pasien denganluka tanpa kontaminasi. Antibiotik profilaksis palingsering diberikan pada vulnus leceratum yaitu sebanyak15 pasien, diikuti pada vulnus excoriatum sebanyak 3pasien dan vulnus morsum sebanyak 2 pasien. Lamapemberian antibiotik pada pasien yang mengalami lukatrauma dapat dilihat pada Tabel 1.

Pemberian antiobtika profilaksis juga merupakantindakan preventif untuk mencegah terjadinya infeksisekunder pada luka yang dijahit. Antibiotika profilaksisefektif untuk mengurangi risiko luka mengalami infeksi.Pemberian antibiotika profilaksis diindikasikan untukluka yang bersih dan luka yang terkontaminasi namunpenggunaan antibiotik profilaksis pada operasi yang ber-sih masih menjadi kontroversi.14 Adanya perbedaan inisedikit berbeda dengan teori yang menyatakan penjahit-an luka dan antibiotika profilaksis dapat mempercepatpenyembuhan primer dan mencegah infeksi sekunder.

3.11 Pemberian Antitetanus ProfilaksisPenelitian ini menunjukkan bahwa dari 25 pasien yangdiberikan antitetanus profilaksis, sebanyak 21 pasiendiberikan ATS, sedangkan 4 pasien diberikan HTIG.Dari 25 pasien yang diberikan antitetanus profilaksis,17 (68%) pasien merupakan pasien dengan luka bersih(luka tidak terkontaminasi), sedangkan 8 (32%) sisanyamerupakan pasien dengan luka kotor (luka terkontami-nasi).

Pemberian antitetanus profilaksis paling sering di-berikan pada pasien yang mengalami vulnus laceratumyaitu sebanyak 16 pasien, diikuti pada vulnus morsumsebanyak 3 pasien dan pada vulnus scissum sebanyak2 pasien. Pada 13 pasien diberikan ATS dengan dosis1.500 IU (International Unit) sebagai dosis antitetanusprofilaksis, 2 pasien diberikan ATS dengan dosis 3.000

Tabel 1. Lama Pemberian Antibiotik Profilaksis pada PasienLuka Trauma

No Jenis Antibiotik n Lama Pemberian1 Amoxicilin 15 3 – 7 hari2 Ampicilin 1 5 hari3 Ceftriaxon 5 1 – 3 hari4 Cefotaxim 2 Tidak ada datan = jumlah pasien yang menerima profilaksis

IU dan 6 pasien diberikan ATS dengan dosis 20.000 IU.Dari 4 pasien yang diberikan HTIG sebagai antitetanusprofilaksis, hanya 1 pasien yang mempunyai data do-sis pemberian HTIG, sedangkan 3 pasien lainnya tidakada datanya. Dosis HTIG yang diberikan pada 1 pasientersebut yaitu sebesar 250 IU.

Pemberian antitetanus profilaksis sebaiknya diberik-an pada luka-luka seperti fraktur terbuka, luka tusukyang dalam, luka terkontaminasi, luka dengan kompli-kasi infeksi pyogenik, luka dengan kerusakan jaringanyang luas, luka –luka dengan kontaminasi oleh tanah,kotoran kuda yang jelas terlihat. ATS merupakan se-rum yang mengandung antitoksin heterolog, pemberianATS didasarkan atas prinsip penanganan tetanus yaitumenetralisir tetanospasmin yang beredar bebas dalamsirkulasi (belum terikat dengan sistem saraf pusat). Pa-da penelitian ini 28% dari semua pasien yang menjadisampel penelitian diberikan profilaksis antitetanus. Pem-berian antitetanus diindikasikan pada luka-luka yang ter-kontaminasi dengan tujuan mencegah terjadinya tetanusdi kemudian hari.

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai profil penangan-an luka pada pasien trauma di IGD RSUP NTB sepan-jang bulan Juli sampai September tahun 2015, dapatdisimpulkan bahwa laki-laki lebih sering mengalamiluka akibat trauma dibandingkan dengan perempuan,sebagian besar pasien yang mengalami luka akibat tra-uma merupakan pasien usia produktif, luka terseringadalah vulnus laceratum, regio paling sering mengala-mi trauma adalah regio extremitas inferior, disinfektanpaling banyak digunakan adalah povidon iodin, cairanirigasi luka paling banyak berupa cairan NaCl 0,9%,hanya sebagian kecil luka akibat trauma yang dilakuk-an tindakan debridement, teknik jahitan simple suturemenggunakan jenis benang silk merupakan tindakanpenjahitan terbanyak, antibiotik profilaksis yang palingsering diberikan adalah amoxicillin dan ATS merupakanantitetanus yang paling sering diberikan di IGD RSUPNTB sebagai antitetanus profilaksis pada pasien lukaakibat trauma.

Daftar Pustaka1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah.

2nd ed.; 2005.

2. Kelly E, Tierny S, Apelqvist J, Dealey C. NationalBest Practice and Evidence Based Guidelines forWound Management. Ireland: Feidhmeannacht nasertblse Slante Health Service Executive. 2009;p.12,2.

3. Weiss EA, Oldham G, Lin M, Foster T, QuinnJV. Water is A Safe and Effective Alternative toSterile Normal Saline for Wound Irrigation Prior

Jurnal Kedokteran

Page 29: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

26 Zuhan, dkk

to Suturing: A Prospective, Double-blind, Ran-domised, Controlled Clinical Trial. BMJ open.2013;3(1):e001504.

4. WHO. Injury: A Leading Cause of the GlobalBurden of Disease. Geneva: World Health Organi-zation. 1999;.

5. Storer A, Lindauer C, Proehl J, Barnason S, BranC. Clinical Practice Guideline: Wound Preparation.Emergency Nurse Association. 2011;p. 1.

6. Wells C, Power L. Skin and Wound Care Manual.Eastern: newfoundland Labrador. 2008;p. 1.

7. Mansjoer Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran.Media Aesculapius FK UI Jakarta. 2000;3.

8. Insurance Institute for Highway Safety. Unpubli-shed Analysis of Data from the US Department ofTransportation’s Fatality Analysis Reporting Sys-tem and the National Household Travel Survey. Ar-lington, VA. 2013;.

9. Fildes John et al. 8th ed. USA; 2008. p. 73–81.

10. Wulandari A, Azis A, Aryanti N. Efektifitas Ke-sembuhan Luka Pada Penggunaan Rivanol DenganPovidone Iodine Terhadap Vulnus Laseratum. Jam-bi. 2013;.

11. Qian Cheng, Xiao-Fei Z, Dong-Hua D, Guo-YangZ, Xue-Wen C. Efficacy of Different Irrigation So-lutions on the Early Debridement of Open Fracturein Rats. Experimental and Therapeutic Medicine.2015;9(5):1589–1592.

12. Luedtke-Hoffmann KA, Schafer DS. Pulsed La-vage in Wound Cleansing. Physical Therapy.2000;80(3):292–300.

13. Carolina W, Geoff S. Wound Dressings Upda-te. Journal of Pharmacy Practice and Research.2006;36(4):318–324.

14. Bowater R, Stirling S, Lilford R. Is Antibio-tic Prophylaxis in Surgery A Generally Effecti-ve Intervention?: Testing A Generic HypothesisOver A Set of Meta-analyses. Annals of Surgery.2009;249(4):551–556.

Jurnal Kedokteran

Page 30: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Jurnal Kedokteran 2016, 5(3): 27-30ISSN 2527-7154

Oftalmopati pada Penyakit GravesSiti Farida, Pandu Tridana Sakti

AbstrakGraves Oftalmopati juga dikenal dengan, Tyroid Associated Ophtalmopathy (TAO) , penyakit matatyroid, dan penyakit Basedow’s (dalam bahasa Jerman), orbitopaty dystiroid, orbitopaty tiroid adalahgangguan inflamasi autoimmune dengan pencetus yang berkesinambungan. Dengan gambaran kliniskarakteristiknya satu atau lebih gambaran berikut yaitu retraksi kelopak mata, keterlambatan kelopakmata dalam mengikuti gerakan mata (lid lag), proptosis, myopati ekstraokuler restriksi dan neuropatyoptik progresif.Laporan kasus: penulis melaporkan 1 laporan kasus oftalmopati pada penyait graves pada pasienperempuan berusia 31 tahun. Pasien mengeluhkan kedua mata menonjol, mata kering, benjolan padaleher, mudah lelah, mudah lapar dan haus, berkeringat, tubuh terasa panas, dan berdebar-debar.Pada pemeriksaan fisik didapatkan proptosis pada kedua mata denan menggunakan eksoftalmometerhertel. Pasien juga dilakukan pemeriksaan kadar TSH. Pasien ditatalaksana dengan pemberianartificial tears dan kelopak diplester waktu tidur serta tatalaksana untuk kondisi hipertiroidnya.

Katakuncipenyakit Graves, oftalmopati.

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram*e-mail: bkmmntb [email protected]

1. PendahuluanOrbitopati terkait tiroid/thyroid-associated orbitopathy(TAO), sering disebut oftalmopati Graves, merupakanbagian dari proses autoimun yang dapat mengenai ja-ringan orbital dan periorbital, kelenjar tiroid, dan, lebihjarang, kulit pretibial atau digiti.1

Meskipun penggunaan istilah oftalmopati tiroid cu-kup meresap, proses penyakit sebenarnya merupakanorbitopati di mana jaringan lunak orbital dan periokularterpengaruh dengan efek sekunder pada mata.2

Graves oftalmopati lebih sering terjadi pada wanitaumumnya kulit putih (rasio 5:1) antara usia 30 sampai50 tahun. Exophtalmus berat dan neuropati optik komp-resif agak lebih sering terjadi pada pria berusia lanjut.Hal ini menunjukkan penyakit tiroid pada perokok re-latif lebih beresiko mengalami graves oftalmopati duakali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Alasanuntuk perbedaan ini tidak diketahui, tetapi kemungki-nannya adalah penurunan imunosupresi pada perokokdapat menyebabkan peningkatan ekspresi pada prosesimun.3

Tiroid terkait orbitopati bisa mendahului, bertepatan,atau mengikuti komplikasi sistemik dari distiroidisme.Manifestasi okular dari orbitopati tiroid termasuk retrak-si kelopak mata, proptosis, kemosis, edema periorbital,dan gangguan fungsional pergerakan okular. Dari pasi-en yang terkena, 20% menunjukkan morbiditas okulardari kondisi ini lebih menyulitkan dibandingkan dengankomplikasi sistemik distiroidisme.2

2. Laporan Kasus

Pasien perempuan, berusia 31 tahun, datang dengan ke-luhan kedua mata tampak menonjol. Pasien datang kepoliklinik Mata RSUP NTB dengan keluhan kedua mata-nya tampak menonjol. Keluhan ini dirasakan sejak lama± 1 tahun 3 bulan yang lalu. Awalnya 2 bulan sebelumkeluhan mata menonjol timbul, pasien mengeluh mudahlelah, mudah lapar dan haus, berkeringat, tubuh terasapanas, berdebar-debar, penurunan berat badan walaupunpasien merasa porsi makannya lebih banyak, dan barumenyadari adanya benjolan di leher. Kemudian setelahitu pasien mengeluh perlahan-lahan kedua mata pasiensemakin lama semakin membesar dan menonjol keluar,sulit untuk berkedip karena kelopak tampak menghilangsehingga mata menjadi kering dan kadang matanya men-jadi merah dan perih bila terkena angin, dan saat pasientidur kelopak mata tidak menutupi seluruh bola mata,namun pasien tidak memeriksakan dirinya ke dokter. Pa-sien baru memeriksakan diri ke dokter setelah keluhanberdebar-debar semakin dirasakan, pasien berobat kePoli Penyakit Dalam RS Kota Mataram dan didiagnosishipertiroid dan mendapatkan pengobatan propanolol 3 x5 mg dan propiltiourasil 1 x 50 mg. Pasien sudah men-jalani pengobatan tersebut selama 1 tahun, kemudian 2bulan yang lalu dokter spesialis penyakit dalam di RSUPNTB mengganti obat PTU dengan thiamazole 1 x 10 mg.Setelah menjalani pengobatan jangka panjang tersebutsaat ini pasien masih mengeluhkan matanya menonjolkeluar, dan saat ini kelopak mata sudah dapat menutupilebih dari 1

2 bola mata, mata merah, perih, dan keringmasih dirasakan oleh pasien terutama bila terkena angin.

Page 31: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

28 Farida & Sakti

Pasien menyangkal adanya pandangan kabur ataupunpenglihatan dobel.

Pasien menyangkal pernah mengalami penyakit ma-ta atau keluhan mata lainnya sebelum 1 tahun 3 bulanyang lalu. Pasien menyangkal adanya riwayat traumapada mata dan riwayat memakai kacamata. Pasien meng-akui bahwa saat didiagnosis hipertiroid tekanan darah-nya sering meningkat berkisar 140-150/90-100, namunsetelah menjalani pengobatan tekanan darahnya mulainormal 110-120/70-80. Pasien menyangkal adanya ri-wayat penyakit lain seperti diabetes mellitus. Pasienmerupakan seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal ditepi pantai sehingga mata sering terasa perih dan merahbila terkena angin pantai. Pasien tidak merokok.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital tekan-an darah 120/70 mmHg, nadi 100 kali/menit, frekuensinapas 20 kali/menit, suhu 36,8 derajat celcius. Padapemeriksaan daerah coli, tampak sebuah massa di mi-dline coli anterior ukuran 8 x 6 cm, ikut bergerak saatmenelan, bentuk difus, permukaan rata, nyeri (-), hipe-remis (-), konsistensi padat kenyal. Pada pemeriksaandidapatkan proptosis okuli dextra yakni 20 mm (manual)dan 20 mm (Eksoftalmometer Hertel), serta proptosisokuli sinistra yakni 18 mm (manual) dan 17 mm (Ek-softalmometer Hertel). Pada pemeriksaan penunjangdidapatkan nilai TSH <0,05 (N = 0,25 -0,5 Uul/ml) dannilai FT ¿100 (N = 9-20 Pmol/l)

3. DiskusiGraves ophtalmopaty merupakan penyebab paling umumdari proptosis bilateral dan unilateral mempengaruhi se-kitar 60%. Biasanya proptosis pada graves oftalmopatiadalah bilateral mungkin juga asimetris. Pasien yangdiduga mengalami penyakit mata tiroid harus diperiksaeksophtalmusnya dengan menggunakan eksohtalmome-ter hertel. Pada proptosis berat, penutupan kelopak matayang tidak sempurna dapat menyebabkan kekeringankornea disertai ketidaknyamanan dan penglihatannyamenjadi buram.2;4

Retraksi kelopak mata bagian atas sering merupakansalah satu tanda terjadinya TAO, muncul secara unila-teral atau bilateral pada sekita 90% pasien. Retraksikelopak mata bagian atas pada graves oftalmopati da-pat disebabkan karena tindakan berlebihan dari adrener-gik dari otot muller atau pada fibrosis dan pemendekanfungsional otot levator. Retraksi kelpak mata bagianatas pada penyakit graves memiliki karakteristik kilau-an temporal dengan jumlah sklera yang banyak terliharsecara lateral dibandingkan secara merata.1;2;5

Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun pa-da jaringan ikat di dalam rongga mata. Jaringan ikatdengan jaringan lemaknya menjadi hiperplasik sehing-ga bola mata terdorong keluar dan otot mata terjepit.Akibat terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan ru-saknya bola mata akibat keratitis. Gangguan faal ototmata yang menyebabkan strabismus.2;6

Reaksi histopatologis dari berbagai jaringan didomi-nasi oleh reaksi inflammatory sel mononuklear, ini khas

tetapi tidak ada arti terbatas, suatu mekanisme penyakitimmunologi. Endapan dari glycosaminoglikan (GAGs)seperti asam hyaluronad bersamaan dengan edema in-tertisial dan sel inflamatory dipertimbangkan menjadipenyebab dari pembengkakan berbagia jaringan di orbitadan disfungsi otot ekstraokuler pada tiroid oftalmopa-ti. Pembengkakan jaringan orbita menghasilkan edemakelopak mata, khemosis, proptosis, penebalan otot eks-traokuler dan tanda lain dari tiroid oftalmopati. Berikutini skema dari patogenesis graves oftalmpati.1;2;7

• Sirkulasi sel T pada pasien penyakit graves secaralangsung melawan antigen pada sel-sel foliku-lar tiroid. Pengenalan antigen ini pada fibroblasttibial dan pretibial (dan mungkin myosit ekstra-okular). Bagaimana lymfosit ini datang secaralangsung melawan self antigen. Penghapusannyaoleh sistem imun tidak diketahui secara pasti.

• Kemudian sel T menginfasi orbita dan kulit pre-tibial. Interaksi antar CD4 T sel yang teraktifa-si dan fibroblast menghasilkan pengeluaran sito-kin ke jaringan sekitarnya, khususnya interferon-interleukin-1 dan TNF.

• Sitokin-sitokin ini atau yang lainnya kemudianmerangsang ekspresi dari protei-protein immu-nomodulatory (72 kd heat shock protein mole-kul adhesi interseluler dan HLA-DR) di dalamfibroblas orbital seterusnya mengabadikan responautoimun pada jaringan ikat orbita.

• Lebih lanjut, sitokin-sitokin khusus (interferon-interleukin-1, Transforming Growth Factor, daninsulin like growth factor 1) merangsang produksiglycosaminoglikan oleh fibroblast kemudian me-rangsang proliferasi dan fibroblast atau keduanya,yang menyebabkan terjadinya akumulasi glyco-saminoglikan dan edema pada jaringan ikat orbi-ta. Reseptor tyrotropin atau antibosy yang lainmempunyai hubungan biologik langsung terhadapfibroblast orbital atau miosit. Kemungkinan lain,antibodi ini mewakili ke proses imun.

• Peningkatan volume jaringan ikat dan pengurang-an pergerakan otot-otot ekstraokuler dihasilkandari stimulasi fibroblast untuk menimbulkan ma-nifestasi klinis oftalmopaty. Proses yang samajuga terjadi di kulit pretibial akibat pengembang-an jaringan ikat kulit, yang mana menyebabkantimbulnya pretibial dermopathy dengan karakte-ristik berupa nodul-nodul atau penebalan kulit.

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, tandadan gejala yang terdapat pada pasien mengarahkan pa-da Graves Opthalmopaty. Diagnosa ini dipilih karenasesuai dengan keluhan pasien yaitu kedua mata tampakmenonjol keluar, kelopak mata tidak dapat menutupiseluruh bola mata sehingga menyebabkan mata terasakering, terkadang merah dan perih bila terkena angin, ke-mudian dari keluhan sistemik didapatkan gejala-gejala

Jurnal Kedokteran

Page 32: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Oftalmopati pada Penyakit Graves 29

yang mengarahkan ke diagnosis hipertiroid yaitu meng-eluh mudah lelah, mudah lapar dan haus, berkeringat,tubuh terasa panas, berdebar-debar, penurunan beratbadan walaupun pasien merasa porsi makannya lebihbanyak, dan baru menyadari adanya benjolan di leher.Dari pemeriksaan fisik umum ditemukan pembesarankelenjar tiroid, dan dari pemeriksaan fisik mata didapatk-an adanya eksopthalmus (perbedaan > 2mm OD danOS pada eksoftalmometer hertel yaitu OD 20 mm danOS 17 mm), lagopthalmus dimana fisura palpebra saatmenutup mata didapatkan ODS 5 mm, dan terdapat lidlag. Dari hasil pemeriksaan TSH dan FT4 yang dilakuk-an oleh Spesialis Penyakit Dalam didapatkan hasil TSH< 0,05 dan FT4 > 100, dan disimpulkan hipertiroid.1;2

Pada pasien didiagnosis ODS Graves OpthalmopathyClass III NOSPECS

Pada pasien diusulkan pemeriksaan ultrasonografidan CT scan. Ultrasonografi, dapat mendeteksi peru-bahan pada otot ekstraokuler dan membantu diagnosisyang cepat. Disamping dari ketebalan otot, erosi dindingtemporal dari orbita, penekanan lemak pada retroorbitadan inflamasi perineural dari saraf optik dapat juga di-perlihatakan pada beberapa kasus cepat. CT Scan, dapatterlihat proptosis, otot lebih tebal, saraf optik menebaldan prolaps anterior dari septum orbital (termasuk kele-bihan lemak orbital dan/atau pembengkakan otot).1;2;5

Penatalaksanaan utama graves oftalmopati adalahpenatalaksanaan untuk hipertiroidisme yang mutlak dila-kukan dengan pengobatan Tirostatika (PTU, tiamazole)untuk menghambat proses organifikasi (sintesis hormontiroid) dan sebagai imunosipresif, dan menghambat kon-versi T4 menjadi T3 di perifer. Serta pemberian Beta-Adrenergic antagonis (Propanolol) untuk mengurangidampak hormon tiroid pada jaringan.

Penatalaksanaan oftalmopati terdiri atas pengobatanmedis, operasi, dan penyinaran.1;2;5;6

1 Medika mentosa Pada keadaan ringan bisa me-nunggu sampai keadaan eutiroid tercapai, dimanapada sebagian besar penderita akan mengalamiperbaikan, walaupun tidak merupakan perbaikantotal.

• Stadium awal kelainan retraksi kelopak mata

o Artificial tears

o Kelopak diplester waktu tidur

• Retraksi kelopak mata disertai mata merah, lak-rimasi, fotobia

o Kompres dingin waktu pagi dan tidur de-ngan bantal tinggi

o Artificial tears

o Kacamata hitam

• Keluhan memberat, sehingga mata sungkar me-nutup sempurna, pergerakan bola mata terhambatdan adanya ancaman ulkus kornea dan gangguanvisus

o Prednison 40-80 mg/hari atau 1-1,5 mg/kgBB,dosis ini dipertahankan selama 2 hingga 4minggu sampai respon klinis dirasakan. Do-sis kemudian dikurangi sesuai respon klinisdari fungsi saraf optik.

o Methyl prednisolone 16-24 mg diberikanretrobulber

2 Radiasi Seperti kortikosteroid terapi radiasi pa-ling efektif dalam tahun pertama ketika perubah-an fibrotik yang signifikan belum terjadi. Iradiasiretrobulber (tidak boleh pada penderita diabetesmelitus) sering diakukan pada penderita oftalmo-pati Graves yang aktif dengan protrusis yang berat.Secara keseluruhan 60% hinggan 70% pasien me-miliki respon yang baik dengan radiasi, walaupunrekuren terjadi lebih dari 25% pasien. Perbaikandiharapkan selama 2 minggu hingga 3 bulan sete-lah terapi radiasi tetapi dapat berlanjut hingga 1tahun.

3 Operasi Beberapa pasien dengan TAO memerluk-an penanganan bedah, seperti dekompresi orbital,pembedahan strabismus dan pembedahan kelo-pak mata. Berbagai tindakan pencegahan perludilakukan agar oftalmopati tidak menjadi lebihberat.

• Kontol penyakit tiroid merupakan langkah uta-ma

• Pasien merokok sebaiknya ditekankan untukberhenti merokok. Oleh karena merokok ternyatamemperburuk oftalmopati

• Pasien dengan proptosis sebaiknya harus dipro-teksi misalnya dengan kacamata, atau cairan teteskhusus agar kornea selalu basah (artificial teas).

Prognosis dari graves oftalmopati dipengaruhi olehbeberapa faktor dan usia juga berperan penting. Anak-anak dan remaja umumnya memiliki penyakit yang ri-ngan tanpa cacat yang bermakna sampai batas waktuyang lama. Pada orang dewasa manifestasinya sedangsampai berat dan lebih sering menyebabkan perubahanstruktur disebabkan oleh karena gangguan fungsionaldan juga merubah gambaran kosmetik. Diagnosis di-ni orbitopati dan laporan pasien dengan resiko berat,progresifitas penyakit diikuti intervensi dini terhadapperkembangan proses penyakit dan mengontrol perubah-an jaringan lunak dapat mengurangi morbiditas penyakitdan mempengaruhi prognosis dalam jangka waktu la-ma.1;2;7

Daftar Pustaka1. K A. Graves’ ophthalmopathy (thyroid-associated

orbitopathy). Clin Surg Ophthalmol. 2007;25:386–392.

2. Ing E, Law S, Roy H. Thyroid-AssociatedOrbitopathy; 2016. Available from:

Jurnal Kedokteran

Page 33: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

30 Farida & Sakti

http://emedicine.medscape.com/article/1218444-overview.

3. Lubis R. Graves Ophtalmopaty. Departemen IlmuKesehatan Mata Fakultas Kedokteran RSUP AdamMalik. 2009;.

4. C B. Basic Ophtalmology. 8th Edition. SanFransisco-American Academy of Ophthalmology;2004.

5. K G. Lang. Ophtalmology : A Pocket Book Atlas.2nd Edition. Germany : Theime; 2004.

6. Iljas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. FakultasKedokteran Universitas Indonesia. 2007;.

7. J Kankski. Signs in Ophthalmology: Causes andDifferential Diagnosis. United Kingdom: Elsevier;2010.

Jurnal Kedokteran

Page 34: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Jurnal Kedokteran Unram 2016, 5(2): 31-38ISSN 2527-7154

Meningkatkan Efektivitas Umpan Balik dalamPendidikan KlinikDian Puspita Sari

AbstrakUmpan balik memainkan peranan penting dalam pendidikan klinik. Berbagai literatur telah menun-jukkan manfaat umpan balik dalam meningkatkan performa mahasiswa dan profesional. Namundemikian tidak semua umpan balik bermanfaat; beberapa bahkan dapat menghambat pembelajaran.Agar efektif untuk mendorong pembelajaran, umpan balik harus menjawab tiga pertanyaan pentingmengenai tujuan yang ingin dicapai, perbandingan kualitas performa saat ini dengan performa yangdiharapkan, serta petunjuk untuk pembelajaran selanjutnya. Selain itu, level fokus dari umpan balikjuga mempengaruhi efektivitasnya. Meski demikian artikel ini berargumen bahwa fokus yang sempitpada kualitas isi umpan balik saja tidak cukup karena pembelajar tidak pasif menerima umpan balikbegitu saja dan umpan balik tidak berlangsung dalam vakum. Pembimbing klinis perlu memahamiperan pembelajar dalam menerima dan memproses umpan balik serta peran budaya lingkungan bela-jar di kedokteran dalam memfasilitasi dan menghambat pertukaran umpan balik di pendidikan klinik.Artikel ini mendiskusikan cara-cara meningkatkan kualitas umpan balik berdasarkan pemahamanterhadap ketiga aspek ini: isi dan fokus umpan balik, proses penerimaan umpan balik oleh pembelajardan peran budaya lingkungan belajar.

Katakuncifeedback, effective feedback, clinical education, learning culture

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram*e-mail: [email protected]

1. PendahuluanTahap klinik dalam pendidikan kedokteran memilikikarakteristik yang berbeda dari pendidikan tahap aka-demik. Dalam pendidikan klinik, mahasiswa belajardi lingkungan pekerjaan yang sebenarnya, berhadapandengan pasien dan lingkungan profesional kedokteranserta profesi lain yang terlibat dalam pelayanan kese-hatan. Dibandingkan dengan pembelajaran di tahapakademik, pembelajaran di tahap klinik lebih tidak ters-truktur dan sulit diprediksi. Proses pendidikan kerap kaliharus berkompetisi dengan pelayanan pasien di tengahketerbatasan sumber daya. Di sisi lain, lingkungan pen-didikan klinik menyediakan akses yang tak ternilai bagimahasiswa untuk melihat langsung manifestasi klinikberbagai penyakit serta kesempatan untuk menerapkanpengetahuan dan keterampilan klinik dalam manajemenmasalah kesehatan pasien.1

Partisipasi mahasiswa dalam praktek kedokteran danpelayanan kesehatan merupakan kondisi sentral dalampembelajaran di tahap klinik.2 Di tahap klinik, ma-hasiswa kedokteran terutama belajar dari pengalamanmengobservasi serta menangani kasus-kasus nyata. In-terpretasi dan konstruksi pengetahuan dari pengalaman-pengalaman klinik ini difasilitasi oleh berbagai infor-masi yang mereka dapatkan dalam pengalaman kliniktersebut (learning cues). Umpan balik merupakan salahsatu learning cues penting di tahap pendidikan klinikselain role model, luaran klinik, respon pasien dan kes-

an yang didapatkan dari perbandingan relatif terhadapsesama pembelajar lain.3

Istilah umpan balik pertama kali dikenal dalam elek-tronika dan kemudian menjadi konsep dasar dalam bi-dang cybernetics, suatu ilmu yang mempelajari kendalidan komunikasi pada hewan, manusia dan mesin. Da-lam cybernetics, umpan balik diasosiasikan dengan sis-tem kendali diri (self-regulatory systems). Dari sanalahkonsep umpan balik kemudian disaring ke dalam teoripembelajaran behaviourisme dan kognitif.4 Ditinjau da-ri perspektif teori pembelajaran behaviourisme, umpanbalik merupakan cara untuk memperkuat atau mengubahsuatu perilaku. Sementara menurut pandangan pendu-kung teori pembelajaran kognitif, umpan balik mem-bantu pembelajar merekonstruksi pengetahuan mereka,meningkatkan performa dan motivasi untuk belajar.5

Hattie mengkaji lebih dari 500 studi meta-analisisyang meneliti berbagai faktor yang menentukan capai-an pendidikan.6 Kajian ini melibatkan sekitar 180 ribustudi dengan partisipan antara 20 hingga 30 juta siswa.Dalam setidaknya 12 studi meta-analisis yang mengkajimengenai umpan balik dalam konteks aktivitas di ke-las, Hattie menemukan bahwa rerata effect size umpanbalik adalah 0.72; besar pengaruh umpan balik adalahhampir dua kali lipat efek rata-rata seluruh kegiatanpembelajaran di sekolah yaitu 0.40. Dari hasil kajian ter-sebut, Hattie menyimpulkan bahwa umpan balik beradadi antara faktor-faktor yang paling mempengaruhi pen-capaian belajar. Faktor-faktor lainnya adalah instruksi

Page 35: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

32 Sari

langsung, reciprocal teaching dan kemampuan kognitifpembelajar.6

Studi di bidang pendidikan kedokteran menunjukk-an berbagai manfaat umpan balik. Chang menunjukkanbahwa umpan balik membantu pembelajar menetapkantujuan pembelajaran spesifik dalam aspek keterampilanklinik.7 Umpan balik juga meningkatkan keakuratanpenilaian diri mahasiswa terhadap performa kliniknya,8

serta terbukti meningkatkan performa klinik dokter.9

Lebih dari itu, umpan balik tidak hanya meningkatkankinerja teknis atau kemampuan terkait suatu disiplin il-mu spesifik seperti kedokteran. Umpan balik dipandangmampu meningkatkan kemampuan evaluasi diri pembe-lajar secara umum serta membantu sosialisasi seseorangke dalam lingkungan profesi yang didalaminya.10

Tidak semua umpan balik efektif untuk pembelajar-an. Hasil studi meta-analisis dari Kluger dan DeNisiterhadap intervensi umpan balik pada beberapa kontekspembelajaran menunjukkan bahwa meskipun membe-rikan manfaat terhadap performa secara umum, umpanbalik malah menurunkan performa pada sepertiga studiyang diteliti.11 Hal ini menunjukkan perlunya kehati-hatian dalam melakukan umpan balik agar dapat membe-rikan manfaat bagi pembelajaran. Pendidik kedokteranperlu memahami hal-hal yang mempengaruhi efektivitasumpan balik terhadap pembelajaran, termasuk di dalam-nya peran pembelajar dalam proses penerimaan umpanbalik serta peran budaya lingkungan belajar. Tinjauanpustaka ini akan mendiskusikan hal-hal tersebut.

2. Konsep dan Definisi Umpan BalikTerdapat berbagai definisi umpan balik yang ditemukandi berbagai literatur sehingga setidaknya ada tiga konsepyang umum digunakan untuk menggambarkan umpanbalik: umpan balik sebagai suatu informasi, umpan baliksebagai reaksi dan umpan balik sebagai suatu siklus.12

Konsep umpan balik sebagai informasi berfokus padaisi pesan yang disampaikan, sementara fokus pada kon-sep umpan balik sebagai reaksi adalah interaksi denganinformasi yang disampaikan. Pada konsep umpan baliksebagai siklus, tidak hanya informasi dan reaksi yangterlibat, tetapi juga konsekuensi atau luaran dari pesanyang disampaikan.

Informasi yang disampaikan dalam umpan balik ter-utama menyangkut aspek-aspek performa atau pema-haman seseorang6 yang bertujuan untuk mengurangikesenjangan antara performa aktual dengan performayang diharapkan5 atau untuk meminimalkan kesalah-an.13 Dalam pembelajaran secara umum, umpan balikdapat diberikan oleh guru atau pembimbing, sesamapembelajar atau rekan sejawat, buku, orang tua, diri sen-diri atau pengalaman.6 Informasi dalam umpan balikdari masing-masing agen tersebut dapat mencakup areayang berlainan.

Dalam literatur pendidikan kedokteran, umpan ba-lik kebanyakan dideskripsikan sebagai informasi danreaksi.12 Umpan balik dalam pendidikan klinik didefi-nisikan sebagai suatu informasi spesifik mengenai per-

forma pembelajar yang diobservasi dan dibandingkandengan suatu standar, untuk meningkatkan performapembelajar.12 Dari definisi ini, terdapat 10 elemen yangmenggambarkan umpan balik dalam pendidikan klinik.Tabel 2 menampilkan deskripsi untuk setiap elemenyang dimaksud. Meskipun literatur mencatat peran pasi-en, sesama mahasiswa dan tenaga kesehatan lain yangterlibat dalam tim pelayanan kesehatan sebagai sum-ber umpan balik dalam pendidikan klinik,14 tulisan inisecara spesifik hanya membahas umpan balik yang di-sampaikan oleh pembimbing klinik.

3. Umpan Balik EfektifBerdasarkan definisi umpan balik dalam pendidikan kli-nik dan elemen yang tercakup di dalam definisi tersebut,van de Ridder et al. membedakan umpan balik yang kuatdari yang lemah.12 Umpan balik yang kuat adalah yangdiberikan terhadap tugas-tugas yang dapat diobservasidan didasarkan pada hasil observasi langsung oleh sese-orang yang memiliki keahlian, berisi informasi spesifikmengenai perbandingan performa pembelajar terhadapsuatu standar yang eksplisit, bertujuan meningkatkanperforma dan menyertakan rencana untuk pengamatanulang. Meski demikian, van de Ridder et al.12 tidakmengklaim bahwa umpan balik dengan karakteristiktersebut lebih baik atau buruk, pun tidak memastikanefektivitasnya dalam meningkatkan performa pembela-jar. Namun apabila dibandingkan dengan model yangdiajukan oleh Hattie & Timperley6 mengenai umpanbalik efektif, deskripsi umpan balik yang kuat berda-sarkan definisi ini12 telah menjawab tiga pertanyaanumpan balik efektif dari model tersebut yaitu ‘wheream I going?’ – tujuan yang ingin dicapai, yaitu tujuanyang didasarkan pada standar pembanding; ‘how am Igoing?’ – penilaian terhadap performa pembelajar, di-buat berdasarkan observasi langsung oleh pihak yangmemiliki keahlian; dan ’where to next?’ – informasispesifik tentang bagaimana meningkatkan performa danrencana pengamatan ulang.

Faktor lain yang mempengaruhi efektivitas umpanbalik dalam model umpan balik yang diajukan Hattieand Timperley6 adalah fokus dari umpan balik. Ketigapertanyaan yang harus dijawab oleh suatu umpan balikyang efektif beroperasi pada empat level fokus yangberbeda: fokus pada tugas, proses, regulasi diri dan pri-badi (tabel 3). Umpan balik efektif apabila difokuskanpada tiga aspek pertama (tugas, proses dan regulasi diri).Sebaliknya, umpan balik yang berfokus pada pribadi,baik berupa pujian ataupun kritik, tidak efektif untukpembelajaran karena tidak memberikan informasi yangberkaitan dengan tugas, jarang mendorong keterlibat-an mahasiswa lebih jauh dalam pembelajarannya danjarang meningkatkan komitmen belajar.6

Pembahasan mengenai aspek-aspek yang mempe-ngaruhi efektivitas umpan balik sejauh ini berfokus ter-utama pada konten umpan balik. Hal ini tidak memadaikarena umpan balik baru efektif ketika informasi me-ngenai performa terdahulu digunakan untuk mendukung

Jurnal Kedokteran Unram

Page 36: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Meningkatkan Efektivitas Umpan Balik dalam Pendidikan Klinik 33

Tabel 1. Elemen umpan balik dalam pendidikan klinik12

Elemen DeskripsiPendidikan klinik Adalah konteks belajar di lingkungan kerja(on-the-job)misalnya seperti

di rumah sakit atau klinik atau di lingkungan manapun yang melibatkaninteraksi pembelajar dengan pelayanan pasien

Performa dan tugas Merupakan tugas-tugas yang dapat diamati terkait kegiatan pembelajar dipendidikan klinik, misalnya anamenesis, pemeriksaan fisik, sikap profe-sional, dll. Bahkan proses penalaran klinik yang di artikulasikan secaraeksplisit pun dapat dinilai dan diberikan umpan balik.

Pembelajar Pembelajar bisa merupakan siapapun dalam situasi pembelajaran klinikyang mendapatkan umpan balik: mahasiswa kedokteran, dokter muda,residen, dll.

Pemberi umpan balik Pemberi umpan balik adalah pihak yang memahami standar acuan yangdigunakan untuk menilai performa pembelajar. Dalam pendidikan klinik,umpan balik dapat diberikan oleh dosen pembimbing, residen atau dokteryang terlibat dalam pembimbingan.

Perbandingan antara perfor-ma dan suatu standar

Kesenjangan antara performa dengan standar yang digunakan menentukanisi dari suatu umpan balik. Akan tetapi saat performa pembelajar melebihistandar yang diharapkan, umpan balik tidak bertujuan untuk mengurangikesenjangan ini, tetapi mendorong perkembangan lebih jauh.

Observasi Umpan balik diberikan berdasar hasil observasi. Observasi dapat dilakuk-an Pada observasi langsung, pengamat dan pemberi umpan balik adalahorang yang sama, sementara pada observasi tak langsung, umpan balikdiberikan berdasarkan hasil observasi orang lain atau beberapa sumber.

Standar pembanding Pemberi umpan balik perlu mengetahui standar yang digunakan sebagaipembanding performa pembelajar; contoh standar misalnya protokol suatuprosedur.

Informasi spesifik Umpan balik harus mengandung informasi spesifik minimum yang dapatdipahami dalam istilah behavioral (apa yang sudah dilakukan dengan baik,apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki) untuk dapat meningkatkanperforma

Maksud Maksud memberikan umpan balik adalah untuk meningkatkan performapembelajar. Hal ini dapat dilihat dari waktu yang didedikasikan, nada(tone) dan ketepatan informasi yang disampaikan serta kesediaan untukmelakukan pengamatan kembali

Kemajuan Tujuan pemberian umpan balik adalah untuk kemajuan pembelajar. Tujuanini bukan suatu titik akhir yang statis, tetapi dinamis dan berkesinambung-an. Oleh karena itu umpan balik tidak hanya bermanfaat bagi pemula,tetapi bagi pembelajar di berbagai tahap pembelajaran.

perkembangan seseorang ke arah positif atau yang diha-rapkan.14 Untuk dapat menimbulkan efek bagi pembela-jaran, penerimaan dan pemrosesan umpan balik tidaklahsederhana. Perspektif pemberi umpan balik tidak selalusama dengan perspektif pembelajar; karena itu ump-an balik yang disampaikan belum tentu sama denganyang diterima. Sebelum pembelajar dapat menggunakansuatu umpan balik, terlebih dahulu umpan balik harusdisadari, dievaluasi kebermaknaannya dan diinterpre-tasikan. Hasil interpretasi ini kemudian disimpan kedalam memori jangka panjang atau digunakan dalamtindak lanjut di masa mendatang.4 Dalam hal ini nyatabahwa umpan balik tidak sekedar ditransmisikan danmahasiswa tidak pasif dalam menerima umpan balik.

4. Tahapan Penerimaan Umpan Balikdan Faktor – faktor yangMempengaruhi Efektivitas UmpanBalik

4.1 Menyadari umpan balikDi tengah kesibukan pelayanan kesehatan di pendidikanklinik, umpan balik sangat mungkin terjadi tanpa disa-dari oleh pembelajar,4 misalnya komentar atau umpanbalik yang didapatkan saat mengerjakan prosedur kli-nis tertentu, misalnya “lebih baik begini” atau “janganlupa untuk . . . ”. Studi menunjukkan bahwa di tengahkesibukan kegiatan klinik sehari-hari mahasiswa umum-nya hanya mengikuti masukan yang diberikan tanpaberpikir lebih dalam karena tidak memiliki kesempat-an untuk merefleksikannya.15 Oleh karena itu, umpanbalik semacam ini sering tidak disadari atau dianggap

Jurnal Kedokteran Unram

Page 37: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

34 Sari

Tabel 2. Level fokus umpan balik

6

Fokus umpan balik ContohTugas Seberapa jauh suatu tugas diker-

jakan dengan baik / dipahami“Anda perlu menggali riwayat sosial dan gaya hi-dup pasien dengan masalah penyakit kronik tidakmenular, terutama untuk menilai faktor risiko danmemberikan edukasi”

Proses Proses yang perlu dipahami da-lam mengerjakan suatu tugas

“Pasien terlihat kaget dan tidak nyaman waktu An-da menanyakan mengenai riwayat pernikahan diawal wawancara. Pertanyaan – pertanyaan yangmungkin agak sensitif bisa ditanyakan belakangan,setelah rapport dengan pasien terbina baik”

Regulasi diri Self-monitor, self-directing, self-regulating of actions

“Penjelasan mengenai penyakit dan obat-obatan ka-dang sulit dipahami oleh pasien namun seringkalimereka segan untuk bertanya. Anda bisa menga-mati ekspresi mereka untuk mendapatkan petunjukapakah mereka mengalami kesulitan memahamipenjelasan Anda.”

Pribadi Pujian atau kritik yang menga-rah pada pribadi, bukan kepadatugas

“Keterampilan motorikmu bagus” atau “Tadi Andaceroboh dan kasar sekali pada pasien”

sebagai umpan balik, hanya semata-mata sebagai upayaagar kegiatan pelayanan berlangsung lancar. Mahasis-wa, terutama pada tahap awal pendidikan klinik, lebihmenghargai sesi umpan balik khusus yang memberikankesempatan bagi mereka untuk melakukan evaluasi danrefleksi.15

Suatu studi tentang umpan balik in action (di tengahberlangsungnya suatu pengalaman) dalam kegiatan be-dside teaching juga menyimpulkan bahwa meskipunumpan balik diberikan, cara penyampaiannya sangatmempengaruhi kemampuan mahasiswa menyadari ump-an balik tersebut.16 Umpan balik yang disampaikanimplisit misalnya, sering kali tidak disadari sehinggamahasiswa gagal mengoreksi kesalahan pemahaman-nya. Memang salah satu tantangan penyampaian umpanbalik dalam pendidikan klinis adalah menjaga keseim-bangan antara upaya mempertahankan standar profesi,melindungi perasaan pembelajar di depan pasien dan se-jawatnya, serta menjaga hak dan keselamatan pasien.14

Meski demikian, Rizan et al.16 meyakinkan bahwa keti-ka dilakukan dengan benar, umpan balik in action dapatmelengkapi umpan balik on action (setelah suatu penga-laman berakhir) yang bersifat evaluatif. Beberapa teknikembedded correction seperti memperjelas maksud per-tanyaan, penggunaan jeda, atau memberikan petunjukjawaban yang benar dapat membantu mahasiswa menya-dari kesalahannya dan memberikan kesempatan untukmengoreksinya.16

4.2 Evaluasi Umpan Balik4.2.1 KredibilitasSetelah disadari, umpan balik yang diterima akan mele-wati proses evaluasi sebelum diterima oleh pembelajar.Evaluasi ini melibatkan penilaian terhadap kesesuaiannilai yang dianut sumber umpan balik dengan nilai priba-di dan profesional pembelajar, kesesuaian umpan balikdengan hasil self-assessment pembelajar, serta kredibili-

tas sumber umpan balik.3

Dalam budaya di lingkungan pendidikan kedokteran,kredibilitas pembimbing sebagai sumber umpan balikterutama dipengaruhi oleh performanya sebagai klinisi.Lebih jauh, kredibilitas suatu umpan balik juga berka-itan dengan observasi yang menjadi sumber informasidalam umpan balik. Umpan balik yang tidak didasark-an pada observasi akan mengancam kredibilitasnya.17

Studi terhadap dokter intern di Australia menunjukkanbahwa para intern menilai umpan balik lebih bermanfaatuntuk pembelajaran apabila diberikan oleh residen yangmelakukan observasi terhadap pekerjaan sehari-hari me-reka, bukan oleh konsultan senior yang jarang berkontakdengan mereka.18

4.2.2 Emosi

Meskipun emosi dan kredibilitas merupakan konsepyang berbeda, penelitian mengenai persepsi mahasiswatentang umpan balik yang dieksplorasi dengan pendekat-an naratif menyimpulkan bahwa pengalaman emosionalyang ditimbulkan dari pengalaman umpan balik, teruta-ma yang bersifat negatif, akan mempengaruhi persepsipembelajar terhadap sumber umpan balik sehingga ikutmempengaruhi penilaian terhadap kredibilitas umpanbalik yang disampaikan.19 Pengalaman umpan balik di-nilai negatif ketika penyampaiannya mempermalukandan melukai harga diri mahasiswa, misalnya disampa-ikan dengan cara yang kasar, ditujukan kepada pribadidan disampaikan di depan pasien atau mahasiswa lain.19

Namun demikian, tidak semua umpan balik korektif di-persepsikan negatif. Umpan balik yang mampu meng-informasikan pembelajar mengenai kelemahan dalamperforma mereka dan disertai dengan rencana tindaklanjut yang jelas dipandang sebagai umpan balik kon-struktif dan dapat diterima.17

Jurnal Kedokteran Unram

Page 38: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Meningkatkan Efektivitas Umpan Balik dalam Pendidikan Klinik 35

4.3 Interpretasi umpan balikSetelah dievaluasi dan diterima oleh pembelajar, ump-an balik selanjutnya diinterpretasi dan diintegrasikanke dalam kerangka pemahaman pembelajar serta renca-na pembelajaran berikutnya. Untuk memfasilitasi halini, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan olehpemberi umpan balik: spesifisitas umpan balik, kom-pleksitasnya serta ketepatan waktu pemberiannya.

4.3.1 SpesifisitasGoodman, Wood & Hendrick mendefinisikan spesifisi-tas umpan balik sebagai level informasi yang dipresen-tasikan dalam pesan umpan balik.20 Umpan balik yangspesifik lebih dari sekadar menginformasikan keakurat-an suatu respon atau perilaku tertentu, tetapi membe-rikan informasi yang lebih elaboratif mengenai respontersebut.20 Hal ini dapat dilakukan dengan mendeskri-psikan aspek tertentu dari performa mereka yang memer-lukan perhatian dan perlu direfleksikan untuk kemudianditindak lanjuti.5 Umpan balik yang tidak jelas, kurangspesifik dan sulit untuk diterjemahkan ke dalam aksimembuat pembelajar frustrasi21 karena menyebabkankebingungan dalam merespon umpan balik. Selain itu,umpan balik yang tidak spesifik menambah beban kog-nitif pembelajar dalam memahami maksudnya. Hal-halini dapat menurunkan motivasi belajar dan upaya me-respon umpan balik.20 Manfaat umpan balik spesifikterhadap retensi pengetahuan terbukti superior diban-dingkan umpan balik yang bersifat umum, meskipuntidak terdapat perbedaan efek keduanya terhadap tran-sfer pengetahuan.20

4.3.2 KompleksitasFaktor lain yang perlu diperhatikan dalam pemberianumpan balik untuk memudahkan interpretasinya olehpembelajar adalah kompleksitasnya. Kompleksitas ump-an balik bergantung pada jumlah dan jenis informasiyang terkandung didalamnya.20 Meskipun dalam kon-disi pada umumnya umpan balik yang spesifik dinilailebih bermanfaat, namun umpan balik yang terlalu detildan kompleks dapat membingungkan pembelajar danmengaburkan pesan yang ingin disampaikan.20 Umpanbalik yang terlalu kompleks juga terbukti tidak mening-katkan pembelajaran dibandingkan umpan balik yanglebih sederhana.20 Oleh karena itu, umpan balik seba-iknya dibatasi pada satu atau dua aspek saja agar tidakmembuat pembelajar kewalahan dan menurunkan moti-vasinya.5

4.3.3 WaktuWaktu pemberian umpan balik dalam literatur disebutk-an sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi efekti-vitas umpan balik bagi pembelajaran.5;6;13;20;21 Namunstudi-studi yang meneliti pengaruh waktu pemberianumpan balik terhadap efektivitasnya tidak memberikansatu kesimpulan yang pasti.20 Beberapa literatur men-dukung pemberian umpan balik segera setelah suatupengalaman tetapi ada pula studi lain yang mendukungmanfaat delayed feedback. Umpan balik segera teruta-ma terbukti lebih efektif dalam meningkatkan performa

dalam aspek keterampilan prosedural, keterampilan mo-torik dan penguasaan materi verbal. Sementara, delayedfeedback terbukti memberikan retensi pengetahuan yanglebih baik, mendukung transfer pengetahuan, serta lebihbermanfaat untuk tugas – tugas yang berkaitan denganpembentukan konsep.20 Literatur dalam pendidikan ke-dokteran sendiri lebih banyak menyarankan agar umpanbalik diberikan segera sesudah pengalaman5;13 karenadinilai membantu pembelajar mengingat pengalaman le-bih detil dan mempengaruhi kesiapan pembelajar untukmelihat kembali tujuan pembelajaran yang belum terca-pai dan memperbaikinya.13 Penelitian terhadap persepsimahasiswa kedokteran mengenai umpan balik juga me-nunjukkan bahwa mahasiswa menghargai umpan balikyang diberikan segera.21;22

4.4 Peran budaya lingkungan belajar terhadapumpan balik

Meskipun umpan balik dipandang esensial dalam pendi-dikan klinik,5 penelitian menunjukkan defisiensi dalamimplementasinya. Mahasiswa kedokteran merasa jarangmendapatkan umpan balik dalam rotasi klinik23;24 dankualitas umpan balik yang mereka dapatkan buruk.23

Jarangnya interaksi antara pembimbing klinik denganmahasiswa disebutkan menjadi penyebab keterbatasanpembimbing memberikan umpan balik yang bermak-na.18;24 Selain itu keterbatasan waktu, kompetisi antarapelayanan pasien dan pendidikan serta kegagalan pem-bimbing memahami peran supervisi dan umpan balikjuga melatarbelakangi kegagalan pemberian umpan ba-lik dalam pendidikan klinik.24

Umpan balik dalam lingkungan klinik umumnyajuga terjadi secara sporadik dan momen umpan baliksering kali tidak dapat diprediksi. Meskipun ada ke-sempatan untuk mendapat umpan balik secara formaltetapi umumnya ini dilakukan di akhir masa rotasi.17

Umpan balik semacam ini dianggap kurang spesifik, ti-dak jelas dan terlalu jauh dari peristiwa yang dibahassehingga tidak memberikan manfaat. Hal ini menye-babkan jatuhnya nilai umpan balik secara umum di matapembelajar.17 Pengalaman rutin mendapatkan umpanbalik yang tidak berkualitas dapat menurunkan keperca-yaan pembelajar terhadap penilai dan proses pemberianumpan balik, yang pada gilirannya akan menghambatpenerimaan pembelajar terhadap umpan balik yang ba-ik.25

Selama ini, upaya pendidikan kedokteran untuk me-ningkatkan efektivitas umpan balik cenderung berfokuspada strategi memperbaiki cara penyampaian umpanbalik meskipun persepsi pembelajar dalam penerimaanumpan balik sudah mulai dipertimbangkan.17;21 Peranlingkungan dalam kesuksesan suatu umpan balik belumbanyak disadari.

Lingkungan memegang peranan penting sebab per-tukaran informasi dalam proses umpan balik terjadi da-lam konteks budaya dan sosial.17 Karena itu, umpanbalik tidak hanya dipengaruhi oleh dinamika individualdan interpersonal, tetapi juga oleh faktor kultural dankontekstual. Dalam penelitiannya mengenai pengaruhkultur lingkugan pembelajaran terahadap umpan balik,

Jurnal Kedokteran Unram

Page 39: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

36 Sari

Watling et al. menemukan bahwa setiap kultur profesimemiliki situasi dan kesempatan yang berbeda untukmemfasilitasi terjadinya umpan balik.17 Budaya ling-kungan belajar juga merupakan salah faktor yang me-warnai makna umpan balik dalam pembelajaran selainindividu pembelajar dan karakteristik umpan balik.21

Kultur suatu profesi mempengaruhi pengalaman ump-an balik melalui beberapa cara. Pertama, kultur mende-finisikan peran diharapkan dari pembimbing serta hu-bungan keduanya.21 Peran yang diharapkan dari seorangguru di bidang kedokteran berbeda dari peran yang diha-rapkan dalam musik atau olahraga. Jika kedua bidang inimemandang guru sebagai sosok sentral dan tak tergan-tikan bagi perkembangan muridnya, guru dalam bidangkedokteran lebih banyak berperan sebagai role model di-bandingkan memberikan motivasi dan bimbingan yangberkelanjutan. Mahasiswa kedokteran menyadari bahwamereka dituntut lebih mandiri dan tidak terlalu bergan-tung pada bimbingan dan umpan balik dari pembimbingkarena berbagai kesibukan pembimbing klinis, terutamadalam pelayanan pasien. Selain itu, sistem rotasi an-tar bagian, sub-bagian atau antar wahana pembelajarandalam pendidikan klinik juga menyebabkan hubunganakrab antar guru dan murid lebih jarang terbentuk, ti-dak seperti pembelajaran di bidang musik atau olahraga.Hubungan longitudinal antara guru dan murid menum-buhkan rasa saling percaya yang memudahkan penyam-paian dan penerimaan umpan balik, bahkan yang kritissekalipun. Umpan balik yang diberikan dalam situasihubungan yang lebih akrab, tidak hanya dianggap le-bih akurat dan berdasar, tetapi juga dinilai bermaksudbaik. Waktu interaksi dan frekuensi observasi guru ter-hadap murid menjadi penentu terbentuknya hubungansemacam ini.21 Selain itu, kultur suatu lingkungan pen-didikan juga membangun norma dan harapan terkaitumpan balik. Dalam budaya di mana umpan balik di-pandang penting, umpan balik diberikan secara rutindan memang diharapkan dalam kegiatan pembelajaran,termasuk umpan balik yang kritis. Umpan balik kritislebih sering dijumpai dalam bidang musik dan olahragadaripada dalam pendidikan kedokteran. Meskipun demi-kian, pembelajar di kedua bidang tersebut menerimanyasebagai kondisi normal yang memang diharapkan. Inimenunjukkan bahwa kultur memegang peranan dalammemodulasi pengaruh umpan balik terhadap emosi pem-belajar.21

Ketiga, kultur mengarahkan fokus pembimbing danpembelajar terhadap dimensi tertentu dari performa.21

Performa dalam bidang musik atau olahraga memilikirentang yang lebih sempit sehingga lebih mudah didefi-nisikan dibandingkan dengan performa di bidang kedok-teran yang bersifat multidimensi. Selain itu, performadibidang kedokteran lebih sering dikonseptualisasikandalam bentuk pengetahuan, sesuatu yang dimiliki olehdokter. Sebaliknya dalam bidang musik dan olahraga,performa langsung dapat diamati dari luar dan tampaksebagai sesuatu yang dilakukan. Sebagai konsekuensi-nya, memberikan umpan balik di kedokteran lebih sulitdibandingkan kedua bidang lainnya karena fokusnya

lebih sulit untuk ditentukan dan tidak selalu terdapatkesesuaian antara tujuan yang ingin dicapai pembelajardengan tujuan pembimbing.21

Studi oleh Watling mengenai pengaruh budaya ling-kungan belajar terhadap umpan balik17;21 membuka per-spektif baru dalam pendidikan kedokteran terhadap caramemandang umpan balik. Oleh karena itu meskipunfokus pada upaya peningkatan kualitas penyampaianumpan balik penting, hal ini belum cukup untuk memak-simalkan manfaatnya karena keterbatasan kemampuanpembimbing mempengaruhi orientasi umpan balik padapembelajar secara individual. Diperlukan upaya untukmenciptakan suatu kultur yang mendukung terjadinyaumpan balik yang baik.21

4.5 Menuju budaya umpan balik dalam pendi-dikan klinik

Budaya lingkungan pembelajaran tidak hanya sekedarlingkungan fisik atau sosial untuk pembelajaran, tetapijuga menyangkut nilai yang dianut.26 Untuk mencip-takan budaya umpan balik dalam pendidikan kedokter-an, lingkungan profesi ini perlu mengadopsi pertukaranumpan balik yang berkualitas sebagai salah satu nilai in-ti profesi. Nilai – nilai yang dijunjung dapat dilihat dariapa yang dianggap normal, baik atau pantas dalam suatulingkungan. Lalu bagaimana kita dapat ‘menormalisasi’umpan balik?

Sebelum suatu umpan balik benar-benar terjadi da-lam pendidikan klinik, perencanaan untuk observasi danumpan balik merupakan langkah penting. Diskusi me-ngenai efektivitas umpan balik dalam literatur dibuatberdasarkan asumsi bahwa umpan balik memang terja-di, meskipun tidak selalu demikian dalam kenyataan-nya.27 Memasukkan observasi dan umpan balik sebagaibagian dari pedagogi pendidikan klinik merupakan sa-lah satu pendekatan yang dapat dilakukan. Pendekatanini mengkondisikan pendidik untuk menginvestasikanwaktunya untuk melakukan observasi dan memberikanumpan balik. Namun demikian, kurikulum juga perlumemberikan keleluasaan bagi pembimbing untuk mem-batasi umpan balik pada aspek performa yang memangdiobservasi.25 Contoh pendekatan ini misalnya peng-gunaan mini-Clinical Examination (mini-CEx) dalampendidikan klinik. Adanya rekomendasi dari institu-si pendidikan untuk melaksanakan penilaian formatifberdasarkan observasi seperti mini-CEx berpengaruhterhadap belangsungnya observasi dan umpan balik.27

Pendekatan lainnya adalah menciptakan kesempatanuntuk terbentuknya hubungan yang lebih erat antara gu-ru dan murid yang akan memfasilitasi penerimaan ump-an balik oleh pembelajar. Salah satu contoh pendekat-an ini adalah melalui longitudinal integrated clerkship(LIC).25 Dalam LIC, mahasiswa berpartisipasi dalam pe-layanan kesehatan komprehensif bersama klinisi dalamsuatu tim pelayanan kesehatan selama periode waktu ter-tentu dan mempelajari sebagian besar kompetensi klinisinti dari berbagai disiplin ilmu secara simultan melaluipengalaman ini. Suatu penelitian di Kanada terhadapmahasiswa yang menjalani LIC menunjukkan bahwahubungan yang terbina dengan pembimbing klinis da-

Jurnal Kedokteran Unram

Page 40: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Meningkatkan Efektivitas Umpan Balik dalam Pendidikan Klinik 37

lam situasi LIC menciptakan kondisi yang aman untukmendukung refleksi diri pembelajar serta interpretasikonstruktif dari umpan balik yang kritis.28

5. KesimpulanManfaat umpan balik bagi pembelajaran secara umumdan pendidikan klinik khususnya telah dibuktikan da-lam literatur. Namun demikian, tidak semua umpanbalik efektif untuk bagi pembelajaran; beberapa bahk-an menurunkan performa. Umpan balik yang efektifmemiliki karakteristik tertentu. Isi umpan balik per-lu memberikan informasi mengenai tujuan yang ingindicapai, perbandingan performa saat ini terhadap tuju-an tersebut, serta bagaimana menindaklanjuti informasiyang diberikan. Umpan balik efektif apabila ditujuk-an terhadap tugas, proses menyelesaikan suatu tugas,atau regulasi diri. Sebaliknya, umpan balik yang ditu-jukan terhadap pribadi tidak memberikan manfaat bagipembelajaran. Di samping isi dan fokus umpan balik,pendidik juga perlu memperhatikan proses penerima-an serta faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaanumpan balik oleh pembelajar karena persepsi sumberumpan balik tidak selalu sama dengan persepsi pembe-lajar. Terakhir, pendidik dalam bidang kedokteran perlumenyadari pengaruh budaya lingkungan belajar terha-dap interaksi umpan balik di tahap pendidikan klinik.Harus diakui bahwa budaya pendidikan klinik saat inibelum mendukung berlangsungnya proses umpan balikyang efektif. Untuk menciptakan budaya yang kondusifbagi berlangsungnya umpan balik, diperlukan pendekat-an pedagogik serta kesediaan pembimbing klinik untukmenginvestasikan waktu dalam melakukan observasiterhadap kinerja mahasiswa. Hal ini dipercaya mampumemfasilitasi interaksi umpan balik yang efektif bagipembelajaran lebih besar dibandingkan dengan yangdapat dilakukan oleh pendidik secara individual.

Daftar Pustaka1. Ramani S, Leinster S, for Medical Education in Eu-

rope A, et al. Teaching in the clinical environment.Association for Medical Education in Europe; 2008.

2. Dornan T, Boshuizen H, King N, Scherpbier A.Experience-based learning: a model linking the pro-cesses and outcomes of medical students’ workpla-ce learning. Medical education. 2007;41(1):84–91.

3. Watling C, Driessen E, van der Vleuten CP, LingardL. Learning from clinical work: the roles of learningcues and credibility judgements. Medical education.2012;46(2):192–200.

4. Eraut M. Feedback. Learning in Health and SocialCare. 2006;5(3):111–8.

5. Cantillon P, Sargeant J. Giving feedback in clinicalsettings. Bmj. 2008;337(nov10 2):a1961–a1961.

6. Hattie J, Timperley H. The power of feedback. Re-view of educational research. 2007;77(1):81–112.

7. Chang A, Chou CL, Teherani A, Hauer KE. Clini-cal skills-related learning goals of senior medicalstudents after performance feedback. Medical edu-cation. 2011;45(9):878–885.

8. Srinivasan M, Hauer KE, Der-Martirosian C, Wil-kes M, Gesundheit N. Does feedback matter?Practice-based learning for medical students aftera multi-institutional clinical performance examina-tion. Medical Education. 2007;41(9):857–865.

9. Veloski J, Boex JR, Grasberger MJ, Evans A, Wol-fson DB. Systematic review of the literature onassessment, feedback and physicians clinical per-formance: BEME Guide No. 7. Medical teacher.2006;28(2):117–128.

10. Ajjawi R. Going beyond received and understoo-das a way of conceptualising feedback. Medicaleducation. 2012;46(10):1018–1019.

11. Kluger AN, DeNisi A. The effects of fee-dback interventions on performance: a historicalreview, a meta-analysis, and a preliminary fee-dback intervention theory. Psychological bulletin.1996;119(2):254.

12. Van de Ridder J, Stokking KM, McGaghie WC,Ten Cate OTJ. What is feedback in clinical educa-tion? Medical education. 2008;42(2):189–197.

13. Burr S, Brodier E. Integrating feedback into medi-cal education. British Journal of Hospital Medicine(17508460). 2010;71(11).

14. Archer JC. State of the science in health professio-nal education: effective feedback. Medical educa-tion. 2010;44(1):101–108.

15. Stegeman J, Schoten E, Terpstra O. Knowing andacting in the clinical workplace: trainees perspecti-ves on modelling and feedback. Advances in HealthSciences Education. 2013;18(4):597–615.

16. Rizan C, Elsey C, Lemon T, Grant A, MonrouxeLV. Feedback in action within bedside teachingencounters: a video ethnographic study. Medicaleducation. 2014;48(9):902–920.

17. Watling C, Driessen E, Vleuten CP, Vanstone M,Lingard L. Beyond individualism: professionalculture and its influence on feedback. Medical edu-cation. 2013;47(6):585–594.

18. Ibrahim J, MacPhail A, Chadwick L, Jeffcott S.Interns’ perceptions of performance feedback. Me-dical education. 2014;48(4):417–429.

19. Urquhart LM, Rees CE, Ker JS. Making senseof feedback experiences: a multi-school study ofmedical students’ narratives. Medical education.2014;48(2):189–203.

Jurnal Kedokteran Unram

Page 41: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

38 Sari

20. Shute VJ. Focus on formative feedback. Review ofeducational research. 2008;78(1):153–189.

21. Watling C, Driessen E, Vleuten CP, Lingard L. Lear-ning culture and feedback: an international study ofmedical athletes and musicians. Medical education.2014;48(7):713–723.

22. Murdoch-Eaton D, Sargeant J. Maturational di-fferences in undergraduate medical students per-ceptions about feedback. Medical education.2012;46(7):711–721.

23. Al-Mously N, Nabil NM, Al-Babtain SA, Fou-ad Abbas MA. Undergraduate medical studen-ts perceptions on the quality of feedback recei-ved during clinical rotations. Medical teacher.2014;36(sup1):S17–S23.

24. Daelmans H, Overmeer R, Hem-Stokroos H, Scher-pbier A, Stehouwer C, Vleuten C. In-training as-sessment: qualitative study of effects on supervisionand feedback in an undergraduate clinical rotation.Medical education. 2006;40(1):51–58.

25. Watling CJ. Unfulfilled promise, untapped poten-tial: Feedback at the crossroads. Medical teacher.2014;36(8):692–697.

26. Hodkinson P, Biesta G, James D. Unders-tanding learning cultures. Educational Review.2007;59(4):415–427.

27. Pelgrim EA, Kramer AW, Mokkink HG, van derVleuten CP. The process of feedback in workplace-based assessment: organisation, delivery, continuity.Medical education. 2012;46(6):604–612.

28. Bates J, Konkin J, Suddards C, Dobson S, Pratt D.Student perceptions of assessment and feedback inlongitudinal integrated clerkships. Medical educa-tion. 2013;47(4):362–374.

Jurnal Kedokteran Unram

Page 42: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Jurnal Kedokteran 2016, 5(3): 39-44ISSN 2527-7154

Hipersensitivitas Terhadap VaksinI Gede Yasa Asmara

AbstrakVaksin mirip dengan obat yaitu dapat berpotensi menimbulkan reaksi hipersensitivitas baik ringanmaupun berat. Proses pembuatan vaksin harus memperhatikan keseimbangan antara aspek imu-nogenisitas dan reaktigenisitas. Hampir semua komponen vaksin berpotensi menimbulkan reaksihipersensitivitas namun mekanisme alergi hanya sebagian kecil dari seluruh efek samping vaksin.Reaksi hipersensitivitas terhadap vaksin ada dua jenis yaitu reaksi segera maupun reaksi lambat. Pene-gakan diagnosis reaksi hipersensitivitas terhadap vaksin mengutamakan anamnesis dan pemeriksaanfisik. Pemeriksaan tes alergi belum terstandar dan tervalidasi. Penanganan reaksi hipersensitivitasterhadap vaksin hampir sama dengan penanganan reaksi alergi secara umum. Keputusan pemberianre-vaksinasi sangat individual tergantung kondisi masing-masing pasien.

KatakunciHipersensitivitas, Vaksin

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNRAM/RSUP NTB*e-mail: [email protected]

1. PendahuluanImunisasi berarti induksi agar terbentuk suatu imunitasdengan berbagai cara baik secara aktif maupun pasif,sedangkan vaksinasi adalah tindakan pemberian vaksin(antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas(antibodi) dari sistem imun dalam tubuh manusia.1 Vak-sin merupakan suatu sediaan biologis yang menimbulk-an kekebalan terhadap penyakit. Tujuan utama vaksinasiadalah untuk mencegah timbulnya penyakit dan mengu-rangi angka kejadian efek samping.2;3 Faktor terpentingyang harus diperhatikan dalam pembuatan vaksin adalahkeseimbangan antara imunogenitasnya (daya memben-tuk kekebalan) dan reaktogenisitas (reaksi simpang vak-sin). Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau reaksisimpang atau Adverse Event Following Immunization(AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan de-ngan imunisasi baik berupa efek samping maupun efekvaksin, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologisatau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikanatau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.2

Vaksin mirip dengan obat yaitu dapat berpotensi menim-bulkan reaksi hipersensitivitas baik ringan maupun ber-at.4;5 Reaksi alergi dapat terjadi terhadap antigen vaksin,protein telur atau unsur lain yang terkandung di dalamvaksin.6 Secara epidemiologi, reaksi hipersensitivitasterhadap vaksin sebagian besar bersifat ringan sepertiurtikaria, angioedema dan ruam non-urtika sedangkanreaksi yang lebih berat seperti anafilaksis sangat jarangdilaporkan.7–9

Secara umum, angka kejadian reaksi hipersensitivasterhadap vaksin rendah yaitu 0.65-1,53 kasus per sejutadosis.8 Post-marketing surveillance dari The NationalVaccination Programs pada anak di Belanda, Australiadan Amerika melaporkan terdapat 4,8 sampai 8,3 ke-jadian efek samping per 100.000 pemberian vaksin.4

Tabel 1. Adverse Event (AE) dan insiden anafilaksisterhadap vaksin10

Vaksin AE per100 rbdosis

Vaksin Anafilaksisper 100 rbdosis

Influenza 3 Measles 0,68Hepatitis B 11,8 Rubella 0,73MMR 16,3 Mumps 0,44DTaP 12,5 Varisela 1,30

HPV 2,60

Tabel 1 menunjukkan angka kejadian reaksi simpangdan reaksi anafilaksis pada berbagai jenis vaksin.

2. Reaksi Hipersensitivitas terhadapVaksin

Mekanisme alergi hanya sebagian dari seluruh jumlahadverse event yang berhubungan dengan pemberian vak-sin. Gejala klinis hipersensitivitas terhadap vaksin dapatmuncul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagimenjadi gejala lokal atau sistemik. Gejala lokal yangpaling sering terjadi adalah nyeri, eritema dan beng-kak pada lokasi suntikan. Sedangkan gejala sistemikyang sering dilaporkan adalah demam dan iritabilitas.10

Tabel 2 menunjukkan tipe efek samping yang immu-ne mediated yang berhubungan dengan vaksinasi. Sis-tem pengelompokan yang paling berguna untuk reaksiyang diperantarai oleh reaksi imunologi adalah berda-sarkan onsetnya (waktu terjadinya), apakah segera atautertunda dan apakah reaksinya IgE-mediated dan nonIgE-mediated.8;11

Page 43: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

40 Yasa

Tabel 2. Reaksi Immun-mediated terhadap vaksin10

Reaksi Imun Manifestasi klinik yang se-ring

IgE mediated Urtikaria, angioedema, rino-konjungtivitis, bronkospasme,anafilaksis, gangguan gastroin-testinal

Kompleks imun Vaskulitis, miokarditisT-cell mediated Eksim makulopapular, acu-

te generalised exanthemato-us pustulosis (AGEP), eritemamultiforme

Non IgE mediated(pseudoalergi)

Urtikaria, angioedema, reaksianafilaktoid, gangguan gastro-intestinal

Autoimun/Inflamasi Trombositopenia, vaskulitis,poliradikuloneuritis, macro-phagic myofasciitis, artritis re-umatoid, sindrom Reiter, sar-koidosis, pemfigoid bulosa,GBS, polimialgia

3. Reaksi hipersensitivitas vaksintipe cepat/melalui IgE

Sebagian besar reaksi segera adalah reaksi hipersensiti-vitas tipe 1 yang diperantarai oleh antibodi IgE terhadapkomponen vaksin. Reaksi ini biasanya terjadi dalammenit sampai jam (sering kali kurang dari 4 jam) setelahpaparan.12 Reaksi setelah vaksinasi rabies dan japane-se encephalitis dapat berlangsung lebih lambat. Gejalautama reaksi ini adalah urtikaria dan angioedema di-susul kongesti hidung, batuk, stridor, wheezing, sesaknafas, muntah, nyeri perut, diare dan hipotensi.8 Tandadari Immediate Type Reactions (ITR) setelah vaksinasisering sistemik seperti flushing, urtikaria, angioedema,tanda respirasi seperti rinokonjungtivitis atau bronkos-pasme, dan komplikasi kardiovaskular dengan vertigoberat, penurunan tekanan darah dan syok anafilaktik.7;13

Angka ITR sekitar 0,22 per 100.000 vaksinasi dan31% terjadi pada vaksinasi pertama. Bohlke dkk mela-porkan bahwa kasus dengan potensi terjadi anafilaksissetelah vaksinasi berkisar antara 0,65-1,53 per 1 jutavaksinasi. Studi di Jerman melaporkan terdapat 38 pa-sien berumur 13-79 tahun yang mengalami anafilaksisakibat vaksinasi. Delapan orang mendapat vaksinasi he-patitis A atau B, 7 orang mendapat vaksinasi tick-borneenchepalitis dan 6 orang mendapat vaksin influenza (6).Histamin memegang peranan yang penting dalam reak-si anafilaksis antara lain kerusakan matriks pembuluhdarah kulit, hipersekresi mukus, peningkatan permea-bilitas vena post kapiler, bronkokonstriksi, vasodilatasi,hipotensi dan syok.7;11

Hampir semua komponen vaksin dapat berpotensisebagai pencetus reaksi alergi (Tabel 3). Yang palingpenting adalah komponen protein dari telur, ragi dangelatin. Sumber yang lain adalah antibiotik dan antigen

Tabel 3. Beberapa komponen vaksin10

Vaksin Attenuatedvirus

Mediakultur

Protein/peptida

Protein telur, serum kuda, selkera, sel ginjal anjing

Aditif Antibiotika Neomisin, klortetrasiklin,gentamisin, streptomisin,polimiksin B, ampoterisin B

Pengawet Formaldehid, tiomersal, natri-um timerfonat, alumunium

Stabiliser Gelatin, laktose, polisorbat,poligeline

Kontaminasi LateksAgen ak-tif

Toksoid, attenuated patho-gens

vaksin. Pada ITR yang berat, protein telur, gelatin danlatex bahan yang paling alergenik.7;11

4. Reaksi hipersensitivitas vaksintipe lambat

Reaksi tipe lambat biasanya terjadi dalam jam sampaihari setelah paparan. Beberapa ahli berpendapat bahwareaksi dapat muncul sampai 2-3 minggu setelah vaksi-nasi. Sebagian besar reaksi tipe lambat masuk dalamklasifikasi reaksi hipersensitivitas tipe 3 yang ditandaidengan pembentukan kompleks imun.8 Delayed TypeReactions (DTR) setelah vaksinasi secara umum bersifatlokal pada lokasi injeksi. Bentuk reaksi ini biasanya buk-an merupakan suatu alergi. Reaksi yang terjadi mungkindisebabkan oleh aktivasi yang non-spesifik dari sisteminflamasi contohnya oleh garam aluminium atau kompo-nen mikrobial.8;14 Bentuk lain dari reaksi DTR terjadipada pasien yang hiperimun oleh injeksi vaksin sebe-lumnya seperti tetanus berupa local immune complexmediated yang disebut Arthus-type reaction. Imunisasiaktif dengan tetanus menimbulkan reaksi lokal sekitar80% orang dewasa.14

T-cell mediated reactions biasanya bermanifestasidalam bentuk eksim lokal bahkan sampai generalisatayang dimulai 2-8 jam sampai 2 hari setelah vaksinasi.Gejala utama reaksi ini adalah ruam yang dapat disertaidengan urtikaria, eritema multiforme dan atau konfigu-rasi makulopapular. Manifestasi lain yang relatif jarangadalah atralgia, artritis, pembengkakan sendi, serumsickness dan Henoch-Schonlein Purpura.8 Bengkak pa-da lokasi injeksi bukan merupakan kontraindikasi untukvaksinasi selanjutnya. Beberapa vaksin memberikanreaksi lokal yang kuat yaitu pneumokok, influenza, per-tusis asesuler, dipteri, tetanus toksoid dan hepatitis.11;14

5. Komponen Vaksin yang berpotensimenimbulkan reaksi hipersensitivitas

1. Protein telur, gelatin dan jamur Alergi telur meng-enai 1,6 sampai 2,4% anak. Di Inggris, kejadian

Jurnal Kedokteran

Page 44: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Hipersensitivitas Terhadap Vaksin 41

alergi telur 2% pada anak-anak dan 0,1% padapopulasi dewasa. Diagnosis alergi telur ditegakk-an melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pe-meriksaan IgE spesifik terhadap putih telur (skinprick test atau serum).15;16 Ovalbumin bertang-gung jawab terhadap terjadinya alergi atau reaksianafilaksis pada individu yang alergi terhadap te-lur. Vaksin seperti measles, mumps dan rubella(MMR), influenza, yellow fever, tick-borne ence-phalitis (TBF), herpes simplex dan rabies meng-andung ovalbumin dengan kadar rendah.17 Wala-upun secara teori alergi telur dapat menyebabkanreaksi alergi terhadap vaksin MMR, anak yangalergi terhadap telur dapat diberikan vaksin MMRkarena kadar protein telur dalam vaksin tersebutsangat rendah dan reaksi alergi yang ditimbulkanoleh vaksin MMR lebih disebabkan oleh alergiterhadap gelatin.8;18

Gelatin adalah protein hewan yang didapat darihidrolisa jaringan kolagen pada binatang yang se-ring digunakan sebagai stabilizer vaksin. Gelatindalam jumlah tinggi terdapat pada vaksin MMR,varisela dan yellow fever sedangkan konsentra-si rendah pada DTaP. Reaksi IgE-mediated beratakibat vaksin yang mengandung gelatin sangatjarang namun pernah dilaporkan setelah vaksinasiMMR, varisela, dan JE.8;9 Terdapat hubungan an-tara alergi gelatin dengan HLA-DR9 khusus padapopulasi asia.12

Antigen vaksin Hepatitis B (HBV) dan HumanPapilloma Virus (HPV) didapat dari kultur yeastSaccharomyces cerevisiae. Bukti menunjukkanbahwa antigen yeast dari vaksin HBV dan HPVmemberikan risiko minimal terjadinya reaksi aler-gi pada individu yang sensitif.19

2. Antibiotik Beberapa vaksin mengandung antibi-otika neomisin, streptomisin, polimiksin B, klor-tetrasiklin dan amfoterisin B untuk menghindarikontaminasi bakteri dan jamur saat proses pembu-atan. Terdapat sekitar 1% kejadian alergi terhadapneomisin dengan manifestasi dermatitis kontak ti-pe lambat. Pasien dengan riwayat anafilaksis kare-na neomisin hendaknya tidak divaksinasi denganvaksin yang mengandung neomisin. Akan tetapikandungan neomisin dalam vaksin tidak cukupuntuk menstimulasi terjadinya DTR. Jadi vaksinini dapat diberikan pada pasien dengan reaksi tipelambat terhadap neomisin.2;11

3. Pengawet dan stabilizer Pengawet dalam vaksinseperti thiomersal dan 2-penoxyethanol telah di-laporkan sebagai pemicu alergi setelah vaksinasi.Prevalensi hipersensitivitas terhadap thimerosal1-25%.2 Komponen dekstran dalam vaksin BCGdapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas ringansampai berat. Diagnosis ditegakkan dari pemerik-saan antibodi anti dekstran (IgM/IgG) pada serumibu, darah umbilikus dan darah bayi dalam 3-4minggu setelah reaksi. Reaksi ini timbul akibat

kompleks imun antara antibodi antidekstran de-ngan BCG sebelumnya atau sensitisasi oleh saka-rida permukaan bakteri. Kadar yang rendah dariantibodi ini dideteksi pada 70% orang sehat.11;20

4. Aluminium Garam aluminium berfungsi sebagaiadjuvant dalam vaksin untuk meningkatkan res-pon imun. Manifestasi klinik yang paling seringadalah nyeri, nodul pruritik dan nodul subkut-an pada 19% kasus. Nodul ini timbul akibat re-aksi non-spesifik terhadap adanya benda asing,hilang dalam beberapa bulan dan besarnya ber-korelasi positif dengan kandungan alumunium.9

Telah dilaporkan beberapa kasus pasien denganreaksi hipersensitifitas terhadap aluminium seper-ti dermatitis yang lokal dan generalisata. Peranpemeriksaan diagnostik tes tempel sangat pentingdalam diagnosis eksim yang diduga diakibatkanoleh alumunium hidroksida.11

5. Toksoid Toksoid adalah toksin bakteri yang toksi-sitasnya telah dilemahkan oleh bahan kimia atautemperatur dimana imunogenisitasnya tetap di-pertahankan. Urtikaria, angioedema dan ruamdilaporkan pada 5-13% pasien yang menerimavaksin toksoid. Studi imunologi menunjukkanbahwa reaksi yang timbul lebih diakibatkan olehaktivasi sistem inflamasi nonspesifik akibat ting-ginya komponen bakteri. Biasanya toleransinyabaik bila akan diberikan vaksin booster.9;14

6. Pendekatan Diagnosis ReaksiHipersensitivitas terhadap Vaksin

The Hypersensitivity Working Group of the Clinical Im-munization Safety Assessment (CISA) memberikan alurdiagnosis dan manajemen pasien dengan hipersensitivi-tas terhadap vaksin (Gambar 1). Beberapa pertanyaanyang penting untuk mengklasifikasikan reaksi yang di-induksi oleh vaksin antara lain onset terjadinya gejala,karakteristik dari gejala dan lokasi lesi. Perbedaan an-tara ITR dengan DTR adalah esensial karena tes alergiyang berbeda. Pada ITR skin prick test (SPT) atau peme-riksaan IgE spesifik serum dapat membantu menentukanagen penyebabnya. Pada DTR, patch test dapat diker-jakan. Sering kali reaksi yang terjadi sulit dibedakanapakah termasuk tipe cepat atau lambat. Contohnya,reaksi pembengkakan lokal sekitar tempat injeksi yangnampak seperti urtikaria, urtikaria atau ruam akibat pe-nyebab lain dan sinkop akibat reflek vasovagal.8

Adanya riwayat atopi penting untuk ditelusuri. Ato-pi (rinitis alergika, eksim dan asma) adalah reaksi alergiyang diperantari oleh IgE. Studi menyebutkan bahwakejadian anafilaksis pada pasien atopi sangat jarang di-sebabkan oleh antigen yang menginduksi atopinya. Se-hingga, adanya riwayat atopi pada seseorang bukanlahsuatu kontraindikasi untuk dilakukan tindakan vaksina-si.11 Pendekatan diagnosis reaksi hipersensitivitas tipelambat lebih sulit karena gejalanya yang tidak spesifikdan dapat disebabkan oleh faktor lain seperti infeksi.

Jurnal Kedokteran

Page 45: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

42 Yasa

Reaksi ini tidak diperantari oleh antibodi IgE sehing-ga tes kulit dan studi in-vitro tidak bermanfaat untukdilakukan. Keputusan klinis merupakan hal terpentingdalam diagnosis DTR.8 Pada pasien dengan gejala yang

Gambar 1. Algoritme manajemen pasien yang diduga alergivaksin8;11

sesuai dengan reaksi melalui IgE, tes alergi diindika-sikan bila akan diperlukan vaksin berikutnya. Namun,tes alergi pada hipersensitivitas terhadap vaksin belumterstandar dan tervalidasi. Dibutuhkan vaksin utuh daripabrik yang sama untuk skin test dan tes spesifik terha-dap komponen vaksin jika tersedia. Skin test dilakukanberdasarkan panduan tes alergi pada umumnya (gambar2). Akibat tingginya reaksi positif palsu akibat iritasi

Gambar 2. Tes kulit untuk diagnosis hipersensitivitasterhadap vaksin7,10

vaksin, intradermal skin test dengan komponen yangtidak larut harus dihindari. Penting untuk diketahui bah-wa DTR yang lokalisata sering terjadi setelah tes denganvaksin yang tidak larut dengan konsentrasi 1:10 padasebagian besar vaksin. Dosis konsentrasi 1:10 untukvaksin influenza menimbulkan reaksi iritasi yang ber-makna sehingga menimbulkan reaksi positif palsu pada50% kasus. Sehingga hasil tes ini yang positif bukanmerupakan diagnostik untuk alergi. Pada kasus dimanasensitisasi komponen vaksin dapat disingkirkan, pasiendengan ITR dapat direvaksinasi dengan monitoring yang

ketat.11

7. Manajemen Hipersensitivitasterhadap Vaksin

Petugas medis dan paramedis yang memberikan pela-yanan vaksinasi pada pasien anak dan dewasa wajibmemiliki pengetahuan dan keterampilan resusitasi kardi-ovaskuler dan obat-obat yang diperlukan.20 Setiap sete-lah memberikan vaksinasi, penderita harus diobservasisekitar 20-30 menit. Penggunaan torniquet pada tempatinjeksi vaksin atau pemberian sebagian dosis epinefrindisekitar tempat injeksi dapat dilakukan karena absoprsivaksin ke aliran darah sistemik dapat diperlambat.7

Epinefrin merupakan drug of choice reaksi anafilak-sis dan pemberian seawal mungkin sangatlah penting.Epinefrin memiliki efek agonis alfa berupa peningkatantekanan darah, vasokontriksi pembuluh darah dan bron-kodilatasi dan efek beta berupa peningkatan aktivitasjantung dan stabilisasi membran sel mast. Epinefrintersedia dalam vial 1 cc konsentrasi 1:1000 dan tidakberwarna. Mempersiapkan sediaan epinefrin dalam spu-it siap suntik tidak dianjurkan karena potensi epinefrinakan hilang begitu terpapar dengan oksigen. The Ca-nadian National Advisory Committee on Immunization(NACI) dan The American Academy of Pediatrics (AAP)merekomendasikan dosis epinefrin 0,01 ml/kgBB kon-sentrasi 1:1000 intramuskuler dan dapat diulang setiap10-20 menit oleh karena dibutuhkan setidaknya 5 menituntuk mengevaluasi efek epinefrin yang diberikan.7;8

Keputusan tentang revaksinasi hendaknya berdasark-an case-by-case dan analisis risk/benefit. Pada pasiendengan ITR yang membutuhkan revaksinasi, prosedurberikut dapat dipertimbangkan:8;11

1. Preparat alternatif yang tidak dicurigai sebagaialergen hendaknya digunakan jika tersedia.

2. Jika tes alergi tidak dapat disimpulkan dan be-berapa vaksin dicurigai sebagai penyebab makavaksin hendaknya diberikan sendiri-sendiri secaraterpisah selang beberapa hari.

3. Jika SPT memberikan hasil negatif dan tidak ter-dapat riwayat anafilaksis, vaksin dapat diberikandalam dosis tunggal diikuti observasi pasien sela-ma satu jam.

4. Jika SPT negatif tetapi terdapat riwayat anafilak-sis atau reaksi yang serius, sebanyak 10% daridosis hendaknya dapat diberikan diikuti observasipasien minimal selama 30 menit. Jika tidak adatanda terjadinya reaksi, sisa vaksin dapat diberik-an dan pasien harus diobservasi dalam beberapajam.

5. Jika SPT positif dan terdapat indikasi mutlak un-tuk dilakukan vaksinasi, vaksinasi dalam dosisterbagi dapat dipertimbangkan (tabel 4). Dosisdapat diberikan dalam interval 15-30 menit sam-pai dosis penuh atau sampai terjadi adverse event.

Jurnal Kedokteran

Page 46: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Hipersensitivitas Terhadap Vaksin 43

Pada beberapa kasus, jarak pemberian dapat di-perpanjang. Pada kasus terjadi adverse event, ter-dapat dua pilihan yaitu pertahankan dosis vaksinatau premedikasi dengan antihistamin dan korti-kosteroid oral sebelum menaikkan dosis. Setelahdilakukan premedikasi (antihistamin dan steroid),lakukan injeksi 1/10 dari total dosis. Tiga puluhmenit kemudian diikuti oleh pemberian sisa dosis.

Tabel 4. Prosedur pemberian vaksin pada pasien dengan SPTpositif dan mutlak membutuhkan vaksin10

a) 0,05 ml dengan pengenceran 1:10b) 0,05 ml tanpa pengenceranc) 0,10 ml tanpa pengencerand) 0,15 ml tanpa pengencerane) 0,20 ml tanpa pengenceranf) Vaksin dengan volume 1,0 ml, 0,5 ml sisanyadapat ditambahkan

Pada pasien dengan DTR, pertimbangan pemberian re-vaksinasi sebaiknya didasarkan pada riwayat reaksi yangterjadi sebelumnya karena patch test tidak dapat memp-rediksi risiko ke depan. Keputusan dilakukan revaksina-si bersifat individual berdasarkan pentingnya revaksinasidan beratnya reaksi sebelumnya. Pasien dengan riwayatDTR, umumnya dapat diberikan vaksin dosis penuh.8

Vaksinasi pada penderita alergi terhadap telur (oval-bumin) Algoritme berikut dapat membantu klinisi dalammemberikan vaksin yang mengandung telur pada pasienyang alergi terhadap telur (gambar 3).

Gambar 3. Tes kulit untuk diagnosis hipersensitivitasterhadap vaksin7;11

8. RingkasanVaksin yang digunakan saat ini umumnya dapat dito-leransi dengan baik dan efektif. Namun perlu diingatbahwa tidak ada vaksin yang benar-benar aman. Reaksihipersensitivitas terhadap vaksin seringkali melibatkankulit, dapat bersifat lokal maupun sistemik. Reaksi hi-persensitivitas terhadap vaksin disebabkan oleh berbagaikomponen vaksin. Perbedaan antara ITR dengan DTR

adalah esensial karena tes alergi yang berbeda untukkonfirmasi diagnosis. Dalam penatalaksanaannya perludipertimbangkan risk dan benefit dalam memberikanrevaksinasi pada penderita dengan hiperensitivitas ter-hadap vaksin. Pemberian vaksin sebaiknya dilakukanoleh tenaga terlatih, memiliki pengetahuan patofisiologiyang baik dan memiliki sarana yang cukup bila terjadikejadian ikutan pasca imunisasi ringan maupun reaksianafilaksis.

Daftar Pustaka1. Djauzi S, Sunggoro A. In: Imunisasi sebagai upa-

ya pencegahan primer. Dalam: Djauzi S, KoesnoeS, Sari C, Yogani I, eds. Pedoman imunisasi padaorang dewasa. 2nd. vol. 1. Balai Penerbit FKUI;2009. p. 4–7.

2. Winulyo E, Mahdi D, Herdiana D. In: Efek Sam-ping dan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Dalam:Djauzi S, Koesnoe S, Sari C, Yogani I, eds. Pe-doman imunisasi pada orang dewasa. 2nd. BalaiPenerbit FKUI; 2009. p. 189–198.

3. Zhou W, Pool J V Iskander, English-Bullard R, BallR, Wise R. Surveillance for Safety after Immu-nization: Vaccine Adverse Event Reporting Sys-tem (VAERS), United States, 1991–2001. MMWR.2003;.

4. Ada G. Vaccines and vaccination. N Engl J Med.2001;14(345):1042–1053.

5. Zent O, Arras-Reiter C, Broeker M, Hennig R. Im-mediate Allergic Reactions After Vaccinations – APostmarketing Surveillance Review. Eur J Pedatr.2002;1(161):21–5.

6. Bohlke K, Robert L. Risk of Anaphylaxis AfterVaccination of Children and Adolescents. Pediatrics.2003;(815–20):112.

7. Thibodeau J. Office management of childhoodvaccine-related anaphylaxis. Can Fam Physician.1994;40:1602–1610.

8. Wood R, Berger M, Dreskin S, Rosanna S, EnglerR, L C. An Algorithm for Treatment of Patien-ts With Hypersensitivity Reactions After Vaccines.Pediatrics. 2008;3(122):e771–7.

9. Ponvert C, Scheinmann P. Vaccine Allergy andPseudo-Allergy. Eur J Dermatol. 2003;1(13):10–15.

10. American Academy of Pediatric. In: Active im-munization. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,McMillan JA, eds. Red Book: 2006 Report of theCommittee on Infectious Diseases.27th ed. Elk Gro-ve Village, IL: American Academy of Pediatrics;2006. p. 446–8.

Jurnal Kedokteran

Page 47: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

44 Yasa

11. Fritsche P, Helbling A, Balmer-Weber B. VaccineHypersensitivity: Update and Overview. Swiss MedWkly. 2010;140(17-18):238–246.

12. Kling S. Viral vaccination and allergy. CurrentAllergy and Clinical Immunology. 2009;4(22):173–177.

13. Bochner B, Lichtenstein L. Anaphylaxis. N Engl JMed. 1991;25(324):1785–1790.

14. Facktor M, Bernstein R, Firemann P. Hypersensi-tivity to tetanus toxoid. J Allergy Clin Immunol.1973;(52):1–12.

15. Caubet J, Wang J. Current understanding of eggallergy. Pediatr Clin North Am. 2011;58(2):427–443.

16. Clark A, Skypala I, Leech P, Ewan P, Dugue P,Brathwaite Nea. British Society for Allergy and Cli-nical Immunology Guidelines for the Managementof Egg Allergy. Clinical and Experimental Allergy.2010;40:1116–1129.

17. Thomas R, Lorenzetti D, Spragins W, Jackson D,Williamson T. The Safety of Yellow Fever Vaccine17D or 17DD in Children, Pregnant Women, HIV+Individuals, and Older Persons: Systematic Review.Am J Trop Med Hyg. 2012;86(2):359–372.

18. Lavi S, Zimmerman B, Koren G, Gold R. Adminis-tration of measles, mumps and rubella virus vaccine(live) to egg allergic children. J Am Med Assn.1990;263:269–271.

19. Kang L, Crawford N, Tang M, Bottery J, Royle J,Gold M, et al. Hypersensitivity Reactions to HumanPapilloma Virus Vaccine in Australian Schoolgirls:Retrospective Cohort Study. BMJ. 2008;337:a2642.

20. Kelso J, Greenhawt M, Li J. Adverse Reactions toVaccines Practice Parameter 2012 Update. J AllergyClin Immunol. 2012;130(1):25–43.

Jurnal Kedokteran

Page 48: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Jurnal Kedokteran 2016, 5(3): 45-47ISSN 2527-7154

Infeksi Hepatitis B Tersamar (Occult Hepatitis BInfection) dan Kanker Hati PrimerEva Triani

AbstrakInfeksi virus hepatitis B tersamar merupakan infeksi yang masih menjadi masalah karena prevalen-sinya yang cukup tinggi dan berpengaruh pada keselamatan terutama dalam praktik donor darah.Virus Hepatitis B merupakan virus yang paling sering ditransmisikan melalui transfusi dan terdapat ke-mungkinan transmisi berasal dari virus hepatitis B tersamar. Padahal, telah diketahui bahwa terdapathubungan yang erat antara infeksi hepatitis B tersamar dan kejadian sirosis dan kanker hati primer.

KatakunciHepatitis B tersamar, kanker hati primer

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram*e-mail: eva [email protected]

1. PendahuluanInfeksi Virus Hepatitis B (VHB) merupakan masalahkesehatan global, terutama pada daerah berkembang.Sepertiga dari populasi dunia atau lebih dari dua miliarorang telah terinfeksi VHB, dimana 360 juta jiwa meng-alami infeksi hati jangka panjang yang biasa disebutsebagai carrier.1 Dua pertiga dari penyandang carrierVHB tinggal di Asia Tenggara.1 Indonesia memiliki en-demisitas VHB yang tergolong sedang hingga tinggi.1;2

Perjalanan VHB bervariasi, pasien dapat merasakan ge-jala ataupun tidak. Konsekuensi dari VHB sendiri ada-lah sirosis dan dapat berkembang menjadi karsinomahepatoseluler (KHS). Pasien yang terinfeksi VHB danmengalami sirosis hati memiliki kemungkinan besar un-tuk berkembang menjadi KHS. Di Asia Tenggara VHBmerupakan penyebab utama hepatitis kronis, sirosis, danKHS.1–3

2. OBI dan SirosisInfeksi hepatitis B tersamar adalah keadaan ditemukan-nya DNA VHB walau uji HbsAg telah dinyatakan nega-tive3. Lazimnya infeksi hepatitis B didiagnosa denganpositifnya HBsAg. Tetapi salah satu bentuk infeksi he-patitis B ternyata tidak dapat didiagnosa dengan cara itu,karena HBsAg negatif, yang dinamakan infeksi hepatitisB tersamar. Karena itu seseorang yang HBsAg negatifbelum menyingkirkan bahwa yang bersangkutan bebasdari infeksi hepatitis B.1;3

Sirosis adalah suatu kondisi di mana jaringan hatiyang normal digantikan oleh jaringan parut (fibrosis)yang terbentuk melalui proses bertahap. Jaringan parutini memengaruhi struktur normal dan regenerasi sel-selhati. Sel-sel hati menjadi rusak dan mati sehingga hatisecara bertahap kehilangan fungsinya, sedangkan kankerhati adalah pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel-sel ganas di hati yang dihasilkan dari sel-sel abnormal

pada hati.4

3. EpidemiologiPenelitian yang dilakukan dibeberapa Negara menun-jukkan bahwa infeksi hepatitis B tersamar terdapat pada1:7500 Slovenia, 1:63.000 Polandia, 1:107.000 Jepang,dan 1:6000 di Ghanna5. Infeksi Hepatitis B tersamar le-bih sering ditemukan pada penderita sirosis dan kankerhati primer dibandingkan dengan kasus-kasus penyakithati dengan kelaianan hati yang minimal.4;5 Peneliti-an menunjukkan bahwa pasien yang menderita infek-si hepatitis B tersamar bersamaan dengan hepatitis Cmempunyai resiko yang lebih tinggi untuk menderitaKanker Hati Primer dibandingkan dengan pasien infeksitunggal5. Prevalensi infeksi Hepatitis B tersamar padaHepatitis Kronik adalah 5-50%, sedangkan pada pen-derita sirosis dan Kanker Hati Primer berkisar antara20-60%4.

4. OBI dan HepatokarsinogenesisKeadaan klinis ini sudah dikenal lebih dari 20 tahun,tetapi masih banyak hal-hal yang belum jelas. Infeksihepatitis B tersamar mungkin disebabkan karena muta-si gen S, sehingga HBsAg normal tidak terbentuk dantidak terdeteksi oleh reagensia dengan antibodi mono-klonal. Dengan menggunakan reagensia yang dibuatmeggunakan antibodi poliklonal maka frekuensi infeksihepatitis B tersamar akan berkurang.6

Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi infeksihepatitis B tersamar banyak berhubungan dengan geno-tip virus. Seperti diketahui serokonversi HBeAg positifmenjadi anti HBe positif berbeda-beda antara genotip he-patitis B, misalnya untuk genotip E serokonversi sudahbisa terjadi sebelum umur 10 tahun, sedangkan geno-tip A dan D sebelum umur 20 tahun. Untuk genotip B

Page 49: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

46 Triani

serokonversi terjadi antara umur 30-40 tahun. Setelahserokonversi virus hepatitis B bisa menetap sampai pu-luhan tahun dengan derajat replikasi virus yang sangatrendah. Pada fase non replikatif itulah terjadinya infeksihepatitis B tersamar yang berkaitan dengan tidak dapatdideteksinya HBsAg dan kadar HBV-DNA yang rendah,karena itu infeksi hepatitis B tersamar banyak terjadipada infeksi dengan genotip E.1;4;5

Disamping itu dapat terjadi adanya virus lain yangmengganggu replikasi hepatitis B, misalnya virus del-ta.5 Dalam hepatokarsinogenesis terdapat tiga tingkat-an yaitu inisiasi, promosi dan progresi. Secara umuminisiasi dimulai dengan adanya ikatan kovalen antarakarsinogen dengan DNA.Pada infeksi Virus HepatitisB,inisiasi diduga disebabkan oleh integrasi genom VHBdalam genom hepatosit.Integrasi ini dapat merupakanmutagen umum yang menimbulkan kelainan kromosomyang bersifat multiple dan random, dan dapat pula meru-pakan suatu mutagen insersi.Disamping insersi sebagianDNA VHB ke dalam DNA sel hati, dapat juga kehi-langan sekuen tertentu (delesi) atau translokasi sekuentertentu.Semua hal tersebut akan mengubah urutan nu-kleotida pada DNA sel hati dan menimbulkan mutasiyang mengubah sifat-sifat asli sel hati.4;6;7

Tahap berikutnya adalah tahap promosi, yaitu eks-pansi klonal sel-sel yang telah terangsang pada tahapinisiasi. Tahap promosi dipengaruhi oleh adanya pro-moter. Promotor ini adalah suatu proses nekrosis dankematian sel yang diikuti oleh regenerasi yang terjadiberulang kali.Berbeda dengan kanker hati primer aki-bat infeksi Hepatitis C yang selalu diawali dengan siro-sis,kanker hati primer akibat infeksi Hepatitis B dapatterjadi dari sirosis hati tetapi dapat juga terjadi langsungdari hepatitis B tanpa melalui sirosis.5;6;8 Fase selanjut-nya adalah progresi, yaitu sel-sel yang telah mengalamitransformasi keganasan akan mengalami replikasi lebihlanjut.8;9

5. Manifestasi KlinisSebagian besar penderita dengan infeksi virus B tersa-mar asimtomatik. Kalau ada gejala disebabkan karenapenyakit yang menyertainya, misalnya sirosis atau hepa-toma.10 Sirosis di tahap awal tidak menimbulkan gejalaapapun. Oleh karena itu, pasien sirosis ringan dan mo-derat mungkin menderita untuk waktu yang lama tanpamenyadari penyakitnya. Pada tahap ini tes fungsi hatidapat mendeteksi perubahan yang mengarah pada di-sfungsi hati. Pada tahap akhir, sirosis hati terkait denganbanyak gejala diantaranya kelelahan.kelemahan.edemadan ascites, kehilangan nafsu makan, mual, kecende-rungan lebih mudah berdarah dan memar, gatal-gatalkarena penumpukan racun, serta gangguan kesehatanmental dapat terjadi dalam kasus berat karena penga-ruh racun di dalam aliran darah yang mempengaruhiotak.11;12

Pasien yang terkena Kanker Hati Primer biasanyatidak memiliki gejala-gejala yang berbeda dengan penya-kit hati kronik lainnya. Dengan gejala yang memburuk

dari penyakit hati kronis seperti pembengkakan perutakibat cairan (ascites), encephalopathy, pendarahan pa-da sistem saluran pencernaan. Disamping itu, beberapapasien juga mungkin merasakan rasa nyeri pada perutbagian atas, kehilangan berat badan, mudah kenyang,letih lesu, anoreksia, atau benjolan yang dapat dirasakanpada perut bagian atas.12;13

6. Diagnosis dan penatalaksanaanOBI

Suatu diagnostik yang penting untuk infeksi hepatitis Btersamar dimana HBsAg negatif adalah dengan meme-riksa anti-HBc, bila anti-HBc positif kemudian dilakuk-an tes HBV-DNA dengan metoda PCR untuk memastik-an bahwa masih ada viremia hepatitis B.4;6;9 Menurutconsensus NIH infeksi hepatitis B tersamar tidak ter-masuk dalam indikasi terapi anti viral, kecuali bila pen-derita akan mendapat imunosupresiva atau sitostatikaperlu diberikan terapi profilaktis dengan analog nukleo-sid.13;14 Salah satu contoh adalah kasus-kasus denganlymphoma, pada kasus-kasus itu sebelum dilakukan ke-motherapi sebaiknya diperiksa anti-HBc, karena padainfeksi hepatitis B tersamar bisa terjadi reaktifasi setelahpemberian inmunosupresiva atau sitostatika. Reaktifasitersebut terjadi setelah imunosupresiva dihentikan.13;15

7. RingkasanInfeksi hepatitis B tersamar adalah infeksi hepatitis Byang HBsAg negatif tetapi HBV-DNA positif. Infeksiini tidak banyak didapatkan pada penderita hepatitis Ckronik, terutama bila ada ko infeksi dengan HIV. In-feksi ini banyak dilaporkan pada penderita sirosis danhepatoma yang HBsAg negatif. Kebanyakan infeksi he-patitis B tersamar asimtomatik. Gejalanya kebanyakanadalah gejala penyakit yang menyertai. Adanya infek-si hepatitis tersamar menyebabkan skrining darah pratransfusi menggunakan HBsAg saja tidak cukup dansebaiknya dilengkapi dengan skrining anti HBc, bahkanbila mungkin dengan skrining HBV-DNA.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Pustaka1. Allain J. Occult Hepatitis B Virus Infection (Review

Article). Hepatitis B Annual. 2005;2:14–30.

2. Van Hemert F, Zaaijer H, Berkhout B, LukashovV. Occult Hepatitis B Infection : An EvolutionaryScenario. Virology Journal. 2008;5:146.

3. Zahn A, Li C, Danso K, Candotti D, Ofori O, Tem-ple J, et al. Molecular Characterization of OccultHepatitis B Virus in Genotype E-Infected Subjects.Journal of General Virology. 2008;89:409–418.

4. Reesink H, Engelfriet C, Henn G, Mayr W, DelageG, Benier F, et al. Occult Hepatitis B Infection inBlood Donors. Vox Sanguinis. 2008;94:153–166.

Jurnal Kedokteran

Page 50: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Infeksi Hepatitis B Tersamar dan Kanker Hati Primer 47

5. Kaminski G, Alnagdy A, Belushi I, Nograles J, Dha-hry S. Evidence of Occult Hepatitis B Virus Infe-ction among Omani Blood Donors: A PreliminaryStudy. Med Princ Pract. 2006;15:368– 372.

6. Soewignjo S, Gunawan S. Hepatitis Virus B. EGCJakarta. 1999;.

7. Cacciola I, Pollicino T, Sguardrito G, Cerenzia G,Orlando M, Raimondo G. Occult Hepatitis B VirusInfection in Patients with Chronic Hepatitis C LiverDisease. The New Englan Journal of Medicine.1999;341:22–26.

8. Shiota G, Oyama K, Udagawa A, Tanaka K, NomiT, Kitamura A, et al. Occult Hepatitis B VirusInfection in HBs Antigen-Negative HeptocellulearCarcinoma in A Japanese Population: Involvementof HBx and p53. J Med Virol. 2000;62:151–158.

9. Siregar F. Hepatitis B Ditinjau dari Kesehatan Ma-syarakat dan Upaya Pencegahan. Kumpulan ArtikelKesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masya-rakat USU. 2004;.

10. Marrero J, Lok A. Occult Hepatitis B Virus Infe-ction in Patients with Hepatocellular Carcinoma:Innocent Bystander, Cofactor, or Culprit? Gastro-enterology. 2004;126:347–350.

11. Ohba K, Kubo S, Tamori A, Hirohashi K, Tanaka H,Shuto T, et al. Previous or Occult Hepatitis B VirusInfection in Hepatitis B Surface Antingen-Negativeand Anti-Heptitis C-Negative Patients with Hepato-cellular Carcinoma. Surgery Today. 2004;34:842–848.

12. Goncales F, Pereira S, Silva C, Thomaz G, PavanM, Fais V, et al. Hepatitis B Virus DNA in Sera ofBlood Donors and of Patients Infected with Hepa-titis C Virus and Human Immunodeficiency Virus.Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology.2003;10:718–720.

13. Persico E, Renzo A, Mura V, Bruno S, MasaroneM, Torella R, et al. Occult Hepatitis B Virus In-fection in Patients with Non-Hodgkin Lymphoma:The Need for Early Diagnosis in Anti- HBc PositivePatients. Gut. 2007;56:1470–1471.

14. Manzini P, Girotto M, Borsotti R, Giachino O, Gu-aschino R, Lanteri M, et al. Italian Blood Donorswith Anti-HBc and Occult Hepatitis B Virus Infe-ction. Haematologica. 2007;92:1664–1670.

15. Laguna M, Larrousse M, Blanco J, Leon A, Milin-kovic A, Robezler M, et al. Prevalence and ClinicalRelevance of Occult Hepatitis B in the Fibrosis Pro-gression and Antiviral Response to INF Therapy inHIV-HCV-Coinfected Patients. Aids Research andHuman Restoviruses. 2008;24:547–553.

Jurnal Kedokteran

Page 51: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Jurnal Kedokteran ISSN 2527-7154

Panduan bagi Penulis Naskah di Jurnal Kedokteran Unram Dewan Editor1*

AbstrakNaskah yang diterbitkan suatu jurnal dituntut untuk memiliki keseragaman pola dan penampilan. Hal inibertujuan untuk memudahkan pembaca dalam membaca isi jurnal tanpa harus terganggu inkonsistensipenampilan. Untuk itu, Jurnal Kedokteran Unram menyusun aturan sistematika penulisan naskah bagipenulis yang hendak mengirimkan naskah untuk dimuat di Jurnal Kedokteran Unram. Sistematikanaskah dibedakan berdasarkan jenis naskah yang hendak dikirimkan oleh penulis. Terdapat tiga jenisnaskah, yaitu penelitian, tinjauan pustaka dan laporan kasus. Persyaratan ketiga jenis naskah akandibahas pada panduan ini.

Katakuncipanduan penulisan; penelitian; tinjauan pustaka; laporan kasus

1Jurnal Kedokteran Unram, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram*e-mail: [email protected]

1. Pendahuluan Jurnal Kedokteran Unram dalam tatakelolanya mengacu pada rekomendasi dari International Committee of Me- dical Journal Editors ((ICMJE).1 Prinsip-prinsip dalam rekomendasi tersebut digunakan dalam menyusun pan- duan ini. Panduan ini akan menyajikan rambu-rambu bagi penulis dalam mempersiapkan naskah ilmiah yang hendak dikirimkan ke Jurnal Kedokteran Unram. Kami menyarankan penulis untuk membaca pula rekomendasi lengkap dari ICMJE tersebut.

2. Kepengarangan

Kepengarangan (authorship) menjadi hal yang menda- sar dalam penerbitan Jurnal Kedokteran Unram. Apabila penulis hanya bekerja seorang diri sejak awal penelitian hingga akhir terselesaikannya suatu naskah, kepenga- rangan serta merta akan menjadi hak tunggal penulis tersebut. Namun, bila ada banyak pihak yang terlibat, kepengarangan akan tersebar pada masing-masing pihak yang terlibat. Dalam hal ini, penulis yang mengirimkan naskah ke Jurnal Kedokteran Unram perlu menyampai- kan informasi mengenai kontribusi pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyusunan naskah yang dikirim- kan.

Berdasar rekomendasi ICMJE, kepengarangan di- dasarkan pada empat kriteria, yaitu 1) kontribusi yang bermakna terhadap perencanaan atau pelaksanaan atau analisis atau interpretasi data penelitian, 2) kontribusi dalam menyusun atau merevisi naskah, 3) kontribusi da- lam penyelesaian naskah sebelum dikirim ke jurnal dan 4) pernyataan kesediaan untuk ikut bertanggung jawab atas isi naskah. Untuk setiap naskah yang dikirimkan ke Jurnal Kedokteran Unram, seseorang dapat dicantum-

kan sebagai penulis apabila memenuhi seluruh kriteria tersebut. Bila seseorang hanya memenuhi sebagian saja, dianjurkan untuk mencantumkan namanya di Ucapan Terima Kasih sebagai kontributor non penulis.1

3. Persyaratan Umum Naskah

• Naskah yang dikirimkan ke Jurnal Kedokteran Unram harus bersifat ilmiah. Naskah harus meng- andung data dan informasi yang bermanfaat da- lam memajukan ilmu dan pengetahuan di bidang kedokteran.

• Naskah yang dikirimkan adalah naskah asli yang belum pernah dipublikasikan dalam penerbitan apapun atau tidak sedang diminta penerbitannya oleh media lain baik di dalam maupun di luar negeri.

• Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan memenuhi kaidah-kaidah penulisan yang baik dan benar.

• Kalimat dalam naskah harus dituliskan secara lu- gas dan jelas.

• Sebagai tambahan, penulis diharapkan menyedi- akan abstrak berbahasa Inggris untuk digunakan sebagai bahan pengindeksan Open Access Initia- tives (OAI).

• Penulis mencantumkan institusi asal dan alamat e-mail sebagai media korespondensi. Apabila ter- dapat lebih dari satu penulis, sebaiknya dituliskan alamat e-mail seluruh penulis dengan diberi kete- rangan satu alamat e-mail yang digunakan sebagai

Page 52: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

ii Dewan Penyunting

media korespondensi. Apabila tidak ada keterang- an khusus mengenai e-mail korespondensi, secara otomatis alamat e-mail penulis utama akan digu- nakan sebagai e-mail korespondensi.

• Naskah dikirimkan melalui sistem publikasi da- lam jaringan Jurnal Kedokteran Unram yang da- pat diakses melalui http://jku.unram.ac. id.

• Naskah dapat diedit oleh redaksi tanpa mengu- bah isi untuk disesuaikan dengan format penulis- an yang telah ditetapkan oleh Jurnal Kedokteran Unram.

• Naskah yang diterima beserta semua gambar yang menyertainya menjadi milik sah penerbit, baik secara keseluruhan atau sebagian, dalam bentuk cetakan atau elektronik tidak boleh dikutip tanpa ijin tertulis dari penerbit.

• Semua data, pendapat, atau pernyataan yang ter- dapat dalam naskah merupakan tanggung jawab penulis. Penerbit, dewan redaksi, dan seluruh staf Jurnal Kedokteran Unram tidak bertanggung jawab atau tidak bersedia menerima kesulitan ma- upun masalah apapun sehubungan dengan akibat ketidaktepatan, kesesatan data, pendapat, maupun pernyataan terkait isi naskah.

• Naskah yang diterima akan diberitahukan kepada penulis dan ditentukan segera untuk kemungkinan penerbitannya. Naskah yang diterima dan gambar penyerta tidak dikembalikan. Penulis akan me- nerima cetak coba (galley proof ) untuk diperiksa sebelum jurnal diterbitkan.

• Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberi- tahukan melalui sistem publikasi dalam jaringan Jurnal Kedokteran Unram. Makalah yang tidak dimuat akan dikembalikan.

4. Jenis-jenis Naskah

Jurnal Kedokteran Unram menerima beberapa jenis nas- kah untuk dimuat dalam bagian yang bersesuaian dalam jurnal. Masing-masing jenis mempunyai persyaratan yang harus dipenuhi oleh penulis. Berikut ini adalah keterangan mengenai jenis-jenis naskah tersebut.

Penelitian Jenis naskah pertama adalah naskah yang ditujukan untuk dimuat di Bagian Penelitian Jurnal Kedokteran Unram. Naskah penelitian merupakan laporan hasil pe- nelitian yang dilakukan oleh penulis. Naskah dibatasi 3.000 kata, disertai abstrak, memuat maksimal 5 tabel dan gambar (total) dan maksimal 40 pustaka rujukan. Ju- dul naskah dibatasi maksimal 15 kata. Abstrak dibatasi maksimal 250 kata.

Isi naskah Penelitian mempunyai struktur berupa Pendahuluan, Metode, Hasil dan Pembahasan, serta Ke- simpulan. Untuk naskah penelitian, penulis dianjurkan

mempelajari teknik pelaporan berbagai metode pene-litian kedokteran dan kesehatan yang dapat dilihat dihttp://www.equator-network.org/.

Pendahuluan memberikan latar belakang singkatmengenai pentingnya penelitian dan tujuan penelitian.Metode memaparkan rancangan, tatacara pelaksana-an hingga analisis yang dilakukan. Ketika penelitianmenggunakan subjek manusia atau hewan coba, pe-nelti perlu menyampaikan apakah prosedur telah me-lalui proses telaah dari suatu komisi etik penelitian.Hasil telaah tersebut (ethical clearance) dilampirkanbersama naskah. Apabila tidak ada ethical clearan-ce, peneliti perlu memaparkan apakah prosedurnya me-menuhi kaidah Deklarasi Helsinki yang isinya dapatdiakses di www.wma.net/en/30publications/10policies/b3/index.html.

Pada paparan metode, penulis perlu melaporkan ana-lisis statistik yang digunakan. Pelaporan analisis statis-tik dianjurkan memenuhi panduan SAMPL (StatisticalAnalyses and Methods in the Published Literature)2

agar mempunyai manfaat yang lebih besar bagi parapembaca.

KasusKelompok naskah kedua adalah naskah yang ditujukanuntuk dimuat di Bagian Kasus Jurnal Kedokteran Unram.Kelompok naskah ini terdiri atas Laporan Kasus danPenalaran Klinis. Naskah dibatasi 2.700 kata denganmaksimal 5 tabel dan gambar (total) dan maksimal 25pustaka rujukan.

Terdapat sedikit perbedaan antara Laporan Kasusdan Penalaran Klinis. Laporan Kasus berisi satu hinggatiga pasien atau satu keluarga. Kasus dipaparkan secaralengkap dan dibahas hal-hal yang membuat kasus terse-but menarik secara ilmiah. Penalaran Klinis berisi satukasus yang dikupas secara bertahap dalam konteks pe-ngambilan keputusan klinis. Data anamnesis, pemerik-saan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien disajikansatu per satu untuk memberikan gambaran mengenaiproses penalaran klinis ketika suatu data diolah menjadiinformasi oleh seorang klinisi.

Bilamana diperlukan penulis dapat mengirimkan le-bih banyak gambar untuk dimuat sebagai suplemen.Gambar tersebut tidak akan masuk dalam badan nas-kah namun akan disediakan tautannya di laman jurnal.Judul naskah dibatasi maksimal 15 kata. Abstrak diba-tasi maksimal 250 kata. Isi naskah Kasus berisi Pen-dahuluan, Paparan Kasus, Pembahasan dan Kesimpul-an. Teknik pelaporan kasus klinis juga dapat dilihat dihttp://www.equator-network.org/.

Tinjauan PustakaKelompok naskah ketiga adalah naskah yang dituju-kan untuk dimuat di Bagian Tinjauan Pustaka JurnalKedokteran Unram. Naskah tinjauan pustaka dibatasimaksimal 5.000 kata. Naskah dapat dilengkapi denganmaksimal 7 tabel dan gambar (total) dan maksimal 40pustaka rujukan. Judul naskah dibatasi maksimal 15kata. Abstrak dibatasi maksimal 250 kata.

Jurnal Kedokteran

Page 53: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

Panduan Penulis iii

Isi naskah Tinjauan Pustaka bebas, namun harus memuat Pendahuluan, Kesimpulan dan Daftar Pusta- ka. Pendahuluan memberikan latar belakang pentingnya suatu topik dibahas dalam suatu tinjauan pustaka. Ba- tang tubuh isi paparan tinjauan pustaka disusun sesuai kebutuhan penulis. Naskah diakhiri dengan kesimpul- an mengenai hal-hal kunci yang dianggap penting oleh penulis terkait informasi dalam naskah.

5. Penyiapan Berkas Naskah

Penulis perlu mempersiapkan berkas naskah sebelum melakukan prosedur pengiriman naskah di laman Jurnal Kedokteran Unram. Berikut ini panduan terkait penyi- apan berkas naskah.

Format Berkas Jurnal Kedokteran Unram menerima format berkas nas- kah berupa *.odt, *.rtf, *.wps, *.doc, *.docx, dan *.pdf. Format berkas gambar terkait naskah berupa *.jpg dan *.png dengan resolusi minimal 300 dpi.

Ukuran kertas dan margin • Naskah ditulis di kertas ukuran A4 (21,0 x 29,7 cm2)

• Batas-batas area pengetikan adalah batas kiri dan batas atas sebesar 3 cm, sedangkan batas kanan dan batas bawah sebesar 2,5 cm.

Jenis huruf, ukuran huruf, dan spasi • Naskah ditulis menggunakan huruf Times New Roman atau Times berukuran 12 pt kecuali hal- hal yang diatur khusus pada poin-poin berikut.

• Huruf cetak miring digunakan sesuai kaidah Eja-

an Bahasa Indonesia (EBI).

• Judul artikel ditulis menggunakan huruf berukur-an 14 pt

• Judul bagian dan subbagian dicetak tebal.

• Tabel ditulis menggunakan huruf berukuran 10pt.

• Spasi yang digunakan adalah 1,5 pada keseluruh-an teks kecuali tabel menggunakan spasi 1.

Susunan Naskah • Semua halaman diberi nomor halaman menggu- nakan angka Arab di bagian bawah halaman di tengah-tengah.

• Halaman pertama berisi judul naskah, informasi penulis dan informasi naskah. Informasi penulis meliputi nama, afiliasi dan e-mail koresponden- si. Informasi naskah meliputi bagian yang dituju, jumlah tabel dan gambar, serta catatan bila ada hal-hal khusus yang hendak disampaikan.

• Halaman kedua adalah halaman abstrak berbaha- sa Indonesia. Judul naskah dituliskan lagi di baris paling atas. Di bawah judul diberikan satu baris kosong, diikuti dengan judul singkat naskah. Di bawah judul singkat naskah diberikan satu baris kosong, diikuti dengan abstrak. Untuk naskah Penelitian, abstrak ditulis dengan struktur 4 pa- ragraf, yaitu latar belakang, metode, hasil, dan kesimpulan. Masing-masing paragraf didahului nama paragraf dengan dipisahkan tanda titik dua (:). Untuk naskah Tinjauan Pustaka dan Kasus, abstrak ditulis sebagai satu paragraf utuh. Kata- kunci dituliskan setelah abstrak dengan dipisah- kan satu baris kosong. Katakunci dapat berupa kata atau frase pendek. Setiap naskah dapat diberi 3 sampai 7 katakunci.

• Halaman ketiga adalah halaman abstrak berbaha- sa Inggris. Isi halaman ini sama seperti halaman kedua namun diterjemahkan ke dalam Bahasa Ing- gris.

• Halaman keempat dan seterusnya digunakan un- tuk menuliskan inti naskah sesuai jenisnya.

• Apabila penulis perlu menyampaikan terimakasih kepada kontributor non penulis, setelah halaman inti naskah dapat dituliskan Ucapan Terima Kasih. Ucapan Terima Kasih ditulis dengan kalimat yang singkat dan jelas mengenai siapa dan apa peran kontributor non penulis tersebut.

• Daftar Pustaka dituliskan pada halaman baru. Daf- tar Pustaka ditulis menggunakan metode Vanco- uver sesuai pedoman yang dikeluarkan ICMJE. Panduan lengkap dan contoh penulisan berbagai sumber pustaka dapat dilihat di sumber yang dire- komendasikan ICMJE.3;4

• Tabel dan gambar diletakkan sesudah halaman Daftar Pustaka. Gambar diletakkan setelah ha- laman tabel. Masing-masing tabel dan gambar di- mulai pada halaman baru. Judul tabel diletakkan di atas tabel dengan nomor angka Arab dimulai dari angka 1. Judul gambar diletakkan di bawah gambar dengan nomor angka Arab dimulai dari angka 1. Gambar diberi nomor urut terpisah dari nomor urut tabel. Urutan penomoran tabel dan gambar sesuai urutan perujukannya dalam nas- kah. Pastikan bahwa kalimat dalam naskah telah merujuk ke tabel dan gambar yang tepat.

6. Penyiapan Berkas Dokumen Pendukung

Format Berkas Untuk berkas dokumen pendukung hasil scan, format yang diterima adalah format gambar berupa *.jpeg atau *.jpg dengan resolusi 150 dpi. Berkas dapat juga ber- bentuk PDF dengan pilihan berkas yang memadai untuk dibaca dalam jaringan dan memadai untuk dicetak.

Jurnal Kedokteran

Page 54: Volume 5 Nomor 3 - September 2016 ISSN : 2527-7154 JURNAL

iv Dewan Penyunting

Dokumen PendukungPenulis perlu mempersiapkan scan dokumen pendukungsebelum melakukan proses unggah.

Form Kontribusi PenulisForm kontribusi berisi biodata singkat seluruh penulis,kontribusi yang diberikan dan pernyataan telah menye-tujui isi naskah.

Pernyataan Konflik KepentinganKonflik kepentingan (Conflict of Interest), bila ada, perludijelaskan oleh penulis untuk menghilangkan keraguanilmiah mengenai isi naskah.

Salinan Ethical ClearanceSalinan ethical clearance dilampirkan bila penelitianmenggunakan data terkait subjek manusia atau hewancoba.

7. Pendaftaran Naskah Pendaftaran naskah untuk diterbitkan di Jurnal Kedok- teran Unram dilakukan melalui laman sistem publikasi dalam jaringan. Untuk dapat mendaftarkan naskahnya, penulis harus membuat akun penulis di laman tersebut. Prosedur pendaftaran naskah selengkapnya dapat dilihat di laman tersebut.

8. Penutup

Demikian panduan penulisan naskah ini disusun, hal-hal yang belum diatur dalam panduan ini dapat ditanyakan ke redaktur pelaksana melalui email yang tercantum di laman Jurnal Kedokteran Unram. Selamat menulis.

Daftar Pustaka 1. International Committee of Medical Journal Editors.

Recommendations for the conduct, reporting, editing and publication of scholarly work in medical jour- nals; 2015. Available from: http://www.icmje. org/recommendations.

2. Lang TA, Altman DG. Statistical Analyses and Me- thods in the Published Literature: The SAMPL Gui- delines*. Guidelines for Reporting Health Research: A User’s Manual. 2014;p. 264–274.

3. Patrias K, Wendling DL, United States, Department of Health and Human Services, National Library of Medicine (U S ). Citing medicine the NLM style guide for authors, editors, and publishers. Bethesda, Md.: Dept. of Health and Human Services, National Institutes of Health, U.S. National Library of Medi- cine; 2007. Available from: http://www.ncbi. nlm.nih.gov/books/NBK7256/.

4. U S National Library of Medicine. Samples of For- matted References for Authors of Journal Articles; 2016. Available from: https://www.nlm.nih. gov/bsd/uniform_requirements.html.

Jurnal Kedokteran