Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

20
H U K U M - 1 - Vol.V, No. 04/II/P3DI/Februari/2013 Info Singkat © 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI www.dpr.go.id ISSN 2088-2351 TINJAUAN YURIDIS: POLEMIK SEPUTAR DRAF SPRINDIK KASUS HAMBALANG Novianto M. Hantoro *) Abstrak Salinan dokumen draf surat perintah penyidikan (Sprindik) terhadap kasus Hambalang yang beredar di luar KPK menimbulkan polemik dan kontroversi. Polemik terjadi karena salinan dokumen menyebutkan, perintah penyidikan itu untuk tersangka atas nama AU. Dari perspektif politik, kasus ini dikaitkan dengan permasalahan internal di partai yang berkuasa saat ini, namun dari perspektif hukum, persoalan ini menyangkut kredibilitas dan profesionalisme kerja KPK. Apabila beredarnya salinan dokumen tersebut bersumber dari dalam KPK, maka KPK diharapkan dapat memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku dan memperbaiki administrasi tata kerjanya. A. Pendahuluan Beredarnya copy dokumen draf surat perintah untuk melakukan penyidikan (Sprindik) dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji terkait proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat mendapat banyak perhatian masyarakat dan menjadi polemik. Hal ini karena di dalam draf Sprindik disebutkan bahwa dugaan kasus korupsi tersebut dilakukan oleh tersangka AU selaku anggota DPR RI periode 2009-2014. Beredarnya draf Sprindik tersebut menjadi polemik karena diduga ada pihak yang membocorkan. Kebocoran ini juga dikaitkan dengan permasalahan internal yang sedang dihadapi partai politik yang berkuasa saat ini dan kebetulan nama yang disebut dalam surat tersebut adalah nama Ketua Partai Politik yang bersangkutan. Permasalahan ini juga menjadi polemik karena diduga ada permasalahan internal di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), khususnya di antara Pimpinan KPK. Spekulasi kemudian berkembang, baik terhadap kasus Sprindik tersebut dan penuntasan kasus Hambalang yang telah lama bergulir. Dari permasalahan seputar beredarnya salinan dokumen draf Sprindik tersebut, memunculkan pertanyaan: Apakah salinan dokumen tersebut benar-benar dokumen KPK? Siapa yang mengedarkan dokumen tersebut? Mengapa dokumen tersebut dapat beredar? *) Peneliti Madya bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

description

Tinjauan Yuridis: Polemik Seputar Draf Sprindik Kasus Hambalang (Novianto M. Hantoro)Pemerintahan Rafael Correa dan Hubungan Bilateral Indonesia-Ekuador (Adirini Pujayanti)Sistem Pelayanan Kesehatan untuk Bayi yang Belum Optimal (Rahmi Yuningsih)Kebijakan Pembatasan Waralaba Restoran dan Toko Modern (Lukman Adam)Revitalisasi RRI dan TVRI menghadapi Pemilu 2014 (Ahmad Budiman)

Transcript of Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

Page 1: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

H U K U M

- 1 -

Vol. V, No. 04/II/P3DI/Februari/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

TINJAUAN YURIDIS: POLEMIK SEPUTAR

DRAF SPRINDIK KASUS HAMBALANG

Novianto M. Hantoro*)

Abstrak

Salinan dokumen draf surat perintah penyidikan (Sprindik) terhadap kasus Hambalang yang beredar di luar KPK menimbulkan polemik dan kontroversi. Polemik terjadi karena salinan dokumen menyebutkan, perintah penyidikan itu untuk tersangka atas nama AU. Dari perspektif politik, kasus ini dikaitkan dengan permasalahan internal di partai yang berkuasa saat ini, namun dari perspektif hukum, persoalan ini menyangkut kredibilitas dan profesionalisme kerja KPK. Apabila beredarnya salinan dokumen tersebut bersumber dari dalam KPK, maka KPK diharapkan dapat memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku dan memperbaiki administrasi tata kerjanya.

A. Pendahuluan

Beredarnya copy dokumen draf surat perintah untuk melakukan penyidikan (Sprindik) dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji terkait proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat mendapat banyak perhatian masyarakat dan menjadi polemik. Hal ini karena di dalam draf Sprindik disebutkan bahwa dugaan kasus korupsi tersebut dilakukan oleh tersangka AU selaku anggota DPR RI periode 2009-2014. Beredarnya draf Sprindik tersebut menjadi polemik karena diduga ada pihak yang membocorkan. Kebocoran ini juga dikaitkan dengan permasalahan internal yang

sedang dihadapi partai politik yang berkuasa saat ini dan kebetulan nama yang disebut dalam surat tersebut adalah nama Ketua Partai Politik yang bersangkutan. Permasalahan ini juga menjadi polemik karena diduga ada permasalahan internal di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), khususnya di antara Pimpinan KPK. Spekulasi kemudian berkembang, baik terhadap kasus Sprindik tersebut dan penuntasan kasus Hambalang yang telah lama bergulir. Dari permasalahan seputar beredarnya salinan dokumen draf Sprindik tersebut, memunculkan pertanyaan: Apakah salinan dokumen tersebut benar-benar dokumen KPK? Siapa yang mengedarkan dokumen tersebut? Mengapa dokumen tersebut dapat beredar?

*) Peneliti Madya bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 2: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 2 -

B. Beredarnya Salinan Dokumen Draf Sprindik

Di tengah kemelut internal yang melanda partai politik yang berkuasa saat ini yang berujung pengambilalihan tugas ketua umumnya oleh majelis tinggi partai, beredar salinan dokumen draf Sprindik terkait status Ketua Umumnya. Ketidakjelasan status hukum yang bersangkutan sejak kasus ini bergulir, kurang lebih dua tahun yang lalu, dirasakan menjadi menggantung dan dapat mempengaruhi citra partai. Ketika permasalahan tersebut mencuat, beredar salinan dokumen draf Sprindik yang kemudian menjadi polemik dan kontroversi.

Salinan dokumen draf Sprindikk yang beredar berisi perintah kepada beberapa penyidik untuk: “Melakukan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji terkait pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang, Bogor, Jawa Barat yang dilakukan oleh Tersangka AU selaku anggota DPR RI periode 2009-2014 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Selanjutnya pada bagian bawah draf Sprindik tersebut terdapat kotak persetujuan surat yang diparaf oleh 3 (tiga) orang Pimpinan KPK, yaitu Abraham Samad, Adnan Pandupradja, dan Zulkarnaen. Belum ada tanggal yang tercantum di bagian bawah surat, namun hanya bulan dan tahun, yaitu Februari 2013.

Spekulasi kemudian bermunculan, karena beredarnya salinan dokumen tersebut dikaitkan dengan kemelut partai yang sedang terjadi. Kontroversi juga muncul ketika salah seorang Pimpinan KPK yang memberikan paraf pada dokumen tersebut menyatakan menarik paraf yang telah dibubuhkannya. Hal ini mengakibatkan profesionalitas dan kredibilitas KPK dipertanyakan.

Untuk mengusut kasus tersebut, Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK telah membentuk Tim investigasi. Dari penelusuran tim selama kurang lebih dua pekan, terdapat sejumlah kesimpulan dan rekomendasi, yaitu: dokumen draf Sprindik yang beredar merupakan dokumen asli yang diterbitkan

KPK atau berasal dari KPK, kemudian merekomendasikan kepada pimpinan KPK untuk membentuk Komite Etik. Komite Etik ini akan menelusuri dugaan pelanggaran yang dilakukan unsur pimpinan KPK terkait bocornya draf Sprindik. Dengan dibentuknya Komite Etik maka penelusuran akan dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya pegawai, tetapi juga unsur pimpinan KPK..

Anggota Komite Etik terdiri dari unsur pimpinan, unsur penasihat KPK, dan unsur eksternal. Adapun unsur pimpinan KPK yang akan masuk dalam Komite Etik ini, adalah pimpinan yang dianggap tidak memiliki konflik kepentingan terkait draf Sprindik tersebut.

Seiring dengan bergulirnya proses pengusutan terhadap draf Sprindik tersebut, KPK pada 22 Februari 2013 mengumumkan Sprindik secara resmi. KPK menyampaikan bahwa dalam pengembangan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah berkaitan dengan proses pelaksanaan pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang dan/atau proyek-proyek lainnya, KPK menemukan minimal dua alat bukti yang cukup untuk meningkatkan status kasus tersebut ke penyidikan. Dalam kasus ini, KPK menetapkan AU (mantan Anggota DPR RI) sebagai tersangka. Tersangka AU selaku Anggota DPR RI diduga telah menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewaijbannya. Atas perbuatannya, AU disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk kepentingan penyidikan, KPK juga telah menandatangani surat permintaan pencegahan bepergian ke luar negeri kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi terhadap tersangka AU untuk waktu 6 bulan ke depan.

Tidak banyak perbedaan antara draf Sprindik yang beredar dengan Sprindik yang diumumkan resmi oleh KPK. Namun, untuk kasus yang disangkakan, draf Sprindik hanya

Page 3: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 3 -

menyebutkan “pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang”, sedangkan di dalam Sprindik ditambahkan “atau proyek-proyek lain.” Sprindik hanya ditandatangani oleh salah seorang Pimpinan KPK, namun penerbitan Sprindik tersebut disetujui oleh semua Pimpinan KPK. Dengan telah dikeluarkannya Sprindik, bukan berarti permasalahan mengenai bocornya atau beredarnya draf Sprindik menjadi selesai.

C. Ketentuan Hukum mengenai Sprindik

Draf Sprindik berbeda dengan Sprindik. Draf Sprindik adalah dokumen internal yang berupa konsep surat sebelum menjadi Sprindik. Adapun mekanisme/prosedur peningkatan penanganan perkara dari tingkat Penyelidikan ke Penyidikan dilakukan dalam hal hasil penyelidikan telah menemukan bukti permulaan yang cukup bahwa perbuatan tersebut merupakan Tindak Pidana Korupsi, setelah dilakukan ekspose/gelar perkara, berdasarkan saran dan masukan Penyelidik, Penyidik, calon Penuntut Umum, dan Pimpinan KPK, ditingkatkan ke tahap penyidikan melalui Surat Perintah Penyidikan yang ditandatangani oleh Pimpinan KPK.

Berdasarkan hal tersebut, maka tingkat kerahasiaan draf Sprindik menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan Sprindik. Bahkan Sprindik dapat dikatakan bukan rahasia, karena seringkali diadakan jumpa pers terkait dengan diterbitkannya Sprindik, sebagaimana kasus terhadap tersangka AU. Sementara draf Sprindik masih bersifat rahasia, karena apabila beredar, dapat diduga akan menghambat jalannya penyidikan. Hambatan tersebut bisa berupa calon tersangka melarikan diri ke luar negeri sementara perintah pencegahan secara resmi belum diterbitkan atau menghilangkan barang-barang bukti.

Tim investigasi KPK telah menyatakan bahwa draf Sprindik tersebut berasal dari KPK, maka tugas berikutnya adalah mencari tahu siapa pihak yang bertanggung jawab atas beredarnya draf tersebut, apakah internal KPK sendiri atau pihak luar? Terlepas pelaku adalah pihak internal, baik pegawai maupun unsur Pimpinan KPK

atau eksternal KPK, seharusnya permasalahan ini tidak hanya dilokalisir pada permasalahan etika, karena hal ini dapat juga menyangkut pidana sehingga dibutuhkan investigasi dari luar KPK. Pelaku selain bisa dikenai sanksi pelanggaran kode etik, juga dapat dikenai ketentuan pidana informasi. Hal tersebut diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). UU KIP, selain mengatur mengenai akses terhadap informasi, juga memuat ancaman pidana bagi pihak-pihak yang mengakses dan menyebarluaskan secara tidak sah informasi yang dikecualikan atau rahasia.

Pasal 17 huruf a angka 1 menyebutkan bahwa setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali: a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana. Selanjutnya Pasal 54 ayat (1) UU KIP menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Kasus beredarnya draf Sprindik tersebut juga menunjukkan adanya permasalahan di dalam proses administrasi di KPK. Hal ini memerlukan pembenahan yang serius. Sudah selayaknya KPK juga melakukan pembenahan terhadap manajemen penanganan perkaranya yang dipahami dan ditaati di kalangan internal agar kejadian tersebut tidak terulang. Terhadap kasus ini, DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan dapat menyarankan terhadap KPK agar mengusut tuntas pelaku tersebut dan meminta KPK membenahi manajeman atau administrasi penanganan perkara.

D. Penutup

Beredarnya salinan dokumen draf Sprindik dari KPK menimbulkan polemik dan mengakibatkan kredibilitas serta profesionalisme lembaga tersebut dipertanyakan. Untuk

Page 4: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 4 -

memperbaiki citra lembaga tersebut, maka KPK perlu dengan segera mengusut pelaku dan memberikan sanksi yang tegas. Selain itu, KPK juga perlu membenahi manajemen atau administrasi penanganan perkara agar kasus tersebut tidak terulang kembali.

Rujukan:

1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

2. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Sebagai Pengganti Perkap Nomor 12 Tahun 2009.

3. “Ini Surat Perintah Penyidikan untuk Anas,” http://www.metrotvnews.com, diakses 26 Februari 2013.

4. “Penjelasan KPK Soal Beredarnya Sprindik untuk Anas,” http://news.detik.com, diakses 26 Februari 2013.

5. “Ini Hasil Investigasi Internal KPK soal Sprindik Anas,” http://nasional.kompas.com, diakses 26 Februari 2013.

6. “KPK Resmikan Komite Etik Sprindik,” http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers, diakses 26 Februari 2013.

7. “Kasus Sprindik KPK. Pembocor Bisa Dikenai Pidana Informasi,” http://nasional.kompas.com, diakses 26 Februari 2013.

Page 5: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

H U B U N G A N I N T E R N A S I O N A L

- 5 -

Vol. V, No. 04/II/P3DI/Februari/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

PEMERINTAHAN RAFAEL CORREA DAN

HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA-EKUADOR

Adirini Pujayanti*)

Abstrak

Presiden Ekuador, Rafael Correa Dalgado terpilih kembali sebagai Presiden Ekuador untuk masa jabatan kedua dalam pemilu 17 Februari 2013. Pada masa pemerintahannya, Ekuador berupaya menjalin kerjasama yang lebih erat lagi dengan sesama negara berkembang di Asia, khususnya Indonesia. Melihat pengaruh politik Presiden Rafael Correa Dalgado yang terus menguat di Amerika Latin, peningkatan kerjasama bilateral Indonesia-Ekuador perlu terus ditingkatkan demi kepentingan nasional dan kerjasama Selatan-Selatan.

A. Pendahuluan

Presiden Ekuador, Rafael Correa Dalgado terpilih kembali sebagai Presiden Ekuador untuk masa jabatan kedua dalam pemilu 17 Februari 2013. Profil Rafael Correa mulai diperhitungkan di kancah internasional karena menjadi pemimpin terlama Ekuador dalam satu dekade terakhir. Ekuador sering mengalami ketidakstabilan dengan pergantian tujuh presiden dalam 10 tahun sebelum Correa menjabat. Hal tersebut menjadikan Rafael Correa pemimpin yang cukup diperhitungkan di Amerika Latin, setelah Hugo Chaves di Venezuela. Kemenangan Correa menunjukan, eksistensi mazhab sosialisme Bolivarian di Amerika Latin melalui Aliansi Bolivarian Negara-Negara Amerika (ALBA), masih cukup kuat di Amerika Latin.

Rafael Correa bertekad lebih memperkuat revolusi rakyat tanpa intervensi modal asing demi mewujudkan masyarakat madani di Ekuador. Pada masa jabatan pertama, Correa berhasil membawa stabilitas ekonomi di negara berpopulasi 14,6 juta jiwa tersebut. Kepemimpinannya terbantu dengan melonjaknya komoditas ekspor utama Ekuador, minyak, hingga US$100 per barrel. Keuntungan minyak tersebut digunakan untuk meningkatkan akses pendidikan, kesehatan publik dan infrastruktur berupa pembangunan ratusan kilometer jalan raya baru. Correa membuka banyak lapangan kerja baru, termasuk dengan pegawai negeri sipil. Pemerintahannya memberikan bantuan sosial kepada sekitar 1,9 juta warga yang berpenghasilan kurang dari US$50 per bulan. Kebijakan Correa memanfaatkan harga minyak tinggi untuk

*) Peneliti Madya bidang Bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 6: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 6 -

mendanai program-program sosial membuatnya unggul dalam popularitas.

B. Kritik terhadap Rafael Correa

Kemenangan Correa disambut dingin kelompok oposisi yang berpaham ekonomi liberal yang menganggapnya telah mengarahkan Ekuador kepada pemerintahan diktator komunis dan ancaman demokrasi. Ia dianggap penghambat demokrasi dengan memperkuat kekuasaan di tangan presiden, melemahkan pengadilan dan menyerang oposisi baik itu parpol atau media. Correa terus berupaya memenangkan partainya, Alianza Pais yang akhirnya menang mutlak dalam pemilu legislatif. Hal tersebut akan memudahkannya meloloskan RUU Media dan RUU Reformasi Bisnis yang ditentang pihak oposisi. Undang-undang kontrol media dianggapnya perlu karena media telah dimanfaatkan oleh oposisi untuk menentangnya.

Ketua Dialog Inter-Amerika Michael Shifter mengkritik kebijakan pembelanjaan sosial Correa, yang dianggapnya populis dan hanya memberikan kesejahteraan jangka pendek bagi warganya. Tanpa ada imbas bagi kepentingan jangka panjang, negara tersebut tidak akan mampu bertahan tanpa sumber pendapatan baru yang mengacu pada sumber dana dari investasi asing. Ia dianggap tanpa perhitungan matang dalam menggunakan cadangan devisa pemerintahan dari devisa pemerintah yang diperoleh dari keuntungan kenaikan harga minyak mentah dunia, peningkatan pajak dan bantuan modal dari China.

C. Hubungan Bilateral Indonesia-Ekuador

Meski Ekuador mempunyai jarak geografis yang sangat jauh dengan Indonesia, namun hubungan diplomatik kedua negara sudah terjalin 30 tahun. Hubungan diplomatik antara Indonesia-Ekuador dibuka pada 29 April 1980. Sejak itu kedua negara telah menunjukkan komitmen untuk mengembangkan kerjasama bilateral. Indonesia membuka kantor kedutaan di Quito, ibukota Ekuador, pada 11 November 2010, namun secara resmi baru menempatkan

Duta Besarnya di Quito, ibukota Ekuador pada 15 Maret 2012. Sedangkan Duta Besar Ekuador untuk Indonesia secara resmi telah ditempatkan di Jakarta pada 1 Februari 2010.

Indonesia-Ekuador telah memiliki sejumlah perjanjian kerja sama, di antaranya di bidang ekonomi dan teknik (2005), pertukaran nota pembentukan komisi bersama (2006), MoU pembentukan konsultasi bilateral (2006), MoU kerja sama energi dan pertambangan (2006), dan MoU kerja sama telekomunikasi (2006). Kemudian, MoU kerja sama antara pusat pendidikan dan pelatihan Kementerian Luar Negeri RI dan Akademi Diplomatik Ekuador (2006), MoU kerja sama kebudayaan (2006), dan MoU pertukaran nota pemberian bebas visa bagi pemegang paspor biasa (2008).

D. Kepentingan Ekonomi

Hubungan Indonesia-Ekuador sejauh ini sudah berjalan baik. Perdagangan kedua negara terus tumbuh, dari USD 44,2 juta di tahun 2007 menjadi USD 96,6 juta pada tahun 2011, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 19,8% per tahun. Ekuador merupakan salah satu pasar non-tradisional Indonesia di kawasan Amerika Selatan. Meski demikian, hingga saat ini hubungan ekonomi kedua negara masih dalam tingkat moderat dan didominasi kegiatan ekspor-impor yang dilakukan melalui negara ketiga. Adapun bidang kerjasama yang telah berjalan di bidang perdagangan dan investasi, energi khususnya panas bumi, kebudayaan, pariwisata khususnya ecotourism, serta penanggulangan bencana. Ekuador ingin mengembangkan sektor pertambangan, terutama emas dan tembaga, serta bidang telekomunikasi dengan belajar dari pengalaman Indonesia. Untuk ke depan kedua negara harus didorong untuk menjalin kerjasama ekonomi secara langsung, serta melakukan diversifikasi perdagangan.

Kerjasama ekonomi kedua negara banyak dilakukan melalui Forum for East Asia-Latin America Cooperation (FEALAC). Indonesia menjadi Koordinator Kawasan untuk periode 2009-2011 dan ditunjuk kembali untuk periode 2011-2013. Indonesia adalah tuan rumah untuk pelaksanaan SOM ke-11 tahun 2010, dan akan menjadi tuan rumah untuk FMM ke-6 pada

Page 7: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 7 -

tahun 2013. FEALAC telah menjadi kerja sama antar-kawasan yang penting di dunia. Hal ini berlaku tidak hanya dari jumlah anggotanya yang sekarang telah mencapai 36 negara, 16 di antaranya dari Asia Timur dan 20 di antaranya dari Amerika Latin, tetapi juga dari jumlah aktivitasnya. FEALAC memiliki populasi sekitar 2,5 miliar penduduk atau 40% dari populasi dunia. Perkembangan ini menunjukkan pentingnya FEALAC bagi anggotanya dan kesungguhan mereka untuk mencapai tujuan FEALAC, yaitu: (i) meningkatkan saling pengertian, dialog, dan kerja sama di antara para anggotanya, (ii) mengeksplorasi potensi anggotanya dalam bidang ekonomi, perdagangan, investasi, keuangan, ilmu pengetahuan, teknologi, lingkungan, budaya, olahraga, dan people to people contact, dan (iii) memperluas landasan bersama tentang masalah politik dan ekonomi internasional untuk meningkatkan kerjasama di forum internasional lainnya sebagai cara untuk mencapai kepentingan bersama negara-negara anggota .

Dalam kunjungan kenegaraan di tahun 2012, Presiden SBY berharap Indonesia dapat menjadi pintu gerbang kerjasama Asia dan Amerika Latin, mengingat kedua kawasan memiliki potensi kerja sama yang cukup besar. Hubungan bilateral Indonesia-Ekuador juga dapat memperkuat kerja sama Trans Pasifik. FEALAC sangat penting bagi Indonesia, baik sebagai individu negara maupun sebagai bagian dari kawasan Asia Timur.Sebagai individu negara, Indonesia memandang FEALAC sebagai instrumen untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan negara-negara Amerika Latin. Hal ini karena hubungan Indonesia dengan negara-negara di kawasan ini masih rendah dalam hal intensitas kerja sama, kontak resmi, people to people, dan hubungan ekonomi (perdagangan, pariwisata, dan investasi). Dalam hubungan perdagangan, misalnya, hanya ada 4 (empat) negara Amerika Latin yang telah menjadi mitra dagang utama Indonesia, yaitu Argentina, Brasil, Chile, dan Meksiko.

Sebagai bagian dari kawasan Asia Timur, Indonesia memandang pentingnya FEALAC untuk meningkatkan hubungan Asia Timur dan Amerika Latin. Forum yang sama seperti FEALAC telah ada sebelumnya, seperti ASEM dan APEC. Kedua forum tersebut telah terbukti

bermanfaat bagi kawasan yang terlibat. Oleh karena itu, FEALAC harus mampu menawarkan hasil yang positif di bidang ekonomi, politik, dan hubungan sosial budaya kepada Asia Timur dan Amerika Latin. Hal ini dikarenakan FEALAC memiliki potensi yang sangat besar untukdapat dikembangkan lebih lanjut.

Ekuador dapat menjadi pintu masuk bagi ekspor Indonesia ke negara-negara yang tergabung dalam Aliansi ALBA yang anggotanya Antigua dan Barbuda, Bolivia, Kuba, Dominika, Ekuador, Nikaragua, Saint Vincent dan Grenada, dan Venezuela, yang menggunakan sistem SUCRE, yaitu sistem pembayaran dengan menggunakan mata uang setempat. Sistem ini bisa menjadi insentif bagi pengusaha Indonesia yang akan bermitra di Ekuador.

E. Kepentingan Politik

Semangat untuk menjalin kerjasama telah ditunjukkan Presiden Correa, hal tersebut diwujudkan dengan segera melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada awal masa pemerintahan pertamanya di tahun 2007. Peningkatan hubungan bilateral dengan Indonesia merupakan bagian dari kebijakan Ekuador untuk melakukan diversifikasi kerja sama internasional. Dalam masa pemerintahannya, Ekuador tidak lagi diarahkan untuk melihat ke utara (AS dan Eropa) tetapi juga ke selatan, melalui kerjasama Selatan-Selatan untuk kepentingan diversifikasi pasar.

Presiden Correa menekankan, hubungan bilateral tidak semata diukur dengan nilai perdagangan, namun juga dengan kepentingan politik, sosial dan budaya. Peningkatan hubungan bilateral Indonesia-Ekuador akan mendekatkan dua budaya, Amerika Latin dan Asia, yang di kemudian hari akan memperkuat kerja sama Selatan-Selatan. Harus diakui, faktor geografis atau jarak adalah salah satu hambatan untuk meningkatkan kerja sama Asia dan Amerika Latin. Tapi demi kepentingan yang lebih besar, kendala geografis itu seharusnya tidak menjadi halangan. Kemajuan negara-negara Amerika Latin selama dekade terakhir telah dianggap penting bagi banyak negara. Sejumlah negara Amerika Latin telah menjadi pemain penting dalam urusan global, seperti Brazil, Argentina, Meksiko,

Page 8: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 8 -

Venezuela, Kolombia, Chile, dan Ekuador. Inilah mengapa Indonesia mulai melihat Amerika Latin sebagai mitra yang menjanjikan di masa depan. Dengan demikian Indonesia mengharapkan, hubungan dengan negara-negara Amerika Latin akan meningkat melalui kerjasama di berbagai bidang.

Di sisi lain, sebagian besar negara-negara Amerika Latin tidak benar-benar menyadari potensi Indonesia sebagai negara berkembang. Bahwa Indonesia memiliki populasi sekitar 248 juta dengan PDB per kapita sebesar US$4.700 dan total PDB Indonesia sebesar US$1.120 miliar pada tahun 2011. Indonesia adalah anggota G-20, seperti halnya Argentina, Brasil, dan Meksiko. Indonesia juga sebagai anggota APEC, seperti Chile, Meksiko, dan Peru. Oleh karena itu, sangat penting bagi Indonesia untuk dikenal di Amerika Latin dalam rangka memperluas hubungan dengan negara-negara di kawasan ini. Dan ini dapat dicapai melalui peningkatan kerjasama bilateral dengan Ekuador.

F. Penutup

Ekuador memandang Indonesia sebagai platform yang sangat penting. Ekuador ingin menjadikan Indonesia sebagai mitra di Asia. Indonesia juga dapat melihat Ekuador sebagai mitra di Amerika Latin. Dalam kerja sama kedua negara, Indonesia tidak hanya melihat Ekuador sebagai sebuah negara saja, namun keseluruhan Amerika Latin. Nilai perdagangan Indonesia yang berkisar 5-6% ke kawasan Amerika Latin masih dapat ditingkatkan. DPR RI dapat mendorong Pemerintah Indonesia untuk membina hubungan bilateral yang lebih intensif dengan Ekuador, terutama para pelaku usaha.

Kerjasama ekonomi bilateral menjadi landasan untuk memperkuat kerja sama ke arah ekonomi global secara lebih visible. Hubungan tidak hanya di sektor perdagangan, namun juga bidang lainnya seperti pariwisata, investasi, dan perikanan. Ekuador adalah pengekspor pisang nomor satu di dunia. Indonesia dapat bekerja sama di bidang ini, khususnya teknologi produksi buah pisang yang berkualitas tinggi dan tahan lama. Ekuador berharap bisa belajar dari Indonesia tentang teknologi pengolahan palm oil serta membuka Ecuadorian Office di Indonesia untuk mendukung peningkatan kerja sama ekonomi. Upaya mempererat hubungan juga perlu diintensifkan melalui diskusi, seminar dan pertukaran misi kebudayaan, termasuk kerjasama antar parlemen, terutama dalam forum GKSB Indonesia-Ekuador dan kehadiran Delegasi DPR RI di Ekuador yang akan menjadi tuan rumah pertemuan IPU bulan Maret 2013.

Rujukan:1. “Revolusi tanpa Intervensi Modal Asing,”

Media Indonesia, 19 Februari 2013, h. 14.2. “Correa yang Dibenci, tapi Tetap

Diinginkan,” Media Indonesia, 19 Februari 2013, h. 14.

3. “Correa Kembali Menangi Pemilu,” Kompas, 19 Februari 2013, h. 9.

4. “Correa Terpilih Lagi Jadi Presiden Ekuador,” Suara Pembaruan, 18 Februari 2013, h. 8.

5. “Correa Menagi Pemilihan Ekuador,” Republika, 19 Februari 2013, h. 20.

6. “Equador’s president breezes to new term,” International Herald Tribune, 19 Februari 2013, h. 4.

7. “FEALAC, Instrumen untuk Meningkatkan Hubungan Bilateral dengan Negara-Negara Amerika Latin,” Tabloid Diplomasi, No. 171, Mei 2012.

Page 9: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 9 -

Vol. V, No. 04/II/P3DI/Februari/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

SISTEM PELAYANAN KESEHATAN UNTUK BAYI YANG BELUM OPTIMAL

Rahmi Yuningsih*)

Abstrak

Kasus kematian bayi bernama Dera Nur Anggraini akibat tidak mendapatkan ruang perawatan khusus bagi bayi di beberapa rumah sakit menjadi sorotan media dan menyita perhatian banyak pihak terutama pemerintah daerah. Kasus tersebut menyiratkan adanya masalah pada Sistem Kesehatan Nasional seperti kurangnya fasilitas kesehatan, belum tertatanya sistem rujukan dan belum terintegrasinya sistem informasi antarrumah sakit. Masalah tersebut menjadi penting untuk diperhatikan mengingat akan dilaksanakannya Sistem Jaminan Sosial Nasional bidang Kesehatan pada tahun 2014 dan Program Jaminan Kesehatan Daerah yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bentuk Kartu Jakarta Sehat.

A. Pendahuluan

Kasus kematian bayi yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta ramai menghiasi media massa dalam sepekan belakangan. Bayi bernama Dera Nung Anggraini merupakan anak pasangan Eliyas Setyo Nugroho dan Lisa Darawati. Ia dilahirkan di Rumah Sakit Zahira Jagakarsa pada tanggal 11 Februari 2013 dengan berat badan 1 kg, namun akhirnya meninggal setelah lima hari akibat tidak memperoleh pelayanan perawatan intensif bagi bayi. Dera dilahirkan kembar bersama Dara Nur Anggraini yang berat badannya tidak jauh berbeda yaitu 1,45 kg. Bayi tersebut lahir pada usia di kandungan tujuh bulan dengan operasi caesar. Bayi kembar tersebut lahir

prematur dan salah satu bayi yang bernama Dera mengalami penurunan kondisi kesehatan sehingga membutuhkan perawatan intensif di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) atau ruang perawatan intensif khusus bayi baru lahir. Dera mengalami masalah saluran pencernaan yaitu bagian kerongkongan sehingga Rumah Sakit Zahirah memberikan surat rujukan untuk dirawat di rumah sakit lain yang mempunyai fasilitas yang lebih lengkap untuk merawat bayi yaitu NICU. Kemudian Rumah Sakit Zahirah melakukan upaya pencarian rumah sakit rujukan dengan cara menghubungi via telepon ke beberapa rumah sakit untuk menanyakan ada tidaknya NICU yang tersedia. Dalam kondisi mencari rujukan, Rumah Sakit Zahira

*) Peneliti bidang Kesehatan Masyarakat pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 10: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 10 -

tetap bertanggung jawab dengan memberikan pelayanan perawatan untuk bayi tersebut. Sedangkan ayah Dera juga melakukan pencarian rumah sakit rujukan dengan mendatangi langsung beberapa rumah sakit untuk meyakinkan tersedianya NICU. Rumah sakit yang didatangi antara lain Rumah Sakit Fatmawati, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Harapan Kita, Rumah Sakit Harapan Bunda, Rumah Sakit St. Carolus, Rumah Sakit Asri, Rumah Sakit Tria Dipa, Rumah Sakit Budhi Asih, Rumah Sakit Jakarta Medical Center dan Rumah Sakit Pusat Pertamina.

Namun, upaya pencarian rumah sakit rujukan tersebut menjadi sia-sia. Rumah sakit tidak dapat merawat Dera dengan alasan semua ruang NICU sudah penuh terisi oleh pasien lain. Pada tanggal 16 Februari 2013 atau lima hari setelah dilahirkan, Dera meninggal dunia di Rumah Sakit Zahira. Sedangkan saudara kembarnya, Dara, saat ini masih mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit Tarakan.

Kasus ini merupakan salah satu contoh lemahnya pelayanan kesehatan. Tidak tersedianya NICU di beberapa rumah sakit mengakibatkan bayi tersebut tidak mendapatkan perawatan khusus dan akhirnya meninggal. Selain tidak tersedianya NICU, kasus kematian bayi tersebut tersirat buruknya sistem rujukan medis dan belum terintegrasinya sistem informasi antarrumah sakit.

B. Kasus Kematian Bayi Dera

Penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu target Millennium Development Goals (MDGs) yang hendak dicapai pada tahun 2015. Data terakhir menunjukan AKB tahun 2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Kondisi tersebut mengalami penurunan sejak tahun 1991 yang sebesar 68 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan ditargetkan pada tahun 2015, AKB mencapai angka 23 per 1000 kelahiran hidup. Artinya dalam 1.000 kelahiran bayi hidup hanya terdapat 23 bayi yang meninggal dengan berbagai penyebab.

Penyebab utama kematian bayi adalah masalah bayi baru dilahirkan seperti asfiksia, berat badan lahir rendah, dan infeksi penyakit. Infeksi penyakit ini paling banyak berupa diare dan pneumonia, selain itu juga masalah gizi

kurang, dan gizi buruk. Kemudian, aspek kondisi akses dan kualitas pelayanan kesehatan, masalah sosial ekonomi dan budaya juga menyumbang penyebab tingginya angka kematian bayi.

C. Rapuhnya Sistem Kesehatan Nasional

Kasus tersebut mencerminkan belum optimalnya Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yaitu pada subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan, subsistem upaya kesehatan, dan subsistem manajemen dan informasi kesehatan. Pada kenyataannya, tidak semua rumah sakit memiliki ruang perawatan intensif untuk anak atau NICU. Biaya investasi untuk membangun NICU dapat dikatakan cukup besar, yaitu sekitar 5-7 miliar. Jumlah NICU yang ada di rumah sakit tidak sebanding dengan permintaan. Semestinya jumlah NICU minimal dua persen dari jumlah kelahiran bayi. Jika jumlah kelahiran bayi pada tahun 2011 sebanyak 740.027, berarti minimal harus tersedia 14.800 ruang NICU di berbagai rumah sakit di DKI Jakarta. Namun kenyataannya jumlah NICU baru ada mencapai 143 unit.

Selain itu, NICU yang ada di rumah sakit di Jakarta digunakan tidak hanya oleh pasien DKI Jakarta saja melainkan juga digunakan oleh pasien dari daerah lain. Hal ini terjadi karena beberapa rumah sakit di Jakarta adalah rumah sakit rujukan nasional yang menangani kasus penyakit yang tidak terselesaikan di rumah sakit rujukan daerah.

Selain subsistem alat kesehatan, subsistem upaya kesehatan juga belum optimal. Upaya kesehatan perorangan dilaksanakan berjenjang dari pelayanan kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas dan klinik, kemudian dirujuk ke

Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Jumlah Bayi

Baru Lahir di DKI Jakarta

Tahun Jumlah Penduduk

Jumlah Kelahiran Bayi

2009 9.223.000 704.9872010 9.607.800 771.1902011 9.729.500 740.027

Sumber: “Fasilitas RS Minim Bayi Miskin Meninggal,” Media Indonesia, 19 Februari 2013, h. 1.

Page 11: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 11 -

pelayanan kesehatan tingkat kedua seperti rumah sakit tipe C dan D dan dirujuk ke pelayanan kesehatan tingkat ketiga yaitu rumah sakit tipe A dan B. Kasus tersebut merupakan rujukan dari Puskesmas Pasar Minggu ke Rumah Sakit Zahirah dan semestinya mendapat rujukan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat ketiga. Buruknya sistem rujukan menyebabkan terjadinya kesimpangsiuran informasi antara pihak rumah sakit dan keluarga pasien. Rumah sakit menghubungi beberapa rumah sakit rujukan dengan cara menelpon sedangkan keluarga yang merasa tidak puas dengan upaya pencarian lewat telepon langsung mendatangi beberapa rumah sakit. Keduanya sama-sama tidak mendapat rumah sakit rujukan dikarenakan beberapa rumah sakit rujukan memiliki ruang NICU yang telah penuh dan diisi oleh pasien lain. Walaupun Pasal 32 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan dalam keadaan darurat pasien wajib mendapatkan pelayanan kesehatan baik di rumah sakit pemerintah maupun di rumah sakit swasta dan rumah sakit tersebut dilarang menolak pasien atau meminta uang muka, tidak berlaku manakala fasilitias yang dimaksud sudah dipenuhi oleh pasien lain.

Dalam Pasal 42 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, sistem rujukan merupakan penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal,

maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit atau masalah penyakit atau permasalahan kesehatan. Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit. Sistem rujukan yang terintegrasi adalah dengan adanya sistem informasi rumah sakit yang menghubungkan beberapa rumah sakit di suatu wilayah sehingga dapat diketahui fasilitas apa saja yang dimiliki rumah sakit dan berapa yang masih tersisa untuk perawatan sehingga rumah sakit yang merujuk, keluarga pasien dan bahkan masyarakat dapat informasi yang jelas tanpa harus datang ke rumah sakit untuk mengecek ada tidaknya fasilitas yang dimaksud.

Belajar dari kasus ini, DPR perlu meningkatkan pengawasan dan memastikan agar pemerintah memenuhi hak kesehatan pasien miskin. DPR perlu memastikan pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai sebagai sarana dan prasarana dalam melaksanakan jaminan kesehatan seperti Kartu Jakarta Sehat yang baru terlaksana dan Sistem Jaminan Sosial Nasional bidang kesehatan yang akan terlaksana pada tahun 2014. Selain itu, DPR juga mengawasi pemerintah dalam hal penerapan sistem rujukan kesehatan seperti yang diamanatkan dalam undang-undang dan penerapan sistem informasi rumah sakit yang terintegrasi untuk suatu wilayah. Antisipasi yang sama juga perlu dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang baru saja mengeluarkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) yaitu menyediakan fasilitas kesehatan beserta sarana dan prasarana serta SDM kesehatan yang memadai untuk menampung masyarakat yang tidak mampu dan mengantisipasi membludaknya warga yang berobat di kelas III dengan kartu tersebut.

D. Penutup

Kematian bayi tidak hanya disebabkan oleh kejadian penyakit menular saja namun juga disebabkan oleh buruknya akses ke fasilitas kesehatan. Kasus kematian bayi Dera diakibatkan kurangnya ruang NICU di beberapa rumah sakit di DKI Jakarta. Kasus tersebut merupakan potret belum optimalnya SKN di Indonesia yaitu subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan, subsistem upaya kesehatan, dan

Tabel 2. Jumlah Puskesmas Kecamatan,

RS Umum, RS Bersalin dan NICU berdasarkan Wilayah di DKI Jakarta

Tahun 2013

Wilayah

Pus

kesm

as

Kec

amat

an

RS

Um

um

Rum

ah

Ber

salin

Jum

lah

NIC

U

Kepulauan Seribu 2 1 - -Jakarta Selatan 10 19 27 16Jakarta Timur 10 20 13 35Jakarta Pusat 8 15 18 45Jakarta Barat 8 12 22 33Jakarta Utara 6 14 24 14Jumlah 44 81 104 143

Sumber: “Fasilitas RS Minim Bayi Miskin Meninggal,” Media Indonesia, 19 Februari 2013, h. 1.

Page 12: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 12 -

subsistem manajemen dan informasi kesehatan. Jika tidak dibenahi, ratusan bahkan ribuan kejadian serupa akan terjadi lagi. Diperlukan upaya dari semua pihak terutama pemerintah dan DPR terlebih dengan adanya jaminan kesehatan daerah yang telah diterapkan di DKI Jakarta dan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan dilaksanakan pada tahun 2015.

Rujukan:1. Adisasmito, Wiku. 2008. Sistem Kesehatan.

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada).2. “Dera Korban Buruknya Sistem Kesehatan,”

Media Indonesia, 19 Februari 2013, h. 8.3. “Ditolak 8 RS, Nyawa Tak Terselamatkan,”

Seputar Indonesia, 19 Februari 2013, h. 1.4. “Fasilitas Minim Pemicu Kematian Bayi

Dera,” Kompas, 19 Februari 2013, h. 1.5. “Fasilitas RS Minim Bayi Miskin

Meninggal,” Media Indonesia, 19 Februari 2013, h. 1.

6. “Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Di Indonesia 2011,” Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

7. Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. (Jakarta: Rineka Cipta), h. 100.

8. “Sistem Rujukan Belum Tertata,” Kompas, 20 Februari 2013, h. 1.

9. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

10. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Page 13: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 13 -

Vol. V, No. 04/II/P3DI/Februari/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

E KO N O M I DA N K E B I J A K A N P U B L I K

KEBIJAKAN PEMBATASAN

WARALABA RESTORAN DAN TOKO MODERN

Lukman Adam*)

Abstrak

Terbitnya Permendag No. 53 Tahun 2012 tentang Waralaba untuk Jenis Usaha Toko Modern, Permendag No. 7 Tahun 2013 tentang Pengembangan Kemitraan dalam Waralaba untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman, dan Permendag No. 68 Tahun 2012 tentang Waralaba memberikan penguatan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah. Substansi dari aturan ini perlu dimuat lebih lanjut dalam RUU tentang Perdagangan, agar dapat diberikan sanksi bagi yang melanggar aturan, termasuk pemberi izin. Pihak yang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan aturan ini harus jelas. Sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah harus dilakukan agar tidak terjadi distorsi antara aturan di tingkat nasional dan daerah.

A. Pendahuluan

Persentase pertumbuhan bisnis waralaba dan kesempatan bisnis lokal pada tahun 2011-2012 mengalami peningkatan sebesar 11,7%. Pada tahun yang sama, persentase peningkatan waralaba asing di Indonesia mencapai 6,25%. Total peningkatan waralaba dalam negeri maupun luar negeri tahun tersebut mencapai 10,9%, dengan 47,9% merupakan kegiatan waralaba berupa restoran. Contoh toko modern adalah minimarket. Jumlah minimarket pada tahun 2010 mencapai 16.922 atau meningkat sekitar 42% dibandingkan tahun 2009 yang hanya berjumlah 11.927. Pada tahun 2005, total minimarket mencapai 6.465 outlet, tahun 2006

menjadi 7.356 outlet, dan tahun 2007 mencapai 8.889 outlet.

Meningkatnya usaha di sektor ini, khususnya yang dilakukan oleh asing memerlukan pengaturan lebih lanjut. Pengaturan ini bertujuan untuk mengembalikan filosofi waralaba yang sesungguhnya, yaitu memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk bermitra, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 dan Pasal 29 UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Selain itu, pengaturan ini juga bertujuan membangun sistem waralaba nasional dengan mendorong lahirnya wirausaha dan inovator baru, terutama lokal, serta mempromosikan produk Indonesia.

*) Peneliti bidang Ekonomi Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 14: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 14 -

Ketentuan pembatasan kepemilikan restoran dan toko modern yang sedang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan merupakan upaya untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Selama ini, persaingan usaha sektor ini tidak sehat karena kecenderungan usaha dilakukan monopoli, yang berakibat kesempatan usaha mikro dan kecil menjadi terbatas. Bahkan pelaku usaha di sektor ini yang berasal dari luar negeri telah sampai di daerah perdesaan.

Saat ini, pengaturan tersebut juga dianggap memberatkan sebagian perusahaan terbuka yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan bergerak dalam usaha restoran dan toko modern, karena kemitraan dengan pihak lain harus mempertimbangkan aturan yang mewajibkan laporan kepada otoritas bursa. Perusahaan juga harus melaporkan aturan ini kepada pemegang saham terlebih dahulu sehingga tak mudah melepas dan membagi kepemilikan kepada pihak lain.

B. Peraturan Perundangan

Undang-undang yang terkait dengan pengaturan restoran dan toko modern terdapat dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengamanatkan pemerintah untuk menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah, serta koperasi, dan bagi bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar harus bekerjasama dengan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta koperasi.

UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menyatakan bahwa Usaha Besar yang memperluas usahanya dengan cara waralaba memberikan kesempatan dan mendahulukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang memiliki kemampuan.

Pengaturan mengenai toko modern terdapat dalam Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, dan Permendag No. 53 Tahun 2012 tentang Waralaba untuk Jenis Usaha Toko Modern.

Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat

Perbelanjaan, dan Toko Modern mengamanatkan pengembangan kemitraan antara pemasok usaha kecil dengan perkulakan, hypermarket, department store, supermarket, dan pengelola jaringan minimarket. Namun, karena berbentuk peraturan presiden dan peraturan menteri, maka tidak ada sanksi yang dikenakan bagi yang melanggar. Pengaturan lebih teknis mengenai restoran diatur dalam Permendag No. 7 Tahun 2013 tentang Pengembangan Kemitraan dalam Waralaba untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman dan Permendag No. 68 Tahun 2012 tentang Waralaba.

Pembatasan yang dilakukan untuk restoran berupa: 1) Kepemilikan kafe dan restoran maksimal adalah 250 gerai dan ritel maksimal mencapai 150 gerai; 2) Pendirian melebihi batas maksimal yang harus diwaralabakan atau melakukan kemitraan dengan pola penyertaan modal sebesar 30-40%. Apabila investasinya maksimal Rp10 miliar, maka penyertaan modal minimal 40% dan jika lebih dari Rp10 miliar, maka penyertaan modalnya minimal 30%; 3) Memakai bahan baku dan peralatan produksi lokal paling sedikit 80%; dan 4) Batas waktu penyesuaian bagi pemilik gerai yang melebihi batas maksimal diberikan kelonggaran selama lima tahun. Ketentuan pembatasan kepemilikan 250 gerai untuk restoran menyebabkan Kentucky Fried Chicken yang memiliki 430 gerai, California Fried Chicken dengan 250 gerai, A&W dengan 250 gerai, dan Pizza Hut yang mencapai 270 gerai perlu melakukan penyesuaian.

Aturan mengenai toko modern berupa: pembatasan kepemilikan sendiri maksimal sebanyak 150 unit, sehingga diharapkan dapat memberdayakan usaha kecil dan menengah untuk bisa memiliki kepemilikan saham toko modern. Kementerian Perdagangan memisahkan pengaturan pembatasan toko modern dengan restoran. Usaha restoran tidak sekedar berdagang produk jadi, tetapi juga mengolah bahan mentah menjadi siap saji. Oleh karena itu, aspek kualitas harus diperhitungkan dalam pengaturan mengenai restoran, terutama dalam perumusan ambang batas (threshold) outlet milik pemberi waralaba.

Peraturan pelaksana ini perlu didukung oleh peraturan daerah agar pendirian toko modern tidak mematikan pasar tradisional. Selama ini pendirian toko modern diatur oleh pemerintah daerah dan banyak menjamur

Page 15: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 15 -

dengan alasan guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Oleh karena itu, harus dihindari implementasi peraturan di tingkat pusat terdistorsi di lapangan akibat pemerintah daerah menerbitkan aturan sendiri yang bertentangan dengan peraturan di atasnya.

Pembatasan restoran dan toko modern sebaiknya diatur dalam peraturan yang lebih tinggi, yaitu undang-undang, agar bisa dikenakan sanksi administratif bagi para pihak yang melanggar dan sanksi pidana bagi yang memberikan persetujuan.

C. Prinsip Dasar Pembatasan Waralaba Restoran dan Toko Modern

Pengaturan mengenai restoran dan toko modern merupakan bagian dari pengelolaan perekonomian nasional. Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan pedoman mengenai dasar dan penyelenggaraan perekonomian nasional. Pasal 33 ayat (4) menyatakan, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Menurut Nasution (2007), perekonomian diatur secara baik dengan maksud agar kegiatan ekonomi dapat menyejahterakan semua orang. Keteraturan dalam seluruh sektor ekonomi mulai dari produksi, konsumsi, dan distribusi, serta keteraturan dalam berbagai kegiatan seperti perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian, yang akan menghasilkan kesejahteraan.

Asshiddiqie (2010) menyatakan, kegiatan ekonomi digerakkan oleh mekanisme pasar yang dikendalikan oleh pemerintah menuju ekonomi pasar yang efisien, tetapi berkeadilan.Peran pemerintah, tidak terbatas hanya sebagai regulator, tetapi juga melakukan tindakan yang diperlukan dan bahkan menjadi pelaku langsung apabila timbul eksternalitas negatif, kegagalan dalam mekanisme pasar, ketimpangan ekonomi, atau kesenjangan sosial.

Prinsip-prinsip demokrasi ekonomi tersebut dituangkan dalam peraturan perundangan yang lebih rendah, seperti UU No.

25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Pasal 29 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mengatur kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba untuk mengutamakan penggunaan barang dan/atau bahan hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan dan/atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba.

Ketika restoran dan toko modern milik asing menjamur dan membuat restoran lokal dan pasar tradisional sulit berkembang, maka pemerintah melakukan penataan melalui peraturan menteri dalam negeri, termasuk kewajiban melakukan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan menengah. Peraturan ini menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada usaha mikro, kecil dan menengah, dan sesuai prinsip-prinsip demokrasi ekonomi. Dalam hal ini diperlukan peran pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan dan pembinaan.

Menurut, Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia, pembatasan ini tergesa-gesa sehingga tidak menyelesaikan persoalan. Konsep penyertaan modal bertentangan dengan prinsip waralaba, karena waralaba adalah model kerjasama setara antara perusahaan waralaba dan penerima waralaba. Pengaturan ini juga mendapat kritikan dari Inggris karena dianggap membatasi usaha dan investasi mereka. Pengaturan ini sebenarnya tidak tergesa-gesa, Kementerian Perdagangan sudah melakukan sosialisasi sejak pertengahan tahun lalu.

D. Penutup

Ketentuan pembatasan resoran dan toko modern melalui peraturan menteri perdagangan akan berjalan efektif apabila juga diatur dalam bentuk undang-undang. Adanya RUU tentang Perdagangan harus membuat pengaturan mengenai restoran dan toko modern, khususnya yang dimiliki pihak asing, dan kemitraan dengan usaha mikro, kecil dan menengah. RUU tentang Perdagangan harus memuat norma tentang pengawasan, reward and punishment bagi yang melakukan dan melanggar, serta peran pemerintah dan pemerintah daerah.

Page 16: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 16 -

Pertumbuhan pesat restoran dan toko modern asing harus dikendalikan. Pengaturan yang ada di tingkat pusat harus sinergi dengan pengaturan di daerah. Pemerintah tidak perlu khawatir terhadap kehendak sebagian pelaku usaha asing yang hendak melakukan gugatan terhadap peraturan menteri dalam negeri tersebut. Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan pedoman bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Rujukan:1. Asshiddiqie, J. 2010. Konstitusi Ekonomi.

(Jakarta: Penerbit Buku Kompas).2. Nasution, M. 2007. Mewujudkan Demokrasi

Ekonomi dengan Koperasi. (Jakarta: Penerbit PIP Publishing).

3. Sari, S. M., “Aturan Waralaba: Ketika Tuan Besar dan Kecil Wajib Berbagi,” Bisnis Indonesia, 19 Februari 2013.

4. “Pembatasan Didukung: Persaingan Usaha Menjadi Kondusif,” Kompas, 18 Februari 2013.

5. “Waralaba Toko Modern: Implementasi Pembatasan Perlu Sinergi Pusat-Daerah,” Bisnis Indonesia, 18 Februari 2013.

6. “Gerai Restoran Dibatasi,” Kompas, 15 Februari 2013.

7. “Inggris Kritik Kebijakan Waralaba di Indonesia,” Kompas, 4 November 2012.

Page 17: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 17 -

Vol. V, No. 04/II/P3DI/Februari/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

P E M E R I N TA H A N D A L A M N E G E R I

REVITALISASI RRI DAN TVRI MENGHADAPI

PEMILU 2014Ahmad Budiman*)

Abstrak

Pada posisinya sebagai lembaga penyiaran Publik, RRI dan TVRI memiliki potensi yang besar dalam menyebarluaskan berita mengenai kegiatan Pemilu 2014 kepada masyarakat secara berimbang. Untuk itu berbagai kendala yang dihadapinya, perlu segera diatasi, di antaranya dengan segera melakukan pembahasan RUU RTRI.

A. Pendahuluan

1. Penyeimbang Informasi di Dunia Penyiaran

Lembaga Penyiaran Publik (LPP) merupakan salah satu unsur penting dalam dunia penyiaran yang bertugas untuk memberikan layanan publik untuk kepentingan masyarakat baik yang di kota maupun yang berada di pedalaman. RRI dan TVRI sebagai LPP mempunyai karakteristik yang berbeda dengan karakteristik yang dimiliki oleh lembaga penyiaran swasta.

Esensi TVRI dan RRI berbeda dengan lembaga penyiaran swasta yang menganut market model yang mengutamakan economic determinism, di mana seolah-olah semua aspek tingkah laku institusi penyiaran ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi. TVRI dan RRI diharapkan mampu menjadi media intermediary yang keberadaannya diharapkan mampu

menjembatani kepentingan publik dan badan-badan publik dalam hubungannya dengan akses informasi publik secara terbuka dan transparan.

Keberadaan RRI dan TVRI menjadi sangat penting karena dapat memberikan informasi yang bersifat mendidik, netral, tidak komersial, dan melindungi kepentingan rakyat. Sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI dan RRI dapat dilihat sebagai upaya mempertahankan jati diri ranah penyiaran sebagai ruang simbolik kultural ditengah trend komersialisasi dan komodifikasi. Misi TVRI dan RRI sendiri bukan untuk mengejar keuntungan ekonomi atau politik, akan tetapi lebih kepada menfasilitasi masyarakat untuk berkomunikasi satu sama lain, lintas budaya dan nilai guna mengembangkan potensi-potensi kultural yang ada. Fungsi RRI dan TVRI adalah untuk memperkuat integritas sosial horizontal, berlandaskan pada rasionalitas komunikatif. Fungsi ini sejalan dengan konsep teori pers pertanggungjawaban sosial, bahwa

*) Peneliti Madya bidang Komunikasi Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI,

e-mail: [email protected]

Page 18: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 18 -

TVRI dan RRI dalam menjalankan salah satu kegiatan yaitu kegiatan jurnalistik senantiasa memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi secara berimbang. TVRI dan RRI juga dapat digunakan sebagai perantara informasi antar berbagai daerah, khususnya untuk daerah perbatasan.

2. PermasalahanKondisi ideal yang di harapkan terjadi di

TVRI dan RRI, realitanya tidak dengan mudah terpenuhi. Berbagai permasalahan yang dihadapi TVRI dan RRI di antaranya: a. Landasan normatif: Pembentukan badan

hukum LPP untuk TVRI dan RRI yang didirikan oleh negara menjadi tidak jelas keberadaannya dan status badan hukumnya. Hal ini yang kemudian menyebabkan TVRI dan RRI banyak menghadapi kendala dalam mengoptimalkan kinerjanya, terutama terkait dengan ketersediaan anggaran, eksistensi dan kompetensi SDM, pengelolaan dan pemeliharaan alat peralatan siaran dan pemancar serta asset yang dimiliki lainnya, dan yang lebih penting adalah antisipasi pemidahan teknologi digitalisasi pada penyiaran publik.

b. Jangkauan siaran dan stasiun penyiaran: Kendala terkait dengan pemancarluasan isi saran di antaranya sarana dan prasarana penyiaran khususnya untuk stasiun penyiaran di daerah baik jumlah maupun usianya sudah tua dengan kemampuan yang sangat terbatas. Kondisi pemancar juga sudah sangat tua dan mengalami penurunan kemampuan untuk memacarkan isi siaran.

c. Dukungan SDM: Hingga saat ini tidak pernah dilakukan rekrutmen SDM kreatif sebagai pengganti SDM lama sulit dilakukan, pada hal prosentase usia SDM berada pada rentang usia 51-55 tahun atau 42,12% dari seluruh jumlah SDM yang ada. Kelompok berikutnya berada pada kategori umur 46-50 tahun sebesar 37,1%. Kedua pengelompokan ini termasuk pada kategori usia yang kurang kemampuan produktivitasnya.

B. Revitalisasi TVRI dan RRI

1. Urgensi RUU RTRIRUU tentang Penyiaran mengatur bahwa

pasal mengenai Lembaga Penyiaran Publik diamanatkan untuk dibentuk menjadi Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) yang ketentuan lebih lanjut mengenai RTRI akan diatur dengan Undang-Undang. Adapun aturan tersebut bertujuan untuk memberikan penguatan kepada LPP sebagai lembaga negara yang berfungsi untuk memberikan informasi yang berimbang kepada masyarakat.

Pembentukan lembaga negara mandiri di Indonesia merupakan hal yang diharapakan dapat memberikan penyelesaian permasalahan di Indonesia. Pembentukan lembaga mandiri ini untuk membantu pemerintah dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya yaitu melindungi bangsa dan juga mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui kegiatan penyiaran. Pembentukan lembaga mandiri ini juga berorientasi kepada kepentingan masyarakat. LPP sebagai lembaga penyiaran yang dimiliki oleh publik harus memiliki kemandirian yang tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Kemandirian dari LPP merupakan hal yang mutlak, hal ini dikarenakan LPP merupakan bagian dari masyarakat yang dimiliki oleh masyarakat dan keberadaanya untuk masyarakat.

Peranan RTRI dirasakan sangat penting bagi bangsa indonesia yakni sebagai salah satu media informasi dan juga sebagai alat pemersatu bangsa. Dapat dikatakan bahwa RTRI dipandang sebagai jembatan penghubung antar berbagai kalangan. Sebagai lembaga penyiaran publik, RTRI dapat dilihat sebagai upaya mempertahankan jati diri ranah penyiaran sebagai ruang simbolik kultural ditengah trend komersialisasi dan komodifikasi. RTRI bertujuan untuk menjalin persatuan dan kesatuan bangsa, melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai, budaya, dan jati diri bangsa, memberikan kontribusi pada pembangunan demokrasi, mengembangkan masyarakat yang informatif, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan citra dan daya saing bangsa.

Page 19: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 19 -

Pengajuan RUU RTRI sebagai RUU yang diajukan di luar prolegnas 2012 terdiri dari naskah akademik dan draft RUU RTRI yang terdiri atas 11 bab dan 68 pasal yang mengatur mengenai ketentuan umum, tujuan dan ruang lingkup, fungsi tugas dan kegiatan, kedudukan, sistem penyiaran, kelembagaan, pembiayaan dan pertanggungjawaban, aset, penyelenggaraan siaran, standar siaran, isi siaran dan bahasa siaran, penyiaran publik dengan teknologi digital, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

Kehadiran RUU tentang RTRI diharapkan menjadi landasan normatif bagi pengaturan mengenai Lembaga RTRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik dalam rangka meningkatkan kinerjanya serta mengatasi sejumlah kendala seperti pengelolaan organisasi, pengembangan SDM (termasuk juga SDM kreatif ), sumber pembiayaan, program siaran, dan pemancarluasan isi siaran, optimalisasi penyiaran publik di daerah perbatasan, serta antisipasi perkembangan teknologi penyiaran digital.

Oleh karena itu, sesuai pengaturan Pasal 23 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengenai keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, kiranya RUU tentang Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) dapat masuk dalam Prolegnas daftar kumulatif terbuka pada tahun 2013, sehingga dapat dilakukan pembahasan RUU oleh DPR RI bersama Pemerintah.

2. Prioritas Program SDM a. Melakukan dan mengawasi pelaksanaan

reformasi birokrasi di TVRI dan RRI.b. Merekrut fresh graduate untuk mengisi

kekosongan SDM pada satuan-satuan kerja karena pensiun.

c. Merekrut tenaga ahli bidang IT, grafic design, pembawa acara , reporter, dan profesi lain, sebagai SDM kreatif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Peningkatan AnggaranPenyerapan anggaran tahun 2012

di TVRI dari pagu anggaran sebesar Rp758.807.880.000,00 penyerapannya sebesar 94,5% atau Rp717.070.898.087,00. Sedangkan di RRI pada tahun 2012 alokasi anggaran sebesar Rp769.437.633.000,00 terealisir sebanyak Rp676.477.614.755,00 atau sebesar 87,97%. Sedangkan pada tahun 2013, pagu anggaran RRI meningkat menjadi Rp985.177.413.000,00 dan pagu anggaran TVRI meningkat menjadi Rp864.207.104.000,00.

C. Media Pemilu 2014

Pemilu 2014 akan segera berlangsung. Partai politik (Parpol) yang telah disahkan oleh KPU sebagai parpol peserta Pemilu 2014 akan bersaing dengan ketat. Persaingan ini tercermin melalui kegiatan kampanye-kampanye yang akan dilakukan oleh Parpol peserta Pemilu 2014. Media penyiaran termasuk juga penyiaran publik merupakan media efektif untuk melakukan sosialiasi terhadap visi dan misi parpol untuk dapat diterima oleh seluruh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.

Realitanya lembaga penyiaran khususnya lembaga penyiaran swasta, masih dihadapkan kepada persoalan kepemilikan dari lembaga penyiaran masih terpusat oleh beberapa orang. Pemusatan kepemilikan ini berpotensi menggiring adanya pembentukan opini publik. Bukan hanya kepemilikan lembaga penyiaran yang terpusat pada segelintir orang saja, akan tetapi kepemilikan lembaga penyiaran ini juga terlihat ada kecenderungan keberpihakan kepada Parpol tertentu. LPS berpotensi untuk tidak netral dalam menyajikan berita mengenai Pemilu 2014. Monopoli dan juga persaingan yang tidak sehat pada media media penyiaran dapat terjadi dan dapat mengganggu pelaksanaan Pemilu 2014.

Kedudukan TVRI dan RRI yang strategis sebagai media Pemilu 2014 disebabkan sifat lembaga penyiaran: a. Independen, neteral, adil dan berimbang.b. Menyampaikan aspirasi dan informasi

publik.

Page 20: Vol. V No. 04 II P3DI Februari 2013

- 20 -

c. Menyajikan program-program yang bersifat informatif dan edukatif.

d. Kontrol sosial terhadap penyelenggaraan Pemilu yang langsung, uimum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber dan Jurdil).

e. Melaksanakan agenda setting nasional dan daerah, agar kebijakan redaksional baik siaran maupun pemberitaan tidak melenceng dari prinsip penyiaran publik serta ketentuan KPI mengenai P3SPS.

Bahwa TVRI dan RRI bersama dengan KPU, Bawaslu, dan KPI dapat bekerja secara sinergi dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan pemilu, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemilu, serta memastikan pelaksanaan pemilu dapat berlangsung dengan “Luber dan Jurdil.”

D. Penutup

Beberapa hal yang dapat direkomendasikan dalam rangka revitalisasi TVRI dan RRI untuk menghadapi Pemilu 2014 adalah:1. Percepatan pembahasan RUU RTRI

merupakan keharusan dalam rangka memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap upaya revitalisasi kelembagaan penyiaran publik, pengembangan SDM (termasuk juga SDM kreatif ), sumber pembiayaan, program siaran, dan pemancarluasan isi siaran, optimalisasi penyiaran publik di daerah perbatasan, serta antisipasi perkembangan teknologi penyiaran digital.

2. Peningkatkan kualitas program siaran dengan berpegang teguh pada prinsip penyiaran publik dan terutama dalam kaitannya sebagai media Pemilu 2014.

3. Penambahan anggaran penyiaran publik terutama menghadapi kegiatan Pemilu 2014.

4. Meningkatkan kualitas SDM TVRI dan RRI dengan menekankan kepada keberadaan SDM kreatif agar dapat meningkatkan kualitas kinerja lembaga penyiaran publik.

Rujukan:

1. Pidato Pengusul Komisi I DPR RI pada Harmonisasi RUU tentang Penyiaran di Badan Legislasi DPR RI.

2. Bahan RDP Komisi I DPR RI – Direksi TVRI 12 Februari 2013.

3. Bahan RDP Komisi I DPR RI – Direksi RRI 14 Februari 2013.

4. Lampiran I Evaluasi Pencapaian Kinerja LPP RRI Pusat Tahun 2012.

5. Lampiran II Program Kerja Lembaga Penyiaran Publik RRI 2013.

6. Naskah Akademik RUU Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI).