Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN...

13
Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN :zyxwvutsrponmlkjihgf 2528-7028 www.sttbi.ac.id

Transcript of Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN...

Page 1: Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Justitia... · Jika kita melihat pada sejarah, maka model indoktrinasi berakar kuat dalam

Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN :zyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA2528-7028

www.sttbi.ac.id

Page 2: Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Justitia... · Jika kita melihat pada sejarah, maka model indoktrinasi berakar kuat dalam

DIEGESISzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA

JURNAL TEOLOGI

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BETHELINDONESIAwutsronlkigedcaVSRNMIDBA

Dewan Redaksi

Ketua

Sekretaris

Bendahara

Desain& Layout

Editor

: Ivonne Sandra Sumual, M.Th

: Gabriel Astrid, S.Th

: Benadictus Siowardjaja, M.Th

: AbrahamzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYXWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAP. Sitinjak, S.Th

: Dr. Junifrius Gultom

Dr. Gernaida KR. Pakpahan

Dr. Frans Pantan

Mitra Bestari

Dr. David Samiyono (UKSW/Sosiologi)

Dr. Yakob Tomatala (STT Jaffray/Kepemimpinan)

Dr. Justitia Vox Dei Hattu (STT Jakarta/PAK)

Dr. Yuzo Adhinarta (STT Reformed Indonesia/ Teologi Sistematika &

Historika)

Dr. Aries Mardiyanto (STT Abdiel)

Dr. Asigor Sitanggang (STT Jakarta/Perjanjian Baru)

Dr. Gernaida K R. Pakpahan (STTBI/Perjanjian Lama)

Dr. Junifrius Gultom (STTBI/Misi dan Pentakostalisme)

ISSN 2528-7028

Diterbitkan Oleh Bethel Press

Unit Penerbitan dan Literatur

Sekolah Tinggi Teologi Bethel Indonesia

JI. Petamburan IV/5, Jakarta Pusat 10260

Tip. 021-53679464, 021-53679468.

Fax: 021-53677528, 021-53650597

www.sttbi.ac.id

- -,

Dilarang mcmperbanyak karya tulis ini dalarn bcntuk apapun,

terrnasuk fotokopi, tanpa izin terrulis dari pcnerbit.

uai dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 49 ayat 1 UU No. 19 tahun 20~O

teruang Ilak Cipta)-- -- ---

Page 3: Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Justitia... · Jika kita melihat pada sejarah, maka model indoktrinasi berakar kuat dalam

Vol. 1 - No.1, Agustus 2016zyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYXWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA

DAFTARISI

EDITORIAL IV

METAFISIKA PENDIDIKAN IMAN DI GEREJA

(Membangun Kualitas Tata Kelola Pendidikan Iman di Gcreja Yang Berawal, Bcrlan-

jut dan Berakhir Pada Ycsus Kristus)yxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBA

~ Frans Pantan

ROH JAHAT YANG DARI TUHAN (A SPIRIT OF SADNESS FROM

YEHOVAH) Suatu Telaah Kritis Terhadap Teks 1 Samuel 16: 14

~ Gernaida K.R. Pakpahan

15

GEREJA DAN PENDIDIKAN KRISTIANI UNTUK ORANG DEWASA:

"29

ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

~ Justitia Vox Dei Hattu

A CONTEXTUAL APPROACH FOR CHRISTIAN COUNSELING; HOW 39

DOES IT WORK?

~ Junifrius Gultom

KONSEP LOGOS DALAM PROLOG INJIL YOHANES: STUDI EKSEGESIS 49

TERHADAP ISTILAH 6 )coyoe; DALAM YOHANES 1:1-18

~ Robert Paul Trisna

MITOS DALAM AGAMA - MASYARAKAT 61

~ David Samiyono ..

PENGALAMAN KHARISMATIK; VALIDASI FORMAL PENGALAMAN 67

MISTIK

~ Rhesa Sigalarki

BOOK REVIEW: Review of Mark J. Cartledge, The Mediation of the Spirit: 77

Interventions in Practical Theology

~ Oyan Simatupang

Jll

Page 4: Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Justitia... · Jika kita melihat pada sejarah, maka model indoktrinasi berakar kuat dalam

GEREJA DAN PENDIDlKAN KRISTIANI UNTUK ORANG

DEWASA; ANTARA HARAPAN DAN KENYATAANyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBA

Justitia Vox Dei Hattu

Abstrak

Kita tidak dapat memungkiri bahwa

Pendidikan Kristiani untuk Orang Dewasa

dalam konteks Gereja-gereja di Indonesia

mas a kini masih didominasi oleh model

indoktrinasi dengan metode mendiktenya.

Akibatnya, orang dewasa tidak memiliki

ruang yang cukup untuk mengembangkan

diri, kemampuan berpikir kritis, dan

membangun relasi (yang dialogis) dengan

orang-orang di sekitamya ketika mereka

ada bersarna-sama untuk belajar. Tulisan

ini mengajak kita melihat konsekuensi dari

model pendidikan yang indoktrinatif dan

mengusulkan kepada kita model

pendidikan orang dewasa yang bertujuan

untuk mengembangkan kemampuan

berpikir kritis, membangun relasi yang

dialogis, serta berorientasi pada

transformasi. Ketiga karakteristik ini

dikembangkan dari tiga teori/model

pembelajaran orang dewasa, yaitu teori

andragogi yang dipopulerkan oleh

Malcolm Knowles, model pembelajaran

transformatif yang diperkenalkan oleh Jack

Mezirow, dan model story-linking yang

dipromosikan oleh Anne Wimberly.

..Kata Kunci: Gereja, Pendidikan Kristiani,

orang dewasa, indoktrinasi, berpikir kritis,

dialogis, transformasi, andragogi,

pembelajaran transformatif, story-linking.

A. Pot ret Pendidikan Kristiani untuk

Orang Dewasa di Indonesia Masa

Kini

J ika kita mengamati dengan

saksama pelaksanaan Pendidikan Kristiani

(selanjutnya disingkat PK) untuk Orang

Dewasa dalam lingkup pelayanan gereja

kita masing-masing, maka di sana kita

akan menemukan bahwa model-model

pendidikan dan pembinaanzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA1 yang

indoktrinatif masih sangat mendominasi.

Konsekuensinya adalah tidak tersedianya

"ruang" yang cukup bagi orang dewasa

untuk mengembangkan kemampuan

berpikir kritis, kreatif dan reflektif,

termasuk mengembangkan pola relasi yang

dialogis, karena mereka harus mengikuti

apa yang disampaikan oleh si pengajar

yang memiliki otoritas penuh atas mereka.

Charlene Tan (2008) dalam

bukunya Teaching without Indoctrination

menegaskan bahwa indoktrinasi adalah

"sebuah upaya untuk melumpuhkan

kapasitas intelektual seseorang yang

dicirikan oleh ketidakmampuan untuk

membenarkan keyakinan seseorang dan

mempertimbangkan ragam altematif

lainnya" (xiii). Berdasarkan definisi ini,

maka menurut saya, model pendidikan

yang indoktrinatif setidaknya dicirikan

oleh, pertama, pola komunikasi satu arah.

Model ini mengabaikan komunikasi yang

dialogis dan interaktif antara pengajar dan

yang diajar. Akibatnya, ruang kelas

menjadi tempat dimana peserta didik hanya

mengikuti mereka yang memiliki otoritas

daripada berusaha untuk membangun

hubungan interpersonal. Kemampuan

mengingat dan menghafal berbagai

informasi yang disampaikan dinilai sebagai

tolak ukur keberhasilan pembelajaran.

Meresponsi hal ini, Parker Palmer (1993)

1 Ketika berbicara tentang model-model

pendidikan/pembinaan di gereja, maka yang saya

maksudkan adalah segala bentuk kegiatan mendidik

dan membina orang dewasa yang diselcnggarakan

oleh gcreja, misalnya: khotbah, PA, pembinaan, dan

sebagainya.

29

Page 5: Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Justitia... · Jika kita melihat pada sejarah, maka model indoktrinasi berakar kuat dalam

DIEGESIS Vol. 1- No.1, Agustus 2016

dalam bukunyayxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBATo Know as We are Known

mengkritisinya dengan berargumen bahwa

cara terbaik belajar seorang peserta didik

adalah tidak hanya melalui menghafal

data-data dan fakta, melainkan berinteraksi

dengannya (xvii). Menurut saya, Palmer

tidak menganggap remeh metode

menghafal, akan tetapi baginya metode ini

bukanlah segala-galanya dalam sebuah

proses pcmbelajaran. Ia hanya satu di

antara sekian banyak metode lainnya.

Pola komunikasi satu arahzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAIn!

tcntunya bcrdampak pada pol a relasi yang

dibangun di antara pengajar dan peserta

didik, yakni top-down. Oleh karena

polanya top-down, maka relasi yang

terbangun kaku, dan salah satu pihak

cenderung menguasai dan mendominasi

pihak lainnya. Jika membaca hal ini dari

perspektif Pendidikan Kaum Tertindas ala

Paulo Freire, maka menurutnya relasi yang

terjalin adalah pola relasi antara penindas

dan yang tertindas. Pengajar adalah

penindas, dan peserta didik adalah orang-

orang yang tertindas. Paulo Freire

menyebutnya Gaya Bank, yang dicirikan

oleh 10 karakteristik berikut ini:

"( I) guru mcngajar, murid-murid diajar;

(2) guru mengetahui segala sesuatu, murid

tidak tahu apa-apa; (3) guru bcrpikir,

murid-murid menerima apa yang guru

pikirkan; (4) guru rnenerangkan, murid-

murid mendcngarkan dcngan sa bar; (5)

guru mencntukan peraturan, murid-rnurid

diatur oleh peraturan; (6) guru mencntukan

pilihan, rnurid-rnurid menyetujui pilihan

yang sudah dibuat; (7) guru

mcndemonstrasikan scsuatu, murid-rnurid

hanya membayangkan objek tersebut

sesuai dengan apa yang didemonstrasikan;

(8) guru mcmilih bahan yang akan

diajarkan, murid-murid menerima begitu

saja bahan ajar tersebut; (9) guru

mencampur-adukan kewenangan ilmu

pengetahuan dengan kewenangan

jabatannya dengan tujuan untuk

menghalangi kebebasan murid-rnurid; (10)

guru adalah subjek, murid-murid adalah

objek semata (Freire 2006, 73).

30

Jika menyimak karakteristik yang

dipaparkan di atas, maka kita bisa melihat

bahwa guru (pengajar) begitu

mendominasi proses pembelajaran. Dan,

suka atau tidak suka, karakteristik-

karakteristik ini masih melekat erat dalam

desain-desain pcmbelajaran kita dan

pembelajaran bersama orang dewasa.

Kedua, tujuan indoktrinasi adalah

mengarahkan peserta didik untuk

menerima (begitu saja) informasi yang

diberikan tanpa harus berpikir kritis

terhadapnya. Dalam posisi ini, peserta

didik menganggap para pengajar scbagai

seseorang yang mengetahui segala hal,

sehingga apa yang dikatakan oleh mereka

pastilah benar adanya. Dalam situasi ini,

jika peserta didik menanggapi dan tidak

menyetujui apa yang disampaikan, maka

akan dinilai tidak menghargai pengajar,

at au dianggap sebagai pemberontak.

Ketiga, model ini meyakini bahwa

hanya ada satu jalan keluar untuk

masalah yang dihadapi. Apa yang

dikatakan oleh pengajar dianggap sebagai

satu-satunya alternatif, tidak ada yang lain.

Akibatnya, peserta didik tidak cukup

diberikan ruang untuk mengembangkan

pemikiran-pemikiran kreatifnya karena

mereka harus mengikuti apa yang

disampaikan oleh si pengajar. Kalaupun

ada, peserta didik akan tetap diarahkan

untuk menerima begitu saja apa yang

disampaikan oleh pengajar daripada apa

yang disampaikan olehnya.

Jika kita melihat pada sejarah,

maka model indoktrinasi berakar kuat

dalam sejarah bangsa kita, Indonesia.

Pengalaman bangsa Indonesia sebagai

bangsa jajahan menjadi salah satu

penyebab utama mengapa model

pendidikan yang indoktrinatif berakar kuat

dalam sistem pendidikan kita. Identitas

sebagai orang-orang terjajah mengakar

kuat dalam hati, pikiran dan perilaku

sehingga yang berkembang dalam sistem

Page 6: Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Justitia... · Jika kita melihat pada sejarah, maka model indoktrinasi berakar kuat dalam

GEREJA DAN PENDIDlKAN KRISTIANI UNTUK ORANG DEWASA

pendidikan adalah pedagogik orang-orang

tertindas (Ti laar 2011, 42-43). Pedagogik

orang tertindas melemahkan kemampuan

berpikir kritis seseorang karena mereka

harus mengikuti begitu saja orang-orang

yang memiliki otoritas. Pada ranah

pendidikan formal, pendidikan agama di

sekolah (negeri maupun swasta) masih

berpijak pada aktivitas yang

mengkerdilkan kemampuan berpikir dan

mental nara didik dan upaya untuk

membuat mereka bersikap tertutup

terhadap orang lain (Sumartana 2001, vi-

viii; Posumah-Santosa 200 I, 282-285;

Hadinoto 1999, 207-209, 242-243).

Bahkan, menurut H. A.zyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAR. Tilaar, para

guru cenderung menjadikan pelajaran

agama di sekolah/gereja sebagai pelajaran

hafalan tanpa mempertimbangkan

bagaimana mengaplikasikannya dalam

hidup sehari-hari mereka (Tilaar 201 1, 47).

Akibatnya, ada pengajaran-pengajaran

yang diwariskan begitu saja dari generasi

ke generasi tanpa dikritisi terlebih dahu1u.

B. Belajar dari Beberapa Teori

Pembelajaran Orang Dewasa

Ada beberapa teori dan model

pembelajaran orang dewasa yang perlu

untuk dipertimbangkan ketika kita

berbicara ten tang PK untuk orang dewasa,

misalnya teori andragoginya Malcolm

Knowles yang klasik namun masih terus

dirujuk oleh ban yak pakar pendidikan,

pembelajaran transformatifyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBAttransformauf

learning) ala Jack Mezirow dan story-

linking ala Anne Wimberly. Berikut adalah

uraian singkat dari masing-masing tentang

teori dan model pembelajaran yang

disebutkan di atas.

1. Malcolm Knowles dan Teori

Andragogi

Knowles membedakan antara

pedagogi (ilmu mengajar anak) dengan

andragogi (seni menolong orang dew asa

belajar). Bagi Knowles, pedagogi lebih

dicirikan oleh teacher directed-learning,

proses pembelajaran bergantung pada

instruksi sang guru, dan motivasi belajar

semata-mata ditentukan oleh penghargaan

atau hukuman dari pihak luar; sedangkan

andragogi lebih mempromosikan self-

directed learning, sebuah model

pembelajaran yang bcrpusat dan diarahkan

oleh diri sendiri, dalam hal ini orang

dewasa, dan motivasi belajar lebih

didorong oleh faktor internal, yaitu rasa

ingin tahu yang tinggi (Knowles 1993, 95-

98).

Dalam bukunya The Modern

Practice of Adult Education, Knowles

mengajukan empat prinsip pokok

pembelajaran orang dewasa, yaitu: konsep

diri (self-concept), pengalaman

(experience), kesiapan belajar (readiness to

learn) dan orientasi untuk belajar

(orientation to learn) (Knowles 1970, 39-

53), sebagaimana dijelaskan secara singkat

berikut ini:

a. Konsep did (self-concept) terkait

dengan kemampuan orang dewasa

untuk melihat dirinya sebagai

seseorang yang mandiri, tidak lagi

tergantung pada orang lain. Orang

dewasa adalah penghasil dan pelaku.

Hal ini nampak dalam beberapa peran

baru yang menuntut tanggung jawab

penuh dari orang dewasa, misalnya

pekerja kantor, suami atau isteri bagi

pasangannya, orangtua bagi anak-

anaknya, warga negara, dan

sebagainya (Knowles 1970, 40;

Knowles 1996, 97). Ragam tanggung

jawab 1111 menuntut kemandirian

penuh dari orang dewasa.

Konsekuensinya adalah orang dewasa

lebih senang untuk mengarahkan

dirinya sendiri daripada diarahkan atau

berada di bawah kontrol orang lain,

Keputusan-keputusan yang dibuatpun

lebih mengarah kepada pengambilan

keputusan pribadi daripada berada

dalam bayang-bayang orang lain.

31

Page 7: Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Justitia... · Jika kita melihat pada sejarah, maka model indoktrinasi berakar kuat dalam

DIEGESIS Vol. 1 - No.1, Agustus 2016yxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBA

b. Pengalaman (experience) terkait

dengan apa yang dialami oleh orang

dewasa sepanjang perjalanan

kehidupannya. Jika bagi anak

pengalaman adalah sesuatu yang

terjadi atas dirinya karena perbuatan

orang lain, maka bagi orang dewasa,

pengalaman adalah dirinya sendiri

(Knowles 1970, 44; Knowles 1996,

97). Definisi orang dewasa tentang

dirinya selalu terkait dengan apa yang

dilakukannya saat ini atau pengalaman

kcrjanya di masa lampau, termasuk

berbagai pengalaman masa lalu yang

memperkaya dirinya. ltu sebabnya,

desain-desain pembelajaran orang

dcwasa perlu memperhatikan dan

mempertimbangkan ragam

pengalaman ini. Sebab, jika tidak

dilakukan, maka orang dewasa bisa

saja menganggap dirinya tidak

diperhitungkan atau ditolak dalam

proses pembelajaran. Metode-metode

pembelajaran yang menekankan aspek

partisipasi aktif, menurut Knowles,

menjadi penting untuk diperhitungkan

dalam proses belajar bersama orang

dewasa, misalnya studi mandiri,

metode inkuiri, dan sebagainya

(Knowles 1970, 45; Knowles 1996,

97).

c. Kesiapan belajar terkait dengan

kemampuan orang dewasa untuk

menyelesaikan tugas tertentu. Bagi

Knowles, tiap jenjang usia

menawarkan tantangan belajar yang

berbeda-beda, misalnya kelompok

dewasa awal akan berhadapan dengan

tantangan untuk memilih pasangan

hidup, belajar untuk hidup bersama

pasangannya, mengelola hidup rumah

tangga, dan sebagainya.

Profesi/pekerjaan yang ditekuni orang

dewasa juga memberikan kepada

mereka tantangan yang berbeda-beda.

d. Aspek keempat adalah orientasi untuk

belajar. Bagi anak-anak, belajar

bertujuan untuk menambah

ilmu/pengetahuan; sedangkan bagi

32

orang dewasa, belajar bertujuan untuk

melatih diri menjadi cakap dalam

merespons berbagai tantangan yang

dihadapi (Knowles 1970, 48; Knowles

1996, 97). Dengan belajar tentang

sesuatu, orang dewasa berharap dia

akan mampu meningkatkan

pengetahuan dan kecakapannya dalam

menyelesaikan sebuah masalah. Itu

berarti, desain-desain pembelajaran

bagi orang dewasa seharusn ya

menolong mereka untuk sampai pada

tahapan dimana mercka bisa

m'enghubungkan apa yang dipelajari

dengan pengalaman sehari-hari

mereka.

2. Pembelajaran Transformatif

Pembelajaran transformatif

dipromosikan oleh Jack Mezirow. Bagi

Mezirow orang dewasa kaya dalam

pengalaman sehingga seharusnya

pengalaman rnenjadi sumber utama dalam

proses pembelajaran mereka. Berdasarkan

pemahaman ini, pendekatan ini mencoba

menolong orang dewasa untuk

menginterpretasi pengalarnan-pengalarnan

mereka dengan cara mereka. Menurut

Mezirow, dalam proses menginterpretasi

inilah terjadi perubahan perspektif atau

paradigma berpikir orang dewasa yang

kemudian menuntun pemahaman, perilaku

dan tindakan mereka (Mezirow 1990, I).

Perspektif transformatif yang menjadi

tujuan dari pendekatan ini muncul melalui

proses interpretasi pengalaman keseharian,

termasuk krisis personal maupun

komunallsosial yang dialami oleh orang

dewasa, misalnya, peristiwa kehilangan

orang-orang yang dikasihi, perceraian,

konflik antar agama, bencana alam, dan

sebagainya.

Dalam buku Learning in Adulthood,

Sharan B. Merriam, Rosemary S.

Caffarella, dan Lisa M. Baumgartner

mengatakan bahwa model pembelajaran

transformatifnya Jack Mezirow ini terdiri

Page 8: Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Justitia... · Jika kita melihat pada sejarah, maka model indoktrinasi berakar kuat dalam

GEREJA DAN PENDIDlKAN KRISTIANI UNTUK ORANG DEWASA

dari empat komponen utama, yaitu

pengalamanyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBA(experience), refleksi kritis

(critical reflection), diskursus reflektif

(reflective discource), dan aksi (action),

sebagaimana dijelaskan berikut lUI

(Merriam, Caffarella, dan Baumgartner

2006, 137):

a) Pengalaman. Bagi Mezirow,

pengalaman adalah kekayaan tak

ternilai yang dimiliki oleh orang

dewasa. Pengalaman itu bisa sesuatu

yang dibawa oleh orang dewasa ke

"ruang kelas" dan bisa juga sesuatu

yang dialami melalui proses belajar-

mengajar di "kelas" (Taylor 2009,5).

b) RefleksitsriKKritis. Dalam upaya

menolong orang dewasa untuk

memahami secara komprehensif

pengalaman-pengalaman yang

disebutkan di atas, maka dipcrlukan

"ruang" yang memadai untuk refleksi

kritis. Refleksi kritis mempertanyakan

integritas dari asumsi-asumsi dasar

dan kepercayaan yang terbentuk

berdasar pada pengalaman-

pengalaman sebclumnya (Mezirow

1990, I).

c) Diskursus Reflektif. Diskursus

janganlah diartikan sebagai sebuah

medan peperangan dimana masing-

masing pihak berjuang untuk

mempertahankan pendapatnya, atau

seperti debat kusir dimana debat-debat

dilakukan tanpa tujuan yang jelas

(Taylor 2009, 9). Diskursus haruslah.."ruang" dimana upaya-upaya positif

dilakukan untuk mencapai

kesepakatan dan melahirkan

pemahaman-pemahaman baru yang

berkualitas. Diskursus menjadi ruang

dimana refleksi kritis terwujud dalam

bentuk tindakan; pengalaman-

pengalaman direfleksikan secara

tajam; asumsi dan kepercayaan

dipertanyakan; dan pola pikir

diubahkan (Taylor 2009, 9). Diskursus

bisa terjadi dalam kelompok-

kelompok kecil maupun besar, dalam

ruang formal maupun informal.

d) Aksi. Aksi adalah hasil konkrit dari

apa yang sudah direfleksikan dan

didialogkan. Aksi terjadi dalam waktu

segera, bisa nanti, ataupun bisa dalam

bentuk afirmasi.

Hal yang menarik dari

pembelajaran transformatif adalah

terbukanya ruang selebar-Iebamya bagi

penggunaan karya seni dan berbagai

metode pembelajaran kreatif lainnya

sebagai jembatan untuk menafsirkan

maupun untuk melakukan refleksi kritis

atas ragam pengalaman yang dialami oleh

orang dewasa. Karya lukis, musik, tarian,

drama, dan lain sebagainya adalah bahasa

alternatif (Mezirow 2012, 75; Taylor 2009,

11). Munculnya bahasa alternatif ini

disebabkan karena adanya kesadaran

bahwa proses belajar-mengajar bersama

dengan orang dewasa bukanlah semata-

mata persoalan kognitif, sebagaimana yang

selalu diusung oleh teori-teori

pembelajaran yang lain. Proses belajar

bersama orang dewasa adalah proses yang

holistik, yang menyentuh aspek kognitif,

afektif, dan psikomotorik seorang dewasa.

3. Story-linking

Model ini diperkenalkan oleh Anne

Wimberly. Dalam bukunya Soul Stories:

African-American Christian Education,

Wimberly mendefinisikan model story-

linking sebagai sebuah proses dimana kita

mendialogkan narasi-narasi kehidupan

sehari-hari dengan narasi-narasi iman

Kristen di dalam Alkitab dan narasi-narasi

para pendahulu di luar Alkitab yang kisah

kehidupannya menjadi sumber inspirasi

bagi orang dewasa (Wimberly 2005, 25).

Dengan mendialogkan narasi-narasi

kehidupannya, orang dewasa terlibat dalam

aktivitas menciptakan arti/makna

(meaning-making). Menciptakan arti,

menurut Wimberly, adalah cara orang

dewasa mengatakan kepada orang lain

33

Page 9: Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Justitia... · Jika kita melihat pada sejarah, maka model indoktrinasi berakar kuat dalam

DIEGESIS Vol. 1- No.1, Agustus 2016

"Inilah caraku melihat kehidupan dan

menentukan posisiku di dalamnya, dan

inilah yang akan kulakukan berkenaan

dengan hal itu" (Wimberly 2005, 81). Itu

berarti, menciptakan makna bukan hanya

sekadar memberi makna atas sebuah narasi,

melainkan menentukan sikap terhadap

sesuatu.

Oengan membagikan cerita

kehidupan mereka, orang dewasa sedang

menyaksikan kepada orang lain bagaimana

perjuangan mereka, dan bagaimana iman

mereka dibentuk dan diperteguh melalui

berbagai pengalaman suka maupun rasa

sakit yang mereka alami. Oengan

membaca/mendengarkan kisah-kisah yang

dituturkan dalam teks-teks Alkitab, orang

dewasa merendahkan hatinya untuk mau

mendengarkan dan mau "berjumpa"

melalui tulisan dengan orang-orang yang

berbeda dari segala waktu dan tempat.

Oengan membaca/mendengarkan cerita-

cerita dari para pendahulu, orang dewasa

belajar dari orang-orang yang kehidupan

dan pengalamannya menjadi penting untuk

diperhitungkan dimasa kini.yxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBA

Story-linking, tidaklah sernata-mata

menekankan pada aspek menuturkan

cerita; modelzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAIn! juga menekankan

aktivitas mendengarkan. Bell Hooks dalam

bukunya Teaching Critical Thinking

sejalan dengan hal ini, bahkan secara

panjang lebar ia menjelaskan manfaat yang

didapat ketika seseorang terlibat dalam

aktivitas menuturkan dan mendengarkan

cerita. Menurutnya, pertama, dengan

menuturkan/mendengarkan cerita, orang

dewasa belajar mengembangkan

kemampuan berpikir kritisnya; kedua,

aktivitas menuturkan/mendengarkan cerita

secara tidak langsung membuat anggota

komunitas semakin dekat satu dengan yang

lain; ketiga, dengan menuturkan cerita,

seseorang bisa disembuhkan. Itu sebabnya

mengapa ketika seseorang menernui

psikiater/psikolog/konselor, yang pertama

diminta adalah menuturkan apa yang dia

34

rasakan; dan terakhir, cerita

menghubungkan kita dengan orang lain, di

waktu dan tempat yang sarna, namun juga

yang berbeda (Hooks 2010,51-53).wutsronlkigedcaVSRNMIDBA

c.wutsrponmkigfedbaSPOMKIGEDBBeberapa Metafora bagi Pendidikan

Kristiani untuk Orang Dewasa

Ada dua metafora 2 yang dipakai

dalam tulisan ini untuk menolong kita

memahami PK untuk Orang Oewasa,

yaitu:

I ." Pertama,tnmkiedbaMBBatik dan Membatik.

Aktivitas membatik, menurut saya,

menggambarkan proses seseorang

menciptakan sesuatu. Bagi seorang

pemula, ia hanya akan mengikuti

motif-motif yang sudah tersedia.

Tetapi dengan berlalunya waktu,

ketika pengetahuan dan

ketrampilannya bertambah, ia akan

mencoba untuk mendesain motif-

motif baru yang lahir dari upayanya

untuk mengkombinasikan beberapa

motif yang sudah ada, atau bahkan

menciptakan sebuah motif baru

yang total berbeda dari sebelumnya,

sebuah motif yang lahir dari hasil

refleksinya atas situasi sekeliling.

Di snu kita melihat adanya

pergeseran dari hanya sekadar

meniru kepada sebuah upaya untuk

menggabungkan atau bahkan

menciptakan sesuatu yang baru.

Untuk sampai pada tahap

menggabungkan atau menciptakan

yang baru, ia harus berani terbuka

terhadap berbagai pengetahuan

baru di luarnya termasuk

keberanian untuk mencoba sesuatu

yang baru. Proses pembelajaran

bersama orang dewasa harusnya

20ua metafora ini pad a awalnya diuraikan

secara detail dalam disertasi saya yang berjudul

Crossing the Bridge: Christian Education for

Enhancing Adult Meaning-Making Oriented jar

Transformation in the Contemporary Context of

Indonesia, di Yonsei University, Seoul, tahun 2014.

Page 10: Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Justitia... · Jika kita melihat pada sejarah, maka model indoktrinasi berakar kuat dalam

GEREJA DAN PENDIDIKAN KRISTIANI UNTUK ORANG DEWASA

menolong orang dewasa sampai

pada tahapan dimana ia berani

untuk mengatakan "rnenurut saya"

atau "ini yang bisa saya kerjakan,"

dan lain sebagainya.

2. Kedua,yxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBAMakan Patita. Makan

Patita adalah sebuah tradisi makan

bersama di daerah Maluku

(Tengah). Mereka yang bergabung

dalam acara Makan Patita akan

membawa makanannya masmg-

masing dan dihidangkan di meja

yang sudah disiapkan. Ketika

makanan yang dibawa dihidangkan,

makanan tersebut bukan lagi milik

si pembawa, melainkan menjadi

milik bersama. Ketika aktivitas

makan bersama ini dimulai, semua

orang bebas bergerak kemanapun ia

mau, berjumpa dan saling memberi

salam, berbagi cerita dan

mendengarkan cerita-cerita orang

lain (Hattu 2014, 167). Dari

perspektif Pendidikan Kristiani

untuk Orang Dewasa, rnenurut saya,

Makan Patita menegaskan

beberapa hal: (a) orang diundang

untuk merayakan kehidupannya

melalui penuturan cerita dan

pengalaman hidup selama ia

menikmati makan bersama orang

lain; (b) M akan Patita menyatukan

orang-orang dari latar belakang

yang berbeda untuk duduk bersama

dan berbagi; (c) setiap oran& yang

bergabung dalam Makan Patita

adalah kontributor (subjek) karena

mereka harus mempersiapkan

makanan sebelum mereka datang

ke acara Makan Patita; (d) ragam

makanan dan mmuman yang

dibawa oleh setiap orang

melambangkan ragam cerita dan

pengalaman hidup; (e) ketika orang

membawa makanannya dan

meletakkannya di rneja, maka

makanan tersebut bukan lagi

menjadi miliknya saja tetapi milik

bersama yang siap untuk disantap

oleh orang lain juga. Itu berarti,

keterbukaan untuk belajar dari

orang lain menjadi sesuatu yang

penting; (f) ketika menikmati

makanan/minuman selama Makan

Patita, orang akan bergerak ke

sana-kemari dan terlibat dalam

percakapan-percakapan dengan

orang lain. Dialog yang terjadi

mengatasi dominasi pihak-pihak

tertentu (Hattu 2014, 172-175).

D. Kontribusi Teori dan Model

Pembelajaran Dewasa bagi

Pendidikan Kristiani untuk Orang

Dewasa

Pertanyaan selanjutnya adalah, apa

kontribusi teori dan model pembelajaran

ini bagi PK untuk Orang Dewasa? Saya

mencatat setidaknya ada beberapa hal

penting yang perlu mendapatkan perbatian

ketika kita terlibat dalam proses

pembelajaran bersama orang dewasa:

a. Orang dewasa adalah subjek dalam

proses pernbelajaran. Itu artinya,

pendidik bukan lagi satu-satunya

orang yang paling tabu dalam "ruang

kelas," melainkan ia banya satu di

antara sekian banyak orang yang tahu

tentang sesuatu.

b. Tujuan PK untuk Orang Dewasa

adalah untuk mengembangkan

kemampuan berpikir dan berefleksi

kritis orang dewasa, .menciptakan

proses pembelajaran yang dialogis

bersama orang dewasa dan mengarah

kepada transformasi diri orang dewasa.

Berpikir dan berefleksi secara kritis

adalah kapasitas seseorang untuk

mengkritisi pemikiran-pemikirannya

yang sebelumnya dan keberanian

untuk membuka diri terhadap

infomasi-informasi bam. Berpikir dan

berefleksi kritis adalah kemampuan

untuk berpindah dari dependent mind

35

Page 11: Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Justitia... · Jika kita melihat pada sejarah, maka model indoktrinasi berakar kuat dalam

DIEGESIS Vol. 1- No.1, Agustus 2016

kepadayxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBAindependent mind. Sebuah

kemampuan untuk berani

mengemukakan pendapatnya tanpa

harus dipengaruhi atau berada

dibawah bayang-bayang orang lain.

Dialogis mengisyaratkan bahwa

proses pembelajaran orang dewasa

adalah proses belajar bersama orang

lain, sehingga model-model

pembelajaran yang didesain harus juga

menolong orang dewasa untuk tidak

hanya mengembangkan kecakapan

intrapersonalnya tetapi juga

interpersonalnya secara maksimal.

Karakteristik kedua Jill

mengisyaratkan kemampuan orang

dewasa untuk terbuka dan menghargai

pendapat orang lain. Karakteristik ini

mcngandaikan adanya sebuah

pergeseran dari model pembelajaran

yang didominasi oleh pengajar, kepada

model yang lebih memberi ruang bagi

kebebasan berpikir dan berdialog bagi

orang dewasa. Pada titik ini, Gereja

terpanggi I untuk meminimalisir

pendekatan-pendekatan indoktrinatif

dalam proses pembelajaran bersama

orang dewasa. Jika ini terjadi dengan

baik, maka secara tidak langsung kita

perlahan-Iahan mendobrak pola relasi

top-down yang dilestarikan oleh model

indoktrinasi. Transformasi adalah

situasi ideal dimana kesadaran-

kesadaran baru terhadap diri dan

lingkungan sekitar dihasilkan.

c. Konteks PK untuk Orang Dewasa

adalah di dalam dan di luar gereja

melalui keterlibatan aktif orang

dewasa. ltu artinya, gereja bukanlah

satu-satunya konteks bagi proses

pembelajaran orang dewasa. Proses

pembelajaran orang dewasa

seharusnya menolong mereka untuk

lebih peka terhadap situasi sosial

sekeliling dan secara aktif

merumuskan respons-respons kritis

terhadap situasi tersebut.

36

d. Dengan mengacu kepada Wimberly,

saya berargumen bahwa, isi dari PK

untuk Orang Dewasa seharusnya, tidak

hanya lagi berisi cerita dan

pengalaman hidup para tokoh

Alkitab, tetapi alangkah baiknya jika

kita memperhitungkan juga: (a) cerita

dan pengalaman hidup orang

dewasa yang mengambil bagian

dalam proses pembelaj aran; dan (b)

cerita dan pengalaman hidup orang-

orang Indonesia/luar Indonesia yangzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA. . .

rnenginspirasi.

Selain beberapa kontribusi yang sudah

disebutkan di atas, saya mengusulkan

beberapa usul konkrit bagi praktik PK

untuk Orang Dewasa di Gercja, sebagai

berikut:

a. Gereja, melalui pelayanan dan

pemberitaan firm an dari mimbar

gereja dalam ibadah-ibadah minggu

maupun di kebaktian-kebaktian

kategorial dan rumah tangga mulai

memberi ruang yang cukup bagi orang

dewasa untuk terlibat secara aktif di

dalamnya, entah melalui pertanyaan-

pertanyaan reflektif, tanya

jawab/diskusi setelah khotbah, atau

ruang bagi penuturan narasi-narasi

kehidupan yang terkait erat dengan

tema-tema khotbah yang disampaikan.

b. Kelas-kelas Penelaahan Alkitab (PA)

bagi orang dewasa sebaiknya dikemas

dengan lebih dialogis. Pola-pola yang

hanya membacakan (ulang) bahan PA

dan mengajukan pertanyaan untuk

diskusi diujung dari pembacaan

sebaiknya dipikirkan ulang untuk

digunakan. Selain itu, penggunaan

ragam karya sell! sebagai media

pembelajaran bagi jemaat untuk

menuturkan narasi-narasi

kehidupannya atau mengekspresikan

perasaannya akan sangat menolong

untuk mengatasi kekakuan dan

..... '

Page 12: Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Justitia... · Jika kita melihat pada sejarah, maka model indoktrinasi berakar kuat dalam

n

nzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYXWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA

la

k

si

n

g

n

GEREJA DAN PENDIDlKAN KRISTIANI UNTUK ORANG DEWASA

kebekuan kelas-kelas PA orang

dewasa.

Perlu adanya (atau: pengoptimalan)

ruang' untukyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBAinformal conversation

di gcrcja. "Ruang" mt memberi

keleluasaan bagi orang dewasa untuk

terlibat sccara aktif dalam percakapan-

percakapan yang membangun di luar

dan "ruang formal" yang disediakan

gereja. Percakapan-percakapan yang

terjadi dalam kelompok-kelompok

kecil di kafetaria gereja, di sudut ruang

pertemuan, atau di bangku halaman

gereja biasanya jauh lebih bernas,

mendalam,wutsrponmkigfedbaSPOMKIGEDBmenginspirasi, dan

melegakan. Melalui "ruang-ruang" ini,

kesadaran untuk berpikir dan

bereflcksi secara kritis dan relasi yang

dialogis terjadi secara alamiah.

Pereakapan informal mengkondisikan

orang dcwasa untuk berpartisipasi

dalam proses belajar bersama yang

melaluinya pengetahuan dan nilai

dibagi sccara cuma-cuma. Percakapan

informal membuka ruang kesetaraan

bagi orang dcwasa untuk saling

belajar: di ruang ini mereka terbuka

terhadap berbagai pengalaman baru

dari para orang dewasa lainnya. Lagi,

percakapan informal akan

mempcrkaya hasil-hasil percakapan

yang tcrjadi di ruang formal termasuk

memperjelas hal-hal yang belum jelas.

Percakapan informal memampukan

orang untuk berbicara tanpa sungkan,

menumpahkan isi hati dan pikirannya

tanpa rasa malu ditertawakan orang

lain, dan mengekspresikan dirinya

tanpa rasa takut.

Memikirkan ulang desain-desain

retreat bagi orang dewasa sehingga

retreat bukanlah sekadar

memindahkan kelas-kelas pembinaan

orang dewasa yang harusnya

diselenggarakan di gereja ke luar

gereja. Retreat seharusnya menjadi

semacam momentum dimana orang

dengan leluasa bisa berdiam

tengah-tengah keramaian

berefl eksi, atau terlibat

percakapan-percakapan yang

dan bermutu dengan orang lain.

diri di

dan

dalam

intens

Daftar Pustaka

Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed.

New York: Continuum, 2006.

Hadinoto, N.K. Atmadja. Dialog dan

Edukasi: Keluarga Kristen dalam

Masyarakat Indonesia. Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1999.

Hattu, Justitia Vox Dei. "Crossing the

Bridge: Christian Education for

Adult Meaning-Making Oriented for

Transformation." Disertasi Doktoral,

Yonsei University, 2014.

Knowles, Malcolm. "Contributions of

Malcolm Knowles." Dalam The

Christian educator's handbook on

adult education, eds. Kenneth O.

Gangel & James C. Wilhoit (91-103).

Grand Rapids, Michigan: Baker

Books, 1993.

Mezirow, Jack. "How Critical Reflection

Triggers Transforrnati ve Learning."

Dalam Fostering Critical Reflection

in Adulthood: A Guide to

Transformative and Emancipatory

Learning, Jack Mezirow&

Associates (1- 20). San Francisco:

Jossey-Bass, 1990.

______ . "Learning to think like

an adult: Core concepts of

transformation theory." Dalam

Learning as Transformation: Critical

Perspectives on a Theory in Process,

Jack Mezirow & Associates (3-33).

San Francisco: Jossey-Bass, 2000.

Merriam, Sharan B., Rosemary B.

Caffarella, dan Lisa M. Baumgartner.

Learning in Adulthood: A

Comprehensive Guide. San

Francisco: Jossey-Bass, 2007.

Palmer, Parker. To Know as We are Known.

New York: HarperCollinsPublishers,

1993.

37

Page 13: Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Justitia... · Jika kita melihat pada sejarah, maka model indoktrinasi berakar kuat dalam

DIEGESIS Vol. 1 - No.1, Agustus 2016

Posurnah-Santosa, Jedida T.

dan Pendidikan

Indonesia." DalamyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBA

Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia,

ed. Th. Sumartana (281-293).

Yogyakarta: Institut DianlInterfidei,

2001.

Sumartana, Th. Introduction.Dalam

Pluralisme dan Pendidikan di

Indonesia, ed. Th.

Sumartana (v-ix), Yogyakarta:

Institut DianiInterfidei, 200 I.

Tan, Charlene. Teaching without

Indoctrination: Implications for

Values Education. Rotterdam: Sense,

2008.

Taylor, Edward W. "Fostering

Transformative Learning." Dalam

Transformative Learning in Practice,

Jack Mezirow, Edward W. Taylor,

and Associates (3-17). San

Francisco: Jossey-Bass, 2009.

Tilaar, H.A.R. "Pedagogik Kritis:

Perkembangan, Substansi, dan

Perkembangannya di

Indonesia. "Dalam Pedagogik

Kritis: Perkembangan, Substansi dan

Perkembangannya di

Indonesia, eds. H.A.R. Tilaar, Jimmy

Ph. Paat, dan Lody Paat (13-58).

Jakarta: Rineka Cipta, 2011.

Wimberly, Anne E. Streaty. Soul Stories:

African American

ChristianEducation.Nashvi lie:

Abingdon Press, 2005.

"Pluralisme

Agama di

Biodata Penulis

Justitia Vox Dei Hattu mengambil gelar

Sarjana Sains Teologi (S.Si. (Teol.)) di

Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (2002) dan

Master of Theology (Th.M.) di Presbyterian

College and Theological Seminary, Seoul -

South Korea (2007), selanjutnya Doctor of

Philosophy (Th.D.) di Yonsei University,

Seoul - South Korea (2014). Selain sebagai

KepaJa Program Studi S-2 dan Pengampu Mata

kuliah Pendidikan Kristiani di STT Jakarta, ia

juga terlibat aktif dalam pembinaan dan

38

pelatihan bidang Pendidikan Kristiani bagi

gereja-gereja di Indonesia dan dalam penulisan

kurikulum bagi gereja-gereja danzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAsekolah-

sekolah. Pada tahun 2008 ditahbiskan sebagai

pendeta Gereja Protestan Maluku

..