Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN...
Transcript of Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN...
Vol, 1 - No.1, Agustus 2016 ISSN :zyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA2528-7028
www.sttbi.ac.id
DIEGESISzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
JURNAL TEOLOGI
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BETHELINDONESIAwutsronlkigedcaVSRNMIDBA
Dewan Redaksi
Ketua
Sekretaris
Bendahara
Desain& Layout
Editor
: Ivonne Sandra Sumual, M.Th
: Gabriel Astrid, S.Th
: Benadictus Siowardjaja, M.Th
: AbrahamzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYXWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAP. Sitinjak, S.Th
: Dr. Junifrius Gultom
Dr. Gernaida KR. Pakpahan
Dr. Frans Pantan
Mitra Bestari
Dr. David Samiyono (UKSW/Sosiologi)
Dr. Yakob Tomatala (STT Jaffray/Kepemimpinan)
Dr. Justitia Vox Dei Hattu (STT Jakarta/PAK)
Dr. Yuzo Adhinarta (STT Reformed Indonesia/ Teologi Sistematika &
Historika)
Dr. Aries Mardiyanto (STT Abdiel)
Dr. Asigor Sitanggang (STT Jakarta/Perjanjian Baru)
Dr. Gernaida K R. Pakpahan (STTBI/Perjanjian Lama)
Dr. Junifrius Gultom (STTBI/Misi dan Pentakostalisme)
ISSN 2528-7028
Diterbitkan Oleh Bethel Press
Unit Penerbitan dan Literatur
Sekolah Tinggi Teologi Bethel Indonesia
JI. Petamburan IV/5, Jakarta Pusat 10260
Tip. 021-53679464, 021-53679468.
Fax: 021-53677528, 021-53650597
www.sttbi.ac.id
- -,
Dilarang mcmperbanyak karya tulis ini dalarn bcntuk apapun,
terrnasuk fotokopi, tanpa izin terrulis dari pcnerbit.
uai dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 49 ayat 1 UU No. 19 tahun 20~O
teruang Ilak Cipta)-- -- ---
Vol. 1 - No.1, Agustus 2016zyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYXWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
DAFTARISI
EDITORIAL IV
METAFISIKA PENDIDIKAN IMAN DI GEREJA
(Membangun Kualitas Tata Kelola Pendidikan Iman di Gcreja Yang Berawal, Bcrlan-
jut dan Berakhir Pada Ycsus Kristus)yxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBA
~ Frans Pantan
ROH JAHAT YANG DARI TUHAN (A SPIRIT OF SADNESS FROM
YEHOVAH) Suatu Telaah Kritis Terhadap Teks 1 Samuel 16: 14
~ Gernaida K.R. Pakpahan
15
GEREJA DAN PENDIDIKAN KRISTIANI UNTUK ORANG DEWASA:
"29
ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
~ Justitia Vox Dei Hattu
A CONTEXTUAL APPROACH FOR CHRISTIAN COUNSELING; HOW 39
DOES IT WORK?
~ Junifrius Gultom
KONSEP LOGOS DALAM PROLOG INJIL YOHANES: STUDI EKSEGESIS 49
TERHADAP ISTILAH 6 )coyoe; DALAM YOHANES 1:1-18
~ Robert Paul Trisna
MITOS DALAM AGAMA - MASYARAKAT 61
~ David Samiyono ..
PENGALAMAN KHARISMATIK; VALIDASI FORMAL PENGALAMAN 67
MISTIK
~ Rhesa Sigalarki
BOOK REVIEW: Review of Mark J. Cartledge, The Mediation of the Spirit: 77
Interventions in Practical Theology
~ Oyan Simatupang
Jll
GEREJA DAN PENDIDlKAN KRISTIANI UNTUK ORANG
DEWASA; ANTARA HARAPAN DAN KENYATAANyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBA
Justitia Vox Dei Hattu
Abstrak
Kita tidak dapat memungkiri bahwa
Pendidikan Kristiani untuk Orang Dewasa
dalam konteks Gereja-gereja di Indonesia
mas a kini masih didominasi oleh model
indoktrinasi dengan metode mendiktenya.
Akibatnya, orang dewasa tidak memiliki
ruang yang cukup untuk mengembangkan
diri, kemampuan berpikir kritis, dan
membangun relasi (yang dialogis) dengan
orang-orang di sekitamya ketika mereka
ada bersarna-sama untuk belajar. Tulisan
ini mengajak kita melihat konsekuensi dari
model pendidikan yang indoktrinatif dan
mengusulkan kepada kita model
pendidikan orang dewasa yang bertujuan
untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kritis, membangun relasi yang
dialogis, serta berorientasi pada
transformasi. Ketiga karakteristik ini
dikembangkan dari tiga teori/model
pembelajaran orang dewasa, yaitu teori
andragogi yang dipopulerkan oleh
Malcolm Knowles, model pembelajaran
transformatif yang diperkenalkan oleh Jack
Mezirow, dan model story-linking yang
dipromosikan oleh Anne Wimberly.
..Kata Kunci: Gereja, Pendidikan Kristiani,
orang dewasa, indoktrinasi, berpikir kritis,
dialogis, transformasi, andragogi,
pembelajaran transformatif, story-linking.
A. Pot ret Pendidikan Kristiani untuk
Orang Dewasa di Indonesia Masa
Kini
J ika kita mengamati dengan
saksama pelaksanaan Pendidikan Kristiani
(selanjutnya disingkat PK) untuk Orang
Dewasa dalam lingkup pelayanan gereja
kita masing-masing, maka di sana kita
akan menemukan bahwa model-model
pendidikan dan pembinaanzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA1 yang
indoktrinatif masih sangat mendominasi.
Konsekuensinya adalah tidak tersedianya
"ruang" yang cukup bagi orang dewasa
untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kritis, kreatif dan reflektif,
termasuk mengembangkan pola relasi yang
dialogis, karena mereka harus mengikuti
apa yang disampaikan oleh si pengajar
yang memiliki otoritas penuh atas mereka.
Charlene Tan (2008) dalam
bukunya Teaching without Indoctrination
menegaskan bahwa indoktrinasi adalah
"sebuah upaya untuk melumpuhkan
kapasitas intelektual seseorang yang
dicirikan oleh ketidakmampuan untuk
membenarkan keyakinan seseorang dan
mempertimbangkan ragam altematif
lainnya" (xiii). Berdasarkan definisi ini,
maka menurut saya, model pendidikan
yang indoktrinatif setidaknya dicirikan
oleh, pertama, pola komunikasi satu arah.
Model ini mengabaikan komunikasi yang
dialogis dan interaktif antara pengajar dan
yang diajar. Akibatnya, ruang kelas
menjadi tempat dimana peserta didik hanya
mengikuti mereka yang memiliki otoritas
daripada berusaha untuk membangun
hubungan interpersonal. Kemampuan
mengingat dan menghafal berbagai
informasi yang disampaikan dinilai sebagai
tolak ukur keberhasilan pembelajaran.
Meresponsi hal ini, Parker Palmer (1993)
1 Ketika berbicara tentang model-model
pendidikan/pembinaan di gereja, maka yang saya
maksudkan adalah segala bentuk kegiatan mendidik
dan membina orang dewasa yang diselcnggarakan
oleh gcreja, misalnya: khotbah, PA, pembinaan, dan
sebagainya.
29
DIEGESIS Vol. 1- No.1, Agustus 2016
dalam bukunyayxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBATo Know as We are Known
mengkritisinya dengan berargumen bahwa
cara terbaik belajar seorang peserta didik
adalah tidak hanya melalui menghafal
data-data dan fakta, melainkan berinteraksi
dengannya (xvii). Menurut saya, Palmer
tidak menganggap remeh metode
menghafal, akan tetapi baginya metode ini
bukanlah segala-galanya dalam sebuah
proses pcmbelajaran. Ia hanya satu di
antara sekian banyak metode lainnya.
Pola komunikasi satu arahzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAIn!
tcntunya bcrdampak pada pol a relasi yang
dibangun di antara pengajar dan peserta
didik, yakni top-down. Oleh karena
polanya top-down, maka relasi yang
terbangun kaku, dan salah satu pihak
cenderung menguasai dan mendominasi
pihak lainnya. Jika membaca hal ini dari
perspektif Pendidikan Kaum Tertindas ala
Paulo Freire, maka menurutnya relasi yang
terjalin adalah pola relasi antara penindas
dan yang tertindas. Pengajar adalah
penindas, dan peserta didik adalah orang-
orang yang tertindas. Paulo Freire
menyebutnya Gaya Bank, yang dicirikan
oleh 10 karakteristik berikut ini:
"( I) guru mcngajar, murid-murid diajar;
(2) guru mengetahui segala sesuatu, murid
tidak tahu apa-apa; (3) guru bcrpikir,
murid-murid menerima apa yang guru
pikirkan; (4) guru rnenerangkan, murid-
murid mendcngarkan dcngan sa bar; (5)
guru mencntukan peraturan, murid-rnurid
diatur oleh peraturan; (6) guru mencntukan
pilihan, rnurid-rnurid menyetujui pilihan
yang sudah dibuat; (7) guru
mcndemonstrasikan scsuatu, murid-rnurid
hanya membayangkan objek tersebut
sesuai dengan apa yang didemonstrasikan;
(8) guru mcmilih bahan yang akan
diajarkan, murid-murid menerima begitu
saja bahan ajar tersebut; (9) guru
mencampur-adukan kewenangan ilmu
pengetahuan dengan kewenangan
jabatannya dengan tujuan untuk
menghalangi kebebasan murid-rnurid; (10)
guru adalah subjek, murid-murid adalah
objek semata (Freire 2006, 73).
30
Jika menyimak karakteristik yang
dipaparkan di atas, maka kita bisa melihat
bahwa guru (pengajar) begitu
mendominasi proses pembelajaran. Dan,
suka atau tidak suka, karakteristik-
karakteristik ini masih melekat erat dalam
desain-desain pcmbelajaran kita dan
pembelajaran bersama orang dewasa.
Kedua, tujuan indoktrinasi adalah
mengarahkan peserta didik untuk
menerima (begitu saja) informasi yang
diberikan tanpa harus berpikir kritis
terhadapnya. Dalam posisi ini, peserta
didik menganggap para pengajar scbagai
seseorang yang mengetahui segala hal,
sehingga apa yang dikatakan oleh mereka
pastilah benar adanya. Dalam situasi ini,
jika peserta didik menanggapi dan tidak
menyetujui apa yang disampaikan, maka
akan dinilai tidak menghargai pengajar,
at au dianggap sebagai pemberontak.
Ketiga, model ini meyakini bahwa
hanya ada satu jalan keluar untuk
masalah yang dihadapi. Apa yang
dikatakan oleh pengajar dianggap sebagai
satu-satunya alternatif, tidak ada yang lain.
Akibatnya, peserta didik tidak cukup
diberikan ruang untuk mengembangkan
pemikiran-pemikiran kreatifnya karena
mereka harus mengikuti apa yang
disampaikan oleh si pengajar. Kalaupun
ada, peserta didik akan tetap diarahkan
untuk menerima begitu saja apa yang
disampaikan oleh pengajar daripada apa
yang disampaikan olehnya.
Jika kita melihat pada sejarah,
maka model indoktrinasi berakar kuat
dalam sejarah bangsa kita, Indonesia.
Pengalaman bangsa Indonesia sebagai
bangsa jajahan menjadi salah satu
penyebab utama mengapa model
pendidikan yang indoktrinatif berakar kuat
dalam sistem pendidikan kita. Identitas
sebagai orang-orang terjajah mengakar
kuat dalam hati, pikiran dan perilaku
sehingga yang berkembang dalam sistem
GEREJA DAN PENDIDlKAN KRISTIANI UNTUK ORANG DEWASA
pendidikan adalah pedagogik orang-orang
tertindas (Ti laar 2011, 42-43). Pedagogik
orang tertindas melemahkan kemampuan
berpikir kritis seseorang karena mereka
harus mengikuti begitu saja orang-orang
yang memiliki otoritas. Pada ranah
pendidikan formal, pendidikan agama di
sekolah (negeri maupun swasta) masih
berpijak pada aktivitas yang
mengkerdilkan kemampuan berpikir dan
mental nara didik dan upaya untuk
membuat mereka bersikap tertutup
terhadap orang lain (Sumartana 2001, vi-
viii; Posumah-Santosa 200 I, 282-285;
Hadinoto 1999, 207-209, 242-243).
Bahkan, menurut H. A.zyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAR. Tilaar, para
guru cenderung menjadikan pelajaran
agama di sekolah/gereja sebagai pelajaran
hafalan tanpa mempertimbangkan
bagaimana mengaplikasikannya dalam
hidup sehari-hari mereka (Tilaar 201 1, 47).
Akibatnya, ada pengajaran-pengajaran
yang diwariskan begitu saja dari generasi
ke generasi tanpa dikritisi terlebih dahu1u.
B. Belajar dari Beberapa Teori
Pembelajaran Orang Dewasa
Ada beberapa teori dan model
pembelajaran orang dewasa yang perlu
untuk dipertimbangkan ketika kita
berbicara ten tang PK untuk orang dewasa,
misalnya teori andragoginya Malcolm
Knowles yang klasik namun masih terus
dirujuk oleh ban yak pakar pendidikan,
pembelajaran transformatifyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBAttransformauf
learning) ala Jack Mezirow dan story-
linking ala Anne Wimberly. Berikut adalah
uraian singkat dari masing-masing tentang
teori dan model pembelajaran yang
disebutkan di atas.
1. Malcolm Knowles dan Teori
Andragogi
Knowles membedakan antara
pedagogi (ilmu mengajar anak) dengan
andragogi (seni menolong orang dew asa
belajar). Bagi Knowles, pedagogi lebih
dicirikan oleh teacher directed-learning,
proses pembelajaran bergantung pada
instruksi sang guru, dan motivasi belajar
semata-mata ditentukan oleh penghargaan
atau hukuman dari pihak luar; sedangkan
andragogi lebih mempromosikan self-
directed learning, sebuah model
pembelajaran yang bcrpusat dan diarahkan
oleh diri sendiri, dalam hal ini orang
dewasa, dan motivasi belajar lebih
didorong oleh faktor internal, yaitu rasa
ingin tahu yang tinggi (Knowles 1993, 95-
98).
Dalam bukunya The Modern
Practice of Adult Education, Knowles
mengajukan empat prinsip pokok
pembelajaran orang dewasa, yaitu: konsep
diri (self-concept), pengalaman
(experience), kesiapan belajar (readiness to
learn) dan orientasi untuk belajar
(orientation to learn) (Knowles 1970, 39-
53), sebagaimana dijelaskan secara singkat
berikut ini:
a. Konsep did (self-concept) terkait
dengan kemampuan orang dewasa
untuk melihat dirinya sebagai
seseorang yang mandiri, tidak lagi
tergantung pada orang lain. Orang
dewasa adalah penghasil dan pelaku.
Hal ini nampak dalam beberapa peran
baru yang menuntut tanggung jawab
penuh dari orang dewasa, misalnya
pekerja kantor, suami atau isteri bagi
pasangannya, orangtua bagi anak-
anaknya, warga negara, dan
sebagainya (Knowles 1970, 40;
Knowles 1996, 97). Ragam tanggung
jawab 1111 menuntut kemandirian
penuh dari orang dewasa.
Konsekuensinya adalah orang dewasa
lebih senang untuk mengarahkan
dirinya sendiri daripada diarahkan atau
berada di bawah kontrol orang lain,
Keputusan-keputusan yang dibuatpun
lebih mengarah kepada pengambilan
keputusan pribadi daripada berada
dalam bayang-bayang orang lain.
31
DIEGESIS Vol. 1 - No.1, Agustus 2016yxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBA
b. Pengalaman (experience) terkait
dengan apa yang dialami oleh orang
dewasa sepanjang perjalanan
kehidupannya. Jika bagi anak
pengalaman adalah sesuatu yang
terjadi atas dirinya karena perbuatan
orang lain, maka bagi orang dewasa,
pengalaman adalah dirinya sendiri
(Knowles 1970, 44; Knowles 1996,
97). Definisi orang dewasa tentang
dirinya selalu terkait dengan apa yang
dilakukannya saat ini atau pengalaman
kcrjanya di masa lampau, termasuk
berbagai pengalaman masa lalu yang
memperkaya dirinya. ltu sebabnya,
desain-desain pembelajaran orang
dcwasa perlu memperhatikan dan
mempertimbangkan ragam
pengalaman ini. Sebab, jika tidak
dilakukan, maka orang dewasa bisa
saja menganggap dirinya tidak
diperhitungkan atau ditolak dalam
proses pembelajaran. Metode-metode
pembelajaran yang menekankan aspek
partisipasi aktif, menurut Knowles,
menjadi penting untuk diperhitungkan
dalam proses belajar bersama orang
dewasa, misalnya studi mandiri,
metode inkuiri, dan sebagainya
(Knowles 1970, 45; Knowles 1996,
97).
c. Kesiapan belajar terkait dengan
kemampuan orang dewasa untuk
menyelesaikan tugas tertentu. Bagi
Knowles, tiap jenjang usia
menawarkan tantangan belajar yang
berbeda-beda, misalnya kelompok
dewasa awal akan berhadapan dengan
tantangan untuk memilih pasangan
hidup, belajar untuk hidup bersama
pasangannya, mengelola hidup rumah
tangga, dan sebagainya.
Profesi/pekerjaan yang ditekuni orang
dewasa juga memberikan kepada
mereka tantangan yang berbeda-beda.
d. Aspek keempat adalah orientasi untuk
belajar. Bagi anak-anak, belajar
bertujuan untuk menambah
ilmu/pengetahuan; sedangkan bagi
32
orang dewasa, belajar bertujuan untuk
melatih diri menjadi cakap dalam
merespons berbagai tantangan yang
dihadapi (Knowles 1970, 48; Knowles
1996, 97). Dengan belajar tentang
sesuatu, orang dewasa berharap dia
akan mampu meningkatkan
pengetahuan dan kecakapannya dalam
menyelesaikan sebuah masalah. Itu
berarti, desain-desain pembelajaran
bagi orang dewasa seharusn ya
menolong mereka untuk sampai pada
tahapan dimana mercka bisa
m'enghubungkan apa yang dipelajari
dengan pengalaman sehari-hari
mereka.
2. Pembelajaran Transformatif
Pembelajaran transformatif
dipromosikan oleh Jack Mezirow. Bagi
Mezirow orang dewasa kaya dalam
pengalaman sehingga seharusnya
pengalaman rnenjadi sumber utama dalam
proses pembelajaran mereka. Berdasarkan
pemahaman ini, pendekatan ini mencoba
menolong orang dewasa untuk
menginterpretasi pengalarnan-pengalarnan
mereka dengan cara mereka. Menurut
Mezirow, dalam proses menginterpretasi
inilah terjadi perubahan perspektif atau
paradigma berpikir orang dewasa yang
kemudian menuntun pemahaman, perilaku
dan tindakan mereka (Mezirow 1990, I).
Perspektif transformatif yang menjadi
tujuan dari pendekatan ini muncul melalui
proses interpretasi pengalaman keseharian,
termasuk krisis personal maupun
komunallsosial yang dialami oleh orang
dewasa, misalnya, peristiwa kehilangan
orang-orang yang dikasihi, perceraian,
konflik antar agama, bencana alam, dan
sebagainya.
Dalam buku Learning in Adulthood,
Sharan B. Merriam, Rosemary S.
Caffarella, dan Lisa M. Baumgartner
mengatakan bahwa model pembelajaran
transformatifnya Jack Mezirow ini terdiri
GEREJA DAN PENDIDlKAN KRISTIANI UNTUK ORANG DEWASA
dari empat komponen utama, yaitu
pengalamanyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBA(experience), refleksi kritis
(critical reflection), diskursus reflektif
(reflective discource), dan aksi (action),
sebagaimana dijelaskan berikut lUI
(Merriam, Caffarella, dan Baumgartner
2006, 137):
a) Pengalaman. Bagi Mezirow,
pengalaman adalah kekayaan tak
ternilai yang dimiliki oleh orang
dewasa. Pengalaman itu bisa sesuatu
yang dibawa oleh orang dewasa ke
"ruang kelas" dan bisa juga sesuatu
yang dialami melalui proses belajar-
mengajar di "kelas" (Taylor 2009,5).
b) RefleksitsriKKritis. Dalam upaya
menolong orang dewasa untuk
memahami secara komprehensif
pengalaman-pengalaman yang
disebutkan di atas, maka dipcrlukan
"ruang" yang memadai untuk refleksi
kritis. Refleksi kritis mempertanyakan
integritas dari asumsi-asumsi dasar
dan kepercayaan yang terbentuk
berdasar pada pengalaman-
pengalaman sebclumnya (Mezirow
1990, I).
c) Diskursus Reflektif. Diskursus
janganlah diartikan sebagai sebuah
medan peperangan dimana masing-
masing pihak berjuang untuk
mempertahankan pendapatnya, atau
seperti debat kusir dimana debat-debat
dilakukan tanpa tujuan yang jelas
(Taylor 2009, 9). Diskursus haruslah.."ruang" dimana upaya-upaya positif
dilakukan untuk mencapai
kesepakatan dan melahirkan
pemahaman-pemahaman baru yang
berkualitas. Diskursus menjadi ruang
dimana refleksi kritis terwujud dalam
bentuk tindakan; pengalaman-
pengalaman direfleksikan secara
tajam; asumsi dan kepercayaan
dipertanyakan; dan pola pikir
diubahkan (Taylor 2009, 9). Diskursus
bisa terjadi dalam kelompok-
kelompok kecil maupun besar, dalam
ruang formal maupun informal.
d) Aksi. Aksi adalah hasil konkrit dari
apa yang sudah direfleksikan dan
didialogkan. Aksi terjadi dalam waktu
segera, bisa nanti, ataupun bisa dalam
bentuk afirmasi.
Hal yang menarik dari
pembelajaran transformatif adalah
terbukanya ruang selebar-Iebamya bagi
penggunaan karya seni dan berbagai
metode pembelajaran kreatif lainnya
sebagai jembatan untuk menafsirkan
maupun untuk melakukan refleksi kritis
atas ragam pengalaman yang dialami oleh
orang dewasa. Karya lukis, musik, tarian,
drama, dan lain sebagainya adalah bahasa
alternatif (Mezirow 2012, 75; Taylor 2009,
11). Munculnya bahasa alternatif ini
disebabkan karena adanya kesadaran
bahwa proses belajar-mengajar bersama
dengan orang dewasa bukanlah semata-
mata persoalan kognitif, sebagaimana yang
selalu diusung oleh teori-teori
pembelajaran yang lain. Proses belajar
bersama orang dewasa adalah proses yang
holistik, yang menyentuh aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik seorang dewasa.
3. Story-linking
Model ini diperkenalkan oleh Anne
Wimberly. Dalam bukunya Soul Stories:
African-American Christian Education,
Wimberly mendefinisikan model story-
linking sebagai sebuah proses dimana kita
mendialogkan narasi-narasi kehidupan
sehari-hari dengan narasi-narasi iman
Kristen di dalam Alkitab dan narasi-narasi
para pendahulu di luar Alkitab yang kisah
kehidupannya menjadi sumber inspirasi
bagi orang dewasa (Wimberly 2005, 25).
Dengan mendialogkan narasi-narasi
kehidupannya, orang dewasa terlibat dalam
aktivitas menciptakan arti/makna
(meaning-making). Menciptakan arti,
menurut Wimberly, adalah cara orang
dewasa mengatakan kepada orang lain
33
DIEGESIS Vol. 1- No.1, Agustus 2016
"Inilah caraku melihat kehidupan dan
menentukan posisiku di dalamnya, dan
inilah yang akan kulakukan berkenaan
dengan hal itu" (Wimberly 2005, 81). Itu
berarti, menciptakan makna bukan hanya
sekadar memberi makna atas sebuah narasi,
melainkan menentukan sikap terhadap
sesuatu.
Oengan membagikan cerita
kehidupan mereka, orang dewasa sedang
menyaksikan kepada orang lain bagaimana
perjuangan mereka, dan bagaimana iman
mereka dibentuk dan diperteguh melalui
berbagai pengalaman suka maupun rasa
sakit yang mereka alami. Oengan
membaca/mendengarkan kisah-kisah yang
dituturkan dalam teks-teks Alkitab, orang
dewasa merendahkan hatinya untuk mau
mendengarkan dan mau "berjumpa"
melalui tulisan dengan orang-orang yang
berbeda dari segala waktu dan tempat.
Oengan membaca/mendengarkan cerita-
cerita dari para pendahulu, orang dewasa
belajar dari orang-orang yang kehidupan
dan pengalamannya menjadi penting untuk
diperhitungkan dimasa kini.yxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBA
Story-linking, tidaklah sernata-mata
menekankan pada aspek menuturkan
cerita; modelzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAIn! juga menekankan
aktivitas mendengarkan. Bell Hooks dalam
bukunya Teaching Critical Thinking
sejalan dengan hal ini, bahkan secara
panjang lebar ia menjelaskan manfaat yang
didapat ketika seseorang terlibat dalam
aktivitas menuturkan dan mendengarkan
cerita. Menurutnya, pertama, dengan
menuturkan/mendengarkan cerita, orang
dewasa belajar mengembangkan
kemampuan berpikir kritisnya; kedua,
aktivitas menuturkan/mendengarkan cerita
secara tidak langsung membuat anggota
komunitas semakin dekat satu dengan yang
lain; ketiga, dengan menuturkan cerita,
seseorang bisa disembuhkan. Itu sebabnya
mengapa ketika seseorang menernui
psikiater/psikolog/konselor, yang pertama
diminta adalah menuturkan apa yang dia
34
rasakan; dan terakhir, cerita
menghubungkan kita dengan orang lain, di
waktu dan tempat yang sarna, namun juga
yang berbeda (Hooks 2010,51-53).wutsronlkigedcaVSRNMIDBA
c.wutsrponmkigfedbaSPOMKIGEDBBeberapa Metafora bagi Pendidikan
Kristiani untuk Orang Dewasa
Ada dua metafora 2 yang dipakai
dalam tulisan ini untuk menolong kita
memahami PK untuk Orang Oewasa,
yaitu:
I ." Pertama,tnmkiedbaMBBatik dan Membatik.
Aktivitas membatik, menurut saya,
menggambarkan proses seseorang
menciptakan sesuatu. Bagi seorang
pemula, ia hanya akan mengikuti
motif-motif yang sudah tersedia.
Tetapi dengan berlalunya waktu,
ketika pengetahuan dan
ketrampilannya bertambah, ia akan
mencoba untuk mendesain motif-
motif baru yang lahir dari upayanya
untuk mengkombinasikan beberapa
motif yang sudah ada, atau bahkan
menciptakan sebuah motif baru
yang total berbeda dari sebelumnya,
sebuah motif yang lahir dari hasil
refleksinya atas situasi sekeliling.
Di snu kita melihat adanya
pergeseran dari hanya sekadar
meniru kepada sebuah upaya untuk
menggabungkan atau bahkan
menciptakan sesuatu yang baru.
Untuk sampai pada tahap
menggabungkan atau menciptakan
yang baru, ia harus berani terbuka
terhadap berbagai pengetahuan
baru di luarnya termasuk
keberanian untuk mencoba sesuatu
yang baru. Proses pembelajaran
bersama orang dewasa harusnya
20ua metafora ini pad a awalnya diuraikan
secara detail dalam disertasi saya yang berjudul
Crossing the Bridge: Christian Education for
Enhancing Adult Meaning-Making Oriented jar
Transformation in the Contemporary Context of
Indonesia, di Yonsei University, Seoul, tahun 2014.
GEREJA DAN PENDIDIKAN KRISTIANI UNTUK ORANG DEWASA
menolong orang dewasa sampai
pada tahapan dimana ia berani
untuk mengatakan "rnenurut saya"
atau "ini yang bisa saya kerjakan,"
dan lain sebagainya.
2. Kedua,yxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBAMakan Patita. Makan
Patita adalah sebuah tradisi makan
bersama di daerah Maluku
(Tengah). Mereka yang bergabung
dalam acara Makan Patita akan
membawa makanannya masmg-
masing dan dihidangkan di meja
yang sudah disiapkan. Ketika
makanan yang dibawa dihidangkan,
makanan tersebut bukan lagi milik
si pembawa, melainkan menjadi
milik bersama. Ketika aktivitas
makan bersama ini dimulai, semua
orang bebas bergerak kemanapun ia
mau, berjumpa dan saling memberi
salam, berbagi cerita dan
mendengarkan cerita-cerita orang
lain (Hattu 2014, 167). Dari
perspektif Pendidikan Kristiani
untuk Orang Dewasa, rnenurut saya,
Makan Patita menegaskan
beberapa hal: (a) orang diundang
untuk merayakan kehidupannya
melalui penuturan cerita dan
pengalaman hidup selama ia
menikmati makan bersama orang
lain; (b) M akan Patita menyatukan
orang-orang dari latar belakang
yang berbeda untuk duduk bersama
dan berbagi; (c) setiap oran& yang
bergabung dalam Makan Patita
adalah kontributor (subjek) karena
mereka harus mempersiapkan
makanan sebelum mereka datang
ke acara Makan Patita; (d) ragam
makanan dan mmuman yang
dibawa oleh setiap orang
melambangkan ragam cerita dan
pengalaman hidup; (e) ketika orang
membawa makanannya dan
meletakkannya di rneja, maka
makanan tersebut bukan lagi
menjadi miliknya saja tetapi milik
bersama yang siap untuk disantap
oleh orang lain juga. Itu berarti,
keterbukaan untuk belajar dari
orang lain menjadi sesuatu yang
penting; (f) ketika menikmati
makanan/minuman selama Makan
Patita, orang akan bergerak ke
sana-kemari dan terlibat dalam
percakapan-percakapan dengan
orang lain. Dialog yang terjadi
mengatasi dominasi pihak-pihak
tertentu (Hattu 2014, 172-175).
D. Kontribusi Teori dan Model
Pembelajaran Dewasa bagi
Pendidikan Kristiani untuk Orang
Dewasa
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa
kontribusi teori dan model pembelajaran
ini bagi PK untuk Orang Dewasa? Saya
mencatat setidaknya ada beberapa hal
penting yang perlu mendapatkan perbatian
ketika kita terlibat dalam proses
pembelajaran bersama orang dewasa:
a. Orang dewasa adalah subjek dalam
proses pernbelajaran. Itu artinya,
pendidik bukan lagi satu-satunya
orang yang paling tabu dalam "ruang
kelas," melainkan ia banya satu di
antara sekian banyak orang yang tahu
tentang sesuatu.
b. Tujuan PK untuk Orang Dewasa
adalah untuk mengembangkan
kemampuan berpikir dan berefleksi
kritis orang dewasa, .menciptakan
proses pembelajaran yang dialogis
bersama orang dewasa dan mengarah
kepada transformasi diri orang dewasa.
Berpikir dan berefleksi secara kritis
adalah kapasitas seseorang untuk
mengkritisi pemikiran-pemikirannya
yang sebelumnya dan keberanian
untuk membuka diri terhadap
infomasi-informasi bam. Berpikir dan
berefleksi kritis adalah kemampuan
untuk berpindah dari dependent mind
35
DIEGESIS Vol. 1- No.1, Agustus 2016
kepadayxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBAindependent mind. Sebuah
kemampuan untuk berani
mengemukakan pendapatnya tanpa
harus dipengaruhi atau berada
dibawah bayang-bayang orang lain.
Dialogis mengisyaratkan bahwa
proses pembelajaran orang dewasa
adalah proses belajar bersama orang
lain, sehingga model-model
pembelajaran yang didesain harus juga
menolong orang dewasa untuk tidak
hanya mengembangkan kecakapan
intrapersonalnya tetapi juga
interpersonalnya secara maksimal.
Karakteristik kedua Jill
mengisyaratkan kemampuan orang
dewasa untuk terbuka dan menghargai
pendapat orang lain. Karakteristik ini
mcngandaikan adanya sebuah
pergeseran dari model pembelajaran
yang didominasi oleh pengajar, kepada
model yang lebih memberi ruang bagi
kebebasan berpikir dan berdialog bagi
orang dewasa. Pada titik ini, Gereja
terpanggi I untuk meminimalisir
pendekatan-pendekatan indoktrinatif
dalam proses pembelajaran bersama
orang dewasa. Jika ini terjadi dengan
baik, maka secara tidak langsung kita
perlahan-Iahan mendobrak pola relasi
top-down yang dilestarikan oleh model
indoktrinasi. Transformasi adalah
situasi ideal dimana kesadaran-
kesadaran baru terhadap diri dan
lingkungan sekitar dihasilkan.
c. Konteks PK untuk Orang Dewasa
adalah di dalam dan di luar gereja
melalui keterlibatan aktif orang
dewasa. ltu artinya, gereja bukanlah
satu-satunya konteks bagi proses
pembelajaran orang dewasa. Proses
pembelajaran orang dewasa
seharusnya menolong mereka untuk
lebih peka terhadap situasi sosial
sekeliling dan secara aktif
merumuskan respons-respons kritis
terhadap situasi tersebut.
36
d. Dengan mengacu kepada Wimberly,
saya berargumen bahwa, isi dari PK
untuk Orang Dewasa seharusnya, tidak
hanya lagi berisi cerita dan
pengalaman hidup para tokoh
Alkitab, tetapi alangkah baiknya jika
kita memperhitungkan juga: (a) cerita
dan pengalaman hidup orang
dewasa yang mengambil bagian
dalam proses pembelaj aran; dan (b)
cerita dan pengalaman hidup orang-
orang Indonesia/luar Indonesia yangzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA. . .
rnenginspirasi.
Selain beberapa kontribusi yang sudah
disebutkan di atas, saya mengusulkan
beberapa usul konkrit bagi praktik PK
untuk Orang Dewasa di Gercja, sebagai
berikut:
a. Gereja, melalui pelayanan dan
pemberitaan firm an dari mimbar
gereja dalam ibadah-ibadah minggu
maupun di kebaktian-kebaktian
kategorial dan rumah tangga mulai
memberi ruang yang cukup bagi orang
dewasa untuk terlibat secara aktif di
dalamnya, entah melalui pertanyaan-
pertanyaan reflektif, tanya
jawab/diskusi setelah khotbah, atau
ruang bagi penuturan narasi-narasi
kehidupan yang terkait erat dengan
tema-tema khotbah yang disampaikan.
b. Kelas-kelas Penelaahan Alkitab (PA)
bagi orang dewasa sebaiknya dikemas
dengan lebih dialogis. Pola-pola yang
hanya membacakan (ulang) bahan PA
dan mengajukan pertanyaan untuk
diskusi diujung dari pembacaan
sebaiknya dipikirkan ulang untuk
digunakan. Selain itu, penggunaan
ragam karya sell! sebagai media
pembelajaran bagi jemaat untuk
menuturkan narasi-narasi
kehidupannya atau mengekspresikan
perasaannya akan sangat menolong
untuk mengatasi kekakuan dan
..... '
n
nzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYXWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
la
k
si
n
g
n
GEREJA DAN PENDIDlKAN KRISTIANI UNTUK ORANG DEWASA
kebekuan kelas-kelas PA orang
dewasa.
Perlu adanya (atau: pengoptimalan)
ruang' untukyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBAinformal conversation
di gcrcja. "Ruang" mt memberi
keleluasaan bagi orang dewasa untuk
terlibat sccara aktif dalam percakapan-
percakapan yang membangun di luar
dan "ruang formal" yang disediakan
gereja. Percakapan-percakapan yang
terjadi dalam kelompok-kelompok
kecil di kafetaria gereja, di sudut ruang
pertemuan, atau di bangku halaman
gereja biasanya jauh lebih bernas,
mendalam,wutsrponmkigfedbaSPOMKIGEDBmenginspirasi, dan
melegakan. Melalui "ruang-ruang" ini,
kesadaran untuk berpikir dan
bereflcksi secara kritis dan relasi yang
dialogis terjadi secara alamiah.
Pereakapan informal mengkondisikan
orang dcwasa untuk berpartisipasi
dalam proses belajar bersama yang
melaluinya pengetahuan dan nilai
dibagi sccara cuma-cuma. Percakapan
informal membuka ruang kesetaraan
bagi orang dcwasa untuk saling
belajar: di ruang ini mereka terbuka
terhadap berbagai pengalaman baru
dari para orang dewasa lainnya. Lagi,
percakapan informal akan
mempcrkaya hasil-hasil percakapan
yang tcrjadi di ruang formal termasuk
memperjelas hal-hal yang belum jelas.
Percakapan informal memampukan
orang untuk berbicara tanpa sungkan,
menumpahkan isi hati dan pikirannya
tanpa rasa malu ditertawakan orang
lain, dan mengekspresikan dirinya
tanpa rasa takut.
Memikirkan ulang desain-desain
retreat bagi orang dewasa sehingga
retreat bukanlah sekadar
memindahkan kelas-kelas pembinaan
orang dewasa yang harusnya
diselenggarakan di gereja ke luar
gereja. Retreat seharusnya menjadi
semacam momentum dimana orang
dengan leluasa bisa berdiam
tengah-tengah keramaian
berefl eksi, atau terlibat
percakapan-percakapan yang
dan bermutu dengan orang lain.
diri di
dan
dalam
intens
Daftar Pustaka
Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed.
New York: Continuum, 2006.
Hadinoto, N.K. Atmadja. Dialog dan
Edukasi: Keluarga Kristen dalam
Masyarakat Indonesia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1999.
Hattu, Justitia Vox Dei. "Crossing the
Bridge: Christian Education for
Adult Meaning-Making Oriented for
Transformation." Disertasi Doktoral,
Yonsei University, 2014.
Knowles, Malcolm. "Contributions of
Malcolm Knowles." Dalam The
Christian educator's handbook on
adult education, eds. Kenneth O.
Gangel & James C. Wilhoit (91-103).
Grand Rapids, Michigan: Baker
Books, 1993.
Mezirow, Jack. "How Critical Reflection
Triggers Transforrnati ve Learning."
Dalam Fostering Critical Reflection
in Adulthood: A Guide to
Transformative and Emancipatory
Learning, Jack Mezirow&
Associates (1- 20). San Francisco:
Jossey-Bass, 1990.
______ . "Learning to think like
an adult: Core concepts of
transformation theory." Dalam
Learning as Transformation: Critical
Perspectives on a Theory in Process,
Jack Mezirow & Associates (3-33).
San Francisco: Jossey-Bass, 2000.
Merriam, Sharan B., Rosemary B.
Caffarella, dan Lisa M. Baumgartner.
Learning in Adulthood: A
Comprehensive Guide. San
Francisco: Jossey-Bass, 2007.
Palmer, Parker. To Know as We are Known.
New York: HarperCollinsPublishers,
1993.
37
DIEGESIS Vol. 1 - No.1, Agustus 2016
Posurnah-Santosa, Jedida T.
dan Pendidikan
Indonesia." DalamyxwvutsrponmlkjihgfedcbaWVTSRPONMLKJIHGFEDCBA
Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia,
ed. Th. Sumartana (281-293).
Yogyakarta: Institut DianlInterfidei,
2001.
Sumartana, Th. Introduction.Dalam
Pluralisme dan Pendidikan di
Indonesia, ed. Th.
Sumartana (v-ix), Yogyakarta:
Institut DianiInterfidei, 200 I.
Tan, Charlene. Teaching without
Indoctrination: Implications for
Values Education. Rotterdam: Sense,
2008.
Taylor, Edward W. "Fostering
Transformative Learning." Dalam
Transformative Learning in Practice,
Jack Mezirow, Edward W. Taylor,
and Associates (3-17). San
Francisco: Jossey-Bass, 2009.
Tilaar, H.A.R. "Pedagogik Kritis:
Perkembangan, Substansi, dan
Perkembangannya di
Indonesia. "Dalam Pedagogik
Kritis: Perkembangan, Substansi dan
Perkembangannya di
Indonesia, eds. H.A.R. Tilaar, Jimmy
Ph. Paat, dan Lody Paat (13-58).
Jakarta: Rineka Cipta, 2011.
Wimberly, Anne E. Streaty. Soul Stories:
African American
ChristianEducation.Nashvi lie:
Abingdon Press, 2005.
"Pluralisme
Agama di
Biodata Penulis
Justitia Vox Dei Hattu mengambil gelar
Sarjana Sains Teologi (S.Si. (Teol.)) di
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (2002) dan
Master of Theology (Th.M.) di Presbyterian
College and Theological Seminary, Seoul -
South Korea (2007), selanjutnya Doctor of
Philosophy (Th.D.) di Yonsei University,
Seoul - South Korea (2014). Selain sebagai
KepaJa Program Studi S-2 dan Pengampu Mata
kuliah Pendidikan Kristiani di STT Jakarta, ia
juga terlibat aktif dalam pembinaan dan
38
pelatihan bidang Pendidikan Kristiani bagi
gereja-gereja di Indonesia dan dalam penulisan
kurikulum bagi gereja-gereja danzyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBAsekolah-
sekolah. Pada tahun 2008 ditahbiskan sebagai
pendeta Gereja Protestan Maluku
..