Vitalitas Kawasan untuk Kualitas Hidup Melalui …ciptakarya.pu.go.id/dok/buletin-ck2003.doc · Web...

82
Vitalitas Kawasan untuk Kualitas Hidup Melalui Revitalisasi Kawasan Vitalitas Kawasan untuk Kualitas Hidup Melalui Revitalisasi Kawasan Motto di atas mungkin akan memberikan kesan yang berlebihan, seandainya kita tidak meresapi benar, apa yang menjadi maksud, tujuan dan sasaran dari Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, yang saat ini merupakan salah satu Program Andalan Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Program tersebut telah dikembangkan sejak tahun 2001, meliputi 13 (tiga belas) kawasan dalam bentuk Pelaksanaan Fisik dan Bantuan Teknis untuk penataan kembali dan revitalisasi kawasan-kawasan yang memiliki potensi tertentu, dan dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan roda perekonomian setempat, karena terbengkalainya potensi yang dimiliki di kawasan tersebut. Pendekatan pelaksanaan program yang lebih bersifat stimulus tersebut, akan lebih mengena pada tujuan dan sasaran apabila interaksi dari Pemerintah Daerah (dalam hal ini terutama Pemerintah Kota/ Pemerintah Kabupaten) cukup kuat dan responsif, mengingat Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, dilandasi Latar Belakang : “Menghidupkan kembali dan mengembangkan kawasan-kawasan yang tidak berfungsi atau telah menurun fungsinya, akibat perkembangan yang cenderung tidak terkendali”. Dari latar belakang di atas, sudah barang tentu peran Pemerintah Pusat tridak lagi sebagai pelaksana namun lebih menitikberatkan pada peran pembinaan yang bersifat mendorong atau memacu untuk memfungsikan kembali suatu kawasan yang

Transcript of Vitalitas Kawasan untuk Kualitas Hidup Melalui …ciptakarya.pu.go.id/dok/buletin-ck2003.doc · Web...

Vitalitas Kawasan untuk Kualitas Hidup Melalui Revitalisasi Kawasan Vitalitas Kawasan untuk Kualitas Hidup Melalui Revitalisasi Kawasan

 

Motto di atas mungkin akan memberikan kesan yang berlebihan, seandainya kita tidak meresapi benar, apa yang menjadi maksud, tujuan dan sasaran dari Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, yang saat ini merupakan salah satu Program Andalan Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.

 

Program tersebut telah dikembangkan sejak tahun 2001, meliputi 13 (tiga belas) kawasan dalam bentuk Pelaksanaan Fisik dan Bantuan Teknis untuk penataan kembali dan revitalisasi kawasan-kawasan yang memiliki potensi tertentu, dan dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan roda perekonomian setempat, karena terbengkalainya potensi yang dimiliki di kawasan tersebut.

Pendekatan pelaksanaan program yang lebih bersifat stimulus tersebut, akan lebih mengena pada tujuan dan sasaran apabila interaksi dari Pemerintah Daerah (dalam hal ini terutama Pemerintah Kota/ Pemerintah Kabupaten) cukup kuat dan responsif, mengingat Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, dilandasi Latar Belakang : “Menghidupkan kembali dan mengembangkan kawasan-kawasan yang tidak berfungsi atau telah menurun fungsinya, akibat perkembangan yang cenderung tidak terkendali”.

 

Dari latar belakang di atas, sudah barang tentu peran Pemerintah Pusat tridak lagi sebagai pelaksana namun lebih menitikberatkan pada peran pembinaan yang bersifat mendorong atau memacu untuk memfungsikan kembali suatu kawasan yang tidak berfungsi atau menurun fungsinya, agar dapat berfungsi atau meningkatkan fungsi kembali, terutama dalam mendukung berjalannya perekonomian lokal. Dengan demikian apabila program dimaksud dapat berjalan sebagaimana diharapkan, maka yang akan memetik manfaat adalah kabupaten/kota yang bersangkutan.

4

Lebih jauh untuk mengenal dan menyamakan persepsi tentang Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, yang pada hakekatnya, mengandung :

 

TUJUAN

 

Terciptanya kawasan yang terintegrasi dengan sistem kota dan tumbuhnya ruang-ruang ekonomi kawasan menuju pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal.

 

Mencermati tujuan yang dijadikan landasan pelaksanaan Program ini, terlihat beberapa aspek yang harus berjalan secara seimbang, sehingga tercipta suatu keterpaduan di suatu kawasan tertentu. Aspek dimaksud adalah harus tetap diperhatikannya sistem kota itu sendiri, yang memiliki kawasan potensial namun tidak berfungsi atau berkurang fungsinya, di samping memperhatikan ruang-ruang pergerakan perekonomian kawasan tersebut, agar dapat tumbuh sebagaimana diharapkan pada lingkup lokal. Hal yang lebih penting dari kesemua itu ialah tidak hanya dapat menumbuhkan perekonomian, namun tercakup juga bagaimana untuk tetap menjaga kestabilan perekonomian pada kawasan tersebut.

 

Dari tujuannya dengan sedikit ulasan untuk dapat memberikan ilustrasi yang mudah, lebih berlanjut program ini mempunyai sasaran yang dituju, yaitu :

 

SASARAN

 

Terciptanya berbagai peningkatan kawasan yang menitikberatkan pada vitalitas dan stabilitas ekonomi, integrasi antar ruang, kuantitas dan kualitas prasarana dan sarana lingkungan, serta konservasi aset warisan budaya.

Dari sasaran yang hendak dicapai tersebut, semakin kentara, bahwa stimulus yang dilakukan Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, melalui program ini, tidak sekedar untuk memfungsikan kembali kawasan yang dapat mendorong pertumbuhan perekonomian, namun tetap memperhatikan integritas ruang di suatu kawasan, pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana lingkungannya, serta dalam upaya pelestarian aset-aset kawasan yang memiliki nilai histotis yang tinggi sebagai warisan budaya yang harus tetap terpelihara.

Upaya tersebut bukanlah semudah membalikkan telapak tangan, meskipun

tujuan, sasaran dari program ini cukup jelas, namun dalam pelaksanaannya akan terkait dengan aspek lain, yang sudah barang tentu memiliki karakteristik dan kebijakan tersendiri. Hal tersebut apabila tidak dapat dihindari, namun paling tidak bisa diminimalkan, yaitu melalui suatu tekad atau komitmen dari setiap pemerintah kota/ kabupaten untuk memantapkan tekadnya dalam mendukung keberhasilan upaya ini, termasuk menjamin keberlanjutan (pemeliharaan) atas upaya-upaya program Penataan dan Revitalisasi Kawasan yang telah dilaksanakan.

 

 

ALOKASI ANGGARAN

 

Meskipun tidak dalam jumlah yang signifikan, sejak tahun 2001 program ini telah dianggarkan melalui Dana Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, sebagai stimulan, adalah sebagai berikut :

 

Tahun 2001,

Berjumlah Rp. 23,2 milyar, yang diperuntukkan bagi pembagunan fisik di 8 (delapan) kawasan, dan 5 (lima) kawasan yang baru direncanakan, dalam bentuk Bantuan Teknis;

 

Tahun 2002,

Alokasi dana meningkat lebih dari 100% dibanding tahun sebelumnya, yaitu berjumlah Rp. 48,8 milyar, dengan cakupan lokasi yang lebih luas, yaitu pada 9 (sembilan) kawasan dalam bentuk pembangunan fisik, dan 12 (dua belas) kawasan yang direncanakan dalam bentuk Bantuan Teknis;

 

Tahun 2003,

Dana yang dialokasikan berjumlah Rp. 70,3 milyar, dengan cakupan di 4 (empat) kawasan dalam bentuk pembangunan fisik dan 19 (sembilan belas) kawasan

yang direncanakan dalam bentuk Bantuan Teknis.

 

Sekali lagi semua jumlah dana tersebut di atas, hanya bersifat stimulus, dan perlu adanya keterlibatan berbagai pihak, maka yang terpenting adalah setelah terlaksananya program ini, perlu adanya keberlanjutan penanganan yang semestinya sudah mampu dilakukan oleh setiap Pemerintah Kota/Kabupaten

Pelaksanaan Pekerjaan Fisik untuk Fly-Over di Jalan Suprapto dan Jalan Pramuka dimulai Pelaksanaan Pekerjaan Fisik untuk Fly-Over  di Jalan Suprapto dan Jalan Pramuka dimulai

 

Penandatanganan Kontrak antara Pemimpin Proyek dengan PT. Hutama Karya (Persero), sebagai awal pelaksanaan paket pekerjaan Fly-over di DKI Jakarta

 

Permasalahan transportasi terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, selalu dihadapkan pada berbagai kendala, antara lain terbatasnya ruas jalan sebagai prasarana dan sarana transportasi yang kurang sebanding dengan berkembangnya jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan prasarana dan sarana tersebut.

 

Masih dalam suasana  maraknya perayaan HUT Jakarta yang ke 476, tepatnya pada tanggal 26 Juni 2003 telah ditanda-tangani Kontrak pekerjaan Pembangunan Suprapto Fly Over dan Pemuda/Pramuka Fly Over, antara Pemimpin Bagian Proyek Pembangunan Jalan dan Jembatan Kota Metropolitan Jakarta Wilayah I, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Ir. Rachman Tarigan dengan PT Hutama Karya (Persero), Ir. Muchamad Chamim.

 

Penandatanganan Kontrak yang disaksikan oleh Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Ir. Budiman Arif serta beberapa Pejabat dari Pemerintah Propinsi DKI Jakarta (diantaranya Ketua Bappeda, Sekretaris Daerah, dan Kepala Dinas PU DKI Jakarta), menandai dimulainya pembangunan kedua Fly Over yang direncanakan akan selesai tahun 2005. Pembangunan tersebut diharapkan dapat membantu memperlancar arus lalu lintas yang membelah kota Jakarta, baik dari arah Utara – ke Selatan maupun dari arah Barat – ke Timur, terutama dalam  mengatasi kemacetan lalu lintas pada simpang Jalan Akhmad Yani dengan Jalan Pemuda/Pramuka maupun simpang Jalan Akhmad Yani dengan Jalan Suprapto. Adapun biaya yang digunakan untuk pembangunan kedua fly-over tersebut lebih kurang sebesar Rp. 128 milyar,.

 

Konstruksi untuk masing-masing simpang dibangun dua fly-over melintasi simpang sejajar jalan Tol Wiyotowiyono dan pada masing-masing fly-over di bangun 2 buah loop ramp. Dengan demikian kedua fly- over ini dirasakan sangat strategis dan akan dapat mengurangi kemacetan arus lalu lintas pada ke dua ruas jalan tersebut, karena dalam waktu bersamaan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta juga sedang melaksanakan beberapa

fly-over terutama di sekitar proyek ini, yaitu Matraman Fly Over, Under Pass Pramuka, Galur Fly Over serta Under Pass Senen.

 

Pada kesempatan tersebut, arahan dari Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan menekankan, bahwa “………… di dalam pelaksanaannya Pemimpin Bagian Proyek agar dapat selalu mengadakan koordinasi dengan semua instansi terkait agar dapat memperhatikan (aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan), sehingga pekerjaan dapat berjalan lancar sesuai dengan rencana waktu dan mutu, dengan tetap menekan seminimal mungkin gangguan bagi  para pengguna jalan selama berlangsungnya pembangunan. Direktur Jenderal juga mengharapkan kepada Pemerintah Propinsi DKI untuk dapat segera menyelesaikan pembebasan tanah di lokasi loop ramp pada kedua flyover karena direncanakan pada bulan Maret tahun 2004 secara serempak loop ramp mulai dibangun.

Reformasi Kebijakan Pembangunan Prasarana dan Sarana Perdesaan melalui Pengembangan Agropolitan Reformasi Kebijakan Pembangunan Prasarana dan Sarana Perdesaan melalui Pengembangan Agropolitan                

oleh : Drs. SUGIMIN PRANOTO, M.Eng.

 

KONDISI UMUM PERDESAAN

 

Wilayah Republik Indonesia, secara keseluruhan kurang lebih terbagi ke dalam 58,858 desa dan 5.509 kelurahan, dilihat dari aspek demografisnya sekitar 80% penduduk bermukim di daerah perdesaan, yang mempunyai fungsi tidak hanya mencukupi kebutuhan sendiri di wilayah perdesaan, akan tetapi juga mempunyai fungsi strategis untuk mendukung kebutuhan pangan di wilayah perkotaan.

Sumber daya alam, yang pengelolaannya sebagian besar berlokasi di kawasan perdesaan, di samping mendukung pembangunan ekonomi nasional, pada hakekatnya dapat mengurangi tingkat urbanisasi.

 

Berdasarkan Propenas tahun 2000 maka  entry point  kegiatan di perdesaan adalah kegiatan ekonomi desa, yang diharapkan dapat mendorong pendapatan masyarakat untuk lebih meningkat, serta dapat menyediakan pangan dan produk perdesaan yang lebih produktif, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraannya.

Program pembangunan perdesaan, pada prinsipnya mengandung tujuan untuk : meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan; mempercepat kemajuan kegiatan ekonomi perdesaan yang berkeadilan; dan mempercepat industrialisasi perdesaan. Dari tujuan tersebut dikandung sasaran yang akan dicapai adalah : meningkatnya pendapatan masyarakat perdesaan; terciptanya lapangan pekerjaan; tersedianya bahan pangan dan bahan lainnya untuk konsumsi dan produksi; terwujudnya hubungan ekonomi antara perdesaan dan perkotaan; menguatnya ekonomi lokal; serta meningkatnya lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat perdesaan.

 

Pembangunan perdesaan juga mempunyai fungsi sebagai tempat penghidupan yang berkelanjutan (sustainability), terutama sebagai cadangan dan sumber daya alam yang ada di pedesaan, mendukung ekonomi nasional dan meredam urbanisasi.

Pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembanguan nasional. Namun demikian karena sebagian besar aktor utama pembangunan berkedudukan di perkotaan, mereka cenderung lebih mengutamakan pembangunan perkotaan daripada pembangunan perdesaan. Yang memprihatinkan, karena pelaksanaan pembangunan pada umumnya direncanakan dari perkotaan, tidak jarang pembangunan perdesaan menjadi sub ordinat terhadap pembangunan perkotaan. Artinya pembanguan perkotaanlah yang utama, sedangkan pembangunan perdesaan bersifat menunjang pembangunan perkotaan.

 

Keterbatasan pembangunan prasarana dan sarana yang memadai untuk mendukung kegiatan ekonomi rakyat perdesaan menjadi prakondisi bekerjanya mekanisme pasar secara efisien. Sehingga pada gilirannya dapat memicu dinamika perekonomian di wilayah perdesaan.

Keberadaan prasarana dan sarana ini tidak saja akan memberdayakan potensi ekonomi yang ada di masing-masing kawasan perdesaan tersebut, tetapi juga akan menarik potensi dari luar wilayah termasuk investasi swasta dalam bebagai sektor usaha jasa maupun produksi.

 

Oleh karena itu komitmen dan keberpihakan pemerintah untuk secara bertahap dan konsisten melakukan reformasi/reorientasi investasi dalam pembangunan prasarana dan sarana mendukung kegiatan ekonomi di perdesaan sangat diperlukan.

Untuk itu perlu adanya reformasi kebijakan Pembangunan Prasarana dan Sarana Perdesaan melalui pengembangan Agropolitan untuk mendorong iklim berusaha yang kondusif antar sesama pelaku ekonomi perdesaan, baik usaha kecil, menengah dan besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi desa serta penciptaan lapangan kerja.

 

 

KORIDOR YANG PERLU DIUKUR

 

Untuk dapat mengukur sejauh mana langkah-langkah yang memerlukan reformasi dalam penetapan kebijakan di atas, perlu kajian lebih lanjut, terutama menyangkut :

 

1. Seberapa jauh kebijakan pembangunan prasarana dan sarana mendukung pertumbuhan ekonomi perdesaaan?

2.  Adakah pengaruh pembangunan prasarana dan sarana secara terpadu oleh berbagai stakeholder dapat menciptakan kondisi ekonomi rakyat di perdesaan agar lebih maju dan mandiri;

3.  Adakah korelasi antara investasi kebutuhan minimal prasarana dan sarana yang dibangun terhadap

dukungan Program Pengembangan Agropolitan?

4.  Adakah korelasi antara potensi ekonomi dominan yang akan dikembangkan dalam skala kawasan terhadap keberhasilan proyek Agropolitan?

5.  Adakah korelasi antara dukungan pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat dengan keberhasilan proyek Agropolitan?

 

DASAR PEMIKIRAN

 

Untuk dapat menguji setiap pertanyaan di atas, kiranya perlu langkah-langkah yang dapat dilakukan dengan teknik survei, observasi langsung di lapangan dan di analisis.  Analisis dilakukan dengan pendekatan kuantitatif.

Penelitian survei dengan cara pengambilan data dengan menggunakan kuesioner dan teknik wawancara, bagi setiap stakeholder yang terkait, sedangkan penelitian observasi dengan cara pengamatan langsung di lapangan untuk pengetahui kekurangan dan keberhasilan program.

Kebutuhan Sumber Daya Manusia di bidang Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan dalam menjawab tantangan Kebutuhan Sumber Daya Manusia di bidang Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan dalam menjawab tantangan Masa Depan

Pengantar pada Acara Seminar Kurikulum Moduler Program Magister Pembangunan Prasarana dan Sarana Perkotaan, Universitas Diponegoro Semarang                                                                                                                               oleh : Ir. BUDIMAN ARIF

 

Seminar Kurikulum Moduler Program Magister Manajemen Prasarana dan Sarana, yang diselenggarakan oleh Program Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang, pada tanggal 5 Agustus 2003 di Bandung. Acara yang dimaksudkan untuk menjaring masukan termasuk mengenai perkembangan dalam pemikiran kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan, yang kita yakini diperlukan sebagai upaya bersama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia profesional di bidang prasarana dan sarana dasar perkotaan dan perdesaan. Dari segi penyelenggaraan tugas Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, kita semua sangat menghargai bahwa diselenggarakannya program pendidikan pada tingkat Magister di bidang pembangunan prasarana dan sarana perkotaan.

 

Seminar Kurikulum Moduler yang juga dimaksudkan untuk terus meningkatkan kualitas dan isi dari program pendidikan Magister ini, di samping tinjauan dari sisi cakupan akademisnya, juga diharapkan agar perbaikan mutu kurikulum pendidikan perlu memperhatikan perkembangan dalam kebijakan dan strategi nasional dalam pembangunan perkotaan dalam suatu lingkungan administrasi pemerintahan yang didesentralisasikan setelah kita memasuki era reformasi.

 

PERUBAHAN PARADIGMA

 

Beberapa perubahan pemikiran yang perlu saya lontarkan dalam membangun kemampuan pengelolaan pembangunan perkotaan. Seperti kita maklumi bersama, selama ini kota-kota banyak mendapatkan bantuan berupa pinjaman dari lembaga pemberi pinjaman luar negeri, yang meminjamkan dana melalui pemerintah pusat kemudian pinjaman kepada daerah tersebut, disalurkan melalui

proyek-proyek perkotaan (urban development projects = UDPs). Kita meyakini bahwa pembangunan prasarana dan sarana perkotaan harus terus dilanjutkan, guna memelihara prasarana dan sarana perkotaan yang telah dibangun dan mengejar ketinggalan maupun kekurangan, serta memenuhi kebutuhan yang meningkat karena pertambahan penduduk dan kegiatan ekonomi perkotaan. Dalam kerangka desentralisasi pemerintahan yang sekarang perlu dilakukan upaya pembangunan adalah kemampuan kota untuk dapat menyelenggarakan pembangunan prasarana dan sarana kota itu sendiri, oleh karena selama ini banyak diprakarsai dan diselenggarakan oleh pemerintah pusat, sehingga diperlukan upaya untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan dan keahlian dalam membangun prasarana dan sarana perkotaan ini dari dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kota dan kabupaten.

 

Departemen Pekerjaan Umum pada waktu itu sebagai instansi pusat yang bertanggungjawab membangun prasarana dan sarana dasar pekerjaan umum (PSDPU) perkotaan, biasanya melakukan tugasnya dengan menggunakan jasa konsultan dari dalam dan luar negeri, dengan pendekatan “Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT)” yang prinsipnya meliputi langkah-langkah berikut : (1) Setiap sektor prasarana dan sarana perkotaan (seperti air bersih, perbaikan kampong, drainase, persampahan, air limbah, dan lainnya) menyiapkan Rencana Induk dari masing-masing sistem prasarana dan sarana. Atas dasar Rencana Induk ini, kemudian dilakukan Studi Kelayakan (Feasibility Study) untuk mendefinisikan prioritas program dan proyek dengan menguji kelayakan dari semua aspeknya (teknis, ekonomi, finansial, lingkungan, manajerial, dan lainnya). Dari prioritas program dan proyek ini kemudian  

digunakan untuk melakukan pekerjaan persiapan teknis awal (preliminary engineering design) untuk memperkirakan agar mendekati ketepatan besarnya investasi yang diperlukan, sebagai dasar pengajuan kebutuhan anggaran untuk setiap sektor; (2) Dalam kerangka P3KT , dipersiapkan “Program Jangka Menengah (PJM)” sebagai penjabaran dari “strategi pembangunan perkotaan”, dan disiapkan suatu matriks program menurut sektor prasarana untuk jangka menengah (umumnya lima tahun) dan digambarkan dalam bentuk target fisik serta program komitmen sumber pendanaan setiap tahun.

 

Setelah program tersebut mendapatkan pendanaan, yang umumnya berasal dari pinjaman luar negeri, kemudian disusun organisasi untuk manajemen pelaksanaan dan pengawasan pembangunannya. Untuk manajemen program P3KT biasanya dikenal adanya Project Management Unit (PMU), untuk mengkoordinir Project Implementation Unit (PIU) menurut masing-masing sektor, dengan tugas pokok untuk memonitor serta membuat pelaporan terlaksananya

keseluruhan program secara terpadu dalam fisik maupun pendanaannya, serta dipenuhinya semua ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati, serta semua ketentuan dan peraturan yang mengatur pelaksanaan proyek termasuk tata cara pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan. Adapun PIU bertugas untuk melaksanakan persiapan dokumen teknis (detail engineering design and tender documents), melakukan tender pengadaan barang dan jasa, serta menugaskan konsultan pengawasan pelaksanaan proyek.

 

Sudah dapat dibayangkan betapa kompleks sumber daya manusia yang diperlukan dan harus ditingkatkan kemampuannya untuk menyelenggarakan semua tugas pembangunan prasarana dan sarana perkotaan tersebut. Kita memerlukan sumber daya manusia yang tangguh, terdiri dari (1) Tenaga profesional yang memiliki keahlian dalam bidang semua sektor pembangunan prasarana dan sarana perkotaan; (2) Tenaga professional yang memiliki wawasan keterpaduan pembangunan prasarana perkotaan; (3) Tenaga profesional yang memiliki keahlian dalam bidang-bidang khusus seperti penyusunan Rencana Induk, Studi Kelayakan, Manajemen Proyek, Supervisi Pelaksanaan Proyek, Penyusunan Program P3KT, Penyusunan PJM, Strategi Pembangunan Perkotaan, dan Penataan Ruang Perkotaan. Semua keahlian tersebut diperlukan untuk mengisi kebutuhan sumber daya manusia di (a) instansi sektoral yang mampu menugasi, memberikan arahan dan mengawasi pekerjaan konsultan; (b) perusahaan konsultan dalam negeri yang mampu menjadi pesaing, menjadi pendamping atau melakukan sub pekerjaan secara mandiri; dan (c) instansi di daerah-daerah yang pada akhirnya bertanggungjawab

atas penyelenggaraan pembangunan prasarana dan sarana perkotaan.

 

“GOOD URBAN GOVERNANCE MELALUI PEOPLE EMPOWERMENT”

 

Lebih daripada itu, kini dalam era demokratisasi, pembangunan prasarana dan sarana perkotaan harus diletakkan dalam konteks pembangunan perkotaan yang lebih luas dan menyeluruh, dengan memperbaiki cara-cara kita merencanakan dan membangun agar pelaksanaannya dilakukan secara lebih transparan, lebih bertanggungjawab dan mengikutsertakan semua unsur masyarakat yang terlibat. Secara lebih populernya, sekarang kita harus membangun yang dinamakan ‘good urban governance”. Upaya membangun “good urban governance” ini pasti bukan merupakan upaya yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian yang tak terlepaskan dari upaya pembangunan perkotaan secara komprehensif. Ini perlu ditekankan karena ada pihak-pihak, terutama dari lembaga pemberi pinjaman

luar negeri, yang mencoba menempatkan “good urban governance” sebagai tujuan pembangunan tersendiri yang lebih penting dari tujuan pembangunan perkotaan lainnya.

 

Selain itu dalam kerangka reformasi kebijakan, perlu dilakukan perubahan cara pandang kita dalam pembangunan prasarana dan sarana perkotaan, di mana selama ini pemerintah kota lebih banyak tergantung pada bantuan pemerintah pusat dan pinjaman luar negeri, maka di masa yang akan datang kita harus membangun kemandirian kota dalam pembangunan semua kebutuhan akan pelayanan perkotaan yang diperlukan masyarakatnya. Keterkaitan antara pembangunan prasarana dan sarana dengan struktur kemampuan masyarakat merupakan dimensi penglihatan baru yang ingin kita perkenalkan sejak sekarang. Hal ini didasari pada keyakinan bahwa pada akhirnya yang membiayai pembangunan prasarana dan sarana perkotaan adalah masyarakat sendiri, sesuai kemampuan daya beli yang ditentukan oleh kemampuan pendapatan dan peluang kesempatan kerjanya. Memberdayakan masyarakat kota dalam segi memperluas lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan merupakan bagian dari program kerja pemerintah untuk membangun ekonomi lokal, yaitu ekonomi daerah dan kota, yang harus diwujudkan dalam peningkatan pendapatan keluarga dan juga pemerintah kotanya. Perubahan cara pikir ini merupakan pergeseran yang sangat penting dalam cara kita membangun kota, yang tidak sekedar ditujukan pada perbaikan fisik prasarana dan sarana perkotannya, tetapi pada upaya memberdayakan masyarakat perkotaan sebagai cara untuk menjaga kelangsungan pembangunan perkotaan.

 

Pembangunan ekonomi daerah dan kota yang merupakan pembangunan ekonomi lokal hendaknya kita tempatkan dalam konteks yang luas, dan bukan dalam konteks sempit lokal. Mengingat pengertian desentralisasi pemerintahan sebagai suatu konsep yang tidak semata memberikan kewenangan pada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri, tetapi agar daerah (dan kota) yang satu dapat bekerjasama dengan daerah (dan kota) lainnya dalam kerangka pengembangan wilayah yang secara keseluruhan akan menjangkau wawasan ekonomi nasional dan bahkan global. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi lokal hanya mempunyai arti apabila secara bersama-sama daerah (dan kota) memperkuat dan mewujudkan pembangunan ekonomi nasional, yang mempunyai daya saing dalam perekonomian global. Pembangunan ekonomi daerah (dan kota) dengan demikian memberikan kontribusi yang berarti dari segi pembangunan ekonomi lokal pada pembangunan dan pemulihan ekonomi nasional.

 

Oleh karena itu, untuk mewujudkan pembangunan perkotaan yang lebih menyeluruh dan terpadu, ingin kita upayakan melalui pendekatan program pembangunan kota secara terpadu atau P2KT, untuk melengkapi pendekatan P3KT yang telah kita laksanakan dengan menitiberatkan pada pembangunan prasarana dan sarana perkotaan. Program pembangunan kota terpadu ini mencakup pembangunan ekonomi lokal sebagai salah satu komponen pembangunan yang strategis, demikian pula upaya penanggulangan kemiskinan dan upaya untuk mewujudkan “good urban governance”. Cara pandang yang saya kemukakan ini sangat berbeda dengan cara pendekatan yang masih dipakai oleh lembaga pemberi pinjaman luar negeri yang masih menitikberatkan pendekatannya pada kota sebagai penyedia prasarana dan sarana perkotaan semata (sebagai “service provider” saja). Bahkan adanya kecenderungan ingin mendorong salah satu tujuan seperti “penanggulangan kemiskinan” atau “good urban governance” sebagai suatu tujuan pembangunan yang tersendiri dan terpisah dari konteks pembangunan kota lainnya. Kita lebih menekankan pada upaya pemberdayaan masyarakat kota untuk mewujudkan kemandirian kota dalam menjaga kelangsungan penyediaan prasarana dan sarana perkotaan di masa yang akan datang, dan melihat pembangunan kota dalam konteksnya yang menyeluruh dan tidak terisolir satu dari lainnya.

 

MANAJEMEN PUNCAK

 

Dari sudut pandang inilah saya ingin menekankan pengertian kita tentang tentang pengelolaan atau manajemen pembangunan perkotaan (urban development management). Kita memiliki konsep yang jelas mengenai manajemen pembangunan perkotaan, yaitu sebagai suatu konsep yang berasal dari sudut pandang manajemen puncak, bukan yang melihatnya dari sudut bagian-bagian atau segmentalisasi manajemen pembangunan kota. Pada saat kita masih menjadi bagian dari Departemen Pekerjaan Umum dahulu (atau Dinas Pekerjaan Umum di Daerah dan Kota) maka kita dapat melihat pembangunan kota hanya dari sudut kebutuhan pembangunan prasarana dan sarana perkotaan. Akan tetapi sebagai Direktorat Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Dep. Kimpraswil), kita harus

mampu mengembangkan konsep pendekatan pembangunan kota yang terpadu dan bersifat multidimensional, yang meletakkan konsep manajemen pembangunan kota dari sudut pandang manajemen puncak, yaitu Walikota dan Bupati yang menjadi “manajer puncak” pembangunan perkotaan.

 

Dengan demikian, berbicara tentang pembangunan kelembagaan atau “institutional development” kita harus mewujudkan kemampuan daerah dan kota untuk menyelenggarakan manajemen pembangunan kota yang terpadu, yang mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut : (1) Mampu menyusun prioritas-prioritas pembangunan kotanya dalam suatu program pembangunan kota yang terpadu (P2KT); (2) Mampu menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan, terutama adalah membangun prasarana dan sarana perkotaan, dan menciptakan suasana aman (urban security) dan kepastian hukum (legal security), serta mengelola sumber daya pembangunan seperti keuangan dan ruang/lahan kota; (3) Mampu memberdayakan masyarakat kota dalam meningkatkan kesempatan kerja serta pendapatan keluarga, yang dapat meningkatkan daya belinya guna memenuhi kebutuhannya secara seimbang dalam kesejahteraan yang semakin meningkat, melalui upaya pembangunan ekonomi lokal yang terkait dengan pembangunan ekonomi nasional dan berdaya saing dalam perekonomian global; (4) Mampu memetik hasil dari pembangunan ekonomi lokal dan ekonomi masyarakat kota sehingga pendapatan asli daerah terus meningkat agar dapat meningkatkan kemampuan kota dalam menjaga keberlangsungan penyediaan prasarana dan sarana yang diperlukan sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan kebutuhan masyarakat; (5) Mampu menyelenggarakan semua hal di atas dengan menumbuhkan kemampuan peran serta masyarakat dalam memutuskan strategi dan melaksanakan pembangunan kotanya, dengan mewujudkan citra pemerintahan yang terbuka, bersih, berwibawa, dan mampu memberikan masukan kepada pimpinan dalam wujud gagasan-gagasan pembangunan kota yang bermutu dan profesional. Upaya pembangunan kemampuan kelembagaan seperti yang yang saya uraikan di atas, harus dimulai dengan menciptakan kepemimpinan pembangunan kota (urban development leadership) yang mampu untuk berperan sebagai pemimpin manajemen pembangunan kota dengan wawasan dan jangkauan pandang yang luas dan menyeluruh seperti yang saya sampaikan dalam kesempatan ini.

 

KEAHLIAN SUMBER DAYA MANUSIA YANG DIBUTUHKAN UNTUK MENJAWAB TANTANGAN MASA DEPAN

 

Didasari hal tersebut, maka arah dan kecenderungan kebutuhan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk mendukung program pembangunan prasarana dan sarana perkotaan kita di masa pemerintahan yang telah didesentralisasikan yaitu : (1) Kebutuhan keahlian yang diperlukan untuk pembangunan prasarana dan sarana perkotaan yang dahulu terpusat di Jakarta, sekarang perlu dialihkan ke daerah-daerah Kota dan Kabupaten, baik yang bekerja di sektor pemerintahan

maupun yang di perusahaan konsultan.  Khususnya dalam memindahkan dari kemampuan konsultan yang berpusat di Jakarta dan konsultan luar negeri ke konsultan yang berbasis lokal dan regional; (2) Diperlukannya sumber daya manusia dengan keahlian baru sebagai pembina dan penyelenggara kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan, dan menjadi pusat pengetahuan (knowledge center) di tingkat Pusat

dan Provinsi; dan (3) Diperlukannya keahlian dengan bidang pengetahuan yang lebih luas dalam pembangunan perkotaan termasuk pembangunan ekonomi perkotaan, pembangunan sosial budaya perkotaan, pembangunan manajemen keuangan dan pembiayaan perkotaan, pembangunan lingkungan perkotaan, dan terutama manajemen pembangunan perkotaan, Dan akhirnya (4) Peningkatan kualitas sumber daya manusia profesional di bidang prasarana dan sarana dasar perkotaan dan perdesaan, yang diperlukan dalam meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi pembangunan kota dan prasarana perkotaan yang relevan dengan kebutuhan kota di Indonesia.

 

Bertitiktolak dari cara pandang yang saya sampaikan di atas, saya sungguh mengharapkan perguruan tinggi dapat bekerjasama dengan pemerintah kota untuk merintis pembangunan kemampuan kelembagaan yang dapat membangun kemandirian kota melalui pola pembangunan perkotaan yang multidimensional, dengan mekanisme program pembangunan kota secara terpadu. Apabila kota-kota dapat merintis pembangunan sesuai kemampuan masing-masing seperti yang saya uraikan di atas, maka kota-kota berada di garis depan dalam melembagakan kemampuan manajemen pembangunan perkotaan generasi baru.

 

Untuk itu, kita perlu memikirkan apa yang menjadi tantangan dan jawaban-jawaban yang tepat terhadap permasalahan pembangunan prasarana dan sarana di masa yang akan datang. Saya ingin tekankan di sini bahwa masa depan pembangunan prasarana dan sarana berada di tangan para ahli profesi teknik dan pembangunan kota yang dewasa ini masih sedang belajar dan akan menjadi pemimpin pembangunan di masa depan. Betapa besar peran generasi muda untuk menapakkan jejak bagi pembangunan prasarana dan sarana  di masa yang akan datang. Gunakanlah kesempatan yang ada untuk berpikir dan melakukan “lompatan jauh ke depan (the great leap forward)” agar generasi baru nanti lebih siap untuk menerima tongkat estafet guna menjaga kelangsungan pembangunan prasarana wilayah di masa yang akan datang.

 

Akhirnya, pada kesempatan ini saya juga ingin mengusulkan agar dalam

pendidikan tenaga professional dalam pembangunan prasarana dan sarana perkotaan selanjutnya diikutsertakan lebih banyak tenaga ahli yang sudah mempunyai pengalaman luas dalam praktek dan di tingkat operasional menangani manajemen hal tersebut. Dengan demikian dapat dijamin adanya aliran pengetahuan dari dunia praktek yang dilandasi pengalaman di negara kita sendiri tentang pembangunan prasarana dan sarana perkotaan. Sekiranya diperlukan, saya yakin banyak tenaga yang dahulu bekerja di Departemen Pekerjaan Umum dan yang sekarang masih aktif berkarya di Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (baik di Pusat maupun di Daerah), termasuk para tenaga purna-bhaktinya, dapat merupakan sumber tenaga pengajar yang potensial dan siap membantu program pendidikan Magister yang sedang dikembangkan di perguruan-perguruan tinggi.

Prasarana dan Sarana Air Bersih dan Sanitasi bagi Pengungsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

 

Konflik sosial yang tidak kunjung reda akibat ulah sekelompok gerombolan separatis di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) membawa dampak yang cukup membuat  semakin panjang deretan penderitaan sebagian besar masyarakat Aceh.

 

 

Penetapan kebijakan Pemerintah untuk menangani masalah konflik yang berkepanjangan tersebut, dilakukan secara komprehensif. Dengan dukungan positif dari berbagai pihak terkait, melalui Operasi Terpadu yang dimaksudkan untuk mempersempit ruang gerak kelompok separatis tersebut yang semakin lama semakin mengusik kenyamanan sebagian masyarakat Aceh yang relatif telah jenuh dengan kondisi yang tidak kondusif. Semenjak dimulainya Operasi Terpadu, ternyata menimbulkan ekses sosial bagi masyarakat setempat, akibat terdesaknya kelompok saparatis dari operasi militer yang dilakukan oleh pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI).

  

 

 

Kenyamanan dan ketentraman sebagai bagian dari warga Negara, mendorong terjadinya arus pengungsian di beberapa wilayah provinsi Serambi Mekkah tersebut. Terjadinya arus pengungsi, dalam kurun waktu tertentu, terlihat semakin hari semakin meningkat, pada akhirnya menciptakan permasalahan tersendiri, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan sehari-hari.

 

 

 

Air yang bersih dan layak, merupakan salah satu contoh kebutuhan primer yang mendominasi kesulitan bagi para pengungsi di daerah pengungsian, tidak

sekedar hanya terbatasnya untuk pemenuhan kebutuhan kehidupan (minum, mandi, mencuci), akan tetapi  berakibat tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan air untuk mencukupi kehidupan (minum, mandi dan lain-lain), sehingga tetapi pada akhirnya membawa dampak menurunnya tingkat kesehatan para pengungsi. Pada sisi lain, kondisi yang kurang kondusif tersebut, menurunkan tingkat pendapatan para pengungsi untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal tersebut dapat terlihat, hampir seluruh warga pengungsi tidak memiliki mata pencaharian tetap di pengungsian.

 

 BANTUAN 100 UNIT TANGKI AIR BERSIH

Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi beban penderitaan para pengungsi, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, melalui Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, melakukan dukungan kemanusiaan dalam bentuk Prasarana dan Sarana Air Bersih dan Sanitasi untuk kepentingan masyarakat dalam pengungsian, yang pelaksanaannya dilaksanakan secara bertahap.

diungkapkan Menteri Kimpraswil, pada saat pelepasan 10 unit tangki air bersih, tanggal 10 Juni 2003, mengatakan bahwa “ …….. ini merupakan rangkaian dukungan Departemen Kimpraswil yang akan memberikan bantuan sebanyak 100 unit mobil tangki air kepada para pengungsi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, di samping bantuan lain yang diberikan dalam bentuk lain seperti bak penjernih, jerigen, kaporit dan tawas, secara keseluruhan menelan biaya sebesar Rp. 18 milyar.”

Lebih lanjut Menteri Kimpraswil Soenarno, menambahkan, Departemen Kimpraswil juga memberikan dukungan berupa bantuan perbaikan prasarana dan sarana untuk pendidikan, irigasi, jalan dan jembatan serta pembangunan fasilitas rumah tinggal bagi penduduk yang rusak akibat kerusuhan dari kelompok saparatis, yang pelaksanaannya akan dilaksanakan setelah situasi keamanan sudah dianggap lebih kondusif.

Data yang berhasil kami himpun, sampai dengan saat ini, jumlah keseluruhan mobil tangki air yang telah dikirim sebanyak 95 unit dari 100 unit yang direncanakan, 275 Hidran umum, yang tersebar di 15 kabupaten, serta bantuan pembuatan sumur gali sebanyak 35 unit yang tersebar di 14 kabupaten.

Pada kesempatan penyerahan dukungan kemanusian tahap II, Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Ir. Budiman Arif, memberikan arahan teknis di mana tangki air yang diserahkan terdapat 5 unit tangki air khusus yang berfungsi selain sebagai tangki air biasa, juga dapat berfungsi sebagai tangki

pemadam kebakaran.

Untuk prasarana dan sarana sanitasi, Departemen Kimpraswil, telah memulai pembangunan untuk Camp/Tempat Penampungan anggota GAM yang telah menyerahkan diri, antara lain yang berlokasi di Balai Penataran Guru Kabupaten Aceh Besar.

Hingga saat ini, secara keseluruhan telah dibangun Sumur Gali sebanyak 35 unit dari 68 unit yang direncanakan, WC sebanyak 1.618 unit dari 3.000 unit yang direncanakan. (SD/rsp-tim publikasi)

Revitalisasi Kawasan, potensi untuk mendorong kegiatan ekonomi lokal Revitalisasi Kawasan, potensi untuk mendorong kegiatan ekonomi lokal

 

Ragam budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan anugerah sekaligus warisan yang perlu dipelihara keberadaannya.  Aset fisik (fasilitas) yang ada juga tidak dapat diabaikan akan kandungan nilai historisnya. Peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia yang beragam tersebut, tersebar di hampir seluruh pelosok tanah air tercinta ini, dengan segala keunikan, karagaman serta karakteristiknya. Kesemua itu tidak hanya sekedar mencatat perjalanan sejarah bangsa, akan tetapi mengandung unsur budaya, serta sumber ilmu pengetahuan bagi generasi-generasi penerus bangsa.

 

Untuk masyarakat tertentu dan berdomisili pada kawasan-kawasan yang memiliki benda-benda nan mengagumkan tersebut, sudah barang tentu lebih beruntung dibandingkan dengan masyarakat yang jauh dari letak benda-benda bersejarah. Namun bagi sebagian masyarakat yang beruntung itu, terkadang kurang memahami bahkan kurang peduli dengan keberuntungan yang dimilikinya.

 

Suatu ilustrasi yang paling mudah diperbincangkan misalkan “Museum” dan “Kebun Raya”, adalah tempat yang sudah tidak asing untuk menyebutnya, bahkan ironisnya kedua tempat tersebut di atas, merupakan tempat yang sangat akrab bagi pelancong (turis) dari manca negara. Untuk seluruh wilayah Nusantara, yang terdapat “Museum” dan “Kebun Raya” pasti pernah dikunjungi para wisatawan asing, bahkan di antara mereka tidak hanya sekedar berwisata, namun terkadang menggali ilmu pengetahuan dari apa yang terkandung di kedua tempat tersebut. Sekarang yang menjadi masalah adalah bagaimana dengan kepedulian bangsa kita sendiri akan hal tersebut?

 

Contoh sepintas di atas, menggambarkan apabila kita dapat memfungsikan suatu potensi budaya, benda, tempat bersejarah, yang sudah barang tentu sangat banyak jumlahnya, akan memberikan suatu manfaat lebih apabila kita dapat mengelola potensi tersebut.

 

APALAGI ………… ?

 

Sesungguhnya masih banyak potensi yang dapat dikembangkan untuk mendorong terciptanya manfaat tambahan dari potensi-potensi yang dimiliki. Misalkan, untuk Kota Jakarta, banyak obyek yang layak untuk dijadikan dan dikembangkan sebagai kawasan wisata : seperti kawasan nelayan Sunda Kelapa, Museum Fatahillah, Gedung Balai Kota, serta tempat potensial lainnya yang masing-masing memiliki daya tarik tersendiri.

Tentu saja untuk dapat mengembalikan fungsi tempat-tempat potensial dimaksud tidaklah mudah, apalagi yang dirancang sedemikian rupa agar dapat mendorong pergerakan perekonomian baik untuk sektor formal maupun informal. Dengan demikian peran yang lebih bersifat partisipatif dari Masyarakat, Swasta dan Pemerintah untuk dapat memfungsikan kembali obyek-obyek potensial tersebut diperlukan kegiatan Penataan Kawasan secara terintegrasi.

 

PERAN PEMERINTAH PUSAT

 

Kepedulian terhadap penataan kembali kawasan-kawasan potensial oleh Pemerintah Pusat, meskipun sudah digalakkan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, dinilai masih sangat terbatas, di samping dalam keterbatasan penyediaan anggaran maupun filosofi yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut sangatlah dimaklumi, mengingat era otonomi daerah, pemerintah pusat hanya berperan untuk memberikan dorongan dan fasilitasi, termasuk dalam Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, di mana upaya yang dilakukan lebih menitikberatkan pada bantuan secara teknis, sedangkan penataan dan revitalisasi fisiknya lebih mengedepankan peran Pemerintah Daerah. Dengan demikian kegiatan dan peran yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat lebih bersifat stimulus.

 

PEMERINTAH DAERAH

 

Fenomena menunjukan bahwa upaya-upaya penataan dan revitalisasi yang telah dilakukan dengan melibatkan peran setiap elemen yang terkait, akan membuahkan hasil yang sangat menggembirakan. Beberapa contoh nyata yang terjadi menunjukkan bahwa pengaruh yang dominan terhadap kawasan-kawasan potensial tersebut, tidak terletak pada saat penataan kembali atau merevitalisasi,

namun keberlanjutan pemeliharaannya, sehingga menjamin berjalannya ekonomi setempat. Kesemuanya bila dicermati kembali pada besar kecilnya komitmen pemerintah daerah setempat untuk menjaga keberlanjutan kawasan-kawasan potensial agar dapat tumbuh dan berkembang.

 

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, bahwa kemampuan dan keterjangkauan Pemerintah Pusat untuk dapat menangani semua kawasan potensial di seluruh Indonesia, sangatlah terbatas dan bahkan dapat dikatakan sangatlah tidak mungkin, untuk itu, dapat dibayangkan seandainya semua potensi yang tersebar di nusantara ini ada komitmen yang kuat dari masing-masing Pemerintah Kabupaten/Kota, maka semua perekonomian lokal dapat tumbuh dan berkembang, yang tidak ayal lagi akan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pertumbuhan perekonomian nasional.

 

Sekali lagi kiranya tidak berlebihan, bila di setiap pemerintah daerah terpatri semangat untuk menjaga keberlanjutan fungsi kawasan-kawasan potensial, di samping akan dapat menumbuhkan ekonomi sebagaimana uraian di atas, juga menghindari terjadinya perubahan fungsi atau tidak berfungsinya kembali kawasan-kawasan petensial yang dimiliki masing-masing daerah.

Rencana Pembangunan Jembatan Soekarno di Manado Rencana Pembangunan Jembatan Soekarno di Manado

Sulawesi Utara

 

SUB DIREKTORAT PERKOTAAN DAN PERDESAAN

WILAYAH TIMUR III

 

Kota Manado yang berfungsi sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Utara  dengan jumlah penduduk 441.000 jiwa, merupakan salah satu kota di wilayah Timur dengan perkembangan ekonomi yang cukup tinggi serta memiliki peran sebagai pemacu pertumbuhan kawasan KAPET Manado Bitung dan Propinsi Sulawesi Utara.

 

Dampak pertumbuhan ekonomi dan industri menyebabkan mobilitas barang dan penumpang meningkat pesat baik lalu lintas di dalam kota maupun antar kota.  Di lain pihak pertumbuhan lalu lintas tersebut tidak diimbangi dengan Sistim Jaringan Jalan yang ada, yang menimbulkan kepadatan, kemacetan  lalu lintas dalam Kota Manado. Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut dan untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di dalam kota serta mengalihkan lalu lintas regional menuju / dari pelabuhan udara / laut serta antar kota dari / ke pusat kota, maka dipandang perlu adanya suatu sistem jalan yang terintegrated sebagai Jalan lingkar atau nantinya akan dikenal sebagai Manado Ring Road (MRR).

 

Rencana Manado Ring Road telah diwujudkan realisasinya melalui pelaksanaan tahap I yaitu ruas Manado By Pass I sebaga bagian Manado Ring Road sisi Timur dan diperkirakan akan selesai pada Tahun Anggaran 2004, sedangkan Manado By Pass II dan III masing-masing diusulkan melalui dana bantuan EDCF (Korea) dan IBRD (SRIP).

 

Sebagai pelengkap sistem jaringan Manado Ring Road sisi Barat, direncanakan pembangunan jembatan Soekarno serta jalan Boulevard (tahap II). Jalan Boulevard (tahap II) sudah dimulai pembangunannya sejak tahun 1993 - 1994 yang dibiayai oleh dana APBN, dimana 60 % pekerjaan badan jalan telah

selesai.  Pada tahun 1997 –1998, krisis ekonomi malanda bangsa Indonesia sehingga pembangunannya tidak dapat dilanjutkan atau mengalami penundaan hingga saat ini. Dengan mulai cerahnya ekonomi Negara maka saatnya perlu mendapat perhatian kembali karena dengan keberadaan Sulawesi Utara yang secara geografis berada di bibir Pasific, maka Manado sebagai pintu gerbang harus dipersiapkan jauh sebelumnya terutama dalam penataan infra-strukturnya sehingga tiba saatnya nanti, akan menjadi kota yang siap untuk masuk dalam persaingan global. Untuk persiapan-persiapan pelaksanaan pembangunan jembatan Soekarno meliputi kegiatan : study kelayakan, detail engineering desain, dan study UKL & UPL melalui dana APBN TA 2003. Sebagai ilustrasi diusulkan 2 (dua) alternatif desain pada jembatan Soekarno sbb:

(1)            Jembatan Soekarno I :

Alternatif 1 (dengan reklamasi) panjang 30 – 40 m;

Alternatif 2 (tanpa reklamasi), panjang 450 m;

(2)            Jembatan Soekarno II :

Alternatif 1 (dengan reklamasi) panjang 150m;

Alternatif 2 (tanpa reklamasi), panjang 150 m;

(3)            Jalan Boulevard Tahap II :

Alternatif 1 (dengan reklamasi) panjang 2000m;

Alternatif 2 (tanpa reklamasi), panjang 2000 m;

Penyediaan Air Bersih oleh Komunitas Penyediaan Air Bersih oleh Komunitas

oleh : Diah Parahita  *)

  

PENDAHULUAN

 Air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat. Ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu baik yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan. Oleh karena itu, ketersediaan air dapat menurunkan water borne disease sekaligus dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Namun sampai dengan tahun 2000, berdasarkan data Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, baru sekitar 19% penduduk Indonesia di mana 39% nya adalah penduduk perkotaan yang dapat menikmati air bersih dengan sistem perpipaan. Sedangkan di daerah perdesaan, berdasarkan data yang sama, hanya sekitar 5% penduduk desa yang menggunakan sistem perpipaan, 48% menggunakan sistem non-perpipaan, dan sisanya sebesar 47% penduduk desa menggunakan air yang bersumber dari sumur gali dan sumber air yang tidak terlindungi.

 

Di dalam memenuhi kebutuhan air bersih bagi keluarganya, penduduk tidak jarang harus membeli air dari para penjual air dengan harga yang relatif tinggi atau mengambil air langsung ke sumber air yang umumnya cukup jauh dari tempat tinggal si penduduk. Ketika beberapa sumur dan sumber air mengering akibat musim kemarau, menyebabkan semakin sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan akan air bagi keluarganya.

 

Dalam KTT Bumi tahun 2002 yang diselenggarakan di Johannesburg, masalah air merupakan salah satu isu utama yang dibicarakan di samping masalah sanitasi. Pada konvensi itu disebutkan bahwa penduduk dunia yang tidak memiliki akses terhadap air bersih adalah sekitar satu milyar. Sedangkan menurut Human Development Index, 2002, yang dikeluarkan oleh UNDP antara lain dikatakan bahwa masih ada sekitar 16 negara di mana penduduk yang memiliki akses terhadap “improved water sources” kurang dari 50% sedangkan sekitar 1,2 milyar penduduk yang kurang memiliki akses terhadap “clean water”.

 

Dalam Water World Forum (WWF) ke 2 di The Haque, Belanda tahun 2000, telah dikeluarkan kesepakatan yang dikenal dengan sebutan Millenium Development Goals (MDG) 2015 di mana salah satu target yang disepakati adalah mengurangi sekitar setengah jumlah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap “safe drinking water”.

 

Di sisi lain dalam agenda KTT Bumi 2002 Johannesburg, diharapkan dapat meningkatkan cakupan pelayanan air minum menjadi 80% di perkotaan dan 40% di perdesaan.

 

Untuk mencapai agenda tersebut, maka pemerintah melalui Komite Kebijaksanaan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KPPI), telah mencanangkan Kebijakan Penyehatan PDAM yang antara lain bertujuan untuk mempercepat penyelesaian hutang PDAM seperti penjadwalan kembali pembayaran hutang.

 

 

Program ini (sebagaimana tertuang di dalam Surat Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, kepada seluruh Pemerintah Daerah), dimulai pada tahun 2003 yang diawali dengan sosialisasi sehingga pada tahun 2004, Pemda dan PDAM diharapkan telah dapat melaksanakan program penyehatan ini. Meskipun, dari sekitar 300 PDAM ternyata hanya 10% yang dinilai baik/sehat sedangkan sebagian besar PDAM (90%) dinilai tidak/ kurang sehat. 

 

 

Mengingat hal tersebut, upaya untuk meningkatkan cakupan pelayanan air bersih baik di daerah perkotaan maupun daerah perdesaan tidak dapat sepenuhnya diharapkan dari PDAM. Kemudian, penyediaan air bersih dianggap perlu dikembangkan pola kemitraan dengan pihak swasta, meskipun disadari hasilnya tidak dapat terjangkau oleh masyarakat, karena tarif air yang relatif tinggi.  Di lain pihak, penyediaan air bersih yang dilakukan oleh pihak swasta pada umumnya bersifat tertutup sehingga masyarakat cenderung tidak memiliki peluang untuk dapat turut aktif di dalam setiap tahap pembangunan bidang air bersih.

 

Dengan adanya pergeseran kebijakan pembangunan pada upaya peningkatan Sumber Daya Manusia, di mana pola pendekatan pembangunan menitikberatkan pada masyarakat sebagai pelaku utama di dalam setiap pembangunan, yang semestinya juga dapat diterapkan dalam pola pembangunan di bidang air bersih.

 

Termasuk dalam hal Pembangunan Prasarana dan Sarana Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Pengelolaan Masyarakat yang diharapkan menjadi acuan dasar di dalam setiap pembangunan air bersih oleh instansi-instansi terkait, telah membuka peluang kepada masyarakat pengguna untuk dapat terlibat di dalam setiap pembangunan di bidang air bersih, terutama di kawasan perkotaan yang memiliki karakteristik perdesaan seperti wilayah pinggiran kota ataupun di kantong permukiman di pusat kota serta di kawasan yang benar-benar perdesaan, di mana cenderung tidak terlayani oleh sistem perkotaan dan dianggap tidak potensial untuk dikelola oleh lembaga formal yang hanya ada di perkotaan. 

 

Selain sebagai pengguna, masyarakat juga dapat diaktifkan dan difungsikan sebagai pengelola prasarana dan sarana  air bersih, dengan membentuk kelompok swadaya masyarakat di bidang air bersih, sehingga sangat memungkinkan untuk mengelola prasarana dan sarana air bersih dengan wilayah pelayanan terbatas atau di lingkungan sekitarnya. Penyediaan air bersih yang dilakukan oleh komunitas ini diharapkan dapat menjamin keberlanjutan penyediaan air bersih di lingkungannya baik dari aspek teknis maupun non teknis.

 

Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, tulisan ini dibuat sebagai bahan masukan di dalam merumuskan konsep penyediaan air bersih oleh komunitas/masyarakat, khususnya  dalam rangka merumuskan Bentuk Swadaya Air yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

 

Pola Pendekatan

 

Penyediaan air bersih yang dilakukan oleh masyarakat ini dilakukan dengan pola

pendekatan TRIBINA di mana di dalam pola

 

1.    Bina Manusia

 

Unsur ini merupakan upaya yang dilakukan untuk menyiapkan masyarakat setempat, dengan metode yang digunakan adalah :

1.    Informasi, yaitu upaya penyampaian informasi kepada masyarakat di lokasi setempat mengenai aspek teknis dan non teknis yang berkaitan dengan pembangunan dan pengelolaan prasarana dan sarana air bersih;

2.    Komunikasi, yaitu upaya untuk menciptakan dialog di kalangan masyarakat setempat yang bersifat dua arah sehingga masyarakat mau dan mampu mengenali kebutuhan serta menangani permasalahan yang dihadapi sehubungan dengan upaya masyarakat di dalam memenuhi kebutuhan air bersih bagi diri sendiri maupun bagi keluarganya dan lingkungannya;

3.    Edukasi, merupakan upaya yang dilakukan agar masyarakat mampu untuk mengelola prasarana dan sarana air bersih di lingkungannya baik secara teknis maupun non teknis sehingga terjadi keberlanjutan penyediaan air bersih di lingkungannya.

 

2. Bina Lingkungan

 

Unsur ini merupakan upaya bagi masyarakat untuk menemukenali kebutuhan dan permasalahan yang dihadapinya sebagai individu, kepala keluarga,  dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah melakukan Survei Kampung Sendiri (SKS) atau Mawas Diri yang antara lain mencakup aspek : a) sosial budaya; b) ekonomi; c) teknis; d) lingkungan; e) hukum; f) kelembagaan; g) dan aspek lain yang terkait.

 

3.  Bina Usaha

 

Unsur ini merupakan upaya bagi masyarakat untuk belajar membentuk kelompok swadaya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat setempat. Selain itu, kegiatan ini dimaksudkan pula agar masyarakat mampu mengelola organisasi/lembaga yang dibentuk baik secara manajemen, keuangan, hukum, maupun aspek lain yang diperlukan bagi suatu lembaga yang mengelola prasarana dan sarana air bersih di lingkungannya.

 

METODE PELAKSANAAN

 

Penyediaan air bersih oleh komunitas ini menggunakan konsep Advocacy dan Communications. Konsep yang dikembangkan oleh McKee (1992) tersebut merupakan pendekatan yang didasarkan pada people-based dan people driven. Konsep advokasi sendiri merupakan upaya penyampaian pesan untuk memperoleh kesepakatan dari unsur-unsur masyarakat sekaligus  menyiapkan masyarakat (society) untuk masalah tertentu melalui penyampaian

pesan ke berbagai media komunikasi baik perorangan maupun non perorangan atau  media.

Hal ini termasuk adanya proses penyusunan dan pembentukan organisasi/lembaga dengan berbagai pelaku (stakeholders). Adapun tujuan utama dari konsep ini antara lain untuk meningkatkan kemampuan civil society, masyarakat grass roots, dan organisasi di dalam bertindak untuk melakukan perubahan.

 

MEKANISME PELAKSANAAN

 

1.    Penyiapan Masyarakat

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah melakukan sosialisasi mengenai penyediaan air bersih, yang dilakukan terdiri atas dua tahap yaitu : pertama, yaitu sosialisasi yang dilakukan kepada unsur-unsur yang terdapat di lingkungan masyarakat setempat seperti : tokoh masyarakat (tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh perempuan, dll), aparat pemerintah lokal/setempat, pemuda/pemudi, serta unsur lain yang terdapat di lingkungannya yang diharapkan mau dan mampu memotivasi masyarakat setempat untuk meningkatkan kualitas hidup khususnya di dalam memenuhi kebutuhan air bersih

bagi diri dan keluarganya. Pada tahap ini nantinya akan terpilih tenaga motivator bagi masyarakat di lingkungannya sendiri;  kedua, yaitu kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh tenaga motivator kepada masyarakat setempat agar masyarakat mau dan mampu menemukenali kebutuhan dan permasalahan yang dihadapinya sekaligus mencari upaya penanganannya.

 

2.    Pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat

Pada tahap ini, masyarakat membentuk organisasi baik yang akan melakukan pembangunan maupun pengelolaan prasarana dan sarana air bersih, dengan cara merumuskan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang diperlukan termasuk struktur organisasi serta tanggung jawab individu yang terdapat dalam organisasi tersebut. Struktur organisasi tersebut diharapkan dapat pula menampung masyarakat lingkungan setempat sebagai pemegang saham organisasi tersebut.

 

3.    Perencanaan Teknis Bidang Air Bersih

Pada tahap ini, Masyarakat bersama dengan organisasi yang telah dibentuk merencanakan aspek teknis antara lain meliputi :

a. Sumber air baku;

·        Kebutuhan akan air bersih dan luas daerah pelayanan;

·        Teknologi tepat guna yang akan digunakan untuk instalasi pengolahan air;

·        Jaringan distribusi yang akan digunakan; dan

·        Elemen lain yang diperlukan dalam perencanaan teknis ini.

 

b.  Perencanaan Pengelolaan Prasarana dan Sarana Air Bersih

Masyarakat bersama dengan organisasi yang terbentuk merencanakanbagaimana mengelola prasarana dan sarana air bersih baik dari segi manajemen, pendanaan,  dll.

 

c.  Pembangunan Prasarana dan Sarana Air Bersih

Masyarakat bersama dengan organisasi yang terbentuk akan melaksanakan pembangunan prasarana dan sarana air bersih. Selain itu, masyarakat dan organisasi yang terbentuk juga merumuskan mekanisme untuk monitoring pelaksanaan pembangunan, mekanisme serah terima apabila pembangunan telah selesai dilakukan, serta mekanisme pengoperasian dari prasarana dan sarana air bersih yang dibangun.

 

MEKANISME PENDANAAN

 

Dalam mekanisme pendanaan ini perlu dirumuskan kontribusi masing-masing pihak di dalam penyediaan air bersih oleh komunitas baik dalam bentuk uang maupun bentuk lain. Adapun mekanisme pendanaan ini juga perlu memasukan kontribusi :

 

1.    Masyarakat setempat;

2.    Pemerintah Pusat/Daerah/Lokal;

3.    PDAM atau badan pengelola air lainnya;

4.    Pihak swasta, khususnya yang berada di lingkungan itu;

5.    Pihak perguruan tinggi;

6.    Dan pihak lain.

Pengembangan Agropolitan di Provinsi Gorontalo Pengembangan Agropolitan di Provinsi Gorontalo

 

Oleh: Ir. Fadel Muhammad *)

Naskah berikut diambil dari Makalah yang disampaikan oleh Penulis pada Lokakarya Perumusan Kebijakan Pengembangan Agropolitan dalam rangka Pemberdayaan Ekonomi Perdesaan melalui Kemitraan Masyarakat – Swasta – Pemerintah, yang diselenggarakan oleh Ditjen. Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan pada tanggal 12-13 Agustus 2003 di Jakarta

 

Provinsi Gorontalo adalah provinsi yang terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2000, dengan luas wilayah + 1.221.554 ha, yang meliputi 4 kabupaten, masing-masing : Kabupaten Gorontalo, Boalemo, Pohuwato, dan Bone Bolang serta Kota Gorontalo. Jumlah penduduk pada tahun 2002 sebanyak 852.972 jiwa dengan tingkat pendapatan per kapita sebesar Rp. 2.513.202. Ditinjau dari potensi sumberdaya alam, Provinsi Gorontalo mempunyai banyak potensi yang layak untuk dikembangkan antara lain di bidang pertanian dan peternakan. Namun demikian pengembangan sektor tersebut perlu didukung dengan pengembangan infrastruktur yang diharapkan dapat membuka akses-akses ke sentra produksi pertanian yang ada.

Oleh karenanya, dalam upaya mempercepat pertumbuhan dan pengembangan wilayah, maka pemerintah Provinsi Gorontalo menetapkan 3 program unggulan yang diharapkan dapat memacu perkembangan sektor-sektor lainnya yang meliputi :

a. Pengembangan SDM;

b.    Pengembangan Pertanian dengan menjadikan Gorontalo sebagai Provinsi Agropolitan, Provinsi yang memiliki kompetensi di bidang pertanian;

c.     Pengembangan ekonomi kelautan dengan sasaran peningkatan kinerja sektor perikanan dan pengembangan wilayah pesisir.

Untuk mewujudkan pengembangan tiga program unggulan tersebut, yang disertai dengan pembangunan infrastruktur penunjang, maka dukungan pembiayaan sangat diperlukan. Dengan kondisi kemampuan anggaran Pemerintah Daerah yang sangat terbatas, maka melalui pengajuan proposal ini diharapkan mendapat respon positif dalam rangka menunjang pengembangan program agropolitan di

Provinsi Gorontalo.

 

I.      PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN

 

Pengembangan kawasan agropolitan adalah bertujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing. Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui :

1.      Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi,     produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisiensi;

2.      Penguatan kelembagaan petani;

3.      Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput, pengelolaan hasil, pemasaran dan penyedia jasa);

4.      Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu;

5.      Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi;

 

Sebagai salah satu sektor unggulan di Provinsi Gorontalo, maka pengembangan sektor pertanian dilaksanakan dengan pendekatan konsep pengembangan agropolitan dengan menetapkan jagung dan ternak sapi sebagai komoditas utama. Konsep pengembangan agrobisnis jagung di Gorontalo dalam rangka mendukung program agropolitan didesain dalam dua model yakni demonstrasi plot (demplot) dan pengembangan. Demplot hanya dilaksanakan untuk jangka pendek (satu tahun) yang dimaksudkan sebagai proses penyuluhan dan pembelajaran petani serta meyakinkan investor bahwa pemerintah memiliki komitmen tinggi dalam peningkatan kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi.

 

Sementara untuk model pengembangan dilaksanakan dengan menggunakan aplikasi teknologi yang spesifik seperti perluasan areal tanam (PAT), peningkatan mutu intensifikasi (PMI) dan sisi off-farm-nya dengan optimalisasi pengelolahan hasil, penyimpanan serta pemasarannya. Khusus untuk sektor perternakan diprioritaskan pada pengembangan sapi potong dan ayam buras yang diharapkan dengan berkembangnya ternak sapi ini akan mendorong industri pengolahan dan pasca panennya.

 

Disisi lain dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan maka Pemerintah Provinsi telah mengalokasikan anggaran dalam rangka pengembangan sentra-sentra produksi dengan membuka jalan-jalan akses yang diharapkan mampu meningkatkan jalur distribusi pemasaran produk yang dihasilkan. Dana untuk pembangunan infrastruktur penunjang itu sebagaian telah mendapat dukungan APBD Provinsi.

 

II. PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR PENUNJANG

 

Menyikapi tantangan di era transformasi informasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta perkembangan lingkungan eksternal yaitu desakan diakomodirnya trend perdagangan bebas yang dibingkai dalam format otonomi daerah sesuai Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, menurut desain kreatif menyangkut program pembangunan. Dalam konteks mikro, yaitu pembangunan pertanian maka sudah seharusnya rancangan pembangunan dimaksud diarahkan sesuai tuntutan di awal tulisan ini, selain bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat (khususnya petani).

Sesuai konteks di atas, pendekatan pembangunan wilayah berbasis komunitas lokal menjadi acuan untuk membangun kualitas pertanian di Provinsi Gorontalo. Diharapkan dengan pendekatan ini, partisipasi aktif masyakrakat terkristalisasi dalam suatu sinergitas antar grass root system hingga pembangunan sektoral bahkan antar wilayah pengembangan menuju peningkatan competitive advantage, value added, dan value changed.

 

Memang, nuansa kompleksitas di atas tidak serta merta dapat diwujudkan, perlu langkah cepat dan tepat untuk mengkreasinya. Sebagai langkah

implementatifnya, Pemerintah Provinsi Gorontalo, sepanjang tahun 2002 telah merancang dan melaksanakan 3 (tiga) program, yaitu Program Ketahanan Pangan, Program Pengembangan Agribisnis dan Program Pengembangan Komoditi Unggulan Berbasis Jagung ( Program Pengembangan Kawasan Agropolitan Provinsi Gorontalo).

 

Ketiga program pilihan yang berbasis pertanian di atas, sampai paruh ketiga tahun 2003 tetap menjadikan prioritas pengembangan sebagai program yang memiliki nilai strategis sebagai push factor  percepatan pertumbuhan ekonomi lokal maupun regional. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ketiga program tersebut tidak berdiri sendiri.

 

Banyak aspek pendukung keberhasilan pelaksanaannya, salah satunya adalah penyediaan prasarana dan sarana (infrastructure). Keterbatasan jalan akses ke sentra produksi seringkali menjadi kendala bagi petani dalam pemasaran produk. Kondisi ini membuat petani tidak serius membuka lahannya, padahal Pemerintah Provinsi Gorontalo berharap tahun 2003 ini produksi jagung bisa mencapai 200.000 ton, dan untuk lima tahun ke depan bisa satu juta ton.

 

Dalam rangka menunjang Pengembangan Kawasan Agropolitan, maka pembangunan infrastruktur yang akan dikembangkan di Provinsi Gorontalo adalah :

 

a.    Pengembangan Transportasi Udara

Pengembangan transportasi udara, dalam hal ini bandar udara, memiliki peran strategis menuju keberhasilan pelaksanaan program agropolitan. Saat ini Bandara Djalaluddin Gorontalo kategori Bandara Kelas III, yang didarati pesawat jenis Fokker 27. Proses selanjutnya, Bandara Djalaluddin perlu ditingkatkan menjadi Bandara Kelas II yang dapat didarati pesawat berbadan lebar;

b. Pengembangan Transportasi Laut

Sebagai pintu gerbang arus barang dan jasa, pengembangan transportasi laut juga menjadi pendukung utama pelaksanaan program Agropolitan Provinsi

Gorontalo. Terdapat 2 (dua) pelabuhan laut yang saat ini perlu ditangani dan dikembangkan, yaitu pelabuhan Anggrek dan Pelabuhan Gorontalo;

c.  Pengembangan Transportasi Darat

Jalan akses dan jembatan yang menghubungkan antar sentra produksi dan wilayah pengembangan parsial dalam konteks agropolitan perlu penanganan lebih lanjut. Persoalan pemasaran hasil produksi, mobilisasi dan transportasi menjadi point of view pengembangan transportasi darat ini.

d.    Pengembangan Kelistrikan

Persoalan kelistrikan juga perlu ditangani lebih lanjut, logikanya, prospek pengembangan agropolitan yang dapat diasumsikan menarik industri pengolahan produksi pertanian. Pembangunan industri tersebut membutuhkan dukungan energi listrik yang memadai. Sejak pembentukannya, Provinsi Gorontalo mengalami kekurangan pasokan energi listrik. Berdasarkan data PT. PLN Cabang Gorontalo tahun 2002 lalu, daya yang tersedia sebesar 21.167 MW sedangkan beban puncak sebesar 17.709 MW. Artinya pada tahun 2002 saja, terdapat kekurangan sebesar 6.542 MW. Realitas tersebut menunjukkan bahwa ke depan masalah kelistrikan menjadi persoalan yang sangat serius.

e.    Pengembangan Sarana Air Bersih

Dukungan sarana air bersih dalam pengembangan kawasan agropolitan yang berbasis pertanian perlu ditingkatkan. Sentra-sentra produksi sebagai hitterland  area  membutuhkan pasokan air bersih yang cukup yang wilayah pengembangan parsial.

f.      Pengembangan Jaringan Telekomunikasi

Pengembangan jaringan telekomunikasi menjadi penting, diharapkan dengan arus globalisasi dan perubahan trend perdagangan dunia. Ketertinggalan informasi penanganan pertanian seringkali berdampak pada kegagalan program yang dilaksanakan.

 

III.         PERKIRAAN KEBUTUHAN ANGGARAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN AGROPOLITAN DAN INFRASTRUKTUR PENUNJANG

 

Dalam upaya mendukung pengembangan kawasan agropolitan yang didukung dengan infrastruktur yang andal, maka perkiraan kebutuhan anggaran yang diperlukan dalam rangka mendukung optimalisasi pengembangan kawasan agropolitan adalah sekitar Rp. 1,4 trilyun, yang masing-masing : (a) Pengembangan Kawasan Agropolitan sebesar Rp. 484,09 milyar; (b) Pengembangan Peternakan sebesar Rp. 64,3 Milyar; dan (c) Penunjang Infrastruktur sebesar Rp. 869,39 Milyar.

Kita Harus Terus Berkreasi untuk Menemukan Identitas yg Tanggap Terhadap Lingkungan Pembangunan Kita Kita Harus Terus Berkreasi untuk Menemukan Identitas yang Tanggap Terhadap Lingkungan Pembangunan Kitaoleh : HENDROPRANOTO SUSELO  

 

 Kalau kita perhatikan di masa sebelum reformasi, dalam penanganan tugas-tugas pembangunan perkotaan banyak diperkenalkan konsep-konsep pemikiran baru seperti : perbaikan kampung, unit perencanaan daerah, pusat informasi teknik bangunan, air bersih IKK, proyek-proyek perintisan, penanganan kebutuhan dasar, pola standardisasi, prefabrikasi, P3KT, untuk menyebut contoh-contoh yang mengemuka.

 

Setelah era Reformasi kelihatannya seperti semuanya berjalan seperti sebelumnya tanpa perubahan yang menyolok, atau orang mengatakan “business as usual”. Memang kita mendengar pengenalan istilah atau pendekatan baru dalam pembangunan seperti pendekatan partisipatip, pengikutsertaan “stakeholders”, tata pemerintahan yang baik atau “good governance”, dan yang banyak didengungkan adalah proyek USDRP dari Bank Dunia.

 

Sayang sekali umumnya pendekatan setelah  reformasi lebih banyak diperkenalkan oleh lembaga internasional atau membawa pesan-pesan dari luar ketimbang pemikiran kita sendiri atau konsep yang tumbuh dari pikiran orisinal yang ditimbulkan karena tanggapan kita akan keadaan lingkungan pembangunan yang berubah dengan cepat. Ini berbeda dengan konsep pemikiran yang terlebih dahulu disebutkan yang pada umumnya berasal dari kita sendiri, karena tanggapan kita terhadap tantangan tugas dalam melaksanakan pembangunan. Bahkan cukup dikenal dan mendapatkan pengakuan dunia internasional yang justru belajar dari pengalaman kita, sehingga pernah saya dengar kita menjadi ‘mekah’ (atau tempat mengacu) dalam memecahkan pelbagai permasalahan alam pembangunan perkotaan. Selain lembaga pemberi pinjaman banyak pemikir dan praktisi dari negara lain belajar dengan berkunjung ke negara kita.

 

Justru dalam era reformasi dengan kecepatan perubahan dalam masyarakat, ekonomi dan sosial budaya kita para pemimpin pembangunan, juga dari Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Kimpraswil

harus terus menerus berkreasi dan menumbuhkan identitas pembangunan kita sendiri sebagai jawaban dan tanggapan kita terhadap apa yang diperlukan oleh masyarakat kita yang sudah berubah. Salah satu suara yang sudah kita dengungkan adalah upaya untuk memperluas pendekatan kita dari ‘hanya prasarana perkotaan’ ke arah ‘pembangunan semua aspek multidimensional perkotaan’. Konsisten dengan pemikiran itu kita juga mendengungkan perlunya menumbuhkan ‘kemandirian ekonomi dan keuangan masyarakat perkotaan’ kita melalui ‘pembangunan ekonomi perkotaan dan pembangunan ekonomi lokal’. Mengapa saya penggunakan istilah mendengungkan’? karena memang yang sementara ini terdengar barulah ‘dengungnya dari konsep pemikiran baru yang lahir dari pemikiran kita sendiri dan untuk menjawab tuntutan pembangunan kita sendiri. 

 

Dengung atau gaung hanyalah suara yang masih sayup-sayup antara terdengar dan tidak, antara benar ada atau tidak, dan yang sekali-kali terdengar tetapi kemudian hilang lagi. Suatu konsep pemikiran barulah awal dari suatu perubahan, dan untuk benar-benar mewujudkan perubahan berdasarkan konsep pemikiran itu diperlukan lebih dari dengung yang kadang terdengar kadang tidak. Kita perlu menjadikan gaung itu sesuatu yang konkrit dapat merubah, yang mempunyai kekuatan dan gerak untuk merubah, dan yang dapat diterima oleh masyarakat sebagai suatu perubahan yang benar-benar diinginkan karena menyejukan dan menyejahterakan.

 

Ada beberapa sebab mengapa gagasan-gagasan kita yang orisinil belum tertangkap oleh sistem manajemen pembangunan perkotaan kita dan dimengerti oleh masyarakat kita?. Pertama, adalah karena kita belum berhasil menjadikan gagasan kita yang baik tersebut menjadi sebuah pemahaman, dan oleh karena itu menimbulkan kesepakatan dan komitmen kita yang solid (satu padu) di antara aparat kita sendiri. Ada berita baik yaitu pada pertengahan kedua bulan Oktober 2003 nanti Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan akan mengadakan suatu ‘diskusi staf inti’ yang tujuan utamanya adalah memberikan peluang bagi tumbuhnya pemahaman, kesepakatan dan komitmen tersebut.

 

Diskusi diharap bukan sebagai pemaksaan gagasan tetapi dapat berupa gagasan yang berasal dari para staf sendiri akan makna gagasan tersebut bagi penyelenggara tugas untuk mewujudkan perubahan yang berarti dalam masyarakat perkotaan yang kita layani. Kedua karena kita belum berhasil memupuk pemahaman, kesepakatan dan komitmen di antara mitra lembaga instansi Pusat yang bertanggung jawab dan berkepentingan dengan

penyelenggaraan tugas pembangunan perkotaan akan apa yang kita yakini baik dan harus kita laksanakan. Kita masih dalam status ewuh pakewuh siapa yang harus jalan di depan sehingga tidak ada yang berani menyuarakan sebagai pemimpin orkestra kebijakan pembangunan perkotaan kita. Memang berita baik bahwa sampai sekarang sudah diadakan pertemuan teratur antara pejabat Eselon I yang terkait dengan pembangunan perkotaan. Mudah-mudahan kita dapat lebih memanfaatkan forum konsultasi informal tersebut secara lebih efektif. Ketiga karena kita memiliki rasa ‘minder’ terhadap lembaga pemberi pinjaman dan lembaga internasional yang datang dan masuk dalam kehidupan kita dengan membawakan gagasan yang seakan ‘cemerlang’. Kita perlu keberanian untuk menyuarakan ‘tidak’ terhadap gagasan yang kita anggap tidak cocok dengan lingkungan sosial budaya dan tantangan pembangunan kita. Kita belum berani mengatakan ‘inilah pola pikir kita’ dan hendaknya anda ikut dalam arus perubahan kita atau minggirlah.

 

Arus mereka lebih kuat karena kelemahan kita sendiri. Pemikiran mereka kelihatan lebih bagus karena kita belum berani menyuarakan secara lebih lantang apa yang kita yakini benar. Kita bahkan sering terbawa arus pemikiran yang menyesatkan.

 

Marilah kita menimba dari kearifkan yang kita miliki dalam sejarah perkembangan perkotaan dan berani terus berkreasi dan menemukan identitas baru sehingga suatu saat kita dikenal oleh generasi mendatang sebagai generasi yang tanggap dan berhasil membawakan perubahan yang memang didambakan oleh masyarakat kita. Itu berhasil kita wujudkan karena kita menyadari dan mampu menjalankan fungsi kepemimpinan yang tepat dalam suatu masyarakat perkotaan yang berkembang begitu dinamik dengan gagasan kebijakan nasional yang membawakan perubahan yang memang menyejahterakan.

Pengembangan Industri Perikanan Tual Menunggu Dukungan Air Bersih Pengembangan Industri  Perikanan Tual Menunggu Dukungan Air Bersih

  Indonesia yang hampir 75% luas wilayahnya berupa laut, adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan jumlah 17.502 pulau, luas total laut 5,8 juta Km2, mempunyai garis pantai 81.000 km atau kedua terpanjang setelah Kanada.

 

Potensi lestari ikan laut yang bisa ditangkap sebesar 6,4 juta ton/th, namun produksi tangkapan ikan laut tahun 2001 hanya 4,1 mencapai juta ton (63%). Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha penangkapan ikan laut tersebut, maka Pemerintah akan mengembangkan Industri Perikanan di Tual. Kenapa Tual, karena laut teritorial Maluku Tenggara adalah lumbungnya ikan laut, khususnya Tuna Sirip Biru yang sangat potensial sebagai komoditas eksport terutama ke Jepang.

 

Dari kacamata sejarah P. Aru lebih dikenal dibanding dengan P. Kei Dullah, padahal Kota Tual sebagai ibukota kabupaten terletak di P. Kei Dullah. Usia Kabupaten Maluku Tenggara masih muda, karena sejak tahun 2000 dimekarkan menjadi 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Maluku Tenggara dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Kabupaten Maluku Tenggara membawahi 3 kecamatan masing-masing Kecamatan Kei Keci, Kecamatan Kei Besar dan Kecamatan P Aru. Karena luas lautnya yang hampir 7,6 kali luas daratan, maka sudah sejak lama Maluku Tenggara dikenal sebagai lumbung ikan Indonesia Timur, sekaligus sebagai home base kapal-kapal nelayan lokal dan asing hampir 20-30 kapal nelayan merapat tiap hari di Tual. Hasil perikanan merupakan tumpuan eksport Maluku Tenggara dimana pada tahun 2000 menyumbang 91.208 ton ikan atau devisa sebesar USD 50.488.990,62. Berkembangnya Kota Tual sebagai Ibukota Kabupaten Maluku Tenggara yang cukup pesat, jumlah penduduk saat ini mencapai ± 43.858 jiwa dengan potensi industri Perikanan yang cukup besar, didukung dengan fasilitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI), pelabuhan domestik, hotel-hotel serta sarana lainnya, maka penyediaan air bersih untuk Kota Tual sebesar 50 liter/detik, sudah tidak mencukupi lagi.

 

Salah satu prasarana dan sarana perkotaan yang dibutuhkan untuk mendukung industri perikanan di Tual adalah Prasarana dan Sarana Air Bersih. Pembangunan Sarana Air Bersih Kota Tual Kabupaten Maluku Tenggara dimulai pada tahun anggaran 1974/1975 (dengan jumlah penduduk saat itu ± 10.135

jiwa) melalui dana APBN yang dialokasikan melalui Dep. Pekerjaan Umum dengan Kapasitas Produksi sebesar 20 liter/detik (Tahap-I). Pembangunan Tahap II dilaksanakan pada tahun (1994/1995 – 1997/1988) untuk menambah kapasitas produksi dari 20 l/dt menjadi 50 lt/dt.

 

Sumber air baku Kota Tual berasal dari Mata Air EVU dengan kapasitas debit 1.400 l/dt dan saat ini baru dimanfaatkan untuk Air Bersih sebesar 50 lt/dt, kemudian disalurkan ke Kota Tual yang dikelola oleh  PDAM Tual dengan jumlah  pelanggan aktif sebanyak 2.140 unit,

meskipun tingkat kebocorannya cukup tinggi mencapai 50% dan hanya mampu melayani ± 28% penduduk. Tarif air rata-rata Rp. 1.200,-/m3 serta tarif komersial Rp. 2.150,-/m3.

 

Masyarakat yang tidak dapat terlayani oleh PDAM memenuhi kebutuhannya dari PAH (Penampungan Air Hujan) dan membeli air dari swasta yang disuplai melalui Mobil Tangki (Rp. 60.000,-/Mobil Tangki, 4 m3), di mana sumber air berasal dari sumur-sumur dangkal yang kualitasnya kurang memenuhi persyaratan untuk dikonsumsi sebagai air bersih.

 

Pada tahun 2004 kebutuhan akan air bersih untuk domestik dan non domestik diperkirakan sebesar 80 l/dt. Sedangkan kebutuhan pelayanan Air bersih untuk pelabuhan ikan dan Kawasan Industri Perikanan Ngadi dibutuhkan kapasitas sebanyak 50 l/dt, sehingga total kebutuhan air bersih sampai dengan 2004 sebesar 130 l/dt.

 

Alternatif pengambilan air baku : 1). Penambahan kapasitas dari Sumber air EVU (Kapasitas sumber 1.400 lt/dt) saat ini telah dimanfaatkan 50 l/dt. Jarak sumber ± 19 Km. Dari Tual atau 27 Km dari Kawasan Industri Perikanan Ngadi. 2). Pengambilan air baku dari Danau Ngadi, jarak sumber ± 2 Km dari Kawasan Industri Perikanan Ngadi.

 

Untuk meningkatkan pelayanan air bersih bagi penduduk dan untuk mendukung pengembangan Kawasan Industri Perikanan di Kota Tual, perlu direncanakan pembagian wilayah pelayanan menjadi 2 (dua) bagian yaitu: (i) Wilayah I (Tual

Selatan ) : Air baku diambil dari EVU terletak di P. Kei Kecil      melayani Evu, Letvuan, Dian Darat, Dian Pulau, Debut, Rumadian, Tetoat, Namar, Selayar, Ngilngof, Sathean, Faan, Wearlilir, Kolser, Langgur, Ohoibun, Ohoijang, Fair, Watdek, Tual Bagian Selatan (80 l/dt); (ii) Wilayah II (Tual Utara) : Sumber air direncanakan diambil dari Danau Ngadi terletak di P. Kei Dullah melayani Kota Tual Bagian Utara, TPI, Mangon, Fiditan, Perusahaan Industri Perikanan Ngadi, Desa Ngadi , Dullah Darat, Labetawi, Temedan, Pesantren, Ohoitahit, Ohoitel, Watran dan 5 (lima) unit pelabuhan kapal yang ada di kota Tual  (50 l/dt).

 

Upaya peningkatan pelayanan air bersih di Kota Tual dapat dicapai dengan optimalisasi sistem yang ada (Sumber EVU) melalui pekerjaan : penyusunan DED, rehabilitasi Intake, penggantian sebagian pipa Transmisi yang dibangun tahun 1974/1975, pemasangan pipa distribusi dan penambahan daya listrik.

 

Untuk pelayanan Kawasan Industri Perikanan Ngadi di Kota Tual dan wilayah kota bagian utara, perlu dibangun sistem baru dengan memanfaatan Air Baku dari Danau Ngadi (50 l/dt) melalui pekerjaan : Survey dan Perencanaan, pembuatan Intake, penggantian pipa Transmisi sepanjang 2 Km, pemasangan pipa Distribusi sepanjang  25 Km, pembangunan Reservoir, Pompa Air Baku dan Pompa Distribusi serta untuk penyambungan daya listrik. 

Denpasar Sewerage development Project BALI MASIH TERUS MENATA DIRI UNTUK MEMBERIKAN KENYAMANAN KEPADA

PARA WISATAWAN MELALUI

PEMBANGUNAN SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH/KOTOR DI DENPASAR

 

DENPASAR SEWERAGE

DEVELOPMENT PROJECT

 

Bali (termasuk Denpasar), sebagai salah satu tempat tujuan wisata yang potensial di Indonesia, akan tetap mempunyai daya tarik dan minat bagi wisatawan, sangatlah bergantung dari cara penangannya, terutama aspek-aspek yang dapat memberikan kenyamanan bagi para pengunjungnya.

 

Untuk dapat memberikan kenyamanan yang komprehensif mengandung berbagai aspek, terlebih lagi bahwa Pulau Bali dan Denpasar khususnya, bukan lagi sebagai tempat tujuan wisata lokal, namun sebagian besar berasal dari manca Negara. Berdasarkan hasil studi lingkungan yang dilakukan oleh JICA (Jepang) pada tahun 1991-1992, menunjukkan bahwa tingkat pencemaran lingkungan yang terjadi di Denpasar telah dinyatakan mengkhawatirkan, terutama menyangkut penyebab pencemaran yang berasal dari limbah domestik. Untuk itu diperlukan penanganan yang serius agar dapat dihindari dampak negatif yang ditimbulkan secara lebih meluas.

 

Rencana pembangunan pengolahan Air Limbahpun dimulai, dengan dukungan kucuran dana pinjaman dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) melalui Loan No. IP-431 sebesar 5,4 milyar Yen. Pinjaman yang semestinya sudah harus berakhir pada Desember 2002 tersebut, ternyata tidaklah mudah pelaksanaannya,  terbukti terjadinya beberapa kendala di lapangan sebagaimana dipersyaratkan untuk mendapatkan pinjaman. Kendala-kendala dimaksud antara lain : pembebasan lahan, kelembagaan sebagai pengelola proyek serta tersedianya dana kontribusi baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten ataupun Kota).

 

Kesulitan-kesulitan yang memang hampir selalu terjadi pada proyek-proyek lainnya, menjadikan Pinjaman dari Jepang tersebut harus diperpanjang masa pemanfaatannya

hingga bulan Oktober 2008. Meskipun hal tersebut terlihat aneh dan janggal di satu sisi kita memerlukan dana pinjaman untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan, namun pada sisi yang lain dana pinjaman yang telah tersedia belum dapat dimanfaatkan sebagaimana waktu yang telah ditetapkan. Akan tetapi itulah kenyataan yang harus kita tanggung bersama untuk menata suatu kawasan yang lebih layak dari sisi lingkungannya, terutama pengolahan Air Limbah, apabila tidak diupayakan sedini mungkin, tidak mengherankan apabila pada gilirannya nanti, Denpasar atau Bali akan ditinggalkan pengunjungnya, hanya karena faktor kita tidak bisa mengatasi pengelolaan air limbah yang jelas memberikan kontribusi pencemaran lingkungan.

 

DIMULAINYA PROYEK

Akhirnya kita semua berlega hati, sebab bertepatan dengan Peringatan Hari Habitat Dunia ke 18, yang diselenggarakan di Denpasar, Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri berkenan mencanangkan dimulainya kegiatan  “Denpasar Sewerage Development Project”, yang telah lama direncanakan.

 

Adapun tujuan dibangunnya Proyek ini, adalah : (i) meningkatkan kondisi lingkungan kawasan wisata Bali; (ii) meningkatkan perhatian masyarakat terhadap pencemaran lingkungan; serta (iii) menunjang sektor pariwisata. Dari tujuan dimaksud, diharapkan dengan terselesaikannya pembangunan proyek, akan memberikan berbagai manfaat, antara lain : (a) meningkatkan kualitas air sungai dan air laut; (b) mengurangi pencemaran sungai, pantai, dan air tanah; (c) mempermudah pemantauan kualitas lingkungan; (d) mengurangi masalah pengurasan dan pengolahan Lumpur tinja; (e) meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dan menjaga citra daerah Bali sebagai tujuan wisata dunia.

 

TINGKAT PELAKSANAAN PROYEK

Apabila tidak terdapat perubahan apapun dalam pelaksanaannya, proyek ini diharapkan dapat melayani cakupan area seluas 1.199 ha (yang meliputi Denpasar 520 ha; Sanur 331 ha; dan Kuta 348 ha).

7

Adapun masyarakat yang dapat terlayani diperkirakan berjumlah 103.200 jiwa (masing-masing Denpasar 73.700 jiwa; Sanur 16.500 jiwa; dan Kuta 13.000 jiwa), melalui pekerjaan yang akan dilaksanakan berupa : (i) pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limah (IPAL) dengan kapasitas 51.000 m3/hari; (ii)

pembangunan sistem perpipaan sepanjang 131,20 km; dan (iii) pembangunan sambungan rumah sebanyak 9.890 unit.

 

Sampai dengan saat pencanangan dimulainya pembangunan proyek oleh Presiden, kegiatan yang telah dilaksanakan baru terbatas pada kegiatan Jasa Konsultan yang telah menelan biaya sebesar 486,14 juta Yen, sedangkan paket-paket kegiatan Konstruksi masih dalam proses.

 

Hal terpenting yang lebih melegakan ialah dimulainya proyek ini (meski terlambat), sepenuhnya mendapat dukungan dari Gubernur Bali, Bupati Badung, Walikota Denpasar serta seluruh lapisan masyarakat, terutama yang terkena dampak pembangunan proyek ini.

Peranan Investasi dalam mengembangkan Kawasan Agropolitan yang berbasis Komoditas Peranan Investasi dalam mengembangkan Kawasan Agropolitan yang berbasis Komoditas

 

Redaksi mengangkat Naskah yang disampaikan oleh Penulis pada Lokakarya Perumusan Kebijakan Pengembangan Agropolitan dalam rangka Pemberdayaan Ekonomi Perdesaan melalui Kemitraan Masyarakat – Swasta – Pemerintah, yang diselenggarakan oleh Ditjen. Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan pada tanggal 12-13 Agustus 2003 di Jakarta.

Oleh: John Hamenda

Dalam pengembangan kawasan agropolitan terdapat 3 hal penting yang menjadi syarat agar konsep pengembangan kawasan agropolitan dapat diwujudkan :

 

1.  Investasi dalam Bidang Agro Industri

Kawasan atau daerah yang disebut sebagai daerah Agropolitas dan Agropolitan yang berbasis komoditas unggulan adalah suatu daerah yang bertumpu dari hasil pertanian dan memiliki komoditas unggulan. Daerah tersebut tidak saja menjadi pemasok dari komoditas unggulan yang dihasilkan, tetapi juga menghasilkan sesuatu produk olahan  dari produksi pertanian yang siap dipasarkan dan menjadi ciri khas daerahnya.

 

Contoh daerah-daerah yang memiliki komoditas unggulan seperti sekarang ini, yaitu: Sumatera Utara dengan komoditas unggulan yang dimiliki Markisa. Buah Markisa yang dihasilkan oleh para petani saat ini telah diolah menjadi suatu produk jadi berupa Sirup Markisa. Keunggulan produk yang dihasilkan dari industri yang mengolah komoditas unggulan tersebut akan memberikan nilai tambah yang sangat besar karena barang-barang yang dihasilkan mempunyai nilai jual yang stabil dibandingkan produk perkebunan atau pertanian. Di samping itu bagi masyarakat petani mendapatkan suatu jaminan pembelian bagi produk pertanian yang dihasilkan.

 

Mengapa saya katakan bahwa industri produk olahan (jadi) adalah jaminan suatu stabilitas harga? karena di pasaran kita tidak akan menjumpai barang-barang yang telah diproduksi dan menjadi barang siap dikonsumsi oleh masyarakat

mengalami “fluktuasi” harga. Contoh : Sambal Botol atau Saus Tomat, komoditi ini dipasaran tidak pernah kita lihat harganya turun – kecenderungan stabil dan hampir setiap tahun ada kenaikan harga. Di sisi lain kalau kita melihat produksi Cabe atau Tomat di pasaran bebas, harganya sangat fluktuatif tergantung suplainya.

 

Pada saat suplai tomat di pasaran berkurang maka harga tomat bisa naik dan pada saat komoditi tomat membanjiri pasaran mengakibatkan harga tomat tersebut turun, berakibat pendapatan yang diperoleh petani dari penjulan tomat menurun. Tidak jarang harga jual tersebut belum dapat menutupi biaya produksi sehingga petani selalu mengalami kerugian dari hasil pertanian mereka.

 

Di pasar-pasar lokal yang ada, jarang dijumpai stabilitas harga dari komoditi hasil pertanian yang mentah, namun di satu sisi untuk hasil industri pertanian dari hasil komoditas yang sama yang telah diproduksi menjadi barang jadi, cenderung stabil walaupun harga tomat di pasaran tinggi, harga saus tomat harganya tetap. Kalaupun harga tomat itu hancur atau rendah sekali, harga saus tomat akan tetap (fix).

 

Di sini keunggulan dari suatu industri sangat berperan penting, itu sebabnya saya melihat di beberapa daerah pemasok khususnya di kawasan-kawasan sentra industri komoditas pertanian, masyarakat petani setempat tidak mengalami suatu perbaikan yang signifikan di dalam usaha mereka. Walaupun kita dikenal oleh seluruh negara di dunia adalah negara agraris yang sangat subur lahan pertaniannya, tetapi kita jarang sekali menjumpai petani-petani yang kaya. Karena petani kota ini hanya diminta untuk menanam bertani satu komoditas tertentu dan kemudian daerah pertanian tersebut tidak ada industri yang menjamin pembelian dari produk tersebut. Sehingga kecenderungannya adalah para petani akan dipermainkan oleh arus pasar dan kalau kita berbicara komoditas yang berbasis kepada pasar bebas maka tidak jarang petanilah akan selalu di pihak yang kalah.

 

Untuk itu kawasan agropolitan yang dicanangkan oleh pemerintah, ada satu hal yang sangat penting agar kawasan tersebut dikenal sebagai kawasan agropolitan, pertama-tama adalah bahwa di kawasan tersebut haruslah dibangun industri produk jadi yang berbasis pada komoditi unggulan agar supaya produk tersebut tidak akan menjadi suatu komoditi yang bisa dipermainkan oleh pasar.

Dengan demikian harga akan memberikan kontribusi sangat baik kepada petani dan akan terjadi satu kerjasama yang baik antar petani dan

industri, di mana semua petani akan mengembangkan tanaman atau komoditi yang dibutuhkan oleh industri dan kemudian industri itu akan mendapat jaminan suplai dari para petani komoditas yang mereka butuhkan. Kedua belah pihak harus bisa berkerjasama sehingga akan menghasilkan suatu produk yang benar-benar mempunyai nilai tambah untuk kedua belah pihak. Pihak petani akan diuntungkan dengan stabilitas harga dari komoditi tersebut, kemudian pihak industri akan mendapat jaminan suplai dari raw material atau bahan baku yang dibutuhkan untuk industrinya. Dengan demikian akan timbul satu sinergi yang sangat baik antara petani dan industri yang ada di daerah tersebut.

 

Seperti halnya tadi yang digambarkan yaitu Markisa sudah mempunyai satu industri minuman markisa walaupun dalam bentuk sirup, tapi itu semua diambil dan diproduksi dari lahan pertanian petani yang ada di kawasan Sumatera Utara. Markisa ini kemudian mulai diperkenalkan kepada daerah-daerah yang kemudian kawasan tersebut akan dikenal dari komoditas unggulan tertentu.

 

2.  Promosi Produk Unggulan

Promosi produk unggulan dari suatu kawasan akan menentukan keberhasilan pengembangan daerah agropolitan yang bersangkutan. Apa yang saya uraikan pada butir pertama tentang promosi produk unggulan dari kawasan tersebut adalah salah satu bentuk promosi yang akan berjalan dengan sendirinya pada saat produk itu memasuki pasaran. Salah satu contoh yang saya angkat pada butir pertama adalah komoditas yang dihasilkan oleh daerah tersebut.

 

Setelah komoditas itu diolah dan diproduksi menjadi barang jadi maka dengan sendirinya pihak industri akan mempromosikan produknya ke pasaran nasional maupun internasional, dari promosi tersebut akan terlihat komoditi tersebut berasal dari daerah mana, di sini salah satu letak keunggulan dari kota atau kawasan agropolitan yang berbasis komoditi unggulan. Contoh : promosi dari produk yang dihasilkan seperti yang saya angkat dalam pembahasan kali ini yaitu Markisa. Orang-orang nanti akan mengenal Markisa yang dari Sumatera Utara atau dari Brastagi, di mana produk tersebut akan menjadi salah satu produk unggulan. Promosi akan dikembangkan oleh produk itu sendiri dan akan berjalan secara otomatis mempromosikan kawasan yang bersangkutan.

 

4

Ada beberapa contoh yang kita lihat, kawasan atau daerah akan menjadi dikenal dari produknya, seperti contoh Dodol Garut. Kota Garut itu tidak banyak dikenal orang tapi dari produk makanannya kemudian labelisasi yang diberikan, ditempelkan pada suatu produk yang mencantumkan nama daerah asalnya, akhirnya orang mulai terbiasa menyebut Dodol Garut dan sadar

atau tidak sadar kawasan tersebut mulai dikenal dengan makanannya yang lebih dahulu dikenal oleh masyarakat.

 

Mungkin orang Surabaya tidak pernah ke Garut, tidak mengenal Garut tapi dengan makanan yang mereka nikmati, Dodol Garut, orang akan mulai mengenal di mana daerah penghasil dodol yaitu Garut, inilah salah satu keunggulan dari industri.

 

Kawasan agropolitan berbasis industri akan dengan sendirinya terpromosi karena  produknya sendiri, misalnya dulu ada Salak Pondoh, orang tidak kenal Pondoh itu dimana, tetapi melalui komoditas pertanian yang merupakan komoditas unggulan dari daerah yang bersangkutan. Masyarakat nasional akan mulai melihat Salak Pondoh, orang akan mulai mencari tahu di mana asal dari Salak Pondoh ini, kemudian baru mereka mulai mengenal Sleman atau Muntilan. Keduanya di DI. Yogyakarta dan Jawa Tengah. Jawa, Kota Pondoh, dan tempat-tempat yang memiliki komoditas unggulan akan dikenal karena asal dari komoditas unggulannya. Ini yang ingin kita lihat bersama bagaimana peran komoditas unggulan untuk menjadi dikenal dan kemudian kawasan-kawasan inilah yang akan dikenal menjadi daerah agropolitan yang berbasis komoditi unggulan.

 

Tujuan dari semua ini, supaya masyarakat petani agar lebih giat untuk menanami atau menghasilkan komoditi tertentu, dengan demikian daerah atau komoditasnya akan menjadi satu produk nasional. Seperti kita lihat, durian yang besar, Durian Bangkok, Jambu Bangkok, mungkin orang tidak pernah ke Bangkok tapi mereka dengan begitu mudah menyebut nama kota di Thailand itu melalui komoditas produk hasil pertanian dari negara tersebut. Dulu kita mengenal Lemon Cina, kita belum pernah ke Cina tapi nama dari negara tersebut yang menghasilkan komoditi ini dengan mudah orang menyebutnya. Kawasan

agropolitan yang sedang dirintis oleh pihak pemerintah melalui instansi terkait inilah yang diharapkan dapat memperkenalkan daerah-daerah tertentu yang kemudian akan menjadi daerah tujuan wisata atau agrowisata melalui suatu komoditas unggulan yang benar-benar dihasilkan oleh daerah yang bersangkutan. Ini salah satu “Multi Player Effect” atau nilai tambah dari salah satu komoditas unggulan yang diproduksi oleh daerah tersebut yang dipromosikan oleh industri yang menghasilkan nilai tambah kepada kawasan, sehingga daerah tersebut yang semula tidak dikenal, tidak dikenal akan menjadi terkenal dikenal dan terlihat melalui komoditas unggulan dari daerah tersebut. Dengan demikian akan tercipta satu sinergi dari suatu promosi yang sangat baik akan menjadikan daerah tersebut menjadi daerah tujuan wisata karena hasil komoditas yang ada di daerahnya ke tingkat nasional atau mungkin menjadi go internasional.

 

3. Pengelolaan Agrikultura dan Industri Yang Berkesinambungan

Pengelolaan agrikultura dan industri yang berkesinambungan akan menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat petani. Ini salah satu contoh yang perlu saya kemukakan pada kesempatan ini, dan sekaligus dapat dijadikan perhatian kita bersama yaitu pengelolaan agrikultura dan industri yang berkesinambungan akan lebih menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat petani. Agrikultura dan industri yang saling berkesinambungan, adalah di mana ada industri yang dibangun pada daerah-daerah sentra produksi suatu komoditi dalam kawasan tersebut.

 

Dalam kawasan yang dicanangkan oleh pemerintah sebagai kawasan agropolitan dibangun sebuah industri yang menggunakan bahan baku atau raw material dari produk pertanian yang ada di daerah tersebut akan menjadi satu daerah yang penghasilannya berkesinambungan dengan produk itu sendiri dan masyarakat petani akan menikmati kesejahteraan sebagai dampak pembangunan. Kesejahteraan yang diangkat dari hasil produksi pertanian mereka yang diserap oleh industri tersebut disinilah satu kota atau suatu kawasan agropolitan akan dikenal, karena komoditas produk unggulan dari kawasan itu sendiri.

 

Di samping kesejahteraan petani,  apabila semua itu dapat tercipta pada akhirnya akan berimbas pada : (i) pembayaran pajak pendapatan yang semakin baik, (ii) PAD yang akan meningkat; serta (iii) mendorong pertumbuhan ekonomi lokal yang lebih baik, sehingga akan menjadikan kawasan/daerah tersebut merupakan satu kawasan yang tingkat prosperity atau kesejahteraannya menjadi lebih baik. Hal ini hanya bisa terjadi kalau kesinambungan antara hasil pertanian yang diolah

oleh industri dan kemudian pemasaran produk jadi (siap pakai) dapat masuk ke pasaran nasional maupun internasional, akibat terciptanya suatu kesinambungan atau suatu sinergi yang baik antara supply dan demand. Inilah yang sebenarnya diharapkan oleh pemerintah agar supaya daerah kawasan agropolitan ini bisa menyeluruh ke semua propinsi yang ada, ke semua daerah yang ada di Indonesia agar suatu saat nanti daerah-daerah yang ada di Indonesia bukan daerah yang terbelakang tetapi menjadi daerah maju dengan komoditas unggulan yang akan saling bersaing secara sehat untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat petani dan industri. Dengan demikian masyarakat petani kita akan mengembangkan pola pertanian yang berbasis kepada industri yang nantinya akan menjadikan setiap daerah, setiap kabupaten, setiap propinsi, sampai ke setiap kota kecamatan mempunyai industri komoditi unggulan dari daerah-daerah masing-masing yang akan berbicara dan mampu berbicara di dalam forum nasional maupun internasional.

 

Dari ketiga hal tersebut saya ingin menyampaikan kepada pemerintah untuk terciptanya suatu kawasan industri atau suatu kawasan agropolitan yang berbasis kepada komoditas unggulan hanya bisa berjalan apabila prasarana dan sarana sebagai persyaratan suatu industri itu dapat dipenuhi oleh pemerintah antara lain :

sumber daya energi listrik, karena bila berbicara industri kita berbicara membutuhkan sumber daya energi yang tidak sedikit.

 

Sekarang ini kita melihat masalah yang kita hadapi pertama adalah masalah energi, masalah sumber daya energi listrik yang belum tersedia di daerah-daerah penghasil komoditas unggulan. Terbatasnya sumber energi listrik ini bisa berakibat persoalan yang dihadapi industri akan mengalami permasalahan yang serius. Kedua bantuan atau perhatian pemerintah terhadap permodalan untuk industri. Contoh bahwa apa yang telah dibangun oleh perusahaan kami di Kecamatan Modoinding yaitu perkebunan Kentang dan Wortel  sampai saat ini usaha tersebut berjalan, pabrik telah dibangun namun bantuan dari pihak per-bank-kan untuk membangun industri ini belum kunjung datang padahal ini yang sangat penting untuk mengangkat satu industri di kawasan tersebut untuk mensejahterakan masyarakat petani, saat ini perhatian per-bank-kan yang ada belum seluruhnya tercurah pada program pemerintah yang sekarang ini sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di kawasan daerah-daerah sentra produksi pertanian untuk menjadi komoditi unggulan. Ini salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh pihak per-bank-kan untuk mendorong para industriawan atau perusahaan-perusahaan yang ingin membangun pada sentra-sentra produksi. Adapun yang menjadi hambatan atau kendala adalah, industri di daerah-daerah

pertanian belum bisa digarap secara maksimal karena pengetahuan dari para pelaku ekonomi khususnya per-bank-kan yang belum sepenuhnya menjiwai terhadap upaya pemerintah, mereka lebih senang mempermainkan uangnya pada pasar yang ada di perkotaan sehingga daerah-daerah kawasan industri pertanian tidak tergarap. Dengan kata lain intermidiasi per-bank-kan belum menyentuh sektor pertanian, sektor industri yang berbasis kepada komoditas unggulan. Inilah sebagai benang merah yang perlu mendapatkan perhatian dari pihak setiap penentu kebijakan pada institusi per-bank-kan, untuk lebih memperhatikan industri-industri di daerah pertanian agar keadaan atau kesulitan masyarakat petani saat ini bisa mendapatkan pertolongan dari apa yang sedang dikembangkan oleh Departemen Pertanian serta jajaran institusi pemerintah lainnya dalam rangka membangun kawasan agropolitan yang berbasis pada komoditas unggulan.

Penanganan Kekeringan di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta PENANGANAN KEKERINGANdi Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta

 

Musim kemarau seperti saat ini, sebagian wilayah di Indonesia yang mengalami kekeringan selalu kesulitan air. Jumlah wilayah yang menderita kekeringan dari tahun ketahun terlihat semakin meningkat dan meluas. Hal ini diakibatkan tidak hanya oleh rusaknya lingkungan di daerah tangkapan air, akan tetapi juga diakibatkan oleh pesatnya pembangunan fisik serta rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam penggunaan air tanpa diikuti dengan upaya menjaga dan melestarikan sumber daya air.

 

Di Pulau Jawa yang menjadi langganan kekeringan adalah daerah-daerah sepanjang pantura pulau jawa. Kondisi ini tidak hanya menyebabkan sulitnya mendapatkan air untuk irigasi persawahan namun yang lebih penting juga menyebabkan kesulitan bagi penduduk dalam mendapatkan air bersih untuk keperluan hidup sehari-hari.

 

Pengamatan dari Badan Meteorologi dan Geofisika untuk tahun 2003 ini, terdapat 30 kabupaten yang mengalami kesulitan air, dan yang tergolong parah adalah di Pulau Jawa yaitu di 13 Kabupaten di Provinsi Jawa Timur, 12 di Jawa Tengah, 3 di Jawa Barat, dan 2 di DI Yogyakarta. Di samping 2 kabupaten di Provinsi Banten yang perlu diwaspadai. Sedangkan menurut data Potdes BPS tahun 2000, desa yang rawan air bersih meliputi desa-desa di Kabupaten Serang, Tangerang, Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon, Garut, Sukabumi, Grobogan, Demak, Blora, Rembang, Brebes, Wonogiri dan Cilacap. 

 

Menindaklanjuti informasi tersebut, untuk mengantisipasi dampak kekeringan dan kesulitan air bersih, maka Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, segera melakukan upaya-upaya penanganan dengan menugaskan Tim Survei secara serentak pada bulan Agustus 2003 yang lalu, untuk melakukan inventarisasi kondisi serta kebutuhan penanganan yang tepat untuk mengatasi dan menanggulangi dampak kekeringan yang menimpa daerah-daerah tersebut.

 

Survei diarahkan pada daerah-daerah, hasil keputusan rapat Koordinasi Khusus tentang penanganan dampak kekeringan 2003, masing-masing untuk Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta, yang meliputi Kabupaten Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon, Wonogiri, Grobogan, Blora, Rembang, Demak, Kulon Progo dan Gunung Kidul.

 

KONDISI UMUM AKIBAT

KEKERINGAN  

 

Prioritas inventarisasi diarahkan pada kebutuhan air bersih untuk kepentingan hidup sehari-hari bagi penduduk. Dari hasil survei diperoleh gambaran kondisi tingkat penyediaan air bersih sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

UPAYA PENANGGULANGAN

 

Dari kondisi yang demikian di beberapa daerah, maka Departemen Permukiman dan

Prasarana Wilayah telah menetapkan kebijakan dalam penanggulangan dampak kekeringan dan kesulitan air bersih melalui program jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.

 

Program Jangka Pendek

         Memprioritaskan pemanfaatan sumber air yang masih tersedia sebagai air baku untuk air bersih;

         Menambah instalasi yang dapat difungsikan dengan cepat seperti pembuatan paket-paket unit pengolahan air bersih berkapasitas kecil (5-10 l/det) khusus untuk daerah yang masih memiliki sumber air baku;

 

 

         Bagi daerah rawan air bersih termasuk yang sumur dangkalnya juga mengalami kekeringan, dibantu dengan suplai air bersih melalui tangki yang airnya diambil dari instalasi pengolahan air (IPA) terdekat yang masih berfungsi;

         Untuk daerah yang memiliki potensi air tanah sedang (kedalaman 25-40 m) sesuai peta potensi air tanah, dibangun sumur-sumur pompa tangan dalam.

 

Program Jangka Menengah

         Kampanye hemat air, gerakan hemat air, perlindungan sumber air, mengimbau rasa peduli dan kesetiakawanan terhadap masyarakat yang kesulitan mendapatkan air minum.

         Penyebarluasan teknik-teknik pencarian dan penjernihan air sederhana.

         Khusus untuk daerah rawan air :

         Memanfaatkan sumber air yang ada secara lebih efisien dan efektif;

         Meningkatkan kehandalan sumber air baku instalasi pengolahan air minum yang ada;

         Untuk Ibukota Kecamatan (IKK) yang berdekatan dengan wilayah-wilayah rawan air, dilakukan peningkatan atau pembangunan IPA sehingga menjadi suatu sentra produksi air minum;

         Meneruskan program air minum pada desa rawan air;

         Pengembangan teknologi tepat guna seperti penggunaan pompa tangan dalam (kedalaman 25-40 m) bagi daerah yang berpotensi memiliki air tanah sedang;

         Melanjutkan program penyehatan PDAM.

 

Program Jangka Panjang

         Perlindungan sumber-sumber air dan pengembangannya;

         Memperluas pembangunan sistem penyediaan air minum IKK dan Perdesaan;

         Meningkatkan pembangunan sistem penyediaan air minum Kota dan Regional dengan mengikutsertakan swasta.

 

Khusus untuk kebutuhan mendesak saat ini, program diprioritaskan pada pemanfaatan sumber air yang masih tersedia sebagai air baku untuk air minum, menambah instalasi yang dapat difungsikan dengan cepat melalui pembuatan unit pengolah air bersih kapasitas kecil 5 sampai 10 liter/detik bagi daerah yang masih memiliki air baku, kemudian mensuplai daerah yang mengalami kekeringan melalui mobil tangki dengan mengambil air dari IPA terdekat yang masih berfungsi, serta membangun sumur-sumur pompa tangan dalam 25 sampai 40 meter untuk daerah yang memiliki potensi air tanah sedang.

 

UPAYA YANG SEDANG DILAKUKAN

 

Upaya-upaya yang telah dilakukan dan sampai saat ini masih berjalan meliputi: memberikan dukungan kepada PDAM di 30 Propinsi dalam memperluas pelayanan, serta kegiatan fisik untuk optimalisasi dan kebutuhan mendesak, dan melalui program penanggulangan dampak pengurangan subsidi BBM untuk prasarana air bersih (SB-AB)

 

Program dukungan bagi PDAM

 

Untuk pelayanan skala kota maka bentuk kegiatannya adalah peningkatan dan pembangunan IPA baru, perluasan cakupan pelayanan melalui penambahan jaringan distribusi, serta penambahan mobil tangki untuk mensuplai daerah-daerah rawan air.

Untuk Skala IKK, dukungan meliputi peningkatan atau pembangunan IPA agar menjadi satu sentra produksi air minum dan pendistribusian melalui perluasan jaringan pipa atau pengoperasian mobil tangki. Sedangkan untuk skala desa dilakukan melalui pembangunan sumur-sumur pompa tangan dalam.

 

Program SB-AB

 

Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 2001 dan ditujukan pada masyarakat tidak mampu di daerah sulit air dimana harus membeli atau mengambil dari lokasi yang jauh dan yang selalu mengalami kekeringan pada musim kemarau.

Kegiatan dari program ini meliputi pembangunan hidran umum, terminal air, Sipas, sumur dalam, dan pengadaan truk tangki.

 

Dari Program SB-AB untuk tahun 2001 dan 2002 mencakup 2.650 kelurahan/desa di 30 propinsi dan melayani 1,750,000 jiwa dengan dana sebesar Rp. 304 milyar dan telah direalisasikan pengadaan mobil tangki 322 unit. Sedangkan untuk tahun 2003 telah dialokasikan dana sebesar Rp. 250 milyar untuk mencakup 1,000 kelurahan/desa di 30 propinsi yang akan melayani 1,250,000 jiwa termasuk di dalam program ini pengadaan 150 unit mobil tangki air dan 24 modul sumur dalam.

 

Bantuan Air Gratis

 

Pada tahun 2003 ini, Ditjen. Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan Dep. Kimpraswil juga ditunjuk sebagai Leading Sector untuk bantuan air  gratis.

Untuk itu telah ditetapkan 140 unit mobil tangki yang akan didistribusikan sebagai bantuan dampak kekeringan kepada Propinsi Banten sejumlah 12 unit, Jabar 43 unit, Jateng 48 unit, Jatim 30 unit, D.I.Yogyakarta 7 unit. Sampai saat ini 88 unit telah terdistribusi yaitu masing-masing 6 unit untuk Provinsi Banten, 16 unit untuk Jabar, 29 unit untuk Jateng, 7 unit untuk D.I.Yogyakarta dan 30 unit untuk Jawa Timur. Selain itu juga telah dialokasikan biaya O&P sebesar Rp. 455 juta (akan di SKO langsung ke Pemerintah Provinsi) serta pembangunan 6 Unit IPA dengan total biaya Rp 31,570 milyar.

Hari habitat Dunia Ke 18 - Diperingati dengan tema “AIR DAN SANITASI UNTUK PERKOTAAN” HARI HABITAT DUNIA KE 18 - Diperingati dengan tema

“AIR DAN SANITASI UNTUK PERKOTAAN”

 

Redaksi pada penerbitan Buletin Edisi Nomor 3 bulan Oktober 2003, sengaja memuat berita utama tentang “Hari Habitat Dunia”yang baru saja diperingati pada tanggal 9 Oktober 2003, di Denpasar  - Bali.

Hadir dalam peringatan tersebut Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri, yang berkesempatan mencanangkan Pengembangan 1.000.000 unit Rumah Sederhana, dan “PERCEPATAN PENANGANAN PENYEDIAAN AIR BERSIH DAN SANITASI BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH DI 1.500 KAMPUNG/KELURAHAN SETIAP TAHUN”.

 

Sebagai bagian dari implementasi Deklarasi yang dicanangkan oleh Badan PBB bidang Habitat (UN Habitat), bahwa peringatan Hari Habitat dunia dilaksanakan pada setiap Hari Senin, Minggu Pertama di bulan Oktober. Untuk tahun 2003, puncak peringatan Hari Habitat Dunia di Indonesia, dilaksanakan pada tanggal 9 Oktober 2003, yang dipusatkan di Denpasar-Bali.

 

Tema yang diambil dalam peringatan Hari Habitat tahun 2003 ini adalah “AIR DAN SANITASI UNTUK PERKOTAAN (WATER AND SANITATION FOR CITIES)”. Perhelatan yang diselenggarakan oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, dihadiri Presiden Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri beserta Bapak Taufik Kiemas, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Para Gubernur, Para Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah/ Pekerjaan Umum, serta Pejabat lain yang terkait.

 

Di samping memberikan sambutannya, Presiden dalam kesempatan tersebut juga mencanangkan “Program Pengembangan 1.000.000 unit Rumah Sederhana” dan “PERCEPATAN PENANGANAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI BAGI MASYARAKAT BERPENGAHASILAN RENDAH DI 1.500 KELURAHAN/ KAMPUNG SETIAP TAHUN”.

 

Dalam laporannya selaku Penanggungjawab Penyelenggaraan Peringatan, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (DR. Ir. Soenarno, Dipl. HE), melaporkan beberapa butir penting yang berkaitan dengan peringatan Hari Habitat, antara lain, bahwa : (i) Tema Peringatan Hari Habitat Tahun 2003 “AIR DAN SANITASI UNTUK PERKOTAAN”, adalah merupakan kesepakatan seluruh masyarakat habitat dunia di Nairobi tahun 2003, sebagai upaya untuk mengurangi 50% proporsi penduduk yang belum mempunyai akses air minum dan sanitasi pada tahun 2015, di samping mengurangi 100 juta unit rumah kumuh pada tahun 2020; (ii) bahwa berdasarkan berita resmi UNDP yang menyatakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia mengalami penurunan angka indeks pada peringkat bawah dibanding Negara lain. Hal ini mencerminkan kecenderungan memburuknya kualitas manusia Indonesia. Meski disadari bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun upaya pemenuhan kebutuhan rumah dengan fasilitas air minum dan sanitasi yang cukup dan layak huni sebagai sarana interaksi sosial budaya di dalam keluarga dan lingkungannya masih jauh dari memadai. Bila kondisi ini tetap dibiarkan terus maka pada gilirannya akan semakin menurunkan taraf hidup manusia dan keluarga Indonesia.

 

Lebih lanjut dilaporkan oleh Menteri Soenarno, bahwa saat ini masih banyak masyarakat yang belum memperoleh akses air minum dan sanitasi yang baik dan layak.

 

Sementara data menunjukkan sampai dengan saat ini tingkat pelayanan baru mencapai 39% penduduk perkotaan yang memperoleh akses air minum, dan hanya sekitar 22% penduduk yang telah mempunyai akses sanitasi yang baik.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), masih banyak masyarakat  berpenghasilan rendah yang tersebar di 8.752 desa/kampung rawan air. Di sisi lain masih banyak PDAM sedang dalam kesulitan dan dalam tahap penyehatan kinerja untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum bagi masyarakat. Kondisi tersebut, pada akhirnya membawa dampak bagi masyarakat luas, dan yang paling menderita adalah masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk mendapatkan akses air minum dan sanitasi yang baik dan layak.

Sebagai upaya untuk menjawab tantangan masa depan, di bidang penanganan sanitasi, pada kesempatan tersebut juga ditandai dengan dimulainya pembangunan Sistem Pengolahan Air Limbah/Kotor Terpusat di Kota

Denpasar.

 

TEMA YANG MENARIK

 

Presiden dalam mengawali sambutannya mengungkapkan, bahwa Tema yang digunakan untuk memperingati Hari Habitat se dunia ke 18 kali ini sangat menarik, karena : Pertama, masalah ini memang merupakan masalah kita kini dan di masa yang akan datang. Kedua, karena sepintas hal ini bisa menimbulkan ketimpangan baru di antara masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dengan mereka yang tinggal di perdesaan.

 

Dalam sambutan di luar teks, Presiden juga mengungkapkan kekagumannya pada saat kunjungannya ke Libia beberapa saat yang lalu, tentang rencana pembangunan penyediaan air minum di Libia. Kekaguman Presiden sangatlah beralasan, bila diperhatikan ungkapan yang disampaikan dihadapan kurang lebih 300 orang yang hadir dalam Peringatan Hari Habitat tersebut, yaitu : “Apakah Bangsa Kita tidak mampu berbuat demikian, sementara sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia tersedia di Indonesia?”.  Lebih lanjut diungkapkan :  “………… sama-sama kita ketahui, bahwa masyarakat Indonesia termasuk yang paling malas, kita (Indonesia) pada umumnya hanya pintar membangun, namun setelah dibangun banyak fasilitas yang terlantar hanya karena tidak terpelihara ……..”.

 

Permasalahan dari waktu ke waktu masihlah sama, di antara beberapa kebutuhan pokok, sesungguhnya masalah ketersediaan “papan” belumlah teratasi sepenuhnya, bahkan masih jauh dari kebutuhan yang semestinya. Kebutuhan papan yang terkait erat dengan ketersediaan air bersih dan sanitasi, baik di perkotaan maupun di perdesaan dewasa ini masihlah belum mencukupi, maka jelaslah bahwa sesungguhnya masih banyak yang masih kita kerjakan.

 

Sebagai upaya untuk meningkatkan penyediaan papan termasuk akses pelayanan air bersih dan sanitasi bagi masyarakat Indonesia, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah telah mengusulkan yang saling terkait, yaitu : (i) program pengembangan 1.000.000 unit Rumah Sederhana Sehat; dengan dibarengi (ii) program percepatan penangan penyediaan air minum dan sanitasi

bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk 1.500 desa/kampung per tahun. Dalam konteks permasalahan yang kita hadapi saat ini, program tersebut mungkin tidaklah terlalu besar dan berat, namun untuk ukuran tanah air kita yang demikian besar, dengan sebaran penduduk perkotaan dan perdesaan yang yang cukup besar, penerapan program tersebut jelas bukan hal yang sederhana. Di satu sisi diperlukan biaya yang besar, di sisi lain sumber pembiayaan yang terbatas, terlebih lagi biaya pada saat pemeliharaan.

 

Masih dalam kesempatan tersebut, Presiden juga mengatakan, aspek penataan ruang, penatagunaan lahan, juga sangat diperlukan saat ini, kita tahu sebuah Rencana Induk (Master Plan) pembangunan kawasan tertentu sangatlah penting, namun kenyataannya saat ini banyak master plan yang diubah seenaknya, terlebih lagi perubahan master plan ini dilakukan dengan tindakan penggusuran, hal ini merupakan tindakan yang merugikan masyarakat.

 

Sebagai contoh Megawati melanjutkan, sering kita temui pelaksanaan penggalian jalan yang tiada habisnya, galian pertama untuk keperluan Telkom, setelah selesai dilanjutkan penggalian untuk keperluan PAM, setelah itu dilanjutkan lagi dengan galian untuk keperluan pemasangan jaringan kabel untuk PLN.

 

Pola seperti ini cenderung inefisiensi dan merusak, karena sesungguhnya dapat dilakukan dengan pelaksanaan pola keterpaduan pembangunan yang terdiri atas berbagai sektor, seperti prasarana jalan, listrik, gas, telekomunikasi, dan prasarana sosial lainnya.

Momentum peringatan Hari Habitat Dunia kali ini, Presiden mengajak semua unsur, baik Masyarakat, Gubernur, Bupati, dan Walikota, untuk bersama-sama memperbaharui semangat dan etos pembangunan perkotaan yang kuat dan lebih sehat

 

Sambutan Presiden selama lebih kurang 30 menit tersebut, bila dicerna lebih mendalam, sangatlah menyentuh pokok permasalahan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia, terlebih lagi dalam hal untuk mencari solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

 

RANGKAIAN ACARA PERINGATAN HARI HABITAT 2003

 

Masih dalam rangkaian memperingati Hari Habitat Dunia ke 18, meskipun pelaksanaannya sama sekali tidak menunjukkan kesan mewah, namun lebih mengesankan sikap kepedulian terhadap masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal tersebut terlihat adanya rangkaian acara pokok, antara lain : (i) Penyerahan Penghargaan kepada Pemenang Sayembara Desain Permukiman dan Rumah Sederhana Sehat; (ii) Pameran yang masih bernuansa Peringatan Hari Habitat dengan tema “Air dan Sanitasi untuk Perkotaan”; serta (iii) Penyelenggaraan Seminar Sehari dengan Topik “Percepatan Penanganan Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi menuju 2015”.

 

Adapun hasil yang diharapkan dari penyelenggaraan seminar sehari tersebut, adalah untuk menggalang masukan dari para Ahli (akademisi), Praktisi, Ahli (profesi) dan unsur lain yang terkait, untuk penyusunan Rencana Tindak Penanganan Penyediaan Air Bersih dan Rencana Tindak Pengelolaan Sanitasi.