· Web viewIstilah ‘manak salah’ ini, menurut Sudiana, termuat dalam lontar Dewa...

24
MAKALAH TRADISI BUDAYA MANAK SALAH MATA KULIAH BUDAYA LOKAL OLEH: Luh Sri Martini / 16.1.1.3.3.167 Desak Komang Suryaningsih / 16.1.1.3.1.340 Ni Putu Sukadesi / 16.1.1.3.3.29 Kadek Widiasa / 16.1.1.3.3.18 I G N Ketut Dwija Prastika / 16.1.1.3.3.28 PROGRAM STUDI PGSD JURUSAN DHARMA ACARYA

Transcript of · Web viewIstilah ‘manak salah’ ini, menurut Sudiana, termuat dalam lontar Dewa...

MAKALAH

TRADISI BUDAYA MANAK SALAH

MATA KULIAH BUDAYA LOKAL

OLEH:

Luh Sri Martini / 16.1.1.3.3.167Desak Komang Suryaningsih / 16.1.1.3.1.340Ni Putu Sukadesi / 16.1.1.3.3.29Kadek Widiasa / 16.1.1.3.3.18I G N Ketut Dwija Prastika / 16.1.1.3.3.28

PROGRAM STUDI PGSD

JURUSAN DHARMA ACARYA

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI

MPU KUTURAN SINGARAJA

PROVINSI BALI

2016/ 2017

KATA PENGANTAR

Atas asung kerta waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas berkat

dan karunianya, makalah Kasus “Manakan Salah” Di Bali ini dapat diselesaikan tepat

pada waktunya. Pada kesempatan ini pula, saya mengucapkan banyak terima kasih

kepada semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang membantu

dalam penyelesaian makalah ini. Berhubungan dengan masalah di dalam kehidupan

masyarakat bali yang mempercayai bahwa manakan salah atau sepasang suami-isteri

yang melahirkan anak kembar buncing  laki-perempuan) yang di asingkan dari desa 

tempat  tinggalnya dan di bebani upacara-upacara tertentu karena dianggap ngeletehin

gumi. Tradisi semacam itu sudah saatnya ditinggalkan karena tidak sesuai dengan ajaran

agama. Maka dari itu saya memilih untuk membuat makalah yang berhubungan dengan

hal tersebut.

Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

demi perbaikan makalah ini. Harapan penulis dengan selesainya makalah ini dapat

bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan mengenai kasus yang berkaitan dengan

manakan salah di bali, khususnya kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan

manakan salah, bagaimana cara yang seharusnya dan selakyaknya di terapkan pada

pasangan suami-istri yang mengalami kasus seperti ini di masyarakat.

Singaraja, 26 April 2017

                                                                                                  Penulis

PAGE \* MERGEFORMAT 12

DAFTAR ISI

                                                                                  

                                                 Halaman

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1

1.1 Latar Belakang....................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................. 1

1.3 Tujuan Pembahasan............................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 2

2.1 Sejarah Manak Salah............................................................. 2

2.2 Pengertian Manak Salah........................................................ 3

2.3 Contoh Kasus Manak Salah................................................... 4

2.4 Manak Slah Tradisi atau Agama........................................... 9

BAB III PENUTUP.................................................................................. 11

3.1 Kesimpulan............................................................................ 11

3.2 Saran...................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA

PAGE \* MERGEFORMAT 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Di Bali ada sebuah adat yang unik, bila ada penduduk desa melahirkan anak

kembar yang berjenis kelamin pria dan wanita atau yang disebut oleh penduduk

setempat sebagai kembar buncing. Dulu si orang tua dan bayi kembar buncing ini

menurut adat di Bali harus di dipindahkan dari rumah asalnya ke sebuah rumah darurat

di Matas tanah Banjar Adat yang terletak 800 meter sebelum kuburan.

Tidak itu saja, sang orang tua ini pun masih harus menjalani beberapa prosesi adat

lainnya demi membendung murka dari sang ratu. Lantas prosesi seperti apa saja yang

harus dilalui oleh orang tua sang bayi kembar buncing ini sebelum akhirnya

diperbolehkan kembali ke rumah miliknya.

dan, kembar (laki-perempuan) yang diasingkan dari desanya, disebabkan oleh

karena pada zaman dahulu ada raja yang mempunyai anak kembar (laki-perempuan)

atau buncing dah hal tersebut membawa keberuntungan bagi ia dan rakyatnya, Maka

dari itu rakyat biasa yang melahirkan sama sepertinya harus di asingkan karena ia tidak

mau disamakan kelahiran anaknya dengan  rakyat biasa.

1.2.    Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan rumusan masalah

sebagai berikut.

1.      Bagaimana Sejarah dari kasus manakan salah di Bali ?

2.      Apa yang dimaksud dengan manakan salah ?

3.      Bagaimana tradisi yang di lakukan untuk kasus manakan salah ?

4.      Apakah manakan salah merupakan tradisi atau agama ?

1.3.    Tujuan  Pembahasan

Tujuan dari dibuatnya makalah ini yaitu :

1. Menjelaskan tentang pengertian dari manakan salah yang ada di bali.

2. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang peraturan atau awig-awig

yang mengatur tentang manakan salah

3. Memberikan pengetahuan tentang hal yang berkaitan dengan kasus manakan

salah yang ada di bali dan contoh kasus manakan salah yang pernah terjadi di

beberapa desa di bali.

PAGE \* MERGEFORMAT 12

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Manakan salah

      Tentang manak salah, menurut wiana, tradisi membuang atau mengasingkan ke

setra dan membalikan coblong (tempat tirta) oleh masyarakat adalah tradisi lama. Istilah

Manak Salah muncul dari adanya mitos pada jaman kerajaan dahulu kala. Pada saat itu

permaisuri raja melahirkan anak kembar, laki dan perempuan. Sesuai dengan saran

penasehat kerajaan, kedua bayi itu dipisahkan dan dibesarkan pada tempat berbeda.

Kelak, setelah dewasa, keduanya akan dikawinkan dan dinobatkan sebagai raja serta

permaisuri. Menurut penasehat kerajaan, peristiwa ini merupakan peristiwa langka dan

dipercaya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat kerajaan tersebut. Anaknya yang

kembar ini dinikahkan, dan didudukan di singasana, namanya Sri Masula-Masuli. Sejak

pemerintahan sejoli ini, kerajaan bali mendapatkan kemakmuran. Karena itu dia

mengatakan, kelahiran beliau tidak boleh disamakan dengan rakyat biasa. Jadi sejak itu,

bila ada dari rakyat biasa yang melahirkan anak kembar buncing, ayah ibunya dan

anaknya dibuang atau di asingkan ke setra untuk jangka waktu yang ditentukan atau

sementara. Sedangkan bila dari golongan bangsawan yang melahirkan anak kembar

buncing, itu pertanda kesuburan. Maka masyarakat diharuskan secara bergembira

menyambutnya dengan memukul kentongan.

Makna dari Manak Salah yaitu bahwa rakyat jelata tidak berhak mengikuti

fenomena yang dialami oleh sang raja beserta permaisurinya. Rakyat jelata yang Manak

Salah wajib dikenai sanksi berupa dikucilkan atau diusir dari lingkungan kerajaan.

Mitos inilah yang akhirnya menyababkan beberapa daerah di Bali masih mengenal dan

menerapkan sanksi bagi masyarakat yang  Manak Salah.

Kondisi zaman kerajaan memberikan ruang dan waktu menerapkan sanksi kepada

Manak Salah.

            Sekarang, tradisi seperti itu sudah tidak sesuai lagi. Karena keadaan sosial

kemasyarakatan yang sudah jauh berbeda. Menurut agama hindu sudah tidak bisa lagi di

golongkan sebagai golongan bangsawan maupun golongan rakyat biasa “semuanya

sama saja”. Perbedaanya hanya pada gunakarmanya masing-masing “jadi sesuai dengan

desa kalapatra”.

PAGE \* MERGEFORMAT 12

Prihal masih banyaknya desa adat yang masih melaksanakan tradisi itu maka akan tetap

diadakan pembinaan-pembinaan menuju pelaksanaan adat yang sesuai dengan sastra

agama. Sebagai pembinaan yang akan di lakukan Melalui wakil-wakilnya dalam DPRD

Bali tahun 1951 telah menetapkan Paswara No.10/DPRD tertanggal 12 juli 1951 yang

menghapus adat manak salah dan buncing, yang ditandatangani Ketua Dewan waktu itu

I Gusti Putu Merta.

2.2. Pengertian Kasus Manakan Salah

Kasus Manak Salah di beberapa daerah di Bali, masih ditemukan. Bahkan,

beberapa daerah menuliskan konsep Manak Salah ini ke dalam awig-awig desa atau

peraturan desa. Di dalam awig-awig desa, dinyatakan bahwa masyarakat yang

melahirkan bayi kembar laki dan perempuan atau Manak Salah, dinyatakan telah

mencemari lingkungan desa. Pencemaran dimaksud berkaitan dengan kesucian

lingkungan desa secara adat. Seseorang dan atau keluarga yang Manak Salah wajib

dikenakan sanksi adat. Salah satu sanksi yang dialami oleh keluarga Manak Salah yaitu

Kasepekang atau dikucilkan. Kesepekang artinya disingkirkan, yaitu menyingkirkan

seseorang yang bersalah dengan maksud agar kesalahan tersebut tidak menular kepada

masyarakat sekitarnya. Dalam ajaran agama Hindu, orang yang bersalah wajib di

hukum, tetapi hukuman harus adil dengan tujuan orang sadar akan kebenaran, bukan

membuat orang dendam.

Beberapa daerah di Bali, ternyata masih menerapkan sanksi Kasepekang. Salah

satu sanksi Kasepekang tersebut, dialami oleh keluarga yang Manak Salah. Pelaksanaan

sanksi Kasepekang bagi yang Manak Salah dilakukan dengan cara mengharuskan

keluarga itu mengungsi ke kuburan desa selama satu bulan tujuh hari (abulan pitung

dina). Sanksi ini tentu tidak sesuai dengan konsep ajaran agama Hindu, karena sanksi

ini bukan menyebabkan orang menjadi sadar, akan tetapi justru menimbulkan dendam

kesumat. Oleh karena itu, sanksi Kasepekang ini sangat tidak sesuai dengan norma-

norma atau nilai-nilai ajaran agama Hindu. Di lain pihak sanksi Kasepekang bagi

keluarga Manak Salah juga melanggar hukum positif di Negara Republik Indonesia. Hal

ini karena tidak ada satu pun perundang-undangan di Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang menyatakan bahwa seseorang yang melahirkan bayi kembar laki dan

perempuan adalah melanggar hukum.

PAGE \* MERGEFORMAT 12

Banyak faktor yang mempengaruhi hadirnya konsep atau istilah Manak Salah,

baik politik, ekonomi, maupun hukum. Saat ini, konsep Manak Salah merupakan fakta

yang patut dikaji dari sudut hak asasi manusia (HAM). Ditinjau dari adat-istiadat dan

budaya lokal, konsep Manak Salah diterima oleh masyarakat sebagai  konsekuensi logis

dari warisan  budaya leluhur. Kepercayaan yang turun-temurun nyaris tidak ada yang

berani mengubahnya dan diterima apa adanya. Akibatnya, sampai saat ini penerapan

sanksi kepada masyarakat yang Manak Salah masih diberlakukan. Di lain pihak, dari

kajian hak-hak manusia, konsep Manak Salah bertentangan dengan HAM.

              2.2.1.      Manak salah menurut PHDI Bali

Sudiana menjelaskan,tidak semua kelahiran bayi kembar laki-perempuan disebut

‘manak salah’.

 “Sebenarnya yang disebut manak salah jika pada saat kelahiran yang lahir duluan

adalah yang perempuan, sedangkan jika laki laki yang lahir duluan itu disebut buncing.”

Sesuai dengan aturan adat yang berlaku, orangtua si kembar buncing tersebut

akan diisolasi selama tiga tilem (bulan) di muara desa atau dekat setra (kuburan) desa

pekraman setempat.

Istilah ‘manak salah’ ini, menurut Sudiana, termuat dalam lontar Dewa Tatwa

dan Brahma Tatwa yang menyebutkan bahwa manusia yang lahir dengan

ketidakwajaran dianggap sebagai “manak salah”, salah satunya disebutkan adalah

kelahiran buncing dimana bayi perempuan lahir terlebih dahulu.

Selain itu dalam lontar Dewa Tatwa juga disebutkan jika terjadi kelahiran

buncing maka seluruh parahyangan atau pura akan tercemari karena Ida Bhatara yang

beristana di tempat tersebut di katakana ‘mur’ atau pergi. Karena Ida Bhatara yang

berstana di parahyangan tersebut telah ‘mur’ maka cuntaka (kotor) lah desa pekraman

tersebut.Selama tiga tilem, di lingkungan desa adat tersebut dilarang mengadakan

upacara yadnya. Namun pengecualian bagi upacara kematian.

          2.3.      Kasus Manakan Salah

2.3.1.      Kasus Manak salah di Desa Pekraman Ketewel

Menurut ‘awig’ (aturan)-nya, Desa Pekraman Ketewel, Kecamatan Sukawati,

Kabupaten Gianyar, Bali, manakan salah merupakan kelahiran yang dianggap

ngeletehin gumi dengan hal itu pasangan suami-istri yang mempunyai anak kembar

PAGE \* MERGEFORMAT 12

buncing akan di haruskan untuk ‘masengker’ atau dilarang menggelar ritual keagamaan

selama 42 hari, lantaran salah seorang warganya ‘manak salah’, yakni melahirkan anak

kembar laki-perempuan—dimana bayi perempuannya yang lahir terlebih dahulu.

“Larangan ini berlaku sejak warga kami melahirkan bayi kembar karena dia dianggap

`cuntaka` (tidak bersih) sehingga tidak boleh ke pura.”

Larangan menggelar ritual atau ‘masengker’ yang diterapkan, menurut Wayan Loci,

telah sesuai dengan ‘Awing-awig Desa Pakraman` (peraturan desa adat) setempat. “Hal

ini sudah diatur dalam Pawos (pasal) 70 `Awing-awig Desa Pakraman` Ketewel.”

Sesuai awig-awig tersebut, jika ada warga yang melahirkan bayi kembar laki-laki

dan perempuan atau “kembar buncing” yang mana bayi perempuan lahir lebih dulu

(disebut ‘manak salah’) maka warga desa adat itu diwajibkan ‘masengker’. Setelah

masa 42 hari terlewati, tutur Wayan Loci, warga Desa Adat Ketewel diperbolehkan

menggelar ritual keagamaan sebagaimana biasanya. Namun harus didahului dengan

ritual ‘Gumi Suda’ di ‘catus pata’ Desa Pakraman Ketewel. Selain itu warga Desa Adat

Ketewel juga diwajibkan menggelar ritual “pemendak” di Pura Kahyangan Pelinggih

Ida Bhatara Ratu Mas Murub dan Mas Maketel.

2.3.1. Di Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali

Sebagai Pelestarian Budaya Bali

Budaya Adat ”Manak Salah”

Budaya Manak Salah merupakan budaya yang telah lama di yakini dan dilaksanakan

oleh masyarakat Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Budaya

ini menyalahkan tentang adanya kelahiran bayi kembar buncing, yaitu kelahiran bayi

kembar yang berbeda jenis kelamin. Kebudayaan Adat Kembar Buncing atau Manak

Salah yang berlaku di desa Padangbulia  merupakan salah satu perlakuan khusus bagi

desa tersebut. Menurut penuturan Kelian Adat Desa Padangbulia dan beberapa

masyarakat sekitar pelaksanaan Budaya Adat ”Manak Salah” atau “Kembar Buncing” di

Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali  menyangkut hal-

hal berikut :

 

Lokasi

Lokasi pengucilan yakni di tepi sebuah tempat khusus yang terletak di antara pertemuan

dua sungai yang oleh masyarakat di sana sering di sebut campuhan, sekitar 10 kilometer

PAGE \* MERGEFORMAT 12

selatan Singaraja, kota Kabupaten Buleleng. Kedua orang tua bayi beserta bayinya

dipindahkan dari rumah asalnya kesebuah rumah darurat diatas tanah Banjar Adat yang

terletak 800 meter sebelum kuburan. Campuhan merupakan pertemuan antara 2 anak

sungai, dimana merupakan simbol dari bertemunya laki-laki dan perempuan. Dalam

pelaksanaannya, masyarakat desa secara bergiliran di masing- masing banjar akan

menjaga keluarga manak salah tersebut. Segala keperluannya akan di sediakan oleh

masyarakat desa. Namun, rumah tinggal asal tidak dirusak’. Lokasi yang sangat jauh

tidak menjadi alasan bagi warga desa untuk tidak mengunjungi keluarga tersebut. Malah

sebaiknya, jauhnya jarak harusnya menjadikan warga untuk lebih mengerti bahwa ada

warga desa yang harus mendapat perhatian lebih.

Rentang Waktu

Lamanya pengungsian terhadap keluarga yang harus menjalankan adat ini berdasarkan

Tilem, yakni kurang lebih selama 68 hari atau sampai menemukan tiga kali Tilem.

Dalam hal ini Tilem dijadikan dasar karena Tilem memiliki makna dimana Tilem

merupakan bulan mati yang merupakan suatu kepercayaan untuk menghilangkan segala

‘kotoran-kotoran’ yang dapat menyebabkan kehancuran jagat Bali.

Kebutuhan Sehari-hari

Selama dalam pengungsian, kebutuhan sehari-hari makan dan minum dibantu oleh

penduduk Desa, dan setiap hari selalu ada penduduk Desa yang membantu menjaga

bayi dan menghibur kedua orang tua bayi.

Dalam hal ini desa adatlah yang sepenuhnya membiayai semua kebutuhan dari keluarga

tersebut, meskipun dalam hal ini ada beberapa donatur dari berbagai pihak yang simpati

terhadap masalah tersebut. Kelahiran bayi kembar buncing memang merupakan

kejadian langka, tetapi tetap saja adat ini memerlukan banyak biaya untuk kebutuhan

sehari-hari dan sebagainya.

 

Kegiatan

Selama dalam pengungsian, kedua orang tua bayi tidak melakukan perjalanan keluar

Desa maupun mencari nafkah Hal ini didasarkan pada cerita awal munculnya budaya

ini, dimana bagi keluarga yang diungsikan memiliki artian disucikan (bertapa), sehingga

keluarga tersebut dilarang melakukan aktivitas apapun. Aktivitas aktivitas yang

PAGE \* MERGEFORMAT 12

menyangkut kebutuhan dari keluarga tersebut dilakukan oleh warga desa lain yang

bertugas.

Selain itu, bagi keluarga yang memiliki lahan pertanian yang dalam kesehariannya

selalu digarapnya sendiri maka saat ditinggalkan untuk menjalani adat ini dan pada saat

selesai pengasingan, keluarga tersebut harus memulainya dari awal lagi.     Tetapi

dengan tidak adanya aktivitas yang boleh dilakukan menyebabkan keluarga ini memiliki

waktu luang yang lebih untuk berkumpul dan mempererat hubungan diantara anggota

keluarga tersebut. Dan ada lebih banyak waktu untuk mengurusi kedua bayi tersebut,

apalagi jika anaknya tidak hanya dua.

Upacara

Setelah tiga kali tilem dilaksanakan berbagai macam upacara. Yang pertama, upacara

dilakukan di campuhan, kemudian dilaksanakan pecaruan di jaba Pura Desa. Setelah itu,

upacara dilanjutkan dihalaman rumah dari keluarga yang bersangkutan, tepatnya di

Sanggah keluarga. Kemudian dilanjutkan dengan diadakan upacara melasti ke segara

yang dilaksanakan sehari sebelum Tilem. Dan upacara terakhir adalah Upacara

Pengenteg Widhi (upacara penyucian akhir).

            Selama tiga hari berturut-turut kedua orang tua bayi dan anaknya

bersembahyang di tiga Pura Desa yang mempunyai Bale Agung Pegat ( suatu bangunan

yang dalam Agama Hindu dikenal dengan Bale yang beratap satu tapi terputus dibagian

tengahnya). Bale Agung Pegat yang harus dilewati ini, berlokasi berbeda-beda yakni :

Di Desa Padangbulia, Tenaon, dan Buleleng tepatnya di Panji.

Dalam hal ini, ketiga Pura Desa yang harus dilewati memiliki makna Bhur, Bwah, Swah

(3 tingkatan lapisan bumi dalam Agama Hindu). Persembahyangan di ketiga pura

tersebut bertujuan agar kehidupan lalu, sekarang dan mendatang tidak mendapat akibat

yang disebabkan oleh adanya kelahiran kembar buncing ini, sehingga sesuai dengan

keyakinan Agama Hindu, jagat (dunia)

Munculnya dan Berkembangnya Budaya

Berdasarkan cerita dari Kelian Desa Adat Padangbulia, Gusti Kopang Supartha yang

didasarkan atas beberapa lontar-lontar tua yang pernah dibaca dan penurunan dari

pendahulu-pendahulu sebelumnya serta penuturan dari beliau, dapat kami tangkap

informasi sebagai berikut.

PAGE \* MERGEFORMAT 12

Cerita ini berawal dari adanya Dewa Brahma Sapa yang mempunyai anak laki-laki.

Anak ini mempunyai seorang istri. Pada suatu hari, keduanya sedang melaksanakan

perjalan yang melewati pegunungan. Setelah beberapa lama melaksanakan perjalanan,

mereka merasa lelah dan akhirnya memutuskan untuk beristirahat di goa Gunung

Indrakila. Mereka menginap semalam dan secara tidak sengaja mereka bersenggama di

dalam goa tersebut. Mengetahui hal tersebut, Dewa Brahma datang dan mengutuk anak

dan menantunya. Mereka akan mempunyai anak kembar yang berjenis kelamin berbeda

(laki-laki dan perempuan). Akhirnya anak dan menantu dari Dewa Brahma mempunyai

anak kembar yang berjenis kelamin berbeda (kembar buncing). Mereka diberi nama

Dewa Jroti Srana dan Dewi Gayatri.

Karena menurut Dewa Brahma Sapa kelahiran dari Dewa Jroti Srana dan Dewi Gayatri

merupakan hal yang tidak pantas atau disalahkan, maka mereka harus dipisahkan

dengan cara menyuruh Dewa Jriti Srana ngemban tugas (sebagai penanggung jawab) di

Pura Desa. Sedangkan Dewi Gayatri yang dikenal juga sebagai Dewi Durga harus

ngemban setra di Pura Dalem. Pengembanan tugas Dewa Jriti Srana ini merupakan cikal

bakal dari Pura Desa yang terletak di Desa Padangbulia.

Duatu hari Dewi Gayatri ingin bertemu dengan Dewa Jroti Srana. Untuk dapat bertemu

kakaknya, ia harus melakukan ritual khusus yang dinamakan Ilmu Leak. Ilmu ini dapat

dinetralkan dengan melaksanakan upacara yang dinamakan Upacara Peneduh Jagat

yang bertujuan untuk menyempurnakan jagat (dunia) dan menghindari jagat dari hal-hal

yang tidak diinginkan.

Dari cerita tersebut, masyarakat setempat menganggap bahwa kelahiran bayi kembar

buncing merupakan kutukan dari Dewa Brahma. Tempat kelahiran dan keluarga

bersangkutan akan mengalami cuntaka (dalam keadaan kotor). Maka untuk menyucikan

kembali tempat atau desa beserta keluarga yang dilanda cuntaka, maka masyarakat

setempat harus mengadakan upacara penyucian, baik dari segi Desa ataupun keluarga,

agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dari sinilah dikenal istilah ”Budaya

Manak Salah” yang masih dilaksanakan di Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada,

Kabupaten Buleleng dari turun temurun.

 

PAGE \* MERGEFORMAT 12

2.4. Manak Salah, Tradisi Atau Agama?        

Hindu tak Mengenal Istilah Lahir Salah dalam tradisi lokal, di masa lalu adanya ibu

yang melahirkan kembar buncing (laki-perempuan) bisa bermakna ganda. Jika keluarga

raja yang memiliki putra buncing, hal itu bisa berarti berkah atau keberuntungan.

Sebaliknya, bagi masyarakat kebanyakan hal itu bisa dikatakan bencana atau aib.

Bagaimana sebenarnya Hindu memaknai suatu kelahiran salah atau tidak salah? semua

kelahiran merupakan berkah. Tidak ada istilah lahir salah (manak salah) yang kemudian

dianggap ngeletehin (menodai) desa sehingga perlu diupacarai. Terlebih ada pembenar

bahwa jika raja melahirkan kembar buncing dianggap berkah, sementara rakyat

dianggap bersalah sehingga perlu diberikan sanksi. Akan merupakan kemunduran jika

pada era sekarang masih ada pengenaan sanksi adat kepada pasangan suami-istri yang

melahirkan anak kembar buncing, sebab pemerintah Bali sejak tahun 1951 telah

mengeluarkan keputusan tentang pelarangan pengenaan sanksi semacam itu. Oleh

karenanya, tradisi kerajaan yang berlaku dulu itu sudah saatnya ditinggalkan. Terlebih

dalam konsep religius dipandang bahwa tiap kelahiran adalah menebus dosa yang

tertinggal pada kelahiran masa lampau.

Dalam agama Hindu tidak ada istilah manakan salah. ''Dalam sastra agama tidak

ada disebutkan kembar buncing itu merupakan manak salah sehingga perlu diupacarai

karena dianggap leteh,'' katanya. Jangankan pada diri manusia, tegasnya, jiwatman yang

ada pada butha saja mesti di-ruwat agar derajatnya bisa meningkat. Dikatakan,

munculnya tradisi manakan salah semata-mata karena prestise orang-orang tertentu

pada zaman dulu. Terutama ketika Belanda menerapkan politik pemecah belah, raja

tidak boleh disamakan dengan rakyat dan rakya tidak boleh menyamai (memada) raja.

Tradisi itu kemudian dikaitkan dengan keagamaan sehingga terkesan sangat sakral.

Oleh karena dikaitkan pada agama jelas hal itu merasuk tulang sumsum spiritual umat.

Akibatnya, begitu kembar buncing dicap ngeletehin desa, maka hal itu tidak bisa

diganggu gugat dan mesti diterima. Terlebih hal itu didukung oleh raja dan purahita

(penguasa politik).  

''Mau tidak mau masyarakat menerima, dan ikut larut pada tradisi seperti itu.

Masyarakat yang melahirkan anak kembar semacam itu lalu menjadi trauma, dan

mengangap dirinya orang-orang berdosa atau orang-orang yang ngeletehin,'' Jadi

ditinjau dari segi agama, , jelas tidak benar dan tradisi itu melanggar hak asasi manusia.

Belum terhapusnya tradisi semacam itu dia menilai karena masih ada dualisme

PAGE \* MERGEFORMAT 12

pemahaman di masyarakat. Terutama bagi mereka yang percaya terhadap hal itu, jelas

tidak berani meninggalkan tradisi tersebut. ''Ini yang masih terjadi di masyarakat

sehingga tidak ada keberanian untuk meninggalkan tradisi semacam itu, kecuali secara

perlahan-lahan.'' Oleh karena itu, lanjutnya, peraturan yang pernah dikeluarkan

Pemerintah Daerah Bali tahun 1951 itu perlu dimasyarakatkan terus, baik melalui aparat

desa, desa pekraman, maupun pemerintah yakni melalui Departement Agama.

            Bahkan dia menegaskan, kembar buncing dianggap manak salah sudah

merupakan penghakiman, karena dalam konsep relegius memandang tiap kelahiran

adalah menebus dosa yang tertinggal pada kelahiran terdahulu. Di samping pemahaman

masyarakat perlu diubah, semua pihak harus berani mengatakan bahwa kembar buncing

itu tidak salah karena jelas-jelas dalam sastra agama tidak ada disebutkan hal itu. Drs.

Ketut Wiana sepakat dengan Rudia Adiputra bahwa manak salah itu merupakan tradisi

kerajaan. ''Itu jelas tradisi kerajaan dan bukan tradisi agama. Jeleknya lagi, masih

banyak pemimpin umat kita memegang tradisi itu.'' Padahal, kata Wiana yang Ketua III

PHDI Pusat, tradisi itu sudah dihapus sejak 1951 sekaligus sanksi adat lainnya yang

sudah tidak cocok lagi.

PAGE \* MERGEFORMAT 12

BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Beberapa simpulan yang bisa penulis peroleh adalah :

1. Kesimpulan yang di peroleh mengenai pengertian dari manakan salah itu sendiri

ialah pasangan suami istri yang mempunyai kelahiran anak kembar namun

berbeda kelamin (laki-perempuan) atau yang di kenal dengan kembar buncing,

namun di nyatakan bahwa kelahiran  itu salah atau manakan salah apabila dari

kelahiran si kembar buncing (laki-perempuan) yang terlahir pertama ialah

perempuan.

2. Mengenai peraturan yang mengatur kasus manakan salah sudah di keluarkan

sejak tahun 1951 yang ditetapkan pada Paswara No.10/DPRD tertanggal 12 juli

1951 yang menghapus adat manak salah dan buncing

3. Kasus manakan salah merupakan tradisi dari zaman kerajaan yang menyatakan

bahwa sanksi yang diberikan kepada pasangan suami istri yang mempunyai

kelahiran kembar buncing dimana yang terlahir lebih awal itu perempuan

dikatakan manakan salah jika sebaliknya dikatakan buncing dan sanksi yang

dibebankan kepadanya dikarenakan oleh kelahiran dari raja tidak dapat di

samkan dengan rakyat biasa.

3.2. SARAN

Sebagai masyarakat yang hidup pada zaman modern seperti ini ada bainya

meninggalkan tradisi yang melanggar HAM seperti pemberian sanksi kepada pasangan

suami istri yang mempunyai kelahiran kembar berbeda kelamin (laki-perempuan)yang

di bebani sanksi adat berupa kasepekang atau pengasingan karena tidak sesuai dengan

ajaran agama hindu dan itupun melanggar HAM.

Jadi saran yang dapat saya berikan, bagi desa-desa yang masih menerapkan tradisi

seperti ini dapat mengubah awig-awig atau peraturan adatnya atau menghapuskan

sanksi adat tersebut. Karena setiap kelahiran merupakan berkah bagi setiap orang.

PAGE \* MERGEFORMAT 12

DAFTAR PUSTAKA

Made Susena, Y. 1995. Kisah Kasih Anak Kembar Se-Dunia dan Kasus “Manakan

Salah” di Bali. Denpasar : PT. BP

Antara, Bali Post, Tempo, PHDI Provinsi Bali, Universitas Udayana. Ilustrasi

Gambar Utama:ryogustyamaya.wordpress.com

(1)        Artika, I Wayan. 2005. Incest. Yogyakarta : Pinus.

(2)        www.wikipedia.com

(3)       http://www.google.co.id/search?hl=id&q=budaya+adat+desa+padangbulia+

%27bali%27&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=&aq=f&oq=

PAGE \* MERGEFORMAT 12