Vampir Indonesia

download Vampir Indonesia

If you can't read please download the document

Transcript of Vampir Indonesia

Vampir Indonesia Sial. Film vampir itu terus menghantuiku. Gigi taring yang runcing, wajah yang rupawan meski super pucat pasi, berkekuatan super layaknya superman, dan meskipun rupanya kalah seram dengan hantu Indonesia, aku baru kali ini benar-benar terhipnotis. Gila karena tergila-gila dengan vampir. Sinting karena aku mulai percaya. Vampir ada disini. Di Indonesia. Aku pasang poster vampir dimana-mana. Di dinding kamar maupun kamar mandi. Perlu dicatat, hanya poster vampir yang berwajah ganteng saja yang aku pajang. Wajah-wajah seram ala Ras Putin dan yang bergigi panjang aku singkirkan. Tidak hanya itu, koleksiku masih banyak. Alat-alat tulis berkepala vampir, buku bersampul vampir, kaos bersablon vampir dan buku-buku cerita tentang vampir. Suatu hari nanti, aku ingin punya peti mati, tempat tidur vampir yang aku cat berwarna pink. Itu terjadi, jika level kegilaanku terhadap vampir semakin menggila. Di Indonesia mana ada vampir. Temanku memasang wajah konyol. Untuk ke seribu kalinya aku dibantah. Tidak ada yang percaya. Mereka menganggapku konyol. Sepertinya harus ada pembuktian. Lalu sebuah ide sinting bergerilya di kepalaku. Aku mengangkat tanganku. Layaknya seorang dukun, aku komat kamit. Temanku merasa aku amit-amit. Hei....Vampir!!!! Aku sungguh-sungguh. Temanku semakin menarik diri. Ia pikir level sakit jiwaku bertambah satu stadium lagi. Datanglah....!!! Seruku. Hush!!! Temanku menarik mulutku spontan. Seolah-olah aku ini bebek bermoncong. Menyuruhku bungkam. Ia merinding. Aha! Berarti lo percaya, kan? Aku melotot. Temanku melihat ke sekeliling. Bukan itu. Lo itu ngundang penghuni lokal sini, tau! Bukannya vampir. Hiiy. Aku bergidik. Di film-film, hantu Indonesia lebih seram daripada vampir. *** Situasi kelas gaduh plus ricuh karena ocehanku. Gaduh karena tertawaan konyol temantemanku. Tapi hari itu, kepercayaanku kalau vampir itu ada disini, semakin menjadi. Seorang siswa baru masuk kelasku. Ia rupawan dan kharismatik. Semua penghuni kelas jatuh cinta padanya. Ia duduk dibelakangku. Aku tak berani sekalipun menoleh padanya. Seolah ia makhluk

yang berbeda, auranya pun begitu berbeda. Temanku menyikutku. Menyuruhku berhenti mendeskripsikan teman baru kami itu dengan horor. Ia jarang berbicara. Sekali, ketika ditanya guru, murid-murid wanita langsung gaduh. Ternyata ia bersuara emas. Otaknya pun cemerlang. Ia mengerjakan semua tugas dengan sempurna. Saat jam istirahat, ia tak pernah terlihat ke kantin. Tak pernah kulihat ia makan sesuatu. Apakah ia tidak pernah lapar? Aku pun tak pernah melihatnya saat jam istirahat. Pernah suatu hari aku iseng, membuntutinya. Aku cari dia. Tak ada kepalanya di perpus, tak nampak batang hidungnya di kelas manapun, tak juga ada penampakannya di segala penjuru sekolah. Tapi... hey..ia pernah kulihat mangkal di sebuah kursi taman di bawah pohon beringin besar. Tempat itu terkenal angkernya di sekolah kami. Konon katanya, artis-artis Hantu budek, Arwah goyang Karawang, dan Hantu Rumah kentang atau semacamnya sering nongol disitu. Makanya, tak ada satupun dari kami berani nongkrong disitu. Tapi sedang apa ia disitu? Sendirian. Hening. Sedang bertapa kah? Atau menunggu mangsa? Hiiiiy. Hari pertama aku membuntutinya, aku langsung ngibrit. Esoknya, aku melihat dia masih bercokol di tempat yang sama. Kali ini ia memegang sebuah buku. Rupanya sedang membaca. Hei, itu kan, Draculanya Bram Stoker. Ia membaca buku tentang kisah terhoror sepanjang masa. Aku menyipitkan mataku, tidak salah. Kenapa ia membaca buku itu? Aku sempat berpikir untuk melihatnya lebih dekat, tapi bel masuk keburu menjerit. Lagilagi aku heran. Ia sudah tidak ada di situ. Di bawah bangku kosong pohon beringin itu, 5 detik yang lalu ia masih disitu. Kemana dia? Aku terengah-engah memburu kelas yang jaraknya setengah kilometer. Mataku membelalak, ia sudah ada di kelas. Tampak anteng, dan dingin. Ia melihatku, mengangkat alisnya. Memicingkan mata padaku, dan melihatku tajam kemudian. Aku kelilipan, atau lebih tepatnya tertohok. Tatapannya menakutkan. Ngerasa gak sih, dia itu aneh? Aku berbisik pada teman sebangkuku. Aneh gimana? Dahi temanku berkerut. Jangan bilang kalau lo curiga dia itu vampir. Ia menjentikkan jarinya. Ia menghela nafas. Seolah lelah denganku yang mengoceh terus tentang vampir. Saat itu juga aku memutuskan untuk menyimpan rahasia tentang Andrew. Keanehan-

keanehannya membuatku penasaran. Akan kubuktikan nanti. *** Hari berikutnya, mengamati Andrew semakin menjadi ketertarikanku.Seandainya ia seorang vampir, maka ia adalah vampir pertama yang aku temui di sini. Aku girang. Di Indonesia ternyata ada vampir. Kali ini aku menemukannya di perpustakaan. Membujur kaku di bangku panjang perpus. Tertidur. Atau jangan-jangan mati. Mukanya pucat sekali. Seandainya ia seorang vampir, ia tetap vampir yang ganteng. Oke, kuralat. Tetap saja aku merinding. Jantungku berpacu berisik saat kuberanikan diri mendekatinya. Setiap jengkal langkahku terasa kaku. Satu inchi berada di depannya terasa horor dan aneh. Seperti magnet, aku ingin lari, tapi seperti tertarik untuk mendekatinya. Ia masih membatu. Ada rasa ragu dan takut ketika mendekatinya. Namun penasaran ingin menyentuh kulitnya. Memastikan apakah ia juga sama sedingin batu seperti vampir. Ah, lagi-lagi vampir. Bagaimana jika ia bangun? Langsung disergapkah aku dan di gigitnya karena ia haus darah? Sepertinya pikiran sinting itu lewat begitu saja dikepalaku. Baiklah, aku rela menjadi vampir. Pikiran sinting nomor dua. Lalu aku menyentuh pipinya seperdetik kemudian. Sensasi setelahnya, tak tergambarkan. Batu. Es. Marmer. Semua menjadi satu. Aku bertanya-tanya apakah ia mati? Aku teringat vampir suka tidur siang. Mungkin hal ini yang dilakukannya juga. Sejurus mataku kemudian melihat novel yang selalu dibacanya. Aku penasaran untuk membukanya, meski aku juga punya satu persis novel itu di rumah. Tapi buku ini berbeda. Versinya lebih original. Bukunya terlihat tua dan berumur. Ingin kubangunkan dia sekarang untuk menanyainya darimana dia mendapat buku ini. Tapi sepertinya butuh keberanian sembilan nyawa untuk melakukannya. Hal yang kulakukan kemudian hanya membulak-balik isi halaman novel itu. Persis di halaman belakang novel itu, coretan-coretan nama itu membuatku menganga. Ia menulis sebuah daftar. Nama-nama kami. Teman sekelasku. Aku bertanya-tanya untuk apa. Aku berpikir sejenak. Persediaan darah untuknya? Sedetik aku menyadari, aku lalu mengambil langkah seribu setelahnya. Meninggalkan buku itu terjatuh. Saat kakiku menginjak pintu depan kelas, sejurus angin mengerubungiku. Mataku

melotot dan terhenyak melihat ia telah berada satu inchi di depanku. Sekujur tubuhku langsung kaku seolah tersetrum. Oke, tujuh puluh persen aku merasa takut, sisanya aku merasa degdegan. Eh...emmm? Salah tingkah. Ia masih melototiku. Lalu berdehem. Tapi ia kelihatan gemetar kemudian. Kedua tangannya mengepal, seperti menahan sesuatu. Dan mulutnya hampir membuka untuk berucap. Aku penasaran apakah ia akan menampakkan taringnya? Tapi sejurus kemudia ia malah pergi. Masuk kelas meninggalkanku yang hampir mati karena berpikiran macam-macam. Kuceritakan kejadian tadi pada temanku. May, beneran. Ada sesuatu yang aneh sama si Andrew. Aku ngotot. Maya temanku menghela nafas lagi. Mengangkat bahunya. Udahlah, Diana. Stop! Dia itu bukan vampir, oke? Tapi.... Lagi-lagi ia menarik mulutku. No more conversation about this, oke? Aku ber hhmmmm panjang. Memprotesinya. Tapi Maya ada benarnya. Aku pun masih ragu. Berarti nyaliku kembali diuji untuk mencari tahu tentang Andrew lebih jauh. *** Aku cari-cari info tentang vampir. Dari yang paling hanya mitos sampai kebenarannya dapat dibuktikan. Saat aku pulang dari toko buku malam hari, aku menangkap gelagat seseorang yang sedang membuntuti seseorang yang lain. Sampai di gang kecil yang sempit dan gelap, seseorang yang sedang dibuntuti itu tak nampak lagi. Lho, kemana dia? Aku malah terkejut setengah mati karena yang keluar dari gang itu adalah Andrew. Aku bertanya-tanya kenapa ia membuntuti seseorang. May, lo tau gak? Andrew tu suka ngilang tiba-tiba. Dan muncul tiba-tiba lagi. Dia suka keluar malam hari ke tempat sepi dan gelap. Gue yakin dia suka cari mangsa. Gue yakin banget dia itu udah banyak korbannya. Vampir maksud lo? Iya. Aku mengiyakan ngotot. Maya bertanya malas. Oke, apa buktinya? Terus apa yang buat lo yakin kalo dia tu vampir? Buktinya gue semalem mergokin dia ngikutin orang, terus orang itu gak muncul lagi

setelah si Andrew mendatangi dia. Aku berapi-api menjelaskan. Maya sekarang memasang matanya lekat-lekat padaku, tapi masih bertanya, Gue gak percaya kalo Andrew itu orang jahat. Aku menarik nafas panjang. Dia lebih menyangka Andrew orang jahat ketimbang sebagai vampir. Vampir tidak takut sinar matahari. Alasannya, vampir bukan hantu. Vampir suka tidur siang, alasannya malam hari ia begadang keluar mencari makan. Aku mengoceh lagi di depan Maya. Maya tertawa mengejek. Konyol. Lo bener-bener kena virus film vampir. Aku cemberut setengah mati. Oke kalo nggak percaya, pulang sekolah kita ikutin dia. Berani? Maya mendehem panjang. Dengan satu syarat. Kalo hal ini gak membuktikan ia seorang vampir, lo gak boleh ngoceh lagi tentang vampir di depan gue. Maya memasang tampang horor. Ia menekankan lagi, Selamanya. Oke. Deal! Aku bertaruh yakin. *** Kami membuntutinya. Ada yang aneh hari itu. Ia bersama teman kami, Wahyu. Dia hampir tak pernah berinteraksi dengan orang lain. Menyapa kami pun tak pernah. Aku curiga. Kami menjaga jarak berada jauh di belakang mereka. Saat menelusuri jalan yang agak sepi, kekhawatiranku memuncak. Satu pijakan berisik kami yang menunburuk sesuatu membuat mereka menoleh kebelakang. Tatapan Andrew yang paling seram. Sesuatu di mulutnya membuat Maya menjerit kalang kabut. Kabur meninggalkanku. Mulutnya berdarah. *** Aku tak bisa tidur membayangkan bahwa Andrew ternyata benar-benar vampir. Esoknya, suasana kelas sepi. Layaknya kuburan. Aku memandang Maya, dan mengajaknya mengobrol, tapi ia tak menggubrisku. Tatapannya kosong. Aku juga semakin heran dengan semua temanku yang mendadak pendiam. Saat novel Bram Stokernya Andrew yang dibacanya tempo hari terselip dilaci, benar-

benar menarik perhatianku. Aku memburu laci mejanya. Merampas novel itu. Aku menemukan catatan itu lagi. Dengan keterkejutanku yang sama, catatan itu kini berbeda. Semua nama teman-temanku telah tercoret. Seolah ia sudah menceklis semuanya. Kecuali satu. Namaku. Berada paling akhir setelah Maya dan Wahyu. Aku menggigil. Melihat kesekeliling kelas. Pemandangan semua temanku yang mendadak jadi pendiam membuatku ngeri. Mereka vampir? Aku pun lari ketakutan. Saat dikerubungi rasa seram dan panik, sosok itu pada akhirnya mencegatku. Seolah-olah hal ini adalah hal yang ditunggunya sekian lama. Ternyata bener, kan. Lo vampir. Aku bersuara dalam ketakutanku. Ia mengangkat alisnya. Tatapannya seolah mentertawakanku sinis. Gue vampir? Ia terkejut. Akhirnya ia membuka suara. Ada rasa aneh ketika mendengar suaranya. Tenang dan menyejukkan. Ia kemudian tertawa. Lalu mendekatiku, menyentuh dahiku. Kau sakit? Tanyanya. Aku menggeleng. Masih bersikukuh. Melototinya. Ia tertawa. Menganggapku konyol. Oke, ternyata selama ni lo ngikutin gue, karena lo curiga gue vampir? Dahinya berkerut. Kenapa lo yakin gue ini vampir? Ia tertawa renyah. Lo baca buku vampir, catatan nama-nama teman sekelas, lo ga makan, lo tidur seperti mayat, lo cari mangsa malam hari, en kejadian mulut berdarah lo bersama Wahyu, termasuk teman-teman sekelas sekarang yang jadi aneh. Aku berkoar panjang lebar. Sedikit emosi Haha. Wow, lo benar-benar aneh. Saat ia menganggapku serius, ia berhenti tertawa. Oke, gue bukan vampir oke? Gue cuma suka cerita tentang vampir, seperti yang elo koar-koar di kelas, dan catatan nama-nama sekelas itu, gue cuma pengen mengenal mereka, gue coret satusatu kalo gue udah kenalan dengan mereka. Sekarang tinggal elo satu-satunya yang belum pernah gue sapa. Ia mengulurkan tangannya. Ingin menjabat tanganku. Kita belum berkenalan, gue Andrew. Ia tersenyum. Beribu perasaan bercampur aduk. Sebagian hatiku meng-oh panjang, mengiyakan penjelasannya. Dia bukan vampir. Aku membayangkan betapa konyolnya diriku. Tapi di satu sisi lain, aku masih tidak percaya. Aku menjabat tangannya. Ragu. Diana. Kataku. Sepanjang jalan ia berceloteh. Menerangkan padaku, kejadian malam hari saat kukira ia sedang membuntuti seseorang, dan kejadian saat bersama Wahyu, mulutnya berdarah karena

terluka. Wahyu menolongnya untuk mengobatinya. Aku lega ia bukan vampir. Teman-temanku tak menjadi vampir. Aku pun sedih, aku belum menemukan vampir Indonesia. Minggu-minggu berikutnya aku merasa bosan menunggu vampir. *** Saat menyeberang jalan, sebuah sepeda motor melaju cepat ke arahku. Aku tak sempat menghindar, kupikir aku akan mati tertabrak. Aku spontan menutup mata. Suara brak yang menggema keras mengejutkanku. Sepeda motor itu hancur. Pengemudinya terpental. Sosok yang baru ku kenal itu berdiri di hadapanku. Lagi-lagi. Tiba-tiba. Menyelamatkanku. Bagaimana bisa?Its so impossible. Ia menatapku. Tersenyum. Saat itu aku tahu, di giginya terdapat taring.