Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun 4

download Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun 4

of 27

description

elastisitas transmisi harga

Transcript of Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun 4

BAB IPENDAHULUANLatar BelakangIndonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan, oleh karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna. Demikian luas serta keragaman jasad-jasad hidup di dalam yang kesemuanya membentuk dinamika kehidupan di laut yang saling berkesinambungan (Nybakken, 1988). Dewasa ini, perhatian terhadap biota laut semakin meningkat dengan munculnya kesadaran dan minat setiap lapisan masyarakat akan pentingnya lautan. Menurut Bengen (2001) laut sebagai penyedia sumber daya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral, dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu wilayah pesisir dan lautan merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan di masa datang. Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan adalah lamun. Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga (Angiospermae) yang telah beradaptasi untuk dapat hidup terbenam di air laut. Dalam bahasa Inggris disebut seagrass. Istilah seagrass hendaknya jangan dikelirukan dengan seaweed yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai rumput laut yang sebenarnya merupakan tumbuhan tingkat rendah dan dikenal juga sebagai alga laut. Keberadaan bunga dan buah ini adalah faktor utama yang membedakan lamun dengan jenis tumbuhan lainnya yang hidup terbenam dalam laut lainnya, seperti rumput laut (seaweed). Hamparan lamun sebagai ekosistem utama pada suatu kawasan pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Pada ekosistem padang lamun berasosiasi berbagai jenis biota laut yang bernilai penting dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi. Ekosistem lamun sangat terkait dengan ekosistem di dalam wilayah pesisir seperti mangrove, terumbu karang, estauria dan ekosistem lainya dalam menunjang keberadaan biota terutama pada perikanan serta beberapa aspek lain seperti fungsi fisik dan sosial-ekonomi. Hal ini menunjukkan keberadaan ekosistem lamun adalah tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan ekosistem sekitarnya, bahkan sangat dipengaruhi aktifitas darat. Namun, akhir-akhir ini kondisi padang lamun semakin menyusut oleh adanya kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.Pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya lamun dilakukan oleh masyarakat maupun swasta sebagai daerah penangkapan ikan, penangkapan biota non ikan dan sebagai areal budidaya perairan (rumput laut, kerang dan ikan). Beberapa aktivitas yang dianggap secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada degradasi habitat (habitation) dan keanekaragaman hayati (biodiversity), seperti pengambilan kerang darah (anadara sp) dan adanya kegiatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak (dinamit botol) dan bahan beracun (tuba dan potassium sianida) baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh swasta. Aktivitas pemanfaatan tersebut berpotensi untuk mengancam kelestarian ekosistem dan sumberdaya lamun, sehingga di khawatirkan selain dapat menimbulkan berbagai ancaman langsung terhadap degradasi habitat dan keanekaragaman hayati ekosistem lamun juga menimbulkan permasalahan sosial ekonomi, seperti konflik kepentingan baik antar masyarakat, maupun antar masyarakat dengan pengusaha perikanan yang memanfaatkan ekosistem dan sumberdaya di wilayah pesisir. Olehnya itu tanpa adanya intervensi yang efektif dan terintegrasi, kecenderungan degradasi pada ekosistem lamun dan biota yang berasosiasi dengannya akan terus merosot.Pemberian nilai yang tepat secara moneter terhadap sumberdaya alam berikut fungsi-fungsinya, memberikan kesempatan kepada manusia untuk memahami seluruh dampak dari kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Hal serupa juga bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menetapkan kebijakan pemanfaatan suatu sumberdaya alam yang efisien, berkelanjutan dan tidak saling berkontradiksi terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang lain. Sehingga untuk mengetahui nilai manfaat dari ekosistem lamun, maka perlu dilaksanakan analisis melalui metodologi valuasi ekonomi. Valuasi ekonomi merupakan komponen penting dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir laut karena mengaitkan dimensi-dimensi ekonomi dan ekologi secara integrative.Tujuan Pemberian nilai yang tepat secara moneter terhadap sumberdaya alam berikut fungsi-fungsinya, memberikan kesempatan kepada manusia untuk memahami pola pemanfaatan dan dampak dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga langkah pengelolaan dan penilaian secara ekonomi dapat diusulkan. Oleh karena itu, untuk menjawab hal tersebut maka dalam valuasi ekonomi ekosistem lamun ini bertujuan untuk : Mengidentifikasi pola pemanfaatan dan permasalahan ekosistem lamun Mengestimasi nilai ekonomi dari fungsi dan manfaat ekosistem lamun Menentukan alternative pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan

BAB IIPEMBAHASAN2.1. EKOSISTEM LAMUNIndonesia memiliki panjang garis pantai 81.000 km, mempunyai padang lamun yang luas bahkan terluas di daerah tropika. Luas padang lamun yang terdapat di perairan Indonesia mencapai sekitar 30.000 km2 (Kiswara dan Winardi, 1994). Jika dilihat dari pola zonasi lamun secara horisontal, maka dapat dikatakan ekosistem lamun terletak di antara dua ekosistem bahari penting yaitu ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang (pada gambar dibawah). Dengan letak yang berdekatan dengan dua ekosistem pantai tropik tersebut, ekosistem lamun tidak terisolasi atau berdiri sendiri tetapi berinteraksi dengan kedua ekosistem tersebut. Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air, beberapa ahli juga mendefinisikan lamun (seagrass) sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas. Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi per-tumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut ekosistem lamun (seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, yang terdiri atas 2 suku dan 12 marga (Kuo dan Mccomb 1989), dimana di Indonesia ditemukan sekitar 13 jenis yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga. Mereka hidup dan berkembang baik pada lingkungan pada perairan laut dangkal, muara sungai, daerah pesisir yang selalu mendapat genangan air atau terbuka ketika saat air surut. Tempat tumbuhnya adalah dasar pasir, pasir berlmpur, lumpur dan kerikil karang bahkan ada jenis lamun yang mampu hidup pada dasar batu karang. Mereka dijumpai pada daerah pasang surut sampai dengan kedalaman 40 m.2.2. FUNGSI DAN MANFAAT EKOSISTEM LAMUN2.2.1. Fungsi LamunPadang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup beranekaragam biota laut seperti ikan, Krustasea, Moluska ( Pinna sp, Lambis sp, dan Strombus sp.), Echinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Acancasther sp., Linckia sp.) dan cacing ( Polichaeta) (Bengen, 2001). Menurut Aswandy (2003) dalam penelitian mengenai Asosiasi Fauna Krustasea Dengan Potongan-Potongan Lamun Di Laut Dalam, menyatakan bahwa lamun dapat berfungsi sebagai :1. SubstratSubstrat keras umumnya jarang ditemukan di perairan laut dalam, sehingga tidak begitu aneh bila lamun menjadi pilihan utama untuk dijadikan substrat oleh beberapa biota yang berasosiasi termasuk fauna krustasea. Hal ini didasarkan atas ditemukannya sejumlah bentuk yang berbeda dari cangkang fauna pada material lamun yang disampel.Beberapa organisme krustasea yang ditemukan, sebagian besar adalah bukan merupakan taxa utama. Pada bagian daun lamun ditemukan potongan-potongan kecil dari biota yang menempel pada lapisan substrat yang tebal. Lebih kurang 100 organisme dengan panjang antara 5-15 mm ditemukan pada material lamun. Dari hasil pengamatan, fauna krustasea yang teridentifikasi antara lain adalah: Cirripedia; biota ini ditemukan pada rimpang lamun yang menyerupai sebuah tabung polikhaeta. Teridentifikasi bahwa pada satu teritip dengan panjang 5,2 mm, ditemukan lebih dari 300 jenis yang termasuk marga Arcoscalpellum. Tanaidacea; biota assosiasi ini ditemukan pada daun Thalassia dengan panjang spesimen 2-3 mm. Biota ini termasuk famili Paratanaidae.2. Tempat berlindungSejumlah spesimen dari Echinothambema ditemukan pada rizhome lamun, Biota tersebut menggunakan rhizome lamun hanya sebagai tempat berlindung. Kondisi ini juga ditemukan pada beberapa jenis biota dari Isopoda. Spesimen Isopoda ada yang ditemukan pada bagian dalam dan luar dari rhizoma Thalassia (WOLFF, 1975). Fauna krustasea yang menggunakan lamun sebagai tempat berlindung diantaranya adalah: Isopoda; Dari 55 spesimen yang diteiiti dalam rhizome lamun tersebut ada sekitar 8-9 jenis Isopoda, biota ini mempunyai kelimpahan lebih tinggi di dalam rhizome lamun Thalassia. Jenis umum dari Isopoda yang teridentifikasi adalah dari jenis Echinothambema sp. dengan panjang 4-5 mm yang ditemukan sekitar 80% dalam rhizome dan 20% diluar rhizome. Kadang-kadang pada satu rhizome ditemukan jenis jantan dan betina. Pada beberapa spesimen teridentifikasi biota Katianira sp. dengan ukuran sekitar 3 mm pada rhizome Thalassia. Diduga pada spesimen tersebut juga ada genus Heteromesus yang termasuk suku Ischnomesidae pada beberapa material rhizome lamun dari Thalassia tersebut. Kemudian satu jenis baru dari marga Macrostylis yang panjangnya 3 mm juga ditemukan dalam rhizome dan jenis dari marga Haploniscus juga ditemukan pada sejumlah rhizome. Amphipoda; Berdasarkan pengamatan ada satu jenis baru dari marga Onesimoides dari suku Lyasinassidae yang ditemukan pada bagian pangkal rhizome dan daun dari lamun Thalassia.3. MakananTelah diketahui bahwa bahan organik merupakan sumber energi untuk beberapa fauna laut dalam (Wolff, 1962). Di sepanjang perairan Carolina ditemukan adanya hubungan antara konsentrasi detritus organik dari material Thalassia dengan distribusi dari beberapa biota pemakan suspensi (suspension feeders). Lebih lanjut dikatakan bahwa di perairan Puerto Rico dan Cayman di temukan fauna Amphipoda dari jenis Onesimoides sp. yang menggunakan Thalassia sebagai sumber makanan. Biasanya fauna ini ditemukan dalam potongan-potongan kayu yang didalamnya terdapat detritus lamun. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa lamun merupakan makanan dari fauna herbivorous di perairan laut dalam yang berdekatan dengan daerah padang lamun yang padat di daerah laut dangkal. Hal ini membuktikan bahwa walaupun tidak ada angin topan atau badai, potongan lamun dapat saja terbawa dan terjebak dilaut dalam. Biasanya daun, seludang atau rhizome dari lamun dijadikan makanan bagi fauna herbifora di laut dalam dalam waktu yang relatif lama, berdasarkan kondisi lingkungan yang biasanya menurun secara perlahan (Jannasch et al. 1971; Jannasch dan Wirsen, 1973). Wolff (1975) mengemukakan bahwa ada indikasi biota Isopoda memakan jenis lamun Thalassia. Hal ini berdasarkan material lamun yang berwarna coklat kekuning-kuningan yang diindikasikan sebagai jaringan lamun Thalassia. Pada material tersebut ditemukan bagian mulut dari Krustasea bersama spikula dari sponge dan kista dari alga kuning. Pada material yang lebih lebar, ditemukan Echinothambema yang merupakan pemakan deposit (deposit feeder). Biota tersebut sangat selektif pada ukuran partikel dan kadang-kadang juga dapat berubah menjadi biota karnivora (Wolff, 1962).2.2.2. Fungsi Padang LamunPadang lamun memiliki berbagai fungsi ekologi yang vital dalam ekosistem pesisir dan sangat menunjang dan mempertahankan biodiversitas pesisir dan lebih penting sebagai pendukung produktivitas perikanan pantai. Beberapa fungsi padang lamun, yaitu: 1) sebagai stabilisator perairan dengan fungsi sistem perakannya sebagai perangkap dan pengstabil sedimen dasar sehingga perairan menjadi lebih jernih; 2) lamun menjadi sumber makanan langsung berbagai biota laut (ikan dan non ikan); 3) lamun sebagai produser primer; 4) komunitas lamun memberikan habitat penting (tempat hidup) dan perlindungan (tempat berlindung) untuk sejumlah spesies hewan; dan 5) lamun memegang fungsi utama dalam daur zat hara dan elemen-elemen langka di lingkungan laut (Phillips dan Menez, 1988; Fortes, 1990).Dalam sistem rantai makanan khususnya pada daun-daun lamun yang berasosiasi dengan alga kecil yang dikenal dengan periphyton dan epiphytic dari detritus yang merupakan sumber makanan terpenting bagi hewan-hewan kecil seperti ikan-ikan kecil dan invertebrate kecil contohnya ; beberapa jenis udang, kuda laut, bivalve, gastropoda, dan Echinodermata. Lamun juga mempunyai hubungan ekologis dengan ikan melalui rantai makanan dari produksi biomasanya. Epiphyte ini dapat tumbuh sangat subur dengan melekat pada permukaan daun lamun dan sangat di senangi oleh udang-udang kecil dan beberapa jenis ikan-ikan kecil. Disamping itu padang lamun juga dapat melindungi hewan-hewan kecil tadi dari serangan predator. Selain itu, padang lamun diketahui mendukung berbagai jaringan rantai makanan, baik yang didasari oleh rantai herbivor maupun detrivor (Gambar 1). Perubahan rantai makanan ini bisa terjadi karena adanya perubahan yang cepat dari perkembangan perubahan makanan oleh predator,dan adanya perubahan musiman terhadap melimpahnya makanan untuk fauna. Walaupun begitu, sejauh ini belum banyak diketahui bagaimana rantai energi dan nutrien tersebut selanjutnya berperan dalam ekosistem pesisir yang lebih luas (Gambar 2). Selain duyung, manate dan penyu, tidak banyak jenis ikan dan invertebrata yang diketahui memakan daun-daun lamun ini. Sehingga kemungkinan yang paling besar, lamun ini menyumbang ke dalam ekosistem pantai melalui detritus, yakni serpih-serpih bahan organik (daun, rimpang dll.) yang membusuk yang diangkut arus laut dan menjadi bahan makanan berbagai organisme pemakan detritus (dekomposer) (Nybakken, 1988). Dengan kata lain aliran energi di padang lamun itu sendiri terjadi karena adanya proses makan memakan baik itu secara langsung dari daun lamunnya terus di makan konsumen I maupun secara tidak langsung sebagai detritus dimakan oleh konsumen I dan seterusnya. Lamun yang mati akan kehilangan protein dan materi organik lain yang dimakan oleh fauna pada saat permulaan dekomposisi. Struktur karbohidrat diambil dari mikroflora (bakteri dan jamur). Banyak dari metozoa yang dapat mencerna protein bakteri dan serasah daun lamun diekskresi oleh fauna dan bentuk yang belum dicerna akan didekomposisi lagi oleh mikroba decomposer sehingga sumbar detritus akan meningkat

Gambar 2. Rantai Makanan Pada Ekosistem Padang Lamun

Gambar 3. Aliran Energi Pada Ekosistem Padang LamunAliran materi dari padang lamun ke sistem lain (terumbu karang atau mangrove) kecil sekali (Nienhuis at al .1989). Jumlah materi yang di alirkan ke sistem lain di duga tidak mencapai 10% dari total produksi padang lamun. Dengan kata lain padang lamun ini merupakan sistem yang mandiri (self suistainable system). Namun kemandirian padang lamun tidak meniadakan kehadiran dari kepentingan interaksi biotik dari ekosistem sekitarnya. Sistem dipadang lamun diketahui sebagai suatu habitat untuk ratusan jenis-jenis hewan (Nontji, 1987; Hutomo dan Martosewojo. 1977).Posisi padang lamun tropis yang terletak diantara mangrove dan terumbu karang (Gambar 3) yang bertindak sebagai daerah penyangga yang baik, mengurangi energi gelombang dan mengalirkan nutrisi ke ekosistem terdekatnya. Tetapi interaksi ekosistem tersebut (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) dalam hubungannya dengan degradasi penyangga adalah jelas keterkaitannya. Kerusakan dari salah satu ekosistem dapat menyebabkan akibat jelek pada ekosistem lainnya dalam hubungannya dengan perubahan-perubahan keseimbangan lingkungan dan konsekwensinya akan merubah struktur komunitas keseluruhannya.

Tipe interaksi antara ekosistem padang lamun dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang (Ogden dan Gladfelter, 1983 dalam Bengen, 2001)

2.2.3. Peranan Padang LamunDari hasil penelitian para peneliti diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal adalah sebagai berikut:a. Sebagai Produsen Primer : Lamun mempunyai tingkat produktivitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang (Thayer et al., 1975). b. Sebagai Habitat Biota : Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (algae). Disamping itu, padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang (coral fishes) (Kikuchi dan Peres, 1977). c. Sebagai Penangkap Sedimen : Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Jadi padang lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen dapat mencegah erosi (Gingsburg dan Lowenstan 195 8, Thoraug dan Austin, 1976). d. Sebagai Pendaur Zat Hara : Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka di lingkungan laut. khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifitikSedangkan menurut Philips dan Menez (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif, ekosistem lamun pada perairan dangkal berfungsi sebagai : a. Menstabilkan dan menahan sedimen-sedimen yang dibawa melalui tekanan-tekanan dari arus dan gelombang. b. Daunnya memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan sedimentasi. c. Memberikan perlindungan terhadap hewan-hewan muda dan dewasa yang berkunjung ke padang lamun d. Daun-daun sangat membantu organisme-organisme epifit e. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi. f. Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan. Selanjutnya dikatakan Philips dan Menez (1988), lamun juga sebagai komoditi yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional maupun secara modern. Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan untuk1. Digunakan untuk kompos dan pupuk 2. Cerutu dan mainan anak-anak 3. Dianyam menjadi keranjang 4. Tumpukan untuk pematang 5. Mengisi kasur 6. Ada yang dimakan 7. Dibuat jaring ikan Pada zaman modern ini, lamun telah dimanfaatkan untuk: 1. Penyaring limbah 2. Stabilizator pantai 3. Bahan untuk pabrik kertas 4. Makanan 5. Obat-obatan dan sumber bahan kimiaLamun kadang-kadang membentuk suatu komunitas yang merupakan habitat bagi berbagai jenis hewan laut. Komunitas lamun ini juga dapat memperlambat gerakan air. bahkan ada jenis lamun yang dapat dikonsumsi bagi penduduk sekitar pantai. Keberadaan ekosistem padang lamun masih belum banyak dikenal baik pada kalangan akdemisi maupun masyarakat umum, jika dibandingkan dengan ekosistem lain seperti ekosistem terumnbu karang dan ekosistem mangrove, meskipun diantara ekosistem tersebut di kawasan pesisir merupakan satu kesatuan sistem dalam menjalankan fungsi ekologisnya Keberadaaan lamun pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 0,5-10 m, dan juga terlihat mempunyai kaitan dengan habitat dimana banyak lamun (Thalassia) adalah substrat dasar dengan pasir kasar. Menurut Haruna (Sangaji, 1994) juga mendapatkan Enhalus acoroides dominan hidup pada substrat dasar berpasir dan pasir sedikit berlumpur dan kadang-kadang terdapat pada dasar yang terdiri atas campuran pecahan karang yang telah mati. Keberadaan lamun pada kondisi habitat tersebut, tidak terlepas dan ganguan atau ancaman-ancaman terhadap kelansungan hidupnya baik berupa ancaman alami maupun ancaman dari aktivitas manusia. Banyak kegiatan atau proses, baik alami maupun oleh aktivitas manusia yang mengancam kelangsungan ekosistem lamun. Ekosistem lamun sudah banyak terancam termasuk di Indonesia baik secara alami maupun oleh aktifitas manusia. Besarnya pengaruh terhadap integritas sumberdaya, meskipun secara garis besar tidak diketahui, namun dapat dipandang di luar batas kesinambungan biologi. Perikanan laut yang meyediakan lebih dari 60 % protein hewani yang dibutuhkan dalam menu makanan masyarakat pantai, sebagian tergantung pada ekosistem lamun untuk produktifitas dan pemeliharaanya. Selain itu kerusakan padang lamun oleh manusia akibat pemarkiran perahu yang tidak terkontrol (Sangaji, 1994). Ancaman-ancaman alami terhadap ekosistem lamun berupa angin topan, siklon (terutama di Philipina), gelombang pasang, kegiatan gunung berapi bawah laut, interaksi populasi dan komunitas (pemangsa dan persaingan), pergerakan sedimen dan kemungkinan hama dan penyakit, vertebrata pemangsa lamun seperti sapi laut. Diantara hewan invertebrata, bulu babi adalah pemakan lamun yang utama. Meskipun dampak dari pemakan ini hanya setempat, tetapi jika terjadi ledakan populasi pemakan tersebut akan terjadi kerusakan berat. Gerakan pasir juga mempengaruhi sebaran lamun. Bila air menjadi keruh karena sedimen, lamun akan bergeser ke tempat yang lebih dalam yang tidak memungkinkan untuk dapat bertahan hidup (Sangaji, 1994).Limbah pertanian, industri, dan rumah tangga yang dibuang ke laut, pengerukan lumpur, lalu lintas perahu yang padat, dan lain-lain kegiatan manusia dapat mempunyai pengaruh yang merusak lamun. Di tempat hilangnya padang lamun, perubahan yang dapat diperkirakan menurut Fortes (1989), yaitu: 1. Reduksi detritus dari daun lamun sebagai konsekuensi perubahan dalam jaring-jaring makanan di daerah pantai dan komunitas ikan. 2. Perubahan dalam produsen primer yang dominan dari yang bersifat bentik yang bersifat planktonik. 3. Perubahan dalam morfologi pantai sebagai akibat hilangnya sifat-sifat pengikat lamun. 4. Hilangnya struktural dan biologi dan digantikan oleh pasir yang gundul.Selain beberapa ancaman tersebut, kondisi lingkungan pertumbuhan juga mempengaruhi kelangsungan hidup suatu jenis lamun, seperti yang dinyatakan oleh Barber (1985) bahwa temperatur yang baik untuk mengontrol produktifitas lamun pada air adalah sekitar 20 - 30oC untuk jenis lamun Thalassia testudinum dan sekitar 30oC untuk Syringodium filiforme. Intensitas cahaya untuk laju fotosintesis lamun menunjukkan peningkatan dengan meningkatnya suhu dari 29 - 35oC untuk Zostera marina, 30oC untuk Cymidoceae nodosa dan 25 - 30oC untuk Posidonia oceanica. Kondisi ekosistem padang lamun di perarain pesisir Indonesia sekitar 30-40%. Di pesisir pulau Jawa kondisi ekosistem padang lamun telah mengalami gangguan yang cukup serius akibat pembuangan limbah indusri dan pertumbuhan penduduk dan diperkirakan sebanyak 60% lamun telah mengalami kerusakan. Di pesisir pulau Bali dan pulau Lombok ganguan bersumber dari penggunaan potassium sianida dan telah berdampak pada penurunan nilai dan kerapatan sepsiens lamun (Fortes, 1989). Selanjutnya dijelaskan oleh Fortes (1989) bahwa rekolonialisasi ekosistem padang lamun dari kerusakan yang telah terjadi membutuhkan waktu antara 5 - 15 tahun dan biaya yang dibutuhkan dalam mengembalikan fungsi ekosistem padang lamun di daerah tropis berkisar 22800 - 684.000 US $/ha. Oleh karena itu aktiviras pembangunan di wilayah pesisir hendaknya dapat memenimalkan dampak negatif melalui pengkajian yang mendalam pada tiga aspek yang tekait yaitu: aspek kelestarian lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial. Ancaman kerusakan ekosistem padang lamun di perairan pesisir berasal dari aktivitas masyarakat dalam mengeksploatasi sumberdaya ekosistem padang lamun dengan menggunakan potassium sianida, sabit dan gareng serta pembuangan limbah industri pengolahan ikan, sampah rumah tangga dan pasar tradisional. Dalam hal ini Fauzi (2000) menyatakan bahwa dalam menilai dampak dari suatu akifitas masyarakat terhadap kerusakan lingkungan seperti ekosistem padang lamun dapat digunakan dengan metode tehnik evaluasi ekonomi yang dikenal dengan istilah Environmental Impact Assesment (EIA). Metode ini telah dijadikam istrumen universal dalam mengevaluasi dampak lingkungan akibat aktivitas pembangunan, disamping itu metode evaluasi ekonomi dapat menjembatani kepentingan ekonomi masyarakat dan kebutuhan ekologi dari sumber daya alam.2.3. ASOSIASI EKOSISTEM LAMUNAsosiasi Lamun dan Terumbu KarangRhizoma lamun mengikat dan menstabilkan sedimen, daun menghambat arus dan "menangkap" bahan organik dan anorganik . Maka garis pantai terlindung dari erosi atau penimbunan sedimen di terumbu karang terhalangi.Banyak spesies ikan terumbu karang pada saat mudanya hidup, mencari makan dan memperoleh naungan terhadap predator di padang lamun. Dengan demikian padang lamun memberikan sumbangan terhadap produktivitas sekunder terumbu karang.Asosiasi padang laum dengan rumput lautDi padang lamun, juga tumbuh berbagai jenis rumput laut, yang terdiri dari 18 spesies, yaitu 9 spesies algae hijau (Chlorophyta), 3 spesies algae coklat (Phaeophyta) dan 6 spesies algae merah ( Rhodophyta).Asosiasi padang lamun dengan komunitas ikanAda 7 karakteristik untuk ikan yang berasosiasi dengan lamun (Bell dan Pollard, 1989) 1. Keanekaragaman dan kelimpahan ikan lebih tinggi dibandingkan tidak ada lamun.2. Lamanya asosiasi berbeda-beda sesuai dengan spesies dan fase siklus hidup ikan.3. Sebagian besar asosiasi dijembatani oleh plankton, jadi padang lamun adalah daerah asuhan ikan.4. Makanan utama iakan adalah zooplankton dan epifauna krustasea.5. Ada pembagian sumberdaya yang menentukan komposisi spesies ikan.6. Ada asosiasi dengan ekosistem lain. Kelimpahan dan komposisi spesies ikan juga tergantung pada terumbu karang, estuaria dan mangrove.7. Komunitas ikan dari padang lamun yang berbeda seringkali berbeda juga, walaupun dua habitat itu berdekatan.Kajian asosiasi padang lamun dengan ikan di Indonesia, oleh Hutomo dan Martosewojo (1977), dilakukan di Pulau Pari yang merupakan padang lamun Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Jumlah ikan yang ditemukan 32 famili 78 spesies, dan hanya 6 famili (Apogonidae, Atherinidae, Labridae, Gerridae, Siganidae dan Monacanthidae) yang hidupnya menetap. Karakterisik ikan di padang lamun P. Pari tersebut adalah: Penghuni tetap, memijah dan sebagian besar fase hidup di padang lamun (contohnya Apogon margaritoporous). Menetap dari fase juvenile sampai dewasa, tetapi memijah di luar padang lamun (contoh Halichoeres leparensis, Pranaesus duodecimalis, Paramia quinquilineata, Gerres macrosoma, Monachantus tomentosus, M.hajam, Hemiglyphidodon plagyometopon, Synadhoides biaculeatus). Menetap hanya pada fase juvenile (contoh Siganus canaliculatus, S.virgatus, S.chrysospilos, Lethrinus spp, Scarus spp, Abudefduf spp, Monachnthus mylii, Mulloides samoensis, Pelates quadrilineatus, Upeneus tragula). Menetap sewaktu-waktu atau singgah untuk berlindung atau mencari makan.

2.4. FUNGSI EKONOMI LAMUNNilai ekonomi padang lamun (manfaat ekonomi total), terkait dengan biota yang hidupnya tergantung dengan ekosistem padang lamun sebesar U$ 412.325 per ha per tahun atau 11,3 milyar rupiah per hektar per tahun (Fortes, 1990). Terdapat hingga 360 spesies ikan (seperti ikan baronang), 117 jenis makro-alga, 24 jenis moluska, 70 jenis krustasea, dan 45 jenis ekinodermata (seperti teripang) yang hidupnya didukung oleh ekosistem padang lamun di Indonesia. Disamping itu, padang lamun telah dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan dll.Dibandingkan dengan sumberdaya pesisir dan laut lainnya seperti terumbu karang, atau mangrove, bahwa lamun kurang mendapat perhatian selama ini. Hal ini disebabkan terutama karena kurangnya kesadaran akan pentingnya sumberdaya lamun ini. Beberapa penelitian tentang perhitungan nilai ekonomi ekosistem lamun dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

ReferensiLokasiMetodeNilai Ekonomi

Isdianto (2008)Kab. Pesisir Selatan SumbarMarket value dan non market valueRp. 3.414.000.000.000

PKSPL (1998)Kep. RiauMarket valueRp. 34.720.214,90/ha/th

Nugroho (2008)Kep. RiauCVM & Market valueRp. 66.229789,0/ha/th

Juwana et al. (2007)Bintan TimurMarket value, Cost benefit & Travel costUS $ 3,634,796/ha/th

Mc Arthur Lyne C; Boland, Jhon W (2006)Australia SelatanMarket & Non market$ 114 Million/year

UNEP (2004)HepuGuangxiChinaMarket & Non market$ 14,839/h

Constanza et al.(1997)GlobalTEVUS$ 19.000/ha/th

Informasi nilai ekonomis kerang hias (Pyrene versicolor) dari teluk Banten dilaporkan Kiswara (2009) adalah Rp. 33.000.000.- kerang hias menempel pada daun Enhalus. Kerang hias setelah dibersihkan dibuat berbagai kerajinan seperti figure foto, gantungan lampu dan tirai. Kerajinan umumnya dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan.

2.5. PENILAIAN EKONOMI EKOSISTEM LAMUN2.5.1. Metode Pengambilan Dataa. Data EkologisValuasi ekonomi ekosistem lamun melalui pendekatan ekologis membutuhkan informasi data yang lengkap dan up to date yang meliputi data primer dan sekunder, serta analisis yang tepat dan akurat. Pengumpulan data ekologis dilakukan secara langsung melalui pengukuran dan pengamatan terhadap kondisi perairan dan kondisi ekosistem lamun pada suatu wilayah, yaitu Pengukuran kualitas perairan (suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut, dan pH air) Pengukuran kondisi padang lamun dengan menggabungkan metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot) dengan penentuan secara cepat persen penutupan lamun di lapangan (sumber: Marine Plant Ecology Group, northerm Fisheries Centre CAIRNS, Australia). Metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem lamun tersebut. Adapun langkah-langkah pengambilan data dilapangan sebagai berikut:1. Menentukan lokasi transek yang dipilih untuk pengamatan. Setiap stasiun terdiri dari 3 transek (sub stasiun) yang ditempatkan secara vertikal atau tegak lurus ke laut, dengan panjang 50 meter2. Pada setiap garis transek ditempatkan kuadrat 50 x 50 cm sebanyak 5 kali mengikuti garis transek 3. Menentukan persen penutupan lamun di lapangan. Luasan lamun dilakukan melalui bantuan GPS Untuk mengetahui luas area penutupan lamun, digunakan Metode Saito dan Adobe (1970). Adapun metode perhitungannya adalah sebagai berikut : 1. Petak contoh yang digunakan pengambilan contoh berukuran 50 cm x 50 cm yang masih dibagi-bagi lagi menjadi 25 sub petak, berukuran 10 cm x 10 cm,2. Menentukkan persentase tutupan lamun pada tiap sub petak dan dimasukkan kedalam kelas kehadiran berdasarkan Tabel 2Kelas%Selang Kelas Penutupan Area%Nilai Tengah Kelas (M)

550 10075

425 5037,5

312,5 2518,75

26,25 12,59,38

1< 6,253,13

000

3. Adapun perhitungan persen penutupan lamun pada masing-masing petak dilakukan dengan menggunakan rumus

Keterangan : C= Persentase tutupan lamun ke-i (%) Mi = Nilai tengah kelas persen penutupan lamun pada tiap sub petak/plot f = Banyaknya sub petak pada persentase selang kelas penutupan jenis lamun ke-i

b. Data Driving Force Pressure State Impact Response (DPSIR)Pengumpulan data ini dilakukan melalui identifikasi secara langsung berdasarkan karakteristik dampak dan melalui hasil wawancara secara interview pada pihak-pihak yang terkait langsung dengan kegiatan pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya lamun.Analisis mengenai pola pemanfaatan dan permasalahan yang berkaitan dengan sumberdaya padang lamun yang ada di suatu kawasan dapat di gambarkan secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan Driving Force, Pressure, State, Impact and Response (DPSIR) yang merupakan pengembangan dari model analisis PSR (Pressure-State-Response) (OECD 1993 dalam Zacharias et al. 2008). Pendekatan ini didasarkan pada deskripsi tipologi usaha, jenis sumberdaya, pola pemanfaatan dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Studi ini mengandalkan pendekatan ex-ante dimana gambaran kerangka analisis DPSIR sebelum dan setelah terjadi kerusakan pada ekosistim lamun akan digambarkan secara kualitatif melalui bantuan kuisioner yang terstruktur.Untuk mendapatkan informasi mengenai keadaan lingkungan dan hubungan antara aktivitas manusia dan kemungkinan adanya perubahan lingkungan ekosistem lamun dilakukan melalui analisis DPSIR (Driving force-Pressure-State-Impact-Response). Pendekatan ini didasarkan pada konsep rantai hubungan sebab akibat yang dimulai dengan aktivitas manusia (faktor pemicu) yang menyebabkan adanya tekanan terhadap lingkungan dan kemudian mengubah kualitas dan kuantitas sumberdaya alam hingga akhirnya mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan masyarakat. Driving Force merupakan aktivitas manusia yang mengarah pada berbagai kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan tekanan terhadap lingkungan. Faktor pemicu utama bagi seorang individu adalah kebutuhan, seperti kebutuhan akan tempat tinggal dan makanan. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tempat tinggal menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap sumber daya alam. Faktor pemicu sekunder adalah kebutuhan untuk mobilitas, hiburan, budaya dan lain-lain.Pressure adalah akibat dari proses produksi atau konsumsi yang disebabkan oleh adanya faktor pemicu yakni aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Tingkat tekanan terhadap lingkungan bergantung pada faktor pemicu dan faktor faktor lain yang berkaitan dengan interaksi manusia dan lingkungannya. Beberapa aktivitas manusia yang dapat menimbulkan pressure yaitu pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan yang berlebihan, perubahan dalam penggunaan sumberdaya dan emisi (bahan kimia, limbah, radiasi, kebisingan) ke udara, air dan tanah.State adalah hasil dari pressure terhadap lingkungan di suatu kawasan. State merupakan kondisi fisik, kimia dan biologis suatu kawasan misalnya tingkat pencemaran, degradasi sumberdaya dan lain-lain. Perubahan secara fisik, kimia atau biologis yang terjadi pada sumberdaya alam dan lingkungan dalam suatu kawasan mempengaruhi kualitas ekosistem dan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan kata lain perubahan state berdampak (impact) pada lingkungan dalam fungsinya sebagai ekosistem, kemampuan pendukung hidup ekosistem dan akhirnya berdampak pada tingkat kesehatan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.Response (tanggapan) masyarakat atau para pembuat kebijakan merupakan hasil dari dampak yang tidak diinginkan dan dapat mempengaruhi setiap bagian dari mata rantai hubungan sebab akibat dari faktor pemicu sampai dampak-dampak yang terjadi pada lingkungan. Response meliputi penetapan peraturan, perubahan strategi manajemen dan lain-lain. Contoh response yang dilakukan oleh nelayan dalam mengantisipasi dampak perubahan hasil tangkapan adalah dengan memodifikasi alat tangkap Seiring dengan pandangan sistem analisis DPSIR, pengembangan sosial dan ekonomi menyebabkan mendorong terjadinya tekanan pada lingkungan, secara konsekuen terjadi perubahan pada keberadaan/kondisi lingkungan. Hal tersebut berdampak pada fungsi ekosistem. Akhirnya masyarakat memberikan responnya baik secara langsung maupun tidak lansung terhadap adanya perubahan dalam sistemnya.

Kerangka DPSIR (Stanners et al 2007)c. Data Efect on Production (EoP)Pengumpulan data effect on production (EoP) melalui hasil wawancara secara interview. Penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah pihak-pihak yang terkait langsung dengan kegiatan pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya lamun. Responden diwancarai untuk mengetahui berapa besar produksi sumber daya alam yang mereka manfaatkan

d. Data Nilai Bukan Manfaat (Non Use Value)Pengumpulan data nilai bukan manfaat (non use value) menggunakan metode contingent valuation method (CVM). Responden untuk data non use value terdiri dari nilai pilihan (option value), nilai warisan (bequest value), dan nilai keberadaan(existensi value).

2.5.2. Analisis Valuasi EkonomiAnalisis data yang digunakan menggunakan teknik valuasi ekonomi untuk menghitung nilai total ekonomi (total economic value) dari ekosistem lamun. Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat di tentukan secara benar dan mengenai sasaran (Nilwan et al, 2003). Total economic value dapat ditulis secara matematis (CSERGE,1994 dalam Nilwan et al, 2003):TEV = UV + NUV = (DUV+IUV+OV)+(XV+BV)dimana : TEV= Total Economic Value IUV = Indirect Use Value UV = Use Values OV = Option Value NUV= Non Use Values XV= Existence Value DUV= Direct Use Value BV = Bequest Value

Nilai-nilai yang ada di sumberdaya lamun (use value, dan non-use value), berikut teknik valuasi yang digunakan, secara ringkas tercantum di bawah iniNilai (Value)Teknik Valuasi

Use Value

Direct Use Value

Tangkapan ikanTangkapan biota non ikan Effect on Production (EoP)Effect on Production (EoP)

Indirect Use Value

Fungsi pendukung biologi ekosistem lamun sebagai tempat nursery ground Benefit Transfer

Fungsi jasa lingkungan sebagai blue carbon Benefit Transfer

Non Use Value

Option Value Contingent Valuation Method

Existence Value Contingent Valuation Method

Bequest Value Contingent Valuation Method

Effect on Production (EoP) Pendekatan untuk menduga nilai ekosistem pesisir berdasarkan fungsinya terhadap produktivitas perikanan dikenal sebagai pendekatan effect on production (EoP). Metode yang digunakan berdasarkan kepada pendekatan hasil produksi (Effect on Production Approach, EoP) yaitu dengan mengalikan hasil produksi dan harga maka nilai manfaat langsung (benefit) dari ekosistem lamun dapat diestimasiContingent Valuation Method (CVM)Metode valuasi kontingensi digunakan untuk mengistimasi nilai ekonomi untuk berbagai macam ekosistem dan jasa lingkungan yang tidak memiliki pasar, misal keindahan. Metode ini merupakan teknik dalam menyatakan preferensi, karena menanyakan orang untuk menyatakan penilaian, penghargaan mereka. Pendekatan ini juga memperlihatkan seberapa besar kepedulian terhadap suatu barang dan jasa lingkungan yang dilihat dari manfaatnya yang besar bagi semua pihak sehingga upaya pelestarian diperlukan agar tidak kehilangan manfaat itu (Suparmoko et al, 2007). Pendekatan ini disebut contingent (tergantung kondisi) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat bergantung dari hipotesis pasar yang dibangun, misalnya: seberapa besar yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya, dan sebangainya. Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: teknis eksperimental melalui simulasi dan permainan dan melalui teknik survey. Pendekatan pertama lebih banyak dilakukan dengan melalui simulasi komputer sehingga penggunaannya di lapangan sangat sedikit. Pendekatan CVM pada hakikatnya betujuan untuk mengetahui keinginan membayar (willingness to pay) dari sekelompok masyarakat, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan dan keinginan menerima (willingness to accept) dari kerusakan suatu lingkungan. Hal ini didasarkan pada asumsi mendasar mengenai hak kepemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam, pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar yang maksimum untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumber daya, pengukuran yang relevan adalah keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumberdaya yang dia miliki.Metode CVM merupakan metode valuasi melalui survei langsung mengenai penilaian respon secara individual dengan cara menanyakan kesediaan untuk membayar (willingness to pay) terhadap suatu komoditi lingkungan atau terhadap suatu sumberdaya non marketable. Dikatakan contingent, karena pada kondisi tersebut respon seolah-olah dihadapkan pada pasar yang sesungguhnya dimana sedang terjadi transaksi. Metode ini selain dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai pilihan, nilai eksistensi dan nilai pewarisan juga dapat digunakan untuk menilai penurunan kualitas lingkungan perairan. Dalam operasionalnya untuk melakukan pendekatan CVM dilakukan lima tahapan kegiatan atau proses (Bakosurtanal, 2005) yaitu : Membuat hipotesis pasarPada awal proses kegiatan CVM, terlebih dahulu harus membuat hipotesis pasar terhadap sumber daya yang akan dievaluasi. Dalam hal ini membuat suatu kuesioner yang berisi informasi lengkap mengenai kegiatan atau proyek yang akan dilaksanakan Mendapatkan nilai lelang (bids)Untuk mempeoleh nilai lelang dilakukan dengan menggunakan survei baik melalui survei langsung dengan kuesioner, interview via telepon maupun lewat surat. Tujuan dari survei ini untuk memperoleh nilai maksimum keinginan membayar (WTP) dari responden terhadap suatu proyek misalnya perbaikan lingkungan. Nilai lelang ini bisa dilakukan dengan teknik: pertanyaan berstruktur dangan membuat kuesioner yang berstruktur sehingga akan diperoleh nilai WTP yang maksimum, pertanyaan terbuka yaitu responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai moneter (rupiah yang ingin dibayar) untuk suatu proyek perbaikan lingkungan, model referendum yaitu responden diberikan suatu nilai rupiah, kemudian kepada mereka diberikan pertanyaan setuju atau tidak. Menghitung rataan WTPSetelah survei dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan dari WTP dan WTA dari setiap individu. Nilai ini didasarkan nilai lelang (bid) yang diperoleh pada tahap dua Memperkirakan kurva lelang (bid curve)Kurva lelang (bid curve) diperoleh misalnya dengan me-regresikan WTP/WTA sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas. Mengagretkan dataTahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap ke-tiga. Proses ini melibatkan konversi dari rataan sampel kerataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga didalam populasiBenefit TransferBenefit transfer adalah suatu transfer nilai moneter suatu hasil studi valuasi ekonomi dari suatu lokasi (yang memiliki data) ke lokasi yang tidak ada datanya. Metode ini menilai perkiraan benefit dari tempat lain (dimana sumberdaya tersedia) kemudian benefit tersebut ditransfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan (Fauzi, 2003).Valuasi ekonomi merupakan aktivitas yang cukup memerlukan waktu dan biaya. Keterbatasan hasil studi/penelitian khususnya pada ekosistem lamun dan banyaknya kendala untuk suatu penghitungan sehingga metode benefit transfer merupakan solusi dalam melakukan valuasi SDAL. Metode ini digunakan dengan asumsi nilai asuhan ikan (nursery ground) pada usaha budidaya ikan baronang secara intensif di tambak per hektar (Kordi, 2010) dikalikan dengan harga bibit ikan dan dibagi lagi dengan biaya investasi dikeluarkan 5 tahun sekali sesuai dengan umur tambak (Suparmoko et al, 2004). Sedangkan untuk nilai serapan karbon pada ekosistem lamun merupakan total hamparan ekosistem padang lamun di Indonesia seluas 30.000 kilometer persegi yang mampu menyerap carbon 56,3 juta ton/thn.Ekosistem padang lamun memberikan manfaat dengan menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Di perairan padang lamun, terdapat beberapa famili ikan komersial sebagai penyumbang produksi perikanan, di antaranya : Serranidae, Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, dan Lutjanidae. Beberapa biota lain yang penting adalah sotong (Sepia, Sepiateuthis), bulu babi (Diadema, Tripneutes), lola (Trochus niloticus), gurita (Octopus), kima (Tridacna, Hippous), teripang (Holothuria), kerang darah (Anadara) dan lain-lain.Manfaat langsung yang dapat diambil dari padang lamun sementara baru nilai fungsinya sebagai habitat hidup berbagai macam ikan (PKSPL-IPB, 1998), walaupun sudah dapat dimanfaatkan sebagai bahan sayuran namun belum dapat dihitung nilainya karena tidak ada data pemanfaatan maupun nilai produksinya. Nilai manfaat langsung yang diambil dari nilai perikanan diwakili oleh komoditas udang dan ikan sebesar US$ 56.419.620 bila luas total padang lamun di kepulauan Riau adalah 14.620,6 ha, maka diperoleh nilai padang lamun sebesar US$ 3.858,91 ha/th atau kedalam nilai rupiah berjumlah Rp. 34.730.214,90 /ha/th. (PKSPL-IPB, 1998).Nilai ekonomi tidak langsung pada ekosistem padang lamun yang perlu dihitung adalah produktivitas ekosistem, perlindungan terhadap pantai, perlindungan terhadap terumbu karang, kontribusi terhadap ekosistem terumbu karang, monitor lingkungan, pendidikan dan penelitian.Nilai tidak langsung ekosistem padang lamun sebesar Rp.31.499.575,00,-ha/th., yang berasal dari nilai cadangan biodiversity dan nilai sebagai pencegah erosi dengan nilai masing-masing sebesar US$ 15 ha/th atau berjumlah Rp. 135.000 /ha/th. dan US$ 34.871,75 ha/th atau setara Rp. 31.364.575,0 /ha/th. (Ruitenbeek, 1991 dan Kusumastanto, 1998).Penilaian ekonomi bukan hanya menyangkut nilai pemanfaatan langsung dan tidak langsung semata, namun lebih luas dari itu. Pengertian nilai atau value khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang di hasilkan oleh sumberdaya dan lingkungan jika di pahami lebih lanjut bisa saja berbeda jika di pandang dari berbagai disiplin ilmu (Anna 2007). Konsep nilai akan berhubungan dengan kesejahteraan manusia jika di pandang dari sisi ekonomi. Dengan demikian, nilai ekonomi dari sumberdaya alam dan lingkungan adalah jasa dan fungsi sumberdaya alam dan lingkungan yang memberikan kotribusi terhadap kesejahteraan manusia, di mana kesejahteraan ini di ukur berdasarkan setiap individual assessment terhadap dirinya sendiri.Suatu ekosistim memiliki fungsi dan manfaat yang beraneka yang satu sama lain saling mempengaruhi. Ketika suatu ekosistim dieksploitasi secara parsial (tidak mempertimbangkan seluruh fungsi dan manfaat ekosistim), maka akan muncul eksternalitas. Biaya eksploitasi tidak memperhitungkan seluruh dampak dari kegiatan eksploitasi, sehingga fungsi-fungsi lain tidak diberi harga. Akibatnya terjadilah pemberian nilai yang terlalu rendah (undervalue) terhadap sumberdaya alam, yang mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya itu secara berlebihan. Misalnya ekosistim padang lamun, di satu sisi berfungsi sebagai penyedia makanan dan tempat memijah dan berkembangbiak bagi sejumlah jenis ikan serta sebagai pelindung pantai dengan cara meredam arus, di sisi lain padang lamun juga bermanfaat untuk kawasan penangkapan ikan (fishing ground) dan sarana wisata pantai. Ketika penangkapan ikan lakukan dengan menggunakan bahan peledak dan racun, maka ikan-ikan dapat ditangkap dengan mudah, namun padang lamun menjadi rusak. Biaya penangkapan ikan menjadi lebih rendah dengan hasil tangkapan lebih besar, tetapi fungsi padang lamun sebagai pelindung pantai, objek wisata, dan tempat bertelur dan memijah berbagai jenis ikan, yang nilai moneternya sangat besar, menjadi hilang. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan dalam memahami pentingnya suatu ekosistim. Oleh karena itu, diperlukan suatu presepsi yang sama untuk penilaian ekosistim tersebut. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama antara berbagai disiplin ilmu tersebut adalah memberikan price tag (harga) terhadap barang dan jasa yang di hasilkan dari sumberdaya dan lingkungan. (Fauzi 2004).

Direct Use ValueIndirect Use ValueBequest ValueExistence ValueOption ValueHasil/jasa yang dapat dimanfaatkan secara langsungHasil/jasa yang dapat dimanfaatkan secara tidak langsungWTP individu untuk menjaga SDA sebagai asset untuk masa depan dibandingkan memanfaatkannya sekarangNilai keberadaan SDA saat ini untuk masa depan berdasarkan pertimbangan moralNilai keberlangsungan SDA saat ini sbg Warisan untukgenerasi berikutEkstraktifPenangkapanBudidayaDllNon EkstraktifTransportasiPariwisataFungsi pendukung biologi ekosistem :SpawningNurseryFeedingFungsi pendukungNon biologiWTP atas keberlangsungan :Jenis ikanHabitat dan ekosistemBiodiversityKomponen keberdahan ekosistem sebagai asset :EkonomiSosialBudayaKeberlangsungan ekosistem untuk generasi berikutnya sebagai warisan :EkonomiSosialBudayaEkosistem LamunUse ValueNon Use ValuePotensi SumberdayaAnalisis DPSIRAspek ekologis lamunValuasi Ekonomi

DAFTAR PUSTAKA

Aswandy, I. 2003. Asosiasi Fauna Krustasea dengan Potongan-Potongan Lamun di Laut Dalam. Jurnal Oseana Vol XXVIII, No 4. ISSN 0216-1877.Azkab, M.H. 1988. Transplantasi lamun, Thalassia hemprichli(Ehrenb.)Aschers di rataan terumbu Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Dalam: Teluk Jakarta; biologi, budidaya, oseanografi, geol ogi dan kondisi perairan ( M. K. Moosa, D. P. Praseno dan Sukarno, eds.). Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta, 105-111.Bengen,D.G. 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Instititut Pertanian Bogor.Fortes, 1990Jannasch et al. 1971Jannasch dan Wirsen, 1973. Deep-sea microorganisms: In situ response to nutrient enrichment. Science, 180:641-643.Kusumastanto T., 2001. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut -IPB, Bogor.Nyabakken JW., 1998. Biologi Laut. PT. Gramedia, Jakarta. Phillips dan Menez, 1988;Wolff, T. 1980. Animals associated with seagrass in the deep sea. In: Handbook of seagrass biology (R.C. Phillips and P.C. McRoy, eds.). Garland STPM Press, New York, p. l99-2.24.Wolff, 1975Wolff, 1962