VAKSIN dan perkembangannya

11
VAKSIN Vaksin (dari kata vaccinia , penyebab infeksi cacar sapi yang ketika diberikan kepada manusia, akan menimbulkan pengaruh kekebalan terhadap cacar ), adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau "liar". Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein , peptida , partikel serupa virus , dsb.). Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus, atau toksin . Vaksin juga bisa membantu sistem kekebalan untuk melawan sel-sel degeneratif (kanker ). Sejarah Sejarah vaksin tidak dapat dilepaskan dari nama seorang dokter Inggris yang lahir pada 17 Mei 1749, yaitu Edward Jenner. Pada 1796, suatu hari dalam hidup ilmuwan yang berasal dari Berkeley, Gloucestershire, Inggris ini, datang kepadanya seorang wanita pemerah susu bernama Sarah Nelmes yang mengeluhkan adanya nanah di tangannya. Jenner, dengan pisau tajam justru mengambil materi nanah yang diketahui sebagai penyakit cacar menular pada sapi tersebut (cowpox) dan memindahkannya ke lengan James Phipps,

description

sejarah vaksin dan perkembangannya

Transcript of VAKSIN dan perkembangannya

Page 1: VAKSIN dan perkembangannya

VAKSIN

Vaksin (dari kata vaccinia, penyebab infeksi cacar sapi yang ketika diberikan kepada

manusia, akan menimbulkan pengaruh kekebalan terhadap cacar), adalah bahan antigenik yang

digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat

mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau "liar".

Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak

menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya

(protein, peptida, partikel serupa virus, dsb.). Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan

manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus,

atau toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem kekebalan untuk melawan sel-sel degeneratif

(kanker).

Sejarah

Sejarah vaksin tidak dapat dilepaskan dari nama seorang dokter Inggris yang lahir pada

17 Mei 1749, yaitu Edward Jenner. Pada 1796, suatu hari dalam hidup ilmuwan yang berasal dari

Berkeley, Gloucestershire, Inggris ini, datang kepadanya seorang wanita pemerah susu bernama

Sarah Nelmes yang mengeluhkan adanya nanah di tangannya. Jenner, dengan pisau tajam justru

mengambil materi nanah yang diketahui sebagai penyakit cacar menular pada sapi tersebut

(cowpox) dan memindahkannya ke lengan James Phipps, seorang anak tukang kebunnya yang

berusia 8 tahun. James lantas terkena cowpox, namun segera sembuh. Selanjutnya, Jenner

mengoleskan materi dari luka cacar air smallpox, penyakit mematikan yang mewabah saat itu, ke

luka yang ia buat di tangan James. Sebagaimana dugaan Jenner, James tidak terkena cacar.

Sesuatu yang berasal dari cowpox telah melindungi James.

Setelah percobaannya yang sukses tersebut, Jenner kembali melakukan percobaan

sebanyak 23 kasus yang sama, termasuk pada anak lelakinya yang berumur 11 bulan. Semua

detail penelitiannya ia kumpulkan dalam sebuah buku dengan titel "An inquiry into the causes

and effects of the variolae vaccinae, a disease discovered in some of the western counties of

England, particularly Gloucestershire, and known by the name of The Cow Pox". Dengan

Page 2: VAKSIN dan perkembangannya

keberhasilan Jenner ini, ilmu imunologi pun lahir. Penemuan Jenner tersebut dikenal sebagai

vaksinasi yang diambil dari bahasa latin sapi, yaitu vacca.

Namun, jauh sebelum penemuan Edward Jenner, vaksinasi sesungguhnya telah

dikembangkan di Cina pada awal tahun 200 sebelum masehi. Misalnya, vaksin dari serbuk luka

orang yeng terinfeksi cacar yang berhasil didokumentasikan berasal dari India dan China sekitar

abad 17. Penyakit cacar, saat itu melanda seluruh dunia dan mengakibatkan kematian sekitar 20-

30 persen orang yang terinfeksi. Beberapa tahun sebelum percobaan Jenner, juga setidaknya ada

6 orang yang mencoba melakukan imunisasi cacar yaitu seorang kebangsaan Inggris pada 1771,

Sevel dari Jerman sekitar tahun 1772, Jensen dari Jerman tahun 1770, Benjamin Jesty, Inggris,

tahun 1774, Rendall, Inggris tahun 1782, dan Peter Plett, Jerman, tahun 1796.

Seorang istri duta besar Inggris di Turki tahun 1716 hingga 1718 juga mengamati tradisi

vaksinasi Turki yang disebut Ashi, yaitu vaksinasi dengan mengoleskan lesi cacar sapi pada dada

ternak ke anak-anak mereka. Lady Mary Wortley Montagu, istri duta besar tersebut, meminta

ahli bedah kedutaan Charles Maitland, untuk melakukan metode vaksinasi tersebut pada anak

lelakinya. Lantas, ia menulis surat pada saudara dan teman-temannya di Inggris, menggambarkan

proses vaksinasi ala Turki secara lengkap. Ketika kembali ke Inggris, Lady Montagu tak putus

menyebarkan tradisi Turki tersebut dengan cara menyuntik koleganya.

Waktu berganti, ratusan tahun sejak momentum keberhasilan Edward Jenner, vaksin telah

digunakan untuk terapi berbagai penyakit. Louis Pasteur mengembangkan teknik vaksinasi pada

abad 19 dan mengaplikasikan pengguanaannya untuk penyakit anthrax dan rabies. Dengan

vaksin pula, beberapa penyakit besar yang melanda umat manusia dapat dikontrol atau dibatasi

penyebarannya. WHO mencatat tahun beberapa jenis vaksin pertama yang digunakan pada

manusia, yaitu cacar pada tahun 1798, Rabies tahun 1885, Pes tahun 1897, Difteri tahun 1923,

Pertusis tahun 1926, Tuberculosis (BCG) tahun 1927, Tetanus tahun 1927, Yellow Fever tahun

1935. Setelah perang dunia ke dua, pengembangan vaksin mengalami percepatan. Vaksin Polio

suntik pertama diaplikasikan pada manusia tahun 1955, sedangkan vaksin polio oral tahun 1962.

Selanjutnya campak tahun 1964, mumps tahun 1967, rubella tahun 1970, dan hepatitis B tahun

1981.

Page 3: VAKSIN dan perkembangannya

Membangun kekebalan tubuh

Sistem kekebalan mengenali partikel vaksin sebagai agen asing, menghancurkannya, dan

"mengingat"-nya. Ketika di kemudian hari agen yang virulen menginfeksi tubuh, sistem

kekebalan telah siap:

1. Menetralkan bahannya sebelum bisa memasuki sel; dan

2. Mengenali dan menghancurkan sel yang telah terinfeksi sebelum agen ini dapat berbiak.

Vaksin yang dilemahkan digunakan untuk melawan tuberkulosis, rabies, dan cacar; agen yang

telah mati digunakan untuk mengatasi kolera dan tifus; toksoid digunakan untuk melawan difteri

dan tetanus.

Meskipun vaksin sejauh ini tidak virulen sebagaimana agen "sebenarnya", bisa menimbulkan

efek samping yang merugikan, dan harus diperkuat dengan vaksinasi ulang beberapa tiap tahun.

Suatu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan vaksinasi DNA. DNA yang menyandi suatu

bagian virus atau bakteri yang dapat dikenali oleh sistem kekebalan dimasukkan dan

diekspresikan dalam sel manusia/hewan. Sel-sel ini selanjutnya menghasilkan toksoid agen

penginfeksi, tanpa pengaruh berbahaya lainnya. Pada tahun 2003, vaksinasi DNA masih dalam

percobaan, namun menunjukkan hasil yang menjanjikan

Perkembangan vaksin

Louis Pasteur dan kawan kawan pada tahun 1880 telah menemukan cara vaksinasi untuk

pencegahan penyakit infeksi melalui penggunaan agen penyakit yang telah dilemahkan terlebih

dahulu,  antara lain vaksin rabies yang berasal dari virus alam yang ganas (street virus) menjadi

virus yang tidak ganas (fix virus) setelah mengalami pasase berulang.

Vaksin attenuated ( vaksin hidup) yang telah dikembangkan antara lain terhadap

pasteurella multocida (pada ayam), vibrio cholera (pada manusia), anthrax (pada domba), rabies

(pada anjing). Selanjutnya tahun 1886 Salmon dan Smith di Amerika Serikat telah

memperkenalkan macam vaksin inaktif dengan menggunakan bakteri vibrio cholera yang

dimatikan dengan pemanasan.

Page 4: VAKSIN dan perkembangannya

Berdasarkan bahan imun yang digunakan ada dua jenis vaksin, yaitu  vaksin hidup (aktif)

dan vaksin inaktif. Vaksin yang berasal dari virion secara utuh baik vaksin aktif maupun vaksin

inaktif tentu mempunyai kelemahan karena ada  bagian tertentu  yang harus dihilangkan yang

tidak bersifat imunogenik. Vaksin sub unit merupakan vaksin yang dibuat dari komponen virus 

Teknik yang relatif baru dalam produksi vaksin adalah dengan melakukan kloning dari gen virus

melalui rekombinasi DNA, vaksin vektor virus dan vaksin antiidiotipe.

Vaksin  hidup terbuat dari virus hidup yang dilemahkan dengan cara pasase berseri pada

biakan sel tertentu atau telur ayam berembrio. Dalam proses ini akumulasi dari mutasi umumnya

menyebabkan hilangnya virulensi virus secara progresif bagi inang aslinya. Didalam vaksin

mengandung virus hidup yang dapat berkembang biak dan merangsang respon imun tanpa

menimbulkan sakit.

Contoh vaksin hidup yang dilemahkan meliputi:

* Campak vaksin (sebagaimana ditemukan dalam vaksin MMR)

* Mumps vaksin (vaksin MMR)

* Rubella (campak Jerman) vaksin (vaksin MMR)

* Vaksin polio oral (OPV)

* Varicella (cacar air) Vaksin

Vaksin inaktif dihasilkan dengan  menghancurkan infektivitasnya sedangkan

imunogenitasnya masih dipertahankan dengan cara;  (1) fisik misalnya dengan pemanasan,

radiasi (2) chemist, dengan bahan kimia  fenol, betapropiolakton, formaldehid, etilenimin.

Dengan perlakuan ini virus menjadi inaktif tetapi mereka masih dapat merangsang respon kekebalan

tubuh.

Contoh vaksin inaktif:

* Vaksin polio inaktif (IPV), yang merupakan bentuk suntikan vaksin polio

* Vaksin influenza inaktif

Vaksin ini sangat aman karena tidak infeksius, namun diperlukan jumlah yang banyak untuk

menimbulkan respon antibodi.                     

Page 5: VAKSIN dan perkembangannya

Vaksin sub unit merupakan vaksin yang dibuat dari bagian tertentu dari mikroorganisme

yang imunogenik secara alamiah misalnya hepatitis B, yang hanya terdiri dari protein permukaan

virus (sebelumnya diambil dari serum darah pasien yang terinfeksi kronis atau virus yang

dipisahkan dengan detergen misalnya influensa.

Vaksin idiotipe merupakan vaksin yang dibuat berdasarkan sifat bahwa FAB (fragment

antigen binding) dari antibodi yang dihasilkan oleh tiap klon sel B mengandung asam amino

yang disebut sebagai idiotipe atau determinan idiotipe yang dapat bertindak sebagai antigen.

Vaksin ini dapat menghambat pertumbuhan virus melalui netralisasai dan pemblokiran terhadap

reseptor pre sel B.

Vaksin conjugate, bakteri tertentu memiliki lapisan terluar (dinding sel) yang terbentuk

oleh polisakarida yang merupakan bagian lemah dari sistem kekebalan bakteri tersebut, Dengan

menghubungkan lapisan terluar ini pada protein (misalnya racun), maka dapat menyebabkan

sistem kekebalan tubuh mengenali polisakarida seolah-olah itu adalah antigen protein.

Pendekatan ini digunakan dalam Haemophilus influenzae tipe B vaksin.  

Vaksin  rekombinan  memungkinkan produksi protein virus dalam jumlah besar. Gen

virus yang diinginkan diekspresikan dalam sel prokariot atau eukariot. Sistem ekspresi eukariot

meliputi sel bakteri E.coli, yeast, dan baculovirus.  Dengan teknologi DNA rekombinan selain

dihasilkan vaksin protein juga dihasilkan vaksin DNA. Penggunaan virus sebagai vektor untuk

membawa gen sebagai antigen pelindung dari virus lainnya,  misalnya gen untuk antigen dari

berbagai virus disatukan ke dalam genom dari virus vaksinia dan imunisasi  hewan dengan

vaksin bervektor ini menghasilkan respon antibodi yang baik.

Sejumlah vaksin inovatif sintesis juga dalam pengembangan dan telah digunakan:

Vaksin sel dendritik menggabungkan sel dendritik dengan antigen dalam rangka untuk

mempresentasikan antigen ke tubuh sel darah putih, sehingga merangsang reaksi imun.

Vaksin jenis ini telah menunjukkan beberapa hasil awal positif untuk mengobati tumor

otak.

Page 6: VAKSIN dan perkembangannya

Rekombinan Vector - dengan mengkombinasikan fisiologi satu mikro-organisme dan

DNA yang lain, dapat diciptakan kekebalan terhadap penyakit infeksi yang kompleks

prosesnya.

DNA vaksinasi - dalam beberapa tahun terakhir jenis baru yang disebut vaksinasi DNA,

dibuat dari agen DNA terinfeksi, yang telah dikembangkan. Ini bekerja dengan

penyisipan (dan ekspresi, yang memicu pengenalan system kekebalan) dari DNA virus

atau bakteri ke dalam sel-sel manusia atau hewan. Beberapa sel dari sistem kekebalan

yang mengenali protein asing akan beryambah jumlahnya dan menyerang. Karena sel-sel

tersebut hidup untuk waktu yang sangat lama, jika patogen yang biasanya menyatakan

protein ini dijumpai di lain waktu, mereka akan langsung diserang oleh sistem kekebalan

tubuh. Satu keuntungan dari vaksin DNA adalah bahwa sangat mudah dibuat dan

disimpan. Sampai tahun 2006, vaksinasi DNA masih percobaan.

T-sel reseptor peptida dalam pengembangan vaksin untuk beberapa penyakit dengan

menggunakan model Valley Fever, stomatitis, dan atopic dermatitis. Peptida ini telah

ditunjukkan untuk memodulasi sitokin produksi dan meningkatkan imunitas diperantarai

sel.

Target dari bakteri diidentifikasi protein yang terlibat dalam penghambatan melengkapi

akan menetralkan mekanisme virulensi bakteri kunci.

Sementara kebanyakan vaksin dibuat menggunakan dilemahkan tidak aktif atau senyawa dari

mikro-organisme, vaksin sintetis terdiri terutama atau seluruhnya dari peptida sintetis,

karbohidrat atau antigen.

Efektifitas vaksin

Vaksin lengkap tidak menjamin perlindungan dari suatu penyakit. Kadang-kadang hal ini

karena sistem kekebalan tubuh inang hanya tidak merespon secara memadai atau tidak sama

sekali. Hal ini mungkin karena penurunan kekebalan pada umumnya akibat diabetes,

penggunaan steroid, infeksi HIV, usia atau karena sistem kekebalan tubuh inang tidak memiliki

sel B yang mampu menghasilkan antibodi dengan antigen. Bahkan jika bakteri/virus

Page 7: VAKSIN dan perkembangannya

mengembangkan antibodi, sistem kekebalan tubuh manusia tidak sempurna dan dalam hal

apapun sistem kekebalan mungkin masih tidak dapat mengalahkan infeksi.

Ajuvan biasanya digunakan untuk meningkatkan respon kekebalan. Ajuvan alumunium

paling sering digunakan, tetapi ajuvan seperti squalene juga digunakan dalam beberapa vaksin

dan lebih banyak vaksin dengan squalene dan fosfat ajuvan sedang diuji. Besar dosis yang

digunakan dalam beberapa kasus untuk orang lanjut usia (50-75 tahun ke atas), yang kebal

tanggapan terhadap vaksin tertentu tidak kuat.

Keampuhan atau kinerja vaksin tergantung pada sejumlah faktor:

penyakit itu sendiri (untuk beberapa penyakit lebih baik daripada melakukan vaksinasi

untuk penyakit lain)

vaksin (beberapa vaksinasi untuk berbagai jenis penyakit)

apakah seseorang terus terjadwal untuk vaksinasi

untuk vaksin tertentu, yang berarti bahwa mereka tidak menghasilkan antibodi bahkan

setelah divaksinasi dengan benar

faktor-faktor lain seperti etnis, umur, atau kecenderungan genetik

Page 8: VAKSIN dan perkembangannya