V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan...

21
26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan Pemanfaatan Kayu di Kabupaten Jayapura Kebijakan perijinan pemanfaatan kayu pada hutan alam di Kabupaten Jayapura dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) periode waktu, yaitu : a. Kebijakan sebelum Otonomi Khusus (sebelum tahun 2001) : Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu meliputi perijinan Hak Pengusahaan Hutan (HPH)/Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA), Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), Ijin Pemanfaatan Kayu Limbah (IPKL). Perijinan- perijinan ini membutuhkan persyaratan administrasi dan tekhnis yang sulit untuk dipenuhi oleh masyarakat adat. Misalnya dalam perijinan IPK, pemohon wajib menyetor dana sebagai garansi bank yang jumlahnya sama dengan jumlah tarif PSDH dan DR sesuai target produksi IPK. Persyaratan-persyaratan ini membatasi masyarakat untuk dapat memanfaatkan perijinan yang ada. b. Kebijakan saat Otonomi Khusus hingga Operasi hutan Lestari II (2001 – 2005) Pada periode ini perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu berupa perijinan IPK, Ijin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) di hutan produksi, dan perijinan yang dibangun sesuai semangat UU Otsus Papua yaitu Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPK-MA)/Kopermas. Pada periode ini masyarakat adat banyak terlibat dalam kegiatan pemanfaatan kayu sesuai perijinan IPK-MA. c. Kebijakan saat Otonomi Khusus pasca Operasi hutan Lestari II (2005 – sekarang) Pada periode ini perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu berupa perijinan IPK, dan IPHH. Perijinan IPK-MA telah dicabut pemberlakuannya. Kegiatan pemanfaatan kayu banyak diarahkan pada areal penggunaan lain (APL) seperti areal lahan usaha dua transmigrasi dengan menggunakan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Penghentian perijinan IPK-MA oleh Kementerian Kehutanan tidak diikuti oleh kebijakan yang menjawab kelemahan-kelemahan IPK-MA dan penguatan kelembagaan lokal. Kementerian Kehutanan justru membatasi perijinan pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat. Masyarakat hanya diberi kesempatan untuk memanfaatkan kayu dengan menggunakan perijinan IPHH pada hutan produksi.

Transcript of V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan...

Page 1: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

26

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Isi Kebijakan Pemanfaatan Kayu di Kabupaten Jayapura

Kebijakan perijinan pemanfaatan kayu pada hutan alam di Kabupaten

Jayapura dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) periode waktu, yaitu :

a. Kebijakan sebelum Otonomi Khusus (sebelum tahun 2001) :

Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau

pemungutan hasil hutan kayu meliputi perijinan Hak Pengusahaan Hutan

(HPH)/Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA),

Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), Ijin Pemanfaatan Kayu Limbah (IPKL). Perijinan-

perijinan ini membutuhkan persyaratan administrasi dan tekhnis yang sulit untuk

dipenuhi oleh masyarakat adat. Misalnya dalam perijinan IPK, pemohon wajib

menyetor dana sebagai garansi bank yang jumlahnya sama dengan jumlah tarif

PSDH dan DR sesuai target produksi IPK. Persyaratan-persyaratan ini

membatasi masyarakat untuk dapat memanfaatkan perijinan yang ada.

b. Kebijakan saat Otonomi Khusus hingga Operasi hutan Lestari II (2001 – 2005)

Pada periode ini perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan

pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu berupa perijinan IPK, Ijin

Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) di hutan produksi, dan perijinan yang dibangun

sesuai semangat UU Otsus Papua yaitu Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat

(IPK-MA)/Kopermas. Pada periode ini masyarakat adat banyak terlibat dalam

kegiatan pemanfaatan kayu sesuai perijinan IPK-MA.

c. Kebijakan saat Otonomi Khusus pasca Operasi hutan Lestari II (2005 – sekarang)

Pada periode ini perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan

pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu berupa perijinan IPK, dan IPHH.

Perijinan IPK-MA telah dicabut pemberlakuannya. Kegiatan pemanfaatan kayu

banyak diarahkan pada areal penggunaan lain (APL) seperti areal lahan usaha dua

transmigrasi dengan menggunakan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK).

Penghentian perijinan IPK-MA oleh Kementerian Kehutanan tidak diikuti oleh

kebijakan yang menjawab kelemahan-kelemahan IPK-MA dan penguatan

kelembagaan lokal. Kementerian Kehutanan justru membatasi perijinan pemanfaatan

kayu oleh masyarakat adat. Masyarakat hanya diberi kesempatan untuk

memanfaatkan kayu dengan menggunakan perijinan IPHH pada hutan produksi.

Page 2: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

27

Kenyataan di lapangan IPHH tidak dipakai oleh masyarakat adat, masyarakat lebih

memilih untuk memanfaatkan kayu tanpa perijinan. Untuk mengetahui penyebab

masyarakat tidak memanfaatkan perijinan IPHH dalam kegiatan pemanfaatan kayu

maka dilakukan analisis terhadap isi kebijakan IPHH sesuai SK Menhut

No.6886/Kpts-II/2002 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian IPHH dan

perubahannya sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.46/Menhut/2009.

Analisis isi kebijakan menggunakan pendekatan terhadap Rule, Opportunity,

Capacity, Communication, Interest, Process, Ideology / ROCCIPI (Seidman, et al.

2001) disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 . Hasil Analisis Isi Kebijakan SK.Menhut 6886/2002 dan P.46/Menhut/2009

Isi PeraturanHasil Analisis

SK. Menhut 6886/2002 & P.46/Menhut/2009

Peraturan (Rule)

Inkonsisten &

Diskriminatif

IPHHK-HA tdk diperdagangkan, sementara aturan ini

mengacu pada PP No.6 /2007 yang menjelaskan : IPHHK

adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa kayu pada

hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, pengangkutan,

dan pemasaran untuk jangka waktu dan volume tertentu.

Kayu dari perijinan lain seperti IUPHHK-HA, IPK, dapat

diperdagangkan namun memiliki persyaratan yang sulit

dipenuhi oleh masyarakat, sementara IPHHK-HA yang

persyaratannya dapat dipenuhi oleh masyarakat tidak diijinkan

untuk diperdagangkan.

Peluang

(Opportunity)

Disinsentif

Peraturan ini tidak memberikan manfaat (pendapatan) berupa

uang dan justru menambah biaya karena pemegang ijin IPHHK

wajib membayar PSDH.

Kapasitas

(Capacity)

Memadai

Dinas Kehutanan dapat menjalankan tugas administrasi sesuai

perijinan IPHH, hal ini dapat dilihat dengan kelancaran

pengurusan IPHH-bukan kayu (gaharu, kulit masohi).

Komunikasi

(Communication)

Sosialisasi peraturan ini telah dilakukan dan mendapat respon

yang baik dari masyarakat adat berupa pengurusan perijinan

IPHH-bukan kayu.

Kepentingan

(Interest)

Hak kepemilikan

kayu

Masyarakat adat menilai aturan ini tidak mengakui hak

kepemilikan mereka atas hutan adat, sehingga untuk

menggunakan kayu (kebutuhan sendiri tanpa dijual) dari areal

ulayatnya mereka harus memohon ijin kepada pemerintah.

Page 3: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

28

Proses (Process)

Top-down

P.46/2009 tidak menjawab kelemahan SK Menhut 6886/2002

Proses pembentukan aturan ini tidak melalui tahapan

pembuatan kebijakan yang tepat. (prosedur pembuatan

kebijakan menurut Dunn, 1994, yaitu : Perumusan Masalah,

Peramalan, Rekomendasi, Pemantauan, Penilaian.).

Ideologi

(Ideology)

Mengalihkan

kegiatan

pemanfaatan kayu

ke pemanfaatan

hasil hutan bukan

kayu.

Hasil hutan bukan kayu tidak menyebar merata seperti halnya

kayu sehingga tidak semua masyarakat beralih dari kegiatan

pemanfaatan kayu ke pemanfataan hasil hutan bukan kayu.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang ditawarkan oleh

pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan) tidak menjadi solusi atas masalah

pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat. Kebijakan tersebut justru memberi peluang

untuk tidak ditaati karena tidak memberikan manfaat (disinsentif) terhadap kebutuhan

masyarakat. Kebijakan ini juga melemahkan kapasitas lembaga pemerintah di

lapangan khususnya Dinas Kehutanan karena masyarakat menilai kehutanan tidak

mampu mengakomodir kepentingan masyarakat adat. Masyarakat juga menilai

pemerintah mengabaikan keberadaan mereka bahkan mengingkari legitimasi sistem

hak kepemilikan yang ada sebelumnya atas sumber daya alam berbasis tanah adat.

Menurut Peluso (2006) negara sering memaksakan pelaksanaan hukum yang

rumusannya bertentangan dengan kepercayaan, hukum adat, dan desakan kebutuhan

materi. Masyarakat sering menanggapinya dengan perlawanan sebagai bentuk protes

terhadap hilangnya akses atas sumber daya.

5.2. Saluran Pemasaran

Pemasaran kayu di Kabupaten Jayapura dibedakan menjadi 2 (dua) bagian,

yaitu pemasaran kayu legal dan pemasaran kayu illegal. Kayu legal atau kayu yang

berasal dari kegiatan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) pemasarannya disesuaikan dengan

perjanjian kerjasama antara pemegang IPK dan industri kayu. Kayu illegal atau tanpa

ijin pemasarannya melibatkan beberapa pihak yaitu masyarakat adat, kelompok

penggesek, industri kayu, kios kayu, dan konsumen lainnya. Pihak-pihak ini

membentuk pola saluran pemasaran seperti pada Gambar 3.

Page 4: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

29

Gambar 3. Pola Saluran Pemasaran Kayu Tanpa Ijin di Kabupaten Jayapura

Keterangan :

: Saluran Pemasaran 1 (Masyarakat adat – Kelompok penggesek –industri/kios kayu/konsumen lain)

: Saluran Pemasaran 2 (Masyarakat adat – industri/kios kayu/konsumenlain)

Masyarakat di Distrik Unurumguay dan Distrik Kaureh memasarkan kayu

dengan menggunakan saluran pemasaran 1. Masyarakat di kedua distrik ini banyak

berhubungan dengan kelompok-kelompok penggesek kayu. Kelompok penggesek

merupakan masyarakat pendatang dari Sulawesi Utara yang menetap sementara di

hutan dan warga transmigrasi (Jawa) yang ada di Distrik Nimbokrang. Kelompok

penggesek memiliki keterampilan dalam mengoperasikan gergaji rantai (chain saw)

dan hubungan kerjasama dengan industri maupun kios kayu, kadang merupakan

bentukan dari industri atau kios kayu. Penggesek biasanya terdiri dari operator gergaji

rantai, regu sarad/pemikul dari dalam hutan ke pinggiran jalan.

Pada saluran pemasaran 1, masyarakat adat memberikan ijin kepada kelompok

penggesek kayu untuk mengolah kayu pada areal hutan milik masyarakat adat. Pada

saluran pemasaran ini penggesek lebih berkepentingan dibandingkan masyarakat adat.

Hal ini dibuktikan dengan keaktifan mereka dalam mencari lokasi maupun

membangun kerjasama dengan masyarakat melalui negosiasi-negosiasi yang

memotivasi masyarakat adat untuk memberikan ijin pemanfaatan kayu pada areal

hutan masyarakat adat. Ijin yang diberikan oleh masyarakat adat umumnya berupa

ijin lisan (verbal), ada pula ijin tertulis yang telah disiapkan oleh kelompok penggesek

untuk ditanda tangani oleh masyarakat adat. Ijin tertulis inilah yang kemudian dipakai

oleh penggesek untuk mengamankan setiap kegiatan penebangan hingga

pengangkutan kayu ke industri atau kios kayu.

Masyarakat Adat Kel. Penggesek

• Industri Kayu;

• Kios Kayu;

• Konsumen lain

1

2

Page 5: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

30

Setelah memperoleh ijin dari masyarakat adat, kelompok penggesek dapat

mulai melakukan kegiatan penebangan pohon, penggergajian, dan pengangkutan

kayu. Masyarakat adat menerima kompensasi sesuai laporan lisan tentang volume dan

jenis yang telah diambil dari areal hutannya. Kelompok penggesek memasarkan kayu

dalam bentuk kayu pacakan dengan jenis dan ukuran sesuai permintaan industri

maupun kios kayu. Jenis kayu merbau (Intsia,sp.) dijual ke industri kayu dengan

ukuran 3m x 14cm x 14cm, untuk yang dijual ke kios kayu selain merbau juga kayu

dari kelompok rimba campuran seperti matoa (Pometia sp.) dan lain-lain dengan

ukuran bervariasi yaitu 4m x 5cm x 10cm ; 4m x 5cm x 15cm; 4m x 10cm x 10cm .

Kelompok penggesek dalam melakukan kegiatannya mampu mencapai jarak ±

2 km dari pinggiran jalan. Pengerjaan pohon menjadi kayu pacakan dilakukan di

lokasi penebangan dengan menggunakan gergaji rantai. Pengangkutan kayu dari

lokasi penebangan ke pinggiran jalan menggunakan tenaga manusia (dipikul), ternak

(sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi untuk digunakan pada rel yang

telah disiapkan. Dalam sehari setiap operator gergaji rantai mampu menghasilkan 1 –

2 meter kubik kayu pacakan jenis merbau. Jenis non merbau pengerjaannya lebih

mudah sehingga dalam sehari mampu mencapai 3 – 4 meter kubik.

Pengangkutan kayu dari pinggiran jalan ke industri atau kios kayu

menggunakan truk. Kapasitas angkut truk untuk kayu merbau ± 4 meter kubik dan

kayu non merbau ± 5 meter kubik. Dalam perjalanan truk akan melewati pemeriksaan

di pos polisi kehutanan dan beberapa pos keamanan (TNI/polisi). Di pos polisi

kehutanan pemeriksaan dilakukan terhadap surat angkutan kayu (faktur angkutan),

volume dan jenis kayu yang diangkut. Untuk menghindari pemeriksaan dan

kemungkinan penahanan kayu illegal dan truk pengangkut, supir truk atau pemilik

kayu biasanya membayar sejumlah uang di setiap pos yang dilewati. Jumlah biaya

yang dikeluarkan untuk melewati pos kehutanan, Pos TNI, dan Pos Polisi selama

perjalanan dari hutan hingga Kota Sentani berkisar antara Rp. 750.000 hingga Rp.

900.000,-. Biaya ini dapat bertambah jika dalam perjalanan ada pemeriksaan yang

dilakukan oleh oknum aparat kepolisian yang sedang melakukan patroli.

Masyarakat di Distrik Kemtuk memasarkan kayu mereka dengan

menggunakan saluran pemasaran 2. Masyarakat yang mengusahakan kayu di distrik

ini merupakan mantan karyawan perusahaan kehutanan/HPH yang mempunyai

pengalaman dalam mengoperasikan gergaji rantai dan mengenal pihak pihak pemilik

Page 6: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

31

kios kayu dan konsumen lain . Konsumen lain yang membeli kayu dari masyarakat

berasal dari pelaksana pembangunan perumahan dan proyek pembangunan lainnya di

kabupaten dan kota Jayapura. Areal hutan yang dikelola masyarakat dapat mencapai ±

1 km dari pinggiran jalan dengan medan yang relatif datar. Pengangkutan kayu dari

dalam hutan ke pinggiran jalan menggunakan tenaga manusia (dipikul). Pemanfaatan

kayu biasanya dilakukan jika ada kebutuhan mendesak misalnya untuk kebutuhan

perayaan natal dan kebutuhan sekolah anak pada saat tahun ajaran baru. Tingginya

biaya angkutan dan pungutan oleh pihak berwenang yang tidak bertanggungjawab

menyebabkan masyarakat di distrik ini lebih memilih untuk menunggu pihak kios

kayu atau konsumen lain yang mendatangi mereka daripada membawa sendiri atau

mendatangi konsumen ke Kota Sentani. Masyarakat yang menggunakan saluran

pemasaran 2 jarang menjual kayu ke industri. Hal ini disebabkan menurut mereka

pengukuran yang dilakukan oleh tenaga pengukur kayu (grader) sering merugikan

mereka.

Kedua pola saluran pemasaran ini dan produk IPK menjadi sumber

pemenuhan kebutuhan kayu industri hasil hutan kayu untuk kepentingan ekspor dan

kebutuhan kayu lokal di kabupaten dan kota Jayapura. Kenyataan di lapangan sulit

sekali membedakan kayu yang berasal dari IPK dan kayu ilegal. Hasil pengamatan di

lapangan terdapat IPK yang tidak beroperasi namun memiliki dokumen-dokumen

penatausahaan kayu dari IPK ke beberapa industri yang ada di Kabupaten Jayapura.

Kondisi ini dapat terjadi karena rendahnya kredibilitas petugas kehutanan yang

bertugas di IPK, di pos pengendalian peredaran kayu, dan di industri kayu.

Rendahnya kredibilitas petugas disebabkan oleh kurangnya dukungan dana dan

fasilitas dari pemerintah. Dalam melaksanakan tugas fungsional sebagai petugas di

perusahaan (IPK/IUIHHK) pembiayaan berupa honor/insentif ditanggung oleh

perusahaan sehingga petugas ikut merasa bertanggungjawab untuk mengamankan

aktivitas perusahaan sekalipun melanggar aturan. Dwiyanto (2011) menjelaskan

bahwa salah satu masalah dalam birokrasi pemerintah adalah rendahnya penghasilan

aparatur birokrasi. Pemerintah bahkan sering membiarkan aparaturnya berburu rente

dari kewenangan pelayanan yang dimilikinya.

Page 7: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

32

5.3. Analisis Pendapatan Masyarakat Adat dan Pemerintah Daerah

Beberapa Perijinan pemanfaatan kayu yang pernah beroperasi dan menjadi

sumber pendapatan di Kabupaten Jayapura adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH),

Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), dan Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPK-

MA). Pendapatan yang diterima oleh masyarakat adat atas kayu yang dipungut HPH

tidak dalam bentuk uang tunai tetapi berupa kegiatan-kegiatan HPH Bina

Desa/PMDH (bangunan sekolah, puskesmas, dan perkebunan). Pasca krisis moneter

tahun 1998 dan pemberlakukan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) tahun

2001, 3 (tiga) HPH yang beroperasi di Kabupaten Jayapura menghentikan

kegiatannya (stagnasi). Penghentian kegiatan disebabkan pengaruh krisis moneter dan

banyak tuntutan masyarakat adat yang berhubungan dengan ganti rugi atas ulayat

hingga tuntutan kompensasi dalam bentuk uang sesuai volume kayu yang diproduksi.

Masyarakat adat Elseng, salah satu kelompok masyarakat adat di bagian Selatan

Kabupaten Jayapura menuntut ganti rugi atas kegiatan HPH dan melakukan

pemalangan terhadap areal konsesi HPH Risana Indah Forest Industri (RIFI) dan

beberapa alat berat.

Masyarakat mulai menerima kompensasi dalam bentuk uang tunai saat

pemberlakukan IPK-MA tahun 2002. Hasil wawancara dengan masyarakat adat

pengurus IPK-MA dan masyarakat pemilik ulayat areal IPK diperoleh informasi

tentang pendapatan masyarakat adat dari kegiatan IPK-MA dan IPK yang dapat

dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Pendapatan Masyarakat dari kegiatan IPK-MA dan IPK di Kab. Jayapura

No. Jenis PerijinanPendapatan Masyarakat Adat (Rp./m3)

Sblm OHL Pasca OHL

1.

2.

IPK-MA Sokuota

Dawemna

IPK-MA Sentosa

Standarisasi Kompensasi

Kep.Gubernur No. 184/

2004, yaitu :

K.Indah : 75.000

K.Merbau: 37.500

Non Merbau : 7.500

Biaya IPK-MA : 5.000

Bervariasi antara :

17.500 – 30.000

3.

4.

IPK VCMWI

IPK SMJ

-

-

-

-

Ket : OHL : Operasi Hutan Lestari dilakukan tahun 2005.

Page 8: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

33

Pendapatan masyarakat adat (pemilik ulayat) disesuaikan dengan standar

kompensasi sesuai SK Bupati Jayapura Nomor 41/2002 dan SK Bupati Jayapura

Nomor 13 tahun 2005. Biaya IPK-MA (Fee IPK-MA) merupakan hasil negosiasi

antara pengurus IPK-MA dan pihak ketiga (investor). Pengurus IPK-MA (Ketua,

Sekretaris, Bendahara) juga menerima insentif bulanan selama IPK-MA beroperasi

yang besarnya bervariasi antara Rp.100.000,- hingga Rp.150.000,-. Hasil kajian

Yulianti (2005) menunjukkan bahwa pemilik Kopermas/IPK-MA adalah kelompok

yang paling sedikit menikmati manfaat dan keuntungan Kopermas. Kebijakan ini

juga dinilai gagal memenuhi fungsi keberlanjutan usaha (sustainability).

Pendapatan masyarakat dari kegiatan IPK-MA pasca OHL merupakan

pendapatan yang diperoleh dari hasil pelelangan kayu-kayu IPK-MA yang disita.

Pendapatan dari hasil lelang kayu IPK-MA bervariasi dan dipengaruhi oleh negosiasi

antara masyarakat adat dan pihak pemenang lelang. Negosiasi antara masyarakat dan

pemenang lelang biasanya berlangsung sebelum kegiatan lelang dilakukan. Posisi

masyarakat adat dalam negosiasi lemah sehingga mereka lebih banyak menerima

tawaran yang diberikan.

Kegiatan IPK VCMWI dan IPK SM tidak memberikan

pendapatan/kompensasi kepada masyarakat pemilik ulayat lokasi IPK. Hal ini

mungkin terjadi karena lokasi kedua IPK berada pada areal penggunaan lain (APL)

yang merupakan lokasi perkebunan kelapa sawit dan lokasi lahan usaha dua pada

areal transmigrasi. Hasil wawancara dan pengamatan di salah satu lokasi IPK

menunjukkan bahwa tidak terdapat kegiatan pemanfaatan kayu pada areal yang

dimaksud, bahkan rencana perkebunan tidak terealisasi. Hal ini membuktikan bahwa

investor sebenarnya hanya memburu dokumen-dokumen perijinan untuk melegalkan

kegiatan-kegiatan illegalnya. Casson (2003) menjelaskan bahwa kebanyakan

perusahaan di Irian Jaya (Papua) lebih berminat memungut kayu dari konsesi mereka

daripada benar-benar membangun perkebunan.

Pendapatan masyarakat adat dari kegiatan pemanfaatan kayu tanpa perijinan

dibedakan sesuai dengan saluran pemasaran seperti pada pembahasan sebelumnya.

Pendapatan masyarakat adat di Distrik Kemtuk diperoleh dari aktifitas masyarakat

secara langsung dalam memanfaatkan kayu, sedangkan di Distrik Unurumguay dan

Distrik Kaureh pendapatan masyarakat adat merupakan hasil kerjasama antara

masyarakat adat dan kelompok penggesek kayu. Pendapatan masyarakat adat dari

Page 9: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

34

kegiatan pemanfaatan kayu di Distrik Kemtuk, Distrik Unurumguay, dan Distrik

Kaureh dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Pendapatan Masyarakat Adat dari Kegiatan Pemanfaatan Kayu di Kab

Jayapura.

No.Jenis Kayu dan Tujuan

Pemasaran

Pendapatan Masyarakat Adat (Rp/m3)

Kemtuk Unurumguay Kaureh

1. Merbau :

a. Industri kayu

b. Kios Kayu

c. Proyek Pembangunan

-

1.195.917

1.079.250

75.000

100.000

-

100.000

100.000

-

2. Non Merbau :

a. Kios Kayu

b. Proyek Pembangunan

291.300

341.300

40.000

-

40.000

-

Pendapatan masyarakat adat di Distrik Kemtuk lebih tinggi dari masyarakat di

Distrik Unurumguay dan Distrik Kaureh karena masyarakat di Distrik Kemtuk

mengusahakan kayu sendiri tanpa melibatkan pihak luar (kelompok penggesek). Di

Distrik Unurumguay dan Disrik Kaureh, perhitungan kompensasi antara kelompok

penggesek kayu dan masyarakat didasarkan atas jumlah pengangkutan dengan

menggunakan truk. Setiap pengangkutan kayu merbau masyarakat mendapat

kompensasi sebesar Rp.300.000,- dengan perhitungan/anggapan masyarakat bahwa

jumlah kayu yang diangkut sebanyak 3 m3. Untuk kayu non merbau masyarakat

memperolah Rp.200.000,- setiap truk, dengan anggapan masyarakat jumlah kayu

yang diangkut 5 m3. Perhitungan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar

kompensasi sesuai aturan yang berlaku, namun sesungguhnya kondisi di lapangan

menunjukkan bahwa pendekatan perhitungan ini sangat merugikan masyarakat.

Masyarakat sering dikelabui, baik dengan jenis kayu maupun volume yang diangkut.

Kelompok penggesek juga sering menggunakan aparat keamanan dalam kegiatannya

sehingga masyarakat adat kadang sulit untuk melakukan protes atas kompensasi yang

diterima.

Perbedaan pendapatan masyarakat juga dipengaruhi oleh banyaknya pungutan

liar yang dilakukan aparat di setiap pos maupun yang sedang melakukan patroli.

Semakin jauh jarak pengangkutan kayu dari lokasi ke tempat tujuan pemasaran,

semakin banyak jumlah pos yang dilewati sehingga biaya pungutan liar semakin

tinggi. Biaya pungutan ini kadang sulit diprediksi karena pungutan tidak hanya

dilakukan oleh petugas di pos keamanan tapi juga oleh petugas yang sedang

Page 10: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

35

melakukan patroli. Pengaruh pungutan ini dapat dilihat pada perbedaan pendapatan

masyarakat di Distrik Kemtuk yang menjual kayu ke kios kayu dan yang menjual

kepada pihak yang melakukan kegiatan pembangunan (proyek pembangunan). Untuk

proyek pembangunan, pembeli menjemput kayu ke Distrik Kemtuk, sehingga biaya

pengangkutan dan pungutan liar dapat dikurangi dan meningkatkan pendapatan

masyarakat.

Akses jalan dan jarak antara Distrik ke Kota Kabupaten Jayapura (Sentani)

juga mempengaruhi keputusan masyarakat dalam menentukan tujuan pemasaran

kayu. Masyarakat di Distrik Kemtuk memiliki akses (kerjasama) dengan kios kayu

maupun konsumen lain karena berada dekat dengan Kota Sentani. Konsumen lain

(developer pembangunan) lebih memilih untuk membeli kayu di lokasi-lokasi yang

dekat dengan kegiatannya (Sentani) untuk menghindari biaya transportasi yang tinggi

dan pungutan liar. Jarak antara masing-masing distrik ke Kota Sentani dapat dilihat

pada Lampiran 1.

Masyarakat di Distrik Kemtuk tidak menjual kayu ke industri karena jarak ke

industri yang jauh, harga yang diperoleh lebih rendah, dan penilaian terhadap volume

kayu sering merugikan masyarakat. Pasokan kayu untuk kebutuhan industri banyak

diperoleh dari Distrik Unurumguay dan Distrik Kaureh. Hasil perhitungan

menunjukkan bahwa penjualan kayu merbau dari kedua distrik tersebut ke industri

kayu di Distrik Unurumguay lebih menguntungkan dibandingkan penjualan ke kios

kayu di Kota Sentani. Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya pungutan pada saat

kayu diangkut menuju Kota Sentani. Detail tentang biaya dan pendapatan yang

diperoleh masyarakat dari kegiatan pemanfaatan kayu di lokasi penelitian dapat

dilihat pada Lampiran 2.

Data realisasi penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana

Reboisasi (DR) dari kegiatan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura pada tahun

2005 s/d 2009 dapat dilihat pada Tabel 17.

Page 11: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

36

Tabel 17. Realisasi Penerimaan Negara dari Kegiatan Pemanfaatan Kayu di Kab.Jayapura Tahun 2005 s/d 2009

Tabel 17 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi penerimaan PSDH dan DR dari

tahun 2005 (akhir pemberlakuan ijin IPK-MA) hingga tahun 2009. Perijinan

pemungutan kayu berupa IPK di Kabupaten Jayapura mengalami penurunan jumlah

namun penerimaan PSDH tahun 2009 meningkat, hal disebabkan oleh peningkatan

standarisasi PSDH untuk setiap kelompok jenis dan adanya pemisahan jenis kayu

merbau. Sekalipun kegiatan pemungutan kayu sesuai perijinan (IPK/IPK-MA)

menurun namun aktifitas illegal dalam pemanfaatan kayu dan dokumen tata usaha

kayu terus berlangsung. Hasil penelusuran dokumen dan wawancara dengan

masyarakat ditemukan adanya dokumen realisasi penyetoran PSDH dan DR yang

berasal dari kegiatan IPK yang belum aktif di lapangan. Modus ini dipakai untuk

memanipulasi dokumen agar dapat memanfaatkan kayu tanpa perijinan.

Kayu untuk kebutuhan lokal dipenuhi dari kegiatan tanpa perijinan (illegal)

sehingga tidak memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara (PSDH dan DR).

Data tentang peredaran kayu dari hutan ke Kota Sentani untuk kebutuhan kios kayu

dan kebutuhan lokal lainnya ditelusuri melalui pengamatan dan wawancara dengan

petugas di pos kehutanan serta pemilik dari beberapa kios kayu di Kota Sentani.

Estimasi kerugian negara dari pemanfaatan kayu tanpa perijinan dapat dilihat pada

Tabel 18.

No. TahunPemerintah Pusat Pemda Jayapura

PSDH (Rp.) DR (US $) PSDH (Rp.) DR (US $)

1. 2005 1.653.552.676 585.092,28 529.136.856,3 234.036,91

2. 2006 176.945.184 91.899,34 56.622.458,8 36.755,74

3. 2007 907.751.945 264.301,40 290.480.622,4 105.720,56

4. 2008 876.442.184 216.656,68 280.461.498,9 86.662,67

5. 2009 1.287.420.238 176.220,42 411.974.476,2 70.488,17

Sumber : Data Dinas Kehutanan Kab. Jayapura (diolah).

Page 12: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

37

Tabel 18. Kerugian Negara dan Pemerintah Daerah dari Kegiatan Pemanfaatan

Kayu di Kab. Jayapura.

No.Kelompok

Jenis

Volume /

Bulan

(m3)

Kerugian Negara Kerugian Pemda

PSDH (Rp.) DR (US $)PSDH

(Rp.)DR (US $)

1. Merbau 200 30.000.000 2.600 9.600.000 1.040

2. Meranti 600 30.240.000 7.800 9.676.800 3.120

Jumlah 800 60.240.000 10.400 19.276.800 4.160

Hasil pencatatan di pos kehutanan menunjukkan bahwa rata-rata volume kayu

yang diangkut ke Kota Sentani sebanyak ± 800 m3 per bulan. Jumlah ini

sesungguhnya masih lebih rendah dibanding data rata-rata jumlah kayu yang diterima

8 (delapan) kios kayu yang berada di Kota Sentani yaitu sekitar ± 1.000 m3 per

bulan.

5.4. Analisis Para Pihak (Stakeholder Analisys)

Stakeholder dikategorikan sesuai dengan kepentingan dan pengaruh yang

mereka miliki terhadap kondisi pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat di Kabupaten

Jayapura. Terdapat 3 (tiga) kategori stakeholder, yaitu :

1. Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan legal

dalam hal pemberian ijin maupun pengambilan keputusan (Pemerintah Daerah

Kabupaten Jayapura).

2. Stakeholder utama merupakan stakeholder yang mempunyai kaitan kepentingan

langsung dengan kegiatan pemanfaatan kayu (Masyarakat adat dan swasta).

3. Stakeholder pendukung merupakan stakeholder yang tidak memiliki kepentingan

langsung namun memiliki kepedulian terhadap kegiatan pemanfaatan kayu

(DPRD dan LSM).

Hasil wawancara mendalam diperoleh informasi pendapat stakeholder tentang

kegiatan pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat di Kabupaten Jayapura. Pendapat

stakehoder tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 13: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

Sebanyak 57,2% stake

oleh masyarakat adat karena be

1. Belum ada peraturan yang

memanfaatkan kayu pada

2. Kegiatan pemanfaatan ka

kebutuhan kayu lokal.

3. Undang-Undang Otonom

adat untuk memanfaatkan sum

Sebanyak 14,2% stak

kayu oleh masyarakat adat ka

peraturan atau perijinan. Se

pemerintah daerah terkesan

oleh masyarakat berjalan tanpa

tidak setuju dengan kegiatan

mereka kegiatan tanpa pe

pengawasan, pengendalian,

yang dimanfaatkan.

Tanggapan stakeholde

mengetahui adanya ketidakse

Jayapura. Belum terlihat ada

0,00%

10,00%

20,00%

30,00%

40,00%

50,00%

60,00%

70,00%

80,00%

90,00%

100,00%

Stakeholde Kunci

57,20%

14,2%

Gambar 4. PendapatMasyarak

akeholder kunci setuju terhadap kegiatan pemanf

na beberapa alasan, yaitu :

ang memberikan kesempatan kepada masyarakat

da areal ulayat.

n kayu oleh masyarakat adat digunakan untuk

onomi Khusus memberikan kesempatan kepada

kan sumberdaya alam dalam areal ulayatnya.

stakeholder kunci ragu-ragu terhadap kegiatan p

t karena menurut mereka kegiatan ini tidak didukung

Selain itu pengalaman kegiatan IPK-MA me

n sangat hati-hati bahkan membiarkan pemanf

tanpa perijinan. Sebanyak 28,6% stakeholder

an pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat kare

perijinan menyebabkan pemerintah sulit

n, dan program yang bersifat tehnis terhadap

holder kunci menunjukkan bahwa pemerintah da

ksesuain antara kebijakan dan kondisi pemanfaa

danya upaya yang dilakukan oleh pemerintah da

Stakeholde Kunci Stakeholder

Utama

Stakeholder

Pendukung

57,20%

100,0%

28,6%

14,2%

0,0%

71,4%

28,6%

0,0% 0,0%

pat stakeholder tentang Kegiatan Pemanfaatan Krakat Adat

38

anfaatan kayu

kat adat untuk

uk memenuhi

da masyarakat

n pemanfaatan

didukung oleh

menyebabkan

anfaatan kayu

der kunci yang

karena menurut

t melakukan

ap areal-areal

h daerah telah

nfaatan kayu di

h daerah (dinas

Setuju

Ragu-ragu

Tidak

Setuju

n Kayu oleh

Page 14: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

39

kehutanan) untuk mencari solusi terhadap masalah kebijakan pemanfaatan kayu.

Mengindari penilaian negatif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat

menyebabkan Dinas Kehutanan lebih memilih untuk membiarkan masyarakat

memanfaatkan kayu tanpa perijinan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak

berkepentingan seperti industri kayu dan kios kayu termasuk penunggang bebas (free

rider) untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum dan mengurangi pendapatan

masyarakat adat dan pemerintah.

Pendapat stakeholder utama seperti pada Gambar 4 dikemukakan dengan

alasan-alasan sebagai berikut :

1. Masyarakat adat mempunyai hak yang sama dengan para pendatang / perusahaan.

Mereka juga menganggap bahwa UU Otsus mendukung masyarakat adat untuk

memanfaatkan hutan.

2. Kegiatan yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, jumlah

kayu yang dimanfaatkan juga lebih sedikit dari jumah kayu yang pernah

dimanfaatkan oleh perusahaan/swasta bahkan kondisi ini juga menguntungkan

oknum pemerintah untuk melakukan pungutan liar.

3. Pemerintah juga telah mengetahui bahwa ada kegiatan pemanfaatkan kayu tanpa

ijin namun membiarkannya. Menurut mereka pembiaran oleh pemerintah sengaja

dilakukan karena perijinan untuk masyarakat ‘mungkin’ tidak menguntungkan

bagi pemerintah.

4. Kegiatan pemanfaatan kayu tersebut mendukung pembangunan karena digunakan

untuk pemenuhan kebutuhan kayu lokal.

Stakeholder utama khususnya masyarakat adat sesuai hasil analisis pendapatan

menunjukkan bahwa masyarakat banyak dirugikan dengan kegiatan pemanfaatan

kayu tanpa perijinan. Namun dari hasil wawancara menunjukkan bahwa seluruh

stakeholder utama termasuk masyarakat adat setuju dengan kondisi pemanfaatan kayu

yang sementara berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat adat membutuhkan

pengakuan atas keberadaan dan hak akses terhadap sumberdaya hutan.

Stakeholder pendukung yang setuju dikemukakan dengan alasan Undang-

Undang Otonomi Khusus memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk

memanfaatkan sumberdaya alam bagi kesejahteraan/memenuhi kebutuhan hidup.

Page 15: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

40

Pendapat ragu-ragu dikemukakan dengan alasan :

1. Pemanfaatan kayu tanpa ijin oleh masyarakat adat merupakan bentuk konspirasi

antara pemerintah dan swasta untuk memenuhi kepentingan pihak swasta.

2. Kondisi tanpa perijinan tidak memberikan proses belajar tentang bagaimana

pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Kondisi ini justru merusak

kelembagaan adat dan masyarakat adat ikut terpengaruh dengan kebiasaan

eksploitatif yang dilakukan oleh perusahaan atau pihak luar.

Alasan yang dikemukakan stakeholder kunci, stakeholder utama, dan

stakeholder pendukung jelas menunjukkan bahwa pemanfaatan kayu oleh masyarakat

adat sekalipun tanpa perijinan tetapi ketiga stakeholder memahami adanya peluang

melalui otonomi khusus yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat adat.

Stakeholder kunci khususnya Dinas Kehutanan memahami adanya kelemahan

kebijakan dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Pengalaman IPK-MA

membuktikan bahwa pemanfaatan sumber daya hutan sesuai Undang-Undang

Otonomi Khusus Papua harus tetap mengacu pada undang-undang atau peraturan

sektor kehutanan sekalipun peraturan tersebut bertentangan dengan semangat otonomi

khusus. Rancangan PERDA Kabupaten Jayapura untuk mengatasi masalah

pemanfaatan kayu oleh masyarakat mengalami kendala karena tidak memiliki

dukungan dari peraturan yang lebih tinggi (Peraturan Menteri Kehutanan). Butuh

keberanian dan profesinalisme dari aparatur di Kabupaten Jayapura untuk melakukan

terobosan-terobosan guna menjawab permasalahan trade offs kebijakan antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut Dwiyanto (2011) aparatur

pemerintah yang memiliki profesionalisme tinggi cenderung tidak toleran terhadap

proseduralisme yang membelenggu dan menjauhkan mereka dari kreativitas dan

inovasi.

5.5. Analisis Efektifitas Kelembagaan Adat

Menurut Berkes dan Farvar (1989) dalam Suharjito (1999), pandangan ilmiah

Barat menganggap common-property resources adalah sumberdaya yang tidak

dipertangungjawabkan kepada pribadi (private), tidak dimiliki oleh seseorang, open

access dan tersedia bebas bagi para pengguna. Sedangkan menurut pandangan

tradisional, common-property resources adalah sumberdaya yang dimiliki secara

komunal (communally owned resources). Masyarakat adat di lokasi penelitian

memiliki pandangan tentang sumberdaya alam milik bersama dalam suatu marga atau

Page 16: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

41

dalam suku yang terdiri dari beberapa marga. Sumberdaya milik bersama ini

biasanya merupakan sumberdaya yang jumlahnya tidak terbatas misalnya sumber air.

Selain itu sumberdaya milik bersama dapat berupa sumberdaya bergerak seperti satwa

atau hewan buruan. Untuk sumberdaya yang tidak bergerak dan jumlahnya terbatas

seperti kayu masuk dalam kategori sumberdaya milik marga, yang dihubungkan

dengan lokasi tumbuhnya pohon/kayu tersebut dengan pemilik tanah adat/ulayat. Hal

ini menunjukkan bahwa common-property sumberdaya hutan/kayu pada lokasi

penelitian maupun pada umumnya di setiap tanah ulayat milik masyarakat adat di

Papua sifatnya tidak open access.

Masyarakat adat di Distrik Kemtuk, Distrik Unurumguay, dan Distrik Kaureh

percaya bahwa hutan memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat. Semua

informan yakin bahwa hutan memberikan manfaat bagi kehidupan, apabila hutan

tidak ada maka keberlangsungan hidup mereka terganggu. Kepercayaan tersebut

didasarkan pada pengalaman hidupnya yang merasa manfaat hutan sebagai penyedia

bahan makanan (berburu, menyediakan sagu), dan didasarkan pada nasehat-nasehat

orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat, dan adat-istiadat yang ada dalam masyarakat.

Masyarakat adat yakin terhadap aturan tertulis dan aturan tidak tertulis dapat

berfungsi untuk menjaga dan mengatur kegiatan pemanfaatan kayu, namun tingkat

kepercayaannya berbeda-beda. Terhadap aturan tertulis (formal pemerintah) 20%

informan percaya bahwa aturan tertulis yang ada efektif untuk mengatur kegiatan

pemanfaatan kayu, sebagian informan (80%) ragu-ragu terhadap efektivitas aturan

tertulis. Sedangkan terhadap aturan tidak tertulis (aturan adat) 80% informan percaya

bahwa aturan tersebut efektif mengatur kegiatan pemanfaatan kayu, hanya 20%

informan yang ragu-ragu terhadap aturan tidak tertulis.

Tingkat kepercayaan masyarakat adat terhadap aturan tidak tertulis (aturan

adat) untuk mengelola sumber daya hutan khususnya untuk memanfaatkan kayu lebih

tinggi dari kepercayaannya terhadap aturan tertulis (formal). Hal ini dikarenakan

aturan tidak tertulis sudah berlaku secara turun-temurun dan terinternalisasi dalam

kehidupan masyarakat adat. Sedangkan aturan tertulis yang disusun oleh pemerintah

hanya sebagian kecil yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat untuk

memanfaatkan kayu.

Page 17: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

42

Kepatuhan seseorang terhadap aturan dapat diperlemah dan diperkuat oleh

kepatuhan orang lain terhadap aturan tersebut. Oleh karena itu penting untuk

meninjau kepercayaan seseorang bahwa orang lain mematuhi aturan (Suharjito dan

Saputro, 2008). Tingkat kepercayaan informan bahwa masyarakat lain mematuhi

batas ulayat dalam kegiatan pemanfaatan kayu 93,3% percaya sedangkan sebagian

kecil 6,7% ragu-ragu. Tingkat kepercayaan informan bahwa anggota masyarakat lain

dapat mematuhi aturan adat dalam pemanfaatan kayu diperkuat oleh tingkat

kepercayaan bahwa masyarakat adat dapat bekerjasama dalam menjaga batas-batas

ulayat. Sebagian besar informan (73,3%) percaya dan 26,7% informan ragu-ragu.

Sebagaimana dijelaskan Uphoff (2000) bahwa kepercayaan (trust) dan pembalasan

(reciprocation) merupakan cara untuk membangun hubungan dengan orang lain.

Informan yang ragu-ragu terhadap kepatuhan dan kemampuan bekerjasama menjaga

batas ulayat dalam kegiatan pemanfaatan kayu didasarkan atas kekhawatiran

kehadiran kelompok-kelompok masyarakat adat lain yang mulai banyak menetap dan

bersama-sama memanfaatkan hutan.

Tingkat kepercayaan masyarakat adat terhadap kegiatan pemanfaatan kayu

oleh IPK, dan IUPHHK/HPH tergolong rendah, yaitu 86,7% informan tidak percaya,

dan 13,3% informan ragu-ragu. Secara ringkas distribusi informan menurut tingkat

kepercayaannya terhadap manfaat hutan, fungsi aturan, kepatuhan, kerjasama, dan

hubungan dengan perusahaan disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Distribusi Informan menurut Tingkat Kepercayaan

No Kepercayaan informan terhadap Distribusi Informan (%)

Tidak

Percaya

Ragu-

ragu

Percaya

1 Manfaat hutan - - 100%

2 Fungsi aturan tertulis 80,0% 20,0%

3 Fungsi aturan tidak tertulis - 20,0% 80,0%

4 Kepatuhan terhadap batas ulayat dalam

pemanfaatan kayu

- 6,7% 93,3%

5 Kemampuan kerjasama warga masyarakat - 26,7% 73,3%

6 Perusahaan (IPK/IUPHHK) 86,7% 13,3% -

Page 18: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

43

Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap HPH maupun IPK

disebabkan oleh aktivitas HPH/IPK yang kurang menghormati bahkan merusak

kearifan lokal yang telah ada dalam menjaga hubungan masyarakat dengan hutan.

Masyarakat adat juga melihat bagaimana perusahaan dapat dengan mudah

memanfaatkan kayu dalam jumlah yang banyak dan didukung oleh aparat

keamanan/militer yang selalu melihat masyarakat adat sebagai ancaman terhadap

perusahaan. Sekalipun masyarakat tidak percaya dengan kegiatan-kegiatan

IPK/IUPHHK namun tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan untuk menghindari

kerjasama dalam pemanfaatan kayu. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Maring

(2010) yang menjelaskan bahwa konflik, perlawanan, dan kolaborasi merupakan

realitas yang silih berganti berlangsung di lapangan, melibatkan pihak-pihak yang

sama, tempat yang sama, dan terjadi pada kasus yang sama yaitu penguasaan hutan.

Di lokasi penelitian dan di Papua pada umumnya aturan adat merupakan

aturan verbal yang mempunyai kekuatan untuk mengikat setiap individu yang hidup

dalam wilayah hukum adat. Aturan adat yang kerapkali dijumpai berupa aturan-aturan

yang berhubungan dengan masalah perkawinan, upacara-upacara adat, dan hak ulayat.

Aturan adat tentang pemanfaatan kayu ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-

hari dan menyangkut kearifan lokal dalam memanfaatkan suatu jenis kayu menjadi

peralatan tertentu, misalnya untuk membuat perahu masyarakat menggunakan kayu

perahu (Octomeles sumatrana) atau untuk membuat rumah menggunakan kayu matoa

(Pometia spp). Dalam aturan adat diatur tentang zona-zona pemanfaatan, misalnya

areal hutan untuk berkebun, berburu, sumbet air, pemukiman (kampung lama) dan

sebagainya.

Tingkat pemahaman informan terhadap aturan adat yang mengatur zona

pemanfaatan hutan cukup beragam. 70% informan di Distrik Kemtuk cukup paham

dan 30% informan paham dengan zona pemanfaatan hutan. Di Distrik Kaureh 40%

informan cukup paham dan 60% informan paham dengan zona pemanfaatan hutan

secara adat. Informan yang dikategorikan cukup paham tentang zona pemanfaatan

adalah mereka yang mengetahui adanya aturan adat tentang zona pemanfaatan hutan

namun tidak bisa memberikan keterangan secara detail tentang zona-zona tersebut.

Kebanyakan dari mereka beralasan bahwa orang tua mereka lebih paham tentang hal

tersebut atau sebagai akibat tidak adanya transfer informasi dari generasi sebelumnya.

Informan di Unurumguay semuanya paham tentang zona pemanfaatan karena terjadi

Page 19: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

44

transfer informasi yang baik dari generasi sebelumnya serta adanya inisiatif WWF

pada tahun 2006 yang membantu masyarakat secara partisipatif membuat peta ulayat

dan zona pemanfaatan. Distribusi informan menurut tingkat pemahaman terhadap

aturan adat disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20. Distribusi Informan menurut Tingkat Pemahaman terhadap Aturan Adat

InformanTingkat Pemahaman (%)

Tidak paham Cukup paham Paham

Distrik Kemtuk - 70% 30%

Distrik Unurumguay - - 100%

Distrik Kaureh - 40% 60%

Pemahaman terhadap aturan adat yang mengatur zona pemanfaatan di Distrik

Kemtuk dan Distrik Kaureh akan meningkat jika difasilitasi dengan kegiatan-kegiatan

yang mendukung tercapainya transfer informasi. Kegiatan tersebut dapat berupa

kegiatan pemetaan partisipatif yang melibatkan seluruh masyarakat adat atau wakil

marga.

5.6. Peta Permasalahan Berdasarkan Temuan Studi

Hasil analisis terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam

kegiatan pemanfaatan kayu dirumuskan kedalam bentuk peta permasalahan yang

ditampilkan pada Tabel 21.

Tabel 21. Peta Permasalahan Pemanfaatan Kayu oleh Masyarakat Adat

No. AnalisisPermasalahan Sintesis/Akar

MasalahMasyarakat Adat Pemerintah Daerah

1. Isi Kebijakan Perijinan yangditawarkan tidaksesuai dengankebutuhan masyarakatadat

Kebijakan yangada tidak memberiruang kepadaMasyarakat adatuntukmengusahakankayu secara legal.

Kebijakan yangada inkonsisten dandiskriminatif

2. SaluranPemasaran

1. Tidak didukungoleh legalitasproduk kayu.

2. Tingginya pungutanliar.

3. Kemampuankewirausahaan

Kebijakan yg adabelum mendukungpelaks programpemberdayaanmasy adat(wirausaha)

1. Legalitas2. Pemberdayaan

Masy3. Clean & good

governance

Page 20: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

45

3. Pendapatan 1. Pendapatanmasyarakat adatrendahdibandingkandengan pelakupemasaran lain.

2. Produk illegalsehinggamenimbulkan biayatransaksi tinggi

Trade offskebijakan antaraKemenhut danPemdamempengaruhipendapatanPEMDA

1. Legalitas2. Keterampilan

Masyarakat

4. Stakeholder Dukungan stakeholderterhadap kegiatanpemanfaatan kayu olehmasyarakat adat sesuaiUU Otsus belummaksimal .

Lambatnya prosespenjabaranPerdasus ttgpengelolaan Hutanberkelanjutan diPapua.

Profesionalismestakeholder

5. EfektivitasKelembagaanAdat

Kebijakanpemanfaatan hutanmengabaikankelembagaan adat.

1. Minimnyapelibatankelembagaanadat sbg mitrapengelolahutan.

2. Aturan tehniskehutanandinilai lebihmampumenjagakelestarianhutan.

1. Kebijakan ygada mengabai-kan hubunganmasyarakatdengan hutan.

2. Kurangnyaperankelembagaanadat dalamkebijakanpengelolaanhutan.

Berdasarkan peta permasalahan jelas terlihat bahwa kebijakan pemanfaatan

kayu yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan tidak sesuai dengan kebutuhan

masyarakat adat dan kebutuhan pembangunan di Papua. Kebijakan yang ada belum

mengakomodir kepentingan masyarakat adat untuk memanfaatkan kayu. Dibutuhkan

kejelasan terhadap hak kepemilikan (property right) masyarakat adat terhadap hutan.

Kebijakan yang berhubungan dengan hak kepemilikan perlu untuk disesuaikan

dengan karakteristik masyarakat adat yang masih hidup dalam kelompok-kelompok

adat dan masih percaya terhadap aturan-aturan adat.

Memperhatikan karakteristik masyarakat adat maka pengakuan terhadap hak

kepemilikan (property right) dapat diwujudkan dalam bentuk hak komunal (common

property) sebagai alternatif dalam pengelolaan hutan produksi. Melalui pengakuan

negara atas hak komunal (common property) dapat mendorong peningkatan kapasitas

kelembagaan adat. Pengakuan atas hak komunal juga akan meningkatkan

kepercayaan masyarakat adat terhadap pemerintah. Kondisi ini akan mempermudah

Page 21: V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Isi Kebijakan ... · Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau ... (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi

46

proses kolaborasi kebijakan pengelolaan hutan antara aturan tehnis kehutanan dan

aturan-aturan adat. Menurut Nugroho (2003) beberapa manfaat yang dapat diperoleh

jika ada pengakuan terhadap hak komunal dalam pengelolaan hutan khususnya

pemanfaatan kayu, yaitu :

1. Menghindari kendala kapasitas/kemampuan masyarakat, dengan jumlah

masyarakat yang terlihat banyak maka akan saling melengkapi (transfer) dalam

informasi maupun pengalaman pemanfaatan kayu.

2. Masuknya pihak di luar komunitas adat yang merugikan kepentingan kelompok

akan mudah terdeteksi karena semua anggota masyarakat memiliki kepentingan

dan hak yang sama.

3. Kelembagaan adat yang berhubungan dengan norma, sanksi, dan kepercayaan

dapat kembali diterapkan.

4. Distribusi manfaat dapat lebih adil sehingga kesejahteraan dalam kelompok

masyarakat dapat meningkat secara merata.

5. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah dapat lebih efektif dan efisien, selain

itu dalam pengawasan pemerintah dapat memanfaatkan kelembagaan adat.

Alasan di atas tidak berarti bahwa hak komunal akan terbebas dari masalah,

beberapa hal yang mungkin muncul dalam pengakuan hak komunal yaitu adanya

struktur adat yang akan mempengaruhi proses dan keputusan secara komunal. Untuk

itu tetap dibutuhkan pemberdayaan dan pendampingan pemerintah kepada pemimpin

atau tokoh-tokoh adat dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan dan keterampilan

termasuk dalam menghindari konflik internal dalam adat.