V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan...

19
54 V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA 5.1. Pendahuluan Praktek IL merupakan masalah kejahatan di bidang kehutanan (forest crime) yang menyebabkan degradasi hutan dan menghilangkan beragam nilai manfaat hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat dan lingkungan hidupnya. Rosander (2008) menyebutkan bahwa walaupun penutupan lahan hutan di Asia selama kurun waktu 2000-2005 bertambah akibat peningkatan luas hutan tanaman, tetapi penebangan hutan alam terus berjalan. Penurunan penutupan lahan hutan di Asia dalam kurun waktu tersebut mencapai 2,8 juta ha atau 2% per tahun. Kehilangan hutan alam tropis tertinggi terjadi di Indonesia (1,87 juta ha atau 2% per tahun), selanjutnya diikuti oleh Myanmar (0,47 juta ha atau 1,4% per tahun), Kamboja (0.22 juta ha atau 2% per tahun), Filipina (0,16 juta ha atau 2,1%), Malaysia (0,14 juta ha atau 0,7%), dan Republik Demokrasi Korea (0,13 juta ha atau 1.97%)(FAO, 2007). Cifor (2008) menyebutkan bahwa akibat kegiatan kehutanan ilegal tersebut menyebabkan lahan kritis di kawasan hutan. Lahan hutan yang terdegradasi di Indonesia mencapai 96,3 juta ha yang selain diakibatkan oleh praktek IL, juga oleh kebakaran hutan, perambahan hutan, konversi hutan untuk penggunaan non kehutanan, serta perluasan lahan pertanian yang ekstensif. Hampir 54,6 juta ha dari 96,3 juta ha lahan hutan yang terdegradasi di Indonesia merupakan kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi (Cifor, 2008). Untuk menanggulangi permasalahan IL, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menanggulanginya. Pada tahun 2005, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal Di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Indonesia. Instruksi Presiden tersebut menekankan tentang pentingnya koordinasi diantara institusi/lembaga pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu

Transcript of V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan...

Page 1: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

54

V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING

DI INDONESIA

5.1. Pendahuluan Praktek IL merupakan masalah kejahatan di bidang kehutanan

(forest crime) yang menyebabkan degradasi hutan dan menghilangkan

beragam nilai manfaat hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat

dan lingkungan hidupnya. Rosander (2008) menyebutkan bahwa

walaupun penutupan lahan hutan di Asia selama kurun waktu 2000-2005

bertambah akibat peningkatan luas hutan tanaman, tetapi penebangan

hutan alam terus berjalan. Penurunan penutupan lahan hutan di Asia

dalam kurun waktu tersebut mencapai 2,8 juta ha atau 2% per tahun.

Kehilangan hutan alam tropis tertinggi terjadi di Indonesia (1,87 juta ha

atau 2% per tahun), selanjutnya diikuti oleh Myanmar (0,47 juta ha atau

1,4% per tahun), Kamboja (0.22 juta ha atau 2% per tahun), Filipina (0,16

juta ha atau 2,1%), Malaysia (0,14 juta ha atau 0,7%), dan Republik

Demokrasi Korea (0,13 juta ha atau 1.97%)(FAO, 2007). Cifor (2008)

menyebutkan bahwa akibat kegiatan kehutanan ilegal tersebut

menyebabkan lahan kritis di kawasan hutan. Lahan hutan yang

terdegradasi di Indonesia mencapai 96,3 juta ha yang selain diakibatkan

oleh praktek IL, juga oleh kebakaran hutan, perambahan hutan, konversi

hutan untuk penggunaan non kehutanan, serta perluasan lahan pertanian

yang ekstensif. Hampir 54,6 juta ha dari 96,3 juta ha lahan hutan yang

terdegradasi di Indonesia merupakan kawasan hutan produksi, hutan

lindung, dan hutan konservasi (Cifor, 2008).

Untuk menanggulangi permasalahan IL, pemerintah telah

mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menanggulanginya. Pada tahun

2005, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005

tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal Di Kawasan

Hutan dan Peredarannya di Indonesia. Instruksi Presiden tersebut

menekankan tentang pentingnya koordinasi diantara institusi/lembaga

pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu

Page 2: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

55

beberapa kegiatan represif pemberantasan IL dilakukan, misalnya Operasi

Wana Jaya, Operasi Wana Laga, Operasi Wana Bahari, Operasi Hutan

Lestari (OHL) I, Operasi Hutan Lindung (OHL) II, Operasi Hutan Lestari

(OHL) III. Syarief (2009) menyebutkan bahwa kegiatan operasi wanalaga

telah menangkap 1.031 kasus dan kegiatan operasi wana bahari berhasil

menangkap 971 kasus. Namun sayangnya kedua operasi tersebut tidak

ada yang sampai ke pengadilan. Pada tahun 2003 operasi wana bahari

berhasil menangkap 15 kapal pemuat kayu ilegal dan hanya satu yang

dilimpahkan ke pengadilan (Syarif, 2009).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis berbagai kebijakan

berupa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum

dalam pemberantasan praktek IL di Indonesia.

5.2. Metode Analisis Kebijakan Pemberantasan Illegal logging

a. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder

berupa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum

pengaturan pengelolan hutan di Indonesia serta kebijakan pemberantasan

praktek IL di Indonesia, meliputi : undang-undang, peraturan pemerintah,

dan instruksi presiden, yang terkait dengan kebijakan pemberantasan IL di

Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kebijakan

pemberantasan IL yang dianalisis merupakan peraturan perundang-

undangan yang bersifat lex specialis dan juga lex generalis yang terkait

dengan upaya-upaya pemberantasan IL di Indonesia. Peraturan

perundang-undangan yang bersifat lex specialis sebagai dasar hukum

pemberantasan IL di Indonesia yaitu : Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan

Pemerntah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, Peraturan

Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Inpres

Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara

Ilegal Di KawasanHutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik

Page 3: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

56

Indonesia. Adapun peraturan perundang-undangan yang bersifat lex

generalis dan memiliki keterkaitan dengan pemberantasan IL di Indonesi

yaitu : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-

undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-undang

No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001,

Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-

undang No.31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang, serta Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan

Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi

Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara

Sumber data diperoleh dari beberapa instansi/lembaga yang

berkaitan langsung dengan kebijakan pemberantasan IL di Indonesia,

seperti Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan,

Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), Departemen Kehutanan,

Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi,

Pusat Informasi Kehutanan Provinsi Jambi, Badan Perencanaan Daerah

Provinsi Jambi, dan EC-FLEGT (EC-Indonesia Forest Law Enforcement,

Governance and Trade). Penelusuran peraturan perundang-undangan

terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia dilakukan pula dengan

menggunakan fasilitas penelusuran (browsing) melalui internet.

b. Analisis Data

Muhadjir (2000) mengemukakan bahwa analisis kualitatif yang

relevan untuk penelitian bidang hukum adalah berdasarkan pendekatan

teori kritis di bidang hukum. Pendekatan kritis di bidang hukum tidak

hanya menelaah isi (content analysis) tetapi juga melakukan kritik

Page 4: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

57

terhadap teori dan praktek dari peraturan perundang-undangan yang ada

secara deskriptif, sehingga mampu menggambarkan fenomena

implementasi kebijakan dan peraturan perundangan tersebut. Muhadjir

(2000) mengemukakan tahapan dalam pendekatan kritis kajian hukum

dan perundang-undangan, yaitu : (a) mengadakan kritik terhadap teori dan

praktek dari peraturan perundang-undangan yang ada, (b) membangun

konstruksi teoritik yang baru, (c) dari kontruksi teori baru dituangkan dalam

program institusional sebagai pijakan pengembangan kelembagaan, dan

(d) menelaah implikasi peraturan perundang-undangan baik berupa

konsekuensi logis internal maupun eksternalnya. Hasil analisis kritis

tersebut dijadikan dasar dalam mengkaji apakah peraturan perundang-

undangan yang selama ini digunakan dalam pengaturan pengelolaan

hutan dan pemberantasan IL sudah efektif dalam mengendalikan

permasalahan IL di Indonesia.

5.3. Hasil dan Pembahasan Kebijakan Pemberantasan IL di Indonesia

Praktek IL di Indonesia merupakan tindak pidana kehutanan. Pandor

(2008) mendefinisikan tindak pidana kehutanan sebagai segala bentuk

tindakan/perbuatan yang dapat dipidana /dikenakan hukuman yang

berkaitan dengan pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

Lebih lanjut Pandor (2008) menjelaskan bahwa kaitan yang dimaksud

adalah dalam artian memberi dampak negatif terhadap sistem pengurusan

hutan dan menyebabkan kerusakan terhadap hutan sebagai sebuah

ekosistem penyanggga kehidupan. Tindak pidana kehutanan termasuk

dalam tindak pidana khusus. Nurdjana et.al. (2005) menyebutkan bahwa

kriteria yang dapat menunjukkan pidana khusus, yaitu : (a) orang-

orangnya atau subyeknya yang khusus; dan (b) perbuatannya yang

khusus (bijzonder lijk feiten). Berdasarkan dua kriteria tersebut, maka

perbuatan IL dikategorikan sebagai tindak pidana khusus yang dalam

kategori hukum pidana perbuatannya khusus, yaitu menyangkut delik-

delik kehutanan terutama masalah pengelolaan dan pemanfaatan hasil

hutan.

Page 5: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

58

Perbuatan IL dalam kenyataannya terkait dengan kegiatan-kegiatan

lainnya di luar pengelolaan hutan. Dalam hal ini, perbuatan IL secara

instrinsik tidak bisa dipisahkan dari kegiatan perdagangan kayu ilegal,

sehingga permasalahan IL secara menyeluruh akan menyangkut tindak

pidana ekonomi termasuk di dalamnya tindak pidana ekonomi pencucian

uang.Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan

IL di Indonesia disajikan pada Gambar 5.

Peraturan Perundang-Undangan Bersifat

Lex Specialis

Peraturan Perundang-Undangan terkait

Pemberantasan Illegal Logging di Indonesia

Peraturan Perundang-Undangan Bersifat

Lex Generalis

• Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

• Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan

Ekosistemnya

• Peraturan Pemerntah Nomor 45 Tahun 2004

tentang Perlindungan Hutan

• Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang

Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di KawasanHutan dan Peredarannya di Seluruh

Wilayah Republik Indonesia

• Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

• Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

• Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001.

• Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-undang No.31 tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

• Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang

• Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang

Dasar Hukum Penindakan

Kegiatan Illegal Logging

Gambar 5 . Peraturan Perundang-undangan Pemberantasan

Illegal logging di Indonesia Gambar 5 menunjukkan bahwa peraturan hukum yang ada

sebenarnya dapat digunakan untuk menjerat pelaku IL dan jaringannya.

Istilah tindak pidana yang diambil dari istilah strafbaarfeit yang terdapat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda (Wetbook van

Strafrecht), yang kemudian sebagian besar materinya menjadi Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) dengan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1981. Pandor (2008) menyebutkan bahwa

Page 6: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

59

pengertian straftbaafeit diartikan dapat diartikan ke dalam beberapa

istilah, yaitu tindak pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang dapat

dihukum, delik dan sebagainya. Namun dalam peraturan perundang-

undangan istilah yang lebih sering digunakan adalah tindak pidana. Pasal

1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa tidak

ada satu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan

dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi.

Tindak pidana digolongkan dalam dua kelompok yaitu kejahatan dan

pelanggaran.

Di dalam KUHP tidak ditemukan secara khusus tentang tindak

pidana kehutanan, sehingga tindak pidana kehutanan dapat dianggap

sebagai perkembangan baru dalam hukum pidana Indonesia yang

kemudian diatur dalam beberapa undang-undang yang dibuat kemudian,

seperti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya

Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan-ketentuan

pidana yang ada di dalam undang-undang tersebut adalah peraturan-

peraturan khusus terkait Tindak Pidana Kehutanan yang sebelumnya tidak

diatur dalam Undang-Undang Pidana Umum (KUHP).

Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 78 ayat (1) sampai

dengan ayat (15) dan pasal 79 ayat (1) sampai dengan (3), serta ganti tugi

dan sanksi administratif yang diatur dalam pasal 80 ayat (1) sampai

dengan (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

biasa dipergunakan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU)

berkenaan dengan IL di Indonesia. Proses penyidikan dan penyusunan

dakwaan yang cenderung hanya menggunakan pasal-pasal yang ada

dalam undang-undang kehutanan tersebut menyebabkan banyaknya

terdakwa yang dibebaskan, padahal tindak pidana kehutanan ada kalanya

berkorelasi dengan tindak pidana korupsi yang merugikan negara. Dalam

hal ini Alkostar (2009) menyarankan digunakannya pasal 2 dan atau pasal

3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Page 7: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

60

Pidana Korupsi yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 sebagaimana telah diterapkan dalam perkara IL yang

melibatkan terdakwa Adelin Lis di Sumatera Utara.

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memiliki

kelemahan dalam menjerat pelaku tindak pidana IL. Masduki (2009)

menyebutkan bahwa pendekatan hukum dalam undang-undang

kehutanan tersebut bersifat locus delicti , yaitu (a) menangkap pelaku di

lapangan, padahal kejahatan Illegal logging dilakukan secara sistematis

dan berlapis sehingga sulit menjerat pelaku utama (Pasal 50 ayat 3 UU

41/1999 menduduki kawasan hutan, menebang, membawa, menguasai,

memiliki, mengangkut hasil hutan tanpa izin yang sah); serta (b) tidak

mendefinisikan Illegal logging, sehingga dalam praktek penebangan liar

hanya diartikan secara sempit yaitu penebangan pohon yang tidak ada

izin, padahal dalam praktik IL dilakukan pula oleh mereka yang punya ijin.

Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk menjerat pelaku IL tidak

hanya dengan undang-undang kehutanan saja, tetapi dengan ketentuan

pidana sebagaimana dideskripsikan dalam Lampiran 1, termasuk

menerapkan undang-undang pemberantasan korupsi dan undang-undang

pencucian uang dalam kasus IL. Undang-undang yang mengatur

kehutanan sendiri perlu direvisi atau disusun undang-undang khusus

tentang pemberantasan IL yang bertujuan untuk : (a) memperkuat sanksi

pidana terhadap praktek IL; (b) meminimalisir vonis bebas dengan alasan

pembalak liar hanya dapat dijerat sanksi administratif; serta (c) menjerat

kejahatan Illegal logging yang sistematis dan berlapis, dan terkait dengan

kejahatan lain (Masduki, 2009). Kelemahan dalam undang-undang

kehutanan sebagaimana disebutkan Masduki (2009) kurang memberikan

efek jera terhadap pelaku IL walaupun dampak negatifnya sangat besar

terhadap kehidupan manusia dan ekosistemnya. Mengingat dampaknya

yang mengancam kelangsungan kehidupan manusia, maka tindakan IL

dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan yang luar biasa

(extra ordinary crime) yang pemberantasannya tidak hanya mengacu

Page 8: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

61

kepada undang-undang kehutanan saja tetapi harus dikaitkan dengan

peraturan perundang-undangan lainnya.

Sejauh ini sebenarnya perangkat peraturan perundang-undangan

yang ada apabila ditegakkan akan memberikan efek jera (detterent effect)

terhadap pelaku IL, termasuk pejabat pemerintah yang terlibat di

dalamnya. Pengembangan upaya pemberantasan IL sampai diluar

peraturan teknis kehutanan disebabkan bahwa praktek IL terkait dengan

kegiatan di sektor lainnya, seperti perdagangan, perindustrian, dan

lembaga keuangan. Oleh karena itu di dalam proses penegakan hukum

pemberantasan IL, mulai tahapan proses penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutannya selain menggunakan undang-undang kehutanan juga

undang-undang lainnya seperti undang-undang yang mengatur tentang

lingkungan hidup, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,

pemberantasan tindak pidana korupsi, dan tindak pidana pencucian uang.

Dengan adanya tuntutan hukum yang berlapis tersebut dapat menjerat

pelaku IL mulai dari pelaku di lapangan sampai dengan pelaku intelektual

dan pemodalnya.

Volume dan ukuran kayu ilegal yang besar dan kasat mata tidak

mungkin tidak bisa dilihat dengan kasat mata, sehingga kayu tidak

mungkin lolos apabila tidak terjadi kolusi diantara pelaku dengan oknum

aparat teknis dan aparat penegak hukum. Kolusi di dalam praktek IL

dilakukan dengan memberikan gratifikasi kepada oknum pejabat

pemerintah dengan dokumen legalitas kayu dan oknum aparat hukum.

Kishor (2006) menggambarkan hubungan antara praktek IL dengan

korupsi sebagaimana disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 tersebut

menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun

2002 menduduki peringkat ketujuh negara terkorup dari 102 negara

dengan skor IPK 1,9 dari nilai tertinggi 10 untuk negara yang bebas

korupsi. Fakta ini menunjukkan bahwa upaya pemberantasan IL tidak

akan efektif apabila tingkat korupsi dan kolusi masih tetap tinggi,

sehinggga upaya untuk menjerat jaringan pelaku IL tidak hanya

berdasarkan atas peraturan perundang-undangan kehutanan saja tetapi

Page 9: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

62

juga harus dapat dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan

lainnya, seperti tentang lingkungan hidup, pemberantasan korupsi, bea

cukai, dan pencucian uang.

Gambar 6 . Hubungan antara IL dengan Korupsi (Kishor,2006)

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan

IL di Indonesia tampaknya cukup memadai untuk digunakan sebagai

perangkat hukum untuk menjerat pelaku IL, mulai dari tindakan hukum

terhadap pelanggaran di dalam kawasan hutan sampai dengan tindakan

hukum terhadap pelanggaran di luar wilayah kehutanan namun tetap

terkait sebagai kegiatan turunannya, misalnya pencucian uang hasil IL.

Walaupun aturan hukumnya telah cukup tersedia, tetapi tidak akan efektif

dijalankan apabila sisi penegakan hukum (law enforcement) dan penaatan

hukum (law compliance) tidak berjalan. Pada saat penegakan hukum

pemberantasan IL dilakukan, maka persepsi dan interpretasi diantara

aparat hukum yang disebut criminal justice system belum sepenuhnya

sama terhadap pasal-pasal yang akan digunakan untuk memvonis pelaku

IL, sehingga di tingkat pengadilan banyak pelaku IL divonis bebas atau

dihukum ringan yang tidak sebanding dengan nilai resiko lingkungan yang

ditimbulkannya. Dengan demikian pengaturan tentang hukuman minimal

yang bisa memberikan efek jera harus ditetapkan secara tegas. Selain itu

pemberian sanksi secara kumulatif berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang terkait IL merupakan pendekatan hukum yang segera bisa

dilaksanakan sebelum aturan hukum yang mengatur sanksi minimal bagi

Page 10: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

63

pelaku IL ditetapkan. Penetapan sanksi minimal bagi pelaku IL harus

mempertimbangkan kondisi sosiologis masyarakat, sehingga efek jera

dapat tercapai yang diindikasikan dengan meningkatnya tingkat

penaataan hukum (law compliance) pelaku usaha kehutanan, masyarakat,

birokrasi kehutanan, penegak hukum, dan pemangku kepentingan lainnya.

Praktek kolusi dan korupsi berperan pula dalam mereduksi penaatan

hukum, dimana setiap pelanggaran hukum dapat dikompromikan dengan

memberikan gratifikasi kepada oknum pejabat terkait. Tidak berjalannya

kebijakan dan peraturan hukum dalam pemberantasan IL di Indonesia

dapat disebabkan oleh salah satu atau beberapa faktor berikut ini

(Rosander, 2008):

a. Kerangka kebijakan dan hukum cacat. Kebijakan dan aturan yang

dibuat secara teknis tidak realistik, tidak diterima secara sosial, tidak

konsisten, atau terjadi konflik kepentingan antar sektor pada saat

proses legislasinya;

b. Keterbatasan kapasitas untuk mengimplementasikan atau

menegakkan kebijakan atau aturan yang telah ditetapkan.

Keterbatasan sumberdaya manusia, keuangan, dan kapasitas

manajemen untuk menjamin penaatan hukum (law compliance) dapat

dilaksanakan secara efektif;

c. Data dan informasi tentang sumberdaya hutan dan operasi IL tidak

tersedia dengan baik, sehingga menyulitkan pengambilan keputusan

yang tepat dalam memonitor praktek IL;

d. Korupsi dan kurangnya transparansi dalam tata kelola kehutanan,

termasuk kurangnya tekanan kelompok sipil dalam memonitor

pelaksanaan tata kelola kehutanan yang baik;

e. Kebutuhan kayu murah yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan

industri yang kapasitas terpasangnya lebih tinggi dari ketersediaan

pasokan bahan baku kayunya.

Selain aturan hukum di tingkat pusat, pengembangan sistem hukum

kelembagaan di tingkat lokal perlu didorong. Hal ini penting dilakukan

karena apabila masyarakat di tingkat lokal memiliki atau memahami

Page 11: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

64

bagaimana sumberdaya hutannya dikelola, dijaga, dan dilindungi dengan

baik, maka perusakan sumberdaya hutan dapat ditekan. Apresiasi

terhadap keberadaan sumberdaya hutan yang diwujudkan dengan

penataan kelembagaan masyarakat di tingkat lokal perlu diefektifkan. Di

Provinsi Jambi khususnya di Kabupaten Soralangun, beberapa desa di

Kecamatan Limun telah mengeluarkan peraturan desa (Perdes) tentang

Pengelolaan Hutan Adat. Empat desa yang memiliki Perdes tentang

Pengelolaan Hutan Adat adalah : Desa Napal Melintang, Desa Lubuk

Bedorong, Desa Meribung, Desa Mersip. Keempat perdes tersebut

memuat beberapa materi yang meliputi : (a) luas, batas, dan fungsi hutan

adat; (b) asas pengelolaan, pemanfaatan, dan perijinan; (c) pengelolaan

dan pemanfaatan hutan adat; (d) pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan

adat; (e) pemanfaatan hasl hutan bukan kayu di hutan adat; (e) tatacara

perijinan; (f) kelompok pengelola, masa jabatan, dan tugas kelompok

pengelola; (g) bungo kayu dan peruntukannya; (h) peran serta

masyarakat; serta (i) larangan, sanksi, dan penyelesaian pelanggaran.

Setiap desa memiliki aturan adat yang berbeda. Sebagai contoh beberapa

hal penting yang diatur dalam Peraturan Desa Lubuk Bedorong Nomor 2

Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Adat adalah sebagai berikut :

a. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Adat

(1) Untuk kebutuhan perorangan pemanfaatan kayu di hutan adat

hanya diperbolehkan untuk bahan ramuan rumah dan bahan

ramuan membangun bilik padi yang lokasinya di Desa Lubuk

Bedorong;

(2) Untuk kebutuhan umum di desa pemanfaatan kayu di hutan adat

hanya diperbolehkan untuk bahan bangunan mesjid, madrasah,

sekolah, kantor desa dan jembatan yang dikerjakan secara

swadaya oleh masyarakat.

(3) Pengambilan untuk keperluan bahan ramuan rumah dan bahan

ramuan membangun bilik padi maksimal berjumlah 8 meter kubik;

(4) Maksimal pengambilan kayu di hutan adat di setiap lokasi dalam

satu tahun adalah 80 meter kubik;

Page 12: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

65

b. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu di Hutan Adat

(1) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di hutan adat digunakan

untuk peningkatan kesejahteraan warga masyarakat Desa Lubuk

Bedorong.

(2) Jenis hasil hutan bukan kayu yang bisa dimanfaatkan dari hutan

adat adalah rotan, damar, karas, jernang, dan tanaman obat-

obatan.

c. Larangan dalam kawasan Hutan Adat setiap orang dilarang:

1. melakukan kegiatan penebangan, pembakaran dan kegiatan

lainnya yang mengakibatkan rusaknya kelestarian hutan adat;

2. melakukan kegiatan pembukaan lahan baik untuk kepentingan

perkebunan dan atau pertanian;

3. memperjualbelikan lahan;

4. melakukan kegiatan pengambilan kayu untuk kepentingan bisnis

atau diperjualbelikan;

5. melakukan kegiatan penebangan kayu baik untuk diambil kayunya

maupun hasil hutan bukan kayu lainnya tanpa izin dari Kelompok

Pengelola;

6. melakukan pengambilan hasil hutan kayu ataupun hasil hutan

bukan kayu tidak sesuai dengan izin yang dikeluarkan oleh

kelompok pengelola;

7. melakukan kegiatan pengambilan kayu atau hasil hutan bukan kayu

yang tidak sesuai dengan tata cara pengambilan seperti

dimaksudkan dalam pasal 7 dan pasal 11 (Peraturan Desa Lubuk

Bedorong Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Adat);

d. Sanksi

Pasal 20 Perdes Lubuk Bedorong Nomor 2 Tahun 2008

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan pemanfaatan hasil hutan

kayu dan hasil hutan bukan kayu pada kawasan hutan adat di

Desa Lubuk Bedorong seperti disebutkan pada pasal 9, 10, 11,

Page 13: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

66

12 dan 19 akan dikenakan denda secara adat sejumlah satu ekor

kambing, beras 20 gantang serta selemak semanis;

(2) Peralatan yang digunakan dan barang bukti disita oleh kelompok

pengelola hutan adat melalui seksi pengamanan dan

pengawasan untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah

desa;

(3) Apabila sanksi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi maka

kelompok pengelola melalui pemerintah desa akan melaporkan

perbuatan pelaku kepada pihak yang berwajib;

Pasal 21 Perdes Lubuk Bedorong Nomor 2 Tahun 2008

(1) Jika pelaku pelanggaran ketentuan pemanfaatan hasil hutan kayu

dan hasil hutan bukan kayu pada kawasan hutan adat

sebagaimana disebutkan pada pasal 9, 10, 11, 12 dan 19 adalah

Kelompok Pengelola, maka dendanya menjadi 2 kali lipat serta

yang bersangkutan diberhentikan dari jabatannya;

(2) Jika pelaku pelanggaran ketentuan pemanfaatan hasil hutan kayu

dan hasil hutan bukan kayu pada kawasan hutan adat

sebagaimana disebutkan pada pasal 9, 10, 11, 12 dan 19 adalah

Pemerintah Desa atau Anggota BPD Desa Lubuk Bedorong atau

pengurus Lembaga Adat maka dendanya menjadi 2 kali lipat;

Dasar hukum dalam pemberantasan IL di Indonesia secara umum

sudah memadai, baik yang bersifat lex specialis maupun lex generalis.

Hukum yang tercantum dalam teks peraturan perundang-undangan

tersebut tidak akan memiliki kekuatan apabila tidak ditegakkan. Namun

penegakan hukum dalam pengendalian dan pemberantasan IL di

Indonesia sejauh ini berjalan tidak efektif dalam memberikan efek jera

terhadap pelaku IL dan jaringannya. Penegak hukum masih melihat

penegakan hukum secara tekstual, sedangkan secara kontekstual dalam

kaitannya dengan dampak negatif kegiatan IL belum terintegrasi dalam

proses penegakan hukumnya akibat masih kurangnya pemahaman

Page 14: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

67

penegak hukum terhadap aspek kelestarian ekosistem hutan. Selain itu

tingkat ketaatan hukum (law compliance) masyarakat, pelaku usaha, serta

oknum aparat pemerintah dan oknum penegak hukum turut memberikan

kontribusi terhadap lemahnya penegakan hukum dalam pemberantasan IL

di Indonesia. Oleh karena itu hukum hanya akan memberikan manfaat

positif apabila aparat penegak hukumnya mampu untuk menegakkannya

yang dimaksimalkan sinergis dengan law compliance masyarakat.

5.4. Kesimpulan

Praktek IL merupakan kejahatan kehutanan yang berdampak negatif

secara ekologis, ekonomi, dan sosial. Pemerintah telah mengeluarkan

sejumlah kebijakan untuk memberantas praktek IL tersebut, termasuk

dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 Pemberantasan

Kayu Illegal dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

Selain kebijakan tersebut, berbagai aturan hukum baik yang bersifat lex

specialis maupun lex generalis telah cukup memadai untuk memberantas

IL di Indonesia. Selain aturan hukum tingkat nasional, beberapa desa di

Provinsi Jambi melalui kelembagaan adatnya menetapkan larangan dan

sanksi terhadap kegiatan yang merusak hutan adatnya.

Kecukupan aturan hukum yang ada tidak akan memberikan efek jera

bagi pelaku IL dan jaringannya, apabila penegakan hukum (law

enforcement) lemah dan tingkat ketaatan hukum (law compliance) rendah.

Kondisi tata kelola pemerintahan yang masih bersifat koruptif-kolutif turut

menyuburkan praktek IL di Indonesia. Oleh karena itu kebijakan

pemberantasan IL di Indonesia harus dilakukan secara terpadu dan

komprehensif dengan mempertimbangkan beberapa hal lainnya yang

terkait, seperti penerapan tata kelola pemerintahan yang baik, sistem

perdagangan berwawasan lingkungan, sistem koordinasi antar instansi

terkait pemberantasan IL di Indonesia, restrukturisasi industri berbasis

hutan, sistem perbankan yang anti-IL, sistem pemantauan pencucian

uang yang diduga dari hasil IL, serta dukungan dunia internasional melalui

kerjasama bilateral dan multilateral. Tata kehidupan administrasi Negara

dapat dipastikan atau dengan perkataan Hukum lingkungan merupakan

Page 15: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

68

cabang hukum administrasi Negara sebagai bagian dari hukum publik,

oleh karena itu substansi peraturan dan atau norma-norma hukum yang

terdapat di dalam per-undang-undangan yang mengatur tentang

pengelolaan lingkungan hidup lebih didominasi oleh kerangka berfikir dari

pembuat undang-undang yang menggambarkan hak dan kewajiban serta

proses penyelenggaraan administrasi Negara.Namun dalam tatanan

kehidupan dan penyelenggaraan administrasi Negara hukum mungkin

dapat dilepaskan dari berbagai macam aktivitas yang sifatnya

keperdataan, disamping itu dalam menyelenggarakanlain tidak semua

pihak akan menyadari, memahami dan mematuhi terhadap tatanan

administrasi Negara tersebut. Perbuatan yang semacam itu dapat

dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum administrasi Negara.

Karena pengaturan hukum administrasi Negara mencakup tataran yang

begitu luas dalam kehidupan bernegara dan berbangsa (penyelenggaraan

administrasi Negara, penyelenggaraan kegiatan sosial, penyelenggaraan

kegiatan budaya, penyelenggaraan kegiatan politik dan penyelenggaraan

kegiatan ekonomi), maka dimungkinkan di dalam norma-norma hukum

administrasi Negara untuk menuangkan sanksi-sanksi lain diluar sanksi

yang sifatnya administratif (tujuan yang utama), juga sanksi-sanksi

perdata dan sanksi pidana.Dari berbagai peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang larangan terhadap Illegal logging dapat disarikan

beberapa pengertian dan atau klarifikasi maupun kategori tentang apa itu

Illegal loging.Pertama: IL dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak

sama sekali mempunyai hak untuk melakukan penebangan kayu di

hutan(baik berupa hutan produksi maupun hutan lindung) Kedua: IL

seringkali muncul dan atau dilakukan oleh pihak-pihak yang

melakukannya atas dasar hak yang telah diperoleh berdasarkan izin

penyelenggara administrasi Negara (baik yang diberikan oleh Departemen

yang bertanggung jawab yaitu Departemen Kehutanan ataupun yang

pemberian izinnya diberikan oleh Gubernur/Bupati sebagai penguasa

territorial wilayah itu), akan tetapi area pemotongan kayu berada diluar

konsesi yang telah diberikan kepadanya. Ketiga: Bahwa kegiatan IL yang

Page 16: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

69

dilakukan oleh pihak-pihak tersebut banyak dapat dibuktikan bersandar

dari hak atas konsesi hutan berupa HTI dan HPH yang bermotivasi untuk

melakukan penjualan hasil IL (yang sebagian terbesar kepentingan

konsumen Luar Negeri). Hal ini dapat dibuktikan dengan atau dari hasil

tangkapan kayu-kayu illegal yang berupa jenis-jenis kayu tertentu yang

mempunyai pasaran tinggi di Luar Negeri (kayu merbau, kayu hitam, kayu

eboni dll) disamping juga merupakan pemasok untuk kebutuhan bahan

baku pabrik pulp and paper. Oleh sebab itu, berdasarkan uraian terdahulu

untuk melakukan pemberantasan IL tidak hanya dapat ditelusuri dari

pihak-pihak yang melakukan saja akan tetapi juga dipandang penting

untuk melakukan penelusuran siapa yang menampung baik yang ada di

dalam maupun di luar negeri. Itulah sebabnya perbuatan melanggar

hukum di bidang kehutanan, Illegal logging, melibatkan sindikat-sindikat

dan/atau jaringan-jaringan yang sangat rapi, dan dari mulai pelaksanaan

penebangan, pengangkutannya, pengumpulannya, pendistribusiannya,

pemanfaatannya, maupun tujuan yang melatarbelakanginya. Karenanya,

bentuk dan susunan organisasi dari sindikat-sindikat tersebut sangatlah

kompleks, yang dapat melibatkan dari hulu sampai ke hilir. Orang atau

badan hukum yang terorganisir secara rapi, bahkan sampai dengan

kegiatan pencucian uang yang melibatkan pihak perbankan (money

laundering).Dari uraian tersebut kemudian kita dapat mengasumsikan

bahwa pemberantasan terhadap perbuatan melawan hukum, Illegal

logging. Penegakkan hukum tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Karena di samping organisasi sindikat yang disebutkan terdahulu dapat

pula melibatkan oknum-oknum pejabat tertentu dalam pemerintahan yang

ikut andil dalam melancarkan kegiatan operasionalnya. Karena hukum

lingkungan merupakan bagian dari hukum administrasi negara, maka tidak

mudah kita dapat mengkriminalisasikan perbuatan melanggar hukum

lingkungan. Oleh sebab itu perlu untuk dipahami bahwa penyelesaian

sengketa lingkungan hidup itu sifatnya kasuistis dan tidak mudah

digeneralisasikan.Atas dasar pemahaman tesebut maka sanksi terhadap

perbuatan melanggar hukum lingkungan,yang diancam dengan sanksi

Page 17: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

70

pidana seperti termuat dari Pasal.4 sampai dengan pasal 48 UU PLH 23

tahun 1997 membedakan sifat dari perbuatan melanggar hukum itu dalam

2 kategori yaitu pelanggaran dan kejahatan. Bertolak dari ketentuan pasal-

pasal yang mengatur tentang sanksi pidana dalam undang-undang

No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka berdasarkan

penjelasan umum dari undang-undang dimaksud pada nomor 7 alinea

yang ke-5 disebutkan bahwa norma-norma hukum yang terdapat di dalam

undang-undang ini merupakan sanksi pidana sebagai penunjang bagi

penegakan hukum administrasi Negara. Karena itu berlakunya ketentuan

hukum pidana harus tetap memperhatikan azas subsidiaritas, yang artinya

bahwa hukum pidana hendaknya didaya gunakan apabila sanksi bidang

hukum lain dapat sanksi administratif dan sanksi perdata, serta alternatif

penyelesaian sengketa lingkungan tidak effektif, dan/atau tingkat

kesalahan pelaku relatif besar dan atau perbuatannya telah menimbulkan

keresahan masyarakat.Banyak pihak termasuk para ahli terutama ahli

hukum pidana menginginkan sifat perbuatan melawan hukum pidana yang

terdapat di undang-undang hukum lingkungan tersebut adalah premium

remedium artinya keberlakuan sanksi pidana yang diaturbdalam undang-

undang ini harus didahulukan penyelesaian hukumnya sehingga

mempunyai fungsi yang sifatnya penjera (detterent effect.) Pendapat ini

tidak selalu benar, bahwa hukum selalu penyelesaian pidana akan

memberikan detterent effect seperti halnya juga sanksi pidana yang diatur

dengan per-undang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana

korupsi. Seharusnya kita harus kembali kepada bentuk isi, sifat dan fungsi

dari hukum lingkungan itu sendiri yang merupakan bagian dari hukum

administrasi Negara yang artinya bahwa hukum administrasi Negara

bukan hukum pidana akan tetapi memuat sanksi pidana, karena tujuan

dari hukum administrasi Negara adalah untuk menyelenggarakan tatanan

administrasi yang diutamakan. Sedangkan penuangan azas-azas hukum

pidana yang termuat di dalam norma-norma hukum administrasi

merupakan pelengkap dalam penyelenggaraan administrasi manakala

perbuatan melanggar hukum itu dapat mengakibatkan terancamnya

Page 18: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

71

keselamatan manusia ataupun terancamnya segi-segi keuangan

Negara.Bukti tentang terancamnya keselamatan jiwa manusia adalah :

bahwa erosi dan banjir banyak dibuktikan sebagai akibat dari illegal

loging, sedangkan kayu dan pohon-pohon yang ada dihutan merupakan

aset negara yang dapat di hitung dengan uang, oleh karena itu dengan

adanya illegal loging maka Negara telah kehilangan asset yang

sedemikian besar seperti halnya dengan korupsi terhadap keuangan

Negara.Menurut hemat penulis : ketentuan-ketentuan sanksi pidana yang

terdapat didalam undang-undang lingkungan hidup itu masih memerlukan

perangkat-perangkat hukum lain dalam hal ini hukum pidana yang

menjabarkan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut : 1.Pengaturan lebih

lanjut dalam hukum pidana tentang kejahatan dan pelanggaran yang kita

sebut sebagai Illegal logging. 2.Dimasukkannya dalam ketentuan hukum

acara pidana, tata cara penyelesaian dan /atau pengadilan mengenai

pelanggaran dan kejahatan lingkungan hidup (KUHAP) sehingga

pelanggaran lebih-lebih kejahatan Illegal logging dapat dipandang sebagai

extraordinary crime, yang dalam konteks ilmu hukum lingkungan

merupakan salah satu bentuk dari eco crime.

Penulis berpendapat bahwa pelanggaran dan kejahatan lingkungan

yang sanksi hukumnya diatur dalam norma-norma pada UU LIngkungan

hidup dengan mempertahankan azas subsidiaritas cukup memadai namun

masih diperlukan pengaturan hukum lebih lanjut terhadap ketentuan

pidana terutama yang telah dipaparkan dalam penjelasan umum UU

tersebut angka ketujuh alinea kelima terutama dalam kaitannya dengan

masalah parameter tentang tingkat kesalahan pelaku yang relative berat

atau akibat perbuatannya relative besar dan atau perbuatannya tersebut

telah menimbulkan keresahan masyarakat . Hal ini penting dalam rangka

kepastian hukum tentang pengertian mengenai tingkat kesalahan pelaku,

tingkat perbuatan yang relatif besar dan tingkat keresahan masyarakat.

Dengan menggunakan teori dari Prof. Dr. Soerjono Soekanto tentang

faktor-faktor yang memengaruhi penegakkan hukum, uraian yang

terdahulu telah menggambarkan bahwa dari segi faktor hukum telah

Page 19: V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- … V... · pemerintahan dalam memberantas kegiatan penebangan liar. Selain itu ... undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

72

memperlihatkan bahwa kelengkapan norma hukum tentang

penyelenggaran penegakan hukum terhadap Illegal logging yang terdapat

baik di dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup maupun dalam KUHP serta KUHAP perlu untuk menindaklanjuti

dan/atau melengkapi dengan ketentuan-ketentuan atau norma-norma

hukum baru untuk memperjelas dan mempertegas parameter dan atau

ukuran tentang tingkat kesalahan pelaku, besaran dampak yang

ditimbulkan, akibat perbuatan pelaku,maupun pengaturan tentang

beracara pada penyelesaian hukum terhadap tindak pidana Illegal logging.

Oleh sebab itu, karena menurut teori Prof. Dr. Soerjono Soekanto juga

menyangkutkan faktor-faktor menghukum yang kemungkinan besar

berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan penegakan hukum Illegal

logging maka berdasarkan penelitian di lapangan dengan melakukan

observasi yang mendalam telah dapat dibuktikan bahwa jaringan sindikasi

perbuatan melanggar hukum Illegal logging telah melibatkan berbagai

pihak termasuk di dalamnya yang menurut ilmu lingkungan merupakan

stakeholder yang wajib secara aktif ikut untuk melestarikan lingkungan.

Dari uraian terakhir ini dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum

lingkungan tidak selalu bergantung atau lengkap atau tidak lengkapnya

norma-norma yang tertuang di dalamnya tetapi juga bergantung kepada

tingkat kesadaran dan kepatutan hukum dan fasilitas yang menunjangnya.

(antara lain kelembagaan, finansial dan hubungan antar lembaga penegak

hukum).