USM PENYELESAIAN SENGKETA PELANGGARAN PELAKSANAAN PILKADA …
Transcript of USM PENYELESAIAN SENGKETA PELANGGARAN PELAKSANAAN PILKADA …
i
USM
PENYELESAIAN SENGKETA PELANGGARAN PELAKSANAAN
PILKADA KABUPATEN DEIYAI PROVINSI PAPUA DITINJAU DARI
UNDANG –UNDANG RI NO 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILU
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas
dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan
Program Studi Strata 1 Ilmu Hukum
Oleh :
Nama : Bagus Susilo
NIM : A.131.15.0144
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG
SEMARANG
2018
v
DOKUMENTASI PERPUSTAKAAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Semarang dengan ini menerangkan,
bahwa skripsi di bawah ini :
Judul : Penyelesaian Sengketapelanggaran Pelaksanaan Pilkada Kabupaten
Deiyai Provinsi Papua Ditinjau Dari Undang –Undang RI No 7
Tahun 2017 Tentang Pemilu
Peneliti : Nama : Bagus Susilo
NIM : A.131.15.0144
Telah didokumentasikan dengan nomor : .................................................................
di Perpustakaan Fakultas Hukum UniversitasSemarang untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Semarang, .....................................
Bagian Adminitrasi Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas
Semarang
(....................................................)
vi
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Penyelesaian Sengketapelanggaran Pelaksanaan Pilkada
Kabupaten Deiyai Provinsi Papua Ditinjau Dari Undang –Undang RI No 7 Tahun
2017 Tentang Pemilu”. Skripsi ini disusun dalam rangka menyelesaikan Program
Studi Strata 1 untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Semarang.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari bahwa penyelesaian
skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak, untuk itu
perkenankan penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Andy Kridasusila, S.E., M.M., selaku Rektor Fakultas Hukum Universitas
Semarang.
2. Ibu B. Rini Heryanti, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas
Semarang.
3. Dr. M. Junaidi, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam menyusun skripsi ini.
4. A. Heru Nuswanto, S.H.,M.H., selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam menyusun skripsi ini.
5. Ibu Dewi Tuti Muryati, S.H., M.H., selaku penguji yang telah memberikan
masukan dan saran dalam menyusun skripsi ini.
6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis selama penulis menuntut ilmu di
Fakultas Hukum Universitas Semarang.
viii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto :
“"Bersikaplah kukuh seperti batu karang yang tidak putus-putus-nya dipukul
ombak. Ia tidak saja tetap berdiri kukuh, bahkan ia menenteramkan amarah ombak
dan gelombang itu." (Marcus Aurelius)”.
Persembahan :
Kedua orang tuaku tercinta.
Keluarga yang selalu mendukungku.
Sahabat-sahabat tercinta.
Almamaterku Fakultas Hukum Universitas Semarang.
ix
ABSTRAK
Pemilukada adalah pemilihan kepala daearah dan wakil kepala daerah dalam
satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilu merupakan kegiatan
politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam
sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.Sengketa terjadi karena
adanya benturan kepentingan, misalnya di Kabupaten Deiyai Provinsi Papua.
Apabila ada pihak yang merasa kepentingannya dirugikan dan memenuhi legal
standing, dapat mengajukan sengketa pemilukada tersebut kepada Mahkamah
Konstitusi mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Oleh karena itu,
perlu pengkajian tentang penyelesaian sengketa pelanggaran pelaksanaan
Kabupaten Deiyai Provinsi Papua ditinjau dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 untuk mengetahui jenis pelanggaran dalam pilkada tersebut dan bagaimana
proses penyelesaian sengketa tersebut ditinjau dari perundangan tersebut.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan spesifikasi
penelitiannya adalah deskriptif analitis. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan dokumenter.
Selanjutnya, dianalisis menggunakan metode analitis kualitatif. Berdasarkan hasil
penelitian sebagai berikut: Pertama, jenis pelanggaran dalam pilkada kabupaten
deiyai ditinjau dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah pelanggaran
yang berhubungan dengan administrasiPemilukada, rekapitulasi dilakukan tidak
pada blangko rekapitulasi, hasil penghitungan suara tidak ditanda tangani oleh
saksi- saksi pasangan calon, serta tidak dapat mengajukan keberatan secara resmi
pada blangko keberatan maka didalam suasana yang penuh teror, intimidasi,
money politic, keberpihakan pelaksana Pilkada pada pasangan kandidat tertentu.
Kedua, proses penyelesaian pelanggaran pilkada kabupaten deiyai ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah dengan mengajukan permohonan
ke Mahkamah Konstitusi. Mengingat pemohon berdasarkan kondisi yang ada
memiliki legal standing.
Kata kunci : Penyelesaian, Pelanggaran, Pilkada, Kabupaten Deiyai
x
ABSTRACT
Pemilukada is the election of regional heads and deputy regional heads in one
pair of candidates who are carried out democratically based on direct, general,
free, confidential, honest and fair principles. Elections are a very important
political activity in the process of administering power in a country that adheres
to the principles of democracy. Disputes occur because of a conflict of interest,
for example in Deiyai Regency, Papua Province. If there are parties who feel their
interests have been harmed and fulfill the legal standing, they can submit the
dispute over the post-conflict local election to the Constitutional Court referring
to Law Number 7 of 2017. Therefore, it is necessary to review the settlement of
violations in the implementation of Deiyai Regency in Papua Province in
accordance with the Law Number 7 of 2017 to find out the types of violations in
the elections and how the dispute resolution process is reviewed from the
legislation. This study uses a type of normative juridical research with the
specification of the research is descriptive analytical. The data used in this study
are secondary data obtained through literature and documentary studies.
Furthermore, it was analyzed using qualitative analytical methods. Based on the
results of the study as follows: First, the types of violations in the deiyai district
election viewed from Law Number 7 of 2017 are violations relating to the
administration of the Regional Head General Election, the recapitulation is not
done in the recapitulation form, the vote count results are not signed by the
witnesses of the candidate pairs. and cannot formally object to the objection form,
in an atmosphere full of terror, intimidation, money politics, partiality of the
Pilkada implementers in certain candidate pairs. Second, the process of resolving
violations of the deiyai regency election in terms of Law Number 7 of 2017 is to
submit an application to the Constitutional Court. Considering the applicant
based on existing conditions has legal standing.
Keywords: Settlement, Abuse, Election, Deiyai Regency
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv
DOKUMENTASI PERPUSTAKAAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG ........................................................................ v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... viii
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
ABSTRACT ..................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Beakang .................................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ......................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7
D. Keaslian Penelitian .......................................................................... 8
E. Sistematika ...................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 11
A. Pengertian Sengketa ........................................................................ 11
B. Pengertian Pelanggaran ................................................................... 12
C. Tinjauan Umum tentang Pemilu ...................................................... 13
1. Pengertian Pemilu ..................................................................... 13
xii
2. Hak Pilih dalam Pemilu ............................................................ 17
3. Asas-Asas Pemilu ..................................................................... 18
4. Tinjauan Umum tentang Kampanye dalam Pemilu.................. 19
D. Tinjauan Umum tentang Pilkada .................................................... 21
1. Pengertian Pilkada .................................................................... 21
2. Tujuan dan Fungsi Pilkada ....................................................... 26
BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 29
A. Jenis Penelitian ................................................................................ 30
B. Spesifikasi Penelitian ....................................................................... 30
C. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 31
D. Metode Analisis Data ...................................................................... 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 33
A. Jenis Pelanggaran Dalam Pilkada Kabupaten Deiyai Provinsi
Papua Ditinjau Dari Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2017
Tentang Pemilu. ............................................................................... 33
B. Proses Penyelesaian Pelanggaran Pilkada Kabupaten Deiyai
Ditinjau Dari Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2017 Tentang
Pemilu. ............................................................................................. 44
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 50
A. Simpulan .......................................................................................... 50
B. Saran ................................................................................................ 51
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 52
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Beakang
Pelaksanaan awal otonomi daerah yang masih dapat dihitung dengan
hitungan hari sudah tentu belum dapat dinilai begitu saja, yang jelas bahwa
semua daerah menyambut dengan segala penuh harapan dan dambaan masa
depan yang lebih baik dan cerah. Semua daerah telah melaksanakan
otonomi daerah dan terus menerus berbenah diri, sesuai dengan situasi dan
kondisi serta kemampuan masing-masing. Suatu tantangan yang besar pada
saat kita berbenah diri dari keterpurukan orde baru untuk membangun
Indonesia baru, pada saat itu pula memasuki era globalisasi dengan segala
tantangannya.1
Masalah utama yang dihadapi adalah kebebasan yang muncul setelah
ketertindasan di bawah rezim Orde Baru, dapat berkembang menjadi
euphoria yang tidak terkendali. Keadaan seperti ini dapat memicu
disintegrasi bangsa, padahal kita pada saat seperti ini, kita dalam
mempertahankan persatuan dan kesatuan. Keadaan yang tanpa kendali ini,
justru akan menjadi kendala bagi kita.2
Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia setiap daerah
berhak untuk mengurus segala apa yang menjadi urusan daerahnya masing-
masing. Setiap daerah mempunyai wewenang untuk mengatur hal-hal yang
telah diserahkan pemerintah pusat kepada daerah. Adapun wewenang
1 HAW Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),
halaman 85. 2Ibid, halaman 86.
2
tersebut tidak semuanya diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah,
yaitu :3
1. Politik luar negeri
2. Pertahanan
3. Keamanan
4. Yustisi
5. Kebijakan moneter dan fiskal nasional
6. Agama
Selain diberikan kewenangan yang luas dari pemerintah pusat, hal
yang baru dengan diberlakukannya otonomi daerah adalah pemilihan kepala
daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebelum adanya otonomi
daerah dan telah di atur dalam UndangUndang Dasar 1945 Pasal 18 kepala
daerah dipilih melalui mekanisme di DPRD sebagai badan legislatif daerah.4
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau
seringkali disebut pemilukada, adalah pemilihan kepala daearah dan wakil
kepala daerah dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang di maksud adalah:
1. Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi
2. Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten
3. Walikota dan wakil walikota untuk kota
Sistem pemilihan umum (Pemilu) merupakan mekanisme sirkulasi
kekuasaan yang diatur didalam suatu negara. Sistem Pemilu menjamin
bahwa pergantian kekuasaan tidak dilakukan secara turun-menurun seperti
zaman kerajaan karena rekruitmen politik didasarkan atas sistem demokrasi.
Berkembangnya demokrasi di Barat yang membatasi kekuasaan secara
3Ibid.
4 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18.
3
periodik merupakan kritik terhadap pratik kekuasaan di masa sebelumnya
yang tidak membatasi masa kekuasaan secara teratur dan periodic.5
Sistem Pemilu merupakan salah satu keputusan kelembagaan yang
penting bagi negara-negara yang berupaya untuk menegakkan keberadaban
dan kualitas sistem politik. Karena sistem Pemilu akan menghasilkan
logika-logika politik atas tata laksana administrasi, berjalannya birokrasi,
hingga tumbuh dan berkembangnya masyarakat sipil (civil society) di dalam
sistem itu selanjutnya. Oleh karena itu, Pemilu menjadi sarana yang efektif
untuk menentukan kepemimpinan nasional yang melibatkan seluruh warga
Negara.6
Pengambilan keputusan oleh rakyat yang berdaulat tidak langsung
dilakukan lembaga perwakilan rakyat. Sistem perwakilan merupakan cara
untuk mewujudkan kedaulatan rakyat secara tidak langsung. Dengan
demikian, kepentingan rakyat diharap dapat didengarkan dan turut
menentukan proses penentuan kebijakan kenegaraan, baik yang dituangkan
dalam bentuk Undang-Undang maupun dalam bentuk pengawasan terhadap
kinerja pemerintahan dan upaya-upaya lain yang berkaitan dengan
kepentingan rakyat.7
Pemilu yang dilakukan merupakan suatu proses pergantian kekuasaan
secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip
yang digariskan konstitusi. Pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat
penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara
5
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
(Jakarta: BIP, 2008), halaman 740. 6Ibid.
7Ibid.
4
yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip kehidupan ketatanegaraan
yang bekedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara
berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan
kenegaraan.8
Oleh karena itu, Pemilu merupakan proses pengambilan
keputusan oleh rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan sebagai sarana
pengembangan kedaulatan rakyat dalam rangka pembentukan lembaga-
lembaga perwakilan.9
Sistem pemilu Kepala Daerah kemungkinan besar dapat membangun
kepemerintahan yang baik. Aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif
dan efisien dalam pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan partisipasi
warga negara dalam Pilkada. Setiap warga negara mempunyai suara sebagai
hak politik dan kedaulatan rakyat dalam pembuatan keputusan secara
langsung, atau memilih pasangan calon Kepala Daerah, atau memilih calon
anggota legislatif daerah. Partisipasi politik seperti ini dibangun atas dasar
kebebasan berasosiasi, kebebasan berbicara, serta partisipasi masyarakat
secara konstruktif.
Salah satu indikator pilkada langsung yang berkualitas adalah pilkada
yang membuka akses bagi setiap warga negara. Prinsip keterbukaan itu
dikenal dengan universal suffrage atau hak pilih universal. Akses yang
terbuka berarti bahwa hak pilih benar-benar bersifat universal dan seluruh
warga memiliki hak pilih. Bukanlah suatu kontrakdiksi bahwa di Negara
demokrasi hak untuk secara teratur memilih diatur syarat-syarat minimal
yang harus dipenuhi misalnya, usia, minimal, sehat jasmani dan rohani.
8 Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia Perspektif Konstitusional, (Yogyakarta:Total
Media 2009), halaman 89. 9 Dahlan Thaib, Op, Cit., halaman 103.
5
Pendaftaran pemilih merupakan tahapan kegiatan pertama penegakan
universal suffrage dalam rangkaian kegiatan pilkada langsung. Dilihat dari
tujuannya, pendaftaran pemilihan merupakan salah satu kunci keberhasilan
pilkada langsung.10
Sengketa terjadi karena adanya benturan kepentingan. Oleh karena itu
seiring dengan perkembangan masyarakat muncul hukum yang berusaha
untuk meminimalisir berbagai benturan kepentingan dalam masyarakat.
Beberapa abad yang lalu seorang ahli filsafat yang bernama Cicero
mengatakan, “ Ubi Societas Ibi Ius” artinya, dimana ada masyarakat maka
di situ ada hukum. Pernyataan ini sangat tepat sekali karena adanya hukum
itu adalah berfungsi sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah
atau norma itu adalah patokan-patokan mengenai perilaku yang dianggap
pantas. Kaidah berguna untuk menyelaraskan tiap kepentingan anggota
masyarakat. Sehingga di masyarakat tidak akan terjadi benturan kepentingan
antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya.11
Menurut Van Kan, kepentingan-kepentingan manusia bisa saling
bertumbukan kalau tidak dikendalikan oleh kaidah, sehingga lahirlah kaidah
agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan sebagai usaha manusia
untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan itu. Tetapi, ketiga kaidah di
atas ternyata mempunyai kelemahan :
1. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum cukup
melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat
sebab ketiga kaidah ini tidak mempunyai sanksi yang tegas dan dapat
dipaksakan.
10
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Filosofi, Sistem dan Problema
Penerapan di Indonesia), (Semarang: Pustaka Pelajar, 2005), halaman 226. 11
Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, ( Bandung : Alumni, 2006), halaman 9.
6
2. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum
mengatur secara keseluruhan kepentingan-kepentingan manusia
seperti kepentingan manusia dalam bidang pertanahan, kehutanan,
kelautan, udara dan lain-lain.12
Oleh karena itu, diperlukan satu kaidah lagi yang dapat menjawab dua
kelemahan di atas. Kaidah tersebut adalah kaidah hukum. Kaidah hukum
mempunyai sifat pemaksa artinya kalau seseorang melanggar kepentingan
orang lain maka dia akan dipaksa oleh hukum untuk mengganti rugi atau
bahkan dicabut hak kebebasannya dengan jalan dimasukan ke penjara agar
kepentingan orang lain itu tidak terganggu. Berbeda dengan kaidah
sebelumnya yang tidak mempunyai sanksi yang dapat dipaksakan. Oleh
karena itu, penulis tertarik untuk menulis karya tulis yang berjudul
“Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Pelaksanaan Pilkada Kabupaten
Deiyai Provinsi Papua Ditinjau Dari Undang –Undang RI No 7 Tahun
2017 Tentang Pemilu”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
a. Apa jenis pelanggaran dalam pilkada Kabupaten Deiyai Provinsi
Papua ditinjau dari Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2017 tentang
pemilu?
b. Bagaimanakah proses penyelesaian pelanggaran pilkada Kabupaten
Deiyai Provinsi Papua ditinjau dari Undang-Undang RI Nomor 7
tahun 2017tentang pemilu?
12
Van Kan, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 2002),
halaman 7-11.
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui jenis pelanggaran dalam pilkada Kabupaten
Deiyai Provinsi Papua ditinjau dari Undang-Undang RI Nomor 7
tahun 2017 tentang pemilu.
b. Untuk mengetahui proses penyelesaian pelanggaran pilkada
kabupaten Deiyai Provinsi Papua ditinjau dari Undang-Undang RI
Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam
pengembangan hukum, khususnya pemahaman teoretis tentang
Penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran pelaksanaan pilkada
kabupaten deiyai ditinjau dari Undang-Undang Nomor 7 tahun
2017.
b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran, serta dapat memberikan
kontribusi dan solusi konkret bagi para penentu kebijakan dalam
Penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran pelaksanaan pilkada
kabupaten deiyai ditinjau dari Undang-Undang Nomor 7 tahun
2017.
8
D. Keaslian Penelitian
Penelitian ini saya buat dengan hasil pemikiran dan analisis saya
pribadi dengan mengutip beberapa buku, jurnal dan website serta
menyertakan sumbernya di catatan kaki dan daftar pustaka, yang berarti
bahwa keaslian penelitian yang saya lakukan dapat dipertanggungjawabkan
dengan dibuktikan adanya surat pernyataan orisinalitas yang ditandatangani
di atas materai. Dalam skripsi ini, Penulis mengambil pembahasan tentang
“Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Pelaksanaan Pilkada Kabupaten Deiyai
Provinsi Papua Ditinjau Dari Undang –Undang RI No 7 Tahun 2017
Tentang Pemilu”. Berdasarkan hasil penelusuran Peneliti ditemukan suatu
karya ilmiah yang secara karakteristik hampir sama. Meskipun memiliki
karakteristik yang hampir sama namun tetap ada perbedaannya sehingga
skripsi ini merupakan asli dari karya Penulis, dan bukan merupakan plagiat
dari karya ilmiah orang lain.
Adapun karya ilmiah yang memiliki karakteristik dimaksut antara lain
sebagai berikut:
1. Ni’matul Huda Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia
Dengan Skripsi Berjudul “Penyelesaian Sengketa Pemilihan Bupati
Bengkulu Selatan di Mahkamah Konstitusi”. Kesamaan yang
dilakukan Ni’matul Huda adalah pada objek penelitian yaitu
Penyelesaian Sengketa Pilkada, tetapi terdapat perbedaan terhadap
subjek peneliti dan peraturan perundang-undangan yang digunakan.
Subjek peneliti yang dilakukan Ni’matul Huda adalah Penyelesaian
Sengketa Pemilihan Bupati di Bengkulu Selatan, sementara penelitian
9
ini subjeknya adalah Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Pilkada di
Kabupaten Deiyai Provinsi Papua.
2. La Ode Maulidin mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Widyagama
Malang, dengan judul skripsi “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada Ditinjau
Perspektif Teori Hukum Progresif” (Kajian Terhadap Putusan MK
Atas Sengketa Hasil Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur Dan Putusan
MK Dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala
Daerah Kota Tangerang Selatan). Kesamaan yang dilakukan La Ode
Maulidin adalah kajian terhadap putusan MK atas hasil Pilkada, tetapi
terdapat perbedaan terhadap subjek peneliti dan peraturan perundang-
undangan yang digunakan. Subjek yang digunakan La Ode Maulidin
adalah Penyelesaian Hasil Pilkada Ditinjau Dari Perspektif Teori
Hukum Progresif, sementara penelitian ini subjeknya adalah
Penyelesaian Sengketa Pilkada Ditinjau Dari Undang-Undang RI
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
E. Sistematika
Bab I tentang Pendahuluan yang berisi Latar Belakang, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian dan
Sistematika.
Bab II tentang Tinjauan Pustaka yang berisi tentang Tinjauan Umum
tentang Negara Hukum, Tinjauan umum tentang Pemilu, Tinjauan
umum tentang Pilkada.
10
Bab III tentang Metode Penelitian yang berisi tentang Jenis Penelitian,
Spesifikasi Penelitian, Metode Pengumpulan Data, Metode
Analisis Data, Jadwal Kegiatan Penelitian.
Bab IV tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan yang berisi tentang jenis
pelanggaran dalam pilkada Kabupaten Deiyai Provinsi Papua
ditinjau dari Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2017 tentang
pemilu dan proses penyelesaian pelanggaran pilkada Kabupaten
Deiyai Provinsi Papua ditinjau dari Undang-Undang RI Nomor 7
tahun 2017tentang pemilu.
Bab V tentang Penutup yang berisi tentang Simpulan dan Saran.
Daftar Pustaka
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Sengketa
Sengketa tidak lepas dari suatu konflik. Dimana ada sengketa pasti
disitu ada konflik. Begitu banyak konflik dalam kehidupan sehari-hari.
Entah konflik kecil ringan bahkan konflik yang besar dan berat. Hal ini
dialami oleh semua kalangan, karena hidup ini tidak lepas dari
permasalahan. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Kenapa harus
mempelajari tentang sengketa. Karena untuk mengetahui lebih dalam
bagaimana suatu sengketa itu dan bagaimana penyelesaiannya.13
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia adalah
pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan
antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi
terhadap satu obyek permasalahan. Menurut Winardi, pertentangan atau
konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang
mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu obyek
kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang
lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :Macam-macam
penyelesaian sengketa pada awalnya, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa
yang dipergunakan selalu berorientasi pada bagaimana supaya memperoleh
kemenangan (seperti peperangan, perkelahian bahkan lembaga pengadilan).
Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para Sengketa adalah
13
http://yuarta.blogspot.com/2011/03/definisi-sengketa.html (diakses tanggal 12 Januari
2108)
12
pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan
akibat hukum bagi keduanya. Dari kedua pendapat di atas maka dapat
dikatakan bahwa sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang
atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya
dapat diberi sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.14
B. Pengertian Pelanggaran
Pelanggaran adalah perilaku yang menyimpang untuk melakukan
tindakan menurut kehendak sendiri tanpa memperhatikan peraturan yang
telah dibuat. Sedangkan pelanggaran menurut Tarmizi dalam website
adalah ”tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara konsisten
akan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk dan
kesalahan. Berdasarkan pengertian di atas, dpaat disimpulkan bahwa
pelanggaran adalah bentuk kesalahan yang dilakukan menurut
kehendaknya sendiri tanpa menghiraukan peraturan yang telah dibuat.15
Menurut Munir Faudy, pelanggaran adalah sebagai suatu kumpulan
dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur
perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian
yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap
korban dengan suatu gugatan yang tepat.16
14
Ali. Achmad Chomzah, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak Atas
Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta : Prestasi
Pustaka, 2003), hal 14. 15
http://tarmizi.word.com//2008/12/12antarhukuman-dan-disiplin-sekolah/) 16
Munir Faudi, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002),
hlm 3.
13
Menurut R. Wirjono Projodikoro, mengatakan, bahwa istilah
ditafsirkan secara luas, sehingga meliputi juga suatu hubungan yang
bertentangan dengan kesusilaan atau dengan yang dianggap pantas dalam
pergaulan hidup masyarakat.17
Pelanggaran tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi
juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain bertentangan
dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan kepatutan
dalam lalu lintas masyarakat. Pelanggaran juga dapat diartikan sebagai suatu
kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau
mengatur prilaku berbahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu
kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi
terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.18
C. Tinjauan Umum tentang Pemilu
1. Pengertian Pemilu
Pada dasarnya yang dimaksud dengan pemilu adalah proses
pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu.46
Menurut UndangUndang Nomor 15 Tahun 2011 (selanjutnya ditulis
UU 15/2011)tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Undang-
Undang No. 8 Tahun 2012 (selanjutnya ditulis UU 8/2012)tentang
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Pemilihan Umum adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
17
Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung :Sumur, 2004), halaman
13. 18
Ibid.
14
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.19
Perubahan gagasan yang begitu mendasar tentangkedaulatan
rakyat dalam UUD 1945. Terjadi pergeseran yang sangat fundamental
tentang siapa sebenarnya yang bertindak sebagai pemegang supremasi
atau kekuasaan tertinggi. Sebagaimana dikemukakan Soewoto
Mulyosudarmo, perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 merupakan
perubahan menuju sebuah kondisi yang mencerminkan keadaan yang
sebenarnya mengatur tentang kekuasaan tertinggi. Perubahan ketentuan
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dari yang semula berbunyi “Kedaulatan
adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”menunjukan
terjadinya.20
Sebagai wujud dari kedaulatan rakyat, dalam sistemdemokrasi
harus dijamin bahwa rakyat terlibat penuh dalammerencanakan,
mengatur, melaksanakan, dan melakukanpengawasan serta menilai
pelaksanaan fungsifungsi kekuasaan. Pelaksanaan keterlibatan penuh
rakyat tersebut haruslah diorganisasikan menurut Undang-Undang
Dasar sesuai dengan dengan ketentuan UUD 1945, tidak lagi
diorganisasikan melalui institusi kenegaraan Majelis Permusyawaratan
19
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum diakses tanggal 2 Februari 2019. 20
Ibid.
15
Rakyat layaknya ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan. Perbedaan
yang terjadi setelah perubahan itu sangat jelas dan prinsipil.21
Dalam pemilihan umum, yang dipilih tidak saja wakil rakyat yang
akan duduk di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, tetapi juga
para pemimpin pemerintahan yang duduk di kursi eksekutif. Di cabang
kekuasaaan legislatif, para wakil rakyat itu ada yang duduk di Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota, dan ada yang duduk di Dewan
Perwakilan Daerah. Sementara itu di cabang kekuasaan eksekutif, para
pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah Presiden dan
Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dengan terlaksananya
pemilu yang teratur dan berkala maka pergantian pejabat yang
dimaksud juga berjalan secara teratur dan berkala pula.22
Pemilihan Umum adalah memilih seorang penguasa, pejabat atau
lainnya dengan jalan menuliskan nama yang dipilih dalam secarik
kertas atau dengan memberikan suaranya dalam
pemilihan.23
Sedangkan, menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pemilihan
Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara
21
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi(Jakarta: BIP, 2007), halaman 292. 22
Ibid. 23
Abu Nashr Muhammad Al-Iman, Membongkar Dosa-dosa Pemilu, (Jakarta, Prisma
Media, 2004), halaman 29.
16
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Pemilih dalam pemilu disebut juga sebagai konstituen, di mana
para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya
pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama diwaktu yang telah
ditentukan menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan
suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenangan Pemilu
ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang
sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan
disosialisasikan ke para pemilih. Proses pemilihan umum merupakan
bagian dari demokrasi.24
Pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota
DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota disebut pemilihan
umum legislatif. Pemilihan umum legislatif merupakan sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih wakil rakyat yang dapat
mewakili aspirasinya yang tata cara pelaksanaanya diatur dalam sebuah
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada demokrasi
perwakilan, rakyat memegang kedaulatan penuh, namun dalam
pelaksanaanya dilakukan oleh wakil wakil rakyatnya melalui lembaga
legislatif atau parlemen.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa pemilihan
umum adalah proses pemilihan atau penentuan sikap yang dilakukan
24
Ibid.
17
oleh suatu masyarakat untuk memilih penguasa ataupun pejabat politik
untuk memimpin suatu Negara yang juga diselenggarakan oleh Negara.
2. Hak Pilih dalam Pemilu
Pada azasnya setiap warganegara berhak ikut serta dalam
Pemilihan Umum. Hak warganegara untuk ikut serta dalam pemilihan
umum disebut Hak Pilih, yang terdiri dari:
a. Hak pilih aktif (hak memilih).
b. Hak pilih pasif (hak dipilih) Setiap warga negara Indonesia yang
pada hari pemungutan suara sudah berumur tujuh belas tahun atau
lebih atau sudah/ pernah kawin, mempunyai hak memilih.
Seorang warga negara Indonesia yang telah mempunyai hak
memilih, baru bisa menggunakan haknya, apabila telah terdaftar
sebagai pemilih.25
Seseorang yang telah mempunyai hak memilih, untuk dapat
terdaftar sebagai pemilih, harus memenuhi persyaratan:26
a) Tidak terganggu jiwa/ ingatannya
b) Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
sebaliknya seorang warga negara indonesia yang telah terdaftar
dalam daftar pemilih tetap (dpt), kemudian ternyata tidak lagi
memenuhi persyaratan tersebut di atas, tidak dapat menggunakan
hak memilihnya
Masalah dan gejolak seringkali terjadi di tengah-tengah
masyarakat. Hal ini disebabkan karena tidak akuratnya data pemilih.
Ada warga masyarakat yang telah memenuhi persyaratan sebagai
25
Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif)(Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2009), halaman 168. 26
Ibid.
18
pemilih, ternyata tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT),
malah sebaliknya orang-orang yang sudah meninggal dunia namanya
masih tercantum dalam DPT. Sebenarnya masalah ini lebih bersifat
teknis dan administratif, tetapi oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan,
masalah ini dipolitisasi sehingga tidak jarang menimbulkan gejolak dan
konflik.27
Berdasarkan pengamatan, ketidakakuratan pemilih/ DPT ini
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:28
a. Belum tertatanya dengan baik data kependudukan, yang mana hal
ini merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah, dalam
hal ini Depatemen Dalam Negeri beserta jajarannya.
b. Pemutakhiran data/ verifikasi data pemilih tidak dilakukan oleh
KPU beserta jajarannya dengan baik c. Masyarakat, dalam hal ini
calon pemilih, tidak berusaha secara aktif, agar mereka tercantum
dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
3. Asas-Asas Pemilu
Dalam pelaksanaan pemilihan umum asas-asas yang digunakan
diantara sebagai berikut:29
a. Langsung, berarti masyarakat sebagai pemilih memiliki hak untuk
memilih secara langsung dalam pemilihan umum sesuai dengan
keinginan diri sendiri tanpa ada perantara.
b. Umum, berarti pemilihan umum berlaku untuk seluruh warga
negara yang memenuhi persyaratan, tanpa membeda-bedakan
agama, suku, ras, jenis kelamin, golongan, pekerjaan, kedaerahan,
dan status sosial yang lain.
27
Ibid. 28
Ibid., hlm. 169. 29
Ibid.
19
c. Bebas, berarti seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan
sebagai pemilih pada pemilihan umum, bebas menentukan siapa
saja yang akan 13 dicoblos untuk membawa aspirasinya tanpa ada
tekanan dan paksaan dari siapa pun.
d. Rahasia, berarti dalam menentukan pilihannya, pemilih dijamin
kerahasiaan pilihannya. Pemilih memberikan suaranya pada surat
suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa
pun suaranya diberikan.
e. Jujur, berarti semua pihak yang terkait dengan pemilu harus
bertindak dan juga bersikap jujur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
f. Adil, berarti dalam pelaksanaan pemilu, setiap pemilih dan
peserta pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama, serta
bebas dari kecurangan pihak mana pun.
4. Tinjauan Umum tentang Kampanye dalam Pemilu
Kampanye Pemilu dilakukan dengan prinsip pembelajaran
bersama dan bertanggungjawab. Kampanye Pemilu dilaksanakan oleh
kampanye dan didukung oleh petugas kampanye serta diikuti oleh
peserta kampanye. Pelaksana kampanye terdiri atas Pengurus Partai
Politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota serta juru kampanye dan satgas. Peserta kampanye
adalah warga masyarakat pemilih, sedangkan yang dimaksud petugas
20
kampanye adalah seluruh petugas yang memfasilitasi pelaksanaan
kampanye.30
Pelaksanaan kampanye harus didaftarkan pada KPU, KPU
provinsi, KPU Kabupaten/ Kota, PPK, PPS dan PPLN sesuai dengan
tingkatannya. Pendaftaran kampanye ini ditembuskan kepada Bawaslu,
Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/ Kota meliputi visi, misi Partai
Politik masing-masing.31
Metode kampanye yang dilaksanakan oleh peserta Pemilu adalah
dalam bentuk:
a. Pertemuan terbatas.
b. Tatap muka.
c. Penyiaran melalui media cetak dan media elektronik
d. Penyebaran bahan kampanye kepada umum.
e. Pemasangan alat peraga..
f. Rapat umum
g. Kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-
undangan.
Pelaksanaan kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas, tatap
muka, penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran
melalui radio dan telivisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum,
dapat dilaksanakan sejak tiga hari kerja setelah peserta Pemilu
ditetapkan sebagai peserta Pemilu sampai dengan dimulainya masa
30
Ibid., hlm 199 31
Ibid., hlm 198-200.
21
tenang. Sedangkan rapat umum, dilaksanakan selama 21 hari kerja
sebelum hari dan tanggal pemungutan suara.32
Ketentuan ini antara lain bertujuan untuk mengatasi masalah
“mencuri start. Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan kampanye
secara Nasional, baik mengenai waktu, tata cara dan tempat kampanye
di pusat, diatur dengan peraturan KPU. Sedangkan ketentuan mengenai
waktu dan pelaksanaan kampanye di tingkat provinsi diatur dengan
keputusan KPU Provinsi dan mengenai waktu dan pelaksaan kampanye
di tingkat Kabupaten/ Kota, diatur dengan keputusan KPU Kabupaten/
Kota.33
D. Tinjauan Umum tentang Pilkada
1. Pengertian Pilkada
Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pilkada) merupakan instrumen yang sangat penting dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan prinsip demokrasi
di daerah, karena disinilah wujud bahwa rakyat sebagai pemegang
kedaulatan menentukan kebijakan kenegaraan. Mengandung arti bahwa
kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahan Negara ada pada
rakyat. Melalui Pilkada, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi
pemimpin dan wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang
selanjutnya menentukan arah masa depan sebuah negara.34
32
Ibid., halaman 200. 33
Ibid., halaman 201. 34
Yusdianto, Identifikasi Potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah dan Mekanisme
Penyelesaiannya, Jurnal Konstitusi Vol II nomor 2, November 2010, halaman 44.
22
Pemilihan Umum Kepala Daerah atau yang biasa disingkat
dengan Pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk
daerah setempat yang memenuhi syarat. Undang-Undang Dasar 1945
dalam BAB VIIIB tentang Pemilu, memang tidak pernah menyebut
mengenai pilkada. Pada Pasal 22E ayat (2) yang berbunyi “Pemilihan
Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Daerah”. Namun demikian, pengaturan pemilukada
seharusnya didasarkan atas pemahaman adanya sistematis antara Pasal-
Pasal Pilkada menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
tentang “Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan Kabupaten/ Kota berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk memilih Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah.35
Undang-Undang Dasar 1945 dalam BAB VIIIB tentang Pemilu,
memang tidak pernah menyebut mengenai pemilukada. Pada Pasal 22E
ayat (2) yang berbunyi “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”.
Namun demikian, pengaturan pilkada seharusnya didasarkan atas
pemahaman adanya sistematis antara Pasal-Pasal. dalam Undang-
35
Cakra Arbas, Jalan Terjal Calon Independen pada Pemilukada di Provinsi Aceh,
(Jakarta;Sofmedia, 2012), halaman 31.
23
Undang Dasar 1945. Selain itu secara materil, pemilu memang tidak
berbeda dengan pilkada baik dari segi substansi maupun
penyelenggaraannya.36
Di sisi lain, karena Amandemen Pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945 adalah amandemen 2 (kedua), sedangkan Pasal 22E Undang-
Undang Dasar 1945 merupakan amandemen 3 (ketiga), maka secara
hukum mempunyai makna bahwa pelaksanaan Pasal 18 ayat (4),
khususnya lembaga yang melakukan rekrutmen pasangan calon Kepala
Daerah harus merujuk pada Pasal 22E. Logika hukumnya, karena kalau
oleh pengubah Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 18 dianggap
bertentangan dengan Pasal 22E, maka dapat dipastikan dalam
amandemen 3 (ketiga) rumusan yang terdapat pada Pasal 18 akan
diubah dan disesuaikan dengan Pasal 22E, namun kenyataannya hal itu
tidak pernah terjadi sehingga sampai saat ini yang berlaku tetap
merupakan Pasal 18 hasil amandemen 2 (kedua) tersebut.37
Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pilkada) merupakan instrumen yang sangat penting dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan prinsip demokrasi
di daerah, karena di sinilah wujud bahwa rakyat sebagai pemegang
kedaulatan menentukan kebijakan kenegaraan. Mengandung arti bahwa
kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahan Negara ada pada
rakyat. Melalui Pilkada, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi
36
Ibid 37
Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang, (Jakarta:PT.
RajaGrafindo Persada, 2011), halaman 28.
24
pemimpin dan wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang
selanjutnya menentukan arah masa depan sebuah negara.38
Pilkada menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan Kabupaten/ Kota berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 56 ayat
(1) dinyatakan bahwa Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih
dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasangan calon Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah selanjutnya
disebut pasangan calon adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang telah memenuhi
persyaratan.39
Secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi,
pemilukada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus
harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal,
yaitu:40
1. Sistem demokrasi langsung melalui pemilukada langsung akan
membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam
proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di
tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan yang
lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekruitmen
politik di tangan segelintir orang di DPRD (oligarkis).
38
Yusdianto, Identifikasi Potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah dan Mekanisme
Penyelesaiannya, Jurnal Konstitusi Vol II nomor 2, November 2010, halaman 44. 39
Ibid. 40
Ibid.
25
2. Kompetensi politik pemilukada langsung memungkinkan
munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat-kandidat
berkompetensi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan
ketertutupan yang sering terjadi dalam demokrasi perwakilan.
Pilkada langsung bisa memberikan sejumlah harapan pada upaya
pembalikan “syndrome”dalam demokrasi perwakilan yang
ditandai dengan model kompetensi yang tidak fair, seperti;
praktik politik uang (money politic).
3. Sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga
untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa
harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik seperti
yang kasat mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan.
Setidaknya, melalui konsep demokrasi langsung, warga di area
lokal akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh semacam
pendidikan politik, training kepemimpinan politik dan sekaligus
mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan politik.
4. Pilkada langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figur
pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimasi. Karena,
melalui pemilukada langsung, Kepala Daerah yang terpilih akan
lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelintir elite
di DPRD. Dengan demikian, Pilkada mempunyai sejumlah
manfaat, berkaitan dengan peningkatan kualitas tanggung jawab
pemerintah daerah pada warganya yang pada akhirnya akan
mendekatkan Kepala Daerah dengan masyarakat.
5. Kepala Daerah yang terpilih melalui pemilukada langsung akan
memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun
perimbangan kekuatan (check and balance) di daerah antara
Kepala Daerah dengan DPRD. Perimbangan kekuatan ini akan
meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan seperti yang muncul
dalam format politik yang monolitik.
Menelaah esensi dari pilkada merupakan pemilu, sehingga secara
prosedural dan substansial merupakan manifestasi dari prinsip
demokrasi dan penegakan kedaulatan, maka pilkada sebagaimana
pemilu lainnya berhak untuk mendapatkan pengaturan khusus, sehingga
dapat mencapai derajat akuntabilitas, serta kualitas demokrasinya dapat
terpenuhi dengan baik. Pilkada merupakan suatu instrumen penting bagi
26
demokratisasi di level lokal atau daerah yang menjadi pilar bagi
demokratisasi di tingkat nasional.41
Proses pelaksanaan Pilkada diatur dalam Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah khususnya pada pasal 65
dan 66, dimana dalam pasal 65 ayat (4)dikemukakan bahwa “masa
persiapan Pemilukada diatur oleh KPUD dengan berpedoman pada
Peraturan Daerah”. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
dilaksanakan melalui masa persiapan, dan tahap pelaksanaan.
Pelaksanaan dalam tahap tersebut meliputi beberapa tahapan, yakni:
a. Penetapan daftar pemilih
b. Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/wakil kepala
daerah
c. Kampanye
d. Pemungutan suara
e. Penghitungan suara
f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah
terpilih, pengesahan, dan pelantikan.
2. Tujuan dan Fungsi Pilkada
Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah
pelaksanaan pemilihan umum Kepala Daerah (pilkada) secara langsung.
Pilkada merupakan sarana manifestasi kedaulatan dan pengukuhan
bahwa pemilih adalah masyarakat di daerah. Pilkada juga memiliki tiga
fungsi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu:42
41
Ibid. 42
Ibid.
27
1) Memilih Kepala Daerah sesuai dengan kehendak bersama
masyarakat di daerah sehingga diharapkan dapat memahami dan
mewujudkan kehendak masyarakat di daerah.
2) Melalui pilkada diharapkan pilihan masyarakat di daerah
didasarkan pada misi, visi, program serta kualitas dan integritas
calon Kepala Daerah, yang sangat menentukan keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
3) Pilkada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana
evaluasi dan control secara politik terhadap seorang Kepala
Daerah dan kekuatan politik yang menopang
Melalui pilkada masyarakat di daerah dapat memutuskan apakah
akan memperpanjang atau menghentikan mandat seorang Kepala
Daerah, selain itu juga organisasi politik penopang masih dapat
dipercaya atau tidak. Oleh karena itu, sebagai bagian dari pemilu,
pilkada harus dilaksanakan secara demokratis sehingga betul-betul
dapat memenuhi peran dan fungsi tersebut. Pelanggaran dan kelemahan
yang dapat menyesatkan esensi demokrasi dalam pemilukada harus
diperbaiki dan dicegah.
Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam pembukaan dan
Pasal 1 UUD 1945, Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat, yang
dimaksudkan di sini adalah kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu
antara lain tercermin dilaksanakan pemilihan umum dalam waktu
tertentu. Karenanya pemilihan umum adalah dalam rangka untuk
28
memberi kesempatan kepada warga masyarakat untuk melaksanakan
haknya, dengan tujuan:
1) Untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan
kedaulatan yang dimilikinya.
2) Terbuka kemungkinan baginya untuk duduk dalam jabatan
pemerintahan sebagai wakil yang dipercayakan oleh pemilihnya.
Sistem Pemilu merupakan salah satu keputusan kelembagaan
yang penting bagi negara-negara yang berupaya untuk menegakkan
keberadaban dan kualitas sistem politik. Karena sistem Pemilu akan
menghasilkan logika-logika politik atas tata laksana administrasi,
berjalannya birokrasi, hingga tumbuh dan berkembangnya masyarakat
sipil (civil society) di dalam sistem itu selanjutnya. Oleh karena itu,
Pemilu menjadi sarana yang efektif untuk menentukan kepemimpinan
nasional yang melibatkan seluruh warga negara.43
Pengambilan keputusan oleh rakyat yang berdaulat tidak langsung
dilakukan lembaga perwakilan rakyat. Sistem perwakilan merupakan
cara untuk mewujudkan kedaulatan rakyat secara tidak langsung.
Dengan demikian, kepentingan rakyat diharap dapat didengarkan dan
turut menentukan proses penentuan kebijakan kenegaraan, baik yang
dituangkan dalam bentuk Undang-Undang maupun dalam bentuk
pengawasan terhadap kinerja pemerintahan dan upaya-upaya lain yang
berkaitan dengan kepentingan rakyat.44
43
Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia Perspektif Konstitusional (Yogyakarta : Total
Media 2009), halaman 89. 44
Ibid.
29
BAB III
METODE PENELITIAN
Kegiatan penelitian ini merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sebagai
upaya untuk memahami dan memecahkan masalah menggunakan langkah-
langkah yang sistematis dan logis. Permasalahan utama dalam penelitian ini
adalah masalah Penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran pelaksanaan pilkada
Kabupaten Deiyai Provinsi Papua ditinjau dari Undang-Undang RI Nomor 7
tahun 2017 tentang pemilu. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan terhadap
masalah ini tidak dapat terlepas dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan
pemerintah peraturanya mengenai sengketa terhadap pelanggaran pelaksanaan
pilkada Kabupaten Deiyai Provinsi Papua. Metode Penelitian merupakan salah
satu faktor utama dalam melakukan suatu penelitian menggunakan metode
penelitian yang digunakan sebagaimana penulisan karya ilmiah harus bertitik
tolak pada suatu realitas yang ada, selanjutnya dianalisis dan diinterpretasikan
dengan dasar peraturan yang ada agar mencapai suatu pembahasan yang konkret.
Menurut Soerjono Soekanto45
, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan
ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan
jalan menganalisisnya. Disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap faktor hukum tersebut. Untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.
45
Zaenudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: P.T.Sinar Grafika,2010), halaman 17.
30
Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan
mempergunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja kita
untuk memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang
bersangkutan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
A. Jenis Penelitian
Penelitian tentang Penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran
pelaksanaan pilkada Kabupaten Deiyai Provinsi Papua ditinjau dari
Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu menggunakan
pendekatan yang bersifat yuridis normatif, yaitu dengan
mengkaji/menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum
terutama bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dengan
memahami hukum sebagai seperangkat peraturan atau norma-norma positif
di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan
manusia. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis,
yaitu penelitian yang mendeskriptifkan secara terperinci hasil analisis
mengenai asas-asas hukum, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertikal
dan horizontal, perbandingan hukum dan inventarisasi hukum positif. Suatu
penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Diharapkan
dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, rinci dan
31
sistematis yang mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan
perundang-undangan dengan menggambarkan pokok-pokok permasalahan
yang menjadi objek penelitian ini yaitu Penyelesaian sengketa terhadap
pelanggaran pelaksanaan pilkada Kabupaten Deiyai Provinsi Papua ditinjau
dari Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam suatu penelitian
pada dasarnya tergantung pada ruang lingkup dan tujuan penelitian.
Berdasarkan ruang lingkup, tujuan dan pendekatan dalam penelitian ini,
teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan
dokumenter dari data sekunder yang telah dianalisis. Penelitian hukum yang
bersifat normatif selalu menitikberatkan pada sumber data sekunder. Data
sekunder pada penelitian dapat dibedakan menjadi bahan-bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
Dalam penelitian ini, bersumber dari data sekunder sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang- Undang RI Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu.
b. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berhubungan
dengan bahanhukum primer dan menjadi bahan analisis dan
memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini terdiri
dari buku-buku teks yang memuat tulisan dan pendapat para
sarjana/ahli, hasil penelitian, hasil seminar, jurnal yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti.
32
D. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data, dalam penelitian ini akan digunakan teknik
analitis kualitatif yaitu analisis data yang sifatanya nonstatistik dan
nonmatematis dan mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundangan. Selanjutnya, data yang diperoleh kemudian
dianalisis dengan menggunakan asas-asas hukum, teori dan peraturan
perundangan yang relevan dengan kajian objek penelitian ini, kemudian
disusun menjadi bentuk laporan penelitian sehingga dapat disimpulkan
kebenaran dan mampu memberikan gambaran faktual terkait objek
penelitian ini yaitu, Penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran
pelaksanaan pilkada Kabupaten Deiyai Provinsi Papua ditinjau dari
Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Jenis Pelanggaran Dalam Pilkada Kabupaten Deiyai Provinsi Papua
Ditinjau Dari Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2017 Tentang
Pemilu.
Pemilu diselenggarakan oleh negara, namun secara spesifik kemudian
didelegasikan kepada institusi tertentu. Penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia pernah dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) dan
Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Kemudian berdasarkan perubahan UUD
1945, Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dalam kedudukannya sebagai lembaga
(organ), penafsiran organ UUD 1945 terkelompok ke dalam dua bagian,
yaitu main state organ (lembaga negara utama), dan auxiliary state organ
(lembaga penunjang atau lembaga bantu). Komisi Pemilihan Umum
merupakan organ konstitusi yang masuk dalam auxiliary state organ. Ketika
penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh sebuah lembaga negara, maka
kegiatan penyelenggaraan Pemilu oleh komisi pemilihan umum tersebut
mengandung kegiatan atau tindakan administrasi negara. Terkait dengan
masalah administrasi negara, di dalam pelaksanaan kegiatan atau aktivitas
penyelenggaraan Pemilu, terdapat pengaturan mengenai pelanggaran
administrasi dan sengketa tata usaha negara.46
46
HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia (Jakarta: Tatanusa,
2008), halaman 213.
34
Kegiatan penyelenggaraan Pemilu di Negara Indonesia sendiri diatur
dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 286
sebagai berikut :
Pasal 286
(1) Pasangan Calo, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota, pelasana kampanye, dan/atau tim kampanye
dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi
lainnya untuk memengaruhi Penyelenggara Pemilu dan/atau
Pemilih.
(2) Pasangan Calon serta calon anggota DPR, DPD, DPRD Provisi,
dan DPRD Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan rekomendasi
Bawaslu dapat dikenai sanksi administratif pembatalan sebagai
Pasangan Calon serta calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota oleh KPU.
(3) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
pelangaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
(4) Pemberian sanksi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak menggugurkan sanksi pidana.
Permasalahan mengenai pelanggaran administrasi dan sengketa tata
usaha negara Pemilu, telah terjadi berulang kali dari setiap Pemilu. Dalam
pemilu sebelumnya, permasalahan yang terjadi hampir serupa, yaitu
masalah verifikasi, daftar pemilih, kampanye, dan rekapitulasi. Penanganan
permasalahan tersebut juga masih berkisar pada perbedaan pendapat antara
pelaksana Pemilu (KPU) dan pengawas (Bawaslu), hubungan dengan
penegak hukum lainnya, serta permasalahan keterbatasan waktu.47
Demokratisasi di Indonesia kemudian diperkuat dengan adanya
pemilihan kepala daerah secara langsung atau yang lebih dikenal
dengan Pilkada mulai tahun 2005 dan geliat Pilkada akhir-akhir ini
semakin dinamis. Pilkada merupakan institusi demokrasi lokal yang
47
Ibid.
35
penting karena dengan Pilkada, kepala daerah yang akan memimpin
daerah dalam mencapai tujuan desentralisasi akan terpilih melalui
tangan-tangan masyarakat lokal secara langsung.48
Dalam suatu negara demokrasi, peranan lembaga penyelenggara
pemilu merupakan salah satu persyaratan penting untuk mencapai
pemilu yang demokratis. Selain itu, diperlukan regulasi tentang
lembaga penyelenggara pemilu yang jelas agar terdapat kepastian
hukum dalam hubungan checks and balances antar lembaga penyelenggara
pemilu itu sendiri. Namun, hubungan yang seimbang antar lembaga
penyelenggara pemilu itu sendiri tidak akan berfungsi dengan baik
apabila terdapat ketidakjelasan pengaturan mengenai lembaga
penyelenggara pemilu itu sendiri.49
Dalam pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia ada tiga jenis
pelanggaran menurut undang-undang, namun dari segi materinya, terdapat
enam macam, yakni:50
1. Pelanggaran pidana pemilu (tindak pidana pemilu).
2. Sengketa dalam tahapan/proses pemilu, pelanggaran administrasi
pemilu, pelanggaran kode etik.
3. Perselisihan hasil pemilu dan sengketa hukum lainnya.
Salah satu prasyarat negara demokrasi, alangkah baiknya jika
pengadilan khusus pilkada serentak merupakan bagian terpenting dalam
mengawal proses demokrasi. Karena peradilan khusus pemilu
48
Ibid. 49
Lusy Liany,Desain Hubungan Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan
Umum,Jurnal Cita Hukum,Volume 4, Nomor 1Juni 2016, halaman 52. 50
Ibid.
36
merupakan sebuah ius constituendum (cita hukum) yang tujuannya untuk
memproteksi hak konstitutional warga negara dan peserta pemilihan
umum, untuk memberikan ruang hukum kepada pihak-pihak yang
dirugikan dalam penyelenggaraan Pilkada serentak untuk mendapatkan
kepastian hukum dalam kehidupan negara demokrasi, sekaligus sebaga
upaya untuk mempercepat penyelesaian sengketa atau kasus-kasus
selama proses pemilihan umum berlangsung.51
Para ahli ilmu politik meyakini pemilu memiliki beberapa
fungsi:
a. Pertama, sebagai mekanisme pemilihan penyelenggara Negara.
b. Kedua Pemilu memiliki fungsi sebagai mekanisme pendelegasian
sebagian kedaulatan rakyat kepada peserta pemilu (calon anggota
legislatif maupun calon pejabat eksekutif).
c. Ketiga, pemilu sebagai mekanisme yang mampu menjamin
adanya perubahan politik (sirkulasi elit dan perubahan pola dan
arah kebijakan publik) secara periodik.
d. Keempat, pemilu sebagai sarana penyelesaian konflik dengan cara
memindahkan berbagai macam perbedaan dan pertentangan
kepentingan yang ada di masyarakat ke dalam lembaga legislatif dan
eksekutif untuk dimusyawarahkan, diperdebatkan, dan diselesaikan
secara terbuka dan beradab.52
Dalam penelitian ini kita akan membahas mengenai jenis pelanggaran
dalam pilkada Kabupaten Deiyai ditinjau dari Undang-Undang Nomor 7
51
Ibid 52
Ramlan Surbakti, Transformasi Bawaslu dan Partisipasi Masyarakat Dalam
Pengawasan Pemilu (Jakarta:Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2015), halaman 7.
37
tahun 2017. Proses panjang pelaksanaan Pilkada Kabupaten Deiyai 2018,
akhirnya tiba pada Putusan di Mahkamah Konstitusi Nomor 75/PHP BUB-
XVI/2018.
Pelaksanaan PSU telah dilaksanakan sesuai putusan Mahkamah
Konstitusi nomor 35/PHP.BUP-XVI/2018 digelar secara aman, lancar dan
kondusif, dengan supervisi KPU dan Bawaslu dari pusat hingga daerah, dan
pengamanan ketat dari Kepolisian dan TNI. Hingga saat ini masyarakat
tetap menahan diri menjaga keamanan, sekalipun jadwal putusan MK belum
dikeluarkan. Namun kami tidak bisa menahan pendukung kami, jika putusan
sengketa pilkada tersebut, mencederai aspirasi rakyat. Sebelumnya,
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Deiyai, Propinsi Papua
tak kunjung usai. Setelah sebelumnya dalam pilkada serentak pada 27 Juni
2018, dimenangkan calon bupati dan wakil bupati yang maju dari jalur
independen, Ateng Edowai - Hengky Pigai, muncul gugatan sengketa
pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh paslon nomor urut 4, Inarius
Douw -Anakletus Doo dan paslon nomor urut 3, Dance Takimai -Robert
Dawapa. Dalam sidang sengketa pilkada, Rabu (12/9), Mahkamah
Konstitusi (MK) memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Kabupaten Deiyai Provinsi Papua, untuk melakukan pemungutan suara
ulang di 12 TPS.
Pemungutan suara ulang pun dilakukan pada 16 Oktober 2018,
hasilnya pun tidak jauh berbeda, calon Independen nomor urut 1, Ateng
Edowai -Hengki Pigai meraih suara 19.300 suara, Keni Ikomou-Abraham
Tekege meraih 7.552, Dance Takimai – Robert Dawapa 15.230 dan Inarius
38
Douw – Anaklektus Doo 18.916 suara. Meskipun 2 paslon nomor urut 2
dan 3 menerima, namun hasil ini juga tidak membuat pasangan calon bupati
dan wakil bupati nomor urut 4 Inarius Douw – Anaklektus, puas. Gugatan
sengketa kembali dilayangkan ke MK. Sidang sengketa Pilkada yang digelar
kedua kalinya dilakukan pada 1 November 2018. 53
Putusan MK untuk perkara ini terkait dengan hasil pemungutan suara
ulang atau PSU di beberapa wilayah Kabupaten Deiyai yang kembali
diperkarakan pasangan Inarius-Anakletus. Pasangan Inarius-Anakletus,
melalui kuasa hukumnya M Salman Darwis berpendapat telah terjadi
pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Deiyai
bersama-sama dengan paslon nomor urut 1 dalam Pilkada Kabupaten
Deiyai, Ateng Edowai - Hengky Pigai.
Inarius - Anakletus menduga KPU tidak bersikap independen karena
berpihak pada paslon nomor urut 1, karena KPU diduga memanipulasi hasil
kesepakatan masyarakat Kampung Komauto, Distrik Kapiraya, yang
memberikan 1.208 suara kepada paslon nomor urut 1. Selain itu, KPU
beserta paslon nomor urut 1 diduga menggunakan kekerasan dan intimidasi
kepada masyarakat Kampung Diyai 1, untuk melakukan manipulasi hasil
kesepakatan masyarakat Kampung Diyai I, Distrik Tigi Barat memberikan
2.000 suara kepada Paslon Nomor Urut 1.
Berdasarkan hasil tersebut, Salman mengatakan pihak pemohon
seharusnya ditetapkan sebagai pemenang dalam Pilbup Kabupaten Deiyai
Tahun 2018 dengan akumulasi perolehan 17.346 suara ditambah 3.273
53
Putusan di Mahkamah Konstitusi Nomor 75/PHP.BUP-XVI/2018.
39
menjadi 20.619 suara. Karena itu, Inarius - Anakletus meminta mahkamah
untuk membatalkan Keputusan KPU Kabupaten Deiyai Nomor:
30/HK.03.1-Kpt/9128/KPU-Kab/X/2018 tentang Penghitungan Suara dari
Setiap Distrik di Tingkat Kabupaten dalam Pilbup Kabupaten Deiyai,
mendiskualifikasi Paslon Nomor Urut 1 karena melakukan pelanggaran
terstruktur, sistematis, dan masif.
Dimana dalam pemungutan suara ulang yang diputus Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 35/PHP.BUP-XIV-
2018 dinyatakan bahwa terdapat beberapa pelanggaran, yaitu:
1. Termohon tidak bersikap independen dengan berpihak kepada
pasangan calon nomor urut 1; Ateng Edowai-Hengky-Pigai.
2. KPU Kabupaten Deiyai melakukan pemberhentian antar waktu
terhadap penyelenggara pemilihan ditingkat kampung.
3. Termohon memanipulasi hasil kesepakatan kampung komaoto distrik
kapiraya yang memberikan suara sebanyak 1208 suara kepada
pemohon.
4. Dengan menggunakan kekerasan dan intimidasi termohon beserta
pasangan calon nomor urut1; Ateng Edowai-Hengky-Pigai
memanipulasi kesepakatan masyarakat kampung deiyai 1, distrik tigi
barat yang memberikan suara sebanyak 2000 suara kepada pemohon.
Selain itu, pemohon juga meminta Mahkamah untuk menetapkan
perolehan suara hasil Pilkada Kabupaten Deiyai Tahun 2018 yang benar
menurut pemohon, yaitu Ateng Edowai dan Hengky Pigai (paslon nomor
urut 1) memperoleh 17.605 suara, Keni Ikamou dan Abraham Tekege
40
(Paslon Nomor Urut 2) memperoleh 7.548 suara, Dance Takimai dan Robert
Dawapa (paslon nomor urut 3) memeroleh 15.226 suara, dan pemohon
memperoleh 20.619 suara.
Menurut Peneliti, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1)
Undang Undang Dasar 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta juga Pasal 12
ayat (1) huruf d Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan tentang Pemilihan Umum
Mahkamah juga pernah memutus terkait perkara sengketa PHPUD, dengan
pertimbangan hukum bahwa dalam mengawal konstitusi Mahkamah tidak
dapat membiarkan dirinya oleh keadilan prosedural semata-mata, melainkan
juga keadilan substansial Bahwa perkara yang diajukan oleh Pemohon ini
nadalah perkara mengenai Sengketa Hasil Pemilihan Umum Kepada Daerah
dan Wakil Kepala Daerah Tingkat Kabupaten Deiyai tahun 2018 beserta
segala pelanggaran hukum terhadap asas-asaas Pemilihan Umum yang
langsung, jujur, adil, bebas dan rahasia sesuai dengan Pasal 2 Undang-
Undang RI Nomor 7 tahun 201754
Terkait dengan itu, pihaknya sudah mengajukan gugatan ke
Mahkamah Knstitusi (MK) yang saat ini sedang dalam proses. Karena itu ia
meminta agar proses pemilukada Putaran II distop sebelum ada jawaban dari
MK. Selanjutnya meminta kepada KPU Provinsi Papua segera
menikdaklanjuti Surat Panwas Pusat membentuk Dewan Kehormatan KPU
54
Ramlan Surbakti, Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum (Jakarta: Kemitraan,2008),
halaman 23.
41
Papua untuk memeriksa dugaan pelanggaran hukum dan kode etik, lalu
memberikan klarifikasi kepada semua pihak. Selanjutnya melakukan PAW
kepada Ketua dan anggota KPU Deyiai. Sehingga pemilukada ulang bisa
dimulai dari tahap verifikasi. Sebab jika Pilkada putaran II dipaksakan akan
menjadi preseden buruk. “Sama saja kita meletakkan dasar yang buruk
untuk Pilkada ke Deiyai, yang akan berdampak pada kelangsungan
pembangunan ke depan di Kabupaten Deyiai. Sebaliknya, jika ini dimulai
dari awal (diulang) dengan cara yang benar berarti pemerintah meletakkan
pondasi yang benar, dengan demikian apa yang dicita-citakan rakyat yaitu
kehidupan yang sejahtera dapat tercapai.55
Jika proses Pilkada ini dilakukan secara benar, maka siapun yang
terpilih nantinya harus didukung semua pihak, sebab itulah yang terbaik
dari semua kandidat. Hal ini juga bisa membuktikan bahwa Intelektual
Deiyai bisa melaksanakan Pilkada yang benar sama dan sejajar dengan
daerah lainnya di Indonesia. Karena itu, untuk menjamin kepastian hukum
kedepan, Pilkada Deiyai harus dilaksanakan lembaga penyelenggara KPU
yang bersih, menjalankan pesta demokrasi sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku, sehingga produk yang terpilih merupakan putra-
putra terbaik Deiyai yang didukung masyarakat Kabupaten Deiyai di atas
pemilihan yang adil dan bermartabat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap event Pilkada turut serta
berimplikasi kepada beragam tindak pelanggaran pemilu, kekisruhan dalam
pelaksanannya, serta juga menimbulkan kondisi yang tidak aman bagi
55
Ibid.
42
masyarakat. Hal ini merupakan kerawanan yang kerap kali muncul dan
terjadi dari setiap momen-momen politik seperti ini. Namun kita tidak dapat
alergi terhadap hal-hal yang semacam ini, karena bagaimanapun inilah
tantangan besar yang mau tak mau akan dihadapi oleh suatu negara dalam
membangun demokrasi yang baik.56
KPU mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan Pemilu
berdasarkan ketentuan Pasal 22E UUD 1945 ayat (5) yang menyebutkan:
“Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Dengan demikian, KPU merupakan
sebuah alat perlengkapan negara atau institusi yang melaksanakan kegiatan
pemerintahan, dalam hal ini adalah menyelenggarakan Pemilihan Umum.
Untuk menyelenggarakan Pemilu, KPU memiliki wewenang menerbitkan
peraturan dan keputusan dalam lingkup tahapan penyelenggaraan pemilihan
umum, yaitu tahap sebelum pemungutan suara (pre-electoral period), tahap
saat pemungutan suara (electoral period) dan tahap setelah berlangsungnya
pemungutan suara (post-electoral period).57
Pelaksanaan tahapan-tahapan tersebut harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (general
principle of good administration). Keputusan penyelenggaraan pemilihan
umum termasuk administratievebeschikking dan merupakan perbuatan
hukum publik bersegi satu (eenzijdige publikrechtelijke handeling).Namun
demikian, keputusan KPU dapat dibedakan menjadi keputusan hasil
pemilihan umum (the election result decision) dan keputusan bukan hasil
56
Ibid. 57
Ibid.
43
pemilihan umum (the election unresult decision). Hal ini terkait dengan
kewenangan lembaga yang menangani sengketanya. Keputusan hasil
pemilihan umum (the election result dispute) menjadi wewenang
Mahkamah Konstitusi, sedangkan sengketa keputusan bukan hasil
pemilihan umum (the election unresult dispute) menjadi wewenang
Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung.58
Selanjutnya pengertian pelanggaran administrasi Pemilu adalah
pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang
berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu di luar tindak pidana Pemilu dan pelanggaran kode
etik penyelenggara Pemilu. Dengan demikian dari seluruh tahapan tersebut,
ketika ada tata cara, prosedur, atau mekanisme yang dilanggar, dapat disebut
dengan pelanggaran administrasi Pemilu.59
Sengketa tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang timbul
antara: KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos
verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan
Partai Politik Peserta Pemilu. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/
Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/ kota yang dicoret dari daftar calon tetap.60
58
Ibid. 59
Nasir, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Djambatan, 2003), halaman
7. 60
Ibid.
44
B. Proses Penyelesaian Pelanggaran Pilkada Kabupaten Deiyai Ditinjau
Dari Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu.
Sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan
daftar calon tetap Kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Pemilu
berada pada Bawaslu yang dapat mendelegasikannya kepada Bawaslu
Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas
Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Bawaslu memeriksa
dan memutus sengketa Pemilu paling lama 12 (dua belas) hari sejak
diterimanya laporan atau temuan. Penyelesaian sengketa Pemilu oleh
Bawaslu dilakukan melalui tahapan:61
1. Menerima dan mengkaji laporan atau temuan.
2. Mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai
kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa
Bawaslu memberikan alternatif penyelesaian kepada pihak yang
bersengketa. Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa Pemilu
merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap
sengketa Pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta
Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota. Sengketa Pemilu yang berkaitan dengan verifikasi
Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diselesaikan terlebih dahulu di
Bawaslu. Dalam hal sengketa Pemilu yang berkaitan dengan verifikasi
61
Ramlan Surbakti, Transformasi Bawaslu dan Partisipasi Masyarakat Dalam
Pengawasan Pemilu,Op.Cit.
45
Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD dan
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tidak dapat diselesaikan, para
pihak yang merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan KPU dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan tinggi tata usaha negara.
Seluruh proses pengambilan keputusan Bawaslu wajib dilakukan melalui
proses yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa Pemilu diatur dalam
Peraturan Bawaslu.62
Penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan amanat Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diemban
Bawaslu dalam menegakkan keadilan pemilu. Putusan yang ditetapkan
harus sesuai dengan amanat undang-undang demi tegaknya keadilan pemilu
itu sendiri.Sengketa di Bawaslu Provinsi atau Panwaslu Kabupaten/Kota
dapat diselesaikan melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN)
sesuai dengan ketentuan undang-undang. Ada dua implikasi penting dalam
konteks ini terkait dengan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu.
Pertama, Bawaslu RI tidak bisa campur tangan langsung dalam penyelesain
sengketa yang ditangani jajaran dibawahnya, sehingga Bawaslu RI harus
menempuh mekanisme tidak langsung dalam melakukan pembinaan pada
jajaran dibawahnya seperti melalui penerbitan Peraturan Bawaslu No 8
tahun 2015 tentang Penyelesaian Sengketa Pemilihan, atau melalui
penguatan kapasitas melalui pelatihan dan bimbingan teknis. Bawaslu juga
dapat melakukan pembinaan dengan menggunakan mekanisme
62
Ibid.
46
mengirimkan tim ahli untuk mem-backup jajarannya dalam menyelesaikan
sengketa pemilihan. Kedua, kapasitas dan kapabilitas ketua dan anggota
Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota akan sangat menentukan
kualitas penyelesaian sengketa pemilu, padahal tidak semua anggota
bawaslu provinsi dan panwaslu Kabupaten/kota memiliki pengalaman
dalam penyelesaian sengketa pemilu. Penyelesaian sengketa pemilu tidak
hanya membutuhkan pengetahuan yang memadai tapi juga skill yang cukup
untuk bernegosiasi dan mengelola kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan.63
Kedudukan Hukum Bahwa karena Pemohon adalah sebagai Pasangan
Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemilukada
Kabupaten Deiyai Tahun 2018 yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten Deiyai sebagai salah satu pasangan calon peserta dalam
Pemilukada Kabupaten Deiyai Tahun 2018 dan para Pemohon merasa
kepentingannya dirugikan, maka sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf a
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2008
tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Kepala Daerah, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan
sah-sah saja Pemohon mengajukan permohonan keberatan kepada
Mahkamah Konstitusi. Untuk itu terhadap dalil Pemohon yang terkait
dengan kedudukan hukum (legal standing) tidak perlu Pihak Terkait jawab
atau tanggapi, dan Pihak Terkait menyerahkan kepada Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi untuk menilai -apakah Pemohon memiliki kedudukan
63
Ibid.
47
hukum (legal standing) atau tidak dalam perkara ini. Tenggang Waktu
Pengajuan Permohonan Terkait dengan tenggang waktu mengajukan
permohonan keberatan ke Mahkamah Konstitusi telah diatur secara tegas
dan jelas dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Terhadap
apakah Pemohon dalam mengajukan permohonanya telah sesuai dengan
ketentuan hukum yang ada atau tidak, dan atau telah sesuai dengan tenggang
waktu pengajuan permohonan atau tidak. Dalam hal ini Pihak terkait
mempercayakan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,
untuk menilainya. Pihak Terkait yakin bahwa Mahkamah Konstitusi akan
menerapkan hukum secara konsisten dalam pelaksanaannya, dalam
pengertian jika permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemohon telah
lewat waktu atau telah melampaui tenggang waktu yang diberikan oleh
Undang-Undang, maka dengan sendirinya Mahkamah Konstitusi akan
secara konsisten menolaknya.64
a. Dalam Objek Permohonan Dalam Eksepsi: Permohonan Permohon
tidak jelas atau bersifat kabur (obscuur libel).
b. Bahwa substansi permohonan Pemohon tidak termasuk objek
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah karena keberatan
yang diajukan tidak mengamanatkan ketentuan Pasal 106 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, ketentuan Pasal 74 dan Pasal
75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, dan ketentuan Pasal 4
64
Putusan di Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PHPU.D-X/2012.
48
ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 15 Tahun 2008, yang pada
pokoknya menentukan objek sengketa dalam Pilkada di Mahkamah
Konstitusi adalah hanya keberatan berkenaan dengan hasil
penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon",
oleh karena itu sudah sepantasnyalah keberatan dari Pemohon ini
untuk ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima karena
permohonan Pemohon sangat ilusi dan kabur (obscuur libel) bahkan
cenderung dipaksakan untuk dijadikan dasar diajukannya permohonan
keberatan ini oleh Pemohon (vide Bukti PT-1).
c. Bahwa Pihak terkait memandang objek keberatan Pemohon kabur dan
tidak jelas karena Pemohon sama sekali tidak mempersoalkan hasil
penetapan perhitungan suara, namun hanya mempermasalahkan
proses distribusi administrasi Pemilukada di Kabupaten Deiyai.
Bahwa karena tidak jelasnya objek keberatan Pemohon, sudah
sepatutnyalah Majelis Mahkamah Konstitusi yang mulia untuk
menyatakan tidak diterimanya permohonan Pemohon a quo Dalam
Pokok Permohonan .
d. Bahwa Pihak Terkait menolak seluruh dalil-dalil Pemohon yang
dikemukakan pada permohonannya kecuali yang diakui secara tegas
oleh Pihak Terkait di dalam tanggapan ini.
e. Bahwa Pihak terkait menyatakan bahwa Termohon telah
melaksanakan tahapan Pemilukada Kabupaten Deiyai dengan
konsisten dalam menjalankan semua tahapan dari mulainya
49
pendaftaran sampai dengan pelaksanaan rekapitulasi penghitungan
suara ditingkat TPS sampai dengan Tingkat Kabupaten.
f. Bahwa dengan mengendepankan asas Pemilu yang Jurdil, Termohon
telah mengumumkan hasil perolehan suara untuk masing-masing.
g. Bahwa dengan hasil perolehan suara maka Pihak Terkait berhak untuk
lolos ke puturan kedua dengan total suara yang diraih.
h. Bahwa Pemohon memposisikan dirinya sebagai dukun Pilkada yang
dapat menerawang tanpa ada fakta dan bukti yang akurat.
i. Bahwa hilangnya suara Pemohon itu ditingkat mana dan dilakukan
dengan cara apa dan oleh siapa, serta dialihkan kepada siapa tidak
disebutkan dengan detail.65
65
Putusan di Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PHPU.D-X/2012.
50
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
a. Jenis Pelanggaran Dalam Pilkada Kabupaten Deiyai Provinsi Papua
ditinjau dari Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu
adalah pelanggaran yang berhubungan dengan Sengketa Pilkada Hasil
Pemilihan Umum Kepada Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tingkat
Kabupaten Deiyai tahun 2018. Rekapitulasi dilakukan tidak pada
blangko rekapitulasi, hasil penghitungan suara tidak ditanda tangani
oleh saksi- saksi pasangan calon, serta tidak dapat mengajukan
keberatan secara resmi pada blangko keberatan maka didalam suasana
yang penuh teror, intimidasi, money politic, keberpihakan pelaksana
Pilkada pada pasangan kandidat tertentu. Sehingga perkara yang
diajukan oleh Pemohon ini adalah perkara mengenai Sengketa Hasil
Pemilihan Umum Kepada Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tingkat
Kabupaten Deiyai tahun 2018 telah terjadi pelanggaran hukum terhadap
asas-asas Pemilihan Umum yang langsung, jujur, adil, bebas dan
rahasia sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2017.
b. Proses Penyelesaian Pelanggaran Pilkada Kabupaten Deiyai Provinsi
Papua ditinjau dari Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2017 Tentang
Pemilu adalah dengan mengajukan permohonan ke Mahkamah
Konstitusi. Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan
sah-sah saja Pemohon mengajukan permohonan keberatan kepada
Mahkamah Konstitusi. Untuk itu terhadap dalil Pemohon yang terkait
51
dengan kedudukan hukum (legal standing) tidak perlu Pihak Terkait
jawab atau tanggapi, dan Pihak Terkait menyerahkan kepada Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menilai -apakah Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) atau tidak dalam perkara ini.
B. Saran
a. Pengaturan mengenai penyelenggara pilkada hendaknya dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh, baik oleh peserta pemilukada maupun
penyelenggara pemilukada.
b. Penyelenggara pilkada harus lebih mengerti, memahami tugas pokok,
fungsi dan tanggung jawab dalam mengemban tugasnya dalam
terselenggaranya pilkada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
52
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku
Ali Zaenudin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: P.T.Sinar Grafika, 2010.
Abdullah Rozali. Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitam (Pemilu
Legislatif). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009.
Arbas Cakra. Jalan Terjal Calon Independen pada Pemilukada di Provinsi
Aceh. Jakarta; Sofmedia, 2012.
Asshiddiqie Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi. Jakarta: BIP, 2008.
Faudi, Munir. Perbuatan Melawan Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 2002.
HAW Widjaja. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: Rajawali
Pers, 2014.
J. Prihatmoko Joko. Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Filosofi, Sistem
dan Problema Penerapan di Indonesia). Semarang: Pustaka Pelajar,
2005.
Muhammad Al-Iman Abu Nashr. Membongkar Dosa-dosa Pemilu. Jakarta,
Prisma Media, 2004.
Nasir. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Djambatan.
2003.
Natabaya, HAS. Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Jakarta:
Tatanusa. 2008.
Projodikoro, Wirjono. Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung :Sumur,
2004.
Soekanto, Soerjono. Mengenal Sosiologi Hukum. Bandung : Alumni, 2006.
Suharizal. Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang.
Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 2011.
Surbakti, Ramlan. Transformasi Bawaslu dan Partisipasi Masyarakat
Dalam Pengawasan Pemilu. Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan
Tata Pemerintahan, 2015.
Thaib Dahlan. Ketatanegaraan Indonesia Perspektif Konstitusional.
Yogyakarta: Total Media 2009.
53
Van Kan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT Pembangunan Ghalia
Indonesia, 2002.
Zulkarnain, Sirajuddin . Komisi Yudisial dan Eksaminasi publik. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2006.
b. Perundang-undangan
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Jakarta, 2002.
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Nomor 39 Tahun1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Jakarta, 1999.
c. Jurnal
Lusy Liany, Desain Hubungan Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan
Umum, Jurnal Cita Hukum,Volume 4, Nomor 1Juni 2016, halaman
52.
Yusdianto, Identifikasi Potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah
(Pemilukada) dan Mekanisme Penyelesaiannya, Jurnal Konstitusi
Vol II nomor 2, November 2010.
d. Website
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan Umum diakses tanggal 2 Februari
2019.
.