Analisis Dampak Perubahan Iklim Berdasarkan Kenaikan Muka ...
USAID/INDONESIA KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM …
Transcript of USAID/INDONESIA KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM …
SEPTEMBER 2017 Dokumen ini disusun oleh tim konsultan Management Systems International untuk dikaji oleh United States
Agency for International Development.
USAID/INDONESIA
KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP
PRODUKTIVITAS APEL DAN DURIAN
DI PROVINSI JAWA TIMUR
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur i
Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Provinsi Jawa Timur
Indonesia Monitoring & Evaluation Support Project
PERNYATAAN
Pandangan dan pendapat penulis didalam dokumen ini tidak mencerminkan pandangan dan pendapat dari
United States Agency for International Development ataupun Pemerintah Amerika Serikat.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur ii
EXECUTIVE SUMMARY
Durian and apple are popular fruits in Indonesia. One of the largest contributors to national durian and
apple production is East Java Province. In 2013 and 2014, the province was the first- and second-largest
producer respectively, of these fruits. Research shows that climate change is one of the factors that
influences apple and durian production . Changes in climate variables trigger floods, drought, and
incidences of pests and diseases – all of which lead to yield losses and lower plant productivity. Average
temperature, relative humidity, rainfall, and other climatic factors have been changing over recent years,
thus affecting plant growth. It is therefore important to have effective adaptation strategies to reduce
negative impacts of climate change on fruit production. However, there is limited research on fruit plant
yield losses from pests and diseases. Current research mostly discusses floods and droughts. This
assessment aims to analyze impacts of climate change on apple and durian productivity in East Java,
including on the incidences of pests and diseases and drought levels.
This assessment was conducted in four subdistricts: Bumiaji and Wonosalam for apples, and Poncokusumo
and Ngantang for durian. Variables examined included crop production, pest populations and attacks,
disease intensity, soil composition, evapotranspiration, temperature, relative humidity, and rainfall. This
assessment uses mainly macroclimate data due to incomplete microclimate data. Macroclimate data was
collected from www.worldweatheronline.com and BMKG. Reliable secondary production data were not
available. Production data analogies cannot be created because production data were not available.
Scientific reports and government documents were used to support the analysis.
This assessment found that:
1. Between 2009-2017 in research areas, average annual temperatures increased 1-2C, rainfall
fluctuated, and humidity decreased from 80% to 78%-65%. These increasing annual temperatures
are not suitable for apples, which should be grown in a climate of around 220C. Average humidity
and rainfall were suitable to grow apples and durian. However, long periods of rain hamper growth.
2. There was a significant relationship between apple production and increased average annual
temperature. Additionally, long rain periods delayed the flowering phase of apples in Bumiaji and
Poncokusumo, leading to decreased production. To adapt, farmers moved apple plantations to
areas with higher altitude (≥ 1000m). They also planted apple varieties that can grow in higher
temperatures, planted other fruit crops such as oranges, and used organic matter to fertilize soil.
3. The increase in temperatures has not affected durian production in Ngantang and Wonosalam.
However, similar to apples, long rain periods caused flowering to fail and led to declining
production. To avoid flowering failures, durian farmers planted local varieties with high tolerance
to longer rain periods.
4. Regarding pests, scale insects were the most problematic insect attacks in apple plantation areas
in both Bumiaji and Poncokusumo. The rate of attack was influenced by increasing temperatures.
This insect grows well in temperatures of 23-27,5 ºC with 70-80% humidity. Bitter rot and
marsonina were the two main diseases found in apples, and their incidences were highly influenced
by temperature, rainfall, and humidity.
5. No serious pests or disease attacks were found in durian plantations in Wonosalam and Ngantang.
6. Based on evapotranspiration values (ET0), the level of drought in all research locations was
moderate. The ET0 ranged from 2-5, indicating good soil water-holding capacity.
7. The composition of soil organic matter in all research locations indicated that soil fertility was
suitable for growing fruit plants. Most farmers in the research areas used organic materials to
increase soil fertility.
Based on these findings, the assessment makes the following recommendations:
1. Plant apples at higher altitudes (≥ 1000 m) to adapt to increases in average temperature, such as
in Bumiaji and Poncokusumo, and to the higher frequency and scale of insect attacks.
2. Use local durian varieties such as ‘sepanjang tahun’ to avoid flowering failure during long rainy
periods.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur iii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Apel dan durian adalah buah-buahan populer di Indonesia. Salah satu penghasil utama kedua komoditas ini
adalah Jawa Timur. Pada tahun 2013 , provinsi ini menjadi penghasil apel dan durian terbesar di tingkat
nasional, dan tahun 2014 menjadi yang kedua. Berbagai penelitian menemukan bahwa perubahan iklim
adalah salah satu faktor yang mempengaruhi produksi apel dan durian . Perubahan variable iklim dapat
memicu banjir, kekeringan dan peledakan hama dan penyakit . Kejadian tersebut dapat menggagalkan panen
dan menurunkan produktivitas tanaman. Rata-rata suhu, kelembaban relatif, curah hujan dan faktor iklim
lainnya mengalami perubahan dalam beberapa tahun terakhir ini. Oleh karena itu, diperlukan strategi
adaptasi yang efektif untuk mengurangi gagal panen dari peledakan hama dan penyakit. Penelitian yang ada
sebagian besar fokus pada akibat banjir dan kekeringan terhadap produksi. Kajian ini bertujuan menganalisa
dampak perubahan iklim terhadap produktivitas apel dan durian di Jawa Timur, dan kaitannya dengan
peledekan hama dan penyakit, serta kekeringan dan banjir.
Kajian ini dilakukan di empat kecamatan, yaitu Bumiaji dan Wonosalam untuk Aple, dan Poncokusumo dan
Ngantang untuk durian. Variabel yang dikaji terdiri dari produksi, popilasi dan serangan hama, intensitas
serangan penyakit, komposisi tanah, evapotranspirasi, suhu, kelembaban relatif, dan curah hujan. Kajian ini
hanya menggunakan data makro klimat, dikarenakan ketidaklengkapan data sekunder yang ada. Data
Makroklimat diperoleh dari www.worldweatheronline.com dan BMKG. Analogi data produksi apel dan
durian tidak dapat dilakukan dikarenakan ketiadaan data primer. Untuk mendukung penelitian, digunakan
laporan kajian ilmiah dan laporan pemerintah.
Hasil kajian menunjukkan bahwa:
1. Pada periode 2009-20017, di area penelitian, terjadi peningkatan rata-rata curah hujan tahunan
sebesar 1-20C, fluktuasi curah hujan, dan penurunan kelembaban relatif dari 80% menjadi 78-65%.
Peningkatan suhu tersebut tidak sesuai untuk pertumbuhan apel yang tumbuh dengan baik pada
kisaran 220C. Sementara, rata-rata kelembaban dan curah hujan masih sesuai. Namun, lama
periode hujan mempengaruhi pertumbuhan apel. Seperti ditemui di Bumiaji dan Poncokusumo,
periode hujan panjang menggagalkan fase pembungaan apel yang pada akhirnya menurunkan
produksi.
2. Terdapat hubungan yang signifikan antara produksi apel dan peningkatan rata-rata suhu tahunan.
Petani beradaptasi terhadap kejadian ini dengan memindahkan perkebunan apel ke area dengan
altitud lebih tinggi yaitu ≥ 1000m. Mereka juga menanam varietas apel lain yang dapat tumbuh
dalam cuaca lebih hangat, atau menanam tanaman lain seperti jeruk, serta meningkatkan kesuburan
tanah dengan bahan organik.
3. Kenaikan rata-rata tahunan suhu tidak mempengaruhi produktivitas durian di Ngantang dan
Poncokusumo. Namun, seperti pada apel, periode hujan panjang menggagalkan fase pembungaan
durian. Untuk mengatasi gagal pembungaan, petani menanam varietas durian lokal bernama
“sepanjang tahun” yang memiliki toleransi tinggi terhadap periode hujan panjang.
4. Terkait hama dan penyakit, skala serangan hama telah mengganggu pertumbuhan apel baik di
Bumiaji maupun Poncokusumo. Skala serangan tersebut dipengaruhi oleh kenaikan suhu. Serangga
berkembang baik pada kisaran 23-27.50C, dan kelembaban 70-80%. Selain itu, penyakit yang banyak
ditemui di area penelitian adalah busuk pahit dan marsonina yang perkembangannya juga
dipengaruhi oleh suhu, curah hujan dan kelembaban.
5. Serangan hama dan penyakit tidak ditemukan mempengaruhi produktivitas durina baik di
Wonosalam maupun Ngantang.
6. Berdasarkan niai evapotranspirasi, tingkat kekeringan di seluruh area penelitian ada dalam skala
moderat. Nilai ET0 2-5, menunjukkan kapasitas penyimpanan air yang baik.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur iv
7. Komposisi bahan organik tanah di seluruh area penelitian mengindikasikan kondisi subur yang
sesuai untuk pertumbuhan tanaman buah. Sebagian besar petani di area penelitian menggunakan
bahan organik untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Berdasarkan temuan, direkomendasikan untuk:
1. Menanam apel di area dengan ketinggian atau altitud ≥ 1000m sebagai adaptasi terhadap perubahan
suhu, dan peningkatan skala serangan hama dan penyakit, seperti ditemukan di Bumiaji dan
Poncokusumo.
2. Menanam durian lokal “sepanjang tahun” untuk menghindari kegagalan pembungaan akibat periode
hujan panjang.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur v
AKRONIM
A.S.L. Above Sea Level
BPS Biro Pusat Statistika
DD Day-degrees
Dirjen Direktorat Jenderal
D.P.L. Diatas Permukaan Laut
ENSO El Nino-Southern Oscillation
EPA Environmental Protection Agency, United State
EPPO European Mediteranean Plant Protection Organization
ET0 Evapotranspiration under normal condition
ETPM Evapotranspiration Penman Monteith
FAO Food and Agriculture Organization
IPCC Intergovermental Panel for Climate Change
HPT Hama dan Penyakit Tanaman
Kementan Kementerian Pertanian
PET Potential Evapotranspiration
POPT Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman
PPL Penyuluh Pertanian Lapangan
USD United State Dollar
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur vi
DAFTAR ISI
Executive Summary ........................................................................................................................................................... ii Ringkasan Eksekutif .......................................................................................................................................................... iii Akronim ............................................................................................................................................................................... v Daftar Gambar ................................................................................................................................................................. vii Daftar Tabel ....................................................................................................................................................................... ix 1. Pendahuluan ............................................................................................................................................................... 1 2. Tujuan Kajian ............................................................................................................................................................. 2 3. Pertanyaan Kajian...................................................................................................................................................... 2 4. Lokasi Kajian .............................................................................................................................................................. 2 5. Kajian Literatur.......................................................................................................................................................... 3
5.1. Kekeringan, banjir dan ledakan hama dan penyakit ....................................................................................... 3 5.2. Syarat Tumbuh Apel dan Durian ....................................................................................................................... 5
6. Metodologi ...................................................................................................................................................................... 6
6.1. Data .......................................................................................................................................................................... 6 6.2. Analisis Data ........................................................................................................................................................... 6 6.3. Responden .............................................................................................................................................................. 7 6.4. Limitasi ..................................................................................................................................................................... 7
7. Hasil dan Pembahasan .................................................................................................................................................. 8
7.1. Suhu, Curah Hujan dan Kelembaban ................................................................................................................ 8 7.2. Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian ........................................................ 13
7.2.1. Apel ................................................................................................................................................................. 13 7.2.2. Durian ............................................................................................................................................................ 15
7.3 Dampak Perubahan Iklim terhadap Hama dan Penyakit Tanaman Apel dan Durian ............................ 16
7.3.1. Apel ................................................................................................................................................................. 16 7.3.2. Durian ............................................................................................................................................................ 20
7.4. Dampak Perubahan Iklim terhadap Kekeringan dan Kesuburan Tanah ................................................. 20
8. Perubahan Praktik Budidaya Petani ......................................................................................................................... 24 9. Kesimpulan .................................................................................................................................................................... 25 10. Rekomendasi .............................................................................................................................................................. 26 Daftar Pustaka .................................................................................................................................................................. 27 Lampiran 1: Kerangka Analisa ....................................................................................................................................... 30 Lampiran II: Rencana Kerja ............................................................................................................................................ 32 Lampiran III: Data ............................................................................................................................................................. 33
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Perubahan suhu rerata, minimum dan maksimum pada periode tahun 2009 – 2017 di
Poncokusumo, Kabupaten Malang (Worldweatheronline, 2017a) ................................................................. 8
Gambar 2. Perubahan suhu rerata, minimum dan maksimum pada periode tahun 2009 – 2017 di Kota
Batu ................................................................................................................................................................................ 8
Gambar 3. Perubahan curah hujan dan jumlah hari hujan pada periode tahun 2009 – 2017 di
Poncokusumo, Kabupaten Malang (Worldweatheronline, 2017a) ................................................................. 9
Gambar 4. Perubahan curah hujan dan jumlah hari hujan pada periode tahun 2009 – 2017 di Kota Batu
(Worldweatheronline, 2017b) ................................................................................................................................ 9
Gambar 5. Perubahan persentase awan dan kelembaban pada periode tahun 2009 – 2017 di
Poncokusumo, Kabupaten Malang (Worldweatheronline, 2017a) ............................................................... 10
Gambar 6. Perubahan persentase awan dan kelembaban pada periode tahun 2009 – 2017 di Kota Batu
(Worldweatheronline, 2017b) .............................................................................................................................. 10
Gambar 7. Perubahan suhu rerata, minimum dan maksimum pada periode tahun 2009 – 2017 di
Ngantang, Kabupaten Malang (Worldweatheronline, 2017c) ........................................................................ 11
Gambar 8. Perubahan suhu rerata, minimum dan maksimum pada periode tahun 2009 – 2017 di
Wonosalam, Kabupaten Jombang (Worldweatheronline, 2017d)................................................................ 11
Gambar 9. Perubahan curah hujan dan jumlah hari hujan pada periode tahun 2009 – 2017 di Ngantang,
Kabupaten Malang (Worldweatheronline, 2017c) ........................................................................................... 12
Gambar 10. Perubahan curah hujan dan jumlah hari hujan pada periode tahun 2009 – 2017 di
Wonosalam, Kabupaten Jombang (Worldweatheronline, 2017d)................................................................ 12
Gambar 11. Perubahan persentase awan dan kelembaban pada periode tahun 2009 – 2017 di Ngantang,
Kabupaten Malang (Worldweatheronline, 2017c) ........................................................................................... 13
Gambar 12. Perubahan persentase awan dan kelembaban pada periode tahun 2009 – 2017 di
Wonosalam, Kabupaten Jombang (Worldweatheronline, 2017d)................................................................ 13
Gambar 13. Hubungan suhu dan curah hujan dengan produksi apel pada periode 1998-2012 di
Poncokusumo, Kabupaten Malang. ....................................................................................................................... 14
Gambar 14. Produksi durian selama periode 2011 hingga 2016 di Kabupaten Malang dan Jombang .......... 15
Gambar 15. Hubungan suhu udara dan populasi kutu sisik pada tanaman apel di Tulungrejo dan Binangun.
...................................................................................................................................................................................... 17
Gambar 16. Hubungan kelembaban relatif udara dan populasi kutu sisik pada tanaman apel di Tulungrejo
dan Binangun. ............................................................................................................................................................ 17
Gambar 17. Fluktuasi nilai Potensial Evapotranspirasi (ET0) pada tahun 2009 dan 2016 ............................... 21
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur viii
Gambar 18. Rerata Potensial Evapotranspirasi (ET0) antara 2009 dan 2016..................................................... 21
Gambar 19. Nilai Potensial Evapotranspirasi (PET atau ET0) Tahun 2017 ......................................................... 22
Gambar 20. Hubungan antara Koefisien Tanaman pada fase awal pertumbuhan (Kc ini), Potensial
Evapotranspirasi (ETo) dan interval irigasi untuk semua jenis tanah pada saat waktu pengairan pada
kisaran ringan sampai menengah (3-10 mm per kejadian). ............................................................................. 22
Gambar 21. Jeruk ditanam berdampingan dengan tanaman apel di Poncokusumo dan di Batu. ................... 24
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kategori, Deskripsi dan Dampak Kekeringan ............................................................................................. 4
Tabel 2. Responden, jumlah dan lokasi penelitian ...................................................................................................... 7
Tabel 3. Jumlah bercak dan luas becak pada daun apel yang terserang Marsonina coronaria ....................... 19
Tabel 4. Hubungan antara faktor iklim dan penyakit Becak daun Marsonina .................................................... 19
Tabel 5. Komposisi nutrisi dan bahan organik dari sampel tanah pada tahun 2013 dan 2017 ...................... 23
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 1
1. PENDAHULUAN
Kenaikan suhu telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini di berbagai wilayah di dunia. Di Indonesia
terjadi kenaikkan suhu rata-rata tahunan sekitar 0,3°C dan curah hujan tahunan menurun 2%-3% (Case et
al., 2007). Selain itu, terjadi perubahan pola curah hujan dimana curah hujan tahunan menurun di wilayah
selatan dan meningkat di wilayah utara. Perubahan tersebut dapat meningkatkan kerentanan terhadap
bencana dan terhadap berbagai sektor seperti pertanian dan perikanan. FAO (2015) melaporkan bahwa
perubahan iklim telah merugikan sektor pertanian di Asia sebesar USD 48 miliar atau 60% dari total
kerugian di semua negara berkembang. Bagi Indonesia, kerugian tersebut tidak hanya mengancam
ketersediaan pangan nasional, tetapi juga mata pencaharian 31% penduduk yang tergantung dari sektor
pertanian (BPS, 2016). Dampak perubahan iklim di sektor pertanian kedepan cenderung timbul dari
peningkatan variabilitas iklim dan peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian ekstrem (Padgham, 2009).
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki potensi besar dalam pengembangan sektor pertanian.
Dua musim di Indonesia, hujan dan kemarau, yang tidak berbatas tegas menjadi alasan berkembangnya
berbagai komoditas pertanian seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan industri maupun
kehutanan secara optimal. Komoditas hortikultura utamanya buah-buahan merupakan komoditas favorit
sumber asupan serat yang tinggi. Selain itu, buah-buahan yang memiliki aroma dan rasa yang khas sering
menjadi pilihan utama bagi konsumen untuk dikonsumsi. Terdapat 26 jenis komoditas buah-buahan yang
populer di Indonesia, diantaranya alpukat, jeruk siam, jeruk besar, mangga, manggis, durian, apel, blewah
dan stroberi (Kementan, 2015). Total produksi tanaman buah tahun 2014 adalah sebesar 19.805.977 ton,
meningkat 8,30 persen dibandingkan tahun 2013 (Kementan, 2015).
Meskipun durian dan apel bukan buah-buahan dengan produksi terbesar di Indonesia, tetapi dua komoditas
ini popular di masyarakat. Jawa Timur merupakan provinsi yang berkontribusi besar terhadap penyediaan
durian dan apel di Indonesia. Tercatat pada tahun 2013 dan 2014, Jawa Timur menjadi provinsi yang
memiliki produksi tertinggi pertama dan kedua (Kementan, 2014; Kementan, 2015). Namun, produktivitas
apel dan durian di Jawa Timur mengalami penurunan. Tahun 2014, produktivitas apel sebesar 107.57
ton/hektar kemudian turun menjadi 101.27 ton/hektar di tahun 2015 (Kementan, 2015). Produktivitas
durian tahun 2013 mencapai 12.39 ton/hektar, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebesar -
14,53 %, namun demikian tahun 2014 produktivitas durian kembali meningkat menjadi 12.68 ton/ha, atau
meningkat sebesar 13,18% (ibid).
Perubahan iklim mempengaruhi produktivitas produksi pertanian dalam beberapa hal seperti seperti banjir,
kekeringan dan gagal panen karena serangan hama dan penyakit tanaman (Estiningtyas et al.,
2012)(Kementerian Lingkungan Hidup, 2012)(Petzoldt and Seaman, 2013)(Ali et al., 2014). Sejauh ini, kajian
terhadap banjir dan kekeringan di Indonesia sering dilakukan, namun masih sedikit kajian yang membahas
pengaruh ledakan populasi hama dan penyakit tanaman (HPT) terhadap kegagalan panen. Oleh karena itu,
diperlukan kajian tentang pengaruh perubahan iklim terhadap produksi serta hama dan penyakit dan pada
tanaman apel dan durian khusus di Jawa Timur. Penelitian terkait HPT banyak dilakukan di beberapa negara
seperti di Kawasan Mediterania (Hódar et al., 2012), Amerika Serikat (Rosenzweig et al., 2000)(Petzoldt
and Seaman, 2013), dan Mexico (Servín and Mendoza, 2014). Penelitian-penelitian tersebut menemukan
bahwa berbagai masalah hama dan penyakit tanaman dipengaruhi beberapa variabel iklim seperti suhu,
kelembaban relatif dan curah hujan (Williams et al., 2000)(Servín and Mendoza, 2014).
Kajian ini fokus pada analisis beberapa variabel iklim terhadap penyebaran hama dan penyakit, kekeringan
dan kesuburan tanah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, perkembangan dan produktivitas apel dan
durian di Kota Batu dan Kabupaten Malang. Kedua daerah tersebut merupakan sentra penghasil apel dan
durian terbesar di Jawa Timur. Selain itu, penelitian ini akan mendeskripsikan pengetahuan petani apel dan
durian akan dampak perubahan iklim terhadap produksi komoditas apel dan durian serta mengidentifikasi
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 2
teknik adaptasi yang diterapkan oleh para petani lokal dalam mengatasi penurunan produksi. Hasil
penelitian diharapkan dapat memberikan pertimbangan dalam merumuskan strategi adaptasi perubahan
iklim terhadap produktivitas apel dan durin.
2. TUJUAN KAJIAN
Tujuan dari penelitian adalah:
1. Mengidentifikasi pengaruh perubahan iklim terhadap produktivitas komoditas buah durian dan apel
dikaitkan dengan praktek budidaya tanaman, dan mengidentifikasi teknologi yang diadopsi oleh
petani setempat dalam mengatasi perubahan iklim yang terjadi.
2. Mengetahui pengaruh perubahan iklim terhadap peningkatan populasi hama dan intensitas serangan
penyakit tanaman durian dan apel yang pada akhirnya menyebabkan penurunan produksi tanaman
3. Mengukur sejauhmana tingkat kesadaran petani terhadap perubahan iklim yang berakibat pada
penurunan produktivitas komoditas buah.
4. Mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kekeringan dan kesuburan tanah.
5. Mengetahui strategi yang dilakukan oleh petani dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim dalam
aspek budidaya, pengelolaan hama tanaman, pengelolaan kekeringan dan kesuburan tanah dan
sosial ekonomi masyarakat.
3. PERTANYAAN KAJIAN
Terdapat lima pertanyaan untuk memandu penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana perubahan iklim berpengaruh pada produktivitas komoditas buah durian dan apel
terkait dengan praktek budidaya tanaman?
2. Apakah perubahan iklim menjadi faktor utama penyebab peningkatan populasi hama dan intensitas
serangan penyakit tanaman durian dan apel yang berdampak akhir pada penurunan produksi
tanaman?
3. Sejauh mana petani memiliki kesadaran tentang bagaimana menghadapi dampak perubahan iklim
terhadap produktivitas komoditas buah?
4. Apakah perubahan iklim menyebabkan dampak pada kekeringan dan kesuburan tanah yang
mempengaruhi produktivitas buah?
5. Apa sajakan strategi yang dilakukan petani terkait dengan adaptasi perubahan iklim dalam aspek
budidaya, pengelolaan hama tanaman, pengelolaan kekeringan dan kesuburan tanah dan sosial
ekonomi masyarakat?
4. LOKASI KAJIAN
Lokasi penelitian apel berada di dua desa, yaitu:
1. Desa Punten, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu
2. Desa Wonorejo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang
Kota Batu dan Kabupaten Malang merupakan sentra budidaya dan pengembangan tanaman apel di Indonesia.
Lokasi penelitian durian juga di dua desa, yaitu:
1. Desa Carang Wulung, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang
2. Desa Sumberrejo Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang.
Baik Kecamatan maupun Kecamatan Ngantang merupakan sentra produksi durian. Desa Carang Wulung
populer dengan Durian Bido, sedangkan Desa Sumberrejo merupakan pusat pengembangan durian lokal.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 3
5. KAJIAN LITERATUR
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca terus menaikkan suhu permukaan dan samudra, mengubah pola
curah hujan, menaikkan permukaan laut, dan meningkatkan frekuensi bencana seperti kebakaran hutan.
Perubahan iklim juga akan terus mempengaruhi variabilitas iklim "alami" Seperti El Niño, dan dapat
menyebabkan cuaca ekstrim yang lebih sering dan lebih intens (Case et al., 2007). Beberapa perubahan
iklim yang terjadi di Indonesia antara lain kenaikkan suhu rata-rata tahunan sebesar 0,3°C, penurunan curah
hujan tahunan sebesar 2% - 3%, dan perubahan pola curah hujan, dimana terjadi penurunan di wilayah
selatan Indonesia dan peningkatan di wilayah utara (Case et al., 2007). Umumnya perubahan iklim
berkontribusi dalam menyebabkan kegagalan panen di sektor pertanian melalui tiga macam bencana yaitu,
banjir, kekeringan dan ledakan hama dan penyakit tanaman. FAO (2015) memperkirakan 84% kerugian
terbesar di sektor pertanian di seluruh dunia disebabkan oleh kekeringan, sedangkan banjir hanya sebesar
15% (FAO, 2015).
5.1. Kekeringan, banjir dan ledakan hama dan penyakit
Ada banyak definisi dan tipe dari kekeringan. Umumnya kekeringan didefinisikan sebagai periode cuaca
kering berkepanjangan yang disebabkan oleh kurangnya presipitasi sehingga mengakibatkan kekurangan air
yang serius untuk beberapa aktivitas, populasi, atau sistem ekologi (EPA, 2016). Kekeringan juga bisa
dianggap sebagai ketidakseimbangan antara presipitasi dan penguapan (EPA, 2016). Istilah kekeringan
dimungkinkan mengacu pada kekeringan meteorologi (curah hujan di bawah rata-rata), kekeringan
hidrologi (aliran sungai bawah dan batas air di sungai, danau dan air tanah), kekeringan pertanian
(kelembaban tanah rendah), dan kekeringan lingkungan (kombinasi berbagai faktor)(IPCC, 2017). Dampak
sosio-ekonomi dari kekeringan dapat timbul dari interaksi antara kondisi alam dan aktivitas manusia, seperti
perubahan penggunaan lahan dan tutupan lahan, serta permintaan dan penggunaan air(IPCC, 2017).
Penarikan air yang berlebihan dapat memperburuk dampak kekeringan (IPCC, 2017).
Seiring peningkatan suhu rata-rata akan terjadi peningkatan laju evaporasi (EPA, 2017). Evaporasi tinggi
menaikkan jumlah air yang tersedia di udara untuk presipitasi, namun memberikan kontribusi terhadap
kekeringan di beberapa wilayah dataran, sehingga mengurangi kelembaban di dalam tanah. Dengan demikian,
banyak daerah mengalami peningkatan curah hujan dan risiko banjir. Daerah yang berada jauh dari jalur
badai mengalami pengurangan presipitasi dan peningkatan risiko kekeringan. Akibatnya, sejak tahun 1950an,
beberapa wilayah di dunia mengalami kekeringan yang lebih lama dan lebih intens, terutama di Eropa Selatan
dan Afrika Barat. Sebaliknya, di wilayah lain frekuensi, intensitas dan periode kekeringan berkurang,
misalnya di Amerika Utara (EPA, 2016).
Kekeringan berdampak negatif pada pada beberapa sektor seperti pertanian, perairan, dan energi.
Dampaknya bervariasi tergantung jenis, lokasi, intensitas, dan durasi kekeringan. Misalnya, dampak pada
sektor pertanian adalah pertumbuhan tanaman yang lambat sehingga menyebabkan gagal panen (EPA, 2016).
Dampak pada sektor perairan berupa pengurangan pasokan air dari tingkat reservoir yang rendah dan arus
kering hingga kekurangan air (EPA, 2016). Sedangkan, dampak kekeringan terhadap enegi adalah rendahnya
supply energi dari pembangkit listrik tenaga air dan tingginya harga energi, seperti yang telah terjadi di
California dan Pacific Northwest pada tahun 2001 (Harto et al., 2011)
Untuk mengukur kekeringan, US-Environmental Protection Agency (EPA) mengembangkan indeks untuk
mengukur tingkat kekeringan dengan melihat presipitasi, kelembaban tanah, aliran sungai, kesehatan
vegetasi, dan variabel lainnya, seperti dijelaskan di Tabel 1.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 4
Tabel 1. Kategori, Deskripsi dan Dampak Kekeringan
Kategori Deskripsi Dampak yang ditimbulkan
D0 Kering tidak
normal
- Menuju kekeringan: kekeringan jangka pendek yang
memperlambat pertumbuhan tanaman pangan atau padang
rumput.
- Keluar dari kekeringan: masih ada defisit air; padang rumput
atau tanaman tidak sepenuhnya pulih.
D1 Kekeringan
moderat
Terdapat beberapa kerusakan pada tanaman pangan atau padang
rumput; debit air sungai, waduk, atau sumur menyusut;
kekurangan air pada beberapa tempat; terjadi pembatasan
penggunaan air
D2 Kekeringan parah Kematian tanaman atau rumput; kekurangan air di banyak tempat;
aturan pembatasan penggunaan air
D3 Kekeringan
ekstrim
Kematian atau kerusakan pada tanaman utama; kekurangan air
secara menyeluruh
D4 Kekeringan luar
biasa
Kerugian panen tanaman atau padang rumput untuk pakan ternak
yang besar dan meluas; kekurangan air di waduk, sungai, dan
sumur, sehingga menciptakan keadaan darurat air.
Sumber: (EPA, 2016)
Selain kekeringan, banjir berkontribusi paling besar terhadap pertanian dan ketahanan pangan. Pada periode
2004-2013, 77% kerugian sektor pertanian di asia disebabkan oleh banjir. Beberapa negara mengalami
kerugian produksi pertanian absolut seperti India dimana 50% kerugian dari total produksi diakibatkan oleh
banjir yang terjadi dari tahun 2004 sampai 2013 (FAO, 2015). Di Indonesia, banjir telah merugikan
komoditas hortikultura, khususnya cabai dan bawang merah, pada tahun 2016 dan 2017 diperkirakan
sebesar 716 milyar dan 280 milyar rupiah (Kementan, 2017). Selain iklim, lahan pertanian berkontribusi
terhadap banjir melalui kondisi tata ruang alamiah dari lahan seperti karakteristik tanah, kondisi iklim dan
topologi yang menentukan permukaan air run-off, dan juga dipengaruhi oleh manajemen tanaman (jenis
tanaman, Jenis budidaya, proses kerja)(Wagner et al., 2009).
Selain berkontribusi pada bencana kekeringan dan banjir, iklim juga berdampak terhadap peningkatan
populasi hama dan patogen penyebab penyakit tanaman. Pemanasan global akan menyebabkan
meningkatnya jumlah hama serangga pada lahan pertanian dan hutan (Rosenzweig et al., 2000)(Williams et
al., 2000)(Karuppaiah and Sujayanad, 2012). Demikian juga dengan peningkatan populasi hama di lingkungan
masyarakat dan vektor serangga penyebab penyakit pada manusia (Quarles, 2001). Perubahan lainnya yang
akan terjadi adalah kisaran inang hama yang semakin luas, gangguan sinkronisasi antara hama dan musuh
alami, dan peningkatan frekuensi peledakan hama. Contohnya, pemanasan global berkontribusi pada wabah
wereng coklat di beberapa wilayah pertanian padi di Asia, dan tingkat keparahan wabah tersebut
kemungkinan akan meningkat jika perubahan iklim membesar (Ali et al., 2014). Di Indonesia, musim
kemarau tahun 2006 menimbulkan kerugian yang besar pada usaha tani cabai di Tegal dan Brebes dimana
pada saat itu populasi sangat tinggi dan kerusakan berat, dan tidak ada pestisida sintetik yang efektif
mengendalikannya (Wiyono, 2010)
Perubahan iklim yang menyebabkan beberapa bencana di sektor pertanian, banyak disikapi oleh petani
melalui beberapa aktivitas budidaya, mulai dari pemilihan varietas, rotasi tanam, peningkatan keragaman
tanaman, pengaturan bedengan, penambahan bahan organik dan berbagai upaya dalam rangka mengatur
kesehatan agroekosistem. Pendekatan ini melahirkan konsep ecologically based pest management,
conservation agriculture maupun integrated pest management (Altieri, 1984)(Altieri and Nicholls, 2003).
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 5
5.2. Syarat Tumbuh Apel dan Durian
Suhu dan curah hujan cenderung berfluktuasi terhadap produktivitas tanaman apel. Peningkatan suhu rata-
rata pada tanaman apel akan berdampak pada tidak tersedianya lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan
dan perkembangan tanaman apel, seperti peningkatan suhu di Kecamatan Bumiaji dan Kecamatan
Poncokusumo relatif sama yaitu 23,10 dan 22,47 pada tahun 2012 yang tercatat lebih tinggi dari rerata
kebutuhan suhu optimum untuk apel yang berada pada kisaran 22C (Sellitasari et al., 2013). Apel
merupakan tanaman buah yang berkembang di daerah beriklim temperate yang memiliki suhu rendah,
seperti di Eropa dan Asia Timur dan Tengah. Pada perkembangannya apel juga ditanam di daerah tropis
khususnya di dataran tinggi seperti Colombia dan Indonesia (Janick et al., 1996). Semakin tinggi suhu di
suatu daerah semakin sulit apel berproduksi. Selain suhu, curah hujan juga menentukan produktivitas apel.
Periode pembungaan apel sangat peka terhadap lamanya hari hujan dan intensitas curah hujan. Curah hujan
yang tinggi saat pembungaan menyebabkan (Sheffield et al., 2016):
1. kerontokan bunga dan calon buah karena hempasan curah hujan dan
2. kelembaban tinggi menyebabkan gagalnya penyerbukan dan gugurnya bunga, dan
3. terganggunya proses penyerbukan alami yang didukung seperti serangga penyerbuk
Perubahan iklim pada akhir-akhir dekade ini menghasilkan periode musim hujan yang panjang seperti pada
tahun 2010-2011 dan 2016-2017 dimana musim hujan cenderung panjang (lebih dari 6
bulan)(Worldweatheronline, 2017) dan berdampak pada gagalnya pembentukan bunga. Hampir semua
pohon hutan dibantu oleh serangga polinator yang melimpah setiap musim, dan sedikitnya daun
memudahkan pada musim kemarau memudahkan serangga polinator untuk menemukan bunga, hal ini tidak
dijumpai pada musim hujan yang panjang (Bawa et al., 2003).
Tanaman apel menghendaki lingkungan tumbuh dengan karakteristik yang spesifik yaitu temperatur rendah,
kelembaban udara rendah dan curah hujan tidak terlalu tinggi. Menurut (Soelarso, 1996) syarat tumbuh
tanaman apel adalah:
1. Curah hujan ideal adalah 1.000-2.600 mm/tahun dengan hari hujan 110-150 hari/tahun. Dalam
setahun banyaknya bulan basah adalah 6-7 bulan dan bulan kering 3-4 bulan.
2. Cahaya matahari yang cukup antara 50-60% setiap harinya, terutama pada saat pembungaan.
3. Temperatur yang sesuai berkisar antara 16-27C (rerata suhu optimum 22C).
4. Kelembaban udara sekitar 75-85%.
5. Ketinggian 700-1200 m dpl dengan ketinggian optimal 1000-1200 m dpl.
Selain faktor iklim, periode produksi buah apel sangat dipengaruhi oleh sistem budidaya. Tanaman apel
dapat berbuah dua kali dalam satu tahun tergantung dari intensitas pemeliharaan yang dilakukan. Pemberian
zat pengatur tumbuh diiringi dengan pemangkasan akan memacu pembungaan dan produksi buah. Namun,
iklim adalah faktor yang tidak dapat dikendalikan.
Berbeda dengan tanaman apel, syarat tumbuh tanaman durian diantaranya (Wijayantoi, 2006; Sobir and
Martini, 2014):
1. durian tumbuh baik pada daerah tropika basah.
2. kunci pertumbuhan durian ada pada kelembaban, optimumnya antara 70%-80%
3. durian dapat tumbuh pada kisaran suhu yang relatif luas, sehingga dapat ditanam di dataran rendah
hingga medium
4. curah hujan ideal adalah lebih dari 2000 mm per tahun dan tersebar merata sepanjang tahun,
dengan lama bulan basah 9-10 bulan per tahun dan musim kering lebih dari 3 bulan akan
mengganggu pematangan buah durian.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 6
5. ketinggian tempat relatih lebar namun beberapa varietas cocok tumbuh pada kisaran 100-500 m
dari permukaan air laut, meskipun banyak juga yang bisa hidup pada dataran tinggi.
6. durian tumbuh baik pada tanah dengan pH netral.
7. untuk menjamin mutu buah durian beberapa hal perlu diperhatikan yakni keunggulan varietas, mutu
benih yang baik, penanaman/pemeliharaan yang baik dan penanganan pasca panen yang memadai.
6. METODOLOGI
6.1. Data
Berdasarkan pertanyaan kajian, terdapat beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu,
produksi tanaman, serangan hama dan penyakit tanaman, bahan organik tanah, nilai PET, suhu, kelembaban,
dan curah hujan, serta pandangan petani terhadap terhadap faktor yang mempengaruhi penurunan produksi
tanaman dan teknologi adaptasi yang diterapkan oleh petani. Detil jenis data yang digunakan dalam kajian
ini dijelaskan pada Lampiran I.
6.2. Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis melalui beberapa metode, yaitu:
1. Analisis Potential Evapotranspiration (PET) menggunakan Estimasi Evapotranspiration Penman-
Monteith (ETPM) (Allen et al., 1998) (McMahon et al., 2013) (Zotarelli et al., 2015) untuk
menentukan tingkat kekeringan. Perhitungan ETPM menggunakan CROPWAT 8.0 yang
dikembangkan oleh Joss Swennenhuis untuk Water Resources Development and Management Service
of FAO (FAO, 2009). Rumus ETPM dijelaskan sebagai berikut:
ETPM= Penman–Monteith potential evaporation (mm day−1 ≡ kgm−2 day−1),
Rn= radiasi bersih pada permukaan vegetasi (MJ m−2 day−1)
G= flux pemanasan tanah (MJ m−2 day−1)
ρa= rerata kepadatan udaran pada tekanan yang normal (kg m−3)
ca= pemanasan spesifik udara (MJ kg−1◦C−1),
(ν*a−νa) = defisit tekanan uap air (kPa)
ra= ketahanan aerodinamis atau atmosfer terhadap transportasi uap air (sm−1) pada kondisi netral
yang stabil.
rs= istilah ketahanan permukaan (sm−1),
λ= pemanasan laten penguapan (MJ kg−1),
= slope kurva tekanan kapasitas penguapan (kPa ◦C−1) pada suhu udara
γ= konstanta psychrometric (kPa ◦C−1)(McMahon et al., 2013).
2. Analisis deskriptif dan visualisasi data menggunakan Sigma Plot 12 (Sigmaplot, 2013).
3. Analisis regresi-korelasi untuk melihat tingkat keeratan hubungan antara variabel iklim dengan
produksi dan hama dan penyakit tanaman tidak dapat dilakukan dengan menggunakan data
sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi. Perhitungan regresi yang dilakukan tim konsultan
berdasarkan data-data tersebut menunjukkan ketiadaan hubungan antara berbagai faktor iklim
dengan produksi maupun hama dan penyakit. p-value untuk suhu, curah hujan dan kelembaban di
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 7
bawah 0.3. Hasil ini bertentangan dengan berbagai literatur dan wawancara dengan para petani di
lokasi penelitian. Validasi dengan instansi pemerintah menyatakan bahwa data-data tersebut
memiliki bias yang cukup tinggi. Untuk itu, digunakan hasil penelitian serupa di lokasi yang memiliki
karakteristik yang sama dengan lokasi pada kajian ini dan diperkuat dengan hasil wawancara dan
diksuis dengan petani responden.
6.3. Responden
Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah acak berdasarkan pada lahan yang berada disekitar
lokasi penelitian di Bumiaji (Kota Batu), Poncokusumo (Kabupaten Malang), Wonosalam (Kabupaten
Jombang), dan Ngantang (Kabupaten Malang). Lahan yang terpilih akan digunakan untuk mendapatkan data
lapangan, sedangkan pemilik atau pengelola lahan akan digunakan sebagai responden. Data yang digali
meliputi data produksi dalam periode waktu 5-10 tahun kebelakang, dan aktual pada saat pengambilan
contoh, metode budidaya dan pemeliharaan yang digunakan, input yang dipakai, luas lahan yang dimiliki dan
serangan hama dan penyakit tanaman.
Tabel 2. Responden, jumlah dan lokasi penelitian Responden Jumlah Lokasi
1. Petani Apel 20 Poncokusumo, Kabupaten Malang
2. Petani Apel 20 Bumiaji, Kota Batu
3. Petani Durian 20 Ngantang, Kabupaten Malang
4. Petani Durian 20 Wonosalam, Kabupaten Jombang
5. PHP (POPT) 1 Wonosalam, Kabupaten Jombang
6. PHP (POPT) 1 Bumiaji, Kota Batu
7. PHP (POPT) 1 Poncokusumo, Kabupaten Malang
6.4. Limitasi
Beberapa limitasi dalam kajian ini adalah:
1. Data iklim yang digunakan adalah data iklim makro di tiap kecamatan di lokasi penelitian. Data iklim
mikro tidak bisa diperoleh secara lengkap dengan hanya menggunakan thermohigrometer yang
dipasang pada tiap-tiap lokasi. Data iklim mikro yang dapat dihitung hanya data suhu dan
kelembaban minimum-maksimum.
Data iklim makro tidak bisa dioptimalkan untuk mengestimasikan kondisi hama dan penyakit
tanaman (HPT), karena iklim mikro yang berperan secara langsung terhadap perubahan kondisi
HPT, namun demikian data iklim makro dioptimalkan untuk menghitung nilai PET. Nilai PET akan
dikaitkan dengan pertumbuhan tanaman dan tingkat kekeringan lahan.
2. Data sekunder hama dan penyakit tanaman beserta tingkat kerusakan serta produksi aktual tidak
bisa diestimasikan dengan tepat karena tidak konsistennya data yang diperoleh. Data produksi
primer durian di seluruh lokasi penelitian tidak tersedia, sedangkan data sekunder dari beberapa
instansi tidak konsisten. Data aktual produksi tidak bisa dicatat pada saat kunjungan lapangan
selama Juni-Juli, karena belum masuk periode panen.Oleh karena itu, data produksi durian tidak
bisa digunakan dalam analisis regresi.
3. Data produksi yang diperoleh dari Pemerintah Daerah tidak konsisten dan variasi data terlalu
besar. Hal ini dikarenakan durian merupakan tanaman yang dikembangkan dengan sistem
agroforestry dan periode panen yang lama. PPL dan POPT di Wonosalam kabupaten Jombang tidak
melakukan pencatatan data produksi. Demikian juga halnya yang terjadi di Ngantang, Kabupaten
Malang.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 8
4. Data suhu dan kelembaban di lokasi penelitian tidak disertai dengan data kecepatan angin dan curah
hujan. Nilai PET dihitung dengan memperbandingkan data tahun 2009 dan 2016 untuk mengetahui
perubahan pada interval waktu tersebut.
7. HASIL DAN PEMBAHASAN
7.1. Suhu, Curah Hujan dan Kelembaban
Di lokasi penelitian terjadi perubahan faktor-faktor utama iklim yaitu suhu, curah hujan, dan kelembaban
udara relatif selama periode 2009-2017. Di sentra produksi apel yaitu Poncokusumo dan Bumiaji, suhu,
baik rerata, minimum dan maksimum cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 1 & 2). Baik di
Poncokusumo maupun di Kota Batu, pada periode tersebut terjadi peningkatan ca. 1-2 C.
Gambar 1. Perubahan suhu rerata, minimum dan maksimum pada periode tahun 2009 – 2017 di Poncokusumo,
Kabupaten Malang (Worldweatheronline, 2017a)
Gambar 2. Perubahan suhu rerata, minimum dan maksimum pada periode tahun 2009 – 2017 di Kota Batu
(Worldweatheronline, 2017b)
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 9
Sementara itu, curah hujan dan jumlah hari hujan berfluktuasi, dimana curah hujan dan jumlah hari hujan di
Kecamatan Poncokusumo relatif lebih tinggi dibandingkan di Kecamatan Bumiaji. Curah hujan dan periode
hujan tertinggi terjadi pada tahun 2010-2011, kemudian menurun pada tahun-tahun berikutnya dan naik
lagi pada tahun 2016-2017 (Gambar 3 & 4).
Gambar 3. Perubahan curah hujan dan jumlah hari hujan pada periode tahun 2009 – 2017 di Poncokusumo,
Kabupaten Malang (Worldweatheronline, 2017a)
Gambar 4. Perubahan curah hujan dan jumlah hari hujan pada periode tahun 2009 – 2017 di Kota Batu
(Worldweatheronline, 2017b)
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 10
Kelembaban relatif dan persentase awan berfluktuasi, tetapi cenderung menurun untuk kelembaban relatif
sebesar 5-10%. Kelembaban udara di Poncokusumo, Kabupaten Malang lebih tinggi dibandingkan dengan
di Batu. Kisaran kelembaban pada periode 2016-2017 untuk Kecamatan Poncokusumo dan Bumiaji masing-
masing adalah 70-75% dan < 75% (Gambar 5 & 6).
Gambar 5. Perubahan persentase awan dan kelembaban pada periode tahun 2009 – 2017 di Poncokusumo,
Kabupaten Malang (Worldweatheronline, 2017a)
Gambar 6. Perubahan persentase awan dan kelembaban pada periode tahun 2009 – 2017 di Kota Batu
(Worldweatheronline, 2017b)
Kondisi iklim di sentra produksi durian, yaitu Kecamatan Wonosalam dan Ngantang, hampir sama dengan
di Kecamatan Poncokusumo dan Bumiaji. Dimana suhu udara baik rerata, minimum dan maksimum
cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Di Ngantang, peningkatan suhu terjadi pada periode 2013-2016
dan Wonosalam setelah 2010-2017 masing-masing pada kisaran minimal 1C (Gambar 7 dan 8).
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 11
Gambar 7. Perubahan suhu rerata, minimum dan maksimum pada periode tahun 2009 – 2017 di
Ngantang, Kabupaten Malang (Worldweatheronline, 2017c)
Gambar 8. Perubahan suhu rerata, minimum dan maksimum pada periode tahun 2009 – 2017 di
Wonosalam, Kabupaten Jombang (Worldweatheronline, 2017d)
Curah hujan dan jumlah hari hujan berfluktuasi, dimana curah hujan dan jumlah hari hujan di Ngantang
relatif lebih tinggi dibandingkan Wonosalam. Seperti Bumiaji dan Poncokusumo, curah hujan dan lama hari
hujan tinggi pada tahun 2010-2011, lalu menurun di tahun-tahun berikutnya dan naik pada tahun 2016-2017
(Gambar 9). Namun, di Wonosalam, setelah 2010, curah hujan terus menurun sepanjang tahun 2011-2017,
dimana rata-rata curah hujan kurang dari 500 mm/tahun dan periode hari hujan yang lebih pendek (kurang
dari 20 hari per bulan selama musim hujan) (Gambar 10).
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 12
Gambar 9. Perubahan curah hujan dan jumlah hari hujan pada periode tahun 2009 – 2017 di Ngantang,
Kabupaten Malang (Worldweatheronline, 2017c)
Gambar 10. Perubahan curah hujan dan jumlah hari hujan pada periode tahun 2009 – 2017 di
Wonosalam, Kabupaten Jombang (Worldweatheronline, 2017d)
Kelembaban relatif dan persentase awan berfluktuasi dan kecenderungan yang terjadi adalah nilai
kelembaban relatif cenderung menurun (dibawah 75%), demikian juga persentase awan (dibawah 50% dan
75% untuk Kecamatan Ngantang dan Wonosalam). Kelembaban udara di Ngantang, Kabupaten Malang
lebih tinggi dibandingkan dengan di Wonosalam, Kabupaten Jombang. Kisaran kelembaban pada periode
2016-2017 untuk Ngantang dan Wonosalam masing-masing adalah diatas 75% dan kurang dari 75%
(Gambar 11 & 12).
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 13
Gambar 11. Perubahan persentase awan dan kelembaban pada periode tahun 2009 – 2017 di Ngantang,
Kabupaten Malang (Worldweatheronline, 2017c)
Gambar 12. Perubahan persentase awan dan kelembaban pada periode tahun 2009 – 2017 di
Wonosalam, Kabupaten Jombang (Worldweatheronline, 2017d).
7.2. Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian
7.2.1. Apel
Berdasarkan analisis iklim pada bagian 7.1., curah hujan dan kelembaban dilokasi penelitian masih berada
pada kisaran optimal pertumbuhan apel. Rata-rata suhu antara 22-320C kurang sesuai dengan syarat
tumbuh yang disarankan pada kisaran 220C (Sellitasari et al., 2013). Berdasarkan literatur, lama hari
hujanempengaruhi keterlambatan pembungaan apel (ibid). Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara dan
diskusi, seluruh petani responden yang menyatakan hal yang sama.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 14
Analisis regresi untuk mengetahui keeratan hubungan antara produksi apel dan variabel iklim tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh. Data tersebut menunjukkan simpangan data
yang besar. Analogi produksi apel berdasarkan data aktual juga tidak dapat dilakukan karena saat kajian
berlangsung, belum memasuki masa panen. Sebagai gambaran karakteristik data yan diperoleh, dilakukan
analisis grafik dengan menggunakan data sekunder suhu, curah hujan dan produksi dari beberapa penelitian
dan BPS, untuk tahun 1998, 2000, 2002, 2004, 2006, 2010 dan 2012 (Gambar 13a dan Gambar 13b).
Gambar 13. Hubungan suhu dan curah hujan dengan produksi apel pada periode 1998-2012 di
Poncokusumo, Kabupaten Malang.
Gambar 13a menunjukkan kurva suhu dan produktivitas yang berjauhan, berbeda dengan Gambar 13b yang
menunjukkan singgungan antara curah hujan dan produktivitas. Dari kedua grafik tersebut, terlihat bahwa
suhu dan produksi menjadi dua variabel yang tidak saling terkait. Berbeda dengan literatur yang menyatakan
sebaliknya (Sellitasari et al., 2013; Huld and Pascua, 2015). Sementara, saat curah hujan tinggi terjadi
penurunan produksi apel. Berdasarkan literatur, tingginya jumlah curah hujan yang disertai tingginya jumlah
hari hujan dapat menganggu pembentukan bunga pada tanaman apel (ibid).
Berdasarkan analisis fluktuasi suhu menunjukkan bahwa suhu berada pada kisaran kurang sesuai untuk
pertumbuhan tanaman apel (Gambar 2 dan Gambar 3). Peningkatan suhu rata-rata pada tanaman apel akan
berdampak pada tidak tersedianya lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman
apel, seperti peningkatan suhu di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu dan Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten
Malang relatif sama yaitu 23,10 dan 22,47 pada tahun 2012 yang tercatat lebih tinggi dari rerata kebutuhan
suhu optimum untuk apel. Berdasarkan wawancara dengan petani di kota batu dan pengamatan lapangan,
didapati bahwa area penanaman apel di wilayah dengan elevasi paling rendah mulai berkurang. Area
pertanaman bergeser ke tempat yang lebih tinggi. Suhu berkaitan dengan ketinggian tempat, yaitu pada
setiap kenaikan 100 m, maka suhu akan turun 0.6C (Huld and Pascua, 2015). Selain itu, beberapa petani
beralih profesi ke tanaman hias.
Lebih lanjut, fluktuasi curah hujan lebih banyak dikendalikan oleh periode hujan, dan ini berpengaruh
terhadap pembungaan tanaman apel, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13b, dimana peningkatan curah
hujan pada tahun 2010 berdampak pada penurunan produksi (yang sangat terkait dengan kegagalan dalam
pembungaan). Namun demikian pada kondisi curah hujan yang normal pembungaan akan berjalan dengan
normal dan tidak akan berpengaruh pada penurunan produksi apel.
Kelembaban optimal tanaman apel adalah 75-85%, namun pada periode tahun 2015 hingga 2016, terjadi
kecenderungan kelembaban dibawah kisaran optimal untuk Bumiaji, Kota Batu, dan hal yang sama terjadi
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 15
pada tahun 2016 di Poncokusumo, Kabupaten Malang. Kelembaban yang dibawah kisaran optimal dapat
menjadi salah satu penyebab tidak optimalnya pertumbuhan tanaman apel (Soelarso, 1996).
Berdasarkan survei, pada tahun 2010 saat periode hari hujan dan curah hujan paling tinggi (lebih dari 7
bulan dengan rerata 1000 hingga 1500 mm/tahun), sebagian responden di Bumiaji maupun di Poncokusumo
melaporkan telah mengalami kerugian yang besar. Lamanya periode hari hujan dan tingginya curah
menyebabkan kegagalan pembentukan bunga dan perubahan bunga menjadi pentil. Sedangkan di
Poncokusumo, selain disebabkan karena gagalnya pembungaan pada periode panjang hujan, juga diakibatkan
karena cuaca ekstrik gangguan abu gunung berapi (semeru). Namun demikian gangguan akibat abu gunung
berapi tidak sampai menyebabkan kerusakan lebih dari 40% produksi.
7.2.2. Durian
Berdasarkan analisis iklim pada bagian 7.1., suhu, curah hujan dan kelembaban masih berada dalam kisaran
optimum pertumbuhan durian. Namun, berdasarkan literaur dan wawancara dengan petani responden,
panjang curah hujan mempangaruhi kegagalan pembungaan sehingga menurunkan produksi durian
(Hariyono et al., 2013).
Analisis regresi untuk mengetahui keeratan hubungan antara produksi durian dan variabel iklim tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh. Data tersebut menunjukkan simpangan data
yang besar sehingga tidak dapat digunakan dalam analisis regresi. Analogi produksi durian berdasarkan data
aktual juga tidak dapat dilakukan karena saat kajian berlangsung, belum memasuki masa panen. Oleh karena
itu, digunakan data dari literatur dan wawancara dengan petani responden.
Berdasarkan wawancara, sebagain besar responden menyatakan terjadinya penurunan produksi pada
periode lima tahun terakhir ini, tertinggi terjadi pada tahun 2015, disusul tahun 2016. Mereka juga
menyatakan bahwa sebelum tahun 2015 rata-rata penurunan produksi relatif kecil. Berbeda dengan data
produksi resmi dari instansi pemerintah yang menunjukkan lompatan produktivitas yang sangat tinggi yaitu
2.6 kg/pohon pada tahun 2015, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berkisar antara 0.4 – 0.8
kg/pohon (Gambar 14).
Gambar 14. Produksi durian selama periode 2011 hingga 2016 di Kabupaten Malang dan Jombang
Durian di Kabupaten Malang maupun di Kabupaten Jombang sebagian besar merupakan populasi alami yang
tidak ditanam, hanya beberapa saja yang merupakan hasil perbanyakan yang dilakukan oleh petani di
Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Pro
duksi D
uri
an (
Kw
)
0
1e+5
2e+5
3e+5
4e+5
5e+5
6e+5
Durian-Jombang
Durian-Malang
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 16
Kabupaten Malang. Populasi per luasan lahan, jenis, jarak tanam dan umurnya mempunyai keragaman yang
tinggi. Durian yang tumbuh umumnya adalah durian yang telah memiliki adaptasi yang baik terhadap
lingkungan tumbuhnya. Kisaran suhu untuk pertumbuhan durian lebih luas daripada tanaman apel. Durian
dapat tumbuh baik di dataran sedang maupun tinggi. Seperti halnya tanaman apel, tanaman durian
memerlukan beberapa bulan kering untuk memacu pembungaan dan pembentukan buah.
Curah hujan diketahui sebagai faktor yang paling mempengaruhi pembungaan antara 75-78% (Adjaloo et
al., 2012). Intensitas hujan hanya berpengaruh pada fase pembentukan bunga dan buah yang umumnya
terjadi dari bulan Juni hingga Oktober (ibid). Jumlah bulan hujan yang panjang berpengaruh terhadap
penurunan pembungaan dan sebaliknya (Hariyono et al., 2013).
Untuk tumbuh optimal, durian membutuhkan curah hujan lebih dari 2000 mm per tahun dan tersebar
merata sepanjang tahun, dengan lama bulan basah 9-10 bulan per tahun dan musim kering lebih dari 3 bulan
akan mengganggu pematangan buah durian, dengan demikian curah hujan yang terlalu rendah akan
berdampak pada pertumbuhan dan produktivitas durian tidak akan optimal. Terkait dengan pertumbuhan,
volume curah hujan mendekati 1000 mm per tahun di Ngantang relatif sesuai untuk pertumbuhan durian
sedangkan Wonosalam kurang optimal karena masih pada kisaran kurang dari 500 mm per tahun. Namun
demikian panjangnya periode musim hujan akan mengganggu proses pembungaan.
Berdasarkan suhu dan kelembaban, durian tumbuh baik di daerah tropik, dan memerlukan suhu serta
kelembaban yang tinggi sehingga akan tumbuh optimal di dataran rendah dan sedang sampai ketinggian 800
m dpl (Wijayantoi, 2006), sehingga kondisi suhu dan kelembaban di Ngantang dan Wonosalam tidak begitu
berpengaruh berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan durian.
Nilai ekonomis yang tinggi untuk petani menyebabkan petani cenderung melakukan penanaman durian
setiap waktu, sehingga bertambah tahun semakin banyak populasi durian yang ditanam pada areal yang
sama. Adaptasi petani secara fisik mengurangi pengaruh panjang hanya ditemukan di Ngantang dimana
petani melalukan persilangan bibit durian untuk memperoleh bibit lokal yang tahan terhadap musim hujan
panjang. Selain itu, petani di daerah Ngantang memiliki pola pengelolaan tanaman yang relatif ramah
terhadap lingkungan yakni dengan mengadopsi model pengembangan agroforestri dengan menanam kopi
dan hortikultura semusim di bawah tegakan.
7.3 Dampak Perubahan Iklim terhadap Hama dan Penyakit Tanaman
Apel dan Durian
7.3.1. Apel
Hama pada Tanaman Apel
Berdasarkan pengamatan lapangan maupun wawancara, hama yang paling menggangu pertumbuhan
tanaman apel adalah kutu sisik (Diaspidiotus perniciosus). Umumnya, populasi kutu sisik dipengaruhi oleh
suhu dan kelembaban relatif yang tinggi (Supriadi et al., 2015). Perkembangan kutu sisik akan semakin
meningkat pada tanaman apel yang produktivitasnya sedang menurun.
Pertumbuhan serangga, termasuk kutu sisik, sangat dipengaruhi oleh iklim mikro yang diukur disekitar
vegetasi. Untuk menutupi ketiadaan data iklim mikro di area penelitian, digunakan hasil penelitian kutu sisik
dengan suhu dan kelembaban di Tulungrejo dan Binangun yang memiliki karakteristik lingkungan yang sama
dengan Bumiaji dan Poncokusumo yang dilakukan oleh Supriadi et al. (2015). Berdasarkan penelitian
tersebut, analisis regresi (Gambar 15 & 16) menunjukkan bahwa suhu dan kelembaban mempengaruhi
populasi kutu sisik. Kelimpahan kutu sisik pada tanaman apel di Tulungrejo dipengaruhi oleh suhu udara
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 17
dua minggu sebelumnya, sementara kelembaban mempengaruhi satu minggu sebelumnya. Hal ini berarti
perubahan suhu pada dua minggu sebelumnya dan kelembaban pada satu minggu sebelumnya, akan
menentukan perkembangan populasi dari kutu sisik(Supriadi et al., 2015).
Gambar 15. Hubungan suhu udara dan populasi kutu sisik pada tanaman apel di Tulungrejo dan Binangun.
Gambar 16. Hubungan kelembaban relatif udara dan populasi kutu sisik pada tanaman apel di Tulungrejo
dan Binangun.
Hasil penelitian Supriadi et al. (2015) sejalan dengan hasil wawancara dan observasi lapangan di Bumiaji dan
Poncokusumo yang menunjukkan peningkatan serangan kutu sisik pada tanaman apel. Analisis suhu di kedua
lokasi tersebut (Lihat Bagian 7.1.) juga menunjukkan peningkatan suhu yang mendukung perkembangan
kutu sisik. Kecamatan Bumiaji dan Poncokusumo memiliki kisaran suhu rerata 22 - 32ºC dalam periode
2009 – 2017, hal ini menyebabkan populasi hama kutu sisik lebih cepat berkembang di dua lokasi tersebut.
Populasi kutu sisik dapat berkembang pesat pada kisaran suhu 23-27,5 ºC dengan kelembaban 70-80%
(Supriadi et al., 2015).
Terkait dengan perkembangan serangga hama (kutu sisik) day-degree sering digunakan untuk tindakan
pengelolaan hama berdasarkan pada kombinasi suhu dan waktu. Day-Degrees (DD)(dikenal dengan unit
panas atau unit suhu) adalah cara menggabungkan antara suhu dan waktu kedalam satu ukuran untuk
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 18
menghitung laju pertumbuhan tanaman dan perkembangan serangga (Nugent, 2004). Fase perkembangan
kutu sisik memerlukan suhu yang berbeda-beda. Fase larva kutu sisik generasi pertama, jumlah suhu
perkembangan (>7,3°C) adalah kurang dari 500 DD. Generasi ke dua, jumlah suhu 770 DD. Total siklus
hidup adalah 60,42 dan 30 hari pada suhu 20-2°C, 25-26°C dan 31-32°C. Pada suhu 31-32°C, mortalitas
larva instar 1 dan 2 terjadi sementara, pada 39-40°C, perkembangan larva normal berhenti. Sebagian besar
larva generasi ke 2 muncul pada akhir Juli hingga awal Agustus, masuk diapause saat di tahap skala hitam
dan overwinter dalam bentuk ini. Suhu di bawah 25°C dilaporkan menyebabkan diapause lebih panjang.
Secara umum, di lapangan, suhu tinggi dan kelembaban rendah menyebabkan kematian tinggi, sementara
curah hujan ringan dan cuaca hangat (25-30°C) mendukung peningkatan populasi, sedangkan curah hujan
yang tinggi dapat mengurangi populasi larva muda dari daunnya (EPPO, 2017).
Pulau Jawa dan Sumatra memliki tingkat populasi kutu sisik sangat tinggi karena kutu ini hidup pada berbagai
macam tanaman perkebunan seperti jeruk, apel, kelapa, kakao, kapas, camper, dan mulberi. Pada beberapa
sentra jeruk seperti Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan kutu sisik ini menyebabkan tanaman menjadi
meranggas dan kering bahkan menyebabkan kematian ranting dan tanaman (Endarto et al., 2014). Kutu
sisik mudah menyebar ke berbagai daerah karena pada saat penyortiran buah untuk pengiriman buah ke
luar daerah, gejala serangan sulit terdeteksi. Hama ini juga sulit dikendalikan karena memiliki perkembangan
populasi yang tinggi terutama di musim kemarau. Baik di Bumiaji maupun di Poncokusumo, pengamatan
lapangan dan wawancara menunjukkan bahwa kutu sisik banyak dijumpai pada tanaman jeruk, yang ditanam
pada area pertanaman apel, sehingga kutu sisik dapat dengan mudah menyerang pada tanaman apel.
Efendi (2009) melakukan penelitan mengenai kutu sisik yang menyerang tanaman jeruk. Penelitian tersebut
menemukan bahwa perkembangan kutu sisik dipengaruhi oleh beberapa faktor abiotik khususnya suhu,
kelembaban, intensitas sinar matahari dan kecepatan angin (ibid). Semakin tinggi suhu dan kelembaban akan
semakin tinggi populasi dari kutu sisik. Populasi kutu sisik merah pada fase crawler dan imago lebih tinggi
pada jeruk manis dari pada jeruk keprok, sedangkan secara kumulatif pada fase crawler dan imago juga
lebih tinggi pada jeruk manis dari pada jeruk keprok. Pola sebaran kutu sisik merah fase imago pada jeruk
manis ialah mengelompok, sedangkan fase hidup crawler adalah acak dan secara kumulatif dari fase imago
dan crawler adalah mengelompok. Sedangkan pada jeruk keprok, pola sebaran kutu sisik fase imago ialah
acak, sedangkan fase hidup crawler adalah acak dan secara kumulatif dari fase imago dan crawler juga acak
(Efendi, 2009).
Ketergantungan petani terhadap pestisida kimia untuk mengendalikan hama kutu sisik pada pertanaman
apel di Batu dan sekitarnya masih sangat besar. Penggunaan pestisida secara berlebihan dapat
mengakibatkan tekanan lingkungan yang mendorong terjadinya reaksi ekologi (ecological backlash) dan salah
satu dampaknya adalah resistensi hama terhadap pestisida serta musnahnya musuh alami sebagai pengendali
hayati populasi hama. Oleh karena itu, penggunaan pestisida kimia harus dilakukan secara efektif dengan
memperhatikan dinamika populasi dan faktor yang mempengaruhinya agar dampak negatif terhadap
lingkungan dapat kurangi (Muhlisin et al., 2015).
Lebih lanjut, Muhlisin et al. (2015) menemukan bahwa perbedaan yang nyata antara rerata populasi kutu
sisik pada batang apel di Desa Bulukerto Kecamatan Bumiaji dan Desa Mardiredo Kecamatan Pujon. Rerata
populasi kutu sisik pada batang tanaman apel di Pujon lebih tinggi dibandingkan rerata populasi kutu sisik
di Bumiaji. Hal ini disebabkan karena pengendalian kutu sisik secara kimia yang dilakukan petani apel di
Bumiaji lebih intensif dari pada petani apel di Pujon. Selain itu keadaan geografis terutama curah hujan juga
mempengaruhi populasi kutu sisik.
Penyakit pada Tanaman Apel
Observasi lapangan dan wawancara menunjukkan bahwa penyakit yang umum dijumpai pada pertanaman
apel di Kecamatan Batu dan Poncokusumo adalah Bercak Marsonina yang menyerang daun dan Busuk Pahit
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 19
yang menyerang buah. Tingkat serangan Becak Marsonina dan Busuk Pahit tidak sampai merugikan seperti
halnya yang terjadi pada kutu sisik. Namun kedua penyakit ini dapat menyebabkan kerugian apabila tingkat
serangannya tinggi pada saat pembentukan buah. Khususnya penyakit Busuk Pahit yang menyebabkan buah
tidak layak dijual apabila menyerang pada awal pembentukan buah.
Untuk mengetahui pengaruh antara variabel iklim dengan penyakit tanaman apel dijelaskan menggunakan
penelitian oleh Sastrahidayat and Nirwanto (2016) yang melakukan kajian di pertanaman apel di Kota Batu
dan uji coba pada Greenhouse di Universitas Brawijaya Malang tentang penyakit bercak Marsonina coronaria.
Penelitian ini cukup representatif untuk menggambarkan pengaruh iklim terhadap sebaran penyakit pada
tanaman apel. Hasil kajian menunjukkan bahwa suhu, curah hujan, kelembaban dan presentasi awan
mempengaruhi perkembangan penyakit pada tanaman apel.
Tabel 3. Jumlah bercak dan luas becak pada daun apel yang terserang Marsonina coronaria
Sumber: (Sastrahidayat and Nirwanto, 2016)
Tabel 3 menunjukkan bahwa Varietas Rome Beauty dan Manalagi memiliki tingkat serangan yang lebih tinggi
dibandingkan varietas Prince Noble maupun Kulitivar liar (Sastrahidayat and Nirwanto, 2016). Dari musim
ke musim (selama dua tahun), patogen ini hanya bertahan pada tanaman apel, karena tidak ada infeksi pada
beberapa tanaman (mawar, stroberi) berdasarkan uji biologis di laboratorium. Kejadian penyakit dan
tingginya tingkat patogen pada apel sangat dipengaruhi oleh dinamika kondisi cuaca(Sastrahidayat and
Nirwanto, 2016). Varietas Rome Beuaty dan Manalagi banyak ditanam di area penelitian pada kajian ini.
Tabel 4 menjelaskan bahwa penyebaran dan perkembangan penyakit Marsonina ini sangat bergantung pada
faktor iklim seperti, suhu, kelembaban, kecepatan angin, sinar matahari dan curah hujan.
Tabel 4. Hubungan antara faktor iklim dan penyakit Becak daun Marsonina
Sumber: Sastrahidayat dan Nirwanto (2016)
Sejalan dengan penelitian tersebut, analisis suhu di Kecamatan Bumiaji dan Poncokusumo menunjukkan
peningkatan suhu dari tahun ke tahun (Gambar1 dan Gambar 2). Semakin tinggi suhu rerata, minimum dan
maksimum, semakin tinggi peledakan populasi hama utama kutu sisik dan penyakit utama pada apel Becak
Daun Marsonina. Sementara itu, fluktuasi curah hujan semakin tinggi akan semakin tinggi intensitas serangan
penyakit Marssonina (Li et al., 2011) tanaman dan kelembaban udara yang juga dipengaruhi oleh persentase
awan (90%) mampu mempengaruhi perkembangan penyakit Bercak Daun Marsonina (Gambar 5 & 6).
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 20
7.3.2. Durian
Berdasarkan wawancara dan observasi lapangan, tidak ditemukan serangan hama dan penyakit yang menjadi
masalah pada durian yang secara intensif baik di Ngantang maupun di Wonosalam. Beberapa hama dan
penyakit durian yang utama seperti hama penggerek batang dan penyakit Phytopthora palmivora tidak terjadi
(Santoso, 2011;Tho et al., 2011). Demikian juga halnya dengan penyakit yang biasa ditemukan pada
pembibitan tanaman durian yaitu hawar daun (Handoko et al., 2014)., tidak dijumpai pada pertanaman
durian di lokasi kajian ini
Berdasarkan data iklim selama periode 2009 – 2017 (Gambar 9), periode hujan yang panjang terjadi pada
2015 kebawah, meskipun di Ngantang periode hujan relatif merata tiap tahun, namun panjang hari hujan
secara umum mampu menyebabkan penurunan produksi durian. Berdasarkan wawancara dengan
responden, penurunan produksi durian diakibatkan oleh kegagalan pembungaan yang diakibatkan oleh
lamanya periode hujan.
Kegagalan pembungaan selain disebabkan oleh faktor iklim juga dimungkinkan oleh terganggunya
perkembangan serangga dan kelelawar pada saat faktor iklim kurang mendukung perkembangan binatang
polinator ini. Proses penyerbukan yang terjadi pada Durian umumnya dibantu oleh serangga (hymenoptera)
dan binatang penyerbuk seperti kelelawar (Bumrungsri et al., 2009). Kedua binatang ini memiliki kepekaan
terhadap faktor iklim baik suhu, kelembaban maupun curah hujan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, terkait dengan intensitas hama dan penyakit yang tidak
terlalu tinggi pada tanaman durian, hal ini dapat dikaitkan dengan sistem tanam polikultur (agroforestri)
yang diterapkan petani yang dapat mengurangi peledakan hama dan penyakit tanaman. Konsep
pengembangan budidaya durian dengan model agroforestri semacam ini perlu diadopsi untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya serangan hama dan penyakit tanaman. Hal ini sesuai dengan konsep pengembangan
durian yang benar, dimana model pengembangan tanaman campuran akan sangat menguntungkan dalam
budidaya durian (Sobir and Martini, 2014).
7.4. Dampak Perubahan Iklim terhadap Kekeringan dan Kesuburan
Tanah
Berdasarkan hasil survei dan analisis tanah, tingkat kekeringan di Wonosalam, Ngantang, Bumiaji dan
Poncokusumo cenderung moderat. Hal ini berdasarkan nilai Potential Evapotranspiration (ET0) yang masih
berkisar antara 2-5 (Gambar 20). Pada kisaran ini evopatranspirasi pada permukaan tanah dan tanaman
bertaraf rendah. Selain itu, ditemukan tanaman-tanaman tahunan yang menyebabkan luas kanopi atau
naungan untuk menutup permukaan tanah sangat lebar di lokasi penelitan. Sistem agroforestri dalam
pengembangan tanaman durian di Wonosalam dan Ngantang serta kombinasi apel dan jeruk serta tanaman
tahunan penghasil buah-buahan yang lain relatif membantu mengurangi tingkat evapotranspirasi. Analisis
tanah menunjukkan komposisi Bahan Organik (BO) yang memadai yang mengindikasikan tingginya
kemampuan tanah untuk mengikat air.
Perbedaan faktor iklim di tahun 2009 dan 2016 menyebabkan fluktuasi rerata nilai (PET) seperti dijelaskan
pada Gambar 17 dan 18. Perbedaan nilai PET ini diakibatkan oleh beberapa faktor iklim seperti suhu
(minimum dan maksimum), kecepatan angin, lamanya penyinaran, kelembaban dan curah hujan (Allen et
al., 1998)(McMahon et al., 2013). Semakin tinggi nilai PET, semakin besar kebutuhan air untuk tanaman dan
permukaan tanah.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 21
Gambar 17. Fluktuasi nilai Potensial Evapotranspirasi (ET0) pada tahun 2009 dan 2016
Gambar 18. Rerata Potensial Evapotranspirasi (ET0) antara 2009 dan 2016
Tanda (*) menunjukkan perbedaan nyata antara rerata ET0 pada 2009 dan 2016 untuk tiap lokasi penelitian
berdasarkan uji T taraf α= 5%.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 22
Gambar 19. Nilai Potensial Evapotranspirasi (PET atau ET0) Tahun 2017
Berdasarkan Gambar 17 dan 18, antara tahun 2009 dan 20016, terjadi peningkatan nilai PET di semua lokasi
kecuali di Ngantang yang cenderung menurun. Nilai PET terendah tercatat di Batu dan Ngantang, sedangkan
tertinggi adalah Wonosalam diikuti oleh Poncokusumo. Namun berdasarkan tingkat kekeringan, nilai-nilai
ET0 tersebut masih dikategorikan moderat karena nilainya berada pada kisaran 2-5 (Gambar 20). Begitupun
dengan nilai PET di tahun 2017 (Gambar 19) masih berada dalam kisaran yang sama. Perlu dicatat, bahwa
nilai PET tahun 2017 berdasarkan data antara Februari-Juni.
Gambar 20. Hubungan antara Koefisien Tanaman pada fase awal pertumbuhan (Kc ini), Potensial
Evapotranspirasi (ETo) dan interval irigasi untuk semua jenis tanah pada saat waktu pengairan pada kisaran
ringan sampai menengah (3-10 mm per kejadian). Sumber: FAO (2017)
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 23
Peningkatan nilai PET di Bumiaji dan Poncokusumo dapat dikaitkan dengan perkembangan infrastruktur
yang pesat, seperti pembangunan jalan dan perumahan sehingga kerapatan vegetasi menurun. Hal yang
sama terjadi di Wonosalam dimana populasi tanaman-tanaman tahunan terus menurun diganti dengan
tanaman semusim. Semenara itu, penurunan nilai PET di Ngantang dimungkinkan karena intensitas
pengembangan tanaman-tanaman buah tahunan utamanya durian yang relatif tinggi. Hal ini menyebabkan
permukaan tanah lebih banyak tertutupi oleh tanaman. Konservasi air akan semakin tinggi apabila kerapatan
vegetasi tinggi.
Tingkat ET0 yang rendah memungkinkan bagi lingkungan untuk menyediakan kebutuhan air bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman terlebih lagi kebanyakan vegetasi (tanaman) yang dikembangkan
di empat daerah penelitian adalah kelompok tanaman buah-buahan tahunan yang dapat menurunkan tingkat
evaporasi. Tingkat ET0 yang rendah juga berarti bahwa banyak air yang dapat dipertahankan di permukaan
tanah dan tanaman yang bisa dioptimalkan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Jenis tanaman, variasi dan tahap pertumbuhan dan perkembangan harus dipertimbangkan saat menilai
evapotranspirasi dari tanaman yang ditanam di lahan yang luas dan dikelola dengan baik. Perbedaan
ketahanan terhadap transpirasi, tinggi tanaman, kekasaran tanaman, pantulan, penutupan tanah dan
karakteristik pemanenan tanaman menghasilkan tingkat ET0 yang berbeda pada berbagai jenis tanaman
dengan kondisi lingkungan yang sama. Faktor-faktor seperti salinitas tanah, kesuburan tanah yang buruk,
penerapan pupuk yang terbatas, adanya aspek tanah yang sulit atau tidak dapat ditembus, tidak adanya
pengendalian penyakit dan hama dan pengelolaan tanah yang buruk dapat membatasi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman dan mengurangi evapotranspirasi. Faktor lain yang harus dipertimbangkan saat
menilai ET0 adalah penutup tanah, kepadatan tanaman dan kadar air tanah.
Lebih lanjut, perbandingan analisis tanah antara tahun 2013 dan 2017 menunjukkan kenaikan kadar Bahan
Organik (BO) di lokasi penelitian (Tabel 5). Tahun 2013 nutrisi relatif tinggi dikarenakan tingginya
pemberian input sintetik (pupuk sintetik). Tahun 2017 terjadi perubahan khususnya peningkatan kadar
Bahan Organik. Hal ini menunjukkan kondisi tanah yang relatif subur.
Tabel 5. Komposisi nutrisi dan bahan organik dari sampel tanah pada tahun 2013 dan 2017
Sumber: data primer
Tabel 5 menunjukkan kadar BO terendah dijumpai pada sampel tanah di Ngantang. Hal ini dimungkinkan
karena posisi pengambilan sampel berada pada kemiringan yang tinggi. Daerah Ngantang lebih miring
dibandingkan daerah yang lain, sehingga kemungkinan terjadi hilangnya lapisan atas tanah (top soil) yang lebih
tinggi dibandingkan lokasi pengambilan sampel tanah di KecamatanWonosalam, Bumiaji dan Poncokusumo.
Sementara itu, sampel tanah di Bumiaji memiliki kadar BO yang paling tinggi. Berdasarkan wawancara,
perubahan ini disebabkan petani apel memberikan pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah
mereka. Praktik ini ditemukan diseluruh lokasi penelitian. Peningkatan kadar BO akan meningkatkan tingkat
kesuburan tanah.
2013 2017 2013 2017 2013 2017 2013 2017 2013 2017 2013 2017
1 Bumiaji 18,22 0,08 0.65 0,92 2,08 0,032 8,02 3,97 0.14 0,84 21 22,00
2 Wonosalam 0,07 0,95 0,038 3,41 0,29 12,98
3 Poncokusumo 0,08 1,30 0,045 3,14 1,15 14,21
4 Ngantang 0,02 1,64 0,024 3,03 0,56 5,11
GravimetriMetode uji Spectrofotometri
Phospor (P) (%) Kalium (K)(%) Besi (Fe)(%) Kalsium (Ca)(%) Nitrogen (N)(%) B Organik (%)
Mikro Kjehdahl
No Kode Sampel
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 24
8. PERUBAHAN PRAKTIK BUDIDAYA PETANI
Berdasarkan wawancara, dalam 5-10 tahun ini para petani apel di Kecamatan Bumiaji dan Poncokusumo
menyadari beberapa masalah pada produksi apel, seperti suhu yang semakin panas serta perkembangan
hama dan penyakit yang tinggi. Untuk mengatasi masalah tersebut, para petani menerapkan praktik-praktik
berikut:
1. Menggeser lahan tanaman apel pada altitude yang lebih tinggi (diatas 1000 mdpl), sehingga ada
pergeseran lahan apel dari altitude rendah ke altitude yang lebih tinggi seperti daerah Punten
dan daerah yang mengarah ke Cangar. Dampak dari pergeseran ini adalah pertanaman kentang
dan sayuran dataran tinggi di daerah atas mengalami penurunan karena diganti dengan Apel.
Hal ini juga dimungkinkan karena petani menyiasati rendahnya harga kentang di Kota Batu.
2. Mencampur tanaman apel dengan tanaman jeruk (Gambar 21).
3. Mulai mengganti tanaman apel dengan klengkeng.
4. Mengganti varietas apel. Rome Beauty yang dulu populer di daerah bawah sekarang hilang dan
sebaliknya Ana yang popular di daerah latitude tinggi sekarang diganti dengan Rome Beauty.
Demikian juga yang lainnya. Pergantian pada umumnya dilakukan dengan cara top working yakni
dengan mengganti bagian atas/batang tanman apel varietas tertentu dengan varietas yang lebih
sesuai terhadap kondisi dingin (pada altitude). Varietas Ana dan Manalagi menjadi varietas yang
sesuai untuk ditanam pada periode sekarang.
5. Melakukan penyemprotan pestisida secara intensif mulai dari 1 kali per minggu pada saat musim
kemarau menjadi 2-3 kali per minggu pada saat musim penghujan.
6. Menggunakan pestisida ilegal yang cukup efektif untuk menekan kutu sisik.
7. Peningkatan BO dengan pemberian pupuk organik lebih banyak pada pertanaman apel.
Gambar 21. Jeruk ditanam berdampingan dengan tanaman apel di Poncokusumo dan di Batu.
Beberapa petani ada yang menerapkan beberapa strategi adaptasi menghadapi hari hujan panjang tetapi
belum berhasil. Di daerah Batu, petani membuat naungan dari terpal, tetapi hal ini tidak efektif karena
produksi buah tetap menurun. Beberapa petani berusa menurunkan kelembaban udara dengan cara
menyemprotkan air di udara pada pagi hari sehingga udara menjadi jenuh dan air jatuh ke tanah, sebagian
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 25
lainnya membuat parit-parit drainase. Namun, upaya tersebut secara ekonomi kurang menguntungkan
karena biaya yang diperlukan relatif mahal. Oleh karena itu, diantara mereka ada yang menanam tanaman
cabai atau tomat pada saat volume panen turun. Hasil dari tanaman semusim ini setidaknya mengurangi
dampak ekonomi dari rendahnya produksi apel.
Sementara itu, permasalah yang dijumpai oleh petani durian di area penelitian umumnya adalah perlambatan
pembungaan sehingga periode panen berkurang dari dua kali menjadi satu kali dalam satu tahun. Umumnya
mereka membiarkan durian mereka tanpa harus memberikan perlakukan apapun. Namun, beberapa petani
di Ngantang, memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi dengan mengembangkan varietas-varietas lokal
yang lebih tahan terhadap curah hujan ekstrim. Salah satunya adalah dikembangkannya varietas lokal
sepanjang tahun. Varietas ini mampu berproduksi pada curah hujan yang tinggi dan periode hujan yang lama.
Petani durian umumnya adalah petani hutan yang mengkombinasikan budidaya durian dengan tegakan
(hutan). Orientasi ekonomi tidak setinggi yang dimiliki oleh petani apel. Namun demikian petani durian di
Kecamatan Wonosalam dan Ngantang, relatif mendapatkan pemasukan yang tinggi dari produk yang
dihasilkannya, hal ini karena dalam kurun waktu 10 tahun belakangan, durian menjadi salah satu komoditas
hortikultura yang bernilai tinggi. Dalam upaya mengamankan produksi model pengelolaan yang mereka
lakukan, utamanya di Wonosalam, mengadopsi pemakaian input sintetik, seperti insektisida dan fungisida,
meskipun tingkat serangan hama dan penyakit tanaman durian relatif kecil. Beberapa diantara mereka juga
melalukan proses penyerbukan dengan meningkatkan habitat bagi perkembangan serangga dan binatang
penyerbuk seperti Hymenoptera dan kelelawar. Peningkatan habitat sudah dilakukan oleh petani dengan
meningkatkan keragaman tanaman baik tanaman berupa pepohonan maupun herba penghasil bunga.
9. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis, diperoleh kesimpulan berikut:
1. Terdapat kecenderungan peningkatan suhu rata-rata tahunan sebesar 1-2C yang menyebabkan
suhu di Bumiaji dan Poncokusumo berada pada kisaran diatas 22C. Hal ini berdampak pada
penurunan pertumbuhan dan perkembangan apel, namun perubahan suhu di Wonosalam dan
Ngantang tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan durian.
2. Periode curah hujan yang panjang telah menjadi faktor yang menyebabkan kegagalan proses
pembungaan baik apel dan durian.
3. Tingkat serangan hama (kutu sisik) dan penyakit tanaman (marsonina dan busuk pahit) pada
tanaman apel meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan perubahan kelembaban udara.
Namun, tidak ditemukan serangan hama dan penyakit yang merugikan di area penanaman durian.
4. Pada umumnya, hampir seluruh petani responden apel mengemukakan bahwa penurunan produksi
dipengaruhi oleh keterlambatan pembungaan saat musim hujan panjang dan kenaikkan suhu, serta
serangan hama dan penyakit. Sementara, petani durian umumnya menyatakan bahwa penurunan
produksi dipengaruhi oleh kegagalan pembungaan, sehingga menurunkan frekuensi panen dari dua
kali menjadi satu kali dalam satu tahun.
5. Berdasarkan nilai rerata evapotranspirasi potensial (PET) dan kadar bahan organik tanah, kondisi
tanah di lokasi penelitian relatif aman dari potensi kekeringan dan penurunan kesuburan tanah.
6. Petani apel umumnya telah memindahkan pertanaman apel pada altitude yang lebih tinggi (diatas
1000 mdpl), mengganti varietas apel (Ana dan Manalagi), menanam tanaman buah lain dalam areal
pertanaman apel seperti jeruk dan menambah bahan organik. Untuk komoditas durian, petani
melakukan pemuliaan tanaman dengan memilih varietas-varietas lokal yang tahan terhadap periode
hujan yang panjang.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 26
10. REKOMENDASI
Terdapat dua hal penting yang disarakan untuk pengembangan komoditas apel dan durian secara umum
meliputi:
1. Area penanaman apel perlu diarahkan ke daerah yang lebih tinggi (diatas 1000 mdpl). Hal ini
dikarenakan apel membutuhkan suhu yang relatif dingin untuk tumbuh optimal, sedangkan terjadi
suhu di sentra apel (Batu dan Poncokusumo) cenderung meningkat. Selain itu, suhu yang cenderung
tinggi mempengaruhi peningkatan tingkat serangan kutu sisik pada tanaman apel.
2. Untuk tanaman durian, panjangnya periode hujan membutuhkan upaya pencarian varietas lokal
(seperti varietas sepanjang tahun) yang toleran terhadap cekaman periode hujan yang panjang.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 27
DAFTAR PUSTAKA
Adjaloo, M.K., W. Oduro, and B.K. Banful. 2012. Floral Phenology of Upper Amazon Cocoa Trees:
Implications for Reproduction and Productivity of Cocoa. ISRN Agron. 2012: 1–8Available at http://www.hindawi.com/journals/isrn/2012/461674/.
Ali, M.P., D. Huang, G. Nachman, N. Ahmed, M.A. Begum, and M.F. Rabbi. 2014. Will climate change
affect outbreak patterns of planthoppers in Bangladesh? PLoS One 9(3): 1–10.
Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes, M. Smith, and W. Ab. 1998. Crop evapotranspiration - Guidelines for
computing crop water requirements - FAO Irrigation and drainage paper 56 By. : 1–15.
Altieri, M.A. 1984. Pest-management technologies for peasants: a farming systems approach. 3: 87–94.
Altieri, M.A., and C.I. Nicholls. 2003. Soil fertility management and insect pests: harmonizing soil and plant health in agroecosystems. 72: 203–211.
Bawa, K.S., H. Kang, and M.H. Grayum. 2003. Relationships among the time, frequency, and duration of flowering in tropical rain forest trees. Am. J. Bot. 90(6): 877–887.
BPS. 2016. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama 1986 - 2016:
3. Available at https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/970.
Bumrungsri, S., P.A. Racey, S. Bumrungsri, E. Sripaoraya, T. Chongsiri, K. Sridith, and P.A. Racey. 2009.
The pollination ecology of durian ( Durio zibethinus , Bombacaceae ) in southern Thailand The
pollination ecology of durian ( Durio zibethinus , Bombacaceae ) in southern Thailand. J. Trop. Ecol. 25: 85–92.
Case, M., F. Ardiansyah, and E. Spector. 2007. Climate Change in Indonesia Implications for Humans and
Nature.
Efendi, M. 2009. Distribusi hama kutu sisik merah pada perkebunan jeruk manis dan jeruk keprok. UIN Malang.
Endarto, O., S. Wuryantini, and Yunimar. 2014. Kutu Sisik dan Pengendaliannya. : 1–3. Available at http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/kutu-sisik-dan-pengendaliannya/.
EPA. 2016. Climate change indicators in the United State: Drought. (August): 1–6. Available at
www.epa.gov/climate-indicators.
EPA. 2017. The Effect of Climate Change on Water Resources and Programs. Watershed Academy
Web.
EPPO. 2017. Quadraspidiotus perniciosus. Data Sheets Quar. Pests: 5 pages.
Estiningtyas, W., R. Boer, I. Las, and A. Buono. 2012. Identification and delineation of drought area for climate risk management in Indramayu District. J. Meteorol. dan Geofis. 13(1): 9–20.
FAO. 2009. CROPWAT Version 8.0 for Windows. Available at http://www.fao.org/nr/water/infores_databases_cropwat.html.
FAO. 2015. The impact of disasters on agriculture and food security. FAO.
FAO. 2017. Crop evapotranspiration - Guidelines for computing crop water Chapter 6 - ET c - Single
crop coefficient ( K c ).: 1–30.
Handoko, A., L.A. Abadi, and L.Q. Aini. 2014. Karakterisasi penyakit penting pada pembibitan tanaman
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 28
durian di desa Plangkrongan, Kabupaten Magetan dan pengendalian dengan bakteri antagonis secara in vitro. J. HPT 2(April): 15–22.
Hariyono, D., S. Ashari, R. Sulistyono, and N. Aini. 2013. The Study of Climate and Its Influence on the
Flowering Period and the Plant’s Age on Harvest Time of Durian Plantation (Durio zibethinus Murr .). J. Agric. Food. Tech. 3(January 2011): 7–12.
Harto, C.B., Y.E. Yan, Y.K. Demissie, D. Elcock, V.C. Tidwell, K.C. Hallett, J. Macknick, M.S. Wigmosta,
and T.K. Tesfa. 2011. Analysis of drought impacts on electricity production in the Western and Texas Interconnections of the United States. Argonne Natl. Lab.: 161.
Hódar, J.A., R. Zamora, and L. Cayuela. 2012. Climate change and the incidence of a forest pest in
Mediterranean ecosystems: Can the North Atlantic Oscillation be used as a predictor? Clim. Change 113(3–4): 699–711.
Huld, T., and I.P. Pascua. 2015. Spatial downscaling of 2-meter air temperature using operational forecast data. Energies 8(4): 2381–2411.
IPCC. 2017. Floods and droughts AR4 WGII Chapter 3 : Fresh Water Resources and their
Management IPCC Fourth Assessment Report : Climate Change 2007: 1–2. Available at https://www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/wg2/en/ch3s3-4-3.html.
Janick, J., J. Cummins, S. Brown, and M. Hemmat. 1996. Apples. p. 1–77. In Janick, J., Moore, J. (eds.),
Fruit breeding: tree and tropical fruits. John Wiley and Sons, New York.
Karuppaiah, V., and G.K. Sujayanad. 2012. Impact of Climate Change on Population Dynamics of Insect Pests. World J. Agric. Sci. 8(3): 240–246. Available at http://www.idosi.org/wjas/wjas8(3)12/4.pdf.
Kementan. 2014. Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2013. Direktorat Jenderal Hortikultura.
Kementan. 2015. Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2014. Direktorat Jenderal Hortikultura.
Kementan. 2017. Bencana Alam (Banjir dan Kekeringan) Penghambat Produksi Hortikultura: 19.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim Tarakan Sumatera Selatan Malang Raya Ringkasan untuk Pembuat Kebijakan. Kementerian Lingkungan Hidup.
Li, J., L.-X. Gou, X.-M. Hu, F.-P. Ren, J.-F. Wei, and D.-R. An. 2011. Effects of climate factors on the
epidemic of apple Marssonina blotch in Shaanxi Province and related prediction models. Ying Yong
Sheng Tai Xue Bao 22(1): 268–272.
McMahon, T.A., M.C. Peel, L. Lowe, R. Srikanthan, and T.R. McVicar. 2013. Estimating actual , potential ,
reference crop and pan evaporation using standard meteorological data : a pragmatic synthesis. Hydrol. Earth Syst. Sci 17: 1331–1363.
Muhlisin, A., S. Karindah, and B.T. Rahardjo. 2015. Populasi kutu sisik Diaspidiotus Perniciosus Comstock
(Hemiptera: Diaspididae) dan parasitoidnya pada pertanaman apel (Malus Sylvestris L)(Studi kasus di
Kecamatan Pujon dan Bumiaji). J. HPT 3(1): 109–116.
Nugent, B.J. 2004. Degree Day Calculations: 1–2. Available at https://fyi.uwex.edu/hort/files/2014/11/Degree-Day-Calculation.pdf.
Padgham, J. 2009. Agricultural Development Under a Changing Climate : Opportunities and Challenges for Adaptation.
Petzoldt, C., and A. Seaman. 2013. Climate Change Effects on Insects. p. 6–16. In Sharma, H.C. (ed.), Combating Climate Change: An Agricultural Perspective.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 29
Quarles, W. 2001. Global warming means more pests. IPM Pract. 29(9/10): 1–8. Available at http://www.birc.org/SepOct2007.pdf.
Rosenzweig, C., A. Iglesias, X.B. Yang, P.. Epstein, and E. Chivian. 2000. Climate Change and US
Agriculture: The Impacts of Warming and Extreme Weather Events on Productivity, Plant Diseases, and Pests.
Santoso, P. 2011. Phytophthora palmivora mengancam kebun durian. IPTEK Hortik. (7).
Sastrahidayat, I.R., and H. Nirwanto. 2016. Marssonina leaf blotch on apple orchard in Batu, Indonesia. AGRIVITA J. Agric. Sci. 38(81): 204–212.
Sellitasari, S., Ainurrashid, and A. Suryanto. 2013. Perbedaan produksi tanaman apel pada agroklimat yang
berbeda (Studi kasus pada sentra produksi tanaman apel di Kota Batu dan Kabupaten Malang).
Produksi Tanam. 1(1): 1–8.
Servín, C.C., and G.G. Mendoza. 2014. Climate Change and Its Influence on Agricultural Pest in Mexico. (December): 931–940.
Sheffield, C.S., H.T. Ngo, and N. Azzu. 2016. A manual on apple pollination.
Sigmaplot. 2013. SigmaPlot Overview What can SigmaPlot do for you?: 4–9.
Sobir, and E. Martini. 2014. Budi Daya Durian dan Rambutan di Kebun Campur. ICRAF Southeast Asia Regional Office.
Soelarso. 1996. Budidaya Apel. Kanisius, Yogyakarta.
Supriadi, K., G. Mudjiono, A.L. Abadi, and S. Karindah. 2015. The Influence of Environmental Factors to
The Abundance of Scales (Hemiptera : Diaspididae) Population on Apple Crop. J. Trop. LIFE Sci.
5(1): 20–24.
Tho, K., R. Baconguis, A. Raymundo, and T. Dalisay. 2011. Surveys for stem canker and stem borer of
durian in the coastal areas of Cambodia. p. 8–10. In Australasian Plant Pathology Society Conference,.
Wagner, K., J. Neuwirth, and H. Janetschek. 2009. Flood risk – Prevention and Impact on Agricultural Lands. p. 1–7. In The 83rd Annual Conference of the Agricultural Economics Society.
Wijayantoi, N. 2006. Budidaya Durian.: 19–23.
Williams, D.W., R.P. Long, P.M. Wargo, and A.M. Liebhold. 2000. Effects of Climate Change on Forest
Insect and Disease Outbreaks. p. 455–494. In Response of Northern U.S. Forests to Environmental Change.
Wiyono, S. 2010. Perubahan iklim dan ledakan hama dan penyakit tanaman. Semin. Sehari tenttang Keanekaragaman Hayati Ditengah Perubahan Iklim: 1–10.
Worldweatheronline. 2017a. Poncokusumo weather averages.: 1–7.
Worldweatheronline. 2017b. Bumiaji weather averages.: 1–7.
Worldweatheronline. 2017c. Ngantang weather averages.: 1–7.
Worldweatheronline. 2017d. Wonosalam weather averages.: 1–7.
Zotarelli, L., M.D. Dukes, C.C. Romero, K.W. Migliaccio, and T. Kelly. 2015. Step by Step Calculation of the Penman-Monteith Evapotranspiration ( FAO-56 Method ) 1. : 1–10.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 30
LAMPIRAN 1: KERANGKA ANALISA
Variabel Data Metode analisis data Keluaran (output) Research question 1: Bagaimana perubahan iklim berpengaruh pada produktivitas komoditas buah durian dan apel terkait dengan praktek budidaya tanaman?
Teknologi apa yang diadopsi oleh petani setempat dalam mengatasi perubahan iklim yang terjadi?
Iklim Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan Korelasi, Regresi Diagram hubungan antara iklim dan
aspek tanaman
Tanaman Kondisi Fisik Tanaman, Umur dan
Diameter Tanaman
Korelasi, Regresi Diagram hubungan antara iklim dan
aspek tanaman
Potential Evapotranspiration Radiasi, Suhu dan Kelembaban Udara (McMahon et al., 2013) PET Actual
Teknologi Penelusuran Budidaya yang meliputi
semua informasi aktivitas budidaya
petani
Analisis Kerentanan, Kebahayaan, Risiko Strategi Adaptasi spesifik lokasi
Research question 2: Apakah perubahan iklim menjadi faktor utama penyebab peningkatan populasi hama dan intensitas serangan penyakit tanaman durian dan
apel yang berdampak akhir pada penurunan produksi tanaman? Teknologi apa yang digunakan oleh petani setempat untuk beradaptasi terhadap perubahan yang
terjadi?
Iklim:
Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan
Korelasi, Regresi Diagram hubungan antara iklim dan
aspek tanaman, hama & penyakit
tanaman
Tanaman Pertumbuhan dan Perkembangan
tanaman, kondisi fisik tanaman
Korelasi, Regresi Diagram hubungan antara iklim dan
aspek tanaman, hama & penyakit
tanaman
Hama dan Penyakit Tanaman Keragaman, Populasi dan Intensitas
Serangan hama dan penyakit
tanaman
Korelasi, Regresi Diagram hubungan antara iklim dan
aspek tanaman, hama & penyakit
tanaman
Teknologi Penelusuran Budidaya yang meliputi
semua informasi aktivitas budidaya
petani
Analisis Kerentanan, Kebahayaan, Risiko Strategi Adaptasi spesifik lokasi
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 31
Variabel Data Metode analisis data Keluaran (output) Research question 3: Sejauh mana petani memiliki kesadaran tentang bagaimana menghadapi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas komoditas buah?
Iklim: Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan
Korelasi, Regresi Diagram hubungan antara iklim dan
aspek sosial ekonomi masyarakat
Sosial Ekonomi Populasi, Tingkat pendidikan, Jumlah
Petani, Lahan Produktif
Korelasi, Regresi Diagram hubungan antara iklim dan
aspek sosial ekonomi masyarakat
Research question 4: Apakah perubahan iklim menyebabkan dampak pada kekeringan dan kesuburan tanah yang mempengaruhi produktivitas buah? Teknologi
apa yang dapat digunakan para petani untuk beradaptasi?
Iklim: Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan Korelasi, Regresi Diagram hubungan antara iklim dan
kesuburan tanah
Tanah Analisis tanah Korelasi, Regresi Diagram hubungan antara iklim dan
kesuburan tanah
Teknologi Penelusuran Budidaya yang meliputi
semua informasi aktivitas budidaya
petani
Analisis Kerentanan, Kebahayaan, Risiko Strategi Adaptasi spesifik lokasi
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 32
LAMPIRAN II: RENCANA KERJA
Activities
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Collect primary and secondary data
A. Primary data
Daily Temperature 1 1 1 1 1 2 2 2 2
Daily Relative Humidity
Potential Evapotranspiration (PET)
Altitude & Latitude
Crop Diameter 1 3 4 2 1 1
Crop Growth (Canopy, General description of plant growth)
Diversity of Crop pest
Diversity of Crop disease
Soil samples
B. Secondary data 3
Temperature (Last ten years)
Relative Humidity (Last ten years)
Rainfall (Last ten years)
Agricultural area for Durian and Apple (Last ten years)
Crop production (Last ten years)
Crop age
Local adapted technologies (Based on historical cultivation records)
Diversity of Crop pest (last ten years)
Diversity of Crop disease (last ten years)
Number of farmers (Based on Government Documents, Jombang, Batu, and Malang
Regency dalam angka)
Population density (Based on Government Documents, Jombang, Batu, and Malang
Regency dalam angka)
Percentage of productive agricultural area (Based on Government Documents, Jombang,
Batu, and Malang Regency dalam angka)
Population of poor farmers (Based on Government Documents, Jombang, Batu, and
Malang Regency dalam angka)
Land slope
Contribution of agricultural product for Government (Based on Government Documents,
Jombang, Batu, and Malang Regency dalam angka)
Education level (Based on Government Documents, Jombang, Batu, and Malang Regency
dalam angka)
June July
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 33
LAMPIRAN III: DATA
Variabel Data Jenis data Metode pengumpulan
data
Sumber data Alat yang
diperlukan
Ketersedi
aan alat
Lokasi
pengumpulan data
Durasi
pengump
ulan data
Iklim:
1. Suhu &
Kelembaban
Suhu harian
min – max
Primer Observasi di lapangan
dengan menggunakan
Thermometer min-max
Rekaman data
melalui alat yang
dipasang
Digital
Thermo-
hygrometer
Belum
tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
2 bulan
Kelembaban Primer Observasi di lapangan
dengan menggunakan
Higrometer
Rekaman data
melalui alat yang
dipasang
Digital
Thermo-
hygrometer
Belum
tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
2 bulan
Suhu dan
kelembaban
harian dalam
waktu 10 tahun
kebelakang
Sekunder Dokumen resmi yang
diperoleh dari Stasiun
Klimatologi Karangploso,
Malang
BMKG
Karangploso,
Malang
Surat
pengantar
Ada Stasiun Klimatologi
Karangploso, Kab
Malang
5 hari
2. Curah
Hujan
Curah hujan
dalam kurun
waktu 10 tahun
kebelakang
Sekunder Dokumen resmi yang
diperoleh dari Stasiun
Klimatologi Karangploso,
Malang
BMKG
Karangploso,
Malang
Surat
pengantar
Ada Stasiun Klimatologi
Karangploso, Kab
Malang
5 hari
3. Kondisi
lokasi
Altitude dan
Latitude
Primer Observasi di lapangan
dengan GPS
Rekaman GPS
tiap lokasi dan
kondisis Lokasi
GPS Belum
tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
5 hari
Kemiringan
lahan
Primer Observasi di lapangan Rekaman
penghitungan
Klinometer Belum
tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
5 h
a
i
4. PET Radiasi sinar
mth
Primer Observasi di lapangan Rekaman
penghitungan
Belum
tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
6
Produksi
1. Luas Areal Luas areal
tanaman
Sekunder Kuesioner/Wawancara
dengan petani dan
Pemerintah Daerah
Petani dan
Pemerintah
Kuesioner Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
1 bulan
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 34
Dokumen Potensi
Pertanian Daerah
(Pemerintah Daerah)
Daerah (Dinas
Pertanian)
2. Produksi Produksi
Tanaman
Sekunder Kuesioner/Wawancara
dengan petani dan
Pemerintah Daerah
Dokumen Potensi
Pertanian Daerah
(Pemerintah Daerah)
Petani dan
Pemerintah
Daerah (Dinas
Pertanian)
Kuesioner Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
1 bulan
3. Kondisi
Umum
Tanam
Umur Tanaman Sekunder Kuesioner/Wawancara
dengan petani dan
Pemerintah Daerah
Dokumen Potensi
Pertanian Daerah
(Pemerintah Daerah)
Petani dan
Pemerintah
Daerah (Dinas
Pertanian)
Kuesioner Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
1 bulan
Diameter
batang
Primer Observasi langsung di
lapangan
Pohon sampel Diameter tape Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
1 bulan
Kondisi fisik
tanaman
Primer Observasi langsung Pohon sampel - - Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
1 bulan
Teknologi
1. Teknologi
budidaya
Penelusuran
budidaya utk
menjawab &
mengatasi
masalah
penurunan
produktivitas
tanaman,
Sekunder Kuesioner / Wawancara
dengan Petani
Petani Kuesioner Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab Malang
1 bulan
2. Teknologi
hama &
penyakit
tanaman
Penelusuran
budidaya untuk
menjawab
masalah hama
Sekunder Kuesioner / Wawancara
dengan Petani
Petani Kuesioner Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab Malang
1 bulan
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 35
dan penyakit
tanaman,
3. Teknologi
terhadap
kekeringan
& banjir
Penelusuran
budidaya untuk
menjawab
masalah
kekeringan
Sekunder Kuesioner / Wawancara
dengan Petani
Petani Kuesioner Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab Malang
1 bulan
4. Teknologi
pengelolaan
kesehatan
tanah
Penelusuran
budidaya untuk
menjawab
masalah
kesehatan
tanah
Sekunder Kuesioner / Wawancara
dengan Petani
Petani Kuesioner Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab Malang
1 bulan
Organisme
Pengganggu
Tanaman
1. Hama Keragaman
hama pada
kondisi saat ini
Primer Observasi di lapangan dan
penggunaan trap
Data hasil
pengamatan
langsung dan
trap
Yellow
sticky trap
Pan trap
Feromon
trap
USB
Microscope
Belum
tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
2 bulan
Keragaman
hama pada 5-
10 tahun
terakhir
Sekunder Kuesioner / wawancara
dengan Petani
Dokumen dari PHP
(POPT) dan
Laboratorium BPTPH
Mojokerto dan Pandaan
Studi Pustaka
Petani
Laporan hasil
pengamatan PHP
(POPT)
Laporan hasil
penelitian dan
publikasi di Univ.
Brawijaya
Kuesioner Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
2 bulan
2. Penyakit
Tanaman
Keragaman
penyakit
tanaman pada
kondisi saat ini
Primer Observasi di lapangan dan
penggunaan trap
Data hasil
pengamatan
langsung dan
trap
Gejala dan
Sampel
tanaman
sakit
Belum
tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
2 bulan
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Apel dan Durian di Jawa Timur 36
USB
Microscope
Keragaman
penyakit
tanaman pada
5-10 tahun
terakhir
Sekunder Kuesioner / wawancara
dengan Petani
Dokumen dari PHP
(POPT) dan
Laboratorium BPTPH
Mojokerto dan Pandaan
Studi Pustaka
Petani
Laporan hasil
pengamatan PHP
(POPT)
Laporan hasil
penelitian dan
publikasi di Univ.
Brawijaya
Kuesioner
Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
2 bulan
1. Kesuburan
Tanah
Fisika, Kimia,
Biologi Tanah
Primer Analisis Laboratorium Laporan hasil
analisis
- Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
1 bulan
Kandungan
Logam Berat
Primer Analisis Laboratorium Laporan hasil
analisis
- Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
1 bulan
2. Sosial
Ekonomi
Masyarakat
Populasi
Penduduk
Sekunder Pengumpulan data sekunder Dokumen dari
BPS Daerah dan
Dokumen Pemda
dalam angka
- Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
5 hari
Tingkat
pendidikan
Sekunder Pengumpulan data sekunder Dokumen dari
BPS Daerah dan
Dokumen Pemda
dalam angka
- Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
5 hari
Jumlah Petani Sekunder Pengumpulan data sekunder Dokumen dari
BPS Daerah dan
Dokumen Pemda
dalam angka
- Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
5 hari
Lahan
produktif
Sekunder Pengumpulan data sekunder Dokumen dari
BPS Daerah dan
Dokumen Pemda
dalam angka
- Tersedia Kota Batu, Kab
Jombang, Kab
Malang
5 hari