Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

14
1 USAHATANI ORGANIK: SALAH SATU ALTERNATIF UPAYA MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN 1 Witono Adiyoga Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung-40391 Latar Belakang Selama periode 1970'an, kebijaksanaan pembangunan pertanian dengan target peningkatan produksi, pada dasarnya bertumpu pada paradigma revolusi hijau yang mengandalkan intensifikasi penggunaan input moderen. Berbagai perubahan sebagai dampak kebijaksanaan ini tidak dapat dipungkiri telah memberikan beberapa pengaruh positif (terutama peningkatan produktivitas) serta mengurangi risiko usahatani (Ranaweera et al., 1993). Namun demikian, di dalam perkembangannya, perubahan-perubahan di atas ternyata mengandung biaya eksternal yang sangat signifikan berkaitan dengan aspek keberlanjutan usahatani (masalah generasi kedua revolusi hijau). Biaya eksternal tersebut diantaranya adalah semakin menipisnya lapisan atas tanah (topsoil), terkontaminasinya air tanah, semakin meningkatnya biaya produksi per unit, semakin tingginya ketergantungan petani terhadap input eksternal, dan kecenderungan semakin menurunnya keaneka-ragam hayati (Lynam & Herdt, 1989; Waibel and Setboonsarng, 1993). Usahatani adalah kegiatan yang mengandung risiko. Pelaku usahatani, khususnya petani, harus berhadapan dengan beragam jenis risiko. Namun demikian, kepedulian terhadap risiko lingkungan tampaknya merupakan hal yang relatif baru disadari oleh kebanyakan petani. Sejalan dengan semakin terbatasnya ketersediaan lahan pertanian serta semakin berkembangnya teknologi baru yang lebih efektif, beberapa pakar mengindikasikan bahwa teknologi baru tersebut sering kali cenderung bersifat lebih destruktif dan menimbulkan ketidak-pastian yang lebih tinggi terhadap kelestarian lingkungan (Ikerd, 1999; Pannell, 1999). Contoh nyata dari hal ini diantaranya adalah teknologi pengendalian hama penyakit secara kimiawi yang semakin canggih dan mahal, serta pemanfaatan tanaman/ternak transgenik. Memasuki periode tahun 2000, kebijaksanaan pembangunan pertanian diarahkan untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan melalui pendekatan pengembangan sistem agribisnis. Sebagaimana dirumuskan oleh Kantor Menko Ekuin dan PSP, LP-IPB (2000), sistem agribisnis terdiri dari empat sub-sistem (agribisnis hulu, pertanian primer, agribisnis hilir dan lembaga jasa) yang terintegrasi secara fungsional. Pengembangan sistem agribisnis tersebut kemudian dikonsepsikan sebagai suatu proses perubahan dengan tahapan: (a) agribisnis berbasis sumber- daya, (b) agribisnis berbasis investasi dan (c) agribisnis berbasis inovasi. Pendekatan sistem ini juga disertai dengan visi masa depan pertanian yang didukung oleh teknologi tinggi, bioteknologi dan teknologi informasi. Sasaran dari pendekatan sistem serta berbagai perangkat pendukung di atas pada dasarnya adalah untuk melakukan spesialisasi, mekanisasi, pemisahan, pentahapan serta pengendalian seluruh proses produksi yang mengarah pada industrialisasi pertanian. Dengan demikian, integrasi vertikal dari fungsi-fungsi produksi, prosesing dan distribusi diperkirakan akan semakin meningkat -- perluasan cakupan kegiatan mulai dari perancangan plasma nutfah sampai pembentukan preferensi konsumen -- yang 1 Makalah disampaikan pada Temu Teknologi Sayuran Organik, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bandung, tanggal 12 Maret 2002, Bandung.

Transcript of Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

Page 1: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

1

USAHATANI ORGANIK: SALAH SATU ALTERNATIF UPAYA MENUJU PERTANIAN

BERKELANJUTAN1

Witono Adiyoga

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung-40391

• Latar Belakang

Selama periode 1970'an, kebijaksanaan pembangunan pertanian dengan target

peningkatan produksi, pada dasarnya bertumpu pada paradigma revolusi hijau yang mengandalkan intensifikasi penggunaan input moderen. Berbagai perubahan sebagai dampak kebijaksanaan ini tidak dapat dipungkiri telah memberikan beberapa pengaruh positif (terutama peningkatan produktivitas) serta mengurangi risiko usahatani (Ranaweera et al., 1993). Namun demikian, di dalam perkembangannya, perubahan-perubahan di atas ternyata mengandung biaya eksternal yang sangat signifikan berkaitan dengan aspek keberlanjutan usahatani (masalah generasi kedua revolusi hijau). Biaya eksternal tersebut diantaranya adalah semakin menipisnya lapisan atas tanah (topsoil), terkontaminasinya air tanah, semakin meningkatnya biaya produksi per unit, semakin tingginya ketergantungan petani terhadap input eksternal, dan kecenderungan semakin menurunnya keaneka-ragam hayati (Lynam & Herdt, 1989; Waibel and Setboonsarng, 1993).

Usahatani adalah kegiatan yang mengandung risiko. Pelaku usahatani, khususnya petani, harus berhadapan dengan beragam jenis risiko. Namun demikian, kepedulian terhadap risiko lingkungan tampaknya merupakan hal yang relatif baru disadari oleh kebanyakan petani. Sejalan dengan semakin terbatasnya ketersediaan lahan pertanian serta semakin berkembangnya teknologi baru yang lebih efektif, beberapa pakar mengindikasikan bahwa teknologi baru tersebut sering kali cenderung bersifat lebih destruktif dan menimbulkan ketidak-pastian yang lebih tinggi terhadap kelestarian lingkungan (Ikerd, 1999; Pannell, 1999). Contoh nyata dari hal ini diantaranya adalah teknologi pengendalian hama penyakit secara kimiawi yang semakin canggih dan mahal, serta pemanfaatan tanaman/ternak transgenik.

Memasuki periode tahun 2000, kebijaksanaan pembangunan pertanian diarahkan untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan melalui pendekatan pengembangan sistem agribisnis. Sebagaimana dirumuskan oleh Kantor Menko Ekuin dan PSP, LP-IPB (2000), sistem agribisnis terdiri dari empat sub-sistem (agribisnis hulu, pertanian primer, agribisnis hilir dan lembaga jasa) yang terintegrasi secara fungsional. Pengembangan sistem agribisnis tersebut kemudian dikonsepsikan sebagai suatu proses perubahan dengan tahapan: (a) agribisnis berbasis sumber-daya, (b) agribisnis berbasis investasi dan (c) agribisnis berbasis inovasi. Pendekatan sistem ini juga disertai dengan visi masa depan pertanian yang didukung oleh teknologi tinggi, bioteknologi dan teknologi informasi. Sasaran dari pendekatan sistem serta berbagai perangkat pendukung di atas pada dasarnya adalah untuk melakukan spesialisasi, mekanisasi, pemisahan, pentahapan serta pengendalian seluruh proses produksi yang mengarah pada industrialisasi pertanian. Dengan demikian, integrasi vertikal dari fungsi-fungsi produksi, prosesing dan distribusi diperkirakan akan semakin meningkat -- perluasan cakupan kegiatan mulai dari perancangan plasma nutfah sampai pembentukan preferensi konsumen -- yang

1 Makalah disampaikan pada Temu Teknologi Sayuran Organik, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bandung, tanggal 12 Maret 2002, Bandung.

Page 2: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

2

disertai pula dengan semakin meningkatnya ketergantungan terhadap teknologi biologis dan teknologi informasi pada semua tingkatan di dalam sistem pertanian (Ikerd, 1997). Melalui pendekatan ini dimungkinkan tercapainya sistem pertanian yang lebih efisien -- populasi petani yang cenderung semakin menurun, tetapi mampu menjamin ketahanan pangan lebih banyak orang dengan kualitas yang lebih baik dan biaya yang lebih rendah. Namun demikian, perlu dicermati pula bahwa kebijakan di atas memiliki peluang kegagalan yang cukup tinggi, terutama jika dikaitkan dengan kondisi sektor pertanian yang sedang mengalami masalah generasi kedua revolusi hijau. Pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa industrialisasi pertanian dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya degradasi lingkungan dan pengurasan basis sumberdaya alam. Pupuk buatan dan pestisida komersial yang merupakan elemen esensial dalam industrialisasi pertanian telah menjadi fokus perhatian berkaitan dengan peranannya sebagai salah satu sumber utama polusi lingkungan.

Mengacu pada uraian di atas, pengembangan sistem agribisnis sebagai strategi utama pembangunan pertanian perlu pula didukung oleh komitmen yang tinggi untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Dalam konteks ini, pertanian berkelanjutan berperan sebagai suatu paradigma yang digunakan untuk acuan dalam perencanaan atau pengambilan keputusan. Elemen-elemen esensial dalam pertanian berkelanjutan adalah: (a) perlindungan terhadap sistem ekologis, (b) pemerataan atau keadilan antar generasi, dan (c) efisiensi penggunaan sumberdaya (Dunlap et al., 1992; Bosshard, 2000). Ketiga elemen tersebut merupakan isu-isu terpisah yang tidak dapat dikombinasikan secara sederhana dan masih menjadi bahan diskusi hangat, terutama menyangkut indikator-indikator pengukurannya (Andreoli and Tellarini, 2000; Steiner, et al., 2000, Lefroy, et al., 2000; Sands and Podmore, 2000). Terlepas dari tantangan kesulitan pengukuran tersebut, tampaknya sudah menjadi kesepakatan umum bahwa setiap elemen keberlanjutan di atas tetap harus dipertimbangkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan kebijakan pembangunan pertanian (Pannell and Schilizzi, 1999; Clemetsen and Laar, 2000; Kniper, 2000). Produksi intensif dan permintaan sayuran sepanjang tahun, selain dihadapkan pada masalah konversi lahan produktif yang berjalan cepat (akibat kebutuhan non-pertanian yang secara sosio-ekonomis dianggap lebih mendesak, misalnya perumahan dan industri), juga menghadapi masalah-masalah lain meliputi polusi air tanah (akibat penggunaan material kimiawi berlebih dan tidak tertatanya sistem drainase), penurunan produktivitas lahan (akibat pengelolaan lahan yang cenderung eksploitatif, tanpa memperhatikan upaya reklamasi), tingginya tingkat residu (akibat penggunaan pestisida kimiawi yang cenderung berlebih), rendahnya kualitas produk dan tingginya kehilangan hasil lepas panen (akibat kurang diperhatikannya proses penanganan produk dan serangan/eksplosi hama penyakit sebagai konsekuensi terganggunya keseimbangan ekologis) (Jansen et al., 1994). Berbagai masalah tersebut pada dasarnya merupakan indikasi bahwa sistem usahatani sayuran diduga semakin menjauhi alur model pengembangan berkelanjutan. Dalam konteks ini, pengembangan pertanian/sayuran organik dapat ditawarkan sebagai salah satu bentuk sistem produksi yang sejalan dengan prinsip pertanian berkelanjutan. • Pertanian/Usahatani Organik

Asumsi dan Prinsip Pertanian organik pada awalnya dikembangkan dari filosofi seorang antropolog Jerman (Rudolf Steiner-1913) yang secara teoritis mempertimbangkan manusia sebagai salah satu bagian dari keseimbangan kosmik dan berkewajiban untuk memahami cara hidup harmonis dengan lingkungannya. Teori ini kemudian diaplikasikan di bidang pertanian oleh H.

Page 3: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

3

Pfeiffer pada awal tahun 1920’an dan melahirkan biodynamic agriculture yang selanjutnya berkembang di Eropa sebagai organic agriculture (Viandes, 1999). Pada dasarnya tidak ada definisi tunggal untuk pertanian organik, karena terminologi ini lebih tepat diarahkan untuk mencirikan suatu gerakan (movement), bukan suatu kebijakan (policy). Batasan pertanian organik lebih sering digambarkan melalui deskripsi: (a) suatu agro-ekosistem yang secara mandiri dan persisten memelihara keseimbangan lingkungan, (b) sejauh memungkinkan, sistem ini memanfaatkan sumberdaya lokal dan sumberdaya yang dapat diperbaharui, (c) secara holistik menggabungkan aspek ekologis, ekonomis dan sosial dari produksi pertanian, baik ditinjau dari perspektif lokal maupun global, (d) alam dipertimbangkan secara utuh beserta dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dan manusia memiliki kewajiban moral untuk melakukan usahatani dengan cara-cara yang memberikan dampak positif terhadap keberlanjutan sistem produksi (Kristensen, 2000). Secara lebih spesifik, pertanian organik adalah suatu sistem produksi yang tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimiawi buatan, tetapi bertumpu pada pengembangan diversitas bilogis dan pemeliharaan/perbaikan kesuburan tanah (Organic Farming Res. Foundation, 1998). Pertanian organik dikembangkan berdasarkan sejumlah prinsip dan gagasan yang diarahkan untuk: (a) mendorong interaksi konstruktif antara metode produksi dengan sistem dan daur ulang alami, (b) mendorong dan meningkatkan daur ulang biologis dalam sistem usahatani yang melibatkan mikro organisme, flora dan fauna tanah, tanaman dan hewan, (c) memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan, (d) memelihara keaneka-ragaman hayati yang terdapat di dalam sistem produksi, termasuk habitat tanaman dan hewan, (e) menggunakan seoptimal mungkin sumberdaya dapat diperbaharui yang berasal dari sistem usahatani itu sendiri, (f) meminimalkan segala bentuk polusi yang mungkin timbul dari kegiatan usahatani, (g) mempromosikan penggunaan dan pemeliharaan air secara tepat dan sehat, dan (I) mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari kegiatan usahatani terhadap kondisi sosial dan ekologis (Ikerd, 1999; Benbrook, 1998; Fairweather, 1999). Substansi dari prinsip ekologis dan sasaran pertanian organik menggaris-bawahi kedudukan manusia sebagai bagian integral dari alam, dan alam merupakan entitas yang kompleks, sehingga manusia tidak dapat sepenuhnya memahami konsekuensi serta pengaruh yang ditimbulkannya terhadap alam. Berdasarkan asumsi fundamental tersebut, beberapa prinsip pengembangan yang sesuai dengan filosofi pertanian organik dapat ditentukan, yaitu: Asumsi Prinsip Pengembangan

Manusia sebagai bagian integral siklus alam Manusia tidak sepenuhnya memahami konsekuensi yang timbul dari tindakannya terhadap alam

Kolaborasi dengan alam harus dipromosikan mengacu pada prinsip siklikal yang menjamin diversitas dan harmoni, serta daur ulang dan penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui (Cyclical principle)

Teknologi yang telah dikenal pengguna dan berfungsi dengan baik merupakan pilihan yang lebih baik dibanding teknologi yang berisiko (Precautionary principle)

Transparansi dan kerjasama dalam produksi pangan dapat diperbaiki melalui “kedekatan”. Salah satu contoh adalah penggunaan experience-based-knowledge dan local interest menyangku pengembangan nilai-nilai kultural dan sosial (Nearness principle)

Page 4: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

4

(a) Prinsip siklikal (The cyclical principle) yang didasarkan pada kenyataan bahwa nutrisi dapat didaur ulang dan digunakan lagi, dan dengan pertolongan sinar matahari, sumberdaya dapat diperbaharui kembali. Melalui pendekatan yang sama, manusia juga harus mendaur-ulang nutrisi, menghindarkan penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, dan mencegah eksploitasi sumberdaya alam secara berlebih, (b) Prinsip pencegahan (The precautionary principle) yang merekomendasikan kehati-hatian dalam pemanfaatan teknologi baru, karena manusia merupakan bagian dari siklus alami dan alam merupakan suatu entitas yang sangat kompleks, sehingga manusia menemukan kesulitan untuk memperkirakan konsekuensi tindakannya. Konsekuensi alami dari prinsip pencegahan adalah perlu didahulukannya teknologi lama yang dikenal pengguna dan berfungsi baik, dibandingkan dengan teknologi baru yang dikembangkan secara lebih teoritis, dan (c) Prinsip kedekatan (The nearness principle) yang menaruh perhatian terhadap upaya untuk mengamankan aspek-aspek sosial khusus dari pertanian organik, misalnya transparansi, keselamatan, humanitas dan keadilan sosial. Kontak langsung antara produsen dengan konsumen dapat mengurangi alienasi yang seringkali merupakan ciri/karakteristik masyarakat moderen. Pembelajaran yang berbasis pada pengalaman lokal serta penelitian ke dalam sistem secara keseluruhan akan merupakan komponen sentral untuk mengamankan nilai-nilai sosial dan kultural hubungan manusia dengan alam (Kristensen, 2000). Aspek Teknologi Usahatani Organik Material perbanyakan tanaman Pada dasarnya, pertanian organik mensyaratkan penggunaan benih/bibit yang berasal dari sumber atau penangkar benih/bibit organik yang bersertifikat. Namun mengingat keterbatasan pemasok benih/bibit dengan kualifikasi seperti di atas, maka masih dimungkinkan untuk memperoleh benih/bibit dari sumber lain. Syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa benih/bibit tersebut harus bebas dari perlakuan yang menggunakan material inorganik (dilarang). Benih/bibit yang berasal dari material rekayasa genetik atau transgenik sepenuhnya tidak diperbolehkan. Untuk beberapa standar organik, kelonggaran ini hanya berlaku selama masa transisi atau sampai tiga tahun sejak masa transisi/konversi dimulai. Jika masalah sumber bibit bersertifikat tersebut masih belum dapat dipecahkan, maka direkomendasikan kepada petani organik untuk memproduksi benih/bibit sendiri,dengan tetap memperhatikan material atau media yang diperbolehkan atau dibatasi atau dilarang. Rotasi tanaman Rotasi tanaman merupakan aspek penting dalam pertanian organik yang diarahkan untuk memelihara atau memperbaiki kesuburan dan struktur tanah, bahkan dalam pengendalian gulma, hama dan penyakit. Rancangan dasar/umum rotasi tanaman menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut: � Tanaman yang berakar dalam harus diikuti oleh tanaman yang berakar dangkal untuk

menjaga struktur tanah tetap terbuka dan membantu drainase. Hal ini juga diarahkan untuk mencegah timbulnya penurunan atau hilangnya kesuburan tanah di bagian tertentu saja.

� Fase penggunaan tanaman yang bersifat fertility giving harus digilir dengan fase penanaman tanaman yang bersifat fertility demanding, misalnya penggunaan legumes dan tanaman pupuk hijau untuk mengembalikan kesuburan tanah setelah digunakan untuk menanam jagung

Page 5: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

5

� Melakukan pergiliran antara tanaman yang memiliki biomassa akar tinggi dengan rendah, karena biomassa akar ini dapat membantu terbentuknya habitat untuk organisme/mikro-organisme tanah

� Rotasi antara spesies-spesies tanaman yang berbeda berdasarkan pertimbangan diversitas tanaman dan meminimalkan masalah gulma, hama serta penyakit.

Praktek kultivasi/pengolahan tanah Pengolahan tanah yang berlebihan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas lahan, karena berbagai gangguan yang ditimbulkan pada habitat organisme/mikro-organisme tanah, pencucian dan erosi tanah. Tanaman penutup tanah, misalnya tanaman pupuk hijau, disarankan untuk digunakan karena berperan penting dalam memelihara kesuburan tanah. Beberapa hal yang disarankan dalam pengolahan tanah adalah: (a) mempertimbangkan iklim, topografi dan kondisi tanah sebelum pengolahan dimulai, (b) memelihara residu permukaan, mengurangi kecepatan operasi pengolahan tanah untuk menjaga agregat tanah dan meminimalkan oksidasi bahan organik, (c) meminimalkan pemadatan tanah, menghindarkan pengolahan pada tanah basah, dan (d) meminimalkan frekuensi serta intensitas gangguan terhadap tanah. Hal lain yang juga disarankan adalah membatasi penanaman mengikuti barisan (row cropping) selama tiga tahun berturut-turut. Pengelolaan kesuburan tanah Pemeliharaan kesuburan tanah tidak cukup hanya dilakukan melalui rotasi tanaman dan pengolahan tanah bijaksana. Oleh karena itu, disarankan pula untuk mengembalikan bahan-bahan yang dapat terdegradasi secara biologis, berasal dari tanaman atau hewan secukupnya, agar dapat meningkatkan atau memelihara kesuburan dan aktivitas biologis yang terjadi di dalam tanah. Penggunaan pupuk kandang atau urine hewan yang berasal dari usahatani sendiri diperbolehkan, tetapi yang berasal dari luar dibatasi. Pupuk kandang yang berasal dari luar harus melalui proses pengomposan sebelum digunakan. Bahan kompos yang berasal dari luar usahatani masih diperbolehkan jika sumbernya adalah usahatani organik lain yang bersertifikat. Penggunaan bakteri sampai batas tertentu untuk mempercepat pengomposan masih diperbolehkan. Penggunaan guano yang berasal dari burung laut (bukan kelelawar) tidak diperbolehkan dengan alasan pengumpulannya (intervensi manusia) dapat mengganggu habitatnya yang sangat rentan. Pada beberapa kasus, penggunaan inokulasi rizobium dan mikoriza juga masih diperbolehkan. Berbagai standar mengenai pertanian organik yang berlaku di berbagai negara, secara spesifik mengatur penggunaan pupuk kandang, kompos, bahkan cara pembuatannya. Regulasi yang dituangkan dalam standar tersebut juga berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan negara bersangkutan. Pengendalian hama penyakit Berbagai standar organik menekankan penggunaan tanaman dan varietas yang tepat, rotasi tanaman yang terencana, companion planting serta praktek pemeliharaan kesuburan lahan sebagai cara yang bijaksana untuk menekan kehilangan hasil akibat insiden hama penyakit dan gulma. Perhatian khusus juga ditekankan agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang secara alami. Penggunaan material tertentu harus sesuai dengan petunjuk Codex, yaitu: (a) material yang digunakan harus sesuai dengan prinsip prinsip pertanian organik, (b) substansi yang digunakan harus tepat, sesuai dengan tujuan/sasaran penggunaan, (c) substansi yang digunakan tidak berbahaya bagi lingkungan, dan (d) substansi yang digunakan mempunyai dampak negatif terendah terhadap kesehatan manusia dan kualitas

Page 6: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

6

hidup. Pengendalian gulma disarankan ditempuh melalui rotasi tanaman, pengaturan kerapatan tanam, penyiangan manual atau mekanis dan pemulsaan. Penggunaan mulsa alami sangat disarankan, sedangkan penggunaan mulsa plastik polikarbonat dibatasi dan mulsa plastik polivinil klorida tidak diperbolehkan. Beberapa standar memberikan sedikit fleksibilitas bagi petani yang sedang dalam tahap transisi dari usahatani konvensional ke organik. Beberapa contoh teknik budidaya dan input yang diperbolehkan, masih diperde-batkan atau dilarang dalam pertanian organik diperlihatkan pada tabel di bawah ini.

Teknik Budidaya

Diperbolehkan

(Permitted)

Masih diperdebatkan

(Under debate)

Dilarang

(Restricted)

Kultivasi/pengolahan tanah berdasarkan barisan, secara manual X

Kultivasi/pengolahan tanah berdasarkan barisan, secara mekanis X

Penyiangan mekanis X

Pengukusan top-soil X X

Pemulsaan jerami X X

Pemulsaan plastik X

Penyemprotan dengan sulfur X X

Penyemprotan dengan copper sulphate X X

Penyemprotan dengan humus X

Penyemprotan dengan ekstrak tanaman X

Penyemprotan dengan bahan kimiawi X

Pengolahan tanah dalam X X

Penggunaan kompos X

Penggunaan pupuk kandang X

Penggunaan pupuk artifisial X

Produksi di greenhouse tanpa tanah X X

Penggunaan GMO X X

Penggunaan EM X X

Penggunaan varietas yang bukan organik X X

Penggunaan pupuk kandang dari luar X X

Penggunaan bahan bakar fosil X X

Penggunaan bio-gas X X

Sertifikasi dan Standarisasi Pertanian Organik Produk organik bersertifikat adalah produk pertanian yang diproduksi dan diproses berdasarkan standar seragam yang ketat dan diverifikasi setiap tahun oleh institusi independen atau swasta (sebagai contoh, setiap negara bagian di USA memiliki regulasi dan sertifikasi untuk pertanian organik). Sertifikasi meliputi pengawasan kebun usahatani serta fasilitas pengolahan. Praktek usahatani yang diawasi termasuk pengelolaan lahan/tanah jangka panjang, pelabelan produk dan record keeping. Serifikasi dan standarisasi pertanian organik

Page 7: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

7

dirintis oleh International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) dan digunakan sebagai acuan untuk berbagai standar di berbagai negara. Berbagai lembaga sertifikasi yang ada harus mendapat akreditasi dari IFOAM. Namun perlu diperhatikan bahwa perbedaan standar organik tidak dapat terelakkan terjadi di antara berbagai lembaga sertifikasi/standarisasi tersebut. Hal ini memiliki implikasi yang cukup jauh, karena dapat berfungsi sebagai hambatan dalam perdagangan bebas produk pertanian organik (Rahman, 2000). • Uraian Singkat Perkembangan Pertanian Organik Global

Walaupun masih berada pada skala industri yang relatif kecil, pertanian organik mulai tumbuh cukup pesat sebagai salah satu alternatif sistem produksi. Sebagai contoh, di beberapa negara maju, pertanian organik telah menunjukkan kontribusi cukup signifikan terhadap sistem pangan yang berlaku (10% di Austria, 7,8% di Switzerland), sedangkan di negara-negara lainnya tumbuh di atas 20% per tahun (Germany, Italy, USA, France, Japan, Singapore) (IFOAM, 1999). Beberapa negara berkembang juga mulai memiliki pasar domestik untuk produk organik (Egypt) dan mulai mengembangkan produk organik untuk ekspor (kopi dari Mexico, kapas dari Uganda). Pada umumnya produk organik dijual pada tingkat premium yang cukup tinggi. Produk organik dapat dihargai 20% lebih tinggi dibandingkan dengan harga produk serupa yang bersifat non-organik (Lohr, 1998, Thompson, 1998). Tabel di bawah ini menunjukkan nilai produk organik yang masuk ke pasar, konsumsi per kapita pertumbuhan tahunan serta rata-rata premium produk organik untuk berbagai negara yang diinventarisasi oleh Ritchie, et al. (2000). Negara Nilai pasar organik

(US$ mill.) Konsumsi per kapita

(US$) Tingkat pertumbuhan

pasar (%/tahun) Rata-rata premium (%)

Argentina 3 0,08 25 -

Australia 132 6,95 60 35

Austria 152 19,00 - 10-50

Brazil 150 0,87 20 25-35

Canada 571 18,42 25 10-50

Denmark - - - 30-50

France 610 10,34 25 25-50

Germany 1 800 21,95 10 30

Hongkong - - 15 15

Italy 900 15,79 20 20-200

Japan 3 000 23,81 - 10-30

Korea 61 1,30 - 50

Mexico 15 0,15 - 30-40

New Zealand 16 4,44 50 10-100

Philippines - - 10-20 20-30

Poland - - - 10-30

Portugal - - - 10-15

Slovakia - - - 15

Spain - - - 20-50

Taiwan 9,5 0,43 30 > 400

UK 650 11,02 100 25-100

USA 6 000 21,98 20 10-20

Total 14,07 bill.

Average 10,44 35 35

Page 8: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

8

• Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia Sebagian besar petani, khususnya di luar Jawa, mungkin dapat dikategorikan sebagai petani organik, karena tidak ditargetkan sebagai partisipan revolusi hijau, dan sampai saat ini masih melanjutkan usahataninya secara tradisional. Sementara itu, di daerah lain banyak petani yang tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan akan pupuk dan pestisida pada saat harganya meningkat, sebagai dampak dari krisis ekonomi. Hal ini mengimplikasikan bahwa argumen-tasi metode pertanian organik menjadi sangat relevan. Beberapa kelompok tani dan lembaga swadaya masyarakat memandang pertanian organik sebagai suatu cara untuk melawan dampak kerusakan yang diakibatkan oleh revolusi hijau dan membebaskan petani dari dominasi revolusi hijau – ketergantungan terhadap pupuk, pestisida serta input kimiawi lainnya. Namun demikian, kepedulian/kesadaran publik mengenai arti pertanian organik dan permintaan konsumen untuk produk organik masih sangat rendah (belum ada skim nasional untuk sertifikasi dan pelabelan produk organik). Pemilik toko yang menjual produk organik di Yogyakarta (didirikan pada tahun 1997 oleh Consortium of Fair Trade Community, dengan bantuan pendanaan dari Oxfam) mengeluhkan kesulitan untuk mencari pelanggan yang bersedia membeli produk organik dengan harga lebih tinggi dibandingkan dengan produk konvensional. Beberapa organisasi yang mulai memusatkan perhatian ke pertanian organik (termasuk isu-isu keamanan pangan dan transgenik) diantaranya adalah: 1. Konphalindo: [email protected] 2. PAN Indonesia: [email protected] 3. ELSPPAT: [email protected], http://www.eslppat.or.id/ 4. Jaringan Kerja Kearifan Tradisional: [email protected] 5. Jaringan Kerja Pertanian Organik : [email protected] 6. SPTN HPS : [email protected] 7. FSPI, SPSU (national and N. Sumatran peasants union): [email protected] 8. Sintesa: [email protected] 9. Bina Sarana Bhakti: [email protected] 10. Kehati Foundation: [email protected] 11. INSIST: [email protected] Berbagai organisasi ini merupakan anggota dari Jaringan Kerja Pertanian Organik. Jaker PO bukan anggota dari IFOAM, tetapi kedua organisasi ini bekerja sama dalam beberapa aktivitas. Salah satu studi mengenai karakterisasi pertanian organik dilaksanakan pada tahun 1999/2000 di Jawa Barat dengan metodologi sebagai berikut: � Dalam konteks penelitian ini, pertanian organik didefinisikan sebagai suatu sistem

pengelolaan produksi holistik yang mempromosikan dan mendorong terciptanya keberlanjutan agroekosistem, termasuk di dalamnya keaneka-ragaman hayati/bio-diversitas, siklus biologi dan aktivitas biologis. Sistem ini tidak menggunakan bahan-bahan sintetis, tetapi mengupayakan optimalisasi pemanfaatan metode-metode agronomis, biologis dan mekanis untuk memenuhi atau menjalankan setiap fungsi-fungsi spesifik di dalam sistem. Dengan demikian, terminologi "organik" bukan merupakan product claim, tetapi lebih bersifat process claim.

� Identifikasi kegiatan pertanian organik, khususnya untuk usahatani sayuran, dilakukan di Jawa Barat pada bulan Oktober 1999 - Januari 2000. Penelusuran melalui lembaga

Page 9: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

9

swadaya masyarakat menghasilkan informasi menyangkut keberadaan Jaringan Kerja Pertanian Organik Indonesia (JAKER PO). Menimbang cakupan penelitian yang akan dilaksanakan (terutama menyangkut usahatani sayuran), JAKER PO merekomendasikan dua yayasan (Tidusaniy-Ciwidey dan Bina Sarana Bhakti-Cisarua) serta seorang organic grower (Wieke Lorentz-Lembang) yang dianggap dapat memberikan gambaran umum menyangkut perkembangan usahatani sayuran organik di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.

� Disamping observasi lapangan, wawancara intensif dilakukan dengan setiap responden (manajer) mengacu pada panduan pertanyaan (guide question) yang sebagian besar bersifat terbuka (open-ended question) dan kualitatif. Pada umumnya, pertanyaan yang diajukan cenderung bersifat eksploratif berdasarkan sekuen penyiapan lahan, penanaman, penyiangan, pemupukan, pengendalian hama penyakit, panen dan pasca panen, pembibitan dan pemasaran. Oleh karena cakupan penelitian yang cukup mendetil, setiap responden rata-rata dikunjungi sebanyak tiga kali.

� Karakterisasi usahatani organik dilakukan dengan menggunakan parameter-parameter yang merupakan modifikasi dan adaptasi dari klasifikasi usahatani konvensional vs. organik yang dikembangkan oleh PPPG Pertanian Cianjur (1999) serta strategi pengelolaan budidaya organik yang dikembangkan oleh Organic Farming Research Foundation (1997). Hal ini dilakukan karena sampai saat ini belum ada standar baku maupun sertifikasi usahatani organik di Indonesia. Berdasarkan wawancara dan pengamatan langsung di lapangan, skoring untuk setiap parameter ditentukan mengikuti tiga-skala skor yang menggambarkan konsistensi usahatani bersangkutan dalam melaksanakan prinsip-prinsip usahatani organik, yaitu: 1(√) cukup konsisten, 2 (√√) konsisten, dan 3 (√√√) sangat konsisten.

Karakterisasi sistem berdasarkan prinsip-prinsip pertanian organik yang telah dilaksanakan

No Kegiatan Pertanian Organik Ciwidey Cisarua Lembang

1. Persiapan benih

Sebagian besar benih/bibiit bersumber dari produksi sendiri dan berasal dari tumbuhan alami

√√ √√√ √

2. Pengolahan tanah

Olah tanah minimal untuk memacu perkembangan organisme tanah dan menjaga aerasi tanah

√√√ √√√ √√√

Multikultur √√√ √√√ √√√

Rotasi tanaman √√√ √√√ √√√

Kombinasi tanaman dalam satu luasan lahan tertentu √√√ √√√ √√√

Tanaman pendamping (Companion planting) √√√ √√√ √√

Penanaman tanaman habitat predator, tanaman pagar, penolak hama, perangkap hama

√√ √√√ √

3. Penanaman

Tanaman pupuk hijau material pestisida hayati dan obat-obatan √√√ √√√ √√

4. Pemupukan Menggunakan pupuk organik (pupuk hijau, kompos, kandang) √√√ √√√ √√√

Metode pengendalian mekanis (membuang ulat atau memusnahkan tanaman terserang layu)

√√√ √√√ √√√

Melakukan pengaturan waktu tanam √√ √√√ √√

Memutuskan siklus hidup hama/ penyakit (pemberaan lahan, rotasi tanaman dan tidak menggunakan mulsa tanaman sejenis)

√√ √√√ √

Menyemprot dengan bio-pestisida √√ √√ √√

5. Pengendalian hama penyakit

Sanitasi -- menjaga kebersihan lingkugan di sekitar kebun √√ √√√ √

6. Panen dan pasca panen

Terprogram/terjadwal dan menggunakan kemasan daur ulang √√ √√√ √

Catatan: semakin banyak jumlah tanda √ , semakin tinggi konsisten usahatani bersangkutan melaksanakan prinsip-prinsip usahatani organik

Page 10: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

10

Berkaitan dengan bobot ke”organik”an, beberapa hal yang dapat ditarik dari hasil karakterisasi untuk ketiga sistem di atas adalah: • Secara umum, Perintis Pertanian Organik Cisarua (Yayasan Bina Sarana Bhakti)

merupakan yang terbaik (dengan skala usaha terbesar) dan dapat digunakan sebagai acuan atau model untuk pengusahaan sayuran secara organik

• Pertanian Organik Terpadu Tidusaniy (Yayasan Bakti Dua Insan Waliyyulloh) merupakan kedua terbaik (terutama karena relatif masih baru dan berada pada tahap akhir perintisan). Usahatani ini termasuk skala sedang dan memiliki kelebihan dibandingkan lainnya, karena mampu memasok susu kambing Etawa dalam jumlah cukup besar.

• Pertanian Organik Wieke Lorentz (Lembang) merupakan ketiga terbaik, karena relatif masih baru dan skalanya relatif kecil. Namun demikian, usahatani ini lebih memperlihatkan karakteristik integrated organic farming system dibandingkan dengan lainnya. Sebagai contoh, seluruh kebutuhan pupuk kandang sudah dapat dipenuhi dari ternak sendiri.

• Ditinjau dari skala pengusahaan, Perintis Pertanian Organik Cisarua (Yaya-san Bina Sarana Bhakti) telah dapat dikategorikan ke dalam skala semi-industri. Pertanian Organik Wieke Lorentz (Lembang) masih termasuk ke dalam skala rumah tangga (kombinasi antara motivasi bisnis dan kegemaran). Sementara itu, Pertanian Organik Terpadu Tidusaniy (Yayasan Bakti Dua Insan Waliyyulloh) terdapat di antara keduanya.

Pada saat bersamaan, studi ini juga didukung oleh penelitian awal persepsi konsumen menyangkut sayuran organik. Studi ini melibatkan 25 orang konsumen sayuran organik dan 60 orang konsumen sayuran non-organik. Tabel di bawah ini mengindikasikan bahwa persepsi konsumen terhadap sayuran organik sangat erat kaitannya dengan kesadaran akan kesehatan yang bersumber dari keamanan pangan. Konsumen percaya bahwa sayuran organik tidak mengandung zat kimia berbahaya dan memiliki kandungan vitamin lebih tinggi. Oleh karena itu, sekitar 59 % dari konsumen sering mengkonsumsi sayuran organik dalam keadaan segar. Sebagian besar konsumen setuju bahwa sayuran organik sukar diperoleh di pasar-pasar eceran biasa maupun di super market dan harganya masih dianggap mahal. Informasi lain yang dihimpun adalah persepsi konsumen menyangkut atribut kualitas sayuran organik dibandingkan dengan sayuran non-organik. Secara spesifik responden mengindikasikan bahwa penampakan sayuran organik tidak sebaik sayuran non-organik, ukurannya lebih kecil, rasanya lebih enak, lebih renyah, lebih tahan simpan, namun tidak ada perbedaan signifikan ditinjau dari atribut warna. � Persepsi konsumen organik terhadap sayuran organik.

Pendapat konsumen ( % ) Pernyataan

Setuju Tidak setuju

1. Sayuran organik adalah sayuran yang baik untuk kesehatan 100 0

2. Sayuran organik harganya mahal 72,72 27,28

3. Sayuran organik penampilannya mulus tanpa cacat. 20,92 79,08

4. Sayuran organik mengandung lebih banyak vitamin. 90,91 0,09

5. Sayuran organik mudah dibeli di tempat-tempat penjualan sayuran (pasar, super market). 18,13 81,87

6. Penampakkan sayuran organik mudah dibedakan dari sayuran biasa (non organik) 72,71 27,29

7. Sayuran organik rasanya lebih enak 95,44 4,56

8. Sayuran organik tidak mengandung zat kimia berbahaya. 100 0

9. Sayuran organik sering dikonsumsi dalam keadaan segar tanpa dimasak 59,08 40,92

10. Disamping mengkonsumsi sayuran organik, saya juga mengkonsumsi sayuran non organik. 86,34 13,66

Page 11: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

11

� Persepsi konsumen terhadap atribut kualitas sayuran organik.

Atribut kualitas Ciri kualitas dibandingkan dengan sayuran non organik Persentase ( % )

Penampakkan a. Lebih mulus

b. Lebih jelek

c. Penampilannya sama /sulit dibedakan

22,72

40,92

36,36

Ukuran a. Lebih besar

b. Lebih kecil

c. Ukurannya sama /sulit dibedakan

22,72

77,27

0

Rasa a. Lebih enak

b. Kurang enak

c. Rasanya sama

72,72

0

27,28

Warna a. Lebih cerah

b. Lebih buram

c. Warnanya tidak dapat dibedakan

22,72

13,63

63,65

Kerenyahan a. Lebih renyah

b. Kurang renyah

c. Kerenyahannya sama/sulit dibedakan

63,63

0

36,37

Ketahanan simpan a. Lebih tahan lama

b. Kurang tahan lama

c. Ketahanannya sama

72,72

4,5

22,78

Studi ini juga memberikan gambaran bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan konsumen, semakin tinggi pula kesediaan konsumen membayar lebih mahal untuk sayuran bebas pestisida. Konsumen organik tampaknya tidak terlalu peduli dengan masalah harga beli. Hal ini tercermin dari pembelian sayuran organik yang berlangsung rutin, dengan harga lebih mahal dibanding sayuran non-organik. Secara umum, konsumen organik bersedia membayar premium lebih tinggi untuk sayuran organik, dibandingkan dengan konsumen non-organik. Hal ini tampaknya disebabkan oleh pengetahuan serta kesadaran akan manfaat sayuran organik dari konsumen organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsumen non-organik. Konsumen tersebut adalah segmen konsumen yang memiliki latar belakang pendidikan menengah sampai tinggi serta berpendapatan sedang sampai tinggi. � Kesediaan konsumen untuk membayar sayuran organik secara lebih mahal.

Kesanggupan harga ( % dari harga sayuran biasa) Jenis sayuran

Konsumen organik Konsumen non organik

Wortel 40 – 60 20 – 40

Caisin 60 – 100 15 – 45

Petsai 50 – 75 10 – 35

Kangkung 80 – 150 20 – 57,5

Bayam 80 – 150 20 – 57,5

Kubis 50 – 100 15 – 35

Tomat - 15 – 35

Selada 50 – 100 15 – 25

Kacang panjang 25 – 50 -

Buncis 30 – 60 12,5 – 40

Page 12: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

12

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari studi preliminari ini diantaranya adalah: (a) permintaan terhadap sayuran organik masih terbatas pada konsumen dengan tingkat pendidikan menengah sampai tinggi serta berpendapatan sedang sampai tinggi, (b) konsumen yang telah memiliki pengetahuan tentang sayuran organik baru berkisar 54 %, terutama konsumen yang berpendidikan menengah – tinggi, (c) konsumen non-organik masih sulit untuk membedakan antara sayuran organik dan non-organik, sedangkan konsumen organik dapat membedakan keduanya, baik melalui atribut kualitas bagian luar, maupun melalui atribut organoleptik, (d) persepsi konsumen organik terhadap sayuran organik diantaranya sangat berkaitan dengan faktor kesadaran kesehatan, dan (e) sayuran organik mempunyai peluang untuk dipasarkan dengan harga yang lebih tinggi, walaupun segmen konsumennya masih sangat terbatas. Secara umum, hasil observasi di ketiga usahatani di atas memberikan gambaran sementara bahwa status pertanian organik di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup baik, walaupun kontribusinya terhadap produksi total sayuran relatif masih kecil (diperkirakan masih < 1%). Sampai dengan tahun 1988, anggota Jaringan Kerja Pertanian Organik tercatat sebanyak 31 lembaga swadaya masyarakat. Sementara itu, pada bulan Pebruari 2000, bahkan telah terbentuk Masyarakat Pertanian Organik Indonesia yang bersekretariat di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Hal ini secara tidak langsung merupa-kan suatu refleksi meningkatnya tingkat kesadaran akan pentingnya konsumsi sayuran sehat/bersih. Prospek pengembangan sayuran organik juga cenderung menjanjikan, sebagaimana diindikasikan oleh masih banyaknya permintaan yang belum dapat dipenuhi karena adanya keterbatasan pasokan. Salah seorang pengelola memberikan gambaran bahwa masa pengem-balian investasi untuk usahatani sayuran organik seluas 2-3 hektar, diperkirakan berkisar antara 6-7 tahun. Masa pengembalian tersebut dapat dipercepat menjadi 4-5 tahun, seandainya usahatani sayuran diintegrasikan dengan usaha ternak kambing Etawa. Kegiatan karakterisasi juga mengidentifikasi beberapa hal yang memerlukan dukungan penelitian, terutama menyangkut (a) pengelolaan gulma, (b) perencanaan usahatani dan perancangan integrasi ekosistem, (c) pengelolaan kesuburan organik terapan, dan (d) kualitas nutrisi dalam hubungannya dengan kultur praktis. Strategi pembangunan pertanian yang menekankan pada kebijakan pengembangan sistem agribisnis perlu didukung oleh kebijakan penyangga menyangkut sistem pertanian berkelanjutan, agar masalah generasi kedua revolusi hijau yang sedang dihadapi tidak semakin memburuk. Kebijakan penyangga tersebut harus lebih bersifat operasional, agar tidak lagi hanya sekedar bersifat retorik atau jargon pembangunan. Sampai saat ini, kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan pertanian organik di Indonesia sebagian besar merupakan inisiatif dari lembaga swadaya masyarakat. Jika strategi pembangunan di atas akan ditempuh, maka pemerintah perlu berperan lebih aktif lagi, karena pertanian organik dan produk organik merupakan bagian integral dari pertanian berkelanjutan. Dalam hal ini, pemerintah dapat berfungsi sebagai fasilitator melalui berbagai kebijakan spesifik (misalnya, standarisasi proses/ produk organik, pelabelan produk organik) yang dapat memberikan insentif bagi produsen untuk mengadopsi sistem produksi organik dan insentif bagi konsumen untuk mengkonsumsi produk bersih/sehat. Lebih jauh lagi, operasionalisasi kebijakan tersebut perlu dilaksanakan secara hati-hati dan konsisten, agar tidak terjebak pada pola pikir pertanian konvensional yang selalu menekankan pada aspek teknis dan skala makro. Operasionalisasi kebijakan harus disertai dengan kesadaran bahwa pengembangan pertanian organik memiliki nilai-nilai dan ukuran tersendiri, berdasarkan pada keselarasan alam. Beberapa nilai yang secara implisit terkandung dalam pengembangan pertanian organik adalah: spesifik lokal, tingkat produksi optimal, sistem produksi berkelanjutan, prinsip konservasi dan sesuai dengan budaya masyarakat setempat.

Page 13: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

13

DAFTAR PUSTAKA Andreoli, M and V. Tellarini. 2000. Farm sustainability evaluation: Methodology and practice.

Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 43-52.

Benbrook, C. 1998. Organic farming: Facing choices at the crossroads. Paper presented at "Sharing the Lessons of Organic Farming Conference", University of Guelph, Ontario, Canada, January 31, 1998.

Bosshard, A. 2000. A methodology and terminology of sustainability assessment and its perspectives for rural planning. Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 29-41.

Clemetsen, M. and J. Laar. 2000. The contribution of organic agriculture to landscape quality in the Sogn og Fjordane region of Western Norway. Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 125-141.

Dunlap, R.E., C.E. Beus, R.E. Howell, and J. Waud. 1992. What is sustainable agriculture? An empirical examination of faculty and farmer definitions. Journal of Sustainable Agriculture. 3: 5-39.

Fairweather, J.R. 1999. Understanding how farmers choose between organic and conventional production: Results from New Zealand and policy implications. Agriculture and Human Values, 16: 51-63.

IFOAM. 1999. A short overview and facts on worldwide organic agriculture. Available at http://ecoweb.dk/ifoam/orgagri/oaworld.html

Ikerd, J. 1997. Sustainable agriculture: A positive alternative to industrial agriculture. American Journal of Alternative Agriculture. 3: 174-182.

Ikerd, J. 1999. Organic agriculture faces the specialization of production systems: Specialized systems and the economical stakes. Paper presented at the international conference, " Organic Agriculture Faces the Specialization of Production Systems", Lyon, France, December 6-9, 1999.

Jansen, H. G., D. Poudel, D. J. Midmore, R. K. Raut, P. R. Pokhrel, P. Bhurtyal & R. K. Shrestha. 1994. Sustainable peri-urban vegetable production and natural resources management in Nepal: Results of a diagnostic survey. Working Paper no. 8. AVRDC, Taiwan.

Kantor Menko Ekuin dan PSP LP-IPB. 2000. Kebijaksanaan pembangunan agribisnis nasional. Makalah Diskusi Kebijakan Pembangunan Agribisnis Nasional, Bogor, 25 Januari 2000.

Kniper, J. 2000. A checklist approach to evaluate the contribution of organic agriculture to landscape quality. Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 143-156.

Ikerd, J.E. 1999. Environmental risks facing farmers. A paper presented at Tri-State Conference for Risk Management Education, Pocono Manor, Pennsylvania, March 5-6, 1999. USA.

Kristensen, E.S. 2000. Principles of organic farming. Discussion document prepared for Danish Research Center for Organic Farming Users Committee, November 2000. Denmark.

Lefroy, R.D.B., H. Bechstedt and M. Rais. 2000. Indicators for sustainable land management based on farmer surveys in Vietnam, Indonesia, and Thailand. Agriculture, Ecosystem and Environment, 81: 137-146.

Lohr, L. 1998. Implication of organic certification for market structure and trade. Paper presented at the Annual Meeting of the American Agricultural Economics Association, Salt Lake City, Utah, August 2-5, 1998.

Lynam, J. K. & R. W. Herdt. 1989. Sense and sustainability: Sustainability as an objective in international agricultural research. Agricultural Economics, 3(4): 381-398.

Page 14: Usahatani Organik_Salah Satu Alter Nat If Upaya Menuju Pertanian Berkelanjutan

14

Organic Farming Research Foundation, 1998. Frequently asked questions about organic farming. Available at http://www.ofrf.org/about_organic/ index.html

Organic Farming Research Foundation. 1997. Final results of the third biennial national organic farming farmers' survey. Available at http://www.ofrf.org/survey/1997.html

Pannell, D.J. and S. Schilizzi. 1999. Sustainable agriculture: A question of ecology, equity, economic efficiency or expedience? Journal of Sustainable Agriculture. 13(4): 57-66.

Pannell, D.J. 1999. Uncertainty and adoption of sustainable farming systems. Paper presented at the 43rd Annual Conference of the Australian Agricultural and Resorce Economics Society, New Zealand, January 20-22, 1999.

PPPG Pertanian Cianjur. 1999. Apa itu pertanian organik? Indah Offset, Malang

Rahman, M.A. 2000. Benchmarking study of organic standard. Final Report. Horticultural Management Group. Lincoln University, Canterburry

Ranaweera, N., J. M. Dixon and N. S. Jodha. 1993. Sustainability and agricultural development: A farming systems perspective. Journal of the Asian Farming Systems Asso., 2(1): 1-15.

Ritchie, M., H. Campbell and L. Sivak. 2000. Investigating the market for organic food: Dunedin, New Zealand and the World. Paper presented to Organic 2020: New Zealand National Conference on Organics, May 19-20, 2000. Auckland.

Sands, G. R. and T.H. Podmore. 2000. A generalized environmental sustainability index for agricultural system. Agriculture, Ecosystem and Environment, 79: 29-41.

Steiner, K., K. Herweg and J. Dumanski. 2000. Practical and cost-effective indicators and procedures for monitoting the impacts of rural development projects on land quality and sustainable land management. Agriculture, Ecosystem and Environment, 81: 147-154.

Thompson, G.D. 1998. Consumer demand for organic foods. Paper presented at the Annual Meeting of the American Agricultural Economics Association, Salt Lake City, Utah, August 2-5, 1998.

Viandes, M.H.R. 1999. History of organic farming. Meat Industry Documents, # 30 – February 1999. France.

Waibel, H. and S. Setboonsarng. 1993. Resource degradation due to chemical inputs in vegetable-based farming systems in Thailand. Journal of the Asian Farming Systems Association, 2(1): 107-120.