Usaha tani kelompok

9
BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian di Indonesia mensyaratkan paradigma baru dari para pengambil kebijakan. Sektor pertanian dalam paradigma baru perlu dilihat sebagai suatu sistem yang integral. Seluruh komponen sistem idealnya harus diuntungkan dan berkembang secara proporsional. Kondisi ini belum terjadi di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan reformasi kebijakan pembangunan pertanian yang mengacu konsep pertanian berkelanjutan. Sebelum reformasi itu digulirkan, pemerintah masih harus membenahi masalah besar yang belum terjawab diera orde baru, yaitu ketidakseimbangan antara faktor-faktor produksi : tanah, tenaga kerja, dan modal. Pembenahan ini perlu karena usaha tani berkelanjutan biasanya menempuh strategi diversifikasi usaha tani dan padat karya. Agar usaha tani tersebut layak secara ekonomis, dibutuhkan tingkat pemilikan modal dan tanah tertentu. Oleh karena itu, diperlukan reformasi dibidang pertanahan dan permodalan agar petani memperoleh kemudahan dan akses memperoleh modal. Faktor lain yang perlu disiapkan untuk memdukung sistem pertanian berkelanjutan adalah kesiapan petani. Hal mendasar yang dibutuhkan petani adalah suatu model pendidikan yang memicu kesadaran kritis mereka. Hal ini penting agar para petani dapat mengambil sikap terhadap pilihan-pilihan yang diberikan kepada mereka, misalnya dalam hal teknologi . Sistem pertanian berkelanjutan juga mensyaratkan informasi yang utuh, terpercaya, dan dapat

Transcript of Usaha tani kelompok

Page 1: Usaha tani kelompok

BAB I

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian di Indonesia mensyaratkan paradigma baru dari para

pengambil kebijakan.  Sektor pertanian dalam paradigma baru perlu dilihat sebagai suatu

sistem yang integral.  Seluruh komponen sistem idealnya harus diuntungkan dan berkembang

secara proporsional.  Kondisi ini belum terjadi di Indonesia.  Oleh karena itu diperlukan

reformasi kebijakan pembangunan pertanian yang mengacu konsep pertanian berkelanjutan.

Sebelum reformasi itu digulirkan, pemerintah masih harus membenahi masalah besar yang

belum terjawab diera orde baru, yaitu ketidakseimbangan antara faktor-faktor produksi :

tanah, tenaga kerja, dan modal.  Pembenahan ini perlu karena usaha tani berkelanjutan

biasanya menempuh strategi diversifikasi usaha tani dan padat karya.

Agar usaha tani tersebut layak secara ekonomis, dibutuhkan tingkat pemilikan modal

dan tanah tertentu.  Oleh karena itu, diperlukan reformasi dibidang pertanahan dan

permodalan  agar petani memperoleh kemudahan dan akses memperoleh modal. Faktor lain

yang perlu disiapkan untuk memdukung sistem pertanian berkelanjutan adalah kesiapan

petani.  Hal mendasar yang dibutuhkan petani adalah suatu model pendidikan yang memicu

kesadaran kritis mereka.  Hal ini penting agar para petani dapat mengambil sikap terhadap

pilihan-pilihan yang diberikan kepada mereka, misalnya dalam hal teknologi .  Sistem

pertanian berkelanjutan  juga mensyaratkan informasi yang utuh, terpercaya, dan dapat

diakses dengan mudah oleh petani. Dari pihak pemerintah, dituntut kemauan pilitiknya untuk

mereformasi kebijakan, pendekatan, serta metodologi pembangunannya selama ini.  Misalnya

untuk mengurangi segala macam peraturan (regulasi) dan pengendalian yang cenderung

berlebihan serta membelenggu  kebebasan dan mengingkari hak-hak petani.  Dukungan

berupa insentif seperti asuransi juga perlu untuk dipertimbangkan diberikan kepada petani.

Kelembagaan petani juga perlu diperkuat dengan jalan memberikan akses kepada

petani seluas luasnya untuk mengorganisir diri dan memperkuat posisi mereka tanpa

intervensi dan pembatasan oleh pemerintah.   Perlu disadari bahwa agenda pertanian

berkelanjutan hanyalah merupakan salah satu dari sekianbanyak agenda refoemasi sektor

pertanian yang perlu terus diperjuangkan.  Masih banyak lagi masalah-masalah petani yang

sampai sekarang belum teratasi.  Semua itu disebabkan oleh kebijakan pembangunan

pertanian selama ini masih belum berpihak kepada para petani.  Petani umumnya dibiarkan

berjuang sendiri untuk memperjuangkan hak-haknya.  Aksi-aksi menuntut reformasi yang

Page 2: Usaha tani kelompok

marak sekarang ini perlu digunakan sebagai momentum untuk membangun jaringan aliansi

yang lebih luas sambil terus menerus memperjuangkan kebijakan alternatif sistem pertanian

berkelanjutan di Indonesia.  Semua itu tentu dalam kerangka merekonstruksi kebijakan

pembangunan pertanian masa lalu yang belum berpihak kepada petani.

Page 3: Usaha tani kelompok

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 REVOLUSI HIJAU

Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan

perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada

tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang

nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di

beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti

India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa

negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang

dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini.

Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting: penyediaan air melalui

sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan

tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan

tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil

tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk

padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.

Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan

kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para

pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam

penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik

lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara

berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.

Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan

Indonesia dijalankan sejak rejim Orde Baru berkuasa.  Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana

telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi

sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu

lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989.  Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah

menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi

Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan

petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan.  Sebab sebelum

Page 4: Usaha tani kelompok

Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah

timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan

pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965. Pertanian revolusi hijau juga dapat disebut

sebagai kegagalan karena produknya sarat kandungan residu pestisida dan sangat merusak

ekosistem lingkungan dan kesuburan tanah.

Penggunaan pestisida juga menyebabkan terjadinya peledakan hama suatu keadaan

yang kontradiktif dengan tujuan pembuatan pestisida karena pestisida dalam dosis berlebihan

menyebabkan hama kebal dan mengakibatkan kematian musuh alami hama yang

bersangkutan.Namun, mitos obat mujarab pemberantas hama tetap melekat di sebagian

petani. Mereka tidak paham akan bahaya pestisida. Hal ini disebabkan karena informasi yang

sampai kepada mereka adalah ‘jika ada hama, pakailah pestisida merek A’. para petani juga

dibanjiri impian tentang produksi yang melimpah-ruah jika mereka menggunakan pupuk

kimia. Para penyuluh pertanian adalah ‘antek-antek’ pedagang yang mempromosikan

keajaiban teknologi modern ini. Penyuluh pertanian tidak pernah menyampaikan informasi

secara utuh bahwa pupuk kimia sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah,

sehingga tanah menghadapi bahaya erosi. Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus

juga akan mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di

dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah

di lahan-lahan yang menggunakan pupuk buatan dari tahun ke tahun terus menurun.

Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi

Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan

menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970an. Memang Revolusi Hijau

telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat.

Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian,

dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian. Gerakan revolusi hijau

di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980an. Saat itu, pemerintah mengkomando

penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya.

Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990an,

petani mulai kuwalahan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot,

ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi,

dan harga gabah dikontrol pemerintah. Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian,

pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini

telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani

Page 5: Usaha tani kelompok

sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada

beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan

terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat.

Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani. Revolusi hijau

memang pernah meningkatkan produksi gabah.

A. STUDI KASUS

MEMACU PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH MELALUI INOVASI

TEKNOLOGI

BUDI DAYA SPESIFIK LOKASI DALAM ERA REVOLUSI HIJAU LESTARI

Upaya peningkatan produksi pangan terutama beras telah lama menjadi sebuah

kebijakan nasional. Mulai Pelita I, teknik budi daya padi sawah di lahan irigasi menggunakan

“panca usaha tani” yang mencakup: penggunaan benih unggul, cara bercocok tanam yang

baik,pengaturan air irigasi, pemupukan, dan pemberantasan hama dan penyakit. Awalnya

program ini menggunakan berbagai varietas yang sudah dilepas, di antaranya varietas

Bengawan, Sigadis, Remaja, Sinta, dan Arimbi. Panca usaha tani yang mendasari program

Bimas dimulai pada tahun 1969 dengan menggunakan varietas introduksi dari IRRI yaitu IR8

yang merupakan varietas unggul baru (VUB) hasil persilangan padi Peta dari Indonesia

dengan Dee-geo-woo-gen dari Taiwan dengan postur tanaman sedikit lebih pendek dan

potensi hasil 4,5 t/ha (De Datta 1981).

Kebijakan intensifikasi pertanian melalui Bimas pada era tersebut mengatur

penerapan paket teknologi secara sentralistis dan sistematis yang memiliki kekuatan politik

dan ekonomi yang sangat kuat dengan sistem komando. Program Bimas diikuti oleh Insus

pada tahun 1980 dengan menerapkan teknologi sapta usaha tani yang merupakan

penyempurnaan dari panca usaha tani. Pengalaman menunjukkan, implementasi program

intensifikasi yang didukung oleh inovasi teknologi dan penyuluhan serta perbaikan

infrastruktur pertanian telah mampu meningkatkan produksi padi nasional secara

meyakinkan, sekaligus merupakan implementasi dari revolusi hijau. Puncaknya adalah

terwujudnya swasembada beras pada tahun 1984.

Supra Insus yang pendekatannya lebih holistik dicanangkan pada tahun 1987 dengan

10 jurus teknologi paket D. Program Supra Insus didukung berbagai VUB yang lebih tahan

hama dan penyakit, terutama IR64, sehingga mampu kembali meningkatkan produksi padi

sampai menembus 50 juta ton pada tahun 1996, namun dengan laju kenaikan produksi

pertahun lebih rendah dari sebelumnya. Situasi perberasan nasional berada pada keadaan

Page 6: Usaha tani kelompok

kritis sejak 1997 akibat dari krisis moneter, disertai oleh kemarau panjang. Untuk memacu

laju kenaikan produksi padi, dicanangkan Gerakan Mandiri Peningkatan Produksi Padi,

Kedelai dan Jagung (Gema Palagung).

Upaya ini belum terlalu efektif karena laju kenaikan produksi padi, jagung, dan

kedelai masih lebih rendah dari laju kenaikan permintaan. Produktivitas dari total faktor

produksi juga turun, yang menandakan bahwa untuk memperoleh tingkat produksi yang sama

diperlukan input lebih besar atau penambahan input tidak proporsional dengan kenaikan

hasil. Dengan kata lain, efisiensi produksi menurun. Untuk kembali meningkatkan efisiensi

produksi, Badan Litbang Pertanian membuat beberapa pilot percontohan Sistem Usaha Tani

Padi Berwawasan Agribisnis (SUTPA) tahun 1995-1997 di 14 provinsi. Teknologi yang

diintroduksi meliputi VUB Memberamo dan Cibodas serta teknologi hemat tenaga kerja

melalui sistem tanam benih langsung, pemupukan spesifik lokasi, dan penggunaan alat tanam

benih langsung (Fagi dan Zaini 1996; Adnyana 1997).