Urt Ikaria
Click here to load reader
-
Upload
rianty-adyati -
Category
Documents
-
view
221 -
download
4
description
Transcript of Urt Ikaria
6. Terangkan dan penatalaksanaan urtikaria
Urtikaria
Definisi
Urtikaria adalah reaksi vascular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya
ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna
pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan
subyektif biasanya gatal, rasa tersengat atau tertususk. Angioedema adalah urtika yang mengenai
lapisan kulit yang lebih dalam daripada dermis, dapat di submukosa atau subkutis juga dapat
mengenai saluran napas, saluran cerna dan organ kardiovaskular.
Sinonim
Hives, nettle rash, biduan, kaligata.
Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penybabnya. Diduga penyebab
urtikaria bermacam-macam, diantaranya : obat, makanan, gigitan/sengatan serangga, bahkan
fotosensitizer, inhalan, kontaktan, trauma fisik, infeksi dan infestasi parasit, psikis, genetic dan
penyakit sistemik.
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtika baik secara imunologik maupun non
imunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I
atau II. Contohnya ialah obat-obat golongan penisilin, sulfonamid, analgesik, pencahar,
hormone dan diuretik. Ada pula obat yang secara non imunologik langsung merangsang sel
masuntuk melepaskan histamin misalnya kodein, opium dan zat kontras. Aspirin
menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakidonat.
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria yang akut, umumnya akibat reaksi
imunologik. Makanan berupa protein atau bahan lain yang dicampurkan ke dalamnya seperti
zat warna, penyedap rasa atau bahan pengawet, sering menimbulkan urtikaria alergika.
Contoh makanan yang sering menimbulkan urtikaria ialah telur, ikan, kacang, udang, coklat,
tomat, arbei, babi, keju, bawang dan semangka, bahan yang dicampurkan seperti asam
nitrat, asam benzoate, ragi, salisilat dan penisilin.
3. Gigitan/ sengatan serangga
Gigitan/ sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih banyak
diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe selular (tipe IV). Tetapi venom dan toksin bakteri
biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen. Nyamuk, kepinding dan serangga lainnya
menimbulkan urtika bentuk popular di sekitar tempat gigitan, biasanya sembuh dengan
sendirinya setelah beberapa hari, minggu atau bulan.
4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini misalnya griseofulvin, sulfonamid, bahan kosmetik dan sabun
germisid sering menimbulkan urtikaria.
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk dari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu binatang dan aerosol
umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I). Reaksi ini sering dijumpai
pada penderita atopi dan disertai gangguan napas.
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur
binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia misalnya insect rapelent
(penangkis serangga) dan bahan kosmetik. Keadaan ini disebabkan bahan tersebut
menembus kulit dan menimbulkan urtikaria.
7. Trauma fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin yakni berenang atau memegang benda
dingin, faktor panas misalnya sinar matahari, sinar UV, radiasi dan pembakaran, faktor
tekanan yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes atau semprotan air,
vibrasi dan tekanan berulang-ulang contohnya pijatan, keringat, pekerjaan berat, demam dan
emosi menyebabkan urtikaria fisik baik secara imunologik maupun non imunologik. Klinis
biasanya terjadi di tempat yang mudah terkena trauma. Dapat timbul urtika setelah goresan
dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut
dermografisme atau fenomena Darier.
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria misalnya infeksi bakteri, virus,
jamur maupun infestasi parasit, infeksi oleh bakteri contohnya pada infeksi tonsil, infeksi
gigi dan sinusitis. Infeksi virus hepatitis, mononucleosis dan infeksi virus Coxsackie
pernah dilaporkan sebagai faktor penyebab. Karena itu pada urtikaria yang idiopatik perlu
dipikirkan kemungkinan infeksi virus subklinis. Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering
dilaporkan sebagai penyebab urtikaria. Infestasi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang
juga Schistosoma atau Echinococcus dapat menyebabkan urtikaria.
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mas langsung menyebabkan peningkatan permeabilitas
dan vasodilatasi kapilar. Hampir 11,5% penderita urtikaria menunjukan gangguan psikis.
Penyelidikan memperlihatkan bahwa hypnosis dapat menghambat eritema dan urtika. Pada
percobaan induksi psikis, ternyata suhu kulit dan ambang rangsang eritema meningkat.
10. Genetik
Faktor genetik berperan penting pada urtikaria dan angioedema walaupun jarang
menunjukan penurunan autosomal dominan.
Diantaranya ialah angioneurotik, edema herediter, familialcold urticaria, vibratory
angioedema, heredo-familial syndrome of urticaria deafness and amyliodosis dan
erythropoietic protoporphyria.
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih
sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi. Penyakit vesiko-bulosa, misalnya
pemfigus dan dermatitis herpetiformis Duhring7-9% penderita lupus eritematosus
sistemik dapat mengalami urtikaria. Beberapa penyakit sistemik yang sering disertai
urtikaria antara lain limfoma, hipertiroid, hepatitis, urtikaria pigmentosa, artritis pada
demam reumatik dan artritis reumatoid juvenilis.
Klasifikasi
Terdapat bermacam-macam penggolongan urtikaria, berdasarkan lamanya serangan
berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Urtikaria akut bila serangan berlanngsung
kurang dari 6 minggu atau berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari, bila melebihi
waktu tersebut digolongkan sebagai urtikaria kronik. Urtikaria akut lebih sering terjadi pada
anak muda umumnya laki-laki lebih sering daripada perempuan. Urtikaria kronik lebih sering
pada wanita usia pertengahan. Penyebab urtikaria akut lebih mudah diketahui sedangkan pada
urtikaria kronik sulit ditemukan. Terdapat kecenderungan urtikaria lebihh sering diderita oleh
penderita atopic.
Berdasarkan morfologis klinis, urtikaria dibedakan menurut bentuknya yaitu urtikaria
popular bila berbentuk papul, gutata bila besarnya sebesar tetesan air dan girata bila ukurannya
besar-besar. Terdapat pula yang anular dan arsinar. Menurut luasnya dan dalamnya jaringan
yang terkena dibedakan urtikaria lokal, generalisata dan angioedema. Ada pula yang
menggolongkan berdasarkan penyebab urtikaria dan mekanisme terjadinya maka dikenal
urtikaria imunologik, non imunologik dan idiopatik sebagai berikut :
I. Urtikaria atas dasar reaksi imunologik
a. Bergantung pada Ig E (reaksi alergik tipe I)
1. Pada atopi
2. Antigen spesifik (polen, obat, venom)
b. Ikut sertanya komplemen
1. Pada reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II)
2. Pada reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III)
3. Defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)
c. Reaksi alergi tipe IV (urtikaria kontak)
II. Urtikaria atas dasar reaksi non imunologik
a. Langsung memacu sel mas, sehingga terjadi pelepasan mediator (misalnya obat
golongan opiate dan bahan kontras)
b. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolism asam arakidonat (misalnya aspirin,
obat anti-inflamasi non-steroid, golongan azodyes)
c. Trauma fisik misalnya dermografisme, rangsangan dingin, panas atau sinar dan bahan
kolinergik.
III. Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya digolongkan idiopatik.
Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodiltasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat
sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat sehingga
secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator misalnya histamin, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis
(SRSA) dan prostaglandin oleh sel mas atau basofil. Selain itu terjadi pula inhibisi proteinase
oleh enzim proteolitik misalnya kalikrin, tripsin, plasmin dan hemotripsin di dalam sel mas.
Baik faktor imunologik maupun non imunologik mampu merangsang sel mas atau basofil
untuk melepaskan mediator.
Pada faktor non imunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosine mono phosphate)
memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan
amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin dan beberapa
antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik seperti asetilkolin dilepaskan oleh saraf
kolinergik kulit secara tidak diketahui mekanismenya, langsung dapat mempengaruhi sel mas
untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X dan
pemijatan dapat secara langsung merangsang sel mas. Beberapa keadaan, misalnya demam,
panas, emosi dan alkohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga
terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik,
biasanya Ig E terikat pada permukaan sel mas dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc,
bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan Ig E, maka terjadi degranulasi sel sehingga
mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilakisis)
misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperanan, aktivasi komplemen
sacara klasik maupun secara alternatoif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang
mampu merangsang sel mas dan basofil misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan
kompleks imun, pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak
dapat juga terjadi misalnya setelah pemkaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik dan
sefalosporin. Kekurangan C1esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema
angioneurotik yang herediter.
Gejala Klinis
Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar atau tertusuk. Klinis tampak eritema dan
edema stempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat. Bentuknya
dapat popular seperti pada urtikaria akibat sengatan serangga, besarnya dapat lentikular,
nummular sampai plakat. Bila mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan
submukosa atau subkutan, juga beberapa alat dalam misalnya saluran cerna dan napas disebut
angioedema. Pada keadaan ini jaringan yang lebih sering terkena ialah muka, disertai sesak
nafas, serak dan rhinitis.
Dermografisme berupa edema dan eritema yang linera di kulit yang terkena goresan neda
tumpul, timbul dalam waktu kurang lebih 30 menit. Pada urtikaria akibat tekanan, urtika timbul
pada tempat yang tertekan misalnya di sekitar pinggang, pada penderita ini dermografisme
jelas terlihat.
Urtikaria akibat penyinaran biasanya pada gelombang 285-320 nm dan 400-500 nm,
timbul setelah 18-72 jam penyinaran dan klinis berbentuk urtikaria popular. Hal ini harus
dibuktikan dengan tes foto tempel. Sejumlah 7-17% urtikaria kronik disebabkan faktor fisik
antara lain akibat dingin, panas, tekanan dan penyinaran. Umumnya pada dewasa muda terjadi
pada episode singkat dan biasanya umum kortikosteroid sistemik kurang bermanfaat.
Urtikaria kolnergik dapat timbul pada peningkatan sushu tubuh, emosi, makanan yang
merangsang dan pekerjaan berat. Biasanya sangat gatal, urtika bervariasi dari beberapa mm
samapai nummular dan konfluen membentuk plakat. Serangan berat sering disertai gangguan
sistemik seperti nyeri perut, diare, muntah-muntah dan nyeri kepala, dijumpai pada umur 15-25
tahun. Urtikaria akibat obat atau makanan umumnya timbul secara akut dan generalisata.
Pembantu Diagnosis
Beberapa pemeriksaan diperlukan untuk membuktikan penyebabnya, misalnya :
1. Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi atau kelainan pada lat dalam. Cryoglobulin dan ccold hemolysin perlu
diperiksa pada dugaan urtikaria dingin.
2. Pemeriksaan gigi, telinga hidung tenggorokan serta usapan vagina perlu untuk
menyingkirkan adanya infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar Ig E, eosinofiil dan komplemen.
4. Tes kulit meskipun terbatas kegunaannya dapat dipergunakan untuk membantu diagnosis.
Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test) serta tes intradermal dapat dipergunakan
untuk mencari laergen inhalan, makanan dermatofit dan kandida.
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk
beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.
6. Pemeriksaan histopatologik walaupun tidak selalu diperlukan dapat membantu diagnosis.
Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapilar di papilla dermis, geligi epidermis
mendatar dan serat kolagen membengkak. Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi
selular dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutam,a di skeitar pembuluh
darah.
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan foto tempel.
8. Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosis urtikaria kolinergik.
9. Tes dengan es (ice cube test)
10. Tes dengan air hangat.
Diagnosis dan Diagnosis Banding
Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis yang cermat serta pembantu
diagnosis diatas dapat ditegakkan diagnosis urtikaria dan penyebabnya. Walaupun demikian
hendaknya dipikirkan pula beberapa penyakit seistemik yang sering disebut urtikaria. Urtikaria
kronik harus dibedakan dengan purpura anafilaktoid, ptiriasis rosea bentuk popular dan
urtikaria pigmentosa.
Pengobatan
Pengobatan yang paling ideal tentu saja mengobati penyebab atau bila mungkin
menghindari penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin paling tidak mencoba mengurangi
penyebab tersebut, sedikit--dikitnya tidak menggunakan dan tidak berkontak dengan
penyebabnya.
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja
antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamine pdada reseptor-
reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi dua kelompok
besar yaitu antagonis reseptor H1 (antihistamin 1, AH1) dan reseptor H2 (AH2).
Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema dipercayakan kepada efek
antagonis terhadaphistamin pada reseptor H1, namun efektivitas tersebut berkaitan dengan efek
samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru
terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi, golongan ini disebut sebagai antihistamin non klasik.
Antihistamin yang klasik dibagi atas enam kelompok :
Tabel Penggolongan Antihistamin
Antihistamin H1
Kelas/nama generik Nama pabrik
1. Etanolamin/difenhidramin Benadryl
2. Etilendiamin/tripelenamin Pyribenzamine
3. Alkilamin/kloferinamid Chlortrimethon
4. Piperazin/siklizin Marezine
5. Fenotiazin/prometazin Phenergan
6. Tambahan hidroksizin hidroklorid
siporepthadin
Atarax
Periactin
Antihistamin H2 Cimetidine
Pada umumnya efek antihistamin telah terlihat dalam waktu 15-30 menit setelah
pemakaian oral dan mencapai puncaknya pada 1-2 jam sedangkan lama kerjanya bervariasi dari
3-6 jam. Tetapi ada juga antihistamin yang waktu kerjanya lebih lama yaitu meklizin dan
klemastin.
Biasanya antihistamin gol AH 1 yang klasik menyebabkan kontraksi otot polos,
vasokontriksi, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan sekresi dan penekanan pruritus.
Selain ini efekterdapat pula efek yang tidak berhubungan dengan antagonis reseptor H1 yaitu
efek antikolinergik atau menghambat reseptor alfa adrenergic.
Antihistamin H1 yang non klasik contohnya terfenadin, atemizol, loratadin dan
mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4
jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya
terfenadin) sedangkan astemazol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral. Efektivitas
berlangsung lama dibandingkan dengan AH1 yang klasik bahkan astemizol masih efektif 21
hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai
antihistamin yang long acting.
Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena tidak dapat
menembus sawar darah otak. Disamping itu, golongan ini tidak memberikan efek
antikolinergik, tidak menimbulkan potensiasi dengan alkohol dan tidak terdapat penekanan pda
SSP serta relative non toksik.
Bila pengobatan dengan satu jenis antihistamin gagal hendaknya dipergunakan
antihistamin grup lain. Hdroksizin ternyata lebih efektif daripada antihistamin lain untuk
mencegah urtikaria, dermografisme dan urtikaria anti kolinergik. Pengobatan dengan obat beta
adrenergic ternyata lebih efektif untuk urtikaria yang kronik. Pemberian kortikosteroid sistemik
diperlukan pada urtikaria yang akut dan berat tetapi tidak banyak manfaatnya pada urtikaria
kronik.
Pengobatan dengan anti-enzim misalnya antiplasmin dimaksudkan untuk menekan
aktivasi plasmin yang timbul pada perubahan reaksi antigen antibodi. Preparat yang digunakan
adalah ipsilon. Obat lain ialah trasilol hasilnya 44 % memuaskan.
Pengobatan dengan cara desensitasi misalnya dilakukan pada urtikaria dingin dengan
melakukan sensitisasi pada air pada suhu 10oC (1-2 menit)2 kali sehari selama 2 minggu. Pada
alergi debu, serbuk sari bunga dan jamuir, desensitasi mula-mula dengan allergen dosis kecil 1
minggu 2x dosis dinaikan dan dijarangkan perlahan-lahan sampai batas yang dapat ditoleransi
oleh penderita. Eliminasi diet dicobakan pada yang sensitive terhadap makanan.
Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simtomatik misalnya anti pruritus di
dalam bedak atau bedak kocok.
Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dan dapat diatasi,
urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.