Urt Ikaria
-
Upload
sitihuzaifahh -
Category
Documents
-
view
213 -
download
0
description
Transcript of Urt Ikaria
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
Oleh:
ST. HUZAIFAH 10542 0318 11
RIZKA AULIYAH 10542 0326 11
PEMBIMBING :
dr. H. A. Amal Alamsyah Makmur, M.Si, Sp.KK
DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITRAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016
URTIKARIA
REFERAT2016
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : St. Huzaifah 10542 0318 11
Rizka Auliyah 10542 0326 11
Judul Referat : Urtikaria
Telah menyelesaikan tugas Laporan Kasus dalam rangka Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, April 2016
Pembimbing
dr. H. A. Amal Alamsyah Makmur, M.Si, Sp.KK
A. PENDAHULUAN
Dalam sejarahnya, urtikaria dikenal pertama kali oleh para pengamat dibidang
medis seperti Hippocrates, Pliny dan Celsus. Terminologi urtikaria pertama kali
dipergunakan secara luas pada abad 18 Masehi. Urtikaria dikenal juga sebagai penyakit
kulit dengan bintul-bintul kemerahan sebagai akibat proses alergi. Bentuk kelainan
klinisnya bervariasi dengan ukuran beberapa milimeter hingga berdiameter beberapa
sentimeter. Lesi ini bisa bersifat terlokalisir seperti pada urtikaria fisik, meluas atau
menggabung menjadi satu membentuk giant urticaria. Serangan urtikaria bisa terus
menerus atau munculnya kadang-kadang saja. Biasanya berlangsung sekitar 30 menit
hingga beberapa hari. Secara umum keluhan pasien urtika hanya merasa gatal, tetapi
pada episode serangan urtikaria yang berat dapat mengeluhkan badan terasa lelah,
gangguan pencernaan, dan menggigil.1
Secara imunologik, dari data yang dikumpukan sejak tahun 1987. Urtikaria dapat
terjadi pada semua jenis kelamin dan berbagai kelompok umur, pada umumnya sering
terjadi pada usia dewasa muda. Dikenal ada dua macam bentuk klinik urtikaria, yaitu
bentuk akut dan kronik.2
B. DEFENISI
.Urtikaria adalah reaksi vaskuler pada kulit, ditandai dengan adanya edema
setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat atau
kemerahan, umumnya dikelilingi halo kemerahan (flare) dan disertai rasa gatal yang
berat, rasa tersengat atau tertusuk. Angioedema ialah urtikaria yang mengenai lapisan
kulit yang lebih dalam daripada dermis, dapat di submukosa atau subkutis, juga dapat
mengenai saluran napas, saluran cerna dan organ kardiovaskular. Urtikaria dikenal juga
dengan istilah Hives, nettle rash, biduran, kaligata.3
Urtikaria merupakan reaksi kulit yang bersifat episodik dan sembuh sendiri yang
ditandai dengan bilur-bilur setempat pada kulit yang dikelilingi daerah eritema.
angioedema merupakan erupsi dermal dan subkutan yang menimbulkan bilur-bilur yang
lebih dalam dan lebih lebar (biasanya pada tangan, kaki, bibir, alat genital, dan kelopak
mata) dan dapat terjadi pembengkakan yang lebih difus pada jaringan subkutan yang
longgar.4
Urtikaria dan angiodema merupakan edema non-pitting yang dapat terjadi secara`
tersendiri dan bersamaan. Episode urtikaria/angiodema yang berlangsung kurang dari 6
minggu disebut urtikaria/angiodema akut. Dan bila bila proses tersebut menetap lebih
dari 6 minggu disebut urtikaria/angiodema kronik.1
C. EPIDEMIOLOGI
Urtikaria dan angiodema sering di jumpai pada semua umur, orang dewasa lebih
banyak mengalami urtikaria dibandingkan dengan usia muda. SHELDON (1951),
menyatakan bahwa umur rata-rata penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai
pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun.3
Urtikaria dan angiodema merupakan reaksi alergi yang sering dijumpai dan
terjadi pada 20 % populasi umum.4
Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersama-sama dengan
angiodema, dan 11% angioedema saja. Lama serangan berlangsung bervariasi, ada yang
lebih dari 1 tahun, bahkan ada yang lebih dari 20 tahun. Penderita atopi lebih mudah
mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal. Tidak ada perbedaan jenis
kelamin, baik laki-laki maupun wanita. Umur, ras, jabatan atau pekerjaan, letak geografis
dan perubahan musim dapat mempengaruhi hipersensitivitas yang diperankan oleh IgE.
Penisilin tercatat sebagai obat yang lebih sering menimbulkan urtikaria.3
D. ETIOLOGI
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, yaitu : 3
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara
imunologik maupun nonimunologik. Contohnya ialah obat-obat golongan penisilin,
sulfoniamid, analgesik, pencahar, hormon, dan diuretik. Adapula obat yang secara
nonimunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya
kodein, opium, dan zat kontras. Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat
sintesis prostaglandin dari asam arakidonat.
2. Makanan
Makanan berperan penting pada urtikaria akut akibat reaksi imunologik.
Makanan menyebabkan urtikaria alergika. Contoh makanan yang sering
menimbulkan urtikaria ialah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi,
keju, bawang, dan semangka; bahan yang dicampurkan seperti asam nitrat, asam
benzoat, ragi, salisilat, dan penisilin. CHAMPION 1969 melaporkan ± 2% urtikaria
kronik disebabkan sensitisasi terhadap makanan.
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan/sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat, agaknya
hal ini lebih banyak diperantarai oleh ige (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV). Tetapi
venom dan toksin bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen. Nyamuk,
kepinding, dan serangga lainnya, menimbulkan urtika bentuk popular di sekitar
tempat gigitan, biasanya sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari, minggu,
atau bulan.
4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu binatang,
dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I). Reaksi
ini sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan napas.
6. Kontaktan
Kutu binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-
buahan, bahan kimia, adalah kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria.
7. Trauma fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, yakni berenang atau memegang
benda dingin; faktor panas, misalnya sinar matahari, sinar U.V., radiasi dan panas
pembakaran; faktor tekanan, yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, air yang
menetes atau semprotan air, dan juga tekanan yang berulang-ulang.
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi
bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Ternyata hampir 11,5%
penderita urtikaria menunjukkan gangguan psikis. Penyelidikan memperlihatkan
bahwa hypnosis dapat menghambat eritema dan urtikaria. Pada percobaan induksi
psiskis, ternyata suhu kulit dan ambang rangsang eritema meningkat.
10. Genetik
Faktor genetik ternyata berperan penting pada urtikaria dan angioedema,
walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominan. Di antaranya ialah
angioneurotik edema herediter, familial cold urticaria, familia localized heat
urticaria, vibratory angioedema, heredo-familial syndrome of urticaria deafness and
amyloidosis, dan erythropoietic protoporphyria.
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria,
reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi. Penyakit vesiko-
bullosa, misalnya pemfigus dan dermatitis herpetiformis atau Duhring’s disease,
sering menimbulkan urtikaria. Sejumlah 7-9% penderita lupus eritematosus sistemik
dapat mengalami urtikaria. Beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria
antara lain limfoma, hipertiroid, hepatitis, urtikaria pigmentosa, artritis pada demam
reumatik, dan artritis reumatoid juvenilis.
E. KLASIFIKASI
Terdapat bermacam-macam penggolongan urtikaria, berdasarkan lamanya
serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Disebut akut bila serangan
berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul
setiap hari; bila melebihi waktu tersebut digolongkan sebagai urtikaria kronik. Urtikaria
akut lebih sering terjadi pada anak muda, umumny laki-laki lebih sering daripada
perempuan. Urtikaria kronik lebih sering pada wanita usia pertengahan, penyebab
urtikaria akut lebih mudah diketahui, sedangkan urtikaria kronik lebih mudah
ditemukan.3
Berdasarkan durasi penyakit, urtikaria dikelompokkan menjadi urtikaria akut dan
urtikaria kronik. Urtikaria disebut akut bila serangan berlangsung kurang dari enam
minggu dan dikatakan kronik bila serangan berlangsung hampir tiap hari atau paling
sedikit dua kali dalam seminggu, dan berlangsung selama enam minggu atau
lebih .Penyebab urtikaria akut secara umum diketahui, sedangkan 70-80% penyebab
urtikaria kronik (UK) belum diketahui, sehingga digolongkan sebagai urtikaria kronik
idiopatik (UKI).. Sejak 20 tahun terakhir ternyata pada 35-50% kasus yang selama ini
disebut UKI, dalam tubuh pasien ditemukan autoantibodi, sehingga disebut urtikaria
autoimun (UA) dan sebagian lainnya tidak ditemukan autoantibodi sehingga masih tetap
idiopatik. Urtikaria kronik idiopatik ditandai urtika bersifat sementara yang timbul
hampir tiap hari selama enam minggu atau lebih. Lesi timbul mendadak, menghilang
dalam waktu dua sampai empat jam, Pada sebagian besar pasien, urtika berlangsung
tidak lebih dari 24 jam. Penyakit ini berlangsung kronik dan berulang, kisaran 20%
masih tetap diderita pasien sampai durasi 10 tahun. Secara umum lesi urtika sulit
dijadikan kriteria pembeda berbagai jenis urtikaria, namun onset dan durasi tiap urtika
dapat digunakan sebagai dasar membantu mengarahkan diagnosis awal. Tingkat
keparahan penyakit dapat dinilai berdasarkan intensitas gatal, luas lesi urtika, distribusi,
keluhan sistemik yang menyertai, dan angioedem. Urtikaria kronik idiopatik ialah UK
yang tidak disertai urtikaria vaskulitis, angioedem, dan urtikaria fisik dominan.5
Berdasarkan penyebab urtikaria dan mekanisme terjadinya, maka dikenal
urtikaria imunologik, nonimunologik dan idiopatik:3
1. Urtikaria atas dasar reaksi imunologik
a. Bergantung pada IgE (reaksi alergik tipe I)
1) Pada atopi
2) Antigen spesifik (polen, obat, venom)
b. Ikut sertanya komplemen
1) Pada reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II)
2) Pada reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III)
3) Defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)
c. Reaksi alergi tipe IV (urtikaria kontak)
2. Urtikaria atas dasar reaksi nonimunologik
a. Langsung memacu sel mast, sehingga terjadi pelepasan mediator (misalnya obat
golongan opiate dan bahan kontras).
b. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat (misalnya
aspirin, obat anti-inflamasi non-steroid, golongan azodyes)
c. Trauma fisik, misalnya demografisme, rangsangan dingin, panas atau sinar, dan
bahan kolinergik.
3. Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya, digolongkan idiopatik.
Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria dibedakan menurut bentuknya, yaitu
urtikaria papular bila terbentuk papul, gutata bila besarnya sebesar tetasan air, dan
girata bila ukurannya besar-besar. Terdapat pula yang anular dan arsinar. Menurut
luasnya dan dalamnya jaringan yang terkena, dibedakan urtikaria lokal, generalisata
dan angioedema.3
F. PATOMEKANISME
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabel kapiler yang meningkat,
sehigga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat.
Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatsi dan
peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator,
misalnya histamin, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan
prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil. Selain itu terjadi pula inhibisi proteinase
oleh enzim proteolitik, misalnya kalikrin, tripsin, plasmin, dan hemotripsin di dalam sel
mast. Baik faktor imunologik maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau
basofil untuk melepaskan mediator tersebut.3
1. Faktor non imunologik
Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosine mono
phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan
kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein,
polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik,
misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit secara tidak diketahui
mekanismenya, langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator.
Faktor fisik misalnya panas, dingin, tauma tumpul, sinar X, dan pemijat, dapat
secara langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan, misalnya demam, panas,
emosi, dan alkohol, dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler
sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas. 3
2. Faktor Imunologik
Urtikaria imunologik diperantarai IgE,, IgE terikat pada permukaan sel mast
atau sel basofil karena adanya reseptor Fc, bila ada antigen berikatan dengan
antibodi IgE spesifik sehingga terjadi degranulasi sel sehingga mampu melepaskan
mediator. (hipersensitifitas tipe I anafilaksis).3
Komplemen mediasi dengan cara mengaktifkan komplemen kompleks imun
dan pelepasan anafilaksis yang menginduksi degranulasi sel mast. Untuk
pemeriksaan serum diambil whole blood, Imunoglobulin. Akut. Autoimun biasanya
kronik. Auto antibodi terhadap fcεrn dan/atau IgE. Positif autologus skin tes. Klinis
pasien dengan autoantibodi (mencapai 40% pada pasien urtikaria kronik) tidak bisa
dibedakan satu dengan lainnya. Auto antibodi ini dapat menggambarkan terjadinya
plasma phereses, immunoglobulin intravena dan siklosporin yang menginduksi
transmisi dari aktifnya penyakit ini pada pasien. Imunologik kontak urtikaria.
Biasanya pada anak-anak dengan riwayat atopi yang sensitif terhadap alergen yang
ada pada lingkungan (rumput, hewan) atau orang yang sensitif terhadap pemakaian
sarung tangan yang berbahan latex; dapat disertai reaksi anafilaksis.6
G. GEJALA KLINIS
Keluhan subjektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau tertusuk. Klinis tampak
eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak lebih
pucat. Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria akibat sengatan serangga,
besarnya dapat lentikular, numular, sampai plakat. Bila mengenai jaringan yang lebih
dalam sampai dermis dan jariangan submukosa atau subkutan, juga beberapa alat dalam
misalnya saluran cerna dan napas, disebut angioedema. Pada keadaan ini jaringan yang
paling sering terkena ialah wajah, disertai sesak nafas, serak dan rinitis.3
Urtikaria biasa generalisata, simetris dan terdiri dari urtikaria yang gatal dan
merah. Ukuran dan bentuknya bermacam-macam dan setiap lesi hanya bertahan
beberapa jam, umumnya tidak melebihi 24 jam.11 Dermografisme, berupa edema dan
eritema yang linear di kulit yang terkena goresan benda tumpul, timbul dalam waktu
lebih kurang 30 menit. Pada urtikaria karna tekanan, urtikaria timbul pada empat
tempat yang tertekan, misalnya disekitar pinggang, pada penderita ini dermografisme
jelas terlihat. Urtikaria akibat penyinaran biasanya pada gelombang 285-320 nm dan
400-500 nm, timbul setelah 18-72 jam penyinaran, dan klinis berbentuk urtikaria
papular. Hal ini dibuktikan dengan tes foto tempel. Sejumlah 7-17 % urtikaria kronik
disebabkan oleh faktor fisik. Umumya pada dewasa muda, terjadi pada episode singkat,
dan biasanya umum kortikosteroid sistemik kurang bermanfaat.3
Urtikaria kolinergik dapat timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi, makanan
yang merangsang, dan pekerjaan berat. Biasanya sangat gatal, urtika bervariasi dari
beberapa mili meter sampai numular dan konfluens membentuk plakat. Serangan berat
sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut, diare, muntah-muntah, dan nyeri
kepala; dijumpai pada umur 15-25 tahun. Urtikaria akibat obat atau makanan umumnya
timbul secara akut dan generalisata.3
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada urtikaria terutama ditujukan untuk mencari
penyebab atau pemicu urtikaria. Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah :8,1,12
1. Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi, infestasi, atau kelainan alat dalam.
2. Pemeriksaan kadar IgE total eosinofil untuk mencari kemungkinan kaitannya
dengan faktor atopi
3. Pemeriksaan gigi, THT dan usapan genetalia interna wanita untuk mencari fokus
infeksi.
4. Uji tusuk kulit terhadap berbagai makanan dan inhalan. Pada prinsip tes ini hanya
memberikan informasi adanya reaksi hipersinsitivitas tipe I. Tes ini tidak dapat
menunjang diagnosis urtikaria vaskulitis yang merupakan reaksi imun kompleks
atau sitotoksik, sebagaimana terjadi akibat obat-obatan atau transfusi darah.
5. Tes provokasi sangat membantu diagnosis urtikaria fisik, bila tes-tes alergik
memberi hasil yang meragukan atau negatif.
6. Uji serum autolog dilakukan pada pasien urtikaria kronis untuk membuktikan
adanya urtikaria autoimun.
7. Uji demografisme dan uji dengan es batu “ice cube test” untuk mencari penyebab
fisik.
8. Pemeriksaan histologi kulit perlu dilakukan bila terdapat kemungkinan urtikaria
sebagai gejala vaskulitis atau mastositosis. Punch Biopsy dengan ukuran 4 mm,
urtikaria memberikan gambaran:
Pada awalnya terdapat infiltrasi neutrofil dan eosinofil perivaskular.
Kemudian terdapat lifsit perivaskular, netrofil dan eusinofil interstitial.
Jarang didapatkan infiltrat limfosit perivaskular dan pada lesi akhir tampak
eosinofil.
I. DIAGNOSIS BANDING
Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksan klinis yang cermat, umumnya
diagnosis urtikaria dan angiodema dapat ditegakkan dengan mudah. Pemeriksaan
penunjang dibutuhkan untuk menyokong diagnosis dan mencari penyebab. Perlu pula
dipertimbangkan beberapa penyakit sebagai diagnosis banding karena memiliki gejala
urtika atau mirip urtika dengan perjalanan penyakitnya, yaitu vaskulitis, mastositosis,
pemfigo bullosa, pitiriasis rosea tipe papular, lupus eritematosus kutan, anafilaktoid
purpura (henoch-schonlein purpura), dan morbus hansen. Untuk menyingkirkan
diagnosis banding ini, perlu dilakukan pemeriksaan histoptologis kulit.8
J. PENATALAKSANAAN
Pengobatan yang ideal ialah mencari dan menghilangkan penyebab atau bila
mungkin setiap pemicu yang nyata harus dihindar. Penanganan bertujuan mencegah atau
membatasi kontak dengan faktor pemicu atau bila mungkin, mendestinasi pasien agar
tidak peka terhadap faktor pemicu tersebut. Pengobatan simtomatis bertujuan untuk
menghilangkan keluhan misalnya gatal-gatal yang diderita pasien diberikan
antihistamin.2,3,8,9
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja
antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin pada reseptor-
reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu antagonis reseptor H1 (antihistamin 1, AH1) dan reseptor H2
(AH2). Bila pengobatan dengan satu jenis antihistamin gagal hendaknya dipergunakan
antihistamin grup yang lain. Pemberian kortikosteroid sistemik diperlukan pada urtikaria
yang akut dan berat, tetapi tidak banyak manfaat pada urtikaria kronik.3,5
Pengobatan dengan beta adrenergik ternyata efektif untuk urtikaria kronik. Pada
tahun-tahun terakhir dikembangkan pengobatan yang baru, hasil pengamatan
membuktikan bahwa dinding pembuluh darah manusia juga mempunyai reseptor H2. Hal
ini dapat menerangkan, mengapa antihistamin H1 tidak selalu berhasil mengatasi
urtikaria. Kombinasi antihistamin H1 dan H2 masih dalam penelitian lebih lanjut. Tetapi
pada dermografisme yang kronik pengobatan kombinasi ternyata lebih efektif daripada
antihistamin H1 saja. Mempertimbangkan pengobatan empiris dengan antibiotik bisa
dilakukan pada urtikaria kronik.3
Pengobatan dengan cara desentisasi, misalnya dilakukan pada urtikaria dingin
dengan melakukan sensitasi air pada suhu 10◦C (1-2 menit) 2 kali sehari selama 2-3
minggu. Pada alergi debu, serbuk sari bunga dan jamur, desensitasi mula-mula dengan
alergen dosis kecil 1 minggu 2x; dosis dinaikkan dan dijarangkan perlahan-lahan sampai
batas yang dapat ditoleransi oleh penderita. Eliminasi diet dicobakan pada yang sensitif
terhadap makanan. Vitamin, laxative, antasida, pasta gigi, rokok, kosmetik, alat
pembersih rumah tangga, aerosol, buah-buahan, juga perlu diperhatikan.3
K. PROGNOSIS
Prognosis urtikaria akut baik, karena penyebabnya dapat diketahui dengan
mudah, untuk selanjutnya dihindari. Urtikaria kronis memerlukan penanganan yang
komprehensif untuk mencari penyebab dan untuk mencari penyebab dan menentukan
jenis pengobatannya. Walaupun umumnya tidak mengancam jiwa, namun dampaknya
terhadap kualitas hidup pasien sangat besar. Urtikaria yang luas atau disertai dengan
angioedema merupakan kedaruratan dalam ilmu kesehatan kulit dan kelamin, sehingga
membutuhkan penanganan yag tepat.8
DAFTAR PUSTAKA
1. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi L, Khonten PG. Urtikaria dan Angioedema dalam
Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiahati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 1. VI th ed. Jakarta;Internal Publishing. 2014. Hal; 495-7.
2. Adi S. Urtikaria. Ilmu Penyakit Kulit dalam Harahap M, Adi S. Jakarta; Hipokrates.
2004. Hal; 200-6.
3. Aisah S. Urtikaria dalam Djunda A, Hamzah M, Aisah S (eds). Ilmu penyakit Kulit dan
Kelamin. 6th ed. Jakarta; FK UI. 2015. Hal : 169-8.
4. Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. Sistem Imun dalam Komala S, Tmpubolon AO, Ester M
(eds). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta; EGC. 2012. Hal; 474-32.
5. Nopriyati1, M. Athuf Thaha1. Suryadi Tjekyan.. Hubungan Autologous Serum Skin Test/Asst
Dengan Keparahan Klinis Urtikaria Kronik Idiopatik Di Rsup Dr. Moh Hoesin Palembang..
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya, Bagian/SMF
Ilmu Kesehatan Masyarakat/Ilmu Kesehatan Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran, Universitas
Sriwijaya/RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang. MAKARA, Kesehatan, Vol. 12, No. 1, Juni 2008:
27-35. Availabel from URL: http://repository.ui.ac.id. Accessed April 19, 2016.
6. Wolff K, Johnson RA. The Skin in Immune, Autoimmune, and Rheumatic Disorder in
Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of clinical Dermatlogy. The Mcgraw-hill
companies; America. 2009. PP; 354-65.
7. Efendi, Evita Halim. 2015. “Urtikaria dan Angioedema dalam Menaldi SL, Bramono K,
Indritmi W (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta; Fk UI. 2015. Hal ;
311-4.
8. Soedarto. Urtikaria Pigmentosa dalam Alergi dan Penyakit Sistem Imun. Jakarta; Sagung
Seto. 2011. Hal: 221-2.
9. Allen P, Kaplan. Inflamatory Disease Based on Abnormal Humoral Reactivity and Other
Inflammatory Disease in Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ (eds). Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. Mcgraw-hill
companies; America. 2009. PP; 319-54.
10. Gratan, C. E. H dan Black KA. Urticaria and Mastocytosis in Burn T, Brethnch S, Cox
N, Griffiths C (eds). Rook’s TeksBook of Dermatology. Wiley-Blackwell; UK. 2010.
Hal: 221-36.
11. Boer A. Urticaria in Jene, M, Grant-kels. (eds). Color Atlas of Dermatopathology.
Dermatologikum Hanburg; Germany. 2007. Hal : 5-17.
12. Thomas, P, Md, Habif. Urticaria and Angioedema-Clinical Dermatology in Habif (ed). A
Color Guide to Diagnosis and Therapy. Mosby; London . 2004. Hal; 129-32.