Urgensi Pembentukan BPBD Di Kota Bandung

5
Urgensi Pembentukan BPBD di Kota Bandung Oleh : R Permana Jika Wagub Jabar, Deddy Mizwar, sampai “menyentil” Walikota Bandung, Ridwan Kamil, soal pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di Kota Bandung maka sebagai warga kota Bandung penulis sangat mengapresiasi. Mengapa? Karena sejak tahun 2012 - tiga tahun lalu - soal pembentukan BPBD di kota Bandung hanya sekedar wacana tanpa konkretisasi lebih lanjut. Adalah wakil walikota Bandung saat itu, Ayi Vivananda, yang mengungkapkan agar BPBD segera dibentuk. Lembaga ini dinilai beliau sudah sangat dibutuhkan Kota Bandung terkait kondisi dan bencana yang sering terjadi. Menurutnya, keberadaan BPBD Kota Bandung dapat mensinergikan program penanggulangan bencana secara terpadu. Saat ini kelembagaan penanggulangan bencana di kota Bandung masih menyandarkan pengelolaannya pada Satlak (satuan pelaksana) di bawah koordinasi Asisten Daerah (Asda) 2, dan untuk bencana kebakaran pada Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran. Pertanyaannya adalah sudah tepat dan memadai kah kelembagaan seperti itu? Haruskah kelembagaannya kemudian diubah dan membentuk BPBD? Jawaban pertanyaan tadi kiranya jangan didasarkan pada ketentuan normatif belaka. Pasalnya, akan terjadi debat kusir yang tidak berkesudahan.

description

BPBDKota Bandung

Transcript of Urgensi Pembentukan BPBD Di Kota Bandung

Page 1: Urgensi Pembentukan BPBD Di Kota Bandung

Urgensi Pembentukan BPBD di Kota Bandung

Oleh : R Permana

Jika Wagub Jabar, Deddy Mizwar, sampai “menyentil” Walikota Bandung, Ridwan

Kamil, soal pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di Kota Bandung

maka sebagai warga kota Bandung penulis sangat mengapresiasi. Mengapa? Karena sejak

tahun 2012 - tiga tahun lalu - soal pembentukan BPBD di kota Bandung hanya sekedar

wacana tanpa konkretisasi lebih lanjut. Adalah wakil walikota Bandung saat itu, Ayi

Vivananda, yang mengungkapkan agar BPBD segera dibentuk. Lembaga ini dinilai beliau

sudah sangat dibutuhkan Kota Bandung terkait kondisi dan bencana yang sering terjadi.

Menurutnya, keberadaan BPBD Kota Bandung dapat mensinergikan program

penanggulangan bencana secara terpadu.

Saat ini kelembagaan penanggulangan bencana di kota Bandung masih menyandarkan

pengelolaannya pada Satlak (satuan pelaksana) di bawah koordinasi Asisten Daerah (Asda) 2,

dan untuk bencana kebakaran pada Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran.

Pertanyaannya adalah sudah tepat dan memadai kah kelembagaan seperti itu? Haruskah

kelembagaannya kemudian diubah dan membentuk BPBD? Jawaban pertanyaan tadi kiranya

jangan didasarkan pada ketentuan normatif belaka. Pasalnya, akan terjadi debat kusir yang

tidak berkesudahan. Hal ini dikarenakan tidak sinkronnya aturan terkait pembentukan BPBD

di tingkat kota/ kabupaten antara UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana,

Permendagri 46/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD dan Peraturan

Kepala (Perka) BNPB No 3/ 2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD.

Jika mengacu pada ketentuan pasal 18 UU 24/2007, pembentukan BPBD di tingkat

kota/ kabupaten adalah wajib hukumnya. Namun tatkala melihat dari ketentuan pasal 2 ayat

(1) Permendagri 46/2008, pembentukan BPBD di tingkat kota/ kabupaten bisa diartikan

sebagai hal yang tidak wajib, karena ketentuan ini berbunyi : “Di setiap provinsi dibentuk

BPBD Provinsi dan di setiap kabupaten/ kota dapat dibentuk BPBD kabupaten/ kota”. Frasa

“dapat” lah yang menjadikannya bukan sesuatu yang diharuskan. Apalagi jika melihat

Page 2: Urgensi Pembentukan BPBD Di Kota Bandung

ketentuan dalam Perka BNPB 3/2008. Bab III huruf A angka 4 menyebutkan bahwa :

“Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak membentuk BPBD Kabupaten/Kota,

maka tugas fungsi penanggulangan bencana diwadahi dengan organisasi yang mempunyai

fungsi yang bersesuaian dengan fungsi penanggulangan bencana”.

Karenanya soal pembentukan BPBD di kota Bandung harus dipandang dari sisi

urgensinya. Urgensi yang berarti “keharusan yang mendesak” atau “hal sangat penting”

membutuhkan penelaaahan obyektif soal kebencanaan di kota Bandung. Hal ini berhubungan

dengan 2 (dua) hal dalam ilmu kebencanaan kontemporer yakni “mengetahui resiko”

(knowing the risk) dan “mengambil tindakan” (take action)

Resiko Bencana Kota Bandung

Apa yang menjadi Resiko Bencana (disaster risk) di kota Bandung? Untuk bisa

menjawab pertanyaan ini maka kita harus dapat mengidentifikasi bahaya (hazard) yang

mengancam kota Bandung. Bahaya (hazard) ini terbagi dua. Pertama bahaya alamiah

(natural hazard). Bahaya alamiah adalah kondisi yang ditimbulkan karena alam. Banjir,

gempa bumi, letusan gunung berapi, angin puting beliung, tsunami, pergerakan tanah

(longsor) termasuk dalam golongan ini. Kedua bahaya non alamiah atau lebih dikenal dengan

istilah “karena ulah manusia”. Contohnya : kebakaran gedung, kecelakaan transportasi,

kecelakaan industri, tumpahan minyak mentah di laut, radiasi nuklir. Perang dan terorisme

termasuk juga dalam kategori ini.

Dilihat dari geografis, geologis, hidrologis dan demografis Kota Bandung, maka

bahaya yang mengancam Kota Bandung sangat beragam dan berpotensi menimbulkan

bencana dalam besaran (magnitude) yang sangat tinggi. Sebagai sebuah contoh, secara

geologis kota Bandung kota Bandung terletak di dataran serupa mangkuk bentukan bumi

ratusan ribu tahun lalu. Bentangan alam itu biasa disebut Cekungan Bandung. Dekat

cekungan Bandung, terdapat formasi yang dikenal dengan patahan (sesar) Lembang. Patahan

Lembang membujur dari barat ke timur mulai dari kaki gunung Manglayang hingga wilayah

Parongpong. Bahaya gempa akibat aktivitas patahan Lembang sudah terkonfirmasi para ahli

gempa yakni saat terjadi gempa dengan kekuatan 3,3 skala Richter di daerah Cisarua

Lembang pada 28 Agustus 2011 silam. Penelitian yang pernah dilakukan LIPI pun

menunjukkan bahwa gempa sesar Lembang pernah terjadi pada 500 ribu tahun lalu dan 2.100

tahun silam. Kekuatan gempanya, berkisar 6,1 dan 6,7 skala Richter.

Gempa patahan Lembang juga bisa menjalar ke cekungan Bandung yang dihuni 3 juta

lebih warga Kota dan Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, serta Kabupaten Bandung Barat.

Seorang peneliti paleotsunami ternama dari United States Geological Survey (USGS) Brian

Page 3: Urgensi Pembentukan BPBD Di Kota Bandung

Atwater menyatakan bahwa “ancaman bencana Patahan Lembang termasuk kategori kelas

dunia. Sebab, patahan ini ternyata berada di dekat kawasan kota yang sangat padat. Hal yang

jarang terjadi di dunia” (dikutip dari www.sains.kompas.com). Untuk diketahui saja bahwa

jarak patahan Lembang dari pusat kota Bandung sangatlah dekat yakni sekitar 11 km. Jalur

patahan ini pun ternyata masih aktif. ITB telah melakukan pengamatan Global Positioning

System (GPS) di sekitar sesar Lembang, sejak 2006 lalu. Dari pengamatan itu, kecepatan laju

geser dari sesar Lembang diketahui sekitar 2 milimeter per tahun. 

Mengurangi Resiko Bencana

Dengan resiko bencana yang sangat tinggi, maka hal kedua yang menjadi konsekuensi

adalah mengambil tindakan (take action). Tindakan yang diambil adalah dengan mengurangi

resiko bencana. Pengurangan resiko bencana mensyaratkan upaya penanggulangan bencana

harus menjadi prioritas utama dari segi pendanaan, kebijakan, regulasi dan arah

pembangunan suatu daerah. Pelaksanaan prioritas tersebut memerlukan kelembagaan yang

memadai, dimana standarisasi, kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana dan

pengelolaan/ manajemen bencana dilakukan mulai dari pencegahan (mitigasi) bencana,

kesiapan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi serta rekonstruksi.

Melihat struktur kelembagaan penanggulangan yang sementara ini ada di kota

Bandung, maka dapat dikatakan bahwa kelembagaan tersebut tidak cukup memadai untuk

“berurusan” dengan resiko bencana kota Bandung yang tinggi dan kompleks. Pembentukan

BPBD di kota Bandung karenanya adalah suatu “keharusan yang mendesak” atau “hal sangat

penting”. Bukan karena alasan normatif belaka, ataupun karena sentilan oleh Wagub Jabar,

Deddy Mizwar. Namun sebagai sebuah upaya konkret pemkot Bandung dalam mengurangi

resiko bencana di kota Bandung.

Dalam wacana kebencanaan kontemporer, dikenal pemahaman bahwa faktor yang

menyebabkan besarnya angka kerugian dan tingginya kematian akibat bencana bukan saja

diakibatkan besaran (magnitude) bencana yang terjadi, namun karena ketidakpedulian

pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan akan hal tersebut. Akankah Walikota

Bandung, Ridwan Kamil, membentuk BPBD di kota Bandung? Wallahu A'lam Bishawab

Penulis adalah Pengamat Kebijakan Pemerintah, tinggal di Bandung