Urgensi Pembentukan BPBD Di Kota Bandung
-
Upload
rendrapermana4585 -
Category
Documents
-
view
216 -
download
2
description
Transcript of Urgensi Pembentukan BPBD Di Kota Bandung
Urgensi Pembentukan BPBD di Kota Bandung
Oleh : R Permana
Jika Wagub Jabar, Deddy Mizwar, sampai “menyentil” Walikota Bandung, Ridwan
Kamil, soal pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di Kota Bandung
maka sebagai warga kota Bandung penulis sangat mengapresiasi. Mengapa? Karena sejak
tahun 2012 - tiga tahun lalu - soal pembentukan BPBD di kota Bandung hanya sekedar
wacana tanpa konkretisasi lebih lanjut. Adalah wakil walikota Bandung saat itu, Ayi
Vivananda, yang mengungkapkan agar BPBD segera dibentuk. Lembaga ini dinilai beliau
sudah sangat dibutuhkan Kota Bandung terkait kondisi dan bencana yang sering terjadi.
Menurutnya, keberadaan BPBD Kota Bandung dapat mensinergikan program
penanggulangan bencana secara terpadu.
Saat ini kelembagaan penanggulangan bencana di kota Bandung masih menyandarkan
pengelolaannya pada Satlak (satuan pelaksana) di bawah koordinasi Asisten Daerah (Asda) 2,
dan untuk bencana kebakaran pada Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran.
Pertanyaannya adalah sudah tepat dan memadai kah kelembagaan seperti itu? Haruskah
kelembagaannya kemudian diubah dan membentuk BPBD? Jawaban pertanyaan tadi kiranya
jangan didasarkan pada ketentuan normatif belaka. Pasalnya, akan terjadi debat kusir yang
tidak berkesudahan. Hal ini dikarenakan tidak sinkronnya aturan terkait pembentukan BPBD
di tingkat kota/ kabupaten antara UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana,
Permendagri 46/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD dan Peraturan
Kepala (Perka) BNPB No 3/ 2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD.
Jika mengacu pada ketentuan pasal 18 UU 24/2007, pembentukan BPBD di tingkat
kota/ kabupaten adalah wajib hukumnya. Namun tatkala melihat dari ketentuan pasal 2 ayat
(1) Permendagri 46/2008, pembentukan BPBD di tingkat kota/ kabupaten bisa diartikan
sebagai hal yang tidak wajib, karena ketentuan ini berbunyi : “Di setiap provinsi dibentuk
BPBD Provinsi dan di setiap kabupaten/ kota dapat dibentuk BPBD kabupaten/ kota”. Frasa
“dapat” lah yang menjadikannya bukan sesuatu yang diharuskan. Apalagi jika melihat
ketentuan dalam Perka BNPB 3/2008. Bab III huruf A angka 4 menyebutkan bahwa :
“Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak membentuk BPBD Kabupaten/Kota,
maka tugas fungsi penanggulangan bencana diwadahi dengan organisasi yang mempunyai
fungsi yang bersesuaian dengan fungsi penanggulangan bencana”.
Karenanya soal pembentukan BPBD di kota Bandung harus dipandang dari sisi
urgensinya. Urgensi yang berarti “keharusan yang mendesak” atau “hal sangat penting”
membutuhkan penelaaahan obyektif soal kebencanaan di kota Bandung. Hal ini berhubungan
dengan 2 (dua) hal dalam ilmu kebencanaan kontemporer yakni “mengetahui resiko”
(knowing the risk) dan “mengambil tindakan” (take action)
Resiko Bencana Kota Bandung
Apa yang menjadi Resiko Bencana (disaster risk) di kota Bandung? Untuk bisa
menjawab pertanyaan ini maka kita harus dapat mengidentifikasi bahaya (hazard) yang
mengancam kota Bandung. Bahaya (hazard) ini terbagi dua. Pertama bahaya alamiah
(natural hazard). Bahaya alamiah adalah kondisi yang ditimbulkan karena alam. Banjir,
gempa bumi, letusan gunung berapi, angin puting beliung, tsunami, pergerakan tanah
(longsor) termasuk dalam golongan ini. Kedua bahaya non alamiah atau lebih dikenal dengan
istilah “karena ulah manusia”. Contohnya : kebakaran gedung, kecelakaan transportasi,
kecelakaan industri, tumpahan minyak mentah di laut, radiasi nuklir. Perang dan terorisme
termasuk juga dalam kategori ini.
Dilihat dari geografis, geologis, hidrologis dan demografis Kota Bandung, maka
bahaya yang mengancam Kota Bandung sangat beragam dan berpotensi menimbulkan
bencana dalam besaran (magnitude) yang sangat tinggi. Sebagai sebuah contoh, secara
geologis kota Bandung kota Bandung terletak di dataran serupa mangkuk bentukan bumi
ratusan ribu tahun lalu. Bentangan alam itu biasa disebut Cekungan Bandung. Dekat
cekungan Bandung, terdapat formasi yang dikenal dengan patahan (sesar) Lembang. Patahan
Lembang membujur dari barat ke timur mulai dari kaki gunung Manglayang hingga wilayah
Parongpong. Bahaya gempa akibat aktivitas patahan Lembang sudah terkonfirmasi para ahli
gempa yakni saat terjadi gempa dengan kekuatan 3,3 skala Richter di daerah Cisarua
Lembang pada 28 Agustus 2011 silam. Penelitian yang pernah dilakukan LIPI pun
menunjukkan bahwa gempa sesar Lembang pernah terjadi pada 500 ribu tahun lalu dan 2.100
tahun silam. Kekuatan gempanya, berkisar 6,1 dan 6,7 skala Richter.
Gempa patahan Lembang juga bisa menjalar ke cekungan Bandung yang dihuni 3 juta
lebih warga Kota dan Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, serta Kabupaten Bandung Barat.
Seorang peneliti paleotsunami ternama dari United States Geological Survey (USGS) Brian
Atwater menyatakan bahwa “ancaman bencana Patahan Lembang termasuk kategori kelas
dunia. Sebab, patahan ini ternyata berada di dekat kawasan kota yang sangat padat. Hal yang
jarang terjadi di dunia” (dikutip dari www.sains.kompas.com). Untuk diketahui saja bahwa
jarak patahan Lembang dari pusat kota Bandung sangatlah dekat yakni sekitar 11 km. Jalur
patahan ini pun ternyata masih aktif. ITB telah melakukan pengamatan Global Positioning
System (GPS) di sekitar sesar Lembang, sejak 2006 lalu. Dari pengamatan itu, kecepatan laju
geser dari sesar Lembang diketahui sekitar 2 milimeter per tahun.
Mengurangi Resiko Bencana
Dengan resiko bencana yang sangat tinggi, maka hal kedua yang menjadi konsekuensi
adalah mengambil tindakan (take action). Tindakan yang diambil adalah dengan mengurangi
resiko bencana. Pengurangan resiko bencana mensyaratkan upaya penanggulangan bencana
harus menjadi prioritas utama dari segi pendanaan, kebijakan, regulasi dan arah
pembangunan suatu daerah. Pelaksanaan prioritas tersebut memerlukan kelembagaan yang
memadai, dimana standarisasi, kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana dan
pengelolaan/ manajemen bencana dilakukan mulai dari pencegahan (mitigasi) bencana,
kesiapan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi serta rekonstruksi.
Melihat struktur kelembagaan penanggulangan yang sementara ini ada di kota
Bandung, maka dapat dikatakan bahwa kelembagaan tersebut tidak cukup memadai untuk
“berurusan” dengan resiko bencana kota Bandung yang tinggi dan kompleks. Pembentukan
BPBD di kota Bandung karenanya adalah suatu “keharusan yang mendesak” atau “hal sangat
penting”. Bukan karena alasan normatif belaka, ataupun karena sentilan oleh Wagub Jabar,
Deddy Mizwar. Namun sebagai sebuah upaya konkret pemkot Bandung dalam mengurangi
resiko bencana di kota Bandung.
Dalam wacana kebencanaan kontemporer, dikenal pemahaman bahwa faktor yang
menyebabkan besarnya angka kerugian dan tingginya kematian akibat bencana bukan saja
diakibatkan besaran (magnitude) bencana yang terjadi, namun karena ketidakpedulian
pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan akan hal tersebut. Akankah Walikota
Bandung, Ridwan Kamil, membentuk BPBD di kota Bandung? Wallahu A'lam Bishawab
Penulis adalah Pengamat Kebijakan Pemerintah, tinggal di Bandung