UPAYA PENINGKATAN POPULASI SAM BETINA PRODUKTIF...

49
UPAYAPENINGKATANPOPULASISAMBETINA PRODUKTIFDIINDONESIA . .t PusatPenelitiandanPengembanganPeternakan BadanPenelitiandanPengembanganPertanian 2008

Transcript of UPAYA PENINGKATAN POPULASI SAM BETINA PRODUKTIF...

UPAYA PENINGKATAN POPULASI SAM BETINAPRODUKTIF DI INDONESIA

..t

Pusat Penelitian dan Pengembangan PeternakanBadan Penelitian dan Pengembangan Pertanian2008

UPAYA PENINGKATAN POPULASI SAM RETINAPRODUKTIF DI INDONESIA

Penyusun

: Ismeth InounuKusuma DiwyantoSubandriyoBudi HaryantoAtien PriyantiEny MartindahRatna Ayu S.aptati

Diterbitkan oleh

: Pusat Penelitian danPengembangan PeternakanJI . Raya Pajajaran Kav.E-59Bogor, 16151Telp. (0251) 8322185Fax (0251) 8328382 ; 8380588Email : [email protected] .id

ISBN 978-979-8308-96-3

Pusat Penelitian dan Pengembangan PeternakanBadan Penelitian dan Pengembangan PertanianBogor, 2008

Isi buku dapat disitasi dengan menyebutkan sumbernya .

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

UPAYA PENINGKATAN POPULASI SAPI BETINAPRODUKTIF DI INDONESIA

Hak Cipta @2008 . Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakanPusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan11 . Raya Pajajaran Kav .E-59Bogor, 16151

Upaya Peningkatan Populasi Sapi Betina Produktif diIndonesia / Ismeth Inounu dkk. - Bogor: PusatPenelitian dan Pengembangan Peternakan, 2007 : vi + 41him; ilus .; 16 cm .

ISBN 978-979-8308-96-3

1. Sapi Betina Produktif

2. PopulasiI. Judul; II. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Peternakan ;III. Inounu, I 636.2

Telp . : (0251) 8322185Fax

: (0251) 8328382 ; 8380588Email : [email protected] .id

KATA PENGANTAR

Peningkatan jumlah populasi ternak sapi merupakantarget utama yang harus dilaksanakan dalam rangka mendukungprogram percepatan swasembada daging sapi (P2SDS) diIndonesia . Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalahupaya meningkatkan populasi sapi betina produktif denganberbagai cara. Undang-undang No .6/67 tentang 'Ketentuan-ketentuan Pokok reternakan dan Kesehatan Hewan' melaranguntuk dilakukan pemotongan ternak sapi betina produktif, namunimplementasinya perlu diikaji ulang karena menjadi kontraproduktif dengan kondisi yang ada di lapang saat ini .Peningkatan jumlah populasi ternak sapi betina ini memang tidakdapat dilakukan dalam jangka pendek, tetapi harus secarabertahap dan dalam jangka panjang dengan program yang jelas .

Berkaitan dengan hal tersebut, Tim Analisis KebijakanPuslitbang Peternakan telah menyusun konsep awal upayapeningkatan populasi sapi betina produktif di Indonesia . Hal inidilaksanakan melalui kegiatan desk study dan lokakaryabekerjasama dengan Ditjen Peternakan dan Perhimpunan limuPemuliaan Indonesia (PERIPI) di Jakarta, tanggal 21 April 2008 .Berbagai pelaku usaha dan instansi terkait ikut terlibat dalamkegiatan ini seperti pengambil kebijakan, akademisi, peneliti,asosiasi dan organisasi profesi serta praktisi usaha sapi potong .Hal ini diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata bagipengembangan usaha sapi potong di Indonesia, utamanyadalam mewujudkan swasembada daging sapi .

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnyadisampaikan kepada semua pihak yang telah membantu hinggaselesainya dokumen ini. Buku ini merupakan dokumen dinamisyang dirasakan masih jauh dari sempurna, sehingga masukandan saran yang bermanfaat guna meningkatkan kualitas sangatdiharapkan. Semoga buku ini dapat berguna bagi para pembaca

III

untuk implementasi program usaha sapi potong Iebih lanjut dimasa-masa yang akan datang .

Bogor, Juli 2008Kepala Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan

Dr. Abdullah M . Bamualim

iv

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

Pendahuluan 1

Tahapan Kegiatan 6

Upaya Peningkatan Populasi Sapi Betina Produktif8

Sasaran

Implementasi Peningkatan Populasi Sapi Betina Produktif :dalam negeri dan impor 9

Upaya Tindak Lanjut 14

Matriks Rencana Tindak Upaya Peningkatan Populasi SapiBetina Produktif di Indonesia 17

Daftar Bacaan 22

Tim Perumus 24

Lampiran 25

1 . Berbagai upaya meningkatkan populasi sapi betinaproduktif untuk bibit oleh Prof . (R) Dr. Sjamsul Bahri . . .26

2. Menambah populasi ternak sapi potong diIndonesia oleh Ir. Dicky Adiwoso, MBA28

III

v

8

V

vi

3 . Peluang clan tantangan impor sapi bibit dari negara-negara lain sebagai alternatif pemenuhanketersediaan sapi potong oleh Dr. M . Malole30

4. Peluang bisnis tunda potong melalui polakemitraan usaha oleh Ir . Rochadi Tawaf, MS32

5. Pembahasan upaya peningkatan populasi sapi betinaproduktif di Indonesia oleh Prof . Dr . Ir. HarimurtiMartojo 34

6. Pembahasan upaya peningkatan populasi sapi betinaproduktif di Indonesia oleh Dr . Drh. Hasim, DEA38

PENDAHULUAN

Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, populasi sapipotong di Indonesia tidak menunjukkan perkembangan yangsignifikan, bahkan pada periode 1997-2001 populasinyacenderung terus menurun . Saat ini diperkirakan populasi sapipotong sebesar 11,3 juta ekor (Ditjenak, 2007), dan hanyasekitar 3,5 juta ekor diantaranya adalah sapi betina produktif(SBP) . Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling padatpopulasi sapinya, disamping Nusa Tenggara Timur (NTT), NusaTenggara Barat (NTB) dan Bali . Di kawasan ini ketersediaanpakan sangat terbatas, karena hampir tidak ada lahan pertanianyang dapat dipergunakan untuk menggembalakan sapi, kecuali dibeberapa wilayah propinsi NTT dan NTB . Sebaliknya di Sumatera,Kalimantan, Sulawesi, dan Papua yang wilayahnya sangat luas,relatif masih kosong ternak, disamping itu masih ada pulau-pulaukecil yang juga belum termanfaatkan untuk pengembanganusaha peternakan .

Perkembangan populasi sapi potong yang relatif lambatdiantaranya disebabkan oleh : (i) rendahnya produktivitas ternakdari aspek mutu genetik yang tidak dapat diketahui dengan pastikarena kelangkaan data atau parameter fenotipik maupungenetik tentang sapi-sapi lokal dan persilangannya, serta (ii)tidak adanya upaya perbaikan daya dukung wilayah sumberpakan ternak, bahkan cenderung menurun . Hal ini diakibatkanoleh semakin sempitnya luas areal pertanian, turunnya kualitaspadang penggembalaan akibat degradasi dan pertumbuhangulma, peraturan daerah yang menghambat pemanfaatanpadang penggembalaan secara komunal maupun perubahaniklim/cuaca yang tidak menentu . Menurunnya populasi sapididuga disebabkan karena jumlah pemotongan dan pengeluaran

1

sapi dari daerah-daerah sumber sapi lebih besar dan angkapengeluaran yang dapat dihitung berdasarkan populasi konstanatau estimasi pertambahan populasi per tahun .

Sebagian besar SBP dipelihara peternak kecil denganskala 1-4 ekor per KK dalam suatu sistem usaha tani untukkegiatan cow-calf operation. Usaha ini menghasilkan pedet atausapi bakalan, disamping untuk menghasilkan kompos. Alasanmemelihara SBP bukan dengan pertimbangan bisnis atauekonomi, tetapi karena untuk keperluan tabungan, akumulasiaset, asuransi, atau untuk memanfaatkan sumberdaya yang adasecara optimal (tenaga, Iimbah pertanian, padang pangonan,atau hijauan pakan ternak) . Peternak pada umumnya tidakmengusahakan sapi secara komersial yang berbasis keuntungankarena masih mempunyai pandangan/sikap yang menganggapbahwa ternak dapat dimanfaatkan tanpa harus menanamkanmodal. Dalam hal ini peternak masih sebatas sebagai user danakan meningkat menjadi keeper apabila menyikapi sebagaipeternak pemelihara karena telah menyediakan kandang maupunmemberi pakan seadanya . Kondisi peternak sebagai producerapalagi breeder masih sangat jarang dilakukan di Indonesia .

Memelihara sapi oleh sebagian besar peternak dianggapsebagai kesempatan untuk memperoleh pekerjaan (opportunity)yang diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi (benefit .Sebagai user, pendapatan dari pemeliharaan sapi tidak pernahdipersoalkan karena peternak memang tidak berorientasikeuntungan dan hampir tidak pernah memperhitungkan biayapakan atau tenaga kerja . Namun, dengan naiknya harga dagingsapi akhir-akhir ini diharapkan manfaat ekonomi yang diperolehpeternak juga dapat meningkat.

Saat ini rata-rata konsumsi daging sapi per kapitamasyarakat sekitar 1,7-1,8 kg per tahun, dan terjadi distribusiyang tidak merata. Penduduk perkotaan mengkonsumsi jauh

2

lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pedesaan . Denganjumlah penduduk sebesar 223 juta pada pertengahan tahun 2007dan rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 1,5 persen, sertadibarengi dengan perkembangan ekonomi dan perubahan gayahidup maupun pola makan penduduk perkotaan akanmenyebabkan konsumsi daging sapi terus bertambah . Elastisitasharga daging sapi yang lebih besar dari satu menunjukkanbahwa produk ini termasuk barang lux' dengan tingkat konsumsiterbesar di wilayah Jabodetabek. Oleh karena itu hampir semuaprodusen sapi (NTT, NTB, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, danDIY) mengirim sapi potong ke wilayah konsumen di Jabodetabek .Impor daging dan sapi hidup pun terutama ditujukan untukmemenuhi permintaan penduduk di wilayah itu . Elastisitaspendapatan terhadap permintaan daging sapi sebaiknyadikelompokkan atas penduduk di perdesaan dan perkotaan yangterdiri dari kelompk berpendapatan rendah, sedang dan tinggisesuai dengan kriteria Susenas . Hal ini sudah dikaji denganmenggunakan data dasar sampai dengan tahun 1990, dimanadengan banyaknya perubahan lingkungan yang telah terjadimemerlukan updated informasi .

Pencatatan baik kuantitatif dan kualitatif secara periodikpada kawasan sumber ternak, seperti NTT, NTB, Bali, JawaTimur, Jawa Tengah dan DIY, perlu dilakukan karena sebagianbesar sapi jantan dijual ke Surabaya, Jakarta, Jawa Barat danBanten atau Kalimantan . Hal ini dilakukan dalam upaya evaluasikesesuaian laju pengeluaran sapi jantan dari wilayah sumberatau akibat market driven terkait dengan PAD Pemda setempat .Jagal rumah potong hewan (RPH) di wilayah sumber ternak inikesulitan memperoleh sapi slap potong, sehingga banyak SBPdipotong untuk memenuhi kebutuhan daging penduduksetempat. Pelarangan pemotongan sapi betina produktif danpengantar-pulauan sapi bibit menyebabkan harga SBP lebih

3

rendah dibandingkan dengan sapi jantan . Kondisi inimenyebabkan pemotongan SBP di Indonesia sangat besar,diperkirakan sekitar 200-300 ribu ekor pertahun. Dengandemikian pelarangan pemotongan SBP tanpa memperhatikanadanya surplus SBP di wilayah sumber bibit disertai denganpengawasan, konsistensi, insentif dan alternatif jalan keluarsecara nasional justru menjadi kontra produktif.

Di beberapa daerah, sebagian pengusaha jagal justrumenyukai ternak dengan ukuran kecil, karena pertimbanganbisnis dan efisiensi . Kondisi ini menyebabkan banyak sapidipotong dengan bobot badan dibawah potensi genetiknya, yaitusekitar 70-80 persen dari potensi bobot badan optimum .Permintaan veal (daging pedet) di kota besar juga menyebabkanpengurasan sapi lebih dipercepat. Dua hal tersebut perlu diatasidengan kebijakan disinsentif, misalnya retribusi ternak kecil yanglebih tinggi dibandingkan pemotongan ternak dengan ukuranbesar, dan kebijakan insentif bagi peternakan rakyat yangmengelola usaha perbibitan . Insentif yang diperlukan bersifatmerangsang pengembangan usaha, misalnya suku bunga kreditkomersial dibawah 5 persen dan insentif berdasarkanpertambahan bobot badan sapi bagi peternak di kawasan villagebreeding centre (VBC) .

Impor adalah alternatif jangka pendek yang harusdilakukan untuk memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri .Namun dalam dua dasawarsa terakhir ini terjadi kecenderunganimpor daging dan sapi bakalan yang terus meningkat . Padatahun 2007 impor sapi telah mencapai sekitar 520 ribu ekor, danimpor daging dan jerohan diperkirakan sekitar 50-70 ribu ton .Perbandingan impor daging dan jerohan Iebih banyak jerohan,bahkan disinyalir mencapai sekitar 60-70 persen. Menurutperhitungan, impor daging, jerohan dan sapi bakalan telahmencapai 30 persen dari kebutuhan daging nasional . Idealnya

4

(target yang pernah dicanangkan dengan 'gaung Lampung'),pasokan daging di dalam negeri dipasok dari kombinasi sapi yangberasal dari peternakan lokal (90 persen), ternak penggemukaneks-impor (9 persen) dan daging atau jerohan impor (1 persen) .Dengan demikian, meningkatkan jumlah SBP dari sisi populasi,kinerja dan mutu genetik harus menjadi target utama untukmewujudkan swasembada daging sapi, selain kebijakanpengaturan (insentif atau disinsentif) impor bibit, sapi bakalan,daging maupun jerohan .

s

TAHAPAN KEGIATAN

Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang)Peternakan melalui tim Analisis Kebijakan telah melakukan deskstudyterkait dengan upaya penyelamatan SBP, dimana hasil daristudi ini dilanjutkan dalam suatu Ikakarya . Bekerjasama denganDitjen Peternakan dan Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia(PERIPI) Puslitbang Peternakan telah melaksanakan Lokakaryadengan tema 'Upaya Peningkatan Populasi Sapi Betina Produktifdi Indonesia' pada tanggal 19 April 2008 di Jakarta . Lokakarya inidiselenggarakan seiring dengan pelaksanaan Pekan Promosi SusuNasional untuk memperingati Hari Kartini dan dalam rangkamendukung serta mewujudkan program pemerintah padaPercepatan Swasembada Daging Sapi Tahun 2010 . Lokakarya inibertujuan untuk menggali informasi dan sekaligus merumuskanIangkah-Iangkah kebijakan yang operasional dalam mendukungprogram pembangunan sapi potong di Indonesia . Acara inidihadiri oleh sekitar 60 peserta terdiri dari penentu kebijakan ditingkat pusat maupun daerah seperti : pejabat terkait IingkupDitjen Peternakan, pejabat Dinas Peternakan Propinsi JawaBarat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan KabupatenMerauke; akademisi dan peneliti lingkup Badan Litbang Pertanian(Puslitbang Peternakan, BPTP NTT, BPTP Bengkulu), anggotaPERM serta pelaku usaha yang tergabung dalam PPSKI danAPFINDO . Lokakarya ini dibuka oleh Kepala PuslitbangPeternakan, Dr. Abdullah M . Bamualim dan dipandu oleh Dr.Ismeth Inounu selaku penanggung jawab kegiatan AnalisisKebijakan Komoditas Peternakan .

6

Nara sumber dalam Iokakarya ini adalah :

1 . Prof. (R) Dr. Syamsul Bahri, Sekretaris Ditjen Peternakandengan topik bahasan : Berbagai upaya peningkatanpopulasi sapi potong betina produktif untuk bibit

2. Ir. Dicky Adiwoso, MBA, pengusaha dengan topikbahasan : Menambah populasi ternak sapi potong diIndonesia

3 . Dr. M . Malole, pakar kesehatan hewan dari IPB dengantopik bahasan : Peluang dan tantangan impor sapi bibitdari negara-negara lain sebagai alternatif pemenuhanketersediaan sapi potong .

Pembahas pada acara ini terdiri dari :

1 . Prof. Dr. Harimurti Martojo dari IPB yang disampaikansecara tertulis

2 . Prof. Dr. H. Soehadji, pengamat peternakan dan mantanDirjen Peternakan

3. Dr. Drh. Hasim, DEA, dekan Fakultas MIPA, IPB4. Ir. Rochadi Tawaf, MS., wakil Dekan Fakultas Peternakan

UNPAD dan Sekjen PPSKI .

Beberapa butir hasil diskusi dan rekomendasi yangdikombinasikan dengan hasil desk study diharapkan dapatdipergunakan secara langsung oleh Direktorat JenderalPeternakan dan instansi terkait lainnya dalam rangkamempertajam program-program kerja serta kebijakan terkaitdengan upaya untuk meningkatkan populasi sapi betina produktifdi Indonesia .

SASARAN

s

UPAYA PENINGKATAN POPULAR SAPI BETINAPRODUKTIF

1 . Mengupayakan peningkatan populasi SBP dalam rangkamendukung terwujudnya P2SDS. Hal ini bertujuan untuk :(a) meningkatkan populasi temak sapi potong melaluioptimalisasi (memperpanjang) usianya dan dapat menjadipeluang bisnis tunda potong melalui pola kemitraanusaha, (b) memanfaatkan sumber daya genetik danpakan lokal dalam rangka pembangunan yangberkelanjutan, dan (c) memberdayakan masyarakatdalam rangka peningkatan kesejahteraan .

2. Mengurangi ketergantungan terhadap impor sapi bakalanserta jerohan dan daging sapi yang cenderung terusmeningkat dari tahun ke tahun sehingga menguras devisanegara yang cukup besar.

IMPLEMENTASI PENINGKATAN POPULASI SAPIBETINA PRODUKTIF:

DALAM NEGERI DAN IMPOR

Tingkat pemotongan SBP saat ini mencapai 150-200 ribuekor per tahun, walaupun beberapa sumber lain memperkirakandapat mencapai 200-300 ribu ekor per tahun . Undang-undangNo.6/67 tentang 'Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan danKesehatan Hewan' melarang untuk dilakukan pemotongan ternakSBP, namun ternyata implementasi dan instrumen dalampelaksanaan UU ini justru kontra produktif, sehingga perlu dikajiulang dan dalam realisasinya harus dilakukan dengan konsisten,berkesinambungan serta didukung dengan law enforcement sertainsentif dan alternatif jalan keluarnya. Pelarangan pemotonganSBP tanpa insentif yang tepat ternyata mempunyai efek negatifterhadap populasi ternak sapi betina . Karena sulit dijual sebagaiternak potong (harus melanggar peraturan) sementara peternakmemerlukan dana tunai, menyebabkan harga ternak betinamenjadi lebih murah dibandingkan dengan sapi jantan . Sapijantan sebagian besar dikeluarkan/dijual dari daerah sumberbibit, sehingga yang tersisa tinggal sapi betina. Kondisi ini justrumendorong pengusaha jagal untuk memilih SBP yang harganyaIebih murah, disamping kenyataan bahwa SBP menjadi satu-satunya sumber daging. Pemotongan SBP terpaksa dilakukansecara ilegal, atau justru dilindungi oleh oknum aparat setempat .

Penjaringan/pembelian oleh Dinas Peternakan atauproyek serupa lainnya terhadap SBP sebagai tindakanpenyelamatan induk (dan embrio/janin yang mungkin ada didalam uterus) memberi dampak positif, karena harga SBPmenjadi mahal. Untuk menyelamatkan SBP dari pisau jagal harusdiupayakan agar harga SBP sama atau lebih mahal dibandingkan

9

dengan sapi jantan . Namun kondisi ini harus diwaspadai karenadapat berakibat terkurasnya SBP dari perdesaan karena hargayang menarik. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian yang lebihmendalam tentang kebijakan penyelamatan SBP, dimana disetiap wilayah mungkin akan berbeda masalah dantantangannya. Hal ini juga meliputi distribusi SBP terjaring kewilayah yang berdaya tampung tinggi berdasarkan ketersediaansumberdaya pakan dan peternaknya .

Peningkatan jumlah SBP tidak dapat dilakukan secarainstan (dalam jangka pendek), tetapi harus secara bertahap(dalam jangka menengah dan jangka panjang) dengan programyang jelas. Pemindahan SBP dari satu kawasan yang sudah padat(NTT dan NTB) ke daerah baru yang berdaya tampung tinggi(Sumatera, Kalimantan, Papua, dlsb.) dapat meningkatkanjumlah ternak secara nasional . Ternak yang dipindahkan kedaerah yang jauh dari pusat konsumen dan masih kosong ternakakan berkembangbiak, karena tersedia pakan yang cukupsepanjang tahun . Program ini akan memakan waktu dandiperlukan sedikit kesabaran sehingga orientasi komersialmenjadi tidak menarik. Rencana pemindahan ternak dilaksanakanmelalui mekanisme cow calf operation berdasarkan kondisi diperdesaan yang dimulai dengan pemilihan bangsa sapi yangtepat dan dalam skala pilot untuk dapat diuji keberhasilannyaapabila akan dikembangkan dengan skala yang Iebih besar .Distribusi SBP antar pulau termasuk ke pulau-pulau kecil perludidukung oleh skim pembiayaan bagi swasta dalam melakukanprogram breeding, sekaligus memberi insentif bagi daerah yangmampu memasok bibit untuk wilayah lain .

Di dalam negeri upaya untuk meningkatkan jumlah SBPjuga dapat dilakukan dengan cara meningkatkan daya reproduksisehingga dapat: (i) mempercepat umur beranak pertama, (ii)memperpendek jarak beranak, serta (iii) memperlambat culling

10

sapi yang sangat produktif. Sebaliknya culling juga harusdilakukan terhadap sapi betina majir dan tua yang tidakproduktif, sehingga persentase kelahiran/beranak dapatmeningkat. Dalam hal ini recording harus tertib, atau bantuantenaga pemeriksa kebuntingan (PKB) yang berkualitas harusditingkatkan. Ternak betina yang diculling diberi cap bakar "P"tanda boleh dipotong . Intensifikasi program Inseminasi Buatandengan memanfaatkan teknologi semen sexing dalam upayamemperoleh pedet betina dapat dilakukan secara selektif, namunharus dibarengi dengan perencanaan yang balk dan jelas.

Untuk menambah populasi SBP jugs dapat dilakukandengan pemanfaatan sapi eks impor Brahman cross (BX) betinaproduktif. Namun peternak harus menyadari bahwa SBP eksimpor memerlukan dukungan pakan yang balk kalau diinginkanuntuk dapat bunting kembali setelah beranak pertama . Laporandari daerah yang menyatakan sapi eks impor sulit beranakkembali mungkin disebabkan karena sapi hanya diberi pakanjerami atau limbah pertanian yang berkualitas rendah denganpenyediaan dalam jumlah terbatas . Kemungkinan lain yang perludijajaki adalah bahwa sapi-sapi eks impor tersebut adalah sapiculled karena sebagai first calf heifers sudah gagal bunting padamusim kawin pertama, sehingga sudah terindikasi bermasalahreproduksinya . Sapi betina kelompok ini biasanya diberikesempatan kedua untuk dikawinkan lagi pada musim kawinberikutnya, dan jika bunting akan dipergunakan sebagai indukdengan performa yang kurang balk. Apabila sapi ini diimpordalam keadaan bunting, maka dengan lingkungan yang baru(mencekam, panas dan kurang pakan) akan mengakibatkan sapi-sapi ini sulit bunting kembali dan bahkan dapat majir permanen .Hal ini dikarenakan sapi-sapi betina ini memerlukan waktu yanglama untuk mengembalikan kondisi badan dan keseimbanganhormonal menuju normal (adanya interaksi antara genotipe dan

11

lingkungan) yang sangat menonjol ekspresinya pada sifat-sifatreproduksi .

Impor sapi sebagai breeding stock atau bibit sebar untukperkembangbiakkan dapat dilakukan dengan pertimbangan yangseksama, karena jangan sampai justru menimbulkan kerugianbagi peternak karena mereka belum slap atau kesulitan pakan .Importasi sapi bibit atau untuk perkembangbiakkan lebih tepatbila dilakukan oleh swasta atau masyarakat yang selektif,sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi atau memberikemudahan dalam hal perijinan, kredit, dan aspek teknis lainnya .

Alasan kuat untuk melakukan pembelian sapi termasukSBP dari Australia adalah karena faktor jaminan kesehatan(bebas PMK, BSE, dll .), jarak, ketersediaan prasarana, sertaharga yang cukup kompetitif . Australia memiliki padangpangonan yang sangat luas dan terpelihara secara intensifsebagai tempat hidup sapi . Keunggulan komparatif inimengakibatkan biaya produksi sapi menjadi minimal dankompetitif dibandingkan apabila harus impor dari negara lain .Faktor harga yang kompetitif iniiah yang dimanfaatkan oiehpengusaha-pengusaha yang bergerak di bidang sapi potong,untuk mengimpor sapi bakalan maupun bibit . Saat yang palingtepat untuk Indonesia mengimpor sapi dari Australia adalah saatmusim kemarau antara bulan Mei sampai Oktober . Keadaan diAustralia saat itu sangat kering dan pakan ternak jauhberkurang, dimana peternak berusaha keras mengeluarkan sapidari peternakannya . Saat itu para importir dapat membeli SBPdengan harga yang murah, dan sapi-sapi yang balk ini dapatdigunakan sebagai sapi bibit di Indonesia .

Ketergantungan pada satu negara pemasok adalahsangat mengkhawatirkan, oieh karena itu perlu dicari alternatiflain. Peluang untuk mengimpor sapi dari negara yang belumsepenuhnya bebas PMK ke Indonesia memang ada, dengan

12

memanfaatkan : Art OEI No : 2.2.10.12 tentang impor . darinegara terinfeksi PMK. Impor dibolehkan denganmemperhatikan :a . Tidak didapati tanda-tanda klinis disuatu wilayah negara

yang bersangkutanb. Tidak ada kasus PMK selama 3 bulan dan dalam radius 10

km.c. Dilakukan isolasi ternak selama 30 hari sebelum pengapalan .d. Dilakukan uji diagnostik di negara asal secara serologis, dan

biologi molekuler, untuk meyakinkan bebas virus .

Setibanya di Indonesia ternak tersebut dipelihara(dikarantina) di pulau yang terisolir, kemudian dicampur denganhewan sentinel yang sangat peka terhadap PMK . Apabila dalamkurun waktu 3 bulan tidak ada kejadian PMK maka ternaktersebut dapat dinyatakan bersih dari PMK . Teknologi dan tenagaahli untuk melakukan hal-hal ini sebenarnya telah tersedia diDepartemen Pertanian dan lembaga yang terkait dengankesehatan hewan lainnya yang ada di Indonesia .

Namun untuk melakukan hal tersebut, perlumempertimbangkan aspek berlandaskan maksimum sekuriti yangmencakup: (1) analisis resiko dan manfaatnya, (2) kesiapanSDM, sarana dan prasarana, (3) kelayakan ekonomis ditinjau daribiaya transportasi, loading dan unloading, karantina,pengawasan, dlsb., (4) kesiapan moral dan fisik petugas yangharus mengawal dan melaksanakan proses yang cukup rumit ini,serta (5) faktor keamanan (jaminan terhadap lalu lintas keluarmasuk wilayah) dan keberlanjutan . Pada waktu PemerintahanHindia Belanda memasukkan sapi Ongole ke pulau Sumba lebihsatu abad yang lalu, jumlah sapi yang didatangkan hanyabeberapa ribu dan pada masa itu keamanan cukup kondusif, dansumberdaya pakan masih tersedia melimpah .

13

UPAYA TINDAK LANJUT

Visi dan Misi yang pernah dicanangkan DirektoratJenderal Peternakan pada awal tahun 1990-an untukberswasembada daging (90 persen sapi lokal, 9 persen sapibakalan impor, dan 1 persen daging impor) masih cukup relevan,dan sesuai dengan target yang ditetapkan Departemen Pertaniansaat ini. Oleh karena itu perlu dibuat road map lintas instansiatau antar Departemen, serta lintas daerah, untuk menjabarkanprogram pengembangan sapi secara nasional sampai pada tahapimplementasi di daerah . Road Map tersebut memuat hasil kajianhingga tahapan kerja, serta model-model pengembangan, agartahapan-tahapan yang sudah digariskan dapat terlaksana . Hal inimeliputi : (i) pengendalian pemotongan SBP dan distribusi bibitsapi dari daerah padat ke daerah kosong ternak, (ii) perbaikanmutu dan penyediaan bibit, (iii) penanganan gangguanreproduksi/keswan, (iv) intensifikasi kawin alam dan IB, (v)pengembangan dan pemanfaatan pakan lokal, serta (vi)pengembangan SDM dan kelembagaan . Hal ini juga harusmemasukkan jaminan pendanaan dan sumber anggaran yangberlaku sampai akhir masa program dan jaminan terealisasinyadukungan pihak-pihak yang ikut merencanakan road maptersebut .

Pengembangan kelompok peternak atau koperasipeternak sapi potong sangat tepat sebagai kelembagaan ditingkat operasional di perdesaan . Kelembagaan ini harus dikelolasecara profesional dan menerapkan prinsip-prinsip goodgovernance. Kelompok atau kelompok peternak ini dapatberperan pada kegiatan hulu sampai hilir, mulai penyediaan bibitdan pakan, pengelolaan ternak dan pengendalian penyakit,sampai pada pemasaran atau tataniaga . Beberapa success story

14

di daerah perlu diangkat sebagai model pengembangan sapi diIndonesia, namun harus tetap dimodifikasi sesuai kondisi sosialbudaya masyarakat setempat. Dalam diskusi ini teridentifikasibahwa kelembagaan koperasi merupakan salah satu solusiterbaik untuk memecahkan hal tersebut .

Penyediaan bibit unggul harus tetap ditangani ataudikoordinasi oleh pemerintah bersama masyarakat, balk untuktujuan pengadaan elite bull, ternak pengganti (replacementstock), maupun distribusi ternak. Pemberdayaan atau revitalisasiUPT dan UPTD Perbibitan sangat diperlukan, yang dimulai daripeningkatan kualitas SDM dalam hal teknis maupun manajemen .UPT yang mempunyai kinerja baik seperti Loka Penelitian SapiPotong, Grati harus dijadikan acuan atau contoh (benchmark),sehingga ada kompetisi sehat diantara UPT yang ada . Setiap UPTharus mempunyai output jelas dan terukur, sehingga ke depanketergantungan pada bibit impor dapat diminimalkan . Perlu dikajiusulan tentang swastanisasi UPT Perbibitan, misalnya B/BIB,agar dapat Iebih mandiri dalam hal pelaksanaan usahanya tanpamelalui SOP pengadaan barang/bahan publik yang konvensional .Jaminan pengadaan dan penyediaan dana pelaksanaan programpemuliaan secara kontinu perlu diperhatikan, sehingga programtersebut tidak terputus di tengah jalan .

Masyarakat atau swasta perlu didorong untuk melakukankegiatan perbibitan atau cow calf operation, dengan dukunganatau kebijakan yang Iebih kondusif. Bagi pihak atau swasta yangberminat untuk mengusahakan breeding farm di pulau-pulaukecil perlu diberi petunjuk dan aturan yang jelas, mulai daripemilihan atau seleksi pulau-pulau kecil yang memungkinkansampai pada tahap pelaksanaan . Pemanfaatan pulau-pulau kecildiharapkan bukan hanya sekedar wacana, tetapi dapat benar-benar direalisasikan mulai dari kegiatan survey atau studikelayakan sampai pemasukan ternak dan pengembangannya .

1 5

Untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil perlu persiapan yang rinddan konkrit hingga jelas di pulau yang mana dan dukungan apayang dibutuhkan, antara lain menyangkut (i) ketersediaan dankepastian hukum dalam penggunaan lahan, (ii) aspek sosial-budaya masyarakat setempat, (iii) kelembagaan dan keamanan,(iv) antisipasi bila terjadi kejadian penyakit, dan (v) perhitunganatau kelayakan ekonomi dan keberlanjutan .

16

7

MATRIKS RENCANA TINDAK UPAYA PENINGKATANPOPULAR SAPI BETINA PRODUKTIF DI INDONESIA

17

Rencana Tindak Keluaran SasaranWaktu

Penanggung3awab

I. UPAYA PENINGKATAN SAM BETINA PRODUKTIF1. Pendataan

parameterfenotipik-genetiksapi lokal danpersilangannya

Perencanaanpengembangansapi lokal danstrategi breedingberdasarkanparameterfenotipik-genetiksapi lokal danpersilangannya

2009 -1010 PerguruanTinggi,Puslitbangnak,DitjenNak

2. Pendeteksiandaerah-daerahsurplus sapibetina produktifdan daerah-daerah surpluspakan ternak

Penyebaran sapibetina produktifdari daerah surpluske daerah yangmempunyai dayatampung tinggiberdasarkansumberdaya pakandan peternaknyasehingga tedadinyapercepatanpengembangansapi lokal

2009-1010 Pemprov,Pemkab,DitjenNak

3. Peningkatan dayareproduksi sapibetina : umurberanak pertamayang cepat; jarakberanak yangpendek;

Menurunnya jumlahpemotongan sapibetina produktif

2009 - 2010 Pemprov,Pemkab,DitjenNak

1 8

memperlambatculling bagi sapiyang produktif

4. Pemanfaatan sapieks impor danpendeteksiannegara-negarasurplus betinaproduktif

a. Peningkatankualitas sapipotong lokal danterkendalinyapemotonganbetina produktif

b. Terindikasinyanegara-negarapengekspor sapibetina untukpengembanganternak sapi

2009 - 2010 Swasta,DitjenNak

5. Penanganan Peningkatan 2009 -2010 Pemprov,gangguan produktifitas sapi Pemkab,reproduksi dan betina produktif B/BBPPVkesehatan hewan DitjenNak,

6. Intensifikasi kawin Peningkatan jumlah 2009 - 2010 Pemprov,alam dan IB kelahiran dan Pemkab,

memperkecil S/C DitjenNakdalam suatuperiode

7. Pengembangan a . Terjaminnya 2009 -2010 Pusitbangnak,dan pemanfaatan ketersediaan Perguruanpakan lokal pakan sepanjang Tinggi,

tahun, sehingga Koperasi,terjadi Swastapeningkatankualitasreproduksi sapibetina produktif.

8. PengembanganSDM dankelembagaan

1 . Ketersediaan dankepastian hukumdalampenggunaaanlahan pulau-pulau kecil

2. Sosialisasipengembanganusaha sapipotong untukmasyarakatsetempat

3. Kelembagaandan keamanandi pulau-pulaukecil

b. Aplikasi sistemintegrasi yangIebih luas : SIPTdan SISKA

Pengembangankelompok peternakatau koperasipeternak sapipotong yang dapatmeningkatkangairah usaha

II. PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL

Meningkatnyajumlah peternakswasta yangmemanfaatkanpulau-pulau kecil

Meningkatnyapengetahuan danpenerimaanmasyarakat dalamusaha ternak sapi

Meningkatnyakepercayaan danperan swastadalam usahapengembanganternak sapi

2009-2010

2009-2010

2009-2010

2009-2010

Pemprov,Pemkab,DitjenNak,Badan SDM

Pemprov,Pemkab,BUMN/swastaPemth Pusat

Pemprov,Pemkab,Badan SDM,Swasta,Koperasi

Pemprov,Pemkab,Hankam

1 9

4. Pengawasanterhadapkejadianpenyakit dipulau-pulau kecil

5. Perhitungan ataukelayakanekonomi danusaha yangberlanjut dalammemanfaatkanpulau-pulau kecil

Terkendali danterkontrolnyaternak sapipotong darigangguanpenyakit menular

Efisiensi usahadan penciptaanlapangan kerjabagi masyarakatuntukmengembangkanternak sapi

2009-2010

2009-2010

Pemprov,Pemkab,B/BBPPVDitjenNak

Pemprov,Pemkab,PSEKP,Perbankan

III. DUKUNGAN INSTRUMEN DAN KEBIJAKANEKONOMIS

1. Penegakan aturandan kepastianhukum dalampenataan ruang,kemudahanmendapatkanlahan danperijinan usahapengembangansapi potong dipulau-pulau kecil

2. Kemudahan aksespetani padalembagakeuangan mikrosebagai sumberpembiayaanusaha sapi potong

a. Terbentuknyakawasanpengembanganusaha sapipotong di pulau-pulau kecil yangberkelanjutan

b . Terjaminnyakeamanan usahasapi potong

c. Meningkatnyapartisipasipeternakmandiri/swasta

Terakselerasinyaperkembanganpulau-pulau kecildan menjadiwilayah kegiatanwirausaha mandiri

2009-2010

2009-2010

Pemprov,Pemkab,Hankam

Deptan,Pemprov,PemkabPerbankan

20

f

2 1

3. Dukungan Swasta/BUMN yang 2009-2010 Swasta/BUMNkebijakan tertarik untuk Perbankan,investasi melalui mengembangkan Pemprov,subsidi bunga usaha sapi potong Pemkab,kredit komersial(6%)

sebagai penghasilbakalan

DAFTAR BACAAN

Adiwoso, D. 2008. Menambah populasi ternak sapi potong diIndonesia . Makalah dipresentasikan pada LokakaryaUpaya Peningkatan Populasi Sapi Betina Produktif diIndonesia . Jakarta, 21 April 2008. Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan bekerjasama dengan DitjenPeternakan dan PERIPI .

Bahri, S. 2008 . Berbagai upaya meningkatkan populasi sapipotong betina produktif untuk bibit. Makalahdipresentasikan pada Lokakarya Upaya PeningkatanPopulasi Sapi Betina Produktif di Indonesia . Jakarta, 21April 2008. Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan bekerjasama dengan Ditjen Peternakan danPERIPI.

Direktorat Jenderal Peternakan . 2007 Buku Statistik Peternakan .Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian,Jakarta .

Direktorat Jenderal Peternakan . 2007 . Program PercepatanPencapaian Swasembada Daging Sapi Tahun 2010(P2SDS) . Jakarta .

Diwyanto, K. 2007. Pemberdayaan Msyarakat Melalui ModelPengembangan Usaha Sapi Potong . Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor .

Inounu, I . 2007. Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil UntukPengembangan Usaha Ternak Sapi Potong . PusatPenelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor .

22

Inonu, I . 2006. Rencana Tindak Program Menuju KecukupanDaging Sapi Tahun 2010. Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor .

Malole, M . 2008 . Peluang dan tantangan impor sapi bibit darinegara-negara lain sebagai alternatif pemenuhanketersediaan sapi potong. Makalah dipresentasikan padaLokakarya Upaya Peningkatan Populasi Sapi BetinaProduktif di Indonesia . Jakarta, 21 April 2008 . PusatPenelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasamadengan Ditjen Peternakan dan PERM .

Tawaf, R. 2008. Peluang bisnis tunda potong melalui polakemitraan usaha . Makalah dipresentasikan pads,Lokakarya Upaya Peningkatan Populasi Sapi BetinaProduktif di Indonesia . Jakarta, 21 April 2008 . PusatPenelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasamadengan Ditjen Peternakan dan PERIPI .

23

TIM PERUMUS

1 . Prof . (R) Dr. Kusuma Diwyanto - Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor

2 . Prof. (R) Dr. Sjamsul Bahri - Sekretaris Direktorat Jenderal,Jakarta

3 . Prof. (R) Dr. Subandriyo - Balai Penelitian Ternak, Ciawi -Bogor

4. Prof. Dr. Ir. Harimurti Martojo - Fakultas Peternakan, InstitutPertanian Bogor

5. Dr. Abdullah M. Bamualim - Kepala Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor

6. Dr. Ismeth Inounu - Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor

7. Dr. Budi Haryanto - Balai Penelitian Ternak, Ciawi - Bogor

8. Ir. Dicky Adiwoso, MBA - Pengusaha sapi potong

9. Dr. M . Malole - Fakultas Kedokteran Hewan,

InstitutPertanian Bogor

10. Ir. Rochadi Tawaf, MS . - Fakultas Peternakan UniversitasPajajaran / Sekjen PPSKI

11. Dr. Drh. Hasim, DEA - Dekan Fakultas MIPA, InstitutPertanian Bogor

12. Dr. Eny Martindah - Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor

13. Dr. Atien Priyanti - Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor

14. Ratna A. Saptati, MS . - Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor

24

LAM PIRAN

BERBAGAI UPAYA MENINGKATKAN POPULASI SAMBETINA PRODUKTIF UNTUK BIBIT

Sjamsul Bahri

Sekretaris Ditjen Peternakan, Jakarta

RINGKASAN

Selama 20 tahun terakhir (1986-2007), telah terjadidinamika dan peningkatan populasi ternak sapi di Indonesia yangberkisar antara 9-12 juta ekor dan upaya peningkatannya .Informasi terakhir menunjukkan bahwa populasi sapi potong saatini mencapai sekitar 10,5 juta ekor untuk memenuhi kebutuhankonsumsi daging sapi bagi 240 juta penduduk Indonesia . Dari10,5 juta ekor sapi potong, populasi sapi betina produktifnasional hanya sebesar 3,5 juta ekor .

Distribusi sapi potong adalah 45 persen berada di PulauJawa dan sisanya tersebar di luar Pulau Jawa dengan totalsekitar 4 juta rumah tangga peternak sapi potong . Jadi hinggasaat ini, sapi lokal merupakan tulang punggung industri sapipotong yang memenuhi sekitar 72 persen kebutuhan daging sapinasional. Kekurangan kebutuhan daging sapi dipenuhi dari imporsapi bakalan (yang selanjutnya digemukkan selama 2 - 3 bulan)dan impor daging/jerohan . Dalam tiga tahun terakhir ini impordaging dan jerohan sekitar 50 ribu ton per tahun dengan imporsapi bakalan rata-rata sekitar 380 ribu ekor per tahun . Padatahun 2007 impor daging dan jerohan menduduki urutantertinggi, yakni sebanyak 60 ribu ton .

26

Upaya peningkatan populasi telah dilakukan pemerintah(cq. Ditjen Peternakan), diantaranya adalah : (i) optimalisasi usiasapi betina produktif, (ii) menjaga agar sapi betina produktiftidak dipotong (saat ini tingkat pemotongan sapi betina produktifmencapai 150-200 ribu ekor per tahun), (iii) melakukan distribusiSBP antar pulau, (iv) intensifikasi kawin alam, (v) intensifikasi IBdan semen sexing, serta (vi) memanfaatkan sapi betina eksimpor Brahman cross betina produktif.

Diperlukan upaya terobosan dalam peningkatan SBP yaituimpor sapi betina produktif untuk breeding yang akandikembangkan pada pulau-pulau kecil atau dibagikan kepadarakyat yang masih memungkinkan . Hal ini perlu disertai denganpengadaan skim pembiayaan bagi swasta untuk melakukankegiatan breeding tersebut di pulau-pulau kecil .

27

MENAMBAH POPULAR TERNAK SAM POTONG DIINDONESIA

Dicky Adiwoso

Pengusaha Sapi Potong, Jakarta

RINGKASAN

Fluktuasi ekonomi yang terjadi di Australia dari tahun ketahun sejak tahun 1990 sampai tahun 2007 memberikan peluangdalam industri sapi di Indonesia . Keunggulan kompetitif dankomparatif yang dimiliki Australia dalam pengadaan sapi potongtelah membuka pengusaha Australia untuk ikut serta investasi diIndonesia yaitu di Lampung pada program breeding sapi .

Pembelian sapi paling tepat adalah awal musim kering diAustralia yaitu sekitar bulan April-Mei . Apabila pembeliandilakukan pada bulan Oktober maka harga akan mahal, karenapeternak Australia bersamaan dengan kondisi yang ada diIndonesia yang juga melakukan pembelian untuk beternakselama musim semi, di mana rumput akan tumbuh, sehinggaharga sapi melambung . Sapi Australia dipelihara secara bebas dipadang rumput yang sangat luas dengan kawin alam, tanpa IBapalagi embryo transfer (ET) . Untuk 600 ekor sapi diperlukanlahan sekitar 20 ribu ha dengan klasifikasi lahan marginal .

Australia akan senang apabila Indonesia mau membelisapi pada bulan April-Mei setiap tahun, karena rumput disanakering. Indonesia akan mengalami persaingan ketika Australiajuga membuka ekspor ke negara lain . Sapi yang di jual keIndonesia akan terus dilakukan selama Australia tidak memilikidaya dukung pakan atau kurang menguntungkan secara

28

ekonomi . Jadi suatu saat apabila permintaan terhadap sapibetina produktif dari negara lain meningkat, maka Indonesiaakan menghadapi masalah.

Di Indonesia sapi yang diseleksi (umur 18 bulan) akandikirim ke Lampung untuk dipelihara selama (100-120) hari,sebelum dibagikan ke peternak sebagai plasma untuk kegiatanbreeding. Apabila masa-masa tersebut terlewati, makaperusahaan akan rugi karena biaya produksi untuk pakan danmanajemen juga meningkat .

Induk sapi betina produktif memerlukan pakan dengangizi balk diiringi dengan kualitas hijauan yang balk agar dapatbunting. Oleh karena itu persiapan infrastruktur menjadiprasyarat dalam usaha ini. Cekaman terhadap kondisi sapi yang,biasa dipelihara bebas di lahan yang luas dan kawin secara alamidan akan dipelihara di kandang sempit milik petani dengankondisi pakan yang sangat minim dan perkawinan melalui IBharus diminimalkan.

29

PELUANG DAN TANTANGAN IMPOR SAPI BIBITDARI NEGARA-NEGARA LAIN SEBAGAI ALTERNATIF

PEMENUHAN KETERSEDIAAN SAPI POTONG

M. Malole

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pettanian Bogor

RINGKASAN

Dalam rangka pencapaian swasembada daging sapinasional sangat diperlukan penyediaan sapi bibit . Impor sapihidup lebih beresiko daripada impor daging beku . Pada saat iniIndonesia bebas dari penyakit eksotik seperti : Penyakit Mulut danKuku (PMK), Rinderpest, Rift vallery fever, Contagious bovinepleuropneumonia (CBPP), dan Vesicular disease. Keterbatasannegara-negara yang bebas dari penyakit tersebut membuatIndonesia perlu mencari alternatif dan strategi impor sapi bibit .Seperti diketahui bahwa Indonesia telah dinyatakan bebas dariPMK melalui SK Mentan No.260/Kpts/TN .510/5/1986 yangmenyatakan Pulau Jawa/Indonesia bebas PMK. Pengakuaninternasional terhadap bebasnya Indonesia dari PMK diprosesselama tiga tahun (1988-1990) dengan melibatkan InstitusiInternasional (ASEAN, OIE). Salah satu pertimbangan pengakuanbebasnya Indonesia dari penularan wabah PMK, antara lainbahwa kebijakan impor Indonesia sangat ketat melarangpemasukan ternak dan bahan asal ternak dari negara tertularPMK.

Ketergantungan impor sapi bibit pada satu negarapemasok sangat mengkhawatirkan . Namun, peluang impor sapibibit dari negara-negara terkontaminasi penyakit eksotik,utamanya PMK tersebut masih dimungkinkan dengan adanyaArtikel OIE nomer 2.2.10.12 . Impor diperbolehkan dengan

30

memperhatikan :1 . Keberadaan International Veterinary Certificate bahwa

ternak dari wilayah negara bersangkutan yang akandiekspor tidak didapati gejala klinis penyakit PMK .

2. Apabila kebijakan stamping out diberlakukan di negarapengekspor tersebut, maka ternak tetap harus berada dikandang sejak dilahirkan atau minimal selama 30 harisebelum pengapalan. Apabila negara tersebut tidakmemberlakukan kebijakan stamping out, maka minimalternak dikandangkan selama tiga bulan sebelumpengapalan .

3 . Tidak terdapat kasus PMK pada radius 10 km dari tempatdimana ternak dikandangkan .

4. Ternak diisolasi selama 30 hari sebelum dikapalkan dan,harus dilakukan uji diagnostik balk secara biologi molekuleratau uji biologis dan uji serologis untuk meyakinkan bebasvirus .

5. Ternak tidak terpapar berbagai sumber infeksi PMK selamatransportasi sejak dari karantina sampai negara tujuan .

Setibanya di Indonesia ternak tersebut dikarantina dipulau yang terisolir, kemudian dicampur dengan hewan sentinelyang sangat peka terhadap PMK (uji biologis) . Apabila dalamkurun waktu tiga bulan tidak ada kejadian PMK maka ternaktersebut dapat dinyatakan bebas dari infeksi PMK. Teknologi dantenaga ahli untuk melakukan hal ini telah tersedia di DepartemenPertanian dan lembaga yang terkait dengan kesehatan hewanlainnya yang ada di Indonesia .

3 1

PELUANG BISNIS TUNDA POTONG MELALUI POLAKEMITRAAN USAHA

Rochadi Tawaf

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, BandungSekretaris Jenderal PPSKI

RINGKASAN

Program swasembada daging sapi atau yang seringdisebut dengan P2SDS pada tahun 2010 menuntut untukterjadinya peningkatan populasi sapi potong di dalam negerisebesar 1,55 juta ekor dari populasi saat ini yang mencapaisekitar 11,228 juta ekor . Peningkatan populasi ini dilakukanberdasarkan kontribusi usaha peternakan rakyat,pengusaha/swasta dan program pemerintah . Salah satu upayayang telah dilakukan pemerintah (cq . Ditjen Peternakan) adalahmelalui tujuh Iangkah operasional yang difokuskan di 18 provinsidan dikelompokkan pada tiga daerah pengembanganberdasarkan potensi sumberdaya (lahan, ternak, SDM danteknologi), sarana pendukung, pola budidaya dan ketersediaanpasar hewan.

Hasil evaluasi terhadap tujuh Iangkah operasionaltersebut menimbulkan beberapa pertanyaan, diantaranya : (i)optimalisasi akseptor dan kelahiran IB/InKa sangat sulit dicapaidengan asumsi calving rate sebesar 70 persen yang padakenyataan di lapang hanya mencapai 60 persen pada periode2003-2007, (ii) pengembangan RPH dan pengendalianpemotongan SBP belum memiliki pola yang jelas, (iii) perbaikanmutu dan penyediaan bibit sapi selain belum memiliki arah

32

pengembangan yang jelas, juga tidak hanya berasal dari sapicrossbred, tetapi juga harus mempertimbangkan potensi sapilokal yang dimiliki, seperti sapi Bali, serta hal-hal lain terkaitdengan penanganan gangguan reproduksi/kesehatan hewan,InKa, pengembangan pakan lokal melalui penerapan sistemintegrasi serta pengembangan SDM dan kelembagaan .

Salah satu program yang diusulkan adalah modelkerjasama pengembangan sapi potong melalui pola tunda potongyang melibatkan perusahaan feed/otter, usaha pembesaran,koperasi swasta dan peternak. Peran dan bantuan aksesterhadap pembiayaan dan koordinasi serta kerjasama yang baiksangat diperlukan untuk terlaksananya program ini dengan balk .Model kerjasama pola embryo transfer juga diusulkan denganjaminan keberhasilan bunting sebesar 50 persen . Embryo harusberasal dari kualitas sapi yang tercatat dan peluang kelahiransapi betina lebih dari 85 persen .

33

PEMBAHASAN UPAYA PENINGKATAN POPULARSAPI BETINA PRODUKTIF DI INDONESIA (1)

Harimurti Martojo

Fakultas Peternakan Institut Peternakan Bogor

Mindset bahwa penyediaan daging, susu, telur adalahtugas Departemen Pertanian (cq Ditjen Peternakan) perludirenungkan kembali dan dikembalikan kepada proporsi yangtepat, yaitu bahwa tugas tersebut tidak mungkin dilaksanakansendiri. Dari sudut pandang agribisnis maupun peternakanrakyat, terlihat adanya peranan subsistem atau segmen-segmendalam proses produksi yang berperanan sebagai pendukung danatau penyangga yang menentukan berjalannya proses produksiberada dalam yurisdiksi departemen lain diluar DepartemenPertanian. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keterpaduanlintas departemen bahkan lintas direktorat didalam DirektoratJenderal Peternakan .

Jumlah SBP yang sebagian besar merupakan peternakanrakyat sangat tergantung kepada daya dukung tenaga kerjakeluarga dan lingkungan pedesaan-nya (Jawa, Bali, Lampung)dan daya tampung padang penggembalaan (NTB, NTT, SulawesiSelatan, dlsb yang semakin sempit karena terserang gulma atauperkebunan Kelapa sawit) . Upaya perbaikan lingkungan perlumendahului atau diserentakkan dengan usaha peningkatanjumlah/populasi SBP . Pelarangan pemotongan ternak betinaternyata mempunyai efek negatif terhadap SBP, karena sulitdijual (harus melanggar peraturan) maka harganya menjadi lebihrendah dibandingkan hewan jantan . Karena hewan jantan umurpotong sebagian besar dikeluarkan/dijual dari daerah sumberbibit, maka terjadi defisit pejantan dan defisit ternak potong

34

jantan untuk supply daging diwilayah bersangkutan, akibatnyaSBP jadi satu-satunya sumber daging, dan terpaksa dipotongsecara ilegal .

Penjaringan/pembelian oleh Dinas Peternakan terhadapSBP sebagai tindakan penyelamatan induk (dan embrio/janin)akhir-akhir ini di RPH, pelabuhan, pasar, dlsb ternyataberdampak positif terhadap harga SBP, dimana harganyameningkat. Namun perlu disadari bahwa penjaringan/pembeliandengan harga yang menarik ini akan menimbulkan aliran kerasSBP dari perdesaan dan memberi kesan bahwa pelanggaranperaturan pelarangan pemotongan SBP, termasuk izinpenjualan/pengeluaran dari desa asal, boleh dilanggar bahkanseolah-olah pemerintah justru menjadi penampungnya .Penjaringan yang bersifat aksi darurat/sementara ini baru,merupakan penyelamatan SBP dari pemotongan . Belum lagitindaklanjutnya yang masih panjang dan berat berupa distribusikembali ke perdesaan, atau pembentukan kelompok peternakpembibit yang perlu diseleksi dengan teliti. Hal ini perlumempertimbangkan juga wilayah yang belum tentu sanggupmenampungnya mengingat daya tampung lingkungan danpeternaknya (SDM) yang sudah memanfaatkannya secaramaksimal .

Perlu disadari bahwa terjadi surplus SBP di tingkatpeternakan rakyat karena replacement rate yang diduga rendah(dan terus menurun) karena terbatasnya atau menurunnya dayatampung Iingkungan (yang makin sempit atau kualitasnya jugaturun) dengan kemampuan memelihara rata-rata sekitar 2 ekor .SBP surplus ini kalau tidak disalurkan keluar, hanya akanmembebani lingkungan perdesaan, karena tidak tertampung lagioleh peternak dan lingkungan . Karena itu apabila akanmengusahakan agar SBP tetap ada diperdesaan dan berproduksimenghasilkan pedet, diperlukan juga upaya peningkatan dayatampung lingkungan dan keluarga peternak perlu dipergiat .

35

Mindset bahwa jumlah populasi yang terpenting untukditingkatkan dalam upaya peningkatan produksi daging,mengakibatkan bahwa kita sampai-sampai mencoba denganmemanfaatkan sapi betina BX yang diduga kuat adalah hasilculling di peternakan cow calf operation (CCO) di Australia yangdiantaranya memang masih dapat bunting tapi telah terindikasibermasalah dalam reproduksinya . Padahal selain meningkatkanjumlah SBP dapat juga meningkatkan daya reproduksi populasiSBP dengan menyingkirkan sapi betina majir dan tua yang sudahrendah daya reproduksinya . Hal ini akan mengakibatkan sapiyang tersisa dapat menunjukkan persentase kelahiran/beranakyang meningkat, dimana dalam hal ini jumlah dan kualitas paratenaga pemeriksa kebuntingan harus ditingkatkan .

Perlu adanya pemikiran kembali mengenai manfaatkeberadaan suatu UU pelarangan pemotongan karena selama inikurang efektif dan lebih berdampak pada turunnya harga SBPdan akhirnya dipotong secara gelap . Karena fokus terhadapjumlah SBP yang harus meningkat secara instan, kita sampai-sampai menganggap pemindahan SBP dari satu kawasan kekawasan lain dalam satu wilayah sama, tidak bermanfaat dalamupaya meningkatkan jumlah populasi dan produksi daging .Padahal kalau pemindahan dikaitkan dengan pembukaan daerahbaru yang berdaya tampung tinggi hanya dengan sedikitkesabaran, waktu akan menunjukkan bahwa kelompok SBP yangdipindahkan ini akan beranak dan anak-anak ini adalah hasil dariupaya pengembangan jumlah populasi . Mungkin usul ini akansulit diterima saat ini tetapi marl kita renungkan apakahcara/pendekatan baru ini tidak lebih bermanfaat dalam jangkapanjang. Pendekatan baru untuk mengukur keberhasilan usahadalam meningkatkan produksi daging, bukan didasarkan padahanya jumlah produksi daging saja, tetapi jumlah daging yangdiproduksikan per satuan unit kelompok peternak rakyat(termasuk sapi, luas dan daya tampung arealnya) .

36

Perlu dipertimbangkan pengaturan jumlah usaha"penggemukan"/pembesaran ternak sapi jantan yang harusdikaitkan dengan daya reproduksi optimal kelompok SBP disuatuwilayah dalam menghasilkan bakalan . Peraturan ini harusdiberlakukan lintas departemen yang ikut mengusahakan/mendukung/mendanai usaha penggemukan tersebut . Pening-katan jumlah SBP hendaknya dikaitkan dengan peningkatanjumlah peternakan penghasil anak (CCO) balk yang berbentukpeternakan rakyat maupun peternakan komersial .

37

PEMBAHASAN UPAYA PENINGKATAN POPULARSAPI BETINA PRODUKTIF DI INDONESIA (2)

Hasim

Fakultas MIPA, Institut Peternakan Bogor

Swasembada daging merupakan program yang sudahtepat. Dalam rangka swasembada daging nasional perlu usahaterobosan peningkatan SBP. Upaya lain telah lengkap diuraikanoleh Sekretaris Ditjen Peternakan, namun belum mampumendongkrak populasi SBP dengan signifikan . Selama ini impordari Australia, peluang dan tantangan impor dari Australia jugatelah diterangkan dengan baik . Peluang impor dari negara tidakbebas penyakit terutama PMK jugs telah dimungkinkan dengantahapan-tahapannya .

Tinjauan Politik : Usaha bangsa yang maju adalahbangsa yang dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya terhadappangan, papan, sandang, perumahan, sampai pendidikan yangberkualitas. Kesinambungan bangsa sangat ditentukan olehkualitas fisik dan mental penduduknya . Secara politikkemandirian pangan sangat menentukan kemerdekaan suatunegara atas bangsa lain. Oleh karena itu, jika dalam rangkapemenuhan protein hewani asal sapi negara Indonesai masihimpor sebanyak 70 persen dari kebutuhan nasional, usaha-usahauntuk swasembada adalah usaha yang sangat tepat. Peningkatanproduksi daging merupakan hal yang sangat urgen, karenadisamping pemenuhan gizi masyarakat juga sekaliguspenyerapan tenaga kerja dan pemanfaatan sumberdaya alamyang belum tergarap . Oleh karena itu sangat ganjil apabilabangsa yang berkekayaan alam sangat potensial, dan tenagakerja pengangguran yang tinggi, masih terus mengimpor dagingsapi beku dari luar negeri .

38

Tinjauan Ekonomi : Harga daging beku di luar negerimemang seringkali lebih murah dibandingkan dengan daginglokal . Hal ini disebabkan karena terjadinya over supply. Namunapabila dipenuhi terus dengan barang-barang slap konsumsiakan menciptakan pengangguran dan tidak termanfaatkannyasumberdaya lahan . Disamping itu apabila negara menghadapimasalah politik luar negeri, atau terjadi peningkatan harga dunia,maka kebijakan impor sangat merugikan ekonomi bangsa danpolitik bangsa secara keseluruhan .

Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun akan terusmeningkat. Diperkirakan tahun 2010 konsumsi daging Indonesiaakan mencapai 414,317 ribu ton, jika hanya impor 9,8 persendaging atau sapi bakalan, maka dalam negeri harus mampumensuplai daging 373,7 ribu ton, itupun dengan asumsikonsumsi daging sapi per kapita stabil sebesar 1,6 kg tahun(tidak ada kenaikan taraf hidup) . Pemenuhan dari impor 9,8persen adalah 40,6 ribu ton yang dapat dipenuhi dari sapi bakalatau impor daging beku (definisi swasembada adalah produksidalam negeri 90 persen, kurang atau sama dengan 10 persenmasih impor)

Kondisi pada tahun 2007, di dalam negeri hanya dapatmenyediakan daging 245,2 ribu ton, sedangkan untukpemenuhan kebutuhan nasional adalah 385 ribu ton . Tahun 2007masih impor 139,8 ribu ton (36 persen) . Sehingga, apabila padatahun 2010 produksi di dalam negeri ingin menjadi 373,7 ributon, terjadi kekurangan sebanyak 128,5 ribu ton. Jika tanpaprogram percepatan, diperkirakan tahun 2010 hanya dapatmencapai 259,2 ton, atau hanya tambah 14 ribu ton . Hal inimengindikasikan bahwa tugas percepatan harus mampumeningkatkan 114,5 atau 115 ribu ton daging dalam 3 tahunyang akan datang. Oleh karena itu, untuk mencapai swasembadadaging tahun 2010 diperlukan peningkatan populasi dari 10,5juta ekor sapi menjadi 12,5 juta ekor .

39

Swasembada daging, jika tanpa penambahan sapi imporbetina produktif dari luar negeri, sangat sulit tercapai untukdapat mencapai target tahun 2010. Jadi pemerintah harusmendorong lahirnya breeding farm profesional di dalam negeri,dimana anak sapi bakalan akan dijual kepada masyarakat melaluikoperasi. Jika memang swasta enggan melakukannya, makapemerintah harus membuat breeding farm milik negara, dimanadapat memanfatkan pulau-pulau kecil dan membuka lapangankerja baru bagi alumni peternakan dan kedokteran hewan,dimana saat ini banyak yang yang bekerja tidak pada bidangpeternakan . Jika demikian maka pemerintah dapat melaksanakanimpor sapi betina produktif dari mana saja dengan mematuhiperaturan-peraturan yang berlaku .

Disamping pembuatan breeding farm untuk sapi potong,pemerintah tetap mengoptimalkan pembinaan breeding olehpetani peternak yang selama ini terus berjalan, yang telahterbukti mampu mensuplai 70 persen kebutuhan nasional .Swasta selama ini ternyata baru mampu membantu pemerintahdalam pengadaan SBP dan impor sapi bakalan untuk digemukanselama 2-3 bulan, serta impor daging beku dan jerohan, tetapimasih sangat berhitung untuk mengelola breeding farm sapipotong .

Tinjauan Sosial budaya : Secara sosial, ketika sapibakalan telah hadir di dalam negeri, adalah pendistribusiansemaksimal mungkin kepada petani peternak melaluikelembagaan koperasi yang sehat untuk peternak sapi potong.Penambahan petani melalui konversi atau penambahanpekerjaan disamping petani sawah memerlukan pelatihan danperhatian khusus, dimana pembinaannya dilakukan olehkoperasi . Apabila mereka sanggup memelihara SBP harus betul-betul mampu melahirkan anak sapi bakalan untuk sapi potong.Kelembagaan atau koperasi peternak sapi potong adalah mutlakuntuk menuju swasembada daging . Dengan penambahanpopulasi sapi potong, maka harus ada manejemen untuk

40

pengadaan hijauan yang cukup dan berkelanjutan, manejemenkesehatan, dan pemasaran yang adil .

Diperlukan adanya blueprint berisikan hasil kajian hinggatahapan kerja, serta model-model pemeliharaan secaramendalam terkait dengan lintas departemen dan daerahsehubungan dengan otonomi daerah . Agar tahapan-tahapanyang sudah digariskan dapat terlaksana, yaitu untuk pencapaiansecara reguler: (i) Optimalisasi akseptor dan kelahiran IB, (ii)Pengembangan RPH dan pengendalian pemotongan SBP, (iii)Perbaikan Mutu dan penyediaan bibit, (iv) Penanganan gangguanreproduksi/kesehatan hewan, (v) Intensifikasi kawin alam, (vi)Pengembangan pakan lokal, dan (vii) Pengembangan SDM dankelembagaan . Untuk program terobosan dalam pembangunanbreeding farm balk milik negara maupun oleh swasta juga harus-dibuat aturan mainnya. Mulai dari seleksi pulau-pulau kecil yangmemungkinkan, bukan sekedar kata dan wacana, namun telahdisurvei secara mendalam sebelum sapi impor tiba di Indonesia .

Program breeding sangat diperlukan dan sebaiknyaditangani oleh negara . Apalagi apabila swasta tidak ada yangsanggup, dan andaikata sanggup dikhawatirkan akan sangatkomersial sehingga sangat merugikan petani peternak . Hal inipada akhirnya harga daging di tangan konsumen tetap tidakterjangkau, sehingga sasaran pemenuhan gizi masyarakat sertanegara kuat tidak tercapai . Breeding farm milik negara akanberhasil apabila dikelola oleh SDM yang berkualitas .

Kajian pulau-pulau kecil harus segera diperdalam hinggajelas di pulau mana dengan seluruh argumen yang menyangkutsumberdaya lahan, sosial, kelembagaan, kultur masyarakat,kejadian penyakit dan sebagainya hal-hal yang mendukung bagikehidupan sapi yang balk dan sehat .

4 1

Pusat Peneikian dan Pengembangan PeternakanJalan Raya. PajaJaran Kay. E 59, Bogor 16151

Telp. (0251) 8322185, 8322138Fax. (0251) 8328382, 8380588E -mail. criansci@indo .net.i d

ISBN : 978-979-8308-96-3