UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM...

86
UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI INSTRUMEN PERDATA (Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian Berdasarkan Pasal 98 Ayat (1) KUHAP) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy) Oleh: WIWIN WINATA 1110043200020 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015/1436

Transcript of UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM...

Page 1: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI INSTRUMEN

PERDATA

(Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian Berdasarkan Pasal 98 Ayat (1)

KUHAP)

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:

WIWIN WINATA

1110043200020

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015/1436

Page 2: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan
Page 3: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan
Page 4: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 4 Juni 2015

Wiwin Winata

Page 5: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

v

ABSTRAK

Wiwin Winata. NIM 1110043200020. Upaya Pengembalian Kerugian Masyarakat Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Melalui Instrumen Perdata (Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian Berdasarkan Pasal 98 Ayat (1) KUHAP). Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam era pembangunan dewasa saat ini tindak pidana korupsi dianggap sebagai sebuah penyakit yang telah melanda masyarakat Indonesia. Tidak hanya di kalangan pejabat saja, tetapi juga kalangan masyarakat biasa bahkan aparat penegak hukumnya. Tindak pidana korupsi saat ini menjadi masalah yang sudah mengakar hampir diseluruh birokrasi pemerintah, hal ini menjadi cukup fenomenal di tengah pembangunan Indonesia yang telah terpuruk dalam pembangunan dewasa ini. Oleh karena itu, di samping tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional. Maka salah satu hal lain yang dapat dilakukan oleh masyarakat yaitu dengan melalui tuntutan ganti kerugian sebagaimana diatur di dalam Bab XIII KUHAP adalah penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri. Mekanisme ini berlaku untuk tindak pidana umum atau khusus. Melalui pasal 98 ayat (1) KUHAP korban tindak pidana dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami terhadap terdakwa. Secara umum tujuan dari penulisan ini adalah penulis ingin mengetahui dan memberikan pemahaman kepada masyarakat pada umumnya tentang hak dan kewenangan masyarakat untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atas kerugian yang dialami masyarakat kepada pelaku korupsi (tersangka atau terdakwa) melalui instrumen perdata. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan kajian pendekatan hukum normatif yaitu untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun dokrtin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah: (1) Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, serta menutup jalan terciptanya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat yang merasa dirugikan akibat tindak pidana tersebut, dapat mengajukan gugatan perdata ganti kerugian yang ditimbulkan tindak pidana korupsi melalui pasal 98 ayat (1) KUHAP. (2) Bahwa upaya pengembalian kerugian masyarakat melalui instrumen hukum perdata dapat dilakukan setelah putusan pidana dan perdata (assesor) berkekuatan hukum tetap. Kata Kunci : Tindak Pidana Korupsi, Gugatan Perdata, Gabungan Ganti Kerugian Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag

Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d Tahun 2014

Page 6: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

vi

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمن الرحیم

Alhamdulillah, segala puji penulis panjatkan ke hadirat Allah yang telah

memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada

pemimpin kaum muslimin Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan

seluruh kaum muslimin yang senantiasa mengikuti petunjuknya.

Suatu kebanggaan bagi penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk

mengejar cita-cita serta harapan yang tinggi, terselesaikannya skripsi ini merupakan

langkah awal bagi penulis untuk senantiasa dan terus berusaha menitik jejak-jejak

kehidupan yang dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan juga bagi

bangsa dan negara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang

yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan, tidak sedikit

kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun berkat rahmat dan ridha-

Nya, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak

langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada

akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya dengan

kerendahan hati, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada :

Page 7: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

vii

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Khamami Zada, M.A., dan Ibu Hj. Siti Hanna M.A., selaku Ketua

Prodi dan Sekretaris Prodi Perbandingan Madzhab Hukum, Fakultas Syariah

dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.

4. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan Abang Ainul Yaqin, S.HI, yang

telah memberikan arahan dan pengetahuan dalam penyusunan skripsi.

5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi

Perbandingan Madzhab Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu

pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

6. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum dan Perpustakaan Utama, serta Perpustakaan Universitas

Indonesia yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi

sebagai bahan rujukan skripsi.

7. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada keluarga tercinta Ayahanda Salim

dan Ibunda Amah, serta Almarhumah Ibunda tercinta Anah Suanah, Kakak

Wiwi Wiharti, S.Pd, Keponakan hebat Ihsan Dzaki Daniswara dan Kenzo

Mirza Alghani yang senantiasa memberikan dukungan sejak awal

perkuliahan sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi.

Page 8: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

viii

8. Sahabat-sahabat hebat penulis yang telah memberikan bantuan dan

aspirasinya selama dalam organisasi. Ahmad Fahrudin, Abdul Muslim, Abdul

Gofur, Ridwan Mawardi, Achmad Kamal Badri, Anas dan Khoirul Anas,

serta terutama Nasruddin, S.Sy., atas kebaikan dan keikhlasannya telah

memberi pinjaman notebook untuk penulisan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yang selalu bersama-sama nongkrong

di DPR (Di Bawah Pohon Rindang) Ramdani, M Aidzbillah, teman-teman

kostan Ilyas Fadillah, Bambang Tri Nugraha, M. Syaban Effendy, Achmad

Turmuzi, Laka Ramadhan Mubarok, Teddy Sudarna, Ahmad Sandi, Ridwan

Annas, dan teman-teman Perbandingan Hukum 2010 yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu. Suatu saat kita harus menjadi orang yang dipercayakan,

bukan lagi orang yang mempercayakan. Terus berjuang semoga kalian

sukses.

10. Semua Keluarga Besar Adhoc Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas

2010, Gerakan Nurani Nusantara, dan Anggota KKN Respect 2013 yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah dengan balasan yang berlipat

ganda. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis

khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang

membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Jakarta, 4 Juni 2015

Page 9: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................. i

PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................. iv

ABSTRAK ............................................................................................. v

KATA PENGANTAR ........................................................................... vi

DAFTAR ISI .......................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ............. 6

C. Tujuan Serta Manfaat Penelitian ................................... 6

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu .............................. 7

E. Metode Penelitian.......................................................... 8

F. Sistematika Penulisan ................................................... 11

BAB II DESKRIPSI UMUM TENTANG TINDAK

PIDANA KORUPSI ........................................................... 12

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ................................ 12

B. Unsur- Unsur Tindak Pidana Korupsi ............................ 16

C. Pengembalian Harta Hasil Korupsi ................................ 22

1. Peran Masyarakat dalam Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi ......................................................... 27

2. Prosedur Penyelesaian Perkara Gugatan Perdata

Ganti Kerugian ......................................................... 30

Page 10: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

x

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN WACANA

PEMISKINAN KORUPTOR ............................................ 35

A. Pertanggungjawaban Pidana dan Subjek

Delik Korupsi ................................................................. 35

B. Sanksi Hukum bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi ...... 45

C. Konsep Pemiskinan Koruptor sebagai Sanksi Takzir .... 51

BAB IV MEKANISME PENGGABUNGAN GUGATAN GANTI

KERUGIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ... 59

A. Upaya Memasukkan Gugatan Perdata dalam Tindak

Pidana Korupsi ............................................................... 59

B. Pembebanan Ganti Kerugian dan Mekanisme Pengembalian

Harta Hasil Korupsi Kepada Masyarakat ....................... 66

BAB V PENUTUP ........................................................................... 69

A. Kesimpulan .................................................................... 69

B. Saran ............................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 72

Page 11: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia yang memiliki UUD 1945 sebagai hierarki perundang-undangan

yang tertinggi seharusnya dijadikan pedoman bagi pelaksanaan penegakan

hukum, baik oleh legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Dalam UUD 1945

diterangkan bahwa Indonesia berdasarkan atas hukum Rechstaat dan tidak

berdasarkan atas kekuasaan belaka Machstaat. Hal ini berarti bahwa negara

Indonesia menjunjung tinggi hukum bukan menjunjung tinggi kekuasaan, di mana

dalam menerapkan hukum, Indonesia harus memandang semua subjek hukum

adalah sama, tidak memandang itu pejabat, orang terkenal, atau orang minoritas

yang termarginalkan.1

Tindak pidana korupsi terlihat seperti sebuah kejahatan yang bersifat seperti

jamur yang tumbuh di musim hujan di mana tidak hanya dilakukan oleh kalangan

atas, tetapi juga kalangan bawah. Tidak hanya dalam urusan pemerintahan,

keuangan negara, hak asas, ideologi, perekonomian, maupun moral bangsa.

Dengan adanya bahaya seperti itu, diharapkan penegak hukum dapat menjalankan

wewenangnya sebagaimana mestinya.2

Korupsi menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik,

baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan

1 Lina Maulimah, Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. http:// writing-

contest.bisnis.com. diakses 20 Juli 2014, pukul 08.14 2 Ibid

Page 12: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

2

tidak legal memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang

dipercayakan kepada mereka. Dalam era pembangunan di Indonesia saat ini

terjadi sebuah tindak pidana yang dianggap sebagai sebuah penyakit yang telah

melanda masyarakat Indonesia. Tidak hanya di kalangan pejabat saja, tetapi juga

kalangan masyarakat biasa bahkan aparat penegak hukumnya. Hal ini adalah

masalah korupsi yang cukup fenomenal di tengah pembangunan Indonesia yang

telah terpuruk dalam pembangunan dewasa ini. Tindak pidana ini tidak hanya

merugikan keuangan negara tetapi juga merugikan dan meresahkan kehidupan

sosial ekonomi masyarakat. Sebagaimana yang telah tertuang dalam pancasila

terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan apa yang terkandung dalam

Pancasila tersebut.3

Maka dari itu, sebagaimana tertuang dalam Undang-undang tindak pidana

korupsi bahwa korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara dan menghambat pembangunan nasional. Maka salah satu hal lain yang

dapat dilakukan oleh masyarakat yaitu dengan melalui tuntutan ganti kerugian

sebagaimana diatur di dalam Bab XIII KUHAP adalah tuntutan ganti kerugian,

yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri. Mekanisme ini berlaku untuk

tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus.4

Dalam mekanisme pengadilan khusus, kita bisa temukan pada kasus

pelanggaran HAM berat. Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan HAM, menyebutkan: “setiap korban dan saksi dalam pelanggaran

3 Ibid 4 KRHN. Legal Opini for Popular Legal Action in Corruption Cases

.http://reformasihukum.org. diakses 20 Juli 2014, pukul 08.34

Page 13: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

3

hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh

kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi”. Namun dalam kasus tindak pidana

korupsi, mekanisme ini tidak disebut di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi maupun UU Nomor 46

Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Meskipun begitu, jika kita mencermati dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1981, pada

Bab XIII pasal 98 sampai 101, telah diatur mengenai Penggabungan Perkara

Gugatan Ganti Kerugian. Dalam hal ini, tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan

oleh tindak pidana tersebut, ditujukan kepada Terdakwa (si pelaku tindak pidana).

Menurut M. Yahya Harahap (2003, hal 81), tuntutan ganti rugi yang dibebankan

kepada Terdakwa, berpotensi menimbulkan kekecewaan dalam pelaksanaan ganti

rugi tersebut. Hal ini karena belum tentu Terdakwa mampu membayar kerugian

secara cepat. Untuk memberikan jaminan bahwa korban segera mendapatkan

penggantian atas kerugiannya, Yahya Harahap menyarankan agar negara

membayar terlebih dahulu, kemudian Terdakwa menggantinya dengan system

reimburse. Hak gugat ini didasarkan pada prinsip “keseimbangan” yang diatur

dalam KUHAP, yang intinya bahwa hukum pidana bukan hanya mementingkan

perlindungan hak dan martabat Terdakwa tetapi juga memberi perlindungan

kepada kepentingan orang lain, dalam hal ini kepentingan orang yang menderita

kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.5

5 KRHN. Legal Opini for Popular Legal Action in Corruption Cases

.http://reformasihukum.org. diakses 20 Juli 2014, pukul 08.34

Page 14: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

4

Kerugian yang bisa digugat hanya sebatas kerugiaan materiil, sedangkan

kerugian immateriil harus digugat tersendiri melalui mekanisme gugatan perdata

biasa. Pasal 99 ayat (2) KUHAP menyatakan : Kecuali dalam hal pengadilan

negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya

memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan

oleh pihak yang dirugikan.

Pembatasan ini didasarkan pada pertimbangan praktis yaitu karena kerugian

materiial lebih mudah dibuktikan dan tidak menghambat proses pembuktian

perkara pidananya. Pembatasan ini berimplikasi pada putusan pengadilan jika ada

tuntutan ganti kerugian immaterial terhadap tuntutan kerugian immaterial maka

putusannya adalah “tidak bisa diterima”. Namun demikian, putusan “tidak bisa

diterima” tersebut tidak berdampak pada nebis in idem, artinya korban bisa

mengajukan lagi gugatan ke pengadilan perdata untuk kerugian immaterial

tersebut.6

Hal yang paling mendasar yang menimbulkan kerugian dalam tindak pidana

korupsi adalah merampas hak-hak orang lain, memberikan dampak buruk

terhadap masyarakat, terganggunya sistem perekonomian dan terlebih lagi unsur

fasad atau kerusakan yang ditimbulkannya bisa sangat meluas. Lebih jauh lagi,

dalam ajaran Islam korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip

keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala negatifnya

6 KRHN. Legal Opini for Popular Legal Action in Corruption Cases

.http://reformasihukum.org. diakses 20 Juli 2014, pukul 08.34

Page 15: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

5

yang menimbulkan berbagai distorsi, kerusakan terhadap kehidupan negara dan

masyarakat, dapat dikategorikan termasuk kerusakan di muka bumi yang sangat di

benci Allah.7

Dalam hukum Islam pun berkata demikian bahwa janganlah memakan harta

sesama dengan cara yang batil, sebagaimana firman-Nya dalam surat An-Nisa

ayat 29:

���

��ٱ� ��� � � � �

���� �

���

أ�ا

��

��

��� ءا���ا

�� �

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil. (QS. An Nisa/4. 29)

Maka berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merasa perlu

untuk melakukan penelitian tentang pengembalian kerugian masyarakat dalam

perkara tindak pidana korupsi melalui mekanisme penggabungan gugatan ganti

kerugian. Maka dari itu penulis memilih satu judul yang akan dibahas dalam

skripsi ini, yaitu: “UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT

DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI

INSTRUMEN PERDATA (Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian

Berdasarkan Pasal 98 Ayat (1) KUHAP).”

7 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Amzah, Cet Kedua,

2012), h 8.

Page 16: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang pembahasan tersebut di atas, agar pembahasan

tidak meluas dan lebih terfokus dalam pembuatan skripsi ini. Maka dari itu,

penulis membatasi pembahasan dalam skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis

berusaha mengkaji masalah pengembalian kerugian masyarakat dalam perkara

tindak pidana korupsi melalui instrumen perdata.

Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas di dalam skripsi ini

yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana gugatan perdata masuk dalam tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana upaya pengembalian kerugian masyarakat dalam perkara

tindak pidana korupsi melalui instrumen hukum perdata?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas, tujuan dari penulisan ini adalah

penulis ingin mengetahui tentang hak dan kewenangan masyarakat sebagai korban

tindak pidana korupsi, khususnya mengetahui tentang:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan gugatan perdata masuk dalam

tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui upaya pengembalian kerugian masyarakat yang

ditimbulkan tindak pidana korupsi melalui instrumen hukum perdata.

Page 17: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

7

Adapun manfaat yang penulis harapkan dalam penulisan skripsi ini yaitu:

1. Dapat memperluas wawasan dan khazanah ilmu dalam bidang

hukum terutama dalam hal tindak pidana korupsi.

2. Dapat memberikan pandangan hukum baru tentang upaya

penggabungan gugatan ganti kerugian perkara korupsi.

3. Dapat mengetahui gambaran mekanisme penggabungan gugatan

ganti kerugian perkara korupsi.

4. Dapat memberikan pengaruh kepada masyarakat untuk berperan

aktif dalam upaya pemberantasan korupsi melalui instrumen perdata.

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Dalam penelitian ini, penulis mencoba review studi terdahulu. Penulis

membaca beberapa hasil penelitian yang kiranya berkaitan dengan judul dan tema

yang penulis angkat untuk dijadikan penelitian.

1. Skripsi karya Irmawati, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004, mengenai Tinjauan Hukum

Islam Tentang Pengembalian Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi,

menjelaskan tentang tinjauan hukum Islam terhadap uang pengganti

dalam tindak pidana korupsi.

Dari review studi terdahulu penulis tidak menemukan skripsi yang

membahas mengenai materi yang terkandung dalam judul yang penulis angkat

yakni mengenai Upaya Pengembalian Kerugian Masyarakat dalam Perkara

Tindak Pidana Korupsi melalui Instrumen Perdata. Untuk itu, penulis merasa

perlu melakukan penelitian ini dalam sebuah karya tulis skripsi.

Page 18: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

8

E. Metode Penelitian

Untuk menggali makna lebih jauh dari aturan hukum, tidak cukup dilakukan

penelitian dalam ruang lingkup dogmatik hukum, melainkan lebih mendalam lagi

memasuki teori hukum. Apabila penelitian dalam ruang lingkup dogmatik hukum,

isu hukum mengenai ketentuan hukum yang di dalamnya mengandung pengertian

hukum berkaitan dengan fakta hukum yang dihadapi, untuk penelitian pada

tataran teori hukum, isu hukum harus mengandung konsep hukum. Konsep hukum

dapat dirumuskan sebagai suatu gagasan yang dapat direalisasikan dalam

kerangka berjalannya aktivitas hidup bermasyarakat secara tertib.

Dalam hal ini, metode penelitian yang dipergunakan adalah penelitian

hukum normatif yaitu untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip

hukum, maupun dokrtin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum

yang dihadapi.8

1. Jenis Penelitian

Dengan menggunakan kajian pendekatan hukum normatif tertulis yaitu

mengumpulkan bahan-bahan peraturan perundang–undangan dari bidang-bidang

tertentu, yang menjadi pusat perhatian dari peneliti. Klasifikasi dapat dibuat atas

dasar kronologi, bagian-bagian yang diatur oleh peraturan tersebut, dan

seterusnya.

8 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Desember 2010), h.31.

Page 19: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

9

Kemudian diadakan suatu analisa, dengan mempergunakan pengertian-pengertian

dasar dari sistem hukum, analisa hanya dilakukan terhadap pasal-pasal yang

isinya merupakan kaedah (hukum).9 Penelitian hukum normatif mencakup:

a. Penelitian terhadap azas-azas hukum,

b. Penelitian terhadap sistematika hukum,

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum,

d. Penelitian sejarah hukum,

e. Penelitian perbandingan hukum.10

Pada skripsi ini menggunakan penelitian terhadap sistematika hukum, yaitu

mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok dalam hukum seperti subyek

hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum dalam peraturan perundang-

undangan. Dalam skripsi ini menjadi tumpuannya adalah peraturan perundang-

undangan dan ditopang oleh pendapat-pendapat para ahli.

2. Jenis dan Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis data. Data yang

digunakan yaitu data Primer dan data Sekunder. Untuk penelitian normatif data

primer yang digunakan adalah undang-undang yang di terapkan atau berlaku di

Indonesia yang berkaitan dengan masalah yang penulis kaji.

9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta,Cetakan ke-3, 1984), h. 255.

10 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, h.31.

Page 20: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

10

Sedangkan sumber sekundernya adalah berupa komentar dan buku-buku,

dokumen-dokumen, serta artikel-artikel yang terkait.

3. Pengumpulan Data

Untuk pendekatan penelitian normatif dilakukan dengan cara studi

kepustakaan, yaitu dengan menelusuri bahan-bahan tertulis atau pustaka yang

terkait dengan judul dan masalah yang penulis teliti. Baik berupa peraturan

perundang-undangan, putusan, atau dokumen-dokumen resmi yang di keluarkan

yang terkait dengan skripsi ini.

4. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan content anayisis, yaitu menganalisa dengan

mendeskripsikan putusan tindak pidana korupsi yang dipadukan dengan

komentar-komentar dan studi kepustakaan yang terkait.

5. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini menggunakan acuan dari Buku Pedoman Penulisan

Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Syarief Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

Page 21: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

11

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan dalam membahas permasalahan, penulis

menyusun dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Pada Bab ini penulis membahas tentang latar

belakang masalah, batasan masalah dan perumusan masalah, tujuan serta maanfaat

penelitian, review (kajian) studi terdahulu, metode penelitian, serta sistematika

penulisan.

BAB II : Deskripsi Umum Tindak Pidana Korupsi dan Sanksi Tindakan.

Pada Bab ini penulis membahas bagaimana pengertian tindak pidana korupsi,

unsur-unsur tindak pidana korupsi, dan prosedur pengembalian harta hasil korupsi

BAB III : Pertanggungjawaban Pidana dan Wacana Pemiskinan Koruptor.

Pada Bab ini penulis membahas bagaimana konsep pertanggungjawaban tindak

pidana korupsi, subjek delik korupsi, sanksi hukum pelaku tindak pidana korupsi,

dan konsep pemiskinan sebagai sanksi takzir.

BAB IV : Mekanisme Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian dalam

Tindak Pidana Korupsi. Pada bab ini penulis membuat analisa hukum terhadap

gugatan ganti kerugian, dasar hukum, upaya gugatan perdata melaui mekanisme

penggabungan gugatan ganti kerugian, pembebanan ganti kerugian.

BAB V : Penutup. Pada bab ini penulis memaparkan kesimpulan dan saran-

saran dari seluruh pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.

Page 22: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

12

BAB II

DESKRIPSI UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN

PENGEMBALIAN HARTA

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Mengawali deskripsi tentang pengertian asal kata korupsi, ada ungkapan yang

pernah dikemukakan oleh Lord Acton dalam Dani Krinawati dkk, sebagai berikut:

“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, yaitu kekuasaan

cenderung untuk korupsi dan kekusaan yang absolut cenderung korupsi absolut. Hal

tersebut dapat dibuktikan bahwa di mana pun di belahan bumi ini kekuasaan selalu

sangat rentan terhadap tindak pidana korupsi.1

Sebagaimana ungkapan Lord Acton tersebut Piers Beirne and James

Messerschmidt dalam Dani Krinawati dkk, memperkuat ungkapan tersebut dengan

membagi empat tipe perbuatan korupsi yang berkaitan erat dengan kekuasan, yaitu;

Political Bribery adalah kekuasan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk

Undang-Undang, yang secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu

kepentingan luar yang bertindak sebagai penyandang dana, Political Kicbacks adalah

kegiatan korupsi yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan, antara

1 Djaja, Ermansjah, Tipologi Tindak Pidan Korupsi di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,

2010), h 19.

Page 23: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

13

pejabat pelaksana atau pejabat terkait dengan pengusaha, sehingga dapat memberikan

keuntungan pada kedua belah pihak, Election Fraud adalah korupsi yang berkaitan

langsung dengan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum, baik

yang dilakukan oleh calon penguasa atau anggota parlemen atau lembaga pelaksana

pemilihan umum, dan Corrupt Campaign Practice adalah korupsi yang berkaitan

dengan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas dan uang Negara oleh

calon penguasa yang saat itu memegang kekuasaan.2

Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek bergantung pada

disiplin ilmu yang dipergunakan3 sebagaimana dikemukan oleh Benveniste dalam

Suyatno, korupsi didefinisikan menjadi empat jenis, sebagai berikut:

1) Discretionary Corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya

kebebasan dalam menentukan kebijakansanaan, sekalipun nampaknya bersifat

sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota

organisasi.

2) Illegal Corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan

bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.

3) Mercenary Corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud

untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang

dan kekuasaan.

2 Ibid, h 20. 3 Suyatno, Korupsi, Kolusi, Nepotisme. (Jakarta: Pustika Sinar Harapan, 2005), h 17.

Page 24: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

14

4) Ideological Corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang

dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.4

Adapun pengertian atau asal kata korupsi menurut Fockema Andreae5 kata

korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang berarti kerusakan

atau kebobrokan. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti

Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; Belanda yaitu corruptie

(korruptie); dan dari bahasa Belanda itulah turun ke dalam bahasa Indonesia yaitu

“korupsi”.6

Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharan kata bahasa Indonesia

itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia:

“Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang

sogok dan sebagainya,” sedangkan menurut Henry Campbell Black, mengartikan

korupsi sebagai “Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan

suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak

lain.”7 Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan

bahwa korupsi itu memiliki arti yang sangat luas.

4 Djaja, Ermansjah, Tipologi Tindak Pidan Korupsi di Indonesia, h 21-22. 5 Fockema Andreae, Kamus Hukum. (Bandung: Bina Cipta, 1983, hurup c, Terjemahan Bina

Cipta). 6 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.

(Jakarta, Raja Grafindo, 2005), h 4. 7 Elwi Danil, Korupsi (Konsep, Tindak PIdana, dan Pemberantasannya). (Jakarta: Raja

Grafindo, 2011), h 3.

Page 25: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

15

Adapun yang tercantum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

secara tersirat memuat pengertian tindak pidana korupsi. Salah satunya terdapat

dalam pasal 2 ayat 1 dikatakan bahwa: “Setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Secara yuridis, pengertian korupsi tidah hanya terbatas kepada perbuatan yang

memenuhi rumusan delik karena melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan,

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, penggelapan uang negara,

pemalsuan dokumen, dan sebagainya untuk mengalihkan uang negara. Akan tetapi,

meliputi juga perbuatan-perbuatan yang terkait dengan perilaku menyimpang dari

penyelenggara negara yang merugikan masyarakat atau perseorangan, serta

gratifikasi, pemerasan dalam jabatan, bahkan turut serta dalam pemborongan dan

rekanan.8 Selain itu, korupsi juga mengarah kepada keburukan, ketidakbaikan,

kecurangan bahkan kezaliman, yang akibatnya akan merusak dan menghancurkan

tata kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan bahkan Negara pun bisa bangkrut

disebabkan korupsi.9 Dengan demikian, dari uraian mengenai kata korupsi di atas,

8 Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan

Hukum Pidana, (Jakarta: Referensi, 2012), h 81. 9 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, Cet Kedua, 2012), h. 36.

Page 26: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

16

dapat disimpulkan bahwa arti korupsi memiliki makna kandungan yang sangat luas

bergantung pada aspek dan disiplin ilmu yang dipergunakan.

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor. 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang termasuk ke dalam

unsur-unsur pidana korupsi adalah sebagai berikut:

1. Setiap Orang Termasuk Korporasi

2. Melakukan Perbuatan Melawan Hukum

3. Memperkaya Diri Sendiri

4. Dapat Merugikan Keuangan Negara

1. Setiap Orang Termasuk Korporasi

Dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan

bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi, yaitu

kumpulan orang dan atau kekayaan terorganisasi baik merupakan badan hukum atau

bukan badan hukum, maupun siapa saja yang menjadi subjek hukum pidana, yang

melakukan tindak pidana dan diancam pidana, dan dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana, serta tidak ada alasan pemaaf atau alasan pembenar

yang menghapuskan ancaman pidana.

Page 27: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

17

2. Melakukan Perbuatan Melawan Hukum

Dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup

perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni

meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan, namun apabila

perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau

norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat

dipidana.

Dengan adanya kata “maupun” dalam penjelasan tersebut, dapat diketahui

bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti dua ajaran sifat melawan

hukum secara alternatif yaitu:

a. Ajaran sifat melawan hukum formil, atau

b. Ajaran sifat melawan hukum materiil

Roeslan Saleh mengemukakan, menurut ajaran melawan hukum, yang disebut

melawan hukum materiil tidaklah hanya sekadar bertentangan dengan hukum tertulis,

tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sebaliknya ajaran melawan

hukum formil berpendapat bahwa melawan hukum adalah bertentangan dengan

hukum tertulis saja. Jadi menurut ajaran materiil, di samping memenuhi syarat-syarat

Page 28: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

18

formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan

harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai tidak boleh atau tidak patut.10

Dalam kepustakaan hukum pidana, terdapat dua fungsi dari ajaran sifat

melawan hukum materiil, yaitu:

a. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yang

suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak

ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat

perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, maka perbuatan yang dimaksud

tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.

b. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yang

suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan

merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut

penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifaat melawan hukum,

maka perbuatan perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak

bersifat melawan hukum.11

Oleh karena penjelasan pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud

dengan “secara melawan hukum” dalam pasal 2 ayat 1 mencakup perbuatan yang

tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam

masyarakat, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-

10 R Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h 32-34. 11 Ibid, h 34.

Page 29: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

19

undangan, maka dapat diketahui bahwa ajaran sifat melawan hukum materiil yang

diikuti oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah ajaran sifat melawan

hukum dalam fungsinya yang positif.

Hal tesebut dilakukan, dapat diketahui dalam penjelasan umum Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 dimaksudkan untuk dapat menjangkau berbagai

modus operandi penyimpangan keuangan negara dan perekonomian negara semakin

canggih dan rumit. Sebagai contoh dari penerapan ajaran sifat melawan hukum

materiil dapat diketahui melalui putusan Mahkamah Agung RI Nomor

275K/Pid/1983 dalam pertimbangan hukumnya antara lain disebutkan:

“Menimbang bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan

“melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy

perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan

hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah

berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas

yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.”

“Menimbang bahwa menurut kepatutatan dalam masyarakat, khususnya dalam

perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas

yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar

Pegawai Negeri itu menggunakan kekuasaanya atau wewenangnya yang melekat

pada jabatannya serta menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbutan melawan

hukum”, karena menurut kepatutatan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela

atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat.”

Page 30: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

20

Menurut Indriyanto Seno Adji, penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil

dalam fungsinya yang positif memerlukan syarat, alasan, dan kriteria yang tegas serta

dengan segala pertimbangan kondisi yang situasional dan kasuistis.

3. Memperkaya Diri

Unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu badan hukum kerap kali sulit

untuk dibuktikan di depan pengadilan karena sering pembuktian diarahkan kepada

adanya pemberian sesuatu yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang

oleh seorang pejabat. Sebenarnya kalau memang ada penyuapan telah didapati pasal

dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pegawai Negeri atau

Hakim yang menerima suap, juga siapapun yang menyuap Pegawai Negeri atau

Hakim, merupakan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu unsur memperkaya diri

diartikan bahwa pendapatan seseorang itu tidak sesuai dengan gaya hidupnya. Jadi

memperkaya diri adalah tidak sebandingnya antara gaji seorang pegawai negeri

dengan gaya hidupnya.12

Dalam hubungan seperti itu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Korupsi

mengatur tentang ajaran pembuktian yang berbeda dari ajaran pembuktian yang

selama ini dikenal dalam hukum pidana. Di dalam Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, seorang yang dituduh korupsi dapat membuktikan bahwa

kekayaannya bukan didapat dari korupsi. Apabila ternyata dapat membuktikan bahwa

12 Loqman, Loebby, Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. (Jakarta:Badan Pembinaan

Hukum Nasional, 1999), h 31-32.

Page 31: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

21

kekayaannya bukan hasil korupsi, Jaksa Penuntut Umum masih harus membuktikan

bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Artinya apabila seorang

yang dituduh korupsi tidak dapat membuktikan bahwa kekayaannya bukan hasil dari

korupsi, maka pihak Jaksa Penuntut Umum masih tetap dibebankan untuk

membuktikan kesalahan terdakwa dalam tindak pidana korupsi.13

Tidak seperti halnya di Malaysia di mana dianut beban pembuktian berbalik.

Jika seorang dituduh korupsi yang tidak dapat membuktikan bahwa kekayaannya

bukan hasil dari korupsi, maka secara sendirinya terdakwa dinyatakan bersalah tanpa

perlu adanya pembuktian dari Penuntut Umum. Adapun di Negara Indonesia, apabila

terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa hartanya bukan dari hasil korupsi dianggap

hal yang merugikan dalam pembuktian di depan pengadilan. Sebaliknya apabila dia

dapat membuktikan bahwa hartanya bukan hasil dari korupsi, Jaksa tetap harus

membuktikan kesalahan terdakwa. Sedangkan pembuktian bahwa harta terdakwa

bukan hasil korupsi digunakan sebagai hal yang menguntungkan bagi terdakwa dalam

sidang yang memeriksanya. Itulah sebabnya dalam kaitan unsur memperkaya diri

tidak harus melalui suatu pembuktian adanya pemberian suap, akan tetapi cukup

dibuktikan bahwa adanya suatu keadaan di mana tidak seimbang antara pendapatan

pejabat itu dengan kehidupannya.14

13 Ibid, h 32. 14 Ibid, h 33.

Page 32: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

22

4. Dapat Merugikan Keuangan dan Perekonominan Negara

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang

dimaksudkan keuangan negara adalah “seluruh kekayaan negara dalam bentuk

apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala

bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat

lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan

Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,

dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang

menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara..”

Dengan tetap berpegang teguh pada arti kata “merugikan” yang sama artinya

dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang dimaksud dengan unsur

“merugikan perekonomian negara” adalah sama artinya dengan perekonomian negara

menjadi rugi atau perekonomian negara menjadi kurang berjalan.15

C. Pengembalian Harta Hasil Korupsi

Menuntut ganti kerugian adalah hak setiap orang yang merasa dirinya dirugikan

suatu perbuatan. Negara Indonesia memberikan jaminan akan hal ini. Dalam perkara

pidana, jaminan tersebut diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

15 R Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, h 41.

Page 33: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

23

tentang Hukum Acara Pidana yang biasa disebut sebagai KUHAP. Konsep ganti rugi

dalam KUHAP ada dua macam yang berupa kompensasi dan restitusi.

Bila dalam hal kompensasi, pelaku tindak pidana berkedudukan sebagai korban

proses peradilan (penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan ataupun

penjatuhan hukuman yang keliru atau dianggap tidak sah) dan oleh karenanya

menerima ganti rugi dari Negara. Maka dalam hal restitusi, pelaku tindak pidana

sebagai pihak yang memberikan ganti rugi terhadap korban yang timbul akibat tindak

pidana yang dilakukannya. Khusus mengenai konsep restitusi, KUHAP mengaturnya

dalam Bab XIII tentang Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian. Konsep

ganti rugi yang ditawarkan dalam bab tersebut, murni merupakan restitusi dengan

tidak membuka peluang bagi negara untuk turut memberi kompensasi pada korban

tindak pidana.

Pada praktiknya, seringkali tuntutan ganti rugi terhadap pelaku tindak pidana

berakhir sia-sia, disebabkan oleh ketidakmampuan terhukum untuk membayarnya

karena dari segi ekonomi, situasi dan kondisi terhukum tidak memungkinkan untuk

mengatasi masalah ini, Menurut Yahya Harahap, jika terjadi hal demikian di mana

pelaku tindak pidana tidak memiliki kemampuan untuk membayarnya, sebagai

berikut: “Ganti kerugian baru efektif bila dibebankan kepada negara. Negara

Page 34: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

24

mengambil alih pembayaran kepada korban atau orang yang dirugikan dan negara

meminta pembayaran itu kembali dari terdakwa/terpidana dengan jalan reimburse.”16

Adapun menurut penjelasan pasal 98 KUHAP, maksud atau tujuan dari

penggabungan perkara ini adalah supaya perkara gugatan tersebut pada sutau ketika

yang sama diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Dengan

demikian, menurut Yahya Harahap sebenarnya ada dua tujaun utama dari

penggabungan perkara ini, yaitu:

“ Pertama; untuk menyederhanakan proses pemeriksaan dan pengajuan gugatan ganti

kerugian itu sendiri, sehingga dapat dicapai makna yang terkandung dalam asas

peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Kedua; agar sesegera mungkin

orang yang dirugikan mendapat ganti kerugian tanpa melalui proses gugatan perdata

biasa.17

Dalam penjelasan pasal 98 ayat (1) KUHAP, disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan “kerugian bagi orang lain” termasuk kerugian pihak korban. Dari kalimat

tersebut, terlihat bahwa korban bukanlah satu-satunya pihak yang dapat menuntut

ganti rugi dalam penggabungan perkara ini, dan tidak ada perincian lebih lanjut dari

KUHAP mengenai siapa saja yang memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian

tersebut.

16 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi,dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h 81-82. 17 Ibid, h 81.

Page 35: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

25

Mengenai hal tersebut Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut:

1. Pasal 98 KUHAP menyatakan “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar

dakwaan di dalam suatu pemeriksaan pidana oleh pengadilan negeri

menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas

permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara

gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Kemudian dijelaskan

dalam pasal itu bahwa yang dimaksud dengan kerugian bagi orang lain

termasuk pihak korban. Jadi korban bukan satu-satunya ‘orang lain’ itu. Tidak

limitatif pada korban delik saja.

2. Menurut pasal 101 KUHAP, ketentuan hukum acara perdata bagi gugatan

ganti rugi sepanjang KUHAP tidak menentukan lain, sebagaimana diketahui

gugatan perdata itu luas ruang lingkupnya. Jadi semua pihak yang merasa

dirugikan oleh pelaku delik dapat mengajukan gugatan”18

Persoalan mengenai siapa yang berhak mengajukan tuntutan ganti kerugian

dalam perkara penggabungan gugatan ini menjadi penting artinya dalam perumusan

gugatan sebab menyangkut personal standing masing-masing pihak. Dengan tidak

adanya batasan yang jelas tentang siapa saja yang berhak menuntut ganti kerugian

dalam perkara penggabungan perkara ini, maka hakim mempunyai wewenang yang

besar untuk mengabulkan diterima atau tidaknya penggabungan perkara ini. Sebab

18 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),

h 208.

Page 36: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

26

tidak ada keharusan bagi hakim ketua sidang untuk menerima permintaan

penggabungan perkara ganti kerugian tersebut.

Dalam hal suatu gugatan juga diajukan terhadap pihak lain selain pelaku tindak

pidana tersebut, maka hakim ketua sidang tidak salah jika menolak penggabungan

gugatan ganti kerugian tersebut”.19 Hal ini menurut Leden Marpaung berdasarkan

Keputusan Menteri Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman

Pelaksanaan KUHAP yang dimuat pada bidang pengadilan, antara lain dirumuskan

sebagai berikut:

“gugatan ganti rugi dari korban yang sifatnya perdata digabungkan pada perkara

pidananya, ganti rugi tersebut dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak

pidana.”20

Secara perdata tidak hanya pelaku saja yang dapat dipertanggungjawabkan akan

kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya, tetapi bisa juga ahli orang tua, wali

atau ahli waris sesuai dengan pasal 1367 KUHPerdata. Seyogianya dalam

penggabungan perkara ganti kerugian ini, tidak hanya terdakwa saja yang dimintai

pertanggungjawaban, namun pihak-pihak lain yang terlibat secara tidak langsung

sebagaimana dalam ketentuan KUHPerdata tersebut, juga dapat dimintai

pertanggungajawaban untuk membayar kerugian tersebut.

19 Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilititasi dalam Hukum Pidana,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h 83. 20 Ibid, h. 83.

Page 37: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

27

1. Peran Masyarakat dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Sebuah sistem politik akan timpang jika negara terlalu kuat dan masyarakat

dipinggirkan peranannya. Dalam konteks pemberantasan korupsi, pemberian ruang

dan jaminan perlindungan hukum terhadap peran publik sangat dibutuhkan untuk

menjaga keseimbangan sisten politik tersebut. Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memberikan pengaturan

yang hampir sama tentang peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

Meskipun terdapat kesan penurunan derajat peran masyarakat yang seolah-olah

hanya membantu pencegahan dan pemberantasan korupsi, akan tetapi setidaknya

pengaturan di Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan bab

khusus ini dapat menjadi satu petunjuk bahwa tidak mungkin melakukan

pemberantasan korupsi tanpa masyarakat yang kuat. Oleh sebab itu, salah satu posisi

masyarakat seperti pelapor tindak pidana korupsi mendapat perlindungan lebih

khusus seperti diatur di Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban. Pada Pasal 10 ayat (1) terdapat ketentuan pelapor tidak dapat

dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan yang akan, sedang,

atau telah diberikannya.21

Tindak pidana korupsi tidak hanya menimbulkan kesengsaraan di kalangan

masyarakat, namun juga telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat bahkan

21 YLBHI, Australian Aid, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2014), h

455.

Page 38: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

28

telah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Untuk mengurangi korupsi

tidak hanya menjadi tanggung jawab para penegak hukum, akan tetapi diperlukan

peran aktif masyarakat untuk memeranginya. Dalam rumusan ketentuan pasal 41 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa masyarakat memiliki

peranan tersendiri untuk turut serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana korupsi. Sebagaimana lebih lanjut disebutkan dalam pasal 41 ayat (1)

tersebut bahwa: “Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana korupsi.”

Adapun sebagaimana dalam pasal 41 ayat (1) melalui pasal 41 ayat (2) sampai

(4) peran masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk:

a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah

terjadi tindak pidana korupsi;

b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan

memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada

penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada

penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang

diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

Page 39: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

29

e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :

1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;

2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang

pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan

tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)

dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan mentaati norma

agama dan norma sosial lainnya.22

Jika dilihat dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan mengenai bentuk

peranan masyarakat secara langsung mengenai peranan masyarakat dalam

mengajukan gugatan tersendiri atas kerugian yang dialami akibat adanya perbuatan

tindak pidana korupsi. Namun, bukan berarti masyarakat tidak memiliki hak

mengajukan penggabungan gugatan ganti kerugian tersebut, karena masyarakat

sendiri memiliki dasar hukum dalam pasal 98 KUHAP mengenai penggabungan

gugatan ganti kerugian. Oleh karena itu, setelah diketahui peranan masyarakat dalam

22 Terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, Bab V, Pasal 41.

Page 40: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

30

rumusan pasal tersebut, maka sudah sewajarnya bila masyarakat tidak hanya berdiam

diri saja menerima kerugian yang dialami, akan tetapi ikut bergerak dan menuntut

pelaku tindak pidana korupsi untuk dihukum seberat-beratnya dengan melakukan

penggabungan gugatan ganti kerugian ini. Selain itu, peran serta masyarakat dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi akan mendapat perhatian dan penghargaan dari

pemerintah apabila masyarakat ikut berupaya melakukan pencegahan,

pemberantasan, pengungkapan tindak pidana korupsi.

Sedangkan, dalam rumusan ketentuan lain, sebagaimana diatur dalam pasal 108

ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

atau KUHAP disebutkan bahwa, peran warga negara atau masyarakat dalam

memberikan laporan atas terjadinya suatu tindak pidana kepada penegak hukum

merupakan suatu hak dan tanggung jawab serta kewajiban yang harus dipenuhi.

Bahkan, jika diabaikan dapat diancam telah melakukan suatu tindak pidana, karena

dianggap telah menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan.23

2. Prosedur Pengajuan Gugatan Ganti Kerugian

Dalam mengajukan gabungan ganti kerugian ini telah diatur sebagaimana

dalam Pasal 98 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa: “Permintaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya

sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum

23 Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan

Hukum Pidana, hal 134

Page 41: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

31

tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan

putusan.”

Di samping itu, dalam Pasal 99 ayat (1) KUHAP juga menyebutkan bahwa:

“Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara

pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang

tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar

gugatan dan tentang hukuman pergantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak

yang dirugikan tersebut.”

Maka dari itu pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permintaan

gabungan ganti kerugian kepada Ketua sidang atau Hakim yang sedang memeriksa

perkara pidana yang dilakukan terdakwa yang mengakibatkan kerugian tersebut.

Adapun waktu untuk mengajukan permintaan gabungan ganti kerugian ditentukan

sebagai berikut:

a. Dalam hal penuntut umum hadir pada persidangan, maka diajukan sebelum

penuntut umum membacakan atau mengajukan tuntutan pidana. Hal ini

dimaksudkan agar penuntut umum dapat pertimbangkan dengan seksama

tuntutan pidana dengan memperhatikan perkara gugatan ganti kerugian.

Dalam doktrin, kepedulian terhadap korban termasuk hal yang dapat

meringankan hukuman bagi terdakwa.

Page 42: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

32

b. Dalam perkara pidana yang dihadiri penuntut umum adalah perkara pidana

yang acara pemeriksaannya adalah perkara biasa dan pemeriksaan singkat.

c. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, tetapi telah dikuasakan kepada

penyidik berdasarkan Undang-Undang. Pengajuan permintaan penggabungan

perkara gugatan ganti kerugian harus diajukan sebelum hakim menjatuhkan

putusan.24

Orang yang mengajukan tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan

perlindungan hukum. Oleh karena itu, korban mengajukan tuntutan hak ke

Pengadilan. Adapun pernyataan mengenai gugatan dapat dijumpai dalam Pasal 8

nomor 3 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat:

1. Identitas para pihak; 2. Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang

merupakan dasar serta alasan-alasan dari tuntutan (fundamentum petendi), 3

tuntutan (Petitum).

Ad. 1. Identitas para pihak

Disebutkan secara jelas dari penggugat dan tergugat yaitu nama dan tempat

tinggalnya, umur serta status perkawinan.

24 Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilititasi dalam Hukum Pidana,

h 86.

Page 43: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

33

Ad. 2. Fundamentum Petendi

Fundamentum petendi atau dasar tuntutan terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang

menguraikan tentang duduknya perkara (kejadian-kejadian atau peristiwa secara

kronologis) dan bagian yang menguraikan tentang hukumnya (uraian tentang

adanya hak dan hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan).

Ad. 3. Petitum

Tuntutan atau yang disebut petitum ialah apa yang diminta atau diharapkan oleh

penggugat agar diputuskan oleh hakim.

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 16 Desember 1970, Nomor

492/K/Sip/1970 dan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1720/KPdt/1986 tanggal

18 agustus 1988 disebutkan bahwa:

“Setiap tuntutan ganti rugi harus disertai perincian kerugian dalam bentuk apa

yang menjadi dasar tuntutannya, tanpa perincian dimaksud maka tuntutan ganti rugi

tersebut tidak jelas atau tidak sempurna.”25 Setelah ditandatangani oleh penggugat

dan wakilnya, penggugat mendaftarkan surat gugatannya ke Kepaniteraan Pengadilan

Negeri sesuai dengan ketentuan pasal 118 HIR. Pada dasarnya, gugatan diajukan

kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Namun bila pihak tergugat

terdiri dari beberapa orang, dan masing-masing bertempat tinggal di beberapa

25 Rasjim Wiraatmadja, Frida Widjaya, dan Davy Tasman, Himpunan Yurisprudensi hukum

Perdata Indonesia, (Jakarta: Kantor Advokat Rasjim Wiraatmadja, 2001), h 43.

Page 44: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

34

wilayah hukum Pengadilan Negeri yang berlainan, penggugat berhak mengajukan

gugatan kepada salah satu Pengadilan Negeri tersebut.

Dengan pertimbangan yang dianggap paling menguntungankan atau paling

memudahkan penggugat.26 Pada waktu mengajukan gugatan, penggugat harus pula

membayar biaya perkara yang meliputi biaya panggilan dan pemberitahuan kepada

tergugat atau para pihak. Dapat pula beracara secara cuma-cuma dengan mengajukan

permohonan izin kepada Ketua Pengadilan Negeri yang harus disertai dengan surat

keterangan tidak mampu.27

26 Yahya Harahap, Berbagai Permaslahan Formil Dalam Gugatan Perdata, (Varia Peradilan

1993), h 136. 27 Karjadi, Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui, (Bogor: Politeia,1975), pasal 238

Page 45: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

35

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN WACANA PEMISKINAN

KORUPTOR

A. Pertanggungjawaban Pidana dan Subjek Delik Korupsi

Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep

sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan

dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu

perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu

jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not

make a person guity, unless the mind is legally blameworthy. Berdasar asas tersebut,

ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada

perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin

jahat/tercela (mens rea).1

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang

objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi

syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana

adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas

kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika

1 Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, (Jurnal Hukum, Vol 6 No 11 Tahun

1999), h 27.

Page 46: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

36

mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.2 Oleh karena itu,

pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak

pidana yang dilakukannya serta suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana

untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan

tertentu.3

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesalahan merupakan

suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa adanya kesalahan,

pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada, dalam hal ini, dikenal dalam

hukum pidana dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen srtafzonder schuld).

Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana.

Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana mengalami perkembangan

sejak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana selain manusia. Secara

teoritis terdapat tiga teori sistem pertanggungjawaban pidana pada subjek hukum

korporasi, yaitu teori identifikasi, teori strick liability, teori vicarious liability. Ketiga

teori atau sistem pertanggungjawaban pidana tersebut hakikatnya merupakan respon

terhadap eksistensi korporasi yang dewasa ini diakui sebagai subjek hukum pidana.

2 Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h 156. 3 Huda, Chairul, Dari Tiada Pidan Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, Cet Kedua), h 68.

Page 47: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

37

1. Teori Identifikasi

Dalam rangka mempertanggungjawaban korporasi secara pidana, di negara

Anglo Saxon seperti di Inggris dikenal konsep direct corporate criminal liability atau

pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung. Menurut dokrin ini, korporasi

dapat melakukan delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat

berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang sebagai korporasi itu sendiri. Teori

identifikasi pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari anggota tertentu dari

korporasi selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, maka dianggap sebagai

tindakan dari korporasi itu sendiri.

2. Teori Strict Liability

Strict liability diartikan sebagai suatu perbuatan pidana dengan tidak

mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih perbuatan.

Strict liability merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan, yang dalam hal ini si

pelaku perbuatan pidana sudah dapat dipidana jika telah melakukan perbuatan yang

dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Undang-undang. Adapun kriteria

penerapan strict liability dalam perkara pidana tidak bersifat generalisasi dan bersifat

khusus terhadap tindak pidana, yaitu:

Page 48: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

38

a. Ketentutan Undang-undang sendiri menentukan atau ada tuntutan strict

liability

b. Penerapan hanya ditentukan terhadap tindak pidana yang bersifat larangan

khusus atau tertentu

3. Teori Vicarious Liability

Vicarious Liability adalah suatu konsep pertanggungjawaban seseorang atas

kesalahan yang dilakukan orang lain, secara singkat pertanggungjawaban ini disebut

pertanggungjawaban pengganti. Pada vicarious liability, kesalahan menjadi syarat

utama yang harus dipenuhi untuk memidana seseorang yang melakukan perbuatan

pidana. Dengan kata lain, harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa seseorang telah

melakukan kesalahan, sehingga patut dipidana atas kesalahan tersebut. Selain itu

harus ada hubungan kerja antara pelaku dengan orang lain yang harus

mempertanggungjawaban perbuatan pidana yang dilakukan.4

Secara asas ketentuan hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi Hukum

Pidana Umum (Ius Commune) dan Hukum Pidana Khusus (Ius Singuler atau Ius

Speciale). Ketentuan-ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku secara

umum seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),

sedangkan ketentuan-ketentuan hukum pidana khusus dimaksudkan sebagai

ketentuan hukum pidana yang mengatur tentang kekhususan subjeknya dan perbuatan

yang khusus. Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian dari hukum pidana

4 Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h 160-169.

Page 49: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

39

khusus, di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum

pidana umum, yaitu dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum

acara.5

Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

adalah korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi.

Hal ini tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Dicantumkannya

korporasi sebagai subyek tindak pidana merupakan langkah maju dari pembentuk

Undang-undang. Dengan menempatkan korporasi sebagai subyek tindak pidana akan

memberikan harapan serta optimisme bagi upaya pengusutan korupsi secara tuntas

dan efektif. Melalui perundang-undangan, korporasi dewasa ini diterima sebagai

subyek hukum dan diperlakukan sama dengan subyek hukum yang lain, yaitu

manusia (alamiah). Dengan demikian korporasi dapat bertindak seperti manusia pada

umumnya.6

Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (1) sampai (3) Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, yang menjadi subyek hukum

dari tindak pidana korupsi adalah: (1). Korporasi, (2). Orang atau Pegawai Negeri.

5 Djaja, Ermansjah, Tipologi Tindak Pidan Korupsi di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,

2010), h 39. 6 Widodo Tresno Novianto, Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Korupsi dan

Prospeknya bagi Penanggulangan Korupsi Di Indonesia, (Yustisia, Edisi Nomor 70 ( Januari - April 2007), h 2.

Page 50: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

40

1). Korporasi

Dalam ketentuan rumusan pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang

terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Dikenakannya sanksi pidana atau tindakan kepada korporasi dalam perkara korupsi

cukup beralasan dan sesuai dengan beberapa rekomendasi kongres PBB mengenai

The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, antara lain:

1. Dalam rekomendasi Kongres PBB ke-8/1990 ditegaskan, agar ada tindakan

terhadap “perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perkara korupsi”.

2. Dalam dokumen Kongres PBB ke-9/1995 di Kairo, antara lain ditegaskan

sebagai berikut: “Korporasi, asosiasi kriminal atau individu mungkin terlibat dalam

penyuapan para pejabat untuk berbagai alasan yang tidak semuanya bersifat

ekonomis. Namun dalam banyak kasus, masih saja penyuapan digunakan untuk

mencapai keuntungan ekonomis. Tujuannya ialah membujuk para pejabat untuk

memberikan berbagai bentuk perlakuan khusus atau istimewa, antara lain:

a. Memberi kontrak;

b. Mempercepat/memperlancar ijin;

Page 51: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

41

c. Membuat perkecualian atau keringanan, serta menutup mata terhadap

pelanggaran-pelanggaran peraturan.7

Menurut Is Susanto dalam Widodo Tresno, meskipun undang-undang

memperlakukan korporasi sebagai subyek hukum, namun dalam wujudnya berbeda

dengan subyek hukum yang berupa manusia. Korporasi adalah suatu organisasi, suatu

bentuk organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi atau

bisnis. Oleh karena itu untuk memahami kejahatan korporasi, maka pertama-tama

kita harus melihat kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang bersifat organisatoris,

yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks

dan harapan-harapan di antara dewan direksi, eksekutif dan manajer di satu sisi dan di

antara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-cabang di sisi lain.8

Di bidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau badan usaha

yang menyandang istilah korporasi diterima dan diakui sebagai subyek hukum yang

dapat melakukan tindak pidana serta dapat pula dipertanggungjawabkan. Dalam

perkembangan hukum pidana Indonesia, ada tiga sistem pertanggungjawaban

korporasi sebagai subyek tindak pidana:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka pengurus korporasi yang harus

bertanggung jawab;

7 Barda Nawawi Arief, Strategi Kebijakan Penanggulangan Korupsi dan Evaluasi terhadap

UndangUndang Pemberantasan Tindak Korupsi, (Bahan Masukan Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 1999), h 15-16

8 Is Susanto, Kejahatan Korporasi. (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro 1995).

Page 52: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

42

2. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab;

3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.9

Dengan dicantumkannya korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi

memberikan harapan yang besar bagi upaya penanggulangan korupsi di Indonesia.

Dalam rangka mengoptimalkan penanggulangan korupsi dengan menjerat korporasi

sebagai subyek tindak pidana korupsi, maka ada beberapa hal yang harus

diperhatikan:

1. Aspek pranatanya atau perundang-undangannya, yaitu Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 harus ada ketentuan khusus tentang:

a. Kapan dikatakan korporasi melakukan tindak pidana;

b. Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan;

d. Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.

2. Aspek lembaganya, yaitu adanya organisasi khusus yang menangani masalah

korporasi;

3. Aspek orang atau aparat, yaitu profesionalisme dalam melakukan tugasnya.10

9 Widodo Tresno Novianto, Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Korupsi, h 3. 10 Widodo Tresno Novianto, Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Korupsi, h 5.

Page 53: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

43

2). Orang atau Pegawai Negeri (Penyelenggara Negara)

Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dijelaskan mengenai Pegawai Negeri sebagai berikut:

“Pegawai negeri yang dimaksud oleh undang-undang ini meliputi juga orang-orang

yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau menerima gaji

atau upah dari suatu badan/badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan

negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan

kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.”

Sementara itu, dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dijelaskan mengenai Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang

Kepegawaian;

b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana;

c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Page 54: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

44

Demikian juga dalam peraturan perundang-undangan lainnya, sebagaimana

telah disebutkan dalam pasal tersebut, dijelaskan mengenai Pegawai Negeri menurut

Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian,

sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa: “Pegawai Negeri adalah

setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang

ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam

suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Kemudian dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999

membedakan jenis Pegawai Negeri dalam tiga kelompok yang terdiri dari:

a. Pegawai Negeri Sipil;

b. Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan

c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sementara itu, dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa Pegawai Negeri

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, terdiri dari:

a. Pegawai Negeri Sipil Pusat; dan

b. Pegawai Negeri Sipil Daerah.

Diantara pengertian Pegawai Negeri tersebut di atas, semula pengertian

Pegawai Negeri telah tercantum dalam Pasal 92 KUHP, yang kemudian mengalami

Page 55: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

45

perluasaan pengertian dalam beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk

dalam hal ini Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 perubahan atas Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, serta dalam Undang-

undang khusus yang dalam hal ini Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Demikian pengertian Pegawai Negeri setelah mengalami perluasan,

khususnya dalam pembahasan tindak pidana korupsi yang secara khusus ini.

B. Sanksi Hukum bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Melihat kenyataan saat ini bahwa hukum pidana khususnya dalam hal

pemberantasan tindak pidana korupsi telah mengalami pertumbuhan dan

perkembangan yang sangat pesat, serta semakin merajalela di tengah adanya

keinginan politik yang kuat untuk memeranginya. Harapan yang besar terhadap

hukum pidana untuk membebaskan masyarakat dari berbagai bentuk tindak pidana

korupsi belum terwujud menjadi kenyataan.

Adanya instrumen hukum pidana khusus yang dewasa ini digunakan sebagai

sarana untuk menanggulangi masalah korupsi dengan hukum pidana adalah Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai

sebuah produk hukum, Undang-undang korupsi diharapkan mampu mengemban

Page 56: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

46

fungsi ganda, yaitu disamping sarana represif, sekaligus mampu berfungsi sebagai

sarana preventif.11

Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan

memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ini

memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu

menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan

ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu Undang-undang

ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat

membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.

Penjatuhan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi dengan hukuman

maksimal sesuai dengan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dalam Undang-undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam keadaan tertentu dapat dijatuhkan

hukuman mati bagi pelakunya. Mengingat hal tersebut, pemberantasan tindak pidana

korupsi di Indonesia merupakan tindak pidana yang sudah terjadi secara luar biasa

sehingga diperlukan upaya pemberantasan yang luar biasa. Dalam rumusan pasal 2

ayat (1) dan (2) sudah mengakomodir tindakan tegas dan berani bagi pelaku korupsi

khususnya dengan ancaman tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi yang

dilakukan dalam keadaan tertentu, sebagaimana diubah dalam penjelasan pasal 2 ayat

(2) tersebut melalui Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001, ketentuan ini

11 YLBHI, Australian Aid, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2014), h

456.

Page 57: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

47

dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila

tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi

penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat

kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan

pengulangan tindak pidana korupsi.

Dalam rumusan di atas, jelas dapat dipahami bahwa; ada kenyataan korupsi

sebagai tindakan manusia, ada tindakan korupsi manusia yang diposisikan sebagai

perilaku melawan hukum, amoral (jahat), ada tindakan korupsi sebagai tindakan yang

diberi sanksi hukum, dan ada tindakan korupsi yang disanksi dengan hukuman mati.12

Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah

dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 mengenal ancaman pidana minimum

khusus, baik pidana penjara maupun pidana denda dengan ketentuan secara rinci

berikut:

1. Dalam pasal 2 dikenakan minimum penjara 4 tahun dan denda minimum 200 juta

rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

2. Dalam pasal 3 dikenakan minimum pidana penjara satu tahun dan atau denda

minimum 50 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan dengan tujuan

12 Amirullah, Tindak Pidana Korupsi dan Sanksi Pidana Mati Perspektif Keadilan Hukum,

(Surabaya: Al Daulah Vol 3 No 2 Tahun 2012), h 185.

Page 58: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

48

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara;

3. Dalam pasal 5 dikenakan minimum pidana penjara satu tahun dan atau denda

minimum 150 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan dengan memberi

atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

bertentangan dengan kewajibannya;

4. Dalam pasal 6 dikenakan minimum pidana penjara tiga tahun dan denda minimum

150 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan memberi atau menjanjikan

sesuatu kepada seorang hakim untuk mempengaruhi putusan tentang perkara;

5. Dalam pasal 7 dikenakan minimum pidana penjara dua tahun dan atau denda

minimum 100 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan dengan curang

dalam penyerahan barang-barang yang dapat membahayakan keamanan orang dan

keselamatan negara;

6. Dalam pasal 8 dikenakan minimum pidana penjara tiga tahun dan denda minimum

100 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan menggelapkan uang atau

surat berharga atas jabatannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara;

7. Dalam pasal 9 dikenakan minimum pidana penjara satu tahun dan denda minimum

50 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan memalsukan laporan

administasi atas jabatannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara;

Page 59: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

49

8. Dalam pasal 10 dikenakan minimum pidana penjara dua tahun dan denda

minimum 100 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan menggelapkan,

menghancurkan, atau merusak barang-barang negara atas jabatannya sebagai

pegawai negeri atau penyelenggara negara;

9. Dalam pasal 11 dikenakan minimum pidana penjara satu tahun dan atau denda

minimum 50 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan menerima hadiah

atau janji atas jabatannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara;

10. Dalam pasal 12 dikenakan minimum penjara empat tahun dan denda minimum

200 juta rupiah, atas perbuatan pidana yang dilakukan menerima hadiah atau janji

atas jabatannya sebagai pegawai negeri atau hakim yang bertentangan dengan

kewajibanya;

11. Dalam pasal 13 atau pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971

dikenakan minimum pidana penjara dan atau tidak ada denda, atas perbuatan

pidana yang dilakukan menerima hadiah atau janji mengingat kekuasaan atau

wewenangnya atas jabatannya sebagai pegawai negeri;

Dilihat dari sisi tingkat pertumbuhan korupsi di Indonesia dan kaitannya

dengan ketidakmampuan hukum pidana yang ada, maka pembaruan Undang-undang

korupsi adalah suatu pilihan. Korupsi tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang

melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari hak asasi

manusia. Oleh karena itu, cukup rasional untuk mengategorikan korupsi sebagai

sebuah kejahatan luar biasa, sehingga pemberantasannya perlu dilakukan dengan

Page 60: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

50

cara-cara yang luar biasa dan dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang

luar biasa pula.

Adapun secara rasional dapat diketahui beberapa alasan mengapa perlu

penanganan yang luar biasa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai

berikut:

a) Masalah korupsi sudah berurat akar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di

Indonesia. Korupsi tidak saja merugiakan keuangan negara atau perekonomian

negara, tapi juga telah merusak tatanan kehidupan bangsa dan negara, sehingga

kondisi tersebut telah memprihatinkan masyarkat internasional

b) Korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam

kehidupan masyarakat, karena sebagian besar masyarakat tidak dapat menikmati

hak yang seharusnya dapat diperoleh.

c) Korupsi telah melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat, karena mengalami

perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat, serta bukan masalah hukum

semata, namun sebagai bagian dari hak asasi manusia yang terampas.

d) Karena adanya perlakuan diskriminatif di dalam penegakan hukum terhadap

tindak pidana korupsi.

e) Disebabkan korupsi bukan lagi hanya berkaitan denga sektor publik, melainkan

sudah merupakan kolabaorasi antara sektor publik dan swasta.

Page 61: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

51

Mengingat sifatnya yang demikian dan karena alasan-alasan rasional tersebut di

atas, maka dimungkinkan untuk menggunakan cara-cara luaar biasa untuk

menanggulangi tindak pidana korupsi. Cara-cara demikian itu kemudian dalam

kebijakan perundang-undangan dimanifestasikan ke dalam ketentuan-ketentuan

eksepsional yang bersifat menyimpang.13

C. Konsep Pemiskinan Koruptor sebagai Sanksi Takzir

Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia muncul suatu

wacana baru dari pengamat hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi dengan

pemberian sanksi hukum baru yaitu melalui pemiskinan koruptor. Hal ini dilakukan,

mengingat sanksi yang diberikan dalam undang-undang tindak pidana korupsi belum

mampu mengurangi tindak pidana korupsi.

Wacana pemiskinan koruptor ini merupakan salah satu alternatif pemberian

hukuman yang dapat diberikan untuk memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana

korupsi. Hal tersebut sejalan dengan semakin meningkatnya tindak pidana korupsi

saat ini. Pemiskinan koruptor memiliki potensi yang besar untuk memberantas tindak

pidana korupsi di Indonesia. Sebab secara manusiawi, tidak ada orang yang ingin

miskin, tentunya hal tersebut dapat memberikan dampak yang cukup besar bagi

pelaku tindak pidana korupsi yang biasa hidup mewah dan berkecukupan. Selama ini,

perampasan aset hasil tindak pidana korupsi hanya sebatas perampasan aset dari hasil

13 Amirullah, Tindak Pidana Korupsi dan Sanksi Pidana Mati,

Page 62: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

52

tindak pidana korupsi atau pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sesuai

dengan kerugian keuangan negara. Hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai

pemiskinan koruptor, karena pelaku tindak pidana korupsi masih dapat dengan bebas

menggunakan aset yang masih dimiliki.14

Maka dari itu, pemiskinan koruptor harus diimplementasikan dengan jelas

dalam sebuah aturan yang sesuai dengan koridor asas-asas hukum dan tidak

melanggar hak asasi manusia. Diperlukan upaya maksimal dari pembuat undang-

undang untuk mewujudkan aturan ini. Di samping itu, pentingnya peran serta

masyarakat untuk terus mengawal proses hukum terhadap tindak korupsi agar

pemberantasan korupsi dapat berjalan maksimal dan terbebas dari tindak pidana

korupsi.

Sedangkan dalam hukum Islam, konsep pemberian hukuman takzir bagi pelaku

korupsi merupakan salah satu hal yang dapat diimplementasikan dalam hukum di

Indonesia. Mengingat konsep hukum jarimah takzir merupakan jenis pidana yang

sanksi hukumnya tidak disebutkan secara jelas di dalam Al Quran atau hadits,

melainkan diserahkan kepada kebijakan hakim atau penguasa setempat.

Dengan mengutip Wahbah Al Zuhaili, M. Nurul Irfan15 mengatakan bahwa

pada umumnya sanksi-sanksi yang terdapat dalam berbagai perundang-undangan

14 Margaretha Yesicha Priscyllia, Pemiskinan Korupsi sebagai Salah Satu Hukuman

Alternatif dalam Tindak Pidana Korupsi, Universitas Atmajaya Yogyakarta: Jurnal 2014. 15 Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2012 hal 247

Page 63: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

53

merupakan bentuk jarimah takzir yang membumi dan implementatif. Sebab, Undang-

undang sebagai satu-satunya aturan yang dirumuskan untuk menanggulangi berbagai

kejahatan dan mencegah pelaku kejahatan, juga berfungsi untuk menjaga

kemaslahatan, menegakan keadilan, dan ketentraman, bahkan untuk menjaga

keamanan dan kenyamanan.

Selain itu Wahbah al Zuhaili mengemukakan bahwa syariat Islam menyerahkan

kepada ulil amri (penguasa negara) untuk meneliti dan menentukan sanksi pelaku

tindak pidana sesuai dengan kejahatannya, untuk mencegah permusuhan,

mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat kapan dan di mana saja.

Sanksi-sanksi takzir ini sangat beragam atau berbeda-beda sesuai dengan situasi dan

kondisi masyarakat, taraf pendidikan warga masyarakat, dan berbagai kondisi lain

pada suatu masa dan tempat.16

Dalam masalah sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, jika merujuk

pada hukum Islam, tindakan memperkaya diri sendiri atau mengambil harta, uang,

serta hak milik pihak lain untuk dimiliki sendiri bisa disebut mencuri. Namun perlu

diketahui bahwa mencuri menurut fiqh jinayah masuk dalam wilayah jarimah hudud,

sehingga sanksi hukum tindak pidana korupsi tidak bisa disamakan dengan sanksi

pidana pencurian atau perampokan. Sebab hal tersebut, dapat dilihat sebagai analogi

korupsi dengan mencuri, padahal hal itu dilarang memakai analogi dalam hudud.

16 Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuh, (Beirut: Daar al Fikr, 1997, Cet 4), h

5300.

Page 64: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

54

Selain itu, menurut M. Cherif Bassiouni bahwa hudud sebagai sebuah jarimah yang

telah disebutkan secara tegas di dalam Al Quran harus dilaksanakan secara baku,

tegas atau apa adanya sesuai dengan prinsip-prinsip keabsahan hukum.17

Di samping itu, terdapat perbedaan mendasar antara mencuri dan korupsi.

Dalam mencuri, harta sebagai objek curian berada di luar kekuasaan pelaku dan tidak

ada hubungan dengan kedudukan pelaku. Sedangkan korupsi, harta sebagai objek

korupsi berada di bawah kekuasaan dan ada kaitan dengan kedudukan pelaku.

Bahkan, bisa jadi pelaku memiliki saham atau hak pada harta yang dikorupsi.

Kekuasaan pelaku atau adanya saham kepemilikan pelaku terhadap harta yang

dikorupsi jelas akan menimbulkan adanya unsur syubhat, dalam hal ini adalah

syubhat kepemilikan. Unsur syubhat tersebut dapat dijadikan dasar dalam

membatalkan hudud, oleh sebab itu, hukuman hudud harus dihindari sebab adanya

unsur syubhat. Walau demikian, tidak dapat diberlakukannya hukuman hudud dalam

tindak pidana korupsi, bukan berarti sanksi takzir bagi koruptur bersifar lebih ringan.

Hukuman takzir bagi koruptur bisa dalam bentuk pidana denda materi, pidana seumur

hidup, dinyatakan sebagai warga masyarakat yang bermasalah, diasingkan, dan

bahkan bisa saja hukuman mati sebagai takzir bagi koruptor.18

Tindakan korupsi untuk memperkaya diri merupakan salah satu tingkah pola

hidup masyarakat modern yang ingin hidup dengan kemewahan harta yang

17 M Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, h 153. 18 Ibid, h 154.

Page 65: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

55

berlimpah. Tidak berlebihan karena hal tersebut merupakan refleksi dari hasrat dan

keinginan sesorang yang luar biasa terhadap apa yang disebut materi. Oleh karena itu,

jika diperhatikan dalam sisi tersebut, di mana sesseorang yang sangat mencintai

sesuatu hartanya akan “sangat menderita” ketika sesuatu yang dicintainya hilang

sehingga ketika ingin menghukum orang yang mencintai barang berharga, maka

pisahkan dan jauhkan barang berharga tersebut dari jangkaunnya, bukan hanya

sekadar memindahkan barang berharga tersebut ke tempat lain yang masih bisa untuk

dijangkaunya.

Seperti itulah analogi pemberantasan korupsi yang dapat digambarkan. Seorang

koruptor adalah seseorang yang mencintai harta benda sehingga kehilangan harta

benda akan menjadi suatu hal yang menyakitkan dan menjadi hukuman paling berat

bagi pelaku, lebih berat dari hukuman penjara atau bahkan hukuman mati sekalipun

sehingga jika ingin memberikan hukuman yang setimpal bagi koruptor dan jika ingin

membuat takut bagi orang lain untuk melakukan tindak pidana korupsi maka upaya

yang dapat dilakukan adalah dengan memiskinkan para koruptor tersebut.

Tentunya hikmah dari hukuman tersebut adalah untuk menegakan keadilan

ditengah masyarakat yang semakin resah dan bosan mendengar secara terus-menerus

perbuatan tindak pidana korupsi baik dilayar kaca televisi atau media cetak, di mana

para penyelenggara negara yang semestinya menjadi pelindung dan pengayom bagi

kesejahteraan masyarakat atas amanah yang telah diberikan masyarakat kepadanya.

Page 66: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

56

Adapun sanksi takzir yang berkaitan dengan mengambil harta terdapat

perbedaan pendapat dikalangan Fuqaha. Menurut Imam Abu Hanifah sanksi takzir

dengan mengambil harta tidak dibolehkan. Akan tetapi menurut Imam Malik, Imam

Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Abu Yusuf membolehkan apabila membawa

maslahat.19

Sanksi takzir dengan mengambil harta bukan berati mengambil harta pelaku

untuk diri hakim atau untuk kas negara, melainkan menahannya untuk sementara

waktu. Adapun jika pelaku tidak dapat diharapkan untuk bertaubat, hakim dapat

menyerahkan harta tersebut untuk kepentingan yang maslahat. Selain itu, menurut

Imam Ibnu Taimiyah membagi sanksi takzir berupa harta ini menjadi tiga bagian

dengan memperhatikan atsar (pengaruhnya) terhadap harta, yaitu sebagai berikut:

a. Menghancurkan (Al-Itlaf)

Penghancuran terhadap barang sebagai sanksi takzir berlaku untuk barang-

barang yang mengandung kemungakaran, misalnya:

1. Penghancuran patung;

2. Penghancuran alat-alat musik atau permainan yang mengandung

kemungakaran;

3. Penghancuran alat dan tempat minum khamar;

4. Penghancuran terhadap air susu yang bercampur dengan air.

19 M Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h 157.

Page 67: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

57

Penghancuran barang ini tidak selamanya merupakan kewajiban dan dalam

kondisi tertentu boleh dibiarkan atau disedekahkan. Atas dasar pemikiran ini, Imam

Malik dalam riwayat Ibnu Al-Qasim dengan menggunakan istihsan, membolehkan

penghancuran atas makanan yang dijual melalui penipuan dengan cara disedekahkan

kepada fakir miskin, seperti halnya air susu yang bercampur air. Dengan demikian,

dua kepentingan dapat tercapai sekaligus, yaitu penghancuran sebagai hukuman dan

memberikan manfaat bagi orang miskin.

b. Mengubahnya (Al-Ghayir)

Sanksi takzir yang berupa mengubah harta pelaku, antara lain mengubah patung yang

disembah oleh dengan cara memotong bagian kepalanya sehingga mirip pohon atau

vas bunga.

c. Memilikinya (Al-Tamlik)

Sanksi takzir berupa pemilikan harta pelaku, antara lain Rasulullah

melipatgandakan denda bagi seorang yang mencuri buah-buahan, di samping juga

hukuman cambuk. Adapun dalam syariat Islam tidak menetapkan batas minimal atau

maksimal dari hukuman denda. Ibnu Al Qayyim menjelaskan bahwa ada dua macam

denda, yaitu denda yang dipastikan kesempurnaan dan tidak kesempurnaannya.

1. Denda yang dipastikan kesempurnaannya ialah denda yang mengharuskan

hilangnya harta karena berhubungan dengan Allah, misalnya:

Page 68: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

58

a. Pelanggaran sewaktu ihram dengan membunuh binatang buruan, pelaku

didenda dengan memotong hewan kurban;

b. Bersenggama pada siang hari di bulan Ramadhan, pelaku didenda

dengan memberikan makanan untuk 60 orang miskin;

c. Hukuman bagi wanita yang nusyuz kepada suaminya, maka gugur

nafkah baginya dan tidak mendapat pakaian dari suaminya.

2. Denda yang tidak pasti kesempurnaannya ialah denda yang ditetapkan

melalui ijtihad hakim dan disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan.

Oleh karena itu, tidak ada ketentuan syariat dan ketetapan hudud.

Selain denda, sanksi takzir yang berupa harta adalah penyitaan atau perampasan

harta. Akan tetapi, hukuman ini diperselisihkan oleh Fuqaha. Jumhur ulama

membolehkan apabila persyaratan untuk mendapat jaminan atas harta yang tidak

dipenuhi. Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Harta diperoleh dengan cara yang halal;

2. Harta digunakan sesuai dengan fungsinya;

3. Penggunaan harta tidak mengganggu hak orang lain.

Apabila persyartan tersebut tidak terpenuhi, ulil amri berhak menetapkan sanksi

takzir berupa penyitaan atau perampasan sebagai sanksi atas perbuatan yang telah

dilakukan.20

20 Ibid, h 158-159.

Page 69: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

59

BAB IV

MEKANISME PENGGABUNGAN GUGATAN GANTI KERUGIAN

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Upaya Memasukan Gugatan Perdata dalam Tindak Pidana Korupsi

Di Indonesia, perhatian terhadap korban suatu tindak pidana korupsi masih

sangat minim, bahkan hanya sebatas pihak yang telah dirugikan tanpa mengetahui

dan sadar akan kerugian yang telah ditimbulkan oleh adanya perkara tindak

korupsi tersebut. Sampai saat ini, belum ada ketentuan-ketentuan dalam

perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai permasalahan

korban sebagai pihak yang dirugikan dalam perkara tindak pidana korupsi.

Meskipun begitu, jika kita mencermati dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, pada Bab

XIII pasal 98 sampai 101, telah diatur mengenai Penggabungan Perkara Gugatan

Ganti Kerugian.

Tuntutan ganti kerugian yang dimaksudkan pada gabungan ganti kerugian

ini bukanlah tuntutan ganti kerugian akibat penangkapan, penahanan, penuntutan

atau peradilan yang tidak berdasar Undang-Undang, melainkan tuntutan ganti

kerugian:

Page 70: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

60

1. Ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri,

2. Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana atau orang lain yang

menderita kerugian dari tindak pidana tersebut,

3. Tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana tersebut,

ditujukan kepada pelaku tindak pidana atau terdakwa,

4. Tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa digabung atau

diperiksa dan diputus sekaligus dengan pemeriksaan dan putusan

perkara pidana yang didakwakan kepada terdakwa.1

Adapun yang menjadi bunyi pasal 98 ayat 1 KUHAP menyatakan:

“Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu

pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimnbulkan kerugina

bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat

menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada

perkara pidana itu”.

Maksud dan tujuan dari gugatan ganti kerugian ini, sebagaimana ditegaskan

dalam penjelasan pasal 98 ayat (1) KUHAP adalah supaya perkara gugatan

tersebut pada saat diperiksa dan diputus dilakukan secara bersama dengan perkara

pidana yang tersebut.

Yahya Harahap menyatakan bahwa tujuan yang paling utama dalam

penggabungan gugatan ganti kerugian antara lain:

1 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 11, 2009), h 80.

Page 71: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

61

a) Menyederhanakan proses pemeriksaan dan pengajuan gugatan ganti

rugi, sehingga dapat dicapai asas peradilan yang sederhana, cepat, dan

biaya ringan.

b) Memungkinkan orang yang dirugikan mendapat ganti kerugian tanpa

melalui prosedur dan proses gugatan perdata biasa, serta tidak

diharuskan menunggu putusan pidana lebih dulu.2

Jika dilihat dari hakikat tujuan ganti rugi itu sendiri, sistem penggabungan

ini masih dapat dikatakan kurang sempurna dan memuaskan terhadap korban. Ada

beberapa segi yang masih diatur tidak tuntas antara lain:

1. Tuntutan yang dapat diajukan oleh korban hanya terbatas pada kerugina materil

saja, sedangkan mengenai kerugian immaterilnya harus digugat lagi sendiri

dalam gugatan perkara perdata biasa. Hal ini ditegaskan dalam pasal 99 ayat

(2) KUHAP.

2. Tuntutan dan pembayaran ganti rugi dibebankan kepada terdakwa pelaku

tindak pidana korupsi. Hal ini menimbulkan masalah jika ternyata terdakwa

ternyata tidak mampu untuk membayar ganti rugi tersebut.

Sehubungan dengan ketentuan mengenai gabungan gugatan ganti kerugian

ini, maka timbul pertanyaan apakah dengan ketentuan tersebut kepentingan

korban benar-benar sudah terakomodir dengan baik.3

2 Ibid, h 81. 3 Tim Peneliti Universitas Padjajaran, Masalah Pemberian Ganti Rugi bagi Korban Tindak

Pidana yang Dihubungkan dengan Pasal 98 KUHAP, Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 1994, hal 11.

Page 72: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

62

Dalam pasal 98 ayat (2) menyatakan bahwa:

“Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan

selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam

hal penuntut umum tidak hadir permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum

hakim menjatuhkan putusan.”

Berdasarkan pasal tersebut, maka permintaan ganti kerugian hanya dapat

diajukan jika perkara itu sampai pada tingkat penuntutan. Selain itu, permintaan

ganti kerugian hanya dapat dikabulkan jika perbuatan yang didakwakan tersebut

terbukti. Jika perbuatan yang didakwakan tidak terbukti, maka hilanglah

kesempatan bagi korban untuk memperoleh ganti kerugian. Jadi dalam hal ini

korban yang dirugikan ditentukan dari keberhasilan penyidik untuk mengungkap

kasus dan juga keberhasilan dari penuntut umum dalam membuktikan

dakwaannya.

Maka sesuai dengan bunyi pasal tersebut di atas, dapat kita simpulkan

bahwa putusan ganti kerugian dalam penggabungan perkara ini bersifat assesor

dengan putusan pidana, artinya bahwa putusan ganti kerugian ini melekata dan

mengikuti putusana pidana dalm beberapa segi berikut:

1. Segi kekuatan hukum tetapnya putusan ganti rugi dalam penggabungan perkara

ditentukan oleh kekuatan hukum tetap putusan pidananya. Hal ini jelas

disebutkan dalam pasal 99 ayat (3) KUHAP. Jadi selama putusan pidananya

belum memperoleh kekuatan hukum tetap, selama itu pula putusan ganti

kerugiannaya belum memperoleh kekuatan hukum tetap.

Page 73: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

63

2. Segi pemeriksaan banding dalam bunyi pasal 100 KUHAP dapat disimpulkan:

a) Dengan adanya permintaan pemeriksaan banding atas putusan

pidananya, dengan sendirinya membawa akibat permintaan dan

pemeriksaan banding atas putusan gugatan ganti kerugian. Hal ini

tetap berlaku meskipun terdakwa dengan tegas hanya meminta

banding atas putusan pidananya saja.

b) Sebaliknya, tanpa permintaan banding terhadap putusan pidananya,

maka tidak dimungkinkan adanya banding terhadap putusan

perdatanaya.4

Dalam prinsip hukum permintaan banding, para pihak berhak mengajukan

permintaan banding atas putusan pengadilan negeri. Akan tetapi, dengan

melekatnya sifat assesor putusan perdata kepada putusan pidana dalam

penggabungan perkara pidana dan perkara perdata, berdasar pasal 100 KUHAP

hanya memberikan hak banding kepada terdakwa saja.

Akibat dari ketentuan tersebut, menurut Yahya Harahap dirasa kurang adil

karena apabila pihak korban tidak setuju atas putusan ganti kerugian yang telah

dijatuhkan oleh pengadilan, korban tidak mempunyai upaya hukum untuk

melawan keputusan tersebut. Selain itu yang paling fatal lagi, jika gugatan ganti

kerugian itu ditolak oleh hakim pengadilan negeri, maka tertutuplah peluang

korban untuk memperoleh biaya ganti kerugian dengan pertimbangan bahwa:

4 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, h 84.

Page 74: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

64

a) Korban tidak dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tingkat

banding,

b) Dengan adanya penolakan tersebut, tertutup pula haknya untuk

menuntut kembali biaya ganti kerugian dengan alasan ne bis in idem.5

Berkaitan dengan masalah asas ne bis in idem ini, terdapat pertanyaan

apakah dengan adanya gugatan ganti kerugian materiil tersebut, mengakibatkan

gugatan immateril secara perdata biasa pun tidak dapat diajukan akibat asas ne bis

in idem ini?

Menurut Prints, pengaturan Pasal 98 KUHAP tidak mengguggurkan hak

untuk mengajukan gugatan perdata karena yang dituntut hanya kerugian formiil.6

Maka agar lebih jelas kembali, dalam Pasal 99 KUHAP menyatakan bahwa:

(1) “Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya

pada perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 98, maka

pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili

gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman

penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan

tersebut.”

(2) “Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang

mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan

dinyatakan tidak diterima, putusan hakim hanya memuat tentang

5 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, h 85. 6 Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1999), h x.

Page 75: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

65

penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh

pihak yang dirugikan.”

Pengertian “biaya yang dikeluarkan” dalam pasal tersebut memerlukan

penjelasan lebih lanjut yang mana dalam undang-undang tersebut tidak dijelaskan.

pengertian yang telah dikeluarkan dapat meliputi:

1. Biaya tersebut dikeluarkan sehubungan dengan adanya kerugian atau

penderitaan fisik yang dialami oleh korban.

2. Biaya tersebut dikeluarkan dengan adanya kerugian atau penderitaan

psikis yang dialami korban.

3. Biaya tersebut telah dikeluarkan oleh pihak korban, sehubungan dengan

kerugian atau penderitaan secara fisik dan psikis yang dialami korban.7

Secara teknis yuridis pun pada dasarnya harus dibedakan antara tuntutan

ganti kerugian materiil dengan yang tidak nyata. Jadi dalam proses gugatan

perdata biasa harus diperinci dan dipisahkan antara perhitungan tuntutan ganti

rugi nyata dengan ganti rugi yang tidak nyata, serta pengabulan atas tuntutan ganti

rugi yang nyata tidak sepenuhnya dibarengi dengan pengabulan atas ganti rugi

yang tidak nyata.

Berdasar hal tersebut, ganti rugi yang boleh untuk diperiksa dan dikabulkan

hanya terbatas pada kerugian nyata dan mengenyampingkan pemeriksaan dan

pengabulan ganti rugi yang tidak nyata. Jadi berdasarkan hal-hal tersebut cukup

memberi alasan bahwa dalam penggabunggan perkara gugatan ganti kerugian

7 Tim Peneliti Universitas Padjajaran, Masalah Pemberian Ganti Rugi bagi Korban Tindak

Pidana, h 13.

Page 76: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

66

belum ada unsur ne bis in idem sepanjang mengenai ganti kerugian yang

immateriil.8

Di samping ketentuan dalam pasal 99 ayat (1) di atas, hakim harus

memperhatikan dalam pasal 101 KUHAP, di mana dalam ketentuan dari aturan

hukum acara perdata berlaku bagi gugatan gantu kerugian sepanjang KUHAP

tidak mengatur lain. Jadi secara konsekuen, dalam pemeriksaan ganti kerugian ini,

hakim harus berpedoman pada ketentuan hukum acara perdata, sesuai dengan

kompetensi absolut dan relatifnya. Dengan demikian, meskipun perkara pokoknya

adalah perkara pidana yang di dalamnya tergabung dalam perkara perdata, tetapi

secara prinsip hukum acara perdata tetap menguasai bagian perkara perdata

putusan tersebut.

B. Pembebanan Ganti Kerugian dan Mekanisme Pengembalian Harta Hasil

Korupsi Kepada Masyarakat

Pembebabanan ganti kerugian ini dibebankan kepada terdakwa. Akan tetapi,

jika terdakwa tidak berkemampuan untuk membayar, maka hal tersebut, agar

diajukan menurut hukum acara perdata biasa dengan melibatkan ahli waris

terdakwa dan atau ayah/ibunya maupun saudara-saudaranya.

Pengembalian harta hasil korupsi atau eksekusi terhadap putusan

penggabungan ganti kerugian tersebut, secara khusus tidak diatur dalam KUHAP,

akan tetapi telah dimuat dalam Pasal 101 KUHAP bahwa yang digunakan adalah

hukum acara perdata. Dengan demikian, maka eksekusi perkara gugatan ganti

8 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, h 82.

Page 77: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

67

kerugian dilakukan sesuai dengan acara perdata. Hal ini tertuang dalam Lampiran

Surat Keputusan Menteri Kehakiman R.I No:M.14.PW.07.03 tahun 1983 tentang

Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, terdapat dalam butir 15, dinyatakan

sebagai berikut: “Putusan Pengadilan yang menyatakan putusan pidana dan

putusan ganti rugi.” Dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang mengandung

pidana dan putusan ganti kerugian terdapat keraguan dalam hal pelaksanaan

eksekusi. Sehubungan dengan itu. Diberikan petunjuk sebagai berikut:

a. Gugatan perdatanya tidak diberi nomor tersendiri;

b. Pelaksanaan putusan tentang ganti kerugian yang digabungkan tersebut,

dilakukan menurut tata cara putusan perdata;

c. Pelaksanaan atau penyelesaian putusan ganti kerugian tersebut tidak

ditugaskan kepada jaksa;

Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi perkara ganti kerugian tersebut

dilakukan dengan cara hukum perdata, yakni melalui pengadilan yang telah

memutuskan perkara itu, jika terdakwa yang dibebani kewajiban untuk melakukan

ganti kerugian sesuai dengan amar putusan tidak mentaati putusan tersebut, maka

jika putusan telah berkekuatan hukum tetap, pihak yang dibebani kewajiban

dalam amar putusan tersebut, tidak dengan sukarela memenuhi kewajibannya

sebagaimana dimuat dalam putusan, maka pihak penggugat dapat mengajukan

permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut, agar

putusan tersebut dieksekusi.9

9 Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum

Perdata, (Jakarta: Raja Grafindo, 1997), h 98.

Page 78: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

68

Permintaan pengajuan eksekusi dapat dilakukan dengan lisan atau tertulis.

Berdasarkan permintaan eksekusi tersebut, Pengaadilan Negeri atau hakim yanag

memutus perkara tersebut dapat melakukan pemanggilan kepada

terdakwa/tergugat untuk diperingati, agar dengan selambat-lambatnya dalam

jangka waktu delapan hari setelah pemanggilan tersebut dapat memenuhi amar

putusan tersebut.

Apabila pihak terdakwa atau tergugat tidak memenuhi panggilan atau tidak

mengindahkan teguran yang telah diberitahukan, maka pihak Pengadilan Negeri

atau hakim dapat menerbitkan surat perintah eksekusi untuk menyita barang

bergerak milik terdakwa atau tergugat yang diperkirakan sesuai dengan nilai

kewajiban yang diputuskan untuk dipenuhi. Namun apabila barang bergerak

tersebut tidak mencukupi dengan nilai yang harus dibayarkan, maka barang yang

tidak bergerak milik terdakwa atau tergugat dapat juga ikut disita. Setelah

penyitan tersebut, maka dilakukan penjualan barang-barang yang telah disita

melalui perantara kantor lelang.10

Dengan demikian, mekanisme pengembalian kerugian masyarakat ini dapat

tercapai dengan menyita aset harta terdakwa atau tergugat tersebut, yang

kemudian dapat diberikan kembali kepada masyarakat melalui subsidi-subsidi

kebutuhan pokok lain atau program-program pembangunan untuk kesejahteraan

masyarakat.

10 Ibid, h 99.

Page 79: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

69

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang tertuang dalam bab-bab terdahulu mengenai permasalahan

yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, maka dapat dirumuskan kesimpulan

sebagai jawaban dari permasalahan dalam penulisan skripsi ini:

1. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, menghambat dan merugikan pembangunan bangsa

serta menutup jalan terciptanya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan

bangsa Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat yang merasa dirugikan

akibat tindak pidana tersebut, dapat mengajukan gugatan perdata ganti

kerugian yang ditimbulkan tindak pidana korupsi melalui pasal 98 ayat (1)

KUHAP.

2. Bahwa upaya pengembalian kerugian masyarakat melalui instrumen hukum

perdata dapat dilakukan setelah putusan pidana dan perdata (assesor)

berkekuatan hukum tetap. Melalui pengadilan yang telah memutus perkara

tersebut dapat dilaksanakan eksekusi perkara ganti kerugian berdasarkan

mekanisme hukum perdata. Sesuai dengan hukum acara perdata,

pembebanan ganti kerugian ini dibebankan kepada terdakwa. Akan tetapi,

apabila terdakwa tidak mampu membayar dapat dibebankan kepada ahli

waris terdakwa atau tergugat.

Page 80: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

70

B. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, perlu dilakukan langkah dan upaya yang

mengarah kepada pembangunan hukum, khususnya pembaharuan hukum sistem

peradilan tindak pidana korupsi. Dalam rangka pembaharuan hukum tersebut,

maka dengan segala keterbatasan dan kerendahan hati penulis memberikan saran

sebagai berikut:

1. Bahwa demi kepastian hukum, segera dibentuk peraturan pemerintah

yang mengatur tentang ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses

penggabungan perkara tindak pidana korupsi, agar adanya payung hukum

yang jelas mengenai tindak pidana khusus tersebut, serta mempersempit

celah bagi koruptor dengan pemberian hukuman ringan melalui upaya

penggabungan ganti kerugian ini.

2. Bahwa dalam prosesnya nanti, jika penggabungan guggatan ini terlaksana,

pengembalian harta masyarakat dapat diatur melalui peraturan pemerintah

tersebut, agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat, serta ganti

kerugian tersebut dapat dikembalikan kepada masyarakat melalui subsidi-

subsidi kebutuhan pokok atau program-program pembangunan.

3. Bahwa pemerintah sebaiknya mengatur pemberian ganti rugi untuk

memenuhi hak korban tindak pidana korupsi agar adanya jaminan dalam

pelaksanaan pemenuhan penggantian kerugian yang diderita korban,

sedangkan apabila terdakwa dalam keadaan bangkrut dan tidak dapat

memenuhi tuntutan ganti rugi pada korban. Maka pemerintah dapat

Page 81: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

71

menuntut ganti kerugian tersebut dari terdakwa atau terpidana dengan

pembebanan sanksi pidana atau hukuman.

4. Bahwa agar hak korban untuk menuntut ganti kerugian dapat berjalan

dengan maksimal dan sesuai dengan yang diharapkan, maka diharapkan

peran serta penegak hukum aktif dan berinisiatif dalam memberikan

informasi kepada korban tindak pidana korupsi tentang haknya untuk

menuntut ganti kerugian kepada pelaku. Untuk menggabungkan perkara

gugatan dalam proses penggabungan perkara, meskipun tidak ada

kewajiban untuk melakukan hal itu, pemberian informasi harus dilakukan

karena mengingat kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia

kurang bahkan tidak mengetahui hak-hak hukum yang dimilikinya.

5. Hakim harus berani melakukan terobosan pembaharuan hukum baru demi

keadilan, melalui putusan pemberatan sanksi pidana atau hukuman atas

upaya peran serta masyarakat yang mengajukan gugatan ganti kerugian

tersebut untuk menuntut haknya atas kerugian yang dirasakan sehingga

masyarakat akan semakin terbuka dan paham terhadap hak-hak hukum yang

dimiliki.

Page 82: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

72

DAFTAR PUSTAKA:

A. Buku

Andreae, Fockema, Kamus Hukum. Bandung: Bina Cipta, 1983

Effendy, Marwan, Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap Beberapa

Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta: Referensi, 2012

Elwi, Danil, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya). Jakarta:

Raja Grafindo, 2011

Ermansjah, Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Bandung: Mandar

Maju, 2010

Fahmi, Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Syarief Hidayatullah 2010

Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional. Jakarta, Raja Grafindo, 2005

____________, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1985

Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi,dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar

Grafika, 2009

_____________, Berbagai Permaslahan Formil Dalam Gugatan Perdata, Varia

Peradilan 1993

Page 83: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

73

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana, Cet Kedua

Irfan, M Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah 2013

Irfan, M Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta Bumi Aksara.

September 2012

Is Susanto, Kejahatan Korporasi. Semarang: Badan Penerbit Universitas

Diponegoro 1995

Karjadi, Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui, Bogor: Politeia,1975

Loqman, Loebby, Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta:Badan

Pembinaan Hukum Nasional, 1999

Mahrus, Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2012

Marpaung, Leden, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilititasi dalam

Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997

Prints, Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Djambatan, 1999

R Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: cetakan ke-3, 1984

Suyatno, Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Jakarta: Pustika Sinar Harapan, 2005

Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuh, Beirut: Daar al Fikr, 1997

Page 84: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

74

Wiraatmadja, Rasjim, Frida Widjaya, dan Davy Tasman, Himpunan Yurisprudensi

Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Kantor Advokat Rasjim Wiraatmadja,

2001

YLBHI, Australian Aid, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta: YLBHI,

2014

B. Makalah atau Jurnal

Amirullah, Tindak Pidana Korupsi dan Sanksi Pidana Mati Perspektif Keadilan

Hukum, Surabaya: Al Daulah Vol 3 No 2 Tahun 2012

Arief, Barda Nawawi, Strategi Kebijakan Penanggulangan Korupsi dan Evaluasi

terhadap Undang-Undang Pemberantasan Tindak Korupsi, Bahan Masukan

Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 1999

Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum, Vol 6 No

11 Tahun 1999

Novianto, Widodo Tresno, Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Korupsi dan

Prospeknya bagi Penanggulangan Korupsi Di Indonesia, Yustisia, Edisi

Nomor 70, 2007

Priscyllia, Margaretha Yesicha, Pemiskinan Korupsi sebagai Salah Satu

Hukuman Alternatif dalam Tindak Pidana Korupsi, Universitas Atmajaya

Yogyakarta: Jurnal 2014

Safitri, Apriani Indra, Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian pada Perkara

Pidana dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen, Universitas Indonesia,

Skripsi, 2001

Page 85: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

75

Saribu, Bintra Tambun, Pelaksanaan Penggabungan Perkara Guagatan Ganti

Kerugian (Pasal 98 KUHAP) dalam Proses Beracara Pidana, Penelitian

Pengadilan Negeri Yogyakarta, 2009

Tim Peneliti Universitas Padjajaran, Masalah Pemberian Ganti Rugi bagi Korban

Tindak Pidana yang Dihubungkan dengan Pasal 98 KUHAP, Bandung:

Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 1994

C. Peraturan Perundang-undangan

Hamzah, Andi, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, Cet Tiga Belas

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya

Paramita, 2009, Cet Empat Puluh

Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor:M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang

Pedoman Pelaksanaan KUHAP

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Undang-undang Nomor 49 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Page 86: UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN MASYARAKAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44873/1/WIWIN WINATA-FSH.pdf · terutama sila ke lima, korupsi tidak mencerminkan

76

D. Internet

Maulimah, Lina, Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. http:// writing-

contest.bisnis.com. diakses 20 Juli 2014

Sufiarma, Andi, Pemiskinan Koruptor. http:// writing-contest.bisnis.com. diakses

28 Maret 2015

KRHN. Legal Opini for Popular Legal Action in Corruption

Cases.http://reformasihukum.org. diakses 20 Juli 2014