UPAYA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH KEAMANAN ...
Transcript of UPAYA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH KEAMANAN ...
1
UPAYA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH
KEAMANAN PERBATASAN DENGAN TIMOR LESTE
PADA PERIODE 2002-2012
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai GelarSarjana Ilmu Sosial
oleh:
Yeni Puspitasari
NIM. 106083002773
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
v
ABSTRAK
Skripsi ini memaparkan upaya Indonesia dalam menangani masalah
keamanan perbatasan dengan Timor Leste periode 2002-2012. Tujuan yang
hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui upaya yang
dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan masalah perbatasan di
kedua Negara. Skripsi ini ditulis dengan menggunakan metode kualitatif dengan
pengumpulan data berupa analisis pustaka yang mengandalkan referensi berupa
dokumen, buku, jurnal, artikel. Penelitian ini menemukan, bahwa masalah
keamanan di perbatasan merupakan persoalaan di kedua Negara yang dapat
memicu berbagai permasalahan pengungsi dan penyelundupan yang terjadi di
perbatasan. Sehingga, pemerintah melakukan berbagai upaya dalam
menyelesaikan pengelolaan perbatasan di kedua Negara dengan cara unilateral
dan bilateral serta melalui adanya diplomasi perbatasan (Border Diplomacy).
Kerangka konsep yang digunakan dalam skripsi adalah J.G.Starke
perbatasan, Stephen Walt kebijakan keamanan, Caballero-Anthony keamanan
perbatasan dan SL. Roy diplomasi perbatasan . dari analisis dengan menggunakan
4 konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah
dengan cara unilateral seperti, Pepres Nomor 78 Tahun 2005,UU Nomor 43
tentang wilayah Negara, RPJMN 2004-2009 serta RPJMN 2010-2014. sedangkan
dalam menyelesaikan keamanan perbatasan di kedua Negara tersebut melakukan
berbagai kebijakan secara bilateral. Yaitu, kerjasama Joint Border Committee
(JBC) dan Komisi Kebenaran dan persahabatan (KKP). Sehingga pemerintah
dapat meyelesaikan masalah keamanan di perbatasan kedua Negara dengan baik.
Kata kunci: Upaya bilateral, Keamanan perbatasan, Kebijakan keamanan,
Diplomasi perbatasan, Unilateral.
vi
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Agustus2013
Yeni Puspitasari
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke
hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta izin-Nya
sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul ―UPAYA
INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH KEAMANAN
PERBATASAN DENGAN TIMOR LESETE PERIODE 2002-2012‖.:
terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Rahmi Fitriyanti, M.Si sebagai Pembimbing skripsi penulis yang telah
memberikan arahan, saran, dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
2. Terutama untuk ayahanda tercinta Abdul Salam dan Ibunda Nurhasanah
selaku orang tua penulis yang telah memberikan dorongan semangat, tidak
kenal lelah mengumandangkan ayat suci, berdoa penuh keluh kesah untuk
kebaikan putra-putrinya, dukungan baik moral maupun material selama
penulis menuntut ilmu. Terimakasih Ibu dan Bapak mungkin ini hanya
tulisan biasa yang tidak bernilai apa-apa.
3. Prof. Dr. Bahtiar Effendy, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Kiky Rizky, M. Si., sebagai Ketua Program Studi Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Agus Nilmada Azmi, S.Ag, M.Si., sebagai Sekretaris Program
Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak Nazaruddin Nasution, SH, MA., sebagai Dosen Pembimbing
Akademik penulis. Terimakasih untuk nasihat di akhir perjuangan
penyusunan skripsi ini Pak.
viii
7. Bapak Badrus Sholeh, MA dan Bapak Armein Daulay M.Si. sebagai
dosen Jurusan Hubungan Internasional yang telah memberikan masukan
pada skripsi serta mengajarkan dan membimbing penulis sejak awal
memasuki Jurusan Hubungan Internasional.dan Ibu Dosen Program Studi
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
8. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Terimakasih banyak Pak, Bu, kalian adalah ujung tombak dari
perjuangan ini. Bapak dan Ibu lah yang telah begitu banyak memberikan
ilmu dan pengajaran pada penulis sehingga mampu menyelesaikan tugas
menjadi seorang mahasiswi. Semoga Allah membalas segala budi baik
Bapak dan Ibu
9. Kepada beberapa perpustakaan yang telah membantu penulis dalam
mencari bahan dan data. Diantaranya, Perpustakaan Universitas Indonesia,
Perpustakaan PDHI UI, Perpustakaan LIPI, Perpustakaan Univ. Budi
Luhur, Perpustakaan IISIP, Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan
KEMLU, Perputama UIN Jakarta, dan Pusat Kajian Perempuan UI,
Perpustakaan Nasional.
10. Teruntuk Ka Dewi, Etty Susanti, Eka Komalasari, Anton Darmawan S,
Ibnu Ansory, Oji, Opik H. Terimakasih juga buat keponakan-keponakanku
Ezra, Rama, Raisya, Hammam, Shafa dan Nibras yang selalu memberikan
tawa dalam tiap hariku, dan terimakasih atas dukunganm dan doa kalian..
11. Teruntuk sahabat-sahabat terbaik penulis di HI; Starlet Ralisya Injaya,
Rosy Kamalia, Rusman, Izun (alm), dan yang terkasih Rahman, Dhaffi,
Rizal. kalian semua telah memberikan pertemanan yang terindah dengan
segala suka duka dan canda tawa sejak awal perkuliahan hingga saat ini,
serta telah memberikan dorongan semangat di saat penulis putus asa dalam
pembuatan skripsi ini dan memberikan banyak masukan hingga samapai
menyelesaikan skripsi ini. ―we are not number one but we are is the best‖
ix
12. Sahabat-sahabat penulis, Maya, Astrid Ismulyati, Atik, Nanda, Ibnu, Ade,
Adnan, Hendrawan K, Icha, Susan, Ichan, Iyung, Umi. Seperjuangan
penulis selama di HI yang telah banyak membantu penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini dengan segala saran, kritikan, dan tidak pernah
lelah memberikan nasihat semangat. Jatuh bangun bersama mencari data
skripsi. ― temann….! Akan indah pada waktunya, semangatt….kawan.
13. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis di HI (kelas B dan kelas A) yang
tidak dapat di sebutkan satu persatu. Terimakasih atas persahabatan kalian.
14. Teman- teman Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2007, 2008 dan
2009 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
15. Dan Terimakasih pula kepada semua pihak yang telah membantu penulis
menyelesaikan penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan
satu per satu.
Semoga dengan segala bantuan yang tidak ternilai harganya ini mendapat
imbalan di sisi Allah SWT sebagai amal ibadah, Amin. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang
m,embangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-
perbaikan kedepanya.
Jakarta, Agustus 2013
Yeni Puspitasari
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
DAFTAR AKRONIM ....................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 6
C. Kerangka Pemikiran ............................................................... 7
C.1. Konsep Perbatasan .......................................................... 7
C.1.1 Kebijakan Perbatasan (Border Policy) ................ 9
C.1.2 Keamanan perbatasan (Border Security) ............. 10
C.3. Konsep Diplomasi Perbatasan (Border Diplomacy) ....... 11
D. Metode Penelitian ................................................................... 15
E. Sistematika Penulisan ............................................................. 16
BAB II KEAMANAN PERBATASAN INDONESIA DAN TIMOR
LESTE
A. Kondisi umum Perbatasan Indonesia dan Timor Leste .......... 18
B. Masalah (Pengungsi) di Indonesia dan Timor Leste .............. 22
C. Masalah Penyelundupan di Indonesia dan Timor Leste ......... 24
BAB III UPAYA INDONESIA DALAM MENANGANI
KEAMANAN PERBATASAN DENGAN TIMOR LESTE
A. Upaya Unilateral Indonesia dalam Menangani Masalah
Keamanan Perbatasan dengan Timor leste ............................. 38
A.1 Pepres Nomor 78 Tahun 2005 ........................................ 39
A.2 UU Nomor 43 tentang wilayah Negara .......................... 40
xi
A.3 RPJMN 2004-2009 ......................................................... 41
A.4 RPJMN 2010-2014 ......................................................... 41
B. Upaya Indonesia dalam Menangani Masalah Keamanan
Perbatasan dengan Timor Leste secara Bilateral .................... 42
B.1 Kerjasama Joint Border Committee (JBC) ..................... 43
B.2 Kerjasama Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) ............................................................................... 48
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ xiv
LAMPIRAN
xii
DAFTAR AKRONIM
BBM Bahan Bakar Minyak
BLC Border Liason Commite
BNPP Badan Nasional Pengelola Perbatasan
CIS Centre For IDP’s Service
JBC Joint Border Commite
KAMTIBMAS Keamanan Ketertiban Masyarakat
MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat
NGO Non Government
NTT Nusa Tenggara Timur
PBB Persatuan Bangsa-Bangsa
PKSN Pusat Kegiatan Strategis Nasional
PROPENAS Program Pembangunan Nasional
RDTL Republic Demokratic Timor Leste
RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah
UNAMET United Nation Mission In East Timor
UNHCR United Nation High Commitioner For Refugees
UNTAET United Nations Transitional Administraion In East
Timor
UPF Unido Patruolometo Fronteira
ZEE Zona Economic Ekslusive
xiii
DAFTAR GAMBAR
Peta. I.A1. Batas wilayah Perbatasan RI dan Timor Leste ....................... 19
Peta I.A.II. Perbatasan yang belum diselesaikan di NTT .......................... 20
Gambar. I.B.2.1 Pilar Batas Darat RI-Timor Leste ........................................... 47
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Timor Leste merupakan sebuah negara merdeka yang memiliki, sejarah
yang panjang, sebelum merdeka dan menjadi negara berdaulat, Timor Leste
merupakan bagian dari Indonesia. Timor Leste sendiri melepaskan diri dari
kedaulatan Indonesia pada tanggal 20 Mei 2002 (Krustiyati, 2010:131). Penting
untuk diperhatikan bahwa masuk Indonesia di Timor-Timur pada tahun 1975.
Dilatar belakangi oleh perang dingin antara blok Barat dan Blok Timur,
disamping masyarakat yang memiliki haluan politik dan ideologi yang berbeda
khususnya kelompok komunis dan non komunis. (Suryohadiprojo,2013:xix)
Fretilin merupakan organisasi atau partai yang bergerak untuk menjadi
Timor-Timur satu negara merdeka yang berhaluan kiri atau komunis. Hal ini
menimbulkan pertentangan di masyarakat Timor-Timur, sebab banyak pihak yang
tidak setuju terhadap haluan politik yang dianut oleh Fretilin. Namun Fretilin
mendapat dukungan dari banyak anggota tentara Portugal yang masih ada di
Timor-Timur dan melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap lawan
politiknya. (Suryohadiprojo,2013:xix-xx)
2
Dalam proses Timor-Timur menjadi salah satu propinsi di Indonesia
terdapat kesalahan fatal yang menimbulkan menguatnya gerakan anti Indonesia
baik di Timor-Timur maupun di luar negeri menurrut Kiki Syahnakri, di antara
kesalahan tersebut adalah tidak adanya keterpaduan dalam operasi baik dalam
konteks militer- keterpaduan antara operasi intelijen, operasi tempur, operasi
teritorial-maupun dalam konteks operasi polisional dan operasi pemerintah sipil.
Lebih lanjut Syahnakri menyatakan ― diperlukan dukungan timbal-balik antara
operasi justisi, operasi pembangunan nasional dan operasi militer. Perlu disadari
pula, operasi militer tidak akan berhasil jika masyarakat masih terpuruk dalam
kemiskinan, seperti yang berkembang di Papua saat ini‘. (Syahnakri,2013:342)
Karena itu pada tahun 1999, pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh presiden
B.J. Habibie memberikan opsi kepada provinsi Timor-Timur. Opsi tersebut antara
lain otonomi khusus bagi Timor-Timur atau Timor-Timur melepaskan diri dari
Indonesia. Atas dua opsi tersebut provinsi Timor Leste memilih melepaskan diri
dari NKRI, dan menjadi negara merdeka dengan nama Republik Timor Leste.
(Krustiyati, 2010:132)
Keputusan Timor Leste untuk memisahkan diri dari Indonesia dan menjadi
negara merdeka, ternyata menyisahkan masalah tersendiri antara Indonesia dan
Timor Leste. Masalah – masalah tersebut terutama terjadi pada daerah – daerah
perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Perbatasan – perbatasan itu sendiri
dibagi menjadi dua, yaitu perbatasan maritim dan perbatasan darat. Perbatasan
maritim sendiri terdapat beberapa titik, diantaranya Pulau Batek, Alor, Mangudu,
Liran Wetar,Kisar, Leti, serta Meatimiarang, (Fauzan, 2011:11). Menurut Duta
3
Besar Indonesia untuk Timor Leste Eddy Setiabudi menyatakan di Batam, batas
maritim antara Indonesia dengan negara baru itu belum ada yang selesai.
Termasuk kepemilikan pulau Batek. Masalah lain adalah baik Indonesia dan
Timor Leste memiliki tim peneliti masing-masing yang menghasilkan hasil riset
yang berbeda tentang geografis perbatasan kedua negara, khususnya terkait
kepemilikan pulau Batek. (Republika.co.id, 25 April 2012)
Menurut Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, masuk Indonesia
di Timor-Timur memiliki peran strategis bagi keamanan regional yang di dukung
oleh Australia dan Amerika Serikat. Bahwa ― satu negara sosialis di Timor-Timur
tidak mustahil meminta bantuan kepada Uni Soviet atau Republik Rakyat China
untuk dapat melakukan pembangunan dan memperkuat dirinya dan hampir pasti
hal itu akan di sambut baik oleh Uni Soviet yang ketika itu masih kuat posisinya,
apalagi Amerika Serikat sebagai lawan utamanya sedang menghadapi keruntuhan
di Vietnam. (Suryhadiprojo,2013:xx)
Sedangkan perbatasan darat terdapat pada beberapa titik, yaitu Kabupaten
Belu, Timor Tengah Utara, serta Kupang. Berbatasan Ri terbagi atas dua sektor,
yaitu (1) Sektor Timur (Sektor utama/main sector) di Kabupaten Belu yang
berbatasan langsung dengan Distrik Covalima dan Distrik Bobonaro di Timor
Leste sepanjang 149.1 kilometer, dan (2) Sektor Barat (Kabupaten Kupang dan
Kabupaten Timor Tengah Utara) yang berbatasan langsung dengan Distrik
Oecussi yang merupakan wilayah enclave Timor Leste sepanjang 119.7
kilometer. (Fauzan, 2011:9)
4
Masalah-masalah krusial yang sering terjadi pada daerah–daerah
perbatasan itu diantaranya, penyelundupan narkoba, senjata, serta bahan bakar
minyak. (Wuryandari, 2009:217) masalah-masalah inilah yang sampai saat ini
masih menjadi hambatan bagi hubungan diplomatik antara Indonesia dengan
Timor Leste. Masalah–masalah diatas jugalah yang pada akhirnya membuat
Indonesia melakukan kerjasama dengan negara lain untuk pengamanan daerah
perbatasan tersebut.
Skripsi ini akan membahas tentang upaya Indonesia dalam menangani
berbagai masalah diatas. Sejak tahun 2002 Indonesia memberikan kedaulatan
kepada Timor Leste untuk menjadi negara yang merdeka. Sejak itu pula,
hubungan diplomatik antara Indonesia dan Timor Leste dimulai hubungan
diplomatik itu sendiri berkembang di sektor keamanan, perdagangan, ekonomi,
serta sosial dan budaya. (Wuryandari, 2009:349)
Dalam melakukan hubungan diplomatik dengan Timor Leste, Indonesia
menerapkan beberapa kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 2002. Kebijakan-
kebijakan tersebut antara lain kebijakan mengenai kesejahteraan dalam
pengelolaan wilayah perbatasan. Kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah
pusat, seperti UU Nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian Internasional. Pada
implementasinya, kebijakan- kebijakan tersebut mengalami berbagai hambatan
dalam pelaksanaanya. Hambatan tersebut antara lain, pertama, belum adanya
kepastian garis batas laut maupun garis batas darat, serta administrasi dan
pemeliharaanya. Adanya permasalahan batas negara ini banyak menimbulkan
dampak negatif dan berbagai insiden di perbatasan dan pelanggaran wilayah
5
kedaulatan. Kedua, kondisi masyarakat di kawasan perbatasan yang pada
umumnya masih miskin, tertinggal, terbelakang, serta tingkat pendidikan dan
kesehatan yang sangat rendah ( The Partnership for Governance Reform, 2011:4-
5).
Situasi ini semakin sulit setelah Timor Leste memerdekakan diri pada
tanggal 20 Mei 2002. Hal ini menyebabkan otoritas perbatasan pun berubah.
Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Indonesia pun semakin berat. Beberapa
tantangan baru tersebut antara lain, (1) lemahnya penegakan hukum yang
menyebabkan banyaknya pelanggaran hukum di kawasan perbatasan. (2) belum
sikronnya pengelolaan kawasan perbatasan, baik menyangkut kelembagaanya,
program maupun kejelasan wewenang. (3) adanya kegiatan penyelundupan barang
dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). (4) rendahnya rasa nasionalisme sehingga
masyarakat lokal lebih mengenal negara tetangga daripada negara sendiri.
terutama demografis, geografis, sosial, budaya, ekonomi, serta keamanan. ( The
Partnership for Governance Reform, 2011:11-12).
Adanya berbagai tantangan baru tersebut membutuhkan penanganan yang
baru pula dari Indonesia. Hal ini dibuktikan oleh Indonesia dengan penerapan
peraturan atau sistem perundang-undangan yang baru dalam menangani masalah-
masalah yang ada pada perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Peraturan-
peraturan tersebut antara lain, Program Pembangunan Nasional (PROPENAS)
Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Peraturan ini
6
menjelaskan tentang pengembangan wilayah perbatasan antarnegara.
(www.bappenas.go.id)
Selain itu, pemerintah juga membuat Perpers Nomor 78 Tahun 2005.
Peraturan tersebut berisikan tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
terutama pada aspek kesejahteraan dan lingkungan. Kemudian pada tahun 2008,
pemerintah kembali menerbitkan Undang-Undang Nomor 43. Undang-Undang ini
mengatur tentang batas-batas wilayah negara, yang dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum mengenai ruang lingkup wilayah negara,
kewenangan pengelolaan wilayah negara, serta hak-hak berdaulat. Peraturan
pemerintah terbaru yang mengatur mengenai pemeliharaan dan pembangunan
wilayah perbatasan adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2010-2014. Peraturan ini memfokuskan penerapannya pada
pengembangan strategi pembangunan nasional di kawasan perbatasan
(www.bappenas.go.id)
B. Rumusan masalah
Dengan pemaparan di atas, maka pertanyaan mendasar yang menjadi
acuan penelitian ini adalah: Bagaimana upaya Indonesia dalam menangani
masalah keamanan perbatasan dengan Timor Leste pada periode 2002-2012?
7
C. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini menggunakan tiga konsep
yaitu, Konsep perbatasan, kebijakan keamanan, keamanan perbatasan dan konsep
Diplomasi Perbatasan ( Border Diplomacy). Untuk membahas upaya Indonesia
dan Timor Leste dalam menangani masalah keamanan perbatasan pada periode
2002-2012, analisis skripsi ini dikembangkan dengan melihat kerjasama kedua
negara.
C.1 Konsep Perbatasan (Hukum Internasional)
Perbatasan merupakan salah satu manifestasi penting dalam suatu garis
imajiner di atas permukaan bumi dan suatu garis yang memisahkan suatu daerah
lainnya. (J.G. Starke, 1989:244)
Dalam hal ini, JRV. Prescott (Drysdale,1989:85) menandai ada empat
sengketa yang muncul di wilayah perbatasan, yaitu:
1. Positional Dispute, yaitu sengketa yang terjadi akibat adanya perbedaan
interprestasi mengenai dokumen legal atau adanya perubahan di lokasi yang
berupa perubahan tanda-tanda fisik yang dipakai sebagai perbatasan.
2. Teritorial Disputeyaitu sengketa yang terjadi ketika dua atau lebih negara
mengklaim satu wilayah yang sama sebagai wilayahnya atau bagian dari
wilayahnya. Hal ini terjadi karena alasan sejarah atau kepentingan geografis.
3. Functional Disputeyaitu sengketa yang terjadi adanya pergerakan orang-
orang atau barang-barang karena yang tidak dijaga ketat.
8
4. Transboundary Resource Dispute adalah sengketa yang muncul karena
adanya eksploitasi sumber daya alam oleh negara lain dan merugikan negara
lain di perbatasan.
J.G.Starke (1989:245) memberikan definisi perbatasan sebagai garis
imajiner di atas permukaan bumi, yang memisahakan wilayah suatu negara dari
negara lain. Sedangkan Jones (1996:6) mengatakan bahwa suatu perbatasan
semata-mata adalah suatu tanah perbatasan. Bagi ahli strategi, yang penting
adalah ada atau tidak adanya kepentingan, bagi pelaksanaan pemerintah, tanah
perbatasan itulah mungkin yang menjadi permasalahan, yaitu menyangkut batas
dari kewenanganya.
Perbatasan antara dua negara yang menjadi penting artinya dalam hukum.
Hal ini disebabkan karena perbatasan itulah kedaulatan masing-masing negara
berakhir. Sementara itu, penyelenggaran kedaulatan negara di kawasan ini sudah
mulai dipengaruhi oleh hukum internasional. ( Wila,2006:235) suatu negara dalam
menjalankan kedaulatan hanya sampai pada batas-batas wilayahnya. Di bagian
lain dari garis batas di sini, batas-batas wilayah hanya berfungsi sebagai alat
pemisah yang dapat memisahkan wilayah satu negara dengan wilayah negara lain,
sekaligus dapat mengakhiri kedaulatan dari negara–negara yang saling berbatasan
(Wila, 2006:266)
Perjanjian tentang perbatasan mengikat para pihak (parties) pada sebelah-
menyebelah perbatasan. Perbatasan wilayah negara begitu pentingnya sehingga
perjanjian yang mengatur tentang perbatasan tetap berlaku dan dihormati, baik itu
9
dalam keadaan damai maupun negara dalam keadaan tidak bersahabat atau
perang. (Wila,2006:236)
C.1.1 Kebijakan Perbatasan (Border Policy)
Pengelolaan keamanan di perbatasan menurut Stephen Walt dalam The
renaissance of Security merupakan sebuah negara dalam menata perbatasanya.
Terlepas dari adanya pemerintah dalam menangani wilayah perbatasan pada
umumnya dan keamanan di perbatasan pada khususnya, bahwa kebijakan
keamanan perbatasan yang di kembangkan masih dari sebuah model formulasi
kebijakan yang bersifat pasial dan adhoc. (Stephen M. Walt,1991:211-239)
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang berupa Undang-Undang
Nomor 43 tahun 2008 mengenai wilayah negara. UU itu sendiri pada dasarnya
telah memenuhi tuntutat publik, terutama dalam memberikan kejelasan geografis
Indonesia dengan lebih jelas dan menjadikan landasan atau payung hokum, untuk
lebih memastikan kedudukan wilayah perbatasan sebagai wilayah yang harus di
berdayakan dan di sejahterakan. (UU No.43 Tahun 2008 mengenai Wilayah
Negara)
Namun demikian, kebijakan pemerintah seputar keamanan di perbatasan
pada akhirnya masih mengandalkan kebijakan dan program beberapa instansi
pemerintah yang memiliki keterkaitan dengan keamanan di perbatasan. Terutama
dengan instansi-instansi seperti Tentara nasional Indonesia (TNI), kepolisian
Republik Indonesia (Polri), maupun Kantor Imigrasi, Departemen Luar Negeri
(Deplu) dan Departemen Dalam Negeri ( Depdagri) menjadi instansi-instansi yang
10
tidak saja harus menerjemahkan posisi pemerintah dalam masalah perbatasan,
namun juga pada kenyataanya menjadi pembuat dan pelakasana kebijakan terkait
masalah-masalah tersebut.(Wuryandari,2009:238-239)
Setiap negara menerapkan kebijakan perbatasanya sehingga dapat
mengelola wilayah perbatasanya dan tidak menjadi ancaman bagi negara sendiri
maupun negara lain. Kebijakan perbatasan yang dilakukan oleh pemerintah adalah
dengan upaya hukum yang dilakukan pemerintah dalam memperhatikan dan
melindungi wilayahnya. Bukan saja berupa undang-undang, tetapi juga dengan
cara hukum yang menunjukan bahwa pemerintah telah menengakan kedaulatan
dengan mengatur kondisi ekonomi dan keamanan masyarakat.
C.1.2 Keamanan Perbatasan (Border Security)
Menurut Caballero-Anthony,(2000:416) mengatakan bahwa konsep
keamanan perbatasan adalah melakukan identifikasi mengenai pendekatan-
pendekatan yang akan dipakai untuk keamanan, secara sederhana pengelolaan
masalah keamanan di perbatasan dapat dimaknai sebagai segenap kebijakan dan
upaya terkait yang ditunjukan untuk mengurangi potensi ancaman, kondisi
ketidakamanan dan memaksimalkan keamanan di wilayah perbatasan.
Upaya pengelolaan keamanan perbatasan di perbatasan Indonesia dengan
Timor Leste merupakan tantangan tersendiri. Sebagaimana pertimbangan
―perdagangan bebas‖, tidak bisa sepenuhnya dijadikan sebagai alasan
perdagangan semata.Namun, negara harus dituntut untuk sedikit-banyaknya
menutup perbatasan guna meminimalisir adanya ancaman keamanan, baik ituyang
11
bersifat tradisional (militer-strategis) maupun nontradisional (Penyelundupan dan
pengungsi). (Blanchard, 2005:694).
Dengan demikian, sekalipun perbatasan perlu dibuka untuk menjamin
kelancaran lalu lintas perdagangan, tetapi juga perlu membatasi keterbukaan atas
dasar pertimbangan keamanan. Menurut Jean- Marc Blanchard, perbatasan
merupakan pintu masuk negara-negara yang termasuk dalam kategori sebagai ―
Low state‖ , yakni suatu negara yang mengalami krisis legitimasi akut,
ketidakstabilan politik, serta ketiadaan keamanan dan ketertiban, lemahnya aparat
keamanan, tiadanya kekuatan militer untuk mempertahankan negara. ( Blanchard,
2005:638). Dalam konteks di atas, Timor Leste merupakan negara yang masuk ke
dalam kategori ― low state‖. Oleh karena itu, negara tetangga baru ini cenderung
untuk mengembangkan pendekatan keamanan perbatasan diaplikasikan oleh
pemerintah Indonesia saat ini, yaitu melalui diplomasi perbatasan ( Wuryandari,
2009:39)
C.3 Konsep Diplomasi Perbatasan (Border Diplomacy)
Diplomasi menurut SL. Roy adalah seni mengedepankan kepentingan suatu
negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai dalam hubungannya dengan
negara lain. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa kepentingan nasional
terhadap negara lain bukan hanya persoalan bagaimana kepentingan nasional itu
diseleggarakan atau diupayakan, melainkan diplomasi juga berbicara mengenai
bagaimana kebijakan itu dibuat. Brian White menegaskan dengan mengatakan
12
bahwadiplomasi merupakan aktivitas pemerintah yang tidak hanya merupakan
pembuatan kebijakan sekaligus pelaksanaannya (Roy,1999:5).
Diplomasi perbatasan ( Border Diplomacy) merupakan pelaksanaan politik
luar negeri dalam rangka penanganan masalah perbatasan yang mencakup batas
wilayah negara darat dan laut serta pengelolaan berbagai masalah perbatasan yang
berdimensi internasional ( Arif Havas Oegroseno,2006:13).
Diplomasi perbatasan ini mempunyai tiga elemen penting (disarikan dari Arif
Havas Oegroseno, 2006:14-15), yaitu :
1. Dengan persetujuan ( by agreement) : dilakukan melalui negoisasisebagai
sebuah kewajiban hukum yang diatur dalam hukum nasional dan hukum
internasional. Dalam hal ini, perang bukan sebuah opsi.
2. Berdasarkan hukum internasional : maksudnya, ( Border Diplomacy)
hukum internasional dijadikan sebagai dasar dalam penetapan perbatasan.
Hukum internasional ini dapat berupa konvensi-konvensi yang relevan,
putusan hakim, putusan arbitrasi, dan opinion juris.
3. Mencapai ― equitable result‖: maksudnya adalah bahwa hasil penetapan
perbatasan akan memberikan dampak just,impartial, and fair.
Dengan demikian, Diplomasi Perbatasan (Border Diplomacy) merupakan
upaya yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara untuk menjamin
kedaulatannya melalui pengelolaan wilayah perbatasan. Upaya pemerintah dalam
rangka menyeleggarakan diplomasi perbatasan ini tentunya tidak dapat dilihat dari
segi hukum dan keamanannya saja, melainkan juga harus dilihat dari segi
ekonominya. Agar dapat diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat, maka
13
suatu negara membutuhkan wilayah yang batas-batasnya jelas. Hal ini perlu
dilakukan karena konflik yang muncul di wilayah perbatasan, bahkan pada
perbatasan yang sudah jelas status hukumnya, biasanya dipicu oleh persoalan
sosial dan ekonominya ( Rachmawati, 2010:91).
Pada permasalahan di atas, maka persoalan yang menyebabkan munculnya
permasalahan di perbatasan atau sengketa perbatasan dipicu tidak hanya oleh
ketidakjelasan dasar hukum atau perbedaan persepsi mengenai status perbatasan,
melainkan juga dapat dipicu masalah sosial ekonomi di wilayah perbatasan.
Kegiatan ekonomi tersebut berupa perdagangan atau pengungsian. Karena itu
diplomasi perbatasan dapat diharapkan mengacu pada pertumbuhan dan
pengembangan ekonomi sosial di wilayah perbatasan sehingga mampu
mengurangi perbedaan sosial ekonomi di wilayah perbatasan (Rachmawati,
2010:91).
Dengan demikian, penyeleggaraan diplomasi perbatasan merupakan upaya
untuk mempertahankan keutuhan wilayah Indonesia sehingga perlu dibangun dari
beberapa pilar. Jika dilihat diplomasi sebagai kegiatan perumusan dan
pelaksanaan politik luar negeri, maka diplomasi perbatasan dilakukan dengan cara
negoisasi melalui hukum, sosial, ekonomi, dan institusional
(Rachmawati,2010:92)
Upaya hukum adalah upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam
memperhatikan dan melindungi wilayahnya harus dilakukan secara hukum.
Namun demikian, tidak hanya membuat undang-undang yang mengenai
kepemilikan wilayah, melainkan hukum yang menunjukan bahwa pemerintah
14
telah menegakkan kedaulatannya dengan mengatur kehidupan serta
kemasyarakatan di wilayah perbatasan.
Upaya sosial ekonomi adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah
berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat perbatasan. Hal ini menjadi
penting bahwa kerawanan sengketa perbatasan dapat muncul akibat adanya
ekonomi di perbatasan atau tingginya interaksi ekonomi yang mengarah kepada
hukum serta tingginya aktivitas sosial antarwarga,
Upaya institusionalisasi adalah upaya untuk membuat suatu institusi yang
sendiri dalam menangani persoalan perbatasan dan bertanggung jawab terhadap
kebijakan perbatasan yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Institusi ini mampu diharapkan sebagai institusi yang tidak hanya
menangani keamanan melainkan sosial, ekonomi, serta hukum.
Dengan demikian, pilar-pilar diplomasi perbatasan adalah diplomasi
perbatasan sebagai upaya negara menjamin kedaulatan suatu negara serta dibagun
melalui tiga pilar utama, yaitu hukum,sosial, ekonomi serta institusionalisasi, hal
ini perlu dilakukan karena sengketa yang muncul di wilayah perbatasan tidak
melalui berangkat dari siapa kepemilik wilayah yang disengketakan atau sudah
tepat atau belum patok batas wilayah, melainkan sengketa dapat didorong dan
muncul oleh persoalan sosial dan ekonomi serta tidak adanya pengelolaan yang
baik terhadap sumber daya alam disekitar perbatasan.
Institusi yang menangani masalah persoalan perbatasan dan bertanggung
jawab terhadap kebijakan di perbatasan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Dengan demikian, maka institusi ini akan dapat membantu
15
menangani setiap permasalahan perbatasan sesuai dengan kondisinya dan tidak
selalu mengedepankan pendekatan keamanan.
D. Metode Penelitian
Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah adalah metode kualitatif
dengan studi pustaka (Creswell,1994;116). Sumber-sumber data ini berupa buku,
jurnal, hasil penelitian, internet dan penerbitan-penerbitan lainnya. Sedangkan,
sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis.
Deskriptif analitis adalah suatu cara untuk membuat gambaran dan situasi
yang menjadi bagian dari permasalahan yang akan digunakan atau diteliti
(Creswell,1994:148). Untuk mendapat jawaban permasalahan penelitian,
analisismengandalkan data-data primer dan sekunder sebagai acuan. Data ini
diperoleh melalui studi kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta
mengolah bahan penelitian. (Zed Mestika, 2004:3) untuk dapat lebih memahami
upaya yang dilakukan Indonesia dalam menangani masalah keamanan perbatasan.
Sumber-sumber data tersebut dapat berupa buku, jurnal, dan beberapa artikel yang
diperoleh melalui media internet, surat kabar dan penerbit-penerbit lainnya.
16
E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
B. Latar Belakang Masalah
C. Rumusan Masalah
D. Kerangka Pemikiran
C.1. Konsep Perbatasan
C.1.1 Kebijakan Perbatasan (Border Policy)
C.1.2Keamanan perbatasan (Border Security)
C.3.Konsep Diplomasi Perbatasan (Border Diplomacy)
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan
BAB II KEAMANAN PERBATASAN INDONESIA DAN TIMOR LESTE
A. Kondisi umum Perbatasan Indonesia dan Timor Leste
B. Masalah (Pengungsi) di Indonesia dan Timor Leste
C. Masalah Penyelundupan di Indonesia dan Timor Leste
BAB III UPAYA INDONESIA DALAM MENANGANI KEAMANAN
PERBATASAN DENGAN TIMOR LESTE
A. Upaya Unilateral Indonesia dalam Menangani Masalah
Keamanan Perbatasan dengan Timor leste
A.1 Pepres Nomor 78 Tahun 2005
A.2 UU Nomor 43 tentang wilayah Negara
A.3 RPJMN 2004-2009
17
A.4 RPJMN 2010-2014.
B. Upaya Indonesia dalam Menangani Masalah Keamanan
Perbatasan dengan Timor Leste secara Bilateral
B.1 Kerjasama Joint Border Committee (JBC)
B.2 Kerjasama Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
BAB IV PENUTUP
A.Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
18
BAB II
KEAMANAN PERBATASAN INDONESIA DAN TIMOR LESTE
Bab ini membahas tentang keamanan perbatasan Indonesia dan Timor
Leste. Penjelasan tersebut di butuhkan untuk memberi gambaran kepada para
pembaca mengenai upaya Indonesia secara umum dalam menangani masalah
keamanan perbatasan Indonesia dan Timor leste. Pembahasan akan dibagi
berdasarkan sub bab, pertama, mengenai kondisi umum perbatasan Indonesia dan
Timor leste. Kedua, masalah (pengungsi) di Indonesia dan Timor leste kemudian
pada bagian ketiga, membahas masalah penyelundupan di Indonesia dan Timor
Leste. Pembahasan mengenai keamanan perbatasan ini sangat penting karena dari
keamanan perbatasan tersebut dapat dilihat sejumlah pelanggaran yang terjadi di
wilayah perbatasan.
A. Kondisi Umum perbatasan Indonesia dan Timor Leste
Indonesia merupakan negara kepulauandengan lebih kurang 17.000 pulau
baik besar dan kecil, dengan garis pantai sekitar 81.900 kilometer. Luas wilayah
kedaulatan lebih kurang 5 juta km2, ditambah dengan luas wilayah hak berdaulat
atas Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen lebih kurang 3 juta km2.
(Wuryandari, 2009:77)
Batas darat Indonesia berbatasan langsung dengan negara Malaysia, Papua
New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Perbatasan itu tersebar di tiga pulau,
19
empatProvinsi,serta 15 Kabupaten atau Kota yang masing-masing memiliki
karakteristik kawasan yang berbeda-beda. (Wuryandari, 2009:78)
Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu, India,
Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia,
Timor Leste, dan PNG (Wuryandari,2009:77). Perbatasan darat antara RI dengan
Timor Leste memiliki panjang 268.8 kilometer, serta melintasi tiga kabupaten di
Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, dan
Kupang. Perbatasan darat RI dengan Timor Leste terbagi atas dua sektor, yaitu,
1) Sektor Timur (Sektor utama atau main sector) di Kabupaten Belu yang
berbatasan langsung dengan Distrik Covalima dan Distrik Bobonaro di Timor
Leste sepanjang 149.1 kilometer.
2) Sektor Barat (Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara) yang
berbatasan langsung dengan Distrik Oecussi yang merupakan wilayah
enclave Timor Leste sepanjang 119.7 kilometer.Hampir sebagian besar batas
darat kedua negara berupa batas alam berupa watershed dan thalweg (bagian
terdalam sungai) ( Sumarsono,2011:2).
PETA. 1.A.1. Batas wilayah perbatasan RI dan Timor Leste
Sumber: Antusias Pelintas Batas Indonesia dan Timor Leste 2010, lihat
www.antara.com.
PERBATASAN
20
Provinsi NTT tidak hanya memiliki wilayah yang berbatasan dengan darat
langsung dengan Timor Leste. Namun, juga berbatasan langsung di laut dengan
dua negara tetangga Indonesia yaitu Timor dan Australia. Wilayah perairan laut
yang berbatasan langsung dengan dua negara ini terdapat di lima kabupaten, yaitu
Kupang, Belu, Timur tengah Utara (TTU), Alor dan Rote Ndao. menunjukan
adanya Panjang Garis Batas RI-Timor Leste :Sektor Barat 149.1 Km, dan Sektor
Timur 199.7 Km dengan deliniasi sudah mencapai 93 persen. Demarkasi di sektor
timur mencapai 42 titik, sektor barat 8 titik Pos Pamtas: 51 Pos di NTT, Untuk
memfasilitasi lintas batas terdapat 9 PLB di NTT. (Fauzan,2011:9)
Pemerintah memandang pentingnya perhatian khusus terhadap wilayah
perbatasan. Khususnya dalam pengelolaan batas antarnegara dan pembangunan
kawasan perbatasan. Mengingat wilayah perbatasan merupakan wilayah
persinggungan karakter dan kepentingan antarnegara yang sangat rentan bagi isu-
isu keamanan dan sensitif terhadap konflik kepentingan antarnegara, termasuk
berbagai tindakan kriminal.
PETA I.A.II. Perbatasan yang belum diselesaikan di NTT UN-RESOLVED SEGMENT
DI NOEL BESI/CITRANA KAB. KUPANG
TERDPT TNH SENGKETA DI WIL SEPANJANG SUNGAI NOEL BESI. STATUS TANAH MSH MERUPAKANDAERAH STERIL & TDK DIKELOLA OLEH KE DUA NEGARA SERTA BLM DILAKS PENGUKURAN OLEHKEDUA NEGARA.
1
KANTOR IMIGRASI RDTL
MASY DSN. NAKTUKA 44 KK
GEDUNG PERTANIAN RDTL
Sumber : Disampaikan pada acara Indonesia-Timor Leste Seminar and Conflict Resolution
Training : Building Peace Beyond the Land Border, Kelompok Studi Defensia Laboratorium
Pertahanan Keamanan dan asosiasi Mahasiswa Timor Leste UPN Veteran, Yogyakarta. 10
Juni 2011
21
Perselisihan Perbatasan Indonesia dengan Timor leste, perbatasan krusial
yang belum terselesaikan meliputi tiga titik yaitu, di Noel Besi atau Citrana
(Kabupaten Kupang dan Distric Oecusse), Bijael Sunan atau Oben (Kabupaten
TTU dan Distric Oecusse) serta Delomil atau Memo (Kabupaten Belu dan Distric
Bobonaro). (Sutrisna,2007:154)
Penyelesaian batas negara di segmen-segmen yang masih disengketakan perlu
segera dicarikan penyelesainya. Tidak saja karena bisa jadi menyulut konflik
kekerasaan di atas, ketidakjelasan batas darat antara kedua negara dan
ketidaktahuan masyarakat di sekitar wilayah perbatasan atas batas darat, juga
tidak jarang pula menyebabkan terjadinya berbagai kasus pelangaran batas.
Beberapa contoh insiden kekerasan di perbatasan Indonesia-Timor Leste juga
menggarisbawahi, bahwa ketidakjelasan demarkasi dan ketidaktahuan masyarakat
akan batas darat negara telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Minimnya
Border Sign Post (BSP) yang terpasang disepanjang perbatasan.
(Ludiro,2010:201)
Salah satu contoh dari kasus di atas adalah insiden 6 Januari 2006.
Peristiwa ini terjadi di dekat tepian sungai Malibaka, yang merupakan batas alam
wilayah darat antara Indonesia di Kabupaten Belu dengan Timor Leste di Distrik
Bobonaro.Insiden ini terjadi ketika pasukan Border Patrol Unit(Unido
Patruofomento Fronteira, UPF) Timor Leste, menembak mati tiga WNI eks-
pengungsi yang tinggal di dusun Sikutren, Desa Rote, Kecamatan Raihat,
Kabupaten Belu. Menurut pemerintah Timor Leste, mereka ditembak karena
melintas perbatasan secara ilegal dan mereka adalah eks-milisi yang telah sering
22
melakukan ilfiltrasi ke wilayah Timor Leste. Namun, pemerintah Indonesia
berpandangan lain, yaitu mereka tidak sedang melakukan aktivitas politik dengan
penyusupan, tetapi sedang melakukan aktivitas mencari ikan di sungai
Malibaka.(www.theaustralian.com)
Persoalan yang sampai saat ini masih belum terselesaikan dan masih
banyaknya Masalah yang ada di daerah perbatasan Indonesia dan Timor leste
adalah kehadiran eks pengungsi dan masalah penyelundupan, telah menimbulkan
sejumlah persoalan yang dapat menganggu keamanan di perbatasan. Persoalan
pengungsi ini belum dapat diselesaikan. Selain faktor budaya dan juga minimnya
program pemerintah yang tidak efektif terlebih hanya memanfaatkan keberadaan
pengungsi.
Salah satu masalah lain yang saat ini di temui di perbatasan Indonesia- Timor
Leste adalah ketidakjelasan wewenang dalam pengelolaan wilayah perbatasan
tersebut. Pengelolaan perbatasan merupkan indikasi dari kesungguhan pemerintah
menata wilayah perbatasannya. Meski demikian, realitas yang ada di wilayah
perbatasan tersebut justru memperlihatkan ketidakjelasan aturan kewenangan
dalam pengelolaan perbatasan, sebab, yang terjadi dalam implementasi berbagai
aturan dan institusi yang terlibat dalam pengelolaan perbatasan dilapangan adalah
realitas tumpang tindih kewenangaan.
B. Masalah pengungsi di Indonesia dan Timor leste
Arus terjadinya pengungsi Timor leste dimulai sebelum jajak pendapat,
dan meningkat setelah jajak pendapat. Mereka ini terpaksa meninggalkan Timor
23
Leste karena mereka berbeda opini politik dengan pihak yang memerintah. Sejak
jajak pendapat diumumkan dengan kemenangan di pihak pro kemerdekaan, maka
mereka yang dalam jajak pendapat tersebut memilih pro otonomi dan tetap
berintegrasi dengan pemerintah Indonesia, terpaksa harus meninggalkan negara
asalnya dan menyebar di berbagai wilayah di Indonesia, dan yang terbanyak di
daerah Moelbaki, Nusa Tenggara Timur.(Krustiyati,2010:19)
Situasi pengungsi Timor Leste memang merupakan kondisi yang cukup
unik, karena mereka masih memperoleh pelindungan nasional dari kedua negara,
baik negara Indonesia maupun negara Timor leste. Memang persoalan pengungsi
Timor Leste ini hanyalah merupakan sebagai isu dari beberapa persoalan yang
muncul akibat lepasnya Timor Leste dari Indonesia.(Makarim,2006:237)
Untuk mengatasi masalah ini, dilakukan upaya bekerja sama dengan
United Nations High CommisionerFor Refugees (UNHCR), yang merupakan
salah satu organisasi internasional universal melalui PBB yang menangani
pengungsi, dengan memberikan bantuan makanan, pakaian dan obat-obatan
kepada para pengungsi (Krustiyati, 2010:77)
Berdasarkan data Departemen Sosial tahun 1999, warga Timor Leste yang
mengungsi kesejumlah Kabupaten NTT tercatat 132.000 jiwa. Sedangkan
menurut laporan UNHCR Desember 2000, 50.000 pengungsi asal Timor Leste
kembali ke Timor Leste.Disebutkan, arus pengungsi dari tahun 2001-2003
mencapai 225.028 orang yang terdapat di wilayah perbatasan di Timor Barat.
Pada tahun 2005-2006 tercatat pengungsi sebanyak 104.436 pengungsi.Hingga
24
akhir 2006-2009 jumlahnya terus meningkat menjadi 142.825 jiwa dan
menempati Propinsi NTT. (UNHCR Fact Sheet Report,Desember 2003)
Para pengungsi yang telah memilih untuk menetap di Indonesia tinggal di
dua daerah, yaitu, Kabupaten Belu yang berbatasan dengan Bobonaro dan
Covalima, serta Kabupaten Timor Tengah Utara yang berbatasan dengan Oecusse
(Distrik Ambeno). (Wila,2006:256) Pada tahun 2010 terdapat sekitar 119 jiwa
yang kembali ke Timor Leste.Menurut Suster Sesilia Ketut, SSPS dari Forum
Peduli Perempuan dan Anak di Atambua yang mendampingi proses pemulangan,
hingga 31 Januari 2011 sudah 71 jiwa pulang ke Timor Leste. Suster Sesilia
memperkirakan tahun 2011 ini jumlah itu akan meningkat. (jrs.or.id, Maret 2011)
Pemerintah memang telah membuat pemukiman bagi pengungsi.Namun,
faktanya kondisi tersebut dikatakan memperihatinkan. Jalan menuju Haikrit
(Kabupaten Belu), misalnya, bergunung-gunung dan hanya diberi kerikil tanpa
aspal. Kondisi pengungsi kelihatan dari berpakaian, tampak anak-anak kurus
kering. Serta kurangnya fasilitas kesehatan, transportasi, penerangan, dan
pendidikan. (Tallo, 2005:193)
C. Masalah Penyelundupan di Indonesia dan Timor Leste
Penyelundupan merupakan faktor kedua setelah pengungsi, yang
berpotensi sebagai sumber permasalahan keamanan di daerah perbatasan
Indonesia dan Timor Leste. Aktivitas ini terjadi antara lain, karena disebabkan
adanya perbedaan harga bahan-bahan pokok, Bahan Bakar Minyak antara provinsi
NTT dengan Timor Leste, harganya mencapai tiga sampai empat kali lipat lebih
25
tinggi di Timor Leste. Sehingga memunculkan suatu garis yang tidak nyata, yaitu
semacam jalan tikus, karena saling ketergantungan antara kedua warga
masyarakat yang dipisahkan oleh garis perbatasan secara politik. Penyelundupan,
seperti minyak tanah, sembako, dan lain-lain, terjadi melalui jalan tikus, sehingga
sering kali menjengkelkan petugas. Pemberlakuan Pas Lintas Batas dapat menjadi
solusi untuk mencegah penyelundupan. (Wuryandari.2009:217)
Penyelundupan yang terjadi di kota Atambua, Kabupaten Belu, Nusa
Tenggara Timur, merupakan salah satu kasus yang terjadi karena kurangnya
keamanan di daerah perbatasan. Yaitu, adanya penyelundupan Bahan Bakar
Minyak (BBM) harga BBM, eceran, khususnya bensin yang dijual bebas oleh
masyarakat dipinggiran jalanan umum mencapai Rp10.000/botol dari harga dasar
premium yang dijual Pertamina kepada konsumen hanya Rp4.500/liter. Harga
BBM di Timor Leste, perliternya Rp50.000 jika mata uang rupiah di konvensi
kedolar dengan nilai Rp10.000/dolar.(antara.com,29Agustus2013) Penyelundupan
tersebut tidak hanya dilakukan melalui jalur darat dengan memanfaatkan jalan-
jalan tikus yang ada, akan tetapi juga melalui jalur laut. Situasi inilah yang
kemudian menjadi pemicu terjadinya penyelundupan BBM di daerah perbatasan.
Penyelundupan yang terjadi wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste
bukan hanya penyelundupan Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi penyelundupan
Narkoba yang terjadi di perbatasan kedua Negara. Muhari mengatakan, secara
institusi, jajaran Polda Nusa Tenggara Timur, terus melakukan koordinasi dengan
jajaran Badan Narkotika Nasional, berkerjasama dalam menangani sejumlah
26
barang yang dikategorikan sebagai obat terlarang dan psikotropika yang masuk
dalam kategori narkoba. (antaranews.com, 29 Agustus 2013)
Data yang dirilis oleh BNN 2011 pengguna narkoba di provinsi kepulauan itu
mencapai 42.461 orang atau sekitar 1,2 persen. Jumlah itu terbagi dalam kategori
orang yang mencoba untuk memakai berjumlah 13.724 dan orang yang teratur
mengkonsumsi 19.048 orang sedangkan jumlah pencandu suntik mencapai angka
420 orang dan pecandu bukan suntik berjumlah 9.269 orang. secara nasional
kerugian negara secara ekonomis yang diakibatkan oleh pengguan narkoba
sepanjang 2011 mencapai Rp 48,2 triliun. Anggaran itu merupakan akumulasi dari
biaya pembelian narkoba oleh pengguna. Biaya pengobatan serta biaya
kematian.(antaranews.com, 9 November 2012)
Persoalaan yang serius ada pada penyelundupan senjata, laporan mengenai
terbaru dari Internasional Crisis Group (ICG), penyelundupan senjata yang terjadi
di daerah perbatasan Kabupaten Kupang pada tahun 2010, seperti senjata laras
pendek dan laras panjang 45 pucuk, dan satu buah granat aktif. (crisisgroup.org,)
persoalan ini merupakan masih lemahnya keamanan di perbatasan Indonesia dan
timor Leste, sehingga pemerintah harus lebih memperketat pengamanan di daerah
perbatasan kedua Negara agar tidak terjadi banyaknya penyelundupan senjata.
Perdagangan yang dilakukan oleh Indonesia dan Timor Leste di atas secara
jelas memperlihatkan bahwa kegiatan tersebut sangat menguntungkan pihak
Indonesia karena mengalami kenaikan perdagangan dengan Timor Leste.
Meskipun demikian, terdapat sejumlah permasalahan yang timbul sebagai akibat
27
tindak lanjut pengaturan lintas barang antara Indonesia dan Timor Leste.
(Wuryandari, 2009: 224-225)
Pengawasan yang kurang ketat mengakibatkan perlintasan barang tidak
terkontrol dengan baik. Pihak Timor Leste, tampaknya belum siap dalam
pelaksanaan kesepakatan.Terbukti dan belum beroperasinya pasar tradisional,
Pemanfaatan perdagangan di perbatasan lebih banyak dimanfaatkan oleh pelaku
bisnis yang berasal dari kawasan luar perbatasan. Meskipun penertiban
pemberitahuan Ekspor Barang dan Impor Barang menunjukan kenaikan, tetapi
volume kegiatan relatif masih kecil.(Pamungkas, 2009:223)
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa persoalaan
penanganan pengungsi dan penyelundupan, secara signifikan menjadi faktor-
faktor kerawanan dan juga menjadi ancaman bagi keamanan di perbatasan.
Masing-masing wilayah perbatasan memiliki kepentingan yang berbeda-beda satu
sama lain terhadap masalah keamanan perbatasan. Misalnya, pengungsi Timor-
Timur menuntut untuk diperhatikan kesejahteraannya dan diberikan peran sebagai
warga negara Indonesia (WNI). Sedangkan masyarakat di sekitar
perbatasanmenginginkan agar pasar tradisional di daerah perbatasan dibuka oleh
Pemerintahan Indonesia maupun Timor Lesteuntuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di perbatasan.(Noor, 2007:227)
28
BAB III
UPAYA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH KEAMANAN
PERBATASAN DENGAN TIMOR LESTE
Bab ketiga ini akan menganalisis tentang upaya Indonesia dalam menangani
masalah keamanan perbatasan dengan Timor Leste, pembahasan ini terdiri dari
tiga sub bab, yaitu: (1) upaya Indonesia dalam menangani masalah keamanan
perbatasan dengan Timor Leste secara unilateral; (2)upaya Indonesia dalam
menangani masalah keamanan perbatasan dengan Timor Leste secara bilateral.
Untuk menjawab penelitian bagaimana Upaya Indonesia dan Timor Leste
dalam Menangani Masalah Keamanan Perbatasan dengan Timor Leste. Pada
periode 2002-2012, maka Indonesia melakukan upaya antara lain baik secara
Unilateral maupun Bilateral, bab ini akan menganalisis lebih lanjut upaya
tersebut. Upaya unilateral pemerintah Indonesia dan Timor leste dalam menangani
masalah keamanan perbatasan dilakukan dengan cara: Pepres Nomor 78 Tahun
2005, UU Nomor 43 Tahun 2008, Pepres Nomor 12 Tahun 2010 mengenai
(Propenas) 2004 dan PP no. 7 tahun 2005, serta RPJMN 2010-2014.
Upaya bilateral yang dilakukan Indonesia adalah perudingan JBC ( Joint
Border Committee) dan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) dari kedua
upaya tersebut yakni, Unilateral dan Bilateral akan dianalisis sebagai pertanyaan
penelitian.
29
Kebijakan negara berhubungan langsung dengan kedaulatan negara. Karena,
kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk
secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asalkan
kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional (Boer Mauna,
2000,24) dan kebijakan yang termasuk di dalamnya.
Boer Mauna (2000;24) juga menyebutkan bahwa kedulataan memiliki tiga
aspek utama, yaitu:
a. Aspek ekstren kedaulatan, yaitu hak bagi setiap negara untuk secara bebas
menentukan hubunganya dengan berbagai negara atau kelompok-
kelompok lain tanpa kekangan, tekanan, atau pengawasan dari negara lain.
b. Aspek intern kedaulatan,yaitu hak atau wewenang eksklusif suatu negara
untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-
lembaga tersebut, hak untuk membuat undang-undang yang diinginkan,
serta tindakan-tindakan untuk dipatuhi.
c. Aspek teritorial kedaulatan, berarti kekuasaan penuh dan ekslusif yang
dimiliki oleh negara- negara atas individu-individu dan benda-benda yang
terdapat di wilayah tersebut.
Aspek ekstern kedaulatan bisa dikatakan sebagai kebijakan atau tindakan
pemerintah yang bersifat bilateral ( dua negara) atau multilateral ( lebih dari dua
negara).Sedangkan aspek intern merupakan kebijakan atau tindakan pemerintah
yang bersifat unilateral (sepihak atau satu negara). (Mauna, 2000:24)
30
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan, bahwa kebijakan Republik
Indonesia ada yang berbentuk kebijakan unilateral.Berupa UUD Alinea 4 dan
Perpres yang mengenai kedaulatan negara untuk melindungi ancaman keamanan
dari luar negara dan juga pengelolaankeamanan di perbatasan, kebijakan unilateral
yaitu dalam pengertiannya merupakan kebijakan unilateral dibuat oleh
pemerintah Republik Indonesia sendiri dan untuk kepentingan kedalam (intern)
bangsa Indonesia sedangkan kebijakan yang berbentuk kebijakan bilateral dibuat
oleh dua negara untuk kepentingan kedua negara tersebut. faktor eksternal yang
dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia adalah perubahan ekonomi
regional dan internasional.
Kebijakan itu juga merupakan faktor penting guna menunjang
terselenggaranya program-program pembangunan, pemberdayaan, serta
kesejahteraan masyarakat diwilayah perbatasan. Oleh karena itu, kebijakan
pengelolaan perbatasan keamanan di wilayah perbatasan RI dan Timor Leste
dapat diharapkan mampu menciptakan stabilitas keamanan perbatasan.
Pembahasan selanjutnya adalah seberapa besar tantangan yang akan dihadapi
pemerintahan Indonesia dan pemerintahan Timor Leste dalam menangani
permasalahan keamanan perbatasan. Permasalahan ketidakjelasan garis batas
negara antara Indonesia dan Timor Leste juga dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu, faktor ekstern dan intern dalam menangani masalah keamanan
perbatasan. (Wibisono, 2006:246)
31
Secara umum, faktor ekstern Indonesia ini terkait dengan masyarakat lokal
dan garis batas darat sebagaimana yang telah ditentukan dalam kesepakatan
Traktat 1904 serta faktor demografis dan geografis yang dapat menghambat
keamanan perbatasan dikedua negara.Faktor tersebut merupakan garis batas antara
kedua negara yang berbatasan langsung sehingga dapat mempengaruhi stabilitas
keamanan bagi Indonesia dan Timor Leste. Antara lain, didorong oleh kalim
mereka atas beberapa wilayah yang sekarang masih disengketakan oleh Indonesia
dan Timor Leste di perbatasandengan alasan-alasan faktor sosial, dan budaya, dan
faktor ekonomi serta keamanan. (Wuryandari, 2009:99)
Faktor Geografis dan Demografis
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan dua Provinsi di Indonesia yang
sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan negara tetangga baru, yaitu
Timor Leste. Sementara itu, NTT memiliki batas darat. Provinsi ini merupakan
wilayah perbatasan yang dimiliki Indonesia. Wilayah ini sebelumnya dikenal
sebagai salah satu dari dua puluh tujuh provinsi Indonesia, yaitu setelah melalui
proses integrasi tahun 1976.
Sebagaimana halnya dengan wilayah perbatasan lainnya di Indonesia,
wilayah perbatasan Indonesia di provinsi NTT yang berbatasan langsung dengan
Timor Leste merupakan suatu daerah yang tingkat pembangunanya masih relatif
lambat. (Wuryandari, 2009:91)
Posisi geografis yang jauh dari pusat kekuasaan menjadi salah satu faktor
kurangnya perhatian pemerintahan pusat terhadap wilayah ini. Hal ini bisa dilihat
32
dari rendahnya aspek pembangunan ekonomi, sosial-budaya dan sarana
prasaranan. Di sisi lain, di wilayah perbatasan darat memiliki posisi yang strategis
sebagai pintu utama gerbang terdepan bagi terpeliharanya keutuhan kedaulatan
bangsa dan negara. Jika tidak ditangani dengan bijak maka wilayah ini akan
menyebabkan sejumlah persoalan tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga dalam
konteks hubungan Indonesia dan Timor Leste. (Siregar, 2011:7-8)
Secara demografis, jumlah penduduk NTT adalah 4.260,294 jiwa, atau sekitar
1,76 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan dilihat dari
komposisi penduduk, jumlah penduduk perempuan ternyata lebih besar
dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 50,19 persen dari keseluruhan jumlah
penduduk NTT. Jumlah penduduk perempuan adalah 2.138,249 jiwa dan laki-laki
2,122,045 jiwa. (Krustiyati, 2010:147)
Sementara bila dilihat secara khusus untuk lima wilayah kabupaten di NTT
yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, dapat diketahui bahwa meskipun
lima wilayah perbatasan tersebut mencakup luas wilayah sangat signifikan 32.01
persen dari keseluruhan luas wilayah NTT, tetapi tingkat kepadatan penduduknya
hanya 85,38 jiwa dari 89,97 per kilometer persegi. (Krustiyati, 2010:145)
Faktor Sosial dan Budaya
Dilihat dari aspek sosial-Budaya, masyarakat yang tinggal di Timor leste
memiliki keragaman suku dan bahasa. Salah satunya suku besar yang tinggal di
perbatasan Indonesia- Timor Leste di provinsi NTT adalah suku Belu dan
Amfoang. Dalam kaitanya dengan sejarah suku-suku tersebut, makahubungan
33
sosial yang ada sesungguhnya mudah ditingkatkanmengingat kekerabatan mereka
yang sangat erat.
Namun, ketika batas politik diberlakukan pada masyarakat diatas merupakan
konsekuensi Timor Leste sebagai negara merdeka lalu muncul sejumlah
persoalan yang kompleks. Antara lain,perubahan titik garis batas yang
mengakibatkan hilangnya lahan garapan dan sumber warga NTTsehingga
persoalan ini meregangkan atau bahkan memutuskan hubungan sosial warga
antarkedua negara.
Ekonomi dan Keamanan
Sebagaimana diketahui, kondisi ekonomi dan keamanan di wilayah
perbatasan Indonesia-Timor Leste masih sangat terbatas, terutama jika
dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Keterbelakangan ekonomi,
ditambah dengan minimnya prasarana fisik, seperti, Jalan, jembatan, gedung
sekolah, rumah sakit, klinik dan sebagainya,bermuara pada masyarakat perbatasan
yang berujung pada kemiskinan. Ekonomi sering kali menjadi sumber persoalan
didaerah perbatasan seperti penyelundupan, perdagangan illegal, dan sebagainya.
Diantara penduduknya ada yang nekat menjadi pedagang pelintas batas. Hal
ini banyak dikeluhkan oleh beberapa masyarakat setempat.Artinya faktor
kemiskinan telah memaksa mereka untuk berdagang secara ilegal melalui jalan
tikus dan menghidari kejaran petugas perbatasan serta menghindari pungutan liar
di pos perbatasan yang sering kali menyulitkan mereka untuk menjual barang
dengan harga bersaing di Timor Leste.
34
Di sisi dari keamanan, arus lalu-lalang penduduk kedua negara dalam
melintasi perbatasan dihambat oleh visa atau paspor, sehingga berbagai macam
ancaman bagi keamanan di kedua negara. Hal ini diperparah lagi oleh semakin
kurang memadainya informasi titik perbatasan dan ketidaktahuan keamanan
perbatasansehingga memudahkan hal-hal illegal lainnya yang melintasbatas
negara.
Hal-hal semacam ini pada giliranya dapat menghambat lintas batas dan dapat
juga mempengaruhi keamanan perbatasan.Padahal sesungguhnya penting
meningkatkan hubungan ekonomi dan keamanan di perbatasan. Hambatan ini
akhirnya akan mempengaruhi berbagai upaya untuk memperdayakan ekonomi di
perbatasan dan keamanan bagi masyarakat di perbatasan pada umumnya.
Pembahasan selanjutnya adalah seberapa besar tantangan yang dihadapi
Indonesia menyelesaikan masalah keamanan perbatasan dalam mendukung
keamanan perbatasan dengan Timor Leste.
Faktor Pengembangan Ekonomi di Perbatasan
Pengembangan ekonomi adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah di
wilayah perbatasan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat setempat. Agar
mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, maka berbagai upaya telah
dilakukan dengan membangun pasar bersama di desa-desa yang berbatasan
langsung dengan Timor Leste.Upaya tersebut juga mengerakan Usaha Kecil atau
Menengah (UKM) untuk meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat
perbatasan sehingga hubungan kedua negara tersebut bisa berjalan dengan baik
35
tanpa menemui hambatan, terutama karena berlakunya rencana pembuatan
pelintas batas bagi warga di kedua negara.
Faktor Kebijakan Perbatasan Indonesia dan Timor Leste
Kebijakan perbatasan merupakan kebijakan sebuah negara dalam menata
perbatasannya atas batas wilayah darat serta berupa aturan hukum. Namun,
Indonesia hingga saat ini belum memiliki aturan dalam persoalan keamanan di
perbatasannya. Terlepas dari adanya keseriusan pemerintah dalam menangani
wilayah pada keamanan perbatasannya, kebijakan keamanan perbatasan yang
bersifat hukum hal ini terutama berlangsung hingga tahun 2008.
Undang-undang No 43 mengenai Wilayah Negara itu sendiri pada dasarnya
telah memenuhi tuntutan publik, terutama dalam memberikan kejelasan posisi
goegrafis Indonesia dengan lebih jelas dan menjadi landasan hukum.
Undang-undang tersebut juga melibatkan berbagai institusi terkait terhadap
persoalan di wilayah perbatasan dengan berbagai kalangan di pusat maupun di
daerah. Namun, pada kenyataannya masih menunjukkan bahwa kebijakan
pengelolaan keamanan menjadi cenderung relatif dan tumpang tindih.
(Wuryandari, 2007: 47-49)
Secara sederhana, pengelolaan masalah keamanan di perbatasan dapat juga di
maknai sebagai kebijakan perbatasan dan upaya yang terkait untuk mengurangi
pontensi ancaman, kondisi tidak aman, dan memaksimalkan keamanan di wilayah
perbatasan.(Kurstiyati,2010: 30-32)
36
Setiap negara mempunyai kebijakan perbatasannya masing-masing sehingga
suatu negara dapat mengelola wilayah di perbatasanya dan tidak menjadi ancaman
bagi negara sendiri dan negara lain. (Rachmawati, 2009:10)
Kebijakan perbatasan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melalui
upaya hukum dengan memperhatikan dan melindungi wilayahnya dengan melalui
hukum. Bukan saja melalui pemberlakuan UU, tetapi juga cara hukum yang
menunjukkan bahwa pemerintah telah menegakkan kedaulatan dengan mengatur
kondisi ekonomi dan keamanan masyarakat di perbatasan di dalam
kebijakanya.(Rachmawati, 2009:15-18)
Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 mengenai Daftar Kepemilikan Pulau
Terluar Indonesia terdapat 92 pulau yang berbatasan langsung dengan beberapa
negara tetangga merupakan upaya dalam pelaksanaan melalui berbagai bilateral
dan multilateral dalam menangani persoalan perbatasan dan bertanggung jawab
terhadap kebijakan perbatasan yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah
( Rachmawati, 2009:93-100).
Faktor Pengelolaan Keamanan di Perbatasan Indonesia dan Timor Leste
Perbatasan bagi suatu negara termasuk Indonesia memiliki arti penting, tidak
saja dalam konteks wilayah suatu negara dan kedaulatan wilayah, juga memiliki
fungsi lain yang tidak kalah pentingnya dari aspek pertahanan keamanan. Bagi
Indonesia yang memiliki wilayah perbatasan darat maupun laut dengan sepuluh
negara, masalah perbatasan juga merupakan hal serius yang sampai sekarang
belum sepenuhnya berhasil dituntaskan.
37
Tidak dipungkiri, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah secara
internal maupun eksternal untuk mengelola keamanan di perbatasan Indonesia
Timor Leste. Upaya ini tidak lain merupakan sebuah indikasi dari pemerintah
dalam menata wilayah perbatasannya.
Pada permasalahan di atas, maka persoalan yang menyebabkan munculnya
permasalahan di perbatasan atau sengketa perbatasan dipicu tidak hanya oleh
ketidakjelasan dasar hukum atau perbedaan persepsi mengenai status perbatasan,
melainkan juga dapat dipicu masalah sosial ekonomi di wilayah perbatasan.
Kegiatan ekonomi tersebut berupa perdagangan atau pengungsian. Diplomasi
perbatasan untuk itu dapat diharapkan mengacu pada pertumbuhan dan
pengembangan ekonomi sosial wilayah perbatasan sehingga dapat mengurangi
perbedaan sosial ekonomi di wilayah perbatasan ( Rachmawati, 2010:91).
Beberapa upaya Indonesia dalam menangani masalah perbatasan dengan
Timor Leste. Diantaranya, untuk menciptakan dan melindungi bangsa Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteran umum, salah satu upaya dalam pengelolaan
keamanan yang melibatkan instansi, kepolisian, Tentara Nasional Indonesia
(TNI), bea cukai, Departemen Dalam Negeri, Departemen luar Negeri dalam
rangka memwujudkan kondisi keamanan di wilayah perbatasan. (Siregar,
2011:15)
38
A. Upaya Unilateral Indonesia dalam Menangani Masalah Keamanan
Perbatasan dengan Timor Leste
Pemerintah Indonesia melandaskan diri pada konstitusi dan berbagai
Undang-Undang (UU) yang berlaku. Dan lebih dari itu, pemerintah menyusun
berbagai kebijakan yang menjadi acuan pelaksanaan pengelolaan perbatasan pada
umumnya dan keamanan pada khususnya. Dan hal ini juga telah ditetapkan dalam
pasal 7 UUD 1945, yang menyebutkan Republik Indonesia sebagai negara
kepulauan dengan batas wilayah tertentu yang diatur oleh undang-undang,
kemudian pasal 25a UUD 1945 mengenai wilayah negara menjadi landasan bagi
di tetapkanya UU dan peraturan yang terkait dengan batas-batas negara, termasuk
dalam hal ini UU Nomor 43 tahun 2008 mengenai wilayah
negara.(Wuryandari,2009:242-243)
Upaya unilateral pemerintah Indonesia dalam menangani masalah
keamanan perbatasan dengan timor leste. Yaitu, adanya tiga konsep yang
membahas mengenai unilateral. Menurut Stephen Walt dalam The Renaissance of
Security merupakan sebuah negara dalam menata perbatasanya. Terlepas dari
adanya pemerintah dalam menangani wilayah perbatasan pada umumnya dan
keamanan di perbatasan pada khususnya, bahwa kebijakan keamanan perbatasan
yang di kembangkan masih dari sebuah model formulasi kebijakan yang bersifat
pasial dan adhoc. (Stephen M. Walt,1991:211-239)
Menurut Caballero-Anthony,(2000:416) mengatakan bahwa konsep
keamanan perbatasan adalah melakukan identifikasi mengenai pendekatan-
39
pendekatan yang akan dipakai untuk keamanan, secara sederhana pengelolaan
masalah keamanan di perbatasan dapat dimaknai sebagai segenap kebijakan dan
upaya terkait yang ditunjukan untuk mengurangi potensi ancaman, kondisi
ketidakamanan dan memaksimalkan keamanan di wilayah perbatasan.
Menurut Jean- Marc Blanchard, perbatasan merupakan pintu masuk
negara-negara yang termasuk dalam kategori sebagai ― Low state‖ , yakni suatu
negara yang mengalami krisis legitimasi akut, ketidakstabilan politik, serta
ketiadaan keamanan dan ketertiban, lemahnya aparat keamanan, tiadanya
kekuatan militer untuk mempertahankan negara. ( Blanchard, 2005:638).
Konsep-konsep di atas mengambarkan kebijakan keamanan dan keamanan
di perbatasan kedua Negara, kebijakan keamanan tersebut berangkat dari sebuah
strategi keamanan yang nampaknya memainkan peran penting dalam setiap
perumusan kebijakan keamanan yang diambil oleh beberapa pengambil
keputusan.
Dalam melaksanakan kebijakan unilateral pemerintah Indonesia dan Timor
Leste. Maka pemerintah Indonesia mengeluarkan. Pepres Nomor 78 Tahun 2005,
UU Nomor 43 tentang wilayah negar, RPJMN 2004-2009 dan RPJMN 2010-
2014.
A.1 Pada tahun 2005, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 78 Tahun
2005 Perpres tersebut berisikan tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
yang mengamanatkan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar dalam aspek
keamanan, kesejahteraan, dan lingkungan. (www.kemitraan.or.id) Maksud dari
40
Perpres itu sendiri adalah Membentuk dan memperkuat kelembagaan pengelola
perbatasan di pusat dan jaringan fungsionalnya di semua daerah
perbatasan.(Makarim, 2009:5)
Membahas mengenai Batas Wilayah Negara di darat, perairan, dasar laut
dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar
perjanjian bilateral maupun unilateral serta berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan hukum internasional. Yaitu, meliputi: Malaysia, Papua Nugini, dan
Timor Leste. Jadi, dilihat dari Perpres Nomor 78 Tahun 2005 skripsi ini
memandang bahwa keberadaan pulau-pulau terluar secara geografis sangatlah
strategis karena berdasarkan pulau inilah batas Negara kita tentunkan, pulau-pulau
ini memang sudah seharusnya di perhatikan dan pengawasan serius agar tidak
menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah NKRI.
A.2Pada tahun 2008 telah diterbitkan UU Nomor 43 tentang Wilayah
Negara sebagai payung kebijakan bagi pengelolaan batas wilayah dan kawasan
perbatasan negara secara terpadu. Salah satunya adalah dengan mengamanatkan
pembentukan badan pengelola perbatasan di tingkat nasional dan daerah. Melalui
Perpres No. 12 Tahun 2010, dibentuklah Badan Nasional Pengelolah Perbatasan
(BNPP). Badan tersebut mempunyai tugas menetapkan kebijakan program
pembangunan kawasan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran,
mengoordinasikan pelaksanaan, melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap
pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan. (Rachmawati, 2009:256-257)
41
A.3 Pemerintah Indonesia belum memiliki kebijakan dan strategi nasional
yang bersifat khusus mengenai pengelolan wilayah batas antarnegara. Program
pembangunan nasional (PROPENAS) 2004 dan PP No.7 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka menengah Nasional ( RPJMN) 2004-2009 secara
jelas menegaskan pengembangan wilayah perbatasan antarnegara sebagai program
prioritas. Namun, hingga saat ini komitmen pemerintah belum secara penuh
terealisir.
A.4PROPENAS 2004 itu mengkonsentrasikan pembangunan di 111
Lokasi Prioritasdengan 20 kawasan dijadikan Pusat Kegiatan strategis Nasional
(PKSN). Dalam RPJMN 2010 – 2014 pada 12 provinsi di kawasan perbatasan,
terdapat 38 kabupaten/kota di kawasan perbatasan yang diprioritaskan
pengembangannya dan di dalamnya akan dikembangkan 26 Pusat Kegiatan
Strategis Nasional (PKSN) sebagai kota utama kawasan perbatasan yang perlu
dipercepat pembangunannya selama 10 tahun ke depan. Pada periode 2010—
2014, akan diupayakan percepatan pembangunan 20 PKSN sebagai pusat
pelayanan kawasan perbatasan secara bertahap.
Implementasi kebijakannya yaitu menciptakan keamanan bagi seluruh bangsa
dan wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste, merupakan salah satu tujuan
nasional Indonesia. Tujuan ini secara jelas dinyatakan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 alinea keempat bahwa ― Kemudian dari pada itu untuk membentuk
suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteran umum,
mencerdaskan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
42
berdasarkan kemerdekan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.(www.
Bakosurtanal.com)
Namun demikian, kebijakan pengelolaan keamanan di perbatasan Indonesia-
Timor Leste belum berjalan secara semestinya. Akibatnya, pengelolaan keamanan
di perbatasan Indonesia dan Timor Leste tidak berjalan secara efektif. Kondisi ini
disebabkan karena beberapa faktor, yaitu sebagai berikut: pertama, belum adanya
kebijakan strategi nasional yang bersifat khusus mengelola keamanan wilayah
perbatasan; kedua, koordinasi yang lemah; ketiga, penekanannya lebih pada aspek
keamanan semata tanpa memperhatikan aspek sosial, budaya, dan ekonomi
masyarakat sekitar perbatasan; dan keempat, keterbatasan sarana dan prasarana
pedukung dan dana. (Wuryandari,2009;265)
B. Upaya Indonesia dalam Menangani Masalah Keamanan
Perbatasan dengan Timor Leste secara Bilateral
Dalam konteks RI dan RDTL, landasan pengelolaannya dapat dilepaskan dari
konteks perjanjian antara kedua negara. Artinya selain peraturan yang telah
ditetapkan secara internal oleh masing-masing negara, pengelolaan perbatasan
jelas dapat dipisahkan dengan aturan main internasional dan berbagai perjanjian
yang telah disepakati oleh kedua pemerintahan. Dalam hal ini yang kemudian
dikembangkan menjadi traktat 1904 tentang Convention for Settlement of Timor
Boundary dan PAC 1915 menjadi salah satu landasan penting dalam pengelolaan
perbatasan RI - RDTL.
43
Pemahaman nilai strategi wilayah perbatasan di atas telah mendorong
pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini untuk secara lebih serius
memperhatikan wilayah yang selama ini merupakan forgotten land. Pemerintah
mengambil sejumlah langkah dalam pengelolaan wilayah perbatasan, pemerintah
Indonesia juga berperan aktif berupaya menjalin kerja sama dengan pemerintah
Timor leste dalam masalah keamanan perbatasan kedua negara. Salah satu dari
diplomasi perbatasan ( Border diplomacy) ini adalah di bentuknya Joint Border
Committee (JBC). (Ludiro, 2010:204)
Konsep Bilateral menurut Brian White menegaskan dengan mengatakan
bahwa diplomasi merupakan aktivitas pemerintah yang tidak hanya merupakan
pembuatan kebijakan sekaligus pelaksanaannya (Roy,1999:5).
Arif Havas Oegroseno, 2006:14-15) mengatakan bahwa dalam diplomasi
perbatasan adanya persetujuan melalui negoisasi berdasarkan hukum internasional
berupa konvensi-konvensi internasional. Sehingga, mencapai kesepakatan atau
penetapan garis perbatasan.
B.1 Perundingan yang telah dilaksanakan yaitu First Meeting Joint Border
Committee antara Pemerintah Indonesia dengan Timor leste bulan Desember 2002
di Jakarta, baru merupakan tahap awal berupa delimitasi dan demarkasi
perbatasan kedua negara. Dalam mengatasi dampak sosial akibat belum
terselesainya batas negara, kedua negara telah membentuk komisi bersama
perbatasan atau Joint Border Committee (JBC) pada tanggal 14 September 2000
telah dibentuk 6 sub- komite teknis di bidang: Pertama, Manajemen perbatasan;
44
Kedua, Lalu Lintas Orang dan Barang; ketiga, Kerjasama polisi Lintas Batas;
keempat, Keamanan Perbatasan; lima, Demarkasi Perbatasan.(Wila,2006:237)
Kementerian pertahanan (Prof.ir Purnomo Yusgiantoro) menyampaikan
adanya kerjasama pertahanan, peralatan perang sudah banyak yang ditambah dan
pasukan didaerah perbatasan dan meningkatkan perekonomian di daerah
perbatasan Indonesia. Kementerian lain juga seperti kementerian kesehatan,
menyediakan sarana dan prasarana yang memadai serta tenaga kesehatan yang
berkompeten sebagai lembaga yang menangani masalah perbatasan, Badan
Pengelolaan Perbatasan (BNPP) menangani masalah perbatasan kementerian dan
kelembagaan menyediakan dana sebesar 3,9 triliun untuk rencana penanganan
semaua masalah di perbatasan. ( dpd.go.id,1 Maret 2012)
Adapun aspek-aspek kelembagaan Joint Border Committee (JBC)
Indonesia dan Timor Leste, kepemimpinan di ketuai oleh Dirjen PUM Depdagri,
struktur di pimpin oleh ketua yang membawahi sub komisi teknis dan Border
Liasion Tujuannya membahas isu dan permasalahan perbatasan Indonesia serta
Timor Leste melakukan perumusan program melalui bidang-bidang dan
diimplementasikannya oleh instansi-instansi yang terkait di tingkat pusat dan
daerah dan berfungsi sebagai forum ad-hoc dan bukan institusi yang bersifat
struktural. ( bappenas.go.id, 10 September 2013)
45
JBC yang terdiri dari beberapa sub-sub komite teknis ini diketuai oleh
Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Departemen Dalam Negeri
Indonesia.Sementara itu BLC untuk perbatasan RI-Timor Leste diketuai oleh
Gubernur Provinsi NTT dengan sekretasinya berada pada Bappeda Provinsi NTT.
Sedangkan sub-sub komite pada JBC diatas adalah sebagai berikut: (Noor,
2009:268)
a) Technical Sub Committee on Border Movement of Person and Goods
RI-RDTL di bawah pengawasan dan pelaksanaan Departemen Hukum
dan Perundang-undangan serta Departemen Perindustrian dan
Perdagangan.
b) Technical Sub Committee on Border Security RI-RDTL menjadi
tanggung jawab Departemen Pertahanan dan Panglima TNI.
c) Technical Sub Committee on Police Cooperation RI-RDTLberada
dibawah tanggung jawab Kapolri.
d) Technical Sub Committee on River Management RI-RDTL
beradadibawah tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Departemen
Pekerjaan Umum.
e) Technical Sub Committee on Border Demarcation and Regulation
dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab Bakosurtanal dan TNI.
Dengan melihat struktur JBC di atas, dapat dilihat bahwa keberadaan JBC
substansial, JBC ini melibatkan elemen-elemen dari berbagai departemen terkait
dengan spesifikasi yang diemban olehnya, JBC mengikutsertakan pemerintah
daerah didalamnya, yaitu dengan penunjukan Gubernur Provinsi NTT sebagai
46
Koordinator dalam soal Border Liason Committee (BLC) merupakan Komite
Perantara Perbatasan dan berbagai peraturan daerah seperti Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 2 Tahun 2004 tentang program Pembangunan Daerah (Propeda)
NTT 2004-2008, Perda Nomor 3 Tahun 2004 tentang Rencana Strategi (Renstra)
pemerintah Daerah Provinsi NTT tahun 2004-2008, Perda Nomor 9 tahun 2005
tentang RTRWP NTT 2006-2020. (Wuryandari, 2009:249)
Kehadiran Presiden Megawati tersebut segera diikuti dengan kunjungan resmi
Presiden Xanana Gusmao ke Indonesia pada bulan Juli 2002 Selama kunjungan
Presiden Xanana Gusmao, Pemerintah kedua negara menandatangani dua
persetujuan penting yang menandai awal kerjasama yang lebih erat yakni;
a. Menjalin hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Timor
Leste.
b. Perjanjian kesepahaman antara pemerintahan Indonesia dengan
pemerintahan Timor Leste pada pembukaan komisi bilateral.
Konsolidasi kearah peningkatan hubungan bilateral kedua negara terus
berjalan dengan ditandai kunjungan resmi kenegaraan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono ke Dili pada tanggal 8-9 April 2005.
Dalam kesempatan itu ditegaskan kembali bahwa pemerintah Indonesia
sepenuhnya mengakui kedaulatan negara Timor-Leste. Komitmen politik tingkat
tinggi kedua kepala pemerintahan tersebut penting karena berarti kedua negara
telah memutuskan untuk menjalankan kebijakan rekonsiliasi dan membagun kerja
sama dalam rangka memenuhi kepentingan nasional-masing-masing negara.
47
(Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar
Negeri Republik Tahun 2006-2010)
Penetapan Provisional Agreement terhadap batas darat antara RI-Timor
Leste dalam perundingan Batas Darat RI-Timor Leste , Ditjen Hukum, dan
Perjanjian Internasional bertindak sebagai Lead Negotiator, Provisional
Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
Government of the Democratic Republic of Timor Leste on the Land Boundary
(Provisional Agreement) ditandatangani kedua negara pada tanggal 8 April 2005.
Perjanjian tersebut membuat kesepakatan garis batas darat yang terdiri atas 907
titik koordinat, yang masih memerlukan tindak lanjut dari kedua negara.
Gambar. I.B.2.1 Pilar Batas Darat RI-Timor Leste
Sumber : Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia Tahun 2006-2010
Dengan demikian, adanya kerjasama kedua Negara dalam perundingan
JBC (Joint Border Committee) sehingga, kedua Negara tersebut mampu menjalin
hubungan yang lebih baik lagi dalam menangani masalah di perbatasan Indonesia
48
dan Timor Leste dan meningkatkan stabilitas keamanan di perbatasan wilayah
kedua Negara tersebut.
B.2 Komisi Kebenaran dan persahabatan merupakan salah satu upaya
untuk membina kerjasama dan saling pengertian antar negara. Sehingga hubungan
bilateral Indonesia dengan Timor Leste negara tetangga dapat menjadi pelindung
bagi keamanan negaranya. Tekanan politik terhadap Indonesia paska
kemerdekaan Timor leste ternyata tetap ada. Masyrakat internasional menhendaki
keadilan ditegakkan pada semua pihak yang melakukan pelanggaran HAM dalam
masalah Timor-Timur. (Haryadi,2008:19)
Dalam kasus ini Indonesia dianggap sebagai pihak yang dominan
melakukan pelanggaran HAM dan harus mempertanggungjawabkan perbuatanya
di mahkamah Internasional. Karena hal tersebut kedua negara memutuskan untuk
membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) pada tanggal 14
Desember 2004 sebagai suatu sarana untuk memulihkan nama baik dari tuduhan
kejahatan kemanusiaan. KKP bekerja mengungkapkan apa sebenarnya yang telah
terjadi pada masa jajak pendapat tahun 1999, sebagai negara baru, yang masih
memiliki ketergantungan besar terhadap negara tetangganya tersebut, Timor Leste
menerima terbentuknya KKP sebagai suatu solusi, dengan asumsi bahwa
Indonesia mendatang masih tetap membina hubungan baik dengan Timor Leste.
(Krustiyati, 2010:153)
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) secara resmi berdiri 11
Agustus 2005 dengan Sekretariat berada Indonesia. Anggota KKP dari Indonesia
49
adalah pakar hukum pidana dari Universitas hasanuddin Prof.Achmad Ali, mantan
hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga, mantan Kepala Staf Teritorial TNI
Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, Wisber Louis (mantan Dubes RI di Jepang), dan
Uskup Kupang, Nusa Tenggara Timur Mgr Petrus Turang. Sedangkan anggota
KKP dari Timor Leste adalah Aniceto Guterres ( mantan Ketua Asosiasi Tahanan
Politik Indonesia).(www.setneg.go.id)
Dengan terbentuknya Komisi Kebenaran dan Persahabatan kedua negara
bermaksud untuk melakukan penyelesaian politik sendiri tanpa campur tangan
pihak internasional. Sesuai dengan Pasal 14c. bagian referensi Komisi Kebenaran
persahabatan, komisi tidak mempunyai kekuasaan untuk merekomendasikan
proses peradilan baru tetapi dapat merekomendasikan pemberian amnesty kepada
pelaku pelanggaran kejahatan HAM yang mau bekerjasama mengungkapkan
kebenaran. Hal ini malah menimbulkan tuduhan dari dunia internasional bahwa
terbentuknya komisi tersebut hanya merupakan upaya untuk mempermudah
pemberian amnesti bagi para pelaku kejahatan pelanggran HAM.(www.
Tempo.com)
Komisi Kebenaran dan persahabatan dianggap tidak memberikan
peyelesain hukum dan adil. Tidak ada paksaan kepada mereka yang di duga
pelaku pelanggaran HAM untuk memberi pengakuan yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenaranya. Sedangkan dari Timor Leste keberatan akan
pemberian amnesti dianggap tidak adil karena pembunuhan keluarga mereka yang
tidak terungkap Amnesti sudah diminta mantan milisi sebelum mereka kembali ke
Timor Leste.(Haryadi,2008:22)
50
Sama seperti Komisi Kebenaran, rekonsiliasi dan penerimaan yang di
bentuk di Dili tahun 2002, akhirnya kebijakan dan keberadaan Komisi Kebenaran
dan Persahabatan hanya efektif di tingkat pemerintahan kedua negara saja. Meski
demikian masa tugas KKP yang sedianya akan berakhir Agustus 2007 kembali di
perpanjang mandatnya. Dalam pertemuan bilateral Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dengan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta di Jakarta pada,
Bulan Juni 2007, untuk memperpanjang mandat Komisi Kebenaran dan
Persahabatan hingga enam bulan mendatang.(www.tempo.com).
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) merupakan solusi politik yang
dilakukan oleh elit pemerintah Timor Leste dan Indonesia untuk lebih
menekankan hubungan kerjasama bilateral dengan mengutamakan persahabatan
daripada menindaklanjuti dugaan-dugaan dan temuan-temuan pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh Tentara Indonesia (TNI) dan masyarakat pro-integrasi.
Menurut Xanana Gusmao:
Timor Leste dan Indonesia telah memiliki jalan yang sama untuk di telusuri,
dengan menantap kedepan perdamaian harus di capai dengan upaya bersama,
dimana terdapat saling pengertian tentang kesulitan-kesulitan, pemahaman
tentang berbagai masalah yang berdampak terhadap kedua belah pihak,
kamauan untuk menyelesaikan lewat jalan paling layak dan damai.
Penghormatan terhadap situasi dan kondisi yang dialami masing-masing
pihak dan dialog yang diadakan terus-menerus untuk mempermantap
rekonsiliasi. (Sholeh,2013:3-4)
51
KKP menjadi langkah penting menjalin hubungan lebih dekat antara Timor Leste
dan Republik Indonesia. Ketika hubungan ‗persahabatan‘ telah dijalin secara tulus
dan berkelanjutan, berbagai persoalan kedua negara akan lebih baik diselesaikan
termasuk masalah perbatasan. Saat ini Indonesia tetap menjadi salah satu
kerjasama paling penting dalam pembangunan Timor Leste. Ratusan mahasiswa
dan alumni Perguruan Tinggi di Indonesia asal Timor Leste telah menjadi
penggerak penting pembangunan pasca kemerdekaan. Elit partai Fretilin Mari
Alkatiri, mantan Perdana Menteri Timor Leste dan Perdana Menteri Xanana
Gusmao menyadari masalah perbatasan bisa diatasi melalui hubungan lebih dekat
baik secara politik, ekonomi maupun kultural (Sholeh, 2013: 7). Masyarakat
Indonesia dan Timor Leste diperbatasan telah menjalin hubungan secara kultural
dan ekonomi jauh sebelum kemerdekaan. Bahkan diantara mereka adalah satu
klan. Barangkali, ketika Timor Leste resmi menjadi bagian dari ASEAN masalah
perbatasan menjadi semakin kurang relevan seiring dengan kesepakatan negara-
negara ASEAN untuk menjadi satu entitas utuh dalam perdagangan bebas mulai
tahun 2015.
52
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Skripsi ini membahas tentang Upaya Indonesia dalam menangani masalah
keamanan perbatasan dengan Timor Leste pada periode 2002-2012, dalam
penyusunan skripsi ini telah dipaparkan hal-hal yang mengenai kondisi keamanan
perbatasan, permasalahan yang ada di perbatasan serta kebijakan pemerintah
mengenai keamanan perbatasan baik secara unilateral maupun secara bilateral.
Kesimpulan atas garis besar pemaparan yang ada pada bab-bab sebelumnya
sebagai berikut;
Perbatasan bagi suatu Negara, termasuk Indonesia, memiliki arti penting,
tidak saja dalam konteks wilayah suatu Negara dan kedaulatan wilayah, namun
juga memiliki perbatasan darat, laut maupun udara dengan sepuluh Negara,
masalah perbatasan juga merupakan hal serius dan sampai sekarang belum
seluruhnya berhasil dituntaskan, termasuk soal perbatasannya dengan Timor Leste
yang tidak jarang menimbulkan persoalan keamanan di kedua Negara.
Seperti adanya kasus pengungsi dan penyelundupan dikedua Negara, yang
mengakibatkan banyak pelanggaran di perbatasan, sehingga memicu berbagai
persoalan hubungan antar Negara serta merupakan tantangan tersendiri buat
Negara Indonesia untuk menentukan kejelasan batas di kedua Negara.
53
Tidak dipungkiri, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk
mengelolah keamanan perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Upaya ini tidak lain
merupakan sebuah kesungguhan pemerintah Indonesia dalam menata wilayah
perbatasanya. Pemerintah Indonesia sendiri menggunakan kerjasama mengenai
keamanan di perbatasan secara unilateral dan bilateral dan menghasilkan adanya
diplomasi perbatasan ( Border Diplomacy) untuk melakukan serangkaian
pertemuan dengan pemerintah Timor Leste.
Di samping kerjasama-kerjasama yang dilakukan pemerintah secara
unilateral tersebut pemerintah membuat beberapa kebijakan mengenai
pengelolaan keamanan di perbatasan seperti Pepres Nomor 78 Tahun 2005, UU
Nomor 43 tentang wilayah negar, RPJMN 2004-2009 dan RPJMN 2010-2014.
Kebijakan mengenai kebijakan pengelolaan keamanan di perbatasan Indonesia-
Timor Leste belum berjalan secara semestinya. Akibatnya, pengelolaan keamanan
di perbatasan Indonesia dan Timor Leste tidak berjalan secara efektif.
Tidak hanya itu, pemerintah Indonesia juga melakukan kerjasama secara
bilateral dengan Timor Leste, adanya perundingan Joint Border Committee (JBC)
dan KKP melalui diplomasi perbatasan (Border diplomacy) untuk melakukan
serangkain pertemuan dengan pemerintah Timor Leste guna membahas
perbatasan di kedua Negara, yang dimulai sejak tahun 2002. Sejauh ini, Indonesia
dan Timor Leste telah berhasil menyetujui 907 koordinat perbatasan darat batau
sekitar 97% dari total 268,8 kilometer panjang garis batas darat kedua Negara,
sebagaiman yang tertuang dalam Provisional Agreement(Perjanjian Sementara)
yang telah ditandatangani tahun 2005. Meski kemajuan signifikasi telah berhasil
54
dicatat dalam perbatasan darat, Indonesia-Timor Leste belum sampai pembicaran
maritime kedua Negara, pemerintah juga membangun seperangakat kebijakan dan
aturan –aturan untuk mengelola keamanan di wilayah perbatasanya.
Dalam operasionalnya, konsepsi pengelolaan keamanan ini melibatkan
berbagai instansi yang terakait langsung dan tidak langsung, seperti TNI, Polisi,
Deplu, Bea cukai dan lain sebagainya. Meski pemerintah telah mencoba melalui
dua pendekatan tersebut dalam pengelolaan keamanan wilayah perbatasan
Indonesia dan Timor Leste, namun demikian penelitian ini menunjukan bahwa
sesungguhkan kebijakan pengelolaan keamanan tersebut dalam realitasnya belum
berjalan semestinya dan masih adanya hambatan dalam pengelolaanya.
Dengan demikian, skripsi ini telah menjawab pertanyaan penelitian
mengenai bagaimana Upaya Indonesia dalam menangani masalah keamanan
perbatasan dengan Timor leste pada periode 2002-2012. Hal ini dijelaskan dengan
menggunakan kerangka pemikiran kebijakan keamanan, keamanan perbatasan dan
diplomasi perbatasan. Kesimpulannya, kebijakan tersebut berimplikasi pada
hubungan dikedua Negara untuk saling bekerjasama dalam menangani keamanan
perbatasan.
xiv
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Boer Mauna, ― Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam era
Dinamika Globaledisi ke-2” Grafika: Jakarta.
Caballero- Anthony, Mely 2000, ― Human Security (and) Comprehensive Security
in ASEAN‖: The Indonesian Quarterly,XXVIII (4)
Creswell John, 1994, ―Research Design “ Qualitative & Quatitative Approach‖,
London SAGE Publications.
Eglar Edward, 2001,‖ Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan‖, Edisi
Pertama Cetakan I, Publishing LTD: Jakarta
Krustiyati,Atik 2010,‖Penanganan Pengungsi di Indonesia (Tinjauan aspek
Hukum Internasional dan nasional)”, Penerbit Brilian Internasional:
Surabaya.
Ludiro Madu, Aryanta Nugraha, dkk, 2010, ―Mengelola Perbatasan Indonesia Di
Dunia Tanpa Batas : Isu Permasalahan dan Pilihan Kebijakan‖, Graha
Ilmu: Yogyakarta.
Makarim Anwar,dkk Zacky, 2003, ―Hari-hari Terakhir Timor-Timur (Sebuah
Kesaksian)”, PT Enka Parahiyangan: Jakarta.
Makarim Wibisono,2006, ―Tantangan Diplomasi Multilateral‖, LP3ES:Jakarta
Mann, Michael. 1986, ― The Sources of Social Power; A History of Power
from the Beginning to AD 1760”. Cambridge University Press.
xv
Mohtar Mas‘oed, 1990, ―Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dn Metodelogi
Dictionary”, LP3ES : Jakarta.
Roy, SL, 1999, ― Diplomasi‖, Rajawali Press : Jakarta
Suryohadiprojo,Sayidiman,2013 ―Prolog‖ dalam Kiki Syahnakri, Timor-Timur
the Untold Story.
Syahnakri, Kiki,2013 ― Timor-Timur The Untold Story”, PT. Kompas Media
Nusantara: Jakarta
Strake, J.G, 1989, ―Pengantar Hukum Internasional‖, Sinar Grafika: Jakarta.
Wila.R.C.Marnixon, 2006, ―Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan
Wilayah Perbatasan Antarnegara”, PT. Alumni: Bandung
Wuryandari (Ed) Ganewati, 2007, ―Isu Keamanan Antara Indonesia dan Timor
Leste”, LIPI: Jakarta.
Wuryandari (Ed) Ganewati, 2009, ― Keamanan di Perbatasan Indonesia- Timor
Leste‖ Pustaka Pelajar LIPI: Yogyakarta
Zed, Mestika, 2004, ― Metode Penelitian Kepustakaan‖, Yayasan Obor Indonesia:
Jakarta
JURNAL DAN SURAT KABAR
Arif Havas Oegroseno, ― Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia‖, www.
Deplu.go.id.
Fauzan, Disampaikan pada acara Indonesia-Timor Leste Seminar and Conflict
Resolution Training : Building Peace Beyond the Land Border, Kelompok
xvi
Studi Defensia Laboratorium Pertahanan Keamanan dan asosiasi Mahasiswa
Timor Leste UPN Veteran, Yogyakarta. 10 Juni 2011
Haryadi, ― Pengelolaan Perbatasan Indonesia (RI- Timor Leste) RDTL dalam
Perspektif Kebijakan Publik‖, Kajian Vol, 13, No.3, September 2008.
Sholeh, Badrus, 2013 ― Membangun Hubungan Damai Indonesia dan Timor Leste
Kerjasama negara dan Masyarakat Sipil‖. Di presentasikan dalam 4th
Timor
Leste Studies Association (TLSA) conference “Understanding Timor Leste
2013‖ Lieeu Campus UNTL, Dili 15-16 Juli 2013
Walt Stephen M, ―The Renaissance of Securty‖ International Studied
Quartely,Vol, 35 June 1991.
Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Pemisahan Timor-Timur, Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia,
Yayasan Pusat Studi Kawasan Samudera Hindia, Jakarta 2000
INTERNET
Laurensius Molan dan Yohanes Adr, Mencermati Sindikat Penyelundupan BBM
ke TimorLeste,http://antarantt.com/print/37/mencermati-sindikat-
penyelundupan-bbm-ke-timor-leste-oleh-laurensius-molan-dan-yohanes-
adr, diakses tanggal 18 September 2013 pada pukul 10;23 wib.
Sobar Sutrisna dan Sri Handoyo, Delineation And Demarcation Survey Of The
Land Border In Timor: Indonesian Perspective, Center for Boundary
Mapping The National Agency for Surveys and Mapping of Indonesia
(BAKOSURTANAL), www.bakorsutanal.com, diakses tanggal 18
September pada pukul 11:30
Yohanes Adrianus, Kepolisisan Perkuat Pengawasan penyelundupan Narkoba di
Perbatasan,http//www.antaranews.com/berita/392872/kepolisian-perkuat-
pengawasan-penyelundupan-narkoba-di-perbatasan, diakses tanggal 18
September 2013 pada pukul 10:25.
xvii
http://batas.bappenas.go.id//index.php?option=com_content&task=view&id=54&
Itemid=76. Diakses pada 4 Juni 2013
http://suaramerdeka.com/v/index.php/read/news/2011/08/09/93184. Diakses pada
21 Juli 2013
―Batas Maritim Indonesia- Timor Leste masih gantung‖, www republika.co.id,25
April2012.www.Republika.co.id/berita/nasional/nusantaranasional/12/04/2
5/m3059x-batasmaritim-Indonesiatimor-leste-masih-gantung, diakses pada
tanggal 18 September 2013, pada pukul 14.43.
hukum. Unsrat.ac.id/uu43-2008.//uu-pdf. diakses pada tanggal 10 September
2013, pada pukul 18:28
kawasan.Bappenas.go.id/index.php?option=com_content&view=
article&id=188:rencana, diakses pada tanggal 10 September 2013 pada
pukul 18:27.
http://www.crisigroup.org/en/publication-type/media-releases/2010/asis/illicit-
arms-in-indonesia.aspx?alt lang=id, diakses pada tanggal 10 September
2013 pada pukul 19:45
www.The Partnership for Governance Reform.go.id, diakses pada tanggal 18
September 2013, pada pukul 13.00
UNHCR fact Sheet Report, Desember 2003
www.setneg.go.id. Diakses pada tanggal 21 Juli, 14:00
LAMPIRAN-LAMPIRAN