Untung besar dari sampah anorganik
-
Upload
yayasan-perempuan-kaisa-indonesia -
Category
Education
-
view
2.389 -
download
8
Transcript of Untung besar dari sampah anorganik
Bisnis Limbah, Sungguhkah Menjanjikan?
“Pilah dan Olah Sampah Jadi Rupiah” slogan yang diusung pemerintah kota
Pekalongan dalam menjaga dan memelihara kebersihan kota. Tapi apakah
sesederhana itu?
Peserta Bandung Green and Clean di kota Bandung bahkan mendapat iming-
iming akan mendapat bantuan perbankan apabila mampu menyukseskan
program Bank Sampah. Padahal apabila mau dikaji lebih dalam bukankah tujuan
dilaksanakannya program lingkungan hidup adalah untuk meminimalisir
sampah? Jangan-jangan sebagai nasabah Bank Sampah warga berusaha
meningkatkan saldonya dengan perilaku boros sampah.
Karena program Bank Sampah dan Pengelolaan Sampah Organik “berbeda
jurusan” dengan pelestari lingkungan hidup. Ranahnya berbeda, kerangka
berpikir berbeda, departemen yang mengurus berbeda, sehingga hasil
akhirnyapun berbeda pula. Perbedaan tersebut dapat diperjelas dengan
membagi kedua “jurusan” tersebut:
1. Pelaku program Bank Sampah dan Pengelola Sampah Organik di
ranah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)
Sayangnya, tidak ada istilah “Bank Sampah” dan “Daurulang Sampah
Anorganik” dalam UMKM. Yang ada adalah bisnis rongsokan dan bisnis
pengolah sampah plastik/kaleng/kertas menjadi bahan baku baru berkualitas
rendah.
Berapa omzet seorang pengepul rongsokan? Bisa mencapai ratusan juta rupiah
pertahun. Untuk memperlancar usaha, biasanya seorang pengepul membawahi
puluhan tukang rongsok yang diberi fasilitas tinggal di satu atau dua rumah
kontrakan. Para tukang rongsok yang harus berkeliling di area pemukiman ini
umumnya urban ke kota karena menunggu musim panen/musim tanam.
Bagaimana dengan bisnis daurulang sampah anorganik seperti kaleng, plastik
dan kardus? Sama juga. Keuntungannya sangat menjanjikan. Bahkan seorang
pelaku bisnis pengolah limbah plastik di Bandung Selatan mampu memiliki
armada truk untuk mengangkut rongsokan dari para pengepul rongsokan.
Banyaknya pelaku bisnis rongsokan menciptakan hubungan simbiosis
mutualisme. Sama-sama untung, pengepul rongsokan tidak harus mengeluarkan
biaya transportasi untuk mengangkut rongsokan. Pelaku bisnis daurulang
sekaligus pemilik trukpun bisa tenang karena adanya kepastian pasokan bahan
baku.
Pebisnis kelas kakap yang mampu membeli beberapa buah truk memang tidak
sekedar mempunyai pabrik pengolah sampah plastik menjadi biji plastik. Tetapi
umumnya dia juga memasok bahan baku limbah kaleng, besi dan kertas ke
pabrik daurulang di kota lain. Mungkin akhir-akhir ini anda membeli produk
elektronik? Untuk merk tertentu bahan pengganjal produk elektronik bukan lagi
styrofoam tetapi hasil daurulang kardus bekas.
Apakah pelaku rongsokan dan produsen pengolah sampah anorganik tersebut
masuk ranah lingkungan hidup? Jelas tidak. Cara pandang mereka sangat
berbeda dengan pegiat lingkungan hidup. Gaya hidup merekapun bertolak
belakang dengan gaya hidup organis yang wajib dilakoni praktisi lingkungan
hidup. Karena itu, jangan heran apabila disekitar kantor/pabrik rongsokan
banyak terdapat sampah. Beragam sampah: sampah organik dan sampah
anorganik.
Contoh sederhana adalah tukang sampah yang mengangkut sampah dari rumah
ke rumah. Jangan berharap area rumah si tukang sampah senantiasa bersih dari
sampah. Karena dia mengumpulkan sampah demi mendapatkan upah
sedangkan rumah pribadinya penuh sampah dia tidak akan peduli.
Seorang pelaku bisnis rongsokan harus bertujuan menghasilkan profit sebanyak
mungkin. Dia tidak mau bercapek-ria mencatat detail jenis sampah anorganik
seperti yang dilakukan pengelola bank sampah. Bahkan apabila perlu dia
“ngaborong” beragam sampah yang ditawarkan padanya. Praktis dan tidak
membuang waktu. Prinsip mereka: “Waktu adalah uang”. Disekelilingnya
berserakan sampah dia tidak akan peduli karena sampah yang tersisa tersebut
euweuh duitna (tidak bernilai materi).
Demikian pula pelaku bisnis daur ulang sampah plastik. Dia harus menargetkan
pasokan bahan baku agar usaha pengolahan plastik bekas menjadi biji plastik
berjalan lancar. Dia bahkan tidak mau repot mencatat tiap jenis plastik karena
sekali pegang atau lihat, dia akan tahu jenis plastik apakah itu. PETE? HDPE, PP
atau LDPE? Yang harus dilakukannya adalah efisiensi waktu dan keefetifan
gerak. Berapa jumlah tenaga kerja yang diperlukan dan mampu dibiayai, semua
harus dihitung dengan seksama. Para tenaga kerja itulah yang nantinya memilih
berdasarkan jenis dan warna plastik, memasukkan mesin pencacah, mesin
pelebur plastik dan mesin pembuat biji plastik. Contoh sampah plastik diambil
penulis karena menjadi troublemaker (pembuat masalah) dibanding sampah
anorganik lainnya.
2. Pengelola sampah anorganik di ranah Lingkungan Hidup
Berbeda dengan UMKM, pelaku pelestari lingkungan hidup mempunyai tujuan
aksi nonmateri. Mereka bertujuan menjadikan lingkungan hidupnya nyaman
dengan mengelola sampah. Salah satu bentuk kegiatan mereka adalah “Bank
Sampah” dan”Kerajinan Daurulang sampah”. Membuang waktu menjadi tidak
masalah karena lingkungan rumahnya menjadi bersih, asri dan pikabetaheun
(nyaman). Target nonmateri ini membuat pengelola bank sampah tidak dapat
menargetkan pemasukan sesuai cash-flow agar kegiatan berjalan lancar.
Bank sampah juga membutuhkan “tokoh” dalam operasionalnya. Sang tokohlah
yang memobilisir nasabah bank sampah agar jangan lupa menyetor sampah
anorganik. Sungguh berbeda dengan bank konvensional. Bank konvensional
mengedepankan produk jasa dan pelayanannya. Nasabah akan berduyun-
duyun datang apabila produk jasa dan pelayanan suatu bank konvensional
menyenangkan . Sedangkan bank sampah akan terancam keberlangsungan
operasionalnya apabila si tokoh mengundurkan diri atau meninggal dunia.
Karena itu apabila pihak perbankan tertarik pada kegiatan bank sampah, maka
akan lebih bijak memberikan charity (sumbangan) daripada pinjaman.
Hasil yang lebih mengecewakan dialami pelaku kerajinan bekas kemasan plastik.
Pengumpulan bahan baku yang sulit, biaya, tenaga serta waktu yang dihabiskan
ternyata tidak diimbangi dengan inkam memadai. Barang sulit dijual padahal
proses pembuatannya sama rumitnya dengan proses pengumpulan bahan baku.
Diperlukan banyak pengorbanan yang tidak masuk kalkulasi pelaku kerajinan.
Sehingga tidak berlebihan apabila penulis mengategorikan pekerjaan ini sebagai
aksi sosial.
Sayangnya penikmat hasil kerja sosial mereka adalah perusahaan pembuat
produk yang menggunakan kemasan untuk menyimpan dan membawa produk
dari satu tempat ke tempat lainnya. Kemasan plastik memang didisain bewarna-
warni “ngejreng” dengan tujuan memikat pembeli. Bukan untuk menggerakkan
minat pembuat produk daurulang kemasan agar mengumpulkan dan
memprosesnya hingga menjadi produk baru seperti tas, tikar dan sajadah.
Sayangnya lagi telah terjadi pembiaran pelanggaran pasal 15 Undang-Undang
nomor 18 tahun 2008, yaitu : “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau
barang yang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses
alam”.
Limbah kemasan plastik jelas memenuhi kriteria pasal 15. Kelalaian produsen
memenuhi kewajibannya mengakibatkan masalah lanjutan. Yaitu sampah di
buang ke tanah, sungai atau dibakar. Sampah plastik yang dibuang begitu saja
akan sulit terurai oleh alam sedangkan pembakaran sampah menimbulkan asap
beracun .
Sampah plastik bekas kemasan dan keresek (kantung plastik) sebetulnya bisa
didaurulang menjadi biji plastik. Tapi harganya sangat murah karena biji plastik
yang dihasilkan adalah kualitas terendah. Bahan baku keresek hitam. Untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku umumnya pabrik biji plastik menerima
pasokan Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS) dan Tempat
Pembuangan sampah Akhir (TPA).
Harga pasar yang sangat rendah pulalah yang menyebabkan pengepul enggan
menampung sampah kemasan plastik dan keresek. Sehingga jangan heran
melihat tukang rongsok dan pemulung tidak menggubris keberadaan sampah
kemasan dan keresek. Sebanyak apapun.
Selain kemasan plastik biasa, beberapa produsen menggunakan kemasan plastik
berlapis aluminium untuk menjaga kualitas produknya contohnya kopi, cemilan
dan deterjen. Tetapi bagai boomerang, limbah kemasan plastik berlapis
aluminium ini sulit terurai oleh alam. Produsen daurulang plastik angkat tangan.
Karena biaya pengolahannya besar sekali. Tidak sebanding dengan hasil
penjualan biji plastik
Satu-satunya yang masih mempedulikan adalah pengrajin daurulang. Mereka
mengumpulkan dari rumah tangga dan warung, bukan dari tempat sampah.
Sehingga hasil kerja mereka penulis kategorikan sebagai kerajinan daurulang
bekas kemasan bukan kerajinan sampah.
Untuk memenuhi kebutuhan jumlah dan warna bahan baku, pengrajin daurulang
juga harus merogoh kocek. Mereka bersedia membayar cangkang kopi (limbah
kemasan kopi) Rp 25/lembar. Mereka membutuhkan minimal seratus lebih
cangkang kopi untuk membuat dompet kecil. Tapi apa lacur? Sulit sekali
memasarkan produk-produk kerajinan plastik ini.
Harapan yang tersisa adalah bantuan pemerintah untuk menjembatani
permasalahan. Agar pihak-pihak terkait bisa mencari solusi terbaik. Pemerintah
dapat dan harus membantu dalam hal regulasi. Produsen dengan program
CSRnya bisa membantu memasarkan, memberi pengarahan disain produk dan
pemberian modal bergulir. Karena para pengrajin daurulang sampah plastik
umumnya berasal dari golongan menengah kebawah.
Mereka telah mengambil alih kewajiban produsen tetapi hasil kerja kerasnya
diabaikan. Bahkan mungkin produsen berfikir telah memberi lapangan kerja bagi
para pengrajin. Tanpa mengetahui fakta bahwa hasil kerajinan tidak selalu
terjual di pameran yang hanya dilaksanakan beberapa bulan sekali. Beberapa
dari mereka nekad berjualan di Gasibu setiap hari Minggu. Berbaur dengan
pedagang kaki lima (PKL).
Mereka hanya berfikir soal mendapatkan rupiah dengan cara halal. Mereka
hanya berpikir soal harapan. Walau hasil kerjanya tidak mencukupi kebutuhan
hidup, mereka selalu bersemangat. Itulah sebagian kecil potret wajah anak
bangsa.
**Maria Hardayanto**