Untung besar dari sampah anorganik

6
Bisnis Limbah, Sungguhkah Menjanjikan? “Pilah dan Olah Sampah Jadi Rupiah” slogan yang diusung pemerintah kota Pekalongan dalam menjaga dan memelihara kebersihan kota. Tapi apakah sesederhana itu? Peserta Bandung Green and Clean di kota Bandung bahkan mendapat iming-iming akan mendapat bantuan perbankan apabila mampu menyukseskan program Bank Sampah. Padahal apabila mau dikaji lebih dalam bukankah tujuan dilaksanakannya program lingkungan hidup adalah untuk meminimalisir sampah? Jangan-jangan sebagai nasabah Bank Sampah warga berusaha meningkatkan saldonya dengan perilaku boros sampah. Karena program Bank Sampah dan Pengelolaan Sampah Organik “berbeda jurusan” dengan pelestari lingkungan hidup. Ranahnya berbeda, kerangka berpikir berbeda, departemen yang mengurus berbeda, sehingga hasil akhirnyapun berbeda pula. Perbedaan tersebut dapat diperjelas dengan membagi kedua “jurusan” tersebut: 1. Pelaku program Bank Sampah dan Pengelola Sampah Organik di ranah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Sayangnya, tidak ada istilah “Bank Sampah” dan “Daurulang Sampah Anorganik” dalam UMKM. Yang ada adalah bisnis rongsokan dan bisnis pengolah sampah plastik/kaleng/kertas menjadi bahan baku baru berkualitas rendah.

Transcript of Untung besar dari sampah anorganik

Page 1: Untung besar dari sampah anorganik

Bisnis Limbah, Sungguhkah Menjanjikan?

“Pilah dan Olah Sampah Jadi Rupiah” slogan yang diusung pemerintah kota

Pekalongan dalam menjaga dan memelihara kebersihan kota. Tapi apakah

sesederhana itu?

Peserta Bandung Green and Clean di kota Bandung bahkan mendapat iming-

iming akan mendapat bantuan perbankan apabila mampu menyukseskan

program Bank Sampah. Padahal apabila mau dikaji lebih dalam bukankah tujuan

dilaksanakannya program lingkungan hidup adalah untuk meminimalisir

sampah? Jangan-jangan sebagai nasabah Bank Sampah warga berusaha

meningkatkan saldonya dengan perilaku boros sampah.

Karena program Bank Sampah dan Pengelolaan Sampah Organik “berbeda

jurusan” dengan pelestari lingkungan hidup. Ranahnya berbeda, kerangka

berpikir berbeda, departemen yang mengurus berbeda, sehingga hasil

akhirnyapun berbeda pula. Perbedaan tersebut dapat diperjelas dengan

membagi kedua “jurusan” tersebut:

1. Pelaku program Bank Sampah dan Pengelola Sampah Organik di

ranah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

Sayangnya, tidak ada istilah “Bank Sampah” dan “Daurulang Sampah

Anorganik” dalam UMKM. Yang ada adalah bisnis rongsokan dan bisnis

pengolah sampah plastik/kaleng/kertas menjadi bahan baku baru berkualitas

rendah.

Berapa omzet seorang pengepul rongsokan? Bisa mencapai ratusan juta rupiah

pertahun. Untuk memperlancar usaha, biasanya seorang pengepul membawahi

puluhan tukang rongsok yang diberi fasilitas tinggal di satu atau dua rumah

kontrakan. Para tukang rongsok yang harus berkeliling di area pemukiman ini

umumnya urban ke kota karena menunggu musim panen/musim tanam.

Page 2: Untung besar dari sampah anorganik

Bagaimana dengan bisnis daurulang sampah anorganik seperti kaleng, plastik

dan kardus? Sama juga. Keuntungannya sangat menjanjikan. Bahkan seorang

pelaku bisnis pengolah limbah plastik di Bandung Selatan mampu memiliki

armada truk untuk mengangkut rongsokan dari para pengepul rongsokan.

Banyaknya pelaku bisnis rongsokan menciptakan hubungan simbiosis

mutualisme. Sama-sama untung, pengepul rongsokan tidak harus mengeluarkan

biaya transportasi untuk mengangkut rongsokan. Pelaku bisnis daurulang

sekaligus pemilik trukpun bisa tenang karena adanya kepastian pasokan bahan

baku.

Pebisnis kelas kakap yang mampu membeli beberapa buah truk memang tidak

sekedar mempunyai pabrik pengolah sampah plastik menjadi biji plastik. Tetapi

umumnya dia juga memasok bahan baku limbah kaleng, besi dan kertas ke

pabrik daurulang di kota lain. Mungkin akhir-akhir ini anda membeli produk

elektronik? Untuk merk tertentu bahan pengganjal produk elektronik bukan lagi

styrofoam tetapi hasil daurulang kardus bekas.

Apakah pelaku rongsokan dan produsen pengolah sampah anorganik tersebut

masuk ranah lingkungan hidup? Jelas tidak. Cara pandang mereka sangat

berbeda dengan pegiat lingkungan hidup. Gaya hidup merekapun bertolak

belakang dengan gaya hidup organis yang wajib dilakoni praktisi lingkungan

hidup. Karena itu, jangan heran apabila disekitar kantor/pabrik rongsokan

banyak terdapat sampah. Beragam sampah: sampah organik dan sampah

anorganik.

Contoh sederhana adalah tukang sampah yang mengangkut sampah dari rumah

ke rumah. Jangan berharap area rumah si tukang sampah senantiasa bersih dari

sampah. Karena dia mengumpulkan sampah demi mendapatkan upah

sedangkan rumah pribadinya penuh sampah dia tidak akan peduli.

Seorang pelaku bisnis rongsokan harus bertujuan menghasilkan profit sebanyak

mungkin. Dia tidak mau bercapek-ria mencatat detail jenis sampah anorganik

seperti yang dilakukan pengelola bank sampah. Bahkan apabila perlu dia

“ngaborong” beragam sampah yang ditawarkan padanya. Praktis dan tidak

membuang waktu. Prinsip mereka: “Waktu adalah uang”. Disekelilingnya

berserakan sampah dia tidak akan peduli karena sampah yang tersisa tersebut

euweuh duitna (tidak bernilai materi).

Page 3: Untung besar dari sampah anorganik

Demikian pula pelaku bisnis daur ulang sampah plastik. Dia harus menargetkan

pasokan bahan baku agar usaha pengolahan plastik bekas menjadi biji plastik

berjalan lancar. Dia bahkan tidak mau repot mencatat tiap jenis plastik karena

sekali pegang atau lihat, dia akan tahu jenis plastik apakah itu. PETE? HDPE, PP

atau LDPE? Yang harus dilakukannya adalah efisiensi waktu dan keefetifan

gerak. Berapa jumlah tenaga kerja yang diperlukan dan mampu dibiayai, semua

harus dihitung dengan seksama. Para tenaga kerja itulah yang nantinya memilih

berdasarkan jenis dan warna plastik, memasukkan mesin pencacah, mesin

pelebur plastik dan mesin pembuat biji plastik. Contoh sampah plastik diambil

penulis karena menjadi troublemaker (pembuat masalah) dibanding sampah

anorganik lainnya.

2. Pengelola sampah anorganik di ranah Lingkungan Hidup

Berbeda dengan UMKM, pelaku pelestari lingkungan hidup mempunyai tujuan

aksi nonmateri. Mereka bertujuan menjadikan lingkungan hidupnya nyaman

dengan mengelola sampah. Salah satu bentuk kegiatan mereka adalah “Bank

Sampah” dan”Kerajinan Daurulang sampah”. Membuang waktu menjadi tidak

masalah karena lingkungan rumahnya menjadi bersih, asri dan pikabetaheun

(nyaman). Target nonmateri ini membuat pengelola bank sampah tidak dapat

menargetkan pemasukan sesuai cash-flow agar kegiatan berjalan lancar.

Bank sampah juga membutuhkan “tokoh” dalam operasionalnya. Sang tokohlah

yang memobilisir nasabah bank sampah agar jangan lupa menyetor sampah

anorganik. Sungguh berbeda dengan bank konvensional. Bank konvensional

mengedepankan produk jasa dan pelayanannya. Nasabah akan berduyun-

duyun datang apabila produk jasa dan pelayanan suatu bank konvensional

menyenangkan . Sedangkan bank sampah akan terancam keberlangsungan

operasionalnya apabila si tokoh mengundurkan diri atau meninggal dunia.

Karena itu apabila pihak perbankan tertarik pada kegiatan bank sampah, maka

akan lebih bijak memberikan charity (sumbangan) daripada pinjaman.

Hasil yang lebih mengecewakan dialami pelaku kerajinan bekas kemasan plastik.

Pengumpulan bahan baku yang sulit, biaya, tenaga serta waktu yang dihabiskan

ternyata tidak diimbangi dengan inkam memadai. Barang sulit dijual padahal

proses pembuatannya sama rumitnya dengan proses pengumpulan bahan baku.

Diperlukan banyak pengorbanan yang tidak masuk kalkulasi pelaku kerajinan.

Page 4: Untung besar dari sampah anorganik

Sehingga tidak berlebihan apabila penulis mengategorikan pekerjaan ini sebagai

aksi sosial.

Sayangnya penikmat hasil kerja sosial mereka adalah perusahaan pembuat

produk yang menggunakan kemasan untuk menyimpan dan membawa produk

dari satu tempat ke tempat lainnya. Kemasan plastik memang didisain bewarna-

warni “ngejreng” dengan tujuan memikat pembeli. Bukan untuk menggerakkan

minat pembuat produk daurulang kemasan agar mengumpulkan dan

memprosesnya hingga menjadi produk baru seperti tas, tikar dan sajadah.

Sayangnya lagi telah terjadi pembiaran pelanggaran pasal 15 Undang-Undang

nomor 18 tahun 2008, yaitu : “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau

barang yang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses

alam”.

Limbah kemasan plastik jelas memenuhi kriteria pasal 15. Kelalaian produsen

memenuhi kewajibannya mengakibatkan masalah lanjutan. Yaitu sampah di

buang ke tanah, sungai atau dibakar. Sampah plastik yang dibuang begitu saja

akan sulit terurai oleh alam sedangkan pembakaran sampah menimbulkan asap

beracun .

Sampah plastik bekas kemasan dan keresek (kantung plastik) sebetulnya bisa

didaurulang menjadi biji plastik. Tapi harganya sangat murah karena biji plastik

yang dihasilkan adalah kualitas terendah. Bahan baku keresek hitam. Untuk

memenuhi kebutuhan bahan baku umumnya pabrik biji plastik menerima

pasokan Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS) dan Tempat

Pembuangan sampah Akhir (TPA).

Harga pasar yang sangat rendah pulalah yang menyebabkan pengepul enggan

menampung sampah kemasan plastik dan keresek. Sehingga jangan heran

melihat tukang rongsok dan pemulung tidak menggubris keberadaan sampah

kemasan dan keresek. Sebanyak apapun.

Selain kemasan plastik biasa, beberapa produsen menggunakan kemasan plastik

berlapis aluminium untuk menjaga kualitas produknya contohnya kopi, cemilan

dan deterjen. Tetapi bagai boomerang, limbah kemasan plastik berlapis

aluminium ini sulit terurai oleh alam. Produsen daurulang plastik angkat tangan.

Karena biaya pengolahannya besar sekali. Tidak sebanding dengan hasil

penjualan biji plastik

Page 5: Untung besar dari sampah anorganik

Satu-satunya yang masih mempedulikan adalah pengrajin daurulang. Mereka

mengumpulkan dari rumah tangga dan warung, bukan dari tempat sampah.

Sehingga hasil kerja mereka penulis kategorikan sebagai kerajinan daurulang

bekas kemasan bukan kerajinan sampah.

Untuk memenuhi kebutuhan jumlah dan warna bahan baku, pengrajin daurulang

juga harus merogoh kocek. Mereka bersedia membayar cangkang kopi (limbah

kemasan kopi) Rp 25/lembar. Mereka membutuhkan minimal seratus lebih

cangkang kopi untuk membuat dompet kecil. Tapi apa lacur? Sulit sekali

memasarkan produk-produk kerajinan plastik ini.

Harapan yang tersisa adalah bantuan pemerintah untuk menjembatani

permasalahan. Agar pihak-pihak terkait bisa mencari solusi terbaik. Pemerintah

dapat dan harus membantu dalam hal regulasi. Produsen dengan program

CSRnya bisa membantu memasarkan, memberi pengarahan disain produk dan

pemberian modal bergulir. Karena para pengrajin daurulang sampah plastik

umumnya berasal dari golongan menengah kebawah.

Mereka telah mengambil alih kewajiban produsen tetapi hasil kerja kerasnya

diabaikan. Bahkan mungkin produsen berfikir telah memberi lapangan kerja bagi

para pengrajin. Tanpa mengetahui fakta bahwa hasil kerajinan tidak selalu

terjual di pameran yang hanya dilaksanakan beberapa bulan sekali. Beberapa

dari mereka nekad berjualan di Gasibu setiap hari Minggu. Berbaur dengan

pedagang kaki lima (PKL).

Mereka hanya berfikir soal mendapatkan rupiah dengan cara halal. Mereka

hanya berpikir soal harapan. Walau hasil kerjanya tidak mencukupi kebutuhan

hidup, mereka selalu bersemangat. Itulah sebagian kecil potret wajah anak

bangsa.

**Maria Hardayanto**