Untitled

download Untitled

If you can't read please download the document

Transcript of Untitled

LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama Lengkap Umur Jenis Kelamin Alamat Agama Pendidikan : By. Ny. : : : : : R 0 hari Perempuan Rawa Laut-Teluk Betung Islam -IDENTITAS ORANG TUA AYAH Nama Lengkap Umur Jenis kelamin Agama Pekerjaan Suku bangsa Alamat : Tn. DS : : : : : : 31 tahun Laki-laki Islam Kuli Jawa Rawa Laut-Teluk BetungIBU Nama lengkap : Ny. RK Umur : 31 tahun Jenis kelamin : Perempuan Agama : Islam Pekerjaan : Ibu rumah tangga Suku bangsa : lampung Alamat : Rawa Laut-Teluk Betung RIWAYAT PENYAKIT Telah lahir bayi perempuan cukup bulan dengan BBL 3180 gram, PBL 47 cm, dari seo rang ibu G1P0A0. Lahir secara SC pada tanggal 26 Juni 2012 pukul 02.45. Sebelum persalinan, ketuban sudah pecah selama 8 jam dan warna ketuban hijau keruh. Bayi lahir tidak langsung menangis, gerakan sedikit, tubuh kemerahan namun tangan da n kaki kebiruan. Dilakukan rangsang taktil selama 1 lalu bayi menangis namun tida k kuat. APGAR score 7/9. Kelainan kongenital mayor(-), deformitas(-) RIWAYAT KEHAMILAN G1P0A0 Presentasi Kepala HPHT : 25-7-2010 Taksiran Partus : 1-5-2011 Penyakit Selama Kehamilan : Hipertensi Komplikasi selama Kehamilan : Pre Eklampsia Pemeriksaan Terakhir Saat kehamilan : Hb :11,3 g/dl; Ht : 33,5% ; trombosit ; 258rb ; leukosit : 26rb Kebiasaan Waktu Hamil : Perawatan antenatal : Teratur, ke bidan RIWAYAT KELAHIRAN Berat badan ibu : 54 kg Tinggi badan ibu : 156 cm Persalinan di Rumah Sakit UKI Jenis persalinan : Sectio Caesaria Indikasi : Pre eklampsia berat + KPD KEADAAN BAYIBerat badan lahir Panjang badan lahir Lingkar kepala Kelainan Bawaan: 3180 gram : 37 cm : 27,5 cm : Tidak ada : 3 : 3 : : : : : : : : : 2 : : : : : : 3 2 3 2 3 2 : 2 : 3 : 3 : 2 + 3 2 2 4 3 2 1 1 +Kriteria neurologis menurut Dubowitz: sikap jendela sendi pergeangan tangan dorsofleksi kaki rekoil lengan rekoil tungkai sudut poplitea gerakan tumit kekuping tanda skarf tonus otot leher suspensi ventral 24 Karakteristik eksternal menurut Dubowitz : edema jaringan kulit warna kulit ketipisan kulit lanugo guratan telapak kaki perkembangan puting susu besarnya payudara bentuk telinga elastisitas daun telinga genitalia 27Total skor : 24 + 27 = 51 Umur Kehamilan : 39 minggu Klasifikasi Neonatus (Battaglia & Lubchenko) : Neonatus Cukup Bulan Sesuai Masa Kehamilan RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA DATA KELUARGA Keterangan Perkawinan ke Umur saat menikah Konsanguitas Penyakit AYAH 1 32 tahun Disangkal IBU 1 31 tahun Disangkal : -Riwayat penyakit dalam keluarga : Disangkal Riwayat penyakit antar anggota keluarga : Disangkal PEMERIKSAAN JASMANI PEMERIKSAAN UMUM KU FJ RR SUHU PEMERIKSAAN SISTEMATIS : Tampak sakit sedang (hipoaktif, menangis jarang & lemah) : 145X/mnt (Reguler, kuat angkat, isi cukup) : 60 X/mnt (reguler, tidak adekuat) : 37,7 C (Axilla)KEPALA : BENTUK DAN UKURAN : NORMOCEPHALI, BULAT, UUB DATAR, KAPUT SUKSEDANEUM (-), L K = 38 CM RAMBUT & KULIT KEPALA : HITAM, DISTRIBUSI MERATA, SEFAL HEMATOM (-) MATA : KONJUNGTIVA TIDAK ANEMIS, SKLERA TIDAK IKTERIK TELINGA : NORMOTIA HIDUNG : BENTUK BIASA, LAPANG, PERNAPASAN CUPING HIDUNG(+) BIBIR : MUKOSA BIBIR LEMBAB, SIANOSIS SIRKUM ORAL (-) LIDAH : TIDAK KOTOR LEHER : KGB TIDAK TERABA THORAKS INSPEKSI : PERGERAKAN DINDING DADA SIMETRIS, RETRAKSI EPIGASTRIUM (+) PALPASI : STEM FREMITUS KANAN = KIRI AUSKULTASI : BND BRONKOVESIKULER, RONKI -/-, WHEEZING -/- ; BJ I/II NORMAL, GALLOP -, MURMUR ABDOMEN : INSPEKSI : PERUT DATAR, TALI PUSAT TERAWAT AUSKULTASI : BISING USUS (+), 4 X/MNT PALPASI : SUPEL, HEPAR DAN LIEN TIDAK TERABA ANUS & REKTUM : DBN GENITALIA : LABIA MAYOR SUDAH MENUTUPI LABIA MINOR ANGGOTA GERAK : DBN TULANG BELAKANG : DBN KULIT : TURGOR CUKUP, SIANOSIS (-) REFLEX : Hisap(+) tidak kuat, rooting(+), moro(+), genggam(+) PEMERIKSAAN LABORATORIUM (26 Juni 2012) Golongan darah : O Hemoglobin : 14,2 g % Eritrosit : 4 Juta/ l Hematokrit : 42% Leukosit : 28.200/l Trombosit : 184.000/l Hitung jenis : 0 / 1/ 12/ 66/ 18/ 3 GDS : 122 mg/dl CRP semi kuantitatif : 15 mg/dl IT Ratio : 1,16 DIAGNOSIS KERJA NCB SMK dengan Sepsis Neonatorum PENATALAKSANAAN Rawat inap perina Puasa Sementara OGT di alirkan O2 8% LPM Head Box Pasang monitor saturasi O2 Periksa lab DL IVFD: D10% 10 tts/mnt ( mikro) MM/ : Zidifec 2 x 200 mg (IV)FOLLOW UP Follow up 3 jam : ( 26/06/2012) S : sesak, menangis lemah O : KU : Tampak sakit berat Kes : Menangis lemah,gerak tidak aktif FJ : 140 x/mnt FP : 60 x/mnt Suhu : 37,7 C Pemeriksaan Fisik Hidung : Pernafasan cuping hidung (+) Thoraks : I : Retraksi epigastrium (+) P: Stem fremitus kanan = kiri A: BND Bronkovesikuler, Ronki -/-, Wheezing -/BJ I/II Normal, Gallop -, Murmur A P : NCB-SMK dengan sepsis neonatorum : O2 Head box 8 LPM Diet : Puasa IVFD: Dextrose 5% 10 tetes/menit (mikro) mm/ Cidifec 2X150 mg(IV) SOAP Hari II (27/06/2012;07.00 WIB) S : Sesak tampak berkurang O : KU : Tampak sakit sedang Kes : Menangis merintih,gerak tidak aktif FJ : 130 x/mnt FP : 60x/mnt Suhu : 37,5 C Pemeriksaan Fisik Hidung : Pernafasan cuping hidung (+) Thoraks : I : Retraksi epigastriuml (+) P: Stem fremitus kanan = kiri A: BND Bronkovesikuler, Ronki-/-,Wheezing -/-BJ I/II Normal, Gallop -, Murmur A P : NCB-SMK dengan sepsis neonatorum : O2 headbox 8 LPM Diet : Puasa IVFD Dextrose 5% 12 tts/menit (mikro) mm/ Zidifec 2X150 mg(IV)Visit dr. Prambudi, Sp.A Minum/OGT : Asi/Lactogen 1 takaran 60cc. 8x5cc/OGT Vit K 1 mg 1x lagi Anjuran Prx Kultur darah & resistensi SOAP Hari III(28/06/2012;07.00 WIB) S : sesak berkurang O : KU : Tampak sakit berat (hipoaktif, Kes : Menangis merintih,gerak tidak aktif FJ : 120 x/mnt FP : 50 x/mntSuhu : 37 C Pemeriksaan Fisik Hidung : Pernafasan cuping hidung (+) Thoraks : I : Retraksi epigastriuml (+) P: Stem fremitus kanan = kiri A: BND Bronkovesikuler, Ronki-/-,Wheezing -/-BJ I/II Normal, Gallop -, Murmur A P : NCB-SMK dengan sepsis neonatorum : O2 8 LPM per incubator Diet Lactogen 8x5 cc IVFD Dextrose 5% 12 tts/menit (mikro) mm/ Zidifec 2X150 mg(IV)Visit dr. Prambudi, SpA Infus ganti Kaen1B 12tetes/menit + KCL 4 meq Acran 2 x 2mg Aminosteril 50 cc/hari SOAP Hari III(28/06/2012;07.00 WIB) S : sesak berkurang O : KU : Tampak sakit berat (hipoaktif, Kes : Menangis merintih,gerak tidak aktif FJ : 120 x/mnt FP : 50 x/mnt Suhu : 37 C Pemeriksaan Fisik Hidung : Pernafasan cuping hidung (+) Thoraks : I : Retraksi epigastriuml (+) P: Stem fremitus kanan = kiri A: BND Bronkovesikuler, Ronki-/-,Wheezing -/-BJ I/II Normal, Gallop -, Murmur A P : NCB-SMK dengan sepsis neonatorum : O2 8 LPM per incubator Diet Lactogen 8x5 cc IVFD Dextrose 5% 12 tts/menit (mikro) mm/ Zidifec 2X150 mg(IV)Visit dr. Prambudi, SpA Infus ganti Kaen1B 12tetes/menit + KCL 4 meq Acran 2 x 2mg Aminosteril 50 cc/hariSOAP Hari IV(29/06/2012;07.00 WIB) S : sesak tidak ada O : KU : Tampak sakit sedang Kes : Menangis merintih,gerak tidak aktif FJ : 120 x/mnt FP : 130 x/mnt Suhu : 36,7 C Pemeriksaan FisikHidung : Pernafasan cuping hidung (-) Thoraks : I : Retraksi epigastriuml (-) P: Stem fremitus kanan = kiri A: BND Bronkovesikuler, Ronki-/-,Wheezing -/-BJ I/II Normal, Gallop -, Murmur A : NCB-SMK dengan sepsis neonatorum P : O2 8 LPM perincubator Diet : Lactogen 8x5 cc IVFD KAEN 1 B 12 tts/menit + KCL 4 meq (mikro) Aminosteril 1x 50 cc mm/ Zidifec 2X150 mg(IV) Acran 2 x 20 mg Visit dr. Prambudi, SpA Aff OGT Boleh minum lactogen 8 x 30 cc SOAP Hari V(30/06/2012;07.00 WIB) S :Sesak tidak ada O : KU : Tampak sakit sedang Kes : Menangis merintih,gerak tidak aktif FJ : 100 x/mnt FP : 50x/mnt Suhu : 36,7 C Pemeriksaan Fisik Hidung : Pernafasan cuping hidung (-) Mulut: Sianosis sirkumoral (-), mukosa bibir lembab Thoraks : I : Retraksi epigastriuml (-) P: Stem fremitus kanan = kiri A: BND Bronkovesikuler, Ronki-/-,Wheezing -/-BJ I/II Normal, Gallop -, Murmur A P : NCB-SMK dengan sepsis neonatorum : O2 8 LPM perinkubator Diet Lactogen 8x30 cc IVFD KAEN 1B 12 tts/menit + KCL 4 Meq (mikro) Aminosteril 1 x 50 cc mm/ Zidifec 2X150 mg(IV)ANALISA KASUS Pasien di diagnosis dengan Neonatus Cukup Bulan sesuai Masa Kehamilan dengan Sep sis neonatorum. Diagnosis di tegakkan berdasarkan Anamnesis, Pemeriksaan fisik d an pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamesis didapatkan bayi baru lahir dengan BBL 3180 gram dan PBL 47 cm. Pasien lahir dengan riwayat persalinan ketuban pec ah dini (8 jam) dan pada saat lahir ketuban ibu berwarna hijau keruh. Meskipun d emikian hal tersebut tidak dapat dimasukkan kedalam criteria factor resiko sepsi s neonatal, karena ;menurut literature; tidak lebih dari 12 jam (minor) ataupun lebih dari 24 jam (mayor). Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan, menurut criteria Lubchenko dan kriteri a bataglia pasien termasuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan. Pemeriksa an berdasarkan neurologi criteria dan eksternal criteria. Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan: Frekuensi Nafas : 60 x/menit Frekuensi Jantung: 145 x/mnt Pernafasan cuping hidung (+) Retraksi suprasternal (+) Suhu : 37,7 C Pemeriksaan fisik tersebut mendukung ke arah terjadinya suatu proses infeksi sis temik atau mendukung diagnosis sepsis neonatal. Berdasarkan pemeriksaan penunjang didapatkan hasil lab darah berupa pemeriksaan darah perifer, CRP, IT ratio. Hal ini sudah seuai dengan tinjauan pustaka. Pemer iskaan lab tersebut mendukung diagnosis kea rah sepsis neonatal. Meskipun demiki an pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan kultur darah, padahal dengan dilak ukan pemeriksaan tersebut dapat ditegakkan diagnosis pasti sepsis neoanatal. Pad a pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan kultur darah dikarenakan keterbatasan b iaya. Pilihan utama penatalaksanaan sepsis neonatorum adalah eliminasi kuman penyebab. Pada pasien ini diberikan terapi antibiotk selama 7 hari. Hal ini sudah sesuai dengan prinsip penatalaksanaan sepsis neonatal menurut literatur.SEPSIS NEONATORUM I. PENDAHULUAN Kematian Neonatus sampai saat ini masih merupakan mortalitas yang tertinggi sepa njang kehidupan manusia dan berhubungan erat dengan angka kematian bayi. Dalam angka kematian bayi (infant mortality rate) dikenal dengan istilah the two third rule atau aturan 2/3, yaitu aturan yang memperlihatkan bahwa 2/3 dari seluruh kematian bayi berusia dibawah 1 tahun merupakan kematian bayi usia kurang dari 1 bulan; dari kematian bayi usia < 1 bulan tersebut 2/3 merupakan kematian bayi be rusia < 1 minggu dan 2/3 dari jumlah tersebut meninggal dalam 24 jam pertama. Aturan memperlihatkan bahwa kematian neonatus merupakan komponen utama kematian bayi (infant mortality rate) yaitu angka yang dipakai sebagai indikator kemajuan kesehatan di suatu negara. Penyebab kematian neonatus pada negara berkembang be rturut-turut ialah penyakit infeksi (42 %), asfiksia dan trauma lahir (29 %), ba yi kurang bulan dan berat lahir rendah (10 %), kelainan bawaan (14 %) dan sebab lain (4 %). Penyakit infeksi dan Sepsis Neonatorum masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality rate yang tinggi pada penderita tetanus neonatorum dan sepsis neonatus. Dengan pesatnya kemajuan teknologi kedokteran dan penemuan bermacam antibiotik b aru memperlihatkan penurunan angka kematian sepsis neonatorum. Walaupun demikian , hal ini ternyata tidak memperbaiki angka kejadian sepsis neonatorum. Angka kej adian sepsis yang masih tetap tinggi baik dinegara maju maupun negara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor perinatal yang masih belum dapat ditanggulangi dengan optimal, antara lain : 1. Sering terjadi dilema dalam tata laksana sepsis. Keterlambatan pengobata n akan meningkatkan angka mortalitas, sedangkan over diagnosis akibat gambaran k linis yang tidak spesifik akan menyebabkan over treatment yang tentunya akan mer ugikan pasien. 2. Diagnosis sepsis neonatorum seringkali sulit karena jarang ditemukan tan da sepsis klasik. Biakan darah yang merupakan baku emas dalam diagnosis sepsis b aru memberikan hasil setelah 3-5 hari pengambilan bahan biakan. Selain itu, kuma n penyebab infeksi tidak selalu sama, baik antar klinik, antara waktu, ataupun a ntar negara. Demikian pula berbagai pemeriksaan penunjang lain seperti C reaktif protein atau rasio I/T tidak spesifik sehingga sulit dipakai sebagai pegangan d alam diagnosis pasti sepsis. 3. Adanya informasi baru dalam patogenesis dan perjalanan penyakit sepsis d alam dekade terakhir memberikan alternatif baru dalam mengatasi masalah sepsis, baik pencegahan maupun tatalaksana sepsis secara umum beberapa penulisan terakhi r memperlihatkan tata laksana sepsis yang lebih efisien dan efektif. Segala bentuk infeksi yang terjadi pada bayi merupakan hal yang lebih berbahaya dibandingkan dengan infeksi yang terjadi pada anak atau dewasa. Sistem imun pad a bayi muda belum cukup berkembang untuk melawan infeksi yang terlalu berat. Ini merupakan alasan mengapa bayi harus dirawat dengan ketat bila dicurigai mengala mi infeksi. II. DEFINISI Konsensus definisi sepsis masih diperdebatkan. Sesuai dengan kesepakatan yang ad a, akhir-akhir ini dikemukakan bahwa sepsis bukan merupakan kondisi Homogen deng an ditemukannya kuman penyebab, tetapi merupakan suatu proses berkelanjutan mula i dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi mult iorgan dan akhirnya kematian. Pada neonatus umumnya ditemukan berbagai tingkat d efisiensi sistem pertahanan tubuh, sehingga respon sistematik pada janin dan neo natus akan berlainan dengan orang dewasa. Infeksi neonatus awitan dini respons s istematik pada bayi mungkin terjadi saat bayi masih didalam kandungan yang diken al dengan istilah fetal inflamatory responce syndrome (FIRS), yaitu infeksi jani n atau neonatus terjadi karena penyebaran infeksi dari kuman vagina (ascendng in fection) atau infeksi yang menjalar secara hematogen dari ibu yang mengalami inf eksi. Dengan demikian konsep infeksi pada neonatus, khusus pada infeksi awitan dini, perjalanan penyakit bermula dengan FIRS, kemudian sepsis, sepsis berat, s yok septik/renjatan septik, disfungsi multiorgan dan akhirnya kematian. Pada tahun 1991 konsensus The American College of The Physicions and the society of critical care medicine (ACCP/SCCM) mendefinisikan systematic inflammatory re spons syndrome (SIRS) sebagai respon inflamasi sistemik terhadap berbagai keadaa n klinis yang merusak (trauma, luka bakar, pankreatitis dan infeksi), sedangkan sepsis adalah respons inflamasi sistemik terhadap infeksi. Pendapat lain menyebutkan sepsis neonatorum sebagai syndrom klinik penyakit sistematik yang diserta i bakteremia dan terjadi pada bulan pertama kehidupan. Sepsis berat didefinisika n sebagai sepsis yang disertai komplikasi disfungsi organ tunggal dan hipotensi. Syok septik ditandai dengan sepsis berat yang membutuhkan resusitasi cairan dan dukungan inotropik. Syndrom disfungsi multi organ yaitu kegagalan multiorgan wa laupun dukungan terapi telah diberikan separuhnya. III. EPIODEMIOLOGI Berdasarkan perkiraan WHO terdapat sekitar 5 juta kematian neonatus per tahun. D i negara berkembang angka mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama ke hidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup. Sepsis meliputi 11 30 % dari seluru h kematian neonatus. Angka kejadian sepsis dinegara berkembang masih cukup tingg i (1,8 18/1000 kelahiran) di banding dengan negara maju (1-5 pasien/ 1000 kelahi ran). Di RSCM periode Januari September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum s ebesar 13,68 % dan seluruh kelahiran hidup dengan tingkat kematian sebesar 14,18 %, tingginya angka kejadian sepsis neonatorum di RSCM karena merupakan RS. Ruju kan.IV. KLASIFIKASI Sepsis neonatorum dibedakan menjadi sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) dan sep sis neonatorum awitan lambat (SWAL). Keduanya berbeda dengan patogenesis, mikroo rganisme penyebab, tata laksana dan prognosis. SNAD terjadi pada usia < 72 jam, biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari ibu, baik dalam masa k ehamilan maupun selama proses persalinan. SNAL terjadi pada usia > 72 jam, dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang diperoleh selama proses pasalinan tetapi ma nifestasinya lambat (setelah 3 hari) atau biasanya terjadi pada bayi-bayi yang d irawat di rumah sakit (Infeksi nasokomial). Perjalanan penyakit SNAD biasanya le bih berat, dan cenderung menjadi fulminan yang dapat berakhir dengan kematian. S epsis lambat mudah menjadi berat, dan sering menjadi meningitis. V. ETIOLOGI Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat m enyebabkan infeksi berat yang mengarah ke terjadinya sepsis. Sepsis pada bayi ha mpir selalu disebabkan oleh bakteri. Beberapa masalah yang perlu dipertimbangkan dalam identifikasi kuman ialah adany a perbedaan antara kuman penyebab dari satu tempat ke tempat yang lain, dari wak tu ke waktu, serta perbedaan bentuk infeksi. Pada negara maju kuman yang terseri ng ditemukan pada infeksi awitan dini adalah kelompok kuman B Streptokokus (GBS) , E-coli, Haemophilus Influenzae dan Lysteria monosytogenis, sedangkan di FKUI R SCM selama tahun 2002 ditemukan berturut-turut kuman Enterobacter Sp, Acinetobad er Sp dan Coli Sp. Berlainan dengan kelompok awitan dini, Hampir sebagian besar kuman penyebab dinegara berkembang adalah kuman gram negat if berupa kuman enterik, antara lain Entrobacter sp, Klebsiella sp, dan Coli sp . Di Amerika Utara dan Eropa Barat 40 % disebabkan oleh Streptococus group B (SG B), sedangkan Coli sp, Literia sp, dan Enterouius di temukan dalam jumlah yang l ebih sedikit.pada bayi dengan berat badan lahir rendah, Candida dan Stafilokokus koagulase negatif (CONS) merupakan patogen yang paling umum pada sepsis awitan lambat.(1) Streptokokus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama prose s kelahiran. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika, p aling tidak terdapat bakterial pada vagina / rektum pada satu dari setiap lima w anita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi selama melahirkan. Bayi prematur ya ng menjalani perawatan intensif rentan terhadap sepsis karena sistem imun mereka yang belum berkembang dan mereka biasanya menjalani prosedur-prosedur invasif s eperti infus jangka panjang, pemasangan sejumlah kateter, dan bernafas melalui s elang yang dihubungkan dengan ventilator. Organisme yang normalnya hidup di permukaan kulit dapat masuk kedalam tubuh kemudian ke dalam aliran darah melalui alat-alat seperti yang telah disebut di atas. Bayi berusia 3 bulan 3 tahun beresiko mengalami bakteremia ter samar, yang bila tidak segera di rawat, kadang-kadang dapat mengarah ke sepsis. Bakteremia tersamar artinya bahwa bakteri telah memasuki aliran darah, tapi tida k ada sumber infeksi yang jelas. Tanda paling umum terjadinya bakteremia tersama r adalah demam. Hampir 1/3 dari semua bayi rentang usia ini mengalami demam tanp a adanya alasan yang jelas dan penelitian menunjukkan bahwa 4% dari mereka akhir nya akan mengalami infeksi bakterial dalam darah. S treptokokus pneumoniae (pneu mokokus) menyebabkan sekitar 85% dari semua kasus bakteremia tersamar pada bayi berusia 3 bulan 3 tahun. VI. PATOFISIOLOGI Sepsis merupakan akibat interaksi yang kompleks antara mikroorga nisme patogen dan pejamu. Tinjauan tentang sepsis menghubungkan patofisiologi ya ng kompleks dalam terjadinya hipotensi dan obstruksi aliran darah karena pembent ukkan mikro trombus pada sistem kapilar. Hal ini akan mengakibatkan disfungsi or gan, yang selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ dan akhirnya kematian. Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molekuler dan selule r untuk menimbulkan respon sepsis berbeda tergantung mikroorganisme penyebab, se dangkan tahapan-tahapan pada respon sepsis adalah sama dan tidak tergantung fakt or penyebab. Respon inflamasi terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan pelep asan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari dinding sel yang dilepas pada saat lisis. Organisme gram positif, jamur dan virus memulai respon inflamasi de ngan melepaskan eksotoksin, super antigen dan komponen antigen sel. Cascade sepsis akan terpicu oleh mikroorganisme tersebut di atas , yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi primer. Mediator inflamasi pr imer dilepaskan dari sel-sel sebagai hasil dari aktifasi makrofag. Pelepasan med iator ini menyebabkan aktifasi sistem koagulasi dan komplemen. Kerusakan utama a kibat aktifasi tersebut terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan mi grasi lekosit dan pembentukkan mikrotrombin. Aktifasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tem pat cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sint esis dan ekspresi molekul anti trombotik. Manifestasi klinis cascade sepsis ini adalah kebocoran kapiler d an vasodilatasi pembuluh darah yang selanjutnya akan menimbulkan disfungsi organ dan syok. Bila syok, kebocoran kapiler dan vasodilatasi tidak dapat diatasi, ma ka akan terjadi disfungsi multi organ dan akhirnya kematian. Sebelumnya sepsis dianggap sebagai kelainan inflamasi saja. Pene litian terkini menunjukkan bahwa mekanisme sepsis juga mencakup aktivasi koagula si dan gangguan fibrinologis sehingga tercipta suatu keadaan protrombotik. Hasil akhir Hari dari keadaan ini adalah gangguan fungsi multi organ. Gambar 3 memper lihatkan hilangnya homeostasis pada sepsis sebagai akibat mekanisme tersebut di atas. Mediator inflamasi primer mengaktivasi neutrofil untuk melekat p ada sel endotel, aktivasi trombosit, metabolisme asam arakidonat, dan mengaktiva si sel T untuk memproduksi IFN-, IL-2, IL-4 dan granulocyte macrophage coloni sti mulating factor (GMCSF). Agen lain sebagai bagian kaskade sepsis adalah molekul adhesi, kinin, trombin, myocardial depressant substance, beta endorphin, and hea t shock protein. Molekul adhesi dan trombin dapat membantu kerusakan endotel, se dangkan IL-4, IL-8, dan heat shock protein dapat melindungi terhadap kerusakan. Sel endotel yang cedera dapat menyebabkan granulosit dan konstit uen plasma memasuki jaringan inflamasi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Inf lamasi sel endotel menyebabkan vasodilatasi melalui kerja nitric oxide pada otot polos pembuluh darah. Hipotensi berat terjadi akibat produksi nitric oxide yang berlebihan, pelepasan peptida vasoaktif seperti bradikinin, serotonin, dan ekst ravasasi cairan ke ruang interstisial akibat kerusakan sel endotel. Respons inflamasi sebetulnya bertujuan meningkatkan respons imun untuk mengeliminasi mikro-orgamsme atau produk mikro-organisme tersebut. Bila e liminasi tersebut tidak berhasil, maka inflamasi dapat meluas dan berlebihan sehingga terjadi kerusakan jaringan, gangguan mekanisme koagulasi, renjatan, dan la in-lain. Sebagai respons terhadap mediator proinflamasi, terjadi produksi sitoki n anti inflamasi. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara proinflamasi dan anti inflamasi. Beberapa sitokin anti inflamasi IL-4, IL-10 dan IL-13 mengh ambat produksi sitokin dari leukosit. IL-4 dan IL-10 dapat menghentikan produksi monosit/makrofag yaitu TNF-a, IL-1, IL-6 dan IL-8. IL-1 receptor antagonist (IL -lra) merupakan sitokin antagonis terlarut, menghambat aktivitas IL-1 dengan men gikat reseptor IL-1. Reseptor TNF terlarut (sTNFr) merupakan reseptor yang terda pat di sirkulasi, terikat erat pada sel pejamu, berperan sebagai antagonis TNF. Pemberian IL-10 juga melemahkan produksi TNFa dan menurunkan kematian, sedangkan anti IL-10 dihubungkan dengan mortalitas yang meningkat pada hewan yang terkena sepsis. Sitokin proinflamasi mengaktivasi jalur klasik dan alternatif si stem komplemen. Sistem komplemen merupakan komponen utama innate immunity. Meskip un demikian bila terjadi overaktivasi akan menyebabkan kerusakan endotel. C5a da n produk komplemen lain akan menimbulkan kemotaksis neutrofil, fagositosis denga n pelepasan enzim lisosom, sintesis leukotrien, peningkatan agregasi dan adhesi trombosit dan neutrofil, degranulasi dan produksi oksigen radikal toksik. Aktiva si sistem komplemen menghasilkan pelepasan histamin dari sel mast dan peningkata n permeabilitas kapiler, menyebabkan perembesan cairan ke ruang interstisial. Pa da model binatang, C5a menyebabkan hipotensi, vasokonstriksi pembuluh darah paru , neutropenia dan kebocoran vaskular disebabkan oleh kerusakan endotel. Trombosit juga terlibat dalam kaskade sepsis, walaupun buktinya belum jelas. Trombosit dapat menyebabkan kerusakan endotel melalui 2 cara, yaitu : menginduksi vasokonstriksi dan stimulasi neutrofil. Turunan trombosit, transfor ming growth factor bl juga terlibat. Gangguan fibrinolisis Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi penyembuhan luka, angiogenesi s (pembentukan pembuluh darah baru), dan rekanalisasi pembuluh darah. Aktivator fibrinolisis yaitu tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan uroki-nase type plasininogen activator (u-PA) merubah plasminogen menjadi plasmin. Sekali terben tuk plasmin, akan terjadi protcolisis fibrin. Tubuh mempunyai inhibitor fibrinol isis natural yaitu PAI-1 dan thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan inhibitor ini dibutuhkan untuk mempertahankan homeostasis. Aktivi tas fibrinolitik secara lengkap dihambat 3-4 jam setelah awitan endotoksemia Pada pasien sepsis terjadi gangguan koagulasi dan fibrinolisis. Disseminated intravascular coagulation (DIC) merupakan komplikasi tersering pada sepsis. Aktivasi koagulasi dan konsumsi trombosit menyebabkan deposisi fibrin pa da pembuluh darah kecil-sedang. Bekuan darah ini menyumbat aliran darah sehingga perfusi ke organ menurun dan akan menyebabkan disfungsi multi organ. Konsumsi f aktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan berat. DIC secara bersamaan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan perdarahan. Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tu buh tidak mampu menghilangkan mikrotrombin TNF-a menyebabkan supresi fibrinolisi s akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin. Hasil pemecah an fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF-a dan IL-6) bekerja siner gis meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan trombosit pada pembuluh dara h kecil dari sedang, yang selanjutnya menyebabkan disfungsi organ. Secara klinis disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal g injal, dan kematian pada kasus yang berat. Efek kumulatif kaskade sepsis adalah keadaan tanpa keseimbangan. Inflamasi dominan terhadap anti inflamasi dan koagulasi dominan terhadap fibrin olisis, sehingga terjadi trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia, dan keru sakan jaringan. Sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ dapat terjadi, dan akhirnya kematian.Kerusakan jaringan Patogenesis kerusakan jaringan sangat kompleks. Kerusakan jaring an terjadi selama proses inflamasi dan merupakan suatu proses yang progresif yan g akhirnya menimbulkan gangguan fungsi organ. Neutrofil dalam sirkulasi berinter aksi dengan sel endotel pembuluh darah melalui 3 tahap yaitu menggulung, adhesi dan migrasi. Proses menggulungnya leukosit diperantarai sitokin proinflamasi yan g menginduksi ekspresi selektin pada leukosit dan endotel. Adhesi terjadi melalu i ikatan leukosit b2 integrins pada endothel:al intracellular adhesion molecule1 (ICAM-1). Ekspresi molekul adhesi meningkat pada hampir semua pasien dengan se psis berat dan paling tinggi pada pasien dengan disfungsi organ multipel. Selanj utnya leukosit akan bermigrasi ke jaringan. Leukosit polimorfonuklear (PMN) adalah salah satu mediator selul ar utama pada kerusakan jaringan. Leukosit PMN tersebut menumpuk di jaringan seb agai respons terhadap endotoksin dan IL-8, yaitu chemoattractan kuat dan aktivat or leukosit PMN. Kerusakan jaringan terjadi akibat degranulasi leukosit yang men ghasilkan protease (termasuk elastase dan matriks metaloprotein yang dapat memec ah struktur protein) dan reactive oxygen species (ROS). Neutrofil yang teraktiva si memproduksi sejumlah besar ROS yang berasal dari NADPH oxidase membran sel ya ng selanjutnya memproduksi oxygen free radical dan hydroxyl radical. Radikal beb as ini dihubungkan dengan kerusakan jaringan, namun juga merupakan bagian dari e fek sitotoksik mikroba oleh neutrofil. Disfungsi multi organ Gangguan fungsi paru sering terjadi pada pasien sepsis atau SIRS , dan bermanifestasi sebagai takipneu, hipoksemia, dan alkalosis respiratorik. P ada keadaan berat akan terjadi acute lung injury dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Komplikasi ARDS terjadi pada lebih dari 60 % kasus syok septik. Proses patologik utama adalah disfungsi endotel kapiler paru yang mengakibatkan edema alveolar dan interstisial yang berisi cairan eksudat dengan kadar protein yang tinggi dan sel fagosit. Permeabilitas endotel meningkat sebagai respons ter hadap sitokin proinflamasi yang selanjutnya akan terjadi kerusakan alveolus dan destruksi membran basalis. Neutrofil bersekuestrasi dalam paru sebagai respons t erhadap IL-8. Konsentrasi IL-8 dalam cairan Gangguan hemodinamik menyebabkan gangguan perfusi dan arterivenous shunt ing sehingga menghasilkan hipoksia jaringan dan asidosis laktat. Bukti menunjukk an bahwa nitric oxide berperan dalam terjadinya hipoksia jaringan dan peningkata n konsentrasi ROS yang berasal dari mitokondria. Komplikasi gagal ginjal akut terjadi pada 50 % kasus syok septik dan sec ara bermakna mcningkatkan mortalitas. Sitokin menginduksi vasodilatasi sistemik dan hipovolemia relatif serta menyebabkan hipoperfusi ginjal. Ginjal memproduksi vasokonstriktor intrinsik sebagai respons terhadap sitokin. Metabolit asam arak idonat: (tromboksan dan leukotrien) menurunkan aliran darah ke ginjal, dan antag onis tromboksan dan leukotren terbukti mempunyai efek proteksi. Seperti jaringan lain, ginjal rentan terhadap kerusakan jaringan akibat aktivasi leukosit, produ ksi protease, dan ROS. VII. DIAGNOSIS Sepsis dikemukakan sebelumnya, dalam konsep baru Cascade infeksi, diagnosis seps is neonatus ditetapkan apabila terdapat SIRS yang disertai deteksi baik tersangk a infeksi ataupun terbukti infeksi. Tersangka infeksi bila terdapat sindrom klin is (gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain). Sedang terbukti (suspected in fection) infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab. Selain masalah identifikasi kuman/diagnosis klinis sepsis neotarum mempunyai mas alah tersendiri. Gambaran klinis sepsis neonatorum tidak spesifik. Berbagai pene litian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk menyusun kriteria sepsis n eonatorum baik berdasarkan anamnesis ( termasuk adanya faktor resiko ibu dan neo natus terhadap sepsis ) , gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang. Kriteria s epsis berbeda antara satu dengan tempat yang lain.Faktor resiko Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor ibu, bayi dan lain-lain. Faktor resiko ibu : Ketuban pecah din dan ketuban pecah > 18 jam. Bila ketuban pecah > 24 jam maka k ejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1 % dan bila disertai korioamnionitis maka kejadian sepsis meningkat menjadi 4 kali. Infeksi dan demam (> dari 38 0C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, in feksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh streptokokus group B (GBS), kolonisa si perineal oleh E.coli, dan komplikasi obstetrik lainnya. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau Kehamilan multipel Keputihan yang tidak diobati Infeksi saluran kemih (ISK) yang tidak diobati Leukositosis ibu > 18.000/ml Faktor resiko pada bayi Prematuritas dan berat lahr rendah Resusitasi pada soal kelahiran misalnya pada bayi yang mengalami fetal distres d an trauma pada proses persalinan. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, kateter, infus, pembedahan Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E.coli), defek imun ata u asplenia Asfiksia neonatorum Cacat bawaan Tanpa rawat gabung Pemberian nutrisi parenteral Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama Faktror resiko lain Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pa da bayi laki-laki dari pada bayi perempuan. Lebih sering pada bayi kulit hitam d ari pada kulit putih, lebih sering pada bayi dengan status sosial ekonomi yang r endah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tena ga kesehatan maupun anggota keluarga pasien. Gambaran Klinis Tanda dan gejala sepsis neonatorum tidak spesifik dengan diagnosis banding yang luas termasuk gangguan nafas, penyakit metabolik, penyakit hematologik, penyakit sistem saraf pusat, penyakit jantung dan proses penyakit infeksi lainnya. Pelepasan dini mediator inflamasi menyebabkan demam, takikardi, takipnu dan vaso dilatasi (menimbulkan kulit yang hangat). Jika repon tersebut tidak dikontrol de ngan baik, akan menyebabkan hipoperfusi,somnolen dan penurunan jumlah urin. Tand a awal mungkin terbatas pada hanya satu sistem seperti apnea, takipnea dengan re traksi, atau tatikardia, namun pemeriksaan laboratorium dan klinis secara menyel uruh biasanya akan mengungkapkan kelainan lainnya. Manifestasi klinis sepsis neo natorum antara lain : SSP Letargi, refleks hisap buruk, limp, tidak dapat dibangunkan, poor or hi gh pitch cry, iritable, kejang Cardovaskular Pucat, sianosis, clummy skin Respiratorik Takipnea, Apnea, merintih, retraksi Saluran Pencernaan Muntah, Diare, Distensi abdomen Hematologik Perdarahan, jaundice Kulit Ruam, purpura, pustula Manifestasi akhir spesis meliputi tanda-tanda edema serebral dan atau tr ombosis, gagal nafas, sebagai akibat sindrom distres respirasi didapat (ARDS) hi pertensi pulmonal, gagal jantung, gagal ginjal. Penyakit-penyakit hepotoseluler dengan hiperbilirubinemia dan peningkatan enzim waktu protombin (protombin time)dan waktu trombaplostin parsial ( partial tombroplostin time (PTT) ) yang menun jang syok septik pendarahan adrenal disertai infusiensi adrenal, kegagalan sumsu m tulang, (trombositopenia/neutropenia, anemia ) dan koagulasi intravaskuler dis eminata (diseminated introvascular coagulation- DIC ). Kriteria Diagnosis Sepsis pada Neonatus (X) Variabel Klinis Suhu tubuh yang tidak stabil Laju nadi > 180 x/mnt atau < 100 x/mnt Laju nafas > 60 x/mnt dengan retraksi/desaturasi oksigen Letargi Intoleransi glukosa (plama glukosa > 10 mmd/L) Intoleransi minum Variabel Hemodinamik Tekanan darah < 2SD menurut usia bayi Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari) Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (bayi usia < 1 bulan) Variabel perfusi jaringan Pengisian kembali kapiler/capilary refill > 3 detik Asam laktat plasma > 3 mmol/L Variabel inflamasi Leukositosis (> 34.000 /ml) Leukopenia (< 5000/ml) Imatur neotrofil : total neutrofil (IT) ratio > 0,2 Trombositopenia < 100.000/ml CRP > 10/dl atau > 2 SD atas nilai normal IL -6 atau IL -8 > 70 mg/ml 16 sPCR positif Pemeriksaaan penunjang Evaluasi laboratorium dapat membantu diagnosis dan konfirmasi sepsis. Kultur da rah yang positif, cairan serebrospinal atau urin adalah baku emas sepsis. Namun kadangkala hasil kultur pada neonatus pada resiko tinggi dapat dipengaruhi oleh paparan antibiotik sebelumnya. Kultur urin dilakukan jika terdapat kekurangan se psis awitan lambat. Pemeriksaan laboratorium Bukti adanya infeksi Biakan dari tempat yang secara normal steril ( darah, CSS dll) Ditemukan adanya mikroorganisme dalam jaringan atau cairan Deteksi antigen ( urin, CSS) Serologi ibu / neonatus ( sifilis, toksoplasmosis) Autopsi Bukti adanya radang Leukositosis, rasio neutrofil imatur/ total meningkat Reaktan fase akut : PRC, LED Sitokin = IL-6 Pleositosis dalam CSS, sinovia, cairan pleura Koagulasi intravaskular tersebar, produk pecahan fibrin Bukti adanya penyakit sistem multiorgan Asidosis metabolik : PH , PCO2 Fungsi paru : PO2, PCO2 Fungsi ginjal : BUN , kreatinin Fungsi hati : bilirubin, SGOT, SGPT, amonia, PT,PTT Fungsi sumsum tulang ; neutropenia, anemia, trombositopenia Petanda diagnosis yang ideal memiliki kriteria yaitu nilai cutoff tepat yang opt imal, nilai diagnostik yang baik yaitu sensitivitas mendekati 100%, spesifitas > 85%, positive probable value(PPV) >85%, negative probable value (NPV) mendekati100% dan dapat mendeteksi infeksi pada tahap awal. Petanda hematologik yang digunakan adalah hitung sel darah putih total, hitung n eutropil, neutropil imatur, rasio neutropil imatur dengan neutropil total (IT), micro erytrocyte sedimentation rate (ESR), dan hitung trombosit. Tes laboratoriu m yang dikerjakan adalah CRP, prokalsitonin, sitokin IL6, GCSF, tes cepat (rapid test), untuk deteksi antigen dan panel skrining sepsis. (5) Komponen untuk skrining sepsis yang dihubungkan dengan sensitivitas dan spasifit as Uji nilai abnormal Sensitivitas spesifitas CRP hitung leukosit total hitung neutropil absolut rasio neutropil imatur:total GCSF > 10mg/L 15000 20% >200Pq/ml 47-100% 17-89% 38-96% 90-100% 95% 83-94% 81-98% 61-92% 50-78% 73% Saat ini kombinasi yang petanda terbaik untuk mendiagnosa sepsis adalah sebagai berikut : IL6 dan IL1ra untuk 1-2 hari setelah muncul gejala ; IL6 (atau IL1ra, IL8, GCSF, TNF, CRP, dan hematological indecis pada hari ke 0 ); CRP, IL6 (atau GCSF dan hematological indices pada hari ke1) ; dan CRP pada hari berikutnya unt uk memonitor respon terhadap terapi. Penggunaan CRP dan IL6 secara simultan memi liki sensitivitasb 100% karena peningkatan CRP plasma terjadi pada 12-48 jam set elah awitan infeksi, saat level IL6 telah menurun. Pendekatan diagnosis Sampai saat ini belum ada satupun pemeriksaan laboratorium tunggal yang mempunya i sensitifitas dan spesifitas yang cukup baik sebagai indikator sepsis, sehingga hasil laboratorium harus digunakan bersama dengan faktor resiko dan gejala klin is. Philip dan havitt pada tahun 1980 mengemukakan cara penapisan sepsis neo natorum awitan dini, berdasarkan kombinasi dan hasil pemeriksaan laboratorium, y aitu : Jumlah leukosit < 5000/mm3 Rasio neutropil imatur : total neutropil = 0,2 Laju endap darah = 15 mm/jam Latex CRP positif (>0,8 mg/100ml) Latex haptoglobin ( > 25 mg/100ml) Kriteria sepsis terpenuhi bila terdapat 2 atau lebih hasil tersebut deng an sensitifitas 93%, spesifitas 88%, dan PPV 99%. Bila kurang dari 2 macam pemer iksaan yang memberikan hasil positif maka kemungkinan bukan sepsis mencapai 99%. Mereka juga mengemukakan kombinasi leukopenia dan peningkatan rasio neutropil i matur : total merupakan petanda prediksi sepsis awitan dini yang baik. penapisan sepsis ini sederhana, mudah dilakukan, praktis. Pada tahun 1982, Wiswell menerapkan kriteria yang sama untuk mendeteksi sepsis neonatorum awitan lambat. Mereka juga berpendapat bahwa rasio neutropil i matur: total kurang sensitif sebagai petanda sepsis awitan lambat dibandingkan p etanda sepsis awitan dini (58% berbanding 90%). Sebaliknya latex CRP menunjukan sensitifitas yang lebih tinggi sebagai petanda sepsis awitan lambat dibandingkansebagai petanda sepsis awitan dini (75% berbanding 47%). Spektur dkk pada tahun 1980 mengemukakan sistem skoring 5 poin untuk memprediks i kultur bakteri positif pada bayi yang dievaluasi untuk infeksi bakteri berdasa rkan anamnesis, klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Bayi yang memiliki skor > 3 mempinyai resiko tinggi untuk terinfeksi dan harus diterapi dengan antibiotik. Sistem skoring untuk prediksi kultur bakteri positif Penemuan skor Lebih dari 2 sistem organ terlibat Jumlah leukosit total < 10000 atau =20000/mm3 Jumlah neutropil absolut < 1000 /mm3 rasio neutropil batang : neutropil matur usia >1 minggu 1 1 1 1 1 Rodwell dkk pada n diagnosis dini esar kemungkinan as 78%. PPV 31%, tahun 1987 mengumumkan sistem skoring heatologis untuk menegaka sepsis neonatorum dini dan lambat. Semakin besar skor semakin b sepsis. Dengan skor = 3 sensitivitas mencapai 96 % , spesifisit NPV 99%.Sistem skoring hematologis untuk menegakan diagnosis dini sepsis neonatorum awit an dini dan lambat skor -------------------------------------------------------------------------------------------------1. Rasio imatur : total neutrofil meningkat 1 2. Jumlah total PMN meningkat atau menurun 1 3. Rasio imatur : matur neutrofil = 0,3 1 4. Jumlah imatur PMN meningkat 1 5. Jumlah total leukosit menurun / meningkat (=5000/mm3 atau =23000, 30000,21000/mm3 pada saat lahir, 12-24 jam dan usia 2 hari) 1 6. Terdapat perubahan degeneratif pada PMN = 3+| untuk vakualisasi, granulasitoksik, badan dohle 1 7. Jumlah trombosit= 150000/mm3 1 Mahieu dkk pada tahun 2000 membuat sistem skoring untuk memprediksi sepsis nosok omial pada neonatus yang dirawat di ruang perawatan intensif bayi baru lahir. Be rdasarkan pengolahan data tersebut disusun kriteria untuk memprediksi nasokomia l pada neonatus yang disebut skor NOSEP 1. Total skor maksimum 24. Skor = 8 memi liki sensitivitas 95 %, spesivitas 43%, PPV 54%, NPV 93%. Skor = 14 memiliki sen sitivitas 96%, spesifitas 100%, PPV 100%, dan NPV 60%. Kreiteria di atas oleh fidia segar disebut a rule of 14, yaitu nutrisi parentera l 14 hari, CRP 14 mg/ml. Trombosit 140x 10 9/l,dan skor NOSEP 14. SKOR NOSEP 1 untuk memprediksi sepsis nasokomial pada neonatus. Skor Nutrisi parenteral = 14 hari 6 CRP = 14mg/ml Trombositopenia (38,2 C atau 100,8 F) Neutrofil >50%5 3VIII. TATALAKSANA Pengendalian infeksi Pada kasus tersangka sepsis, terapi antibiotik empirik harus segera dimulai tanp a menuggu hasil kultur darah. Penggunaan antibiotik secara empiris dapat dilakuk an dengan memperhatikan pola kuman penyebab tersering ditemukan di klinik terseb ut. Selain itu, hendaknya diperhatikan pola resistensi kuman masing-masing klini k. Segerea setelah didapatkan hasil kultur darah, maka jenis antibiotik disesuai kan dengan kuman penyebab dan pola resistensinya. Bila hasil kultur tidak menunj ukkan pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secra klinis baik, maka antibi otik harus dihentikan. Tapi bila bayi tersebut menderita pneumonia atau terdapat gejala klinis sepsis, antibiotik sebaiknya tidak dihentikan walaupun hasil kult ur steril. Lama pemberian terapi antibiotik selama 10-14 hari, sedangkan penderi ta yang disebabkan oleh kuman Gram negatif pengobatan kadang-kadang diteruskan s ampai 2-3 minggu. Pada meningitis antibiotik diberikan 2-3 minggu. Terapi antibiotik pada bayi prematur dan berat lahir kecil dengan tersangka seps is umumnya dimulai pada saat lahir dan dilanjutkan sampai 5 hari atau lebih wala upun kultur darah steril. Bayi dan ibu yang memperoleh antibiotik intrapartum ak an mempersulit dokter, karena pertumbuhan kultur dapat dihambat. Bila ibu diberi antibiotik intrapartum, maka bayi tetap diobservasi maksimum 48 jam setelah lah ir dan bila terdapat gejala klinis sepsis, harus dilakukan evaluasi diagnosis da n terapi empirik. Pada kasus simtomatik sebaiknya diterapi 10 hari walau kultur darah steril. Untuk asimtomatik, keputusan dibuat sesuai dengan data kultur dan laboratorium (hitung lekosit < 5000/mm3 atau > 30000/mm3, ratio imatur/ total ne trofil >0,2, CRP > 0,8 mg/dl, micro eritrosit sedimentation rate > 15mm/jam). Bi la uji tapis sepsis pada bayi yang asimtomatik menunjukkan hasil negatif, kemung kinan infeksi sangat rendah. Pada umumnya terapi antibiotik diberikan pada bayi prematur asimtomatik dengan hasil uji tapis positif. Antibiotik spektrum luas lebih sering menimbulkan resistensi dibandingkan spektr um sempit. Sampai saat ini masih ada pemikiran yang keliru bahwa antibiotik spek trum luas lebih baik karena dapat lebih banyak mencakup banyak organisme. Survei lens bakteri dan pola resistensi harus secara rutin dilakukan di setiap unit neo natal untuk menetapkan kebijakan penggunaan antibiotik di masing-masing unit. Pe makaian antibiotik berlebihan juga dapat menyebabkan sepsis jamur pada neonatus. Untuk menurunkan resistensi mikroorganisme diperlukan 2 strategi umum : yaitu ko ntrol infeksi dan kontrol antibiotik. Rotasi antibiotik dilaporkan efektif menur unkan resistensi dibeberapa tempat. Anjuran periode rotasi antibiotik adalah : 2 bulan. Sebagai contoh rotasi antiibiotik yang mengandung beta laktam : agen bet a laktam ditambah beta laktamase inhibitor (misal ampisilin sulbaktam, amoksilin klavulanat) selam 2 bulan- karbapenem selama 2 bulan- sefalosporin generasi ke 3 atau ke 4 selama 2 bulan dan seterusnya. Pada kasus yang berat sebaiknya dikom binasikan dengan aminoglikosida untuk mencegah munculnya mutan resisten. Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini Pada bayi dengan SAD terapi empirik harus meliputi SGB, E, coli, listeria monocy togenes, kombinasi penisilin / ampisilin dengan aminoglikosida umunya efektif te rhadap semua organisme penyebab SAD. Infeksi listeria dapat diobati dengan ampis islin saja, untuk infeksi SGB dan sebagian besar kuman anaerob dengan penisilin. Meskipun demikian terapi kombinasi penisilin/ampisilin dan aminoglikosida sanga t dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri Pemilihan antibiotik sepsis awitan lambat kombinasi penisilin / ampisislin dan aminoglikosida dapat juaga digunakan untuk terapi awal SAL. Infeksi nosokomial lebih disukai netilmisin/amikasin. Pada kasu s dengan resiko pseudomonas (terdapat lesi kulit topikal) dapat diberikan pipera silin dan seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Infeksi bakteri negatif gra m dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin (ampisilin, atau penisilin sp ektrum luas) dan aminoglikosida., sefalosporin generasi ke 3 dikombinasi dengan aminoglikosida. Antibiotik baru untuk kuman gram negatif yang resisten terhadapantibiotik lain, adalah imipenem/meropenem, karbapenem, aztreonam dan isepremisi n.(1) Staphylococci sensitive terhadap antibiotic golongan penisilin resisten penisili nase (misal : oksasiklin, nafsilin, dan metilsilin ). Strain resisten yaitu CON S ( Staphylococcus koagulase negatif ) sensitive terhadap vankomisin, kombinasi vankomisin dan aminoglikosida menghasilkan efek bakterisidal yang lebih baik unt uk infeksi jamur dapat dipakai = amfoterisin B ( liposomal ), pilihan lain yaitu fluconazole. Bila sudah terjadi komplikasi meningitis enteric gram negatif, oba t yang saat ini paling baik adalah cefotaxime, oleh karena bakteridalnya tinggi dan toksisitasnya rendah. Divisi paranatologi RSCM, dengan mempertimbangkan pola kuman yang tersering dit emukan, memberikan antibiotik spectrum luas sambil menunggu biakan darah / uji r esistensi. Antibiotik yang menjadi pilihan pertama adalah sefalosporin ( sefotak sim ) dikombinasi dengan amikasin. Pilihan kedua ampisilin dikombinasikan dengan kloramfenikol. Pilihan selanjutnya kotrimoksazol. Pada pemberian antibiotik ini yang perlu mendapat perhatian adalah pemberian kloramfenikol pada neonatus tida k melebihi 50 mg / kg bb / hari untuk mencegah terjadinya sindrom grey baby dan p emberian sefalosporin serta kotrimoksazol tidak dilakukan pada bayi < 1 minggu. Walaupun pemberian antibiotik masih merupakan tata laksana utama pengobatan seps is neonatorum berbagai upaya pengobatan tambahan banyak dilakukan dalam upaya me mperbaiki mortalitas bayi. Pengobatan tambahan / terapi inkonvensional semacam i ni selain mengatasi berbagai defisiensi dan belum matangnya fungsi pertahanan t ubuh neonatus. Juga dalam mengatasi perubahan yang terjadi dalam perjalanan peny akit dan cascade inflamasi pasien sepsis neonatorum. Antibiotik Dosis tunggal/kgbb Frekuensi Cara pemberian Cacatan Amikasin 10 mg satu kali IV 7,5 mg setiap 12 jam IV Garamisin 5-7 mg Satu kali IV Netilmisin 2,5-3 mg Setiap 12 jm IV Gentamisin 2,5 mg Setiap 12 jam (umur 7 ha ri) Ampisilin 25-50 mg Setiap 12 jam (umur 7 hari) IV I M Oral 50 mg/kg/6 jam untuk meningitis Cefotaxime 25 mg setiap 1 2 jam IV IM 150-200 mg/kg/ hari pada infeksi berat Kloramfenikol prematur 25 mg matur 50 mg sekali sehari (bayi berumur < 1 4 hari) setiap 1 2 jam (umur> 14 hari IM oral - kadar dalam darah harus dimonitor kadar terapeutik 15-25mg/l - kadar t oksik 50 mg/l Metronidazol 7,5 mg setiap 8 jam IV Oral Penisilin G (benzilpeni-silin) 1 5-30 mg setiap 1 2 jam (umur < 7 hari) s etiap 8 jam (umur > 7 hari) IV IM 30 mg/kg/dosis untuk infeksi Streptococc us Piperasilin 50 mg setiap 1 2 jam IV IV Vankomisin 15 mg setiap 1 2 jam selama 1 jam IV monitor kadar dalam darah, batas atas 25-40 jig/ml, batas bawah 5-10}ig/ mlAmfoterisin B 0,1 mg dinaikkan sampai 1 ,0 mg selama 7 hari setiap hari IV selama 6 jam Efek samping: fungsi ginjal menurun. Tera- ; pi infeksi jamur sis'emik s elama 4-6 minggu1.Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan2. Pengobatan komplikasi Pernafasan : kebutuhan oksigen meningkat, yang harus dipenuhi dengan pember ian oksigen, atau kemudian dengan ventilator. Kardiovaskular: menunjang tekanan darah dan perfusi jaringan, mencegah syok deng an pemberian volume expander 10-20 ml/kgBB ( NaCl 0,9%, albumin dan darah). Cata tan pemasukan cairan dan pengeluaran urin. Kadang diperlukan pemakaian dopamine atau dobutamin. Hematologi : untuk DIC ( trombositopeni, protrombin time mamanjang, trombo plastin meningkat), sebaiknya diberikan FFP 10 ml/KgBB, vit K, suspensi trombosi t, dan kemungkinan transfuse tukar. Apabila terjadi neutropeni, diberikan trasfu si neutrofil Susunan syaraf pusat : bila kejang beri fenobarbital ( 20 mg/KgBB loading dose) dan monitor timbulnya syndrome inapropiate hiponatremia hormone (SIADH), ditand ai dengan ekskresi air turun, hiponatremia, osmolaritas serum turun, naiknya ber at jenis urin dan osmolaritas. Metabolic : monitor dan terapi hipo dan hiperglikemia. Koreksi asidosis me tabolic dengan bikarbonat dan cairan. Tranfusi tukar Tindakan ini bertujuan untuk : Mengeluaarkan /mengurangi toksin /produk bakteri dan mediator penyebab sepsi Memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas oksigen d alam darah Memperbaiki sistem imun dengan adnya tambahan neutropil dan berbagai antibody ya ng mungkin terkandung dalam darah donor Kendala yang sering terjadi adalah pelaksanaan yang suklit dan mempunyai potensi menimbulkan reaksi tranfusi (1) 3. Kortikosteroid Pada awalnya pasien sepsis diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi untuk me ngatasi reaksi inflamasi akibat infeksi, akan tetapi hal ini tidak di anjurkan l agi karena terbukti tidak membawa perbaikan. Pada saat ini pemberian kortikoster oid pada pasien sepsis lebih ditujukan untuk mengatasi kekurangan kortisol endog en akibat insufisiensi adrenal. Kortikosteroid dosis rendah bermanfaat pada pasi en syok septic karena terbukti memperbaiki respons terhadap katekolamin dan meni ngkatkan survival.(1) Efek anti inflamasi glikokortikoid Anti inflamasi mekanisme Produksi sitokin proinflamasi Produksi sitokin anti infalmasiMigrasi sel inflamasi Ekspresi medistor inflamasi Ekspresi marker membran sel Apoptosis inhibisi sintesis IL2,3,4,5 IFN9, GMCSF limfosit T InhibisisintesisIL1,TNFa,IL6,8,12,MIFmakrofag/monosit Inhibisi sintesis IL 8 neutropil peningkatan sintesis antagonis reseptor IL10,IL1 inhibisi produksi kemokin MCP, IL8 Stimulasi produksi MIF dan lipokortin makrofag inhibisi sintesis PLA2, soluble, induksi sintesis COX inhibisi molekul adhesi ICAM1, ECAM2, LFA1 eosinofil dan limfosit T matur Dikutip dari prigent dkk 2004 4. Pemberian Imunoglobulin secara Intravena ( IVIG) Pemberian IVIG dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan antibody tubuh serta memperbaiki fagositosis dan kemotaksis sel darah putih. Manfaat pemberian IVIG s ebagai tata laksana tambahan masih bersifat kontroversi. Dilaporkan bahwa IVIG t ersebut lebih bermanfaat sebagai profilaksis sepsis neonatorum ( khususnya pada baya BBLR ) dibanding bila dipakai sebagai terapi standar sepsis.(1) 5. Tata laksana imunologik sepsis neonatorum Seperti telah dikemukakan terdahulu dalam konsep baru infeksi neonatus ditemukan perubahan fisiologik sistem imun, baik humoral maupun selular. Salah satu respo n yang terjadi pada infeksi sistemik adalah terbentuknya sitokin baik sitokin pr oinflamasi (IL2,IL6, IFNY, TNF alpha) maupun antiinflamasi (IL4,IL10). Bila terd apat dominan sitokin proinflamasi maka akan terjadi renjatan dan disfungsi organ . Sedangkan sebaliknya bila sitokin anti inflamasi berlebihan akan terjadi supre si terhadap sistem imun. Oleh karena itu hipotesis menyatakan pengurangan sirkul asi TNF alpha dan IL1 (sitokin proinflamasi) dalam sirkulasi akan menghambat per kembangan cascade sepsis. Hipotesis ini dibuktikan dengan menyuntikan reseptor a ntagonis IL1 (IL1 ra) pada binatang percobaan dapat merintangi aktivitas IL1 seh ingga terhindar dari akibat bakterimia dan endotoksemia. Pelaporan penelitian tersebut mempunyai arti penting dalam tat laksana sepsis ne onatorum. Pada bayi denangan resiko dimungkinkan merencanakan tata laksana sepsi s secra lebih efisien sehingga komplikasi jangka panjang yang mengganggu tumbuh kembang bayi dapat dihindarkan. Penelitian klinik terhadap pemberian terapi IL 1ra dan anti TNF alpha pada penderita sepsis baru merupakan penelitian pendahul uan. Apabila penelitian klinik ini dapat memberikan hasil seperti yang diperoleh pada penelitian eksperimental, diharapkan tata laksana sepsis neonatorum akan lebih optimal. (1) IX. PENCEGAHAN Meningkatkan dan memperbaiki perawatan prenatal, menganjurkan agar ibu hamil den gan resiko tinggi supaya melahirkan di rumah sakit yang ada tempat perawatan khu sus untuk bayinya, dan melengkapi adanya alat transportasi modern yang dapat men gurangi resiko ibu dan neonatus terjangkit infeksi. Beberapa penelitian menunjuk an bahwa pemberian antibiotic profilaksis pada ketuban pecah dini, infeksi perip artum, sindrom gawat nafas, transfusi tukar, tindakan operasi pada neonatus, dan pemasangan kateter melalui umbilicus tidak memberikan hasil yang memuaskan. Unt uk mencegah terjadinya wabah penyakit ditempat rawat neonatus, perlu dilakukan p embersihan ruangan dan tempat tidur bayi, sterilisasi alat secara teratur, upaya mencuci tangan setiap kali sebelum dan sesudah memegang bayi, pengawasan infeks i secara teratur ditempat rawat neonatus, dan pengenalan serta pengelolaan sumbe r wabah yang biasa terdapat streptococcus grup B dn K1 antigen yang mengandung j enis E.Coli yang diberikan kepada ibu hamil untuk mencegah infeksi secara pasif pada neonatusX. PROGNOSIS Pada umumnya angka kematian sepsis neonatal berkisar antara 10-40% dan pada meni ngitis 15-50%. Tinggi rendahnya angka kematian tergantung dari waktu timbulnya p enyakit, penyebabnya, besar kecilnya bayi, beratnya penyakit, dan tempat perwata nnya. Gejala sisa neurologik yang jelas tampak adalah hidrosefalus , retardasi m ental, buta, tuli, dan cara bicara yang tidak normal. kejadian gejala sisa ini a dalah sekitar 30-50% pada bayi yang sembuh dari meningitis neonatus.(3)DAFTAR PUSTAKA 1. Hegar, badriul. Tribowo, partini., Irfan, evita bermansah. Update in Neo natal Infections. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM ; Jakarta : 1- 127. 2. Sepsis Neonatal. Diunduh dari http://www.idai.or.id 3. Markum A.H. Prematuritas dan Retardasi Pertumbuhan Intrauterine. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid I, cet.3, Jakarta: Fakultas Kedokteran Un iversitas Indonesia, 1996; 221-36 4. Sepsis Neonatal.Diunduh dari http://www.emedicine.medscape.com 5. Behrman, kliegman, Arvin. Sepsis dan Meningitis Neonatus Nelson textbook of Pediatrics. edisi,15. Penerbit EGC ; Jakarta 2000 : 653 655. 6. Sumarmo,Gama Herry, Hadinegoro Sri Rezeki. Sepsis dan syok septic. Buku ajar ilmu kesehtran anak . infeksi dan penyakit tropic. Ikatan dokter anak Indon esia, Jakarta 2002 : 391-398 7. Hassan, Rusepno, et al (ed). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3. B agian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Jakarta. 1985 8. Nelson. Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak , Ed. 15, Vol. 1, Jakarta: EGC, 1996; 562-72