UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …
Transcript of UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …
TINJAUAN HUKUM TERHADAP LARANGAN BERTEMU
ANAK PASCA PERCERAIAN
(Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan
Nomor 365/PDT/2017/PT.MDN)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat
Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
ASTRIA INDRIYANTI MANURUNG
160200271
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS HUKUM
HUKUM PERDATA
MEDAN
2020
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih,
penyertaan dan berkat-Nya yang tiada berkesudahan dalam kehidupan saya.
Semua hanya karena anugerah-Nya sehingga saat ini saya dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Tinjaun Hukum Terhadap Larangan Bertemu Anak
Pasca Perceraian (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor:
365/PDT/2017/PT.MDN).
Keingintahuan saya mengenai larangan bertemu anak pasca perceraian
membuat saya ingin mendalami dan memahaminya sehingga lahirlah keinginan
untuk membahasnya dalam skripsi ini. Saya menyadari dalam penelitian ini masih
banyak terdapat ketidaksempurnaan akibat keterbatasan kemampuan saya. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi
perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Diharapkan pula skripsi ini dapat
bermanfaat dalam perkembangan Hukum Perdata pada umumnya khususnya
dalam bidang Hukum Perceraian.
Skripsi ini khusus saya persembahkan untuk kedua orang tua saya, papa
yang saya banggakan Henri Parningotan Manurung, dimana beliau selalu menjadi
pahlawan yang akan selalu menjaga dan mengarahkan saya , akan semua kesulitan
yang mungkin saya alami sepanjang penulisan skripsi ini, serta mama yang saya
kasihi Intan Purnama Samosir, S.Pd., sebagai orang pertama yang selalu percaya
bahwa saya akan menyelesaikan penulisan skripsi ini, dan kelak akan menjadi
kebanggan keluarga. Semoga saya dapat selalu membanggakan orang tua saya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
Saya juga ingin menghaturkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta pelajaran berharga baik
dalam penelitian ini maupun selama perjalanan kehidupan saya:
1. Prof Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara;
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
3. Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
4. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III FakultasHukum
Universitas Sumatera Utara;
6. Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum.selaku Dosen Pembimbing Akademik;
7. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
8. Syamsul Rizal, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
9. Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang
dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran di
sela kesibukan dalam membimbing saya menyelesaikan skripsi ini;
10. Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang
dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran di
sela kesibukan dalam membimbing saya menyelesaikan skripsi ini;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
11. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Hukum USU yang telah
banyak memberikan bantuan, arahan, dan ilmu yang berguna bagi saya
selama saya menjalani perkuliahan maupun selama proses penyelesaian
skripsi ini;
12. Terima kasih paling spesial kepada Orang tua saya yang terkasih, Henri
Parningotan Manurung dan Intan Purnama Samosir, S.Pd. atas doa, kasih
sayang, dan dukungan yang tiada hentinya kepada saya;
13. Terima kasih kepada saudara yang saya kasihi Andre Joshua Manurung
(my baymax), Audrey Angelica Manurung (cabsss) , Adinda Sarah
Manurung (kecilku) yang senantiasa menyayangi dan mendukung saya;
14. Terima kasih kepada yang saya kasihi, Ruth Eva Sihoming (Mak Jeje),
kakaya Rezsjyah, abangya adekya tante Juha dan Evan yang setiap
harinya selalu berada dirumah untuk menjadi penghibur penulis selama
penulisan skripsi ini;
15. Terima kasih kepada yang saya kasihi Kakak Novantika Samosir, Kakak
Nita Samosir, Adik Caroline Manurung, Adik Dina Harianja dan Adik Eva
Harianja, yang selalu memotivasi saya untuk menyelesaikan penulisan
skripsi ini, dengan harapan agar cepat menempuh hidup baru;
16. Keluarga besar Pomparan Ompung Angie dan Pomparan Ompung Yossie
atas dukungan dan semangat yang diberikan;
17. Keluarga besar Pemuda-pemudi Gereja GKPI Jemaat Khusus Cinta damai
dan Persatuan Guru Sekolah Minggu Gereja GKPI Jemaat Khusus Cinta
Damai yang senantiasa mendukung dan mendoakan saya;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iv
18. Sahabat-sahabat terkasih saya, “Dalton” team, Hana Sarah, Hanna Sara,
Jeremy Christian, Nathasia Omega, Saida Luki Ezra dan Sarah Florencia
yang selalu mendukung saya sejak masa SMP hingga saat ini;
19. Sahabat-sahabat terkasih saya, “2AM” team, Agnes Olivia Romauli
Siregar dan Maria Ervika Munte, yang menjadi titipan Tuhan kepada saya
sejak awal SMA hingga saat ini;
20. Sahabat-sahabat terkasih saya, “Samaa” dan “Masih Kita” team , Lidya
Cristy Ndiloisa Ginting, Devy Christina Vebiola Nainggolan, Cici
Paranitha Sitorus dan Anggita Tridiani Sirait yang telah menemani saya
sejak awal perkuliahan dan tanpa henti memberikan dukungan kepada saya
dalam proses penyelesaian skripsi serta membantu saya menjadi pribadi
yang lebih baik;
21. Sahabat-sahabat terkasih saya, “Klinis” team, Rahmat Sihombing, Aldi
S.Purba, Arga Samuel, Yuan Dagama, Anggita Tridiani Sirait, Cici
Paranitha Sitorus, Lidya Cristy N Ginting, Vivy Julianty, Jihan Fahira,
Elisabeth A Matondang, yang telah menemani saya menyelesaikan
praktek peradilan Semu, dan mendapatkan hasil yang sangat memuaskan
dan disertai dengan perjuangan keras.
22. Abang dan Kakak alumni “Panitia Natal Fakultas Hukum USU 2018
“Divisi Dana” yang saya kasihi Kak Ekinia, Kak Indri, Kak Kiki, Kak
Reyvany, Bang Ray, Bang Immanuel dan Bang Joshua yang tanpa henti
memberikan dukungan kepada saya dalam proses penyelesaian skripsi
serta membantu saya menjadi pribadi yang lebih baik;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
23. Keluarga besar GMKI Komisariat Fakultas Hukum USU atas kebersamaan
dan segala hal yang telah diajarkan kepada saya;
24. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Perdata (IMP) Fakultas Hukum USU
atas kebersamaan dan segala hal yang telah diajarkan kepada saya;
25. Keluarga besar Panitia Natal 2019 Fakultas Hukum USU atas
kebersamaan dan segala hal yang telah diajarkan kepada saya;
26. Teman-teman Grup B Angkatan 2016 dan teman-teman Angkatan 2016
lainnya, yang karena kebersamaannya saya mampu menyelesaikan semua
kegiatan perkuliahan dengan baik;
27. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Medan, Januari 2020
Hormat Saya,
Astria Indriyanti Manurung
160200271
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi
ABSTRAK ......................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 9
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 10
D. Manfaat Penulisan ..................................................................................... 10
E. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 12
1. Tinjauan Umum tentang Perkawinan ..................................................... 12
a. Pengertian Perkawinan .............................................................. 12
b. Tujuan Perkawinan..................................................................... 15
c. Syarat-syarat Perkawinan .......................................................... 16
d. Asas-Asas perkawinan .............................................................. 18
2. Tinjauan Umum tentang Anak ............................................................... 21
3. Tinjauan Umum tentang Perceraian ....................................................... 22
F. Metode Penelitian ....................................................................................... 25
G. Keaslian Penulisan ..................................................................................... 31
H. Sistematika Penulisan ................................................................................ 34
BAB II HAK DAN KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK
PASCA PERCERAIAN .......................................................................... 36
A. Kedudukan Anak dalam ikatan perkawinan ............................................. 36
1. Kedudukan anak dalam Perundangan-undangan ........................... 36
2. Kedudukan anak dalam hukum adat ............................................... 39
3. Kedudukan anak dalam hukum agama .......................................... 43
B. Hak dan kewajiban anak dalam ikatan perkawinan .................................... 50
C. Hak – hak anak pasca perceraian ............................................................... 56
D. Kewajiban Orangtua terhadap anak dalam Perkawinan ............................. 59
1. Kewajiban dalam perundang-undangan .......................................... 59
2. Kewajiban dalam hukum adat .......................................................... 61
3. Kewajiban dalam hukum agama ....................................................... 63
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vii
E. Kewajiban Orangtua terhadap anak pasca Perceraian................................66
1. Kewajiban dalam perundang-undangan ........................................... 68
2. Kewajiban dalam hukum adat ........................................................... 71
3. Kewajiban dalam hukum agama ....................................................... 74
BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANGTUA YANG
BERCERAI MELARANG PASANGAN YANG LAIN
UNTUK BERTEMU DENGAN ANAKNYA .................................... 78
A. Faktor –faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian ........................ 78
1. Faktor umum yang menyebabkan terjadinya perceraian ................. 79
2. Faktor- faktor lain yang menyebabkan terjadinya perceraian.................. 84 B. Faktor larangan bertemu anak pasca perceraian ....................................... 89
C. Faktor –faktor penyebab orang tua yang bercerai melarang pasangan
lain untuk bertemu dengan anaknya Putusan Nomor:
365/PDT/2017/PT.MDN ............................................................................... 94
BAB IV ANALISA PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN TINGGI MEDAN NO 365/PDT/2017/PT.MDN
.............................................................................................................. .103
A. Kasus Posisi......................................................................................... 103
1. Kronologi Kasus ......................................................................... 103
2. Pertimbangan Hakim .................................................................. 113
3. Putusan Hakim ............................................................................ 119
B. Analisa terhadap pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan
Tinggi Medan nomor 365/PDT/2017/PT.MDN .................................... 121
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 145
A. Kesimpulan .............................................................................................. 145
B. Saran .......................................................................................................... 146
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 148
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
viii
ABSTRAK
Rabiatul Syariah*
Dedi Harianto**
Astria Indriyanti Manurung***
Larangan bertemu anak merupakan salah satu permasalahan khusus yang
sering terjadi dalam kasus perceraian. Ketidakharmonisan hubungan antara
pasangan setelah terjadinya perceraian, menjadi salah satu alasan pemicu
terjadinya pelarangan ini. Hal ini terlihat dari adanya pendaftaran gugatan di
tingkat banding di Pengadilan Tinggi Medan, oleh Tn. Susanto selaku
Pembanding dan Ny. Rita selaku Terbanding dengan Putusan No
365/PDT/2017/PT.MDN. Berdasarkan fakta tersebut, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui hak dan kewajiban orang tua terhadap anak pasca perceraian
menurut pandangan Hukum, faktor penyebab orang tua yang bercerai melarang
pasangan yang lain untuk bertemu dengan anaknya, serta analisa pertimbangan
hakim terhadap larangan bertemu anak pasca perceraian berdasarkan putusan
nomor : 365/PDT/2017/PT.MDN.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Yuridis Normatif, dengan
sumber menggunakan data sekunder yang terdiri dari putusan Pengadilan tingkat
pertama No: 32/Pdt.G/PN.MDN, putusan tingkat banding No:
365/PDT/2017/PT.MDN, pendapat ahli hukum, jurnal ilmiah, majalah dan berita
internet yang berkaitan dengan larangan bertemu anak pasca perceraian. Alat
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan pedoman
wawancara. Pengelolaan data dalam penelitian ini menggunakan data kualitatif,
serta penarikan kesimpulan yang dilakukan menggunakan metode deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa hak dan kewajiban orang
tua terhadap anak pasca perceraian adalah melaksanakan tanggungjawabnya
dalam hal pemberian nafkah, pemeliharaan, serta mendidik anak-anaknya. Faktor
penyebab orang tua yang bercerai melarang pasangan yang lain untuk bertemu
dengan anaknya adalah adanya rasa sakit hati diantara pasangan yang bercerai
serta intervensi dari orangtua ataupun keluarga dari salah satu pihak yang
bercerai. Hasil analisa pertimbangan hakim terhadap larangan bertemu anak pasca
perceraian berdasarkan putusan nomor : 365/PDT/2017/PT.MDN adalah pihak
yang tidak mendapatkan hak asuh atas anak tetap diizinkan untuk bertemu dengan
sang anak.
Kata Kunci : Perkawinan, Perceraian, Larangan Bertemu Anak
*Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna
dibandingkan mahluk lainnya di bumi, bentuk kesempurnaan yang dimilikinya
adalah akal dan hati nurani. Salah satu sifat yang dikenal pada manusia adalah
Homo Socius, dalam arti sederhana disebut sebagai mahluk sosial. Manusia
sebagai mahluk sosial yang berarti tidak dapat hidup sendiri dan senantiasa
memerlukan bantuan orang lain dalam aktivitasnya karena ia merupakan anggota
masyarakat dan bagian dari masyarakat. 1
Dalam menjaga kehidupannya agar tetap harmonis maka manusia perlu
sekali untuk berinteraksi dengan manusia lainnya dan bersosialisasi sehingga
mereka dapat hidup di masyarakat. Manusia tercipta bukan hanya bertugas untuk
sekedar hidup saja, tetapi aktif dalam melestarikan kehidupan mahluk ciptaan
lainnya dan berkembang.2
Tugas manusia dalam menata kehidupannya untuk berkembang selaras
dengan interaksinya yang menyatakan bahwa, manusia diciptakan berpasang-
pasangan. Manusia yang berlawanan jenis dapat membentuk suatu kehidupan baru
yang dikenal sebagai rumah tangga melalui suatu ikatan sah yang disebut sebagai
ikatan perkawinan.
Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat
manusia. Dari sebuah perkawinan akan timbul hubungan hukum antara suami-
1 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat, (Kencana : Jakarta, 2013) hal 25
2 Ibid
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
isteri dan kemudian dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum
antara orang tua dan anak-anak mereka. 3
Di Indonesia, perkawinan diatur dalam Undang – Undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan Pasal 1 Undang – Undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa “Perkawinan merupakan ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk suatu keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.4Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”.5
Pengertian yang dimaksud, dengan hukum masing – masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya yaitu sepanjang tidak bertentangan atau
tidak ditentukan lain dalam undang- undang ini. 6 Walaupun pada Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang No 1 Tahun 1974, tidak membicarakan sahnya perkawinan tetapi
memiliki fungsi yang menguatkan secara administratif. Memang suatu
perkawinan dikatakan sah bukan hanya ditentukan oleh faktor substantifnya dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974, yaitu agama dan
kepercayaannya. Jadi ada pembedaannya namun tidak dapat dipisahkan.
Perkawinan dalam Pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974, memiliki aspek
3 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia ( PT Abadi: Jakarta,2001),
hal 1 4 Pasal 1 Undang- Undang No 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan
5 Pasal 2 Undang – Undang No 1 Tahun 1974 , Tentang Perkawinan
6 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati , Hukum Orang dan Keluarga ( USU Press:
Medan, 2001 ) hal. 51
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
perdata dan aspek administratif . Aspek perdata membicarakan fungsi substansi
dan aspek pendaftaran membicarakan fungsi administratif. Fungsi yang terakhir
adalah untuk kejelasan dan kepastian hukum tentang adanya bukti Perkawinan
(bewijs van huwelijk) yang sudah dilakukan oleh suami istri bagi masyarakat dan
negara.7
Kehidupan perkawinan yang harmonis tentu diinginkan setiap orang. Pada
umumnya niat dalam melangsungkan pernikahan hanya sekali untuk seumur
hidup. Namun kenyataannya, dewasa ini tidak jarang ditemukan hubungan
Perkawinan tersebut berjalan kurang baik. Banyak persoalan – persoalan yang
terjadi dalam suatu ikatan perkawinan yang berujung kepada perceraian.
Pasal 38 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menyebut putusnya
perkawinan karena:
1. Salah satu pihak meninggal dunia
2. Karena perceraian
3. Atas keputusan Pengadilan
Adapun mengenai salah satu pihak meninggal dunia,yaitu karena kematian
tidak menimbulkan banyak persoalan, apalagi kematian itu terjadi dihadapan dan
ditempat kediaman bersama tidak ada masalah yang perlu untuk diperbincangkan.
Oleh sebab itu yang khusus akan menjadi persoalan terutama yang menyangkut
perceraian dan putusnya perkawinan karena keputusan Pengadilan.8
Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974, memberi penjelasan
“ Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan , bahwa antar suami isteri
7 Ibid, hal. 53
8 M. Yahya Harahap , Hukum Perkawinan Nasional (CV Zahir Treding Co: Medan,1975)
hal 133
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
itu tidak akan dapat hidup rukun”.9 Peraturan pelaksanaan tidak mengatur hal –
hal yang berhubungan dengan akibat suatu perceraian, karena itu pula disini
disebutkan apa yang telah ditentukan oleh Pasal 41 Undang-Undang No 1 Tahun
1974 sebagai berikut;
1. Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anak- anaknya, semata mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak; pengadilan memberi
keputusannya;
2. Ayah yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana ayah dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan kewajiban bagi bekas istri10
.
Hal yang paling jelas menderita akibat dari putusnya perkawinan pada
umumnya adalah keturunan mereka . Disini harus digaris bawahi dengan
perkataan pada umumnya . Sebab dalam keadaan – keadaan tertentu malah demi
kepentingan pertumbuhan jiwa anak- anak lebih bagus cepat dilakukan perceraian.
Pertengkaran yang terus menerus, cara hidup isteri yang memberi kemerosotan
moral dan mental anak-anak disebabkan mengejar ambisi mengejar kemewahan,
atau sebaliknya tingkah laku suami yang tidak memikul kehormatan dan kesetiaan
dalam kehidupan rumah tangga. Pulang ke rumah jauh malam, dalam keaadan
mabuk dan sebagainya. Tentu kasus- kasus yang demikian akan lebih menjauhkan
psychological disorder dari kejiwaan anak-anak apabila perceraian cepat
dilakukan. Berdasarkan dengan asas tujuan perkawinan yang diatur dalam
Undang-undang ini untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera , spirituil
9 Pasal 39 Ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan
10 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia- cetakan ke empat, ( Ghalia
Indonesia, Jakarta; 1976) hal. 44
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
dan material tidak mungkin lagi terwujud , adalah lebih baik memberi kebebasan
pada masing-masing pihak untuk mencoba lagi dengan pasangan-pasangan baru
yang mungkin menjumpai kedamaian dan kebahagiaan.11
Dalam hal keturunan dari suami-istri yaitu anak, pada saat perceraian
terjadi adalah letak dari pelimpahan hak asuh anak. Hukum hak asuh anak adalah
wajib. Hal ini dikarenakan apabila anak masih kecil tidak dirawat dan didik
dengan baik maka akan berdampak buruk bagi diri mereka, bahkan bisa menjurus
pada kehilangan nyawa. Oleh karena itu, anak wajib dididik, dipelihara, dan
dirawat dengan baik.
Ketentuan hak asuh anak dalam hukum keluarga di Indonesia terdapat
dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI
(Kompilasi Hukum Islam). Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menegaskan bahwa,“kedua orang tua sama-sama memiliki
kewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban kedua orang tua tersebut menurut ayat (2) berlaku terus menerus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”. Penegasan hak asuh pasca
perceraian juga dicantumkan dalam Pasal 41 huruf (a) Undang-undang No 1
Tahun 1974 yang menegaskan bahwa, “akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah baik ayah maupun ibu tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak –anaknya, semata mata berdasarkan kepentingan anak , bilamana
11
M. Yahya Harahap, Op.cit hal. 134
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
ada perselisihan mengenai penguasaan anak maka pengadilan memberi
keputusannya”.12
Berdasarkan uraian di atas tersirat bahwa setelah terjadinya perceraian,
maka penetapan akan hak asuh anak secara langsung disahkan oleh pengadilan.
Putusnya suatu ikatan perkawinan tidak menjadi penyebab bagi anak untuk
merasakan kurangnya kasih sayang dari orang tua. Kepada orang tua yang tidak
mendapat hak asuh tersebut, tidak memiliki larangan untuk tetap berhubungan
dengan sang anak. Sebab bagi anak, tidak ada istilah bekas orang tua begitupun
sebaliknya.
Mengambil masalah larangan bertemu anak juga dapat terlihat pada
pendaftaran gugatan di Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 26 Januari 2016
dalam register nomor 23/PDT.G/2016/PN.MDN, dengan nomor putusan
32/Pdt.G/2016/PN.Mdn, dimana Ny. Rita selaku istri berstatus sebagai Penggugat
dan Tn. Susanto selaku suami, berstatus sebagai pihak tergugat.
Dalam putusan ini dijelaskan bahwa penggugat dan tergugat adalah suami
istri yang sah dan telah melakukan perkawinan secara agama Budha, pada tanggal
14 Nopember 2013, dan telah terbukti secara hukum dicatatkan dalam catatan
sipil pada tanggal 19 Agustus 2014 di Kota Medan. Penggugat dengan tergugat
dinyatakan sejak menikah, telah tinggal serumah dan telah melakukan kodratnya
sebagai suami – istri, hal ini dinyatakan dari hasil perkawinan penggugat dan
tergugat telah dikaruniai 1(satu) orang anak laki-laki yang bernama Philbert
Vladilim, yang lahir pada tanggal 05 September 2014 di Medan. Beberapa bulan
12
Ahmad Zaenal Fanani, Pembaruan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak Di Indonesia
(Perspektif Keadilan Jender) , (UII Press Yogyakarta: Yogyakarta , 2015), hal 19
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
setelah kelahiran Philbert Vladilim, terdapat perubahan yang terjadi dalam diri
tergugat, dimana tergugat sering marah –marah tanpa adanya alasan yang jelas
dan menuduh penggugat tidak bisa mengurus anak. Percekcokan yang terus terjadi
menjadi salah satu alasan runtuhnya bahtera rumah tangga antara penggugat dan
tergugat.
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan telah menjatuhkan
putusan nomor:32/Pdt.G/2016/PN-Mdn tanggal 31 Mei 2016 dengan amar
menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak asuh atas Philbert Vladilim.
Setelah diputuskannya hak asuh anak kepada Penggugat, Tn. Susanto
selaku tergugat merasa keberatan. Keberatan yang diajukan adalah penilaian
tergugat terhadap kemampuan dari penggugat untuk mengasuh anak, mengingat
bahwa selama ini tergugat merasa bahwa sang anak akan lebih aman jika bersama
dengannya. Alasan lain yang menjadi perihal keberatan pihak tergugat adalah,
setelah jatuhnya Hak Asuh kepada penggugat, pihak tergugat dilarang untuk
bertemu dengan anak kandungnya. Hal ini terlihat dari, adanya pendaftaran
memori banding oleh tergugat atas keberatannya tersebut pada nomor:
365/PDT/2017/PT.MDN.
Pada memori banding, dinyatakan bahwa tergugat sama sekali tidak
keberatan mengenai perceraian dalam perkara A-quo, akan tetapi mengenai hak
pengasuhan anak tersebut sudah sepatutnya diberikan kepada tergugat selaku ayah
kandung dari anak tersebut, karena selama ini yang mengurus dan merawat anak
tersebut adalah tergugat dan bukan sang ibu selaku penggugat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
Menurut tergugat, bahwa jika seandainya pengasuhan anak tersebut
diberikan kepada penggugat anak tersebut akan menderita, karena penggugat lebih
mencintai pekerjaannya dari pada anaknya sendiri. Sejak tergugat dan penggugat
pisah ranjang, anak hasil hubungan perkawinan tersebut hidup dan tinggal
bersama. Alasan lain yang diajukan oleh tergugat yang menguatkan dalilnya
dalam memori banding adalah,didalam posita gugatan penggugat yang didaftarkan
pada Pengadilan Negeri dengan Nomor Register :23/PDT/2016/PN.MDN, sama
sekali tidak ada menguraikan apa alasannya sehingga anak tersebut dibawah
perwalian penggugat.
Tergugat selaku pembanding, dalam memori bandingnya merasa, bahwa
Judex Factie telah salah menerapkan hukum dengan menghilangkan hak tergugat
untuk memelihara dan mendidik anak kandungnya (ic: Philbert Vladilim) , serta
tidak memberikan hak kepada tergugat untuk dapat bertemu dengan anaknya.
Berdasarkan hasil Putusan Banding,dengan nomor perkara
365/PDT/2017/PT.MDN, diputuskan bahwa:
1. Mengabulkan permohonan banding yang diajukan oleh kuasa hukum
Pembanding semula tergugat
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor Register :
32/Pdt.G/2016/PN-Mdn.
3. Menghukum Pembanding semula Tergugat untuk membayar biaya perkara
dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan
sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
Masalah larangan bertemu anak pasca perceraian seperti pemaparan diatas,
menaruh perhatian untuk dipelajari dan menelitinya. Sehubungan hal tersebut,
sesuai dengan ilmu yang dipelajari yang menjadi konsentrasi penelitian ini adalah
faktor – faktor penyebab larangan bertemu anak pasca perceraian, serta pandangan
hukum terhadap larangan tersebut, yang dirangkum dalam sebuah judul “Tinjauan
Hukum Terhadap Larangan Bertemu Anak Pasca Perceraian (Analisa Putusan
Pengadilan Tinggi Medan Nomor : 365/PDT/2017/PT MDN)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan atas uraian latar belakang tersebut ,maka masalah yang akan
dibahas, yaitu:
1. Bagaimanakah hak dan kewajiban orang tua terhadap anak pasca
perceraian menurut pandangan Hukum?
2. Apakah faktor penyebab orang tua yang bercerai melarang pasangan yang
lain untuk bertemu dengan anaknya ?
3. Bagaimanakah analisa pertimbangan hakim atas larangan bertemu anak
pasca perceraian berdasarkan putusan nomor : 365/PDT/2017/PT.MDN?
Hal- hal lain yang terurai dalam penulisan ini semata-mata untuk
mempermudah pembahasan.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam pembahasan skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum
Terhadap Larangan Bertemu Anak Pasca Perceraian (Analisa Putusan Pengadilan
Tinggi Medan Nomor : 365/PDT/2017/PT.MDN)” adalah sebagai berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
1. Untuk mengetahui dasar hukum terhadap hak dan kewajiban orang tua
terhadap anak pasca perceraian menurut pandangan hukum.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab dari orang tua yang bercerai melarang
pasangan yang lain untuk bertemu dengan anaknya
3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim atas larangan bertemu anak pasca
perceraian berdasarkan Putusan Nomor : 365/PDT/2017/PT.MDN .
D. Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan tersebut diatas, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah
dirumuskan dalam penelitian ini diharapakan dapat membawa manfaat
bagi para pihak sebagai berikut:
a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
hukum, kepustakaan di bidang Hukum Perkawinan pada umumnya,
dan kasus perceraian yang tidak memperbolehkan anak bertemu
orang tua pada khusunya
b. Selain itu penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan
informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah
dirumuskan dalam penelitian ini diharapakan dapat membawa manfaat
bagi para pihak sebagai berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
a. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi ide, masukan dalam
penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perkawinan serta akibat yang ditimbulkannya.
b. Bagi Praktisi Hukum
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi praktisi hukum
dalam mengatasi kasus yang dihadapi, dan masyarakat umum mengenai
berbagai permasalahn praktis yang dihadapi dalam menegakkan
kepastian hukum atas hak orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh
anak untuk bertemu dengan anaknya.
c. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat umum untuk mengetahui bagaimana pentingnya pemenuhan
hak dan kewajiban bagi anak maupun orang tua pasca perceraian, serta
akibat yang mungkin ditimbulkan dari perceraian bagi para pihak.
d. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan untuk menambah referensi
bagi kepustakaan pada Program Sarjana (S1) Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang mungkin, akan mengadakan penelitian
lebih lanjut terhadap masalah yang terdapat dalam pembahasan
penelitian ini.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan di Perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada terdapat tulisan yang mengangkat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
mengenai judul skripsi ini, yaitu “Tinjauan Hukum Terhadap Larangan Bertemu
Anak Pasca Perceraian (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor :
365/PDT/2017/PT MDN)”. Hal ini dibuktikan dengan cek uji bersih yang
dilakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada hari
Rabu, 10 Juli 2019 dan tidak ada judul yang sama pada Arsip Perpustakaan
Universtas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan tetapi,
ditemukan beberapa judul yang berhubungan dengan topik pembahasan dalam
skripsi ini, antara lain:
1. Muhamad Rizki Saputra, Nomor Induk Mahasiswa (NIM) : 59310087,
dengan judul skripsi, “ Dasar Pertimbangan Hakm Dalam Memutuskan
Hak Asuh Anak (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kota Cirebon
Dengan No Perkara 732/pdt.6/2011/PA.cn di putus Verstek), dengan
rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pertimbangan hakim pengadilan Agama kota Cirebon
dalam menetapkan hadhanah (hak asuh anak) pada perkara no
732/pdt.G/PA.cn yang di verstrek?
b. Bagaimana analisi hukum pada pertimbangan hakim Pengadilan
Agama Kota Cirebon dalam penetapan hadhanah (hak asuh anak)
pada perkara perceraian nomor: 732/Pdt.G/2011/PA.cn yang
diputus verstek?
2. Sahtanta Eka Prananta Tarigan, Nomor Induk Mahasiswa (NIM):
0671110121, dengan judul skripsi, ”Akibat Hukum Pertimbangan Hakim
Dalam Menetapkan Perceraian Terhadap Hak Asuh Anak Yang Masih
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
Minedrjarig (Studi Kasus Putusan di Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor:
83/Pdt.G/2005/PN.Sda), dengan rumusan masalah , sebagai berikut:
a. Apa saja tanggung jawab dan sanksi hak asuh anak yang masih
minderjarig pada orang tua setelah penetapan putusan perceraian?
b. Bagaimana penerapan atau pelaksanaan peraturang perundang-
undangan dalam Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor:
83/Pdt.G/2005/PN.Sda terkait dari pertimbangan hakim dalam
penetapan Pengadilan pada pemberian hak asuh anak yang masih
minderjarig ?
3. Adiar Adrianto, Nomor Induk Mahasiswa (NIM) : 050500701X, dengan
judul skripsi, “Pelaksanaan Hak Asuh Anak Atas Penetapan Pengadilan
Yang Berkekuatan Hukum Tetap di Indonesia (Studi Kasus Penetapan No
946/Pdt.P/1998/PN.Sby ), dengan rumusan masalah sebagai berikut;
a. Bagaimanakah peraturan perundang-undangan di Indonesia
mengatur mengenai mekanisme penetapan hak asuh anak serta
upaya hukum apa yang dapat diajukan sebagai bentuk perlawanan
dari penetapan tersebut?
b. Bagaimana pelaksanaan eksekusi hak asuh anak dari suatu
penetapan hak asuh anak dari pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap (Penetapan No 946/Pdt.P/1998/Pn.Sby)
4. Harry Yudha, Nomor Induk Mahasiswa (NIM) : 10321022450, dengan
judul skripsi “Hak Suami Terhadap Hadhanah Setelah Perceraian Ditinjau
Menurut Hukum Islam (Studi Adat: Marga Harahap Di Kecamatan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
Rumbai Pesisir Kota Pekanbaru)”, dengan rumusan masalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana hak suami terhadap hadhanah setelah perceraian dalam
marga harahap di kecamatan Rumbai Pesisir kota Pekanbaru?
b. Bagaimana analisis Hukum Islam tentang hak hadhanah oleh suami
setelah perceraian dalam marga harahap di kecamatan Rumbai
pesisir kota Pekanbaru?
5. Ika Riani Pasaribu, Nomor Induk Mahasiswa (NIM) : 140200568, dengan
judul skripsi “Tinjauan Yuridis Tentang Hak Asuh Anak Dibawah Umur
Kepada Ayah Akibat Perceraian (Analisis Putusan Nomor:
1743/Pdt.G/2017/PA.Mdn)”, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana hak asuh anak dibawah umur setelah perceraian
menurut perundang-undangan yang berlaku?
b. Bagaimana hak asuh anak dibawah umur (Hadhanah) setelah
perceraian menurut Hukum Islam?
c. Mengapa Majelis Hakim mengabulkan tuntutan hak asuh anak
yang diajukan oleh ayah berdasarkan putusan nomor :
1743/Pdt.G/2017/PA.Mdn)
F. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Umum tentang Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.
Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antar seorang laki-laki
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
dan seorang wanita. Oleh sebab itulah, beberapa ahli memandang dan
memberikan arti yang sangat penting terhadap institusi bernama perkawinan . 13
Dari segi ilmu bahasa atau semantik perkataan perkawinan berasal dari
kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari bahasa Arab “nikah”. Perkataan
nikah mengandung dua pengertian yaitu dalam arti yang sebenarnya (haqiqat) dan
arti kiasan (majaaz). Dalam pengertian yang sebenarnya kata “nikah” berarti
“berkumpul” sedang dalam arti kiasan berarti “aqad” atau mengadakan perjanjian
kawin. Para ahli ilmu “fiqh” , yaitu para imam berbeda pendapat dengan arti
kiasan tersebut. Imam Asy-Syafi’i memberikan pengertian bahwa nikah itu adalah
mengadakan perjanjian perikatan, sedangkan Imam Abu Haanifah mengartikan
perkawinan adalah setubuh. 14
Aser, Scholten,Pitlo, Petit, Melis, dan Wiarda, memberikan defenisi bahwa,
“perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita
yang diakui oleh negara untuk hidup bersama atau bersekutu kekal”. Esensi dari
pengertian yang dikemukakan para pakar tersebut adalah bahwa perkawinan
sebagai lembaga hukum, baik karena apa yang ada didalamnya, maupun karena
apa yang dapat didalamnya.15
Sementara menurut Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa,
“perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria yang dikukuhkan
secara formal dengan undang-undang (yuridis) dan kebanyakan religius”.
Pendapat lain disampaikan oleh Subekti dalam bukunya yang berjudul Pokok-
13
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional – cetakan
keempat, (Kencana Pranamedia Group : Jakarta, 2014) hal. 99 14
Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Alumni:
Bandung, 1982), hal 3 15
Titik Triwulan Tutik, Loc.cit hal. 99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
pokok Hukum Perdata yang mengatakan bahwa , “perkawinan ialah pertalian
yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.
Begitupun dengan Kaelany H.D yang mengatakan bahwa, “perkawinan
adalah akad antara calon suami istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang
diatur oleh syaria’ah. Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan bergaul
dengan suami isteri”.16
Menurut ajaran agama Islam, perkawinan merupakan suatu
ikatan batin maupun ikatan lahir batin selama hidup bersama suami istri untuk
hidup bersama menurut Syariat Islam dan memperoleh keturunan. Hal ini bukan
saja mengandung arti adanya suatu persetujuan antara suami dan isteri, yang
dimateraikan dengan hubungan perkawinan , melainkan mempunyai makna
religius. 17
Hukum perkawinan di Indonesia secara otentik diatur dalam Undang-
undang No 1 tahun 1974 lembaran Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 1
Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa, ”perkawinan
ialah ikatan lahir dan batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Menurut Pasal 1 Undang-undang No 1
Tahun 1974 ini dijelaskan bahwa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
dimana sila pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa , maka perkawinan
memiliki hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga
16
Ibid, hal. 100 17
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda , (Mandar
Maju: Bandung, 2002), hal.73
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
perkwainan bukan saja unsur lahiriah atau jasmani , tetapi unsur batin atau rohani
yang memiliki peranan penting.18
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang No 1 tahun 1974, masih terdapat
keanekaragaman hukum tentang sahnya suatu perkawinan. Berbeda halnya
dengan pendapat oleh Prof Subekti yang menyatakan bahwa, “barangsiapa yang
tunduk kepada Hukum Perdata Barat (Burgelijk Wetboek) dalam lapangan hukum
perkawinannya , maka perkawinan seseorang itu baru dianggap sah apabila
dilangsungkan sesuai syarat-syarat dan ketentuan agama dikesampingkan”.
Pernyataan tersebut dapat dilihat dari Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer) yang menyebutkan bahwa, “Perkawinan ialah ikatan pertalian
yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.
Jadi, perkawin an adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang,
dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan
material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu
haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam
Pancasila.19
b. Tujuan Perkawinan
Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang No 1 tahun 1974 itu
tercantum tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang
18
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional – cetakan ketiga, (Rineka Cipta:Jakarta,2005) ,
hal.9 19
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga- Perspektif Hukum Perdata Barat /BW,
Hukum Islam, dan Hukum Adat, (Sinar Grafika: Jakarta) hal. 6
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
bahagia dan kekal.20
Setiap keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhinya dua
kebutuhan pokok yaitu, kebutuhan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah. Yang
termasuk kebutuhan jasmaniah seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan
pendidikan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah contohnya adanya seorang anak
yang berasal dari darah daging mereka sendiri. 21
Kekal, memiliki arti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk
sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk
seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja.
Karenanya tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk
sementara waktu saja seperti kawin kontrak.
Sebagai ikatan lahir batin, perkawinan juga merupakan pertalian jiwa yang
terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri.Dalam tahap permulaan ,
ikatan batin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetjuan dari calon
mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Selanjutnya hidup bersama ikatan
bathin ini tercermin dari adanya kerukunan suami isteri yang bersangkutan.
Terjadinya ikatan lahir batin merupakan dasar utama dalam membentuk dan
membina keluarga yang bahagia22
.
c. Syarat-syarat Perkawinan
Untuk dapat melangsungkan perkawinan, maka harus memenuhi syarat-
syarat perkawinan. Syarat- syarat perkwawinan dibedakan menjadi dalam:
20
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Alumni: Bandung, 1992),
hal 67 21
Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) , (Sinar Grafika: Jakarta, 2002),
hal.62 22 Riduan Syahrani, Op.cit , hal 68
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
Syarat Materiil adalah syarat mengenai orang-orang yang hendak
melangsungkan perkawinan, terutama mengenai persetujuan , ijin dan
kewenangan untuk memberi ijin. Syarat materiil diatur dalam Pasal 6 s/d Pasal 11
Undang-undang No 1 Tahun 1974, yang dapat dibedakan lagi dalam syarat
materiil absolut (mutlak) dan syarat materiil relatif (nisbi). 23
Syarat Materiil absolut (mutlak) merupakan syarat-syarat yang berlaku
dengan tidak membeda bedakan dengan siapapun dia akan melangsungkan
perkawinan yang meliputi:
1) Batas umur minimum pria 19 tahun dan untuk wanita 16 tahun (Pasal
7 ayat 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974)
2) Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian atau persetujuan antara
kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1 Undang-undang No 1 Tahun
1974)
3) Untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2
Undang-undang No 1 Tahun 1974).24
Syarat Materiil relatif (nisbi) , merupakan syarat yang melarang
perkawinan antara seorang dengan seorang tertentu , yaitu:
1) Larangan kawin antara orang-orang yang memiliki hubungan keluarga,
yakni hubungan kekeluargaan karena darah dan perkawinan , yang
ditentukan dalam Pasal 8 Undang-undang No 1 Tahun 1974:
2) Berhubungan darah dalam garis meturunan lurus ke bawah ataupun ke
atas
3) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara , antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
saudara dengan saudara neneknya
4) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah
tiri
5) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan,
dan bibi atau paman susuan
6) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
23
Komariah, Hukum Perdata – Edisi Revisi, (UMM Press: Malang, 2010) hal. 44 24 Ibid , hal 45
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
7) Mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin
8) Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali seorang suami yang oleh pengadilan diijinkan untuk
poligami karena telah memenuhi alasan-alasan dan syarat-syarat
ditentukan (Pasal 9 Undang-undang No 1 Tahun 1974)
9) Larangan kawin bagi suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu
dengan yang lain dan bercerai lagi untuk yang kedua kalinya, sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-undang No 1
Tahun 1974). Larangan kawinseperti Pasal 10 tersebut sama dengan
larangan kawin yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat 2 KUHPerdata yang
menentukan bahwa perceraian setelah yang kedua kalinya antara orang-
orang yang sama adalah terlarang25
10) Seorang wanita putus perkawinannya dilarang kawin lagi sebelum habis
jangka tunggu (Pasal 11 Undang-undang No 1 Tahun 1974)
Syarat-syarat formil, yakni syarat-syarat yang merupakan formalitas yang
berkaitan dengan upacara nikah.
1) Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai
baik secara lisan maupun tertulis akan dilangsungkan, dalam jangka waktu
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan (Pasal 3 dan Pasal 4 PP No 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974)
2) Pengumuman oleh Pegawai Pencatat dengan menempelkannya pada
tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud
pengumuman itu adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang
yang mempunyai pertalian dengan calon suami atau isteri itu atau pihak-
pihak lain yang mempunyai kepentingan (misalnya kejaksaan) untuk
menentang perkawinan itu kalau ada ketentuan Undang-undang yang
dilanggar. Pengumuman terebut dilaksanakan setelah pegawai pencatat
meneliti syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi
oleh calon mempelai.26
d. Asas-asas Perkawinan
Kedudukan asas hukum perkawinan adalah jantung bagi Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974. Selain menciptakan keluwesan dan fleksibilitas hukum,
asas hukum perkawinan juga berfungsi dalam menghadapi faktor-faktor realita
25
Ibid 26 Ibid
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
hukum perkawinan . Tanpa ada asas-asas hukum perkawinan, maka Undang-
undang No 1 Tahun 1974 menjadi kaku dalam pelaksanaannya. Pembentuk
undang-undang telah menetapkan 6 (enam) asas hukum perkawinan yaitu:27
1) Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan
mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
2) Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap –tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian dan dinyatakan dalam surat –surat
keterangan, suatu akte resmi yang dimuat dalam pencatatan.
3) Monogami Relatif maksudnya suami dapat beristri lebih dari satu orang
dengan mengindahkan persyaratan yangditentukan oleh undang-undang.
4) Kedua calon suami isteri harus siap jiwa dan raganya agar dapat
mewujudkan perkawinan secara baik, mendapat keturunan yang baik dan
sehat serta tidak berakhir dengan perceraian. Untuk itu dicegah
perkawinan dibawah umur dan memiliki hubungan dengan masalah
kependudukan. Undang-undang menetapkan batas usia kawin yaitu bagi
pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.
5) Mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian
harus ada alasan-alasan tertentu dan di depan pengadilan. Ratio yuridis
asas mempersulit perceraian adalah sesuai dengan tujuan perkawinan itu
sendiri.
6) Hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam masyarakat sehingga segala
sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan secara bersama.
Perlu mendapat perhatian khusus adalah asas monogami relatif yang
dianut Undang-undang No 1 Tahun 1974. Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 3,
sebagai berikut:
1) Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri. Sedang seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami
2) Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
27 Tan Kamello dan Syarifah Andriati , Op.cit, hal 45
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
Ijin pengadilan diberikan kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
satu orang apabila memenuhi syarat fakultatif dan syarat kumulatif.28
Syarat fakuktatif adalah syarat yang terdapat dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-
undang No 1 Tahun 1974 , yaitu:
1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Sedangkan syarat kumulatif terdapat pada pasa 5 ayat 1 Undang-undang
No 1 Tahun 1974 yang menyebutkan:
1) Adanya perjanjiandari istri atau istri-istri
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka
3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka
Jadi seorang suami yang akan beristri dari seorang harus memenuhi salah
satu syarat fakultatif dan semua syarat kumulatif yang telah ditentukan oleh
udang-undang. Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga menganut asas
monogami, tetapi monogami dalam hal ini adalah mutlak. Hal ini disimpulakan
dari Pasal 27 dan Pasal 28 KUHPerdata yang menyatakan bahwa asas perkawinan
adalah monogami serta menganut adanya asas kebebasan, kata sepakat diantara
para calon suami istri, melarang adanya poligami.29
Pada waktu yang sama
seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai
isterinya , seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya.30
28
Harumiati Natadimaja, Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan Hukum
Benda ,(Graha Ilmu: Yogyakarta, 2009),hal.23 29
Ibid 30
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-undang Hukum Perdata , (Sinar Grafika:Jakarta,
2004) hal 8
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
Asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dari calon suami
dan isteri. 31
Didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), asas perkawinan itu
sebenarnya monogami tidak mutlak, hukum poligami seorang laki-laki boleh
mempunyai istri lebih dari seorang, asal dapat memenuhi syarat yang ditentukan.
Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anaknya. Apabila syarat utama yang disebut dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) tidak terpenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.32
Dalam Al-quran menyatakan sebagai berikut:33
“Dan jika kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi , dua,tiga atau empat, kemudian
jikakami takut tidak akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang
raja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang sedemikian itu lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.”
Berlaku adil adalah perlakuan yang adil dalam meladeni istri seperti
pakaian, tempat , giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat yang utama adalah harus berlaku
adil.34
2. Tinjauan umum tentang Perceraian
Menurut Subekti perceraian adalah “Penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”.Jadi
pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan , baik
dengan putusan hakim atau tuntutan suami atau istri. Dengan adanya perceraian,
31 Pasal 28 KUHPerdata
32 Pasal 55 ayat 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 ditambah Pasal 3 Kompilasi Hukum
Islam (KHI)
33 surat 4 An-Nisa ayat 3
34 Harumiati Natadimaja, Op.cit hal.25
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
maka perkawinan antara suami dan istri menjadi hapus. Namun , Subekti tidak
menyatakan pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu dengan
kematian atau lazim disebut dengan istilah “cerai mati”. 35
Perceraian menurut Pasal 38 Undang-undang No 1 Tahun 1974 adalah
putusnya perkawinan. Pasal 39 Undang-undang No 1 Tahun 1974 memuat
ketentuan imperatif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan Pengadilan ,
setelah pengadilan yang bersangkutan mendamaikan kedua belah pihak.
Pengertian perceraian dalam perspektif hukum antara lain:36
a. Perceraian menurut Hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal 38
dan Pasal 39 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan
dalam PP No 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai berikut:
1) Perceraian dalam pengertian cerai talak , yaitu perceraian yang diajukan
permohonan cerainya oleh dan atas dasar inisiatif suami kepada
Pengadilan Agama , yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala
akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan atau diikrarkan di
depan sidang Pengadilan Agama.37
2) Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan
gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama
yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak
jatuh putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.38
b. Perceraian menurut hukum Islam , yang telah dipositifkan dalam
Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan dijabarkan dalam PP No 9 Tahun
1975, yaitu perceraian yang gugatan cerainya diajukan oleh dan atas
inisiatif suami dan istri kepada Pengadilan Negeri, yang dianggap terjadi
beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya
pada daftar pencatatan oleh Pegawai Pencatat di Kantor Catatan Sipil. 39
35 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan AnnalisaYahanan, “Hukum Perceraian”
(Sinar Grafika:Jakarta ,2016) hal 18 36 Subekti, “Pokok-pokok Hukum Perdata – cetakan ke 31” (Intermasa:Jakarta, 2003) hal
43
37 Pasal 14 - pasal 18 PP No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan 38 Pasal 20 - Pasal 36 PP No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
39
Pasal 20 dan Pasal 34 PP No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan pemufakatan saja
antara suami isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan-alasan ini ada 4
macam:40
a. Zina (overspel)
b. Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating)
c. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan
kejahatan
d. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa
Undang-undang perkawinan menambahkan dua alasan :41
a. salah satu pihak mendapat cacat badan atau cacat fisik dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri
b. antara suami –istri terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Tuntutan untuk mendapat perceraian diajukan kepada hakim secara gugat
biasa dalam perkara perdata, tetapi harus didahului dengan meminta izin kepada
Ketua pengadilan Negeri untuk menggugat. Sebelum izin ini diberikan , hakim
harus lebih dahulu mengadakan percobaan untuk mendamaikan kedua belah pihak
(verzoeningscomparitie).Selama perkara bergantung, Ketua Pengadilan Negeri
dapat memberikan ketetapan-ketetapan sementara, misalnya dengan memberikan
izin pada istri untuk bertempat tinggal sendiri terpisah dari suaminya,
memerintahkan agar suami memberikan nafkah tiap-tiap kali pada istrinya serta
anak-anakanya yang turut pada istrinya itu dan sebagainya.42
40 Pasal 209 KUHPerdata
41 Pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
42
Ibid hal 45
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 41
Undang-undang No 1 Tahun 1974 , terdapat tiga akibat putusnya perceraian
yaitu;43
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya , semata mata berdasarkan kepentingan si anak. Bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan
keputusan
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam kenyataanya
tidak dapt memberikan kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk membiayai
penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya.
Bagi suami-istri yang putus karena perceraian, berhak untuk mendapatkan
harta bersama. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan.
Harta bersama dibagi antara bekas suami dengan bekas istri. Hak suami adalah
sebagian dari harta bersama , begitu juga istri mendapat bagian yang sama besar
dengan suami yaitu separuh harta bersama. Disamping itu, kewajiban lain dari
bekas suami adalah memberikan mut’ah kepada bekas istrinya. Mut’ah adalah
pemberian bekas suammi kepada istri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang
dan lainnya.
Syarat pemberian mut’ah ini adalah;44
a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da dukhul
b. Perceraian itu diatas kehendak suami
Pemberian mut’ah yang dilakukan oleh bekas suami kepada istrinya
diberikan tanpa syarat apapun.
43 Salim HS , Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Sinar Grafika: Jakarta, 2019) hal
83 44
Ibid hal 84
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
3. Tinjauan umum Tentang Anak
Pasal 1 Kovensi Hak Anak secara umum mendefenisikan anak sebagai
orang yang belum mencapai usia 18 tahun , namun dalam Pasal tersebut juga
mengakui keungkinan adanya perbedaan atau variasi dalam penentuan batas usia
kedewasaan didalam peraturan perundang-undangan dari tiap tiap negara peserta.
Misalnya untuk bekerja, untuk ikut pemilihan umum, untuk mengkonsumsi
minuman berakohol, untuk bertanggung jawab secara pidana atau untuk bisa
dijatuhi hukuman mati dan sebagainya.45
Selain definisi anak yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak, dalam
Konteks hukum nasional yaitu Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, anak didefenisikan sebagai “seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun , termasuk anak-anak yang masih dalam kandungan”.
Sedangkan berdasarkan fungsi dan kedudukannya, menurut Undang-undang No
23 Tahun 2002 anak adalah:
“ amanah sekaligus karunia Tuhan yang Maha Esa , yang senantiasa harus
kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat , martabat, dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan
bagian dari Hak Asasi Manusia yang termuat dalam Undang-undang Dasar
1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak.
Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara , anak adalah masa depan
bangsa dan generasi penerus bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup , tumbuh dan berkembang , berpartisipasi serta berhak
atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil
dan kebebasan”46
Sedangkan menurut Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, berdasarkan fungsi dan kedudukannya anak merupakan
potensi serta penerus cita-cita bangsa yang sadar-dasarnya telah diletakkan oleh
45
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Pengarusutamaan Hak Anak dalam Anggaran Publik, (Graha
Ilmu: Yogyakarta,2015 ), hal 3
46 Pasal 1 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
generasi sebelumnya. Berdasarkan kedudukan tersebut, menurut Undang-undang
No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak didefenisikan sebagai berikut: 47
“Bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumberdaya manusia yang
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa , yang
memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus ,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik , mental dan sosial secara utuh,
selaras, serasi dan seimbang.”
G. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini agar
lebih terarah dan sistematis serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
yaitu sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian48
Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis metode penelitian, yaitu metode
penelitian yuridis empiris dan yuridis normatif. Jenis penelitian yuridis empiris
merupakan “upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari
permasalahan berdasarkan realita yang ada”.49
Jenis Penelitian Yuridis normatif
“merupakan penelitian yang ditujukan dan dilakukan dengan menggunakan kajian
terhadap perundang- undangan dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya , yang
berkaitan dengan skripsi ini”.
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian
Yuridis Normatif, dimana terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang hukum
perkawinan, perceraian dan perlindungan anak dengan tujuan menjamin
47 Ibid 48
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Press; Jakarta 1986), Hal.20 49
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Raja Grafindo Persada:Jakarta, 2006), hal. 1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
kepastian hukum terhadap orang tua yang dilarang oleh pasangan lainnya untuk
bertemu sang anak pasca perceraian.
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis,
maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan memperoleh gambaran secara
rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisa dilakukan
berdasarkan gambaran dan fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara
cermat , bagaimana menjawab permasalahan dan menyimpulkan suatu solusi
sebagai jawaban dari permasalahan tersebut”.50
2. Sumber Data
Pada suatu penelitian ilmiah pengumpulan data merupakan jenjang
kegiatan penelitian yang paling menentukan keberhasilannya. Tidak cukup dan
tidak akurat data yang diperoleh jelas akan berakibat kepada penyimpulan
dilakukan. Sumber data dapat dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer dapat dicari dan diperoleh langsung dari responden ataupun
dari lapangan (kancah). Sementara data sekunder dapat dicari dan diperoleh dari
kepustakaan dengan mengguunakan instrumen studi dokumen.51
Berdasarkan jenis penelitian dalam penulisan skripsi yang digunakan
adalah penelitian hukum normatif, maka data yang dipergunakan adalah data
sekunder. Data sekunder dibidang hukum jika dipandang dari sudut kekuatan
50
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit hal. 30 51
Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum : Penulisan Skripsi, cetakan
kedua (Pustaka Bangsa Press: Medan, 2007), hal .73
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
mengikatnya dibagi menjadi tiga bahan yaitu; Bahan – bahan hukum primer,
bahan-bahan hukum sekunder, dan bahan-bahan hukum tersier.52
Bahan yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.
Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-
jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan53
serta bahan yang
terdiri atas:
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat, yaitu
terdiri dari perundang-undangan, catatan – catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim54
yang
masih berlaku.
Bahan hukum primer dalam penelitian ukum ini yaitu:
1) Undang –Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
3) Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
4) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
5) Undang - Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
6) Undang – Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
7) Putusan Nomor : 365/PDT/2017/PT MDN
52
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, ( Ghalia Indonesia; Jakarta
Timur: 1983) hal.24 53
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana: Jakarta,2009)hal 141 54
Ibid, hal. 142
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
b. Bahan hukum sekunder yaitu Rancangan undang-undang , hasil penelitian,
hasil karya dari kalangan hukum lain-lainnya yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam penelitian
ini berupa pendapat ahli hukum, jurnal ilmiah, majalah dan berita internet
yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.55
c. Bahan hukum tersier, yakni yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan Hukum
Sekunder dalam penelitian ini berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Kamus Hukum, Koran dan Ensiklopedia.56
3. Metode Pengumpulan Data
a. Metode Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan penelitian adalah
studi kepustakaan (Library Reasearch), yakni dengan cara meneliti bahan
pustaka atau disebut dengan data primer yang berupa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi
ini.57
b. Metode Penelitian Lapangan (field research), yaitu dengan mengumpulkan
data lapangan yang diperlukan sebagai penunjang yang diperoleh dari
informasi dan pendapat dari informan dengan melakukan wawancara
dengan keluarga yangmengalami kasus yang sama, yaitu adanya larangan
kepada pasangan yang lain untuk bertemu dengan anaknya.
4. Alat Pengumpulan Data
55 Tampil Anshari Siregar, Op.cit , hal. 76 56
Soekanto Soerjono, Op.cit, hal.52 57
Bambang Wahyu ,Penelitian Hukum Dalam Praktek, ( Sinar Grafika; Jakarta,1996) hal.
50
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
Alat Pengumpulan Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah:
a. Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan salah satu alat yang digunakan dalam
penelitian untuk mendapatkan data –data yang valid dan relevan. Studi
dokumen yaitu menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik
dokumen tertulis, gambar, maupun dokumen elektronik.58
Tujuan dari
skripsi ini menggunakan studi dokumen sebagai alat pengumpulan data
adalah untuk memperoleh gambaran umum mengenai larangan oleh salah
satu pasangan untuk bertemu dengan anak pasca perceraian.
b. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara yakni panduan yang digunakan dalam melakukan
kegiatan wawancara yang terstruktur dan telah ditetapkan oleh
pewawancara dalam mengumpulkan data-data penelitian.59
Didalam
skripsi ini, pedoman wawancara digunakan sebagai alat yang dapat
membantu penulisan untuk menguatkan informasi tentang gambaran
umum mengenai larangan oleh salah satu pasangan untuk bertemu dengan
anak pasca perceraian.
4. Analisa Data
Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini termasuk kedalam penelitian
hukum normatif. Pengelolaan data dalam penulisan ini menggunakan data
58
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan,(PT.Remaja
Rosdakarya:Bandung , 2008), hal. 221 59
Bambang Wahyu, Op.Cit hal. 57
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
kualitatif yaitu dengan memahami manusia dari sudut pandang orang yang
bersangkutan itu senidiri, berguna untuk mengerti dan memahami gejala yang
diteliti. Penggunaan analisis data kualitatif, dimaksudkan agar lebih fokus kepada
analisis terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, bahan dari internet
dan sebagainya , untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam penulisan
skripsi ini.
5. Penarikan Kesimpulan
Data yang telah dikumpulkan berupa data primer, data sekunder dan data
tersier, akan diolah dan ditarik kesimpulan menggunakan Metode Deduktif.
Penarikan kesimpulan ditarik dengan cara mengumpulkan secara lengkap hal hal
yang telah diketahui, kemudian melalui data atau gejala umum ini dibandingkan
serta dianalisis dengan data data atau gejala-gejala yang diteliti dalam lapangan
yang bersifat khusus60
. Penarikan kesimpulan ini akan menjadi penilaian tentang
kesesuaian data dokumen dengan gejala umum yang terdapat dalam praktek
lapangan.
H. Sistematika Penulisan
Dalam Penulisan skripsi ini terdapat masalah yang diangkat serta
pembahasan yang sesuai. Oleh karena itu, diperlukannya sistematika penulisan
yang teratur dan saling berkaitan satu dengan yang lain . Setiap bab terdiri dari
sub bab dengan harapan dapat mempermudah skripsi ini. Adapun Sistematika
penulisan skripsi ini adalah:
60
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum , (Sinar Grafika:Jakarta, 2009) hal. 105
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
BAB I Bab I adalah pendahuluan. Bab ini merupakan pengantar yang
didalamnya memuat gambaran umum tentang penulisan skripsi
yang terdiri dari latar belakang penulisan skripsi, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian
penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Bab II membahas mengenai tinjauan umum mengenai Perkawinan
dan perceraian, serta akan disertai sub bab antara lain lain:
peraturan mengenai perkawinan dan perceraian menurut Undang-
Undang No 1 tahun 1974, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
( KUHPer), Kompilasi Hukum Islam. Akibat Hukum yang timbul
pasca perceraian ; yaitu Hak dan kewajiban bagi orang tua maupun
anak.
BAB III Bab III membahas tentang analisa faktor –faktor penyebab
terjadinya perceraian serta alasan pasangan bercerai melarang
pasangan lainnya untuk bertemu anak , berdasarkan Putusan
Pengadilan Tinggi Medan Nomor : 365/PDT/2017/PT MDN , serta
didukung oleh tinjauan – tinjauan umum tentang faktor penyebab
perceraian.
BAB IV Bab IV membahas tentang Tinjaun Hukum dalam mengatasi
permasalahan larangan bertemu anak pasca perceraian berdasarkan
Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor : 365/PDT/2017/PT
MDN. permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini yaitu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
membahas tentang gugatan, tuntutan, pertimbangan hukum, dan
analisa putusan.
BAB V Bab V merupakan penutup , yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Kesimpulan, merupakan jawaban dari masalah yang terdapat
didalam skripsi ini, sedangkan saran , mencakup usulan dan
gagasan terhadap permasalahan yang dibahas pada penelitian ini
berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya
yang mungkin berguna bagi penerapan dan penegakan hukum atas
larangan bertemu anak pasca perceraian
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK PASCA
PERCERAIAN
A. Kedudukan Anak dalam Ikatan Perkawinan
Status anak adalah kedudukan anak terhadap orang tuanya. Status anak
inilah yang akan menentukan hubungan-hubungan perdata mengenai hak dan
kewajiban antara anak dengan orang tuanya dan keluarganya,demi terpenuhinya
segala hak dan kewajiban tersebut dan mencegah terjadinya pelarian tanggung
jawab.61
1. Kedudukan anak dalam ikatan perkawinan menurut peraturan
Perundang-undangan
Kedudukan anak di mata hukum, dikenal istilah anak sah dan anak tidak sah.
Dalam ketentuan Pasal 42 sampai Pasal 49 Undang-undang No 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, memberikan defenisi tentang anak dari segi kedudukan
seorang anak dimata hukum sebagai berikut:62
a. Anak Sah
Dalam hukum perkawinan Indonesia, perkawinan dikatakan sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Hubungan nasab dari perkawinan sah tidak dititikberatkan pada garis
keturunan ayah atau ibunya, tetapi kepada keduanya.63
Perkawinan sah
61
Kudrat Abdillah, Pandangan Tokoh-Tokoh Nahdlatul Ulama (Nu) Daerah Istimewa
Yogyakarta Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (Mk) No. 46/Puu-Viii/2010 Tentang Status
Anak Di Luar Nikah, Al-Ahwal, Vol. 6, No. 2, 2013, hal 199
62 Saadatul Maghfira, Kedudukan Anak Menurut Hukum Positif di Indonesia, Jurnal
Ilmiah Syari’ah, Vol. 15 No 2, Juli-Desember 2016, hal 215
63
Afif Muamar, Ketentuan Nasab Anak Sah, Tidak Sah, Dan Anak Hasil Teknologi
Reproduksi Buatan Manusia: Antara UU Perkawinan Dan Fikih Konvensional, Al-Ahwa l, Vol. 6,
No. 1, 2013, hal 46
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
adalah apabila perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan
pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan dan dalam hukum Islam
terdapat rukun dan syarat perkawinan yang harus dipenuhi untuk dapat
dinilai perkawinan tersebut sah dalam agama Islam.
Perkawinan merupakan perbuatan yang suci yaitu suatu perikatan antara
seorang laki laki dengan seorang perempuan untuk membentuk kehidupan rumah
tangga yang bahagia dan kekal didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
dengan perkawinan tersebut maka lahirlah anak-anak yang sah, dengan kelahiran
anak anak tersebut menjadi harapan orang tuanya.64
Menurut KUHPerdata anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah.65
Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum
Islam ,dinyatakan bahwa anak sah adalah: 66
1) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah;
2) hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan
oleh istri tersebut.
b. Anak tidak sah
Anak tidak sah yang sering disebut dengan “anak kampang”, “anak haram
jadah”, “anak kowar”, “anak astra”,”anak luar kawin” dan sebagainya. 67
Anak
yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai
64 Mulyadi, Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Yang Diakui, Cakrawala: Vol. XI, No.
1, Juni 2016, hal 93
65 Pasal 42 KUHPerdata
66 Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam
67 Ardian Arista Wardana, Pengakuan Anak Di Luar Nikah:Tinjauan Yuridis Tentang
Status Anak Di Luar Nikah, Jurisprudence, Vol. 6 No. 2 September 2016 , hal 160
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
ayahnya.68
Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari keseratus delapan puluh (6
bulan) dari perkawinan, dapat diingkari oleh suami.69
Anak diluar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau penodaan
darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka , bila
sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah
terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya
sendiri.70
Di dalam KUHPerdata anak luar nikah dibagi menjadi ada tiga macam,
yaitu:71
1) apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat dengan
perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dengan
wanita atau pria lain yang mengakibatkan hamil dan melahirkan anak,
maka anak tersebut dinamakan anak zina.
2) apabila orang tua anak diluar kawin itu masih sama sama bujang, mereka
mengadakan hubungan seksual, dan hamil serta melahirkan anak, maka
anak tersebut adalah anak di luar nikah (anak alami).
3) selain itu juga dikenal istilah anak sumbang dalam KUHPerdata yaitu anak
yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara seorang laki-laki dan
perempuan yang terlarang untuk melakukan perkawinan karena memiliki
hubungan darah adalah anak yang lahir akibat dari perbuatan orang tua
yang tidak menurut ketentuan hukum, semisal; anak dari kandungan ibu
sebelum terjadi perkawinan yang sah, anak dari kandungan ibu setelah
bercerai lama dari suaminya, anak dari kandungan ibu tanpa melakukan
perkawinan yang sah, anak dari kandungan ibu yang berbuat zina dengan
orang lain, atau anak dari kandungan ibu yang tidak diketahui siapa
ayahnya.
Mengenai anak tidak sah atau anak luar nikah dalam KUHPerdata hanya
disinggung mengenai hubungan keperdataannya, disebutkan anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
68 Pasal 250 KUHPerdata
69 Pasal 251 KUHPerdata
70 Pasal 272 KUHPerdata
71
Ahmad Farahi, Keadilan Bagi Anak Luar KawinDalam Putusan Mahkamah Konstitusi
46/PUU-VIII/2010, De Jure: Jurnal Hukum dan Syaria’ah, Vol. 8, No. 2, 2016, hal 78
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
keluarga ibunya. Kedudukan anak luar kawin tersebut selanjutnya akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah.72
.
Anak tidak sah atau anak luar nikah tidak memiliki perlindungan hukum
sehingga tidak dapat menuntut hak-haknya selayaknya anak sah. Seperti contoh
hak untuk mendapat nafkah hidup yang seharusnya diberikan oleh ayahnya
sebagai kepala keluarga, hak untuk mendapatkan kasih sayang, dan hak untuk
mendapatkan warisan dari ayahnya.73
Pada dasarnya mempunyai anak di luar kawin tidaklah dianjurkan
karena akan berdampak pada status dari anak yang dilahirkan baik secara
mental maupun kondisi jasmani sang anak. Kiranya melakukan atau membangun
rumah tangga yang baik diatas suatu perkawinan yang sah demi terciptanya
tujuan dari perkawinan itu sendiri yang dimana berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. 74
2. Kedudukan anak dalam ikatan perkawinan menurut Hukum Adat
Hubungan anak dan orang tua dalam hukum kekeluargaan adat adalah hal
yang terpenting, karena dalam hukum adat anak kandung memiliki kedudukan
yang sangat penting dalam setiap somah (gezin) dari suatu masyarakat adat. Oleh
karena itu, ketika anak masih dalam kandungan ibunya hingga ia dilahirkan,
bahkan dalam pertumbuhannya, pada masyarakat adat terdapat banyak upacara-
upacara adat sifatnya religio-magis (kepercayaan) dan penyelenggarannya
72 Pasal 43 ayat 1 dan 2 KUHPerdata
73 Ahmad Dedy Haryanto, Perlindungan Hukum Anak Luar Nikah di Indonesia, Bilancia,
Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015 hal 125
74
Suryawati, Ni Kadek Wulan; Layang, I Wayan Bela Siki, Kedudukan Hukum Anak
Luar Kawin Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Journal
Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 3, Agustus 2018, hal 8-9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
berurutan mengikuti pertumbuhan fisik anak tersebut dan semuanya bertujuan
untuk melindungi anak beserta ibunya yang sedang mengandung, dari segala
macam bahaya dan gangguan-gangguan yang mungkin timbul setelah anak
dilahirkan, agar anak dimaksud menjadi anak yang dapat memenuhi harapan
kedua orang tuanya. 75
Dalam hukum adat pada umumnnya tidak dikenal tenggang waktu sebagai
kelahiran anak yang dianggap sah. Seorang anak yang dilahirkan selama
perkawinan, maka wanita yang melahirkannya adalah ibunya dan pria yang
mengawini ibunya, yang membenihkan anak tersebut adalah ayahnya. Anak yang
dilahirkan dari seorang wanita tak kawin, di dalam berbagai lingkungan hukum,
wanita tersebut adalah ibunya, seperti halnya bilamana anak tersebut dilahirkan
dari suatu perkawinan. Akan tetapi tidaklah demikian terhadap ayah yang
membenihkannya, sepanjang ia tidak melakukan pengakuan.76
Keadaan seperti ini, dalam hukum adat dikenal sebagai anak yang lahir
dalam keadaan tidak normal . Anak-anak yang lahir dalam keadaan tidak normal
tersebut adalah sebagai berikut77
:
a. Anak lahir di luar Perkawinan
Hubungan anak yang lahir diluar perkawinan dengan wanita yang
melahirkannya maupun dan pria yang bersangkutan dengan anak
tersebut, tidak selalu sama ditiap daerah
b. Anak lahir karena zina
Anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antar seseorang
wanita dan pria yang bukan suaminya
c. Anak lahir setelah perceraian
75 Ahmad Tahali, Hukum Adat di Nusantara Indonesia, Jurisprudentie, Vol. 5 No 1, Juni
2018, hal 37 76
R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, (Airlangga University Press; Surabaya, 2002), hal 104
77 Ahmad Tahali, Op.cit hal 38
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
Anak yang dilahirkan setelah bercerai , menurut adat adalah anak dari
suami wanita yang melahirkan itu , apabila kelahirannya terjadi batas-
batas waktu mengandung.
Ter Haar di dalam bukunya Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht (1939)
menyatakan, “diseluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat bawah,
terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku
sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin”. Berdasarkan pendapat Ter
Haar tersebut, dapat dirumuskan masyarakat Hukum Adat yaitu: 78
a. kesatuan manusia yang terstruktur;
b. menetap disuatu daerah tertentu;
c. mempunyai atau memiliki penguasa, dan;
d. mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud, dimana
para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam
masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan para
anggota masyarakat hukum adat tidak mempunyai fikiran atau
kecenderungan untuk membubarkan ikatan atau melepaskan diri dari
ikatan itu untuk selama-lamanya.
Menurut dasar susunannya, struktur persekutuan-persekutuan masyarakat
hukum adat di Indonesia, persekutuan hukum memiliki sifat genealogi.79
Berdasarkan sifat tersebut, terdapat tiga macam dasar pertalian keturunan, yaitu:80
a. Pertalian darah menurut garis Bapak (patrilinial), seperti pada suku Batak,
Nias dan orangorang Sumba;
b. Pertalian darah menurut garis Ibu (matrilinial), seperti di Minangkabau;
c. Pertalian darah menurut garis Ibu dan Bapak (parental) seperti pada suku
Jawa, Sunda, Aceh, Dayak. Di sini untuk menentukan hak-hak dan
kewajiban seseorang, maka famili dari pihak Bapak adalah sama artinya
dengan famili dari pihak Ibu.
78 Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, (Pradnya Paramita: Jakarta, 1996) hal. 46. 79 Genealogi atau nasab (Yunani: γενεά, genea –"keturunan"dan λόγος, logos –
pengetahuan"; Arab: لم ساب ع ilm al-ansāb) adalah kajian tentang keluarga dan penelusuran' ,الأن
jalur keturunan serta sejarahnya
80 Mochamad Adib Zain, Pengakuan Atas Kedudukan Dan Keberadaan Masyarakat
Hukum Adat (Mha) Pasca Dibentuknya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,
Jurnal Penelitian Hukum Vol 2, Nomor 2, Juli 2015 hal 66-67
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
Di lingkungan masyarakat adat Patrilinial yang berpegang teguh pada
agama Islam, anak haram tidak berhak menjadi penerus keturunan bapaknya dan
tidak berhak menjadi ahli waris dari bapaknya. Anak haram dianggap bukan
keturunan bapaknya, oleh karena itu si anak tidak berhak mewaris dari bapaknya.
Secara a contrario81
, bila anak haram tidak dianggap keturunan bapaknya, maka
ia secara faktual adalah keturunan ibunya. Ini adalah fakta yang tidak dapat
disangkal karena ibulah yang melahirkan si anak tersebut. 82
Menurut hukum adat Lampung yang bersifat patrilineal, anak haram
dijadikan anak masyarakat adat. Oleh karena itu si anak dikeluarkan dari
kekerabatan adat bapaknya. Kerabat bapaknya harus membayar denda adat dan
meminta maaf atas kesalahan anaknya (bapak biologis si anak luar kawin) pada
majelis prowatin (para batin = tua-tua adat). 83
Berdasarkan uraian tersebut nampak bahwa menurut adat kebiasaan di
Lampung, anak haram dikeluarkan dari kekerabatan adat bapaknya, namun
masyarakat adat tidak membuang keluar di anak haram begitu saja. Masyarakat
adat masih melindungi si anak luar kawin dengan memberikan tempat, yakni
sebagai “anak masyarakat adat”. Perihal sanksi yang diterapkan oleh masyarakat
81 Argumentum a contrario (Latin: 'argumen dari yang sebaliknya') adalah dalil yang
dianggap benar karena tidak dibantah dalam perkara tertentu. Penalaran semacam ini merupakan
kebalikan dari analogi. Argumen a contrario sering digunakan dalam ilmu hukum untuk
menyelesaikan masalah yang belum terpecahkan dalam sistem hukum tertentu. Argumen ini
didasarkan pada ungkapan Latin berikut: ‘‘ubicumque lex voluit dixit, ubi tacuit noluit’’, yang
berarti "Jika pembuat undang-undang ingin mengatakan sesuatu, ia akan menyatakannya secara
gamblang."
82 Bernadeta Resti Nurhayati, Status Anak Luar Kawin Dalam Hukum Adat Indonesia,
Vol 3, No 2, Agustus 2017, hal 96
83 Lucy Pradita Satriya Putra, Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat, dan
Yuriprudensi Mahkamah Agung, Jurnal Repertorium, Vol 3 , Juni 2015, hal. 137
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
adat, berupa pembayaran denda adat dan meminta maaf atas kesalahan anaknya
kepada tua-tua adat. 84
Dalam Masyarakat ber-kekerabatan Matrilineal anak tidak sah di
Minangkabau, seperti juga di daerah lain yang kuat agama Islamnya, adalah anak
haram, anak hasil perbuatan “sumbang salah”. Sebagai akibat perbuatan zina
tersebut maka ayah dan ibu biologis si anak, beserta anak haramnya menurut
hukum adat dijatuhi hukuman buang. Pada masyarakat parental, konsep hubungan
antara anak luar kawin dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. 85
Di Minahasa anak di dalam atau di luar perkawinan sama saja sebagai
anak yang sah. Untuk memperkuat pengakuan bapak terhadap anak yang lahir dari
ibunya di luar perkawinan, maka bapaknya memberi “lilikur”86
bagi perempuan
yang tidak dinikahinya jika bapak dan si-ibu hidup terpisah. Bila ada pembayaran
“lilikur”, maka ada kemungkinan si anak luar kawin ada kemungkinan
mendapatkan bagian harta warisan bukan saja dari ibunya tetapi juga dari
bapaknya.87
3. Kedudukan anak dalam ikatan perkawinan menurut Hukum Agama
Hukum Islam merupakan sistem hukum di Indonesia yang menjadi
rujukan sebagian besar umat Islam dalam mengatur hidup dan kehidupannya di
84 Bernadeta Resti Nurhayati , Op.cit hal. 98 85 Ibid hal. 93 86 Lilikur adalah hadiah adat, biasanya berupa tanah: Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa
Asas (Liberty : Yogyakarta), 2007, hal 92
87
Bushar Muhammad, “Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar”, (Jakarta : PT Pradnya
Paramita), 2006 hal 201
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
tengah-tengah masyarakat yang telah diakui untuk berlaku di wilayah negara
Republik Indonesia. 88 Islam memandang bahwa pernikahan harus membawa
maslahat, baik bagi suami istri, maupun masyarakat. Sedemikian bermanfaatnya
pernikahan sampai-sampai nilai kebaikan (maslahah) yang dihasilkan olehnya
lebih besar daripada keburukan-keburukan (madarat). Secara kolektif, manfaat
yang paling berarti adalah meneruskan keturunan, tetapi ini bukan hanya sekedar
pengabaian anak secara fisik saja. Lebih dari itu, lembaga pernikahan menjamin
agar manfaat penerusan keturunan tersebut akan dapat menjadi suci dan tertib.
Ditinjau dari segi agama khusus, memiliki anak itu berarti melakukan hal-hal
untuk merealisasikan kehendak Allah SWT, memenuhi panggilan Nabi SAW
untuk menikah dan menambah jumlah pengikut beliau, serta menuai buah
kebaikan dari doa anaknya nantinya.89
Hukum Agama Islam tidak memiliki ketentuan khusus yang mengatur
tentang kedudukan anak dalam perkawinan. Namun dari tujuan perkawinan dalam
Islam adalah untuk memenuhi perintah Allah agar memperoleh keturunan yang
sah, maka yang dikatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari akad
nikah yang sah. Islam meghendaki terpeliharanya keturunan dengan baik dan
terang diketahui sanak kerabat dan tetangga. Islam juga melarang terjadinya
perkawinan secara diam- diam atau dikenal dengan kawin gelap, dan setiap anak
harus kenal dengan siapa ayah dan ibunya.90
88 Mardani, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke-38 : No.2 ApriI-Juni 2008 hal 175
89 Ahmad Atabik Dan Khoridatul Mudhiiah, Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif
Hukum Islam, Yudisia: Vol. 5, No. 2, Desember 2014 hal 133 90 Ibid
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
Hukum Islam mengenal dua status anak yang dilahirkan langsung oleh
ibunya, yaitu anak sah dan anak tidak sah atau anak hasil perbuatan zina. Anak
sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan sah sesuai dengan syarat dan
rukunnya. Anak zina adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah. Anak
yang dilahirkan sah oleh orang tuanya secara otomatis mempunyai hubungan
nasab dengan ayah dan ibu kandung. Sebaliknya, seorang anak tidak memiliki
hubungan nasab dengan ayahnya jika anak dilahirkan bukan melalui pernikahan
sah.91
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan anak yang lahir di luar perkawinan adalah “anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah”. Tidak seperti
KUHPerdata yang membagi beberapa macam anak luar nikah, Hukum Islam
hanya mengenal dua macam anak, yaitu anak sah dan anak luar nikah atau biasa
disebut dengan anak hasil zina. 92
Secara hukum anak yang tidak sah, tidak memiliki hubungan nasab
dengan ayahnya. Dia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu yang
melahirkannya. Anak tersebut dinamakan juga dengan anak zina dan anak li’an.
Dalam kitab-kitab fikih “anak zina” adalah anak hasil perbuatan zina. Para ulama
sepakat tentang hal ini. Tanggung jawab atas segala keperluan anak, baik materiil
maupun spirituil adalah tanggung jawab ibunya dan keluarga ibunya. 93
91
Q.S. al-Ahzab ayat 5
92
Ahmad Dedy Haryanto, Op.cit hal 127 93
Kudrat Abdillah ,Status Anak Di Luar Nikah Dalam Perspektif Sejarah Sosial, Petita,
Vol 1 No 1, April 2016 hal 50
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
Aturan status anak yang ada dalam undang-undang ini tidak jauh berbeda
dengan aturan fikih Islam. Perbedaan hanya terlihat pada ranah istilah yang
digunakan. Dalam undang-undang ini, terdapat dua klasifikasi status anak, yaitu
anak yang sah dan anak yang dilahirkan di luar pernikahan. Sedangkan fikih Islam
status anak menjadi anak yang sah dan anak zina atau anak li’an. Pada dasarnya
klasifikasi status anak antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan fikih
Islam tidak ada perbedaan. Kedua aturan ini mengacu pada dua klasifikasi status
anak, yaitu anak yang sah dan anak yang dilahirkan di luar nikah atau anak tidak
sah.94
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi‘i, anak yang lahir setelah enam
bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya.
Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada
ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di
luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. Menurut
Abdul Manan, dalam hukum Islam seorang anak yang lahir dari hubungan
seorang laki-laki dan seorang perempuan di luar pernikahan yang sah memlilki
status yang sama dengan seorang anak yang lahir dari hubungan pernikahan yang
sah.95
Sebab anak tersebut lahir sesuai fitrahnya mempunyai kedudukan yang
sama dengan anak-anak yang lainnya sebagai hamba Allah swt, hanya dapat
mempertanggungjawabkan amal baik, maupun amal buruk pribadinya sendiri di
94Ibid
95
M. Ali Hasan, Azas-azas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukun Islam
di Indonesia, (Jakarta: Raja wali Press, 1997), hal. 81
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
sisi-Nya, bukan orang yang termasuk mempertanggung jawabkan perbuatan dosa
ibu dan dan dosa bapaknya. Padahal seharusnya yang hina dan berdosa di hadapan
Allah swt., bukan anak tersebut melainkan kedua ibu dan bapaknya yang telah
melakukan perbuatan zina. 96
Didalam Al-quran dikatakan:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-nya
dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak,
karib kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh (termasuk yang bukan muslin), teman sejawat ibnu
sabil (orang yang dalam perjalanan, anak yang tidak diketahui ibu-
bapaknya) dan hamba sahayamu.Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membanggakan dirinya”.97
Dikalangan umat Kristen, memiliki pemahaman yang sejalan dengan
KUHPerdata bahwa setiap anak yang dilahirkan atau dibesarkan dalam ikatan
perkawinan, maka yang menjadi bapak si anak adalah suami dari ibunya. Pada
agama Kristen Protestan tidak memberikan pengertian mengenai kedudukan anak
di luar nikah, namun memberikan aturan mengenai zina adalah dosa yang amat
besar. Gereja tidak mengizinkan pembaptisan anak yang lahir di luar nikah.98
Seperti halnya aturan yang terdapat pada pandangan agama mengenai anak
di luar nikah, perkawinan yang tidak sah atau tidak sesuai dengan tata cara hukum
yang berlaku maka akan berdampak pada keturunannya.99
Di daerah Ambon ini
96 Hamid Pongoliu, Kedudukan Anak Lahir Di Luar Nikah Dalam Perspektif Hukum
Islam Dan Hukum Positif , Al-Mizan : Vol 9 No 1 ,2013, hal 117
97 Surat An-nisa, Q.IV-36
98 Sita Thamar Van Bemmelen Dan Mies Grijns, Relevansi Kajian Hukum Adat: Kasus
Perkawinan Anak Dari Masa Ke Masa, Mimbar Hukum: Vol 30, No 3, Oktober 2018 , hal 521
99
Eddo Febriansyah, Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu–
Viii/2010 Tentang Kedudukan Anak Diluar Nikah Yang Diakui Dalam Pembagian Warisan, Unnes
Law Journal: Vol 4 No 1, 2015 hal 10
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
disebut sebagai “Erken”. Pada masa itu, di Ambon berlaku Ordonansi perkawinan
orang-orang Kristen Jawa, Minahasa dan Amboina Staatsblad100
1933 Nomor 74.
Dapat diperkirakan bahwa Ordonansi perkawinan orang- orang Kristen ini kiranya
terpengaruh oleh konsep kelembagaan dan pengaturan anak luar kawin
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.101
Bagi umat Buddha Indonesia sebagaimana diatur dalam Hukum
Perkawinan Agama Budha (HPAB), kedudukan anak tidak jauh berbeda dengan
yang diatur dalam Undang – undang No 1 Tahun 1974. Anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak yang
dilahirkan diluar perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya, setelah anak tadi lahir, dan di antara ayah dan ibunya
melakukan perkawinan secara sah, maka anak tersebut oleh ayahnya dapat
langsung diakui sebagai anaknya dan mendapatkan status perdata
ayahnya.102
Anak tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan anak-anak
yang kemudian lahir setelah ayah dan ibunya melaksanakan perkawinan yang
sah.103
Menurut Hukum Buddha di Indonesia dapat terjadi “anak hasil kebo”
menjadi anak yang sah, apabila pria dan wanita yang “hidup bersama” itu
kemudian melakukan perkawinan secara sah. Wanita yang sudah hamil dengan
pria lain jika wanita itu kawin dengan pria lain pula sebagai tutup malu, maka
100
Lembaran Negara Republik Indonesia atau LNRI (saat periode kolonial
disebut Het Staatsblad van Nederlandsch-Indie atau periode transisi disebut Het Staatsblad van
indonesie dengan penyebutan singkat Staatsblad) merupakan referensi pemuatan publikasi dari
segala bentuk pengumuman, https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaran_Negara
101 Bernadeta Resti Nurhayati, Op.cit hal 97
102
Pasal 41 - Pasal 43 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 103 Pasal 44 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
anak yang lahir hidup itu menjadi anak yang sah dari ayah dan ibu yang
melakukan kumpul kebo. Anak tersebut langsung mendapatkan status perdata
ayahnya (suami kawin dengan ibunya) dan berkedudukan sama dengan anak-anak
lainnya dari perkawinan itu.104
Jika wanita yang melahirkan anak dan tidak melakukan kawinan sah, maka
anak itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Berarti si anak kelak hanya akan mendapat warisan dari ibu atau keluarga ibunya
saja. Jika terjadi dalam suatu perkawinan ayah menyangkal terhadap anaknya
yang dilahirkan oleh isterinya, maka perselisihan itu dapat diajukan ke muka
sidang Dewan Pandita Agama Buddha Indonesia (Depabudi) setempat .105
Menurut Hukum Hindu, perkawinan merupakan suatu ikatan antara
seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk mengatur hubungan
seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak laki-laki yang akan
menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put, yang langsungkan dengan
upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smrti. 106
Jika perkawinan ini tidak dilangsungkan dengan upacara menurut hukum
Hindu maka perkawinan itu dianggap tidak sah. Secara garis besar semua agama
berpandangan bahwa istri harus berbakti pada suami, bisa menghornati dan juga
menghargai suami, begitu juga sebaliknya yang dilakukan suami terhadap istri. Di
104 Sita Thamar Van Bemmelen Dan Mies Grijns, Op.cit hal 523 105 Hilman Hadikusuma , Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundang-undangan,
Hukum Adat dan Hukum Agama, (Mandar Maju : Bandung, 2003) , hal. 136
106 G. Pudja, Pengantar tentang Perkawinan menurut Hukum Hindu (didasarkan
Manusmriti), Dirjen Bimas Hindu & Budha Depag, 1974, hal, 9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
dalam agama Hindu, kewajiban suami istri ini diuraikan dalam kitab Manu
Dharmasastra (Weda Smrti) bab IX. 107
Kedudukan anak dapat dilihat dari sudut apa yang menjadi tujuan
perkawinan Bahwa tujuan perkawinan dalam agama Hindu ialah untuk
memperoleh anak yang dapat menyelamatkan keluarganya dari penderitaan
Neraka Put. Sehingga yang disebut “Anak Ksetjara” yaitu anak yang dilahirkan
dari perkawinan yang sah, hasil pembenihan diatas dasar yang hak, dapat
dibedakan antara “Anak Aurasa” dan “Anak Birahi”. Anak Aurasa adalah anak
penyelamat keluarga Neraka Put, sedangkan Anak Birahi adalah anak yang lahir
karena adanya nafsu birahi, atau anak yang lahir setelah lahirnya anak pertama
yang tidak dibebani tugas dan kedudukan sebagai penyelamat.108
B. Hak dan Kewajiban Anak dalam ikatan perkawinan
Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak
dicantumkannya hak-hak seorang anak sebagai upaya untuk menjamin
terwujudnya kesejahteraan anak, yaitu “suatu tata kehidupan dan penghidupan
anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar,
baik secara rohani, jasmani maupun sosial, terutama terpenuhinya kebutuhan
pokok anak”. Undang-undang No 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
membedakan hak-hak anak secara umum dan hak-hak anak secara khusus bagi
anak –anak yang mengalami hambatan rohani, jasmani, sosial dan memerlukan
pelayanan khusus.109
107 Ibid
108
Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal 138
109 Ibid
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
Secara umum anak-anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan
bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Kesejahteraan yang
dimaksud bukan saja diberikan pada waktu anak dilahirkan, tetapi juga pada saat
dan semasa daam kandungan .
Semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, anak berhak atas
pemeliharaan dan perlindungan. Demikian pula semasa dalam kandungan maupun
sesudah dilahirkan, anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan
kemampuan hidup dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan
kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.110
Bagi anak –anak yang tidak mempunyai orang tua, menurut ketentuan
dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, berhak
memperoleh asuhan oleh negara atau orang atau badan. Demikian halnya dengan
anak-anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhannya baik
secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar, berhak untuk memperoleh
bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang
dengan wajar.111
Khusus bagi anak-anak yang menunjukkan atau mengalami masalah
tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat,
berhak diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi
110 Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
111 Pasal 4 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya112
.
Pelayanan dan asuhan yang sama juga diberikan kepada anak-anak yang telah
dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim
Pengadilan.113
Dalam Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
disimpulkan bahwa hak-hak anak yang sudah diakui dan diberi jaminan
perlindungan hukum oleh Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pada dasarnya:114
1. Hak untuk dapat perlindungan dari orang tua, masyarakat, dan negara;
2. Hak untuk mengetahui siapa orang tuanya dan harus mendapat jaminan
untuk diasuh dan dirawat oleh mereka;
3. Hak untuk memperoleh pendidikan, pengajaran, beristirahat, bergaul, dan
berintegrasi dengan lingkungannya;
4. Hak untuk menerima informasi dan mendapatkan perlindungan dari
kegiatan eksploitasi ekonomi yang bisa membahayakan dirinya;
5. Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan yang bisa mengancam
keselamatan dirinya;
6. Hak untuk memperoleh perlakuan yang berbeda dari pelaku tindak
pidana dewasa.
Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
menentukan bahwa setiap anak berkewajiban untuk115
:
1. Menghormati orang tua, wali dan guru
2. Mencintai tanah air, bangsa dan negara
3. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya
4. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia
Pada prinsipnya ketentuan kewajiban anak yang diatur, baik dalam
Undang-undang Perkawinan maupun Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang
112 Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
113 Ibid
114
Pasal 52 - Pasal 66 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 115 Pasal 19 Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
Perlindungan Anak, sudah sesuai dan sejalan dengan agama Islam yang
mengajarkan kepada umatnya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya
sekalipun mereka telah berbeda agama, bersikap sopan santun, saling mencintai,
saling menghormati, menaati segala perintahnya, kecuali hal itu bertentangan
dengan agama dan paling penting mendoakan mereka. Anak- anak diwajibkan
pula untuk memberikan nafkah kepada orang tua dan kaum kerabat, baik diminta
atau tidak. Dalam Hukum Islam, anak mempunyai hak –hak antara lain:
1. Hak Radha’, artinya hak untuk mendapatkan pelayan makanan pokoknya
dengan jalan menyusu pada ibusesuatu dalamnya.
2. Hak Hadhana, artinya meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti
menggendong atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan.
3. Hak nafkah adalah hak anak yang berhubungan langsung dengan nasab
dimana begitu anak lahir maka hak nafkahnya sudah mulai dipenuhi. 116
Dalam undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yaitu:117
1. Berhak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
2. Berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan
3. Berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang
tua
4. Berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh
oeangtuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak
dapat menjamin tubuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar
maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai hak asuh anak
atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
5. Berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental dan spiritual dan sosial
6. Berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat
dan bakatnya, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak
memperoleh pendidikan khusus
116 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia,(Refika Aditama : Bandung ), 2014,hal.49-50
117 Pasal 4- Pasal 11 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
7. Berhak menyatakandan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan
memberikakn informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya
demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai kesusilaan dan
kepatutan.
8. Berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak sebaya , bermain, berekreasi dan berekreasi sesuai dengan minat
dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri
9. Berhak diasuh oranguanya sendiri , kecuali jika ada alasan dan atau aturan
hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir
Kewajiban anak terhadap orang tua diatur dalam Undang-undang No 1
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan pada Pasal 46 ayat 1,
menyatakan:118
1. anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang
baik
2. jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya ,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas , bila mereka memerlukan
bantuannya.
Kewajiban anak untuk menghormati dan menaati kehendak orang tua yang
baik terhadap si anak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 ayat 1 Undang-
undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memang sudah sepantasnya
dilakukan anak. Setiap anak harus hormat kepada kedua ibu-bapaknya baik
ditinjau dari segi kemanusiaan dan keagamaan. Hal ini dikarenakan dengan
begitu susah payah orang tuanya membesarkan dan memelihara anak menjadi
manusia yang baik. Sudah sewajarnya anak-anak berterima kasih kepada orang
tua dengan jalan menghormatinya. Demikian jugua menaati maksud-maksud baik
dari kedua orang tua adalah hal yang sudah semestinya. 119
Pasal 326 KUHPerdata menyatakan:
118 Sudarsono, Op.cit. hal 299
119 Rachmadi Usman, Op.cit , hal 360
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
“apabila pihak yang berwajib memberi nafkah membuktikan
ketidakmampuanya menyediakan uang untuk keperluan itu, maka pengadilan
negeri adalah berkuasa, setelah menyelidiki duduk perkara, memerintahkan
kepadanya supaya menempatkan pihak yang membutuhkan nafkah dalam
rumahnya dan memberikan kepadanya barang seperlunya”.
KUHPerdata pada kalimat “memerintahkan kepadanya” dalam hal ini sang
anak supaya menempatkan pihak yang membutuhkan nafkah dalam hal ini orang
tua kedalam rumahnya sang anak dan memberikan barang seperlunya.120
Jika anak
telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan
keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Artinya anak wajib memelihara menjaga dan merawat orang tuanya sesuai dengan
kesanggupan, kecakapannya. Arti “memelihara” menurut bahasa yaitu menjaga
dan merawat baik-baik, contohnya memelihara kesehatan badan dan memelihara
anak istri. 121
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, memelihara termasuk
kedalam pemberian nafkah. Dalam Undang-Undang Perkawinan ini, anak wajib
memelihara kedua orang tuanya tergantung dari kemampuan anak, oleh karena itu
isi Undang-Undang tersebut ada kelemahan dan karena ada pengecualian. Anak
yang telah dewasa menurut hukum diwajibkan untuk memelihara orang tuanya,
maka dia dilarang menelantarkan orang tuanya.122
120 Charisa Yasmine, Pelaksanaan Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua Studi Kasus
Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial Tresna Werdha (Pstw) Khusnul Khotimah Pekanbaru
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, JOM Fakultas Hukum
Universitas Riau Vol 4 No 2, Oktober 2017, hal 3
121 Ernawati, Kewajiban Anak Memberi Nafkah Kepada Orang Tua Menurut Hukum
Islam, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta, Forum Ilmiah Vol
XII No 1 Januari 2015, hal 3
122 Ibid hal 12
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
Sanksi bagi orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah
tangganya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga berbunyi,“dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).”123
C. Hak-hak anak pasca Perceraian
Perceraian pada dasarnya tidak dilarang apabila alasan-alasan perceraian
tersebut berdasarkan atas ketentuan-ketentuan yang mengatur, yaitu berdasarkan
Undang-Undang Perkawinan. Walaupun perceraian tidak dilarang, akan tetapi itu
merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Tuhan. Akibat yang paling pokok
dari putusnya hubungan perkawinan adalah masalah hubungan suami-isteri,
pembagian harta bersama, nafkah dan pemeliharaan bagi kelangsungan hidup
anak-anak mereka.124
Berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam dijelaskan bahwa :125
1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat.
2. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
Bentuk tanggung jawab orang tua kepada anaknya tidak terhenti pada
suatu akibat perceraian. Orang tua masih berkewajiban untuk melaksanakan
123 Pasal 49 huruf a Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
124
Nunung Rodliyah, Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Keadilan Progresif: Vol 5 , No 1 Maret 2014, hal 124
125 Pasal 77 Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
tanggung jawabnya seperti menanggung biaya hidup bagi anaknya, memberikan
tempat tinggal yang layak, serta memberikan pendidikan bagi anak-anaknya
sehingga anak dapat berkembang dan tumbuh sebagaimana mestinya, tidak
terhalangi oleh akibat suatu perceraian yang terjadi terhadap kedua orang tua
mereka. 126
Dalam hukum Islam, timbulnya kewajiban memberikan nafkah oleh orang
tua laki-laki (ayah) terhadap anaknya setelah terjadi perceraian adalah karena
sebab turunan. Dalam hal ini, mengenai prinsip hukum tentang tanggung jawab
biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian dalam Instruksi Presiden RI
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dapat ditemukan
ketentuan-ketentuan dalam hal terjadi perceraian : 127
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz128
atau sudah berumur 12
tahun, diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan
penjelasan tentang akibat hukum perceraian terhadap kedudukan dan
perlindungan hak-hak anak ialah baik bapak maupun ibu tetap mempunyai
kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
maka Pengadilan yang memberikan keputusannya.129
126 Nunung Rodliyah, Op.cit hal 134 127
Ibid
128 Mumayyiz adalah siapa yang telah mencapai usia tujuh tahun hingga baligh. Dia
dinamakan mumayyiz karena dia bisa membedakan sehingga dia faham pembicaraan kemudian
merespon jawaban, Kamus al-Munawwir 1370
129 Pasal 41 huruf a Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
Peran kedua orang tua dalam menjaga anak-anak mereka dapat berupa
pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan yang merupakan kebutuhan
primer hingga jika memungkinkan pemenuhan kebutuhan tersier. Berbeda halnya
dengan hak untuk mendapatkan pendidikan, ini lebih mengacu kepada pembinaan
kejiwaan atau rohaniah si anak, pemenuhan kebutuhan ini dapat berupa
memberikan pendidikan atau pengajaran ilmu pengetahuan yang terdapat
dijenjang sekolah, pendidikan agama, pendidikan kepribadian dan berbagai
pendidikan lainnya yang berkaitan dengan pembinaan jiwa si anak .
Baik pemeliharaan maupun pendidikan, keduanya harus mendapatkan
perhatian serius oleh kedua orang tua si anak, walaupun disaat putusan cerai
dibacakan oleh hakim sidang pengadilan menjatuhkan hak asuh kepada salah satu
pihak, bukan berarti pihak yang lain tidak diberikan hak asuh tersebut dapat lepas
bebas tanpa tanggung jawab. Keduanya tetap bertanggung jawab dalam hal
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka.130
Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua, berada dibawah kekuasaan wali. Perwalian ini mengenai pribadi anak yang
bersangkutan maupun harta bendanya.131
Selanjutnya, wali dapat di tunjuk oleh
salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia
meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan dua orang saksi.132
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Wali wajib
130 Hilman Hadikusuma, Op.cit,hal 374
131
Pasal 50 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 132 Pasal 51 ayat1 - ayat 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya,
dengan menghormati agamanya dan kepercayaanya itu. Wali bertanggung jawab
tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.133
D. Kewajiban Orangtua terhadap anak dalam Perkawinan
1. Kewajiban Orangtua terhadap anak dalam Perkawinan menurut
Perundang-undangan
Orang tua juga mempunyai hak dan kewajiban untuk bisa lebih
memperhatikan dan menegakkan hak anak yang sering diabaikan oleh orang tua
dari anak itu sendiri. Didalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan itu terdapat dalam beberapa Pasal. Dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimana dikatakan berdasarkan Pasal 45
ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, orang tua dengan
sendirinya menurut hukum berkedudukan dan berkapasitas sebagai wali anak-
anak sampai mereka dewasa. Oleh karena itu, orang tua adalah kuasa yang
mewakili kepentingan anakanak yang belum dewasa kepada pihak ketiga maupun
di depan Pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari anak tersebut.134
Dalam halnya hak dan kewajiban orang tua telah diatur dalam Bab XIV
tentang Kekuasaan Orang Tua memiliki kaitan dengan Undang-undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “setiap anak dalam
tingkat umur berapapun wajib hormat dan segan terhadap bapak ibunya”. Bapak
dan ibu wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang belum dewasa.
133 Ibid
134
Stepani, Pemenuhan Hak Anak Pasca Perceraian (Studi Kasus Di Sulawesi Utara),
Lex et Societatis, Vol. 3 No. 3, Apr 2015 hal 35
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
Walaupun hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau hak untuk menjadi wali
hilang, tidaklah mereka bebas dari kewajiban untuk memberi tunjangan yang
seimbang dengan penghasilan mereka untuk membiayai pemeliharaan dan
pendidikan anaknya itu .135
Selama perkawinan bapak dan ibu semua anak berada di bawah kekuasaan
mereka sampai menjadi dewasa, kecuali bapak dan ibu dibebaskan atau dipecat
dari kekuasaan orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yang diatur oleh
KUHPerdata memiliki makna yang sama dengan Undang-undang No 1 Tahun
1974 Pasal 45 ayat 1 dan 2 tentang Perkawinan memiliki menyatakan bahwa: 136
“Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik- baiknya. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau
dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus”
Kewajiban orang tua dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya
sampai mereka kawin dan dapat berdiri sendiri . Hal mana juga berarti walaupun
anak sudah kawin jika kenyataanya belum dapat berdiri sendiri masih tetap
merupakan kewajiban orang tua untuk memelihara anak isteri dan cucunya.
Dengan demikian berbeda dari KUHPerdata, kewajiban itu bukan hanya sampai
pada anak dewasa berumur 21 tahun, tetapi sampai mereka mampu untuk berdiri
sendiri walaupun terjadi ikatan perkawinan orang tuanya putus.
135 Pasal 298 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
136 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal 140
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
2. Kewajiban orang tua terhadap anak dalam Perkawinan menurut
Hukum Adat
Hukum adat tidak hanya mengatur kedua orang tua yang wajib
memelihara dan mendidik anak kemenakan mereka dengan sebaik-baiknya, tetapi
juga terutama para saudara ayah di masyarakat yang patrilineal, para saudara ibu
di masyarakat yang matrilineal dan para saudara ayah dan ibu pada masyarakat
parental walaupun sifatnya terbatas. Menurut Hukum adat kewajiban memelihara
dan mendidik anak tidak berakhir sampai anak kemenakan kawin dan dapat
berdiri sendiri, sepanjang anak kemenakan masih memerlukan dan sejauh
kemampuan anggota kerabat bersangkutan, hubungan kekeluargaan berjalan
terus.137
Walaupun anak sudah bersuami-istri, ataupun sudah bekerja tetapi belum
cukup untuk membiayai kebutuhan pendidikan tingginya, ataupun modal karya
usahanya para anggota kerabat yang mampu berkewajiban membantunya.
Dasarnya bukanlah karena hukum adat tetapi kewajiban moral, oleh karena itu
dikalangan masyarakat adat sering banyak digunakan istilah “anak kita” dari pada
istilah “anak kami” atau “anakku”.138
Bagi umat agama Hindu dikenal suatu istilah, “Kim jatair bahubhih
putraih soka santapakarakaih varamekah kulalambi yatra visramyate
kulam“ yang memiliki arti apa gunanya melahirkan anak terlalu banyak kalau
mereka hanya mengakibatkan kesengsaraan dan selalu memberikan kedukaan.
137 Lucy Pradita Satriya Putra, Op.cit hal 135
138 Ibid hal 143
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
Walaupun hanya seorang anak tetapi berkepribadian utama dan membantu
keluarga, satu anak yang meringankan keluarga inilah yang paling baik. 139
Berdasarkan petikan istilah tersebut, sangatlah utama keadaan seorang
anak suputra. Ia mampu membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi keluarganya.
Akan tetapi untuk menjadikan anak menjadi suputra bukanlah persoalan yang
mudah. Mendidik anak untuk menjadi seorang suputra sangatlah penting.
Memberikan pendidikan kepada anak bukan hanya sekadar menyekolahkan anak
sampai ke jenjang yang paling tinggi. Tidak jarang justru yang terjadi malah jauh
dari harapan. Banyak kasus terjadi dimana orang tua memberikan pendidikan
kepada anak sampai kepada jenjang yang begitu tinggi akan tetapi anak justru
memiliki tabiat yang menyimpang. 140
Hal ini tentu bertentangan dengan apa yang menjadi tujuan dan idealisme
pendidikan itu sendiri. Pendidikan pada dasarnya menginginkan anak didik untuk
menjadi seorang yang memiliki nilai-nilai dan susila dalam setiap perilakunya
sehingga dapat menjadi insan yang mulia. Oleh karena demikian maka pendidikan
kepada anak guna menjadikannya seorang anak yang suputra sangatlah
dibutuhkan usaha yang komprehensif dan berkesinambungan. Dan sesungguhnya
itu merupakan dharma (kewajiban) bagi setiap orang tua terhadap anaknya.141
139 BAB III Sloka 17, śloka,bahasa Sanskerta: श्लोक, IPA: [ˈɕloːkə] adalah
sebuah bait yang aslinya terdapat dalam bahasa Sanskerta.
140 Putu Sanjaya, Mendidik Anak Menjadi Suputra Menurut Teks Canakya Nitisastra,
Pratama Widya, Vol. 3, No. 2, 2018 hal 48 141 Ibid
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
3. Kewajiban orang tua terhadap anak dalam perkawinan menurut
Hukum Agama
Hukum Islam mengemukakan yang dibebani tugas dan kewajiban
memelihara dan mendidik anak adalah bapak, sedangkan ibu bersifat membantu.
Ibu hanya berkewajiban menyusui anak dan merawatnya. Sesungguhnya dalam
Hukum Islam sifat hubungan hukum antara orang tua dan anak dapat dilihat dari
segi material yaitu, memberi nafkah, menyusukan (irdla) dan mengasuh
(hadlanah), dan dari segi immaterial yaitu curahan cinta kasih, penjagaan dan
perlindungan serta pendidikan rohani dan lain-lain.142
Kewajiban bapak dalam memberi nafkah terhadap anak terbatas pada
kemampuannya, sebagaiman digariskan dalam Al-Quran yang menyatakan:
“Hendaklah orang (ayah) yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang (ayah) yang rezekinya sempit hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.Allah tidak
membebani seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.
Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Q 65:7)”143
Dalam pandangan umat Kristiani dengan menerima sakramen baptis,
seseorang mengalami kelahiran kembali, menjadi ciptaan baru dan diangkat
menjadi anak-anak Allah. Oleh karena itulah, setiap orang yang telah dibaptis
berhak menerima atau mendapatkan pendidikan Kristiani. Tujuan dari pendidikan
Kristiani tersebut tidak hanya untuk mendewasakan kepribadian seseorang, tetapi
juga untuk mengajak mereka semakin mendalami misteri keselamatan dan
semakin menyadari kurnia iman yang telah diterimanya. Dengan demikian,
142 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontempore, (Jakarta: Kencana,
2004) hal 166. 143 Surat At-Talaaq, QS 65:7
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
mereka bisa semakin mampu memuji dan meluhurkan Allah dalam hidup mereka
seharihari.144
Orangtua telah menyampaikan hidup mereka kepada anak-anaknya, maka
para orangtua mengemban tugas adiluhung mendidik anak-anaknya. Oleh karena
itu, orangtua harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak-
anaknya. Menjadi kewajiban orangtualah menciptakan suasana keluarga yang
sedemikian dijiwai oleh cinta kasih dan sikap hormat kepada Allah dan orang lain,
sehingga perkembangan pribadi dan sosial yang utuh dapat dipupuk di antara
anak-anak.145
Bagi umat Kristen tentang kewajiban orang tua memelihara dan mendidik
anak sampai mereka dewasa tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diatur
dalam KUHPerdata.146
Orang tua berkewajiban disamping memelihara anak
memberikan pula pendidikan agama agar anak-anak tumbuh dan berkembang
dengan budi pekertinya yang baik. Tanggung jawab orang tua adalah memelihara
dan mendidik anak itu tidak akan berakhir walaupun orang tua kehilangan hak
sebagai walinya.147
Setiap anak mempunyai hak-hak asasi, terutama hak untuk hidup.
Orangtua bertanggung jawab untuk menjaga dan melindungi hak-hak asasi anak
dengan berpegang teguh pada prinsip non-diskriminatif. Tugas menyalurkan
144 Oktavianus Hery Setyawan, Pewarisan Dan Pendidikan Iman Anak Sebagai
Tanggung Jawab Orangtua Menurut Ecclesia Domestica - Studi Kasus Paroki Santo Yosep
Purwokerto Timur,Vol. 03, No. 02, November 2014, hal 111 145 Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang, Keluarga Kristiani
Dalam Dunia Modern: Amanat Apostolik Familiaris Consortio, (Kanisius: Yogyakarta, 1994),
hal .72
146
Pasal 298 KUHPerdata 147
Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang, Op.cit, hal 145
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
hidup manusiawi serta mendidik anak-anak adalah perutusan khas suami istri
sebagai rekan kerja cinta kasih Allah Pencipta.148
Dengan anugerah kebapaan dan keibuan, suami-istri berkewajiban
memberi pendidikan, terutama di bidang keagamaan (iman). Dalam memberikan
pendidikan tersebut, mereka dituntut untuk memberikan teladan iman yang
konkret, supaya anak-anak terbantu dalam menemukan jalan keselamatan dan
kesucian. Martabat kebapaan dan keibuan pasangan suami istri adalah unsur
hakiki dalam pendidikan anak-anak yang terwujud melalui kehadiran aktif mereka.
Kehadiran orangtua adalah cerminan dan sekaligus tanda serta sarana kehadiran
Allah yang menuntun anak-anakNya agar mengenal dan mengimani Dia. Sebagai
orangtua, mereka dituntut untuk membangun hidup keluarga dengan penuh cinta
kasih dan nilai-nilai Kristiani sebagai sekolah kemanusiaan. Melalui pendidikan
itulah, orangtua membimbing anak-anaknya mencapai kedewasaan, sehingga
anak-anak mampu menanggapi panggilan hidup mereka.149
Menurut Hukum Perkawinan Agama Buddha (HPAB) kewajiban kedua
orang tua memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan cinta kasih
(Metta), kasih sayang (Karunia) dan rasa sepenanggungan (Mutida). Orang tua
terutama wajib memberi pendidikan rohani dengan ajaran agama Buddha
Indonesia, antara lain berusaha mencegah anak-anaknya berbuat jahat ,
menganjurkan supaya anak-anaknya berbuat baik. 150
148 Yayasan ODB Indonesia, “Renungan Pribadi dan Keluarga Kristen dan Santapan
Rohani”, Our Daily Bread, Volume 64, No 6,7 dan 8, September 2019, hal 24
149 Ibid
150 Oktavianus Hery Setyawan, Op.cit, hal 128
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
Orang tua wajib melatih anak-anaknya sehingga cakap bekerja dan
memberikan nasihat-nasihat serta pandangan yang luas dalam membantu anak-
anaknya memilih pasangan hidupnya.151
Orang tua akan menyerahkan warisan
kepada anak-anaknya apabila dianggap waktunya telah sampai. Menurut HPAB
(Himatika Peduli Anak Bangsa) kewajiban orang tua tersebut tidak hanya sampai
dengan anak-anak sudah dewasa atau sudah kawin dan dapat berdiri sendiri, tetapi
kewajiban itu harus berlaku meskipun perkawinan kedua orang tua putus. 152
Menurut Hukum Hindu dalam, selain kewajiban memelihara dan mendidik
anak, orang tua terutama bapak menjadi bersalah jika tidak mengawinkan
puterinya pada waktunya. Jika calon suami anak itu sewarna dan keadaanya
istimewa, maka bapaknya harus mengawinkan anaknya menurut ketentuan yang
berlaku walaupun puterinya belum mencapai umur yang layak. Tetapi walaupun
puterinya itu sudah cukup umur untuk kawin, jika calon suami anaknya tidak
memiliki sifat-sifat yang baik, biarkan puterinya ditahan saja di rumah orang tua
sampai mati tidak kawin.153
E. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Pasca Perceraian
Dalam suatu perkawinan semua orang menghendaki kehidupan rumah
tangga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, sesuai dengan tujuan dari perkawinan
yang terdapat dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Tidak semua orang
dapat membentuk suatu keluarga yang dicita-citakan tersebut, hal ini dikarenakan
adanya perceraian, baik cerai mati, cerai talaq, maupun cerai atas putusan hakim.
Perceraian merupakan lepasnya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan
151 Ibid
152 pasal 46 ayat 1 sampai 2 Hukum Perkawinan Agama Buddha
153 Kitab suci Agama Hindu:Veda, “MDHs (Manawa. Dharmasastera)” 4-89
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
seorang wanita sebagai suami isteri, yang dilakukan di depan sidang Pengadilan,
yaitu Pengadilan Negeri untuk non muslim dan Pengadilan Agama bagi yang
beragama Islam. 154
Saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan
ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu
perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde), maka akan ada akibat hukum yang mengikutinya, salah
satunya adalah mengenai hak asuh atas anak. Menurut Bahder John Nasution dan
Sriwarjiyati bahwa: “bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, baik
ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya
semata-mata demi kepentingan anak-anak mereka, pengadilan akan memutuskan
siapa yang akan menguasai anak tersebut”.155
Ketika suami istri bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua
yaitu untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya. Termasuk bapak yang
bertanggung jawab atas semua biaya dalam hal pembiayaan yang timbul dari
pemeliharaan dan pendidikan atas anak-anaknya tersebut, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak bisa memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan
memutuskan ibu juga ikut memikul biaya tersebut. 156
154 Fatimah, Rabiatul Adawiah, M. Rifqi, Pemenuhan Hak Istri Dan Anak Akibat
Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Banjarmasin),
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Vol 4, No 7, mei 2014, hal 558 155 Bahder John dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, Komplikasi Pengadilan Agama
Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat Hibah, Wakaf, dan Shadaqah, (Madar Maju: Bandung, 1997),
hal. 35
156 Virianto Andrew Jofrans Mumu, Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab Orang
Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian Dalam Uu No 1 1974 Pasal 45 Ayat (1), Lex Privatum
Vol. VI, No. 8, Oktober 2018 hal 47
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
1. Kewajiban orang tua terhadap anak pasca perceraian menurut
Perundang-undangan
Bentuk tanggung jawab orang tua kepada anaknya tidak terhenti pada
suatu akibat perceraian. Orang tua masih berkewajiban untuk melaksanakan
tanggung jawabnya seperti menanggung biaya hidup bagi anaknya, memberikan
tempat tinggal yang layak, serta memberikan kiswah bagi anak-anaknya sehingga
Anak dapat berkembang dan tumbuh sebagaimana mestinya, tidak terhalangi oleh
akibat suatu perceraian yang terjadi terhadap kedua orang tua mereka.157
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan, “baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan
memberi keputusannya”. Mengenai sistem pertanggung jawaban ayah terhadap
anak tidak dapat dilepaskan dari kebijakan legislatif yang tertuang dalam undang-
undang perkawinan.158
Kewajiban antara orang tua dan anak yang dimaksud,
menyangkut beberapa hal.159
a. Pertama mengatur tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan, bahwa
kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak – anak mereka
dengan sebaik – baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam
dalam Undang – Undang Perkawinan ini berlaku sampai anaknya anaknya
menikah atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan diantara kedua orang tua putus.
b. Kedua, mengatur tentang kebalikannya, yakni kewajiban anak terhadap
orang tuanya, yaitu: Anak wajib menghormati orang tua dan menaati
kehendak mereka dengan baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib
157 Habibullah, Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Studi
Kasus : Di Pengadilan Agama Talu), Vol. 7 No. 4, April 2018 hal 58
158 Pasal 41 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
159
Rahmadi Indra Tektona, Kepastian Hukum Terhadap Perlindungan Hak Anak Korban
Perceraian, Muwâzâh : Vol. 4, No.1, Juli 2012 hal 51
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69
memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga garis lurus
ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya
c. Ketiga, mengatur tentang adanya keharusan anak diwakili orang tua dalam
segala perbuatan hukum ,dimana anak yang belum mencapai umur 18
tahun (delapan belas tahun). Atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai
segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
d. Keempat, orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang – barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum
berumur 18 ( delapan belas tahun ) atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
e. Kelima, adanya kemungkinan pencabutan kekuasaan, yaitu: salah seorang
atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak
atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah
dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam
hal – hal, Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan
berkelakuan buruk sekali
Bapak dan ibu wajib memelihara dan mendidik anak mereka yang belum
dewasa, walaupun hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau hak menjadi
wali hilang, tidaklah mereka bebas dari kewajiban untuk memberi tunjangan yang
seimbang dengan penghasilan mereka untuk membiayai pemeliharaan dan
pendidikan anaknya.160
Dalam arti sederhana, meskipun orang tua dicabut
kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberikan biaya
pemeliharaan kepada anak tersebut.161
Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap
anak setelah perceraian dalam pandangan ajaran Islam terhadap anak
menempatkan anak dalam kedudukan yang mulia. Anak mendapatkan kedudukan
dan tempat yang istimewa di dalam nash-Al-Qur’an dan Al-Hadist, oleh karena
itu anak harus diperlakukan secara manusiawi, diberikan pendidikan, pengajaran,
160 Sudarsono, Op.cit hal 188
161 Rahmadi Indra Tektona, Op.cit hal 52
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70
keterampilan dan akhlakul karimah agar anak tersebut kelak dapat bertanggung
jawab dalam mensosialisasikan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup dimasa
depan.162
Pasal 149 Huruf d Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa: “Bilamana
perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan biaya
hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.” Pengertian
hadhanah menurut Pasal 1 Huruf g Kompilasi Hukum Islam adalah:
“Pemeliharaan anak, yaitu kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak
hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri”.163
Tanggung jawab orang tua terhadap anak juga di atur dalam Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut:164
a. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh,
memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuh kembangkan
anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, dan mencegah
tetrjadinya perkawinan pada usia dini
b. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya atau
karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksakan sesuai dengan ketentuan
peraturan undnag-undang yang berlaku.
Hak lain yang melekat pada anak, termasuk kewajiban orang tua bagi anak
juga termuat dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, menyebutkan bahwa: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
162 Hilman Hadikesuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Mandar Maju: Bandung) , 2007,
hal 131
163
Habibullah, Op.cit, hal 60
164 Pasal 26 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71
berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.165
Mengenai tanggung jawab orang tua juga disebutkan dalam Pasal 9
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang
menyatakan bahwa “Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas
terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial”.
Tanggung jawab orang tua atas kesejahteraan anak mengandung kewajiban
memelihara dan mendidik anak, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang
menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti
luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan, serta
berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila.166
2. Kewajiban orang tua terhadap anak pasca perceraian menurut
Hukum Adat
Arti perkawinan bagi Hukum adat adalah penting karena tidak saja
menyangkut hubungan antara kedua mempelai, akan tetapi juga menyangkut
hubungan antara kedua pihak mempelai seperti saudara-saudara mereka atau
keluarga mereka lainya. Bahkan dalam Hukum adat diyakini bahwa perkawinan
bukan saja merupakan peristiwa penting bagi mereka yang hidup, tetapi juga
merupakan peristiwa penting bagi leluhur mereka yang telah tiada. Arwah-arwah
leluhur kedua belah pihak diharapkan juga merestui kelangsungan rumah tangga
mereka akan lebih rukun dan bahagia.167
165 Pasal 4 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
166 Sudarsono, Loc.cit
167
SoerjonoWignjodiporo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Haji Masagung:
Jakarta)1983, hal.122
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
Dalam Hukum Adat, jika terjadinya perceraian, maka timbullah hak dan
kewajiban suami istri yang berupa tanggung jawab terhadap anak. Menurut Ter
Haar, anak-anak yang masih menyusui, atau dibawah umur 2 sampai 3 tahun akan
selalu mengikuti ibunya. Akan tetapi pilihan anak juga penting, dan yang lebih
penting adalah siapa dari suami istri yang memberi nafkah pada anak-anaknya. 168
Mengenai pemberian nafkah ini yang wajib memberikan nafkah pada
anak-anak adalah si bapak. Dalam masyarakat Patrilineal yang mempertahankan
garis keturunan lelaki jika terjadi perceraian, ketika anak masih kecil dan dibawa
oleh ibunya maka, status anak adalah anak tertitip, karena anak tersebut adalah
anak bapaknya dan berkedudukan dalam kerabat bapaknya. 169
Dalam masyarakat Matrilineal yang mempertahankan garis keturunan
wanita, jika putusnya perkawinan kedudukan anak-anak tetap berada si pihak
ibunya sebagai ahli waris atau kerabat ibunya. Pemeliharaan dan pendidikan anak-
anak kekuasaan mengaturnya berada di tangan mamak, saudara pria dari ibunya.
Hal ini tidak berarti tanpa adanya perhatian dan bantuan dari ayah si anak dan
kerabat pihak ayahnya.170
Lebih-lebih di perantauan dimasa kekuasaan mamak sudah lemah,
tanggung jawab terhadap anak langsung jatuh pada orang tuanya, dan jika putus
perkawinan diurus oleh ayah ibunya walaupun sudah bercerai. Dilingkungan
masyarakat parental, yang dapat dikatakan tidak lagi mempertahankan garis
keturunan, dan pada umunya melaksanakan perkawinan bebas dan mandiri , maka
akibat putusnya perkawinan bagi pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi
168 Ibid hal. 384
169
Sita Thamar Van Bemmelen Dan Mies Grijns, Op.cit, hal 522 170 Ibid
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73
tanggung jawab bapak dan ibunya , terutama bapaknya, kecuali jika bapak tidak
mampu maka boleh di tangani oleh ibunya.171
Sebagai contoh masyarakat Adat Osing menganut sistem kekerabatan
parental atau bilateral yaitu menarik garis keturunan dari kedua belah pihak orang
tua, yaitu bisa ditarik dari garis keturunan bapak maupun ditarik dari garis
keturunan ibu. Dalam sistem kekerabatan parental atau bilateral, apabila terjadi
perceraian maka kedudukan seorang anak tergantung pada keadaan, biasanya anak
yang sudah dewasa di babaskan memilih ikut dengan bapak atau ibunya. Di Desa
Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, akibat hukum yang
ditimbulkan dari perceraian terhadap anak pada masyarakat Osing di desa Aliyan
adalah anak tetap berhak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya yang
bercerai.172
Perasaan orang tua terhadap anak dijelaskan dalam ungkapan, “welase
emak nang anak sengono watese”, artinya kasih sayang seorang ibu terhadap anak
tidak ada batasnya maksudnya meskipun terjadi perceraian seorang ibu akan
merawat anaknya dengan baik meskipun harus banting tulang untuk membiyai
pendidikan dan pemeliharan anak. Biasanya seorang bapak “mungkur sedot”
artinya tidak bertanggung jawab setelah terjadi perceraian. Seorang bapak tidak
ikut membiayai pemeliharaan dan pendidikan seorang anak.173
171 Hilman Hadikusuma, 2003, Op.cit, hal 192
172 Muhamad Jefri Ananta, Dominikus Rato, I Wayan Yasa, Perceraian dan Akibat
Hukumnya terhadap Anak dan Harta Bersama Menurut Hukum Adat Osing di Desa Aliyan,
Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, e-Journal Lentera Hukum, Vol 4, No 3, 2017, hal
225
173 Ibid
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74
3. Kewajiban orang tua terhadap anak pasca perceraian menurut
Hukum Agama
Agama Islam, mengajarkan bahwa anak adalah amanat Allah yang harus
dirawat, dipelihara dan dididik dengan penuh kasih sayang. Mendidik anak adalah
kewajiban orang tua yang paling utama yang akan berpengaruh kuat dalam
perkembangan anak pada masa-masa selanjumya. Kewajiban itu meliputi
pendidikan jasmani dan rohani yang dimulai sedini mungkin. Sehingga harus
dipertanggung jawabkan oleh setiap orang tua dalam berbagai aspek
kehidupannya.174
Pendidikan perlu dilihat sebagai suatu proses yang berterusan, berkembang,
dan serentak dengan perkembangan individu seorang anak yang mempelajari apa
saja yang ada di lingkungannya. Dengan kemahiran yang diperolehnya anak akan
mengaplikasikannya dalam konteks yang bermacam-macam dalam hidup
kesehariannya disaat itu ataupun sebagai persiapan untuk kehidupannya dimasa
yang akan datang. Menurut perspektif Islam, pendidikan anak adalah proses
mendidik, mengasuh dan melatih jasmani dan rohani mereka yang dilakukan
orang tua sebagai tanggung jawabnya terhadap anak dengan berlandaskan nilai
baik dan terpuji bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. 175
Bahkan dalam Islam sistem pendidikan keluarga ini dipandang sebagai
penentu masa depan anak. Sampai-sampai di ibaratkan bahwa surga neraka anak
tergantung terhadap orang tuanya. Maksudnya adalah untuk melahirkan anak yang
174 Safuddin Mujtaba dan Imam Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, (Pustaka
Bangsa Press: Jakarta), 1998 hal. 84
175 Anjani Sipahutar, Tan Kamello, Runtung, Utary Maharany Barus, Tanggung Jawab
Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia
Yang Beragama Islam, USU Law Journal, Vol.4, No.1 Januari 2016 hal 157
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75
menjadi generasi yang rabbani yang beriman, ber-taqwa, dan beramal shaleh
adalah tanggung jawab orangtua. Apabila terjadi perceraian antara suami dan istri
menurut hukum Islam maka akibat hukumnya yang jelas dibebankannya
kewajiban suami terhadap istri dan anak-anaknya yaitu:176
a. Memberi nafkah mut’ah yang pantas berupa uang atau barang
b. memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman selama bekas istri
dalam masa idah
c. memberi nafkah untuk memelihara dan pendidikan anaknya sejak bayi
sampai ia dewasa dan dapat mandiri.
d. melunasi mas kawin, perjanjian ta’lik talak dan perjanjian lain ketika
perkawinan berlangsung dahulunya.
Bagi ajaran Kristen, ikatan perkawinan akan putus hanya disebabkan oleh
kematian salah satu pihak. Menurut ajaran gereja, apa yang telah disatukan oleh
Tuhan maka tidak dapat dipisahkan oleh manusia.177
Maksudnya, laki-laki dan
perempuan yang telah disatukan oleh Tuhan melalui pendeta dalam sebuah
perkawinan, maka ikatan perkawinan tersebut akan terus menyatukan laki-laki
perempuan yang statusnya menjadi suami isteri ke surga.
Perkawinan bagi gereja adalah keabadian sampai akhirat kelak di surga
rumah Tuhan. Perceraian tidak dikenal dalam hukum gereja. Apabila karena
sesuatu hal sehingga perkawinan harus diakhiri maka langkah yang ditempuh oleh
gereja adalah dengan cara membatalkan perkawinan tersebut.178
Ketentuan mengenai akibat perceraian dari ikatan perkawinan pada
dasarnya tidak ada, oleh karena agama Katolik menolak perceraian. Jika mereka
melakukan perceraian sipil maka apa yang diatur oleh KUHPerdata dapat menjadi
176 Hilman Hadikusuma, Op.cit hal 192
177
Matius 19:6
178 Ali Imron, Memahami Konsep Perceraian dalam Hukum Keluarga, Buana Gender:
Vol. 1, Nomor 1, Januari-Juni 2016, hal 19
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
76
pedoman sepanjang diatur dalam perundang-undangan nasional. Namun
dikarenakan sulitnya mendapatkan keputusan perceraian dari Gereja, mungkin
terjadi adalah “perceraian semu”, yaitu suatu perceraian yang tidak memutuskan
ikatan perkawinan, yang dikenal dalam KUHPerdata dengan sebutan perpisahan
dari meja dan tempat tidur. 179
Bagi umat Buddha Indonesia akibat putusnya perkawinan karena
perceraian, sebagai berikut:180
a. Baik ayah maupun ibu berkewajiban untuk memelihara dan mendidik
anak-anaknya, sebab dalam hal perceraian tidak dikenal adanya istilah
bekas ayah atau bekas ibu, ayah tetap menjadi ayah anak-anaknya, ibu
tetap menjadi ibu anak-anaknya, yang ada hanyalah istilah bekas suami
dan bekas istri
b. Semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya, ditanggung
sepenuhnya oleh ayah dari anak-anaknya
c. Dalam hal-hal tertentu, apabila ayah tidak dapat menanggung sepenuhnya
atau tidak dapat sama sekali menanggung biaya-biaya pemeliharaan dan
pendidikan anaknya maka oleh Dewan Pandita Agama Budha Indonesia
(Depabudi) setempat dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya-
biaya tersebut.
Perceraian merupakan suatu hal yang dihindari dari setiap pasangan,
karena perceraian tidak hanya memiliki dampak pada kedua belah pihak antara
suami dan isteri tetapi juga keluarga terutama anak dari hasil perkawinan tersebut,
sehingga perceraian sangat dihindari dan diharapkan tidak pernah terjadi.
Bagi umat Hindu tentang akibat perceraian, masalah yang paling pokok
menurut G.Pudja yang harus diperhatikan ialah “masalah tanggung jawab dan
tugas yang harus dilakukan terhadap anak yang lahir dari perkawinan itu, bukan
179 Kanon (Kitab Hukum Kanonik Gereja Khatolik) 1151 -1155 dan 1692 - 1696.
180 Pasal 40 HPAB ( Hukum Parisada Hindu Dharma)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
77
soal harta warisan”. Jika terjadi perceraian di Pengadilan Negara , sedangkan istri
bersangkutan tidak punya anak , atau karena hal lain akibat modernisasi, maka
yang perlu mendapat perhatian ialah Hakim akan memutuskan perihal yang
menyangkut harta bersama atau harta gono-gini atau guna kaya yang semacam
harta pencaharian yang seharusnya dibagi antara bekas suami atau bekas istri,
kemudian harta bawaan suami atau istri berupa warisan, harta tetadaan (barang
bawaan) yang tentunya harus kembali kepada pembawanya dan jiwadhana atau
stridhana (barang bawaan istri) yang seharusnya kembali kepada istri atau kerabat
istri.181
181
Hilman Hadikusuma, 2003, Op.cit hal 195
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
78
BAB III
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANGTUA YANG BERCERAI
MELARANG PASANGAN YANG LAIN UNTUK BERTEMU DENGAN
ANAKNYA
A. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian
Setiap manusia yang hidup bersama dalam suatu ikatan perkawinan pasti
mendambakan agar keluarga yang dibinanya dapat berjalan secara harmonis dan
selalu diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dalam mencapai keluarga yang
bahagia ditempuh upaya menurut kemampuan masing-masing keluarga. Namun
demikian, banyak juga keluarga yang gagal dalam mengupayakan
keharmonisannya, impian buruk akan terjadi yaitu timbulnya suatu benturan
perceraian yang tidak pernah mereka harapkan.182
Perkawinan ada kalanya tersandung oleh “kerikil-kerikil tajam”, ada
gelombang tak terduga yang siap menghantam bahtera rumah tangga, seperti
adanya perbedaan pendapat, ada suka dan duka, dan yang terpenting adalah
menyadari bahwa setiap pasangan mempunyai kekurangan yang tak mungkin
dirubah yang cenderung menimbulkan pertengkaran-pertengkaran dalam
membina rumah tangga.183
Perbedaan pendapat, pertengkaran, percekcokan, perselisihan yang terus
menerus menyebabkan hilangnya rasa cinta dan kasih sayang. Pertengkaran
menyebabkan bersemainya rasa benci dan buruk sangka terhadap pasangan.
182
Armansyah Matondang, Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perceraian dalam
Perkawinan, Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik, Vol 2 ,No. 2, 2014 hal 142
183
Badruddin Nasir, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perceraian Di Kecamatan
Sungai Kunjang Kota Samarinda, Jurnal Psikostudia Universitas Mulawarman, Vol. 1, No. 1,Juni
2012, hal. 33
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
79
Pertengkaran yang meluap-luap menyebabkan hilangnya rasa percaya dan terus
memicu perceraian.184
1. Faktor umum yang menyebabkan terjadinya perceraian
Untuk melakukan perceraian harus disertai dengan alasan yang cukup
antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.185
Dalam
Kitab Undang undang Hukum Perdata disebutkan macam-macam alasan
perceraian. Faktor penyebab perceraian, diantaranya:186
a. Ketidak harmonisan dalam rumah tangga
Alasan tersebut di atas adalah alasan yang paling kerap dikemukakan
oleh pasangan suami istri yang akan bercerai. Ketidak harmonisan bisa
disebabkan oleh berbagai hal antara lain, krisis keuangan, krisis akhlak,
dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah
terlalu umum sehingga memerlukan perincian yang lebih mendetail.
b. Krisis moral dan akhlak
Selain ketidak harmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering
memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat
dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami
yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku
lainnya yang dilakukan baik oleh suami ataupun istri, misal mabuk,
berzina, terlibat tindak kriminal, bahkan utang piutang.
c. Perzinaan
Masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian adalah
perzinaan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik oleh
suami maupun istri.
d. Pernikahan tanpa cinta
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk
mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah
berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta.Untuk mengatasi kesulitan
akibat sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan harus merefleksi diri
untuk memahami masalah sebenarnya, juga harus berupaya untuk
mencoba menciptakan kerjasama dalam menghasilkan keputusan yang
terbaik.
184 Armansyah Matondang, Loc.cit
185
Pasal 39 ayat 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
186 Dodi Ahmad Fauzi, Perceraian Siapa Takut!, (Restu Agung: Jakarta, 2006) hal 28
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
80
e. Adanya masalah-masalah dalam perkawinan
Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas dari yang namanya
masalah. Masalah dalam perkawinan itu merupakan suatu hal yang biasa,
tapi percekcokan yang berlarutlarut dan tidak dapat didamaikan lagi
secara otomatis akan disusul dengan pisah ranjang seperti adanya
perselingkuhan antara suami istri.
Dalam hubungan suami isteri, putusnya perkawinan dapat disebabkan
oleh beberapa latar belakang. Dalam hal ini ada 4 (empat) kemungkinan, yaitu:187
a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah
seorang suami isteri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir
pula hubungan perkawinan;
b. Putusnya perkawinan oleh kehendak si suami oleh alasan tertentu
dan dinyatakan kehendaknya dengan ucapan tertentu. Perceraian
dalam bentuk ini sisebut talak;
c. Putusnya perkawinan atas kehendak si isteri karena si isteri melihat suatu
yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak
berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang
disampaikan si isteri dengan cara tertentu ini deterima oleh suami dan
dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu.
Putus perkawinan dengan cara ini disebut khulu;
d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah
melihat adanya sesuatu antara suami dan/atau pada isteri yang
menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan.
Putusnya perkawinan dalam bentuk itu disebut fasakh .
Undang - undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan
bahwa,“Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.188
Oleh karena itu perkawinan harus dipelihara dengan baik karena selain
merupakan kewajiban, perkawinan juga mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan agama (kerohanian), sehingga perkawinan bukan, saja mempunyai unsur
187 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Prenada Media: Jakarta)
2006, hal.197
188 Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
81
lahir (jasmani), tetapi unsur bathin (rohani) yang juga mempunyai peranan penting.
Pada kenyataannya tujuan dari perkawinan itu sering kali berakhir di tengah jalan
yang mengakibatkan putusnya perkawinan antara suami istri karena adanya
alasan-alasan189
seperti yang disebut dalam UU No. 1 Tahun 1974 yaitu190
:
a. Salah satu berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
Berdasarkan Pandangan Agama, dalam hukum Islam alasan perceraian
hanya satu macam saja, yaitu pertengkaran yang sangat memuncak dan
membahayakan keselamatan jiwa yang disebut dengan “syiqaq” sebagaimana
firman Allah dalam yang berbunyi:191
“Dan jika kamu khawatir terjadinya perselisihan diantara keduanya (suami
dan isteri), maka utuslah seorang hakam dari keluarga suaminya dan
seorang hakam dari keluarga isterinya. Dan jika keduanya menghendaki kebaikan,
niscaya Allah memberikan petunjuk kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui dan Maha Mengawasi”.
Bagi yang beragama Islam sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam ada
penambahan sebagai berikut:192
a. Suami melanggar taklik talak
189 Lina Kushidayati, Legal Reasoning Perempuan Dalam Perkara Gugat Cerai Di
Pengadilan Agama Kudus Tahun 2014, YUDISIA, Vol. 6, No. 1, Juni 2015 , hal. 144
190 Pasal 19 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
191
Qur’an Surat Al An-Nisa’ ayat 35
192
Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
82
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-
rukunan dalam rumah tangga.
Ketika berbicara mengenai perceraian di dalam hukum gereja, maka warga
gereja akan mengalami kesulitan, karena gereja tidak mengatur mengenai
perceraian, meskipun pada kenyataannya banyak juga warga gereja yang bercerai
secara hukum, tapi bagi warga gereja yang benar-benar mengimani dan
melaksanakan ajaran Kristus yang diyakini sebagai Sang Raja Gereja, maka akan
sulit jika menempuh jalan perceraian untuk mengakhiri perkawinannya, sekalipun
terjadi kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya, maupun telah terjadi pisah
ranjang dalam waktu yang cukup lama. Pasangan suami-isteri tidak ada yang
menginginkan perkawinannya gagal.193
Setiap orang mengharapkan perkawinannya senantiasa diwarnai cinta
kasih, kebahagiaan dan kesetiaan, serta langgeng, “sampai maut memisahkan.”
Apalagi, prinsip iman Kristen mengenai pernikahan adalah monogami (satu
pasangan), “fidelitas” (kesetiaan) dan “indisolubilitas” (tak terceraikan), sering
berhadapan dengan kenyataan yang berbeda, yakni ada alasan-alasan yang
membuat pasangan tersebut menghadapi perkawinan yang mereka perjuangkan
ternyata tidak berjalan sebagaimana yang mereka cita-citakan sebelumnya dan
sampai pada kenyataan untuk mengakhiri perkawinan dengan perceraian.194
Norma hukum dan norma agama yang ada di Indonesia ada dan tercipta
untuk mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat supaya berjalan dengan
193 Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, (Lembaga Alkitab Indonesia: Jakarta,2004,
hal.153.
194
Craig S. Keener And Marries Another, Divorce and Remarriage in the Teaching of the
New Testament (Peabody, MA: Hendrickson) , 1991 hal. 66.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
83
baik dan seimbang, terdapat pedoman-pedoman dan sanksi-sanksi yang berlaku
untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Apa yang tidak diatur pada norma yang satu, bisa dilengkapi oleh norma
yang lain. Berdasarkan pengertian perkawinan tersebut maka kalangan Kristen
tidak pernah menganjurkan perceraian, karena juga perceraian dilarang dalam
Firman Tuhan yang terdapat dalam kitab Matius 19: 4–6 195
, dalam hal perceraian
sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri, Gereja Kristen memang tidak pernah
menganjurkan perceraian terjadi karena perceraian merupakan larangan, tetapi
ketika perceraian sudah terjadi dan diputuskan oleh pengadilan Gereja Kristen
dapat memahami bahwa perceraian dapat terjadi.
Dalam hal ini bukan berarti umat Kristen Protestan sejalan dengan alasan
alasan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, tetapi Gereja lebih memahami kepada pribadi atau pihak yang
bersangkutan, dimana kehidupannya dapat menjadi lebih baik.196
2. Faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya perceraian
Permasalahan didalam rumah tangga sering kali terjadi, dan memang
sudah menjadi bagian dalam lika-liku kehidupan didalam rumah tangga, dan dari
sini dapat diketahui kasus perceraian yang kerap kali menjadi masalah dalam
rumah tangga. Pada dasarnya faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian
sangat unik dan kompleks dan masing-masing keluarga berbeda satu dengan
195 Matius 19 : 4-6, “19:4 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang
menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? 19:5 Dan
firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 19:6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan
satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
196 Peniel C. D. Maiaweng, Perceraian Dan Pernikahan Kembali, Jurnal Jaffray: Vol. 15,
No. 1, April 2017, hal 99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
84
lainnya. Adapun faktor-faktor yang mengakibatkan perceraian dalam rumah
tangga adalah:
a. Faktor Ekonomi.
Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa kedua
pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga
seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan
berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki pekerjaan. Dengan
melihat kembali keadaan penduduk, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa
sebagian besar penduduk Indonesia umumnya berpenghasilan rendah bahkan
seringkali penghasilan yang diperoleh tidak mencukupi kebutuhan hidup,
sehingga dengan tidak tercukupinya kebutuhan hidup merupakan penyebab utama
terjadinya pertentangan dan ketidakbahagiaan dalam keluarga. 197
Demikian juga dengan cara penggunaan dan pengelolaan uang dan
susunan anggaran belanja merupakan tugas yang penting dalam keluarga. Dengan
penghasilan yang ada keluarga bertahan hidup dan berusaha menghadapi
pertengkaran-pertengkaran yang mungkin timbul jika uang tidak cukup sampai
akhir bulan. Oleh karena itu harus membuat keputusan yang tepat menangani
anggaran untuk kebutuhan sehari-hari dan pengeluaran lainnya.
Dalam kehidupan keluarga peran suami istri sangat penting apalagi dalam
mengelola keuangan. masyarakat mempunyai paradigma bahwa nafkah suatu
kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi. Hukum membayar
nafkah untuk istri, dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban
197 Armansyah Matondang, Op.cit hal 143
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85
ini bukan disebabkan karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumah tangga,
tetapi kewajiban ini yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan
istri. Pengaturan nafkah dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dikatakan bahwa “suami wajib melindungi isterinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”.
Dalam pengaturan Undang-Undang Perkawinan, tidak ditetapkan besarnya nafkah
yang harus diberikan, hanya dikatakan sesuai dengan kemampuan si suami. 198
Hal tersebut diperjelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) juga ada pengaturan mengenai nafkah secara eksplisit yang
mengatakan bahwa suami wajib untuk melindungi isterinya dan memberikan
kepada isterinya segala apa yang perlu dan patut sesuai dengan kedudukan dan
kemampuan si suami.199
b. Kekerasan Dalam rumah Tangga (KDRT)
Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau sering disingkat KDRT
adalah segala bentuk tindak kekerasan yang terjadi atas dasar perbedaan jenis
kelamin yang mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terutama terhadap
perempuan termasuk ancaman, paksaan, pembatasan kebebasan, baik yang terjadi
dalam lingkup publik maupun domestik.200
Pengertian KDRT menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah “setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
198 Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
199 Pasal 107 ayat (2) KUHPerdata
200
Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat di Aceh, diterbitkan atas kerjasama
Bappenas, European Union, APPS dan UNDP tahun 2008, hal. 15
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
86
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasaan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”201
UU PKDRT menyebutkan mengenai ruang lingkup rumah tangga yang
turut mengindikasikan pihak-pihak yang mungkin terlibat dalam tindak KDRT
baik sebagai pelaku atau korban, meliputi; suami, isteri, dan anak termasuk yang
berstatus anak angkat atau tiri; orang-orang yang memiliki hubungan keluarga
yang menetap dalam rumah tangga seperti; mertua, menantu, ipar, besan; atau
orang yang bekerja dan menetap dalam rumah tangga.202
Menurut Mufidah beberapa faktor penyebab terjadinya KDRT yang terjadi
di masyarakat, antara lain:203
1) Budaya patriarki yang menempatkan posisi pihak yang memiliki
kekuasaan merasa lebih unggul. Pengunggulan laki-laki atas perempuan
ini menjadikan perempuan berada pada posisi rentan menjadi korban
KDRT.
2) Pandangan dan pelabelan negatif (stereotype) yang merugikan, misalnya
laki-laki kasar, maco, perkasa sedangkan perempuan lemah. Pandangan ini
digunakan sebagai alasan yang dianggap wajar jika perempuan menjadi
sasaran tindak KDRT.
3) Interpretasi agama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai universal agama.
Ketika istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suami maka suami
berhak memukul dan ancaman bagi istri adalah dilaknat oleh malaikat.
4) KDRT berlangsung justru mendapatkan legitimasi masyarakat dan
menjadi bagian dari budaya, keluarga, negara, dan praktek di masyarakat
5) Antara suami dan istri tidak saling memahami.
201 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (UIN Press: Malang),
2008, hal. 268
202
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Pelaku Kekerasan Dalam
Rumah Tangga 203 Mufidah Ch, Op.cit hal 273-274
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
87
c. Faktor pihak ketiga
Faktor pihak ketiga dimaksud adalah perselingkuhan. Selingkuh, secara
etimologi diartikan sebagai perbuatan dan perilaku suka menyembunyikan sesuatu
untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang, tidak jujur, dan curang. Sebab
perselingkuhan itu sendiri tidak hanya didominasi oleh pria, tetapi juga wanita di
segala lapisan dan golongan, bahkan tidak memandang usia. Faktor-faktor
terjadinya perselingkuhan antara lain: 204
1) peluang dan kesempatan;
2) konflik dengan istri;
3) seks tidak terpuaskan
4) abnormalitas atau animalistis seks;
5) iman yang hampa;
6) karena hilangnya rasa malu.
Masalah perselingkuhan dalam Undang-undang Perkawinan tidak
disebutkan secara jelas, namun dampak dari perselingkuhan ini dapat
menyebabkan suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
berujung pada perceraian.205
Secara umum faktor yang menyebabkan pasangan
suami istri memiliki wanita idaman dan pria idaman lain dalam rumah tangganya,
antara lain disebabkan karena kondisi ekonomi yang kurang, dan rendahnya
pemahaman tentang hak dan kewajiban seorang suami istri. Hal ini membuat
mereka tidak memahami tujuan dari suatu perkawinan. Mereka hanya memandang
bahwa tujuan perkawinan sematamata untuk memenuhi kebutuhan biologis tanpa
memperhatikan tujuan yang bersifat ibadah. Perselingkuhan pada umumnya
banyak sekali terjadi pada anggota keluarga yang kurang memiliki kualitas
204 Harjianto, Roudhotul Jannah, Identifikasi Faktor Penyebab Perceraian Sebagai Dasar
Konsep Pendidikan Pranikah di Kabupaten Banyuwangi, Vol 19, No 1, Februari 2019, hal 38-39
205 Pasal 39 ayat 2 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
88
keagamaan yang mantap, lemahnya dasar cinta, sikap egois dari masing-masing,
komunikasi kurang lancar dan harmonis, emosi kurang stabil, dan kurang mampu
membuat penyesuaian diri.206
Dengan terjadinya perselingkuhan yang dilakukan baik oleh pihak suami
atau istri, pihak yang dirugikan atau disakiti akibat perselingkuhan merasa marah,
kecewa, sakit hati, mengalami gangguan fisik, gangguan sosial, ataupun gangguan
psikologis, serta sikap tidak saling percaya antara satu dengan yang lain sehingga
dapat menimbulkan percekcokan, perselisihan, dan pertengkaran dalam rumah
tangganya secara terus menerus dan sulit untuk didamaikan.207
d. Faktor Tanggung Jawab
Secara umum masalah yang dialami subjek untuk memutuskan bercerai
yaitu merasa hak-haknya sudah tidak terpenuhi lagi.Hal ini terjadi karena tidak
ada tanggung jawab dari suami baik secara moral maupun material. Secara moral
mereka ditinggalkan dalam waktu yang lama dan suami tidak memberi kabar
berita, sedangkan secara materiil subjek tidak diberikan biaya hidup sehari-hari
sebagaimana mestinya. Tanggung jawab secara harfiah dapat diartikan sebagai
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima
pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain. 208
Tanggung jawab bersifat kodrati, yang artinya tanggung jawab itu sudah
menjadi bagian kehidupan manusia bahwa setiap manusia dan yang pasti masing-
206 M. Surya, Bina Keluarga, (Graya Ilmu: Bandung ,2009), hal 38
207
Ibid
208 Purwaningsih, Faktor-faktor yang mempengaruhi gugat cerai dipengadilan agama
Kota Bogor. Jurnal Yustisi : Vol 1 No 1, 2015, hal 11-16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
89
masing orang akan memikul suatu tanggungjawabnya sendirisendiri. Apabila
seseorang tidak mau bertanggung jawab, maka tentu ada pihak lain yang memaksa
untuk tindakan tanggung jawab tersebut karena tanggung jawab merupakan
sebuah kewajiban yang seharusnya dilaksanakan. 209
Kehidupan rumah tangga, mengharuskan masing-masing pihak, baik
suami maupun istri, mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang harus
dilaksanakan. Kewajiban suami dalam perkawinan adalah memelihara istri dan
menyediakan kebutuhan hidup yang layak bagi istri dan anaknya. Sebaliknya
seorang istri juga mempunyai kewajiban untuk menjaga atau mengatur rumah
tangga, sehingga apapun yang menimpa keluarganya merupakan masalah yang
harus ditanggung dan diselesaikan bersama dalam sebuah keluarga. Semua
masalah yang timbul menjadi tanggung jawab suami dan istri.210
B. Faktor – faktor larangan bertemu anak pasca perceraian
Keluarga merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan
manusia yang setiap hari selalu berinteraksi dengan manusia. 211
Setiap manusia
pasti ingin memiliki keluarga yang harmonis dan ideal, namun pada kenyataannya
tidak semua anggota keluarga mampu menjalankan perannya dengan baik,
menyebabkan fungsi keluarga tidak dapat berjalan secara maksimal.
Hal tersebut ada kalanya menjadi penyebab perselisihan yang berujung
pada perceraian dalam keluarga sebagai akibat dari hilangnya keserasian untuk
209 A. Jamil dan Fakhruddin, Isu dan realitas dibalik tingginya cerai gugat di Indramayu.
Jurnal Multikultural & Multi Religius Harmoni, Vol 14, No 2, 2015 hal 138-159
210
Ibid
211 Silfana Amalia Nasri, Haiyun Nisa, Karjuniwati, Bagaimana Remaja Memaafkan
Perceraian Orang Tuanya: Sebuah Studi Fenomenologis, Vol 1, No. 2, Juli 2018, hal 103
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90
mempertahankan keutuhan keluarga. Putusnya suatu ikatan perkawinan tidak
menjadi penyebab bagi anak untuk merasakan kurangnya kasih sayang dari orang
tua. Bagi orangtua yang tidak mendapat hak asuh tersebut , tidak memiliki
larangan untuk tetap berhubungan dengan sang anak. Sebab bagi anak, tidak ada
istilah mantan orang tua begitupun sebaliknya.212
Walaupun ajaran agama melarang untuk bercerai, akan tetapi kenyataan
seringkali tak dapat dipungkiri bahwa perceraian selalu terjadi pada pasangan-
pasangan yang telah menikah secara resmi. Tidak peduli apakah sebelumnya
mereka menjalin hubungan percintaan cukup lama atau tidak, romantis atau tidak,
dan menikah secara megah atau tidak, perceraian dianggap menjadi jalan terbaik
bagi pasangan tertentu yang tidak mampu menghadapi masalah konflik rumah
tangga atau konflik perkawinan. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, perceraian
tidak dapat dihentikan dan terus terjadi, sehingga banyak orang merasa trauma,
sakit hati, kecewa, depresi dan mungkin mengalami gangguan jiwa akibat
perceraian tersebut.213
Adapun faktor –faktor yang mengakibatkan larangan bertemu anak pasca
perceraian, diantaranya:
1. Faktor sakit hati diantara pasangan yang bercerai
Pasangan yang sudah bercerai biasanya memiliki hubungan yang tidak
baik dengan mantan suami atau istri sebelumnya. Rasa sakit hati setelah
keputusan pengadilan yang mengetuk palu sah perceraian, seringkali membuat
keduabelah pihak tidak bisa memaafkan satu sama lainnya. Smedes menyatakan
212 Ibid
213
Agoes Dariyo, Memahami Psikologi Perceraian dalam Keluarga, Jurnal
Psikologi.Vol 2. No 2, 2004 hal 94
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
91
“Rasa sakit hati dapat menciptakan krisis pemberian maaf”. Hal ini terjadi jika
rasa sakit hati tersebut selalu bersifat pribadi, tidak adil dan mendalam. 214
Menanggapi hal larangan bertemu anakstelah bercerai, Sekjend Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati menegaskan, bahwa jika
pihak pemegang hak asuh anak menghalang-halangi pasangan lain bertemu anak
berarti sudah melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) Perlindungan
Anak.Tidak ada alasan apapun untuk melarang seorang ayah atau ibu untuk
bertemu anaknya, termasuk Pengadilan sekalipun. Orang tua boleh berpisah
karena perceraian, kemudian disebut sebagai mantan suami atau mantan istri,
namun tidak ada istilah mantan anak.215
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah mengeluarkan hasil
laporan yang dibacakan Ketuanya, Asrorun Niam Sholeh. Mereka mencatat 55 %
(lima puluh lima persen) pelanggaran hak anak terkait keluarga dan pengasuhan
alternatif malah dilakukan oleh ibu. Seperti dilansir dari situs resmi KPAI, faktor
penyebab pelanggaran hak anak dalam keluarga yang tertinggi adalah akses
bertemu orangtua, kemudian disusul perebutan hak asuh, nafkah, dan penculikan
anak. Sekretaris KPAI Rita Pranawati menambahkan bahwa “ada persoalan
mendasar dalam pengasuhan anak, terutama pada keluarga pecah (broken home)
akibat perceraian. Sebab, baik ayah maupun ibu, masih memiliki pengetahuan
214
L.B. Smedes, Forgive and Forget: Healing The Hurts We Don't Deserve, Harpersan :
San Francisco, 1984, hal 88
215
Keterangan Rita Pranawati selaku Sekjend KPAI kepada awak media, pada Kamis 16
Maret 2017
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
92
yang lemah soal pengasuhan anak. Bahkan para orangtua muda ini masih
mencontoh dari cara pengasuhan sebelumnya.”216
Rita menjelaskan, “tingginya angka perceraian juga terkait dengan
pelanggaran hak anak yang berhubungan dengan keluarga”. Di Indonesia,
perceraian belum memiliki dampak norma hukum pada anak. Hak asuh sering
dimaknai hak mutlak, ucap dia. “Ini semua dampak dari problema di keluarga,"
kata Rita yang menambahkan KPAI berupaya melakukan mediasi yang sifatnya
masih sukarela. Jadi bila sudah begini, sesakit hati apapun pasangan yang bercerai,
jangan menghalangi hak anak untuk bertemu dengan ayahnya. Sebab, peran
seorang ayah juga sama pentingnya dengan kehadiran ibu dalam tumbuh kembang
jiwa raganya.217
2. Faktor Intervensi dari Orangtua ataupun keluarga218
Faktor lain yang menjadi penyebab larangan bertemu anak yang ditujukan
kepada pihak yang bukan pemegang hak asuh adalah intervensi dari orangtua
ataupun keluarga. Ikut campurnya orangtua dalam seluruh prahara rumah tangga
anak, dapat menimbulkan efek yang cenderung kearah lebih negatif. 219
Keikut sertaan orang tua dalam rumah tangga anak sebagai bentuk
tanggung jawab orang tua terhadap anak pasca menikah pada kasus larangan
bertemu anak pasca terjadinya perceraian, banyak terjadi pada rumah tangga anak
yang bertempat tinggal berdekatan atau masih dalam satu rumah dengan keluarga
216 https://www.kpai.go.id/ Larangan bertemu anak disebut sebagai pelanggaran
Undang-undang Perlindungan Anak, diakses pada Kamis, 16 Januari 2020, 09:18 WIB
217 Ibid 218 Hasil wawancara dengan Pdt. J Sinaga, Pendeta GKPI Jemaat Khusus Cinta Damai,
pada 23 November 2019
219 Hasil wawancara dengan Bu Intan Purnama Samosir, adik kandung dari Keluarga
yang memiliki perkara larangan bertemu anak setelah berceraii, pada 18 November 2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
93
orang tua. Awal mula terjadinya pertengkaran dalam rumah tangga, faktor utama
yang menjadi pemicu adalah peran orang tua yang telalu mencampuri urusan
rumah tangga sang anak.
Orangtua yang berperan sebagai mertua, menganggap bahwa menantu
tidak mampu memberikan kasih sayang kepada sang anak dan cucu. Menantu
seringkali diberi logo sebagai ayah yang tidak bertanggungjwab dengan
keluarganya. Ayah yang berperan sebagai kepala rumah tangga, dalam hal ini
memiliki pekerjaan yang menuntutnya harus berpergian keluar kota dan negeri.
Dalam prahara rumah tangga ini, mertua berspekulasi bahwa setiap adanya
penugasan menantu keluar kota ataupun negeri , tidak pernah mengikut sertakan
keluarga. Hal ini menimbulkan kecurigaan kepada mertua, dan menyatakan bahwa
sang menantu telah memiliki “perempuan” lain.
Setelah terjadinya percekcokan yang tidak dapat dihindari, kedua belah
pihak memutuskan untuk tidak melanjutkan ikatan perkawinan, dan berakhir
kepada perceraian yang dilakukan di depan Pengadilan Negeri. Pada saat setelah
terjadinya perceraian, hingga saat ini sang Ayah tidak diperbolehkan untuk
bertemu dengan anaknya. Intervensi dari orangtua (ibu) dari sang ibu, melarang
menantu lelakinya untuk menemui sang anak ataupun cucunya. Karena beliau
menganggap bahwa menantunya tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai
seorang ayah. 220
Berdasarkan keterangan responden, sang Ayah telah memberikan nafkah
yang patut dan sesuai dengan putusan yang telah ditetapkan kepadanya. Hasil
220 Hasil wawancara dengan Pak Yohanes Samosir, seorang ayah yang memiliki perkara
larangan bertemu anak setelah bercerai, pada 20 November 2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
94
wawancara menjelaskan bahwa, pada saat perceraian dilakukan, umur sang anak
masih berumur kurang lebih 8 tahun dengan keterangan akta lahir yang
menunjukkan bahwa sang anak memiliki kelahiran tahun 1998. Jika terhitung
sampai tahun 2019, maka kurang lebih 13 (tiga belas) tahun sang ayah tidak dapat
menghubungi ataupun menemui sang anak.
Latar belakang keluarga dapat mempengaruhi kehidupan seseorang setelah
menikah, kehadiran keluarga dari pihak pasangan tentu akan berdampak pada
pernikahan. Rasa kasih sayang orang tua yang berlebihan terhadap anaknya
terkadang memunculkan suatu konflik dalam rumah tangga anaknya, perasaan
ingin menebus kekurangan atau ketidakmampuan orang tua terhadap pendidikan
anaknya yang kemudian sekarang direalisasikan dalam bentuk grandparenting
(pengasuhan cucu), memberikan sokohan nafkah dalam rumah tangga anak, dan
keikutsertaan orang tua dalam memberikan pemecahan permasalahan anaknya
(nasehat), yang dalam hal ini peneliti maksud sebagai bentuk tanggung jawab
orang tua terhadap anak pasca menikah yang tidak semestinya. 221
C. Faktor –faktor penyebab orang tua yang bercerai melarang pasangan
lain untuk bertemu dengan anaknya Putusan Nomor:
365/PDT/2017/PT.MDN
Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya,
mereka bisa meminta kepada pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian
terjadi pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta benda
masing-masing yang diperoleh selama pernikahan, seperti rumah, mobil, perabot
dan lain sebagainya, dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban
221 Eva Muslimah, “ Intervensii Orang Tau Sebagai Faktor Pemicu Perceraian (Studi
Analis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat”, (Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif
Hiayatullah: Jakarta), 2009, hal 7
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
95
merawat anak-anak mereka. Hal ini dapat dipahami karena besarnya dampak
perceraian yang tidak hanya menimpa suami-istri, tetapi juga anak-anak. Anak-
anaklah yang sangat merasakan pahitnya akibat perceraian kedua orang tuanya. 222
Masalah utama yang dihadapi oleh suami-istri sebagai dampak perceraian
adalah masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta
hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship). Meskipun kehidupan
setelah perceraian merupakan suatu kehidupan baru, namun masih ada ikatan-
ikatan di antara pasangan yang bercerai.223
Ikatan yang paling penting adalah ikatan sebagai orang tua dari anak yang
dilahirkan selama perkawinan. Setelah bercerai, mantan pasangan suami-istri
harus mendefinisikan kembali hubungan dan peran mereka sebagai ayah dan ibu
yang sudah tidak lagi tinggal bersama dalam satu rumah. “Relational Styles” ini
bergerak dari mantan pasangan sebagai sahabat sampai dengan mantan pasangan
sebagai musuh yang paling dibenci.224
Beberapa perlakuan orang tua lainnya
setelah perceraian adalah berusaha menarik simpati anak untuk mencari informasi
melalui anak tentang mantan pasangan serta melibatkan anak dalam kondisi
permusuhan.225
Berdasarkan Putusan Nomor:32/Pdt.G/2016/PN.Mdn, hal yang memicu
adanya tindakan larangan bertemu dengan anak adalah kehendak dari salah satu
222 Darmawati H, Perceraian Dalam Perspektif Sosiologi, Sulesana: Vol 11 No 1, 2017,
hal 64
223 Ibid
224 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Toha Putra:Semarang), 2002, hal.
47.
225
Zuly Qodir, Sosiologi Agama: Esai-Esai Agama di Ruang Publik Cetakan- II (Pustaka
Pelajar: Yogyakarta), 2011, hal. 86.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
96
orang tua yang melarang anak untuk bertemu dengan pasangannya. Hali ini
berdasar dari keterangan yang dijelaskan oleh saksi-saksi Penggugat, bahwa
Tergugat hanya mengizinkan Penggugat untuk melihat anaknya pada hari Sabtu
saja, namun seiiring waktu Penggugat tidak diperbolehkan sama sekali untuk
melihat anaknya. Saksi juga menambahkan bahwa pada dasarnya sejak awal
pernikahan Tergugat selaku suami tidak pernah menafkahi Penggugat. Mendengar
penjelasan dari beberapa pihak bahwa Tergugat yang sering menghalangi
Penggugat bertemu dengan sang anak dan tidak pernah menafkahi keluarga,
sehingga membuat Tergugat kehilangan hak asuh anaknya sebagai ibu.
Berbeda halnya dengan penjelasan yang diberikan oleh saksi-saksi dari
pihak tergugat. Saksi menyatakan bahwa, Tergugat adalah pihak yang merawat
anak, sedangkan Penggugat tidak tahu cara untuk merawat anak, dimana sejak
lahir anak Penggugat tidak tahu cara memandikannya dan pada waktu tengah
malam anak menangis dan yang memberi susunya adalah Tergugat.
Saksi menambahkan, Penggugat juga bekerja dan pulang kerja jam 7
malam dan setelah pulang kemudian mandi dan makan selanjutnya langsung tidur
dan tidak merawat anak. Penggugat jarang bersama dengan anak selama masa
liburan dan intesitas bertemu keluarga adalah jarang.
Berdasarkan keterangan saksi Tergugat tersebut, alasan Tergugat melarang
Penggugat bertemu dengan sang anak, adalah Tergugat merasa bahwa Penggugat
hanya memikirkan urusan kerja dan mencari tambahan nafkah di luar rumah.
Penggugat melupakan peran utamanya sebagai istri dan ibu bagi sang anak.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
97
Seorang perempuan yang bekerja di luar rumah pada dasarnya memiliki
banyak manfaat selain pada diri sendiri juga terhadap keluarganya. Namun
seringkali masih timbul dilema atau konflik di antara mereka sendiri.226
Dampak
keterlibatan perempuan dalam melakukan pekerjaan di berbagai bidang ekonomi
membawa dampak positif dalam membantu meringankan beban dan
tanggungjawab yang dipikul oleh seorang suami, yaitu menambah penghasilan
untuk meningkatkan taraf hidup serta menjamin pendidikan dan kesehatan
keluarganya. Namun di sisi lain, bahwa istri-istri yang bekerja untuk memperoleh
penghasilan bagi keluarganya memiliki akses dan kontrol yang penuh terhadap
sumberdaya keluarga. Perempuan mempunyai kekuasaan yang nyata dalam
keluarga serta mendominasi keputusan-keputusan keluarga.227
Seorang Ibu yang bekerja di luar rumah harus bijaksana dalam mengatur
waktu. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga memang sangat mulia,
namun tetap harus diingat bahwa tugas utama seorang Ibu adalah mengatur
rumahtangga. Ibu yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore
hari, tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi dan bercanda dengan
suami dan anak-anaknya serta memeriksa tugas-tugas sekolah anaknya, meskipun
Ibu sangat capek setelah seharian bekerja di luar rumah. Pengorbanan tersebut
226 H.Bahar dan H. Haris, “Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Forum
Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Studi di Desa Panciro Kecamatan Bajeng Kabupaten
Gowa)”, Jurnal Tomalebbi No 2, 2016,hal 26. 227 A.Ismail , A.H Salir, H. Akib, & R.Salam, “Snapshot of Society Social-Economic
Welfare based on Human Development Index in Polewali Mandar Regency, Indonesia. In
International Conference on Public Organization VI (ICONPO VI)”, Journal Thammsat
University, Tha Prachan Campus, 2016, hal 847
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
98
akan menjadi suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya tumbuh dan
berkembang menjadi pribadi yang kuat dan stabil.228
Dampak lain atas keterlibatan perempuan dalam melakukan pekerjaan
adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang yang dapat dicurahkan oleh seorang
perempuan kepada anak-anak dan suami karena waktu untuk keluarga banyak
yang tersita oleh pekerjaan di luar rumah, artinya proses pembagian waktu antara
keluarga dan pekerjaan tidak dapat dioptimalkan dengan baik. Dalam kehidupan
berkeluarga, antara suami dan istri dituntut adanya hubungan yang baik dalam arti
diperlukan suasana yang harmonis.229
Wanita karir jelas akan memiliki kelelahan fisik yang kuantitasnya tinggi,
sehingga cenderung membuat emosi tidak stabil. Akhirnya ketika berjumpa
dengan anak usai bekerja, kualitas perjumpaannya tidak maksimal diakibatkan
lelah karena telah mencurahkan tenaga dan pikiran pada pekerjaan. Seorang anak
yang tidak mendapat perhatian penuh dari orangtua, secara tidak langsung akan
mencari figure diluar rumah yakni teman sebayanya dan masyarakat
disekelilingnya. Bahkan juga TV dan internet juga turut besar peranannya dalam
memberikan kontribusi pembentukan kepribadiannya. 230
Peran orangtua sangat penting dalam memberi batasan konsep positif pada
anaknya. Sekalipun teman sebaya membantu tugas perkembangan remaja, namun
sang anak perlu ditanamkan konsep filter terhadap informasi eksternal. Konsep
itu relatif sempurna ketika orangtua yang mendidikkannya.
228 Ibid
229 H.Bahar dan H. Haris , Op.cit hal 38
230
Eva Meizara Puspita Dewi, Basti, “Pengasuhan Ibu Berkarir Dan Internalisasi Nilai
Karir Pada Remaja”, Vol. 03, No.01 Januari 2015, hal 167
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
99
Pada tahun 2017, Tergugat melayangkan memori banding atas
ketidakpuasaanya dengan amar putusan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari memori
banding yang diajukan oleh tergugat pada Putusan Nomor :
365/PDT/2017/PT.MDN, Pembanding selaku tergugat bernama, Susanto dalam
memori banding yang diajukannya menyatakan:
1. Bahwa sejak anak Pembanding dan Terbanding (ic. Philbert Vladilim)
lahir, Pembanding yang merawat dan mengurus seluruh kebutuhan sehari-
hari anak Pembanding dan Terbanding termasuk memandikan, memberi
makan, serta keperluan lainnya yang seharusnya menjadi kewajiban
Terbanding selaku ibu dari anak Pembanding dan Terbanding.
2. Pembanding menilai bahwa Judex Factie telah salah dan keliru
mengabulkan petitum dalam gugatan, dengan nomor perkara
32/Pdt.G/2016/PN.Mdn. yang menyatakan “Menetapkan Penggugat
sebagai pemegang hak asuh atas anak Penggugat dengan Tergugat yang
bernama Anak, laki-laki yang lahir pada tanggal 05 September 2014 di
Medan” .
3. Bahwa selain itu, Judex Factie juga dalam amar putusannya tidak
memberikan kesempatan dan hak kepada Pembanding untuk dapat
bertemu anak Pembanding dan Terbanding setiap hari dan hak untuk
membawa anak Pembanding dan Terbanding tinggal bersama Pembanding
pada setiap hari libur yang ditentukan oleh Pemerintah, sehingga hal ini
telah mencederai peradilan yang berkeadilan bagi setiap para pihak yang
berperkara .
4. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, maka baik ibu atau bapak
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, dengan demikian Pembanding juga
memiliki hak untuk mengasuh anak Pembanding dan Terbanding. Judex
Factie telah salah menerapkan hukum dengan menghilangkan hak
Pembanding untuk dapat memelihara dan mendidik anak kandungnya serta
tidak memberikan hak kepada Pembanding untuk dapat bertemu dengan
anaknya.
Berdasarkan memori banding yang diajukan dalam Putusan Nomor
365/PDT/2017/PT.MDN, Pembanding menilai faktor penyebab larangan bertemu
anak, terletak pada kekeliruan Judex Factie. Hal ini dikuatkan oleh Pembanding
dalam memori bandingnya yang menyatakan bahwa, “judex factie juga telah
mengabaikan dalil jawaban Pembanding dalam perkara a quo dan fakta
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
100
persidangan dari saksi-saksi yang dihadirkan oleh Pembanding, dimana akibat
pertengkaran dan perselisihan antara Pembanding dan Terbanding adalah
dikarenakan sikap Terbanding yang lebih sibuk bekerja daripada mengurus anak
Pembanding dan terbanding.
Berdasarkan fakta persidangan telah membuktikan Terbanding setiap hari
pergi bekerja dari pukul 06.30 Wib dan pulang kerja pada pukul 7 malam dan
setelah pulang kemudian mandi dan makan, selanjutnya langsung tidur dan tidak
merawat anak”.231
Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim atas sengketa yang
diperiksa dan diadilinya. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data
yang diperoleh selama proses persidangan, baik dari bukti surat, saksi,
persangkaan, pengakuan maupun sumpah yang terungkap dalam persidangan.
Sehingga keputusan yang akan dijatuhkan dapat didasari oleh rasa tanggung
jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif.232
Dalam
memutus perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas fakta yang
terungkap dipersidangan. Untuk itu hakim harus menggali nilai-nilai, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.233
Menurut pendapat Ibu Riana Pohan Hakim Pengadilan Negeri Medan
tanggal 13 November 2019, bahwa perbuatan yang dilakukan diluar dari Putusan
yang sudah dijatuhkan dalam Persidangan, adalah tanggung jawab dari pihak-
231 Ibid
232
Pasal 164 HIR
233 Pasal 5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
101
pihak yang bersengketa. Majelis Hakim akan mengambil keputusan dengan
seadil-adilnya.
Jika dalam perkara dalam putusan ini, Tergugat merasa bahwa putusan
telah melarang beliau bertemu dengan sang anak, hal tersebut adalah diluar dari
penguasaan Majelis Hakim. Putusan dalam Perceraian yang termuat dalam
Pengadilan tingkat pertama, yaitu putusan Nomor 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn,
Majelis hanya menentukan bahwa sang ibu selaku Penggugat adalah pihak yang
memegang hak asuh dari anak Penggugat dan Tergugat.
Ibu Riana Pohan juga menambahkan, selama tidak terjadinya kekerasan
fisik terhadap anak dan tidak mengganggu psikologi sang anak, hal tersebut belum
dikategorikan kepada perbuatan yang dapat dibawa ke ruang lingkup Pengadilan.
Beliau berpendapat bahwa hal yang lumrah, setelah terjadinya perceraian, antar
pasangan akan sering terjadi percekcokan untuk bertemu dengan sang anak,
dikarenakan timbulnya rasa egois untuk menghindari bertemu dengan mantan
pasangannya.
Faktor-faktor lain yang menyebabkan adanya larangan untuk bertemu
dengan anak setelah perceraian juga dapat dipicu dari tindakan atau sikap buruk
yang pernah dilakukan oleh orang tua. Hal ini dapat dilihat pada Putusan No.
047/Pdt.G/2018/PTA Bdg. pada memori banding yang diajukan oleh Pembanding
pada 26 Desember 2017. Pada point memori banding disebutkan sikap Penggugat
yang selalu memarahi anak, dan Tergugat yang meminta Penggugat menghentikan
sikapnya yang kasar terhadap anak, Penggugat diduga menjalani hubungan atau
setidak-tidaknya dekat dengan pria lain, serta Penggugat tidak pernah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
102
menunjukkan sikap hormat dan rasa sayang serta kepedulian terhadap mertua.
Penggugat/Terbanding maupun orang tuanya seringkali bersikap kasar kepada
anak, perlakuan/sikap tersebut beberapa kesempatan diceritakan langsung oleh
anak.
Perlakuan yang buruk yang dicantumkan pada memori banding yang
diajukan dalam putusan No 047/Pdt.G/2018/PTA Bdg, dimaksudkan adalah sikap
dari istri yang dinilai oleh Tergugat dapat menggangu perkembangan sang anak.
Secara kodrat orang tua berperan dan berfungsi juga berfungsi sebagai pendidik,
di mana selain memberikan perlindungan dan pemeliharaan kepada anaknya,
orang tua juga berkewajiban memberikan bimbingan dan pendidikan kepada anak-
anaknya, karena melalui pendidikan ini anak akan memperoleh pengalaman dan
dapat mengembangkan diri secara aktif dan optimal. Sebagai pendidik orang tua
mewariskan nili-nilai kepada anak melalui latihan-latihan atau pembiasaan.234
234 Syafi’ ah, Peran Kedua Orang Tua Dan Keluarga (Tinjuan Psikologi Perkembangan
Islam Dalam Membentuk Kepribadian Anak),Jurnal Sosial Budaya Vol. 9 No. 1 Januari-Juli 2012
hal 113.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
103
BAB IV
ANALISA TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN
PENGADILAN TINGGI MEDAN NOMOR 365/PDT/2017/PT.MDN
A. Kasus Posisi
1. Kronologi kasus
Peristiwa ini diawali dengan adanya gugatan cerai yang diajukan oleh Rita
(Penggugat/Terbanding) terhadap Susanto (Tergugat/Pembanding) pada
pengadilan tingkat pertama dengan pendaftran nomor perkara
23/DT.G/2016/PN/MDN. Penggugat dengan surat gugatannya tanggal 26 Januari
2016 yang diterima dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan
pada tanggal 26 Januari 2016 dalam Register Nomor 23/PDT.G/2016/PN.MDN,
telah mengajukan gugatan didasari oleh beberapa dalil sebagai berikut :
a. Bahwa, Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah yang telah
melakukan perkawinan secara agama Budha di Medan pada tanggal 14
Nopember 2013 di Vihara Buddhayana Cetya Paramita Jl. Binjai KM. 8,5
Psr.V Medan dihadapan Pemuka Agama Budha yang bernama Madya Putra
sebagaimana terbukti dari Catatan Pernikahan Buddhis dan telah dicatatkan
pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan
sebagaimana terbukti dari Kutipan Akta Perkawinan No.
2694/T/MDN/2014 tanggal 19 Agustus 2014
b. Sejak menikah, Penggugat dengan Tergugat tinggal serumah ditempat
alamat Tergugat sekarang ini, dan pada mulanya kehidupan rumah tangga
Penggugat dengan Tergugat berjalan rukun dan damai sebagaimana
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
104
layaknya kehidupan rumah tangga yang diidam-idamkan oleh sebuah
keluarga
c. Penggugat sebagai isteri telah melakukan fungsinya dan kodratnya sebagai
seorang isteri yang baik bagi Tergugat sebagai suami, hal ini terbukti dari
hasil perkawinan Penggugat dengan Tergugat telah dikaruniai 1 (satu) orang
anak laki-laki tampan yang bernama Philbert Vladilim yang lahir pada
tanggal 05 September 2014 di Medan
d. Beberapa bulan sejak kelahiran anak Penggugat dengan Tergugat, sikap
Tergugat telah mulai berubah dimana Tergugat sering memarahi Penggugat
tanpa alasan yang jelas dan selalu menuduh Penggugat tidak bisa dan tidak
becus mengurus anak
e. Bahwa, puncak kemarahan Tergugat terjadi pada sekitar jam 9 malam
tanggal 4 September 2015, dimana Tergugat bertindak demikian sadistic,
dengan menyeret tubuh Penggugat keluar dari rumah tempat kediaman
bersama tersebut di atas (tempat tinggal Tergugat sekarang ini) dengan
menyuruh pergi dari rumah sambil mengeluarkan seluruh pakaian
Penggugat dari rumah dimaksud, suatu sikap yang semestinya tidak boleh
dimiliki oleh seorang manusia yang beradab terlebih oleh seorang suami
terhadap isterinya
f. Bahwa, akibat perbuatan Tergugat tersebut di atas telah mengakibatkan luka
gores dan memar disebagian tubuh Penggugat sebagaimana terbukti dari
hasil visum dari Klinik Ganesha tertanggal 05-09-2015
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
105
g. Bahwa, sejak peristiwa penyeretan dan pengusiran yang dilakukan Tergugat
kepada Penggugat, sejak itupula Penggugat telah tidak tinggal serumah lagi
hingga saat sekarang ini dan segala nafkah baik lahir maupun bathin juga
terhenti sejak saat itu pula dan bahkan tidak ada sedikitpun rasa simpati
Tergugat sebagai suami yang seharusnya bertanggung jawab terhadap
keberadaan Penggugat
h. Bahwa, pihak keluarga masing-masing telah mencoba secara maksimal
untuk mendamaikan guna menyelamatkan bahtera rumah tangga Penggugat
dengan Tergugat, akan tetapi selalu berujung dengan ketidak berhasilan
disebabkan sikap Tergugat yang tidak berkenan untuk menyelamatkan
keutuhan rumah tangga
i. Bahwa, kesemuanya kelakuan Tergugat tersebut di atas telah sungguh-
sungguh menimbulkan kehancuran ketenteraman batin sanubari (destroy
peace in mind) bagi Penggugat yang tidak tertahankan lagi (unbearable) dan
hal demikian benar-benar tidak bisa ditoleransi
j. Bahwa, berdasarkan uraian di atas apa yang telah digariskan oleh ketentuan
Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi “Suami
isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain” sudah tidak terpenuhi lagi
k. Bahwa, tidak sampai disitu saja tindakan Tergugat telah melanggar
ketentuan Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
berbunyi “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya”
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
106
l. Bahwa, melihat kenyataan di atas telah terbuktilah tidak ada lagi alasan
yang kuat dan patut bagi Penggugat untuk mempertahankan rumah tangga
karena apa yang menjadi tujuan sebuah bangunan rumah tangga telah
demikian tidak tercapai dan bahkan rumah tangga Penggugat dengan
Tergugat telah terkoyak dan pecah akibat percekcokan yang demikian tajam
dan terus menerus yang tidak dapat didamaikan lagi dan tidak dapat rukun
kembali (onheel baar twespalt)
m. Bahwa, berdasarkan seluruh uraian di atas salah satu alasan perceraian yang
telah ditentukan oleh PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf f telah terbukti
dan terpenuhi, sehingga untuk mencegah terjadinya kehancuran yang lebih
besar lagi dan juga untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tercela dan
dilarang oleh pandangan agama, budaya dan social bagi Penggugat dan
Tergugat, maka jalan yang terbaik adalah memutuskan perkawinan
Penggugat dengan Tergugat karena perceraian (vide Pasal 38 Jo Pasal 39
ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)
n. Bahwa, berdasarkan Yurisprudensi MARI No. 534 K/ Sip/ 1996 tanggal 18
Juni 1996 ditegaskan “Bahwa dalam perceraian tidak perlu dilihat dari
siapa penyebab percekcokan atau salah satu pihak telah meninggalkan
pihak yang lain, tetapi yang perlu dilihat adalah apakah perkawinan itu
sendiri masih dapat dipertahankan atau tidak”, dan sesuai dengan
keteguhan hati Penggugat yang sudah tidak ingin lagi mempertahankan
kehidupan rumah tangganya dengan Tergugat, maka gugatan ini patut untuk
dikabulkan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
107
o. Bahwa, demi kepentingan anak yang terlahir dari hasil perkawinan
Penggugat dengan Tergugat masih balita ( + 1.5 Tahun) karenanya
berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 102 K/ Sip/ 1973
tanggal 24-4-1975 yang menyatakan “Berdasarkan yurisprudensi mengenai
perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan,
khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang
menjadi kriterium”, maka sangat layaklah dan beralasan secara hukum hak
asuh diberikan kepada Penggugat
p. Bahwa, berdasarkan Pasal 24 ayat 2 huruf (b) PP No. 9 Tahun 1975 dan
berdasarkan kepatutan dan keadilan maka Penggugat berhak menuntut biaya
untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak kepada Tergugat untuk
anaknya sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah setiap
bulannya sampai anak Penggugat dan Tergugat mencapai umur dewasa,
pembayaran mana harus terlaksana paling lambat tanggal 03 dari bulan
berjalan
q. Bahwa, sesuai ketentuan undang-undang, seorang suami wajib menafkahi
isterinya, maka patut dan berdasarkan hukum dan keadilan jika Penggugat
menuntut biaya kehidupan sehari-hari Penggugat sejak Penggugat diusir
yaitu bulan September 2015 hingga perceraian ini berkekuatan hukum tetap
yang Penggugat taksir sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) untuk setiap
bulannya pembayaran mana harus dilaksanakan secara sekaligus dan tunai
Berdasarkan gugatan Penggugat tersebut , pihak Tergugat menyampaikan
jawaban yang pada pokoknya adalah tidak setuju hak asuh anak tersebut jatuh
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
108
kepada Penggugat. Tergugat sama sekali tidak keberatan, akan tetapi mengenai
Hak Pengasuhan anak tersebut sudah sepatutnya diberikan kepada Tergugat
selaku ayah kandung dari anak tersebut, karena selama ini yang mengurus dan
merawat anak tersebut adalah Tergugat dan bukan Penggugat, Tergugat sangat
menyayangi anak tersebut, walaupun Tegugat lelah bekerja, namun Tergugat tetap
dengan sabar mengurus dan merawat anak tersebut dengan sebaik-baiknya.
a. Menurut Tergugat, Penggugat dalam kehidupan rumah tangga dengan
Tergugat, sama sekali tidak memperdulikan anaknya (Philbert Vladilim),
dimana semenjak anak tersebut masih berusssia 6 (enam) bulan, Penggugat
tidak bersedia mengurus anak tersebut sebagaimana mestinya, sedangkan
yang mengurus anak tersebut adalah Tergugat sendiri dan jika Tergugat
mempunyai kesibukan dalam bekerja, yang mengurus dan merawat anak
tersebut adalah adik Tergugat atau pengasuh anak-anak dari adik Tergugat.
b. Wajar bila Tergugat memarahi Penggugat yang tidak mau mengurus dan
merawat pada waktu anak tersebut menderita sakit dan malahan Penggugat
sering memarahi anak tersebut bila sedang menangis karena sakit, karena
Penggugat tidak mau terganggu tidurnya karena alasan lelah bekerja.
Suami telah berulang kali meminta kepada Penggugat agar berhenti
bekerja demi untuk dapat mengurus anak mereka, namun Penggugat lebih
menyayangi pekerjaannya dari pada anaknya sendiri. Jika seandainya Hak
Pengasuhan anak tersebut diberikan kepada Penggugat, anak tersebut akan
menderita dan nasibnya tidak akan menentu,karena Penggugat lebih
mencintai pekerjaannya dari pada anaknya sendiri.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
109
c. Sejak Tergugat dan Penggugat pisah ranjang, anak hasil hubungan
perkawinan tersebut hidup dan tinggal bersama Tergugat, sedangkan
Penggugat tidak sekalipun bersedia melihat anaknya tersebut
d. Didalam posita gugatan Penggugat sama sekali tidak ada menguraikan apa
alasannya sehingga anak tersebut harus berada dibawah Perwalian
Penggugat, sedangkan yang diuraikan Penggugat hanyalah Kutipan dari
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, sedangkan seharusnya dalam posita
gugatannya Penggugat menguraikan tentang kedudukannya selaku ibu
yang sangat menyayangi anaknya dan yang lebih difokuskan Penggugat
hanyalah mengenai Pemutusan Hubungan Perkawinan (Perceraian) belaka.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri mengabulkan atas gugatan
tersebut Pengadilan Negeri Medan telah menjatuhkan putusan Nomor:
32/Pdt.G/2016/PN-Mdn tanggal 31 Mei 2016 perceraian Penggugat dan Tergugat,
dan tentang hak asuh anak menetapkan pengasuhan dan pemeliharaan anak
Penggugat dan Tergugat berada di pihak Penggugat atau ibu kandung anak (Rita).
Tergugat juga dihukum untuk membayar biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
sebesar Rp.2.500.000,00 ( dua juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulannya kepada
Penggugat sampai mencapai umur dewasa.
Berdasarkan keputusan tersebut, Tergugat merasa keberatan dan
mengajukan banding. Hal ini terbukti dari terdaftaranya akte banding pada tanggal
24 Agustus 2016, serta penyerahan memori banding pada tanggal 29 Agustus
2017. Pada pengadilan tingkat pertama, sengketa hak asuh anak dalam jawaban
Tergugat dintakan ditolak. Pembanding dengan tegas tetap menolak dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
110
membantah seluruh dalilgugatan Terbanding a quo terkecuali apa yang diakui
secara tegas oleh Pembanding .Bahwa merujuk pada Yurisprudensi Putusan
Mahkamah Agung tanggal 9 Oktober 1975 No. 951 K/SIP/1973, yang
menyatakan, “Pemeriksaan Tingkat Banding yang seolah-olah seperti di Tingkat
Kasasi yang hanya memperhatikan apa yang diajukan oleh Pembanding adalah
salah, seharusnya pemeriksaan Banding mengulangi pemeriksaan
keseluruhannya,baik mengenai fakta maupun penerapan hukum”.
Oleh karenanya peradilan tingkat banding, khususnya Pengadilan Tinggi
Medan mempunyai kewenangan untuk memeriksa kembali fakta-fakta dan
penerapan hukumnya. Tergugat selaku Pembanding dalam memori bandingnya
pada Putusan No:365/PDT/2017/PT.MDN menguatkan dalil-dalilnya dengan
fakta sebagai berikut:
a. Pembanding sangat merasa keberatan dan menolak pertimbangan Judex
Factie pada halam 17 paragraf 3 yang menyatakan, bahwa Penggugat sebagai
ibu menunjukkan sikap yang mampu untuk memelihara dan mendidik
anaknya maka adalah lebih tepat jika kepada Penggugat (sekarang
Terbanding) diberikan hak pengasuhan terhadap anak tersebut.
b. Berdasarkan Pasal 31 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, berbuyi:
“Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.”
c. Fakta persidangan telah membuktikan dimana selama masa perkawinan,
Terbanding telah melupakan kewajibannya sebagai isteri dan seorang ibu
yang bertugas merawat dan mengurus anak Pembanding dan Terbanding yang
masih kecil, namun hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Terbanding,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
111
karena setiap hari Terbanding lebih memilih sibuk bekerja dari pagi hingga
malam hari tanpa meluangkan waktu untuk bersama anak Pembanding dan
Terbanding, sehingga hal ini telah bersesuian dengan ketentuan hukum Pasal
34 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi : “Isteri
wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.”
d. Bahwa judex factie juga telah mengabaikan dalil jawaban Pembanding dalam
perkara a quo dan fakta persidangan dari saksi-saksi yang dihadirkan oleh
Pembanding, dimana akibat pertengkaran dan perselisihan antara Pembanding
dan Terbanding adalah dikarenakan sikap Terbanding yang lebih sibuk
bekerja daripada mengurus anak Pembanding dan Terbanding ;
e. Berdasarkan fakta persidangan telah membuktikan Terbanding setiap hari
pergi bekerja dari pukul 06.30 Wib dan pulang kerja pada pukul 7 malam dan
setelah pulang kemudian mandi dan makan, selanjutnya langsung tidur dan
tidak merawat anak
f. Sejak anak Pembanding dan Terbanding (ic. Philbert Vladilim) lahir,
Pembanding yang merawat dan mengurus seluruh kebutuhan sehari-hari anak
Pembanding dan Terbanding termasuk memandikan, memberi makan, serta
keperluan lainnya yang seharusnya menjadi kewajiban Terbanding selaku ibu
dari anak Pembanding dan Terbanding
g. Bahwa dengan demikian, Judex Factie telah salah dan keliru mengabulkan
petitum gugatan Terbanding yang menyatakan “Menetapkan Penggugat
sebagai pemegang hak asuh atas anak Penggugat dengan Tergugat yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
112
bernama Anak, laki-laki yang lahir pada tanggal 05 September 2014 di
Medan”
h. Judex Factie dalam amar putusannya tidak memberikan kesempatan dan hak
kepada Pembanding untuk dapat bertemu anak Pembanding dan Terbanding
setiap hari dan hak untuk membawa anak Pembanding dan Terbanding
tinggal bersama Pembanding pada setiap hari libur yang ditentukan oleh
Pemerintah, sehingga hal ini telah mencederai peradilan yang berkeadilan
bagi setiap para pihak yang berperkara
i. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, maka baik ibu (ic.Terbanding)
atau bapak (ic. Pembanding) berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, dengan demikian
Pembanding juga memiliki hak untuk mengasuh anak Pembanding dan
Terbanding, hal ini telah sesuai dengan ketentuan hukum Pasal 41 huruf a
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi : “Baik ibu atau bapak
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.”
j. Demikian, Judex Factie telah salah menerapkan hukum dengan
menghilangkan hak Pembanding untuk dapat memelihara dan mendidik anak
kandungnya serta tidak memberikan hak kepada Pembanding untuk dapat
bertemu dengan anaknya
k. Oleh karena Judex Factie telah salah dan keliru dalam memberikan putusan,
maka sudah sepatutnya dan beralasan menurut hukum, Ketua Pengadilan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
113
Tinggi Medan dan/atau Majelis Hakim Tinggi yang Mulia untuk
memperbaiki isi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :
32/Pdt.G/2016/PN.Mdn., tanggal 31 Mei 2016 ;
l. Sebagai bahan pertimbangan Ketua Pengadilan Tinggi Medan/Majelis Hakim
Tinggi yang Mulia yang memeriksa dan memutus perkara a quo,dengan ini
Pembanding juga turut melampirkan bukti berupa pernyataan saksi-saksi
yang belum dihadirkan pada persidangan Tingkat I (Pertama)antara lain:
1) saksi I selaku tetangga Pembanding dan Terbanding
2) saksi II selaku tetangga Pembanding dan Terbanding
3) saksi III selaku Ibu kandung Pembanding ;
m. Bahwa oleh karena Pembanding yang selama ini mengurus dan merawat anak
Pembanding dan Terbanding, maka telah patut dan pantas menurut hukum,
Pembanding juga diberikan hak untuk mengasuh, memelihara dan mendidik
anak Pembanding dan Terbanding, serta memberikan hak kepada
Pembanding untuk dapat bertemu dengan anak Pembanding dan Terbanding
setiap harinya dan berhak membawa anak Pembanding dan Terbanding untuk
tinggal bersama Pembanding setiap hari Sabtu dan Minggu serta setiap hari
Libur yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2. Pertimbangan Hakim
Pada putusan tingkat pertama No: 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn dalam
pertimbangan hukumnya, menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan
penggugat adalah sebagaimana tersebut diatas adalah sebagai berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
114
Menimbang bahwa gugatan penggugat telah disangkal oleh tergugat maka
karena itu merupakan kewajiban bagi penggugat unutk membuktikan dalil
gugatannya
Menimbang bahwa yang menjadi permasalahan dengan gugatan
Penggugat antara lain adalah;
Menimbang bahwa berdasarkan bahwa berdasarkan Pasal 39 ayat 2
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “untuk melakukan
perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat
hidup rukun sebagai suami istri”, hal ini sesuai pula dengan Pasal 19 huruf f
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975.
Menimbang bahwa dengan adanya perselisihan dan pertengkaran yang
terus menerus antara Penggugat dan Tergugat yang diakui atau setidaknya untuk
disangkal oleh tergugat yang diakui atau setidak tidaknya tidak disangkal oleh
Tergugat dalam dalil dalil jawabannya terbukti bahwa Penggugat dan Tergugat
telah pisah ranjang dan tempat tinggal sejak 4 September 2015 sampai dengan
diajukannya gugatan perceraian, pihak keluarga dari kedua belah pihak tidak
berhasil mendamaikan, oleh karena dalam perkawinan mereka sering terjadi
percekcokan dan pertengkaran sehingga tidak terdapat kedamaian dan
keharmonisan lagi dalam keluarga.
Menimbang bahwa majelis hakim telah pula berupaya agar Penggugat
rukun kembali, tetapi tidak berhasil sehingga majelis gakim berpendapat bahwa
antara penggugat dan tergugat tidak mungkin disatukan kembali untuk mencapai
tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Undang-undang No 1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
115
Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi bahwa antara
Penggugat dengan Tergugat sering terjadi percekcokan dan pertengkaran. Bahwa
antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak satu tempat tinggal lagi sejak 4
September 2015 atau hampir satu tahun, oleh karena itu perkawinan antara
Penggugat dengan Tergugat putus karena perceraian dengan segala akibat
hukumnya, sehingga Petitium ke-2 gugatan adalah berdasar dan beralasan
menurut hukum, maka Tuntutan Penggugat tersebut haruslah dikabulkan.
Menimbang bahwa agar putusan perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat mempunyai kepastian hukum maka perceraian ini haruslah didaftarkan
pada daftar pencatatan oleh pegawai pencatat sebagaimana diatur dalam Pasal 34
ayat 2 dan Pasal 35 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan mewajibkan Panitera
Pengadilan Negeri Medan atau Pejabat yang ditunjuk untuk itu agar mengirimkan
satu helai salinan putusan ini kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil kota Medan untuk melakukan pendaftaran putusan ini, agar selanjutnya
dapat mengeluarkan akta perceraian atas nama Penggugat dan Tergugat, sehingga
Petitum ke 3 gugatan adalah berdasar dan beralasan menurut hukum, maka
tuntutan Penggugat tersebut haruslah dikabulkan.
Menimbang, bahwa sesuai bukti surat yang diberi berupa akte kelahiran
a.n Philbert Vladilim lahir pada tanggal 05 September 2014 dan juga berdasarkan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
116
keterangan saksi-saksi dan dari perkawinan Penggugat dan Tergugat telah
dilahirkan seorang anak
Menimbang bahwa berdasarkan bukti surat tersebut ternyata seorang anak
tersebut masih berada dibawah umur, sedangkan perkawinan orangtua mereka
telah dinyatakan bercerai maka harus ditetapkan siapa yang menjadi wali-wali
tersebut.
Menimbang penggugat sebagai ibu menunjukkan sikap yang mampu untuk
memelihara dan mendidik anaknya maka adalah lebih tepat jika kepada Penggugat
diberikan hak pengasuhan terhadap anak tersebut yaitu, Philbert Cladilim hingga
dewasa, sehingga Petitum ke 4 gugatan adalah berdasar dan beralasan menurut
hukum, maka tuntutan Penggugat tersebut haruslah dikabulkan.
Menimbang bahwa sejak pisah tempat tinggal antara Penggugat dengan
Tergugat, berdasarkan keterangan saksi-saksi bahwa anak Penggugat dengan
Tergugat yaitu, Philbert Vladilim yang lahir pada tanggal 05 September 2014,
diasuh dan dipelihara oleh Penggugat, maka oleh karena itu Tergugat sebagai
seorang bapak yang bertanggungjawab kepada anaknya, kiranya masih mengirim
uang nafkah kepada anaknya tersebut melalui Penggugat sebesar Rp 2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulannya sampai anak tersebut dewasa
sehingga Petitum ke 5 gugatan adalah berdasar dan beralasan menurut hukum,
maka tuntutan Penggugat tersebut haruslah dikabulkan
Menimbang bahwa tuntutan mengenai hukuman pembayaran biaya nafkah
dan perumahan kepada Penggugat sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
117
perbulan sampai putusan ini berkekuatan hukum tetap, Majelis
mempertimbangkan :
Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 496
K/Sip/1971 tanggal 01 September 1971 menyebutkan bahwa: “Apabila hukuman
itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang, maka dapat ditentukan bahwa pihak
yang dikalahkan dapat dihukum untuk membayar sejumlah uang selama ia tidak
memenuhi isi putusan, pembayaran uang ini hanya mungkin terhadap perbuatan
yang harus dilakukan oleh Tergugat yang tidak terdiri dari pembayaran suatu
jumlah uang, sehingga tuntutan uang dalam petitum no 6, tersebut tidak berdasar
menurut hukum, maka Tuntutan Penggugat tersebut haruslah ditolak
Menimbang, bahwa tentang tuntutan Penggugat yang memohon agar
menghukum Tergugat membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini,
menurut Majelis karena Tergugat berada dipihak yang kalah maka sudah
sepantasnya dibebankan membayar ongkos perkara yang timbul dalam perkara ini
sehingga dengan demikian petitum gugatan Penggugat ke 7 adalah berdasar dan
beralasan menurut hukum, maka tuntutan Penggugat tersebut haruslah dikabulkan
dapat di kabulkan.
Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan
perkara ini khususnya Undang-undang No 1 Tahun 1974, Pasal 19 huruf f dan d,
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1974 serta Pasal-Pasal lain yang berkaitan
dengan perkara ini. Selanjutnya Pengadilan Tinggi Medan dalam pertimbangan
hukumnya dalam putusan No: 365/PDT.G/2017/MDN sebagai berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
118
Majelis Hakim Tingkat Banding setelah mempelajari memori banding
yang diajukan oleh Kuasa Hukum Pembanding semula Tergugat diatas, Majelis
Hakim Tingkat Banding menilai bahwa pada dasarnya alasan-alasan/keberatan
keberatan tersebut telah dipertimbangkan oleh MajeIis Hakim Tingkat Pertama
secara cermat dan benar dan ternyata pula bahwa materi-materi dalam memori
banding tidak memuat hal-hal yang dapat membatalkan putusan MajeIis
HakimTingkat Pertama, oleh karenanya memori banding tersebut tidak relevan
untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi setelah membaca, meneliti dan
mempelajari dengan seksama berkas perkara dan surat-surat yang berhubungan
dengan perkara ini, turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Medan No:
32/Pdt.G/2016/PN.Mdn tanggal 31 Mei 2016 MajeIis Hakim Tingkat Banding
berpendapat alasan dan pertimbangan hukum yang telah diambil oleh Majelis
Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya berkenaan dengan hal-hal yang
diperkarakan oleh para pihak, telah tepat dan benar menurut hukum, mengingat
majelis hakim tingkat pertama telah mempertimbangkan bahwa
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut Majelis Hakim Pengadilan
Tingkat Banding berpendapat bahwa putusan Pengadilan Negeri Medan No:
32/Pdt.G/2016/PN-Mdn tanggal 31 Mei 2016 sehingga harus dipertahankan dan
dikuatkan.
Menimbang, bahwa oleh karena Pembanding semula Tergugat berada
dipihak yang kalah maka harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam
dua tingkat banding.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
119
3. Putusan Hakim
Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan
perkara ini, khususnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
pada Pasal 19 huruf f dan d Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Uundang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta
Pasal-Pasal yang berkaitan dengan perkara ini maka Pengadilan Negeri Medan
telah menjatuhkan putusan dengan Nomor 32/Pdt.G/2016/PN-Mdn tanggal 31
Mei 2016 dalam amar sebagai berikut :
a. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian
b. Menyatakan perkawinan Penggugat dan Tergugat yang telah dilangsungkan
secara agama Budha di Medan pada tanggal 14 Nopember 2013 di Vihara
Buddhayana Cetya Taramita Jl. Binjai KM. 8,5 Psr. V Medan dihadapan
Pemuka Agama Budha yang bernama Madya Putra sebagaimana terbukti
dari Kutipan Akta Perkawinan No. 2694/T/MDN/2014 tanggal 19 Agustus
2014 yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil
Kota Medan, putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya
c. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Medan atau pejabat lain
yang ditunjuk untuk mengirimkan salinan putusan ini yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap kepada Kantor Dinas
Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Medan guna dicatatkan tentang
perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu .
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
120
d. Menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak asuh atas anak Penggugat
dengan Tergugat yang bernama Philbert Vladilim, laki-laki yang lahir pada
tanggal 05 September 2014 di Medan
e. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya pemeliharaan dan pendidikan
anak sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) setiap
bulannya kepada Penggugat sampai mencapai umur dewasa
f. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara
sejumlah Rp.589.000,- (lima ratus delapan puluh Sembilan ribu rupiah) ;
Selanjutnya Pengadilan Tinggi Medan dalam putusannya memperhatikan
ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perkara ini, khususnya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pada Pasal 19 huruf f
dan d Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Pasal-Pasal yang
berkaitan dengan perkara ini maka Pengadilan Tinggi Medan telah menjatuhkan
putusan dengan No: 365/PDT.G/2017/MDN yang amarnya sebagai berikut:
a. Mengabulkan permohonan banding yang diajukan oleh Kuasa Hukum
Pembanding semula Tergugat tersebut.
b. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :
32/Pdt.G/2016/PNMdn tanggal 31 Mei 2016 yang dimohonkan banding.
c. Menghukum Pembanding semula Tergugat untuk membayar biaya perkara
dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan
sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
121
B. Analisa terhadap pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan tinggi
medan nomor 365/PDT/2017/PT.MDN
Hakim dalam merumuskan dan menyusun pertimbangan hukum harus
cermat, sistimatik dan dengan bahasa Indonesia yang benar dan baik.
Pertimbangan disusun dengan cermat artinya pertimbangan hukum tersebut harus
lengkap berisi fakta peristiwa, fakta hukum, perumusan fakta hukum penerapan
norma hukum baik dalam hukum positif, hukum kebiasaan, Yurisprodensi serta
teori-teori hukum dan lain-lain, yang dipergunakan sebagai argumentasi (alasan)
atau dasar hukum dalam putusan hakim tersebut.235
Pada putusan Pengadilan Negeri Medan tingkat pertama No:
32/Pdt.G/2016/PN.Mdn, Gugatan cerai yang diajukan oleh Rita yang selanjutnya
disebut Penggugat terhadap Susanto yang selanjutnya disebut sebagai Tergugat ini
telah diputus oleh Pengadilan Negeri Medan pada hari Selasa tanggal 31 Mei
2016.
Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah yang telah
melakukan perkawinan secara agama Budha di Medan pada tanggal 14 Nopember
2013 di Vihara Buddhayana Cetya Paramita Jl. Binjai KM. 8,5 Psr.V Medan
dihadapan Pemuka Agama Budha yang bernama Madya Putra sebagaimana
terbukti dari Catatan Pernikahan Buddhis dan telah dicatatkan pada Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan sebagaimana terbukti dari Kutipan
Akta Perkawinan No. 2694/T/MDN/2014 tanggal 19 Agustus 2014.
235 Eva Meizara Puspita Dewi, Basti, Op.cit , hal 52
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
122
Perkawinan yang sah adalah Perkawinan yang dicatatkan, Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa,
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Pencatatan perkawinan itu berfungsi sangat penting sebagai alat bukti
tertulis yang sah untuk memperkarakan persoalan rumah tangga secara hukum di
Pengadilan.
Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula
pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan suatu
peristiwa hukum. Akta nikah/ buku nikah dan pencatatan perkawinan bukan
merupakan satu-satunya alat bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan
perkawinan, karena akta nikah dan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat
bukti tetapi bukan alat bukti yang menentukan, karena yang menentukan
keabsahannya suatu perkawinan adalah menurut agama. 236
Dalam petitum gugatan yang dikabulkan oleh Majelis Hakim dengan
kewenangannya, seorang hakim berhak memutuskan apakah perceraian ditolak
atau dikabulkan. Dari pertimbangan hukum yang ada, selanjutnya hakim akan
menarik kesimpulan terbukti atau tidaknya gugatan itu. Selain itu juga
berdasarkan keyakinan dan pengetahuannya yaitu keyakinan terhadap kondisi
rumah tangga pasangan suami istri tidak mungkin hidup rukun lagi sehingga
rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Penilaian hakim berdasarkan pada
236 Martiman Prodjhohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Indonesia Legal Center
Publishing: Jakarta),2002, hal. 28
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
123
kenyataan dalam rumah tangga bahwa perselisihan itu sudah sangat lama dan
parah sehingga perkawinan itu tidak mungkin dipertahankan lagi.237
Berdasarkan perkara yang terjadi antara Penggugat (Rita) dengan Tergugat
(Susanto) dalam putusan Pengadilan Negeri Medan tingkat pertama dengan No:
32/Pdt.G/2016/PN.Mdn adalah perceraian yang didasari sering terjadinya
percekcokan dan pertengkaran. Berdasarkan poin putusan yang di tetapkan oleh
Majelis Hakim, mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian berdasarkan
putusan bahwa antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak satu tempat tinggal
lagi sejak 4 September 2015 atau hampir satu tahun.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, diketahui bahwa hakim
berpendapat bahwa dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah terjadi
konflik, tidak harmonis dan benar-benar sudah pecah berantakan. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa diantara Pemohon dan Termohon tidak lagi ada rasa cinta
dan kasih. Penggugat sebagai ibu menunjukkan sikap yang mampu untuk
memelihara dan mendidik anaknya maka adalah lebih tepat jika kepada Penggugat
diberikan hak pengasuhan terhadap anak tersebut yaitu, Philbert Vladilim hingga
dewasa. 238
Putusan yang diberikan oleh hakim dalam melaksanakan tugas
yustisialnya di Pengadilan memiliki konsekuensi hukum atas setiap putusan yang
diputuskannya. Untuk menjamin perlindungan terbaik bagi anak dalam setiap
putusan hakim tentunya harus mempertimbangkan berbagai aspek yang
237 Wawancara, Riana Pohan, Hakim, Pengadilan Negeri Medan, 13 November 2019
238
Regina Hutabarat, Asas asas Dalam Perkawinan di dalam Undang-undang nomor 1
Tahun 1974 tentang perjanjian perkawinan, (Pustaka Ilmu: Jakarta) 1986, hal. 58
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
124
mempengaruhi masa depan anak. Terutama sekali terkait dengan syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh seorang pengasuh.239
Hak asuh anak setelah perceraian ini tidak diatur di dalam Undang-
Undang No. 1 tahun 1974. Tidak ada kata yang spesifik dalam ketentuan tersebut
yang mengatakan hak asuh anak. Undang- Undang No. 1 tahun 1974 menyatakan
“orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya”.
Kewajiban itu berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri meskipun
orang tua sudah bercerai. Hak asuh terhadap anak setelah perceraian tetaplah
tanggung jawab kedua orang tua apapun yang terjadi. sepatutnya kedua orang tua
diberikan hak di dalam mengasuh.240
Hal itu sesuai Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
yang mengatakan bahwa anak dibawah usia 18 tahun berada dibawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Oleh karena itu
sepanjang orang tua tidak dicabut kekuasaannya, mereka mempunyai hak yang
sama dimuka pengadilan untuk mengasuh dan mendidik anaknya tanpa dipisah-
pisahkan hak asuhnya. 241
Dalam pertimbangan hakim pada putusan No. 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn
mengenai hak asuh anak dibawah umur yang jatuh ke ibu, dengan alasan yaitu
dimana bisa aja ibu tersebut lebih hubungan lebih erat dan dekat dengan anaknya
yang masih dibawah umur. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk
mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi dan menumbuh
239
Mansari, Iman Jauhari, Iman Jauhari, Azhari Yahya & Muhammad Irvan Hidayana,
Hak Asuh Anak Pasca Terjadinya Perceraian Orangtua Dalam Putusan Hakim Mahkamah
Sya’iyah Banda Aceh, Vol. 4, No. 2, September 2018, hal 105
240 Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
241 Pasal 47 ayat (1) dan pasal 41 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
125
kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan bakat
dan minatnya. 242
Ketentuan Pasal tersebut ternyata masih memberikan kewajiban kepada
orang tua yang telah diputus kuasa hak asuhnya. Adapun yang dapat dinyatakan
tidak berhak untuk dapat mengasuh anaknya sebagai berikut:243
1. Orang tua pemabuk dan tidak bertanggung jawab
2. Orang tua yang hilang ingatan
3. Menelantarkan anak-anaknya
4. Akibat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
mengikat
Berdasarkan dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh Penggugat pada
putusan No 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn, memuat beberapa alasan yang menyebabkan
sang ayah tidak memperoleh hak untuk mengasuh anak, yakni menurut Undang-
undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa :244
1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang
tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung
yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan
Pengadilan dalam hal-hal :
a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.
2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menjelaskan, “bila Hakim
menganggap perlu untuk kepentingan anak-anak, masing-masing dari orang tua,
sejauh belum kehilangan kekuasaan orang tua, boleh dipecat dari kekuasaan orang
242 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak
243 Meita Djohan OE, Hak Asuh Anak Akibat Perceraian (Studi Perkara Nomor
0679/Pdt.G/2014/Pa Tnk), PRANATA HUKUM: Volume 11 Nomor 1 Januari 2016, hal 64-65 244
Pasal 49 ayat 1 dan 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
126
tua, baik terhadap semua anak maupun terhadap seorang anak atau lebih, atas
permohonan orang tua yang lainnya atau salah seorang keluarga sedarah atau
semenda dan anak-anak itu, sampai dengan derajat keturunan keempat, atau
dewan perwalian, atau kejaksaan” atas dasar alasan-alasan tersebut dijabarkan
lebih luas lagi. Adapun alasan-alasan tersebut adalah:245
1. Menyalahgunakan kekuasaan orang tua atau terlalu mengabaikan kewajiban memelihara dan mendidik seorang anak atau lebih
2. Berkelakuan buruk 3. Dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena sengaja ikut
serta dalam suatu kejahatan dengan seorang anak yang masih di bawah
umur yang ada dalam kekuasaannya 4. Dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena melakukan
kejahatan yang tercantum dalam bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX, dan
XX. Buku kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terhadap
seorang anak di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya 5. Dijatuhi hukuman badan yang tidak dapat ditarik kembali untuk dua
tahun atau lebih
Perbedaan antara “menyalahgunakan kekuasaan orang tua” dan
“melalaikan kewajiban” adalah bahwa menyalahgunakan kekuasaan orang tua itu
terdiri atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh si pemangku kekuasaan
terhadap si anak, sedangkan melalaikan kewajiban terdiri atas tidak melakukan
(melalaikan) suatu perbuatan yang harus dilakukan untuk menunaikan kewajiban
dalam pemeliharaan dan pendidikan anak.246
Alasan tersebut hanya dapat digunakan untuk memutuskan pencabutan
jika apa yang diperbuat atau dilalaikan itu dapat dipersalahkan kepada si ayah atau
ibu yang bersangkutan. Apabila sesuatu telah diperbuat atau dilalaikan karena
245 Pasal 319 KUHPerdata
246
Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga, Seksi Perdata Barat Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro: Semarang, 1981, hlm. 470-471
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
127
keadaan yang memaksa, maka pada pihak ayah atau ibu tidak ada kesalahan, dan
dengan demikian mereka tidak dapat dicabut dari kekuasaan orang tua.247
Kelakuan buruk orang tua yang bersangkutan tidak perlu diketahui oleh
umum. Tetapi untuk dapat digunakan sebagai alasan untuk permohonan
pencabutan kepada Hakim, setidaknya kelakuan itu harus diketahui oleh
Penggugat. Kelakuan buruk tersebut akan dinilai, dengan anggapan mempunyai
pengaruh yang buruk terhadap anak atau tidak. Hal tersebut akan diserahkan
kepada pertimbangan Hakim, yang harus mempertimbangkan lingkungan
kehidupan atau pergaulan dari orang tua dan anak.248
Jika dilihat berdasarkan petitum gugatan ke-4 dan ke-5 yang diajukan oleh
Penggugat (Ny.Rita) pada putusan tingkat pertama No.32/Pdt.G/2016/PN.Mdn,
dinyatakan bahwa beberapa bulan sejak kelahiran anak Penggugat dengan
Tergugat sikap Tergugat telah mulai berubah dimana Tergugat sering memarahi
Penggugat tanpa alasan yang jelas dan selalu menuduh Penggugat tidak becus
mengurus anak. Tergugat bertindak sadistic dengan menyeret tubuh Penggugat
keluar dari rumah dengan menyuruh pergi dari rumah, serta mengeluarkan
seluruh isi pakaian Penggugat dari rumah yang dimaksud. Hal tersebut
mengakibatkan luka gores dan memar disebagian tubuh Penggugat.
Wawancara dengan Ibu Riana Pohan Hakim Pengadilan Negeri Medan
berpendapat, Hakim mempertimbangkan karena dengan alasan khawatir anak
tersebut akan meniru perilaku ayahnya sedangkan sang anak yang masih dibawah
247 Ibid
248 Ibid
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
128
umur masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Ibu Riana Pohan
menambahkan kemungkinan hak asuh anak jatuh kepada ibu, adalah psikologi
sang anak selama proses persidangan. Dalam persidangan biasanya Hakim akan
menilai psikologi sang anak dengan beberapa pertanyaan. Sebagai salah satu
contoh, adalah anak diharuskan untuk memilih pihak mana ia rasa lebih aman.
Undang-undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejaheraan Anak dijelaskan
bahwa, “anak belum mencapai kematangan mental sebelum menginjak usia 21
tahun oleh karena itu bimbingan orang tua merupakan hal yang sangat perlu
diperhatikan agar anak tidak mengalami kesalahan pembinaan. Apabila anak terus
menerus menerima asupan yang tidak baik hal ini akan berdampak pada
psikologis anak bahkan anak pun dapat meniru apa yang mereka lihat.”
Ibu Riana Pohan menjelaskan bahwa, “Majelis Hakim dalam
pertimbangannya juga akan menilai dari keterangan oleh saksi-saksi yang
dihadirkan dalam persidangan”. Berdasarkan Putusan No. 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn,
keterangan yang dijelaskan oleh saksi-saksi Penggugat, bahwa Tergugat hanya
mengizinkan Penggugat untuk melihat anaknya pada hari Sabtu saja, namun
seiiring waktu Penggugat tidak diperbolehkan sama sekali untuk melihat anaknya.
Saksi juga menambahkan bahwa pada dasarnya sejak awal pernikahan Tergugat
selaku suami tidak pernah menafkahi Penggugat. Mendengar penjelasan dari
beberapa pihak bahwa Tergugat yang sering menghalangi Penggugat bertemu
dengan sang anak dan tidak pernah menafkahi keluarga, sehingga membuat
Tergugat kehilangan hak asuh anaknya sebagai ayah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
129
Jika ditinjau berdasarkan keterangan saksi, tentang perlakuan Tergugat
yang tidak memperbolehkan Penggugat untuk bertemu dengan sang anak selama
dalam masa ikatan perkawinan, dengan demikian perlakuan dari pihak Tergugat,
ini telah melanggar, Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dinyatakan bahwa, “Setiap anak berhak untuk mengetahui
orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.”
Ketentuan mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya,
dalam arti asal-usulnya (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari
terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua
kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya,
dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya.249
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juga
menyatakan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk anaknya.
kewajiban ini dijabarkan dengan mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi anak. Jadi masing-masing orang tua pada prinsipnya memang berhak
sepanjang kekuasaan mereka tidak dicabut, dan bila terjadi perselisihan di dalam
penguasaan anak-anak, maka pengadilan yang memutuskan.250
Pada dasarnya kedua orang tua memiliki kewajiban yang sama dalam
memelihara dan mendidik anak-anak mereka juga mempunyai hak untuk
dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Mengenai hal ini ada
pengecualian, yaitu jika ada alasan bahwa orang tuanya tidak dapat menjamin
tumbuh kembang si anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut
249 https://bankdata.kpai.go.id/regulasi/undang-undang/penjelasan-atas-uu-ri-no-23-tahun-
2002, diakses pada Minggu, 20 Januari 2020, pukul 00:34 WIB 250 Ibid
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
130
berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau atau anak angkat oleh orang
lain.251
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika
ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Namun perlu dipahami bahwa pemisahan ini antara lain pemisahan akibat
perceraian dan situasi lainnya dengan tidak menghilangkan hubungan anak
dengan kedua orang tuanya, seperti anak yang ditinggal orang tuanya ke luar
negeri untuk bekerja, anak yang orang tuanya ditahan atau dipenjara.252
Pada putusan tingkat pertama No. 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn, Majelis
didalam pertimbangannya, tidak memuat hak dari Tergugat untuk mengunjungi
sang anak. Hal inilah, yang menjadi gugatan Tergugat pada memori banding
dengan putusan No. 365/PDT/2017/PT.MDN dalam petitumnya menyatakan,
Judex Factie dalam amar putusannya telah salah dan keliru, tidak memberikan
kesempatan dan hak kepada Pembanding untuk dapat bertemu anak Pembanding
dan Terbanding setiap hari dan hak untuk membawa anak Pembanding dan
Terbanding tinggal bersama Pembanding pada setiap hari libur yang ditentukan
oleh Pemerintah.
Banding merupakan upaya hukum untuk memperoleh perbaikan putusan
yang lebih menguntungkan, dan bahwa banding tidak selayaknya diadakan bagi
251 Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 252
Pasal 14 ayat (1) Undang-undang 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
131
pihak yang menang melainkan banding hanya diperuntukkan bagi pihak yang
kalah atau para pihak yang merasa dirugikan di Pengadilan Negeri. Sesuai dengan
keputusan Mahkamah Agung tanggal 2 Desember 1975, yang menyatakan bahwa
“permohonan banding itu terbatas pada Pengadilan Negeri yang merugikan pihak
yang menyatakan banding. Jadi pada hakikatnya bahwa keputusan Pengadilan
Negeri tidak menguntungkan bagi pihak yang mengajukan banding”.253
Dalam hukum Indonesia, Judex factie dan judex jurist adalah dua
tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara mengambil keputusan.
Peradilan Indonesia terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi adalah judex factie,
yaitu berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex factie
memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara
tersebut karena Mahkamah Agung hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu
perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkara tersebut.254
Putusan di Tingkat banding No. 365/PDT/2017/PT.MDN Majelis Hakim
dalam pertimbangannya, menilai bahwa pada dasarnya alasan-alasan/keberatan-
keberatan tersebut telah dipertimbangkan oleh MajeIis Hakim Tingkat Pertama
secara cermat dan benar dan ternyata pula bahwa materi-materi dalam memori
253
Wirda Latiki, Kewajiban Hakim Pengadilan Tinggi Dalam Mempertimbangkan
Memori Banding Dan Kontra Memori Banding Dari Aspek Hukum Acara Perdata, Lex Privatum,
Vol. 3 No. 4, Otober 2015, hal 25
254 https://id.wikipedia.org/wiki/Judex_facti_dan_judex_juris, diakses pada Selasa, 21
Januari 2020, pukul 21:59 WIB
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
132
banding tidak memuat hal-hal yang dapat membatalkan putusan Majelis Hakim
tingkat pertama.255
Berdasarkan analisa perihal mengenai keberatan Tergugat/Pembanding
dalam Memori Banding No. 365/PDT/2017/PT.MDN sebagaimana telah
diuraikan dalam duduk perkara, Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat
bahwa keberatan-keberatan tersebut substansinya sama dengan atau merupakan
pengulangan atas jawaban-jawaban Tergugat/Pembanding dalam persidangan
tingkat pertama yang telah Majelis Hakim Tingkat Banding pertimbangkan
sebagaimana tersebut di atas, oleh karena itu tidak perlu dipertimbangkan kembali.
Undang-undang No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan
menyatakan bahwa, ”kedua belah pihak boleh memasukkan surat-surat keterangan
dan bukti kepada Panitera Pengadilan Negeri atau kepada Panitera Pengadilan
Tinggi yang akan memutuskan, asal saja turunan dari surat-surat itu diberikan
kepada pihak lawan dengan perantaraan pegawai Pengadilan Negeri yang ditunjuk
oleh Ketua Pengadilan Negeri itu".256
Dalam praktiknya, pemeriksaan perkara pada peradilan tingkat banding,
disamakan dengan konsep pemeriksaan ulang berkas perkara. Pemeriksaan
perkara perdata pada Peradilan tingkat banding menggunakan Pasal 357
Reglement op de Burgerlijke Rechtsvorderin (RV)257
yang menyatakan, bahwa
255 Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Perkawinan jo Pasal 109 Kompilasi Hukum Islam 256 Pasal 11 ayat (3) UU No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan 257 Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) atau Reglemen Hukum Acara
Perdata untuk Golongan Eropa, Stb. 1847 No. 52, jo Stb. 1849 No. 63, merupakan hukum acara
yang berlaku khusus bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan untuk berperkara
di Raad van Justitie dan Hooggerechtshof. Dengan dihapusnya Raad van Justitie dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
133
“perkara kemudian oleh hakim banding yang bersangkutan tanpa banyak proses
diputus berdasarkan surat-surat saja, tetapi ia berwenang sebelum menjatuhkan
putusan akhir untuk memberi putusan persiapan atau putusan sela”.258
Salah satu buktinya, pemeriksaan perkara berdasarkan surat-surat, adalah
putusan Mahkamah Agung RI No. 879 K/Sip/1974, yang menegaskan bahwa:
“Pengadilan Tinggi memeriksa dan memutus perkara pada tingkat banding
berdasarkan berkas perkara yang dikirimkan Pengadilan Negeri kepada
Pengadilan Tinggi”.259
Pertimbangan yang kedua dalam Putusan No.365/Pdt.G/2017/PT.MDN,
yaitu, setelah membaca, meneliti dan mempelajari dengan seksama berkas perkara
dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara ini, turunan resmi putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor: 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn tanggal 31 Mei 2016
Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat alasan dan pertimbangan hukum
yang telah diambil oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya
berkenaan dengan hal-hal yang diperkarakan oleh para pihak, telah tepat dan
benar menurut hukum. Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut Majelis Hakim
Pengadilan Tingkat Banding No. 365/PDT/2017/PT.MDN berpendapat bahwa
putusan Pengadilan Negeri Medan No: 32/Pdt.G/2016/PN-Mdn tanggal 31 Mei
2016 sehingga harus dipertahankan dan dikuatkan.
Hooggerechtshof maka Rv tidak berlaku. Dalam praktik peradilan dewasa ini, eksistensi ketentuan
dalam Rv tetap dipergunakan dan dipertahankan sebagaimana tertuang dalam Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I dan II, Mahkamah Agung RI, Tahun
2003/2004, hal 60
258 M. Yahya Harahap, 2008, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksaan
Perkara Perdata dalam Tingkat Banding, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 112
259 Mahkamah Agung RI, Himpunan Yurisprudensi Hukum Dagang di Indonesia,
Pradnya Paramita: Jakarta, 1982, hal 73.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
134
Menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang
Pengadilan Peradilan Ulangan, Pasal 201 ayat (1) RBG atau Pasal 355 RV, bahwa
Putusan Pengadilan Negeri yang dapat dibanding adalah Putusan akhir
(eindvonnis).
Bentuk putusan yang dapat dijatuhkan Pengadilan Tinggi sebagai
pengadilan tingkat banding yakni setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan tersebut dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi
memutuskan, menguatkan atau mengubah atau dalam hal membatalkan putusan
pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri. Berpedoman
pada ketentuan Pasal 241 ayat (1) KUHAP, bentuk putusan yang dapat dijatuhkan
Pengadilan Tinggi terhadap perkara yang diperiksanya dalam tingkat banding:260
Amar putusan banding dapat berupa tiga hal sebagaimana diuraikan
berikut:261
1) Menguatkan putusan pengadilan negeri, artinya apa yang telah diperiksa
dan diputus pengadilan negeri dianggap benar dan tepat menurut keadilan.
2) Memperbaiki putusan pengadilan negeri, artinya apa yang telah diperiksa
dan diputus oleh pengadilan negeri kurang tepat menurut rasa keadilan
karenanya perlu diperbaiki.
3) Membatalkan putusan pengadilan negeri, artinya apa yang telah diperiksa
dan diputus pengadilan negeri dipandang tidak benar dan tidak adil
karenanya harus dibatalkan. Dalam hal ini pengadilan tinggi memberikan
putusan sendiri.
Perihal Pengadilan Tingkat Banding No. 365/PDT/2017/PT.MDN
berpendapat bahwa putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :
32/Pdt.G/2016/PN-Mdn tanggal 31 Mei 2016 sehingga harus dipertahankan dan
260
Pasal 241 ayat 1 KUHAP
261 Lilik Muliyadi, Op.cit hal 331
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
135
dikuatkan pengadilan tinggi menilai bahwa, putusan tersebut sudah tepat dan
benar, baik mengenai hukum acara maupun hukum materilnya.262
Sebagai pembanding, terhadap Putusan No 365/PDT/2017/PT.MDN,
terdapat putusan lain yang memiliki kaitan yang sama perihal pertimbangan
Hakim ditingkat Banding, yakni pada putusan mengutip uraian sebagaimana
termuat dalam Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor:
1058/Pdt.G/2017/PA.Bks., tanggal 04 Oktober 2017 Miladiyah yang bertepatan
dengan tanggal 14 Muharram 1439 Hijriyyah yang amarnya berbunyi sebagai
berikut :
1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2) Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat terhadap Penggugat;
3) Menetapkan hak asuh anak Penggugat dan Tergugat yanglahir tanggal 23
September 2011 pada Penggugat;
4) Menghukum Tergugat untuk memberikan kepada Penggugat nafkah
seorang anak yang lahir tanggal 23 September 2011 setiap bulan minimal
Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) di luar biaya kesehatan
dan pendidikan;
5) Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Bekasi untuk
mengirim salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada
Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pondok Gede,
Kota Bekasi dan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Mamajang, Kota Makassar dan Pegawai Pencatat Nikah
262 Ibid
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
136
Kantor Urusan Agama Kecamatan Kuningan, Jakarta Selatan serta
Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Makassar,
Jakarta Timur untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu;
Terhadap putusan tersebut, Tergugat Konpensi/Penggugat Rekonpensi
menyatakan keberatan dan mengajukan permohonan banding ke Pengadilan
Tinggi Agama Bandung melalui Pengadilan Agama Bekasi sesuai Akta
Permohonan Banding Nomor 1058/Pdt.G/2017/PA.Bks., tanggal 30 Oktober 2017.
Menimbang, bahwa pada pokoknya gugatan Penggugat/Terbanding meliputi hal-
hal sebagai berikut:
1) Gugatan Cerai;
2) Gugatan hak asuh anak yang bernama anak dari pembanding dan
terbanding perempuan, lahir di Jakarta tanggal 23 September 2011;
3) Gugatan Nafkah untuk anak perbulan sejumlah Rp1.500.000,00 (satu juta
lima ratus ribu rupiah)
Berdasarkan pertimbangan Hukum pada putusan 047/Pdt.G/2018/PTA.Bdg,
termuat sebagai berikut :
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan banding dalam perkara ini
telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan tata cara sebagaimana ketentuan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan
Ulangan di Jawa Madura, maka permohonan banding Pembanding secara formal
dapat diterima.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
137
Menimbang, bahwa berkenaan dengan gugatan Penggugat/Terbanding
agar pengadilan menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat/Pembanding (Reza
Sesareza Prakarsa) atas diri Penggugat/Terbanding (Meidy Mayadani binti H. R.
Hedianto) beserta alasan-alasannya, Majelis Hakim Tingkat Pertama telah
mempertimbangkan dan selanjutnya menyimpulkan bahwa telah terbukti rumah
tangga Penggugat/Terbanding dengan Tergugat/Pembanding sering diwarnai
dengan perselisihan dan pertengkaran terus menerus, terlepas dari siapa yang
menjadi penyebabnya, yang akhirnya antara keduanya berpisah rumah sejak tahun
2012 dan sulit untuk disatukan lagi, sehingga gugatan Penggugat/Terbanding
dinyatakan telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana tercantum dalam Pasal
19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf f
Kompilasi Hukum Islam dan sesuai dengan Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menimbang, bahwa atas apa yang telah dipertimbangkan dan disimpulkan
oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama sebagaimana tersebut di atas, dapat disetujui
dan dipertahankan oleh Majelis Hakim Tingkat Banding dan selanjutnya diambil
alih untuk dijadikan sebagai pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat
Banding dalam memutus perkara a quo, karena pertimbangan hukum Majelis
Hakim Tingkat Pertama tersebut telah didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap
di dalam persidangan, baik fakta yang bersumber dari jawaban
Tergugat/Pembanding yang secara tegas mengakui terjadinya perselisihan dan
pertengkaran terus menerus dan terjadinya pisah rumah sejak tahun 2012 serta
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
138
tidak adanya keberatan dari Tergugat/Pembanding untuk bercerai dengan
Penggugat/Terbanding maupun fakta yang bersumber dari keterangan saksi-saksi;
Menimbang, bahwa Tergugat/Pembanding di dalam memori bandingnya
sama sekali tidak menyampaikan pula keberatan-keberatan atas perceraian
Penggugat/Terbanding dengan Tergugat/Pembanding, kecuali hanya keberatan
mengenai penetapan hak asuh atas anak. Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, maka sudah seharusnya
Putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama yang mengabulkan gugatan
Penggugat/Terbanding pada petitum angka 2 (dua) dengan menjatuhkan talak satu
ba’in shughra Tergugat/Pembanding terhadap Penggugat/Terbanding dapat
dipertahankan.
Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan hal-hal yang masih
diperselisihkan kebenarannya oleh kedua belah pihak dan harus dibuktikan,
Majelis Hakim Tingkat Banding perlu mempertimbangkan terlebih dahulu,
apakah hak asuh atas anak (hak hadhanah) semata-mata merupakan hak orang tua,
ataukah sebaliknya merupakan hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari
orang tuanya;
Menimbang, bahwa oleh karena dalam menetapkan hak asuh atas anak
yang lebih diutamakan adalah untuk kepentingan anak, bukan hak mutlak orang
tua, maka Majelis Hakim Tingkat Banding akan mempertimbangkan, apakah
Penggugat/Terbanding ataukah Tergugat/Pembanding yang patut diduga lebih
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
139
dapat menjamin untuk memenuhi kepentingan anak atau hak-hak anak dan masa
depannya.
Menimbang, bahwa mengenai keberatan Tergugat/Pembanding dalam
Memori Bandingnya sebagaimana telah diuraikan dalam duduk perkara, Majelis
Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa keberatan-keberatan tersebut
substansinya sama dengan atau merupakan pengulangan atas jawaban-jawaban
Tergugat/Pembanding dalam persidangan tingkat pertama yang telah Majelis
Hakim Tingkat Banding pertimbangkan sebagaimana tersebut di atas, oleh karena
itu tidak perlu dipertimbangkan kembali.
Menimbang, bahwa meskipun telah ditetapkan Penggugat/Terbanding
sebagai pemegang hak asuh atas anak yang bernama Aimee Tsuraya Prakarsa,
namun demikian hubungan anak dengan Tergugat/Pembanding sebagai ayahnya
tidak dapat diputuskan, sehingga demikian harus diperintahkan kepada
Penggugat/Terbanding untuk memberikan akses kepada Tergugat/Pembanding
untuk bertemu dan berkumpul dengan anaknya tersebut dalam waktu-waktu yang
disepakati. Dan apabila dikemudian hari ternyata Penggugat/Terbanding sebagai
pemegang hak hadhanah atas anak tidak memberikan akses kepada
Tergugat/Pembanding untuk bertemu dan berkumpul dengan anak tersebut, maka
hal tersebut dapat dijadikan alasan bagi Tergugat/Pembanding untuk mengajukan
gugatan pencabutan hak hadhanah (SEMA Nomor 1 Tahun 2017).
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana
tersebut di atas maka Majelis Hakim Tingkat Banding berkesimpulan bahwa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
140
sudah seharusnya putusan pengadilan tingkat pertama yang berkaitan dengan
gugatan konpensi dapat dikuatkan dengan perbaikan.
Hakim dalam amar putusannya perkara dalam tingkat banding dengan
Penetapan No. 047/Pdt.G/2018/PTA.Bdg., tanggal 08 Februari 2018, menguatkan
Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 1058/Pdt.G/2017/PA.Bks., tanggal 04
Oktober 2017 Masehi, yang bertepatan dengan tanggal 14 Muharram 1439
Hijriyah dengan perbaikan sehingga selengkapnya sebagai berikut:
1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2) Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat terhadap Penggugat;
3) Menetapkan hak asuh anak Penggugat dan Tergugat, yang lahir tanggal 23
September 2011 pada Penggugat;
4) Menghukum Tergugat untuk memberikan kepada Penggugat nafkah
seorang anak dari pembanding dan terbanding lahir tanggal 23 September
2011, minimal sejumlah Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah)
setiap bulan dengan kenaikan sebesar 10% setiap tahun sampai anak
tersebut berusia dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
5) Memerintahkan kepada Penggugat untuk memberikan akses kepada
Tergugat untuk bertemu dan berkumpul dengan anaknya yang namanya
sebagaimana tersebut pada diktum 3 (tiga) tersebut di atas dalam waktu-
waktu tertentu yang disepakati Penggugat dan Tergugat.
Perihal tentang larangan untuk bertemu anak pada putusan No
047/Pdt.G/PTA/Bdg, pertimbangan hakim yang menyatakan apabila dikemudian
hari ternyata Penggugat/Terbanding sebagai pemegang hak hadhanah atas anak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
141
tidak memberikan akses kepada Tergugat/Pembanding untuk bertemu dan
berkumpul dengan anak tersebut, maka hal tersebut dapat dijadikan alasan bagi
Tergugat/Pembanding untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadhanah.
Berdasarkan analisa point pertimbangan hakim diatas, jika terjadinya hal
larangan bertemu dengan anak pasca perceraian, maka bagi pihak pemegang hak
asuh anak yang ditetapkan oleh Hakim Pengadilan, telah melanggar hak anak dan
hak bukan pemegang hak asuh anak itu sendiri.
Di dalam Kamus Bahasa Indonesia, hak memiliki pengertian tentang
sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat
sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan
yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.263
Bagi pihak pemegang hak asuh anak pada putusan No 047/Pdt.G/PTA/Bdg,
Penggugat tidak dapat melarang anak untuk bertemu dengan Tergugat (ayah
kandung). Jika Penggugat melakukan tindakan menghalangi pihak Tergugat untuk
bertemu dengan anak nya, maka hal ini membuktikan bahwa, Penggugat selaku
pemegang hak asuh anak telah melanggar hak anak untuk bertemu, mengetahui
siapa orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya.264
Salah satu dari hak anak telah dirumuskan bahwa anak berhak untuk
mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, dalam
arti asal-usulnya (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari
terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua
263 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesiacet-2; (Balai Pustaka:Jakarta),
1988, hal.654
264 Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
142
kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya,
dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya.265
Pada dasarnya kedua orang tua sama-sama memiliki kewajiban dalam
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, kewajiban orang tua
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya putus.266
Perihal tidak terpenuhinya hak untuk bertemu dengan anak bagi pihak
yang bukan pemegang hak asuh adalah pelanggaran terhadap hak kekuasaan
orangtua terhadap anak menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan tentang kekuasaan orang tua terhadap anak, dinyatakan bahwa, “Anak
yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsukan perkawinan
ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan:267
1) Kekuasaan orang tua tidak hanya berada di tangan ayah anak yang
bersangkutan, akan tetapi berada di tangan kedua orang tuanya.
2) Kekuasaan orang tua berlangsung sampai anaknya telah dewas
(mencapai usia 18 tahun)atau telah kawin.
3) Kekuasan orang tua berlangsung selama orang tuanya tidak lalai
melaksanakan kewajiban terhadap anaknya, jika hal yang demikian terjadi,
maka kekuasaan orang tua akan icabut. yang belum dewasa, tiap-tiap tiga
bulam, menyampaikan tunjangan mereka kepadaDewan Perwalian
sedemikian banyak sebagaimana atau tuntutan Dewan, Pengadilan Negeri
berkenan menentukannya.
Pencabutan kekuasaan orang tua juga akan dicabut terbukti melalaikan
tanggungjawabnya atas terwujudnya kesejahteraan anak sehingga mengakibatkan
265 Penjelasan Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
266 Pasal 45 ayat 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
267 Pasal 47-Pasal 49 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
143
timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut
kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya.268
Demikian dalam hal orang
tua melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan
atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut melalui penetapan pengadilan.269
Putusan No 047/Pdt.G/PTA/Bdg pada point ke-5, memerintahkan kepada
Penggugat untuk memberikan akses kepada Tergugat untuk bertemu dan
berkumpul dengan anaknya dalam waktu-waktu tertentu yang disepakati
Penggugat dan Tergugat.
Berdasarkan Pasal 14 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak yang berbunyi “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang
tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan atau aturan hukum yang sah menunjukan
bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir”.
Hakim menilai bahwa, setelah ditetapkannya hak asuh anak kepada salah
satu orang tua, maka tidak menutup kemungkinan bagi pihak yang bukan
pemegang hak asuh untuk bertemu dengan sang anak. Bagi pemegang hak asuh
anak, biasanya akan memilih membawa anak untuk hidup bersamanya, sehingga
dalam arti yang sederhana intensitas bertemu dengan anak lebih sering
dibandingkan dengan pihak yang bukan pemegang hak asuh.270
268 Pasal 10 Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
269 Bismar Siregar, Hukum dan Hak-hak Anak, CV. (Rajawali:Jakarta), 1986 , hal 40
270
Hasil wawancara dengan Bapak Bambang H. Samosir, seorang Pengacara, pada 06
Februari 2020
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
144
Jika dianalisa, alasan hakim memuat waktu-waktu tertentu bagi pihak yang
bukan pemegang hak asuh untuk bertemu dengan anaknya adalah menjamin
kepastian bagi pihak yang bukan pemegang hak asuh untuk bertemu dengan sang
anak, hal ini juga berkaitan sebagai upaya perlindungan bagi pihak yang bukan
pemegang hak asuh, jika pada suatu keadaan terjadi tindakan oleh pihak
pemegang hak asuh yang melarang untuk bertemu dengan sang anak yang
mungkin dipicu oleh faktor-faktor tertentu.271
Hakim dalam pertimbangannya, hanya menentukan waktu-waktu khusus
bagi pihak yang bukan pemegang hak asuh untuk bertemu dengan anaknya. Diluar
waktu yang sudah ditentukan oleh Hakim, bagi pasangan suami dan istri yang
sudah bercerai, diberi akses yang bebas menentukan waktu-waktu tertentu untuk
berkumpul dengan sang anak, mengingat bahwa anak juga memiliki hak untuk
merasa dipelihara, dididik, diperhatikan dan tumbuh bersama dengan kedua
orangtuanya.272
271 Ibid 272
Muthmainnah, Peran Orang Tua dalam Menumbuhkan Pribadi Anak yang
Androgynius Melalui Kegiatan Bermain, Jurnal Pendidikan Anak, Volume 1, Edisi 1, Juni 2012
hal 103-104
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
145
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebgai berikut:
1. Ketentuan hukum mengenai hak dan kewajiban terhadap anak pasca
perceraian diatur dalam Pasal 41 ayat 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yakni baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara
dan mendidik anak-anaknya, semata-mata hanya untuk kepentingan sang
anak. Pasal 149 huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyatakan bahwa
pemeliharaan anak merupakan kewajiban dari orangtua sampai sang anak
dapat berdiri sendiri. Pasal 26 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, kewajiban orangtua adalah memelihara tumbuh kembang
anak sesuai dengan bakat dan minta dari sang anak. Undang-undang No 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyatakan kewajiban orangtua
adalah bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan Anak baik secara
rohani, jasmani, maupun sosial.
2. Faktor-faktor penyebab terjadinya larangan bertemu anak pasca perceraian
adalah adanya kekuasaan dari orang tua yang melarang anak untuk bertemu
dengan pasangannya, hal ini biasanya dipicu dari rasa sakit hati antara kedua
belah pihak yang bercerai dan intervensi dari keluarga. Pemicu rasa sakit hati
dari kedua belah pihak, timbul dikarenakan adanya faktor internal yang
dijadikan alasan perceraian. Penyebab larangan bertemu anak yang ditujukan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
146
kepada pihak yang bukan pemegang hak asuh juga dapat dipengaruhi oleh
perilaku atau sikap buruk dari orang tua yang dapat menimbulkan pengaruh
buruk bagi perkembangan dan psikologi anak. Faktor lain yang menyebabkan
pihak pemegang hak asuh melarang pasangannya untuk bertemu dengan sang
anak adalah kesibukan pekerjaan, dimana hal tersebut dapat mengakibatkan
terabaikannya pengasuhan dan pendidikan sang anak.
3. Berkenaan dengan upaya hukum banding dalam perkara No.
365/PDT/2017/PT.MDN terkait gugatan cerai dalam perkara No.
32/Pdt.G/PN.MDN. Hakim Pengadilan Tinggi Medan tidak
mempertimbangkan permohonan pembanding, berkenaan dengan hak unuk
bertemu dengan anak dikarenakan sifat pemeriksaan perkara di tingkat
banding yang hanya memeriksa ulang berkas perkara pada putusan tingkat
pertama, apabila ada kesalahan penerapan Hukum atau terdapatnya bukti-
bukti baru, sehingga terkait dengan adanya larangan untuk bertemu dengan
anak Hakim Pengadilan Tinggi tidak memberikan Putusan. Pada Putusan No.
047/Pdt.G/2018/PTA.Bdg sebagai pembanding, dimana Majelis Hakim dalam
pertimbangannya, menetapkan waktu-waktu tertentu untuk bertemu dengan
anak sehingga adanya kepastian hukum bagi pihak yang bukan pemegang hak
asuh untuk bertemu dengan sang anak.
B.Saran
A. Bagi lembaga legislatif perlu untuk memperbaiki peraturan perundang-
undangan tentang Perkawinan, terkait dengan perlindungan kepada pihak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
147
yang tidak mendapatkan hak asuh anak pasca perceraian, apabila terjadi
larangan untuk bertemu dengan anak.
B. Bagi penegak hukum, perlu untuk memperhatikan kembali perlindungan
hukum terhadap pihak yang dilarang untuk bertemu dengan sang anak
serta akibat yang akan dialami oleh anak atas larangan tersebut. Terkhusus
bagi Majelis Hakim dalam pertimbangannya untuk menetapkan waktu-
waktu tertentu bagi pihak yang bukan pemegang hak asuh untuk bertemu
dengan anaknya.
C. Bagi masyarakat, perlu untuk mengetahui bahwa tindakan melarang pihak
yang bukan pemegang hak asuh untuk bertemu dengan anak, dapat
dikenakan sanksi hukum karena merupakan pelanggaran hak bagi anak
dan bagi pihak yang dilarang untuk bertemu sang anak.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
148
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Ali, Zainudin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
B Wiranata, I Gde Arya dan Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep
dan Implikasinya dalam Pespektif Hukum dan Masyarakat, Bandung :PT.
Refika Aditama
Basyir, Ahmad Azhar. 1980. Hukum Perkawinan Islam-Cetakan ke-3. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Bungin Burhan. 2013. Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Ch, Mufidah. 2008. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang:
UINPress.
Departemen Agama RI. 2002. Alquran dan Terjemahnya .Semarang: Toha Putra.
Effendi, Satria. 2004.Problematika Hukum Keluarga Islam Kontempore. Jakarta:
Kencana,
Fauzi, Dodi Ahmad . 2006. Perceraian Siapa Takut!, Jakarta :Restu Agung.
Gultom, Maidin. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalamSistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama .
H.S, Salim.2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta:Sinar Grafika.
________. 2019. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta:Sinar Grafika.
Hadikusuma , Hilman. 2003. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundang-
undangan, Hukum Adat dan Hukum Agama. Bandung :Mandar Maju
_____________, Hukum Perkawinan Indonesia. 2007. Bandung: Mandar Maju
Hadiwijoyo, Suryo Sakti. 2015. Pengarusutamaan Hak Anak dalam Anggaran
Publik. Yogyakarta :Graha Ilmu.
Harahap, M. Yahya. 1975 Hukum Perkawinan Nasional .Medan: CV Zahir
Treding Co.
__________________. 2005. Hukum acara perdata. Jakarta: Sinar Grafika
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
149
__________________, 2008, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses
Pemeriksaan Perkara Perdata dalam Tingkat Banding, Jakarta : Sinar
Grafika
Hasan, M. Ali. 1997 Azas-azas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukun Islam di Indonesia. Jakarta: Raja wali Press
Hutabarat, Regina. 1986. Asas asas Dalam Perkawinan di dalam Undang-
undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perjanjian perkawinan. Jakarta :
Pustaka Ilmu
J.Goode, Willian. 2009.Sosiologi Keluarga Cetakan I. Bandung: Bumi Aksara
John, Bahder dan Sri Warjiyati. 1997. Hukum Perdata Islam, Komplikasi
Pengadilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat Hibah, Wakaf,
dan Shadaqah. Bandung:Madar Maju.
Joni Muhammad dan Zulchaina Z. Tanamas, 1999 Aspek Hukum Perlindungan
Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, :Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti
Kamello,Tan dan Syarifah Lisa Andriati.2001. Hukum Orang dan Keluarga.
Medan: USU Press
Keener, Craig S And Marries Another. 1991. Divorce and Remarriage in the
Teaching of the New Testament. Peabody, MA: Hendrickson.
Komariah. 2010. Hukum Perdata – Edisi Revisi. Malang:UMM Press
Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang. 1994. Keluarga
Kristiani Dalam Dunia Modern: Amanat Apostolik Familiaris Consortio.
Yogyakarta:Kanisius.
Lembaga Alkitab Indonesia. 2004. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Mahkamah Agung RI, 1982, Himpunan Yurisprudensi Hukum Dagang di
Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita
Mardani. 2016. Hukum Keluarga Islam Indonesia. Jakarta:Prenamedia Group
Marzuki, Peter Mahmud. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Mertokusumo, Soedikno. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:
Liberty.
Muchtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
150
Muhammad, Bushar. 2006. Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Jakarta :
PT Pradnya Paramita
Mujtaba, Safuddin dan Imam Jauhari. 1998. Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam.
Jakarta ; Pustaka Bangsa Press
Muslimah, Eva. 2009. Intervensii Orang Tau Sebagai Faktor Pemicu Perceraian
(Studi Analis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat).Jakarta: Fakultas
Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hiayatullah, 2009
Natadimaja, Harumiati. 2009. Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan
Hukum Benda .Yogyakarta:Graha Ilmu.
Prawirohamidjojo, R.Soetojo. 2002. Pluralisme dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press
Prodjohamidjojo,Martiman. 2001. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: PT
Abadi.
________________________. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta:
Indonesia Legal Center Publishing
Pudja, G. 1974. Pengantar tentang Perkawinan menurut Hukum Hindu
(didasarkan Manusmriti), Dirjen Bimas Hindu & Budha Depag
Pitoyo, RPH Wimbo. 2012. Strategi Jitu Memenangi Perkara Perdata Dalam
Praktik Peradilan. Jakarta Selatan: Visimedia
Qodir, Zuly. 2011. Sosiologi Agama: Esai-Esai Agama di Ruang Publik Cetakan-
II Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rasyidi, Lili. 1982. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan
Indonesia,Bandung:Alumni
Saleh, K. Wantjik. 1976. Hukum Perkawinan Indonesia- cetakan ke empat.
Jakarta:Ghalia Indonesia
Silfana Amalia Nasri, Haiyun Nisa, Karjuniwati. 2018. Bagaimana Remaja
Memaafkan Perceraian Orang Tuanya: Sebuah Studi Fenomenologis
Edisi 1(2): 103
Siregar, Bismar, 1986, Hukum dan Hak-hak Anak, Jakarta: Rajawali CV
Siregar,Tampil Anshari. 2007. Metodologi Penelitian Hukum : Penulisan Skripsi,
cetakan kedua.Medan:Pustaka Bangsa Press.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
151
Smedes, L.B. 1984. Forgive and Forget: Healing The Hurts We Don't Deserve.
San Francisco: Harpersan
Soekanto,Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soekanto,Soerjono dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat .Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soemitro,Ronny Hanitijo. 1983.Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta Timur:
Ghalia Indonesia
Soepomo. 1996. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Jakarta : Pradnya Paramita
Soimin,Soedharyo. 2004. Hukum Orang dan Keluarga- Perspektif Hukum
Perdata Barat /BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta:Sinar Grafika.
_______________. 2004. Kitab Undang-undang Hukum Perdata . Jakarta:Sinar
Grafika
Subekti. 2003 Pokok-pokok Hukum Perdata – cetakan ke 31. Jakarta: Intermasa.
__________, 2006, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita
Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional – cetakan ketiga. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008.Metode Penelitian Pendidikan.Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Supriadi, Wila Chandrawila. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda.
Bandung:Mandar Maju
Surya, M. 2009. Bina Keluarga. Bandung: Graya Ilmu.
Syahrani, Riduan. 1992. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung:
Alumni.
Syaifuddin,Muhammad, Sri Turatmiyah dan AnnalisaYahanan. 2016. Hukum
Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.Jakarta:
Prenada Media
Tutik, Titik Triwulan. 2014.Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional –
cetakan keempat, Jakarta: Kencana Pranamedia Group.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
152
Wignjodiporo,Soerjono. 1983. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta:
Haji Masagung.
Zaenal Fanani,Ahmad. 2015. Pembaruan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak Di
Indonesia(Perspektif Keadilan Jender). Yogyakarta: UII Press Yogyakarta
B. JURNAL dan MAKALAH
A.Ismail , A.H Salir, H. Akib, & R.Salam. 2016. Snapshot of Society Social-
Economic Welfare based on Human Development Index in Polewali
Mandar Regency, Indonesia. In International Conference on Public
Organization VI (ICONPO VI)”, Journal Thammsat University, Tha
Prachan Campus. 847
A. Jamil dan Fakhruddin. 2015. Isu dan realitas dibalik tingginya cerai gugat di
Indramayu. Jurnal Multikultural & Multi Religius Harmoni 14(2) 138-159
Afif Muamar.2013. Ketentuan Nasab Anak Sah, Tidak Sah, Dan Anak Hasil
Teknologi Reproduksi Buatan Manusia: Antara UU Perkawinan Dan
Fikih Konvensional. Al-Ahwa l 6(1): 46
Agoes Dariyo. 2004. Memahami Psikologi Perceraian dalam Keluarga, Jurnal
Psikologi.2(2):94
Ahmad Atabik Dan Khoridatul Mudhiiah. 2014.Pernikahan Dan Hikmahnya
Perspektif Hukum Islam.Yudisia Edisi Desember 5(2) : 133
Ahmad Dedy Haryanto. 2015. Perlindungan Hukum Anak Luar Nikah di
Indonesia, Bilancia Edisi Juli-Desember 9(2): 125
Ahmad Farahi. 2016. Keadilan Bagi Anak Luar KawinDalam Putusan Mahkamah
Konstitusi 46/PUU-VIII/2010.De Jure: Jurnal Hukum dan Syaria’ah. 8(2):
78
Ahmad Tahali. 2018. Hukum Adat di Nusantara Indonesia, Jurisprudentie Edisi
Juni 5(1):37
Ali Imron. 2016 Memahami Konsep Perceraian dalam Hukum Keluarga, Buana
Gender Edisi Januari-Juni. 1(1):19
Anjani Sipahutar Tan Kamello, Runtung, Utary Maharany Barus. 2016. Tanggung
Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi
Warga Negara Indonesia Yang Beragama Islam.USU Law Journal Edisi
Januari.4(1): 157
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
153
Ardian Arista Wardana. 2016. Pengakuan Anak Di Luar Nikah:Tinjauan Yuridis
Tentang Status Anak Di Luar Nikah. Jurisprudence Edisi September 6(2):
160
Armansyah Matondang. 2014. Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perceraian
dalam Perkawinan, Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik. 2(2):
142
Badruddin Nasir. 2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perceraian Di
Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda, Jurnal Psikostudia
Universitas Mulawarman. 1(1):33
Bernadeta Resti Nurhayati.2017. Status Anak Luar Kawin Dalam Hukum Adat
Indonesia Edisi Agustus 3(2): 96
Charisa Yasmine. 2017. Pelaksanaan Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua Studi
Kasus Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial Tresna Werdha (Pstw)
Khusnul Khotimah Pekanbaru Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, JOM Fakultas Hukum Universitas Riau
Edisi Oktober 4(2): 3
Darmawati H. 2017. Perceraian Dalam Perspektif Sosiologi. Sulesana 11(1): 64
Eddo Febriansyah. 2015. Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/Puu–Viii/2010 Tentang Kedudukan Anak Diluar Nikah Yang Diakui
Dalam Pembagian Warisan, Unnes Law Journal 4(1): 10
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, 2010, Arti Pentingnya Pembuktian Dalam Proses
Penemuan Hukum Di Peradilan Perdata, MIMBAR HUKUM, Edisi Juni
22(2): 347
Ernawati. 2015. Kewajiban Anak Memberi Nafkah Kepada Orang Tua Menurut
Hukum Islam, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Esa
Unggul, Jakarta, Forum Ilmiah Edisi Januari 12(1): 3
Eva Meizara Puspita Dewi, Basti. 2015. Pengasuhan Ibu Berkarir Dan
Internalisasi Nilai Karir Pada Remaja Edisi Januari 3(1): 167
Fatimah, Rabiatul Adawiah, M. Rifqi. 2014. Pemenuhan Hak Istri Dan Anak
Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Kasus Di
Pengadilan Agama Banjarmasin), Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan
Edisi Mei. 4(7):558
H.Bahar dan H. Haris. 2016. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Forum
Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Studi di Desa Panciro Kecamatan
Bajeng Kabupaten Gowa). Jurnal Tomalebbi (2): 26
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
154
Habibullah. 2018. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah
Perceraian (Studi Kasus : Di Pengadilan Agama Talu). 7(4):58
Harjianto Roudhotul Jannah. 2019. Identifikasi Faktor Penyebab Perceraian
Sebagai Dasar Konsep Pendidikan Pranikah di Kabupaten Banyuwangi,
Edisi Februari. 19(1):38-39
Hamid Pongoliu.2013. Kedudukan Anak Lahir Di Luar Nikah Dalam Perspektif
Hukum Islam Dan Hukum Positif , Al-Mizan 9(1): 117
Kudrat Abdillah. 2013. Pandangan Tokoh-Tokoh Nahdlatul Ulama (Nu) Daerah
Istimewa Yogyakarta Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (Mk) No.
46/Puu-Viii/2010 Tentang Status Anak Di Luar Nikah, Al-Ahwal. 6(2):
199
_____________. 2016.Status Anak Di Luar Nikah Dalam Perspektif Sejarah
Sosial, Petita Edisi April 1(1): 50
Lucy Pradita Satriya Putra.2015. Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Hukum
Adat, dan Yuriprudensi Mahkamah Agung, Jurnal Repertorium Edisi Juni
(3): 137
Majelis Adat Aceh. 2008. Pedoman Peradilan Adat di Aceh, diterbitkan atas
kerjasama Bappenas, European Union, APPS dan UNDP
Mansari, Iman Jauhari, Iman Jauhari, Azhari Yahya & Muhammad Irvan
Hidayana. 2018. Hak Asuh Anak Pasca Terjadinya Perceraian Orangtua
Dalam Putusan Hakim Mahkamah Sya’iyah Banda Aceh Edisi September
4(2): 105.
Mardani. 2008. Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal
Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38 Edisi April-Juni (2):175
Meita Djohan OE, 2016, Hak Asuh Anak Akibat Perceraian (Studi Perkara
Nomor 0679/Pdt.G/2014/Pa Tnk), PRANATA HUKUM Edisi Januari
11(1):64-65
Mochamad Adib Zain. 2015.Pengakuan Atas Kedudukan Dan Keberadaan
Masyarakat Hukum Adat (Mha) Pasca Dibentuknya Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Jurnal Penelitian Hukum Edisi
Juli 2(2): 66-67
Muhamad Jefri Ananta, Dominikus Rato, I Wayan Yasa. 2017. Perceraian dan
Akibat Hukumnya terhadap Anak dan Harta Bersama Menurut Hukum
Adat Osing di Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten
Banyuwangi. e-Journal Lentera Hukum. 4(3): 225
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
155
Mulyadi.2016. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Yang Diakui. Cakrawala:
9(1). Juni : 93
Nunung Rodliyah. 2014. Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Keadilan
Progresif Edisi Maret 5(1): 124
Oktavianus Hery Setyawan. 2014. Pewarisan Dan Pendidikan Iman Anak
Sebagai Tanggung Jawab Orangtua Menurut Ecclesia Domestica -
Studi Kasus Paroki Santo Yosep Purwokerto Timur,Edisi November.
3(2): 111
Peniel C. D. Maiaweng. 2017. Perceraian Dan Pernikahan Kembali, Jurnal
Jaffray Edisi April. 15(1):99
Purwaningsih. 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi gugat cerai dipengadilan
agama Kota Bogor. Jurnal Yustisi 1(1): 11-16
Putu Sanjaya. 2018. Mendidik Anak Menjadi Suputra Menurut Teks Canakya
Nitisastra, Pratama Widya 3(2): 48
Rahmadi Indra Tektona. 2012. Kepastian Hukum Terhadap Perlindungan Hak
Anak Korban Perceraian, Muwâzâh Edisi Juli 4(1): 51
Saadatul Maghfira. 2016. Kedudukan Anak Menurut Hukum Positif di Indonesia,
Jurnal Ilmiah Syari’ah Edisi Juli-Desember. 15(2): 215
Sita Thamar Van Bemmelen Dan Mies Grijns. 2018. Relevansi Kajian Hukum
Adat: Kasus Perkawinan Anak Dari Masa Ke Masa, Mimbar Hukum
Edisi Oktober 30(3): 521
Stepani. 2015. Pemenuhan Hak Anak Pasca Perceraian (Studi Kasus Di Sulawesi
Utara), Lex et Societatis, Edisi April 3(3) :35
Suryawati, Ni Kadek Wulan; Layang, I Wayan Bela Siki. 2018.Kedudukan
Hukum Anak Luar Kawin Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, Journal Ilmu Hukum, Edisi Agustus 3(4): 8-9
Virianto Andrew Jofrans Mumu.2018. Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab
Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian Dalam Uu No 1 1974
Pasal 45 Ayat (1), Lex Privatum Edisi Oktober. 6(8): 47
Wirda Latiki. 2015. Kewajiban Hakim Pengadilan Tinggi Dalam
Mempertimbangkan Memori Banding Dan Kontra Memori Banding Dari
Aspek Hukum Acara Perdata, Lex Privatum, Edisi Oktober. 3(4): 25
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
156
Yayasan ODB Indonesia. 2019. Renungan Pribadi dan Keluarga Kristen dan
Santapan Rohani, Our Daily Bread, Edisi September , 64(6,7,dan 8):24
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PUTUSAN
PENGADILAN
Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
Kompilasi Hukum Islam
Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pelaku Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Putusan Pengadilan Nomor : 365/PDT/2017/PT MDN
D. INTERNET
http://www.beritaekspres.com/ diakses pada Senin, 18 November 2019, pukul
09:35 WIB,
www.fimela.com diakses pada Senin,18 November 2019, pukul 13:29 WIB
www.wikipedia.com diakses pada Sabtu, 16 November 2019 puku 12.00 WIB
https://bankdata.kpai.go.id/regulasi/undang-undang/penjelasan-atas-uu-ri-no-23-
tahun-2002//, diakses pada Minggu, 20 Januari 2020, pukul 00:34 WIB
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA