UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN PRINSIP KEHATI...
-
Upload
nguyennhan -
Category
Documents
-
view
240 -
download
2
Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN PRINSIP KEHATI...
UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PEMBERIAN KREDIT KEPADA INDUSTRI
MINYAK DAN GAS BUMI
TESIS
TESALONIKA BR BARUS
1106032251
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JANUARI 2013
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
i
UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PEMBERIAN KREDIT KEPADA INDUSTRI
MINYAK DAN GAS BUMI
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum
TESALONIKA BR BARUS
1106032251
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JANUARI 2013
Unversitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum
pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M sebagai pembimbing dari penulis
yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, kritik dan
saran kepada penulis sehingga tesis penulis dapat selesai dengan baik dan
tepat pada waktunya. Terimakasih banyak Pak atas bantuannya.
2. Para dosen penguji sidang tesis yang terdiri dari Prof. Dr. Rosa Agustina
S.H., M.H dan Dr. Tri Hayati, S.H.,M.H. Terimakasih untuk bimbingan dan
waktunya untuk menguji tesis penulis.
3. Para dosen pengajar di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas semua
ilmu dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama masa
perkuliahannya di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Terimakasih juga untuk semua staf biro pendidikan, yang telah
sangat banyak membantu penulis, khususnya Alm. Pak Udin.
4. Bapak Ir. Madjedi Hasan MPE, M.H., Joi Terkelin ST, dan Firmanta
Sembiring ST yang telah bersedia menjadi narasumber dan memberikan
banyak masukan dalam penulisan ini.
5. Kedua orang tua penulis, Paulus Barus B.A dan Dra. Layas Ginting, yang
telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh cinta dan kasih
sayang, telah memberikan semangat dan doa yang tulus kepada penulis untuk
mampu menyelesaikan tesis ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Kelulusan ini saya persembahkan terutama untuk kebahagiaan keduanya.
Terimakasih telah menjadi orang tua yang luar biasa bagi penulis.
Unversitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
ii
6. Adik-adik penulis, Ervin Efrata Barus dan Sarah Rika Jayatri Barus, yang
telah senantiasa mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis.
Selamat berjuang.
7. Kepada semua anggota keluarga penulis, Dr. Ir. Benar Darius Ginting MM
dan Dra. Rahel Barus Apt., MM, yang telah memberikan motivasi, bimbingan
dan senantiasa mendoakan penulis guna melaksanakan studinya dengan baik.
Kepada saudara sepupu penulis, Drg Meltharyna Ginting, Nico Surantha
Ginting S.T., M.T., Shona Meilyna Ginting S.T., Lorenz Rullyna Ginting
yang telah senantiasa memberikan semangat kepada penulis.
8. Teman-teman penulis semasa kuliah Maulidya Siregar, Pirhot Nababan,
Ammar Gill, Mutiara Suseno dan seluruh teman-teman kelas ekonomi reguler
angkatan 2011. Terimakasih telah bersama-sama melewati hari-hari
perkuliahan yang menyenangkan dan tidak terlupakan.
9. Sahabat-sahabat penulis semasa kuliah di S1, Tifanny Hakim, Anggia
Kandhi, Irina Anindita, Puri Yap. Terimakasih telah menjadi teman-teman
yang selalu mendukung penulis.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, 21 Januari 2013
Penulis
Unversitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
i
ABSTRAK
Nama : Tesalonika br Barus
Program Studi : Hukum (Pascasarjana Reguler)
Judul :PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PEMBERIAN KREDIT KEPADA INDUSTRI MINYAK
DAN GAS BUMI
Penulisan dilatarbelakangi fakta bahwa perbankan kurang mendukung industri
minyak dan gas bumi, padahal industri minyak dan gas bumi penting bagi
ketahanan energi. Oleh sebab itu penulis melakukan pembahasan mengenai
penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit kepada industri minyak
dan gas bumi, mengingat risiko yang cukup besar yang terkandung dalam industri
tersebut. Pembahasan dilakukan dengan menjelaskan prinsip kehati-hatian dan
karakter risiko yang terdapat dalam industri minyak dan gas bumi. Penulis
menggunakan tipologi penelitian normatif dengan metode penelitian kepustakaan
dan wawancara. Pada bagian akhir, penulis menyimpulkan bahwa perbankan
sebaiknya berfokus kepada kegiatan usaha hilir atau tahapan eksploitasi
Kata Kunci:
Bank, Minyak dan Gas Bumi, Prinsip Kehati-hatian, Risiko
Unversitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
ii
ABSTRACT
Name : Tesalonika br Barus
Faculty : Law
Title : IMPLEMENTATION OF PRUDENTIAL BANKING
PRINCIPLE IN PROVIDING LOAN TOWARDS OIL
AND GAS INDUSTRY
This thesis is written based on the fact that banking is less supportive to oil and
gas industry, whereas oil and gas industry is important for energy resilience.
Therefore, the author will discuss the implementation of prudential banking
principle in providing loan towards oil and gas industry, with regard to the
considerable risk of oil and gas industry while the bank is required to apply
prudential banking principle. The discussion is conducted by explaining the
prudential banking principle and the risk character in oil and gas industry. The
author uses normative research typology with bibiliographical and interview
research method. At the end of the thesis, the author concludes that bank that bank
should be focus on downstream activities or exploitation phase.
Keywords:
Bank, Oil and Gas, Prudential banking principle, Risk
Unversitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….iHALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.................................................... iiLEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iiiKATA PENGANTAR ……………………………………………………………ivHALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI…………………. viABSTRAK ………………………………………………………………………viiDAFTAR ISI ……………………...………………………………………..…….ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………….……11.2 Pokok Permasalahan………………………………………….…...71.3 Tujuan Penelitian…………………………………………….…....81.4 Teori………………………………………………………….……81.5 Konsep……………………………………………………………101.6 Metode Penelitian……………………………………………..….121.7 Sistematika Penulisan………………………………………...…..15
BAB 2 PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIANKREDIT
2.1 Prinsip Kehati-hatian………………………………………….….162.1.1 Latar Belakang Lahirnya Prinsip Kehati-hatian……….....16
Pada bank2.1.2 Definisi Prinsip Kehati-hatian…………………………....202.1.3 Dasar Hukum Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian………..212.1.4 Pengawasan Atas Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian…....222.1.5 Ruang Lingkup Prinsip Kehati-hatian………………...….25
2.2 Prinsip Pemberian Kredit…………………………………..…….322.2.1 Pengertian Kredit dan Unsur-unsur Kredit………..……..322.2.2 Dasar-dasar Pemberian Kredit…………………..……….35
2.3 Manajemen Risiko Dalam Pemberian Kredit oleh Bank……...…422.3.1 Manajemen Risiko Pada Bank………………………..….422.3.2 Risiko Kredit Sebagai Salah Satu Bentuk Risiko Pada…..45
Bank
BAB 3 KARAKTER RISIKO PADA INDUSTRI MINYAK DAN GASBUMI DI INDONESIA
3.1 Keterbatasan Modal Sebagai Salah Satu Problematika PengelolaanMinyak dan Gas Bumi……………………………………..….....42
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
ii
3.2 Karakter Risiko yang Terdapat Dalam Industri Hulu Minyak danGas Bumi……….……………………………………………..….563.2.1 Tahapan Eksplorasi………….………………………..….563.2.2 Tahapan Eksploitasi…………………………………..….45
3.3 Karakter Risiko yang Terdapat Dalam Industri Hilir Minyak danGas Bumi……………………………………………………..…..63
3.4 Ketentuan dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas BumiIndonesia…………………………………………………………67
BAB 4 PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAMPEMBERIAN KREDIT KEPADA INDUSTRI MINYAK DANGAS BUMI
4.1 Analisis Profil Risiko yang Terdapat dalam Industri Minyak danGas Bumi dalam Kaitannya dengan Prinsip Kehati-hatian danPrinsip Pemberian Kredit……………………………………..….774.1.1 Kegiatan Usaha Hulu………………………………….....784.1.2 Kegiatan Usaha Hilir……………………………..………82
4.2 Analisis Ketentuan yang terdapat dalam Industri minyak dan gasbumi dalam kaitannya dengan prinsip kehati-hatian dan prinsippemberian kredit ………………………………………………....84
4.3 Metode pembiayaan industri minyak dan gas bumi yang dapatditempuh……………………………………………………….....94
.BAB 5 PENUTUP
5.1 Simpulan………………………………………………………..1025.2 Saran…………………………………………………………….103
Daftar Pustaka…………………………………………………………………..104
Unversitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terminologi Bank berasal dari kata banca dan bence yang berarti tempat
duduk. Dikarenakan pada zaman pertengahan kegiatan pinjam-meminjam
dilakukan dengan duduk-duduk di halaman.1 Bank kemudian diartikan sebagai
suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.2 Jika dilihat pada awal pembentukannya, bank digunakan untuk
memberikan jasa menabung; sebagai financial intermediary yakni menyimpan
dana dari nasabah penyimpan dan menyalurkannya kembali kepada nasabah
peminjam, yakni pelaku usaha, konsumen dan pemerintah.3 Dalam perkembangan
selanjutnya bank menyediakan sejumlah jasa dan produk finansial sehingga tidak
hanya bertumpu pada kegiatan pinjam meminjam saja.4 Bank yang semula hanya
terdapat di Romawi dan Roma kemudian mulai berkembang di negara-negara
Eropa lainnya.5 Hal ini selanjutnya menjadikan bank sebagai lembaga keuangan
yang tertua dan terbesar.6
Bank sebagai salah satu bagian dari lembaga keuangan memiliki peran dan
fungsi paling vital dalam sistem perekonomian suatu negara.7 Dapat dikatakan
1 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern berdasarkan Undang-undang Tahun 1998.
(Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 15.
2 Trikaloka H Putri, Kamus Perbankan. (Jogjakarta: Mitra Pelajar, 2009).
3 Peter S. Rose and Sylvia C. Hudgins, Bank Management and Financial Services 8
th
Edition. (McGrow Hill Companies, Internasional Edition, 2010). hlm. 2.
4 Weaver and Kevin Shanahan. Banking and Lending Practice. Australian Institute of
Bankers 3rd
edition, (Serendip Publication, 1994). hlm. 5
5 Peter S. Rose and Sylvia C. Hudgins, op cit., hlm. 4
6 George J. Benston and George G. Kauf’man, The Appropriate Role of Bank Regulation.
The Economic Journal, Volume. 106, No. 436 (May, 1996), hlm. 688-698,
<http://www.jstor.org/stable/2235577>
7 Weaver and Kevin Shanhan.op cit.,hlm. 3
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
2
Universitas Indonesia
demikian, mengingat fungsi dan tujuan yang diemban dalam rangka pembentukan
bank itu sendiri. Sejak pertama kalinya bank didirikan di Amerika Serikat telah
terdapat keyakinan bahwa bank akan menjadi suatu alat untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi.8 Di Indonesia sendiri, bank sebagaimana disebutkan
dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998,
selanjutnya disebut dengan “UU No. 7 Tahun 1992” dan/atau “UU No. 10
Tahun 1998”, merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Pasal 4 menyatakan bahwa “fungsi
utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat”. Selanjutnya dalam pasal 4 dikatakan bahwa “perbankan Indonesia
bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah
peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”. Secara garis besar dapat dilihat bahwa
fungsi bank adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat dengan
tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Lebih lanjut ketentuan
umum UU No. 7 Tahun 1992 menyatakan bahwa perbankan adalah salah satu
sarana yang memiliki peran strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan
masing-masing unsur dari trilogi pembangunan.9 Berdasarkan uraian diatas dapat
dilihat bahwa bank melalui kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, harus
mampu mendukung pembangunan nasional. Peranan dan fungsi bank yang begitu
krusial inilah yang menyebabkan eksistensi bank sangat berpengaruh terhadap
sistem perekonomian dan pertumbuhan ekonomi di suatu negara.10
Tidak hanya
itu, melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa lainnya bank juga berperan
8 Nicholas A Lash, Banking Laws and Regulation An Economic Perspective. (New
Jersey: Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs). hlm. 2
9 Penjelasan umum atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Lembaran Negara No. 31 Tahun 1992; Tambahan Lembaran Negara No. 3472.
10
Andrew Campbell, Insolvent Banks and the Financial Institution Safety Net-lessons
from the Northern Rock Crisis. As published in the Singapore Academy of Law Journal (2008)
SAcLJ 316-342.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
3
Universitas Indonesia
dalam rangka melancarkan perekonomian.11
Peran ini dilaksanakan dengan
melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan sistem pembayarann bagi
semua sektor perekonomian yang ada.
Salah satu fakta yang mengemuka akhir-akhir ini adalah terkait dengan
keengganan bank-bank nasional untuk membiayai kegiatan usaha pengelolaan
minyak dan gas bumi di Indonesia atau industri minyak dan gas bumi. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh wakil kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi di Indonesia “BP MIGAS”. Dikatakan bahwa
produksi minyak nasional sulit digenjot karena perbankan kurang mendukung
kegiatan industri perminyakan nasional karena tidak bersedia untuk memberikan
suntikan kredit.12
Minyak dan Gas Bumi sendiri merupakan salah satu bentuk sumber daya
alam yang habis pakai dan tidak dapat diperbaharui (depleted and non-renewable
assets).13
Dapat dikatakan demikian karena untuk terbentuknya minyak dan/atau
gas bumi membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni berjuta-juta tahun.
Terlebih lagi kondisi alam juga sangat mempengaruhi terbentuknya minyak
dan/atau gas bumi tersebut. Seperti komposisi dan susunan batuan, bentuk patahan
dan masih banyak faktor lainnya. Di sisi lain, minyak dan gas bumi mampu
memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi penerimaan negara. Bahkan dapat
dikatakan telah menjadi salah satu sektor pendapatan negara yang paling besar
disamping sektor pajak.14
Selain itu, sektor minyak dan gas bumi telah dan masih
menjadi lokomotif perkembangan bisnis yang amat signifikan di Indonesia.15
11Hemansyah., Hukum Perbankan Nasional Indonesia. (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, cet, 5 2009), hlm. 7.
12
Koran Tempo, Industri Migas Kurang Dukungan Perbankan, Tanggal 25 November
2011.
13
“Cost Recovery dalam Kontrak Production Sharing Migas dan Gas Bumi di Indonesia”
Disampaikan pada Seminar “Cost Recovery: Daya Tarik Investasi Atau Beban Bagi Negara”,
Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti, Senin, 11 Juni
2007,http://www.bpk.go.id/doc/publikasi/PDF/ppan/17.pdf. Diakses, 4 Desember 2011.
14
“Penerimaan Negara Sektor Hulu Migas Capai US$ 19,7 Miliar”.
http://finance.detik.com/read/2009/12/30/144615/1268581/4/penerimaan-negara-sektor-hulu-
migas-capai-us--197-miliar. Diakses 4 Desember 2011.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
4
Universitas Indonesia
Dilihat dari segi yuridis pengelolaannya, minyak dan gas bumi pada
prinsipnya merupakan salah satu sumber daya alam yang berada di bawah
penguasaan negara. Hal ini sesuai dengan amanat yang terkandung dalam pasal 33
ayat (2) dan (3) Undang-undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat (2) menyatakan bahwa
“cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Selanjutnya ayat (3) menyatakan
bahwa “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Disamping adanya amanat sebagaimana yang tertuang dalam Undang-
undang Dasar 1945 tersebut, Negara Republik Indonesia juga menganut prinsip
demokrasi. Sebagaimana diketahui bahwa dalam negara berdemokrasi dituntut
adanya peran masyarakat dalam penyelenggaraan negara16
. Pemerintahan dalam
hal ini harus dijalankan sesuai dengan dan berdasar kepada kehendak/kepentingan
seluruh rakyat.17
Dalam pelaksanaannya, melalui prinsip demokrasi ini rakyat
menyerahkan sebagaian kedaulatannya kepada negara atau yang dikenal dengan
teori du contract social.18
Teori du contract social atau penyerahan kedaulatan
oleh rakyat kepada negara dan tujuan dari konsep demokrasi itu sendiri, yakni
kepentingan seluruh rakyat, selanjutnya merupakan suatu konsekuensi logis
adanya hak menguasai oleh negara atas kekayaan alam yang terkadung di
dalamnya. Negara dalam hal ini, memiliki peranan sekaligus tanggung jawab
untuk mengelola sumber daya alam tersebut.
15
“Peluang Memperbesar Keuntungan Negara dalam UU Minyak dan gas bumi”.
<http://metrotvnews.com/index.php/metromain/analisdetail/2010/06/16/26/Peluang-Memperbesar-
Keuntungan-Negara-dalam-UU-Minyak dan gas bumi- Metro TV News>, Diakses, 20 April 2012.
16
Suri Ratnapala, Australian Constitutional Law Foundations and Theory. (Oxford
University Press, 2007). hlm. 23
17
Arend Lijphart, “Democracies”, Democracies, Patterns of Majoritarian and Consensus
Government in Twenty-One Contries, Yale University Press, New Haven and London.
(Dikumpulkan oleh Satya Arinanto, Politik Hukum 1. (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2001), hlm. 25
18
Tim Pengajar Ilmu Negara Fakultas Hukum UI, Ilmu Negara, (Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007).
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Hal tersebut pada akhirnya melahirkan, prinsip pengelolaan sumber daya
migas sebagai suatu komoditi strategis, yang harus dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.19
Pengelolaan sumber daya migas di dalam negeri
harus diusahakan agar mampu mandiri, mendinamisasi unsur “Asta Gatra”,
berpegang pada kerangka “Wasantara” dan mengacu pada “Trilogi
Pembangunan”. Unsur-unsur Asta Gatra itu sendiri adalah sumber daya manusia;
sumber daya alam; letak geografis; ideologi; politik; ekonomi; sosial budaya;
pertahanan dan keamanan nasional.20
Disamping sejumlah alasan penting diatas, ketahanan energi sebagai salah
satu permasalahan penting yang sedang dihadapi pemerintah Indonesia saat ini
belumlah bisa dikatakan normal. Sebagaimana disampaikan oleh Dewan Energi
Nasional (DEN), kemandirian pasokan energi dari dalam negeri saja belum cukup
sebagai faktor ketahanan energi.21
Tidak dapat dipungkiri jika energi Indonesia
saat ini masih bergantung pada minyak dan gas bumi. Meskipun telah ditemukan
energi alternatif lainnya seperti coal bed methane, gas hydrat, geothermal, dan
shale gas energy, ternyata belum dapat diandalkan.22
Bahkan beberapa
unconventional energy tersebut masihlah dalam tahap pengembangan dan belum
siap untuk diproduksikan.23
Sehingga impor minyak dan gas bumi menjadi suatu
hal yang tidak dapat dihindarkan24
padahal Indonesia merupakan negara dengan
cadangan minyak dan gas bumi yang cukup besar jika dibandingkan dengan
19
“Peranan Minyak dan Gas Bumi dalam Menunjang Pembangunan Jangka Panjang
Tahap II”. Ceramah Direktur Utama Pertamina Pada Civitas Akademika Fakultas Ekonomi UI.
Jakarta, 1995.
20
Ibid.,
21
Dewan Energi Nasional, “Kegiatan Dialog Nasional Ketahanan Energi”,
<http://www.den.go.id/index.php/news/readNews/288>, Diakses 20 Oktober 2012.
22
Yusuf S Djajadiharsja, Pengembangan Riset Gas Hidrat dan Rencana ke Depan.
Disampaikan pada seminar Granite Uncoventional Energy in Indonesia, Teknik Geologi
Universitas Trisakti. 29 Oktober 2012.
23
Darwin Tangkalalo, CBM Project: Challenges and Oppurtunities in Indonesia.
Disampaikan pada seminar Granite Uncoventional Energy in Indonesia, Teknik Geologi
Universitas Trisakti. 29 Oktober 2012.
24
Badan Pusat Statistik, “Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Januari 2012”.
Berita Resmi Badan Pusat Statistik No. 16/03/Th. XV, 1 Maret 2012. <
http://www.bps.go.id/brs_file/eksim_01mar12.pdf>. Diakses, 30 Oktober 2012.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
6
Universitas Indonesia
negara-negara lain. Salah satu solusi yang ingin dicapai oleh pemerintah adalah
terkait dengan pentingnya usaha untuk melakukan intensifikasi ekplorasi
cadangan minyak baru dan peningkatan produksi minyak nasional.25
Berdasar pada uraian diatas, dapat dilihat beberapa hal penting. Pertama
terdapat hak menguasai dari negara atas sumber daya minyak dan gas bumi
sehingga sudah sepantasnya menjadi perhatian pemerintah dan segenap bangsa
Indonesia. Kedua secara ekonomi pada dasarnya peranan dan sumbangsih industri
minyak dan gas bumi cukup besar dalam rangka menunjang pembangunan
nasional itu sendiri. Ketiga, industri minyak dan gas bumi memegang peranan
penting dalam rangka menunjang terwujudnya ketahanan energi.
Dengan demikian, secara sederhana dapat diambil kesimpulan bahwa
industri minyak dan gas bumi sudah seharusnya menjadi salah satu perhatian dan
target pendanaan dari perbankan di Indonesia. Terlebih lagi dalam faktanya
industri minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis baik bagi
politik dan ekonomi negara serta untuk kemakmuran rakyat.26
Polemik inilah yang
pada akhirnya memunculkan sejumlah pertanyaan, mengapa perbankan di
Indonesia kurang mendukung industri minyak dan gas bumi nasional?27
Dilihat dari kalangan pemangku kepentingan sebenarnya telah banyak
memberikan komentar atas polemik ini. Dapat dilihat Lembaga Pengembangan
Perbankan Indonesia (LPPI) menyatakan bahwa dukungan industri perbankan
lokal kepada sektor migas saat ini sangat minim karena bank sulit mengerti risiko
kredit yang cukup rendah di sektor tersebut.28
Sejalan dengan apa yang dinyatakan
oleh Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengajak bank
25 “Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Solusi Non-BBM untuk Meningkatkan
Ketahanan Energi Nasional melalui Revitalisasi Program Energi Laut Nasional”
<http://www.esdm.go.id/berita/listrik/39-listrik/5628-solusi-non-bbm-untuk-meningkatkan-
ketahanan-energi-nasional-melalui-revitalisasi-program-energi-laut-nasional.html> Diakses, 20
Oktober 2012.
26
Pri Agung Rakhmanto, “Menyoal Insentif Sistim Bagi Hasil dan Politik Migas
Indonesia”. Divisi Penelitian LP3S. Disampaikan pada tanggal, 20 September 2007.
27
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia,
<http://www.migas.esdm.go.id/tracking/berita-kemigasan/detil/264411/Industri-Migas-Kurang-
Dukungan-Perbankan>. Diakses, 22 April 2012.
28
Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, “BI Minta Perbankan Lebih 'Mesra'
dengan Perusahaan Migas”. < http://www.lppi.or.id>. Diakses, 20 April 2012.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
7
Universitas Indonesia
nasional agar turut serta membiayai proyek minyak dan gas bumi sebagai salah
satu upaya peningkatan kapasitas nasional di sektor migas, selain penguasaan
teknologi, kompetensi sumber daya manusia dan kemampuan mengelola ketiga
komponen tersebut.29
Berangkat dari adanya problematika inilah penulis melakukan suatu kajian
dengan mengemukakan bagaimana karakter risiko dalam setiap rangkaian
kegiatan yang terdapat dalam industri minyak dan gas bumi tersebut dalam
kaitannya dengan prinsip-prinsip pemberian kredit oleh bank khususnya prinsip
kehati-hatian. Hal ini mengingat karakter risiko yang terdapat di industri minyak
dan gas bumi bersifat khusus dan berbeda dengan karakter risiko yang terdapat di
industri lainnya. Perbedaan karakteristik ini dapat dilihat dalam hal struktur
permodalan yang cukup besar, teknologi yang canggih, risiko kegiatan yang
cukup tinggi dan penuh dengan ketidakpastian.30
Kajian akan dilakukan dengan menggambarkan bagaimana karakter risiko
yang terkandung dalam rangkaian kegiatan industri minyak dan gas bumi baik itu
yang bersumber dari ketentuan umum yang diamanatkan oleh undang-undang
maupun nature dari bisnis itu sendiri. Dengan demikian, dapat dihasilkan suatu
pandangan mengenai bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian dalam kaitannya
dengan prinsip-prinsip pemberian kredit oleh bank kepada industri minyak dan
gas bumi di Indonesia. Dengan harapan bank nantinya dapat turut serta dalam
menyalurkan pendanaan kepada industri minyak dan gas bumi di Indonesia.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasar pada uraian diatas, adapun pokok permasalahan yang diteliti oleh
penulis adalah sebagai berikut:
1. Seperti apa karakter risiko yang terdapat dalam industri minyak dan gas
bumi?
29
“Perbankan Nasional Diajak Biaya Proyek Migas” <
http://www.antaranews.com/print/1178502456/perbankan-nasional-diajak-biaya-proyek-migas>.
Diakses, 25 April 2012.
30
A Madjedi Hasan., Kontrak Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. (Training on The
Law of Oil and Gas Term 2010. Faculty of Law University of Indonesia, hlm. 2.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
8
Universitas Indonesia
2. Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit kepada
industri minyak dan gas bumi?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasar pada latar belakang dan pokok permasalahan diatas maka
penelitian ini bertujuan untuk melakukan suatu kajian tentang bagaimana karakter
risiko serta rangkaian kegiatan yang terdapat dalam industri minyak dan gas bumi.
Selanjutnya dengan adanya gambaran tentang karakter risiko dalam rangkaian
kegiatan tersebut dapat dilihat bagaimana kaitannya dengan penerapan prinsip
pemberian kredit, khususnya prinsip kehati-hatian oleh bank. Hal ini mengingat
dalam faktanya rangkaian kegiatan industri minyak dan gas bumi memiliki
karakter risiko yang cukup berbeda. Dengan harapan bank mendapatkan suatu
gambaran seperti apa karakter risiko kegiatan usaha yang akan dibiayainya.
Dengan demikian perbankan di Indonesia nantinya dapat turut berpartisipasi
dalam memberikan kredit kepada industri minyak dan gas bumi. Hal ini sesuai
dengan perannya dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi nasional
sebagaimana diamanatkan dalam tujuan perbankan di Indonesia.
1.4 Teori
Dalam kaitannya dengan pokok permasalahan yang ditulis maka penulis
menggunakan teori positivisme hukum/legal positivism. Positivisme hukum
pertama kali dikemukakan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) yang selanjutnya
dikembangkan oleh muridnya John Austin (1790-1859). Bentham menyatakan
bahwa yang dapat disebut sebagai hukum hanyalah apabila merupakan suatu
perintah; perintah tersebut berasal dari penguasa; dan perintah tersebut
mengandung sanksi untuk memotivasi agar tidak terjadi pelanggaran atasnya.31
Berdasarkan defenisi tersebut dapat dilihat bahwa hukum bukanlah apa yang
disarankan untuk dilakukan akan tetapi adalah sesuatu yang bersifat memaksa.32
Oleh sebab itulah terdapat pemisahan yang tegas antara hukum dengan moral
31
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence. (Blacstone Press
Limited 3rd
edition, 1999). hlm.14.
32
Ibid.,
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
9
Universitas Indonesia
yakni antara das sollen dengan das sein.33
Prof H.L.A Hart telah menguraikan
lima pengertian dari legal positivism, yakni:34
a. hukum adalah perintah dari manusia;
b. tidak terdadapat hubungan yang mutlak antara hukum dengan moral;
c. pengertian bahwa analisis konsepsi hukum, memiliki arti penting dan
harus dibedakan dari penyelidikan;
d. sistem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup tanpa
meperhatikan tujuan-tujuan sosial politik dan ukuran moral
e. pertimbangan-pertimbangan moral harus dipertahankan sebagai kenyataan
yang harus dibuktikan dengan agumentasi rasional.
Austin selanjutnya menguraikan siapa-siapa saja yang dapat disebut
dengan penguasa, yakni penguasa politik, pemerintah termasuk di dalamnya
kewenangan yang timbul karena adanya subordinasi.35
Pada perkembangan
selanjutnya legal positivism mendapat pengakuan dan berpengaruh banyak dalam
pemikiran hukum modern.36
Dalam kaitannya dengan pokok bahasan pada karya
tulis ini dapat dilihat bahwa Undang-undang di bidang perbankan dan sejumlah
Peraturan Bank Indonesia maupun Surat Edaran Bank Indonesia memerintahkan
adanya suatu prinsip-prinsip dasar dalam pemberian kredit dan prinsip kehati-
hatian yang wajib ditempuh oleh bank-bank di Indonesia dalam menjalankan
kegiatan usahanya. Pengaturan khusus tersebut dalam hal ini adalah dalam rangka
memberikan pendanaan/kredit kepada pelaku usaha di Indonesia. Demikian juga
halnya apabila kita melihat dari sisi industri minyak dan gas bumi. Dapat dilihat,
terdapat karakter risiko yang khusus dalam industri minyak dan gas bumi. Salah
satu yang penting adalah ketentuan-ketentuan yang lahir dari adanya pengaturan
33
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 113.
34
W Friedman, Legal Theory, (London: Stevens & Sons Limited 4th
Edition, 1960), hlm.
209.
35
John Austin, A Positivist Conception of Law, Law in Philosophical Perspective, editor
Joel Feinberg and Hyman Gross. (Belmont California, Wadsworth Publishing Company, 1997).
36
W Friedman, op cit., hlm. 207.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
10
Universitas Indonesia
yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan pemerintah di bidang minyak
dan gas bumi. Dimana peraturan-peraturan tersebut bersifat memaksa dan
mengikat bagi pelaku usaha di Industri minyak dan gas bumi di Indonesia.
1.5 Konsep
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam mendefinisikan hal-hal di
dalam penelitian ini, maka berikut akan ditetapkan definisi terhadap hal-hal
tersebut yang diambil dari peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan:
1. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.37
2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.38
3. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga.39
4. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada
bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah.40
37
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentangPerubahan Atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Lembaran Negara No. 182 Tahun 1998,
Tambahan Lembaran Negara No. 3790. pasal 1 angka (1)
38
Ibid., pasal 1 angka (2)
39
Ibid., pasal 1 angka (11)
40
Ibid., pasal 1 angka (23)
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
11
Universitas Indonesia
5. Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.41
6. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat,
termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh
dan proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan
hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang
tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.42
10. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperature atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh
dan proses penambangan minyak dan gas bumi.43
11. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan yang berintikan atau bertumpu pada
kegiatan usaha eksplorasi dan ekploitasi.44
12. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi
mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan
cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.45
13. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan
Minyak dan Gas Bumi dan Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri
atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana
pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan
pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang
mendukungnya.46
41
Ibid., pasal 1 angka (18)
42
Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi,
Lembaran Negara No. 136 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara No. 4152. pasal 1 angka (1).
43
Ibid., pasal 1 angka (2)
44
Ibid., pasal 1 angka (7)
45
Ibid., pasal 1 angka (8)
46
Ibid., pasal 1 angka (9)
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
12
Universitas Indonesia
14. Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu
pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau
Niaga.47
15. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang
menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus dan didirikan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan
berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.48
16. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan
hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik dan wajib
mematuhi mematuhi peraturan perundang-perundang yang berlaku di
Republik Indonesia.49
17. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja
sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih
menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.50
1.6 Metode Penelitian
Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
deskriptif. Yakni dengan menggunakan metode penelitian doktrinal atau metode
penelitian yang normatif. Adapun sumber penelitian yang digunakan adalah
berupa bahan hukum primer dan bahan hukum skunder. Bahan hukum primer
yang digunakan terdiri dari peraturan perundang-undangan beserta peraturan
pemerintah di bidang perbankan dan minyak dan gas bumi, Peraturan Bank
Indonesia terkait dengan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan prinsip pemberian
kredit. Selanjutnya bahan hukum skunder yang digunakan terdiri dari buku-buku
teks, kamus hukum dan jurnal hukum. Pengolahan dan analisis data akan
47 Ibid., pasal 1 angka (10)
48
Ibid., pasal 1 angka (17)
49
Ibid., pasal 1 angka (18)
50
Ibid., pasal 1 angka (19)
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
13
Universitas Indonesia
dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Yakni dengan mengumpulkan
bahan-bahan terkait dengan pokok bahasan kemudian akan melakukan analisis
atasnya. Melihat bagaimana korelasi diantara ketentuan-ketentuan yang ada
dengan tujuan menghasilkan suatu pemecahan masalah tentang bagaimana
penerapan prinsip kehati-hatian dan prinsip-prinsip dasar dalam pemberian kredit
kepada industri minyak dan gas bumi. Dengam demikian bank-bank di Indonesia
dapat ikut serta dalam rangka memberikan pendanaan/kredit kepada industri
minyak dan gas bumi.
1.7 Sistematika Penulisan
Dengan harapan dapat melakukan penulisan dan menyajikan karya tulis ini
dengan baik serta dapat mencapai sasaran yang diinginkan maka penulis
menyusun karya tulis ini dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini dijelaskan dasar titik tolak dari permasalahan yang
terdapat dalam karya tulis ini. Hal ini dituangkan dengan
menjelaskan latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian,
teori dan konsep yang digunakan, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN
KREDIT
Pada bab ini terlebih dahulu akan diuraikan tentang prinsip penting
yang melatarbelakangi lahirnya prinsip-prinsip dasar dalam
pemberian kredit yakni prinsip kehati-hatian/prudential banking
principle. Akan diuraikan terkait dengan pengertian, arti penting
lahirnya prinsip kehati-hatian dan landasan hukum yang
mengaturnya. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan secara lebih
khusus, yakni terkait dengan prinsip-prinsip dasar dalam
pemberian kredit oleh bank sebagai implementasi dari prinsip
kehati-hatian. Terakhir akan dibahas tentang risiko dari pemberian
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
14
Universitas Indonesia
kredit atau risiko kredit, dimana merupakan salah satu risiko yang
paling berbahaya bagi bank. Sehingga dapat dilihat nantinya
bagaimana prinsip-prinsip dasar dalam pemberian kredit khususnya
terkait dengan risiko kredit.
BAB III KARAKTER RISIKO PADA INDUSTRI MINYAK DAN GAS
BUMI DI INDONESIA
Pada bab ini terlebih dahulu akan dibahas tentang bagaimana
rangkaian kegiatan industri minyak dan gas bumi itu sendiri.
Dimana industri minyak dan gas bumi dapat dibagi menjadi
kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Selanjutnya akan
digambarkan profil risiko yang terdapat dalam masing-masing
tahapan pada industri minyak dan gas bumi. Dilakukan dengan
memunculkan sejumlah fakta yang berkaitan dengan nature dari
bisnis itu sendiri maupun yang berasal dari ketentuan perundang-
undangan di bidang minyak dan gas bumi. Pembahasan ini
bertujuan untuk memberikan pandangan yang lebih luas kepada
pembaca tentang bagaimana karakter risiko dan ketentuan-
ketentuan umum yang terdapat dalam industri minyak dan gas
bumi di Indonesia.
BAB IV PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PEMBERIAN KREDIT KEPADA INDUSTRI MINYAK DAN
GAS BUMI
Pada bab ini, akan dilakukan suatu kajian dan digambarkan tentang
bagaimana karakter risiko yang terkandung dalam rangkaian
kegiatan industri minyak dan gas bumi dan ketentuan-ketentuan
lainnya dalam kaitannya dengan prinsip dasar dalam pemberian
kredit, khususnya prinsip kehati-hatian. Pembahasan akan
dilakukan dengan melakukan analisis atas sejumlah risiko yang
terdapat dalam industri minyak dan gas bumi dengan menggunakan
ketentuan tentang prinsip kehati-hatian Dengan adanya analisis ini,
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
15
Universitas Indonesia
akan diperoleh buah pemikiran bagaimana prinsip kehati-hatian
tersebut diterapkan dalam rangka pemberian kredit pada industri
minyak dan gas bumi di Indonesia.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab terakhir ini akan dikemukakan hasil apa yang diperoleh
dari penelitian yang telah dilakukan. Disertai dengan sejumlah
saran yang sekiranya bermanfaat bagi para pemangku kepentingan.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
16
Universitas Indonesia
BAB 2
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT
2.1 Prinsip Kehati-hatian
2.1.1 Latar Belakang Lahirnya Prinsip Kehati-hatian Pada Bank
Prinsip kehati-hatian lahir karena beberapa alasan penting, yakni adanya
risiko dalam kegiatan operasional bank, serta financial globalization yang
berdampak pada peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai prinsip
kehati-hatian. Alasan ini dapat dinilai sebagai faktor utama dalam prinsip kehati-
hatian bank, meskipun ada beberapa faktor lain yang turut memengaruhi prinsip
ini.
Seperti uraian dalam bab sebelumnya, bank berperan sebagai lembaga
intermediasi, yang berfungsi untuk menyalurkan kredit. Fungsi ini dibagi menjadi
tiga kegiatan utama, yakni menghimpun dana dari masyarakat; menanamkan dana
ke berbagai aset produktif dalam bentuk kredit; memberikan jasa layanan lalu
lintas pembayaran dan jasa layanan perbankan lainnya.51
Fungsi bank sebagai
penyalur kredit merupakan fungsi strategis yang dimiliki oleh bank, meskipun
tidak jarang fungsi ini menjadi faktor penyebab runtuhnya operasional sebuah
bank.52
Sehingga, fungsi bank sebagai penyalur kredit dinilai sebagai fungsi
paling kritis53
karena kegiatan menyalurkan kredit yang dilakukan oleh bank dapat
mendukung ataupun justru menghambat laju perekonomian sebuah negara.
Dapat dikatakan terdapat hubungan yang procyclical antara fungsi bank
sebagai lembaga intermediasi dengan kegiatan perekonomian di suatu negara.54
51
Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank. (Jakarta: PT Gramedia
Utama, 2004), hlm. 2
52
Zulkarnain Sitompul, Investasi Asing di Indonesia Memetik Manfaat Liberalisasi.
Hukum Bisnis, Media Publikasi Peraturan Perundang-undangan dan Informasi Hukum,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. <http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-
bisnis/88-investasi-asing-di-indonesia-memetik-manfaat-liberalisasi.html>. Diakses, 2 Desember
2011.
53
Permadi Gandapradja, op cit., hlm. 3
54
Bank for International Settlement, Working Papers No 125 The institutional memory
hypothesis and the procyclicality of bank lending behavior.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
17
Universitas Indonesia
Hal ini terbukti seiring dengan terjadinya permasalahan kredit yang cukup serius
pada tahun 1990-an di Amerika Serikat dan terjadinya krisis keuangan di Rusia
serta Asia, telah melemahkan sistem perekonomian dan mengakibatkan
bangkrutnya perusahaan-perusahaan di negara tersebut.55
Oleh karenanya, fungsi
bank dalam penyaluran kredit dibayangi oleh sejumlah risiko.
Pasca dilakukannya perundingan Uruguay oleh The General Agreement on
Trade in Services “GATS” tidak hanya fakta mengenai faktor risiko yang
terkandung dalam pemberian kredit saja namun akibat dari adanya financial
globalization juga perlu diantisipasi oleh negara-negara berkembang atau yang
mengalami krisis keuangan pada khususnya.56
Sebagaimana diketahui GATS
merupakan suatu organisasi yang didirikan dalam rangka melancarkan
perdagangan internasional, khususnya di bidang jasa. GATS berperan untuk
membuat aturan perdagangan internasional yang baik, memberikan perlakuan
yang sama terhadap negara-negara anggota, mendorong lajunya kegiatan ekonomi
dan melakukan promosi atas perkembangan perdagangan jasa melalui
liberalisasi.57
Financial globalization, selanjutnya merupakan suatu kondisi dimana
terdapat integrasi atau kerjasama antara sistem keuangan di suatu negara dengan
sistem keuangan yang berlaku pada tingkat internasional. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa dengan adanya financial globalization terdapat kerjasama antara
lembaga-lembaga keuangan di suatu negara dengan lembaga keuangan dari negara
lainnya.58
Melihat kepada sejarah terbentuknya financial globalization dapat
digambarkan dengan tahapan sebagai berikut:59
55
Ibid.,
56
Phong T.H. Ngo, International Prudential Regulation, Regulatory Risk and Cost of
Bank Capital. International Journal of Banking and Finance, Volume 5, issue 1, Article 2, pg. 1-2.
57
World Trade Organization, The General Agreement on Trade in Services (GATS):
Objectives, coverage and disciplines, <http://www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/gatsqa_e.htm>
Diakses, 1 Oktober 2012.
58
United Nation Institute for Training and Research, Financial Globalization,
<http://www.unitar.org/event/financial-globalization>, Diakses 23 September 2012.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
18
Universitas Indonesia
a. Pada pertengahan tahun 1990, GATS melakukan perundingan yang untuk
pertama kalinya menyatakan bahwa jasa akan masuk dalam lingkup
perjanjian perdagangan internasional.
b. Beberapa negara menyatakan komitmennya untuk turut serta dalam
financial services liberalization. Dimana negara-negara berkembang
mendapat perhatian khusus dari International Monetary Fund dan World
Bank.
c. Program World Trade Organization selajutnya adalah ‘Service 2000’
adanya komitmen yang lebih serius tentang liberalisasi pada lembaga-
lembaga keuangan.
Tidak dapat dipungkiri jika dalam implementasinya, Financial
globalization memiliki dampak positif bagi kinerja lembaga keuangan di suatu
negara. Dengan adanya financial globalization lembaga keuangan, khususnya
perbankan dituntut untuk melahirkan suatu inovasi dan melakukan efisiensi dalam
menjalankan kegiatan usahanya.60
Financial globalization menguntungkan bagi
konsumen karena lembaga keuangan dintuntut untuk semakin meningkatkan
pelayanannya dalam rangka persaingan dengan para kompetitornya. Meskipun
demikian, tidak dapat dihindarkan jika dengan adanya financial globalization
menuntut lahirnya suatu pengaturan yang lebih kompleks tentang kegiatan usaha
atau kegiatan operasional perbankan dan diperlukannya manajemen risiko yang
lebih baik pada sektor usaha tersebut.61
59
Sydney J. Key, Trade Liberalization and Prudential regulation: The International
Framework for Financial Services. International Affairs (Royal Institute of International Affairs
1944-), Volume, 75, No. 1 (Jan., 1999), pp.61-75, <http://www.jstor.org/stable/2625463>
60
Brendon Young, Leadership and high-reliability organizations: why banks fail.
Volume 6 Number 4, Winter 20/11/12. hlm. 80.
61
Andreas A Jobst, it’s all in the data-consistent operational risk measurements and
regulation, Journal of Financial Regulation and Compliance, Volume 12 Number 4 Tahun 2007.
hlm. 423.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
19
Universitas Indonesia
Terlebih lagi, sebagai dampak adanya persaingan yang semakin ketat
antara para penyedia jasa keuangan, khususnya perbankan telah membuat bank
semakin berani untuk mengambil risiko dalam menjalankan kegiatan usahanya.62
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal penulisan ini terdapat
beberapa faktor lainnya yang memengaruhi perlunya pengaturan tentang prinsip
kehati-hatian. Beberapa faktor lainnya tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:63
a. Dalam rangka memberikan perlindungan kepada kepentingan nasabah
suatu bank;
b. Sebagai wujud dari adanya intervensi pemerintah terhadap kegiatan
perbankan;
c. Dalam rangka menghindari moral hazard, mengingat dengan adanya
government safety net akan membuat bank lebih berani lagi dalam
mengambil risiko;
d. Dalam rangka menghindari pelaku usaha memanfaatkan adanya
government safety net sebagai dasar untuk meminta bank memberikan
pendanaan bagi kegiatan usaha yang berisiko tinggi;
e. Untuk menghindari runtuhnya kegiatan operasional bank-bank besar
mengingat peran bank-bank tersebut yang cukup rentan dalam sistem
perekonomian di suatu negara.
Terlepas dari adanya sejumlah kebutuhan sebagaimana telah disebutkan
diatas, bagi beberapa negara pentingnya pengaturan akan prinsip kehati-hatian
salah satunya adalah karena adanya tuntutan dari pihak luar. Tidak dapat
dipungkiri jika dampak financial globalization telah membuat sejumlah negara
harus berhubungan dengan negara-negara lainnya. Yang mana hal ini selanjutnya
memaksa negara tersebut untuk bersedia mengikuti ketentuan yang berlaku secara
62
Andrew Crockett, Banking Supervision and Financial Stability. The William Taylor
Memorial Lecture by Andrew Crockett, General Manager of the Bank for International
Settlements, in Sydney, 22 October 1998.
63
Frederic S Mishkin, Prudential Supervision, Why Is It Important and What are the
Issue?. (The University of Chicago Press, Chicago and London). hlm. 5.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
20
Universitas Indonesia
Internasional, baik itu karena terikat dalam suatu konvensi maupun karena adanya
kebutuhan akan liberalisasi perbankan. Sebagai salah satu contoh adanya
permintaan bagi bank sentral dan pemegang otoritas lainnya bagi negara-negara di
Asia untuk menyusun suatu pedoman yang lebih baik terkait dengan prinsip
kehati-hatian bagi bank, khususnya terkait dengan permasalahan kredit.64
2.1.2 Definisi Prinsip Kehati-hatian
Kamus perbankan, memberikan definisi atas prudential banking atau
prinsip kehati-hatian sebagai bentuk pelaksanaan prinsip kehati-hatian bank untuk
meminimalkan risiko usaha operasional bank dengan berpedoman kepada
ketentuan bank sentral dan ketentuan intern bank.65
Prinsip kehati-hatian secara
sederhana dapat diartikan sebagai pengaturan tentang izin pendirian atau
pembukaan bank baru dan cakupan kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh
dilakukan oleh bank.66
Prinsip kehati-hatian berpedoman pada dua ketentuan penting yakni,
ketentuan umum yang dikeluarkan oleh bank sentral dan adanya kewajiban bagi
masing-masing bank untuk membuat regulasi sendiri. Dibuatnya pengaturan atas
prinsip kehati-hatian memiliki tujuan sebagai berikut:67
a. Menetapkan kebijakan bahwa hanya bank yang mampu secara finansial
yang diizinkan untuk beroperasi;
b. Mengendalikan pemilik dan manajemen bank, agar tidak mengambil risiko
berlebihan;
c. Menetapkan ketentuan dan pedoman bagi pelaksanaan akuntansi yang
memadai, penilaian aset yang realistis, dan pelaporan yang
menggambarkan kondisi keuangan yang sebenarnya dengan persyaratan
disclosure, sehingga memenuhi disiplin pasar;
64 Philip Turner, The Banking System in Emerging Market Economies: How Much
Progress has been Made?. Bank for Internasional Settlements, BIS Papers No 28, pg. 1.
65
Trikaloka H Putri, op cit., hlm. 274.
66
Suseno dan Piter Abdullah, Sistem dan Kebijakan Perbankan di Indonesia. Bank
Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Seri Kebanksentralan, No. 7.
67
Permadi Gandapradja, op cit., hlm. 28
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
21
Universitas Indonesia
d. Menetapkan dasar dan kewenangan pihak pengawasan bank dalam
melakukan tindakan korektif dan dalam membatasi aktivitas bank yang
lemah atau tidak sehat.
Sebagai konsekuensi dari adanya prinsip kehati-hatian ini bank diminta
untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dengan tetap
konsisten dalam melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada
berdasarkan profesionalisme dan itikad baik.68
Berdasar pada uraian sebelumnya,
secara garis besar dapat dilihat bahwa dasar penting dari adanya pengaturan
tentang prinsip kehati-hatian pada bank adalah dalam rangka pengendalian risiko
bagi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan mengingat fungsi dan
peranan bank dalam sistem perekonomian.
2.1.3 Dasar Hukum Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian
Landasan pokok lahirnya prinsip kehati-hatian dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia adalah sesuai dengan asas dari perbankan itu
sendiri. Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1992 mengatur bahwa “perbankan di Indonesia
menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian”. Prinsip kehati-hatian selanjutnya diatur lebih
lanjut melalui pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang perbankan,
peraturan perundang-undangan maupun peraturan yang mengatur lebih khusus,
yakni Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan tentang prinsip kehati-hatian di negara-negara berkembang
mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku atau diterapkan secara
internasional yang populer disebut dengan “International best practice”.69
Undang-undang perbankan sendiri mengatur prinsip kehati-hatian sebagai berikut:
1. Bank harus memiliki keyakinan bahwa nasabah akan melakukan pembayaran
sesuai dengan yang diperjanjikan. Selain itu bank umum juga diminta untuk
memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sebagaimana ditetapkan oleh
68
Hermansyah, op cit., hlm. 135.
69
Martin Brownbridge, et all, Prudential Regulation. Finance and Development Briefing
Papers, September 2002.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
22
Universitas Indonesia
bank Indonesia.70
Pedoman perkreditan inilah yang nantinya akan dijadikan
dasar untuk melakukan analisis atas kemampuan nasabah.
2. Adanya larangan bagi bank untuk melakukan kegiatan usaha tertentu
sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang tentang perbankan.71
3. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank Indonesia menetapkan
beberapa ketentuan penting yang harus dipenuhi oleh bank, diantaranya
adalah terkait dengan batas maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan,
penempatan investasi surat berharga dalam rangka memberikan pendanaan
bagi peminjam ataupun sekelompok peminjam.72
4. Bank wajib untuk memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang. Dalam hal ini bank juga
diwajibkan untuk menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan
kepentingan nasabah. Untuk kepentingan nasabah bank wajib untuk
menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian
atas transaksi yang dilakukan nasabah.73
2.1.4 Pengawasan atas Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian
Pasca diberlakukannya Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan maka pengaturan dan pengawasan atas bank dan lembaga
keuangan lainnya dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pembentukan undang-
undang ini merupakan amanat dari pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-
undang. Dengan demikian, tugas pengaturan dan pengawasan atas bank yang
semula berada pada Bank Indonesia akan beralih kepada lembaga baru tersebut.
Otoritas Jasa Keuangan selajutnya disebut dengan “OJK” sebagaimana
disebutkan dalam pasal 1 angka 1 merupakan lembaga yang independen dan bebas
70
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 1998, op cit., Pasal 8 ayat (1) dan (2).
71
Indonesia, Undang-undang No. 7 Tahun 1992, op cit., pasal 10.
72
Indonesia, Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Jo UU No. 10 Tahun 1998, op cit., Pasal
11 ayat (1), (2), (3), (4) dan (4A).
73
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 1998, op cit., Pasal 29 ayat (2), (3), dan (4).
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
23
Universitas Indonesia
dari campur tangan pihak lain, yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang tersebut. Pasal 7 selanjutnya memberikan ruang lingkup
wewenang OJK dalam rangka menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan
pada sektor perbankan, sebagai berikut:74
a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran
dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya
manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan
izin usaha bank; dan
2) Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,
produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1) Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan
modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman
terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3) Sistem informasi debitur;
4) Pengujian kredit (credit testing); dan
5) Standar akuntansi bank;
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1) Manajemen risiko;
2) Tata kelola bank;
3) Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4) Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
5) Pemeriksaan bank
Jika dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku pada negara-negara lain
dapat dilihat sebagai berikut. Singapura sebagai contoh, dimana otoritas pengawas
bank di Singapura atau the Monetary Authority of Singapore (MAS), yang terdiri
74
Indonesia, Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
Lembaran Negara No. 111 Tahun 2011, Tambahan Lembaran Negara No. 5253. Pasal 7.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
24
Universitas Indonesia
dari bank sentral dan otoritas keuangan Singapura bertanggung jawab atas
penerapan prinsip kehati-hatian secara keseluruhan yang melibatkan juga
pengawasan atas ketataan bagi masing-masing bank.75
Demikian juga halnya
dengan sistem yang dianut oleh negara-negara Eropa, Europian Central Banks
yang berperan selaku bank sentral diperkuat wewenangnya dalam rangka
melakukan pengawasan atas pelaksanaan prinsip kehati-hatian bagi bank.76
Terlepas dari adanya fakta tersebut, sejak tahun 1990an, beberapa negara
terlihat meningkatkan peranan bank sentralnya dalam rangka melakukan
pengawasan atas pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Hal ini dipicu oleh terjadinya
krisis keuangan di sejumlah negara yang membuat beberapa diantaranya
mengembalikan fungsi pengawasan bank kepada bank sentral.77
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pihak yang bertanggungjawab untuk melakukan
pengawasan dan pengaturan atas prinsip kehati-hatian bergantung kepada
kebijakan masing-masing negara. Namun satu hal penting adalah pengaturan dan
pengawasan atas prinsip kehati-hatian merupakan sesuatu yang perlu ada untuk
menjaga kestabilan jalannya operasional perbankan bahkan lebih luas lagi bagi
jalannya perekonomian di suatu negara.
Seiring dengan sejumlah perkembangan yang terus-menerus terjadi dalam
dunia perbankan seperti lahirnya inovasi-inovasi baru ternyata memaksa
pemerintah untuk melakukan peninjauan dan perubahan atas ketentuan tentang
prinsip kehati-hatian. Hal ini karena terjadinya ketidaksesuaian antara peraturan
perundang-undangan yang berlaku dengan praktek yang terjadi pada lapangan
dapat memberi celah kepada bank untuk melakukan pelanggaran.78
Dalam hal
demikian, sangat diperlukan adanya peranan dari lembaga pengawas untuk tetap
75
Andrew Campbell, op cit., pg. 31
76
Willem F Duisenberg, The role of the Eurosystem in prudential supervision. Speech by
Dr Willem F Duisenberg, President of the European Central Bank, Amsterdam, 24 April 2002.
Banking for International Settlement Review 27/2002.
77
Kiyohiko G Nishimura, Macro-prudential policy from an Asian perspective, Shanghai,
18 October 2010, Bank for International Settlement Review 136/2010.
78
Brendon Young, op cit., hlm. 84.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
25
Universitas Indonesia
melakukan kontrol atas kegiatan operasional bank serta menetapkan kapan bank
dapat dikatakan telah melanggar prinsip kehati-hatian.79
2.1.5 Ruang Lingkup Prinsip Kehati-hatian / Prudential Standards Bagi
Bank
Sebagai bentuk impelementasi dari adanya ketentuan tentang prinsip
kehati-hatian, bank dalam melaksanakan kegiatan usahanya mengacu kepada
suatu ketetapan atau rambu-rambu yang disebut dengan prudential standarts,
antara lain:
1. Batas Maksimum dalam Pemberian Kredit
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) merupakan salah satu
bentuk pembatasan dan larangan dalam pemberian kredit oleh bank. Pada
prinsipnya pengaturan ini adalah dalam rangka meminimalisir risiko yang
mungkin terjadi dalam rangka pemberian kredit. Dengan adanya ketentuan
tentang BMPK maka diharapkan dapat terjadi penyebaran risiko.
Ketentuan BMPK sendiri diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU tentang
Perbankan. Ketentuan lebih lanjut tentang BMPK, telah diatur melalui
Peraturan Bank Indonesia. Peraturan tersebut memberi definisi atas BMPK
sebagai presentasi maksimum penyediaan dana yang diperkenankan
terhadap modal bank.80
Dikatakan pelanggaran BMPK adalah selisih lebih
antara presentase BMPK yang diperkenankan dengan presentase
penyediaan dana terhadap modal bank.81
Pasal 2 dari Peraturan tersebut mengatur bahwa bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam
memberikan penyediaan dana, khususnya penyediaan dana kepada pihak
terkait, penyediaan dana besar dan atau penyediaan dana kepada pihak lain
79 Andrew Crockett, Banking Supervision and Financial Stability, op cit.,
80
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/3/PBI/2005 tentang Batas
Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 8/13/PBI/2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/3/PBI/2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. LN No. 13 Tahun 2005
DPNP; TLN No. 4472 DPNP Pasal 1 angka 2.
81
Ibid., pasal 1 angka 6.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
26
Universitas Indonesia
yang memiliki kepentingan terhadap bank. Bank dalam hal ini diwajibkan
untuk memiliki pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang
penyediaan dana kepada pihak-pihak sebagaimana disebutkan diatas.
BMPK terhadap pihak terkait dengan bank ditetapkan paling tinggi 10%
(sepuluh perseratus) dari modal bank. Sedangkan BMPK terhadap pihak
tidak terkait untuk satu peminjam paling tinggi 20% (dua puluh perseratus)
dari modal bank. Untuk satu kelompok peminjam yang bukan merupakan
pihak terkait paling tinggi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal
bank.82
Untuk mengatasi adanya ketentuan BMPK, ketika bank akan
memberikan kredit dalam jumlah yang besar maka bank akan bekerja
sama dengan bank lainnya. Sistem kerja sama ini dikenal dengan istilah
kredit sindikasi. Secara sederhana kredit sindikasi diartikan sebagai
pemberian kredit oleh dua atau lebih kreditur (bank), dengan syarat dan
ketentuan yang sama, memakai perjanjian yang sama dan dikelola oleh
agen yang sama. Stanley Hurn mengistilahkan kredit sindikasi sebagai:
“A syndication loan is a loan made by two or more
lending institution, on similar terms and conditions, using
common documentation and administrated by a common
agent.”83
Kredit sindikasi juga diperlukan dalam rangka risk sharing dengan
bank lain.84
Sehingga bank tidak menanggung sendiri risiko yang mungkin
timbul sebagai akibat pemberian kredit. Dari sisi kreditor kredit sindikasi
dianggap sebagai suatu solusi untuk mengatasi masalah pendanaan dalam
jumlah yang besar. Jika dibandingkan dengan menerbitkan surat hutang,
82 Ibid., pasal 4 dan pasal 11 ayat (1) dan (2).
83
Stanley Hurn, Syndicated Loans (New York etc.: Woodhead-Faulkner, 1990),
sebagaimana dikutip dari buku Sutan Remy Sjahdeini, Kredit Sindikasi: Proses Pembentukan dan
Aspek Hukum. (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997). Hlm.2.
84
Budhiono Budoyo, Aspek Bisnis Dalam Pembentukan Kredit Sindikasi dan Tanggung
Jawab Masing-masing Pihak di Dalamnya. Proceedings, Rangkaian Lokakary Terbatas Hukum
Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, (Jakarta: 20-21 Agustus 2001). Hlm. 11.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
27
Universitas Indonesia
kredit sindikasi dianggap murah dengan proses yang juga lebih mudah.85
Disamping adanya manfaat bagi kreditor dan debitur kredit sindikasi juga
dapat berkontribusi bagi terciptanya stabilitas perekonomian di suatu
negara. Karena kredit sindikasi mampu menyebarkan risiko yang mungkin
timbul dalam pemberian kredit dan adanya mekanisme sharing penyediaan
sejumlah dana oleh masing-masing bank peserta.86
Prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam kredit sindikasi adalah:87
1. Terdapat lebih dari satu kreditur
2. Kredit yang diminta dalam jumlah besar
3. Dalam jangka waktu lama
4. Karena terdiri dari beberapa bank, maka suku bunga mengacu
kepada suku bunga LIBOR88
atau SIBOR tertentu atau reference
bank.
5. Terdapat dalam satu dokumentasi yang sama
6. Adanya pembagian jaminan
Disamping prinsip dasar sebagaimana telah diuraikan diatas,
terdapat beberapa karakteristik penting dalam pinjaman sindikasi, yakni:89
1. Kreditor bertanggung jawab secara individual, kelalaian atau cidera
janji suatu kreditor tidak mempengaruhi kewajiban kreditor
lainnya.
2. Semua hak dan komunikasi kreditor dengan debitur dilakukan
melalui facility agent.
85 Christophe J Godlewski and Laurent Weill, Syndicated Loans in Emerging Markets.
Emerging Market Review 9 (2008) 206-219.
86
Ibid.,
87
Daniel Ginting, Prinsip-prinsip Dasar Kredit Sindikasi. Proceedings, Rangkaian
Lokakary Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta: 20-21
Agustus 2001. Hlm. 67.
88
LIBOR (London Interbank Offered Rate); SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate)
89
Arief Surowidjojo, Aspek Hukum yang Harus Diperhatikan dalam Kredit Sindikasi.
Proceedings, Rangkaian Lokakaria Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis
Lainnya, Jakarta: 20-21 Agustus 2001. Hlm 53.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
28
Universitas Indonesia
3. Cidera janji debitur kepada suatu kreditor merupakan cidera janji
kepada semua kreditor (cross default).
4. Hak jaminan dipegang dan dilaksanakan oleh security agent.
5. Keputusan para kreditur sindikasi, termasuk menyatakan debitur
lalai atau cidera janji, didasarkan kepada mayoritas dari sisa jumlah
terutang, dan dilaksanakan oleh facility agent.
Berbeda dengan mekanisme pemberian kredit pada umumnya, maka dalam
kredit sindikasi terdapat beberapa peranan penting, yakni:90
1. Arranger
Arranger dalam hal ini berperan untuk mengatur segala sesuatunya,
sejak mulai kredit diproses, menawarkan keikutsertaan kepada
bank-bank lain, memonitor sampai dengan penandatanganan kredit
sindikasi dan memonitor setelah kredit sindikasi dintandatangani.
2. Lead Manager
Pada umumnya lead manager merangkap sebagai arranger,
mengingat hanya terdapat sedikit perbedaan peranan antara
arranger dengan lead manager.
3. Facility Agent
Merupakan bank yang bertindak sebagai agen fasilitas kredit.
4. Security Agent
Merupakan agen yang berperan memegang jaminan.
2. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank / Capital Adequacy
Ratio (CAR)
Kewajiban Penyediaan modal minimum diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia No. 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank Umum. Salah satu latar belakang lahirnya
peraturan ini adalah menyerap kerugian yang timbul dari berbagai risiko
bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Aset Tertimbang Menurut
90
Herlina Suyati Bachtiar, Aspek Legal Kredit Sindikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002. Hlm. 17.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
29
Universitas Indonesia
Risiko (ATMR) yang digunakan dalam perhitungan modal minimum
yakni: risiko kredit, risiko operasional dan risiko pasar.91
Khusus untuk
risiko pasar hanya diberikan kewajiban kepada bank yang memenuhi
kriteria tertentu.92
Berbeda dengan ketentuan yang berlaku sebelumnya, dalam
peratutan yang baru ini kewajiban penyediaan modal minimum oleh bank
disesuaikan dengan profil risiko masing-masing bank. Dengan ketentuan
sebagai berikut:93
a) 8% dari ATMR untuk bank dengan profil risiko peringkat 1
b) 9% sampai dengan kurang dari 10% dari ATMR untuk bank
dengan profil risiko peringkat 2
c) 10% sampai dengan kurang dari 11% dari ATMR untuk bank
dengan profil risiko peringkat 3.
d) 11% sampai dengn 14% dari ATMR untuk bank dengan profil
risiko peringkat atau peringkat 5.
Dalam Basel sendiri dirumuskan jika kewajiban penyediaan modal
minimum bagi masing-masing bank adalah 8%, namun otoritas nasional
masing-masing negara diberikan kebebasan untuk menentukan jumlah
modal minimum yang lebih tinggi.94
Berdasarkan ketentuan yang
dikeluarkan oleh the Basel Committee, maka modal dikelompokkan
menjadi dua bagian, yakni modal utama (tier 1) dan modal pelengkap (tier
2). Dimana ketentuan ini selanjutnya dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia ditambah satu bagian lagi yakni, modal pelengkap
tambahan (tier 3). Dimana ketentuan ini diterapkan setelah
memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi pengurang modal.
91
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, pasal 26.
92
Ibid., pasal 27 ayat (2).
93
Ibid, pasal 2 ayat (3).
94
Basel Committee in Banking Supervision, Basel III: International Framework for
Liquidity Risk Measurement, Standards and Monitoring. Bank for International Settlements,
December 2010.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
30
Universitas Indonesia
Diantaranya adalah good will, aset tidak berwujud lainnya, penyertaan
bank, kekurangan modal, eksposur sekuritisasi.95
Ketentuan tentang kewajiban penyediaan modal minimum oleh
bank memegang peranan yang cukup penting. Hal ini terjadi karena
semakin besar jumlah modal minimum yang dipersyaratkan akan membuat
bank semakin berhati-hati dalam mengambil risiko.96
Mengingat,
tingginya tingkat kompetisi antara bank dapat mendorong bank untuk
berani mengambil risiko yang lebih tinggi. Namun demikian, dengan
adanya ketentuan kewajiban penyediaan modal mimimum oleh bank dapat
menjadi salah satu sarana bagi regulator untuk menghindarkan bank dari
kehancuran.97
3. Kualitas Aktiva Produktif
Peraturan Bank Indonesia menyatakan bahwa bank wajib menjaga
kualitas aktiva agar tetap sehat sesuai dengan prinsip kehati-hatian.98
Pada
prinsipnya peraturan ini merupakan suatu pedoman bagi bank-bank umum
untuk melakukan penilaian dan penetapan kualitas aktiva produktif.
Disamping adanya penilaian yang dibuat oleh Bank Indonesia selaku
regulator. Adapun kualitas aktiva yang dilakukan penilaian atasnya adalah
aktiva produktif dan aktiva non produktif.99
Aktiva produktif diantaranya
penyediaan dana bank dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan
dana antar bank, tagihan-tagihan, penyertaan, transaksi rekening
95
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 14/18/PBI/2012, op cit., pasal 14 jo
pasal 21.
96
Wilko Bolt and Alexander F Tieman, Banking Competition, Risk and Regulation. The
Scandinavian Journal of Economics, Volume. 106, No. 4 (Dec 2004), pp. 783-804,
<http://www.jstor.org/stable/3441060>
97
Ibid.,
98
Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/2/PBI/2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/2/PBI/2009
tentang Perubahan Ketigas Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum. Pasal 4.
99
Ibid., pasal 3.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
31
Universitas Indonesia
administratif dan bentuk lainnya. Sedangkan aktiva non produktif
diantaranya agunan yang diambil alih, properti terbengkalai, rekening
antar kantor dan suspense account. Dalam pelaksanaannya bank
diwajibkan untuk melakukan penyesuaian atas kualitas aktiva secara
berkala.
Penyediaan dana oleh bank umum wajib dilakukan berdasarkan
prinsip kehati-hatian, direksi diwajibkan untuk memantau dan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas aktiva senantiasa baik.100
Penilaian atas kualitas aktiva dilakukan terhadap satu debitur maupun
terhadap suatu proyek yang dibiayai. Terkait dengan penilaian atas
kualitas aktiva produktif, bank harus memiliki ketentuan internal yang
dibuat oleh masing-masing bank.
4. Giro Wajib Minimum
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Bank
Indonesia, Giro Wajib Minimum (GWM) merupakan jumlah dana
minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang besarnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK (Dana Pihak Ketiga
Bank).101
Bank diwajibkan untuk memenuhi GWM dalam bentuk rupiah
yang terdiri dari GWM Primer, GWM Sekunder dan GWM LDR.102
Besaran atas masing-masing GWM telah ditetapkan dalam pasal 3 dan 4
dari peraturan tersebut yang perhitungannya dilakukan secara harian.
Setiap bank diwajibkan untuk memelihara rekening giro rupiah pada bank
Indonesia.103
Dengan adanya ketentuan ini maka setiap bank wajib
100 Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005, op cit., Pasal 2 ayat (1)
dan (2).
101
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 12/19/PBI/2010 Tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/10/PBI/2011 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing. LN No. 115 Tahun 2010, TLN No. 5158.
102
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 12/19/PBI/2010, op cit.,
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
32
Universitas Indonesia
memiliki rekening pada Bank Indonesia. Demi terlaksananya ketentuan
GWM, maka bagi bank yang melakukan pelanggaran akan dikenakan
sanksi berupa denda, yakni adanya kewajiban untuk membayar sejumlah
uang dengan prosentase dan perhitungan tertentu dan sanksi
administratif.104
2.2 Prinsip Pemberian Kredit
2.2.1 Pengertian Kredit dan Unsur-unsur Kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa latin yakni credere yang artinya adalah
kepercayaan.105
Dalam kaitannya dengan kegiatan usaha bank terkandung
pengertian bahwa bank selaku kreditur setuju untuk meminjamkan sejumlah uang
kepada nasabah yang bertindak sebagai debitur karena debitur dapat dipercaya
kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang
telah ditentukan.106
Undang-undang perbankan selanjutnya, merumuskan kredit
sebagai penyediaan uang atau tagihan berdasarkan perjanjian antara bank dengan
debitur dengan jangka waktu dan bunga.107
Berdasarkan pengertian dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa unsur-
unsur dari suatu perjanjian kredit adalah tersebut dibawah ini:108
a. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan adanya suatu keyakinan dari pihak bank bahwa
kredit yang diberikan akan benar-benar diterima kembali.
b. Kesepakatan
103
Ibid., pasal 3 dan 4.
104
Ibid., pasal 18 dan 19.
105
Edy Putra, Kredit Perbankan, Suatu Tinjauan Yuridis. (Yogyakarta: Liberty, 1989).
hlm. 1.
106
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kerdit (Suatu Tinjauan di Bidang
Yuridis), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009). Hlm. 152
107
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 1998, op cit., Pasal 1 angka 11.
108
Kasmir, Manajemen Perbankan. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 75.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
33
Universitas Indonesia
Dalam pemberian kredit harus terdapat kesepakatan antara pihak bank
dengan nasabah yang dalam hal ini dituangkan ke dalam suatu perjanjian.
Pada prinsipnya, terdapat suatu pengecualian terhadap ketentuan ini, yakni
dalam hal terjadinya overdraft. Meskipun overdraft akan mengakibatkan
lahirnya hubungan hukum serta hak dan kewajiban yang sama dengan
perjanjian kredit, namun overdraft tidak dapat disamakan dengan
perjanjian kredit biasa. Overdraft merupakan suatu keadaan dimana
seorang nasabah diperbolehkan untuk menarik sejumlah uang yang
melebihi dana yang tersedia pada rekeningnya.109
Sama halnya dengan
perjanjian kredit dalam overdraft juga terdapat kewajiban bagi kreditur
untuk membayar sejumlah bunga dan adanya suatu batasan atas jumlah
uang yang dapat ditarik.110
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa salah
satu karakter penting dalam overdraft adalah pemberian kredit yang
lahirnya tanpa melalui perjanjian sebelumnya layaknya perjanjian kredit
biasa.
c. Jangka Waktu
Pemberian kredit juga harus disertai dengan suatu jangka waktu tertentu
yang menyatakan kapan masa pengembalian kredit. Penggolongan kredit
berdasarkan jangka waktu dibedakan menjadi:111
1) Kredit jangka pendek, yakni kredit yang jangka waktunya tidak
melebihi satu tahun;
2) Kredit jangka menengah, merupakan kredit yang memiliki jangka
waktu antara satu sampai tiga tahun;
3) Kredit jangka panjang, merupakan kredit yang memiliki jangka
waktu di atas tiga tahun.
109 DirectGov “Overdrafts and loans - the difference”
<http://www.direct.gov.uk/en/MoneyTaxAndBenefits/ManagingMoney/BankAccountsAndBankin
gProducts/DG_10035183> Diakses, 1 Oktober 2012.
110
Bank of China – Indonesia, “Overdraft”, <http://www.bocid.com/en/2-11-004.html>,
Diakses 1 Oktober 2012.
111
Munir Fuadi, Hukum Perkreditan Kontemporer. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1996), hlm. 7
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
34
Universitas Indonesia
d. Risiko
Faktor risiko dalam pemberian kredit dapat dibedakan menjadi dua hal,
yakni risiko kerugian dikarenakan nasabah tidak mau membayar kreditnya
padahal nasabah tersebut dinyatakan mampu untuk itu; risiko kerugian
yang terjadi di luar kehendak nasabah. Semakin panjang jangka waktu
kredit maka akan semakin besar risiko kredit tersebut tidak tertagih
demikian juga sebaliknya jika jangka waktunya lebih singkat maka
kemungkinan timbulnya risiko juga lebih sedikit.
e. Balas Jasa
Balas jasa merupakan suatu bentuk keuntungan yang diterima oleh bank
akibat adanya pemberian kredit kepada nasabah. Dalam prinsip
konvensional hal ini dikenal dengan istilah bunga, sedangkan dalam
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah hal ini dikenal keuntungan yang
diperoleh bank karena adanya bagi hasil.
Disamping unsur penting tersebut, terdapat beberapa unsur lainnya, yakni:112
f. Adanya para pihak, yaitu pihak “kreditur” sebagai pihak yang memberikan
pinjaman, seperti bank dan pihak debitur, yang merupakan pihak yang
membutuhkan uang pinjaman/barang atau jasa.
g. Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihak debitur.
h. Adanya pemberian sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak kreditur kepada
pihak debitur.
i. Adanya penyerahan kembali sejumlah uang/barang atau jasa oleh pihak
debitur kepada kreditur.
2.2.2 Dasar-dasar Pemberian Kredit
Sebagai konsekuensi dari adanya kewajiban untuk menerapkan prinsip
kehati-hatian oleh bank maka masing-masing bank diberi amanat oleh undang-
112
Munir Fuadi, op cit, hlm. 15
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
35
Universitas Indonesia
undang untuk menyusun pedoman perkreditannya. Selain itu bank juga
diwajibkan untuk memiliki keyakinan atas kesanggupan calon debitur dalam
melunasi utangnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan.113
Ketentuan inilah yang selanjutnya dikenal dengan dasar-dasar pemberian
kredit yang juga berfungsi sebagai pedoman untuk melakukan analisis atas kredit.
Dalam analisis kredit pada pokoknya terdapat dua ketentuan yang fundamental
yakni, nature bisnis dari calon debitur dan analisis atas cash flow.114
Pedoman
pemberian kredit menggunakan suatu teori klasik dalam pemberian kredit yang
juga dikenal dengan dasar-dasar pemberian kredit yakni formula 5C. Selanjutnya
formula 5C terdiri dari:
a. Character
Merupakan unsur terpenting dalam penilaian kredit. Penilaian ini sangat
berhubungan dengan integritas calon debitur atau mencerminkan
willingness to pay. Penilaian ini secara umum bertujuan untuk melihat
itikad baik dari calon debitur baik dalam keadaan mampu ataupun tidak
mampu untuk membayar. Dalam prakteknya, jika yang mengajukan
permohonan kredit adalah suatu perusahaan atau korporasi maka penilaian
atas karakter ini juga dilakukan kepada direktur atau pengurusnya.115
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No. 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, pasal 92 ayat (1) mengatakan
bahwa, direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan
perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.116
Dengan
demikian, dapat dilihat bahwa yang bertanggungjawab atas perseroan
adalah direksi. Sehingga diperlukan adanya keyakinan dari bank terkait
dengan karakter direksi perseroan tersebut. Demikian juga halnya dengan
113
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 1998, op cit, pasal 8 ayat (1) dan (2).
114
Bambang Setyogroho, Analisis Risiko Kredit dengan Metoda Credit Risk Scoring
(Studi Kasus pada Debitur Bank X). (Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia, Depok 1991), hal. 21.
115
Ibid., hlm. 222.
116
Indonesia, Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Lembaran Negara No. 106 Tahun 2007 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4756 Tahun 2007.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
36
Universitas Indonesia
bentuk-bentuk perusahaan lain, yang jalannya kegiatan operasional
perusahaan dilakukan oleh pengurus. Hal ini dilakukan untuk melihat
bagaimana kemampuan pengurus perusahaan tersebut dalam menjalankan
usahanya. Disamping dilakukannya penilaian terhadap pengurus
perusahaan yang bersangkutan, dalam penilaian karakter ini bank juga
melakukan penilaian terhadap pihak yang lainnya, atau pihak ketiga.117
Pihak ketiga merupakan pihak yang bekerja sama dengan nasabah dalam
rangka menjalankan proyek yang dimaksud.
Penting diketahui bahwa dalam proses pemberian kredit, character
memegang peranan yang paling penting karena dianggap sebagai
implementasi dari adanya hubungan kepercayaan yang mendasar antara
kreditor dengan debitur.
b. Capacity (Capability)
Capacity terkait dengan kemampuan calon nasabah debitur untuk
mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat prospek masa depannya.
Dalam penilaian ini juga diperhatikan kemampuan atau keahlian dari calon
debitur dalam mengelola kegiatan usahanya. Harus dilihat apakah nasabah
memiliki pengetahuan serta pengalaman yang cukup di bidang usaha
tersebut.118
Dalam hal calon nasabah adalah perusahaan maka pimpinan
perusahaan tersebut wajib menjadi salah satu perhatian bank, selain
adanya kemampuan untuk memimpin perusahaan, perlu juga untuk dilihat
apakah pemimpin tersebut menguasai bidang usaha serta memiliki
kesungguhan mengelola usaha dengan baik dan mampu memberikan
keuntungan.119
117
Gatot Supramono, op cit., hlm. 49.
118
Ibid.,
119
Ibid.,
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
37
Universitas Indonesia
Pengukuran atas capacity calon debitur dapat dilakukan melalui
beberapa pendekatan, yakni:120
1. Pendekatan historis, untuk menilai post performance dari calon
kreditur yang bersangkutan apakah usahanya banyak mengalami
kegagalan atau selalu menunjukkan perkembangan yang semakin
maju dari waktu ke waktu.
2. Pendekatan finansial, yaitu dengan menilai posisi neraca dan
laporan perhitungan rugi/laba untuk beberapa periode terakhir,
yaitu untuk mengetahui seberapa besarnya solvabilitas, likuiditas
dan rentabilitas usahanya serta tingkat risiko usahanya.
3. Pendekatan yuridis, menilai apakah calon debitur tersebut secara
yuridis memiliki kapasitas untuk mewakili dirinya ataupun badan
usaha yang diwakilinya untuk mengadakan perjanjian kredit
dengan bank
4. Pendekatan manajerial, untuk menilai sejauh sampai sejauh mana
kemampuan dan keterampilan calon debitur dalam melaksanakan
fungsi-fungsi manajemen dalam memimpin perusahaannya.
5. Pendekatan teknis, untuk menilai sampa sejauh mana kemampuan
calon debitur dalam mengelola faktor-faktor produksi seperti
tenaga kerja, sumber bahan baku, peralatan-peralatan kerja,
administrasi dan keuangan, industrial relation, termasuk
kemampuan dalam merebut market share.
c. Capital
Bank dalam hal ini melakukan penelitian atas modal yang dimiliki oleh
calon debitur. Apabila calon debitur adalah perusahaan, maka penilaian
juga dapat dilakukan atas financial record dari perusahaan yang
bersangkutan.121
Perlu diperhatikan rasio modal dengan kewajiban yang
harus dipenuhi atau disebut juga dengan the equity to debt ratio.
120
Teguh Pudjo Muljono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil. (Yogyakarta:
BPFE, 2001), hlm. 14
121
Weaver and Kevin M Shanahan, op cit., hlm. 224.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
38
Universitas Indonesia
Pentingnya penilaian atas the equity to debt ratio adalah untuk melihat
kemungkinan bangkrutnya atau tidak sanggupnya calon debitur untuk
melakukan pembayaran.122
Hal ini mengingat, rasio keuangan ini akan
menggambarkan bagaimana likuiditas dan solvabilitas dari perusahaan
calon nasabah yang bersangkutan. Semakin tinggi the equity to debt ratio
maka kemungkinan bangkrutnya calon debitur semakin rendah sebaliknya
ketika semakin sedikit jumlah modal yang dimiliki maka semakin sulit
bagi perusahaan untuk dapat bertahan. Disamping itu penilaian atas rasio
keuangan ini juga bertujuan untuk melihat trend perkembangan kinerja
bisnis dan keuangan calon debitur pada masa lalu, sehingga dapat menjadi
bahan masukan penting bagi bank untuk memperkirakan prospek kondisi
keuangan mereka selama masa perjanjian kredit.123
Selaain itu penilaian terhadap capital dilakukan karena pada
umumnya bank tidak bersedia membiayai suatu kegiatan usaha tanpa
adanya sumber-sumber pembiayaan lain yang mungkin didapatkan oleh
calon debitur.124
Oleh sebab itu bank harus melihat sampai sejauh mana
kemampuan calon debitur dapat menyediakan modal sendiri.
d. Condition of Economy
Condition of economy merupakan situasi dan kondisi politik,
sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain yang mempengaruhi keadaan
perekonomian pada suatu saat maupun untuk kurun waktu tertentu yang
kemungkinan akan dapat memengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan
yang memperoleh kredit.125
Secara umum, salah satu faktor penting yang
harus dilakukan analisis atasnya oleh bank, sebelum memberikan kredit
adalah kondisi perekonomian secara mikro maupun makro. Analisis
122
Retto Gallati, Risk Management and Capital Adequacy. (McGraw-Hill; 1st edition ,
2003)., hlm. 155.
123
Siswanto Sutojo, Strategi Manajemen Kredit Bank Umum, Konsep Teknik dan Kasus.
(Jakarta: Damar Mulia Pustaka, 2000) hlm. 63.
124
Kasmir, op cit., hlm. 92.
125
Teguh Pudjo Muljono, op cit, hlm. 17.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
39
Universitas Indonesia
terutama dilakukan terhadap kondisi perekonomian yang berhubungan
langsung dengan proyek yang dijalankan oleh debitur.126
Salah satu faktor
penting yang perlu diperhatikan adalah kebijakan-kebijakan penting yang
terdapat di dalam negara tersebut dalam kaitannya dengan proyek yang
akan dibiayai.127
Selanjutnya penilaian secara khusus, dilakukan dalam kaitannya
dengan kondisi sektor usaha calon debitur. Hal ini penting dalam rangka
memperkecil risiko yang mungkin terjadi sebagai dampak dari kondisi
ekonomi yang sedang terjadi. Penilaian atas kondisi ekonomi dapat
dilakukan dengan melihat pasar dari kegiatan usaha tersebut, serta
prospeknya kedepan.
e. Collateral
Collateral atau agunan berfungsi sebagai sarana pengaman atas
risiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya atau lalainya nasabah
debitur. Pada prinsipnya agunan ini bukanlah suatu hal yang menjadi
keharusan jika memang unsur C lainnya telah terpenuhi oleh calon
debitur.128
Pengaturan ini tampak berbeda dengan ketentuan pasal 24 ayat
(1) Undang-undang No. 14 Tahun 1967 Tentang Perbankan, dimana pasal
tersebut menyatakan bahwa “bank umum tidak memberi kredit tanpa
jaminan kepada siapapun juga”. Ketentuan yang ada sekarang tampak
lebih sesuai dengan sifat perjanjian pemberian jaminan itu sendiri, dimana
perjanjian pemberian jaminan adalah perjanjian yang bersifat accessoir
atau hanya sebagai tambahan dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian
pemberian kredit. Dengan demikian, dimulai dan berakhirnya perjanjian
pemberian jaminan tersebut bergantung kepada perjanjian pokoknya.129
126
Munir Fuady, op cit., hlm.24.
127
Retto Gallati, op cit., hlm. 155.
128
Yunus Husein, Aspek Hukum Perkreditan Bank. Disampaikan pada kuliah Hukum
Perbankan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.
129
R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia.
(Bandung: Alumni, 1978)., hlm.32.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
40
Universitas Indonesia
Agunan berperan sebagai jaring pengaman. Dengan adanya agunan
bank dapat menghilangkan atau meminimalisir kemungkinan terjadinya
pengambilan keputusan yang salah ketika menyetujui pemberian kredit.
Mengingat, kemungkinan adanya informasi yang asimetris antara bank
dengan calon debitur.130
Jika ternyata bank salah dalam pengambilan
keputusan, agunan dapat berperan sebagai suatu instrumen atau alat yang
digunakan oleh bank untuk meyakinkannya kalau debitur akan melakukan
pembayaran atas sejumlah pinjaman. Hal yang sama berlaku terhadap
upaya untuk meminimalisir moral hazard dari pihak debitur.
Namun, pada prinsipnya unsur penting dalam pemberian kredit
bukan agunan akan tetapi adanya kepercayaan antara bank dengan calon
debitur. Meskipun, tidak dapat dipungkiri jika agunan akan menjadi sangat
penting ketika debitur lalai dalam memenuhi sejumlah kewajibannya.
Agunan akan sangat penting terlebih lagi ketika proyek yang dibiayai oleh
bank memiliki risiko yang cukup tinggi.131
Jaminan/agunan, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Jaminan Perorangan
Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang
berpiutang atau kreditur dengan seorang ketiga yang menjamin
dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau debitur.132
Lebih
lanjut pasal 1820 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
“KUHPerdata” mengatur bahwa:
“Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana
seorang pihak ke tiga, guna kepentingan si berpiutang,
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang
manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”.
Jaminan Perorangan dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni:
a) Pribadi/Individual
130
Gabreil Jimenez and Jesus Saurina, Collateral, Type of Lender and Relationship
Banking as Determinants of Credit Risk. Jounal of Banking and Finance 28, (2004)
131
Ibid.,
132
R Subekti, op cit, hlm. 15.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
41
Universitas Indonesia
Jaminan perorangan atau disebut juga dengan borgtocht adalah
suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan
seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si
berhutang (debitur).
b) Badan Hukum/Korporasi
Berbeda halnya dengan jaminan individual, dalam jaminan
korporasi yang memberikan jaminan adalah suatu badan usaha
atau atas nama suatu korporasi. Dengan latar belakang dan
tujuan yang sama dengan perjanjian penanggungan pada
umumnya.
2) Jaminan Kebendaan
a) Gadai
Hak yang diperoleh kreditur dari suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh kreditur, sebagai jaminan atas
utangnya, dan memberi wewenang kepada kreditur untuk
mengambil pelunasan atas barang tersebut. (pasal 1150
KUHPerdata)133
b) Fidusia
Sama halnya dengan gadai, fidusia juga berfungsi sebagai
jaminan, hanya saja dapat diberikan atas benda bergerak
maupun tidak bergerak dan benda yang dijadikan objek jaminan
tidak diserahkan kepada kreditur akan tetapi tetap berada pada
debitur. (pasal 1 angka 1 Undang-undang No 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia)134
c) Hak Tanggungan
Hak tanggungan merupakan bentuk jaminan yang objek bersifat
limitatif, yakni hanyalah tanah maupun benda-benda yang
133
KUHPerdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R Subekti dan R.
Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007). Pasal 1150.
134
Indonesia, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 168 Tahun 1999; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 3889.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
42
Universitas Indonesia
berkaitan dengan tanah. (pasal 4 Undang-undang No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda
yang Berkaitan Dengan Tanah)135
Terlepas dari adanya bentuk jaminan sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, pada dasarnya terdapat bentuk jaminan lain, yakni jaminan
umum. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 1131 KUHPerdata, secara
tegas menyatakan bahwa “segala kebendaan si berhutang, baik yang
bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru aka nada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perseorangan”.
Namun dalam praktek dunia perbankan, jaminan umum kurang
dapat diterima karena tidak ada kepastian dari pihak bank untuk
memperoleh kembali pelunasan hutangnya dan tidak terdapat hak preferen
dalam jaminan umum.136
2.3 Manajemen Risiko dalam Pemberian Kredit oleh Bank
2.3.1 Manajemen Risiko pada Bank
Risiko secara sederhana diartikan sebagai kemungkinan terjadinya
kehilangan, kerugian, atau kerusakan.137
Subekti, lebih lanjut memberikan
pengertian risiko sebagai suatu kewajiban memikul kerugian yang disebabkan
karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak.138
Unsur penting dalam
risiko adalah tanggung jawab yang timbul bukanlah karena kesalahan pihak yang
harus memberikan ganti rugi serta disebabkan karena adanya ketidakpastian.
135
Indonesia, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1996; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632.
136
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak yang Memberi
Jaminan. (Jakarta: Indo-Hill-Co, 2005), hlm. 19.
137
Robert M. Crowe and Ronald C. Hom, The Meaning of Risk. The Journal of Risk and
Insurance, volume 34, No. 3 (Sep., 1967), pg 459-474. <http://www.jstor.org/pss/250861>.
Diakses, 2 Desember 2011.
138
Subekti, Hukum Perjanjian. (Jakarta: PT Intermasa, 2004), hlm. 59.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
43
Universitas Indonesia
Dilihat dari sejarahnya maka, manajemen risiko lahir dari ide perusahaan asuransi.
Manajemen risiko mulai dikenal sejak tahun 1950an. Dengan dasar pemikiran
manajemen ilmiah, yang melakukan penekanan terhadap pentingnya analisis atas
biaya dan keuntungan, nilai yang diharapkan dan adanya pendekatakan ilmiah
dalam pengambilan keputusan atas suatu ketidakpastian.139
Terdapat beberapa terminologi terkait dengan manajemen risiko,
diantaranya diungkapkan oleh Retto Gallati. Mendefinisikan manajemen risiko
dalam dua pendekatan, yakni:
“In a broad sense, the process of protecting one’s
person or organization intact in terms of asssets and Income.
In the narrow sense, it is a managerial function of business,
using a scientific approach to dealing with risk. As such, it is
based on a distinct philosophy and follows a well-defined
sequence of steps.”
Pada prinsipnya pelaksanaan dari manajemen risiko adalah dilakukannya
suatu analisis dengan menggunakan metode yang ada untuk menilai tingkat risiko
suatu kegiatan.140
Dengan kata lain, manajemen risiko berperan dalam rangka
mengelola risiko yang dihadapi oleh individu atau suatu institusi.141
Dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, manajemen risiko bank
secara khusus diatur melalui Peraturan Bank Indonesia. Manajemen risiko
diartikan sebagai metode atau prosedur untuk mengidentifikasi, mengukur,
memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank.142
Melalui ketentuan pasal 2 dari peraturan tersebut, bank diwajibkan untuk
139
Retto Gallati, op cit., hlm. 12
140
Kurt J Engemann and Holmes E Miller, Operations Risk Management at a Major
Bank. Volume 22, No. 6, Decision and Risk Analysis (Nov – Dec., 1992), pg. 140-149.
<http://www.jstor.org/pss/25061686>. Diakses, 2 Desember 2011.
141
Retto Gallati, op cit, hlm. 11.
142
Peraturan Bank Indonesia, Nomor: 5/8/PBI/2003 Tentang Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009
Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Pasal 1 angka 5.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
44
Universitas Indonesia
menerapkan manajemen risiko secara efektif, baik untuk bank secara individual
maupun bank secara konsolidasi dengan perusahaan anak.
Cakupan dari manajemen risiko yakni:143
a. Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi;
b. Kecukupan kebijakan,prosedur, dan penetapan limit manajemen risiko,
c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian
risiko, serta sistem informasi manajemen risiko; dan
d. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Terkait dengan bentuk-bentuk risiko yang dapat terjadi pada bank, dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Risiko Kredit;
b. Risiko Pasar;
c. Risiko Likuiditas;
d. Risiko Operasional;
e. Risiko Hukum;
f. Risiko Reputasi;
g. Risiko Stratejik; dan
h. Risiko Kepatuhan.
Dalam prakteknya risiko kredit dan risiko operasional memegang peranan
penting dalam menyebabkan lumpuhnya kegiatan usaha bank.144
Tidak hanya itu
dengan semakin banyaknya kegagalan yang terjadi dalam dunia perbankan
dikhawatirkan akan berdampak pada hilangnya kepercayaan publik terhadap
pemeriksaan dan pengawasan bank. 145
Oleh sebab itu manajemen risiko pada
bank menjadi sesuatu yang dianggap penting. Dasar pertimbangan lainnya adalah
sebagai berikut:146
143
Ibid., pasal 2
144
Andreas A Jobst et all, op cit., hlm. 424.
145
Ibid., hlm. 3
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
45
Universitas Indonesia
1. Struktur hukum perbankan yang dianggap masih menghambat kompetisi
2. Terjadinya sejumlah resesi pada bank-bank nasional telah berdampak pada
kegagalan perbankan secara umum
3. Adanya anggapan bahwa semakin meningkatnya risiko dan lemahnya
pengawasan dari otoritas yang berwenang menyebabkan terjadinya
kegagalan dalam jumlah yang lebih besar.
2.3.2 Risiko kredit sebagai salah satu bentuk risiko bank
Pentingnya manajemen risiko dalam pemberian kredit mulai menjadi
perhatian ketika banyak negara-negara di dunia khususnya negara-negara yang
sedang berkembang, mengalami permasalahan kredit dalam sistem perbankannya.
Hampir sebagain besar bank-bank di Eropa bahkan sampai ke Asia harus
berhadapan dengan krisis.147
Dapat dilihat manajemen risiko kredit pada bank
lahir pasca terjadinya sejumlah kegagalan dalam dunia perbankan pada tahun
1990an. Akibat terjadinya sejumlah kegagalan ini, pengamat manajemen risiko
kredit mulai menciptakan suatu teknik baru untuk mengatasi permasalahan yang
ada.148
Hal inilah yang pada akhirnya mendorong, bank sentral dari negara-negara
tersebut menyusun suatu pedoman dalam memanejemen pemberian kredit.
Risiko kredit menurut Bank for International Settlement (BIS), dalam
laporannya pada tahun 2006 adalah sebagai berikut:149
“Credit risk / exposure: the risk that a counterparty
will not settle an obligation for full value, either when due or
at any time thereafter. In exchange for value systems, the risk
is generally defined to include replacement risk and principal
risk.”
146
Morton Glantz, Managing Bank Risk, an Introduction to Broad-Base Credit
Engineering. (United States of America: Academic Press, An Elsevier Imprint, 2002). hlm. 2.
147
John B Caouette, et all, Managing Credit Risk, The Great Challenge for Global
Financial Markets 2nd
edition. (USA, Wiley, John Wiley & Sons, Inc), hlm. 10
148
John B Caouette et all, hlm. 13.
149
Bank for International Settlement (BIS), Basel Committee on Banking Supervision,
Settlement Risk in Foreign Exchange Transaction: Report Prepared by the Committee on Payment
and Settlement System of The Central Banks of the Group of Ten Contries, Basel, Switzerland:
Bank for International Settlement, March 1996.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
46
Universitas Indonesia
Risiko kredit menurut ketentuan perundang-udndangan di Indonesia
merupakan risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi
kewajibannya. Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak
lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank.150
Lebih lanjut penjelasan pasal 4
ayat (1) huruf a mengatur bahwa, termasuk dalam kelompok risiko kredit adalah
risiko konsentrasi kredit. Adapun yang dimaksud dengan risiko konsentrasi kredit
adalah risiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1
(satu) pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan/atau area geografis
tertentu yang berpotensi menimulkan kerugian cukup besar yang dapat
mengancam kelangsungan usaha bank.
Oleh sebab itulah bank dalam prakteknya melakukan suatu analisis
sebelum menyalurkan kredit kepada debitur, yang dikenal dengan credit analysis.
Credit analysis itu sendiri memiliki tujuan sebagai berikut:
“To determine as dispassionally as possible whether or not as
applicant is willing and financially able to accept credit in specific
amounts according to specific terms and conditions”.151
Pada kenyataannya analisis kredit bukanlah suatu hal yang menjadi tolok
ukur diberikan atau tidaknya kredit oleh bank karena analisis kredit lebih
berfungsi sebagai bahan rujukan atau referensi bagi pengambil keputusan untuk
memberikan kredit.152
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, pentingnya manajemen
risiko dalam pemberian kredit berperan dalam rangka melakukan analisis yang
dapat membantu pihak bank untuk menilai kemampuan calon debitur untuk
melakukan pembayaran kembali.153
Analisis dalam hal ini tidak hanya dilakukan
terhadap calon debitur akan tetapi juga terhadap counterparty dari calon debitur.
150
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 11/25/PBI/2009, op cit., pasal 1 angka
6.
151
Alexander Bathory, The Analysis of Credit, Foundation and Development Credit
Assesment. (Londong: McGraw-Hill Book Company (UK) Limited, 1987). Pg.4
152
Ibid., pg. 5.
153
Morton Glantz, op cit., hlm.7.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
47
Universitas Indonesia
Dengan kata lain adanya analisis atas risiko kredit ini bank melakukan check and
balance untuk meyakinkan pihak bank kalau kredit yang dibuat telah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Disamping itu menjadikan bank dapat
memberikan penilaian yang objektif atas kualitas aset dari calon debitur tanpa
terpengaruh oleh adanya hubungan baik antara bank dengan calon debitur.154
Fungsi ini penting dalam kaitannya dengan adanya hubungan baik antara bank
dengan calon debitur. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jika ternyata
bank akan cenderung lebih berani mengambil risiko tinggi apabila bank telah
memiliki hubungan yang baik sebelumnya dengan calon debitur. Hal ini
mengingat dalam kenyataanya, manajemen atas risiko kredit diperlukan ketika
pihak bank belum memiliki hubungan yang cukup baik dengan calon debitur.155
Tidak hanya itu, dalam prakteknya bank juga sering sekali lalai dalam melakukan
penilaian terhadap calon debitur ataupun counterparty dari calon debitur, ketika
mereka dirasa memiliki reputasi yang cukup baik.156
Padahal dalam faktanya, hal
ini adalah sesuatu yang harus dihindari oleh pihak bank dalam rangka pemberian
kredit.
Beberapa aspek penting yang biasanya digunakan dalam penilaian oleh bank
antara lain adalah:157
1) Para pengurus dari perusahaan yang bersangkutan
2) Nama dan alamat dari advisor perusahaan yang bersangkutan
3) Jumlah pekerja yang diperkerjakan oleh perusahaan
4) Manajemen strategi yang ditempuh oleh perusahaan dalam rangka
meningkatkan kualitas perusahaannya dan meningkatkan keuntungan
5) Kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan diri dengan sejumlah
perubahan yang ada
154
Ibid.,
155
Lampros Kalyvas&Loannis Akkizidis and Loanna Zourka&Vivianne Bouchereau,
Integrating Market, Credit and Operational Risk, A Complete Guide for Banker and Risk
Professionals. Riks Books, Division in Incisive Financial Publishing Ltd.
156
Principles for the Management of Credit Risk. Consultative paper issued by the Basel
Committee on Banking Supervision, Basel, September 2000.
157
Morton Glantz, op cit., hlm. 16
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
48
Universitas Indonesia
6) Gambaran atas langkah-langkah yang diambil dalam menyelesaikan suatu
permasalahan dan bagaimana cara pengambilan keputusan. Untuk melihat
apakah pengambilan keputusan telah dilakukan pada tingkatan yang sesuai
7) Dasar-dasar manajemen yang dijalankan oleh perusahaan
8) Informasi mengenai lingkungan kerja
9) Apakah pihak manajerial telah melakukan tindakan-tindakan yang sesuai
guna menghindari permasalahan yang telah terjadi berulang kali
10) Reputasi kerja dari pihak manajerial, pemilik dan advisor saat ini
11) Jumlah aset dan informasi lainnya, manajemen keuangan dan budgeting,
human resources management dan lain-lain.
12) Apakah tujuan dan strategi bisnis yang dibuat telah dijalankan dengan baik.
Penilaian risiko atas kredit merupakan salah satu bentuk implementasi dari
prinsip kehati-hatian itu sendiri. Bank Indonesia/OJK selanjutnya berperan selaku
pengawas. Dengan sistem pengawasan risk based supervision. Pengawasan
dilakukan dengan berorientasi ke depan yang difokuskan kepada risiko-risiko
yang melekat pada aktivitas fungsional bank serta sistem pengendalian risiko.158
Salah satu aktivitas fungsional itu adalah fungsi bank dalam rangka menyalurkan
kredit kepada nasabah. Fungsi bank dalam menyalurkan kredit, dinilai memiliki
peranan penting bagi kehidupan bank umum karena kredit merupakan bagian
terbesar sumber penghasilan bank umum.159
Secara umum terdapat dua faktor penyebab terjadinya risiko kredit, yakni:160
a. Faktor Eksternal Bank
1) Ketiadaan kemauan membayar (willingness to pay); akibat masalah
karakter debitur/counterparty dan dapat disebabkan oleh kelemahan
158 Sistem Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia,
<http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Pengaturan+dan+Pengawasan+Bank/
Sistem+Pengawasan+Bank/>. Diakses, 25 Desember 2011.
159
Siswanto Sutojo, op cit.,, hlm. 3.
160
BankirNews.com, Penilaian Profil Risiko Kredit (Credit Risk), <
http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1260:penilaian-profil-
risiko-kredit-bank&catid=127:risk-profile&Itemid=189>, diakses 3 Oktober 2012.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
49
Universitas Indonesia
bank dalam melakukan identifikasi kelayakan debitur/counterparty
dan atau itikad baik bank dalam kegiatan penyaluran dana, dan
2) Ketiadaan kemampuan membayar (ability to pay), disebabkan
menurunnya kondisi usaha debitur/counterparty baik akibat kesalahan
pengelolaan (mismanagement) dan atau pengaruh faktor ekonomi
makro atau sektor industri tertentu.
b. Faktor Internal Bank
1) Konsentrasi risiko kredit dalam portofolio asset
2) Kelemahan sistem pengendalian dan proses manajemen risiko kredit
3) Itikad tidak baik pengurus bank, seperti kesengajaan mengabaikan
prinsip kehati-hatian dalam proses penilaian kelayakan kredit dan
penyediaan dana lainnya; adanya kerjasama/kolusi dengan debitur
counterparty.
Selanjutnya komponen utama dari risiko kredit dapat dikelompokkan
menjadi tiga jenis, yakni:
a. Probality of default
Adanya kemungkinan debitur wanprestasi dalam memenuhi kewajibannya
sesuai dengan perjanjian.
b. Recovery rate
Bagian tertentu yang dapat diterima oleh bank apabila debitur default
c. Credit exposure
Hal-hal yang berkaitan dengan jumlah pinjaman pada saat terjadi default.
Risiko perkreditan dapat dibedakan menjadi:161
1. Risiko sifat usaha
Melalui sifat usaha ini akan diketahui tinggi rendahnya tingkat risiko
usaha dengan berbagai kriteria, antara lain:
a. Turn over usaha makin tinggi maka semakin tinggi risikonya
b. Tingkat spesifikasi/kekhususan usaha, semakin khusus bidang
usaha semakin tinggi risikonya
161
Teguh Pudjo Muljono, op cit., hlm. 80
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
50
Universitas Indonesia
c. Investasi pada aktiva lancar modal/kerja, semakin besar investasi
pada modal kerja maka risiko akan semakin tinggi dibandingkan
dengan usaha investasi pada barang-barang modal
d. Usaha dengan padat modal pada negara berkembang akan memiliki
risiko yang lebih besar dibandingkan dengan usaha yang banyak
mengerahkan tenaga. Sebaliknya pada negara maju usaha padat
karya akan memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan
usaha yang padat modal
e. Karena memang sifat dari pekerjaannya sendiri yang memiliki
risiko tinggi, misalnya pengeboran minyak.
2. Risiko geografis
Faktor geografis erat hubungannya dengan bencana alam yang sering
terjadi pada suatu lokasi tertentu. Selain karena bencan alam risiko ini
dapat juga timbul karena faktor lingkungan, contohnya pendirian industri
pada daerah padat permukiman, yang biasanya akan diprotes warga.
3. Risiko politik
Hal ini berkaitan dengan kebijakan politik di suatu negara yang
memengaruhi tingkat keberhasilan suatu kegiatan usaha.
4. Risiko uncertainty/ketidakpastian
Faktor ketidakpastian akan menimbulkan spekulasi, selanjutnya semakin
tinggi spekulasi maka akan semakin tinggi juga risikonya. Terkait dengan
risiko jenis ini biasanya cukup sulit untuk dihitung dan tidak dapat
diketahui pasti kapan risiko tersebut akan datang. Dalam prakteknya
pemahaman akan ketidakpastian ini nantinya akan berdampak pada
penetapan suku bunga kredit, semakin tinggi risiko suatu kegiatan usaha
maka sudah sepantasnya suku bunga yang dibebankan kepada nasabah
juga semakin tinggi.
5. Risiko inflasi
Risiko jenis ini dikatakan bersifat abstrak karena risiko ini datangnya
bukanlah karena debitur tidak melakukan pembayaran atas hutangnya.
Akan tetapi risiko bank mengalami penurunan terhadap daya beli dari
rupiah yang dipinjamkan kepada nasabahnya. Dengan demikian pada masa
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
51
Universitas Indonesia
inflasi biasanya ada suatu kebijakan yang harus ditempuh agar bank dapat
tetap mempertahankan real capitalnya sesuai dengan purchasing power
pada saat pemberian kredit kepada nasabah.
6. Risiko persaingan
Risiko persaingan dapat berupa persaingan terhadap sesama bank sendiri
yang membiayai proyek yang sama atau persaingan antara perusahaan-
perusahaan sejenis yang menjadi objek perkreditan.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
52
Universitas Indonesia
BAB 3
KARAKTER RISIKO PADA INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI
DI INDONESIA
3.1 Keterbatasan Modal Sebagai Salah Satu Problematika Pengelolaan
Minyak dan Gas Bumi
Minyak dan gas bumi berasal dari proses sisa kehidupan purba yang
terpendam bersama air laut dan kemudian masuk ke dalam suatu batuan pasir,
lempung atau gambing.162
Dilihat dari proses pembentukannya, dikenal tiga teori
yang mendasari terbentuknya minyak dan gas bumi, yakni, teori
biogenetic/organic, abiogenetic/inorganic, duplex origin.163
Secara umum untuk
terbentuknya minyak dan gas bumi harus terpenuhi syarat-syarat tertentu yang
dikenal dengan petroleum system elements.164
Melihat sejarahnya, minyak bumi mulai dikenal oleh bangsa Indonesia
pada abad pertengahan. Minyak bumi pertama kali ditemukan oleh seorang
berkebangsaan Belanda bernama Aeilko Jans Zijlker di lapangan minyak Telaga
Tiga dan Telaga Said di daerah Pangkalan Berandan pada tahun 1883.165
Penemuan minyak dan gas bumi untuk pertama kalinya ini, sekaligus merupakan
konsesi pertama yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda166
yang
kemudian menjadi modal bagi pendirian salah satu perusahaan minyak yang
dikenal dengan nama Royal Dutch Shell.
162
Sutadi Utomo, “Understanding the PSC,” (LDI Training Bandung 31 Juli- 1
Augustus, 2008), hlm. 1.
163
Stanvac Indonesia. “Industri Minjak Bumi, Suatu Pengantar”. Jakarta: PT Stanvac
Indonesia,1970.,hlm. 1
164
Zanial Achmad, “General Petroleum Geology,” (Oil and Gas Course, Hakim dan
Rekan Law Firm Oktober-November 2010), hlm. 3
165
“Sejarah Perkembangan Industri Minyak dan gas bumi di Indonesia,”
http://www.perhimakbandung.org/index.php?option=com_content&view=article&id=82:sejarah-
perkembangan-industri-minyak dan gas bumi-indonesia&catid=38:artikel&Itemid=66. Diakses 30
November 2011.
166
Mochtar Kusumaatmadja, “Perminyakan di Indonesia dan Kontrak Bagi Hasil
(Production Sharing Kontrak),” (Pendidikan Lanjutan Hukum Perminyakan dan Gas Bumi
Fakultas Hukum UI, 1994), hlm. 1.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
53
Universitas Indonesia
Mengingat peran sektor perminyakan dan gas bumi yang cukup besar dan
proses pembentukannya yang tidak sederhana, maka adalah suatu hal yang lumrah
jika permasalahan yang terdapat di dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
minyak dan gas bumi menjadi salah satu perhatian utama pemerintah Indonesia.
Terlebih lagi dalam faktanya industri minyak dan gas bumi merupakan sumber
daya alam strategis bagi politik dan ekonomi negara serta kemakmuran rakyat.167
Hal ini terbukti, sejak masa penjajahan oleh Belanda dan pendudukan oleh
Jepang, ladang minyak dan gas bumi telah dan menjadi sasaran utama serangan
dan pendudukan musuh.168
Dalam rangka pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia, pemerintah
telah menerapkan tiga bentuk mekanisme kerja sama atau kontrak. Ketiga bentuk
kerjasama tersebut merupakan bentuk kerjasama yang digunakan oleh negara-
negara penghasil minyak dan gas bumi pada umumnya. Bentuk-bentuk kontrak
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Sistem Konsesi
Pada awal keberlakuannya di Indonesia, konsesi di pegang oleh
para sultan yang didalam wilayah kekuasaannya ditemukan sumber daya
migas.169
Konsesi pertama diberikan oleh Sultan Langkat kepada
pengusaha tambang berkewarganegaraan Belanda.170
Konsesi merupakan
perjanjian antara suatu negara pemilik atau pemegang kuasa pertambangan
minyak dan gas bumi dengan kontraktor, dimana kontraktor akan
mendapatkan hak untuk melakukan eksplorasi dan jika berhasil,
167
Pri Agung Rakhmanto, ibid.,
168
R Djokopranoto et all., Merajut Karya Mengukir Sejarah, Memoar Alumni Pendidikan
Ahli Minyak Tentang Peran dan Sumbangsihnya Dalam Pengembangan Industri Minyak dan Gas
Bumi Indonesia. Pertamina: Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Ahli Minyak, (Jakarta, April
2009).,hlm. 41
169
T.N Machmud, “The Indonesian Production Sharing Contract”, (Disertasi Doktor
Kluwer Law International, The Hague, 2000).
170
Lemigas, Bunga Rampai Seratus Tahun Perminyakan di Indonesia (Jakarta: Lemigas
1985) mengutip Perkembangan Industri Perminyakan di Indonesia.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
54
Universitas Indonesia
melakukan produksi serta memasarkan minyak dan gas bumi dengan tanpa
melibatkan negara pemberi konsesi dalam manajemen operasi.171
b. Kontrak Karya
Latar belakang pembentukan kontrak karya adalah karena konsesi
yang berlaku sebelumnya sudah dianggap tidak efektif lagi dan tidak
mampu mengakomodir kepentingan negara Indonesia. Maka lahirlah
peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disahkan menjadi undang-undang
(“UU No. 44 Prp Tahun 1960”). Sebagai akibatnya berakhirlah seluruh
konsesi yang telah ada sebelumnya.172
Namun demikian tidak dapat
dipungkiri bahwa untuk melakukan operasi perminyakan masih diperlukan
bantuan perusahaan minyak asing melalui kerja sama modal asing dan
nasional.173
Hal ini sebagaimana diakomodir dalam ketentuan pasal 6 ayat
(1) UU No. 44 Prp Tahun 1960, yang menyatakan pemerintah Indonesia
dapat bekerjasama dengan pihak swasta nasional maupun asing, apabila
belum dapat mengusahakan sendiri.
c. Kontrak Bagi Hasil
Kontrak Bagi Hasil “KBH” merupakan modifikasi dari bentuk
Kontrak Karya. Di dalam KBH dinyatakan bahwa wewenang manajemen
di tangan perusahaan negara, sedangkan peranan kontraktor migas hanya
merupakan badan yang ditunjuk untuk melaksanakan kegiatan operasi
perminyakan. Dengan demikian hak milik atas minyak mentah sampai
pada titik penyerahan tetap berada di tangan Pemerintah Republik
Indonesia.
171
Rudi M Simamora, Hukum Minyak dan Gas Bumi. (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm.
55.
172
Pencabutan Konsesi tersebut didasarkan pada Pasal 22 paragraf 1, UU No. 44 Prp
Tahun 1960.
173
Sutadji Pujo Utomo, “Aspek Fiskal Undang-undang dan Peraturan Migas dan
Perpajakan di Indonesia, “Warta Pertamina No. 22/XXIV, hal. 20, Tahun 1990.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
55
Universitas Indonesia
Kerja sama dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi
dilakukan berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.174
Mekanisme
pembagian produksi yang terdapat dalam KBH adalah sebagai berikut:
a) First Tranche Petroleum
First Tranche Petroleum yang selanjutnya disingkat FTP adalah
sejumlah tertentu minyak mentah dan/atau gas bumi yang
diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender,
yang dapat diambil dan diterima oleh pemerintah dan/atau
kontraktor dalam tiap tahun kalender, sebelum dikurangi
pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi (own use).175
b) Cost recovery
Merupakan suatu mekanisme dimana kontraktor, jika ada produksi,
mendapatkan cicilan penggantian (recovery) berupa sejumlah
minyak atau bagian dari hasil penjualan gas senilai pengeluaran
yang telah dilakukan sehingga produksi itu ada.
c) Equity to be Split
Equity to be Split adalah hasil produksi yang tersedia untuk dibagi
(lifting) antara pemerintah dan kontraktor setelah dikurangi FTP,
insentif investasi (jika ada), dan pengembalian biaya operasi.176
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dilihat pengelolaan sumber daya
minyak dan gas bumi diselenggarakan dengan mekanisme kerjasama antara
pemerintah Indonesia dengan pihak swasta, baik asing maupun nasional. Dalam
kaitannya dengan landasan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia,
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, minyak dan gas
bumi sebagai cabang produksi yang penting bagi kemakmuran rakyat dikuasai
174
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara No. 123 Tahun 2004 dan Tambahan Lembaran Negara
No. 4435. pasal 1 angka 4.
175
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang
Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi, “PP No. 79 Tahun 2010”. Lembaran Negara Nomor 139 Tahun 2010; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5173. Pasal 1 angka 6.
176
Ibid., pasal 1 angka 8.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
56
Universitas Indonesia
oleh negara. Akibatnya, pemerintah sendiri yang seharusnya memegang kendali
atas pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya pemerintah telah menerapkan
tiga bentuk kerjasama dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi. Salah satu
hal penting yang melatarbelakangi lahirnya konsep kerjasama ini adalah adanya
keterbatasan modal. Hal ini mengingat, pengelolaan sumber daya minyak dan gas
bumi memerlukan modal dalam jumlah yang cukup besar. Peranan swasta
menjadi sangat diharapkan meskipun keterbatasan modal lagi-lagi menjadi
penghambat utama bagi swasta nasional untuk ikut berperan dalam pengelolaan
sumber daya minyak dan gas bumi di Indonesia.177
Hal inilah yang selanjutnya
menyebabkan mengapa perusahaan minyak asinglah yang mendominasi industri
perminyakan di Indonesia.178
3.2 Karakter Risiko yang Terdapat dalam Industri Hulu Minyak dan Gas
Bumi
Kegiatan usaha hulu dalam industri minyak dan gas bumi dapat
dibagi menjadi dua tahapan, yakni:
3.2.1 Tahapan Eksplorasi
Eksplorasi merupakan suatu kegiatan dilakukan dalam rangka
menemukan cadangan minyak dan gas bumi. Lebih lanjut UU No. 22
Tahun 2001 merumuskan eksplorasi sebagai kegiatan yang bertujuan
memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan
memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja
yang ditentukan.179
177 Badan Pemeriksa Keuangan “Cost Recovery dalam kontrak Production Sharing
Minyak dan Gas Bumi di Indonesia”. < http://www.bpk.go.id/doc/publikasi/PDF/ppan/17.pdf>.
Diakses, 11 Oktober 2012.
178
Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi UI, “Analisis Industri MInyak dan Gas Bumi
di Indonesia: Masukan bagi Pengelola BUMN”.
<http://www.lmfeui.com/data/Analisis%20Industri%20Minyak.pdf>, Diakses 11 Oktober 2012.
179
Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi, op cit.,
pasal 1 angka 8.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
57
Universitas Indonesia
Secara garis besar tahapan yang terdapat dalam eksplorasi minyak
dan gas bumi dapat digambarkan sebagai berikut:180
a. Pemetaan Geologi
Pemetaan geologi dilakukan untuk melihat kondisi permukaan bumi.
Pada tahapan ini perkiraan akan ditemukan atau tidak cadangan
masihlah bersifat dangkal. Geolog akan mempelajari sebuah wilayah
untuk mengetahui kemungkinannya mengandung rongga dan celah
dibawah bumi yang mungkin menjadi tempat mengendapnya minyak
dan gas bumi.181
Dalam pemetaan geologi dilakukan pencarian atas
jenis batuan (batuan cadangan, batuan induk, batuan dasar). Geolog
juga mempelajari penyebaran dan susunan batuan, umur batuan,
struktur batuan dan terakhir adalah rembesan minyak/gas bumi
(oil/gas seepages).
b. Remote Sensing/ Satellite Imagery
Merupakan proses pengambilan foto tentang permukaan bumi.
c. Penyelidikan Geofisika
Pada tahap ini dilakukan penyelidikan yang lebih mendalam. Dengan
tujuan mencari gambaran yang lebih mendetail di bawah permukaan
bumi. Penyelidikan geofisika dapat dilakukan dalam tiga tahapan,
yakni penyelidikan magnetis, penyelidikan gaya berat dan
penyelidikan seismik.
d. Pemboran Eksplorasi
Tahapan ini dilakukan dengan tujuan melakukan perekaman susunan
jenis batuan, pengambilan contoh batuan/fluida, tekanan formasi dan
adanya indikasi minyak dan gas bumi serta pengujian formasi.182
Pemboran eskplorasi baru dapat dilakukan apabila telah ada integrasi
data dari semua kegiatan geologi dan penyelidikan geofisika yang
180
Zanial Achmad, “The Quest of Energy”. Disampaikan pada Oil and Gas Course,
Hakim dan Rekan Law Firm Oktober-November 2010.
181
Kartiyoso Sayogyo, Migas dan Usaha Migas (kumpulan pokok-pokok pikiran).
(Humas Pertamina, Yayasan Patra Cendikia, 1999). hlm. 60.
182
Ibid., hlm. 60
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
58
Universitas Indonesia
ada. Tahapan ini dapat dikatakan merupakan puncak kegiatan
eksplorasi. Lokasi pemboran ditentukan berdasarkan peta-peta yang
dibuat dari hasil interpretasi seismik.
e. Pemboran Deliniasi
Apabila pemboran eksplorasi berhasil maka akan dilakukan ke tahap
pemboran deliniasi. Tahapan ini biasanya dilakukan setelah seismik
3D, dengan mengebor dua hingga empat sumur. Adapun tujuan
dilakukannya pemboran deliniasi adalah untuk mengetahui:
penyebaran batuan cadangan prospektif; batas antara air, minyak dan
gas; besarnya volume cadangan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa tahapan pemboran deliniasi merupakan tahapan terpenting
dalam penentuan sukses tidaknya suatu kegiatan eksplorasi.
Dalam faktanya, tahapan eksplorasi merupakan tahapan yang penuh
dengan ketidakpastian karena suatu sumur biasanya akan dibor hanya berdasar
kepada informasi yang diperoleh dari sumur-sumur di sekitarnya.183
Sedangkan
untuk mengetahui ada atau tidaknya cadangan minyak harus dilakukan
pengeboran atas sebuah sumur. Dalam praktiknya, pemboran sumur seringkali
dihadapkan dengan tidak ditemukannya cadangan minyak dan gas bumi yang
layak untuk produksi. Kemungkinan tidak berhasilnya pemboran adalah 0,8,
sedangkan kemungkinan berhasil dan yang memberikan net present value hanyal
0,2.184
Dengan demikian, kegiatan penemuan cadangan minyak dan gas bumi
digambarkan dengan kemungkinan berhasil 20% dan kemungkinan gagal
mencapai 80%.
Dengan ditemukannya cadangan minyak dan gas bumi pada tahap
pemboran deliniasi tidak serta merta membuat lapangan tersebut layak
diusahakan. Perhitungan yang matang harus dilakukan terlebih dahulu dengan
mempertimbangkan berbagai aspek penting lainnya. Keputusan untuk
183
F Poletto and F Miranda, Seismic While Drilling Fundamentals of Drill-Bit Seismic for
Explorations. (Handbook of Geophysical Exploration, Seismic Exploration, vol 35. Elsevier,
2004). hlm. 2.
184
Widjajono Partowidagdo, Migas dan Energi di Indonesia, Permasalahan dan analisis
kebijakan. (Development Studies Foundation, 2009), hlm. 35
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
59
Universitas Indonesia
melanjutkan pengeboran atau tidak dilakukan dengan perhitungan atas cadangan
produksi (proven reserves).185
Harus dipastikan apakah proven reserves dapat
dipertahankan selama jangka waktu tertentu. Proven reserves itu sendiri menurut
society of petroleum engineers adalah perkiraan jumlah bahan tambang yang
dapat diproduksikan dari akumulasi yang diketahui pada waktu tertentu pada
kondisi ekonomi pada saat tertentu dan kekomersialannya telah diperlihatkan oleh
tes-tes produksi atau formasi. Dimana perhitungan atas cadangan diperkirakan
berdasarkan informasi geologi, rekayasa, dan ekonomi pada waktu perkiraan. 186
Sesuai dengan rangkaian kegiatan tersebut dapat dilihat bahwa usaha
penemuan cadangan minyak dan gas bumi tidak dapat dilakukan tanpa adanya
kegiatan pemboran.187
Perkiraan semata tidak dapat memberikan kepastian adanya
cadangan minyak dan gas bumi. Untuk melakukan pemboran dibutuhkan biaya
yang sangat tinggi, mencapai US$ 5 Juta atau sekitar 50 miliar.188
Dengan
demikian, tahap produksi hanya akan dilakukan apabila hasil pemboran deliniasi
menyatakan terdapat cadangan minyak dan gas bumi dan perhitungan atas
penemuan cadangan tersebut dinyatakan komersial. Hal inilah yang pada akhirnya
membuat kegiatan eksplorasi dikatakan memiliki risiko dan biaya yang tinggi
karena di satu sisi biaya yang dibutuhkan sangat tinggi dan di sisi lain penemuan
cadangan penuh dengan ketidakpastian.189
3.2.2 Tahapan Eksploitasi
185
Ibid., hlm. 5
186
Ibid.,
187
Robert J. Beck, Oil Industry Outlook 13th
edition. (Tulsa, Oklahoma: PennWell Books,
1996)., hlm. 153.
188
Kontan, Lapindo Bor Sumur Lagi di Sidoarjo. <
http://industri.kontan.co.id/news/lapindo-bor-sumur-lagi-di-sidoarjo>. Diakses 27 November
2012.
189
S. B Suslick and D. J Schiozer, “Risk Analysis to Petroleum Exploration and
Production: an Overview”. Journal of Petroleum Scince and Engineering 44 (2004).
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
60
Universitas Indonesia
Risiko pada tahap eksploitasi timbul ketika pengeboran minyak dan gas
bumi membutuhkan suatu mekanisme baru dikarenakan sumber daya yang
terkandung di dalam reservoar menurun. Jenis recovery pada tahap eksploitasi
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni:190
1) Premier Recovery
Dalam tahapan ini, produksi minyak dan gas bumi masih banyak dan tidak
membutuhkan dilakukannya upaya tertentu. Hal ini dikarenakan proses
alamiah yang sangat mendukung seperti adanya tekanan dari dalam tanah.
Tekanan dari dalam tanah menyebabkan minyak dan gas bumi mudah
untuk dikeluarkan tanpa penggunaan alat atau bahan lainnya.
2) Secondary Recovery
Ketika produksi minyak dan gas bumi mulai berkurang sehingga
dibutuhkan biaya lain dalam rangka penggunaan alat-alat atau teknologi
lainnya sebagai alat bantu. Sebagai contoh dipompakannya air dalam
jumlah besar sehingga minyak akan berada diatasnya.191
3) Tertier Recovery
Biaya yang dibtuhkan semakin meningkat tajam dikerenakan minyak dan
gas bumi mengalami migrasi ataupun kejadian-kejadian lainnya yang
mempersulit pengeboran. Pada saat yang sama juga jumlah produksi sudah
semakin berkurang.
Berdasar pada uraian sebelumnya dapat dilihat bahwa pada prinsipnya
kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi tidak dapat ditentukan dengan pasti.
Minyak dan gas bumi akan terus mengalami penurunan dan sebaliknya biaya yang
dibutuhkan untuk eksploitasi pasti akan terus meningkat. Namun, jika
dibandingkan dengan kemungkinan risiko yang terdapat dalam tahapan eksplorasi
dapat dikatakan bahwa dalam tahapan eksploitasi sudah ada kepastian akan
ditemukannya cadangan minyak dan gas bumi. Tidak hanya itu penemuan
190 Didi Setiarto, op cit.,
191
Vladimir Alvarado and Eduardo Manrique, “Enhanced Oil Recovery Field Planning
and Development Strategies”. Elsevier, Gulf Professional Publishing, 2010. Hlm. 9
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
61
Universitas Indonesia
cadangan ini juga sudah diikuti dengan terpenuhinya penilaian atas tingkat
komersialitas suatu temuan. Hal ini mengingat tahapan eksploitasi hanya akan
dilanjutkan jika cadangan dinyatakan bernilai komersial untuk diproduksikan.
Disamping risiko-risiko khusus sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
terdapat pula risiko yang bersifat umum yakni terkait dengan kebijakan
pemerintah. Risiko atas kebijakan pemerintah dinilai cukup berat dan kerap
dihadapi pelaku usaha/investor di Indonesia. Namun, Indonesia sebagai negara
berdaulat berhak untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alamnya untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa, karena sumber daya migas dianggap sebagai
komoditi strategis, yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.192
Ketentuan inilah yang selanjutnya menjadikan pemerintah untuk terus
melakukan perubahan atas mekanisme kerja sama pengelolaan minyak dan gas
bumi. Tidak hanya itu, dengan adanya hak menguasasi oleh negara atas sumber
daya alamnya,193
pemerintah kerap melakukan sejumlah perubahan atas ketentuan
pengelolaan sumber daya alam yang ada. Baik itu dengan mengeluarkan peraturan
perundang-undangan baru maupun dengan melakukan amandemen atasnya.
Dimana pada prinsipnya sejumlah perubahan ini telah menimbulkan suatu
ketidakpastian hukum yang pada akhirnya berdampak juga pada aspek ekonomis
dari industri tersebut. Adapun beberapa ketentuan yang baru-baru ini dikeluarkan
ataupun diamandemen oleh pemerintah dan dianggap menganggu iklim investasi
adalah:
a) Peraturan Pemerintah Tentang Cost Recovery
Peraturan pemerintah tentang cost recovery dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang Dapat
Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi.194
Dengan perhatian penting kepada pasal 38 huruf
192
“Peranan Minyak dan Gas Bumi dalam Menunjang Pembangunan Jangka Panjang
Tahap II”. op cit.,
193
Jimly Assiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya
di Indonesia. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve , 1994), hlm. 12.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
62
Universitas Indonesia
(b) yang menyatakan bahwa dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan kontraktor kerja sama wajib menyesuaikan kontraknya dengan
Peraturan Pemerintah ini. Sehingga pasal ini dianggap telah melanggar asas
“pacta sunt servanda” atau “sanctity of contracts”.195
b) Ketentuan DMO (Domestic Market Obligation)
Dalam pasal 22 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2001 dikatakan bahwa “badan
usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% dari
bagiannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (DMO). Pasca
dilakukannya uji materi atas ketentuan ini, melalui putusan Mahkamah
Konstitusi dengan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003,196
kata-kata paling
banyak dalam pasal tersebut dihapuskan sehingga domestic market
obligation menjadi 25%.
c) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 22 Tahun 2008
tentang Jenis-jenis Biaya Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang
Tidak Dapat Dikembalikan Kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama. Pasca
dikeluarkannya peraturan menteri ini maka terdapat penambahan pasal baru
tentang field/ POD Basis Cost Recovery dan tidak boleh di-recover-nya
biaya community development selama masa produksi.
d) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012
Untuk menanggapi dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012
Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi.197
Permasalahan penting dalam hal ini adalah
berubahnya lembaga yang menjadi para pihak dalam kontrak. Dimana BP
194
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang
Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi. op cit.,
195
Alan Fredrik Panggabean, “Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Cost Recovery”,
Majalah Eksplo Barometer Bisnis Enegrgi dan Pertambangan, No. 44 Tahun III Oktober 2010.
196
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 22/PUU-I/2003 Dimuat Dalam Berita
Negara Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2005, Terbit Hari Selasa tanggal 04 Januari 2005.
197
Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan
Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 226 Tahun 2012.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
63
Universitas Indonesia
Migas yang sebelumnya menjadi para pihak terpaksa dibubarkan dengan
fungsi dan tugas yang dialihkan kepada kementerian terkait-Kementerian
ESDM.
3.3 Karakter Risiko yang Terdapat dalam Industri Hilir Minyak dan Gas
Bumi
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 5 ayat (2) UU No. 22
Tahun 2001, maka kegiatan usaha hilir mencakup:
1) Pengolahan
Kegiatan usaha pengolahan meliputi, kegiatan memurnikan, memperoleh
bagaian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah
minyak dan gas bumi yang menghasilkan bahan bakar minyak, bahan
bakar gas, hasil olahan, LPG dan/atau LNG tetapi tidak termasuk
pengolahan lapangan.198
2) Pengangkutan
Kegiatan usaha pengangkutan yang meliputi kegiatan pemindahan minyak
bumi, gas bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil
olahan baik melalui darat, air, dan/atau udara termasuk pengangkutan gas
bumi melalui pipa dari suatu tempat ke tempat lain untuk tujuan
komersial.199
3) Penyimpanan
Merupakan kegiatan usaha yang meliputi kegiatan penerimaan,
pengumpulan, penampungan dan pengeluaran minyak bumi, bahan bakar
minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan pada lokasi di atas
dan/atau di bawah permukaan tanah dan/atau permukaan air untuk tujuan
komersial.200
4) Niaga
198
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir
Minyak dan Gas Bumi, Lembaran Negara No. 124 Tahun 2004; Tambahan Lembaran Negara No.
4436. Pasal 12 huruf a
199
Ibid, pasal 12 huruf b
200
Ibid., pasal 12 huruf c
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
64
Universitas Indonesia
Kegiatan usaha niaga meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor,
impor minyak bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar bas dan/atau hasil
olahan, termasuk gas bumi melalui pipa.201
Pasca diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 telah terdapat pemisahan
yang tegas antara kegiatan usaha hulu dengan kegiatan usaha hilir. Dalam undang-
undang sebelumnya, UU No. 44 Prp Tahun 1960 tidak terdapat pemisahan antara
kedua kegiatan usaha ini. Kerakter pengusahaan minyak dan gas bumi pada
industri hilir berbeda dengan industri hulu. Karena dalam industri hilir
pengusahaan dilakukan melalui mekanisme pemberian izin usaha oleh
pemerintah, yang dalam hal ini adalah menteri. Sehingga mekanisme kontrak
kerja sama tidak ditemukan lagi dalam kegiatan usaha hilir ini. Izin usaha yang
diberikan pemerintah disesuaikan dengan peruntukannya. Selain adanya
perbedaan terkait dengan mekanisme kerjasama, berbeda dengan kegiatan usaha
hulu yang diawasi oleh badan pelaksana (Kementerian ESDM) maka dalam
kegiatan usaha hilir pengawasan dilaksanakan oleh badan pengatur. Hal-hal
penting yang masuk dalam ruang lingkup kewenangan badan pengatur adalah:
1) Ketersediaan bahan bakar minyak
2) Cadangan bahan bakar minyak nasional
3) Pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan bahan bakar minyak
4) Tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa
5) Harga gas bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil
6) Pengusahaan transmisi dan distribusi gas bumi.
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha hilir pemerintah berkewajiban
untuk melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan.202
Terdapat beberapa
ketentuan penting dalam kegiatan usaha hilir adalah:
1) Kewajiban bagi badan usaha untuk menjamin ketersediaan dan distribusi
bahan bakar minyak di seluruh wilayah Indonesia.
201
Ibid., pasal 12 huruf d
202
Indonesia, PP No. 36 Tahun 2004, op cit., pasal 3.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
65
Universitas Indonesia
2) Badan usaha diwajibkan untuk menyediakan dan mendistribusikan bahan
bakar minyak di daerah yang mekanisme pasarnya belum berjalan atau
daerah terpencil.
3) Meminta badan usaha untuk menetapkan alokasi cadangan bahan bakar
minyak dalam rangka memenuhi cadangan bahan bakar minyak nasional.
4) Dalam kondisi tertentu, pemerintah dapat mewajibkan badan usaha
menetapkan pemanfaatan bersama termasuk mekanisme penentuan tarif,
dalam rangka menunjang optimasi penyediaan dan pendistribusian bahan
bakar ke daerah terpencil.
5) Menghitung dan menetapkan iuran badan usaha.
Untuk menjamin terlaksananya ketentuan tersebut, badan usaha
diwajibkan untuk menyampaikan laporan kepada menteri dan badan pengatur.
Laporan dimaksud berisi tentang rencana tahunan, realisasi pelaksanaan bulanan,
dan penghentian operasi guna perawatan fasilitas dan sarana pengolahan dalam
rangka menjaga ketersediaan bahan bakar minyak.203
Karakter risiko yang terdapat dalam kegiatan usaha hilir tidaklah sebesar
yang terdapat dalam kegiatan usaha hulu. Dapat dilihat dalam kegiatan usaha hulu
risiko terbesar terdapat pada tidak adanya kepastian akan penemuan cadangan
minyak dan gas bumi. Namun demikian, kegiatan usaha hilir juga tidak luput dari
sejumlah risiko yang dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Sering terjadinya kebocoran pipa dalam rangka transportasi gas bumi
Mengingat karakter gas bumi yang tidak dapat disimpan layaknya minyak
bumi, maka transportasi gas bumi menjadi suatu permasalahan yang cukup
sering menjadi perhatian. Karena sistem transportasi untuk gas bumi
membutuhkan sarana dan prasarana yang cukup sulit.204
Dapat dikatakan
karena sifatnya gas, transportasi gas bumi membutuhkan biaya dan
203
Ibid., pasal 22
204
Didi Setiarto, “Kerangka Hukum Kegiatan Bisnis Gas Bumi dan LNG di Indonesia
Dalam Perspektif Produsen,” (Training on The Law of Energy and Mineral Resources, Faculty of
Law University of Indonesia. Term 2010), hlm. 32.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
66
Universitas Indonesia
persyaratan teknis yang lebih sulit daripada minyak mentah.205
Salah satu
masalah yang sering dialami oleh badan usaha adalah terjadinya kebocoran
pipa. Permasalahan ini kerap melanda badan usaha yang bergerak di
kegiatan usaha hilir. Beberapa diantaranya sebagaimana dialami oleh
Conoco Philips206
, Chevron Indonesia, Pertamina207
dan beberapa
perusahaan lainnya.
2) Pemblokiran jalur transportasi pengiriman minyak dan gas bumi
Disamping permasalahan kebocoran pipa sebagaimana telah diuraikan
diatas, masalah penting lainnya yang sering kali harus dihadapi oleh
perusahaan adalah terkait dengan pemblokiran jalur transportasi. Pada
dasarnya pemblokiran jalur transportasi ini tidak hanya berpengaruh bagi
kelancaran kegiatan usaha hilir namun juga kegiatan usaha hulu. Akan
tetapi tidak dapat dipungkiri jika kegiatan pengangkutan sebagai salah satu
bagian dari kegiatan usaha hilir seringkali menjadi penghambat utama
peningkatan produksi minyak dan gas bumi. Aksi pemblokiran ini
khususnya dihadapi oleh perusahaan-perusahaan minyak dan gas bumi
yang berada di daerah.208
Padahal tidak dapat dipungkiri jika minyak dan
gas bumi yang dihasilkan dari daerah tersebut justru menjadi penyumbang
terbesar bagi peningkatan ekonomi setempat.209
205
Hanan Nugroho, “Pengembangan Industri Hilir Gas Bumi Indonesia: Tantangan dan
Gagasan”. Jurnal Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004. Hlm. 5
206
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, “Kebocoran Pipa TGI
di luar kontrol BP Migas”, <http://www.bpmigas.go.id/blog/2010/09/30/kebocoran-pipa-tgi-di-
luar-kontrol-bpmigas/> Diakses 24 Oktober 2012.
207
Antara Riau, “Chevron Bebankan Biaya Kebocoran Gas Pada Negara”, <
http://www.antarariau.com/berita/12122/chevron-bebankan-biaya-kebocoran-gas-pada-
negara.html> Diakses 24 Oktober 2012.
208
Tambang News.com, “Pertamina Optimal Penyaluran BBM Paksa Pemblokiran dan
Perusakan Fasilitas Terminal BBM Teluk Kabung”. Jumat, 9 November 2012. <
http://www.tambangnews.com/berita/daerah/2867-pertamina-optimal-penyaluran-bbm-paska-
pemblokiran-dan-perusakan-fasilitas-terminal-bbm-teluk-kabung.html>. Diakses, 11 November
2012.
209
Tempo.com, ”Gubernur Awang Tolak Aski Blokade Jalur Batubara”, Selasa, 29 Mei
2012. < http://www.tempo.co/read/news/2012/05/29/058406893/Gubernur-Awang-Tolak-Aksi-
Blokade-Jalur-Batu-Bara>, Diakses 11 November 2012.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
67
Universitas Indonesia
3) Risiko karena adanya ketidakstabilan harga
Pada prinsipnya, risiko karena adanya ketidakstabilan harga tidak hanya
dihadapi oleh industri hilir. Namun industri hulu juga seringkali
dihadapkan dengan adanya risiko fluktuasi harga minyak dan gas bumi.
Berbeda dengan industri lainnya, dimana harga komoditi sangat
dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran, dalam industri
minyak dan gas bumi kondisi politik di suatu negara juga sangat
berpengaruh terhadap kestabilan harga. Hal ini mengingat minyak dan gas
bumi merupakan suatu komoditi yang sangat vital peranannya bagi
pembangunan ekonomi suatu negara.210
Khususnya bagi negara-negara
penghasil minyak dan gas bumi. Oleh sebab itu terjadinya ketegangan
politik di negara-negara penghasil minyak dan gas bumi pada umumnya,
tidak jarang akan memengaruhi harga minyak dunia.211
Dengan adanya
fluktuasi harga minyak maka berpotensi untuk memengaruhi laba yang
akan didapatkan oleh perseroan.
3.4 Ketentuan dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia,
maka kerjasama pengusahaan minyak dan gas bumi harus tunduk pada ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
a. Kepemilikan atas sumber daya minyak dan gas bumi
Ketentuan di dalam KBH berbeda dengan ketentuan yang terdapat
di dalam sistem konsesi dan ontrak karya. Karena KBH mensyaratkan
bahwa negara merupakan pemegang hak milik atas sumber daya migas,
baik itu ketika sumber daya migas tersebut masih berada di bawah perut
bumi maupun ketika migas tersebut di produksi. Sehingga hak milik atas
210
Dean Fantazzini et al, “Global Oil Risks in the Early 21st Century”. Energy Policy 39
(2011), <www.elsevier.com/locate/enpol>. Diakses, 12 Oktober 2012.
211
Indonesia Finance Today, “Penurunan Pasokan Dorong Penguatan Harga MInyak”, 15
August 2012 <http://www.indonesiafinancetoday.com/read/31830/Penurunan-Pasokan-Dorong-
Penguatan-Harga-Minyak> Diakses, 14 Oktober 2012.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
68
Universitas Indonesia
migas baru akan beralih kepada kontraktor ketika migas tersebut telah
sampai pada titik penyerahan.212
Pasal 6 ayat (2) huruf a menyatakan bahwa kepemilikan sumber
daya alam tetap berada di tangan pemerintah sampai pada titik
penyerahan.213
Dengan adanya ketentuan ini maka titel kepemilikan atas
minyak bumi pada dasarnya tidak pernah berada di tangan kontraktor
mengingat pada titik penyerahan atau point of delivery ini telah dilakukan
niaga yang menandakan telah beralihnya rezim hulu ke rezim hilir.
Dengan beralihnya rezim hulu ke rezim hilir maka telah beralih juga badan
usaha yang berhak atas titel kepemilikan tersebut. Dikarenakan adanya
larangan bahwa kegiatan usaha hulu dan hilir dijalankan oleh satu badan
usaha.214
Titel kepemilikan ini secara tidak langsung nantinya akan
berpengaruh terhadap ketentuan tidak dimungkinkannya badan usaha yang
bersangkutan untuk mencatatkan minyak dan gas bumi yang menjadi
bagiannya dalam pembukuannya sebagai aset. Demikian juga halnya
apabila perusahaan berniat untuk menjadikannya sebagai jaminan kepada
pihak lain.
b. Pengendalian Manajemen operasi minyak dan gas bumi berada pada
Badan Pelaksana (Pemerintah c.q Kementerian ESDM)
Manajemen, menurut business law dictionary adalah
“The organization and coordination of the activities of an
enterprise in accordance with certain policies and in
achievement of defined objectives”.215
212
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 Pasal 55 ayat (1). Pembagian
hasil minyak dan gas bumi pada kontrak bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor dilakukan
pada titik penyerahan.
213
Titik penyerahan merupakan flense terluar dari pipa muat setelah pengukur penjualan
akhir pada terminal pengiriman, atau titik lain yang disetujui para pihak.
214
Ketentuan pasal 10 ayat (1) dan (2), Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi, op cit.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
69
Universitas Indonesia
Dalam kaitannya dengan ketentuan yang berlaku dalam kontrak kerja
sama, Pasal 5.3 Production Sharing Contract, memberikan defenisi
bahwa,
“BP Migas shall have the right to review the reasonableness
of the work program, budget, costs and expenses and the
appropriateness of any technical metodhs, system, standards
proposed by contractor”.216
Pasca dilakukannya uji materi atas UU No. 22 Tahun 2001, melalui
putusannya Mahkamah Konstitusi menetapkan fungsi dan tugas BP Migas
dilaksanakan oleh Pemerintah c.q kementerian terkait.217
Hal ini
selanjutnya dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 95
Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.218
Pasal 1 secara tegas menyatakan
bahwa tugas, fungsi dan organisasi BP Migas dialihkan kepada menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas
bumi, yang dalam hal ini adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (Kementerian ESDM). Dengan demikian, dalam tulisan ini BP
Migas selanjutnya akan disebut dengan menteri.
Undang-undang No. 22 Tahun 2001 dalam ketentuan pasal 6 ayat
(2) huruf (b), mengamanatkan bahwa pengendalian manajemen operasi
atas pengelolaan minyak dan gas bumi berada pada badan pelaksana yang
dalam hal ini adalah menteri. Pengendalian atas manajemen operasi
tercermin dalam beberapa hal diantaranya melalui peranan menteri untuk
215
“Business Dictionary”,
<http://www.businessdictionary.com/definition/management.html> Diakses, 12 Oktober 2012.
216
Daft Kontrak Kerjasama Pasal 5.3 Production Sharing Contract between Badan
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) and XXX (contractor).
217
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012.
Dibacakan pada 13 November 2012. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa
frasa Badan Pelaksana yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi.
218
Indonesia, Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan
Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. op cit.,
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
70
Universitas Indonesia
melakukan pengendalian serta pengawasan terhadap realisasi rencana kerja
sebagaimana telah disetujui dan adanya kewajiban bagi kontraktor untuk
terlebih dahulu memintakan persetujuan kepada menteri atas, program
pengembangan dan program kerja (plant of development POD dan work
program and budget atau WP&B).
POD atau rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan
diproduksikan dalam suatu wilayah kerja wajib mendapatkan persetujuan
menteri setelah berkonsultasi dengan pemerintah daerah provinsi yang
bersangkutan.219
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
36/PUU-X/2012 dan Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2012 maka BP
Migas tidak memiliki fungsi dan tugas lagi dalam hal ini. Sehingga,
rencana pengembangan lapangan cukup memintakan persetujuan menteri
dengan berkonsultasi kepada pemerintah daerah provinsi. Melalui POD
pemerintah akan menilai apakah rencana pengembangan lapangan yang
diajukan oleh kontraktor memang bernilai komersil dan layak untuk
memasuki tahapan eksploitasi. Sehingga persetujuan atas POD ini pada
dasarnya merupakan titik penting dari berhasil tidaknya penemuan suatu
cadangan. Sebagaimana juga telah diuraikan sebelumnya, jika POD
dinyatakan tidak bernilai komersil maka kontrak akan secara otomatis
berakhir dan kontraktor tidak dapat mendapatkan penggantian atas segala
biaya yang telah dikeluarkannya.
Work program and budgeting, merupakan sarana bagi pemerintah
untuk mengevaluasi dan menganalisis serta menyiapkan pengesahan
prosedur rencana kerja dan anggaran.220
WP&B merupakan suatu laporan
yang harus diberikan oleh kontraktor secara berkala kepada pemerintah.
Kontraktor harus menyerahkan laporan tersebut, paling lambat 3 (tiga)
219
Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, op cit.
ps. 21 ayat (1) jo Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2012.
220
WP&B merupakan amanat atas ketentuan pasal 44 ayat (3) Undang-undang No. 22
Tahun 2001 jo pasal 11 huruf C Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002
Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara Nomor
81 Tahun 2002; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4216.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
71
Universitas Indonesia
bulan sebelum dimulainya awal tahun, yakni pada bulan September setiap
tahunnya.
Dengan demikian setiap rencana kerja yang dibuat oleh kontraktor
wajib mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari menteri. Demikian
juga halnya dengan realisasi atas rencana kerja tersebut berada di bawah
pengawasan menteri. Berdasarkan ketentuan tersebut, sebagai
konsekuensinya dapat dilihat bahwa menteri adalah pihak yang paling
berwenang dalam kegiatan operasi minyak dan gas bumi. Termasuk layak
tidaknya cadangan tersebut untuk diusahakan atau dieksploitasi.
c. Modal sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor
Keterbatasan modal sebagaimana telah diuraikan sebelumnya merupakan
salah satu kendala utama pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi
di Indonesia. Yang selanjutnya menjadi latar belakang lahirnya sistem
kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pihak swasta. Dalam
melakukan kerjasama bentuk KBH pemerintah mewajibkan kontraktor
untuk menanggung seluruh modal.221
Kontraktor dalam hal ini harus
mengeluarkan seluruh biaya yang sekiranya diperlukan dalam rangka
penemuan minyak dan gas bumi, termasuk biaya pembelian data survei
yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi “Dirjen
Migas”. Ketentuan ini pada akhirnya menyebabkan kontraktor
membutuhkan jumlah dana yang cukup besar untuk dapat ikut serta dalam
industri minyak dan gas bumi. Modal awal yang dibutuhkan tidaklah
sedikit, untuk pengeboran satu sumur saja dapat mencapai US$ 3 juta222
belum termasuk biaya lainnya seperti signature bonus.223
221
Ketentuan pasal 6 ayat (2) huruf (c) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2011 Tentang
Minyak dan Gas Bumi, op cit.,
222
Berita Investasi Kontan, “Medco Menyiapkan US$12 Juta di Blok Yaman”. <
http://investasi.kontan.co.id/news/medco-menyiapkan-us-12-juta-di-blok-yaman/2012/09/23>.
Diakses, 12 Oktober 2012.
223
Signature Bonus, merupakan sejumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh kontraktor
pada saat pertama kalinya dilakukan penandatangan atas kontrak minyak dan gas bumi. Sesuai
dengan ketentuan pasal 52 ayat (3) PP No. 35 Tahun 2004, signature bonus termasuk dalam
bentuk penerimaan negara bukan pajak.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
72
Universitas Indonesia
d. Risiko sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor
Risiko sebagaimana telah diuraikan sebelumnya merupakan suatu kondisi
dimana terjadi kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar
kesalahan salah satu pihak.224
Perihal risiko tidak diatur secara khusus di
dalam KUHPerdata, tetapi berdasarkan ketentuan pasal 1237 KUHPerdata
dapat dilihat bahwa pihak yang menanggung resiko merupakan pihak yang
memegang hak milik atas benda tersebut. Oleh sebab itulah dalam
beberapa kontrak, untuk menghindarkan terjadinya sengketa di kemudian
hari, risiko tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak.
Dalam kaitannya dengan kerjasama pengusahaan minyak dan gas bumi,
dalam KBH pemerintah Indonesia sejak awal berlakunya kontrak telah
menyatakan bahwa risiko sepenuhnya akan ditanggung oleh kontraktor.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal 6 ayat (2) huruf c
UU No. 22 Tahun 2001, menyatakan bahwa modal dan risiko sepenuhnya
ditanggung oleh kontraktor atau badan usaha tetap yang bersangkutan.225
Dapat dilihat bahwa meskipun pemerintah juga adalah para pihak di dalam
kontrak namun pemerintah samasekali tidak berkewajiban untuk ikut serta
menanggung risiko dalam pelaksanaan kontrak kerja sama. Kontraktor
sendirilah yang dalam hal ini harus menanggung risiko atas gagalnya
operasi. Pelaksanaan dari ketentuan ini terlihat ketika berhasil tidaknya
kontraktor menemukan cadangan minyak dan gas bumi. Jika kontraktor
ternyata tidak berhasil maka seluruh dana yang telah dikeluarkan oleh
kontraktor adalah menjadi tanggungan kontraktor sendiri. Tidak hanya itu,
kontrak antara pemerintah dan kontraktor juga akan secara otomatis
berakhir. Dapat dilihat tidak sedikit perusahaan minyak dan gas bumi, baik
nasional maupun internasional yang terpaksa memikul kerugian sendiri
akibat risiko gagalnya penemuan cadangan.226
224
Subekti, Hukum Perjanjian, op cit., hlm. 59.
225
Indonesia, Undang-undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001, op cit.,
pasal 6 ayat (2) huruf c.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
73
Universitas Indonesia
e. Adanya kewajiban untuk melakukan ring fencing
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, apabila penemuan
cadangan oleh kontraktor ternyata bernilai komersil, maka pemerintah
akan melakukan pembayaran atas segala biaya yang telah dikeluarkan oleh
kontraktor melalui mekanisme cost recovery. Pemerintah perlu
memastikan bahwa biaya yang diberikan ganti rugi oleh pemerintah adalah
biaya yang memang senyata-nyata telah dikeluarkan oleh kontraktor dalam
rangka pengusahaan minyak dan gas bumi. Selain itu, ketentuan ini juga
penting untuk memudahkan dan mewajibkan perhitungan yang objektif
atas cost recovery. Oleh sebab itulah terdapat ketentuan yang menyatakan
bahwa, kepada setiap badan usaha atau bentuk usaha tetap hanya diberikan
satu wilayah kerja dan apabila badan usaha atau bentuk usaha tetap
tersebut mengusahakan beberapa wilayah kerja, harus dibentuk badan
hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja.227
Pentingnya pemisahan badan hukum ini dikenal dengan istilah ring
fencing. Ketentuan pasal ini dan ketentuan pasal 10 ayat (1) dan (2)
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, mendorong lahirnya perusahaan-
perusahaan boneka atau yang dikenal dengan Special Purpose Vehicle
“SPV”. SPV merupakan228
“An SPV, or a special purpose entity (SPE), is a legal entity
created by a firm (known as the sponsor or originator) by
transferring assets to the SPV, to carry out some specific
purpose or circumscribed activity, or a series of such
transactions.”
226
“Eksplorasi Gagal, Tiga Kontrak Migas US$1,2 Miliar Diputus”
<http://en.bisnis.com/articles/eksplorasi-gagal-tiga-kontrak-migas-us$1-2-miliar-diputus>. Diakses
12 Oktober 2012.
227
Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2001, op cit., pasal 13 ayat (1) dan (2).
228
Gary B. Gorton and Nicholas S. Souleles, “Special Purpose Vehicles and
Securitization”. The National Bureau of Economic Research, The Risk of Financial Institution.
University of Chicago Press, January 2007. < http://www.nber.org/chapters/c9619>. Diakses 12
Oktober 2012.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
74
Universitas Indonesia
Sebagai dampaknya SPV tidak memiliki tujuan lebih dari yang
telah ditetapkan sebagai dasar pendiriannya atau dengan kata lain SPV
tidak menjalankan kegiatan di luar tujuan pembentukannya; SPV tidak
dapat membuat keputusan yang bersifat substantif karena semua kegiatan
SPV telah direncakan sejak awal pembentukannya dan SPV tidak memiliki
lokasi fisik serta tidak memiliki tenaga kerja layaknya badan usaha lain.229
Dengan demikian dapat dilihat bahwa pendirian SPV hanyalah
dalam rangka memenuhi suatu ketentuan administrasi saja.230
Populer
dikenal sebagai perusahaan diatas kertas. Dengan demikian badan usaha
tersebut tidak menjalankan kegiatan usaha sebagaimana mestinya. Sebagai
konsekuensinya, badan usaha yang bersangkutan tidak memiliki pengurus
tetap, tidak mampunyai aset atas nama badan hukum itu sendiri.
f. Jangka Waktu Kontrak Kerja Sama
Undang-undang menetapkan bahwa jangka waktu kontrak kerja
sama ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) tahun dengan kemungkinan
dapat dilakukan perpanjangan selama 20 (dua puluh) tahun.231
Enam tahun
pertama dilakukan untuk masa eksplorasi dan dimungkinkan untuk
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama empat tahun.232
Dimulainya
tahapan eksplorasi terhitung sejak tanggal efektifnya kontrak atau disebut
dengan effective date. Apabila dalam sepuluh tahun pertama kontraktor
tidak dapat menemukan cadangan minyak dan gas bumi, maka kontrak
akan berakhir secara otomatis. Sehingga jangka waktu kontrak kerja sama
hanya dapat dilanjutkan apabila terdapat temuan cadangan.233
Dalam hal
jangka waktu kontrak sudah hampir habis namun cadangan baru
229
Ibid.,
230
Todung Mulya Lubis, Project Financing. Disampaikan pada kuliah Hukum
Pembiayaan Perusahaan, Pasasarjana Fakultas Hukum UI, November, 2011.
231
Indonesia, Undang-undang No. 21 Tahun 2001, op cit., pasal 14 ayat (1) dan (2)
232
Ibid., pasal 15 ayat (1) dan (2).
233
Didi Setiarto, Kerangka Hukum Kegiatan Bisnis Gas Bumi dan LNG di Indonesia
dalam Perspektif Produsen op cit.,
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
75
Universitas Indonesia
ditemukan pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan dengan
mengeluarkan suatu surat pernyataan atau disebut dengan acknowledgment
letter. Acknowledgment letter bertujuan untuk menghentikan argo waktu
masa eksplorasi yang hanya sepuluh tahun sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya.234
g. Kepemilikan atas Aset
Sebagai dampak dari adanya ketentuan cost recovery, sejak saat
dimulainya cost recovery atau sejak saat memasuki tahap eksploitasi maka
seluruh aset yang dipunyai oleh badan usaha milik kontraktor secara
otomatis harus beralih kepemilikannya dan dicatatkan menjadi aset
negara.235
Hal ini karena pemerintah akan melakukan penggantian biaya
atas segala pengeluaran kontraktor, termasuk peralatan yang dibeli oleh
kontraktor. Ketentuan peraturan perundang-undangan dengan tegas
menyatakan bahwa seluruh barang dan peralatan yang secara langsung
digunakan dalam kegiatan usaha hulu yang dibeli oleh kontraktor menjadi
milik atau kekayaan negara.236
Pemerintah sebagai pihak yang melakukan
pembinaan atasnya dan badan pelaksana sebagai pihak yang mengelola.
Dengan demikian, secara hukum badan usaha yang bersangkutan tidak
memiliki aset lagi atas badan hukum itu sendiri.
h. Kemungkinan dilakukannya unitisasi
Pada tahapan eksplorasi apabila ditemukan lapangan yang
melampaui suatu wilayah kerja kontraktor yang bersangkutan akan tetapi
lapangan atau wilayah tersebut dianggap tidak mampu untuk memproduksi
sendiri maka wilayah tersebut diberikan limited commerciality.237
Hal ini
234
Ibid.,
235
M Hakim Nasution, Production Sharing Contract (PSC). Disampaikan pada One
Week Training on The Law of Oil and Gas, Business Law Society, Faculty of Law University of
Indonesia, June 2010.
236
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2004, op cit., pasal 78.
237
Didi Setiarto, Kerangka Hukum Kegiatan Bisnis Gas Bumi dan LNG di Indonesia
dalam Perspektif Produsen. op cit.,
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
76
Universitas Indonesia
sebagaimana diatur dalam pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun
2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2005 selanjutnya
disebut dengan “PP No. 35 Tahun 2004”. Pasal 41 ayat (1) menyatakan
“Kontraktor wajib melakukan unitisasi apabila terbukti adanya pelamparan
reservoar yang memasuki wilayah kerja kontraktor lainnya”. Selanjutnya
pasal 42 menyatakan bahwa menteri menentukan operator pelaksana
unitisasi berdasarkan kesepakatan diantara kontraktor yang melakukan
unitisasi dan pertimbangan badan pelaksana. Dengan demikian, adalah
dimungkinkan apabila operator atau pihak yang bertanggungjawab atas
suatu wilayah atau lapangan beralih kepada pihak lain.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
77
Universitas Indonesia
BAB 4
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN
KREDIT KEPADA INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI
Berdasar pada bab sebelumnya dapat dilihat secara garis besar seperti apa
karakter risiko yang terkandung dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi di
Indonesia. Risiko tersebut dapat dikelompokkan menjadi risiko yang memang
berasal dari nature industri minyak dan gas bumi itu sendiri maupun risiko yang
datangnya luar. Risiko yang datangnya dari luar terkait dengan ketentuan yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan, khususnya untuk kegiatan usaha
hulu. Baik Sebagaimana juga telah diuraikan sebelumnya bahwa masalah
keterbatasan modal telah menjadi salah satu masalah penting dalam rangka
pengusahaan minyak dan gas bumi. Tidak hanya Indonesia sendiri namun hampir
sebagian besar negara-negara berkembang di belahan dunia ini menghadapi
permasalahan yang sama. Di sisi lain, minyak dan gas bumi masih menjadi
tumpuan ketahanan energi di Indonesia, disamping sumbangsihnya yang cukup
besar bagi perekonomian di Indonesia. Sehingga bank dirasa perlu untuk
memberikan pendanaan bagi majunya industri minyak dan gas bumi di Indonesia.
Bank sebagai salah satu lembaga keuangan yang dirasa paling mampu mendukung
dan memang mengemban amanat untuk menyalurkan dana kepada masyarakat238
ternyata terikat dengan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Khususnya dalam rangka pemberian kredit. Oleh sebab itulah berikut di
bawah dilakukan analisis bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian dalam
rangka pemberian kredit kepada industri minyak dan gas bumi di Indonesia.
4.1 Analisis Profil Risiko yang Terdapat dalam Industri Minyak dan Gas
Bumi dalam Kaitannya dengan Prinsip Kehati-hatian dan Prinsip
Pemberian Kredit
4.1.1 Kegiatan Usaha Hulu
Kegiatan usaha hulu dapat dibedakan menjadi tahapan eksplorasi dan
eksploitasi. Pertama adalah tahapan eksplorasi. Tahapan eksplorasi pada
238
Indonesia, Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, op cit., Pasal 3
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
78
Universitas Indonesia
prinsipnya merupakan tahapan yang paling kritis dalam proses penemuan minyak
dan gas bumi. Dikatakan demikian karena dalam tahap ini kemungkinan risiko
yang harus dihadapi oleh kontraktor sangatlah besar. Mengingat biaya yang
dibutuhkan sangat tinggi sementara tidak terdapat kepastian sama sekali akan
ditemukannya cadangan minyak dan gas bumi.239
Dapat dilihat kemungkinan
tidak berhasilnya pemboran adalah 0,8% sedangkan kemungkinan berhasil yang
memberikan net present value hanyalah 0,2%.240
Berdasarkan data yang diperoleh
dari BP Migas dikatakan bahwa kerugian investasi minyak dan gas bumi dalam
dua tahun terakhir mencapai 1,24 miliar dollar Amerika Serikat. Pada tahun 2010,
kegagalan temuan cadangan minyak dan gas bumi komersil terjadi di 30 sumur
dengan kerugian 776 juta dollar AS, sedangkan tahun 2011, jumlah sumur kering
(dry hole) 12 unit dengan investasi yang hilang 461 juta dollar AS.
Dalam kaitannya dengan prinsip pemberian kredit oleh bank, bank dalam
memberikan kredit diwajibkan untuk melakukan analisis kredit terlebih dahulu.
Salah satu aspek yang penting untuk dilakukan analisis atasnya adalah terkait
dengan risiko yang terkandung dalam pemberian kredit tersebut. Risiko dalam
pemberian kredit salah satunya dinilai dari risiko yang melekat pada proyek yang
dibiayai. Perhitungan atas risiko ini penting karena bank perlu memperhitungkan
kemungkinan kerugian yang dapat timbul dari pemberian kredit kepada
nasabah.241
Industri minyak dan gas bumi dikategorikan sebagai kegiatan usaha yang
memiliki risiko tinggi karena sifat dari pekerjaan itu sendiri.242
Yakni terkait
dengan sifat usaha dan risiko akan tidak adanya kepastian. Terkait dengan risiko
tidak adanya kepastian, dapat menimbulkan spekulasi, yang pada akhirnya
menyebabkan semakin tinggi pula risikonya. Terkait dengan risiko jenis ini
biasanya cukup sulit untuk dihitung dan tidak dapat diketahui pasti kapan risiko
239
S. B Suslick and D. J Schiozer, op cit.,
240
Widjajono Partowidagdo, Migas dan Energi di Indonesia, Permasalahan dan analisis
kebijakan. op cit., hlm. 35
241
Wawancara dengan Joi Terkelin Sembiring, Risk Management Bank Central Asia.
242
Teguh Pudjo Muljono, op cit., hlm. 80
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
79
Universitas Indonesia
tersebut akan datang243
sehingga dikenal dengan unexpected loss. Seperti yang
telah diuraikan sebelumnya, data survei yang telah ada tidak mampu untuk
membuktikan ada tidaknya cadangan minyak dan gas bumi. Pemboran adalah
satu-satunya cara yang dapat ditempuh untuk mengetahui ada tidaknya dan
seberapa besarnya cadangan yang ada. Jikalaupun ternyata ada cadangan yang
ditemukan belum tentu cadangan tersebut dapat diusahakan. Kontraktor harus
melakukan perhitungan terlebih dahulu bagaimana tingkat keekonomian dari
cadangan tersebut, apakah layak untuk diproduksi ataukah tidak. Tidak hanya itu,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia,
penghitungan ini tidak hanya merupakan keputusan kontraktor semata. Namun,
pemerintah c.q Menteri ESDM juga harus memberikan persetujuannya.
Dengan adanya, pertimbangan tersebut pada akhirnya membuat bank
cukup sulit untuk memberikan pendanaan kepada industri minyak dan gas bumi,
khususnya pada kegiatan usaha hulu yang dalam hal ini adalah eksplorasi.
Kesulitan terbesar yang dialami bank adalah ketidakmampuan bank untuk
memperhitungkan seberapa besar tingkat risiko dari industri tersebut, yang
dikenal dengan istilah mitigasi risiko.244
Padahal bank dalam menjalankan
kegiatan usahanya dituntut untuk tunduk pada prinsip kehati-hatian khususnya
dalam kaitannya dengan manajemen risiko dalam pemberian kredit. Dengan
adanya faktor risiko ini bank tentunya sulit untuk mengelola risiko yang mungkin
timbul dari kegiatan pendanaan yang dilakukannya. Pada akhirnya menyebabkan
bank tidak berani untuk memberikan pendanaan bagi kegiatan eksplorasi minyak
dan gas bumi.
Selanjutnya adalah tahapan eksploitasi. Pada prinsipnya risiko yang
terdapat dalam tahapan eksploitasi sudah lebih kecil daripada risiko yang terdapat
dalam tahapan eksplorasi. Dikatakan demikian, karena suatu kegiatan untuk dapat
dikatakan telah memasuki tahapan eksploitasi, telah terbukti bahwa terdapat
cadangan yang layak diproduksi secara komersial. Dengan demikian, tingkat
ketidakpastian dalam tahapan ini sudah tidak sebesar dalam tahapan eksplorasi.
243
Ibid.,
244
Wawancara dengan Bapak Madjedi Hasan, Independent Master Consultant – Pranata
Energi Nusantara Consulting; Konsultan Bank Mandiri, Bank Niaga.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
80
Universitas Indonesia
Namun, tidak dapat dipungkiri jika faktor risiko masih melekat pada tahapan ini.
Sebagaimana telah diuraikan, permasalahan terbesar yang terdapat dalam tahapan
eksploitasi adalah menurunnya jumlah cadangan yang terkandung dalam
reservoar. Menurunnya jumlah cadangan ini menyebabkan harus dilakukannya
upaya recovery dengan biaya yang cukup besar. Upaya recovery tersebut terdiri
dari premier recovery, secondary recovery dan tertier recovery. Dengan adanya
risiko ini dapat saja terjadi, jika biaya yang dibutuhkan untuk kegiatan eksploitasi
ternyata lebih besar dari keuntungan yang mungkin didapatkan. Sehingga
menyebabkan kerugian bagi kegiatan usaha kontraktor. Hal ini nantinya akan
berkaitan dengan perhitungan cash-flow dari perusahaan kontraktor. Harus
dipertimbangkan bagaimana perbandingan antara laba/keuntungan yang mungkin
didapatkan oleh kontraktor jika dibandingkan dengan jumlah kewajiban yang
harus dilaksanakannya dalam tahun tersebut. Mengingat evaluasi atas kredit
dilakukan setiap tahun.245
Dengan adanya kemungkinan kontraktor mengalami
kerugian maka kemungkinan risiko yang harus ditanggung oleh bank juga
semakin besar. Meskipun pada prinsipnya pada tahapan eksploitasi ini sudah
memungkinkan untuk dilakukannya perhitungan atas risiko yang mungkin timbul
jika dibandingkan dengan tahapan eksplorasi.
Terlepas dari adanya kemungkinan risiko sebagaimana telah diuraikan
diatas. Salah satu ketentuan penting yang terdapat dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di Indonesia adalah sejak saat memasuki tahap eksploitasi
yakni sejak saat POD yang untuk pertama kalinya disetujui oleh pemerintah maka
telah terdapat mekanisme cost recovery. Cost recovery sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya merupakan mekanisme penggantian biaya yang diberikan
oleh pemerintah. Kontraktor berhak untuk mendapatkan kembali biaya-biaya yang
telah dikeluarkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi.246
Dengan
demikian, disamping telah terdapat kepastian untuk melakukan produksi secara
komersial dalam tahapan ini juga telah terdapat mekanisme penggantian biaya.
Sehingga pada prinsipnya risiko yang terdapat dalam tahapan eksploitasi sudah
245
Wawancara dengan Joi Terkelin Sembiring, Risk Management Bank Central Asia.
246
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004, pasal 56 ayat (2).
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
81
Universitas Indonesia
jauh lebih kecil dibandingkan dengan risiko yang terdapat dalam tahapan
eksplorasi.
Disamping risiko alamiah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, risiko
penting lainnya adalah risiko yang terkait dengan kebijakan pemerintah.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya beberapa kebijakan pemerintah yang
ditetapkan baru-baru ini diantaranya adalah terkait dengan: Peraturan Pemerintah
tentang cost recovery; ketentuan DMO (Domestic Market Obligation); Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 22 Tahun 2008 tentang jenis-jenis
biaya kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang tidak dapat dikembalikan
kepada kontraktor kontrak kerja sama; putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
36/PUU-X/2012 jo Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan
Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Tidak dapat dipungkiri jika keberlakuan peraturan tersebut telah menimbulkan
sejumlah ketidakpastian hukum dalam kegiatan investasi minyak dan gas bumi di
Indonesia. Dimana pada akhirnya hal ini masuk ke dalam risiko yang harus
ditanggung oleh pengusaha minyak dan gas bumi. Tidak hanya berhenti sampai
disitu sejumlah perubahan ini dipercaya telah turut serta memberikan sumbangsih
bagi menurunya pertumbuhan ekonomi dari sektor minyak dan gas bumi.247
Dalam kaitannya dengan pemberian kredit oleh bank maka salah satu
unsur yang terdapat dalam pemberian kredit adalah penilaian atas condition of
economy dari calon debitur. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bank
melakukan penilaian atas situasi politik, sosial, yang memengaruhi perekonomian
pada suatu waktu tertentu dan dapat memengaruhi kelancaran usaha dari
perusahaan yang memperoleh kredit.248
Khususnya terkait dengan kebijakan
penting dalam suatu negara dalam kaitannya dengan projek yang akan dibiayai
oleh bank.249
Dengan berlakunya sejumlah kebijakan pemerintah tersebut ternyata
benar adanya telah memengaruhi kelancaran usaha dari sejumlah perusahaan
minyak dan gas bumi di Indonesia. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh
247
Bank Indonesia, Ketahanan Perekonomian Indonesia di Tengah Ketidakpastian
Ekonomi Global, Laporan Perekonomian Tahun 2011. hlm. 52
248
Teguh Pudjo Muljono, op cit., hlm. 17.
249
Retto Galati, op cit., hlm. 155.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
82
Universitas Indonesia
Indonesian Petroleum Association (IPA) bahwa terjadinya sejumlah perubahan
dalam kebijakan pemerintah benar-benar diluar perkirakan sebelumnya250
, yang
mana pada akhirnya hal ini memaksa sejumlah perusahaan untuk menunda
investasinya di Indonesia.251
Berdasar pada fakta diatas dapat dilihat bahwa
sejumlah kebijakan pemerintah ternyata telah memengaruhi kelancaran usaha dari
perusahaan minyak dan gas bumi, dimana hal ini berpotensi untuk memperbesar
risiko yang harus ditanggung oleh bank ketika memberikan kredit. Hal ini
membuat bank dalam melakukan analisis kredit akan melihat bahwa industri
minyak dan gas bumi memiliki karakter risiko yang cukup tinggi yang tidak hanya
berasal dari sifat alamiah industri tersebut. Dengan demikian hal ini tentunya akan
memengaruhi kebijakan bank dalam memberikan kredit kepada industri minyak
dan gas bumi khususnya dalam kaitannya dengan prinsip kehati-hatian yang
diemban oleh bank.
4.1.2 Kegiatan Usaha Hilir
Jika dibandingkan dengan karakter risiko yang terdapat dalam kegiatan
usaha hulu, karakter risiko yang terdapat dalam kegiatan usaha hilir dapat
dikatakan cukup rendah. Hal ini karena risiko terbesar dalam industri minyak dan
gas bumi, yakni ditemukan tidaknya cadangan yang potensial untuk
dikembangkan telah dilewati dalam. Kegiatan usaha hilir yang terdiri dari
kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga, hanya sesekali saja
harus berhadapan risiko yang mana pada umumnya merupakan faktor yang
bersifat non-teknis. Meskipun kegiatan usaha hilir harus berhadapan dengan
risiko, kerugian yang harus ditanggung oleh kontraktor tidaklah sebesar
kemungkinan kerugian dalam kegiatan usaha hilir.
Tidak hanya berkaitan dengan karakter risiko yang sudah semakin rendah
dalam industri hilir kegiatan usaha tidak dilaksanakan dengan sistem kontrak atau
250
Okezone.com, “Investor Siap "Tagih" Komitmen Menteri ESDM”. <
http://economy.okezone.com/read/2012/11/20/19/720583/investor-siap-tagih-komitmen-menteri-esdm>. Diakses 20 November 2012.
251
The Indonesian Mining Magazine, Tambang. “IPA Ajukan Judicial Review Untuk PP
Cost Recovery”.
<http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=18&newsnr=4036>. Diakses 20
November 2012
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
83
Universitas Indonesia
kerjasama dengan pemerintah. Pengusaha minyak dan gas bumi cukup
membentuk badan usaha setelah mendapat izin usaha dari pemerintah.252
Meskipun perusahaan minyak dan gas bumi masih terikat dengan sejumlah
kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan, kontrol pemerintah atas jalannya kegiatan usaha sudah tidak sebesar
dalam industri hulu. Mengingat pemerintah bukanlah para pihak di dalam kontrak,
akan tetapi hanya sebagai regulator yang memberikan izin usaha kepada
perusahaan minyak dan gas bumi. Demikian juga halnya jika dilihat dari sisi
permodalan. Berbeda dengan industri hulu yang membutuhkan modal cukup besar
untuk industri hilir modal yang dibutuhkan tidak begitu besar karena biaya
terbesar adalah untuk melakukan pemboran. Berdasar pada beberapa alasan
tersebut yakni, karakter risiko, kontrol pemerintah dan jumlah permodalan yang
terdapat dalam industri hilir, dapat dilihat bahwa industri hilir layak dimasuki oleh
bank. Meskipun masih terdapat risiko namun bank sudah lebih mungkin untuk
memperkirakan seberapa besar risiko tersebut. Karena jumlah dana yang harus
dikucurkan oleh bank juga tidak terlalu besar, maka risiko kegagalan kredit yang
harus ditanggung oleh bank juga tidak sebesar dalam industri hilir.
Dalam kaitannya dengan badan usaha yang menjalankan industri hulu dan
hilir pada waktu yang bersamaan, bank tidak perlu khawatir akan kemungkinan
tersebarnya risiko. Mengingat dengan adanya ketentuan pasal 10 UU No. 22/2001
maka terdapat pemisahan antara badan usaha yang menjalankan kegiatan usaha
hulu dan kegiatan usaha hilir. Dengan demikian, secara hukum badan usaha
tersebut merupakan entitas yang terpisah dan tidak terdapat sharing risiko. Dengan
kata lain risiko yang mungkin ditanggung oleh badan usaha dalam industri hilir
terpisah samasekali dengan badan usaha yang menjalankan industri hulu.
4.2 Analisis Ketentuan yang terdapat dalam Industri minyak dan gas
bumi dalam kaitannya dengan prinsip kehati-hatian dan prinsip
pemberian kredit
a. Kepemilikan atas sumber daya minyak dan gas bumi
252 Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2001, op cit., pasal 23 ayat (1).
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
84
Universitas Indonesia
Sesuai dengan amanat yang terdapat dalam undang-undang minyak
dan gas bumi dan sebagaimana juga telah diuraikan pada bab sebelumnya
bahwa sumber daya minyak dan gas bumi berada pada negara sampai
kepada titik penyerahan. Dengan adanya ketentuan ini maka secara tidak
langsung kontraktor pada prinsipnya tidak memiliki titel kepemilikan atau
hak milik atas minyak dan gas bumi yang menjadi bagiannya.253
Hal ini
terjadi karena titik penyerahan adalah saat dimana minyak dan gas bumi
tersebut telah siap diserahkan kepada pihak lain untuk dijual. Dengan
demikian telah terdapat perubahan rezim dari rezim hulu memasuki rezim
hilir, yakni kegiatan niaga. Sebagai konsekuensinya adalah tidak
dimungkinkan bagi kontraktor jika mencatatkan minyak dan gas bumi
yang menjadi bagiannya tersebut ke dalam pembukuan kontraktor sebagai
aset. Padahal pembukuan dari calon nasabah adalah salah satu bahan
pertimbangan penting bagi bank dalam melakukan credit assessment.254
Tidak hanya berhadapan dengan masalah pencatatan aset,
ketentuan ini juga cukup penting dalam kaitannya dengan peran
agunan/collateral dalam pemberian kredit. Sebagaimana diketahui bahwa
peranan agunan akan semakin penting jika proyek yang dibiayai oleh bank
memiliki risiko yang cukup tinggi.255
Dapat dilihat bahwa kegiatan usaha
hulu minyak dan gas bumi memiliki risiko yang cukup tinggi sehingga
peran agunan menjadi sangat penting. Namun, ketentuan ini membuat
kontraktor tidak memiliki kewenangan untuk menjadikan minyak dan gas
bumi yang menjadi bagiannya sebagai agunan. Apabila hal ini
dimungkinkan tentunya jumlah minyak dan gas bumi yang dapat
dijadikan agunan akan sangat besar. Mengingat pada tahap awal produksi,
253 Pada umumnya pembagian hasil produksi antara pemerintah dengan kontraktor adalah
85% dan 15%, dimana bagian pemerintah 85% dan bagian kontraktor 15%. Bagian untuk
kontraktor ini akan diperhitungkan dengan memisahkan perhitungan atas Fisrt Tranche Petroleum
(FTP) sebanyak 10% terlebih dahulu. Prosentase production sharing ini tidak berlaku mutlak
sehingga dimungkinkan adanya negosiasi dengan kementerian ESDM, khususnya untuk wilayah
yang miskin sarana dan prasarana.
254
Derrick Ware, Basic Principles of Banking Supervision. Centre for Central Banking
Studies Bank of England, Handbooks in Central Banking, No. 7.pg. 18
255
Gabreil Jimenez and Jesus Saurina, op cit.,
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
85
Universitas Indonesia
jumlah cost recovery yang harus diganti oleh pemerintah cukup tinggi.
Bahkan dalam beberapa kasus bagian yang tersisa bagi pemerintah
hanyalah first tranche petroleum.
b. Pengendalian manajemen operasi minyak dan gas bumi berada pada
Badan Pelaksana (Pemerintah c.q Kementerian ESDM)
Dengan adanya ketentuan ini maka kontraktor bukanlah pemegang
kendali utama atas jalannya manajemen operasi minyak dan gas bumi.
Kontraktor yang adalah calon debitor bukan pihak yang memiliki
kewenangan penuh dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya.
Kegiatan usaha tersebut sepenuhnya berada di bawah pengendalian dan
pengawasan dari menteri. Sebagai konsekuensi dari adanya ketentuan ini
maka penempatan maupun distribusi modal juga masuk dalam ranah
kewenangan menteri. Demikian juga halnya dengan rencana kerja dan
anggaran. Serta yang paling penting adalah rencana pengembangan
lapangan. Meskipun dalam prakteknya keputusan ini diambil dengan
mempertimbangkan rencana kerja yang telah dibuat oleh kontraktor
sebelumnya.
Dalam kaitannya dengan prinsip pemberian kredit oleh bank, maka
ketentuan ini akan behadapan dengan prinsip capacity atau kapabilitas dari
calon nasabah. Sebagai salah satu dasar analisis yang digunakan oleh bank
dalam rangka pemberian kredit. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku
maka pihak yang dilakukan analisis atasnya adalah kontraktor selaku calon
debitor. Mengingat kompeten tidaknya nasabah adalah salah satu aspek
penilaian bagi bank.256
Dengan adanya ketentuan ini pihak yang dianggap
kompeten oleh bank untuk menjalankan bisnisnya yakni kontraktor
ternyata bukanlah pihak yang memegang otoritas penuh. Suatu hal yang
dimungkinkan jika terjadi sejumlah perubahan atas jalannya suatu proyek
yang di luar kemampuan calon debitor itu sendiri.
256 Zulkarnain Sitompul, Kredit Macet: Apakah Suatu Perbuatan Melawan Hukum
(Pidana). Disampaikan pada workshop Kriminalisasi Kredit Bank Sebagai Suatu Tindak Pidana
Korupsi, Jakarta: 23-25 Nopember 2009.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
86
Universitas Indonesia
Tidak hanya itu permasalahan penting lainnya adalah adanya
kewenangan menteri untuk memberikan persetujuan berdasarkan
pertimbangan dari pemerintah daerah provinsi yang bersangkutan, dalam
rangka pengembangan lapangan.257
Sehingga dapat dilihat keputusan
untuk melanjutkan proyek sangatlah bergantung kepada pihak di luar calon
debitur itu sendiri. Padahal rencana kerja, dasar-dasar manajemen dan
kebijakan yang diambil perusahaan adalah salah satu aspek penilaian bank
dalam rangka melakukan analisis atas risiko kredit.258
Kemungkinan ini pada akhirnya dapat menambah potensi risiko
atas kredit yang bersangkutan. Karena proyek yang dibiayai oleh bank dan
yang telah dilakukan analisis atasnya dapat saja berjalan di luar perkiraan
semula. Disebabkan oleh adanya intervensi kebijakan dari menteri selaku
pemegang otoritas manajemen operasi.
c. Modal sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor
Pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22 Tahun 2001 menyatakan bahwa
modal seluruhnya ditanggung oleh kontraktor. Dengan adanya ketentuan
ini maka jumlah dana yang dibutuhkan oleh kontraktor tentunya akan
sangat besar. Karena pemerintah sebagai counter party tidak ikut serta
dalam menanggung modal proyek yang bersangkutan. Sebagaimana juga
telah diuraikan sebelumnya, pemerintah selaku counter party hanya akan
ikut serta apabila temuan telah bernilai komersil. Yakni melalui
mekanisme cost recovery.
Sebagai akibatnya kewajiban ini akan berpengaruh pada dua hal.
Pertama bank terikat dengan ketentuan Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sebagai
implementasi dari prinsip kehati-hatian, bank dalam memberikan kredit
tidak boleh melebihi jumlah tertentu sesuai dengan besaran modal bank.
257
Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, op cit.
ps. 21 ayat (1)
258
Morton Glantz, op cit., hlm. 16
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
87
Universitas Indonesia
Sehingga tidak jarang bank harus berhadapan dengan ketentuan BMPK
ketika memberikan pendanaan dalam jumlah yang cukup besar.
Selain itu jumlah dana juga menjadi salah satu bahan pertimbangan
penting bagi bank dalam rangka pemberian kredit.259
Hal ini dalam
kaitannya dengan kemungkinan risiko yang harus ditanggung oleh bank.
Dapat dilihat bahwa semakin besar jumlah dana yang dipercayakan oleh
bank kepada calon debitur maka tentunya semakin besar juga tingkat
risiko yang harus diemban oleh bank. Hal ini mengingat kepada prinsip
kepercayaan yang bank harus terapkan selaku pengelola dana
masyarakat.260
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa disamping adanya
kemungkinan terbentur dengan ketentuan BMPK, dari sisi jumlah
pendanaan atau jumlah dana yang harus dikucurkan oleh bank, risiko
dalam rangka pembiayaan industri minyak dan gas bumi cukup tinggi.
d. Risiko sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor
Pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22 Tahun 2001, pasal 2 PP No. 79 Tahun
2010 maupun format baku Kontrak Bagi Hasil (KBH) secara tegas
menyatakan bahwa risiko atas pelaksanaan kegiatan operasi minyak dan
gas bumi seluruhnya ditanggung oleh kontraktor sendiri. Dengan adanya
ketentuan ini maka meskipun terjadi atau timbul risiko di kemudian hari
pemerintah yang juga adalah para pihak didalam kontrak tidak dapat
diikutsertakan dan tidak bertanggungjawab sama sekali atas kerugian yang
timbul. Dapat dilihat, ketika kontraktor ternyata gagal dalam tahap
eksplorasi atau tidak menemukan cadangan yang layak untuk
dikembangkan maka kontrak akan berakhir secara otomatis. Segala biaya
yang telah dikeluarkan oleh kontraktor adalah menjadi tanggungan
kontraktor sendiri.
259
Alexander Bathory, op cit., pg. 320.
260
Zulkarnain Sitompul, Peran dan Fungsi Bank dalam Sistem Perekonomian.
http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/peran-dan-fungsi-bank_artikel.pdf. Diakses, 27
Desember 2011, pukul 18.00 WIB.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
88
Universitas Indonesia
Dalam kaitannya dengan manajemen risiko dalam pemberian
kredit, dapat dilihat bahwa dalam rangka pemberian kredit, counter party
dari calon debitor merupakan salah satu aspek penilaian penting bagi
bank.261
Namun dalam hal ini, meskipun counter party calon debitor
adalah pemerintah, yang dianggap sebagai pihak yang lebih dapat
dipercaya (dibanding pihak swasta),262
ternyata tidak dapat diikutsertakan
dalam penilaian. Bank harus menyadari bahwa untuk masalah risiko
pemerintah tidak terlibat sama sekali. Dengan adanya ketentuan ini,
tentunya akan memperluas risiko yang harus ditanggung oleh calon
debitor dalam menjalankan kegiatan usahanya. Padahal apabila pemerintah
ikut serta dalam menanggung risiko layaknya kontrak pada umumnya,
dapat menjadi nilai tambah tersendiri bagi bank ketika mengambil
keputusan pemberian kredit.263
Pada akhirnya, dengan semakin luasnya
risiko yang harus ditanggung oleh calon debitor maka penilaian atas risiko
kredit tersebut juga semakin meningkat. Yang secara tidak langsung
berdampak pada tingginya tingkat risiko yang juga harus diemban oleh
bank.
e. Adanya kewajiban untuk melakukan ring fencing
Sebagai akibat dari adanya ketentuan ini,264
maka sebahagian besar badan
usaha yang didirikan oleh kontraktor berbentuk special purpose vehicle
(SPV) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT).265
SPV itu sendiri merupakan
badan usaha yang didirikan dalam rangka memenuhi tujuan tertentu serta
261
Bank for International Settlements, Core Principles for Effective Banking Supervision,
basel committee on Banking Supervision, October 2006.pg. 9.
262
Philip Turner, op cit, hlm. 3.
263
Wawancara dengan Joi Terkelin Sembiring, Risk Management Bank Central Asia
264
UU No. 22 Tahun 2001, pasal 10 ayat (1) dan (2), op cit.,
265
Bentuk usaha tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar
wilayah negara kesatuan republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik
Indonesia (pasal 1 angka 18 UU No. 22 Tahun 2001). Dapat dilihat bentuk usaha tetap merupakan
pengecualian dari ketentuan UU Penanaman Modal /UU No. 25 Tahun 2007, yang menyatakan
bahwa penanaman modal asing di Indonesia haruslah berbentuk Perseroan Terbatas.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
89
Universitas Indonesia
untuk ketentuan administrasi semata.266
Sebagai konsekuensinya
perusahaan tersebut pada umumnya tidak mempuyai aset atas nama sendiri
dimana kontrol dari holding company sangat besar. Dari segi hukum SPV
terpisah dengan holding company-nya yang berdampak pada adanya
pemisahan tanggungjawab perusahaan tersebut. Meskipun secara
akuntansi dimungkinkan dilakukannya consolidation of financial report.267
Secara sederhana perusahaan tersebut dapat disimpulkan hanya sebagai
perusahaan boneka yang dibuat dalam rangka memenuhi tujuan tertentu
saja dan tidak melaksanakan kegiatan usaha secara nyata.
Dalam kaitannya dengan prinsip pemberian kredit maupun
manajemen risiko yang dijalankan oleh bank, maka ketentuan ini akan
berdampak pada beberapa aspek penilaian. Yakni, penilaian atas modal,
aset, laporan keuangan, agunan dan ketika harus dilakukan restrukturisasi
kredit. Terkait dengan modal, perusahaan yang berbentuk SPV maupun
BUT pada umumnya tidak memiliki modal sendiri dalam jumlah yang
cukup besar. Dimana hal ini akan berpengaruh kepada keputusan bank
untuk memberikan kredit atau tidak. Mengingat struktur permodalan yang
cukup baik dapat meyakinkan bank akan kemampuan calon debitur untuk
memenuhi perikatannya.
Ketentuan selanjutnya adalah terkait dengan dilakukannya
restrukturisasi oleh bank dalam hal terjadi kegagalan pembayaran. Salah
satu alternatif yang dapat ditempuh oleh bank adalah dengan penyertaan
modal sementara pada perusahaan yang bersangkutan.268
Langkah
restrukturisasi ini akan terhambat ketika bank ternyata harus menjadi salah
satu peserta dalam perusahaan boneka yang tidak mampu menghasilkan
266
Gary B. Gorton and Nicholas S. Souleles, op cit.,
267
Ainun Na’im, Special Purpose Vehicle Institutions: Their Business Natures and
Accounting Implications. Gadjah Mada International Journal of Business, 2006, VIII(1). http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=4547. Diakses 10 Oktober 2012.
268
Bentuk-bentuk restrukturisasi kredit diatur dalam pasal 1 angka 25 Peraturan Bank
Indonesia No. 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana terakhir
kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 11/2/PBI/2009.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
90
Universitas Indonesia
ataupun memberikan keuntungan bagi bank. Mengingat SPV tidak
menjalankan kegiatan operasional suatu perusahaan sebagaimana
mestinya.269
Demikian juga halnya ketika bank melakukan penilaian atas
kelayakan laporan keuangan calon debitor. Consolidation of financial
report dalam hal ini sangat memungkinkan untuk membuat bank terkecoh.
Padahal dalam faktanya tanggung jawab terpisah antara SPV ataupun BUT
dengan perusahaan induknya. Demikian juga halnya jika bank akan
melakukan penyitaan maka kemungkinan besar tidak akan ada aset yang
dapat disita. Mengingat aset yang dimiliki oleh SPV berasal dari servicing
arrangement.270
f. Jangka Waktu Kontrak Kerja Sama
Jangka waktu kontrak kerja sama ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh)
tahun dengan kemungkinan dapat dilakukan perpanjangan atasnya selama
20 (dua puluh) tahun.271
Masa eksplorasi sendiri dimana merupakan fase
paling kritis dari jalannya suatu kontrak, dilaksanakan selama enam tahun
pertama dengan kemungkinan dapat diperpanjang selama empat tahun.272
Dengan adanya ketentuan ini maka apabila minyak dan gas bumi tidak
ditemukan pada masa eksplorasi yakni selama sepuluh tahun maka kontrak
kerja sama terpaksa diakhiri.
Dalam hal kontraktor tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada bank
dikarenakan tidak ditemukannya cadangan yang memadai maka
kemungkinan untuk dilakukannya restrukturisasi kredit sudah sangat kecil.
Mengingat salah satu syarat penting dilakukannya restrukturisasi kredit
adalah debitur memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi
kewajiban setelah kredit direstrukturisasi.273
Dengan adanya ketentuan
269
Gary B. Gorton and Nicholas S. Souleles, op cit.,
270
Ibid.,
271
Indonesia, UU No. 21 Tahun 2001, op cit., pasal 14 ayat (1) dan (2).
272
Ibid., pasal 15 ayat (1) dan (2).
273
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005, pasal 51.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
91
Universitas Indonesia
pengakhiran kontrak secara otomatis tentunya kegiatan usaha tersebut
dinilai tidak memiliki prospek yang baik lagi. Proyek yang dibiayai
tersebut bahkan tidak mungkin untuk dilanjutkan lagi. Sebagai
dampaknya, hal ini akan memperluas risiko yang harus diperhitungkan
oleh bank dalam hal terjadi kegagalan pembayaran oleh debitor ataupun
ketika restrukturisasi harus ditempuh sebagai salah satu alternatif.
g. Kepemilikan atas aset
Sejak saat dimulainya cost recovery maka seluruh aset kontraktor
dicatatkan dan beralih kepemilikannya kepada negara.274
Dengan adanya
ketentuan ini maka sejak persetujuan atas POD yang pertama275
tidak ada
aset yang dapat dijadikan sebagai agunan oleh kontraktor kepada bank.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, agunan memegang peranan
penting dalam rangka penentuan kebijakan pemberian kredit. Semakin
besar jumlah agunan yang dapat diberikan oleh calon kreditur maka
semakin rendah risiko yang harus diemban oleh bank dalam rangka
pemberian kredit tersebut.276
Demikian juga halnya ketika kontraktor
ternyata wanprestasi maka konsep jaminan umum sebagaimana diatur
dalam pasal 1131 KUHPerdata tetap tidak dapat dijadikan senjata oleh
bank. Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan, segala kebendaan si berutang,
menjadi tanggungan untuk segala perikatannya.277
Dengan tidak adanya
kebendaan milik debitur maka tidak dimungkinkan bagi bank untuk
mejadikan sita jaminan aset debitur tersebut. Melihat kepada tingkat risiko
yang begitu besar dan jumlah modal yang sangat banyak sudah tentulah
keberadaan agunan menjadi penting. Meskipun agunan dalam hal ini
274
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2004, op cit., pasal 78.
275
Persetujuan atas Plant of Development (POD) untuk pertama kalinya menandakan
bahwa temuan bernilai komersil dan dapat memasuki tahapan produksi atau ekpsloitasi. Sejak saat
itu jugalah penggantian biaya cost recovery atas segala biaya yang telah dikeluarkan oleh
kontraktor akan dibayar oleh pemerintah.
276
Gabreil Jimenez and Jesus Saurina, op cit.,
277
KUHPerdata [Burgerlijk Wetboek], op cit., pasal 1131.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
92
Universitas Indonesia
bukanlah suatu syarat mutlak dalam pemberian kredit khususnya
pemberian kredit kepada korporasi.
h. Kemungkinan dilakukannya unitisasi
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 41 PP No. 35 Tahun 2004,
dalam hal terjadi pelamparan reservoar yang memasuki wilayah kerja
kontraktor lain maka wajib dilakukan unitisasi. Menteri selanjutnya akan
menentukan pihak yang menjadi operator pelaksana.278
Dengan adanya
ketentuan ini maka operator atas suatu kontrak kerja dapat saja berubah.
Kemungkinan untisasi ini selanjutnya akan berdampak pada analisis atau
penilaian yang telah dilakukan oleh bank. Dimana kontraktor yang telah
melalui tahap penilaian ternyata tidak lagi menjadi operator atas proyek
yang dibiayai. Unitisasi dapat mengakibatkan kedudukan kontraktor
tersebut dapat saja hanya sebagai sharing partner. Sebagai
konsekuensinya tidak lagi memegang peranan yang seberpengaruh dan
sepenting dulu, khususnya dalam hal pengambilan kebijakan. Masalah
unitisasi bukanlah hal yang sepele. Dapat dilihat salah satu faktor
penyebab tidak tercapainya target dalam APBN tahun 2012 adalah karena
adanya pergantian operator dalam pengusahaan minyak dan gas bumi
sebagai dampak dari adanya unitisasi.279
Hal ini berkaitan dengan prinsip pemberian kredit yakni character
dan capacity dari calon debitur, serta penilaian atas risiko kredit yang
dilakukan oleh bank. Dalam penilaian character bank melihat pihak yang
bertanggung jawab atau pengurus dari jalannya proyek yang dibiayai.
Demikian juga halnya terkait dengan capacity, bank melihat bagaimana
kemampuan debitur dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya.
Dengan adanya ketentuan ini maka bank dalam hal ini harus siap dengan
kemungkinan jika pihak yang telah diberikan penilaian tersebut ternyata
tidak lagi menjadi operator di wilayah kerjanya dan beralih kepada pihak
278
Indonesia, PP No. 35 Tahun 2004, pasal 42.
279
Kompas, Minyak dan Gas Bumi, 36 KKKS Tidak Capai Target Produksi. Kompas,
Sabtu 4 Februari 2012. Nomor 212 Tahun ke-47, hlm. 18.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
93
Universitas Indonesia
lain yang bank tidak ketahui bagaimana karakter dan kapabilitasnya.
Demikian juga halnya dengan analisis risiko kredit, dimana manajemen
yang ditempuh oleh perusahaan calon debitur merupakan salah satu bahan
pertimbangan penting bagi bank.280
Akan tetapi dengan adanya
kemungkinan unitisasi maka kontrol atas jalannya kegiatan usaha bisa saja
beralih ke pihak lain yang berdampak pada pengambilan keputusan dan
manajemen yang diterapkan atas suatu proyek juga dapat berubah. Dengan
demikian, unsur penting dalam pemberian kredit yakni penilaian atas
karakter, kapabilitas dan analisis atas risiko kredit tampak ternodai dalam
hal ini. Sebagai contoh beberapa perusahaan minyak dan gas bumi yang
harus di unitisasi adalah Pertamina EP dengan JOBPPEJ (Joint Operating
Body Pertamina PetroChina East Java) untuk pengelolaan lapangan
Sukowati. Serta Pertamina dan Conoco Phillips untuk pengelolaan
lapangan di Jambi.281
Berdasar pada uraian sebelumnya, dapat dilihat bagaimana ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang minyak dan gas bumi yang sangat
memengaruhi analisis atas pemberian kredit yang dilakukan oleh bank. Sejumlah
ketentuan tersebut ternyata berpotensi untuk memperbesar risiko yang harus
ditanggung oleh bank dalam rangka pemberian kredit kepada industri minyak dan
gas bumi. Dengan demikian bank sebaiknya berfokus kepada tahapan eksploitasi
dan kegiatan usaha hilir.
4.3 Metode pembiayaan industri minyak dan gas bumi yang dapat
ditempuh
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, perbankan ternyata cukup sulit
untuk memberikan pendanaan kepada industri minyak dan gas bumi, khususnya
kepada industri hulu. Oleh sebab itu berikut akan diuraikan bagaimana metode
pembiayaan yang ditempuh oleh industri minyak dan gas bumi di negara-negara
280 Morton Glantz, op cit., hlm. 16
281
Wawancara dengan Firmanta S, Subsurface Reservoir Engineer PetroChina
Internastional .
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
94
Universitas Indonesia
yang merupakan penghasil minyak dan gas bumi pada umumnya, yang dapat
digambarkan sebagai berikut:282
1. Pasar Modal
Pembiayaan melalui pasar modal dapat ditempuh dengan
melakukan penawaran umum atau lazim dikenal dengan Intial Public
Offering (IPO). Penawaran umum diatur dalam pasal 1 angka 15 Undang-
undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal “UU Pasar Modal”.
Penawaran umum diawali dengan emisi efek, yakni menerbitkan suatu
jenis efek tertentu untuk yang pertama kalinya dan melakukan
pendistribusian melalui penawaran umum dengan tujuan untuk
menghimpun modal. Penawaran umum dilakukan melalui pasar perdana
yang berlangsung dalam waktu beberapa hari. Setelah pasar perdana
berakhir emiten dapat memperjualbelikan efeknya melalui pasar
sekunder.283
Pasar modal dipilih ketika perusahaan ingin mendapatkan
pembiayaan jangka panjang. Pasar modal dianggap sebagai metode
pembiayaan yang sudah umum ditempuh oleh banyak perusahaan yang
membutuhkan suntikan dana. Disamping bermanfaat bagi perusahaan yang
membutuhkan pembiayaan, pasar modal juga dipercaya dapat mendukung
pertumbuhan ekonomi dengan mengikutsertakan elemen masyarakat.
Pembiayaan melalui pasar modal dapat dilakukan dengan
menerbitkan saham maupun obligasi. Saham sendiri merupakan instrumen
penyertaan modal seseorang atau lembaga dalam suatu perusahaan.284
Sedangkan obligasi merupakan instrumen hutang sehingga dikenal juga
dengan surat hutang. Aspek hukum penawaran umum dapat digambarkan
sebagai berikut, yang terdiri dari keuntungan dan kelemahannya:285
282 Michael E Humphries, “The Competitive Environment for Oil and Gas Financing”.
Journal of Energy Policy, Volume 23 No. 11, 1995.
283
M Irsan Nasarudin et all, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group., hlm. 213.
284
Ibid., hlm. 188.
285
Ibid., hlm. 216.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
95
Universitas Indonesia
a. Keuntungan perusahaan melakukan penawaran umum
1) Sebagai sarana tambahan modal yang dianggap lebih berpotensi
daripada harus melalui kredit pembiayaan (debt financing).
2) Peningkatan likuiditas perusahaan terhadap kepentingan
pemegang saham utama dan pemegang saham minoritas.
3) Meningkatkan prestise dan publisitas perusahaan.
b. Kelemahan perusahaan melakukan penawaran umum
1) Adanya tambahan biaya untuk mendaftarkan efek pada
penawaran umum.
2) Hilangnya kontrol terhadap persoalan manajemen, karena terjadi
dilusi kepemilikan saham.
3) Keharusan untuk mengumumkan besarnya pendapatan
perusahaan dan pembagian deviden.
Secara sederhana tahapan dalam penawaran umum dapat digambarkan
sebagai berikut:
a. Tahap Pra- Emisi
1) Perusahaan melakukan kajian mendalam (due diligence)
terhadap keadaan keuangan, aset, utang dan piutang serta
rencana penghimpunan dana.
2) Perusahaan menyusun rencana penawaran umum yang harus
mendapat persetujuan RUPS.
3) Perusahaan menentukan penjamin emisi, profesi penunjang,
dan lembaga penunjang untuk penawaran umum.
4) Melakukan public expose
5) Menyatakan pernyataan pendaftaran kepada Bapepam.
b. Tahap Emisi
1) Penawaran oleh sindikasi penjamin emisi dan agen penjual di
pasar primer
2) Penyerahan efek kepada penjual di pasar primer
3) Perdagangan efek di pasar sekunder
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
96
Universitas Indonesia
c. Tahap Setelah Emisi
1) Laporan berkala (continuous disclosure)
2) Laporan kejadian penting dan relevan (timely disclosure).
Jika terjadi perubahan penggunaan dana maka emiten harus
menyampaikan hal itu kepada Badan Pengawas Pasar Modal
(Bapepam). Perubahan penggunaan dana selanjutnya harus
mendapat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS).
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya salah satu ketentuan
penting yang terdapat dalam penawaran umum adalah dilepaskannya
saham kepada publik sehingga pemilik perusahaan tidak dapat
menentukan pihak mana saja yang akan menjadi pemilik dari saham yang
dilepaskan tersebut.286
Sebagai konsekuensi dari pelepasan saham kepada
publik ini maka hilangnya kontrol atas manajemen perusahaan menjadi
suatu hal yang tidak dapat dihindarkan.287
Hal ini mengingat karakteristik
saham yang memberikan hak suara kepada pemiliknya.288
Dalam
prakteknya sejumlah ketentuan ini dikhawatirkan dapat menghambat
jalannya pengambilan keputusan dalam manajemen perusahaan. Karena
untuk menyelenggarakan RUPS bagi perusahaan publik harus sesuai
dengan prosedur dan jangka waktu yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan. Tidak hanya itu ketentuan penting lainnya adalah
besarnya peranan para pemegang saham dalam pengambilan keputusan
harus berhadapan dengan peranan pemerintah yang dalam hal ini berperan
selaku pemegang kendali atas jalannya manajemen operasi.
Alternatif lain yang dimungkinkan adalah melalui penerbitan
obligasi/surat hutang. Sebagaimana karakteristik dari obligasi maka tidak
286
Teresa Nelson, The Persistence of Founder Influence: Management, Ownership, and
Performance Effects at Initial Public Offering. Strategic Management Journal, Vol. 24, No. 8
(Aus., 2003), pg. 707-724 <http://www.jstor.org/stable/20060570> Diakses, 5 Desember 2012.
287
Ibid.,
288
Todung Mulya Lubis, Pasar Modal. Disampaikan pada perkuliahan Hukum
Pembiayaan Perusahaan. Pascasarja Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta: 2011.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
97
Universitas Indonesia
terdapat hak suara dari pemiliknya atas jalannya manajemen perusahaan.
Namun, kelemahan dari obligasi adalah perusahaan harus melakukan
pembayaran bunga dan pinjaman pokok pada setiap kali tanggal jatuh
tempo.289
Dilihat dari tidak adanya kepastian dalam kegiatan usaha hulu
minyak dan gas bumi, maka hal ini dikhawatirkan dapat memberatkan
keuangan perusahaan. Adalah hal yang memungkinkan apabila perusahaan
tidak mampu melakukan pembayaran ketika tanggal jatuh tempo tiba.
Tidak hanya itu dalam kaitannya dengan status pemegang obligasi sebagai
kreditur preferen maka ketika perusahaan tidak mampu melakukan
pembayaran mereka harus didahulukan termasuk hak atas aset perusahaan.
Permasalahan terjadi ketika perusahaan tersebut tidak memiliki aset yang
dapat disita, hal ini mengingat dalam industri hulu terdapat ketentuan
bahwa seluruh aset kontraktor secara yuridis akan menjadi milik
pemerintah Indonesia.
Selain permasalahan tersebut diatas permasalahan lainnya adalah terkait
dengan kondisi emiten/perusahaan setelah melakukan penawaran umum.
Dikarenakan jika terjadi perubahan penggunaan dana, maka emiten harus
menyampaikan hal itu kepada Bapepam. Perubahan penggunaan dana
selanjutnya harus mendapat persetujuan dari RUPS. Hal ini akan
berhadapan dengan ketentuan pasal 6 ayat (2) huruf b UU No. 22 Tahun
2001. Dimana dengan adanya ketentuan ini kontraktor wajib memintakan
persetujuan terlebih dahulu kepada menteri atas program pengembangan
dan program kerja (plant of development POD dan work program and
budget atau WP&B). Dengan demikian adalah dimungkinkan apabila
terdapat perubahan dalam WP&B sebagaimana telah dibuat oleh
kontraktor. Jika menteri memandang perlu maka dimungkinkan untuk
melakukan perubahan yang salah satunya adalah terkait dengan perubahan
289
Mengingat, di dalam saham pembayaran hanya akan dilaukan apabila perusahaan
ternyata memperoleh keuntungan. Hal ini menginga peran pemegang saham bukanlah sebagai
kreditor akan tetapi ikut serta sebagai pemilik dari perusahaan yang bersangkutan. Sehingga jika
terjadi kerugian pemegang saham juga ikut serta menanggung, dengan ketentuan tidak lebih besar
dari nilai saham yang dimilikinya.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
98
Universitas Indonesia
penggunaan dana. Sehingga adanya ketentuan yang mempersyaratkan
persetujuan RUPS akan sulit untuk terlaksana.
2. Project finance
Melihat dari sejarahnya project finance pertama kali digunakan
oleh kerajaan inggris ketika melakukan pembiayaan atas kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi pertambangan silver Devon.290
Project finance
disebut juga dengan non-recourse financing atau limited recource
financing.291
Dikatakan demikian karena pembiayaan dengan motode ini
tidak mensyaratkan adanya jaminan layaknya metode pembiayaan melalui
bank. Proyek itu sendiri adalah jaminan dalam model pembiayaan ini.
Peter K Nevitt, memberikan defenisi atas project financing sebagai
berikut:292
“A financing of a particular economi unit in which a lender
is satisfied to look initially to the cash flows and earnings of
that economic unit as the source of funds from which a loan
will be repaid and to the assets of the economic unit as
collateral for a loan”.
Sebagai akibat dari proyek itu sendiri menjadi jaminan maka
penilaian atas pembiayaan dilakukan terhadap proyek yang bersangkutan.
Sumber pendanaan dalam hal ini harus mampu menilai tingkat
keekonomian suatu proyek dan memastikan kalau proyek tersebut mampu
menjadi sumber pendapatan kedepannya. Disamping berkaitan dengan
jaminan alasan lain mengapa project financing disebut sebagai non-
recourse financing adalah karena konsep jamiman umum sebagaimana
berlaku dalam hubungan kreditor-debitor tidak berlaku dalam hal ini.
290
Bruce Comer, Project Finance Teaching Note. The Wharton School, 1996.
291
Thomas J. Chemmanur and Kose John, Optimal Incorporation, Structure of Debt
Contratcs, and Limited-Recourse Project Financing. Journal of Financial Intermediation 5, 372-
408 (1996), Article No. 0021.
292
Peter K Nevitt, Project Financing. Euromoney, 4th
ed., Sebagaimana dikutip oleh
Todung Mulya Lubis, Project Financing. Disampaikan pada perkuliahan Hukum Pembiayaan
Perusahaan. Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta: 2012.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
99
Universitas Indonesia
Dikatakan demikian karena walaupun debitur gagal dalam melakukan
pembayaran maka harta ataupun aset debitur tidak dapat disita oleh
kreditur. Mengingat project financing merupakan bentuk pembiayaan
dalam skala besar maka pihak financer biasanya melakukan kontrol yang
cukup besar atas disbursement account, a proceeds account, a debt service
reserve account, dan yang tidak kalah pentingnya adalah penempatan
shadow director.293
Dalam kaitannya dengan industri minyak dan gas bumi, kreditur
melakukan analisis atas proven reserve dan perhitungan atas tingkat
produksi dari lapangan yang dibiayai. Dalam prakteknya, debitur meminta
adanya sertifikasi dari lembaga yang berkompeten untuk menghitung
proven reserve. Penilaian atas proven reserve ini penting mengingat
pembayaran akan dilakukan setelah proven reserve bernilai komersial.
3. Commercial paper
Berbeda dengan metode pembiayaan melalui pasar modal maka
penerbitan commercial paper atau surat berharga ditempuh apabila
pembiayaan yang dibutuhkan adalah untuk jangka pendek.294
Surat
berharga diterbitkan untuk jangka waktu 30 sampai dengan 270 hari.
Dalam perkembangannya di Indonesia surat berharga berkembang cukup
pesat sejak tahun 1996295
dan mengalami penurunan yang cukup
siknifikan pada tahun 2007 dan 2008 sebagai akibat dari krisis
keuangan.296
Pada umumnya metode pembiayaan ini ditempuh oleh
perusahaan-perusahaan minyak di luar Amerika dalam rangka melengkapi
293 Todung Mulya Lubis, Project Financing., op cit.,
294
Sebagaimana disebutkan oleh Federal Reserve dalam New York Times, Commercial
Paper.
<http://topics.nytimes.com/topics/reference/timestopics/subjects/c/commercial_paper/index.html>, Sunday, 25 November 2012.
295
PECC Finance Forum Conference, Financial Centers in East Asia: An Indonesian
Perspective (outline). <http://www.pecc.org/resources/doc_view/414-financial-centers-in-east-asia-an-indonesian-perspective-outline>. Diakses 26 November 2012.
296
Ibid.,
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
100
Universitas Indonesia
pendanaan jangka pendek lainnya. Dapat dilihat metode ini digunakan
oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki cash flow yang cukup
siknifikan. Jika dibandingkan dengan metode pembiayaan lainnya maka
penerbitan surat berharga dipandang sebagai metode pembiayaan yang
paling murah dan mudah.
Commercial paper atau surat berharga dianggap kurang sesuai
karena dana yang dapat dikumpulkan dengan penerbitan surat berharga
tidaklah terlalu besar. Selain itu surat berharga diterbitkan untuk jangka
pendek. Sedangkan proyek minyak dan gas bumi khususnya industri hilir
merupakan proyek jangka panjang dengan jumlah biaya yang sangat besar.
Dimana keberhasilannya pada umumnya ditentukan setelah sepuluh tahun
masa eksplorasi terlewati.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa metode pembiayaan yang
dianggap paling sesuai adalah melalui mekanisme project financing, yaitu
mekanisme yang menjaminkan proyek itu sendiri. Pembayaran melalui
mekanisme ini hanya akan dilakukan apabila proyek ternyata berhasil.297
Meski
eksplorasi atau eksploitasi minyak dan gas bumi tidak berhasil dan mengakibatkan
perusahaan tidak bisa membayar, aset perusahaan tidak dapat dijadikan jaminan.
Hal inilah yang menyebabkan mekanisme project finance kerap ditempuh oleh
perusahaan yang menjalankan proyek dengan risiko tinggi. Ketentuan ini
selanjutnya mengakibatkan project finance dikenal dengan istilah “project finance
is all about risk identification and mitigation”.298
Di Indonesia sendiri dalam
prakteknya mekanisme project financing banyak digunakan untuk proyek-proyek
pengembangan sumber daya alam khususnya proyek-proyek yang membutuhkan
pendanaan yang cukup besar. Diantaranya adalah pertambangan, minyak dan gas
bumi, power plan serta pembangunan infrastruktur.
297
Ian Giddy, Project Financing. Stem School of Business, New York University.
298
Bill Banks, Major Project Finance Issues Facing Indonesia. Oceania and Asia Pasific
Infrastructure Advisory and Project Finance Leader. Ernst and Young, 30 Maret 2011.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
101
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
102
Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Karakter risiko yang terdapat dalam industri minyak dan gas bumi dapat
dibedakan menjadi dua yakni:
a. Karakter risiko yang terdapat dalam kegiatan usaha hulu, yang
selanjutnya dapat dibagi menjadi risiko pada tahapan eksplorasi dan
risiko pada tahapan eksploitasi. Pada tahapan eksplorasi, risiko terbesar
adalah tidak adanya kepastian cadangan minyak dan gas bumi. Dalam
tahap ini, harus dilakukan pemboran pada sumur dengan biaya yang
besar dan tingkat keberhasilan yang sangat kecil. Tidak hanya itu,
cadangan minyak dan gas bumi yang ditemukan harus dikaji
kelayakannya untuk diproduksi secara komersial.
Karakter risiko yang terdapat pada tahap eksploitasi pada prinsipnya
sudah lebih kecil, karena sudah ditemukannya cadangan minyak dan gas
bumi. Namun, jumlah cadangan minyak dan gas bumi tidak dapat
ditentukan dengan pasti. Jumlah cadangan minyak dan gas bumi
cenderung terus menurun dan di saat yang sama jumlah biaya yang
diperlukan terus meningkat.
Disamping karakter risiko yang berasal dari nature kegiatan usaha itu
sendiri. Terdapat sejumlah ketentuan umum dalam kegiatan usaha hulu
minyak dan gas bumi yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip
pemberian kredit oleh bank. Atau setidaknya mempersulit posisi
kontraktor selaku debitur dan bank selaku pemberi kredit ketika
melakukan analisis atas kelayakan kredit. Sehingga pada akhirnya
memengaruhi kemungkinan risiko yang harus diambil oleh bank.
b. Karakter risiko yang terdapat dalam kegiatan usaha hilir, yang dapat
dibagi menjadi kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan
niaga. Jika dibandingkan, risiko pada kegiatan usaha hilir tidak sebesar
kegiatan usaha hulu. Risiko yang terjadi lebih cenderung pada faktor
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
103
Universitas Indonesia
teknis seperti kebocoran pipa, pemblokiran jalan transportasi dan
ketidakstabilan harga.
2. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan prinsip pemberian kredit
oleh bank, pemberian kredit kepada industri minyak dan gas bumi sebaiknya
berfokus kepada kegiatan usaha hilir, mengingat kecilnya karakter risiko
dalam kegiatan usaha hilir. Disamping itu, badan usaha pada kegiatan usaha
hilir tidak terikat dengan peraturan perundang-undangan tentang minyak dan
gas bumi. Mengingat sejumlah ketentuan yang terdapat dalam peraturan
perundang-undnagan tersebut berpotensi memengaruhi tingkat risiko yang
harus ditanggung oleh bank. Apabila bank akan memberikan kredit kepada
kegiatan usaha hulu, maka tahapan yang dimungkinkan adalah tahapan
eksploitasi, karena telah ada kepastian cadangan minyak dan gas bumi yang
dapat diproduksi secara komersial dan berlakunya mekanisme cost recovery.
5.2 Saran
1. Perbankan nasional sebaiknya ikut serta dalam memberikan pendanaan
kepada industri minyak dan gas bumi, karena peranan minyak dan gas
bumi yang penting bagi ketahanan energi nasional. Dalam rangka
penerapan prinsip kehati-hatian, bank sebaiknya memfokuskan diri pada
pendanaan di kegiatan usaha hilir. Kalaupun bank ingin memberikan
pendanaan kepada kegiatan usaha hulu, tahapan yang dipilih sebaiknya
adalah tahapan eksploitasi. Mengingat jumlah dana yang dibutuhkan
cukup tinggi, bank dapat menempuh mekanisme kredit sindikasi untuk
melakukan sharing risiko antara para pesertanya.
2. Terkait dengan pembiayaan pada kegiatan usaha hulu, khususnya tahapan
eksplorasi, pendanaan dapat dilakuan dengan mekanisme project
financing, seperti yang diterapkan oleh negara-negara penghasil minyak
dan gas bumi pada umumnya. Terlebih lagi, mekanisme ini sedang
dikembangkan di Indonesia dalam rangka pembiayaan kepada proyek
dengan jumlah dana yang cukup besar dan risiko yang tinggi.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
104
Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
Buku
Alvarado, Vladimir and Eduardo Manrique, “Enhanced Oil Recovery Field
Planning and Development Strategies”. Elsevier, Gulf Professional
Publishing, 2010.
Assiddiqie, Jimly Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve , 1994.
Austin, John. A Positivist Conception of Law, Law in Philosophical Perspective,
editor Joel Feinberg and Hyman Gross. Belmont California, Wadsworth
Publishing Company, 1997.
Bank Indonesia, Ketahanan Perekonomian Indonesia di Tengah Ketidakpastian
Ekonomi Global, Laporan Perekonomian Tahun 2011.
Bathory, Alexander. The Analysis of Credit, Foundation and Development Credit
Assesment. Londong: McGraw-Hill Book Company (UK) Limited, 1987.
Beck, Robert J. Oil Industry Outlook 13th
edition. Tulsa, Oklahoma: PennWell
Books, 1996.
Caouette, John B et all. Managing Credit Risk, The Great Challenge for Global
Financial Markets 2nd
edition. USA, Wiley, John Wiley & Sons, Inc.
Bruce Comer, Project Finance Teaching Note. The Wharton School, 1996
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1996.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
105
Universitas Indonesia
Djokopranoto, R et all., Merajut Karya Mengukir Sejarah, Memoar Alumni
Pendidikan Ahli Minyak Tentang Peran dan Sumbangsihnya Dalam
Pengembangan Industri Minyak dan Gas Bumi Indonesia. Pertamina:
Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Ahli Minyak, Jakarta, April 2009.
Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern berdasarkan Undang-undang Tahun
1998. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 1999.
Friedman, W. Legal Theory, London: Stevens & Sons Limited 4th
Edition, 1960.
Gandapradja, Permadi. Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank. Jakarta: PT
Gramedia Utama, 2004.
Ginting, Daniel. Prinsip-prinsip Dasar Kredit Sindikasi. Proceedings, Rangkaian
Lokakary Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis
Lainnya, Jakarta: 20-21 Agustus 2001
Glantz, Morton. Managing Bank Risk, an Introduction to Broad-Base Credit
Engineering. United States of America: Academic Press, An Elsevier
Imprint, 2002.
Hasan, A Madjedi. Kontrak Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. (Training on
The Law of Oil and Gas Term 2010. Faculty of Law University of
Indonesia.
______________, Penerapan Asas Janji itu Mengikat dalam Kontrak Bagi Hasil
di Bidang Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: Fikahati Aneska, 2005.
______________, Kontrak Migas Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum.
Jakarta: Fikahati Aneska, 2009.
Hatta, Mohammad. Penjabaran Pasal 33 UUD 1945. Jakarta: Mutiara, 1997.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
106
Universitas Indonesia
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet 4. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008.
Husni Hasbullah, Frieda. Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak yang Memberi
Jaminan. Jakarta: Indo-Hill-Co, 2005.
Kasmir, Manajemen Perbankan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
Kalyvas, Lampros &Loannis Akkizidis and Loanna Zourka&Vivianne
Bouchereau, Integrating Market, Credit and Operational Risk, A Complete
Guide for Banker and Risk Professionals. Riks Books, Division in Incisive
Financial Publishing Ltd.
Kusumaatmadja, Mochtar. “Perminyakan di Indonesia dan Kontrak Bagi Hasil
(Production Sharing Kontrak)”. Pendidikan Lanjutan Hukum
Perminyakan dan Gas Bumi Fakultas Hukum UI, 1994.
Lash, Nicholas A. Banking Laws and Regulation An Economic Perspective. New
Jersey: Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs.
McCoubrey, Hilaire and Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, Blacstone
Press Limited 3rd
edition, 1999.
Mishkin, Frederic S. Prudential Supervision, Why Is It Important and What are
the Issue?. The University of Chicago Press, Chicago and London.
Muljono, Pudjo Teguh. Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil.
Yogyakarta: BPFE, 2001.
Nasarudin, M Irsan. et all, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
107
Universitas Indonesia
Partowidagdo, Widjajono. Migas dan Energi di Indonesia, Permasalahan dan
analisis kebijakan. Development Studies Foundation, 2009.
Poletto, F and F Miranda, Seismic While Drilling Fundamentals of Drill-Bit
Seismic for Explorations. Handbook of Geophysical Exploration, Seismic
Exploration, vol 35. Elsevier, 2004.
Putri, Trikaloka H. Kamus Perbankan. Jogjakarta: Mitra Pelajar, 2009.
Putra, Edy. Kredit Perbankan, Suatu Tinjauan Yuridis. Yogyakarta: Liberty,
1989.
Ratnapala, Suri. Australian Constitutional Law Foundations and Theory, Oxford
University Press, 2007
Rose, Peter S and Sylvia C. Hudgins, Bank Management and Financial Services
8th
Edition. (McGrow Hill Companies, Internasional Edition, 2010).
Simamora, Rudi M. Hukum Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: Djambatan, 2000.
Sayogyo, Kartiyoso. Migas dan Usaha Migas (kumpulan pokok-pokok pikiran).
Humas Pertamina, Yayasan Patra Cendikia, 1999.
Setiarto, Didi. “Kerangka Hukum Kegiatan Bisnis Gas Bumi dan LNG di
Indonesia Dalam Perspektif Produsen”. Training on The Law of Energy
and Mineral Resources, Faculty of Law University of Indonesia. Term
2010.
Stanvac Indonesia. “Industri Minjak Bumi, Suatu Pengantar”. Jakarta: PT Stanvac
Indonesia, 1970.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
108
Universitas Indonesia
Subekti, R. Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia. Bandung: Alumni, 1978.
_________, Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 2004.
Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kerdit (Suatu Tinjauan di Bidang
Yuridis), Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009.
Surowidjojo, Arief. Aspek Hukum yang Harus Diperhatikan dalam Kredit
Sindikasi. Proceedings, Rangkaian Lokakaria Terbatas Hukum Kepailitan
dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta: 20-21 Agustus 2001
Suseno dan Piter Abdullah, Sistem dan Kebijakan Perbankan di Indonesia. Bank
Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Seri
Kebanksentralan, No. 7.
Sutojo, Siswanto. Strategi Manajemen Kredit Bank Umum, Konsep Teknik dan
Kasus. Jakarta, Damar Mulia Pustaka, 2000.
Utomo, Sutadi. “Understanding the PSC”. LDI Training Bandung 31 Juli- 1
Augustus, 2008.
Ware, Derrick. Basic Principles of Banking Supervision. Centre for Central
Banking Studies Bank of England, Handbooks in Central Banking,
Weaver and Kevin Shanahan. Banking and Lending Practice. Australian Institute
of Bankers 3rd
edition, Serendip Publication, 1994
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh
R Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007).
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
109
Universitas Indonesia
Indonesia, Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
Lembaran Negara No. 111 Tahun 2011, Tambahan Lembaran Negara No.
5253.
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentangPerubahan Atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Lembaran Negara No.
182 Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara No. 3790.
Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi,
Lembaran Negara No. 136 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara No.
4152
________, Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Lembaran Negara No. 106 Tahun 2007 dan Tambahan Lembaran Negara
No. 4756 Tahun 2007.
_________, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 168
Tahun 1999; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3889.
_________, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3632.
_________, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara No. 123 Tahun 2004 dan
Tambahan Lembaran Negara No. 4435.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
110
Universitas Indonesia
________, Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha
Hilir Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara No. 124 Tahun 2004;
Tambahan Lembaran Negara No. 4436
_________, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi
Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara Nomor 139 Tahun
2010; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5173.
_________, Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan
Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 226 Tahun 2012
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/3/PBI/2005 tentang Batas
Maksimum Pemberian Kredit sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/13/PBI/2006 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 Tentang Batas
Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Lembaran Negara No. 70
Tahun 2006. Tambahan Lembaran Negara No. 4639.
_____________, Peraturan Bank Indonesia No. 10/15/PBI/2008 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Lembaran Negara
No 135 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara No 4895.
_____________, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 12/19/PBI/2010 Tentang
Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah
dan Valuta Asing. Lembaran Negara No 115 Tahun 2010, Tambahan
Lembaran Negara No. 5158.
_____________, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003 Tentang
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
111
Universitas Indonesia
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Lembaran Negara No.
103 DPNP Tahun 2009 dan Tambahan Lembaran Negara No 5029.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 22/PUU-
I/2003. Dimuat Dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 01 Tahun
2005, Terbit Hari Selasa tanggal 04 Januari 2005.
________________, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012.
Dibacakan pada 13 November 2012. Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya menyatakan bahwa frasa Badan Pelaksana yang terdapat
dalam UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
Makalah, Artikel dan Jurnal Ilmiah
Achmad, Zanial. “General Petroleum Geology,” (Oil and Gas Course, Hakim dan
Rekan Law Firm Oktober-November 2010).
_____________, “The Quest of Energy”. Disampaikan pada Oil and Gas Course,
Hakim dan Rekan Law Firm Oktober-November 2010
Agung Pri Rakhmanto, “Menyoal Insentif Sistim Bagi Hasil dan Politik Migas
Indonesia”. Divisi Penelitian LP3S. Disampaikan pada tanggal, 20
September 2007.
Alan Frederik, “Prinsip-prinsi dasar Kontrak Kerja Sama”. Makalah pada Loka
Karya Litigasi, Denpasar, 2004.
Badan Pusat Statistik, Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Januari 2012.
Berita Resmi Badan Pusat Statistik No. 16/03/Th. XV, 1 Maret 2012. <
http://www.bps.go.id/brs_file/eksim_01mar12.pdf>. Diakses, 30 Oktober
2012.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
112
Universitas Indonesia
Bank for International Settlement, Basel Committee in Banking Supervision,
Basel III: International Framework for Liquidity Risk Measurement,
Standards and Monitoring. Bank for International Settlements, December
2010.
__________, BIS Working Papers No 125 The institutional memory hypothesis
and the procyclicality of bank lending behavior.
____________, Basel Committee on Banking Supervision, Settlement Risk in
Foreign Exchange Transaction: Report Prepared by the Committee on
Payment and Settlement System of The Central Banks of the Group of Ten
Contries, Basel, Switzerland: Bank fir International Settlement, March
1996.
____________, Principles for the Management of Credit Risk. Consultative paper
issued by the Basel Committee on Banking Supervision, Basel, September
2000.
______________, Core Principles for Effective Banking Supervision, basel
committee on Banking Supervision, October 2006
Benston, George J. and George G. Kauf’man. The Appropriate Role of Bank
Regulation. The Economic Journal, Volume. 106, No. 436 (May, 1996),
hlm. 688-698.
Bill Banks, Major Project Finance Issues Facing Indonesia. Oceania and Asia
Pasific Infrastructure Advisory and Project Finance Leader. Ernst and
Young, 30 Maret 2011.
Bolt, Wilko and Alexander F Tieman, Banking Competition, Risk and Regulation.
The Scandinavian Journal of Economics, Volume. 106, No. 4 (Dec 2004).
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
113
Universitas Indonesia
Brownbridge, Martin et all. Prudential Regulation. Finance and Development
Briefing Papers, September 2002.
Campbell, Andrew. Insolvent Banks and the Financial Institution Safety Net-
lessons from the Northern Rock Crisis. As published in the Singapore
Academy of Law Journal (2008) SAcLJ 316-342.
Chemmanur, Thomas J. and Kose John, Optimal Incorporation, Structure of Debt
Contratcs, and Limited-Recourse Project Financing. Journal of Financial
Intermediation 5, 372-408 (1996),
Crockett, Andrew. Banking Supervision and Financial Stability. The William
Taylor Memorial Lecture by Andrew Crockett, General Manager of the
Bank for International Settlements, in Sydney, 22 October 1998.
Crowe, Robert M and Ronald C. Hom, The Meaning of Risk. The Journal of Risk
and Insurance, volume 34, No. 3 Sep., 1967.
Djajadiharsja, Yusuf S. Pengembangan Riset Gas Hidrat dan Rencana ke Depan.
Disampaikan pada seminar Granite Uncoventional Energy in Indonesia,
Teknik Geologi Universitas Trisakti. 29 Oktober 2012
Duisenberg, Willem F. The role of the Eurosystem in prudential supervision.
Speech by Dr Willem F Duisenberg, President of the European Central
Bank, Amsterdam,24 April 2002. Banking for International Settlement
Review 27/2002.
Engemann, Kurt J and Holmes E Miller, Operations Risk Management at a Major
Bank. Volume 22, No. 6, Decision and Risk Analysis, Nov – Dec., 1992.
Humphries, Michael E. “The Competitive Environment for Oil and Gas
Financing”. Journal of Energy Policy, Volume 23 No. 11, 1995
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
114
Universitas Indonesia
Husein, Yunus. Aspek Hukum Perkreditan Bank. Disampaikan pada kuliah
Hukum Perbankan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.
Jobst, Andreas A. It’s all in the data-consistent operational risk measurements
and regulation, Journal of Financial Regulation and Compliance, Volume
12 Number 4 Tahun 2007.
Jimenez, Gabreil and Jesus Saurina, Collateral, Type of Lender and Relationship
Banking as Determinants of Credit Risk. Jounal of Banking and Finance
28, 2004.
Kompas, Minyak dan Gas Bumi, 36 KKKS Tidak Capai Target Produksi.
Kompas, Sabtu 4 Februari 2012. Nomor 212 Tahun ke-47
Koran Tempo, Industri Migas Kurang Dukungan Perbankan, Tanggal 25
November 2011
Key, Sydney J. Trade Liberalization and Prudential regulation: The International
Framework for Financial Services. International Affairs (Royal Institute
of International Affairs 1944-), Volume, 75, No. 1 Jan., 1999.
Lemigas, Bunga Rampai Seratus Tahun Perminyakan di Indonesia (Jakarta:
Lemigas 1985) mengutip Perkembangan Industri Perminyakan di
Indonesia.
Lijphart, Arend. “Democracies”, Democracies, Patterns of Majoritarian and
Consensus Government in Twenty-One Contries, Yale University Press,
New Haven and London. (Dikumpulkan oleh Satya Arinanto, Politik
Hukum 1, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2001.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
115
Universitas Indonesia
Lubis, Todung Mulya. Project Financing. Disampaikan pada kuliah Hukum
Pembiayaan Perusahaan, Pasasarjana Fakultas Hukum UI, November,
2011.
_____________, Pasar Modal. Disampaikan pada perkuliahan Hukum
Pembiayaan Perusahaan. Pascasarja Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Jakarta: 2011.
Na’im, Ainun. Special Purpose Vehicle Institutions: Their Business Natures and
Accounting Implications. Gadjah Mada International Journal of Business,
2006, VIII(1). http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=4547.
Diakses 10 Oktober 2012.
Nasution, M Hakim. Production Sharing Contract (PSC). Disampaikan pada One
Week Training on The Law of Oil and Gas, Business Law Society, Faculty
of Law University of Indonesia, June 2010.
Nevitt, Peter K. Project Financing. Euromoney, 4th
ed., et 3. Sebagaimana dikutip
oleh Todung Mulya Lubis, Project Financing. Disampaikan pada
perkuliahan Hukum Pembiayaan Perusahaan. Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. Jakarta: 2012.
Ngo, Phong T.H. International Prudential Regulation, Regulatory Risk and Cost
of Bank Capital. International Journal of Banking and Finance, Volume 5,
issue 1, Article 2.
Nugroho, Hanan. “Pengembangan Industri Hilir Gas Bumi Indonesia: Tantangan
dan Gagasan”. Jurnal Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September
2004.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
116
Universitas Indonesia
Nishimura, Kiyohiko G. Macro-prudential policy from an Asian perspective,
Shanghai, 18 October 2010, Bank for International Settlement Review
136/2010.
Panggabean, Alan Fredrik. “Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Cost
Recovery”, Majalah Eksplo Barometer Bisnis Enegrgi dan Pertambangan,
No. 44 Tahun III Oktober 2010.
Sitompul, Zulkarnain. Kredit Macet: Apakah Suatu Perbuatan Melawan Hukum
(Pidana). Disampaikan pada workshop Kriminalisasi Kredit Bank Sebagai
Suatu Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: 23-25 Nopember 2009.
Suslick, S.B and D. J Schiozer, “Risk Analysis to Petroleum Exploration and
Production: an Overview”. Journal of Petroleum Scince and Engineering
44 (2004).
Tangkalalo, Darwin. CBM Project: Challenges and Oppurtunities in Indonesia.
Disampaikan pada seminar Granite Uncoventional Energy in Indonesia,
Teknik Geologi Universitas Trisakti. 29 Oktober 2012.
Tim Pengajar Ilmu Negara Fakultas Hukum UI, Ilmu Negara, (Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007).
Turner, Philip. The Banking System in Emerging Market Economies: How Much
Progress has been Made?. Bank for Internasional Settlements, BIS Papers
No 28.
Utomo, Sutadji Pujo. “Aspek Fiskal Undang-undang dan Peraturan Migas dan
Perpajakan di Indonesia, “Warta Pertamina No. 22/XXIV, hal. 20, Tahun
1990.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
117
Universitas Indonesia
Young, Brendon. Leadership and high-reliability organizations: why banks fail.
Volume 6 Number 4, Winter 20/11/12
Tesis dan Disertasi
Bambang Setyogroho, Analisis Risiko Kredit dengan Metoda Credit Risk Scoring
(Studi Kasus pada Debitur Bank X). (Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia, Depok 1991).
Machmud, T.N. “The Indonesian Production Sharing Contract”, (Disertasi
Doktor Kluwer Law International, The Hague, 2000.
Internet
Antara Riau, “Chevron Bebankan Biaya Kebocoran Gas Pada Negara”, <
http://www.antarariau.com/berita/12122/chevron-bebankan-biaya-
kebocoran-gas-pada-negara.html> Diakses 24 Oktober 2012
Badan Pemeriksa Keuangan “Cost Recovery dalam kontrak Production Sharing
Minyak dan Gas Bumi di Indonesia”. <
http://www.bpk.go.id/doc/publikasi/PDF/ppan/17.pdf>. Diakses, 11
Oktober 2012.
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, “Kebocoran Pipa
TGI di luar kontrol BP Migas”,
<http://www.bpmigas.go.id/blog/2010/09/30/kebocoran-pipa-tgi-di-luar-
kontrol-bpmigas/> Diakses 24 Oktober 2012
Bank of China – Indonesia, “Overdraft”, <http://www.bocid.com/en/2-11-
004.html>, diakses 1 Oktober 2012.
BankirNews.com, Penilaian Profil Risiko Kredit (Credit Risk), <
http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
118
Universitas Indonesia
1260:penilaian-profil-risiko-kredit-bank&catid=127:risk-
profile&Itemid=189>, diakses 3 Oktober 2012.
Berita Investasi Kontan, “Medco Menyiapkan US$12 Juta di Blok Yaman”. <
http://investasi.kontan.co.id/news/medco-menyiapkan-us-12-juta-di-blok-
yaman/2012/09/23>. Diakses, 12 Oktober 2012
“Business Dictionary”,
<http://www.businessdictionary.com/definition/management.html>
Diakses, 12 Oktober 2012
“Cost Recovery dalam Kontrak Production Sharing Migas dan Gas Bumi di
Indonesia” Disampaikan pada Seminar “Cost Recovery: Daya Tarik
Investasi Atau Beban Bagi Negara”, Masyarakat Mahasiswa Universitas
Trisakti, Senin, 11 Juni
2007,http://www.bpk.go.id/doc/publikasi/PDF/ppan/17.pdf. diunduh 4
Desember 2011.
Dewan Energi Nasional, Kegiatan Dialog Nasional Ketahanan Energi,
<http://www.den.go.id/index.php/news/readNews/288>, Diakses 20
Oktober 2012.
DirectGov “Overdrafts and loans - the difference”
<http://www.direct.gov.uk/en/MoneyTaxAndBenefits/ManagingMoney/B
ankAccountsAndBankingProducts/DG_10035183> Diakses, 1 Oktober
2012.
Dean Fantazzini et al, “Global Oil Risks in the Early 21st Century”. Energy Policy
39 (2011), <www.elsevier.com/locate/enpol>. Diakses, 12 Oktober 2012.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
119
Universitas Indonesia
“Eksplorasi Gagal, Tiga Kontrak Migas US$1,2 Miliar Diputus”
<http://en.bisnis.com/articles/eksplorasi-gagal-tiga-kontrak-migas-us$1-2-
miliar-diputus>. Diakses 12 Oktober 2012.
Gary B. Gorton and Nicholas S. Souleles, “Special Purpose Vehicles and
Securitization”. The National Bureau of Economic Research, The Risk of
Financial Institution. University of Chicago Press, January 2007. <
http://www.nber.org/chapters/c9619>. Diakses 12 Oktober 2012.
Indonesia Finance Today, “Penurunan Pasokan Dorong Penguatan Harga
MInyak”, 15 August 2012
<http://www.indonesiafinancetoday.com/read/31830/Penurunan-Pasokan-
Dorong-Penguatan-Harga-Minyak> Diakses, 14 Oktober 2012.
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Solusi Non-BBM untuk
Meningkatkan Ketahanan Energi Nasional melalui Revitalisasi Program
Energi Laut Nasional <http://www.esdm.go.id/berita/listrik/39-
listrik/5628-solusi-non-bbm-untuk-meningkatkan-ketahanan-energi-
nasional-melalui-revitalisasi-program-energi-laut-nasional.html> Diakses,
20 Oktober 2012.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia,
<http://www.migas.esdm.go.id/tracking/berita-
kemigasan/detil/264411/Industri-Migas-Kurang-Dukungan-Perbankan>.
Diakses, 22 April 2012.
Kontan, Lapindo Bor Sumur Lagi di Sidoarjo. <
http://industri.kontan.co.id/news/lapindo-bor-sumur-lagi-di-sidoarjo>.
Diakses 27 November 2012.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
120
Universitas Indonesia
Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, “BI Minta Perbankan Lebih
'Mesra' dengan Perusahaan Migas”. < http://www.lppi.or.id>. Diakses, 20
April 2012.
Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi UI, “Analisis Industri MInyak dan Gas
Bumi di Indonesia: Masukan bagi Pengelola BUMN”.
<http://www.lmfeui.com/data/Analisis%20Industri%20Minyak.pdf>,
Diakses 11 Oktober 2012.
Nelson, Teresa. The Persistence of Founder Influence: Management, Ownership,
and Performance Effects at Initial Public Offering. Strategic Management
Journal, Vol. 24, No. 8 (Aus., 2003), pg. 707-724
<http://www.jstor.org/stable/20060570> Diakses, 5 Desember 2012.
Okezone.com, “Investor Siap "Tagih" Komitmen Menteri ESDM”. <
http://economy.okezone.com/read/2012/11/20/19/720583/investor-siap-
tagih-komitmen-menteri-esdm>. Diakses 20 November 2012.
PECC Finance Forum Conference, Financial Centers in East Asia: An Indonesian
Perspective (outline). <http://www.pecc.org/resources/doc_view/414-
financial-centers-in-east-asia-an-indonesian-perspective-outline>. Diakses
26 November 2012
“Peluang Memperbesar Keuntungan Negara dalam UU Minyak dan gas bumi”.
<http://metrotvnews.com/index.php/metromain/analisdetail/2010/06/16/26
/Peluang-Memperbesar-Keuntungan-Negara-dalam-UU-Minyak dan gas
bumi- Metro TV News>, Diakses, 20 April 2012
“Penerimaan Negara Sektor Hulu Migas Capai US$ 19,7 Miliar”.
http://finance.detik.com/read/2009/12/30/144615/1268581/4/penerimaan-
negara-sektor-hulu-migas-capai-us--197-miliar. diunduh 4 Desember
2011.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
121
Universitas Indonesia
“Peranan Minyak dan Gas Bumi dalam Menunjang Pembangunan Jangka
Panjang Tahap II”. Ceramah Direktur Utama Pertamina Pada Civitas
Akademika Fakultas Ekonomi UI. Jakarta, 1995.
“Perbankan Nasional Diajak Biaya Proyek Migas” <
http://www.antaranews.com/print/1178502456/perbankan-nasional-diajak-
biaya-proyek-migas>. Diakses, 25 April 2012.
“Sejarah Perkembangan Industri Minyak dan gas bumi di Indonesia,”
http://www.perhimakbandung.org/index.php?option=com_content&view=
article&id=82:sejarah-perkembangan-industri-minyak dan gas bumi-
indonesia&catid=38:artikel&Itemid=66. Diakses 30 November 2011
Sistem Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia,
<http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Pengaturan+d
an+Pengawasan+Bank/Sistem+Pengawasan+Bank/>. Diakses, 25
Desember 2011
Sitompul, Zulkarnain. Investasi Asing di Indonesia Memetik Manfaat Liberalisasi.
Hukum Bisnis, Media Publikasi Peraturan Perundang-undangan dan
Informasi Hukum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
<http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-bisnis/88-investasi-asing-di-
indonesia-memetik-manfaat-liberalisasi.html>. Diakses, 2 Desember 2011.
________________, Peran dan Fungsi Bank dalam Sistem Perekonomian.
http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/peran-dan-fungsi-
bank_artikel.pdf. Diakses, 27 Desember 2011
Tambang News.com, “Pertamina Optimal Penyaluran BBM Paksa Pemblokiran
dan Perusakan Fasilitas Terminal BBM Teluk Kabung”. Jumat, 9
November 2012. < http://www.tambangnews.com/berita/daerah/2867-
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
122
Universitas Indonesia
pertamina-optimal-penyaluran-bbm-paska-pemblokiran-dan-perusakan-
fasilitas-terminal-bbm-teluk-kabung.html>. Diakses, 11 November 2012.
Tempo.com, ”Gubernur Awang Tolak Aski Blokade Jalur Batubara”, Selasa, 29
Mei 2012. <
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/29/058406893/Gubernur-
Awang-Tolak-Aksi-Blokade-Jalur-Batu-Bara>, Diakses 11 November
2012.
The Indonesian Mining Magazine, Tambang. “IPA Ajukan Judicial Review Untuk
PP Cost Recovery”.
<http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=18&newsn
r=4036>. Diakses 20 November 2012.
United Nation Institute for Training and Research, Financial Globalization,
<http://www.unitar.org/event/financial-globalization>, diakses 23
September 2012.
World Trade Organization, The General Agreement on Trade in Services (GATS):
Objectives, coverage and disciplines,
<http://www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/gatsqa_e.htm>. Diakses 1
Oktober 2012.
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013