UNIVERSITAS INDONESIA PEMBIAYAAN PEMILIKAN RUMAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20312358-S...
Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA PEMBIAYAAN PEMILIKAN RUMAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20312358-S...
UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBIAYAAN PEMILIKAN RUMAH DENGAN AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH PADA
BANK MUAMALAT INDONESIA (Studi Kasus: Produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi (PHSK))
SKRIPSI
AGISA MUTTAQIEN 0806341280
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI
DEPOK
JULI 2012
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBIAYAAN PEMILIKAN RUMAH DENGAN AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH PADA BANK MUAMALAT
INDONESIA (Studi Kasus: Produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi (PHSK))
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
AGISA MUTTAQIEN 0806341280
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI
DEPOK
JULI 2012
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
ii
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
iii
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam, semoga
tetap mencurahkan tempat terbaik bagi Rasulullah Muhammad saw, pendobrak
kejahiliyahan umat Islam di muka bumi. Dengan tulisan ini penulis mengucap syukur
atas terselesaikannya skripsi penulis, meskipun terdapat kekurangan di segala baris
tulisan, penulis berharap semoga manfaatnya dapat selalu dirasakan. Skripsi ini
adalah laporan penelitian penulis mengenai penerapan akad Musyarakah Mutanaqisah
di Bank Muamalat Indonesia dalam produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi.
Penulis menganalisis penerapan tersebut dari sudut pandang hukum dengan mengacu
kepada peraturan perundang-undangan dan fatwa yang terkait. Penulis juga
menganalisis penerapan prinsip Ijarah atau sewa menyewa, serta permasalahan
hukum yang ada terkait sertifikat kepemilikan dari objek pembiayaan tersebut.
Semoga dengan adanya penelitian penulis ini, pembaca dapat mengambil ibroh atau
pelajaran, dan mengambil manfaat yang terkandung sehingga nantinya akan
bermanfaat bagi seluruh umat. Dengan kesempatan ini, penulis ingin pula mengucap
terima kasih kepada:
1. Pembimbing penulis, Dr. Gemala Dewi, S.H., LL.M., dan Bapak Aad Rusyad
Nurdin, S.H., M.Kn., yang selalu memberikan bimbingan dan saran yang
membangun demi terselesaikannya skripsi penulis
2. Orang tua penulis, H. Sjachril Bakri, S.E., M.M. dan Hj. Irmawati yang selalu
memberikan kepercayaan dan dukungan kepada penulis untuk dapat
menyelesaikan skripsi tepat waktu meskipun banyak halangan dan kesulitan.
Semoga langkah kecil ini dapat menjadi awal yang baik untuk masa depan.
3. Kakak-kakak penulis, Taufiq Firmansyah, S.T., M.A.Sc., dan dr. Dimas
Rahmatisa, yang selalu memberikan dorongan motivasi kepada penulis dan
juga menjadi teman untuk menghibur diri ketika penat mencapai puncaknya.
4. Para narasumber di Bank Muamalat Indonesia, khususnya kepada Bapak
Ardiansyah Rakhmadi, Sharia Compliance Division Head, Bapak Irvan
Lesmana, Corporate Legal Division Head, dan Bapak Mahmud selaku
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
v
Corporate Legal Officer, atas data dan penjelasan yang diberikan kepada
penulis terkait permasalahan yang menjadi fokus penulis dalam skripsi ini.
Tanpa adanya data dan informasi yang diberikan oleh bapak-bapak sekalian,
mustahil rasanya skripsi ini dapat dirampungkan.
5. Karyawan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, khususnya Pak Selam dan
Pak Jon, yang telah membantu penulis dalam melengkapi kelengkapan dan
mengurus hal-hal yang bersifat prosedural demi terselesaikannya skrips ini.
6. Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2008,
khususnya kepada Achmad Fadhil Arsandy, S.H. dan Febri Rachmatullah,
S.H. yang dari awal perjuangan penulis di FHUI telah saling mengingatkan
untuk kebaikan
7. Teman-teman senasib sepenanggungan dengan penulis di saat penyusunan
skripsi, Andina Sitoresmi Pramudita, Anggi Wijaya, Vannia Alienjhon, Vania
Nurjanitra, Nirmala Azizah, Diany Maya Anindhita, Try Bagus Harminto, dan
teman-teman yang lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
8. Novita Anggraenny, terima kasih atas semangat yang diberikan dalam
kehidupan perkuliahan penulis selama empat tahun ini. Terima kasih juga
telah menjadi pendukung, sahabat, dan motivator untuk segala perjuangan
penulis hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.
Dan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih. Semoga dengan andil dari berbagai pihak
tadi, skripsi ini menjadi bermanfaat untuk kemajuan agama, bangsa, dan negara.
Depok, 21 Juni 2012
Penulis
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
vi
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia vii
ABSTRAK
Nama : Agisa Muttaqien
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Skripsi :
Skripsi ini memaparkan penerapan akad Musyarakah Mutanaqisah di Bank Muamalat Indonesia dalam produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi (PHSK). Dalam penelitian ini penulis meneliti kesesuaian penerapan akad Musyarakah Mutanaqisah dalam PHSK dengan perundang-undangan dan fatwa, bagaimana penerapan akad Ijarah didalamnya, serta bagaimana masalah kepemilikan sertifikat objek pembiayaan PHSK. Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif, menggunakan metode kualitatif, dan bentuk dari hasil penelitian ini adalah eksplanatoris analitis. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa PHSK telah sesuai dengan perundang-undangan dan fatwa terkait. Penerapan ijarah pun telah sesuai karena ditemukan bahwa sewa yang dilakukan nasabah adalah terhadap barang hasil musyarakah dan bukan milik sendiri. Pencantuman nama nasabah dalam sertifikat juga dilakukan untuk memudahkan proses balik nama dan menghindari biaya ganda. Diharapkan kedepannya terdapat peraturan yang lebih jelas dan memudahkan penerapan prinsip syariah, tidak hanya bagi prinsip konvensional saja. Kata kunci: Pembiayaan, Musyarakah Mutanaqisah, KPR.
Pembiayaan Pemilikan Rumah dengan Akad Musyarakah
Mutanaqisah pada Bank Muamalat Indonesia (Studi Kasus
Produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi (PHSK))
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia viii
ABSTRACT
Name : Agisa Muttaqien
Study Program: Legal Studies
Title :
This thesis describes the application of Musharaka Mutanaqisah contract in Bank Muamalat Indonesia in Partnership Sharia Residential Financing product (PHSK). In this study the authors examined the suitability of application of the Musharaka contract in PHSK Mutanaqisah with legislation and fatwa, how the application of Ijarah contract therein, as well as the issuing of certificates of PHSK object. The research was carried out legally normative, using qualitative methods, and the results are in analytical explanatory. In this study it was found that PHSK complies with legislation and related fatwa. Application of Ijara have been appropriate because it was found that the lease is done to the goods bought by partnership contribution, not only customer’s. Inclusion of the customer's name in the certificate is also made to facilitate the take over process and to avoid a double charge. Regulations are expected in the future to be more clearly and to facilitate the application of Islamic principles, not only the conventional. Keywords: Financing, Musharaka Mutanaqisah, Mortgage.
House Ownership Financing with Musharaka Mutanaqisa
Agreement in Muamalat Bank Indonesia (Case Study:
Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi Product (PHSK))
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………………………. i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………………….. ii LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………... iii KATA PENGANTAR……………………………………………………………... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………………….. vi ABSTRAK…………………………………………………………………………. vii ABSTRACT…………………………………………………………………………. viii DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. ix DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………….. xi 1. PENDAHULUAN……………………………………………………………...1
1.1. Latar Belakang…………………………………………………………….. 1 1.2. Pokok Permasalahan………………………………………………………. 4 1.3. Tujuan penelitian………………………………………………………….. 5 1.4. Metode penelitian…………………………………………………………. 6 1.5. Definisi Operasional………………………………………………………. 8 1.6. Sistematika penulisan……………………………………………………... 9
2. TINJAUAN UMUM BANK SYARIAH DAN AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH ………………………………………... 11 2.1. Bank Syariah dan Produk Perbankan Syariah…………………………….. 11 2.2. Tinjauan Umum Akad Musyarakah Mutanaqisah………………………… 20
2.2.1. Pengertian Akad……………………………………………………. 20 2.2.2. Pengertian musyarakah Mutanaqisah……………………………… 20 2.2.3. Dasar Hukum Akad Musyarakah Mutanaqisah……………………. 22 2.2.4. Rukun dan Syarat Akad Musyarakah Mutanaqisah………………... 32 2.2.5. Ijarah dalam Akad Musyarakah Mutanaqisah……………………... 36 2.2.6. Status Kepemilikan Sertifikat Objek Pembiayaan pada Akad
Musyarakah Mutanaqisah…………………………………………. 39 3. PENERAPAN AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH DALAM
PRODUK “PEMBIAYAAN HUNIAN SYARIAH KONGSI” DI BANK MUAMALAT INDONESIA……………………………………... 41 3.1. Tinjauan Umum Bank Muamalat Indonesia………………………………. 41
3.1.1. Bank Muamalat Indonesia sebagai Pelopor Bank Syariah di Indonesia……………………………………………………….. 41
3.1.2. Produk dan Layanan Bank Muamalat Indonesia………………...... 43 3.2. Tinjauan Umum Produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi
(PHSK) di Bank Muamalat Indonesia…………………………………….. 45 3.2.1. Sejarah Perkembangan Produk Pembiayaan Hunian
Syariah Kongsi (PHSK) di Bank Muamalat Indonesia…………… 45 3.2.2. Ketentuan dan Persyaratan Pembiayaan Hunian Syariah
Kongsi pada Bank Muamalat Indonesia…………………………... 47 3.2.2.1. Persyaratan Calon Nasabah Pembiayaan Hunian
Syariah Kongsi………………………………………….. 47 3.2.2.2. Ketentuan Pembiayaan………………………………….. 50
3.2.3. Proses Pembiayaan dalam Produk Pembiayaan Hunian
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
x
Syariah Kongsi di Bank Muamalat Indonesia…………………...... 52 3.2.3.1. Persiapan Pembiayaan…………………………………... 52 3.2.3.2. Analisis Pembiayaan……………………………………. 53 3.2.3.3. Risk Assesment, Realisasi Pembiayaan, dan Dropping… 54 3.2.3.4. Proses Melalui Financing Origination System (FOS)…... 56
3.2.4. Ijarah (sewa) dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi pada Bank Muamalat Indonesia…………………. 58
3.2.5. Status Kepemilikan Sertifikat Objek Pembiayaan dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi di Bank Muamalat Indonesia………………………………………… 59
4. ANALISIS PENERAPAN AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH DALAM PRODUK PEMBIAYAAN HUNIAN SYARIAH KONGSI (PHSK) DI BANK MUAMALAT INDONESIA……………………………. 60 4.1. Analisis Mengenai Penerapan Akad Musyarakah Mutanaqisah
Secara Umum dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi di Bank Muamalat Indonesia……………………………………………… 60
4.2. Analisis Permasalahan Penerapan Ijarah Sebagai Kegiatan Usaha Bank dan Nasabah dalam Akad Musyarakah Mutanaqisah di Bank Muamalat Indonesia……………………………………………… 66
4.3. Analisis Masalah Kepemilikan Sertifikat yang Diatasnamakan Nasabah sebagai Tanda Bukti Kepemilikan Objek Pembiayaan………….. 75
5. PENUTUP……………………………………………………………………... 79 5.1. Kesimpulan………………………………………………………………... 79 5.2. Saran………………………………………………………………………. 81
DAFTAR PUSTAKA
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Pernyataan
Lampiran 2. Surat Permohonan Pembelian Barang dengan Akad Musyarakah
Mutanaqisah (Untuk Perorangan)
Lampiran 2. Pernyataan Pengakuan (Untuk Perorangan)
Lampiran 3. Surat Penunjukan dan Kuasa (Untuk Perorangan)
Lampiran 4. Surat Permohonan Ijarah
Lampiran 5. Berita Acara Penyerahan Objek Sewa (Untuk Perseorangan)
Lampiran 6. Surat Sanggup
Lampiran 7. Surat Tanda Terima Pembelian Barang
Lampiran 8.Permohonan Nasabah untuk Realisasi Pembiayaan
Lampiran 9. Surat Kuasa Debet
Lampiran 10. Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah
Lampiran 11. Addendum Akad Musyarakah Mutanaqisah
Lampiran 12. Addendum Akad Ijarah
Lampiran 13. Surat Persetujuan Bank Indonesia terhadap Produk Pembiayaan Hunian
Syariah
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia 1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah merupakan kebutuhan setiap manusia. Rumah menjadi tempat
kembali dari aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, juga merupakan
tempat untuk melakukan berbagai aktivitas yang sangat dibutuhkan oleh semua orang,
misalnya tempat untuk tidur, makan, tempat berkumpulnya keluarga, dan lain
sebagainya. 1 Permintaan akan pemilikan rumah dari tahun ke tahun pun terus
mengalami peningkatan yang signifikan.2 Permintaan rumah yang signifikan ini pada
akhirnya diantisipasi oleh perbankan dengan melahirkan suatu sistem yang biasa
disebut dengan Kredit Pemilikan Rumah (selanjutnya disebut KPR). Berdasarkan
sifatnya, KPR tergolong dalam jenis kredit konsumsi, yaitu kredit jangka pendek atau
panjang yang diberikan kepada debitor untuk membiayai barang-barang kebutuhan
atau konsumsi dalam skala kebutuhan rumah tangga yang pelunasannya dari
penghasilan bulanan nasabah debitor yang bersangkutan.3
KPR dalam hal ini menjadi perwujudan dari peranan bank sebagai
intermediary, dan peranan sebagai intermediary ini tidak hanya ada pada bank
konvensional, melainkan juga terdapat pada bank syariah, yaitu mengerahkan dana
dari masyarkat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat. Bedanya,
bank syariah dalam melakukan kegiatan usahanya tidak berdasarkan bunga (interest
1 Mahmud Asy-Syafrowi, Mengundang Malaikat ke Rumah, (Yogyakarta: Mutiara Media,
2010), hlm. 48. 2 Di Jakarta saja, tingkat permintaan hunian di Jakarta diproyeksikan meningkat sebesar 87-
89 persen pada tahun 2011. http://economy.okezone.com/read/2011/01/18/320/415149/2011-permintaan-hunian-di-jakarta-meningkat-hingga-89 (diakses pada 24 Februari 2012)
3 Hermansyah, S.H., M.Hum., Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Ed. Rev. Cet. 6,
(Jakarta: Kencana, 2011), hlm.61.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
2
free), tetapi berdasarkan prinsip syariah, yaitu prinsip pembiayaan keuntungan dan
kerugian (profit and loss sharing principle atau PLS principle).4
Bank syariah sebagai intermediary, berdiri sebagai badan hukum nyata dari
implementasi dual banking system pada perbankan nasional. Di Indonesia, bank
syariah dikukuhkan menjadi hukum positif dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah setelah sebelumnya belum diakui pada Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan diamandemen dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.
Hadirnya perbankan syariah dan bank syariah di Indonesia, merupakan bukti
bahwa Islam telah memberikan petunjuk bagi manusia dalam melakukan berbagai
aktivitas yang terkait didalam cakupan ekonomi. Karakteristik sistem perbankan
syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem
perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan
aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-
nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan
spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta
layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif,
perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat
dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.5
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk mencari harta dengan segala
cara asalkan mengikuti rambu-rambu yang ada, rambu-rambu itu antara lain mencari
yang halal lagi baik, tidak dengan batil, menjauhi riba, maisir, dan gharar.6 Larangan
terhadap praktek riba tidak hanya ada pada ajaran Islam. Perlu dikemukakan bahwa
4 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam tata Hukum Perbankan
Indonesia, (Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1999), hlm. 4. 5 Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia, artikel pada kolom informasi situs resmi Bank
Indonesia, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+Syariah/ (diakses 23 Februari 2012). 6 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, cet. 11 (Jakarta: Gema
Insani, 2007), hlm. 12.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
3
dua agama besar samawi yaitu Kristen dan Yahudi mempunyai preposisi yang sama
dengan Islam tentang riba yaitu melarang transaksi secara ribawi.7 Dalam Al-Quran
juga telah ditegaskan untuk menjauhi segala hal yang bertentangan dengan riba,
maisir, dan gharar. Dalam Surah Ar-Rum ayat 39 ditegaskan,
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS Ar Rum: 39)8
Rasulullah saw pun menegaskan dalam hadist,
“Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala), ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab, bahwa Rasulullah melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan, beliau juga melaknat pekerjaan pentato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.”” (H.R. Bukhari Volume 3 No.299). 9
Dengan dasar ekonomi dan dasar hukum itulah, Bank Muamalat Indonesia
memberikan sistem pemilikan rumah alternatif bagi masyarakat di Indonesia, baik
yang muslim ataupun non-muslim, dengan menerbitkan produk KPR yang sesuai
dengan prinsip syariah10 yang tidak diskriminatif dan memberatkan nasabah, yang
diberi nama Pembiayaan Hunian Syariah (PHS), dengan pilihan akad Murabahah
(jual beli dengan tambahan margin) dan Musyarakah Mutanaqisah (kerjasama sewa).
7 Karnaen A. Perwataatmadja dan H. Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank
Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992), hlm. 13. 8 Al-Quran Al Karim, Surah Ar-Rum ayat 39. (Jakarta: Penerbit Syaamil, 2007). 9 Hadist Riwayat Bukhari, Volume 3, No.299. 10 Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Lihat: Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Lembaran Negara Republik Indonesia,No. 94, 2008, Pasal 1 Butir 12.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
4
Akad Musyarakah Mutanaqisah menekankan pada penggunakan akad jual beli
dengan syirkah dan pengurangan salah satu bagian (porsi) syirkah dengan sewa.
Penelitian ini akan terpusat pada pembahasan mengenai akad Musyarakah
Mutanqisah ini, karena akad ini terbilang paling baru diantara akad yang lain yang
juga digunakan untuk pembiayaan pemilikan rumah pada perbankan syariah di
Indonesia, setelah sebelumnya telah digunakan prinsip Murabahah dan Ijarah
Muntahiyah Bit Tamlik.
Produk ini didukung dengan lahirnya Undang-Undang Repubik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UU
Perbankan Syariah), sehingga telah jelas adanya pengakuan dari hukum positif bahwa
prinsip syariah dapat diterapkan secara menyeluruh. Selain mengeluarkan UU
Perbankan Syariah, Bank Indonesia telah menetapkan peraturan yang menurut
penulis penting untuk dijadikan fokus lebih lanjut, yaitu PBI No.10/17/PBI/2008
Tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, PBI No. 13/13 /PBI/2011
Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha
Syariah, dan SK Dir Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995
tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank
bagi Bank Umum.
Lebih khusus lagi Dewan Syariah Nasional MUI mengeluarkan Fatwa DSN-
MUI Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah untuk
pengaturan yang lebih khusus dan eksklusif. Sehingga dengan adanya dukungan dari
berbagai pihak, diproyeksikan KPR berbasis syariah dan perbankan syariah umumnya
akan semakin subur. Karim Business Consulting bahkan meyakini Indonesia akan
menjadi pemain utama dan menjadi yang terbesar dari lima besar keuangan syariah
global dalam dua dekade mendatang. Pada 2023, Indonesia diperkirakan memimpin
industri keuangan syariah global dengan total aset mencapai 8,6 triliun dolar AS.
Sementara, aset perbankan syariahnya mencapai 1.597 triliun dolar AS11
11 Ali Rama, Proyeksi Perbankan Syariah 2012, artikel pada Harian Republika, 3 Januari 2012, http://koran.republika.co.id/koran/24/151317/Proyeksi_Perbankan_Syariah_2012, (diakses 23 Februari 2012).
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
5
1.2 Pokok Permasalahan
Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, pembahasan penulis
akhirnya mengerucut pada permasalahan berikut, antara lain:
1. Apakah penerapan prinsip Musyarakah dan Ijarah pada akad Musyarakah
Mutanaqisah dalam produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi (PHSK)
telah memenuhi peraturan perundang-undangan dan fatwa yang berlaku?
2. Bagaimana penerapan prinsip Ijarah sebagai kegiatan usaha bersama
antara bank dan nasabah dalam produk Pembiayaan Hunian Syariah
Kongsi (PHSK) di Bank Muamalat Indonesia?
3. Permasalahan hukum apakah yang terdapat dalam hal kepemilikan
sertifikat hunian dalam produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi
(PHSK) di Bank Muamalat Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis dari segi hukum penerapan akad Musyarakah
Mutanaqisah pada produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi dan
mengetahui kesesuaiannya dengan peraturan perundang-perundangan.
2. Tujuan Khusus
Selain memiliki tujuan umum, penelitian ini secara lebih spesifik
bertujuan antara lain untuk:
a. Mengetahui persyaratan dan proses akad yang dibuat oleh calon
nasabah dan bank dalam akad Musyarakah Mutanaqisah bagi produk
Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi di Bank Muamalat Indonesia dan
kesesuaiannya dengan perundang-undangan dan fatwa yang berlaku.
b. Mengetahui kesesuaian penerapan prinsip Musyarakah yang dibuat
dalam akad Musyarakah Mutanaqisah serta penerapan prinsip Ijarah
sebagai kegiatan usaha bersama antara bank dan nasabah dalam
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
6
produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi di Bank Muamalat
Indonesia dengan perundang-undangan dan fatwa yang berlaku.
c. Mengetahui permasalahan hukum dari kepemilikan sertifikat hunian
yang menjadi objek pembiayaan dalam produk Pembiayaan Hunian
Syariah Kongsi (PHSK) di Bank Muamalat.
1.4 Metode Penelitian
Penulisan skripsi yang dilakukan penulis adalah kegiatan ilmiah yang
berkaitan dengan analisis dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis12,
sistematis13, dan konsisten14. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah yuridis normatif.
Tipe penelitian yang digunakan penulis menurut sifatnya adalah penelitian
deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif adalah penelitian yang bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala 15 . Penulis akan
menggambarkan bagaimana proses pembiayaan hunian syariah menggunakan akad
Musyarakah Mutanaqisah pada produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi di Bank
Muamalat Indonesia, menjelaskan akad Ijarah yang terdapat di dalamnya, dan
menganalisis kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam sebuah penelitian yang dicari antara lain adalah pengetahuan yang
benar, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab
12 Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;. (Soerjono Soekanto,
Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hlm. 43.
13 Sistematis adalah berdasarkan suatu sistim (Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hlm. 43.
14 Konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu (Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hlm. 43.
15 Sri Mamudji, et.al., Metode Penulisan dan Penelitian Hukum, (Depok: Badan Penerbit Alumni, 2005), hlm. 4.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
7
pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu16. Skripsi ini akan menjabarkan permasalahan
mengenai proses kesepakatan yang terjadi dalam akad Musyarakah Mutanaqisah pada
Bank Muamalat Indonesia dan kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan,
mengenai aspek hukum Musyarakah dan Ijarah yang terdapat dalam akad
Musyarakah Mutanaqisah, serta mengenai permasalahan kepemilikan sertifikat
hunian yang menjadi objek pembiayaan dalam produk Pembiayaan Hunian Syariah
Kongsi di Bank Muamalat Indonesia.
Penulis akan menggunakan dua jenis data, yaitu data primer17 dan data
sekunder.18 Pengumpulan data primer akan dilakukan penulis dengan melakukan
wawancara untuk mengetahui bagaimana proses pembiayaan dengan akad
Musyarakah Mutanaqisah dan bagaimana kesesuaiannya dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini.
Data sekunder sebagai sumber data utama dalam penelitian normatif akan
penulis gunakan untuk mempelajari serta memahami peraturan perundang-undangan
serta fatwa yang berlaku bagi penerapan akad Musyarakah Mutanaqisah di Bank
Muamalat Indonesia. Data sekunder yang penulis jadikan rujukan terdiri dari bahan
hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut.
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat berupa peraturan perundang-undangan Indonesia dan peraturan
Bank Indonesia, antara lain: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, PBI No.10/17/PBI/2008
Tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, PBI No. 13/13
16 Sri Mamudji, et.al., Metode Penulisan dan Penelitian Hukum, (Depok: Badan Penerbit
Alumni, 2005), hlm. 28.
17 Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan. Lihat: Soerdjono Soekanto dan Sri Mamudji, Karya ilmiah Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), hlm. 37.
18 Data sekunder adalah data yang telah dalam keadaan siap pakai, bentuk dan isinya telah disusun penulis terdahulu dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat. Lihat: Soerdjono Soekanto dan Sri Mamudji, Karya ilmiah Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), hlm. 37.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
8
/PBI/2011 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum Syariah
Dan Unit Usaha Syariah, SK Dir Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/
DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan
Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan bagi Bank Umum, dan Fatwa
DSN-MUI Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah
Mutanaqisah
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan
menjelaskan bahan hukum primer, yang antara lain adalah doktrin yang
terdapat dalam buku-buku, laporan penelitian, penelusuran internet, artikel
ilmiah, jurnal, hasil seminar, bahan hasil penelitian dari universitas, surat
kabar, dan makalah yang berkaitan dengan topik penelitian.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya
ensiklopedi, atau kamus. 19
1.5 Definisi Operasional
Dalam skripsi ini terdapat istilah-istilah yang akan banyak digunakan oleh
penulis dalam rangka menjelaskan atau mengutip bacaan dari referensi yang menjadi
dasar penulisan oleh penulis. Berikut istilah yang akan sering digunakan dan
definisinya. Antara lain:
1. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.20
2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hlm. 32.
20 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Lembaran Negara Republik Indonesia,No. 94, pasal 1 butir 1.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
9
kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat.21
3. Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara
konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional
dan Bank Perkreditan Rakyat.22
4. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.23
5. Musyarakah Mutanaqisah adalah Musyarakah atau Syirkah yang kepemilikan
aset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan
pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya.24
6. Syarik adalah mitra, yakni pihak yang melakukan akad syirkah (musyarakah).
7. Musya adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah (milik
bersama) secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya secara fisik.25
8. Ijarah adalah sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad yang dilakukan atas dasar
suatu manfaat dengan imbalan jasa.26
1.6 Sistematika Penulisan
Dalam menulis skripsi ini, penulis membagi pembahasan dalam empat bab
yang masing-masing secara bersama-sama akan menjawab permasalahan yang
menjadi fokus dalam skripsi ini. Berikut uraian singkat inti pembahasannya:
21 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, pasal 1 butir 2. 22 Ibid., pasal 1 butir 4. 23 Ibid., pasal 1 butir 7. 24 Indonesia, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang
Musyarakah Mutanaqisah, Ketentuan Umum Butir a.
25 Indonesia, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 73/DSN-MUI/XI/2008, Ketentuan Umum butir b.
26 Habib Nazir dan Muh. Hasan, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syari’ah, (Bandung:
Kaki Langit, 2004), hlm. 246.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
10
BAB I
Pendahuluan. Pada Bagian ini penulis memberikan uraian mengenai latar belakang
permasalahan, pokok permasalahan, dan tujuan penulisan. Kemudian penulis juga
melengkapi dengan metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
Pada bagian ini penulis akan memberikan pemahaman umum bersifat teoritis dan
penjabaran hasil tinjauan secara umum mengenai perbankan syariah yang akan
diambil dari berbagai sumber yang relevan dengan bahasan.
BAB III
Pada bagian ini penulis akan menjabarkan hasil penelusuran data dan hasil
wawancara dengan narasumber yang dijumpai di Bank Muamalat Indonesia untuk
memperjelas mekanisme proses pelaksanaan akad Musyarakah Mutanaqisah dalam
Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi (PHSK), penerapan Ijarah didalamnya, serta
aspek hukum dalam kepemilikan hunian antara Bank Muamalat Indonesia dan
nasabahnya.
BAB IV
Pada bagian ini penulis akan menjelaskan keterkaitan antara pelaksanaan secara
praktek dari akad Musyarakah Mutanaqisah dalam PHSK terhadap perundang-
undangan dan peraturan yang berlaku, mulai dari peraturan terkait Musyarakah
Mutanaqisah secara nasional, seperti Fatwa DSN-MUI Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008
tentang Musyarakah Mutanaqisah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, serta pedoman khusus bagi Musyarakah
Mutanaqisah yang dilakukan pada Bank Muamalat Indonesia.
BAB V
Merupakan bagian penutup. Bagian ini terdiri dari dua sub bab, yakni kesimpulan dan
saran yang dihasilkan penulis dari penelitian dan pembahasan yang dilakukan terkait
judul skripsi penulis.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia 11
BAB 2
TINJAUAN UMUM BANK SYARIAH DAN AKAD MUSYARAKAH
MUTANAQISAH
2.1 Bank Syariah dan Produk Perbankan Syariah
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
tanggal 25 Maret 1992, menandai adanya kesepakatan rakyat dan bangsa Indonesia
untuk menerapkan Dual Banking System (selanjutnya disebut DBS) atau sistem
perbankan ganda di Indonesia.27 Dengan diberlakukannya DBS tersebut, berarti telah
ada pengakuan terhadap rumusan ekonomi Islam yang berbeda dengan sistem-sistem
lainnya. Hal ini karena ekonomi Islam memiliki akar dari syariah yang menjadi
sumber dan panduan bagi setiap muslim dalam melaksanakan aktivitasnya. Islam
memiliki tujuan-tujuan syariah (maqasid asy-syariah) serta petunjuk operasional
(strategis) untuk mencapai tujuan tersebut. Imam Al-Ghazali dalam kitab al-
Mustasyfa mengemukakan bahwa tujuan utama syariah adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia yang terletak pada pemeliharaan iman, hidup, akal, keturunan,
dan harta.28 Sehingga, dapat dilihat bahwa memang Islam telah mengatur sedemikian
rupa bagaimana umatnya harus menjaga diri secara lahiriah dan batiniah, mulai dari
keimanan, hingga pengelolaan harta. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk
mencari harta dengan segala cara asalkan mengikuti rambu-rambu yang ada, rambu-
rambu itu antara lain mencari yang halal lagi baik, tidak dengan batil, menjauhi riba,
maisir, dan gharar.29
27 Wirdyaningsih, SH., MH., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2005), hlm. 1. 28 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syari’ah: Konsep,
Produk dan Implementasi Operasional, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 11. 29 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, cet. 11, (Jakarta: Gema
Insani, 2007), hlm. 12.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
12
Larangan terhadap praktek riba tidak hanya ada pada ajaran Islam. Perlu
dikemukakan bahwa dua agama besar samawi yaitu Kristen dan Yahudi mempunyai
preposisi yang sama dengan Islam tentang riba yaitu melarang transaksi secara
ribawi.30 Bahkan sejarah mencatat tidak kurang seperti Plato dan Aristoteles dari
Yunani serta Cicero dan Cato dari Romawi begitu mengecam praktik riba (interest
based system) ini.31
Mengenai riba sendiri, penegasan atas kewajiban menjauhinya dapat
ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadist, antara lain dalam surah al-Baqarah ayat 275,
278 dan 279, yang artinya,
“ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(al-Baqarah: 275)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan lepaskan
sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertobat (dari
pengambilan riba), maka bagimu modalmu. Kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya. (al-Baqarah: 278-279).
Huruf “al-ma’rifah”(the definite article) dalam kata “ar-riba” baik sebagai
keterangan “lil ahd” ‘lazim dikenal’ atau “lil jinsi” ‘jenis’, atau “lil istighroq”
‘umum’, maksudnya sudah jelas dan terang, yaitu mengharamkan seluruh jenis riba.
Seandainya pengertian riba masih kabur, mestilah diterangkan Allah kepada mereka.
Ayat ini tidak mendefinisikan lagi kata riba mengingat sudah lazim dikenal secara
30 Karnaen A. Perwataatmadja dan H. Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank
Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992), hlm. 13. 31 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Op. Cit., hlm. 45.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
13
umum.32 Riba secara garis besar, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu riba karena
adanya jual beli, dan riba karena adanya utang piutang. Riba karena jual beli dibagi
menjadi dua lagi, yakni riba fadl, yaitu pertukaran barang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda, serta riba nasi’ah, yaitu penangguhan atas penyerahan atau
penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan barang ribawi lainnya.
Sedangkan riba akibat utang piutang dibagi menjadi dua lagi, yaitu riba qard, yaitu
suatu tambahan atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berutang, dan riba jahiliyah, yaitu utang yang dibayar lebih dari pokoknya, karena si
peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.33
Sehingga jelas bahwa praktik perbankan konvensional saat ini sangat mirip,
jika tidak dikatakan sama, dengan apa yang dilarang oleh nash dalam Al-Qur’an dan
Hadist tersebut mengenai riba. Berapa banyak kasus kredit perbankan konvensional
yang tidak memiliki ujung pangkal yang jelas, berbunga sehingga memberatkan si
peminjam, yang akan berakhir dengan penggunaan debt collector dan tenaga
profesional lain dalam penagihannya. Inilah yang tidak diinginkan oleh sistem
perbankan Islam, sehingga muncullah pergerakan untuk membentuk suatu wadah
bagi masyarakat yang tidak ingin bersentuhan dengan riba dan segala wujud
turunannya, dan akhirnya membentuk bank yang berdasarkan prinsip tersendiri, yaitu
prinsip syariah. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.34
Perbankan pada Islam berbeda dengan perbankan konvensional. Bank Islam
merupakan suatu lembaga keuangan yang fungsi utamanya adalah menghimpun dana
untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya dengan sistem
32 Yusuf Al-Qardhawi, Bunga Bank Haram (Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram),
Penerjemah: Dr. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002), hlm. 59. 33 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Op. cit., hlm. 39. 34Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 94, pasal 1 butir 12.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
14
tanpa bunga.35 Tujuan bank Islam adalah untuk memacu perkembangan ekonomi dan
kemajuan sosial dari negara-negara anggota dan masyarakat muslim, baik secara
individual maupun secara kolektif, adapun tujuan utama didirikannya bank Islam
ialah untuk menghindari bunga uang yang dilaksanakan oleh bank-bank
konvensional.36
Bank konvensional menggunakan sistem ekonomi kapitalis yaitu dengan jalan
menarik keuntungan usahanya terutama dari bunga kredit yang dimanfaatkannya
melalui dana simpanan masyarakat yang kemudian dipinjamkan kembali kepada
masyarakat dengan tambahan berupa bunga. Konsep usaha yang mudah dengan janji
keuntungan yang berlipat ganda tanpa menanggung risiko rugi, tentu mengandung
pertentangan dengan prinsip hukum Islam yang menghargai usaha dan
mengharamkan riba.37 Adapun perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah
dapat disarikan dalam tabel berikut ini.38
No. Perbedaan Bank Islam Bank Konvensional
1 Falsafah
Tidak berdasarkan bunga,
spekulasi dan
ketidakjelasan
Berdasarkan atas bunga
2 Operasional
1.Dana masyarakat berupa
titipan dan investasi yang
baru akan mendapat hasil
jika “diusahakan” dahulu
2.Penyaluran pada usaha
yang halal dan
1.Dana masyarakat berupa
simpanan yang harus
dibayar bunganya pada saat
jatuh tempo
2.Penyaluran pada sektor yang
menguntungkan, aspek halal
35 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm. 285. 36 Ibid., 37 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan & Perasuransian Syariah Di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 53. 38 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Op. cit., hlm. 27.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
15
menguntungkan tidak menjadi pertimbangan
utama
3 Aspek Sosial
Dinyatakan secara eksplisit
dan tegas yang tertuang
dalam visi dan misi
Tidak diketahui secara tegas
4 Organisasi Harus memiliki Dewan
Pengawas Syariah
Tidak memiliki Dewan
Pengawas Syariah
Sehingga bank berdasarkan prinsip syariah atau bank Islam dapat memenuhi
rasa keadilan dan ketaatan atas perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Hadist,
oleh karena itulah bank syariah berusaha semampu dan sekuat tenaga untuk dapat
bersaing dengan bank konvensional yang lebih menggeliat di kancah perbankan
nasional dan internasional. Selain dari itu, perbankan syariah mempunyai ciri
operasional yang berbeda dengan perbankan konvensional yaitu dalam hal berikut:39
1. Pembinaan dan pengawasan
Bank Islam dibina dan diawasi oleh Bank Indonesia sebagaimana
halnya yang dilakukan terhadap bank konvensional.
2. Keselarasan dengan undang-undang perbankan
Asas, fungsi dan tujuan bank berdasarkan syariat selalu sejalan dengan
asas, fungsi dan tujuan bank sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan tentang perbankan.
3. Ikatan emosional dan peranan ulama
Bank Islam memiliki ikatan emosional yang kuat dengan masyarakat
Islam di sekitarnya. Faktor ulama mempunyai peranan yang besar
dalam menunjang keberhasilan suatu bank Islam.
4. Dewan pengawas syariah dan fungsinya
Pada bank Islam terdapat lembaga Dewan pengawas Syariah yang
mempunyai dua fungsi utama, yaitu mengawasi operasional bank
Islam agar tidak menyimpang dari ajaran agama dan memelihara
39 Wirdyaningsih, op.cit., hlm. 42.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
16
akhlak dan moral para pengelola bank Islam dan para nasabahnya,
sehingga terbina ikatan emosional yang kuat antara bank dengan
masyarakat Islam di sekitarnya. Maka, baik dari sisi pengerahan dana
masyarakat maupun dari sisi penyaluran dana kepada masyarakat akan
berjalan dengan baik dan sejalan dengan prinsip syariah.
5. Kelebihan likuiditas
Pada awal berdirinya bank Islam, karena ikatan emosional telah
terbina dengan baik oleh para ulama setempat, bank Islam akan
dibanjiri para calon pemegang saham dan para penyimpan dana yang
mengharapkan berkah dari investasinya. Akibatnya, kelebihan
likuiditas adalah merupakan gejala yang normal terjadi pada bank
Islam.
6. Kebersamaan dalam memikul risiko dan berbagi hasil
Baik dari sisi pengerahan dana maupun dari sisi penyaluran dana
kepada masyarakat, asas kebersamaan merupakan dasar utama operasi
bank Islam sehingga ada peluang bernegosiasi.
7. Produk-produk perbankan Islam
a. Pada sisi pengerahan dana masyarakat pada bank umum syariat,
terdapat produk – produk sebagai berikut:
i. Giro wadiah atau titipan amanah yang atas izin pemilik
dapat dikelola bank dengan diberikan bonus.
ii. Tabungan mudharabah atau simpanan bagi hasil dari usaha
bank yang besarnya nisbah ditetapkan bank sebagai
mudharib.
iii. Deposito mudharabah atau deposito bagi hasil dari usaha
bank yang besarnya nisbah ditetapkan bank sebagai
mudharib. Pada BPR, sesuai ketentuan Peraturan Bank
Indonesia Nomor : 6/17/PBI/2004, tidak ada produk giro
wadiah.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
17
b. Pada sisi penyaluran dana kepada masyarakat pada Bank Umum
Syariah dan pada Bank Perkreditan Rakyat Syariah terdapat
produk-produk sebagai berikut.
i. Fasilitas pembiayaan bagi hasil, terdiri dari
1) fasilitas pembiayaan mudharabah,
2) fasilitas pembiayaan musyarakah,
3) fasilitas pembiayaan musyarakah mutanaqisah,
dan lain-lain
ii. Fasilitas pembiayaan pengadaan barang modal,terdiri dari:
1) fasilitas pembiayaan murabahah,
2) fasilitas pembiayaan baiu bithaman ajil,
3) fasilitas pembiayaan salam,
4) fasilitas pembiayaan istisna,
dan lain-lain.
iii. Fasilitas pembiayaan atas dasar sewa beli (ijarah) dan
jaminan gadai.
iv. Fasilitas jasa perbankan lainnya, seperti pemberian jaminan
(al-kafalah), pengalihan tagihan (al-hiwalah), pelayanan
khusus (al- jo’alah), pembukaan L/C (al- wakalah), dan
lain-lain.
v. Fasilitas pembiayaan pinjaman kebajikan (qardhul hasan)
bagi mereka yang memenuhi syarat.
Produk-produk perbankan Islam, yang telah diuraikan di atas, untuk
bank umum syariah diatur melalui Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia
Nomor: 6/24/PBI/2004, sedangkan bank Perkreditan Syariah diatur
dalam Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/17/PBI/2004.40
8. Daya jangkau dan kemampuan penetrasi
40 Ibid., hal. 101.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
18
Daya jangkau dan penetrasi bank ini sangat luas, sehingga
profesionalisme dalam menerapkan prinsip kehati-hatian merupakan
faktor yang sangat penting. Luasnya daya jangkau dan besarnya
kemampuan penetrasi bank Islam adalah karena tak adanya sifat
diskriminatif yang melekat pada bank Islam.
9. Fasilitas yang ideal dan primadona
Fasilitas pembiayaan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah)
merupakan fasilitas yang ideal bagi masyarakat, namun karena
risikonya yang cukup besar, maka memerlukan persyaratan yang lebih
ketat. Fasilitas yang merupakan primadona pada kebanyakan bank
Islam adalah murabahah dan bai’u bithaman ajil. Namun, fasilitas
pembiayaan bagi hasil harus terus diupayakan penyalurannya.
10. Pendapatan bank Islam
Pendapatan bank Islam dapat berupa hal-hal berikut.
a. Bagian bagi hasil yang diperoleh dari penggunaan fasilitas
pembiayaan bagi hasil mudharabah dan musyarakah
b. Mark-up atau margin keuntungan dari penggunaan fasilitas
pembiayaan pengadaan barang modal murabahah, baiu
bithaman ajil, salam dan istishna’.
c. Sewa yang diperoleh dari fasilitas sewa beli danjaminan gadai
d. Fee yang diperoleh dari penggunaan jasa-jasa yang tersedia pada
bank Islam
e. Biaya administrasi dari penggunaan fasilitas pembiayaan
kebajikan. Seluruh pendapatan ini sebelum dikurangi dengan
biaya overhead dan pajak, terlebih dahulu dibagihasilkan dengan
penyimpanan dana (deposito dan tabungan) sesuai dengan porsi
(nisbah) bagi hasil yang telah disepakati sebelumnya.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
19
11. Transparansi bank Islam
Bagi hasil dari usaha bank Islam yang dibagikan kepada para
penyimpan dana pada awal-awal berdirinya, mungkin secara
persentase belum setinggi tingkat bunga deposito bank konvensional.
Untuk dapat tetap bersaing secara ekonomis, tidak ada halangannya
bagi bank Islam untuk secara sukarela menyerahkan sebagian porsi
bagi hasilnya untuk memperbesar porsi bagi hasil penyimpan dana.
Penyerahan sebagian porsi bagi hasil bank tersebut tidak boleh
menjadi beban nasabah di sisi penyaluran dana. Sebaliknya, apabila
tingkat bunga deposito bank konvensional turun, bank Islam tidak
diperkenankan mengurangi porsi bagi hasil penyimpan dana. Praktek
menyesuaikan tingkat bunga konvensional ini akan mengakibatkan
hilangnya transparansi yang menjadi ciri khas yang melekat pada bank
Islam.
12. Sistem pembukuan berbasis tunai
Dalam pembukuan bank Islam hanya penerimaan dan pengeluaran
yang benar-benar terjadi saja. Oleh karena itu, sistem yang lazim
digunakan bank Islam adalah sistem pembukuan yang berbasis tunai
(cash basis).
13. Penyelesaian pembiayaan bermasalah
Sebagai konsekuensi dari sistem pembukuan berbasis tunai (cash
basis), maka setiap ada gejala kesulitan yang dihadapi nasabah
pemakai fasilitas pembiayaan bank Islam, harus segera diselesaikan
dengan cara yang sesuai dengan prinsip syariat, yaitu:
a. dibuatkan perjanjian baru tanpa tambahan biaya
b. diberi pinjaman baru dari pos pembiayaan kebajikan (al-qardhul
hassan)
c. ditutup utangnya dari hibah zakat, infak, sedekah
d. ditutup utangnya dari hasil sita jaminan
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
20
e. ditutup utangnya dengan penyertaan sementara oleh bank Islam
yang telah memenuhi syarat.
2.2 Tinjauan Umum Akad Musyarakah Mutanaqisah
2.2.1 Pengertian Akad
Para ahli Hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad
sebagai: ”pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.41Akad berasal dari kata al-
‘Aqd, jamaknya al-‘Uqud, yang menurut bahasa mengandung arti al-Rabtb.
al-Rabtb yang berarti, ikatan, mengikat.42
Menurut Mustafa al-Zarqa’, yang dikutip oleh Mas’adi 43 , yang
dimaksud al-Rabtb adalah “Menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali
dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga keduanya bersambung
dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
Ibnu ‘Abidin pun dalam kitabnya raddal-Muhtar ‘ala ad-Dur al-
Mukhtar menjelaskan definisi akad yakni pertalian ijab (pernyataan
melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan
kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan.44
2.2.2 Pengertian Musyarakah Mutanaqisah
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, musyarakah dapat diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan “kemitraan” atau “persekutuan” atau
“perkongsian”. Dalam musyarakah, dua atau lebih mitra menyumbang untuk
41 Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana dan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006) hlm. 45. 42 Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab, Indonesia, Inggris, cet. III (Jakarta:
Mutiara, 1964), hlm. 112. 43 A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Cet. I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 75. 44 Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, cet. III (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 97.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
21
memberikan modal guna membiayai suatu investasi. Dalam hal ini, bank yang
memberikan fasilitas musyarakah kepada nasabahnya berpartisipasi dalam
suatu proyek yang baru atau dalam suatu perusahaan yang telah berdiri
dengan cara membeli saham (equity shares) dari perusahaan tersebut. 45
Pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan sebagian kebutuhan modal pada
suatu usaha untuk jangka waktu terbatas sesuai kesepakatan. Hasil usaha
bersih dibagi antara bank sebagai penyandang dana (shohibul maal) dengan
pengelola usaha (mudharib) sesuai dengan kesepakatan. Umumnya, porsi bagi
hasil ditetapkan sesuai dengan persentase kontribusi masing-masing. Pada
akhir jangka waktu pembiayaan, dana pembiayaan dikembalikan kepada
bank.46
Selanjutnya untuk melengkapi pengertian Musyarakah Mutanaqisah,
Dr. Ir. M. Nadratuzzaman Hosen, Ms., M.Sc, Ph.D dalam makalahnya yang
berjudul Musyarakah Mutanaqisah 47 , mengungkapkan pengertian dari
Musyarakah Mutanaqisah, yaitu Musyarakah Mutanaqishah (diminishing
partnership) adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
kepemilikan suatu barang atau aset. Dimana kerjasama ini akan mengurangi
hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak yang lain bertambah hak
kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini melalui mekanisme
pembayaran atas hak kepemilikan yang lain. Bentuk kerjasama ini berakhir
dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain. Di dalam
musyarakah mutanaqishah terdapat unsur kerjasama (syirkah) dan unsur sewa
(ijarah). Kerjasama dilakukan dalam hal penyertaan modal atau dana dan
kerjasama kepemilikan. Sementara sewa merupakan kompensasi yang
diberikan salah satu pihak kepada pihak lain. Ketentuan pokok yang terdapat
45 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), hlm. 57.
46 Wirdyaningsih, op. cit., hlm. 119. 47 M. Nadratuzzaman Hosen, Ms., M.Sc, Ph.D , Musyarakah Mutanaqisah, hlm. 1.
http://www.beritakuliah.com/MUSYARAKAH-MUTANAQISHAH-Dr.-Ir.-M.-Nadratuzzaman-Hosen,-Ms.,-M.Sc- (diakses pada 12 April 2012)
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
22
dalam musyarakah mutanaqishah merupakan ketentuan pokok kedua unsur
tersebut.
2.2.3 Dasar Hukum Akad Musyarakah Mutanaqisah
Lembaga perbankan yang merupakan lembaga kepercayaan menuntut
dirinya menjadi suatu highly regulated industry, sehingga setiap kajian hukum
harus dilakukan untuk menganalisis keabsahan produk yang ada. Bagi
perbankan syariah, tidak hanya pertanggungjawaban kepada hukum negara
saja, melainkan juga terhadap hukum Allah yang menjadi dasar implementasi
dari perbankan syariah dan produk-produknya. Oleh karena itu, penulis akan
memaparkan beberapa dasar hukum terkait bahasan dalam skripsi ini, yaitu
dasar hukum akad Musyarakah Mutanaqisah yang akan terbagi menjadi dasar
hukum syariah dan dasar hukum positif. Dasar hukum syariah antara lain:
1. Al-Qur’an
a. Surah Shad ayat 24 yang artinya,
"…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang yang bersyarikat itu
sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali
orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat
sedikitlah mereka ini…."
Ayat ini seolah mencela perilaku orang-orang yang bekerjasama
atau berserikat dalam dagang dengan menzalimi sebagian dari
mitra kerja mereka. Ayat ini jelas menunjukkan bahwa syirkah
pada hakekatnya diperbolehkan oleh risalah yang terdahulu dan
telah dipraktekkan, namun harus sesuai dengan hukum Allah
SWT.
b. Surah Al-Maidah ayat 5 yang artinya,
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu....”
Ayat ini memberikan ketegasan kepada umat manusia yang
berkongsi dalam kebaikan untuk selalu mematuhi segala aturan
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
23
mengenai akad (perjanjian) dan tidak boleh mengingkarinya jika
telah berjanji, agar di kemudian hari tidak terjadi permasalahan
dan perselisihan yang menghancurkan umat manusia itu sendiri
c. Surah Al-Baqarah ayat 233 yang artinya,
“… dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. Bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
Ayat ini merupakan salah satu dasar hukum dari ijarah yang
menjadi bagian dari akad Musyarakah Mutanaqisah. Allah telah
memberikan hukum kepada manusia bahwa memberikan
pembayaran karena mengambil manfaat dari orang lain tidak
dilarang dan tidak berdosa.
d. Surah Az-Zukhruf ayat 32 yang artinya,
“… dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian
yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih
baik dari apa yang mereka kumpulkan”
Ayat ini menerangkan bahwa memang Allah menjadikan sebagian
umat menjadi lebih tinggi beberapa derajat daripada yang lain,
agar umat yang kekurangan dapat mengambil manfaat dan
bekerjasama demi dan dengan manfaat tersebut
2. Hadist Rasulullah saw
a. HR Abu Hurairah RA yang artinya,
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang
yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati
pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
24
dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim,
dari Abu Hurairah)
b. HR Tirmidzi dan Amr bin Auf yang artinya,
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
c. Taqrir Nabi terhadap kegiatan musyarakah yang dilakukan oleh
masyarakat pada saat itu sebagaimana disebutkan oleh al-
Sarakhsiy dalam al-Mabsuth, juz II, halaman 151.48
d. HR Ibn Majah dari Ibnu Umar, yang artinya,
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”
Hadist ini menegaskan bahwa menyewa atau memanfaatkan
tenaga dari buruh atau pekerja adalah diperbolehkan, namun tidak
boleh menyingkirkan kewajiban untuk membayar sewa atas
manfaat tersebut, bahkan kewajiban untuk membayar sewa harus
dilunasi sebelum keringatnya kering.
e. HR Abu Saad bin Abi Waqqash tentang sewa menyewa yang
artinya,
“Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil
pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal
tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan
emas atau perak.”
48 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Dewan Syariah Nasional
tentang Musyarakah Mutanaqisah, No.73/DSN–MUI/XI/2008, hlm. 2.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
25
3. Ijtihad
a. Dasar hukum ijtihad bagi perbankan dan produk perbankan syariah
di Indonesia dilegitimasi dengan adanya fatwa Dewan Syariah
Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Meskipun tidak
ada kekuatan hukum mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia,
namun fatwa mengikat kepada setiap elemen subjek hukum dalam
NKRI yang terkait dengan perbankan syariah atau produk yang
terdapat di dalamnya. Untuk Musyarakah Mutanaqisah, DSN-MUI
telah mengeluarkan Fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008
tentang Musyarakah Mutanaqisah. Adapun ketentuan umum akad
yang diatur dalam fatwa ini antara lain49:
1. Akad Musyarakah Mutanaqisah terdiri dari akad
Musyarakah/Syirkah dan Bai’ (jual-beli).
2. Dalam Musyarakah Mutanaqisah berlaku hukum
sebagaimana yang diatur dalam Fatwa DSN No. 08/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, yang para
mitranya memiliki hak dan kewajiban, diantaranya:
1) Memberikan modal dan kerja berdasarkan
kesepakatan pada saat akad.
2) Memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang
disepakati pada saat akad.
3) Menanggung kerugian sesuai proporsi modal
Sedangkan ketentuan khususnya antara lain:
1) Aset Musyarakah Mutanaqisah dapat di-ijarah-kan
kepada syarik atau pihak lain.
2) Apabila aset Musyarakah menjadi obyek ijarah,
maka syarik (nasabah) dapat menyewa aset tersebut
dengan nilai ujrah yang disepakati.
49 Ibid., hlm. 5.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
26
3) Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut
dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati
dalam akad, sedangkan kerugian harus berdasarkan
proporsi kepemilikan. Nisbah keuntungan dapat
mengikuti perubahan proporsi kepemilikan sesuai
kesepakatan para syarik.
4) Kadar/ukuran bagian/porsi kepemilikan aset
Musyarakah syarik (LKS) yang berkurang akibat
pembayaran oleh syarik (nasabah), harus jelas dan
disepakati dalam akad;
b. Selain itu, terdapat beberapa fatwa lain yang terkait, yaitu:
1. Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Musyarakah
2. Fatwa DSN No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang
Pembiayaan Ijarah
3. Fatwa DSN No. 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi
Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran
4. Fatwa DSN Nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-
Qardh
5. Fatwa DSN Nomor: 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang
Pengalihan Hutang
c. Pendapat ulama: Ibn Abidin dalam kitab Raddul Mukhtar juz III
halaman 365, “Apabila salah satu dari dua orang yang bermitra (syarik) dalam
(kepemilikan) suatu banguan menjual porsi (hishshah)-nya kepada
pihak lain, maka hukumnya tidak boleh; sedangkan (jika menjual
porsinya tersebut) kepada syarik-nya, maka hukumnya boleh.”
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
27
d. Pendapat Ulama: Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Muamalah Al-
Maliyah Al- Muasirah, hal. 436-437,
“Musyarakah mutanaqishah ini dibenarkan dalam syariah, karena
sebagaimana Ijarah Muntahiyah bi-al-Tamlik— bersandar pada
janji dari Bank kepada mitra (nasabah)-nya bahwa Bank akan
menjual kepada mitra porsi kepemilikannya dalam Syirkah
apabila mitra telah membayar kepada Bank harga porsi Bank
tersebut.
Di saat berlangsung, Musyarakah Mutanaqishah tersebut
dipandang sebagai Syirkah ‘Inan, karena kedua belah pihak
menyerahkan kontribusi ra’sul mal, dan Bank mendelegasikan
kepada nasabah-mitranya untuk mengelola kegiatan usaha.
Setelah selesai syirkah, bank menjual seluruh atau sebagian
porsinya kepada mitra, dengan ketentuan akad penjualan ini
dilakukan secara terpisah yang tidak terkait dengan akad Syirkah.
e. Pendapat Ulama: Nuruddin Abdul Karim al-Kawamilah, dalam
kitab al- Musyarakah al-Mutanaqishah wa Tathbiqatuha al-
Mu’ashirah50, “Studi ini sampai pada kesimpulan bahwa Musyarakah
Mutanaqisah dipandang sebagai salah satu macam pembiayaan
Musyarakah dengan bentuknya yang umum; hal itu mengingat
bahwa pembiayaan musyarakah dengan bentuknya yang umum
terdiri atas beberapa ragam dan macam yang berbeda-beda.
Dilihat dari sudut “kesinambungan pembiayaan” (istimrariyah al-
tamwil), musyarakah terbagi menjadi tiga macam: pembiayaan
50 Nuruddin Abdul Karim al-Kawamilah, al- Musyarakah al-Mutanaqishah wa Tathbiqatuha
al-Mu’ashirah, (Yordan: Dar al-Nafa’is, 2008), hlm. 133.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
28
untuk satu kali transaksi, pembiayaan musyarakah permanen, dan
pembiayaan musyarakah mutanaqishah.”51
Pemaparan diatas merupakan pemaparan mengenai dasar hukum
agama (syariah) menurut Al-Qur’an, Hadist dan Taqrir Rasulullah saw, serta
Ijtihad yang dilegitimasi oleh Fatwa DSN-MUI serta pendapat para ulama.
Namun, sebagai lembaga yang bergerak secara nasional dan internasional,
dibutuhkan pula perangkat hukum positif yang mendasari pijakan perbankan
syariah dan produk-produk yang terdapat di dalamnya. Sehingga penulis juga
akan menyarikan dasar hukum positif yang mengikat terkait Akad
Musyarakah Mutanaqisah ini. Yaitu antara lain:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Sebagai tata aturan perundang-undangan yang tertinggi setelah
konstitusi, undang-undang mengatur mengenai perbankan syariah.
Untuk produk Akad Musyarakah Mutanaqisah, meskipun tidak secara
langsung terkait, undang-undang mengaturnya dalam:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan yang diperbarui dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Langkah ini dilakukan sebagai
implementasi dan komitmen Indonesia dalam mengembangkan
dan melakukan akselerasi perbankan syariah, sehingga telah
lengkaplah payung hukum bagi Akad Musyarakah
Mutanaqisah pada tingkat undang-undang.
51Ibid., hlm. 4.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
29
2. Bank Indonesia
Bank Indonesia sebagai perpanjangan tangan dari undang-undang
yang telah disahkan oleh DPR dan Presiden RI, juga membuat
instrumen hukum bagi akad Musyarakah Mutanaqisah, antara lain52:
a. PBI No. 10/24/PBI/2008 tanggal 16 Oktober 2008 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia No.
8/21/PBI/2006 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah
b. PBI No.10/16/PBI/2008 Tanggal 25 September 2008 Tentang
Perubahan Atas PBI No.9/19/2007 Tentang Pelaksanaan
Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana,
Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah
c. PBI Nomor 10/17/PBI/2008 Tanggal 25 September 2008
Tentang Produk Bank Syariah Dan Unit Usaha Syariah
d. PBI Nomor. 9/19/PBI/2007 Tanggal 17 Desember 2007
Tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan
Jasa Bank Syariah
e. PBI Nomor 9/9/PBI/2007 Tanggal 18 Juni 2007 Tentang
Perubahan Atas PBI Nomor 8/21/PBI/2006 Tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
f. SEBI No.10/14/DPbS Tanggal 17 Maret 2008 Tentang
Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan
Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
52 Bank Muamalat Indonesia, Panduan Produk Nomor 01/RPDD/PMBY/2010 (Panduan
Pembiayaan iB Syariah Kongsi, 2010, hlm. 1.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
30
g. SEBI No.8/22/DPbS Tanggal 18 Oktober 2006 Tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
3. Kajian KUHPerdata
Dasar hukum positif bagi Akad Musyarakah Mutanaqisah juga
diperlukan bagi akad ini, mengingat implementasinya juga dapat
dilakukan oleh masyarakat yang tunduk pada Hukum Barat. Dapat
dilihat dari sisi KUHPerdata antara lain53:
a. Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian diberi pengertian sebagai
“suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Dimana pihak satu berjanji kepada pihak lain atau dimana dua
orang yang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.54
Dalam hal ini adalah bank syariah dan nasabah saling berjanji.
Dari peristiwa itulah timbul suatu hubungan antara dua pihak
tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian
hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menimbulkan perikatan. Pihak yang satu dapat
menuntut realisasi dari apa yang diperjanjikan oleh pihak lain
dan dapat menuntutnya di depan hakim jika tuntutan dari apa
yang diperjanjikan itu tidak dipenuhi secara sukarela.
b. Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
53 M. Nadratuzzaman Hosen, Op. Cit., hlm. 5-6. 54 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Cet. 33, diterjemahkan oleh
Subekti dan Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), pasal 1313.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
31
kedua belah pihak. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik”55, pasal ini memberikan kebebasan untuk membuat
berbagai macam perjanjian yang isinya tentang apa saja
asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang. Pasal inilah
yang mendasari lahirnya perjanjian-perjanjian seperti
perjanjian yang dibuat oleh pihak bank dan pihak pengguna
jasa layanan bank yang berfungsi sebagai undang-undang bagi
para pihak.
c. Pasal 1320 sampai dengan pasal 1337 tentang syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian menjadi sah. Secara
garis besar syarat-syarat tersebut dapat dilihat pada pasal 1320,
yang menyebutkan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat sebagai berikut :
i. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
ii. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
iii. Suatuhal tertentu;
iv. Suatu sebab yang halal.
Syarat-syarat yang disebutkan pada pasal 1320 di atas dapat
dibedakan menjadi syarat subjektif dan syarat objektif.56 Dua syarat yang
disebutkan pertama pada pasal 1320 disebut syarat subjektif yang apabila
syarat tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan
(canceling) sedangkan dua syarat yang terakhir disebut syarat objektif
yang apabila ternyata tidak terpenuhi maka perjanjian akan batal demi
hukum (null and void) yang artinya perjanjian tersebut tidak pernah ada
atau dengan kata lain usaha pihak yang disebut di dalam perjanjian gagal
melahirkan suatu perikatan. Apabila syarat sah perjanjian tersebut sudah
terpenuhi semua maka perjanjian tersebut sudah dapat dikatakan sah.
55 Ibid., pasal 1338. 56 M. Nadratuzzaman Hosen, Op. Cit., hlm. 6.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
32
2.2.4 Rukun dan Syarat Akad Musyarakah Mutanaqisah
Sebagai produk perbankan dan produk yang berlandaskan hukum
syariah, Musyarakah Mutanaqisah memiliki rukun dan syarat yang harus
dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya
suatu pekerjaan, sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk)
yang harus diindahkan dan dilakukan. Dalam syariah rukun dan syarat sama-
sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi.57 Karena Musyarakah
Mutanaqisah merupakan suatu perikatan akad, maka penulis akan
memaparkan rukun dan syarat perikatan dalam syariah Islam terlebih dulu.
Menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddiqy, ada empat komponen yang harus
dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad, yaitu sebagai berikut.
1. Subjek perikatan (al-‘aqidain).
Al-‘aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku
dari suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan
hukum akad (perikatan), dari sudut hukum adalah sebagai subjek
hukum.58 Subjek perikatan terdiri dari dua macam yaitu: (1) manusia
dan (2) badan hukum. Berikut ini akan dijelaskan mengenai macam
manusia dan badan hukum yang dapat dijadikan sebagai subjek
perikatan.
a. Manusia. Manusia sebagai subjek hukum perikatan adalah
pihak yang sudah dapat dibebani hukum yang disebut dengan
mukallaf.59 Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai mukallaf
adalah sebagai berikut.
i. Baligh. Ukuran baligh seseorang adalah telah bermimpi
(ihtilam) bagi laki-laki dan telah haid bagi perempuan.
57 Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana dan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006) hlm. 45. 58 Ibid., hlm. 50. 59 Ibid., hlm. 53.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
33
Baligh juga dapat diukur dari usia seseorang, seperti
tercantum dalam Hadits dari Ibnu Umar yaitu 15 tahun.
ii. Berakal sehat. Seseorang yang melakukan perikatan
harus memiliki akal yang sehat. Dengan akal sehat, ia
akan memahami segala perbuatan hukum yang
dilakukan dan akibat hukum terhadap dirinya maupun
orang lain.
b. Badan hukum. Badan hukum adalah badan yang dianggap
dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak,
kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang
lain atau badan lain. Badan hukum ini memiliki kekayaan yang
terpisah dari perseorangan. Dengan demikian, meskipun
pengurus badan hukum berganti-ganti, ia tetap memiliki
kekayaan tersendiri.
2. Objek Perikatan (Mahallul ‘Aqd)
Mahallul ‘aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan
dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek
akad dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud. Syarat-
syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul ‘aqd adalah sebagai
berikut.60
a. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan. Suatu
perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal. Alasannya,
bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin
bergantung pada sesuatu yang belum ada. Tetapi, terdapat
pengecualian terhadap akad-akad tertentu seperti salam,
istishna dan musyaqah yang objek akadnya diperkirakan akan
ada di masa yang akan datang.
60 Ibid., hlm. 60.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
34
b. Objek perikatan dibenarkan oleh syariah. Pada dasarnya benda-
benda yang menjadi objek perikatan haruslah memenuhi nilai
dan manfaat bagi manusia. Benda-benda yang sifatnya tidak
suci, seperti bangkai, minuman keras, babi atau darah dianggap
tidak memiliki nilai dan tidak memiliki manfaat bagi manusia.
c. Objek akad harus jelas dan dikenali. Suatu benda yang menjadi
objek perikatan harus memiliki kejelasan dan diketahui oleh
‘aqid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman
diantara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa.
d. Objek dapat diserahterimakan. Benda yang menjadi objek
perikatan dapat diserahkan pada saat akad terjadi, atau pada
waktu yang telah disepakati.
3. Tujuan Perikatan (Maudhu’ul ‘Aqd).
Maudhu’ul ‘aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad syariah
untuk tujuan tersebut.61 Dalam Hukum Islam, tujuan akad ditentukan
oleh Allah swt dalam al-Quran dan Nabi Muhammad saw dalam
Hadits. Menurut ulama fiqih, tujuan akad dapat dilakukan apabila
sesuai dengan ketentuan syariah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka
hukumnya tidak sah. Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan
mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai berikut.
a. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas
pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan
b. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya
pelaksanaan akad
c. Tujuan akad harus dibenarkan syarak.
61 Ibid., hlm. 62.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
35
4. Ijab dan Kabul (Sighat al-‘Aqd)
Sighat al-aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang
melakukan akad berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan
janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari
pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama.62
Para Ulama fiqih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan
kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut.
a. Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan
itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki
b. Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul.
c. Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan
kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu dan tidak terpaksa
d. Ittishal al kabul bil hijab63, dimana kedua pihak dapat hadir
dalam satu majlis.
Ijab dan kabul dapat dilakukan dengan empat cara berikut ini.
a. Lisan. Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk
perkataan secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk
ijab dan kabul yang dilakukan oleh para pihak.
b. Tulisan. Adakalanya, suatu perikatan dilakukan secara tertulis.
Hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat
bertemu langsung dalam melakukan perikatan, atau untuk
perikatan-perikatan yang sifatnya lebih sulit, seperti perikatan
yang dilakukan oleh suatu badan hukum. Akan ditemui
kesulitan apabila suatu badan hukum melakukan perikatan
tidak dalam bentuk tertulis, karena diperlukan alat bukti dan
tanggung jawab terhadap orang-orang yang bergabung dalam
62 Ibid., hlm. 63. 63 Gemala Dewi, op.cit., hlm. 18.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
36
satu badan hukum tersebut.
c. Isyarat. Suatu perikatan tidaklah hanya dilakukan oleh orang
normal, orang cacat pun dapat melakukan suatu perikatan
(akad). Apabila cacatnya berupa tunawicara, maka
dimungkinkan akad dilakukan dengan isyarat, asalkan para
pihak yang melakukan perikatan tersebut memiliki pemahaman
yang sama.
d. Perbuatan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan
masyarakat, kini perikatan dapat pula dilakukan dengan cara
perbuatan saja, tanpa secara lisan, tertulis ataupun isyarat. Hal
ini dapat disebut dengan ta’athi atau mu’athah (saling memberi
dan menerima). Adanya perbuatan memberi dan menerima dari
para pihak yang telah saling memahami perbuatan perikatan
tersebut dan segala akibat hukumnya. Contohnya, transaksi
jual beli di supermarket.
2.2.5 Ijarah dalam Akad Musyarakah Mutanaqisah
Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad yang dilakukan atas dasar
suatu manfaat dengan imbalan jasa.64 Menurut Sayyid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis
akad yang mengambil manfaat dengan jalan penggantian.65 Dengan demikian pada
hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat)
atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak
ada perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang
menyewakan kepada penyewa.
64 Habib Nazir & Muh. Hasan, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syari’ah, (Bandung:
Kaki Langit, 2004), hal. 246. 65 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Jilid 3, (Beirut: Dar-al-Kitab al-Araby, 1983), hlm. 177.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
37
Dalam Islam, terdapat dua jenis ijarah, 66 ijarah pertama adalah yang
berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah
sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir,
pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah. Ijarah selanjutnya
berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai
dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk
ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang
menyewa (lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut
mu’jir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah.
Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan
syariah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau
pembiayaan di perbankan syariah. Sehingga, dapat dikatakan, ijarah yang terdapat
dalam akad Musyarakah Mutanaqisah adalah ijarah jenis yang kedua ini, yaitu jual
beli manfaat dari aset atau properti. Karena dalam akad Musyarakah Mutanaqisah
yang menjadi objek akad adalah properti dan benda tak bergerak, seperti rumah, kos,
kantor, gedung, pelabuhan, dan sebagainya.
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 09/DSN- MUI/IV2000 tanggal
13 April 2000 Tentang Pembiayan Ijarah ditetapkan rukun dan syarat serta ketentuan
teknis mengenai Ijarah, antara lain67:
1. Rukun dan Syarat Ijarah:
a. Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua
belah pihak yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau
dalam bentuk lain
b. Pihak-pihak yang berakad (berkontrak): terdiri atas pemberi sewa
(lessor, pemilik aset, Lembaga Keuangan Syariah) dan penyewa
(lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset,
nasabah)
66 Ascarya, Akad dan Produk Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 99. 67 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Dewan Syariah Nasional
tentang Pembiayaan Ijarah, No.09/DSN–MUI/IV/2000, hlm. 3.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
38
c. Objek akad ijarah:
i. Manfaat barang dan sewa
ii. Manfaat jasa dan upah
2. Ketentuan Objek Ijarah:
a. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa
b. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam
kontrak
c. Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan
d. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan
syariah
e. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk
menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan mengakibatkan
sengketa
f. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk
jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau
identifikasi fisik.
g. Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada
lembaga keuangan syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu
yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan
sewa dalam ijarah.
h. Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis
yang sama dengan obyek kontrak.
i. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan
dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
3. Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Nasabah dalam
Pembiayaan Ijarah:
a. Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah sebagai pemberi sewa:
i. Menyediakan aset yang disewakan
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
39
ii. Menanggung biaya pemeliharaan aset
iii. Penjamin bila terdapat cacat pada aset yang disewakan.
b. Kewajiban nasabah sebagai penyewa:
i. Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga
keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya sesuai
dengan kontrak
ii. Menanggung biaya pemeliharaan aset yang sifatnya ringan
(materiil)
Jika aset yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dan
penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak
penyewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas
kerusakan tersebut.
2.2.6 Status Kepemilikan Sertifikat Objek Pembiayaan pada Akad
Musyarakah Mutanaqisah
Pada bagian ketiga Fatwa DSN tentang Musyarakah Mutanaqisah, ketentuan
akad butir 5 (lima) disebutkan bahwa setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh
hishshah (objek akad) LKS beralih kepada syarik lainnya (nasabah). Hal ini berarti
pada saat bulan terakhir pembiayaan dimana porsi kepemilikan nasabah rasionya
menjadi 100% dan porsi kepemilikan bank menjadi 0%, maka objek pembiayaan
tersebut dalam hal ini adalah hunian, sepenuhnya menjadi milik nasabah. Sepanjang
nasabah belum melunasi porsi kepemilikan bank, maka menurut ketentuan fatwa
DSN sertifikat hunian tersebut atas nama bersama bank dan nasabah. Setelah nasabah
mengambil alih seluruhnya porsi kepemilikan bank atas rumah tersebut, maka akan
dilakukan proses balik nama atas sertifikat rumah tersebut dari yang semula atas
nama bersama, menjadi atas nama nasabah sepenuhnya.
Karena kepemilikan atas rumah bersama tersebut masih atas nama bank dan
nasabah, maka bank tidak dapat membukukan rumah tersebut sebagai aset bank.
Dalam butir 27 PSAK 106 musyarakah tentang akuntansi untuk mitra pasif pada saat
akad antara lain menegaskan bahwa investasi musyarakah diakui pada saat
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
40
pembayaran kas atau penyerahan aset non kas kepada mitra aktif, selanjutnya butir 32
PSAK tersebut menegaskan bahwa bagian mitra pasif atas investasi musyarakah
menurun (dengan pengembalian dana mitra pasif secara bertahap) dinilai sebesar
jumlah kas yang dibayarkan untuk usaha musyarakah pada awa akad dikurangi julah
pengembalian dari mitra aktif dan kerugian (jika ada).68 Berdasarkan ketentuan dalam
PSAK tersebut, dapat ditafsirkan bahwa bank syariah sebagai mitra pasif dalam akad
pembiayaan musyarakah mutanaqisah hanya dapat membukukan dari sisi penyediaan
dana saja, hal ini juga sesuai dengan pengertian pembiayaan berdasarkan Undang-
Undang tentang Perbankan Syariah yaitu sebagai penyedia dana (financer).69
68 A. Wangsawidjaja Z, Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah: Tinjauan dari
Perspektif Hukum, (makalah disampaikan dalam workshop tentang Program Pembiayaan Perumahan Secara Prinsip Syariah (KPR iB) Khususnya terkait Musyarakah Mutanaqisah, Jakarta 29 November 2010), hlm. 6.
69 Ibid.,
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia 41
BAB 3
PENERAPAN AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH DALAM PRODUK
“PEMBIAYAAN HUNIAN SYARIAH KONGSI” DI BANK MUAMALAT
INDONESIA
3.1 Tinjauan Umum Bank Muamalat Indonesia
3.1.1 Bank Muamalat Indonesia sebagai Pelopor Bank Syariah di Indonesia
PT Bank Muamalat Muamalat Indonesia Tbk. adalah bank umum pertama di
Indonesia yang menerapkan prinsip Syariah Islam dalam menjalankan
operasionalnya. Gagasan pendirian Bank Muamalat berawal dari lokakarya Bunga
Bank dan Perbankan yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia pada 18- 20
Agustus 1990 di Cisarua, Bogor. Ide ini berlanjut dalam Musyawarah Nasional IV
Majelis Ulama Indonesia di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, pada 22-25 Agustus 1990 yang
diteruskan dengan pembentukan kelompok kerja untuk mendirikan bank murni
syariah pertama di Indonesia.
Realisasinya dilakukan pada 1 November 1991 yang ditandai dengan
penandatanganan akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia di Hotel Sahid Jaya
berdasarkan Akte Notaris Nomor 1 Tanggal 1 November yang dibuat oleh Notaris
Yudo Paripurno, S.H. dengan Izin Menteri Kehakiman Nomor C2.2413. T.01.01
Tanggal 21 Maret 1992/Berita Negara Republik Indonesia Tanggal 28 April 1992
Nomor 34. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini diperoleh komitmen dari
berbagai pihak untuk membeli saham sebanyak Rp 84 miliar. Kemudian dalam acara
silaturahmi pendirian di Istana Bogor diperoleh tambahan dana dari masyarakat Jawa
Barat senilai Rp 106 miliar sebagai wujud dukungan mereka.70
Pada tanggal 27 Oktober 1994, hanya dua tahun setelah didirikan, Bank
Muamalat berhasil menyandang predikat sebagai Bank Devisa. Pengakuan ini
semakin memperkokoh posisi Perseroan sebagai bank syariah pertama dan terkemuka
70 Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia Tahun 2010, Sejarah Singkat Perjalanan
Bank Muamalat, hlm. 42.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
42
di Indonesia dengan beragam jasa maupun produk yang terus dikembangkan. Pada
akhir tahun 90-an, Indonesia dilanda krisis moneter yang memporakporandakan
sebagian besar perekonomian Asia Tenggara. Sektor perbankan nasional tergulung
oleh kredit macet di segmen korporasi. Bank Muamalat pun terimbas dampak krisis.
Di tahun 1998, rasio pembiayaan macet (NPF) mencapai lebih dari 60%. Perseroan
mencatat rugi sebesar Rp 105 miliar. Ekuitas mencapai titik terendah, yaitu Rp 39,3
miliar, kurang dari sepertiga modal setor awal.
Melalui masa-masa sulit ini, Bank Muamalat berhasil bangkit dari
keterpurukan. Diawali dari pengangkatan kepengurusan baru dimana seluruh anggota
Direksi diangkat dari dalam tubuh Muamalat, Bank Muamalat kemudian menggelar
rencana kerja lima tahun dengan penekanan pada (i) tidak mengandalkan setoran
modal tambahan dari para pemegang saham, (ii) tidak melakukan PHK satu pun
terhadap sumber daya insani yang ada, dan dalam hal pemangkasan biaya, tidak
memotong hak Kru Muamalat sedikitpun, (iii) pemulihan kepercayaan dan rasa
percaya diri Kru Muamalat menjadi prioritas utama di tahun pertama kepengurusan
Direksi baru, (iv) peletakan landasan usaha baru dengan menegakkan disiplin kerja
Muamalat menjadi agenda utama di tahun kedua, dan (v) pembangunan tonggak-
tonggak usaha dengan menciptakan serta menumbuhkan peluang usaha menjadi
sasaran Bank Muamalat pada tahun ketiga dan seterusnya, yang akhirnya membawa
Bank Muamalat, dengan rahmat Allah Rabbul Izzati, ke era pertumbuhan baru
memasuki tahun 2004 dan seterusnya.
Saat ini Bank Mumalat memberikan layanan bagi lebih dari 2,5 juta nasabah
melalui 275 gerai yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Jaringan BMI didukung
pula oleh aliansi melalui lebih dari 4000 Kantor Pos Online/SOPP di seluruh
Indonesia, 32.000 ATM, serta 95.000 merchant debet. BMI saat ini juga merupakan
satu-satunya bank syariah yang telah membuka cabang luar negeri, yaitu di Kuala
Lumpur, Malaysia. Untuk meningkatkan aksesibilitas nasabah di Malaysia, kerjasama
dijalankan dengan jaringan Malaysia Electronic Payment System (MEPS) sehingga
layanan BMI dapat diakses di lebih dari 2000 ATM di Malaysia. Sebagai Bank
Pertama Murni Syariah, bank muamalat berkomitmen untuk menghadirkan layanan
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
43
perbankan yang tidak hanya comply terhadap syariah, namun juga kompetitif dan
aksesibel bagi masyarakat hingga pelosok nusantara. Komitmen tersebut diapresiasi
oleh pemerintah, media massa, lembaga nasional dan internasional serta masyarakat
luas melalui lebih dari 70 award bergengsi yang diterima oleh BMI dalam 5 tahun
Terakhir. Penghargaan yang diterima antara lain sebagai Best Islamic Bank in
Indonesia 2009 oleh Islamic Finance News (Kuala Lumpur), sebagai Best Islamic
Financial Institution in Indonesia 2009 oleh Global Finance (New York) serta sebagai
The Best Islamic Finance House in Indonesia 2009 oleh Alpha South East Asia
(Hong Kong).71
3.1.2 Produk dan Layanan Bank Muamalat Indonesia
Sebagai bank berskala nasional dan internasional, Bank Muamalat Indonesia
memiliki beragam macam produk dan layanan yang ditawarkan kepada berbagai jenis
nasabah, baik nasabah peminjam ataupun nasabah investor. Bank Muamalat
Indonesia membagi produk dan layanannya menjadi beberapa bagian besar, antara
lain pendanaan, pembiayaan, dan layanan. Adapun produk-produk di dalam bagian
besar tersebut penulis sebutkan sebagai berikut.72
1. Produk Penghimpunan Dana
Bank Muamalat Indonesia sebagai lembaga intermediari memiliki
fungsi menghimpun dana dari pos positif untuk kemudian disalurkan
kembali ke sektor pos negatif. BMI dalam hal ini memiliki produk
penghimpunan dana dengan akad wadiah (titipan) berupa Giro Wadiah
yang terbagi menjadi Giro Perorangan dan Giro Institusi. Ada juga produk
Tabungan Muamalat sebagai tabungan yang biasa, Tabungan
MuamalatDollar, Tabungan MuamalatPos, serta Tabungan Haji Arafah
dan Tabungan Haji ArafahPlus untuk mereka yang ingin menabung untuk
71 Profil Bank Muamalat Indonesia dalam website resmi Bank Muamalat Indonesia.
http://www.muamalatbank.com/index.php/home/about/profile, (diakses pada 17 April 2012). 72 Website Resmi Bank Muamalat, Produk dan Layanan Muamalat,
http://www.muamalatbank.com/index.php/home/produk/giro_institusi, (diakses 17 April 2012).
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
44
menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Tabungan MuamalatUmroh juga
diperuntukkan bagi mereka yang ingin ke tanah suci, namun dengan niat
untuk melaksanakan ibadah umroh. Bank Muamalat juga memiliki produk
Deposito dengan nama Deposito Mudharabah . Ada pula Deposito
Fulinves , yaitu deposito syariah dalam mata uang Rupiah dan US Dollar
dengan akad Mudharabah atau bagi hasil yang disertai asuransi jiwa gratis
senilai saldo deposito atau maksimal Rp 50.000.000.
2. Produk Pembiayaan
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan penghimpunan dana, Bank
Muamalat Indonesia juga melakukan kegiatan penyaluran dana dengan
istilah pembiayaan. Pembiayaan ini terbagi menjadi pembiayaan
konsumen, modal kerja, dan investasi. Pembiayaan Konsumen terdiri atas
Pembiayaan Hunian Syariah (PHS) sebagai solusi Kredit Perumahan
Rakyat (KPR) konvensional yang ribawi, Auto Muamalat untuk
pembiayaan kendaraan, Dana Talangan Porsi Haji dan Pembiayaan
Muamalat Umroh bagi yang ingin melakukan ibadah haji dan umroh ke
tanah suci, serta Pembiayaan Anggota Koperasi.
Produk dalam Pembiayaan Modal Kerja antara lain Pembiayaan
LKM Syariah, yang ditujukan untuk Lembaga Keuangan Mikro Syariah
(BPRS/BMT/Koperasi) yang hendak meningkatkan pendapatan dengan
memperbesar portfolio pembiayaannya kepada Nasabah. Ada pula
Pembiayaan Rekening Koran Syariah, untuk membiayai kebutuhan bahan
baku dan mencairkan serta melunasi pembiayaan sesuai kebutuhan dan
kemampuan nasabah. Untuk pembiayaan investasi, Bank Muamalat
memiliki produk bernama Pembiayaan Investasi, yang dapat digunakan
untuk pembelian atau penyewaan tempat usaha, peralatan investasi
(mesin, kendaraan, alat berat, dll), dan pembangunan. Ada pula
Pembiayaan Hunian Syariah Bisnis, untuk pembelian dan pembangunan
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
45
properti untuk bisnis: rumah, ruko, rukan, kios, dan gedung baru maupun
bekas untuk kebutuhan bisnis.
3. Layanan
Bank Muamalat Indonesia juga memiliki produk yang bersifat jasa atau
layanan, antara lain International Banking, Transfer, dan Layanan 24 Jam oleh
SalaMuamalat.
Itulah produk dan layanan yang dilakukan oleh Bank Muamalat Indonesia,
sebagai roda penggerak perekonomian syariah yang berperan penting dalam
kemajuan dan akselerasi perbankan syariah di Indonesia. Mengingat bahasan penulis
dalam skripsi ini adalah mengenai akad Musyarakah Mutanaqisah dalam produk
Pembiayaan Hunian Syariah, maka penulis akan lebih menekankan pendalaman
materi akad Musyarakah Mutanaqisah, untuk kemudian menjabarkan informasi
terkait penerapan akad tersebut di Bank Muamalat Indonesia dalam produk
pembiayan propertinya yang diberi nama Pembiayaan Hunian Syariah (Kongsi).
3.2 Tinjauan Umum Produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi (PHSK) di
Bank Muamalat Indonesia
3.2.1 Sejarah Perkembangan Produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi
(PHSK) di Bank Muamalat Indonesia
Bank Muamalat Indonesia resmi meluncurkan produk KPRS (Kredit
Pemilikan Rumah Syariah) sejak bulan Februari 2007. Pada awal peluncuran produk
KPRS, Bank Muamalat Indonesia menggunakan nama brand KPRS Baiti Jannati.73
Perlu diketahui, bahwa munculnya PHSK berdasarkan akad Musyarakah
Mutanaqisah ini menjadi penting bagi industri perbankan nasional khususnya dalam
73 Perbankan Syariah Serius Garap Sektor Perumahan, artikel dalam Harian Seputar
Indonesia 17 Oktober 2010, dalam bagian Media Expose Situs Resmi Bank Muamalat Indonesia, http://www.muamalatbank.com/index.php/home/news/media_expose/965 (diakses pada 28 April 2012).
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
46
pembiayaan hunian, karena sistem pembiayaan dengan Musyarakah Mutanaqisah
selain lebih mudah, sekaligus dapat menghindarkan bank dari Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) yang selama ini menjadi konsekuensi dari penerapan akad Murabahah
atau jual beli dengan disertai pertambahan margin keuntungan. Dengan adanya
Musyarakah Mutanaqisah, bank tidak lagi dikejar-kejar oleh PPN. Pada saat dahulu
perbankan syariah menggunakan akad Murabahah sebagai metode pembiayaan, bank
bertindak sebagai penjual terhadap barang yang dimohonkan pembiayaannya oleh
nasabah. Berbeda dengan kredit konvensional dimana nasabah akan diberikan uang
secara mentah oleh bank untuk keperluan konsumsinya, akad Murabahah justru
membantu nasabah untuk sekaligus membeli barang yang dimohonkan
pembiayaannya. Setelah barang didapat, bank akan menjual kembali kepada nasabah,
dengan margin keuntungan yang telah disepakati. Dari penjualan kembali tersebut,
bank akan menerima sejumlah margin keuntungan dari penjualan objek pembiayaan
kepada nasabah. Dari keuntungan ini, bank akan dibebankan pajak sebesar 10%
sebagai PPN, karena bank dianggap telah menjual barang. 74 Inilah yang tidak ada di
dalam penerapan akad Musyarakah Mutanaqisah.
Sejak Agustus 2010, Bank Muamalat Indonesia berusaha terus meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat luas dengan meningkatkan fitur-fitur dari produk
KPRS-nya dengan melakukan peluncuran kembali nama brand yang sebelumnya
Baiti Jannati, menjadi Pembiayaan Hunian Syariah Muamalat (PHSM) atau dapat
praktiknya lebih sering disebut Pembiayaan Hunian Syariah (PHS) saja.
Produk Pembiayaan Hunian Syariah memberikan dua alternatif transaksi bagi
nasabah, yaitu secara kongsi (Musyarakah Mutanaqisah) ataupun jual beli
(Murabahah).75 Sistem kongsi dapat diterapkan untuk pemilikan properti baru (non
indent), second, maupun take over. Adapun sistem jual beli, memiliki spektrum yang
74 Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Bapak Irvan Lesmana, Corporate Legal Division Head Bank Muamalat Indonesia, tanggal 4 Juni 2012 bertempat di Kantor Pusat Bank Muamalat di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat.
75 Muamalat Gandeng SMF Biayai Hunian Syariah, berita dalam Siaran Pers Bank Muamalat
Indonesia, 14 Desember 2011, http://www.muamalatbank.com/index.php/home/news/siaran_pers/1756 (diakses 28 April 2012).
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
47
lebih luas. Sistem ini juga dapat diterapkan untuk pembelian properti indent, renovasi
serta pembelian-renovasi. Pembiayaan Hunian Syariah memiliki plafond maksimal
hingga Rp 25 miliar. Plafond minimalnya senilai Rp 50 juta untuk wilayah DKI
Jakarta dan Rp 25 juta untuk wilayah di luar DKI Jakarta.
Pembiayaan yang khusus diperuntukan bagi kalangan individu ini memiliki
jangka waktu pengembalian hingga 15 tahun, terkecuali untuk kepentingan renovasi
dengan plafond dibawah Rp 25 juta yang hanya 5 tahun. Produk pembiayaan ini tidak
hanya comply dengan syariah, namun juga kompetitif dengan jangka waktu
pengembalian yang panjang, nilai angsuran yang tidak fluktuatif seperti
menggunakan sistem bunga, serta tidak adanya penalti bagi yang melunasi lebih
awal.
Per triwulan III 2011 Pembiayaan Hunian Syariah telah berkontribusi sebesar
28% atau senilai Rp 3.36 triliun dari total angka Pembiayaan ritel Bank Muamalat
sebesar Rp 11.94 triliun. Adapun total Pembiayaan pionir perbankan syariah di
indonesia ini tercatat RP 20.79 triliun.76
3.2.2 Ketentuan dan Persyaratan Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi pada
Bank Muamalat Indonesia
3.2.2.1 Persyaratan Calon Nasabah Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi
Bank Muamalat Indonesia menentukan syarat-syarat calon nasabah PHSK,
antara lain usia calon nasabah harus dalam usia produktif (usia minimum 21 tahun
dan pada saat pembiayaan jatuh tempo maksimum berumur 55 tahun untuk pegawai
dan 60 tahun untuk wiraswasta. Calon nasabah harus Warga Negara Indonesia yang
berdomisili di Indonesia dan tidak cacat hukum. Untuk pegawai instansi atau
perusahaan dengan ketentuan umur pensiun dibawah 55 tahun, maka pada saat
pembiayaan jatuh tempo tidak boleh melebihi umur pensiun yang berlaku pada
instansi atau perusahaan yang bersangkutan. Untuk pegawai instansi atau perusahaan,
umur calon nasabah pada saat pembiayaan jatuh tempo dapat melebihi umur
76 Ibid.,
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
48
maksimum yang ditetapkan di atas apabila yang bersangkutan menyerahkan bukti
bahwa akan tetap bekerja di instansi atau perusahaan yang sama atau dikaryakan di
tempat lain dan bukti tersebut harus dapat diverifikasi kebenarannya, dengan
kewenangan pemutusan ada pada pejabat pemegang kewenangan memutus
pembiayaan sesuai limit kewenangan yang dimiliki.77
Calon nasabah harus memiliki pekerjaan dan penghasilan.78 Pengaturan calon
nasabah dengan pekerjaan pegawai tetap dan pekerja kontrak adalah berbeda.
Pegawai tetap harus memenuhi masa kerja minimum 1 tahun termasuk masa kerja
sebelum diangkat menjadi pegawai tetap di perusahaan saat ini, atau minimum 1
tahun di perusahaan saat ini dengan memiliki pengalaman 2 tahun sebagai pegawai
tetap atau kontrak di perusahaan terakhir sebelumnya. Pekerja kontrak harus
memenuhi kriteria minimum memiliki pengalaman kerja 2 tahun di perusahaan saat
ini, atau minimum 1 tahun diperusahaan saat ini dengan memiliki pengalaman 2
tahun sebagai pegawai kontrak atau tetap di perusahaan terakhir sebelumnya.
Pendapatan yang diakui adalah Gaji Pokok diakui sebesar 100%, Tunjangan yang
bersifat tetap tidak terkait terhadap jabatan, posisi atau lokasi kerja di suatu tempat
diakui sebesar 100%, Tunjangan yang bersifat tidak tetap terkait terhadap jabatan,
posisi atau lokasi kerja di suatu tempat diakui sebesar 50% dari rata-rata tunjangan
tidak tetap 3 bulan terakhir.
Bagi wiraswasta atau Profesional, harus memiliki pengalaman di bidang
usahanya minimum 2 tahun berturut-turut dan dibuktikan oleh izin usaha/praktek. Ia
juga harus memiliki penghasilan yang dapat diverifikasi kebenarannya. Usahanya
telah beroperasi secara menguntungkan dan memiliki historical cash flow yang
mampu memenuhi kewajiban sewa atau angsuran.
Untuk joint income antara suami dan istri, persyaratan suami atau istri
mengacu kepada peraturan yang sama dengan pegawai atau wiraswasta. Sumber
penghasilan harus dapat diverifikasi bank dan diakui sebesar 50%, terkecuali gaji
suami atau istri ditransfer ke rekening yang bersangkutan di Bank Muamalat. Untuk
77 Disarikan dari Panduan Produk PHS Kongsi Bank Muamalat Indonesia. 78 Ibid.,
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
49
sumber pengembalian yang berasal dari hasil Pendapatan Fixed Income dan
memasukan Pendapatan wiraswasta atau profesional sebagai pendapatan tambahan,
maka sumber penghasilan pendapatan wiraswasta atau professional calon nasabah
tersebut harus dapat diverifikasi oleh bank.
Terdapat pula persyaratan administrasi yang ditentukan oleh Bank Muamalat
Indonesia, antara lain calon nasabah harus bersedia membuka rekening tabungan di
Bank Muamalat Indonesia atas nama yang bersangkutan. Calon nasabah harus
menyerahkan dokumen sebagai berikut:
1) Asli Formulir Aplikasi diisi lengkap dan benar
2) Fotocopy KTP calon nasabah dan suami/istri
3) Fotocopy Kartu Keluarga (KK)
4) Fotocopy Surat Nikah
5) Fotocopy sertifikat tanah obyek agunan
6) IMB/IPMB/Ijin Pendahuluan Mendirikan Bangunan/Surat Ijin sejenis
dari instansi setempat yg berwenang
7) PBB thn terakhir
8) Fotocopy Rekening Tabungan/Giro (R/K) Pribadi 3 bulan terakhir
9) Laporan Keuangan Perusahaan (Neraca dan L/R) dan/atau Fotocopy
Bukti/Catatan transaksi bisnis bagi Pekerja Profesi dan Wiraswasta
10) Asli slip gaji terakhir dan/atau Surat keterangan penghasilan bagi
pegawai
11) Fotocopy Ijin-ijin praktek profesi bagi Pekerja Profesi dan Wiraswasta
12) Fotocopy Akte Pendirian Perusahaan beserta perubahan dan Ijin-ijin
usaha : TDP dan SIUP bagi Pekerja Profesi dan Wiraswasta
13) Fotocopy NPWP Pribadi/SPT Pribadi
14) Asli Surat Keterangan Jabatan bagi Pegawai
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
50
3.2.2.2 Ketentuan Pembiayaan
Ketentuan Penggunaan pembiayaan untuk pembelian properti baru
adalah berupa rumah tinggal, rumah susun, apartemen, rumah kantor, dan
rumah toko. Pembelian kios dimungkinkan, namun hanya diperkenankan
untuk kios dengan status agunan Strata Title saja. Selain untuk pembelian
properti baru, pembiayaan ini juga diperuntukkan bagi properti lama (second)
berupa rumah tinggal, rumah susun, apartemen, rumah kantor, rumah toko,
dan kios.
Plafond Pembiayaan bagi properti yang berada di wilayah Jabodetabek
minimum Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan maksimum
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima milyar rupiah). Bagi properti yang berada
di luar wilayah Jabodetabek minimum Rp25.000.000 (dua puluh lima juta
rupiah) dan maksimum Rp25.000.000.000 (dua puluh lima milyar rupiah).
Pengaturan Syirkah untuk Porsi Nasabah, bagi properti baru yang
dibeli dari developer, pembiayaan sendiri minimum sebesar 10% dari harga
perolehan properti, untuk properti baru yang dibeli dari non developer atau
properti lama, pembiayaan sendiri minimum sebesar 10% dari harga
perolehan properti. Untuk aplikasinya, porsi nasabah dapat disetor ke
rekening nasabah di BMI atau dapat disetor langsung ke developer atau
penjual dengan memberikan bukti asli pembayaran ke Bank.
Biaya Administrasi, Notaris atau PPAT, pengikatan agunan (termasuk
pengecekan keabsahan sertifikat), biaya balik nama, biaya premi asuransi jiwa
dan asuransi kebakaran, biaya taksasi agunan (yang dilakukan oleh appraisal)
merupakan beban nasabah sepenuhnya, dan pembayarannya harus
dilaksanakan sebelum realisasi pembiayaan. Maksimum jangka waktu
pembiayaan adalah 15 (lima belas) tahun. Jangka waktu pembiayaan tidak
boleh melebihi umur nasabah seperti yang ditentukan dalam persyaratan.
Besarnya yield ditetapkan oleh Asset Liabilities Committee (ALCO) dan
perhitungan yield berdasarkan metode efektif.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
51
Bank Muamalat Indonesia juga memberikan pengaturan
jaminan/agunan bagi PHSK, antara lain jenis agunan yang diberikan adalah
rumah tinggal, rumah susun, apartemen, rumah kantor, rumah toko, dan kios.
Agunan harus diatasnamakan calon nasabah. Dalam PHSK, objek pembiayaan
wajib dijadikan objek agunan. Untuk agunan berupa bangunan rumah
tinggal/rumah susun (apartemen), rumah kantor, rumah toko atau kios, harus
sudah selesai dibangun dan dapat dibuktikan dengan berita acara serah terima
property (siap huni). Status kepemilikan sudah per unit rumah tinggal atau
rumah susun (apartemen), rumah kantor, rumah toko atau kios (sertifikat
induk sudah pecah) atas nama developer. Status dari agunan tersebut haruslah
Hak Milik, Hak Guna Bangunan dengan sisa masa berlaku HGB saat
pembiayaan jatuh tempo minimum 1 tahun, atau Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun atau Strata Title yang didirikan di atas tanah Hak Milik atau
HGB (untuk ketentuan ini tidak diperkenankan untuk kios). Kondisi agunan
haruslah memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Bagi daerah yang belum
mewajibkan adanya IMB, maka harus dilengkapi dengan surat pernyataan dari
Pemda (minimal Camat) atau Dinas Tata Kota setempat bahwa di lokasi
agunan tidak/belum diwajibkan adanya IMB. Bangunan juga harus memiliki
bukti setoran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun terakhir. Untuk rumah
tinggal, lebar jalan dimuka minimum 3 meter. Bangunan tidak berada di
bawah jalur tegangan tinggi (berjarak minimal 20 meter), tidak berada di
daerah yang terkena banjir dalam 2 tahun terakhir, tidak berlokasi di jalur
hijau (green belt), bantaran sungai dan bantaran rel kereta api, dan tidak
sedang dalam sengketa. Bagi kriteria agunan yang tidak memenuhi
persyaratan masih dimungkinankan untuk diterima sebagai agunan dengan
syarat:
1) Terletak di daerah dengan tingkat penjualan kembali yang relatif tinggi,
dan
2) Kondisi agunan dalam keadaan baik, atau
3) Terletak di daerah yang marketable. Atau
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
52
4) Terletak di dalam lingkungan Real Estate dengan kondisi baik
3.2.3 Proses Pembiayaan dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi
di Bank Muamalat Indonesia
Dalam memberikan fasilitas pembiayaan kepada nasabah, banyak hal yang
perlu diperhitungkan oleh bank. Salah satu faktor terpenting adalah keadaan dari
nasabah itu sendiri. Bank Indonesia bahkan telah memberikan perintah melalui SK
Dir Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/ DIR tanggal 31 Maret 1995 untuk memiliki
kebijakan perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh dewan komisaris bank
dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengatur prinsip kehati-hatian dalam
perkreditan, organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit,
dokumentasi dan administrasi kredit, pengawasan kredit, dan penyelesaian kredit
bermasalah. Hal ini untuk memenuhi persyaratan 5C (Character, Capacity, Capital,
Condition of Economy, dan Collateral).79
Bank Muamalat mematuhi perintah Bank Indonesia tersebut dengan membuat
Pedoman Buku Prosedur Umum Pelaksanaan Pembiayaan (PUPP) PT Bank
Muamalat Indonesia Tbk., Buku Kebijakan Umum Pembiayaan Bermasalah (KUPB)
PT Bank Muamalat Indonesia Tbk., dan Buku Prosedur Umum Pelaksanaan
Pembiayaan Bermasalah (PUPPB) PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. Sehingga
segala proses pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Muamalat Indonesia
berpedoman pada buku-buku tersebut. Proses pembiayaan dalam Pembiayaan Hunian
Syariah Kongsi (PHSK) di Bank Muamalat terdiri dari beberapa langkah, yaitu:80
3.2.3.1 Persiapan Pembiayaan
Dalam proses ini calon nasabah mengisi formulir aplikasi PHSK
disertai dokumen yang dipersyaratkan, dan diterima oleh Account Manager
untuk diperksa kelengkapannya. Bila dokumen belum lengkap, maka Account
79 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun
1998, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 23. 80 Disarikan dari Panduan Produk PHS Kongsi Bank Muamalat Indonesia hlm. 18-27.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
53
Manager meminta kelengkapan kepada nasabah. Jika sudah lengkap, Account
Manager akan melakukan verifikasi dalam proses selanjutnya.
3.2.3.2 Analisis Pembiayaan
Proses analisis pembiayaan ini merupakan proses yang penting dalam
rangka memberikan pembiayaan bagi calon nasabah. Dalam proses ini, calon
nasabah akan dimintakan segala data dan bank akan melakkan verifikasi
terhadap data-data tersebut. Dengan berbekal data dan verifikasi oleh bank,
maka calon nasabah akan diputuskan sebagai calon nasabah yang bankable
atau tidak, dan hal ini mempengaruhi diterimanya proposal pembiayaan oleh
bank, dan seberapa besar bank akan memberikan pembiayaan.
1) Account Manager melakukan verifikasi terhadap calon nasabah dengan
mencocokkan nama dan alamat yang tercantum pada KTP, Akta Nikah,
Kartu Keluarga dan sebagainya. Account Manager juga memverifikasi
penghasilan bagi pegawai (penghasilan tetap) dan bagi wiraswasta. Hal
ini termasuk juga pengecekan pengeluaran dan kewajiban nasabah,
misalnya dari pembayaran kartu kredit, adanya kewajiban kepada
lembaga pembiayaan atau bank lain. Dimungkinkan juga untuk
melakukan kontak telepon dengan pejabat berwenang di kantornya.
Account Manager juga harus mencari informasi yang jelas untuk
mendapatkan kepastian bahwa pegawai ataupun wiraswasta beserta istri
(untuk joint income) tidak masuk ke dalam daftar pembiayaan
bermasalah.
2) Penilai internal Bank Muamalat Indonesia atau penilai eksternal (dengan
maksimum nilai agunan yang dinilai adalah Rp5 Miliar) melakukan
verifikasi dan taksasi terhadap agunan. Verifikasi dan taksasi agunan
yang dibeli dari secondary market atau Take Over dengan plafond
Rp500.000.000 wajib dilaksanakan dengan dua penilai yang berbeda
dengan beban penilaian pertama bagi calon nasabah dan beban penilaian
kedua menjadi beban Bank (Unit Bisnis)
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
54
3) Penilai juga diwajibkan melakukan Kunjungan Setempat (On The Spot/
OTS) apabila limit pembiayaan yang dimohon di atas Rp50 juta bagi
wiraswasta dan Rp150 juta bagi pegawai, atau perusahaan tempat calon
nasabah bekerja kurang diyakini bonafiditasnya atau beroperasi kurang
dari dua tahun. OTS juga diperlukan bagi calon nasabah belum pernah
tatap muka sebelumnya dengan Account Manager, atau jika dipandang
perlu oleh Account Manager, Komite Pembiayaan atau Financing Risk
Officer untuk melakukan OTS.
3.2.3.3 Risk Assesment, Realisasi Pembiayaan, dan Dropping
Dalam tahap ini, Financing Risk Officer/Financing Risk Staff wajib
melakukan Independent Financing bagi Proposal Pembiayaan dengan limit
tertentu, sebelum masuk ke level komite. Selanjutnya Financing Risk
Officer/Financing Risk Staff memberikan rekomendasi untuk dilakukan proses
lebih lanjut sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang berlaku di Risk
Management Division. Setelah itu, dilanjutkan kepada proses keputusan
pembiayaan. Proses keputusan pembiayaan dan kewenangan memutus
dilakukan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Financing Support
Division dan/atau Risk Management Division.
Setelah dipenuhinya semua persyaratan oleh calon nasabah dan
dibantu oleh Account Manager serta dilakukannya Risk Assesment, maka
keputusan pembiayaan dikeluarkan dan ditindaklanjuti dengan adanya
realisasi pembiayaan dan pencairan dana (dropping). Tahapannya antara lain:
1) Berdasarkan keputusan Komite pembiayaan yang tertuang dalam Usulan
Pembiayaan, Account Manager menyusun Offering Letter (Surat
Persetujuan Prinsip Pembiayaan) yang merupakan hasil rangkuman dari
keputusan Komite Pembiayaan. Offering Letter ini kemudian diserahkan
kepada Unit Support Pembiayaan dengan melampirkan Usulan
Pembiayaan (UP) dan dokumen pendukung yang telah direview.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
55
2) USP kemudian memeriksa isi Offering Letter dan memberi paraf. Jika
USP menemukan ketidaksesuaian dengan persyaratan, maka USP harus
mengembalikan draft Offering Letter kepada Account Manager untuk
diperbaiki. Jika Offering Letter telah diperiksa oleh USP dan telah
sesuai, Offering Letter ditandatangan dua pejabat berwenang (Operation
Manager dan Pemimpin Unit Bisnis), dan Offering Letter dikembalikan
kepada Account Manager untuk diserahkan kepada calon nasabah.
3) Account Manager menyerahkan Offering Letter kepada calon nasabah.
Jika nasabah menyanggupi semua klausula, maka Account Manager
akan menyerahkan Offering Letter kepada Bank Muamalat Indonesia.
Jika calon nasabah berkeberatan, maka dalam 14 hari kerja dari tanggal
Offering Letter, calon nasabah wajib menyampaikan keberatan secara
tertulis beserta usulan perubahan syarat yang diinginkan.
4) Bagi calon nasabah yang telah menyanggupi dan setuju, Offering Letter
kemudian akan diserahkan Account Manager kepada USP untuk
dilakukan penyusunan akad pembiayaan. Jika tidak setuju, Account
Manager akan mengajukan negosiasi nasabah kepada FRM dan komite
pembiayaan.
5) Setelah menerima Offering Letter yang telah ditandatangani calon
nasabah, USP segera meyiapkan akad pembiayaan, namun sebelumnya
Account Manager wajib memenuhi kelengkapan dokumen dan
persyaratan yang diperlukan untuk pengikatan. Akad ini nanti
ditandatangani oleh Pemimpin Unit Bisnis dan nasabah, serta kemudian
disimpan oleh USP.
6) USP kemudian melakukan pengikatan jaminan nasabah pemeriksaan
kelengkapan dan kesempurnaan dokumen dropping (pencairan fasilitas)
pembiayaan, dan penutupan asuransi. Account Manager kemudian
menerbitkan Memorandum Dropping Pembiayaan dan menginput data
customer base (CIF)
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
56
7) Setelah Account Manager melengkapi dokumen (Offering Letter, Tanda
Terima Uang Nasabah, Jadwal Angsuran, Usulan Pembiayaan, Surat
Perjanjian Pembiayaan/Akad beserta lampirannya, Surat Keterangan
Notaris, Surat Asli seperti sertifikat jaminan, dan persyaratan lain yang
diminta komite), Memorandum dropping selanjutnya dimintakan
persetujuan Operasional Manager (OM) untuk proses pencairan. Jika
semua persyaratan telah dilengkapi oleh Account Manager, OM akan
memberikan persetujuan dropping. Teknis pencairan pembiayaan dan
pembukuan yang berkaitan dengan pembiayaan dilakukan oleh bagian
operasional pembiayaan.
8) Bukti pelunasan dari pembelian rumah wajib diserahkan oleh nasabah
kepada Bank Muamalat Indonesia paling lambat 14 hari setelah tanggal
pembayaran
9) Account Manager wajib melakukan monitoring dan penagihan kepada
nasabah, serta wajib menjaga silaturahim dan kelekatan kepada nasabah.
Account Manager juga memonitoring agunan dan usaha nasabah jika
sumber pengembaliannya berasal dari usaha.
3.2.3.4 Proses Melalui Financing Origination System (FOS)
Financing Origination System (FOS) Merupakan suatu sistem atau
mekanisme untuk melakukan penilaian (scoring) terhadap nasabah. FOS
berguna untuk menilai kelayakan dari nasabah, apakah bankable dan dapat
direkomendasikan untuk menerima pembiayaan atau tidak. FOS ini
merupakan alat atau tools yang dikeluarkan oleh Financing Support Division
Bank Muamalat Indonesia untuk memudahkan divisi marketing dalam
melakukan penilaian terhadap nasabah. Adapun ketentuan penggunaan FOS
merujuk pada ketentuan berikut ini, antara lain:
1) Pembiayaan yang dilakukan melalui aplikasi FOS hanya untuk plafond
pembiayaan dan cabang tertentu yang ditentukan oleh RPDD, merujuk
kepada SOP dan User Manual FOS untuk Pembiayaan Hunian Syariah
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
57
2) Legal opinion, Lembar Scoring Form Pemeringkatan Nasabah Ritel,
Individual, Usulan Penanaman Dana, dan Memorandum Pembiayaan
tidak lagi diperlukan bagi proses yg dilakukan melalui FOS
3) Tahapan dalam proses penghimpunan dalam FOS secara singkat adalah:
i. Aplikasi Baru
ii. Seleksi Awal
iii. Scan Dokumen
iv. Financing Investigator
v. Call Report
vi. Proses verifikasi oleh OM
vii. Analisa kelayakan nasabah melalui scoring system
viii. Persetujuan pemegang limit
ix. Jika disetujui, pembiayaan diatas Rp150 juta akan dibuatkan
Memorandum Persetujuan, jika tidak maka langsung dibuat
Offering Letter
x. Offering Letter yang dicetak melalui aplikasi FOS tetap harus
direview oleh USP. Jika ditolak, maka Account Manager
melakukan pencetakan Rejection Letter dan diserahkan kepada
nasabah
xi. Tahap Confirmation. Dilakukan oleh Account Manager. Account
Manager memberitahu nasabah bahwa pembiayaan yang diajukan
diterima Bank Muamalat Indonesia.
xii. Cek Keaslian Dokumen
xiii. Penjadwalan Pengikatan
xiv. Cetak File Pembiayaan
xv. Cek List Sebelum Dropping
xvi. Persetujuan pencairan
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
58
3.2.4 Ijarah (sewa) dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi pada
Bank Muamalat Indonesia
Ijarah merupakan salah satu unsur dari pelaksanaan produk perbankan dengan
menggunakan akad Musyarakah Mutanaqisah. Sehingga, perlu dipaparkan lebih
lanjut dalam produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi pada Bank Muamalat
Indonesia ini, antara lain tentang ketentuan pembayaran angsuran yang berupa sewa,
realisasi pembayaran sewa, dan evaluasi pricing.
1. Pembayaran Angsuran (Sewa)
Dalam produk PHSK, pembelian porsi bank dilakukan nasabah
dengan melakukan angsuran pembiayaan (sewa) untuk setiap (bulan) yang
besarnya tetap sepanjang sewa yang dikenakan sesuai dengan periode
evaluasi pricing. Besarnya angsuran pembiayaan setiap periode (bulan)
dihitung berdasarkan:
i. Porsi kongsi kepemilikan bank (plafond) dan Porsi kongsi
kepemilikan nasabah (porsi nasabah)
ii. Yield yang diharapkan atas sewa
iii. Lamanya jangka waktu pembiayaan
iv. Pembayaran angsuran pembiayaan pertama kali dilakukan pada
bulan berikutnya (sebulan) sejak tanggal pencairan pembiayaan
melalui rekening nasabah di Bank.
2. Realisasi dan Pengembalian Pembiayaan dan Evaluasi Pricing
a. Realisasi pembiayaan (porsi bank) dilakukan secara langsung dengan
melakukan pemindahbukuan atau transfer ke rekening developer atau
penjual dengan sebelumnya masuk ke rekening nasabah terlebih
dahulu (sebagai bukti hukum positif bahwa nasabah berhutang)
b. Sebelum ditransfer ke penjual atau developer, rekening wajib di hold
sebesar pembiayaan yang diberikan.
c. Transfer ke rekening penjual atau developer harus berdasarkan
instruksi nasabah yang disetujui Account Manager.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
59
d. Pengembalian pembiayaan dilakukan secara angsuran yang dibayar
setiap bulan sampai dengan pembiayaan lunas
e. Periode evaluasi pricing harga sewa ditentukan berdasarkan periode
evaluasi sewa yang ditetapkan oleh ALCO
3.2.5 Status Kepemilikan Objek Pembiayaan dalam Produk Pembiayaan
Hunian Syariah Kongsi di Bank Muamalat Indonesia
Pada PHS Kongsi di Bank Muamalat Indonesia, sebelum seluruh hishah dibeli
oleh nasabah, status aset masih menjadi milik bersama antara Bank Muamalat
Indonesia dengan nasabah. Hanya saja, untuk sertifikatnya, diatasnamakan nasabah,
walaupun sesungguhnya itu adalah milik bersama.81 Hal ini dimaksudkan agar
pendaftaran kepada Badan Pertanahan Nasional dapat dilakukan, dan juga sebagai
langkah untuk mempermudah proses perbuatan hukum selanjutnya terhadap objek
pembiayaan, misalnya sewa menyewa, jual beli, dan sebagainya. Namun, dengan
adanya nama nasabah semata dalam sertifikat, tidak menjadikan keseluruhan objek
pembiayaan secara de facto dimiliki oleh nasabah, melainkan masih milik bersama
antara bank dan nasabah berdasarkan akad musyarakah yang disepakati lebih dahulu.
Dengan dibuatnya sertifikat hanya atas nama nasabah saja, maka terdapat
ketentuan yang wajib dipatuhi oleh nasabah, salah satunya adalah menandatangani
surat pernyataan diatas materai bahwa objek pembiayaan tersebut adalah murni milik
bersama antara nasabah dan bank, sehingga tidak ada hak bagi nasabah untuk
memindahkan hak milik atas tanah dan bangunan, dan/atau melakukan perbuatan
hukum lain yang dapat merugikan bank.
81 Berdasarkan data yang didapat dari wawancara dan surat elektronik dengan Bapak
Ardiansyah Rakhmadi, Pejabat Sharia Compliance Departement Head Bank Muamalat Indonesia, 21 Mei 2012.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia 60
BAB 4
ANALISIS PENERAPAN AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISAH DALAM
PRODUK PEMBIAYAAN HUNIAN SYARIAH KONGSI (PHSK) DI BANK
MUAMALAT INDONESIA
4.1 Analisis Mengenai Penerapan Akad Musyarakah Mutanaqisah Secara
Umum dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi di Bank
Muamalat Indonesia
Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi (PHSK) merupakan produk pembiayaan
hunian yang dikeluarkan oleh Bank Muamalat Indonesia (BMI) bagi nasabah yang
ingin memiliki hunian dengan mekanisme pembiayaan tanpa bunga dan
pengembalian yang ringan berdasarkan akad Musyarakah Mutanaqisah. PHSK
diluncurkan tahun 2007 sebagai alternatif produk Pembiayaan Hunian Syariah
Pembelian (PHSP) yang menggunakan akad Murabahah atau jual beli murni dengan
margin keuntungan bagi bank. Dalam PHSK, akad yang menjadi media adalah akad
Musyarakah Mutanaqisah, merupakan akad yang terdiri dari kerjasama modal dan
kerja (musyarakah) dan pengurangan porsi syirkah (mutanaqisah) dari mitra atau
syarik akibat pembelian porsi syarik secara bertahap. Akad Musyarakah Mutanaqisah
diterapkan berdasar pada pemikiran bisnis, bahwa segala sesuatu yang berkaitan
dengan kerjasama, harus berlandaskan kepercayaan akan adanya keuntungan yang
akan dibagi secara adil berdasarkan perjanjian antara syarik atau mitra. Sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di Indonesia, setiap produk bank syariah harus comply
atau patuh terhadap dua ketentuan, yaitu ketentuan yang bersifat hukum positif dan
juga hukum syariah.
Penelitian penulis mengenai kepatuhan BMI dalam menerapkan prinsip
Musyarakah dan Ijarah yang terdapat pada akad Musyarakah Mutanaqisah dalam
produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi berfokus pada beberapa peraturan
perundang-undangan dan Fatwa DSN-MUI, antara lain:
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
61
1. PBI No.10/17/PBI/2008 Tentang Produk Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah
2. PBI No. 13/13 /PBI/2011 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi
Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah
3. SK Dir Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/ DIR tanggal 31 Maret
1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan
Perkreditan Bank bagi Bank Umum
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor
73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah
Penulis menemukan bahwa kepatuhan produk PHSK telah terbukti dengan
adanya perizinan yang dilakukan BMI kepada Bank Indonesia sebagai produk baru
yang tidak termasuk dalam Buku Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, sesuai
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 Tentang Produk Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah pasal 1 ayat 1 sampai ayat 3 yang berisikan
kewajiban tentang pelaporan produk baru bank syariah bagi yang ada di dalam Buku
Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, dan kewajiban untuk memohon perizinan bagi
produk yang tidak tertera di dalam Buku tersebut. Produk PHSK yang menggunakan
akad derivasi dari Musyarakah akhirnya harus memohon perizinan, tidak hanya
melaporkan produk baru ini kepada Bank Indonesia. Perizinan ini kemudian
dikabulkan dan produk PHSK telah berjalan selama lima tahun sejak 2007 dengan
adanya perbaikan dan evaluasi yang selalu dilakukan oleh Bank Indonesia selaku
otoritas perbankan di negeri ini. Penulis menemukan persetujuan Bank Indonesia ini
tertuang dalam Persetujuan Bank Indonesia Nomor 12/1362/BPbS tanggal 13
Agustus 2010. 82
Selanjutnya penulis meneliti kepatuhan BMI dalam penerapan akad
Musyarakah Mutanaqisah dalam produk PHSK dengan PBI No. 13/13 /PBI/2011
Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha
82 Berdasarkan informasi dari hasil wawancara dengan Corporate Legal Division Head, Bapak Irvan Lesmana, 4 Juni 2012 di Kantor Pusat Bank Muamalat Indonesia, Jakarta.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
62
Universitas Indonesia
Syariah. Dalam PBI tersebut, ditegaskan bahwa bank umum syariah dan unit usaha
syariah harus menetapkan langkah-langkah untuk menilai kualitas aktiva prouktif
dalam bentuk pembiayaan dengan melakukan penilaian terhadap prospek usaha
nasabah, kinerja (performance) nasabah, dan kemampuan membayar nasabah.
BMI merespon hal ini dengan membuat ketentuan mengenai analisis
pembiayaan dalam Panduan Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi. Isinya adalah
memerintahkan bagi Account Manager dan Penilai untuk melakukan verifikasi
terhadap calon nasabah dengan mencocokkan nama dan alamat yang tercantum pada
KTP, Akta Nikah, Kartu Keluarga dan sebagainya. Account Manager juga
memverifikasi penghasilan bagi pegawai (penghasilan tetap) dan bagi wiraswasta.
Hal ini termasuk juga pengecekan pengeluaran dan kewajiban nasabah, misalnya dari
pembayaran kartu kredit, adanya kewajiban kepada lembaga pembiayaan atau bank
lain. Dimungkinkan juga bagi Account Manager untuk melakukan kontak telepon
dengan pejabat berwenang di kantornya. Account Manager juga harus mencari
informasi yang jelas untuk mendapatkan kepastian bahwa pegawai ataupun
wiraswasta beserta istri (untuk joint income) tidak masuk ke dalam daftar pembiayaan
bermasalah. Penilai juga diwajibkan melakukan Kunjungan Setempat (On The Spot/
OTS) apabila limit pembiayaan yang dimohon di atas Rp50 juta bagi wiraswasta dan
Rp150 juta bagi pegawai, atau perusahaan tempat calon nasabah bekerja kurang
diyakini bonafiditasnya atau beroperasi kurang dari dua tahun. OTS juga diperlukan
bagi calon nasabah belum pernah tatap muka sebelumnya dengan Account Manager,
atau jika dipandang perlu oleh Account Manager, Komite Pembiayaan atau Financing
Risk Officer untuk melakukan OTS.83
Lebih lanjut lagi, penulis menemukan bahwa penerapan PHSK juga telah
mematuhi ketentuan dalam SK Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/ DIR
tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan
Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum. Pedoman yang dibuat sekurang-
kurangnya memuat dan mengatur prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organisasi
dan manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi dan
83 Analisis Pembiayaan, Disarikan dari Panduan PHS Kongsi.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
63
administrasi kredit, pengawasan kredit, dan penyelesaian kredit bermasalah. Hal ini
dilakukan untuk memenuhi persyaratan 5C (Character, Capacity, Capital, Condition
of Economy, dan Collateral).84 Panduan-panduan tersebut antara lain Pedoman Buku
Prosedur Umum Pelaksanaan Pembiayaan (PUPP) PT Bank Muamalat Indonesia
Tbk., Buku Kebijakan Umum Pembiayaan Bermasalah (KUPB) PT Bank Muamalat
Indonesia Tbk., dan Buku Prosedur Umum Pelaksanaan Pembiayaan Bermasalah
(PUPPB) PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. Penjelasan lebih lanjut terkait
kepatuhan BMI terhadap PBI ini penulis paparkan di tabel pada halaman 65.
Diharapkan, dengan adanya panduan-panduan internal ini, penerapan dari akad
Musyarakah Mutanaqisah menjadi terarah dan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan fatwa yang berlaku.
Selanjutnya penulis meneliti kepatuhan BMI dalam penerapan dari PHSK dari
segi Fatwa DSN-MUI. Penerapan PHSK telah diatur dan wajib mematuhi ketentuan
dalam Fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah
Mutanaqisah (selanjutnya disebut Fatwa MMQ). Berdasarkan observasi penulis, BMI
telah mematuhi segala peraturan yang terdapat di dalam fatwa ini dengan langkah
pencantuman segala macam hak dan kewajiban antara bank dan nasabah ke dalam
Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah yang akan digunakan sebagai dasar dari
PHSK. Pencantuman ketentuan tersebut antara lain mengenai pemberian modal dan
kerja berdasarkan kesepakatan pada saat akad, dalam hal memperoleh keuntungan
berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat akad, dan kewajiban untuk
menanggung kerugian sesuai proporsi modal. BMI telah menuangkannya dalam akad
Musyarakah Mutanaqisah yang dibuat antara bank dan nasabah. Disamping itu,
Fatwa MMQ juga menjelaskan mengenai kewajiban adanya pembelian secara
bertahap oleh nasabah terhadap porsi kepemilikan bank, dan ini juga diterjemahkan
oleh BMI menjadi sebuah ketentuan dalam Akad Pembiayaan Musyarakah
Mutanaqisah yang menegaskan bahwa nasabah selanjutnya melakukan pembayaran
84 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun
1998, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 23.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
64
Universitas Indonesia
pengambilalihan barang yang menjadi porsi kepemilikan bank secara bertahap sesuai
dengan jangka waktu yang telah disepakati. Hingga masalah sewa menyewa dengan
menetapkan ujrah yang disepakati bersama, dan ketentuan mengenai pembagian ujrah
berdasarkan dari nisbah yang sesuai dengan porsi kepemilikan dari musyarakah.85
Berdasarkan penelitian dan observasi penulis dalam melihat sejauh mana
penerapan PHSK ini comply dengan peraturan hukum positif dan hukum syariah,
penulis melihat adanya kesesuaian antara apa yang digariskan oleh Bank Indonesia
sebagai otoritas perbankan tertinggi, fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI , dan
panduan-panduan yang dibuat oleh BMI sebagai perpanjangan tangan dari peraturan
Bank Indonesia dan Fatwa tadi. Namun, memang tidak dapat disangkal ada beberapa
permasalahan yang masih harus dikaji dan dibahas dalam penerapan akad MMQ
dalam produk PHSK ini.
Bentuk kepatuhan yang penulis analisis yang telah dilakukan oleh BMI
terhadap penerapan produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi (PHSK) secara garis
besar dapat penulis rangkum dalam tabel berikut ini.
No. Peraturan Ketentuan Bentuk Kepatuhan
1.
Fatwa No: 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah
1.Kewajiban nasabah dan bank untuk memberikan kontribusi modal Pasal 3 ayat 1, 2, dan 3
Pencantuman ketentuan dalam Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah Pasal 3 ayat 1, 2, dan 3
2.Kewajiban bagi nasabah untuk membeli porsi kepemilikan bank (Pasal 5)
Pencantuman ketentuan dalam Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah pada pasal 5
3.Kewajiban bagi nasabah dan bank untuk saling berbagi kerugian (Pasal 6 ayat 3)
Pencantuman ketentuan dalam Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah Pasal 6 ayat 3
4.Kewajiban membagi keuntungan atas ujrah yang disepakati bersama antara bank dan nasabah (Pasal 7)
Pencantuman ketentuan dalam Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah Pasal 7
85 Disarikan dari Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah BMI.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
65
2.
SK Dir Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/ DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan kebijaksanaan Perkreditan bagi Bank Umum (Disebut “Pembiayaan” bagi Bank Syariah)
Pembuatan pedoman bagi
bank yang memuat dan
mengatur:
Pembuatan Ketentuan dalam Pedoman Buku Prosedur Umum Pelaksanaan Pembiayaan (PUPP) PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. :
1. Prinsip kehati-hatian
dalam pembiayaan
Dituangkan dalam PUPP Bab IV tentang Analisa Pembiayaan dan diperjelas di Bab V tentang Usulan Pembiayaan dan Memorandum Pembiayaan
2. Organisasi dan
manajemen pembiayaan
Dituangkan dalam PUPP Bab IV tentang Analisis Pembiayaan poin 4.3.3
3. Kebijakan persetujuan
pembiayaan
Dituangkan dalam Bab VI PUPP tentang Keputusan Pembiayaan, terkait proses keputusan persetujuan pembiayaan
4. Dokumentasi dan
administrasi pembiayaan
Dituangkan dalam PUPP Bab VIII tentang Dokumentasi, Administrasi, dan Laporan
5. Pengawasan pembiayaan
dan penyelesaian
pembiayaan bermasalah
Dituangkan dalam PUPP Bab IX tentang Monitoring Pembiayaan dan juga pembuatan Buku Kebijakan dan Prosedur umum yaitu: 1. Buku Kebijakan Umum
Pembiayaan Bermasalah (KUPB) PT Bank Muamalat Indonesia Tbk.,
2. Buku Prosedur Umum Pelaksanaan Pembiayaan Bermasalah (PUPPB) PT Bank Muamalat Indonesia
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
66
Universitas Indonesia
3.
Peraturan Bank Indonesia No.10/ 17/PBI/2008 Tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
Kewajiban Perizinan bagi Produk Derivatif Bank
Syariah
Telah mendapatkan izin dari Bank Indonesia
dengan Surat Persetujuan Bank Indonesia Nomor
12/1362/DPbS tanggal 13 Agustus 2010
4.
Peraturan Bank Indonesia No. 13/13 /PBI/2011 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah
Kewajiban bagi Bank
Syariah untuk
melaksanakan prinsip
kehati-hatian dalam
melakukan pembiayaan
atau penanaman dana bank
Dicantumkan dalam Bab X tentang Kualitas Aktiva
dan Penyisihan Penghapusan Aktiva
(PPA), terkait penilaian aktiva produktif dan tata
cara penilaian aktiva produktif dengan menilai prospek usaha nasabah,
kinerja nasabah, dan kemampuan membayar
nasabah
4.2 Analisis Permasalahan Penerapan Ijarah Sebagai Kegiatan Usaha Bank dan
Nasabah dalam Akad Musyarakah Mutanaqisah di Bank Muamalat
Indonesia
Pada Sub bab ini penulis akan memaparkan analisis mengenai ijarah dalam
PHSK. Hal ini menjadi penting karena penerapan akad MMQ menggunakan akad
ijarah sebagai sumber pendapatan. Dalam bahasan ini, penulis akan berfokus pada
permasalahan mengenai legalitas syarik sebagai pemilik sekaligus penyewa objek
pembiayaan.
Musyarakah Mutanaqisah pada dasarnya tidak terkait dengan sewa atau ijarah.
Mulanya, Musyarakah Mutanaqisah hanya terdiri dari musyarakah dan jual beli saja,
sama seperti yang ditegaskan di dalam Fatwa MMQ, bahwa Musyarakah
Mutanaqisah terdiri dari akad jual musyarakah dan akad jual beli.86 Namun, dalam
perkembangannya, dimana bank sebagai syarik akad Musyarakah Mutanaqisah
86 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Musyarakah Mutanaqisah No.73/DSN–MUI/XI/2008, hlm. 5.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
67
memerlukan pendapatan dan keuntungan yang dapat langsung diambil dari akad ini,
maka bank syariah menambahkan akad ijarah agar dalam pelaksanaan akad
Musyarakah Mutanaqisah keuntungan dapat diambil dan dibagi berdasarkan nisbah
(bagi hasil) yang biasanya dirumuskan berdasarkan porsi kepemilikan objek
pembiayaan dan keuntungan (yield) yang telah diproyeksikan oleh bank syariah.
Bagian sewa yang dibagi hasilkan untuk bank menjadi milik bank sebagai
keuntungan bagi bank, sedangkan bagi hasil untuk nasabah, selanjutnya akan
dikembalikan lagi oleh nasabah kepada bank sebagai pembelian porsi kepemilikan
bank atas objek pembiayaan. Proses pengembalian ini berdasar dari kuasa pendebetan
rekening yang dilakukan oleh BMI kepada rekening nasabah.
Dalam penerapannya sewa menyewa atau Ijarah ini, terdapat masalah yang
penulis rasa penting untuk ditanyakan kepada pihak BMI. Yaitu apakah dapat
dimungkinkan berdasarkan hukum syariah dan hukum positif, bahwa penyewa suatu
objek pembiayaan adalah pemiliknya sendiri. Seperti yang penulis temukan dari hasil
observasi PHSK di BMI dan dari hasil wawancara, mekanisme akad Musyarakah
Mutanaqisah memungkinkan hal ini terjadi demi terciptanya keuntungan bagi bank
dan nasabah. Penulis awalnya pun merasa seolah-olah mekanisme sewa ini seperti
dipaksakan, hanya untuk melegalkan praktek konvensional dalam ranah syariah.
Secara hukum positif pun, praktik ini penulis ragukan legalitasnya.
Berdasarkan pasal 1548 KUHPerdata dikatakan,87
“Sewa menyewa adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan ini disanggupi pembayarannya”
Sehingga jelas ditegaskan bahwa sewa menyewa merupakan sebuah
persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan
kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan
87 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R,
Tjitrosudibio, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004), hlm. 381.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
68
Universitas Indonesia
pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang
dapat menyewakan berbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.
Dalam pasal tersebut dapat dilihat bahwa unsur-unsur sewa menyewa adalah:
1. Persetujuan
2. Pihak yang satu memberikan kenikmatan atau barang
3. Kepada pihak yang lain
4. Waktu tertentu
5. Dengan pembayaran yg disanggupi pihak yang lain itu
6. Bendanya dapat benda bergerak atau tidak bergerak
dalam pasal ini, penulis merasa kepemilikan menjadi masalah, karena terdapat unsur
perbedaan subjek dalam sewa menyewa, dapat dilihat dari poin 2 dan 3, bahwa sewa
menyewa merupakan pemberian kenikmatan atau barang oleh pihak yang satu kepada
pihak lain. Sehingga menurut penulis, semestinya ada dua pihak dalam sewa
menyewa. Sehingga sewa menyewa tidak dapat dilakukan oleh satu subjek saja, atau
dengan kata lain menyewa milik sendiri.
Namun, setelah penulis melakukan wawancara dengan Kepala Divisi
Corporate Legal Bank Muamalat Indonesia, Bapak Irvan Lesmana, 88 penulis
mendapatkan jawaban dari apa yang penulis tanyakan saat ini. Berdasarkan
penjelasan Pak Irvan, pertanyaan yang penulis ajukan sebenarnya juga menjadi
pertanyaan yang sedang dicari pemecahannya secara hukum positif oleh Divisi
Corporate Legal BMI, dan sedang dilakukan pengkajian kembali mengenai masalah
ini. Divisi Corporate Legal BMI belum menemukan jawaban pasti mengenai
pertanyaan penulis, sehingga jawaban yang diberikan oleh Pak Irvan kepada penulis
bukanlah pernyataan resmi dari BMI, melainkan jawaban beliau secara pribadi dalam
menanggapi pertanyaan penulis, yang menurut beliau masih memerlukan pematangan
dasar hukum. Hal ini dikarenakan produk PHSK telah ada sejak tahun 2007,
sementara Divisi Corporate Legal baru terbentuk bulan Mei tahun 2011, sehingga
memang sedang dilakukan peninjauan ulang untuk produk-produk di BMI, termasuk
88 Berdasarkan informasi dari hasil wawancara dengan Corporate Legal Division Head,
Bapak Irvan Lesmana, 4 Juni 2012 di Kantor Pusat Bank Muamalat Indonesia, Jakarta.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
69
salah satunya adalah dalam mengatasi potensi masalah dan potensi ketidaksesuaian
penerapan dengan hukum positif.89
Pak Irvan memulai jawaban dari pertanyaan penulis dengan menjelaskan
Musyarakah Mutanaqisah dalam contoh berikut ini. Penulis mengubah angka agar
lebih mudah dipahami.
1. Misal Amir ingin memiliki kos-kosan di daerah Depok. Setelah ditelusuri,
harga pokok rumah dengan 10 kamar yang sedang dijual adalah 1 Miliar
2. Amir hanya punya uang Rp200 juta, sehingga meminta temannya, Beni,
untuk meminjamkan uang kepadanya sebesar Rp800 juta.
3. Setelah rumah dibeli, 10 kamar tersebut terisi dengan adanya mahasiswa
UI yang menyewa dengan harga Rp1 juta per bulan, sehingga total
pendapatan dari rumah tersebut adalah Rp10 juta.
4. Setelah dikurangi biaya perawatan dan gaji penjaga kos-kosan tersebut,
maka diperoleh laba sebesar Rp5 juta rupiah per bulan. Inilah yang akan
dibagi kepada Amir dan Beni sesuai dengan porsi kepemilikan mereka.
Berdasarkan porsi kepemilikan, Amir memiliki seperlima bagian dengan
kontribusi Rp200 juta, sedangkan Beni memiliki empatperlima bagian
dengan kontribusi sebesar Rp800 juta. Sehingga, dari keuntungan Rp5 juta
per bulan, Amir mendapatkan seperlima bagian dari keuntungan (Rp1
juta), sedangkan Beni empatperlima bagian (Rp4 juta).
Dengan contoh seperti di atas, misalkan Amir ingin menyewa salah satu
kamar tersebut, Amir tetap wajib membayar sewa, karena ini bukanlah milik Amir
sepenuhnya, melainkan ada porsi kepemilikan dari Beni. Perbuatan Amir yang
menyewa objek pembiayaan milik bersama ini pun sesuai oleh Fatwa MMQ yang
menyatakan bahwa objek pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah boleh diijarakan
kepada syarik atau pihak lain.90 Sehingga dapat diketahui bahwa menyewa objek
89 Berdasarkan informasi dari hasil wawancara dengan Bapak Irvan Lesmana pada tanggal 4
Juni 2012 di Kantor Pusat Bank Muamalat, Jakarta. 90 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Fatwa No.73/DSN–MUI/XI/2008
tentang Musyarakah Mutanaqisah. Pasal 1 Ketentuan Khusus.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
70
Universitas Indonesia
pembiayaan yang berupa barang yang dibeli secara musyarakah dalam MMQ adalah
diperbolekan.
Beliau juga mengatakan bahwa yang menjadi masalah justru bukanlah
kepemilikan nasabah. Yang menjadi masalah adalah anggapan bahwa objek
pembiayaan dalam Musyarakah Mutanaqisah adalah milik nasabah secara pribadi
yang didasarkan hanya pada pencantuman nama nasabah dalam sertifikat
kepemilikan hunian. Inilah yang keliru. Tidak dikatakan bahwa objek pembiayaan
adalah milik nasabah secara pribadi, sehingga memang menjadi suatu keanehan jika
ia kemudian menyewa barang miliknya sendiri. Objek pembiayaan dalam
Musyarakah Mutanaqisah adalah milik bersama antara bank dan nasabah. Nasabah
dan bank telah mengakui hal itu dalam suatu pernyataan yang dibuat di atas materai
dan ditandatangani oleh bank dan nasabah sendiri.
Penulis setuju dengan penjelasan beliau ini, karena memang pada dasarnya
barang yang dibeli bersama, menjadi milik bersama, karena masih terdapat porsi
syarik yang lain, tidak hanya satu pihak saja. Sehingga, menurut penulis, pernyataan
yang mengemuka bahwa Musyarakah Mutanaqisah memiliki keanehan karena
pemiliki menyewa miliknya sendiri, adalah tidak benar.
Penulis kemudian melakukan analisis dokumen dari lampiran akad
Musyarakah Mutanaqisah untuk produk PHSK di Bank Muamalat Indonesia.
Berdasarkan lampiran akad Musyarakah Mutanaqisah yang berhasil penulis dapatkan
dari nasabah yang membeli unit apartemen dengan akad Musyarakah Mutanaqisah,
bahwa memang jelas tertulis mengenai masalah kepemilikan ini. Dalam beberapa
jenis surat yang tergabung dalam lampiran akad MMQ tersebut, dapat dilihat bahwa
sejak awal memang sudah ada pengakuan dan pernyataan dari nasabah bahwa barang
yang dibeli merupakan hasil penggabungan dana nasabah dan bank. Berikut akan
penulis paparkan klausul yang tertera dalam beberapa lampiran akad Musyarakah
Mutanaqisah untuk produk PHSK di Bank Muamalat Indonesia.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
71
1. Surat Permohonan Pembelian Barang dengan Akad Musyarakah
Mutanaqisah
Di dalam surat ini terdapat kalimat yang berbunyi, “bertindak untuk dan
atas nama diri sendiri, bermaksud untuk mengajukan kepada PT Bank
Muamalat Indonesia, Tbk., untuk secara bersama-sama dengan akad
Musyarakah Mutanaqisah membeli tanah dan bangunan rumah..” Dalam
struktur kalimat ini, dapat diketahui bahwa nasabah mengakui bahwa
pembelian yang dilakukan adalah berdasarkan permohonan pembiayaan,
sehingga jelas bahwa dana yang digunakan untuk membeli tanah dan
bangunan adalah milik nasabah dan juga bank secara bersama-sama,
bukan milik dari nasabah semata.
2. Surat Pernyataan Pengakuan
Di dalam surat ini, terdapat kalimat “dengan ini menyatakan bahwa saya
(nasabah) telah bersama-sama dengan PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
telah mengadakan akad Musyarakah Mutanaqisah Nomor … tanggal …”
dan kalimat “hak atas tanah dan bangunan rumah tersebut baru menjadi
hak Saya sepenuhnya apabila Saya sudah melunasi seluruh
pembayaran…” Dalam Surat Pernyataan Pengakuan lebih jelas lagi
terlihat bahwa memang telah diakui secara sukarela oleh nasabah, bahwa
selama pembayaran belum dilunasi oleh nasabah, maka kepemilikan objek
pembiayaan ini bukanlah hanya milik nasabah saja, melainkan juga milik
bank.
3. Surat Penunjukkan dan Kuasa
Dengan surat ini, Nasabah sebagai pemohon pembiayaan PHSK dengan
akad MMQ memberikan kuasa kepada Bank selaku syarik atau mitra
dalam pembelian rumah, untuk atas nama Nasabah, menyewakan tanah
dan bangunan rumah yang dibeli menggunakan dana nasabah dan bank.
Sehingga terlihat bahwa sekalipun terdapat kesepakatan bahwa sertifikat
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
72
Universitas Indonesia
yang ada diatasnamakan nasabah, namun nasabah memberikan kuasa
kepada bank untuk kemudian dapat menyewakan kembali objek
pembiayaan ini kepada syarik atau pihak lain.
4. Surat Permohonan Ijarah
Setelah rumah yang menjadi objek pembiayaan tadi diserahkan kepada
bank, selanjutnya nasabah atas nama dirinya memohon sewa untuk rumah
tersebut, sehingga selanjutnya dapat disepakati berapa angsuran perbulan
yang akan menjadi keuntungan bagi nasabah dan bank.
Untuk lebih jelasnya, alur proses hingga bagaimana akhirnya nasabah menjadi
penyewa dari objek yang ia mintakan pembiayaan terhadapnya, akan penulis jabarkan
dalam skema dibawah ini.
Uang sewa per bulan dibagi hasil antara bank dan nasabah
Nasabah menyewa objek pembiayaan dengan permohonan ijarah
Nasabah memberikan kuasa bagi bank untuk menyewakan kepada pihak ketiga, dalam hal ini adalah nasabah sendiri
Bank dan Nasabah secara bersama-sama membeli hunian secara musyarakah
Nasabah mengajukan permohonan Pembiayaan dengan akad Musyarakah Mutanaqisah
1
2
3
4
5
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
73
Keterangan:
1. Nasabah mengajukan permohonan Pembiayaan dengan akad Musyarakah
Mutanaqisah. Dalam proses ini dibuatlah segala bentuk pernyataan yang
menegaskan bahwa nasabah akan memohon pembiayaan kepada bank,
dan terhadap objek pembiayaan yang dimohonkan, adalah milik bersama
antara bank meskipun sertifikatnya diatasnamakan nasabah
2. Bank dan nasabah secara bersama-sama membeli hunian dengan akad
Musyarakah. Dalam proses ini, nasabah dan bank sepakat untuk membeli
objek pembiayaan dan nasabah sepakat untuk mematuhi segala peraturan
dan tahapan kesepakatan yang akan dibuat. Sejak tahap ini, sertifikat
objek pembiayaan telah diatasnamakan nasabah demi kemudahan dan
untuk menghindari biaya balik nama yang ganda. Dan ketentuan ini
tercantum dalam Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah BMI.
3. Nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk menyewakan kepada
syarik atau pihak ketiga. Dalam proses ini, kuasa atas objek pembiayaan
berubah, semula dalam penguasaan nasabah, berganti menjadi dalam
penguasaan bank. Hal ini dilakukan agar kemudian nasabah dapat
menyewa objek pembiayaan dan memberikan uang sewa kepada bank
setiap bulannya sebagai pembelian porsi kepemilikan bank terhadap
hunian yang menjadi objek pembiayaan.
4. Setelah kuasa telah berada pada bank, nasabah kemudian membuat
permohonan kembali untuk menyewa dengan akad Ijarah kepada bank.
Hal ini dilakukan agar uang sewa dapat diambil dari pertukaran manfaat
atas objek pembiayaan tersebut, sehingga bagi hasil dapat terjadi dan
nasabah dapat membeli porsi kepemilikan bank
5. Setelah manfaat atas objek pembiayaan telah dinikmati nasabah, nasabah
membayar uang sewa per bulan agar mutanaqisah (penurunan porsi
kepemilikan bank) dapat terjadi.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
74
Universitas Indonesia
Dengan alur ini, menjadi jelas bagaimana akhirnya nasabah menyewa objek
pembiayaan yang semula penulis pahami milik nasabah sendiri. Jadi, nasabah
merupakan penyewa rumah milik bank dan nasabah, yang semula nasabah serahkan
kepada bank untuk dikuasai. Hal ini dilakukan demi kemudahan dalam penerapan
akad Musyarakah Mutanaqisah pada produk PHSK di Bank Muamalat Indonesia.
Selanjutnya mengenai masalah yield yang ditetapkan berdasarkan perhitungan
bunga efektif. Penulis merasa hal ini tidak berbeda dengan penetapakan bunga
sepihak yang biasa dilakukan pada industri perkreditan konvensional. Pak Irvan
menjelaskan bahwa memang inilah yang menjadi halangan masyarakat dalam
memahami Musyarakah Mutanaqisah, yaitu berangkat dari pemikiran konsumsi.91
Padahal, semestinya yang harus dipersiapkan adalah pemikiran bahwa musyarakah
adalah sesuatu yang bersifat bisnis. Bahkan sangat mirip dengan mekanisme
persekutuan perdata dalam pasal 1618 KUHPerdata. Perjanjian, dua orang atau lebih,
mengikatkan diri untuk berkontribusi, dengan maksud membagi keuntungan yang
diperoleh karenanya.92 Proyeksi yield di awal tidak sama dengan penentuan bunga
bank di perkreditan konvensional. Proyeksi yield hanya meramalkan keinginan dari
bank syariah untuk mendapatkan keuntungan dari bagi hasil yang didapatkan dari
sewa. Bagi hasil yang terjadi antara bank dengan nasabah akan selalu berubah-ubah,
hal ini dikarenakan setiap bulannya, nasabah membeli porsi kepemilikan bank secara
bertahap, sehingga dapat dilihat bahwa semakin menuju pelunasan, maka bagi hasil
bagi bank pun akan semakin sedikit. Berbanding terbalik dengan anuitas yang justru
memasukkan komponen bunga ke dalam pokok pinjaman untuk menudian
dibungakan kembali. Musyarakah Mutanaqisah dalam PHSK pun mengenal adanya
evaluasi pricing, atau perubahan uang sewa biasnaya disesuaikan setiap dua tahun.93
Hal ini memungkinkan berubahnya jumlah yield yang diterima oleh bank, meskipun
91 Berdasarkan informasi dari hasil wawancara dengan Bapak Irvan Lesmana pada tanggal 4
Juni 2012 di Kantor Pusat Bank Muamalat, Jakarta. 92 Subekti dan Tjitrosudibio, op. cit., pasal 1618, hlm. 426. 93 Berdasarkan informasi dari hasil wawancara dengan Sharia Compliance Division Head
Bapak Ardiansyah Rakhmadi pada tanggal 30 April 2012 di Kantor Pusat Bank Muamalat, Jakarta
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
75
telah direncakan sejak awal. Sehingga, disimpulkan bahwa proyeksi yield tidaklah
sama dengan perhitungan dan penetapan bunga sepihak seperti yang diterapkan
dalam skema perkreditan konvensional.
4.3 Analisis Masalah Kepemilikan Sertifikat yang Diatasnamakan Nasabah
sebagai Tanda Bukti Kepemilikan Objek Pembiayaan
Mengenai penerapan Akad Musyarakah Mutanaqisah ini, kemudian timbul
pertanyaan mengenai masalah sertifikat yang diatasnamakan nasabah, bahwa
kepemilikan tanah dalam hukum positif dibuktikan dengan adanya akta otentik
berupa sertifikat. Dalam pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria dinyatakan bahwa
untuk menciptakan kepastian hukum Pertanahan, Pemerintah menyelenggarakan
pendaftaran tanah. Terhadap tanah yang telah didaftarkan selanjutnya diberikan tanda
bukti hak atas tanah, yang merupakan alat bukti yang kuat mengenai kepemilikan
tanah (sertipikat hak atas tanah). Memang benar dapat dikatakan bahwa fungsi utama
dan terutama dari sertifikat adalah sebagai alat bukti yang kuat, demikian dinyatakan
dalam pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA.94 Karena itu, siapapun dapat dengan mudah
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah bila telah jelas namanya
tercantum dalam sertifikat itu. Objek pembiayaan yang berupa hunian dalam Produk
Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi dibeli dengan akad musyarakah, yang berarti
kepemilikan dari hunian tersebut merupakan kepemilikan bersama. Hal ini
berkonsekuensi pada hak dari masing-masing pemilik untuk memiliki bukti yang sah
terhadap kepemilikan hunian tersebut. Namun, sertifikat tidak dapat dibuat atas dua
subjek hukum, sehingga pengaturan mengenai hal ini diserahkan kepada praktisi
perbankan sendiri.
Dalam Fatwa DSN-MUI tentang Musyarakah Mutanaqisah pada bagian ketiga
tentang ketentuan akad butir ke 5 (lima) disebutkan bahwa setelah selesai pelunasan
penjualan, seluruh hishshah LKS beralih kepada syarik lainnya (nasabah). Hal ini
berarti pada saat bulan terakhir pembiayaan dimana porsi kepemilikan nasabah
94 Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Lembaran Negara 1960 Nomor 104, pasal 19 ayat 2 huruf c.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
76
Universitas Indonesia
rasionya menjadi 100% dan porsi kepemilikan bank menjadi 0%, maka objek
pembiayaan tersebut, dalam hal ini adalah rumah sepenuhnya menjadi milik nasabah.
Sepanjang nasabah belum melunasi porsi kepemilikan bank, maka menurut ketentuan
fatwa DSN maka sertifikat rumah tersebut atas nama bersama bank dan nasabah.
Setelah nasabah mengambil alih seluruhnya porsi kepemilikannya atas rumah
tersebut dari bank, maka akan dilakukan proses balik nama atas sertifikat rumah
tersebut dari yang semula atas nama bersama bank dan nasabah menjadi atas nama
nasabah sepenuhnya.
Karena kepemilikan atas rumah bersama tersebut masih atas nama bank dan
nasabah, maka bank tidak dapat membukukan rumah tersebut sebagai asset bank.
Dalam butir 27 PSAK 106 Akuntansi Musyarakah tentang Akuntansi untuk Mitra
Pasif95 Pada Saat Akad antara lain menegaskan bahwa,
“investasi musyarakah diakui pada saat pembayaran kas atau
penyerahan aset non kas kepada mitra aktif96”,
selanjutnya butir 32 PSAK tersebut menegaskan bahwa,
“bagian mitra pasif atas investasi musyarakah menurun
(dengan pengembalian dana mitra pasif secara bertahap) dinilai sebesar jumlah kas yang dibayarkan untuk usaha musyarakah pada awal akad dikurangi jumlah pengembalian dari mitra aktif dan kerugian (jika ada)”97
Berdasarkan ketentuan dalam PSAK tersebut dapat ditafsirkan bahwa bank
syariah sebagai mitra pasif dalam akad pembiayaan musyarakah mutanaqishah hanya
membukukan dari sisi penyediaan dana saja, hal ini juga sesuai dengan pengertian
pembiayaan berdasarkan undang-undang Perbankan Syariah yaitu penyediaan dana
95 Mitra pasif adalah mitra yang tidak ikut mengelola usaha 22 musyarakah. (Lihat: PSAK 106 Akuntansi Musyarakah hlm. 2).
96 Mitra aktif adalah mitra yang mengelola usaha musyarakah, baik mengelola sendiri atau
menunjuk pihak lain atas nama mitra tersebut. (Lihat: PSAK 106 Akuntansi Musyarakah hlm. 2). 97 Wangsawidjaja, op. cit ., hal. 8.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
77
(sebagai financier). Jadi dalam pembiayaan ini bank tidak membukukan rumah
tersebut sebagai asset bank.98
Mengenai hal ini, penulis menemukan bahwa penulisan nama nasabah dalam
sertifikat hanyalah upaya dari para syarik untuk dapat mempermudah proses
Musyarakah Mutanaqisah. Penulis juga telah menerima jawaban Pak Irvan Lesmana,
yaitu penulisan nama nasabah dalam sertifikat dimaksudkan agar seluruh kegiatan
proses pengajuan pembiayaan hingga proses dropping dan realisasi pembiayaan
selesai, menjadi mudah. Dasar dari kesepakatan ini adalah pasal 1338 KUHPerdata
yang menegaskan bahwa,99
“semua persetujuan yang dibuat secara sah sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Kata “semua” menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk
membuat perjanjian dengan siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak dilarang
oleh hukum. Artinya bahwa semua ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati
para pihak mengikat dan wajib dilaksankan oleh para pihak yang membuatnya.
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian maka pihak yang dirugikan
dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang tidak melaksanakan tadi. Frase “yang
dibuat secara sah” diartikan bahwa apa yang disepakati, berlaku sebagai undang-
undang jika tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan. Apabila bertentangan, perjanjian batal demi hukum.100
Lagipula, dalam lampiran Akad Musyarakah Mutanaqisah berupa Surat
Pernyataan Pengakuan yang dapat dikategorikan sebagai akta di bawah tangan,
nasabah menyatakan di didalamnya, “menyatakan bahwa kepemilikan atas bangunan
98 Wangsawidjaja, op. cit., hal. 12. 99 Subekti dan Tjitrosudibio, op. cit., pasal 1338, hlm. 342. 100 Pahlevi, M. Erza, Hubungan Antara Pasal 1338 dengan Pasal 1320 KUHPerdata dalam
Hukum Perjanjian, artikel dalam http://semuatentanghukum.blogspot.com/2009/12/hubungan-antara-pasal-1338-dan-pasal.html (diakses 18 Juni 2012)
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
78
Universitas Indonesia
rumah sebagaimana disebutkan dalam angka 1 di atas adalah dimiliki secara bersama-
sama antara Saya dan PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk., namun bukti kepemilikan
atas tanah dan bangunan rumah tersebut diatasnamakan ke atas nama saya atas
persetujuan dari PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk.101
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa mengenai permasalahan sertifikat hak
milik atas hunian yang diatasnamakan nasabah tidaklah menjadi bukti bahwa objek
pembiayaan telah dimiliki sepenuhnya oleh nasabah, melainkan hanyalah upaya yang
dilakukan oleh bank dan nasabah untuk mempermudah aplikasi dari sewa menyewa,
dan mempermudah pengalihan objek pembiayaan ini, sehingga balik nama untuk
objek pembiayaan ini tidak perlu dilakukan beberapa kali, hanya sewaktu pertama
kali saja langsung diatasnamakan nasabah. Hal ini dilakukan berdasarkan asas
kebebasan berkontrak dan kesepakatan para mitra yang berserikat. Namun, agar hal
ini tidak dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan melawan hukum, Bank Muamalat
Indonesia juga mewajibkan nasabah untuk menandatangani surat yang berisikan
pernyataan nasabah bahwa objek pembiayaan yang ditandatangani adalah milik
bersama antara bank dan nasabah, bukan milik nasabah saja.
Penulis berpendapat meskipun telah adanya pengakuan dari nasabah akan
adanya porsi kepemilikan dari BMI dalam objek pembiayaan, serta adanya antisipasi
BMI dengan membuat instrumen-instrumen yang dapat memperkuat posisi bank dan
nasabah, namun praktik ini tetap saja melanggar butir 5 (lima) bagian ketiga tentang
Ketentuan Akad Fatwa MMQ yang menegaskan bahwa peralihan atas hishshah
kepada syarik, dalam hal ini adalah nasabah, baru terjadi setelah selesainya pelunasan
oleh nasabah. Sehingga, menurut penulis, BMI perlu mengkaji ulang penerapan ini,
dan mencocokkannya dengan fatwa MMQ.
101 Lihat: Lampiran tentang Surat Pernyataan Pengakuan (Untuk Perorangan), angka 1.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia 79
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah penulis paparkan mulai dari bab 1 hingga bab 4,
penulis mengambil kesimpulan dari penelitian terhadap penerapan akad Musyarakah
Mutanaqisah dalam produk PHSK di Bank Muamalat Indonesia, antara lain:
1. Penerapan akad Musyarakah Mutanaqisah pada produk Pembiayaan
Hunian Syariah Kongsi (PHSK) di Bank Muamalat Indonesia (BMI) telah
memenuhi sebagian besar ketentuan dalam perundang-undangan dan
fatwa terkait, antara lain pada PBI No.10/17/PBI/2008 Tentang Produk
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah yang mensyaratkan adanya
perizinan, PBI No. 13/13/PBI/2011 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah yang mewajibkan
bank untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian, SK Dir Bank Indonesia
Nomor 27/162/KEP/ DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban
Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank
Umum dan telah dipatuhi dengan pembuatan Pedoman Umum
Pelaksanaan Pembiayaan, serta Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah
Mutanaqisah. Namun, BMI melanggar ketentuan pada butir 5 (lima)
bagian ketiga tentang Ketentuan Akad Fatwa MMQ tentang pengalihan
objek hunian kepada nasabah.
2. Terdapat permasalahan dalam penerapan prinsip Ijarah dalam akad
Musyarakah Mutanaqisah ini, antara lain pandangan bahwa penyewa dan
pemberi sewa dalam PHSK adalah satu pihak yaitu nasabah, yang hanya
didasari pencantuman nama nasabah pada sertifikat kepemilikan hunian.
Melalui observasi dan wawancara penulis dengan pejabat terkait di BMI,
ditemukan bahwa tidak benar jika dikatakan demikian, karena nasabah
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
80
membeli hunian bersama-sama secara musyarakah dengan bank.
Kepemilikan murni milik nasabah dan bank. Mengenai hal ini, BMI pun
telah menyiapkan instrumen yang dapat menguatkan posisi kedua belah
pihak, antara lain Surat Pernyataan Pengakuan bahwa nasabah mengakui
bahwa hunian dibeli dengan dana musyarakah bersama Bank Muamalat
Indonesia, adanya Surat Kuasa yang ditujukan kepada bank agar dapat
menyewakan hunian, dan adanya pengakuan dari nasabah bahwa hunian
baru menjadi milik nasabah ketika seluruh pelunasan telah dilakukan oleh
nasabah, dan sebagainya. Masalah selanjutnya adalah mengenai proyeksi
yield yang seolah sama dengan bunga bank yang ribawi. Setelah dilakukan
wawancara dengan pejabat terkait di BMI, ditemukan bahwa yield tidak
sama dengan bunga, karena yield sifatnya tidak tetap dan terus berubah
karena didasarkan pada keuntungan yang diperoleh, bukan pokok
pembiayaan. Meski memang hasil akhirnya dapat diprediksi karena sewa
merupakan salah satu sumber penghasilan yang jumlahnya tetap.
3. Terdapat masalah kepemilikan sertifikat sebagai aspek hukum pembuktian
dalam penerapan akad Musyarakah Mutanaqisah ini. Bahwa sertifikat
sebagai bukti kepemilikan yang sah hanya diatasnamakan nasabah saja.
Bank Muamalat Indonesia memilih untuk mencantumkan nama nasabah di
awal perjanjian, padahal nasabah pada saat itu belum benar-benar
memiliki hunian tersebut. Fatwa DSN tentang Musyarakah Mutanaqisah
pun mengatakan kepemilikan baru berpindah kepada nasabah jika telah
dilakukan pelunasan seluruhnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penulisan nama nasabah dilakukan untuk menghindari biaya ganda, dan
dilakukan berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan
berkontrak. Meskipun demikian, hal ini tidak menghapuskan kenyataan
bahwa BMI telah melanggar ketentuan pada fatwa MMQ ini, karena tidak
melakukan pengaliha objek pembiayana di akhir periode pembiayaan
setelah nasabah melunasi seluruh kewajibannya untuk membeli porsi
kepemilikan dari BMI.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
81
5.2 Saran
Setelah membahas penerapan dari akad Musyarakah Mutanaqisah dalam
produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi di Bank Muamalat Indonesia, maka
penulis akan memberikan saran kepada pihak terkait dalam menerapkan produk ini.
1. Bagi Bank Muamalat Indonesia, meskipun pelaksanaan Musyarakah
Mutanaqisah pada produk PHSK telah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan dan fatwa yang berlaku, namun masih banyak
kerancuan dan ketidakjelasan dalam klausula dan rincian akad, sehingga
diperlukan rekonstruksi akad dan klausula agar dapat lebih dipahami.
2. Perjanjian atau akad pemberian kuasa atas rumah yang menjadi objek
pembiayaan dalam PHSK dan perjanjian pemberian kuasa atas hunian
kepada bank sebaiknya dilakukan dengan akta otentik yang bersifat
notariil, sehingga kedudukan nasabah dan bank menjadi lebih kuat secara
hukum dibandingkan hanya dibuat dengan akta di bawah tangan.
3. Bagi Bank Muamalat Indonesia, untuk sesegera mungkin mencari
alternatif penerapan yang paling tepat dengan prinsip syariah terkait
dengan sertifikat kepemilikan objek pembiayaan dalam PHSK. Karena,
bagaimanapun juga, pencantuman nama nasabah di awal perjanjian
bahkan sebelum adanya pelunasan sama sekali dari nasabah, adalah
melanggar ketentuan dalam Fatwa MMQ.
4. Bagi Bank Muamalat Indonesia, agar tidak membebankan biaya kepada
nasabah secara penuh. Diharapkan kedepannya ada ketegasan dalam
pelaksanaan musyarakah, bahwa seluruh biaya harus ditanggung bersama
kedua belah pihak.
5. Bagi regulator dan pemerintah, seharusnya melindungi perbankan syariah
dengan menerbitkan aturan-aturan yang lebih mengakomodasi
kepentingan dari perbankan syariah, tidak hanya bagi bank umum
konvensional. Sehingga kedepannya bank syariah dapat menjadi
independen dan kuat serta tidak harus mengikuti peraturan yang
ditetapkan bagi perbankan konvensional.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Al-Quran Al Karim dan Terjemahannya. Jakarta: Penerbit Syaamil. 2007. Indonesia.
Asy-Syafrowi, Mahmud. Mengundang Malaikat ke Rumah. Yogyakarta: Mutiara
Media. 2010.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Cet. 11. Jakarta:
Gema Insani. 2007.
Al-Qardhawi, Yusuf. Bunga Bank Haram (Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-
Haram). Penerjemah: Dr. Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana. 2002.
Ascarya. Akad dan Produk Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007.
Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan & Perasuransian Syariah Di
Indonesia. Jakarta: Kencana. 2004.
Dewi, Gemala, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti. Hukum Perikatan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana dan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. 2006.
Fuady, Munir. Hukum tentang Pembiayaan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Hermansyah, S.H., M.Hum. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Ed. Rev.
Cet. 6. Jakarta: Kencana. 2011.
Karim, Adiwarman A., S.E., M.B.A., M.A.E.P. Bank Islam: Analisis Fiqih dan
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2004.
Nazir, Habib dan Muh. Hasan. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syari’ah.
Bandung: Kaki Langit. 2004.
Perwataatmadja, Karnaen A. dan H. Muhammad Syafi’i Antonio. Apa dan
Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1992.
______. Prinsip Operasional Bank Islam. Jakarta: Risalah Masa. 1992. Sjahdeini,
Sutan Remy. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam tata Hukum
Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1999. Hlm. 4.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 2010.
Sri Mamudji, et.al. Metode Penulisan dan Penelitian Hukum. Depok: Badan Penerbit
Alumni. 2005.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Karya ilmiah Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Raja Grafindo. 1994.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers. 1997. Tim Pengembangan
Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia. Bank Syari’ah: Konsep, Produk
dan Implementasi Operasional. Jakarta: Djambatan. 2003.
Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2002
Wirdyaningsih, SH., MH. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana
2005.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia, Undang-undang tentang Perbankan Syari’ah. UU No. 21 Tahun 2008, LN
No. 94 Tahun 2008.
______. Undang-undang tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. UU No. 7 Tahun 1992, LN No. 31
Tahun 1992, TLN. No. 3472.
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah. PBI Nomor 7/46/PBI/2005.
______. Peraturan Bank Indonesia Tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah. PBI No.10/17/PBI/2008. LN Tahun 2008 NO. 137 DPbS. TLN NO.
4897.
______. Peraturan Bank Indonesia Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank
Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah. PBI No. 13/13 /PBI/2011. LN
Tahun 2011 No. 40 DPbS. TLN No. 5205 DPbS.
______. Surat Keputusan Direksi tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan
Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum. SK Dir BI Nomor
27/162/KEP/DIR 31 Maret 1995.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Fatwa tentang Musyarakah
Mutanaqishah. Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008.
______. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia tentang
Pembiayaan Ijarah. Nomor 09/DSN-MUI/IV/2000.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
______. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia tentang
Pembiayaan Musyarakah. Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000.
Ikatan Akuntan Indonesia. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan tentang
Akuntansi Musyarakah. PSAK Nomor 106, tertanggal 27 Juni 2007.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Cet. 33. diterjemahkan
oleh Subekti dan Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita. 2003.
MAKALAH Hosen, M. Nadratuzzaman, Ms., M.Sc, Ph.D, Musyarakah Mutanaqisah
http://www.beritakuliah.com/MUSYARAKAH-MUTANAQISHAH-Dr.-Ir.-
M.-Nadratuzzaman-Hosen,-Ms.,-M.Sc.
Wangsawidjaja Z, A., Akad Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah: Tinjauan dari
Perspektif Hukum, makalah disampaikan dalam workshop tentang Program
Pembiayaan Perumahan Secara Prinsip Syariah (KPR iB) Khususnya terkait
Musyarakah Mutanaqisah, Jakarta 29 November 2010.
INTERNET Profil Bank Muamalat Indonesia dalam website resmi Bank Muamalat Indonesia.
http://www.muamalatbank.com/index.php/home/about/profile. (diakses pada
17 April 2012).
Website Resmi Bank Muamalat, Produk dan Layanan Muamalat,
http://www.muamalatbank.com/index.php/home/produk/giro_institusi,
(diakses 17 April 2012).
Media Expose Situs Resmi Bank Muamalat Indonesia, http://www.muamalatbank
.com/ index.php/home/news/media_expose/965
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.
Universitas Indonesia
Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia, artikel pada kolom informasi situs resmi
Bank Indonesia, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+Syariah/.
Ali Rama, Proyeksi Perbankan Syariah 2012, artikel pada Harian Republika, 3
Januari 2012, http://koran.republika.co.id/koran/24/151317/ Proyeksi
Perbankan _Syariah_2 012.
LAIN-LAIN Bank Muamalat. Panduan Produk Nomor 01/RPDD/PMBY/2010 (Panduan
Pembiayaan iB Syariah Kongsi. 2010.
Bank Muamalat. Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia Tahun 2010. 2010.
Pembiayaan pemilikan..., Agisa Muttaqien, FH UI, 2012.