STRATEGI PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN MANGGARAI ...
UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367072-PR-Linda...
Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367072-PR-Linda...
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKERDI APOTEK KESELAMATAN JALAN KESELAMATAN NO.27
MANGGARAI JAKARTA SELATAN
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
LINDA JULI ASTUTI, S.Farm.12063297701206330204
ANGKATAN LXXVII
FAKULTAS FARMASIPROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOKJANUARI 2014
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKERDI APOTEK KESELAMATAN JALAN KESELAMATAN NO.27
MANGGARAI JAKARTA SELATAN
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
LINDA JULI ASTUTI, S.Farm.12063297701206330204
ANGKATAN LXXVII
TRI VITA PRATIWI, S. Farm.1206330204
FAKULTAS FARMASIPROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOKJANUARI 2014
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya Ilmiah ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Linda Juli Astuti, S. Farm.
NPM : 1206329770
Tanda Tangan :
Tanggal : 16 Januari 2014
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Praktek Kerja Profesi ini diajukan oleh:Nama : Linda Juli Astuti, S.Farm.NPM : 1206329770Program Studi : Program Profesi ApotekerJudul Laporan : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Keselamatan
No.27 Manggarai Jakarta Selatan
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterimasebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelarApoteker pada Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi,Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat, rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) dan menyusun laporan ini tepat waktu. Penyusunan laporan ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Apoteker pada
Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Penulis
menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah
sulit bagi penulis untuk menyelesaikan laporan ini. Dalam kesempatan ini, dengan
segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat
kepada:
1. Dra. Azizahwati, M.S., Apt. selaku Apoteker Pengelola Apotek dan
Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan
pengetahuan kepada penulis selama pelaksanaan dan penyusunan laporan
PKPA ini.
2. Dr. Dra. Nelly Dhevita Leswara, M.Sc., Apt. selaku Pembimbing II yang
telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama penyusunan
laporan PKPA ini.
3. Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Indonesia.
4. Prof. Dr. Yahdiana Harahap, MS, Apt selaku Pjs. Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia sampai dengan 20 Desember 2013.
5. Dr. Harmita Apt, selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia sekaligus Pembimbing Akademis yang telah
memberikan arahan dan bimbingan selama masa perkuliahan.
6. Seluruh tenaga kerja Apotek Keselamatan yang telah memberikan bantuan
dan kerja sama yang baik selama penulis melaksanakan PKPA.
7. Seluruh dosen Fakultas Farmasi Universitas Indonesia atas segala ilmu
pengetahuan dan bimbingannya selama ini.
8. Orang tua dan keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan moril
dan finansial selama masa perkuliahan hingga saat ini.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
vi
9. Teman-teman seperjuangan di Apotek Keselamatan atas kerjasama selama
pelaksanaan PKPA.
10. Teman-teman Apoteker Angkatan LXXVII atas bantuan dan kerjasama
selama masa perkuliahan.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu atas segala
bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada penulis selama
penyusunan laporan PKPA ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan PKPA ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis dengan senang hati menerima segala kritik
dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap
semoga pengetahuan dan pengalaman yang penulis peroleh selama menjalani
PKPA ini dapat memberikan manfaat bagi rekan-rekan sejawat dan semua pihak
yang membutuhkan.
Penulis
2014
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASIKARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:Nama : Linda Juli Astuti, S.Farm.NPM : 1206329770Program Studi : Profesi ApotekerFakultas : FarmasiJenis karya : Laporan Praktek Kerja
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Keselamatan JalanKeselamatan No. 27 Manggarai Jakarta Selatan
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas RoyaltiNoneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan namasaya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : DepokPada tanggal : 16 Januari 2014
Yang menyatakan
(Linda Juli Astuti, S.Farm.)
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
viii
ABSTRAK
Nama : Linda Juli Astuti, S. Farm.Program Studi : FarmasiJudul :.Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek
Keselamatan Jalan Keselamatan No. 27 Manggarai JakartaSelatan
Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang menunjang upayapelayanan kesehatan. Apotek adalah suatu sarana pelayanan kesehatan, tempatpengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan, tempatdilakukannya praktek kefarmasian dan tempat penyaluran perbekalan farmasikepada masyarakat. Keberadaan apotek di lingkungan masyarakat ditujukan untukmenjamin tersedianya sediaan farmasi yang cukup bagi masyarakat. Untukmencapai tujuan ini, maka apoteker perlu mengetahui bagaimana cara melakukanpengelolaan sediaan farmasi yang tepat sehingga sediaan farmasi selalu tersedia diapotek dan siap disalurkan pada masyarakat yang memerlukan. Praktek KerjaProfesi Apoteker (PKPA) dilakukan pada 17 Juni – 26 Juli 2013 di ApotekKeselamatan agar calon apoteker memiliki bekal pengetahuan dan pemahamantentang apotek yaitu dalam hal pelaksanaan pelayanan kefarmasian danpengelolaan apotek. Melalui PKPA tersebut, diharapkan calon apoteker dapatmeningkatkan wawasan, pengetahuan dan keterampilan dalam melakukanpengelolaan sediaan farmasi dan pelayanan pasien di apotek.
Kata Kunci :. Apotek Keselamatan, Pharmaceutical care, PelayananKefarmasian, Praktek Kerja Profesi Apoteker.
Tugas Umum : xiv + 68 halaman; 23 lampiranTugas Khusus : iv + 33 halaman; 1 lampiranDaftar Acuan Tugas Umum : 27 (1969-2013)Daftar Acuan Tugas Khusus : 19 (1992-2012)
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
ix
ABSTRACT
Name : Linda Juli Astuti, S. Farm.Study Program : PharmacyTitle : Report of Pharmacist Internship Program at Keselamatan
Pharmacy Jalan Keselamatan No. 27 Manggarai SouthJakarta
Pharmacy is one of the health care facilities that support the health care effort.Pharmacy is a health care facility, where the pharmacist profession has devotedoath of occupation can do their responsibility, the place where practice ofpharmacy and distribution of pharmaceuticals to the public. The existence ofcommunity pharmacies in the environment intended to ensure sufficientavailability of pharmaceutical preparations for the community. To achieve thisgoal, the pharmacist needs to know how to do a proper management ofpharmaceutical preparations so that the pharmaceutical preparation is alwaysavailable at pharmacies and ready to be distributed to people in need. PharmacistInternship Program ( PKPA ) conducted on June 17th to July 26th 2013 in theKeselamatan Pharmacy for prospective pharmacists have the knowledge andunderstanding of the pharmacy that is in terms of the implementation of pharmacyservices and pharmacy management. Through the PKPA, prospective pharmacistsis expected to increase the insight, knowledge and skills in managing patient careand pharmaceutical preparations in pharmacy.
Keyword : Keselamatan Pharmacy, Pharmaceutical Care,Pharmaceutical Services, Pharmacist Internship Program.
General Assignment : xiv + 68 pages; 23 appendixesSpecific Assignment : iv + 33 pages; 1 appendixBibliography of General Assignment : 27 (1969-2013)Bibliography of Specific Assignment : 19 (1992-2012)
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL................................................................................ iHALAMAN JUDUL ................................................................................... iiHALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... iiiHALAMAN PENGESAHAN..................................................................... ivKATA PENGANTAR................................................................................. vHALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR ............... viiABSTRAK .................................................................................................. viiiABSTRACT................................................................................................. ixDAFTAR ISI................................................................................................ xDAFTAR GAMBAR................................................................................... xiiDAFTAR TABEL ....................................................................................... xiiiDAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 11.1 Latar Belakang......................................................................... 11.2 Tujuan ...................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN UMUM........................................................................ 32.1 Definisi Apotek........................................................................ 32.2 Landasan Hukum Apotek ........................................................ 32.3 Tugas dan Fungsi Apotek ........................................................ 42.4 Studi Kelayakan Pendirian Apotek.......................................... 52.5 Tata Cara Perizinan Apotek ..................................................... 62.6 Persyaratan Sarana dan Prasarana Apotek............................... 82.7 Pencabutan Izin Apotek ........................................................... 112.8 Apoteker Pengelola Apotek ..................................................... 122.9 Pengalihan Tanggung Jawab Apoteker.................................... 132.10 Pengelolaan Apotek ................................................................. 142.11 Sediaan Farmasi ....................................................................... 152.12 Pelayanan Apotek .................................................................... 242.13 Pengadaan Persediaan Apotek ................................................. 332.14 Pengendalian Persediaan Apotek............................................. 342.15 Strategi Pemasaran Apotek ...................................................... 41
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS APOTEK KESELAMATAN .................. 433.1 Pendahuluan............................................................................. 433.2 Lokasi dan Tata Ruang ............................................................ 433.3 Sumber Daya Manusia dan Struktur Organisasi...................... 443.4 Tugas dan Fungsi Tiap Jabatan................................................ 443.5 Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Lainnya............ 463.6 Pelayanan Apotek .................................................................... 493.7 Pengelolaan Narkotika ............................................................. 513.8 Pengelolaan Psikotropika......................................................... 52
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
xi
3.9 Kegiatan Administrasi dan Keuangan ..................................... 53
BAB 4 PEMBAHASAN .............................................................................. 56
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 655.1 Kesimpulan .............................................................................. 655.2 Saran ........................................................................................ 65
DAFTAR ACUAN....................................................................................... 66
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Penandaan obat bebas .............................................................. 15Gambar 2.2 Penandaan obat bebas terbatas................................................. 15Gambar 2.3 Penandaan obat keras............................................................... 17Gambar 2.4 Penandaan obat narkotika. ....................................................... 18Gambar 2.5 Diagram model pengendalian persediaan ................................ 38
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penggolongan tanda peringatan obat bebas terbatas. ................. 16Tabel 2.2 Matriks analisis ABC-VEN........................................................ 40
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh formulir model APT-1.............................................. 69Lampiran 2. Contoh formulir model APT-2.............................................. 71Lampiran 3. Contoh formulir model APT-3.............................................. 72Lampiran 4. Contoh formulir model APT-4.............................................. 78Lampiran 5. Contoh formulir model APT-5.............................................. 79Lampiran 6. Contoh formulir model APT-6.............................................. 82Lampiran 7. Contoh formulir model APT-7.............................................. 83Lampiran 8. Surat pesanan narkotika ........................................................ 84Lampiran 9. Laporan narkotika SIPNAP. ................................................. 85Lampiran 10. Surat pesanan psikotropika ................................................... 88Lampiran 11. Laporan psikotropika SIPNAP.............................................. 89Lampiran 12. Lokasi Apotek Keselamatan. ................................................ 91Lampiran 13. Denah ruangan Apotek Keselamatan .................................... 92Lampiran 14. Desain eksterior Apotek Keselamatan .................................. 93Lampiran 15. Desain obat-obat OTC Apotek Keselamatan ........................ 94Lampiran 16. Desain obat-obat ethical Apotek Keselamatan ..................... 95Lampiran 17. Surat pesanan Apotek Keselamatan ...................................... 96Lampiran 18. Tanda terima tukar faktur Apotek Keselamatan ................... 97Lampiran 19. Kartu stok barang Apotek Keselamatan................................ 98Lampiran 20. Etiket obat Apotek Keselamatan........................................... 99Lampiran 21. Salinan resep Apotek Keselamatan....................................... 100Lampiran 22. Kuitansi Apotek Keselamatan............................................... 101Lampiran 23. Alur penerimaan barang di Apotek Keselamatan ................. 102
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Oleh karena itu setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan prinnsip non-diskriminatif,
partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi
pembentukan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, peningkatan ketahanan
dan daya saing bangsa dan pembangunan nasioal.
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh
dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.
Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan
promotif, preventif kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu,
menyeluruh serta berkesinambungan.. Pembangunan sarana-sarana pelayanan
kesehatan termasuk di dalam upaya kesehatan. Hal ini dimaksudkan agar
masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan dengan baik dan optimal sehingga
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat (Presiden
RI, 2009).
Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang menunjang
upaya pelayanan kesehatan.. Apotek adalah suatu sarana pelayanan kesehatan,
tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan,
tempat dilakukannya praktek kefarmasian dan tempat penyaluran perbekalan
farmasi kepada masyarakat.
Keberadaan apotek di lingkungan masyarakat ditujukan untuk menjamin
tersedianya sediaan farmasi yang cukup bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan
ini, maka apoteker perlu mengetahui bagaimana cara melakukan pengelolaan
sediaan farmasi yang tepat sehingga sediaan farmasi selalu tersedia di apotek dan
siap disalurkan pada masyarakat yang memerlukan. Pengelolaan sediaan farmasi
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
2
Universitas Indonesia
oleh apoteker merupakan suatu siklus yang berkesinambungan, dimulai dari tahap
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, distribusi, pemantauan,
evaluasi dan kembali lagi pada tahap perencanaan. Keterampilan seorang apoteker
dalam mengendalikan siklus pengelolaan sediaan farmasi akan menentukan
keberhasilan suatu apotek dalam menjalankan fungsinya bagi masyarakat
(Presiden RI, 2009).
Berdasarkan hal tersebut, Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia mengadakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di
apotek bagi para calon apoteker sebagai salah satu upaya untuk menyiapkan para
calon apoteker agar memiliki bekal pengetahuan dan pemahaman tentang apotek
yaitu dalam hal pelaksanaan pelayanan kefarmasian dan pengelolaan apotek.
Salah satu apotek yang menjadi tempat pelaksanaan PKPA tersebut ialah Apotek
Keselamatan. Melalui PKPA di Apotek Keselamatan yang dilaksanakan mulai
tanggal 17 Juni hingga 26 Juli 2013, diharapkan calon apoteker dapat
meningkatkan wawasan, pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan
pengelolaan sediaan farmasi dan pelayanan pasien di apotek.
1.2 Tujuan
Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Keselamatan bertujuan agar calon
apoteker:
a Mengetahui dan memahami peran seorang apoteker dalam pengelolaan
apotek yang meliputi kegiatan administrasi, manajemen keuangan,
pengadaan, penyimpanan dan penjualan perbekalan farmasi.
b Mempelajari dan memahami praktek pelayanan kefarmasian terhadap pasien
di apotek secara profesional sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan etika yang berlaku dalam sistem pelayanan kefarmasian di Indonesia.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
3 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN UMUM
2.1. Definisi Apotek
Definisi apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002 yaitu sebagai suatu tempat tertentu
dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan
kesehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 1, yang
dimaksud dengan apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan
praktek kefarmasian oleh apoteker.
Menurut PP No 51 tahun 2009, pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat atau penyaluran obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional. Pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh
apoteker meliputi pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan kualitas kehidupan pasien.
2.2. Landasan Hukum Apotek
Dalam menjalankan praktik kefarmasiannya, apotek sebagai fasilitas
pelayanan kefarmasian berlandaskan pada:
a. Undang-Undang Negara:
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan.
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang
Psikotropika.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
4
Universitas Indonesia
b. Peraturan Pemerintah:
1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Pekerjaan Kefarmasian.
2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang
Apotek.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek.
c. Peraturan Menteri Kesehatan:
1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja
Tenaga Kefarmasian.
2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
922/Menkes/Per/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin
Apotek.
d. Keputusan Menteri Kesehatan:
1) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek.
2) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 Tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
2.3 Tugas dan Fungsi Apotek
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
1980, tugas dan fungsi apotek adalah sebagai berikut :
a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
5
Universitas Indonesia
b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran dan penyerahan atau obat atau bahan obat.
c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang
diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
2.4 Studi Kelayakkan Pendirian Apotek
Studi kelayakan (feasibility study) adalah suatu metode penjajakan
gagasan (idea) suatu proyek dalam hal ini adalah pendirian usaha apotek,
mengenai kemungkinan usaha tersebut layak atau tidak untuk dilaksanakan.
Fungsi dari studi kelayakan sebagai pedoman pelaksanaan pekerjaan karena
dibuat berdasarkan data-data dari berbagai sumber yang dianalisis dari banyak
aspek. Keberhasilan studi kelayakan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
kemampuan sumber daya internal (kemampuan manajemen, kualitas pelayanan
dan produk) dan lingkungan eksternal (pertumbuhan pasar, pesaing dan perubahan
peraturan) (Umar, 2011).
Tahapan pembuatan studi kelayakan terdiri dari tahap penemuan gagasan,
penelitian lapangan, evaluasi data, pembuatan rencana dan pelaksanaan rencana
kerja. Pada tahap penemuan gagasan, harus selalu diperhatikan tentang kriteria
gagasan yang baik untuk selanjutnya didiskusikan dan dianalisis. Adapun kriteria
gagasan yang baik adalah sesuai dengan visi organisasi, menguntungkan
organisasi, sesuai dengan kemampuan sumber daya organisasi, tidak bertentangan
dengan peraturan yang berlaku dan aman untuk jangka panjang. Apabila hasil
analisis gagasan memberikan gambaran yang baik bagi organisasi di masa
mendatang, maka gagasan tersebut ditindaklanjuti dengan penelitian di lapangan.
Data-data yang dibutuhkan saat melakukan penelitian lapangan adalah data ilmiah
(nilai strategis lokasi, data kelas konsumen, peraturan yang berlaku dan tingkat
persaingan) dan data non ilmiah (intuisi yang diperoleh setelah melihat lokasi dan
kondisi lingkungan di sekitarnya) (Umar, 2011).
Menurut Umar (2011), setelah penelitian lapangan selesai dilakukan, data-data
hasil penelitian tersebut dievaluasi dengan cara:
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
6
Universitas Indonesia
a. Memperhatikan beberapa faktor yang berpengaruh, yang terdiri dari faktor
eksternal (tipe konsumen, tingkat keuntungan yang akan diperoleh, kondisi
keamanan, peraturan yang berlaku) dan faktor internal (keuangan, produk,
tenaga kerja, kemampuan manjemen).
b. Membuat usulan proyek yang meliputi:
1) Pendahuluan, mengenai latar belakang dan tujuan.
2) Analisis teknis, mengenai peta lokasi dan lingkungan sekitar, desain
interior dan eksterior, serta jenis produk.
c. Analisis pasar, mengenai potensi pasar dan target pasar.
d. Analisis manajemen, mengenai struktur organisasi, jenis pekerjaan, jumlah
kebutuhan tenaga kerja, dan program kerja.
e. Analisis keuangan, mengenai jumlah biaya investasi dan modal kerja, sumber
pendanaan, dan aliran kas.
Apabila usulan proyek disetujui, maka dilakukan penetapan waktu untuk
memulai pekerjaan sesuai dengan skala prioritas seperti penyediaan dana biaya
investasi dan modal kerja, pengurusan izin, pembangunan gedung, perekrutan
karyawan, penyiapan barang dagangan, pelaksanaan operasional. Dalam
pelaksanaan setiap jenis pekerjaan, dibuat suatu format yang berisi jadwal
pelaksanaan pekerjaan, catatan penyimpangan yang terjadi dan hasil evaluasi serta
solusi penyelesaiannya.
2.5 Tata Cara Perizinan Apotek
Apoteker Pengelola Apotek wajib memiliki Surat Izin Apotek sebelum
melaksanakan pekerjaan kefarmasian di apotek (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 1993). Surat Izin Apotek atau SIA adalah surat izin yang diberikan
kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana untuk
menyelenggarakan apotek di suatu tempat tertentu. Surat izin ini diberikan oleh
Menteri Kesehatan yang kemudian dilimpahkan wewenang pemberian izin apotek
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin,
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
7
Universitas Indonesia
pencairan izin dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri dan
tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2002). Izin apotek berlaku untuk seterusnya
selama apotek yang bersangkutan masih aktif melakukan kegiatan dan Apoteker
Pengelola Apotek dapat melaksanakan pekerjaannya dan masih memenuhi
persyaratan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1993).
Adapun prosedur untuk mendapatkan SIA adalah sebagai berikut
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1993; Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2002) :
a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-1
(Lampiran 1).
b. Dengan menggunakan Formulir APT-2 (Lampiran 2), Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah
menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai
POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk
melakukan kegiatan.
c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-
lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala
Dinas Kesehatan kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat
dengan menggunakan contoh formulir APT-3 (Lampiran 3).
d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud nomor (b) dan nomor (c)
tidak dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan siap
melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dengan
menggunakan contoh formulir Model APT-4 (Lampiran 4).
e. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud nomor (c) atau nomor (d), Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat Izin Apotek dengan
menggunakan contoh Formulir Model APT-5 (Lampiran 5).
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
8
Universitas Indonesia
f. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau
Kepala Balai POM sebagaimana dimaksud nomor (c) masih belum memenuhi
syarat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12
(dua belas) hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan dengan menggunakan
contoh Formulir Model APT-6 (Lampiran 6).
g. Terhadap surat penundaan sebagaimana dimaksud dalam nomor (f), Apoteker
diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat
penundaan.
h. Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud nomor (e) dan atau nomor (f), atau lokasi apotek tidak
sesuai permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari kerja wajib
mengeluarkan surat penolakan disertai dengan alasan-alasannya dengan
mempergunakan contoh Formulir Model APT-7 (Lampiran 7).
Bila apoteker menggunakan sarana milik pihak lain dalam pendirian
apotek dengan mengadakan kerja sama dengan pemilik sarana apotek, maka harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 1993):
a. Penggunaan sarana apotek yang dimaksud, wajib didasarkan atas perjanjian
kerja sama antara apoteker dan pemilik sarana.
b. Pemilik sarana yang dimaksud harus memenuhi persyaratan tidak pernah
terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat
sebagaimana dinyatakan dalam surat pernyataan yang bersangkutan.
2.6 Persyaratan Sarana dan Prasarana Apotek
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
922/MENKES/SK/X/1993 pasal 6 disebutkan persyaratan-persyaratan pendirian
apotek sebagai berikut:
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
9
Universitas Indonesia
a. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerjasama
dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan, harus siap dengan
tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang
lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.
b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan
komoditi yang lain diluar sediaan farmasi.
c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain diluar
sediaan farmasi.
Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam pendirian sebuah
apotek adalah tempat atau lokasi, bangunan, perlengkapan apotek, tenaga kerja
apotek dan perbekalan farmasi (Umar, 2011):
a. Tempat/lokasi
Persyaratan jarak minimum antar apotek tidak dipermasalahkan lagi,
namun ketentuan ini dapat berbeda sesuai dengan kebijakan/peraturan daerah
masing-masing. Lokasi apotek dapat dipilih dengan mempertimbangkan segi
pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, jumlah praktek dokter, sarana
pelayanan kesehatan lain, sanitasi dan faktor-faktor lainnya.
b. Bangunan
Suatu apotek harus mempunyai bangunan yang memenuhi persyaratan
teknis sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek.
Suatu apotek minimal memiliki ruang tunggu pasien, ruang peracikan dan
penyerahan obat, ruang administrasi dan ruang kerja apoteker, tempat pencucian
alat dan kamar kecil. Bangunan apotek dilengkapi dengan sumber air yang
memenuhi syarat kesehatan, sumber penerangan yang memadai, alat pemadam
kebakaran, ventilasi dan sanitasi yang baik serta papan nama apotek.
c. Perlengkapan apotek
Suatu apotek baru yang ingin beroperasi harus memiliki perlengkapan
apotek yang memadai agar dapat mendukung pelayanan kefarmasiannya.
Perlengkapan apotek yang harus dimiliki antara lain:
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
10
Universitas Indonesia
1) Peralatan pembuatan, pengolahan dan peracikan seperti gelas ukur (10 ml,
100 ml dan 250 ml), labu erlenmeyer (100 ml, 250 ml, 1 L), gelas piala (100
ml, 500 ml dan 1L), panci pengukur 1L, corong berbagai ukuran, timbangan
miligram dan gram dengan anak timbangan yang sudah ditara, termometer,
mortir berdiameter 5-10 cm dan 10-15 cm beserta alu, spatel
logam/tanduk/plastik dan porselen, cawan penguap porselen diameter 5-15
cm, batang pengaduk dan pemanas air, kompor/alat pemanas yang sesuai,
panci dan rak tempat pengeringan alat.
2) Peralatan dan tempat penyimpanan alat perbekalan farmasi seperti lemari
obat, lemari pendingin (kulkas) dan lemari khusus untuk narkotika serta
psikotropika.
3) Wadah pengemas dan pembungkus.
4) Perlengkapan administrasi, seperti blanko pesanan, salinan resep, buku
catatan penjualan, buku catatan pembelian, kartu stok obat dan kuitansi.
5) Buku wajib (Farmakope Indonesia) dan literatur penunjang lainnya yang
dibutuhkan seperti Informasi Spesialite Obat (ISO), MIMS dan buku tentang
peraturan/undang-undang yang berhubungan dengan kegiatan apotek.
d. Tenaga kerja apotek
Tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan operasional apotek yaitu:
1) Apoteker Pengelola Apotek (APA), yaitu apoteker yang telah diberi SIA.
2) Apoteker pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping
APA dan/atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek.
3) Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam
menjalani pekerjaan kefarmasian. Tenaga teknis kefarmasian terdiri dari
sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analisis farmasi dan tenaga menengah
farmasi/asisten apoteker.
4) Tenaga non kefarmasian, seperti tenaga administrasi, kasir dan petugas
kebersihan.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
11
Universitas Indonesia
2.7 Pencabutan Izin Apotek
Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat
dikenakan sanksi, baik sanksi adminsitratif maupun sanksi pidana. Sanksi
administratif yang diberikan menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 adalah pencabutan surat izin
apotek yang dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pencabutan
izin dilakukan apabila:
a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai APA.
b. Apoteker tidak memenuhi kewajiban yang seharusnya dilakukan.
c. APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus-
menerus.
d. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang obat.
e. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) APA dicabut.
f. Pemilik Sarana Apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-
undangan di bidang obat.
g. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan untuk memperoleh izin apotek.
Adapun pelaksanaan pencabutan izin apotek dilakukan setelah dikeluarkan:
a. Peringatan secara tertulis kepada APA sebanyak 3 kali berturut-turut dengan
tenggang waktu masing-masing 2 bulan.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan apotek.
Apabila SIA dicabut, APA atau apoteker pengganti wajib mengamankan
perbekalan farmasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengamanan yang dilakukan wajib mengikuti tata cara sebagai berikut:
a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, psikotropika,
obat keras tertentu dan obat lainnya serta seluruh resep yang tersedia di
apotek.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
12
Universitas Indonesia
b. Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang
tertutup dan terkunci.
c. APA wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi
yang dimaksud dalam huruf (a).
Pembekuan izin apotek dapat dicairkan kembali apabila apotek telah
membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Pencairan izin apotek dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan
dari Tim Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
2.8 Apoteker Pengelola Apotek
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek, apotek harus dikelola oleh seorang apoteker
yang profesional dengan kompetensi sebagai berikut:
a. Mampu menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik.
Apoteker sebagai pengelola apotek harus dapat memberikan pelayanan
kefarmasian yang profesional. Dalam memberikan pelayanan, apoteker harus
dapat mengintegrasikan pelayanannya dalam sistem pelayanan kesehatan secara
keseluruhan sehingga dihasilkan sistem pelayanan kesehatan yang
berkesinambungan.
b. Mampu untuk mengambil keputusan profesional.
Apoteker harus mampu mengambil keputusan yang tepat, yang
berdasarkan pada efikasi, efektifitas dan efisiensi penggunaan obat dan alat
kesehatan.
c. Mampu berkomunikasi dengan baik.
Apoteker harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik dengan
pasien dan profesi kesehatan lainnya secara verbal dan nonverbal serta
menggunakan bahasa yang sesuai dengan pendengarnya.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
13
Universitas Indonesia
d. Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner.
Apoteker harus mampu menjadi pemimpin, yaitu mampu mengambil
keputusan yang tepat dan efektif, mampu mengkomunikasikannya, dan mampu
mengelola hasil keputusan tersebut.
e. Mempunyai kemampuan dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik,
anggaran) dan informasi secara efektif.
f. Harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan.
g. Selalu belajar di sepanjang kariernya.
Apoteker harus selalu belajar, baik pada jalur formal maupun informal,
disepanjang kariernya sehingga ilmu dan keterampilan yang dipunyai selalu baru
(up to date).
h. Membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan
pengetahuan.
Apoteker mempunyai tanggung jawab mendidik dan melatih sumber daya
yang ada, serta memberi kesempatan untuk memperoleh pengalaman yang dapat
meningkatkan keterampilan.
2.9 Pengalihan Tanggung Jawab Apoteker
Pengalihan tanggung jawab apoteker dalam sebuah apotek diatur dalam
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/SK/X/2002 (Pasal 19 dan
24) dimana tanggung jawab pengelolaan apotek dapat dialihkan dalam
kondisi sebagai berikut:
a. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, APA
harus menunjuk apoteker pendamping.
b. Apabila APA dan apoteker pendamping berhalangan melakukan tugasnya,
APA menunjuk Apoteker pengganti. Apoteker yang menggantikan APA
selama APA tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus-
menerus, telah memiliki SIPA dan tidak bertindak sebagai APA di apotek lain
yang disebut apoteker pengganti.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
14
Universitas Indonesia
c. Penunjukkan apoteker pendamping dan apoteker pengganti harus dilaporkan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
d. Apabila APA meninggal dunia, dalam jangka waktu dua kali dua puluh empat
jam, ahli waris APA wajib melaporkan kejadian tersebut secara tertulis
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Apabila pada apotek
tersebut tidak terdapat Apoteker pendamping, maka pelaporan kejadian wajib
mengikutsertakan penyerahan resep, narkotika, psikotropika, obat keras dan
kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika. Kejadian penyerahan
tersebut dibuat Berita Acara Serah Terima dengan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat,dengan tembusan Kepala Balai POM setempat.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 922/Menkes/Per/X/1993
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, setiap pengalihan
tanggung jawab pengelolaan kefarmasian yang disebabkan karena penggantian
APA wajib dilakukan serah terima resep, narkotika obat dan perbekalan farmasi
lainnya, serta kunci-kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika.
2.10 Pengelolaan Apotek
Kegiatan pengelolaan apotek dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
pengelolaan teknis kefarmasian dan pengelolaan nonteknis kefarmasian. Kegiatan
pengelolaan nonteknis kefarmasian meliputi semua kegiatan administrasi,
keuangan, personalia, pelayanan komoditi selain perbekalan farmasi dan bidang
lainnya yang berhubungan dengan fungsi apotek.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
922/MENKES/PER/X/1993, pengelolaan apotek meliputi :
a. Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran,
penyimpanan dan penyerahan obat dan bahan obat.
b. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi
lainnya.
c. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
15
Universitas Indonesia
2.11 Sediaan Farmasi
Menurut PP No. 51 Tahun 2009 yang termasuk dalam sediaan farmasi
adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Untuk menjaga keamanan
penggunaan obat oleh masyarakat, maka pemerintah menggolongkan obat
menjadi obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, narkotika dan psikotropika
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1983).
2.11.1 Obat Bebas
Obat bebas adalah obat tanpa peringatan yang dapat diperoleh tanpa resep
dokter. Tanda khusus yang terdapat pada obat bebas adalah lingkaran bulat
berwarna hijau dengan garis tepi hitam (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 1983).
[Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1983]Gambar 2.1. Penandaan obat bebas
2.11.2 Obat bebas terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat dengan peringatan, yang dapat diperoleh
tanpa resep dokter. Tanda khusus yang terdapat obat bebas terbatas adalah
lingkaran bulat berwarna biru dengan garis tepi hitam (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 1983).
[Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1983]Gambar 2.2. Penandaan obat bebas terbatas
Pada golongan obat bebas terbatas harus mencantumkan tanda peringatan
pada wadah atau kemasan berwarna hitam dengan ukuran panjang 5 cm dan lebar
2 cm atau disesuaikan dengan kemasan dan memuat pemberitahuan dengan huruf
berwarna putih (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1969). Tanda
peringatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
16
Universitas Indonesia
Tabel 2.1. Penggolongan Tanda Peringatan Obat Bebas Terbatas
Penggolongan Tanda Peringatan Gambar Tanda Peringatan
Tanda P no.1
Tanda P no.2
Tanda P no.3
Tanda P no.4
Tanda P no.5
Tanda P no.6
[Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1983]
2.11.3 Obat keras daftar G
Obat keras adalah obat yang dapat diperoleh dengan resep dokter. Tanda
pada obat keras berupa lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi hitam
dengan huruf K yang menyentuh garis tepi dan harus mencantumkan kalimat
“Harus dengan Resep Dokter” (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
1986).
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
17
Universitas Indonesia
[Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1983]Gambar 2.3. Penandaan obat keras
2.11.4 Narkotika
Menurut Undang-undang No 35 Tahun 2009, narkotika adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semisintetis yang dapat menyebabkan penururnan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Narkotika dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
a. Narkotika Golongan I
Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, tidak digunakan dalam terapi dan
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh:
tanaman Papaver somniferum (kecuali bijinya), opium, kokain, heroin, psilosibin
dan amfetamin.
b. Narkotika Golongan II
Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: difenoksilat, metadon, morfin, petidin.
c. Narkotika Golongan III
Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Contoh: kodein, dihidrokodein, norkodein.
Tanda khusus yang terdapat pada narkotika adalah palang medali berwarna
merah dengan dasar putih.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
18
Universitas Indonesia
Gambar 2.4. Penandaan obat narkotika
2.11.4.1 Pengelolaan Narkotika
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, adanya pengaturan tentang
narkotika memiliki tujuan, antara lain :
a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
danatau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan narkotika.
c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
penyalahgunaan dan pencandu narkotika.
2.11.4.2 Perencanaan Narkotika
Narkotika termasuk salah satu sediaan farmasi sehingga perencanaan
narkotika sama seperti perencanaan sediaan farmasi. Kegiatan dalam perencanaan
narkotika meliputi penetapan jenis dan jumlah narkotika sesuai dengan kebutuhan.
Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah narkotika
mendekati kebutuhan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2004).
2.11.4.3 Pengadaan/Pemesanan Narkotika
Apoteker hanya dapat memesan narkotika melalui Pedagang Besar Farmasi
(PBF) yang telah ditunjuk khusus oleh Menteri Kesehatan yaitu PT. Kimia Farma
dengan tujuan untuk memudahkan pengawasan peredaran narkotika. Pemesanan
dilakukan dengan membuat surat pesanan narkotika asli yang terdiri dari empat
rangkap. Surat pesanan narkotika dilengkapi dengan nama dan tanda tangan APA,
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
19
Universitas Indonesia
nomor Surat Izin Apotek (SIA), tanggal dan nomor surat, alamat lengkap dan
stempel apotek. Satu surat pesanan hanya untuk satu jenis narkotika (Badan
Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2013). Contoh Surat Pesanan
Narkotika dapat dilihat dalam Lampiran 8.
2.11.4.4 Penyimpanan Narkotika
Berdasarkan Permenkes Nomor 28/MENKES/PER/V/1978 tentang
penyimpanan narkotika, apotek harus memiliki tempat khusus untuk penyimpanan
narkotika yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.
b. Harus mempunyai kunci yang kuat.
c. Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan; bagian pertama
dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin dan garam-garamnya serta
untuk persediaan, bagian kedua digunakan untuk menyimpan persediaan
narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.
d. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 x 80 x
100 cm, maka lemari tersebut harus dibaut pada tembok atau lantai.
e. Lemari harus dikunci dengan baik.
f. Lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan barang lain selain
narkotika.
g. Anak kunci lemari khusus harus dikuasai oleh penanggung jawab atau
pegawai lain yang dikuasakan.
h. Lemari khusus harus ditaruh di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh
umum.
2.11.4.5 Pelayanan/penyerahan Narkotika
Menurut Undang-undang nomor 35 tahun 2009 pasal 43, apotek hanya
dapat melakukan penyerahan narkotika kepada rumah sakit, Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas), apotek lainnya, balai pengobatan, dokter dan kepada
pasien berdasarkan resep dari dokter. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
20
Universitas Indonesia
tahun 1976 Pasal 7 suatu apotek dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas
dasar resep yang sama dari seorang dokter atau atas dasar salinan resep dokter.
Pada resep narkotika yang baru dilayani sebagian, apotek boleh membuat salinan
resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani di apotek yang
menyimpan resep asli tersebut. Apotek tidak boleh melayani resep yang berisi
narkotika dengan tulisan “iter” .
2.11.4.6 Pemusnahan Narkotika
Tujuan dilakukannya pemusnahan narkotika adalah menghapus
pertanggungjawaban apoteker terhadap pengelolaan narkotika, menjamin
narkotika yang sudah tidak memenuhi persyaratan dikelola sesuai dengan standar
yang berlaku dan mencegah penyalahgunaan bahan narkotika serta mengurangi
rsiko terjadinya penggunaan obat yang sub standar (Departemen Kesehatan RI,
2008).
Berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika bahwa
pemusnahan narkotika dilakukan ketika hasil produksi tanpa memenuhi standar
dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses
produksi, kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan
kesehatan dan/atau berkaitan untuk pengembangan ilmu pengetahuan atau
berkaitan dengan tindak pidana. Pemusnahan dilakukan oleh apotek disertai
dengan membuat Berita Acara pemusnahan narkotika dan dilaporkan kepada
pihak-pihak terkait. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.28/MENKES/PER/I/1978 Tentang Penyimpanan Narkotika dan Undang-
Undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, Berita Acara pemusnahan
memuat:
a. Keterangan tempat, hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan. Nama
pemegang izin khusus, apoteker pimpinan apotek dan dokter pemilik
narkotika.
b. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi dari perusahaan atau
badan tersebut.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
21
Universitas Indonesia
c. Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.
d. Cara pemusnahan.
e. Tanda tangan penanggung jawab apotek/pemegang izin khusus, dokter
pemilik narkotika dan saksi-saksi. Berita acara pemusnahan tersebut
dikirimkan kepada dibuat rangkap empat untuk ditujukan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala
Balai Pengawasan Obat dan Makanan, dan satu disimpan sebagai arsip di
apotek.
2.11.4.7 Pencatatan dan Pelaporan Narkotika
Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan
bahwa apotek wajib membuat, menyampaikan dan menyimpan laporan berkala
mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam
penguasaannya. Pelaporan penggunaan narkotika telah dikembangkan dalam
bentuk perangkat lunak atau program Sistem Pelaporan Narkotika dan
Psikotropika (SIPNAP) sejak tahun 2006 oleh Kementerian Kesehatan (Lampiran
9). SIPNAP adalah sistem yang mengatur pelaporan penggunaan narkotika dan
psikotropika dari unit layanan (puskesmas, rumah sakit dan apotek) ke Bina
Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan
menggunakan pelaporan elektronik melalui mekanisme pelaporan online yang
menggunakan fasilitas internet (Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
2.11.5 Psikotropika
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997, psikotropika adalah zat
atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika digolongkan
menjadi empat golongan :
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
22
Universitas Indonesia
a. Psikotropika Golongan I
Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta
mempunyai potensi sangat kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan.
Contoh: Psilosibin, lisergida.
b. Psikotropika Golongan II
Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh:
Amfetamin, deksamfetamin, metamfetamin, sekobarbital.
c. Psikotropika Golongan III
Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh:
amobarbital, pentazosin, pentobarbital, siklobarbital.
d. Psikotropika Golongan IV
Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
sangat khas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan.
Contoh: alobarbital, alprazolam, barbital, diazepam, fenobarbital, ketazolam.
2.11.5.1 Pengelolaan Psikotropika
Menurut Undang-undang No. 5 tahun 1997, psikotropika hanya dapat
digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau ilmu pengetahuan.
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :
a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan
dan ilmu pengetahuan.
b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.
c. Memberantas peredaran gelap psikotropika.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
23
Universitas Indonesia
2.11.5.2 Pemesanan Psikotropika
Pemesanan psikotropika dilakukan dengan menggunakan Surat Pesanan
Psikotropika yang ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIA
(Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2013) Contoh Surat
Pesanan Psikotropika dapat dilihat dalam Lampiran 10. Surat pesanan tersebut
dibuat rangkap tiga dan diberikan stempel apotek. Satu surat pesanan dapat
digunakan untuk memesan beberapa jenis psikotropika.
2.11.5.3 Penyimpanan Psikotropika
Penyimpanan psikotropika belum diatur di dalam perundang-undangan
atau peraturan lainnya. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika
maka sebaiknya obat golongan psikotropika disimpan pada rak atau lemari
khusus.
2.11.5.4 Penyerahan Psikotropika
Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek
lain, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan pasien. Penyerahan
psikotropika oleh apotek dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
2.11.5.5 Pemusnahan Psikotropika
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 pasal 53 disebutkan
bahwa pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal yang berhubungan
dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang
berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika,
kadaluwarsa dan tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan
kesehatan dan/atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Setiap pemusnahan
psikotropika, wajib dibuatkan berita acara.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
24
Universitas Indonesia
2.11.5.6 Pelaporan Psikotropika
Apotek berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan bulanan
melalui perangkat lunak atau program SIPNAP (Direktorat Jendral Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2010). Mekanisme pelaporan psikotropika sama dengan pelaporan narkotika.
Contoh laporan psikotropika dapat dilihat dalam Lampiran 11.
2.12 Pelayanan Apotek
Pelayanan Apotek diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
922/MENKES/PER/X/1993, meliputi :
a. Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan
perbekalan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin.
b. Apoteker wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
Pelayanan resep di apotek sepenuhnya atas tanggung jawab APA, sesuai
dengan tanggung jawab dan keahlian profesi yang dilandasi pada kepentingan
masyarakat.
c. Apoteker tidak diizinkan untuk menggantikan obat generik yang ditulis di
dalam resep dengan obat paten.
d. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep,
apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih
tepat.
e. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan
obat yang diserahkan kepada pasien dan penggunaan obat secara tepat, aman
dan rasional.
f. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau
penulisan resep yang tidak tepat, maka apoteker harus memberitahukan
kepada dokter penulis resep. Apabila karena pertimbangan tertentu dokter
penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib menyatakannya secara
tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep.
g. Salinan resep harus ditandatangani oleh Apoteker.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
25
Universitas Indonesia
h. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka
waktu tiga tahun.
i. Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis
resep, penderita yang bersangkutan atau yang merawat penderita, petugas
kesehatan atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-undangan
yang berlaku.
j. APA, apoteker pendamping atau apoteker pengganti diijinkan untuk menjual
obat keras yang dinyatakan sebagai Daftar Obat Wajib Apotek tanpa resep
yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
k. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka Apotek, APA
dapat menunjuk apoteker pendamping. Apabila APA dan apoteker
pendamping berhalangan melakukan tugasnya, maka APA dapat menunjuk
apoteker pengganti. Penunjukkan ini harus dilaporkan kepada Kepala Kantor
Wilayah dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dan Kepala Balai POM
setempat.
l. APA turut bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh
apoteker pendamping dan apoteker pengganti di dalam pengelolaan apotek.
m. Apoteker pendamping bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pelayanan
kefarmasian selama yang bersangkutan bertugas menggantikan APA..
n. Dalam pelaksanaan pengelolaan apotek, APA dapat dibantu oleh asisten
apoteker di bawah pengawasan apoteker.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 mengatur tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek. Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan
dan tanggung jawab langsung profesi Apoteker dalam pekerjaan kefarmasian
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan kefarmasian pada saat ini
telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan
kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula
hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang
komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
26
Universitas Indonesia
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004, pelayanan kefarmasian terdiri dari pelayanan resep,
promosi dan edukasi serta pelayanan residensial (Home Care).
2.12.1 Pelayanan Resep
Pelayanan resep meliputi skrining resep, penyiapan obat dan penyerahan obat
yang disertai dengan informasi tentang penggunaan obat. Apoteker melakukan
skrining resep (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2004) meliputi:
a. Persyaratan administratif:
1) Nama, SIP dan alamat dokter.
2) Tanggal penulisan resep.
3) Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
4) Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
5) Nama obat , potensi, dosis dan jumlah yang diminta.
6) Cara pemakaian yang jelas.
7) Informasi lainnya.
b. Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
c. Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi dan kesesuaian
(dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain).
Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya
bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. Setelah dilakukan
skrining resep oleh apoteker, dilakukan kegiatan kefarmasian sebagai berikut
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2004):
a. Peracikan
Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur,
mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan
obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan
jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
27
Universitas Indonesia
b. Etiket, dimana harus jelas dan dapat dibaca.
c. Kemasan obat yang diserahkan.
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok
sehingga terjaga kualitasnya.
d. Penyerahan obat.
Pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep harus
dilakukan sebelum obat diserahkan pada pasien. Penyerahan obat dilakukan oleh
apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan
tenaga kesehatan.
e. Informasi obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah
dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana serta terkini. Informasi obat pada
pasien minimal meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka
waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari
selama terapi.
f. Konseling
Konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara
apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang
berkaitan dengan obat dan pengobatan. Apoteker harus memberikan konseling
mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya sehingga
dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari
bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan
kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular,
diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan
konseling secara berkelanjutan.
g. Pemantauan penggunaan obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan
pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti
kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
28
Universitas Indonesia
2.12.2 Promosi dan edukasi
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi
secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi
informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet /brosur, poster, penyuluhan, dan
lain-lain (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2004).
2.12.3 Pelayanan Residensial (Home Care)
Pelayanan residensial (Home care) adalah pelayanan apoteker sebagai care
giver dalam pelayanan kefarmasian di rumah-rumah, khususnya untuk kelompok
lansia dan pasien dengan pengobatan terapi kronis lainnya. Apoteker sebagai care
giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat
kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan
pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat
catatan berupa catatan pengobatan pasien atau PMR (Patient Medication Record).
2.12.4 Pelayanan Swamedikasi
Apoteker mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan
bantuan, nasehat dan petunjuk kepada masyarakat yang ingin melakukan
swamedikasi agar masyarakat dapat melakukan swamedikasi secara bertanggung
jawab. Apoteker harus dapat menekankan kepada pasien, bahwa walaupun dapat
diperoleh tanpa resep dokter, penggunaan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat
wajib apotek tetap dapat menimbulkan bahaya dan efek samping yang tidak
dikehendaki jika dipergunakan dengan tidak semestinya.
Dalam pelaksanaan swamedikasi, apoteker memiliki dua peran yang sangat
penting, yaitu menyediakan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat
dan kualitasnya serta memberikan informasi yang dibutuhkan atau memberikan
informasi kepada pasien dan keluarganya agar obat digunakan secara aman, tepat
dan rasional.
Pemberian informasi dilakukan terutama dalam mempertimbangkan:
a. Ketepatan penentuan indikasi atau penyakit.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
29
Universitas Indonesia
b. Ketepatan pemilihan obat yang efektif, aman dan ekonomis.
c. Ketepatan dosis dan cara penggunaan obat.
Penggunaan obat bebas, obat bebas terbatas dan Obat Wajib Apotek
(OWA) dalam pengobatan sendiri (swamedikasi) harus mengikuti prinsip
penggunaan obat secara aman dan rasional. Pelaksanaan swamedikasi yang
bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang sudah terbukti keamanan,
khasiat dan kualitasnya serta membutuhkan pemilihan obat yang tepat sesuai
dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 919/MENKES/PER/X/1993 tentang Kriteria Obat yang
Dapat Diserahkan Tanpa Resep, obat-obat yang dapat diserahkan tanpa resep
harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di
bawah usia 2 tahun dan orangtua di atas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada
kelanjutan penyakit.
c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
e. Obat dimaksud memiliki risiko khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
Satu hal yang sangat penting dalam informasi swamedikasi adalah
meyakinkan agar produk yang digunakan tidak berinteraksi negatif dengan
produk-produk yang sedang digunakan pasien. Selain itu, apoteker juga
diharapkan dapat memberikan petunjuk kepada pasien bagaimana memantau
penyakitnya dan kapan harus menghentikan pengobatannya atau kapan harus
berkonsultasi kepada dokter. Informasi yang perlu disampaikan oleh apoteker
pada masyarakat dalam pelaksanaan swamedikasi antara lain:
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
30
Universitas Indonesia
a. Khasiat obat
Apoteker perlu menerangkan dengan jelas khasiat obat yang bersangkutan,
sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang dialami pasien.
b. Kontraindikasi
Pasien perlu diberi tahu dengan jelas kontraindikasi dari obat yang
diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra indikasi yang
dimaksud.
c. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada)
Pasien juga perlu diberi informasi tentang efek samping yang mungkin
muncul dan apa yang harus dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya.
d. Cara pemakaian
Cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada pasien untuk
menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukkan
melalui anus, atau cara lain.
e. Dosis
Dosis harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan pasien. Apoteker dapat
menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana
petunjuk pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain
sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
f. Waktu pemakaian
Waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas kepada pasien,
misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur.
g. Lama penggunaan
Lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien, agar
pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena penyakitnya belum
hilang atau sudah memerlukan pertolongan dokter.
h. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya
pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu
bersamaan.
i. Hal yang harus dilakukan jika lupa meminum obat
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
31
Universitas Indonesia
j. Cara penyimpanan obat yang baik
k. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa
l. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak
Selain itu, apoteker juga perlu memberi informasi kepada pasien tentang
obat generik yang memiliki khasiat sebagaimana yang dibutuhkan serta
keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan obat generik. Hal ini
penting dalam pemilihan obat harus selalu memperhatikan aspek farmakoekonomi
dan hak pasien. Selain konseling dalam farmakoterapi, apoteker juga memiliki
tanggung jawab lain yang lebih luas dalam swamedikasi. Dalam pernyataan
bersama yang dikeluarkan oleh IPF (International Pharmaceutical Federation)
dan WMI (World Self-Medication Industry) tentang swamedikasi yang
bertanggung jawab (Responsible Self-Medication) dinyatakan sebagai berikut:
a. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan nasehat
dan informasi yang benar, cukup dan objektif tentang swamedikasi dan semua
produk yang tersedia.
b. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk merekomendasikan
kepada pasien agar segera mencari nasehat medis yang diperlukan, apabila
dipertimbangkan swamedikasi tidak mencukupi.
c. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan laporan
kepada lembaga pemerintah yang berwenang dan untuk menginformasikan
kepada produsen obat yang bersangkutan, mengenai efek yang tidak
dikehendaki yang terjadi pada pasien yang menggunakan obat tersebut dalam
swamedikasi.
d. Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk mendorong anggota
masyarakat agar memperlakukan obat sebagai produk khusus yang harus
dipergunakan dan disimpan secara hati-hati dan tidak boleh dipergunakan
tanpa indikasi yang jelas.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
32
Universitas Indonesia
2.12.5 Pelayanan Obat Wajib Apotek (OWA)
Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) merupakan obat yang termasuk
golongan obat keras yang dapat diperoleh tanpa menggunakan resep dokter dan
diserahkan oleh apoteker di apotek. Apoteker di apotek dalam melayani pasien
yang memerlukan obat wajib (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1990;
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1993; Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 1999):
a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien sesuai dengan
yang disebutkan dalam DOWA.
b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
c. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi,
efek samping dan hal-hal lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
Obat-obat yang termasuk ke dalam daftar obat wajib apotek antara lain:
1) Obat kontrasepsi oral, baik tunggal maupun kombinasi.
2) Obat saluran cerna, yang terdiri dari :
a) Antasida + sedatif/spasmodik
b) Anti spasmodik
c) Spasmodik + analgesik
d) Antimual
e) Laksan
3) Obat mulut dan tenggorokan
4) Obat saluran napas
5) Obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular, yang terdiri dari :
a) Analgesik
b) Antihistamin
6) Antiparasit yang terdiri dari obat cacing
7. Obat topikal untuk kulit yang terdiri dari:
a) Semua salep/krim antibiotic
b) Semua salep/krim kortikosteroid
c) Semua salep/krim/gel anti inflamasi nonsteroid (AINS)
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
33
Universitas Indonesia
d) Antijamur
e) Antiseptik local
f) Enzim anti radang topical
g) Pemutih kulit
2.13 Pengadaan Persediaan Apotek
Pengadaan merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan perbekalan
farmasi berdasarkan fungsi perencanaan dan penganggaran yang bertujuan
memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup
dengan kualitas harga yang dapat dipertanggungjawabkan dalam waktu dan
tempat tertentu secara efektif dan efisien menurut tata cara dan ketentuan yang
berlaku (Quick, 1997). Pengadaan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu (Seto,
Nita dan Triana, 2004):
a. Doematig, artinya sesuai tujuan/sesuai rencana. Pengadaan harus sesuai
kebutuhan yang sudah direncanakam sebelumnya.
b. Rechtmatig, artinya sesuai hak/sesuai kemampuan.
c. Wetmatig, artinya sistem/cara pengadaannya harus sesuai dengan ketentuan
ketentuan yang berlaku.
Secara umum, jenis pengadaan berdasarkan waktu terdiri dari (Quick, 1997):
a. Annual purchasing, yaitu pemesanan dilakukan satu kali dalam satu tahun
b. Scheduled purchasing, yaitu pemesanan dilakukan secara periodik dalam
waktu tertentu misalnya mingguan, bulanan dan sebagainya.
c. Perpetual purchasing, yaitu pemesanan dilakukan setiap kali tingkat
persediaan rendah.
d. Kombinasi antara annual purchasing, scheduled purchasing dan perpetual
purchasing. Pengadaan dengan pemesanan yang bervariasi waktunya seperti
cara ini dapat diterapkan tergantung dari jenis obat yang dipesan.
Misalnya, obat impor dari suatu negara dimana devaluasi mata uang
menjadi masalah utama atau obat berharga murah yang jarang digunakan
cukup dipesan sekali dalam setahun saja. Obat-obat yang relatif slow moving
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
34
Universitas Indonesia
tetapi digunakan secara reguler dapat dipesan secara periodik setiap tahun
(scheduled purchasing). Obat-obat yang banyak diminati serta harganya
sangat mahal, maka pemesanannya dilakukan secara perpetual purchasing.
Setelah menentukan jenis pengadaan yang akan diterapkan berdasarkan
frekuensi dan waktu pemesanan, maka pengadaan barang di apotek dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu (Seto, Nita dan Triana, 2004):
a. Pembelian kontan. Dalam pembelian kontan, pihak apotek langsung
membayar harga obat yang dibeli dari distributor. Biasanya dilakukan oleh
apotek yang baru dibuka karena untuk melakukan pembayaran kredit apotek
harus menunjukkan kemampuannya dalam menjual.
b. Pembelian kredit, adalah pembelian yang pembayarannya dilakukan pada
waktu jatuh tempo yang telah ditetapkan, misalnya 30 hari setelah obat
diterima apotek.
c. Konsinyasi (titipan obat), adalah titipan barang dari pemilik kepada apotek,
dimana apotek bertindak sebagai agen komisioner yang menerima komisi bila
barang tersebut terjual. Bila barang tersebut tidak terjual sampai batas
waktu kedaluwarsa atau waktu yang telah disepakati, maka barang tersebut
dapat dikembalikan pada pemiliknya
2.14 Pengendalian Persediaan Apotek
Pengendalian persediaan berhubungan dengan aktivitas dalam pengaturan
persediaan obat di apotek untuk menjamin kelancaran pelayanan pasien di apotek
secara efektif dan efisien. Pengendalian persediaan mencakup penentuan cara
pemesanan atau pengadaannya hingga jumlah persediaan yang optimum dan yang
harus ada di apotek untuk menghindari kekosongan persediaan.
2.14.1 Parameter – parameter dalam pengadaan persediaan
a. Konsumsi rata-rata
Hal ini sering juga disebut permintaan (demand) yang merupakan
permintaan yang diharapkan pada pemesanan selanjutnya merupakan variabel
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
35
Universitas Indonesia
kunci yang menentukan berapa banyak stok barang yang harus dipesan (Quick,
1997).
b. Waktu tunggu/waktu tenggang (Lead Time/LT)
Merupakan waktu tenggang yang dibutuhkan mulai dari pemesanan
sampai dengan penerimaan barang. Waktu tunggu ini dapat berbeda beda untuk
setiap pemasok. Faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada waktu tunggu adalah
jarak antara pemasok dengan apotek, jumlah pesanan dan kondisi pemasok
(Quick, 1997). Waktu tunggu diperoleh berdasarkan nilai 10%-20% dari
konsumsi rata-rata dimana 10% untuk golongan obat slow moving dan 20% untuk
golongan obat fast moving (Kementerian Kesehatan, 2008).
c. Persediaan Pengaman (Safety Stock/SS)
Persediaan pengaman merupakan persediaan yang dicadangkan untuk
kebutuhan selama menunggu barang datang untuk mengantisipasi keterlambatan
barang pesanan atau untuk menghadapi suatu keadaan tertentu yang diakibatkan
karena perubahan pada permintaan misalnya karena adanya permintaan barang
yang meningkat secara tiba-tiba karena adanya wabah penyakit (Quick, 1997).
Persediaan pengaman dapat dihitung dengan rumus (Quick, 1997):
SS = LT x CA
Keterangan :
SS = Safety stock (persediaan pengaman)
LT = Lead Time (waktu tunggu)
CA = Average Consumption (konsumsi rata-rata)
d. Persediaan Minimum (Minimum Stock)
Merupakan jumlah persediaan terendah yang masih tersedia. Apabila
penjualan telah mencapai nilai persediaan minimum ini maka pemesanan harus
langsung dilakukan agar kontinuitas usaha dapat berlanjut. Jika barang yang
tersedia jumlahnya sudah kurang dari jumlah persediaan minimum maka dapat
terjadi stok kosong (Quick, 1997). Persediaan minimum dapat dihitung dengan
rumus (Quick, 1997):
S min = (LT x CA) + SS
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
36
Universitas Indonesia
Keterangan:
S min = Persediaan minimum
LT = Lead Time (waktu tunggu)
CA = Average Consumption (konsumsi rata-rata)
SS = Safety stock (persediaan pengaman)
e. Persediaan Maksimum (Maximum Stock)
Merupakan jumlah persediaan terbesar yang telah tersedia. Jika jumlah
persediaan telah mencapai jumlah maksimum maka tidak perlu lagi melakukan
pemesanan untuk menghindari terjadinya stok mati yang dapat menyebabkan
kerugian (Quick, 1997). Persediaan maksimum dapat dihitung dengan rumus
(Quick, 1997):
S max = S min + (PP x CA)
Keterangan:
S max = Persediaan maksimum
S min = Persediaan minimum
PP = Procurement period (waktu hingga pemesan selanjutnya sampai)
CA = Average Consumption (konsumsi rata-rata)
f. Perputaran persediaan
Adalah menggambarkan jumlah siklus yang dialami barang dari mulai
pembelian hingga penjualan kembali. Jika suatu barang memiliki angka
perputaran persediaan yang besar maka barang tersebut dikategorikan sebagai
barang fast moving. Sebaliknya, jika angka perputaran persediaan suatu barang
terbilang kecil maka barang tersebut termasuk slow moving (Quick, 1997).
Keterangan :
So = Persediaan awal Sr = Persediaan rata-rata
P = Jumlah pembelian Sn = Persediaan Akhir
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
37
Universitas Indonesia
g. Jumlah pesanan (Economic Order Quantity/EOQ/Economic Lot Size)
Persediaan dirancang agar setiap saat harus tersedia dan sekaligus untuk
mengantisipasi permintaan yang tidak menentu, kemampuan suplier yang terbatas,
waktu tenggang pesanan yang tidak menentu, ongkos kirim mahal dan
sebagainya. Faktor yang dipertimbangkan untuk membangun persediaan berkaitan
dengan biaya dan resiko penyimpanan, biaya pemesanan dan biaya pemeliharaan
(Quick, 1997).
EOQ = 2 RSPIKeterangan:
R = Jumlah kebutuhan dalam setahun
P = Harga barang/unit
S = Biaya memesan tiap kali pemesanan
I = % Harga persediaan rata-rata
h. Titik Pemesanan (Reorder Point/ROP)
Titik pemesanan merupakan saat dimana harus diadakan pemesanan
kembali sedemikian rupa sehingga penerimaan barang yang dipesan tepat waktu,
dimana persediaan di atas stok pengaman sama dengan nol atau saat mencapai
nilai persediaan minimum. Pada keadaan mendesak, dapat dilakukan pemesanan
langsung tanpa harus menunggu hari pembelian yang telah ditentukan bersama
antar apotek dan pemasok (Quick, 1997).
ROP = SS + LT
Keterangan :
ROP = titik pemesanan kembali (Reorder point)
SS = stok pengaman (Safety stock)
LT = waktu tunggu (Lead time)
Berbagai parameter pengendalian persediaan tersebut saling
berkesinambungan satu sama lain untuk dapat menjamin ketersediaan obat dan
perbekalan kesehatan. Jika produk berada dalam kuantitas persediaan rata-rata,
kebutuhan permintaan produk oleh konsumen akan terpenuhi.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
38
Universitas Indonesia
[Sumber : Quick,1997,telah diolah kembali ]Gambar 2.5. Diagram model pengendalian persediaan
Model siklus pengendalian persediaan obat yang ideal dapat dilihat pada
Gambar 2.5. Idealnya kuantitas persediaan rata-rata dari suatu produk di apotek
perlu mempertimbangkan dua komponen, yaitu stok kerja (working stock) dan
stok pengaman (safety stock). Jika tingkat persediaan sudah semakin menurun dan
berada dalam level persediaan minimum, maka diperlukan pemesanan kembali
terhadap produk tersebut dan harus memperhitungkan waktu tunggu (LT)
kedatangan obat agar tidak terjadi kekosongan persediaan obat ketika menunggu
obat yang dipesan datang. Saat obat yang dipesan datang (Qo), maka tingkat
persediaan meningkat kembali pada level persediaan maksimum SS + Qo. Dengan
berjalannya waktu, persediaan akan kembali turun dan perlu dilakukan pemesanan
kembali dan begitu seterusnya. Siklus ini akan terus berputar untuk menjamin
ketersediaan obat.
2.14.2 Penentuan Prioritas Pengadaan
Metode ini mengelompokkan obat berdasarkan nilai kepentingan dan
vitalitas obat terhadap pelayanan kesehatan untuk melayani permintaan untuk
pengobatan. Dalam melakukan pengadaan, dibutuhkan penentuan prioritas barang
yang akan dipesan. Pemilihan prioritas pengadaan dapat dilakukan dengan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
39
Universitas Indonesia
berbagai metode. Penyusunan prioritas dapat dilakukan dengan menggunakan
metode sebagai berikut (Quick, 1997):
a. Analisis VEN (Vital, Esensial, Non esensial)
Analisis VEN merupakan analisis yang digunakan untuk menetapkan prioritas
pembelian obat berdasarkan kepentingannya serta menentukan tingkat stok yang
aman (Quick, 1997). Kategori dari obat-obat VEN yaitu:
1) V (Vital)
Obat yang tergolong dalam kategori vital adalah obat untuk
menyelamatkan hidup manusia atau untuk pengobatan karena penyakit yang
mengakibatkan kematian. Pengadaan obat golongan ini diprioritaskan (Quick,
1997).
2) E (Esensial)
Kategori esensial digunakan untuk obat-obat yang banyak diminta untuk
digunakan dalam tindakan atau pengobatan penyakit terbanyak di masyarakat.
Dengan kata lain, obat-obat golongan ini adalah obat yang fast moving (Quick,
1997).
3) N (Non-esensial)
Kategori non-esensial untuk obat-obat pelengkap yang sifatnya tidak
esensial, tidak digunakan untuk menyelamatkan hidup manusia maupun
pengobatan penyakit terbanyak, contohnya suplemen vitamin (Quick, 1997).
b. Analisis ABC (Pareto)
Analisis ABC disusun berdasarkan penggolongan persediaan yang
mempunyai nilai harga yang paling tinggi. Analisis ABC membagi persediaan
berdasarkan atas nilai rupiah (volume persediaan yang dibutuhkan dalam satu
periode dikalikan harga per unit). Kriteria kelas dalam klasifikasi ABC adalah
(Quick, 1997):
1) Kelas A
Persediaan yang memiliki volume rupiah yang tinggi. Kelas ini mewakili
sekitar 75-80% dari total nilai persediaan, meskipun jumlahnya hanya sekitar 10-
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
40
Universitas Indonesia
20% dari seluruh item. Kelas A memiliki dampak biaya yang tinggi terhadap
biaya pengadaan. Pengendalian khusus dilakukan secara intensif (Quick, 1997).
2) Kelas B
Persediaan yang memiliki volume rupiah yang menengah. Kelas ini
mewakili sekitar 15-20% dari total nilai persediaan, jumlah itemnya sekitar 10
20% dari seluruh item (Quick, 1997).
3) Kelas C
Persediaan yang memiliki volume rupiah yang rendah. Kelas ini mewakili
sekitar 5-10% dari total nilai persediaan, tapi terdiri sekitar 60-80% dari seluruh
barang (Quick, 1997).
Analisis ABC dilakukan dengan menghitung nilai investasi dari tiap
sediaan obat dengan cara:
a) Menghitung total investasi tiap jenis obat.
b) Mengelompokan obat berdasarkan nilai investasi dan diurutkan mulai dari
nilai investasi terbesar hingga terkecil.
c. Analisis VEN-ABC
Metode analisis ini mengkombinasi kedua metode sebelumnya. Dalam
metode ini pengelompokan barang berdasarkan volume dan nilai penggunaannya
selama periode waktu tertentu. Analisis VEN-ABC menggabungkan analisis ABC
dan VEN dalam suatu matriks sehingga analisis menjadi lebih tajam (Quick,
1997). Matriks analisis ABC-VEN dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Matriks analisis ABC-VEN
V E N
A VA EA NA
B VB EB NB
C VC EC NC
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
41
Universitas Indonesia
Berdasarkan Tabel 2.2 prioritas yang pertama dalam pemilihan obat
adalah VC dilanjutkan VB dan VA karena obat kategori vital dapat berupa
jenis obat slow moving atau fast moving.
EA adalah obat yang terlebih dahulu dibeli, karena obat tersebut
adalah obat yang fast moving dengan harga tinggi. Kemudian EB, lalu obat
EC yang biasa digunakan untuk resep racikan. Apabila anggaran tidak
mencukupi, maka obat yang non-essensial tetapi menyerap banyak anggaran
(NA) lebih diprioritaskan untuk keluar dari daftar anggaran belanja tetapi
apabila anggaran masih ada setelah membeli golongan obat vital dan
essensial, maka golongan obat non-essensial (NC) yang diprioritaskan untuk
dibeli kemudian NB.
2.15 Strategi Pemasaran Apotek
Strategi pemasaran yang umumnya dilakukan oleh apotek adalah analisis
AIDA (Attention, Interest, Desire, Action). Analisis AIDA merupakan suatu
rangkaian proses dimulai dari menarik perhatian calon pembeli hingga pembeli
memutuskan untuk membeli di apotek (Umar, 2011).
2.15.1 Attention
Strategi ini merupakan upaya apotek untuk dapat menarik perhatian
pengunjung/konsumen, yang dapat dilakukan dengan (Umar, 2011):
a. Membuat desain eksterior apotek yang menarik, seperti papan nama yang
besar dan memasang neon box agar mudah terlihat oleh orang yang lewat dari
arah kiri dan kanan.
b. Mendesain bangunan agar terlihat menarik dan juga memperhatikan kondisi
ekonomi di lingkungan tempat pendirian apotek.
c. Menggunakan kaca transparan pada sisi depan apotek agar desain interior
apotek dapat terlihat dari luar.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
42
Universitas Indonesia
2.15.2 Interest
Strategi ini bertujuan untuk menimbulkan keinginan pengunjung untuk
masuk ke dalam apotek, dapat dilakukan dengan cara menyusun obat yang dijual
dengan menarik seperti memperhatikan warna kemasan dan disusun berdasarkan
efek farmakologis sehingga obat terlihat lengkap baik jenis maupun jumlahnya
serta ruang tunggu yang bersih dan nyaman. Hal tersebut dapat langsung terlihat
oleh pengunjung saat memasuki apotek (Umar, 2011).
2.15.3 Desire
Langkah selanjutnya setelah pengunjung masuk ke dalam apotek adalah
menimbulkan keinginan mereka untuk membeli obat. Upaya yang dapat dilakukan
adalah melayani pengunjung dengan ramah, cepat tanggap dengan keinginan
pelanggan, meningkatkan kelengkapan obat, kecepatan pelayanan, pelayanan
informasi dan memberikan harga yang bersaing (Umar, 2011).
2.15.4 Action
Setelah melalui beberapa tahap diatas, akhirnya pengunjung apotek
tersebut memutuskan mengambil sikap untuk menjadi pembeli obat di apotek.
Pada tahap ini pembeli akan merasakan sendiri pelayanan yang diberikan apotek
(Umar, 2011).
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
43 Universitas Indonesia
BAB 3
TINJAUAN KHUSUS APOTEK KESELAMATAN
3.1 Pendahuluan
Apotek Keselamatan didirikan pada bulan April tahun 2004. Apotek ini
dikelola oleh seorang APA bernama Ibu Dra. Azizahwati, M.S., Apt., dengan
SIK Nomor 2621/B dan SIA Nomor 87.SIA.0/04./YANKES/04. Nama Apotek
Keselamatan diambil dari nama jalan tempat apotek tersebut berada.
3.2. Lokasi dan Tata Ruang
3.2.1. Lokasi
Apotek Keselamatan berlokasi di Jalan Keselamatan Nomor 27, Jakarta
Selatan. Letak apotek sekitar 200 m dari Jalan Raya Abdullah Syafie arah
Kampung Melayu dan berada di pusat pertigaan jalan sehingga apotek cukup
ramai dilalui oleh pengendara. Meskipun tidak terletak di tepi jalan raya, jalan di
depan apotek cukup ramai dan digunakan sebagai jalan alternatif, selain itu posisi
apotek terletak di tengah pemukiman penduduk yang padat dan terdapat cukup
banyak fasilitas kesehatan di sekitar apotek, contohnya klinik dokter dan
puskesmas sehingga dapat memperluas sasaran pasar apotek. Apotek pesaing
yang berada di sekitar apotek tersebut adalah Apotek Barkah yang terletak sekitar
400 m dari apotek. Apotek lainnya seperti Apotek K-24, Apotek Amani dan
Apotek La Rose berada cukup jauh, yaitu terletak di sepanjang Jalan Raya
Lapangan Rose. Lokasi Apotek Keselamatan dapat dilihat pada Lampiran 12.
3.2.2 Tata Ruang
Bangunan apotek berukuran 3 x 25 m terdiri dari halaman parkir, ruang
tunggu pasien, etalase obat OTC (Over The Counter), meja kasir dan tempat
penerimaan resep, ruang peracikan, meja kerja apoteker, ruang istirahat karyawan
dan tempat pencucian atau wastafel. Denah ruangan apotek dapat dilihat pada
Lampiran 13 dan Lampiran 14. Ruang untuk obat OTC dibuat lebih lebar dari
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
44
Universitas Indonesia
ruang peracikan karena apotek berorientasi pada pengobatan sendiri/swamedikasi.
Desain obat-obat OTC dapat dilihat pada Lampiran 15. Desain obat-obat Ethical
dapat dilihat pada Lampiran 16.
3.3 Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia di Apotek Keselamatan adalah sebagai berikut:
a. Tenaga kefarmasian
APA : 1 orang yang merangkap sebagai PSA
Apoteker Pendamping : 1 orang
b. Tenaga non kefarmasian
Juru resep : 1 orang
Tenaga pembantu : 1 orang
3.4 Tugas dan Fungsi tiap jabatan
3.4.1 Apoteker Pengelola Apotek (APA)
Tugas dan tanggung jawab APA adalah:
a. Memimpin seluruh kegiatan manajerial apotek.
b. Berusaha meningkatkan omset penjualan dan mengembangkan hasil usaha
apotek dengan berpedoman terhadap peraturan perundangan yang berlaku
serta mempertimbangkan masukan dari karyawan demi kemajuan dan
perkembangan apotek.
c. Melakukan pelayanan kefarmasian, termasuk pelayanan swamedikasi sesuai
dengan perundang-undangan di bidang perapotekan yang berlaku.
d. Melakukan pemesanan serta pembelian obat narkotika dan psikotropika
kepada PBF.
e. Melayani permintaan obat bebas dan obat bebas terbatas.
f. Melayani permintaan resep dokter, mulai dari penerimaan resep, skrining
resep, pemberian harga resep, dispensing, penulisan etiket sampai dengan
penyerahan obat.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
45
Universitas Indonesia
g. Memeriksa kebenaran obat yang akan diserahkan, meliputi nomor resep,
nama pasien, nama obat, bentuk sediaan obat, jumlah obat, aturan pemberian
obat, kemudian menyerahkan obat kepada pasien disertai dengan pemberian
informasi obat untuk mendukung penggunaan obat yang rasional.
h. Membuat salinan resep dan kuitansi bila dibutuhkan.
i. Membuat laporan narkotika dan psikotropika secara berkala.
j. Mengatur dan mengawasi pengamanan hasil penjualan tunai harian.
k. Merencanakan pengadaan obat.
3.4.2 Apoteker Pendamping
Tugas dan fungsi Apoteker pendamping sama seperti APA pada saat APA
tidak ada ditempat, antara lain:
a. Melakukan pelayanan kefarmasian, termasuk pelayanan swamedikasi sesuai
dengan perundang-undangan di bidang perapotekan yang berlaku.
b. Melayani permintaan obat bebas dan obat bebas terbatas
c. Melayani permintaan resep dokter, mulai dari penerimaan resep, skrining
resep, pemberian harga resep, dispensing, penulisan etiket sampai dengan
penyerahan obat.
d. Memeriksa kebenaran obat yang akan diserahkan, meliputi nomor resep,
nama pasien, nama obat, bentuk sediaan obat, jumlah obat, aturan pemberian
obat, kemudian menyerahkan obat kepada pasien disertai dengan pemberian
informasi obat untuk mendukung penggunaan obat yang rasional.
e. Mendata kebutuhan obat dan bahan habis pakai apotek.
f. Melakukan pemesanan serta pembelian obat kecuali obat narkotika dan
psikotropika dan bahan habis pakai apotek secara berkala kepada PBF.
g. Menyusun daftar masuknya obat dan bahan habis pakai apotek serta
menandatangani faktur obat yang masuk setiap harinya.
h. Mengatur, mengontrol dan menyusun obat pada tempat penyimpanan obat.
i. Mencatat setiap kejadian mutasi obat dan bahan habis pakai apotek.
j. Membuat salinan resep dan kuintasi bila dibutuhkan.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
46
Universitas Indonesia
3.4.3 Juru Resep
Tenaga yang membantu apoteker dalam meracik obat di apotek adalah
juru resep. Tugas dan kewajiban juru resep adalah:
a. Membantu tugas APA dan Apoteker Pendamping dalam penyiapan obat atau
pembuatan obat racikan.
b. Menyiapkan dan membersihkan alat-alat peracikan.
c. Membuat obat-obat racikan standar di bawah pengawasan apoteker.
d. Menjaga kebersihan apotek.
3.4.4 Tenaga Pembantu
Tenaga pembantu di apotek mempunyai tanggung jawab untuk menjaga
kebersihan dan kerapihan apotek termasuk sarana apotek seperti etalase, rak obat
dan lain-lain.
3.5 Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Lainnya
3.5.1 Pengadaan
Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan lain menjadi tugas dan
wewenang apoteker pendamping, kecuali untuk pengadaan narkotika dan
psikotropika menjadi tanggung jawab APA. Prinsip pengadaan barang di apotek
yaitu berasal dari sumber yang jelas; macam dan jumlah barang disesuaikan
dengan kondisi keuangan dan kategori arus barang fast moving atau slow moving;
berdasarkan epidemiologi atau penyakit yang sedang banyak diderita oleh pasien
dan produk-produk bermerek yang sedang digemari oleh masyarakat. Kondisi
yang paling menguntungkan (mempertimbangkan mengenai harga, diskon, syarat
pembayaran dan ketepatan barang datang).
Pengadaan barang bisa dilakukan dengan cara Cash On Delivery (COD)
konsinyasi, atau kredit. Pembelian barang di Apotek Keselamatan menggunakan
cara pembelian secara terbatas. Hal tersebut untuk menghindari penumpukan
barang yang menyebabkan modal terhenti. Langkah-langkah pengadaan barang di
apotek, antara lain:
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
47
Universitas Indonesia
a. Pemeriksaan dan pencatatan jumlah obat dan perbekalan kesehatan
Setiap hari dilakukan pemeriksaan jumlah obat dan perbekalan kesehatan.
Jika jumlahnya telah berada pada stok minimum, maka harus dicatat pada buku
defekta untuk kemudian dilakukan pemesanan setelah disetujui oleh APA. Selain
itu, ditulis juga dalam buku defekta untuk obat-obat yang belum tersedia di apotek
tapi sudah mulai banyak diresepkan dan banyak permintaan dari pelanggan.
b. Pemesanan obat dan perbekalan kesehatan kepada Pedagang Besar Farmasi
(PBF) yang dilakukan berdasarkan buku defekta
Pemesanan yang dilakukan bisa menggunakan surat pesanan seperti pada
Lampiran 17 langsung kepada salesman atau melalui telepon. Faktor-faktor yang
harus diperhatikan dalam melakukan kerjasama dengan PBF, yaitu: ketepatan dan
kecepatan dalam pelayanan; bertanggung jawab terhadap barang pesanan apabila
terjadi kerusakan; memberikan jaminan terhadap barang pesanan; ada kepastian
memperoleh barang yang dipesan; diskon yang diberikan dan lama waktu kredit.
c. Penerimaan obat dan perbekalan kesehatan
Obat dan perbekalan kesehatan yang disertai faktur pembelian dan Surat
Pesanan dikirim ke apotek yang diterima oleh apoteker pendamping dan
dilakukan pengecekan kesesuaian terhadap jumlah, jenis, bentuk dan tanggal
kadaluarsa serta kondisi fisik terhadap SP (Surat Pemesanan) dan faktur. Apabila
barang yang datang sesuai dengan pesanan, maka faktur tersebut ditandatangani
oleh apoteker pendamping disertai dengan nama terang, tanggal penerimaan dan
stempel apotek. Apabila ada obat yang dikirim tidak sesuai dengan SP atau obat
sudah mendekati tanggal kadaluarsa, maka obat tersebut akan dikembalikan
langsung. Obat dan barang yang datang dicatat dalam buku penerimaan barang.
Form tanda terima tukar faktur terdapat pada Lampiran 18.
Perbekalan farmasi yang baru datang tersebut kemudian diberi harga
sesuai dengan rumus perhitungan harga jual yang telah ditetapkan oleh apotek.
Faktur yang diterima dicatat pada buku faktur masuk untuk menginventaris
barang yang diterima dan mengetahui jumlah nilai yang akan dibayarkan ketika
jatuh tempo.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
48
Universitas Indonesia
3.5.2 Penyimpanan
Penyimpanan barang di apotek menggunakan sistem First In First Out
(FIFO) dan First Expired First Out (FEFO). Pada sistem FIFO, barang yang
keluar lebih dahulu adalah barang yang lebih dahulu masuk sedangkan pada
sistem FEFO, obat/barang yang mempunyai tanggal kadaluarsa lebih cepat maka
obat tersebut yang paling pertama keluar. Pengambilan barang dilakukan dari
depan etalase maka barang yang baru datang ditempatkan di belakang barang
yang lama.
Etalase depan apotek digunakan untuk penempatan obat bebas, obat bebas
terbatas, jamu, obat herbal terstandar, fitofarmaka maupun perbekalan kesehatan
lainnya seperti kassa steril, kassa non steril, sarung tangan, masker, termometer
dan lain-lain. Untuk produk obat bebas, obat bebas terbatas, jamu, obat herbal
terstandar, fitofarmaka atau perbekalan kesehatan lainnya, penyusunannya
dilakukan sedemikian rupa untuk mempermudah pada saat pengambilan serta
memperhatikan penampilan warna sehingga akan menarik perhatian pelanggan
yang datang ke apotek.
Di bagian dalam apotek terdapat rak-rak obat yang digunakan untuk
penyimpanan obat-obat keras, obat narkotika dan psikotropika. Penyimpanan obat
di bagian dalam apotek, dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Obat dikelompokkan berdasarkan bentuk sediaan.
b. Setiap kelompok obat disusun secara alfabetis untuk mempermudah dalam
pencarian/pengambilan.
c. Narkotika disimpan dalam lemari narkotika.
d. Psikotropika disimpan dalam lemari psikotropika.
e. Obat-obat yang dipersyaratkan disimpan pada suhu dingin disimpan dalam
lemari pendingin (suppositoria, ovula, tablet, serbuk).
3.5.3 Pencatatan
Apotek keselamatan menerapkan pencatatan di kartu stok untuk obat dan
perbekalan kesehatan lainnya yang meliputi tanggal, jumlah barang masuk beserta
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
49
Universitas Indonesia
sumbernya, jumlah barang keluar, saldo dan keterangan. Pencatatan dilakukan
setiap ada barang yang datang dan barang terjual maupun kadaluarsa. Untuk
barang-barang yang terletak di etalase depan, kartu stok tersimpan terpisah dan
dikelompokkan berdasarkan penyusunan obatnya sehingga memudahkan
pencarian. Kartu stok untuk obat-obat yang terletak di rak dalam apotek
ditempatkan masing-masing tepat di samping dus obat tersebut. Hal tersebut
memudahkan pencatatan serta pengecekan kesesuaian catatan dengan kondisi
nyata obat. Contoh kartu stok apotek dilihat dalam Lampiran 19.
3.6 Pelayanan Apotek
3.6.1 Pelayanan Obat Bebas (Swamedikasi)
Pelayanan obat kepada konsumen tanpa resep dokter merupakan pelayanan
obat bebas. Obat-obat yang dapat dijual bebas adalah obat yang termasuk dalam
daftar obat bebas, obat bebas terbatas, kosmetika dan alat kesehatan tertentu.
Pembayaran obat dilakukan di kasir dan setelah lunas obat diserahkan kepada
pelanggan.
Pelayanan swamedikasi yang diberikan oleh apotek telah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, yaitu hanya dilakukan untuk kondisi-kondisi penyakit
ringan tertentu seperti penyakit kulit, diare, demam, batuk dan nyeri persendian,
dengan pemberian obat bebas, obat bebas terbatas dan OWA. APA atau apoteker
pendamping akan merujuk pasien pada dokter apabila keadaan pasien memang
perlu untuk dirujuk ke dokter. Dalam melakukan swamedikasi di apotek, peran
apoteker sangat terlihat dalam memilih obat yang efektif, aman dan ekonomis
serta ketepatan dosis obat yang diberikan.
3.6.2 Pelayanan Obat dengan Resep
Pelayanan atau penjualan dengan resep diberikan kepada pasien yang
membeli obat dengan resep dokter secara tunai dimana proses pelayanan resep di
apotek adalah sebagai berikut:
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
50
Universitas Indonesia
a. Resep dari pasien diterima oleh apoteker, kemudian dilakukan skrining resep,
ketersediaan obat di apotek dan diberi harga.
b. Pasien diberitahukan tentang harga obat, jika pasien setuju maka pasien dapat
langsung membayar di kasir dan diminta menunggu untuk disiapkan obatnya.
Bila pasien merasa harga obat terlalu mahal, maka apoteker dapat
menawarkan obat generik.
c. Resep dibawa ke bagian peracikan untuk dikerjakan. Lembaran resep diberi
kertas penanda, yang berisi: nomor resep, tanggal resep, harga, dan nama
pasien. Obat yang telah selesai disiapkan kemudian diberi etiket (Lampiran
20) dan diperiksa oleh apoteker baik bentuk sediaan, nama pasien, etiket dan
kesesuaian jumlah obat dengan resep.
d. Obat diserahkan kepada pasien dengan pemberian informasi kemudian dicatat
alamat dan nomor telepon pasien, jumlah dan harga resep ke dalam buku
resep.
e. Salinan resep seperti pada Lampiran 21. atau kuitansi seperti pada Lampiran
22. dapat dibuat atas permintaan pasien.
f. Pada pelayanan resep yang mengandung narkotika, tidak diperbolehkan
menyerahkan narkotika atas dasar salinan resep dokter dan resep tersebut
disimpan terpisah dengan resep obat non narkotika.
3.6.3 Pelayanan Obat Wajib Apotek (OWA)
Pelayanan obat wajib apotek (OWA) di apotek disertai dengan pemberian
informasi obat.
3.6.4 Pelayanan Informasi Obat
Setiap penyerahan obat di Apotek disertai dengan pemberian informasi
obat (PIO) kepada pasien. Pelayanan ini terutama diberikan oleh apoteker. PIO
dilakukan bukan hanya apabila pasien membeli obat, namun juga saat pasien tidak
membeli dan sekedar bertanya. Pertanyaan mengenai informasi obat yang biasa
ditanyakan di apotek meliputi indikasi, cara pemakaian, efek samping obat,
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
51
Universitas Indonesia
interaksi dengan obat lain dan makanan, hal yang harus dihindari selama
menggunakan obat dan sebagainya.
3.6.5 Pelayanan Pemeriksaan Glukosa Darah, Asam Urat dan Kolesterol
Apotek juga melayani pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu, asam
urat, dan kolesterol. Pemeriksaan dilakukan menggunakan alat digital khusus dan
dilakukan oleh apoteker. Pelayanan pemeriksaan tersebut dilakukan mulai pukul
08.00-12.00 WIB. Setiap melakukan pelayanan pemeriksaan, maka dicatat pada
buku pelayanan pemeriksaan yaitu nama pasien dan hasil pemeriksaan. Setelah
itu, pasien dapat berkonsultasi dengan apoteker tentang hasil pemeriksaannya.
Pelayanan pemeriksaan ini dilakukan dengan latar belakang kebutuhan
masyarakat di sekitar apotek. APA melihat bahwa kebutuhan tersebut merupakan
suatu peluang dalam mengembangkan pelayanan apotek untuk masyarakat sekitar.
3.7 Pengelolaan Narkotika
Pengelolaan narkotika di apotek terdiri dari pemesanan, penerimaan,
penyimpanan dan pelaporan keluar masuknya obat narkotika di apotek.
3.7.1 Pemesanan Narkotika
Narkotika dipesan melalui PBF Kimia Farma dan wajib menggunakan
surat pesanan khusus narkotika. Pemesanan narkotika yang dilakukan memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam satu lembar surat pesanan hanya untuk satu jenis narkotika.
b. Mencantumkan nama dan alamat apotek, SIA, nama APA dan SIPA.
c. Surat pesanan harus ditandatangani oleh APA dan terdapat stempel apotek
pemesan.
d. Surat pesanan dibuat empat rangkap, satu untuk arsip di apotek, tiga rangkap
diserahkan kepada PBF Kimia Farma yang bersangkutan.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
52
Universitas Indonesia
3.7.2 Penerimaan dan Penyimpanan Narkotika
Penerimaan narkotika di apotek dilakukan oleh apoteker pendamping.
Narkotika disimpan pada lemari khusus yang terdiri dari dua bagian untuk
narkotika sehari-hari maupun untuk persediaan. Satu lemari digunakan sebagai
tempat persediaan dan satu lemari untuk menyimpan narkotika kebutuhan sehari-
hari. Di lemari penyimpanan terdapat kartu stok untuk mencatat pemasukan dan
pengeluaran narkotika serta mengetahui stok akhir narkotika.
3.7.3 Laporan Pemasukan dan Pengeluaran Narkotika
Setiap bulan apotek wajib untuk membuat laporan narkotika berdasarkan
pemasukan dan pengeluaran narkotika yang tercatat di buku harian penggunaan
narkotika. Data pemasukan dan pengeluaran narkotika di masukkan ke dalam
sebuah software aplikasi SIPNAP yang diisi secara online dan hasil data dikirim
ke Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
dalam bentuk softcopy yang disimpan di CD dengan tembusan ke Balai Besar
POM dalam bentuk hardcopy.
3.8 Pengelolaan Psikotropika
Pengelolaan sediaan psikotropika di apotek meliputi pemesanan,
penerimaan, penyimpanan dan pelaporan penggunaan sediaan psikotropika.
3.8.1 Pemesanan Psikotropika
Pemesanan psikotropika di apotek memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam satu lembar surat pesanan boleh terdapat lebih dari satu jenis
psikotropika.
b. Dalam surat pesanan mencantumkan nama apotek, alamat apotek, nomor
SIA, nama APA dan nomor SIPA.
c. Surat pesanan harus ditandatangani oleh APA dan terdapat stempel apotek.
d. Surat pesanan dibuat tiga rangkap, dua surat salinannya digunakan untuk
pengarsipan di apotek, sedangkan lembar yang asli diserahkan ke PBF yang
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
53
Universitas Indonesia
bersangkutan. Pemesanan psikotropika tidak harus dilakukan di PBF Kimia
Farma.
3.8.2 Penerimaan dan Penyimpanan Psikotropika
Penerimaan psikotropika di apotek dapat dilakukan oleh apoteker
pendamping. Bukti penerimaan obat diterima dan ditandatangi oleh APA. Obat
psikotropika di Apotek Keselamatan disimpan di lemari khusus yang terkunci dan
terjamin keamanannya yang disertai dengan kartu stok.
3.8.3 Pelaporan Penggunaan Psikotropika
Laporan pemakaian psikotropika di apotek dilakukan sebulan sekali
melalui form aplikasi software SIPNAP secara online ke Bina Farmasi dan Alat
Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan tembusan ke Balai
Besar POM.
3.9 Kegiatan Administrasi dan Keuangan
3.9.1 Kegiatan Administrasi
Apotek selain menjalankan fungsi kefarmasiannya juga melakukan
kegiatan administrasi yang berfungsi untuk mencatat segala proses kegiatan kerja
yang ada di apotek tersebut. Kegiatan administrasi yang dilakukan di Apotek
Keselamatan meliputi:
a. Administrasi penjualan
Administrasi penjualan pada apotek meliputi kegiatan pencatatan terpisah
obat-obat yang terjual antara obat ethical dan obat bebas di apotek.
b. Administrasi pembelian kredit atau hutang dagang
Pencatatan terhadap pembelian kredit yang dibuat berdasarkan faktur
hutang yang masuk dari PBF ke apotek. Pencatatan dilakukan terhadap nomor
faktur, harga, jatuh tempo pembayaran, dan diskon. Hal tersebut dilakukan untuk
memudahkan pengawasan terhadap pembayaran sehingga pembayaran dapat
dilakukan sesuai dengan waktunya.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
54
Universitas Indonesia
c. Administrasi pembukuan
Hal ini dilakukan untuk mencatat transaksi-transaksi penjualan yang telah
dilakukan oleh apotek, baik pengeluaran maupun pemasukan.
3.9.2 Sistem Administrasi
Apotek memiliki sistem administrasi yang dikelola dengan baik. Sistem
administrasi tersebut meliputi perencanaan, pengadaan, pengelolaan dan
pelaporan barang yang masuk dan keluar. Pengelolaan ini dilakukan oleh apoteker
pendamping yang dibantu oleh karyawan. Kelengkapan administrasi di Apotek
Keselamatan meliputi:
a. Buku defekta
Buku ini digunakan untuk mencatat daftar nama obat atau sediaan yang
sudah mendekati persediaan minimum atau yang harus segera dipesan untuk dapat
memenuhi kebutuhan di apotek. Buku defekta terdiri dari dua jenis, yaitu buku
defekta untuk obat ethical dan obat Over The Counter (OTC). Dengan adanya
buku defekta, karyawan ataupun apoteker dapat mengetahui dengan pasti
perbekalan farmasi yang harus dipesan dan menghindari pemesanan ganda di
apotek sehingga pemesanan dapat dikontrol dengan baik setelah disetujui oleh
APA.
b. Surat Pesanan (SP)
Surat pesanan diberikan kepada PBF untuk melakukan pemesanan
perbekalan farmasi. Surat pesanan terdiri dari dua lembar yang harus
ditandatangani oleh apoteker. Dalam surat pesanan terdapat tanggal pemesanan,
nama PBF yang ditunjuk, nomor dan nama barang, jenis kemasan yang dipesan,
jumlah pesanan, tanda tangan pemesanan dan stempel apotek.
3.9.3 Kegiatan Keuangan
Kegiatan keuangan meliputi kegiatan yang meliputi aliran uang masuk
yang berasal dari setiap transaksi penjualan produk dan jasa di apotek serta aliran
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
55
Universitas Indonesia
uang keluar yang berasal dari berbagai macam pengeluaran atau pembiayaan
hutang dagang dan biaya operasional apotek lainnya. Setiap tahun, apotek
melakukan stock opname untuk mengetahui jumlah aset obat yang tersisa akhir
tahun.
Administrasi kegiatan keuangan yang dilakukan meliputi:
a. Buku kas untuk mencatat kegiatan yang terkait dengan uang yang ada di kas
apotek setiap bulannya.
b. Laporan laba rugi untuk mengetahui keuntungan dan kerugian yang dialami
apotek selama satu tahun.
c. Neraca tahunan untuk mengetahui aset apotek, baik berupa harta lancar,
maupun harta tetap.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
56 Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN
Apotek Keselamatan merupakan salah satu fasilitas pelayanan kefarmasian
yang berada di wilayah Jakarta Selatan tepatnya di Jalan Keselamatan No.27.
Lokasi apotek dinilai sebagai lokasi yang cukup strategis karena terletak di sisi
pertigaan jalan. Walaupun tidak berada di tepi jalan raya, jalan menuju apotek
ramai oleh pengendara yang menjadikan jalan tersebut sebagai jalan alternatif dari
jalan utama seperti Jalan KH. Abdullah Syafi’i dan Jalan dr. Saharjo. Hal ini
menjadi peluang apotek untuk menambah jumlah drop in customer. Keberadaan
apotek bisa dikenali dengan adanya dua papan nama yang terpasang di apotek dan
neon box di depan halaman apotek. Pada siku jalan menuju apotek terdapat papan
penunjuk apotek yang di pasang di tiang listrik sehingga memudahkan masyarakat
mengetahui lokasi apotek.
Lingkungan sekitar apotek merupakan lingkungan yang padat
penduduknya, dihuni oleh penduduk asli maupun pendatang yang menyewa kos.
Tingkat kepadatan penduduk tersebut mempengaruhi jumlah domestic customer
apotek. Di sekitar apotek juga terdapat beberapa sarana pelayanan kesehatan
seperti praktek dokter, praktek dokter gigi, klinik Yashika dan Puskesmas
kecamatan. Sarana pelayanan kesehatan tersebut menguntungkan apotek karena
dapat menambah jumlah resep yang masuk. Selain sarana pelayanan kesehatan
tersebut, di sekitar lingkungan apotek juga terdapat apotek kompetitor seperti
Apotek La Rose, apotek Amani, apotek K-24 dan Apotek Barkah. Keberadaan
apotek kompetitor menyebabkan masyarakat memiliki banyak alternatif dalam
memilih apotek.
Lokasi apotek yang strategis dan desain eksterior yang baik juga
dibutuhkan untuk menjaring drop in costumer, yang diharapkan bisa menjadi
regular costumer. Apotek memiliki desain eskterior yang tidak menimbulkan
kesan mahal terhadap produk yang dijual di apotek, mengingat masyarakat yang
tinggal di sekitar apotek merupakan masyarakat dari kalangan ekonomi menengah
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
57
Universitas Indonesia
kebawah. Dari luar apotek, terlihat obat disusun rapi, tampak penuh di lemari dan
etalase sehingga memberi kesan lengkap akan ketersediaan obat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No 1027 tahun 2004, apotek
harus memiliki ruang tunggu, ruang racikan, keranjang sampah dan tempat
menampilkan informasi. Sarana dan prasarana di apotek terdiri dari ruang tunggu,
ruang racik, meja kasir, meja kerja apoteker, ruang istirahat karyawan, ruang
sholat, toilet, wastafel, halaman parkir dan keranjang sampah. Apoteker atau
karyawan ketika melayani pelanggan, baik pada saat menyerahkan ataupun
memberikan informasi obat, hanya dibatasi etalase kaca yang ketinggiannya
disesuaikan dengan kenyamanan pelanggan dan karyawan. Fasilitas ruang tunggu
dilengkapi dengan beberapa kursi dan juga televisi yang diharapkan bisa
memberikan kenyamanan bagi pelanggan yang sedang menunggu. Warna cat
apotek yang dominan biru serta tanaman hias dan pohon di halaman sekitar apotek
memberikan kesan bersih, teduh dan asri pada apotek. Selain itu, apotek juga
dilengkapi dengan fasilitas halaman yang cukup luas, sehingga memudahkan
pengunjung untuk parkir secara aman dan gratis. Dengan demikian, secara umum
sarana dan prasarana di apotek sudah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/IX/2004 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek.
Desain interior apotek dinilai cukup baik. Kondisinya yang bersih dan rapi
dapat memberikan kenyamanan bagi karyawan dan pelanggan. Kerapihan Apotek
dapat dilihat dari penyusunan obatnya. Penyusunan obat dikelompokan
berdasarkan obat OTC (Over The Counter), obat ethical, obat narkotika dan
psikotropika, obat untuk pemakaian topikal, jamu, fitofarmaka, obat untuk racikan
dan obat yang membutuhkan penyimpanan khusus di lemari pendingin. Selain itu,
juga tersedia perbekalan farmasi, produk kosmetik dan produk bayi.
Obat OTC disusun di etalase bagian depan apotek dengan memperhatikan
estetika, bentuk dan warna kemasan obat agar tampak menarik dari luar. Sebagian
besar obat OTC sediaan cair disusun berdasarkan efek farmakologinya. Obat
bebas lainnya yang berbentuk cair, solid dan semisolid diletakkan di etalase
depan. Penempatan obat yang tepat sangat penting agar obat mudah dikenali
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
58
Universitas Indonesia
pengunjung seperti suplemen herbal yang di tempatkan di etalase khusus di dekat
kasir pembayaran.
Obat ethical yang terdiri dari obat generik, obat paten dan obat nama
dagang disimpan di bagian dalam apotek. Obat ethical disusun secara alphabetis
dengan kartu stok yang disisipkan di sebelah kiri obat. Penempatan obat generik,
obat paten dan obat nama dagang dipisahkan. Adanya penyusunan obat secara
alphabetis atau berdasarkan efek farmakologi serta pemisahan penempatan obat
generik, obat nama dagang dan obat paten akan memudahkan karyawan dalam
pengambilan obat dan mempercepat gerak karyawan dalam memberikan
pelayanan kepada pelanggan. Hal ini tentunya akan memuaskan serta menambah
kepercayaan pelanggan terhadap apotek.
Penyimpanan obat harus memperhatikan kestabilan obat agar kualitas obat
tetap terjaga. Untuk tujuan tersebut, apotek memiliki sebuah lemari pendingin.
Lemari pendingin ini digunakan untuk menyimpan obat-obat yang membutuhkan
suhu khusus dalam penyimpanannya seperti suppositoria, ovula, kapsul lunak
(soft capsule) dan vitamin untuk menjaga stabilitas obat-obat tersebut.
Penyimpanan dan penyusunan obat yang rapi juga dilakukan dengan
memperhatikan kemudahan dalam mengambil obat sehingga mempercepat
pelayanan resep.
Penyusunan obat di apotek dilakukan berdasarkan jenis obat (OTC atau
ethical), bentuk sediaan, efek farmakologi, dan kerawanan dicuri. Obat untuk
racikan diletakkan di tempat tertentu yang terpisah dengan jenis obat ethical lain
agar proses peracikan lebih mudah. Obat seperti salep, krim dan obat tetes mata
diletakkan di etalase khusus agar mempermudah karyawan dalam melayani
konsumen. Beberapa obat yang memiliki efek farmakologi serupa diletakkan
berdekatan. Untuk obat–obat yang memiliki harga cukup tinggi tidak diletakkan
di etalase yang dekat dengan pengunjung. Adanya pemisahan terhadap
penyusunan dan penempatan obat tersebut juga berguna untuk mencegah
terjadinya medication error. Berbeda dengan kartu stok obat ethical, kartu stok
obat OTC tidak diletakkan di samping obat, melainkan disimpan terpisah agar
susunan obat tetap terjaga kerapihannya.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
59
Universitas Indonesia
Obat-obat golongan narkotika dan psikotropika diletakkan di lemari
khusus dengan tiga pintu yang terkunci dan tersusun ke atas. Lemari bagian atas
diisi dengan obat golongan narkotika, lemari kedua dari atas didisi dengan obat
golongan psikotropika yang didalamnya terdapat kartu stok yang diletakkan
disamping obat-obat tersebut. Lemari ketiga (paling bawah) merupakan tempat
persediaan narkotika dan psikotropik. Obat-obat di dalamnya sudah dibagi-bagi
sedemikian rupa, sehingga tiap pengeluaran obat dari persediaannya dapat
dihitung dengan mudah.
Fasilitas lain di ruang dalam apotek yakni terdapat ruang peracikan. Di
dalam ruang peracikan ini terdapat meja racik serta perlengkapan meracik seperti
alu, mortar, sudip, timbangan, kertas perkamen, kapsul dan pot. Selain itu,
terdapat sebuah meja besar yang digunakan untuk berdiskusi dan melakukan
pembukuan. Terdapat pula telepon dan faksimili yang sengaja disediakan bagi
karyawan untuk memesan obat serta menerima pesan dari instansi lain.
APA dibantu oleh Apoteker pendamping dan juru resep dalam
melaksanakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan yang diberikan kepada
pelanggan dilakukan dengan sebaik mungkin, misalnya sambutan yang ramah dari
karyawan apotek, pelayanan yang cepat, pemberian informasi obat yang jelas,
sehingga pelanggan merasa diperhatikan dan merasa puas yang akhirnya banyak
di antara pelanggan yang kembali lagi ke apotek dan menjadi regular customer.
APA bertugas mengevaluasi pemasukan dan pengeluaran uang dan barang
serta memberikan masukan kepada karyawan apotek akan hal tersebut. Terkadang
karyawan apotek berdiskusi dengan APA untuk menambah pengetahuan mereka
terutama dalam hal swamedikasi, sehingga tetap memberikan pelayanan yang baik
kepada pelanggan walaupun APA sedang tidak berada di tempat. Hubungan
kekeluargaan antara APA dan karyawan juga terjalin dengan baik sehingga
mereka memiliki sense of belonging terhadap apotek. Dengan suasana kerja yang
mendukung, karyawan dan APA dapat memberikan pelayanan yang optimal
kepada pelanggan. Pelanggan akan merasa puas terhadap pelayanan yang
diberikan oleh apotek dan tentunya hal ini akan memberi nilai lebih bagi apotek.
Pengelolaan obat yang optimal menjadi salah satu hal yang penting agar
ketersediaan obat terjaga dengan baik. Pengelolaan obat di apotek berjalan dengan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
60
Universitas Indonesia
baik dan diikuti dengan administrasi yang baik. Pengelolaan obat diawali dengan
perencanaan. Perencanaan obat dilakukan berdasarkan data yang terdapat pada
buku defekta. Stok obat yang habis dan permintaan obat tertentu dari masyarakat
yang belum tersedia di apotek dicatat dalam buku defekta. Buku defekta di
Apotek Keselamatan terdiri dari dua jenis yaitu buku defekta obat ethical dan obat
OTC.
Pertimbangan jenis dan jumlah obat yang akan dipesan untuk pengadaan
obat juga dipengaruhi oleh anggaran yang ada, harga obat, pola peresepan dokter
dan jumlah persediaan minimum obat. Hal tersebut dilakukan agar apotek
memiliki ketersediaan obat yang lengkap, sehingga akan memberikan pelayanan
yang optimal kepada pelanggan serta akan menambah kepercayaan pelanggan.
Dalam pengelolaan sediaan obat di apotek, pengadaan merupakan hal yang sangat
penting. Pengadaan obat di apotek dilakukan dengan pemesanan obat ke PBF atau
ke toko obat. Obat dapat dipesan melalui telepon ataupun dipesan secara langsung
lewat karyawan PBF (sales) yang secara rutin berkunjung ke apotek.
Pemesanan obat secara langsung melalui sales yang datang ke apotek
dilakukan dengan menggunakan surat pesanan, sedangkan pemesanan melalui
telepon, surat pesanan diberikan saat obat diantar ke apotek. Pemesanan obat di
dilakukan dua kali dalam seminggu, yaitu setiap hari senin dan kamis. Pemesanan
ini sangat penting untuk memenuhi kebutuhan penjualan harian apotek, baik
penjualan obat bebas maupun penjualan obat resep.
Pada umumnya pemesanan obat dilakukan apabila stok obat telah
mencapai stok persediaan minimum atau obat dalam kondisi habis. Jika obat-obat
berada dalam kondisi tersebut harus segera ditulis dalam buku defecta. Obat-
obatan yang akan dipesan ke PBF harus disesuaikan jumlah dan jenisnya dengan
kebutuhan apotek. Jumlah obat yang dipesan juga dipengaruhi oleh tingkat
penjualan obat dan diskon dari PBF. Apabila suatu obat termasuk obat yang laku
terjual (fast moving) dan PBF menawarkan adanya diskon, maka pemesanan obat
tersebut dapat diperbanyak jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan stok satu
bulan. Setiap pemesanan obat ke PBF harus memenuhi batas kredit yang
ditentukan, yaitu memenuhi jumlah minimal pemesanan sehingga obat dapat
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
61
Universitas Indonesia
dikirim. Setiap PBF menetapkan nilai batas kredit atau jumlah minimal
pemesanan yang berbeda-beda.
Obat yang datang selanjutnya diterima oleh karyawan apotek dan diperiksa
kesesuaiannya dengan daftar obat yang ada di buku pemesanan. Pengecekan juga
dilakukan terhadap barang yang datang dengan faktur pembelian yang meliputi
jenis barang, merk, ukuran sediaan, jumlah, harga satuan, jumlah harga per jenis
barang dan jumlah harga keseluruhan obat yang tertera di dalam faktur. Jika obat
yang datang tersebut sudah sesuai, maka faktur ditandatangani dan diberi stempel
oleh karyawan apotek yang menandakan bahwa obat telah diterima. Jika terdapat
obat yang tidak sesuai pesanan, kemasan/obat rusak, atau tanggal kadaluarsanya
terlalu dekat, maka obat tersebut dikembalikan kepada PBF yang bersangkutan.
Selanjutnya akan dikirim barang yang sesuai dengan pesanan dan akan diberikan
faktur baru yang sesuai dengan pesanan. Faktur pembelian obat terdiri dari 1
lembar faktur asli dan 4 lembar salinan faktur. 1 lembar faktur asli dan 2 lembar
salinan faktur dikembalikan kepada karyawan PBF sedangkan 3 lembar salinan
faktur diambil dan disimpan oleh karyawan apotek sebagai arsip. Faktur yang
masuk dicatat dalam buku faktur masuk. Hal tersebut dilakukan untuk mengatur
jadwal pembayaran kepada PBF sesuai tanggal jatuh temponya dan anggaran yang
tersedia. Obat yang telah diterima selanjutnya dihitung harga jualnya sesuai
dengan besarnya pajak dan persentase keuntungan yang ingin diperoleh. Obat
tersebut kemudian diberi label harga dan dicatat di kartu stok sebagai obat yang
masuk. Catatan yang dimuat di kartu stok berupa tanggal obat masuk, jumlah
obat, PBF asal, dan sisa obat. Alur penerimaan barang di Apotek Keselamatan
dapat dilihat pada Lampiran 23.
Pembayaran obat yang dipesan dilakukan setelah karyawan PBF dan
apotek melakukan tukar faktur, yaitu menetapkan waktu pembayaran obat
berdasarkan periode pembayaran dan tanggal jatuh tempo yang telah disepakati.
Contoh tanda terima tukar faktur dapat dilihat pada Lampiran 23. Karyawan PBF
biasanya datang kembali ke apotek 1 minggu setelah pengiriman obat untuk
melakukan tukar faktur. Pada saat tukar faktur, sales PBF datang ke apotek
membawa faktur pembelian asli, bon pembelian rangkap dan faktur pajak. Pihak
apotek mengisi tanggal pembayaran yang akan dilakukan pada faktur pembelian
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
62
Universitas Indonesia
asli sesuai dengan buku faktur masuk dan memberikan bon asli kepada sales PBF
untuk dibawa kembali pada saat penagihan. Tanggal jatuh tempo pembayaran
umumnya 21 hari atau 30 hari setelah pemesanan obat. Pada tanggal jatuh tempo,
apotek melakukan pembayaran dan karyawan PBF akan menandatangani faktur
asli dan menyatakan lunas serta mengembalikan faktur asli kepada apotek.
Administrasi pencatatan penjualan di apotek dilakukan dengan baik dan
rapi oleh karyawan apotek. Setiap penjualan obat selalu dicatat di kartu stok obat
dan catatan harian penjualan. Catatan harian penjualan merupakan catatan hasil
penjualan setiap hari di apotek yang berisi nama/jenis obat, jumlah, harga jual dan
modal awal harian. Catatan harian penjualan tersebut dipisahkan antara OTC dan
obat ethical sehingga dapat diketahui rincian pemasukan apotek dari kedua
golongan obat tersebut.
Data dari catatan harian dicatat kembali dalam buku pemasukan dan
pengeluaran harian. Melalui buku tersebut, pemasukan dan pengeluaran dapat
dievaluasi setiap harinya. Data pada buku tersebut kemudian dimasukkan ke
dalam buku kas, yang digunakan sebagai data untuk mengevaluasi pemasukan dan
pengeluaran setiap bulan. Selain itu, evaluasi keuangan juga dilakukan setiap
tahun dengan membuat neraca dan laporan laba rugi. Evaluasi ini bertujuan untuk
melihat perkembangan apotek setiap tahunnya. Evaluasi terhadap pergerakan obat
juga dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui obat mana saja yang masih
tersedia dalam jumlah banyak, banyaknya obat yang sudah kadaluarsa dan jenis
obat yang tergolong fast moving dan slow moving.
Terdapat tiga jenis pelayanan yang dilakukan di apotek, yaitu pelayanan
obat OTC, pelayanan resep, pelayanan swamedikasi oleh apoteker serta pelayanan
pemeriksaan gula darah, kolesterol dan asam urat. Setelah resep diterima, obat
yang ada di resep diperiksa ketersediaannya di apotek. Jika obat yang diminta
tidak ada, pasien akan ditawarkan obat dengan komposisi sama dengan nama
dagang yang berbeda. Jika pasien setuju, harga dikonfirmasikan juga kepada
pasien dan obatnya langsung disiapkan bila pasien setuju. Resep diskrining secara
administrasi, farmasetik dan klinis oleh apoteker. Bila terdapat ketidakrasionalan,
maka dokter yang meresepkan segera dihubungi. Pasien diberikan informasi
mengenai indikasi dan efek samping obat, cara penggunaan obat, jangka waktu
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
63
Universitas Indonesia
pemakaian, makanan minuman yang dianjurkan atau dihindari ataupun saran
terapi nonfarmakologis lainnya pada saat penyerahan obat. Hal tersebut penting
dilakukan agar terapi farmakologi pasien berjalan dengan optimal dan
menghindari terjadinya medication error. Pada pelayanan resep, apoteker
meminta alamat dan nomor telepon pasien, khususnya pada resep yang
mengandung obat narkotika dan psikotropika. Hal ini bertujuan untuk
mempermudah apotek melakukan pemantauan jika ada obat yang salah dan untuk
kepentingan pengarsipan. Resep-resep yang masuk disimpan, dikelompokkan
setiap bulan dan diberi keterangan berupa nomor resep, tanggal resep, nama
pasien dan harga obat pada resep. Khusus untuk resep narkotika, penomoran resep
dipisahkan dengan resep biasa untuk mempermudah pelaporan narkotika ke
Kementerian Kesehatan secara online melalui website sipnap.binfar.depkes.go.id
secara online setiap bulannya. Pelayanan swamedikasi sebagian besar dilakukan
untuk pemakaian terhadap obat OTC atau Obat Wajib Apotek (OWA). Ada dua
jenis pelanggan dalam hal ini, yaitu pelanggan yang sudah mengetahui obat yang
akan dibeli dan pelanggan yang datang dengan keluhan penyakit tertentu tanpa
mengetahui obat yang akan dibeli. Pada jenis pelanggan yang kedua, apoteker
atau karyawan apotek membantu memilihkan obat dengan mempertimbangkan
usia, penyakit yang diderita dan harga yang disanggupi pasien. Pelayanan
swamedikasi di apotek sudah berjalan cukup baik, hal ini terlihat dari kepercayaan
masyarakat yang tinggi terhadap apoteker dalam melakukan swamedikasi.
Pelayanan tambahan di apotek yakni pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan
asam urat, pemeriksaan gula darah dan pemeriksaan kolesterol. Pemeriksaan
darah dilakukan oleh apoteker dengan menggunakan kit khusus sehingga hasilnya
dapat diketahui segera.
Apoteker juga memberikan rekomendasi dan informasi terhadap pasien
selama proses pemeriksaan. Pasien akan diberi kartu hasil pemeriksaan dan data
pasien diarsipkan dengan rapi. Data tersebut dikelompokkan berdasarkan tanggal
pemeriksaan tiap pasien yang bisa berfungsi sebagai rekam medis pasien.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Apotek Keselamatan
telah berjalan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian. Apotek telah melaksanakan fungsi apoteknya sebagai
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
64
Universitas Indonesia
sarana pelayanan kefarmasian yaitu tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
apoteker seperti pengadaan, penyimpanan, pendistribusian obat, pelayanan obat
atas resep dokter serta memberikan pelayanan informasi obat. Selain itu, Apotek
Keselamatan juga telah menerapkan sebagian besar standar pelayanan
kefarmasian sesuai Keputusan Menkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 yang
meliputi pelayanan resep, promosi dan edukasi. Pelayanan kefarmasian yang
belum dilaksanakan oleh Apotek Keselamatan adalah home care.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
65 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama melakukan PKPA (Praktek
Kerja Profesi Apoteker) di Apotek Keselamatan, terdapat beberapa hal yang dapat
disimpulkan antara lain :
a. Apoteker Pengelola Apotek memiliki peranan yang sangat penting dalam
keberlangsungan pengelolaan apotek yang meliputi kegiatan administrasi,
manajemen keuangan, pengadaan, penyimpanan, dan pelayanan kefarmasian
di apotek terutama pelayanan swamedikasi.
b. Pengelolaan Apotek Keselamatan yang meliputi kegiatan administrasi,
manajemen keuangan, pengadaan, penerimaan dan penyimpanan, penjualan
perbekalan farmasi serta pelayanan kefarmasian terhadap pasien telah
dilakukan dengan baik serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
5.2 Saran
Perlunya dilaksanakan pelayanan rumah (home care), monitoring
penggunaan kerasionalan obat dan monitoring terhadap efek yang tidak
diinginkan dari penggunaan obat berdasarkan Patient Medication Record (PMR),
yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan apotek dan menjamin
keberhasilan terapi yang dilakukan.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
66 Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2013). PeraturanKepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia No. 40Tahun 2013 tentang Pedoman Pengelolaan Prekursor Farmasi dan ObatMengandung Prekursor Farmasi. Jakarta: Badan Pengawas Obat danMakanan Republik Indonesia
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman PengelolaanPerbekalan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Jenderal BinaKefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RepublikIndonesia.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan KementerianKesehatan Republik Indonesia. (2010). Review Penerapan SistemPelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) dan Sistem PelaporanDinamika Obat PBF Regional I, II dan III Tahun 2010. 20 Agustus 2013.http://binfar.depkes.go.id/index.php/berita/view/178
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1969). Keputusan MenteriKesehatan Republik Indonesia Nomor 6355/Dir.Jen/SK/1969. Jakarta:Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1978). Peraturan MenteriKesehatan Republik Indonesia Nomor 28/MENKES/PER/V/1978 tentangPenyimpanan Narkotika. Jakarta: Kementerian Kesehatan RepublikIndonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1983). Keputusan MenteriKesehatan Republik Indonesia Nomor 2380/A/SK/VI/83 tentang TandaKhusus untuk Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Jakarta: KementerianKesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1986). Keputusan MenteriKesehatan Republik Indonesia Nomor 2396/A/SK/VII/86 tentang TandaKhusus Obat Keras Daftar G. Jakarta: Kementerian Kesehatan RepublikIndonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1990). Keputusan MenteriKesehatan Nomor 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotik.Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
67
Universitas Indonesia
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Peraturan MenteriKesehatan Republik Indonesia Nomor 919/MENKES/PER/X/1993 TentangKriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep. Jakarta: KementerianKesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Peraturan Menteri KesehatnRepublik Indonesia Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuandan Tata Cara Pemberian Izin Apotik. Jakarta: Kementerian KesehatanRepublik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Keputusan MenteriKesehatan Nomor 924/MENKES/Per/X/1993 tentang Daftar Obat WajibApotik No.2. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1999). Keputusan MenteriKesehatan Nomor 1176/MENKES/SK/X/1999 tentang Daftar Obat WajibApotik No.3. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan MenteriKesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 tentangPerubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian IzinApotek. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan MenteriKesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentangStandar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: KementerianKesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebasdan Bebas Terbatas. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan KlinikDirektorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen KesehatanRepublik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Keputusan MenteriKesehatan Republik Indonesia Nomor 1121/Menkes/SK/XII/2008 tentangPedoman Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untukPelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RepublikIndonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan MenteriKesehatan Republik Indonesia Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 tentangRegistrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Jakarta:Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (1976). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor9 Tahun 1976 Tentang Narkotika. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
68
Universitas Indonesia
Presiden Republik Indonesia. (1980). Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan PemerintahNomor 26 Tahun 1965 tentang Apotik. Jakarta: Presiden RepublikIndonesia.
Presiden Republik Indonesia (1997). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009tentang Kesehatan. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: PresidenRepublik Indonesia.
Quick, Jonathan D. (1997). Managing drug supply: The selection, procurement,distribution, and use of pharmaceuticals 2nd Edition. Connecticut:Kumarian Press.
Seto, Soerjono, Nita, Yunita, dan Triana, Lily. (2004). Manajemen Farmasi:Lingkup Apotek, Farmasi Rumah Sakit, Pedagang Besar Farmasi, IndustriFarmasi. Jakarta: Airlangga University Press.
Umar, M. (2011). Manajemen Apotek Praktis. (Ed. ke-4). Jakarta: Wira PutraKencana.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
LAMPIRAN
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
69
Universitas Indonesia
Lampiran 1. Contoh formulir APT-1
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
70
Universitas Indonesia
Lampiran 1. (Lanjutan)
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
71
Universitas Indonesia
Lampiran 2. Contoh formulir APT-2
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
72
Universitas Indonesia
Lampiran 3. Contoh formulir APT-3
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
73
Universitas Indonesia
Lampiran 3. (Lanjutan)
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
74
Universitas Indonesia
Lampiran 3. (Lanjutan)
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
75
Universitas Indonesia
Lampiran 3. (Lanjutan)
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
76
Universitas Indonesia
Lampiran 3. (Lanjutan)
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
77
Universitas Indonesia
Lampiran 3. (Lanjutan)
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
78
Universitas Indonesia
Lampiran 4. Contoh formulir APT-4
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
79
Universitas Indonesia
Lampiran 5. Contoh formulir APT-5
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
80
Universitas Indonesia
Lampiran 5. (Lanjutan)
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
81
Universitas Indonesia
Lampiran 5. (Lanjutan)
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
82
Universitas Indonesia
Lampiran 6. Contoh formulir APT-6
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
83
Universitas Indonesia
Lampiran 7. Contoh formulir APT-7
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
84
Universitas Indonesia
Lampiran 8. Surat pesanan narkotika
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
88
Universitas Indonesia
Lampiran 10. Surat pesanan psikotropika
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
91
Universitas Indonesia
Lampiran 12 . Lokasi Apotek Keselamatan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
92
Universitas Indonesia
Lampiran 13. Denah ruangan Apotek Keselamatan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
93
Universitas Indonesia
Lampiran 14. Desain eksterior Apotek Keselamatan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
94
Universitas Indonesia
Lampiran 15. Desain obat-obat OTC Apotek Keselamatan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
95
Universitas Indonesia
Lampiran 16. Desain obat-obat ethical Apotek Keselamatan
95
Universitas Indonesia
Lampiran 16. Desain obat-obat ethical Apotek Keselamatan
95
Universitas Indonesia
Lampiran 16. Desain obat-obat ethical Apotek Keselamatan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
96
Universitas Indonesia
Lampiran 17. Surat pesanan Apotek Keselamatan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
97
Universitas Indonesia
Lampiran 18. Tanda terima tukar faktur Apotek Keselamatan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
98
Universitas Indonesia
Lampiran 19. Kartu stok barang Apotek Keselamatan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
99
Universitas Indonesia
Lampiran 20. Etiket obat Apotek Keselamatan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
100
Universitas Indonesia
Lampiran 21. Salinan resep Apotek Keselamatan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
101
Universitas Indonesia
Lampiran 22. Kuitansi Apotek Keselamatan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
102
Universitas Indonesia
Lampiran 23. Alur penerimaan barang di Apotek Keselamatan
102
Universitas Indonesia
Lampiran 23. Alur penerimaan barang di Apotek Keselamatan
102
Universitas Indonesia
Lampiran 23. Alur penerimaan barang di Apotek Keselamatan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN TUGAS KHUSUSPRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI APOTEK KESELAMATANJALAN KESELAMATAN NO. 27 MANGGARAI
JAKARTA SELATAN
PEMBUATAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN DI APOTEKTENTANG KONSTIPASI DAN PENANGANANNYA
LINDA JULI ASTUTI, S. Farm.1206329770
ANGKATAN LXXVII
FAKULTAS FARMASIPROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOKJANUARI 2014
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... iDAFTAR ISI ................................................................................................ iiDAFTAR TABEL........................................................................................ iiiDAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................ 11.1 Latar Belakang.............................................................................. 11.2 Tujuan........................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 32.1 Konstipasi ..................................................................................... 32.2 Promosi Kesehatan ....................................................................... 162.3 Poster ............................................................................................ 20
BAB 3 METODOLOGI TUGAS KHUSUS.............................................. 253.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan................................................... 253.2 Metode Pelaksanaan ..................................................................... 25
BAB 4 PEMBAHASAN .............................................................................. 26
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 315.1 Kesimpulan................................................................................... 315.2 Saran ............................................................................................. 31
DAFTAR ACUAN....................................................................................... 32
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Rekomendasi dosis untuk pencahar dan katartik ......................... 13
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Desain poster konstipasi ........................................................... 34
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konstipasi merupakan masalah kronis pada banyak pasien di seluruh
dunia. Untuk kelompok pasien seperti orang tua, konstipasi merupakan masalah
kesehatan yang cukup berarti dan pada sebagian besar kasus konstipasi kronis hal
tersebut cukup mengganggu, tetapi tidak menyebabkan kematian atau
membahayakan kesehatan, keluhan yang terjadi dapat diatasi dengan perawatan
medis yang efektif dengan biaya yang terjangkau (WGO, 2010). Konstipasi
merupakan keluhan umum dan sekitar sepertiga dari pasien dengan konstipasi
melakukan perawatan medis. Sembelit terjadi pada sekitar 20% dari populasi.
Sekitar 2,5 juta pasien berobat ke dokter dan 90.000 pasien rawat inap per tahun
di Amerika Serikat disebabkan oleh konstipasi (NDDIC, 2013).
Konstipasi adalah periode buang air besar (BAB) kurang dari 3 kali
seminggu untuk wanita dan 5 kali seminggu untuk pria, atau periode lebih dari 3
hari tanpa pergerakan usus; BAB yang dipaksakan lebih dari 25% dari
keseluruhan waktu dan atau 2 kali atau kurang BAB setiap minggu; dapat pula
diartikan sebagai ketegangan saat defekasi dan kurang dari 1 kali BAB per hari
dengan usaha yang minimal (Wells, 2009). Konstipasi bukan merupakan suatu
penyakit tetapi dapat merupakan suatu gejala dari penyakit yang lebih serius
(WGO, 2010).
Di Indonesia gangguan pencernaan fungsional terkait keluhan konstipasi
berhubungan erat dengan jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan. Selain
keterkaitan dari faktor-faktor psikologis, pola makanan tidak sehat merupakan
faktor terbesar. Saat ini masyarakat Indonesia terutama yang di perkotaan
mengalami pergeseran pola konsumsi makanan. Seiring dengan kemajuan zaman
dan perbaikan sosial ekonomi masyarakat, maka terjadi pula perubahan kebiasaan
makan. Makanan siap saji telah menjadi konsumsi rutin sehari-hari pada sebagian
besar masyarakat (Bardosono, 2011).
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
2
Universitas Indonesia
Asupan serat yang terlalu rendah dalam kurun waktu lama akan
berpengaruh pada kesehatan dan dapat menimbulkan berbagai macam penyakit
seperti konstipasi atau sembelit, kegemukan dan serangan penyakit degeneratif
(Bardosono, 2011). Konstipasi umumnya memberikan gejala berupa rasa cemas
sewaktu defekasi karena nyeri yang dirasakan, nyeri perut berulang, sampai
keadaan penurunan nafsu makan dan gangguan pertumbuhan (Jurnalis, 2013).
Penanganan yang tepat dapat menyembuhkan konstipasi dan mencegah
terjadinya kekambuhan bagi pasien. Beberapa orang dengan kasus konstipasi
dapat diobati atau dicegah hanya dengan menggunakan terapi nonfarmakologi,
namun ada pula yang membutuhkan pengobatan farmakologi menggunakan obat-
obat laksatif (Bardosono, 2011). Untuk itu dibutuhkan peran Apoteker sebagai
salah satu teanga kesehatan dalam merekomendasikan dan memberikan informasi
mengenai pengobatan yang tepat untuk penyakit konstipasi, sehingga pasien
mendapatkan terapi yang tepat dan rasional.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan tugas khusus ini adalah sebagai berikut:
1.2.1 Mengetahui pengobatan konstipasi.
1.2.2 Melakukan upaya promosi kesehatan konstipasi melalui media cetak poster.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
3 Universitas Indonesia
BAB 2
TUNJAUAN PUSTAKA
2.1 Konstipasi
2.1.1 Pengertian
Konstipasi tidak hanya memiliki satu definisi umum yang disepakati.
Sembelit atau konstipasi (penimbunan feses yang keras di dalam usus besar)
adalah keluhan yang sering terjadi dan merupakan keluhan yang utama pada
lansia (Corwin, 2009). Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar
berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak puas/lampiasnya
buang air besar, terdapat rasa sakit, perlu ekstra mengejan atau feses yang keras.
Dalam praktik sehari-hari dikatakan konstipasi bila buang air besar kurang dari 3
kali seminggu atau lebih dari 3 hari tidak buang air besar atau dalam buang air
besar diperlukan mengejan secara berlebihan (Sudoyo, 2007).
Menurut Wells (2009) konstipasi adalah periode buang air besar (BAB)
kurang dari 3 kali seminggu untuk wanita dan 5 kali seminggu untuk laki-laki,
atau periode lebih dari 3 hari tanpa pergerakan usus; BAB yang dipaksakan lebih
dari 25% dari keseluruhan waktu dan atau 2 kali atau kurang BAB setiap minggu;
dapat pula diartikan sebagai ketegangan saat defekasi dan kurang dari 1 kali BAB
per hari dengan usaha yang minimal.
Definisi lain menyebutkan bahwa konstipasi dianggap sebagai gangguan
heterogen yang ditandai oleh ketidakteraturan pada saat buang air besar sehingga
feses jarang dikeluarkan, kesulitan mengeluarkan feses atau dapat berupa
keduanya. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai kesulitan pengeluaran feses
dengan sedikit atau banyak usaha (mengejan), jumlah feses yang terlalu sedikit,
konsistensi feses yang terlalu keras dan rasa kesakitan saat mengeluarkan feses.
Konstipasi kronis terjadi apabila gejala konstipasi tersebut berlangsung selama
minimal tiga bulan (Dipiro, et. al, 2008).
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
4
Universitas Indonesia
2.1.2 Etiologi dan Epidemiologi
Konstipasi bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan gejala yang
mengindikasikan adanya penyakit atau masalah pada kesehatan (Dipiro, et. al,
2008). Konstipasi (penimbunan feses yang keras di dalam usus besar) adalah
keluhan yang sering terjadi dan merupakan keluhan yang utama pada pasien lanjut
usia (Kee, 1996). Pasien lanjut usia, non-kaukasian, wanita dan orang-orang
dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi rendah lebih sering dilaporkan
terkena konstipasi. Konstipasi pada anak bisa terjadi karena perubahan dalam pola
makanan atau kebiasaan asupan cairan, perubahan rutinitas ke toilet seperti selama
liburan dan menahan buang air besar. Anak-anak yang didiagnosis dengan
konstipasi parah pada usia muda cenderung terus menderita konstipasi selama
masa pubertas (Dipiro, et al, 2008).
2.1.3 Patofisiologi
Konstipasi dapat disebabkan oleh penyebab primer dan sekunder.
Konstipasi primer atau idiopatik dibagi menjadi normal-transit konstipasi, slow-
transit konstipasi dan defekasi disinergik. Pada jenis normal-transit konstipasi,
motilitas kolon tidak berubah dan pasien cenderung mengalami feses yang keras
meskipun pergerakannya normal. Dalam jenis slow-transit konstipasi, motilitas
menurun menyebabkan feses yang keras dan kering. Dalam defekasi disinergik
(juga dikenal sebagai disfungsi dasar pelvis), pasien telah kehilangan kemampuan
untuk relaksasi anal sphincter dan koordinasi kontraksi otot dasar panggul
(Dipiro, et al, 2008).
Menurut Dipiro, et al (2008) penyebab konstipasi primer adalah:
a. Normal-transit konstipasi (termasuk idiopatik/ kerusakan fungsional)
b. Slow-transit konstipasi (termasuk kerusakan motilitas)
c. Penyakit Hirschprung’s
Penyebab konstipasi sekunder adalah (Abrams, 1995; Kee, 1996; Sudoyo,
2007; Dipiro, et al, 2008; Wells, 2009):
a. Kelainan endokrin/metabolik (diabetes melitus dengan neuropati,
hipotiroidisme, panhipopituitarisme, peokromositoma, gagal ginjal kronik
dan hiperkalsemia).
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
5
Universitas Indonesia
b. Gangguan gastrointestinal (Irritable Bowel Syndrome tipe konstipasi,
diverticulitis, penyakit saluran cerna bagian atas atau bawah, tumor, hernia,
tuberkulosis, limfogranuloma, sifilis, hemorrhoid, obstruksi gastroduodonal
akibat ulser atau kanker, anal fissures dan ulcerative proctitis).
c. Obstruksi usus.
d. Kondisi neurogenik (trauma otak, tumor CNS, cedera tulang belakang, cedera
cerebrovascular, paraplegia, neuropati otonom dan penyakit Parkinson).
e. Psikogenik (menunda buang air besar, kelainan psikiatrik dan Inappropriate
Bowel Habits).
f. Obat-obatan: analgesik (penghambat sintesis prostaglandin dan opiat seperti
kodein dan morfin yang pemberian peroral memiliki efek penghambatan pada
saluran cerna lebih besar dibandingkan pemberian parenteral), antikolinergik
(antihistamin, antiparkinson dan fenotiazin), antidepresan trisiklik, antasida
yang mengandung kalsium karbonat atau aluminium hidroksida, penyekat
kanal kalsium, barium sulfat, klonidin, diuretik (nonpotassium sparing),
ganglion blockers, suplemen besi dan kalsium, muscle blockers (d-
tubokurarin, suksinilkolin), polistiren sodium sulfonat dan pemakaian laksatif
kronik.
g. Lain-lain: imobilitas, gangguan hormonal, pola hidup seperti diet rendah serat
atau kebiasaan makan yang buruk, kurang masukan cairan/minum, kebiasaan
buang air besar yang tidak teratur, menunda keinginan buang air besar dan
kurang olahraga.
h. Kehamilan. Konstipasi mempengaruhi sekitar 50% dari wanita hamil. Kadar
progesteron berpengaruh dalam memperlambat pencernaan. Mekanisme
reabsorpsi air dapat mempengaruhi usus selama kehamilan menyebabkan
feses keras dan buang air besar lebih sulit. Asupan suplemen zat besi juga
dapat menyebabkan konstipasi selama kehamilan.
2.1.4 Manifestasi Klinis
Pasien mengeluh tentang rasa tidak nyaman dan kembung pada perut,
pergerakan usus yang hilang timbul, feses dengan jumlah sedikit, perasaan penuh
atau kesulitan dan sakit pada saat mengeluarkan feses. Konstipasi fungsional
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
6
Universitas Indonesia
(konstipasi terjadi tanpa adanya kondisi patologis) menunjukkan setidaknya dua
dari gejala berikut: tegang pada saat buang air besar, feses kental atau keras,
sensasi pengeluaran feses yang tidak lengkap, sensasi obstruksi atau penyumbatan
anorektal, perlu untuk tindakan manual untuk memperlancar buang air besar dan
atau jarang (kurang dari tiga) gerakan usus per minggu (Sudoyo, 2007).
Gejala yang harus diwaspadai mencakup dari keparahan konstipasi itu
sendiri adalah darah dalam feses, turun berat badan, demam, anoreksia, nausea
dan muntah (Dipiro, et al, 2008). Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
dapat terjadi sehingga menyebabkan hipokalemia sedangkan pada kondisi
gastroenteropati dapat terjadi kehilangan protein yang menyebabkan
hipoalbuminemia dan sindrom menyerupai kolitis (Wells, 2009). Pasien harus
berobat ke dokter apabila gejala bertahan paling lama 3 minggu, menghilang
kemudian timbul gejala yang harus diwaspadai dan terjadi perubahan terhadap
kebiasaan buang air besar (Dipiro, et al, 2008).
2.1.5 Pendekatan Diagnostik
Riwayat lengkap harus diperoleh sehingga gejala-gejala pasien dapat
dievaluasi dan diagnosis konstipasi dapat dikonfirmasi. Diagnosis konstipasi
disarankan oleh kurang dari tiga gerakan usus per minggu, konsistensi feses kental
dan keras, mengejan yang berlebihan dan waktu buang air besar yang
berkepanjangan (Sudoyo, 2007).
Kebiasaan diet juga harus dievaluasi dan diperhatikan terkait dengan
psikososialnya. Riwayat lengkap keluarga juga harus diketahui terkait dengan
penyakit radang usus atau kanker kolon. Obat yang sedang dikonsumsi baik resep
dari dokter maupun Over The Counter (OTC) juga harus diketahui untuk
mengidentifikasi penyebab konstipasi. Hasil pemeriksaan yang diperlukan dalam
penegakan diagnosis konstipasi (Sudoyo, 2007; Dipiro, et al, 2008; Wells, 2009).
adalah:
a. Anamnesis yang akurat untuk mendeteksi adanya penurunan berat badan,
perdarahan saluran cerna, riwayat kanker dalam keluarga, pola buang air
besar sebelumnya.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
7
Universitas Indonesia
b. Pemeriksaan fisik untuk menilai keadaan sistemik dan lokal, terutama tanda
adanya massa intra abdomen dan peristaltik usus.
c. Tes fungsi tiroid: kadar hormon tiroid yang abnormal mungkin menunjukkan
hipotiroidisme/hipertiroidisme yang mungkin berhubungan dengan
konstipasi.
d. Serum kalsium: peningkatan/penurunan kadar serum kalsium mungkin
mengindikasikan adanya konstipasi.
e. Kadar glukosa darah: terkait diabetes melitus.
f. Serum elektrolit: dehidrasi mungkin mengindikasikan adanya konstipasi.
g. Urinalisis: dapat juga mengindikasikan adanya dehidrasi (jika diperlukan).
h. Hitung darah lengkap: anemia mungkin disebabkan oleh kanker atau
kerusakan sistemik lainnya yang menyertai konstipasi.
i. Sigmoidoskopi, kolonoskopi dan barium enema (diperlukan untuk pasien
yang mengalami penurunan berat badan, pendarahan rektal atau anemia).
j. Pemeriksaan transit kolon.
k. Manometri anorektal.
2.1.6 Pengobatan
Pada pasien dengan konstipasi, tujuan utama pengobatan adalah untuk
meredakan gejala, mengidentifikasi dan mengobati penyebab sekunder serta
memulihkan fungsi usus normal (Wells, 2009).
a. Terapi Nonfarmakologi
Modifikasi gaya hidup harus dilakukan sebelum pilihan menggunakan obat
pencahar. Konstipasi biasanya merespon terhadap suplemen makanan serat,
hidrasi dan olahraga. Meningkatkan asupan serat hingga 20-35 gram/hari dapat
membantu mengatasi konstipasi. Contoh makanan tinggi serat adalah kacang-
kacangan, biji-bijian, sereal, buah-buahan segar dan sayuran seperti asparagus,
bayam, sawi dan wortel. Orang dengan konstipasi harus menghindari makanan
olahan rendah serat yang berlebihan seperti makan siang daging, hot dog, keju dan
es krim (Dipiro, et. al, 2008).
Asupan cairan yang cukup juga penting (Kee, 1996). Asupan yang
direkomendasikan untuk orang-orang yang tidak memerlukan pembatasan cairan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
8
Universitas Indonesia
adalah 6 sampai 8 gelas air setiap hari. Konsumsi air yang banyak akan
mengurangi terbentuknya feses yang keras dan kering sehingga mempermudah
proses defekasi (Dipiro, et. al, 2008).
Berjalan dan olahraga lain membantu meningkatkan peristaltik otot-otot
perut bagian bawah yang juga akan meningkatkan propulsi dalam usus (Wells,
2009). Konstipasi adalah keluhan yang sering menetap bagi sebagian pasien.
Setiap hari kebanyakan orang mengalami gelombang peristaltik yang kuat dan
dikenal sebagai refleks gastrokolik, yaitu sebuah gerakan usus biasanya diikuti
dengan dorongan untuk buang air besar sehingga sebaiknya tidak menunda
keinginan buang air besar. Gaya hidup yang terlalu sibuk seharusnya tidak
diperbolehkan karena mengganggu fungsi normal usus (Dipiro, et. al, 2008).
Pada kasus yang sudah semakin parah tindakan nonfarmakolgi lain yang
dapat dilakukan adalah pembedahan dan terapi biofeedback (Wells, 2009).
b. Terapi Farmakologi
Laksatif dan katartiks dipakai untuk mengeluarkan feses. Laksatif
melunakkan feses dan katartik menyebabkan feses lunak sampai berair dengan
sedikit kram (rasa nyeri). Seringkali dosis ditentukan oleh apakah obat bekerja
sebagai laksatif atau katartik. Suatu obat pencahar adalah satu katartik “kuat”,
yang menyebabkan feses berair dan sakit perut (Kee, 1996). Menurut Kee (1996)
ada empat tipe laksatif secara garis besar: (1) osmotik (salin), (2) kontak
(sebelumnya disebut stimulan/perangsang atau iritan), (3) pembentuk bulk/zat
pembesar volume (bulking agents) dan (4) pelunak feses (emolient laxatives).
Rekomendasi dosis yang tepat untuk penggunaan pencahar dan katartik dapat
dilihat lebih lengkap pada Tabel 2.1.
1) Laksatif Pembentuk Bulk
Laksatif ini dapat berasal alami (psyllium) atau sintetis (metil selulosa).
Laksatif jenis ini bekerja dengan mengembang dan menyerap cairan di dalam
usus, membentuk gel yang membantu dalam eliminasi fekal dan meningkatkan
peristaltik usus. Efek sampingnya dapat menyebabkan perut kembung (yang
jarang ditemui dengan penggunaan metilselulosa) dan kram perut. Obat laksatif
ini cara penggunaannya harus dicampurkan dengan air yang cukup dan diminum
segera diikuti dengan setengah atau segelas air. Kurangnya masukkan cairan akan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
9
Universitas Indonesia
menyebabkan obat ini mengeras di dalam saluran gastroingestinal, sehingga dapat
menyebabkan obstruksi usus atau memburuk konstipasi (Dipiro, et al., 2008).
Defekasi biasanya timbul dalam 8-24 jam (Kee, 1996). Golongan laksatif ini tidak
menyebabkan ketergantungan laksatif. Awal kerja psilium 8-24 jam. Interaksi
obat akan timbul dengan obat-obat ini. Psilium mengurangi absorpsi antikoagulan
oral, aspirin dan digoksin (Wells, 2009).
2) Laksatif Osmotik
Jenis laksatif ini menyebabkan air masuk ke lumen usus besar dan
menyebabkan feses yang setengah berbentuk sampai cair (Kee, 1996). Laktulosa
dan sorbitol termasuk golongan osmolar, gula yang tidak dapat diserap.
Magnesium meningkatkan sekresi elektrolit dan air ke dalam lumen usus. Sediaan
yang mengandung turunan magnesium atau natrium fosfat (pencahar salin/garam)
berguna untuk konstipasi akut. Yang harus diperhatikan terkait laksatif ini bahwa
penggunaan yang tidak tepat dapat menyebabkan dehidrasi dan gangguan
elektrolit (Dipiro, et al., 2008).
Laksatif osmotik dapat menyebabkan kram perut dan kembung. serum
harus dipantau untuk menghindari ketidakseimbangan elektrolit. Magnesium
dapat terakumulasi pada pasien dengan disfungsi ginjal (Dipiro, et al., 2008).
Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengeluarkan kelebihan garam.
Golongan laksatif ini kontraindikasi pada pasien yang memiliki payah jantung
kongesif (Kee, 1996). Salin katartik harus digunakan terutama untuk kondisi usus
akut, yang mungkin diperlukan sebelum pemeriksaan diagnostik, setelah
keracunan, dan dalam pengobatan dengan beberapa anthelmintik untuk
menghilangkan parasit (Wells, 2009).
Polietilenglikol (PEG, Miralax®) merupakan pencahar osmotik yang
hanya boleh digunakan dengan resep dokter. Hal ini berguna pada pasien yang
mengalami konstipasi akut dan yang telah tidak memberi respon yang memadai
terhadap laksatif yang lain. Efek samping utamanya meliputi sakit perut,
kembung, kram, dan timbulnya gas (Dipiro, et al., 2008).
Laktulosa, katartik salin lain yang bukan penyerap, menarik air ke dalam
intestin dan meningkatkan retensi air dan elektrolit. Obat ini menurunkan kadar
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
10
Universitas Indonesia
amonia dalam serum dan berguna pada penderita gangguan hepar, seperti sirosis
(Dipiro, et al., 2008).
Gliserin bekerja seperti laktulosa, meningkatkan air dalam feses di usus
besar (Katzung, 1992). Bertambahnya bentuk akibat bertambahnya air dalam feses
ini merangsang peristaltik dan proses buang air besar. Agen ini biasanya diberikan
sebagai supositoria 3 g dan berefek osmotik dalam rektum. Seperti kebanyakan
golongan supositoria, timbulnya efek biasanya kurang dari 30 menit. Gliserin
dianggap sebagai pencahar aman, meskipun kadang-kadang dapat menyebabkan
iritasi dubur. Penggunaannya dapat diterima secara intermiten untuk konstipasi
terutama pada anak-anak (Dipiro, et al., 2008).
Sorbitol (monosakarida) telah direkomendasikan sebagai obat utama
dalam pengobatan sembelit fungsional pada pasien kognitif utuh. Sorbitol sama
efektifnya dengan laktulosa dan jauh lebih murah (Wells, 2009).
3) Laksatif Stimulan (Kontak)
Laksatif kontak (stimulan atau iritan) meningkatkan peristaltik dengan
mengiritasi ujung-ujung saraf sensoris pada mukosa usus. Jenis-jenisnya
mencakup obat-obat yang mengandung fenolftalein (Ex-Lax®, Feen-A-Mint®,
Correctol®), bisakodil (Dulcolax®), kaskara sagrada, senna (Senokot®) dan
minyak kastrol (jarang digunakan). Bisakodil dan beberapa obat-obat lain dari
golongan ini dipakai untuk mengosongkan usus sebelum dilakukan pemeriksaan
diagnostik (barium enema) dan pembedahan.
Derivat difenilmetana (misalnya, bisakodil) dan antrakuinon (misalnya,
senna) memiliki aksi selektif pada saraf pleksus otot polos usus yang mengarah ke
peningkatan motilitas. Onset efek yang cepat tetapi dengan efek yang keras
(kram) tergantung pada dosis yang diambil. Awalan kerja dari bisakodil oral
timbul dalam 6-12 jam dan dalam 15-25 menit dengan suppositoria (pemberian
dari rektum) (Dipiro, et al., 2008). Efek samping mencakup mual, muntah, diare
dan nyeri perut, kelemahan dan air kemih berwarna merah-kecokelatan karena
ekskresi fenolptalein, senna atau kaskara (Kee, 1996).
Minyak jarak dimetabolisme di saluran pencernaan menjadi senyawa aktif
asam risinoleat yang merangsang proses sekresi, mengurangi penyerapan glukosa
dan meningkatkan motilitas usus terutama di usus kecil. Minyak jarak biasanya
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
11
Universitas Indonesia
menghasilkan buang air besar setelah 1 sampai 3 jam pemberian. Minyak jarak
tidak boleh digunakan untuk pengobatan rutin konstpasi karena merupakan
pencahar yang kuat (Wells, 2009).
4) Emolien
Golongan ini dikenal sebagai surfaktan dan pelunak feses, emolien
bertindak dengan meningkatkan aksi pembasahan permukaan dan mengarah ke
efek melunakkan feses. Emolien mengurangi gesekan dan membuat feses lebih
mudah untuk dikeluarkan (Dipiro, et al., 2008). Pelunak feses bekerja dengan
meningkatkan penimbunan air di dalam intestin (Kee, 1996). Golongan obat ini
tidak efektif dalam menyembuhkan konstipasi namun umumnya digunakan untuk
mencegah konstipasi. Obat ini sering diberikan pada pasien yang menghindari
mengejan dalam buang air besar seperti pada pasien yang baru mendapat serangan
infark miokardium atau pasca operasi rektal (Wells, 2009). Juga diberikan
sebelum memberikan laksatif lain untuk mengobati impaksi feses ( Kee, 1996).
Golongan ini tidak direkomendasikan untuk mengobati konstipasi jangka panjang
(Abrams, 1995).
5) Lubrikan/pelumas
Pencahar pelumas bekerja dengan melapisi feses, sehingga lebih mudah
dikeluarkan. Lapisan film berminyak yang melapisi feses juga membuat feses
kehilangan air untuk proses reabsorpsi usus. Minyak mineral (cairan petrolatum)
harus digunakan dengan hati-hati karena daapt diabsorbsi secara sistemik
sehingga menyebabkan reaksi tubuh pada jaringan limfoid dan dapat terhirup ke
paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia lipoid (Wells, 2009). Hal ini
menjadi perhatian khusus pada anak-anak dan orang tua (Dipiro, et al., 2008).
6) Tegaserod Maleat
Tegaserod Maleat (Zelnorm®) adalah serotonin parsial reseptor (5-HT)
agonis yang menyebabkan peningkatan aktivitas peristaltik dan sekresi usus. Hal
tersebut meningkatkan frekuensi buang air besar dan mengurangi
ketidaknyamanan perut, kembung, dan kram. Hal ini diindikasikan untuk
pengobatan pasien usia kurang dari 65 tahun yang mengalami konstipasi kronis
idiopatik. Efek samping yang paling umum termasuk sakit kepala, sakit perut,
diare, dan mual (Dipiro, et al., 2008).
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
12
Universitas Indonesia
7) Lubiproston
Lubiproston (Amitiza®), senyawa asam bisiklik oral, telah disetujui untuk
pengobatan konstipasi kronis idiopatik pada orang dewasa namun belum diteliti
pada anak-anak. Lubiproston bertindak secara lokal pada saluran usus dan
meningkatkan sekresi cairan usus sehingga meningkatkan motilitas usus serta
meningkatkan pengeluaran feses (Dipiro, et al., 2008).
Lubiproston dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat obstruksi
mekanik gastrointestinal. Keananan untuk wanita hamil belum dilakukan
penelitian; studi pada hewan menunjukkan potensi kematian janin. Wanita yang
berpotensi hamil harus menunjukkan hasil tes kehamilan negatif sebelum
memulai terapi dengan lubiproston (Dipiro, et al., 2008).
Efek samping gastrointestinal termasuk mual, diare, perut kembung, perut
nyeri, perut kembung, muntah, mencret, dan dispepsia dilaporkan dengan
lubiproston. Mual adalah efek samping yang menonjol dan dapat diperkecil
dengan pemberian lubiproston bersama makanan (Wells, 2009).
Dosis yang dianjurkan adalah 24 mcg lubiproston oral dua kali sehari
dengan makanan. Studi awal evaluasi penggunaan lubiproston tidak lebih dari 4
minggu. Pasien harus dievaluasi secara berkala untuk kebutuhan terapi
selanjutnya (Dipiro, et al., 2008).
8) Golongan lainnya
Cairan enema dapat digunakan untuk mengobati konstipasi sederhana.
Administrasi dari 200 mL cairan enema pada orang dewasa dapat menyebabkan
buang air besar dalam waktu 1,5 jam. Busa sabun tidak lagi direkomendasikan
untuk digunakan dalam enema karena penggunaannya dapat menyebabkan
proktitis atau kolitis (Wells, 2009).
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
13
Universitas Indonesia
Tabel 2.1 Rekomendasi dosis untuk pencahar dan katartik
Golongan Rekomendasi Dosis Dewasa
Golongan Pelunak Feses dalam 1-3 hari
Golongan pembentuk massa feses
Metil selulosa 4-6 g/hari
Polikarbofil 4-6 g/hari
Psyllium Bervariasi sesuai produk
Golongan emolien
Natrium Docusate 50-360 mg/hari
Kalsium Docusate 50-360 mg/hari
Kalium Docusate 100-300 mg/hari
Laktulosa 15-30 mL peroral
Sorbitol 30-50 g/ hari peroral
Minyak mineral 15-30 mL peroral
Golongan Pelunak Feses dalam 6-12 jam
Bisakodil (oral) 5-15 mg peroral
Fenolftalein 30-270 mg peroral
Cascara sagrada Dosis bervariasi sesuai formula
Senna Dosis bervariasi sesuai formula
Magnesium sulfat (dosis rendah) < 10 g peroral
Golongan yang menyebabkan perpindahan air dalam
1-6 jam
Magnesium sitrat 18 g dalam 300 mL air
Magnesium hidroksida 2,4-4,8 g peroral
Magnesium sulfat (dosis tinggi) 10-30 g/hari
Natrium fosfat Bervariasi sesuai penggunaan
Bisakodil (suppossitoria) 10 mg rektal
PEG-sediaan elektrolit 4 L
[sumber: Dipiro, et al., 2008, telah diolah kembali]
2.1.7 Rekomendasi Pengobatan
Slow-transit konstipasi dapat diobati dengan obat pencahar osmotik.
Tegaserod maleat 6 mg secara oral dua kali sehari merupakan pengobatan yang
dapat diterima. Senna, bisakodil, dan stimulan lainnya harus digunakan hanya
ketika obat lain gagal memberikan efek yang diinginkan. Pencahar dapat
digunakan ketika konstipasi postpartum, saat tidak menyusui dan pada pasien
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
14
Universitas Indonesia
yang tidak dapat bergerak. Pasien yang tidak konstipasi tetapi perlu menghindari
mengejan (misalnya, pasien dengan wasir, hernia atau infark miokard) dapat
menggunakan pelunak feses atau pencahar ringan (Dipiro, et al., 2008).
Obat pencahar tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari usia 6
tahun kecuali diresepkan oleh dokter. Anak-anak harus dievaluasi oleh dokter
sebelum diberikan pencahar karena anak-anak mungkin tidak dapat
menggambarkan gejala yang timbul dengan baik. Pilihan mengobati penyebab
sekunder dapat mengatasi konstipasi tanpa menggunakan obat pencahar. Seperti
pada orang dewasa, anak-anak mendapatkan manfaat dari diet makanan sehat dan
seimbang, konsumsi cairan yang cukup dan olahraga teratur (Dipiro, et al., 2008).
Penggunaan pencahar terkadang dilihat sebagai bagian normal dari
kehidupan sehari-hari karena banyak orang tua mengalami konstipasi. Pencahar
golongan minyak mineral dapat berbahaya khusus pada orang tua yang terbaring
di tempat tidur karena dapat menyebabkan pneumonia melalui inhalasi tetesan
minyak ke dalam paru-paru. Laktulosa dapat menjadi pilihan yang lebih baik
dalam kondisi ini. Penggunaan rutin setiap pencahar yang mempengaruhi cairan
dan elektrolit dapat mengakibatkan efek samping yang signifikan (Dipiro, et al.,
2008).
Pencahar pembentuk massa biasanya digunakan selama kehamilan.
Pelunak feses (kategori C) tidak boleh digunakan selama kehamilan. Untuk
menghindari konstipasi ibu hamil harus dianjurkan untuk makan makanan yang
seimbang antara buah, sayuran dan biji-bijian, menjaga asupan air yang memadai
dan olahraga yang tepat. Pasien dengan kondisi berikut harus menggunakan
pencahar hanya di bawah pengawasan dari dokter: kolostomi; diabetes melitus
(beberapa obat pencahar mengandung banyak gula seperti dekstrosa, galaktosa
dan sukrosa); penyakit jantung (beberapa obat mengandung sodium); penyakit
ginjal dan kesulitan menelan karena pencahar pembentuk massa dapat
menyebabkan obstruksi esofagus (Dipiro, et al., 2008).
2.1.8 Evaluasi Hasil
Pasien konstipasi yang memperoleh pengobatan dan perawatan dilakukan
evaluasi hasil mengenai (Dipiro, et al., 2008; Wells, 2009):
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
15
Universitas Indonesia
a. Tanyakan pasien tentang adanya atau perbaikan gejala untuk menentukan
apakah terapi pencahar efektif. Pasien harus memiliki peningkatan frekuensi
buang air lebih dari tiga kali per minggu. Pasien harus melaporkan tidak
adanya waktu buang air besar yang lama atau tidak adanya mengejan yang
berlebihan.
b. Ketika diduga terjadi penyalahgunaan akut/kronis garam atau obat pencahar
stimulan yang berlebihan, perlu untuk memeriksa gangguan elektrolit
(misalnya hipokalemia, hipernatremia, hiperfosfatemia atau hipokalsemia).
c. Beberapa obat pencahar (misalnya pembentuk massa) mengandung sejumlah
besar gula dan natriumsehingga tidak cocok untuk pasien yang diet garam atau
diabetes. Saat pencahar rendah sodium atau bebas gula tidak digunakan perlu
memantau konsentrasi serum sodium dan glukosa yang diperlukan dengan
penggunaan kronis.
2.1.9 Monitoring dan Perawatan Pasien Konstipasi
Pasien konstipasi yang memperoleh pengobatan dilakukan monitoring dan
perawatan yang mencakup (Dipiro, et al., 2008):
a. Menilai gejala pasien untuk menentukan apakah terapi yag diberikan ke pasien
sesuai atau apakah pasien harus dievaluasi oleh dokter. Tentukan jenis dan
frekuensi gejala.
b. Meninjau data diagnostik yang tersedia untuk menentukan penyebab atau jenis
konstipasi.
c. Mendapatkan riwayat menyeluruh mengenai obat yang diresepkan, obat non-
resep dan suplemen makanan yang digunakan. Tentukan apa perawatan telah
membantu di masa lalu. Apakah pasien mengonsumsi obat yang dapat
menyebabkan konstipasi?
d. Ingatlah bahwa tidak ada terapi tunggal telah terbukti efektif untuk semua
pasien konstipasi.
e. Mengembangkan rencana untuk menilai efektivitas penggunaan pencahar
dalam kasus konstipasi kronis.
f. Mengevaluasi pasien adanya efek samping obat, alergi obat dan interaksi obat.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
16
Universitas Indonesia
g. Memberikan pendidikan kepada pasien tentang konstipasi, modifikasi gaya
hidup dan terapi obat.
2.2 Promosi Kesehatan
2.2.1 Pengertian
Secara konsep definisi promosi kesehatan dapat kita pahami dari beberapa
rangkaian sesuai perkembangan promosi kesehatan itu sendiri, adapun beberapa
definisi promosi kesehatan dalam perkembangannya adalah sebagai berikut:
WHO (1984), merevitalisasi pendidikan kesehatan dengan istilah promosi
kesehatan, kalau pendidikan kesehatan diartikan sebagai upaya perubahan
perilaku maka promosi kesehatan tidak hanya untuk perubahan perilaku tetapi
juga perubahan lingkungan yang memfasilitasi perubahan perilaku tersebut
(Kholid, 2012).
Promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat melalui proses pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama
masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan
kegiatan yang bersumber daya masyarakat sesuai dengan kondisi sosial budaya
setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.
Menolong dirinya sendiri artinya bahwa masyarakat mampu berperilaku
mencegah timbulnya masalah dan gangguan kesehatan, memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan serta mampu pula berperilaku mengatasi apabila
masalah gangguan kesehatan tersebut terlanjur terjadi di tengah-tengah kehidupan
masyarakat (Kholid, 2012).
2.2.2 Sasaran Promosi Kesehatan
a. Sasaran primer
Merupakan kelompok masyarakat yang akan diubah perilakunya.
Masyarakat umum yang mempunyai latar belakang heterogen seperti disebutkan
di atas merupakan sasaran primer dalam pelaksanaan promosi kesehatan. Akan
tetapi dalam praktik promosi kesehatan, sasaran primer ini dikelompokkan
menjadi kelompok kepala keluarga, ibu hamil, ibu menyusui, ibu anak balita, anak
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
17
Universitas Indonesia
sekolah, remaja, pekerja di tempat kerja, masyarakat di tempat umum dan
sebagainya (Kholid, 2012).
b. Sasaran sekunder
Tokoh masyarakat setempat (formal maupun informal) dapat digunakan
sebagai jembatan untuk mengefektifkan pelaksanaan promosi kesehatan terhadap
masyarakat (sasaran primer). Tokoh masyarakat merupakan tokoh panutan bagi
masyarakatnya (Kholid, 2012).
c. Sasaran tersier
Masyarakat terkadang memerlukan faktor pemungkin (enabling) untuk
berperilaku sehat, yakni sarana dan prasarana untuk terwujudnya perilaku
tersebut. Namun, untuk pengadaan sarana dan prasarana untuk berperilaku sehat
ini sering kali masyarakat sendiri tidak mampu. Untuk itu perlu dukungan dari
penentu atau pembuat keputusan di tingkat lokal, misalnya pejabat pemerintahan
setempat (Kholid, 2012).
2.2.3 Media Promosi Kesehatan
Media atau alat peraga dalam promosi kesehatan dapat diartikan sebagai
alat bantu untuk promosi kesehatan yang dapat dilihat, didengar, diraba, dirasa
atau dicium, untuk memperlancar komunikasi dan penyebarluasan informasi.
Media memiliki beberapa fungsi (Kholid, 2012) diantaranya adalah:
a. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki
oleh para audiens. Jika audiens tidak mungkin dibawa ke objek langsung
yang dipelajari maka objeklah yang dibawa ke audiens. Objek dimaksud bisa
dalam bentuk nyata, miniatur, model maupun bentuk gambar-gambar yang
dapat disajikan secara audio visual dan audial.
b. Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang promosi.
c. Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara
audiens dengan lingkungannya.
d. Media menghasilkan keseragaman pengamatan.
e. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkret dan realistis.
f. Media membangkitkan keinginan dan minat baru.
g. Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
18
Universitas Indonesia
h. Media memberikan pengamatan yang integral/menyeluruh dari yang konkret
sampai yang abstrak.
2.2.3.1 Jenis Media Pembelajaran
Ditinjau dari kesiapan pengadaannya, media dikelompokkan dalam dua
jenis, yaitu media jadi karena sudah merupakan komoditi perdagangan dan
terdapat di pasaran luas dalam keadaan siap pakai (media by utilization) dan
media rancangan karena perlu dirancang dan dipersiapkan secara khusus untuk
maksud dan tujuan pembelajaran tertentu (media by design). Sedangkan apabila
ditinjau dari bentuknya (Kholid, 2012), terdapat berbagai jenis media
pembelajaran, diantaranya:
a. Media visual: grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik.
b. Media auditif: radio, tape recorder, laboratorium bahasa dan sejenisnya.
c. Projected still media: slide, over head projector (OHP), in focus dan
sebagainya.
d. Projected motion media: film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer
dan sejenisnya.
Sejalan dengan perkembangan IPTEK penggunaan media, baik yang
bersifat visual, audial, projected still media maupun projected motion media bisa
dilakukan secara bersama dan serempak melalui suatu alat yang disebut
multimedia. Contoh: penggunaan komputer tidak hanya bersifat projected motion
media tetapi dapat menjadi semua jenis media yang bersifat interaktif.
2.2.3.2 Kriteria Memilih Media Pembelajaran
Keberhasilan menggunakan media dalam proses pembelajaran untuk
meningkatkan hasil belajar tergantung pada (1) isi pesan, (2) cara menjelaskan
pesan dan (3) karakteristik penerima pesan. Menurut Kholid (2012), secara
operasional, sejumlah pertimbangan dalam memilih media pembelajaran yang
tepat antara lain:
a. Akses
b. Biaya
c. Teknologi
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
19
Universitas Indonesia
d. Tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip atau
generalisasi.
e. Praktis, luwes dan bertahan.
f. Penyaji terampil menggunakannya.
g. Pengelompokan sasaran.
h. Mutu teknis, pengembangan visual baik gambar maupun fotografi harus
memenuhi persyaratan teknis tertentu.
i. Interactivity, dimana media yang baik adalah yang dapat memunculkan
komunikasi dua arah atau interaktivitas.
j. Organization, dimana dukungan organisasi/lingkungan sekitar akan
mempermudah komunikasi dengan sasaran.
k. Novelty, keterbaruan dari media yang akan dipilih juga dipertimbagkan
karena media yang lebih baru akan lebih menarik audiens.
Kriteria yang paling utama dalam pemilihan media bahwa media harus
disesuaikan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai.
Contoh: apabila tujuan atau kompetensi audiens bersifat menghafalkan kata-kata
maka media audio yang tepat untuk digunakan. Jika tujuan atau kompetensi yang
dicapai bersifat memahami isi bacaan maka media cetak yang lebih tepat
digunakan. Kalau tujuan pembelajaran bersifat motorik (gerak dan aktivitas) maka
media film dan video bisa digunakan. Di samping hal tersebut, kriteria lainnya
yang bersifat melengkapi (komplementer) seperti biaya, ketepatgunaan, keadaan
audiens, ketersediaan dan mutu teknis juga harus diperhatikan (White, 2000).
2.2.3.3 Himbauan dalam Pesan Media
Dalam media promosi, pesan dimaksudkan untuk mempengaruhi orang
lain atau pesan itu untuk menghimbau khalayak sasaran agar mereka menerima
dan melaksanakan gagasan kita, yang perlu diperhatikan (Kholid, 2012) adalah:
a. Himbauan rasional, hal ini didasarkan pada anggapan bahwa manusia pada
dasarnya makhluk rasional.
b. Himbauan emosional, kebanyakan perilaku manusia, terutama ibu-ibu atau
wanita lebih didasarkan pada emosi daripada hasil pemikiran rasional.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
20
Universitas Indonesia
c. Himbauan ketakutan. Penggunaan himbauan dengan pesan yang
menimbulkan ketakutan harus digunakan secara hati-hati. Hal ini efektif
terhadap orang dengan kecemasan tinggi.
d. Himbauan ganjaran, dimaksudkan menjanjikan sesuatu yang diperlukan dan
diinginkan oleh penerima pesan.
e. Himbauan motivasional, menggunakan bahasa himbauan motif yang
menyentuh kondisi internal diri si penerima pesan.
2.3 Poster
Salah satu media cetak yang umumnya dipakai dalam promosi kesehatan
adalah poster (White, 2000). Poster adalah suatu lembaran kertas yang besar,
sering berukuran 60 cm lebar dan 90 cm tinggi dengan kata-kata dan gambar atau
simbol untuk penyampaian suatu pesan. Menurut Kholid (2012) poster merupakan
pesan singkat dalam bentuk gambar dengan tujuan untuk mempengaruhi
seseorang agar tertarik pada sesuatu atau mempengaruhi agar seseorang bertindak
akan sesuatu hal. Poster dipakai secara luas oleh perusahaan dagang untuk
mengiklankan produknya serta memperkuat pesan yang telah disampaikan melalui
media massa lain. Robin Landa dalam buku Graphic Design Solutions
mendeskripsikan poester sebagai bentuk publikasi dua dimensional dan satu
muka, digunakan untuk menyajikan informasi, data, jadwal, atau penawaran dan
untuk mempromosikan orang, acara, tempat, produk, perusahaan, jasa atau
organisasi (Supriyono, 2010).
Menurut John Gierla, perbedaan poster dengan media cetak lainnya adalah
poster menyampaikan informasi pada pembaca yang sedang bergerak (on the
move) sementara iklan majalah, surat kabar, brosur, booklet, katalog dan leaflet
dirancang untuk memiliki waktu cukup, dapat dibaca sambil duduk, tiduran atau
berdiri dalam waktu relatif lama (Shimp, 1997). Tantangan utama dalam
mendesain poster adalah menciptakan tampilan visual yang mampu merebut
perhatian publik sambil memberikan informasi yang mudah dicerna pembaca
dalam hitungan detik. Poster harus mampu membujuk pembaca, membangkitkan
keinginan untuk membeli melalui pesan-pesan yang singkat, padat dan jelas
(Supriyono, 2010). Penyebarluasan poster dengan cara dipajang atau ditempel di
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
21
Universitas Indonesia
tempat umum seperti tembok, pohon, halte, tempat umum, fasilitas pelayanan
masyarakat dan lain-lain (Kholid, 2012)
Lori Siebert dan Lisa Ballard dalam buku Making a Good Layout
menegaskan bahwa tugas poster adalah “Capturing a moving audiens with your
message” yaitu menangkap audiens yang sedang bergerak dengan pesan yang
disampaikan (White, 2000). Poster harus mampu menyampaikan informasi atau
pesan pada audiens yang sedang sibuk, hanya dalam hitungan detik. Menentukan
salah satu informasi atau pesan yang ingin dijadikan elemen kunci harus tepat
karena waktu membaca poster yang begitu singkat dalam situasi yang sibuk
tersebut (Supriyono, 2010).
Kelompok sasaran dari poster dapat kecil atau besar sampai seluruh
masyarakat. Kadang-kadang poster juga digunakan untuk perorangan. Poster
dapat juga diletakkan di tempat dilakukan konsultasi kesehatan seperti apotek,
klinik dan rumah sakit. Bila di dinding terdapat poster yang berhubungan dengan
masalah pasien, pasien yang bersangkutan dapat disuruh untuk melihat poster
tersebut agar dapat lebih memahami tentang penyakitnya (Kholid, 2012).
2.3.1 Tujuan Poster
Poster dapat dipakai secara efektif dengan tujuan (White, 2000):
a. Untuk menarik perhatian.
b. Menyampaikan informasi secara lengkap dan jelas serta mudah dipahami
dengan cepat.
c. Untuk mampu meyakinkan, mempengaruhi dan membentuk opini.
d. Untuk memberikan arah dan petunjuk.
e. Untuk mengumumkan peristiwa dan program yang penting.
f. Menciptakan desain yang mudah dibaca dari kejauhan.
g. Menyusun informasi dengan urutan yang mudah diikuti.
h. Menyusun elemen-elemen poster berdasarkan prinsip-prinsip desain grafis
secara hierarki dan menyatu.
i. Membuat desain yang sesuai dengan subjek, audiens dan lingkungannya.
j. Mengekspresikan semangat dari subjek atau pesan yang disampaikan.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
22
Universitas Indonesia
2.3.2 Ketentuan dalam Pembuatan Poster
Pada umumnya sebuah poster berupa lembaran kertas dengan ukuran
tertentu, berisi tulisan dan gambar. Poster dapat dibuat dengan tangan secara
langsung, teknik sablon (screeen printing) dan offset (cetak mesin), dalam warna
hitam putih atau penuh warna (full colours) (Kholid, 2012). Menurut Supriyono
(2010) ketentuan yang ada dalam pembuatan poster, diantaranya:
a. Ukuran huruf untuk poster dibuat besar sehingga terbaca dari jarak yang
diperkirakan (sekitar 10 - 15 kali lebar poster). Jika lebar poster 30 cm maka
harus dapat terbaca dari jarak sekitar 3 - 4,5 meter.
b. Layout dibuat simpel dan tidak membingungkan pembaca. Pilih satu elemen
kunci (huruf atau ilustrasi) sehingga pembaca dapat dengan cepat menangkap
pesan.
c. Masukkan informasi penting yang dibutuhkan oleh pembaca, seperti tanggal,
jam, tempat, harga tiket, kontak person untuk poster seminar atau workshop.
d. Ada satu elemen yang ditonjolkan (paling dominan), baik judul ataupun
ilustrasi yang sekilas dapat menarik perhatian.
e. Memuat satu informasi paling penting dan ditonjolkan dengan ukuran, warna
atau value (kontras).
f. Memuat unsur seni yang sesuai dengan pesan atau informasi.
g. Huruf dan elemen visual disusun dalam urutan yang logis (dibaca dari kiri ke
kanan dan dari atas ke bawah).
h. Ilustrasi foto dipilih yang tidak lazim (unusual) dan bila diperlukan dapat
dicropping agar lebih terlihat agar dapat menarik perhatian pembaca.
i. Huruf untuk poster sebaiknya tebal (bold) dengan warna-warna kontras
sehingga mudah terlihat dari kejauhan.
j. Judul poster dibuat singkat, kalimat dibuat sependek mungkin dengan ukuran
huruf yang cukup besar dan kontras sehingga dapat dibaca dengan cepat dari
jarak yang relatif jauh (4-6 meter).
Penyampaian informasi dalam poster tidak boleh terlalu mendetail dan
panjang lebar. Jika terdapat banyak informasi yang ingin disampaikan lewat
poster maka harus tetap menyisakan ruang kosong (white space) yang tidak diisi
dengan gambar maupun teks. Secara visual, bidang kosong dapat memberikan
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
23
Universitas Indonesia
kelegaan pada mata untuk istirahat dan sekaligus menonjolkan pesan utamanya.
Informasi yang berlebihan dan disusun berdesakan kurang efektif, cenderung
tidak menarik dan membingungkan pembaca (Supriyono, 2012). Menurut Shimp
(1997) poster bisa hanya berupa teks atau gabungan antara teks dan ilustrasi
(visual). Elemen visual bisa abstrak, gambar realis, simbolik, ilustratif, grafik,
fotografi, kolase atau kombinasinya. Teks yang berupa rangkaian huruf juga dapat
berfungsi sebagai ilustrasi. Desain poster harus dikaitkan dengan tujuan posternya
(Supriyono, 2012).
2.3.3 Elemen Kunci Desain Poster
2.3.3.1 Tipografi
Disiplin ilmu yang membahas mengenai cara memilih dan mengelola
huruf dalam desain grafis disebut dengan tipografi. Pedoman dasar dalam
mengelola tipofrafi poster (Supriyono, 2010) adalah:
a. Teks (informasi verbal) sebaiknya disusun dari kiri ke kanan dan dari atas ke
bawah, bukan sebaliknya.
b. Judul utama (headline) harus cukup besar, antara 100-150 poin dan terbaca
dari jarak sekitar 4 meter.
c. Penggunaan huruf kapital (all caps) untuk judul dan teks akan lebih sulit
dibaca.
d. Ukuran huruf untuk body text minimal 30-36 poin, jenis font sans serif.
e. Tingkat kemudahan membaca paling tinggi adalah teks warna hitam (gelap)
dengan background terang.
f. Hindari judul yang terlalu panjang dan penggunaan font dekoratif yang sulit
dibaca.
g. Tipografi untuk poster sebaiknya simpel, mudah dibaca (legible) dan sesuai
dengan isi poster (content).
2.3.3.2 Ilustrasi
Fungsi ilustrasi adalah untuk memperjelas teks dan informasi atau pesan
sekaligus sebagai eye catcher. Selain itu adanya ilustrasi juga dimaksudkan
sebagai alat untuk mendapatkan perhatian pembaca. Desain poster yang tidak
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
24
Universitas Indonesia
disertai ilustrasi cenderung membosankan, kurang informatif dan tidak menarik
(White, 2000). Sejalan dengan munculnya berbagai software pengolah gambar,
telah ada berbagai jenis dan bentuk ilustrasi, tidak hanya berupa foto, gambar,
goresan abstrak, garis, warna, tekstur dan huruf. Namun, pada prinsipnya semua
elemen visual bisa digunakan sebagai ilustrasi untuk mewujudkan ide (Supriyono,
2012). Menurut Supriyono (2012) kriteria ilustrasi untuk poster yaitu:
a. Komunikatif, informatif dan mudah dipahami.
b. Menggugah perasaan.
c. Ide baru, orisinil dan bukan merupakan plagiat.
d. Memiliki daya tarik yang kuat.
e. Foto atau gambar memiliki kualitas baik (teknik pembuatan dan nilai seni).
2.3.4 White Space
Bidang putih (white space) yakni merupakan suatu area kosong tanpa teks
maupun gambar. Pada cetakan berwarna, diartikan “warna putih yang kosong”
tetapi dapat berupa ruang kosong warna merah, biru bahkan hitam. Oleh sebab itu,
ada yang menyebutnya “blank space”. Secara visual blank space dapat
menciptakan kekontrasan, sekaligus merupakan tempat istirahat bagi mata. Hal ini
dimaksudkan untuk memberi kesan lapang, tenang dan tidak berdesak-desakan.
Unsur white space dalam desain poster tidak hanya meningkatkan kemudahan
baca (readibility) tetapi juga menambah kenyamanan baca (legibility). Dengan
adanya white space, tampilan poster tampak lebih simpel, informasi dapat
ditangkap dengan cepat sekalipun dalam suasana yang padat (Supriyono, 2012).
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
25 Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI TUGAS KHUSUS
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada tanggal 17 Juni-26 Juli 2013 yang
bertempat di Apotek Keselamatan, Jalan Keselamatan No. 27, Manggarai–Jakarta
Selatan.
3.2 Metode Pelaksanaan
Pembuatan laporan dimulai dengan melakukan studi literatur dari berbagai
sumber pustaka dengan kriteria sebagai berikut :
a. Buku teks/e-book
b. Review artikel
c. Jurnal penelitian yang dipublikasi sejak tahun 2000
Kemudian dilakukan penyusunan laporan berdasarkan sumber pustaka dan dilakukan
desain poster tentang konstipasi.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
26 Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN
Konstipasi merupakan gangguan gastrointestinal yang banyak dikeluhkan
oleh sebagian besar populasi di dunia terutama oleh orang dewasa. Gangguan
gastrointestinal pada orang dewasa ini memiliki dampak yang signifikan dalam
mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Prevalensi terjadinya konstipasi berkisar
antara 15-20% pada orang dewasa yang tinggal dalam suatu komunitas
masyarakat sehingga managemen dalam penanganan konstipasi dapat dilakukan
dalam mencegah orang yang memiliki faktor risiko terkena konstipasi sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup mereka (Mc Kay, Sherry L., Michelle F.,
Cathy S., 2012).
Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya
frekuensi buang air besar, sensasi tidak puas/lampiasnya buang air besar, terdapat
rasa sakit, perlu ekstra mengejan atau feses yang keras. Dalam praktik sehari-hari
dikatakan konstipasi bila buang air besar kurang dari 3 kali seminggu atau lebih
dari 3 hari tidak buang air besar atau dalam buang air besar diperlukan mengejan
secara berlebihan (Sudoyo, 2007). Konstipasi kronis terjadi ketika gejala
berlangsung selama minimal 3 bulan (Dipiro, et. al, 2008).
Di negara-negara Eropa, konstipasi merupakan gejala yang umum
menyerang pada 2-27% populasi disana. Di Amerika Serikat, lebih dari 2,5 juta
orang berkunjung ke dokter, 92.000 orang rawat inap dan obat laksatif terjual
sekitar beberapa juta dollar karena konstipasi (Lembo, Camilleri, 2003).
Konstipasi tidak hanya menyerang orang dewasa. Namun, konstipasi dapat
menyerang anak-anak. Sejumlah 97% kasus konstipasi anak disebabkan oleh
konstipasi fungsional dengan kejadian yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Usia anak yang menderita konstipasi fungsional dan rectal fecal impaction (RFI)
berkisar antara 4-16 tahun (Jurnalis, Sarmen, Sayoeti, 2013).
Konstipasi merupakan suatu gejala, bukan diagnosis, keadaan ini
merupakan manifestasi berbagai penyakit, kelainan metabolisme atau organ
tertentu, gangguan psikogenik atau sebagai akibat sekunder dari suatu terapi
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
27
Universitas Indonesia
penyakit menggunakan obat-obatan tertentu. Kehamilan juga merupakan suatu
kondisi dimana dapat menyebabkan konstipasi (Dipiro, et al., 2008). Sebagian
orang menganggap remeh kostipasi dan menganggap hal ini sebagai kondisi yang
lazim sehingga tidak dilakukan suatu penanganan yang serius. Padahal jika
diabaikan, kondisi seperti itu yang berkelanjutan dapat bermanifestasi menjadi
suatu penyakit yang lebih serius.
Penanganan yang tepat dan pemberian obat sesuai dengan gejala yang
timbul terhadap konstipasi akan dapat meningkatkan kualitas hidup atau
meningkatkan derajat kesehatan seseorang serta mengantisipasi timbulnya suatu
penyakit lain yang lebih berbahaya dibandingkan konstipasi. Hal tersebut
mendorong dilakukannya suatu upaya promosi kesehatan yang bertujuan untuk
menurunkan prevalensi terjadinya konstipasi pada masyarakat Indonesia.
Promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat melalui proses pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama
masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan
kegiatan yang bersumber daya masyarakat sesuai dengan kondisi sosial budaya
setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. Hal
tersebut bukan hanya proses penyadaran masyarakat atau pemberian dan
peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan saja, tetapi juga disertai
upaya-upaya memfasilitasi perubahan perilaku (Kholid, 2012).
Dengan demikian, promosi kesehatan adalah program-program kesehatan
yang dirancang untuk membawa perubahan (perbaikan) baik dalam masyarakat
sendiri maupun dalam suatu komunitas dan lingkungannya (lingkungan fisik,
sosial budaya, politik dan sebagainya). Dalam hal ini, promosi kesehatan juga
lebih menekankan pada proses atau upaya, dengan tanpa mengecilkan arti hasil
apalagi dampak kegiatan.
Promosi kesehatan menekankan pada perilaku, terutama perubahan
perilaku. Akan tetapi, untuk perubahan perilaku tidak hanya sekedar diberikan
pengetahuan, pemahaman dan informasi tentang kesehatan. Menurut Kholid
(2012) untuk terjadinya perubahan perilaku diperlukan faktor lain yang berupa
fasilitas atau sarana dan prasarana untuk mendukung terjadinya perilaku tersebut
dan dorongan dari luar yang memperkuat terjadinya perubahan perilaku ini atau
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
28
Universitas Indonesia
disebut juga reinforcing factor. Promosi kesehatan dapat dilakukan melalui
berbagai media perantara baik cetak maupun elektronik.
Kasus konstipasi di Indonesia masih banyak terjadi di berbagai kalangan
masyarakat yang beragam status sosial ekonominya maupun tingkat
pendidikannya. Perubahan zaman dan perkembangan teknologi yang semakin
canggih ikut memberi perubahan kepada pola hidup yaitu tentang diabaikannya
konsumsi makanan kaya serat, sehat dan bergizi seimbang beralih ke kebiasaan
mengkonsumsi makanan cepat saji (fast food).
Apotek Keselamatan merupakan apotek yang berada di tengah pemukiman
padat penduduk di daerah Jakarta Selatan. Lokasi apotek juga berada di jalur
menuju pusat perkantoran di daerah Kuningan sehingga merupakan kawasan yang
ramai dilalui oleh berbagai kendaraan dan kemungkinan penduduk yang tinggal di
sekitar daerah apotek memiliki tingkat kesibukan yang cukup tinggi. Masyarakat
yang berada di sekitar juga bervariasi dari segi pendidikan dan status ekonominya.
Namun, pada umumnya memiliki tingkat pendidikan menengah dan status sosial
ekonomi menengah ke bawah. Berdasarkan hal tersebut kejadian konstipasi yang
terjadi di daerah sekitar apotek kemungkinan bisa karena kesibukan kerja dari
masyarakat sehingga konsumsi makanan tinggi serat dan sehat berkurang, pola
hidup masyarakat yang beralih mengikuti tren lebih suka mengkonsumsi makanan
cepat saji atau kurangnya informasi dan pengetahuan yang diperoleh masyarakat
sekitar tentang pentingnya makanan berserat dan bergizi untuk menjaga
kesehatannya.
Apotek menyediakan obat untuk mengatasi konstipasi yang dapat
diperoleh tanpa resep dokter yang dapat digunakan untuk swamedikasi. Suasana
yang nyaman dan pelayanan yang ramah membuat apotek ini banyak didatangi
oleh pasien dengan keluhan penyakit yang beragam. Akan tetapi, selama
pengamatan yang dilakukan di Apotek Keselamatan selama periode 17 Juni-26
Juli 2013 ditemukan kasus pasien yang membeli obat pencahar terkait konstipasi
yang telah disadari oleh dirinya sendiri dan sudah mengetahui pengobatan yang
harus dilakukan maupun pasien yang datang ke apotek hanya dengan membawa
keluhan-keluhan seperti kesulitan buang air besar atau rasa penuh di perut karena
belum buang air besar selama beberapa hari.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
29
Universitas Indonesia
Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diberikan oleh Jurnalis, Sarmen dan
Sayoeti (2013), yang mengatakan bahwa keadaan konstipasi tidak dipengaruhi
oleh keadaan sosial dan ekonomi seseorang. Namun, pernyataan yang
menyebutkan bahwa salah satu penyebab terbesar konstipasi adalah gaya hidup
yaitu pola makan tidak tepat atau diet rendah serat memang terkait dengan
kesibukan rutinitas kerja masyarakat sekitar lingkungan apotek atau kurangnya
pengetahuan tentang pentingnya asupan serat untuk kesehatan sehingga
mengabaikan konsumsi makanan bergizi lengkap dan seimbang dan lebih
cenderung memilih makanan cepat saji.
Berdasarkan kondisi lingkungan di atas maka dapat diketahui bahwa
sasaran promosi kesehatan adalah berupa sasaran primer yaitu masyrakat yang
ingin diubah perilakunya terkait gaya hidup yang menyebabkan konstipasi. Media
yang dipilih sebagai sarana promosi kesehatan adalah poster yang ditempel di
apotek. Poster merupakan pesan singkat dalam bentuk gambar dengan tujuan
untuk mempengaruhi seseorang agar tertarik pada sesuatu atau mempengaruhi
agar seseorang bertindak akan sesuatu hal (Kholid, 2012). Perubahan perilaku
yang diharapkan pada sasaran primer diikuti dengan perubahan lingkungan yang
mendukung yaitu adanya poster yang ditempel di apotek.
Poster dipilih sebagai media promosi kesehatan karena cocok untuk
menyampaikan pesan secara singkat, padat dan jelas dalam waktu yang cepat pada
audiens yang bergerak yaitu pasien yang datang berkunjung ke apotek. Pemilihan
poster juga melalui pertimbangan dari segi desain apotek bahwa poster dapat
membuat nilai estetika menjadi lebih baik untuk menarik pelanggan datang ke
apotek. Selain itu poster memiliki keuntungan karena memiliki desain yang
menarik dan tergolong dalam media rancangan yang memerlukan pemikiran dan
persiapan secara khusus untuk maksud atau tujuan pembelajaran tertentu yang
memiliki keuntungan yaitu mendapatkan media yang sepenuhnya sesuai dengan
tujuan atau kebutuhan pembelajaran yang diinginkan, aksesnya mudah untuk
pengunjung apotek yaitu cukup dengan membaca di dinding, teknologi yang
digunakan tidak terlalu rumit dan biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar.
Kata-kata atau kalimat yang dicantumkan dalam poster dibuat sesingkat
mungkin dan semenarik mungkin untuk menarik minat pembaca. Pemilihan kata
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
30
Universitas Indonesia
atau kalimat dibuat semudah mungkin untuk dipahami karena sasaran merupakan
audiens yang awam yang dapat berasal dari berbagai latar belakang pendidikan,
tingkat sosial dan status ekonomi (bukan dari kalangan praktisi kesehatan).
Penggunaan istilah atau kata yang terlalu ilmiah atau bahasa kedokteran dan
farmasi yang sulit dipahami akan menyebabkan selain audiens susah mengerti
juga dapat menyebabkan poster menjadi tidak menarik bagi audiens.
Informasi yang ingin dicantumkan dalam poster dipilih aspek penting yang
ingin disampaikan kepada audiens dimana setelah membaca poster tersebut
diharapkan pengetahuan masyarakat akan konstipasi bertambah dan masyarakat
akan bisa mencegah terjadinya konstipasi atau melakukan upaya pengobatan
sendiri dengan menggunakan obat-obatan over the counter (OTC) saat mengalami
konstipasi. Bahasa atau kalimat yang terlalu ilmiah diubah menjadi kalimat yang
umum agar mudah dipahami tanpa mengubah makna aslinya. Oleh karena itu,
aspek yang ditampilkan dalam poster adalah terkait definisi, gejala, terapi
nonfarmakologi dan terapi farmakologi menggunakan obat pencahar yang umum
digunakan untuk mengobati konstipasi.
Peran apoteker di apotek terkait konstipasi adalah menggali informasi dari
pasien untuk mengetahui penyebab konstipasi sehingga dapat diberikan
pengobatan yang tepat sesuai dengan penyebabnya baik terapi nonfarmakologi
atau terapi farmakologi, memberikan informasi terkait pengobatan konstipasi
yang diberikan dan mengedukasi pasien tentang perubahan gaya hidup yang sehat
untuk mempercepat penyembuhan konstipasi. Apoteker juga dapat memberikan
penjelasan apabila ada pasien yang bertanya terkait poster yang ada di apotek
sehingga apoteker juga harus memahami isi poster tesebut. Informasi yang
diberikan terkait poster konstipasi tidak hanya diberikan kepada pengunjung
apotek yang mengalami konstipasi saja tetapi juga kepada pengunjung yang
membeli obat untuk keperluan penyakit lain maupun yang hanya sekedar bertanya
tentang obat atau poster tanpa melakukan pembelian di apotek.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
31 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Pengobatan konstipasi didasarkan pada frekuensi buang air besar (BAB),
penyebab konstipasi baik berupa penyebab primer maupun penyebab
sekunder, kondisi pada saat defekasi (mengejan saat BAB, kesulitan
defekasi, feses yang keras) dan gejala lain yang dialami pasien (rasa penuh
di perut akibat belum buang air besar beberapa hari). Anjuran melakukan
terapi nonfarmakologi dilakukan yaitu saran perubahan pola makan yaitu
menkonsumsi makanan berserat seperti sayuran dan buah-buahan,
memperbanyak konsumsi air putih dan olahraga secara teratur Obat
laksatif yang sering diberikan pada pasien konstipasi mencakup golongan
laksatif osmotik (Laktulosa) dan golongan laksatif stimulan/kontak.
5.1.2 Upaya kesehatan yang dilakukan dalam rangka promosi kesehatan yang
bertujuan menurunkan prevalensi konstipasi pada masyarakat Indonesia
khususnya lingkungan sekitar apotek yaitu dengan melakukan pemberian
informasi tentang konstipasi melalui media cetak poster yang ditempel di
apotek.
5.2 Saran
Adanya keaktifan dari apoteker untuk memberikan konseling atau
penjelasan mengenai isi poster konstipasi kepada audiens yang sedang membaca
agar audiens lebih memahami tentang konstipasi.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
32 Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Abrams, Anne Collins. (1995). Clinical Drug Theraphy: Rationales for NursingPractice. Fourth Edition. Philadelphia: J.B. Lippincott Company, 651-656.
Bardosono, S., Diana Sunardi. (2011). Artikel Penelitian IDI: FunctionalConstipation and Its Related Factors Among Female Workers. MajalahKedokteran Indonesia. Volume: 61, Nomor: 3, Maret 2011. 126-129.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit BukuKedokteran EGC, 599-600.
Dipiro, Joseph T., et al. (2008). Pharmacotherapy: Principles & Practice. USA:Mc. Graw-Hill. 307-311.
Jurnalis, Y.D., Sofni Sarmen, Yoerva Sayoeti. (2013). Konstipasi pada Anak.CDK. 200/Vo. 40 No. 1 th. 2013. 27-30.
Kee, J.L., Evelyn R. Hayes. (1996). Farmakologi. Pendekatan ProsesKeperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 526-529.
Katzung, B.G. (1992). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 3. Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran EGC. 933.
Kholid, Ahmad. (2012). Promosi Kesehatan dengan Pendekatan Teori Perilaku,Media dan Aplikasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1-2, 11-12, 15-16,126-136.
Lembo, Anthony. Michael Camilleri. (2003). Current Concepts ChronicConstipation. The New England Journal of Medicine. Oct 2, 2003. N.Engl. J. Ned 349: 14. 1360-1368.
Mc. Kay, S.L., Michelle Fravel, Cathy Scanlon. (2012). Evidence Based PracticeGuideline: Management of Constipation. Journal of GerontologicalNursing. Vol. 38, No. 7, 2012. 9-15.
NDDIC. (2013). Constipation. USA: American Gastroenterogical Association.September 2013.
Paramythiotis, et al. (2010). Chronic Constipation Due To Presacial Teratoma in a36-year Old Woman : a case report. Journal of Medical Case Report 2010,4:23. Biomed Central. 1-4.
Shimp, Terence A. (1997). Advertising Management. USA: The Dryden Press.320-324.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
33
Universitas Indonesia
Sudoyo, A.W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus S.K., Siti Setiati.(2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Jakarta: PusatPenerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 287.
Supriyono, Rachmat. (2010). Desain Komunikasi Visual. Teori dan Aplikasi.Yogyakarta: Andi Yogyakarta. 17, 158-178.
Wells, B.G., J.T. Dipiro, Terry L.S., Cecily V. Dipiro. (2009). PharmacotherapyHandbook. Seventh Edition. USA: Mc Graw-Hill. 250-255.
WGO. (2007). World Global Guideline. Constipation: a Global Perspective.WGO, November 2007.1-2.
WGO. (2010). World Practice Guideline. Constipation: a Global Perspective.WGO, November 2010. 3-4.
White, Roderick. (2000). Advertising. Fourth Edition. Singapore: Mc. Graw-Hill.191-196.
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
LAMPIRAN
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014
34
Universitas Indonesia
Lampiran 1. Desain poster konstipasi
Laporan praktek…., Linda Juli, FFar UI, 2014