Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang · 2018. 5. 7. · Undang-Undang...

420

Transcript of Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang · 2018. 5. 7. · Undang-Undang...

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang

    Hak Cipta Lingkup Hak Cipta

    Pasal 2:

    1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan

    atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa

    mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Ketentuan Pidana

    Pasal 72:

    1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

    ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat

    1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling

    lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

    2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu

    Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00

    (lima ratus juta rupiah).

  • WO

    RLD

    HER

    ITA

    GE PATRI

    MO

    INE M

    ON

    DIA

    L

    PAT

    RIM

    ONIO MUN

    D

    IAL

    KementerianLingkungan Hidup dan Kehutanan

  • Penerbitan buku ini terlaksana atas dukungan dana dari UNESCO.

    Tersesat di Jalan Yang Benar: Seribu Hari Mengelola Leuser

    © Wiratno. 2012

    Penulis : Wiratno

    Kontributor : Ian Singelton, Saiful Bahri, Ary Suhandi, Suci Utami Azhar, Koen Meyers,

    Ahtu Trihangga, Keleng Ukur, Seh Ukur Depari, Ujang Wishnu Barata,

    Anang Syarif Hidayat.

    Penyunting : Darmanto, Iwan Setiawan

    Tata letak isi : Rifky

    Foto sampul depan : Koen Meyers (Wildlife Conservation Society)

    Ilustrasi sapul belakang : Diding (FFI Medan)

    Foto-foto : Taman Nasional Gunung Leuser, Wiratno, Bisro Syahbani, Ratna

    Usu, Mahdi Ismail (FFI Aceh), Koen Meyers (Wildlife Conservation

    Society), Rina (UNESCO).

    Edisi Pertama, Desember 2012

    Hak Cipta © 2012

    Perpustakaan Nasional dalam terbitan

    Indeks

    ISBN

    I. Judul II. Wiratno

    Penerbitan buku ini terlaksana atas dukungan dana dari Direktorat PKPS.

    Edisi Cetakan Kedua

    ISBN : 978-602-61100-1-5

  • Buku ini kupersembahkan untuk, yang tercinta Ibunda Soekapti,

    (Alm) Ayahanda Wirjono Oetomo, (Almh) Wiretnani, Wiretnowati,

    Wiranto Basuki, Widajatno, Rutiana Sri Handayani, Nining Wijayanti.

    Dan keluargaku, Asih Sumekarwati, Alif Penandaru Farhan,

    Hana Fairuzamira, Naufal Reyhan Mahasin.

  • vi i

    QS Ar Rum (30) Ayat 41

    “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan

    tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)

    perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

    QS Al A’raf (7) Ayat 56-58

    “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah)

    memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan

    diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat

    dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (ayat 56) Dan dialah yang

    meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan

    rahmat-Nya (hujan) hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung,

    Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah

    itu. Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu berbagai macam buah-

    buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati,

    mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran (ayat 57). Dan tanah yang baik,

    tanam-tanamannya tumbuh dengan seizin Allah, dan tanah yang tidak subur,

    tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi

    tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur (ayat 58)

    QS Al Hijr (15) Ayat 19

    ”Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-

    gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran”.

  • i vii

    Setiap buku pada dasarnya adalah ajakan untuk suatu pertandingan diskursif.

    Sebagaimana setiap kitab dari pengarang mana pun yang pernah melihat terbit

    dan terbenamnya matahari, tidak lain daripada kata pengantar kepada buku lain

    lagi kelak di kemudian hari, yang jauh-jauh lebih penting

    Daniel Dhakidae

    [ 2003 ]

    Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru”

    Paulo Coelho Quotes from Veronika Decides to Die

    “…in all the woods and forests, God did not create a single leaf the same as

    any other… People go against nature because they lack the courage

    to be different.”

    Paulo Coelho, Brida

    That is what the forest taught me. That you will never be mine,

    and that is why I will never lose you.”

  • viii i

    Gunung Leuser

    Namamu dikenal seantero jagad raya,

    Keindahanmu jantung berdecak kagum,

    Engkau beri kehidupan, Kehidupan berkelanjutan,

    Membuat hati ingin melihat, Menikmati keunikanmu

    Dunia menyayangimu, Keberadaanmu sangat diharapkan,

    Gelarmu disebut paru-paru, Sumber inspirasi, daya alam

    genetika, plasma nutfah, dan lain sebagainya

    Keindahan yang kau miliki,

    Tergoda meraih untung,

    Hasrat niat membawamu pulang,

    Jadi hiasan dan bisu sesuai selera,

    Alam bersedih, Alam berduka,

    Gerangan apa dan mengapa,

    Masihkah ada secercah harapan,

    Penyembuh luka mendalam,

    Sahabat setia menjaga, menemani,

    Walau tenaga, kemampuan terbatas,

    Semoga kasih setia menyertai.

    Lembah Alas, Awal Juli 2005

    Halomoan Ginting

  • i

    Kawasan konservasi Indonesia seluas 27,2 juta hektar yang enam puluh persennya adalah taman nasional, merupakan keterwakilan dari sebagian besar tipe ekosistem baik di hutan-hutan tropis, danau, lahan basah, rawa, danau,

    perairan pantai, dan laut. Kawasan konservasi tersebut menyumbangkan berbagai

    bentuk manfaat, baik ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan untuk kepentingan

    masyarakat setempat atau lokal, regional, dan nasional, juga ditingkat global

    yaitu, dalam hal pemanfaatan keragaman hayati dan karbon. Oleh karena itu,

    upaya-upaya pelestariannya menjadi tanggungjawab bersama.

    Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu dari 50

    taman nasional, yang memiliki nilai konservasi yang tinggi, berperan dalam

    menjaga keseimbangan ekosistem regional dan menyangga kehidupan tidak

    kurang dari 4 juta masyarakat di Sumatera bagian Utara. Sedemikian pentingnya

    nilai keragamanhayati taman nasional ini, sehingga pada tahun 1981 mendapat

    pengakuan internasional dengan status sebagai Cagar Biosfer (1981) dan Warisan

    Dunia (2004). Kedua status tersebut ditetapkan oleh UNESCO melalui program

    Man and Biosphere (MAB) dan World Heritage Committee atas usulan Pemerintah

    Indonesia, setelah melalui suatu proses seleksi yang ketat.

    Taman-taman nasional di Indonesia adalah benteng terakhir pelestarian

    keanekaragaman hayati dan fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan

    bagi wilayah-wilayah produktif di sekitarnya. TNGL, seluas hampir 1 juta Ha

    itu, dideklarasi oleh Menteri Pertanian pada tahun 1980, yang merupakan salah

  • x i

    satu dari lima taman nasional pertama di Indonesia. TNGL adalah habitat satwa

    liar dilindungi, yaitu gajah Sumatera, badak Sumatera, orangutan Sumatera,

    dan harimau Sumatera, serta sebagai hulu dari beberapa daerah aliran sungai.

    Dengan demikian, pelestarian kawasan ini menjadi penting bagi daerah, nasional

    dan global.

    Penulis buku ini yang pernah menjabat sebagai Kepala TNGL (2005-2007)

    mencoba untuk mendokumentasikan hampir sebagian besar aspek pengelolaan

    kawasan selama hampir tiga tahun pengalamannya. Banyak persoalan dihadapi

    dan solusi-solusi yang diupayakan untuk menyelesaikannya, seperti kasus illegal

    logging yang terjadi di wilayah TNGL Kabupaten Aceh Tenggara dan perambahan

    sawit yang terjadi di Besitang, Kabupaten Langkat Sumatera Utara, penguatan

    peran masyarakat dalam menjaga hutan, sebagaimana pengembangan ekowisata

    oleh Lembaga Pariwisata Tangkahan, Kabupaten Langkat yang terbukti berhasil.

    Semoga buku ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan pembangunan,

    pecinta dan pemerhati lingkungan, pelestari kawasan konservasi, peneliti,

    mahasiswa, dan masyarakat pada umumnya. Dapat membangun kesadaran

    tentang pentingnya pelestarian lingkungan untuk kepentingan generasi masa kini

    dan dapat menjamin pewarisannya bagi generasi mendatang dalam keadaan

    yang relatif masih utuh sesuai dengan fungsinya. Inilah tujuan utama yang menjadi

    mandat pemerintah untuk melakukan upaya pelestarian lingkungan di seluruh

    tanah air, dalam arti luas, sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang dan

    Visi Kementerian Kehutanan: Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera.

  • Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa, hampir semua kekayaan dunia. Dimulai dari posisinya di antara dua Benua, Asia dan Australia, dimana di tengahnya dibelah oleh Garis Wallacea, yang dicirikan dengan perpaduan

    Tengah, masuk ke dalam Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle). Posisi ini

    membuat Indonesia menjadi negara maritim yang diincar karena kekayaan

    dan kesehatan lautnya, yang menjadikannya lumbung perikanan dunia.

    Indonesia adalah negara yang terletak pada wilayah Ring of Fire. Jajaran

    Indonesia subur makmur berkelimpahan sumberdaya alam, yang sudah

    dikenal sejak Abad 15, dengan hasil rempah-rempahnya, yang mengundang

    akhirnya VOC membangun imperium dagang terbesar di dunia, dimulai dari

    obat-obatan, dan masih banyak hasil hutan dan lautan yang sebenarnya dapat

    memberikan kesejahteraan bagi 250 juta penduduk Indonesia.

    Maka, dengan kekayaan alam yang kebanyakan unik dan endemik,

    posisi strategis, serta penduduknya yang semakin meningkat pendidikan

    dan keahliannya, tidak diragukan lagi bahwa pengelolaan sumberdaya alam

    Indonesia harus dikembalikan ke tangan putra-putri terbaik bangsa. Dan kita

    i

  • xii i

    harus bisa merubah paradigma, dari IBY, dibaca I Beg You, menjadi YOU,

    dibaca You Owed Us!

    kawasan lahan basah lainnya dan lautan Indonesia yang 2/3 dari luas negara

    kita ini, harus dikelola dengan bijaksana. Dengan menggunakan teknologi

    dengan pola pikir seperti inilah, kita pewaris kemerdekaan yang diperjuangkan

    dengan darah, nyawa, dan air mata pejuang dan pendiri bangsa ini, dapat

    mewujudkan rasa syukur kepada Allah S.W.T. Juga sebagai ungkapan

    penghargaan kita kepada para pahlawan pendiri Republik yang kita cintai ini.

    konservasi. Luas ini setara dengan 6,5 kali lipat negeri Belanda, atau hampir

    perairan. Kawasan yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan, cq Ditjen

    Semua sektor harus bersinergi, membantu pengelolaan kawasan konservasi

    kegigihannya berpuluh tahun telah berhasil membangun kawasan karst

    gersang-tandus di Kab Gunung Kidul, menjadi kawasan yang “ijo royo-royo”.

    Rakyat Gunung Kidul telah kaya dari kayu hutan dan hasil hutan non kayu.

    kondisi alam yang rusak, yang miskin, menjadi tempat hidup yang layak huni

    dan menyejahterakan rakyatnya.

    tularkan dan gemakan ke seluruh negeri. Kawasan konservasi seluas 27,2

  • xiiii

    di mana jutaan masyarakat setempat bergantung kehidupannya kepada

    sumberdaya itu. Maka, pola pengelolaan kawasan-kawasan konservasi

    sebaiknya mempertimbangkan pelibatan masyarakat setempat, masyarakat

    hukum adat, tokoh-tokoh agama, gereja, pesantren, dan pemerintah daerah.

    Bahkan seharusnya melibatkan perguruan tinggi, peneliti, pakar-praktisi, untuk

    Asean Heritage, dan World

    Heritage Site

    dalam perlindungan penyangga kehidupan ratusan desa di bawahnya. Rumah

    tangga. Kawasan ini juga penting karena menentukan pola iklim regional,

    pencegah banjir dan longsor, menjaga kesuburan tanah, dan lain sebagainya.

    Penerbitan buku yang dituliskan oleh Sdr.Wiratno, yang pernah

    peneliti, dan unsur masyarakat/LSM yang menjadi mitranya, patut kita hargai,

    sebagai upanyanya mendokumentasi apa yang sebenarnya terjadi di masa 3

    tahun (1000 hari) kepemimpinannya di sana. Sebuah contoh tradisi yang baik,

    untuk mewariskan “pengetahuan” kepada publik, agar kita dapat mengambil

    pelajaran dan tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.

    turut serta mencerdaskan manusia Indonesia. Agar kita lebih peka, lebih

    serba terbatas dan rentan. Sebagai khalifatullah di Bumi, kita wajib menjaga,

    memelihara, dan merawat Bumi kita satu-satunya ini.

    Marzuki Usman

    Menteri Kehutanan 2000-2001

  • i i

    Upaya konservasi alam di Indonesia, walaupun sudah dimulai sejak Abad 19 oleh Pemerintah Kolonial Belanda, namun masih tergolong sangat baru, ditinjau dari dukungan kebijakan pemerintah. Dimulai dari

    kajian menyeluruh di hampir seluruh pelosok Indonesia oleh John McKinnon

    pada tahun 1980an di satu sisi, dan sisi lain dengan ditetapkannya Tata Guna

    Hutan Kesepakatan (TGHK) antara tahun 1980-1985, maka dimulai era baru

    penunjukan kawasan-kawasan hutan di Indonesia, yaitu hutan lindung, hutan

    produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan yang dapat dikonversi, kawasan

    konservasi, dan areal penggunaan lain.

    Dalam kurun waktu 20-25 tahun kemudian, kita menyadari bahwa

    telah terjadi perubahan-perubahan penggunaan lahan untuk berbagai

    kepentingan pembangunan, antara lain untuk eksploitasi kayu melalui

    sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH), penanaman hutan tanaman atau

    dikenal sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan skala besar,

    pertambangan, pemukiman transmigrasi, pembangunan kota-kota baru,

    kabupaten atau provinsi baru — yang memerlukan ruang, pembangunan

    jaringan jalan nasional, provinsi, kabupaten, dan lain sebagainya. Seiring

    dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, dan lahirnya pusat-

    pusat pertumbuhan (growth pole) akibat lahirnya kota-kota baru tersebut,

  • xvi i

    juga disertai dengan meningkatnya intensitas migrasi penduduk pencari kerja,

    pemukiman baru, pusat-pusat layanan masyarakat, dan secara keseluruhan

    memerlukan ruang serta sumberdaya yang besar.

    Kawasan-kawasan konservasi, yang di awal masa TGHK dikelilingi

    oleh kawasan-kawasan hutan, baik hutan lindung, hutan produksi (yang

    masih relatif utuh), kini telah berubah. Salah satu fenomena besar perubahan

    penggunaan lahan di Sumatera dan Kalimantan, bahkan juga ditemukan di

    Sulawesi, dan Papua adalah perluasan perkebunan kelapa sawit, baik skala

    besar maupun skala kecil. Hal ini telah pula ditemukan di sekitar Taman

    Nasional Gunung Leuser (TNGL), di mana penggunaan lahan untuk kelapa

    sawit ini di Provinsi Sumatera saja telah mencapai luasan satu juta hektar

    (sama dengan luas TNGL). Namun sangat disayangkan bahwa sebagian

    bukanlah perkebunan yang legal. Akibat terbatasnya lahan, maka sejak tahun

    1990an, kawasan TNGL, khususnya di Besitang, Kabupaten Langkat telah

    dirambah untuk kepentingan penanaman kelapa sawit ini.

    Seiring dengan persoalan tersebut, kawasan hutan produksi yang dikelola

    HPH juga semakin merosot kemampuan produksinya. Pada waktu yang sama,

    kebutuhan akan kayu (log) di pasar negara-negara Utara, termasuk Eropa,

    Amerika, dan China masih relatif tinggi. Maka, illegal logging dan illegal trading

    kayu-kayu tropis Indonesia menjadi cerita sehari-hari. Penegakan hukum secara

    nasional dimulai dengan terbitnya Instruksi Presiden No.5 tahun 2004 untuk

    Taman Nasional Tanjung Puting (Kalimantan Tengah) dan TNGL (Sumatera

    Utara dan Aceh), dan dilanjutkan dengan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun

    2005, untuk seluruh Indonesia, telah berhasil menekan laju illegal logging dan

    illegal trading tersebut. Namun persoalan baru semakin merebak: perambahan

    dan pendudukan kawasan-kawasan hutan bekas HPH, termasuk kawasan

    konservasi -- yang tidak dikelola dengan serius di tingkat lapangan.

    Kritik dari luar terhadap pengelolaan kawasan konservasi, khususnya

    taman-taman nasional adalah persoalan efektivitas pengelolaan. Maka

  • xviii i

    muncul kritik tentang meluasnya “paper park”, yaitu taman-taman nasional

    yang hanya eksis di atas peta. Di lapangan, terjadi perambahan dan illegal

    logging yang tidak dapat dikontrol oleh pengelolanya. Walaupun penyebabnya

    tidak selalu akibat dari kelalaian pengelola, tetapi lebih akibat faktor-faktor

    eksternal — meluasnya perkebunan, kebijakan pemerintah kabupaten dan

    atau pemerintah provinsi yang tidak kondusif, dan sebagainya. Kritik seperti

    ini harus direspon dengan positif dan proporsional, dan justru harus dijadikan

    momentum untuk melakukan otokritik dan berbenah diri.

    Penulis buku ini, secara tersamar namun sebenarnya juga cukup

    gamblang melakukan upaya itu, yaitu melakukan otokritik. Yang menarik,

    penulis menguraikan pengalamannya sendiri ketika menjadi Kepala Balai

    TNGL selama hampir 1.000 hari. Temuan-temuan lapangan selama periode

    itu sangat menarik untuk kita jadikan pembelajaran. Untuk kita renungkan.

    Untuk kita fahami sebagai bagian dari proses menyusun sejarah. Sejarah

    konservasi kita sendiri. Sejarah pengelolaan taman nasional di Indonesia.

    Sangat langka dan bahkan dapat kita hitung dengan jari, para Kepala Taman-

    taman Nasional yang mau meluangkan waktu, menuliskan pengalamannya

    mengelola taman nasional pada kurun waktu tertentu. Untuk itu, upaya

    menuliskan pengalaman mengelola TNGL ini patut kita apresiasi.

    Dengan segala kekurangannya, upaya-upaya yang telah dilakukan oleh

    penulis dan para kontributor lainnya yang mewujud dalam buku ini patut kita

    hargai. Ke depan, diharapkan akan lahir penulis-penulis dari kalangan birokrat

    kehutanan sebagai salah satu upaya dokumentasi kerja konservasi di lapangan

    dan untuk memperkaya khasanah konservasi alam di seluruh tanah air.

    Ir.Darori,MM

    Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

    Kementerian Kehutanan Republik Indonesia

  • i

    The Gunung Leuser National Park (GLNP), on the island of Sumatera, constitutes one of the truly exceptional sites of Indonesia. Covering an area of 1,094,692 Ha of mostly pristine lowland, hill and sub-mountainous tropical

    forest and endowed with staggeringly beautiful landscapes as well as threatened

    1984 and entered a cluster world heritage site, the ’Tropical Rainforest Heritage

    of Sumatera’, together with Kerinci Seblat and Bukit Barisan Selatan National Park

    in 2004.

    the north-western part of Sumatera, one of the most severely affected areas. The

    Nanggroe Aceh Darussalam Province, where who thirds of the park is located,

    suffered a huge number of casualties and infrastructure damage. The management

    improving the conservation of the national park and adjacent areas by mitigating

    impact following the tsunami and related threats, such as encroachment,

    agricultural expansion, poaching and illegal logging.

    Government, has worked together with GNLP staff and the local authorities to

  • xx i

    Despite the many task that still need to be addressed, this book shown

    that by joining effort and by building and trustful collaboration among partners,

    conservation can lead to short as well as long-term achievements.

    challenges he encountered during this time arising not only from illegal logging and

    encroachment, low capacity of national park staff and lack of human resources,

    but also from the tsunami aftermath. The conservation of a national park is not

    among a wide range partners and local communities. This book described how

    a new management scheme was initiated, through a bottom-up management

    system focusing on the lowest management units in the Nationak Park, and

    thereby transforming the management paradigm of the park from a ”paper park”

    to a re-active and pro-active park, with a vision beyond park boundaries.

    and ideas in this book which will certainly prove to be useful to this successors in

    Gunung Leuser National Park and indeed in other conservation areas throughout

    the country.

    th, 2012

    Iswaran

    Former Director of the Division of Ecological and Earth sciences, and Secretary

    of the Man and the Biosphere (MAB) Programme

  • i i

    Ide dan proses penyusunan buku ini sangat lama. Semua bermula dari campuran ketakjuban dan keterkejutan melihat pengelolaan TNGL. Ketika pertama kali penulis bertugas, persoalan begitu banyak, begitu besar,

    kegagalan manajemen puluhan tahun sangatlah rumit. Dinamika lokal sangat

    beragam dan memberi tekanan kuat. Situasi politik di Aceh mengalami

    ketegangan, terutama sebelum dicapainya perundingan damai di Helsinki

    dan desentralisasi. Wacana konservasi di tingkat global dan nasional telah

    berubah drastis paska 1998. Sementara itu ekosistem di sebagian kawasan

    TNGL porak poranda oleh berbagai macam sebab.

    Penulis juga takjub atas dinamika manusia di sekitar TNGL. Mereka

    manusia yang multi-interpretasi, multi kepentingan, bergerak dan berubah

    dengan sangat dinamis dan terus mencari identitas dan jatidirinya. Sangat

    menarik dapat mengenali mereka. Tetapi sayang sekali, wilayah kajian ini belum

    disentuh oleh para pakar. Kecuali kajian sejarah kebudayaan Gayo oleh Junus

    Melalatoa, kajian tentang Suku Alas belum dilakukan secara komprehensif.

    Ketakjuban dan kegelisahan ini menjadi proses pergulatan intelektual.

    Pergulatan inilah yang mendorong penulis untuk mendokumentasikan

    pengalaman yang telah dialami. Akan tetapi, pergulatan ini tidak dapat

    berjalan sendiri tanpa teman yang memberi semangat dan inspirasi.

  • xxii i

    Ucapan terima kasih kepada kawan dekat Dr. Erwin Widodo selama

    menjadi pelaku North Sumateran Corridor Manager Conservation International

    Indonesia (CII). Mas Erwin (kini membantu Yayasan Keanekaragaman Hayati

    (KEHATI) dan World Wildlife Fund for Nature (WWF)) mendampingi kami,

    dan terobosannya membawa penulis ke Hiroshima. Atas gagasan-gagasannya

    penulis dapat singgah di kantor JICA di Tokyo bertemu dengan Prof. Kusano,

    serta rencananya menggandeng Taman Nasional Kinabalu (Malaysia)

    sebagai mitra TNGL. Banyak inisiatif brilian darinya merupakan mimpi

    indah bersama; Russ Mittermeier — President CI di Washington DC yang

    memberikan spirit dan dukungan konkrit setelah menengok mekar

    di Tangkahan; Jatna Supriatna Ph.D — yang memberikan penulis kesempatan

    menjadi di CII pada periode 2001-2004; Mbak Sari Surjadi —

    kolega lama di CII dan (CEPF). Penulis

    banyak belajar bagaimana menjadi perfeksionis — di bidang administrasi dan

    penguasaan lapangan dalam konservasi sebagai profesi; Koen Meyers, orang

    lama Siberut, karib dalam berdialog diskursif dan memahami lapangan yang

    mengenalkan penulis kompleksnya penduduk Mentawai lebih dari 2 tahun

    (2003-2004). Koen Meyers yang pernah membantu peningkatan kapasitas

    sumberdaya manusia di TNGL melalui dukungan dari World Heritage Center

    UNESCO di Paris dan membangun kerjasama dengan pemerintah Spanyol

    untuk mendukung TNGL selama 3 tahun, bahkan berlanjut sampai dengan

    saat ini; Suer Suryadi — UNESCO yang mengawal proses penegakan hukum

    di Besitang, dan menyemangati staf di Besitang dan Restorasi Sei Serdang,

    untuk bekerja dengan hati dan bekerja dengan cerdas dan cerdik; Boyce

    — ”kutu loncat” lintas Sumatera, praktisi jejaring LSM dan komitmennya

    pada pertemanan yang kocak dan tulus; Adi Susmianto — mantan Kepala

    Balai TNGL (1999-2000), yang sebenarnya masih cinta dan memiliki ikatan

    emosional yang kuat dengan Leuser. Pada saat penulis bertugas di lapangan,

    memberi saran langsung melalui telepon maupun pesan singkat. Beliau

  • i i xxiii

    menyumbang banyak pemahaman tentang penataan orang-orang TNGL dan

    peta permainan kekuatan internal dan eksternal. Pak Adi Susmianto pula yang

    meletakkan dasar pembangunan ekowisata berbasis masyarakat di Tangkahan,

    sejak tahun 1999; Awuriya Ibrahim (mantan Kepala Balai TNGL periode 2001-

    2002), peletak dasar pengembangan resort-resort TNGL; Hart Lamer Susetyo

    (mantan Kepala Balai TNGL 2002-2004), fokus melanjutkan pengembangan

    ekowisata di Tangkahan; Agoes Sriyanto — yang pernah tekun bekerja sebagai

    Kepala Balai di Taman Nasional Ujung Kulon dan membesarkan di GIS/RS

    dan di PIKA serta menterjemahkan Durban Accord. Wahdi Azmi

    dengan tim Fauna Flora International (FFI) yang telah mendukung pola-pola

    patroli kawasan dengan nama (CRU) di Besitang

    dan dukungannya kepada Tangkahan; Mas Ary Suhandi yang konsisten

    mendukung dan memfasilitasi pembangunan ekowisata di Tangkahan;

    demonstran TNGL dan penggerak inisiatif ekowisata berbasis masyarakat di

    Tangkahan. Mereka membawa penulis dalam dialog-dialog mencengangkan

    bagaimana menerobos kebekuan pengelolaan taman nasional-daerah

    penyangga-masyarakat; Wibi yang mendukung Tangkahan dan Besitang,

    tokoh muda FFI yang penting dan akhirnya menjadi salah satu inner circle

    Pemerintahan Aceh paska Tsunami. Pak Piyu pegawai honorer paling setia

    di lapangan dan ternyata paling tua di TNGL. Bersama Pak Sukarman, Pak

    Piyu ingin melihat Besitang pulih kembali. Pak Keleng Ukur dan Pak Mbolon

    penjaga setia Restorasi Ekosistem Sei Serdang. Semangat kerja mereka inilah

    yang menyentuh ”kesadaran” penulis secara emosional, yang kadang sangat

    berlebihan; Nurhadi, si pendiam yang tekun bekerja di Bukit

    Lawang; 10 orang perawat satwa di Bukit Lawang yang rajin merawat orang

    utan, walaupun kurang diperhatikan dalam kancah konservasi spesies; Ian

    Singelton dan Pak Suherry dari

    (SOCP) yang selalu siap membantu apabila ada persoalan dengan orangutan

  • xxiv i

    di TNGL; Ratna Hendratmoko, pekerja detil dan perfeksionis; Ujang Wishnu

    Barata, gelandangan pemberani dan tak pernah mengeluh terus bekerja di

    lapangan; Rivan Diwana (Alm) yang cepat menyesuaikan dan memiliki

    ”kekuatan” tersembunyi; Roy Darmawan komitmennya kuat untuk kerja tim

    DIPA; Yasin, generasi muda TNGL yang patut ditiru dalam kerja teknisnya; Bisro

    ”Jelajah” Sya’bani yang susah payah mengurusi buletin ”Jejak Leuser” sejak

    dari penerbitan perdananya hingga saat ini, dan kelompok-kelompok muda

    TNGL yang dengan caranya sendiri mau mulai ”berubah” dan membangun

    budaya kerja baru di TNGL. Budaya kerja yang mengejar kualitas atas dasar

    prinsip semangat, bersama dan memberi solusi dan perbaikan keterampilan-

    pengetahuan-moral-sikap; Pak Lisanuddin, dengan runut menceritakan sejarah

    TNGL dan sukses ”merenovasi” Kantor TNGL di Kutacane hingga layak huni

    dan membuat kami nyaman dalam bekerja; Pak Daniel, yang lama membantu

    Kabupaten Aceh Tenggara, tetapi masih kuat komitmen konservasinya,

    malahan menjadi connector penting TNGL dan Bupati Aceh Tenggara, Aceh

    Tenggara; Terakhir, kepada tiga sekawan yang aktif membangun konservasi

    sebagai suatu gerakan sosial di tingkat kampung dan desa dengan kerja awal

    di Taman Wisata Alam Gunung Pancar, Cagar Alam Simpang Tilu, Dieng: Kang

    Iwan Setiawan, Thomas Oni Veriasa, dan Kang Ahmad Baehaqi (alm.). Kepada

    mereka, saya belajar banyak tentang inisiatif gerakan baru ini. Walaupun

    berskala kecil, inisiatif ini mulai menampakkan potensi-potensi keberhasilan

    yang membanggakan dan patut diteladani: pembelajaran skala kecil yang

    memandirikan masyarakat inilah salah satu jawaban dari kebuntuan konservasi

    selama ini. Investasi skala besar untuk membangun konservasi di Indonesia

    mulai dari proyek Integrated (ICDP)

    dan Proyek Pengembangan Konservasi Alam Terpadu (PPKAT) yang didanai

    pendanaan multilateral menyisakan banyak cerita; Kang Agus Mulyana

    untuk pengalaman berbagi dalam penyelesaian persoalan Taman Nasional

    Kutai. Dia adalah fasilitator handal dan dingin dalam mendorong teamwork

  • i i xxv

    generasi muda Taman Nasional Kutai, ketika banyak mitra Lembaga Swadaya

    Masyarakat (LSM) ”meninggalkan” Taman Nasional Kutai yang menghadapi

    banyak persoalan akut dan kompleks. Roby Royana, tokoh muda yang sangat

    enerjik, lahir dan membesarkan Sylva Indonesia.

    Naskah akhir ini dibaca dan diberikan catatan kritis oleh Mas

    Suhariyanto. Ia seorang birokrat Kementerian Kehutanan dengan kemampuan

    olah pikir dan olah hatinya yang sangat luas dengan pengalaman lapangan

    terhadap buku ini terkadang sulit dicerna. Akan tetapi kemudian menjadi terang

    benderang ketika dijelaskan dalam diskusi-diskusi kecil di ruang kerjanya,

    di Gedung Manggala Wanabakti, Lantai 4, pada periode Januari-Juli 2009.

    Diskusi tersebut melahirkan framework, alat kajian, dan jawaban-jawaban

    kunci dan esensial bagi banyak pertanyaan penulis sendiri. Sumbangan

    Seribu Hari di Leuser. Kritik Mas Suhariyanto itu akhirnya menjadi dasar

    pengantar buku ini; Mas Wahjudi Wardojo berkesempatan penulis temui.

    Kami mendiskusikan sejarah konservasi dan politik konservasi di Indonesia di

    masa depan, dengan segala tantangan, kendala, dan peluang.

    memberikan Kata Sambutan. Bapak H. Marzuki Usman, SE., MA. (Menteri

    Kehutanan 2000-2001) atas Kata Sambutan, Direktur Jenderal Perlindungan

    Hutan dan Konservasi Alam Bapak Ir. Darori, MM., yang telah mendukung

    segera diterbitkannya buku ini dan memberikan Kata Sambutan, Direktur

    Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Bapak Ir. Sonny Partono, MM.

    (2009-2012) dan penggantinya Bapak Ir. Bambang Dahono Adji, MM.,

    MSc., Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Bapak Dr. Ir. Novianto

    Bambang Wawandono, MSi., Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan

    Konservasi dan Hutan Lindung Bapak Dr. Ir. Bambang Suprijanto, MSc.,

  • xxvi i

    MSc., Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan Bapak Ir. A. Kurnia Rauf, dan

    Bapak Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

    Ir.Hartono, MSc. peletak dasar (RBM) di Taman

    Nasional Alas Purwo dan kemudian menjadi contoh di tingkat nasional. Prof.

    San Afri Awang yang menginspirasi penulis untuk lebih memahami kajian

    sosiologi dalam pengelolaan kawasan konservasi. Petrus Gunarso PhD yang

    memberikan pencerahan kepada penulis tentang pentingnya analisis high

    dan kajian pada skala lansekap.

    Buku ini dapat terbit atas dukungan penuh dari UNESCO Jakarta

    Gijzen, PhD, Director UNESCO Regional Science Bureau for Asia and the

    the Philippines, and Timor Leste; Shahbaz Khan, PhD, Deputy Director &

    Senior Program Specialist; Siti Rachmania; Arantzazu Acha De La Presa;

    Dinanti Erawati; Indira Sjafril; Ganni Mulya; Lucia Eguillor Gorostiaga; Rina

    Purwaningsih; dan Glaudy Perdanahardja.

    Rekan-rekan sekerja di Subdit Pemolaan dan Pengembangan (Agustus

    2007- Januari 2012): Toni Anwar, Toto Indraswanto, Nurman Hakim (”penjaga

    gawang” database kawasan konservasi, RBM, dan Penanganan Perambahan),

    Ecky Saputra (yang pernah aktif bekerja di lapangan di Taman Nasional

    Siberut), Luluk Catur, Erna Ika Rahayu, Nining Purwaningsih (mereka semua

    staf handal), Juju Wiyono (staf multi talenta dan ), Bu Cherita

    Yunia, Bu Siti Chadijah Kaniawati, Gatot Soebiantoro, Bu Marliana Syufrini-

    rekan-rekan Kasubdit, serta Ahmad Munawir/Wira-mantan staf andalan Taman

    Nasional Siberut.

    Penghargaan disampaikan kepada seluruh kontributor, Sri Suci Utami

    Atmoko, Sundjaya, Subhan, Saiful Bahri, Pratiara Lamin, Ujang Wisnu Barata,

    Koen Meyers, Suer Suryadi, Ary Suhandi, Seh Ukur Depari, Ian Singelton,

    Suherry Aprianto, Darmanto, Iwan Setiawan, Ratna Hendratmoko, Anang

  • i i xxvii

    Kepada siapa saja yang (kebetulan) berinteraksi dengan penulis dalam

    berbagai kesempatan dan memberikan ide, inspirasi, wawasan, pencerahan,

    serta spirit, penulis mengucapkan apresiasi dan syukur. Tanpa interaksi dengan

    mereka, penulis tidak mungkin dapat menyusun pengalaman 2 tahun 8 bulan

    di TNGL. Tanpa kesempatan dan ketidaksengajaan pertemuan yang penuh

    bentuknya seperti sekarang ini. Semoga ini dapat disebar dan dibaca oleh

    publik Indonesia, pekerja dan pejuang konservasi, kelompok muda konservasi

    yang dengan tekun bekerja di lapangan, mengujicobakan RBM dan mereka

    yang bekerja di lapangan dengan tulus, dengan hati di seluruh pelosok negeri

    tercinta Indonesia, pada paruh akhir tahun 2009 sampai dengan saat ini,

    yaitu: Bonnie yang mengawal secara khusus bertahun tahun agar penulis

    tidak ”tersesat” di jalan yang benar; Nurman Hakim-inisiator jaringan orang

    muda konservasi alam Indonesia; Hastoto, Ferie, Boby, Ahtu, Keleng, Edward,

    Fitri, Subhan, Regent Rais, Cobar, Hagnyo, Adi, Arif, Wardi, Nurfaizin,

    Soeyoko & Hardian, Wahyu M, Swiss, Dhimas, Eko, Dedy, Iskandar, Eko,

    Banjar, Simon Onggo, Alfons, Hengky, Supriyanto, Rusdy A, Ferrie Liuw, Oon,

    Andi W; tokoh-tokoh TN Alas Purwo- Dwi Ariayanto, Wahyu Murdyatmaka,

    Purwanto, Agus Setyadi; Tim RBM Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam

    (BBKSDA) Nusa Tenggara Timur: Arief Mahmud, Hartojo, Dominggus Bolla,

    Ora Yohanes, Maman Surahman, Dadang Suryana, Zubaidi, Rio, Evi, Wulan,

    Aminah, Yusi, Lia, Juna, Wantoko, Yusuf, Yance, Sahudin; tokoh-tokoh senior

    staf yang menerima Kalpataru, yaitu Nico Demus Manu, Hendrikus Mada,

    Yesaya Talan, dan seluruh staf Balai Besar KSDA Nusa Tenggara Timur.

    Penulis akan terus menulis, sebagai komitmen personal untuk

    mewariskan ”buku” kepada generasi kini dan generasi mendatang melalui

    lorong waktu tak terbatas. Sebagaimana diungkapkan oleh pujangga kita,

    Pramudya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia

  • xxviii i

    tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis

    adalah bekerja untuk keabadian”.

    Maka, biarlah buku ini menemukan pembacanya, memberikan

    energi dan spirit serta ruhnya, melalui desain ”tersembunyi” Sang Maha

    Pemberi Hidup: ”Perjumpaan buku dengan pembacanya dan mendapatkan

    kemanfaatan dari buku itu adalah juga menjadi rahasia Nya yang sepatutnya

    disyukuri. Sebagaimana layaknya selembar daun yang jatuh di tengah di hutan

    belantara pun, pasti seizin Allah SWT., Sang empunya kehidupan.

    Penulis

  • Konsep pembangunan di negara-negara dunia ketiga (termasuk fokus utama pertumbuhan ekonomi. Strategi ini tidak dapat meningkatkan

    kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia. Pembangunan dengan

    capaian utama pertumbuhan ekonomi dan asumsi trickle down effects adalah

    konsep pembangunan yang usang. Menurut Capra (2004) para ekonom

    umumnya kurang memiliki suatu perspektif ekologi. Para ekonom cenderung

    cenderung menggambarkannya dalam pengertian model-model teoritis yang

    sebuah dunia yang secara fundamental saling bergantung.

    Nilai-nilai yang dianut oleh para ekonom ini telah membawa kepada

  • xxx i

    nuklir yang semakin besar.

    kekuasaan dan distribusi kekayaan yang tidak merata di Dunia Ketiga.

    Lembaga-lembaga korporasi raksasa mendominasi adegan-adegan nasional

    segenap segi kehidupan masyarakat; sementara itu sebagian ekonom masih

    tampak mempercayai bahwa pasar bebas dan persaingan sempurna Adam

    Smith benar-benar ada.

    semakin melebar. Bukti yang diungkap oleh United Nations Development

    Programme (UNDP) sebagaimana dikutip oleh Fadillah Putra (2009) dengan

    membandingkan Gross Domestic Product (GDP) sebagai berikut: “Kesenjangan

    stagnan

    melihat hasil pembangunan internasional mulai dari growth theory sampai

    terakhir good governance hanya menghasilkan kerapuhan fundamen ekonomi

    dunia dan kesenjangan global yang semakin akut”.

    proyek. Konsep pembangunan harus dicurahkan pada investasi di bidang

    human capital

    harus merasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya manusia kreatif yang

    bisa menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah yang

    dihadapinya. Soedjatmoko menyebut pembangunan yang baik adalah

    pembangunan yang mendinamisasikan kekuatan-kekuatan masyarakat tanpa

  • xxxi

    yang berpusat pada manusia sebagai paradigma berpusat pada rakyat (people

    center development).

    dan modernisasi yang kita jalani sebagai sebuah bangsa telah menghadapkan

    kita secara langsung dengan masalah kebudayaan Indonesia. Masalah

    pembangunan dan kebudayaan ini memunculkan diskusi yang sangat penting

    mengenai perlunya mempertahankan kepribadian dalam menghadapi

    perubahan-perubahan sosial yang sangat luas dan mendalam. Kebudayaan

    juga harus menghadapi implikasi-implikasi pembangunan seperti pengaruh

    teknologi dan ilmu pengetahuan serta dampak komunikasi massa.

    dimahkotai oleh munculnya negara-negara kerajaan eksportir. Produksi beras

    di Majapahit dan Demak mampu menghidupi negara-negara Asia Tenggara.

    Kerajaan Ternate-Tidore dan Banten mampu memenuhi kebutuhan bangsa-

    bangsa Indonesia jatuh menjadi bangsa importir. Tidak mampu memenuhi

    kreatif menciptakan sendiri. Alasannya selalu globalisasi. Kita harus mengejar

    ketertinggalan kita dan berlomba dengan bangsa-bangsa lain.

    Implikasi paling besar dari pembangunan yang dirasakan adalah faktor

    ekstraksi sumberdaya alam yang tinggi. Ini mencerminkan persoalan yang

  • xxxii i

    massal di Bumi akibat pembangunan ini dengan baik. Ia menyatakan

    bahwa kepunahan jenis tumbuhan dan hewan saat ini berbeda dengan

    hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh manusia. Kerusakan lingkungan dalam

    Tekanan terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati dipicu juga oleh

    peningkatan populasi manusia.

    Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia berdiri di atas

    tidak terbarukan (non renewable resources). Ekstraksi dan eksploitasi terhadap

    sumberdaya alam telah sampai pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Senge

    bermigrasi ke kota-kota. Sumber-sumber perekoniman tradisional di desa telah

    Hal ini menyebabkan ketimpangan-ketimpangan dalam distribusi sumberdaya

    dan sekaligus dalam ”gaya hidup” antara penduduk kota dan desa. Indonesia

    sedang mengalami masalah ini dan akan terus berakumulasi di masa depan.

    bukti-bukti yang dipaparkan James Martin (2011) melalui bukunya The

    Meaning of the 21 Century

    konsumsi 140 orang Afganistan atau Ethiopia. James Martin menguraikan ada

    tiga macam penyebab kehancuran sumberdaya alam: penurunan kuantitas

  • xxxiii

    Serikat adalah negara yang memberi kontribusi tertinggi bagi pelepasan gas

    karbon dioksida di atmosfer. Pernyataan James Martin tersebut mungkin dapat

    Sebuah dokumen penting dari Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Club

    of Rome The Limits to Growth

    sumberdaya alam di dunia diakibatkan ledakan penduduk dunia. Bukti dari

    ini. Sebuah komisi minyak yang dibentuk pemerintah dan industri minyak

    Amerika Serikat menyatakan bahwa cadangan minyak dan gas dunia tidak

    menjadi net oil importer

    Ledakan penduduk yang melesat tinggi di negara-negara berkembang

    sering dipandang sebagai faktor tunggal bagi masalah pembangunan. Namun

    sumberdaya alam. Gaya hidup dan pola konsumsi negara maju juga menjadi

    pastilah penduduk di negara berkembang. Panel antar pemerintah untuk

  • xxxiv i

    Jutaan hektar dataran rendah akan banjir serta ratusan juta orang mengungsi.

    Pemanasan global yang disebabkan industri di negara maju akan ditanggung

    Pola hidup dan konsumsi dalam pemakaian sumberdaya alam ini telah

    menimbulkan ”eksploitasi” dalam bentuk baru. Sementara negara-negara maju

    usaha eksploitasi ke negara berkembang yang berbiaya lebih murah. Contoh

    paling bagus tentang paradoks ini adalah mengenai hutan tropis kita. Kebutuhan

    kayu regional dan global telah menyebabkan hutan Indonesia rusak parah

    Air (PLTA) Jepang jauh lebih besar per unit luas hutan dibandingkan dengan

    Indonesia). Kebutuhan pasar regional dan global akan kayu yang masih terus

    tinggi berpotensi untuk menjadikan hutan tropis lenyap.

    bebas dari ketergantungan energi dari fosil tahun 2020. Kecenderungan di atas

    menunjukkan kepada kita arah baru yang sangat mengkhawatirkan. Negara-

    negara maju di utara menguras sumberdaya alam dari selatan dan sekaligus

    Indonesia? Kawasan hutan yang relatif tidak mengalami kerusakan menjadi

    terdapat kawasan yang memiliki bentang alam dataran tinggi yang disebut

    sebagai kawasan hutan lindung—untuk kepentingan perlindungan hidrologi

  • xxxv

    karena berbagai tingkat kerusakannya yang mengkhawatirkan. Di kawasan

    hutan lindung ini dianggap banyak pihak sebagai beban karena tidak

    memberikan kontribusi ekonomi secara langsung dan pada saat yang sama

    banyak diperebutkan karena potensi tambangnya.

    TNGL terletak dua pertiganya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

    Utara. Sejarah kawasan ini berasal dari usulan pemimpin lokal Aceh kepada

    Pemerintah Belanda untuk melindungi kawasan Lembah Alas dari penebangan

    oleh pemerintah Belanda yang disusul dengan perlindungan kelompok Hutan

    pertama di Indonesia.

    Pemerintah yang mendapatkan mandat dari undang-undang untuk

    kawasan konservasi menghadapi persoalan-persoalan mendasar. Baik

    persoalan internal maupun tekanan dari eksternal dan dinamika sosial

    masyarakat adat yang memiliki klaim hak ulayat di dalam kawasan konservasi

    terus menjadi perdebatan; pembangunan membutuhkan ruang budidaya;

    pemukiman baru; kebijakan desentralisasi yang memungkinkan munculnya

    kabupaten atau provinsi baru di dalam kawasan konservasi; semuanya

    menjadi tantangan bagi upaya mempertahankan kawasan konservasi sebagai

  • xxxvi i

    sebagainya) di dalam kawasan konservasi. Potensi tambang tersebut menjadi

    komoditas politik kelompok elit yang memiliki kekuasaan sangat besar. Tidak

    mengherankan apabila kawasan konservasi menjadi titik temu berbagai

    sektoral yang dipenuhi kontroversi.

    Di Sumatera dan Kalimantan hutan-hutan alam yang berstatus

    hutan produksi (hutan tropis dataran rendah) telah mulai habis. Hutan

    itu berubah menjadi hutan-hutan miskin jenis dan terbuka. Kebanyakan

    nasibnya menjadi kebun sawit. Perubahan ini berlangsung sangat cepat.

    Perubahan ini semakin mendekat di kawasan-kawasan konservasi sehingga

    tekanan bagi usaha pelestarian menjadi semakin meningkat. Dalam konteks

    perkembangan sosial-ekonomi dan perubahan geopolitik yang seperti itu

    TNGL juga menghadapi tekanan yang sama. Termasuk di dalamnya adalah

    perubahan tata pemerintahan di sekitar kawasan. Proses otonomi daerah

    yang tidak didesain secara sistematis dan tanpa masa transisi melahirkan

    elit-elit politik lokal memanfaatkan proses otonomi untuk membangun dan

    indikator putusnya ”rantai ekosistem” akibat kompleksitas masalah di atas.

    Mandat yang diemban bagi pengelola kawasan konservasi sangat

    keragaman hayati dan aspek sosialnya. Hutan Tropis Ekosistem Leuser tidak

    karena merupakan hulu dari daerah aliran sungai dan penyeimbang tata air

    hulu-hilir dan kesuburan tanah kawasan budidaya di bawahnya. Ekosistem

    Leuser berperanan dalam menjaga keseimbangan ekosistem di mana lebih

  • xxxvii

    manfaat ekologi tidak langsung ini seringkali diabaikan oleh banyak pihak

    terutama pengambil keputusan di daerah. Sebagian besar pejabat di daerah

    mindset-nya lebih dipengaruhi pertimbangan ekonomi jangka pendek.

    masyarakat Indonesia.

    Tugas pemerintah seharusnya dapat menjaga pendulum pembangunan

    agar tidak terjatuh dalam kutub ekonomi (antroposentrisme) dan juga tidak

    terpuruk ke kutub ekologi (ecosentrisme). Pemerintah memiliki mandat

    kontrol. Mandat ini harus mampu menjaga keseimbangan dua kutub tersebut.

    Kepemimpinan (leadership) yang efektif dan konsisten dibutuhkan untuk

    membuat dan menjaga keseimbangan itu terjadi. Kepemimpinan efektif hanya

    dapat dibangun dari komunikasi efektif. Komunikasi ini didasari atas dasar

    rasa saling percaya (mutual trust

    lebih dominan memainkan peranan sebagai pengatur dan mengabaikan

    peranan pihak lainnya. Watak pengatur ini sampai sekarang masih menjadi

    ciri dari pemerintah. Ini menjadi kendala internal terbesar bagi organisasi

    pemerintah pengelola kawasan-kawasan konservasi. Hal ini diperparah

    versus versus

    versus Undang-Undang

    Kehutanan atau Undang-Undang Konservasi).

    Tantangan pengelola kawasan konservasi saat ini dan ke depan

    adalah bagaimana membangun manajemen dan mekanisme keseimbangan

    pengelolaan. Pengelola kawasan dituntut untuk mampu menjembatani

    kepentingan ekonomi dan kepentingan penyelamatan lingkungan. Ini sesuai

    dengan tuntutan bagi pemerintah yang harus menyeimbangkan tiga peranan

    di atas. Hal ini tercapai apabila terdapat intisari dari manajemen yakni seni

  • xxxviii i

    the art of leadership leadership

    adalah komunikasi. Komunikasi yang efektif akan melahirkan leadership

    yang efektif.

    kepada penulis bahwa pemerintah harus merubah strategi dan perannya dari

    layanan konvensional menuju layanan prima. Fokus layanan harus digeser dari

    mementingkan birokrasi ke layanan berbasis kepentingan publik; orientasinya

    sikap perlu digeser dari kebanggaan institusi ke fungsi dan manfaat; basisnya

    dari sekedar dokumen atau formalitas administrasi menuju basis informasi; dan

    merubah sifatnya dari ekslusif menjadi inklusif. Perubahan tersebut memerlukan

    komunikasi efektif baik di lingkungan internal pemerintah dan lingkungan

    eksternal di publik yang lebih luas. Lebih lanjut Suhariyanto menyimpulkan

    bukan sebaliknya. Pemerintah dengan mandat dari negara dapat menciptakan

    yang dimandatkan oleh rakyat kepada pemerintah seringkali berakibat negatif

    dan berskala besar baik langsung maupun tidak langsung kepada rakyat. Banyak

    produk hukum dan kebijakan yang disusun lembaga legislatif dan dilaksanakan

    oleh pemerintah berbenturan dengan berbagai kepentingan publik. Oleh karena

    itu pemerintah harus sangat hati-hati menyusun kebijakan dan produk hukum.

    Produk hukum yang diciptakan seharusnya ditinjau dan disusun berdasarkan

    Pengelola kawasan konservasi sudah seharusnya memperhatikan

  • xxxix

    secara kontinyu membangun transisi dari layanan konvensional menuju

    layanan prima. Pembangunan karakter dan budaya berorientasi kepada rakyat

    ini perlu dibangun oleh pemerintah agar dapat dibangun visi dan arah yang

    antroposentrisme dan ekosentrisme.

    Pengelola kawasan konservasi — terutama TNGL — juga penting untuk

    mendorong pembentukan karakter di seluruh jajaran staf. Pegawai taman

    menjadi pelayan publik dengan mengelola kawasan konservasi. Kebanggaan

    tersebut dapat diperoleh jika kita dapat memahami bahwa merekalah yang

    generasi mendatang dan ciptaan Tuhan yang luar biasa. Setiap staf harus

    hutan tropis yang sudah terlanjur rusak perlu ratusan tahun untuk memulihkan

    dirinya sendiri.

    Jaman ”kayu” telah hampir usai. Pengelola kawasan-kawasan konservasi

    adalah ujung tombak dan garda depan penyelamatan sumberdaya hutan tropis

    konservasi tersebut. Kesadaran diri sebagai garda depan penyelamat hutan

    tropis juga harus diimbangi dengan keinginan untuk mengubah paradigma

    konservasi Indonesia bukan hanya soal menunggu waktu.

    Pengalaman penulis selama 1.000 hari mengelola TN Gunung Leuser

    praktisi konservasi yang tertuang dalam buku ini semoga menjadi ”Kaca

  • x i

    masyarakat. Bagaimana kita harus mencari strategi untuk menyeimbangkan

    usaha penyelamatan lingkungan untuk kepentingan jangka panjang dan

    usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mendesak ekonomi jangka pendek?

    diajukan Soedjatmoko pada awal buku ini. Investasi pengelolaan kawasan

    konservasi harus difokuskan kepada sumberdaya manusia. Fokus ini harus

    Wacana dan praktek pengelolaan kawasan konservasi harus dimulai

    dari kesadaran aktor-aktornya (manusia) untuk memahami konservasi sebagai

    sebuah gerakan (movement) bersama. Bukan hanya menjadi tanggung

    jawab pemerintah. Pengelolaan kawasan konservasi harus menjadi gerakan

    baru lintas disiplin keilmuan dan kepentingan. Hal ini karena dimulai dari

    penemuan dan perjumpaan diri seseorang (on self) terhadap kesadaran

    konservasi. Kesadaran diri terhadap konservasi akan menghindarkan

    seseorang dari perasaan kewajiban atau keterpaksaan atau mentalitas birokrat

    yang pasif. Kesadaran diri ini menentukan arah pengelolaan menuju tujuan

    yang ditetapkan secara inklusif dan mengakomodasi berbagai kepentingan

    saat ini maupun lintas generasi. Ini membawa kita kepada sebuah diskusi

    tentang pengelolaan kawasan konservasi yang bukan hanya pekerjaan belaka

    atau kesempatan kerja. Ini menandai bahwa konservasi jauh melampaui

    hal-hal teknis. Konservasi dapat digunakan sebagai sebuah jalan untuk

    menemukan pengabdian. Sebuah usaha pencarian identitas yang sangat

    menarik dan menantang.

    oleh Dhakidae dalam kutipan buku ini. Buku ini dapat dilihat sebagai bahan

  • x i

    seringkali kurang menilik dan memperhatikan perkembangan psikologis dan

    dalam konteks yang lebih luas bukan sekedar sebatas pal-pal batas taman

    nasional. Taman nasional mempengaruhi dan dipengaruhi oleh dinamika

    cepat dan seringkali tidak terduga arah dan dampaknya. Padahal persoalan

    kompleks yang muncul dari lapangan merupakan salah satu basis penyusunan

    kebijakan yang adaptif dan dapat diterima.

    Buku ini berusaha untuk mencapai harapan-harapan yang tidak

    tercapai untuk melihat dialog antara masalah di lapangan dan penentuan

    kebijakan di tingkat pusat. Buku ini semoga dapat mendorong lahirnya buku-

    berbagai disiplin keilmuan. Penulis mengharapkan ada sebuah ”pertandingan”

    lanjutan dari pengalaman yang dituliskan di sini. Pekerjaan rumah masih

    terbuka dan siapapun dapat mengambil kesempatan untuk mulai turun tangan

    Selamat Membaca

    Penulis

  • Sambutan Menteri Kehutanan ix

    Leuser Penyangga Kehidupan xi

    Warisan dari Leuser xv

    Sambutan Man and the Biosphere (MAB) Programme xix

    Ucapan Terima Kasih xxi

    ”Kaca Benggala” xxix

    Daftar Isi xliii

    Dua Generasi Konservasi 3

    Bagian 4: Kebuntuan Konservasi 25

    Kebuntuan Konservasi 30

    Mitos-mitos Konservasi 40

    i

  • x iv i

    Stasiun Riset Ketambe 112

    dan Jungle Trekking 153

  • x vi

    Desa Sebagai Social Buffer

    Strategi Penataan Kawasan 250

    Epilog 301

    DAFTAR PUSTAKA 305

  • x vi i

    dan Sumatera Utara. 31

    Gambar 5.

    Gambar 10. Menteri Kehutanan HMS Kaban, Kapolda Sumut Bambang Hendarso

  • x vii

    Gambar 11. Demontrasi (demplot) tumbuhan sebagai bagian dari program

    (Sumber: Suer Suryadi,

    “enclave

    enclave” Gumpang

    dua bagian yang terpisah.

    illegal logging

    (Sumber : Wahdi Azmi). 203

  • x viii i

  • Budaya lisan masih melekat kuat di sebagian besar masyarakat konservasi di TNGL. Bekerja, membaca dan menulis dapat dianggap aneh. Kebiasaan mencatat dan menuliskan pengalaman-pengalaman lapangan merupakan hal

    baru. Bagaimana bisa kebiasaan itu bertahan, sementara banyak hal telah

    berubah? Ini adalah pertanyaan wajar mengingat, pada saat penulis mulai

    bertugas, taman nasional ini sudah berusia seperempat abad. Usia yang sama

    tuanya dengan Taman Nasional Ujung Kulon, Gunung Gede Pangrango,

    Baluran, dan Komodo.

    Penulis memulai siklus bekerja di Leuser dengan berdiskusi dengan

    staf, pergi bersama ke hutan, melihat perbatasan kawasan, berkunjung ke

    desa-desa, mendapatkan perspektif yang berbeda dan informasi berharga

    dari lembaga swadaya masyarakat, atau berkoordinasi dengan pemerintah

    setempat. Setelah itu, kembali bekerja ke kantor, mencatat dan menuliskan

    1Bekerja

    Mem

    baca

    Menulis

    Meren

    ung

  • 2 ersesa i alan ang Benar

    pengalaman lapangan, membaca literatur, jurnal-jurnal, atau peraturan

    perundang-undangan. Selanjutnya, pengalaman yang tertulis tersebut di

    analisis bersama staf. Pada awalnya, ini adalah usaha yang sepertinya sia-sia

    karena harus dilakukan dengan agak dipaksa. Itupun hanya kepada sebagian

    kecil staf. Bukan hal yang mudah, tetapi bukanlah hal yang tidak mungkin.

    Menulis akan melatih kita dalam mengasah modal intelektual (ingatan, buku

    yang pernah dibaca, intuisi, kemampuan analitik) yang kita miliki. Usaha

    ini harus melibatkan keinginan yang keras, sebab ini bukanlah usaha yang

    mudah. Barangkali karena itulah banyak pengambilan keputusan pengelolaan

    sumberdaya alam di era otonomi tidak didasarkan atas dukungan data dan

    informasi yang up-to-date, science-based dan dapat dipertanggungjawabkan.

    Maka, usaha untuk merangsang pekerja konservasi untuk menulis

    dan menganalisis harus menjadi prioritas. Ini adalah usaha untuk investasi

    sumberdaya manusia, di mana pusat pengelolaan konservasi bermula. Investasi

    kemampuan pengayaan intelektual ini belum menjadi prioritas saat ini.

    Namun, bagi penulis, investasi terhadap kapasitas manusia adalah tindakan

    yang strategis apabila ingin meningkatkan kualitas dan efektivitas pengelolaan

    kawasan konservasi. Investasi terhadap sumberdaya manusia secara kontinyu

    juga sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya kesenjangan antar

    generasi (generation gap). Sebab generasi baru yang militan, idealis, dan

    bersedia bekerja di bidang konservasi semakin langka.

    Peningkatan kapasitas intelektual tersebut di atas juga harus diimbangi

    dengan peningkatan modal spiritual (spiritual capital). Kerja konservasi banyak

    bersentuhan dengan hal-hal yang menyangkut nurani, yang menyangkut

    komitmen, idealisme, kepekaan hati, dan kesabaran. Konservasi tidak selalu

    berurusan dengan hal-hal yang bersifat teknis. Bagi penulis, konservasi

    jelas menyandang mandat jangka panjang-mandat para nabi (ingat sejarah

    kepunahan akibat banjir besar dalam cerita Kapal Nabi Nuh, Al Qur’an Surat

    Al-Qamar (54): 11 - 17). Menjaga kemanfaatan lingkungan tidak selalu dapat

  • 3Bekerja Membaca Menulis an Merenung

    diukur dengan materi belaka. Kerja konservasi di zaman kita ini berhadapan

    dengan rent-seeking society. Itu adalah sebuah istilah untuk menandai

    masyarakat yang selalu mengukur semua hal dengan uang, demi keuntungan

    jangka pendek. Kecenderungan masyarakat ini menemukan momentumnya

    ketika kebijakan desentralisasi dicetuskan. Kecenderungan ini melahirkan

    ideologi antroposentrisme di Indonesia seperti yang disinyalir oleh Keraf

    (2003) dan diuraikan dalam contoh kasusnya yaitu rencana pemerintah dan

    DPR yang merestui penambangan di hutan lindung (Wiratno, 2004).

    Antroposentrisme adalah ideologi yang memposisikan manusia sebagai

    pusat dunia. Antroposentrisme

    berasal dari tradisi pencerahan Eropa. Alam difahami sebagai sesuatu yang

    tidak mempunyai nilai intrinsik kecuali semata-mata nilai yang dilekatkan

    dan banyak berbenturan dengan nilai-nilai hakiki masyarakat Indonesia, yang

    menjaga keseimbangan dunia manusia dan semesta (mikro-makro kosmos).

    Sejak dekade 1970-an, banyak pihak telah mengingatkan bahwa malapetaka

    lingkungan tidak berubah atau diubah. Terlebih khusus lagi cara pandang

    pembangunan terhadap konsep pertumbuhan demi pertumbuhan tanpa

    memperhatikan ekosistem secara holistik dan integral.

    ua enerasi nservasi

    Menulis adalah investasi jangka panjang. Semua hal tentang konservasi di

    Indonesia biasanya dituliskan — dengan sangat tekun — pakar, yang hampir

    semuanya dari luar negeri. Kapan kita menuliskan persoalan pemikiran

    konservasi Indonesia sendiri? Sejak gelombang gerakan konservasi yang

    muncul di era 1980-an (ditandai dengan deklarasi 5 taman nasional pertama),

    Indonesia sedikit menghasilkan pemikir-pemikir dan penulis konservasi alam

  • 4 ersesa i alan ang Benar

    dengan hitungan jari. Di antara yang sedikit itu adalah Effendy A Sumardja.

    Dia mendalami konservasi global dengan menjadi berbagai anggota di

    jaringan regional dan globalnya; Widodo Sukohadi Ramono — the living

    legend, yang memiliki talenta konservasi spesies yang sangat beragam dan

    pelaku konservasi di lapangan dalam rentang waktu lebih dari tiga dekade;

    Wahjudi Wardojo — praktisi dan birokrat konservasi yang kini menjadi

    salah satu anggota Advisory Council Biosphere Reserve di Paris; seseorang

    yang sangat aktif melakukan inovasi di Meru Betiri dan Ujung Kulon sejak

    1980an. Orang itu adalah Tri Wibowo. Dia seringkali berpikir liar, dan

    dikenal sebagai orang yang menyukai ’jalan pintas’, melakukan terobosan

    Kehutanan, pakar-pakar konservasi lebih banyak dilakukan oleh akademisi di

    lembaga penelitian atau universitas, yang kelak kemudian bekerja di lembaga

    konservasi internasional. Mereka memulai kepakaran dan pemikiran fokus

    pada jenis-jenis tertentu. Kita sebutkan diantaranya adalah Jatna Supriatna,

    Jito Gardjito, Barita O Manullang. Ketiga orang itu mendalami orangutan dan

    berkesempatan sekolah di universitas di Amerika Serikat. Generasi yang lebih

    muda, sangat jarang dikenal. Di antaranya yang sering muncul di dekade

    1990an adalah Sukianto Lusli—WWF, Erwin Perbatakusuma, Tatang dan Suci

    Utami. Suci Utami kini jadi rujukan global sebagai satu-satunya perempuan

    pakar orangutan di Indonesia.

    Suci dan Tatang kembali ke Kampus UNAS. Mereka adalah generasi

    generasi kedua yang mendalami orangutan. Mereka dibesarkan oleh

    pengalaman penelitian bertahun-tahun di Stasiun Riset Ketambe, TNGL.

    Sukianto Lusli termasuk tokoh yang melahirkan Warung Informasi (Warsi) di

    Jambi, yang kini menjadi organisasi konservasi cukup besar dan disegani di

    Sumatera bagian tengah. Beberapa diantaranya lahir dari ide membangun

    kerjasama World Wide Fund for Nature (WWF) dan Taman Nasional Kerinci

    Seblat. Beberapa tokoh konservasi juga lahir dari rahim WWF Tapatuan-Aceh

  • 5Bekerja Membaca Menulis an Merenung

    Indonesia, Erwin Perbatakusuma yang berhasil mendorong inisiatif lahirnya

    Taman Nasional Batang Gadis, dan Idham Arsyad yang menekuni kemitraan

    di United States Agency for International Development (USAID).

    Generasi konservasi Indonesia tahun 1980an yang masih aktif

    sampai dengan saat ini, hanya sedikit melahirkan generasi baru era 1990an.

    Nampaknya, fenomena minoritas selalu menjadi trademark bagi para pegiat

    konservasi di Indonesia (atau juga global?). Dalam kesempatan bertemunya

    para pekerja konservasi muncul fenomena ”3L”: elu lagi, elu lagi, elu lagi.

    Di berbagai pertemuan, kita selalu bertemu dengan muka-muka yang sama.

    generasi konservasi baru bisa dihitung dengan jari. Gejala ini harus dijawab

    dengan membangun sistem pengkaderan lintas generasi konservasi di seluruh

    Indonesia. Jeda 25 tahun kekosongan pemikir konservasi alam ini suatu yang

    mengkhawatirkan. Ini adalah tugas mulia bagi setiap pekerja konservasi

    dan siapapun yang peduli dalam usaha menyelamatkan sumberdaya alam

    dari kehancuran.

    Di samping dibentuk oleh gagasan dan pemikiran pakar-praktisi,

    konservasi sepanjang 2 dekade terakhir ini banyak digerakkan oleh aturan-

    aturan (undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, petunjuk

    teknis dirjen—direktur). Aturan-aturan ini — dengan segala rigiditas dan

    keterbatasan interpretasi—harus bersentuhan dengan kompleksitas lapangan.

    Kecenderungan gerakan konservasi melalui instrumen negara bukan hal yang

    tidak baik. Pemerintah memiliki mandat dan memberikan perhatian luas

    melakukan pengelolaan kawasan-kawasan konservasi. Akan tetapi, setelah

    beberapa dekade pengelolaan konservasi di lapangan, hal ini tidak banyak

    memunculkan gagasan, ide dan pemikiran yang segar bagi keberlanjutan

    konservasi. Pembelajaran TNGL, misalnya, tidak terdokumentasi dengan baik.

    Tidak banyak orang menuliskan apa yang terjadi selama seperempat abad itu.

  • 6 ersesa i alan ang Benar

    Kalaupun ada, tulisan itu tidak dibagikan kepada para pihak untuk dipelajari

    bersama sehingga memberikan pencerahan dan pencerdasan publik.

    Karakter lembaga pengelola kawasan konservasi di Indonesia adalah

    birokratis, kaku, dan tertutup. Lembaga pengelola kawasan konservasi jarang

    bekerja sama dengan pihak lain. Kalaupun mau, orientasinya jangka pendek

    dan materi. Lembaga pemerintah cenderung menghindari kritikan. Organisasi

    dalam kondisi seperti ini bukanlah organisasi pembelajar. Yaitu suatu

    organisasi yang secara kontinyu melakukan proses pembelajaran. Seluruh

    stafnya memiliki gairah belajar, melakukan adaptasi, merespon berbagai

    tantangan akibat perkembangan dan perubahan di sekitarnya. Sehingga

    lembaga pengelola kawasan konservasi dapat membangun arah kebijakan

    tantangan konservasi ke depan, yang kita perlukan adalah suatu organisasi

    yang mau terus belajar, suatu learning organization (Wiratno, 2004).

    Salah satu cara yang paling mudah untuk menumbuhkan karakter

    pembelajar adalah menuliskan kembali apa yang ditemukan dalam praktik

    pengelolaan konservasi sehari-hari. Persoalan-persoalan substansial di kawasan

    konservasi, dinamika masyarakat yang berada di dalam sekitar kawasan,

    politik lokal dan juga wacana global dapat dipahami dan dituliskan dengan

    gaya bertutur non-proyek akan membantu membuka tabir kondisi konservasi

    yang nyata. Data-data yang ditemukan tersebut kemudian dianalisis dengan

    teori dan hasil temuan di tempat yang lain akan menjembatani jurang pemisah

    antara kenyataan/fakta praktik konservasi dan teori konservasi. Dialektika

    antara praktis dan teori ini diharapkan melahirkan berbagai pendekatan atau

    gagasan baru tentang pengelolaan kawasan konservasi di masa mendatang.

    Tidak banyak pengelola kawasan yang tertarik mendalami pekerjaan

    tambahan seperti ini. Minat dan sikap pribadi sangat menentukan. Seorang

    pengelola kawasan konservasi sebaiknya juga sekaligus sebagai pemimpin-

    pemikir dan juga seorang intelektual. Selain bekerja dengan staf dan masalah

  • 7Bekerja Membaca Menulis an Merenung

    internal, suntuk dengan penerapan aturan, mereka juga dapat menulis, gemar

    membaca dan dapat menggunakan alat-alat analisis yang mutakhir. Sampai

    sekarang, pengelola kawasan konservasi seperti ini sangat langka.

    Buku sederhana ini dimaksudkan untuk membantu memecahkan

    kebekuan pemikiran konservasi. Ini adalah sebuah pergulatan pribadi.

    Proses memahami ekosistem Leuser ini dilakukan Penulis selama lebih

    dari 2 tahun 8 bulan (Januari 2005-Agustus 2007) secara intensif. Proses

    ini bercampur dengan gejolak emosi, ketakjuban sekaligus kekecewaan

    tingkat pengelolaan konservasi skala nasional meskipun sulit. Ini adalah

    sebuah usaha untuk mengkombinasikan ingatan dan sejarah kondisi kawasan

    dari pengalaman staf dan pemimpin TNGL yang lebih senior yang tersebar di

    empat penjuru TNGL. Bahkan ingatan yang dimiliki tenaga honorer menjadi

    pengelolaan di masa lalu. Menggali sejarah ingatan ini sangat penting untuk

    memahami peristiwa, sikap mental staf, kondisi kawasan dan situasi dinamika

    politik lokal pada saat-saat tertentu. Sikap dan mentalitas staf yang sekarang

    ini adalah produk kumulatif dan jangka panjang dari pola manajemen dan

    leadership di masa lalu. Termasuk di dalamnya adalah interaksi mereka

    dengan faktor-faktor di luar manajemen taman nasional—kondisi dan

    gejolak sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang dinamis. Bahkan interaksi

    staf dengan praktek-praktek kriminal merupakan hal yang harus dipahami

    sebelum berusaha untuk menyelesaikannya. Yang khas dari Leuser adalah

    hubungan kekeluargaan dan kekerabatan antara staf TNGL dengan berbagai

    komponen luar. Mereka telah membangun jaringan di hampir seluruh lapisan

    masyarakat, bahkan dengan elite pemerintahan di kabupaten.

    Kepemimpinan TNGL ke depan diharapkan dapat memecahkan

    kebuntuan intelektual. Cara ini hanya dapat dicapai dengan memperlakukan

    manusia dan staf Leuser lebih manusiawi, yang diimbangi dengan keteladanan,

  • 8 ersesa i alan ang Benar

    dan dilengkapi dengan perangkat manajemen profesional seperti kemampuan

    analitik, kerja lapangan, dan disiplin. Mengelola pekerja konservasi tak mudah.

    Pengelolaan konservasi lebih ditentukan kepercayaan terhadap aturan-aturan

    baku (minimal aturan menurut kepala taman nasional). Seringkali aturan

    tersebut tidak dapat diterapkan dan bahkan menjadi bagian dari masalah

    di lapangan.

    Situasi dogmatis terhadap aturan inilah yang menyebabkan pengelolaan

    konservasi terjebak ke dalam masalah teknis dan aturan. Sebuah fenomena

    jebakan peraturan (regulation trapp). Untuk dapat membongkar fenomena

    regulation trap, kita harus berpikir merdeka (komunikasi dan dialog pribadi

    dengan Mas RB. Wiyono 1998-2004). Melakukan intepretasi yang brilian atas

    aturan-aturan baku yang ketat dan membatasi, membutuhkan keberanian

    untuk menghadapi dogma dari aturan. Syarat utama bagi pemimpin kawasan

    linear dan keluar dari

    belenggu aturan. Akan tetapi keberanian ini tidak sepenuhnya ada jaminan.

    Anda harus bersiap-siap kecewa, karena kerja keras seorang pemimpin

    kawasan konservasi belum tentu akan menerima pengakuan dari pusat atau

    Jakarta, sebagai bentuk ”reward”. Namun demikian, pengakuan bisa datang

    dari mana saja. Para pihak di sekitar kawasan — LSM, tokoh masyarakat, tokoh

    informal, tokoh adat, tokoh agama, pemerintah desa, kecamatan, kabupaten,

    pihak swasta, media lokal — akan menilai apa saja yang sedang dan telah kita

    lakukan untuk konservasi. Pengakuan ini, jauh lebih penting.

  • 2arakiri i Bumi

    ”Kita sekarang tahu bahwa galaksi kita hanyalah satu dari beberapa

    ratus ribu juta galaksi yang dapat diamati dengan menggunakan

    teleskop modern…”

    Stephen W.Hawking, ”Teori Segala sesuatu: Asal-usul dan Kepunahan

    Alam Semesta”

    Planet bumi ini hanya salah satu dari milyaran warga Galaksi Andromeda. Di alam semesta yang membentang luas seolah tanpa ujung ini, milyaran galaksi berserakan. Sebagaimana pernyataan Hawking di atas, bumi,

    dibandingkan semesta raya ini hanya sekedar ”zarah”. Merenungkan semesta

    ini manusia hanya bagian yang sangat kecil dari langit tanpa batas, dari sebuah

    the sky has no limit. Di antara semesta raya ini tanpa batas, bumi adalah satu-

    satunya planet yang mendukung kehidupan manusia—sekurang-kurangnya

    menurut jangkauan pengetahuan modern sampai sekarang. Bumi, adalah

    sebuah planet dimana air tawar tersedia cukup, kisaran suhu yang ramah,

    kerisauan bahwa bumi adalah tempat yang terbatas bagi perkembangan

    manusia Saat ini dihuni 7 milyar manusia dan akan terus bertambah lagi.

    Sebabnya sangat jelas, cara pandang manusia terhadap bumi seakan-akan tak

    terbatas. Manusia terus menerus menguras isi perut bumi — hutan, tambang,

  • 10 ersesa i alan ang Benar

    pasir, air, sumberdaya laut dengan segala isinya. Anda tidak perlu menjadi

    ahli atau sangat pintar untuk melihat kerusakan yang terjadi di bumi. Melalui

    teknologi yang bisa diakses jutaan orang, dengan menggunakan GoogleSat

    kita mudah memeriksa kondisi sumberdaya hutan di seluruh muka bumi

    ini. Kita dapat melihat penutupan hutan di seluruh dunia dari atas, seperti

    naik pesawat di atasnya. Program GoogleSat dapat menampilkan bentang

    alam tiga dimensi. Ini dapat membantu kita mengenali kehancuran hutan-

    hutan Indonesia saat ini, termasuk hutan tropis dataran rendah di ekosistem

    Leuser. Dapat dikatakan, no one can hide the depletion of our natural (forest)

    resources. Jadi, jika ada pejabat yang mengatakan hutan kita baik-baik saja,

    pastilah pejabat tersebut tidak membaca data dan perkembangan terbaru.

    Kalaupun dia mengikuti perkembangan, pastilah dia berbohong kepada

    Indonesia. Tidak juga pejabat di Jakarta.

    Sejauh ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu mengeksplorasi

    alam semesta, belum terdapat satu bukti pun adanya planet seperti planet

    bumi. Tak seorang pun ilmuwan mendapatkan gambaran citra biru dari

    planet-planet itu selain bumi. World Conservation Congress di Bangkok 17-

    bumi di alam semesta ini: People and Nature: Only One World. Ini adalah

    kesadaran global yang sungguh sangat tepat menggambarkan bumi milik kita

    sebagai satu-satunya bumi yang layak huni. Jangan berharap banyak akan ada

    bumi yang lain di belantara alam semesta yang maha luas itu.

    Dengan latar belakang di atas, seharusnya kita menyayangi, merawat,

    dan memperlakukan tempat tinggal manusia ini dengan sebaik-baiknya. Tetapi,

    sudah lazim bagi manusia, apa yang seharusnya mudah terbalik menjadi apa

    yang sebaliknya. Kita menghadapi bumi seperti harta jarahan, dari sebuah

    perang atas nama kemajuan manusia, ilmu pengetahuan dan pertumbuhan

    ekonomi. Eksploitasi terhadap sumberdaya tak terbarukan semakin meningkat.

  • 11arakiri i Bumi

    Degradasi lingkungan mengalami proses percepatan. Sumberdaya alam daratan

    yang hanya sepertiga luas bumi dikuras habis-habisan.

    Sumberdaya alam yang kaya, yang tersebar di negara-negara tropis,

    banyak dihabiskan oleh negara-negara maju yang berada di Utara. Hal ini

    menyebabkan ketimpangan sebaran sumberdaya. Aliran energi tersedot dari

    Selatan ke Utara, sementara limbah dibuang ke Selatan bahkan memang

    sengaja diimport. Dengan teknologi yang canggih, negeri-negeri Utara dapat

    mengkaji, mengeksplorasi dan menguras isi perut bumi negara-negara Selatan.

    Eksploitasi sumberdaya alam di negara berkembang oleh negara Utara

    dikenal sebagai sebuah neokolonialisme. Sebuah penjajahan gaya baru

    menemukan momentumnya pada saat jaringan dunia terbentuk secara global.

    Ini adalah kolonialisme tanpa banyak kekerasan, kerja paksa dan perbudakan.

    Saat ini bumi dikuasai oleh perusahaan transnasional yang dikenal sebagai

    Trans National Corporation (TNC). Hanya 100 perusahaan di dunia ini, yang

    tergabung dalam World Trade Organization (WTO), yang didirikan pada

    tahun 1995, yang menguasai 75% perdagangan dunia. Bagaimana dengan

    Indonesia?. Di sektor Migas, saat ini 85% cadangan migas Indonesia dikuasai

    perusahaan asing, terutama yang tergabung dalam tujuh kartel raksasa minyak

    dan Total (Rahab AA, Kompas 12/09/09). Rancangan Undang-Undang (RUU

    Minyak dan Gas (Migas) pun diinisiasi oleh “Letter of Intent” antara Indonesia

    dan International Monetary Fund (IMF). Intisarinya adalah liberalisasi sektor

    migas, dengan tujuan menghapus subsidi BBM untuk rakyat dan memuluskan

    jalan bagi Multi National Corporation (MNC) memasuki sektor hulu dan hili

    dari migas Indonesia. [Amiruddin Al Rahab, analis politik dan HAM Elsam,

    Jakarta: ”Kedaulatan Energi Minyak dan Gas (Migas), di Mana?, (Resensi buku:

    Di Bawah Bendera Asing: Liberalisme Industri Migas di Indonesia, Kompas 12

    September 1009)]. Maka, potret Indonesia juga menunjukkan potret dunia

    tentang gejala neokolonialisme tersebut.

  • 12 ersesa i alan ang Benar

    Hutan merupakan salah satu sumberdaya strategis yang diperebutkan

    dalam kontes neokolonialisme. Negara-negara maju di utara (dan juga yang

    terletak di Selatan) melindungi sumberdaya hutan alamnya. Kebutuhan kayu

    domestiknya diambil dari negeri Selatan. Kita ambil contoh Republik Rakyat

    Cina (RRC). Tahun 2002, RRC mengimpor kayu sebanyak 95 juta m3 — lebih

    banyak impor kayu daripada plywood dan lebih banyak impor pulp daripada

    kertas — untuk menciptakan lapangan kerja. Sementara RRC juga sudah

    mengeluarkan kebijakan moratorium penebangan hutan. Sumber kayunya,

    terutama, berasal dari Indonesia dan Malaysia. Tingkat impor kayu EEC

    meningkat 75% dibandingkan dengan tahun 1997. Sepuluh tahun yang lalu

    merupakan importir ke tujuh, sekarang menjadi importir kedua di dunia. Hal

    ini berdampak meningkatnya illegal logging dan kerusakan hutan di negara

    asal kayu (Kaimowitz 27, 2004).

    Permintaan global terhadap kayu-kayu masih akan tinggi. Laporan

    FAO (2003) menyebutkan sumberdaya hutan di negara-negara Asia Tenggara

    (1.462 spesies), dan tumbuhan obat (1.135 spesies). Ada kecenderungan yang

    Blok Group 8 misalnya menyatakan perhatiannya akan pentingnya sustainable

    forest management, tetapi pada saat bersamaan menerima impor kayu ilegal.

    Menurut catatan EIA (2001), kelompok G8 dan Uni Eropa (EU) mengimpor

    280 juta m3 produk kayu pada tahun 1998. Angka ini setara dengan 74%

    impor kayu dan produk kayu dunia. Amerika Serikat sendiri saja mengimpor

    kayu lebih dari USD 450 juta pada tahun 2002. Apabila angka penebangan

    liar sebesar 70% di Indonesia saat itu, Amerika Serikat mengimpor kayu curian

    senilai USD 330 juta dari Indonesia. EU mengimpor kayu tropis sebesar 10

    juta m3 pada tahun 1999. Separuh angka tersebut berasal dari Indonesia,

    Brazil, dan Kamerun. Dengan menganalisis tingkat penebangan liar di tiga

    negara eksportir tersebut dapat dispekulasikan bahwa setengah kayu di EU

  • 13arakiri i Bumi

    berasal dari sumber ilegal. Angka kayu ilegal bernilai USD 1,5 milyar per

    tahunnya (EIA, 2001).

    Ketika stok kayu di hutan-hutan produksi mulai menipis, pelaku

    mulai menuju ke Indonesia bagian Timur: Papua. Penjarahan terhadap kawasan

    Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah merupakan contoh

    paling nyata bagaimana penebangan ilegal terhadap ramin menghancurkan

    taman nasional. Presiden mengeluarkan Instruksi No.5 tahun 2001 tentang

    pemberantasan penebangan ilegal di TNGL dan Taman Nasional Tanjung

    Puting. Surat ini memicu perdebatan besar. Kasus Tanjung Puting menjadi

    perhatian dunia. Senat Amerika Serikat mengirimkan surat kepada Presiden

    Megawati pada tanggal 22 Nopember 2002. Surat tersebut memberi apresiasi

    upaya penanggulangan penebangan ilegal oleh pemerintah Indonesia. Senat

    meminta perhatian khusus mengenai penegakan hukum di Taman Nasional

    Tanjung Puting. Sementara TNGL terkesan tidak banyak diperhatikan. Ini

    menarik untuk ditelaah, nantinya.

    Data Departemen Kehutanan yang dianalisis Putro (2004) menunjukkan

    kondisi Indonesia tahun 2000: hutan produksi (18,4 juta Ha) menjadi hutan

    Ha), mengalami kerusakan 38%. Greenomic dan Indonesian Corruption

    Watch (ICW) (2004) melakukan analisis terhadap kinerja 44 pemegang HPH

    (sekarang disebut Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)) untuk

    Kehutanan melalui Lembaga Penilai Independen (LPI) menemukan lebih dari

    80% dari 44 pemegang HPH berkinerja sedang (38,6%) dan buruk (51,5%)

    dalam pemenuhan 3 indikator tingkat pemanenan lestari. Hingga saat ini

    dari ratusan HPH yang mengelola hutan selama 30 tahun, hanya 1 HPH

    Forest Stewardship Council

  • 14 ersesa i alan ang Benar

    (FSC) (Putro 2004). Oleh karena itu banyak kalangan percaya bahwa ide

    tentang Sustainable Forest Management (SFM) hampir mustahil diterapkan

    di Indonesia. Akhir-akhir ini banyak kelompok LSM di Amerika Serikat

    tidak percaya ide SFM. Menurut mereka, satu-satunya cara menyelamatkan

    Istilah jumlah luasan penyelamatan hutan asli (hectare saved) adalah strategi

    utama yang dikembangkan. Strategi ini sangat kuat mewarnai dialog World

    Park Congress

    dikemas dalam ”Durban Accord

    masyarakat termasuk masyarakat adat yang diberikan porsi cukup besar, dan

    lain sebagainya.

    Tanpa kita sadari, Indonesia tengah melakukan ”harakiri” terhadap

    sumberdaya hutannya. Suharyanto (kompri 2009) menyatakan, lebih tepatnya,

    kita dipaksa melakukan ”harakiri”. Ekstraksi sumberdaya alam ini didorong

    oleh strategi ekonomi negara-negara maju. ”Harakiri” merupakan disain

    dari Utara. Gelombang harakiri ini telah meluas, menjangkiti seluruh aspek

    kehidupan. Indonesia telah empat dekade menghabiskan hutan alamnya —

    dan cenderung meningkat paska desentralisasi. Di antara kecamuk eksploitasi

    tanpa henti ini, masihkah ada harapan?

    Gejala-gejala harakiri telah semakin meluas. Dampak kerusakan hutan

    terjadi jauh melewati batas-batas negara, seperti bencana banjir, tanah longsor,

    kawasan hutan beserta kabut asapnya. Hal ini belum terhitung dampak berantai

    yang menjadi ikutannya-menurunnya kesuburan tanah, hama, penyakit,

  • 15arakiri i Bumi

    bencana kekeringan, proses penggurunan, dan seterusnya. Untuk mengatasi

    ini apa yang harus dilakukan oleh negara. Apa yang harus dikerjakan oleh

    pemerintah sebagai pelaksana kenegaraan untuk menghentikan”harakiri” ini?

    Apakah ada grand design dari negara untuk menyelamatkan hutannya?

    Kemudian bagaimana mengalokasikan kawasan-kawasan hutan untuk

    dilindungi? Bagaimana menemukan strategi save it (dalam bentuk penetapan

    hantaman permintaan kayu global dan regional serta kebutuhan akan lahan

    breakthrough)

    Mengalami deadlock

    dalam bab-bab dalam buku ini. Semoga kita dapat segera mengalihkan jalur

    ”harakiri” sumberdaya hutan, dan harakiri bagi masyarakat yang bergantung

    terhadap sumberdaya hutan itu.

    sumberdaya hutan. Departemen Kehutanan mencanangkan mulai tahun 2002-

    free riders)

    terus memantabkan posisinya dalam rezim yang berubah-ubah. Sementara

    sebuah kesadaran nasional, gerakan sosial, atau menjadi bagian dari gaya dan

    pilihan hidup masyarakat Indonesia. Sulit kita bermimpi, sisa hutan Indonesia

    mampu kita selamatkan. Kiamat yang diramalkan Holmes (2002) terhadap

    nasib hutan tropis dataran rendah di Sumatera — yang akan habis pada tahun

    2005 dan di Kalimantan pada tahun 2010, hampir saja terwujud.

  • 3erkembangan nservasi l bal

    Sebelum mempelajari praktek konservasi di Indonesia, khususnya TNGL, kita harus melihat konteks konservasi global. Kita dapat mempelajari dokumen yang disiapkan International Union for Conservation of Nature

    (IUCN) (2003) dalam Kongres Taman Nasional Dunia (WPC) V di Durban,

    Afrika Selatan. Dokumen tersebut mencatat kronologi usaha konservasi alam

    oleh manusia. Sejauh yang dapat dicatat dalam sejarah, munculnya kawasan

    konservasi dunia dimulai, begitu IUCN menulis:

    Tahun 10.000 SM, ketika pertanian mulai mentransformasi hubungan

    antara manusia dengan alam, masyarakat setempat mengenali suatu

    tempat tertentu sebagai sakral, dan dilindungi dari berbagai penggunaan

    oleh manusia. Hal ini dilakukan secara berbeda di berbagai tempat

    sepanjang millennium, di mana konsepsinya praktisnya tersebar yang

    menyatakan bahwa manusia mendapatkan manfaat baik material maupun

    cara-cara spiritual.

    Tahun 252 SM, Kerajaan Asoka di India menetapkan kawasan perlindungan

    untuk mamalia, burung, ikan, dan hutan. Ini merupakan catatan paling

    awal di mana pemerintah melindungi sumberdaya alam tertentu.

    684 SM, Cagar Alam di Sumatera yang pertama kali ditetapkan di Indonesia

    pada jaman Kerajaan Sriwijaya.1

    1 Data IUCN tentang Kerajaan Sriwijaya, menurut penulis tidak tepat. Kerajaan Sriwijaya telah berkembang pesat

    pada pertengahan Abad VII (Sumber: O.W.Wolter, 1967dalam bukunya berjudul: ”Kemaharajaan Maritim Sriwijaya

    dan Perniagaan Dunia Abad III-Abad VII.

  • 18 ersesa i alan ang Benar

    Tahun 1079, William si Penakluk mengklaim bahwa New Forest (England)

    sebagai daerah perburuan kerajaan dan dilindungi terhadap penebangan

    liar oleh masyarakat desa; poaching merupakan salah satu isu penegakan

    hukum utama, tetapi kayu dari hutan sangat penting untuk mendukung

    perang di England pada Abad 17-19. Hutan yang dilindungi oleh Willian

    hingga kini masih memiliki nilai sebagai kawasan yang dilindungi.

    Tahun 1865, Yosemite (California) didirikan oleh Kongres Amerika Serikat

    sebagai model kawasan yang dilindungi pada tingkat nasional; Yellowstone

    (1972) merupakan yang pertama dinamai sebagai “Taman Nasional”.

    Tahun 1882, Taman Nasional El Chico ditetapkan di Meksiko, merupakan

    taman nasional yang pertama di Amerika Latin.

    Tahun 1903, Himpunan untuk Perlindungan Satwa Liar Kerajaan didirikan

    di Inggris, Himpunan tersebut adalah LSM pertama yang bekerja untuk

    konservasi internasional. Pada ulang tahunnya yang ke 100, LSM ini lebih

    dikenal sebagai Fauna and Flora International.

    Tahun 1925, Taman Nasional modern yang pertama kali didirikan di Asia

    (Angkor Wat, Cambodia).

    Tahun 1926, Taman Nasional Kruger di Afrika Selatan didirikan. Ini adalah

    taman nasional pertama di Afrika.

    Tahun 1934, Taman Nasional Iguazu di Argentina didirikan.

    Tahun 1984, IUCN didirikan, sebagai wahana untuk mempromosikan

    konservasi ke seluruh dunia, khususnya kepada bekas koloni yang merdeka

    setelah Perang Dunia kedua. Berdasarkan prediksi kehilangan habitat

    bekerja untuk perlindungan alam.

    Tahun 1961, WWF mulai bekerja sebagai LSM internasional yang

    memobilisasi dukungan untuk konservasi, khususnya untuk masyarakat

  • 19erkembangan nservasi l bal

    umum; hal ini sebagai tanda mulainya berkembangnya pendanaan untuk

    konservasi internasional.

    Tahun 1962, Konferensi Taman Nasional Dunia yang pertama di Seattle,

    Washington. Konferensi ini memulai gerakan global dalam mendukung

    kawasan dilindungi, mendorong disusunnya Daftar PBB untuk Kawasan

    dilindungi dan merekomendasikan sistim penggolongan. Masing-masing

    Negara menyusun data sendiri, sehingga tak seorangpun mengetahui luas

    sistim kawasan yang dilindungi di dunia.

    Tahun 1963, AFRICAN College of Wildlife Management di Mweka, Tanzania

    didirikan. Pada tahun 2003, lebih dari 4.200 orang Afrika yang lulus dan

    banyak di antaranya kini menjadi manajer kawasan konservasi di benua itu.

    Tahun 1967, Program CAMPFIRE dimulai di Zimbabwe, untuk menunjukkan

    bagaimana masyarakat desa mendapatkan keuntungan ekonomi dari

    satwa liar dalam konteks modern, bahkan dalam situasi politik yang tidak

    menentu. Sampai kini program masih tetap kuat dan dapat menunjukkan

    bentuk lain dari perlindungan.

    Tahun 1968, UNESCO mengenalkan program Man and Biosphere (MAB).

    Program tersebut menetapkan Cagar Biosfer. Kini terdapat 440 cagar

    biosfer di 97 negara, mencakup luas 2,2 juta km2.

    Tahun 1970, School for Training of Wildlife Specialist, Garoua, di Cameroon

    didirikan. Garoua kini telah melatih lebih dari 3.000 orang; sekarang

    mereka mengelola banyak kawasan konservasi di Afrika Barat dan Afrika

    Tengah serta Madagascar.

    Tahun 1971, Konvensi Ramsar diadopsi. Sampai dengan Agustus 2003,

    telah ditunjuk/ditetapkan 1.308 lokasi seluas 1,1 juta km2 di 138 negara.

    Tahun 1972, Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di

    Stockholm, Swedia, mendukung konvensi-konvensi baru tentang kawasan

    yang dilindungi Protected Area (PA) dan mengarah pada berdirinya United

    Nations Environment Programme (UNEP) yang berkantor di Nairobi.

  • 20 ersesa i alan ang Benar

    Tahun 1972, Konvensi Warisan dunia (World Heritage Convention)

    dikenalkan. Sampai dengan 2003 telah ditunjuk/ditetapkan 149 world

    heritage dan 23 kombinasi situs alam dan budaya, yang meliputi kawasan

    seluas 1,5 juta km2.

    Tahun 1972, Kongres Taman Nasional Dunia kedua, Amerika Serikat

    mempromosikan bantuan pembangunan Kawasan Lindung (PA) di daerah

    tropis. Kini PA telah mencapai 1.823 lokasi seluas 2,2 juta km2.

    Tahun 1977, Program pelatihan untuk personil PA dimulai di CATIE,

    Turrialba, Costa Rica; berlangsung sampai sekarang dan telah melatih

    personil yang sebagian besar dari Amerika Tengah.

    Tahun 1978, Sistim kategorisasi PA oleh IUCN diterbitkan, menyiapkan

    kerangka kerja untuk kajian global mengenai cakupan PA. Revisi terakhir

    pada tahun 1996, dan kini dipromosikan untuk aplikasi manajemen lainnya.

    Tahun 1981, Strategi Konservasi Dunia (World Conservation Strategy)

    diterbitkan oleh IUCN, WWF, dan UNEP; mempopulerkan konsep Sustainable

    Development dan kemitraan antara konservasi dan pembangunan.

    Tahun 1981, Unit PA data ditetapkan oleh IUCN, dan masuk dalam komisi

    National Park and Protected Areas. World Conservation Monitoring Center,

    UK; menyediakan database global tentang PA.

    Tahun 1982, World Congress on Protected Areas ketiga di Bali,

    Indonesia yang menekankan pentingnya PA sebagai elemen kunci dalam

    perencanaan taman nasional; menetapkan cakupan 10% PA di setiap

    2.671 lokasi seluas hampir 4 juta km2.

    Tahun 1987, Our Common Future diterbitkan, merupakan laporan the

    UN Commission on Sustainable Development (te