UJI POTENSI KAYU APU (Pistia stratiotes L) DALAM PENURUNAN KADAR SIANIDA (CN) PADA LIMBAH CAIR...
-
Upload
cherlyafgan-syahreza-siextrinic -
Category
Documents
-
view
74 -
download
2
description
Transcript of UJI POTENSI KAYU APU (Pistia stratiotes L) DALAM PENURUNAN KADAR SIANIDA (CN) PADA LIMBAH CAIR...
-
1
UJI POTENSI KAYU APU (Pistia stratiotes L) DALAM PENURUNAN KADAR SIANIDA (CN) PADA LIMBAH
CAIR PENAMBANGAN EMAS
Hermansyah Mamonto
ABSTRAK
Mamonto, Hermansyah. 2013. Uji Potensi Kayu Apu (Pistia stratiotes L) Dalam Penurunan Kadar Sianida (CN) Pada Limbah Cair Penambangan Emas, Skripsi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing I Dr. Hj. Rama P. Hiola, Dra., M.Kes dan Pembimbing II Ramly Abudi, S.Psi, M.Kes.
Adanya limbah B 3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) dalam lingkungan perairan telah diketahui dapat menyebabkan kerusakan pada kehidupan air dan manusia. Dalam pertambangan Sianida digunakan untuk ekstraksi biji emas dan perak dari batuan yang dikenal dengan nama cyanide heapleacing. Manfaat tumbuhan air seperti Kayu apu dapat mengurangi konsentrasi polutan dalam limbah dapat dilakukan dengan proses fitoremediasi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi Kayu apu (Pistia stratiotes L) dalam menurunkan kadar Sianida (CN) pada limbah cair penambangan Emas. Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode eksperimen kuasiSampel yang di uji adalah limbah cair yang berasal dari Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang terletak di desa Dunggilata, Kabupaten Bone Bolango. Parameter penelitian yang diamati adalah konsentrasi Sianida pada limbah cair sebelum dan sesudah perlakuan. Analisis Sianida pada limbah cair dilakukan menggunakan Teknologi Spektroskopi UV-Vis di Laboratorium Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Negeri Gorontalo. Hasil analisis pada kelompok eksperimen yang diberi perlakuan Kayu apu sebanyak 200 gr dengan konsentrasi awal 5 mg/l dapat mengakumulasi 63,96 % Sianida. Sedangkan Kelompok Eksperimen (B) yang diberi perlakuan Kayu apu sebanyak 300 gr mampu meremidiasi 64% Sianida dari konsentrasi awal sebesar 5mg/l. Sementara itu Sianida yang menguap berupa Phytovolatilization yakni sebesar 36%. Kayu apu berpotensi menyerap Sianida. Untuk itu diharapkan adanya sosialisasi kepada penambang emas mengenai bahaya limbah B3, serta penanggulangan limbah cair menggunakan tumbuhan hiperakumulator khususnya Kayu apu.
Kata Kunci : Sianida (CN), Kayu apu (Pistia stratiotes L), Limbah Cair, Penambang Emas.
-
2
PONTETIAL TESTING OF Pistia stratiotes L IN REDUCING CYANIDE VALUE IN GOLD MINING AFFLUENT
Hermansyah Mamonto
ABSTRACT
Mamonto, Hermansyah. 2013. Pontetial Testing of Pistia Stratiotes L in Reducing Cyanide Value in Gold Mining Affluent. Skripsi. Public Health Study Program, Faculty of Sports and Health Sciences, Universitas Negeri Gorontalo. It was supervised by Dr. Hj. Rama P. Hiola,Dra., M.Kes as the principal supervisor and Ramly Abudi, S.Psi., M.Kes as the co supervisor.
The existence of B3 (poisonous and dangerous materials) waste in the aquatic environment has been identified destructive to humans and water. To cyanide mining, it is used for extracting gold and silver materials from the source called cyanide heapleacing. The benefits of plants, e.g. Pistia stratiotes L, may decrease pollutant concentration in the waste through phytoremediation. This research aimed to see its potential to reduce the cyanide value in the aquatic waste of gold mining. This is a pre-experiment design. The aquatic waste was determined as the samples taken from Illegal Gold Mining (PETI) located in Dunggilata, Bone Bolango. The research used cyanide concentration before and after the treatment as the parameter. Cyanide analysis of the aquatic waste was applied through UV-Vis spectroscopy technology in chemistry education laboratory, Universitas Negeri Gorontalo. The analysis showed that experiment group through Pistia Stratiotes L treatment about 200 gr starting from 5 mg/l concentration equaled to 63,96% of the cyanide. Meanwhile, experiment group through Pistia Stratiotes L treatment about 300 gr starting from 5 mg/l concentration equaled to 64% of the cyanide. Moreover, about 36% cyanide evaporate, known as Phytovolatilization. The Pistia stratiotes L is potential to absorb cyanide. It is expected that workshop of gold mining about the danger of B3 waste and the application of aquatic waste by using hyper accumulator plants, particularly Pistia stratiotes L.
Keywords: Cyanide (CN), Pistia stratiotes L
-
3
PENDAHULUAN
Adanya limbah B 3 (Bahan
Berbahaya dan Beracun) dalam
lingkungan perairan telah diketahui
dapat menyebabkan kerusakan pada
kehidupan air, disamping itu terdapat
fakta bahwa limbah tersebut
membunuh mikroorganisme selama
perlakuan biologis pada limbah
sebagai akibat kelambatan proses
pemurnian air. Hampir semua limbah
B 3 dapat larut dalam air dan
membentuk larutan sehingga tidak
dapat dipisahkan dengan pemisahan
fisik yang sudah biasa (Rossiana,
Nia, dan Yayat Hidayat, 2007).
Limbah B 3 yang dapat
mencemari air dihasilkan dari
berbagai macam pembuangan air
limbah seperti limbah industri,
limbah rumah tangga maupun limbah
hasil pengolahan emas. Dalam
pertambangan Sianida digunakan
untuk ekstraksi biji emas dan perak
dari batuan yang dikenal dengan
nama cyanide heapleacing. Pelaku-
pelaku pertambangan kerap
mempromosikan sianida sebagai
bahan kimia yang aman, sehingga
warga sekitar tambang tidak perlu
khawatir terhadap bahan kimia ini.
Padahal sianida seukuran biji beras
saja bisa berakibat fatal bagi
manusia. (Wahli, 2007 dalam
Simange 2010).
Pada usaha tambang emas di
wilayah pesisir sungai di areal
tambang Kecamatan Bulawa telah
tercemar dengan kandungan merkuri
dan sianida. Dari hasil observasi
yang di lakukan peneliti pada bulan
Maret 2013, Aktivitas Penambangan
Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa
Dunggilata Kecamatan Bulawa
Kabupaten Bone Bolango diketahui
-
4
bahwa penanganan dan pengelolaan
limbah cair yang mengandung
merkuri dan sianida adalah
membuangnya langsung ke sungai
atau dibiarkan meresap begitu saja ke
tanah yang berada di sekitar tempat
pengolahan.
Kebiasaan yang dilakukan oleh
penambang emas dalam mengelola
limbah cair ini akan berpotensi
menimbulkan permasalahan di
kemudian hari, yaitu estetika
lingkungan, pencemaran tanah, air
tanah, sungai dan kesehatan
(Achmadi, 2008). Kenyataan tersebut
sejalan menurut Widowati (2010)
bahwa sianida dapat menimbulkan
suatu ancaman besar bagi kesehatan
manusia karena sekali masuk ke
dalam tubuh kerusakan yang terjadi
biasanya tidak dapat diubah. Gejala
yang terkait dengan sianida adalah
tremor, ataksia, parestesia, gangguan
sensorik, kolaps kardiovaskular,
kerusakan gastrointestinal, kerusakan
permanen pada otak, ginjal, dan
perkembangan janin, dan bahkan
kematian.
Limbah cair yang mengandung
Sianida di perairan sungai desa
Dunggilata Kecamatan Bulawa
Kabupaten Bone Bolango sudah
melebihi baku mutu air limbah bagi
usaha atau kegiatan pertambangan
bijih emas dan atau tembaga yang
tidak bisa > 0.5 mg/l (Kep.Men.
Lingkungan Hidup Nomor. 202
Tahun 2004). Data dari Balihristi
Provinsi Gorontalo bahwa pada
tahun 2012 kadar Sianida (CN) di
perairan sungai Desa Dunggilata
Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone
Bolango mencapai 0,8 mg/l atau
termasuk tercemar ringan. Apabila
hal ini dibiarkan maka akan
berdampak pada pencemaran
-
5
lingkungan dan kesehatan manusia.
Dampak sianida berpotensi
menimbulkan efek toksik bagi
mahluk hidup. Sifat toksik pada
konsentrasi tinggi dapat berpengaruh
langsung terhadap fungsi fisiologis
dan biokimiawi pada tubuh manusia
(Arisandi, 2006).
Kayu Apu adalah gulma air
yang menggenang di permukaan dan
sering dijadikan pengisi akuarium
atau ornamen interior kolam air.
Deskripsi tanaman dengan habitus
herba, mengapung di permukaan air
dan memiliki tinggi sekitar 5-10 cm.
Tubuh tidak berbatang, berdaun
tunggal, berbentuk solet menyerupai
mawar, ujung membulat, pangkalnya
runcing, tepi daun berlekuk dengan
panjang sekitar 2-10 cm, lebar 2-6
cm dengan pertulangan sejajar
(monokotil) kontras dengan warna
hijau kebiruan (Ramey, 2001).
Manfaat tumbuhan air seperti kayu
apu dapat mengurangi konsentrasi
limbah cair dalam limbah dapat
dilakukan dengan proses
fitoremediasi. Dari hasil penelitian
oleh Ulfin (2000) diketahui bahwa
tanaman air ternyata seperti kayu apu
dapat menurunkan kadar pencemaran
limbah cair.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kuantitatif
dengan menggunakan metode
experimen quasi (experimen semu).
Experimen quasi adalah sebuah
metode penelitian experimen yang
pengontrolannya tidak dilakukan
secara ketat atau secara penuh.
Sampel yang di uji adalah limbah
cair yang berasal dari Penambangan
Emas Tanpa Izin (PETI) yang
terletak di desa Dunggilata,
Kabupaten Bone Bolango. Parameter
-
6
penelitian yang diamati adalah
konsentrasi Sianida pada limbah cair
sebelum dan sesudah perlakuan
selama 10 hari. Analisis Sianida pada
limbah cair dilakukan menggunakan
Teknologi Spektroskopi UV-Vis di
Laboratorium Jurusan Pendidikan
Kimia Universitas Negeri Gorontalo.
Adapun prosedur kerja dalam
penelitian ini adalah:
a. Persiapan Alat dan Bahan
Tahap awal yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah persiapan alat
dan bahan alat yang digunakan
adalah wadah akuarium 3 buah,
perangkat spektrofotometer UV-Vis
Perkin Elmer Lambda 25, neraca
analitik, gelas arloji, gelas piala 150
ml, batang pengaduk, pipet
volumetrik, pipet tetes, buret, labu
takar 50 ml, dan labu semprot. Bahan
yang digunakan adalah tanaman
Kayu apu, limbah cair yang
mengandung sianida (CN), larutan
natrium karbonat 10%, larutan
ninhidrin 2%, larutan NaOH 2.5 M,
larutan baku sianida, dan akuades.
b. Persiapan Penanaman
Hal pertama yang dilakukan
adalah aklimatisasi bibit Kayu apu
dari anakan yang diambil dari rawa
yang berada di sekitar Gedung LPM
Universitas Negeri Gorontalo.
Aklimatisasi dilakukan
menggunakan air selama 1 minggu.
Hal ini dilakukan untuk memberikan
waktu adaptasi Kayu apu terhadap
lingkungan yang baru. Limbah cair
Sianida diperoleh dari penambangan
emas yang berlokasi di Desa
Dunggilata Kecamatan Bulawa
Kabupaten Bone Bolango, Provisi
Gorontalo.
c. Uji Pendahuuan
Limbah cair terlebih dahulu
dianalisis kandungan awal Sianida
-
7
(CN) dengan menggunakan
Spektroskopi UV-Vis, pada tahap ini
limbah cair yang mengandung
Sianida yang di ambil langsung dari
pertambangan emas di encerkan
dengan aquades untuk mencari
optimasi kurva standar. Selanjutnya
kurva standar dengan konsentrasi 25,
50, 75, 100 ppb dari larutan stok
sianida 1000 ppb ke dalam labu takar
50 ml, kemudian ditambahkan empat
ml larutan ninhidrin 2% dan empat
ml larutan natrium karbonat 10% dan
ditambahkan air hingga 25 ml, lalu
dihomogenkan dan didiamkan sekitar
30 menit untuk memberikan
kompleks warna merah, lalu
diencerkan dengan NaOH 2.5 ml
sampai tanda tera, larutan stabil
selama 30 menit. Untuk penetapan
blanko, ke dalam labu takar 50 ml
dipipet, empat ml larutan ninhidrin
2% dan empat ml larutan natrium
karbonat 10%, kemudian
ditambahkan air hingga 25 ml lalu
dihomogenkan dan didiamkan sekitar
30 menit untuk memberikan
kompleks warna merah, lalu
diencerkan dengan NaOH 2.5 M
sampai tanda tera. Larutan-larutan
tersebut dibaca absorbansnya dengan
spektrofotometer pada panjang
gelombang 608 nm (Julistiana,
2009).
d. Perlakuan Fitoremidiasi
Setelah tahap persiapan selesai
kemudian dilanjutkan dengan
perlakuan fitoremedasi selama 10
hari. Wadah A berisi limbah cair
yang mengandung Sianida (CN)
sebanyak 2 liter ditanami dengan
Kayu apu sebanyak 200 gr (4-5
rumpun). wadah B dengan volume
limbah cair yang sama ditanami
dengan Kayu apu sebanyak 300 gr
(5- 6 rumpun). Sedangkan wadah C
-
8
tidak mendapat perlakuan Kayu apu
atau di anggap sebagai kontrol.
Setelah pelakuan fitoremediasi,
kemudian melakukan analisis pada
limbah cair dan analisis dengan
menggunakan spektroskopi UV-Vis.
Setiap wadah di uji sebanyak tiga
kali pengulangan.
e. Uji Akhir
Uji akhir dilakukan dengan
menganalisis kadar Sianida (CN)
pada limbah cair setelah perlakuan
fitoremediasi menggunakan
Spektroskopi UV-Vis (langkah-
langkahnya sama dengan uji
pendahuluan).
Data dalam penelitian ini
dianalisis dengan menggambarkan
data hasil pengamatan yang
diperoleh dari hasil analisis yang
dilakukan di Laboratorium Jurusan
Pendidikan Kimia Universitas Negeri
Gorontalo melalui penggunaan
spektroskopi UV-Vis. Hasil yang
diperoleh disajikan dalam bentuk
tabel untuk selanjutnya
dideskripsikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di
penambangan emas Desa Dunggilata
Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone
Bolango, dimana terdapat
Penambangan Emas Tanpa Izin
(PETI). Aktifitas PETI oleh
penambang di Desa dalam
penanganan dan pengelolaan limbah
cair adalah membuangnya langsung
ke sungai atau ditampung di kolam
penampungan dan dibiarkan
meresap begitu saja ke tanah yang
berada di sekitar tempat pengolahan.
Telah diketahui ada sekitar 11 tromol
yang aktif dalam pengolahan tiap
hari. Setiap pengolahan akan
-
9
memproduksi hasil samping berupa
limbah buangan baik padat maupun
cair.
Hasil wawancara langsung
dengan penambang di lokasi bahwa
kegiatan PETI telah dimulai sejak
tahun 1990 terutama di tepian
Sungai Bulawa. Sebagian besar
penambang menggunakan aliran
air sungai untuk memutar tromol
dan sekaligus sungai menjadi tempat
pembuangan limbah. Kemampuan
masyarakat penambang sudah
cukup terasah dengan pengalaman
mereka melakukan penambangan.
Hasil pengamatan di lokasi
sebagian masyarakat yang menetap
di Desa Dunggilata dan Desa
Mamungaa bukan penduduk asli,
namun karena memiliki profesi
sebagai penambang sehingga banyak
yang memutuskan untuk membeli
lahan dan membangun rumah di
sekitar kawasan tersebut .
Penambang di Desa ini
menggunakan teknik sederhana pula
dalam pengikatan unsur emas dari
batuan, teknik sederhana tersebut
dikenal dengan amalgamasi, yaitu
teknik murah menggunakan logam
merkuri dan Sianida dalam proses
pengolahannya. Amalgamasi
menggunakan Sianida tentunya
bertujuan memisahkan bijih emas
dari batuan dan dapat terlarut
bersama Sianida. Pengolahan dan
pembuangan limbah di tempat ini
masih mengkhawatirkan untuk
dampaknya terhadap pencemaran
lingkungan. Wilayah penambangan
dan pengolahan ini berada di sekitar
pekarangan warga desa. Aktifitas
masyarakat selalu bersinggungan
dengan keadaan pengolahan tersebut.
Penggunaan Sianida rata-rata
untuk amalgamasi bijih emas
-
10
sebanyak 1 Kg CN untuk 120 Kg
batuan, dengan kisaran limbah cair
mengandung Sianida yang terbuang
setiap bulannya adalah 30 Kg/bulan
atau sekitar 360 Kg/tahun, sedangkan
untuk volume limbah cair yang
terbuang sekitar 3600 l/hari
diperkirakan dari luas penampungan
limbah olahan penambangan emas.
Gambaran Umum Kayu Apu Selama Penelitian
Tanaman Kayu apu yang telah
dipelihara selama 10 hari dalam
perlakuan fitoremediasi limbah cair
mengandung Sianida mengalami
beberapa perubahan morfologi yang
tampak karena adanya respon
toksisitas tanaman terhadap
konsentrasi Sianida yang terkandung.
Perubahan morfologi yang tampak
diantaranya perubahan warna pada
daun (klorosis) (Schulze., 2005).
Beberapa respon yang terjadi
tersebut dapat diketahui melalui
perubahan yang nampak pada
tanaman sejak persiapan
pemeliharaan sampai akhir
pemeliharaan yakni saat dilakukan
masa panen dan perlakuan berakhir.
Pada hari ke-10 perubahan
morfologi tampak dan terjadi
penguningan pada daun atau fase
letal beberapa individu. Rasio dari
perubahan morfologi dari tiap-tiap
wadah menunjukkan perbedaan
namun pada dasarnya memiliki
perbandingan yang tidak jauh
berbeda. Selain respon toksistas
Sianida terhadap pertumbuhan Kayu
apu diduga penguningan pada bagian
beberapa individu Kayu apu pula
dikarenakan kurangnya nutrisi untuk
proses metabolisme tanaman uji.
Nutrisi dibutuhkan untuk proses
metabolik tanaman selama
penelitian.
-
11
Hasil Analisis awal kadar
Sianida (CN) yang dilakukan pada
limbah cair sebelum ditanami Kayu
apu yaitu 5 mg/l dan melewati
baku mutu cemaran Sianida (CN)
pada air dengan batas baku mutu
0,5 mg/l.
Kemampuan akumulasi Sianida
oleh Kayu apu dimana terdapat nilai
rata-rata dari 3 ulangan perlakuan
fitoremediasi selama 10 hari.
Kelompok Eksperimen (A) yang
diberi perlakuan Kayu apu sebanyak
200 gr mampu mengakumulasi
3,1977 mg/l Sianida dari konsentrasi
awal sebesar 5 mg/l dengan demikian
ada sekitar 63,96 % Sianida yang
berhasil diserap oleh Kayu apu.
Sedangkan Kelompok
Eksperimen (B) yang diberi
perlakuan Kayu apu sebanyak 300 gr
mampu meremidiasi 3,2 mg/l Sianida
dari konsentrasi awal sebesar 5mg/l
dengan demikian ada sekitar 64 %
Sianida yang berhasil diserap oleh
Kayu apu.
Dalam penelitian ini ada
sebagian Sianida yang tidak
diakumulasi oleh tanaman dan tersisa
dalam limbah cair pada Kelompok
Eksperimen (A) sekitar 0,0023 mg/l
atau 0.046 %. Sedangkan pada
Kelompok Eksperimen (B) tidak ada
Sianida yang tersisa atau sekitar 0%.
Konsentrasi Sianida yang tersisa
dalam limbah cair memiliki selisih
terhadap konsentrasi awal Sianida
sebelum perlakuan. Kelompok
Eksperimen (A) sebesar 3,1977 mg/l
atau 63,96 % Sianida sebagai total
rata-rata akumulasi oleh Kayu apu,
maka selisih total akumulasi adalah
99,95 % Sianida yang diserap dan
menguap oleh aktifitas fitoremediasi
Kayu apu. Sedangkan pada
Kelompok Eksperimen (B) diketahui
-
12
sebesar 3,2 mg/l atau 64% Sianida
sebagai total rata-rata akumulasi oleh
Kayu apu, maka jumlah selisih total
rata-rata yang diserap dan menguap
oleh aktivitas Fitoremidiasi dan
Phytovolatilization adalah 100 %.
jadi selama 10 hari pada konsentrasi
awal 5 mg/l Sianida dengan 200 gr
tanaman Kayu apu (4-5 rumpun)
dapat mengakumulasi Sianida
dengan rata-rata 3,1977 mg/l atau
63,96 % Sianida. Sedangkan pada
perlakuan dengan jumlah Kayu apu
sebanyak 300 gr (4-5 rumpun) dapat
mengakumulasi Sianida dengan rata-
rata 3,2 mg/l atau 64 % Sianida.
Sementara untuk nilai rata-rata
Sianida yang menguap oleh aktifitas
fitoremediasi berupa
Phytovolatilization yakni sebesar 1,8
mg/l atau 36%.
PEMBAHASAN
Amalgamasi batuan emas
yang menggunakan sianida di
pertambangan emas Desa Dunggilata
menghasilkan limbah cair yang
mengandung Sianida (CN). Sianida
yang digunakan dalam amalgamasi
di desa ini adalah Kalium Sianida
(KCN) yang merupakan sianida yang
berwarna putih berbentuk kristal.
Sianida dan turunannya telah lama
diketahui sangat beracun. disebutkan
dalam Inswiasri (2008) bahwa
Sianida di alam umumnya terdapat
sebagai Kalium Sianida atau
potassium cyanide (KCN), yaitu
bentuk senyawa organik dengan
daya racun tinggi dan sukar terurai
dibandingkan zat asalnya. Sianida
yang dapat diakumulasi adalah
turunan sianida berbentuk KCN
yang merupakan racun bagi
manusia.
-
13
Konsentrasi Sianida pada limbah
cair setelah perlakuan lebih rendah
dibandingkan dengan akumulasi
Sianida di Kayu apu, dengan
demikian Kayu apu menunjukkan
kemampuan mengakumulasi Sianida.
Konsentrasi Sianida dalam limbah
cair sangat berpengaruh terhadap
akumulasi Sianida dalam tanaman
yang tumbuh diatasnya, sehingga
akumulasi Sianida yang tinggi atau
rendah pada jaringan tumbuhan akan
mencerminkan konsentrasi Sianida
dalam limbah cair sebagai media
tanam (Darmono, 1995 dalam
Azizah, 2009).
Mekanisme penyerapan dan
akumulasi limbah cair oleh tanaman
secara umum dapat dibagi menjadi
tiga proses yang sinambung
(Hardiani, 2009), yakni sebagai
berikut :
1. Penyerapan oleh akar. Agar
tanaman dapat menyerap
polutan, maka polutan harus
dibawa ke dalam larutan di
sekitar akar (rizosfer) dengan
beberapa cara bergantung pada
spesies tanaman. Senyawa-
senyawa yang larut dalam air
biasanya diambil oleh akar
bersama air, sedangkan
senyawa-senyawa hidrofobik
diserap oleh permukaan akar.
2. Translokasi polutan dari akar ke
bagian tanaman lain. Setelah
polutan menembus endodermis
akar, polutan atau senyawa
asing lain mengikuti aliran
transpirasi ke bagian atas
tanaman melalui jaringan
pengangkut (xilem dan floem)
ke bagian tanaman lainnya.
3. Lokalisasi polutan pada sel dan
jaringan. Hal ini bertujuan untuk
-
14
menjaga agar polutan tidak
menghambat metabolisme
tanaman. Sebagai upaya untuk
mencegah peracunan limbah
cair terhadap sel, tanaman
mempunyai mekanisme
detoksifikasi, misalnya dengan
menimbun polutan di dalam
organ tertentu seperti akar. Pada
masing-masing organ, polutan
yang diserap segera diuraikan
melalui proses metabolisme
tumbuhan secara enzimatik.
Proses ini disebut fitodegradasi.
Enzim yang berperan pada
proses ini biasanya adalah
dehaloganases, oxygenases, dan
reductases.
Besar akumulasi pada organ
tanaman Kayu apu terdapat selisih
antara kemampuan daun dan akar.
Menurut Ulfin dan Widya (2005).
Penyerapan terbesar terdapat
pada bagian akar dan sedikit pada
daun. Hal ini diduga bahwa kontak
akar lebih lama dan langsung ke
media terkandung Sianida dibanding
daun. Akar Kayu apu memiliki
jejaring bulu akar yang banyak dan
mampu mengkhelat Sianida sehingga
mudah diserap dan diakumulasi ke
jaringan tanaman.
Dalam penelitian ini ada 64%
Sianida yang terserap oleh Kayu apu,
menurut Meagher (2000)
penyerapan ini terjadi karena
terdapat zat khelat atau phytochelatin
yang diekresikan oleh jaringan akar
Kayu apu terhadap respon
kandungan Sianida. Respon limbah
cair seperti Sianida dipengaruhi oleh
afinitas reseptor kimia yang tinggi
Dalam mekanisme pengkhelatan,
diperkirakan unsur polutan diserap
tanaman dalam bentuk kompleks
yang lebih mudah diserap akar dan
-
15
ditranslokasi ke tajuk Phytochelatin
sebelumnya disintesis oleh
phytochelatin sintase. Phytochelatin
yang terbentuk berupa
phytosiderophore, melalui bulu-bulu
akar, Sianida dikhelat hingga masuk
sistem penyerapan air dan unsur
hara. Peng-khelatan Sianida oleh zat
khelat dengan membentuk senyawa
kompleks dan garam. Sianida
berikatan dengan gugus S (sulfur)
pada asam amino phytochelatin
karena zat tersebut adalah enzim.
Senyawa kompleks dan garam yang
dibentuk selanjutnya dapat diserap
(Schulze 2005). Jadi Sianida yang
telah dikhelat dapat berbentuk CN-
Phytochelatin.
Dalam penelitian dan selama
pemeliharaan Kayu apu dalam
wadah berisi limbah cair terlihat
banyak partikulat yang menempel
dan menutupi bulu akar hingga
berwarna kecoklatan pekat, diduga
partikulat tersebut adalah senyawa
Sianida (CN) atau Kalium Sianida
(KCN) dalam limbah cair yang
berhasil dikhelat. Secara teoritis
ternyata bulu akar Kayu apu
berbentuk seperti labirin-labirin
yang lembut dan ringan, berwarna
putih, ungu dan hitam yang banyak
dan menyebar dengan akar pokok
yang panjangnya dapat mencapai 90
mm (Mustaniroh dkk, 2009) dengan
demikian partikulat yang menempel
adalah Sianida yang dikhelat pada
bulu akar Kayu apu (Salt, 2000
dalam Hidayati, 2005).
Akar adalah organ pertama dan
lebih lama bersentuhan dengan
limbah cair mengandung Sianida dan
biasanya mengakumulasi polutan
lebih banyak dari tajuk (Salt et al,
1995; Wojcik dan Tukiendorf 1999,
Rout et al. 2001) dalam Schulze
-
16
(2005). Berdasarkan penjelasan
sebelumnya tentang peng-khelatan
Sianida terjadi di akar serta lama
paparan Sianida selama
pemeliharaan adalah alasan dimana
jumlah akumulasi lebih besar
dibanding akumulasi di daun Kayu
apu. Penghambatan perpanjangan
akar dan rontoknya beberapa bulu-
bulu akar tampaknya menjadi efek
yang terlihat pertama kali dari respon
toksisitas Sianida karena adanya
penghambatan pembelahan sel akar
dan atau penurunan ekspansi sel
dalam zona perpanjangan di jaringan
meristematis akar (Fiskesjo 1997
dalam Schulze et al.,2005) dengan
demikian toleransi Kayu apu
terhadap toksisitas Sianida yang
pertama kali terlihat adalah
perubahan morfologi yang nampak
pada akar.
Secara berurutan Sianida
dalam limbah cair penambangan
emas sebagai media tanam diserap
oleh Kayu apu dengan cara
Rhizofiltrasi. Selama perlakuan
fitoremediasi terjadi interaksi
rizoferik antara rizosfer (daerah
perakaran Kayu apu) dengan limbah
cair (Hidayati, 2005). Kayu apu
terdiri dari perakaran yang banyak
dengan rambut akar yang halus,
sebagai syarat tumbuhan
hiperakumulator.
Dalam penelitian ini selain
merujuk pada parameter utama yaitu
potensi Kayu apu dalam penyerapan
Sianida ada pula parameter
penunjang yang secara langsung
mempengaruhi pula dalam proses
penyerapan Sianida oleh Kayu apu.
Adapun faktor penunjang tersebut
berupa penguapan yang terjadi
secara alami di udara. Salisbury dan
-
17
Ross (1995) menyatakan bahwa
penyerapan polutan oleh tanaman
dipengaruhi oleh 2 faktor
diantaranya keberadaan unsur di
dalam lingkungannya dan penguapan
di udara yang terjadi secara alami.
Pengambilan polutan oleh tumbuhan
air menjadi proses pasif yang dapat
dipengaruhi secara tidak langsung
oleh metabolisme.
Penurunan metabolisme pada
Kayu Apu yang di tanam dalam
limbah cair Sianida, mengakibatkan
jaringan sel dalam akar cepat
rusak hal ini akan berdampak
pada produksi phytochelatin karena
menurut Nopriani (2011) jika
tumbuhan tidak dapat mensintesis
phytochelatin maka akan
menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan yang berujung pada
kematian atau fase letal. Turunnya
metabolisme tanaman dapat
diketahui dari penampakan fisik dari
daun pada tanaman yang cepat sekali
menguning (klorosis) dan hingga
hari ke-10 tanaman mengalami
kerontokan pada bulu-bulu akar
(nekrosis). Menurut Lakitan (1995)
dalam Nopriani (2011) proses
akumulasi polutan akan
membutuhkan energi metabolik.
Turunnya metabolisme juga
disebabkan karena hiperakumulasi
ion Sianida yang terlalu berlebih
sedangkan ketersediaan akan unsur
hara dalam penelitian ini ternyata
begitu terbatas, tanpa adanya
penambahan nutrisi bagi
pertumbuhan Kayu apu dan hanya
menggunakan keseluruhan limbah
cair mengandung Sianida sebagai
media tumbuh juga. Pada hari ke-10
terjadi penguningan pada daun di
beberapa individu Kayu apu selain
disebabkan karena adanya toksisitas
-
18
Sianida namun karena ketersediaan
unsur hara dalam limbah cair pula
yang terbatas.
Adapun faktor yang tidak
dapat terkontrol dengan baik adalah
penyinaran cahaya matahari
membias memasuki tempat
penelitian, yakni Green House. Di
khawatirkan adanya penyinaran yang
berbeda yang berpengaruh pada
perbedaan fisiologi tiap individu
tanaman dalam melakukan
penyerapan ataupun akumulasi
Sianida. Kayu apu yang digunakan
dalam penelitian berupa rumpun
tanaman bukan secara individu
tanaman. Setiap wadah berisi 200
gram tanaman.
Penelitian ini dapat dilakukan
tindak lanjut sebagai prospek
fitoremediasi menggunakan Kayu
apu pada limbah cair Sianida dari
penambangan emas. Dapat
dikalkulasi dari jumlah buangan
sekitar 3600 liter per harinya. Dalam
penelitian ini digunakan 2 liter
dengan lama 10 hari umur
pemeliharaan Kayu apu mampu
meremediasi limbah cair sebesar 64
% menggunakan 4-5 rumpun atau
sekitar 72.000 gr tanaman Kayu apu
yang diperlukan untuk meremidiasi
limbah cair sebanyak 36.000 liter
selama 10 hari. maka untuk per
bulannya dapat meremediasi sekitar
108.000 liter. Jika waktu remidiasi 1
tahun, maka Kayu apu mampu
meremidiasi sekitar 1.296.000 Liter
limbah yang dihasilkan oleh proses
penambangan emas.
Melihat prospek
fitoremediasi tersebut dapat
diaplikasikan pada lahan
penambangan emas untuk mengatasi
pencemaran Sianida yang dibuang ke
badan air dan memasuki rantai
-
19
makanan. Aplikasi fitoremediasi
menggunakan Kayu apu yang dapat
dilakukan antara lain dibuatnya
kolam penyaringan limbah cair.
Kolam penyaringan dibuat beberapa
seri sebagai filter lewatnya limbah
cair dari sisa pengolahan batuan
emas hingga memasuki badan air.
Setiap kolam dapat ditumbuhi
dengan tanaman air sebagai metode
pengolahan limbah seperti Kayu apu,
dengan demikian limbah Sianida
yang terbuang bersama limbah cair
akan diakumulasi oleh Kayu apu dan
mengurangi jumlah Sianida yang
terbuang dan masuk ke badan air.
Untuk lebih maksimal perlu di
bududayakan teknik fitoremidiasi
pada muara sungai, dalam hal ini
sungai Bone sebagai muara dari
beberapa sungai yang berada di Bone
Bolango.
Aplikasi kolam penyaringan
akan sangat optimal jika dilakukan
oleh semua pihak industri yang
melibatkan limbah cair mengandung
polutan apalagi Sianida. Penambang,
pemerintah dan masyrakat perlu
sosialisasi yang tepat dalam
penggunaan sistem pengolahan pada
kolam penyaringan agar
menimbulkan adanya kesadaran atas
bahaya Sianida dan bagaimana
penanggulangan pencemaran limbah
cair mengandung Sianida ataupun
polutan lainnya dengan baik.
SIMPULAN
Dari analisa penelitian yang telah
dilakukan dapat ditarik beberapa
kesimpulan yaitu :
1. Kayu apu (Pistia stratiotes L)
berpotensi menyerap Sianida
(CN).
2. Penyerapan dan penguapan
yang dihasilkan dalam proses
-
20
fitoremidiasi dan
Phytovolatilization oleh Kayu
apu sebanyak 300 gr adalah
100 % Sianida yang
terakumulasi. Penguapan
yang terjadi selama perlakuan
yaitu 1,8 mg/l atau 36 %.
3. Semakin banyak jumlah
Kayu apu maka semakin
besar pula potensi akumulasi
limbah cair Sianida (CN)
oleh Kayu apu.
SARAN
Adapun saran dari penelti
yaitu:
1. Penggunaan tanaman sebagai
pencuci polutan pada limbah
dapat dikembangkan dengan
menggunakan tanaman
hiperakumulator yang selektif
dengan menerapkan teknik
budidaya.
2. Tumbuhan harus bersifat
hipertoleran agar dapat
mengakumulasi sejumlah
besar polutan. Tumbuhan
harus mampu menyerap
logam berat dari dalam
larutan media dengan
penyerapan yang tinggi.
3. Perlu adanya sosialisasi
terhadap penambang-
penambang emas mengenai
bahaya limbah B3 serta
strategi penanggulangan
limbah cair yang efektif
dengan menggunakan
tanaman Kayu apu (Pistia
stratiotes L)
4. Perlu adanya prospek lebih
lanjut mengenai eksperimen
penggunaan Kayu apu
sebagai fitoremidiator, untuk
mengetahui potensi Kayu apu
39
-
21
meremidiasi logam dan
limbah B3 lainnya.
5. Penelitian ini perlu
dikembangkan dengan
perlakuan adanya variasi
waktu untuk mengetahui
akumulasi tiap harinya oleh
tanaman terhadap kadar
Sianida.
Daftar pustaka
Achmadi, U. 2008. Horison Baru Kesehatan Masyarakat di Indonesia. Rineka Cipta, Jakarta.
Ali, G. 2012. Kayu Apu (Pistia stratiotes L.) Sebagai Agen Fitoremediasi Merkuri (Hg) Dari Limbah Cair Penambangan Emas. Jakarta. : Universitas Indonesia. Vol. 3. No. 4 : 5-14 Diakses Tanggal : 18 Maret 2013
Arisandi, D.J.2006. Pengaruh Keberadaan Kayu apu (Pistia stratiotes L) Pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi Sawah (Oryza sativa L). Malang : Universitas Brawijaya. Vol. 1. No. 8 : 4-9 Diakses Tanggal : 17 Maret 2013
Azizah, N. 2009. Kontaminasi Merkuri (Hg) Pada Purun Tikus (Eleocharis dulcis) Yang Tumbuh Di Tanah Sulfat Masam Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala. Banjar baru : Program Studi Biologi FMIPA Unlam. Bioscientiae. Vol. 6. No. 2 : 7-14
Balihristi, 2012. Data Kualitas Air dan Sedimen Sungai di Provinsi Gorontalo. Gorontalo
Damayanti, Alia, Hermana. J dan Masduqi. A. 2004. Analisis Resiko Lingkungan Dari Pengolahan Limbah Pabrik Tahu Dengan Kayu Apu (Pistia stratiotes L.). Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS. Jurnal Purifikasi, Vol.5, No.4. 151-156. Diakses Tanggal : 19 Maret 2013
Fahruddin. 2010. Bioteknologi Lingkungan. Alfabeta. Bandung
Hardiani, H. 2009. Potensi Tanaman Dalam Mengakumulasi Logam Cu pada Media Tanah Terkontaminasi Limbah Padat Industri Kertas. Bandung : Balai Besar Pulpen dan Kertas. Jurnal BS, Vol. 44, No. 1. 27 - 40
Hidayati, N. 2004. Fitoremediasi dan Potensi Tumbuhan Hiperakumulator. Jurnal Hayati Vol 12. No.1. Bogor : Pusat Penelitian Biologi, LIPI. Diakses Tanggal : 18 Maret 2013
-
22
Henry, J. 2000. An Overview of the Phytoremediation of Lead and Mercury. National Network of Environmental Management Studies (NNEMS) Fellow, Vol. 9. No. 5 : 32-39
Irawanto, R. 2010. Fitoremidiasi Lingkungan Dalam Taman Bali. Pasuruan : UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-LIPI. Jurnal Ilmiah Online, Local Wisdom. Volume: II. Nomor: 4. ISSN: 2086-3764 : 29 35. Diakses Tanggal : 23 Maret 2013
Inswasri,. 2008. Paradigma Kejadian Penyakit Pajanan Merkuri (Hg). Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 7 No. 2. Puslitbang Ekologi dan Status Kesehatan.
Juliawan, N dan Sabtanto. 2006. Kajian Potensi Tambang Dalam Pada Kawasan Hutan Lindung Di Tapadaa, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.Gorontalo : Proceeding Pemaparan Hasil-Hasil Kegiatan Lapangan Dan Non Lapangan, Pusat Sumber Daya Geologi. Vol. 2. No. 4 : 7-14. Diakses Tanggal : 24 Maret 2013
Julistiana. E. 2009. Pengembangan Dan Validasi Metode Pengujian Kadar Sianida Dalam Limbah Cair Secara Spektroskopi UV-Vis. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Vol. 2. No. 13 : 20-35 Diakses Tanggal : 15 april 2013
Juhaeti, T, N. Hidayati, F. Syarif dan S. Hidayat. 2009. Uji Potensi Tumbuhan Akumulator Merkuri untuk Fitoremediasi Lingkungan Tercemar Akibat Kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kampung Leuwi Bolang, Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Bogor.Jurnal Biologi Indonesia. Vol. 6, No. 1. ISSN 0854-4425. Diakses Tanggal : 15 Maret 2013
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan Bijih Emas Dan Atau Tembaga. Nomor 202. Jakarta : KEPMEN.LH.2004. Diakses Tanggal : 19 Maret 2013
Lakitan, B. 2011. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Majid, FZ. 2002. Aquatic Weed: Utility And Development. India: Agro Botanical Publishers
Mulia, R. 2005. Kesehatan Lingkungan. Graha Ilmu. Jakarta.
_______. 2008. Penambang dan Lingkungan Sekitar.. Graha Ilmu. Jakarta.
Mustaniroh, S, A., Wignyanto dan Bernardus Endi S.2009. Efektivitas Penurunan Bahan Organik Dan An Anorganik Pada Limbah Cair Penyamakan Kulit Menggunakan Tumbuhan
41
-
23
Kayu Apu (Pistia statiotes L.) Sebagai BiofilIter. Malang : Jurusan Teknologi Industri Pertanian-Fak. Teknologi Pertanian-Universitas Brawijaya. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 10 No. 1: 10 - 18
Notoadmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
_______________.2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta..
Plantamor. 2008. Kiapu (Pistia Stratiotes L.). Diakses Tanggal : 18 Maret 2013
Ramey, V. 2001. Water Lettuce (Pistia stratiotes). Florida : Center for Aquatic and Invasive Plants, University of Florida. Vol. 5. No. 8 : 4-17. Diakses Tanggal : 18 Maret 2013
Rossiana, Nia, Titin Supriyatun, Yayat Dhahiyat. 2007. Fitoremediasi Limbah Cair Dengan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms) Dan Limbah Padat Industri Minyak Bumi Dengan Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Bermikoriza. Laporan Penelitian. Jatinangor : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Vol. 6. No. 12 : 44-51. Diakses Tanggal : 18 Maret 2013
Salisbury, Frank B., and Cleon W, R. 1995. Fisiologi Tumbuhan: Jilid 3. Diterjemahkan oleh Diah R. lukman dan Sumaryono. Bandung: ITB. Vol. 3. No. 9 : 12-22
Salt, D.E., R.D. Smith and I. Raskin. 1998. Annual Review Plant Physiology and Plant Molecular Biology : Phytoremediation. Annual Reviews. USA. 501662. Diakses Tanggal : 26 Maret 2013
Schulze, Neuenschwander, Peter, Mic. H. Julien, Ted D. Center and Martin P. Hill. 2009 Pistia stratiotes. L (Araceae). Biological Control of Tropical Weeds using Arthropods, ed. R. Muniappan, G. V. P. Reddy, and A. Raman. Published by Cambridge University Press. Vol. 11. No. 5 : 10-14. Diakses Tanggal : 27 Maret 2013
Shardendu, S. Sufia Irfan, D.Sayantan dan Deepti Sharma. 2009. Luxury uptake and Removal of Phosphorus by Pistia stratiotesL. In the Kabar Wetland of the Eastern Indian Gengetic Plain. India : Laboratory of Enviroment and Biotechnology. Vol. 3. No. 4 : 5-21. Diakses Tanggal : 18 Maret 2013
Simange, S. 2010. Analisis Kandungan Merkuri (Hg) dan Sianida (CN) Pada Beberapa Jenis Ikan Hasil Tangkapan Nelayan di Teluk KAO,
-
24
Halmahera Utara. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Vol. 9. No. 8 : 23-41. Diakses Tanggal : 17 Maret 2013
Sumual, H. 2009. Karakterisasi Limbah Tambang Emas Rakyat Dimembe Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Agritek Vol. 17 No. 5. ISSN. 0852-5426. Diakses Tanggal : 16 Maret 2013
Sutoto. 2007. Studi Efek Iradiasi Radium Untuk Pengolahan Limbah Sianida Industri Pertambangan Emas Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.10 No.2. Diakses Tanggal : 18 Maret 2013
Ulfin, ita dan Widya W. 2005. Study Penyerapan Kromium Dengan Kayu Apu (Pistia stratiotes, L). Jurnal Akta Kimindo Vol. 1 No. 1 : 41-48. Surabaya : ITS Keputih. Diakses Tanggal : 18 Maret 2013
Widowati, Sastiono, Jusuf. R. 2011. Efek Toksik Logam. Andi Graha
Widiatna. M. 2007. Sistem Pengolahan Limbah Terpadu Pada Penambangan Emas di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Vol. 3. No. 9 : 5-22. Diakses Tanggal : 18 Maret 2013
Wikipedia. 2012. Pistia. Tersedia di : en.wikipedia.org. Diakses tanggal : 20 Maret 2013