Uji Ketoksikan Subkronis
-
Upload
prasetyo-hendy-kurniawan -
Category
Documents
-
view
740 -
download
1
description
Transcript of Uji Ketoksikan Subkronis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Obat sebelum di pasarkan atau digunakan harus menjalani serangkaian uji untuk
memastikan keamanan, efektivitas, dan mutunya. Uji diawali dari skrining untuk mencari
senyawa aktif, lalu dilanjutkan uji efektivitas atau selektifitas dan mekanisme kerjanya
pada hewan uji atau mikroba. Setelah dinyatakan mempunyai aktivitas farmakologi
tertentu maka suatu obat akan mengalami serangkaian tes keamanan pada hewan uji.
Uji toksisitas dirancang untuk mengetahui kondisi, mekanisme, wujud, dan sifat efek
toksik suatu zat kimia pada hewan uji tertentu untuk menentukan batas keamanannya.
Salah satunya adalah uji toksisistas subkronis yang termasuk dalam golongan uji
ketoksikan tak khas. Uji toksisitas subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang
diberikan dengan dosis berulang pada hewan selama kurang dari 3 bulan untuk
menentukan organ sasaran (organ yang rentan) atau tempat kerjanya.
Uji ini menggunakan suatu senyawa yang dapat memberikan efek toksik pada hewan
uji, yaitu senyawa X. Senyawa X merupakan obat yang telah diklaim sebagai obat obat
sakit kepala yang disebabkan karena masuk angin dan flu. Dengan dilakukannya uji
subkronis ini maka kita akan mengetahui senyawa X yang diberikan apakah memiliki efek
toksik dan pengaruh terhadap organ-organ dalam serta hispatologi organ pada hewan uji.
B. PERMASALAHAN
1. Apakah obat X dapat menimbulkan efek toksik pada hewan uji ?
2. Pada peringkat dosis ke berapa senyawa X memberikan efek toksik subkronis pada
hewan uji ?
3. Bagaimana pengaruh senyawa X terhadap organ – organ dalam dan hispatologi organ
hewan uji setelah pemejanan berulang ?
C. MANFAAT
1. Manfaat Teoritis
Sebagai acuan untuk pertimbangan uji-uji lain untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi yang penting bagi
masyarakat tentang efek utama senyawa uji dan organ sasaran yang dipengaruhinya
ketika obat ini beredar di pasaran.
D. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tata cara pelaksanaan, luaran, dan
manfaat uji ketoksikan subkronis dari suatu obat
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui pengaruh senyawa X terhadap organ – organ dalam dan hispatologi
organ pada tubuh hewan uji dalam pemberian berulang.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. UJI TOKSISITAS SUB KRONIS
Uji toksisitas subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan
dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji ini ditujukan
untuk mengungkapkan spectrum efek toksik senyawa uji serta untuk memperlihatkan
apakah spectrum efek toksik itu berkaitan dengan takaran dosis (Donatus, 2001)
Tujuan utama dari uji ini adalah untuk mengungkapkan dosis tertinggi yang
diberikan tanpa memberikan efek merugikan serta untuk mengetahui pengaruh senyawa
kimia terhadap badan dalam pemberian berulang (Eatau dan Klaassen, 2001).
Spektrum efek toksik dapat dibagi menjadi dua yaitu efek lokal dan efek sistemik.
Efek lokal dapat diakibatkan oleh senyawa kaustik, misalnya pada saluran pencernaan,
bahan korosif pada kulit dan iritasi gas atau uap pada saluran nafas. Efek lokal seperti ini
mengambarkan perusakan umum pada sel-sel hidup. Efek sistemik terjadi hanya setelah
toksikan diserap dan tersebar kebagian lain tubuh. Umumnya toksikan hanya
mempengaruhi satu atau beberapa organ saja. Organ tersebut disebut organ sasaran.kadar
toksikan dalam organ sasaran tidak selalu yang paling tinggi (Lu,1995).
Pada dasarnya, uji ketoksikan subkronis meliputi efek toksik (wujud dan sifat) suatu
obat yang mungkin timbul selam kurang lebih 10% masa hidup hewan uji, yang pada
akhirnya dapat disetarakan dengan kejadian yang mungkin timbul ketika obat terkait
digunakan oleh manusia (Loomis,1978).
Wujud efek toksik suatu senyawa mungkin berupa perubahan (kekacauan) biokimia,
fungsional atau struktural. Karena itu, data yang diperlukan untuk mengevaluasi
ketoksikan subkronis berupa data kualitatif dan kuantitatif yang terkait dengan tiga
perubahan tersebut. Untuk itu, diperlukan berbagai pemerikasaan dan pengamatan yang
mencakup perkembangan patologi, gejala dan tanda klinis, sistem hematologi fungsi organ
secara biokimia dan morfologi organ (Mulyandari,1990).
Selain sebagai dasar evaluasi batas keamanan pemakaian suatu obat, hasil pengujian
ketoksikan subkronis bermanfaat sekali bagi panduan rancangan uji ketoksikan kronis,
keteratogenikan, maupun farmakokinetika dosis berulang. Utamanya berkaitan dengan
pemilihan hewan uji dan peringkat dosis. Disamping itu, juga bermanfaat sebagai panduan
bagi para klinisi dalam menjalankan uji klinik obat terkait, utamanya berkaitan dengan
efek toksik yang seharusnya dilacak dan berbagai tolak ukur klinis yang harus
dikembangkan agar uji klinik dapat berlangsung seoptimal mungkin (Loomis,1978).
Dosis untuk toksisitas subkronis biasanya dipilih berdasarkan informasi yang
diperoleh dari uji toksisitas akut, baik berupa LD50 maupun kemiringan kurva dosis respon.
Semasa informasi tentang zat kimia yang berkaitan dan tentang metabolismenya terutama
tentang ada atau tidaknya bioakumulasi juga ikut dipertimbangkan (Lu, 1995).
Hewan uji yang digunakan disarankan paling tidak satu jenis hewan dewasa sehat
baik jantan maupun betina. Hewan uji dipilih yang peka dan memiliki pola metabolisme
terhadap senyawa uji yang semirip mungkin dengan manusia (Donatus, 2001).
Takaran dosis yang diberikan paling tidak 3 peringkat dosis. Takaran dosis senyawa
ini diberikan 1 hari sekali selama kurun waktu uji ketoksikan subkronis berlangsung,
melalui jalur pemberian yang sama dengan jalur yang akan diberikan pada manusia
(Wildmann,1983).
Kriteria pengamatan uji ketoksikan subkronis meliputi :
1. Berat badan masing-masing hewan uji ditimbang, pada hari ke-0,1,dst, paling
tidak setiap 7 hari sekali.
2. Masukkan makanan dan minuman untuk masing-masing hewan uji, diukur paling
tidak 7 hari sekali,tapi lebih baik setiap hari.
3. Berbagai gejala klinis umum diperiksa melalui pengamatan fisik, dilakukan setiap
hari. Saat penampakan gejala klinis dan wujud gejala klinis dicatat.
4. Pemeriksaan hematologi (jumlah sel darah merah, sel darah putih, kadar
hemoglobin, volume korpuskuli, protein total) atau paling tidak dilakukan
pemeriksaan 2 kali yaitu pada awal dan akhir masa uji.
5. Pemerikasaan fungsi organ secara biokimia dikerjakan melalui pemeriksaan kimia
darah (kadar potasium, sodium, klorida, kalsium, CO2, SGPT, SGOT, alkaline
fosfatase serum, gula darah, protein total dan albumin) dan analisis urine (pH,
bobot jenis, volume urine, sedimen, glukusa) paling tidak dilakukan 2 kali, pada
awal dan akhir masa uji.
6. Pada akhir masa uji beberapa hewan uji pada masing-masing kelompok
dikorbankan. Ambil semua organ meliputi tata cara waktu pengambilan cuplikan
hayati dan buat preparat histologi meliputi tata cara pengecatan
hematoksiklineosin, dengan pemeriksaan morfologi dan histopatologi organ.
7. Apabila selama uji terdapat hewan uji yang sekarat atau mati harus dilakukan
pemeriksaan histopatologi
8. Untuk kepentingan keterbalikan yakni guna menentukan sifat efek toksik yang
terjadi, paling tidak pada tingkat dosis terendah dan tertinggi, setelah masa uji
berakhir, dilanjutkan dengan pengamatan ulang selama 2-4 minggu
(Loomis,1978).
Uji laboratorium untuk toksisitas jangka pendek (subkronis) meliputi : uji
laboratorium klinik biasanya mencakup glukosa darah puasa transaminase asam glutamat
oksaloasetat (SGOT), transaminase asam glutamat piruvat (SGPT), fosfatase alkalin,
protein total, albumin, globulin, nitrogen urea darah (BUN), dan unsur-unsur seperti
natrium, kalium, kalsium, dan klorid. Urinalisis biasanya mencakup warna, berat jenis, pH,
protein, glukosa, keton, unsur terbentuk (sel darah merah, dll) dan kristal serta benda amorf
(Lu,1995).
Organ yang biasanya ditimbang adalah hati, ginjal, adrenal, jantung, otak, testis atau
ovarium. Organ yang diperiksa secara histologik adalah semua organ yang memperlihatkan
lesi yang jelas, otak (3 tempat), sumsum tulang belakang, mata dan saraf optik kelenjar
ludah yang besar, timus, tiroid, jantung, aorta, paru-paru dengan bronkus, lambung, usus
halus (3 tempat), usus besar (2 tempat), kelenjar adrenal, pankreas, hati, kandung empedu
(kalau ada), limpa, ginjal, kandung kemih, otot rangka, dan tulang serta sumsumnya (Lu,
1995).
B. LANDASAN TEORI
Uji ketoksikan subkronis adalah suatu uji untuk menentukan organ sasaran atau
tempat kerjanya. Umumnya dilakukan selama 4 minggu hingga 3 bulan dan biasanya
menggunakan dua spesies yang berbeda.
Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi yang bermanfaat tentang
efek utama senyawa uji dan organ sasaran yang dipengaruhinya. Selain itu juga dapat
diperoleh info tentang perkembangan efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran
yang tidak teramati pada uji ketoksikan akut. Kekerabatan antar kadar senyawa pada darah
dan jaringan terhadap perkembangan luka toksik dan keterbalikan efek toksik.
C. HIPOTESIS
1. Senyawa uji dapat memberikan efek toksik pada hewan uji
2. Senyawa uji dapat memberi pengaruh pada organ dan hispatologi hewan uji.
3. Senyawa uji pada dosis tertinggi akan efek toksik tetapi pada dosis terendah tidak akan
memberikan efek toksik
BAB III
METODE PENELITIAN
A. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan rancangan eksperimental murni karena subjek uji penelitian
ini diberi perlakuan yaitu perlakuan berbagai cara pemberian pada mencit.
B. VARIABEL PENELITIAN
1. Variabel utama
b. Variabel bebas: tiga (3) peringkat dosis senyawa X yang diberikan pada hewan uji.
c. Variabel tergantung
1. Gejala klinis hewan uji
2. Tingkat mortalitas hewan uji
3. Hispatologi organ hewan uji
C. Variabel pengacau
a. Variabel yang dikendalikan
1. Galur: Whister
2. range bobot: 20-30 g
3. range umur: 2-3 bulan
4. jenis kelamin hewan uji: jantan dan betina
5. Jenis alat-alat gelas yang digunakan
6. Jenis alat dan metode injeksi yang digunakan
7. Jenis senyawa X yang digunakan
8. Aquadest yang digunakan
b. Variabel yang tidak dikendalikan
Jumlah makanan yang dikonsumsi hewan uji
D. ALAT DAN BAHAN
Alat :
jarum suntik per oral
spuit injeksi
timbangan elektrik
seperangkat alat bedah
oven
preparat
obyek glass
Bahan :
Subyek uji : hewan uji jantan 10 ekor dan hewan betina 10 ekor
Bahan uji : zat X
Senyawa kontrol negatif : Aquadest
Bahan penunjang yang lain : etanol 50%, etanol 70%, etanol 90%, etanol 96%,
etanol mutlak, xilol parafin, parafin cair, xilol murni, larutan eosin-alkohol.
E. CARA KERJA
a. Pemilihan Hewan uji
Memilih hewan uji berdasarkan kemiripan pola absorbs, metabolism, dan ekskresi
antara hewan uji dan manusia atau yang memperlihatkan respon terhadap efek
farmakologi obat terkait
↓
Dikerjakan pada satu atau dua jenis hewan yang sehat, satu galur, baik jantan
maupun betina
b. Pengelompokkan Hewan Uji
Mengelompokkan hewan uji sesuai dengan dosis yang diberikan, ditambah dengan
1 atau 2 kelompok kontrol negative (tanpa perlakuan)
↓
Setiap kelompok hewan paling tidak terdiri dari 10 ekor hewan uji
c. Tata Cara Pemberian Dosis Sediaan Uji
Membuat dosis sediaan uji yang terdiri dari tiga perangkat dosis (dosis tertinggi
harus menimbulkan gejala efek toksik yang nyata atau mematikan, dosis terendah
seharusnya tidak menimbulkan gejala efek toksik)
↓
Memberikan sediaan uji melaui jalur pemberian yang akan diterapkan dalam
manusia dengan kekerapan pemberian sekali sehari selama masa uji yang
ditetapkan
d. Pengamatan
Mengamati berat badan masing – masing hewan uji ditimbang pada hari ke – 0
paling tidak seminggu sekali
↓
Menimbang hewan uji setelah diberi makanan dan minuman untuk masing –
masing kelompok hewan uji, paling tidak seminggu sekali
↓
Memeriksa gejala klinis umum melalui pengamatan fisik setiap hari, catat
↓
Memeriksa hematologi paling tidak dua kali pada awal dan akhir masa uji coba
↓
Memeriksa fungsi organ secara biokimia melalui pemeriksaan kimia darah dan
analisis urin (pada awal dan akhir masa uji)
↓
Mengorbankan beberapa hewan uji pada masing – masing kelompok pada akhir
masa uji
↓
Ambil semua organ mengikuti tata cara baku pengambilan cuplikan hayati
↓
Buat preparat histology mengikuti tata cara pengecatan hematoksilineosin untuk
pemerikasaan morfologi organ (timbang dulu organ penting, seperti hati dan ginjal)
↓
Bila hewan uji mati selama masa uji, lakukan pemeriksaan dan histopatologi seperti
di atas
↓
Untuk menentukan sifat efek toksik (uji keterbalikkan), setelah masa uji berakhir
(perlakuan dihentikan) lanjutkan dengan pengamatan ulang seperti di atas selama 4
minggu
e. Analisa dan Evaluasi Hasil
Perubahan perkembangan berat badan, masukan makanan dan minuman, serta
gejala – gejala klinis, digunakan untuk mengevaluasi status kesehatan dan
perkembangan patologi hewan uji
↓
Pemeriksaan hematologi serta analisis purin dipakai untuk mengevaluasi adanya
perubahan fungsional system organ sebagai perwujudan efek toksik senyawa uji
↓
Perubahan morfologi sel jaringan organ dan kelenjar dari pemeriksaan histopatologi
digunakan untuk mengevaluasi perubahan struktrural atau kelanjar terkait sebagai
perwujudan efek dan sifat toksik
F. TATA CARA ANALISIS
Mengamati hispatologi organ (organ-organ yang terkena efek toksik),
gejala-gejala klinik, wujud efek toksik (kekacauan biokimia, fungsional, dan
struktural), serta sifat efek toksik.
DAFTAR PUSTAKA
Donatus, I.A., 2001, Toksikologi Dasar, Laboratorium Farmakologi dan
Toksikologi, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta
Eatau, D.L., and Klaassen, C.D., 2001, Principle of Toxicology, In Klaassen C.D.
(Ed),
Loomis, T.A., 1978, Toksikologi Dasar, diterjemahkan oleh Imono Argo
Donatus, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi
UGM, Yogyakarta
Lu, F.C, 1995, Basic Toxicology: Fundamentals, Target Organ, and Risk
Assesment, diterjemahkan oleh Edi Nogroho, Toksikologi Dasar: Asas
Organ, Sasaran dan Penilaian Resiko, edisi II, hal 95, UI Press, Jakarta.
Mulyandari, E., 1990, Uji ketoksikan Subkronis Jamu Antidiabetika, Skripsi,
Fakuiltas Farmasi UGM, Yogyakarta
Wildmann, F.K., 1983, Tinjauan Klinis Atas Hasil pemeriksaan Laboratorium,
ed.9, FKUI, Jakarta
TUGAS
1. Apa perbedaan uji ketoksikan akut dengan subkronis?
Perbedaan
Uji ketoksikan akut Uji ketoksikan subkronis
Waktu pengamatan 24 jam Waktu pengamatan selama 3 bulan
Pemberian senyawa uji hanya sekali
(dosis tunggal)
Pemberian senyawa uji berulang
selama kurang dari 3 bulan
Data kuantitatif untuk mengetahui
LD50 dan data kualitatif yang
diperoleh berupa penampakan klinis
dan morfologis efek toksik senyawa
uji.
Memberi informasi yang bermanfaat
tentang efek toksik utama senyawa
uji dan organ-organ sasaran yang
dipengaruhinya. Selain itu juga
dapat diperoleh informasi tentang
perkembangan efek toksik yang
lambat berkaiatan dengan takaran
dosis yang tidak teramati pada uji
ketoksikan akut, kekerabatan antara
kadar senyawa dalam darah dan
jaringan terhadap perkembangan
luka toksik dan keterbalikkan efek
toksik.
2. Apa tujuan rancangan uji subkronis?
Untuk mengetahui spektrum efek toksik senyawa uji dan meperlihatkan
apakah spektrumnya berkaiatan dnegan takaran dosis.
3. Pada pengujian toksisitas subkronis, apa saja yang diamati?
Berat badan masing-masing hewan uji ditimbang, pada hari ke-0,1,dst,
paling tidak setiap 7 hari sekali.
Masukkan makanan dan minuman untuk masing-masing hewan uji,
diukur paling tidak 7 hari sekali,tapi lebih baik setiap hari.
Berbagai gejala klinis umum diperiksa melalui pengamatan fisik,
dilakukan setiap hari. Saat penampakan gejala klinis dan wujud gejala
klinis dicatat.
Pemeriksaan hematologi (jumlah sel darah merah, sel darah putih, kadar
hemoglobin, volume korpuskuli, protein total) atau paling tidak
dilakukan pemeriksaan 2 kali yaitu pada awal dan akhir masa uji.
Pemerikasaan fungsi organ secara biokimia dikerjakan melalui
pemeriksaan kimia darah (kadar potasium, sodium, klorida, kalsium,
CO2, SGPT, SGOT, alkaline fosfatase serum, gula darah, protein total
dan albumin) dan analisis urine (pH, bobot jenis, volume urine, sedimen,
glukusa) paling tidak dilakukan 2 kali, pada awal dan akhir masa uji.
Pada akhir masa uji beberapa hewan uji pada masing-masing kelompok
dikorbankan. Ambil semua organ meliputi tata cara waktu pengambilan
cuplikan hayati dan buat preparat histologi meliputi tata cara pengecatan
hematoksiklineosin, dengan pemeriksaan morfologi dan histopatologi
organ.
Apabila selama uji terdapat hewan uji yang sekarat atau mati harus
dilakukan pemeriksaan histopatologi
Untuk kepentingan keterbalikan yakni guna menentukan sifat efek toksik
yang terjadi, paling tidak pada tingkat dosis terendah dan tertinggi,
setelah masa uji berakhir, dilanjutkan dengan pengamatan ulang selama
2-4 minggu.