Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan...

14
J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015 144 Korespondensi: Sukara Safril Kusuma Jaya Email: [email protected] Hp: 081310650610 Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan Asam dengan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru Sukara Safril Kusuma Jaya 1 , Erlina Burhan 1 , Rochsismandoko 2 , Cahyarini 3 1 Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta 2 SMF Penyakit Dalam, Divisi Metabolik dan Endokrin, RS Persahabatan, Jakarta 3 SMF Mikrobiologi, RS Persahabatan, Jakarta Abstrak Latar belakang: Hubungan antara tuberkulosis (TB) dan diabetes mellitus (DM) sudah lama diketahui. Sistem imun rendah pada DM sehingga risiko berkembangnya TB laten menjadi TB aktif lebih tinggi. Penderita DM memiliki 2-3 kali risiko untuk menderita TB dibanding tanpa DM. Sekitar 10% kasus TB secara global berhubungan dengan DM. Prevalensi TB DM berdasarkan penelitian di Poli Endokrin RSUP Persahabatan pada pasien DM tipe 2 dari Oktober sampai Nopember 2013 adalah 28,2%. Diabetes mellitus yang kurang terkontrol atau tidak terkontrol dikaitkan dengan peningkatan risiko TB. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas mikroskop sputum BTA dan Xpert MTB / RIF untuk diagnosis TB pada pasien dengan DM. Metode: Penelitian ini adalah studi analitik deskriptif potong lintang pada pasien kelompok DM yang masih menjalani pengobatan di RS Persahabatan dari bulan Mei 2014 sampai jumlah sampel tercapai. Penelitian dilakukan di poli Paru dan Penyakit Dalam divisi Endokrin dan Metabolik RS Persahabatan. Pasien dengan keluhan tuberklosis baik yang belum pernah minum OAT atau dengan riwayat pengobatan sebelumnya dan didukung dari foto toraks yang menunjukan gambaran kecurigaan TB akan dilakukan pemeriksaan diagnostik mikrobiologis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF. Hasil: Tujuh puluh subjek diskrining dan hanya 55 subjek memenuhi kriteria inklusi. Terdapat 32 laki-laki (58,2%) dan 23 perempuan (41,8%). Umur antara 25-72 tahun. Indeks massa tubuh kurang 11 (20%), normal 31(56,4%) dan lebih 13(23,6%). Gula darah antara 110- 481 mg/dl. Lama menderita DM <5 tahun adalah 40 (72,7%), 5-10 tahun adalah 7(12,7 %), 10-15 tahun adalah 6(10,9%) dan >15 tahun adalah 2(3,6%). HbA1c terkontrol 11(20%) dan tidak terkontrol 44(80 %). Riwayat tidak pernah TB 41 (74,5%), TB sembuh 9(16,4%) dan gagal atau putus obat 5 (9,1%). Sputum BTA(+) 29 (52,7%) dan Xpert MTB/RIF(+) 36(65,5%). Tingkat HbA1c tidak terkontrol BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 30 (54,5%). Uji diagnostik kedua alat memiliki sensitivitas 77,8 % dan spesifisitas 94,7%. Kesimpulan: Xpert MTB/RIF memiliki nilai kepositivan yang lebih tinggi daripada sputum BTA dalam mendeteksi M.Tb. Tidak ada perbedaan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada pasien DM. (J Respir Indo. 2015; 35: 144-57) Kata kunci: Diabetes melitus, tuberkulosis, sputum BTA, Xpert MTB/RIF. Comparison Acid Fast Bacilli Smear Microscopy Examination with Xpert MTB/RIF in Diabetes Mellitus Patients Who Suspected Pulmonary Tuberculosis Abstract Background: The relationship between tuberculosis (TB) and Diabetes Mellitus (DM) has long been known. People with DM have 2-3 times the risk of developing TB. The prevalence of TB-DM based in Endocrine clinic in Persahabatan Hospital in DM type 2 patients in 2013 was 28.2%. Diabetes mellitus poorly controlled or uncontrolled associated with an increased risk of TB. The main objective of this study was to determine the sensitivity and specificity of Acid Fast Bacilli (AFB) smear and Xpert MTB/RIF for diagnosis of TB in DM. Methods: This study was a cross-sectional descriptive analytic study in patients with DM group were still underwent treatment at Persahabatan Hospital from May 2014. The study was conducted in Pulmonary clinic and Internal Medicine clinic. Patients with DM who have TB complaints that have not been taken either TB drug or with a history of treatment and supported from chest X-ray shows the suspicion of TB will require the microbiological diagnosis of AFB smear and Xpert MTB/RIF. Result: Seventy subject was screening and only 55 subject met the inclusion criteria. There were 32 males (58.2%) and 23 females (41.8%). Age between 25-72 years old. Body mass index were less 11(20%), normal 31(56.4%) and over 13(23.6%). The blood sugar between 110-481 g/dl. The length of suffer DM <5 years were 40(72.7%), 5-10 years were 7(12.7%), 10-15 years were 6(10.9%) and >15 years were 2(3.6%). The controlled HbA1c 11(20%) and uncontrolled 44(80%). By history of TB has never suffered 41(74.5%), treatment cured 9(16.4%) and failure or withdrawal 5(9.1%). Smear of AFB(+)ve 29 (52.7%) and Xpert MTB/RIF(+) 36(65.5%). Uncontrolled HbA1c levels pulmonary TB with AFB smear/Xpert (+)ve 30(54.5%). Sensitivity and specificity by using both 77.8% and 94.7% Conclusion: The Xpert MTB/RIF has a higher value of positivity that detect M.Tb than AFB smear.There is no difference in the sensitivity and specificity of AFB smear and Xpert MTB/RIF for TB diagnosis in patients with DM. (J Respir Indo. 2015; 35: 144-57) Keywords: Diabetes mellitus, tuberculosis, AFB smear, Xpert MTB/RIF

Transcript of Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan...

Page 1: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015144

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

Korespondensi: Sukara Safril Kusuma JayaEmail: [email protected] Hp: 081310650610

Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan Asam dengan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga

Tuberkulosis Paru

Sukara Safril Kusuma Jaya1, Erlina Burhan1, Rochsismandoko2, Cahyarini3

1Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta

2SMF Penyakit Dalam, Divisi Metabolik dan Endokrin, RS Persahabatan, Jakarta3SMF Mikrobiologi, RS Persahabatan, Jakarta

AbstrakLatar belakang: Hubungan antara tuberkulosis (TB) dan diabetes mellitus (DM) sudah lama diketahui. Sistem imun rendah pada DM sehingga risiko berkembangnya TB laten menjadi TB aktif lebih tinggi. Penderita DM memiliki 2-3 kali risiko untuk menderita TB dibanding tanpa DM. Sekitar 10% kasus TB secara global berhubungan dengan DM. Prevalensi TB DM berdasarkan penelitian di Poli Endokrin RSUP Persahabatan pada pasien DM tipe 2 dari Oktober sampai Nopember 2013 adalah 28,2%. Diabetes mellitus yang kurang terkontrol atau tidak terkontrol dikaitkan dengan peningkatan risiko TB. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas mikroskop sputum BTA dan Xpert MTB / RIF untuk diagnosis TB pada pasien dengan DM.Metode: Penelitian ini adalah studi analitik deskriptif potong lintang pada pasien kelompok DM yang masih menjalani pengobatan di RS Persahabatan dari bulan Mei 2014 sampai jumlah sampel tercapai. Penelitian dilakukan di poli Paru dan Penyakit Dalam divisi Endokrin dan Metabolik RS Persahabatan. Pasien dengan keluhan tuberklosis baik yang belum pernah minum OAT atau dengan riwayat pengobatan sebelumnya dan didukung dari foto toraks yang menunjukan gambaran kecurigaan TB akan dilakukan pemeriksaan diagnostik mikrobiologis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF. Hasil: Tujuh puluh subjek diskrining dan hanya 55 subjek memenuhi kriteria inklusi. Terdapat 32 laki-laki (58,2%) dan 23 perempuan (41,8%). Umur antara 25-72 tahun. Indeks massa tubuh kurang 11 (20%), normal 31(56,4%) dan lebih 13(23,6%). Gula darah antara 110-481 mg/dl. Lama menderita DM <5 tahun adalah 40 (72,7%), 5-10 tahun adalah 7(12,7 %), 10-15 tahun adalah 6(10,9%) dan >15 tahun adalah 2(3,6%). HbA1c terkontrol 11(20%) dan tidak terkontrol 44(80 %). Riwayat tidak pernah TB 41 (74,5%), TB sembuh 9(16,4%) dan gagal atau putus obat 5 (9,1%). Sputum BTA(+) 29 (52,7%) dan Xpert MTB/RIF(+) 36(65,5%). Tingkat HbA1c tidak terkontrol BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 30 (54,5%). Uji diagnostik kedua alat memiliki sensitivitas 77,8 % dan spesifisitas 94,7%.Kesimpulan: Xpert MTB/RIF memiliki nilai kepositivan yang lebih tinggi daripada sputum BTA dalam mendeteksi M.Tb. Tidak ada perbedaan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada pasien DM. (J Respir Indo. 2015; 35: 144-57)Kata kunci: Diabetes melitus, tuberkulosis, sputum BTA, Xpert MTB/RIF.

Comparison Acid Fast Bacilli Smear Microscopy Examination with Xpert MTB/RIF in Diabetes Mellitus Patients Who Suspected

Pulmonary Tuberculosis

AbstractBackground: The relationship between tuberculosis (TB) and Diabetes Mellitus (DM) has long been known. People with DM have 2-3 times the risk of developing TB. The prevalence of TB-DM based in Endocrine clinic in Persahabatan Hospital in DM type 2 patients in 2013 was 28.2%. Diabetes mellitus poorly controlled or uncontrolled associated with an increased risk of TB. The main objective of this study was to determine the sensitivity and specificity of Acid Fast Bacilli (AFB) smear and Xpert MTB/RIF for diagnosis of TB in DM.Methods: This study was a cross-sectional descriptive analytic study in patients with DM group were still underwent treatment at Persahabatan Hospital from May 2014. The study was conducted in Pulmonary clinic and Internal Medicine clinic. Patients with DM who have TB complaints that have not been taken either TB drug or with a history of treatment and supported from chest X-ray shows the suspicion of TB will require the microbiological diagnosis of AFB smear and Xpert MTB/RIF.Result: Seventy subject was screening and only 55 subject met the inclusion criteria. There were 32 males (58.2%) and 23 females (41.8%). Age between 25-72 years old. Body mass index were less 11(20%), normal 31(56.4%) and over 13(23.6%). The blood sugar between 110-481 g/dl. The length of suffer DM <5 years were 40(72.7%), 5-10 years were 7(12.7%), 10-15 years were 6(10.9%) and >15 years were 2(3.6%). The controlled HbA1c 11(20%) and uncontrolled 44(80%). By history of TB has never suffered 41(74.5%), treatment cured 9(16.4%) and failure or withdrawal 5(9.1%). Smear of AFB(+)ve 29 (52.7%) and Xpert MTB/RIF(+) 36(65.5%). Uncontrolled HbA1c levels pulmonary TB with AFB smear/Xpert (+)ve 30(54.5%). Sensitivity and specificity by using both 77.8% and 94.7%Conclusion: The Xpert MTB/RIF has a higher value of positivity that detect M.Tb than AFB smear.There is no difference in the sensitivity and specificity of AFB smear and Xpert MTB/RIF for TB diagnosis in patients with DM. (J Respir Indo. 2015; 35: 144-57)Keywords: Diabetes mellitus, tuberculosis, AFB smear, Xpert MTB/RIF

Page 2: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015 145

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

PENDAHULUAN

Penderita diabetes melitus (DM) di dunia pada tahun 2030 diperkirakan meningkat 50% menjadi 366 juta dengan peningkatan tercepat pada negara berpendapatan rendah dan menengah.1 Prevalensi DM di negara dengan pendapatan tinggi dan rendah adalah sama. Kematian karena DM lebih 80% terjadi di negara dengan pendapatan rendah dan menengah dan negara-negara tersebut memiliki beban tinggi tuberkulosis (TB) di dunia. Setiap tahun, lebih dari 9 juta orang menderita TB dengan lebih dari 1,5 juta kematian karena TB. Satu per tiga orang di dunia terinfeksi TB laten dan memiliki kemungkinan jangka panjang menjadi TB aktif. 2

Hubungan antara TB dan DM sudah lama diketahui. Sistem imun rendah pada DM sehingga risiko berkembangnya TB laten menjadi TB aktif lebih tinggi. Penderita DM memiliki 2-3 kali risiko untuk menderita TB dibanding tanpa DM. Sekitar 10% kasus TB secara global berhubungan dengan DM.3 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh bawaan terganggu oleh tingginya tingkat glukosa darah.4,5 Pablos-Mendez dkk.6 mene-mukan bahwa hanya DM yang kurang terkontrol atau tidak terkontrol dikaitkan dengan peningkatan risiko TB. Hasil sputum BTA sering negatif.6

Penelitian oleh Alisjahbana7 di Indonesia menya-takan bahwa prevalensi DM pada pasien TB adalah 13,2%.7 Pasien DM yang didiagnosis TB memiliki risiko kematian lebih tinggi selama pengobatan TB dan kambuh setelah selesai pengobatan. World Health Organization (WHO) merekomendasikan pengobatan harus dilakukan secara bersamaan pada pasien dengan TB dan DM. Pada pasein DM harus dilakukan pene gakan diagnosis TB terutama pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi seperti Indonesia. Proporsi DM di Indonesia sebesar 6,9 persen dengan proporsi DM pada perempuan cenderung lebih tinggi, tetapi hampir sama antara proporsi di perkotaan (6,8%) dan perdesaan (7,0%).8 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada pasien DM.

METODE

Penelitian ini adalah studi analitik deskriptif potong lintang pada pasien kelompok DM yang masih menjalani pengobatan di poli Paru dan poli Penyakit Dalam divisi Endokrin dan Metabolik RS Persahabatan. Waktu penelitian dimulai dari bulan Mei 2014 sampai jumlah sampel yang diinginkan tercapai. Sebanyak 70 pasien DM dengan kecurigaaan TB paru diskrining dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 57 subjek dengan 13 subjek dieksklusi karena 4 subjek dalam pengobatan DM kurang dari 3 bulan dan 9 subjek dalam pengobatan obat anti tuberkulosis (OAT). Selanjutnya dilakukan anamnesis ulang terhadap 57 subjek tersebut dan didapatkan 2 subjek dieksklusi kembali dikarenakan 1 subjek telah terbukti BTA(+) dan 1 subjek lagi tidak melakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF. Total subjek pada penelitiannya menjadi 55 subjek.

Data penelitian merupakan data primer yang dilakukan melalui wawancara dengan kuesioner untuk mengenai data pribadi, umur, lama menderita DM, kadar gula darah sewaktu (GDS) terakhir, riwayat TB terdahulu dan keluhan respirasi dan sistemik terkait TB. Data sekunder diambil dari rekam medis yaitu kadar HbA1c, hasil pembacaan foto toraks dan sputum basil tahan asam (BTA) 3x (SPS). Pasien DM dengan keluhan gejala respiratori antara lain batuk ≥ 2 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada serta gejala sistemik antara lain demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun baik pada suspek TB paru kasus baru maupun dengan riwayat pengobatan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan mikroskopis sputum BTA 3x, Xpert MTB/RIF dan GDS terakhir. Data yang diperoleh dilakukan analisis bivariat dan multivariat antara variabel bebas dan terikat.

Kriteria inklusi pada penelitian ini ialah semua pasien DM tipe 2 yang diduga menderita TB dengan gambaran foto toraks yang menunjukkan kecurigaan TB, baik kasus baru maupun dengan riwayat pengobatan yang bersedia mengikuti penelitian ini. Kriteria inkulsi yaitu pasien DM tipe 2 dengan keluhan TB dan gambaran foto toraks normal, pasien DM tipe 2 yang

Page 3: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015146

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

mendapat pengobatan DM kurang dari 3 bulan,

pasien DM tipe 2 yang menderita TB atau TB MDR

dalam pengobatan OAT, dan pasien DM tipe 2 yang

tidak bisa mengeluarkan dahak atau hanya mampu

mengeluarkan air liur saja setelah pemeriksaan

diulang 1 kali.

HASIL

Tujuh puluh subjek diskrining dan hanya 55

subjek memenuhi kriteria inklusi. Terdapat 32 laki-

laki (58,2%) dan 23 perempuan (41,8%). Umur

antara 25-72 tahun. Indeks massa tubuh kurang 11

(20%), normal 31(56,4%) dan lebih 13(23,6%). Gula

darah antara 110-481 mg/dl. Lama menderita DM <5

tahun adalah 40 (72,7%), 5-10 tahun adalah 7(12,7

%), 10-15 tahun adalah 6(10,9%) dan >15 tahun

adalah 2(3,6%). HbA1c terkontrol 11(20%) dan tidak

terkontrol 44(80 %). Riwayat tidak pernah TB 41

(74,5%), TB sembuh 9(16,4%) dan gagal atau putus

obat 5 (9,1%). Sputum BTA(+) 29 (52,7%) dan Xpert

MTB/RIF(+) 36(65,5%). Keluhan respirasi TB antara

lain batuk berdahak 47 subjek (85,5%), sesak napas

25 subjek (45,5%), nyeri dada 22 subjek (40%) dan

batuk darah 18 subjek (32,7%).

Sampel penelitian sebanyak 55 subjek

diuraikan berdasarkan karakteristik subjek yang

selanjutnya dilakukan analisis Chi square yang

menilai hubungan antara karkteristik subjek dan

diagnosis TB paru. Hasil yang didapatkan bukan

TB paru sebanyak 15 subjek, TB paru klinis

sebanyak 5 subjek dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/

RIF(+) sebanyak 35 subjek. Karakteristik subjek

berdasarkan jenis kelamin terdiri dari laki-laki 32

subjek (58,2%) dan perempuan 23 subjek (41,8%).

Berdasarkan analisis Chi square (Tabel 2), diagnosis

Bukan TB terbanyak pada perempuan 73,3%

(11/15), diagnosis TB paru klinis terbanyak pada

laki-laki 80,0% (4/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/

Xpert MTB/RIF(+) terbanyak pada laki-laki 68,6%

(24/35). Hasil uji Chi square bermakna secara

statistik (p=0,013).

Tabel 1. Karakteristik subjek (N=55)

Variabel N %Jenis kelamin Laki-laki 32 58,2

Perempuan 23 41,8Umur < 40 tahun 8 14.5

40-60 tahun 32 58.2 > 60 tahun 15 27.3

Indeks massa tubuh (IMT) kurang (<19) 11 20,0

normal (19-24) 31 56,4BB lebih (>25) 13 23,6

GDS < 200 mg/dL 23 41.8 ≥ 200 mg/dL 32 58.2

HbA1c baik (<6.5%) 6 10.9sedang (6.5%-8%) 14 25.5buruk (>8%) 35 63.6

Lama DM < 5 Tahun 40 72,75-10 tahun 7 12,710-15 tahun 6 10,9> 15 tahun 2 3,6

Riwayat TB tidak pernah 41 74,5Sembuh 9 16,4gagal/putus obat 5 9,1

Batuk Berdahak Ya 47 85,5Batuk Darah Ya 18 32,7Sesak Napas Ya 25 45,5Nyeri dada Ya 22 40,0Badan lemah Ya 44 80,0Nafsu makan menurun Ya 39 70,9Berat badan menurun Ya 45 81,8Keringat malam Ya 34 61,8Demam Ya 26 47,3Foto toraks Normal 0 0,0

Lesi minimal 20 36.4Lesi luas 35 63,6

Sputum BTA Positif 29 52,7Negatif 26 47,3

Xpert MTB/RIF Positif 36 65,5Negatif 19 34,5

Pada Tabel 1 menunjukkan umur subjek terbanyak pada usia 40-60 dengan 32 subjek (58,2%) diikuti umur >60 tahun sebanyak 15 subjek (27,3%) dan paling sedikit umur <40 tahun sebanyak 8 subjek (14,5%). Berdasarkan analisis Chi square (Tabel 2), pada kelompok umur 40-60 tahun memiliki subjek terbanyak pada semua diagnosis TB paru yakni diagnosis Bukan TB 46,7% (7/15), diagnosis TB paru klinis terbanyak sebanyak 100% (5/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 57,1% (20/35). Hasil uji Chi square tidak bermakna secara statistik (p=0,283).

Indeks massa tubuh pada Tabel 1 paling banyak adalah normal (19-24) sebanyak 31 subjek (56,4%), diikuti IMT lebih sebanyak 13 subjek (23,6%) dan paling sedikit adalah IMT kurang sebanyak 11 subjek (20%). Berdasarkan uji Chi square, pada kategori IMT normal memiliki subjek terbanyak pada

Page 4: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015 147

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

diagnosis Bukan TB sebanyak 53,3% (8/15) dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 65,7% (23/35). Sedangkan diagnosis TB paru klinis terbanyak pada kategori IMT lebih sebanyak 60,0% (3/5). Hasil uji Chi square tidak bermakna secara statistik (p=0,079).

Pada Tabel 1 juga memperlihatkan GDS subjek < 200 mg/dL sebanyak 23 subjek (41,8%) dan GDS ≥ 200 mg/dL sebanyak 32 subjek (58,2%). Selanjutnya dilakukan uji Chi square (Tabel 2), pada diagnosis Bukan TB didapatkan subjek terbanyak pada GDS < 200 sebanyak 60,0% (9/15) sedangkan diagnosis TB paru klinis dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) memiliki subjek terbanyak pada GDS ≥ 200 mg/dl yaitu diagnosis TB paru klinis sebanyak 60,0% (3/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 65,7% (23/35) Uji Chi square menunjukkan hasil tidak bermakna secara statistik (p=0,239).

Lama DM paling banyak adalah <5 tahun sebanyak 40 subjek (72,7%) diikuti 5-10 tahun sebanyak 7 subjek (12,7%), 10-15 tahun sebanyak 6 subjek (10,9%) dan paling sedikit >15 tahun sebanyak 2 subjek (3,6%). Berdasarkan uji Chi square (Tabel 2), pada kategori lama menderita DM terhadap diagnosis TB paru didapatkan pada kelompok lama DM <5 tahun memiliki jumlah subjek terbanyak pada masing-masing diagnosis TB paru yaitu untuk diagnosis bukan TB sebanyak 80,0% (12/15) diagnosis TB paru klinis sebanyak 60,0% (3/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+)sebanyak 71,4% (25/35). Uji Chi square menunjukkan hasil tidak bermakna secara statistik (p=0,658).

Berdasarkan kadar HbA1c, subjek terbanyak terdapat pada kelompok pengendalian DM buruk (HbA1c >8%) sebanyak 35 subjek (63,6%), pengendalian DM sedang (HbA1c 6,5-8%) sebanyak 14 subjek (25,5%) dan pengendalian DM baik (HbA1c <6,5%) sebanyak 6 subjek (10,9%). Hasil uji Chi square (Tabel 2), didapatkan pada diagnosis bukan TB subjek terbanyak pada kelompok pengendalian DM sedang sebanyak 53,3% (8/15), diagnosis TB paru klinis didapatkan jumlah subjek yang sama antara pengendalian DM sedang dan pengendalian DM buruk sebanyak 40% (2/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) memiliki subjek terbanyak pada pengendalian DM buruk sebanyak 74,3% (26/35) Uji Chi square menunjukkan hasil bermakna secara statistik (p=0,019).

Tabel 2 Karakteristik subjek dengan diagnosis TB paru (N=55)

Bukan TB TB Paru Klinis

TB Paru BTA(+)/Xpert (+)

Nilai p

N=15 % N=5 % N=35 %Jenis Kelamin 0,013

Laki-laki 4 26,7 4 80,0 24 68,6Perempuan 11 73,3 1 20,0 11 31,4

Umur 0,283<40 tahun 2 13,3 0 0,0 6 17,140-60 tahun 7 46,7 5 100,0 20 57,1>60 tahun 6 40,0 0 0,0 9 25,7

Status gizi (IMT)

0,079

kurang (<19), 4 26,7 2 40,0 5 14,3Normal (19-24) 8 53,3 0 0,0 23 65,7lebih (≥ 25) 3 20,0 3 60,0 7 20,0

GDS 0,239 <200 mg/dl 9 60,0 2 40,0 12 34,3 ≥200 mg/dl 6 40,0 3 60,0 23 65,7

Lama menderita DM

0,658

<5 tahun 12 80,0 3 60,0 25 71,45-10 tahun 0 0,0 1 20,0 6 17,110-15 tahun 2 13,3 1 20,0 3 8,6 >15 tahun 1 6,7 0 0,0 1 2,9

Riwayat TB 0,519 tidak pernah 12 80,0 4 80,0 25 71,4sembuh 3 20,0 1 20,0 5 14,3gagal/putus obat

0 0,0 0 0,0 5 14,3

Kadar HbA1c 0,019 <6,5 (baik) 0 0,0 1 20,0 5 14,36,5-8 (sedang)

8 53,3 2 40,0 4 11,4

>8 (buruk) 7 46,7 2 40,0 26 74,3Keluhan Respirasi

Batuk dahak >2-3 minggu

14 93,3 3 60,0 30 85,7 0,187

batuk darah 3 20,0 2 40,0 13 37,1 0,464sesak napas 7 46,7 3 60,0 15 42,9 0,767nyeri dada, 6 40,0 4 80,0 12 34,4 0,149

Keluhan sistemik

badan lemah 10 66,7 3 60,0 31 88,6 0,149nafsu makan menurun

9 60,0 4 80,0 26 74,3 0,533

penurunan berat badan,

12 80,0 4 80,0 29 82,9 0,966

keringat malam

7 46,7 3 60,0 24 68,6 0,343

demam 7 46,7 3 60,0 16 45,7 0,835Lesi pada foto toraks

0,001

lesi minimal 11 73,3 0 0,0 9 26,5lesi luas 4 26,7 5 100,0 25 73,5

Sputum 0,000BTA (+) 1 6,7 0 0,0 28 80,0BTA (-) 14 93,3 5 100,0 7 20,0

Xpert MTB/RIFMTB 0,000

Positif 1 6,7 0 0,0 35 100Negatif 14 93,3 5 100,0 0 0,0

Ripamfisin resistensi

0,748

Positif 0 0,0 0 0,0 1 2,9Negatif 15 100 5 100,0 34 97,1

Page 5: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015148

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

Subjek dengan riwayat TB terdahulu sebanyak 41 subjek (74,5%) tidak pernah mendapat terapi OAT, 9 subjek (16,4%) riwayat sembuh dan 5 subjek (9,1%) dengan riwayat putus obat atau gagal. Pada kategori riwayat TB terdahulu terbanyak pada kelompok tidak pernah menderita TB. Hasil uji bivariat Chi square (Tabel 2), memperlihatkan kelompok tidak pernah mendapatkan OAT memiliki jumlah subjek terbanyak pada masing-masing diagnosis TB paru yaitu diagnosis bukan TB sebanyak 80% (12/15), diagnosis TB paru klinis sebanyak 80% (4/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 71,4% (25/35). Uji Chi square menunjukkan hasil tidak bermakna secara statistik (p=0,519).

Keluhan respirasi TB antara lain batuk berdahak 47 subjek (85,5%), sesak napas 25 subjek (45,5%), nyeri dada 22 subjek (40%) dan batuk darah 18 subjek (32,7%). Pada diagnosis bukan TB, keluhan respirasi terbanyak adalah batuk dahak >2-3 minggu sebanyak 93,3% (14/15) sedangkan pada diagnosis TB paru klinis didapatkan keluhan berupa nyeri dada 80,0% (4/5), sesak napas dan batuk dahak >2-3 minggu masing-masing 60,0% (3/5). Pada diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+), keluhan respirasi terbanyak adalah batuk dahak >2-3 minggu sebanyak 85,7% (30/35).

Keluhan respirasi tersebut di atas berdasarkan uji Chi square (Tabel 2), tidak bermakna secara statistik. Sedangkan untuk keluhan sistemik antara lain penurunan berat badan 45 subjek (81,8%), badan lemah 44 subjek (80%), nafsu makan menurun 39 subjek (70,9%), keringat malam 34 subjek (61,8%) dan demam 26 subjek (47,3%). Hasil uji Chi square memperlihatkan keluhan sistemik memiliki presentase yang merata pada masing-masing diagnosis seperti yang terlihat pada Tabel 2 dan tidak berhubungan bermakna secara statistik.

Pada foto toraks lesi luas sebanyak 35 subjek (63,6%) sedangkan lesi minimal sebanyak 20 subjek (36,4%). Berdasarkan uji Chi square (Tabel 2), pada diagnosis Bukan TB subjek terbanyak pada foto toraks lesi minimal sebanyak 73,3% (11/15). Sedangkan untuk foto toraks lesi luas memiliki jumlah subjek terbanyak pada diagnosis TB paru

klinis dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) yaitu diagnosis TB paru sebanyak 100% (5/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 73,5% (25/35). Uji Chi square menunjukkan hasil bermakna secara statistik (p=0,001).

Hasil mikroskopis sputum BTA positif sebanyak 29 subjek (52,7%) dan berdasarkan hasil uji Chi square (tabel 4.2), didapatkan pada diagnosis Bukan TB subjek terbanyak pada BTA(-) sebanyak 93,3% (14/15), sedangkan sputum BTA(+) memiliki subjek terbanyak pada diagnosis TB paru klinis dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) yaitu diagnosis TB paru klinis sebanyak 100% (5/5) dan diagnosis TB paru sebanyak 80,0% (28/35). Uji Chi square menunjukkan hasil bermakna secara statistik (p=0,000).

Hasil pemeriksaan Xpert MTB/RIF menun-jukkan hasil positif sebanyak 36 subjek (65,5%). Terdapat selisih 7 subjek (12,8%) antara sputum BTA dan Xpert MTB/RIF yang menunjukkan hasil positif. Hal ini memperlihatkan bahwa Xpert MTB/RIF memiliki kepositifan TB lebih tinggi dibandingkan dengan sputum BTA. Berdasarkan hasil uji Chi square (Tabel 2), M.Tb(-) terbanyak pada diagnosis bukan TB sebanyak 93,3% (14/15) dan M.Tb(+) memiliki jumlah subjek terbanyak pada pada diagnosis TB paru klinis sebanyak 100% (15/15) dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 100,0% (35/35). Uji Chi square menunjukkan hasil bermakna secara statistik (p=0,000).

Tabel 3. Uji bivariat chi square HbA1c terhadap lama DM, foto toraks, sputum BTA dan Xpert MTB/RIF.

HbA1cNilai p

≤ 6,5% >6,5%Lama DM 0,983 < 10 tahun 6 41 ≥ 10 tahun 1 7Foto toraks 0,032

lesi minimal 0 20lesi luas 8 27

Sputum BTA

0,802Positif 4 25Negatif 4 22

Xpert MTB/RIF

0,722Positif 5 31Negatif 3 16

*) Uji bivariat chi square signifikan dengan p<0,05

Page 6: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015 149

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

Hasil uji bivariat chi square seperti terlihat pada Tabel 2 menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara TB paru dengan jenis kelamin (p=0,013), kadar HbA1c (p=0,019), lesi pada foto toraks (p=0,001), sputum BTA (p=0,000) dan Xpert

MTB/RIF (p=0,000). Selanjutnya berdasarkan hasil uji di atas maka dilakukan kembali pengujian dengan uji bivariat chi square dengan kategori HbA1c sebagai faktor terikat dan sebagai faktor bebasnya adalah jenis kelamin, foto toraks, sputum BTA dan Xpert MTB/RIF. Uji ini dilakukan untuk mencari hubungan antara tingkat pengendalian DM terhadap karakteristik TB dan alat diagnostik TB paru seperti terlihat pada Tabel 3.

Untuk keperluan analisis, kategori HbA1c, diagnosis TB paru dan lama DM dilakukan Hasil penggabungan sel. Kadar HbA1c semula terbagi 3 kelompok yaitu <6,5%, 6,5-8% dan >8% menjadi 2 kelompok yaitu kelompok pertama adalah ≤ 6,5% dan kelompok kedua adalah >6,5% yang terdiri dari kadar HbA1c 6,5-8% dan >8%. Pada kategori lama DM yang semula dibagi dalam 4 kelompok yakni <5 tahun, 5-10 tahun, 10-15 tahun dan >15 tahun menjadi 2 kelompok yakni kelompok pertama adalah < 10 tahun yang terdiri dari <5 tahun dan 5-10 tahun.

Tabel 4. Analisis ordinal logistic regression

Nilai p OR 95% CI untuk ORBawah Atas

Jenis kelamin 0,006 0,156 0,041 0,589HbA1c 0,422 0,405 0,045 3,677Lesi pada foto toraks 0,001 9,472 2,422 37.051Sputum BTA 0,001 0,031 0,004 0,260Xpert MTB/RIF 0,000 0,010 0,001 0,095

*) signifikan dengan p<0,05

Tabel 5. Uji diagnostik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada

pasien DM tanpa riwayat TB

Xpert MTB/RIFTotal

Positif Negatif

BTA Positif 20 0 20

Negatif 6 15 21 Total 26 15 41

Sensitivitas = a/(a+c) x 100% = 20/26 x 100% = 76,9%Spesifisitas = d/(b+d) x 100% =15/15 x 100% = 100,0%Nilai prediksi positif= a/ (a+b) x 100% =20/20 x 100% = 100,0%Nilai prediksi negatif= d/(c+d) x 100%= 15/21 x 100% = 71,4%

Kelompok kedua adalah ≥ 10 tahun yang terdiri dari 10-15 tahun dan >15 tahun. Sedangkan untuk diagnosis TB paru semula 3 kelompok yaitu Bukan TB paru, TB paru klinis dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) menjadi 2 kelompok yaitu kelompok pertama Bukan TB dan kelompok kedua terdiri dari TB paru klinis dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+). Selanjutnya dilakukan uji analisis ordinal logistic regression untuk mengukur kembali hubungan antara dua variable dan tingkat probabilitas kejadiannya atau Odds Ratio (OR) pada Tabel 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis kelamin (p=0,006 dan OR: 0,156), lesi pada foto toraks (p=0,001 dan OR: 9,472), sputum BTA (p=0,001 dan OR: 0,031) dan Xpert MTB/RIF (p=0,000 dan OR: 0,010) berhubungan bermakna dengan diagnosis TB paru dan hanya HbA1c (p=0,422 dan OR: 0,405) yang tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan diagnosis TB paru.

Selanjutnya kedua alat diagnostik tersebut dikelompokan dalam tabel 2x2 (Tabel 5 dan 6). Pada Tabel 5 didapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas sputum BTA pada pasien DM tanpa riwayat pengobatan TB terdahulu yang berjumlah 41 subjek. Berdasarkan perhitungan dari tabel tersebut didapatkan nilai sensitivitas sebesar 76,9% dan nilai spesifisitas sebesar 100%. Pada tabel ini juga dapat kita menilai nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif yang menggambarkan kemungkinan seseorang akan menderita atau tidak menderita TB paru pada pasien DM. Hasil yang didapatkan adalah nilai prediksi positif sebesar 100,0% dan nilai prediksi negatif sebesar 71,4%.

Tabel 6. Uji diagnostik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF

Xpert MTB/RIFTotal

Positif Negatif

BTA Positif 28 1 29Negatif 8 18 26

Total 36 19 55

Sensitivitas = a/(a+c) x 100% = 28/36 x 100% = 77,8%Spesifisitas = d/(b+d) x 100% =18/19 x 100% = 94,7%Nilai prediksi positif= a/ (a+b) x 100% =28/29 x 100% = 96,5%Nilai prediksi negatif= d/(c+d) x 100%= 18/26 x 100% = 69,2%

Page 7: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015150

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

Pada Tabel 6 didapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada pasien DM berjumlah 55 subjek. Berdasarkan perhitungan dari tabel tersebut didapatkan nilai sensitivitas sebesar 77,8% dan nilai spesifisitas sebesar 94,7%. Pada tabel ini juga dapat kita menilai nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif yang menggambarkan kemungkinan seseorang akan menderita atau tidak menderita TB paru pada pasien DM. Hasil yang didapatkan adalah nilai prediksi positif sebesar 96,5% dan nilai prediksi negatif sebesar 69,2%.

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF untuk diagnosis TB pada pasien DM. Pasien DM yang diduga menderita TB baik kasus baru maupun dengan riwayat pengobatan di poli Paru dan Penyakit Dalam divisi Endokrin dan Metabolik RSUP Persahabatan berjumlah 55 orang. Hasil uji bivariat Chi-square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara TB paru dengan jenis kelamin (p=0,013), kadar HbA1c (p=0,019), lesi pada foto toraks (p=0,001), sputum BTA (p=0,000) dan Xpert MTB/RIF (p=0,000). Berdasarkan tabel 2x2 pada uji diagnostik mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF didapatkan nilai sensitivitas 77,8% dan spesifisitas 94,7%.

Karakteristik subjek

Jumlah subjek penelitian yaitu 55 yang terdiri dari laki-laki 32 subjek (58,2%) dan perempuan 23 subjek (41,8%). Penelitian Jali dkk.9 juga menyatakan lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki 197 subjek (64,2%) dibandingkan perempuan 110 subjek (35,8%). Penelitian Amin dkk.10 dengan jumlah sampel 100 pasien DM terdapat 54% subjek laki-laki dan 46% perempuan. Berbeda dengan penelitian Wijayanto dkk.11 dengan jumlah sampel 174 orang terbanyak perempuan 103 (59,2%) dan laki-laki 71 (40,8%).

Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki terbanyak pada diagnosis TB paru klinis 80,0% (4/5) dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 68,6% (24/35)

sedangkan Bukan TB pada perempuan sebanyak 73,3% (11/15). Hasil analisis menggunakan uji Chi-square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan TB paru pada pasien DM (p=0,013) dan setelah dilakukan uji regresi logistik ternyata terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan terjadinya TB paru pada penelitian ini p=0,006 dengan OR: 0,156 ;[Interval Kepercayaan (IK) 95% 0,097-0,960]).

Laki-laki memiliki frekuensi lebih tinggi menderita TB paru dibandingkan dengan perempuan yang juga dinyatakan pada penelitian Perez-Guzman dkk.13 yang menyatakan sebagian besar pasien TB adalah laki-laki 105 (70%). Hal ini dikarenakan pajanan yang lebih sering pada laki-laki dan pada perempuan TB lebih sering tidak terdiagnosis. Pada penelitian Perez-Guzman dkk.13 menyatakan sebagian besar pasien tinggal di desa sekitar 86,7% meskipun banyak penelitian menyatakan bahwa kejadian TB paling sering pada pemukiman padat di perkotaan. Kondisi perbedaan jenis kelamin mempengaruhi penyebaran suatu masalah kesehatan diantaranya terdapatnya perbedaan kebiasaan hidup antara perempuan dan laki-laki.

Laki-laki penderita DM umumnya dianggap lebih berisiko TB dibandingkan perempuan karena ada faktor sosial budaya yang ikut untuk menentukan jumlah terbanyak pada laki-laki dalam TB paru. Laki-laki lebih banyak yang merokok daripada perempuan sehingga perilaku ini membuat perubahan dalam saluran napas yang berakibat pertahanan alami saluran napas melemah. Selanjutnya terdapat per-bedaan tingkat kesadaran berobat lebih pada perem-puan karena memiliki kesadaran yang baik untuk berobat daripada laki-laki. Hal yang tak kalah pentingnya adalah terdapatnya perbedaan jenis pekerjaan karena memang laki-laki yang lebih banyak bekerja.10

Umur subjek terbanyak pada usia 40-60 dengan 32 subjek (58,2%), diikuti umur >60 tahun sebanyak 15 subjek (27,3%) dan paling sedikit umur <40 tahun sebanyak 8 subjek (14,5%). Hasil yang sama didapatkan dari penelitian oleh Ullah dkk.14

memiliki sampel dari umur 17 sampai 80 tahun

Page 8: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015 151

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

dengan jumlah subjek terbanyak umur 41-50 tahun sebanyak 31 subjek (31%), diikuti usia 51-60 tahun sebanyak 25 subjek (25%) dan sampel terkecil umur 21-30 tahun hanya 3 subjek (3%). Sedangkan dari penelitian Wijayanto dkk.11 menyatakan kategori umur terbanyak >60 tahun 86 subjek (49,4%) diikuti 40-60 tahun 80 subjek (46,0%) dan umur pasien <40 tahun sebanyak 8 subjek (4,6%).

Kelompok umur 40-60 tahun terbanyak pada Diagnosis bukan TB 46,7% (7/15), TB paru klinis 100% (5/5) dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 57,1% (20/35). Hasil analisis statistik dengan uji Chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan antara umur dengan TB paru (p=0,283). Penelitian Alisjahbana dkk.7 menyatakan DM didiagnosis pada 14,8% pasien dengan TB dan berhubungan dengan usia yang lebih tua dan berat badan yang lebih besar. Menurut Ullah dkk.14 menyatakan kelompok usia 40 tahun ke atas memiliki risiko meningkat untuk mengalami DM dan TB paru. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa umur tidak memberikan pengaruh pada penderita DM terhadap risiko TB paru.

Umur termasuk variabel yang penting dalam mempelajari suatu masalah kesehatan karena ada kaitannya dengan daya tahan tubuh seseorang. Sedangkan daya tahan tubuh terhadap TB paru ditentukan oleh kemampuan sistem imunitas seluler dan setiap ada faktor yang mempengaruhinya secara negatif akan meningkatkan kerentanan terhadap TB paru. Pada penderita DM terdapat kondisi hiperglikemia akan dapat menjadi predisposisi kerusakan pada fungsi monosit-makrofag. Proses penuaan dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada sistem pernapasan yang mengakibatkan penurunan fungsi paru berupa: penurunan kekuatan dan kekakuan pada otot pernapasan, menurunnya aktivitas silia, berkurangnya elastisitas paru dan reflek batuk juga akan menurun. Kondisi umur tua dan DM yang keduanya akan bersama-sama memperlemah sistem pertahanan tubuh.7

Indeks massa tubuh paling banyak adalah IMT normal sebanyak 31 subjek (56,4%) diikuti IMT lebih 13 subjek (23,6%) dan paling sedikit adalah IMT kurang sebanyak 11 subjek (20%). Pada

penelitian Wijayanto dkk.11 IMT subjek didapatkan paling banyak 83 orang berat badan normal (47,7%), berat badan lebih pada 53 orang (30,5 %) diikuti dengan berat badan kurang 38 orang (21,8%). Hasil yang hampir sama didapatkan pada penelitian Amare H dkk15 mendapatkan hasil IMT rendah sebanyak 30 (13,3%), IMT normal 141(62,7%) dan IMT lebih 54(24%). Kategori IMT normal terbanyak pada Diagnosis bukan TB 53,3% (8/15) dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 65,7% (23/35) sedangkan TB paru klinis didapatkan pada kategori IMT berat badan lebih sebanyak 60,0% (3/5).

Hasil analisis menggunakan uji Chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan antara IMT dengan TB paru pada pasien DM tipe 2 (p<0.079). Hasil ini berbeda dari penelitian Wijayanto dkk11 yang menyatakan terdapat hubungan antara IMT dengan TB paru pada pasien DM tipe 2 (p<0.001) dengan aOR 10,15 ;[95% CI 2,595-39,7]). Penelitian tentang TB dikaitkan dengan malnutrisi dan DM di Indonesia oleh Alisjahbana dkk.7 menyatakan DM dengan TB berhubungan dengan berat badan yang lebih besar. Malnutrisi juga bisa akibat dari penyakit TB atau mendahului perkembangan TB.

Indeks massa tubuh memiliki interaksi erat antara energi metabolisme dan sistem kekebalan tubuh. Keduanya terlibat dalam efek relatif spesifik paru pada kontrol DM dan IMT. Secara khusus, perubahan kejadian TB dengan usia secara langsung (prevalensi infeksi dan risiko perkembangan infeksi TB aktif karena tergantung usia) dan secara tidak langsung melalui dampaknya pada IMT dan DM sebagai faktor risiko. Dampak yang kuat pada kejadian TB per kapita di India adalah penurunan IMT antara laki-laki yang tinggal di daerah pedesaan. Apakah penurunan IMT antara laki-laki pedesaan bertepatan dengan kenaikan DM tidak diketahui karena tidak ada survei telah mengukur tren di IMT dan DM pada populasi pedesaan yang sama.17

Kadar HbA1c

Secara berurutan kadar HbA1c dari terbanyak adalah nilai >8% sebanyak 35 (63,6%), nilai 6,5-8% sebanyak 14 (25,5%) dan nilai <6,5% sebanyak 6

Page 9: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015152

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

(10,9%). Diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) terbanyak pada kadar HbA1c >8% (pengendalian DM buruk) sebanyak 74,3% (26/35). Hasil analisis menggunakan uji Chi-square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara kadar HbA1c dengan TB paru pada pasien DM (p=0,019). Namun setelah dilakukan uji regresi logistik ternyata tidak terdapat hubungan yang bermakna antara HbA1c dengan terjadinya TB paru (p=0,309 dengan OR 0,316;[IK 95% 0,034-2,915]).

Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian Wijayanto dkk.11 menunjukkan kadar HbA1c terbanyak adalah >8% sebanyak 68 subjek (39,1%), diikuti 6,5-8% sebanyak 59 subjek (33,9%) dan paling sedikit <6,5% sebanyak 47 subjek (27%). Terdapat hubungan antara kadar HbA1c dengan TB paru pada pasien DM (p<0.001). Pada uji bivariat Chi-square dengan variabel terikat HbA1c dan variabel bebasnya adalah jenis kelamin, lesi pada foto toraks, sputum BTA dan Xpert MTB/RIF didapatkan hanya Xpert MTB/RIF yang memiliki hubungan yang bermakna dengan HbA1c (p=0,049). Hasil ini menunjukkan tingkat kepositivan pemeriksaan Xpert MTB/RIF terkait dengan tingkat kadar HbA1c dan terbukti pada Tabel 3 kadar HbA1c di atas 8% memiliki jumlah subjek terbanyak.

Penelitian oleh Park dkk.18 memiliki HbA1c ≥7,0 sebanyak 74 subjek (59,7%), HbA1c <7,0 sebanyak 25 subjek (20,2%) dan tidak terdapat data HbA1c pada 25 subjek (20,2%). Pada berbagai penelitian sebagian besar pengelolaan DM tidak mencapai target terapi yakni DM terkontrol. Tujuan utama terapi DM adalah untuk mencapai kontrol metabolik yang baik sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi jangka panjang. Peningkatan risiko TB paru BTA(+) telah dibuktikan pada kadar HbA1c lebih dari 7%.19

Tamura dkk.19 menyimpulkan bahwa pada pasien yang menderita DM dengan HbA1c > 9,0% memiliki proporsi kasus BTA positif lebih tinggi dan periode sampai kultur konversi negatif lebih lama dari pada pasien yang menderita DM dengan HbA1c < 9,0%.

Uji HbA1c merupakan suatu cara yang paling baik untuk mengetahui tingkat kontrol DM. Kadar HbA1c berubah secara perlahan sehingga

dapat dipergunakan untuk mengetahui kualitas dari kontrol gula darah. Kemampuannya adalah mampu mendeteksi kadar gula darah dalam rentang 2-3 bulan, uji ini tidak perlu puasa sehingga cukup nyaman dan tingkat realibilitasnya dapat diandalkan karena hasilnya yang cukup konsisten. Penderita DM yang kurang terkontrol dengan kadar HbA1c tinggi dapat menyebabkan TB menjadi lebih parah dan berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi. Derajat hiperglikemia juga berperan dalam fungsi mikrobisida makrofag. Pada gula darah > 200 mg/dl secara signifikan menekan fungsi oksidatif makrofag. Glikolisis non enzimatik protein menginduksi terjadinya gangguan mukosilier atau menyebabkan neuropati otonom diabetik sehingga terjadi abnormalitas tonus basal saluran napas.20

Lama menderita DM

Rentang lama menderita DM adalah 1 tahun sampai 26 tahun dengan rata-rata 4,6 tahun. Lama DM paling banyak adalah <5 tahun sebanyak 40 subjek (72,7%) diikuti 5-10 tahun sebanyak 7 subjek (12,7%), 10-15 tahun sebanyak 6 subjek (10,9%) dan paling sedikit >15 tahun sebanyak 2 subjek (3,6%). Hasil penelitian ini serupa dengan subjek penelitian Amare dkk.15 dengan kategori lama menderita DM ≤5 tahun 132 subjek (58,6%), 6-10 tahun 61 subjek (27,1%) dan >10 tahun 32 subjek (14,2%). Subjek penelitian yang menderita DM <5 tahun terbanyak dengan diagnosis bukan TB sebanyak 80,0% (12/15), TB paru klinis 60,0% (3/5) dan TB paru BTA (+)/Xpert MTB/RIF(+) 71,4% (25/35). Tidak terdapat hubungan antara lama menderita DM dengan TB paru (p=0.658).

Hasil ini berbeda dengan penelitan Wijayanto dkk.11 yang menyatakan terdapat hubungan antara lama menderita DM dengan TB paru (p=0.011) dan aOR 23,136 pada kategori lama DM kurang dari 1 tahun (p<0,001 [95% CI: 4,654-11]). Zhao dkk.21 di Cina menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara lama menderita DM dengan terjadinya TB paru. Diabetes melitus dan TB sering muncul secara bersamaan sehingga ini yang menjelaskan

Page 10: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015 153

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

mengapa hasil penelitian ini menunjukkan pasien yang menderita DM <5 tahun sudah terdiagnosis TB. Durasi menderita DM memainkan peran penting dalam pengembangan komplikasi DM kronik yang dapat mengubah fisiologi sistem pernapasan.

Neuropati otonom diabetik dapat menyebabkan suara saluran napas basal abnormal akibat perubahan jalur vagal yang menyebabkan penurunan reaktivitas bronkial dan bronkodilatasi. Hal inilah yang memainkan peran penting dalam meningkatkan risiko lebih tinggi terjadinya infeksi saluran pernapasan termasuk TB pada pasien DM.22 Terdapat peningkatan penyakit TB paru pada pasien yang telah menderita DM lebih dari 10 tahun. Hal ini tentu merupakan akibat kelainan pada imunitas cell-mediated dan fungsi fagosit berhubungan dengan hiperglikemia, sebagaimana juga berkurangnya vaskularisasi sekunder terhadap DM jangka panjang sehingga individu lebih rentan diserang oleh infeksi TB paru. Semakin lama seseorang menderita DM maka semakin besar peluang untuk mendapatkan TB paru.16

Keluhan pasien

Pada penelitian ini didapatkan keluhan respirasi TB antara lain batuk berdahak 47 subjek (85,5%), sesak napas 25 subjek (45,5%), nyeri dada 22 subjek (40%) dan batuk darah 18 subjek (32,7%). Keluhan sistemik antara lain penurunan berat badan 45 subjek (81,8%), badan lemah 44 subjek (80%), nafsu makan menurun 39 subjek (70,9%), keringat malam 34 subjek (61,8%) dan demam 26 subjek (47,3%). Wijayanto dkk.11 menyatakan keluhan batuk >2 minggu pada 57 subjek (35,6%), sesak napas pada 42 subjek (24,1%), nyeri dada pada 7 subjek (4%) dan batuk bercampur darah pada 16 subjek (9.2%). Sedangkan penurunan berat badan pada 62 (35,6%) dan demam pada 30 subjek (17.2%).

Ullah dkk.14 menyatakan demam sebagai gejala yang paling utama (93%) diikuti batuk (45%), penurunan berat badan (32%), batuk berdahak (29%) dan keringat malam (15%). Park dkk.18 menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan gejala antara pasien TB yang menderita DM dan non-DM. Keluhan respirasi terbanyak pada diagnosis Bukan TB adalah

batuk dahak >2-3 minggu sebanyak 93,3% (14/15) sedangkan pada TB paru klinis ditemukan keluhan nyeri dada 80,0% (4/5), sesak napas dan batuk dahak >2-3 minggu masing-masing 60,0% (3/5) dan batuk darah 2 subjek (40,0%) serta diagnosis TB paru BTA (+)/Xpert MTB/RIF (+) dengan keluhan batuk dahak 85,7% (30/35). Sedangkan keluhan sistemik memiliki presentase yang merata pada masing-masing diagnosis. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara keluhan TB pada pasien DM.

Pada sebagian besar negara berpendapatan rendah, pasien dengan kondisi imunosupresi (termasuk DM) yang mendapat perawatan di layanan kesehatan tersier dengan tenaga kesehatan yang tidak cukup terlatih dalam mendiagnosis dan pengobatan TB. Anamnesis yang baik dan pemeriksaan klinis menyeluruh dapat membantu menegakan diagnosis TB paru terutama pada populasi dengan status sosial ekonomi rendah seperti yang pernah dilaporkan dari berbagai penelitian. Hal ini terkait gejala yang tidak khas pada pasien TB dan DM. Penelitian ini tidak mengkaitkan antara status sosial ekonomi dengan angka kejadian TB paru pada pasien DM. Semua penderita DM memerlukan pemeriksaan medis yang teratur dan pemeriksaan foto toraks tiap dua tahun sekali. Pemeriksaan ini harus dilakukan lebih ketat pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun atau dengan berat badan kurang dari 10% dari berat badan ideal. Setiap pasien DM dengan keluhan batuk tiba-tiba, kehilangan berat badan, kelainan pada foto toraks atau peingkatan dosis insulin untuk mengkontrol glukosa darah, harus dilakukan penapisan untuk penyakit TB.14

Lesi pada foto toraks

Pada foto toraks lesi luas sebanyak 35 subjek (63,6%) sedangkan lesi minimal sebanyak 20 subjek (36,4%). Lesi luas terbanyak pada diagnosis TB paru klinis sebanyak 5 subjek (100,0%) sedangkan lesi minimal terbanyak pada diagnosis bukan TB sebanyak 11 subjek (73,3%) dan setelah dilakukan uji regresi logistik ternyata terdapat hubungan antara lesi pada foto toraks dengan terjadinya TB paru pada penelitian ini (p=0,033 dengan OR 3,531 ;[95% CI:

Page 11: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015154

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

1,104-11,288]). Hasil ini berbeda dengan berbeda dengan penelitian Wijayanto dkk.11 yang menemukan foto toraks normal pada 106 subjek (60.9%), lesi minimal sebanyak 21 (12,1%), lesi luas sebanyak 30 subjek (17,2%), kavitas sebanyak 16 subjek (9,2%) dan efusi pleura sebanyak 1 subjek (0,6%).

Gambaran foto toraks TB dan DM memiliki pola radiologi khusus yang terdiri dari konfluen, kavitas dan lesi berbentuk baji menyebar dari hilus menuju tepi terutama di zona yang lebih rendah.20 Peneliti lain juga mencatat bahwa pasien TB-DM memiliki ukuran lesi yang lebih besar, kavitas dan efusi pleura TB.23 Pada penelitian Tullt’k dkk.24 menemukan bahwa terdapat perbedaan gambaran foto toraks antara pasien DM dan non-DM yang terdiagnosis TB. Pasien DM memiliki kavitas lebih banyak (p=0.008), tetapi tidak terdapat perbedaan pada jumlah lobus dan lokasi yang terlibat.18 Tanda radiologi TB paru lebih jelas pada penderita DM. Pada pasien TB paru tanpa DM, kavitas kurang umum seiring dengan bertambahnya umur sedangkan pada penderita DM pada semua usia, frekuensi kavitasnya tinggi dengan keterlibatan lapangan paru lobus bawah.25

Pedoman Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyatakan lesi di foto toraks dibagi menjadi dua kategori yaitu lesi minimal dan lesi luas. Dikatakan lesi minimal bila proses penyakit mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dari iga kedua dan prosessus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas. Dikatakan lesi luas bila lesi lebih dari lesi minimal atau terdapat kavitas. Pada pasien TB yang dilakukan foto toraks maka didapatkan lesi yang meggambarkan luasnya penyakit. Lesi yang sangat luas akan menimbulkan sekuele berupa fibrotik, kalsifikasi, atelektasis, bronkiektasis, open healed cavity dan bahkan luruh paru atau destroyed lung, meskipun pasien sudah sembuh secara klinis maupun bakteriologis. Luas lesi akan berpengaruh pada akhir terapi. TB paru memiliki dampak yang signifikan dan didominasi pada pasien laki-laki dengan DM. Temuan lesi pada foto toraks adalah

penting dalam mendiagnosis TB paru. Selain itu, jangka waktu yang lebih pengobatan TB paru berarti prognosis yang lebih baik di antara pasien tersebut.26

Sputum BTA

Hasil mikroskopis sputum BTA(+) sebanyak 29 subjek (52,7%). Sputum BTA(+) terbanyak pada diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF (+) didapatkan pada 80,0% (28/35) dan sputum BTA(-) terbanyak pada diagnosis TB paru klinis sebanyak 100,0% (5/5). Hasil ini berbeda dengan penelitian Wijayanto dkk.11 mendapatkan hasil pemeriksaan BTA(+) pada 37 subjek (21.8%) dan BTA(-) pada 59 subjek (33,3%). Hasil uji Chi-square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara sputum BTA dengan TB paru pada pasien DM (p=0,013) dan dilakukan uji regresi logistik menyatakan terdapat hubungan antara sputum BTA dengan terjadinya TB paru pada penelitian ini (p=0,000 dengan OR 0,013 [95% CI: 0,001-0,116]).

Hubungan antara TB paru dan DM sudah sangat lama sekali dikarenakan DM adalah pre-disposisi reaktivasi TB paru atau DM disebabkan oleh TB paru karena resistensi insulin. Pada sejumlah kecil kasus, dahak yang dikeluarkan kurang karena penyakit minimal atau karena ketidakmampuan untuk batuk mengeluarkan dahak. Hal Ini juga menyebabkan DM sangat tidak terkendali, lebih rentan terhadap perkembangan TB paru.6 Dalam sebuah penelitian di Mumbai, India, TB merupakan penyakit yang paling umum di antara penderita DM komplikasi (5,9%) dalam studi kohort besar lebih dari 8000 pasien dengan DM mellitus.24

Kim dkk.24 menunjukkan bahwa proporsi yang lebih tinggi TB paru terbukti secara bakteriologi pada pasien DM dibandingkan pasien non-DM. Mereka menemukan bahwa risiko relatif pembuktian TB paru secara bakteriologis adalah 5.15 jika dibandingkan dengan non DM. Sebaliknya, Bacakogolu dkk.28 menemukan bahwa pasien DM lebih sedikit hasil BTA positif dibandingkan dengan non DM.

Page 12: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015 155

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

Xpert MTB/RIF

Hasil pemeriksaan Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 36 subjek (65,5%) dan Xpert MTB/RIF(-) sebanyak 19 subjek (34,5%). Pada pemeriksaan Xpert MTB/RIF diperoleh M.Tb(+) pada diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF (+) sebanyak 100,0% (35/35) dan M.Tb(-) pada diagnosis bukan TB paru sebanyak 93,3% (14/15). Hasil analisis menggunakan uji Chi-square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara Xpert MTB/RIF dengan TB paru pada pasien DM (p=0,013) dan setelah dilakukan uji regresi logistik ternyata terdapat hubungan antara Xpert MTB/RIF dengan terjadinya TB paru pada penelitian ini (p=0,000 dengan OR 0,050 [IK 95%0,007-0,338]).

Nilai kepositifan pada sputum BTA (52,7%) dan Xpert MTB/RIF (65,5%) terdapat selisih sebanyak 7 pasien dengan selisih presentase sebesar 12,8%, yang menunjukkan bahwa pemeriksaan Xpert MTB/RIF memiliki nilai kepositifan lebih tinggi dalam mendeteksi M.Tb. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF adalah suatu alat diagnostik molekuler yang mampu mendeteksi kuman M.Tb dalam jumlah koloni sedikit. Sebuah studi in vitro menunjukkan batas deteksi sedikitnya 131 colony-forming units (CFU) M.Tb dibandingkan dengan 10.000 CFU sputum konvensional. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF ini cepat hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 jam.29

Selisih kepositivan antara sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada penelitian ini dijumpai terbanyak pada perempuan 71% (5/7), usia 40-60 tahun 57% (4/7), IMT kurus 43% (3/7), lama menderita DM < 10 tahun 57% (4/7), GDS ≥200 mg/dl 71% (5/7), HbA1c ≥6,5 sebanyak 86% (6/7) dan lesi minimal foto toraks 71% (5/7).

Pada tahun 2010, WHO mendukung Xpert MTB/RIF sebagai uji pengganti mikroskopis pada pasien yang diduga TB terkait HIV atau TB kebal obat. Dukungan ini menandai pergeseran dalam diagnosis TB. Sputum BTA telah menjadi landasan diagnosis TB selama satu abad tetapi tidak memiliki kepekaan terhadap pasien HIV dan tidak memberikan informasi tentang resistensi obat. Kultur sputum lebih sensitif tapi membutuhkan waktu yang lama. Pemeriksaan

sputum BTA ini mudah dilakukan dan sangat murah dan dikombinasikan dengan foto toraks telah digu-nakan untuk waktu yang lama. Namun pengujian memiliki masalah pada pasien dengan penurunan daya tahan seperti pada HIV positif, diabetes dan anak-anak dengan jumlah bakteri rendah dalam sputum. Xpert MTB/RIF memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk mendeteksi penyakit TB paru.29

Uji diagnostik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF

Penelitian ini didesain khusus untuk uji diagnostik maka pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pasien DM tanpa riwayat pengobatan TB yang berjumlah 41 subjek yang selanjutnya dikelompokkan dalam tabel 2x2. Hasil perhitungan dari tabel tersebut didapatkan nilai sensitivitas sebesar 76,9%, nilai spesifisitas sebesar 100%, nilai prediksi positif sebesar 100,0% dan nilai prediksi negatif sebesar 71,4% (Tabel 5). Hasil di atas menunjukkan pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam menilai TB pada pasien DM. Nilai prediksi positif di atas menunjukkan probabilitas seseorang menderita TB pada pasien DM apabila hasil uji diagnostiknya positif adalah 100,0% dan nilai prediksi negatif di atas menunjukkan probabilitas seseorang tidak menderita TB paru pada pasien DM apabila hasil uji diagnostiknya negatif adalah 71,4%.

Hasil yang didapat pada Tabel 6 yang menilai uji diagnostik pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF terhadap pasien DM dengan dan tanpa riwayat TB menunjukkan hasil yang sama. Hasil perhitungan didapatkan sensitivitas 77,8%, spesifisitas 94,7%, nilai prediksi positif 96,5% dan nilai prediksi negatif 69,2%. Nilai sensitivitas dan spesifisitas juga memiliki nilai tinggi. Pemeriksaan antara sputum BTA dan Xpert MTB/RIF terhadap semua pasien DM memiliki kekuatan yang sama.

Penelitian Hakeem dkk.30 melakukan penilaian pemeriksaan sputum BTA dan Xpert MTB/RIF ter-hadap pasien dengan tanpa riwayat OAT dan dengan riwayat OAT tanpa disebutkan penyakit penyertanya. Hasilnya adalah pada kelompok yang

Page 13: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015156

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

memiliki riwayat OAT memiliki sensitivitas 96% dan spesifisitasnya 100%. Sedangkan pada kelompok tanpa riwayat OAT didapatkan nilai sensitivitasnya 91% dan spesifisitasnya 100%. Hal ini menunjukkan bahwa pemeriksaan Xpert MTB/RIF lebih sensitif dan spesifik dan juga membantu kita untuk tidak secara gegabah memberikan OAT. Berdasarkan uji diagnostik di atas maka hipotesis awal yang menyatakan tidak ada perbedaan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada pasien DM adalah diterima.

KESIMPULAN

Pada penelitian ini didapatkan bahwa peme-riksaan Xpert MTB/RIF memiliki nilai kepositivan yang lebih tinggi dalam mendeteksi M.Tb apabila dibandingkan dengan pemeriksaan sputum BTA. Nilai sensitivitas mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada pasien DM tanpa riwayat pengobatan TB, didapatkan sebesar 76,9% dengan nilai spesifivitas sebesar 100,0%. Uji diagnostik mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF terhadap semua pasien DM dengan riwayat TB dan tanpa riwayat TB, didapatkan nilai sensitivitas 77,8% dan spesifisitas 94,7%. Tidak ada perbedaan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada pasien DM.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global pre valence of diabetes: estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care. 2004;27:1047–53.

2. Creswell J, Raviglione M, Ottmani S. Tuberculosis and non communicable diseases: neglected links and missed opportunities. Eur Respir J. 2011;37:1269–82.

3. Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus: convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9:737–46.

4. Peleg AY, Weerarathna T, Mc Car thy JS, Davis TME. Common infections in dia be tes:

patho genesis, management and relation ship to glycaemic control. Diabetes Metab Res Rev. 2007; 23:3–13.

5. Kornum JB, Thomsen RW, Riis A, Lervang HH, Schønheyder HC,Sørensen HT. Diabetes, glycemic control and risk of hospitalization with pneumonia: a population-based case-control study. Diabetes Care.2008;31:1541–5.

6. Pablos-Méndez A, Blustein J, Knirsch CA. The role of diabetes mellitus in the higher prevalence of tuberculosis among Hispanics. Am J Public Health.1997;87:574–9.

7. Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa AM, Ahmad Y, Ottenhoff TH, Nelwan RH, Parwati I, van der Meer JW, van Crevel R. The effect of type 2 diabetes mellitus on the presentation and treatment response of pulmonary tuber-culosis. Clin Infect Dis. 2007;45:428–35.

8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kese-hatan Kementerian RI. Riset kesehatan dasar 2013.p.254.

9. Jali MV, Mahishale VK, Hiremath MB. Bidirectional screening of tuberculosis patients for diabetes mellitus and diabetes patients for tuberculosis. Diabetes Metab J. 2013;37:291-5.

10. Amin S, Khattak MI, Shabbier G, Wazir MN. Frequency of pulmonary tuberculosis in patient with diabetes mellitus. Gomal Journal of Medical Sciences. 2011;9:163-5.

11. Wijayanto A, Burhan E, Nawas A, Rochsismandoko. Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Tuberkulosis Paru Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP Persahabatan. Tesis Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, Jakarta;2013.

12. Leegaard L.E, Riis A, Kornum A, Prahl J.B, Thomsen V.O, Sorensen H.T et.al Diabetes, Glycemic Control, and Risk of Tuberculosis. Diabetes Care. 2011;34:2530-35.

13. Pe’rez-Guzma’n C, Vargas MH, Torres-Cruz A. Diabetes modifies the male:female ratio in pulmonary tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 2003;7:354-8.

Page 14: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan ...arsip.jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/08/JRI-Jul... · Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan

J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015 157

Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

14. Ullah H, Iqbal Z, Ullah Z, Mahboob A, Rehman M. Frequency of pulmonary tuberculosis in patients presenting with Diabetes. [Online]. 2013 [Cited 2014 January 5]. Available from: http://www.researchgate.net/publication/257061676_Frequency_of_pulmonar y tuberculosis in patients presenting with diabetes?ev=pubfeed inst.

15. Amare H, Gelaw A, Anagaw B, Gelaw B. Smear positive pulmonary tuberculosis among diabetic patients at the Dessie referral hospital, Northeast Ethiopia. Infectious Diseases of Poverty. 2013;2:2-6.

16. Tyerdal A.Body mass index and incidence of tuberculosis. Eur J Respir Dis. 1986;69:355-62.

17. Khan M. The dual burden of overweight and underweight in developing countries. Washington DC: Population Reference Bureau.2006

18. Park SW, Shin Jw, Kim JY, Park IW, Choi BW, Choi JC, et al. The effect of diabetic control status on the clinical features of pulmonary tuberculosis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2012;31:1305-10.

19. Tamura M, Shirayama R, Kasahara R. A study on relation between active pulmonary tuberculosis and underlying diseases. Kekkaku. 2001;76:619- 24.

20. Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: an appraisal. Indian J. Tuberc. 2000;47:3-8.

21. Zhao W, Shi L, Fonseca, He J, Shao D, Zhao J, Chen QM, Yin A, Screening Patients With Type 2 Diabetes for Active Tuberculosis in Communities of China. Diabetes care. 2013;36:159-60.

22. Koziel H, Koziel MJ. Pulmonary complications of DM mellitus, pneumonia.Infect Dis Clin North Am. 1995;9:65-96.

23. Perkumpulan Endokrin Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes MelitusTipe 2 di Indonesia. Jakarta, 2011.

24. Tullt’k JA. Diabetes mellitus in the tropics. London: E & S Livingstone; 1962.p.131.

26. Umeki S, Soejima R, Hara Y. Age-dependent altera tions in clinical features of pulmonary tuberculosis. Kekkau. 1992;67:9-18.

27. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta, 2011.

28. Kim SJ, Hong YP, Lew WJ, Yang SC, Lee EG. Incidence of pulmonary tuberculosis among diabetics. Tuberc Lung Dis. 1995;76:529-33.

29. Bacakoglu F, Basoglu OO, Cok G, Sayiner A, Ates M. Pulmonary tuberculosis in patients with DM mellitus. Respiration. 2001;68:595-600.

30. Boehme CC, Nabeta P, Hillemann D. Rapid molecular detection of tuberculosis and rifampin resistance. N Engl J Med. 2010;363:1005-15.