UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TUMBUHAN PAKU...
-
Upload
dangnguyet -
Category
Documents
-
view
247 -
download
3
Transcript of UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TUMBUHAN PAKU...
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 96% TUMBUHAN PAKU Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT DUA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR
Sprague Dawley
SKRIPSI
SITI WINDI HARIANI
1112102000018
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA
JULI 2016
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 96% TUMBUHAN PAKU Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT DUA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR
Sprague Dawley
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
SITI WINDI HARIANI 1112102000018
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA JULI 2016
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
Nama : Siti Windi Hariani
Program Studi : Farmasi Judul : Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol 96% Tumbuhan Paku
Nephrolepis Falcata (Cav.) C. Chr terhadap Penyembuhan Luka
Bakar Derajat Dua Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley
Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr diketahui memiliki aktivitas antioksidan dan antiinflamasi. Senyawa yang diperkirakan berperan dalam
aktivitas tersebut diantaranya flavonoid dan fenol (Komala, et al., 2015). Senyawa flavonoid dan fenol pada berbagai tumbuhan lainnya diketahui berperan dalam
aktivitas antioksidan, antiinflamasi, dan proses penyembuhan luka sehingga terdapat potensi pada tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dalam mempengaruhi proses penyembuhan luka. Penelitian ini bertujuan untuk menguji
pengaruh ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr terhadap penyembuhan luka bakar derajat dua. Ekstrak dibuat dengan metode
maserasi dengan pelarut etanol 96%. Tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley dibagi ke dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif yang diberikan basis krim, kelompok kontrol positif yang diberikan krim Silver
Sulvadiazine®, dan 3 kelompok uji konsentrasi yang diberikan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C 2,5%, 5%, dan 10%. Pembuatan
luka bakar derajat dua dilakukan dengan cara memanaskan plat logam berukuran 4 x 2 cm dalam air mendidih selama 5 menit, kemudian plat besi tersebut ditempelkan selama 10 detik pada bagian dorsal sekitar 3 cm dari auricular tikus.
Pemberian krim ekstrak dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari selama 21 hari. Parameter yang diamati yaitu perubahan visual dan waktu penyembuhan luka
bakar, penurunan dan persentase penyembuhan luka bakar, penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi. Hasil pengamatan visual menunjukkan bahwa krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C mempengaruhi perubahan visual dan waktu penyembuhan luka bakar Hasil analisis statistik Paired Sample T test menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan signifikan (p<0,05) terhadap penurunan luas luka bakar sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil uji statistik One-Way ANOVA menunjukkan bahwa krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C konsentrasi
2,5% dan 5% menghasilkan persentase penyembuhan luka bakar yang berbeda signifikan dengan kelompok kontrol negatif. Krim ekstrak etanol tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C dapat menurunkan jumlah sel radang, meningkatkan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi. Krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C mempengaruhi proses penyembuhan luka bakar
derajat dua berdasarkan parameter perubahan visual dan waktu penyembuhan luka, penurunan luas dan persentase penyembuhan luka, penurunan jumlah sel
radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi.
Kata kunci: Tumbuhan paku, Nephrolepis falcata (Cav.) C, krim ekstrak etanol,
luka bakar.
vii
ABSTRACT
Name : Siti Windi Hariani
Major : Pharmacy Title : Effect of 96% Ethanolic Extract Fern Nephrolepis Falcata (Cav.) C. Chr
In Second Degree Burn Wound Healing in Whitw Male Rats (Rattus
Norvegicus) Sprague Dawley strain.
Fern Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr have been known to have antioxidant and anti- inflammatory activity. Flavonoid and phenol predicted as compounds which have role in their activities (Komala, et al., 2015). Flavonoid dan phenol
compound in many others plants known acts as antioxidant, anti- inflammatory activity, and in burn wound healing, so there is potency in fern Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr in burn wound healing process. The aim of this research is to examine the effect of ethanolic extract of fern Nephrolepis falcata (Cav.) C in second degree burn wound healing. The extract is made by maceration using
ethanol 96%. White male rats (Rattus novergicus) Sprague Dawley strain divided into 5 groups, negative control group was given a base cream, positive control
group was given Silver Sulvadiazine® cream, and 3 groups of test concentration was given ethanolic extract of fern Nephrolepis falcata (Cav.) C concentration 2,5%, 5%, and 10%. A second degree burn wound was made by heating a metal
plate size 4 x 2 cm in boiling water for 5 minutes, then the metal plate attached for 10 seconds in dorsal ± 3 cm from rat’s auricula. The extract cream applied twice a
day for 21 days. The observed parameter include visual change and burn wound healing time, decrease of wound area and percentage of burn wound healing, decrease amount of inflammatory cells, increase amount of fibroblast, and new
formed capillaries. The results shows ethanolic extract of fern Nephrolepis falcata (Cav.) C affect in visual change and burn wound healing time. The results of
statistical analysis Paired Sample T test shows significant difference (p<0,05) in decrease wound area. The results of statistical analysis One-Way ANOVA shows significant difference (p<0,05) in percentage of burn wound healing ethanolic
extract of fern Nephrolepis falcata (Cav.) C concentration 2,5% dan 5% with negative control. Ethanolic extract of fern Nephrolepis falcata (Cav.) C can
decrease amount of inflammatory cells, increase amount of fibroblast, and new formed capillaries. Ethanolic extract of fern Nephrolepis falcata (Cav.) C influence the second degree burn wound healing process based on visual change
and burn wound healing time, decrease wound area and percentage of burn wound healing, decrease inflammatory cells, increase amount of fibroblast, and new
formed capillaries.
Keywords: Fern, Nephrolepis falcata (Cav.) C, ethanolic extracts cream, burn wound
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur saya panjatkan kepada Allah
SWT atas berkat, rahmat, dan ridho-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu tahap dari serangkaian tahap untuk mendapatkan
gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya menyadari bahwa, tanpa kemudahan yang Allah berikan, ridho kedua
orang tua, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan
sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ibu Ismiarni Komala, MSc., PhD., Apt selaku pembimbing pertama dan Ibu
Dr. Azrifitria., M.Si., Apt selaku pembimbing kedua, yang memiliki andil
besar dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi saya ini, semoga segala
bantuan dan bimbingan ibu mendapatkan imbalan yang lebih baik di sisi-
Nya.
2. Ibu Puteri Amelia., M.Farm., Apt selaku penanggung jawab Laboratorium
Farmakognosi Fitokimia, Ibu Eka Putri., M.Si., Apt selaku penanggung
jawab Laboratorium Penelitian I, Ibu Nurlaely Mida R., M.Biomed, DMS
selaku penanggung jawab Laboratorium Animal House, Ibu Zilhadia., M.Si.,
Apt selaku penanggung jawab Laboratorium Kimia Obat, beserta staf atas
penggunaan segala fasilitas dan bantuannya selama penelitian.
3. Bapak Prof. Dr. H. Arief Sumantri, M.Kes., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si, Apt., selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
ix
5. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc, Apt., selaku dosen pembimbing akademik,
Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Teman-teman seperjuangan mahasiswa Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Keluarga Departemen Relasi dan Eksternal Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Periode 2012/2013, Fio
Noviany, Muhammad Haidar Ali, Elsa Elfrida, Henny Pradikaningrum,
Wahidin Saleh, dan Fandi Karami.
8. Pengurus Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Farmasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Periode 2014/2015
9. Kedua orang tua yang sangat saya sayangi ibunda Afriwani Hutabarat dan
ayahanda Hardadi, semoga segala amal kebaikan dan jerih payah keduanya
mendapat balasan yang jauh lebih baik disisi-Nya.
Demikian ucapan terima kasih yang setulusnya saya sampaikan, semoga
Allah membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga
skrpsi ini bermanfaat. Semoga Allah memudahkan jalan orang-orang yang
menuntut ilmu dan orang-orang yang selalu berusaha memberikan
kebermanfaatan untuk lingkungannya.
Ciputat, 15 Juli 2016
Penulis
x
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………............. iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………….. iv
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………….... v
ABSTRAK……………………………………………………………………... vi
ABSTRACT………………………………………………………………….... vii
KATA PENGANTAR……………………………………………….….......... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……............ x
DAFTAR ISI…………………………………………………………………... xi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………. xiv
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. xv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….. xvi
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………….............. 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………................. 3 1.3 Tujuan Penelitian…………………………………….................. 4
1.4 Hipotesis………………………………………………………... 4 1.5 Manfaat Penelitian……….……………………………………... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………… 5
2.1 Kulit…………………………………………………………….. 5
2.2 Luka Bakar……………………………………………………... 6 2.3 Klasifikasi Luka Bakar………………………………................. 7
2.4 Patofisiologi Luka Bakar……………………………………….. 7 2.5 Proses Penyembuhan Luka Bakar……………………………… 8 2.6 Tumbuhan Paku……………………………………………….... 12
2.7 Ekstrak dan Ekstraksi…………………………………………... 14 2.8 Bentuk Sediaan Krim…………………………………………... 16
2.9 Spesifikasi Bahan untuk Formulasi Sediaan Uji……………….. 16 2.10 Hewan Percobaan……………………………………………… 20
BAB 3 METODE PENELITIAN……………………………………………. 23
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………... 23
3.2 Alat dan Bahan Penelitian………………………….…................ 23
xii
3.2.1 Alat Penelitian…………………………………………... 23
3.2.2 Bahan Uji……….………………………………………. 23 3.2.3 Bahan Kimia……………………………………………. 24
3.3 Hewan Uji..…………………..…………………………………. 24 3.4 Rancangan Penelitian…………………………….……………... 24 3.5 Kegiatan Penelitian……………………………….…………….. 27
3.5.1 Determinasi Tumbuhan…………………………………. 27 3.5.2 Penyiapan Simplisia…………………………………….. 27
3.5.3 Pembuatan Ekstrak……………………………………… 28 3.5.4 Skrining Fitokimia……………………………………… 28 3.5.5 Standardisasi Ekstrak…………………………………… 29
3.5.5.1 Penentuan Parameter Spesifik…………………... 29 3.5.5.2 Penentuan Parameter Non Spesifik……………... 29
3.5.6 Pembuatan Krim Ekstrak……………………….…….… 30 Evaluasi Sediaan Krim………………………………….. 33 3.5.6.1 Pengamatan Organoleptik……………................. 33
3.5.6.2 Homogenitas……………………...…………….. 33 3.5.6.3 Pemeriksaan pH………………………................ 33
3.5.7 Persiapan Hewan Uji……………..…….……….............. 33 3.5.8 Perlakuan Hewan Uji……………………………............ 34
3.5.8.1 Pembuatan Luka Bakar..…………………….... 34
3.5.8.2 Pemberian Bahan Uji…………….…………… 34 3.6.10 Pengamatan Penyembuhan Luka Bakar…….…………... 35
3.6.11 Eksisi Jaringan Kulit Tikus…………………………….. 36 3.6.12 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Tikus…….. 36 3.6.13 Pengamatan Preparat Histopatologi……………............. 36
3.6.14 Rencana Analisis Data…………………………………. 38
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN………………….………………….... 39
4.1 Hasil Penelitian ………………………………………………… 39
4.1.1 Determinasi Tumbuhan…………………………………. 39 4.1.2 Penyiapan Simplisia…………………………………….. 39 4.1.3 Ekstraksi………………………………………………… 39
4.1.4 Skrining Fitokimia……………………………………… 40 4.1.5 Standardisasi Ekstrak…………………………………… 40
4.1.6 Pembuatan Krim Ekstrak……………………………….. 42 4.1.7 Evaluasi Sediaan Krim………………………………….. 43 4.1.8 Pengukuran Berat Badan Tikus…………………………. 44
4.1.9 Pengamatan Visual Luka Bakar………………………… 45 4.1.10 Pengukuran Luas Luka dan Persentase
Penyembuhan Luka Bakar.……………………………... 47 4.1.11 Pengamatan Histopatologi……………………………… 50
4.2 Pembahasan ……………………………………………………. 53
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ………………….……………..… ….. 62
5.1 Kesimpulan……………………………………………………... 62
xiii
5.2 Saran………………………………………………………......... 62
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 63
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Anatomi Kulit Normal……………………………………............. 5
Gambar 2.2 Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr……………... 13
Gambar 4.1 Grafik Rerata Pengukuran Berat Badan Tikus……………............. 44
Gambar 4.2 Grafik Persentase Penyembuhan Luka Bakar...…………………... 49
Gambar 4.3 Hasil Pengamatan Histopatologi Hari Ke-7…..…………………... 51
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Data Biologis Tikus………………………………………………………. 22
3.1 Rancangan Penelitian…………………………………………………….. 25
3.2 Formula Basis Krim………………………………………….................... 31
3.3 Formula Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr……………………………………………………... 32
3.4 Kriteria Skoring Parameter Histopatologi Jumlah Sel Radang…………... 37
3.5 Kriteria Skoring Parameter Histopatologi Jumlah Fibroblas…………….. 37
3.6 Kriteria Skoring Parameter Histopatologi Neokapilerisasi………………. 38
4.1 Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr……………………………………….. 40
4.2 Hasil Penentuan Parameter Spesifik dan Non Spesifik
Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.)
C. Chr ………………………………………………………………….… 41
4.3 Formula Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr……………………………………………………... 42
4.4 Hasil Evaluasi Sediaan Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan
Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr……………..…………………… 43
4.5 Pengamatan Rerata Visual Luka Bakar…………………………………... 46
4.6 Luas dan Persentase Penyembuhan Luka………………………………… 48
4.7 Hasil Penilaian Parameter Mikroskopis Pada Preparat Hari
Ke-7………………………………………………………………………. 52
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Alur Penelitian…………………………………………………. 72
Lampiran 2. Determinasi Tumbuhan……………………………………….... 73
Lampiran 3. Keterangan Kesehatan Hewan………………………………..... 74
Lampiran 4. Hasil Perhitungan Rendemen…………………………………... 75
Lampiran 5. Hasil Perhitungan Kadar Air…………………………………… 75
Lampiran 6. Hasil Perhitungan Kadar Abu………………………………….. 75
Lampiran 7. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku…… 76
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian………………………………………… 77
Lampiran 9. Gambar Pengamatan Perubahan Rerata Luka bakar…………… 78
Lampiran 10. Tahapan Pengukuran Luas Luka Bakar Menggunakan
Software ImageJ…..…………………………………………... 81
Lampiran 11. Data Luas Luka dan Persentase Penyembuhan Luka Bakar
Derajat Dua………..………………………………………….. 83
Lampiran 12. Hasil Analisis Statistik Luas Luka Bakar Derajat Dua………. 85
Lampiran 13. Hasil Analisis Statistik Persentase Penyembuhan Luka Bakar
Derajat Dua….……………………………………………….. 93
Lampiran 14. Hasil Analisa Statistik Berat Badan Tikus………………….... 98
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka bakar didefinisikan sebagai kerusakan pada kulit yang
disebabkan panas berlebih atau bahan kimia kaustik. Proses penyembuhan
luka terdiri dari fase inflamasi, fase poliferasi, dan fase maturasi (Tiwari,
et al., 2012). Luka bakar dapat berkembang menjadi cedera yang lebih
dalam dari waktu ke waktu tergantung pada cedera awal dan lingkungan
yang selanjutnya mempengaruhi proses penyembuhannya (DeSanti,.
2005). Cedera yang terjadi pada sel dalam hal ini akibat induksi panas
yang menyebabkan luka bakar melibatkan serangkaian reaksi yakni reaksi
oksidasi.
Reaksi oksidasi akan menghasilkan senyawa radikal bebas yang
dapat secara langsung merusak beberapa aspek pada membran sel atau
fungsi organ dalam sel dan dapat menginisiasi kaskade sinyal inflamasi
yang menghasilkan sejumlah mediator yang menyebabkan sel cedera (Al-
Jawad, et al., 2008). Radikal bebas merupakan molekul dengan satu atau
lebih elektron tidak berpasangan pada kulit terluarnya. Radikal bebas
terbentuk dari molekul yang mengalami pemutusan ikatan kimia sehingga
setiap bagiannya menyimpan satu elektron. Senyawa radikal bebas yang
sangat tidak stabil ini dapat bereaksi dengan substrat organik seperti
lemak, protein, dan DNA (Pham-Huy, et al., 2008). Senyawa radikal
bebas apabila berelebihan akan menyebabkan stres oksidatif. Stress
oksidatif terlibat kuat dalam patogenesis cedera yang disebabkan oleh
termal (Al-Jawad, et al., 2008).
Stress oksidatif dapat dinetralkan oleh sejumlah mekanisme yang
ada dalam tubuh manusia yakni dengan memproduksi antioksidan yang
secara alami diproduksi dalam sel ataupun diperoleh melalui makanan
dan/atau suplemen dari luar tubuh (Pham-Huy, et al., 2008). Sehingga,
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ketika sejumlah mekanisme dalam tubuh tidak dapat menetralkan stress
oksidatif akibat cidera termal dibutuhkan penangkal radikal bebas
tambahan dari luar tubuh seperti antioksidan. Antioksidan selain dapat
menghambat pembentukan radikal bebas, menangkal produksi berlebih
radikal bebas, atau mengganggu beberapa aspek yang menyebabkan
respon inflamasi, antioksidan terbukti dapat menurunkan resiko kerusakan
jaringan, memperbaiki fungsi organ, dan memperbaiki keluaran (Cakir dan
Yegen, 2004).
Vitamin C, vitamin A, vitamin E, dan Zinc merupakan beberapa
contoh antioksidan. Antioksidan juga dapat diperoleh dari tumbuhan.
Beberapa penelitian menyebutkan tumbuhan yang memiliki aktivitas
sebagai antioksidan juga memiliki aktivitas antiinflamasi dan berpengaruh
terhadap proses penyembuhan luka bakar seperti pada ekstrak etanol daun
melati dalam penelitian Wibawani, et al (2015), dan ekstrak etanol daun
Plectranthus amboinicus dalam penelitian Shenoy, et al (2012). Aktifitas
yang dimiliki oleh kedua contoh tumbuhan tersebut tentunya tidak terlepas
dari senyawa-senyawa aktif dari golongan metabolit sekunder diantaranya
flavonoid dan fenol.
Senyawa-senyawa aktif dari golongan metabolit sekunder seperti
flavonoid dan fenol juga terdapat pada tumbuhan paku Nephrolepis falcata
(Cav.) C. Chr dan setelah diteliti secara in vitro tumbuhan paku tersebut
memiliki aktivitas antioksidan dan antiinflamasi. Komala, et al (2015)
menyebutkan bahwa ekstrak metanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata
(Cav.) C. Chr yang diuji dengan metode DPPH menunjukan aktivitas
antiinflamasi yang signifikan dengan persentase inhibisi denaturasi sebesar
49,5 ± 0,2% pada konsentrasi 10 µg/mL dan aktivitas tersebut lebih besar
nilainya dibandingkan Na diklofenak dengan persentase inhibisi sebesar
28,5 ± 3,8% pada konsentrasi yang sama. Ekstrak etanol Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr yang diuji dengan metode anti denaturasi pada BSA
menunjukan aktivitas antioksidan yang kuat yakni dengan nilai
Antioxidant Activity Index (AAI) 3,8 ± 0,5 walaupun tidak lebih tinggi
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dibandingkan standar Vitamin C dengan nilai AAI 33,5 ± 2,3. Peneilitian
tersebut juga menyebutkan bahwa senyawa golongan metabolit sekunder
yakni senyawa flavonoid dan fenol yang diperkirakan bertanggung jawab
dalam aktivitas antioksidan dan antiinflamasi pada tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
Senyawa flavonoid dan fenol seperti yang disebutkan dalam
Wibawani, et al (2015) dan Karimi, et al (2013) berperan dalam aktivitas
antioksidan, antiinflamasi, dan proses penyembuhan luka sehingga
terdapat potensi pada tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
dalam mempengaruhi proses penyembuhan luka dikarenakan aktivitas
antioksidan dan antiinflamasi yang dimiliki oleh tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
Korelasi yang kuat terkait aktivitas antioksidan, antiinflamasi, dan
pengaruhnya dalam proses penyembuhan luka bakar seperti yang telah
disebutkan menjadi dasar penelitian ini. Oleh karena itu pada penelitian ini
peneliti akan menguji pengaruh ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr terhadap penyembuhan luka bakar pada tikus putih
(Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley berdasarkan parameter
makroskopis dan mikroskopis. Parameter makroskopis yang diamati
adalah perubahan visual dan waktu penyembuhan luka bakar, penurunan
luas luka dan persentase penyembuhan luka bakar. Parameter mikroskopis
yang diamati berupa parameter penurunan jumlah sel radang, peningkatan
jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah pemberian ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka
bakar pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley
dilihat dari parameter perubahan visual dan waktu penyembuhan luka
bakar, penurunan luas luka dan persentase penyembuhan luka bakar,
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan
neokapilerisasi?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian ekstrak
etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr terhadap proses
penyembuhan luka bakar pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur
Sprague Dawley dilihat dari parameter perubahan visual dan waktu
penyembuhan luka bakar, penurunan luas luka dan persentase
penyembuhan luka bakar, penurunan jumlah sel radang, peningkatan
jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi.
1.4 Hipotesis
Pemberian ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata
(Cav.) C. Chr berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka bakar pada
tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley dilihat dari
parameter perubahan visual dan waktu penyembuhan luka bakar,
penurunan luas luka dan persentase penyembuhan luka bakar, penurunan
jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi.
1.5 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi mengenai manfaat tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr pada penyembuahan luka bakar.
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kulit
Kulit merupakan organ berlapis dengan banyak fungsi proteksi
untuk pertahanan. Lapisan luar epidermis berfungsi sebagai penghalang
yang terdiri dari sel yang mati dan keratin yang dapat menghalangi bakteri
dan toksin dari lingkungan luar tubuh. Sel epidermis bagian bawah
menyediakan sumber sel epidermis baru. Lapisan dermis bagian dalam
memiliki fungsi termasuk dalam perbaikan epidermis yang berkelanjutan.
Dermis terbagi menjadi dermis papilar dan dermis retikular. Dermis
papilar memiliki senyawa bioaktif yang sangat banyak sedangkan dermis
retikular memiliki lebih sedikit senyawa bioktif dibandingkan dermis
papilar (DeSanti, 2005).
Gambar 2.1 Anatomi Kulit Normal
Sumber : DeSanti, 2005
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2 Luka Bakar
Luka bakar didefinisikan sebagai kerusakan pada kulit yang
disebabkan oleh panas atau bahan kimia kaustik yang berlebihan. Luka
bakar dapat diakibatkan oleh trauma suhu yang berasal dari sumber panas
yang kering (api, logam panas), atau lembab (cairan atau gas panas).
Gambaran klinis secara umum dari luka bakar antara lain rasa nyeri,
pembengkakan, dan lepuhan. Kehilangan fungsi normal kulit
menyebabkan komplikasi dalam luka bakar seperti infeksi, kehilangan
panas tubuh, peningkatan kehilangan cairan tubuh, kehilangan fungsi
sensasi/hiperalgesia, penurunan elastisitas kulit, dan perubahan
penampilan (DeSanti, 2005).
Cedera luka bakar menghasilkan respon lokal dan respon sistemik.
Respon lokal berupa daerah koagulasi yang terjadi pada tempat kerusakan
terparah, Kehilangan jaringan yang ireversibel akibat penggumpalan unsur
protein terjadi pada daerah tersebut. Daerah yang dikelilingi oleh
penurunan perfusi jaringan disebut daerah stasis, daerah ini berpotensi
untuk diselamatkan. Tujuan utama penyembuhan luka bakar adalah
meningkatkan perfusi pada daerah stasis dan mencegah kerusakan yang
ireversibel. Hipotensi yang berkepanjangan, infeksi atau edema dapat
mengubah daerah ini menjadi kehilangan jaringan secara keseluruhan.
Daerah hiperemia bagian paling luar terjadi peningkatan perfusi jaringan
dan daerah ini akan selalu dapat pulih kecuali terdapat sepsis yang parah
atau hipoperfusi yang berkepanjangan. Ketiga daerah diatas berbentuk tiga
dimensi dan jaringan yang hilang pada daerah stasis dan akan
menghantarkan pada pendalaman dan perluasan jaringan yang hilang
(Hettiaratchy dan Dziewulski, 2004).
Keparahan luka bakar dapat ditentukan berdasarkan kedalaman
luka bakar, ukuran, lokasi, dan umur pasien. Kedalaman luka bakar
ditentukan dengan seberapa banyak dari kedua lapisan kulit dihancurkan
oleh sumber panas, dan hal tersebut merupakan faktor primer yang
menentukan penanganan luka bakar (DeSanti, 2005).
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Luka bakar adalah proses dinamis dan dapat berkembang menjadi
cedera yang lebih dalam dari waktu ke waktu tergantung pada cedera awal
dan lingkungan yang selanjutnya mempengaruhi proses penyembuhannya.
Luka bakar terdiri dari lapisan bagian luar dari jaringan yang mati disebut
daerah nekrosis dan jaringan hidup di bawah jaringan nekrosis yang masih
terkena cedera disebut daerah cedera dan dapat menjadi jaringan mati dari
waktu ke waktu tergantung pada derajat cedera dan lingkungan seperti
infeksi (DeSanti, 2005).
2.3 Klasifikasi Luka Bakar
Menurut Tiwari (2012) penyembuhan luka bakar tergantung
kepada kedalaman luka. Luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan
kulit yang terlibat dan kedalaman jaringan sebagai berikut :
1. Luka bakar derajat satu atau luka bakar epitel – eritema kulit tanpa
pembengkakan
2. Luka bakar derajat dua – melibatkan epidermis dan dermis dengan
ketebalan yang dapat berubah, dan terbagi menjadi dua:
1) Luka bakar derajat dua superfisial – pembengkakan dan
inflamasi terlihat pada kulit sampai bagian dermis papilar
2) Luka bakar derajat dua dalam – pembentukan keropeng dan
melibatkan dermis retikular dalam
3) Luka bakar derajat tiga – dikenal juga dengan luka bakar
ketebalan penuh terbentuk keropeng
2.4 Patofisiologi Luka Bakar (Cakir dan Yegen, 2004)
Respon inflamasi lokal dan sistemik terhadap cedera panas sangat
kompleks, menghasilkan kerusakan jaringan lokal dan efek sistemik yang
merusak pada semua sistem organ lainnya yang jauh dari daerah luka.
Inflamasi segera terjadi setelah cedera akibat panas, sedangkan respon
sistemik membutuhkan waktu biasanya 5-7 hari setelah cedera terjadi.
Perubahan lokal dan pastinya sebagian besar perubahan sistemik
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
disebabkan oleh mediator inflamasi. Cedera panas menginisiasi reaksi
inflamasi sistemik yakni memproduksi toksin luka bakar dan radikal
oksigen sehingga pada akhirnya menyebabkan reaksi peroksidasi.
Hubungan antara jumlah produk metabolisme oksidatif dan penangkal
alami radikal bebas menentukan kerusakan jaringan lokal dan sistemik,
lebih jauh kegagalan fungsi organ. Jaringan yang cedera menginisiasi
inflamasi, derajat hipermetabolik dapat menghantarkan pada kegagalan
organ sistemik yang parah dan progresif.
Terdapat peningkatan bukti bahwa cedera menghasilkan radikal
bebas yang melimpah dan merusak mekanisme penangkal radikal bebas
alami. Radikal bebas dapat secara langsung merusak beberapa aspek pada
membran sel atau fungsi organ dalam sel dan dapat menginisiasi kaskade
sinyal inflamasi yang menghasilkan sejumlah mediator yang menyebabkan
sel cedera. Antioksidan selain dapat menghambat pembentukan radikal
bebas, menangkal produksi berlebih radikal bebas, atau mengganggu
beberapa aspek yang menyebabkan respon inflamasi terbukti dapat
menurunkan resiko kerusakan jaringan, memperbaiki fungsi organ, dan
memperbaiki keluaran.
2.5 Proses Penyembuhan Luka Bakar
Tiwari (2012) menyebutkan bahwa fase penyembuhan luka terdiri
dari fase inflamasi, fase poliferasi, dan fase maturasi. Ketiga fase tersebut
terjadi pada semua tipe luka yang membedakan adalah durasi dari setiap
fase
1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung selama 3-5 hari semenjak luka bakar
terjadi (McCulloch dan Kloth, 2010). Menurut Tiwari (2012) segera
setelah luka bakar respon inflamasi dari tubuh dimulai dan terjadi respon
selular dan respon pembuluh.
1) Respon Pembuluh : terjadi terjadi vasodilatasi lokal dengan
ekstravasasi cairan. Luka bakar ekstensif meningkatkan
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
permeabilitas kapiler dan secara umum menyebabkan ekstravasasi
yang besar dari plasma dan memerlukan penggantian cairan.
2) Respon Selular : neutrofil dan monosit merupakan sel yang
pertama bermigrasi ke daerah inflamasi. Makrofag segera
menggantikan neutrofil ketika neutrofil mulai berkurang. Migrasi
dari sel-sel tersebut diinisiasi oleh faktor kemotaksis seperti
kallkirein pelepasan peptida fibrin dari proses penggumpalan dan
substansi yang dilepaskan dari sel mast seperti TNF, histamin,
protease, leukotrien, dan sitokin. Respon selular membantu
fagositosis dan pembersihan jaringan mati dan toksin yang
dilepaskan oleh jaringan yang terkena luka bakar.
2. Fase Poliferasi (Velnar, et al., 2009)
Fase poliferasi berlangsung selama 4-20 hari setelah luka bakar
terjadi. Setelah reepitelisasi terjadi daerah membran dasar terbentuk
diantara dermis dan epidermis. Reepitelisasi pada luka bakar parsial
dimulai dalam bentuk migrasi keratinosit dari bagian dermis kulit yang
masih hidup beberapa jam setelah terjadi luka bakar. Angiogenesis dan
fibrinogenesis membantu penyusunan kembali dermis.
Ketika cedera berhenti, haemostasis telah dicapai dan respon imun
berhasil sesuai dengan tempatnya, luka akut bergeser menuju perbaikan
jaringan. Fase poliferasi dimulai pada hari ketiga setelah cedera dan
berakhir sekitar 2 minggu setelahnya. Fase poliferasi ditandai dengan
migrasi fibroblas dan endapan matriks ekstraseluler yang baru disintesis,
bekerja sebagai pengganti jaringan sementara tersusun atas fibrin dan
fibronektin. Pada tingkat makroskopis, fase ini dapat terlihat limpahan
pembentukan jaringan granulasi.
1) Migrasi Fibroblas
Mengikuti cedera, fibroblas dan miofibroblas yang ada disekeliling
jaringan distimulasi untuk berpoliferasi selama 3 hari pertama. Kemudia
bermigrasi ke daerah luka dan ditarik oleh faktor seperti TGF-β, PDGF
yang dilepaskan oleh sel inflamasi dan platelet. Fibroblas pertama kali
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
muncul di daerah luka pada hari ketiga setela cedera dan akumulasinya
membutuhkan modulasi fenotip. Ketika berada di daerah luka fibroblas
berpoliferasi sebanyak-banyaknya dan memproduksi matrik protein
hialuronat, fibronektin, proteoglikan dan prokolagen tipe 1 dan 3. Semua
produk tersebut disimpan di daerah lokal. Pada akhir minggu pertama,
limpahan matriks ekstraseluler terakumulasi, dan mendukung migrasi sel
dan esensial untuk proses perbaikan. Setelah itu, fibroblas berubah
menjadi fenotipe miofibroblas. Pada tahap ini, miofibroblas mengandung
berkas aktin di bawah membran plasma dan secara aktif memperpanjang
pseudopodia, menempelkan ke fibronektin dan kolagen di matriks
ekstraseluler. Kontraksi luka, yang merupakan peristiwa penting dalam
proses perbaikan membantu memperkirakan tepi luka kemudian terjadi
perpanjangan tarikan sel. Setelah lengkap mengerjakan tugasnya fibroblas
dieliminasi melalui apoptosis.
2) Sintesis Kolagen
Kolagen merupakan komponen penting pada semua fase
penyembuhan luka. Kolagen disintesis oleh fibroblas. Kolagen
memberikan integritas dan kekuatan untuk semua jaringan dan memegang
peranan penting terutama pada fase poliferasi dan remodeling perbaikan
luka. Kolagen bekerja sebagai dasar bagi pembentukan matriks intraseluler
di dalam luka. Dermis yang tidak luka mengandung 80% kolagen tipe 1
dan 25% kolagen tipe 3, dimana jaringan granulasi luka mengekpresikam
40% kolagen tipe 3.
3) Angiogenesis dan Pembentukan Jaringan Granulasi
Pembaruan dan pembentukan pembuluh darah baru merupakan hal
penting dalam penyembuhan luka dan terjadi bersamaan dengan semua
fase perbaikan. Untuk menarik neutrofil dan makrofag sejumlah faktor
angiogenik disekresikan selama fase haemostasis memicu angiogenesis.
Sel endotel yang khas menjawab sejumlah faktor angiogenik termasuk
FGF, VEGF, PDGF, angiogenin, TGF-α, dan TGF-β. Keseimbangan yang
baik dipelihara dengan kerja faktor inhibitor, seperti angiostatin dan
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
steroid. Agen inhibitor dan stimulator bekerja pada poliferasi sel endotel
secara langsung dan tidak langsung dengan mengaktifkan mitosis,
mengembangkan gerak dan dengan stimulasi sel host untuk melepaskan
faktor pertumbuhan endotel. Saat kondisi hipoksit, molekul disekresikan
dari sekeliling jaringan, mengalakkan poliferasi dan dan pertumbuhan sel
endotelial.
3. Fase Maturasi (Velnar, et al., 2009)
Fase maturasi atau remodeling berlangsung sejak hari ke-20
sampai satu tahun lebih semejak luka bakar terjadi. Fase remodeling
terjadi ditandai dengan terdapatnya protein struktural fibrin (misal :
kolagen dan elastin) disekitar epitel, endotel, dan otot halus seperti matriks
ekstraselular. Fase resolusi matriks ekstraselular menuju jaringan yang
luka dan fibroblas menjadi fenotipe miofibroblas yang bertanggung jawab
pada kontraksi bekas luka. Fase resolusi pada luka bakar derajat dua dalam
dan luka bakar derajat tiga membutuhkan waktu yang lebih panjang dan
biasanya membutuhkan waktu tahunan dan bertanggung jawab pada bekas
luka hipertropik dan dan kontraktur. Hiperpigmentasi terjadi pada luka
bakar superfisial diakibatkan respon reaktif dari melanosit akibat luka
bakar. Hipopigmentasi terjadi pada luka bakar dalam diakibatkan
pengancuran melanosit kulit.
Fase remodeling bertanggung jawab untuk perkembangan
epithelium baru dan pembentukan akhir bekas luka. Sintesis matriks
ekstraselular pada fase poliferasi dan remodeling diinisiasi secara
bersamaan dengan perkembangan jaringan granulasi. Fase ini dapat
berlangsung 1-2 tahun, atau terkadang lebih lama. Remodeling luka akut
secara ketat dikontrol oleh mekanisme pengaturan dengan tujuan
memelihara keseimbangan antara sintesis dan degradasi, menuju ke
penyembuhan normal. Bersamaan dengan pematangan matriks
ekstraseluler, diameter serabut kolagen meningkat dan asam hialuronat dan
fibronektin terdegradasi. Daya tarik luka meningkat secara progresif
sejajar dengan pengumpulan kolagen. Serat kolagen mungkin kembali
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memperoleh sekitar 80% kekuatan awalnya dibandingkan jaringan yang
tidak luka. Kekuatan akhir yang didapat tergantung pada lokalisasi
perbaikan dan durasinya, namun kekuatan awal dari jaringan yang asli
tidak akan bisa kembali didapat.
2.6 Tumbuhan Paku
Paku-pakuan merupakan salah satu kelompok tumbuhan yang ada
di Indonesia yang kaya akan jenisnya, dengan lebih dari 10.000 jenis
(Suraida, et al., 2013). Tumbuhan paku merupakan salah satu golongan
tumbuhan yang hampir dapat dijumpai pada setiap wilayah di Indonesia.
Tumbuhan paku dikelompokkan dalam satu divisi yang jenis-jenisnya
telah jelas mempunyai kormus dan dapat dibedakan dalam tiga bagian
pokok yaitu akar, batang dan daun. Tumbuhan paku dapat tumbuh pada
habitat yang berbeda. Berdasarkan tempat hidupnya, tumbuhan paku
ditemukan tersebar luas mulai daerah tropis hingga dekat kutub utara dan
selatan. Mulai dari hutan primer, hutan sekunder, alam terbuka, dataran
rendah, dataran tinggi, lingkungan lembab, basah, rindang, kebun
tanaman, pinggiran jalan paku dapat dijumpai (Arini dan Julianus Kinho,
2012). Tumbuhan paku merupakan tumbuhan kormophyta berspora yang
dapat hidup dimana saja (kosmpolitan) (Widhiastuti, et al., 2006).
Kelimpahan dan penyebaran tumbuhan paku sangat tinggi terutama di
hutan hujan tropis. Tumbuhan paku juga banyak terdapat di hutan
pegunungan (Ewusie, 1990 dalam Widhiastuti, et al., 2006).
Tumbuhan paku telah banyak dimanfaatkan antara lain sebagai
tanaman hias, sayuran, dan bahan obat-obatan. Secara tidak langsung,
kehadiran tumbuhan paku memberikan manfaat dalam memelihara
ekosistem hutan, antara lain dalam pembentukan tanah, pengamanan
tanah, pengamanan tanah terhadap erosi, serta membantu proses pelapukan
serasah hutan (Arini dan Julianus Kinho, 2012). Tumbuhan paku yang
pada umumnya dimanfaatkan sebagai keperluan pengobatan yaitu
Dryopteris expansa yang dapat digunakan sebagai obat penurun panas,
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lycopodium cernuum untuk obat batuk dan lelah. Blechnum orientale
untuk obat bisul dan obat gangguan saluran kencing. Lygodium circinatum
dan Drynaria sparsisora untuk obat luka. Jenis tumbuhan paku yang dapat
dimanfaatkan sebagai tanaman hias yaitu Asplenium nidus (paku sarang
burung), Pteris vittata, Nephrolepis falcata, Nephrolepis bisserata, dan
Davalia denticulata. Sedangkan Gleichenia linearis untuk bahan baku
kerajinan tangan, Stenochlaena palutris untuk bahan makanan dan
membuat perangkap ikan serta keranjang (Suraida, et al., 2013).
Gambar 2.2 Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
Sumber : Koleksi Pribadi
Nephrolepis falcata kemungkinan berasal di Filipina (Hennequin et
al., 2010) dan telah diperkenalkan di tempat lain sebagai tanaman hias
(cabi.org, Maret 2016).
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Identitas (cabi.org, Maret 2016) :
Nama Ilmiah : Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
Nama Umum : Fishtail Swordferni
Nama Ilmiah Lainnya :
1) Aspidium biserratum var. furcans
2) Nephrolepis barbata Copel.
3) Nephrolepis biserrata var. furcans Hort. ex Bailey
4) Nephrolepis falcata f. furcans
5) Tectaria falcata Cav.
Taksonomi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Pteridophyta
Kelas : Filicopsida
Ordo : Polypodiales
Famili : Dryopteridaceae
Genus : Nephrolepis Schott
Spesies : Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
(http://plants.usda.gov, USA Dept. of Agriculture, Maret 2016)
Ekstrak metanol tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr. mengandung senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid dan
terpenoid, sedangkan ekstrak etil asetat tumbuhan Paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr. mengandung senyawa metabolit sekunder golongan
flavonoid, fenol, dan saponin. Aktivitas biologis yang diketahui terdapat
pada ekstrak metanol dan etil asetat tumbuhan Paku Nephrolepis falcata
(Cav.) C. Chr. adalah antiinflamasi dan antioksidan (Komala, et al., 2015).
2.7 Ekstrak dan Ekstraksi
Menurut Farmakope edisi ketiga, ekstrak adalah sediaan kering,
kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani
menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung.
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tiwari, et al (2011) juga menyebutkan bahwa variasi dalam
perbedaan metode ekstraksi yang akan mempengaruhi kuantitas dan
komposisi metabolit sekunder dari ekstrak bergantung pada :
1) Tipe ekstraksi
2) Waktu ekstraksi
3) Suhu
4) Sifat pelarut
5) Konsentrasi pelarut
6) Polaritas
Menurut Tiwari, et al (2011) pemilihan pelarut juga bergantung
pada senyawa target yang ingin diekstraksi. Aktivitas ekstrak etanol yang
lebih tinggi dibandingkan ekstrak encer dapat dikaitkan pada adanya
jumlah polifenol yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak encer, hal tersebut
menandakan bahwa etanol dengan konsentrasi yang lebih tinggi lebih
efisien dalam dinding sel dan degradasi biji yang memiliki karakter
nonpolar dan menyebabkan polifenol keluar dari sel. Penurunan aktifitas
dari ekstrak encer dapat dideskripsikan pada enzim polifenol oksidase
yang mendegradasi polifenol dalam ekstrak air, sementara pada ekstrak
metanol dan etanol ezim tersebut inaktif. Selain itu, air merupakan media
yang lebih baik untuk mikroorganisme tumbuh dibandingkan etano l.
Etanol lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran sel untuk
mengektraksi komponen intraselular dari tumbuhan. Hampir semua
komponen yang teridentifikasi dari tumbuhan aktif melawan
mikroorganisme berasal dari senyawa aromatik atau senyawa organik
jenuh, sehingga sering digunakan etanol atau metanol pada ekstraksi awal.
Etanol dapat mengekstraksi tanin, polifenol, poliasetilen, flavonol,
terpenoid, sterol, dan alkaloid. Metanol lebih polar dibandingkan etanol,
dikarenakan sifat sitotoksisitasnya metanol tidak cocok untuk ekstraksi
dalam jenis studi tertentu karena dapat menyebabkan hasil yang tidak
benar. Metanol dapat mengekstraksi antosianin, terpenoid, saponin, tanin,
santosilin, totarol, kuasinoid, lakton, flavon, fenon, polifenol.
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yakni dengan cara
tumbuhan utuh atau serbuk kasar tumbuhan dijaga untuk tetap berkontak
dengan pelarut di dalam tempat bertutup selama waktu yang ditentukan
dengan frekuensi pengocokan sampai senyawa terlarut. Metode ini
merupakan metode terbaik untuk senyawa yang termolabil.
2.8 Bentuk Sediaan Krim (Yanhendri dan Yenny, 2012)
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu
atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang
sesuai. Formulasi krim ada dua, yaitu sebagai emulsi air dalam minyak
(W/O), misalnya cold cream, dan minyak dalam air (O/W), misalnya
vanishing cream. Krim dipakai pada kelainan kering, superfisial. Krim
memiliki kelebihan dibandingkan salep karena nyaman, dapat dipakai di
daerah lipatan dan kulit berambut. Krim dipakai pada lesi kering dan
superfisial, lesi pada rambut, daerah intertriginosa. Krim O/W memiliki
daya pendingin lebih baik dari krim W/O, sementara daya emolien W/O
lebih besar dari pada O/W.
2.9 Spesifikasi Bahan untuk Formulasi Sediaan Uji
1) Asam Stearat
Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari
lemak, sebagian besar terdiri dari asam oktdekanoat, C18H36O2 dan asam
heksadekanoat, C16H32O2.
Pemerian : zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan hablur;
putih atau kuning pucat; mirip lemak lilin.
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air, larut dalam 20 bagian etanol
(95%) P, dalam 2 bagian kloroform P, dan dalam 3 bagian
eter P.
Suhu lebur : tidak kurang dari 540C
Titik leleh : 690-700C
Titik didih : 3830C
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Densitas : 0,980
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik
Fungsi : agen pengemulsi, agen pelarut
(Depkes RI, 1979; Rowe, et al., 2009)
2) Trietanolamin
Trietanolamin adalah campuran dari trietanolamina, dietanolamina,
monoetanolamina. Mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih
dari 107,4% dihitung terhadap zat anhidrat sebagai trietanolamina,
N(C2H2OH)3
Pemerian : cairan kental; tidak berwarna hingga kuning pucat; bau
lemah mirip amoniak; higroskopik
Kelarutan : mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%) P; larut
dalam kloroform P.
Titik leleh : 200-210C
Titik didih : 3350C
Bobot jenis : 1,120-1,128
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya
Fungsi : agen pembasa, agen pengemulsi
(Depkes RI, 1979; Rowe, et al., 2009)
3) Adeps Lanae
Lemak bulu domba adalah zat serupa lemak yang dimurnikan,
diperoleh dari bulu domba Ovis aries Linne (Familia Bovidae) yang
dibersihkan dan dihilangkan warna dan baunya. Mengandung air tidak
lebih dari 0,25%. Boleh mengandung antioksidan yang sesuai tidak lebih
dari 0,02%.
Pemerian : massa seperti lemak, lengket, warna kuning; bau khas
Kelarutan : tidak larut dalam air; dapat bercampur dengan air lebih
kurang 2 kali beratnya; agak sukar larut dalam etanol
dingin; lebih larut dalam etanol panas; mudah larut dalam
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
eter, dan dalam kloroform
Jarak lebur : 38-440C
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, sebaiknya pada suhu kamar
terkendali
Fungsi : agen pengemulsi
(Depkes RI, 1979; Depkes RI, 1995; Rowe, et al., 2009)
4) Paraffin Liquidum
Paraffin cair adalah campuran hidrokarbon yang diperoleh dari minyak
mineral; sebagai zat pemantap dapat ditambahkan tokoferol atau
butilhidroksitoluen tidal lebih dari 10 bpj
Pemerian : cairan kental, transparan, tidak berflouresensi; tidak
berwarna; hampir tidak berbau; hampir tidak mempunyai
rasa.
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%) P;
larut dalam kloroform P dan dalam eter P.
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Fungsi : pelarut fase minyak
(Depkes RI, 1979; Rowe, et al., 2009)
5) Virginia Coconut Oil (VCO)
Minyak kelapa berasal dari kernel/ kopra dari kelapa (Cocos nucifera
L.). Minyak kelapa murni diperoleh dari kernel segar dan matang kelapa
oleh cara mekanis atau alami dengan atau tanpa aplikasi panas, yang tidak
menyebabkan perubahan minyak.
Pemerian : cairan jernih; bebas dari bau tengik dan rasa asing
Fungsi : memudahkan penyerapan pada kulit
(ACCP Standard for VCO, n.d.)
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6) Nipagin
Metil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih
dari 101,0% C8H8O3
Pemerian : serbuk hablur halus; putih; hampir tidak berbau; tidak
mempunyai rasa; kemudian agak membakar diikuti rasa
tebal
Kelarutan : larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih,
dalam 3,5 bagian etanol (95%) P dan dalam 3 bagian
aseton P; mudah larut dalam eter P dan dalam larutan
alkali hidroksida; larut dalam 60 bagian gliserol P panas
dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas, jika
didinginkan larutan tetap jernih
Suhu lebur : 1250-1280C
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik
Fungsi : zat pengawet antimikroba
(Depkes RI, 1979; Rowe, et al., 2009)
7) Nipasol
Propil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih
dari 101,0% C10H12O3
Pemerian : serbuk hablur tidak berbau; tidak berasa
Kelarutan : sangat sukar larut dalam air; larut dalam 3,5 bagian etanol
(95%) P, dalam 3 bagian aseton P, dalam 140 bagian
gliserol P dan dalam 40 bagian minyak lemak, mudah
larut dalamlarutan alkali hidroksida
Titik didih : 2950C
Suhu lebur : 950-980C
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik
Fungsi : zat pengawet antimikroba
(Depkes RI, 1979; Rowe, et al., 2009)
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8) Aquades
Air suling dibuat dengan menyuling air yang dapat diminum
Pemerian : cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak
mempunyai rasa
Titik didih : 1000C
Fungsi : pelarut fase air
(Depkes RI, 1979)
2.10 Hewan Percobaan
Hewan coba merupakan hewan yang dikembangbiakkan untuk
digunakan sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada berbagai
macam penelitian medis selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan tikus
memiliki karakteristik genetik yang unik, mudah berkembang biak, murah
serta mudah untuk mendapatkanya. Tikus merupakan hewan yang
melakukan aktivitasnya pada malam hari (nocturnal) (Adiyati, 2011 dalam
Mely, 2015).
Tikus merupakan hewan mamalia yang paling umum digunakan
sebagai hewan percobaan pada laboratorium, dikarenakan banyak
keunggulan yang dimiliki oleh tikus sebagai hewan percobaan, yaitu
memiliki kesamaan fisiologis dengan manusia, siklus hidup yang relatif
pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan
mudah dalam penanganan (Moriwaki, 1994 dalam Mely, 2015).
Tikus putih merupakan strain albino dari Rattus norvegicus. Tikus
memiliki beberapa galur yang merupakan hasil pembiakkan sesama jenis
atau persilangan. Selain Wistar, galur yang sering digunakan untuk
penelitian adalah galur Sprague Dawley. Galur ini berasal dari peternakan
Sprague Dawley, Madison, Wiscoustin (Sirosis, 2005 dalam Mely, 2015).
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Taksonomi tikus menurut Besselsen (2004) dalam Mely (2015)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Sub-kelas : Theria
Ordo : Rodensia
Sub-ordo : Scuirognathi
Famili : Muridae
Sub-famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley termasuk ke
dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini yaitu
bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal dan
pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang
paling terlihat adalah ekornya yang panjang (lebih panjang dibandingkan
tubuh). Bobot badan tikus jantan pada umur dua belas minggu mencapai
240 gram sedangkan betinanya mencapai 200 gram. Tikus memiliki lama
hidup berkisar antara 4-5 tahun dengan berat badan umum tikus jantan
berkisar antara 267 -500 gram dan betina 225 -325 gram (Sirois, 2005,
dalam Mely 2015).
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.1 Data Biologis Tikus (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988
dalam Nuha, 2015)
Lama hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun
Lama produksi ekonomis 1 tahun
Lama bunting 20-22 hari
Umur dewasa 40-60 hari
Umur dikawinkan 8-10 minggu (jantan dan betina)
Siklus kelamin Poliestrus
Siklus estrus (berahi 4-5 hari
Lama estrus 9-20 jam
Perkawinan Pada waktu estrus
Ovulasi 8- 11 jam sesudah timbul estrus, spontan
Fertilisasi 7-10 jam sesudah kawin
Implantasi 5-6 hari sesudah fertilisasi
Berat dewasa 300-400 g jantan; 250-300 g betina
Suhu (rektal) 36-39oC (rata-rata 37,5oC)
Pernapasan 65-115/menit, turun menjadi 50 dengan
anestesi, naik sampai 150 dalam stress
Denyut jantung 330-480/menit, turun menjadi 250 dengan
anestesi, naik sampai 550 dalam stress
Tekanan Darah 90-180 sistol, 60-145 diastol, turun menjadi
80 sistol, 55 diastol dengan anestesi
Konsumsi oksigen 1,29-2,68 ml/g/jam
Sel darah merah 7,2-9,6 x 106/mm3
Sel darah putih 5,0-13 0 x 103/mm3
SGPT 17,5-30,2 lU/liter
SGOT 45,7-80,8 IU/liter
Kromosom 2n=42
Aktivitas nokturnal (malam)
Konsumsi makanan 15-30 g/hari (dewasa)
Konsumsi minuman 20-45 ml/hari (dewasa)
23 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini bertempat di Laboratorium Laboratorium
Farmakognosi dan Fitokimia, Laboratorium Penelitian 1, Laboratorium
Penelitian 2, Laboratorium Kimia Obat, dan Animal House Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian dilakukan pada bulan November 2015 hingga bulan Agustus
2016
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Alat Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain gunting, pisau,
botol maserasi, erlenmeyer, batang pengaduk, corong, erlenmeyer, rotary
evaporator, water bath, spatula, gelas ukur, batang pengaduk, beaker
glass, kapas, alumunium foil, termometer, tabung reaksi, pipet tetes, tanur,
cawan penguap, krus porselen, kaca arloji, botol timbang, lumpang, alu,
pH meter, hot plate, pipet tetes, kaca objek dan penutupnya, mikroskop,
timbangan hewan, kandang tikus, tempat makanan tikus, tempat minum
tikus, masker, handscoon, spuit 1 cc, pinset, gunting bedah, alcohol swab,
wadah pembiusan, plat logam berukuran 4 x 2 cm.
3.2.2 Bahan Uji
Bahan uji pada penelitian ini adalah ekstrak etanol tumbuhan
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Tumbuhan paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr diambil dari lingkungan sekitar kampus Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dideterminasi di
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Indonesian Institute of Science)
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Center for Plant Conservation
Botanic Gardens), Indonesia.
3.2.3 Bahan Kimia
Bahan-bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini antara lain,
etanol 96%, alkohol 70%, larutan HCl, kloroform, amoniak, pereaksi
Dragendroff, pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, serbuk Mg, amil alkohol,
larutan NaOH, FeCl3 1%, FeCl3, HCl 2 M, HCl Pekat, anhidrida asetat,
H2SO4 Pekat, asam asetat glasial, eter, asam stearat, trietanolamin, adeps
lanae, parafin liquid, nipagin dan nipasol, akuades, larutan dapar pH 4,5
dan pH 6,5, krim silver sulfadiazin 1% (Burnazin Cream 35 G®), cairan
injeksi ketamin 50 mg/ml, Veet®, formalin buffer 10%, pakan tikus,
larutan hematoksilin eosin.
3.3 Hewan Uji
Peneiltian ini menggunakan hewan uji berupa tikus putih jantan
galur Sprague Dawley yang sehat berumur 2-3 bulan dengan berat badan
100 - 150 gram yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH),
Institut Pertanian Bogor.
3.4 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental menggunakan tikus
putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley yang dibagi ke
dalam 5 kelompok masing-masing kelompok terdiri dari 6 tikus.
Kelompok kontrol negatif diberikan basis krim sediaan ekstrak etanol
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr, kelompok kontrol
positif diberikan krim silver sulfadiazine 1% (Burnazin Cream 35 G®),
kelompok uji konsentrasi 2,5% diberikan sediaan krim ekstrak etanol
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 2,5%,
kelompok uji konsentrasi 5% diberikan sediaan krim ekstrak etanol
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 5%, dan
kelompok uji konsentrasi 10% diberikan sediaan krim ekstrak etanol
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 10%.
Tabel 3.1 Rancangan Penelitian
Kelompok Perlakuan Jumlah
Tikus
Frekuensi
Perlakuan
Lama
Perlakuan
Kontrol negatif
Pemberian
basis sediaan
krim ekstrak
etanol
Nephrolepis
falcata
(Cav.) C. Chr
6
2 x sehari
pada pagi
dan sore
hari
21 hari
Kontrol positif
Pemberian
sediaan krim
silver
sulfadiazine
1%
(Burnazin
Cream 35
G®)
6
2 x sehari
pada pagi
dan sore
hari
21 hari
Uji konsentrasi 2,5%
Pemberian
sediaan krim
ekstrak
etanol
tumbuhan
paku
Nephrolepis
falcata
(Cav.) C. Chr
konsentrasi
6
2 x sehari
pada pagi
dan sore
hari
21 hari
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2,5%
Uji konsentrasi 5%
Pemberian
sediaan krim
ekstrak
etanol
tumbuhan
paku
Nephrolepis
falcata
(Cav.) C. Chr
konsentrasi
5%
6
2 x sehari
pada pagi
dan sore
hari
21 hari
Uji konsentrasi 10%
Pemberian
sediaan krim
ekstrak
etanol
tumbuhan
paku
Nephrolepis
falcata
(Cav.) C. Chr
konsentrasi
10%
6
2 x sehari
pada pagi
dan sore
hari
21 hari
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.5 Kegiatan Penelitian
3.5.1 Determinasi Tumbuhan
Sejumlah sampel tumbuhan paku di lingkungan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang diperoleh, terlebih dahulu dideterminasi untuk memastikan
kebenaran jenis tumbuhan tersebut sesuai dengan yang dimaksudkan untuk
uji. Determinasi tumbuhan paku ini dilakukan di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (Indonesian Institute of Science) Pusat Konservasi
Tumbuhan Kebun Raya (Center for Plant Conservation Botanic Gardens),
Indonesia.
3.5.2 Penyiapan Simplisia
Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr diambil di
sekitar lingkungan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Bagian tumbuhan paku Nephrolepis falcata
(Cav.) C. Chr yang digunakan adalah bagian batang dan daun.
Pengambilan sampel tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
menggunakan gunting pemotong dan dipilih bagian tumbuhan yang segar
dan masih dalam keadaan baik.
Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah
dipilih lalu ditimbang beratnya menggunakan timbangan dan dicatat berat
sampel basah tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang
didapatkan. Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah
ditimbang langsung dicuci dengan air mengalir lalu dikering anginkan
sampai batang dan daun tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
tersebut dapat dipatahkan. Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr yang telah dikeringkan kemudian disortasi kering lalu dihaluskan
menggunakan blender untuk mendapatkan serbuk simplisia. Serbuk
simplisia tersebut kemudian ditempatkan dalam wadah tertutup terhindar
dari cahaya matahari.
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.5.3 Pembuatan Ekstrak
Metode ekstraksi yang digunakan untuk mengekstrasksi tumbuhan
paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr adalah metode ekstraksi cara
dingin yakni maserasi. Serbuk simplisia tumbuhan paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr dimaserasi menggunakan pelarut etanol 96% dalam
wadah botol maserasi tertutup berwana gelap. 1.500 mL pelarut etanol
96% dimasukan ke dalam wadah berisi 554 gram serbuk simplisia
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr, setelah itu dilakukan
sesekali pengadukkan. Remaserasi dilakukan hingga pelarut yang
digunakan untuk maserasi telah berwarna bening yang diasumsikan bahwa
tidak ada lagi senyawa yang belum tertarik dari sampel tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr tersebut. Simplisia yang telah
dimaserasi disaring menggunakana kapas untuk mendapatkan maserat.
Maserat dihilangkan pelarutnya dengan menggunakan rotary evaporator
hingga didapatkan ekstrak kental. Ekstrak kental yang didapatkan dihitung
rendemennya dengan menggunakan rumus berikut ini:
% rendemen =
x 100
3.5.4 Skrining Fitokimia
Dilakukan skrining fitokimia pada esktrak etanol tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr untuk memastikan bahwa senyawa
flavonoid dan fenol terdapat pada ekstrak etanol tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang akan diujikan.
3.5.4.1 Identifikasi Flavonoid
Sejumlah ekstrak diteteskan beberapa tetes larutan NaOH. Ekstrak
dikatakan positif mengandung flavonoid jika terbentuk warna kuning yang
kuat dan menjadi tak berwarna pada penambahan asam encer. (Somkuwar
dan Kamblel, 2013)
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.5.4.2 Identifikasi Fenol
Sejumlah ekstrak ditambahkan 3-4 tetes larutan FeCl3. Ekstrak
dikatakan positif mengandung fenol jika terbentuk warna hitam
kebiruan. (Tiwari, et al., 2011)
3.5.5 Standardisasi Ekstrak
3.5.5.1 Penentuan Parameter Spesifik (Depkes RI, 2000)
1. Deskripsi tata nama:
1) Nama ekstrak (generik, dagang, paten)
2) Nama latin tumbuhan (sistematika botani)
3) Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, dsb)
4) Nama Indonesia tumbuhan
2. Organoleptik
1) Bentuk : padat, serbuk-kering, kental, cair
2) Warna : kuning, coklat, dll
3) Bau : aromatik, tidak berbau, dll
4) Rasa : pahit, manis, kelat, dll
3.5.5.2 Penentuan Parameter Non Spesifik
1. Parameter Kadar Air
Penentun kadar air bertujuan untuk memberikan batasan maksimal
kandungan air di dalam sediaan, karena jumlah air yang tinggi dapat
menjadi media tumbuhnya bakteri dan jamur yang dapat merusak senyawa
yang terkandung di dalam sediaan. Ditimbang 10 g ekstrak dan
dimasukkan ke dalam wadah yang sebelumnya telah ditara. Keringkan
wadah berisi ekstrak tersebut pada suhu 105oC selama 5 jam dan
ditimbang (Departemen Kesehatan RI, 2000).
Kadar Air =
× 100%
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Parameter Kadar Abu
Sejumlah 2 g ekstrak ditimbang dengan seksama dalam krus yang
telah ditera, dipijarkan perlahan- lahan. Kemudian suhu dinaikkan secara
bertahap hingga 600 ± 25oC sampai bebas karbon, selanjutnya didinginkan
dalam desikator, serta ditimbang berat abu. Kadar abu dihitung dalam
persen berat sampel awal. (Departemen Kesehatan RI, 2000 dalam Anam,
2011)
Kadar Abu =
× 100%
3.5.6 Pembuatan Krim Ekstrak
Sediaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sediaan
krim yang mengandung ekstrak etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr dengan konsentrasi 2,5%, 5% dan 10%. Pemilihan
konsentrasi didasarkan pada penelitian sebelumnya mengenai tumbuhan
paku Blechnum orientale Linn oleh Lai, et al (2011) yang menyebutkan
bahwa konsentrasi 2% dari ekstrak metanol tumbuhan paku Blechnum
orientale Linn memiliki aktivitas penyembuhan luka bakar yang signifikan
dan penelitian lain tumbuhan paku Lygodium flexuosum oleh Wasiullah
(2014) yang menyebutkan bahwa konsentrasi 5% dari ekstrak Lygodium
flexuosum memiliki aktivitas penyembuhan luka bakar. Sehingga
konsentrasi 5% dipilih sebagai konsentrasi sedang dan dibuat 2
konsentrasi lainnya yang merupakan 1/2 kali dan 2 kali lipat konsentrasi
5% yakni konsentrasi 2,5% sebagai konsentrasi rendah dan 10% sebagai
konsentrasi tinggi. Masing-masing sediaan krim dibuat sebanyak 50 gram.
Formulasi sediaan krim dipilih berdasarkan penelitian Rahim, et al
(2011) mengenai formulasi krim ekstrak etanol daun ubi jalar yang
memiliki kandungan senyawa diantaranya flavonoid dan polifenol.
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penelitian tersebut menyebutkan formula pada tabel 3.2 sebagai basis
sediaan krim ekstrak etanol daun ubi jalar mampu memberikan efektifitas
lebih cepat dibandingkan formula lainnya. Selain itu secara umum sediaan
krim mempunyai keuntungan diantaranya mudah dioleskan pada kulit,
mudah dicuci setelah dioleskan, krim dapat digunakan pada luka yang
basah, dan terdistribusi merata.
Tabel 3.2 Formula Basis Krim (Rahim, et al., 2011)
Asam stearat 14,5 gram
Trietanolamin (TEA) 1,5 mL
Adeps lanae 3 gram
Paraffin liquidum 5 mL
Virgin Coconut Oil (VCO) 20 mL
Nipagin 0,1 gram
Nipasol 0,05 gram
Aquadest ad 100 mL
Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan basis krim
ditimbang. Fase minyak (paraffin liquidum, asam stearat, adeps lanae, dan
VCO) dalam cawan penguap dilebur diatas water bath pada suhu 60-70C.
Fase air (nipagin, nipasol, TEA, dan akuades) dalam cawan penguap yang
lain dilebur di atas water bath pada suhu 60-70C. Pada suhu 60-70oC fase
minyak yang telah lebur dimasukan kedalam lumpang dan dicampur
dengan fase air yang juga sudah dilebur sambil terus diaduk dengan alu.
Pengadukan terus dilakukan hingga suhu menurun dan terbentuk massa
krim yang homogen.
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 3.3 Formula Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr
Sediaan
Konsentrasi
Ekstrak Etanol
Tumbuhan
Nephrolepis
falcata (Cav.)
C. Chr
Basis Krim
add
Berat Ekstrak
Etanol
Tumbuhan Paku
Nephrolepis
falcata (Cav.)
C. Chr
Kontrol Negatif - 50 g -
Uji Konsentrasi 2,5% 2.5% 50 g 1.25 g
Uji Konsentrasi 5% 5% 50 g 2.5 g
Uji Konsentrasi 10% 10% 50 g 5 g
Masing-masing sedian krim ekstrak etanol tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dengan konsentrasi yang berbeda dibuat
dengan cara menimbang ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr sesuai dengan perhitungan yakni 1.25 gram ekstrak
etanol Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr untuk sediaan
krim uji konsentrasi 2.5%, 2.5 gram ekstrak etanol tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr untuk sediaan krim uji konsentrasi 5%),
dan 5 gram ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr untuk sediaan krim uji konsentrasi 10%. Ekstrak etanol tumbuhan
paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah ditimbang dimasukkan
ke dalam lumpang dan ditambahkan basis krim sedikit demi sedikit hingga
50 gram sambil terus diaduk. Campuran tersebut diaduk hingga homogen
dan disimpan dalam wadah krim yang sudah diberi label.
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.5.7 Evaluasi Sediaan Krim
3.5.7.1 Pengamatan Organoleptik
Pemeriksaan pemerian sediaan krim terdiri dari pemeriksaan
bentuk, warna, dan bau (Depkes RI, 1985 dalam Agustin, et al., 2013).
3.5.7.2 Homogenitas
Pengujian homogenitas dilakukan dengan cara mengoleskan krim
yang telah dibuat pada kaca objek, kemudian dikatupkan dengan kaca
objek lainnya dan dilihat apakah basis tersebut homogen dan apakah
permukaannya halus merata. (Harun, 2014)
3.5.7.3 Pemeriksaan pH
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang
sebelumnya telah dikalibrasi. Pemeriksaan pH dilakukan dengan
mencelupkan elektroda ke dalam krim yang telah dibuat. pH sediaan krim
yang dihasilkan diharapkan memenuhi rentang pH sediaan topikal yang
tidak menimbulkan iritasi kulit dan mendekati pH kulit normal yakni tidak
kurang dari 4 dan tidak lebih dari 8 (Paudel, et al., 2010)
3.5.8 Persiapan Hewan Uji
Hewan uji tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague
Dawley didatangkan 7 hari sebelum eksperimen untuk memberikan waktu
kepada tikus beradaptasi dengan lingkungannya. Masing-masing tikus
ditempatkan pada 1 kandang plastik terpisah, dialasi sekam, dan diberi
tutup berupa jaring kawat. Tikus diberikan akses makanan dan minuman.
Tikus dipantau kesehatannya dan diukur berat badannya setiap hari. (Ma,
et al., 2015). Hewan uji yang telah selesai digunakan untuk penelitian
dieutanasia dengan eter berlebih, setelah itu hewan uji yang telah
dipastikan mati, dibungkus dengan kertas dan dikubur di dalam tanah.
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.5.9 Perlakuan Hewan Uji
3.5.9.1 Pembuatan Luka Bakar
Pembuatan luka bakar derajat dua dilakukan mengacu kepada
penelitian Akhoondinasab, et al (2014) dan Verma, et al (2012) dengan
sedikit modifikasi yakni dengan cara tikus setelah dianestesi menggunakan
injeksi ketamin 50 mg/kg secara intramuskular rambut tikus dibagian
dorsal digunting, kemudian dioleskan dengan krim depilatori (krim Veet®)
selama 3-5 menit dan dicukur. Daerah dorsal yang telah dicukur lalu
dibersihkan dengan alkohol 70%. Pembuatan luka bakar pada tikus
dilakukan dengan plat logam berukuran 4 x 2 cm yang sebelumnya telah
dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit. Plat besi tersebut
kemudian ditempelkan selama 10 detik pada bagian dorsal sekitar 3 cm
dari auricula tikus yang telah dicukur.
3.5.9.2 Pemberian Bahan Uji
Tikus yang sudah dilukai bakar masing-masing diberi bahan uji
berdasarkan kelompok perlakuan. Tikus putih (Rattus novergicus) jantan
galur Sprague Dawley sebanyak 30 ekor dibagi ke dalam 5 kelompok.
Kelompok kontrol negatif diberikan basis krim sediaan ekstrak etanol
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Kelompok kontrol
positif diberikan krim silver sulfadiazin 1% (Burnazin Cream 35 G®).
Kelompok uji konsentrasi 2,5% diberikan sediaan krim ekstrak etanol
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 2.5%.
Kelompok uji konsentrasi 5% diberikan sediaan krim ekstrak etanol
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 5 %.
Kelompok uji konsentrasi 10% diberikan sediaan krim ekstrak etanol
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 10%.
Frekuensi perlakuan dilakukan sejak hari dibuatnya luka bakar
hingga hari ke 21 atau hingga terlepasnya keropeng (Shenoy, et al., 2012).
Frekuensi perlakuan yakni 2 x sehari yakni pada pagi dan sore hari.
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Balqis, et al., 2014; Farahpour, et al., 2014). Luas pemberian basis krim
sediaan ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr,
krim silver sulfadiazin 1% (Burnazin Cream 35 G®), dan krim ekstrak
etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr menutupi luka
yang telah dibuat.
3.5.10 Pengamatan Penyembuhan Luka Bakar
Pengamatan penyembuhan luka dilakukan selama 21 hari.
Pengamatan visual secara makroskopis dilakukan dengan pengamatan
langsung setiap hari dimulai pada hari yang sama setelah pembuatan luka.
Luas luka diukur dengan aplikasi ImageJ (Nuha, 2015).
Persentase penyembuhan luka dihitung dengan rumus :
Dimana :
A = luas rata-rata
A0 = luas luka setelah pembuatan luka
Ax = luas luka pada hari dilakukan pengamatan
Pengamatan visual secara mikroskopis dilakukan dengan dengan
mengamati preparat histopatologi pada hari ke 7. Pemilihan pengamatan
preparat histopatologi pada hari ke 7 didasarkan pada penelitian Cakir dan
Yegen (2004) yang menyebutkan TGF-β merupakan kemoatraktif kuat
monosit, neutrofil, dan fibroblas, merangsang banyak aspek perbaikan
jaringan. Tingkat TNF-β plasma meningkat pada hari ke-6 sampai ke-8
setelah terjadinya luka. Sehingga pada waktu hari ke 7 kemungkinan
parameter mikroskopis yang akan diamati seperti sel radang, fibroblas,
neokapilerisasi, dan reepitelisasai bisa teramati.
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.5.11 Eksisi Jaringan Kulit Tikus
Pengambilan sampel jaringan kulit dilakukan pada hari ke 7 dari
kelima kelompok diambil masing-masing 1 ekor tikus. Tikus pada setiap
kelompok dieutanasia dengan eter. Pada bagian kulit yang luka dan
disekeliling daerah luka dibuat eksisi dan fiksasi dengan formalin 10%
(Nasiri et al., 2015; Bairy et al., 2011).
3.5.12 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Tikus
Jaringan kulit yang diperoleh kemudian dibuat preparat
histopatologi dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Menurut Balqis, et al (2014) teknik pembuatan
preparat histopatologis jaringan tikus adalah dengan cara jaringan kulit
yang sudah dieksisi dimasukkan ke dalam larutan formalin 10%. Waktu
fiksasi jaringan 18-24 jam. Setelah fiksasi selesai, jaringan didehidrasi
dalam larutan aseton 2x masing-masing selama 1 jam. Selanjutnya pada
jaringan dilakukan clearing dalam larutan kloroform 2x masing-masing
selama 1 jam. Kemudian jaringan diinfiltrasi dalam larutan kloroform
paraffin selama 1,5 jam dan paraffin infiltrasi selama 1,5 jam. Jaringan
ditanam pada paraffin block. jaringan yang sudah padat dipotong setebal 5
mikron dengan mikrotom. Potongan jaringan ditempelkan pada kaca objek
yang sebelumnya telah diolesi albumin-gliserin sebagai perekat. Jaringan
pada kaca objek diletakksn di atas hot plate hingga mengering. Kemudian
diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE) untuk pemeriksaan
mikroskopik.
3.5.13 Pengamatan Preparat Histopatologi
Parameter yang diamati pada preparat histopatologi yang telah
diwarnai dengan pewarna hematoksilin eosin (HE) pada 20 lapang
pandang menggunakan mikroskop cahaya Olympus SZ61 dengan
perbesaran 100x, 200x, dan 400x. Parameter-parameter pengamatan
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblast,
neokapilerisasi, dan reepitelisasi setelah diamati selanjutnya dinilai dengan
metode skoring sebagai berikut :
Tabel 3.4 Kriteria Skoring Parameter Histopatologi Jumlah Sel Radang
(Mawarti, et al., 2014)
Skor Jumlah Sel Radang
+1 Sel radang menyebar dengan kepadatan
rendah (1 – 50 sel per lapang pandang)
+2 Sel radang menyebar dengan kepadatan
sedang ( > 50 - 100 sel per lapang pandang)
+3 Sel radang menyebar dengan kepadatan rapat
( > 1 – 100 sel per lapang pandang)
+4 Sel radang menyebar dengan kepadatan
sangat ( > 200 sel per lapang pandang)
Tabel 3.5 Kriteria Skoring Parameter Histopatologi Jumlah Fibroblas
(Duarte, et al., 2011)
Skor Jumlah Fibroblas
0 Tidak ada fibroblas
1 Sedikit fibroblas
2 Fibroblas tidak beraturan
3 Fibroblas sejajar dengan permukaan luka
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 3.6 Kriteria Skoring Parameter Histopatologi Neokapilerisasi
(Mehrabani, et al., 2009) dalam (Hosseini, S.V., et al 2011)
Skor Neokapilerisasi
0 Tidak ada angiogenesis, ada kongesti,
pendarahan, edema
1 1 – 2 pembuluh per jaringan, edema,
pendarahan, kongesti
2 3 – 4 pembuluh per jaringan, edema sedang,
kongesti
3 5 – 6 pembuluh jaringan, edema ringan,
kongesti
4 Lebih dari 7 pembuluh per jaringan tersimpan
secara vertikal menuju permukaan epitel
3.5.14 Rencana Analisis Data
Data yang diperoleh berupa waktu dan luas penyembuhan luka,
histopatologi (penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas,
dan neokapilerisasi) diuji secara statistik. Analisis data hasil uji
menggunakan software pengolah data dan disajikan dalam bentuk mean
dan standar deviasi dari masing-masing kelompok. Data dianalisis dengan
uji One-Way ANOVA dan uji Paired T Data statistik signifikan pada nilai
P < 0,05.
39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Determinasi Tumbuhan
Sampel tumbuhan diambil di sekitar lingkungan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan dideterminasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Indonesian
Institute of Science) Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Center for
Plant Conservation Botanic Gardens). Sampel tumbuhan tersebut
dinyatakan sebagai tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
4.1.2 Penyiapan Simplisia
Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang masih
segar dan dalam keadaan baik diambil bagian batang dan daunnya pada
bulan Desember 2015. Didapatkan 2 kg sampel segar tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Sampel segara tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr tersebut selanjutnya dicuci dengan air
mengalir dan dikering anginkan sampai batang dan daun tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr tersebut dapat dipatahkan. Tumbuhan
paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah kering kemudian
dihaluskan menggunakan blender dan didapatkan 554 g serbuk simplisia.
4.1.3 Ekstraksi
Sebanyak 554 g serbuk simplisia tumbuhan paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr yang didapatkan selanjutnya dimaserasi dengan
etanol 96%. Hasil maserasi diuapkan dengan Rottary Evaporator untuk
menghilangkan pelarutnya hingga didapatkan ekstrak kental. Ekstrak
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kental yang diperoleh sebanyak 56,07 gram dengan persentase rendemen
10,12%.
4.1.4 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr yang dilakukan pada penelitian ini adalah
identifikasi golongan senyawa flavonoid dan fenol.
Tabel 4.1 Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
No Golongan
Kimia
Hasil
Pengamatan Keterangan
1 Flavonoid + Terbentuk warna kuning
2 Fenol + Terbentuk warna hitam kebiruan
Hasil uji identifikasi flavonoid pada ekstrak etanol tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr menghasilkan warna kuning sedangkan
uji identifikasi fenol menghasilkan warna hitam kebiruan, hal ini
menunjukkan ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr positif mengandung senyawa flavonoid dan fenol.
4.1.5 Standardisasi Ekstrak
Standardisasi ekstrak bertujuan untuk menjamin mutu dan kualitas
suatu produk obat tradisional. Standardisasi ekstrak terdisri dari penentuan
parameter spesifik dan non spesifik. Hasil penentuan parameter spesifik
dan non spesifik ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.)
C. Chr disajikan dalam tabel 4.2.
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.2 Hasil Penentuan Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak
Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
Parameter Spesifik
Deskripsi Tata Nama
Parameter Hasil
Nama latin tumbuhan Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
Nama Indonesia tumbuhan Paku pedang, paku sepat
Bagian tumbuhan yang digunakan Batang dan daun
Nama ekstrak Ekstrak Etanol Paku
Organoleptis
Parameter Hasil
Bentuk Ekstrak kental
Warna Hijau tua kehitaman
Bau Khas ekstrak
Parameter Non Spesifik
Parameter Hasil
Kadar air 2,82%
Kadar abu 5,53%
Tabel 4.2 menunjukkan hasil uji parameter spesifik dan
nonspesifik dari ekstrak tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr. Hasil uji parameter non spesifik berupa kadar air didapatkan sebesar
2,82% sesuai dengan syarat kadar air untuk ekstrak bahan alam yaitu ≤
10% (Depkes RI, 1994 dalam Ratnani, et al., 2015). Parameter nonspesifik
berupa kadar abu didapatkan sebesar 5,53% sesuai dengan syarat kadar
abu untuk ekstrak bahan alam yakni tidak boleh lebih dari 10,2 % (Depkes
RI, 2009 dalam Ratnani, et al., 2015).
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.6 Pembuatan Krim Ekstrak
Sediaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sediaan krim
yang mengandung ekstrak etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata
(Cav.) C. Chr dengan konsentrasi 2,5%, 5% dan 10%.
Tabel 4.3 Formula Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr
Sediaan
Konsentrasi
Ekstrak Etanol
Tumbuhan
Nephrolepis
falcata (Cav.)
C. Chr
Basis Krim
add
Berat Ekstrak
Etanol
Tumbuhan Paku
Nephrolepis
falcata (Cav.)
C. Chr
Kontrol Negatif - 50 g -
Uji Konsentrasi 2,5% 2.5% 50 g 1.26 g
Uji Konsentrasi 5% 5% 50 g 2.53 g
Uji Konsentrasi 10% 10% 50 g 5.07 g
Sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata
(Cav.) C. Chr yang digunakan pada penelitian ini dibuat dengan
menambahkan 1.26 g, 2.5 g, dan 5.07 gram ekstrak etanol tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ke dalam basis krim untuk masing-
masing sediaan krim uji konsentrasi 2.5%, 5%, dan 10% secara berturut-
turut. Pembuatan basis krim dilakukan dengan mencampurkan fase
minyak dan fase air yang masing-masing telah dilebur secara terpisah pada
suhu 60-70oC. Pencampuran fase minyak dan fase air dilakukan di dalam
lumpang dan di aduk dengan alu hingga suhu menurun dan terbentuk
massa krim yang homogen.
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.7 Evaluasi Sediaan Krim
Evaluasi sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr disajikan dalam tabel 4.4.
Tabel 4.4 Hasil Evaluasi Sediaan Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
Evaluasi Sediaan Hasil
Organoleptik
Warna
Kontrol Negatif Putih Susu
Uji Konsentrasi 2,5% Hijau muda
Uji Konsentrasi 5% Hijau
Uji Konsentrasi 10% Hijau tua
Bentuk
Kontrol Negatif Setengah Padat
Uji Konsentrasi 2,5% Setengah Padat
Uji Konsentrasi 5% Setengah Padat
Uji Konsentrasi 10% Setengah Padat
Bau
Kontrol Negatif Lemah
Uji Konsentrasi 2,5% Khas ekstrak
Uji Konsentrasi 5% Khas ekstrak
Uji Konsentrasi 10% Khas ekstrak
Homogenitas
Kontrol Negatif Homogen
Uji Konsentrasi 2,5% Homogen
Uji Konsentrasi 5% Homogen
Uji Konsentrasi 10% Homogen
pH
Kontrol Negatif 7,22
Uji Konsentrasi 2,5% 6,59
Uji Konsentrasi 5% 6,52
Uji Konsentrasi 10% 6,21
Tabel 4.2 menunjukkan semua sediaan krim yang dibuat homogen.
pH sediaan krim yakni 6,59, 6,52, 6,21, dan 7,22 untuk sediaan krim uji
konsentrasi 2,5%, 5%, 10%, dan kontrol negatif secara berturu-turut. pH
sediaan krim yang dihasilkan memenuhi rentang pH sediaan topikal yang
tidak menimbulkan iritasi kulit, optimal untuk absorbsi sediaan mela lui
kulit, dan mendekati pH kulit normal yakni tidak kurang dari 4 dan tidak
lebih dari 8 (Paudel, et al., 2010).
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.8 Pengukuran Berat Badan Tikus
Berat badan tikus ditimbang setiap hari dan profilnya disajikan
dalam gambar grafik berat badan mingguan tikus yang disajikan pada
gambar 4.1.
Gambar 4.1 Grafik Rerata Pengukuran Berat Badan Tikus
Profil berat badan tikus pada gambar 4.1 menggambarkan bahwa
berat badan tikus meningkat pada semua kelompok perlakuan, hal tersebut
menggambarkan bahwa perlakuan yang diberikan kepada tikus tidak
menyebabkan penurunan berat badan pada tikus.
Hasil statistik data berat badan tikus menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan signifikan pada peningkatan berat badan antara semua
kelompok perlakuan pada hari ke-21 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian ekstrak uji tidak berpengaruh terhadap peningkatan
berat badan tikus.
150
160
170
180
190
200
210
220
230
240
250
260
0 7 14 21
Kontrol Negatif
Kontrol Positif
Uji Konsentrasi 2.5%
Uji Konsentrasi 5%
Uji Konsentrasi 10%
Waktu Pengukuran Berat Badan Hari Ke
Ber
at B
adan
(gra
m)
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.9 Pengamatan Visual Luka Bakar
Hasil pengamatan perubahan rerata visual pada luka bakar
dilakukan sejak hari pembuatan luka hingga 21 hari pada kelompok
kontrol negatif, kontrol positif, uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10%. Hasil
pengamatan perubahan rerata visual pada luka bakar dapat dilihat pada
tabel 4.5.
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.5 Pengamatan Rerata Visual Luka Bakar
Keterangan:
P = Putih
PC = Putih kecokelatan
CT = Cokelat Tua
CM = Cokelat kemerahan
TB = Tidak Berwarna
( √ ) = Ada
( - ) = Tidak Ada
Terbentukanya keropeng
menunjukkan fase
poliferasi awal sedangkan
terlepasnya keropeng
menunjukkan telah
terbentuknya sel-sel baru
pada kulit
Perlakuan Keterangan Hari Ke
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 21
Kontrol Negatif
Warna P PC PC PC CT CT CT CT CT CT CT CT
Terbentuk
Keropeng - - - - √ √ √ √ √ √ √ √
Keropeng
Terlepas - - - - - - - - - - - -
Kontrol Positif
Warna P PC CT CT CT CT CT CT CT CT CM TB
Terbentuk
Keropeng - - √ √ √ √ √ √ √ √ √ -
Keropeng
Terlepas - - - - - - - - - - - √
Uji Konsentrasi 2,5%
Warna P PC CT CT CT CT CT CM CM TB TB TB
Terbentuk
Keropeng - - √ √ √ √ √ √ √ - - -
Keropeng
Terlepas - - - - - - - - - √ √ √
Uji Konsentrasi 5%
Warna P PC CT CT CT CT CT CT CM TB TB TB
Terbentuk
Keropeng - - √ √ √ √ √ √ √ - - -
Keropeng
Terlepas - - - - - - - - - √ √ √
Uji Konsentrasi 10%
Warna P PC CT CT CT CT CT CM CM CM CM TB
Terbentuk
Keropeng - - √ √ √ √ √ √ √ √ √ -
Keropeng
Terlepas - - - - - - - - - - - √
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Perubahan warna pada hari ke 0 hingga hari ke-21 menunjukkan
adanya proses penyembuhan luka. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan
kontrol negatif, positif, dan uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10%
berpengaruh terhadap penyembuhan luka bakar. Hasil pengamatan visual
luka bakar menunjukkan rerata waktu pembentukan keropeng hingga
terlepasnya keropeng terjadi pada rentang hari ke- 4 hingga hari ke-21
pada kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji, sedangkan rerata
waktu pembentukan keropeng hingga terlepasnya keropeng terjadi pada
rentang hari ke-8 hingga lebih dari hari ke-21 pada kelompok kontrol
negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr berpengaruh dalam mempercepat waktu
penyembuhan luka dibandingkan kelompok kontrol negatif.
4.1.10 Pengukuran Luas Luka dan Persentase Penyembuhan Luka Bakar
Data luas luka bakar yang diperoleh menggunakan software
ImageJ selanjutnya dianalisis menggunakan statistik. Tabel 4.3
menggambarkan bahwa luas luka tikus mengalami penurunan pada semua
kelompok perlakuan.
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.6 Luas dan Persentase Penyembuhan Luka Bakar
Perlakuan
Rerata
Luas Luka
Awal
(cm2)
Rerata
Luas Luka
Akhir
(cm2)
Rerata
Penuruan
Luas Luka
Hari Ke
(cm2) ± SD
Rerata
Persentase
Penyembuhan
Luka Hari Ke
(%)
Kontrol
Negatif 6,68 ± 0,38 1,09 ± 1,00 5,59 ± 1,22 83,33
Kontrol
Positif 6,03 ± 0,39 0,33 ± 0,64 5,71 ± 0,55 94,86
Uji
Konsentrasi
2,5%
7,35 ± 0,47 0,21 ± 0,32 7,14 ± 0,77 96,92
Uji
Konsentrasi
5%
7,14 ± 0,65 0,18 ± 0,25 6,95 ± 0,51 97,61
Uji
Konsentrasi
10%
7,11 ± 0,74 0,34 ± 0,46 6,77 ± 1,12 94,71
Hasil uji statistik normalitas dan homogenitas data parameter
penurunan luas luka bakar menunjukkan bahwa data terdistribusi secara
normal dan homogen dengan (p > 0,05). Hasil uji Paired T menunjukkan
terdapat perbedaan signifikan penurunan luas luka bakar pada masing-
masing kelompok perlakuan sebelum dan sesudah perlakuan. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr berpengaruh terhadap penurunan luas
luka bakar.
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.2 Grafik Persentase Penyembuhan Luka Bakar
Analisis statistik normalitas dan homogenitas data parameter
persentase penyembuhan luka menunjukkan bahwa data terdistribusi
secara normal dan homogen (p > 0,05) sehingga data lebih lanjut dianalisis
menggunakan uji One-Way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji LSD
(Least Significant Difference). Didapatkan hasil uji One-Way ANOVA
dengan nilai p > 0,05 yang menandakan persentase penyembuhan luka
antar kelompok perlakuan tidak berbeda secara signifikan. Hasil uji LSD
(Least Significant Difference) menunjukkan tidak terdapat perbedaan
signifikan persentase penyembguhan luka bakar antara kelompok kontrol
negatif terhadap kelompok kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa
perlakuan pada kelompok kontrol positif tidak efektif terhadap
penyembuhan luka karena menghasilkan persentase penyembuhan luka
yang tidak besar perbedaannya dengan persentase penyembuhan luka
kelompok kontrol negatif. Tidak terdapat perbedaan signifikan persentase
penyembuhan luka antara kelompok uji konsentarasi 2,5%, 5%, dan 10%.
Hal ini menunjukkan bahwa baik uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10%
memiliki potensi yang sama besarnya. Tidak terdapat perbedaan signifikan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Kontrol Negatif
Kontrol Positif
Uji Konsentrasi 2,5%
Uji Konsentrasi 5%
Uji Konsentrasi 10%
Rera
ta P
ers
en
tase
Pen
yem
bu
han
Lu
ka B
ak
ar
(%)
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
persentase penyembuhan luka antara kelompok kontrol negatif terhadap
kelompok uji konsentrasi 10%. Hal ini menunjukkan perlakuan uji
konsentrasi 10% tidak berpengaruh terhadap persentase penyembuhan
luka dibandingkan kontrol negatif. Terdapat perbedaan signifikan antara
kelompok kontrol negatif terhadap kelompok uji konsentrasi 2,5% dan 5%
(p < 0,05). Hal ini menunjukkan pemberian esktrak uji 2,5% dan 5%
berpengaruh terhadap persentase penyembuhan luka dibandingkan kontrol
negatif, sehingga uji konsentrasi 2,5% dan 5% adalah konsentarsi uji yang
optimal yang berpengaruh terhadap persentase penyembuhan luka.
4.1.11 Pengamatan Histopatologi
Pengamatan preparat histopatologi dilakukan menggunakan
mikroskop cahaya (Olympus SZ61) secara deskriptif pada perbesaran
100x, 200x, dan 400x dapat dilihat pada gambar 4.5. Preparat
histopatologi yang telah diamati selanjutnya diberikan skor sesuai dengan
masing-masing parameter yang diamati berupa jumlah sel radang, jumlah
fibroblas, dan neokapilerisasi. Hasil skoring histopatologi dapat dilihat
pada tabel 4.5.
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kelompok
Perlakuan
Perbesaran
100x
Perbesaran
200x
Perbesaran
400x
Kontrol
Negatif
Kontrol
Positif
Uji
Konsentrasi
2,5%
Uji
Konsentrasi
5%
Uji
Konsentrasi
10%
Gambar 4.3 Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi Hari Ke-7
(Panah merah menunjukkan pembuluh darah, panah kuning
menunjukkan sel radang, dan panah biru menunjukkan fibroblas)
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel. 4.7 Hasil Penilaian Parameter Mikroskopis Pada Preparat
Hari Ke-7
Kelompok Perlakuan Neokapilerisasi Fibroblas Jumlah Sel
Radang
Kontrol Negatif 1 1 +3
Kontrol Positif 2 2 +1
Uji Konsentrasi 2,5% 2 2 +1
Uji Konsentrasi 5% 2 2 +1
Uji Konsentrasi 10% 2 2 +1
Keterangan:
1 = 1 – 2 neokapilerisasi per jaringan; sedikit fibroblas; susunan epidermis tidak utuh
pada ≥ 50% jaringan;
+1 = sel radang menyebar dengan kepadatan rendah (1 – 50 sel per lapang pandang);
2 = 3 – 4 neokapilerisasi per jaringan; fibroblas tidak beraturan; poliferasi epitel sedang
pada ≥ 60% jaringan;
+2 = sel radang menyebar dengan kepadatan sedang ( > 50 - 100 sel per lapang pandang)
3 = 5 – 6 neokapilerisasi per jaringan; fibroblas sejajar dengan permukaan luka;
remodeling epidermis utuh dalam 80% jaringan;
+3 = sel radang menyebar dengan kepadatan rapat ( > 1 – 100 sel per lapang pandang)
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol positif, uji
konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10% menghasilkan jumlah sel radang yang
lebih sedikit dibandingkan kontrol negatif. Hasil skor parameter jumlah
fibroblas pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol positif, uji
konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10% menghasilkan jumlah fibroblas yang lebih
banyak dibandingkan kontrol negatif. Hasil skor parameter neokapilerisasi
pada tabel 4.7 menunjukan bahwa perlakuan kontrol positif, uji
konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10% menghasilkan pembentukan pembuluh
darah baru (neokapilerisasi) yang lebih banyak dibandingkan kelompok
kontrol negatif. Hal ini menujukkan bahwa pemberian ektrak etanol
tumbuhan paku Nephrolpis falcata (Cav.) C. Chr berpengaruh terhadap
penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan
pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi).
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2 Pembahasan
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak
etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr terhadap
penyembuhan luka bakar. Parameter yang diamati berupa parameter
makroskopis dan mikroskopis. Parameter makroskopis yang diamati
adalah perubahan rerata visual dan waktu penyembuhan luka bakar,
penurunan luas luka dan persentase penyembuhan luka bakar. Parameter
mikroskopis yang diamati berupa parameter penurunan jumlah sel radang,
peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi.
Penelitian dimulai dengan melakukan determinasi tumbuhan.
Determinasi tumbuhan bertujuan untuk memastikan bahwa sampel
tumbuhan yang digunakan pada penelitian adalah benar merupakan
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang masih segar dan dalam keadaan
baik diambil bagian batang dan daunnya. Sampel segar tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dicuci dengan air mengalir bertujuan
untuk menghilangkan kotoran dan sisa-sisa tanah atau pengotor yang
masih menempel pada tumbuhan. Sampel segar tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dikeringkan dengan cara kering angin.
Cara kering angin dipilih karena murah dan mudah dalam pengerjaannya.
Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah kering
kemudian dihaluskan untuk memperkecil ukuran partikel sehingga
memudahkan penetrasi pelarut saat ekstraksi.
Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah
dihaluskan selanjutnya di ekstraksi dengan metode ekstraksi maserasi.
Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yakni dengan cara
tumbuhan utuh atau serbuk kasar tumbuhan dijaga untuk tetap berkontak
dengan pelarut di dalam tempat bertutup selama waktu yang ditentukan
dengan frekuensi pengocokan sampai senyawa terlarut. Metode ekstraksi
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
maserasi dipilih karena cara pengerjaannya relatif sederhana dan
peralatannya mudah digunakan.
Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr adalah pelarut etanol 96%. Pelarut
etanol dengan konsentrasi yang lebih tinggi lebih efisien dalam dinding
sel. Etanol lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran sel untuk
mengekstraksi komponen intraselular dari tumbuhan (Tiwari, et al., 2011).
Dasar dari penggunaan pelarut etanol 96% adalah kemampuannya yang
dapat mengekstraksi senyawa flavonoid dan fenol. Koirewa et al (2012)
dalam Nirwana et al (2015) menyebutkan bahwa etanol 96% mampu
melarutkan senyawa yang bersifat polar diantaranya adalah senyawa
flavonoid. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa senyawa fenol
dapat diekstraksi oleh pelarut etanol 96%. Ekstrak yang didapatkan
dipekatkan dengan evaporator hingga ekstrak menjadi kental. Pemekatan
bertujuan untuk meningkatkan jumlah senyawa terlarut dengan
menguapkan atau menghilangkan pelarut.
Skrining fitokimia pada penelitian ini ditujukan untuk memastikan
bahwa senyawa flavonoid dan fenol yang diperkirakan akan
mempengaruhi penyembuhan luka bakar ada di dalam ekstrak etanol
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr, dan hasil menunjukkan
bahwa ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
positif mengandung senyawa flavonoid dan fenol.
Standardisasi ekstrak parameter non spesifik berupa kadar air dan
kadar abu. Kadar air ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr didapatkan sebesar 1,35% sesuai dengan syarat
kadar air untuk ekstrak bahan alam yaitu ≤ 10% (Depkes RI, 1994 dalam
Ratnani, et al., 2015). Kadar air menentukan stabilitas ekstrak dan bentuk
sediaan selanjutnya. Kadar abu ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr didapatkan sebesar 5,54% sesuai dengan syarat
kadar abu untuk ekstrak bahan alam yakni tidak boleh lebih dari 10,2 %
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Depkes RI., 2009 dalam Ratnani, et al., 2015). Penentuan kadar abu
bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan
eksternal, serta senyawa anorganik total yang berasal dari proses awal
sampai terbentuknya ekstrak.
Ekstrak kental yang didapatkan selanjutnya dibuat ke dalam bentuk
sediaan krim. Sediaan krim dipilih berdasarkan penelitian Rahim, et al
(2011) mengenai formulasi krim ekstrak etanol daun ubi jalar yang
memiliki kandungan senyawa diantaranya flavonoid dan polifenol.
Penelitian tersebut menyebutkan formula yang digunakan sebagai basis
sediaan krim ekstrak etanol daun ubi jalar mampu memberikan efektifitas
lebih cepat dibandingkan formula lainnya. Alasan lainnya secara umum
sediaan krim dipilih karena mempunyai keuntungan diantaranya mudah
dioleskan pada kulit, mudah dicuci setelah dioleskan, krim dapat
digunakan pada luka yang basah, dan terdistribusi merata.
Sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata
(Cav.) C. Chr yang telah dibuat selanjutnya dievaluasi. Evaluasi sediaan
krim pada penelitian ini bertujuan untuk memastikan bahwa sediaan krim
yang akan diaplikasikan pada hewan uji layak diaplikasikan. Evaluasi
sediaan krim pada penelitian ini terdiri dari uji organoleptik, uji
homogenitas, dan uji pH. Sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr terdistribusi secara homogen. Uji
homogenitas bertujuan untuk melihat dan mengetahui tercampurnya
bahan-bahan sediaan krim (Juwita, et al., 2013). pH sediaan krim yang
ideal adalah pH sediaan yang memenuhi rentang pH sediaan topikal, tidak
menimbulkan iritasi kulit, optimal untuk absorbsi sediaan melalui kulit,
dan mendekati pH kulit normal. Ekstrak etanol tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr menurunkan pH basis krim (sediaan
krim kontrol negatif), namun semua sediaan krim yang dibuat tetap masuk
ke dalam rentang pH yang disyaratkan.
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hewan uji yang digunakan berjumlah 30 ekor berupa tikus putih
jantan galur Sprague Dawley yang sehat berumur 2-3 bulan dengan berat
badan 110-150 gram. Tikus betina tidak digunakan untuk menghindari
faktor hormonal (estrogen dan progesteron) dalam penyembuhan luka
(Putri, 2013 dalam Nuha, 2015). Tikus dikelompokkan ke dalam 5
kelompok yakni kelompok kontrol negatif, kontrol positif, uji konsentrasi
2,5%, uji konsentrasi 5%, dan uji konsentrasi 10%. Tikus ditempatkan di
dalam kandang beralaskan sekam dan diberikan akses makan dan minum.
Tikus diaklimatisasi selama 7 hari sebelum uji dilakukan untuk
memberikan waktu penyesuain kepada tikus di lingkungan baru.
Induksi luka bakar dilakukan pada bagian dorsal tikus. Sebelum
induksi luka bakar, tikus dianestesi menggunakan injeksi ketamin 50
mg/kg secara intramuskular. Rambut tikus dibagian dorsal digunting,
kemudian dioleskan dengan krim depilatori selama 3-5 menit dan dicukur.
Daerah dorsal yang telah dicukur lalu dibersihkan dengan alkohol 70%.
Pembuatan luka bakar dilakukan dengan plat besi berukuran 4 x 2 cm yang
sbelumnya telah dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit. Plat besi
tersebut kemudian ditempelkan selama 10 detik pada bagian dorsal tikus
sekitar 3 cm dari aricula tikus.
Hari yang sama dengan hari induksi luka bakar, sediaan krim
ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr sebanyak kurang lebih
350 mg dioleskan pada bagian dorsal tikus yang telah dinduksi luka bakar.
Pemberian sediaan krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
dilakukan setiap hari sebanyak 2 x sehari pada pagi dan sore hari. Tikus
dipantau kesehatannya dan berat badannya. Pemberian sediaan krim
ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr tidak mempengaruhi
penurunan mapun peningkatan berat badan pada tikus.
Pembentukan keropeng menunjukan proses penyembuhan luka
memasuki fase proliferasi tahap awal (Agustina, 2011), sedangkan
terlepasnya keropeng akibat dari telah terbentuknya epitel dan jaringan
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
baru sehingga mendorong keropeng untuk lepas (Prisacaru, 2013). Hasil
pengamatan visual luka bakar menunjukkan rerata waktu pembentukan
keropeng hingga terlepasnya keropeng terjadi pada rentang hari ke- 4
hingga hari ke-21 pada seluruh kelompok uji dan kontrol positif,
sedangkan rerata waktu pembentukan keropeng hingga terlepasnya
keropeng terjadi pada rentang hari ke-8 hingga lebih dari hari ke-21 pada
kelompok kontrol negatif. Rerata waktu terlepasnya keropeng yang
menandakan telah terbentuknya jaringan baru terjadi lebih cepat pada
semua kelompok uji dan kelompok kontrol positif dibandingkan rerata
waktu terlepasnya keropeng pada kelompok kontrol negatif sehingga
disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.)
C. Chr dapat mempercepat penyembuhan luka dibandingkan kelompok
kontrol negatif. Waktu penyembuhan yang lebih cepat dibandingkan
kontrol negatif pada semua perlakuan uji dikarenakan adanya senyawa
flavonoid dan fenol sebagai senyawa aktif yang dapat mempercepat waktu
penyembuhan luka sedangkan tidak ada senyawa aktif pada sediaan
kontrol negatif.
Hasil pengamatan perubahan rerata visual luka bakar didukung
oleh hasil histopatologi yakni parameter penurunan jumlah sel radang dan
peningkatan jumlah fibroblas. Terlihat pada hasil perubahan rerata visual
luka bakar waktu terbentuknya keropeng pada kontrol negatif dimulai
pada hari ke-8, seperti yang diketahui bahwa waktu terbentuknya keropeng
menandakan fase proliferasi awal, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pada hari ke-7 (preparat histopatologi) kontrol negatif masih menunjukkan
fase inflamasi, ditandai dengan jumlah sel radang yang melimpah dan
fibroblas yang masih sedikit dibandingkan semua kelompok uji dan
kontrol positif. Hasil perubahan rerata visual luka bakar waktu
terbentuknya keropeng pada kontrol positif, dan semua kelompok uji
dimulai pada hari ke-4, hal ini menunjukkan bahwa pada hari ke-7
(preparat histopatologi) kontrol positif, dan semua kelompok uji telah
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
melewati fase inflamasi, ditandai dengan penurunan jumlah sel radang dan
peningkatan fibroblas.
Hasil statistik data penurunan luas luka menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan signifikan penurunan luas luka bakar pada semua
kelompok perlakuan uji sebelum dan sesudah perlakuan. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.)
C. Chr berpengaruh terhadap penurunan luas luka bakar. Hal ini
dikarenakan terdapat senyawa flavonoid dan fenol yang berperan dalam
penurunan luas luka pada perlakuan uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10%.
Hasil persentase penyembuhan luka pada semua kelompok uji
lebih besar dibandingkan kelompok kontrol negatif, dan menurut hasil
statistik data persentase penyembuhan luka, diantara ketiga perlakuan uji
(uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10%), perlakuan konsentrasi uji 2,5% dan
5% adalah konsentrasi yang menghasilkan perbedaan persentase
penyembuhan yang signifikan jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol
negatif. Sedangkan pada perlakuan uji konsentrasi 10% menghasilkan
perbedaan persentase penyembuhan yang tidak signifikan jika
dibandingkan dengan perlakuan kontrol negatif. Hal ini menunjukkan
perlakuan uji konsentrasi 2,5% dan 5% adalah konsentrasi yang
berpengaruh terhadap penyembuhan luka, dan hal ini disebabkan adanya
kandungan flavonoid yang optimal pada uji konsentrasi 2,5% dan 5%.
Penelitian pengaruh tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr pada parameter makroskopis yakni penurunan luas luka dan
persentase penyembuhan luka ini sejalan dengan penelitian Wibawani, et
al. (2015) yang menyebutkan bahwa ekstrak etanol daun melati yang
memiliki senyawa saponin, tanin, dan flavonoid mempengaruhi
penyembuhan luka dengan meningkatkan kontraksi pada luka lebih
optimal dibandingkan kontrol negatif.
Hasil pengamatan mikroskopis penelitian pengaruh tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ini menunjukan bahwa perlakuan
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kontrol positif, perlakuan uji konsentrasi baik 2,5%, 5%, dan 10%
menghasilkan jumlah sel radang yang lebih sedikit dibandingkan
kelompok kontrol negatif. Hal ini dikarenakan pada semua perlakuan uji
memiliki kandungan senyawa flavonoid dan fenol yang bekerja sebagai
antioksidan dan antiinflamasi sehingga membantu menekan poliferasi sel
radang dan mempersingkat reaksi inflamasi. Sediaan kontrol positif
memiliki mekanisme aksi berikatan dengan permukaan sel bakteri dan
menghambat pernapasan sel bakteri sehingga menghambat pertumbuhan
bakteri, mencegah infeksi pada luka bakar. Sediaan kontrol positif silver
sulfadiazine juga bekerja dengan memodulasi berbagai proses selular
lainnya di daerah luka, seperti pada penelitian Katadj, et al (2015)
disebutkan bahwa SSD dapat menurunkan jumlah sel radang dibandingkan
kontrol.
Penelitian pengaruh tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr pada parameter mikroskopis yakni penurunan jumlah sel radang
didukung oleh penelitian Wibawani, et al (2015) yang menyebutkan
bahwa ekstrak etanol daun melati yang mengandung senyawa flavonoid
dapat bekerja secara optimal untuk membatasi mediator inflamasi,
menghambat COX-2, lipooksigenase, dan tirosin kinase yang
menyebabkan terjadinya pembatasan jumlah sel inflamasi yang bermigrasi
ke daerah luka, reaksi inflamasi akan berlangsung lebih singkat. Penelitian
Karimi, et al (2013) juga menyebutkan bahwa penurunan signifikan dari
jumlah sel radang merupakan hasil dari kerja komponen antioksidan dan
senyawa fenolik.
Perlakuan pada kontrol negatif menghasilkan nilai skor parameter
jumlah fibroblas yang lebih sedikit dibandingkan perlakuan pada uji
konsentrasi 2,5%, 5%, 10%, dan kelompok kontrol positif. Hal ini
dikarenakan adanya senyawa flavonoid pada sediaan ekstrak uji
konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10% yang dapat menstimulasi poliferasi dan
migrasi fibroblas, sehingga jumlah fibroblas pada kelompok uji
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10% lebih banyak dibandingkan kelompok
kontrol negatif.
Penelitian pengaruh tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr pada parameter mikroskopis yakni jumlah fibroblas didukung oleh
penelitian Wibawani, et al (2015) yakni selain menyebutkan bahwa
dengan adanya flavonoid reaksi inflamasi akan berlangsung lebih singkat,
kemampuan poliferatif dari TGF-β tidak terhambat. TGF-β merupakan
salah satu faktor yang menstimulasi migrasi fibroblas, sehingga jumlah
fibroblas meningkat. Menurut Coelho, et al (2010) dalam Ma, et al (2015)
silver sulfadiazine dapat memberikan efek positif pada proliferasi
fibroblas.
Hasil menunjukkan bahwa pada semua kelompok perlakuan telah
menunjukkan adanya proses penyembuhan luka yang ditandai dengan
neokapilerisasi (pembentukan pembuluh darah baru). Pembuluh darah
baru akan membawa oksigen dan mikronutrisi untuk pertumbuhan
jaringan. Hasil skoring parameter neokapilerisasi menunjukan semua
kelompok perlakuan uji dan kontrol positif menghasilkan pembentukan
pembuluh darah baru yang lebih banyak dibandingkan kontrol negatif. Hal
ini menunjukkan pemberian ekstrak etanol nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr berpengaruh terhadap peningkatan pembentukan pembuluh darah baru
(neokapilerisasi). Hal ini dikarenakan adanya senyawa fenol yang
berperan dalam pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi).
Penelitian pengaruh tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr pada parameter mikroskopis yakni pembentukan pembuluh darah baru
didukung oleh penelitian Karimi, et al (2013) yang menyebutkan bahwa
senyawa fenol yang ada pada daun teh dapat meningkatkan faktor tumbuh
endotel pembuluh yang selanjutnya akan membentuk pembuluh darah
darah baru.
Kiran dan Asad (2008) dalam Shenoy, et al (2012) menyebutkan
bahwa proses penyembuhan luka bakar melibatkan infiltrasi sel radang,
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
angiogenesis, pembentukan jaringan granulasi, sintesis matriks protein
ekstraselular, pembentukan kolagen, dan remodeling, dan menurut Shuid,
et al (2005) dalam Shenoy, et al (2012) selama proses tersebut terjadi
pelepasan enzim lisosomal dari neutrofil, radikal bebas, leukotrin, dan
prostaglandin yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
Senyawa aktif seperti flavonoid diketahui memiliki sifat anti-
inflamasi, antioksidan, dan penyembuhan luka. Peroksidasi lemak
memiliki peran dalam cedera akibat luka bakar. Flavonoid diketahui dapat
menurunkan peroksidasi lemak dengan memperbaiki vaskularitas dan
mencegah atau memperlambat proses nekrosis sel (Nayak, et al., 2006
dalam Shenoy, et al., 2012). Setiap obat yang menghambat peroksidasi
lemak dipercaya dapat meningkatkan viabilitas kolagen fibril dengan
meningkatkan kekuatan serat olagen, meningkatkan sirkulasi, mencegah
kerusakan sel dan mendorong sintesis DNA. Flavonoid mendorong
penyembuhan luka dengan aktivitas astringen dan antimikroba yang
dimiliki yang selanjutnya mendorong kontraksi luka dan mempercepat
periode epitelisasi (Shenoy, et al., 2012). Flavonoid menunjukan aktivitas
penyembuhan luka bakar didasarkan pada sifat antibakteri dan
antioksidan. Flavonoid memiliki struktur fenolat dengan satu gugus
karbonil. Flavonoid disintesis oleh tumbuhan sebagai respon terhadap
infeksi mikroba dan sering ditemukan efektif pada in vitro sebagai
senyawa antimikroba yang dapat melawan beragam mikroorganisme
(Fnimh, et al., 1996 dalam Soni, et al., 2012). Adanya senyawa flavonoid
dan fenol pada ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
menyebabkan ekstrak tersebut berpengaruh dalam penyembuhan luka
bakar pada penelitian ini.
62 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
PENUTUP
5. 1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh ekstrak etanol tumbuhan
paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr pada tikus putih (Rattus
novergicus) jantan galur Sprague Dawley didapatkan kesimpulan bahwa
pemberian ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka bakar pada tikus
putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley dilihat dari
parameter perubahan visual dan waktu penyembuhan luka bakar,
penurunan luas luka dan persentase penyembuhan luka bakar, penurunan
jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi.
5. 2 Saran
Perlu dilakukan penelitian mengenai kemungkinan senyawa
spesifik yang berperan dalam proses penyembuhan luka dari golongan
senyawa metabolit sekunder flavonoid dan fenol.
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
ACCP Standard for VCO, n.d.
Adjepong, Mary., Pius Agbenorku., Patricia Brown., Ibok Oduro. 2015. The
Effect of Dietary Intake of Antioxidant Micronutrients on Burn Wound
Healing: A Study in Tertiary Health Institution in A Developing Country.
Reasearch Article, Burns & Trauma, 3: 12.
Afifah, Efi dan Tim Lentera. 2004. Sehat dengan Ramuan Tradisional Khasiat &
Manfaat Temulawak Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit . Hal 32.
Jakarta: Agro Media Pustaka.
Agustin, Rini., Yulida Oktadefitri., Henny Lucida. 2013. Formulasi Krim Tabir
Surya dari Kombinasi Etil p-Metoksisinamat dengan Katekin. Prosiding
Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III.
Akbari H., Fatemi MJ., Iranpour M., Khodarahmi A., Baghaee M., Pedram MS.,
Saleh S., Araghi S. The Healing Effect of Nettle Extract on Second Degree
Burn Wounds. World J Plast Surg. 2015; 4 (1): 23 – 28.
Akhoondinasab MR., Akhoondinasab M., Saberi M. Comparison of Healing
Effect of Aloe Vera Extract and Silver Sulfadiazine in Burn Injuries in
Experimental Rat Model. World J Plast Surg 2014; 3 (1) : 29 - 34.
Anam, Syariful., et al. 2013. Standarisasi Ekstrak Etil Asetat Kayu Sanrego
Lunasia amara Blanco. Online Jurnal of Natural Science, Vol.2(3): 1-8.
Ashkani-Esfahani, S., MH Imanieh., M Khoshneviszadeh., A Meshksar., A
Noorafshah., B Geramizadeh., S Ebrahimi., F Handjani., N Tanideh. The
Healing of Arnebia Euchroma in Second Degree Burn Wounds in Rats as
An Animal Model. Iranian Red Crescent Medical Journal. November,
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2012.
Arini, Diah Irawati Dwi dan Julianus K inho. 2012. Keragaman Jenis Tumbuhan
Paku (Pteridophyta) di Cagar Alam GUnung Ambang Sulawesi Utara.
Info BPK Manado Volume 2 No 1.
Aryenti., Suryadi., Harijadi., Juniarti., Yuhernita. PMN Leukocytes and
Fibroblasts Numbers on Wound Burn Healing on The Skin of White Rat
After Administration of Ambonese Plantain Banana. Makara Journal of
Science. 16/1 (2012) 15 – 20.
Arun, Mittal., Sardana Satish., Pandey Anima. Herbal Boon for Wounds.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. Vol 5,
Issue 2, 2013.
Balqis, Ummu., Rasmaidar., Marwiyah. 2014. Gambaran Histopatologis
Penyembuhan Luka Bakar Menggunakan Daun Kedondong (Spondias
dulcis F.) dan Minyak Kelapa pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus).
Jurnal Medika Veterinaria Vol 8 No. 1.
Cakir, Baris dan Berrak C Yegen. 2004. Systemic Responses to Burn Injury. Turk
J Med Sci 34, 215-226.
Chai, Tsun-Thai., Loo-Yew Yeoh., Nor Ismaliza Mohd Ismail., Hean-Chooi Ong.,
Fazilah Abd Manan., Fai-Chu Wong. 2015. Evaluation of Glucosidase
Inhibitory and Cytotoxic Potential of Five Selected Edible and Medicinal
Ferns. Tropical Journal of Pharmaceutical Research; 14 (3): 449-454.
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Direktorat Pengawasan Obat Tradisional. 2000. Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI
Duarte, Carina-Magalhaes-Esteves., Maria-Rozelide-Souza Quirino., Monica-
Cesar Patrocinio., Ana-Lia Anbinder. 2011. Effects of Chamomilla recutita
(L.) on Oral Wound Healing in Rats. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2011
Sep 1;16 (6):e716-21
Erlia, Eva., Noor cahaya., Dina Rahmawanty. Pengaruh Pemberian Gel Kuersetin
terhadap Jumlah Neutrofil dan Limfosit dalam Proses Penyembuhan Luka
Bakar Derajat II A pada Tikus Jantan Galur Wistar. Jurnal
Pharmascience. Vol 1, No. 2, Oktober 2014, hal: 38 – 45.
Farahpour, Muhammad Reza dan Hosein Nejati. 2014. Effect of Topical Red
Grape Seed Hydroethanol Extract on Burn Wound Healing in Rats. Int.J.
ChemTech Res, 6(4), pp 2340-2346.
Febriani, Diana., Dina Mulyanti., Endah Rismawati. 2015. Karakterisasi
Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona Muricata Linn).
Prosiding Penelitian SPeSIA Unisba.
Guo, S. dan L.A. DiPietro. 2010. Factors Affecting Wound Healing. Critical
Reviews in Oral Biology & Medicine, J Dent Res 89(3): 219-229.
H. Al-Jawad F., Sahib A.S., Al-Kaisy A.A. 2008. Role of Antioxidants in The
Treatment of Burn Lesions. Annals of Burns and Fire Disasters – Vol. XXI
- n. 4.
Hashemi, Seyyed Abbas., Seyyed Abdollah Madani., Saied Abediankenari. The
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Review on Properties of Aloe vera in Healing of Cutaneous Wounds.
Review Article. Hindawi Publishing Corporation. BioMed Research
International. Volume 2015, Article ID 714216, 6 pages.
Harun, Desi Syifa Nurmillah. 2014. Formulasi dan Uji Aktivitas Antioksidan
Krim Antiaging Ekstrak Etanol 50% Kulit Buah Manggis (Garcinia
magostana L.) dengan Metode DPPH (1,1-Diphenyl-2-Picril Hydrazil).
Skripsi.
Hazrati, M., D. Mehrabani., A. Japoni., H. Montasery., N. Azarpira., A. R.
Hamidian –shirazi., N. Tanideh. 2010. Effect of Honey on Healing
Pseudomonas Aeruginosa Infeced Burn Wounds in Rat. Journal of Applied
Animal Research: Iran.
Hettiarhatchy, Shehan dan Peter Dziewulski. 2004. ABC of Burns
Pathophysiology and Types of Burns. Clinical Reiew. BMJ Volume 328.
Hossain, Mohammad Amzad., Khulood Ahmed Salim Al-Raqmi., Zawan
Hamood Al-Mijizy., Afaf Mohammed Weli., Qasim Al-Riyami. 2013.
Study of Total Phenol, Flavonoids Contents and Phytocehmical Screening
of Various Leaves Crude Extracts of Locally Grown Thymus vulgaris.
Asian Pasific Journal of Tropical Biomedicine; 3(9): 705-710.
http://cabi.org, Invasive Species Compendium, Maret 2016.
http://plants.usda.gov, United State Departemen of Agriculture, Januari 2016.
http://www.plantamor.com, Juni 2016
http://www.menlh.go.id/peluncuran-buku-status-kekinian-keanekaragaman-
hayati- indonesia/, Kementerian Lingkungan Hidup RI, Januari 2016
Izzati, Ulfa Zara., Andhi Fahrurroji., Mohammad Andrie. Efektifitas
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penyembuhan Luka Bakar Salep Ekstrak Daun Senggani (Melastoma
malabathricum L) pada Tikus (Rattus Norvegicus) Jantan Galur Wistar.
Skripsi. Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Tanjungpura, Pontianak. 2015.
Komala, Ismiarni., Azrifitria., Yardi., Ofa Suzanti Betha., Finti Muliati.,
Maliyathun Ni’mah. 2015. Antioxidant and Antiinflamatory of The
Indonesian Ferns, Nephrolepis falcata and Pyrrosia lanceolata.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Vol 7,
Issue 12.
Lai, How Yee., Yau Yan Lim., Kah Hwi Kim. Potential Dermal Wound Healing
Agent in Blechnum orientale Linn. BMC Complementary and Alternative
Medicine 2011, 11 : 62.
Ma, Ke., Mindong Du., Mingde Liao., Shihai Chen., Guoqian Yin., Qingfeng
Liu., Qiang Wei., Gang Qin. Evaluation of Wound Healing Effect of
Punica granatum L Peel Extract on Deep Second-Degree Burns in Rats.
Tropical Journal of Pharmaceutical Research. January 2015; 14 (1): 73 -
78.
Mawarti, Herin dan Abdul Ghofar. 2014. Aktivitas Antioksidan Flavonoid
terhadap Perubahan Histologi Proses Penyembuhan Luka Bakar Grade
II. Jurnal Edu Health, Vol. 4 No. 1.
McCulloch, Joseph M dan Luther C Kloth. 2010. Wound Healing Evidence-Based
Managemen 4th Edition. hal. 362. Philadelphia: F.A Davis Company.
Mely. 2015. Pengaruh Pemberian Jus Buah Alpukat terhadap Gambaran Kadar
Aspartate Transminase (AST) dan Alanine Transminase (ALT) pada Tikus
Putih (Rattus norvegicus) yang Diinduksi Meloxicam Dosis Toksisk.
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Skripsi.
Meravanige, Girish dan Kamdood M A. 2012. Effect of Topical Tinospora
Cordifolia on Healing of Burn Wounds in Wistar Rats. International
Journal of Pharma and Bio Sciences; 3(3): (P) 351-358.
Mock C, Peck M, Peden M, Krug E, eds. 2008. A WHO plan for burn prevention
and care. Geneva : World Health Organization.
MR, Sabari Selvan., Velvizhy R., Naryanasamy S., Manimekalai. K. 2014.
Evaluation of Anti-Oxidant Effect of Oral β-Carotene and Topical
Lycopene on Burns Wound Induced Rats. American Journal of Pharmacy
and Health Research, Volume 2, Issue 9.
Nasiri, Ebrahim., Seyed Jalal Hosseinimehr., Mohammad Azadbakht., Jafar
Akbari., Reza Enayati- fard., Sohail Azizi. 2015. Effect of Malva sylvestris
Cream on Burn Injury and Wounds in Rats. Avicenna J Phytomed; 5
(4): 341-354.
Nasution, Nurhayati. 2015. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang
(Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap Penyembuhan
Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague
Dawley. Skripsi.
Negara, Reza Fitra Kusuma., Retty Ratnawati., Dina Dewo SLI. Efektifitas
Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn.) terhadap Penyembuhan Luka
Bakar pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Jantan. BIMKI. Volume 3
No 1. Januari – Juni 2015.
Pham-Huy, Lien Ai., Hua He., Chuong Pham-Huy. Free Radicals, Antioxidants in
Desease and Health. International Journal of Biomedical Science, Vol. 4
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
no. 2.
Rahim, Farida., Mimi Aria., Nurwani Purnama Aji. 2011. Formulasi Krim
Ektstrak Etanol Daun Ubi Jalar (Ipomoeae batatas L.) untuk Pengobatan
Luka Bakar. Scientia Vol. 1 No. 1.
RN, Leslie DeSanti BS. 2005. Pathophysiology and Current Management of Burn
Injury. Clinical Management Extra, Advance in Skin & Wound Care.
Rowe, Raymond C., Paul J Sheskey., Marian E Quinn. 2009. Handbook of
Pharmaceutical Excipients. Sixth Edition. London dan USA:
Pharmaceutical Press dan American Pharmacist Association.
Sedighi, Anahita., Davood Mehrabani., Reza Shirazi. 2015. Histopatological
Evaluation of The Healing Effects of Human Amniotic Membrane
Transplantation in Third Degree Burn Wound Injuries. Springer-Verlag:
London.
Sen, Chandan K., Sashwati Roy. 2008. Redox Signals in Wound Healing. National
Institute of health. The Ohio University Medical Center, Columbus Ohio.
Shenoy, Smita., Sukesh., Vinod MS., Shruthi., Mohan Amberkar., Arul Amuthan.
Effest of ethanolic Extract of Plectranthus amboinicus Leaf on Healing of
Burn Wound in Wistar Rats. International Kournal of Applied Biology and
Pharmaceutical Technology. Volume-3, Issue-3, July-Sept-2012.
Somkuwar, Dipali. O dan Vilas A. Kamble., 2013. Phytochemical Screening of
Ethanolic Extracts of Stem, Leaves, Flower and Seed Kernel of Mangifera
Indica L. International Journal of Pharma and Bio Sciences; 4(2): (P) 383
389
Soni, Himesh dan Akhlesh Kumar Singhai. A Recent Update of Botanicals fro
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Wound Healing Activity. International Journal of Pharmacy. IRJP 2013, 3
(7).
Suraida., Try Susanti., Riza Amriyanto. 2013. Keanekaragaman Tumbuhan Paku
(Pteridophyta) di Taman Hutan Kenali Kota Jambi. Prosiding Semirata
FMIPA Universitas Lampung.
Tiwari, Prashant., Bimlesh Kumar., Mandeep Kaur., Gurpreet Kaur., Harleen
Kaur. 2011. Phytochemical Screening and Extraction: A Review.
Internationale Pharmceutica Sciencia, Vol. 1, Issue 1.
Tiwari, V.K. 2012. Burns Wound: How it Differs from Other Wounds?. Indian J
Plast Surg; 45(2): 364-373.
Velnar, T., Bailey T., V Smrkoli. 2009. The Wound Healing Process: an
Overview of The Cellular and Molecular Mechanism. The Journal of
International Medical Research; 37: 1528-1542.
Verma, Deepak Kumar., MAsuram Bharat., Deepak Nayak., Tara Shanbhag.,
Venkatesh Shanbhag., Ravindra Singh Rajput. 2012. Areca catechu: Effect
of Topical Ethanolic Extract on Burn Wound Healing in Albino Rats. Int J
Pharmacol and Clin Sci; 1: 74-8.
Wasiullah, Mohammed., A.Pandurangan., Aftab Ahmad., Fahad A Al-Abbasi.,
Munesh Mani., Prashant Chandra. In vivo Study Wound Healing Potential
(Incision) of Herbal Formulation. International Journal of Allied Medical
Sciences and Clinical Research (IJAMSCR). Volume 2, Issue 4, Oct-Dec-
2014.
Wibawani, Larasati., Endang Sri Wahyuni., Yulian Wiji Utami. 2015. Pengaruh
Pemberian Ekstrak Etanol Daun Melati (Jasminum sambac L. Alt secara
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Topikal terhadap Peningkatan Kontraksi Luka Bakar Derajat II A pada
Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Galur Wistar. Majalah Kesehatan FKUB.
Widhiastuti, Retno., T Alief Aththorick., Wina Dyah Puspita Sari. 2006. Struktur
dan Komposisi Tumbuhan Paku-pakuan di Kawasan Hutan Gunung
Sinabung Kabupaten Karo. Jurnal Biologi Sumatera, hal 38-41.
Xu, Rong Xiang. 2004. Burns Regenerative Medicine and Therapy. Hal 20-21.
Switzerland: Karger.
Yanhendri dan Satya Wydya Yenny. 2012. Berbagai Bentuk Sediaan Topikal
dalam Dermatologi. CDK-194/vol. 39 no. 6.
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Alur Penelitian
Hewan uji: tikus jantan galur
Sprague Dawley
Tikus diaklimatisasi selama
1 minggu
Hewan uji dikelompokkan
secara acak berdasarkan
perlakuan (terdapat 5
perlakuan masing-masing
perlakuan terdiri dari 6 ekor
tikus:
Kelompok 1 (krim ekstrak
konsentrasi 2,5%)
Kelompok 2 (krim ekstrak
konsentrasi 5%)
Kelompok 3 (krim ekstrak
konsentrasi 10%)
Kelompok 4 (kontrol
positif krim silver
sulfadiazine 1%)
Kelompok 5 (kontrol
negatif basis krim ekstrak) Pembuatan luka bakar
Pemberian sediaan krim kepada masing-masing
kelompok perlakuan secara topikal selama 21 hari
Satu ekor tikus dari setiap
kelompok perlakuan pada
hari ke 7 dipilih untuk
dieksisi jaringan kulitnya
Dibuat preparat histopatologi Pengamatan preparat
histopatologi
Parameter Neokapilerisasi Parameter jumlah sel radang Parameter fibroblas
Tumbuhan paku disekitar
lingkungan FKIK
Sediaan krim
Dibuat sediaan krim dan dievaluasi
organoleptik, homogenitas, dan pH sediaan
Batang dan daun tumbuhan paku
disortasi basah, dicuci, disortasi
kering, dan diserbukkan
Serbuk simplisia tumbuhan paku
diekstraksi dengan maserasi
menggunakan etanol 96%
Maserat dievaporasi hingga
didapatkan ekstrak kental
Ekstrak kental
Determinasi
Uji parameter
spesifik dan
nonspesifik,
serta penapisan
fitokimia
Pengamatan
Makroskopis
(Persentase
penyembuhan luka
dan periode
epitelisasi)
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Determinasi Tumbuhan
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Keterangan Kesehatan Hewan
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Hasil Perhitungan Rendemen
% Rendemen =
× 100%
Berat Ekstrak yang Diperoleh = 56,07 g
Berat Serbuk Simplisia yang Diekstraksi = 554 g
Lampiran 5. Hasil Perhitungan Kadar Air
Kadar Air =
× 100%
Berat ekstrak sebelum pengeringan = 10,028 g
Berat akhir ekstrak = 9,738 g
Kadar Air =
× 100%
= 2,82 %
Lampiran 6. Hasil Perhitungan Kadar Abu
Kadar Abu =
× 100%
Berat awal ekstrak = 2,007 g Berat akhir ekstrak = 1,896 g
Kadar Abu =
× 100%
= 5,53 %
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku
Hasil Penapisan
Fitokimia Metode Hasil Keterangan
Identifikasi Flavonoid
Sejumlah ekstrak
diteteskan beberapa
tetes larutan NaOH
Terbentuk warna kuning +
Identifikasi Fenol
Sejumlah ekstrak
ditambahkan 3-4 tetes
larutan FeCl3
Terbentuk warna hitam
kebiruan +
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian
Sampel Tanaman Segar
Pemilihan Sampel Tanaman
Pencucian Sampel Tanaman
Pengeringan Sampel Tanaman
Penghalusan Sampe Tanaman
Ekstraksi Maserasi
Penyaringan Ekstrak
Evaporasi Pelarut
Uji Kadar A ir
Uji Kadar Abu
Pembuatan Krim
Evaluasi Organoleptik
Sediaan Krim
Krim Uji Konsentrasi 10%
Krim Uji Konsentrasi 5%
Krim Uji Konsentrasi 2,5%
Basis Krim
Evaluasi Homogenitas
Sediaan Krim
Krim Uji 10% Krim Uji 5%
Krim Uji 2,5% Basis Krim
Evaluasi pH Sed iaan Krim
Induksi Luka Bakar
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Gambar Pengamatan Perubahan Rerata Luka bakar
No Tikus Kelompok Pengamatan Luka Hari Ke
0 2 4 6
1 Uji Konsentrasi 2,5%
2 Uji Konsentrasi 5%
3 Uji Konsentrasi 10%
4
Kontrol Positif
5 Kontrol Negatif
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
No Tikus Kelompok Pengamatan Luka Hari Ke
8 10 12 14
1 Uji Konsentrasi 2,5%
2 Uji Konsentrasi 5%
3 Uji Konsentrasi 10%
4 Kontrol Positif
5 Kontrol Negatif
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
No Tikus Kelompok Pengamatan Luka Hari Ke
16 18 20 21
1 Uji Konsentrasi 2,5%
2 Uji Konsentrasi 5%
3 Uji Konsentrasi 10%
4 Kontrol Positif
5 Kontrol Negatif
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Tahapan Pengukuran Luas Luka Bakar Menggunakan Software ImageJ
2.) Buka software ImageJ, klik “File” lalu
klik “Open” pada Menu Bar.
1.) Pilih foto yang akan digunakan.
4.) Klik Tool Bar “Straight” dan buat
galis lurus sepanjang 1 cm pada
gambar penggaris.
3.) Klik Menu “Analyze” lalu pilih “Set
Scale”.
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
6.) Ubah ukuran panjang penggaris pada
kolom “Known Distance” menjadi 1,
kemudian ubah satuan dalam kolom
“Unit of Length” menjadi cm, lalu klik
“OK”.
5.) Klik Tool Bar “Freehand Selections”
dan buat pola sesuai bentuk luka bakar
seperti gambar di atas.
8.) Klik Menu “Analyze” lalu klik
“Measure”.
7.) Setelah keluar jendela “Results”
seperti pada gambar di atas, maka
akan didapat hasil pengukuran luas
luka bakar pada kolom “Area”.
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Data Luas Luka dan Persentase Penyembuhan Luka Bakar Derajat Dua
Kelompok Tikus Luas Luka
Awal (cm2)
Rerata
Luas
Luka
Awal
(cm2)
Luas Luka
Akhir (cm2)
Penurunan
Luas Luka
(cm2)
Rerata
Penurunan Luas
Luka ± SD
Persentase
Penyembuhan
(%)
Rerata
Persentase
Penyembuhan
Kontrol Negatif
6.36
6,68
1.31 5.05
5,59 ± 1,22
79.40
83,33
6.76 2.57 4.19 61.98
6.90 0.32 6.58 95.38
6.25 1.25 5.00 80.05
7.15 0.01 7.14 99.86
Kontrol Positif
6.39
6,04
1.47 4.92
5,71 ± 0,55
77.00
94,86
6.06 0.00 6.06 100.00
6.00 0.00 6.00 100.00
5.40 0.03 5.37 94.44
6.34 0.14 6.20 97.85
Uji Konsentrasi
2.5%
7.01
7.35
0.35 6.66
7.35 ± 0,77
95.06
96,92
7.35 0.00 7.35 100.00
7.81 0.00 7.81 100.00
6.77 0.71 6.06 89.51
7.83 0.00 7.83 100.00
Uji Konsentrasi 5%
7.96
7,14
0.39 7.57
6,95 ± 0,52
95.10
97,61
6.19 0.00 6.19 100.00
6.90 0.00 6.90 100.00
7.39 0.52 6.87 92.96
7.26 0.00 7.26 100.00
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
Kelompok Tikus Luas Luka
Awal (cm2)
Rerata
Luas
Luka
Awal
(cm2)
Luas Luka
Akhir (cm2)
Penurunan
Luas Luka
(cm2)
Rerata
Penurunan
Luas Luka ± SD
Persentase
Penyembuhan
(%)
Rerata
Persentase
Penyembuhan
Uji Konsentrasi 10%
7.32
7,11
0.14 7.18
6,77 ± 1,12
98.09
94,71
6.02 1.10 4.92 81.72
6.79 0.00 6.79 100.00
7.95 0.00 7.95 100.00
7.46 0.46 7.00 93.83
85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Hasil Analisis Statistik Luas Luka Bakar Derajat Dua
1. Uji Normalitas Data Penurunan Luas Luka Bakar
Tujuan : untuk menguji kenormalan distribusi data penurunan luas luka bakar Hipotesis :
Ho = data penurunan luas luka bakar terdistribusi normal
Ha = data penurunan luas luka bakar tidak terdistribusi normal Pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 H0 ditolak
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Perlakuan
Penurunan_Luas
_Luka
N 25 25
Normal Parametersa Mean 3.0000 6.4340
Std. Deviation 1.44338 1.04563
Most Extreme Differences Absolute .156 .116
Positive .156 .107
Negative -.156 -.116
Kolmogorov-Smirnov Z .779 .578
Asymp. Sig. (2-tailed) .579 .892
a. Test distribution is Normal.
Keputusan: data penurunan luas luka bakar seluruh kelompok uji terdistribusi normal
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Uji Homogenitas Data Penurunan Luas Luka Bakar ujuan : untuk menguji homogenitas data penurunan luas luka bakar
Hipotesis : Ho = data penurunan luas luka bakar terdistribusi homogen
Ha = data penurunan luas luka bakar tidak terdistribusi homogen Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
Test of Homogeneity of Variances
Penurunan_Luas_Luka
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.585 4 20 .217
Keputusan: data penurunan luas luka bakar seluruh kelompok uji terdistribusi homogen
87
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Uji One Way ANOVA Tujuan : untuk menentukan perbedaan data penurunan luas luka bakar antara kelompok
Hipotesis : Ho = data penurunan luas luka bakar tidak berbeda secara signifikan
Ha = data penurunan luas luka bakar berbeda secara signifikan Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
ANOVA
Penurunan_Luas_Luka
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 10.603 4 2.651 3.390 .028
Within Groups 15.638 20 .782
Total 26.240 24
Keputusan: Data penurunan luas luka bakar antara kelompok berbeda secara signifikan
88
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Uji Post Hoc Multiple Comparison tipe LSD (Least Significant Difference) Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar kelompok mana yang memberikan nilai yang berbeda secara
signifikan dengan kelompok lainnya Hipotesis :
Ho = data penurunan luas luka bakar tidak berbeda secara signifikan Ha = data penurunan luas luka bakar berbeda secara signifikan Pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
Multiple Comparisons
Penurunan_Luas_Luka LSD
(I) Perlakuan (J) Perlakuan Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Uji Konsentrasi 2.5% Uji Konsentrasi 5% .18400 .55924 .746 -.9826 1.3506
Uji Konsentrasi 10% .37400 .55924 .511 -.7926 1.5406
Kontrol Positif 1.43200* .55924 .019 .2654 2.5986
Kontrol Negatif 1.55000* .55924 .012 .3834 2.7166
Uji Konsentrasi 5% Uji Konsentrasi 2.5% -.18400 .55924 .746 -1.3506 .9826
Uji Konsentrasi 10% .19000 .55924 .738 -.9766 1.3566
Kontrol Positif 1.24800* .55924 .037 .0814 2.4146
Kontrol Negatif 1.36600* .55924 .024 .1994 2.5326
Uji Konsentrasi 10% Uji Konsentrasi 2.5% -.37400 .55924 .511 -1.5406 .7926
Uji Konsentrasi 5% -.19000 .55924 .738 -1.3566 .9766
Kontrol Positif 1.05800 .55924 .073 -.1086 2.2246
Kontrol Negatif 1.17600* .55924 .048 .0094 2.3426
Kontrol Positif Uji Konsentrasi 2.5% -1.43200* .55924 .019 -2.5986 -.2654
Uji Konsentrasi 5% -1.24800* .55924 .037 -2.4146 -.0814
Uji Konsentrasi 10% -1.05800 .55924 .073 -2.2246 .1086
Kontrol Negatif .11800 .55924 .835 -1.0486 1.2846
89
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kontrol Negatif Uji Konsentrasi 2.5% -1.55000* .55924 .012 -2.7166 -.3834
Uji Konsentrasi 5% -1.36600* .55924 .024 -2.5326 -.1994
Uji Konsentrasi 10% -1.17600* .55924 .048 -2.3426 -.0094
Kontrol Positif -.11800 .55924 .835 -1.2846 1.0486
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Keputusan:
1. Data penurunan luas luka bakar tidak berbeda signifikan antara kelompok seluruh kelompok uji
2. Data penurunan luas luka bakar tidak berbeda signifikan antara kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol negatif
3. Data penurunan luas luka bakar berbeda signifikan antara kelompok kontrol negatif dengan seluruh kelompok uji
4. Data penurunan luas luka bakar tidak berbeda signifikan antara kelompok kontrol positif terhadap kelompok uji
konsentrasi 2,5% dan 5%
90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Uji Paired T Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar sebelum dan sesudah perlakuan dari setiap kelompok dan nilai
signifikansinya Hipotesis :
Ho = data penuruanan luas luka bakar tidak berbeda signifikan sebelum dan sesudah perlakuan Ha = data penurunan luas luka bakar berbeda signifikan sebelum dan sesudah perlakuan Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
5.1 Kelompok Kontrol Negatif
Paired Samples Test
Paired Differences
T df Sig. (2-tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Luas_Luka_Hari_Ke0_Kontrol_Negatif - Luas_Luka_Hari_Ke21_Kontrol_Negatif
5.39040 .96070 .42964 4.19753 6.58327 12.546 4 .000
Keputusan: data penurunan luas luka bakar untuk kelompok kontrol negatif berbeda signifikan sebelum dan sesudah perlakuan
91
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.2 Kelompok Kontrol Positif Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 Luas_Luka_Hari_Ke0_Kontrol_Positif - Luas_Luka_Hari_Ke21
_Kontrol_Positif
5.71000 .54461 .24356 5.03378 6.38622 23.444 4 .000
Keputusan: data penurunan luas luka bakar untuk kelompok kontrol positif berbeda signifikan sebelum dan sesudah perlakuan
5.3 Kelompok Uji Konsentrasi 2,5% Paired Samples Test
Paired Differences
T df Sig. (2-tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Luas_Luka_Hari_Ke0_2.5 - Luas_Luka_Hari_Ke21_2.5
7.14280 .76845 .34366 6.18865 8.09695 20.785 4 .000
Keputusan: data penurunan luas luka bakar untuk kelompok uji konsentrasi 2,5% berbeda signifikan sebelum dan sesudah
perlakuan
92
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.4 Kelompok Uji Konsentrasi 5% Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Luas_Luka_Hari_Ke0_5 - Luas_Luka_Hari_Ke21_5
6.95800 .51640 .23094 6.31680 7.59920 30.129 4 .000
Keputusan: data penurunan luas luka bakar untuk kelompok uji konsentrasi 5% berbeda signifikan sebelum dan sesudah
perlakuan
5.5 Kelompok Uji Konsentrasi 10% Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Luas_Luka_Hari_Ke0_10 - Luas_Luka_Hari_Ke21_10
6.76800 1.12208 .50181 5.37475 8.16125 13.487 4 .000
Keputusan: data penurunan luas luka bakar untuk kelompok Uji Konsentrasi 5% berbeda signifikan sebelum dan sesudah
perlakuan
93
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Hasil Analisis Statistik Persentase Penyembuhan Luka Bakar Derajat Dua
1. Uji Normalitas Data Persentase Penyembuhan Luka
Tujuan : untuk menguji kenormalan distribusi data persentase penyembuhan luka bakar Hipotesis :
Ho = data persentase penyembuhan luka bakar terdistribusi normal
Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak terdistribusi normal Pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 H0 ditolak
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Perlakuan
Persentase_Pen
yembuhan_Luka
_Hari_Ke21
N 25 25
Normal Parametersa Mean 3.0000 93.4820
Std. Deviation 1.44338 9.89095
Most Extreme Differences Absolute .156 .255
Positive .156 .255
Negative -.156 -.241
Kolmogorov-Smirnov Z .779 1.275
Asymp. Sig. (2-tailed) .579 .078
a. Test distribution is Normal.
Keputusan: data persentase penyembuhan luka bakar seluruh kelompok terdistribusi normal
94
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Uji Homogenitas Data Persentase Penyembuhan Luka Tujuan : untuk menguji homogenitas data persentase penyembuhan luka bakar
Hipotesis : Ho = data persentase penyembuhan luka bakar terdistribusi homogen
Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak terdistribusi homogen Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
Test of Homogeneity of Variances
Persentase_Penyembuhan_Luka_Hari_Ke21
Levene Statistic df1 df2 Sig.
2.298 4 20 .094
Keputusan: data persentase penyembuhan luka bakar seluruh kelompok uji terdistribusi homogen
95
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Uji One-Way ANOVA Tujuan : untuk menentukan perbedaan data persentase penyembuhan luka bakar antara kelompok
Hipotesis : Ho = data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara signifikan
Ha = data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara signifikan Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
ANOVA
Persentase_Penyembuhan_Luka_Hari_Ke21
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 675.352 4 168.838 2.019 .130
Within Groups 1672.587 20 83.629
Total 2347.939 24
Keputusan: Data persentase penyembuhan luka bakar antar kelompok tidak berbeda secara signifikan
96
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Uji Post Hoc Multiple Comparison tipe LSD (Least Significant Difference) Tujuan : untuk menentukan data persentase penyembuhan luka bakar kelompok mana yang memberikan nilai yang berbeda
secara signifikan dengan kelompok lainnya Hipotesis :
Ho = data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara signifikan Ha = data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara signifikan Pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
Multiple Comparisons
Persentase_Penyembuhan_Luka_Hari_Ke21 LSD
(I) Perlakuan (J) Perlakuan Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Dosis 2.5% Dosis 5% -.68000 5.78375 .908 -12.7447 11.3847
Dosis 10% 2.20400 5.78375 .707 -9.8607 14.2687
Kontrol Positif 2.05600 5.78375 .726 -10.0087 14.1207
Kontrol Negatif 13.58000* 5.78375 .029 1.5153 25.6447
Dosis 5% Dosis 2.5% .68000 5.78375 .908 -11.3847 12.7447
Dosis 10% 2.88400 5.78375 .623 -9.1807 14.9487
Kontrol Positif 2.73600 5.78375 .641 -9.3287 14.8007
Kontrol Negatif 14.26000* 5.78375 .023 2.1953 26.3247
Dosis 10% Dosis 2.5% -2.20400 5.78375 .707 -14.2687 9.8607
Dosis 5% -2.88400 5.78375 .623 -14.9487 9.1807
Kontrol Positif -.14800 5.78375 .980 -12.2127 11.9167
Kontrol Negatif 11.37600 5.78375 .063 -.6887 23.4407
Kontrol Positif Dosis 2.5% -2.05600 5.78375 .726 -14.1207 10.0087
Dosis 5% -2.73600 5.78375 .641 -14.8007 9.3287
Dosis 10% .14800 5.78375 .980 -11.9167 12.2127
Kontrol Negatif 11.52400 5.78375 .060 -.5407 23.5887
97
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kontrol Negatif Dosis 2.5% -13.58000* 5.78375 .029 -25.6447 -1.5153
Dosis 5% -14.26000* 5.78375 .023 -26.3247 -2.1953
Dosis 10% -11.37600 5.78375 .063 -23.4407 .6887
Kontrol Positif -11.52400 5.78375 .060 -23.5887 .5407
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Keputusan:
1. Data persentase penyembuhan luka bakar antara kelompok negatif terhadap kelompok uji konsentrasi 2,5% dan 5% berbeda
secara signifikan
2. Data persentase penyembuhan luka bakar antara semua kelompok uji tidak berbeda signifikan
3. Data persentase penyembuhan luka bakar antara kelompok kontrol positif dengan semua kelompok perlakuan tidak berbeda
siginifikan
98
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 14. Hasil Analisa Statistik Berat Badan Tikus
1. Uji Normalitas Berat Badan Tikus
Tujuan : untuk menguji kenormalan distribusi data Berat Badan Tikus Hipotesis :
Ho = data berat badan tikus terdistribusi normal
Ha = data berat badan tikus tidak terdistribusi normal
Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 H0 ditolak
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Perlakuan Hari_Ke_0 Hari_Ke_7 Hari_Ke_14 Hari_Ke_21
N 25 25 25 25 25
Normal Parametersa Mean 3.0000 184.5200 199.2000 218.7200 242.2000
Std. Deviation 1.44338 17.67795 15.49731 19.33805 24.12295
Most Extreme Differences Absolute .156 .128 .146 .137 .130
Positive .156 .084 .085 .066 .096
Negative -.156 -.128 -.146 -.137 -.130
Kolmogorov-Smirnov Z .779 .641 .731 .686 .649
Asymp. Sig. (2-tailed) .579 .805 .659 .734 .794
a. Test distribution is Normal.
Keputusan: data berat badan tikus seluruh kelompok uji terdistribusi normal
99
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Uji Homogenitas Berat Badan Tikus
Tujuan : untuk menguji homogenitas data berat badan tikus Hipotesis : Ho = data berat badan tikus terdistribusi homogen
Ha = data berat badan tikus tidak terdistribusi homogen Pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Hari_Ke_21 1.652 4 20 .200
Keputusan: data berat badan tikus seluruh kelompok perlakuan terdistribusi homogen
100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Uji ANOVA Data Berat Badan Tikus Tujuan : untuk menentukan perbedaan data berat badan tikus antara kelompok
Hipotesis : Ho = data berat badan tikus tidak berbeda secara signifikan
Ha = data berat badan tikus berbeda secara signifikan Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Hari_Ke_21 Between Groups 2238.800 4 559.700 .955 .454
Within Groups 11727.200 20 586.360
Total 13966.000 24
Keputusan: Data berat badan tikus antara kelompok perlakuan tidak berbeda secara signifikan
101
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Uji Post Hoc
Tujuan : untuk menentukan berat badan tikus kelompok mana yang memberikan nilai yang berbeda secara signifikan dengan kelompok lainnya Hipotesis :
Ho = data berat badan tikus tidak berbeda secara signifikan Ha = data berat badan tikus berbeda secara signifikan
Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
Multiple Comparisons
LSD
Dependent Variable (I) Perlakuan (J) Perlakuan
Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Hari_Ke_21 Uji Konsentrasi 2,5% Uji Konsentrasi 5% -6.80000 15.31483 .662 -38.7462 25.1462
Uji Konsentrasi 10% 20.20000 15.31483 .202 -11.7462 52.1462
Kontrol Positif 7.80000 15.31483 .616 -24.1462 39.7462
Kontrol Negatif -2.20000 15.31483 .887 -34.1462 29.7462
Uji Konsentrasi 5% Uji Konsentrasi 2,5% 6.80000 15.31483 .662 -25.1462 38.7462
Uji Konsentrasi 10% 27.00000 15.31483 .093 -4.9462 58.9462
Kontrol Positif 14.60000 15.31483 .352 -17.3462 46.5462
Kontrol Negatif 4.60000 15.31483 .767 -27.3462 36.5462
Uji Konsentrasi 10% Uji Konsentrasi 2,5% -20.20000 15.31483 .202 -52.1462 11.7462
Uji Konsentrasi 5% -27.00000 15.31483 .093 -58.9462 4.9462
Kontrol Positif -12.40000 15.31483 .428 -44.3462 19.5462
Kontrol Negatif -22.40000 15.31483 .159 -54.3462 9.5462
Kontrol Positif Uji Konsentrasi 2,5% -7.80000 15.31483 .616 -39.7462 24.1462
Uji Konsentrasi 5% -14.60000 15.31483 .352 -46.5462 17.3462
Uji Konsentrasi 10% 12.40000 15.31483 .428 -19.5462 44.3462
Kontrol Negatif -10.00000 15.31483 .521 -41.9462 21.9462
102
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kontrol Negatif Uji Konsentrasi 2,5% 2.20000 15.31483 .887 -29.7462 34.1462
Uji Konsentrasi 5% -4.60000 15.31483 .767 -36.5462 27.3462
Uji Konsentrasi 10% 22.40000 15.31483 .159 -9.5462 54.3462
Kontrol Positif 10.00000 15.31483 .521 -21.9462 41.9462
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Keputusan:
Data berat badan tikus hari ke 21 tidak berbeda bermakna antara semua kelompok perlakuan