UCAPAN TERIMA KASIH - Universitas UdayanaJudo, Kendo, Jujitsu, Aikido, dan bela diri lainnya ke...
Transcript of UCAPAN TERIMA KASIH - Universitas UdayanaJudo, Kendo, Jujitsu, Aikido, dan bela diri lainnya ke...
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Suastyastu,
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada
Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana berhasil diselesaikan atas dukungan berbagai pihak. Pada
kesempatan ini, selain mengucapkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa atas segala kemudahan yang diberikan-Nya, penulis juga
berterimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu, baik dalam
dukungan moril maupun materiil. Untuk itu, izinkan penulis mengucapkan terima
kasih kepada berbagai pihak di bawah ini.
1. Promotor Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., kopromotor I Prof. Dr. A.A.
Bagus Wirawan, S.U., kopromotor II Dr. I Nyoman Dhana, M.A. atas
bimbingan dalam penelitian serta penulisan disertasi.
2. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp. P.D., KEMD.
dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A.
Raka Sudewi, Sp. S(K), serta Asisten Direktur I, Prof. Dr. Made Budiasa,
M.A., dan Asisten Direktur II, Prof. Dr. Made Sudiana Mahendra, Ph.D.,
atas kesempatan studi dan fasilitas yang diberikan.
3. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati
Beratha, M.A., ketua Program Studi Doktor (S3) Kajian Budaya Prof. Dr.
Phil. I Ketut Ardhana, MA., dan Sekretaris Program Studi Doktor (S3)
Kajian Budaya Dr. I Ketut Setiawan, M.Hum yang telah membantu penulis
dalam bidang akademik dan administratif.
vi
vii
4. Ketua Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STIBA) Saraswati Denpasar I
Komang Sulatra, S.S., M.Hum dan segenap pimpinan Program Studi Sastra
Jepang atas dukungan yang diberikan kepada penulis selama masa studi.
5. Para penguji ujian proposal, ujian seminar hasil, dan ujian tertutup yaitu:
Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, MA., Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum.,
Prof. Dr. A. A. Bagus Wirawan, S.U., Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., Prof.
Dr. Ing. Ir. I Made Merta., Dr. Putu Sukardja, M.Si., Dr. I Nyoman Dhana,
M.A., dan Dr. I Gede Mudana, M.Si.
6. Ketua Bari Aikikai Darma Wijaya, anggota Dewan Guru Bari Aikikai, para
pengelola dojo di lingkungan Bari Aikikai yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.
7. Para informan dari kalangan praktisi bela diri Aikido, Pencak Silat,
Tengklung, para guru bela diri Aikido dari Jepang, para senior akidoka Bali,
para junior, dan iforman lainnya yang tidak bisa disebutkan namaya satu per
satu yang telah membantu peneliti dalam mengumpulkan data dan
memberikan masukan lainnya.
8. Seluruh dosen dan staf administrasi Program Studi Doktor Kajian Budaya
Universitas Udayana, atas ilmu tentang teori kritis serta layanan akademik
yang diberikan selama penulis menjalani masa studi.
9. Teman-teman angkatan 2013/2014, yaitu Anak Agung Istri Putera Widiastiti,
I Nyoman Cerita, I Wayan Kiki Sanjaya, Paskalis Nyoman Widastra,
Rahmat Sewa Suraya, Derinta Entas, I Nyoman Sama, Putu Mega Indrawan,
Gede Yoga Kharisma Pradana, Jro Made Gede Aryadi Putra, dan La Ode
vii
viii
Yusuf, yang telah banyak meluangkan waktu untuk membantu penulis di
dalam menyelesaikan studi.
10. Istri (Kumiko Shishido), anak-anak (Karta, Takuma, dan Ayu), kedua
orang tuaku di desa, dan Bibi yang semuanya memberikan dukungan
kepada penulis sebelum, selama, sampai penulis menyelesaikan studi.
Penulis menyadari memiliki keterbatasan, sehingga penelitian ini pun
memiliki kekurangan yang harus dipertanggungjawabkan dengan baik. Harapan
peneliti semoga penelitian ini bermanfaat, khususnya untuk bidang ilmu Kajian
Budaya (Cultural Studies) yang ingin mewujudkan emansipasi manusia dalam
lingkup bela diri di Bali.
Denpasar, Juli 2017
Penulis
viii
ix
ABSTRAK
Di Indonesia, bela diri tumbuh dan berkembang bersamaan dengan
aktivitas masyarakatnya. Orang-orang Indonesia, termasuk di dalamnya orang-
orang Bali tetap melestarikan bela diri tradisionalnya karena bela diri juga dapat
dipakai sebagai wahana untuk mengembangkan identitasnya. Di sisi lain, banyak
orang Bali kini menekuni berbagai bela diri yang berasal dari bangsa lain, di
antaranya bela diri Aikido. Bela diri Aikido sebagai bela diri berasal dari Jepang
bisa masuk dan berterima di Bali tidak bisa dilepaskan dari isu globalisasi,
kekuatan, dan kekuasaan Jepang dalam konstelasi dunia, secara politik, ekonomi,
dan budaya. Hal ini menarik untuk dicermati mengingat orang Bali
mengembangkan juga bela diri Aikido, yakni bela diri asli dari Jepang sehinga
menimbulkan fenomena posrealitas kebudayaan. Berdasarkan fenomena tersebut,
maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami hal-hal yang
melatarbelakangi terjadinya posrealitas dalam pengembangan bela diri Aikido di
Bali, proses terjadinya posrealitas dalam pengembangannya, dan implikasi
posrealitas dalam pengembangan bela diri Aikido tersebut pada kehidupan peserta
pelatihan bela diri Aikido (aikidoka) Bali.
Penelitian kajian budaya ini bersifat kualitatif dengan menggunakan
teknik wawancara, observasi, dokumentasi, dan studi pustaka. Data dianalisis
secara eklektik dengan menggunakan teori globalisasi, kuasa/pengetahuan,
identitas sosial, dan teori pendukung lainnya yang terkait dengan permasalahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberterimaan bela diri Aikido di
Bali dilatarbelakangi oleh beberapa ideologi, yaitu: dualisme kultural,
paternalisme, pasar, citra, dan multikulturalisme. Proses pengembangan bela diri
di beberapa tempat pelatihan (dojo) yang ada di Bali, meliputi: tahap pengenalan,
pendirian organisasi, pengembangan tempat pelatihan, dan tahap pengembangan
mutu. Semuanya berorientasi kepada induk bela diri Aikido (Honbu Dojo) yang
berada di Tokyo-Jepang. Pengembangan bela diri Aikido di Bali menimbulkan
implikasi pada para aikidoka Bali termasuk terbentuknya identitas baru dalam
masyarakat Bali.
Melalui penelitian ini ditemukan paradigma baru bahwa di balik kekuatan
budaya Bali yang sedang berlangsung dalam segala lini kehidupannya, terdapat
sikap orang Bali yang terbuka terhadap kebudayaan asing, khususnya bela diri
Aikido. Terkait dengan bela diri Aikido ternyata ada berbagai hal yang
mendukung keberterimaannya. Adanya kegayutan nilai-nilai budaya antara
kebudayaan Bali dan kebudayaan Jepang terkait bela diri Aikido sehingga hal ini
disebut sebagai multikulturalisme.
Kata kunci: posrealitas, bela diri, aikido, dojo , dan identitas.
ix
x
ABSTRACT
In Indonesia, martial arts grow and develop in accordance with the
activities of the society. Indonesian people, including the Balinese, keep
preserving their traditional martial arts to be used as media to develop their
identities. In the other side, many Balinese people nowadays learn martial arts
from other countries, one of them is Aikido. Aikido is a popular martial arts from
Japan which could enter and is accepted in Bali. It cannot be avoided that Japan
has important role and power in globalization, politics, economy, and culture, in
the worldwide constellation. This issue is interesting to consider since Balinese
people should have preserved their local martial arts in order to determine their
character and identity, however they chose to develop Japanese Aikido as well,
which later lead to the phenomenon of cultural postreality. Based on the
phenomenon, this research is aimed to identify and understand the background of
postreality in the development of Aikido in Bali, the process and development of
postreality, and the implication of postreality in the development of Aikido to the
lives of its practitioners (aikidoka) in Bali.
This cultural studies research is a qualitative research with the technique
of interview, observation, documentation, and library research. The data were
analyzed eclectically using the theory of globalization, theory of
power/knowledge, theory of social identity, and other supporting theories, related
to the research problems.
The result of this research showed that the acceptance of Aikido in Bali
was due to several ideology, such as: cultural dualism, paternalism, market,
impression, and multiculturalism. The development process of Aikido in several
dojo in Bali include the stages of introduction, organization establishment,
development of the training place, and quality improvement. They all oriented to
the main training centre of Aikido (Honbu Dojo) in Tokyo-Japan. The
development of Aikido in Bali has an implication to the aikidoka in Bali including
the formation of new identity in Balinese society.
This research found a new paradigm that beyond the power of Balinese
culture, which still take parts in every sector of life, there is an open mindset of
Balinese people to foreign culture, specifically to the martial arts of Japanese
Aikido. There are several factors that support the acceptance of Aikido in
Balinese community. The relationship of cultural values between Bali and Japan,
specifically Aikido, are accepted in several training community in Bali and is
called as multiculturalism.
Keywords: postreality, martial arts, aikido, dojo, and identity.
x
xi
RINGKASAN
Bela diri Aikido sebagai salah satu kebudayaan Jepang yang telah
menyebar hampir di 182 negara di dunia bisa berterima dan juga berkembang di
Bali tidak bisa dilepaskan dari isu globalisasi, kekuatan dan kekuasaan Jepang
dalam konstelasi dunia, secara politik, ekonomi, dan budaya. Jepang yang pada
saat akhir Perang Dunia II mengalami kekalahan dan menyerah kepada sekutu
setelah bom atom dijatuhkan oleh Amerika di Hiroshima (6 Agustus 1945) dan
Nagasaki (9 Agustus 1945), dalam beberapa tahun saja sudah mulai bangkit
menyamai negara-negara Eropa, baik dalam bidang politik, ekonomi, kekuatan
militer, maupun budaya termasuk penyebaran budaya bela dirinya, seperti: Karate,
Judo, Kendo, Jujitsu, Aikido, dan bela diri lainnya ke berbagai belahan dunia
termasuk ke Indonesia dan Bali pada khususnya.
Bela diri juga tumbuh dan berkembang di Indonesia (Bali) bersamaan
dengan aktivitas masyarakatnya. Bela diri dapat dilihat sebagai unsur kebudayaan
suatu masyarakat, bahkan bisa juga dilihat sebagai unsur kebudayaan nasional,
yang berfungsi sebagai identitas Indonesia. Idealnya, suatu bangsa atau suku
bangsa melakukan pelestarian bela diri tradisionalnya dalam rangka menegaskan
identitasnya. Zaman dahulu, orang Bali mempunyai dan mengembangkan
berbagai cabang bela diri tradisionalnya, namun kini tidak berkembang, seperti:
Pencak Silat yang tergabung di dalam organisasi Ikatan Pencak Silat Seluruh
Indonesia (IPSI). Selain itu, ada juga bela diri khas Bali seperti: Mepantigan,
Tengklung, Bambu Kuning, Sri Murni, Sitembak dan beberapa bela diri olah nafas
dan gerak, seperti perguruan Sandhi Murti. Kelompok-kelompok bela diri seperti
itu kini tidak lagi dikenal oleh generasi muda Bali.
Banyak orang Bali kini menekuni dan mengembangkan berbagai bela diri
yang berasal dari bangsa lain. Salah satu di antaranya adalah bela diri asal Jepang
yang bernama bela diri Aikido. Sejak tahun 1997 di Bali telah berdiri induk
organisasi bela diri Aikido dengan nama “Bari Aikikai” yang berada di bawah
supervisi tempat berlatih (dojo) pusat bela diri Aikido Jepang yang berada di
Tokyo-Jepang, dengan organisasi induknya bernama Organisasi Bela Diri Aikido
xi
xii
Jepang (Nihon Aikikai). Hal ini menunjukkan adanya hubungan hierarki antara
organisasi bela diri Aikido di Bali dengan organisasi bela diri Aikido di Jepang.
Dalam hirarki tersebut, Bari Aikikai sebagai pihak yang berada pada posisi
subordinat dan Nihon Aikikai pada posisi superordinat. Keadaan tersebut
menimbulkan fenomena yang disebut sebagai posrealitas. Posrealitas menyangkut
pengembangan bela diri Aikido di Bali sebagai sebuah proses sehingga
menimbulkan identitas baru bagi para aikidoka Bali sebagai bagian dari
masyarakat Bali.
Bertitik tolak dari fakta-fakta tentang fenomena di atas, maka ada tiga
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Pertama, mengapa bela diri
Aikido yang berasal dari Jepang bisa berterima dan dikembangkan di Bali hingga
menimbulkan fenomena posrealitas?. Kedua, bagaimana proses terjadinya
posrealitas dalam pengembangan bela diri Aikido di Bali?. Ketiga, bagaimana
implikasi posrealitas dalam pengembangan bela diri Aikido di Bali pada
kehidupan aikidoka Bali?.
Penelitian ini menggunakan paradigma kajian budaya secara metodologis
dengan pendekatan etnografi, yakni memasuki kegiatan para aikidoka Bali secara
perseorangan dan kelompok dalam beberapa dojo yang diteliti. Penelitian ini
mencermati proses keberterimaan bela diri Aikido di Bali yang dilatarbelakangi
oleh beberapa ideologi, pengembangannya dengan kekuasaan Jepang di dalamnya,
dan implikasi emansipatoris pada aikidoka Bali sehingga menimbulkan identitas
baru bagi mereka secara individu dan kelompok. Data penelitian ini dikumpulkan
melalui teknik observasi, wawancara mendalam, studi pustaka, dan dokumentasi.
Pada pembahasan, temuan dianalisis dengan pendekatan tekstual dengan
menggunakan konsep posrealitas sebagaimana dikemukakan Jean Baudrillard.
Dalam pembahasan masalah , teori-teori digunakan secara eklektik. Dalam proses
pengembangan bela diri Aikido di Bali melibatkan aktor-aktor (aikidoka Bali)
dengan posisi dan status yang berbeda sebagai peserta pemula, senior, pelatih,
pengelola dojo dan pemilik dojo. Identitas yang diperoleh aikidoka Bali berbeda-
beda berdasarkan lama berlatih, tingkatan, pengalaman, sehingga memiliki skill
yang berfungsi sebagai kepemilikan modal, utamanya modal intelektual yang
xii
xiii
nantinya menuju finansial. Dengan jenjang yang dimiliki aikidoka Bali
memungkinkan mereka berada pada tingkatan dan struktur tertentu. Kepemilikan
skill (modal) juga terkait dengan kekuasaan. Kekuasaan erat kaitannya dengan
pengetahuan (teknik) bela diri Aikido, pemahaman nilai-nilai dalam bela diri
tersebut dan aplikasinya dalam keseharian para aikidoka. Bertitik tolak dari
kekuasaan yang didapat melalui pengetahuan (teknik) bela diri Aikido, maka
penelitian ini juga menggunakan teori kuasa/pengetahuan Michel Foucault. Teori
identitas sosial digunakan untuk memahami implikasi posrealitas dalam
pengembangan bela diri Aikido para aikidoka Bali, salah satunya terbentuknya
manusia yang memiliki identitas baru secara individu dan kelompok pada
masyarakat Bali.
Pihak Jepang sebagai pemilik modal kuasa memegang kekuasaan atas
pengembangan bela diri Aikido di Bali secara organisasi dan personal seperti
peningkatan kualitas para aikidoka, pemberian status, penentuan jenjang, dan
kekuasaan di balik tingkatan. Para aikidoka Bali yang berada pada posisi
subordinat, selalu berusaha meningkatkan kualitas teknik dan pemahaman
terhadap nilai-nilai bela diri Aikido melalui latihan secara berkala dan berlanjut
agar mengalami mobilitas vertikal untuk memperebutkan tingkatan sesuai yang
ditentukan pihak Jepang sebagai pemegang kekuasaan tertinggi melalui ujian
kenaikan tingkat serta keikutsertaan aikidoka dalam seminar yang distandarisasi
pihak Jepang. Dengan demikian, pihak Jepang sebagai pemilik kebudayaan (bela
diri Aikido) dan aktor teratas, dengan segala aturan yang dikeluarkan dan
dijalankan pada semua dojo di bawah Bari Aikikai, posisinya bertahan tidak saja
secara terus menerus, namun juga melakukan dominasi dan hegemoni. Akhirnya,
meningkatkan citra, melanggengkan kekuasaan dan menambah modal
finansialnya. Hegemoni yang dilakukan pihak Jepang (Honbu Dojo) di Tokyo-
Jepang dengan cara mengeluarkan standar aturan di seluruh dojo bela diri Aikido
yang ada di dunia, termasuk Bali dalam aturan pendirian dojo, tata tertib dojo,
syarat kenaikan tingkat, dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti
seminar, baik di Bali maupun di Jepang sebagai salah satu syarat pencapaian
tingkatan tertentu bagi aikidoka Bali.
xiii
xiv
Dari uraian di atas tampak Jepang memasukkan kepentingan dan ideologi
secara tersembunyi melalui nilai-nilai bela diri Aikido yang harus dilaksanakan
oleh para aikidoka Bali disertai dengan permainan kekuasaan sehingga bela diri
Aikido di Bali secara organisasi dan sebagai individu (aikidoka) menerima
kekuasaan Jepang sebagai kekuasaan yang hegemonik. Pada situasi seperti ini,
ideologi dan kekuasaan digunakan Jepang untuk menghegemoni Bali. Bali
(aikidoka dan organisasi Bari Aikikai) sulit melakukan perubahan terhadap aturan
dan ketentuan yang dibuat oleh pihak Jepang, tidak saja karena bela diri Aikido
tersebut bukan milik kebudayaan Bali, tetapi juga karena pihak Jepang memegang
kekuasaan yang hegemonik sehingga terjebak dalam kesadaran palsu. Keadaan
seperti ini menyebabkan seluruh aktivitas bela diri Aikido yang ada di Bali dalam
urusan administrasi (pendirian dojo dan aturan-aturannya), standar teknik, materi
ujian, risalah seminar, dan nilai-nilai selalu diacu oleh aikidoka Bali baik secara
individu maupun organisasi Bari Aikikai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberterimaan bela diri Aikido di
Bali tidak terlepas dari globalisasi sebagai penyebaran kebiasaan yang mendunia,
ekspansi hubungan yang melintasi benua, organisasi kehidupan sosial skala
global, dan pertumbuhan kesadaran global yang mempunyai cakupan yang luas.
Cakupan globalisasi itulah sebagai salah satu penyebab bela diri Aikido bisa
berterima dan berkembang di Bali sehingga menimbulkan fenomena posrealitas.
Aikidoka Bali yang terdiri atas berbagai etnis, suku, ras, dan agama serta
kewarganegaraan sebelum mengikuti pelatihan bela diri Aikido sebagai individu
yang sama dengan masyarakat Bali pada umumnya. Sebagai individu, selalu
berinteraksi dengan individu atau kelompok lainnya. Dengan adanya globalisasi
dengan kelima “landscape” dan atau ciri arus budaya globalnya yang
mengakibatkan dunia seakan-akan tidak lagi dibatasi oleh penyekat yang
memisahkan negara yang satu dengan negara yang lain sehingga bela diri Aikido
pun hadir di dalam arus tersebut. Keberterimaan bela diri Aikido di Bali
dilatarbelakangi oleh beberapa ideologi. Ideologi-ideologi tersebut adalah sebagai
berikut.
xiv
xv
Pertama, ideologi dualisme kultural. Hal ini menunjukkan bahwa ada
hubungan Indonesia-Jepang, kalau istilah dahulu adalah ”under develop”
dan ”develop”, modern-tradisional, maju-berkembang. Dalam keadaan demikian,
bagi Indonesia (Bali khususnya), Jepang menjadi pusat orientasi pantas ditiru,
termasuk salah satu kebudayaannya, yaitu bela diri Aikido sehingga nilai-nilai
yang ada di dalam bela diri Aikido terimplementasi dalam kehidupan keseharian
aikidoka Bali. Pandangan peserta pelatihan bela diri Aikido di beberapa dojo yang
ada di Bali memiliki orientasi mengacu kepada pandangan tentang keunggulan
bangsa Jepang, yang bersifat oposisi biner dan menganggap bahwa bangsa Jepang
selalu lebih unggul dari bangsa Indonesia, yang akhirnya memunculkan ideologi
dualisme kultural.
Kedua, ideologi paternalisme. Keberterimaan bela diri Aikido di Bali
tidak serta merta memberikan ruang kepada aikidoka Bali untuk leluasa keluar
dari aturan yang dikeluarkan pihak Honbu Dojo baik dalam standar teknik
maupun aturan lainnya yang berkaitan dengan pengembangan bela diri Aikido.
Pihak Jepang sebagai pemilik kebudayaan (bela diri Aikido) mengharuskan
diposisikan sebagai panutan bagi para aikidoka Bali sehingga mengharuskan para
aikidoka Bali berguru ke Jepang untuk meningkatkan kualitasnya. Dalam hal ini
Jepang sebagai panutan (bapak) dengan memberikan bantuan juga secara materi
dan non materi. Dengan demikian, selain citra Jepang terangkat, juga para
aikidoka Bali bermental ketergantungan. Ketergantungan dalam segala bentuk
yang berhubungan dengan bela diri Aikido, termasuk kapan aikidoka Bali boleh
mengikuti seminar, ujian kenaikan tingkat, tata cara pelaksanaan dan lainnya.
Segala keputusan ada di tangan mereka. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa
Jepang dikaitkan sebagai pemimpin sehingga para aikidoka Bali berguru ke sana
dan menjadikan Jepang sebagai pihak yang dominan. Kedominanan pihak Jepang
merupakan situasi yang disebut budaya paternalisme, suatu sistem yang
menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan. Hal ini tampak
dalam pengembangan bela diri Aikido di Bali. Segala aspek yang berkenaan
dengan pengembangannya didominasi oleh pihak Jepang.
xv
xvi
Corak hubungan paternalistik pada dasarnya lebih bersifat informal,
pribadi, serta kebiasaan-kebiasaan tidak resmi yang berkembang dalam struktur
birokrasi. Corak hubungan paternalisme tersebut tidak dapat dilepaskan dari
penngaruh feodalisme, yaitu sikap mental yang menentukan bentuk relasi dan
interaksi antara sesama anggota kelompok. Pengaruh paternalisme juga membawa
konsekuensi pada pola pendelegasian wewenang yang terjadi dalam birokrasi.
Pola pendelegasian wewenang dalam birokrasi masih lebih sering didasarkan
kepada kedekatan hubungan antara pimpinan dengan aparat bawahan. Kultur
paternalisme telah menyebabkan orientasi birokrasi terhadap masyarakat
menunjukkan fungsi dan peran sebagai pengatur dibandingkan sebagai pelayan
masyarakat.
Kultur paternalisme berkenaan dengan keberadaan bela diri Aikido di
Bali kalau dilihat dari teori globalisasi, menimbulkan globalisasi budaya berupa
unifikasi dan homogenisasi budaya. Homogenisasi dalam hal ini adalah
penyeragaman berupa standar yang ditetapkan oleh pihak Honbu Dojo sehingga
keberadaan bela diri Aikido yang digeluti oleh aikidoka di Bali menjadi sama di
seluruh dunia. Unifikasi dan homogenisasi budaya pada skala global ditampilkan
melalui media massa, terutama televisi sebagai "imperialisme media" yang
semakin mengubah dunia menjadi "dusun global". Lingkup pengalaman kultural
dan produknya pada dasarnya adalah sama. Melihat kenyataan ini,
timbul ”ecumene culture” yang merupakan kawasan interaksi, interpretasi dan
pertukaran budaya yang berlangsung terus-menerus. Budaya tradisional muncul
dalam batas komunitas, terpaku pada ruang dan waktu tertentu, diperagakan dan
dicipta ulang dalam interaksi langsung dengan budaya modern, melintasi jarak
ruang dan waktu, melalui teknologi komunikasi dan transportasi. Aliran budaya
dalam ecumene tidak timbal balik, akan tetapi hanya satu arah. Pesan budaya
berasal dari inti (negara maju), yaitu Jepang, sedangkan negara pinggiran (Bali)
hanya sebagai penerima. Aliran budaya sepihak, bukan merupakan sistem tunggal,
namun meliputi seluruh dimensi budaya dan wilayah geografis.
Ketiga, ideologi citra. Citra Jepang sebagai pemilik kebudayaan (bela diri
Aikido) sebagai negara yang lebih unggul memungkinkan bela diri tersebut
xvi
xvii
berterima dan berkembang di Bali. Beberapa pandangan orang Jepang baik yang
ikut berlatih bela diri Aikido di Bali maupun representasi Jepang di Bali seperti
Konsul Jenderal Jepang di Bali, merasa bangga dengan penyebaran salah satu
budaya Jepang (bela diri Aikido) di Bali. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa
pandangan orang Jepang terhadap bela diri Aikido sebagai salah satu kebudayaan
Jepang berterima di Bali. Kalau dilihat dari perspektif kajian kritis dan sebagai
wacana, maka wacana bela diri selalu ditunggangi oleh kepentingan (ideologi)
pihak Jepang. Ideologi merupakan hasil hubungan kekuasaan di mana saja.
Hubungan kuasa muncul bukan hanya pada tataran negara, namun juga dalam
kehidupan sehari-hari. Setiap hubungan merupakan usaha saling menguasai dan
menekan. Setiap pihak selalu berusaha untuk menguasai yang lain. Apa yang
ingin dicapai pihak Jepang dengan menyebarkan nilai-nilai budaya melalui bela
diri Aikido di Bali sebagai pengangkatan citra pada dunia internasional.
Peran media seperti televisi dan iklan di koran (media scape) dapat
menggugah semangat masyarakat, termasuk para aikidoka Bali sehingga
mengikuti pelatihan bela diri Aikido. Melalui media tersebut, individu atau
kelompok memperoleh peningkatan citra, menimbulkan kekuasaan dan
pendapatan berupa materi. Hal ini bisa dilihat dari beberapa iklan yang ada
tentang bela diri Aikido di Bali sebagai salah satu penyebab orang tergiring untuk
mengikuti pelatihan tersebut. Citra budaya Jepang melalui bela diri Aikido di Bali
disebarkan melalui media massa, dan kalau dilihat dari teori globalisasi bahwa
analisis tekstual dan ideologis terhadap iklan menitikberatkan bukan hanya kepada
penjualan komoditas, namun juga cara memandang dunia. Tugas iklan adalah
menciptakan 'identitas' bagi suatu produk di tengah-tengah citra yang saling
bersaing dengan mengasosiasikan merek tersebut dengan nilai-nilai manusiawi
yang dikehendaki. Membeli suatu merek bukan hanya soal membeli produk,
namun juga membeli gaya hidup dan nilai. Dalam membeli produk, individu
membeli citra sehingga memberikan kontribusi kepada konstruksi identitas
melalui konsumsi.
Keempat, ideologi pasar. Ideologi pasar dalam keberterimaan bela diri
Aikido di Bali akan memberikan keuntungan berupa materi bagi aikidoka Bali dan
xvii
xviii
pihak Jepang. Segala aktivitas dalam pengembangan bela diri Aikido di Bali
termasuk keterlibatan media massa di dalamnya, akan memberikan keuntungan
materi kepada dojo induk di Tokyo, baik pelatih yang diutus ke Bali maupun
induk organisasi bela diri Aikido Dunia IAF (International Aikido Federation)
berupa iuran anggota dari seluruh dunia termasuk Bali. Keuntungan materi juga
diterima oleh para pengelola dojo yang ada di Bali, jika para peserta yang berlatih
bisa berkelanjutan dan dalam jumlah yang melebihi pendapatan minimal setelah
dipotong pengeluaran operasional dojo bersangkutan.
Ideologi pasar tidak terlepas dari isu globalisasi ekonomis (kapitalistis)
yang diiringi oleh tendensi untuk menghomogenisasi, pandangan yang bisa
ditemukan pada garis kiri dan kanan ideologis. Barang dan jasa yang dikonsumsi
adalah konsumsi salah satu budaya Jepang, yaitu bela diri Aikido. Konsumsi
dalam hal ini adalah konsumsi tanda sebagai akibat berkembangnya gaya hidup di
sebagian masyarakat Bali sebagai salah satu perubahan sosial yang menyertai
kemajuan ekonomi di Indonesia sebagai fungsi dari diferensiasi sosial yang
tercipta dari relasi konsumsi. Di dalam perubahan tersebut, konsumsi tidak lagi
sekadar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau
kebutuhan dasar manusia tertentu, tetapi berkaitan dengan unsur-unsur simbolik
untuk menandai kelas, status atau simbol sosial tertentu. Konsumsi
mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seseorang di dalam
masyarakat. Sesuatu yang dikonsumsi tidak lagi sekadar objek, tetapi juga makna-
makna sosial yang tersembunyi di baliknya. Objek yang dikonsumsi dalam hal ini
bela diri Aikido sebagai salah satu kebudayaan Jepang yang ada di Bali. Para
aikidoka selain mengeluarkan biaya dalam mengikuti pelatihan, ujian, seminar
dan kegiatan lainnya, namun kalau sudah pada tingkatan tertentu dan telah
memenuhi syarat sebagai pelatih, maka dengan bela diri Aikido para aikidoka Bali
juga bisa mendapatkan penghasilan berupa materi. Kekuasaan atas pengetahuan
(bela diri Aikido), identitas, citra bermain akan mendatangkan uang.
Kelima, ideologi multikulturalisme. Bela diri Aikido bisa berterima dan
berkembang di Bali, selain keempat penyebab di atas juga sikap keterbukaan
masyarakat Bali terhadap dunia luar seiring arus globalisasi. Adanya sikap
toleransi orang Bali terhadap datang dan berkembangnya budaya Jepang (bela diri
Aikido) sejalan dengan pemikiran premis dasar dari multikulturalisme tentang
xviii
xix
bagaimana menunjukkan toleransi terhadap keanekaragaman praktik-praktik
budaya dalam hal ini bela diri Aikido dalam konteks negara-bangsa. Oleh karena
itu, multikulturalisme bertujuan luhur untuk mengekspresikan rasa hormat
(respek) sekaligus perayaan atas perbedaan. Sikap seperti ini sejatinya telah ada di
dalam nilai-nilai budaya masyarakat Bali, baik dalam nasihat para tetua secara
turun- temurun maupun dalam ajaran agamanya.
Multikulturalisme yang terjadi dalam proses pelatihan bela diri Aikido di
Bali sebagai dampak globalisasi menghasilkan kelompok budaya antarnegara. Hal
ini bisa dilihat dari adanya tujuh tanda globalisasi yang menghasilkan kelompok
budaya antarnegara. Kelompok ini tidak berbagi lokasi geografis, kelas
sosioekonomi, agama, bahasa asli ataupun budaya negara yang sama. Walaupun
begitu, mereka berbagi sejumlah nilai, sikap, norma, bahasa, dan perilaku yang
sama. Dengan satu kaki pada budaya aslinya dan satu kaki pada arena global,
mereka menjadi anggota dari budaya global yang muncul dan dikenali. Pada
beberapa kasus, mereka berpartisipasi lebih aktif dibandingkan dengan penduduk
aslinya. Mereka merupakan bagian dari kemunculan budaya global (emergent
global culture).
Keberterimaan bela diri Aikido di Bali dilanjutkan dengan
pengembangannya yang mencakup segi manajemen dan standar teknik yang
ditetapkan oleh pihak Jepang, yaitu Honbu Dojo di Tokyo. Dalam pengembangan
bela diri Aikido di Bali sejak berterima sampai saat ini melibatkan peran orang
Jepang dan orang Bali. Peran orang Jepang sebagai praktisi bela diri Aikido dan
orang Jepang yang memiliki kekuasaan dan wewenang yang berhubungan dengan
pengembangan bela diri Aikido di Bali.
Peran orang Jepang berupa supervisi bela diri Aikido di Bali dilakukan
oleh Honbu Dojo di Tokyo, meliputi: standar teknik (termasuk istilah dengan
menggunakan bahasa Jepang), pengaturan tata cara berpakaian, peralatan berlatih,
sikap perilaku peserta pelatihan, tata cara kenaikan tingkat, iuran pada saat
mengikuti seminar di Jepang, iuran ujian tingkatan sabuk hitam (Dan), dan
pengeluaran ijazah iternasional dari pihak Honbu Dojo. Ada beberapa hal yang
tidak diajarkan di dojo di Bali, tetapi secara otomatis diajarkan oleh para guru dari
Jepang pada saat berinteraksi selama para guru berada di Bali berupa kebudayaan
xix
xx
Jepang lainnya, seperti: sikap hormat terhadap senior dan guru, bertutur sapa,
sikap tubuh, dan tata cara bergaul orang Jepang dalam kehidupan sehari-hari.
Peran Jepang juga tampak dalam tata cara kenaikan tingkat yang terlihat
dalam ketentuan materi ujian yang ditetapkan pihak Honbu Dojo di Tokyo dan
ketentuan teknik yang diujikan berlaku di Bali dan di tempat lain di seluruh dunia.
Peran lain sebagai pemberian identitas bagi aikidoka Bali. Setiap anggota peserta
pelatihan bela diri Aikido yang telah lulus dalam ujian sampai pada tingkatan
sabuk hitam (Dan), maka pihak Honbu Dojo di Tokyo menerbitkan Paspor Aikido.
Di dalamnya tertera nama dan foto pendiri dan penerus bela diri Aikido, identitas
pemegang paspor, peringkat pemegang paspor, catatan seminar yang pernah
diikuti pemegang paspor, dan jumlah iuran yang telah disetorkan ke Honbu Dojo.
Ketentuan lainnya yang ditetapkan oleh pihak Jepang sebagai supervisi
dalam pengembangan bela diri Aikido di Bali sesuai standar Jepang di antaranya:
standar pakaian, peralatan pada saat berlatih, absensi kedatangan, bahkan sampai
tata letak sandal para aikidoka di masing-masing dojo yang ada di Bali. Selain
pakaian dan peralatan untuk berlatih yang ditentukan berdasarkan standar bela diri
Aikido di Honbu Dojo, para pelatih (sensei) pada saat berada di Bali ketika
memberikan pelatihan juga memberikan pelajaran berupa menjaga kebersihan,
kerapihan barang-barang termasuk cara menaruh sandal pada saat berlatih,
menempatkan barang-barang, mematikan handphone saat berlatih, dan sikap
masuk dan keluar dari dojo.
Semua peran orang Jepang tampak ada kaitan antara Jepang-Bali dalam
hal relasi kuasa. Pihak Jepang sebagai pemilik kebudayaan menjadi supervisi atas
segala kegiatan yang berhubungan dengan bela diri Aikido di Bali. Apapun
standar yang diterapkan oleh Jepang, Bali mau menerima. Hubungan Jepang-Bali
dalam kaitan bela diri Aikido di Bali adalah hubungan kekuatan sosial khusus
yang kelompok-kelompok dominan mengamankan posisi mereka atas hak-hak
istimewa secara konsensus. Artinya, kelompok dominan (Jepang) memaksakan
persetujuan dari kelompok yang didominasi dengan cara mengartikulasikan suatu
visi politik, ideologi, yang mengklaim bisa berbicara untuk semua dengan
xx
xxi
keyakinan yang dipegang dalam budaya politik populer. Keadaan ini, membuat
kekuatan koersif surut hingga ke lokasi latar belakang kehidupan politik—selalu
hadir sebagai potensi tetapi tidak secara langsung tampak dalam kehidupan politik
sehari-hari.
Relasi kuasa Jepang melalui bela diri Aikido sebagai salah satu bentuk
ilmu pengetahuan yang dimiliki pihak Jepang merupakan salah satu alat yang
ampuh untuk ”pendisiplinan” aikidoka Bali sebagai salah satu bentuk hegemoni
yang diterima secara sukarela. Ilmu pengetahuan (savoir), dalam hal ini bela diri
Aikido dapat dijadikan sebagai alat untuk pendisiplinan dan pelatihan untuk
menaklukkan dan membuat aikidoka Bali patuh.
Orang Bali juga memiliki peran penting dalam pengembangan bela diri
Aikido di Bali. Peran orang Bali dilakukan dalam bentuk individu, sebagai
anggota dojo, anggota Bari Aikikai, dan orang di luar anggota, baik secara
individu maupun kelompok yang memberikan kontribusi terhadap pengembangan
bela diri Aikido di Bali. Sampai penelitian ini dilakukan bahkan setelah penelitian
selesai pun tumbuh dojo-dojo lainnya. Dojo-dojo bertambah seiring dengan
kualifikasi yang dimiliki para aikidoka Bali untuk bisa dikualifikasikan sebagai
pelatih dan memiliki keinginan untuk mendirikan dojo yang didukung oleh sarana
dan prasarana.
Peran orang Bali dalam pengembangan bela diri Aikido adalah peran
yang dilakukan atas kekuasaan Jepang melalui organisasi Bari Aikikai karena
segala aturan yang berkenaan dengan pengembangannya harus mengacu ke pihak
Jepang, sekalipun dilakukan oleh orang Bali. Hal ini merupakan bentuk hegemoni
melalui institusi pendidikan (pelatihan bela diri Aikido) yang dijalankannya dan
diterima oleh pihak Bali. Hegemoni Jepang atas Bali dalam kaitan ini berlangsung
secara kultural maupun ideologis yang beroperasi melalui bela diri Aikido sebagai
budaya Jepang.
Bentuk lain kuasa Jepang dalam bela diri Aikido di Bali adalah etika
dalam dojo. Etika dalam dojo bela diri Aikido yang ada di Bali sebagai bentuk
peniruan atas gagasan budaya Jepang (bela diri Aikido). Dalam hal ini bahwa
etika terkait dengan nasihat praktis bagaimana orang harus memandang dirinya
xxi
xxii
dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, apa yang dimaksud dengan orang 'baik',
orang yang disiplin, orang kreatif, dan seterusnya. Tujuan Jepang membangun
etika dalam dojo yang harus ditaati oleh para aikidoka Bali merupakan cerminan
disiplin yang ditegakkan oleh Jepang di Bali untuk dapat melatih tubuh dan
pikiran mereka. Di balik disiplin melalui etika dalam dojo, Jepang ingin
membentuk aikidoka Bali sesuai keinginan untuk memapankan kedudukannya
atas kuasa/pengetahuan yang dimilikinya.
Melalui penelitian ini tampak pengembangan bela diri Aikido di Bali di
beberapa dojo yang diteliti dengan alasan pendirian dojo, proses pendiriannya,
penggunaan dojo, dan manajemen yang ada pada masing-masing dojo secara
umum menunjukkan keberhasilan pengembangan bela diri Aikido di Bali.
Keberhasilan ini sesungguhnya keberhasilan pihak Jepang. Pihak Jepang (Honbu
Dojo) telah berhasil mengembangkan bela diri Aikido melalui tangan
kepanjangannya (Bari Aikikai) di Bali. Melalui ilmu pengetahuannya (bela diri
Aikido), Jepang memfungsikan institusi (dojo-dojo yang ada di Bali) untuk
memperkuat kekuasaannya. Bermunculannya dojo sebagai bukti keberhasilan
pengembangan bela diri Aikido di Bali yang menunjukkan aikidoka Bali juga
mendapatkan manfaatnya terutama bagi para pengelola dan asisten pelatih karena
dengan berdirinya dojo-dojo baru mereka akan mendapatkan nilai tambah untuk
meningkatnya aktivitas pelatihan (memberikan pelatihan), meningkatkan
pengalaman. Dengan memegang kelas di dojo yang baru merupakan salah satu
syarat untuk bisa mengikuti ujian kenaikan tingkat sabuk hitam (Dan) yang lebih
tinggi. Hal ini penting karena semakin tinggi tingkatan Dan, maka semakin tinggi
juga prestise dan kewenangan yang melekat pada aikidoka bersangkutan.
Pengembangan dojo-dojo yang ada menunjukkan adanya manajemen
postmodern dalam pengelolaannya dengan beberapa ciri. Dari planning
mencerminkan tujuan keuntungan jangka panjang, produksi fleksibel karyawan
dan investasi (dalam hal ini dojo baru akan mencetak pelatih yang baru
merupakan investasi kelak). Dalam organizing pengelolaan dojo-dojo tersebut
terlihat adanya kerja tim dan satu orang dengan berbagai keahlian (setiap pelatih
memiliki beragam keahlian). Hubungan antara pelatih dengan peserta merupakan
hubungan kerja sama. Keragaman adalah kekuatan (peserta terdiri dari berbagai
xxii
xxiii
bangsa, ras, suku) karena banyak suara adalah aset (banyak pendapat untuk
peningkatan teknik), dan mendisiplinkan diri. Dalam sistem leading, pengelola
dojo-dojo menjalankan kepemimpinan postmodern dengan ciri-cirinya:
kepemimpinan pelayan (seluruh staf dojo melayani peserta seperti pelanggan agar
tetap berlatih), berpusat pada orang/anggota (setiap peserta yang telah memenuhi
syarat bisa mengembangkan dojo baru), terbuka karier bagi perempuan dan
minoritas (dalan berlatih bela diri Aikido tidak memandang gender, ada beberapa
wanita telah mencapai tingkatan sabuk hitam).
Pengembangan bela diri Aikido di Bali juga meliputi tata cara kenaikan
tingkat, baik yang mengikuti ujian di Bali (Kyuu atau Dan) maupun uijan
kenaikan tingkat Dan di Jepang. Tata cara kenaikan tingkat ini bagi aikidoka Bali
di dalamnya terdiri atas aturan-aturan yang harus ditaati untuk meningkatkan
kualitas teknik dan status dalam bela diri Aikido. Dengan tingkatan yang dimiliki
akan timbul hak-hak atas aikidoka dan dengan sendirinya aikidoka bersangkutan
akan memiliki identitas, kekuasaan, dan citra. Apabila dimanfaatkan kekuasaan
tersebut dapat menjadi pengelola dojo yang akhirnya akan terjadi ideologi pasar di
dalamnya. Identitas berkenaan dengan tingkatan disandang aikidoka dan dapat
dikonstruksi dalam wacana konsumerisme budaya populer seperti bela diri Aikido,
karena konsumsi tanda adalah salah satu cirinya.
Kekuasaan Jepang sebagai pemilik kebudayaan bela diri Aikido yang
digeluti di Bali pada pengembangannya, semakin tinggi tingkatan yang dimiliki
aikidoka Bali maka mutunya semakin baik sesuai dengan yang diharapkan Jepang.
Dengan demikian, semakin kuatlah posisi Jepang, baik secara kuantitas (jumlah
aikidoka Bali) maupun kualitas mereka. Kualitas yang dimaksud
adalah ”ideologi” yang ada dalam bela diri Aikido semakin mendalam diikuti oleh
aikidoka Bali. Tampak pengetahuan (kekuasaan) Jepang termapankan dalam
konteks relasi yang terbangun melalui pendalaman nilai-nilai yang ada dalam bela
diri Aikido.
Pengembangan bela diri Aikido di Bali juga berimplikasi pada aikidoka
Bali dalam sikap mereka di dojo dan dalam kesehariannya. Beberapa dimensi
dalam pengembangan bela diri Aikido di Bali terlihat pada aikidoka Bali, yaitu
timbulnya rasa percaya diri. Percaya diri dalam pelatihan bela diri Aikido bisa
xxiii
xxiv
timbul dengan tempaan fisik dan mental, utamanya dalam memimpin pelatihan di
dojo, yang akan menumbuhkan rasa percaya diri. Kepercayaan diri merupakan
salah satu nilai positif yang timbul berkenaan dengan bela diri Aikido yang diikuti.
Hal ini tidak hanya ada pada bela diri Jepang modern yang telah memiliki
beberapa aliran, namun sejak zaman samurai bela diri sebagai materi pokoknya.
Kepercayaan diri tersebut ditempa dengan latihan yang intensif dan dengan waktu
yang lama.
Melalui pelatihan bela diri Aikido, para aikidoka Bali juga bisa
mengembangkan dirinya sebagai perwujudan aktualisasi diri, yaitu proses untuk
mewujudkan diri para aikidoka Bali yang terbaik sejalan dengan potensi dan
kemampuan yang dimilikinya. Melalui pelatihan bela diri Aikido secara
berkesinambungan dapat mengubah pola pikir dan implementasinya dalam
menjalani kehidupan sehari-hari sebagai dampak positif yang didapatkannya
dengan mengikuti pelatihan tersebut.
Aktivitas para aikidoka Bali dalam berinteraksi, baik di dojo dengan
aikidoka maupun dalam kesehariannya tercermin pada perluasan relasi sosial.
Perluasan relasi sosial ini merupakan hubungan timbal balik antar individu
(aikidoka) yang satu dengan individu (aikidoka) yang lain dan saling
memengaruhi. Relasi sosial ini terjadi karena setiap aikidoka Bali melakukan
hubungan sosial yang terjalin antar individu dan antar kelompok dojo yang
berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Aikidoka sebagai manusia ditakdirkan
sebagai makhluk pribadi sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk
pribadi, aikidoka berusaha mencukupi semua kebutuhannya untuk kelangsungan
hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhannya, aikidoka tidak mampu berusaha
sendiri, mereka membutuhkan orang lain. Itulah sebabnya dalam kesehariannya,
aikidoka Bali perlu berelasi atau berhubungan dengan aikidoka lain sebagai
makhluk sosial. Dengan perluasan relasi sosial ini menyebabkan perkembangan
relasi bisnis bagi aikidoka Bali.
Perkembangan relasi bisnis para aikidoka Bali karena dalam praktiknya
mereka mengimplementasikan nilai-nilai yang ada dalam bela diri Aikido ke
xxiv
xxv
dalam hubungan relasi bisnis. Nilai yang terkandung di dalam bela diri Aikido
seperti harmoni baik dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam
bisnis jasa yang digeluti aikidoka. Dengan harmoni tersebut, bisa meminimalisir
rasa ego dan menimbulkan rasa menghargai orang lain sehingga partner bisnis
merasa diberikan penghargaan (respect). Dengan respect tersebut, maka partener
bisnis (pelanggan) merasa nyaman dan mau sejalan dengan harapan aikidoka
tersebut. Dengan penerapan nilai-nilai bela diri Aikido dalam kegiatan bisnis,
partner bisnis mulai sejalan dengan harapan dan keadaan tersebut. Apabila
didengar oleh orang lain, maka akan menyebar dari satu orang ke orang lain dan
akan memperluas kesempatan bisnis lainnya, bahkan bisa bertambah pada
beberapa bidang lainnya.
Pengembangan bela diri Aikido di Bali, berimplikasi terhadap para
aikidoka Bali. Beberapa sikap yang terbentuk pada aikidoka di antaranya sikap
menghormati orang lain. Sikap menghormati orang lain diwujudkan di dalam
masing-masing dojo dengan sikap tubuh seperti membungkuk, duduk dengan
bersimpuh sikap sempurna ala Jepang (seiza) dan dengan kata-kata. Dengan
membungkuk dan mengucap mohon bimbingannya (onegai shimasu), aikidoka
juga belajar memberi respek kepada pasangan berlatih. Bukan hanya junior yang
perlu memberikan respek kepada yang senior, tetapi yang senior pun hendaknya
menaruh respek kepada junior. Dalam pengertian orang yang lebih tua pun
menghormati yang muda. Dalam keseharian aikidoka Bali juga bersikap sopan,
tidak arogan, dan menghormati orang lain.
Sikap lainnya yang terimplikasi pada aikidoka Bali adalah sikap
menguasai diri. Sikap tersebut merupakan sikap yang diadopsi dari nilai bela diri
Aikido sebagai salah satu bela diri asal Jepang sebagai budo. Mampu menguasai
diri merupakan praktik dari makna “bu”. Dari perspektif kontemporer dapat
dilihat melalui perkembangan sejarah bela diri Jepang. Perkembangan sejarah
ajaran “bu” menunjukkan proses evolusi yang terus berjalan, dari seni bela diri
hingga penghindaran konflik. Murid budo berlatih dasar-dasar seni bela diri
dengan menguasai teknik-teknik yang diinginkannya. Melalui pelatihan (keiko),
para pengikut budo dapat “mengalahkan diri sendiri”, yakni mengontrol emosi
xxv
xxvi
dan mencapai integrasi antara “jiwa, teknik, dan tubuh (shin-gi-tai). Sikap
menguasai diri secara tegas dinyatakan oleh pendiri bela diri Aikido, yaitu
Morihei Ueshiba O’Sensei bahwa kebenaran budo adalah untuk mendisiplinkan
diri dan menghilangkan keinginan bertarung. Hal ini untuk mengalahkan semua
musuh dan jalan pasti menuju pemenuhan diri.
Sikap aikidoka Bali lainnya tercermin dengan mengikuti pelatihan bela
diri Aikido muncul sikap disiplin dalam berlatih. Disiplin dalam bela diri Aikido
termasuk di dalamnya dalam jangka waktu yang lama secara berkesinambungan
dan terus menerus. Nilai disiplin dalam berlatih secara berkelanjutan telah
diajarkan oleh pendirinya bahwa kehidupan merupakan suatu percobaan. Dalam
berlatih para aikidoka harus mengetes dan menghaluskan diri untuk berhadapan
dengan tantangan kehidupan yang besar.
Jiwa ideal bagi aikidoka Bali melalui pelatihan yang berkelanjutan adalah
jiwa harmoni sesuai dengan nilai bela diri Aikido. Inti dari latihan bela diri Aikido
adalah kerja sama antara yang diserang (tori) dan penyerang (uke) untuk mencapai
keselarasan gerak. Sesungguhnya, latihan keselarasan inilah yang menjadi kunci
kesempurnaan teknik bela diri Aikido. Pada tingkat yang lebih lanjut, keselarasan
menjadi kekuatan dalam menerima segala bentuk serangan, menetralisir dan
mengendalikannya. Kunci dari latihan keselarasan ini adalah melakukan gerakan
dalam latihan dengan rileks, tidak memakai tenaga otot atau pemaksaan.
Merasakan perubahan dengan kondisi tanpa perlawanan, karena dalam bela diri
Aikido tidak memiliki lawan. Harmoni artinya setiap teknik dalam bela diri
Aikido, diciptakan untuk menjalin suatu kerja sama dan membangun gerakan
yang indah. Gerakan yang indah terjadi ketika ada harmoni. Harmoni maksudnya
energi yang menyatu antara peserta pelatihan pada saat melakukan teknik. Kalau
energi yang lepas tidak menyatu, menyebabkan mudah berkelahi dan terjadi
benturan.
Jiwa harmoni dalam kehidupan, pekerjaan, keluarga, dan bermasyarakat
dapat dilihat dengan “connecting” secara harmoni dengan keluarga dan orang
sekitar dan hidup menjadi damai”. Filosofi bela diri Aikido tentang keharmonisan,
xxvi
xxvii
di Bali sendiri ada kearifan lokal berupa Tri Hita Karana dan nilai yang sama juga
ada pada aikidoka Bali selama ikut berlatih bela diri Aikido. Beberapa aikidoka
Bali juga berpendapat bahwa gerakan dan filosofi Aikido selaras dengan alam,
bersatu dengan alam, dan hal ini disebut “harmoni”.
Gagasan terpenting dalam bela diri Aikido adalah melepaskan diri dari
permusuhan dan keinginan untuk mengalahkan lawan. Hal ini sejalan dengan nilai
bela diri Aikido yang ditegaskan oleh pendirinya, guru besar Morihei Ueshiba.
Sebuah kesalahan besar jika mengira budo adalah mengenai menjadi lebih kuat
dari lawan dan harus mengalahkannya. Dalam budo tidak ada musuh. Kebenaran
budo adalah menyatu dengan semesta. Menyatu dengan pusat semesta. Dalam
bela diri Aikido, tidak berlatih menyerang atau mengalahkan lawan, tetapi
berusaha membuat kontribusi bagi seluruh manusia di dunia. Itulah sebabnya
harus harmonis dengan pusat semesta”.
Beberapa dimensi yang membentuk sikap para aikidoka Bali dan mereka
memiliki identitas berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya. Hal ini
terlihat dari kebudayaan fisik para aikidoka Bali, meliputi tindak-tanduk dalam
kehidupan di dalam maupun di luar dojo, atribut yang digunakan, aktivitas
komunitas baik di lingkungan anggota Bari Aikikai maupun aikidoka di negara
lainnya. Hal ini merupakan tanda-tanda yang mencirikan bahwa orang tersebut
merupakan peserta pelatihan di lingkungan Bari Aikikai. Penampilan berdasarkan
pakaian dan atribut para aikidoka Bali menunjukkan praktik penandaan yang di
dalamnya terjadi pembangkitan makna, yang memproduksi dan mereproduksi
kelompok-kelompok budaya tersebut sejalan dengan posisinya di dalam
kekuasaan yang relatif. Namun, penting ditekankan bahwa fashion dan pakaian
tidak digunakan sekadar untuk menunjukkan atau mengacu pada posisi-posisi
sosial dan kultural. Pakaian dan busana itu pertama-tama digunakan untuk
mengonstruksi dan menandai realitas sosial dan kultural.
Melalui pelatihan bela diri Aikido yang berkelanjutan dan dalam rentang
waktu yang lama, membentuk aikidoka Bali sebagai manusia baru yang
memiliki ”label” berbeda dengan manusia Bali pada umumnya. Latihan budo
secara terus menerus dan berkala merupakan proses belajar. Belajar dalam hal ini
xxvii
xxviii
tidak hanya teknik semata, namun juga nilai-nilai yang ada dalam bela diri Aikido
tersebut. Dalam belajar, selalu dipertalikan dengan "proses perubahan". Perubahan
yang dimaksud berkaitan dengan beberapa hal. Perubahan tersebut pada aspek
pengetahuan manusia, sikap dan/atau kemauan, perilaku, praktik, keterampilan
manusia, kinerja, unjuk kerja, atau performance. Keempat aspek dalam proses
belajar tersebut membuat aikidoka Bali menjadi manusia baru dalam beberapa
dimensi yang bercirikan berkepribadian layaknya orang Jepang.
Beberapa kalangan memandang bela diri Aikido yang digeluti oleh
beberapa komunitas di beberapa dojo di Bali sebagai kebudayaan asing. Akibat
arus globalisasi bisa saja diterima dan diikuti, namun generasi muda yang
mempunyai minat dalam menekuni bela diri dengan adanya beragam pilihan, baik
asli Indonesia maupun asing diharapkan menentukan pilihan dengan bijak sesuai
kata hati. Keberterimaan dan pengembangan bela diri Aikido di Bali juga dapat
memperkaya khasanah kebudayaan (bela diri) bagi para praktisi. Harapan para
praktisi bela diri maupun masyarakat awam agar mengutamakan budaya (bela
diri) asli Indonesia dahulu baru bela diri asing. Nilai-nilai yang ada dalam bela
diri asing khususnya bela diri Aikido memiliki kegayutan dengan nilai-nilai pada
bela diri asli Indonesia (Bali). Budaya asing (bela diri Aikido) berterima di Bali
menurut beberapa kalangan bisa mengikis identitas.
Penelitian ini menghasilkan tiga temuan baru. Pertama, di balik kekuatan
budaya Bali yang sampai kini sedang berlangsung dalam segala lini kehidupannya,
terdapat sikap orang Bali yang terbuka terhadap berbagai kebudayaan asing
termasuk bela diri Aikido sebagai salah satu kebudayaan Jepang. Hal ini disebut
sebagai politik multikulturalisme.
Multikulturalisme yang terjadi dalam proses pelatihan bela diri Aikido di
Bali sebagai dampak globalisasi menghasilkan kelompok budaya antarnegara. Hal
ini bisa dilihat dari prinsip teori globalisasi Ritzer (Samovar, Porter Richard E &
McDaniel Edwin R) bahwa ada tujuh tanda globalisasi yang menghasilkan
kelompok budaya antarnegara. Tujuh tanda tersebut yaitu: (1). Aliran modal
internasional, di antaranya investasi luar negeri telah masuk dan mempengaruhi
perekonomian negara tersebut; (2). Meningkatnya aliran data lintas batas, seperti
xxviii
xxix
penggunaan internet, satelit komunikasi dan telepon; (3). Meningkatnya
pertukaran budaya (cultural exchange) internasional; (4). Menyebar luasnya
paham multikulturalisme dan semakin besarnya akses individu terhadap berbagai
macam budaya; (5). Meningkatnya perjalanan dan turisme lintas Negara; (6).
Meningkatnya imigrasi, termasuk imigrasi illegal; dan (7). Berkembangnya
infrastruktur telekomunikasi global.
Kelompok homogen muncul paling tidak dalam komunitas dunia bisnis
yang terus meningkat. Kelompok ini tidak berbagi lokasi geografis, kelas
sosioekonomi, agama, bahasa asli dan budaya negara yang sama. Walaupun
begitu, mereka berbagi sejumlah nilai, sikap, norma, bahasa, dan perilaku yang
sama. Dengan satu kaki pada budaya aslinya dan satu kaki pada budaya global,
mereka menjadi anggota budaya global yang muncul dan dikenali. Pada beberapa
kasus, mereka berpartisipasi lebih aktif dibandingkan dengan penduduk aslinya.
Mereka merupakan bagian dari kemunculan budaya global (emergent global
culture). Apa yang digunakan kelompok ini sebagai dasar kekuasaan mereka
(uang, rasa takut, militer, dan lain lain) berbeda pada setiap budaya. Namun,
dalam setiap kasus, kelompok yang lebih dominanlah yang memimpin. Tanpa
menghiraukan sumber kekuatannya, orang-orang tertentu dalam setiap budaya
memiliki pengaruh yang tidak sama. Pengaruh tersebut diterjemahkan sebagai
cara kelompok budaya lain bertingkah laku.
Kedua, terkait dengan bela diri Aikido yang sedang ditekuni oleh
beberapa komunitas di Bali, sesuai pendapat para aikidoka, ternyata ada berbagai
hal yang mendukung keberterimaannya. Beberapa hal tersebut adalah: pandangan
(image) terhadap Jepang sebagai negara maju dalam hal kekayaan negara, kualitas
pendidikan, teknologi canggih yang mampu mempertahankan budayanya
sehingga menjadikannya sebagai junjungan bangsa lainnya. Sebagai pemilik
kebudayaan (bela diri Aikido) dan pemilik pengetahuan sebagaimana dengan teori
kuasa/pengetahuan Foucault bahwa ilmu pengetahuan (savoir) dalam hal ini bela
diri Aikido dapat dijadikan sebagai alat yang ampuh untuk pendisiplinan dan
pelatihan untuk menaklukkan dan membuat orang patuh dalam hal ini semua
aikidoka Bali. Wacana bela diri Aikido yang digaungkan oleh Jepang melalui
xxix
xxx
media juga dipahami sebagai penjelasan, pendefinisian, pengklasifikasian, dan
pemikiran tentang orang, pengetahuan, dan sistem-sistem abstrak pemikiran
manusia yang tidak terlepas dari relasi kekuasaan. Wacana selalu bersumber dari
pihak yang memiliki kekuasaan dan dari mereka yang memiliki pemikiran kreatif.
Hal ini memungkinkan mereka membangkitkan relasi kekuasaan dan pengetahuan
dalam suatu sistem sosial. Kemudian, dengan berpijak pada tautan relasi tersebut
mereka mampu memproduksi wacana yang kebenarannya bisa diakui dan
bertahan pada rentang historis tertentu.
Ketiga, ternyata ada kegayutan nilai-nilai budaya antara kebudayaan Bali
dan kebudayaan Jepang terkait dengan keberadaan bela diri Aikido yang
berterima di beberapa komunitas pelatihan di Bali. Kegayutan nilai budaya antara
Bali dan Jepang inilah yang membuat para aikidoka Bali semakin cepat menerima
dan menjiwai bela diri Aikido. Nilai-nilai budaya tersebut, seperti : menghormati
orang lain, menguasai diri, disiplin, pantang menyerah, dan jiwa harmoni bagi
aikidoka.
Nilai-niali budaya tersebut, seperti: kemanusiaan, memahami hati orang
lain (Jin, Sokuin no kokoro)「仁・惻隠そくいん
の心」dalam bela diri Aikido. Dalam nilai
kebudayaan Bali dapat dikaitkan dengan Tatwamasi, sebagai ajaran kesusilaan
yang tanpa batas dan identik dengan ajaran kemanusiaan (humanisme), yakni
menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri”. Nilai menguasai diri (Reido)
「礼道」yang terdapat dalam bela diri Aikido memiliki kesamaan nilai dalam
agama Hindu (Bali) berupa Sadripu, yaitu enam musuh utama dalam diri manusia
yang harus dikalahkan untuk meningkatkan spiritualitas manusia, sekaligus dalam
menciptakan kerukunan dan kedamaian umat manusia. Nilai disiplin 「忠義」yang
terkandung di dalam bela diri Aikido memiliki kesamaan dalam kebudayaan
Hindu (Bali) sebagai Mulat Sarira sebagai sebuah ajakan bagi seluruh umat
manusia, terlepas dari perbedaan latar belakang agama, status sosial, ras, ideologi
politik dan ekonomi untuk “kembali ke akarnya dan menemukan diri”. Mencari
jati diri, dan mengenal diri sendiri merupakan pengembangan konsep Mulat
Sarira.
xxx
xxxi
Pantang menyerah (yuuki)「勇気」sebagai salah satu nilai dalam bela
diri Aikido, baik dalam teknik praktis maupun filosofinya bertautan dengan nilai
budaya Bali terutama dalam menjalani kehidupan bahwa kehidupan adalah selalu
dalam keadaan belajar. Gayutan nilai tersebut dalam budaya Bali terdapat tetuah
para leluhur, salah satunya dalam bentuk Geguritan Basur dalam lagunya Pupuh
Ginada terdapat ungkapan “eda ngaden awak bisa”. Makna ungkapan tersebut
kurang lebihnya adalah dalam kehidupan ini manusia selalu belajar. Sepintar
apapun seseorang masih banyak yang perlu dipelajari.
Berdasarkan hasil penelitian dan temuan yang diperoleh dalam penelitian
ini, maka ada beberapa saran yang dapat diajukan. Pertama, kepada masyarakat
Bali yang mempunyai minat dalam bela diri, pada zaman globalisasi ini, agar
membuka diri terhadap beberapa bela diri yang masuk karena akan mendapatkan
manfaat baik penambahan wawasan dalam lingkup teknik maupun nilai-nilai yang
terkandung di dalam bela diri tersebut. Kedua, kepada pemerintah daerah agar
mengambil kebijakan baik melalui regulasi maupun tindakan nonformal,
memberikan ruang untuk lebih berkembangnya bela diri asing, khususnya bela
diri Aikido sehingga dapat menambah khasanah bela diri asli yang ada di Bali.
Ketiga, pihak media massa agar berpartisipasi aktif untuk menyebarluaskan
keberadaan bela diri Aikido di Bali sebagai salah satu pilihan bagi masyarakat
pemerhati bela diri dalam rangka menambah wawasan dan pergaulan internasional.
Keempat, kepada peserta bela diri dari berbagai aliran yang ada di Bali, baik bela
diri asal Indonesia (Bali) maupun luar, agar saling menghargai di antara mereka
sehingga tercipta suasana yang tertib, saling menghormati dan damai sesuai nilai-
nilai yang ada pada bela diri pada umumnya.
xxxi
xxxii
DAFTAR ISI
ISI Hal
SAMPUL DALAM ................................................................................... i
PRASYARAT GELAR .............................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .......................................................... iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ......................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................ ix
ABSTRACT ................................................................................................ x
RINGKASAN ........................................................................................... xi
DAFTAR ISI ............................................................................................. xxxii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xxxvii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xxxviii
DAFTAR FOTO ........................................................................................ xxxix
DAFTAR BAGAN .................................................................................... xlvi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xlvii
GLOSARIUM ........................................................................................... xlviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 13
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 13
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................. 13
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 14
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 15
1.4.1 Manfaat Teoretis ............................................................................... 15
1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................................ 16
xxxii
xxxiii
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORETIS,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka ..................................................................................... 18
2.2 Konsep ................................................................................................ 24
2.2.1 Posrealitas .................................................................................... 24
2.2.2 Spirit Hidup Samurai ................................................................... 27
2.2.3 Pengembangan Bela Diri Aikido di Bali ....................................... 31
2.3 Landasan Teoretis ................................................................................ 36
2.3.1 Teori Globalisasi ........................................................................... 36
2.3.2 Teori Relasi Kuasa/Pengetahuan .................................................. 45
2.3.3 Teori Identitas Sosial ..................................................................... 48
2.4 Model Penelitian ................................................................................ 54
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian .......................................................................... 58
3.2 Lokasi Penelitian ................................................................................. 58
3.3 Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 59
3.4 Instrumen Penelitian............................................................................ 61
3.5 Penentuan Informan ............................................................................ 61
3.6 Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 62
3.6.1 Observasi ....................................................................................... 62
3.6.2 Wawancara Mendalam .................................................................. 64
3.6.3 Dokumentasi ................................................................................. 64
3.6.4 Studi Kepustakaan ......................................................................... 65
3.7 Teknik Analisi Data ............................................................................. 65
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ................................................. 67
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN,
KEBUDAYAAN JEPANG DAN BELA DIRI AIKIDO
4.1 Profil Provinsi Bali .............................................................................. 68
4.1.1 Keadaan Geografis ........................................................................... 68
4.1.2 Sejarah ............................................................................................. 70
xxxiii
xxxiv
4.1.3 Demografi ....................................................................................... 75
4.1.4 Ekonomi ........................................................................................... 78
4.1.5 Sosial Budaya ................................................................................... 81
4.2 Bela Diri Aikido dalam Kebudayaan Jepang ...................................... 85
4.2.1 Ringkasan Sejarah Jepang ................................................................ 85
4.2.2 Posisi Bela Diri dalam Kebudayaan Jepang .................................... 91
4.2.3 Spirit Samurai dalam Bela Diri Aikido ............................................ 94
4.2.4 Asal Usul dan Perkembangan Bela Diri Aikido di Jepang ............... 96
4.2.5 Sejarah Masuknya Bela Diri Aikido di Bali ..................................... 100
4.3 Profil Tempat Pelatihan (Dojo) Bela Diri Aikido di Bali .................... 102
4.3.1 Dojo Samurai .................................................................................. 102
4.3.2 Dojo Dirgahayu ................................................................................ 104
4.3.3 Dojo Aora ......................................................................................... 107
4.3.4 Dojo Kami ........................................................................................ 109
BAB V LATAR BELAKANG TERJADINYA POSREALITAS
DALAM PENGEMBANGAN BELA DIRI AIKIDO DI BALI
5.1 Ideologi Dualisme Kultural ................................................................. 113
5.2 Ideologi Paternalisme .......................................................................... 129
5.3 Ideologi Citra ..................................................................................... 140
5.4 Ideologi Pasar ..................................................................................... 149
5.5 Ideologi Multikulturalisme ................................................................. 164
BAB VI PROSES POSREALITAS DALAM PENGEMBANGAN
BELA DIRI AIKIDO DI BALI
6.1 Tahap Pengenalan Bela Diri Aikido di Bali ........................................ 176
6.1.1 Peran Orang Jepang.......................................................................... 176
6.1.2 Peran Orang Bali .............................................................................. 191
6.2 Pendirian Organisasi Bela Diri Aikido di Bali .................................... 209
6.2.1 Terbentuknya Bari Aikikai ............................................................... 209
6.2.2 Dominasi Pihak Dojo Pusat di Tokyo dalam Pembentukan Bari
Aikikai ............................................................................................. 215
xxxiv
xxxv
6.2.3 Etika dalam Dojo.............................................................................. 220
6.3 Pengembangan Tempat Pelatihan (Dojo) Bela Diri Aikido di Bali ... 222
6.3.1 Dojo Samurai ................................................................................... 223
6.3.2 Dojo Dirgahayu ................................................................................ 229
6.3.3 Dojo Aora ......................................................................................... 233
6.3.4 Dojo Kami ........................................................................................ 238
6.4 Tahap Pengembangan Mutu Bela Diri Aikido di Bali ......................... 245
6.4.1 Jenjang Kualifikasi ........................................................................... 246
6.4.2 Tata Cara Kenaikan Tingkat ............................................................. 248
6.4.3 Kekuasaan di Balik Tingkatan ......................................................... 258
BAB VII IMPLIKASI POSREALITAS DALAM PENGEMBANGAN
BELA DIRI AIKIDO DI BALI PADA KEHIDUPAN
AIKIDOKA BALI
7.1 Beberapa Dimensi Pengembangan Bela Diri Aikido dalam Sejumlah
Dojo di Bali ......................................................................................... 263
7.1.1 Rasa Percaya Diri Para Aikidoka...................................................... 263
7.1.2 Pengembangan Diri .......................................................................... 267
7.1.3 Perluasan Relasi Sosial .................................................................... 273
7.1.4 Berkembangnya Relasi Bisnis.......................................................... 281
7.1.5 Penegasan Identitas .......................................................................... 289
7.2 Sikap dan Perilaku Aikidoka Bali ........................................................ 299
7.2.1 Menghormati Orang Lain ................................................................. 299
7.2.2 Menguasai Diri ................................................................................. 305
7.2.3 Disiplin ............................................................................................. 310
7.2.4 Pantang Menyerah ............................................................................ 318
7.2.5 Memiliki Jiwa Harmoni ................................................................... 325
7.3 Citra Peserta Pelatihan Bela Diri Aikido dalam Pandangan Orang
Bali .................................................................................................... 333
7.3.1 Bela Diri Aikido sebagai Budaya Asing........................................... 333
xxxv
xxxvi
7.3.2 Nilai-Nilai Bela Diri Aikido Identik dengan Nilai-Nilai Bela Diri
Bali .................................................................................................. 338
7.3.3 Bela Diri Aikido sebagai Bela Diri Musiman .................................. 341
7.4 Terbentuknya Identitas Baru dalam Masyarakat Bali melalui
Pelatihan Bela Diri Aikido ................................................................ 346
7.4.1 Gagasan Para Aikidoka Bali tentang Jepang .................................... 347
7.4.2 Kebudayaan Fisik Para Aikidoka Bali .............................................. 353
7.4.3 Aikidoka Bali sebagai Manusia Baru ............................................... 363
BAB VIII PENUTUP
8.1 Simpulan ............................................................................................. 384
8.2 Temuan ................................................................................................ 385
8.3 Saran .................................................................................................... 389
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 390
LAMPIRAN
xxxvi
xxxvii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 4.1 : Luas Wilayah Masing-Masing Kabupaten di Bali ............ 69
Tabel 4.2 : Luas Wilayah, Proyeksi Penduduk, Rasio Jenis Kelamin,
dan Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di
Bali .................................................................................... 76
Tabel 4.3 : Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut
Kelompok Umur ............................................................... 77
Tabel 4.4 : Penduduk Kota Denpasar Menurut Kewarganegaraan ..... 107
Tabel 4.5 : Jumlah Penduduk Menurut Kewarganegaraan di
Kabupaten Badung Tahun 2009 ........................................ 112
Tabel 6.1 : Materi Teknik Ujian Kenaikan Tingkat Standar Honbu
Dojo di Tokyo-Jepang ....................................................... 180
Tabel 6.2 : Jenjang Kualifikasi Melalui Ujian Kenaikan Tingkat
Berdasarkan Waktu dan Kehadiran Aikidoka Bali ............ 246
Tabel 6.3 : Materi Teknik Ujian Kenaikan Tingkat Kyuu dan tingkat
Dan standar Honbu Dojo di Tokyo-Jepang ....................... 250
xxxvii
xxxviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Peta Lokasi Kota Denpasar ................................................... 105
Gambar 4.2 Peta Lokasi Kabupaten Badung ............................................ 111
xxxviii
xxxix
DAFTAR FOTO
Foto Halaman
Foto 5.1 : Peserta Pelatihan Bela Diri Aikido di Jepang
Menghormat ke Altar Sebelun dan Sesudah Berlatih ..... 118
Foto 5.2 : Aikidoka Bali Melakukan Rei (hormat) Saat Memasuki
Dojo ................................................................................. 118
Foto 5.3 : Sikap Hormat Aikidoka di Jepang Saat Berlatih ............. 119
Foto 5.4 : Penghormatan Terhadap Pasangan Berlatih di Dojo di
Bali .................................................................................. 119
Foto 5.5 : Aikidoka di Bali Saat Membersihkan Dojo Sebelum dan
Sesudah Berlatih.............................................................. 119
Foto 5.6 : Aikidoka Bali Saat Menetap dan Berlatih di Jepang ....... 133
Foto 5.7 : Situasi Seminar Bela Diri Aikido di Jepang .................... 134
Foto 5.8 : Aikidoka Bali Mengikuti Seminar di Jepang ................... 134
Foto 5.9 : Aikidoka Bali di Dojo Pusat di Tokyo ............................. 135
Foto 5.10 : Ijazah Aikidoka Asal Bali yang Dikeluarkan Dojo Pusat
di Tokyo-Jepang .............................................................. 136
Foto 5.11 : Iklan untuk Menarik Minat Masyarakat Bali Berlatih
Bela Diri Aikido ............................................................. 144
Foto 5.12 : Biaya untuk Ujian Kenaikan Tingkat di Bela Diri
Aikido ............................................................................. 150
Foto 5.13 : Undangan untuk Menguji Melalui Media ....................... 151
Foto 5.14 : Percakapan di Media Massa untuk Mengikuti Seminar
di Tokyo........................................................................... 152
Foto 5.15 : Peserta Bela Diri Aikido dari Berbagai Negara Saat
Mengikuti Kegiatan di Jepang ........................................ 168
Foto 5.16 : Seminar di Dojo Kami, Diikuti Aikidoka dari Berbagai
Negara ............................................................................ 168
xxxix
xl
Foto 6.1 : Pengumuman Seminar di Media Massa .......................... 179
Foto 6.2 : Pelaksanaan Seminar sebagai Supervisi Teknik.............. 179
Foto 6.3 : Ijazah Yudansha Dikeluarkan oleh Honbu Dojo Tokyo .. 181
Foto 6.4 : Halaman Depan Paspor Bela Diri Aikido ...................... 181
Foto 6.5 : Halaman Pendiri dan Penerus Bela Diri Aikido serta
Identitas Pemegang Paspor ............................................. 182
Foto 6.6 : Halaman Peringkat dan Catatan Seminar yang Telah
Diikuti Aikidoka Pemegang Paspor Bela Diri Aikido .... 182
Foto 6.7 : Sabuk Putih dan Sabuk Hitam Stándar Bela Diri Aikido 183
Foto 6.8 : Pakaian Atas Aikidoka ..................................................... 183
Foto 6.9 : Celana Aikidoka .............................................................. 184
Foto 6.10 : Aikidoka Bali Mengenakan Aikidogi Sebelum Sabuk
Hitam ............................................................................... 184
Foto 6.11 : Para Aikidoka Bali Sebelum Sabuk Hitam (Mudansha)
Berfoto Bersama.............................................................. 185
Foto 6.12 : Hakama sebagai Bagian dari Aikidogi ............................ 185
Foto 6.13 : Aikidoka Bali Bersama Sensei dari Jepang Saat
Mengenakan Aikidogi dengan Hakama .......................... 186
Foto 6.14 : Aikidoka Bali dengan Sensei dari Jepang Menggunakan
Aikidogi baik Mudansha maupun Yudansha ................... 186
Foto 6.15 : Senjata Tongkat (jo) dan Pedang Kayu (bokken) Beserta
Pembungkusnya .............................................................. 187
Foto 6.16 : Senjata Tongkat (jo) dan Pedang Kayu (bokken) di
Salah Satu Dojo di Bali. .................................................. 187
Foto 6.17 : Senjata Pisau Kayu Pendek (tanto) ............................... 187
Foto 6.18 : Cara Menaruh Sandal di Dojo ........................................ 188
Foto 6.19 : Tempat Menaruh Barang-Barang di Dojo Saat Berlatih . 188
xl
xli
Foto 6.20 : Aikidoka Bali Saat Membersihkan Dojo Sebelum dan
Sesudah Berlatih.............................................................. 189
Foto 6.21 : Iklan Pajangan ke Masyarakat Umum untuk Mengajak
Ikut Berlatih Bela Diri Aikido ......................................... 198
Foto 6.22 : Iklan di Media Online (Facebook) ke Masyarakat
Umum untuk Mengajak Ikut Berlatih Bela Diri Aikido . 199
Foto 6.23 : Iklan (Pajangan di Media Online) ke Anggota Bari
Aikikai untuk Mengikuti Seminar dengan Dilatih Sensei
dari Jepang ...................................................................... 201
Foto 6.24 : Petugas Dojo Sedang Menstempel Absen Aikidoka ....... 202
Foto 6.25 : Absen Aikidoka Bali dan Stempel Kehadirannya ........... 202
Foto 6.26 : Undangan Anggota Dewan Guru untuk Memberikan
Ujian Kenaikan Tingkat Para Aikidoka Bali Tingkatan
Kyuu ................................................................................ 203
Foto 6.27 : Pelaksanaan Ujian Kenaikan Tingkat Kyuu di Salah
satu Dojo di Bali ............................................................. 204
Foto 6.28 : Suasana Setelah Pelaksanaan Ujian Kenaikan Tingkat
Kyuu di Dojo Samurai-Renon Denpasar ......................... 204
Foto 6.29 : Ijazah Mudansha Dikeluarkan oleh Bari Aikikai ............ 205
Foto 6.30 : Kegiatan Out Camp Anggota Bari Aikikai ...................... 206
Foto 6.31 : Suasana Sebelum Latihan Bersama Saat Ulang Tahun
Salah Satu Dojo di Bali. Nampak Penasihat Dewan
Guru Memberikan Sambutan dan Ucapan Selamat
Kepada Pengelola Dojo ................................................... 207
Foto 6.32 : Ucapan Selamat Kepada Salah Satu Dojo yang
Merayakan Ulang Tahun ................................................. 208
Foto 6.33 : Organisasi Bari Aikikai .................................................. 211
Foto 6.34 : Piagam Pengakuan dari Pusat Bela Diri Aikido Dunia di
Jepang Kepada Bari Aikikai ........................................... 212
Foto 6.35 : Situasi di Depan Dojo Samurai dengan Pelang............... 225
xli
xlii
Foto 6.36 : Tampak Dojo Samurai dari Depan .................................. 226
Foto 6.37 : Pelang Peresmian Dojo Samurai ..................................... 226
Foto 6.38 : Situasi di Dalam Dojo Samurai ....................................... 226
Foto 6.39 : Baliho Pelatihan oleh Guru Asal Jepang di Dojo
Samurai ........................................................................... 227
Foto 6.40 : Situasi Ujian oleh Penguji Aikidoka Bali di Dojo
Samurai ........................................................................... 228
Foto 6.41 : Foto Bersama Peserta Ujian dan Penguji Setelah Ujian . 228
Foto 6.42 : Pelang Dojo Dirgahayu .................................................. 230
Foto 6.43 : Prasasti Peresmian Dojo Dirgahayu ................................ 230
Foto 6.44 : Tampak Depan Bangunan Dojo Dirgahayu ................... 231
Foto 6.45 : Suasana di Dalam Dojo Dirgahayu ................................. 231
Foto 6.46 : Keikutsertaan Aikidoka Dojo Dirgahayu pada Latihan
Bersama ........................................................................... 232
Foto 6.47 : Suasana dalam Dojo Aora .............................................. 234
Foto 6.48 : Jadwal Kegiatan Bela Diri di Dojo Aora......................... 236
Foto 6.49 : Jadwal Kegiatan Bela Diri Aikido di Dojo Aora ............. 236
Foto 6.50 : Kegiatan Pelatihan yang Diikuti Peserta Dojo Lain di
Dojo Aora ........................................................................ 237
Foto 6.51 : Acara Demonstrasi Dimeriahkan oleh Peserta Dojo
Lain Saat Ulang Tahun Dojo Aora ke-10 ....................... 237
Foto 6.52 : Pengelola Dojo Aora (Sensei Robin) Sedang Mengikuti
Pelatihan di Tokyo-Jepang .............................................. 238
Foto 6.53 : Pengumuman Pembukaan Dojo Kami ............................ 240
Foto 6.54 : Pelatih Sedang Memberikan Arahan di Dojo Kami ........ 240
Foto 6.55 : Para Aikidoka Berfoto Bersama Pelatih di Dojo Kami ... 241
xlii
xliii
Foto 6.56 : Latihan Bersama Aikidoka Bari Aikikai di Dojo Kami ... 241
Foto 6.57 : Pelatih dari Honbu Dojo-Tokyo Memberikan Pelatihan
di Dojo Kami ................................................................... 241
Foto 6.58 : Komunikasi Bari Aikikai untuk Mengundang Anggota
Dewan Guru sebagai Penguji Kenaikan Tingkat Kyuu. .. 249
Foto 6.59 : Suasana Saat Ujian Kenaikan Tingkat Kyuu (Nampak
Penguji di Sebelah Kiri) .................................................. 250
Foto 6.60 : Ijazah Kelulusan Ujian Tingkat Kyuu ............................. 251
Foto 6.61 : Catatan Jumlah Seminar yang Pernah Diikuti pada
Salah Satu Paspor Aikidoka Bali ..................................... 252
Foto 6.62 : Pemberitahuan Salah Satu Persyaratan bagi Aikidoka
untuk Bisa Mengikuti Ujian Kenaikan Tingkat Dan
oleh Dewan Guru Bari Aikikai ........................................ 253
Foto 6.63 : Suasana Pelatihan Black Belt Class di Salah Satu Dojo
di Bali .............................................................................. 253
Foto 6.64 : Pengumuman Biaya Ujian Kenaikan Tingkat Dan oleh
Dewan Guru Bari Aikikai Melalui Media Sosial ............ 254
Foto 7.1 : Seminar yang Diikuti Aikidoka Bali di Tokyo dalam
Rangka Pengembangan Kualitas Diri ............................. 269
Foto 7.2 : Aikidoka Bali Setelah Mengikuti Ujian Kenaikan
Tingkat Dan IV di Tokyo-Jepang ................................... 269
Foto 7.3 : Aktivitas Para Aikidoka Bali sebagai Bentuk Perluasan
Relasi Sosial dengan Aikidoka dari Dojo Lain dan Atau
Aikidoka Luar Asal Luar Negeri ..................................... 279
Foto 7.4 : Aktivitas Aikidoka Bali di Luar Negeri (Jepang) sebagai
Bentuk Perluasan Relasi Sosial dengan Aikidoka dari
Negara Lainnya ............................................................... 280
Foto 7.5 : Buku Identitas Aikidoka Bali Tingkatan Kyuu ................ 294
Foto 7.6 : Paspor Pemegang Sabuk Hitam (Yudansha), dan Entry
Visa ke Jepang untuk Mengikuti Seminar di Tokyo ....... 294
xliii
xliv
Foto 7.7 : Aikidoka Bali Menunjukkan Ijazah Dan IV sebagai
Identitas Tingkatan .......................................................... 294
Foto 7.8 : Ijazah Aikidoka Bali dengan Nomor Ijazah sebagai
Identitas Pribadi Aikidoka Bersangkutan ....................... 295
Foto 7.9 : Sikap Hormat Sesama Aikidoka Saat Berlatih ................ 302
Foto 7.10 : Rasa Hormat Peserta Ditunjukkan dengan Tertib
Mendengarkan Arahan dari Pelatih ................................. 303
Foto 7.11 : Iklan Bela Diri Aikido .................................................... 345
Foto 7.12 : Aktor Film Hollywood, Steven Seagal sebagai Ikon
Bela Diri Aikido Dunia ................................................... 345
Foto 7.13 : Situasi Dojo Bela Diri Aikido di Jepang ......................... 351
Foto 7.14 : Suasana Pelatihan Bela Diri Aikido di Jepang ................ 351
Foto 7.15 : Suasana Setelah Latihan Bersama Sensei di Honbu
Dojo Tokyo ...................................................................... 351
Foto 7.16 : Suasana di Jepang. Tampak Aikidoka Bali Saat Akan
Berangkat ke Dojo untuk Berlatih................................... 352
Foto 7.17 : Suasana Kebersihan di Luar Dojo di Jepang yang
Diungkapkan Aikidoka Bali Saat Mengikuti Pelatihan .. 352
Foto 7.18 : Penampilan Salah Satu Aikidoka Bali dengan Baju
Aikido Camp .................................................................... 356
Foto 7.19 : Aikidoka Bali dengan Pakaian Jaket Aikido dan Senjata
yang Dibawa dengan Bungkusannya .............................. 356
Foto 7.20 : Aksesori Aikidoka Bali Berupa Tas Berlogo Aikido ....... 357
Foto 7.21 : Alas Kaki Aikidoka Bali Saat Mengikuti Pelatihan di
Dojo Diatur Sesuai Situasi di Jepang .............................. 359
Foto 7.22 : Suasana Setelah Berlatih Mengikuti Sikap Duduk
Orang Jepang (Seiza) Seperti yang Diajarkan di Dojo di
Bali .................................................................................. 359
Foto 7.23 : Suasana Sehabis Berlatih. Aikidoka Bali dengan Guru-
Guru Jepang di Tokyo ..................................................... 360
xliv
xlv
Foto 7.24 : Suasana Setelah Berlatih dengan Aikidoka Asal Jepang
di Bali .............................................................................. 360
Foto 7.25 : Kunjungan Konsul Jenderal Jepang Denpasar ke Salah
Satu Dojo Bela Diri Aikido di Bali ................................. 369
Foto 7.26 : Penampilan Aikidoka Bali Diunggah di Media Sosial
dengan Pakaian Berlatih di Depan Kuil Aikido di
Jepang .............................................................................. 371
Foto 7.27 : Bentuk Sikap Hormat Aikidoka Bali Saat Memulai dan
Mengakhiri Teknik Sesama Aikidoka dalam Dojo .......... 372
Foto 7.28 : Aktivitas Bersama Aikidoka Bali Berupa Aikido Camp 373
Foto 7.29 : Aktivitas Setelah Berlatih Bersama Guru dari Jepang di
Bali .................................................................................. 373
Foto 7.30 : Aikidoka Bali dalam Perjalanan Mengikuti Seminar di
Jepang .............................................................................. 374
xlv
xlvi
DAFTAR BAGAN
Bagan Halaman
Bagan 2.1 Model Penelitian ...................................................................... 54
Bagan 6.1 Struktur Organisasi Bari Aikikai .............................................. 216
xlvi
xlvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Lampiran 1: Pedoman Wawancara
Lampiran 2: Daftar Informan
Lampiran 3: Artikel dan Berita Terkait dengan Bela Diri Aikido
xlvii
xlviii
GLOSARIUM
aikido : seni bela diri asli Jepang yang mempunyai akar
pertumbuhan dan budaya berasal dari sebuah tradisi
bela diri kuno dan turun temurun hanya dimiliki
oleh sebuah keluarga istana kekaisaran yang terdiri
dari teknik bantingan, kuncian, dan serangan dengan
senjata atau tangan kosong
bari aikikai : organisasi induk bela diri aikido di Bali
dan : tingkatan dalam bela diri aikido dimulai saat lulus
ujian peringkat dengan sabuk hitam
ecumene culture : interpretasi dan pertukaran antar budaya yang
berlangsung secara terus-menerus
field : taruhan yang dipertaruhkan, benda kultural (gaya
hidup), perumahan, kemajuan intelektual
(pendidikan), pekerjaan, tanah, kekuasaan (politik),
kelas sosial, prestise atau lainnya dan mungkin
berada pada tingkatan yang berbeda dengan
spesifikasi dan derajat kekongkretan
gaya hidup hybrid : gaya hidup yang mengawinkan dua kode budaya,
pada tingkat fisik, konseptual maupun simbolik
globalisasi budaya : penyebaran gagasan, makna, dan nilai ke seluruh
dunia dengan cara tertentu untuk memperluas dan
mempererat hubungan sosial
habitus : perangkat nilai-nilai, praktik-praktik, dan
kecenderungan batin yang distrukturkan maupun
menstrukturkan
hakama : bagian pakaian bawah bela diri aikido menyerupai
rok yang dipakai oleh pemegang sabuk hitam
harmoni : energi yang menyatu antara peserta pelatihan bela
diri aikido saat melakukan teknik untuk terjadi
keselarasan gerak
hegemoni : jenis hubungan kekuatan sosial khusus yang
kelompok-kelompok dominannya mengamankan
posisi mereka atas hak-hak istimewa dengan cara
sebagian besar (jika tidak boleh disebut; secara
eksklusif) melalui cara-cara konsensus
hibridisasi : proses penciptaan atau replikasi bentuk-bentuk
mutan melalui perkawinan silang, yang
menghasilkan entitas campuran yang tidak lagi utuh,
meskipun di dalamnya masih tersisa sebagian
identitas diri dari dua unsur yang dikawinsilangkan
honbu dojo : dojo pusat bela diri aikido di Tokyo- Jepang
ideologi : suatu kumpulan konsep bersistem yang dijadikan
sebagai asas, pendapat (kejadian) yang memberikan
arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup
xlviii
xlix
jo : tongkat kayu sebagai salah satu alat berlatih bela
diri aikido
kekuasaan : kemampuan seseorang atau kelompok untuk
memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok
lain sesuai dengan keinginan dari pelaku
kobudo : bela diri tradisional (kuno) Jepang
konsumsi : proses menggunakan atau mendekonstruksi tanda-
tanda yang terkandung di dalam objek-objek oleh
para konsumer, dalam rangka menandai relasi-relasi
sosial
kyuu : tingkatan sebelum mencapai sabuk hitam dalam
bela diri aikido
modal budaya : suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau
suatu akusisi kognitif yang melengkapi agen sosial
dengan empati terhadap, apresiasi terhadap, atau
kompetensi di dalam, pemilah-milahan relasi-relasi
dan artefak-artefak kultural
modal simbolik : konsep yang mengalami transformasi dari konsep
ekonomistik (kelas ekonomi pada Marx) menjadi
sesuatu yang bersifat “material” akan tetapi
dipahami bukan dalam bentuk itu. Misalnya selera
berpakaian, logat dan kemampuan bahasa yang baik,
gaya yang tersamarkan dalam bentuk efeknya dan
bentuk konstruksi realitas
multikulturalisme : sikap terbuka dengan masuknya budaya lain yang
berbeda dengan budaya sendiri
musubi : ketidakterlepasan antara penerima serangan (tori)
dan penyerang (uke) pada saat melakukan teknik
bela diri aikido sehingga terjadi keharmonisan
gerakan
narativisasi : strategi konstruksi untuk menghasilkan klaim-klaim
akan legitimasi di dalam kerangka cerita/narasi yang
di dalamnya masa lalu dan masa kini ditampilkan
seolah-olah bagian dari tradisi yang abadi dan
agung
nihon aikikai : organisasi bela diri aikido di Jepang
nomadisme : kecenderungan yang merayakan perpindahan,
ketidakberakaran, dan diskontinuitas murni
O'Sensei : sebutan bagi pendiri bela diri aikido, master Morihei
Ueshiba
outcamp : latihan bersama anggota bari aikikai pada suatu
tempat di luar dojo
owarimasu : kata-kata yang diucapkan untuk mengakhiri latihan
xlix
l
posrealitas : sebuah kondisi matinya realitas, dalam pengertian
diambilalihnya posisi realitas itu oleh apa yang
sebelumnya disebut sebagai nonrealitas (non-
reality)
rasionalisasi : strategi konstruksi simbolik yang senantiasa
membentuk serangkaian penalaran yang cenderung
mempertahankan atau membenarkan sebuah
hubungan sosial atau lembaga sehingga dapat
memengaruhi orang lain untuk mendukungnya
rei : menghormat ke sesama partner latihan, ke sensei,
dan ke altar dojo
relasi sosial : hubungan timbal balik antar individu yang satu
dengan individu yang lain, saling memengaruhi dan
didasarkan pada kesadaran untuk saling menolong
ruang sosial : ruang kelompok-kelompok status yang dicirikan
oleh berbagai gaya hidup yang berbeda
samurai : bangsawan militer abad pertengahan dan awal-
modern Jepang
seiza : duduk bersimpuh ala bela diri Jepang
sensei : sebutan pelatih (guru) dalam bela diri Jepang
shihan : guru besar yang diberikan wewenang membawahi
organisasi bela diri Aikido
shiro obi : sabuk putih, merupakan tingkatan sebelum
mencapai sabuk hitam (dan)
souji : melakukan pembersihan dojo saat sebelum dan
selesai berlatih
skizofrenia : penyakit jiwa yang ditandai oleh ketidakacuhan,
halusinasi, paham untuk menghukum, dan merasa
berkuasa, tetapi daya pikir tidak berkurang
shin-gi-tai : mengontrol emosi, dan mencapai integrasi antara
“jiwa, teknik, dan tubuh
tanto : pisau pendek dari kayu sebagai alat berlatih bela diri
aikido
tengklung : bela diri asli Bali yang mula-mula dikembangkan di
desa Gobleg Kecamatan Banjar-Buleleng
universalisasi : strategi konstruksi yang berusaha menjadikan
susunan kelembagaan yang melayani interest
sekelompok orang sebagai sesuatu yang seolah-olah
melayani interest semua orang
Zen : suatu upaya manusia dengan niat diri sendiri untuk
mencapai wilayah pemikiran yang melewati batas
ekspresi dengan kata-kata, dengan cara meditasi
l
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Globalisasi telah menimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan
antara nilai-nilai budaya lokal dan global. Sistem nilai budaya lokal yang selama
ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan
karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan
teknologi informasi sehingga mempercepat proses perubahan. Proses globalisasi
telah pula merambah kehidupan agama yang semula sakral menjadi sekuler, yang
dapat menimbulkan ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan
selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan
keresahan psikologis dan krisis identitas di kalangan masyarakat (Ardika,
2006:18).
Adanya globalisasi di satu sisi dan berkembangnya bisnis pariwisata global
di sisi lain, perguruan bela diri Jepang Aikido pun lahir, tumbuh, eksis, dan
berkembang di Bali. Fenomena ini, apa yang disebut Appadurai, (Ritzer,
2012:591) tidak saja menyangkut pergerakan ideologi, budaya populer, dan gaya
hidup (ideoscapes), tetapi juga pergerakan-pergerakan (scapes) lainnya.
Appadurai melihat bahwa dalam globalisasi ada respons lokal atau adaptasi
terhadap proyek keseragaman globalisasi tersebut. Respons tersebut melahirkan
suatu bentuk heterogenitas. Adaptasi lokal ini menyebabkan adanya variasi atau
keberagaman dalam merespons suatu kebudayaan.
2
Intensitas masuk dan berterimanya bela diri Aikido di Bali tidak bisa
dilepaskan dari isu globalisasi, kekuatan dan kekuasaan Jepang dalam konstelasi
dunia, secara politik, ekonomi, dan budaya. Seperti diketahui, Jepang pada saat
akhir Perang Dunia II mengalami kekalahan dan menyerah kepada sekutu setelah
bom atom dijatuhkan di Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus
1945). Dalam hitungan beberapa tahun saja sudah mulai bangkit menyamai
negara-negara Eropa dalam bidang politik, ekonomi, kekuatan militer, dan budaya
termasuk penyebaran budaya bela diri seperti: Karate, Judo, Kendo, dan Aikido ke
berbagai belahan dunia termasuk ke Indonesia dan Bali pada khususnya.
Kemajuan Jepang dalam segala bidang disebabkan oleh karakter
kebudayaan tradisional Jepang. Aspek dalam kehidupan bangsa Jepang
didefinisikan dan dinamai sehingga dapat didiskusikan, dipahami, diajarkan, dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Aspek-aspek ini disebut do
dan waza. Waza berarti "keterampilan," sementara do biasa diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris menjadi "jalan atau way". Namun, makna aslinya jauh lebih
dalam dari makna kata ”way” dalam bahasa Inggris. Kata ini memiliki dimensi
makna fisik maupun metafisika, dan makna spiritual terkadang lebih penting
daripada faktor fisik. Dengan kata lain, masyarakat Jepang melakukan pendekatan
terhadap kehidupan dengan mengombinasikan antara pengembangan keterampilan
fisik dengan kematangan spiritualitas. Tidak ada satu bidang pun dalam kehidupan
masyarakat Jepang yang tidak memiliki keterampilan (waza) dan jalan (do).
Keterampilan melalui perantaraan orang tua, guru, atau seniman. Dalam setiap
keterampilan tertanam komponen spiritual khusus yang sering berwujud ranah
3
fisik. Begitu pentingnya sisi spiritual dalam pelatihan dan pengajaran di Jepang
sehingga pelatihan untuk sisi ini lebih mendominasi daripada pelatihan untuk sisi
fisiknya, hingga dijadikan sebagai ritual-ritual, seperti: jalan kesatria (Bushido),
jalan atau upacara minum teh (Chado), jalan tangan kosong (Karatedo), jalan
pedang (Kendo), dan jalan keharmonisan (Aikido). Selain do pada seni bela diri,
seni rupa murni dan berbagai lembaga pelatihan seni lain, proses pembelajaran
dan pelaksanaan aktivitas sehari-hari juga didasarkan pada suatu bentuk dan
proses khusus yang dikenal dengan istilah yang diterjemahkan sebagai "bentuk",
"proses", atau "cara melakukan sesuatu" (De Mente, 2009:28).
Di Indonesia bela diri juga tumbuh dan berkembang bersamaan dengan
aktivitas masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh
Koentjaraningrat (1985:115) bahwa bela diri dapat dilihat sebagai unsur
kebudayaan suatu masyarakat, bahkan bisa dilihat sebagai unsur kebudayaan
nasional. Misalnya, bela diri Pencak Silat Minangkabau, Sunda, Jawa yang
merupakan unsur kebudayaan nasional Indonesia yang berfungsi sebagai pemberi
identitas Indonesia. Mengacu kepada gagasan ini, maka dalam rangka
mempertahankan atau menegaskan identitasnya, seharusnya atau idealnya
(dassolen) orang-orang Indonesia, termasuk di dalamnya orang-orang Bali tetap
melestarikan bela diri tradisionalnya. Hal ini penting karena bela diri juga dapat
dipakai sebagai instrumen atau alat untuk mengembangkan identitas baik bagi
masyarakat daerah maupun nasional.
4
Walaupun secara ideal, suatu bangsa atau suku bangsa harus melakukan
pelestarian bela diri tradisionalnya dalam rangka menegaskan identitasnya,
ternyata idealitas seperti itu tidak selamanya diikuti realitas. Kesenjangan
dassolen dengan dassein seperti itu tampak dalam perkembangan bela diri di
kalangan orang Bali. Zaman dahulu, orang Bali mempunyai dan mengembangkan
berbagai cabang bela diri tradisionalnya. Namun, kini tidak banyak yang
berkembang, seperti Pencak Silat yang tergabung di dalam organisasi induk IPSI
(Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia). Selain itu, ada juga bela diri khas Bali,
seperti: Mepantigan, Tengklung, Bambu Kuning, Sri Murni, Sitembak dan
beberapa bela diri olah nafas dan gerak seperti perguruan Sandhi Murti.
Kelompok-kelompok bela diri seperti itu kini hampir tidak dikenal oleh generasi
muda Bali. Sementara itu, banyak orang Bali kini mengembangkan berbagai bela
diri yang berasal dari bangsa lain. Salah satu di antaranya adalah bela diri dari
Jepang yang bernama bela diri Aikido.
Pengembangan bela diri Aikido di Bali dikembangkan sejak tahun 1995,
selanjutnya dengan mendirikan organisasi bela diri Aikido Bali dengan nama Bari
Aikikai pada tahun 1997. Organisasi bela diri Aikido Bali (Bari Aikikai) berada di
bawah supervisi dari tempat berlatih (dojo) pusat bela diri Aikido Jepang yang
berada di Tokyo-Jepang, dengan organisasi induknya bernama organisasi bela diri
Aikido Jepang (Nihon Aikikai). Hal ini berarti ada hubungan hierarki antara
organisasi bela diri Aikido di Bali dengan organisasi bela diri Aikido di Jepang.
Dalam hierarki tersebut organisasi bela diri Aikido di Bali sebagai pihak yang
berada pada posisi subordinat dan organisasi bela diri Aikido pusat di Jepang
5
berada pada posisi superordinat. Dalam keadaan demikian, standar kualitas bela
diri Aikido di Bali, baik dalam konteks teknik maupun sikap dan perilaku para
peserta Aikido (aikidoka) Bali mengikuti standar yang digariskan oleh dojo pusat
di Jepang (Honbu Dojo). Hal ini direalisasikan antara lain melalui pengaturan
pelaksanaan ujian kenaikan tingkat. Para aikidoka dari Bali diuji oleh guru-guru
bela diri Aikido dari Jepang, sehingga ijazahnya dapat dinyatakan berstandar
internasional. Sejak tahun 2013, ada beberapa aikidoka Bali yang telah mengikuti
ujian kenaikan tingkat di Tokyo untuk mencapai tingkat Dan IV atau Yon Dan.
Teknik bela diri Aikido serta sikap dan perilaku para aikidoka Bali
dikembangkan dengan berorientasi kepada spirit yang diberi nama yang sama
dengan nama tokoh kesatria Jepang pada zaman feodal Jepang, yairu spirit
samurai. Agar teknik bela diri Aikido di Bali serta sikap dan perilaku aikidoka
Bali mencerminkan spirit samurai, maka dilakukan langkah pembinaan terhadap
para aikidoka Bali oleh pihak Honbu Dojo. Kualitas teknik bela diri Aikido di Bali
serta sikap dan perilaku para aikidoka Bali dan spirit samurai yang ada pada bela
diri Aikido secara langsung menjadi tanggung jawab Honbu Dojo. Untuk itu,
pihak Honbu Dojo secara berkala mengutus para guru bela diri Aikido ke Bali
untuk memberikan pelatihan berupa seminar-seminar yang diadakan di beberapa
dojo di Bali. Selain menekankan pentingnya latihan fisik (berupa gerakan, baik
tangan kosong maupun dengan senjata), pelatihan tersebut juga menekankan
pentingnya mental dan nilai-nilai spirit samurai yang terkandung dalam bela diri
Aikido. Dengan demikian, tidak hanya kemampuan teknik bela diri, melainkan
sikap dan perilaku para aikidoka Bali diarahkan agar sesuai dengan spirit samurai
6
yang berasal dari Jepang. Dengan kata lain, aikidoka Bali diarahkan untuk
menyerap dan menerapkan spirit asing, yaitu spirit samurai dalam membangun
sikap dan perilakunya. Oleh karena itu, dengan mengacu kepada gagasan Piliang
(2009), pengembangan bela diri Aikido di Bali dapat dilihat sebagai fenomena
yang disebut posrealitas di kalangan para aikidoka Bali.
Posrealitas kebudayaan tersebut menunjukkan kesenjangan sebagaimana
telah dipaparkan di atas, bahwa seharusnya orang Bali melestarikan bela diri
tradisionalnya. Misalnya Tengklung dan Stembak dalam rangka menegaskan
karakter dan identitasnya, namun mereka mengembangkan bela diri Aikido yang
merupakan unsur budaya Jepang. Itulah sebabnya perkembangan bela diri Aikido
di Bali menarik untuk dikaji melalui penelitian mendalam yang berjudul
“Posrealitas dalam Pengembangan Bela Diri Aikido di Bali”.
Bertitik tolak dari fakta-fakta kesenjangan di atas, maka yang menarik
dikaji adalah hal-hal yang mendasari atau melatarbelakangi terjadinya
pengembangan bela diri Aikido di Bali. Menariknya, hal ini dikaji juga karena ada
fakta bahwa karakteristik bela diri Aikido yang bernuansa spirit samurai selain
terlihat mirip dengan karakteristik kebudayaan orang Bali, juga ada perbedaannya.
Menurut para ahli, unsur budaya yang sudah mentradisi sulit diganti dengan unsur
budaya asing yang berbeda (Koentjaraningrat, 1964). Fakta-fakta tentang spirit
samurai tersebut dapat dicermati dalam International Journal of Aikido, 25 Mei
2003, (Ueshiba, 2003:7) memberikan gambaran mengenai bela diri Aikido sebagai
berikut.
7
合気道は開祖か い そ
植芝うえしば
盛平もりへい
(1883~1969)が日本伝統の武術ぶじゅつ
の奥義お く ぎ
を究きわ
め、
さらに厳しい精神的せいしんてき
修行しゅぎょう
へて術から道へと発展はってん
させた現代げんだい
武道ぶ ど う
です。
“Bela diri Aikido adalah bela diri masa kini dimana Morihei Ueshiba (1883-1969)
sebagai pendirinya yang telah mendalami seluk beluk bela diri tradisional Jepang
dan melalui latihan spiritual beliau mengembangkan teknik dari “jutsu” ke “do”.
Fakta ini secara jelas menunjukkan bahwa pendiri bela diri Aikido adalah
bukan orang Bali atau orang Indonesia, melainkan orang asing (Jepang), bahkan
bahasanya juga bukan bahasa Bali atau bahasa Indonesia, melainkan bahasa
Jepang. Ini berarti pengembangan bela diri Aikido di Bali merupakan
pengembangan budaya asing. Agar dapat menjadi unsur kebudayaan nasional
Indonesia, tentu suatu unsur kebudayaan harus memenuhi syarat yang belum tentu
dimiliki oleh bela diri Aikido. Berkenaan dengan syarat-syaratnya itu,
Koentjaraningrat (1985:111), berpendapat sebagai berikut.
“Dalam fungsinya yang pertama, suatu unsur kebudayaan dapat menjadi
suatu unsur dalam kebudayaan nasional Indonesia apabila unsur itu
mempunyai paling sedikit tiga syarat, yaitu : (1) harus merupakan hasil
karya warga negara Indonesia atau hasil karya orang-orang zaman dahulu
yang berasal dari daerah-daerah yang sekarang merupakan wilayah negara
Indonesia; (2) unsur itu harus merupakan hasil karya warga negara
Indonesia yang tema pikiran atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas
Indonesia; (3) harus juga merupakan hasil karya warga negara Indonesia
yang oleh sebanyak mungkin warga negara Indonesia lainnya dinilai
sedemikian tingginya sehingga dapat menjadi kebanggaan mereka semua,
dan dengan demikian mereka mau mengidentifikasikan diri dengan unsur
kebudayaan itu”.
Dengan mengikuti gagasan bahwa suatu unsur kebudayaan harus merupakan hasil
karya warga negara Indonesia agar dapat menjadi unsur kebudayaan nasional
Indonesia, maka bela diri Aikido yang merupakan hasil karya orang asing
seharusnya tidak dapat menjadi unsur kebudayaan nasional Indonesia, sehingga
kurang tepat untuk dikembangkan di Indonesia, termasuk di Bali.
8
Bela diri Aikido juga mengandung etika dan nilai-nilai keharmonisan,
pengendalian diri, dan anti kekerasan. Hal ini dapat diketahui dari fakta-fakta
berikut ini.
合気道は相手といたずら力で争あらそ
いません。入身い り み
と転換てんかん
の体捌たいさば
きから生まれる技わざ
は、
相手の暴力ぼうりょく
のみを制せい
するもので相手の生命せいめい
を殺傷さっしょう
いたしません。人間生命せいめい
の尊重そんちょう
がうたわれる現代にふさわしい武道といえるでしょう。合気道が「和」の武道とい
われる所以ゆ え ん
もここにあります。
“Bela diri Aikido tidak sembarangan menggunakan tenaga atau kekuatan terhadap
lawan dalam pertarungan. Teknik yang lahir dari pergerakan badan yang terdiri
dari irimi dan tenkan itu hanya bertujuan untuk mengendalikan kekerasan lawan
dan bukan bertujuan untuk melukai atau membunuh lawan. Oleh karena itu dapat
dikatakan salah satu bela diri yang pantas pada masa kini dimana sesuai dengan
moto “hargailah nyawa manusia”. Itulah sebabnya Aikido disebut sebagai bela diri
yang harmonis atau istilah bahasa Jepangnya “wa” (Ueshiba, 2003:7).
Melihat petikan di atas, nilai-nilai keharmonisan, pengendalian diri, dan anti
kekerasan merupakan nilai-nilai budaya yang bersifat universal, karena semua
orang biasanya menginginkan keharmonisan, pengendalian diri, dan kedamaian.
Bela diri Aikido juga mengandung nilai budaya yang menekankan
pentingnya semangat belajar dan etos kerja demi mencapai kemajuan. Hal ini
dapat diketahui dari fakta-fakta sebagai berikut.
合気道の稽古に終わりはありません。稽古をはじめたら根気こ ん き
よく続けることです。
うまずたゆまず求めてください。稽古を続けることが進歩し ん ぽ
への第一歩だいいちほ
であり稽古の
大切な一面いちめん
もあるのです。
“Latihan bela diri Aikido tidak ada akhirnya. Kalau anda sudah mulai latihan
janganlah pernah berhenti. Carilah ilmu dengan pantang menyerah. Berlatih terus
menerus tanpa henti adalah langkah pertama untuk menuju kemajuan sekaligus
satu sisi yang sangat penting dalam keseluruhan latihan” (Ueshiba, 2003: 7).
Nilai-nilai budaya yang mengutamakan semangat belajar dan etos kerja
demi kemajuan ini tentu saja merupakan nilai-nilai budaya yang bersifat universal
pula. Oleh karena itu, seharusnya tidak menjadi alasan penting bagi orang Bali
untuk mengembangkan seni bela diri Aikido. Selain fakta di atas, ada banyak
9
fakta lain yang menggambarkan karakteristik bela diri Aikido merupakan
penjabaran atas nilai-nilai budaya sebagaimana dikemukakan di atas. Morihei
Ueshiba sebagai pencipta bela diri Aikido mengatakan bahwa bela diri Aikido
merupakan seni bela diri (Budo) yang bersifat spiritual (roh) bukan material (fisik).
Dalam bela diri Aikido, Ueshiba menetapkan teknik (media fisik) sebagai alat dan
bukan inti dari Budo, sehingga teknik bela diri Aikido merupakan dasar atau
jembatan dalam mempelajari inti bela diri Aikido. Secara garis besar setiap
pelaksanaan teknik bela diri Aikido harus mencakup lima prinsip yang menjadi
prinsip dasar teknik bela diri Aikido. Lima prinsip dasar itu adalah: sentralisasi,
nafas, keselarasan, aliran, dan meditasi pikiran. Kelimanya merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisah dan setiap aikidoka harus melaksanakan
kelima prinsip dasar tersebut (Andoko, 2006:11).
Proses pembelajaran dalam latihan bela diri Aikido memerlukan
penempaan yang keras jika dibandingkan dengan bela diri asli Bali pada
umumnya yang mengandung unsur kelembutan, ajaran tatwamasi, dan tari seperti
Tengklung. Bela diri Aikido adalah bela diri yang di dalamnya mengalir spirit
samurai dan gerakan fisiknya terdiri dari teknik bantingan, kuncian, gulat,
menggunakan senjata seperti: pedang, tongkat, dan pisau. Teknik-teknik ini dilatih
terus-menerus dengan tujuan agar peserta pelatihan bisa mencapai kesempurnaan
teknik dan dapat menyatu dengan jiwa aikidoka untuk kedisiplinan diri,
pengendalian diri, bukan untuk mengalahkan orang lain. Selain pelatihan teknik,
dalam proses pembelajaran bela diri Aikido, setiap kali latihan menggunakan
bahasa Jepang pada nama-nama tekniknya, pakaian (dougi) pada saat berlatih
10
seperti Jepang dan tata cara hormat dan tingkah laku selama di dalam dojo juga
seperti orang Jepang. Salah satu sikap tersebut misalnya, pada saat memasuki dojo
para aikidoka duduk bersimpuh dan membungkuk menghormat ke depan (shomen
ni rei). Pada saat mulai dan berakhirnya teknik dengan sesama teman atau senior
juga menggunakan salam dalam bahasa Jepang.
Di dalam bela diri Aikido tidak ada pertandingan. Oleh karena itu,
tujuannya bukanlah menang atau kalah, tetapi bagaimana mengalahkan musuh
yang ada dalam diri sendiri terutama rasa malas berlatih, rasa ego, rasa paling
hebat, dan rasa merasa diri dihormati. Hal tersebut senada dengan karakteristik
ideal manusia Bali (yang mayoritas beragama Hindu) yang menolak kekerasan
(ahimsa), dan bagaimana memerangi enam musuh yang ada dalam diri yang
disebut sadripu, yaitu: nafsu, keinginan (kama) , tamak, rakus (lobha), kemarahan
(krodha), kebingungan (moha), mabuk (mada), dan dengki, iri hati (matsarya).
Melihat kenyataan di atas, persoalannya adalah keberadaan perguruan bela
diri Aikido di Bali tidak mudah, khususnya dilihat dari perspektif kajian budaya
(cultural studies) kritis (tetapi tidak terlihat dari perspektif umum/awam).
Dikatakan demikian karena ada konflik nilai di dalamnya, khususnya menyangkut
politik identitas (politics identity). Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Ata
Ujan, (2009:17) bahwa setiap kelompok yang berbeda diperlukan memiliki sikap
multikultural yang merupakan sikap yang terbuka pada perbedaan. Mereka yang
memiliki sikap multikultural berkeyakinan bahwa perbedaan yang tidak dikelola
dengan baik bisa menimbulkan konflik, namun jika mampu mengelolanya dengan
baik, perbedaan justru memperkaya dan produktif. Salah satu syarat agar sikap
11
multikultural efektif adalah mau menerima kenyataan hakiki bahwa manusia
bukan makhluk sempurna. Manusia adalah makhluk yang selalu menjadi, dan
agar dapat menjadi, manusia membutuhkan sesamanya.
Bela diri Aikido sebagai salah satu bela diri Jepang yang sampai saat ini
ada dan berkembang di Bali dijadikan sebagai fokus kajian dalam penelitian ini
karena ternyata bela diri Aikido dengan teknik-teknik dan nilai keharmonisan
yang terkandung di dalamnya memiliki nilai budaya yang sangat mirip dengan
nilai budaya Bali. Sedangkan bela diri Jepang lainnya yang ada di Bali seperti:
Karate, Judo, Kempo, dan Kendo, walaupun pada dasarnya memiliki nilai yang
terkandung dalam jalan hidup samurai (bushido) namun dalam bela diri tersebut
ada sistem pertandingan yang mempunyai motivasi untuk mengalahkan lawan.
Jika jenis pemikiran bela diri itu didasarkan atas nilainya, maka sepantasnya
bukan bela diri Aikido yang nilainya mirip dengan Bali yang dipilih sebagai fokus
kajian, melainkan yang benar-benar berbeda atau baru seperti Karate dan bela diri
lainnya. Itulah sebabnya bela diri Aikido yang dipilih untuk dikaji dalam
penelitian ini.
Adanya kemiripan nilai bela diri Aikido dan budaya Bali yang telah
disebutkan di atas, seharusnya orang Bali mempelajari budayanya sendiri. Namun,
kenyataannya sampai saat ini Bali memiliki sejumlah perguruan bela diri Aikido,
seperti Dojo Samurai di Renon yang merupakan dojo induk di Bali, berdiri sejak
tahun 1995. Kemudian Dojo Dirgahayu di Desa Sumerta Kaja Denpasar yang
berdiri sejak 15 Maret 2000, Dojo Aora di Jalan Nakula (Sunset Road di Kuta)
berdiri sejak tahun 2006, dan Dojo Jimbaran di Jalan Taman Griya dengan nama
12
Dojo Kami berdiri sejak Mei 2013. Selain dojo resmi yang sudah disebutkan di
atas, ada juga grup-grup lainnya yang mengadakan pelatihan bela diri Aikido.
Masyarakat Bali, juga mempunyai nilai budaya seperti itu, misalnya nilai
budaya yang terkandung dalam filsafat Tri Hita Karana. Filsafat ini menekankan
pentingnya keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesamanya,
dan dengan lingkungan alam. Sementara itu, masyarakat Bali juga mengenal
filsafat tidak melakukan pembunuhan (ahimsa karma), dan pengendalian diri
menjadi penting. Oleh karena itu, jika ingin memahami dan menerapkan nilai-
nilai budaya yang menekankan pentingnya keharmonisan, pengendalian diri, dan
anti kekerasan seharusnya orang Bali tidak perlu melakukannya dengan
mengembangkan bela diri Aikido di Bali.
Berdasarkan paparan di atas, seharusnya bela diri Aikido tidak mudah
masuk ke Bali. Namun, kenyataannya banyak komunitas pelatihan bela diri
Aikido berkembang di Bali yang tergabung dalam organisasi Aikido Bali (Bari
Aikikai). Dapat diduga bahwa kehadiran bela diri Aikido melalui proses tersendiri
sehingga dapat berkembang di Bali. Oleh karena itu, proses masuknya bela diri
Aikido dari Jepang ke Bali menarik untuk dikaji melalui penelitian ini. Selain itu,
berkembangnya bela diri Aikido membawa implikasi tertentu dalam kehidupan
para aikidoka Bali. Implikasi perkembangan bela diri Aikido di Bali juga penting
untuk dikaji melalui penelitian sehingga diperoleh pengetahuan yang
komprehensif dan mendalam tentang perkembangan bela diri Aikido di Bali.
13
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang dikaji pada penelitian ini adalah
sebagai berikut.
(1) Mengapa bela diri Aikido yang berasal dari Jepang bisa berterima dan
dikembangkan di Bali hingga menimbulkan fenomena posrealitas?
(2) Bagaimana proses terjadinya posrealitas dalam pengembangan bela diri
Aikido di Bali?
(3) Bagaimana implikasi posrealitas dalam pengembangan bela diri Aikido di
Bali pada kehidupan aikidoka Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka
penelitian ini mempunyai tujuan yang dapat dipilah menjadi dua, yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memahami keberterimaan dan
pengembangan bela diri Aikido yang terdapat di beberapa dojo di Bali. Bidang
ilmu yang dipakai untuk mengkaji permasalahan berkaitan dengan posrealitas
dalam pengembangan bela diri Aikido di Bali, yaitu paradigma sosial kritis.
Tujuan umum penelitian ini merupakan bagian dari aksiologi untuk
menumbuhkan kesadaran kritis kepada para aikidoka Bali. Bela diri Aikido
sebagai salah satu kekuasaan (pengetahuan) yang dimiliki Jepang menjadi
instrumen strategis kekuasaan untuk memengaruhi kesadaran manusia yang
terefleksi dalam pengendalian subjek pengetahuan sebagaimana dikatakan
Foucault (Widja, 2012:63).
14
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami secara kritis berbagai sisi
posrealitas yang terjadi dalam pengembangan bela diri Aikido di Bali. Selain itu,
untuk menemukan cara-cara yang menegaskan identitas budaya orang Bali
melalui pengembangan seni bela diri sebagai unsur kebudayaannya. Pemahaman
dimaksud dalam konteks ini mengacu kepada gagasan Atmadja, (2014:234)
bahwa memahami tidak saja menyangkut pembongkaran aspek kognitif dan aspek
evaluatif pada tataran individu dan struktur sosial pada ruang dan waktu tertentu,
tetapi menyangkut pula motivasi, kepentingan, keterbatasan, dan maksud orang-
orang dalam konteks hermeneutika ganda. Pembongkaran aspek-aspek ini dipakai
sebagai dasar untuk memahami tindakan aktor dalam suatu ruang dan waktu.
Dengan demikian, pemahaman dalam konteks ilmu-ilmu sosial secara substansial
bertalian dengan pemahaman ganda, menurut aktor dan perekonstruksiannya.
Pada penelitian pengembangan bela diri Aikido di Bali yang menimbulkan
posrealitas kebudayaan dikaji secara mendalam untuk memahami tindakan para
aikidoka Bali secara individu dan kelompok sebagai anggota dari Bari Aikikai.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan mengetahui dan memahami beberapa
hal sebagai berikut.
1. Hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya posrealitas dalam pengembangan
bela diri Aikido di Bali.
2. Proses terjadinya posrealitas dalam pengembangan bela diri Aikido di Bali.
3. Implikasi posrealitas dalam pengembangan bela diri Aikido di Bali pada
kehidupan para aikidoka Bali.
15
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini meliputi manfaat teoretis dan manfaat praktis sebagai
berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis berguna untuk meningkatkan pemahaman dan menambah
pembendaharaan teori yang dapat dipaparkan sebagai berikut.
1. Menambah pemahaman teori tentang berbagai alasan yang menyebabkan
manusia memilih bela diri Aikido dilihat dari perspektif kultural (struktur
kognisi) dan struktur sosial yang bersumber pada hakikat manusia sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial.
2. Menguatkan pemahaman teori tentang globalisasi atas keberterimaan bela
diri Aikido di Bali yang melibatkan berbagai aspek termasuk di dalamnya
ideologi Jepang yang mengalir di dalamnya dengan permainan kekuasaan
dominan Jepang, kepentingan, dan hasrat konsumsi budaya bagi para
aikidoka Bali.
3. Menambah pembendaharaan teori tentang kuasa/pengetahuan antara Bali
dan Jepang dalam bentuk pendisiplinan para aikidoka Bali dan
ketergantungan Bali terhadap Jepang.
4. Menambah pembendaharaan teori tentang identitas sosial para aikidoka
Bali yang terbentuk melalui latihan bela diri Aikido secara berkelanjutan
dan dalam rentang waktu yang lama dengan berbasis konsumsi budaya
(Jepang) yang di dalamnya teselubung perebutan identitas, ideologi citra,
kekuasaan, dan uang.
16
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran
terhadap berbagai pihak yang terkait dengan keberadaan bela diri asli Bali
maupun pengembangannya dalam rangka menegaskan identitas nasional. Pihak-
pihak yang dapat menggunakan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Pemerintah Provinsi Bali, khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
diharapkan bisa menggunakan hasil penelitian ini untuk mengetahui lebih
lanjut bahwa di Bali terdapat beberapa bela diri asal luar yang bisa menambah
khasanah bela diri Bali.
2. Organisasi bela diri asli Indonesia diharapkan bisa menggunakan hasil
penelitian ini baik untuk mengetahui, membandingkan, maupun menyadarkan
bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam bela diri luar khususnya bela diri
Aikido memiliki kesamaan dengan bela diri asli Indonesia.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
kepada media massa, baik cetak maupun elektronik untuk ikut memberikan
informasi kepada masyarakat luas tentang keberadaan bela diri luar di Bali
termasuk bela diri Aikido di dalamnya sehingga masyarakat bisa menentukan
pilihan lainnya selain bela diri asli Bali yang telah ada.
4. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan kepada pemerhati
bela diri di Bali bahwa secara teknis bela diri dari luar juga bisa menambah
khasanah bela diri asli Indonesia (Bali) sehingga tidak ada salahnya membuka
diri pada beberapa teknik yang berguna untuk kesempurnaan gerakan.
17
5. Para aikidoka Bali bisa menggunakan hasil penelitian ini untuk mengetahui
bela diri Aikido secara akademis baik secara teknik maupun spirit yang
mengalir di dalamnya dalam rangka meningkatkan kualitas teknik dan
peningkatan pemahaman terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
yang nantinya bisa diimplementasikan dalam kesehariannya.