Tulisan Opini Politik

2

Click here to load reader

Transcript of Tulisan Opini Politik

Page 1: Tulisan Opini Politik

Komentar atas Tulisan Opini “Saya Yakin, Ahok Berpeluang Bebas”

yang ditulis oleh Losa Terjal, pada 13 Desember 2016

Saudara Losa sebagai masyarakat Indonesia pada umumnya, masih menjunjung tinggi nilai

kebebasan berpendapat sesuai rambu-rambu HAM yang diungkapkan dalam tulisan emosionalnya,

sekalipun ia mengklaim bahwa ia ingin mencoba melihat kasus secara logis. Ketika kita ingin

mengangkat sisi kelogisan manusia, kita telah mengetahui bersama bahwa Undang-Undang (UU)

yang mengatur terkait penodaan agama telah ada sejak tahun 1965 yang dalam salahsatu poinnya

menjelaskan bahwasanya UU dibuat “dengan maksud memupuk ketenteraman beragama, maka

Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-

penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para

ulama dari agama yang bersangkutan”. Penyelewengan yang dimaksud adalah bersifat umum,

dalam bentuk apapun yang akhirnya dipersaksikan oleh banyak orang.

Bukti fisik berupa video rekaman Ahok sewaktu melontarkan kata-kata yang melukai hati kaum

muslim mayoritas telah ditonton jutaan pasang mata dengan beragam latar belakang, dan tidak

sedikit pula yang menuangkan buah pikirnya sebagai ahli hukum, pakar sosiologi, bahkan ulama

dalam menanggapi kasus yang cukup menggoncang Indonesia akhir tahun lalu. Pandangan itu

mereka tuangkan dalam bentuk tulisan, maupun rekaman video yang dengan mudah diakses dan

disebarkan banyak orang. Sehingga opini penistaan semakin tersebar dengan berbagai analisis yang

dipaparkan oleh tokoh-tokoh tersebut.

Adapun dalih adanya makar dari pihak-pihak yang tidak suka dan/atau lawan politik dari Sang

Terdakwa, hingga tulisan ini dibuat belum jelas siapa-siapa saja yang terlibat dan bagaimana

mekanisme penyebaran makar tersebut hingga mampu mengumpulkan jutaan massa dalam suatu

tempat, suatu waktu tertentu, atas kesadaran serta pengorbanan yang tidak sedikit dalam kondisi

damai, tertib, bahkan tanpa sampah berserakan. Berkebalikan 180 derajat dengan tampilan aksi

tandingan yang diadakan tidak lama setelahnya. Sungguh tidak terbayangkan kekuatan sebesar apa

yang mampu menggerakkan 7 juta lebih anak bangsa dari seluruh penjuru Indonesia hanya untuk

menuntut hukum bagi satu orang.

Pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu dalam kunjungan dinasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta saat

itu pun dinilai diluar konteks kapasitasnya sebagai pelayan masyarakat. Sederet kalimat yang

dilontarkan ke tengah forum sosialisasi program kerja Pemda sangat tidak mungkin secara struktural

diagendakan untuk “mengomentari keyakinan agama lain” yang bukan merupakan keyakinan Pak

Gub secara pribadi. Sehingga tanggapannya mengenai Qur’an Surat Al Maidah ayat 51 diluar

wewenang dan tidak sesuai tupoksinya sebagai Kepala Daerah Ibu Kota Negara.

Solusi jangka pendek yang mampu meredakan ketegangan ini bagi Indonesia yang mengaku sebagai

negara hukum adalah konsistenlah terhadap perangkat aturan yang telah dilegislasi dan disepakati

oleh anggota dewan yang juga telah menghabiskan biaya yang tidak sedikit itu. Para penegak hukum

wajib untuk bersikap netral dan objektif serta bersikap adil dalam menjalankan hukum, memandang

sama siapapun orangnya yang berhadapan dengan hakim dimeja hijau. Bahwa status tersangka yang

melekat pada individu itu sudah cukup untuk bisa memenjarakannya selama proses hukum berjalan.

Bahkan sangat cukup untuk menghentikan seseorang mencalonkan diri sebagai penguasa petahana.

Namun fakta tidak sejalan dengan harapan, teori hampir selalu tidak sama dengan praktek.

Demokrasi, Indonesia yang memiliki Pancasila, Sila Kelima tepatnya, secara nyata ditunjukkan

Page 2: Tulisan Opini Politik

pengkhianatannya oleh pelaku demokrasi itu sendiri. Tidak terasa aplikasi nilainya itu dalam

kehidupan bernegara. Mengapa bisa demikian? Apakah hanya karna personal penyelenggara

pemerintahan? Lalu bagaimana dengan kondisinya sekarang yang tidak nampak perubahan maupun

perkembangan yang signifikan meski telah berganti kepemimpinan berkali-kali? Bukankah itu berarti

ada faktor lain diluar pemimpin yang mengakibatkan konsistensi penerapan hukum tebang pilih di

Indonesia!

Maka perlu secara logika mendalam untuk melihat dari sudut pandang lain, karna selama ini solusi

yang ditawarkan berasal dari dalam kotak yang sama dengan permasalahan yang muncul. Tidak

pernah menyelesaikan problem satu tanpa berimbas pada keberadaan problem baru yang lahir.

Sesuatu yang pasti adalah, solusi yang dicanangkan masih dalam kacamata pragmatis, tidak

menyeluruh menyentuh akar timbulnya konflik kenegaraan multidimensi.

Terlebih bagi kasus penistaan terhadap agama Islam yang terjadi tidak hanya di negeri ini,

penyebabnya yaitu paham kebebasan berpendapat yang dibiarkan berkembang dan dilestarikan oleh

sistem demokrasi sekuler-liberal. Padahal sebagai seorang muslim, rakyat Indonesia mayoritas

harusnya lebih kritis dan teliti terhadap penerapan syariah yang katanya difasilitasi oleh sila pertama

dasar negara, yakni Pancasila.

Dalam islam, kebebasan berpendapat diatur sesuai syariah Islam yang dijalankan oleh institusi negara

Khilfah. Bagi pelaku penodaan terhadap agama, jika ia melakukannya karena kebodohan (selama ia

seorang muslim), ia akan didakwahi hingga ia bertaubat. Jika tidak mau dan/atau melakukan

penistaan terhadap ayat Al Qur’an itu secara sadar dan sengaja ia akan dihukumi murtad sehingga

nyawanya berhak diambil sebagaimana yang diizinkan Sang Pemilik Jiwa dan dicontohkan oleh

utusan-Nya. Adapun bagi penista dari kalangan non-muslim yang secara terang-terangan

menunjukkan kedengkiannya pada islam dan kaum muslim, maka baginya permintaan maaf

sebanyak apapun tidak cukup. Cukuplah baginya kehidupan dunia hanya sampai ia lancang

menggunakan lidahnya untuk melecehkan ayat Allaah.

Pengaturan setegas ini akan menghentikan semua kriminalitas sejenis, sedang keteraturan seperti ini

tidak mungkin diterapkan dalam kondisi sistem sekuler saat ini. Islam sebagai aturan hidup (way of

life) hanya bisa diimplementasikan secara integral bersamaan dengan institusi penjaganya, yakni

Khilafah Islamiyah yang akan menggunakan syariah kaffah sebagai landasan hukum disetiap lini

kehidupan politik, hukum dan negaranya.

Kebutuhan akan Khilafah tidak hanya diukur dari aspek penegakan hukum yang tidak akan tebang

pilih, melainkan sebgai bentuk ketaatan penuh dan menyeluruh pada Pencipta yang kita akan

dikembalikan pada-Nya. Tak risaukah kita ketika mati menjelang, sedang tidak ada baiat kepada

Khalifah dipundak kita, dan Rasul saw. menggolongkan kita mati dalam keadaan Jahiliyyah?

Wallahu’alam bi ash shawwab. /baneend (Maret 2017)