tugast

27
ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FK UNLAM/RSUD ULIN BANJARMASIN _______________________________________________ _________ Nama Mahasiswa : Muhammad Rendy Rinanda NIM : I1A009041 _______________________________________________ _________ 1. Patogenesis Herpes Genital? Jawaban : Infeksi terjadi melalui inokulasi virus pada permukaan mukosa yang rentan. Virus akan melekat pada sel epitel kemudian masuk dengan cara meleburkan diri di dalam membran. Sekali di dalam sel, terjadi replikasi yang menghasilkan lebih banyak virion yang menyebabkan kematian sel. Virus juga memasuki ujung saraf sensorik. Virion kemudian ditransportasi ke inti sel neuron di ganglia sensorik. Virion dalam neuron yang terinfeksi akan

description

wgt

Transcript of tugast

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMINSMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMINFK UNLAM/RSUD ULIN BANJARMASIN________________________________________________________Nama Mahasiswa: Muhammad Rendy RinandaNIM: I1A009041________________________________________________________1. Patogenesis Herpes Genital?Jawaban :

Infeksi terjadi melalui inokulasi virus pada permukaan mukosa yang rentan. Virus akan melekat pada sel epitel kemudian masuk dengan cara meleburkan diri di dalam membran. Sekali di dalam sel, terjadi replikasi yang menghasilkan lebih banyak virion yang menyebabkan kematian sel. Virus juga memasuki ujung saraf sensorik. Virion kemudian ditransportasi ke inti sel neuron di ganglia sensorik. Virion dalam neuron yang terinfeksi akan bereplikasi menghasilkan progeni atau virus akan memasuki keadaan laten tak bereplikasi. Neuron yang terinfeksi akan mengirim balik virus progeni ke lokasi kulit tempat dilepaskannya virion sebelumnya dan menginfeksi sel epitel yang berdekatan dengan ujung saraf, sehingga terjadi penyebaran virus dan jejas sel. Infeksi oleh HSV-1 dan HSV-2 akan menginduksi glikoprotein yang berhubungan pada permukaan sel-sel yang terinfeksi. Setelah terjadi infeksi, sistem imunitas humoral dan selular akan terangsang oleh glikoprotein antigenik untuk menghasilkan respon imun. Respon imun dapat membatasi replikasi virus sehingga infeksi akut dapat membaik. Respon ini tidak dapat mengeliminasi infeksi laten yang menetap dalam ganglia seumur hidup pejamu. Latensi semata tidak menimbulkan penyakit, namun infeksi laten dapat mengalami reaktivasi sehingga menghasilkan virion yang bila dilepas dari ujung saraf dapat menginfeksi sel epitel di dekatnya untuk menghasilkan lesi kulit rekurens atau pelepasan virus asimtomatik. Reaktivasi HSV-1 sering terjadi dari ganglion trigeminus, sedangkan HSV-2 dari ganglion sakralis (1).Faktor pemicu terjadinya reaktivasi dapat berupa demam, kelelahan, sinar ultra violet, trauma mekanik, bahan kimia, hormon, menstruasi, hubungan seksual, stres emosional, dan keadaan imunokompromais (1).Penularan lesi orolabial terjadi melalui droplet dan kontak langsung dengan lesi atau saliva yang mengandung virus. Penularan lesi genital dimulai bila sel epitel mukosa saluran genital pejamu yang rentan terpajan virus yang terdapat dalam lesi atau sekret genital orang yang terinfeksi. Walaupun herpes orolabialis paling sering disebabkan oleh HSV-1 dan herpes genitalis terutama disebabkan oleh HSV-2, kadang-kadang HSV-2 dapat mengakibatkan lesi-lesi oral, demikian pula HSV-1 dapat menyebabkan lesi genital. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas seksual secara orogenital. Semua individu seropositif HSV-2 secara intermiten akan mereaktivasi HSV di saluran genitourin selama hidupnya, baik sebagai infeksi simtomatik, infeksi simtomatik namun tidak dikenal sebagai herpes, atau sebagai infeksi subklinis (1,2).

Virus

RekurenSistem imun tidak berkualitasStress fisik/stress emosionalVirus menyebarEksositosisFaktor pemicu:Demam, kelelahan, sinar UV, trauma mekanik, bahan kimia, hormone, menstruasi, hubungan seksual, stress emosional dan keadaan imunokompremisGenom virus: DNA dormanHSV-1 pada ganglion trigeminusHSV-2 pada ganglion sakralisEpisodeprimerTranslasi menjadi virus utuhPindah ke SitoplasmaProduk RNAGenom virus: DNA bereplikasiKe Inti sel, kapsid rusakNukleokapsid, dari sitoplasmaTarget:Sel epitel (mukosa/kulit yg keratinisasi kurang baik)

Gambar 1.1 Patogenesis pada herpes genital

Gambar 1.2 Fase sensitisasi pada sistem imunitas selular

Gambar 1.3 Fungsi komplemen

Gambar 1.3 Fase efektor pada system imunitas humoral

Gambar 1.4 Respon imun tubuh terhadap antigen2. Mekanisme stress fisik dan emosional terhadap imunitas?Dalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stress (3).Teori stres bermula dari penelitian Cannon (1929) yang kemudian diadopsi oleh Meyer (1951) yang melatih para dokter untuk menggunakan riwayat hidup penderita sebagai sarana diagnostik karena banyak dijumpai kejadian traumatik pada penderita yang menjadi penyebab penyakitnya (3). Hans Selye (1956) dalam penelitiannya menggunakan stimulus untuk menimbulkan reaksi fisiologik yang ia sebut GAS (General Adaptation Syndrome). Menurut teorinya stresor fisik maupun psikologik akan mengakibatkan 3 tingkatan gejala adaptasi umum; tahap reaksi alarm (alarm reaction), resistensi (resistance) dan tahap kehabisan tenaga (exhaustion) (3). Faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres disebut stresor. Stresor dibedakan atas 3 golongan yaitu (3): a. Stresor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-lain. b. Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian, jatuh cinta dan lain-lain. c. Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain. Stres dapat mengenai semua orang dan semua usiaStimulus stres pertama kali diterima oleh sistim limbik di otak yang berperan sebagai regulasi stres, perubahan neurokimiawi yang terjadi selanjutkan akan mengaktivasi beberapa organ lain dalan sistem saraf pusat untuk selanjutnya akan membangkitkan respon stres secara fisiologis, selular maupun molekular. Stresor dapat memacu respons imun tubuh terhadap berbagai stimulus yang dapat mengganggu kemampuan kompensatorik tubuh dalam upaya mempertahankan homeostatis. Stresor telah diketahui dapat merangsang sistem tubuh untuk memproduksi hormon stres utama yaitu glukokortikoid, epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin, beta endorfin dan sebagainya. Respon stress tersebut akan membangkitkan suatu rentetan reaksi melalui beberapa sumbu (axis), dalam upaya menjaga homeostasis, ada 5 sumbu utama respons stres adalah; 1. Sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA axis), 2. Sumbu Simpato-adrenal-medulari (SAM), 3, Sumbu CRH-Sel Mast, 4. Melalui Neuropeptid, 5. Sumbu Hipotalamus-Pituitary-Tiroid, Sumbu HPA- Sistem reproduksi (4).a. Sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA axis)Jalur pertama adalah aktivasi sumbu HPA melalui neuron dalam nukleus paravestibuler di hipotalamus dan menghasilkan corticotropin releasing hormone (CRH). Hormon ini akan memacu hipofise anterior melepaskan adreno-corticotropin hormone (ACTH) yang akan merangsang kelenjar korteks adrenal untuk melepaskan hormon glukokortikoid atau kortisol. Hormon ini merupakan produk akhir sumbu HPA yang mempunyai peran biologis misalnya efek anti-inflamasi dan imunosupresi. Kortisol juga dapat mempengaruhi keseimbangan sel Th1/Th2, karena pada permukaan limfosit terdapat reseptor glukokortikoid. Stimulus yang akan diproses oleh korteks serebrum diteruskan ke hypotalamus melalui sistem limbik dengan memproduksi CRH. Hormon tersebut bertindak sebagai pembawa pesan yang dikirim ke kelenjar hipofise anterior untuk melepaskan ACTH. ACTH merupakan aktivator kelenjar korteks adrenal untuk memproduksi berbagai hormon. Dengan pengaruh ACTH, korteks adrenal melepaskan hormon kortisol sedangkan bagian medula kelenjar adrenal yang akan melepaskan katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin. (lihat gambar 1) (4).

Gambar 2.1 Stres dan CRH mempengaruhi ekspresi respons Th1 dan Th2 oleh Glukokortikoid dan katekolamin. Glukokortikoid menghambat IL-2, IF- dan IL-12, sedangkan catekolamin meningkatkan sistesis IL-10 (4).Secara umum kortisol berperan menekan reaksi radang dan sebagai imunosupresan. Kortisol menimbulkan efek berbeda terhadap Th1 dan Th2, sehingga terjadi perubahan keseimbangan Th1/Th2. Pada hewan coba yang diberi stres akan terjadi dominasi peran sel Th2 dengan dilepaskannya sitokin tipe 2 misalnya, IL-4, IL-5 dan IL-6. Interleukin ini sangat berperan dalam respons imun humoral. Buske-Kirschbaum, dkk. (2002) menyimpulkan bahwa pada dermatitis atopik kronis terjadi penurunan respons sumbu HPA sehingga kadar kortisol menurun dalam sirkulasi.12 Kortisol dapat menghambat sel Th2 secara langsung dengan peningkatan IL-4,10 Selain itu, kortisol menghambat lekosit dari sirkulasi ke ekstraselular, mengurangi akumulasi monosit dan granulosit di tempat radang, serta menekan produksi beberapa sitokin dan mediator radang (4).Pengaruh kortisol terhadap sel imun dimungkinkan karena di permukaan makrofag, sel natural killer dan sel Th terdapat reseptor terhadap glukokortikoid (GCR) yang bekerja di dalam sitoplasma dan mempengaruhi transkripsi sistesis DNA. Penelitian lain juga menunjukkan stresor akut dapat meningkatkan peran sel Th2, sedangkan stresor kronis meningkatkan fungsi sel Th1.7 Penurunan sistesis kortisol akan menimbulkan pergeseran peran dari Th1 ke arah Th2. Hal ini dapat menerangkan berbagai penyakit kulit.12,13 Atas dasar mekanisme tersebut kortikosteroid digunakan sebagai terapi untuk berbagai penyakit inflamasi serta sebagai imunosupresif sistemik maupun topikal (4).b. Sumbu simpato-adrenal-medular (SAM)Jalur ini dimulai dari rangsangan yang diterima di locus ceruleus adrenergic system dalam susunan saraf pusat dan di bagian medula kelenjar adrenal. Sistem terdiri atas sistem saraf parasimpatis dan simpatis. Serat praganglion simpatis dan para-simpatis melepaskan neurotransmiter yang sama yaitu asetilkholin (Ach), sedangkan ujung saraf pascaganglion simpatis melepaskan noradrenalin atau norepinefrin (NE). Selain disintesis oleh batang otak, norepinefrin disintesis pula oleh medula adrenal yang merupakan sistem saraf simpatik yang termodifikasi. Serabut praganglion mensarafi sel-sel kromafin medula adrenal yang dapat menghasilkan hormon katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin. Dikenal 2 jenis reseptor adrenergik yang terdiri atas reseptor 1, 2 dan reseptor 1 dan 2 (4).Beberapa organ limfoid seperti monosit dan limfosit memiliki reseptor adrenergik di permukaan, sehingga rangsangan terhadap reseptor tersebut oleh norepinefrin dapat mempengaruhi peran sel imun. Norepinefrin juga dapat meningkatkan produksi interleukin-6 (IL-6) dari sumber utama yaitu limfosit dan makrofag. Sitokin ini berperan sebagai protein fase akut, serta sangat berperan dalam pertumbuhan sel plasma untuk membentuk antibodi dan meningkatkan proliferasi sel Th2. Reseptor beta-adrenergik di permukaan sel Th akan berdiferensiasi menjadi sel Th2 dengan memproduksi sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10, yang sangat berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe I. Norepinefrin bekerja melalui reseptor alfa dan beta, serta mempunyai efek yang luas, termasuk terhadap sumbu HPA dan sistem imun. Corticotropin releasing hormone secara langsung dapat mempengaruhi sistesis norepinefrin melalui jalur paraventricular nucleus, dengan merangsang sekresi IR-rCRH melalui reseptor alfa di locus ceruleus batang otak (4).c. Sumbu CRH sel MastSel mast adalah sel yang sangat penting dalam reaksi hipersensitivitas tipe I, karena dapat melepaskan berbagai mediator radang terutama histamin. Ikatan dengan antigen tertentu yang telah dikenalnya, mengakibatkan proses biokomiawi yang panjang sehingga sel mast mengalami degranulasi dan melepaskan mediatornya. Banyak faktor yang dapat mengakibatkan degranulasi sel mast, salah satu di antaranya faktor stresor psikologis. Hal ini dapat dimengerti karena di permukaan sel mast dijumpai reseptor corticotropin releasing hormone (CRHR-1). Selain itu di permukaan sel mast juga dijumpai reseptor beta-adrenergic, dan ujung saraf simpatetik dekat dengan sel-sel imunokompeten di kulit. Ini menunjukkan bahwa degranulasi sel mast dapat terjadi akibat stimuli CRH langsung, dari norepinefrin maupun neuropetid terutama substansi P (SP) dan neuropeptid Y. Efek SP dalam degranulasi sel mast adalah meningkatkan sensitivitas sel mast terhadap electrical field stimulation (EFS) sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator sel mast dengan bermacam-macam manifestasi klinis (4).d. Peran NeuropeptidBerbagai neuropeptid yaitu, vasoactive intestinal peptide (VIP), substansi P (SP), neuropeptid Y dan somatostatin dapat berikatan dengan sel-sel imun, baik di mukosa maupun di kulit melalui reseptor, terutama yang terdapat di permukaan sel mast, kelenjar sebaseus, dan folikel rambut. Substansi P dan peptid yang lain menrangsang degranulasi sel mast melalui kerja langsung terhadap peningkatan prekursor mediator radang yang dilepaskan oleh sel mast, dan juga melalui reseptor SP di permukaan sel mast. Neuropeptid sangat berperan dalam inflamasi neurogenik oleh karena terjadi pelepasan neuropeptid pada akhir saraf. Neuropeptid ini penting dalam imunitas mukosa dengan cara regulasi proliferasi sel limfosit dan mobilitasnya di dalam mukosa serta mensistesis IgA dan pelepasan histamin. Bukti terkini menunjukkan bahwa VIP memodulasi respons imun melalui cAMP, sedangkan SP meregulasi sistem imun melalui keterlibatan dalam metabolisme fospolipid. Kini diketahui bahwa sel Langerhan juga mengekspresikan reseptor terhadap neuropeptid. Dengan demikian neuropeptid sangat berperan dalam imunitas selular maupun imunitas humoral (4).3. Mekanisme kerja asiklovir dalam menghambat replikasi viral?Jawaban :

Gambar 3.1 Mekanisme antivirus menghambat replikasi virusAsiklovir merupakan obat antivirus yang paling banyak digunakan karena efektif terhadap virus hervers. Asiklovir adalah turunan guanosin. Virus herpes mengandung timidin kinase yang dapat menambah fosfat baru pada guanosin dan deoksiguanosin. Senyawa ini akan menfosforilasikan aasiklovir 30-100 kali lebih cepat daripada kinase sel inang, dengan cara yang seperti yang ditunjukkan pada bagan dibawah. Produknya setelah fosforilasi menjadi asikloguanosin trifosfat yang menghambat herpes DNA polymerase 10-30 kali lebih kuat daripada polymerase sel inang (5).Asiklovir, suatu analog guanosin yang tidak mempunyai gugus glukosa, mengalami monofosforilasi dalam sel oleh enzim yang di kode hervers virus, timidin kinase.Karena itu, sel-sel yang di infeksi virus sangat rentan. Asiklovir adalah suatu prodrug yang baru memiliki efek antivirus setelah dimetabolisme menjadi asiklovir trifosfat (5).Asiklovir bekerja pada DNA Polimerase virus, seperti DNA polymerase virus herpes. Sebelum dapat menghambat sintesis DNA virus, asiklovir harus mengalami fosforilasi intra seluler dalam tiga tahap untuk menjadi bentuk trifosfat. Fosforilasi pertama dikatalisis oleh timidin kinase virus, proses selanjutnya berlangsung dalam sel yang terinfeksi virus (5).Langkah yang penting dari proses ini adalah pembentukan asiklovir monofosfat yang dikatalisis oleh timidin kinase pada sel hospes yang terinfeksi oleh virus hospes atau vericella zoster atau oleh fosfotransferase yang dihasilkan oleh sitomeganovirus (5).Kemudian enzim seluler menambahkan gugus fosfat untuk membentuk asiklovir difosfat dan asiklovir trifosfat. Asiklovir trifosfat menghambat sintesis DNA virus dengan cara berkompetensi dengan 2-deoksiguanosi trifosfat sebagai substrat DNA polymerase virus dan masuk ke dalam DNA virus yang menyebabkan terminasi rantai DNA yang premature. Jika asiklovir (dan bukan 2-deoksiguanosi trifosfat) yang masuk ketahap replikasi DNA virus, sintesis berhenti. Inkorporasi asiklovir monofosfat ke DNA virus bersifat irreversible karena enzim eksonuklease tidak dapat memperbaikinya. Pada proses ini, DNA polymerase virus menjadi inaktif (5).Timidin kinase yang sudah berubah atau berkurang dan polymerase DNA telah ditemukan dalam beberapa strain virus yang resisten. Resistensi terhadap asiklovir disebabkan oleh mutasi pada gen timidin kinase virus atau pada gen DNA polymerase (5).Pemberian obat bisa secara intravena, oral atau topical. Efektivitas pemberian topical diragukan obat tersebar keseluruh tubuh, termasuk cairan serebrospinal.asiklovir sebagian dimetabolisme menjadi produk yang tidak aktif. Ekskresi kedalam urine terjadi melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular (5).

Virus

Asiklovir trifosfatAsiklovirTimidine kinaseEnzim selulerAsiklovir monofosfatEnzim selulerAsiklovir difosfat

2-deoksiguanosi trifosfat

Berkompetisi

Terminasi rantai DNA PrematurSubstrat DNA Polymerase

DNA Polymerase virus inaktif

Sintesis berhenti

Gambar 3.2 Mekanisme antivirus menghambat replikasi virus

4. Bagaimana herpes genital pada ibu hamil?Jawaban :Herpes genital pada ibu hamil dapat ditularkan kepada janin sebelum, saat atau sesudah persalinan. Kasus terbanyak herpes genital ditularkan melalui persalinan pervaginam (6).Sekitar 5% kasus HSV pada neonatal berasal dari infeksi uteroplasenta. Ketika infeksi primer saat penyebaran virus terjadi, HSV dapat berpotensi menyebar melalui hematogen melalui plasenta kepada janin. Penyebaran hematogen dapat menghasilkan sebuah spectrum yang mirip seperti infeksi TORCH (toxoplasmosis, other infection, rubella, cytomegalovirus, dan harpes simplex) seperti mikrosephali, mikropthalmi, kaslifikasi intracranial dan khorioretinitis (6).Infeksi neonatal terbanyak disebabkan oleh penyebaran pada saat persalinan akibat kontak perkontuinitatum pada jalan lahir yang terinfeksi HSV. Penggunaan forsep menjadi salah satu faktor resiko penyebaran pada saat persalinan. Sedangkan infeksi setelah kelahiran disebabkan oleh kontak dengan penderita herpes genital atau tenaga medis (6).

Gambar 1Penyebaran virus melalui persalinan (6).Tabel 1. Tipe dan kejadian HSV pada neonatus (6).Disease TypeIncidence, %Mortality, %Long-term Morbidity, %*

Localized disease ofskin, eye, mouth4505

CNS351565

Disseminated2060-8040

*Morbidity includes mental retardation, chorioretinitis, seizures, and other CNS effects.

Tabel diatas menunjukkan bahwa infeksi HSV pada neonatal bervariasi tergantung dari tingkat infeksi. Infeksi lokal yang paling banyak terjadi, namun bersifat ringan. Akan tetapi. Infeksi serius dapat menyebabkan kematian sampai kerusakan system saraf cranial yang menetap (6).

Tabel 2. Dosis rekomendasi obat antivirus untuk infeksi herpes genital (6).IndicationAcyclovirValacyclovirFamciclovir

First episode400 mg tid OR 200 mg 5 times/d (for 7-10 d)1000 mg bid (for 7-10 d)250 mg tid (for 7-10 d)

Recurrent400 mg tid (for 3-5 d) OR 800 mg PO tid (for 2 d)500 mg bid (for 3 d)1000 mg bid (for 1 d)

Dari table diatas dijabarkan rekomendasi antiviral untuk herpes genital, pilihan obat yang diberikan adalah Asiklovir, Valasiklovir dan Famsiklovir. Tidak ditemukan adanya malformasi pada janin yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi obat tersebut selama kehamilan dan obat tersebut dinyatakan aman uttuk digunakan pada ibu hamil dengan catatan diberikan dengan dasar yang jelas. Menurut Randolph et al untuk menurunkan penularan herpes genital dari ibu keanak dapat dilakukan dengan seksio sesaria (6).

DAFTAR PUSTAKA

1. Adolf HM. Infeksi Herpes pada Pasien Imunokompeten. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Sam Ratulangi/RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou: Manado. 2010

2. Joshua TS, et al. Mucosal host immune response predicts the severity and duration of herpes simplex virus-2 genital tract shedding episodes. PNAS; doi/10.1073/pnas.1006614107. November 2, 2010 vol. 107 no. 44 p.1897318978

3. Gunawan Bambang, Sumadiono. Stres dan Sistem Imun Tubuh: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi. 2007. Sub Bagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada: Yogyakarta

4. Wardhana Made. Psikoneuroimunologi di Bidang Dermatologi. 2014. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unud/RS Sanglah : Bali.

5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

6. Yoon H. Effects of stress on female rat sexual function, Internat.J. Impotence Research. advance online publ [1 Januari 2014] http://emedicine.medscape.com/article/274874-overview#aw2aab6b4